ANNUAL REPORT LAPORAN TAHUNAN
PATTIRO
Pusat Telaah dan Informasi Regional
2008 1
I. New Public Service dan Desentralisasi di Indonesia A. Delapan Tahun Desentralisasi di Indonesia Big bang decentralization telah memberi harapan baru bagi masyarakat daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan tiga misi otonomi daerah, yakni: meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, serta memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Hubungan antara desentralisasi, pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut ini: Legitimacy
Resources
Needs, Demand
Local Government
Kesejahteraan Rakyat
Citizen dan other Stakeholder
Accountability
Services
Leadership
2
Pendekatan demand side membutuhkan perubahan paradigma dan peran dari pemerintah daerah yang disebut dengan New Public Service1sebagaimana yang diungkap oleh Denhardt (2004). Dalam New Public Service (NPS), governance mencakup tradisi, institusi, dan proses yang menentukan bagaimana otoritas publik dipraktekkan, bagaimana warga bersuara dan bagaimana keputusan dibuat pada isu yang menjadi concern publik. Berbicara isu governance berarti bicara bagaimana masyarakat sesungguhnya membuat pilihan‐pilihan, mengalokasikan sumber daya dan menciptakan nilai bersama. Peran pemerintah dalam NPS fokus pada kriteria demokratis dan sosial. Pandangan ini menjelaskan bahwa kepentingan publik diletakkan sebagai satu hal tertinggi dan kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang pertemuan kepentingan yang saling menguntungkan. Peran pemerintah adalah fasilitator kepentingan warga dan kelompok lainnya untuk membangun nilai bersama, misalnya membangun koalisi antara lembaga publik, swasta dan lembaga non profit untuk mempertemukan kesepakatan atas apa yang disebut dengan kebutuhan. Pendekatan untuk akuntabilitas terefleksikan dalam pendekatan ini yang mengarahkan aparatur harus memenuhi undang‐udang, nilai‐nilai di masyarakat, norma politis, standar profesional dan kepentingan warga. Menggunakan perspektif governance dengan fokus pada public service menjadikan terbuka ruang untuk mengeksplor keseluruhan dari ragam pilihan kebijakan, manajemen strategis, tanggung jawab etis dan komitmen warga yang penting untuk administrasi publik yang efektif dan efisien dan pendekatan ini juga menggambarkan kompleksitas dari democratic governance dan civic engagement. Strategi PATTIRO dalam mendorong NPS PATTIRO adalah organisasi non pemerintah yang berdiri sejak tahun 1999 dengan visi terwujudnya keadilan sosial dan pemenuhan hak‐hak dasar warga. Visi ini diupayakan melalui penguatan good local governance dan advokasi kebijakan publik. Keadilan sosial dan terpenuhinya hak‐hak warga bentuk akuntabilitas tertinggi dari pemerintahan daerah yang didorong melalui transparansi dan partisipasi sebagai bentuk upaya menumbuhkan demand side dalam pelayanan publik. Upaya menumbuhkan demand side juga dibarengi dengan upaya melakukan reformasi dari supply side dan membangun sinerga antara keduanya melalui strategi kemitraan. Strategi kemitraan antara masyarakat dan pengambil keputusan dilakukan agar proses governance terjadi melalui keterlibatan aktif warga dalam menentukan pilihan‐pilihan kebijakan sebagai esensi dari NPS. Untuk mencapai visi, ada tiga area yang menjadi sasaran intervensi, yaitu kebijakan, anggaran dan pelayanan publik dengan menggunakan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya dan mempromosikan inklusi gender dan sosial sebagai substansi utama. PATTIRO menempatkan diri sebagai katalisator tumbuhnya demand side yang dibarengi dengan pengkondisian di supply side agar democratic governance 1
NPS merupakan gelombang ketiga evolasi adminitrasi pemerintahan setelah OPA (Old Public Administration) yang menempatkan warga(citizen) sebagai obyek dan NPM (New Public Management)
3
dan civic engagement dapat terwujud menuju terciptanya keadilan sosial dan terpenuhinya hak‐hak dasar. Partisipasi Demand side ditumbuhkan melalui penguatan kelompok masyarakat sipil, baik yang di tingkat grass root (community based organization/CBO) dan tingkat kota (koalisi masyarakat sipil). Di tingkat akar rumput, penguatan dilakukan dengan melakukan re‐vitalisasi terhadap organisasi‐organisasi yang sudah eksis di tingkat masyarakat, baik yang didasarkan pada profesi (buruh, nelayan,petani,tukang becak, pedagang kaki lima, sopir angkot, guru honorer, perempuan pedagang sayur, kader Posyandu, dll), kelompok marginal (perempuan, penyandang cacat) maupun ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persis, Salimah, dan ormas Islam lainnya). Satu istilah yang digunakan untuk merangkai beragam organisasi ini adalah community center (CC). Community Center adalah wadah bagi warga di tingkat grass root untuk meningkatkan kapasitas terkait isu kebijakan dan pelayanan publik yang diarahkan menjadi kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingan anggotanya. Di tingkat kota, penguatan masyarakat sipil dilakukan dengan membangun koalisi masyarakat sipil yang diarahkan menjadi pressure groups yang terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. Koalisi di tingkat ini merupakan gabungan dari organisasi di tingkat grass root yang diperluas dengan menggandeng akademisi dan media. Intervensi disisi supply side dilakukan dengan mendorong pemerintah daerah dan DPRD menyusun kebijakan, penganggaran dan pelayanan publik secara partisipatif. Intervensi dilakukan dengan mendorong reformasi di tubuh pemerintahan dengan mengubah paradigma aparatur agar dapat merespons minat warga yang ingin terlibat. Transparansi Transparansi merupakan prasyarat bagi warga untuk berpartisipasi karena dengan tersedianya informasi kegiatan‐kegiatan pembangunan yang dilaksanakan bisa menjadi motivasi bagi warga untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan. Meski demikian, transparansi memiliki tantangan berat karena belum tumbuhnya demand side dan supply side yang tidak terlepas dari warisan era Orde Baru. Belum tumbuhnya supply side terlihat dari masih kentalnya paradigma dokumen‐ dokumen tentang kebijakan dan anggaran adalah rahasia negara dan bukan dokumen publik sementara belum tumbuhnya demand side terlihat masih minimnya warga yang proaktif mencari informasi. Padahal ketika didiskusikan dengan warga dalam Community Center, kebutuhan akan informasi publik cukup besar namun warga tidak tahu harus mencari kemana dan enggan melakukannya karena ‘stigma’ bahwa mendapatkan informasi publik akan membutuhkan waktu dan tenaga karena panjangnya birokrasi yang akan dilalui dan potensi akan di‐ ping‐pong. karena birokrasdan siperlu menumbuhkan dari dua sisi, baik demand side maupun supply side.
4
Kehadiran UU No 18/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan amunisi baru bagi masyarakat sipil untuk menumbuhkan demand side. Meski baru akan diimplementasikan pada tahun 2010, namun kehadiran UU Elemen kunci yang penting dalam mendorong demand side adalah insentif bagi warga untuk mau proaktif mendapatkan informasi publik. Premis yang digunakan, insentif bagi warga terkait informasi publik adalah kemanfaatan informasi publik bagi warga. Oleh karena itu, intervensi terhadap demand side dilakukan dengan memberdayakan Community Center sebagai sarana bagi warga untuk mengidentifikasi jenis informasi publik yang dibutuhkan warga dan sekaligus menjadi sarana belajar bersama‐sama untuk mendapatkan informasi tersebut kepada badan publik terkait. Di sisi supply side, intervensi dilakukan untuk menyiapkan badan publik dalam memberikan pelayanan informasi publik kepada warga, baik dari sisi paradigma, mekanisme pelayanan maupun substansi dari informasi publik. Dua Substansi Utama: Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Inklusi Gender dan Sosial Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak EKOSOB (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dengan demikian, negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) Hak‐hak EKOSOB warganya. Saat ini sudah 143 negara yang meratifikasi ICESCR, termasuk Indonesia. Dengan demikian, negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) Hak‐hak EKOSOB warganya. Hak‐hak warga negara yang menjadi kewajiban negara mencakup: (1) hak atas pekerjaan; (2) hak mendapatkan program pelatihan; (3) hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik; (4) hak membentuk serikat buruh; (5) hak menikmati jaminan sosial, termasuk asuransi sosial; (6) hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan; (7)hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, pakaian, dan perumahan; (8) hak terbebas dari kelaparan; (9) hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi; (10) hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma‐cuma; (11)hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya. Cita‐cita PATTIRO adalah terpenuhinya hak‐hak dasar warga tanpa ada diskriminasi sebagai wujud dari keadilan sosial. Faktor‐faktor penyebab diskriminasi dapat berupa gender (relasi laki‐laki dan perempuan), umur (balita,
5
remaja, dewasa, lansia), ras (masyarakat adat), etnis (Jawa, Batak, Bugis, dll), agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan), status ekonomi (kaya‐ miskin), lokasi geografis (desa‐kota), maupun kemampuan yang berbeda (normal‐ cacat). Dari sejumlah faktor penyebab diskriminasi diatas, ada sejumlah faktor diskriminasi yang relevan dengan situasi di Indonesia, diantaranya adalah gender, status ekonomi, lokasi geografis dan kemampuan yang berbeda dan di faktor‐ faktor inilah PATTIRO memfokuskan intervensi dalam semua program yang dilakukan. Dari semua faktor, gender menjadi faktor yang penting karena semua faktor beririsan dengan faktor gender. Fakta bahwa faktor‐faktor penyebab ketimpangan bisa muncul bersamaan akan mengakibatkan terjadinya multi ketimpangan pada perempuan yang disebabkan oleh diskriminasi berlapis. Misalnya, multi ketimpangan dialami pada perempuan pedesaan yang cacat dan berusia lanjut. Pemahaman atas multi ketimpangan ini penting untuk memahami siapa sebenarnya yang paling membutuhkan pertolongan Untuk itu ketimpangan karena faktor gender harus selalu dilihat dan diperhatikan jika masalah ingin jika masalah diselesaikan secara efektif. Sedangkan gender merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial dari perempuan dan laki‐laki, perilaku dan karakteristik sosial yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki‐laki dan gagasan mengenai bagaimana berbagai macam aktivitas dinilai dan dihargai. Gender merujuk pada relasi antara laki‐laki dan perempuan dan sanksi sosial yang diterima terkait peran dari masing‐masing jenis kelamin tadi. Peran‐peran gender, baik untuk perempuan dan laki‐laki dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe: reproduksi (domestik/keluarga), produksi dan peran dalam masyarakat (community): Reproduksi Produksi Masyarakat Perempu Peran Sering kali diasumsikan tidak Pengelolaan masyarakat an utama: ada atau hanya sebagai layanan sukarela ‐ Ibu penghasil/pencari uang (perluasan dari peran ‐ Istri tambahan reproduksi, sering kali informal dan biasanya tidak dibayar) Laki‐laki Ayah Peran utama: ‐ Kepemimpinan Pencari nafkah ‐ Politik ‐Pertahanan (sering kali bersifat formal dan dibayar) Dari peran gender perempuan dan laki‐laki satu peran yang perlu dicermati adalah peran reproduksi perempuan yang sering pula disebut dengan istilah ekonomi pemeliharaan rumah tangga (care economy). Ekonomi pemeliharaan rumah tangga (care economy) adalah istilah untuk menggambarkan pekerjaan perempuan yang
6
merupakan beban peran gendernya, di ranah reproduksi, produksi dan masyarakat. Sifat pekerjaan perempuan ini umumnya sukarela, informal dan tidak dibayar (unpaid care work). Ekonomi pemeliharaan rumah tangga saat ini nyaris tidak dihitung sebagai produk domestik bruto, kecuali di beberapa negara seperti Kanada. Kegiatan ekonomi pemeliharaan rumah tangga dalam pandangan ekonomi tradisional bersifat abstrak dan sulit diukur dibanding produksi perusahaan manufaktur. Tetapi menurut pakar gender budget, Debbie Budlender,2 kegiatan perempuan dalam konteks pemeliharaan rumah tangga pada dasarnya merupakan pekerjaan dan produktif. Artinya kegiatan seperti memasak, merawat orangtua, mengasuh anak adalah kegiatan yang secara teori dapat dikerjakan orang lain atas perintah dan upah. Latar belakang pekerjaan pemeliharaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak dibayar dan diperhitungkan ada dua hal. Pertama, karena anggapan bahwa fungsi utama perempuan adalah reproduksi dan domestik. Dalam ranah ini, umumnya perempuan pelaku ekonomi pemeliharaan rumah tangga dinilai kurang pendidikan, keterampilan, aset tanah, aset produktif dan waktu untuk kerja produksi (yang diupah). Kedua, pekerjaan dan sektor‐sektor yang didominasi perempuan, gajinya lebih rendah. Pun di Indonesia, karena tidak bernilai ekonomi, maka masyarakat dan pemerintah tidak memberikan penghargaan yang semestinya untuk ekonomi pemeliharaan rumah tangga. Tidak heran jika perempuan yang berkiprah sebagai ibu rumah tangga kurang memiliki kebanggaan sama sekali atas pekerjaannya. Padahal ekonomi pemeliharaan rumah tangga berkontribusi besar dalam proses keberlanjutan suatu bangsa. Fakta tentang pekerjaan yang tidak dibayar memunculkan masalah‐masalah, seperti subordinasi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Maka, untuk memperbaiki keterpurukan perempuan akibat subordinasi, marjinalisasi dan diskriminasi, perlu gerakan bersama memajukan dan memperkuat posisi perempuan setara dengan laki‐laki. Dimulai dengan pengakuan dan penghargaan atas ekonomi pemeliharaan rumah tangga yang dipikul perempuan. Kemudian mengurangi beban perempuan dan mengalihkan sebagian beban kepada laki‐laki atau suami, masyarakat dan pemerintah. Mengurangi beban perempuan
2
Presentasi Debbie Budlender, dalam Advanced Workshop on Gender Responsive Budgeting, 14‐15 Januari 2008, di Bandung.
7
merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan praktis gender3 menuju pemenuhan kepentingan strategis gender4. Tiga Area Utama Intervensi: Kebijakan, Anggaran, Pelayanan Publik Kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang berkualitas merupakan tujuan utama dari desentralisasi di Indonesia. Salah satu faktor utama penyebab belum tercapainya tujuan tersebut adalah kaitan yang sangat lemah antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran karena sebenarnya kesejahteraan dan pelayanan publik yang berkualitas dampak dari kaitan yang bagus antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran. Untuk itu perlu dilakukan reformasi terhadap Public Expenditure Management (PEM) mencakup5: Fokus yang lebih besar pada performance (kinerja), hasil tercapai dengan pengeluaran yang ada. Ini adalah potensi untuk melibatkan seluruh stakeholder dalam melakukan reform penganggaran dan manajemen keuangan Hubungan yang memadai antara pembuatan kebijakan, perencanaan dan anggaran, sebagai sesuatu yang mendasar untuk perbaikan yang berkelanjutan dalam seluruh dimensi dari outcome anggaran Sistem pengelolaan keuangan dan akuntasi yang baik, sebagai salah satu dasar yang melandasi kapasitas pemerintah untuk mengalokasikan dan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien. Perhatian untuk mengaitkan antara penganggaran dan system manajemen keuangan dan layanan lainnya (sistem secara luas) dan proses dari pemerintah untuk pengambilan keputusan, untuk mengorganisasikan pemerintah, untuk managemen personalia. Menuju sistem penganggaran yang baik dimulai dengan memulai reformasi di tiga level dimana level satu merupakan pondasi bagi level dua dan level dua merupakan ponasi bagi level tiga. Ketiga level pentahapan dalam reformasi sistem penganggaran mencakup6: Level 1: disiplin fiskal agregat Level 2: alokasi sumber daya dan penggunaannya berdasarkan prioritas strategis (allocative efiiciency) Level 3: efisiensi dan efektivitas dari program dan pelayanan publik (operational efficiency) 3
Kebutuhan praktis gender (practical gender needs) merujuk pada kebutuhan dasar dalam rangka menjalankan peran gender perempuan. Kebutuhan dasar diperlukan oleh perempuan dan laki‐laki. Tetapi, karena perempuan sering ditempatkan pada posisi untuk merawat keluarga, mereka akan lebih diuntungkan ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi.Contohnya, penyediaan air, perawatan kesehatan, penyediaan pendapatan keluarga, perumahan dan pelayanan dasar, penyediaan makanan untuk keluarga
4 Kepentingan strategis gender (strategic gender interests) menjawab kebutuhan jangka panjang untuk mengubah peran gender perempuan dan laki‐laki untuk berbagi lebih setara, bertanggung jawab baik pekerjaan domestik dan reproduksi dan berbagi manfaat dari kegiatan ekonomi. Contoh: 5 The World Bank, Public Expenditure Management, 1998, hal 3 6 Ibid, hal 2
8
Annual report tahun 2008 ini merupakan bentuk akuntabilitas PATTIRO kepada publik tentang aktivitas yang dilaksanakan sepanjang tahun 2008 dalam rangka akselerasi democratic governance dan civic engagement.Program‐program yang dilaksanakan pada tahun 2008 adalah : 1. Program NZ : Ecosoc Right Program 2. Program Ford : Pro Poor Policy Program 3. Program ARG: Woman Political Participation Program 4. Program TAP: PETS 5. Program UNFPA: Advokasi Anggaran Responsif Gender 6. Program PBET 7. Program RWI dan LGI: Better Public Service 8. Program TIFA: Procurement Research 9. Program Partnership: Voice of The Poor 10. Program HIVOS: Hak Warga atas Informasi Publik
9
II. PATTIRO: SEKILAS ORGANISASI
SIAPA KAMI PATTIRO adalah organisasi non‐pemerintah yang mendorong perwujudan good governance dan partisipasi publik di Indonesia, khususnya pada level lokal. Kami percaya partisipasi publik terhadap setiap proses pemerintahan akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik. Karena, adalah hak publik untuk mendapatkan pelayanan publik dalam hal kesehatan dan pendidikan dasar. Adalah hak publik untuk mengetahui informasi mengenai kebijakan publik yang terkait kehidupan langsung mereka. Dan adalah hak publik untuk turut serta mengawasi, merencanakan dan menetapkan kebijakan yang akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. BAGAIMANA KAMI BEKERJA PATTIRO bekerja berdasarkan prinsip transformasi sosial, akuntabilitas, transparansi, demokratisasi, dan kesetaraan. Kami bekerjasama dengan berbagai stakeholders dengan tujuan akhir kesejahteraan masyarakat. Kami menerapkan partisipasi agar kepentingan dari setiap pelaku pembangunan, khususnya kelompok masyarakat miskin terwakili dalam setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Kami berusaha mendorong peningkatan pelayanan publik, pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran, serta peningkatan kapasitas aparat penyelenggara pemerintahan, anggota legislatif, pers dan masyarakat. VISI dasar kami adalah mendorong terjadinya pemenuhan hak‐hak dasar warga, mewujudkan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan warga, mewujudkan keadilan sosial, serta menguatkan kemandirian ekonomi lokal. Sedangkan MISI kami adalah mewujudkan dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang baik melalui advokasi kebijakan publik. Dalam mencapai visi dan misi, kami selalu mengedepankan kerjasama dan sinergi positif dengan semua stakeholder, pengembangan inovasi pemecahan masalah sosial dan penguatan kemandirian masyarakat melalui optimalisasi potensi local. Dalam hal ini, kami berusaha menerapkan pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat pendekatan good governance (transparansi, partisipasi dan akunatibilitas). Kami bersama segenap stakeholders berusaha membangun dan mendorong penerapan model‐model tata pemerintahan yang terbuka dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya kelompok marjinal. Setiap aktivitas yang kami lakukan berdasar pada prinsip transformasi sosial, akuntabilitas, transparansi, orientasi pada hasil, demokratisasi, keterwakilan kepentingan semua kelompok, keterbukaan dan kesetaraan.
PEGIAT PATTIRO Dewan Yayasan
10
Ketua : Syahrir Wahab Sekretaris : Sad Dian Utomo Bendahara : Dini Mentari Anggota : Ilham Cendekia Srimarga dan Muhammad Subhan
PEGIAT JAKARTA Manajemen Direktur Eksekutif : Ilham Cendikia Srimarga Direktur Pengembangan Program: Dini Mentari Manajer Kantor: Endang Sri Mulyani Sekretaris Direktur: Alfan Rodhi Direktur Keuangan: Dilah Utami Cahyani Staf Keuangan: Kusumaatmadja, Nurhasanah, Suptiriani Manajer IT: Arie Prasetio Report Writer: Adi Nugroho Asisten Kantor: Anto, Kartim Program Senior Program Manager: Maya Rostanty, Chitra Hariyadi Program Manajer: Budi Raharjo, Fitria Muslih, Muhammad Subhan, Mimin Rukmini, Rohidin Sudarno Program Officer: Amin Sudarsono, Agus Salim, Lukman Hakim, Maryati, Yusriani Manurung
Mengubah Paradigma Menuju Citizenship: Sejarah PATTIRO PATTIRO dibentuk untuk mewadahi harapan terhadap lahirnya tatanan masyarakat yang demokratis. Seiring dengan terjadinya perubahan situasi sosial dan politik yang dibawa oleh Reformasi 1998 dan penerapan otonomi daerah tahun 1999, bangkit pula harapan orang Indonesia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Istilah “kehidupan yang lebih baik” tidak sekedar dalam arti tercukupinya kebutuhan fisik primer semata, tetapi juga diakuinya martabat semua orang untuk turut serta dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Banyak orang dari kalangan rakyat biasa ingin berperan aktif dalam membangun negeri ini. Mereka melihat kegagalan pendekatan pembangunan yang dijalankan dengan adanya pemerintahan yang lemah dan korup serta rapuhnya fondasi ekonomi dan kultur sosial masyarakat. Maka banyak pihak yang kemudian berharap terbukanya pintu‐pintu partisipasi publik yang memungkinkan semua orang untuk berdiri sejajar menentukan arah perjalanan bangsa ini. Keyakinan bahwa warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam penentuan kebijakan dan hal‐hal yang menyangkut kehidupan mereka semakin membuka peluang tersebut. Pandangan yang melihat warga sebagai penerima manfaat semata mulai berubah menjadi warga sebagai
11
rekan aktif. Di ranah inilah PATTIRO bekerja. PATTIRO atau Pusat Telaah dan Informasi Regional ini resmi berdiri di tahun 1999 menjadi lembaga yang bertujuan untuk membuka akses bagi partisipasi publik. PATTIRO ingin terlibat aktif memberi kontribusi untuk tercapainya harapan itu. Pada masa‐masa di mana harapan terhadap partisipasi publik itu begitu kuat lah Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) memulai perjalanannya. Dengan semangat reformasi, tahun 2000 menjadi langkah awal gerak PATTIRO. Berangkat dari sebuah proposal yang berjudul Pilot Projects to Strengthen Village and Sub District Institution yang kemudian ditanggapi positif oleh sebuah lembaga donor, PATTIRO pun mulai bergiat dengan semangat mendukung otonomi daerah. Proposal ini menjadi proyek awal PATTIRO dan bertahan hingga tahun 2005. Program Pilot Projects to Strengthen Village and Sub District Institution yang awalnya hanya berdurasi satu tahun berlanjut hingga tahun ketiga. Program ini juga yang kemudian mengawali berdirinya PATTIRO‐PATTIRO daerah yakni PATTIRO Jakarta (pusat), PATTIRO Fasilitator Daerah Jawa Barat (saat itu belum ada Propinsi Banten (Bandung, Serang, Tangerang), PATTIRO Fasilitator Jawa Tengah (Semarang, Solo, Pekalongan) dan PATTIRO Fasilitator Jawa Timur (Surabaya, Malang dan Gresik). Sedikit demi sedikit, seiring bertambahnya pegiat, visi dan fungsi PATTIRO sebagai lembaga mulai diarahkan sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Menjelang tahun 2004 kegiatan PATTIRO semakin melebar. PATTIRO ikut serta dalam program perluasan Kesetaraan Gender di Indonesia dan menjadi partner dalam program‐program Responsif Gender dan CSIAP. Seiring waktu, PATTIRO berhasil menempatkan diri menjadi leader dalam isu Kesetaraan Gender dan tata kelola pemerintahan lokal yang baik. Pertambahan program ini juga berefek positif pada penambahan sumber daya manusia di PATTIRO. Menjelang Pemilu 2004, yang merupakan pemilu langsung pertama, PATTIRO ikut turun memfasilitasi warga dampingan menemukan solusi atas masalah yang mereka alami. Isu yang menjadi perhatian adalah partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik daerah (peraturan daerah), partisipasi perempuan dalam penganggaran daerah, isu pelayanan publik untuk konsumen miskin, isu ruang partisipasi dalam proses legislasi, dan isu penguatan hak politik perempuan dalam Pemilu 2004. Tahun 2004 bukan hanya menjadi momen bersejarah bagi bangsa secara umum karena diadakannya pemilu langsung pertamakalinya, tapi juga bagi PATTIRO. Di tahun yang sama, PATTIRO pertamakalinya mengadakan pemilu lembaga untuk memilih direktur eksekutif. Hasil voting yang keluar ternyata memenangkan Ilham Cendekia Srimarga untuk menduduki posisi Direktur Eksekutif PATTIRO. Tahun berikutnya, PATTIRO menginisiasi program baru yang dinamakan Mekanisme Komplain terhadap pelayanan publik, bekerjasama dengan AUSAID. Program ini mendapatkan sambutan yang baik dari AUSAID dan dilanjutkan melalui ACCESS‐ Bali, yang membuka jalan bagi PATTIRO untuk bergiat di daerah selain jaringan
12
yakni Lombok Barat, Bantaeng dan Jeneponto. Program inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya PATTIRO Jeneponto. Perubahan‐demi perubahan terus mendera PATTIRO. Datangnya relawan‐relawan asing memberikan warna dan tantangan baru (terutama dalam menggunakan bahasa Inggris), walau sempat membuat PATTIRO tergagap‐gagap akibat perbedaan budaya dan kebiasaan. PATTIRO juga menginisiasi kerjasama dengan berbagai lembaga donor baru serta bekerja di program yang sama sekali berbeda dengan area program yang pernah dijalankan PATTIRO seperti program Blok Cepu. Tahun 2008 PATTIRO membuka kerjasama dengan RWI dan LGI dalam proyek tata kelola pemanfaatan pendapatan migas bagi peningkatan kehidupan warga di Blora dan Bojonegoro. PATTIRO juga menginisiasi kerjasama dengan Brooking Institute dalam program akuntabilitas pendidikan. Kedua funding baru tersebut menambah daftar lembaga donor yang selama ini telah bekerjasama dengan PATTIRO yakni Ford Foundation, Uni Eropa, HIVOS, NDI, Partnership, Access (program Mekkom di lima kota), Acils, UNDP, UNFPA, Tifa Foundation, The Asia Foundation, Shamdana, NZAID, Brooking Institute, RWI, LGI, IBP, dan lainnya. Kini setelah sebelas tahun bergiat demi demokrasi dan kesejahteraan Indonesia, PATTIRO telah berkembang semakin besar dengan jaringan PATTIRO RAYA yang tersebar di 12 daerah dan kabupaten di Indonesia, yang menjadikan PATTIRO sebagai salah satu lembaga di Indonesia yang mampu menjangkau masyarakat di daerah secara komprehensif. Jaringan PATTIRO daerah
PATTIRO RAYA
Sebelas tahun berkarya untuk Indonesia, jaringan kerja kami telah meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Kami menyebutnya PATTIRO RAYA. PATTIRO RAYA adalah jaringan antara organisasi‐organisasi PATTIRO yang ada di tingkat daerah. Mulai dari Serang, Bandung, Pekalongan, Banten, Tangerang, Solo, Semarang, Jeneponto, Magelang, Gresik, Kendal, Blora, Bojonegoro. Seriring waktu, PATTIRO‐ PATTIRO daerah ini semakin berkembang dan menjadi entitas independen yang mampu berkarya secara mandiri untuk kemajuan dan perkembangan di Indonesia. PATTIRO Banten Sekretariat: Jl Husni Kodir Rt 06/04 Lingkungan Pabuaran Kelurahan Unyur.(Depan SD Al‐Izzah) Kecamatan Serang Kota Serang, Banten E‐mail:
[email protected] Contact Person: Agus Salim 081 7657 1070 PATTIRO Tangerang
13
Sekretariat PATTIRO Tangerang: Jl. Eksekusi IV No. 16 Komplek Kehakiman Sukasari ‐ Kota Tangerang 15118 Tlp : 5537177 E‐mail :
[email protected] Contact Person : Direktur Agus Dadan PATTIRO Serang Sekretariat: Komplek Griya Gemilang Sakti Blok D 2 No 5 RT 02/5 B Kelurahan Sumur Pecung Kecamatan Serang Kota Serang ‐ Banten Email:
[email protected] Phone: (0254) 202121 atau 0818771215 Direktur: Patchurrahman PATTIRO Semarang Sekretariat: Jln. Wonodri Joho I No.986G Wonodri Kota Semarang 50242 Phone/Fax: 024 – 8441357 E –Mail:
[email protected] Contact Person: Direktur Hendrik Rosdinar Program Dept. Manager: Iskandar Saharudin PATTIRO Magelang Sekretariat: Ngentak II RT 01 RW 4 Kelurahan Sawitan Mungkid Magelang 56511 Tlp : 0293 ‐ 789706; 5800909 Fax: 0293 ‐ 789706 Email:
[email protected] Direktur : Ermy Sri Ardhyanti PATTIRO Solo Sekretariat: Jl. Sodipan RT 08/V Pajang, Lawean Surakarta, 57146 Tlp/Fax: (0271) 7651970. Email:
[email protected] PATTIRO Kendal‐Sekolah Rakyat Sekretariat: Jalan Raya Barat No 17, RT 03 RW 03 Desa/Kecamatan Limbangan
14
Kendal 51383 Tlp: 024 70517749 Contact person: Widi Heriyanto: 08132691357 Arifin Al Indandit: 081326942797 PATTIRO Gresik Sekretariat: Jl.Jamrud X No.18 Pondok Permata Suci Gresik 61152 Tlp: 62 31 711 198 58 Website: http://www.gresik.PATTIRO.org E‐mail:
[email protected] PATTIRO Pekalongan Sekretariat: Jl. Parang Garudo III No. 1 Perum Medono Indah Pekalongan, Jateng Tlp: (0285) 4415868, 7910277 Email:
[email protected] Direktur: Sugiharto PATTIRO Jeneponto Sekretariat: Jl. Pahlawan No.2 Jeneponto Phone: 0419 21671 Email:
[email protected] Direktur Edwin Sutte
15
III. LANGKAH‐LANGKAH PATTIRO DI 2008
III.1 Pelayanan Publik dan Hak Warga
Diratifikasinya kovenan ekosob akhir 2005 lalu semakin mendorong PATTIRO untuk melakukan kerja‐kerja untuk mengubah paradigma dalam sistem pelayanan publik di Indonesia, terutama dalam membuka akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang sesungguhnya menajdi hak mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia. Paradigma yang selama ini berjalan dalam sistem pelayanan publik di Indonesia bahwa pelayanan publik merupakan kebaikan negara atau bahkan menjadi sebuah komoditas dimana warga harus mengeluarkan uang untuk memperoleh pelayanan publik yang memadai harus segera diubah. Pelayanan publik bukanlah kebaikan maupun amal dari negara, buka pula sebuah komoditas yang halal diperjualbelikan menurut hukum pasar. Pelayanan publik terutama pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan haruslah dapat diakses oleh seluruh warga negara, terutama kelompok miskin/marjinal karena hal tersebut adalah hak mereka. Dalam menjalankan misi mengubah paradigma ini, kami memotret sistem pelayanan publik di dua kota yakni Kota Solo dan Jeneponto bekerjasama dengan New Zealand Aid. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah menganalisa dan memotret bagaimana pelayanan publik di sektor pendidikan dan kesehatan dilihat dari kacamata ecosoc. Kami melakukan riset di dua kota tersebut untuk mendalami pemahaman kovenan ecosoc sebagai sebuah cara pandang dimana hal ini merupakan hal yang masih baru bagi kebanyakan pihak di Indonesia, terutama penyelenggara pelayanan publik. Karena walau wacana ecosoc banyak berkembang, upaya‐upaya untuk mengkonstruksi ecosoc sebagai alat analisa masih sangat kurang. Kami melakukan kostruksi tersebut dan merumuskan tiga prinsip besar ecosoc yakni non‐diskriminasi, realisasi progresif dan citizenship. Non‐diskriminasi berarti pelayanan pendidikan dan eksehatan yang mendasar dapat harus dapat dinikmati oleh segala lapisan warga tanpa kecuali, termasuk warga miskin dan marjinal. Pemerintah sebaagi penyelenggaran pemerintahan yang memroses segala sumber daya untuk kemudian dimanfaatkan harus memastikan dan merealisasikan seluruh sumber daya yang diolah digunakan secara progresif untuk kebutuhan masyarakat. Dan masyarakat tanpa kecuali dapat mengakses segala hasil olahan sumber daya tersebut dengan menyadari sepenuhnya bahwa pelayanan dasar merupakan hak warga negara sepenuhnya (citizenship). Ecosoc sebagai pisau analisa digunakan untuk memotret bagaimana sistem pelayanan publik di Solo dan Jeneponto di sektor pendidikan dan kesehatan. Hasil analisa ini kemudian diturunkan dalam bentuk pelatihan, modul pelatihan dan rekomendasi kebijakan di dua lokasi tersebut untuk memperkuat pemerintah dan penyelenggara pelayanan kesehatan dan pendidikan agar lebih progresif dalam menangani hak‐hak warga khususnya warga miskin.
16
Hasil yang kami capai dari kegiatan ini cukup menggembirakan. Di Jeneponto, perubahan yang berhasil dicapai adalah melalui kebijakan dalam bentuk perda pendidikan dan penambahan alokasi anggaran untuk pendidikan dasar gratis serta standar pelayanan pendidikan. Di Solo, kami melakukan advokasi dalam upaya meningkatkan aloaksi anggaran untuk posyandu standar pelayana minimum (SPM) kesehatan dan standar pelayanan kesehatan. Sedangkan di luar dua daerah tadi PATTIRO juga menghasilkan laporan alternatif pemenuhan hak dasar di Indonesia dalam konteks tiga tahun pasca ratifikasi kovenan ecosoc. Laporan ini memotret perubahan‐perubahan secara mendasar atau masalah‐masalah yang ada selama tiga tahun pasca ratfikasi kovenan ecosoc, khususnya di bidang hak pendidikan, kesehatan, pemenuhan pangan serta ekonomi atau lapangan pekerjaan. Program Penangulangan Kemiskinan Kemiskinan terjadi karena berbagai faktor, salah satu faktor dominan dari kemiskinan adalah kesalahan dalam kebijakan publik. Kebijakan publik yang salah dapat menyebabkan terjadinya pemiskinan bagi kelompok masyarakat rentan terutama kelompok miskin. Kebijakan publik yang tidak tepat baik dari sisi formulasi ataupun implementasinya, akan menyebabkan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan tidak jalan. Pemerintah telah mengeluarkan beraneka program penganggulangan kemiskinan dengan alokasi anggaran yang juga tidak sedikit. Namun implikasi program‐program tersebut terhadap masyarakat miskin di Indonesia hingga kini masih tidak terlihat, tidak tepat sasaran atau tidak berkesinambungan. PATTIRO melihat hal tersebut disebabkan oleh kurang tepatnya formulasi strategi dan kebijakan sosial serta tidak efektifnya impelementasi sistem yang dijalankan oleh pemerintah. Program pemerintah dapat berjalan efektif jika pemerintah memiliki sistem pengambilan kebijakan dan implementasi yang handal dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan mendorong sistem agar dapat berjalan. Maka bekerjasama dengan Forf Foundation, PATTIRO melakukan program penanggulangan kemiskinan. Kami melakukan analisa strategi pengentasan kemiskinan di beberapa daerah, termasuk didalamnya analisa terhadap pelayanan publik esensial seperti pelayanan kesehatan untuk melihat seberapa efektif daerah membuat strategi penanggulangan kemiskinan. Kami menggunakan participatory poverty assessment dan poverty and social impact analysis dari kebijakan publik yang terkait pelayanan publik di sektor kesehatan, pendidikan dan pertanian serta perburuhan di Pekalongan dan Magelang. Inti dari kegiatan yang kami lakukan ini adalah bagaimana memperkuat kebijakan publik untuk menghadirkan pelayanan publik yang memadai khususnya bagi orang miskin berbasis hak mereka sebagai warga negara. Program yang kami sebut Meningkatkan Partisipasi Kelompok Miskin dan Marjinal dalam Perencanaan dan Penganggaran untuk Program Pengentasan Kemiskinan di Kota Magelang dan Pekalongan ini memiliki dua fokus yakni kebijakan perencanaan dan penganggaran partispatif serta penguatan TKPD dan
17
kelompok sektoral dalam melakukan sinkronisasi, kordinasi dan monitoring terhadap program‐program pengentasan kemiskinan. Dalam fokus yang pertama, kegiatan yang dilakukan adalah melakukan sinkronisasi sistem penganggaran yang tadinya bersifat top‐down (dari SKPD/TKPKD) menuju sistem bottom‐up (melalui musrenbang). Disini kami melakukan evaluasi terhadap kebijakan untuk memetakan masalah dan mencari rekomendasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan yang telah ada maupun untuk menghasilkan kebijakan baru. Kemudian kami melakukan peningkatan kapasitas terhadap stakeholders terkait dalam mekanisme perencanaan serta rekomendasi untuk solusi. Dalam meningkatkan partisipasi kelompok miskin dan marjinal dalam program‐ program pengetasan kemiskinan, langkah pertama yang kami lakukan adalah identifikasi kelompok miskin dan marjinal. Kami kemudian melibatkan diri dalam evaluasi kebijakan anggaran menggunakan Public Expenditure Analysis (PEA) untuk sektor kesehatan dan pendidikan, serta review anggaran pro rakyat miskin dan analisis devolusi fiskal. Kami juga melakukan FGD dan diskusi tematik serta workshop dalam proses penganggaran. Langkah yang terakhir adalah melakukan penguatan instutusi serta kapasitas kelompok target. Salah satu kelompok sasaran adalah warga cacat yang seringkali tidak terabaikan kesejahteraannya. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya data akurat mengenai warga cacat di Magelang dan Pekalongan sehingga program‐program pengetasan kemiskinan yang dijalankan jarang atau bahkan gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Setelah menjalankan program ini, kami berhasil meningkatkan jumlah partisipasi kelompok miskin dan marjinal yang terlibat dalam advokasi anggaran pro rakyat miskin. TKPKD juga berkomitmen untuk mensinkronisasikan usaha pengentasan kemiskinan melalui mekanisme Musrenbang. Selain itu, semakin banyak rekomendasi dari hasil analisis yang dilakukan yang kemudian disertakan ke dalam kebijakan daerah untuk pengetasan kemiskinan seperti Perbub Pedidikan Gratis dan asuransi kesehatan di Kota Magelang, serta dibentuknya Panduan Operasional untuk Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera di Kota Pekalongan untuk tahun 2009. Hasil lainnya adalah program yang diajukan oleh kelompok dampingan PATTIRO mendapat perhatian dan bahkan alokasi dana untuk implementasi kegiatan seperti kelompok buruh yang mendapat alokasi dana untuk pelatihan mekanik, kelompok warga cacat yang mendapat dukungan dalam pelathan motivasi serta menjahit, buruh batik di Pekalongan yang mendapat bantuan modal untuk operasional koperasi batik "Serba Pas". Selain itu kami juga melakukan proses dalam bidang teknologi informasi yakni dengan mengembangkan perangkat lunak Informasi Perencanaan dan Penganggaran Daerah.
III.2 Inklusi Gender dan Sosial
18
Keadilan sosial adalah keadaan masyarakat tanpa diskriminasi. Ketimpangan berawal dari diskriminasi. Diskriminasi adalah pembedaan antara manusia yang disebabkan oleh gender (relasi laki‐laki dan perempuan), umur (balita, remaja, dewasa, lansia), ras (masyarakat adat), etnis (Jawa, Batak, Bugis, dll), agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan), status ekonomi (kaya‐miskin), lokasi geografis (desa‐kota), maupun kemampuan yang berbeda (normal‐cacat). Dari sejumlah faktor penyebab diskriminasi diatas, ada sejumlah faktor diskriminasi yang relevan dengan situasi di Indonesia, diantaranya adalah gender, status ekonomi, lokasi geografis dan kemampuan yang berbeda dan di faktor‐ faktor inilah PATTIRO memfokuskan intervensi dalam semua program yang dilakukan. Inklusi gender dan sosial dilakukan baik dalam proses maupun substansi dalam bentuk peran aktif kelompok perempuan dan marginal lainnya dalam memperjuangkan terakomodasinya aspirasi dan kebutuhan mereka dalam kebijakan dan anggaran daerah. Upaya untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan kelompok perempuan dan kelompok marginal lainnya dapat dilihat dalam Program Partisipasi Politik Perempuan dalam Kebijakan Publik (yang didukung oleh The Asia Foundation‐ Royal Netherland Embassy di 4 Kabupaten: Pekalongan, Semarang, Boyolali dan Kendal), Program Advokasi Anggaran Responsif Gender (didukung oleh UNFPA yang dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat), Program Pemenuhan Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (didukung oleh New Zealand Aid di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah), dan Program Participatory Budgeting and Expenditure Tracking (PBET). Dalam Program Partisipasi Politik Perempuan, intervensi yang dilakukan adalah membangun kekuatan dan kapasitas kelompok perempuan, baik pada level desa maupun kabupaten untuk melakukan advokasi kebijakan publik, khususnya advokasi anggaran daerah. Oleh karena itu, telah terbentuk forum peduli perempuan yang beranggotakan tidak hanya organisasi perempuan, namun juga organisasi lainnya maupun individu (baik laki‐laki maupun perempuan) yang peduli dengan isu kesetaraan gender. Di Pekalongan, forum peduli perempuan bernama Forum Gender Kota Santri, di Boyolali bernama Jaker ARG, di Kendal bernama PAKAR dan di Semarang bernama Jaringan Basis untuk Advokasi Anggaran Responsif Gender. Di Tasikmalaya, isu yang advokasikan adalah kasus gizi buruk, yang mencerminkan marginalnya kelompok balita dalam proses penentuan alokasi anggaran daerah yang dibuktikan dengan minimnya anggaran untuk gizi buruk. Dampak dari hal ini adalah meningkatnya beban ganda/berganda kelompok perempuan yang diakibatkan peran kultural untuk mengasuh dan merawat anak. Upaya untuk mengatasi gizi buruk merupakan upaya untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok balita dan sekaligus upaya pemenuhan kebutuhan praktis gender. (lihat Boks 1: 600 anak terkena gizi buruk)
19
Advokasi Isu kesehatan balita dan lansia juga dilakukan di Surakarta dengan memfasilitasi FKKP (Forum Komunikasi Kader Posyandu) untuk melakukan advokasi anggaran posyandu balita dan lansia. Problem yang selama ini dialami para kader Posyansdu adalah sering ‘nombok’ untuk menutupi biaya operasional Posyandu karena tuntutan untuk menyajikan makanan tambahan berkualitas yang disebut dengan Menu B2SA (bergizi, beragam, seimbang dan aman) sementara alokasi anggaran dari Pemda sangat minim (anggaran tahun 2007 hanya Rp 900.000/posyandu/tahun). Padahal partisipasi kader Posyandu (100% perempuan karena Posyandu menjadi bagian dari kegiatan PKK) merupakan bentuk peran perempuan di tingkat komunitas yang bersifat unpaid care work. Minimnya alokasi anggaran yang berakibat sering ‘nombok’ menjadikan beban perempuan semakin bertambah karena disamping menyumbangkan tenaga dan pikirannya, mereka juga harus menyumbang dalam bentuk dana. Disamping itu, minimnya alokasi anggaran posyandu balita dan lansia menunjukkan marginalnya kelompok balita dan lansia dalam penentuan alokasi anggaran daerah. Oleh karena itu, upaya advokasi anggaran posyandu balita dan lansia dapat dilihat dari tiga sisi. Dari sisi balita dan lansia, peningkatan alokasi anggaran posyandu merupakan bentuk nyata kepedulian pemerintah dalam mengakomodasi kebutuhan mereka sedangkan bagi perempuan, peningkatan alokasi anggaran posyandu merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap kontribusi perempuan dalam pembangunan sektor kesehatan dan penghargaan terhadap unpaid care work serta mengurangi beban perempuan. Di Magelang, pendampingan dilakukan terhadap PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia). Selama ini penyandang cacat adalah kelompok rentan yang termarginalkan dalam proses perencanaan pembangunan (Musrenbang) sehingga aspirasi dan kebutuhan mereka tidak terakomodasi dalam APBD. Penggalian aspirasi dan kebutuhan dilakukan kepada anggota PPCI yang selanjutnya difasilitasi untuk melakukan advokasi kepada para pengambil kebijakan. Salah satu strategi yang digunakan adalah dialog tri partit (PPCI, Dinas Sosial dan DPRD Komisi D yang membidangai Sosial dan Ketenagakerjaan). Upaya ini kemudian menuai hasil dengan diakomodasinya kebutuhan penyandang cacat dan komitmen dari Dinas Kesehatan untuk memberikan Askeskin kepada penyandang cacat (selengkapnya lihat di Boks) Boks 1: 600 ANAK PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN TASIKMALAYA Berdasarkan data tahun 2007, penderita gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 600 anak. Sementara angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Tasikmalaya terdapat 32 kasus. Analisis terhadap APBD Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan Pemda belum berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan di atas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan anggaran dalam APBD 2008, yaitu dalam alokasi anggaran untuk penanganan gizi buruk dan kematian ibu melahirkan.
20
Dalam APBD tahun 2008, anggaran untuk penanganan gizi buruk dengan nama program Perbaikan Gizi Masyarakat, hanya dialokasikan sebesar Rp. 119.000.000, yang terdiri atas tiga kegiatan: 3 Pemetaan Gizi Buruk sebesar Rp. 44.640.000 4 Pemberian makanan tambahan dan vitamin sebesar Rp. 38.022.000 5 Keluarga sadar gizi sebesar Rp. 36.338.000 Dari tiga kegiatan tersebut, kegiatan pemberian makanan tambahan merupakan kegiatan yang memiliki dampak secara langsung untuk penanganan gizi buruk, dengan total anggaran Rp. 38.022.000, dengan rincian belanja pegawainya sebesar 8.775.000 dan belanja barang dan jasa ( pemberian makanan tambahan) sebesar 29.247.000. Anggaran ini sangat tidak memadai jika dihitung dengan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 600 anak karena anggaran per anak hanya sebesar Rp. 48.745/anak. Menurut salah satu dokter yang bekerja di Puskesmas, minimal intervensi yang diperlukan untuk mengobati penderita gizi buruk dibutuhkan dana minimal Rp 1 juta. Alokasi ini sangat timpang jika dibandingkan dengan pos anggaran untuk kegiatan koordinasi dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintah lainnya yang dianggarakan sebesar Rp. 2.186. 340.000, artinya setiap bulan Bupati dan Wakilnya menghabiskan dana sebesar Rp. 182.195.000 hanya untuk sekedar melakukan koordinasi. Begitu pula dengan program Kesehatan Ibu dan Anak hanya dianggarkan sebesar 106.080.00 Apalagi program ini kegiatannya tidak secara langsung manfaatnya dapat dirasakan oleh Ibu Hamil terutama dari masyarakat miskin karena hanya berupa pendataan KIA sebesar Rp. 19.080.000 serta Kegiatan Monev dan Pelaporan sebesar 87.00.000. Minimnya anggaran tersebut belum sejalan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan upaya pencapaian MDG’s. Boks 2: Alokasi Posyandu Kota Surakarta Meningkat 100% Isu Posyandu merupakan salah satu isu penting untuk diadvokasi. Oleh karena itu PATTIRO Surakarta memfasilitasi inisiasi berdirinya FKKP (Forum Komunikasi Kader Posyandu) Kota Surakarta sejak tahun 2008, . Di kota Surakarta, Posyandu dibentuk di tingkat RW, dengan jumlah 591 Posyandu Balita dan 297 Posyandu Lansia dengan jumlah kader 23 orang untuk tiap‐tiap Posyandu. Melalui sejumlah pertemuan dengan Dinas Kesehatan dan para pengambil keputusan, upaya advokasi ini mulai menuai hasil pada APBD Perubahan 2008 yang dapat dilihat dalam grafik berikut ini.
21
2.000.000 1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000
Posyandu Balita
1.000.000 800.000
Posyandu Lansia
600.000 400.000 200.000 APBD 2007
APBD 2008
APBD P 2008
Dari grafik diatas terlihat bahwa anggaran Posyandu di APBD perubahan naik 100% dibandingkan dengan anggaran di APBD 2007. Di APBD perubahan, setiap Posyandu Balita mendapatkan dana operasional RP 1.200.000 ditambah Rp 600.000 khusus untuk pemberian makanan tambahan, sedangkan setiap Posyandu Lansia mendapatkan dana operasional sebesar Rp 900.000 ditambah Rp 540.000 khusus untuk pemberian makanan tambahan. Secara umum peruntukan dana operasional Posyandu Balita 10% untuk ATK dan transport kader, 75% untuk PMT, pemberantasan sarang nyamuk dan Penyuluhan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan 15% untuk capacity building. Sedangkan peruntukan dana operasional Posyandu Lansia adalah 10% untuk ATK, 75% untuk vitamin dan PMT dan 15% untuk refresh. Boks 3: Geliat PPCI di Kabupaten Magelang PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia) adalah salah satu kelompok sektoral yang difasilitasi oleh PATTIRO Magelang dalam Program PBET. Hasil need assessment menunjukkan adanya beberapa kebutuhan penyandang cacat, antara lain: 1. Askeskin bagi pernyandang cacat 2. Bantuan modal bagi penyandang cacat 3. Pelatihan berkala bagi penyandang cacat 4. Beasiswa bagi anak‐anak penyandang cacat Strategi utama yang dilakukan adalah menyelenggarakan dialog tri partit, mempertemuakn masyarakat, SKPD dan DPRD terkait. Pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2008 dengan peserta: 6 Kelompok Sektoral: PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), Sahabat perempuan dan Fatayat NU 7 SKPD: Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat 8 DPRD: anggota Komisi D yang membidangi sosial dan tenaga kerja Hasil dari pertemuan ini adalah diakomodasinya beberapa usulan kegiatan dalam APBD 2008, antara lain:
22
Bantuan modal untuk penyandang cacat dengan anggaran Rp 89.939.100 Pelayanan sosial dengan anggaran Rp 43.797.000 Pembinaan penyandang cacat dengan anggaran Rp 22.802.000 Selain advokasi usulan kegiatan di APBD, PPCI juga mengadvokasi isu kesehatan terkait dengan kuota Askeskin untuk penyandang cacat. Hasil advokasi adalah adanya komitmen Dinas Kesehatan untuk memberikan askeskin bagi penyandang cacat
III.3. Advokasi Anggaran Daerah: Menguatkan Partisipasi Masyarakat Beyond Musrenbang Anggaran daerah merupakan salah satu isu yang penting dalam proses desentralisasi. Secara umum, anggaran belum mencerminkan kepentingan publik dan cenderung lembih memenuhi kepentingan supply side. Hal ini tidak terlepas dengan belum kuatnya sisi demand, dalam bentuk masih minimnya partisipasi masyarakat di semua tahapan dalam siklus APBD. Ada tiga isu utama terkait sumber daya publik, yaitu kontrol atas sumber daya, alokasi sumber daya dan manajemen sumber daya. Pada prakteknya, ketiga isu utama ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komitmen politik dan kemampuan implementasi dari pemerintahan daerah Menguatkan kelompok masyarakat sipil merupakan agenda penting yang harus dilakukan untuk mendorong munculnya komitmen politik para pengambil keputusan agar APBD menjadi pro rakyat dengan cara terlibat aktif dalam setiap tahapan siklus APBD, mulai dari penyusunan, pembahasan & penatapan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban APBD. Dengan merujuk pada konsep governance dalam New Public Service, partisipasi warga yang dimaksud adalah keterlibatan aktif dalam semua tahapan dalam siklus APBD dan tidak terpaku hanya dalam satu tahapan saja. Sepanjang tahun 2008 adalah beberapa program yang terkait dengan advokasi anggaran daerah diarahkan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam memperjuangkan hak alokasi anggaran baik di tahap penyusunan (perencanaan dan penganggaran), pembahasan dan penetapan, tahap pelaksanaan maupun tahap pertanggungjawaban. Beberapa program yang dijalankan adalah:1) Participatory Budgeting and Expenditure Tracking (PBET) yang ddidukung oleh NDI‐World Bank; 2) Woman Political Participation on Local Public Policy Making yang didukung oleh The Asia Foundation‐Royal Netherlands Embassy; 3) Public Expenditure Tracking Survey (PETS) yang didukung oleh TAP; 4) Voice of The Poor; 5) Riset Pengadaan Barang dan Jasa Sektor Pendidikan dan Kesehatan yang didukung oleh Yayasan TIFA. Partisipasi dalam Tahap Penyusunan (Perencanaan dan Penganggaran)
23
Intervensi yang dilakukan pada tahap ini adalah mendorong partisipasi masyarakat, khususnya kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya yang selama ini termarginalkan dalam proses formal (musrenbang) untuk berani menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya kepada para pengambil keputusan dan mengawal usulan tersebut sampai ke tahap pembahasan dan pengawasan APBD untuk memastikan usulan diakomodasi dalam APBD. Di Kabupaten Boyolali, Kendal, Pekalongan dan Semarang need assessment untuk menggali kebutuhan dilakukan pada kelompok perempuan, sementara di Magelang need assessment dilakukan untuk kelompok penyandang cacat, kelompok buruh dan kelompok petani. Di kota Pekalongan pendampingan dilakukan terhadap kelompok nelayan, pengrajin batik. Pendampingan juga dilakukan di kota‐kota lainnya. Kelompok‐kelompok ini dimotivasi untuk ikut terlibat dalam musrenbang, namun pada saat yang sama juga aktif mengawal usulan yang telah disampaikan dalam forum musrenbang sampai ke tahap pembahasan dan penetapan APBD. Partisipasi dalam Tahap Pembahasan dan Penetapan APBD Intervensi yang dilakukan pada tahap ini adalah mendorong realokasi anggaran, yaitu memindahkan mis‐alokasi atau alokasi yang berpotensi pemborosan ke alokasi yang dibutuhkan berdasarkan prioritas strategis untuk kepentingan masyarakat. Strategi ini merupakan upaya mencapai level dua dari Public Expenditure Management (PEM), yaitu allocative efficiency dalam bentuk alokasi sumber daya berdasarkan prioritas strategis. Masyarakat sipil yang terlibat di tahapan ini adalah forum masyarakat sipil di tingkat kota/kabupaten yang terdiri dari berbagai organisasi, akademisi dan media. Untuk melakukan realokasi anggaran,analisis dilakukan terhadap RAPBD yang diajukan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kepada DPRD. Partisipasi dalam Tahap Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban APBD Partisipasi yang dilakukan di atahap ini merupakan bentuk monitoring dan evaluasi atas pelayanan publik yang disediakan oleh aparatur pemerintah. Ada tiga bentuk partisipasi yang dilakukan sepanjang tahun 2008, mencakup public monitoring, PETS, riset pengadaan barang dan jasa, User Based Survey (UBS) dan Citizen Report Card (CRC) Public Monitoring Public Monitoring (tracking) adalah pengawasan warga pada saat proyek APBD dikerjakan, dilakukan pada tahun 2007‐2008 di Lebak dan Magelang. Tujuan dari pengawasan ini adalah mencegah terjadinya penyimpangan dan mengupayakan proyek kembali berjalan sesuai rencana agar masyarakat tidak dirugikan. Pencegahan penyimpangan masih bisa dilakukan karena dilakukan pada saat proyek masih dilaksanakan dan belum selesai. Oleh karena itu, jika ditemukan indikasi penyimpangan maka temuan segera disampaikan ke dinas terkait untuk segera direspons. Jika indikasi penyimpangan ditemukan pada proyek yang dikerjakan oleh pihak ketiga (kontraktor) respons dapat dilakukan oleh pimpinan pelaksana kegiatan dengan memanggil kontraktor dan meminta kontraktor tersebut melakukan perbaikan secara langsung. Jika indikasi penyimpangan
24
ditemukan pada proyek yang dikerjakan sendiri oleh SKPD bersangkutan, maka kepala dinas dapat memanggil PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk mengklarifikasi temuan dan meminta PPTK melakukan perbaikan. Jika banyak ditemukan kontraktor yang bermasalah dalam mengerjakan proyek APBD, hal ini bisa menjadi rekomendasi perbaikan sistem procurement (pengadaan barang dan jasa) yang ada. Tahapan dalam melakukan public monitoring adalah sebagai berikut: Kegiatan tracking proyek APBD merupakan pengalaman baru, baik dari sisi masyarakat, pemerintah maupun kontraktor. Oleh karena itu capaian dari kegiatan ini dapat dilihat dari sisi kultural maupun pencegahan penyimpangan. Dari sisi kultural, kegiatan ini telah berhasil mendidik masyarakat bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Di sisi pemerintah, kegiatan ini telah berhasil meyakinkan mereka bahwa pengawasan masyarakat penting dan bermanfaat membantu mengawasi pekerjaan pelaksana teknis dan kontraktor. Hal yang sama juga terjadi di sisi kontraktor. Pengawasan dari masyarakat menjadikan mereka menjadi lebih berhati‐hati dalam mengerjakan proyek. Contoh kesuksesan public monitoring di Lebak dapat dilihat dalam Boks 1. User Based Survey (UBS) dan Citizen Report Card (CRC) CRC (Citizen Report Card) adalah salah satu metode partisipatif penilaian masyarakat terhadap pelayanan publik untuk mengetahui apakah layanan yang disediakan pemerintah sudah memenuhi harapan masyarakat atau belum. CRC bisa dilakukan pada skala makro di kabupaten dengan menilai berbagai jenis layanan dan bisa pula dilakukan pada skala mikro diunit layanan tertentu. CRC untuk unit layanan tertentu sering disebut dengan istilah lain, yaitu User Based Survey (UBS). CRC adalah metode penilaian masyarakat terhadap kinerja suatu lembaga pelayanan publik. Sedikit berbeda dengan UBS, CRC memberikan penilaian kepada beberapa jasa layanan publik sementara UBS hanya satu provider tertentu. CRC merupakan cara efektif untuk mengukur tingkat kepuasan klien atas layanan publik yang diterimanya. Cara ini akan lebih efektif jika responden diminta untuk membuat peringkat sejumlah penyedia layanan, sehingga dapat terjadi peringkat relatif. Filosofi CRC sendiri mencoba menyuarakan akumulasi suara warga kota terhadap berbagai pelayanan di kota. Jadi, yang disuarakan oleh CRC adalah citizen atau warga. Inisiatif menggunakan metode CRC untuk menyuarakan penilaian masyarakat terhadap kinerja lembaga pelayanan publik lahir untuk merespons permasalahan pelayanan publik yang ditandai lemahnya akuntabilitas penyelenggara pelayanan publik di satu sisi, dan lemahnya posisi tawar warga dalam pengelolaan pelayanan publik. Metode CRC merupakan metode yang mampu untuk mengubah masyarakat yang semula diam menjadi bersuara. Yang semula tidak paham menjadi masyarakat yang menganalisis dan berhitung. Yang semula reaktif dengan memberi respons sesaat, menjadi masyarakat yang melakukan aksi perbaikan layanan publik secara berkelanjutan. Intinya, CRC dianggap mampu mendorong peningkatan akuntabilitas pelayanan publik.
25
UBS adalah salah satu metode untuk meningkatkan partisipasi warga dalam monev layanan publik terhadap satu unit layanan tertentu. Artinya metode ini dilakukan hanya untuk satu jenis layanan tertentu, misalnya puskesmas. Oleh karenanya UBS merupakan metode yang murah karena fokus pada satu layanan tertentu. Filosofi UBS sendiri menyuarakan suara pengguna layanan, guna meminta pengelola layanan meningkatkan kinerja dengan mengatasi berbagai permasalahan yang tercermin dari keluhan pengguna layanan. Dalam konteks PBET, kedua metode UBS dan CRC dilaksanakan oleh kelompok masyarakat sipil sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik yang selanjutkan digunakan sebagai bekal amunisi dalam melakukan advokasi perbaikan pelayanan publik (Pengalaman melakukan UBS dan CRC dapat dilihat pada bagian Boks 2 dan 3). CRC juga dilakukan di Provinsi DKI Jakarta untuk sektor pendidikan dan kesehatan atas dukungan dari Partnership for Govervance Reform. Riset Pengadaan Barang dan Jasa (program yang didukung oleh Yayasan TIFA) ini dilakukan di Tangerang untuk sektor pendidikan dan kesehatan, sedangkan PETS (yang didukung oleh Brooking Institute) dilakukan di dua kabupaten, yaitu Serang dan Gresik. Boks 1: Penyimpangan kegiatan renovasi SMAN 1 Cimarga dapat dicegah Proyek APBD 2007 ini, mendapatkan alokasi anggaran Rp 99.000.000 untuk mengganti genteng lama dengan yang baru dan membuat selokan. Tracker, yaitu Mansori menemukan bahwa genteng yang dipasang adalah genteng bekas yang dicat baru, bukan genteng baru. Sedangkan pengerjaan selokan tidak dilakukan dan hanya ada pemberian semen, sehingga seakan‐akan selokan baru telah dibuat. Temuan ini segera dilaporkan kepada Dinas Pendidikan dan langsung ditindaklanjuti dengan menelepon pihak rekanan proyek untuk segera mengganti genteng dengan yang baru dan membangun selokan. Akhirnya pihak rekanan pun melakukan perbaikan. Boks 2: Pengalaman User Based Survei (UBS) di Kabupaten Magelang dan Lebak Di Kabupaten Lebak, UBS di lakukan oleh PAKAR dengan melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap jasa layanan Puskesmas. Survey dilakukan di 2 (dua) puskesmas, yaitu Puskesmas Cisalam Rangkas Bitung dan Puskesmas Bojong Manik. Survey dilakukan dengan jumlah responden untuk masing‐maing Puskesmas sebanyak 100 orang dengan masa survey 2 pekan. Semua proses tahapan UBS mulai dari penyusunan kuesioner sampai analisa hasil survey dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan beberapa stakeholder, yaitu masyarakat sebagai pengguna layanan puskesmas, DPRD, pihak Puskesmas, dan Dinas Kesehatan. Dari hasil survey tersebut ditemukan beberapa pengaduan masyarakat dalam pelayanan puskesmas, baik yang ada di Puskesmas Bojong Manik maupun Puskesmas Cisalam Rangkas Bitung. Pengaduan masyarakat tersebut antara lain : jumlah dokter dan bidan yang kurang, toilet untuk pasien kurang terawat bahkan di Puskesmas Bojong Manik tidak ada toilet untuk pasien, tidak ada nomor antrian, jumlah obat terbatas, dan jam pelayanan tidak sesuai aturan. Beberapa permasalahan tersebut kemudian langsung ditindak lanjuti oleh pihak Puskesmas, diantaranya : penyediaan
26
toilet bagi pasien, nomor antrian, papan informasi, dan kotak pengaduan/saran di Puskesmas Bojong Manik. Sedangkan di Puskesmas Cisalam ada penambahan 1 orang dokter, dan lingkungan Puskesmas lebih bersih dengan menghidupkan kembali gerakan Jumsih (jumat bersih). Yang terpenting dari kegiatan ini adalah keterlibatan warga dalam melakukan monev layanan Puskesmas. Sementara di Kabupaten Magelang, UBS dilakukan dengan melakukan survey pengaduan masyarakat terhadap jasa layanan Puskesmas. Survey dilakukan di 2 Puskesmas, yaitu Puskesmas Salam yang memiliki karakteristik lokasi di perkotaan dan telah memiliki sertfikiat ISO 9000, dan Puskesmas Tempuran yang memiliki karakteristik di pedasaan serta belum memiliki ISO 9000. Penilaian pelayanan Puskesmas dalam survey ini meliputi 2 (dua) aspek), yaitu Pertama, pelaksanaan pelayanan, meliputi : SDM (Staf program dan para participant), struktur dan bahan‐bahan material, dan aktivitas (Manajemen, Organisasi, Program/Kegiatan). Kedua, masalah‐masalah pelayanan kesehatan, yaitu masalah‐ masalah utama menurut responden yang perlu segera ditangani. Berdasarkan hasil survey, masalah prioritas di Puskesmas Tempuran adalah gedung yang harus segera diperbaiki. Sementara prioritas masalah di Puskesmas Salam adalah persoalan pelayanan. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas Salam lebih rendah dibandingkan di Puskesmas Tempuran, meskipun Puskesmas Salam telah mendapatkan ISO 9000, namun masih banyak masyarakat yang menginginkan peningkatan pelayanan. Boks 3: Hasil CRC Sektor Kesehatan di Kabupaten Lebak Profil Responden Responden proporsional, laki‐laki 50% dan perempuan sebanyak 50% dengan total responden sebanyak 400 orang. Usia Responden 33% berusia 17‐30 tahun, 34% berusia 31‐40 tahun, 23% berusia 41‐50 Tahun, 6% berusia 51‐60 tahun, dan sisanya 4% lebih dari 60 tahun. Sebagaian besar responden atau 67% berpendidikan SD, 13% SLTP, dan 10 % SMA, Perguruan Tinggi hanya 2%, sedangkan yang tidak bersekolah atau tidak lulus SD sebanyak 8 %. Sebagian besar pekerjaan responden adalah petani (36%), 24 % responden wiraswasta, dan sisanya berprofesi sebagai guru, buruh, dan PNS. Rata‐rata pengeluaran perbulan responden, 34% memiliki pengeluaran rata‐ rata Rp. 350.000‐500.000, 33% Rp. 500.000‐1.000.000, dan 23% responden memiliki pengeluaran berkisar Rp 100.000.‐300.000. CRC di sektor kesehatan dilakukan untuk beberapa jenis pelayanan, yaitu Puskesmas, Bidan Desa, Mantri Keliling dan Pemberantasan Penyakit Menular. Beberapa hasil penting dari CRC sektor kesehatan: 1. Bidan Desa masuk dalam lima besar pelayanan yang dianggap penting, berada di rangking dua setelah pelayanan SD.
27
2. Pelayanan Puskesmas Keliling dan Mantri Keliling diapresiasi baik oleh masyarakat, 91 % responden menyatakan bahwa kedua layanan ini memudahkan mereka dalam mendapatkan layanan kesehatan. 3. Tarif pelayanan Puskesmas masih memberatkan warga, yang ditunjukkan 51% responden keberatan dengan tarif Puskesmas yang berlaku saat ini. 4. Cakupan pelayanan Bidan Desa mencapai 77 %, 23% desa belum terlayani Bidan Desa. 5. Tarif pelayanan Bidan Desa masih memberatkan warga. Hal ini terkait dengan rendahnya penggunaan jasa bidan dalam menolong persalinan (hanya 19%) sementara 77% responden memakai jasa Paraji, dan 4% gabungan paraji dan bidan. Temuan ini perlu menjadi perhatian terkait dengan upaya untuk menurunkan AKB dan AKI. Temuan‐temuan diatas memberikan informasi berharga yang dapat digunakan oleh Dinas Kesehatan dalm menyusun kebijakan/program/kegiatannya. Beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan terkait dengan temuan diatas antara lain: 3 Perlunya mempertahankan pelayanan Puskesmas Keliling dan Mantri Keliling dan meningkatkan pelayanan, antara lain dengan meningkatkan frekuensi kedatangan di tengah masyarakat. Puskesling dan Manling memang sesuai dengan lokasi geografis Lebak yang luas dan masih banyak daerah terisolir. Layanan ini juga sangat membantu kelompok perempuan dan miskin karena layanan kesehatan mendekat ke mereka. 4 Perlu dipertimbangkan penurunan tarif Puskesmas karena banyaknya warga yang keberatan dengan tarif saat ini 5 Perlu dipertimbangkan stimulan agar warga memakai jasa bidan dalam persalinan, misalnya voucher persalinan gratis sehingga problem tarif bidan yang memberatkan teratasi. Penelusuran Akuntabilitas Dana Pendidikan PATTIRO melakukan riset mengenai sejauh mana inefisiensi dana sekolah dengan menggunakan metode PETS (Public Expenditure Tracking Survey) yang dilakukan di Kota Serang (Provinsi Banten) dan Kabupaten Gresik (Provinsi Jawa Timur) pada bulan Februari‐Mei 2008 dengan melakukan tracking pada 7 skema skema anggaran pendidikan, mencakup Dana Dekonsentrasi, Dana Alokasi Khusus, Block Grant, Rehab APBD, BOS, BOS buku dan BOS Pendamping engan total 137 proyek di 38 sekolah. Temuan Utama Temuan utama menunjukkan bahwa semua sekolah mengalami inefisiensi pengeluaran dalam lima kategori: (i) inkonsistensi antara belanja dengan kebutuhan sekolah (11,7% dari total proyek yang ditracking); (ii) tidak tepat waktu (42%), (iii) inkonsistensi alokasi (4,4%), (iv) unnatural deduction (29%); inkonsistensi antara pengeluaran dengan rencana alokasi awal (29%, tidak termasuk skema operasional).
28
Komparasi terhadap tujuh skema dengan menggunakan 10 indikator dari akuntabilitas menunjukkan bahwa rangking teratas dari skema investasi adalah skema DAK dan yang rangking terbawah adalah skema Rehab APBD. Untuk skema operasional, rangking teratas adalah dana BOS regular dan rangking terbawah adalah BOS Pendamping. Temuan ini berbeda dengan hipotesis dan harapan atas desentralisasi karena skema lokal (dana APBD) kurang akuntabel dibandingkan dengan skema nasional (dari pemerintah pusat). Temuan lain yang menarik ditunjukkan bahwa akuntabilitas yang bersifat top down (pemerntah pusat/provinsi‐lokal) tidak cukup karena hanya bersifat procedural, sementara di lain pihak informal rule justru lebih terasa. Mekanisme laporan diilustrasikan sebagai cara berbagai pihak yang terlibat untuk melaporkan secara formal sesuai dengan rencana, sedangkan sekolah memiliki laporan lain yang riil. Selain itu, akuntabilitas bottom up (akuntabilitas kepada masyarakat‐komite sekolah) masih belum efektif karena keduanya masih pula menganggap anggaran diberikan oleh pemerintah sehingga akuntabilitas sekolah hanya kepada pemerintah dan akuntabilitas bottom up masih perlu disosialisasikan Rekomendasi 6. Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat: 7. lakukan penyederhaan berbagai skema anggaran untuk sekolah 8. jaminan keberlanjutan dari berbagai skema anggaran pendidikan 9. perbaikan mekanisme distribusi/alokasi dari skema investasi kepada pemerintah daerah 10. perbaikan manajemen keuangan di tingkat sekolah 11. control kinerja daerah dalam mencapai kawajiban terkait layanan pendidikan 12. Rekomendasi untuk Pemerntah Daerah: 13. perbaikan mekanisme alakasi dari anggaran investasi kepada asekolah 14. perkuat mandate dari skema operasional sekolah 15. bangun forum stakeholder untuk sector pendidikan 16. perbaikan manajemen keuangan di tingkat sekolah 17. perkuat komite sekolah 18. perbaikan fungsi pengawasan dari DPRD
III.4 Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
Tahun 2008 adalah tahun yang bersejarah karena pada tahun inilah aturan mengenai Kebebasan Informasi Publik disahkan dalam bentuk UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Dalam rangka menumbuhkan demand dan supply side, PATTIRO melaksanakan Program “Penguatan Institusi Warga untuk Kebebasan Informasi di Tingkat Lokal” atas dukungan HIVOS pada 3 (tiga) daerah sasaran program, meliputi : Kota Pekalongan & Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah; serta Kota Serang, Provinsi Banten. Secara umum, program ini bertujuan untuk mendorong pelaksanaan kebebasan informasi di tingkat lokal, melalui implementasi Undang‐Undang Keterbukaan Publik dengan melakukan penguatan kapasitas warga melalui institusi warga, melakukan pendampingan
29
komunitas warga, advokasi kebijakan, asistensi teknis pada Pemerintah Daerah, mendorong pembentukan dan memberikan asistensi teknis pada Komisi Informasi Daerah. Penguatan kapasitas dan institusi warga dilakukan melalui Community Center yang dibentuk secara residensial di masing‐masing daerah program, yang terdiri atas warga masyarakat, kelompok sektoral, dan perempuan. Asistensi Teknis diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk memastikan pelaksanaan Kebebasan Informasi sesuai dengan Undang‐Undang Keterbukaan Informasi Publik dalam bentuk asistensi pengembangan Sistem Pelayanan Pinformasi Publik. . Sedangkan Advokasi dilakukan untuk mendorong pelaksanaan kebebasan informasi pada sektor layanan publik dasar dan untuk mendorong pembentukan Komisi Informasi di Daerah. Proses penguatan kapasitas dan institusi warga dimulai dengan melakukan PPA (participatory poverty assessment) dengan tema “Kondisi Kemiskinan Daerah, Kondisi Pelayanan Publik dan Keterbukaan Informasi Publik di Daerah”. Sedangkan isunya terkait dengan situasi Kemiskinan secara umum di komunitas, baik kelompok residensial, kelompok perempuan, dan kelompok sektoral; Penilaian terhadap kondisi pelayanan publik; Penilaian atas kebijakan anggaran untuk masyarakat miskin; dan Penilaian terhadap kondisi keterbukaan informasi publik. Kondisi keterbukaan informasi publik menurut perspektif masyarakat di Pekalongan dan Serang dapat dilihat dari tabel berkut ini Aspek Kebutuhan informasi publik masyarakat
Pekalongan Masyarakat pada umumnya lebih menghendaki adanya sebuah informasi berkaitan dengan program‐program yang dilakukan pemerintah terutama program‐ program dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. Informasi‐informasi seperti pelatihan‐pelatihan, bantuan modal, BOS, Jamkesmas, dll menjadi kebutuhan masyarakat terutama terkait bagaimana mekanisme dan prosedurnya, sebagai contoh Jamkesmas, bagaimana penggunaannya agar sama sekali tidak mengeluarkan biaya ketika dirawat dirumah sakit. Kebutuhan akan informasi tersebut merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
Serang Masyarakat pada umumnya membutuhkan informasi‐ informasi umum yang berkaitan langsung dengan mata pencaharian, kehidupan sehari‐hari, dan layanan dasar bagi mereka. Di bidang pertanian, misalnya informasi terkait dengan pengolahan lahan, penggunaan pupuk, dan pemasaran hasil‐hasil pertanian. Terkait Pendidikan, masyarakat membutuhkan informasi tentang kebijakan wajib belajar hubungannya dengan biaya maupun pungutan yang masih harus mereka tanggung.
30
masyarakat apalagi masyarakat miskin, seperti mengakses tentang program penanggulangan kemiskinan yang nantinya bisa mengurangi beban pengeluaran bagi si miskin.
Terkait kesehatan, dibutuhkan informasi tentang pola hidup sehat, serta fungsi dan peran posyandu maupun bidan desa yang sesungguhnya. Sedangkan yang terkait dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), masyarakat membutuhkan informasi tentang akses modal usaha dan jaringan pemasaran.
Secara umum belum ada bagian khusus yang bertugas memberikan informasi‐informasi di badan publik. Tugas‐tugas pemenuhan informasi masih melekat pada bagian‐bagian tertentu yang ada di Badan Publik. Pemenuhan informasi publik masih terbatas pada pemenuhan informasi tentang program‐ program yang dilakukan oleh Badan Publik tersebut. Belum adanya ketentuan yang baku bagi Badan Publik sebagai acuan dalam pemenuhan Informasi Publik, membuat Badan Publik memiliki standar yang berbeda dalam memberikan layanan informasi.
Secara umum, masyarakat masih sulit mengakses informasi‐informasi publik yang mereka butuhkan. Badan Publik masih terkesan tertutup dalam melayani permintaan informasi masyarakat, serta belum adanya kebijakan di daerah untuk memberikan layanan terhadap informasi untuk masyarakat.
Pemenuhan permintaan informasi saat ini dirasakan lebih baik dari 4‐5 tahun yang lalu. Namun karena belum ada badan atau orang yang khusus menangani tugas‐tugas tersebut dan belum adanya ketentuan yang baku untuk mengakses informasi, maka penanganan pada Badan Publik berbeda‐beda.
Pemenuhan permintaan informasi di Badan Publik, masih setengah hati, bahkan terkadang masih mengkategorikan informasi terkait dengan kebijakan dinas sebagai rahas ia jabatan. Selain itu, budaya melayani informasi juga dilihat dari belum maunya pegawai pemerintahan memberikan informasi ke masyarakat dengan alasan takut dimarahi atasan,
Kondisi pemenuhan informasi publik oleh badan‐badan publik terkait
Kemudahan akses/pelayanan terhadap permintaan informasi dari masyarakat
Badan publik saat ini sudah memanfaatkan beberapa media untuk menyebarluaskan informasi
31
yang mereka miliki misalnya dengan tatap muka, menggunakan leaflet, maupun lewat radio. Namun, tidak semua Badan Publik melakukannya dengan optimal. Di lingkungan tempat tinggal, masyarakat melihat perlunya digalakkan kembali papan informasi di Kelurahan sebagai media penyebarluasan informasi bagi masyarakat. Pemanfaatan aset‐aset publik untuk penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat juga belum sepenuhnya dilakukan secara optimal oleh Pemerintah Daerah.
padahal dokumen tersebut adalag dokumen publik, contoh : Anggaran DAK (Dana Alokasi Khusus) untu sekolah.
Data awal tentang situasi pelayanan informasi publik ini selanjutnya akan dikembangkan menjadi sistem pelayanan informasi publik. Sementara di sisi demand side, intervensi dilakukan untuk memberdayakan CC sebagai wadah warga berbagi informasi publik dan melakukan advokasi untuk mendapatkan informasi publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. BOKS Riset Penilaian Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Kota Tangerang Riset yang dididukung oleh Yayasan TIFA ini bertujuan untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap proses dan produk PBJ dan dampaknya terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik. Proyek yang menjadi sasaran riset adalah pembangunan Puskesmas Kecamatan Benda (sektor kesehatan) dan Pengadaan Mebelair di 5 SD Negeri. Riset dilakukan pada bulan Desember 2007‐April 2008. Responden dalam riset ini adalah stakeholder yang meliputi eksekutif, legislatif, Ormas, LSM, Pers, Panitia dan Rekanan. Indikator penilaian yang digunakan adalah proses, produk dan dampak. Penilaian terhadap proses dilakukan dengan membandingkan antara proses dalam dokumen PBJ dengan persepsi penilaian responden dan penilaian terhadap produk dilakukan dengan melihat kesesuaian antara perencanaan dan proses PBJ dengan hasil kegiatan. Sedangkan penilaian dampak dilakukan dengan melihat akses (ketersediaan & keterjangkauan), layanan (kualitas layanan) dan fasilitas (sarana dan prasarana).
32
Dokumen yang digunakan mencakup Keppres No 80 Tahun 2003 dan perubahannya, APBD 2007 dan DPA, SK Panpel PBJ, dokumen kontrak dan standar harga barang Temuan Utama b. Responden menilai positif (baik) proses tender PBJ di sektor pendidikan dan kesehatan c. Penilaian responden terhadap produk sektor pendidikan, 100% baik (rekanan), 89,66% baik (eksekutif), 81,82% baik (legislatif), 63,63% baik, 40% baik (ormas, LSM, Perguruan Tinggi). d. Penilaian responden terhadap produk sektor kesehatan, 100% baik (eksekutif), 96,96% (panitia PBJ), 71,42% (rekanan), 50% (DPRD) e. Penilaian penerima manfaat atas dampak pembangunan Puskesmas: keberadaan Puskesmas telah sesuai dengan kebutuhan, akses menuju Puskesmas terjangkau, pelayanan baik, jam pelayanan kurang memadai serta sarana dan prasarana memadai. f. Penilaian penerima manfaat atas dampak pengadaan mebelair; mebelair berguna dan digunakan untuk KBM, berkualitas baik, kuantitas mencukupi, saat diserahkan dalam kondisi baik, murah memuaskan. g. Kajian terhadap dokumen tender menunjukkan adanya dugaan pemenang tender yang telah diatur (dikondisikan) h. Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan alamat kantor untuk 3 perusahaan ternyata berada dalam satu kantor. Dari sisi kuantitas, ada sekolah yang hanya menerima 228 buah, dari yang seharusnya 240 buah (dokumen kontrak). Dari sisi kualitas, meja guru tidak sesuai dengan spesifikasinya karena belum diplitur dan tidak dipasang kunci sementara kursi murid ada yang kualitasnya buruk karena dimakan serangga. Rekomendasi; i. rekomendasi internal: 1. Peningkatan profesionalisme aparatur pelaksana dan mencegah perilaku KKN dalam PBJ 2. Pemberlakukan reward and punishment kepada panitia 3. Penambahan jumlah panitia yang bersertifikat 4. adanya jaminan keamanan bagi para pihak PBJ 5. meningkatkan pemahaman dan kesadaran bersama terkait asas pelaksanaan PBJ j. rekomendasi eksternal; 1. peningkatan partisipasi masyarakat/kelompok independen dalam mengawasi proses PBj 2. menerapkan verifikasi rekanan yang kapabel oleh asosiasi 3. pembinaan rekanan oleh asosiasi/pemda
33
4. perlunya responsivitas pengguna anggaran terhadap usulan asosiasi tentang HPS.
III. Penguatan Ekonomi Lokal: Proyek Blok Cepu Gambaran dari masa lalu menunjukkan, kekayaan alam yang dimiliki suatu daerah tidak serta merta menjanjikan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Warga di Indonesia yang hidup di sekitar daerah kaya minyak dan gas cenderung miskin. Seperti yang terjadi di daerah Blora dan Bojonegoro. Daerah yang dikenal dengan sebutan Blok Cepu ini merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan gas alam dan minyak bumi. Akan tetapi, sebagian besar masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. PATTIRO berusaha mengubah hal tersebut. Kami di PATTIRO meyakini bahwa jika dimanfaatkan sebaik‐baiknya, pendapatan dari migas serta sumber daya lokal dan alam yang dimiliki tiap daerah dapat menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal tersebut dapat tercapai jika pemerintah daerah memiliki strategi pembangunan daerah yang dapat memaksimalkan manfaat dari pendapatan migas yang diperoleh. Untuk itu PATTIRO melakukan program untuk mendorong maksimalisasi pemanfaatan pendapatan migas tersebut bagi masyarakat di daerah penghasil migas. Program Blok Cepu ini bertujuan untuk mencari cara bagaimana mengembangkan ekonomi daerah agar secara inovatif bisa menyejahterakan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi miskin. Fokus utama progam ini adalah tracking atau pemantauan aliran pendapatan migas dari tingkat nasional hingga ke daerah. Tujuannya adalah menjamin transparansi aliran agar masyarakat tahu dan dapat memahami bagaimana pemanfaatannya. Yang berikutnya adalah pemanfaatan untuk kesejahteraan. Disini PATTIRO melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk memastikan bahwa pendapatan migas tersebut dapat dialokasikan pada sasaran pembangunan yang tepat. Kami memfasilitasi serangkiaan workshop dan Technical Assistance untuk penyusunan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang yang melibatkan stakeholders daerah. Selain itu kami membantu masyarakat dan pembuat kebijakan publik untuk formulasi anggaran agar pendapatan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Proyek ini dilaksanakan bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Aplikasi Wacana (LPAW) dan Bojonegoro Institute serta didukung oleh Local Government and Public Service Reform Initiative (LGI) dan Revenue Watch Institute (RWI) Visi proyek ini adalah memperkuat kelima bidang kinerja pengelolaan yang diperlukan untuk menerjemahkan pendapatan minyak ke dalam upaya peningkatan kehidupan penduduk daerah: A. Pendapatan– Para pelaku daerah mampu memproyeksikan hak atas manfaat dari pendapatan minyak, uang yang diterima dapat dilacak terhadap pembayaran dan pendapatan dipublikasikan secara tahunan.
34
B. Perencanaan – Proses transparan dan partisipatif yang menghasilkan rencana pembangunan jangka‐menengah (lima tahun) yang mencerminkan kebutuhan daerah dan proyeksi realistis dari pendapatan minyak yang tidak stabil. C. Penganggaran –Proses transparan dan partisipatif yang menghasilkan anggaran tahunan yang mencerminkan rencana jangka menengah yang tanggap terhadap kebutuhan daerah. D. Pengelolaan Pembelanjaan– Pembelanjaan pemerintah daerah dibuat transparan dan pengambil keputusan harus dapat dimintai pertanggungjawaban oleh para pelaku pengawasan dari masyarakat sipil daerah. E. Pemantauan Pelayanan– Masyarakat sipil dan parlemen memantau pelaksanaan pembangunan ekonomi dan penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah dan memberi dukungan efektif bagi peningkatannya. Kegiatan dalam program ini meliputi: 1. Pembentukan tim inti guna membangun dukungan. Tim inti ini akan terdiri dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), tokoh masyarakat, kelompok tani, kelompok nelayan, LSM, wartawan dan kalangan usaha. 2. Penelitian partisipatif. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman para stakeholders terkait perencanaan partisipatif anggaran publik. Objek penelitian berkisar pada persoalan sosial dan ekonomi masyarakat. 3. Peningkatan kapasitas. Dilakukan untuk meningkatkan kapasitas multi‐ stakeholders dalam proses pengelolaan dan pengawasan program pembangunan terkait dengan pendapatan migas di blok Cepu. Aktivitas kegiatan ini terdiri dari training mengenai pemahaman visi bersama, analisis SWOT dan pemrioritasan program bersama serta penyediaan pendampingan teknis.
35
IV. INOVASI & TOOLS PATTIRO mengembangkan beragam inovasi dan tools dalam upaya intervensi mewujudkan good local governance. Inovasi dan tools dikembangkan dalam rangka merespons perkembangan lapangan dalam bentuk peluang maupun hambatan. Inovasi dan tools ini digunakan di setiap program yang dilakukan PATTIRO dan feed back atas implementasi dari inovasi dan tools tersebut menjadi bahan untuk melakukan perbaikan lebih lanjut (continous improvement) maupun mengembangkan inovasi dan tools baru. Beberapa inovasi dan tools yang telah dikembangkan antara lain: 8 Community Center (CC), yaitu wadah warga untuk berhimpun dan melakukan pendidikan politik terkait isu kebijakan dan pelayanan publik sebagai upaya membangun demand side. 9 Tools Analisis Anggaran, yaitu beragam tools yang digunakan dalam menganalisis anggaran daerah untuk membangun argumentasi adanya berbagai mis‐alokasi dan potensi inefisiensi. Salah satu tools yang dikembangkan dalam Uji Cepat Anggaran Responsif Gender (UC ARG) yang digunakan untuk menilai secara cepat RAPBD dikaitkan dengan kriteria anggaran responsif gender yang diturunkan dari target MDGs dan CEDAW. 10 Realokasi Anggaran, yaitu strategi yang digunakan untuk me‐realokasikan kembali anggaran yang mis‐alokasi dan berpotensi pemborosan menjadi anggaran yang dialokasikan berdasarkan prioritas strategis. Strategi ini merupakan upaya mencapai level dua dari Public Expenditure Management (PEM), yaitu allocative efficiency dalam bentuk alokasi sumber daya berdasarkan prioritas strategis. 11 Complaint Mechanism, yaitu mekanisme di dalam internal badan publik untuk menampung, mengolah dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai pelayanan publik yang diberikan, sebagai salah satu reformasi di supply side. 12 Citizen Report Card (CRC) dan User Based Survey (UBS), tools bagi warga untuk menilai kinerja pelayanan publik sebagai bentuk voice mechanism atas kualitas pelayanan yang diberikan oleh badan publik. 13 Public Monitoring, yaitu keterlibatan warga untuk mengawasi pelaksanaan proyek APBD sebagai upaya mencegah terjadinya penyimpangan/korupsi. Prasyarat dari aktivitas ini adalah tersedianya dokumen‐dokumen proyek APBD, termasuk dokumen kontrak dengan pihak ketiga. 14 Pernyataan Anggaran Responsif Gender (Gender Budget Statement), yaitu tools dari anggaran responsif gender dari sisi supply side, khususnya dari aspek teknokratis. Pernyataan Anggaran Responsif Gender dimuat dalam dokumen Renja SKPD dan RKA SKPD. 15 PETS (Public Expenditure Tracking Survey), yaitu survei untuk mendeteksi kebocoran aliran dana dalam suatu program/kegiatan tertentu. PETS yang sudah dilakukan adalah anggaran pendidikan. 16 Citizen Charter, yaitu kesepakatan antara warga dengan penyedia layanan publik terkait kualitas layanan yang diberikan.
36
17 Perda Pro Poor dan Responsif Gender, yaitu upaya pemenuhan hak‐hak ekonomi, sosial dan budaya serta kebutuhan praktis dan strategis gender dalam kebijakan daerah, antara lain dimuat dalam Perda Pelayanan Publik dan Perda Penanggulangan Kemiskinan 18 Uji Akses Informasi Publik, yaitu tools bagi warga untuk mendapatkan informasi dari badan publik. Tools ini bisa mendeteksi kesiapan badan publik dalam mengimplementasikan UU Kebebasan Informasi Publik dan pada saat yang sama merupakan upaya menumbuhkan demand side atas informasi publik. 19 Participatory Poverty Assessment (PPA), yaitu tools bagi warga untuk mengidentifikasi kemiskinan dan bersama‐sama mencari soluasi atas kemiskinan tersebut.
Inovasi dan tools yang masih dalam proses pengembangan: 20 Sistem Jamkesda 21 Sistem BOSDA 22 Pengelolaan ADD 23 Sistem Pelayanan Informasi Publik 24 Agregate Fiscal Discipline Tools for Local Budget 25 Model Transparansi Pengelolaan Migas di tingkat lokal 26 RPJMD yang menggunakan pendekatan MTEF dengan proses partisipatif 27 Woman Report Card (WRC) 28 Monitoring Alokasi Dana Desa (ADD)
37
V. Agenda Ke Depan Desentralisasi di Indonesia masih berproses dan sedang menemukan kekhasannya sesuai dengan konteks Indonesia. Namun, mengetahui esensi desentralisasi menjadi satu hal pokok yang perlu dipahami oleh semua pihak, bahwa otonomi diberikan kepada masyarakat daerah dan bukan kepada pemerintahan daerah agar otonomi daerah mencapai tujuan utama untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Civic engagement menjadi satu hal penting yang perlu untuk selalu dilakukan sebagai upaya menumbuhkan demand side warga atas otonomi daerah. Rangkaian intervensi yang dilakukan PATTIRO sepanjang tahun 2008 menunjukkan beragam capaian. Aktivitas community center (CC) sebagai pusat pembelajaran warga terkait isu kebijakan dan pelayanan publik dan beberapa kisah keberhasilan advokasinya telah memunculkan optimisme mulai tumbuhnya kekuatan masyarakat sipil di tingkat daerah. Namun, perlu pula dicatat bahwa keberhasilan diraih karena kontribusi dari supply side, baik dari sisi komitmen kepala daerah maupun aparatur daerah lainnya. Kisah keberhasilan FKKP di Surakarta yang berhasil menaikkan alokasi Posyandu 100% dari alokasi tahun sebelumnya tidak terlepas dari komitmen Walikota terkait pemenuhan hak‐hak dasar warga, baik pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, strategi menumbuhkan demand side yang dibarengi dengan intervensi di supply side tetap relevan di waktu‐waktu mendatang. Terkait advokasi anggaran dan pelayanan publik, intervensi yang dilakukan sepanjang tahun 2008 beserta capaiannya memberi argumentasi pentingnya menumbuhkan partisipasi masyarakat beyond musrenbang, yaitu partisipasi masyarakat di semua tahapan dalam siklus APBD, mulai dari penyusunan, pembahasan dan penatapan, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjwaban. Namun demikian, tahapan penyusunan dan tahapan pembahasan & penetapan tetap menjadi fokus utama intervensi karena di tahap inilah hak warga atas alokasi anggaran diperjuangkan karena sesungguhnya proses alokasi anggaran adalah proses politik sehingga keterlibatan aktif warga menjadi sangat penting karena sesungguhnya yang terjadi dalam tahapan ini adalah proses pertarungan kepentingan antar aktor dalam APBD. Selain itu, jika mengacu pada tiga level dari reformasi manajemen belanja publik, yaitu level pertama adalah disiplin fiskal agregat, level kedua adalah alokasi sumber daya berdasarkan prioritas strategis (allocative efficiency) dan level ketiga adalah efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, maka level pertama dan level kedua terjadi di tahapan penyusunan dan pembahasan & penetapan APBD sehingga intervensi di tahapan‐tahapan ini menjadi sangat penting. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah mengupayakan kaitan yang erat antara kebijakan, perencanaan dan penganggarannya agar kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang pro poor dan responsif gender, dioperasionalisasikan sampai ke tingkat anggaran sehingga anggaran didasarkan pada pijakan yang kuat. Upaya ini perlu dilakukan dalam proses penyusunan dokumen perencanaan
38
maupun penganggaran, terutama dokumen jangka menengah dan tahunan dan intervensi ini merupakan intervensi di supply side. Selain itu, ada beberapa agenda penting lainnya yang perlu dilakukan di tahun‐ tahun mendatang, yaitu: c. Menumbuhkan demand dan supply side atas informasi publik Agenda ini penting dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan informasi Publik di tahun 2010. Salah satu amanat dari UU No 14 tahun 2008 tentang pembentukan Komisi Informasi di tingkat pusat dan provinsi menjadi satu agend apenting yang perlu untuk dikawal. Isu transparansi ini sangat penting karena menjadi implementasi UU prasyarat dasar bagi partisipasi dan akuntabilitas d. Meningkatkan kapasitas aparat Pemda Agenda ini penting sebagai upaya intervensi di suplly side. Fakta di lapangan menunjukkan bahawa komitmen dari pemerintah daerah dan DPRD untuk melakukan reformasi administrasi perlu dibarengi dengan kemampuan melakukannya dengan dukungan berbagai ide inovasi dan tools. e. Akselerasi kapasitas anggota DPRD hasil Pemilu 2009 Agenda penting lainnya adalah akselerasi kapasitas anggota DPRD hasil Pemilu 2009. Agenda ini sangat penting agar anggota DPRD baru cepat beradaptasi dengan seluk belum administrasi pemerintahan, mengejar ketinggalannya dengan para birokrat dan anggota DPRD lama yang terpilih kembali. Agenda ini penting karena biasanya anggota DPRd terpilih berasal dari berbagai latar belakang yang bisa jadi belum bersentuhan sama sekali dengan ranah administrasi pemerintahan, sementara peran DPRD sangat penting dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal terkait dengan tiga peran yang diembannya yaitu fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan. PATTIRO mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kerja‐kerja PATTIRO dan PATTIRO sangat terbuka untuk bekerjasama dengan berbagai lembaga yang memiliki kesamaan visi terwujudnya keadilan sosial dan terpenuhinya hak‐hak dasar warga. Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di: PATTIRO: Jl. Tebet Utara IF No 6 Jakarta Selatan, Indonesia Telp/Fax: +62‐21‐837‐90‐541
[email protected] Email:
[email protected],
[email protected] Wwebsite: www.PATTIRO.org
39
VI. LAPORAN KEUANGAN Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional PATTIRO LAPORAN POSISI KEUANGAN Periode 31 December 2008 and 2007 (dalam Rupiah)
Note
31 December 2008
Aktiva
Aktiva Lancar
31 December 2007
Kas dan setara kas Piutang Uang muka kegiatan Biaya dibayar dimuka
938,434,924 144,280,200 128,217,937 32,500,000
1,478,817,913 32,250,000 444,837,618 72,083,345
Total Aktiva Lancar
1,243,433,061
2,027,988,876
Aktiva Tetap
357,402,300 (177,501,829)
227,432,300 (120,008,765)
Nilai buku
179,900,471
107,423,535
Total aktiva tetap
179,900,471
107,423,535
Total Aktiva
1,423,333,532
2,135,412,411
Kewajiban dan Ekuitas
Kewajiban Jangka Pendek
Utang
73,267,460
‐
Total kewajiban jangka pendek
73,267,460
‐
Aktiva Bersih
Fund Balances :
976,655,357 373,410,715
1,912,149,595 223,262,816
Total aktiva bersih
1,350,066,072
2,135,412,411
Total Kewajiban dan Aktiva bersih
1,423,333,532
2,135,412,411
Harga pokok aktiva tetap Akumulasi depresiasi
Aktiva bersih terikat Aktiva bersih tak terikat
40
Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional PATTIRO LAPORAN AKTIVITAS – Terikat Untuk tahun yang berakhir pada 31 December 2008 and 2007 ( Dalam Rupiah)
PENERIMAAN
Note
2008
2007
Donasi Pendapatan lain‐lain
4,688,940,092 ‐
4,059,347,987 14,913,080
Total Revenues
4,688,940,092
4,074,261,067
PENGELUARAN
Pengeluaran Program
5,620,405,801
2,860,733,712
Total Pengeluaran
5,620,405,801
2,860,733,712
Selisih Penerimaan dan Pengeluaran
(931,465,709)
1,213,527,355
Aktiva bersih dikeluarkan dari terikat
(4,028,529)
‐
Perubahan aktiva bersih
(935,494,238)
1,213,527,355
Saldo Awal Aktiva Bersih
1,912,149,595
698,622,240
Saldo Akhir Aktiva Bersih
976,655,357
1,912,149,595
41
Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional PATTIRO LAPORAN AKTIVITAS – Tidak terikat Untuk periode yang berakhir pada 31 December 2008 and 2007 (Dalam Rupiah)
PENERIMAAN
Note
2008
2007
DONASI PEGIAT PENDAPATAN LAIN‐LAIN
625,881,791 14,694,664
63,092,500 ‐
Total Penerimaan
640,576,455
63,092,500
PENGELUARAN
Beban Administrasi dan Umum
494,457,085
156,448,611
Total Pengeluaran
494,457,085
156,448,611
Selisih Penerimaan atas pengeluaran
146,119,370
(93,356,111)
Aktiva bersih dikeluarkan dari terikat
4,028,529
‐
Perubahan aktiva bersih
150,147,899
(93,356,111)
Saldo awal aktiva bersih
223,262,816
316,618,927
Saldo akhir aktiva bersih
373,410,715
223,262,816
42
Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional PATTIRO LAPORAN ARUS KAS Untuk tahun yang berakhir pada 31 December 2008 and 2007 (Dalam Rupiah)
Arus kas dari aktivitas operasi
2008
2007
Selisih penerimaan dan pengeluaran
(785,346,339)
Pengeluaran non kas ‐ Depresiasi
51,103,064
32,375,497
Perubahan aktiva dan kewajiban lancar ‐ Piutang ‐ Uang muka kegiatan ‐ Biaya dibayar dimuka ‐ Utang
(112,030,200) 316,619,681 39,583,345 73,267,460
(30,750,000) (244,678,175) ‐ (199,180,697)
Arus kas bersih dari aktivitas operasi
(416,802,989)
677,937,869
Arus kas dari aktivitas investasi
Pembelian (penjualan) Aktiva tetap
Arus kas bersih dari aktivitas investasi
Kenaikan (penurunan) kas dan setara kas bersih
Saldo awal kas dan setara kas Saldo akhir kas dan setara kas
1,120,171,244
(123,580,000)
(92,645,000)
(123,580,000)
(92,645,000)
(540,382,989)
585,292,869
1,478,817,913
893,525,044
938,434,924
1,478,817,913
43