Edisi Januari-Maret 2017
BRIEF
REALITAS KEMUDAHAN BERUSAHA DI DAERAH SULITNYA MENGURUS PERIZINAN MENYEDERHANAKAN BIROKRASI DAERAH
BRIEF 3
ARTIKEL REALITAS KEMUDAHAN BERUSAHA DI DAERAH
2 8
D AFT AR IISI DAFTAR SI EDITORIAL TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI DI DAERAH
REVIEW REGULASI MENYEDERHANAKAN BIROKRASI DAERAH
Sumber gambar: david-pranata.com
17
OPINI
13
DARI DAERAH GEMUK STRUKTUR, IRIT FUNGSI
SULITNYA MENGURUS PERIZINAN
20
Sumber gambar: poskotanews.com
22
SEPUTAR OTONOMI WAJAH BURUK PEMERINTAH DAERAH
26
LAPORAN KEGIATAN PERIZINAN, SUMBATAN BESAR BERUSAHA
AGENDA KPPOD MEDIA BRIEFING 19 OKTOBER 2016 STUDI KEMUDAHAN BERUSAHA DI 3 KOTA DI INDONESIA
SEMINAR “EVALUASI ATAS
IMPLEMENTASI PAKET KEBIJAKAN INVESTASI DI DAERAH”
Sumber gambar: mediaindonesia.com
Susunan Redaksi | Pemimpin Redaksi: Herman Nurcahyadi Suparman | Expert Reviewer: Robert Na Endi Jaweng | Staff Redaksi: Boedi Rheza, Tities Eka Agustine, Muhammad Yudha Prawira, Nur Azizah Febryanti, Aisyah Nurrul Jannah | Distribusi: Maria Regina Retno Budiastuti, Eka Sukmana, Agus Salim | Desain/Layout: Winantyo Alamat Redaksi | Gedung Permata Kuningan Lt.10, Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 | Telp. [021] 8378 0642/53 | Fax. [021] 8378 0643 | Email:
[email protected] | Website: www.kppod.org | Facebook: kppod Sumber gambar sampul diperoleh dari internet: kokek.com, klikbekasi.co, sindonews.com, goukm.id
1
EDITORIAL
TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI DI DAERAH
B
irokrasi merupakan “personifikasi” negara di tengah masyarakat. Kinerja birokrasi sangat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang negara. Masyarakat melihat dan merasa “negara hadir” jika birokrasi memberikan pelayanan optimal. Negara hadir inilah yang menjadi tema sentral Nawacita Jokowi-JK. Seluruh program dan kebijakan pemerintah saat ini berkiblat pada cita-cita tersebut. Salah satunya adalah reformasi birokrasi (debirokratisasi)—yang selalu disandingkan dengan reformasi regulasi (deregulasi). Sampai saat ini, reformasi birokrasi masih menjadi pekerjaan rumah, terutama bagi pemerintah daerah (Pemda). Birokrasi gemuk dan pelayanan yang berbelit-belit tidak hanya mengganggu pemenuhan hak pelayanan publik tetapi juga membebani anggaran pemerintah. Kenyataan ini menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menata birokrasi daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 (PP 18/2016) tentang Perangkat Daerah. Tentu regulasi ini dibaca dalam terang semangat Pusat untuk mereformasi birokrasi di daerah. Bagi KPPOD, reformasi birokrasi menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan program deregulasi yang juga digalakkan pemerintah saat ini. Artinya, deregulasi akan berjalan pincang jika tidak diikuti reformasi birokrasi. Berlatar situasi ini, dalam edisi ini, KPPODBrief mengangkat tema seputar reformasi birokrasi di daerah khususnya di sektor perizinan usaha. Pada “Rubrik Artikel” diuraikan hasil studi KPPOD tentang pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi di daerah. Studi ini menunjukkan, daerah belum mampu mencapai target nasional baik dari aspek prosedur, waktu maupun biaya. Hambatannya antara lain adalah penambahan prosedur, inisiatif daerah yang tidak tepat, dan keterlibatan instansi lain (another stop) pada proses perizinan. Tantangan lain digambarkan dalam “Rubrik Review Regulasi” yang menganalisis PP 18/2006. Keberadaan regulasi ini justru menutup strategi fokus dari pemda. Pemda secara tidak langsung dipaksa untuk seragam. Padahal keunikan masing-masing daerah tidak bisa disamakan, potensi daerah yang satu dan lainnya tergantung dari karakteristiknya. Kenyataan ini terkonfirmasi dalam “Rubrik Dari Daerah” yang menegaskan bahwa implementasi PP ini tidak otomatis menyelesaikan persoalan birokrasi di daerah. Di Sidoarjo, PP ini justru tidak mengurangi jumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pasalnya, meski ada yang hilang, beberapa dinas baru justru terbentuk. Tantangan ini semakin krusial ketika ”Rubrik Opini” menyatakan, “memperlambat” pelayanan menjadi budaya birokrat-birokrat. Ungkapan “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?” masih lumrah terdengar di ruang-ruang pelayanan publik, apalagi yang berkaitan dengan pelayanan usaha.
H. Nurcahyadi Suparman Pemred KPPOD Brief/ Peneliti KPPOD
Beragam kondisi negatif ini tentu membutuhkan intervensi semua stakeholder, termasuk KPPOD. Melalui “Rubrik Laporan Kegiatan dan Agenda”, KPPOD mengambil sejumlah langkah dan kegiatan untuk memberikan asistensi kepada pemda dan advokasi kepada Pusat. Misalnya, Media Briefing untuk mengumumkan dan mendiskusikan hasil Studi TKED yang bisa dijadikan instrumen oleh daerah untuk melakukan reformasi birokrasi perizinan. Semoga suguhan rubrik-rubrik ini memperluas horizon pembaca, terutama para pengambil kebijakan publik dalam membangun birokrasi yang sehat.
Selamat membaca.
2
ARTIKEL
REALITAS KEMUDAHAN BERUSAHA DI DAERAH
P
ertumbuhan ekonomi Indonesia berturutturut mengalami pelambatan pada tahun 2013-2015. Berdasarkan catatan World Economic Database, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,6 persen (2013), 5,0 persen (2014), dan 4,76 persen (2015). Selain itu, kondisi ini diperparah dengan rendahnya proses kemudahan berusaha di Indonesia yang menurut Ease of Doing Business 2016 (EoDB 2016), menempatkan negeri ini pada peringkat 109 dari 189 negara. Ini berarti, Indonesia masih jauh tertinggal dari peringkat negara-negara jiran yang merupakan pesaing utama pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yakni: Singapura (1), Malaysia (18), dan Thailand (26). Atas kondisi ini, strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan intervensi kebijakan fiskal dan moneter. Ruang kebijakan struktural berbasis pembangunan institusi berkualitas perlu menjadi prioritas reformasi yang harus ditempuh pemerintah.
Manado, dan Pontianak. Studi menggunakan metode kualitatif dengan tools Regulatory Mapping (RegMap) sebagai alat bantu untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan paket kebijakan. Data atau informasi diperoleh dengan wawancara mendalam (in depth interview) pada tiap daerah dan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) secara nasional yang melibatkan kelompok sasaran (target group) serta penerima manfaat (beneficiaries). Kondisi Berusaha di Daerah Pada studi evaluasi atas pelaksanaan paket kebijakan investasi, KPPOD melakukan analisis atas kondisi kemudahan berusaha di daerah. Hasilnya, ada tiga indikator yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menciptakan kemudahan berusaha yaitu Memulai Usaha, Mendapat Izin-izin Pendirian Bangunan, Mendaftarkan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dari studi ini terlihat, target nasional belum mampu dicapai daerah, baik dari segi jumlah prosedur, waktu, dan biaya, sebagaimana uraian berikut ini.
Kini, pada masa kepresidenan Jokowi, Reformasi struktural itu mulai diwujudkan. Melalui paket kebijakan, dampak positif mulai muncul di tahun Memulai Usaha: Pada indikator 2016. Perbaikan pertumbuhan ekonomi memulai usaha tercatat rata-rata pelaku pada kuartal III 2016 sudah mencapai 5,02 usaha di daerah harus menempuh 10 persen. Bahkan, posisi Indonesia menurut M. Yudha Prawira prosedur, waktu 17 hari dan biaya sebesar Peneliti KPPOD EoDB pun meningkat menjadi peringkat Rp 6.979.142,86. Kondisi ini masih 91. Dengan adanya kebijakan kemudahan menunjukkan bahwa kemudahan berusaha berusaha, Indonesia juga ditetapkan sebagai negara top di daerah belum mencapai target yang ditetapkan reformis. pemerintah, yakni 7 prosedur, 10 hari kerja dan Rp 2.700.000 (tanpa biaya notaris). Meski demikian, efektivitas keberadaan paket kebijakan investasi di daerah ternyata dirasa belum maksimal. Mengurus Izin-izin Pendirian Bangunan: Proses Karena itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi pendirian bangunan gudang rata-rata di 7 daerah Daerah (KPPOD) pada bulan Juni hingga November terhitung lebih cepat dari target pemerintah yang 2016, melakukan studi “Evaluasi Pelaksanaan menetapkan 14 prosedur, 52 hari dan biaya sebesar Rp Paket Kebijakan Investasi di Daerah” guna melihat 70.000.000. Di tujuh daerah terlihat, rata-rata prosedur implementasi kebijakan strategis yang telah diputuskan yang lebih baik, yakni 12 prosedur dengan lama waktu Pemerintah. Studi ini dilakukan di tujuh daerah yaitu 41 hari. Namun, dari sisi biaya, relatif masih mahal, Jakarta, Surabaya, Bandung, Palembang, Denpasar, yakni Rp 89.018.075,-.
3
Pendaftaran Tanah dan Bangunan: Jika dibandingkan dengan dua indikator sebelumnya, pendaftaran properti hanya memiliki 5 prosedur. Namun, layanan waktu pendaftaran masih menjadi tugas rumah berbagai pihak yang masih menghabiskan waktu 37 hari. Kondisi demikian berbeda dari target Pemerintah yang menargetkan waktu 5 hari. Sedangkan pada aspek biaya yang diperlukan untuk mengurus pendaftaran hingga sertipikat yang dapat diagunkan sebagai bentuk peralihan hak yang sah dengan rerata sebesar Rp 183.095.012,-. Kondisi demikian telah melampaui target yang ditetapkan nasional yakni Rp 197.417.368,-. Hambatan berusaha Harus diakui, kemudahan berusaha di daerah masih menemui berbagai hambatan. Hambatan itu berupa penambahan prosedur, inisiatif daerah yang tidak tepat,
dan keterlibatan instansi lain (another stop) pada proses perizinan. Pertama, penambahan prosedur yang tidak perlu, kerap terjadi di daerah di antaranya melalui eksistensi Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU). Pada dasarnya SKDU, tidak memiliki dasar hukum mengenai keberadaannya dan dokumen itu tidak termasuk bagian instrumen perizinan. Kenyataannya, SKDU masih digunakan hingga saat ini di tujuh daerah, di antaranya untuk persyaratan memperoleh izin dan mendapatkan NPWP perusahaan (Peraturan Dirjen Pajak 20/2013). Bahkan bentuk lain dari SKDU yakni surat rekomendasi camat (Palembang) dan surat penyanding Kepala Banjar (Denpasar), menjadi syarat penting guna mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Keberadaan dokumen seperti ini berpotensi memperpanjang proses kegiatan berusaha serta berpotensi terjadinya pungutan liar.
