LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM
PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DKI JAKARTA TAHUN 2009
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peran notaris sangat penting yaitu sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya sebgaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak diundangkan. Oleh karena itu maka, adalah wajar jika notaris sebagai pejabat umum yang profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas, baik kualitas ilmu amal, maupun kualitas moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran martabat notaris, sehingga dalam memberikan pelayanannya dalam masyarakat senantiasa berpedoman kepada kode etik profesi dan berdasarkan Undang-undang tentang jabatan notaris. Peningkatan profesional kerja dapat dimulai dari, pribadi masingmasing notaris sebagai cerminan dari profesionalisme Jabatan notaris itu sendiri. Sehingga dengan kesadaran individu para notaris diharapkan pula akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan jasa notaris bagi masyarakat yang memerlukannya. Guna menjamin kepastian hukum dinegara kita. Setiap individu notaris yang melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan selain terikat kepada kode etik juga terikat kepada ketentuan organisasi profesi notaris itu sendiri, sedangkan kita ketahui sekarang bahwa Ikatan Notaris Indonesia merupakan satu-satunya berbentuk Badan Hukum Perkumpulan, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.C2-1022.HT.01.06.TH 95 tanggal 23 Januari 1995 yang telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 7 April 1995 No. 28 sebgai organisasi resmi wadah dari para notaris. Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi notaris tentunya menginginkan
para
Perundang-undangan
anggotanya dalam
untuk
menjalankan
mentaati
semua
tugasnya
guna
ketentuan menjaga
keluhuran martabat notaris dan mengigat pentingnya produk yang dikeluarkan oleh seorang notaris, seperti kita ambil contoh bahwa seorang notaris berwenang membuat akta notaris dalam hal mana kata otentik adalah merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh yang mempunyai
2
peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, sebab dengan kekuatan akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, sehingga menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Dan jika terjadi sengketa, maka akta otentik memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga akta otentik menjadi alat bukti yang terkuat dan terpenuh dapat memberikan penyelesaian perkara secara mudah dan cepat. Mengigat peranan dan kewenangan notaris sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan notaris dalam menjalankan jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat
merugikan
masyarakat,
sehingga
lembaga
pembinaan
dan
Pengawasan terhadap notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas Notaris dalam sistem pengawasan terhadap notaris, sehingga diharapkan dlam menjalankan tugas profesi jabatannya notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Untuk
memperoleh
gambaran
menyeluruh
tentang
Pelaksanaan
Pembinaan dan Pengawasan Notaris di wilayah Provinsi DKI Jakarta. maka Tim Pengkajian
Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan Hak
Asasi Manusia DKI Jakarta perlu melakukan pengkajian hukum dengan judul
“PENGKAJIAN
HUKUM
TENTANG
PEMBINAAN
DAN
PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA”
B. Perumusan Permasalahan 1. Bagaimanakah pengaturan pembinaan dan pengawasan notaris dalam peraturan perundang-undangan. 2. Bagaimanakah Pelaksanaan tentang Pembinaan dan Pengawasan Notaris di wilayah Propinsi DKI Jakarta?
C. Maksud dan Tujuan Pengkajian 1. Untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh tentang pengaturan pembinaan dan pengawasan notaris dalam peraturan perundangundangan. 2. Untuk mengetahui secara jelas tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan Notaris diwilayah DKI Jakarta.
3
D. Kerangka Teori Sistem norma hukum adalah kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat berupa keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.1 Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya system hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya. Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana
suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (Stufentheorie). 2 Sistem hukum di dalam menjalankan fungsinya melalui 3 proses (tiga) tahapan yaitu :3 1. Pembentukan Hukum ( law making policy). 2. Penegakan Hukum (law enforcement policy). 3. Pembangunan Budaya Hukum (legal cultur). Kebijakan substansi
hukum
pembentukan yang
hukum
responsive
diarahkan dan
untuk
mampu
membentuk
menjadi
sarana
pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional
dengan
mewujudkan
ketertiban,
legitimasi
dan
keadilan.
Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan 1
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001, hal. 82. Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998, hal. 25. 3 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, BPHN, Jakarta, 1994, hal. 95. 2
4
hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law. Masalah Penegakan Hukum merupakan masalah yang tidak sederhana bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. Di dalam penegakan hukum, berkaitan dengan 3 hal meliputi :4 1. Substansi Hukum; 2. Struktur atau Kelembagaan Hukum. 3. Budaya Hukum. Di dalam Pembangunan budaya hukum diarahkan menyempurkan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat. 5 Indonesia sebagai penganut system Hukum Eropa Kontinental menempatkan Notaris berwenang memberikan legal advice dan memeriksa dan menilai sebuah perjanjian apakah sudah memenuhi kaidah perjanjian yang benar dan tidak merugikan salah satu fihak. Notaris merupakan salah satu komponen profesi di bidang hukum yang perannya sangat besar bagi pemerintah. Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang notaries harus memiliki integritas dan bertindak profesional. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia6 disebutkan bahwa Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya)
tertentu. Professional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasiln 4
E.Y. Kanter, 0p. cit., hal. 82. A.A. Oka Mahendra, Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.1 No.4 – Desember 2004, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 29. 6 Anton Moeliono, M. et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. 3 . h. 702 5
5
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakpan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi ( Pasal 1 angka 4 Bab I tentang Ketentuan Umum Undang- Undang Tentang Guru Dan Dosen). Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan besamasama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dank arena itu mempunyai tanggung jawab khusus karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang mempergunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi negative profesi ini. Ciri-ciri profesi menurut Budi Santoso meliputi : 7 a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas. b. Suatu teknis intelekutual c. Penerapan praktis dari teknis intelekutual pada urusan praktis d. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi e. Beberapa standard an pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan f. Kemampuan memberi kepempinan pada profesi sendiri g. Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kwalitas komunikasi yang tinggi antar anggota. h. Pengakuan sebagai profesi i.
Perhatian
yang
profesinal
terhadap
penggunaan
yang
bertanggung jawab dari pekerjaan profesi. j.
Hubungan erat dengan profesi lain.
Berdasarkan kriteria diatas maka profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang
7
Budi Santoso, C.S.T Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradny Paramita, 2003, Cetakan.2 H.5.
6
dilakukan
secara
bertanggung
jawab
dengan
tujuan
memperoleh
penghasilan. Profesi Notaris sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004; Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Tugas notaris adalah membuat akta otentik dengan profesi bebas dari pengaruh kekuasaan eksternal. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus menepati beberapa kewajiban anatra lain : a. bertindak jujur; b. seksama; c. mandiri; d. tidak berpihak; e. menjaga kepentingan pihak terkait dalam pembuatan hukum ( Pasal 16 ayat (1) Huruf a). Kepribadian Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Peraturan Jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. Dalam melakukan profesinya harus memiliki professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya dibidang hukum. Etika Profesi Hukum adalah norma moral yang harus ditaati oleh mereka yang berprofesi di bidang hukum. Untuk membuat hukum yang baik diperlukan orang-orang yang memiliki moral dan etika yang baik. Menurut Amir
Syamsuddin,
empat
fakta
yang
menandai
kondisi
gagalnya
penegakkan hukum di Indonesia adalah8 : 1.
ketidakmandirian hukum;
2.
integritas penegak hukum yang buruk;
3.
kondisi
masyarakat
yang
rapuh
dan
sedang
mengalami
pseudoreformatie syndrome; 4.
pertumbuhan hukum yang mandek.
Berkaitan dengan penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus ada :9 1.
adanya hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
8
Amir Syamsuddin, integritas penegak hokum,Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008,Cetakan I Hal 130. 9 Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakkan Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1987, Cet. Ke 1 h.4.
7
2.
adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas moral yang terpuji
3.
adanya kesadaran hukum masyarakat. Terhadap perilaku dan pelaksanan jabatan Notaris maka diperlukan
system dan mekanisme pembinaan serta pengawasan yang efektif terhadap jabatan ini. Untuk itu dibentuklah Majelis Pengawas yang bertugas untuk memberikan arahan dan tuntunan sehingga dapat memberikan jaminan kepasti dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas. Sebagimana yang tertera dalam UU jabatan Notaris Pasal 67 dikatakan bahwa majelis pengawas terdiri dari unsur : a.
pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b.
organisasi Notaruis sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c.
ahli / akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
E. Metode Pengkajian Pengkajian ini akan lebih menitikberatkan pada kajian normatif.10 Dengan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan Notaris diwilayah DKI Jakarta . Pengkajian ini juga menggunakan pendekatan sosio hukum dengan maksud ingin melihat lebih jauh ketimbang doktrinal, perspektif lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
F. Bahan Pengkajian Data yang dibutuhkan dalam pengkajian ini merupakan data sekunder, yang mencakup :11 a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat mulai dari dari Undang-Undang Dasar dan peraturan terkait lainnya.
10
Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahn pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, ( Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15. 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, hal. 52.
8
b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. c. Bahan hukum tertier yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus, buku saku, agenda resmi dan sebagainya. G. Jadwal Pelaksanaan NO. 1.
KEGIATAN
WAKTU
Persiapan Penyusunan Proposal 2 bulan
KETERANGAN Januari-Februari 2009
Pengkajian Hukum 2.
Pengolahan Data Kepustakaan
2 bulan
3.
Penyusunan Naskah Pengkajian 3 bulan
Maret-April 2009 Mei-Juli 2009
Hukum dan HAM 4.
Pembahasan Penyempurnaan
dan 3 bulan
Agustus-Oktober 2009
Hasil
Pengkajian Hukum 5.
Pembuatan Laporan Pengkajian 2 bulan
November-Desember
Hukum
2009
H. Sistimatika BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Maksud dan Tujuan D. Kerangka Teori dan Konseptual E. Metode Pengkajian F. Bahan Pengkajian G. Jadwal Pelaksanaan H. Sistematika I. Personalia Tim 9
BAB II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
PEMBINAAN
DAN
PENGAWASAN NOTARIS BAB III
PELAKSANAAN
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN DI
PROPINSI DKI JAKARTA BAB IV
ANALISIS
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
I. Personalia Tim Pengkajian Ketua Tim
:
DR. H. Agus Anwar, SH. MH.
Sekretaris
:
Usdianto, SH, MH.
Nara sumber : Anggota
Linda Herawati, SH.
:
1. Maryati Basir, SH, MH. 2. Noor Moh Azis SH, MH, MM. 3. Fauzi, SH. MH. 4. Winarti, SH. 5. Chandra Yusuf, SH, LLM.MBA. M.Mgt. 6. Adjuanasah, SH.MH. 7. Suratin Eko Supono, SH, SIP, MH.
10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS
A.
Sejarah Notaris Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan
menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja.12 Fungsi notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada saat ini
Pada akhir abad kelima sebutan notarii diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat , yang sekarang dikenal sebagai stenografen
Pejabat-pejabat yang dinamakan notarii tersebut merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik. Yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya.13 Pada dasarnya fungsi tabelliones mirip dengan fungsi Notaris pada masa sekarang, hanya saja akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan.14
Selain tabelliones terdapat juga pejabat lain yang diberi nama tabularii yang bertugas
memegang
dan
mengerjakan
buku-buku
keuangan
kota
serta
mengadakan pengawasan terhadap administrasi kota. Tabularii juga ditugaskan menyimpan
surat-surat
dan
berwenang
membuat
akta.
Tabularii
behak
menyatakan secara tertulis terhadap tindakan-tindakan hukum yang ada dari para pihak yang membutuhkan jasanya.15 Tabularii merupakan saingan berat bagi para tableliones
Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC)16 di Indonesia. Jan 12
Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center forDocumentation and Studies of Bussiness Law (CDSBL). 2003), hal. 31. 13 Ibid. 14 Ibid.,hal. 32. .15 Ibid. 16 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris , (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 15.
11
Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal di Jacarta (sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris
Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, sekretaris dari College Van Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia.17 Dalam akta pengangkatannya sebagai Notaris, secara singkat dimuat suatuninstruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yaitu menjalankan tugas jabatannya di Jakarta demi kepentingan publik dan berkewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen-dokumen dan aktaakta yang dibuatnya
Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris College Van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkannya instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan
bahwa
Notaris
wajib
merahasiakan
segala
sesuatu
yang
dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari aktaakta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.18 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan
Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands
Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas
dan
wewenang dari seorang Notaris dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak , dengan maksud un tuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.19
Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peratutan-peraturan yang yang baru mengenai jabatan Notarisdi Nederlands Indie utnuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3).20
Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan peralihan Undang17
Ibid. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982)hal. 23. 19 Ibid., hal. 24-25. 20 Habib Adjie, Sanksi Perdata 18
12
undang Dasar (UUD)1945, yaitu:”Segala
peraturan perundang-undangan yang
ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undangundang Dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas kewajiban Kementerian Kehakiman.21
Tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat
untuk seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat-Papua
sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya..22
Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.23
Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) UU tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk
dengan
kewajiban seperti tersebut dalam Pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan , sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan
Notaris.
