PENGARUH PEMBERIAN SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAPRE-EPITELISASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi)
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH : FARAH NABILLA RAHMA NIM : 1111103000035
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam semoga selalutercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya. Laporan penelitian ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
:
1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. dr. Witri Ardini, M. Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter FKIKUN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku pembimbing 1yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini. 4. dr. Dyah Ayu Woro, M. Biomed selaku pembimbing 2 yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini. 5. dr. Flori Ratnasari, Ph. D selaku penanggung jawab modul riset yang selalu memberikan arahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini. 6. Papa dan mama atas limpahan kasih sayang yang telah diberikan, pengorbanan tanpa pamrih, dukungan yang tidak pernah putus, doa-doa yang selalu dipanjatkan, serta dorongan dan semangat kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Terima kasih atas segala kebaikan dan pelajaran hidup yang luar biasa hingga penulis telah beranjak dewasa. 7. Kakak Azka atas dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis, almarhum Aa Fikri yang telah menjadi teladan yang baik bagi penulis selama hidupnya, serta Firda yang senantiasa menghibur penulis.
v
8. Pusat Konservasi Tumbuhan–Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah bersedia membantu dalam hal determinasi tumbuhan. 9. Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) yang telah membantu dalam hal ekstraksi bahan. 10. iRatCo, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam hal penyediaan hewan coba. 11. Ibu Nurlaely, M. Biomed, Ph. D selaku PJ Laboratorium Animal House, dr. Ahmad Azwar Habibie selaku PJ Laboratorium Anatomi dan dr. Nurul Hiedayati, Ph.D selaku PJ Laboratorium Farmakologi yang telah memberikan izin penggunaan laboratorium. 12. Mbak Dina, Mas Rachmadi, Mas Pandji, Mas Manaf dan laboran-laboran lain yang telah membantu penulis dalam pengambilan data. 13. Teman-teman satu kelompok penelitian, Syifa, Asmie, Seflan dan Audi. Terimakasih atas kerja sama, semangat pantang menyerah, serta dukungan selama ini. Senang sekali dapat bekerja bersama dengan kalian. 14. Sahabat-sahabat Cunteks, Rissa, Mada, Wulan, Anzak, Silmi, dan Riwi. Terimakasih atas semangat, dukungan, perhatian, kebersamaan, serta kasih sayang selama ini. Terimakasih karena selalu ada untuk penulis disaat senang maupun sedih. 15. Teman-teman CIMIN, Adit, Bimo, Madina, Tiara, Fahreza, Hanindyo, Faris, Andhika, Herlina, dan Adichita. Terimakasih atas pengalaman dan kebersamaan yang tidak akan penulis lupakan. 16. Teman-teman lain yang penulis kenal namun tidak sempat tersebutkan. Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan ritik dari berbagai pihak. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat bermanfaaat dengan baik. Ciputat, 16 September 2014
Penulis vi
PENGARUH PEMBERIAN SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAP RE-EPITELISASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley (STUDI PENDAHULUAN LAMA PAPARAN LUKA BAKAR 30 DETIK DENGAN PLAT BESI) (ABSTRAK) Farah Nabilla Rahma Latar Belakang : Daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) memiliki khasiat sebagai obat tradisional yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun binahong terhadap proses re-epitelisasi pada luka bakar tikus Sprague dawley.Metodologi : Penelitian ini bersifat eksperimental deskriptif analitik. Subjek penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih galur Sprague dawley yang dibagi kedalam lima kelompok yaitu K (-), K (+), dan kelompok perlakuan yaitu salep ekstrak daun binahong konsentrasi 10% (P1), 20% (P2), dan 40% (P3). Luka bakar dibuat dengan menempelkan plat besi panas (ukuran 4x2 cm2) selama 30 detik pada bagian punggung bawah tikus. Pemberian salep dilakukan dua kali sehari selama lima hari. Parameter histologi yang digunakan adalah ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis yang diamati secara mikroskopis. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh rerata ketebalan lapisan reepitelisasi pada kelompok K(-) sebesar 17,33 µm, kelompok P1 sebesar 12,71 µm, kelompok P2 sebesar 59,61 µm, kelompok P3 sebesar 22,80 µm, dan kelompok K (+) sebesar 37,32 µm. Hasl uji statistik One Way ANOVA menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dengan nilai p = 0,006 (p<0,050). Simpulan : Kelompok pemberian salep ekstrak binahong konsentrasi 20% memberikan pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan ketebalan lapisan re-epitelisasi. Kata Kunci : Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Luka Bakar, Penyembuhan Luka, Re-epitelisasi
vii
THE EFFECT OF BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) LEAF EXTRACT OINMENT ON RE-EPITHELIALIZATION IN BURN WOUND Sprague dawley RAT (PRELIMINARY STUDY WITH BURN WOUND TIME EXPOSURE IN 30 SECONDS USING METAL PLATE) (ABSTRACT) Farah Nabilla Rahma Background : Binahong leaf have efficacy as a traditional medicine that can accelerate wound healing process. The aim of this research were to study the effectivity of Binahong extract oinment on re-epithelialization in burn wound Sprague dawley rat. Method : This research using experimental analytic descriptive method. The subject in these research were 25 Sprague dawley rats which divided into 5 groups, namely K (-), K (+), and treatment groups with concentration 10% (P1), 20% (P2), and 40% (P3) of binahong leaf extract oinment. Burn wound were made using hot plate (diameter 4x2 cm2) in 30 seconds over lower back. Then surface of wound covered by correspending oinment twice a day in five days. Histologic parameter used in this research were thickness of the re-epithelialization layer which miscroscopically examined. Result : The data showed that average of the thickness of re-epithelialization layer in group K (-) 17,33 µm, group P1 12,71 µm, group P2 59,61 µm, group P3 22,80 µm, and group K (+)37,32 µm. The results of the One Way ANOVA statistical test showed a significant effect with p = 0,006 (p<0,050). Conclusion : Concentration 20% of binahong leaf extract oinment give the highest effect on enhancing the thickness of re-epithelialization layer. Key word : Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Burn Wound, Wound healing, Re-epithelialization
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERYATAAN KEASLIAN KARYA.......................................
ii
KATA PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................
iv
KATA PENGANTAR..................................................................................
v
ABSTRAK.....................................................................................................
vii
DAFTAR ISI.................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL.........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................
15
1.1. Latar Belakang.............................................................................
15
1.2. Rumusan Masalah........................................................................
17
1.3. Hipotesis......................................................................................
17
1.4. Tujuan Penelitian.........................................................................
17
1.4.1. Tujuan Umum.............................................................
17
1.4.2. Tujuan Khusus............................................................
17
1.5. Manfaat Penelitian.......................................................................
17
1.5.1. Bagi Peneliti................................................................
17
1.5.2. Bagi Institusi...............................................................
18
1.5.3. Bagi Keilmuan............................................................
18
1.5.4. Bagi Masyarakat.........................................................
18
1.6. Kerangka Teori............................................................................
18
1.7. Kerangka Konsep.........................................................................
19
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................
20
2.1. Landasan Teori.............................................................................
20
2.1.1. Kulit.............................................................................
20
2.1.2. Binahong.....................................................................
24
2.1.3. Luka Bakar..................................................................
27
2.1.4. Proses Penyembuhan Luka..........................................
32
ix
2.1.5. Silver Sulfadiazine......................................................
39
2.1.6. Vaselin Album.............................................................
39
2.1.7. Adeps Lanae................................................................
39
2.1.8. Tikus Sprague dawley.................................................
40
BAB 3 METODE PENELITIAN.................................................................
41
3.1. Desain Penelitian........................................................................
41
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................
41
3.3.Populasi dan Sampel...................................................................
42
3.4. Variabel Penelitian.....................................................................
42
3.4.1. Variabel Bebas............................................................
42
3.4.2. Variabel Terikat...........................................................
42
3.5. Alur Penelitian...........................................................................
43
3.6. Cara Kerja Penelitian.................................................................
44
3.6.1. Pembuatan Ekstrak Daun Binahong............................
44
3.6.2. Pembuatan Basis Salep................................................
44
3.6.3. Pembuatan Konsentrasi Salep Ekstrak Daun
45
Binahong..................................................................... 3.6.4. Pengujian Sediaan Salep.............................................
45
3.6.5. Etika Penelitian...........................................................
46
3.6.6. Induksi Luka Bakar pada Tikus..................................
46
3.6.7. Pemberian Sediaan Salep pada Tikus..........................
47
3.6.8. Eksisi Jaringan Kulit Tikus.........................................
47
3.6.9. Pembuatan Preparat Histopatologi..............................
47
3.6.10. Pengamatan Preparat Histopatologi............................
47
3.6.11. Penghitungan Ketebalan Lapisan
48
Re-epitelisasi............................................................... 3.7. Managemen dan Analisis Data...................................................
49
3.8. Definisi Operasional...................................................................
49
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................
51
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
59
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
60
x
LAMPIRAN...................................................................................................
64
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.....................................................................
70
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Hasil Analisis Data Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi Epidermis pada Semua Kelompok Perlakuan........................
xii
54
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi Kulit....................................................................
21
Gambar 2.2. Tanaman Binahong............................................................
27
Gambar 2.3. Derajat Luka Bakar...........................................................
33
Gambar 2.4. Proses Re-epitelisasi..........................................................
37
Gambar 2.5. Proses Penyembuhan Luka................................................
40
Gambar 4.1. Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada
52
Kulit Tikus....................................................................... Gambar 4.2. Sampel Jaringan Kulit dengan Pewarnaan HE pada
53
Pembesaran 100x.............................................................. Gambar 4.3. Grafik Rerata Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi...............
53
Gambar 6.1. Surat Keterangan Tikus Sehat...........................................
64
Gambar 6.2. Surat Determinasi Tanaman Binahong..............................
65
Gambar 6.3. Surat Ekstraksi Daun Binahong........................................
66
Gambar 6.4. Pembuatan Salep Ekstrak Daun Binahong........................
67
Gambar 6.5. Pencukuran Rambut pada Punggung Tikus.......................
67
Gambar 6.6. Proses Randomisasi...........................................................
67
Gambar 6.7. Pemanasan Plat Besi........................................................
67
Gambar 6.8. Inhalasi Eter.....................................................................
67
Gambar 6.9. Induksi Luka Bakar.........................................................
67
Gambar 6.10. Tikus Setelah Diinduksi Luka Bakar...............................
