LEMBAR INFORMASI Edisi 5: Maret 2017
Analisis dan Rekomendasi Teknis Program Rehabilitasi Mangrove Pendahuluan Mangrove dikenal memiliki banyak fungsi. Selain mencegah abrasi pantai, menghambat peresapan air laut ke daratan, dan menahan angin kencang, kawasan mangrove bermanfaat sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan, juga kayu untuk bangunan dan bahan bakar.
rekomendasi disain teknis, dan teknis pengelolaan rehabilitasi mangrove bagi pemerintah dan masyarakat Buol. Diharapkan studi ini dapat digunakan sebagai panduan bagi pemerintah Kabupaten Buol, maupun sebagai inspirasi bagi pemerintah daerah dan pihak lain yang berkepentingan dalam rehabilitasi kawasan mangrove.
Sayangnya, mangrove di Indonesia mengalami ancaman kerusakan oleh berbagai sebab alami ataupun ulah manusia. Untuk itu mangrove perlu direhabilitasi.
Desa Taat
Pemerintah gencar melakukan program rehabilitasi misalnya lewat Gerakan Rehablitasi Hutan dan Lahan (GRNHL) dan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Namun, kegiatan tersebut masih perlu peningkatan dari sisi perencanaan dan pelaksanaan sehingga kasus salah pemilihan bibit, lokasi dan teknik tanam dapat dihindarkan.
Secara umum, rehabilitasi mangrove di Desa Taat dinilai layak untuk dilakukan. Masyarakat memiliki persepsi positif terhadap mangrove dan upaya-upaya rehabilitasi. Lokasi penanaman mangrove juga tersedia. Masyarakat sudah memiliki pengalaman rehabilitasi dan mendapatkan dukungan penuh dari aparat desa. Ketersedian sumber bibit juga dapat dipastikan. Ada peluang masyarakat mendapatkan bantuan dari pemerintah lewat program KBR. Namun, kapasitas teknis masyarakat masih perlu ditingkatkan.
Melalui program Smart Tree-Invest, World Agroforestry Centre (ICRAF) melakukan studi kelayakan rehabilitasi mangrove di Desa Taat, Matinan, dan Lokodidi, tiga desa pesisir di Kecamatan Gadung, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Studi ini menghasilkan analisis kelayakan,
Analisis Kelayakan Rehabilitasi
2 Selain rehabilitasi mangrove, juga direkomendasikan untuk menerapkan teknologi Hybrid Engineering sebagai upaya mengatasi ancaman abrasi di areal sekitar muara (pantai sebelah timur desa).
Rekomendasi Desain Teknis 1) Rehabilitasi mangrove
Lokasi Penanaman Berdasarkan observasi di lapangan, setidaknya terdapat tiga lokasi yang tersedia untuk direhabilitasi di Desa Taat yaitu: 1) hamparan yang berada diantara hutan mangrove dan pemukiman, 2) areal berlumpur di sekitar pemukiman bagian timur desa, dan 3) areal lumpur berpasir di sekitar muara timur desa.
Teknik penanaman Direkomendasikan untuk menerapkan penanaman dengan sistem koloni, yaitu menanam bibit atau propagul mangrove pada suatu tapak berukuran kecil menyerupai koloni. Mangrove ditanam dengan jarak tanam rapat antara 0.5 hingga 1 meter kemudian diberi dengan pagar pelindung penghalau ternak pengganggu. Luas setiap koloni bisa bervariasi, disarankan berisi antara 30-70 tanaman, tergantung kondisi tapak.
Gambar 4. Areal yang tersedia untuk kegiatan rehabilitasi.
Gambar 2. Ilustrasi sederhana pemagaran koloni tanaman mangrove
Berdasarkan analisis spasial, luas areal yang tersedia diperkirakan seluas 16.2 ha, dengan perincian sebagai berikut 13 ha (lokasi 1), 0.4 ha (untuk lokasi 2), dan 2.3 ha (lokasi 3). Studi ini merekomendasikan lokasi penanaman mangrove di Desa taat hanya seluas 6.4 hektar sebagai berikut: Lokasi 1 yang substratnya berlumpur dan lumpur berpasir. Berdasarkan analisis spasial, areal yang memiliki kesesuaian untuk tanaman mangrove diperkirakan seluas 6.1 ha. Lokasi 2 yang berada lebih dari 10 m dari jalan. Berdasarkan analisis spasial, areal ini diperkirakan seluas 0.3 ha.