Mereka
yang
ditunjuk
dengan
kewajiban seperti tersebut dalam Pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 33 tahun 1954),sedangkan 21
Ibid. Ibid. 23 Ibid. 22
13
yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3)-(Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) sebagai Reglement tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia24
Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan Notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan Pasal 3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Ketentuan pengangkatan Notaris oleh Gubernur Jenderal, oleh Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan juga mencabut Pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) Tahun 2004 diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang
Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi: 1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860:3)25 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 september 1931 tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379; dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Dijelaskan dalam Penjelasan UUJN bagian Umum, UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undangundang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu 24
Ibid. Menurut Habib Adjie, penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860:3) ada kesalahan, karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut nederlands Indie, seharusnya masih disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, selanjutnya biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris atau PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Ibid. hal. 4. 25
14
unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wwilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undangundang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia dan berdasarkan Pasal 92 UUJN, dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 6 Oktober 2004. Salah satu contoh unifikasi substansi UUJ yang harus dilakukan oleh para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN mengenai kewajiban mengirimkan daftar akta wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Pengiriman daftar akta wasiat ini, sebelumnya hanya dilakukan oleh para Notaris untuk Warga Negara Indonesia yang selama ini dikualifikasikan tunduk atau baginya berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan berlakunya UUJN ini, maka pengkualifikasian seperti itu tidak berlaku lagi. Siapapun yang membuat wasiat di hadapan Notaris, maka Notaris wajib melaporkannya ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesiadan wajib pula untuk meminta surat keterangan dari Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengenai ada wasiat atau tidak ada wasiat atas nama seseorang. Kewajiban seperti itu berlaku atau dilakukan oleh Notaris, jika pembuatan bukti sebagai ahli waris dibuat di hadapan Notaris.
B. Jabatan Notaris Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan
lainnya
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-undang
ini.26Istilah Pejabat Umum merupakan terjemah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN27 dan Pasal 1868 KUHPerdata.28 Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan:29 “Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalan suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya,
26
Pasal 1 angka 1 UUJN. Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art.1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hal. 31. 28 Istilah Openbare Ambtenarenn yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosidibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya Paramita,1983). 29 G.H.S. Lumban Tobing , op.cit. 27
15
menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.” Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum
diartikan sebagai pejabat yang diserahi
tugas untuk membuat akta otektik yang melayani kepentingan publik , dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris. 30
Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum. Sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris , tetapi ada juga pejabat lain, misalny: Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada Pejabat lain selain Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja.
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Pasal 15 ayat (1) UUJNmenyebutkan: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang.
Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta yang 30
Habib Adjie, op.cit., hal. 27.
16
dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.
Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat membutuhkan alat bukti tertulis peristiwa,
yang
yang bersifat otentik mengenai keadaan,
atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini, mereka
yang
diangkat sebagai Notaris harus mempunya semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. 31 Oleh
karena
itu
Notaris
tidak
berarti
apa-apa
jika
masyarakat
tidak
membutuhkannya.
Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik:32
a. Sebagai Jabatan Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan Notaris sebagai Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan
dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika
seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan,
dapat
dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar
wewenang. Dalam UUJN, wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat dan
31 32
Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN. Habib Adjie, op.cit., hal. 32-36.
17
diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:
1) Bersifat mandiri (autonomous) 2) Tidak memihak siapapun (impartial) 3) Tidak tergantung pada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunya tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti eugi dan bunga tersebut
jika ternyata akta
dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat
C. Syarat, Kewajiban dan Larangan bagi Notaris Notaris dalam segala fungsi dan kewenangannya dalam rangka pelayanan di bidang hukum, dituntut untuk memiliki kecakapan teknis di bidangnya, dedikasi tinggi, wawasan pengetahuan yang luas`disertai integritas moral. Untuk itu ditetapkan berbagai ketentuan mengenai syarat-syarat, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi Notaris dalam melaksana kan jabatannya
Pasal 3 UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah: a. Warga Negara Indonesia b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun d. Sehat jasmani dan rohani
18
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan strata dua kenotariatan f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, advokat atau tidak
sedang
memangku jabatan lain yang oleh Undang - undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris
Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN, yang selengkapnya berbunyi:
(1)
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris c. Mengeluarkan Groosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam satu bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) dan jika jumlah akta tidak dapat dibuat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akhir setiap bulan; i.
Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
19
Departemen yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang
kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j.
Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya ditulis nama , jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l.
Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap , saksi dan Notaris;
m. Menerima magang calon Notaris (2)
Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3)
Akta originali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah akta a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai; c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa; e. Keterangan kepemilikan, atau; f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)
Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata ”berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.
(5)
Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap;
(6)
Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan peraturan Menteri;
(7)
Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaku agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris.
20
(8)
Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan
hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. (9)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat. Mengenai larangan bagi Notaris dalam melaksanakan jabatannya diatur dalam Pasal 17 UUJN , yang selengkapnya berbunyi: Notaris dilarang: a. Menjalankan jabatannya di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7(tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha milik swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; h. Menjadi Notaris pengganti atau; i.
Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama , kesusilaan atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
D. Analisis Pembinaan Dan Pengawasan Notaris Menurut UUJN 1. Sasaran Pembinaan Pembinaan Notaris ditujukan kepada Notaris dan Notaris pengganti. Adapun pengangkatan Notaris Pengganti diangkat untuk menggantikan Notaris yang sedang tidak menjalankan tugasnya karena cuti, sakit, atau sementara berhalangan menjalankan jabatannya, khusus diangkat untuk membuat akta tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat enetapannya berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 52, dan Pasal 53, sedangkan Notaris yang digantikan tetap menjalankan tugasnya. Dalam pengangkatan Notaris Pengganti maupun Notaris Pengganti Khusus hanya dapat diangkat satu orang Notaris Pengganti yang menggantikan Notaris yang digantikan.
Dalam rangka pengangkatan Notaris Pengganti / Notaris Pengganti Khusus:
21
Sebaiknya dalam Surat Ketetapan Pengangkatan Notaris Pengganti Khusus, dirinci tentang akta yang akan dibuat, pihak-pihak dari akta tersebut, serta nama Notaris yang digantikan. Adapun Syarat untuk diangkat
sebagai
Notaris
Pengganti/
Notaris
Pengganti
Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 dan ayat 4 adalah:
1) Warga Negara Indonesia 2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 3) Berijasah Sarjana Hukum
dan telah bekerja sebagai karyawan
kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut 4) Bukan Notaris 5) Berumur minimum 27 (dua puluh tujuh) tahun namum belum mencapau umur 65 (enam puluh lima ) tahun sampai akhir masa jabatan sebagai Notaris Pengganti 6) Sehat jasmani dan rohani 7) Tidak sedang merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
2. Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris a. Mengusulkan
agar penyerahan Surat Keputusan Pengangkatan sebagai
Notaris disampaikan
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal
Surat
Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris, dan membuat edaran kepada Notaris di seluruh Indonesia bahwa pebatalan yang dimaksud dalam Pasal tersebut tidak dilakukan apabila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa Surat Keputusan Pengangkatannya baru diterima oleh yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengangkatan
b. Mengusulkan agar pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris dilakukan dengan Berita Acara , dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Berita Acara tersebut wajib disampaikan kepada Menteri, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Daerah, maka seharusnya Berita Acara Sumpah diserahkan kepada dan diterima oleh Notaris yang bersangkutan selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal penyumpahan, dan Notaris yang bersangkutan wajib menyerahkan fotokopi
yang disahkan dari Berita Acara tersebut
selambatnya 15 lima belas) hari sejak diterima Berita Acara tersebut
22
c. Dalam Pasal 7 huruf c, yang dimaksud dengan kata-kata “di tempat Notaris diangkat” dalam Pasal 7 huruf c ini adalah tempat kedudukan Notaris.
d. Dalam Pasal 8, sebaiknya dibuat Peraturan Pelaksana sehubungan dengan pemberian sanksi terhadap pelanggaran larangan jabatan sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 huruf e , Pasal 9 huruf d, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 17, dan Pasal 85 karena sanksi yang diberikan terhadap Pasal-pasal tersebut tidak konsisten.
e. Sebaiknya dibuat Peraturan Pelaksana mengenai: (1)
Tata cara dan persyaratan pengajuan permohonan perpanjangan masa jabatan, antara lain: a) Surat keterangan kesehatan yang diperlukan b) Permohonan perpanjangan masa jabatan harus diajukan paling cepat 1 (satu) tahun dan paling lamabat 6 (enam)
bulan
sebelum usia 65 (enam puluh lima ) tahun.
(2)
Jangka waktu pemberian ijin atau penolakan perpanjangan jabatan terhitung sejak tanggal permohonan diajukan.
E. Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan Bagi Notaris 1. Dalam Pasal 15 ayat 1, yang dimaksud dengan kata-kata:”tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain” dalam ayat ini adalah Notaris diberi kewenangan untuk membuat akta sepanjang akta itu tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu:
a. Akta yang boleh dibuat oleh Notaris dan juga dibuat oleh pejabat lain, misalnya: akta pengakuan anak (yang dapat dilakukan oleh Notaris dan Catatan Sipil); akta wasiat (yang dapat dilakukan oleh Notaris dan Nakhoda Kapal); akta koperasi ( dapat dilakukan oleh Notaris dan Pejabat yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang). b. Akta yang tidak boleh dibuat oleh Notaris (yang dikecualikan), misalnya: akta kelahiran (dibuat oleh Catatan Sipil); serta semua akta yang kewenangan pembuatannya diberikan kepada Catatan Sipil.
Keterangan Hak Waris, dapat dibuat dalam 2 (dua) macam cara yaitu:
23
a. Keterangan hak waris dapat dibuat secara otentik, yaitu 1). Akta otentik yang seluruhnya membuat keterangan dari para penghadap ( yang mengetahui keadaan almarhum) 2). Akta otentik yang memuat keterangan dari para penghadap dan ditutup dengan kesimpulan dari Notaris tentang hak waris
b. Keterangan hak waris dapat juga dibuat akta pernyataan Notariil dari ahli waris dan para saksi, yang dikuatkan dengan bukti/dokumen resmi, berdasarkan mana Notaris kemudian dalam jabatannya (ambtshalve) membuat keterangan hak waris.
Upaya minimal yang harus dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik mengenai keterangan hak waris adalah: a. Meyakini kebenaran keterangan dari para penghadap dengan mencocokkan keterangan yang diberikan dengan bukti-bukti tertulis, seperti akta kelahiran, akta kematian, daftar dari Seksi Pusat Wasiat, bilamana perlu dengan keterangan dari orang-orang yang mengenal almarhum. b. Mengetahui dengan pasti (menguasai) hukum-hukum waris yang berlaku untuk almarhum, berkenaan dengan siapa akan dibuat keterangan ahli waris
Dalam pembuatan Keterangan Hak Waris, hukum waris yang berlaku adalah hukum sesuai dengan golongan penduduk si pewaris (ada 3 golongan penduduk sesuai Pasal 163 IS, yaitu: golongan Eropa, Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa) dan Pribumi), walaupun ia berganti agama, karena perpindahan agama tidak merubah status hukum golongan penduduk. Sedangkan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf c, bahwa yang dimaksud dengan kata “salinan” dalam ayat ini adalah “keseluruhan dari surat yang dibuat sesuai dengan aslinya”.
2. Dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a, bahwa kewajiban Notaris yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a ini adalah bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, ……………..dst. Penambahan kata “amanah” adalah sesuai dengan sumpah/janji Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang ini. Sedangkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf j, bahwa pencatatan dalam daftar akta tentang tanggal pengiriman daftar wasiat dilakukan pada tanggal pengiriman, selambatnya tanggal 5 pada
24
bulan berikutnya, bukan pada akhir bulan, karena dalam Penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf j disebutkan bahwa pencatatan dalam daftar akta tertanggal tanggal pengiriman daftar wasiat ke Daftar Pusat Wasiat dilakukan pada hari pengiriman dan juga ditegaskan bahwa hal tersebut penting untuk membuktikan bahwa kewajiban Notaris sudah dilaksanakan. Sebaiknya diadakan ralat dalam Penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf j, huruf “f” dan “g” seharusnya berbunyi huruf “h” dan huruf “I”. Dalam Pasal 16 ayat 3, bahwa akta-akta yang diatur dalam ayat ini, huruf a sampai dengan huruf f, selain dapat dibuat dengan originali, dapat juga dibuat dalam bentuk Minuta Akta. Selain itu, dalam Pasal 16 ayat 6 tentang bentuk dan ukuran cap/stempel Notaris adalah : masih diperlukan penegasan tentang bentuk dan ukuran cap/stempel Notaris. Diusulkan kepada PP-INI agar mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan edaran bahwa selama Peraturan Menteri termaksud belum diterbitkan, bentuk dan ukuran/stempel Notaris yang sekarang ada tetap berlaku. Sedangkan dalam Pasal 16 ayat 7, yang dimaksud dengan “tidak dibacakan” dalam ayat ini adalah bahwa pembacaan tidak dilakukan karena penghadap menghendaki bahwa akta termasuk tidak dibacakan karena mereka sudah membaca sendiri dan mengetahui isinya. Oleh karena itu, pada penutup akta dicantumkan sebaiknya dicantumkan keterangan dari penghadap (bukan keterangan dari Notaris) bahwa akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami serta menyetujui isi akta. Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat 9, rujukan “ayat 8” dalam ayat ini seharusnya berbunyi “ayat 7” karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akta wasiat wajib dibacakan Notaris kepada pembuat wasiat.
3. Dalam Pasal 17 huruf c.d.e. dan f., yaitu yang berhubungan dengan Pasal 11 mengatur mengenai larangan rangkap jabatan Notaris, yaitu advokat, pegawai negeri, pimpinan atau pegawai Badan usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta dan Pejabat Negara, namun rangkap jabatan yang diuraikan dalam Pasal 17 huruf c.d.e. dan f dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagaimana diatur dalam Pasal 8,9, dan 12, sedangkan rangkap jabatan diuraikan dalam Pasal 11 tidak dikenakan sanksi berupa pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat, hanya diwajibkan untuik mengambil cuti. Sedangkan Pasal 17 huruf g berhubungan dengan Pasal 15 ayat 2 huruf f masih menimbulkan pertanyaan/persoalan yang wajib diselesaikan yang wajib diselesaikan oleh Departemen Hukum dan HAM dan Badan Pertanahan
25
Nasional. Diharapkan agar PP-INI dapat menguapayakan agar ada pertemuan secepatnya antara departemen Hukum dan HAM dan BPN.
F. Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan Notaris 1. Dalam Pasal 19 ayat 2, yang dimaksud dengan “secara teratur” dalam ayat ini adalah:
1.1. Secara terus menerus menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya/kantor; dan/atau
1.2. Secara terus menerus menjalankan jabatannya di tempat yang sama di luar kantornya.
Adapun sanksi mengenai pelanggaran ayat ini belum ada pengaturannya, sebaiknya diatur dalam Kode Etik Notaris.
2. Dalam Pasal 20, agar konsep bentuk perserikatan perdata segera diatur oleh Organisasi Notaris, selanjutnya diajukan kepada Menteri dengan imbauan agar segera diterbitkan Peraturan Menteri tentang Perserikatan Perdata. Sedangkan Sebelum Peraturan Menteri termaksud keluar, Perserikatan Perdata boleh dibentuk, dengan syarat bahwa setelah keluar Peraturan Menteri, harus disesuaikan bentuk dan isinya dengan Peraturan Menteri. Adapun Unsur Perserikatan Perdata meliputi: a.
Perjanjian dibuat minimal 2 (dua) orang Notaris;
b.
Dibuat papan nama dengan nama “Perserikatan Notaris” serta mencantumkan nama-nama Notaris yang berserikat.
Pertimbangan pembentukan perserikatan adalah semata-mata efosiensi dalam berpraktek. 3. Dalam Pasal 22 ayat 1 huruf c, “rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris dalam 1 (satu) tempat kedudukan setiap bulan minimal 50 akta perbulan setiap Notaris” merupakan syarat utama dalam
penentuan Formasi Notaris. Sebaiknya organisasi Notaris
mengusulkan kepada Departemen Hukum dan HAM apabila akta kurang dari
50 , sebaiknya jangan ada pengangkatan/perpindahan atau
penambahan baru.
26
4. Dalam Pasal 23 dan 24, yang dimaksud dengan “wilayah jabatan” dalam Pasal 23 dan 24 seharusnya dibaca “tempat kedudukan” mengingat dalam SK Menteri tentang pengangkatan yang dicantumkan adalah “tempat kedudukan” bukan “wilayah jabatan”.
G. Cuti Notaris dan Notaris Pengganti 1. Dalam Pasal 25 ayat 2,
perlu diatur suatu ketentuan dalam hal terjadi
keadaan terpaksa yang mengakibatkan Notaris tidak dapat menjalankan jabatannya sebelum masa jabatannya mencapai 2 (dua) tahun, misalnya Notaris sakit berat/kecelakaan. Berkenaan dengan hal tersebut , pak Winanto (anggota Majelis Pengawas Pusat) menerangkan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Menteri No. M.02.PR.08.10 Th. 2004, ketentuan tersebut akan diatur oleh Majelis Pengawas Pusat.
2. Sedangkan dalam Pasal 27 ayat 2 huruf a, diajukan usulan kepada Majelis Pengawas Pusat agar membuat ketentuan bahwa permohonan cuti yang diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah, ditembuskan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat (usulan ini diajukan karena ketentuan tersebut belum diatur dalam Undang-undang tentang Jabatan Notaris).
3. Dalam Pasal 28, agar diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk membuat peraturan mengenai permohonan cuti dalam hal tidak ada suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus dari Notaris tersebut, dalam hal mana pengajuan permohonan dimungkinkan dilakukan oleh karyawan kantor Notaris yang bersangkutan, atau keluarga ke samping atau Pengurus Organisasi Notaris.
4. Dalam Pasal 29 ayat 3, tembusan Surat Keterangan Ijin Cuti selain ditembuskan
kepada
Menteri
dan
Majelis
Pengawas
Pusat,
juga
ditembuskan kepada Majelis Pengawas Daerah.
5. Pasal 29 ayat 4, agar diminta penjelasan kepada Majelis Pengawas Pusat, apakah “Surat Keterangan Ijin Cuti dari Menteri” dalam ayat ini adalah Surat Keterangan Ijin Cuti didasarkan atas penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Pusat, karena permohonan cuti berdasarkan Pasal 27 ayat 2 diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah/ Majelis Pengawas Wilayah/ Majelis
27
Pengawas Pusat, dan apabila ditolak dapat banding ke Majelis yang lebih tinggi. Oleh karena tidak diatur dalam Pasal 29, maka diusulkan dalam perubahan Undang-undang Jabatan Notaris untuk menambah ayat baru, yaitu ayat 4 baru tang berbunyi sebagai berikut:”Tembusan Surat Keterangan Ijin Cuti dari Majelis Pengawas Pusat, disampaikan kepada Menteri, Majelis Pengawas Wilayah, Majelis Pengawas Daerah”, dan ayat 4 lama menjadi ayat 5.
6. Dalam Pasal 30, agar diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan ketetapan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas
Daerah
bahwa
“Sertifikat
Cuti”
yang
lama
dapat
dipergunakan/dilanjutkan sampai habis.
7. Dalam Pasal 32 ayat 3, berdasarkan sejarah pembuatan Undang-undang Jabatan Notaris, Berita Acara penyerahan protokol diserahkan kepada Majelis Pengawas yang berada di kabupaten/kota (Majelis Pengawas Tingkat I), sehingga perlu diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan
suatu
ketetapan
bahwa
serah
terima
Berita
Acara
Penyerahan protokol diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah (bukan Majelis Pengawas Wilayah) , sebagai Majelis Pengawas yang berada di kota/kabupaten yang langsung mengawasi Notaris.
8. Dalam Pasal 33 dan 34, penyumpahan Notaris Pengganti belum diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris, namun diatur dalam Edaran Menteri Hukum dan HAM No. M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004. Diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat agar menegaskan bahwa seorang Notaris hanya dapat menunjuk satu orang Notaris Pengganti apabila yang bersangkutan cuti. Sedangkan dalam Pasal 33 ayat 1, yang dimaksud dengan ” telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris” adalah telah bekerja baik pada kantor Notaris yang bersangkutan ataupun pada kantor Notaris lain. 9. Dalam Pasal 35 ayat 1, yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis lurus” adalah keluarga karena keturunan dalam garus lurus ke atas dan ke bawah, dan yang dimaksud dengan “keturunan semenda dua” adalah keluarga karena perkawinan sampai dengan derajat kedua. Sedangkan dalam Pasal 35 ayat 4, diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat agar sebagai tindak lanjut ayat tersebut, setelah Majelis Pengawas
28
Daerah menerima protokol Notaris yang meninggal dunia dari Pejabat Sementara Notaris, mengeluarkan ketetapan agar Majelis Pengawas Daerah wajib menunjuk dan menyerahkan protokol tersebut kepada Notaris yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah , selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Pengawas Daerah menerima protokol Notaris tersebut. Hal ini perlu diatur karena dalam Undang-undang Jabatan Notaris belum ada aturan yang sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 63 ayat 1 dan ayat 3, juncto Pasal 70 huruf e. Perlu juga diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk membuat aturan tentang protokol yang diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah terdiri dari selain protokol dari Notaris yang meninggal dunia , juga protokol dari Pejabat Sementara Notaris termaksud.
10. Dalam Pasal 35 ayat 5, Pejabat Sementara Notaris harus memenuhi kewajiban dan larangan yang berlaku bagi seorang Notaris.
H. Akta Notaris 1. Dalam Pasal 38, pembuatan akta menurut Undang-undang Jabatan Notaris berbeda dengan pembuatan akta menurut Peraturan Jabatan Notaris (Staadblaad 1860 No. 3). Menurut Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris harus dapat menjelaskan mengenai dirinya sendiri, termasuk mengenai tempat kedudukan Notaris dan tempat pembuatan akta, tentang hal mana diperlukan penjelasan dalam aktanya. Jika tempat pembuatan akta dilakukan di luar kantor Notaris, tempat pembuatan akta dapat: a. Disebut dalam premise; atau b. Disebut pada akhir akta (kecuali untuk Berita Acara Rapat, dimana tanggal, tempat dan jam disebut pada awal akta). Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 2 huruf c, bahwa penyebutan nomor akta dan tanggal akta, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:
a. Dengan menggunakan 2 digit, contoh: 01,02,11,12, untuk nomor akta, dengan alasan bahwa : (i) dalam menggunakan Sisminbakum untuk tanggal akta harus dicantumkan dengan menggunakan 2 (dua) digit, (ii) menjamin kepastian
29
b. Dengan menggunakan digit biasa untuk nomor akta, contoh: 1,2,11,12, dan untuk tanggal dalam akta, penulisan angkanya dilengkapi dengan penyebutan huruf di belakangnya. Alasan tidak menggunakan 2 (dua) digit adalah dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak ada aturan tentang hal tersebut, sehingga tidak perlu merubah apa yang sudah berjalan dengan lancer selama ini (konvensional).
Sedangkan
penentuan
waktu
di
awal
akta
dilakukan
dengan
menggunakan kata “jam’ atau “pukul” sebagai penunjukan saat dimulainya pembacaan akta., dan urutan penyebutan pada kepala akta adalah: hari, tanggal, bulan, tahun, jam atau pukul.
2. Dalam Pasal 38 ayat 3 huruf d dan e: tentang apa yang dimaksud dengan: a. Nama lengkap adalah nama lengkap tanpa singkatan b. Pekerjaan : contoh pedagang c. Jabatan
: contoh Direktur perseroan terbatas
d. Kedudukan : contoh ayah wali orang tua Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 4 huruf b : tempat penandatanganan akta
disebut
pada
akhir
akta
dengan
menyebutkan
alamat
tempat
penandatanganan tidak harus secara tertulis , dapat juga secara lisan dengan catatan bahwa uraian tentang bagaimana terjemahan akta dilakukan harus diuraikan pada akhir akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat 4, contoh
a. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa mandarin
oleh……..Penerjemah
Resmi,
kepada
tuan………karena
menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta. b. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin oleh ………Penerjemah Resmi, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta. c. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin oleh saya Notaris,
kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak
mengerti bahasa dari akta. d. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin
oleh
saya
Notaris,
kepada
tuan………karena
menurut
keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.
