ABSTRAK
Pandangan Buruh Penyadap Karet Terhadap Pendidikan Anak (Studi Kasus di Desa Bungin kecamatan Paringin Kabupaten Balangan). Laporan penelitian Oleh Rabiatul Adawiah
Kata Kunci : buruh penyadap karet, pendidikan anak Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel 2012 bahwa dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan Selatan, Kabupaten Balangan merupakan kabupaten yang terendah APK dan APMnya baik untuk sekolah dasar maupun untuk sekolah lanjutan pertama. Hal ini mengindikasikan bahwa angka putus di Kabupaten Balangan juga tergolong tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status sosial budaya dan ekonomi masyarakat desa Bungin dan mengetahui pandangan mereka tentang pendidikan anak. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Status sosial budaya desa Bungin merupakan desa yang terbuka, hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan karet di desa ini yang dimiliki oleh orang luar. Dalam pertalian sosialnya mereka menjalankan sebagaimana yang dikemukakan oleh Scot dan Tonnis bahwa pertalian sosial dibangun melalui hubungan emosional dan kekerabatan. Agama Islam dijadikan inti kebudayaan mereka; 2) Keadaan sosial ekonomi, dalam perekonomian mereka berfikir rasional ekonomi, artinya mereka tidak hanya sebagai buruh karet tetapi ada usaha lain seperti berjualan kecil-kecilan di depan rumah, pencangkok karet unggul dan juga adanya arisan; 3) Pandangan tentang pendidikan, pendidikan agama lebih diutamakan karena dengan pendidikan agaman dia akan menjadi orang baik dari sekaolah. Dari penelitian ini disarankan 1) Hubungan sisal antar masya agar teteap dipelihara dg mengutamkan kekerabatan ketimbang hubungan yang bersifat sementara melalui peningkatan gotong royong, kegiatan keaagamaan dan kegiatan nasional; 2) Diperlukan patron dari pemerintah yang mnjadi bapak asuh mereka untuk memberikan pinjaman tanah agar mereka mampu untuk mengembangkan usahanya; 3) Pihak intsasi terkait agar bisa bekerja sama dengan tuan guru bahwa sekolah pemerintahpun diwajbkan dalam agama, sehingga pemahaman pendidikan agama maupun sekuler menjadi selaras
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang sangat urgen dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan akan membantu manusia untuk menyingkapkan dan menemui rahasia alam, mengembangkan fitrah manusia yang merupakan potensi untuk berkembang. Pendidikan itu untuk membentuk kepribadian dan memahami ilmu pengetahuan. Manusia sangat membutuhkan pendidikan, mulai dari dilahirkan ia sudah membutuhkan bantuan. Bantuan itulah awal dari kegiatan pendidikan Pendidikan bagi umat manusia di muka bumi mutlak harus dipenuhi sepanjang hayat (life long education). Tanpa pendidikan mustahil suatu bangsa dapat melangsungkan dan mengembangkan dirinya sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtera, dan bahagia m enurut konsep pandangan hidup yang menjadi keyakinannya. Semakin tinggi citacita manusia semakin menuntut kepada peningkatan mutu pendidikan sebagai syarat utama tercapainya cita-cita itu. Di bangku pendidikan banyak sekali hal yang kita dapatkan. Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef (Hariyanto, 2012) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia‖ Dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Pendidikan merupakan salah satu kunci seseorang untuk meraih kesuksesan atau menentukan masa depan. Dengan pendidikan yang baik suatu Negara dapat mengurangi kemiskinan.Bangsa Indonesia sebagi salah satu negara berkembang belum bisa maju selama belum bisa memperbaiki kualitas sumber daya manusianya. Kualitas hidup bangsa bisa meningkat jika ditunjang dengan sistam pendidikan yang mapan. Dengan system pendidikan yang mapan memungkinkan kita berpikir kritis,kreatif dan produktif. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas dibutuhkan pendidikan yang memadai dan tidak membeda-bedakan. Pendidikan yang layak dapat terwujud apabila pemerintah menyediakan sarana dan prasarana yang baik tanpa membebani dengan masalah biaya. Apabila soal biaya sudah di permasalahkan maka sulit untuk dapat mewujudkan pendidika yang baik karena sebagian besar bangsa kita adalah masyarakat kurang kalangan menengah kebawah. Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara salah satunya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa itu maju atau tidak maka umumnya dilihat dari pendidikan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa dengan pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila
output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana suatu bangsa dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidikan harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Walaupun pendidikan merupakan hal yang sangat penting, tetapi entah mengapa banyak sekali warga di Indonesia ini yang tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana mestinya, sebagaimana halnya yang terjadi pada anak-anak di Kabupaten Balangan. Berdasarkan observasi yang dilakukan saat berkunjung ke salah satu kecamatan di Kabupaten Balangan yaitu Kecamatan Paringin, terlihat satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anaknya sedang istirahat di sebuah warung. Kami tertarik untuk mewancarai mereka, karena melihat dua orang anak usia sekolah tetapi saat jam sekolah mereka tidak berada di kelas. Kepala keluarga ini bernama Bani, isterinya bernama Sarniah dan dua orang anaknya masing-masing bernama Harun dan Syarkawi. Ketika kami menanyakan kenapa anak-anaknya tidak ke sekolah, ternyata mereka sudah tidak sekolah lagi. Anak yang pertama laki-laki berusia 17 tahun, dan sekolah hanya sampai lulus sekolah dasar. Anak yang kedua juga laki-laki dan berusia 14 tahun. Anak yang kedua sempat masuk ke sekolah lanjutan pertama, tetapi hanya bertahan beberapa bulan, setelah itu berhenti. Merekapun mengatakan bahwa anak-anak yang ikut bekerja di kebun karet bukan hanya anak-anak mereka, tetapi juga ada anak-anak dari keluarga lainnya. Pernyataan keluarga Bani dikuatkan oleh Husin
ketua Tim Koordinasi
Peningkatan Mutu Siswa Kabupaten Balangan bahwa dari hasil survey tahun 2012 yang dilakukan ditiga kecamatan yaitu kecamatan Paringin, Paringin Selatan dan Halong
ditemukan 32 orang siswa tidak melanjutkan sekolah lagi atau putus sekolah (hanya sampai SD) . Salah satu yang menjadi alasan mereka tidak sekolah lagi adalah karena bekerja (Hanafi Imam, 2012). Berdasarkan data yang ada di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan, Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) di Provisni Kalimantan Selatan dapat terlihat pada tabel berikut. Tabel 1.1 Angka Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni SD Menurut Kota/Kabupaten Provinsi Kalimantan Selatan NO 1
KABUPATEN Kab. Balangan
JLH PENDUDUK USIA 7-12 THN 12,994
2 Kab. Banjar 3 Kab. Barito Kuala 4 Kab. Hulu Sungai Selatan 5 Kab. Hulu Sungai Tengah 6 Kab. Hulu Sungai Utara 7 Kab. Kota Baru 8 Kab. Tabalong 9 Kab. Tanah Bumbu 10 Kab. Tanah Laut 11 Kab. Tapin 12 Kota Banjarbaru 13 Kota Banjarmasin Sumber Disdikbud Prov Kalsel, 2011
54,243 30,985 25,278 32,466 27,048 33,273 23,509 29,738 31,475 17,835 19,661 63,193
APK
APM
109.25
89.12
115.63 116.71 116.19 116.49 112.50 115.28 120.88 115.42 124.72 116.58 118.48 116.92
94.32 95.20 91.55 95.03 91.77 94.04 98.60 94.16 99.15 95.10 96.65 97.96
Tabel 1.2 Angka Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni SLTP Menurut Kota/KabupatenProvinsi Kalimantan Selatan NO
KABUPATEN
JLH PENDUDUK USIA 13-15 THN 1 Kab. Balangan 4,897 2 Kab. Banjar 31,309 3 Kab. Barito Kuala 14,982 4 Kab. Hulu Sungai Selatan 14,396 5 Kab. Hulu Sungai Tengah 15,144 6 Kab. Hulu Sungai Utara 13,332 7 Kab. Kota Baru 15,776 8 Kab. Tabalong 11,467 9 Kab. Tanah Bumbu 16,930 10 Kab. Tanah Laut 17,738 11 Kab. Tapin 10,161 12 Kota Banjarbaru 8,796 13 Kota Banjarmasin 30,579 Sumber Disdikbud Prov Kalsel, 2011
APK
APM
70.10 69.50 80.10 81.73 96.63 97.45 92.65 95.81 79.98 82.64 81.40 100.43 100.78
50.34 52.67 62.48 60.62 72.93 73.86 68.75 74.82 60.04 61.00 60.98 77.71 76.47
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan merupakan kabupaten yang terendah APK dan APMnya baik untuk sekolah dasar maupun untuk sekolah lanjutan pertama. Hal ini mengindikasikan bahwa angka putus di Kabupaten Balangan juga tergolong tinggi. Berdasarkan wawancara dengan
beberapa warga di Kabupaten Balangan,
bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Balangan adalah sebagai petani dan penyadap karet. Hal ini juga dikuatkan dengan banyaknya perkebunan karet yang ada di Kabupaten Balangan. Menurut data di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Balangan bahwa dari 35 persen lahan yang digunakan untuk perkebunan, sebagian besar dipakai untuk usaha perkebunan karet. Mayoraitas warga yang berpenghasilan menengah ke bawah umumnya bekerja sebagai buruh
penyadap karet. Bekerja sebagai penyadap karet dilakukan pagi hari. Berdasarkan wawancara dengan warga ternyata bukan hanya dilakoni oleh orang tua, tetapi juga oleh anak-anak mereka yang masih usia sekolah. Pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai terobosan agar anak-anak yang membantu orang tuanya pagi hari tetap bisa bersekolah, yaitu melalui pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah). Namun hal inipun tampaknya kurang berhasil. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab banyaknya anak putus sekolah di Kabupaten Balangan. Kemiskinan yang mereka hadapi, membuat mereka terbelenggu dalam kemelaratan. Ada kesan bahwa saat ini kesempatan menuntut ilmu di sekolah-sekolah formal hanya bisa dirasakan oleh anak-anak dari golongan berduit (kaya), padahal anggapan itu salah besar sebab pada kenyataannya anak-anak keluarga miskin juga memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah. Hal terpenting adalah niat dan kemauan untuk berubah. Berubah dari kebodohan menjadi pandai, tidak tahu menjadi mengerti, terpuruk menjadi bangkit, miskin menuju kaya, duka menjadi suka, kecewa menjadi bahagia. Semua itu hanya bisa diraih melalui pendidikan (sekolah). Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu untuk mengkaji secara mendalam pandangan keluarga buruh penyadap karet tentang pendidikan.