68
Gambar 6.11. Pemberan Salep Ekstrak Daun Binahong........................
68
Gambar 6.12. Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada Tikus............
68
Gambar 6.13. Eksisi Jaringan Kulit Tikus.............................................
68
Gambar 6.14. Fiksasi Jaringan Kulit Tikus menggunakan
68
Formalin 10%.................................................................. Gambar 6.15. Proses Pembuatan Preparat Histopatologi.......................
68
Gambar 6.16. Hasil Jadi Preparat Histopatologi....................................
69
Gambar 6.17. Pengamatan Preparat Histopatologi................................
69
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Tikus Sehat.................................................
64
Lampiran 2 Surat Determinasi Tanaman Binahong...................................
65
Lampiran 3 Surat Ekstraksi Daun Binahong..............................................
66
Lampiran 4 Proses Penelitian.....................................................................
67
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Luka bakar sampai saat ini masih menjadi salah satu cedera yang
menimbulkan mordibitas dan mortilitas yang tinggi di masyarakat. Insidensi nya paling tinggi terjadi di lingkungan rumah tangga dimana derajat II menjadi yang paling sering terjadi,1 namun derajat III yang paling berpeluang menimbulkan cacat yang lebih berat karena integritas kulit yang rusak lebih parah bahkan bisa sampai membatasi aktivitas sosial penderitanya pasca kejadian sehingga dapat menambah beban mental penderitanya. Di Indonesia menurut data RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 1998 terdapat 107 kasus luka bakar atau 26,3% dari seluruh kasus bedah plastik yang dirawat. Dari kasus tersebut terdapat lebih 40% merupakan luka bakar derajat II-III dengan angka kematian 37,38%.1,2 Penanganan kasus luka bakar dibutuhkan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi yang ringan sampai yang berat seperti syok hipovolemik dan sepsis. Namun sering kali pengobatan konvensional untuk kasus luka bakar membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga selain kerugian dari segi fisik dan mental, penderita luka bakar juga mengalami kerugian dari segi materi.3 Untuk mengurangi beban materi untuk pengobatan penyakit tertentu, di Indonesia kini sedang banyak berkembang pengobatan tradisional yang memanfaatkan tanaman yang diyakini memiliki khasiat sebagai obat, termasuk salah satunya pemanfaatan tanaman untuk pengobatan luka bakar. Kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan bahanbahan alami. Selain itu, pemerintah melalui Departemen Kesehatan juga telah mendukung pengembangan pengobatan tradisional menggunakan tanaman 15
16
berkhasiat obat melalui dibentuknya Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T).4 Salah satu tanaman yang 5memiliki khasiat dalam pengobatan luka bakar adalah Anredera cordifolia (Tenore) Steenis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan tanaman binahong. Menurut masyarakat selain dapat menyembuhkan luka, tanaman binahong juga dapat digunakan untuk menyembuhkan
diabetes,
pembengkakan
hati,
radang
usus,
dan
reumatik.Bagian tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat salah satunya adalah bagian daun.5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdi Nusa Persada et al didapatkan hasil bahwa tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian topikal daun binahong tumbuk lebih tinggi dibandingkan hidrogel pada gambaran makroskopis, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada gambaran mikroskopis.6 Penelitian lain yang dilakukan oleh Suci Ariani et al didapatkan hasil bahwa pemberian topikal daun binahong tumbuk pada luka terbuka kulit kelinci secara makroskopik luka menjadi terlihat lebih kecil dan kering, sedangkan yang tidak diberi daun binahong terlihat luka masih dalam dan kemerahan. Sedangkan secara mikroskopik pemberian daun binahong pada luka membantu penyembuhan luka dengan pembentukan jaringan granulasi yang lebih banyak dan reepitelisasi terjadi lebih cepat dibandingkan dengan luka yang tidak diberi daun binahong.7 Berdasarkan uraian diatas serta didukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya pengaruh bermakna pada pemberian daun binahong topikal terhadap penyembuhan luka bakar, maka sangat menarik dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih disempurnakan. Antara lain pada penelitian ini menggunakan sediaan topikal ekstrak daun binahong dalam bentuk salep untuk memudahkan aplikasinya di kulit dengan berbagi konsentrasi. Kemudian pengamatan hasil penelitian dilakukan dengan lebih teliti yaitu secara histopatologis menggunakan parameter kecepatan proses re-epitelisasi lapisan epidermis dengan cara menilai ketebalannya. Hal tersebut dikarenakan penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh proses re-epitelisasi, dimana
17
semakin cepat proses re-epitelisasi maka semakin cepat luka tertutup, sehingga semakin cepat pula penyembuhan luka terjadi.8
1.2.
Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh pemberian salep ekstrak daun binahong
(Anredera cordifolia(Tenore) Steenis)pada konsentrasi 10%, 20% dan 40% terhadap proses re-epitelisasi pada luka bakar dengan lama paparan 30 detik tikusSprague dawley?
1.3.
Hipotesis Terdapat pengaruh pada penyembuhan luka bakar dengan lama paparan 30 detik tikus Sprague dawleyakibat pemberian salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore) Steenis)pada konsentrasi 10%, 20% dan 40% berupa peningkatan ketebalan lapisan re-epitelisasi.
1.4.
Tujuan 1.4.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap proses reepitelisasi pada luka bakar dengan lama paparan 30 detik tikus Sprague dawley. 1.4.2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui ketebalan lapisan re-epitelisasi pada luka bakar dengan lama paparan 30 detik tikus Sprague dawley antara kelompok yang diberi salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) pada konsentrasi 10%, 20% dan 40% .
1.5.
Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan peneliti dalam hal pengaruh pemberian ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore) Steenis) terhadap proses penyembuhan luka bakar.
18
Mengaplikasikan ilmu mengenai penelitian ilmiah yang sebelumnya telah dipelajari selama fase preklinik.
1.5.2. Bagi Insitusi
Memberikan kontribusi dalamkemajuan bidang penelitian ilmiah Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.5.3. Bagi Keilmuan
Mendukung penelitian lain di bidang yang sama.
1.5.4. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan tentang manfaat daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore) Steenis) sebagai pengobatan alternatif untuk perawatan luka bakar.
Menambah ilmu pegetahuan mahasiswa kedokteran lain dalam hal pengaruh pemberian ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap proses penyembuhan luka bakar.
1.6.
Kerangka Teori Ekstrak daun binahong
Saponin
Asam oleanolik
Flavonoid Antioksidan
↑ ekspresi faktor-faktor yang berperan dalam proliferasi sel keratinosit
↑ kecepatan migrasi sel keratinosit
↑ proses reepitelisasi epidermis
Menekan reaksi inflamasi Mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas
19
1.7.
Kerangka Konsep Salep ekstrak daun binahong
Luka bakar derajat III
Re-epitelisasi epidermis
↑ migrasi keratinosit
↑ proliferasi keratinosit
↑ kecepatan penutupan luka
↑ ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis
Proses penyembuhan luka lebih cepat terjadi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kulit 2.1.1.1. Anatomi Kulit Kulit adalah suatu organ yang membungkus seluruh permukaan tubuh, merupakan organ terbesar dari tubuh manusia baik dari segi berat maupun luas permukaannya. Pada orang dewasa, kulit menutupi area dengan luas sekitar dua meter persegi dengan berat 4,5- 5 kg, yaitu sekitar 16% dari total berat tubuh. Ketebalannya juga bervariasi dari 0,5 mm yang terdapat pada kelopak mata sampai 4,0 mm yang terdapat pada tumit. Secara struktural kulit terdiri dari dua bagian utama, yaitu epidermis yang terletak di superfisial dan terdiri atas jaringan epitelial, serta dermis yang terletak lebih dalam dan terdiri dari jaringan penunjang yang tebal.9
Gambar 3.1. Anatomi Kulit Sumber : Tortora, 2011 20
21
Epidermis Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis memiliki empat tipe sel, yaitu sel keratinosit (90%), melanosit, Langerhans, dan Merkel.9 Epidermis terdiri dari lima lapisan sel, dari yang terluar sampai yang terdalam yaitu : a. Stratum korneum Terdiri dari beberapa lapisan sel-sel yang mati, tidak lagi memiliki inti sel, dan banyak mengandung keratin. Lapisan ini secara terus-menerus akan mengelupas dan digantikan oleh sel-sel dari lapisan kulit yang lebih dalam. Lapisan-lapisan sel yang telah mati tersebut juga membantu memberikan perlindungan pada lapisan yang kulit yang lebih dalam dari trauma dan invasi mikroba.9 b. Stratum lusidum Lapisan ini hanya terdapat pada daerah tertentu seperti ujung jari, telapak tangan, telapak kaki. Terdiri dari tiga sampai empat lapisan sel jernih serta banyak mengadung keratin.9 c. Stratum granulosum Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.10 d. Stratum spinosum Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, filamen-filamen tersebut dianggap memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malphigi. Terdapat sel Langerhans.10
22
e. Stratum basalis Lapisan ini merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh selapis sel kuboid atau kolumnar dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan dermis. Mengandung tonofilamen, stem cell untuk pembelahan sel menghasilkan keratinosit baru, melanosit sebagai pembuat pigmen melanin kulit serta sel Merkel.9 Di dalam lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel tadi bergeser ke lapisanlapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel tanduk.11
Dermis Dermis tersusun atas jaringan ikat kuat yang mengandung serat
kolagen dan elastin. Jaringan serat tersebut memiliki kekuatan meregang yang kuat. Sel-sel yang terdapat pada dermis utamanya adalah fibroblas, sedikit makrofag, dan adiposit didekat batasnya dengan lapisan subkutan. Pembuluh darah, saraf, kelenjar, dan folikel rambut juga tertanam di lapisan dermis. Berdasarkan struktur jaringannya, dermis dapat dibagi menjadi pars papiler yang letaknya superfisial dan pars retikuler yang letaknya dalam. Lapisan papiler tersusun atas jaringan ikat longgar dengan serat kolagen tipis dan serat elastin halus, serta terdapat reseptor taktil yang disebut korpuskel Meissner dan ujung saraf bebas yang sensitif terhadap sentuhan. Sedangkan pars retikuler tersusun atas fibroblas, kolagen, dan serat elastin. Sel-sel adiposa, folikel rambut, saraf, kelenjar sebasea dan sudorifera menempati ruang diantara serat-serat tersebut. Kombinasi antara serabut kolagen dan elastin pada pars retikularis memberikan kekuatan, ekstensibilitas, serta elastisitas pada kulit.9
Hipodermis Kulit melekat ke jaringan di bawahnya (otot atau tulang) melalui
hipodermis, yang juga disebut dengan jaringan subkutis, suatu lapisan jaringan ikat longgar. Sebagian besar sel adiposa terdapat di dalam hipodermis, disebut sebagai jaringan adiposa.12
23
2.1.1.2. Fisiologi Kulit
Termoregulasi Kulit ikut serta dalam pengaturan termoregulasi tubuh melalui dua