30
Apabila penerjemahan dilakukan secara tertulis, maka harus ada produk terjemahannya, apabila penerjemahan dilakukan secara lisan, tidak ada produk terjemahannya.
3. Dalam Pasal 39, berkenaan dengan perjanjian mengenai tanah berkaitan dengan usia penghadap, oleh karena dalam Undang-undang jabatan Notaris, umur pernghadap minimum 18 tahun, sementara menurut BPN yang mengacu kepada KUH Perdata, kedewasaan adalah 21 tahun. Sedangkan Pasal 39 ayat 2, agar dalam penjelasan ayat ini diuraikan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata: “harus dikenal oleh Notaris” adalah sesuai dengan identitas yang ditunjukkan/diperlihatkan kepada Notaris berupa KTP atau Paspor atau SIM, yang menimbulkan keyakinan dalam diri Notaris.
4. Dalam Pasal 40 ayat 3, yang dimaksud dengan kewenangan saksi dalam ayat ini adalah kewenangan saksi yang telah memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 huruf a,b,c,d,dan e. 5. Dalam Pasal 42 ayat 3, kata “bilangan” yang dimaksud dalam ayat ini menunjukkan jumlah dan tidak termasuk nomor, karena itu tidak perlu diulang penyebutannya dengan huruf. 6. Dalam Pasal 43 ayat 2, yang dimaksud dengan kata : “menerjemahakan” dalam ayat ini adalah terjemahan secara tulisan ataupun secara lisan. Apabila dilakukan dengan tulisan harus ada produk terjemahan, aabila diterjemahkan secara lisan tidak ada produk terjemahan. Pada akhir akta, harus dinyatakan dalam bahasa lain dengan cara apa penerjemahan dilakukan.
7. Dalam Pasal 43 ayat 5, ayat ini berlaku khusus untuk akta dimana salah satu pihak tidak memahami bahasa akta, namun apabila para pihak mengerti, menghendaki agar akta tersebut dibuat dalam bahasa lain, dan tidak menghendaki agar akta tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka Notaris tidak wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
8. Dalam Pasal 44 ayat 1, dalam keadaan terpaksa sehingga tidak dapat dihindari, tanda tangan dan paraf dapat digantikan dengan teraan jari.
9. Dalam Pasal 44 ayat 4, bahwa penandatanganan dalam ayat ini menentukan tentang orang yang harus menandatangani akta, bukan urutan siapa yang
31
menandatangani. Pengertian saksi dalam ayat ini termasuk saksi pengenal.dan agar mengeluarkan ketetapan dengan inti sebagaimana dimaksud dalam kesepakatan bersama tersebut berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 43 ayat 5.
10. Dalam Pasal 45 ayat 2, apabila seseorang berkepentingan hanya pada bagian tertentu dalam akta dan hendak meninggalkan tempat, maka pada akhir akta disebutkan/ditegaskan
bahwa
orang
(penghadap)
tersebut
hanya
berkepentingan sampai bagian tertentu saja dalam akta tersebut dan yang bersangkutan memberikan paraf dan tandatangannya sampai pada bagian tersebut, contoh: dalam Berita Acara Rapat. 11. Dalam Pasal 46 ayat 1, kata “peristiwa” dalam ayat ini adalah perbuatanperbuatan yang termasuk dalam Pasal 15 ayat 1. Apabila diadakan perubahan dalam Undang-undang Jabatan Notaris, diusulkan agar kata “peristiwa” dalam Pasal 46 ayat 92), dimasukkan ke dalam Pasal 15 ayat 1 , sehingga Pasal 15 ayat 1 berbunyi sebagai “Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, peristiwa dan ketetapan yang diharuskan…..dst. Adapun alasan penambahan tersebut adalah karena agar terdapat kesinkronan dalam Pasal 46 ayat 2 dengan Pasal 15 ayat 1. 12. Dalam Pasal 47 ayat 3, dengan kata-kata “Notaris yang sama” dalam ayat ini, termasuk juga Notaris Penggantinya, karena protokolnya merupakan satu kesatuan. Dalam hal Notaris lain hendak mempergunakan kuasa yang dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1, maka ia harus melekatkan copy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 butir c, dengan menguraikan pada akta Notaris mana aslinya direkatkan.
13. Dalam Pasal 48 ayat 2, pada perubahan agar disebut berapa jumlah kata, huruf, angka, dan tanda baca yang ditambah, diganti atau dicoret. Sedangkan yang dimaksud dengan “tanda pengesahan lain” antara lain adalah teraan jari.
14. Dalam Pasal 49, apabila ruang di sisi kiri akta untuk membuat perubahan sudah tidak ada lagi, maka kekurangannya dapat dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta atau dibuat dalam lembar tambahan dengan menunjuk bagian akta yang diubah.
32
15. Dalam Pasal 50 ayat (1), kata-kata: “kata, huruf atau angka” dalam ayat ini harus dibaca sebagai: kata, huruf , angka atau tanda baca”. 16. Dalam Pasal 50 ayat (2), dalam pengertian “saksi” dalam ayat ini termasuk juga “saksi pengenal”, sesuai dengan Pasal 44 ayat 3.
17. Dalam Pasal 51, pembetulan hanya dapat dilakukan berdasarkan fakta yang sudah jelas kebenarannya, misalnya: a. Kata “pembeli” dalam kalimat yang berbunyi : “harus membayar harga pembelian kepada pembeli seharusnya berbunyi “……kepada penjual” b. Kesalahan dalam merujuk ke satu Pasal. c. Kata “Kamis” dalam kalimat “hari Kamis tanggal 15 (lima belas) April 2005 (dua ribu lima) seharusnya berbunyi “Jumat:.
d. Untuk pembetulan yang mungkin menimbulkan permasalahan, harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum dilakukan pembetulan.
e. Pembetulan dapat dilakukan setiap saat, termasuk untuk akta yang telah dibuat sebelum Undang-undang Jabatan Notaris berlaku.
f. Yang boleh melakukan pembetulan adalah Notaris itu sendiri atau Notaris penggantinya.
g. Jika pembetulan dibuat oleh Notaris Penggantinya, atau pembetulan tersebut bersifat disputable, maka sebelum melakukan pembetulan, harus dilakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Notaris yang bersangkutan dan pihak-pihak yang menghadap
18. Dalam Pasal 51 ayat 3, salinan akta berita acara pembetulan wajib disampaikan kepada para pihak selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibuatnya, dengan mendapat bukti pengiriman yang sah. Sedangkan dalam Berita acara pembetulan adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris sendiri tanpa ada penghadap tapi ditandatangani oleh Notaris tersebut dan 2 (dua) orang saksi yang menyaksikan pembuatan berita acara tersebut dan catatan diberikan pada sisi kiri atas halaman pertama Minuta Akta (dekat kepala
33
akta). Contoh: “Akta ini telah dibetulkan dengan akta berita acara pembetulan nomor……..tanggal…….dibuat oleh saya. Notaris”.
19. Pasal 52 ayat 1, contoh dari hubungan kekeluargaan karena perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan luruh ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga yang tidak diperkenankan: a. karena perkawinan: anak dari saudara ipar Notaris, saudara dari mertua Notaris (masih termasuk derajat ketiga),
b. karena hubungan darah: anak dari saudara Notaris, paman dari Notaris (masih termasuk derajat ketiga).
20. Pasal 52 ayat 2, juncto Pasal 15 ayat 2 huruf g, sebaiknya Notaris diberi wewenang membuat akta Risalah Lelang tanpa membedakan kelas, misalnya: a. Lelang eksekusi b. Lelang sukarela c. Pemborongan umum d. Penjualan di muka umum e. Persewaan umum 21. Dalam Pasal 53, yang dimaksud dengan “ketentuan” dalam Pasal ini adalah syarat-syarat/perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan “penetapan” adalah keputusan.
22. Dalam Pasal 54, tentang Pasal ini berkaitan dengan Pasal 16 ayat 1 huruf e: Pasal 54 tidak menyebutkan minuta akta, sehingga bagi pihak-pihak yang ingin melihat “isi akta” dapat melalui salinan, kutipan, atau grosse akta (karena salinan, kutipan dan grosse akta dijamin kebenarannya sesuai dengan minuta akta ) yang dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan langsung pada akta. Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan langsung pada akta” adalah: a. Untuk diri sendiri yaitu yang langsung menandataangani dan menjadi pihak dalam akta atau yang memperoleh hak atau penggantinya
34
b. Untuk pihak yang diwakili dalam akta baik berupa badan maupun orang c. Penerima kuasa yang menandatangani akta dan dalam
kuasanya
disebut boleh mengambil salinan akta d. Pihak yang meminta dibuatkan akta, khusus untuk akta relas,
sehingga dengan demikian , minuta akta, setelah ditandatangani, tidak diperlihatkan lagi kecuali melalui lembaga salinan , namun jika yang berkepentingan langsung masih belum puas, dapat ditempuh cara/proses yang diatur melalui Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris. 23. Dalam Pasal 56 ayat 2, yang dimaksud dengan “teraan cap” dalam ayat ini adalah teraan cap/stempel yang dibubuhkanpada salinan dari surat yang dilekatkan pada minuta akta.
24. Dalam Pasal 58 ayat 1, tentang daftar yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris adalah: a. Daftar akta (dahulu repertorium) b. Daftar akta di bawah tangan yang disahkan (dahulu legalisasi) c. Daftar akta di bawah tangan yang dibukukan (dahulu waarmerking) d. Daftar nama penghadap /klapper untuk daftar akta e. Daftar nama penghadap /klapper untuk akta di bawah tangan yang disahkan f. Daftar Protes Wiesel van non betaling g. Daftar wasiat h. Daftar lainnya-menunggu peraturan selanjutnya, misalnya daftar akta risalah lelang.
I. PENGAWASAN Tentang
Pengawasan
(Pasal
67-81):
diharapkan
kiranya
dibuat
nita
kesepakatan (MOU) antara PP-INI dan Majelis Pengawasan berkenaan dengan pelaksanaan tugas Majelis Pengawas, agar selalu mengikutsertakan Dewan Kehormatan INI, sesuai dengaan jenjang masing-masing, sejak diterimanya laporan
1. Dalam Pasal 67 ayat 3 dan 4:, direkomendasikan agar dalam penjelasan Pasal 67 ayat 3 huruf c dan Pasal 67 ayat 4 dijelaskan bahwa dalam hal
35
jumlah dari unsur pemerintah dan unsur ahli/akademisi tidak terdapat 3 (tiga) orang, maka “unsur ahli/akademisi” dalam Pasal 67 ayat 3 huruf c dan “unsur lain” dalam Pasal 67 ayat 4, diartikan sebagai werda Notaris dan/atau Pensiunan Hakim. 2. Pasal 67 ayat 5, yang dimaksud dengan: a. “perilaku” dalam ayat ini adalah perilaku, sesuai dengan Kode Etik Notaris, dan yang dimaksud dengan “pelaksanaan jabatan” adalah pelaksanaan jabatan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris. b. Mekanisme pemeriksaan berkaitan dengan pelanggaran perilaku/ kode etik, dibagi menjadi:
c. Pelanggaran bersifat internal, yang menjadi wewenang dari Dewan Kehormatan Daerah INI, misalnya: laporan dari anggota mengenai adanya persaingan tidak sehat. d. Pelanggaran yang mempunyai kaitan dengan masyarakat secara langsung, menjadi wewenang dari Majelis Pengawas Daerah, namun sebelum
Majelis
seyogyanya
Pengawas
terlebih
dahulu
Daerah didengar
mengambil pendapat
keputusan, dari
Dewan
Kehormatan Daerah.
3. Dalam Pasal 69 ayat (1), sebaiknya Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kota/kabupaten yang mempunyai Notaris 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan faktor geografis, apabila tidak tercapai jumlah tersebut maka: -
Notaris di daerah itu ikut pada Majelis Pengawas daerah yang terdekat; atau
-
2 (dua) atau lebih kota/kabupaten berdekatan yang sama-sama tidak mencapai jumlah
9 (sembilan) orang Notaris, bersama-sama
membentuk 1 (satu) Majelis Pengawas Daerah.