B. Fokus Penelitian Untuk menjawab dan mengkaji masalah penelitian, penentuan focus penelitian menjadi sangat perlu. Menurut Eisenhartdt (1989;536) tanpa focus penelitian, peneliti akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Oleh karena
itu, focus penelitian sangat penting peranannya dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Fokus penelitian berkaitan erat dengan masalah yang telah dirumuskan, dan masalah yang telah dirumuskan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan focus penelitian. Fokus penelitian masih dapat berkembang sesuai dengan sifatnya yang masih emergent atau tentative. Karena sifatnya tentative, maka perlu focus penelitian kualitatif yang menurut Moleong (1999:237) dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif, sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana yang tidak. Dengan mengacu pada pemikiran tersebut di atas, maka focus penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut : 1. Kondisi sosial budaya keluarga buruh penyadap karet, yang dilihat dari sisi : a. Jaringan Sosial Sesama Warga Kampung b. Pertalian Sosial c. Ikatan Agama d. Perayaan Hari Besar Agama (Islam) e. Suasana Rumah Tangga warga desa f. Masyarakat pendatang g. Kerja sama Penduduk kampung h. Masyarakat Pendatang 2. Kondisi sosial ekonomi keluarga buruh penyadap karet yang dilihat dari sisi : a. Deskripsi Kepemilikan Perkebunan Karet di Desa Bungin
b. Kegiatan ekonomi yang dilakukan c. Pekerjaaan anggota keluarga buruh d. Penghasilan buruh 3. Pandangan keluarga buruh penyadap karet tentang pendidikan anak-anaknya
C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan focus penelitian tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran sosial budaya buruh penyadap karet 2. Bagaimanakah gambaran sosial ekonomi rumah tangga buruh penyadap karet 3. Bagaimanakah pandangan buruh penyadap karet terhadap pendidikan anakanaknya D. Manfaat Penelitian Mengacu pada pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mendeskripsikan kondisi sosial budaya buruh penyadap karet 2. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi rumah tangga buruh penyadap karet 3. Mendeskripsikan pandangan buruh penyadap karet terhadap pendidikan anakanaknya
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Konseptual Fokus Penelitian 1. Pendidikan dan Kemiskinan Pendidikan merupakan pembangunan dasar manusia. Pentingnya pendidikan harus dilihat dlm konteks hak asasi manusia, dalam artian bahwa setiap manusia berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada sisi lain pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari keberhasilan dan kesinambungan pembangunan, karena pembangunan memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu memanfaatkan, mengembangkan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Usman, 2004 : 145). Pendidikan merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan. Namun pada kenyataannya, bagi masyarakat golongan menengah kebawah, pendidikan bukan merupakan suatu kebutuhan pokok yang harus diprioritaskan. Terutama bagi anak perempuan, selain masalah kemiskinan, stereotype masyarakat bahwa anak perempuan tidak perlu mengecap pendidikan menyebabkan anak-anak perempuan dari golongan miskin tidak memperoleh kesempatan bersekolah. Oleh karena itu, tugas ini difokuskan pada perempuan, objek penelitian ini adalah perempuan dari rumahtangga miskin. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional.Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap
warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ‖yang kaya‖ maupun ‖yang miskin‖ dan masyarakat perkotaan maupun pedesaan (terpencil). Kurang meratanya pendidikan di Indonesia terutama akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk menanganinya. Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangga Malaysia dan Filipina. Setiap negara dunia ketiga selalu menempatkan prioritas yang tinggi untuk memajukan pendidikan. Asumsi dasar dalam member prioritas yang tinggi pada pendidikan ialah bahwa selain memajukan bangsa, pendidikan diharapkan member ketrampilan pada setiap individu agar bisa menjadi Sumber Daya Manusia yang produktif. Jenis pendidikan yang relevan untuk penduduk dunia ketiga telah banyak dipertanyakan. Apa yang umumnya berlaku saat ini, menurut beberapa kalangan, dilihat dari sudut filsafat pendidikan, merupakan kepentingan untuk menanamkan disiplin dan kepatuhan pada otoritas, bukan kreativitas, kebebasan maupun kepekaan terhadap lingkungannya baik sosial, ekonomi maupun politik (Ratna dan Brigitte dalam Dito Sunjaya, 2012) Akan tetapi bagi keluarga miskin, memilih menyekolahkan anak merupakan beban yang berat. ILO dan UNICEP (Usman, 2004 : 146) juga menyatakan bahwa kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan bagi anak-anak miskin terbatas dan biayanya masih dirasakan mahal. Mutu pendidikan yang rendah mengakibatkan anak-anak tidak mempunyai motivasi untuk tetap sekolah. Motivasi anak-anak untuk melanjutnya sekolah banyak dipengaruhi oleh factor keluarga, khususnya orang tua. Keluarga merupakan satuan unit sosial yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya, mempunyai arti yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak dikemudian hari. Dalam lingkungan keluarga akan mempelajarai system pengetahuan tentang norma-norma yang berlaku serta kedudukan dan peran yang diharapkan oleh masyarakat. Setiap kedudukan dan peran memberikan hak untuk mencari apa yang tidak boleh dilakukan serta kewajiban-kewajiban apa yang harus dilakukan sebagai warga dalam lingkungan sosial tertentu. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai budaya dalam keluarga merupakan dasar utama bagi pembentukan pribadi anak. Menurut Marzali (Sparadley, 1997) bahwa penanaman nilai-nilai budaya pada anak bukan hanya sekedar merawat dan li (mengawasi saja melainkan lebih dari itu yaitu meliputi pendidikan, sopan santun, tanggung jawab, mandiri, dan sebagainya yang bersumber kepada pengetahuan dan kebudayaan serta pendidikan yang diberikan orang tuanya. Hampir seluruh aktivitas yang dilakukan manusia dalam kehidupannya adalah dari proses belajar, walaupun ada sebagian kecil aktivitas yang merupakan gerakan reflek dan bukan kegiatan belajar. Biasanya gerakan reflek tersebut terjadi secara tiba-tiba di bawah kendali dari manusia itu sendiri. Lebih lanjut Sparadley menjelaskan bahwa kebudayaan sebagai suatu system pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses
belajar yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka sekaligus untuk menusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Kemiskinan yang dihadapi oleh para orang tua, secara tidak langsung akan mempengaruhi pola fikir dan penanaman nilai-nilai budaya pada anak anaknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Supriatna (2000) bahwa kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraannya sehingga menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal dan membawa konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah. Menurut Sudantoko (2009) kemiskinan terbagi atas tiga yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural dan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur dan faktor-faktor adat budaya dari suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang. Oscar Lewis (Menno, 1992 :60) mengatakan bahwa kebudayaan kemiskinan (cultur of proverty) mempunyai ciri-ciri :
a. Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah; b. Tingkat pendidikan yang rendah c. Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial d. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya e. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko, museum, dan bank f. Upah rendah dan keamanan kerja yang rendah g. Tingkat keterampilan kerja yang rendah h. Tidak memiliki tabungan atau kredit i. Tidak memiliki persediaan makan dalam rumah untuk hari esok j. Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi k. Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukukan anak-anak l. Perkawinan sering berdasarkan consensus sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak m. Keluarga bertumbu pada ibu n. Kehidupan keluarga adalah otoriter o. Penyerahan diri pada nasib p. Besarnya
hypermasculinity complex dikalangan pria atau marty complex di
kalangan wanita Menurut Menno (1992) bahwa pengekalan diri kebudayaan kemiskinan ini telah agak luas diterima meskipun yang dimaksudkan bukanlah suatu kebudayaan, melainkan subkultur kemiskinan.
Salah satu kekhawatiran dari munculnya kebudayaan kemiskinan sebagaimana yang diistilahkan oleh Oscar Lewis adalah semakin banyaknya anak-anak yang terjun dalam dunia kerja. Menurut Bellamy (Usman, 2004 :149) bahwa pekerja anak akan terperangkap dalam lingkaran setan karena anak-anak yang bekerja pada usia yang dini yang biasanya berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan yang terabaikan akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dengan pekerjaan yang terlatih dengan upah yang sangat buruk. Anak-anak ini pada gilirannya akan kembali melahirkan anak-anak miskin yang besar kemungkinannya kembali menjadi pekerja anak yang tidak punya kesempatan luas untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Anwar Sitepu (Amalia, 2009) mengatakan bahwa anak merupakan salah satu golongan penduduk yang berada dalam situasi rentan dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Kehidupan anak dipandang rentan karena memiliki ketergantungan tinggi dengan orang tuanya. JIka orang tua lalai menjalankan tanggung jawabnya, maka anak akan menghadapi masalah. Anak dalam setiap masyarakat adalah anggota baru karena usianya masih muda dan ia merupakan generasi penerus. Dalam kedudukan demikian amat penting bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga kelak akan bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawab sosialnya secara mandiri. Anak sendiri memiliki nilai ekonomi. Pepatah mengatakan ―banyak anak, banyak rezeki‖. Hal ini dapat kita jumpai pada masyarakat di pedesaan di Jawa. Anak merupakan factor terpenting dalam kehidupan berkeluarga terutama berkaitan dengan potensi nilai ekonomis yang ditimbulkannya. Para orang tua atau calon ayah dan ibu
(yang membuat keputusan-keputusan
terpenting dalam menentukan jumlah anak
mereka) hidup dalam lingkungan ekonomi yang bisa dinamakan ekonomi rumah tangga (Benyamin White dalam Koentjaraningrat, 1997 : 145). Sekalipun pengaruh kemiskinan sangat besar terhadap anak anak, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor yang berpengaruh. Faktor lainnya adalah pola fikir yang pendek dan sederhana akibat rendahnya pendidikan. Dalam budaya Indonesia, kepala rumah tangga terutama seorang ayah mempunyai peranan yang sangat besar dalam rumah tangga, termasuk dalam hal menentukan boleh atau tidaknya anak melanjutkan sekolah. Untuk mengambil keputusan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh pandangan orang tua terhadap pendidikan. Pengertian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan tujuan mengubah tingkah laku manusia (anak didik) ke arah yang diinginkan. Dalam hubungannya dengan kebudayaan nasional, pendidikan merupakan suatu wadah untuk mengkreativitaskan kebudayaan (Jarkasi , 1996 : 3-4). Pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan nilai-nilai budaya. Sebenarnya pendidikan tidak hanya penanaman nilai-nilai budaya, akan tetapi lebih dari itu pendidikan hendaknya merupakan proses pemeliharaan, pembinaan dan penumbuhan nilai-nilai yang diharapkan. Pembinaan tata nilai itu dapat dilakukan dalam tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, masyarakat dan pemerintah Keluarga sebagai pusat pendidikan yang pertama dan memiliki banyak kesempatan, merupakan wadah yang sangat strategis untuk terus membina dan
menanamkan nilai-nilai tata pergaulan yang sudah dianggap baik dan sudah dilakukan tersebut. Tata pergaulan yang mengatur tugas, fungsi, kewajiban, hak dari masingmasing anggota keluarga dapat terus dibina dalam keluarga itu sendiri. Tata hubungan keluarga dalam keluarga inti dengan keluarga luas dengan keluarga bukan inti tetap dapat dibina dalam pendidikan keluarga. Dalam hal ini sudah barang tentu peranan orang tua sangat penting. Orang tua hendakanya dapat mengontrol dan member contoh yang baik dalam upaya tetap melestaraikan nilai-nilai yang ada. Sekolah merupakan kebutuhan setiap orang. Oleh karenanya investasi masyarakat semakin banyak di tanam di sekolah..Dalam hal ini Dimyati Mahmud (Amalia, 2009) mengatakan bahwa sekolah meraih dua tujuan yaitu (1) tujuan-tujuan yang menitikberatkan pada aspek individual, yaitu mengembangkan anak didik secara optimal agar kelak menjadi pribadi yang bebas dan pandai, memikirkan secra merencakan kehidupan yang lebih baik; (2) tujuan yang menakankan pada aspek sosial yakni memindahkan warisan-warisan budaya yang penting untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup serta kehidupan bersama. Dua tujuan ini nampaknya berorienatasi agar anak kelak menjadi waarga Negara yang mengabdi kepada masyarakat. Pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya melalui pendidikan kualitas manusia dapat ditingkatkan. Dengan kualitas yang meningkat produktivitas individualpun akan meningkat. Selanjutnya jika secara individual produktivitas manusia meningkat, maka secara komunal produktivitas manusia akan meningkat (Widiastono, 2004).
Selain
keterkaitan dengan ekonomi, pandangan pendidikan juga memiliki
keterkaitan dengan system nilai budaya pada suatu masyarakat. Suatu system nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagai besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu dalam system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertingi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1997). Banyak orang menanyakan ― suatu system nilai budaya dalam kebudayaan itu sebenarnya mengenai masalah-masalah apa ―. Untuk menjawab pertanyaan itu Koentjaraningrat menunjuk kepada suatu kerangka diri masalah yang dapat diterapkan secara universal untuk menganalisa suatu system nilai budaya dari semua kebudayaan yang ada di dunia. Kerangka itu mulai dikembangkan oleh seorang ahli antropologi Clyde Kluckhon. Setelah ia meninggal konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh isterinya Florence Kluckhon yang dengan kerangka itu kemudian ia melakukan penelitian. Menurut kerangka Kluckhon semua system nilai budaya dalam kebudayaan di dunia itu adalah : 1. Masalah mengenai hakekat dari kehidupan manusia 2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia 3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu 4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar 5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya
Jika kita ingin memahami perilaku individu maka kita tidak dapat mengesampingkan factor nilai. Peranan nilai sangat menentukan maksud dan tujuan dari tindakan manusia. Dalam kehodupan sehari-hari kita tidak bisa membebaskan diri dari pengaruh nilai (Mintargo, 2000). Keluarga adalah wadah pertama dan agen pertama pensosialisasian budaya disetiap lapisan masyarakat. Proses sosialisasi adalah semua pola tindakan individuindividu yang menempati berbagai kedudukan di masyarakat yang dijumpai seseorang dalam kedudukannya sehari-hari sejak ia dilahirkan menjadikan pola-pola tindakan tersebut sebagai bagian dari kepribadiannya (Koentjaraningrat, 1997:143). Keluarga juga sebagai media pertama yang memancarkan budaya kepada anakanak. Sebab keluarga adalah dunia yang pertama kali menyentuh kehidupan anakanak. Anggota keluarga termasuk anak kecil mendapat pelajaran berbagai hal yang ada dalam keluarga, tanpa disadari bahwa apa yang terjadi dalam keluarga member pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan mereka. Maka sesungguhnya keluarga mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat besar dalam melahirkan dan membentuk generasi yang sangat baik dan berkualitas (Agus Ruslan, 2007). Keluarga juga sebagai media yang pertama yang memancarkan kultur kepada anak-anak, sebab keluarga adalah dunia yang pertama kali menyentuh kehidupan anak-anak, keluarga merupakan dunia inspirasi bagi anak-anak. Anggota keluarga mendapat pelajaran berbagai hal yang ada dalam keluarga, tanpa disadari apa yang terjadi dalam keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan
mereka. Ayah dan ibu sebagai orang dewasa dalam keluaraga sangat penting dalam membuat system dalam keluarga. Keluarga tidak terbatas hanya berfungsi sebagai penerus keturunan.Namun keluarga merupakan tempat peletak landasan dalam membentuk sosialisasi anak dan dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektualmanusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganyasendiri. Proses dan hasil pendidikan keluarga akan sangat bermakna bagipencapaian mutu pendidikan pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dalam penyelenggaraan pendidikan keluarga tidak sekedar berperan sebagaipengelola yang bertanggung jawab dalam meletakkan landasan dan arah sertapola-pola kehidupan anak, sehingga keluarga khususnya orang tua harusmemiliki wawasan,
sikap
dan
dalammenyelenggarakan
kemampuan pendidikan
analisis
prasekolah
di
pasif keluarga.