mekanisme, yaitu dengan mengeluarkan keringat melalui permukaannya dan mengatur aliran darah yang terdapat pada dermis. Pada keadaan suhu yang meningkat, produksi keringat oleh kelenjar keringat akan meningkat dimana penguapan keringat dari permukaan kulit membantu menurunkan temperatur tubuh. Selain itu, pembuluh darah akan berdilatasi sehingga aliran darah lebih banyak yang melalui dermis sehingga meningkatkan jumlah pengeluaran panas dari tubuh. Sedangkan pada keadaan suhu yang menurun, produksi keringat oleh kelenjar keringat menurun, membantu dalam penyimpanan panas. Selain itu, pembuluh darah akan berkonstriksi yang akan menurunkan aliran darah melalui kulit sehingga menurunkan kehilangan panas dari tubuh.9 a. Proteksi Kulit memberikan
proteksi
bagi
tubuh
melalui
berbagai
mekanisme. Keratin melindungi jaringan dibawahnya dari mikroba, abrasi, panas, dan bahan kimia. Lipid yang dilepaskan oleh granula lamellar menghambat penguapan air dari permukaan kulit sehingga melindungi dari dehidrasi, selain itu juga mencegah air melintasi permukaan kulit selama mandi atau berenang. Minyak yang dihasilkan kelenjar sebasea menjaga kulit dan rambut dari kekeringan dan mengandung zat bakterisidal yang dapat membunuh bakteri. Pigmen melanin membantu melawan efek dari sinar ultraviolet. Sel Langerhans merupakan sistem imun pada kulit untuk mendeteksi
adanya
invasi
mikroba
dengan
mengenali
dan
menghancurkannya, sedangkan makrofag bertugas memfagosit bakteri dan virus.9 b. Ekskresi dan absorbsi Kulit ikut berperan dalam ekskresi zat dari dalam tubuh. Meskipun bersifat waterproof, air masih dapat melakukan evaporasi melalui permukaan, dimana sekitar 400 ml air terevaporasi. Selain itu, dengan adanya kelenjar keringat, kulit mengekskresikan keringat
yang
24
mengandung garam, karbon dioksida, amonia, dan urea. Selain berfungsi mengeluarkan zat sisa, berkeringat juga berperan dalam fungsi termoregulasi tubuh.Sebum yang diproduksi oleh kulit juga berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.9 Sedangkan fungsi absorpsi yang dimiliki kulit memfasilitasi masuknya zat dari lingkungan eksternal menuju sel tubuh. Namun tidak semua zat dapat masuk karena hanya zat tertentu yang larut dalam lemak, misalnya vitamin A, D, E, K serta oksigen dan karbon dioksida. Selain itu, zat yang bersifat toksik juga dapat terabsorpsi oleh kulit. Fungsi absorpsi ini juga memungkinkan obat-obatan yang aplikasinya secara topikal mampu masuk hingga bagian dermis kulit.9 c. Sintesis vitamin D Epidermis membentuk vitamin D jika terdapat sinar urltaviolet (UV)
dari matahari. Jenis sel yang menghasilkan vitamin D belum
diketahui pasti. Vitamin D, yang berasal dari molekul prekursor yang berkaitan erat dengan kolesterol, mendorong penyerapan Ca2+ dari saluran cerna ke dalam darah.11Hanya sedikit pajanan sinar sinar UV yang dibutukan untuk sintesis vitamin D.9 d. Persepsi Terdapat berbagai macam ujung saraf bebas dan reseptor yang terdapat di kulit yang mampu mendeteksi sensasi taktil seperti sentuhan, tekanan, dan getaran serta sensasi termal seperti rasa dingin atau panas. Sensasi lain misalnya adalah nyeri yang merupakan indikasi sedang terjadinya kerusakan jaringan.9
2.1.2. Binahong(Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) 2.1.2.1. Klasifikasi Menurut Badan POM RI, klasifikasi binahong adalah sebagai berikut12 : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
25
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Caryophyllales
Suku
: Basellaceae
Marga
: Anredera
Jenis
: Anredera cordifolia (Tenore) Steenis
2.1.2.2. Nama Umum13 Indonesia
: Binahong
Cina
: Dheng San Chi
Inggris
: Heartleaf madeiravine
Latin
: Bassela rubra linn
2.1.2.3. Asal dan Habitat Binahong merupakan tanaman yang konon berasal dari Amerika Selatan. Binahong mudah tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Banyak dibudidayakan sebagai taman hias atau obat herbal, di dalam pot, halaman, pekarangan, atau kebun. Habitat tanaman binahong adalah sebagai gulma dihutan, ditepi saluran air dan daerah tepi sungai, kebun, taman, diantara tanaman perkebunan, dan dipinggir jalan, yang beriklim basah, daerah tropis dan sub-tropis. Tanaman menjalar memanjat pada batang tanaman pepohonan yang tumbuh lebih kuat dari vegetasi lainnya hingga tinggi 30 meter, dan berumur panjang (perenial).14
2.1.2.4. Morfologi Bentuk tanaman binahong berupa tumbuhan menjalar, berumur panjang lebih dari 6 meter. Memiliki batang yang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Memiliki daun tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung
26
runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, serta bisa dimakan. Memiliki bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputihputihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1 cm, dan berbau harum. Akar berbentuk rimpang dan berdaging lunak.12
Gambar 3.2. Tanaman Binahong
2.1.2.5. Perkembangbiakan Perbanyakan tanaman dapat dilakukan secara generatif atau melalui biji, namun lebih sering diperbanyak atau dikembangbiakan secara vegetatif melalui akar rimpangnya. Tanaman binahong lebih suka tumbuh pada tanah dengan humus yang tebal, berpasir ringan, tanah liat sedang, dengan drainase yang baik, serta toleran terhadap kekeringan. Tanaman binahong tumbuh dengan baik pada kondisi setengah teduh atau teduh.14
2.1.2.6. Zat Aktif dan Khasiat Tanaman binahong mengandung fenol, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid dan alkaloid. Senyawa fenolik dan flavonoid dapat berperan langsung sebagai antibiotika dengan mekanisme kerja menghancurkan dinding sel bakteri, serta memiliki aktivitas sebagai
27
antioksidan. Senyawa terpenoid adalah senyawahidrokarbon isometrik yang membantu proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel tubuh. Saponin mempunyai fungsi menurunkan kolesterol karena mempunyai aktivitas sebagi antioksidan. Kandungan saponin, fenolik dan flavonoid dalam tanaman ini memiliki aktifitasantibiotik sebagaimana golongan tetrasiklin dan penisilin.15Daun binahong juga memiliki kandungan asam askorbat dan total fenol yang cukup tinggi.5 Kandungan asam askorbat dapat meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, berfungsi dalam
pemeliharaan
membran
mukosa,
serta
mempercepat
penyembuhan.
2.1.3. Luka Bakar 2.1.3.1.
Definisi Luka bakar adalah kerusakan jaringan pada kulit akibat terpajan panas tinggi, bahan kimiawi maupun arus listrik.Luka bakar merupakan trauma yang sering terjadi dan dapat terjadi dimana saja,17 serta memiliki tingkat
morbiditas
dan
mortalitas
tinggi
yang
memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.1
2.1.3.2. Insidensi Berdasarkan data statistik pada unit pelayanan khusus luka bakar RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus luka bakar atau 26,3%dari seluruh kasus bedah plastik yang dirawat. Dari kasus tersebut terdapat lebih 40% merupakan luka bakar derajat II-III denganangka kematian 37,38%.1,2 Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan yang terbanyak adalah luka bakar derajat II.1 Insiden puncak luka bakar pada orang dewasa muda terdapat pada usia 20-29 tahun, diikuti oleh anak umur 9 atau lebih muda. Luka bakar jarang terjadi pada usia 80 tahun ke atas. Pada anak di bawah usia 3 tahun, penyebab luka bakar paling umum adalah kecelakaan. Pada usia 3-14 tahun, penyebab paling sering adalah dari nyala api yang
28
membakar pakaian. Usia yang lebih dewasa sampai 60 tahun paling sering disebabkan oleh kecelakaaan industri.17
2.1.3.3. Etiologi Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi19 : a. Luka bakar karena api b. Luka bakar karena air panas c. Luka bakar karena bahan kimia d. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi e. Luka bakar karena sengatan sinar matahari f. Luka bakar karena tungku panas atau udara panas g. Luka bakar karena ledakan bom
2.1.3.4. Patofisiologi Kerusakan jaringan akibat aliran panas saat terjadinya luka bakar tergantung dari beberapa faktor, antara lain suhu sumber panas, lamanya kontak dengan sumber panas serta jaringan tubuh yang terkena.20 Ketika jaringan kulit terpajan suhu tinggi, sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna. Antara 440-550 C, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap derajat kenaikan temperatur . Diatas 510 C, protein terdenaturasi dan kecepatan kerusakan jaringan sangat hebat. Temperatur diatas 700C menyebabkan kerusakan selular yang sangat cepat dan hanya periode pemaparan yang sangat singkat yang dapat ditahan oleh tubuh.17 Perubahan biokimia dan fisik yang mengakibatkan kematian sel pada kerusakan jaringan akibat luka bakar belum diketahui, namun diduga sebagai akibat denaturasi protein dan menurunnya aktivitas enzim. Enzim-enzim tertentu terutama yang berperan dalam siklus Krebs aktivitasnya menurun karena panas, mengakibatkan penurunan produksi ATP sehingga terjadi kematian sel.19
29
Luka bakar akan menyebabkan gangguan utamanya pada kulit, pembuluh darah dan elemen darah, metabolisme dan hemodinak. Efek luka bakar pada kulit yaitu menyebabkan kehilangan cairan tubuh serta terganggunya sistem pertahanan terhadap invasi kuman. Evaporasi cairan melalui permukaan tubuh akan meningkat pada luka bakar. Evaporasi cairan pada luka bakar derajat II dan III akan disertai dengan meningkatnya kehilangan panas tubuh. Tiap gram evaporasi cairan dari permukaan tubuh akan disetai kehilangan panas sebesar 0,575 kkal. Peningkatan kehilangan panas ini akan disertai dengan peningkatan kebutuhan oksigen, dimana keadaan tersebut akan meningkatkan metabolisme tubuh dan produksi energi untuk dapat mempertahankan homeostasis panas tubuh.19 Luka bakar seringkali tidak steril, sehingga dapat menjadi medium yang baik untuk pertumbuhan kuman yang akan mempermudah terjadinya infeksi. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berasal dari kulit pasien itu sendiri, kontaminasi kuman dari saluran napas atas atau kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik. Infeksi akibat luka bakar menjadi sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.19 Efek luka bakar pada integritas pembuluh darah yaitu meningkatnya permebilitas pembuluh darah dan kapiler sekitar luka. Cairan dan protein dengan cepat akan meninggalkan pembuluh darah ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema. Awalnya cairan yang berada di daerah luka bakar akan diresorbsi oleh sistem limfe, tetapi kemudian kehilangan cairan akan bertambah berat karena melebihi kemampuan resorbsi sistem limfe. Kehilangan cairan terutama terjadi dalam 24 jam pertama, karena setelah 48 jam permeabilitas kapiler akan kembali normal. Berkurangnya cairan kaya protein dari sirkulasi akan menyebabkan syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah
30
menurun dan produksi urin yang berkurang. Edema terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.1,2 Berkurangnya volume plasma akan diikuti berkurangnya volume sel darah merah, umumnya terjadi pada 24 jam pertama.19 Luka bakar juga menyebabkan perubahan metabolisme dan hemodinamik, yang terbagi kedalam 3 fase yaitu fase syok, katabolik, dan restoratif. Perubahan hemodinamik ditandai dengan adanya takikardi, hipotensi, perubahan kardiak output dan vasokonstriksi perifer. Perubahan kardiak output terjadi pada tahap awal setelah trauma termal yang
merupakan
akibat
dari
hipovolemi.