Memulai Usaha Prosedur 7 9 8 12 8 10 11 Waktu (hari) 10 17,5 8,5 13,5 15 25 23 Biaya (Jutaan Rupiah) 2,7* 5,0 8,0 7,4 5,2 8,3 6,4 Biaya (% per kapita) 6,1 11,2 17,9 16,5 11,7 18,7 14,3 Modal minimum 0 0 0 0 0 0 0 Mendapatkan Izin-Izin Pendirian Bangunan Prosedur 14 10 11 14 11 10 16 Waktu (hari) 52 42 15,5 55,5 39 40 63 Biaya (Jutaan Rupiah) 70 104,6 73,2 92,8 18,3 40,3 144,7 Biaya (% nilai bangunan) 3,2 4,8 3,4 4,3 0,6 1,9 6,7 Indeks kualitas kontrol bangunan 14 13 13 12 9 7,5 Mendaftarkan Hak atas Tanah dan Bangunan Prosedur 3** 6 5 7 6 5 6 Waktu (hari) 5** 31 15 49 9 42 21 Biaya (Jutaan Rupiah) 197,4 182,3 182,6 183,3 183,3 183,3 183,3 Biaya (% nilai bangunan) 8,3 8,42 8,43 8,47 8,47 8,47 8,47 Indeks kualitas administrasi pelayanan 18 17 8.5 10 11 10 Catatan: Nilai Pendapatan Per Kapita 2016 : Rp 44.570.450,Nilai Bangunan 2016 : Rp 2.165.060.274,*) Tidak termasuk biaya jasa notaris **) Khusus Jakarta dan Surabaya
4
Manado
Palembang
Denpasar
Pontianak
Bandung
Surabaya
Jakarta
Indikator
Target Nasional
Tabel 1. Ringkasan Kondisi Kemudahan Berusaha atas Tiga Indikator di Tujuh Daerah
9 11 8,6 19,3 0 12 31 154,6 7,1 11,5 5 95 183,3 8,47 9.5
Kedua, insiatif daerah yang bersifat janggal atau tidak tepat. Di Kota Manado, setiap pelaku usaha wajib mendapatkan Surat Keterangan Fiskal (SKF). Dokumen tambahan itu merupakan surat keterangan bahwa pemohon telah membayar sejumlah item pungutan (pajak reklame, pajak air tanah, dan retribusi kebersihan). Mengingat kegiatan usaha baru akan dilakukan, semestinya ketiga jenis pungutan itu tidak menghadang di awal pengurusan izin usaha. Berbeda dengan daerah lain, Pemkot Manado memanfaatkan SKF untuk menghadang pelaku usaha dengan pungutan-pungutan di awal. Ketiga, pada indikator mendapatkan izin-izin pendirian bangunan, terdapat dualisme proses perizinan (another stop). Pelaku usaha di Surabaya, Denpasar, Pontianak dan Bandung masih harus bertemu dua instansi berbeda guna mengurus IMB. Letak kewenangan perizinan dan pengurusan IMB yang berada di SKPD teknis, membuat prosedur menjadi bertambah, di antaranya untuk mendapatkan dokumen Keterangan Rencana Kota (KRK), site plan bangunan dan proses inspeksi di lapangan. Masih Tersendat Melalui paket kebijakan XII, Pemerintah berupaya melakukan perubahan pada aspek kemudahan berusaha
di daerah. Munculnya paket kebijakan XII adalah bagian dari upaya pemerintah memperbaiki peringkat EoDB di tahun 2016. Meski telah terjadi peningkatan peringkat Indonesia pada survei World Bank itu, KPPOD masih mencatat adanya daerah-daerah yang belum menindaklanjuti paket kebijakan, termasuk belum dilaksanakannya berbagai regulasi sebelumnya yang berkaitan dengan indikator kemudahan. Pada tabel 2 terlihat, ada tiga regulasi pada indikator memulai usaha dan dua regulasi pada indikator mendapatkan izin-izin pendirian bangunan yang belum sepenuhnya dilaksanakan Pemda. Selain itu, pada indikator mendaftarkan hak atas tanah dan bangunan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum memperhatikan pedoman regulasi di tingkat nasional. Pada dasarnya ada dua regulasi yang menjadi acuan dalam prosedur pengecekan sertipikat dan pendaftaran hak atas tanah yakni Perka BPN 1/2010 dan Permen ATR 8/2016. Permen ATR 8/2016 merupakan paket kebijakan XII yang diarahkan untuk percepatan pelayanan khusus di lima kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta (Lihat Tabel 3). Hasil studi juga menunjukkan, hanya BPN di Kota Pontianak yang telah sesuai batasan waktu untuk
Tabel 2. Daerah yang belum menerapkan regulasi pusat tentang Indikator Kemudahan Berusaha
Regulasi Pusat
Daerah yang Belum Melaksanakan
Permendagri 27/2009 jo. Permendagri 22/2016 (Paket XII) Mengecualikan HO untuk skala usaha mikro dan kecil Permendag 14/2016 (Paket XII) Penerbitan SIUP dan TDP secara paket dalam waktu paling lambat 2 hari SE Menaker SE.3/MEN/III/2014 Proses wajib lapor tenaga kerja paling lambat 1 hari
Pontianak, Palembang, Manado dan Bandung masih mensyaratkan Izin Gangguan indikator memulai usaha (UMK) Bandung (SIUP-TDP: 6 hari); Manado (HO-SIUP-TDP: 3 hari); Denpasar (SIUP-TDP: 3 hari); Palembang (SIUPTDP: 6 hari); Jakarta (SIUP: 3 hari dan TDP: 1,5 hari) Jakarta (5 hari), Bandung (2 hari), Denpasar (2 hari), Pontianak (2 hari) dan Palembang (2 hari)
Memulai Usaha
Mendapatkan Izin-Izin Pendirian Bangunan Permen PUPR 5/2016 (Paket XII) Tidak mensyaratkan surat rekomendasi lurah/ kepala desa (Banjar) untuk memperoleh IMB dan menerbitkan IMB dalam waktu paling lambat 4 hari SE Menteri PUPR 10/SE/M/2016 (Paket XII) Merubah syarat dokumen lingkungan dari UKL/UPL menjadi SPPL (surat pernyataan) untuk bangunan gudang sederhana dua lantai seluas 1.300 m2
Waktu Penerbitan IMB Palembang (15 hari dan Surat Rekomendasi Lurah), Manado (15 hari), Jakarta (14 hari), Denpasar (14 hari dan Surat Penyanding Kepala Banjar) dan Surabaya (6 hari) Surabaya, Manado, Denpasar, Bandung dan Pontianak masih menggunakan UKL/UPL untuk bangunan gudang sederhana
5
Tabel 3. Kondisi Pelayanan Pengecekan Sertipikat dan Pendaftaran Hak atas Bangunan di BPN Daerah Daerah yang belum melaksanakan Manado Denpasar Palembang Jakarta Bandung Surabaya
Waktu Pengecekan Sertipikat 3 hari 2 hari 2 hari 1 hari 1 hari 3 hari
Waktu Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Bangunan 90 hari 38 hari 14 hari 14 hari 30 hari 10 hari
Acuan Regulasi Nasional Perka BPN No. 1 Tahun 2010 • Pengecekan Sertipikat (maks. 1 Hari) • Pendaftaran hak atas tanah (maks. 5 hari) Permen ATR No. 8 Tahun 2016 (Paket XII) • Pengecekan Sertipikat (maks. 1 Hari) • Pendaftaran hak atas tanah (maks. 2 hari)
kedua prosedur itu. Sedangkan daerah lain belum menindaklanjutinya. Proses yang cukup lama ini akhirnya berpotensi menimbulkan biaya tidak resmi terutama di BPN. Di kota Bandung, misalnya, proses pendaftaran dapat diselesaikan lebih cepat jika pemohon membayar biaya tidak resmi Rp 150.000 - Rp 1.000.000. Begitu pula untuk proses pengecekan sertipikat, terjadi pungli seperti di Manado (Rp 400.000), Denpasar (Rp 300.000), Palembang (Rp 50.000) dan Bandung (Rp 150.000). Inisiatif Daerah Meski terdapat aneka hambatan, tetapi di sisi lain terdapat praktik baik yang diinisiasi daerah guna menciptakan kemudahan berusaha. Di Jakarta dan Surabaya misalnya, kini telah dihentikan penerbitan Izin Gangguan (HO). Praktik langsung di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Jakarta, kini tidak lagi menerbitkan izin gangguan. Bahkan di Surabaya telah terbit Instruksi Walikota No.3/2016 yang menghentikan penerbitan izin
gangguan. Kebijakan itu berdampak pada pengurangan secara signifikan pada prosedur, waktu dan biaya dalam memulai kegiatan usaha. Selain itu, penggunaan sistem self assessment pada prosedur pembayaran (Retribusi dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/BPHTB), mampu mereduksi prosedur dan waktu dalam memulai usaha. Hal ini terselenggara sebagaimana pembayaran BPHTP dengan sistem self assessment. Pemohon dapat menghitung sendiri nilai properti yang dikenakan pajak tanpa perlu dilakukan pengecekan lapangan serta penghitungan. Pemda mengubah mekanisme pengawasan pada pasca pembayaran dengan melihat kesesuaiannya. Jika ditemukan adanya kurang bayar, maka akan diajukan surat kurang bayar kepada pemohon. Praktik ini diterapkan di Jakarta, Surabaya, Palembang, Balikpapan, dan Manado. Bahkan penggunaan sistem self assesment ini juga dimanfaatkan di Pontianak untuk mengurus Izin Gangguan (HO).
