113131313131313131313131313
LAPORAN FIELD TRIP ENERGI TERBARUKAN DI JAWA BARAT Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF Indonesia Senin – Rabu, 27 – 29 Juli 2009
Disiapkan oleh: Indra Sari Wardhani Energy Officer, WWF-Indonesia
213131313131313131313131313
1 1.1
Pendahuluan Latar Belakang
Ketersediaan energi termasuk listrik merupakan elemen yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sekaligus sebagai kebutuhan mutlak untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia, ketika dihadapkan pada kondisi dimana sebagian besar penyediaannya masih bergantung pada energi fosil dan pengembangan sumber – sumber energi terbarukan masih sangat terbatas. Sementara permintaan terhadap energi semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang terus berkembang. Disamping itu juga ketidaksesuaian antara lokasi sumberdaya energi dengan daerah pengguna energi serta minimnya infrastruktur di berbagai tempat telah menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap energi. Selain itu, kesenjangan pendapatan masyarakat yang cukup tinggi semakin menambah kompleksitas permasalahan di sektor energi. Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil terutama minyak bumi menimbulkan kekhawatiran mengingat energi tersebut merupakan energi yang tidak terbarukan. Dengan tingkat eksploitasi yang dilakukan saat ini tanpa penemuan cadangan baru yang signifikan serta kapasitas kilang yang cenderung stagnan, akan menyebabkan jumlah cadangannya di dalam negeri semakin menipis. Cadangan Energi Fosil Indonesia 2008 Energi Fosil Minyak Bumi Gas Bumi Batubara CBM (Gas)
Sumber Daya 56,6 Milyar Barel 334,5 TSCF 90,5 Milyar ton 453 TSCF
Cadangan
Produksi
8,4 Milyar Barel** 165 TSCF 18,7 Milyar ton -
348 Juta Barel 2,79 TSCF 201 Juta ton -
Rasio Cadangan/ Produksi* 24 59 93 -
* Tidak ada temuan cadangan baru; ** Termasuk blok Cepu Sumber: Presentasi Menteri ESDM, 11 April 2008 Sementara di sisi lain, potensi energi terbarukan seperti biomasa, panas bumi, energi surya, energi air, dan energi angin cukup besar. Hanya saja sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh harga energi terbarukan yang belum kompetitif bila dibandingkan dengan harga energi fosil yang masih disubsidi, rendahnya penguasaan teknologi sehingga kandungan impornya tinggi, serta keterbatasan dana untuk melakukan penelitian, pengembangan, maupun investasi dalam pemanfaatan energi terbarukan serta infrastruktur yang kurang memadai. Cadangan Energi Non Fosil Indonesia 2008 Energi Non Fosil Tenaga Air Panas Bumi Mini/Mikro Hidro
Sumber Daya
Setara
Kapasitas Terpasang
845 Juta SBM 219 Juta SBM 0,45 GW
75,67 GW 27,00 GW 0,45 GW
4,2 GW 1,04 GW 0,084 GW
313131313131313131313131313
49,81 GW 49,81 GW Biomasa 4,80 kWh/m2/day Tenaga Surya 9,29 GW 9,29 GW Tenaga Angin Sumber: Presentasi Menteri ESDM, 11 April 2008.
0,3 GW 0,008 GW 0,0005GW
Selama ini energi terbarukan lebih banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik mengingat listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting baik sebagai penerangan dirumah-rumah maupun untuk menggerakkan industri. Namun demikian, ada juga beberapa jenis energi terbarukan yang dikonsumsi secara langsung walaupun jumlahnya masih sangat sedikit. Padahal pengembangan energi terbarukan merupakan salah satu solusi penting bagi keberlanjutan pembangunan khususnya sektor energi. Melihat berbagai dinamika yang terjadi diatas, sangat penting bagi WWF Indonesia untuk terus meningkatkan pengetahuan para stafnya terutama terkait pengembangan energi terbarukan yang sudah dilakukan oleh beberapa pihak. Dalam hal itu, maka Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF Indonesia berencana untuk melakukan kunjungan lapangan ke beberapa lokasi di Jawa Barat yang sudah memanfaatkan energi terbarukan yaitu1: 1. 2. 3. 4. 5.