Hipovolemi
juga
mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan aktivitas adrenergik dengan manifestasi klinik beruupa oliguria, penurunan GFR, retensi Na, dan ekskresi K. Aktivitas hormon adrenal memegang peranan penting pada fase syok. Peningkatan aktivitas korteks adrenal akan merangsang hipotalamus dan hipofisis.19 Secara klinis defek metabolik yang jelas pada fase luka terbuka adalah balans nitrogen negatif. Selama fase katabolik akan terjadi kekurangan energi yang besar, keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya evaporasi cairan dan kehilangan panas melalui luka bakar.19
2.1.3.5.Fase Luka Bakar a. Fase Akut Pada fase ini pasien terancam mengalami gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik.18 b. Fase Subakut Luka yang terjadi pada fase akut dapat menyebabkan beberapa masalah lain seperti Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis.18,19
31
c. Fase Lanjut Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain.18,19
2.1.3.6. Derajat Luka Bakar Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.Kedalaman luka bakar diartikan sebagai derajat luka bakar, yang dibagi menjadi : a. Derajat I Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis, kulit hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, edema lokal, dan terasa nyeri karena ujungujung saraf sensorik teriritasi yang akan menghilang setelah 48 jam kecuali bila luka bakar luas. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 5 10 hari tanpa pengobatan khusus dan tanpa timbul jaringan ikat.18,19 b. Derajat II Kerusakan meliputi seluruh epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, edema subkutan, eritema, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.Dibedakan atas dua bagian :
Derajat II dangkal/ superficial (IIA) Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
dermis. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatriks, apabila terjadi infeksi sekunder maka proses penyembuhan akan lebih lama.18,19
Derajat II dalam / deep (IIB) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa
jaringan epitel tinggal sedikitPenyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Regenerasi epitel dengan granulasi vaskuler terjadi dalam waktu 2 – 3 minggu.18,19
32
c. Derajat III Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung – ujung sensorik rusak.Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan seta akan meninggalkan jaringan parut.18,19,20
Gambar 3.3. Derajat Luka Bakar Sumber : Tortora, 2011
2.1.4. Proses Penyembuhan Luka Setiap terjadi luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional yang sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).
33
Proses penyembuhan luka terdiri atas 4 fase, yaitu : a. Fase Inflamasi Fase inflamasi dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama sekitar 3 hari setelah cedera. Fase inflamasi ditandai dengan adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan kulit. Pembuluh darah yang mengalami kerusakan akibat cedera akan segera berkonstriksi. Konstriksi ini, atau spasme vaskular, memperlambat darah mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah. Mekanisme yang mendasari hal ini belum jelas tetapi diperkirakan merupakan suatu respon intrinsik yang dipicu oleh suatu zat parakrin yang dilepaskan secara lokal dari lapisan endotel pembuluh darah yang cedera. Pembuluh darah yang cedera juga akan mengaktifkan trombosit oleh kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa di jaringan ikat di bawah endotel. Setelah teraktifkan, trombosit akan cepat melekat ke kolagen dan membentuk sumbat trombosit hemostatik di tempat cedera. Sumbat trombosit tersebut secara fisik akan menambal kerusakan pembuluh darah yang terjadi.21 Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler oleh stimulasi saraf sensoris dan adanya substansi vasodilator yaitu histamin, serotonin dan sitokin. Histamin selain menyebabkan
vasodilatasi
juga
mengakibatkan
meningkatnya
permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan. Sitokin yang teraktivasi meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-likeGrowth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan TransformingGrowth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.10 Kemotaksis
mengakibatkan
terjadinya
diapedesis
leukosit.
Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran pada luka. Limfosit dan monosit kemudian akan muncul
34
untuk melakukan fagositosis.20Agregat trombosit juga akan mengeluarkan mediatorinflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkanoleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesiskolagen.10 b. Fase Proliferasi Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Terdapat tiga proses utama dalam fase ini, antara lain pembenukan sawar permeabilitas
(re-epitelisasi),
migrasi
dan
proliferasi
fibroblas,
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), serta deposisi matriks ekstraseluler. Dalam 3 sampai 5 hari, terbentuk suatu jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Istilah jaringan granulasi berasal dari gambaran makroskopisnya yang berwarna merah muda, lembut, dan bergranula. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam matriks ekstraseluler yang longgar.20Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel
inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru
tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik.22 Rekrutmen dan stimulasi fibroblas dikendalikan oleh banyak faktor pertumbuhan meliputi PDGF, bFGF, dan TGF-beta. Sumber dari berbagai faktor ini antara lain dari endotel teraktivasi dan sel radang terutama makrofag. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berproliferasi serta mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam hialuronidase, fibronektin dan proteoglikan yang berperan dalam merekonstruksi jaringan baru.20
35
Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh darah kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Empat tahapan umum yang terjadi di dalam perkembangan pembuluh darah kapiler baru adalah21 :
Degradasi proteolitik pada pembuluh darah induk membran basalis, memungkinkan pembentukan suatu tunas kapiler.
Migrasi sel endotel dari kapiler asal menuju suatu rangsang angiogenik.
Proliferasi sel endotel di belakang ujung terdepan sel yang bermigrasi.
Maturasi sel endotel dengan penghambatan pertumbuhan dan penataan menjadi pembuluh kapiler; tahapan ini mencakup rekrutmen dan proliferasi perisit dan sel otot polos untuk menyokong pembuluh endotel dan untuk memberikan fungsi tambahan. Beberapa sitokin yang menginduksi angiogenesistermasuk basic
fibroblast growth faktor (bFGF), asidic FGF (aFGF), transforming growth factor α β (TGF α β) dan epidermal growth factor (eFGF). FGF pada percobaan invivo merupakan subtansi poten dalam neovaskularisasi.22 Proses
selanjutnya
adalah
re-epitelisasi,
dimana
fibroblas
mengeluarkan KGF (Keratinocyte Growth Factor) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Re-epitelisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Karakteristik proses re-epitelisasi pada penyembuhan luka yaitu terjadinya perluasan secara progresif dari lapisan keratinosit yang diawali dari tepi luka melintasi permukaan dermis yang terekspos.23 Secara umum, re-epitelisasi melibatkan beberapa proses, yaitu migrasi keratinosit epidermal dari tepi luka, proliferasi keratinosit yang digunakan untuk menambah
epithelial tongue yang meningkat dan
bermigrasi, diferensiasi neo-epithelium menjadi epidermis yang berlapis, pengembalian zona membran basal yang utuh yang menghubungkan
36
epidermis dengan dermis di bawahnya, dan repopulasi sel-sel khusus yang mengatur fungsi sensoris (sel Merkel), pigmentasi (melanosit), dan fungsi imun (sel Langerhans).23Stimulator reepitelisasi
ini belum diketahui
secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGFβ, PDGF danIGF λ.22
Gambar 3.4. Proses Re-epitelisasi Epidermis Sumber : Savagner, 2005
Migrasi keratinosit epidermal merupakan fase yang krusial dalam proses re-epitelisasi pada penyembuhan luka. Keratinosit teraktivasi oleh adanya reaksi inflamasi tahap awal, dimana terjadi perekrutan sitokinsitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan yang kemudian menginisiasi pengaktifan sel-sel keratinosit di membran basal. Keratinosit kemudian mengalami perubahan fenotip parsial yang mengakibatkan bentuknya menjadi lebih datar dan motil, serta terputusnya sebagian besar desmosom interseluler.28 Karena telah terjadi pemutusan ikatan hemidesmosom antara membran basal dan epidermis, mengakibatkan sel-sel pada dermis dan epidermis tidak lagi melekat satu sama lain sehingga memungkinkan untuk terjadinya migrasi ke arah lateral dari sel-sel epidermal. Migrasi sel terjadi secara aktif yang difasilitasi oleh adanya penonjolan sitoplasma keratinosit yang disebut dengan filipodia dan lamellipodia.25 Satu sampai dua hari setelah terjadi luka, sel-sel epidermal pada tepi luka mulai berproliferasi dibelakang sel-sel yang sedang bermigrasi
37
aktif. Berbeda dengan tahap migrasi keratinosit epidermal yang berlangsung secara migrasi aktif, pada tahap ini tergolong bersifat translokasi pasif dari sel-sel marginal yang telah tebentuk sebelumnya pada tahap migrasi epidermal. Stimulus proses migrasi dan proliferasi selsel epidermal belum dapat ditentukan, namun terdapat beberapa kemungkinan. Ketiadaannya sel-sel epidermal disekitar tepi luka kemungkinan merupakan sinyal untuk terjadinya proses migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal. Pelepasan lokal dari faktor pertumbuhan dan peningkatan ekspresi dari reseptor faktor pertumbuhan mungkin juga menstimulasi proses tersebut.24 Setelah berlangsungnya proses re-epitelisasi, protein membran basal kembali muncul dalam pola yang sangat teratur mulai dari tepi luka bagian dalam membetuk seperti pola risleting. Sel-sel epidermal kemudian kembali ke fenotip normalnya, kemudian kembali membuat ikatan yang kuat antara membran basal dan dermis yang berada tepat dibawahnya.25 c. Fase Maturasi Fase maturasi merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka yang memerlukan waktu lebih dari satu tahun, bergantung pada kedalaman dan luas luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan reorganisasi dan akan menguat setelah beberapa bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan
terbentuknya
jaringan
baru
menjadi
jaringan
penyembuhan yang kuat dan bermutu. Scab atau keropeng akan lepas dari permukaan luka setelah lapisan epidermis telah terbentuk kembali dengan ketebalan sama seperti kulit yang sehat. Ketika proses penyembuhan mengalami kemajuan, jumlah fibroblas yang berproliferasi dan pembuluh darah baru akan berkurang, namun secara progresif fibroblas akan lebih mengambil fenotip sintesis sehingga terjadi peningkatan deposisi matriks ekstraseluler. Terbentuk asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan dalam pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler.Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks. Serat kolagen pada permulaan terdistribusi acak
38
membentuk persilangan dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.22 Secara
khusus,
sintesis
kolagen
perkembangan kekuatan pada tepat
sangat
penting
untuk
penyembuhan luka. Namun,
penumpukan kolagen yang sebenarnya tidak hanya bergantung pada peningkatan sintesis, tetapi juga pada degenerasi kolagen. Pada akhirnya, bangunan dasar jaringan granulasi berkembang menjadi suatu jaringan parut yang sebagian besar terdiri atas fibroblas inaktif berbentuk kumparan, kolagen padat, fragmen jaringan elastis, dan komponen matriks ekstraseluler lainnya. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.21 Remodeling
kolagen
selama
pembentukan
jaringan
tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen
parut yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan tinggi sintesis kolagen mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup.22 Saat jaringan parut menjadi matang, akhirnya regresi pembuluh darah akan mengubah jaringan granulasi yang sangat banyak pembuluh darahnya menjadi suatu jaringan parut yang pucat dan sangat avaskular. Kolagen muda yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik.21 Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak lagi mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
39
(b)
(a)
Gambar 3.5. Proses Penyembuhan Luka. (a) Fase Inflamasi ; (b) Re-epitelisasi dan Neovaskularisasi Sumber : Singer, 1999
2.1.5. Silver Sulfadiazine Sampai saat ini Silver Sulfadiazine masih digunakan sebagai obat standar untuk pengobatan luka bakar terutama derajat II dan III. Krim ini memliki dua komponen zat aktif yaitu silver dan sulfadiazine dengan kadar 1% yang terdispersi secara merata dalam bentuk butiran-butiran halus dengan zat pembawa berbentuk krim dan bersifat hidrofilik. Bersifat bakteriostatik dan mempunyai spektrum luas terhadap kuman Gram positif maupun negatif. Komponen vehikulumnya berupa emulsi oil in water yang larut dalam air. Pengemulsian ini berguna untuk meningkatkan kecepatan absorbsi perkutan dan mempermudah penetrasi kedalam luka bakar.23
2.1.6. Vaselin Album Vaselin album adalah golongan lemak mineral diperoleh dari minyak bumi. Titik cair sekitar 10-50°C, mengikat 30% air, tidak berbau, transparan, konsistensi lunak. Sifat dasar salep hidrokarbon ini sukar dicuci, tidak mengering dan tidak berubah dalam waktu lama. Salep ini digunakan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai penutup (oklusif).26
40
2.1.7. Adeps Lanae Adeps lanae ialah lemak murni dari lemak bulu domba, keras dan melekat sehingga sukar dioleskan, mudah mengikat air. Adeps lanae hydrosue atau lanolin ialah adeps lanae dengan akua 25-27%.Salep ini dapat dicuci namun kemungkinan bahan sediaan yang tersisa masih ada walaupun telah dicuci dengan air.28
2.1.8. Tikus Sprague dawley Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley merupakan salah model tikus yang banyak digunakan dalam penelitian biomedik. Tingkat reproduksinya sangat baik, mudah dalam penanganan karena sifatnya yang tenang dan memiliki masa hidup tikus ini sekitar 2,5-3,5 tahun. Tikus ini memiliki rasio panjang ekor dengan panjang badan yang lebih besar daripada galur Wistar. Berat badan dewasa pada betina adalah 250- 400 gram, sedangkan pada jantan adalah 450-520 gram.26
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1.
Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental deskriptif analitik.
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Animal House, Laboratorium Farmakologi, dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Januari sampai Agustus 2014.
3.3.
Populasi dan Sampel Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) kelamin jantan galur Sprague dawley yang dibagi dalam 5 kelompok secara random dengan cara pengundian. Besar sampel yang digunakan sebanyak 25 ekor tikus putih, dihitung berdasarkan rumus Federer yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15 dimana t = banyaknya kelompok tikus dan n = jumlah tikus tiap kelompok.29 (t-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15 4 (n-1) ≥ 15 4n – 4 ≥ 15 4n ≥ 19 n ≥ 4.75 (n=5)
Berdasarkan rumus diatas sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan adalah sebanyak 5 sampel sehingga memenuhi syarat dalam banyaknya sampel yang digunakan. Jumlah kelompok yang digunakan 41
42
adalah sebanyak 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada. Pembagian tersebut dilakukan secara random dengan cara pengundian. Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan kriteria-kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi antara lain tikus galur Sprague dawley, berbulu putih dan sehat, berjenis kelamin jantan, berusia sekitar 3 bulan, serta memiliki rentang berat badan antara 300-400 gram. Sementara kriteria eksklusi antara lain mati selama aklimatisasi, serta memiliki luka di daerah kulit punggung. Kelima kelompok tersebut terdiri dari : kelompok K(-) adalah kelompok kontrol negatif dimana luka diolesi basis salep; kelompok K(+) adalah kelompok kontrol positif dimana luka diolesi salep Silver Sulfadiazine; kelompok P1 adalah kelompok perlakuan dimana luka diolesi salep ekstrak daun binahong konsentrasi 10%; kelompok P2 adalah kelompok perlakuan dimana luka diolesi salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20%; serta kelompok P3 adalah kelompok perlakuan dimana luka diolesi salep ekstrak daun binahong konsentrasi 40%.
3.4.
Variabel Penelitian
3.4.1. Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah salep ekstrak daun binahong dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40%, basis salep, serta krim silver sulfadiazine. 3.4.2. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ketebalan lapisan reepitelisasi yang terjadi setelah hari kelima perlakuan yang diamati secara mikroskopis.
43
3.5. Alur Penelitian Penyediaan daun binahong segar sebanyak 4kg
Sertifikat
Penyediaan tikus Sprague dawley 25 ekor
Determinasi di LIPI
Adaptasi tikus selama 7 hari, 1 ekor per kandang, makan dan minum secara ad libitum
Dikeringkan dibawah sinar matahari
Penyediaan krim Silver Sulfadiazine
Penyediaan bahan basis salep (vaselin album dan adeps lanae)
Ekstraksi dengan etanol 96% di BALITRO Ekstrak kental
Pembuatan basis salep dan salep ekstrak daun binahong
Pencukuran rambut pada punggung tikus menggunakan gunting, pisau cukur, dan krim cukur Randomisasi menjadi 5 kelompok
Induksi luka bakar pada punggung tikus menggunakan plat besi panas selama 30 detik dengan penekanan
Aplikasi salep 2x sehari selama 5 hari Eksisi jaringan kulit tikus Pembuatan preparat di Deparemen PA FKUI Pengamatan preparat histopatologi Data ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis
Uji statistik
44
3.6.
Cara Kerja Penelitian
3.6.1. Pembuatan Ekstrak Daun Binahong Sampel berupa daun binahong segar didapatkan dari pusat penjualan tanaman binahong di daerah Cisarua kemudian proses pengeringan daun juga dilakukan disana. Tahapannya sebanyak 4 kg daun binahong segar yang tidak terserang hama, penyakit, dan pencemar lainnya dibersihkan dengan air mengalir, kemudian ditiriskan. Selanjutnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil dan dikeringkan dibawah sinar matahari sampai sampel tersebut benar-benar kering, proses ini membutuhkan waktu hingga tiga hari jika cuaca sedang tidak hujan. Selanjutnya daun binahong kering sebanyak 530,6 gram dibawa ke Balai Tamanan Obat dan Aromatik (BALITRO) untuk dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% oleh tenaga laboratorium disana. Hasil yang didapat berupa ekstrak kental daun binahong sebanyak 26,2 gram. (Gambar lihat Lampiran 4).
3.6.2. Pembuatan Basis Salep Pembuatan basis salep dilakukan sendiri oleh peneliti di Laboratorium Farmakologi. Basis salep yang akan digunakan adalah basis berlemak yaitu adeps lanae dan vaselin album. Sebelumnya adeps lanae dan vaselin album dipanaskan agar melebur diatas air yang mendidih menggunakan baker glass, cawan porselen, hot plate stirrer, dan spatula. Kemudian, adeps lanae dan vaselin album dicampur menggunakan lumpang dan alu yang sebelumnya disiram dengan menggunakan air panas dengan suhu 500C. Setelah itu campuran tersebut diaduk dengan kecepatan konstan hingga homogen dan terbentuk basis salep. Basis salep kemudian disimpan dalam tabung plastik dan ditutup (Gambar lihat Lampiran 4). Pemilihan sediaan berbentuk salep dengan vaselin album dan adeps lanae sebagai basisnya adalah berdasarkan sifatnya yang dapat menutup luka dengan baik serta dapat menyerap air dalam luka sehingga
45
meningkatkan hidrasinya. Perawatan luka tertutup (occlusive dressing) dan hidrasi yang baik dapat menciptakan lingkungan luka yang lembab sehingga dapat memfasilitasi untuk mempercepat proses penyembuhan luka (moist wound healing).30
3.6.3. Pengujian Sediaan Salep Pengujian sediaan salep juga dilakukan sendiri oleh peneliti di Laboratorium Farmakologi. Sediaan salep yang telah dibuat dilakukan uji berupa tes homogenitas. Tes homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan salep ekstrak daun binahong pada sekeping kaca transparan dimana sediaan diambil bagian atas, tengah dan bawah.31 3.6.4. Pembuatan Konsentrasi Salep Ekstrak Daun Binahong Formula standar dasar basis salep yang digunakan adalah31 : R/
Adeps Lanae
15 g
Vaselin Album
85 g
m.f salep
100 g
Sediaan salep yang akan digunakan dalam penelitian ini memiliki konsentrasi masing-masing yaitu 10%, 20%, 40% dibuat sebanyak 30 g (Gambar lihat Lampiran 2).