Gambar 1. Pengurusan izin paket HO, SIUP, dan TDP Kota Pontianak
Mengajukan permohonan dan membawa dokumen persyaratan
Mendapatkan SMS retribusi HO dan membayar retribusi ke Bank Kalbar
Mendapatkan Izin
6
Melakukan pemeriksaan kelengkapan Administrasi
Menentukan dan menghitung besaran retribusi HO Memberikan hasil rapat dan besaran retribusi HO
Menerima bukti transfer. Operator SIMYANDU mencetak izin
Berbagai kebijakan ini dilakukan dengan memaketkan HO, SIUP, dan TDP yang mampu memangkas proses perizinan di Pemda hanya dalam 1 prosedur dan 1 hari. Inisiatif daerah lainnya yang menjadi catatan KPPOD adalah Jakarta dan Surabaya. Dalam rangka meringankan biaya BPHTB, kedua kota ini justru meningkatkan nilai pengurang BPHTB yakni NPOPTKP (Nilai Pengurang Objek Pajak Tidak Kena Pajak) lebih besar dari ketentuan minimal yang telah ditentukan UU No.28/2009 yakni sebesar Rp 60.000.000. Kebijakan ini tentu berdampak pada rendahnya biaya BPHTB yang harus dibayar pemohon. Perda DKI Jakarta No.18/2010 NPOPTKP Rp 80.000.000,Perda Surabaya No.11/2010 NPOPTKP Rp 75.000.000,-
Melampaui Pagu Minimal NPOPTKP menurut UU No. 28 Tahun 2009 sebesar Rp 60.000.000
Catatan akhir Rangkaian paket kebijakan yang diterbitkan Pemerintah berikut berbagai regulasinya, memang belum terlaksana efektif di daerah. Meski telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan peringkat EoDB di tahun 2016, namun kenyataannya hambatan masih tetap terjadi di daerah. Pemerintah pusat telah
menetapkan target nasional untuk tiap indikator kemudahan berusaha, tetapi implementasinya belum sesuai target. Belum tercapainya target nasional, juga disebabkan terhambatnya respon kebijakan, terutama perubahan signifikan pada regulasi dan standar layanan perizinan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. 1. Sosialisasi paket kebijakan yang masih terbatas pada daerah tertentu. Sosialisasi yang dilakukan Pemerintah hanya berfokus kepada Jakarta dan Surabaya. Sedangkan daerah lain melakukan inisiatif sendiri guna mencari informasi dan memahami paket kebijakan melalui media massa, website kementerian, dan updating informasi regulasi nasional; 2. Terdapat perbedaan agenda tujuan dan aktor. Saat ini fokus Pemda cenderung melaksanakan dokumen perencanaan daerah yang tertuang pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang telah dirumuskan. Hal ini menyebabkan daerah tidak fokus untuk segera menindaklanjuti paketpaket kebijakan dari Pemerintah Pusat. 3. Fungsi desentralisasi dan partisipasi dari Pemda atas paket kebijakan investasi tidak berjalan. Di tujuh kota, fungsi Pemprov dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pemkot belum berjalan maksimal. Pemprov sepatutnya memberikan pembinaan (sosialisasi terkait paket kebijakan kedaerah) serta melakukan pengawasan terkait pelaksanaannya.
7
REVIEW REGULASI
MENYEDERHANAKAN BIROKRASI DAERAH
P
anjangnya rantai birokrasi dan inefisiensi struktur pemerintah daerah (pemda), masih menjadi sasaran perencanaan pembangunan daerah. Momen untuk melakukan reformasi birokrasi diperkuat dengan penerbitan Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 23 Tahun 2014 menjadi alasan utama pemda untuk menata kembali struktur birokrasi. Lebih jelas lagi, pengejawantahan UndangUndang itu telah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016.
berdasar aspek yuridis dan substansi regulasi. PP No. 18 Tahun 2016 terbagi dalam 9 (sembilan) bab, masing-masing berisi ketentuan tentang penyusunan hingga pengesahan perangkat daerah. Fokus tulisan kali ini tentang penentuan tipelogi dalam menyusun organisasi perangkat daerah di kabupaten/kota. Untuk memperjelas analisis, penulis mengambil contoh dua urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/ kota, yaitu urusan pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum
PP No. 18 Tahun 2016 dipandang sebagai solusi ideal Aspek Yuridis untuk membantu mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi. Substansi aturan dalam PP Poin-poin yang rigid dari PP No. 18 baru ini sangat rinci dan memuat secara Tahun 2016 membawa angin positif dalam jelas tipelogi serta kategori dari perangkat membantu mengefektifkan birokrasi daerah yang dihitung secara kuantitatif. daerah. Melalui PP No. 18 Tahun 2016 Jika dibandingkan dengan PP No. 41 perhitungan beban kerja diidentifikasi Tahun 2007 - sebelumnya juga memuat melalui beberapa indikator yang telah ketentuan tentang struktur organisasi ditetapkan secara kuantitatif. Ketentuan perangkat daerah, ketentuan yang baru yuridis yang diatur dalam peraturan itu belum menegaskan perbedaan fungsi akan dibahas lebih mendalam pada bab ini. antara badan, dinas, dan kantor sehingga menimbulkan variasi pengelompokan Dalam regulasi disebutkan, tujuan suatu urusan ke dalam badan, dinas, penerbitan PP No 18 Tahun 2016 adalah atau kantor. Selain itu, Jumlah perangkat untuk membentuk perangkat daerah sesuai Tities Eka Agustine Peneliti KPPOD daerah akhirnya tetap membengkak jauh prinsip desain organisasi yang didasarkan lebih besar dari jumlah maksimal yang asas efisiensi, efektivitas, pembagian sudah ditetapkan dalam PP No. 41 Tahun habis tugas, rentang kendali, tata kerja 20071). Dengan demikian, dalam PP No. 18 Tahun yang jelas, fleksibilitas, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, serta intensitas urusan 2016 telah banyak memuat perbaikan dari ketentuan regulasi sebelumnya dan menyempurnakannya menjadi pemerintahan dan potensi daerah. Seluruh dinas, badan, dan lembaga yang menjadi perangkat daerah instrumen dalam menyusun Organisasi Perangkat akan diukur secara kuantitatif dengan menggunakan Daerah (OPD) yang diharapkan mampu membuat sistem pembobotan. Variabel yang dibobotkan akan birokrasi di daerah lebih efektif dan efisien. menentukan tipe dari dinas/badan/lembaga yang dibentuk. Semakin tinggi tipe, maka kewenangannya Kali ini, rubrik review regulasi, membahas lebih dalam akan semakin besar. substansi PP No. 18 Tahun 2016. Analisis dibagi 1. Presentasi Kebijakan penataan urusan pemerintahan dan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan amanat undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, Kementerian Dalam Negeri dalam (http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/ rakerkesnas_gel2_2016/Kemendagri.pdf, diakses pada tanggal 2 April 2017)
8
Gambar 1. Ruang Lingkup Analisis Regulasi
A. Jumlah urusan Pada tahap awal, tidak berbeda dari ketentuan jumlah urusan pemerintah daerah yang terdapat dalam PP No. 18 Tahun 2016. Jumlah urusan itu memiliki ketentuan yang sama seperti termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2014. Sebanyak enam urusan wajib terkait pelayanan dasar, 18 urusan pemerintah akan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, serta delapan urusan pilihan. PP juga mengamanatkan, untuk urusan wajib yang terkait pelayanan dasar maupun yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, harus diakomodir dalam bentuk dinas. Mengenai bentuk lembaga, terdapat ketentuan baru yang secara khusus memuat unit pelayanan terpadu. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang biasa melekat di daerah dengan bentuk unit, kantor, atau badan, kini telah meningkat status kelembagaannya menjadi dinas. Nomenklatur Dinas Penanaman Modal dan PTSP juga telah dilengkapi dengan ketentuan untuk
melimpahkan kewenangan pelayanan perizinan dan non-perizinan yang ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. Dengan adanya ketentuan itu, akan mempermudah PTSP dalam memberikan pelayanan dan penyederhanaan perizinan daerah.
B. Kriteria perangkat daerah Struktur perangkat daerah secara tegas memuat tentang tipelogi dinas. Tipelogi ini ditentukan berdasar perhitungan nilai variabel. Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk dinas, tetapi juga untuk sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), inspektorat, badan serta kecamatan. Pada analisis kali ini, penulis lebih fokus kepada pengaturan tentang dinas. Tipe dinas terbagi menjadi tiga; tipe A, tipe B dan tipe C. Dinas dengan tipe A memiliki beban kerja besar, dinas tipe B memiliki beban kerja sedang, dan dinas tipe C memiliki beban kerja kecil. Masing-masing tipe dinas juga memiliki jumlah komponen sekretariat dan bidang yang berbeda. Kriteria yang lebih detail terkait dengan tipelogi dinas terdapat dalam tabel 1. Kriteria tipe dinas dalam PP No. 18 Tahun 2016 memungkinkan proses penggabungan OPD. Proses penggabungan sendiri ditentukan berdasar perumpunan dan pengelompokan urusan pemerintah daerah. Dinas dengan tipe kecil (dinas dengan tipe C) dapat bergabung dengan dinas lainnya yang serumpun sehingga tidak ada lagi dinas yang miskin fungsi.
Tabel 1. Kriteria Perangkat Daerah Tipe Dinas Dinas tipe A
Dinas tipe B
Dinas tipe C
Indikator
Kriteria
apabila hasil perhitungan nilai • Dinas: 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang variabel lebih dari 800 • Sekretariat: paling banyak 3 (tiga) subbagian • Bidang: paling banyak 3 (tiga) seksi apabila hasil perhitungan nilai • Dinas: 1 (satu) sekretariat dan paling banyak (tiga) bidang variabel lebih dari 600-800 • Sekretariat: paling banyak 2 (dua) subbagian • Bidang: paling banyak 3 (tiga) seksi apabila hasil perhitungan nilai • Dinas: 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 3 (tiga) bidang variabel lebih dari 400-600 • Sekretariat: paling banyak 2 (dua) subbagian • Bidang: paling banyak 3 (tiga) seksi
9
C. Indikator dan pembobotan Untuk menyusun perangkat daerah yang baru, ada dua kriteria yang digunakan, yakni variabel umum dan variabel teknis. Bobot variabel ini merupakan hasil pemetaan urusan, sebagai berikut: 1) Variabel umum dengan bobot 20 persen. Variabel umum yang dimaksud ditentukan berdasar karakteristik daerah yang terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 2) Variabel teknis dengan bobot 80 persen. Variabel teknis ditentukan berdasar beban tugas utama pada setiap urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah serta fungsi penunjang urusan pemerintahan. Terkait dengan variabel teknis, penulis mengambil contoh dari urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang. Seperti pada tabel 2 berikut. Seperti halnya tipologi dinas, ketentuan tentang pengukuran variabel teknis dan administrasi juga dijelaskan secara gamblang. Bahkan PP No.18 Tahun 2016 melampirkan interval, bobot, dan skor masingmasing indikator yang digunakan untuk mengukur. Skala nilai dalam setiap indikator dan kelas interval berbanding lurus dengan nilai skor. Terdapat 32 urusan dan masing-masing memiliki indikator berbeda. Hal ini
Tabel 2. Indikator Jenis Urusan Jenis urusan
Indikator
Urusan bidang pendidikan
• Jumlah satuan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat • Jumlah anak usia pendidikan dini dan pendidikan dasar • Jumlah kurikulum muatan lokal pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar • Jumlah penduduk • Jumlah kepadatan penduduk • Jumlah bangunan gedung yang ada di wilayah Kabupaten/Kota • Panjang sungai dalam satu kabupaten/kota (km) • Jumlah kapasitas tampungan air (waduk, embung, situ dan tampungan air lainnya) yang dikelola kabupaten/kota • Panjang garis pantai pada wilayah sungai kewenangan kabupaten/kota yang berisiko abrasi terhadap sarana dan prasarana publik (km) • Total luas daerah irigasi teknis yang luas dan masing-masing daerah irigasinya kurang dari 1000 hektar (Ha) • Jumlah desa/kelurahan yang rawan air • Jumlah fasilitas pengelolaan air limbah • Luas cakupan layanan Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL) terpusat dan setempat (Ha) • Panjang drainase yang terhubung dengan sungai yang menjadi kewenangan kabupaten/kota (km) • Jumlah luas kawasan pemukiman (Ha) • Panjang jalan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan keputusan bupati/walikota tentang fungsi dan status jalan (Km) • Jumlah rata-rata izin usaha jasa konstruksi pertahun dalam lima tahun terakhir • Rata-rata pengajuan IMB pertahun dalam lima tahun terakhir • Luas ruang terbuka hijau yang ditetapkan dalam RTRW yang harus disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota (Ha) • Jumlah kawasan strategis dan kawasan perkotaan dalam RTRW kabupaten/kota • Luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam wilayah kabupaten/kota (Ha) • Prosentase kesesuaian penggunaan dengan rencana tata ruang berdasarkan neraca penggunaan tanah (persen) • Luas kawasan budidaya di kabupaten/kota (Ha)
Urusan bidang kesehatan Urusan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang
10
bertujuan untuk melihat beban kinerja OPD. Selain variabel administrasi dan teknis, dalam PP No. 18 Tahun 2016 juga memasukkan perhitungan kesulitan geografis guna membantu pemetaan urusan pemerintahan. Terdapat tujuh kriteria wilayah yang diidentifikasi dalam peraturan, yaitu wilayah Jawa dan Bali (dikalikan 1); Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (dikalikan 1,1); Nusa Tenggara dan Maluku (dikalikan 1,2); Papua (dikalikan 1,4); daerah berciri kepulauan (dikalikan 1,4), daerah perbatasan darat negara (dikalikan 1,4); pulau-pulau terluar di daerah perbatasan (dikalikan 1,5).
jika dilihat dari urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar, indikator yang digunakan hanya bersifat umum, khususnya urusan bidang pendidikan --hanya memuat tiga indikator, dan urusan bidang kesehatan-hanya memuat dua indikator. Padahal kedua urusan ini merupakan hal paling penting, bahkan pagu anggaran secara khusus dialokasikan untuk keduanya (pendidikan minimal 20 persen dan kesehatan 10 persen).
Indikator yang tidak representative akan memengaruhi beban kerja OPD. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan Kota Magelang termasuk dalam tipe B (beban Kotak 1. kerja sedang) karena Aspek Substansi dihitung berdasarkan Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan = hasil perhitungan jumlah penduduk Berdasarkan hasil nilai variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan sebesar 120.930 analisis, ketentuan Daerah kabupaten/kota setelah dikalikan dengan faktor jiwa dengan tingkat yuridis dalam PP kesulitan geografis (Ayat 1, Pasal 107, PP No. 18 Tahun 2016). kepadatan sebesar No.18 Tahun 2016 6.674. Sejak tahun memang lebih rinci 2012 hingga tahun 2014, jumlah puskesmas di Kota dari regulasi sebelumnya. Namun, perspektif yang Magelang tidak bertambah, tetap lima unit3). Setali tiga digunakan dalam regulasi baru masih sama dengan regulasi lama dengan menerapkan batasan-batasan uang dengan urusan kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum yang meniadakan ruang inovasi daerah. Perubahan dan Penataan Ruang yang menjadi salah satu instansi organisasi publik seharusnya dimaknai sebagai prospek yang berperan sebagai institusi pendorong pencapaian dari menciptakan kapasitas internal (sumber daya) target misi kepala daerah masuk dalam kategori C dan memiliki responsivitas ekternal yang memiliki (beban kerja kecil)4). Disisi lain, Dinas Lingkungan 2) banyak inisiatif untuk merealisasikan misinya . Dengan Hidup yang juga menjadi bagian dari visi dan misi termasuk dalam kategori A (dengan beban kerja berat). demikian bukan hanya perkara menggunting rantai Perbedaan alokasi beban kerja ini tentu akan berdampak birokrasi tetapi juga diperlukan perubahan perilaku pada alokasi sumber daya manusia, program-program organisasi. prioritas dan anggaran. Penggunaan metode kuantitatif dalam merumuskan tipe Andi juga menambahkan bahwa ada praktek di daerah organisasi menuntut pemda untuk memiliki data yang yang tipe dinas mendapatkan kategori A. Namun dinas valid dan lengkap. Masih banyak database yang belum tersebut tidak memiliki hubungan atas pencapaian tersedia menjadi kendala dalam pemenuhan informasi program prioritas. Sementara dinas lain yang memiliki pada proses input. “Daerah harus memiliki data yang valid agar dapat menyusun perangkat daerah. Jika tidak, program prioritas memiliki sumber daya terbatas, maka akan ada urusan besar yang masuk tipe C,” ungkap harus memenuhi kebutuhan tidak terbatas. Untuk Andy Kurniawan, SAP, MAP, dosen administrasi publik, itu dalam proses penentuan struktur OPD haruslah berbasis pada program prioritas daerah. OPD adalah Universitas Brawijaya – Malang, Jawa Timur. aktor yang mengimplementasikan program daerah dan merealisasikan target RPJMD. Dengan demikian Selain celah dalam proses input, ternyata dalam dalam mendorong capaian target daerah, baik dari proses analisis penentuan tipe perangkat daerah perencanaan, penganggaran dan SDM sudah berjalan juga mengalami kendala. Dalam indikator pemetaan konsisten sesuai dengan arahan dalam dokumen intensitas urusan pemerintahan dan beban kerja belum perencanaan. merepresentasikan kebutuhan di masyarakat. Misalnya,
2) Nutt, Paul. Promoting the transformation of public organizations. Public Performance & Management Review, Vol. 27 No. 4, June 2004, pp. 9-33 (http://www.jstor.org/stable/3381192. Diakses pada tanggal 3 April 2017) 3) Badan Pusat Statistik Kota Magelang, 2014. 4) Peraturan Daerah Kota Magelang No. 3 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
11
Dengan terbatasnya ruang gerak untuk berinovasi, alhasil banyak daerah berimprovisasi. Politisasi data pada variabel teknis menjadi motif untuk membuat satu dinas dalam kategori A, khususnya untuk dinas-dinas yang menjadi prioritas pembangunan daerah. “Akhirnya mencuat konflik. Dengan anekdot--sampaikan data apa adanya dan jangan seadanya--membuat banyak daerah mencantumkan data apa adanya untuk mendapatkan tipe A untuk mendapatkan alokasi anggaran besar,” lanjut Andy. Implikasi ini tentu tidak dapat diabaikan. Keberadaan OPD bukan hanya sebagai peningkatan kualitas pelayanan publik, lebih dalam lagi memastikan prioritas pembangunan daerah dapat tercapai. Walaupun regulasi ini masih perlu untuk disempurnakan, namun masih ada perbaikan yang perlu diapresiasi. Peraturan tentang PTSP memberikan perubahan situasi dalam PTSP. PTSP akan menjadi lebih kuat dengan bentuk dinas dan juga memperbesar kesempatan untuk mendesakkan pelimpahan kewenangan perizinan di daerah. Selama ini PTSP, di daerah hanya berbentuk badan atau kantor, sehingga tidak cukup kuat untuk dapat melakukan penyederhaan dan pelayanan perizinan.
12
Catatan akhir Perampingan birokrasi memang menjadi agenda penting bagi pemda. Miskin struktur dan kaya fungsi merupakan tujuan diterbitkannya PP No. 18 Tahun 2016. Namun, proses implementasi di daerah ternyata belum bisa dikatakan ideal. Keberadaan regulasi itu justru menutup strategi fokus dari pemda. Pemda secara tidak langsung dipaksa untuk seragam. Padahal keunikan masing-masing daerah tidak bisa disamakan, potensi daerah yang satu dan lainnya tergantung dari karakteristiknya. Indikator yang digunakan dalam penyusunan OPD seharusnya bermuara pada proses perencanaan pembangunan di daerah. Penajaman indikator teknis yang tidak timpang serta memberi ruang gerak bagi pemda untuk melakukan inovasi, menjadi rekomendasi atas peraturan ini. Barangkali akan menjadi lebih baik jika reformasi birokrasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan spasial dan prioritas sasaran pembangunan daerah. Pada akhirnya semua akan disinkronisasikan melalui perencanaan pembangunan dan penganggaran.
DARI DAERAH
GEMUK STRUKTUR, IRIT FUNGSI
Sumber gambar: poskotanews.com
S
truktur yang ramping tetapi kaya fungsi, itulah birokrasi yang diharapkan oleh pemerintahan Joko Widodo, sejak memimpin negeri ini. Namun, cita-cita ini sulit terwujud, seperti di jalur terjal yang harus dihadapi. Yang terjadi justru sebaliknya, “gemuk struktur tetapi irit fungsi”. Kenyataan ini membuat citacita seperti tergantung di langit tinggi, perlahan-lahan hilang dari pandangan, menyisakan wacana semata. Persoalannya adalah, yang terjadi bukan merampingkan struktur organisasi dan birokrasi, tetapi apakah solusi yang ditawarkan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat atas pelayanan yang berkualitas.
Mendirikan Bangunan), mengurus kartu keluarga, akta kelahiran, dan pelayanan administratif lainnya. Untuk mengurus hal-hal itu, masyarakat seringkali dihadapkan dengan biaya “tambahan” yang kadang tinggi, waktu yang lama, dan pengurusan yang berbelitbelit. Menjadi pertanyaan, untuk mengurus perizinan yang “kecil” saja sulit, apalagi jika mengurus perizinan yang besar. Berapa biaya yang harus disiapkan, berapa lama waktu diperlukan, dan sebagainya.
Aisyah Nurrul Jannah
Atas layanan birokrat yang “masih seperti dulu”, wajar bila di kalangan masyarakat muncul olok-olok berupa adagium yang buruk, “Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?” Dengan dipersulit, mau tidak mau akan diperlukan adanya jasa pelayanan, yang ujungnya uang.
Tengok saja, apa yang masih menjadi Peneliti KPPOD kebiasaan kerja para birokrat kita dalam tugas dan pelayanan sehari-hari. Sebenarnya, masyarakat sudah paham, harga Masyarakat seolah sudah paham dengan masalah diri pemerintah terletak pada kualitas layanan yang telah berkarat ini. Betapa rumitnya mengurus yang diberikan. Namun kenyataan berbicara lain. pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk); pengurusan Birokrasi yang diharapkan menjadi katalisator dalam SIM (surat izin mengemudi), mengurus IMB (Izin
13
mempercepat proses pelayanan, ternyata masih jauh panggang dari api, masih jauh dari harapan, dan belum berjalan baik. Tata kelola birokrasi yang buruk, struktur gemuk yang menghabiskan anggaran, hingga maraknya pungli di berbagai sektor pelayanan masih menjadi cermin wajah birokrasi hari-hari ini. Apalagi kinerja penyelesaian masalah pelayanan publik yang berasal dari masyarakat pun banyak yang tak terselesaikan1). Menjalankan Nawacita Untuk mengatasi banyaknya persoalan birokrasi, pemerintah tidak kehilangan akal. Berbagai terobosan dan aturan diupayakan guna membenahi birokrasi. Salah satunya, melalui poin yang terkandung dalam nawacita Presiden Joko Widodo, bahwa negara harus hadir membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Tujuan utama ini harus segera dicapai, mengingat kepercayaan publik pada institusi pemerintahan sangat buruk. Karena itu, agenda reformasi birokrasi mutlak dilaksanakan, dengan syarat seluruh stakeholder harus terlibat aktif dalam setiap pembuatan kebijakan. Pelaksanaan reformasi birokrasi ini memiliki lima prioritas utama, antara lain, inisiatif penetapan payung hukum yang lebih kuat dan berkesinambungan, revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, konsisten dalam menjalankan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, berkomitmen memberantas korupsi, serta melakukan aksi nyata dalam perbaikan kualitas pelayanan publik. Dari kelima prioritas ini, setidaknya sudah dua hal yang dilaksanakan. Pertama, revisi UU Pemerintahan Daerah oleh pemerintahan sebelumnya. Kedua, terbitnya PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Terbitnya PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah ini dalam rangka melaksanakan amanat pasal 232 (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di sisi lain, keberadaan PP terbaru ini bertujuan untuk menata organisasi pemerintah daerah agar lebih ramping dan makin efisien. Dalam rangka pelaksanaan PP itu, Desember 2016 lalu merupakan batas akhir seluruh Provinsi/Kabupaten/ Kota menata ulang perangkat daerahnya, dan disusun melalui Peraturan Daerah. Tidak terkecuali Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Daerah ini sudah rampung
merombak perangkat daerahnya melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo No. 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Penataan ini menghasilkan 30 Peraturan Bupati sebagai aturan pelaksanaannya dengan proporsi jumlah Sekretariat Daerah (1), Sekretariat DPRD (1), Inspektorat (1), Dinas Daerah (19), Badan Daerah (4), dan Kecamatan (18). Penataan perangkat daerah di Sidoarjo ini dirancang oleh Tim Reformasi Birokrasi di tingkat eksekutif. Selain itu, penataan ini melibatkan Kementerian dan Lembaga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo dan Gubernur Jawa Timur. Penataan Perangkat Daerah Jika melihat gambaran umum kondisi perangkat daerah di Sidoarjo, hampir sebagian besar memiliki tipologi A, yang berarti memiliki beban kerja yang besar. Secara rinci, Sidoarjo memiliki 33 perangkat daerah tipe A dan 11 tipe B (beban kerja sedang). Hasil ini didapat melalui perhitungan jumlah nilai variabel beban kerja. Variabel beban kerja terdiri dari variabel umum dan variabel teknis. Variabel umum, meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah APBD dengan bobot sebesar 20%. Sedangkan variabel teknis merupakan beban utama dengan bobot sebesar 80%. Pada tiap-tiap variabel, baik variabel umum maupun variabel teknis ditetapkan 5 (lima) kelas interval, dengan skala nilai dari 200 sampai dengan 1.000. Jika dibandingkan dengan peraturan daerah sebelumnya (Perda No. 21 Tahun 2008), kondisi perangkat daerah di Sidoarjo menghasilkan beragam variasi. Sebagai contoh, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang semula menjadi satu dinas, kini dipecah menjadi dua. Selain itu, ada perubahan status yang awalnya Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, kini menjadi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Ada juga penghapusan rumpun, misalnya, Dinas Kelautan dan Perikanan, kini menjadi Dinas Perikanan. Penghapusan ini memang sewajarnya dilaksanakan, mengingat seluruh Kabupaten/Kota tak lagi memiliki kewenangan di bidang kelautan—penyesuaian UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
1) Laporan Ombudsman 2015 menyebutkan jumlah laporan pengaduan masyarakat atas pelayanan publik naik sebanyak 2,72% menjadi 6.859 laporan. Sedangkan capaian kinerja untuk menyelesaikan permasalahan hanya mencapai 48,93% dari target, sebanyak 3.356 laporan.
14
Gambar 1. Susunan Perangkat Daerah di Kab. Sidoarjo No. 1 2 3 4
Nama Lembaga Sekretariat Daerah Sekretariat DPRD Inspektorat Dinas
5
Badan
6
Kecamatan
Tipe
Dinas pendidikan dan kebudayaan Dinas Kesehatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Dinas Perumahan dan Permukiman Satuan Polisi Pamong Praja Dinas Sosial Dinas tenaga Kerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak, Keluarga Berencana Dinas Pangan dan Pertanian Dinas Lingkungan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Dinas Perhubungan Dinas Komunikasi dan informatika Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Dinas Penanaman Modal dan pelayanan Terpadu Satu Pintu Dinas Kepemudaaan, Olahraga dan Pariwisata Dinas perpustakaan dan kearsipan Dinas perikanan Dinas perindustrian dan perdagangan Badan Perencanaan pembangunan daerah Badan pengelolaan keuangan dan aset daerah Badan pelayanan pajak Badan kepegawaian daerah 18 Kecamatan
A A A A A A B B B B A A A A A A B A B B B B A B B A A
Sumber: Perda Kab. Sidoarjo No. 11 Tahun 2016 dan diolah oleh penulis (2016)
Ahadi Yusuf, Kepala Bagian Organisasi Sekretariat Daerah menjelaskan, ada perbedaan signifikan kondisi perangkat daerah yang sebelumnya dibanding saat ini. “Dulu, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset menjadi satu nomenklatur. Kini, dipecah menjadi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah serta Badan Pelayanan Pajak,” jelas Ahadi Yusuf. Banyak pertimbangan Dari beberapa perbedaan yang muncul ini, pemerintah Kabupaten Sidoarjo sudah memastikan hasil penataan sesuai aturan pemerintah pusat. Dalam penyusunannya, Tim Reformasi Birokrasi juga menimbang dan berkonsultasi dengan pemerintah pusat, apakah
perombakan ini sudah sesuai kebutuhan atau justru sebaliknya, menyebabkan inefisiensi struktur pemerintahan. Tim Reformasi Birokrasi juga mempertimbangkan seluruh aspek dalam menata ulang perangkat daerahnya, mulai dari kecocokan dan keterkaitan urusan pemerintahan, menghitung beban kerja di seluruh perangkat daerah, melihat kesesuaian jalur koordinasi pemerintah pusat-daerah, dan menjamin penataan ulang ini sudah efisien dan efektif. Namun, benarkah penataan ulang ini efisien dan efektif? Jawabannya, belum tentu. Dampak PP No. 18 Tahun 2016 ini justru tidak mengurangi jumlah
15
Sumber gambar: anneahira.com
kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Sidoarjo. Pasalnya, meski ada yang hilang, beberapa dinas baru justru terbentuk. Secara keseluruhan, kini ada 19 Dinas dari sebelumnya 15 Dinas. Kondisi ini melahirkan banyak pertanyaan. “Kami sebenarnya berharap ada pengurangan OPD antara 20-30 persen, sehingga ada empat sampai lima perangkat daerah yang hilang. Kenyataannya justru bertambah,” terang salah satu pegawai Dinas Penanaman Modal dan pelayanan Terpadu Satu Pintu, Kab. Sidoarjo. Kualitas Layanan Publik Kondisi demikian, menuntut Sidoarjo tetap bekerja keras untuk merampingkan volume birokrasi di daerahnya. Dalam agenda yang sejalan, pemerintah Sidoarjo juga berbenah diri dan menciptakan beragam
16
inovasi pelayanan publik. Sebagai contoh, Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo menciptakan SantriRS (layanan SMS untuk memudahkan masyarakat memperoleh antrean check-up di poliklinik maupun RSUD dan M-Bonk, sebuah aplikasi pengaduan warga terhadap kualitas infrastruktur jalan. Penciptaan inovasi layanan publik ini tak lepas dari peran kepala daerah yang berkomitmen untuk melaksanakan sistem pelayanan yang lebih bagus. Mereka percaya, pelayanan publik yang prima harus didukung oleh aparatur yang lincah dan siap melayani. Karena itu, pilihan untuk membentuk postur birokrasi yang miskin struktur dan kaya fungsi merupakan sebuah keniscayaan, di tengah banyak perubahan dan keterbatasan anggaran. Penataan lembaga memang bukan sekadar persoalan efisiensi dan efektivitas, tetapi bagaimana memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat.
OPINI
SULITNYA MENGURUS PERIZINAN
D
alam pelayanan, seringkali masyarakat dihadapkan dengan birokrasi yang berteletele. Urusan yang sebenarnya mudah dan bisa cepat terselesaikan, penyelesaiannya pun seringkali memerlukan energi, waktu, dan biaya. Pelayanan yang bertele-tele, terlihat jelas dalam upaya mengurus izin usaha. Meski Pemerintah Pusat, Menteri, atau Pejabat tinggi manapun sudah menentukan bahwa kepengurusan izin usaha bisa cepat dan tidak dipungut biaya, dalam praktek di lapangan, sungguh amat berbeda.
Keinginan para birokrat di pucuk pimpinan kekuasaan, bisa saja membuat keputusan yang memberi angin segar bagi para calon pengusaha. Tetapi, kenyataan di lapangan adalah suatu keadaan yang lain. Adagium “Kalau bisa dipermudah, mengapa dipersulit” yang diyakini para penentu kebijakan, menjadi terbalik ketika berada di lapangan, yaitu “Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?” Kondisi seperti itulah yang terjadi pada aktivitas sehari-hari. Adagium terakhir (“Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?”) terdengar santer kala berada di ruang-ruang pelayanan publik, apalagi yang berkaitan dengan pelayanan usaha. Budaya minus seperti ini kemudian ingin diubah oleh Pemerintah Pusat. Kini, tingkat kepuasan menjadi fokus bagi setiap unit pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan pelayanan kepada masyarakat.
lagi sebagai penerima layanan yang pasif, tetapi sudah bertransformasi sebagai penerima layanan yang semakin menuntut kehadiran pelayanan yang berorientasi pada kepuasan. Harapan baru? Otonomi daerah yang diterapkan sejak 2001, memberi harapan baru bagi masyarakat, terutama dalam pelayanan publik. Tujuan awal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, menjadi titik awal perbaikan di berbagai bidang. Di bidang investasi, perbaikan dilakukan dengan meningkatkan daya saing daerah. Daya saing daerah tidak hanya bergantung kepada keunggulan daerah dari endowment (faktor anugerah), tetapi juga dapat diciptakan melalui tata kelola aspek yang berada di bawah kewenangan Pemda. Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2016, menyoroti 10 variabel yang diyakini menjadi bagian penting dalam tata kelola. Penciptaan tata kelola yang baik akan berujung pada iklim investasi yang kondusif dan berdampak pada bergeraknya ekonomi. Masuknya investasi juga akan menciptakan perluasan kesempatan kerja. Perluasan kesempatan kerja pada akhirnya menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Perspektif pelaku usaha dalam melihat TKED pada 2016 menunjukkan Boedi Rheza Peneliti KPPOD perbedaan dibanding dua edisi studi Harapan besar masyarakat khususnya terdahulu (TKED 2007 dan TKED 2011). pelaku usaha untuk perbaikan pelayanan semakin besar. Pada studi TKED 2007 dan TKED 2011, permasalahan Reformasi di bidang pelayanan sudah menjadi keharusan utama yang dirasakan pelaku usaha adalah kualitas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh Pemda. Dinamika infrastruktur daerah. Sementara saat ini, pelaku usaha perubahan yang semakin cepat membutuhkan daya lebih menilai Perizinan Usaha sebagai aspek yang sangat dukung yang optimal. Di satu sisi, masyarakat bukan membebani. Padahal reformasi banyak dilakukan di
17
Sumber gambar: poskotanews.com
daerah maupun pusat. Sebagai contoh, terbitnya Paket Kebijakan XII, yang berisi berbagai reformasi di bidang perizinan. Suara sumbang tentu bermunculan ketika melihat penilaian kinerja layanan yang masih jauh dari harapan. Keberadaan perizinan usaha sebagai penjamin legalitas tidak hanya semata-mata memberi keuntungan lebih kepada pelaku usaha. Belajar lebih jauh dari hasil survai Doing Business, beberapa negara yang melakukan reformasi mulai memetik hasil yang cukup menjanjikan, seperti terjadi di Meksiko, yang ditunjukkan dengan meningkatnya formalitas usaha. Standar aturan pelayanan perizinan yang terus diperbaiki, seperti pada TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), ternyata tidak terwujud dalam praktik di daerah. Keberadaan Permendag No.77/2013 yang diperbarui dengan Permendag No.14/2016, jelas memberi berbagai kemudahan bagi pelaku usaha dengan ketentuan pengurusan lebih cepat (2 hari) dan lebih efisien (pengurusan secara simultan). Namun sesuai hasil studi TKED 2016, kenyataan menunjukkan waktu pengurusan kedua jenis izin itu masih jauh dari ketentuan, rata-rata mencapai 14 hari. Masih bermasalah Beberapa fakta itu menunjukkan, proses pelayanan perizinan masih bermasalah. Lebih jauh lagi, kinerja
18
pelayanan perizinan yang masih buruk membebani pelaku usaha dari segi waktu dan biaya. Waktu pengurusan izin dasar seperti SIUP dan TDP yang masih jauh dari ketentuan nasional, menggambarkan betapa perbaikan layanan masih harus dilakukan. Perbaikan layanan dapat dilakukan dengan mengefisiensikan business process (alur proses layanan). Mempersingkat proses yang harus ditempuh pada back office seperti proses persetujuan antar bagian dan seksi, menyederhanakan persyaratan dan memudahkan akses layanan, dapat menjadi beberapa solusi yang dilakukan Pemda. Efisiensi alur proses misalnya, dapat dilakukan dengan mengeluarkan Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih singkat. Jika satu proses dapat dilakukan secara pararel, maka tidak perlu lagi dilakukan secara terpisah. Sebagai contoh pada proses pembayaran SKRD (Surat Keterangan Retribusi Daerah) dan pemberian izin kepada pelaku usaha. Selain itu, dari sisi persyaratan, untuk izin-izin yang memiliki substansi dan dokumen persyaratan yang relatif sama, dapat juga disimultankan, seperti SIUP dan TDP. Pemerintah juga sudah mengeluarkan kebijakan terkait melalui Peraturan Menteri Perdagangan tahun 2016, untuk menyimultankan proses pengurusan SIUP dan TDP. Perbaikan pelayanan perizinan juga dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi. Kemajuan teknologi dapat membantu pelaku usaha setidaknya untuk mengakses layanan perizinan. Begitu juga dengan transparansi informasi seperti persyaratan, prosedur,
Sumber gambar: antarabogor.com
biaya dan lama waktu mengurus perizinan. Meski sudah ada beberapa daerah yang menerapkan layanan berbasis online, namun masih banyak daerah yang menerapkan sistem manual. Terpenting, jangan pernah melupakan peran strategis Kepala Daerah. Beberapa daerah menunjukkan, perbaikan pelayanan tidak lepas dari komitmen tinggi Kepala Daerah. Abdullah Abu Bakar, Walikota Kediri-Jawa Timur dan Andi Idris Syukur, Bupati Barru (Sulawesi Selatan) sebagai contoh. Secara tegas mereka meminta komitmen para kepala OPD untuk melimpahkan pelayanan perizinan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerahnya. Komitmen ini pada akhirnya dapat meredam ego sektoral instansi pelayanan perizinan. Catatan akhir Perbaikan pelayanan perizinan usaha bukan merupakan proses instan. Terdapat tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dalam proses ini. Pada tahap awal
diperlukan komitmen dari Kepala Daerah, yang telah dibuktikan di beberapa daerah. Tahap berikut adalah memetakan izin-izin apa saja yang perlu disederhanakan dan berada di instansi mana pelayanan itu berada. Pemetaan ini sangat penting agar kelak diketahui izin-izin yang sudah tidak diperlukan lagi atau masih diperlukan. Selain itu, diperlukan harmonisasi kebijakan di daerah dengan kebijakan pusat. Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bertujuan mempercepat perbaikan perizinan. Harmonisasi kebijakan ini dapat dilakukan dengan menerbitkan peraturan-peraturan di daerah terkait perizinan usaha. Tahapan ini menjadi penting agar tidak ada lagi peraturan yang sudah seharusnya dicabut namun masih diterapkan di lapangan, seperti terjadi pada Izin Gangguan (HO), yang sudah tidak diberlakukan lagi untuk usaha skala mikro dan kecil. Semoga perbaikan pelayanan perizinan dapat membuat dunia usaha di Indonesia berkembang pesat.
19
LAPORAN KEGIATAN
PERIZINAN, SUMBATAN BESAR BERUSAHA DISKUSI MEDIA: SURVEI PEMERINGKATAN 32 IBU KOTA PROVINSI
G
encarnya upaya pemerintah pusat melakukan reformasi perizinan, ternyata terganjal sumbatan besar di daerah. Bagi para pengusaha dan investor, masalah pengurusan perizinan usaha menjadi “momok” yang menjengkelkan, merepotkan, sekaligus ingin coba dihindari.
usaha, biaya transaksi, kualitas infrastruktur, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), interaksi pemda dengan pelaku usaha, keamanan dan resolusi konflik, kapasitas dan integritas kepala daerah, akses dan kepastian hukum atas lahan, kualitas peraturan daerah, serta tata kelola ketenagakerjaan.
Demikian benang merah diskusi yang digelar Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di Jakarta, Selasa (31 Januari 2017). Diskusi juga dimaksudkan untuk mengumumkan peringkat terbaik dan terburuk indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2016. Diskusi dibuka oleh Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi, dilanjutkan pemaparan tentang apa itu TKED 2016 dan temuan-temuan penting hasil studi oleh Boedi Rheza. Hadir pada acara ini antara lain Aryawan Soetiarso Poetro (Direktur Otonomi Bappenas) serta perwakilan dari pelaku usaha, Anton J. Supit (Wakil Ketua Umum KADIN).
Dari studi TKED 2016, ditemukan belum adanya keberpihakan pemerintah daerah kepada pelaku usaha, terutama kelompok mikro dan kecil. Berbelit-belit dan harus mengeluarkan biaya tambahan, menjadikan sebagian besar pelaku usaha mikro dan kecil enggan untuk mengurus perizinan. Ketiadaan izin berusaha, juga menempatkan para pelaku usaha kecil dan mikro berada di luar sektor formal. “Kenyataan di lapangan menunjukkan, untuk mengurus perizinan, diperlukan waktu panjang. Adapun rata-rata waktu yang dibutuhkan pelaku usaha untuk mengurus perizinan usaha adalah 14 hari kerja. Bahkan, di Jayapura misalnya, untuk mendapatkan TDP harus menunggu 118 hari,” jelasnya.
Rheza menjelaskan, studi pengurusan perizinan untuk berusaha dan berinvestasi di 32 ibu kota provinsi itu terselenggara Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD atas dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI). Hasil studi menempatkan Pontianak Dalam hal biaya, setali tiga uang. Rheza sebagai tempat terbaik bagi pelaku usaha (79,29) menyebutkan, terdapat praktek buruk yang terjadi dan Medan menempati tempat terburuk (45,99). dalam pelayanan perizinan. Sebagai contoh, untuk Perhitungan indeks TKED didasarkan 10 indikator mengurus izin usaha di Manado, pelaku usaha harus dengan 40 responden pelaku usaha di 32 ibu kota lebih dahulu mengurus Surat Keterangan Fiskal (SKF). provinsi. Metodologi penelitian mencakup survei Surat ini menjadi bukti bahwa calon pengusaha telah persepsi pelaku usaha dan kajian peraturan daerah. membayar pajak. Mahal dan berbelit Studi KPPOD secara khusus melihat tata kelola pemerintah daerah dalam 10 indikator yaitu, perizinan
20
“Padahal berbagai pajak yang harus dibayar lunas dan tertera dalam SKF itu, ada beberapa hal yang belum tentu digunakan dalam berusaha misalnya, pajak reklame dan pajak air tanah. Tidak mengherankan bila uang yang
harus dikeluarkan ekstra dalam mengurus perizinan dirasa memberatkan para pengusaha,” lanjut Rheza. Sistem elektronik Studi TKED 2016 oleh KPPOD juga menunjukkan tidak efektif dan efisiennya pelayanan pengurusan perizinan, sekaligus tidak mengikuti bussines process yang singkat. Sistem perizinan elektronik (on-line) yang diharapkan bisa memangkas waktu pengurusan perizinan dan birokrasi, ternyata belum berfungsi dan berjalan maksimal. Bukti di Bandung dan Surabaya menunjukkan, birokrasi di dua kota ini sudah menerapkan sistem on-line perizinan. Meski demikian, pemohon tetap harus wirawiri ke instansi lain untuk melengkapi syarat-syarat perizinan. KPPOD berharap, hasil studi ini menjadi masukan (input) penting bagi pemerintah dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making). Untuk itu, KPPOD melakukan simulasi what-if (menilai kemungkinan dan konsekuensi dari situasi yang terjadi) untuk memberikan berbagai kemungkinan perbaikan, khususnya kepada daerah berperingkat rendah. Simulasi ini juga akan mendorong kapitalisasi keunggulan kompetitif daerah dalam mengembangkan dunia usaha sekaligus menjadi kunci bagi perbaikan peringkat dan
peningkatan daya saing dalam menjadikan tata kelola sebagai arena perbaikan lingkungan berusaha. Studi TKED 2016 oleh KPPOD juga menyatakan, hasil guna penelitian tata kelola ini bagi pemerintah pusat. Paling tidak, hasil studi ini bisa digunakan pemerintah pusat untuk menjadi bahan pengukuran kinerja sekaligus merancang politik perencanaan serta desentralisasi fiskal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berbasis kualitas tata kelola setiap daerah. Pada aras programatik, dukungan Pemerintah Pusat bagi peningkatan kapasitas pemda juga patut diarahkan kepada kota-kota yang tertinggal mutu tata kelolanya, sekaligus memiliki tantangan-tantangan utama yang khas dalam investasi. Sementara pada domain pemda, kapasitas dan integritas kepala daerah turut menentukan efektivitas kerja birokrasi dan inovasi pelaksanaan tata kelola ekonomi di daerah. Karena itu, KPPOD mendorong berbagai pihak untuk menjadikan akuntabilitas prosedural dan subtantif (pencapaian target prioritas) dari setiap kepala daerah, sebagai objek evaluasi kinerja dan pengawasan serta digarap sebagai agenda politik yang serius bagi para elite partai dan pengambil kebijakan di negeri ini.
21
SEPUTAR OTONOMI
WAJAH BURUK PEMERINTAH DAERAH CATATAN OTONOMI DAERAH 2016
W
ajah buruk pemerintah daerah di beberapa tempat, sudah terlihat sepanjang 2016 hingga kini. Hal ini terutama ditandai dengan munculnya sejumlah kepala daerah bermasalah. Baru saja dilantik, sang bupati tertangkap tangan sedang menikmati narkoba. Adalah Ahmad Wazir Nofiadi, Bupati Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan). Setelah dilantik sebagai bupati, Ofi –begitu ia akrab disapa– tertangkap tangan sedang menikmati shabu-shabu. Ofi lalu digelandang ke kantor polisi dan harus mendekam di balik jeruji besi. Jabatan Bupati yang belum sempat dinikmati pun harus dicopot. Tidak hanya itu. Sepanjang tahun 2016, terdapat 10 kepala daerah yang baru saja memenangi pilkada, ternyata tersangkut kasus korupsi dan kini perkaranya sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka itu ialah Ojang Sohandi (Bupati Subang, Jawa Barat); Suparman (Bupati Rokan Hulu - Riau); Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara); Atty Suharti (Wali Kota Cimahi, Jawa Barat); Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati Buton-Sulawesi Selatan), Marthen Dira Tome (Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur); Bambang Kurniawan (Bupati Tanggamus, Lampung); Bambang Irianto (Wali Kota Madiun, Jawa Timur); Yan Anton Ferdian (Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan); dan Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk, Jawa Timur).
Episentrum korupsi Deretan nama kepala daerah ini menegaskan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga yang fokus pada isu korupsi ini menyatakan, daerah sebagai episentrum korupsi. Dalam kurun waktu 2010-2015, ada 110 bupati, 16 wakil bupati, 34 wali kota, tujuh wakil wali kota, 14 gubernur, dan dua wakil gubernur, menjadi tersangka. Pada Pilkada Serentak 2015 itu, ICW mencatat, terdapat 17 calon kepala daerah yang bermasalah secara hukum, lima orang di antaranya berhasil menang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015. Mereka itu antara lain, Marten Dira (tersangka KPK) dari Kabupaten Sabu Raijua (NTT), maju melalui jalur perseorangan; Andi Idris Syukur dari Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) yang didukung PKS, Gerindra, Hanura, PPP; Gusmal dari Kabupaten Solok-Sumatera Barat, yang didukung Partai Gerindra, PKS; Vonny A Panambuan dari Kabupaten Minahasa Utara-Sulawesi Utara dengan partai pendukung Gerindra; serta Lakhomizaro Zebua dari Kota Gunung Sitoli-Sumatera Utara dengan partai pendukung PDI-P, Hanura dan PKB. Sementara Laporan Tahunan KPK 2015 menyebutkan, pada 2005-2015, terdapat 17 gubernur dan 49 bupati/walikota dan wakilnya yang terjerat korupsi. Tahun 2015, ada delapan kepala daerah yang berurusan dengan penegak hukum.
H. Nurcahyadi Suparman Atas kasus-kasus yang menimpa para Peneliti KPPOD kepala daerah yang baru terpilih ini, tentu Mengingat seluruh nahkoda daerah memberi implikasi terhadap tata kelola pembangunan daerah. Adakah kasus yang menimpa ini lahir dari rahim demokrasi lokal langsung, patut para kepala daerah ini menjadi cerminan kondisi buruk disayangkan bila mereka mengalami cacat hukum. daerah yang dipimpinnya? Rakyat sendirilah yang menghendaki mereka
22
Sumber gambar: mediaindonesia.com
untuk memimpin daerahnya selama lima tahun. Konsekuensinya jelas, meski cacat hukum, para kepala daerah bermasalah tetap memiliki legitimasi kekuasaan yang sangat kuat. Tiga kasus menarik Mencuatnya bupati mengonsumsi narkoba serta adanya 10 bupati terindikasi korupsi, dan puluhan mantan pejabat publik terjerat berbagai kasus, itu semua merupakan salah satu dari tiga kasus menarik yang terjadi selama ini, terutama tahun 2016. Dua kasus menarik lainnya adalah pembatalan peraturan daerah (perda) dan pembentukan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baru. Bagaimana pun juga, pelantikan kepala daerah sudah mewarnai otonomi daerah pada paruh pertama tahun 2016. Para kepala daerah hasil Pilkada serentak 9 Desember 2015 ini dilantik secara bertahap. Pentahapan terjadi lantaran akhir masa jabatan (AMJ) yang berbedabeda antar daerah atau menunggu hasil proses sengketa Pilkada di MK. Terlepas dari tahapan yang berbedabeda, pelantikan ini sebenarnya menandai babak baru dalam pembangunan di daerah-daerah itu. Sebagai babak baru, para kepala daerah terlantik semestinya menjadi ratu adil yang menghembuskan angin perubahan bagi masing-masing daerah yang dipimpinnya. Perubahan yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat, satu tingkat lebih baik dibanding periode sebelumnya. Dengan demikian, pembangunan daerah tidak berarti berjalan di tempat, ada suatu perbaikan dari keadaan
sebelumnya. Tidak hanya itu. Para kepala daerah juga diharapkan tampil sebagai nahkoda yang memiliki kapasitas, integritas yang baik, sehingga diharapkan mampu mengarahkan bahtera daerah ke pelabuhan kesejahteraan. Harapan ini muncul di tengah mewabahnya “penyakit” pada sejumlah kepala daerah sepanjang 2016, yang kapasitas dan integritasnya amat rendah. Krisis integritas yang melanda kepala daerah ini tentu memantik diskusi publik. Apa yang salah? Apakah regulasi pilkada belum mumpuni? Proses pilkada penuh kecurangan? Atau tidak efektifnya peran partai politik dalam melahirkan kaderkader terbaik? Catatan ini menyoroti pertanyaan terakhir ini: disfungsi partai politik. Para kandidat yang berkompetisi dalam pilkada sebagian besar dicalonkan partai politik. Sudah menjadi rahasia publik, partai politik tak jarang mengajukan kandidat non-kader. Ketika tidak memiliki kader yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi, partai politik mengajukan figur yang dianggap “mampu berkompetisi” dalam pilkada. Yang dimaksud mampu berkompetisi bukan hanya sekedar soal elektabilitas, tetapi memiliki kemampuan finansial yang tak berseri. Tentu tidak menjadi persoalan jika para kandidat memiliki kapasitas dan integritas. Yang sering terjadi, para kandidat hanya berbekal dompet tebal dengan nafsu mengejar kekuasaan tinggi tanpa diimbangi modal kapasitas dan integritas. Dalam kondisi seperti ini, saat pilkada, rakyat hanya memilih kandidat-kandidat yang disodorkan partai politik. Memang sistem pilkada di Indonesia membuka kesempatan kepada calon perseorangan. Namun,
23
persyaratan yang super berat tak jarang menciutkan nyali figur-figur yang berkompeten. Akibatnya, rakyat tidak memiliki pilihan lain. Mereka hanya memilih kandidatkandidat yang telah mendapat restu partai politik dan lolos verifikasi KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Akibatnya, pemilihan langsung tidak menjadi garansi bagi lahirnya para kepala daerah yang berintegritas. Untuk itu, partai politik perlu berbenah diri. Fungsi kaderisasi dan rekruitmen semestinya dijalankan sungguh-sungguh, tidak hanya menjelang pemilu atau pilkada. Pilkada hanya menjadi ujian bagi proses kaderisasi yang telah dijalankan, bukan menjadi ajang uji coba bagi figur-figur instan dengan nafsu kekuasaan yang tinggi. Bad Governance Perda Wajah buruk pemerintah daerah juga tampak dalam pembatalan ribuan regulasi terkait daerah semisal peraturan daerah (perda), peraturan kepala daerah (perkada), dan peraturan menteri (permen), pada Juni 2016. Jumlah regulasi yang dibatalkan sebanyak 3.143, di antaranya 1.765 perda/perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Menteri Dalam Negeri, 111 Peraturan/ keputusan Menteri Dalam Negeri yang dicabut/revisi oleh Menteri Dalam Negeri, dan 1.267 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Gubernur. Pemerintah beralasan, ribuan regulasi ini menghambat proses perizinan dan investasi di daerah. Pembatalan ini sontak menimbulkan kegaduhan publik. Banyak yang mendukung, tak sedikit pula yang memberi catatan kritis kepada pemerintah. Polemik ini terpusat pada kewenangan Kemendagri dalam melakukan pembatalan Perda. Bagi pendukung, UU Pemda 23/2014 memandatkan Kemendagri/Provinsi untuk melakukan pembatalan. Sementara para penolak bersandar pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menetapkan kewenangan pembatalan Perda berada di MA. Terlepas dari perdebatan ini, pembatalan ribuan perda bermasalah itu sesungguhnya membuka tabir “bad governance” regulasi di daerah. Dalam kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Daerah (KPPOD), di tingkat daerah, komitmen politik dan kesalahpahaman pemda menjadi faktor signifikan yang menentukan kualitas Perda. Misalnya, dalam merancang perda pajak dan retribusi, pemda memperluas objek pajak atau struktur tarif yang justru melanggar semangat yang ada dalam closed-list system dalam UU No. 28 Tahun 2009.