yang
memadai
Sebagai
salah
satukomponen pendidikan yang mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkantujuan pendidikan keluarga yaitu orang tua harus dapat menciptakan suasanayang mendukung anak melakukan aktivitas belajar. Tujuan diselenggarakanpendidikan keluarga adalah membekali pengetahuan, sikap, mental danketrampilan produktif bagi penanggung jawab keluarga dalam menanamkankeyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan agar dapatmengembangkan dirinya sendiri dan menjadi keluarga yang sejahtera dan bahagia. Menurut Ruslan (2007) kebanyakan anak yang berprestasi di sekolahnya sampai lulus studi hingga bekerja disebabkan lingkungan keluarga yang baik yang
dapat mendorong anak-anak mencapai keberhasilan. Sedangkan anak-anak yang prestasi belajarnya kurang baik atau drop out di sekolah lebih besar dikarenakan lingkungan keluarga. Oleh karena itu keluarga mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat besar dalam melahirkan dan membentuk generasi yang baik dan berkualitas. Keluarga atau orang tua
yang serba kekurangan tentunya sangat
mempengaruhi akan pola fikir tentang pendidikan anak-anaknya. Menurut Fauzul Amin (2012)
ada beberapa alasan yang menyebabkan orang miskin enggan
menyekolahkan anak-anak mereka, yaitu : 1. Keyakinan yang salah tentang sekolah: boleh dibilang banyak orang miskin memiliki sebuah keyakinan bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan yang hanya boleh diisi oleh anak-anak dari keluarga berduit, anak-anak yang pintar. Sedangkan mereka orang miskin merasa bahwa mereka tidak memiliki uang serta anak-anak mereka bodoh sehingga mereka akhirnya enggan menyekolahkan anakanaknya. 2. Kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang dunia pendidikan. Harus diakui bahwa faktor kurangnya informasi mengenai dunia pendidikan menyebabkan orang-orang miskin berpikiran sempit. Pendidikan bagi orang miskin masih dianggap sebagai kebutuhan tersier (istimewa) yang tidak harus dipenuhi saat ini. Padahal kalau mau jujur pendidikan sama pentingnya dengan kebutuhan primer manusia seperti makan, minum, sandang dan papan. Bahkan bisa dikatakan
pendidikan merupakan kunci sukses manusia untuk bisa makan, minum, memiliki sandang dan juga papan. 3. Anggapan salah tentang sekolah. Selama ini ada anggapan yang salah dari orang miskin tentang sekolah, mereka mengganggap bahwa sekolah itu mahal dan tidak bisa terjangkau oleh orang-orang miskin. Anggapan bahwa sekolah mahal memang tak salah, tetapi menjadi salah apabila mereka merasa bahwa sekolah tidak bisa dijangkau oleh mereka adalah keliru. Karena saat ini telah ada berbagai program beasiswa dari pemerintah, lembaga swasta, lsm dan lain sebagainya bagi anak-anak dari keluarga miskin, apalagi bagi anak-anak yang memiliki prestasi. Jadi ada baiknya jika anggapan salah tentang sekolah harus di buang jauh-jauh. Sudah jelas sekolah adalah tempat belajar semua orang baik yang miskin ataupun kaya punya hak yang sama untuk bersekolah. 4. Sikap mudah putus asa pada keadaan. Satu hal yang menjadi kebiasaan dari orang miskin adalah terlalu pasrah (putus asa) terhadap keadaan. Sikap ini pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak anak-anak orang miskin yang tidak bersekolah. Mereka lebih banyak menerima keadaan bahwa orang miskin hanya memiliki kewajiban untuk mencari nafkah untuk makan bukan untuk memiliki pendidikan. 5. Terbawa lingkungan. Biasanya orang miskin akan menjalani kehidupan sebagaimana kehidupan masyarakat disekitarnya. Jika mayoritas orang miskin jarang berpendidikan, maka besar kemungkinan anak-anaknya juga tidak akan berpendidikan. Kondisi semacam itu hampir terjadi dilinkungan masyarakat
miskin, jikapun ada keluarga miskin yang menyekolahkan anaknya hanya satu dua orang saja. Mereka lebih suka menikmati kehidupan sebagaimana kehidupan masyarakat miskin lainnya yang tidak menyekolahkan anak-anaknya dan lebih merasa nyaman jika anak-anaknya membantu mencari nafkah keluarga
2. Buruh dan Kemiskinan Mendengar kata buruh petani terlintas dibenak kita tentang kemiskinan, kefatalistikan, mendahulukan keselamatan, dan kemarginalan mereka. Padahal secara historis mereka telah mengemparkan dunia, karena mereka telah menjadi
aktor
berbagai pergolakan, resistensi, dan perlawanan dalam mempertahankan hak mereka, seperti di Mesuji Lampung,
Jawa Timur, Sumatera, Meksiko, Rusia, Kuba dan
terakhir di Vietnam, yang menjadi kuburan bagi serdadu Amerika. Buku tentang heroikdan filsafat hidupnya nya para buruh petani banyak yang sudah dikaryakan. Misalnya, Eric R. Wolf, 1969, Peasant wars of the Twentieth Century.New York; Harper& Row, Publishers, J.S Migdal,1974, Peasant, Politic and Revolution. New Jersey: Princeton Universitr Pers, Jeffry M.Peige, 1975, Agrarian Revolution Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World, J.C.Scoot,1976, The Moral Economy of the Peasant. New Haven: Yale University Pers,, S.L/ Popkin, 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press., Scott, 1985, Weapons of the weak: Everday Formas of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press., Sartono
Kartodirdjo, 1973, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the ninenteenth and Early Twentieth centuries. Singapore: Oxford Universty Press. Heroiknya para buruh tani membuat kajian tentang mereka sampai saat ini selalu banyak diminati. Mendiskusikan muasal konsep buruh tidak lepas dari rumusan yang dilontarkan oleh Marx. Marx telah membelah masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas produktif dan kelas konsumtif. Konsep kelas sendiri dapat dirujuk dari sejarah di Romawi. Ketika para penguasa Romawi menggunakan kata kelas sebagai penanda bagi penduduk ke dalam kelompok-kelompok pembayaran pajak. Katagori pertama adalah sebutan bagi penduduk
yang secara kwalitas adalah kelompok
minoritas dan sangat mereka hormati disebut assidoi, kebalikannya ada juga kelompok masyarakat yang menyandang predikat proles, yaitu kelompok yang memiliki sejumlah anak cucu (proles) dan secara kwantitas melebihi dari kaum assidoi karena hitungannya menurut jumlah kepala (capital cenci). Kemudian, masyarakat Romawi kuno menyebut para seniman atau pekerja seni sebagai classis yang berarti sebutan untuk kelomok masyarakat yang utama, sedangkan sebutan untuk orang kebanyakan adalah proletar. Konotasi kelas mengalami perubahan makna, dimulai pada abad XVIII, ketika para orang bijak (filosof), yaitu Ferguson, Miller memaknai kelas sebagai pembeda dalam jenjang sosial tentang status di suatu masyarakat. Pada abad XIX konsep kelas mulai mapan, ketika Adam Smith membicarakan tentang kelas pekerja yang secara sosial mereka termasuk katagori orang-orang miskin (Dahrendorf, 1986: 4-9). Pengertian kelas semakin mapan ketika Engels dan Karl Marx setelah mempelajari
revolusi industry dan sosial di Inggris mengintrodusir kelas kapitalis sebagai oposisi kelas pekerja. Arti kelas menurut teori Marxis adalah kelompok individu atau kelompok sosial
yang pada dasarnya tidak ditentukan oleh tempat dan proses
produksi dalam bidang ekonomi ( Poulantzas dalam Giddens,1987: 46). Dalam sisi ini, konsep kelas mengandung dua arti yang selalu beroposisi, yaitu kelas pekerja dan kelas kapitalis, kelas orang kaya dan kelas orang miskin, dan kelas proletar dengan kelas borjuis. Pandangan di atas tentang mengisyaratkan, bahwa masyarakat sangat mendua atau dikotomi yaitu kelas borjuis dan proletar, penguasa dan yang dikuasai, bahkan Karl Marx berpendapat, bahwa sejarah kehidupan masyarakat dari dulu sampai saat ini adalah perjuangan atau pertentangan antar kelas yang sangat kental dengan nuansa pertentangan politik. Dalam arti lain, masyakat terbelah menjadi dua kelas yang masing-masing dalam posisi antagonis. Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa mendiskusikan kelas maka di dalamnya ada nuansa politik dan ideologis, sehingga wacana konflik atau pertentangan yang akan menyeruak. Sementara konsep buruh yang hakiki malah tenggalam.Konsep buruh dapat dimaknai dengan meneropongnya dari relasi profesi. Menurut Marx
masyarakat kapitalis merupakan masyarakat berkelas. Di
dalam masyarakat ini terdapat katagori sosial yang menerangkan tentang kelompok orang yang memiliki kekayaan yang disebut kelas berjuasi atau kapitalis dan kelas yang tidak memiliki kekayaan yaitu kelas proletar. Kekayaan pribadi kelas kapitalis berwujud alat-alat produksi, yakni pabrik dan mesin-mesin produksi dan mereka
secara langsung mengendalikan alat-alat produksi itu, sedangkan kelas proletar atau tenaga kerja upahan yang biasa juga disebut buruh adalah orang yang tergantung melalui perjanjian kerja—kepada alat-alat produksi sekaligus kepada pemiliknya (Dahrendorf,1986:46). Makna buruh dalam konteks ini perlu ditapsirkan secara cermat, sebab penerima upah dibidang kesehatan, perbankan, perusahaan, periklanan, dosen, dokter dan sebagainya tidak dapat dikatagorikan sebagai penyandang predikat buruh. Buruh seperti petani, buruh pabrik, buruh transportasi oleh Marx disebut tenaga kerja produktif atau kelas produktif. Alasan Marx, mengatakan buruh sebagai tenaga kerja produktif karena sebelumnya mereka tidak memiliki komoditi (nilai lebih) ), sedangkan
penerima upah
di bidang kesehatan, dokter, perbankan,
perdagangan berada dalam b idang sirkulasi dan sebagian lagi tidak menghasilkan nilai lebih , tetapi hanya memberikan sumbangan terhadap realitas nilai lebih ( Poulantzas dalam Gidden,1987:50-51). Bahasa lainnya kelas buruh atau proletar buruh walaupun menyandang predikat sebagai kelas produktif, tetapi ia tidak memiliki hak milik. Melalui kaum buruh, lahan pertanian diperuntukan bagi manusia.Dalam sisi ini dapat dikatakan, bahwa pertanian merupakan kerja yang produktif. Tanah dipandang sebagai sesuatu yang hidup secara alamiah dan independen terhadap manusia, dan sebagai modal atau factor bagi kerja, sebaliknya kerja menjadi factor bagi alam (Fromm,2004:161). Paparan di atas dapat dijadikan pijakan, bahwa buruh dapat didefinisikan sebagai sekelompok individu yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha
kemudian
mendapatkan Buruh upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.upah biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang
telah
disetujui.
Pada fenomena maka buruh dapat dikatagorikan sebagai berikut: (1) buruh harian, penerima upah berdasararkan jumlah hari masuk kerja; (2) buruh musiman, mereka bekerja sesuai dengan kalender musim-musim tertentu; (3) buruh pabrik mereka yang bekerja di pabrik-pabrik; (4) buruh tani, penerima upah yang bekerja di sawah atau di perkebunan orang lain ; (5) buruh kasar, buruh yg menggunakan tenaga fisiknya karena tidak mempunyai keahlian dibidang tertentu; (6) buruh terampil buruh yg mempunyai keterampilan di bidang tertentu; dan (7) buruh terlatih buruh yg sudah dilatih untuk keterampilan tertentu.
3. Moral Ekonomi dan Rasional Buruh Pendekatan moral ekonomi sebenarnya kami adopsi dari bukunya J.C Scott,1976, The Making of the English Working Class, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Moral Ekonomi Petani. Pendekatan moral ekonomi mengedepankan , bahwa kehidupan petani sangat rentan akan kemiskinan, bahkan kehidupan ekonomi mereka sangat dekat dengan jurang kemiskinan yang sangat dalam. Kemiskinan ini menyadarkan para petani tentang bagaimana mengamankan ekonominya. Caranya terlihat dari tata laku yang tidak mau mengambil resiko, ia meminimunkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.Akhirnya mereka
mengeluarkan prinsif, akhirnya mereka mempunyai prinsif untuk mengutamakan keselamatan ( safety first) ( Scott,1983:7). Prinsif
mengutamakan
keselamatan
yang
ditawarkan
oleh
Scott
menginformasikan, bahwa pendekatan mencoba memahami tentang apa yang berada dalam benak buruh, yaitu apa yang dipikirkan dan diyakini oleh petani tentang dunia yang mereka geluti. Perilaku petani yang hanya menerima tentunya harus ditapsirkan. Menurut Scoot (2000,53) sekurang-kurang ada dua penafisran bertentangan tentang fenomena perilaku petani; (1) karena buruh memiliki ideology keagamaan, bahwa realitas yang hadapi merupakan sebuah cobaan dari Tuhan, sehingga kenyataan itu dianggap taqdir dan tentunya dibenarkan oleh tatanan sosialnya; (2) pandangan lain,adalah apa yang disebut sebagai perdamaian agraris yang erat dengan perdamaian penindasan ketimbang persetujuan atau kepatuhan. petani mengedepankan moral.
Dalam konteks keagamaan para
Moral dibangun dari motivasi. Motivasi-motivasi
moral menurut Wilk (Ahimsa,2003) dibangun atas dasar ― cultural specific belief systems and values‖ dan nilai moral ini bersumber pada suatu kosmologi, yaitu ― a cultural patterned view of the universe and wihitin it‖. Pandangan di atas menarasikan, bahwa manusia (dalam hal ini petani) yang bermoral adalah orang-orang yang berimam, yang selaru tingkah laku dan tindakannya dilandasai oleh ide tentang baik dan benar yang mereka pelajari sejak mereka kecil dan tumbuh menjadi dewasa. Pandangan moral ini dalam bahasa lain adalah dikukung oleh apa yang disebut oleh pengikut Marx sebagai mistifikasi. Kami tidak mendiskusikan tentang mistifikasi, karena kami tidak setuju. Kami beranggapan,
bahwa agama merupakan ruangan keyakinan (believers).