Gambar 3. Ilustrasi sederhana penempatan koloni tanaman mangrove di lokasi penanaman
Tiang pagar dibuat dari Kayu Kuda Lannea caromondalica berukuran sedang agar dapat bertahan dari terpaan air laut. Untuk pelindung, direkomendasikan menggunakan jaring tambang karena lebih tahan terhadap air asin. Posisi dan ukuran koloni perlu disesuaikan dengan ketersediaan ruangan di lapangan, akses perahu, dan posisi pohon-pohon mangrove yang ada. Gambar 3 merupakan ilustrasi sederhana tentang bagaimana koloni-koloni ini ditempatkan sesuai dengan akses, kondisi substrat, dan tutupan lahannya.
Catatan: Karena sistem penanaman yang diterapkan adalah sistem koloni, maka diperkirakan hanya + 30% dari luas total yang benar-benar efektif ditanami mangrove (untuk tahap awal). Survey detail dan diskusi dengan masyarakat harus dilakukan untuk menentukan titik titik penanaman koloni.
Teknik Penanaman Sesuai dengan kondisi substrat yang ada di lokasi rehabilitasi, setidaknya terdapat enam jenis mangrove yang bisa dijadikan sebagai opsi dalam program rehabilitasi mangrove di Desa Taat sebagaimana terangkum dalam tabel 1. 2) Penerapan Hybrid Engineering Teknik Hybrid Engineering berarti membangun pagar dari bahan-bahan alami untuk mengurangi kekuatan gelombang sekaligus memerangkap sedimen yang akan
3 Tabel 1. Jenis-jenis mangrove yang potensial untuk ditanam di Desa Taat No Jenis 1
Rhizophora mucronata
2
Rhizophora apiculata Avicennia marina Sonneratia alba Ceriops tagal
3 4 5 6
Opsi penanaman Bisa menggunakan bibit jadi (berpolibag) atau bisa juga dengan menanam propagul secara langsung di lapangan Idem
Bisa menanaman anakan alam dengan sistem coring atau menanam bibit yang dipersiapkan dari benih Bisa menanaman anakan alam dengan sistem coring atau menanam bibit yang dipersiapkan dari benih Bisa menanaman anakan alam dengan sistem coring atau menanam bibit yang dipersiapkan dari benih Bruguiera Bisa menggunakan bibit padi (berpolibag) atau bisa gymnorrhiza juga dengan menanam propagul secara secara langsung di lapangan
Untuk Desa Lokodisi rehabilitasi mangrove layak dilakukan dan penerapan demosite silvofishery perlu dipertimbangkan.
Rekomendasi Desain Teknis 1) Rehabilitasi mangrove
Teknik penanaman mangrove Dalam rangka mengantisipasi gangguan dari kegiatan penduduk dan ancaman ternak, maka penanaman mangrove di desa Lokodidi juga disarankan untuk menerapkan sistem koloni sebagaimana yang direkomendasikan juga untuk Desa Taat.
Rekomendasi lokasi target penanaman memungkinkan terjadinya permudaan alami (natural vegeration) dan penanaman mangrove. Bila berhasil, maka mangrove yang tumbuh akan menjadi pagar baru pelindung garis pantai. Lokasi yang ideal untuk penerapan Hybrid Engineering adalah areal disekitar lokasi 3 yang berada di muara sungai. Studi lebih mendalam perlu dilakukan bila ingin menerapkan Hybrid Engineering terutama terkait karakteristik oceanografi dan pola sedimentasi dari laut maupun sungai.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lokasi penanaman rehabilitasi pemerintah masih memiliki tutupan yang bagus. Dengan kondisi yang masih berupa hutan dengan banyak pohon induk, hutan masih dapat beregenerasi secara alami. Dengan alasan di atas maka sebaiknya lokasi di dalam hutan mangrove tidak dijadikan sebagai target kegiatan rehabilitasi. Program rehabilitasi sebaiknya dilaksanakan di lokasi lain yang benar-benar memerlukan campur tangan manusia yaitu lokasi yang relatif terbuka dengan kondisi substrat berlumpur yang memungkinan bagi mangrove untuk tumbuh dengan baik. Berdasarkan observasi di lapangan, dijumpai areal seluas 1.5 hektar yang dinilai prospktif untuk dilakukan rehabilitasi. Areal ini tersebar di tiga lokasi berbeda yaitu lokasi 1 = 0.6 ha, lokasi 2 = 0.2 ha, lokasi 3 = 0.2 ha, dan lokasi 4= 0.5 ha. Batasan wilayah administratif desa di lokasi 4 perlu dipastikan terbeih dahulu. Catatan: Mengingat teknik penanaman yang disaranan adalah “sistem koloni”, maka tidak seluruh lokasi tersebut akan efektif ditanami. Lokasi dan titik penempatan koloni perlu disesuaikan dengan kondisi ruang yang ada, dan tidak mengganggu kegiatan masyarakat. Berdasarkan estimasi, lokasi yang benar-benar efektif untuk ditanam antara 30-40 % .
