LAPORAN PENELITIAN
PERANAN PENGELOLA DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KESETARAAN PAKET B DI SKB KOTA BANJARMASIN
oleh : Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2013 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan
merupakan
sektor
penting
yang
berperan
aktif
dalam
meningkatkan pembangunan bangsa. Apabila melihat kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini masih banyak yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan terutama untuk masyarakat ekonomi menengah kebawah. Mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama bagi masyarakat sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan bahkan sampai sekolah dasar sekalipun. Randahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan mengakibatkan semakin meningkatnya angka kemiskinan dan kebodohan. Tidak jarang masyarakat yang mengalami buta huruf sebagai konsekuensi dari kurangnya pendidikan bagi mereka. Untuk mengurangi masalah tersebut perlu adanya layanan pendidikan yang dapat menyentuh masyarakat hingga lapisan bawah, dimana pendidikan tidak hanya memusatkan pada jalur pendidikan formal saja, melainkan melalui jalur pendidikan lain yaitu pendidikan non formal dan pendidikan informal. Program Pendidikan nonformal ini ditujukan bagi peserta didik berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak sekolah, putus sekolah dan putus lanjutan, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan belajarnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.
2
Salah satu program pendidikan nonformal adalah pendidikan kesetaraan Paket B. Program Paket B Setara SMP/MTs berfungsi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Di Kalimantan Selatan, kelompok belajar dan jumlah warga belajar Paket B tersebar di seluruh Kabupaten/Kota, sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 1.1 Kelompok Belajar dan Jumlah Warga belajar Program Paket B di Kalimantan Selatan No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jumlah Kelompok Belajar 51 34 69 48 52 58 57 46 50 56 62 58 57 698
Jumlah Warga Belajar
Banjarmasin Banjarbaru Banjar Tapin Hulu Sungai selatan Hulu Sungai tengah Hulu Sungai Utara Balangan Tabalong Barito Kuala Tanah Laut Tanah Bumbu Kotabaru Jumlah Sumber : Profil Kesetaraan Provinsi Kalimantan Selatan, 2010
1.335 890 1.810 1.255 1.330 1.500 1.485 1.180 1.290 1.425 1.565 1.470 1.435 17.970
Salah satu lembaga yang cukup lama menyelenggarakan program kejar Paket B di Kota Banjarmasin adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang dikelola oleh Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin.
Walaupun lembaga ini sudah lama
menyelenggarakan program Paket B, namun masih banyak ditemukan anak yang belum tuntas wajar Sembilan tahun. Oleh karena itu hal ini perlu dikaji secara mendalam.
3
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik warga belajar Kejar Paket B di SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin ? 2. Bagaimanakah peran pengelola dalam mendukung manajemen pembelajaran Kejar Paket B di SKB Dinas Pendidikan Banjarmasin ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevalusi manajemen pembelajaran Kejar Paket B di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan karakteristik warga belajar Kejar Paket
B di SKB
Dinas Pendidikan Banjarmasin 2. Untuk mengetahui peran pengelola dalam mendukung manajemen pembelajaran Kejar Paket B di SKB Dinas Pendidikan Banjarmasin
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan tentang pendidikan dan pembelajaran; b. Memberikan informasi tentang manajemen pembelajaran Kejar Paket B 4
c. Sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian sejenis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis a. Bagi SKB Banjarmasin, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan kualitas manajemen pembelajaran b. Bagi Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin,
hasil penelitian ini dapat
dijadikan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan program Kejar Paket B yang ada, khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas tutor dan kualitas hasil belajar program Paket B c. Bagi Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk perencanaan pembinaan di masa datang.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian, Dasar Hukum dan Tujuan Pendidikan Kesetaraan 1. Pengertian Kesetaraan Pendidikan
Kesetaraan
merupakan
pendidikan
nonformal
yang
mencakup program Paket A Setara SD/MI, Paket B Setara SMP/MTs, dan Paket C Setara SMA/MA dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional peserta didik. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (UU No 20/2003 Sisdiknas Pasal 26 Ayat (6)}. Setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B atau Paket C mempunyai hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi. Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang sama dengan lulusan pendidikan formal dalam memasuki lapangan kerja. a. Program Paket A. Program Paket A adalah program pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal setara SD/MI bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau berminat dan memilih Pendidikan Kesetaraan untuk 6
ketuntasan pendidikan. Pemegang ijazah Program Paket A memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SD/MI. b. Program Paket B Program Paket B adalah program pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal setara SMP/MTs bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau berminat dan memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan dasar. Pemegang ijazah Program Paket B memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs. c. Program Paket C Program Paket C adalah program pendidikan menengah pada jalur pendidikan nonformal setara SMA/MA bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau berminat dan memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan menengah. Pemegang ijazah Program Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMA/MA.
2. Dasar Hukum Dasar hukum penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan program Paket A, Paket B dan Paket C adalah: a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. c. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. d. Instruksi Presiden: 7
1) No. 1 tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. 2) No. 5 Tahun 2006Tentan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. e. Keputusan Mendikbud No. 0131/U/1994 Tentang Program Paket A dan Paket B. f. Keputusan Mendiknas No. 86/U/2003Tentang Penghapusan UPERS. g. Keputusan Mendiknas No. 0132/U/2004 Tentang Program Paket C. h. Surat Edaran Mendiknas No. 107/MPN/MS/2006 Tentang Eligibilitas Program Kesetaraan.
3. Tujuan Pendidikan Kesetaraan Tujuan Pendidikan Kesetaraan adalah: a. Memperluas akses pendidikan dasar sembilan tahun melalui pendidikan nonformal program Paket A setara SD/MI dan Paket B setara SMP/MTs yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. b. Memperluas akses pendidikan menengah melalui jalur pendidikan nonformal program Paket C setara SMA/MA yang menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. c. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan serta relevansi program dan daya saing Pendidikan Kesetaraan program Paket A, Paket B dan Paket C d. Menguatkan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik terhadap penyelenggaraan dan penilaian program Pendidikan Kesetaraan (Depdiknas, 2006) 8
B. Karakteristik Sasaran dan Komunitas Belajar Pendidikan Kesetaraan Menurut Depdiknas (2007) karakteristik sasaran dan komunitas belajar Pendidikan Kesetaraan dapat beragam sesuai dengan potensi dan kebutuhan, yakni sebagai berikut 1. Kelompok Masyarakat Usia 15-44 Tahun Salah satu kendala untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada skala national adalah keragaman pencapaian pendidikan masyarakat pada kelompok usia yang beragam. Pada kelompok usia 15-44 tahun masih banyak yang belum tamat SD/MI, SMP/MTs, atau lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan. Menurut data BPS (2004) pada kelompok usia 13-l5 tahun (3 tahun diatas usia SD/MTs) terdapat 583.487 orang putus sekolah SD/MI, dan 1,6 juta lebih yang tidak sekolah SD/MI. Kemudian pada kelompok usia 16-18 tahun terdapat 871.875 orang putus sekolah SMP/MTs, dan 2,3 juta lebih yang lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke SMP/MTs. Kelampok usia 15-44 ini merupakan potensi usia produktif yang dapat ditingkatkan kualitas manusianya melalui penuntasan pendidikan dasar Perioritas sasaran sampai dengan tahun 2009 adalah 2.509.989 orang yanq terdiri atas jumlah dari putus sekolah SD/MI, dan SMP/ MTs serta sebagian dari usia 16-18 tahun yang putus lanjut ke SMP/ MTs.
2. Komunitas Belajar Mandiri Kelompok masyarakat yang membentuk dengan pembelajaran yang luwes, Terdiri atas :
9
a. Kelompok masyarakat belajar mandiri atau kelurga memberikan layanan pembelajaran terbaik bagi anak-anaknya melalui sekolah rumah tunggal, sekolah rumah majemuk, dan komunitas sekolah rumah b. Kelompok masyarakat yang hidup ditengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang membentuk komunitas belajar secara on-line (elearning) c. Kelompok masyarakat yang mengaktualisasikan diri dalam mewujudkan aspirasi secara mandiri dalam bentuk berbagi sekolah altematif (sekolah alam, sekolah kelas campuran dan sejenisnya). d. Kelompok masyarakat yang melihat pentingnya mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. e. Kelompok masyarakat yang berpotensi khusus seperti, pemusik, pelukis, dan lain-lain.
3. Penduduk Yang Terkendala Ke Jalur Formal Karena Beberapa Faktor a. Faktor Waktu Penduduk yang terkendala waktu untuk sekolah, seperti pengrajin buruh, dan pekerja lainnya. b. Faktor Geografi Penduduk terkendala geografi, mereka adalah etnik minoritas, suku terasing dan terisolir c. Faktor Ekonomi 10
Kendala ekonomi seperti penduduk miskin dari kalangan nelayan, petani, penduduk kumuh dan miskin perkotaan, rumah tangga dan tenaga kerja wanita. d. Faktor Keyakinan Faktor
keyakinan
seperti
warga
pondok
pesantren
yang
tidak
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah). e. Faktor sosial/ hukum Yaitu mereka yang bermasalah sosial/hukum seperti anak jalanan, anak Lapas, dan korban Napza
C. Karakteristik Penyelenggara Komunitas Belajar Pendidikan Kesetaraan Sebagai
pendidikan
berbasis
masyarakat
dan
meluas
program
Pendidikan Kesetaraan dapat diselenggarakan oleh berbagai bentuk lembaga, organisasi, dan komunitas belajar, yang di antaranya adalah sebagai berikut: 1. PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) 2. SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) 3. Pondok Pesantren 4. Majlis Taklim 5. Sekolah rumah 6. Sekolah Alam 7. Sekolah Kelas Campuran 8. Susteran 9. Diklat-diklat dan UPT 11
D. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kesetaraan Kurikulum tingkat satuan Pendidikan Kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip berikut; berpusat pada kehidupan, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, menyeluruh dan berkesinambungan, dan prinsip belajar sepanjang hayat. Struktur kurikulum tingkat satuan Pendidikan Kesetaraan memuat komponen mata pelajaran baik yang diujikan pada Ujian Nasional maupun yang tidak diujikan, keterampilan fungsional, muatan lokal, seni budaya,.pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan dan pendidikan pengembangan diri. Kedalaman muatan kurikulum pada program Pendidikan Kesetaraan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada setiap tingkat dan/ atau semester. SK dan KD ditentukan sesuai dengan kebutuhan minimal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sementara, pemenuhan kebutuhan maksimal SK dan KD diisi dengan keterampilan fungsional. Beban belajar pada Pendidikan Kesetaraan dinyatakan dalam Satuan Kredit Kompetensi (SKK) yang menunjukkan satuan kompetensi yang dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, praktek keterampilan, dan kegiatan mandiri yang terstruktur. Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus Pendidikan Kesetaraan ditetapkan oleh Dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan sesuai dengan tingkat kewenangannya, berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dan dikembangkan dengan melibatkan pemangku kepentingan 12
(stakeholders) serta berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan Pendidikan Kesetaraan yang disusun oleh BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan}.
E. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Kesetaraan Pendidik pada Pendidikan Kesetaraan harus memiliki kompetensi pedagogik, personal, profesional dan sosial serta didukung dengan kualifikasi pendidikan yang sesuai: 1. Kompetensi Pedagogik, Personal, Profesional dan Sosial Pendidik pada Pendidikan Kesetaraan harus memiliki kompetensi pedagogik dan andragogik. Dengan demikian dapat mengelola pembelajaran nonformal menggunakan metode partisipatif, kelas campuran, ketuntasan belajar, dan melayani perbedaan individual dalam menerapkan maju berkelanjutan. 2. Kualifikasi Akademik Syarat kualifikasi akademik yang harus dimiliki pendidik pada Pendidikan Kesetaraan adalah sebagai berikut: a. Pendidikan minimal D-IV atau S1 dan yang sederajat untuk Paket A, Paket B dan Paket C. Namun untuk daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sesuai, pendidikan minimal D-II dan yang sederajat untuk Paket A dan Paket B, dan D-III untuk Paket C b. Guru SD/MI untuk Paket A, guru SMP/MTs untuk Paket B dan guru SMA/MA untuk Paket C. c. Kyai, ustadz di pondok pesantren dan tokoh masyarakat dengan kompetensi yang sesuai dengan pelajaran yang berkaitan. 13
d. Nara sumber teknis (NST) dengan kompetensi/kualifikasi sesuai dengan mata pelajaran keterampilan yang dimampunya. Tenaga kependidikan pada Pendidikan Kesetaraan sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga administratif, tenaga perpustakaan dan tenaga laboran.
F. Sarana, Prasarana dan Pengolahan Pendidikan Kesetaraan 1. Tempat Belajar Proses belajar mengajar dapat dilaksanakan di berbagai tokasi dan tempat yang sudah ada baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, madrasah, sarana-prasarana yang dimiliki pondok pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Masyarakat (SKB), masjid, pusat-pusat majlis taklim, gereja, balai desa, kantor organisasiorganisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat-tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. 2. Administrasi Untuk menunjang kelancaran pengelolaan kelompok belajar diperlukan sarana administrasi sebagai berikut: 1) Papan nama kelompok belajar. 2) Papan struktur organisasi penyelenggara. 3) Kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran yang meliputi: a. Buku induk peserta didik, tutor dan tenaga kependidikan. b. Buku daftar hadir peserta didik, tutor dan tenaga kependidikan. c. Buku keuangan/Kas umum. 14
d. Buku daftar inventaris. e. Buku agenda pembelajaran. f. Buku laporan bulanan tutor, g. Buku agenda surat masuk dan keluar. h. Buku daftar nilai peserta didik. i. Buku tanda terima ijazah.
G. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan a. Pendekatan Proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan berbasis lingkungan. 1) Induktif; adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan peserta didik dari permasalahan yang paling dekat dengan dirinya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh peserta didik dan yang diberikan oleh tutor, sehingga peserta didik dapat membuat kesimpulan dari serangkaian penyelesaian masalah yang dibuat. 2) Tematik;
adaiah pendekatan
yang mengorganisasikan pengalaman-
pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas tidak hanya tersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik dan menumbuhkan kerjasama
15
3) Konstruktif; merupakan satu pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran berbasis kompetensi, di mana peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini peserta didik telah mempunyai ide tersendiri tentang suatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor yaitu untuk membetulkan konsep yang ada pada peserta didik atau untuk membentuk konsep baru. 4) Partisipatif andragogis; adalah pendekatan yang membantu menumbuhkan kerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasil-hasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat. 5) Berbasis lingkungan/kontekstual; adalah pendekatan yang meningkatkan relevansi dan kebermanfaatan pembelajaran bagi peserta didik sesuai potensi dan kebutuhan lokal. b. Metode Pembelajaran hendaknya menekankan kegiatan yang berpusat pada peserta didik. Fokus pembelajaran adalah untuk mengoptimalkan penguasaan hasil pembelajaran secara tuntas. Kegiatan pembelajaran ini hendaknya dapat meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah atau membuat keputusan yang bijak. di antara metode-metode pembelajaran yang dapat diterapkan untuk tujuan tersebut adalah : pembelajaran kooperatif, interaktif,
peta konsep, berbasis
penugasan, eksperimen, disksusi, simulasi, dan kajian lapangan
16
c. Pembelajaran dengan Modul Pembelajaran dengan menggunakan modul adalah satu pendekatan pembelajaran, mandiri yang berfokuskan penguasaan kompetensi dari bahan kajian yang dipepajari peserta didik dengan waktu tertentu sesuai dengan potensi dan kondisinya. Fungsi pembelajaran dengan menggunakan modul adalah untuk memastikan semua peserta didik menguasai kompetensi yang diharapkan dalam suatu materi ajar sebelum pindah ke materi ajar selanjutnya melalui pembelajaran mandiri. Tujuan pembelajaran dengan menggunakan modul adalah untuk mengurangi keragaman kecepatan belajar dari peserta didik agar mencapai suatu tingkat pencapaian kompetensi tertentu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah disusun secara sistematis dan terstruktur.
H. Wajib Belajar Sembilan Tahun 1. Kebijakan wajib belajar 9 tahun Pada bangsa-bangsa yang telah maju wajar telah mulai sejak lama. Di Amerika Serikat misalnya, Wajar telah dimulai sejak tahun (De Young & Wyhnn, dalam Bentri, dkk.2008). Wajar ini dimulai dengan Belajar di sekolah dasar, dan terus berkembang sampai umur anak mencapai18 tahun. Wajib Belajar ini dikenakan kepada anak pada umur-umur yang dimaksudkan itu, dan pertanggungjawabannya diletakkan pada orang tua, termasuk didalamnya para wali atau orang tua asuh anak yang bersangkutan (Brishen, dalam Bentri, dkk.2008). 17
Sejak awal 1970-an pendidikan memag sudah diprioritas kebijakan Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1973 berdasarkan Inpres Nomor 10 pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Tahun 1983 dimulai program wajib belajar 6 tahun untuk anak usia 7-12 tahun secara nasional. Sukses yang dicapai program wajib belajar menjadi 9 tahun sejak bulan Mei 1994 yang lalu. Hal ini sesuai dengan Amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijaksanaan Pendidikan Dasar 9 tahun sampai dengan tingkat SLTP/Satuan Pendidikan Sederajat adalah wajib belajar bagi semua warga Negara. Timbulnya kebijakan tersebut karena berbagai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti : 1) lebih dari 80% angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang, atau SMP tidak tamat; 2) Program Pendidikan Wajib Belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; 3) semakin banyak tingkat pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektorsektor yang produktif; 4) dengan peningkatan program Wajib Belajar 6 tahun ke wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa; 5) peningkatan wajib belajar 9 akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun(Syarif, 1994). Gerakan Wajar mendapat pijakan yang lebih kuat lagi pada UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penekanan yang lebih dirasakan tampak pada tanggungjawab pembiayaan Wajib Belajar itu sendiri dan peyelenggaraanya, yaitu pemerintah pusat dan daerah. Mudah-mudahan peningkatan Wajar ini dapat mengejar ketertinggalan pelaksanaan Wajar dari bangsa yang telah maju. 18
2.
Tujuan Wajib Belajar Program Wajib belajar 9 tahun didasari konsep “Pendidikan dasar untu semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua anak. Hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak anak, dan tentang Hak dan Kewaiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga Negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan Wajib belajar, mereka akan dapat menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut May (dalam Bentri, dkk. 2008) adalah merangsang aspirasi pendidikan orang tua dan anak yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan sematamata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung.
19
3. Pelaksanaan Wajib Belajar Menurut Bentri, dkk. (2008) pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu: 1) dilakukan tidak melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hokum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun. Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan Kelompok Belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Regular, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB dan Kelompok Belajar Paket B. Tahun 2000 adalah mulai diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No. 25 Tahun 2000). Dengan Kebijakan Otonomi Daerah ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk wajib belajar 9 tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing yang merupakan tolak ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu pihak ada 20
daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis. Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto dalam Bentri dkk. 2008). Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia di Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemen berbasis sekolah (school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais dalam Bentri, dkk. 2008). 4.
Penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun Dalam pasal 3 Bab III Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib belajar, pasal 3 menjelaskan bahwa: (a)
Diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
21
(b)
Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat.
(c)
Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal dilaksanakan melalui program Paket A, program Paket B, dan bentuk lain yang sederajat.
(d)
Penyelenggaraan dilaksanakan
wajib
melalui
belajar
pada
pendidikan
jalur
keluarga
pendidikan dan/atau
informal pendidikan
lingkungan. (e)
Ketentuan mengenai penyetaraan pendidikan nonformal dan pengakuan hasil pendidikan informal penyelenggara program wajib belajar terhadap pendidikan dasar jalur formal diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Selanjutnya pasal 4 menjelaskan bahwa Program wajib belajar
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah sesuai kewenangannya, atau masyarakat. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa program Paket A dan paket B merupakan penyelenggara wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal.
I. Pendidikan Orang Dewasa 1. Pengertian Pendidikan Orang Dewasa UNESCO mendefinisikan pendidikan orang dewasa sebagai seluruh proses pendidikan yang teroganisasi di luar sekolah dengan berbagai bahan belajar, 22
tingkatan, dan metode, baik bersifat resmi maupun tidak yang diperoleh dari sekolah, akademi, universitas atau magang. Pendidikan tersebut diperuntukkan bagi orang-orang dewasa dalam lingkungan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, meningkatkan kualitas teknik dan profesi yang telah dimilikinya, memperoleh cara-cara baru, serta mengubah sikap dan perilakunya. Tujuannya ialah agar orang-orang dewasa mengembangkan pribadi secara optimal dan berpartisipasi secara seimbangang dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang terus berkembang. Menurut Coombs (Anisah Basleman, 2005:20) pendidikan orang dewasa merupakan
kegiatan
yang
terorganisasi
dengan
sistematik.