Pendekatan ini kami
gunakan untuk memahami bagaimana para petani menyerahkan dan kepasrahan hidupnya kepada Allah sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya. Pada sisi lain, kaum elite sebagai kelas minoritas yang mengendalikan sectorsektor budaya, agama, pendidikan dan media masa kadang membangun apa yang disebut sebagai rekayasa sosial (social engenering). Sebagaimana yang diucapkan oleh Gramsci (Scoot, 200:54), bahwa kaum elite mengendalikan sector-sektor ideologis dan merekayasanya sebagai iklim simbolik untuk mencegah kelas non elite (buruh ) berpendapat, bahwa mereka sudah bebas. Pandangan Gramsci bisa diartikan, bahwa kaum buruh pada tingkatan gagasan telah diperbudak. Dalam konteks ini, akan kami gunakan untuk melihat
relasi sosial apa relasi antara elite dan buruh relasinya
kekuasaan atau relasi bapak-anak (patron- client). Dalam moral ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Scott (1983:41) terdapat ikatan pelindungan (patron) dan klien (anak buah), suatu bentuk asuransi sosial yang menginformasikan, bahwa patron berada dalam posisi untuk membantu klientnya.Dalam artian relasinya saling menguntungkan, sang patron memberikan perlindungan fisik dan non fisik kepada kliennya. Sebaliknya klien mengerjakan tanah milik, serta mengabdikan dirinya secara total kepada patronnya. Patron selain penguasa ekonomi terkadang juga merangkap sebagai pemuka agama, sosial dan penasehat spritualnya para klient. Menarik dicermati pandangan Popkin tentang rasional petani yang sangat bertolak belakang dengan pemikiran Scoot tentang
pendekatan moral ekonomi.
Pendekatan rasional ekonomi
menjadi dasar dari pandangan Popkin, 1979, The
Rational Peasant; the Political Economy of Rural Society in Vietnam. Popkin menyebut pendekatannya sebagai ekonomi politik.Hematnya manusia kodratnya adalah manusia homoecononicus mempunyai kesadaran pribadi dan selalu menggunakan kalkulasi untung rugi dalam bertindak. Popkin juga menyadari, bahwa umumnya petani kehidupan ekonominya berada pada posisi dekat sekali dengan posisi batas minimum, tetapi ketika mereka mengalami surplus ia akan berani menginventasikan modalnya walaupun terbatas dan penuh resiko (Popkin, 1979: 30). Asumsi Popkin mengisyaratkan, bahwa titik pandangnya bertumpu pada factor pengambilan keputusan individu yang berorientasi
pada prinsif efisiensi dan
efektivitas. Penjelasan tentang operasionalnya pengambilan keputusan individual, Popkin (1979:20) mengetengahkan konsep krisis subsitensi jangka pendek ( short-run subsintence) dan krisis subsitensi jangka panjang (long-run subsintence). Konsep krisis dianalogikan oleh Popkin, bagaimana petani Vietnam melakukan perlawanan, ketika terjadi perang Vietnam. Kelompok-kelompok petani ada yang melawan dan ada juga kelompok petani yang tidak melawan. Bagi kelompok petani yang tidak melawan menganggap melawan tidak menyelesaikan masalah dan kesempatan kompromi yang menguntungkan masih terbuka. Fakta tentang petani Vietnam itu, Popkin beranggapan, bahwa seorang petani pertama-tama
memperhatikan
kesejahteraan
dan
keamanan
diri
dan
keluarganya.Apapun nilai-nilai dan tujuan hidupnya, ia akan bertindak setalah memperhitungkan kemungkinan memperoleh hasil yang diinginkan atas dasar
tindakan-tindakan individual. Kedua, hubungan petani dengan orang-orang lain tidak selalu didasarkan atas beberapa prinsip moral yang umum, tetapi pada kalkulasi apakah relasi-relasi itu
akan
menguntungkan diri dan keluarganya atau tidak (
Ahimsa,2003;31). Pandangan Scoot dan Popkin akan kami gunakan untuk melihat moral dan keputusan buruh dalam menginvestasikan anak dalam memilih pendidikan untuk anaknya. Lantas, ketika keputusan diambil, maka kami akan melihat strategi baik moral maupun rasional yang dilakukan oleh buruh.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian inni adalah untuk mengolah dan menganalisis data tentang : 1. kondisi sosial budaya buruh penyadap karet 2. kondisi sosial ekonomi rumah tangga buruh penyadap karet 3. pandangan buruh penyadap karet terhadap pendidikan anak-anaknya
B.
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian adalah di desa Bungin Kecamatan Paringin Selatan Kabupaten Balangan. Pemilihan Desa Bungin sebagai tempat dilaksanakannya penelitian dilakukan secara purposive, karena di desa ini warga yang bekerja sebagai buruh penyadap karet lebih banyak dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Di samping itu pula Desa Bungin sebenarnya cukup dekat dengan ibukota kabuaten, namun ternyata mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang ada di sekitar ibukota kabupaten.
C.
Latar Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan disebuah desa di Kabupaten Balangan, kenapa mengambil lokasi penelitian di desa tersebut karena memiliki keunikan tersendiri yang perlu di lakukan kajian yang lebih mendalam dan perlu mendapat perhatian khusus dari kita bersama untuk kemajuan desa tersebut dimasa yang akan datang. Desa Bungin adalah sebuah desa berjarak lebih kurang 3 km dari pusat pemerintahan ibukota kabupaten Balangan yang merupakan daerah pemekaran Kabupaten baru dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dengan letak geografis yang dekat dengan pusat pemerintahan, tetapi kondisi desa bungin sangat jauh dari harapan kita untuk sentuhan pebangunan secara fisik maupun non fisik. Problem yang sangat dirasakan sekali adalah tingkat kesejahteraan penduduknya yang kurang lebib 400 KK masih rendah, angka putus sekolah masih tinggi, mata pencarian penduduknya mayoritas buruh tani, layanan pendidikan dan kesehatan masih rendah, pola pikir dan budaya lokal yang masih terkebelakang, sehingga menjadikan desa Bungin sebuah desa yang terisolir oleh maraknya aksi pembangunan yang selama ini dilaksanakan di Kabupaten Balangan. Melalui Penelitian ini diharapkan dapat memberikan secercah
harapan bagi
msyarakat di desa Bungin untuk lebih mendapat perhatian dimasa yang akan datang, serta dapat memberikan informasi kepada semua unsur pelaku pembangunan untuk lebih memperhatikan perkembangan desa tersebut, serta dapat memberikan pelayanan pembangunan di berbagai sektor. Kondisi sekarang yang sangat dibutuhkan masyarakat adalah sekolah setingkat SLTP serta layanan kesehatan termasuk layanan air bersih. Banyak sekali angka putus sekolah di tingkat SLTP akibat akses sekolah yang jauh dari desa bungin, serta akses air bersih yang belum terlayani di masyarakat.
Melihai kondisi yang demikian, sangat ironis sekali dengan letak geografis dengan pusat pemerintahan, dan ini perlu mendapat perhatian serius dari semua stkeholder di Kabupaten Balangan agar ius-isu sejarah negatif tentang desa Bungin kedepan akan terkikis habis, memang isu mayoritas penduduknya memelihara ajian ―racun‖ di era tahun 2000-an kebawah sangat santer terdengar d seluruh Kalimantan Seatan, sehingga desa Bungin tersebut sebelumnya bernama desa ―kubur‖ karena memang dari kasus-kasus pendatang yang masuk ke desa tersebut bila makan minum di desa tersebut akan muntah darah dan kehilangan nyawa, sehingga tempo dulu orang menyebutnya desa Kubur. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan perhatian Pemerintah HSU di tahun 2000-an maka telah mengambil langkah cepat untuk memberi nma baru kepada desa kubur menjadi desa bungin, dan melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk syiar-syiar agama tentang keberadaan ajian racun tersebut membuat masyarakat desa bungin sekarang dudah meninggalkan kepercayaan tersebut, tetapi seiring dengan waktu isu ajian racun tersebut tetap membayangi masyarakat luar sehingga isu ini juga menjadi faktor penghambat bagi pembangunan desa bungin.
D.
Metode dan Prosedur Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena dari sifat data (jenis informasi) yang dicari atau dikumpulkan bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif di samping dapat mengungkap dan mendeskripsikan peristiwa-
peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi (hidden value) dari penelitian ini. Di samping itu penelitian ini juga peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti berada pada posisi sebagai instrumen kunci (Lincoln dan Guba, 1985 : 198). E.
Data dan Sumber Data Sesuai dengan sumber data yang dipilih, maka jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung dari para informan penelitian, tindakan atau perilaku para buruh penyadap karet dalam melakukan pekerjaannya sebagai buruh penyadap karet,
pola fikir para buruh tentang pendidikan anak-anaknya dan data-data
yang berkaitan dengan pendidikan
Selain itu, juga menggunakan foto-foto tentang
aktivitas sehari-hari sebagai buruh penyadap karet di perkebunan. Keterangan berupa kata-kata atau cerita langsung dari informan dijadikan sebagai data utama (data primer), sedangkan tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan sebagai data pelengkap (data sekunder). F.
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif ini peneliti bertindak sebagai instrument utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi baik melalui observasi maupun wawancara. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan tak terstruktur. Untuk memudahkan engumpulan data, peneliti menggunakan alat bantu berupa catatan lapangan, tape recorder, kamera foto dan pedoman wawancara.
Proses pengumpulan data yang dilakukan peneliti meliputi tiga kegiatan yaitu : 1. Proses memasuki lokasi penelitian 2. Ketika berada di lokasi penelitian 3. Proses mengumpulkan data
G.
Prosedur Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknis analisis model interaktif (interactive model of analysis) dari Miles dan Huberman. Pada model analaisis interaktif ini peneliti bergerak pada tiga komponen, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (verification). Proses analisis interaktif ini dapat disajikan dalam bentuk gambar sebagai berikut :
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi Data Kesimpulan/Verifikasi
Gambar 1. Analisis data Model Interaktif Sumber : Miles dan Huberman (1992:20) Reduksi data diartikan bahwa data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data lapangan dituangkan dalam uraianatau laporan lengkapdan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal
yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Penyajian data dimaksudkan agar
memudahkan bagi peneliti untuk melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya yang lebih utuh. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan bukan sesuatu yang berlangsung linier, melainkan merupakan suatu siklus yang interaktif, karena menunjukkan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk memahami atau mendapatkan gambaran dan pengertian yang mendalam komprehensif, yang rinci mengenai suatu masalah sehingga dapat melahirkan suatu kesimpulan yang induktif. Penarikan kesimpulan/verifikasi data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan seara terus menerus sepanjang penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari pola, tema, hubungan persamaan, halhal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih tentatif. Akan tetapi, dengan bertrambahnya data melalui verifikasi seara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat “ grounded‖. Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung melibatkan inpretasi peneliti. Komponen-komponen analisis data tersebut di atas oleh Miles dan Huberman (1992:20) disebut sebagai ―model interaktif‖ H.
Keabsahan data Setiap penelitian memerlukan adanya standar untuk melihat derajat keperayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan keabsahan data. Moleong (1999:173) mengemukakan bahwa ada empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat
kepercayaan
(credibility),
keteralihan
(transferability),
kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Kredibilitas Untuk memeriksa kredibilitas dilakukan kegiatan sebagai berikut : a. Memperpanjang masa observasi Dengan cara ini, peneliti mempunyai waktu beberapa Minggu untuk betul-betul mengenal situasi lingkungan, untuk mengadakan hubungan baik dengan para informan. Dengan keadaan yang demikian, peneliti bisa mengeek data yang diperoleh dari informan sehingga data yang diperoleh sudah dirasa benar
b. Melakukan Peer debriefing
Hasil kajian didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang diterapkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan, saran dan kritik berkaiatan dengan hasil penelitian. c. Melakukan Triangulasi Hal ini dilakukan
dengan maksud mengecek kebenaran data tertentu dan
membandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian di lapangan, pada waktu yang berlainan, dan sering dengan menggunakan metode yang berlainan 2. Keteralihan Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Keteralihan hasil penelitian ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga manakah hasil penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-situasi lain. 3. Ketergantungan dan Kepastian Untuk mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah, peneliti akan mendiskusikannya dengan semua tim setahap demi setahap, mengenai konsepkonsep yang dihasilkan di lapangan. Setelah hasil penelitian dianggap benar, kemudian dibuat dalam satu laporan untuk diseminarkan. Dengan seminar diharapkan diperoleh banyak masukan untuk menambah kualitas dari hasil kajian
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Sosial Budaya Buruh Penyadap Karet 1. Gambaran Suasana Desa Sekitar tiga belas tahun yang lalu , Desa Bungin awalnya bernama Desa Kubur yang termasuk menjadi wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara Kecamatan Paringin. Menurut informasi dan cerita dari mulut ke mulut yang masih bisa kita didengar sampai saat ini, Paringin sangat dikenal sebagai wilayah orang memberi makan racun, sehingga orang tidak mau singgah lama di sana, karena takut terkena bisa racun.Menurut informasi dari informan yang kebetulan juga berasal dari Paringin, menyebutkan, bahwa sumber racun berasal dari desa Kubur dan Tarangan yang saat itu wilayahnya masih tertutup oleh perkebunan karet. Konon, racun itu dimiliki sebagai jimat untuk cepat menjadi kaya bagi pemiliknya. Label tentang racun begitu kuat, sehingga sangat jarang orang pergi Paringin karena takut terkena racun. Biasa orang yang baru datang ke sana ketika ia memakan dan meminum di desa langsung sakit dengan cirri-ciri muntah darah dan meninggal dunia, sehingga Desa itu disebut sebagai Desa Kubur. Sebutan ini, membuat beberapa pemuda dan tokoh masyarakat yang didukung oleh bupati Hulu Sungai Utara (saat ini itu dijabat oleh Suhailin) untuk melaksanakan ritual untuk mengganti nama. Ritual ini bernama tasmiyah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Banjar untuk member nama kepada anaknya. Setelah ritual tasmiyah itu dilaksanakan maka Desa Kubur berubah menjadi Desa Bungin . Nama Bungin diambil dari sungai yang melintas di desa itu bernama Sungai Bungin. Pasca pemberian nama baru, para tokoh masyarakat dan tokoh agama
sering melakaukan penyuluhan tentang tidak bermanfaatnya memilihara jimat dan racun dalam pandangan agama. Desa Bungin, sebagaimana wilayah Balangan lainnya sejak tahun 1920 yang saat itu masih termasuk onderafdeeling Amuntai timbul setelah adanya perkebunanperkebunan karet. Onderafdeeling Amuntai terbagi lagi dalam 3 distrik atau kewadanaan, yang meliputi: (1) Distrik Amuntai meliputi onderafdeeling Amuntai, (2) Districk Alabio, meiputi Sungai Panda dan Babirik, (3) Distrik Balangan meliputi Paringin, Awayan dan Juai. Pasca kemerdekaan, kewilayahan ini tidak jauh berbeda, tetapi di dalam system pemerintahan secara menyeluruh mengalami perubahan. Luasnya wilayah Kabupaten Amuntai, membuat masyarakat Balangan ingin melepaskan diri dari Amuntai (Hulu Sungai Utara). Keingin ini dimulai direalisasi pada
13 Desember 1963 dengan
dibentuknya Panitia Penuntutan Kabupaten Balangan ( PPKB), tetapi tidak membuahkan hasil. Keinginan masyarakat ini diteruskan lagi pada 29 Juli 1968, akan tetapi tetap tidak berhasil. Keinginan memekarkan diri mulai memperlihatkan buahnya, ketika bupati Hulu Sungai Utara dijabat oleh H. Suhailin (1992-2002) yang kebetulan berasal dai Balangan. Balangan resmi menjadi kabuten tersendiri pasca turunnya Undang-undang Republik Indones9a nomoe 2 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Balangan yang ditandatangai oleh Mentri Dalam Negri Hari Sabarno. Sejak saat itupula, Desa Bungin masuk menjadi wilayah Kabupaten Balangan Kecamatan Paringin Selatan. Pada tahun 2013, Desa Bungin tetap menjadi desa yang sepi dan miskin ketimbang desa – desa lainnya. Penyebabnya menurut informasi seperti yang dinarasikan diatas.
2. Jaringan Sosial Antar Warga di Kampung Desa Bungin dapat dikatakan bisa kooperativ bisa juga individualistic, tergantung dari sisi mana kita melihat. Hubungan suami istri sangat erat, bahkan seorang ibu masih mau mengurus dan memelihara cucunya, yang kehidupan orang tuanya secara ekonomi sangat di bawah rata-rata. Hubungan antar warga juga sangat
akrab, sehingga
memudahkan mereka untuk saling bekerja sama mengatasi kemelut kemiskinan yang mereka hadapi. Pada akhirnya pilihan hidup untuk menggapai keberhasilan kembali pada mereka sendiri.
3. Pertalian Sosial Ciri utama kehidupan kampung seperti yang ditawarkan oleh Tonnis adalah selalu menjaga hubungan
yang baik dengan para tetangganya. Hal ini yang dilakukan oleh
Bapak Sarbani, ketika ia baru pindah dan membangun rumah di desa itu, ia mengantarkan nasi kuning kepada para tetangganya untuk membangun silahturami. Bahkan Bapak Sarkawi (70 thn) yang
rumah bersebelahan dengan Bapak Bani, langsung diangkat
menjadi orang tua angkatnya. Jika ada tetangga yang meliwat rumah tangga lain, tidak jarang ada suara sapaan dari dalam rumah untuk menyuruh singgah, ― ooyy naikan satumat‖. Ajakan untuk singgah dari tuan rumah, apakah itu sebuah basa-basi, akan tetap itu tanda dari bentuk keakraban sesama warga kampung. Pertalian sosial semakin erat semakin terlihat, ketika dalam keadaan menerima cobaan dari Tuhan, seperti sakit dan kematian. Katakan saja, ketika suami Ibu Innah
meninggal dunia, maka para tetangga berdatangan untuk memberi bantuan, baik tenaga maupun dana. Ibu Innah juga tidak terlalu berharap banyak untuk mendapat bantuan dari anaknya yang tinggal di desa Lingsir tidak jauh dari desa itu, karena ia tahu, bahwa anaknya juga sudah punya keluarga yang kehidupan ekonomi perlu perhatian. Akhirnya, Ibu Innah tetap mengambil keputusan untuk menjadi buruh sadap karet kampung dan buruh tani untuk menyambung kehidupannya. Fakta ini mengisyaratkan, walaupun ikatan kekerabatan dapat mengatasi penderitaan, pada akhirnya setiap keluarga harus menghidupi dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada kerabat dekatnya yang juga berjuang untuk memenuhi kebutuhannya. Bentuk berbagi rasa rupa tidak hanya seperti yang dicontohkan di atas. Sebelum ada bantuan Program Pamsimas (Pogram airminum dan santasi berbasis masyarakat dari pemerintah, mereka saling memanfaatkan sumur yang bersama untuk mencuci, bisa juga sambil antri untuk buang air besar di kakus yang ada di sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan mereka. Tidak jarang jika pada siang hari sambil menunggu tukang sayur, atau menunggu pembelantikan (broker) getah, tetangga duduk sambil lesehan di beranda rumah tetangga sambil bercerita. Bentuk relasi yang kerap tatap muka sesame anggota desa dengan suasana akrab, besar kemungkinan mereka saling memberi nasehat satu sama lainnya tentang harga getah karet, mendidik anak, mencari informasi siapa pemilik tanah yang mengizinkan warga meminjam untuk melakukan okulasi karet bibit unggul, atau siapa pemelik karet kampung yang perlu tyenaga buruh untuk menyadapnya.Tidak jarang anggota atau warga desa punya pertalian kekerabatan satu dengan lainnya, sehingga ikatan bertetangga tambah erat antar mereka.
4. Kerjasama bidang Agama
Selain perayaan agenda keagamaan Islam yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, ada bentuk kerja sama lain, ketika ada anggota masyarakat yang terkena musibah ( sakit, dan kematian) seluruh masyarakat bersatu. Musibah kematian akan tampak kelihatan persatuan antar warga. Keluarga yang mengalami musibah kematian, biasanya tidak dibiarkan sendiri. Para tetangga dan kerabat saling berdatangan untuk membantu memandikan, membungkus sampai menguburkan jenazah.
Biasanya juga mereka
melakukan upacara tahlilan. Seperti yang dialami oleh keluaga Ibu Fatmawati ketika suami, anak dan menantunya meninggal dunia.
Para tetangga secara spontan
menyumbang juga menawarkan pengumpulan dana untuk mengkebumikannya kepada mereka yang ingin menyumbang. Selain itu, penduduk melakukan apa yang disebut dengan nama iuran kematian sebesar Rp.2.000,00. Setiap bulannya. Dana ini, biasanya digunakan untuk membeli kain kafan dan digunakan juga untuk melaksanakan ritual kematian, seperti tahlilan.
Kerjasama penduduk tidak melulu pada saat-saat kedukaan, tetapi juga dapat ditemukan pada saat bergembira. Misalnya pada acara pernikahan, tetangga biasanya menyediakan halaman rumahnya untuk digunakan sebagai area acara, meminjamkankan piring, gelas, tikar, kursi. Beragaman jenis makan tersaji untuk para tamu. Pesta pernikahan tanpa disadari oleh mereka merupakan media untuk mereka bersatu secara spontan dan tidak direncakan.
Ikatan agama, perayaan Islam, dan arisan
di Desa Bungin mereflesikan apa yang
disebut resiprositas. Resiprositas secara sederhana dapat diartikan, sebagai pertukaran timbale balik antar individu dan antar kelompok ( Sairin, Semedi dan Hudayana,2002:43). Resiprositas ditandai hubungan simetris antar kelompok maka resiprosita tidak akan terwujud. Hubungan simetris merupakan refleksi dari pertautan sosial, ketika proses pertukaran berlangsung , masing-masing invidu individu menempatkan diri setara. Misalnya, ketika Ibu fatmawati menyelegarakan acara tasmiyah emebrian nama cucunya, Pak Rt, Pak haji yang diundang dan hadir pada acara itu yang secara status berbeda akan tetapi mereka sejajar.
Berbeda dengan resiprositas, penjelasan tentang kerjasama penduduk terutama gotong dapat dijelaskan dengan apa yang disebut redistribusi. Redistribusi dapat terselenggara oleh adanya individu yang muncul sebagai pengorganisir untuk mengumpulkan barang atau jasa kepada penduduk desa atau anggota kelompok. Setelah terkumpul didistribusikan kembali kepada anggotanya ( Sairin, Semedi dan Hudayana, 2002: 45). Contohnya adalah ketika warga desa Bungin melakukan kerja bakti untuk membersihkan desa atau pesta desa seperti upacara tasmiyah perubahan nama dari Desa Kubur menjadi Desa Bungin.
5. Deskripsi Rumah Tangga Warga Desa Bungin Keluarga merupakan unit
dasar, sedangkan rumah tangga merupakan tempat
tinggal. Di desa ini terdapat beberapa katagori. Katakan saja, ada keluarga yang tidak
utuh hanya terdiri dari seorang ibu bernama Innah berusia (70thn), karena ditinggal wafat oleh suami dan anaknya sudah tidak tinggal di desa itu. Ada keluarga inti yang terdiri dari Bapak, ibu dan anak, yaitu keluarga Bapak Bani berusia 30 tahun. Ada juga keluarga Bapak Sarbani (30 thn), yang terdiri dari istri dan seorang anaknya. Bapak sarbani adalah pendatang menikah dengan warga desa itu. Ada juga keluarga yang tidak utuh, yaitu keluarga Ibu fatmawati (45 thn), yang ditinggal wafat oleh suaminya ,juga anak dan menantunya juga wafat, ia tinggal men gurus cucunya yang yatim piatu. Di dalam 177 rumah tangga ada kira-kira 629 yang terdiri dari 3 RT (Kecamatan Paringin Dalam angka, 2012:13). Pada tahun 2012, memang masih banyak rumah tangga inti, sedangkan rumah tangga yang sedikit terdiri dari keluarga yang tidak utuh. Tiga katagori rumah tangga sangat ajeg, sehingga membuat antar mereka saling kenal. Bahkan mereka juga mengenal pendatang, bahkan kedatangan kamipun mereka terima dengan baik tanpa ada kecurigaan dan tanpa mengawasi kami dengan ketat, melainkan sambutan kekeluargaan. Katakan saja Ibu Inah dengan kemiskinan tetap mempersilahkan kami masuk ke rumah kecilnya. Ibu Innah bekerja sebagai buruh penyadap karet tetapi bukan karet unggul melainkan karet kampung dan buruh tani. Begitu juga Bapak Bani sebagai keluarga utuh tetap saja mempersilahkan kami masuk ke rumahnya. Bapak Bani, dulu bekerja di luar kampung (madam), tetapi satu tahun ini, ia kembali ke desa dan bekerja sebagai b uruh sadap karet, buruh tani dan menjual bibit karet. Keramahan senada kami juga rasakan, ketika kami berkunjung ke Ibu fatmawati, ia tinggal
bersama cucunya yang yatim piatu, selain sebagai buruh sadap ia juga buka
warung keperluan dapur untuk menopang ekonomi keluarga agar ia bisa membesarkan cucunya.
6. Masyarakat Pendatang Tidak semua warga desa itu adalah penduduk asli, tetapi ada 7 orang pendatang yang berasal dari Barabai dan Banjarmasin. Para pendatang itu tidak membuat kelompok eksklusif di
desa, bahkan mereka menikahi putri dari kampung tersebut, sehingga
keakraban tampak terbangun di kampung itu. Di dalam lingkungan desa itu, yang dapat dikatagorikan orang luar adalah pendatang yang tidak bermukim. Katakan saja, para pemilik lahan karet yang berasal dari Paringin maupun Banjarmasin. Bisa juga para pembelantikan getah karet, tukang sayur bdan ikat, yang umumnya berasal dari Paringin. Secara relasi sosial merekapun diakui mengakui satu dengan lainnya. Para pendatang itu membangun hubungan sosial dalam konteks ekonomi. Fenomena ini menhisyaratkan, bahwa para pendatang yang sifatnya temporal ini tentunya secara relasi sosial sangat jarang berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan di desa. 7. Ikatan Agama Seperti umumnya wilayah di Kalimantan Selatan penduduknya beragama Islam, begitu juga di desa ini. Agama Islam dapat dikatakan menjadi focus utama untuk organisas sosial yang formal di desa ini. Mesjid di desa ini hanya sebuah didirikan pada tahun 2005. Pembangunan mesjid ini memang didanai oleh pemerintah, tetap masyarakat desa juga berpartisipasi dalam membangun mesjid ini.
Di mesjid terdapat sebuah
perkumpulan pengajian yang disebut jamaah yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru
sebuah sebutan untuk pengajar agama. Tuan Guru dan Tokoh Masyarakat dapat dikatakan orang yang berhasil memberikan keyakinan kepada masyarakat Desa Bungin untuk tidak menyimpan jimat dan menabur racun pada masa desa ini bernama Desa Kubur. Ketika Desa Bungin masih bernama Desar Kubur, daerah sangat ditakuti oleh orang luar untuk datang dan minum serta makan di desa ini. Biasa orang luar yang datang ke desa apabila ia meminum di sana, atau memakan makanan yang ada di desa itu, selang beberapa menit dari mulutnya langsung keluar busa dan darah tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Banyak kejadian orang meninggal dunia di sana, akhir oleh orang luar desa itu diberi nama Desa Kubur. Masyarakat Desa Kubur memang merasa dilematis, sebab jimat dan racun itu diberikan secara turun temurun sejak zamn Belanda. Jika racun tidak disebar, maka anggota keluarganya yang akan meninggal dunia. Keyakinan ini berlanjut, sehingga para Tuan Guru dan Tokoh Masyarakat merasa perlu untuk menerangi hati para warga agar keyakinan itu bisa dibuang dengan cara dakwah dan kesabaran yang luar biasa, akhir berhasil meyakini mereka untuk tidak memakai jimat dan memeilihara racun. Tuan Guru sebagai pengajar agama Islam selalu memberikan materi pengajian bersumber kepada faham ahlussunnah wal jamaah yang meliputi fikih ( dasar-dasar kepercayaan pada Tuhan), , akaid ( tatacara beribadat), tauhid ( kepercayaan kepada Tuhan), dan ahlak ( budi pekerti sesuai dengan ajaran Islam) dengan mengikuti Mazhab Syafii ( Fedyani, 1986: 37). Tuan Guru dan Tokoh masyarakat secara sabar, akhirnya mampu meyakini masyarakat yang sejak dahulu percaya jimat dan memiliki racun untuk meninggalkannya.
Upaya Tuan Guru, Tokoh Masyarakat yang didukung oleh pemerintah selain berhasil membuang keyakinan masyarakat, berhasil juga mengajar warga desa untuk setiap malam mengikuti pengajian di kampung itu. Setiap malam Ibu Innah dan 10 sampai lima belas orang penduduk desa secara teratur mengikuti pengajian dan solat berjamaah di mesjid itu. Rajin para warga desa mengikuti pengajian di mesjid membuat mereka lebih sadar akan ajaran agama Islam. Pada sat ini, mereka terkadang malu jika ditanya persoalan, tentang label Desa Kubur yang pernah disandangnya. Fenomena ini menginformasikan, bahwa agama Islam yang difahaminya melalui pengajian memberikan kesadaran tentang kesalahan mereka tentang kebiasaan menyebar racun. Selain itu, agama member keyakinan, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi adalah bagian dari cobaan dari Tuhan.
8. Perayaan Hari Besar Agama (Islam) Setiap agama ada agenda ritual yang melibatkan ritual pada hari-hari besar. Katakan saja agenda ritual itu adalah hari Idul fitri dan Idul Adha sera maulid. Suasana perayaan keagaman pada hari idul fitri dan Idul Adha menampakan
sifat kegotong
royongan dan penuh persaudaran. Sesuai dengan ketentuan agama, setiap rumah tangga menyumbang 2.5 liter beras kepada mushola ( ini yang disebut zakat) menjelang hari Idul Fitri. Bapak Syarbani, Ibu Fatmawati, Ibu Husna selalu menyisihkan dan membayar zakat kepada pa nitia zakat pada masa satu hari sebelum hari raya. Mereka merasa itu sebagai sebuah kewajiban untuk membayar zakat, sesuai dengan ketentuan agama. Akan tetapi walaupun terbatas ekonominya ia engan untuk mengabaikan pemberian zakat dan dengan
penuh tangung jawab serta ikhlas selalu memberikan zakat kepada panitia zakat. Sementara Ibu Innah oleh panitia dianjurkan untuk tidak member zakat, tetapi ia memperoleh zakat. Tampaknya pemberian zakat dipahami maknanya oleh warga desa, sebab mereka merasa walaupun miskin ia masih mampu mengeluarkan hartanya untuk orang miskin sesuai dengan pemahaman mereka terhadap agama Islam. Idul fitri merupakan hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa. Para tetangga, sahabat dan kerabat, serta para tetuha (orang yang dituakan) baik ulama maupun orang yang dituakan selalu saling bermaafan. Setiap rumah berupaya untuk membuat makanan seperti soto Banjar ataupun ketupat Kandangan untuk menjamu atau member makanan kepada tetangganya. Katakan saja, Ibu Fatmawati , bapak Sarbani selalu menyisihkan penghasilannya
kemudian dikumpulkan untuk persiapan hari lebaran.
Nyiur, daun nyiur, daun pisang, pisan mereka tidak membelinya sebab di desa tumbuh dengan baik.
B. Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Buruh Penyadap Karet 1. Deskripsi Kepemilikan Perkebunan Karet di Desa Bungin Memasuki wilayah Desa Bungin kita disuguhi oleh panorama tentang kehijauan perkebunan karet. Pohon-pohon karet yang rimbun menghiasi kiri kanan jalan menuju Desa Bungin. Pohon-pohon karet tertata dengan baik dan rapih menggambar, bahwa pohon-pohon karet itu merupakan jenis pohon karet unggul . Di balik pohon karet unggul itu, ditemukan juga pohon-pohon karet yang tidak tertata , tampaknya ia tumbuh dengan liar. Pohon-pohon karet tidak tertata ini termasuk jenis pohan karet lokal.
Menurut data kecamatan Paringin Selatan dalam angka 2012, desa ini secara keseluruhan berpenduduk 629 0rang terdiri dari 314 laki-laki dan 315 perempuan dengan rasio jenis kelamin 97. Banyaknya kelahiran menurut jenis kelamin 7 laki-laki dan 2 perempuan. Dalam
sisi lain ternyata Desa Bungin diminati untuk didatangi oleh
pendatang sebanyak 34 orang. Di desa ini hanya terdapat sebuah SD, tidak ada SLTP terlebih SLA. Pola pemukiman berjajar dan dibelah oleh jalan kampung yang di seberang jalannya terdapat perkebunan karet tetapi bukan milik mereka melainkan milik Orang Paringin dan Banjarmasin. Di belakang perkampungnya terdapat persawahan dan mereka menyebutnya dengan sebutan pahumaan. Penduduk selalu mengidentifikasi dirinya dengan kampung. Mereka mengenal satu sama lain dengan akrab bahkan seperti saudara, baik rupa, asal usul, sampai pekerjaannya yang memang homogen. Jika bertemu satu sama lainnya mereka saling bertegor sapa, menghadiri agenda ritual di mesjid yang sama, hadir dalam setiap handilan (arisan) yang diselenggarakan satu minggu sekali di rumah warga yang setiap b ulan bergiliran berdasarkan kesepakatan. Masyarakat di desa ini hidup berkelompok terkonsentrasi dalam beberapa RT. Tiap RT ada pengurusnya yang mengurusi kepentingan administratif warganya. Di samping itu untuk kepentingan sosial warganya biasanya dikoordinasikan oleh pengurus RT nya untuk berkumpul misalnya untuk kepentingan gotong royong, rukun kematian, membersihkan lingkungan, membersihkan jalan setapak, membuat sanitasi air bersih sumbangan dari pemerintah kabupaten dan sebagainya. Acap juga mereka berkumpul
pada acara memperingati calendar ritual keagamaan, nasional dan dalam acara saruan (pesta)
2. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Desa Bungin Setiap minggu ada acara handilan (arisan) ibu-ibu rumah tangga yang dilakukan secara bergiliran di rumahnya masing-masing. Bagi mereka yang terkena giliran menyelengaran arisan, biasa pemenang dalam undian, ia secara suka hati menyediakan makanan ala kadarnya sebagai jemuan buat anggota arisan yang datang. Menarik juga dicermati, terkadang hasil dari arisan tidak mencukupi untuk biaya jamuan acara itu. Biasanya tuan rumah sebagai penyelenggara menutupi dengan tambahan biaya lainnya. Ada sebetulnya arisan ini dikatakan sebagai tabungan mereka, artinya bila dapat arisan tersebut mereka memperoleh sejumlah uang yang dapat dibelanjakan dalam jumlah relatif besar, karena sifatnya adalah tabungan. Misalnya tabungan untuk elektronik, korban, haji dan sebagainya. Tetapi kasus di desa Bungin ini arisan hanya di rumah mereka masingmasing sekedar berkumpul besama sambil pengajian atau yasinan ibu-ibu untuk silaturahmi bukan untuk menabung. Narasi di atas memperlihatkan, rumah-rumah tangga terikat dalam jaringan hubungan yang kompleks. Esensi
dari pertalian relasi ini mempeetontonkan tentang
pertukaran timbale balik tentangn informasi mengenai konsep pertemuan yang dalam bahasa agamanya adalah silaturahmi bukan persoalan materi. Ada kecenderungan setiap ada acara pertemuan mereka selalu hadir tanpa adanya paksaan. Relasi sosial dalam
bentuk arisan dapat dikatakan membantu melindungi mereka dari tekanan luar berupa pekerjaan yang tidak pasti dan kebutuhan dasar yang tidak memadai. Handilan biasanya melibatkan
orang yang memberikan biasanya melibatkan
sepuluh sampai 25 orang yang menyetorkan sejumlah uang yang disepakati. Jumlah uang yang harus disetorkan bisa dicicil
setiap hari, seminggu sekali atau sebulan dengan
pembayaran penuh. Biasanya pengurus arisan mencari anggota arisan dengan mendatangi rumah tetangga yang dekat untuk menawarkan tentang ikut atau tidaknya handilan itu. Anggota handilan setelah selasai selama satu tahun setelah anggotanya memperoleh bagian uang dengan cara diundi dihadapan para anggotanya di rumah yang disepakati. Peserta arisan tampaknya tidak pernah mengabaikan kewajibannya untuk membayar arisan setiap b ulan sampai selesai. Biasanya arisan berlangsung selama satu tahun. Anggota arisan, biasanya berubah-ubah bisa juga tetap untuk melanjutkan handilan berikutnya. Arisan bubar setelah setiap anggota telah menerima bagian uangnya. Arisan dapat dimulai lagi, dengan anggota yang berbeda. Maksudnya, apabila warga desa yang ekonomi tidak menentu dan merasa tidak mampu lagi membayar iuran arisan yang biasanya selama satu tahun, biasanya ia tidak mengikuti arisan berikutnya. Misalnya, Ibu Innah selama 2 tahun terakhir ia tidak mengikuti arisan di desanya karena kemerosotan perolehan yang diterima dikernakan factor usia yang lanjut, sehingga ia tidak mampu bekerja keras lagi tentunya peroleh uangnya semakin sedikit.
3. Deskripsi Pekerjaan Keluarga Buruh Penyadap Karet
Desa Bungin merupakan contoh umum untuk kehidupan desa-desa di Indonesia. Hal ini ditandai sebagian besar penduduknya mencari nafkah pada sector informal. Hasil pencarian nafkah ini mereka mampu membangun rumah, membeli pesawat telivisi , kursi bahkan ada yang memeliki sepeda motor. Bisa jadi kehidupan ekonomi yang membuat label mereka miskin bukan persoalan kemiskinan melainkan ketidak pastian penghasilan. a. Pangangaron (Buruh Penyadap Karet ) Penghasilan utama nasyarakat adalah dari buruh karet (menyadap karet milik orang lain). Tetapi mereka tidak di rumahkan dalam barak-barak perusahaan melainkan tetap menghuni dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Mereka umumnya hanya menggarap karet jenis kampung saja bukan karet bibit unggul. Karet kampung ini tidak banyak menghasilkan getah seperti karet bibit unggul, Hasil menyadap karet kampung ini porsi bagiannya lebih menguntungkan petani dengan ketentuan hasilnya dibagi 3 (tiga), 2 (dua) bagian untuk petani penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik. Sebetulnya bila dilihat dari jumlah bagian ini lebih besar jika dibandingkan dengan penyadap karet bibit unggul yang hanya 2 (dua) berbanding 2 (dua) atau setengahnya. Tetapi pemilik karet bibit unggul tidak mau atau percaya kepada masyarakat menyadap karet ini, karena takut akan terjadi kesalahan menyadapnya akan menyebabkan umur ekonomis karet tersebut singkat. Misalnya jika menyadapnya sampai kena batang (kayu) karet bagian dalam, maka di samping tidak banyak menghasilkan getah juga akan merusak pohon karet itu sehingga akan cepat mati. Walaupun jenis karet yang disadap petani tersebut berbeda, tetapi harga per Kg karet tersebut sama saja yakni berkirasar Rp 7.000,00 sampai dengan Rp 9.000,00. (kasus
saat kami melakukan wawancara). Harga sangat berfluktuasi bisa tinggi dan bisa sangat rendah sangat tergantung harga pasar karet dunia, sekarang mulai membaik/sedikit demi sedikit lebih tinggi harganya, ketimbang beberapa waktu yang lalu sampai hanya Rp 2.500,00 per Kg. Jika terjadi penurunan harga demikian, maka buruh karet sangat kesulitan memenuhi kebutuhannya, karena pendapatan hasil penyadap karet turun drastic, dan bahkan ada pemilik karet yang menyetop penyadapan sambil menunggu harga karet membaik kembali. Sementara buruh karet berarti menganggur, dan ini adalah masa-masa sangat sulit. Sabaliknya jika harga karet dalam keadaan tinggi, berarti penghasilan buruh karet juga ikut meningkat, biasanya pada kondisi ini buruh bisa menabung untuk kepentingan skunder lainnya seperti beli alat-alat elektronik radio, televise dan sebagainya. Menyadap karet tersebut dolakukan oleh keluarga artinya tidak hanya oleh suami saja tapi bersama-sama suami istri atau bahkan dibantu oleh anaknya. Penghasilannya tidak akan meningkat, karena karet yang disadap sama saja jumlahnya walalupun dikerjakan oleh buruh yang banyak (keluarga), tetapi mereka hanya meang waktu penyelesaian lebih cepat (awal). Rata-rata hasil karet setiap hari berkisar 10 Kg b jika setiap hari berbentuk Lamp, tetapi tidak setiap hari karet tersebut bisa disadap. Dalam kondisi cuaca panas saja kemungkinan harus berselang hari menyadapnya, karena jika setiap hari getahnya menurun drastis (tidak banyak menghasilkan getah), sehinggan harus berselang hari. Apalagi jika musim penghujan, maka buruh karet tidak bisa menyadapnya akibat air hujan mengguyur getah dan getah karet tidak mau beku. Menurut sumber (ibu Rusnah 45 tahun),
sering menghasilkan karet 10 Kg itu dalam waktu 3 (tiga) hari karena karena kondisi demikian ini. Bila tidak bekerja sebagai penyadap karet atau masa senggang setelah menyadap karet tersebut mereka bekerja sebagai petani sawah. Tetapi sawah yang dikerjakan juga milik orang lain (bukan milik sendiri), sehingga hanya menerima bagian setiap tahun selesai panen. Kadang kala hasil padi ini cukup membantu juga terhadap penghasilan mereka ada yang sampai nisab zakat padi artinya dalam satu tahun bisa menghasilkan 100 (seratus) blik padi dari hasil bagian tersebut. Tetapi masih banyak yang kurang mencukupi hasil dari tani padi tersebut, hal ini sangat tergantung dengan luasnya lahan dan tingkat kesuburan tanahnya. Pertanian masyarakat masih tadah hujan yang jauh dari irigasi, sehingga sangat tergantung dari curah hujan pertahun oleh karena itu hasil padi masih satu tahun sekali. Harga padi juga sangat bervariasi, saat setalah panen biasanya hanrganya hanya berkisar Rp 35.000,00 per blik (padi standar siam kampong), baru berangsur naik, makin tinggi menjelang musim tanam lagi tahun berikutnya, tetapi tidak banyak buruh tani yang bisa menahan padinya sampai pada musim tanam tersebut, karena sudah habis dimakan atau dijual sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan.