4. Dalam Pasal 69 ayat 3, sebaiknya agar: a. Kantor Majelis Pengawas Daerah di suatu kota/kabupaten, ditentukan dengan skala prioritas sebagai berikut:
i.
Kantor Sekretariat Pengurus Daerah INI (jika ada)
ii. Kantor BHP (Balai Harta Peninggalan) iii. Kantor Bispa (Bimbingan Sosial dan Pengentasan Anak) iv. Kantor Imigrasi
36
v. Jika memungkinkan, dibuat kantor MPD sendiri dari pembiayaan APBN
b. Ketua Majelis Pengawas Daerah jangan langsung ditetapkan kepala kantor kantor tersebut di atas, namun pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah merupakan kesepakatan bersama dari unsurunsur sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 69 ayat 2.
5. Dalam Pasal 70 huruf b, sebaiknya Majelis Pengawas Pusat agar mengeluarkan edaran yang memuat ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, tetapi disamping itu, dapat dilakukan setiap waktu yang dianggap perlu oleh Majelis Pengawas. 6. Dalam Pasal 70 huruf d, yang dimaksud dengan “Notaris yang bersangkutan” dalam ayat tersebut adalah Notaris yang meminta cuti.
7. Dalam Pasal 70 huruf e, pengertian dari ayat ini adalah bahwa Majelis Pengawas Daerah yang menetapkan bahwa protokol Notaris yang telah berumur 25 tahun harus disimpan di tempat yang telah ditentukan (yaitu di kantor Majelis Pengawas Daerah). Protokol yang dimaksud dalam Pasal 70 huruf e adalah protokol yang berumur 25 (dua puluh lima) tahun pada saat serah terima.
8. Dalam Pasal 70 huruf g, yang dimaksud dengan Kode Etik dalam Pasal 70 huruf g adalah Kode Etik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, yang merupakan kewenangan Majelis Pengawas Daerah . Sedangkan Kode Etik yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan secara langsung, tidak menjadi kewenangan Majelis Pengawas
Daerah
karena merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia.
9. Dalam Pasal 71 huruf c, sesuai dengan sumpah jabatan Majelis Pengawas Daerah , maka apa yang ditemukan dari hasil pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Daerah , wajib dirahasiakan oleh Majelis Pengawas Daerah dan jajarannya.
37
10. Dalam Pasal 71 huruf e, yang dimaksud dengan “hasil pemeriksaan” dalam Pasal 71 huruf
e adalah notulen hasil pemeriksaan/berita
acara
pemeriksaan dari apa yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan. Dalam rangka
pemeriksaan
termaksud,
Majelis
Pengawas
Daerah
wajib
memanggil pihak yang berkepentingan (sesuai dengan Pasal 73 ayat 1 huruf b dan Pasal 74) 11. Dalam Pasal 71 huruf f, yang dimaksud dengan “ menyampaikan permohonan banding” adalah menyampaikan permohonan banding dari Notaris yang permohonan cutinya ditolakoleh Majelis Pengawas Daerah.
12. Dalam Pasal 72 huruf 3, berlaku mutatis mutandis dengan Pasal 69 ayat 3. 13. Dalam Pasal 73 ayat 1 huruf a, pengertian kata “ melalui” adalah “kepada”. Namun dalam pemeriksaan, Majelis Pengawas Wilayah meminta kepada Majelis Pengawas Daerah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka pengumpulan data.
14. Dalam Pasal 73 ayat 1 huruf c, dalam pemberian ijin cuti, termasuk juga penetapan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan (sesuai dengan Pasal 70 huruf d). 15. Dalam Pasal 73 ayat 2, terdapat kesalahan ketik. Huruf “e” seharusnya dibaca huruf “d”. Alasan: saanksi teguran lisan da tulisan tidak bersifat final (dapat banding) namun putusan banding terhadap penolakan cuti bersifat final.
16. Dalam Pasal 73 ayat 3, seharusnya pembuatan berita acara terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat ini, juga termasuk “ayat 1 huruf d” bukan hanya “ayat 1huruf e dan huruf f”
17. Dalam Pasal 79, penyampaian keputusan sebagaimana tercantum dalam Pasal 79, selain sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 77 huruf a” juga termasuk sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 77 huruf c dan d”
18. Dalam Pasal 80 ayat (1), mengingat bahwa tidak ada aturan pemberhentian sementara sampai dengan 3 (tiga) bulan:
38
a.
Dalam hal di tempat kedudukan Notaris yang diberhentikan tersebut ada Notaris lain, maka Notaris tersebut ditunjuk sebagai Pejabat Sementara Protokol Notaris yang berwenang mengeluarkan salinan, grosse, dan kutipan akta.
b.
Dalam hal di tempat kedudukan Notaris yang diberhentikan sementara tersebut tidak ada Notaris lain, maka yang ditunjuk adalah Pejabat Sementara Notaris, sesuai dengan Pasal 35 ayat 3, yang berwenang membuat akta dan mengeluarkan salinan , grosse, dan kutipan akta.
19. Dalam Pasal 80 ayat (2), sebaiknya
a. penunjukan Notaris Penerima Protokol dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan
rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah, yang
penyerahan protokolnya dilakukan di hadapan Majelis Pengawas Daerah. Pemberhentian sementara diusulkan secara berjenjang, atau dengan kata lain, Menteri tidak langsung memutus sendiri. b. Dalam hal yang menerima protokol adalah Notaris lain , ia hanya berwenang mengeluarkan salinan, grosse dan kutipan akta dari protokol yang dipegangnya.
J. ORGANISASI NOTARIS Dalam Pasal 83, sebaiknya untuk kepastian Kode etik yang ditetapkan dalam Pasal 83 adalah Kode Etik yang ditetapkan berdasarkan Kongres Ikatan Notaris Indonesia.
K. SANKSI 1. Dalam Pasal Pasal 84, agar diperjelas Pasal-pasal yang dikenakan sanksi: a. Akta menjadi di bawah tangan b. Akta menjadi batal demi hukum, karena ada Pasal-pasal yang belum diatur sanksinya dan belum dimasukkan ke dalam Pasal 84. c. Dalam Pasal ini, terdapat beberapa hal yang salah merujuk dan terdapat beberapa Pasal yang tidak diatur sanksinya. d. Pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 84 adalah: 1). Sanksi sudah tercantum jelas dalam Pasal-pasal yang bersangkutan. 2). Pasal-pasal yang tidak mencantumkan sanksinya, diatur dalam Pasal 84.
39
2. Dalam Pasal 84 dan Pasal 85, bahwa Notaris wajib menjalankan jabatannya sesuai dengan aturan dan ketentuan (kewajiban dan larangan) dalam Undangundang Jabatan Notaris. Bagi pelanggaran atas kewajiban atau larangan tersebut, apabila sanksinya belum/tidak diatur dalam Pasal 85, maka sanksi pelanggaran tersebut dianggap masuk dalam Pasal 85. a. Jika dalam masing-masing Pasal tersebut terdapat ketentuan sanksi, maka berlaku sanksi dalam Pasal tersebut b. Jika dalam Pasal tidak diatur sanksi secara khusus, maka berlaku sanksi Pasal 85. L. NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PROSES PENGADILAN
Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting dalam menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau dibacakan dihadapannya, karena akta otentik adalah alat bukti terkuat dalam hukum perdata dan alat bukti peringkat ketiga dalam hukum pidana, maka akta otentik sebagai alat bukti yang sah memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum, bila terjadi tindak kejahatan atau sengketa dalam kehidupan masyarakat.
Tentunya, Undang-undang No.30 tahun 2004 yang mengatur tentang Jabatan Notaris ini merupakan suatu unifikasi hukum yang akan menjadi dasar hukum dan pedoman bagi Notaris dalam melaksanakan jabatannya sangat penting. Unifikasi hukum ini merupakan artikulasi dari kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat yang diharapkan mampu memberi kepastianketertiban dan keadilan hukum. Karena itu perlu melakukan sosialiasasi UndangUndang tentang Jabatan Notaris kepada aparat penegak hukum, Notaris itu sendiri dan masyarakat agar pelaksanaan undang-undang ini nantinya berjalan efektif.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan peraturan perundang-undangan dan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, mengingat akta otentik merupakan bukti tertulis yang mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional, oleh karena itu pengaturan tentang Jabatan Notaris harus dapat menciptakan satu peraturan yang dapat mewadahi semua permasalahan dibidang kenotariatan .
40
Keberadaan Notaris sangat penting ditengah- tengah masyarakat kita. Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta otentik. Akta otentik ini sangat dibutuhkan dihampir setiap aktivitas kehidupan masyarakat kita baik yang menyangkut ekonomi, sosial, maupun politik. Pembuatan akta otentik yang mengadung kebenaran formal ini sangat membutuhkan bantuan jasa dari notaris sehingga akta otentik itu akan dapat dipahami dan diterima oleh semua pihak serta memiliki jaminan kepastian hukum
ditengah-tengah
masyarakat.
Notaris
harus
benar-benar
mampu
memberikan jasanya secara baik kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan.
Dalam undang-undang diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris.
Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas, isi akta notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatanganan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi, akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Tugas dan kewenangan Notaris sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang jabatan notaris ini cukup luas dan sangat kompleks. Sehingga Notaris dituntut lebih, peka,jujur, adil dan transparan dalam pembuatan sebuah akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam penerbitan akta.
Salah satu kewajiban Notaris sebagaimana diatur dalam 16 huruf i adalah membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris. Hal ini dicantumkan secara jelas dan tegas agar menjamin kepastian hukum penghadap, mengingat dari berbagai kasus yang kita temukan di lapangan
41
ada praktek-praktek notaris diluar kepatutan. Seperti
akta diterbitkan tanpa
dibacakan isi akta dihadapan para penghadap, dan para penghadap hanya disuruh menandatangani kertas kosong, yang disodorkan oleh seorang Notaris. Dan ternyata kasus seperti ini lebih banyak pada akta jual beli.
Disamping itu ada akta yang ditandatangani oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap objek yang diperjanjikan, dan biasanya pihak ketiga ini yang menjadi
penyebab terjadinya akta-akta asli tapi palsu (aspal).
Dilihat dari aspek formal mungkin tersebut sah tetapi dari prosesnya merupakan sebuah akta yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan maka akta tersebut termasuk akta yang cacat hukum. Oleh karena itu seorang notaris dalam menjalankan jabatannya, berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan akta.
Wewenang yang begitu besar diberikan kepada seorang Notaris dalam pembuatan akta bukan dimaksudkan agar seorang Notaris bertindak bebas tanpa batas . Namun pada hakikatnya wewenang yang diberikan dalam undang - undang itu dimaksudkan untuk melindungi semua pihak dalam setiap pembuatan hukum terhadap sebuah akta yang diterbitkan, karena sebuah akta yang diterbitkan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai Notaris beberapa hal yang substansi yang penting antara lain:
a. Tentang Formasi Jabatan Notaris dan pindah wilayah jabatan notaris
Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan: Kegiatan dunia usaha, jumlah penduduk dan /atau rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris setiap bulan. Kemudian Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah Jabatan Notaris secara tertulis kepada Menteri.
Walaupun Formasi jabatan maupun permohonan pindah wilayah yang diatur dalam peraturan Menteri dalam praktiknya masih terdapat sejumlah tanda Tanya, apabila kita tengok ke belakang masih menentukan formasi maupun pindah wilayah Jabatan Notaris.
42
b. Tentang Pengawasan Notaris.
Sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 bahwa, pengawasan notaris dilakukan
oleh
Menteri,
Menteri
membentuk
Majelis
Pengawas
dan
Pengawasan meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan notaris.
Dalam Pengawasan ini dapat dibukakan akses seluas-luasnya kepada masyarakat agar mereka bertindak sendiri- sendiri atau melalui kuasa hukumnya untuk melaporkan setiap tindakan Notaris yang di nilai merugikan dirinya atas sebuah perjanjian yang dibuat. Pembentukan majelis pengawas secara berjenjang agar mempermudah pengawasan notaris mulai dari daerah sampai ke pusat.
Dalam rangka mewujudkan prinsip Negara hukum yang menjamin kepastian , ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, maka didalam pelaksanaan tindakan hukumnya dibutuhkan alat bukti yang dalam sistem hukum Indonesia, alat bukti yang terutama adalah alat bukti tertulis.
Saat Penyelidik dan Penyidik dari Polisi Republik Indonesia (POLRI) melakukan pengusutan suatu laporan atau pengaduan atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka Penyelidik dan Penyidik menindaklanjutinya dengan menemukan apakah telah terjadi suatu peristiwa kejahatan. Dari keterangan yang disampaikan oleh pelapor, Penyelidik dan Penyidik akan melakukan
pemanggilan
saksi-saksi
untuk
mengumpulkan
informasi
dan
dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Penyidik
mengumpulkan
informasi
dan
dokuemn
dari
saksi-saksi
untuk
dimasukkan kedalam unsur-unsur dari pasal kejahatan yang diduga dilakukan oleh tersangka.
Dalam penyidikan, Penyidik mengumpulkan alat bukti yang sah dari tersangka maupun saksi-saksi. Tentunya setiap alat bukti memiliki peringkat dan kekuatan hukum yang berbeda dalam pembuktian di pengadilan. Kesulitan yang dialami oleh penyidik adalah kerjasama saksi-saksi dalam memberikan informasi yang konsisten dengan peristiwa yang terjadi.
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri secara langsung saat tindakan kejahatan tersebut dilakukan oleh seseorang. Karenanya pembuktian kejahatan, yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan
43
akta otentik yang dibuat oleh Notaris, membutuhkan saksiNotaris yang bersangkutan sebagai orang yang membacakan, melihat dan mendengarkan langsung atas pembuatan akta otentik tersebut.
Kekuatan saksi tersebut diungkapkan dalam pasal 184 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang alat bukti yang sah. Adapun pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”:
(1)
Keterangan saksi
(2)
Keterangan ahli
(3)
Surat
(4)
Petunjuk
(5)
Keterangan terdakwa
Keterangan saksi diletakkan oleh KUHAP di peringkat pertama, yang memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Tentunya Penyelidik dan Penyidik lebih menekankan kepada pengumpulan alat bukti saksi dibandingkan dengan alat bukti surat. Karena alat bukti saksi memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat. Dalam prakteknya, saksi-saksi dapat menyangkal pernyataan dalam BAP yang dibuat oleh penyidik dalam pembuktian di pengadilan. Saat ini, Penyidik berdasarkan pasal 66, Undang-Undang No: 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mengatur sebagai berikut: 1.
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil
fotokopi
Minuta
Akta
atau
surat-surat
yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris; 2.
Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Dalam pasal 2 (1), Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia (PERMEN Hukum dan HAM RI) Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat
44
mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Motaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
Sementara pasal 3 PERMEN Hukum dan HAM RI tersebut, Majelis Pengawas
Daerah
memberikan
persetujuan
untuk
pengambilan
fotokopi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 (1), apabila: a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Kalimat “ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta” memiliki pengertian yang luas. Dalam pengertian ini, segala bentuk dugaan tindak pidana yang dapat dikaitkan dengan penyimpangan Akta Notaris akan menjadi objek cakupan ini. Untuk perkara yang sedang ditangani oleh Penyidik, yang menentukan adanya dugaan tindak pidana, adalah Penyidik itu sendiri. Untuk memperjelas suatu perkara, Penyidik dapat mengambil Minuta Akta dan dokumen Notaris melalui persetujuan Majelis Pengawas Daerah secara tertulis. Yang mana dalam prakteknya, Penyidik bukan mengambil, tetapi meminta Minuta Akta dan dokumen Notaris lainnya, melalui persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal (5) KUHAP : Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik untuk dapat disetujui oleh Majelis Pengawas Daerah dalam meminta Minuta Akta dan dokumennya telah memiliki kriteria dugaan tindak
45
pidana yang berkaitan dengan Akta tersebut. Apakah Majelis Pengawas Daerah berhak dapat menyatakan bahwa tidak terdapat dugaan tidak pidana? Lalu bagaimana apabila Penyidik tetap menyatakan ada dugaan tindak pidana? Siapa yang lebih memiliki kewenangan dalam menyatakan adanya dugaan tindak pidana? Apakah Penyidik atau Majelis Pengawas Daerah? Artinya dalam pasal yang mengungkap definisi penyelidikan diatas saja, Penyelidik sudah memiliki unsur ada dugaan tindak pidana, sementara yang dimaksud dalam pasal 66, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah Penyidik. Karenanya, Majelis Pengawas Daerah tidak memiliki opsi untuk menolak permintaan Penyidik atas kopi dari Minuta Akta dan dokumennya. Nantinya perbuatan tidak memberikan persetujuan tersebut dapat dianggap melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris itu sendiri. Sementara kalimat “belum gugur hak menuntut” menekankan kepada kadaluarsa. Lalu siapa yang menentukan suatu perkara termasuk kadaluarsa atau belum kadaluarsa? Bahwa perkara pidana dengan hukuman penjaranya memiliki jangka waktu kadaluarsa sejak peristiwa itu terjadi. Ada beberapa penyebab gugurnya hak untuk menuntut hukuman dimaksud yaitu: 1. Meninggalnya pelaku (Pasal 77 KUHP); 2. Adanya azas hukum “Neb is in idem” (Pasal 76 KUHP); 3. Sudah kadaluarsa atau sudah lewat waktu/kesempatannya un-tuk menuntut (Pasal 78 KUHP); 4. Penyelesaian perkara di luar sidang (Pasal 82 KUHP); 5. Amnesti dan abolisi dari pre-siden (Pasal 14 UUD 1945).
Kadaluarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 KUHP, hak menuntut hukuman gugur setelah jangka waktu atau kadaluarsa: 1. Satu tahun bagi segala pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan; 2. Enam tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun; 3. Dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam huku-man penjara sementara yang lebih dari 3 (tiga) tahun; 4. Delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.
46
Kadaluarsa untuk menuntut hukuman dimaksud dapat dicegah dan dihindari dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 1. Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan lewat waktu, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum; 2. Sesudah dihentikan, dimulai lewat waktu baru.
Dengan adanya ketentuan Pasal 77 KUHP, maka jelas hak untuk menuntut hukuman atas orang telah almarhum adalah gugur. Perlu diketahui bahwa pertanggungan jawab pidana melekat pada diri pribadi perseorangan dan tidak dapat dilimpahkan/beralih kepada ahli waris atau pihak yang lain. . Suatu perkara pidana belum gugur hak menuntutnya, apabila perkara tersebut belum masuk dalam kriteria ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Dalam hal ini, Majelis Pengawas Daerah dapat memberikan keputusan apakah tindak pidana belum gugur atau telah gugur dengan membuat suatu penilaian sendiri berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal kadaluarsa tindak pidana tersebut diatas. Majelis Pengawas Daerah cukup melihat tanggal terjadinya tindak pidana, karena kadaluarsa mulai dihitung sejak tanggal peristiwa itu terjadi. Karenanya, Majelis Pengawas Daerah perlu mengetahui tanggal terjadinya peristiwa.
Lalu apakah tanggal Minuta Akta dan dokumen yang menjadi penilaian Mejelis Pengawas Daerah untuk memperhitungkan jangka waktu kadaluarsa? Kadangkala Akta Notaris adalah bagian dari tindak pidana yang tanggal pembuatannya tidak sama dengan tanggal tindak pidana tersebut dilakukan. Sesuai dengan ayat (1), pasal 80 KUHP, Tindakan Penuntut Umum melakukan penuntutan menghentikan lewat waktu, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Dengan sendirinya, Majelis Pengawas Daerah tidak dapat menolak permintaan Minuta Akta dan Dokumen dengan alasan jangka waktu kadaluarsa asalkan Penuntut Umum melakukan tuntutan di pengadila atas perkara pidananya.
Artinya, tindakan permintaan Penyidik atau Penuntut Umum atas Minuta Akta dan dokumen yang dibuat oleh Notaris telah bebentuk dugaan tindak pidana
47
atau tindak pidana yang belum gugur hak penuntutannya wajib mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Dengan demikian, Majelis Pengawas Daerah tidak memiliki opsi untuk memberikan persetujuan atau menolak atau tidak memberikan persetujuan. Majelis Pengawas Daerah hanya memiliki satu pilihan, yakni memberikan persetujuan secara tertulis. Kewenangan apa yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Majelis Pengawas Daerah, sehingga Majelis Pengawas Daerah dapat menyatakan Penyidik tidak memiliki dugaan tindak pidana atau Penuntut Umum telah gugur hak untuk menuntutnya.
Namun dalam pasal 6 (1) PERMEN Hukum dan HAM RI tersebut, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2. Pasal ini merupakan pasal yang dapat memanipulasi dengan memberikan kewenangan Majelis Pengawas Daerah. Padahal, kewenangan Majelis Pengawas Daerah telah hapus saat Penuntut Umum melakukan tuntutan di pengadilan.
Pasal 6 (2) PERMEN Hukum dan HAM RI menyebutkan: Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Permasalahan yang timbul dari pasal ini dikalangan Notaris adalah diterimanya oleh Majelis Pengawas Daerah dan jadwal pertemuan rapat yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Biasanya Majelis Pengawas Daerah memiliki jadwal sidang pertemuan yang telah ditentukan. Selisih hari dari surat permohonan dari Penyidik dan Penuntut Umum diterima dan hari sidang pertemuan Majelis Pengawas Daerah melebihi 14 (empat belas) hari, maka hal tersebut akan menjadi permasalahan. Karena Penyidik atau Penuntut Umum telah melanggar hak untuk mendapat penilaian dari Majelis Pengawas Daerah.
Namun demikian Majelis Pengawas Daerah tidak dapat melanggar PERMEN, karenanya sidang pertemuan Majelis Pengawas Daerah harus disesuaikan dengan jangka waktu yang diberikan oleh PERMEN untuk membuat suatu keputusan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan. Inilah konsekuensi dari pelaksanaan hukum, yang mana Majelis Pengawas Daerah tidak dapat melanggar ketentuan hukum untuk menjaga kepentingan Notaris.
48
Selain itu, berdasarkan pasal 66 ayat (1) (b), Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Penyidik dan Penuntut Umum dapat memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris;pasal Penyidik dapat memanKarenanya, penyidik POLRI dapat memanggil Notaris sebagai saksi dalam suatu tindak pidana. Permasalahannya apakah notaris dipanggil sebatas sebagai saksi atau dapat ditingkatkan sebagai tersangka nantinya. Tentunya, setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Selama Notaris tidak menyimpang dari pekerjaan profesinya yang diatur dan dilindung oleh Undang-Undang, maka Notaris tidak dapat dijadikan tersangka dalam suatu tindak pidana kejahatan. Ada beberapa pasal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan undang – undang ini ( ini adalah Pendapat, yaitu :
Sebagai pejabat Negara yang memiliki kewenangan mengabsahkan suatu dokumen sebagai akta otentik, tentunya Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Peranan notaris sebagai saksi pada proses Peradilan serta kaitannya dengan sumpah jabatan notaris terkait pula dengan substansi sumpah jabatan itu sendiri. Di satu sisi, dengan adanya sumpah jabatan notaris yang didalamnya terkandung
rahasia
jabatan
mengharuskan
notaris
untuk
tidak
memberi
keterangan apapun mengenai akta, termasuk berperan sebagai saksi pada proses peradilan. Di sisi lain, kenyataannya ketentuan rahasia jabatan dan hak ingkar ini diterobos dengan adanyakepentingan negara yang lebih tinggi dan besar serta adanya ketentuan eksepsional, sehingga Notaris dapat berperan sebagai saksi pada proses peradilan.
Hal lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah terdapat faktor penghambat maupun pendukung untuk terlaksananya peranan notaris sebagai saksi pada proses peradilan. Faktor penghambat di sini adalah: pertama, ketentuan yuridis – formal di dalam tubuh jabatan Notaris itu sendiri berupa Kode Etik Notaris dan peraturan perundang – undangan Notaris (Peraturan Jabatan Notaris) beserta penafsiran akan dua hal tersebut, dan kedua, berpegangnya masing – masing pihak (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Notaris ) pada pedoman jabatan dan profesinya masing-masing.
Faktor pendukung dalam hal berperannya notaris sebagai saksi pada proses peradilan, yaitu pertama : adanya kepentingan
yang lebih tinggi dan
49
lebih besar serta ketentuan – ketentuan eksepsional dari berlakunya ketentuan Rahasia Jabatan dan Hak Ingkar, serta kedua : adanya kerjasama berupa Surat Kesepakatan Bersama antara Notaris dengan Kehakiman,
pihak kepolisian, Kejaksaaan,
dan Advokat yang mengatur hal-hal yang
menurut
peraturan
masing-masing jabatan terdapat pertentangan di dalamnya.