Konsentrasi 10% R/
3g
Dasar salep
27 g
m.f salep
30 g
Konsentrasi 20% R/
Ekstrak daun binahong
Ekstrak daun binahong
6g
Dasar salep
24 g
m.f salep
30 g
Konsentrasi 40% R/
Ekstrak daun binahong
12 g
Dasar salep
18 g
m.f salep
30 g
46
3.6.5. Etika Penelitian Pelaksanaan penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelum diberikan perlakuan, terlebih dahulu 25 ekor tikus diadaptasikan dalam lingkungan animal house selama tujuh hari, kemudian dilakukan randomisasi dengan cara undian menjadi lima kelompok, dimana masingmasing kelompok terdiri dari lima tikus. Tikus ditempatkan di kandang yang sesuai dengan habitatnya. Setiap tikus dipisahkan dengan cara memasang sekat kawat sehingga kontak fisik antar tikus dapat dihindari. Bagian alas kandang diberi sekam kayu untuk menampung kotoran dan urin tikus, kemudian ditutup dengan menggunakan sekat kawat agar serbuk kayu tidak dapat mengkontaminasi luka pada pada punggung tikus. Pembersihan kandang selama perlakuan dilakukan setiap dua hari sekali. Selama percobaan, kelima kelompok tikus diberi makan pelet dan air secara ad libitum Setelah dilakukan perlakuan selama 5 hari, pada hari ke-6 dilakukan terminasi dengan menggunakan inhalasi eter. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel jaringan kulit di bagian dorsal (Gambar lihat Lampiran 4). Sampel jaringan kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi FKUI. Bagian tubuh tikus yang tidak diambil untuk sampel jaringan dikuburkan.
3.6.6. Induksi Luka Bakar pada Tikus Sebelum dilakukan pencukuran, sediakan toples yang berisi tissue yang telah diberi cairan eter sebagai anastesi. Masukkan tikus ke dalam toples, lalu tunggu beberapa saat sampai efek inhalasi eter terlihat yakni tikus akan terlihat melemas. Dibawah pengaruh anastesi, cukur bersih bagian punggung tikus dengan menggunakan gunting, krim cukur, serta pisau cukur untuk meminimalisir timbulnya iritasi pada kulit tikus.
47
Tikus kembali dianastesi dengan dimasukkan kedalam toples berisi eter sebelum dilakukan induksi luka bakar. Kemudian lakukan sterilisasi dengan alkohol 70% pada daerah punggung tikus yang telah dicukur. Induksi luka bakar pada tikus dilakukan menggunakan plat besi berukuran 4 x 2 cm2 yang dipanaskan dalam air mendidih (suhu ± 950C) selama 5 menit, lalu tempelkan plat besi pada kulit punggung tikus selama 30 detik. (Gambar lihat Lampiran 4).32
3.6.7. Pemberian Salep Ekstrak Daun Binahong Pemberian salep dilakukan dengan cara mengoleskan di bagian luka pada punggung tikus dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari, selama 5 hari dari hari ke-1 sampai hari ke-5 setelah induksi luka bakar. Sebagai pembanding digunakan kontrol negatif yaitu tikus yang diberi basis salep saja tanpa kandungan ekstrak daun binahong dan kontrol positif yang diberi Silver Sulfadiazine sebagai obat standar penanganan sebagian besar luka bakar yang sampai saat ini masih digunakan secara luas. (Gambar lihat Lampiran 4).
3.6.8. Eksisi Jaringan Kulit Tikus Setelah 5 hari tikus diterminasi dengan menggunakan eter inhalasi. Setelah itu dilakukan eksisi pada seluruh ketebalan jaringan kulit yang diambil dari lokasi luka, kemudian difiksasi menggunakan larutan formalin 10% dan disimpan dalam tabung organ (Gambar lihat Lampiran 4).25
3.6.9. Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Kulit Tikus Jaringan kulit tersebut kemudian dibuat preparat histopatologi dengan metode blok paraffin denganpewarnaan Hemaktosilin-Eosin yang dilakukan di departemen Patologi Anatomi FKUI (Gambar lihat Lampiran 4).
3.6.10. Pengamatan Preparat Histopatologi
48
Preparathistopatologi diamati dengan menggunakan mikroskop cahayaOlympus BX41 dengan perbesaran 100 kali kemudian difoto dengan menggunakan kamera mikroskop Olympus DP25 serta software Olympus DP2-BSW (Gambar lihat Lampiran 4). Data mikroskopis dalam hal ini berkaitan dengan proses re-epitelisasi epidermis dengan parameter yang digunakan adalah ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis. Dengan demikian didapatkan file foto preparat yang akan dihitung ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermisnya menggunakan aplikasi ImageJ.
3.6.11. Penghitungan Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi Epidermis Penghitungan ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis dihitung menggunakan aplikasi ImageJ. Tahapannya adalah sebagai berikut : a. Buka aplikasi ImageJ. b. Klik “File” pada menubar. c. Klik “Open” dan masukkan file foto yang diinginkan. d. Setelah file foto terbuka, klik “Straight” pada menu toolbar. e. Buatlah garis lurus persis sepanjang penggaris yang terdapat pada bagian kanan bawah foto preparat histopatologi. f. Klik “Analyze” pada menubar kemudian klik “Set Scale”. g. Ketik ukuran panjang penggaris yang terdapat pada foto preparat histopatologi pada kolom “Known Distance”, dalam penelitian ini adalah 100, kemudian satuannya dalam kolom “Unit of Length”, dalam penelitian ini adalah µm. h. Klik “OK”. i. Buatlah kembali garis lurus sepanjang ketebalan lapisan reepitelisasi epidermis yang dikehendaki. j. Klik “Analyze” pada menubar kemudian klik “Measure”. k. Kemudian akan muncul halaman baru dengan judul “Result”, pada penelitian ini data yang digunakan adalah yang terdapat pada kolom “Length”. l. Lakukan langkah a sampai k setiap kali akan mengukur ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis.
49
m. Apabila diperlukan, halaman “Result” dapat disimpan dengan cara klik “File” kemudian klik “Save”. Pada penelitian ini, penghitungan ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis dilakukan pada kedua tepi luka yang diamati pada preparat histopatologi. Pada masing-masing tepi luka diambil data ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermisnya pada lima titik secara berurutan kemudian dihitung reratanya.
3.7.
Managemen dan Analisis Data Data histopatologis diolah dengan analisisOne WayANOVA. Pengolahan data menggunakan SPSS versi 16.
3.8.
Definisi Operasional
No.
Variabel
1.
Definisi
Alat
Cara
ukur
pengukuran
Hasil ukur
Re-
Proses
Aplikasi
Ketebalan
Ketebalan
epitelisasi
pertumubuhan
imageJ
lapisan re-
lapisan re-
epidermis
kembali sel-sel
epitelisasi
epitelisasi
epitelial
epidermis
epidermis
yang diukur
dalam satuan
adalah yang
µm
terdapat pada kedua tepi luka yang diamati pada preparat histopatologi kemudian dihitung reratanya
Skala ukur Numerik
50
2.
Salep
Salep ekstrak
ekstrak daun
daun binahong
binahong
yang dibuat
Kategorik
dengan metode maserasi menggunakan etanol 96%, dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40% 3.
Basis salep
Salep yang
Kategorik
berisi vaseline album dan adeps lanae tanpa ekstrak daun binahong 4.
Krim Silver
Krim yang
Sulfadia-
standar
zine
digunakan pada pengobatan luka bakar, mengandung dua komponen zat aktif yaitu silver dan sulfadiazine
Kategorik
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan secara makroskopis, pada hari pertama setelah induksi luka bakar tampak luka yang eritem dan sedikit kecoklatan, serta permukaan luka terlihat masih basah. Setelah hari ke lima, luka terlihat berupa keropeng yang berwarna kecoklatan, kering, serta luas permukaan luka terlihat semakin mengecil.
(a)
(b)
Gambar 4.1. Gambaran Makroskopik Luka Bakar dengan Lama Paparan 30 Detik pada Kulit Tikus. (a) Hari ke-1 ; (b) Hari ke-5
Data hasil penelitian ini berupa ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis dari pengamatan preparat histopatologi yang dipulas dengan pewarnaan Hemaktosilin-Eosin. Pengamatan preparat histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100 kali. Ketebalan lapisan epidemis yang dihitung adalahyang terdapat pada kedua tepi luka yang diamati pada preparat histopatologi kemudian dihitung reratanya, dengan landasan teori bahwa proses re-epitelisasi pada penyembuhan luka diawali dari tepi luka dengan cara migrasi keratinosit secara aktif menuju ke bagian permukaan dermis yang terekspos.37 Gambaran mikroskopis penyembukan luka bakar dengan lama paparan 30 detik pada tikus pada masing-masing kelompok disajikan pada gambar berikut.
51
52
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.1.
(e)
Sampel jaringan kulit dengan pewarnaan HE pada pembesaran
100x.(a) Kontrol positif; (b) Kontrol negatif; (c) Perlakuan 1; (d) Perlakuan 2; (e) Perlakuan 3
Hasil pengamatan ketebalan lapisan re-epitelisasi pada setiap kelompok disajikan dalam bentuk grafik dibawah ini.