b. Buruh Harian Tani
Penghasilan tidak menetap lainnya adalah sebagai buruh harian tani bercocok tanah, pembersih rumput juga tidak tentu ada, karena mereka (masyarakat) mengerjakan sendiri.Mencari (menangkap) ikan untuk memenuhi makan tiap harinya bisa mencari ikan di swah, tetapi hasilnya hanya sebatas mengurangi beban pembelian ikan satu hari, tidak cukup untuk dijual. Biaya untuk memenuhi keperluan ikan diperkirakan sebesar Rp 10.000,00 per hari, dan sayur sebesar Rp 5.000,00 per hari. Pemanfaatan pekarangan, baluran sawah dan sebagainya juga tidak dimaksimalkan untuk menghasilkan sayur alias nganggur saja. Jumlah tanggungan keluarga di rumah cukup besar antara 3 (tiga) orang sampai 7 (tujuh) orang. Makan setiap hari bisa 2 (dua) atau 3 (tiga) kali. Biaya makan per hari berkisar Rp 20.000,00 sampai Rp 30.000,00 belum termasuk belanja warung (minum dan kue di warung). Hal ini biasa dilakukan masyarakat apalagi saat libur bekerja, dapur mereka banyak di warung.
c. Mengokulasi Karet Unggul Di Desa Bungin, Banyak para buruh juga melakukan okulasi karet. Biasanya mereka meminjam lahan karet kepada pemilik lahan karet yang memang bukan warga setempat. Pemilik lahan karet ini biasanya berasal dari Paringin dan Banjarmasin. Bentuk meminjam benar-benar dari kata meminjam tidak ada unsure untuk membayar pasca selesai meminjam terlebih –lebih dalam bentuk bunga pinjaman. Meminjam hanya benar berdasarkan kebaikan pemiiik lahan.
Tidak semua buruh sadap dapat meminjam lahan kebun kepada pemiliknya untuk mengokulasi
bibit karet unggul. Seperti pengalaman Bapak Bani, saat ini ia tidak
melakukan okulasi karet unggul, karena diberi izin pinjam oleh pemilik lahan. Berbeda dengan Bapak Sarkawi (30 thn), ketika kami bertemu, di sebuah lahan karet, ia sedang memeriksa hasil okulasi karetnya. Bapak Sarkawi atas kebaikan pemilik lahan karet seorang perwira polisi yang berdomisili di Paringin dengan penuh antusias bercerita tentang kebaikan pemilik lahan tersebut ― Sidin baik banar paham banar ke kami orang sakit in” ( beliau pemilik lahan orangnya baik sangat mengerti kepada kami orang yang miskin ini ). Bapak Sarkawi juga menjelaskan cara mengokulasi karet unggul. Ia menempelkan mata tunas bibit karet unggul ke pohon karet kampung (lokal). Beberapa hari kemudian tunas bibit karet unggul akan tumbul di batang bagian atas pohon karet lokal. Batang lokal yang sudah bertunas karet unggll kemudian dipotong lalu ditanam. Setelah tumbuh kemudian digali dimasukan ke dalam plastic untuk dijual kepada yang berminat. Jika dicermati, para b uruh sadap ini tidak dapat mengandalkan usaha untuk menambah pundi-pundi pada sector mengokulasi bibit karet unggul, karena mereka sangat tergantung kepada kebaikan pemilik lahan. Memang agak sulit untuk mengetahui apa yang terjadi dengan para buruh sadap yang tidak dapat pinjaman lahan untyk mengokulasi bibit karet lokal. Agaknya pilihan yang ajeg hanya menjadi butuh adap karet dan buruh tani. Seperti yang dialami oleh Ibu Innah, Bapak Bani, Ibu Rusna, ia hanya mengandal usahanya sebagai buruh sadap karet lokal dan buruh tani.
4. Kalkulasi Pendapatan Buruh Penyadap Karet Bila dikalkulasikan penghasilan dan biaya hidup masyarakat buruh penyadap karet desa Kaladan kecamatan Paringin Selatan ini kira-kira sebagai berikut: 1. Penghasilan per bulan dari: a. Buruh penyadap karet 10 Kg @ Rp 8.000,00 =Rp 1.200.000,00 X ⅔ ………………………
= Rp 80.000,00 X 15 Hari* =Rp 800.000,00
b. Hasil sampingan menggarap sawah milik orang lain rata-rata sbb.: 60 blik per tahun : 12 X Rp 30.000,00 ………… Rp 150.000,00 c. Hasil lain-lain (misalnya buruh lepas pembersihan sawah, cari ikan dsb … 100.000,00 Jumlah penghasilan per bulan …………………………
Rp
Rp1.050.000,00
2. Biaya hidup: a. Makan dan keperluan belanja makanan ringan lainnya) Rp 750.000,00 b. Listrik dan lain-lain …………………………………… Rp 150.000,00 Jumlah biaya per bulan …………………………………… Rp 900.000,00 Sisa penghasilan penyadap karet per bulan …………………Rp 150.000,00 Keterangan: *) menyadap karet dilakukan selang sehari Berdasarkan perkiraan penghasilan per bulan buruh penyadap karet di atas, sangat kecil dan memprihatinkan dalam kehidupan mereka. Masyarakat di Desa Bungin dan ini termasuk miskin dan berpenghasilan sangat rendah jika dibandingkan dengan masyarakat dari desa lainnya terutama desa yang berada di kecamatan Paringin Selatan ini. Tertinggal dari sisi ekonomi ini membuat masyarakatnya tertinggal juga dalam segala hal termasuk bidang pendidikan.
C. Pandangan Buruh Penyadap Karet Terhadap Pendidikan Anak-Anak Sejalan dengan kebijakan nasional tentang pendidikan, pemerintah kabupaten juga turut mendukung program pendidikan nasional. Tidak terkecuali di Desa Bungin. Di desa Bungin terdapat sebuah SD, umumnya anak-anak desa ini mengecap pendidikan hanya sampai lulus SD. Dapat dikatakan penduduk Desa Bungin sumuanya melek hurup, karena mereka semua tamat SD. Sangat sedikit mereka dapat melanjutkan ke tingkat SLTP apalagi SLTA. Kegagalan sekolah bagi anak-anaknya disamping keadaan ekonomi lemah tersebut, juga anak-anak berusaha membantu orang tuanya bekerja untuk membantu mencari nafkah walaupun meninggalkan sekolah malah sampai berhenti sekolah. Contohnya adalah anaknya Ibu Innah, Bapak Bani, Ibu Husna dan Ibu Siti Sarah pada dasar sudah lulus SD, tetapi mereka tidak melanjutkan lagi ke jenjang berikutnya. Menurut pengakuan Bapak Bani, di desa itu tidak ada
sekolah SLTP. SLTP
hanya terdapat di Paringin yang jaraknya kira-kira 5 sampai 7 km dari Desa. Akan tetapi jarak sebenarnya bagi orang desa tidak menjadi persoalan. Terbukti anak-anak mereka sering pergi bermain ke Paringin. Alasan lain yang bisa dipertimbangan kebanyakan mereka mengeluh dengan predikat sebagai buruh karet, yang harga karetnya selalu fluktuatif membuat upah yang mereka perolehpun sangat ditentukan harga pasar karet. Kondisi penerimaan upah yang selalu tidak menentu membuat para orang tua tidak terlalu berani menyekolahkan anaknya ke tataran lebih lanjut. Bapak Bani juga berujar, ―Bagi kami, kanakan sakula kada terlalu penting nang panting perihal agama kanakan harus paham. Sakula nagri tamatannya jua bagawi kayak
kami ini jadi buruh jua‖ (Bagi kami, anak-anak sekolah tidak terlalu penting. Paling penting anak harus paham persoalan agama. Tamat sekolah juga, anak bekerja sebagai buruh seperti orang tuanya). Tampaknya mereka merasa, bahwa menyekolahkan anak bukan sesuatu yang harus menjadi prioritas utama. Prioritas utama mereka adalah anak-anaknya memahami agama Islam yang menjadi bekal hidup mereka nanti, ketimbang menyekolahkan anak ke sekolah negri yang tentunya memerlukan dana tambahan yangsangat sukar mereka peroleh. Mereka berupaya untuk mencukupi batas minimal ekonomi subsistennya. Berbeda dengan pandangan Bapak Bani, Ibu Husna dan Ibu Siti Sarah, ketika mengaku punya saudara di Barabai dan Paringin yang secara ekonomi kehidupannya lebih mapan ketimbang mereka/ Kedua ibu itu tidak mau menitipkan anaknya untuk melanjutkan sekolah ke saudaranya, ― Dang sanak kami urang sugih, saikung ampun toko pancarikinan ,di Pasar Barabai, saikung lagi bagawi di kantor Pemda Paringin.Tapi kami kada mau nitip anak gasan sakula. Sabab urusan sakula itu urasan aku sebagai kuitan ― ( Saudara kami orang kaya, seorang mempunyai toko kelontong di Pasar Barabai dan seorang lagi bekerja sebagai Pegawai Negri di Pemda Paringin. Tetapi Ibu Husna dan Ibu Siti enggan menitipkan anaknya kesaudaranya untuk melanjutkan sekolah/ Sebab membesarkan anak adalah tanggung jawab ia sebagai orang tua). Dalam konteks ini, menginformasikan, bahwa masyarakat Desa Bungin masih bergantung pada ekonomi petani, yaitu anak masih dianggap sebagai investasi untuk membantu perekonomia keluarga.
Dengan demikian kemiskinan mempengaruhi pendidikan dan sebaliknya pendidikan juga memperpanjang kemiskinan. Dalam sisi lain, kegiatan yang membangun keharmonisan pertautan sosial di desa bisa saling membantu, tetapi persoalan pendidikan tampak diserahkan kepada individu masing-masing
BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN
A. JARINGAN DAN PERTALIAN SOSIAL ANTAR WARGA DI KAMPUNG Desa Bungin merupakan desa-desa yang telah mengalami perubahan. Katakan saja desa yang tadinya tertutup (closed villages), kini sudah menjadi desa yang terbuka (open villages), yang ditandai dengan; (1) adanya kekaburan batas desa dengan dunia luar, (2) tidak ada larangan bagi pemilikan tanah bagi orang luar dari desa, (3) munculnya kepemilikan tanah secara individu (Popkin, 1986). Walaupun Bungin sudah memiliki predikat desa yang terbuka tetapi relasi antar warga dibangun dengan penuh keakraban dengan membangun jaringan sosial. Jaringan sosial merupakan suatu pengelompokan yang terdiri dari sejumlah orang dan masing-masing mempunyai identitas tersendiri yang satu sama lain dihubungkan melalui hubungan-hubungan sosial ( Suparlan dalam Sumintarsih, 2003). Jaringan sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan yang kerap antar individu berfungsi untuk kepentingan antar individu yang terlibat. Dapat dikatakan jaringan sosial berupa pertalian sosial dari beragam individu yang berorientasi pada individu tertentu. Jaringan sosial antar penduduk di Desa Bungin dapat dikatagorikan jaringan sosial yang terbatas, yaitu hubungan pertemanan antara, antar tetangga dan antar individu. Pertalian sosial di Desa Bungin semakin terlihat ketika di anggota desa mengalami cobaan dari Tuhan. Pertalian sosial ini bisa dijelaskan dengan konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena dalam masyarakat tentang pertukaran timbal balik antar individu ataupun antar kelompok (Sairin, Semedi, dan Hudayana,2002; 43).
Resiprositas akan berlangsung jika hubungan simetris. Hubungan simetris terbangun. Ketika masing-masing fihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peran yang sama dalam proses pertukaran yang sedang berlangsung. Katakan saja ketika suami Ibu Innah meninggal dunia, semua tetangga, guru bahkan kepala desa datang untuk melayat dan mereka memposisikan diri setara. Pilihan rasional yang dipilih oleh Ibu Inna, ketika ia tetap memilih menjadi b uruh karet ketimbang meminta bantuan kepada anaknya dapat dikatakan Popkin (1979) sebagai self-interest yang diartikan sebagai tindakannya hanya untuk kesejateraan diri sendiri.
B. Ikatan Agama, Kerja sama Bidang Agama dan Perayaan Hari Besar Agama Di Desa Bungin seperti kebanyakan masyarakat Banjar lainnya memeluk agama Islam. Ketika mereka membangun relasi sosial dan ketaatannya pada penyelengaraan ibadah, maka kami perlu memahaminya dari konteks agama. Konsep agama dalam penelitian ini tidak sama dengan pemahaman para ahli agama yang memandang agama sebagai perangkat aturan yang datang dari Tuhan untk menata manusia
agar menjadi hambaNya. Agama
yang
dimaksud dalam penelitian adalah bagian dari 7 unsure budaya yang universal. Tujuan dari batasan agama sebagai bagian dari budaya hanya semata untuk menganalisa agama dalam pertalian dengan kebudayaan masyarakat Desa Bungin, sehi ngga dapat memahami fenomena tata laku dalam masyarakat Desa Bungin. Agama menurut Clifford Geertz (1992;50) merupakan sebuah system symbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaaa dan motivasi-motivasi secara kuat dan bertahan secara ajeg dalam diri manusia, dengan cara merumuskan konsepsi-konsepsi tentang
hukum yang berlaku umum dan menyelimuti konsepsi-konepsi itu dengan warna tersendiri tentang hakekat yang nyata sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi yang ada nampaknya secara tersendiri adalah mengenai sesuatu yang nyata. Dengan demikian penggunaan terhadap batas agama dapat menangkap isyarat, yaitu: (1) agama digunakan oleh warga masyarak sebagai pandangan hidup yang berfungsi menjelaskan keberadaan manusia di dunia, dari mana ia bermuasal dan kemana setelah meninggal dunia (Geertz 1992: 55). Pandangan tentang agama ini oleh Achmad Fedyani Saifuddin (1982: 5) dianggap sebagai inti kebudayaan, (2) Agama bukan hanya urusan vertical , melainkan juga urusan horizontal. Dalam kata lain, agama tidak hanya menata urusan antar manusia dengan tuhan melainkan juga menata urusan antar manusia. Dalam konteks ini agama bersifat aktif karena dalam agama kehidupan bermasyarakat berhubung kait dengan kekerabatan, relasi sosial, kepemimpinan, ekonomi, politik agenda ritual seperti hari raya IdulFitri, Idhul Adha, Mauludan dan lain sebagainya. Sikap agama yang operasional ini menginformasikan tentang ikatan keagamaan, kerjasama dalam bidang agama pada masyarakat Desa Bungin. C. Buruh Karet dan Ekonomi Subsisten Masyarakat Desa Bungin umumnya mempunyao predikat sebagai buruh penyadap karet yang tentunya tidak dapat dipastikan berapa rata-rata penghasilan perbulan. Jika bisa dihitung berapa penghasilannya perbulan hanyalah memperoleh angka relative. Hal ini disebabkan factor cuaca yang tentunya berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Dalam konteks ini, kehidupan ekonomi buruh karet Desa Bungin masuk katagori yang oleh Scoot (1983) disebut ekonomi subsisten. Surplus penghasilannya hanya mencukupi (1) membayar pajak atau sewa rumah, (2) membeli atau memperbaiki perkakas yang hilang atau rusak dan
(3) merayakan ritual. Jika surplus penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan ekonomi subsistennya maka ia b erada dalam jurang kemiskinan. Para buruh karet mempunyai moral untuk mendahulukan keselamatan ekonominya.. Akan tetapi seperti apa kata Scoot (1983) para buruh memiliki motivasi moral tentang apa yang dipikirkan dan diyakini oleh mereka.. Dalam pandangan ini dapat dipahami manusia yang bermoral adalah orang-orang yang beriman terhadap agama yang dianutnya yang mereka pelajari, ketahui dan diterimanya. Dalam sisi lain Desa Bungin bukan seperti yang dibayangkan oleh Scoot tentang desa yang tertutup dan memberikan jaminan hidup bagi warganya,yang dapat dikatakan sebagai keromantisan tentang kehidupan manusia komunal, melainkan sudah terbuka. Bayangan tentang buruh yang fatalistis seperti yang digambarkan oleh Scoot menjadi bubrah, ketika para buruh tidak melulu mengandalkan menyadap karet, tetapi juga ia membuka warung, menjadi buruh tani dan mengokulasi karet unggul dan mengikuti arisan. Fenomena ini apabila ditautkan dengan pandangan (Popkin,1979) menjadi terjawab. Hemat Popkin, petani dalam hal ini buruh penyadap karet beranggapan, bawa buruh pertama-tama memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarganya. Ia selalu memperhitungkan kemungkinan hasil yang diperolehnya atas dasar tindakan individual.Berikutnya hubungan sesama mereka selalu mengedepankan kalkulasi menguntungkan diri dan keluarganya. Dalam pandangan Scoot (1972) kehidupan di desa adalah hubungan patron-klien. Para patron adalah para tuan tanah atau pejabat desa, sedangkan kliennya adalah para petani (buruh), sedang relasinya merupakan hubungan timbalbalik, sang patron melindungi kepentingan golongan miskin, sedangkan si miskin member dukungan kepada sang patron. Pandangan inipun dibubrahkan, ketika pemilik lahan perkebunan karet umumnya berasal dari
luar Desa Bungin. Pemilik perkebunan karet jika memakai pandangan Scoot sebagai patron harus melindungi orang miskin, tetapi justru kebalikannya. Kebanyakan pemiliki perkebunan karet malah tidak memperkejakan mereka sebagai buruh diperkebunannya., ataupun meminjamkan tanahnya ungtuk para buruh mengokulasi pohon karet unggul. Jikapun ada itupun ada, karena ada kedekatan emosional antara pemilik dangan buruh. Dalam konteks ini, para pemilik perkebunan atau patron oleh Popkin hubungan dianggap sebagai eksplotasi bukan sebagai hubungan paternal. Dalam konteks ini, para buruh penyadap masuk katagori yang oleh Oscar Lewis ( Menno,1992) disebut sebagai kebudayaan kemiskinan (cultur of proverty) yang dicirikan oleh; (a) tingkat pendidikaan yang rendah; (b) upah rendah dan keamanan kerja yang rendah; (c) jarang memanfaatkan fasilitas kota seperti toko, bank dan rekrasi.
D. Pandangan Buruh Penyadap Karet Terhadap Pendidikan Anak Para buruh di Desa Bungin mengetahui, bahwa anak-anak harus sekolah setinggitingginya seperti yang mereka dengar dari aparat desa, radio ataupun tv. Tetapi bagi mereka pendidikan agama Islam yang harus dilalui, karena itu yang dianggap penting. Begitu juga anak-anak yang kami temui motivasi untuk melanjutkan sekolah negri maksudnya SMPN tidak terlalu kuat, tetapi mereka akan antusias menjawab ketika ditanya tentang mengaji. Membaca fenomena saya teringat analisaa Scoot (1983) tentang perilaku petani di Asia Tenggara, model ini memusatkan tentang apa yang dipikirkan petani tentang dunia yang mereka hadapi, pada pandangan hidup yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan tindakan mereka. Dalam konteks ini, b uruh penyadap karet yang lebih mengutamakan
pendidikan agama ketimbang ke sekolah profane tampaknya lebih mengedepankan moral. Motivasi moral individu seperti kata Wilk (Ahimsa,2003),
dianggap dibentuk oleh ―
culturally specific belief systems : and values‖. Tatalaku manusia dan pilihan-pilihan yang dibuatnya diyakini dibangun oleh ― a desire to do wht is right‖, dan nilai moral ini bersumber pada suatu kosmologi, yaitu ― a culturally patterned view of the universe and the human place within it’ Menurut pandangan di atas, manusia yang memiliki moral adalah orang yang memiliki iman, yang tatalakunya selalu dipandu oleh ´ idea tentang salah dan benar, yang mereka pelajari sejak kecil sehingga mereka ketahui dan diterima oleh hati mereka. Sampai mereka dewasa. Dalam konteks ini asumsi, bahwa jagad moral manusia menentukan atau berpengaruh terhadap perilaku dan pilihan yang dijatuhkan oleh manusia, begitulak kata Wilk ( Ahimsa, 2003).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Status sosial budaya desa Bungin merupakan desa yang terbuka, hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan karet di desa ini yang dimiliki oleh orang luar. Dlam pertalian sosialnya mereka menjalankan sebagaimana yang dikemukakan oleh Scot dan Tonnis bahwa pertalian sosial dibangun melalui hubungan emosional dan kekerabatan. Agama Islam dijadikan inti kebudayaan mereka 2. Keadaan sosial ekonomi, dalam perekonomian mereka berfikir rasional eknomi, artinya mereka tidak hanya sebagai buruh karet tetapi ada usaha lain seperti berjualan kecil-kecilan di depan rumah, pencangkok karet unggul
dan juga adanya arisan. Sementara ada
pergeseran patron dimana dalam pandangan Scot patron melindungi ekonomi petani, sedangkan di desa Bungin ada pertukaran patron, sang patron berperan sebagai kaum berjois, hubungan antara tuan dan buruh 3. Pandangan ttg pendidikan, pendidikan agama lebih diutamakan karena dg pendidikan agaman dia akan menjadiorag baik dari sekaolah
B. Saran 1. Hubungan sisal antar masya agar teteap dipelihara dg mengutamkan kekerabatan ketimbang hubungan yang bersifat sementara melalui peningkatan gotong royong, kegiatan keaagamaan dan kegiatan nasional 2. diperlukan patron dari pemerintah yang mnjadi bapak asuh mereka untuk memberikan pinjaman tanah agar mereka mampu untuk mengembangkan usahanya
3. Pihak intsasi terkait agar bisa bekerja sama dengan tuan guru bahwa sekolah pemerintahpun diwajbkan dalam agama, sehingga pemahaman pendidikan agama maupun sekuler menjadi selataras
DAFTAR PUSTAKA Achmad Fedyani Saifuddin, 1982, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali Amalia.2009. Persepsi Keluarga Pemulung tentang Pendidikan. (Online) (http://www.4buku.com/-persepsi-keluarga-pemulung-tentang-pendidikan--dikelurahan-----pdf.html, diakses 13 Pebruari 2013) Agus
Ruslan. 2007. Agen Sosialisasi Budaya. Artikel. (http://researchengines.com/agusruslan30-5.html, diakses 29 Januari 2013)
(Online)
Dahrendorf, Ralf, 1986, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta; Rajawali Dito
Sunjaya. 2012. Pendidikan Bagi Orang Miskin. Artikel (http://ditosunjaya.blogspot.com/2012/11/ diakaes 10 Pebruari 2013)
(Online)
FauzulAdmin.2012.(Online)(http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/06/orangmiskin-harus-sekolah-467872.html, diakses 7 pebruari 2013) Fromm, Erich 2004, Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Giddens, Anthony,1987, Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Jakarta: Rajawali Hariyanto. 2012. Pentingnya Pendidikan Bagi Kehidupan, (http://belajarpsikologi.com, diakses 06 Januari 2012)
artikel
(online
)
Heddy Shri Ahimsa-Putra,2003, Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yoyakarta: Kepel. Imam Hanafi. 2012. 32 Pelajar Putus Sekolah. Artikel. (Online)(http://www.antar- kalsel.com, diakses 9 Pebruari 2013) Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Lincoln, Ys dan Guba, FG. 1985. Naturalistik Inguiry. Beverly. Hill Sage Publication. Menno, S dan dan Alwi Muslimin.1994. Antropologi Perkotaan. PT. Radja Grafindo, Jakarta.
Miles,M.B dan Huberman, Mihael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia Pers, Jakarta. Mintargo, Bambang. 1999. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta. Moleong, Lexy.J. 1999. Metodologi penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta. Popkin,S.L,1979, The Rational Peasants: The Politic Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: Universitas California Press Scott J. James,1983. Moral Ekonomi Petani. Jakatta: LP3ES. Scott J. J. James,2000, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta : Yayasan Obor. Sudantoko, Djoko dan Hamdani, Muliawan. 2009. Dasar-Dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan. PT. PP. Mardi Mulya. Jakarta. Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. P.T. Rineka Cipta. Jakarta. Sparedly, James. 1997. Metode Etnografi. PT Tiara Wacana. Yogyakarta. Usman, Hardius dan Nachrowi. 2004. Pekerja Anak di Indonesia dan Kondisi, Determinan dan Eksploitasi.(Kajian Kuantitatif). PT. Gramedia, Jakarta.
Gambar 1. Pohon karet lokal
Gambar 2. Pohon karet unggul
Gamabar 3. Wawancara dengan para orang tua desa
Gambar 4. Wawancara dengan seorang warga
GAmbar 5. Wawancara dengan salah satu orang tua yang menjadi Warga pendatang
Gambar 6. Contoh hasil penyadapan yang siap untuk dijual
Gambar 7. Salah seorang warga melakukan proses pencakokan karet unggul
Gambar 8. Salah seorang anak yang putus sekolah (SLTP) melakukan penyadapan