Namun notaris yang melakukan penyimpangan, misalnya: kejahatan pemalsuan tandatangan, yang mana Notaris telah mengetahui dan menyadari bahwa pihak yang menandatangani Akta Otentik, bukan orang yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karenanya Notaris juga turut serta melakukan kejahatan, karena Notaris membiarkan kejahatan tersebut terjadi. Notaris tersebut telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karenanya Notaris tidak kebal hukum dan dapat diminta pertanggung jawabannya.
Ketentuan
dalam
Undang-Undang
Jabatan
Notaris
menyebutkan
Kepolisian, Jaksa dan Hakim dapat memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan. Sama halnya dengan pemanggilan oleh POLRI, Jaksa dapat juga memanggil terkait dengan pemeriksaan atas keterangan/ informasi lebih lanjut dari Notaris atas suatu kejahatan tindak pidana. Nantinya hakim dapat memanggil Notaris yang bersangkutan dalam rangka pemeriksaan di pengadilan dalam tahap pembuktian.
50
BAB III
PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI LAPANGAN
Seperti kita ketahui bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 67 dari Undang Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya cukup disebut UUJN), pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri (ayat 1) dan dalam ayat 2 disebutkan “dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas”.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UUJN yang mengatur mengenai wewenang dan Kewajiban Majelis Pengawas (Daerah) (“MPD”), maka MPD Jakarta Pusat membagi tugas pengawasan dan pembinaan dalam 2 kelompok yakni :
A. Pengawasan dan Pembinaan Internal; dan B. Pengawasan dan Pembinaan External
A. Pengawasan dan Pembinaan Internal
Sesuai dengan ketentuan pasal 70 huruf b, MPD akan melakukan pengawasan terhadap protokol Notaris secara berkala satu kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.
MPD Jakarta Pusat telah melaksanakan hal tersebut diatas dan datadata yang ditemui dilapangan antara lain :
I.
Protokol
i.
Buku daftar akta 1.
ada yang belum diisi, ada yang minitnya hilang sehingga nomor untuk akta yang bersangkutan tidak mungkin diisi lagi;
2.
penutup akta tidak ditutup (Pasal 16 ayat 1j);
3.
penutup akta salah, meresume jumlah akta (Pasal 16 ayat 1j);
4.
repertorium belum di tandatangani oleh MPD (Pasal 58 ayat 4) atau masih pakai buku akta lama yang ditanda tangani oleh Pengadilan Negeri atau yang belum di tanda tangan sama sekali.
51
ii.
Buku legalisasi
Ditemukan
:
1. nomor dimulai setiap awal tahun, seharusnya berlangsung terusmenerus selama usia jabatan; 2. buku legalisasi tidak ditanda tangani oleh MPD atau meneruskan buku lama yang di tanda tangan oleh Pengadilan Negeri atau buku akta sama sekali belum di tandatangan.
iii.
Buku waarmerken/pendaftaran
Ditemukan 1.
:
nomor dimulai setiap awal tahun, seharusnya berlangsung terus-menerus selama usia jabatan;
2.
buku waarmerken/pendaftaran tidak ditanda tangani oleh MPD atau meneruskan buku lama yang di tanda tangan oleh Pengadilan negeri.
iv.
Minuta
1. Renvooi tidak disebutkan kata-kata, huruf yang dicoret dan yang digantikan; 2. tidak digaris; 3. dibundel per 3 atau 4 bulan jadi 1 bundel karena jumlah akta sedikit; 4. minit tidak dijahit, cuman pakai stepler.
v.
Copi collatione
-- rata rata nihil.
vi.
vii.
Klapper
1.
Kalper akta rata-rata dibuat tetapi banyak yang ketinggalan;
2.
klapper legalisasi umumnya tidak dibuat (Pasal 59 ayat 2).
Wesel Protes
52
-- rata rata nihil
viii.
Laporan bulanan
--ada
yang
tidak
pernah
melaporkan
sama
sekali,
apakah
dikarenakan tidak tahu atau memang tidak keburu lapor (perbulan).
ix.
Buku daftar Wasiat
--banyak yang salah isi, tidak isi sesuai dengan ketentuan kolom, akan tetapi hanya menyatakan telah melapor ke Pusat Daftar Wasiat.
x.
Laporan Wasiat
--ada yang lalai/tidak melapor.
II.
Keadaan/kondisi di lapangan (umum)
1. Pada umumnya bangunan kantor Notaris baik dan cukup representatif untuk menjadi suatu kantor Notaris.
2. Tempat penyimpanan akta-akta umumnya baik, karena ada lemari atau rak sebagai tempat penyimpanan atau filing cabinet.
3. Bagi Notaris yang aktanya per bulan antara 1 s/d 20 akta, umumya sudah terjilid rapi, kecuali beberapa bulan terakhir, akan tetapi masih disimpan dengan rapi di dalam map atau amplop besar per bulan.
Bagi Notaris yang per bulan aktanya banyak , bahkan lebih dari 100, umumnya beberapa tahun belum sempat dijilid , bahkan ada yang 3 – 4 tahun belum dijilid . Ada yang menyimpannya rapi meski belum dijilid, tetapi ada juga yang agak berantakan.
Saran :
sebaiknya tidak menunda terlalu lama menjilid minuta akta, untuk
mengghindar terjadinya minuta akta atau
lampirannya tercecer.
53
4. Ada seorang Notaris, yang penjilidan minuta aktanya sangat buruk, karena dalam satu bundel akta terdapat : -
minuta akta;
-
print out dalam bentuk salinan akta yang bersangkutan tanpa tanda tangan;
-
surat permohonan untuk pembuatan akta;
-
kwitansi tagihan honorarium pembuatan akta yang bersangkutan;
-
bahkan ada lembar pertama Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan yang sudah lunas dibayar dan divalidasi, yang seharusnya diserahkan kepada- dan menjadi hak pembeli.
Dan minuta akta berikut lampirannya tersebut tidak dijahit terlebih dahulu dan diberi cassete Notaris sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi dibundel dengan stapler. Dan pada waktu kami tanyakan, Notaris yang bersangkutan, yang de facto sudah menjabat selama 6 tahun di Jakarta, tidak memahami bahwa minuta akta yang dibundel tersebut, satu persatu harus disatukan dengan lampirannya dengan cara dijahit.
Saran :
Karena dalam 1 bulan minuta akta kurang dari 10, maka disarankan
untuk
membuka
kembali
bundel
akta,
merapikannya dengan hanya membundel yang sepatutnya masuk dalam bundel, yaitu minuta aktanya, lampiran seperti Kartu Tanda Penduduk, surat Kuasa atau Surat Persetujuan, kalau ada, Anggaran Dasar Perseroan Terbatas apabila aktanya mengenai perubahan anggran dasar Perseroan Terbatas
tersebut, menjahit dan menempelkan cassete
notaris, baru dibundel. Lampiran yang tidak relevant, jangan dimasukkan dalam jahitan bersama minuta akta. Karena minuta akta berikut lampiran tersebut adalah protokol Notaris, yang merupakan arsip negara, yang harus dipelihara baik.
5. Notaris yang mempunyai client beberapa Bank, minuta aktanya banyak yang kurang tertib. Ada minuta yang masih tertinggal di Bank, karena pada waktu penanda tanganan aktanya, Pejabat Banknya tidak ada ditempat, sehingga minuta aktanya ditinggal di Bank, bukan hanya untuk satu hari, tetapi
54
untuk beberapa hari bahkan lebih dari satu bulan. Hal ini menimbulkan resiko yang sangat tinggi bagi Notaris yang bersangkutan, karena : -
Akta yang tidak dibacakan (kecuali memenuhi ketentuan Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang tentang Jabatan Notaris), maka aktanya hanya berkekuatan sebagai akta di bawah tangan dan bagaimana nasib akta jaminan kalau hanya berkekuatan sebagai akta di bawah tangan, maka akta tersebut dapat dibatalkan.
-
Bagaimana kalau akta yang tertinggal di Bank tersebut hilang atau terselip entah dimana, dan kemudian terjadi wanprestasi dari salah satu pihak, sehingga menimbulkan sengketa, ternyata minuta aktanya tidak ada.
-
Bahkan ada yang memperkenankan Bank meminta nomor akta lebih
dahulu
dan
ternyata
setelah
lewat
beberapa
hari
memberitahukan kepada Notaris yang bersangkutan bahwa akta tidak jadi atau batal untuk ditanda-tangani, sedangkan nomor akta pada
kantor
notaris
tersebut
berjalan
terus,
sehingga
mengakibatkan nomor yang diminta itu tidak mempunyai akta.
Saran :
Jangan sekali-kali meninggalkan minuta akta di tempat client. Sebelum penanda tanganan dilaksanakan, sebaiknya di cek lebih dahulu apakah semua client yang berkepentingan untuk menanda-tangani ada di tempat. Minta mereka membuat Surat Kuasa kepada pejabat lain, kalau pejabat Bank yang bersangkutan berhalangan untuk hadir dan menanda tangani. Jangan sekali-kali membiarkan mereka meminta nomor akta terlebih dahulu sebelum akta di tanda-tangani. Salah satu kewajiban kita adalah menjelaskan kepada mereka apa yang selayaknya mereka tidak lakukan terhadap kita. Kalau salah satu pihak wanprestasi dan terjadi perkara, mereka tidak akan memback up kita, kita juga yang menjadi sasaran penyidik atau pengadilan.
6. Ada beberapa Notaris
tidak mencatat dalam repertorium, tanggal
pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.
Saran :
mengingat hal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun, maka tidak mungkin lagi untuk diselipkan keterangan pada penutup
55
tiap
akhir
bulan.
Dianjurkan
terhitung
sejak
tanggal
pemeriksaan catatan tersebut harus dibuat.
7. Banyak menghapus catatan pengisian akta pada Daftar Akta dan Daftar lain dengan tipp-ex.
Saran :
kalau ada kesalahan tulis, harus dicoret dan dibuat renvooi pembetulan disampingnya dan diparaf oleh Notaris. Bagi yang sudah di tipp-ex, harus diparaf pada bagian sebelahnya.
8. Banyak ditemukan Buku Daftar Akta atau Buku Daftar lain ditanda tangani pada halaman pertama dan paraf pada halaman-halaman lain oleh Ketua MPD Notaris (dahulu Ketua/Wakil Ketua MPW) dengan tanggal lebih belakang dari tanggal pengisiannya, misalnya bukunya ditanda-tangani
tanggal 28 Desember 2005, tanggal pengisiannya
bertanggal mulai 6 Oktober 2005.
Saran :
ketik rapih dalam surat dengan Kop surat Notaris yang bersangkutan,
keterangan,
yang
menerangkan
bahwa
sesungguhnya Buku Daftar tersebut yang ditanda-tangani dan diparaf oleh Ketua MPD serta diterima tanggal 28 Desember 2005, telah keliru diisi dengan pencatatan akta pada Buku Daftar dimulai dengan tanggal 6 Oktober 2005, selanjutnya diberi tanggal dan tanda tangan dan stempel jabatan Notaris.
9. Tidak mempunyai Buku Daftar Akta dan Buku Daftar lain. Akta-akta yang dibuat atau dilegalisasi dan didaftar hanya dicatat pada Buku Harian, dan ini sudah dilakukan sejak kepindahannya ke Jakarta pada tahun 2003 sampai sekarang (kurang lebih 6 tahun). Sebetulnya Notaris yang bersangkutan mempunyai Buku Daftar Akta, yang belum ditanda-tangani dan diparaf oleh Ketua MPD, tetapi mulai diisi tahun 2003 untuk kurang lebih satu tahun. Kekeliruan terbesar adalah : -
Tidak mau memahami/mempelajari peraturan yang justru berlaku dalam rangka jabatan menjalankan tugas jabatannya, yaitu Peraturan Jabatan Noatris dan Undang-Undang Jabatan Notaris.
-
Tidak mau bertanya pada organisasi atau MPD kalau tidak memahami.
56
-
Acuh terhadap kegiatan organisasi, karena ketika ditanya tidak tahu apapun tentang kegiatan organisasi dan lebih fatal lagi tidak mau tahu.