Grafik Rerata Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi 70
60 50 Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi (µm)
40 30 20 10 K (-)
P1
P2
P3
K (+)
Kelompok Penelitian
Gambar 4.3. Grafik Rerata Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi
53
Data hasil penelitian diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Uji tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah sebaran data yang ada dalam distribusi yang normal atau tidak. Dari hasil uji Shapiro-Wilk didapatkan hasil bahwa nilai signifikansi untuk masing-masing kelompok semuanya adalah > 0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa distribusi kelima kelompok data adalah normal.33 Selanjutnya dilakukan uji homogenitas menggunakan Levene’s test dan uji One Way ANOVA. Pada uji homogenitas didapatkan nilai p = 0,872 atau p > 0,050, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan varians antar kelompok yang dibandingkan atau dengan kata lain varians data sama. Karena varians data sama, maka hasil uji One Way ANOVA yang didapatkan adalah valid. Pada uji One Way ANOVA didapatkan p = 0,006 atau p < 0,050 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis yang bermakna pada minimal dua kelompok pada penelitian ini.
Tabel 4.1. Hasil Analisis Data Ketebalan Lapisan Re-epitelisasi Kelompok Perlakuan
N
Mean
Standar Deviation
K (-)
5
17,3336
18,79839
P1
5
12,7136
13,61115
P2
5
59,6098
19,91269
P3
5
22,8042
18,76966
K (+)
5
37,3210
22,97679
P value
0,006
Keterangan : K-
: Kelompok pemberian basis salep (kontrol negatif)
P1
: Kelompok pemberian salep ekstrak binahong konsentrasi 10%
P2
: Kelompok pemberian salep ekstrak binahong konsentrasi 20%
P3
: Kelompok pemberian salep ekstrak binahong konsentrasi 40%
K+
: Kelompok pemberian Silver Sulfadiazine (kontrol positif)
54
Dari tabel 4.1. dan gambar 4.3. dididapatkan data bahwa rerata ketebalan lapisan re-epitelisasi yang terbesar terjadi pada kelompok P2 yaitu kelompok pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% dibandingkan dengan keempat kelompok lainnya dengan nilai mean sebesar 59,6098 µm. Kelompok P1 yaitu kelompok pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 10% berdasarkan nilai mean yakni sebesar 12,7136 µm, dapat disimpulkan bahwa pengaruhnya tidak lebih baik dari kontrol negatif yaitu kelompok pemberian basis salep (nilai mean 17,3336 µm) dalam meningkatkan ketebalan lapisan re-epitelisasi. Kelompok P3 yaitu kelompok pemberiansalep ekstrak daun binahong konsentrasi 40% berdasarkan nilai mean yakni sebesar 33,8042 µm, dapat disimulkan bahwa pengaruhnya tidak lebih baik dari kontrol positif yaitu kelompok pemberian krim Silver Sulfadiazine (nilai mean 37,3210 µm) maupun kelompok pemberian salep ekstrak binahong konsentrasi 20% (nilai mean59,6098 µm) dalam meningkatkan ketebalan lapisan re-epitelisasi. Dari data yang diperoleh berdasarkan nilai mean, dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini kelompok yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan ketebalan rata-rata lapisan re-epitelisasi pada proses penyembuhan luka adalah kelompok pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% kemudian secara berturut-turut diikuti oleh kelompok pemberian salep Silver Sulfadiazine, kelompok pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 40%, kelompok pemberian basis salep, dan yang paling sedikit pengaruhnya adalah kelompok pemberian ekstrak daun binahong konsentrasi 10%. Pembentukan re-epitelisasi pada luka yang diberi ekstrak daun binahong ditingkatkan oleh adanya zat aktif yang terkandung didalamya, antara lain saponin, flavonoid, alkaloid, terpenoid, serta steroid.4 Saponin termasuk dalam golongan senyawa glikosida alami yang terikat dengan steroid atau triterpena. Kandungan fruticesaponin B dalam beberapa jenis saponin diketahui mempunyai aktivitas anti inflamasi yang sangat tinggi. Diantaranya adalah mampu menginhibisi reaksi inflamasi pada fase-fase awal, namun meningkat pada tahap selanjutnya.37 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Choi Seongwon diketahui bahwa saponin dapat meningkatkan
55
ekspresi dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses proliferasi, termasuk proliferasi sel-sel epidermal.36 Studi lain yang dilakukan oleh Kim YS et al juga telah menemukan bahwa kecepatan migrasi sel-sel keratinosit pada proses re-epitelisasi lebih tinggi pada kelompok pemberian saponin dibandingkan kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saponin tidak hanya meningkatkan proliferasi sel epidermal namun juga mampu mempercepat proses migrasi keratinosit yang berperan sangat penting dalam proses re-epitelisasi.37 Pada studi yang sama didapatkan bahwa saponin mampu menekan reaksi inflamasi pada tahap-tahap awal dibuktikan dengan sedikitnya jumlah sel-sel radang, serta mampu mendorong sintesis kolagen melalui fosforilasi protein Smad 2.37 Efek-efek yang dimiliki oleh saponin tersebut membuktikan bahwa saponin bermanfaat dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Kandungan lain yang terdapat dalam daun binahong adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa yang terkandung dalam beberapa jenis tumbuhan. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan belakangan telah banyak diteliti, dimana flavonoid mampu mengurangi atau mengubah radikal bebas. Salah satu caranya flavonoid akan dioksidasi oleh radika-radikal bebas, yang mengakibatkan radikal bebas menjadi lebih stabil dan berkurang kereaktifannya.38 Diperlukan adanya antioksidan pada proses penyembuhan luka tidak lain karena keberadaan radikal bebas dapat menghambat terjadinya proliferasi sel, menghambat supresi reaksi inflamasi, serta menghambat kontraksi dari jaringan kolagen yang terbentuk, yang keseluruhannya dapat menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan luka.31 Selain itu kandungan flavonoid pada daun binahong diperkirakan juga dapat berfungsi sebagai penghancur mikroba terutama dari golongan bakteri Gram negatif. Dengan demikian daun binahong juga tergolong berkhasiat sebagai antibiotik.4 Penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang dilakukan Suci Ariani mengenai khasiat daun binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi dan reepitelisasi peyembuhan luka terbuka pada kulit kelinci. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian daun binahong membantu penyembuhan luka
56
dengan pembentukan jaringan granulasi yang lebih banyak dan re-epitelisasi yang terjadi lebih cepat dibandingkan luka yang tidak diberi daun binahong.7 Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh MN Syuhar mengenai perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu dan tumbukan daun binahong pada tikus putih galur Sprague dawley menunjukkan bahwa secara makroskopis, kulit tikus pada kelompok perlakuan yang diberikantumbukan daun binahong menunjukan tingkat kesembuhan yang paling tinggi diantara semua kelompok, yaitu sebesar 69,96 %. Namun hal tersebut tidak dibuktikan secara mikroskopis, dimana kelompok pemberian madu memberikan hasil yang lebih baik.34 Penelitian lain yang dilakukan oleh Isnatin Maldiyah juga mendukung penelitian ini, yaitu mengenai efek pemberian ekstrak daun binahong pada penyembuhan luka eksisi pada marmut. Didapatkan hasil bahwa ekstrak daun binahong secara signifikan mampu menyembuhkan luka pada marmut dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Lebih rinci bahwa pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun binahong, maka makin besar efek penyembuhannya, meskipun pada penelitian ini hal tersebut tidak terlalu terlihat, dimana pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 40% tidak menunjukkan pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan ketebalan lapisan re-epitelisasi dibanding konsentrasi 20%.35 Salah satu penyebabnya kemungkinan karena dalam proses penyembuhan luka dibutuhkan keadaan kelembaban tertentu. Manajemen luka terkini memiliki tujuan salah satunya untuk menciptakan lingkungan luka yang lembab untuk mempercepat penyembuhan luka (moist wound healing), yaitu dengan merangsang pembentukan growth factor yang berperan pada re-epitelisasi epidermis dan angiogenesis, dimana produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab. Growth factor tersebut antara lain Epidermal Growth Factor (EGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Interleukin 1 (IL-1).39 Konsep mengenai moist wound healing pertama kali ditemukan oleh George Winter
dimana pada penelitiannya didapatkan hasil
bahwa re-epitelisasi terjadi dua kali lebih cepat pada lingkungan luka yang lembab dibandingkan dengan luka yang kering.39
57
Sehingga pada penelitian ini peningkatan ketebalan lapisan re-epitelisasi tidak hanya ditentukan oleh faktor banyaknya kandungan zat aktif yang terkandung dalam berbagai sediaan salep yang digunakan, namun juga dipengaruhi oleh faktor kemampuan menciptakan lingkungan luka yang lembab oleh berbagai sediaan salep yang digunakan. Dimana pada penelitian ini, kelembaban luka difasilitasi oleh penggunaan basis salep yang terdiri dari vaselin album dan adeps lanae yang bersifat oklusif dan mampu meningkatkan hidrasi sehingga dapat meningkatkan kelembaban pada permukaan luka.30 Pada penelitian ini pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% memberikan pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan ketebalan lapisan re-epitelisasi. Hal tersebut kemungkinan karena pada salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% mengandung zat-zat aktif ekstrak daun binahong dalam kadar yang memadai serta kelembaban yang dihasilkan optimal bagi proses penyembuhan luka. Pada penelitian ini salep ekstrak daun binahong konsentrasi 40% menggunakan basis salep dengan jumlah yang paling sedikit pada saat pembuatan sedian salep ekstrak daun binahong, sehingga kemumgkinan kemampuannya menciptakan lingkungan luka yang lembab juga berkurang. Akibatnya, ketebalan re-epitelisasi yang dihasilkan tidak sebaik pada pemberian salep ekstrak daun binahong konsenrasi 20% meskipun kandungan zat aktif daun binahong yang dikandungnya lebih banyak. Pemberian salep ekstrak daun binahong konsenrasi 40% juga tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian krim Silver Sulfadiazine. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 40% tetap berpengaruh positif dalam meningkatkan ketebalan rata-rata lapisan re-epitelisasi epidermis pada proses penyembuhan luka, dilihat dari nilai mean yang lebih besar dari kelompok kontrol negatif, namun efektivitasnya tidak sebaik dengan pemberian salep Silver Sulfadiazine. Pada salep ekstrak daun binahong 10% memang menggunakan basis salep dengan jumlah yang lebih banyak dibanding konsentrasi 20% dan 40%, namun karena kandungan zat aktif ekstrak daun binahong yang terkandung tergolong rendah sehingga tidak menghasilkan ketebalan re-epitelisasi yang lebih baik.