Usulan Jenis Mangrove Gambar 6. Lokasi yang direkomendasikan untuk penerapan Hybrid Engineering
Desa Lokodidi Analisis Kelayakan Rehabilitasi Masyarakat Lokodidi memiliki persepsi positif dan pengalaman dalam program rehabilitasi mangrove. Aparat desa mendukung. Lokasi penanaman mangrove dan percontohan Silvofishery tersedia. Sumber bibit juga tersedia. Beberapa penduduk juga memiliki persemaian mandiri walau cenderung sekedar menangkap peluang ekonomi dari kegiatan rehabilitasi. Hanya saja, kapasitas teknis masyarakat masih pelu ditingkatkan. Selain itu, ancaman ternak kambing perlu diatasi. Adanya rencana pembangunan jalan yang berpotensi mengkonversi sebagian hutan mangrove juga perlu dicermati.
Sesuai dengan kondisi substrat yang ada di lokasi rehabilitasi, setidaknya terdapat empat jenis mangrove yang bisa dijadikan sebagai opsi dalam program rehabilitasi mangrove di Desa Lokodidi. Tabel 2 merangkum keempat jenis potensial tersebut. Tabel 2. Jenis-jenis mangrove yang potensial untuk ditanam di Desa Lokodidi No Jenis 1 Rhizophora mucronata 2 3 4
Rhizophora apiculata Ceriops tagal Bruguiera gymnorrhiza
Opsi penanaman Bisa menggunakan bibit jadi (berpolibag) atau bisa juga dengan menanam propagul secara langsung di lapangan Idem Bisa menanaman anakan alam dengan sistem coring atau menanam bibit yang dipersiapkan dari benih Bisa menggunakan bibit padi (berpolibag) atau bisa juga dengan menanam propagul secara secara langsung di lapangan
4
Gambar 8. Penanaman mangrove di sepanjang pematang tambak
Gambar 7. Lokasi yang direkomendasikan untuk rehabilitasi mangrove di Desa Lokodidi
Gambar 9. Penanaman mangrove di sepanjang tambak, dikombinasikan dengan sistem jalur
2) Pembangunan demosite silvofishery
dampak penerapan silvofishery. Apabila kajian mengindikasikan adanya manfaat ekonomis bagi masyarakat dan dampak positif terhadap lingkungan, maka demosite silvofishery dapat diaplikasikan di desa ini.
Di Desa Lokodidi, terdapat tambak terlantar milik perorangan seluas 1.9 hektar. Dulunya tambak ini merupakan hutan mangrove. Apabila pemiliknya memberikan izin, tambak ini bisa dikembangkan menjadi demosite silvofishery setelah terlebih dahulu melakukan beberapa perbaikan (terutama pintu air dan pematang tambak). Apabila pematang telah terbangun, maka penanaman mangrove dapat dilakukan di sepanjang kanan kirinya. Penanaman ini dapat dilakukan dengan jarak tanam yang rapat antara 20-50 cm, dan bisa dilakukan hingga dua baris. Dan apabila memungkinkan, penanaman tambahan di dalam tubuh air (dalam tambak) juga bisa dilakukan dengan sistim jalur. Untuk di areal tambak, penanaman sebaiknya menggunakan Rhizophora mucronata, Rhizopora apiculata, atau Rhizophora stylosa. Hal ini dikarenakan akar ketiga jenis ini dapat memperkuat struktur tanah dii sepanjang pematang. Penanaman dengan jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. sebaiknya dihindarkan karena akarnya dapat menjalar ke segala arah sehingga mengganggu operasional tambak. Opsi pengembangan silvofishery ini akan lebih menarik apabila dikelola oleh kelompok sehingga manfaat yang diperoleh dapat dirasakan semua. Catatan: sebelum demosite silvofishery dilakukan, beberapa kajian tambahan perlu dilakukan antara lain kajian alternatif komoditas perikanan, penerimaan masyarakat terhadap konsep silvofishery, dan potensi
Gambar 10. Tambak terlantar yang miliki potensi untuk dijadikan demosite silvofishery
Desa Matinan Analisis kelayakan rehabilitasi Karena karakteristik pesisir Desa Matinan didominasi pantai berpasir, maka rehabilitasi mangrove secara intensif tidak memungkinkan dilakukan. Untuk melakukan penanaman di sekitar koloni pedada juga sangat sulit dilakukan karena terkendala ombak yang tinggi dan sedimentasi pasir.