24
Selain faktor politik, kualitas legislative assessment para perumus kebijakan dan legal drafting para tenaga perancang juga berpengaruh besar. Pada ujung proses, efektivitas monitoring, evaluasi hingga pengawasan dan pembatalan dari pemerintah pusat juga tak dilakukan secara maksimal. Namun, tata kelola buruk ini tak melulu divoniskan kepada Pemda, tetapi juga Pemprov dan Pusat. Sebab, pemerintah supra kabupaten/kota ini turut andil dalam proses pengesahan sebuah regulasi daerah. Sahnya ribuan perda bermasalah, mengindikasai pengawasan preventif Pusat terhadap seluruh Ranperda tidak berjalan. Pascapembatalan Perda, Pusat juga tak gesit mengeluarkan SK pembatalan. Sejauh pantauan KPPOD, masih banyak daerah yang belum menerima SK Pembatalan. Pemda pun gamang dan bingung. Apalagi perda-perda yang berimplikasi pada pendapatan daerah. Tak hanya soal SK Pembatalan, Pemda juga bingung dengan sejumlah regulasi nasional belum optimal, tumpang tindih, dan inkonsisten satu sama lain sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan kerangka kebijakan yang jelas. Catatan: Menurut Kementrian Dalam Negeri, sebanyak 3.143 perda yang dibatalkan itu baru tahap pertama. Antrian ribuan perda yang berpotensi dibatalkan masih panjang. Rentetan pembatalan ini tentu mengaksentuasi power pengawasan represif Pusat. Namun, pengawasan pasca-pengesahan model ini menguras banyak energi dan menurut para pakar hukum, menimbulkan anomali hukum. Karena itu, pengawasan preventif harus sungguh-sungguh dioptimalkan. Rentang waktu 60 hari untuk evaluasi mestinya benar-benar dimanfaatkan. Lebih dari itu, penguatan kapasitas legal drafter dan pengambil kebijakan di daerah mesti ditingkatkan. Jalan Terjal OPD Baru Wajah buruk pemerintah daerah juga tercermin dalam kasus jual beli jabatan yang menghebohkan publik menjelang tutup tahun 2016. Adalah Bupati Klaten Sri Hartini tertangkap tangan melakukan praktik jual beli jabatan. Kasus ini persis terjadi ketika seluruh pemda diwajibkan menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Karena itu, jual beli jabatan ini memiliki benang merah dengan penerapan regulasi ini. PP ini sesungguhnya menekankan pada reformasi kelembagaan sesuai dengan fungsi dan beban kerja.
Aksentuasi ini tampak pada pembagian tipologi daerah. Ada tiga tipe daerah, yaitu sekretariat Daerah, sekretariat DPRD, dan inspektorat tipe A; sekretariat Daerah, sekretariat DPRD dan inspektorat tipe B; dan sekretariat Daerah, sekretariat DPRD dan inspektorat tipe C; dinas tipe A, dinas tipe B, dan dinas tipe C; badan tipe A, badan tipe B, dan badan tipe C; serta kecamatan dalam 2 (dua) tipe, yaitu kecamatan tipe A dan kecamatan tipe B. Penetapan tipe Perangkat Daerah didasarkan pada perhitungan jumlah nilai variabel beban kerja. Variabel beban kerja terdiri dari variabel umum dan variabel teknis. Variabel umum, meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan bobot sebesar 20 persen. Sedangkan variabel teknis yang merupakan beban utama dengan bobot sebesar 80 persen. Pada tiap-tiap variabel, baik variabel umum maupun variabel teknis ditetapkan 5 (lima) kelas interval, dengan skala nilai dari 200 (dua ratus) sampai dengan 1.000 (seribu). Penetapan tipologi di atas berimbas pada sinkronisasi struktur organisasi dan beban kerja. Sebuah lembaga yang besar mesti menanggung beban kerja yang banyak. Sebaliknya, lembaga yang kecil memiliki beban kerja yang ringan. Perubahan ini akan mengkondisikan setiap birokrat untuk menjalankan fungsi atau menerima beban kerja yang sesuai dengan kapasitas strukturnya. Kategorisasi perangkat daerah ini juga memungkinkan penyatuan sejumlah urusan pada satu lembaga. Misalnya, seluruh urusan perizinan dan penanaman modal disatukan dalam badan PTSP. Perubahan formasi kelembagaan ini tak semudah membalik telapak tangan. Seluruh perangkat daerah yang diamanatkan PP ini tak serta merta bisa langsung diimplementasikan. Dari pantauan KPPOD, muncul sejumlah masalah dalam proses implementasi PP ini.
Pertama, masa transisi mengganggu pelayanan publik. Sejumlah kewenangan yang dialihkan ke provinsi semisal perikanan, pertambangan, dan perkebunan, tidak otomatis langsung dilaksanakan. Sebab pengalihan kewenangan tentu diikuti dengan pemindahan lokasi pelayanan kepada masyarakat. Di sini muncul persoalan. Jarak antara masyarakat dengan pemerintah semakin jauh, khususnya di provinsi-provinsi yang memiliki wilayah yang luas atau infrastruktur yang tidak baik. Memang solusinya adalah pembentukan unit pelayanan terpadu (UPT) di setiap kabupaten/kota. Persoalannya, seperti yang muncul di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pengalihan kewenangan ini tidak diikuti dengan kebijakan anggaran dari pemerintah pusat. Pemprov NTT mengakui, hingga saat ini, UPT tidak bisa dibentuk di setiap kabupaten/kota. Satu UPT melayani dua atau tiga kabupaten. Kondisi ini tentu mengganggu pelayanan publik. Kedua, jual beli jabatan. PP 18 rupanya membuka ladang bisnis baru bagi sejumlah kepala daerah. Menurut catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebanyak 90 persen dari 29.113 jabatan diperkirakan telah dilelang di pasar kerja. Penangkapan Bupati Klaten Sri Hartini membuka tabir praktik rasuah tersebut. KASN menemukan daftar harga jabatan yang dilelang sang bupati; Eselon II dipatok harga Rp 80 juta – Rp 400 juta, Eselon III Rp 30 juta – Rp 80 juta, dan Eselon IV Rp 10 juta – Rp 15 juta. Praktik kotor ini tentu sulit diterima nalar publik. UU No. 05/2014 tentang ASN dan PP 18 ini sudah memberi panduan dalam pengisian jabatan berdasarkan sistem merit. Namun, kedua regulasi ini juga memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mengetuk palu akhir dalam penentuan jabatan di daerah. Sistem ini pun bisa diimplementasikan dengan baik jika kepala daerah memiliki kapasitas dan integritas. Karena itu, saat ini kita sesungguhnya membutuhkan kepala-kepala daerah yang berkapasitas dan berintegritas.
25
AGENDA KPPOD
KEGIATAN TERKINI KPPOD 1. Media Briefing 19 Oktober 2016 Sebagai lembaga advokasi, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 19 Oktober 2016, di Jakarta, menggelar diskusi bersama media cetak, media elektronik, dan beberapa pelaku usaha atas perda-perda bermasalah. Secara khusus, disoroti temuan perda bermasalah di Kota Cilegon (Banten), Kabupaten Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (JawaTimur), Kabupaten Pelalawan, dan Kabupaten Siak (Riau). Selain sebagai knowledge-sharing, diskusi ini dimaksudkan KPPOD untuk mendapatkan masukan dari media dan pelaku usaha. Berbagai masukan itu akan diteruskan kepada Kementerian/Lembaga terkait sekaligus menunjukkan masih adanya berbagai persoalan di seputar peraturan daerah.
Regina Retnobudiastuti Administrasi KPPOD
2. Studi Kemudahan Berusaha di 3 Kota di Indonesia Bersama Asian Development Bank (ADB), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), tanggal 10 November 2016, di kantor ADB Jakarta, mengadakan forum konfirmasi dan verifikasi atas temuan-temuan yang terkait Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di tiga kota yaitu Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Forum tidak hanya dihadiri perwakilan PTSP dan instansi terkait dari perwakilan ketiga pemerintah kota itu, tetapi juga perwakilan dari Kementerian/Lembaga terkait, di antaranya Kementerian Koordinator Perekonomian, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), PLN (Perusahaan Listrik Negara), BPN (Badan Pertanahan Nasional), BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), Ditjen Pajak, dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Dalam forum ini, KPPOD menghadirkan perwakilan dari Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai role-model keberhasilan PTSP daerah. Berbagai masukan dalam forum ini diharapkan akan memperkaya hasil studi.
26
3. Seminar “Evaluasi Atas Implementasi Paket Kebijakan Investasi di Daerah” Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kedutaan Besar Inggris, mengadakan seminar tentang Evaluasi atas Implementasi Paket Kebijakan Investasi di Daerah, Senin (19 Desember 2016) di Jakarta. Seminar menghadirkan perwakilan dari tujuh daerah, yaitu kota Pontianak, Bandung, Palembang, Surabaya, Manado, Denpasar, dan DKI Jakarta, sebagai sampel studi evaluasi. Seminar ini juga melibatkan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan studi ini dan juga dari asosiasi bisnis, pegiat LSM dan firma hukum. Seminar yang dibuka oleh Staf Ahli Bidang Pengembangan Daya Saing Nasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bambang Adi Winarso ini merupakan kegiatan penutup Studi Evaluasi atas Implementasi Paket Kebijakan Investasi di Daerah yang sudah dilakukan pada tujuh kota itu. KPPOD berharap hasil studi ini bisa menjadi masukan berarti terutama bagi Pemerintah Daerah yang masih berproses dalam menyelaraskan paket kebijakan investasi. Paket ini sebenarnya sudah digagas Presiden RI dengan kebijakan kemudahan berusaha di daerah.
27
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
28
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori: Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPODBrief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10, Jl. Kuningan Mulia Kav.9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp.: [021] 8378 0642/53, Fax.: [021] 8378 0643, Website: www.kppod.org, Email:
[email protected], Facebook: kppod