LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM
KAJIAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM DI PROVINSI DKI JAKARTA
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DKI JAKARTA TAHUN 2008
1
BAB I
A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13 ayat (1) huruf c menegaskan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum berkomitmen untuk menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketentraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwsata yang masyarakatnya nyaman, aman dan tenteram. Kondisi tersebut akan menjadi daya tarik bagi masyarakat Internasional untuk datang dan berkunjung serta menanamkan investasi yang pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pembangunan Kota Jakarta. Pengaturan rnengenai kertiban umum harus diarahkan guna pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat kota. Dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat Jakarta yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang diatur. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum mengatur substansi materi muatan sebagai berikut: 1. tertib jalan dan angkutan jalan 2. tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; 3. tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; 4. tertib lingkungan; 5. tertib tempat usaha dan usaha tertentu; 6. tertib bangunan; 7. tertib sosial; 8. tertib kesehatan; 9. tertib tempat hiburan dan keramaian; dan 10. tertib peran serta masyarakat. Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuh-kembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang lebih tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah, yang dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. 2
Hal ini sangat mendasar mengingat kedudukan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang harus berpacu secara cepat untuk tampil sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Upaya untuk mencapai kondisi tertib sebagaimana yang menjadi jiwa dari Peraturan Daerah ini tidak semata-mata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat, akan tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat, perorangan maupun badan untuk secara sadar ikut serta menumbuhkan dan memelihara ketertiban. Namun demikian, tindakan tegas terhadap pelanggar Peraturan Daerah ini perlu dilakukan secara konsisten dan konsekuen oleh Satuan Polisi Pnmong Praja dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang profesional sebagaimana diiamanatkan dalam Pasal 148 dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang Ketertiban Umum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dan kaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi maka Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta perlu melakukan pengkajian hukum dengan judul “KAJIAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM DI PROVINSI DKI JAKARTA”.
B. Perumusan Permasalahan 1. Bagaimanakah hubungan antara Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di Provinsi DKI Jakarta dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; 2. Apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan tentang Ketertiban Umum di Provinsi DKI Jakarta; 3. Bagaimana penegakan hukum dalam pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan tentang Ketertiban Umum di Provinsi DKI Jakarta.
C. Maksud dan Tujuan Pengkajian 1. Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh hubungan antara Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; 2. Untuk memperolah jalan keluar dalam menghadapi hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daewrah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum; 3. Untuk mewujudkan sikap perilaku masyarakat yang tertib sehingga tercapai keselarasan, keserasian di Wilayah Hukum Provinsi DKI Jakarta; 3
D. Kerangka Teori dan Konsepsional Sistem norma hukum adalah kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat berupa keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. 1 Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya system hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya. Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (Stufentheorie).2 Sistem hukum di dalam menjalankan fungsinya melalui 3 proses (tiga) tahapan yaitu :3 1. Pembentukan Hukum ( law making policy). 2. Penegakan Hukum (law enforcement policy). 3. Pembangunan Budaya Hukum (legal cultur). Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsive dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten
dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law. Masalah Penegakan Hukum merupakan masalah yang tidak sederhana bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. Di dalam penegakan hukum, berkaitan dengan 3 hal meliputi :4 1. Substansi Hukum; 1
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001, hal. 82. Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998, hal. 25. 3 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, BPHN, Jakarta, 1994, hal. 95. 4 E.Y. Kanter, 0p. cit., hal. 82. 2
4
2. Struktur atau Kelembagaan Hukum. 3. Budaya Hukum. Di dalam Pembangunan budaya hukum diarahkan menyempurkan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat. 5
E. Metode Pengkajian Pengkajian ini akan lebih menitikberatkan pada kajian normatif. 6 Dengan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk menjelaskan bebagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Ketertiban Umum. Pengkajian ini juga menggunakan pendekatan sosio hukum dengan maksud ingin melihat lebih jauh ketimbang doktrinal, perspektif lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
Bahan Pengkajian Data yang dibutuhkan dalam pengkajian ini merupakan data sekunder, yang mencakup : 7 a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat mulai dari dari Undang-Undang Dasar dan peraturan terkait lainnya. b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. c. Bahan hukum tertier yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus, buku saku, agenda resmi dan sebagainya.
F. Jadwal Pelaksanaan NO. 1.
KEGIATAN Persiapan Penyusunan Proposal
WAKTU 2 bulan
KETERANGAN April - Mei 2008
Pengkajian Hukum
5
A.A. Oka Mahendra, Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.1 No.4 – Desember 2004, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 29. 6 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahn pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, ( Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15. 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, hal. 52.
5
2.
Pengolahan Data Kepustakaan
2 bulan
Juni - Juli 2008
3.
Penyusunan Naskah Pengkajian
2 bulan
Agustus - September
Hukum dan HAM 4.
2008
Pembahasan dan Penyempurnaan
2 bulan
Oktober - November
Hasil Pengkajian Hukum 5.
2008
Pembuatan Laporan Pengkajian
1 bulan
Desember 2008
Hukum
G. Sistematika BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Maksud dan Tujuan D. Kerangka Teori dan Konseptual E. Metode Pengkajian F. Jadwal Pelaksanaan G. Sistematika H. Personalia Tim
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KETERTIBAN UMUM A. Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan PerundangUndangan B. Sikap dan pandangan Masyarakat terhadap Perda No.8 Tahun 2007
BAB III
HAMBATAN
YANG
DIHADAPI
DALAM
PELAKSANAAN
PERATURAN TENTANG KETERTIBAN UMUM A. Hambatan yang Berasal dari dalam Pemerintah Provinsi DKI Jakarta B. Hambatan yang Berasal dari luar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
BAB IV
UPAYA
PENEGAKAN
HUKUM
DALAM
PERATURAN TENTANG KETERTIBAN UMUM.
6
PELAKSANAAN
A. Pembinaan SDM. B. Peningkatan jumlah personil serta sarana dan prasarana pendukung operasional. C. Peningkatan sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat. D. Perlunya konsistensi Pemerintah Daerah dalam menegakkan Perda. E. Peningkatan peran serta masyarakat. F. Perlu adanya pedoman teknis yang jelas dan terukur untuk melindungi masyarakat dari kekerasan aparat yang berujung pada pelanggaran HAM. G. Penguatan jalinan kerjasama / koordinasi yang lebih terencana dan komprehensif antara instansi terkait. H. Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
BAB V
PENUTUP. A. Kesimpulan B. Saran
H. Personalia Tim Pengkajian Ketua Tim
:
H. Agus Anwar, SH. MH.
Sekretaris
:
Usdianto, SH, MH.
Anggota
: 1. Maryati Basir, SH, MH. 2. Noor Moh Azis SH, MH, MM. 3. Drs. Zainal Mustafa. 4. Muhammad, SH. 5. Togar AS Sinurat, SH, MH. 6. Suratin Eko Supono, SH, SIP, MH. 7. Diana Lestari, SE. 8. Esi Anggraini, SSi.
7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETERTIBAN UMUM
Dalam era otonomi daerah yang sedang berjalan saat ini terjadi berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat sehingga peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di daerah dituntut dapat mengantisipasi .segala perubahan tersebut. Peran, tugas dan fungsi lembagalembaga pemerintaha itu seringkali belum dipahami dalam konteks sistem pemerintahan di daerah, sebagai sebuah kerja tim yang satu sama lain saling mempengaruhi. Dalam hal ini, ada kesan seolaholah lembaga-lembaga pemerintahan di daerah berjalan sendiri-sendiri tanpa pedoman yang jelas, euforia reformasi memperumit situasi tersebut. Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang No.32
Tahun 2004
telah mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2000. Sejak saat itu, wacana otonomi daerah mengemuka dengan berbagai dilema baru yang perlu pula memperoleh solusi baru, yang sejalan dengan perkembangan politik dalam era reformasi sekaligus sebagai pelaksanaan terhadap UUD 1945 yang di dalamnya disebutkan bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Wacana tersebut memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melalui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal. Pada hakekatnya, otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Satu hal lagi yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyerahan kewenangan tersebut, yaitu bahwa dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, dan daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonomi itu di luar batas-batas wilayah kewenangannya.
Oleh karena itu, untuk
mengatur hal-hal yang demikian dilakukan melalui penyusunan kebijakan pembangunan regional yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan daerah secara keseluruhan, baik pada hilir maupun hulu. 8
Di samping persoalan batas internal administrasi dengan pelbagai faktor internal yang berpengaruh pada mekanisme pelaksanaan pembangunan di wilayah yang bersangkutan, maka otonomi daerah juga harus memperhatikan faktor eksternalitas.
Faktor eksternalitas tersebut
hendaknya dijadikan perhatian yang serius dalam merancang otonomi daerah dalam konteks pembangunan regional. Mekanisme intensif antara daerah hulu dan hililr harus terbangun secara adil, merata dan berkelanjutan, yang pada akhirnya otonomi daerah yang di dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan karakter eksternal daerah hulu dan dalam hubungannnya dengan daerah hilir serta hanya berorientasi pada kepentingan sesaat, maka pada gililrannya justru akan menimbulkan kemunduran konflik di segala bidang. Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu daerah yang diberikan status otonomi khusus pun tidak terlepas dari pelbagai permasalahan dan konflik yang berimbas dari sistem dan mekanisme pembangunan yang belum sempurna. Wacana tentang Kota Megapolitan merupakan cara berpikir cerdas jika dilihat dari konsep pembangunan yang seimbang.
Akan tetapi, di sisi lain, banyak sekali persoalan yang terjadi
berkaitan dengan kondisi Kota Jakarta yang di sekelilingnya terdapat daerah-daerah penyangga yang notabene sebagian penduduknya bekerja dan mencari nafkah di Jakarta. Kota Jakarta bagaikan seorang gadis molek yang menjadi dambaan setiap pemuda.
Bukan saja penduduk di daerah
penyangga yang tertarik dengan kemolekan Kota Jakarta, tetapi daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Hal ini karena memang dipengaruhi oleh berbagai faktor selain juga Jakarta sebagai pusat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, Jakarta sebagai Ibukota juga menjadi daya tarik tersendiri untuk orang berdatangan mengadu nasib ke Jakarta. Jakarta adalah miniatur Indonesia jika dilihat dari keragaman suku bangsa yang menetap. Hal ini membawa implikasi sosiokultural yang pada gilirannya berdampak pada keamanan, ketertiban dan ketenteraman warga Jakarta. Peta sosiokultural DKI Jakarta dalam enam puluh tahun terakhir berubah begitu cepat. Dilihat dari pertumbuhan penduduk, Jakarta yang pada tahun 1940-an dihuni oleh hanya sekitar 250.000 orang, meningkat sangat tajam menjadi sekitar tujuh juta pada tahun 1980-an dan tahun 2006 mencapai sekitar sembilan jutaan pada malam hari dan 12 jutaan pada siang hari, dengan kepadatan penduduk yang cukup padat. Mengapa jumlah penduduk di siang hari lebih banyak dari malam hari? Hal itu terjadi karena terbatasnya lahan tanah yang dapat digunakan oleh warga Jakarta untuk membangun tempat tinggal. Cukup banyak orang yang bekerja di DKI Jakarta bertempat di daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok dan sebagainya. Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta terutama akibat urbanisasi yang terjadi dengan cepat itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Pertama, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat perniagaan, kota pendidikan, kota sejarah dan sebagainya. 9
Kedua, karena posisinya tersebut, ditengarai tidak kurang dari 60% uang di Republik Indonesia beredar di DKI Jakarta. Ketiga, distribusi ekonomi yang timpang ini membuat Jakarta laksana magnit yang dengan kuat menarik orang untuk datang, sebaliknya ketiadaan sumber-sumber ekonomi dan kemiskinan di daerah menjadi daya dorong yang kuat pula untuk orang pergi dari kampungnya, merantau dan mengadu nasib di Jakarta. Pada dasarnya, masalah Provinsi DKI Jakarta dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu : (1) masalah kota yang tidak dapat dilepaskan dari masalah nasional; bersifat khas dan menonjol, hanya menjadi masalah serius
(2) masalah kota yang di daerah perkotaan khususnya
Provinsi DKI Jakarta. Adapun masalah Kota Jakarta yang menjadi bagian dari masalah nasional adalah : (1) masih terjadinya konflik sosial politik; (2) masih lemahnya penegakkan hukum; (3) kebebasan tak terkendali dan unjuk kekuatan – anarkhis; (4) lambatnya pemulihan ekonomi daerah; (5) Masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan; dan (6) belum memadainya kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur daerah. Lebih lanjut, masalah khas dan menonjol yang dihadapi Jakarta adalah : (1) masih terjadinya ancaman banjir; (2) belum tertanganinya secara baik sampah kota; (3) belum tertibnya lalulintas kota;
(4) Meningkatnya Pedagang Kaki Lima
(PKL); (5) Belum optimalnya peran serta masyarakat dalam pembangunan, dan (6) keterbatasan daya dukung lahan dan lingkungan hidup kota. Selain itu, Kota Jakarta juga dihadapkan pada ketiadaan kultur dominan yang merupakan konsekuensi logis dari modernitas. Keadaan ini membawa dampak pada semakin sulitnya menyelesaikan persoalan yang muncul dengan pendekatan budaya. Pada beberapa daerah yang masih memiliki kultur dominan seperti si sebagian Jawa Barat dengan kultur Sundanya atau sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dengan kultur Jawanya, peluang menyelesaikan berbagai persoalan antar warga masih terbuka dengan pendekatan budaya. Hal itu sulit terjadi di Jakarta.
Oleh karenanya, diperlukan peraturan yang disepakati, dilaksanakan dan ditegakkan
bersama oleh seluruh warganya dalam rangka menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum. Berdasarkan pada permasalahan yang menyelimuti Kota Jakarta, pembangunan juga terus berjalan di berbagai sektor kehidupan, sebagai suatu upaya perubahan yang dilandaskan pada suatu pilihan pandangan tertentu yang tidak bebas dari pengalaman (sejarah), realitas keadaan yang sedang dihadapi, serta kepentingan pihak-pihak yang membuat keputusan pembangunan. Program pembangunan Kota Jakarta yang dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate, lapangan, golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol, dan jalan layang susun tiga (triple decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya. Akan tetapi, pembangunan juga ternyata mempunyai hubungan dengan kemiskinan begitu pembangunan tersebut diimplementasikan. 10
Bahkan pembangunan yang tidak memperhitungkan kondisi masyarakat yang dibangun akan membawa dampak perubahan sosial yang ekstrim seperti ketertinggalan kaum miskin karena keterbatasan akses non ekonomis, akses politis, sosial dan sebagainya. Sepertinya, pembangunan yang diimplementasikan oleh Pemda Jakarta adalah pembangunan yang sudah tersebut di atas, dimana pemerintah tidak memperhatikan keadaan masyarakat yang berbeda (dari berbagai aspek) dan kesiapan dari Pemda sendiri maupun masyarakat yang akan dibangun. Karena kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi tersebut, menyebakan semakin meningkatnya orang miskin di Jakarta karena kebijakan tersebut kemudian mensentralisir kegiatan ekonomi ke pusat kota dan semakin meminggirkan orang miskin karena dampak pembangunan investasi tersebut kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan tidak akan menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup besar di suatu kawasan tidak akan menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai dan ada syarat bagi pemilik proyek di samping dari Pemda sendiri juga ikut andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security approach dalam menangani security approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur.
Untuk mengatasi masalah-masalah Kota Jakarta, maka Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya dituangkan dalam Perda-perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik, penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain sebagainya. Itu semua adalah untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah, aman, nyaman, dan bersahabat tentunya. Namun, dari beberapa program yang dilaksanakan, ternyata ada beberapa yang tidak menyelesaikan masalah Kota Jakarta tersebut, namun justru malah menimbulkan persoalan baru seperti yang tertuang dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda yang diberlakukan untuk menertibkan Kota Jakarta ini didasarkan atas pertimbangan bahwa intensitas pelanggaran hukum semakin meningkat.
Tetapi, ketika Perda yang menjadikan
masyarakat sebagai obyek itu tidak melibatkan masyarakat dalam pembuatannya atau mendengarkan aspirasi dari masyarakat, maka tentu saja hal tersebut mendapatkan banyak keberatan terutama dari masyarakat sendiri. Dalam upaya untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat, sekaligus mengatasi permasalahan yang ada serta menghadapi tantangan yang mungkin menghadang perjalanan pembangunan dengan adanya Perda khusus yang mengatur ketertiban umum, maka arah kebijakan bidang ketenteraman dan ketertiban adalah sebagai berikut :
11
1. Terbangunnya masyarakat Jakarta yang memiliki kepedulian dan kesadaran tinggi dalam mematuhi berbagai aturan yang ada. 2. Mengembangkan jiwa dan semangat kejuangan masyarakat DKI Jakarta demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa melalui pemasyarakatan kesadaran bela negara kepada seluruh komponen masyarakat. 3. Membangun dan mengembangkan fungsi-fungsi ketenteraman dan ketertiban wilayah yang bertumpu pada kekuatan rakyat sebagai bagian dari sistem ketahanan nasional. 4. Mengembangkan kerjasama lintas sektoral di berbagai instansi di Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mewujudkan ketenteraman dan ketertiban di daerah. Dengan diwujudkannya pengaturan kepentingan atau masalah-masalah publik yang menjadi tugas-tugas kewenangan pemerintah daerah ke dalam suatu bentuk peraturan daerah, maka tata kelola dan tata penyelenggaraan kepentingan publik warga DKI Jakarta dapat berjalan dengan teratur dan tertib tanpa menimbulkan
gejala-gejala konflik yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap ketertiban umum. Peraturan daerah sebagai suatu perangkat daerah haruslah dapat memenuhi tujuan atau fungsi hukum mengingat Perda adalah merupakan suatu hukum peraturan perundang-undangan positif yang berlaku dan mengikat warga masyarakat serta mengandung sanksi terhadap pelanggaran hukumnya. Secara teoritis dan perspektif ilmu hukum, tujuan daripada suatu hukum adalah untuk mewujudkan tiga hal, yaitu :
(1) Adanya kepastian hukum bagi masyarakat; (2) Adanya keadilan bagi
masyarakat; (3) Bermanfaat bagi masyarakat. Keberadaan keberlakuan hukum dalam suatu kehidupan masyarakat
di
manapun berada sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan adanya keserasian, kesebandingan, keadilan dan perlindungan hukum bagi setiap anggota masyarakat dan masyarakat itu sendiri demi berlangsungnya berbagai kepentingan hidupnya. Keberadaan dan kebelakuan itu timbul dari otoritas penguasaan dalam hal ini Pemerintah yang atas persetujuan masyarakat memberikan kekuasaan kepadanya melalui hubungan-hubungan perwakilan masyarakat itu sendiri.
Adapun derajat
kepatuhan masyarakat terhadap suatu hukum terdiri dari 3 (tiga) tingkatan : 2. Compliance, yaitu suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan
suatu
imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan hukum yang bersangkutan, tetapi lebih didasarkan
pada tujuan kaidah pada pengendalian dari
pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, maka kepatuhan akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah tersebut.
12
3. Habituation, kepatuhan ini terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena intrinsiknya, tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut sehingga kepatuhan tergantung kepada buruk-baiknya interelasi tadi. 4. Utility, kepatuhan seseorang mematuhi kaidah-kadiah hukum oleh karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilainilainya sejak semula pengaruhnya terjadi, atau oleh karena dia merubah nilai-nilai yang semua dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu kanformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Pusat kekuatan konformitas ini adalah keberjayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasnya, sedangkan macam-macam derajat kepatuhan itu adalah : a. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang. b. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, tetapi ia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. c. Seseorang mematuhi hukum, tetapi ia tidak setuju kaidah-kaidah tersebut maupun pada nilainilainya dari penguasa. d. Seseorang yang tidak patuh pada hukum, tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. e. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak patuh pada hukum (= melakukan protes). Dalam proses perkembangannya dan dengan adannya perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga Kota Jakarta sejalan dengan adanya tuntutan reformasi dalam segala aspek kehidupan, maka keberadaan dan keberlakuan hukum
di daerah ini tidak lagi menjadi acuan dan
pedoman dasar sepenuhnya bagi sebagian warga masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang berada pada lapisan sosial ekonomi yang rendah. Bagi kelompok masyarakat ini, keberadaan dan keberlakuan hukum peraturan daerah tentang ketertiban umum merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan aktivitas maupun pencapaian tujuannya yang beraneka ragam.
Perda ini dianggap penuh dengan ketiakadilan, tiadanya
perlindungan hukum, norma hukumnya hanya bersifat kewajiban dan larangan bagi kelompok tersebut yang memasung kelangsungan hidup dan keberadaan aktivitasnya di masyarakat. 13
Adanya sikap pandang terhadap keberadaan dan keberlakuan terhadap Perda yang sedemikian rupa melembaga dalam opini publik kelompok sosial ini, berimplikasi terhadap berbagai bentuk tindakan perilaku menyimpang yang menimbulkan berbagai bentuk konflik antara kelompok sosial ini dengan aparatur penegak hukum Pemda dalam penegakan hukumnya terhadap pelanggar.
Konflik-konflik tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga berpotensi mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Konflik-konflik tersebut menjadi konflik laten antara kelompok sosial tersebut dengan aparatur penegak hukum.
A. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Sebelum melakukan pembahasan terhadap PERDA Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, kiranya perlu dikemukakan tentang kedudukan PERDA dalam hierarki Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia; serta sistematika dalam penyusunan PERDA. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: a. Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan pemerintah; d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah : e.1. Peraturan daerah Propinsi; e.2. Peraturan Daerah Kabuaten / Kota; e.3. Peraturan Desa / peraturan yang setingkat. Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah adalah qanum yang berlaku di Provinsi Aceh dan Perda khusus serta Perda Provinsi yang berlaku di Provinsi Papua. Jenis Peraturan Daerah sebagaimana tersebut diatas tidak konsisten dengan ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, karena pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mencantumkan Peraturan Desa / Peraturan yang setingkat sebagai salah satu jenis Peraturan daerah. Kedudukan Peraturan Daerah dalam hierarki Peraturan perundang-undangan berada pada jenjang yang paling bawah/rendah. Peraturan Daerah menurut pasal 136 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota. Dalam ayat (3) ditentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
14
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan pemperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Materi muatan Peraturan Daerah menurut pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian pasal 13 menentukan materi muatan Peraturan Desa/ yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengingat kekuatan hukum peraturan perundang-undangan menurut pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah sesuai dengan hierarkinya, maka Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu menurut pasal 136 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Peraturan Daerah juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum Yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam ketentuan tersebut adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat yang diskriminatif.
Sistematika Peraturan Daerah (Perda) Produk Hukum Daerah yang selama ini mengikuti ketentuan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tehnik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah dan Keputusan menteri Dalam negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang bentuk Produk-Produk Hukum Daerah disamping ketentuan tersebut diatas harus menbgikuti ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun
2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu untuk mempermudah pemahaman terhadap Perda secara komprehensif maka perlu dikemukakan beberapa hal pokok atau sistematika yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang harus diperhatikan antara lain :
1)
Kerangka/Sistematika Peraturan Daerah 15
2)
a.
Judul;
b.
Pembukaan;
c.
Batang Tubuh;
d.
Penutup;
e.
Penjelasan (jika diperlukan);
f.
Lampiran (jika diperlukan).
Judul Setiap peraturan perundang-undangan harus diberi judul, dengan ketentuan : a.
Judul harus singkat, jelas, tetapi tetap mencerminkan norma yang diatur;
b.
Judul memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan.
3)
Pembukaan Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas :
4)
a.
Frasa “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”;
b.
Jabatan pembentuk peraturan daerah;
c.
Konsiderans;
d.
Dasar hukum; dan
e.
Diktum
Konsideran Menimbang -
Konstatasi fakta mengenai urgensinya dibuat suatu peraturan harus disusun sedemikian rupa untuk setiap pertimbangan sehingga mencerminkan alur piker yang runtut, jadi antara pertimbangan yang satu dengan pertimbangan berikutnya tidak boleh berdiri sendiri-sendiri maknanya, tetapi alur pikirannya harus berkesinambungan secara rentet.
-
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alas an pembuatan peraturan perundang-undangan;
-
Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Aspek Filosofis Produk Hukum Daerah yang dibuat haruslah berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi hukum.
Aspek Sosiologis 16
Produk Hukum daerah yang dibuat muncul dari harapan, aspirasi dan sesuai dengan konteks kebutuhan social masyarakat setempat.
Aspek Yuridis Produk Hukum Daerah yang dibuat menjunjung tinggi supremasi dan kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5)
Dasar Hukum -
Memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-undangan.
-
Peraturan perundang-undang yang diguunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
-
Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut dengan peraturan perundangundangan yang akan dibventuk, belum resmi berlaku tidak boleh menjadi dasar hukum.
-
Apabila lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
6)
Batang Tubuh 1. Ketentuan umum; 2. Materi pokok yang akan diatur; 3. Ketentuan pidana (jika diperlukan); 4. Ketentuan peralihan (jika diperlukan); 5. Ketentuan Penutup.
Ad. 1. Ketentuan Umum Ketentuan umum berisi : 17
a. Batasan pengertian atau definisi; b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan; c. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mewncerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Ad. 2 Materi Pokok yang diatur : Ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal-pasal ketentuan umum.
Ad. 3. Ketentuan Pidana Peraturan Daerah boleh memuat ketentuan pidana (berdasarkan ketentuan pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah), tetapi dibatasi sebagai berikut : -
Lamanya pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
-
Banyaknya denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima puluh juta) rupiah
-
Ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut;
-
Dalam hal ketentuan pidana berlaku siapa saja, maka untuk subyek ditulis “setiap orang”;
-
Bila ketentuan pidana hanya berlaku untuk subyek tertentu, maka harus secara tegas disebut subyek tersebut, misalnya Pegawai negeri Sipil, Pengemudi, dan sebagainya;
-
Rumusan pidana sebagai berikut : Dipidana dengan pidana penjara paling lama ….. (…) ….. dan paling singkat ….. (jika ada) dan/atau pidana denda paling banyak Rp. ….. (… rupiah) dan paling sedikit ….. (… rupiah).
Catatan : -
Pidana kumulatif (dan) bila tindak pidana merupakan yang dampaknya serius;
-
Pidana alternative (atau) biasanya untuk jenis pelanggaran;
-
Dan/atau untuk perbuatan yang pemidnaannya diserahkan pada penilaian hakim, bisa kumulatif bisa alternative.
Ad.4. Ketentuan Peralihan
18
Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan lancar tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Ad.5 Ketentuan Penutup Memuat ketentuan mengenai : a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan; b. Nama singkat; c. Status peraturan perundang-undangan; d. Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan
7)
Materi Muatan Peraturan Daerah (Perdata) Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 ntentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah (UUPD), beberapa pasal menyebut mengenai materi muatan Perda. Pasal 10 menentukan bahwa : (1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. politik luar negeri; b. pertahanan, c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional; dan f. agama. (4)Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa. (5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan 19
pemerintah, diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat : a.
Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintahan; dan
c.
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan
Ketentuan pasal 10 diatas merupakan materii muatan umum untuk Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (Pemerintah Pusat) yang meliputi 6 hal tersebut. Selain sisa 6 hal tersebut diatas, materi muatan Perda dapat ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah kepada perangkat pemerintah atau Wakiul Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa; pelimpahan sebagian urusan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sudah barang tentu, agak sulit untuk mengatakan bahwa sisa dari yang 6 hal diatas menjadi seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 10 ayat (5) masih membuka kemungkinan adanya kewenangan urusan Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut. Untuk memudahkan memahami masalah tersebut, pasal 11 sampai dengan pasal 18 membuat rincian mengenai urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Rincian yang ditentukan, masih membuka penambahan urusan pemerintahan di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan lainnya (wajib atau pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan”, yang dikenal dengan ketentuan delegasian. Disamping itu, ada beberapa pasal yang secara jelas menyebutkan bahwa urusan pemerintahan daerah diatur dengan Perda, misalnya pasal 158, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan Pasal 200. Materi muatan Peraturan Daerah bagi daerah Otonomi Khusus Provinsi Nagroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, beberapa pasal dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang telah dirubah dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 2006 sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah menyebut materi muatan Qanun dan beberapa Pasal dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengatur mengenai materi muatan Peraturan daerah Khusus (Perdasus). 20
Perlu diingatkan bahwa Qanun adalah Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang merupakan Peraturan daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah Provisnsi Nangroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Adapun Peraturan Daerah di kabupaten/Kota tidak dinamakan Qanun, tetap Peraturan daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula Perdasus adalah Peraturan daerah Provinso Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. peraturan Daerah pada Kabupaten/Kota tetap Peraturan daerah Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 yang telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 telah ditentukan sebagai muatan Qanun yakni mengenai : (1). lambang daerah; (2) Wali Nangroe dan Tuha Nanggroe sebagai penyelenggara adapt, budaya, dan pemersatu masyarakat; (3) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; (4) Kewenangan Mahkamah Syariah; dan (5) ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi NAD. Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 telah juga ditentukan sebagai materi muatan Perdasus yakni mengenai : (1) lambang daerah; (2) usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam; (3) pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan; dan (4) pelaksanaan pengawasan social (pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP, DPRD, Gubernur dan perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran, dan usul. Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada Perda yang telah disahkan atau ditetapkan, pemerintah daerah harus menyisir pasal per pasal pada bagian mana terdapat ketentuan delegasian. Hal ini penting untuk menunjukkan sikap kepedulian daerah dalam menagkap keinginan atau aspirasi yang sifatnya nasional. Pasal 13 Undangundang Nomro 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan bahwa “Untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : a. penyediaan pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. penyediaan rapat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Dengan gambaran diatas, pada dasarnya masih banyak pekerjaan pemerintahan daerah yang harus diselesaikan dengan mempersiapkan raperda-raperda yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan kewenangan urusan pemerintahan daerah, delegasian 21
dari peraturan perundang-undangan diatasnya, dan atribusi. Untuk memersiapkan dan membentuk Perda tersebut, perlu diperhatikan pasl 136 sampai dengan pasal 147 Undangundang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan secara keseluruhan isi Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Telaahan terhadap Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa Perda di bentuk dalam rangka penyelenggaraan Oronomi daerah Provinsi/Kabupaten/ Kota. Lebih jelas telah ditegaskan dalam pasal 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 bahwa materi muatan Perda adalah seluruh materi dalam rangka enyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebh tinggi. Salah satu jenis penyelenggaraan otonomi daerah adalah kewenangan Pemda Provinsi terhadap penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyelenggaraan ketertiban umum dan menjaga ketentraman masyarakat bagi Pemerintah DKI Jakarta adalah suatu keharusan karena Jakarta adalah Kota Pusat Pemerintahan, Ibukota Negara, Kota Perdagangan, Kota wisata dan predikat-predikat lainnya. Kondisi tersebut tentu akan menjadi daya tarik bagi masyarakat internasional untuk menenamkan investasinya. Disamping itu disamping sebagai sebuah ibukota Negara dinamika perkembangan masyarakatnya sangat cepat berubah, sehingga memerlukan satu peraturan daerah yang bisa mengatasi semua kompeklsitas permasalahan di bidang ketertiban umum. Berdasarkan Perda tersebut, ruang lingkup perda dibagi menjadi 10 Tertib, yaitu : a. Tertib jalan, angkutan jalan, dan angkutan sungai; b. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; c. Tertib sungai, saluran, kolam, dan lepas pantai; d. Tertib lingkungan; e. Tertib tempat dan usaha tertentu; f. Tertib bangunan; g. Tertib social; h. Tertib kesehatan; i. Tertib tempat hiburan; dan keramaian j. Tertib peran serta masyarakat.
22
Sedangkan Bab-bab yang lain pada hakekatnya berisi pasal-pasal, agar sepuluh tertib dapat dilaksanakan secara efektif dalam masyarakat, yaitu bagaimana cara melakukan pembinaan, pengendalian, pengamanan, pengawasan, dan ketentuan pidana. 1) Tinjauan dari segi Kerangka/ Sistematika Jika Perda Nomor 8 tahun 2007 tersebut ditinjau dari kerangka/ sistematika secara umum sudah memenuhi persyaratan pembentukan peraturan perundang-undangan, baik yang berkaitan dengan judul, perubahan, konsiderans menimbang, dasar hukum dan dictum. Akan tetapi jika dicermati ada beberapa hal yang masih memerlukan penegasan antara lain terdapat pada : a. Menimbang : dalam menimbang aspek filosofis yang mendasarkan pada pandangan hidup bangsa Indonesia konsideran hanya nampak secara implicit, tidak secara tegas disebutkan. b. Dasar Hukum : dalam dasar hukum semestinya hanya memuat ketentuan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Perda tersebut, tetapi dalam Perda Ketertiban Umum ini dicantumkan berbagai peraturan perundang-undangan dengan jumlah yang sangat banyak yaitu sampai 24, yang jika dicermati banyak dicantumkan Perda-perda yang tidak perlu. Oleh karena itu jika ada rencana penggantian Perda ini, maka pencantuman Perda-perda tersebut, perlu mendapat perhatian. c. Ketentuan Umum : Hampir sama dengan pencantuman Peraturan Perundang-undqangan dalam dasar hukum, dalam ketentuan umum inipun terlalu banyak definisi/ pengertian, padahal cukup beberapa pengertian saja, atau akronim yang digunakan, dan istilah-istilah tertentu yang akan digunakan dalam pasal-pasal berikutnya. d. Materi Pokok : Perlu dicermati apakah ruang lingkup terhadap ketertiban umum cukup 8 (delapan) bidang tersebut dalam Perda, masih adakah tertib lain yang penting yang belum diatur seperti tertib pemohonan umum atau yang lain. e. Dalam Bab II Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan Sungai: 1) Secara umum dalam Bab II hanya mengatur tertib jalan di darat, tidak disinggung bagaimana mengatur tertib angkutan di sungai; walaupun dalam pasal 2 ayat (8) disebutkan, tetapi dalam ayat tersebut bukan mengatur angkutan sungai, tetapi mengatur pelarangan membuat rakit, keramba dan sebagainya. 2) Dalam Bab II ini terdapat rumusan Pasal yang kurang memperhatikan apakah perbuatan tersebut kumulatif atau alternative; sebagai contoh : Pada Pasal 5, dilarang mengangkut bahan berdebu dan bahan berbau busuk, penggunaan kata “dan” diartikan kalau hanya membawa bahan yang berdebu saja atau membawa yang hanya berbau busuk yang tidak dilarang;
23
Begitu pula dalam Pasal 9, yang tidak jelas pengaturannya kumulatif atau alternatif. f. Bab III Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum Dalam Pasal 12 huruf a : disebutkan dilarang memasuki taman yang bukan umum, berarti ke taman umum boleh masuk, yang tidak boleh adalah masuk ke taman pribadi, padahal dalam Bab ini tidak diatur taman pribadi. Dalam Pasal 12 huruf h, disebutkan dilarang membuang sisa permen karet; hal ini dapat ditafsirkan membuang sisa permen yang bukan Karen “boleh”. g. Bab IV Tertib Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas Pantai. Pada Pasal 13, rumusan harus hati-hati menggunakan kata “dan” seerti pada frasa “di dalam kawasan setu, waduk dan danau”. Hal ini dapat diartikan kalau dalam kawasan setu saja boleh, padahal yang dimaksud adalah alternative oleh karena itu hendaknya menggunakan kata-kata “dan/atau”. Begitupun menggunakan kata ”dan” pada Pasal 14 ayat (3) “air sungai dan danau”. Pada pasal 16 ayat (1) “menangkap ikan dan hasil lautnya” Pada pasal 16 ayat (2) “mengambil pasir laut dan terumbu karang” Pasal 16 ayat (3) : -
membuang limbah bahan berbahaya dan beracun;
-
ke saluran permukiman, sungai dan laut sebatas
-
12 mil
Di sarankan pada pasal-pasal tersebut diatas penggunaan kata dan ditambah atau, karena maksud kalimat-kalimat tersebut adalah alternative.
h. Bab V Tertib Lingkungan 1) Pada Pasal 17 ayat (1) perlu ada penjelasan “hewan tertentu”. Pada pasal 18 perlu ada penjelasan “hutan mangrove”. 2) Untuk Pasal 19 : dapat dipertanyakan : jika gubernur sewaktu-waktu mengizinkan boleh membunyikan petasan, tetapi petasan mana yang boleh dibunyikan, sebab, membuat, menjual dan menyimpan petasan tidak boleh, apa harus impor dulu; 3) Pada Pasal 20 : perlu dicermati pengunaan kata “dan”, mungkin lebih tepat “dan/atau”. 4) Pada Pasal 21, juga perlu dipertanyakan adakah jembatan penyeberangan binatang, jika tidak ada cukup ditulis jembatan penyeberangan saja. Juga cermati penggunaan kata sambung “dan”, tepatkah atau diganti “dan/atau”;
24
5) Pada Pasal 25 ayat (3) disebutkan “setiap orang dilarang membeli barang dagangan pedagang kaki lima”, Ketentuan tersebut pasti tidak akan efektif; lebih baik ketentuan tersebut didrop saja. 6) Pada Pasal 27 : rumusan akhir kalimat : diganti dengan kalimat yang sama dengan ketentuan pasal-pasal lain yaitu : “kecuali tempat-tempat yang diizinkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk”. 7) Pasal 27 ayat (3); lebih baik di drop saja, sebab ketentuan tersebut tidak akan efektif; 8) Dalam hubungan bisnis “perantara” punya peranan yang sangat penting, perantara yang dilarang menurut ketentuan pasal 28 ayat (1) dan (2) ini, perantara yang bagaimana ? 9) Ketentuan pada pasal 30 ayat (2), ini sangat tidak efektif, karena ketika pemotongan hewan kurban oleh panitia, dalam kenyataannya tidak ada panitia yang mengantongi surat izin dari Gubernur; 10) Pasal 1 ayat (2) perlu ada penyelesaian tentang daging gelap, daging selundupan, dan daging yang tidak layak dikonsumsi; apakah daging gelonggongan dapat dimasukkan dalam criteria tidak layak dikonsumsi ?
i. Bab VIII Tertib Sosial 1). Ketentuan Pasal 40 ini tidak akan efektif, karena tidak jelas tempat pelarangan tersebut; apakah di jalan-jalan umum (di jalan tol, atau di pasar) seharusnya ada penegasan tempat. 2). Pasal 42 ayat (1); penulisan “atau dan” mestinya di balik “dan/atau”
j. Bab XIV Ketentuan Pidana Khusus Bab Ketentuan Pidana ini, harap dicek secara cermat penunjukan pasal-pasal dan ayatayat yang diberi pidana, baik pidana kurungan maupun denda. 1). Pada pasal 61 ayat (1) perhatikan penunjukan pasal terakhir pasal 45 ayat (2) dan Pasal 57 menggunakan kata “dan”; itu ditafsoirkan kumulatif, jadi kalau melanggar salah satu pasal saja tidak bisa dipidana, yang bisa dipidana apabila semua pasal-pasal tersebut dilakukan. 2). Pada Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3). Juga digunakan kata sambung “dan”, mestinya “dan/atau”; dengan menggunakan dan/atau (alternative) melanggar satu pasal pun dapat dipidana/denda. 3). Lihat juga pasal 62, pasal 63 dab pasal 64 yang juga menggunakan kata sambung “dan”.
Pengharmonisasian Perda
25
Berbicara tentang pengharmonisasian, dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan “Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Ketentuan dalam pasal ini memang membatasi hanya rancangan undang-undang saja yang perlu diharmonisasikan, dan RUU-nya pun dibatasi hanya yang berasal dari Presiden. RUU yang datang dari DPR tidak melalui prosedur pengharmonisasian berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004. Selanjutnya, pasal ini juga menyebutkan bahwa yang diberikan kewenangan untuk melakukan koordinasi pengharmonisasian adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Rumusan pasal ini tidak bisa ditafsirkan lain selain Menteri Hukum dan HAM yang berwenang melakukan koordinasi pengharmonisasian RUU yang datang dari Presiden. Bagaimana dengan rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apakah berlaku prosedur pengharmonisasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 ? Mengenai hal tersebut tidak ada salahnya, apabila prosedur pengharmonisasian juga diberlakukan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan hal ini dalam praktik sudah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dikemukakan bahwa prosedur pengharmonisasian mestinya berlaku juga untuk semua jenis rancangan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Namun mengingat keterbatasan tenaga, kemampuan dan daya jangkau Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, maka pengharmonisasian dilakukan untuk rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di tingkat pusat saja, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Untuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu), karena materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang, maka secara mutatis mutandis berlaku prosedur pengharmonisasian. Sedangkan untuk Peraturan Daerah tidak mungkin dilakukan pengharmonisasian oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengingat begitu banyaknya daerah dan peraturan daerah. Yang paling mungkin dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undagnan adalah bimbingan dan konsultasi sebelum disahkannya peraturan daerah. Terkait dengan penghamronisasian Rancangan Peraturan Daerah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah, yaitu: 1) mengapa perlu dilakukan pengharmonisasian ? 2) aspek-aspek apa yang diharmonisasikan ?
Mengapa Perlu Pengharmonisasian 26
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membuahkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah, dan hal-hal selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hirarkhis peraturan perundang-undangan. Upaya pengharmonisasian dilakukan, selain untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomro 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, paling tidak ada 3 alasan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum. Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri antara lain ada saling keterkaitan dan saling tergantung dan merupakan satu kebulatan yang utuh, di samping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hirarkhis, ciri-ciri tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (5) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 2 menentukan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap muatan materi peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila Kemudian Pasal 3 ayat (1) menentukan Undang Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa Undang Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar. Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan hirarkhi adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
27
Dari ketentuan di atas jelas bagaimana saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang merupakan satu kebulatan yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Demikian pula Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarsan, kemantapan dan kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif.
b. Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review), baik secara material maupun formal. Pasal 24 A ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan antara lain bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Dengan demikian PP, Perpres, Perda dan
Peraturan perundang-undangan lain yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung. Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten. Putusan kekuasaan kehakimn dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial, dan poltiis yang luas. Karena itu pengharmonisasian perlu dilakukan secara cermat.
c. Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara taat asas dalam rangka membentuk peraturan perundang-undangan yang baik yang memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
28
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting dalam sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian, sehingga akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan hukum dapat diprediksi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antar warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur.
Aspek-Aspek Yang Diharmonisasikan Setidak-tidaknya ada 2 aspek yang perlu diharmonisasikan pada waktu menyusun peraturan daerah, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu: a. yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan daerah (Perda). Suatu peraturan daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah dapat dibatalkan, karena: 1) bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau 2) bertentangan dengan peraturan daerah atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan daerah dengan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengharmonisasian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan agar materi muatan peraturan daerah tidak tumpang tindih dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan pengharmonisasian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sudah tentu berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait perlu dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan yang erat berhubungan satu sama lain selaras. Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah UUD Negara RI, Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
2) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan daerah terhadap kepentingan umum. Dalam menyusun peraturan daerah hendaknya diperhatikan betul kepentingan umum. Pelanggaran terhadap kepentingan umum dapat menjadi alasan dibatalkannya peraturan daerah.
29
3) Pengharmonisasian rancangan peraturan daerah dengan putusan Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus dipertimbangkan oleh perancang dalam menyusun rancangan peraturan daerah. 4) Pengharmonisasian rancangan peraturan daerah dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-unangan yang meliputi: a) kejelasan tujuan; b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d) dapat dilaksanakan; e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; f) kejelasan rumusan, dan g) keterbukaan. Selain itu, pada waktu menyusun peraturan daerah juga harus diperhatikan asas-asas materi muatan peraturan daerah yang meliputi: a) pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan; f) bhinneka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan, 5) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan peraturan daerah dengan hukum adat, norma-norma tidak tertulis, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peraturan daerah yang akan disusun.
b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan akibatnya memang tidak sevatal pengabaian keharusan harmonisasi atas substansi peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan judicial review. Apabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, paling-paling kita hanya dapat megnatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut jelek. Yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan judicial review adalah alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.
B. Sikap dan pandangan Masyarakat terhadap Perda No.8 Tahun 2007 Sikap dan pandangan masyarakat terhadap hukum positif dalam arti dipatuhi dan dilaksanakan dalam bersikap tindak atau perikelakuan sesuai dengan rumusan-rumusan atau kaidahkaidah hukum tersebut dalam pergaulan hidupnya di masyarakat dan lingkungannya sangat 30
ditentukan oleh nilai-nilai yang terkandung dalam hukum itu yaitu nilai-nilai keadilan, perlindungan dan jaminan terhadap hak-haknya sebanding dengan sanksi positif dan negatif yang akan diterimanya atas kepatuhan atau pelanggaran terhadap hukum tersebut. Semakin fungsional dan operasional nilai-nilai hukum tersebut ditegakkan melalui tindakantindakan penegakan hukumnya oleh aparatur penegak hukmnya dalam melindungi kepentingan, keadilan, keamanan masyarakat, maka hukum itu semakin dipatuhi, ditaati dan dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat. Dengan demikian, fungsi kontrol terhadap sesama warga yang melakukan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum tersebut akan dapar berfungsi dengan baik karena masyarakat meyakini pelanggaran terhadap norma-norma hukum tersebut akan menimbulkan gangguan, ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban di masyarakat. Efektivitas hukum, ternasuk yang mengatur ketertiban umum, tidak hanya semata dikarenakan adanya sanksi, sekalipun sanksi tersebut cukup berat bagi pelanggar norma-norma hukumnya. Kesadaran, penghayatan, pengakuan dan penghargaan masyarakat akan pentingnya hukum serta penegakannya juga turut mempengaruhi efektivitas hukum itu. Hal ini lebih penting lagi dicermati khususnya dalam hal penegakan hukum sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, dimana keinginan hukum di sini adalah pikiran-pikiran badan pembuat peraturan (produk hukum) yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan itu. Kaidah-kaidah ini merupakan semacam rambu-rambu yang mengikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarakat itu termasuk di dalamnya para pejabat penegak hukum itu sendiri. Penegakan hukum dari dimensi sosial mencakup dua unsur, yaitu manusia dan lingkungan sosial dari penegakan hukum itu. Masalah pokok dari penegakan hukum sejatinya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yang mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : b. Faktor hukumnya sendiri c. Faktor penegak hukum, yakni pihak pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum d. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum e. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan f. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Agar hukum benar-benar hidup dalam masyarakat, ada beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum, yaitu :
31
a. Pemenuhan : suatu dukungan lahir disebabkan oleh adanya harapan terhadap penghargaan dan usaha untuk meniadakannya dapat dihukum. Kewenangan untuk mempengaruhi dilandasi pada ”pengendalian cara” dan sebagai konsekuensinya individu yang dipengaruhi mematuhinya hanya di bawah pengawasan. b. Identifikasi : penerimaan terhadap suatu aturan bukan karena nilai intrinsik dan seruan, tetapi karena seseorang berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu kelompok atau hubungannya dengan yang lain. c. Internalisasi : penerimaan oleh seseorang terhadap suatu aturan atau perilaku timbul karena ia menemukan hal itu sesuai hakikat penghargaan itu sendiri. d. Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukumnya yang ada. Berbagai bentuk penyimpangan (deviance) maupun pegelakan (permissive) dilakukan oleh masyarakat terhadap norma-norma hukum sebagaimana diatur dalam Perda tersebut. Pelanggaran terhadap Perda yang mengatur ketertiban umum masih terus terjadi dari hari ke hari. Dengan demikian, terlihat bahwa efektivitas hukum peraturan daerah tersebut baru sebatas nilai nominalnya , belum mewujud ke dalam bentuk efektivitas nilai intrinsiknya sebagai suatu hukum positif yang berlaku
di masyarakat.
32
BAB III HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN PENEGAKKAN PERATURAN DAERAH TENTANG KETERTIBAN UMUM
Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang merupakan pintu gerbang pergaulan internasional dari berbagai bangsa, dituntut untuk menampilkan sebuah kota yang tertib, tenteram dan aman, yang kondusif untuk pergerakan berbagai roda kehidupan. Dalam hal ini, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum merupakan salah satu perangkat penunjang guna mewujudkan tuntutan tersebut serta
visi sebagai kota metropolitas yang akan menuju
megapolitan agar sejajar dengan kota-kota lain di dunia yang dihuni oleh warga yang bermartabat, cerdas serta berakhlak mulia.
Namun demikian, penegakkan Perda tersebut tidaklah mudah,
memerlukan komitmen serta konsistensi tinggi dari berbagai pihak terkait. Dalam hal penegakkan Perda ini, harus melalui beberapa tahapan agar penegakkan hukum tersebut dapat menghasilkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum bersifat kompleks melalui penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 cukup mendalam dan kait mengait sehingga memerlukan penanganan yang komprehensif. Dengan semakin beragam dan kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007, seiring dengan perkembangan era globalisasi, maka keberadaan Aparat Dinas Tramtib dan Linmas, khususnya Aparat Sat. Pol PP yang profesional dan handal menjadi suatu kebutuhan mutak.
Para Aparat tersebut merupakan salah satu
komponen penegak hukum yang sangat penting di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan pasal 148 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, disebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, penegakkan Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Secara garis besar, permasalahan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu permasalahan yang berasal dari intern Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan permasalahan yang berasal dari ekstern Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, baik itu dari masyarakat, ormas, LSM dan lain-lain.
A. Hambatan yang Berasal dari dalam Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
33
Adapun permasalahan yang terkait dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih tertuju kepada berbagai hambatan yang dihadapi oleh para Aparat Pemerintah, khususnya Sat. Pol PP, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pengemban amanat untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, yaitu : 1. Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang Rendah. Hal ini menyangkut pula masalah disiplin, etos kerja, motivasi, tanggung jawab, bahkan penerapan reward and punishment. Kualitas Aparat, terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan manajerial dalam pemahaman dan pendalaman pengetahuan aspek hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan masih perlu ditingkatkan.
Dengan kondisi bahwa para Aparat belum
memahami sepenuhnya substansi Perda Nomor 8 Tahun 2008, mulai dari jenis tertib yang harus ditegakkan, klasifikasi sanksi hingga teknis penanganan terhadap setiap pelanggaran, maka penerapan dan penegakkan Perda tersebut belum dapat optimal hingga saat ini dimana masih banyak pelanggaran yang tidak terdeteksi, apalagi dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari segi kuantitas, seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang muncul di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, mulai dari tingkat Provinsi hingga RT/RW, maka jumlah Aparat penegak Perda saat ini belum memadai. Dengan masih terbatasnya jumlah Aparat, maka pemantauan, pengawasan, penertiban serta pengamanan belum dapat dilakukan secara merata dan intensif di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta.
2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Operasional Penegakkan Perda, Baik dari Segi Kualitas maupun Kuantitas. Di samping itu, pemeliharaan dan rasa memiliki sarana dan prasarana pada sebagian aparatur masih kurang.
Salah satu contohnya adalah adanya keterbatasan kendaraan operasional untuk
melakukan patroli keliling, terutama di tingkat Kelurahan dan Kecamatan. Dengan keterbatasan tersebut, maka kegiatan patroli terhadap berbagai bidang tertib belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh untuk setiap wilayah.
3. Dana Operasional yang Belum Memadai. Hal ini terkait baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hambatan-hambatan tersebut di atas. Dengan belum mencukupinya dana dimaksud, maka program-program kegiatan penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 ini pun menjadi terhambat, mulai dari tahap sosialisasi,
34
pengawasan, penertiban hingga pengamanan / penjagaan pasca penertiban guna menjaga kestabilan situasi dan kondisi yang ada.
4. Konsistensi serta ketegasan para Aparat dalam menegakkan Perda. Dalam hal ini, kondisi penegakkan hukum di wilayah Provinsi DKI Jakarta walaupun mulai mendapat perhatian dari semua pihak tetapi belum menunjukkan kemajuan yang berarti, yang dapat dilihat dari beberapa fakta yang masih terus bermunculan dalam lingkaran siklus penegakkan Perda. Moral dan mental para Aparat yang masih cenderung negatif merupakan salah satu faktor penghambat yang kruisal. Sulitnya law enforcement dikarenakan sulitnya menerapkan sanksi terhadap saudara kita sendiri yang terpaksa melanggar aturan Perda karena “persoalan perut”, misalnya PKL yang mendirikan usaha di badan jalan atau anak-anak kita yang putus sekolah dan menganggur menjadi joki three in one. Bahkan, kita sendiripun karena keterpaksaan, terkadang melanggar aturan dengan menggunakan jasa joki tersebut. Praktek-praktek premanisme dan pungutan liar yang dilakukan oleh para oknum aparat dalam proses penegakkan Perda juga masih cukup banyak dalam berbagai bidang tertib di Perda Nomor 8 Tahun 2007. Hal ini telah membuat ketenteraman dan ketertiban umum di Jakarta bukan saja menjadi sulit untuk ditegakkan, melainkan juga menjadikan “biang penghambat” penegakkan Perda terus berkembang biak. Selain itu, masih banyak pula oknum Aparat tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Selain itu, penerapan sanksi denda administrasi berupa uang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Terkait dengan semakin kritisnya masyarakat, maka di saat masyarakat yang notabene melanggar salah satu aspek dalam Perda
Nomor 8 Tahun 2007 ditertibkan oleh Aparat dan
dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang ada, maka pihak masyarakat pun akan mengelak dan berargumen bahwa belum layak dijatuhi sanksi karena belum mengetahui adanya peraturan dimaksud. Dalam kasus ini, pihak masyarakat tersebut memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena memang diakui bahwa sosialisasi belum dilakukan secara merata dan menyeluruh ke semua lapisan masyarakat di semua wilayah Provinsi DKI Jakarta. Di samping itu, kendala yang kerap dihadapi terkait dengan konsistensi para Aparat dalam menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum adalah kurang optimalnya penanganan pasca operasi yang disebabkan oleh egosektoral. Pada saat kegiatan penertiban telah dilakukan oleh Aparat terkait, ke depannya terkadang tidak ada tindak lanjut dari instansi terkait untuk melakukan penjagaan / pengamanan secara berkelanjutan guna menghindari munculnya kembali permasalahan / pelanggaran kembali. Hal ini terutama dikarenakan belum kuatnya jalinan koordinasi antar instansi terkait, juga terkadang tidak sejalannya kebijakan pusat dan daerah (benturan kepentingan). 35
B. Hambatan yang Berasal dari luar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Adapun permasalahan dalam penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang terkait dengan berbagai elemen masyarakat adalah :
1. Kurangnya dukungan dari masyarakat. Hal ini tergambarkan dari lemahnya disipin serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menaati peraturan yang berlaku. Keadaan ini makin diperburuk dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum. Kondisi ini menyulitkan posisi Pemerintah Daerah dalam penegakkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
2. Tuntutan masyarakat yang berkembang, yang menghendaki perubahan total pada sikap dan perilaku aparat pemerintahan daerah baik dalam menjalankan fungsi pelayanan publik maupun fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini muncul seiring dengan terus bergulirnya isu demokrasi yang terkadang menjurus kepada kebebasan yang tak terkendali, sebagai salah satu imbas dari terbukanya era reformasi serta ketidakstabilan ekonomi dan suhu politik di Negara ini. Adapun kenapa selanjutnya kondisi tersebut menjadi salah satu penghambat dalam proses penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007, adalah dikarenakan euforia demokrasi dimaksud dimanfaatkan oleh beberapa orang ataupun kelompok (ormas, LSM dll) yang melakukan perlawanan yang memprovokasi masyarakat untuk menentang diberlakukannya Perda ini dengan dalih memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Salah satu contoh kasusnya adalah kecaman dan penolakan terhadap beberapa aspek Tertib Sosial, yaitu larangan untuk menjadi pengemis, pedagang asongan, pengamen atau pedagang kali lima (PKL). Kekeliruan dalam memahami dan mengimplementasikan demokrasi belakangan ini telah menjadikan sebagian masyarakat merasa bebas untuk berbuat apa saja, tanpa mengindahkan hukum. Kebebasan dan unjuk kekuatan telah menjadi model dan instrumen untuk menyampaikan tuntutan, yang bila tidak dikendalilkan berpotensi menjadi tindakan-tindakan anarkhis yang sangat meresahkan dan sangat mengganggu kehidupan normal masyarakat, yang kemudian menjadi sebuah pelanggaran baru terhadap Perda ataupun Peraturan Perundang-undangan lainnya. Maka dari itu, kedewasaan dan sikap-sikap elegan khususnya pada masyarakat Jakarta masih harus menjadi perhatian.
36
BAB IV UPAYA PENEGAKKAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN KETERTIBAN UMUM
Berdasarkan segala permasalahan yang telah tersebut di awal, tidaklah mudah bagi Aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama Sat. Pol PP sebagai penegak Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum secara berkelanjutan. Upaya yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan guna menciptakan citra kehidupan yang tertib, disiplin, nyaman dan damai perlu dilaksanakan dengan segera, melalui langkah-langkah efektif dan koordinatif dalam rangka terciptanya supremasi hukum di segala bidang. Untuk itu, semua pihak harus mendukung agar Sat. Pol PP terus menerus dapat meningkatkan profesionalisme serta kapasitasnya agar mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai isu strategis yang muncul dan berpotensi mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum melalui berbagai bentuk, yaitu :
A. Pembinaan SDM. Upaya Pemerintah Daerah dalam meningkatkan kualitas SDM dalam melaksanakan tugas di lapangan telah dilakukan untuk Aparat di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta secara rutin dan berkelanjutan. Adapun bentuk-bentuk pembinaannya antara lain adalah sebagai berikut : -
Diklat Dasar dan Lanjutan Polisi Pamong Praja
-
Diklat Pengendalian Massa (Dalmas) dan PenangananHuru Hara
-
Diklat SAR untuk penanggulangan bencana
-
Workshop Peningkatan Mutu SDM dll Terkait dengan fungsi pengawasan, perlu adanya peningkatan kualitas terhadap SDM bagi
aparatur pengawas, baik dari segi peningkatan pengetahuan, kemampuan dan keahlian (skill) maupun dari segi integritas moral serta dedikasi pribadi yang baik, dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Kesemrawutan yang terjadi selama ini, bukan semata karena tidak tertibnya masyarakat, melainkan terbukanya kesempatan akibat dari mental korup dan manipulatif oknum Aparat dan masyarakat. Namun demikian, proses pemberdayaan Aparat tidak hanya diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan fisik sebagaimana bentuk pelatihan penanganan huru hara dengan polisi dan TNI, tetapi juga dilakukan pengasahan kualitas SDM dalam hal kemampuan skill 37
manajerial, terutama peningkatan kualitas pemahaman mengenai indikator aspek hukum khususnya yang bersumber dari peraturan daerah, persepsi hukum dan akibat-akibat hukum dari tindakan di lapangan. Khusus dalam kaitan dengan tugas di lapangan yang penuh dengan “onak dan duri” selain pengetahuan tentang hukum, Aparat harus dibekali pula dengan pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, pelacuran dll, sehingga ungkapan ketidaktahuan tentang berbagai fenomena sosial di dalam masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan diantisipasi dengan tepat.
B. Peningkatan jumlah personil serta sarana dan prasarana pendukung operasional. Lemahnya SDM tidak lepas dari sisi faktor penunjang seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai sehingga aspek tersebut perlu ditingkatkan sesuai dengan tingkat kebutuhan saat ini. Selain itu, seperti telah diutarakan di awal bahwa seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada, maka untuk ke depannya akan diupayakan penambahan jumlah Aparat Penegak Perda dan Peraturan perundang-undangan lainnya sehingga akan semakin kecil celah bagi kasus-kasus pelanggaran di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, mulai dari tingkat Provinsi hingga Kelurahan dan RT/RW.
C. Peningkatan sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat. Sebagai tahap awal, Sosialisasi ini dititikberatkan pada para Aparat tingkat Kelurahan dan Kecamatan, LSM, Ormas dan Pelajar. Apabila sosialisasi ini telah dilaksanakan secara optimal, maka tidak ada istilah lagi bagi para pelanggar Perda bahwa mereka tidak tahu menahu keberadaan aturan dimaksud. Dengan demikian, penerapan sanksi pun akan optimal. Langkah sosialisasi ini dapat juga menjadi salah satu bentuk tindakan pre-emtif dalam penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007, dimana masyarakat umum dihimbau dan diingatkan untuk bertindak dan berperilaku sesuai ketentuan yang ada. Dengan demikian, pihak Pemerintah Daerah dapat secara pro aktif menciptakan ketertiban tanpa harus melakukan penertiban, yaitu dengan secara konkrit mengatur, mencegah serta memberikan sebuah himbauan dan solusi atas persoalan-persoalan ketertiban dan ketenteraman umum.
D. Perlunya konsistensi Pemerintah Daerah dalam menegakkan Perda.
38
Ketaatan masyarakat terhadap hukum sangat tergantung dari sikap dan ketegasan Aparat untuk menegakkan Perda itu sendiri, termasuk konsistensi Aparat sebagai pelaksana dan pengendali ketenteraman dan ketertiban umum. Selain itu, kewajiban bagi warga masyarakat
yang tercantum
dala Perda ini
ke depannya dibarengi dengan konsistensi Pemerintah Daerah dalam menyediakan sarana prasarana penunjang / pendukung penegakkan Perda tersebut. Sebagai contoh: Kewajiban pejalan kaki untuk berjalan di tempat yang telah ditentukan dibarengi dengan dengan konsistensi Pemda DKI Jakarta di dalam menyediakan pedestrian yang cukup bagi pejalan kaki; kewajiban menunggu angkutan umum di halte yang diatur dalam Perda ini dibarengi pula pada upaya penegakkan aturan kepada para pengemudi angkutan umum dalam mengangkut dan menurunkan penumpang. Dalam rangka optimalisasi penegakkan Perda yang diiringi dengan konsistensi para Aparat penegaknya, maka disusunlah prosedur / petunjuk pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007. Selanjutnya, ditingkatkan pula intensitas pengawasan oleh instansi yang berwenang.
Apabila
seluruh instrumen tersebut telah tertata dengan baik, maka optimalisasi penerapan sanksi pun akan terwujud tanpa pandang bulu.
E. Peningkatan peran serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses penegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 sangat kruisal. Seperti telah digambarkan di awal, bahwa tanpa adanya dukungan dari masyarakat, maka perwujudan ketenteraman dan ketertiban umum akan jauh dari realita. Saat ini, dengan telah dibentuknya Dewan Kelurahan, telah menambah “mitra” Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang ketenteraman dan ketertiban umum, khususnya dalam penyebarluasan produk hukum dan memberikan penerangan hukum kepada masyarakat yang bertempat tinggal di Rukun Warganya masing-masing. Untuk itu, perlu ditekankan adanya hubungan timbal balik yang positif antara unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat. Satu sisi, Pemerintah Daerah perlu meningkatkan kepekaan dalam menyikapi tuntutan masyarakat untuk kemudian segera ditindaklanjuti berdasarkan kebijakan yang ada. Di sisi lain, perwakilan masyarakat melalui Dewan kelurahan atau Pengurus RT/RW / Kelurahan / Kecamatan perlu bersikap lebih bijak dan apat menjadi fasilitator yang baik guna mencegah terjadinya kesalahpahaman atau konflik sosial akibat dari provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Apabila tuntutan masyarakat tidak dapat tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, hal itu dapat menyebabkan terjadinya gejolak emosional, kerusuhan sosial dan gangguan ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Telah menjadi satu kenyataan bahwa krisis kepercayaan terhadap Pemerintah telah mengakibatkan menurunnya kewibawaan Pemerintah dan 39
rendahnya respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di masyarakat, tetapi semoga hal tersebut dapat kita hindari ke depannya.
F. Perlu adanya pedoman teknis yang jelas dan terukur untuk melindungi masyarakat dari kekerasan aparat yang berujung pada pelanggaran HAM,
di samping itu juga
untuk melindungi aparat dari kesewenang-wenangan dirinya sendiri. Dalam hal ini, tugas Aparat sangat diuji dalam penerapannya di lapangan untuk tidak menimbulkan kesan bahwa Dinas Tramtib dan Linmas merupakan alat penguasa belaka bukan sebagai pengayom, pencegah maupun penegak Perda. Seperti yang sering kita lihat, sebuah upaya penertiban PKL yang mencari nafkah tidak pada tempatnya, selalu berujung pada kekerasan, kerusuhan yang menyebabkan lahirnya korban. Tidak saja korban fisik tetapi juga korban ekonomis, dimana para PKL pada akhirnya mengklaim bahwa Pemerintah secara struktural telah menindas ekonomi rakyat kecil yang menyebabkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencaharian.
Demikian pula halnya dengan penertiban rumah liar di
Daerah Aliran Sungai (DAS), jalur hijau, dan kolong-kolong jembatan yang selalu berakhir dengan ujung kisah yang sama. Terkait dengan hal tersebut, diharapkan pula kepada para Aparat agar dalam melaksanakan kegiatan operasional di lapangan dapat melakukannya dengan penuh tanggung jawab, tegas, disiplin serta selalu berpegang teguh kepada koridor hukum/aturan-aturan yang berlaku. Dengan demikian, dapat dihindari tindakan yang berakibat pada pelanggaran HAM.
G. Penguatan jalinan kerjasama / koordinasi yang lebih terencana dan komprehensif antara instansi terkait. Menyadari kesulitan yang mungkin timbul terutama dalam penyatuan persepsi, mengatasi kendala situasi dan kondisi di lapangan, kecepatan dan penanganan dalam penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum, maka diperlukan koordinasi antar instansi terkait. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum secara komprehensif, mulai dari fase pelaksanaan tindakan pre-emtif, preventif, represif hingga penanganan pasca tindakan represif (operasi penertiban). Apabila seluruh fase ini dilakukan secara terintegrasi antar instansi terkait, maka akan ada jaminan bahwa perwujudan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah Provinsi DKI Jakarta akan dapat terwujud tanpa hambatan berarti serta tanpa meninggalkan jejak kasus di belakangnya, seperti yang selama ini terjadi (adanya perlawanan dari pihak yang ditertibkan).
40
Terkait dengan hal tersebut di atas, perhatian juga perlu diberikan pada pengelolaan aset-aset daerah terutama tanah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan kebijakan pertanahan yang berkeadilan. Untuk itu, diupayakan penjagaan dan pengawasan secara berkelanjutan, termasuk upaya pengamanan serta penertiban secara tegas sejak awal, sehingga aset daerah tidak dikuasai oleh pihak-pihak lain yang akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
H. Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka pelanggaran Perda dan gangguan tramtibum yang terjadi oleh tindakan atau penyelesaian hukum sebagai bentuk sanksi bagi para pelanggar. Penyelesaian hukum tersebut menjadi kewenangan Aparat Pemerintah, termasuk Anggota Satuan Polisi Pamong Praja, yang ditetapkan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun memiliki program rutin dan berkelanjutan untuk pembinaan terhadap para PPNS dalam rangka mengoptimalkan tugas pokok dan fungsinya dalam menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
41
BAB V
A. KESIMPULAN
B. SARAN
42
DAFTAR PUSTAKA
E.Y. Kanter E.Y., Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982.
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Soepapto Indrati Farida Maria, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998.
Sunggono Bambang, Hukum dan Kebijakan Publik, BPHN, Jakarta, 1994. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
43