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Cinta Mekar – Subang. Mesin Pengering Tenaga Surya Bengkel perakitan PLTMH ,Cihanjuang – Cimahi Biogas, Lembang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang – Garut
Kunjungan ini ditargetkan secara khusus untuk seluruh staf di Program Perubahan Iklim dan Energi serta beberapa orang project leader dan koordinator WWF Indonesia yang aktivitasnya relevan dengan isu tersebut. 1.2
Tujuan Kegiatan
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada seluruh staf Program Perubahan Iklim dan Energi dan project leader atau koordinator WWF Indonesia yang aktivitasnya relevan dengan isu energi. 2. Mensosialisasikan “best practices” kegiatan pengembangan energi terbarukan yang dikunjungi melalui program kampanye WWF-Indonesia. 1.3
Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini akan dilakukan selama 3 (tiga) hari 2 (dua) malam, pada: Hari Tanggal
1
: Senin – Rabu : 27 – 29 Juli 2009
Tentatif, tidak menutup kemungkinan ada perubahan lokasi.
413131313131313131313131313
1.4
Peserta
Field trip ini diikuti oleh 19 orang peserta yang merupakan staf WWF-Indonesia, terdiri dari Divisi Program Iklim dan Energi (9 orang), Divisi Pendidikan Lingkungan (1 orang), Divisi Komunikasi (2 orang), Solor Alor Project (1 orang), Program Kalimantan Barat (2 Orang), Program HOB Kalimantan Timur (1 orang), Program HOB Kalimantan Tengah (1 orang), Proyek Bukit Barisan Selatan (1 orang), Konsultan Fotografer WWF (1 0rang) 1.5
Agenda Kegiatan
Waktu Acara Senin, 27 Juli 2009 08.00 – 08.30 Registrasi Peserta di Kantor WWF Jakarta 08.30 – 12.00 Diskusi - Presentasi PT. RDA Nusantara mengenai Solar Panel - Presentasi DR. Kamaruddin Abdullah mengenai pengering tenaga surya 12.00 – 13.00 Istirahat dan Makan Siang 13.00 Berangkat dari kantor WWF Jakarta 15.30 – 17.00 Kunjungan ke PLTMH Cinta Mekar – Subang 17.00 – 21.00 Presentasi mengenai Best Practices Penerapan PLTMH di Indonesia oleh Bapak Iskandar di Kantor IBEKA, Panaruban Subang (diselingi makan malam) 21.00 – 22.30 Tiba di penginapan Horison Dago Pakar Bandung Selasa, 28 Juli 2009 07.30 – 09.00 Sarapan pagi di hotel/penginapan 09.00 – 14.00 Kunjungan ke Bengkel PLTMH Cihanjuang 14.00 – 15.00 Istirahat dan Makan Siang 15.00 – 17.30 Kunjungan ke Biogas, Lembang 17.30 – 22.00 Menuju penginapan Tirta Gangga, Garut (diselingi makan malam) Rabu, 29 Juli 2009 07.30 – 09.00 Sarapan pagi di hotel/penginapan 09.00 – 12.30 Kunjungan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang 12.30 – 14.00 Istirahat dan makan siang 14.00 – 17.00 Kunjungan ke Pengering Kulit Tenaga Surya 17.00 – 22.00 Kembali ke Jakarta (Kantor WWF Jakarta) (diselingi makan malam)
513131313131313131313131313
2 2.1
Kunjungan Lokasi Hari 1, 27 Juli 2009: Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Cinta Mekar, Panaruban – Subang
PLTMH merupakan salah satu pembangkit listrik yang menggunakan sumber tenaga air dalam skala mikro. Mikro menunjukkan kapasitas pembangkit, yaitu sekitar 5 kW sampai dengan 200 kW. PLTMH Cinta Mekar merupakan salah satu PLTMH yang dibangun oleh IBEKA (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) dengan bantuan dana hibah dari Pemerintah Belanda. PLTMH ini pertama kali diresmikan pada tanggal 17 April 2004 oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr. Poernomo Yusgiantoro.
Gambar 1.
PLTMH Cinta Mekar
PLTMH Cinta Mekar memanfaatkan aliran air irigasi dari sungai Ciasem yang berhulu di Gunung Sunda. Potensi aliran air dari sungai Ciasem ini sangat besar lebih dari 500 liter per detik. Potensi air yang besar dari sungai Ciasem dialirkan ke bendungan. Kemudian dari bendungan ini sebagian dialirkan untuk irigasi sawah yaitu sebesar 50 liter per detik, sementara sebagian besarnya digunakan untuk PLTMH. Sebelum digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit, air dari irigasi ditampung di dalam bak penampung dengan kedalaman 3 meter dengan tujuan untuk membersihkan dari sampah-sampah yang dapat merusak turbin. Setelah itu, air dialirkan ke bak penenang dengan kedalaman sekitar 4,5 meter yang berfungsi untuk menstabilkan debit air yang akan masuk kedalam turbin. Setelah dari bak penenang air dialirkan dengan debit sekitar 500 liter/detik melalui pipa pesat dengan ketinggian 18,6 meter dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Ketinggian pipa pesat ini sangat mempengaruhi besaran listrik yang dapat dihasilkan. Air dari pipa pesat ini hanya digunakan untuk menggerakkan turbin, selepas dari turbin air dialirkan kembali kedalam sungai. Sehingga hal ini tidak menyebabkan kerusakan lingkungan ataupun mengurangi jumlah pasokan air untuk aktivitas masyarakat.
613131313131313131313131313
Justru kelestarian hutan di hulu sungai harus dipelihara agar ketersediaan pasokan air untuk PLTMH dapat terjaga.
Gambar 2.
Pipa Pesat
Selanjutnya dalam proses pembangkitan listrik, putaran turbin menyebabkan putaran roda penggerak yang selanjutnya menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. Listrik yang dihasilkan dari PLTMH ini sebesar 120 kW (kilo watt) dengan menggunakan 1 (satu) buah generator dengan kemampuan 120 kW dan 2 (dua) buah turbin dengan kemampuan masing-masing sebesar 60 kW. Listrik sebesar ini cukup untuk melistriki 4 (empat) dusun atau sekitar 200 rumah tangga didesa tersebut.
Panel kontrol
Generator
Putaran Roda
Gambar 3.
Generator PLTMH Cinta Mekar
PLTMH ini juga menggunakan 1 (satu) buah panel kontrol yang berfungsi sebagai penunjuk besaran listrik yang dihasilkan oleh generator dan juga 1 (satu) buah trafo stepup yang berfungsi untuk mentransformasikan tegangan pada sistem dalam hal ini sebesar 220 Volt ke tegangan menengah PLN sebesar 20.000 Volt mengingat listrik yang dihasilkan PLTMH Cinta Mekar sudah terinterkoneksi dengan jaringan listrik PLN. Artinya bahwa, setiap listrik yang dihasilkan oleh PLTMH ini dijual kepada PLN dengan harga yang disepakati dalam hal ini sebesar Rp. 520/KWh. Kemudian masyarakat sekitar
713131313131313131313131313
membeli listrik tersebut melalui PLN sesuai tarif listrik PLN yang berlaku. Sementara hasil penjualan listrik kepada PLN dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa sekolah, pelayanan kesehatan, perbaikan dan pembangunan infrastruktur desa termasuk juga pemeliharaan pembangkit. Keseluruhan bisnis PLTMH ini dikelola oleh Koperasi setempat yang bernama Koperasi Mekar Sari.
Gambar 4. Meteran Listrik PLN 2.2
Gambar 5. Trafo Tegangan
Hari II, Selasa 28 Juli 2009
2.2.1
Bengkel Perakitan Turbin PLTMH (CV. Cihanjuang Inti Teknik), Cihanjuang – Jawa Barat CV. Cihanjuang Inti Teknik (CINTEK) yang terletak di Jl. Cihanjuang 204, Cimahi Jawa Barat merupakan salah satu perusahaan manufaktur swasta yang mengembangkan turbin untuk PLTMH Turbin-turbin yang dihasilkan CINTEK telah mendapatkan sertifikasi uji dari Luzen Swiss. Sebagian besar komponen yang digunakan untuk pembuatan turbin ini seluruhnya menggunakan produksi dalam negeri dan teknologinya dikuasai oleh tenaga ahli lokal. Tidak hanya membuat turbin, CINTEK juga memberikan kesempatan pelatihan bagi pelajar maupun mahasiswa mengenai proses pembuatan turbin.
Gambar 6.
Bengkel Pembuatan Turbin Cihanjuang
813131313131313131313131313
Gambar 7. Pemanfaatan Turbin untuk Menghasilkan Listrik Berbagai pengalaman yang dirasakan CINTEK bahwa dalam membuat turbin untuk pengembangan pemanfaatan energi terbarukan khususnya PLTMH perlu diimbangi dengan paradigma pengembangan energi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Artinya bahwa ketersediaan energi diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi produktif masyarakat. Salah satu contoh yang berhasil diterapkan oleh CINTEK adalah penggunaan turbin untuk memproduksi minuman tradisional Jawa Barat seperti Bandrek, Bajigur, dan Sekoteng dengan berbagai pilihan rasa. Sehingga saat ini CINTEK telah memiliki 2 (dua) bidang produksi yaitu: (1) Rekayasa dan manufaktur pembangkit listrik tenaga air; (2) Industri minuman tradisional Jawa Barat dengan total produksi mencapai 60 ribu bungkus per hari.
Gambar 8. Proses Pembuatan Minuman Tradisional Cihanjuang
2.2.2 Biogas, Kampung Pengkolan, Desa Cikideung, Lembang, Jawa Barat Biogas merupakan salah satu jenis gas yang dihasilkan dari biomasa terutama kotoran ternak/manusia, limbah kota/industri maupun limbah pertanian melaui fermentasi anaerob (tanpa oksigen). Biogas ini terdiri dari beberapa unsur gas, seperti gas methan (CH4) sekitar 60-70%, karbondioksida (CO2) 20-25%, Hydrogen Sulfida (H2S) 7%, dan amoniak (NH3) 3%. Desa pengkolan yang terletak di wilayah Lembang Jawa Barat, merupakan salah satu desa yang memiliki potensi biogas yang cukup besar terutama yang bersumber dari kotoran ternak. Mengingat potensinya yang cukup besar, Yayasan Pengembangan Swadaya
913131313131313131313131313
Masyarakat (PESAT) bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) melakukan sosialisasi mengenai pemanfaatan biogas sebagai energi khususnya untuk memasak di rumah tangga pedesaan. Dalam melakukan kegiatan sosialisasi tidaklah mudah meyakinkan masyarakat setempat, banyak kendala yang dihadapi. Terlebih, bila warga masyarakat tidak memiliki ternak sendiri, sulit untuk mendapatkan pasokan kotoran sapi. Namun demikian Bapak Dedeng dan Ibu Nenden di kampung Pengkolan tersebut menyadari kebutuhan energi yang dirasa sangat penting untuk kehidupan sehari-hari akhirnya memasang instalsi biogas portabel di rumah mereka.
a. Tipe yang tertanam di tanah Gambar 9.
b. Tipe yang menggantung Reaktor Biogas
Biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Dedeng untuk instalasi reaktor biogas portable itu sekitar Rp. 1.000.000,- terdiri dari biaya pembelian kompor sekitar Rp. 125.000,-, reaktor biogas plastik, drum umpan, pengaman gas, dan selang untuk menyalurkan gas dari reaktor ke kompor,. Namun biaya tersebut tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja kerja karena seluruh pengerjaan mulai dari penggalian sampai pemasangan instalasi dan pengumpulan pasokan kotoran sapi dilakukan sendiri. Diperkirarakan instalasi biogas portabel tersebut dapat bertahan selama 5 (lima) tahun. Bentuk instalasi dapat berbedabeda. Sebagai contoh, di rumah Bapak Dedeng instalasi dibuat menggantung vertikal karena lahan yang tersedia sangat sempit, sementara di rumah Ibu Nenden instalasi dibuat horizontal tertanam di tanah dengan panjang 7 (tujuh) meter dan kedalaman 1,3 meter. Pada awal pemasangan, diperlukan sekitar 5 (lima) kubik atau sekitar 25 ember kotoran sapi yang dimasukkan kedalam reaktor. Kemudian ditunggu selama 20 hari hingga reaktor menghasilkan gas.
1013131313131313131313131313
Gambar 10. Pengaman dan Kompor Biogas Untuk kebutuhan memasak sehari-hari, kotoran yang dibutuhkan hanya sekitar 3 (tiga) ember perhari, yang dapat menghasilkan gas untuk memasak sekitar 3 – 4 jam. Berdasarkan pengalaman Bapak Dedeng, penggunaan biogas dapat menghemat pemakaian LPG yang berarti menghemat biaya energi sehari-hari. Nyala api yang dihasilkan tidak berbeda dengan nayala api dari LPG, berwarna biru dan tidak berbau. Selain itu juga, sisa dari proses fermentasi akan keluar dalam bentuk padat melalui pipa pembuangan dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang dengan kualitas yang bagus terutama untuk tanaman sayur dan buah. Diperkirakan dengan kapasitas reaktor seperti tersebut diatas, dapat menghasilkan sekitar 4 (empat) karung pupuk kandang. Sehingga selain dapat menghemat pembelian LPG, pemanfaatan biogas juga dapat menghemat pembelian pupuk. Dari sisi lingkungan, pengolahan limbah tersebut dapat mencegah penumpukan limbah yang dapat menjadi sumber penyakit dan polusi udara. 2.3
Hari III, Rabu 29 Juli 2009
2.3.1
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Garut Jawa Barat Panas bumi adalah air panas/uap yang terbentuk dari magma secara alamiah. Ini merupakan salah satu potensi sumber energi yang cukup besar di Indonesia yang berada di dataran tinggi pegunungan terutama di sekitar wilayah gunung berapi. Sumber energi panas bumi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi panas (thermal) dan sumber energi untuk pembangkitan listrik. Letaknya yang umumnya di daerah pegunungan, memungkinkan pemanfaatan sumber panas (thermal) untuk peningkatan produk-produk pertanian maupun perkebunan seperti untuk proses pengeringan dan pengawetan, destilasi jamur dan kayu putih, serta pemandian air panas. Sebagai energi alternatif, panas bumi memiliki beberapa keunggulan antara lain, mudah didapat secara kontinyu dalam jumlah besar, ketersediaannya tidak terpengaruh oleh cuaca, bebas polusi udara karena tidak menghasilkan gas berbahaya (kecuali CO2 yang bisa dimanfaatkan menjadi noncondensable gas) serta merupakan energi yang dapat diperbarui. Meskipun potensi ini cukup besar. Namun pemanfaatannya masih terbilang sedikit, yaitu sekitar 1000 MW kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sekitar 27.000 MW potensi yang tersedia. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Kamojang yang terdapat di Desa Laksana, Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung Jawa Barat. PLTP Kamojang merupakan salah satu pembangkit milik PT. Indonesia Power (IP) yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga anak perusahaan PT. PLN (Persero). Potensi panas bumi di Wilayah Kamojang sekitar 300 MW, namun saat ini yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik baru sebesar 140 MW oleh Indonesia Power yang terbagi dalam 3 (tiga) unit pembangkit yaitu Unit 1, Unit 2, dan Unit 3 dengan kapasitas masing-masing sebesar 30 MW, 55 MW dan 55 MW. Sementara 60 MW dimanfaatkan oleh Pertamina Geothermal. Pembangkit listrik panas bumi memanfaatkan uap panas dari perut bumi untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit. PLTP Kamojang membeli pasokan uap dari sumur-sumur panas bumi yang dikelola oleh Chevron dan Pertamina dengan harga yang telah disepakati dan mengacu pada harga MFO dan juga titik pengukuran penentuan harga. Sebagai contoh, pasokan uap yang dibeli dari Pertamina adalah sebesar 0,28 x harga MFO
1113131313131313131313131313
x 20% = Rp 1200/KWh. Bila dimasukkan dalam biaya operasional pembangkit, maka harga ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga jual litrik per KWh yang secara rata-rata hanya sekitar Rp. 750,-. Namun karena Indonesia Power merupakan BUMN, maka selisih harga tersebutmendapat subsidi dari pemerintah. Untuk kapasitas 140 MW, dibutuhkan sekitar 1000 ton uap/jam dengan temperatur sekitar 17 derajat celcius (tergantung pada musim). Uap sebesar ini dipasok dari sekitar 26 sumur panas bumi yang ada. Kemudian uap dari sumur-sumur tersebut dialirkan melalui pipa sepanjang ± 4,5 Kilometer, masuk ke dalam demister untuk dibersihkan/disaring. Sebagian uap yang ada di demister ini dimanfaatkan untuk proses pengawetan, pengeringan maupun destilasi jamur dan kayu putih. Sementara uap yang sudah dibersihkan akan masuk dan menggerakkan turbin untuk kemudian menggerakkan generator dan menghasilkan listrik. Siklus yang digunakan PLTP adalah siklus terbuka, artinya uap dari panas bumi hanya digunakan 1 (satu) kali. Sehingga buangan uap dari turbin akan masuk seluruhnya ke kondensator untuk akhirnya akan masuk ke dalam cooling tower setelah melalui pendingin utama dan pompa pembersih. Selain itu juga, air dari hasil kondensasi ini akan diinjeksikan kembali kedalam tanah. Uap yang tidak terkondensasi ± 0,5% dari total uap akan dibuang ke udara berupa (CO2dan H2S). Sementara sampah/materi fisik seperti lumpur dan batu-batuan akan dikeluarkan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan batako.
Gambar 11a. Pipa Uap Utama
Gambar 11b. Cooling Tower
Listrik yang dihasilkan oleh PLTP Kamojang sudah interkoneksi dengan jaringan PLN, yaitu sistem 150 kV untuk memasok sistem Jamali dan sistem 20 kV untuk melistriki 1 (satu) kecamatan di Majalaya dan Garut.
Gambar 12a. Trafo Tegangan 150 kV
Gambar 12b. Jaringan Transmisi PLN
1213131313131313131313131313
2.3.2 Pengering Kulit Tenaga Surya, Garut Jawa Barat Matahari merupakan sumber panas terbesar di atas bumi yang telah dimanfaatkan secara tradisional untuk mendukung kegiatan manusia. Dengan adanya teknologi yang disebut solar panel, panas matahari tersebut dapat lebih ditingkatkan nilai daya gunanya. Salah satunya seperti yang terdapat di Pabrik Kulit milik H. Sulaeman di daerah Gagak Lumayung, Garut yang memanfaatkan teknologi pengering surya untuk mengeringkan kulit.
Gambar 13. pengering Kulit Tenaga Surya Pembuatan kulit ternyata harus melalui beberapa tahapan proses yang cukup panjang dan membutuhkan waktu. Mulai dari kulit mentah baik domba, kambing, maupun sapi dimasukkan kedalam drum untuk dilakukan pengapuran yaitu untuk membuang bulubuluyang masih menempel pada lapisan kulit. Proses pengapuran ini biasanya membutukan waktu sekitar3 (tiga) hari. Setelah pengapuran, proses selanjutnya adalah splitting (pemisahan lapisan kulit bagian luar dan bagian dalam. Biasanya kulit bagian dalam digunakan sebagai bahan pembuat kerupuk kulit. Sementara kulit bagian luar digunakan untuk bahan pembuat jaket, sarung tangan, sepatu dll. Setelah dipisahkan, selanjutnya akan dilakukan penyamakkan pada kulit bagian luar. Tujuannya agar kulit menjadi lebih lembut. Setelah itu masuk ke dalam proses shaving atau pencukuran yang bertujuan untuk mengatur ketebalan kulit. Kemudian kulit akan dikeringkan. Setelah kering, akan melalui proses pewarnaan dan kemudian dikeringkan kembali. Secara total seluruh proses tersebut berlangsung selama ± 10 hari. Dalam metode konvensional, proses pengeringan biasanya menggunakan sinar matahari secara langsung. Namun kendalanya dibutuhkan lahan yang cukup luas untuk menjemur kulit-kulit tersebut yang rata-rata memiliki lluas sekitar 15 – 30 feet. Dan bila cuaca hujan, proses pengeringan akan terganggu. Padahal produktivitas pabrik ini bisa mencapai 300 lembar kulit domba per hari.
Gambar 14. Pemasangan Kulit pada Pengering Tenaga Surya Gambar 15. Pengeringan Kulit secara Konvensional
1313131313131313131313131313
Pengering surya pertama kali digunakan oleh pabrik tersebut sekitar awal 2009. pengering surya tersebut merupakan disain dari Universitas Dharma Persada yang di rakit oleh PT. Sumber Piranti.dan dibiayai oleh SENADA (Indonesia Competitiveness Program) melalui APKI (Asosiasi Pengusaha Kulit Indonesia). Dengan menggunakan pengering tenaga surya ini ada abeberapa keuntungan yang diperoleh, antara lain: 1. Tidak membutuhkan lahan yang luas untuk menjemur dan mengeringkan kulit. 2. Tidak tergantung pada cuaca. Artinya bila cuaca hujan, proses pengeringan masih dapat dilakukan dengan menggunakan kayu bakar sebagai penghasil panas. 3. Cara meletakkan kulit di atas penampang pengering dapat memperlebar kulit sampai dengan ± 0,2 feet sehingga dapat menambah keuntungan mengingat harga jual kulit berdasarkan pada ukuran lebar kulit yaitu sekitar Rp. 5500 – 6000/feet. 4. Mempercepat proses pengeringan sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman pabrik ini, mampu meningkatkan produktivitas sampai dengan 100 lembar kulit per bulan.
3
Penutup
Field trip yang dilakukan selama 3 (tiga) hari ini memberikan wawasan baru kepada peserta yang seluruhnya adalah staf WWF-Indonesia mengenai potensi energi terbarukan yang sangat melimpah di Indonesia. Hal ini terlihat dari antusiasme dan berbagai pertanyaan peserta dalam setiap kunjungan. Dalam kunjungan ini, peserta tidak hanya melihat implementasi EBT di lapangan, melainkan juga mendapatkan materi-materi presentasi dan juga penjelasan dari pemilik ataupun koordinator di masing-masing lokasi. Best practices yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengembangkan EBT dapat menjadi pembelajaran yang sangat berarti terutama bagi staf-staf WWF yang berada di daerah-daerah yang memiliki potensi EBT cukup besar namun belum memanfaatkannya. Seluruh cerita yang didapat dari kunjungan ini diharapkan dapat di sosialisasikan melalui media komunikasi WWF Indonesia agar dapat memberikan lebih banyak manfaat bagi orang banyak.