LAPORAN PENELITIAN
IDENTIFIKASI BERBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN PROGRAM PEMBELAJARAN PAKET B DI KECAMATAN RANTAU BADAUH KABUPATEN BARITO KUALA
oleh : Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si (Ketua) Drs.H.Harpani Matnuh, MH (Anggota)
Dilaksanakan atas Biaya PNBP FKIP Unlam Tahun Anggaran 2011
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2011
1
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
: Identifikasi Berbagai Faktor Penghambat Pelaksanaan Program Paket B di Kec. Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala
2. Peneliti Ketua Anggota
: : Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si : Dra.H. Harpani Matnuh, MH
3. Lokasi Penelitian
: Desa Sungai Gampa kec. Rantau Badauh Kabupaten Kab. Barito Kuala
4. Waktu Penelitian
: 3 (tiga) bulan
5. Dana Penelitian
: Rp. 2.500.000,-
7. Sumber dana
: PNBP FKIP Unlam
Banjarmasin, Desember 2011 Ketua Peneliti Mengetahui : Dekan FKIP Unlam
Drs. Ahmad Sofyan, MA NIP. 19511110 197703 1 003
Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si NIP. 19660115 199102 2 001
Mengetahui Ketua Lembaga Penelitian
Dr.Ir.Ahmad Kurnain, M.Sc NIP. 19630407 199103 1 003
2
KATA PENGANTAR
Mutu hasil pendidikan nasional tentu saja tidak dapat bertumpu hanya pada pendidikan formal tetapi juga pada pendidikan nonformal. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal mempunyai ciri khusus, yaitu kegiatan pendidikannya diorganisir dan diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal. Salah satu program pendidikan nonformal adalah pendidikan kesetaraan Paket B. Program Paket B Setara SMP/MTs berfungsi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Di Kalimantan Selatan, kelompok belajar Paket B tersebar di seluruh Kabupaten/Kota, termasuk di kecamatan Rantau Badauah Kab. Barito Kuala Penelitian ini mengkaji tentang Berbagai Faktor Penghambat Pelaksanaan Program Paket B di kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala. Dengan selesainya penelitian ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran penelitian. Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan. Akhir kata semoga laporan yang sederhana ini bermaanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya
Banjarmasin,
Desember 2011
Penulis
3
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
........................................................................
i
DAFTAR ISI
.......................................................................
ii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian
.......................................................... ........................................................... ............................................................ ............................................................ ............................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................
1 1 5 5 5 7
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... A. Metode Penelitian .......................................................... B. Fokus Penelitian .......................................................... C. Penetapan Lokasi Penelitian ............................................. D. Sumber dan Jenis Data ............................................. E. Proses Pengumpulan Data ............................................ F. Analisis Data ....................................................................
14 14 14 15 16 17 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................
18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................
31
DAFTAR PUSTAKA
33
......................................................................
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah secara luas dapat diartikan sebagai pemberian hak daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dengan demikian terlihat adanya semangatdesentralisasi sebagai titik tekan dalam undang-undang tersebut. Hak pengelolaan yang diberikan kepada daerah dari pemerintah pusat, salah satunya adalah sektor pendidikan. Otonomi daerah yang dianggap sebagai wahana untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan di masyarakat, lancar dan tidaknya pelaksanaan otonomi daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Kemampuan yang dibutuhkan di antaranya adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM). Perlu ditegaskan bahwa istilah SDM di sini tidak hanya berhubungan dengan knowledge, tetapi juga berhubungan dengan skill masyarakat suatu daerah. Peningkatan SDM perlu dilakukan karena SDM masyarakat suatu daerah dapat menentukan keberhasilan pembangunan dan pengembangan daerah tersebut. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat yaitu dari masyarakat agraris ke masyarakat indusrtri, kemudian meningkat ke masyarakat informasi. Pendidikan, menurut Unesco Institute for Education (dalam Sudjana, 2004 : 398), “as an organized and sustained communication designed to bring about learning” (pendidikan merupakan komunikasi 5
terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang untuk menumbuhkan belajar). Smith (dalam Sudjana, 2004 : 398) juga menjelaskan bahwa “Education can be defined as the organized, systematic effort to foster learning, to establish the conditions and to provide the activities through which learning can occur” (pendidikan dapat diartikan sebagai upaya terorganisasi dan sistematik untuk mendorong belajar, menyiapkan kondisi-kondisi dan menyediakan kegiatan-kegiatan yang melalui kondisi dan kegiatan itu belajar dapat terjadi). Belajar yang dimaksud di atas bukan hanya sekedar untuk mengetahui sesuatu (learning how to know), atau belajar untuk mengetahui memecahkan masalah (learning how to solve problems), melainkan yang lebih penting lagi adalah belajar untuk kemajuan hidup (learning how to be) yang didalamnya termasuk learning to do, learning how to thing to gether. Kegiatan belajar yang dipandang cocok di masa depan menurut Botkin (dalam Sudjana, 2004 : 398) adalah belajar secara inovatif (innovative learning) yang memadukan belajar mengantisipasi (anticipative learning) dan belajar bersama orang lain (participative learning) dengan cara berfikir dan bertindak di dalam dan terhadap lingkungannya. Dalam menghadapi tantangan abad ke-21 adalah amat penting melakukan upaya secara besar-besaran di bidang pendidikan, khususnya pelatihan, untuk membelajarkan masyarakat supaya memiliki kemampuan bersaing dalam era globalisasi melalui penguasaan pengetahuan dan ketrampilan baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan kehidupan global. Dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk 6
berkembangnya potensi potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam rangka mencapai fungsi dan tujuan tersebut, maka pendidikan dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (pasal 13 UU No. 20 Tahun 2003). Usaha melalui jalur pendidikan formal dapat ditempuh melalui proses belajar di bangku sekolah, mulai dari jenjang TK sampai dengan perguruan tinggi (PT), sedangkan untuk peningkatan mutu SDM melalui jalur pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) dapat ditempuh lewat pendidikan kesetaraan yang meliputi Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SMP, dan Kejar Paket C setara SMA. Dalam perspektif kelangsungan sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan pada jalur sekolah (formal) lebih dikenal oleh masyarakat dibanding pendidikan pada jalur luar sekolah (nonformal). Hal ini dapat terlihat dari berbagai kebijakan dan implementasi pendidikan pada umumnya memberikan perhatian yang besar pada jalur formal daripada jalur nonformal. Namun demikian, mutu hasil pendidikan nasional tidak dapat bertumpu hanya pada pendidikan formal tetapi juga pendidikan nonformal. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal mempunyai ciri khusus, yaitu kegiatan pendidikannya diorganisir dan diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal. Program Pendidikan nonformal ini ditujukan bagi peserta didik berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak sekolah, putus sekolah dan putus lanjutan, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan 7
warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan belajarnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu program pendidikan nonformal adalah pendidikan kesetaraan Paket B. Program Paket B Setara SMP/MTs berfungsi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Di Kalimantan Selatan, kelompok belajar dan jumlah warga belajar Paket B tersebar di seluruh Kabupaten/Kota, sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 1.1 Kelompok Belajar dan Jumlah Warga belajar Program Paket B di Kalimantan Selatan No
Kabupaten/Kota
Jumlah Kelompok Belajar
Jumlah Warga Belajar
51 Banjarmasin 34 Banjarbaru 69 Banjar 48 Tapin 52 Hulu Sungai selatan 58 Hulu Sungai tengah 57 Hulu Sungai Utara 46 Balangan 50 Tabalong 56 Barito Kuala 62 Tanah Laut 58 Tanah Bumbu 57 Kotabaru 698 Jumlah Sumber : Profil Kesetaraan Provinsi Kalimantan Selatan, 2010 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1.335 890 1.810 1.255 1.330 1.500 1.485 1.180 1.290 1.425 1.565 1.470 1.435 17.970
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa cukup banyak kelompok penyelenggara program kesetaraan yang ada di Kalimantan Selatan. Namun demikian,
8
sampai sekarang masih banyak anak usia 7 – 15 tahun yang tidak bersekolah, padahal program kesetaraan paket A dan B sudah memberikan peluang yang cukup baik agar mereka bisa tetap bersekolah. Untuk itu perlu dikaji secara mendalam faktor-faktor apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran program kesetaraan, khususnya program paket B
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : : “ faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran kesetaraan program Paket B di kecamatan Rantau Badauh ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis data
tentang : faktor-faktor
yang
menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran kesetaraan program Paket
B di
kecamatan Rantau Badauh”
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan masukan dalam upaya
pengembangan ilmu pengetahuann, khususnya
ilmu yang berkaitan dengan
pendidikan.
9
2. Secara Praktis a. Bagi Pemerintah Daerah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau pertimbangan untuk menyusun kebijakan atau program di daerah, khususnya yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia/kualitas hidup.
b. Bagi Dinas Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi dinas pendidikan, khususnya
dalam upaya percepatan penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Kesetaraan 1. Pengertian Kesetaraan Pendidikan kesetaraan merupakan pendidikan nonformal yang menakup program Paket A Setara SD/MI, paket B Setara SMP/MTs dan Paket C Setara SMA/MA dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional peserta didik. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah daearah dengan mengacu pada Standar Nasional pendidikan (UU No. 20/2003). Setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B dan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijasah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi
2. Dasar Hukum Dasar hukum penyelenggaraan pendidikan Kesetaraan adalah : a. UUD 1945 b. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional c. PP No. 19 tahun 2005 tentang starndar Pendidikan Nasional d. Instruksi Presieden No. 1 tahun 1994 tentang Pelaksanaan wajib belajar 9 tahun 11
e.
Instruksi Presieden No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Perepatan Penuntasan wajib belajar 9 Tahundan pemberantasan Buta aksara
f. Keputusan Mendikbud No. 0131/U/1994 tentang Program Paket A dan Paket B 3. Tujuan Pendidikan Kesetaraan a. Memperliuas akses pendidikan dasar 9 tahun melalui pendidikan nonformal program Paket Asetara SD/MI dan paket B setara SMP/MTs yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional b. Memperluas akses pendidikanmenengah melalui jalur pendidikan nonformal program paket C setara SMA/MA yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional c. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan serta relevansi program dan daya saing pendidikan kesetaraan program Pket A, B dan C d. Menguatkan
tata
kelola,
akuntabilitas
dan
citra
publik
terhadap
penyelenaggaraan dan penilaian program pendidikan kesetaraan (Depdiknas, 2006)
B. Wajib Belajar 9 Tahun 1. Kebijakan Wajib Belajar 9 tahun Pada bangsa-bangsa yang telah maju Wajar telah mulai sejak lama. Di Amerika Serikat misalnya, Wajar telah dimulai sejak tahun 1852 (De Young &Wyhnn, dalam Bentri, dkk. 2008). Wajib belajar ini dimulai dengan Wajib Belajar di sekolah dasar, dan terus berkembang sampai umur anak mencapai 18 tahun. Wajib Belajar ini dikenakan
kepada
anak
pada
umur-umur
yang
dimaksudkan
itu,
dan 12
pertanggungjawabannya diletakkan pada orang tua, termasuk di dalamnya para wali atau orang tua asuh anak yang bersangkutan (Brishen, dalam Bentri, dkk. 2008). Sejak awal 1970-an pendidikan memang sudah diprioritas kebijakan Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1973 berdasarkan Inpres Nomor 10 pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Tahun 1983 dimulai program wajib belajar 6 tahun untuk anak usia 7 – 12 tahun secara nasional. Sukses yang dicapai program wajib belajar 6 tahun ini memotivasi pemerintah untuk meningkatkan program belajar menjadi 9 tahun sejak bulan Mei 1994 yang lalu. Hal ini sesuai dengan Amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijaksanaan Pendidikan Dasar 9 tahun sampai dengan tingkat SLTP/Satuan Pendidikan Sederajat adalah Wajib Belajar bagi semua warga negara. Timbulnya kebijakan tersebut karena berbagai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti : 1) lebih dari 80% angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang, atau SMP tidak tamat; 2) Program Pendidikan Wajib Belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; 3) semakin banyak tingkat pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor yang produktif; 4) dengan peningkatan program
Wajib beljar 6 tahun ke wajib belajar 9 tahun
meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa;
akan
5) peningkatan wajib belajar 9
akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun (Syarif, 1994). Gerakan Wajar mendapatkan pijakan yang lebih kuat lagi pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penekanan yang lebih dirasakan tampak pada tanggung
jawab pembiayaan Wajib Belajar
itu sendiri dan
penyelenggaraannya, yaitu pemerintah pusat dan daerah. Mudah-mudahan peningkatan 13
Wajar ini dapat mengejar ketertinggalan pelaksanaan Wajar dari bangsa yang telah maju.
2. Tujuan Wajib Belajar Program Wajib belajar 9 tahun didasari konsep “Pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua anak. Hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan Wajib Belajar, mereka akan dapat menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut May (dalam Bentri, dkk. 2008 ) adalah merangsang aspirasi pendidikan orang tua dan anak yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standart nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan
14
pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung.
3. Pelaksanaan Wajib Belajar Menurut Bentri, dkk. (2008) pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu; 1) dilakukan tidak melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hukum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6 – 15 tahun. Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3tahun di SLTP. Untuk tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan Kelompok Belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Regular, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTPLB dan Kelompok Belajar Paket B. Tahun 2000 adalah mulai diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No. 25 Tahun 2000). Dengan Kebijakan Otonomi Daerah ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk wajib belajar 9 tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di 15
daerah masing-masing yang merupakan tolak ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis. Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto dalam Bentri dkk. 2008). Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia di Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat dan sulitnya permasalah yang ada pada awalnya, dengan adanya kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah dan masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemem berbasis sekolah (school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais dalam Bentri, dkk. 2008, ). 4. Penyelenggaraan Wajib belajar 9 tahun Dalam pasal 3 Bab III Peraturan Pemerintah RI No. 47 tahun 2008 tentang Wajib belajar, pasal 3 menjelaskan bahwa : (a) diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. 16
(b) Penyelenggaraan wajib belajar pada ajalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat. (c) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal dilaksanakan melalui program Paket A, program Paket B, dan bentuk lain yang sederajat (d) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal dilaksanakan melalui pendidikan keluarga dan/atau pendidikan lingkungan. (e) Ketentuan mengenai penyetaraan pendidikan nonformal dan pengakuan hasil pendidikan informal penyelenggara program wajib belajar terhadap pendidikan dasar jalur formal diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Selanjutnya pasal 4 menjelaskan bahwa Program wajib belajar diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah sesuai kewenangannya, atau masyarakat. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dpat diketahui bahwa program Paket A dan paket B merupakan penyelenggara wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal
17
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif di samping dapat mengungkap dan mendeskripsikan peristiwaperistiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi (hidden value) dari penelitian ini. Di samping itu penelitian ini juga peka terhadap informasiinformasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti berada pada posisi sebagai instrumen kunci (Lincoln dan Guba, 1985 : 198).
B. Fokus Penelitian Untuk menjawab dan mengkaji masalah penelitian, penentuan fokus penelitian menjadi sangat perlu. Menurut Eisenhardt (1989:536) tanpa fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Oleh karena itu, fokus penelitian sangat penting peranannya dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Fokus penelitian berkaiatan erat dengan masalah yang telah dirumuskan, dan masalah yang telah dirumuskan dijadikan sebagai acuan dalam penentuan fokus penelitian. Fukus penelitian masih dapat berekembang sesuai dengan sifatnya yang masih emergent atau tentatif. Karena sifatnya tentatif, maka perlu fokus penelitian kualitatif yang menurut Moleong (1999:237) dimaksudkan untuk ” membatasi studi 18
kualitatif, sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana yang tidak. Dengan mengacu pada pemikiran di atas, maka fokus dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut : a. Faktor penghambat yang dilihat dari sisi lembaga atau kelompok penyelenggara dalam melaksanakan program
Paket
B dilihat dari sarana dan parasarana,
kehadiran tutor dan pembinaan dari instansi terkait b. Faktor penghambat yang dilihat dari sisi warga belajar
C. Penetapan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala. Alasan di pilihnya Kabupaten Barito Kuala sebagai lokasi penelitian dikarenakan masih rendahnya APK dan APM di Kabupaten Barito Kuala. Pelaksanaan penelitian ini juga berdasarkan pendapatnya Moleong (1999 :86) yang mengatakan bahwa ,”cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan penelitian adalah dengan jalan mempertimbnagkan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan utnuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapanagan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian.
19
D. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data a. Key informan, yaitu informan awal atau informan kunci yang dipilih seara purposif (purposive sampling). Pemilihan informan ini didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian. Dari informan kunci kemudian peneliti meneruskan pengumpulan data keinforman berikutnya dan seterusnya sampai peneliti merasa bahwa informan sudah cukup yakni jika sudah menunjukkkan kejenuhan informasi. Sebagaimana dikatakan Muhadjir (1990) bahwa bila dengan menambah informanhanya memperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh. Cara seperti ini disebut dengan teknik Snowball Sampling yaitu informasi dipilih secara bergulir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi atau disebut juga dengan theoritical sampling. b. Tempat dan peristiwa, sebagai sumber data tambahan yang dilakukan melalui observasi langsung terhadap tempat dan peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Paket B c. Dokumen yang relevan, yaitu berbagai dokumen yang berkaitan dengan datadata Paket B baik menyangkut tentang tutor maupun tentang peserta didik.
20
2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung dari para informan penelitian, tulisan dari berbagai dokumen kelompok penyelenggara Paket B baik yang berkaitan dengan peserta didik maupun .Keterangan berupa kata-kata atau cerita laangsung dari informan dijadikan sebagai data primer (utama), sedangkan tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan data sekunder (pelengkap).
E. Proses Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi baik melalui observasi maupun wawancara.
F. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Pembelajaran Program paket B di Kabupaten Batola a. Tempat Belajar Berbeda dengan sekolah formal yang sudah mempunyai tempat khusus, tempat belajar program paket B umumnya belum mempunyai tempat yang khusus. Salah seorang pengelola program paket B di Kabupaten Barito Kuala yaitu Iswandi menyatakan kepada peneliti bahwa : ” Tempat melaksanakan kegiatan belajar mengajar program paket B yang saya kelola adalah pinjam tempat sekolah formal yakni sekolah dasar yang terdekat. Hal ini sudah berlangsung lama, dan sekolah yang dipinjam untuk melaksanakan pembelajaran paket B selalu bersedia meminjamkannya”. Iswandi selanjutnya mengatakan bahwa walaupun pinjam di sekolah formal, tetapi pembelajaran program paket B tidak akan mengganggu proses pembelajaran pendidikan formal karena dilaksanakan pada sore hari. Ketika ditanya apakah peminjaman tempat tersebut ada
pembelajaran paket B
perjanjiannya secara hukum (hitam di atas putih) , Iswandi
selanjutnya mengatakan bahwa : ” kada papa jua buai biar kadada itu, kada mungkin jua pihak sekolah meyuruh pindah, karna nang maajar di program paket B ini malibatakan guru-guru nang maaajar di sakolah tersebut (tidak
22
mengapa bu walaupun tidak ada perjanjian hukumnya, tidak mungkin pihak sekolah menyuruh pindah, sebab yang mengajar di program paket sebagian juga guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut). Responden lainnya yang juga pengelola program paket B di Kabupaten Barito Kuala menyatakan bahwa : ” kami meminjam sekolah Taman KanakKanak , karena kebetulan di kampung ini ada sakolah TK, dan pembelajarannya hanya sebentar sekitar 3 jam ( pukul 08.00 s/d Tidak jauh berbeda halnya
pukul 11.00).
dengan responden terdahulu, responden
lainnya pengelola program paket A di kecamatan Rantau Badauh kabupaten Barito Kuala yaitu Kifran juga menyatakan bahwa pembelajaran program paket A yang dia kelola pinjam sekolah dasar yang ada, dan pihak sekolah cukup memahami bahkan mendukung kegiatan program pembelajaran paket A ini. b. Waktu Belajar Berdasarkan ketentuan buku acuan proses pelaksanaan dan pembelajaran pendidikan kesetaraan program paket A, paket B dan Paket C, bahwa pembelajaran harus dilaksanakan minimal 3 kali seminggu. Penentuan hari dan jam belajar biasanya berdasarkan kesepakatan antara warga belajar dengan tutor. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tutor paket B yaitu Sabri bahwa pembelajaran memang dijadwalkan 3 kali seminggu. Namun itu terealisasi pada awal-awal saja, dalam perjalanannya hal itu tidak bisa lagi
23
dilaksanakan, terlebih pada saat-saat musim kerja. Biasanya mereka hanya bisa melaksanakan 2 kali seminggu, namun waktunya diperpanjang. Tidak jauh berbeda dengan Sabri, tutor sekalgus pengelola lainnya yaitu Hanah juga mengatakan bahwa pembelajaran program paket yang dia kelola menjadwalkan pembelajaran 3 kali seminggu sesuai dengan ketentuan. Namun hal itu sangat sulit dilakukan, khususnya saat-saat memasuki masa kerja, yaitu masa tanam dan masa panen. Selanjutnya dikatakan, para tutor dan pengelola tidak bisa berbuat banyak (memaksakan), karena jika dipaksa dikhawatirkan mereka malah tidak akan mau lagi mengikuti pembelajaran diprogram paket. c. Fasilitas Pembelajaran yang tersedia Berbeda halnya dengan sekolah formal yang bantuan dari pemerintah, sekolah non formal
banyak mendapatkan
berdasarkan observasi yang
dilakukan peneliti, tampaknya tidak selengkap yang ada di sekolah formal. Berdasarkan
wawancara dengan salah seorang tutor yaitu Iswandi
bahwa fasilitas pembelajaran yang tersedia sangat minim. Dia selanjutnya menyatakan bahwa : ” kelompok belajar kami hanya mendapatkan buku-buku dan alat-alat tulis yang sangat terbatas”. Responden lainnya yaitu Noor Samah menyatakan bahwa fasilitas yang ada sangat minim, terlebih kalau warga belajarnya melebihi dari 25 orang (Paket B).
24
Berdasarakan keterangan dari salah seorang staf PLS di Dinas Pendidikan Propinsi Kalimantan Selatan yang membidangi program paket A dan Paket B yaitu Jainab menyatakan bahwa pemerintah hanya memberikan bantuan perkelompok (Paket B) 25 orang dan paket A 20 orang untuk keperluan alat-alat tulis. Padahal dalam satu kelompok terkadang melebihi dari ketentuan yang ada. Oleh karena itu terpaksa pengelola mensiasati dengan
cara
swakelola. Tetapi jika warga belajarnya berasal dari keluarga kurang mampu, maka hal itupun tidak akan bisa jalan. d. Metode Pembelajaran yang Digunakan Menurut
salah seorang tutor, bahwa metode pembelajaran
yang
digunakan tentunya disesuaikan dengan usia warga belajar. Hampir sebagian besar warga belajar berusia di atas 15 tahun (usia prioritas), kecuali warga belajar yang ada di pesantren-pesantren, semuanya usia prioritsa. Berdasarkan hal tersebut, maka bagi warga belajar yang usianya di atas rata-rata usia prioritas, maka metode pembelajaran juga harus disesuaikan dengan usia mereka. Para tutor harus lebih sabar dalam melaksanakan pembelajarannya. Metode yang digunakan umumnya hanya metode ceramah dan tanya jawab. Tetapi bagi warga belajar yang usia prioritas, maka selain metode ceramah dan tanya jawab, pemberian-pemberian tugas atau pekerjaan rumah bisa dilaksanakan.
25
2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat yang dihadapi oleh lembaga penyelenggara dalam melaksanakan program
Paket
B di Kec. Rantau
Badauh Kabupaten Barito Kuala Setiap program yang dijalankan tentu tidak bisa lepas dari berbagai kendala, termasuk program pembelajaran paket B. Beberapa kendala yang dihadapi oleh pengelola dalam melaksanakan pembelajaran paket adalah sebagai berikut : a. Dana sering terlambat Pembelajaran program paket B di Kecamatan Rantau Badauh, hampir semuanya mengandalkan bantuan dana dari pemerintah. Warga belajar sama sekali tidak dipungut dana, bahkan sebaliknya mereka mendapatkan bantuan modul dan alat tulis. Oleh karena itu transport untuk tutor maupun untuk pengelola semuanya berasal dari bantuan pemerintah. Setiap kelompok belajar yang mendapat bantuan berjumlah 25 orang. Jika dalam kelompok belajar warga belajarnya lebih dari 25 orang maka selebihnya harus dengan biaya sendiri (beli alat tulis maupun modul pembelajaran). Berdasarkan wawancara dengan pengelola, transfer dana dari disdik provinsi sering terlambat diterima oleh pihak pengelola. Pihak pengelola menghendaki dana sudah diterima sebelum pembelajaran dimulai, tapi yang sering terjadi adalah dana baru diterima manakala pembelajaran sudah berlangsung sekitar sebulan. Oleh karena itu penyerahan alat tulis kepada peserta didikpun sering terlambat, begitu pula dengan pembayaran transport tutor dan pengelola.
26
b. Kurangnya Fasilitas Pembelajaran Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pembelajaran kesetaraan program paket B tidak sama halnya dengan pembelajaran di formal. Salah satu yang membedakan adalah tentang tempat belajar. Jika di pendidikan formal mempunyai tempat belajar khusus yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana, sedangkan di pendidikan non formal tidak mempunyai tempat khusus dan sarana yang minim. Menurut pengelola program paket B di kecamatan Rantau Bedauh, jika di sekitar warga belajar ada sekolah formal maka biasanya minjam tempat di sekolah formal tersebut berikut fasilitasnya seperti meja dan kursi. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika di sekitar warga belajar tidak tersedia sekolah formal dan warga belajar tidak mau mendatangi jika tempatnya jauh, maka terpaksa pembelajaran dilaksanakan di rumah penduduk yang bersedia. Pembelajaran yang dilaksanakan di rumah penduduk tentu saja dengan sarana yang sangat minim karena tidak ada meja dan kursi sebagaimana dilaksanakan di sekolah formal. Bagi kelompok belajar yang berada jauh dengan sekolah, maka terpaksa pinjam rumah kepala desa atau pendduk yang tenty saja fasilitasnya sangat tidak memadai (tidak ada kursi dan meja) c. Tutor terkadang mengajar seadanya Tutor sebenarnya merupakan unjung tombak dalam mencapai kesuksesan belajar peserta didik belajar. Atau dengan kata lain bahwa pengaruh tutor sangat besar terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik. Oleh karena itulah dalam 27
pembelajaran program paket B ini diharapkan
tutor dapat melaksanakan
tugasnya secara baik, baik dalam menyampaikan materi, penggunaan metode mengajar maupun dalam hal memotivasi warga belajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola, diperoleh kesimpulan bahwa ternyata sebagian tutor mengajar seadanya, baik dalam menyampaikan materi maupun dalam melaksanakan kompetensi lainnya d. Tepat belajar sangat jauh, yang menyebabkan para tutor dan warga belajar sering terlambat datang Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa pembelajaran program paket B tidak seperti pada pembelajaran pendidikan formal yang mempunyai tempat tersendiri. Pembelajaran paket umumnya dilaksanakan di tempat-tempat umum seperti balai desa, balai adat atau pinjam dengan sekolah formal terdekat. Menurut pengelola, pelaksanaan pembelajaran paket B di Kecamatan Rantau Badauh dirasakan oleh para tutor dan warga belajar terlalu jauh sehingga mereka seringkali terlambat datang. Jauhnya tempat belajar ini diduga disebabkan sulitnya mencari tempat belajar yang berada di sekitar warga belajar. e. Kurangnya kesadaran warga belajar untuk selalu hadir dalam setiap pertemuan Berdasarkan ketentuan bahwa pembelajaran program paket B dilaksanakan 3 kali dalam seminggu, dan waktunya diatur atas kesepakatan antara tutor dan warga belajar. Walaupun sudah terjadi kesepakatan tentang waktu belajar, namun kehadiran warga belajar untuk hadir dalam setiap pertemuan sangat rendah
28
f. Modul sering terlambat datang Hal lain yang menjadi kendala dalam pembelajaran program paket B di Kecamatan Rantau Badauh adalah terlambatnya pengiriman modul/buku paket dari provinsi, padahal modul sangat penting untuk lancarnya pembelajaran. Inisiatif dari warga belajar untuk memiliki buku paket umumnya sangat rendah, mereka hanya bertumpu pada buku paket/modul yang diberikan secara cumacuma. g. Soal-soal untuk ujian seringkali tidak sesuai dengan materi yang ada dibuku paket/modul Sama halnya dengan pendidikan formal, pembelajaran di paket B juga menyelenggarakan ujian akhir. Soal-soal untuk ujian tidak dibuat oleh tutor setempat, tetapi sifatnya nasional. Berdasarkan wawancara dengan beberap tutor paket B bahwa banyak warga belajar yang kesulitan untuk mengerjakan soalsoal ujian akhir karena soal-soal yang dikeluar sebagain besar tidak ada di modul yang dibagikan. Sementara pembelajaran hanya mengacu pada modul saja. B. Pembahasan 1. Gambaran proses kegiatan belajar mengajar program paket A dan paket B di Kabupaten Batola dan Kabupaten Banjar Sebagaimana sudah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa proses pembelajaran pendidikan kesetaraan Paket B tentu saja jauh berbeda dengan pelaksaanaan di jalur pendidikan formal. 29
Proses belajar mengajar kesetaraan, khususnya program paket B yang ada di Kecamatan Rantau Badauh dilaksanakan diberbagai lokasi, ada yang pinjam sekolah formal, pesantren, kantor kepala desa, dan rumah-rumah penduduk yang bersedia. Hal tersebut memang merupakan lokasi-lokasi yang diperbolehkan dalam penyelenggaraan program Paket B. Untuk mencapai kompetensi tertentu, pengelolaan pembelajaran dapat menggunakan berbagai pedekatan dan metode. Kelompok belajar bersama tutor dapat menggalakkan warga belajar yang mempunyai keunggulan berinterkasi dan bekerjasama untuk menguasai suatu konsep atau kemahiran bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk rekan-rekan yang lain, serta memotivasi semua warga belajar. Tutor dapat membantu peserta didik dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode yang sesuai dengan keperluan peserta didik. Menurut Depdiknas (2006) proses pembelajaran pendidikan kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif, konstruktif dan berbasis lingkungan. Pendekatan
induktif adalah
pendekatan yan membangun pengetahuan
melalui kejadian atau penomena emperik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan peserta didik dari permasalahan yang paling ekat dengan dirinya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh peserta didik dan yang diberikan oleh tutor, sehingga peserta didik dapat membuat kesimpulan dari serangkaian masalah yang dibuat.
30
Pendekatan tematik adalah pendekatan yang mengorganisaskan pengalamanpengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluar tidak hanya bersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik dan menumbuhkan kerjasama. Pendekatan konstruktif adalah suatu pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran
berbasisi
kompetensi,
dimana
peserta
didk
membangun
pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini peserta didik telah mempunyai ide sendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor yaitu untuk membentulkan konsep yang adapada peserta didik atau untuk membentuk konsep baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa pendektana monstruktif mempunyai 5 fase, yaitu : 1.
Tutor memperkirakan pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik pada awal pelajaran melalui kegiatan tanya jawab atau ujian
2.
Tutor menguji ide peserta didik
3.
Tutor membimbing peserta didik menstruktur semua ide yang ada
4.
Tutor memberi peluang kepada peserta didik untuk mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya
5.
Tutor membimbing peserta didik membuat refleksi dan perbandingan ide lama dan ide baru yang telah diperoleh. Dari uraian di atas, tampaknya para tutor yang ada di kecamatan Rantau
Badauh Kabupaten Batola belum sepenuhnya mengembangkan pendekatan dan metode tersebut
31
Untuk ketentuan pertemuan 3 kali dalam seminggu, baik program paket tampaknya juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya (tidak bisa secara rutinitas). Bahkan pada waktu-waktu tertentu warga belajar malah tidak bisa berhadir sama sekali dalam seminggu. Ini terjadi khususnya pada warga belajar yang usianya di atas usia prioritas. Sebagian dari mereka yang ikut program Paket B termotivasi hanya untuk mendapatkan ijasah, bukan untuk menambah pengetahuan. Karena pada saat ini, jika ingin menjadi pekerja dimanapun termasuk di perusahaanperusahaan (misalnya perusahaan karet maupun kelapa sawit salah satu syaratnya adalah mempunyai ijasah. Oleh karena itu jika memasuki musim kerja yang lebih diutamakan adalah bekerja. Biasanya pada saat musim tanam dan musim panen padi. Mereka tidak melihat lagi pada ketentuan yang berlaku. Bahkan saat ujianpun terkadang terlupakan. Oleh karena itulah beberapa pengelola program terpaksa harus berupaya maksimal agar warga belajar hadir setiap ujian. Lain halnya dengan warga belajar yang masih usia prioritas, khususnya yang ada di pesantren. , mereka jauh lebih disiplin. Pembelajaran 3 kali seminggu dapat berjalan dengan baik dan jarang sekali saat ujian ada warga belajar yang tidak hadir. Di samping itu pula, mereka dikirim oleh keluarga atau orang tua ke pesantren dengan tujuan untuk menuntut ilmu baik ilmu agama mapun ilmu umum.
2. Faktor-faktor
yang menjadi penghambat yang dihadapi oleh lembaga
penyelenggara dalam melaksanakan program Paket B Kegiatan apapun yang dilakukan tentu perlu sukongan dan kelancaran dana yang
baik. Pembiayaan penyelenggaraan program kesetaraan diambil dari 32
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran dan Pendapatan Belanja Darah (APBD), swadana masyarakat dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Diantara komponen pembiayaan yang perlu mendapat perhatian adalah a. Pengadaan bahan dan peralatan belajar, buku/modul dan alat tulis b. Pengadadaan bahan dan praktek keteramplan c. Honor pendidiik dan tenaga kependidikan d. Honor penyelenggara e. Pelatih penddik dan tenaga kepedidikan f. Evaluasi dan ujian g. Beasiswa bagi peserta didikyang cemerlang h. Monotoring dan evaluasi program Untuk biaya ini, hampir semua pengelola yang diwawancarai mengatakan bahwa dana khususnya dari Dinas Pendidikan Propinsi seringterlambat, bahkan bisa dikatakan selalu terlambat. Hal ini tentu saja mempengaruhi jalannya pembelajaran pada program kesetaraan Paket B yang ada di Kalimantan Selatan.(Depdiknas, 2006) Untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai ketekunan yang utuh seperti yang diharapkan kurikulum, peserta didik diharapkan menguasai kompetensi yang ditetapkan.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
diperlukan
pengembangan
pembelajaran/pelathan kompetensi secara sistematis dan terpadu, agar peseerta didik dapat menguasai setiap kompetensi secara tuntas. Model pembelajaran dengan modul didasarkan pada fakta bahwa apabila peserta didik diberikan waktu dan kondisi belajar yang memadai maka ia akan 33
menguasai suatu kompetensi secara tuntas. Bila peserta didik tidak cukup untuk memperoleh cukup waktu dan kondisi pembelajaran yang memadai maka ketuntasan pembelajaran akan dipengaruhi oleh derajat pembelajaran Pembelajaran program paket yang ada di dua kabupaten yaitu batola dan Banjar masih banyak yang tifak mempunyai modul. Hal ini karena terbatasanya modl yang trsedia sedangkan peserta didiknya banyak. Pengelolaan administrasi
pembelajaran paket B di kecamatan Rantau
Bedauh juga belum tertata dengn baik. Padahal untuk kelancaran pengelolaan kelompok belajar diperlukan sarana administrasi yaitu : a. Papan nama kelompok belajar b. Papan strutur organisasi penyelenggara c. Buku induk peserta didik d. Buku daftar inventaris e. Buku agenda pembelajaran f. Buku laporan bulanan tutor g. Buku agenda surat h. Buku daftar nilai i.
Buku tanda terma ijasah
34
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Pembelajaran Program Kesetaraan Paket B di Kecamatan Ranatau Bedauh Kabupaten Batola belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Pertemuan yang seharusnya 3 kali dalam seminggu sebagian besar hanya dilaksanakan dua kali dalam seminggu bahkan ada yang hanya 1 kali seminggu. 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat yang dihadapi oleh lembaga penyelenggara dalam melaksanakan program Paket B di Kecamatan Rantau Bedauh Kabupaten Barito Kuala adalah : a. Dana dari Dinas pendidikan sering terlambat b. Kurangnya fasilitas c. Tutor mengajar seadanya d. Tepat belajar sangat jauh e. Kurangnya kesadaran warga belajar untuk selalu hadir dalam setiap pertemuan f. Bantuan buku/modul sering terlambat datang g. Soal-soal untuk ujian seringkali tidak sesuai dengan materi yang ada dibuku paket
35
B. Saran 1. Masih adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa lulusan pendidikan kesetaraan tidak bisa melanjutkan kependidikan formal . Oleh karena itu perlu peningkatan sosialisasi dari pemerintah untuk meluruskan anggapan yang salah tersebut 2. Perlu peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk lebih memasyarakatkan pendidikan kesetaraan dalam upaya membantu mensusseska program wajib belajar sembilan tahun
DAFTAR PUSTAKA 36
Bentri, Alwen, dkk. 2008. Efektivitas Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Sumatra Barat. (Online), (http://Puslit jaknov.org /data/file/2008, diakses 20 Maret 2009). Dinas Pendidikan Propinsi Kalsel. 2008. Profil pendidikan Kesetaraan Kalsel 2006/2007. Dinas Pendidikan Kalsel. Depdiknas. 2006. Acuan Proses Pelaksanaan dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B dan Paket C. Direktorat Pendidikan Kesetaraan Dirjen PLS Depdiknas, Jakarta Eisenhard, Kathburn, M. 1985. Building Theories from ase Study Research. Academy of Management Review, Vol 14 PP 532-536 Ibrahim, R. 1992. Penyelenggaraan Pendidikan Dasar. Mimbar Pendidikan No.1 Tahun XI April 1992. Bandung University Press IKIP Bandung. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar Syarif, Hidayat. 1994. Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemerataan Pendidikan dalam Upaya Memajukan Desa Tertinggal. Makalah:IKIP Bandung Lincoln, Ys dan Guba, FG. 1985. Naturalistik Inguiry. Beverly. Hill Sage Publication. Miles,M.B dan Huberman, Mihael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia Pers, Jakarta. Moleong, Lexy.J. 1999. Metodologi penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta.
37