Saran :
untuk Buku Daftar Akta atau Buku Daftar lain harus menghubungi pengurus organisasi guna menanyakan di mana buku itu dapat dibeli, yaitu : -Buku Daftar Akta; -Buku Daftar Surat-surat Di Bawah Tangan yang Disahkan; -Buku Daftar Surat-Surat Di Bawah Tangan yang Dibukukan; -Buku Daftar Protes; -Buku Daftar Wasiat; Kelima Buku Daftar tersebut di bawa ke Sekretaris MPD Notaris Jakarta Pusat untuk ditanda-tangani pada halaman pertama dan diparaf pada halaman berikut oleh Ketua MPD, baru diisi. Pada halaman sebelum pengisian pertama, dibuat Keterangan dari Notaris yang bersangkutan bahwa buku Daftar tersebut baru diterima pada tanggal tersebut, tetapi harus diisi dengan tanggal mundur sejak pindah ke Jakarta, karena kelalaian Notaris tersebut untuk mempunyai Buku Daftar tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
10. Ada beberapa Notaris yang tidak mengirimkan Laporan Bulanan dari protokol yang dibuatnya. Saran :
harus
segera
mengirimkan
Laporan
Bulanan
ke
Sekretariat MPD Notaris Jakarta Pusat terhitung sejak berlakunya UUJN.
11. Ada Notaris yang mengirimkan Laporan hanya Catatan pada Buku Daftar Akta kepada Sekretaris MPD Notaris Jakarta Pusat, dengan Surat Pengantar seolah-olah yang dikirim semua Catatan mengenai semua protokolnya dan pada Surat Pengantar tersebut diberi catatan telah diterima oleh Sekretaris MPD Notaris Jakarta Pusat.
Teguran sudah diberikan kepada Notaris yang bersangkutan, tetapi juga agar menjadi perhatian bagi Sekretariat untuk memeriksa terlebih dahulu apakah dokumen yang diterima sudah sesuai dengan
57
tanda terima. Kalau tidak sesuai yaang diterima sebagian, tetapi kembalikan untuk diperbaiki dahulu.
Dan apabila terjadi kekeliruan dari Notaris dalam memberikan Laporan atau ada kecurangan, jangan memberi kesempatan untuk mengambil kembali berkas yang sudah diberikan, akan tetapi minta kepada mereka untuk mebuat “Pembetulan”.
B.
Pengawasan dan Pembinaan External
a. Pengaduan Masyarakat Banyak pengaduan masyarakat yang masuk dan setelah diteliti banyak yang karena ketidak mengertian mereka akan fungsi dan jenis akta serta teknis pembuatannya yang setelah dijelaskan oleh MPD umumnya bisa menerima hal tersebut;
b. Panggilan Penyidik 1.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 66 yang menyatakan bahwa pemanggilan notaris oleh penyidik harus dengan persetujuan terlebih dahulu dari MPD, dalam praktek sering timbul masalah, misalnya : notaris pemegang protokol dipanggil sebagai saksi, dalam hal ini notaris yang bersangkutan tidak mengetahui dan menyaksikan peristiwa yang berlangsung karena dia hanya ketitipan protokol notaris lain, sehingga dia tidak bisa memberikan kesaksian, apabila tidak diizinkan, maka hal tersebut akan diprotes oleh polisi dengan alasan kalo tidak diizinkan bagaimana polisi membuat berita acaranya, sedangkan kalo di izinkan akan diprotes oleh notaris yang bersangkutan dengan alasan dia tidak mengetahui apapun mengenai akta yang bersangkutan;
2.
Kebenaran akta tidak dibantah oleh para pihak yang bersangkutan, perkara hanya disebabkan oleh salah satu pihak yang wanprestasi, tetapi notaris tetap dipanggil dengan membawa minit untuk dicocokkan dengan aslinya; Sebetulnya hal tersebut tidak diperlukan karena isi dari akta tidak dibantah. Kendalanya MPD adalah, apabila tidak dikabulkan akan ada protes dari polisi berdasarkan ketentuan pasal 66, apabila dikabulkan timbul pertanyaan notaris untuk apa dipanggil MPD dulu, dan hasil akhir adalah disetujui.
58
BAB IV ANALISIS
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kenbenaran dan keadilan.
Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa okta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentuklan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyesuaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentinan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi
masyarakat secara keseluruhan.
59
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris, namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga mejadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
2. Sekedar untuk mengingat perlu diketahui bahwa peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris sebelum berlakunya UU No.30 Th.2004 sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundangundangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu : 1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700) 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Dalam Undang-undang UU No.30 Th.2004 tentang Jabatan Notaris diatur secrara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.
60
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komperhensif dalam Undang-undang ini.
3. Khusus tentang pengawasan terhadap Notaris dalam UU No.30 Th.2004 telah diatur secara tegas dalam Pasal 67 ayat (1) bahwa : pengawasan terhadap notaris dialakukan oleh Menteri ( dalam hal ini Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan) yang tidak lain adalah Menteri Hukum dan HAM. Berbeda dengan ketentuan yang lama pengawasan notaris dilakukan oleh Hakim dari Pengadilan setempat. Sedangkan dalam Pasal 67 ayat (2) disebutkan : ”Menteri dalam melaksanakan pengawasan tersebut membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari : -
Majelis Pengawas Pusat (MPP)
-
Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
-
Majelis Pengawas Daerah (MPD)
Dalam Majelis Pengawas ini dilibatkan pihak ahli/akademisi di bidang hukum serta wakil dari organisasi notaris, dengan maksud agar pengawasan tersebut dapat lebih objektif, disamping itu berdasarkan penjelasan Pasal 67 ayat (1) pengawasan tersebut juga dimaksudkan sebagai pembinaan kepada notaris dalam menjalankan jabatannya.
4. Betapapun UU No.30 Th.2004 secara normatif sudah mengatur secara ideal tentang pengawasan ini, akan tetapi dalam praktek disana-sini masih terdapat kendala-kendala yang memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Kendalakendala tersebut terutama meliputi : 1). Eksistensi Majelis Pengawas khususya di wilayah dan daerah-daerah 2). Hubungan MPD/MPW dengan Penyidik. 3). Rendahnya pemahaman para notaris terhadap Undang-undang No.30 Th.2004
1) Eksistensi Majelis Pengawas Berkaitan dengan Eksistensi Majelis Pengawas secara yuridis sudah cukup. Hal tersebut telah diatur dalam Bab IX Pasal 67 s/d pasal 81 UU No.30 Th.2004 maupun dalam Peraturan-peraturan Menteri Hukum dan HAM. Akan tetapi di lapangan muncul permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
61
a. Komposisi Keanggotaan MPD Untuk MPP dan MPW barangkali tidak terjadi kesulitan dalam hal memenuhi wakil-wakil dari akademisi dan organisasi notaris, karena di Jakarta dan di Ibu Kota Provinsi dapat dipastikan ada Perguruan Tinngi Hukum, ada Organisasi Notaris dan Kantor Wilayah Dep.Hukum dan HAM. Akan tetapi di Kab./Kota, memang ada beberapa Kab./Kota yang memiliki Perguruan Tinggi Hukum, dan ada pula Organisasi Notaris. Tetapi haris diakui banyak Kab./Kota yang belum ada Perguruan Tinggi Hukum dan tidak ada perwakilan Dep.Hukum dan HAM, karena kanwil hanya ada di Ibu Kota Provinsi, memang di Kabupaten/Kota ada Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Dep.Hukum dan HAM yaitu LAPAS/BAPAS/RUTAN dan dibeberapa Kab./Kota ada juga Kantor Imigrasi (KANIM) yang bekerjanya sangat teknis. Pertanyaan yang muncul, dapatkah MPD wakil unsur birokrasi diwakili oleh KALAPAS/KARUTAN/KABAPAS/KAKANIM ? b. Pemahaman Anggota Majelais Pengawas terhadap Tugas Notaris Di lapangan banyak dijumpai jangankan anggota majelis yg harus memahami UU No.30 Th.2004, para notarisnya sendiri juga banyak yang tidak faham terhadap kewajiban yang harus dilakukan dalam menjalankan jabatannya sehingga sangat perlu bagi Majelis-majelis Pengawas untuk diberikan semacam Diklat Singkat tentang Tupoksi Majelis Pengawas Notaris. c. Ketiadaan Dana Operasional bagi Majelis Pengawas. Masalah dana ini harus diakui oleh siapapun bahwa DIPA pada setiap Kanwil Dep.Hukun dan HAM untuk pengawasan sangat kecil, sehingga tugas-tugas pengawasan sangat terkendala, apalagi harus mengunjungi Kab./Kota yang jauh.
2) Hubungan Majelis Pengawas dengan Penyidik, Penuntut Umum dan / Hakim Dalam Prakteknya yang banyak berhubungan dengan Majelis Pengawas adalah Penyidik POLRI, sedangkan Jaksa dan Hakim jarang, persoalannya sering terjadi permintaan Polisi tanpa menyebut nomor akta dan jenis akta serta kedudukan/status notaris yang dipanggil tesebut sebagai apa? Hal ini terjadi dimana-mana, yang kadang-kadang membuat para notaris dalam menjalankan jabatannya tidak tenang, disamping itu notaris sebagai pejabat umum yang waktunya sangat berharga, kadang-kadang dipanggil jam 08.00 tetapi pemeriksaannya jam 11.00. dengan kata lain kurang ada
62
penghargaan kepada para notaris dari para penyidik yang notabene Pejabat Umum. Dalam praktek di lapangan ditemui juga bahwa para penyidik POLRI ini tidak memahami UU No.30 Th.2004 sehingga walaupun sudah dijelaskan oleh para notaris tentang tugas & fungsi notaris, tetap mereka tidak mau tahu. Oleh karena itu sosialisasi UU No.30 Th. 2004 tentang jabatan notaris kepada
para
penegak
hukum
khususnya
Penyidik
POLRI
harus
dilaksanakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) bekerjasama dengan POLRI.
3) Rendahnya pemahaman para Notaris terhadap UU No.30 Th.2004 tentang Jabatan Notaris Indikator bahwa para notaris khususnya di daerah belum memahami UU Jabatan Notaris yang baru antara lain dapat dilihat : a. Para notaris dalam mengisi buku daftar akta, buku legalisir, buku waarmerken / pendaftaran, minuta, copi collatione, klapper, wesel protes, laporan bulanan, buku daftar wasiat & laporan wasiat tidak tepat baik cara pengisiannya maupun kapan harus dilaporkan. Bahkan banyak yang masih menggunakan buku-buku lama versi PJN. b. Para notaris juga belum bisa memilah-milah man yang harus dijilid dalam minuta akta, kapan harus dijilid, dll. Hal tersebut sangat berbahaya karena bisa terjadi minuta akta dan lampirannya tercecer. c. Kurangnya pembinaan kepada para notaris baik oleh INI maupun oleh Majelis Pengawas, kalau toh diselenggarakan pembinaan
biasanya
para notaris yang hadir sangat sedikit. Jika hal ini terus berlanjut maka misi pelayanan prima para notaris tidak akan tercapai. d. Tidak fahamnya para notaris dalam menggunakan I.T, sehingga untuk mengakses permohonan pengesahan badan hukum secara elektronik mereka harus melalui orang lain bahkan terindikasi melalui calo-calo yang ada atau yang mengaku karyawan Ditjen Administrasi Hukum Umum di Jakarta. e. Masih banyak terjadi kekurang telitian para notaris ketika berhadapan dengan para penghadap yang identitasnya tidak valid, sehingga dikemudian hari menimbulkan sengketa. f. Disamping itu para notaris yang mendapat panggilan dari penyidik, ketika dipanggil oleh MPD untuk klarifikasi atas isi panggilan tersebut karena dari klarifikasi tersebut MPD bisa mengembalikan atau menolak panggilan
tersebut,
akan
tetapi
banyak
notaris
yang
tidak
63
memperhatikan dan tidak mau datang ke MPD, akhirnya pihak MPD yang
semula
beritikad
baik
ingin
melindungi
notaris,
memberi
persetujuan terhadap panggilan penyidik tersebut. Hal-hal kelemahan semacam inilah sebetulnya yang perlu mendapat perhatian para notaris, agar para notaris dapat terlindungi oleh MPD, dari panggilan-panggilan yang belum tentu betul.
64
BAB V PENUTUP
65
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum,Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008
Anton Moeliono, M. et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. 3, 2000.
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakkan Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1987,
Budi Santoso, C.S.T Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradny Paramita, 2003,
E.Y. Kanter E.Y., Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982.
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Soepapto Indrati
Farida Maria, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998.
Sunggono Bambang, Hukum dan Kebijakan Publik, BPHN, Jakarta, 1994.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
66