Aktivitas
pendidikannya berbeda dengan sistem formal yang tidak memiliki struktur hierarkis, lebih menekankan pada pengalaman pembelajaran, perhitungan waktu yang tidak terlalu ketat, dan semua aktivitas diadakan di luar system institusi formal. Menurut Liveright dan Havygood (Basleman, 2005:20) pendidikan orang dewasa adalah pendidikan bagi orang tidak tamat sekolah regular dengan aktivitasnya yang terorganisasi dan mengarahkan kepada pemberian informasi, pegetahuan, sikap, keterampilan, dan mengarah tingkah laku agar peserta mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah perorangan dan komutitas. Knowles (Sudjana, 2005: 62) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar (the science and arts of helping adults learn). Berbeda dengan pedagogi karena istilah ini dapat diartikan sebagai seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children). 23
Orang dewasa tidak hanya dilihat dari segi biologis semata, tetapi juga dilihat dari segi sosial dan psikologis. Secara biologis, seseorang disebut dewasa apabila ia telah mampu melakukan reproduksi. Secara sosial, seseorang disebut dewasa apabila ia telah melakukan peran-peran sosial yang biasanya dibebankan kepada orang dewasa. Secara psikologis, seseorang dikatakan dewasa apabila telah memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil. Darkenwald dan Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja, yaitu sejak umur 16 tahun. Dengan demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan, tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun kedewasaan seseorang akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya. Kedewasaan itupun merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr” dan “agogos” berarti memimpin, mengamong, atau membimbing. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan pendidikan orang dewasa adalah belajar dari pengalaman yang didesaian untuk orang dewasa dengan tidak memberikan materi dan metode baku yang digunakan. Pendidikan orang dewasa dalam kenyataan di lapangan memiliki variasi aktivitas yang dilaksanakan oleh orang dewasa. Pendidikan orang dewasa muncul karena mengingat orang dewasa memiliki sekian banyak kegiatan.
2. Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
24
Lawrance (Basleman, 2005:24) mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa pada dasarnya adalah pendidikan yang lebih menitik beratkan pada mendorong masyarakat sesuai dengan potensi. Pendidikan orang dewasa mengembangkan rasionalitas keberadaan individu. Mendidik mereka untuk mampu mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab. Pendidikan orang dewasa
lebih
memperhatikan
kepada
kontribusi
kegiatan
yang
dapat
mengembangkan pemikiran (mind), perasaan yang rasional dari individu sehingga dari mereka akan muncul materi dan keterampilan yang didasarkan pada pengetahuanda perilaku intelegensinya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang dewasa mempunyai tiga tujuan seperti berikut: a. Peningkatan Intelektual Orang dewasa memerlukan alat atau instrument yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan diri menjadi individu yang meningkat, dengan menekankan pada pengembangan segi instrinsik atau bahan dasar/esensial di suatu masyarakat. b. Aktualisasi Diri Abraham Maslow dan Carl Rogers (Basleman, 2005:25) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai makna pengarahan ke aktualisasi diri dan menjadikan individu berfungsi secara penuh. Maslow menekankan bahwa pendidikan membantu seseorang menjadi manusia yang terbaik. Knowles (Basleman, 2005) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses belajar agar perkembangan emosi dan intelektual individu menjadi baik. Ini adalah tujuan dan misi pendidikan orang dewasa untuk mendorong orang dewasa mengembangkan potensi mereka secara penuh. Oleh karena itu, 25
andragogfi merupakan seni dan ilmu untuk membangun orang dewasa belajar, untuk memvasilitasi individu tersebut. Selanjutnya Knowles menyampaikan bahwa karakteristik pendidikan orang dewasa sebagai berikut. Pendidikan orang dewasa mementingkan perkembangan setiap individu, memberikan perbaikan yang santat berharga bagi individu yang bersalah, dan menimbulkan kepercayaan/keyakinan bahwa manusia mampu membuat keputusan yang baru bila diberi informasi yang baik serta dorongan, juga memungkinkan individu untuk berkembang dan memutuskan sesuatu apabila dihadapkan pada pilihan nilai yang saling bertentangan. Pendidikan orang dewasa menekankan kepada potensi setiap individu yang perlu dikembangkan dan dikontrol melalui aktivitasnya”. Knowless menjelaskan tujuan pendidikan orang dewasa “untuk menjadikan orang dewasa menyadari tentang kesulitan yang dihadapi dalam perannya dan mampu mengatasinya”. Orang dewasa adalah mereka yang sensitive tentang kesulitan yang dihadapi dan komitmen serta berusaha untuk mengatasi sendiri. Khowles mengemukakan bahwa yang terpenting dalam pembelajaran orang dewasa ialah efek atau dampaknya bagi peserta diklat. Kallen dan Gray (Basleman, 2005:28) mengemukakan bahwa program pendidikan orang dewasa adalah mendorong seseorang untuk mengembangkan inteletual, moral, dan estetika. Untuk itu, perlu diajarkan masalah sosial, politik dan agama, serta nilai-nilai yang perlu diajarkan dalam suatu kebudayaan. Hal ini akan memberi kontribusi pengembangan individu, kemampuan individu untuk menyaring nilai yang ada di masyarakatnya, bersikap dan memiliki perasaan sesuai dengan nilai tersebut. Dengan demikian, masyarakat memerlukan
26
seseorang
yang
mampu
mengklarifikasi
nilai,
membuat
analisis,
dan
mengembangkan potensi individu. Apabila pengembangan individu diterima sebagai tujaun pendidikan orang dewasa, maka yang diajakan harus berpusat pada pengalaman individu, sedangkan widyaiswara berfungsi sebagai fasilitator, dan proses pembelajarannya melalui eksperimen dan penemuan. Jadi, pendekatan dalam pendidikan orang dewasa lebih bersifat student centered. Berkaitan dengan fungsi pendidik dikemukakan bahwa pendidikan orang dewasa
merupakan
teknik
yang
sesuai
dengan
orang
dewasa
yakni
pendidik/widyaiswara berfungsi sebagai fasilitator untuk menjadikan orang dewasa menjadi peserta diklat yang mampu mengarahkan dirinya sendiri. Tujuan pendidikan orang dewasa tidak hanya menjadikan seseorang mampu mengatasi kondisi yang sulit pada masyarakat modern tetapi pendidikan orang dewasa juga harus mampu memberi semangat peserta didik/peserta diklat untuk lebih maju. Oleh karena itu, ia yakin perlu adanya proaktif memfasilitasi pengembangan individu, menjadikan individu mampu mengarahkan dirinya sendiri yang menjadi tanggung jawabnya untuk lebih memungkinkan eksistensi sebagai manusia. Tujuan pendidikan orang dewasa untuk mengembangkan dan menumbuhkan individu, agar tujuan tersebut berhasil perlu keikutsertaan lingkungan di dalam kurikulum serta materi pendidikan orang dewasa yang terjadi dalam proses pembelajaran. Sehubungan dengan itu, pengetahuan yang diberikan hendaknya terkait dengan pengalaman individu tersebut. Oleh karena itu, proses pembelajaran hendaknya lebih bersifat individual. c. Transformasi Sosial 27
Ivan lllich (Basleman, 2005:29) menyarankan untuk mengadakan revolusi belajar dalam masyarakat untuk mendorong perubahan budaya. Ia menyatakan sikapnya bahwa upaya untuk mengadakan perubahan yang tambal sulam terhadap komponen dan proses belajar dalam pendidikan yang ada sekarang tidak akan menjamin tumbuhnya masyarakat baru yang dapat dengan segera memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk mengadakan revolusi belajar. Lllich (Anisah Baslemank, 2005:30) menganjurkan perubahan secara menyeluruh
dalam
system
pendidikan
yang
ada
sekarang
dengan
menyelenggarakan jaringan-jaringan belajar (learning webs) di masyarakat. Program jaringan belajar ini mencakup pertukaran keterampilan dan keahlian, dan mempertemukan peserta didik/peserta diklagt yang memiliki kebutuhan belajar dengan sumber belajar yang tepat untuk melayaninya. Tujuan pendidikan orang dewasa tidak dapat dilepaskan dari suatu proses pendidikan. Hal tersebut mencakup materi, sikap, keterampilan, metode, pandangan pendidikan dan peserta diklat yang harus dipertimbangkan dalam proses pendidikan tersebut. Pendidikan tidak ada yang membuat statemen tertentu tentang tujuan, baik maksud, tujuan umum, maupun tujuan khusus karena pendidikan orang dewasa memiliki karakteristisk yang berbeda antara satu tempat dengan lainnya baik sumber belajarnya, peserta diklat, proses, dan hasilnya. Oleh karena itu dalam buku Adult Education and Action beberapa pakar pendidikan orang dewasa mengemukakan filosofi dan tujuan pendidikan orang dewasa sesuai dengan area dari pendidikan orang dewasa. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Kohberg
dan Myer yang mengidentifikasi tiga kategori pemikiran tentang
pendidikan orang dewasa, seperti berikut. Pertama bersifat romantis, dengan 28
penekanan pada kesehatan, pertumbuhan, dan pemeliharaan serta bimbingan yang merupakan bagian terdalam dari individu itu sendiri, yaitu inspirasinya. Kedua transmisi kebudayaan dengan penekanannya para transmisi pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan dari suatu kebudayaan. Ketiga yang bersifat progresif dengan memfokuskan pada pelaksanaan pemecahan masalah serta peningkatan kualitas kehidupan seseorang di dalam suatu masyarakat.
29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena dari sifat data (jenis informasi) yang dicari atau dikumpulkan bersifat kualitatif. Di samping itu fenomena yang dihadapi adalah fenomena sosial yang berhubungan dengan perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di SKB Disdik Kota Banjarmasin yang menjadi tempat penyelenggarakan pembelajaran kesetaraan
program
Paket B. Penelitian kualitatif di samping dapat mengungkap dan mendeskripsikan peristiwa-peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi (hidden value) dari penelitian ini. Di samping itu penelitian ini juga peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti berada pada posisi sebagai instrumen kunci (Lincoln dan Guba, 1985 : 198).
B. Penetapan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Dinas Pendidikan
Kota Banjarmasin. Dipilihnya SKB Dinas Pendidikan Kota
Banjarmasin ini sebagai lokasi penelitian karena :
30
1. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya yang ada di Kota Banjarmasin SKB merupakan lembaga yang sudah lama melaksanakan pembelajaran kesetaraan 2. SKB Kota Banjarmasin secara rutin dan kuntinu menyelenggarakan program pembelajaran kesetaraan. 3. Dilihat dari jumlah tutor dan warga belajar, SKB lebih banyak dibanding dengan lembaga lainnya. Pelaksanaan penelitian ini juga berdasarkan pendapatnya Moleong (1999:86) yang mengatakan bahwa ,”cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan penelitian adalah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapanagan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian.
C. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data a. Key informan, yaitu informan awal atau informan kunci yang dipilih seara purposif (purposive sampling). Pemilihan informan ini didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian. Dari informan kunci kemudian peneliti meneruskan pengumpulan data keinforman berikutnya dan seterusnya sampai peneliti merasa bahwa informan sudah cukup yakni jika sudah menunjukkan kejenuhan informasi. 31
Sebagaimana dikatakan Muhadjir (2000) bahwa bila dengan menambah informan hanya memperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh. Cara seperti ini disebut dengan teknik Snowball Sampling yaitu informasi dipilih secara bergulir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi atau disebut juga dengan theoritical sampling. b. Tempat dan peristiwa, sebagai sumber data tambahan yang dilakukan melalui observasi langsung terhadap tempat dan peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Paket Paket B c. Dokumen yang relevan, yaitu berbagai dokumen yang berkaitan dengan data-data Paket B baik menyangkut tentang tutor maupun tentang peserta didik.
2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung dari para informan penelitian, tulisan dari berbagai dokumen kelompok penyelenggara paket B baik yang berkaitan dengan peserta didik maupun .Keterangan berupa katakata atau cerita laangsung dari informan dijadikan sebagai data primer (utama), sedangkan tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan data sekunder (pelengkap).
32
D. Proses Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi baik melalui observasi maupun wawancara. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat bantu berupa catatan lapangan, kamera foto dan pedoman wawancara. Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi tiga kegiatan : 1. Proses memasuki lokasi penelitian (gettting in) Dalam tahap ini, peneliti memasuki lokasi penelitian dengan membawa izin formal dari instansi terkait, sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar akan mengadakan penelitian. Kemudian peneliti terlebih dahulu menemui staf
Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB) Kota Banjarmasin, setelah itu baru menemui para penyelenggara dan tutor program Paket B di kelompok belajar masing-masing. Dalam hal ini peneliti berusaha menjalin hubungan baik khususnya
dengan para pengelola lembaga
penyelenggara Paket B untuk mendapatkan data yang benar-benar valid. 2. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) Pada tahap ini, peneliti menjalin hubungan dengan responden penelitian. Melalui teknik snowball peneliti mencari informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan program Paket B. Di samping itu juga, peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap kelompok belajar yang menjadi objek penelitian. 3. Mengumpulkan Data Dalam tahap ini, ada tiga macam teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan, yaitu :
33
a. Wawancara (interview) Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (penduan wawancara) (Nazir, 1983: 234). Menurut Patton (Supiani, 2009) teknik wawancara dalam penelitian kualitatif terbagai atas tiga kategori, yaitu 1) wawancara dengan cara melakukan pembicaraan informal (informal conversational inteview), 2) wawancara umum yang terarah (general interview guide approach), dan 3) wawancara terbuka yang standar (standardized open-ended interview)). Dari tiga kategori tersebut, teknik yang penulis gunakan adalah teknik pembicaraan informal dan wawancara terbuka yang standar. Wawancara ini dilakukan dengan kepala SKB, staf SKB yang menangani program Paket B, ketua penyelenggara program, para tutor dan juga dengan warga belajar. Tujuan wawancara ini adalah untuk menggali data tentang input warga belajar, manajemen penyelenggaraan program, dan kualitas hasil belajar para warga belajar. b. Observasi Langsung Pengumpulan data dengan observasi /pengamatan secara langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk kepentingan tersebut (Nazir, 1983: 212). Tidak jauh berbeda dengan definisi tersebut, Hadi (2002:136) mengatakan bahwa observasi adalah merupakan metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan yang sistemik mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki. 34
Teknik observasi ini dilakukan untuk mengamati suasana belajar mengajar di kelompok belajar yang menjadi objek penelitian. c. Dokumentasi Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Lincoln dan Guba (1985) mengatakan bahwa dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film yang sering digunakan untuk keperluan penelitian. Moleong (1999) menyatakan bahwa dokumen dapat dibagi dua yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi berisi catatan-catatan yang bersifat pribadi, sedangkan dokumen resmi berisi catatan-catatan yang sifatnya formal. Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teknik dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan mencatat data-data yang sudah ada. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang Sanggar Kegiatan Belajar di Kota Banjarmasin. Selain itu juga digunakan untuk menghimpun data yang berkaitan dengan
sarana dan prasarana kelompok
belajar, tutor, warga belajar dan hasil belajar.
E. Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknis analisis model interaktif
(interactive
model of analysis) dari Miles dan Huberman. Pada model analaisis interaktif ini peneliti bergerak pada tiga komponen, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (verification).
35
Proses analisis interaktif ini dapat disajikan dalam bentuk gambar sebagai berikut :
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi Data Kesimpulan/Verifikasi
Gambar 1. Analisis data Model Interaktif Sumber : Miles dan Huberman (1992:20) Reduksi data diartikan bahwa data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data lapangan dituangkan dalam uraianatau laporan lengkapdan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Penyajian data dimaksudkan agar
memudahkan bagi peneliti untuk
melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya yang lebih utuh. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan bukan sesuatu yang berlangsung linier, melainkan merupakan suatu siklus yang interaktif, karena menunjukkan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk 36
memahami atau mendapatkan gambaran dan pengertian yang mendalam komprehensif, yang rinci mengenai suatu masalah sehingga dapat melahirkan suatu kesimpulan yang induktif. Penarikan kesimpulan/verifikasi data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan seara terus menerus sepanjang penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih tentatif. Akan tetapi, dengan bertrambahnya data melalui verifikasi seara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat “ grounded”. Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung melibatkan inpretasi peneliti. Komponen-komponen analisis data tersebut di atas oleh Miles dan Huberman (1992:20) disebut sebagai “model interaktif”
F. Keabsahan data Setiap penelitianmemerlukan adanya standar untuk melihat derajat keperayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan keabsahan data. Moleong (1999:173) mengemukakan bahwa ada empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Kredibilitas 37
Untuk memeriksa kredibilitas dilakukan kegiatan sebagai berikut : a. Memperpanjang masa observasi Dengan cara ini, peneliti mempunyai waktu beberapa Minggu untuk betulbetul mengenal situasi lingkungan, untuk mengadakan hubungan baik dengan para informan. Dengan keadaan yang demikian, peneliti bisa mengeek data yang diperoleh dari informan sehingga data yang diperoleh sudah dirasa benar b. Melakukan Peer debriefing Hasil kajian didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang diterapkan. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh
masukan, saran dan kritik
berkaiatan
dengan hasil penelitian. c. Melakukan Triangulasi Hal ini dilakukan dengan maksud mengeek kebenaran data tertentu dan membandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian di lapangan, pada waktu yang berlainan, dan sering dengan menggunakan metode yang berlainan
2. Keteralihan Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dn penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Keteralihan hasil penelitian ini berkenaan dengan
38
pertanyaan, hingga manakah hasil penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-situasi lain.
3. Ketergantungan dan Kepastian Untuk mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah, peneliti akan mendiskusikannya dengan semua tim setahap demi setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan. Setelah hasil penelitian dianggap benar, kemudian dibuat dalam satu laporan untuk diseminarkan. Dengan seminar diharapkan diperoleh banyak masukan untuk menambah kualitas dari hasil kajian
39
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Warga Belajar Kejar Paket B di SKB Banjarmasin 1. Jumlah Warga Belajar Sama halnya dengan sekolah formal, setiap tahunnya SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin secara rutin melakukan penerimaan warga belajar yang baru. Setiap tahun sebenarnya cukup banyak warga belajar yang ingin masuk di program Paket B SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, tetapi karena anggaran untuk penyelenggaraan tidak tersedia, maka untuk tahun ajaran 2012/2013 tidak menyelenggarakan program Paket B kelas baru. Sebagaimana yang dikatakan oleh kepala SKB yaitu Hikmatullah bahwa : “ penerimaan warga belajar di SKB disesuaikan dengan daya tampung dan ketersediaan dana dari pemerintah, dan yang lebih diutamakan adalah usia prioritas, selebihnya biasanya kami arahkan ke lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan nonformal yang terdekat dengan tempat tinggal mereka. Untuk tahun ajaran 2012/2013 SKB tidak melakukan penerimaan siswa baru karena tidak memperoleh bantuan dana dari pemerintah baik dari APBD maupun APBN (W/KSKB/2812-2012). Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Henry Firdaus Agus salah seorang pamong belajar di SKB bahwa : “ tahun ajaran baru tadi (2012/2013) kami tidak melakukan penerimaan warga belajar baru untuk kelas VII karena anggaran dari pemerintah tidak ada, jadi untuk program paket B yang sekarang berjalan hanya kelas VIII dan kelas IX. Selama ini pembelajaran paket B secara rutin mendapatkan dana dari pemerintah, jadi warga belajar semuanya digratiskan” (W/PHFA/10-03-2013). 40
Apa yang telah dikemukakan oleh informan tersebut di atas juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hikmatullah mengatakan bahwa “ pembelajaran Paket B di SKB saat ini hanya kelas VIII dan kelas IX, kelas VIII dilaksanakan di gedung SKB dan kelas IX dilakasanakan di tempat lain yaitu di gedung madrasah Ibtidaiyah yang terletak di gang perjuangan jalan Pangeran Muhammad Nur Pelambuan. Tidak adanya kelas VII karena tahun ajaran baru tadi SKB tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Kalau mereka harus membayar tidak mungkin, karena mereka kebanyakan dari masyarakat yang tidak mampu. Jadi kalaupun dibuka pendaftaran yang swadana, maka sudah bisa ditebak tidak ada juga yag mendaftar” (W/KSKBH/6-03-2013) Pernyataan
tersebut
sesuai
dengan
pernyataan
yang
dikemukakan oleh penyelenggara yaitu Mardiana. Beliau menyatakan : “ warga belajar program paket B di SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin saat ini berjumlah 40 orang, dimana kelas VIII berjumlah 20 orang dan kelas IX berjumlah 20 orang. Untuk kelas VII tahun tadi tidak membuka pendaftaran warga belajar yang baru karena tidak mendapat bantauan dana penyelenggaraan dari pemerintah” (W/PM/02-01-2013) Selain menyelenggarakan program Paket B, SKB Kota Banjarmasin juga menyelenggarakan program pembelajaran Paket A dan Paket C. Karena keterbatasan ruang kelas, maka tempat penyelenggaraan program Paket B tidak bisa sebaik di gedung yang lama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hikmatullah : “ sejak gedung SKB dipindah ke gedung yang sekarang ini, maka pembelajaran program Paket B kondisinya tidak bisa seperti yang dulu, karena gedung yang sekarang ruangannya sangat terbatas, khususnya untuk yang kelas VIII”. (W/KSKB/28-122012).
41
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa SKB sebagai lembaga pemerintah sudah lama menyelenggarakan pendidikan nonformal termasuk program Paket B. Dengan kata lain SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin sudah dikenal oleh masyarakat kota Banjarmasin sebagai lembaga yang konsisten menyelenggarakan pendidikan nonformal. Oleh karena itu saat ini tidak sesulit waktu dulu untuk mencari warga belajar, sebagaimana yang dikatakan oleh kepala SKB Hikmatullah bahwa : “ pada awal-awal pelaksanaan program Paket B rekruitmen warga belajar kami lakukan melalui ketua RT ketua RT dan juga melalui selebaran yang kami sebarkan ke masyarakat. Sekarang ini mereka datang sendiri untuk ikut belajar di Paket B. Biasanya mereka mengetahui dari informasi kawannya yang sudah terdahulu belajar di sini” (W/KSKBH28-12-2012) Keterangan senada juga dikemukakan oleh Mardiana bahwa : “ sekarang masyarakat sudah mengetahui tentang program Paket B artinya sudah tersosialisasi dengan baik ke masyarakat. Dulu susah sekali mencari warga belajar yang mau sekolah di Paket B, kadangkadang mereka kami jemput agar mau datang. Atau bisa juga pada awalawal mereka rajin belajar, namun tidak berapa lama kemudian tidak muncul-muncul lagi” (W/PM/28-12-2012) Dari penjelasan infroman di atas dapat diketahui bahwa sekarang ini sudah adanya kesadaran dari masyarakat untuk mau masuk di program Paket B. Ini terbukti dengan adanya pendaftar pada setiap tahunnya.
a. Usia Sasaran program kesetaraan paket B adalah setiap warga Negara Indonesia lulusan SD/MI, program paket A, ujian persamaan SD dan yang putus sekolah menengah pertama berusia 13 tahun ke atas dengan prioritas usia 13 sampai dengan 24 tahun . Dengan demikian
usia warga belajar program 42
kesetaraan paket B umumnya di atas rata-rata usia siswa di sekolah formal (SMP/MTs) yang berkisar antara 12 sampai dengan 20 tahun. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di kelas VIII (O/TBSKB/06-03-2013) terlihat hampir semuanya masih usia sekolah, tetapi saat peneliti melakukan observasi di kelas IX (O/TBMI/17-03-2013) terlihat banyak yang sudah berumur (di atas usia sekolah). Salah seorang informan yang menjadi tutor di SKB yaitu Hikmatullah mengatakan bahwa : “ warga belajar program paket B sebagian besar di atas 16 tahun, bahkan kelas IX sudah ada yang berusia 45 tahun. Tidak seperti halnya di sekolah formal , kami memang tidak membatasi usia mereka. Selama mereka mau belajar di paket B kami akan menerimanya. Usia di bawah 15 tahun sebenarnya juga ada, namun hanya beberapa orang aja. Biasanya mereka yang pindahan dari sekolah formal usianya lebih muda ” (W/KSKBH/6-03-2013) Apa yang dikemukakan oleh Hikmatullah tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mardiana yang juga sebagai penyelenggara sekaligus sebagai tutor bahwa: “ usia warga belajar di program paket B sebagian besar antara 16 sampai dengan 20 tahun, namun ada juga warga belajar yang berusia di atas 25 tahun” (W/TM/18-01-2013)
Keterangan lainnya yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Abdurrahman yang sudah duduk di kelas IX bahwa “ wahini umur ulun sudah 27 tahun. Ulun dahulunya sabalum umpat belajar di paket B ini umpat belajar di Paket A, imbah lulus Paket A manarusakan ka Paket B (saat ini usia saya sudah 27 tahun, saya dulunya sebelum ikut belajar di paket B ikut belajar di Paket A. Setelah lulus Paket A meneruskan ke Paket B) (W/WBA/17-03-2013)
43
Warga belajar yang duduk di kelas IX usianya memang banyak yang sudah di atas 20 tahun, bahkan ada yang sudah berusia 45 tahun.
b. Status Perkawinan Jika di sekolah formal siswa tidak diperbolehkan menikah, berbeda halnya dengan di sekolah nonformal. Di sekolah nonformal siapapun diperbolehkan untuk belajar termasuk mereka yang sudah berkeluarga. Sebagaimana keterangan dari Mardiana bahwa : “ warga belajar di Paket B ini sebagian memang sudah berkeluarga, karena memang tidak ada larangan untuk itu. Bagi mereka yang sudah berkeluarga tentunya harus ada ijin dari suami atau isterinya. Sepengetahuan saya, untuk kelas IX warga yang sudah berkeluarga sekitar 40% (W/PM/17-03-2013). Pernyataan lainnya dikemukakan oleh Henry Agus Firdaus bahwa “ karena di pendidikan nonformal ini tidak membatasi status perkawinan seseorang, maka banyak juga warga belajar yang sudah menikah ikut Paket B” (W/PHAF/06-03-2013) Keterangan di atas diperkuat oleh penyataan salah seorang warga belajar yaitu Abdur Rahim “ ulun sudah menikah dan baisi anak. Dulu ulun tamasuk sungsung kawin. Kakawanan ulun di kelas IX ini banyakai jua nang sudah kawin. Amun di sakulahan biasa kada kawa umpat masuk, makanya ulun masuk sakulah di sini”. (“saya sudah menikah dan punya anak. Dulu saya termasuk cepat kawin. Teman-teman saya di kelas IX ini banyak juga yang sudsh kawin. Kalau di sekolah biasa (sekolah formal) tentu tidak bisa masuk, makanya saya masuk di sekolah ini (Paket B)” (W/WBA/17-03-2013)
44
c. Status Pekerjaan Tidak seperti halnya di sekolah formal dimana siswa lebih fokus untuk belajar,` namun di sekolah nonformal ini warga belajar program Paket B umumnya sambil bekerja. Hal ini dikemukakan oleh kepala SKB bahwa “sebagian warga belajar Paket B di SKB bekerja, ada yang bekerja sebagai tukang bangunan, ada yang bekerja sebagai penjaga toko dan ada yang membantu orang tua berjualan” (W/KSKBH/06-03-2013) Berkaitan dengan status
pekerjaan warga belajar ini, Henry Agus
Firdaus juga mengatakan : “ warga belajar memang banyak juga yang bekerja, ada yang bekerja di pabrik udang, pabrik rotan dan ada juga yang bekerja di pabrik kayu. Biasanya jika sudah berijasah Paket B, kedudukan mereka di tempat kerja akan semakin baik. Oleh karena itulah mereka termotivasi untuk belajar sampai selesai di paket B” (W/PHAF/06-03-2013) Pernyataan di atas dikuatkan oleh salah seorang warga belajar yaitu Akhmad Rizki yang mengatakan : “ ulun sakulah sambil bagawi karena kuwitan kada mampu. Gawian ulun kada manantu ae, kadang-kadang umpat orang bagawai di bangunan. Mun pas bagawi paksa ae ulun kada masuk (“saya sekolah sambil bekerja karena orang tua tidak mampu. Pekerjaan ulun kada menentu, kadang-kadang ikut orang bekerja dibangunan. Kalau kebetulan bekerja terpaksa saya tidak masuk”) (W/WBAR/06-032013) Pernyataan warga belajar lainnya dikemukakan oleh Abdurrahman yang mengatakan : “ ulun sudah bagawi dan bagawinya di swasta haja, gawian ulun jadi cleaning service (saya sudah bekerja dan bekerjanya hanya di swasta, pekerjaan saya di cleaning service) (W/WBA/17-03-2013)
45
Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa tempat belajar paket B ada yang di gedung SKB dan ada juga yang di luar SKB. Untuk yang belajar di SKB, pembelajaran dilaksanakan pada pagi hari dan yang belajar di tempat lain dilaksanakan mulai jam 14.00 wita. Untuk yang belajar pagi hari memang hanya sebagian kecil saja yang bekerja, tetapi yang belajar sore hari kebanyakan memang bekerja.
d. Latar Belakang Pendidikan Warga Belajar Program Paket B adalah program pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal setara SMP/MTs bagi siapapun yang terkendala ke pendidikan formal atau berminat dan memilih Pendidikan Kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan dasar. Pemegang ijazah Program Paket B memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka warga belajar yang bisa masuk ke program Paket B adalah mereka yang sudah lulus Paket A, lulus SD atau pindahan dari SLTP. Berkaitan dengan latar belakang pendidikan warga belajar ini, Hikmatullah mengatakan “ sebagian besar warga belajar Paket B di SKB ini adalah lulusan sekolah formal (SD), namun ada juga yang berasal dari lulusan Paket A, namun yang lulusan dari Paket A hanya sebagian kecil, dan ada juga beberapa orang pindahan dari sekolah formal. Untuk yang lulusan sekolah formal (SD) biasanya sudah lulus beberapa tahun” (W/KSKBH/06-03-2013) Senada dengan pernyataan tersebut Mardiana juga mengatakan : “ mayoritas warga belajar Paket B adalah lulusan SD, tapi karena terkendala biaya kemudian tidak melanjutkan ke sekolah formal yang 46
lebih tinggi (SMP). Terkadang mereka sempat berhenti satu atau dua tahun tidak sekolah, kemudian baru masuk ke program Paket B. Selain dari lulusan sekolah formal sebagian lagi pindahan dari sekolah formal” (W/PM/30-01-2013) Berkaitan dengan adanya warga belajar yang pindahan dari sekolah formal, Henry Agus Fairdaus mengatakan : “ warga belajar Paket B sebagian besar adalah lulusan SD, namun ada juga berasal dari pindahan sekolah formal (SMP). Dia pindah ke program Paket B karena sudah menikah. Walaupun sudah menikah tetapi mereka tetap mempunyai motivasi yang kuat untuk terus sekolah. Oleh keluarganya diberikan alternative melanjutkan di Paket B “ (W/PHAF/06-03-2013)
e. Status Sosial Ekonomi Warga Belajar Sosial ekonomi keluarga warga belajar didasarkan atas pekerjaan orang tua dan jenis pekerjaan warga belajar sendiri (jika sudah bekerja). Status ekonomi seseorang memang menentukan pilihan sekolah/tempat belajar orang tersebut. Sehubungan dengan status ekonomi ini Mardiana mengatakan: “ gambaran status ekonomi warga belajar Paket B sebagian besar tergolong kurang mampu. Kondisi ini dapat dilihat dari pekerjaan orang tua mereka yang kebanyakan bekerja sebagai buruh kasar atau sebagai tukang ojek, yang tentu saja berpenghasilan tidak menentu” (W/P/06-03-2013). Tentang
gambaran status sosial ekonomi warga belajar Paket B,
informan lainnya yaitu Idawati mengatakan: “ berdasarkan pengamatan saya, keadaan ekonomi warga belajar Paket B di SKB ini tergolong ekonomi lemah. Hal ini dapat diketahui dari pekerjaan orang tua mereka yang serabutan dan tidak menentu” (W/TMU/17-03-2013) Pernyataan lainnya tentang kondisi ekonomi warga belajar dikemukakan oleh Henry Agus Firdaus bahwa :
47
“ warga belajar Paket B umumnya tergolong rendah, karena kondisi yang demikianlah makanya itu merupakan salah satu alasan mereka memilih sekolah di Paket B. Selama ini, penyelenggaraan program Paket B di SKB tidak pernah memungut biaya, karena sudah dibiayai oleh pemerintah (W/PHAF/06-03-2013). Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa : “ warga belajar paket B kebanyakan berasal dari ekonomi lemah, memang ada saja yang naik kenderaan ke sini (SKB) tetapi itu hanya beberapa orang. Warga belajar di sini banyak yang berasal dari pinggiran kota Banjarmasin seperti daerah Simpang Jagung dan Teluk Tiram” (W/PHFA/06-03-2013). Pernyataan tersebut di atas dikuatkan oleh pernyataan salah seorang warga belajar yaitu Akhmad Rezki yang mengatakan : “ ulun sakulah di sini kawa sambil bagawi, karena orang tua ulun kurang mampu. Ulun bagawinya di Ramayana” (saya sekolah di sini bisa sambil bekerja, karena orang tua saya kurang mampu. Saya bekerjanya di Ramayana”) (W/WBAR/06-03-2013) Warga belajar lainnya yaitu Ahmad Alkaderi juga mengatakan : “ sekolah di Paket B menurut ulun lebih praktis, karena ulun kawa sambil bagawi membantu orang tua. Belajar di sini tiga hari aja dalam seminggu yaitu Senin, Selasa dan Rabu. Orang tua ulun usahanya bajaualan, jadi banyak waktunya ulun kawa membantu sidin bajualan” ( “sekolah di Paket B menurut saya lebih praktis, karena saya bisa sambil bekerja membantu orang tua. Belajar di sini tiga hari saja dalam seminggu yaitu Senin, Selasa dan Rabu. Orang tua saya usahanya berjualan, jadi banyak waktunya saya bisa membantu mereka berjualan”) (W/WBAA/06-03-2013) f. Jarak Tempat Tinggal Warga Belajar dengan SKB Berdasarkan keterangan dari salah seorang pamong di SKB yang sekaligus sebagai tutor yaitu Henry Firdaus Agus bahwa : “ kebanyakan warga belajar yang ada di SKB adalah warga masyarakat yang tinggal di pinggiran kota Banjarmasin, namun ada juga yang bertempat tinggal di sekitar SKB (W/PHAF/06-0-2013)
48
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa karena terbatasnya tempat belajar di SKB, maka untuk program Paket B yang dilaksanakan di degung SKB hanya untuk kelas VIII, sedangkan untuk kelas IX tempat belajarnya meminjam sekolah madrasah yang terletak di Jl. Pangeran M. Noor Kecamatan Banjarmasin Barat, yang berjarak sekitar lima km dari gedung SKB. Sebagaimana halnya yang dikemukakan oleh Hikmatullah bahwa : “ Untuk yang belajar di gedung SKB berasal dari berbagai kecamatan di wilayah Kota Banjarmasin, ada yang berasal dari kecamatan Alalak, Jalan Pramuka km 6, jalan Keramat dll, tetapi untuk mereka yang belajar di sekolah madrasah Alfalah umumnya warga sekitar” (W/KSKBH/1703-2013) Untuk warga belajar kelas VIII yang tempat belajarnya di gedung SKB, sebagian
bertempat tinggal di sekitar SKB, namun yang banyak justru
bertempat tinggal di kecamatan lain, seperti yang dikemukakan oleh Akhmad Rezki : “ rumah ulun di Basirih, jauh jua pang ke sini” (rumah saya di Basirih, jauh juga kalau ke sini) (W/WBR/06-03-2013) Berbeda halnya dengan warga belajar kelas IX, hampir semua warga belajarnya bertempat tinggal tidak jauh dari tempat belajar (gang sederhana kecamatan pelambuan kecamatan Banjarmasin Barat)
2. Peran Pengelola dalam Pembelajaran Kejar Paket B di SKB Banjarmasin a. Mempersiapkan Sarana dan Prasarana Pembelajaran Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar-mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan 49
media pengajaran. Sedangkan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti kebun, halaman, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan. Sarana pendidikan dipandang dapat membantu keberhasilan proses pendidikan. Selain itu, sarana pendidikan mempermudah proses pendidikan. Mengenai kelengkapan sarana pembelajaran yang ada di Sanggar Kegiatan Belajar Disdik Kota Banjarmasin, Hikmatullah mengatakan : “ sarana pembelajaran yang ada di SKB ini sudah tersedia, dan itu memang disediakan oleh pemerintah. Namun kalau dilihat dari kecukupan jumlah kelas, memang belum cukup, karena kami juga menyelenggarakan program Paket A dan Paket C. Oleh karena keterbatasan ruang belajar, maka untuk berbagai peralatan pembelajaran keterampilan seperti gitar dan drum terpaksa diletakkan di ruang kantor SKB (W/KSKB/28-12-2012).
Hikmatullah selanjutnya menjelaskan bahwa “ yang ditempati sekarang adalah gedung SKB yang baru. Gedung SKB yang lama sekarang lagi direnovasi. Gedung dulu cukup banyak ruang belajarnya, sehingga kegiatan-kegiatan nonformal lainnyapun bisa dilaksanakan, karena tempatnya yang cukup memadai” (W/KSKB/06-032013).
Selain tersedianya sarana sebagaimana yang dikemukakan oleh informan di atas, informan lainnya yaitu Henry Firdaus Agus mengatakan : “ bahwa kelengkapan lainnya yang dimiliki SKB adalah berbagai alat keterampilan, khususnya alat-alat musik, seperti gitar dan drum. Di samping itu juga SKB mempunyai ruang pembelajaran computer yang semuanya bisa digunakan oleh warga belajar khususnya saat pembelajaran keterampilan” (W/PHAF/06-03-2013). 50
Apa yang dikatakan oleh Hikmatullah dan Henry Agus Firdaus sesuai dengan apa yang peneliti lihat saat melakukan observasi langsung ke SKB. Berbeda dengan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan nonformal lainnya, sarana yang dimiliki SKB tergolong lebih lengkap dalam arti tersedianya ruang belajar yang dilengkapi dengan meja dan kursi, walaupun tidak selengkap di lembaga pendidikan formal. Salah satu ruangan menyediakan adalah ruang pembelajaran computer. Namun di sisi lain ruang belajar yang ada terlihat kurang mendukung pelaksanaan pembelajaran yang kondusif, karena berdekatan dengan ruang pembelajaran Paket B adalah ruang taman kanak-kanak. Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran di taman kanak-kanak sering dengan permainan dan penuh dengan keramaian yang terkadang juga sangat ribut. Hal ini tentu saja sangat mengganggu
di ruang Paket B yang pada saat bersamaan juga sedang
melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini jelas sekali terlihat pada saat peneliti mengadakan observasi ke kelas Paket B ketika pembelajaran sedang berlangsung, dimana warga belajar Paket B sangat tidak konsentrasi dalam belajar, karena terganggu oleh ramainya kegaduhan di kelas sebelah (di ruang Taman Kanak-Kanak). Ditambah lagi ruang pembelajaran Paket B yang sangat sempit hanya sekitar 3m x 4 m. Berbeda halnya dengan tempat pembelajaran Paket B yang kelas IX, walaupun meminjam sekolah lain, namun ruang pembelajarannya cukup memadai. yaitu gedung Madrasah Ibtidaiyah yang terletak di jalan Pangeran M. Noor Gang Sederhana Kota Banjarmasin Barat.
51
Selain dilengkapi dengan berbagai sarana pembelajaran, kelengkapan lainnya yang disediakan adalah modul pembelajaran. Hikmatullah mengatakan bahwa : “ ketersediaan modul pembelajaran sangat penting bagi warga belajar program paket B, karena mereka lebih banyak dituntut untuk belajar mandiri. Pembelajaran tatap muka dengan tutor untuk kelas VIII hanya tiga kali seminggu, dan untuk kelas IX hanya 2 x seminggu, selebihnya tentu saja mereka harus belajar sendiri. Namun sekarang ini modul yang ada sangat terbatas, sehingga warga belajar tidak semuanya bisa membawa modul ke rumah ” (W/KSKBH/06-03-2013). Tidak jauh beda dengan pernyataan informan di atas, Henry Agus Firdaus juga mengatakan bahwa “ Menurut saya modul yang tersedia sangat jauh dari mencukupi, padahal
warga belajar sangat membutuhkannya. Untuk mengatasinya terpaksa mereka bergantian untuk menggunakan modul yang ada “ (W/PHAF/0603-2013)
Selain ruang belajar yang dilengkapi dengan fasilitas belajar lainnya seperti meja, kursi dan papan tulis, modul pembelajaran, hal lain yang dilengkapi oleh pengelola adalah berkaitan dengan administrasi. Berbagai kelengkapan administrasi yang sudah dilengkapi, Hikmatullah mengatakan “Untuk kelengkapan administrasi, kami mengacu pada ketentuan yang sudah ada. Jadi semua kami lengkapi seperti papan nama, daftar hadir, laporan keuangan, buku kemajuan belajar dan sebagainya” (W/KSKBH/29-03-2013)
b. Melaksanakan Pembelajaran pada Pagi dan Sore Hari Seperti di ketehui bahwa salah satu karakteristik pendidikan luar sekolah adalah adanya keluwesan dalam penentuan waktu pelaksanaan belajar mengajarnya. Untuk meningkatkan kehadiran warga belajar perlu dilakukan
52
perjadwalan yang sesuai dengan kondisi warga belajar dan pemilihan waktu dilakukan semaksimal mungkin dapat diikuti oleh semua warga belajar tanpa harus merugikan mereka dengan meninggalkan pekerjaan, pemilihan waktu ini akan lebih baik jika melibatkan seluruh warga belajar dengan musyawarah agar kesepakatan penjadwalan dapat dipertanggungjawabkan secara bersama-sama. Menurut Hikmatullah bahwa pembelajaran di SKB ada dua, ada yang dilaksanakan pagi hari dan ada juga yang dilaksanakan sore hari. Selanjutnya Hikmatullah mengatakan : “ khusus untuk pembelajaran di gedung SKB semuanya dilaksanakan pada pagi hari, sama halnya dengan waktu pembelajaran di sekolah formal. Hal ini bukan hanya untuk program Paket B, tetapi juga untuk pembelajaran program Paket A dan Paket C” (W/KSKBH/06-03-2013) Informan lainnya yaitu Mardiana menambahkan : “ lembaga penyelenggara pendidikan nonformal lainnya memang jarang ada yang menyelenggarakan pembelajaran waktu pagi hari, tetapi khusus di SKB kami melaksanakannya di pagi hari. Ternyata cukup banyak juga peminat yang belajar di pagi hari. Warga belajar yang memilih pagi hari umumnya usia sekolah atau bekerja sore dan malam hari” (W/TM/06-03-2013).
Senada dengan apa yang dikatakan oleh informan di atas, informan lain yaitu Agus Henry Firdaus mengatakan bahwa : “Jadual pembelajaran ada yang pagi hari sama dengan sekolah formal, dan ada juga yang sore hari. Hal ini ditempuh agar warga belajar bisa menyesuaikan dengan waktu kerja mereka. Untuk yang pagi hari, mulai jam 08.00 wita s.d jam 12.00 wita sedangkan yang sore hari mulai jam 14.00 wita s.d jam 17.00. wita” (W/PHAF/06-03-201). Selain melaksanakan pembelajaran pagi hari SKB juga menylenggarakan pembelajaran sore hari, namun tempat belajarnya bukan di gedung SKB tetapi meminjam gedung sekolah formal.
53
Sehubungan dengan pembelajaran yang dilaksanakan pada sore hari Hikmatullah menyatakan : “ pembelajaran Paket B yang sore hari dilaksanakan hanya dalam dua kali seminggu, yaitu Sabtu dan Minggu, dan ini berdasarkan kesepatakan dengan warga belajarnya. Waktu pembelajaran dimulai pokul 14.00 sd pukul 18.00. Bergeda dengan pembelajaran pagi hari yang dilaksanakan di gedung SKB, warga belajar yang sore hari ini sebagian besar sudah berkeluarga dan bekerja” (W/KSKBH/06-03-2013). Dengan adanya pilihan waktu belajar tersebut, maka warga belajar bisa memilihnya disesuaikan
dengan
kesibukan masing-masing. Hal ini juga
merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh SKB agar masyarakat mempunyai pilihan sesuai dengan kesibukan masing-masing. Dengan kata lain jika masyarakat mempunyai kesibukan pagi hari, maka dia bila bersekolah pada sore hari begitu pula sebaliknya. c. Mengirimkan tutor untuk mengikuti berbagai diklat Untuk meningkatkan mutu dan kualitas mengajar para tutor sehingga mampu mendampingi warga belajar secara profesional, tutor perlu memperdalam pengetahuannya khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran non formal. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan. Secara umum
pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menggambarkan suatu proses dalam pengembangan individu, masyarakat, lembaga dan organisasi. Pendidikan dengan pelatihanm merupakan dua bagian yang tak dapat dipisahkan dalam sistem pengembangan sumberdaya manusia, yang di dalamnya terjadi proses perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga manusia. Mengingat begitu pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi tutor ini, maka SKB pun sering mengikutsertakan para tutor untuk mengikuti berbagai pendidikan dan latihan tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Hikmatullah bahwa : 54
“ kami sering mengirimkan tutor untuk mengikuti berebagai macam pelatihan yang berhubungan dengan pembelajaran nonformal, baik yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan maupun yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan Kota Banjarmasin. Memang tidak semua tutor yang ada di sini pernah mengikutinya, karena biasanya pesertanya dibatasi” (W/KSKBH/06-03-2013) Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Mardiana : “ para turor yang ada di SKB sebagian sudah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran nonformal, misalnya pendidikan dan pelatihan untuk pembelajaran progtam Paket B, diklat pembelajaran Paket A dan diklat pembuatan kisi-kisi untuk Ujian Akhir Sekolah. Hal ini merupakan upaya kami untuk meningkatkan kompetensi para tutor” (W/PM/06-03-2013) Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa SKB selaku lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Paket B selalu berupaya meningkatkan kemampuan para tutor. Berbagai diklat yang diikuti oleh para tutor memang sangat membantu mereka dalam mengembangkan pembelajaran di Paket B. Hal ini diakui oleh informan lainnya yaitu Zainuddin yang mengatakan bahwa : “ saya beberapa kali ditugaskan untuk mengikuti diklat pendidikan nonformal, dan itu sangat membantu sekali bagi kami yang menjadi tutor di program Paket B ini” (W/TZ/09-03-2013)
d. Mewajibkan Warga Belajar Memakai Baju Seragam Dalam pembelajaran nonformal sebenarnya tidak ada ketentuan bahwa warga belajar menggunakan baju seragam. Namun berbeda dengan yang diterapkan oleh pengelola di SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin. Semua warga belajar diwajibkan memakai baju seragam yaitu seragam hitam putih, dan ini diberlakukan terhadap semua warga belajar program paket baik Paket A, Paket B dan Paket C. 55
Seperti yang dikemukakan oleh Henry Agus Firdaus bahwa : “ Awal mereka mendaftar sudah kami suguhkan dengan berbagai peraturan, antara lain mereka wajib memakai seragam hitam putih saaat mengikuti pelajaran. Ini kami berlakukan khusus bagi mereka yang tempat belajarnya di SKB” (W/PHAF/06-03-2013) Sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan memakai baju seragam ini kepala SKB juga mengatakan bahwa : “ warga belajar program paket di SKB ini wajib memakai baju seragam, dan peraturan itu sudah kami sampaikan pada saat mereka datang mendaftar di sini. Diantara beberapa persyaratan yang harus mereka penuhi adalah bahwa dalam mengikuti pembelajaran mereka harus menggunakan seragam hitam putih, namun tidak untuk pembelajaran yang dilaksanakan di tempat lain. Ini salah satu upaya kami untuk mendisiplinkan warga belajar” (W/KSKBH/06-03-2013) Ketika ditanya alasan pengelola mewajibkan penggunaan baju seragam, Hikmatullah selanjutnya menjelaskan : “ gedung SKB inikan lokasinya berdekatan dengan sekolah-sekolah formal lainnya seperti SMAN 1, SMAN 2, SMKN 1, SMPN 1 dan SMPN 2 Banjarmasin. Siswa yang bersekolah di sekolah formal tersebut terkadang ada yang terlambat masuk, atau ada yang sengaja terlambat masuk. Sebagian dari mereka ada yang membawa baju bebas, dan mereka berganti baju bebas kemudian nongkrong di depan SKB. Kami sering salah tegur, kami mengira mereka adalah warga belajar kami, ternyata siswa di sekolah formal. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut kami pengelola mengambil inisiatif membuat peraturan warga belajar di SKB wajib menggunakan seragam” (W/KSKB/28-12-2012)
Melihat dampak positif dari pemakaian baju seragam tersebut, maka sampai sekarang SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin tetap memberlakukannya khususnya untuk pembelajaran yang dilaksanakan di SKB.
56
BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Warga Belajar Program Paket B di SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dilihat dari sisi jumlah warga belajar bahwa warga belajar Paket B yang ada di SKB Disdik Kota Banjarmasin setiap tahunnya rata-rata 20 orang. Karena tahun pelajaran 2012/2013 tidak menerima warga belajar yang baru, maka jumlah warga belajar saat ini adalah 40 orang. Penerimaan warga belajar yang dibatasi hanya 20 orang berkaitan dengan bantuan penyelenggaraan dari pemerintah, dimana setiap kelas yang dibiayai hanya untuk 20 orang. Oleh karena itu jika yang mendaftar lebih dari 20 orang, maka akan disarankan untuk mendaftar program Paket B di tempat lembaga lain yang juga menyelenggarakan program Paket B. Dari segi usia warga belajar di Paket B SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin berkisar antara 16 sampai dengan 45 tahun. Hal ini sesuai dengan kelompok sasaran yang dikemukakan oleh Depdiknas (2007) bahwa karakteristik sasaran dan komunitas belajar Pendidikan Kesetaraan dapat beragam sesuai dengan potensi dan kebutuhan, dimana jika dilihat dari segi usia bekisar antara 15 sd 44 tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa pada kelompok usia 15-44 tahun masih banyak yang belum tamat SD/MI, SMP/MTs, atau lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan. Menurut data BPS (Depdiknas, 2007) pada kelompok usia 13-l5 tahun (3 tahun diatas usia SD/MTs) terdapat 583.487 orang putus sekolah
57
SD/MI, dan 1,6 juta lebih yang tidak sekolah SD/MI. Kemudian pada kelompok usia 16-18 tahun terdapat 871.875 orang putus sekolah SMP/MTs, dan 2,3 juta lebih yang lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke SMP/MTs. Kelampok usia 15-44 ini merupakan potensi usia produktif yang dapat ditingkatkan kualitas manusianya melalui penuntasan pendidikan dasar. Ditjen Pendidikan Dasar melalui surat nomor 2122/C.C3/DS/2011 tanggal 29 Juli 2011 membatasi usia syarat masuk peserta didik program Paket B. Batas minimal usia yang diperbolehkan mengikuti program Paket B adalah 18 tahun. Namun demikian kenyataan di lapangan Kejar Paket B mengalami dilema jika menolak warga belajar usia wajib belajar atau usia sekolah. Hal ini juga terjadi di Kejar Paket B SKB Disdik Kota Banjarmasin, bebarapa warga belajar Paket B adalah anak usia sekolah, khususnya yang pembelajarannya di gedung SKB.
Saat mengadakan observasi ke ruang
pembelajaran kelas VIII di SKB Disdik Kota Banjarmasin pemandangan yang ada nampak seperti layaknya anak-anak usia SMP di sekolah formal, terlebih mereka diwajibkan oleh pengelola untuk memakai seragam sekolah (hitam putih). Padahal kegiatan tersebut adalah aktivitas kegiatan belajar pada Paket B di SKB Disdik Kota Banjarmasin. Pelaksanaan waktu pembelajaran pun berlangsung seperti layaknya sekolah formal. Paket B SKB Disdik Kota Banjarmasin ini masuk setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu mulai pukul 08.00 sampai dengan 12.00. Setiap hari warga belajar mengikuti empat jam pelajaran. Pengampu mata pelajaran adalah para tutor yang sebagian berasal dari pamong belajar SKB Disdik Kota Banjarmasin.
58
Adanya warga belajar paket B yang usia sekolah (bisa sekolah di formal) diduga karena alasan biaya. Walaupun pemerintah sudah menyatakan bahwa pendidikan dasar (SD-SMP) adalah gratis, namun terkadang masih saja ada biaya atau pungutan yang harus dibayar oleh mereka. Sebagian besar dari mereka adalah dari masyarakat yang kurang mampu, dan mereka mengikuti program Paket B karena tidak ingin semakin termarjinalkan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa warga belajar Paket di SKB Banjarmasin, sebagian besar sambil bekerja, mayoritas berstatus sosial ekonomi rendah dan sebagian sudah berkeluarga, dan ini merupakan kelompok masyarakat yang tentu saja mempunyai kendala jika ingin ke sekolah formal. Temuan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Depdiknas (2007) bahwa
penduduk
yang terkendala ke Jalur pendidikan formal
biasanya
disebabkan oleh beberapa factor , diantaranya adalah factor waktu. Mereka umumnya punya keterbatasan waktu untuk belajar, karena waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga yang tersisa biasanya hanya hari-hari libur seperti Sabtu atau Minggu atau hari libur lainnya. Dengan
belajar
di
sekolah
nonformal
yang
waktu
belajarnya
bisa
dimusyawarahkan, maka mereka bisa ikut belajar, dan kegiatan mereka bekerja tidak akan terganggu. Di samping itu juga dikatakan bahwa masyarakat yang belajar di sekolah nonformal biasanya dibebani tanggungjawab untukm membantu ekonomi keluarga. Hal ini juga sesuai dengan temuan penelitian bahwa dari beberapa warga belajar yang mengatakan sudah bekerja, umumnya dibebani tanggung jawab oleh keluarganya sebagai pencari nafkah. Hal ini terjadi bukan hanya kepada warga belajar yang sudah berkeluarga, namun juga 59
terjadi terhadap warga belajar yang belum berkeluarga. Sebagaimana hasil penelitian ini warga belajar yang belum berkeluarga juga dibebani tanggung jawab untuk membantu mencari nafkah keluarga. Bagi warga belajar yang sudah berkeluarga, dia merupakan tulang punggung keluarga (sebagai suami) dan bagi warga belajar yang belum berkeluarga, mereka terpangggil untuk membantu ekonomi orang tuanya yang kurang mampu. Hal lainnya yang terungkap dalam penelitian ini adalah bahwa ternyata warga belajar yang mengikuti pembelajaran di gedung SKB ternyata sebagian besar tinggal tidak di lingkungan sekitar SKB, tetapi di pinggiran kota Banjarmasin seperti di Basirih, Teluk Tiram dan Pelambuan.
B. Peran Pengelola dalam Pembelajaran Kejar Paket B
di SKB Dinas
Pendidikan Kota Banjarmasin Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pembelajaran program Paket B, pengelola tentunya memegang peranan yang sangat penting. Salah satu diantaranya adalah berkaitan dengan sarana dan prasarana pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh pengelola paket B di SKB Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin dalam rangka mendukung kegiatan pembelajaran di antaranya adalah mempersiapkan ruang atau tempat belajar. Menurut Depdiknas (2007) bahwa proses belajar mengajar dapat dilaksanakan di berbagai tokasi dan tempat yang sudah ada baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, madrasah,
60
sarana-prasarana yang dimiliki pondok pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Masyarakat (SKB), masjid, pusat-pusat majlis taklim, gereja, balai desa, kantor organisasi-organisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat-tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Sebagaimana diketahui bahwa gedung SKB adalah gedung milik pemerintah, dimana gedung tersebut sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas pembelajaran. Peran pengelola atau penyelenggara di sini adalah mengatur atau menata ruang belajar yang telah tersedia tersebut sebaik mungkin sehingga pembelajaran bisa berlangsung dengan suasana yang menyenangkan. Berkaitan dengan penataan ruang belajar yang menyenangkan, hasil penelitian ini menunjukkan ternyata masih belum maksimal dilakukan oleh pihak pengelola. Ruang belajar yang ada terlihat kurang mendukung pelaksanaan pembelajaran yang kondusif, karena berdekatan dengan ruang pembelajaran Paket B adalah ruang taman kanak-kanak. Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran di taman kanak-kanak sering dengan permainan dan penuh dengan keramaian yang terkadang juga sangat ribut. Hal ini tentu saja sangat mengganggu
di ruang Paket B yang pada saat bersamaan juga sedang
melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini jelas sekali terlihat pada saat peneliti mengadakan observasi ke kelas Paket B ketika pembelajaran sedang berlangsung, dimana warga belajar Paket B sangat tidak konsentrasi dalam belajar, karena terganggu oleh ramainya kegaduhan di kelas sebelah (di ruang Taman Kanak-Kanak). Ditambah lagi ruang pembelajaran Paket B yang sangat sempit hanya sekitar 3m x 4 m. Seharusnya pihak pengelola menata lagi ruang 61
pembelajaran yang memadai, paling tidak jangan sampai bersebelahan dengan ruang taman kanak-kanak. Untuk memberikan pilihan waktu belajar kepada masyarakat pihak SKB menyelenggarakan pembelajaran pagi dan sore hari. Hal ini tentu saja sangat membantu warga belajar dalam menentukan pilihan waktu belajar. Di samping itu juga, dalam upaya memotivasi masyarakat agar mau belajar di paket B, pihak SKB melibatkan tenaga sukarelawan dari Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PKPSM). Peran dari tenaga sukarelawan ini ternyata cukup berhasil memotivasi masyarakat, khususnya masyarakat di luar usia sekolah. Menurut Sihombing ( 1999) bahwa “motivasi adalah daya dorong untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, kemauan dan kepuasan”. Menurut Prasetyo (2007) motivasi menjadi penyebab adanya perilaku warga belajar. Dengan demikian dapat dikatakan motivasi itu adalah dorongan dan usaha kepada seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai suatu prestasi. Motivasi dipengaruhi oleh factor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsic
adalah factor yang ada pada dalam diri seseorang, sedangkan factor
ekstrinsik adalah factor yang berasal dari luar seperti gaya kepemimpinan, sesama teman atau dorongan dari orang lain (Wahjosumidjo, 1984). Memberikan motivasi kepada warga belajar berarti menggerakkan warga belajar untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan sesuatu. Pada tahap awalnya akan menyebabkan warga belajar merasa ada kebutuhan dan ingin melakukan sesuatu kegiatan belajar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Daniel C. Feldman dan Hugh J. Arnold (Prasetyo, 2007) bahwa motivasi merupakan rangsangan yang diperlukan oleh setiap warga belajar sehingga mereka memiliki dorongan untuk 62
belajar secara sungguh-sungguh dan rangsangan untuk mencapai sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Memang rangsangan yang diperlukan warga belajar berbeda antara seseorang dngena yang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sebagai individu yang sudah memiliki sesuatu inheren pada dirinya dan oleh karena itu sangat perlu diperhatikan. Warga belajar sebagai insane yang sangat dinamis, namun demikian bukan berarti wargta belajar tidak perlu rangsangan. Justru di dalam kedinamisannya itulah ada suatu dorongan yang ada kalanya tidak terarah, tidak terkendali. Oleh karena itu warga belajar perlu diarahkan untuk mencapai tujuan program yang diinginkan, dan untuk inilah diperlukan motivasi.
63
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Karakteristik Warga Belajar Kejar Paket B di SKB Banjarmasin Secara keseluruhan warga belajar Paket B di SKB Disdik Kota Banjarmasin berjumlah 40 orang terdiri atas 34 orang laki-laki dan perempuan 6 orang. 40 warga belajar tersebut jumlah dari kelas VIII dan kelas IX, karena tahun pelajaran 2012/2013 SKB tidak melakukan penerimaan warga belajar yang baru. Dilihat dari sisi usia, 7,5 % berusia sampai dengan 15 tahun, usia 16 sampai dengan 20 tahun= 67,5 % dan berusia di atas 20 tahun = 25%. Untuk status perkawinan, 20% warga belajar sudah berstatus menikah. Sedangkan dilihat dari status pekerjaan, sebagian besar (70%) menyatakan sudah
bekerja dengan bidang pekerjaan yang beraneka ragam
seperti tukang, berjualan air, bekerja di toko, dan sebagai cleaning service. Latar belakang pendidikan warga belajar yaitu berasal dari lulusan Paket A, lulusan sekolah formal (SD/Madrasah) dan ada juga yang berasal dari pindahan SLTP. Status Sosial Ekonomi Warga Belajar kebanyakan berasal dari ekonomi yang kurang mampu. Warga belajar sebagian
kelas VIII yang tempat belajarnya di gedung SKB,
bertempat tinggal di sekitar SKB, namun yang banyak justru
bertempat tinggal di kecamatan lain. Berbeda halnya dengan warga belajar kelas 64
IX, hampir semua warga belajarnya bertempat tinggal tidak jauh dari tempat belajar (gang sederhana kecamatan pelambuan kecamatan Banjarmasin Barat) 2. Peran pengelola dalam Pembelajaran Kejar Paket B di SKB Banjarmasin a. Mempersiapkan Sarana dan Prasarana Pembelajaran b. Melaksanakan Pembelajaran pada Pagi dan Sore Hari c. Mengirimkan tutor untuk mengikuti berbagai diklat d. Mewajibkan Warga Belajar Memakai Baju Seragam B. Saran Dari hasil penelitian ini disarankan :
1. Kepada warga belajar hendaknya lebih disiplin dalam mengikuti pembelajaran, karena kedisiplinan warga belajar merupakan salah satu
faktor yang sangat
menentukan keberhasilan dari suatu program pembelajaran. 2. Dalam manajemen pembelajaran, aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi merupakan hal yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu kepada para tutor jangan sampai mengabaikan ketiga hal tersebut. Di samping itu pula, karena warga belajar sebagian besar adalah orang dewasa maka pendekatan pembelajaran orang dewasa hendaknya diperhatikan. 3. Proses pengelolaan warga belajar dalam Program Kejar Paket B, sangat erat kaitannya dengan pengelolaan kelas atau tempat belajar dan penciptaan iklim lingkungan belajar yang kondusif untuk kelancaran proses pembelajaran. Untuk itu kepada penyelenggara dan pengelola untuk meningkatkan lagi penyediaan tempat belajar yang lebih kondusif dan melengkapi sarana belajar lainya yang masih kurang seperti modul dan media pembelajaran
65
DAFTAR PUSTAKA
Bambang S dan Lukman. 2009. Kelemahan dan Keunggulan Teori Belajar Andragogi. Artikel.(online)(http//www.oocities.org/teknologipembelajaran/andragogi.html, diakses 11-12-2012) Basleman, Anisah. 2005. Pendidikan Orang Dewasa, LAN RI. Jakarta. Bentri, Alwen, dkk. 2008. Efektivitas Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Sumatra Barat. (Online), (http://Puslit jaknov.org /data/file/2008, diakses 20 Maret 2009). Depdiknas. 2007. Acuan perluasan Akses Wajar Dikdas PNF dengan Tutor Kunjung dan Sepeda/Perahu Motor pembelajaran. Dirjen Pendidikan Kesetaraan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, Jakarta. Depdiknas. 2006. Acuan Proses Pelaksanaan dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B dan Paket C. Direktorat Pendidikan Kesetaraan Dirjen PLS Depdiknas, Jakarta Dinas Pendidikan Propinsi Kalsel. 2010. Profil pendidikan Kesetaraan Kalsel 2006/2007. Dinas Pendidikan Kalsel.
Eisenhard, Kathburn, M. 1985. Building Theories from ase Study Research. Academy of Management Review, Vol 14 PP 532-536 Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research jilid 2. Andi Offset. Yogyakarta
Ibrahim, R. 1992. Penyelenggaraan Pendidikan Dasar. Mimbar Pendidikan No.1 Tahun XI April 1992. Bandung University Press IKIP Bandung. Kementerian Pendidikan Nasional.2010. Pedoman Diversifikasi Layanan Pendidikan Kesetaraan. Subdit Pengembangan Teknologi Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Ditjen PNFI Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Lincoln, Ys dan Guba, FG. 1985. Naturalistik Inguiry. Beverly. Hill Sage Publication. Miles,M.B dan Huberman, Mihael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia Pers, Jakarta. Moleong, Lexy.J. 1999. Metodologi penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Rake Sarasin. Yogyakarta. 66
Mulyono, M.A. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. Nazir, Mohamad. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Yogyakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar Prasetyo, Iis. 2007. Peran Pamong Belajar dalam Meningkatkan Motivasi Warga Belajar Program Paket B. Artikel. Diklus. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah. Jurusan PLS, Universitas Negeri Yogyakarta. Sudrajat, Akhmad. 2008. Peranan Guru Sebagai Fasilitator. Artikel (Online) (Akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 04 April 2013) Sudjana, H.D. 2005. Strategi Pembelajaran. Falah Production. Bandung Syarif, Hidayat. 1994. Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemerataan Pendidikan dalam Upaya Memajukan Desa Tertinggal. Makalah:IKIP Bandung Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Usman, Husaini. 2009. Manajeme Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Wahjosumijo. 1994. Kepemimpinan dan Motivasi, cetakan keempat, Ghalia Indonesia, Jakarta
67
68