5 Rekomendasi teknis Untuk Desa Matinan, direkomendasikan untuk melakukan pengkayaan mangrove (mangrove enrichment). Kegiatan ini mengacu pada penanaman jenis-jenis mangrove yang tidak dijumpai di lokasi penanaman (atau ada namun sangat terbatas) agar tegakan mangrove yang ada menjadi lebih kaya jenis. 1) Pengkayaan di tegakan nipah Untuk pengayaan tegakan nipah, disarankan menanam Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Ceriops tagal, Camptostemon spp., dan Xylocarpus granatum. Penanaman ini dapat dilakukan di areal kosong di sela-sela tegakan nipah, dengan jarak tanam 50x 50 cm (lihat gambar 11). Sumber bibit untuk jenis-jenis tersebut daat diperoleh di Desa Taat atau Lokodidi. Dari 0.1 ha, diperkirakan hanya 20% saja yang dapat ditanami.
Gambar 12. Ilustrasi sederhana teknis pengkayaan di tegakan api-api
bertahan dengan kondisi genangan sedang hingga berat. Sementara untuk penanaman di bagian tengah atau belakang tegakan, disarankan untuk menanam Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, dan Camptostemon spp, dan beberapa jenis lainnya. Sumber bibit untuk jenisjenis tersebut dapat diperoleh di Desa Taat atau Lokodidi.
Rekomendasi Teknis Pengelolaan Program A. Pengelolaan kegiatan rehabilitasi Pengelolaan rehabilitasi sebaiknya menghindarkan “pendekatan proyek” yang menjadikan masyarakat sebagai tenaga lepas kegiatan dengan target hanya memenuhi jumlah bibit yang tertanam, bukan jumlah tanaman yang berhasil tumbuh, sementara pemeliharaan pasca tanaman tidak dilakukan.
Gambar 11. Ilustrasi sederhana usulan teknis pengkayaan di tegakan nipah
2) Pengkayaan di tegakan api-api Untuk tegakan api-api, areal sepanjang tepi sungai memiliki prospek untuk ditanami karena substratnya berlumpur dalam. Penanaman ini disarankan dengan jarak tanam rapat (30 cm-50 cm), dan ditanam 2 hingga 4 lapis sesuai dengan ketersediaan ruang di sepenjang tepi sungai (lihat gambar 12). Penanaman tambahan juga dapat dilakukan di ruang kosong yang berada di tengah atau belakang tegakan api-api. Berdasarkan observasi lapangan, jumlah bibit yang ditanam tidak akan lebih dari 200 bibit. Untuk penanaman di tepi sungai, disarankan untuk memilih Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata karena memiliki propagul yang panjang sehingga mampu
Untuk program di tiga desa sasaran, disarankan menerapkan “pendekatan program berkelanjutan” dimana masyarakat diposisikan sebagai aktor utama yang dilibatkan secara aktif dari tahap awal hingga akhir kegiatan (perencanaan, pembibitan, penamanan, hingga pemeliharaan). Kelompok-kelompok yang sudah terbentuk di masingmasing desa dinilai memiliki potensi sebagai pelaksana dibawah bimbingan dan fasilitasi dari program rehabilitasi. Fasilitator dapat direkrut dari masyarakat setempat untuk melaksanakan tugas pendampingan dibawah arahan program atau konsultan profesional.
Table 3. Tahapan dan tata waktu kegiatan No
Kegiatan
1
Persiapan
2
Pelatihan
3
Pembangunan persemaian
4
Pembibitan*
5
Pengerasan
6
Persiapan lokasi penanaman
7
Penanaman
8
Pemeliharaan
9
Monitoring
1
*termasuik pengadaan tanaman
2
3
4
5
...
20
21
22
Minggu ke -1 23 24 25 26
27
28
29
30
...
40
...
64
dst
6 B. Tahapan dan Tata waktu kegiatan
E. Penanaman
Untuk merealisasikan kegiatan rehabilitasi secara utuh, diperlukan setidaknya sembilan tahap kegiatan yaitu: persiapan, pelatihan, pembangunan persemaian, pembibitan, pengerasan/adaptasi tanaman, persiapan lokasi penanamam, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan monitoring-evaluasi.