58
Bahkan efek penyembuhannya masih lebih rendah daripada kelompok pemberian basis salep tanpa ekstrak daun binahong, hal tersebut menunjukkan bahwa memang faktor kelembaban luka berperan cukup besar dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Dengan adanya zat-zat seperti saponin dan flavonoid dalam kadar yang cukup tinggi dalam daun binahong, serta zat-zat lain seperti alkaloid, terpenoid, serta steroid diperkirakan yang memberikan pengaruh besar dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu juga kelembaban luka yang yang diciptakan ternyata berpengaruh dalam mempercepat proses re-epitelisasi pada penyembuhan luka. Namun kedepannya masih diperlukan pengujian lebih lanjut mengenai kandungan zat apa dalam daun binahong yang perannya paling signifikan dalam mempercepat proses penyembuhan luka serta pada kadar kelembaban luka yang bagaimana yang mampu secara efektif mempercepat proses penyembuhan luka.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Pemberian salep ekstrak daun binahong pada konsentrasi 20% dan 40% memliliki pengaruh terhadap peningkatan ketebalan lapisan reepitelisasi pada proses penyembuhan luka, dimana kelompok pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% memperlihatkan pengaruh yang lebih besar daripada konsentrasi 40%. Sedangkan pada konsentrasi 10% tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan ketebalan lapisan re-epitelisasi pada proses penyembuhan luka.
5.2.
Saran 1. Pada penelitian lebih lanjut disarankan pengambilan sampel untuk pembuatan preparat histopatologi dilakukan secara serial yaitu pada beberapa titik waktu, tidak hanya pada hari 5 setelah induksi luka bakar agar pengaruhnya terhadap peningkatan ketebalan rata-rata lapisan re-epitelisasi pada proses penyembuhan luka dapat diamati dengan lebih baik. 2. Pada penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pengamatan histopatologi dengan pewarnaan yang lebih spesifik untuk mengamati proses reepitelisasi. 3. Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk memanfaatkan bagian lain dari tanaman binahong selain daunnya, seperti bunga, batang, maupun umbinya.
59
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Kristanto, H. Perbedaan efektifitas perawatan luka bakar derajat II dengan lendir lidah buaya (aloe vera) dibandingkan dengan cairan fisiologis (normal saline 0,9%) dalam mempercepat proses penyembuhan. [Skripsi]. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2005. 2. Moenadjat Y. Luka bakar : masalah dan tatalaksana edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2003. 3. Syamsuhidajat R, Wim D J. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. 4. Dalimartha S. Atlas tumbuhan obat Indonesia jilid 4. Jakarta : Puspa Swara; 2006.p. 3. 5. Fawzi A, Setyohadi R, Noorhamdani. Uji efektivitas ekstrak daun binahong (anredera cordifolia(ten.) steenis) sebagai antimikroba terhadap bakteri klebsiella pneumoniae secara in vitro. Malang : Universitas Brawijaya; 2010. 6. Persada AN, Windarti I, Fiana DN. Perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian topikal daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) tumbuk dan hidrogel pada tikus putih (rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Lampung : Universitas Lampung ; 2014. 7. Ariani S. Khasiat daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pembentukan jaringan granulasi dan reepitelisasi penyembuhan luka terbuka kulit kelinci. Jurnal e-Biomedik Vol. 1 No. 2 ; Juli 2013 : 1-6. 8. Prasetyo BF, Wientarsih I, Priosoeryanto BP. Aktivitas sediaan gel ekstrak batang pohon pisang ambon dalam proses penyembuhan luka pada mencit. Jurnal Veteriner Vol. 11 No. 2; Juni 2010: 70-73. 9. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology 13th edition. USA : John Willey & Sons Inc; 2011. Chapter 5; The Integumentary System; p. 145-163. 10. Perdanakusuma DS. Anatomi fisiologi penyebuhan luka. Surabaya : Departemen Bedah Plastik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2007. p. 1-8.
61
11. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011. p. 485-487. 12. Napitupulu R, et al. Taksonomi koleksi tanaman obat kebun tanaman obat citereup. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan; 2008. p. 10. 13. Anonim. Binahong. 2014 [cited 9 April 2014]. Available from : http://id.wikipedia.org/wiki/Binahong 14. Anonim. Habitat dan perbanyakan tanaman herbal binahong. 2012. [cited 9 April 2014]. Available from : http://pustakapertanianub.staff.ub.ac.id/2012/11/22/habitat-dan-perbanyakantanaman-herbal-binahong/ 15. Astuti SM. Skrining fitokimia dan uji aktivitas antibiotika ekstrak etanol daun, batang, bunga dan umbi tanaman binahong (Anredera cordifolia(Ten.) Steenis). Bogor : Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH); 2011. 16. Nurdiana, Hariyanto T, Musfirah. Perbedaan kecepatan penyembuhan luka bakar derajat II antara perawatan luka menggunakan virgin coconut oil (Cocos nucifera) dan normal salin pada tikus putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar. Malang : Universitas Brawijaya; 2006. 17. Sabiston DC. Buku ajar bedah bagian 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. Chapter luka bakar; p. 151-153. 18. Kartohatmodjo S. Luka bakar (combustio). Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya; 2007. p. 1-5. 19. Samiadji, S. Combustio. Semarang : Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 1996. p. 2-15. 20. Puteri AM. Presentasi Kasus Luka Bakar. Jakarta : Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p. 6-13. 21. Kumar V, Cotran RS, Stanley L. Buku ajar patlogi robbins volume 1 edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. 22. Saragih RAC. Perbandingan histopatologis kolagen parut akne dengan terapi kombinasi microneedling dan subsisi antara yang disertai platelet rich plasma dengan disertai laruta salin fisiologis. [Tesis]. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2013.
62
23. Widagdo TD. Perbandingan pemakaian aloe vera 30%, 40% dan silver sulfadiazine 1% topikal pada penyembuhan luka bakar derajat II. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ; 2004. 24. Singer AJ, Clark RA. Cutaneous wound healing. N Engl J Med Vol. 341 No. 10; September 1999: 738-746. 25. Esfahani SA, et al. Enhancement of fibroblast proliferation, vascularization and collagen synthesis in the healing process of third-degree burn wound by topical arnebia euchroma, a herbal medicine. Original article GMJ Vol. 1 No. 2 ; 2012 : 53-59. 26. Yanhendri, Yenny SW. Berbagai bentuk sediaan topikal dalam dermatologi. CDK-194 Vol. 39 No. 6 ; Agutus 2012 : 423-430. 27. Aleeman CL, et al. Reference database of the main physiological parameters in sprague-dawley rats from 6 to 32 months. Laboratory Animals Vol. 32; 1998: 457-466. 28. Savagner P, et al. Rise and fall of epithelial phenotype : concepts of epitheliamesenchymal transition. 2005. p. 112-115. 29. Federer WT. Experimental design : theory and application. New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co; 1967. 30. Gitarja WS. Perawatan luka diabetes : seri perawatan luka terpadu. Bogor: Wocare Indonesia; 2008. 31. Paju N, Paulian VY, Kojong N. Uji efektivitas salep ekstrak daun binahong Anredera coordifolia (Ten.) Steenis) pada kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah farmasi UNSRAT Vol. 2 No. 01: Februari 2013; 2302-2493. 32. Akhoondinasab MR, Akhoondinasab M, Saberi M. Comparison of healing effect of Aloe vera extract and silver sulfadiazine in burn injuries in experimental rat model. Original article Vol. 3 No. 1; 2014: 29-34. 33. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan : deskriptif, bivariat, dan multivariat edisi 5. Jakarta : Salemba Medika : 2011.
63
34. Syuhar MN. Perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu dengan tumbukan daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ; 2014. 35. Miladiyah I, Prabowo BR. Ethanolic extract of Anredera cordifolia (Ten.) Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Universa Medicina Vol. 31 No. 1 ; Januari 2012 : 4-11. 36. Choi S. Epidermis proliferation effect of the panax ginseng ginsenoside rb2. Arch Pharm Res Vol. 25 No. 1 ; Februari 2012 : 71-76. 37. Kim YS, et al. Therapeutic effect of total ginseng saponin on skin wound healing. Journal of Ginseng Research Vol. 35 No. 3 ; September 2011 : 360367. 38. Nijveldt RJ, et al. Flavonoids : a review of probable mechanisms of actions and potential applications. The American Journal of Clinical Nutrition Vol. 74 No. 4 ; Oktober 2011 : 418-425. 39. Winter GD. Formation of the scab and the rate of epithelization of superficial wound in the skin of the young domestic pig. Nature Vol. 163 ; Januari 1962 : 293
64
LAMPIRAN 1 Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.1. Surat Keterangan Tikus Sehat
65
LAMPIRAN 2 Surat Determinasi Tanaman Binahong
Gambar 6.2. Surat Determinasi Tanaman Binahong
66
LAMPIRAN 3 Surat Ekstraksi Daun Binahong
Gambar 6.3. Surat Ekstraksi Daun Binahong
67
LAMPIRAN 4 Proses Penelitian
Gambar 6.4. Pembuatan Salep Ekstrak
Gambar 6.5. Pencukuran Rambut pada
Daun Binahong
Punggung Tikus
Gambar 6.6. Randomisasi
Gambar 6.7.Pemanasan Plat Besi
Gambar 6.8. Inhalasi Eter
Gambar 6.9. Induksi Luka Bakar
68
(lanjutan)
Gambar 6.10. Tikus Setelah Diinduksi Gambar 6.11. Pemberian Salep Luka Bakar
Ekstrak Daun Binahong
Gambar 6.12. Gambaran Luka Bakar
Gambar 6.13. Eksisi Jaringan Kulit
pada Tikus
pada Tikus
Gambar 6.14. Fiksasi Jaringan Kulit
Gambar 6.15. Proses Pembuatan
Tikus menggubakan Formalin 10%
Preparat Histopatologi
69
(lanjutan)
Gambar 6.16. Hasil Jadi Preparat
Gambar 6.17. Pengamatan Preparat
Histopatologi
Histopatologi
70
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Farah Nabilla Rahma
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Bekasi, 22 September 1993
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Mawar 3 Blok CS 3 No. 37 RT 002/012, Kranggan Permai, Jatisampurna, Bekasi, 17433
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan :
1998-2000
: TK Islam Terpadu Rabbani
2000-2006
: SD Negeri Pondok Ranggon 02 Pagi Jakarta
2006-2008
: SMP Islam PB. Soedirman Jakarta
2008-2011
: SMA Negeri 39 Jakarta
2011-sekarang
: Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta