Program
:
Judul RPI
:
Koordinator Judul Kegiatan
: :
Sub Judul Kegiatan
:
Pelaksana Kegiatan
:
Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai pada Tapak Khusus Teknik Penanaman pada Delta yang Terdegradasi Adi Kunarso Ir. Bastoni Tb. Angga AS, SP Joni Muara
ABSTRAK Hutan Lindung (HL) Air Telang (±13.000 ha), merupakan salah satu kawasan mangrove di Sumatera Selatan yang saat ini mengalami degradasi terutama disebabkan oleh konversi untuk tambak, kebun, dan permukiman. Salah satu teknik rehabilitasi yang bisa diterapkan untuk memulihkan kondisi mangrove terutama pada areal tambak adalah dengan pola mina hutan (silvofishery). Silvofishery merupakan rangkaian kegiatan terpadu antara pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove dengan budidaya ikan. Penelitian ujicoba penanaman mangrove dilakukan pada tambak aktif yang sudah beroperasi sekitar 10 tahun. Sampai dengan umur 10 bulan, persentase hidup tanaman pada tiap perlakuan berkisar antara 70 – 90 %. Kematian anakan mangrove terutama disebabkan oleh serangan ulat daun, dengan kategori tingkat kerusakan ringan hingga agak berat. Pada tahun 2014 dilakukan ujicoba penanaman diluar tambak, untuk mengetahui pertumbuhan tanaman pada kondisi site yang berbeda. Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery A. Pendahuluan Secara global, konversi mangrove untuk tambak merupakan salah satu penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove (Valiela et al., 2001). Rusaknya hutan mangrove akan mengakibatkan perubahan ekologi wilayah pesisir karena hilangnya tutupan hutan. Rehabilitasi hutan mangrove perlu dilaksanakan untuk memulihkan fungsi perlindungan, pelestarian dan fungsi produksi. Hutan Lindung (HL) Air Telang (±13.000 ha), merupakan salah satu kawasan mangrove di Sumatera Selatan yang saat ini mengalami degradasi. Dari sekitar 7.000 ha hutan mangrove yang ada, sekitar 600 ha diantaranya sudah dialihfungsikan untuk pembangunan pelabuhan penyeberangan dan sarana pendukung lainnya, termasuk jalan. Sedangkan sisanya terancam oleh konversi untuk pemukiman, kebun, dan Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
91
tambak. Sampai dengan tahun 2010, luas tambak diperkirakan sekitar 320 ha dan sampai saat ini konversi untuk tambak masih terus berlangsung. Salah satu upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan yaitu dengan pola mina hutan (silvofishery). Silvofishery merupakan salah satu pola atau model rehabilitasi mangrove dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat. Sistem silvofishery adalah rangkaian kegiatan terpadu antara pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove dengan budidaya ikan. Ujicoba penerapan pola ini perlu dilakukan, selain untuk meminimalisir laju degradasi hutan mangrove, sekaligus sebagai upaya pelibatan masyarakat dalam upaya rehabilitasi mangrove. B. Metode Penelitian 1. Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung (HL) Air Telang yang terletak di pantai timur Sumatera. Lokasi penelitian merupakan kawasan mangrove dengan vegetasi penyusun antara lain jangkang (Rhizophora sp.), tumuk (Bruguiera sp.), api-api (Avicennia sp.), nipah (Nypa fruticans), buta-buta (Excoecaria agallocha), dan ngirih (Xylocarpus granatum) (Kunarso, et al., 2012). Sedangkan lokasi ujicoba penanaman berupa tambak yang sudah beroperasi selama lebih kurang 10 tahun.
Lokasi penelitian
Gambar 11. Lokasi penelitian
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
92
2. a.
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Pemeliharaan dan pengukuran tanaman 2013 Ujicoba penanaman dilakukan pada bulan November 2013, dengan pola empang parit yang sudah lazim digunakan pada sistem silvofhisery di Indonesia. Adapun modifikasi yang dilakukan adalah berupa pengaturan jarak tanam menjadi 5m x 6m dan 5m x 12 m. Jenis yang ditanam yaitu jangkang (R. apiculata) dan tumuk (B. gymnorrhiza) dengan sumber bibit berasal dari persemaian dan anakan alam (puteran). Kegiatan yang dilakukan yaitu berupa pengukuran tinggi dan diameter, pengamatan serangan hama, serta pengendalian hama secara mekanik dan kimiawi. Pengukuran berupa tinggi, diameter dan persen hidup diperlukan untuk evaluasi pertumbuhan tanaman. Pada laporan ini disajikan rata-rata tinggi dan diameter serta persen hidup tanaman pada tiap perlakukan. Pengamatan serangan hama diperlukan untuk menentukan perlu tidaknya uapaya pengendalian. b. Ujicoba penanaman mangrove diluar tambak Ujicoba penanaman ini untuk mengetahui pertumbuhan mangrove pada kondisi genangan yang berbeda (dipengaruhi pasang surut). Rancangan penelitian menggunakan rancangan split plot, dengan main plot berupa jarak tanam (2m x 2m, 2m x 3m dan 3m x 3m) sedangkan jenis tanaman (R. apiculata dan B. gymnorrizha) sebagai sub-plot (Gambar 2). BLOK I J1R
J1B
J3R
J3B
J2R
J2B
J3R
J1B
J1R
J2B
J2R
J2R
J1R
J1B
J3B
J3R
BLOK II J3B BLOK III J2B
Keterangan: J1= jarak tanam 2m x 2m J2= jarak tanam 2m x 3m J3= jarak tanam 3m x 3m
R= R. Apiculata B= B. gymnorrizha
Gambar 12. Desain penanaman c.
Pemeliharaan dan pengukuran mangrove tahun tanam 2014 Pemeliharaan berupa Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit mangrove yang mati setelah penanaman. Sedangkan pengukuran dilakukan sebagai data awal untuk menghitung pertumbuhan mangrove.
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
93
C. Hasil dan Pembahasan 1.
Pengukuran dan pemeliharaan tanaman 2013
Perlakuan : J1 = jarak tanam 5 x 12 J2 = jarak tanam 5 x 6 B = Bruguiera
R Pr Pu
= Rhizophora = Persemaian = Puteran
Gambar 13. Persentase hidup dan tinggi mangrove umur 10 bulan
Gambar 14. Diameter mangrove umur 10 bulan Hasil pengamatan persentase hidup dan tinggi anakan mangrove umur 10 bulan dapat dilihat pada Gambar 3. Persentase hidup tanaman berkisar antara 70 – 90%. Kematian tanaman terutama disebabkan oleh serangan hama ulat daun dan kepiting/teritip. Sedangkan kondisi lokasi penanaman yang tergenang terus menerus sedalam sekitar 30 cm pada saaat pembesaran ikan bandeng (4-5 bulan), dan sebaliknya kering (tidak ada genangan sama sekali) pada saat lahan diberakan Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
94
selama sekitar 1 bulan diduga mempengaruhi pertumbuhan mangrove karena pada kondisi alaminya mangrove tumbuh pada kondisi lahan yang dipengaruhi pasang surut. Pada saat penanaman dilakukan, bibit asal anakan alam (puteran) mempunyai tinggi dan diameter yang relatif lebih besar dibandingkan bibit dari persemaian. Namun demikian, bibit yang berasal dari persemaian relatif mempunyai daya hidup lebih tinggi dibanding bibit asal puteran. Hal ini diduga dipengaruhi oleh teknik pengambilan anakan alam yang tidak sesuai prosedur, atau bibit yang sudah terlalu besar sehingga lebih mudah stress ketika dipindahkan ke lokasi penanaman. Disamping itu, tidak adanya proses aklimatisasi (adaptasi) sebelum bibit ditanam, diduga menjadi penyebab kematian bibit asal anakan alam. Pemeliharaan dilakukan untuk mengendalikan hama ulat yang menyerang anakan mangrove. Pengendalian hama dilakukan baik secara mekanik maupun kimiawi. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan mengambil ulat satu persatu dari tanaman yang terserang. Sedangkan pengendalian secara kimia dilakukan dengan penyemprotan menggunakan insektisida. Tabel 2. Intensitas serangan dan tingkat kerusakan daun
Intensitas serangan (%) Tingkat kerusakan (%)
J1BPr
J1BPu
J1RPr
J1RPu
J2BPr
J2BPu
J2RPr
J2RPu
15,48
33,36
28,20
21,83
27,74
32,61
34,90
36,47
8,33
36,11
34,72
15,28
10,42
26,39
18,75
22,92
Tabel 3. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan
Tanda Kerusakan yang Terlihat pada Daun
Nilai
Sehat Ringan Agak berat Berat
- Kerusakan daun 5 % - Kerusakan daun antara 5 % x 25 % - Kerusakan daun antara 25 % x 50 % - Kerusakan daun antara 50 % x 75 % - Kerusakan daun antara 75 % x 100 % - Pohon gundul/hampir gundul
0 1 2 3
Sangat berat
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
4
95
Gambar 15. Jenis ulat yang menyerang tanaman mangrove Intensitas serangan dan tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama (Tabel 2), maka tingkat kerusakan anakan mangrove yang disebabkan oleh ulat daun berkisar ringan hingga agak berat. Bahkan beberapa tanaman ditemukan mati akibat seluruh daunnya habis dimakan ulat. Hasil pengamatan dilapang menunjukkan tanaman yang terserang dan ulat telah mencapai fase kepompong maka tanaman biasanya akan hidup dan bertunas kembali apabila masih memiliki sisa daun, namun apabila ulat belum menjadi kepompong sedang daun sudah habis, maka tanaman diperkirakan akan mati, karena ulat akan memakan bagian ujung batang. Untuk itu upaya pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama perlu dilakukan sampai dengan bibit yang ditanam tumbuh stabil. 2. Penanaman mangrove di luar tambak Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan lahan dan penamanan mangrove. Rancangan percobaan yang digunakan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) dengan jarak tanam menjadi petak utama sedangkan jenis mangrove menjadi anak petak. Jarak tanam yang digunakan yaitu 2 x 2 m, 3 x 2 m, dan 3 x 3 m, sedangkan jenis mangrove yang ditanam yaitu R. apiculata dan B. gymnorrhiza.
Gambar 16. Ujicoba penanaman diluar tambak
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
96
3.
Pemeliharaan dan pengukuran mangrove
Hasil pengukuran awal tinggi dan diameter mangrove di luar tambak disajikan pada Gambar 5 berikut. Rata-rata tinggi R. apiculata berkisar antara 45,22 hingga 50,70 cm dengan diameter rata-rata 0,64 – 0,69 cm. Sedangkan tinggi B. gymnorrhiza antara 43,71 – 46,15 cm dengan diameter rata-rata 0,82 – 0,85 cm.
Gambar 17. Tinggi dan diameter awal bibit mangrove diluar tambak
Gambar 18. Pengukutan tinggi dan diamater
D. Kesimpulan Kesimpulan sementara yang bisa dikemukakan pada kegiatan ini yaitu: 1. Persentase hidup tanaman tanaman mangrove umur 10 bulan di dalam tambak pada tiap perlakuan berkisar antara 70 – 90%. 2. Tingkat kerusakan tanaman yang disebabkan oleh serangan hama ulat daun termasuk kategori ringan hingga agak berat, yaitu berkisar antara 8 – 36 %.
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
97