Penanaman sebaiknya dilakukan saat musim timur dimana kondisi ombak relatif tenang. Waktu tanam sebaiknya dilakukan pada saat air laut surut agar bibit mudah sampai ke lokasi tanam. Penanaman harus dilakukan sesuai dengan desain teknis yang telah ditetapkan, termasuk pengaturan jarak tanam. Dalam penanaman, harus dipastikan bahwa plastik polibag di lepas dari bibit sebelum ditanam.
C. Pelatihan Kegiatan ini sangat diperlukan mengingat kapasitas teknis masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi masih rendah. Setidaknya terdapat tiga topik pelatihan yang perlu diberikan kepada masyarakat yaitu : 1) pengadaan benihanakan, 2) persemaian-pembibitan, dan 3) penanamanpemeliharaan (termasuk teknik monitoring tanaman).
D. Pembibitan mangrove Pembangunan persemaian hanya dilakukan apabila diputuskan bahwa penanaman menggunakan bibit berpolibag (bukan penanaman propagul secara langsung di lapangan). Mengingat ancaman ternak, maka persemaian harus dilindungi dengan pagar. Kriteria lokasi yang tepat untuk persemaian adalah sebagai berikut: • Tanah berlumpur • Terkena pasang surut air laut • Topografi datar • Dekat dengan lokasi penanaman • Lokasi mudah dijangkau • Dekat dengan sumber media Jumlah yang dibibitkan harus disesuaikan dengan jumlah koloni yang akan dibuat atau berapa jumlah total tanaman yang akan ditanam. Untuk keperluan penyulaman, jumlah yang dibibitkan sebaiknya dilebihkan 20%. Salah satu kunci dalam keberhasilan pembibitan adalah penggunaan benih atau propagul yang masak dan berkualitas tinggi. Buah yang masak untuk setiap jenis tanaman memiliki ciri-ciri yang berlainan satu sama lain. Untuk jenis bakau (Rhizophora spp., Ceriops spp., Bruguiera spp.), perendaman buah/propagul selama 5-10 hari di air payau sangat disarankan. Selain dapat mempercepat proses perkecambahan d an meningkatkan prosentase hidup tanaman, buah akan terhindar dari serangan hama ketam atau kepiting.
F. Pemeliharaan Untuk kehidupan tanaman mangrove, penyiraman sebenarnya tidak terlalu penting karena lokasi penanaman pada umumnya telah terkena pasang surut. Namun demikian, penyiraman sebaiknya tetap dilakukan untuk pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan air payau dan difokuskan pada bagian daun dan batang. Banyak sekali kejadian dimana serangga meletakkan telurnya di batang atau daun, dan kemudian menetas menjadi ulat yang memakan bagian tanaman. Dengan adanya penyiraman air payau secara rutin maka ancaman hama ulat ini dapat dihindari. Monitoring tanaman perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi tanaman setelah ditanam dan mengukur keberhasilan tumbuh tanaman. Pada umumnya, monitoring ini dilakukan 3 bulan setelah penanaman. Apabila ada tanaman yang mati, maka penyulaman perlu dilakukan untuk meningatkan keberhasilan tumbuh tanaman. Penyulaman ini dilakukan dengan cara mengganti tanaman yang mati dengan bibit baru.
G. Rekomendasi umum lain • Pembuatan Peraturan Desa untuk melindungi keberlangsungan kegiatan rehabilitasi • Optimalisasi POKJA DAS untuk bisa proaktif mengurusi berbagai hal yang terkait dengan mangrove. • Pencegahan konversi mangrove dari dampak pembangunan jalan (Kasus desa Lokodidi) Sumber: Wibisono, ITC. 2015. Kajian Kelayakan dan Pengembangan Desain Teknis Rehabilitasi Pesisir di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Working Paper World Agroforestry Centre, Bogor Indonesia. dapat didownload di http://old.icraf.org/regions/southeast_asia/ publications?do=view_pub_detail&pub_no=WP0203-16
Lembar Informasi Smart Tree-invest | Edisi 5: Maret 2017 Penulis Iwan Tri Cahyo Wibisono | Editor Aunul Fauzi dan Sacha Amaruzaman | Tata Letak Riky M Hilmansyah Informasi lebih lanjut: Lisa Tanika (
[email protected])
World Agroforestry Centre (ICRAF)
ICRAF Buol Sulawesi Tengah
Southeast Asia Regional Program Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16115 PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia Tel: +62 251 8625415; Fax: +62 251 8625416 www.worldagroforestry.org/region/southeast-asia blog.worldagroforestry.org
Jl. Syarif Mansur No. 42, RT-01/RW-01 Leok II, Kecamatan Biau, Kabupaten Buol 94563, Sulawesi Tengah Phone: +62 8111 9762 66