LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN HUKUM
EKSISTENSI PERATURAN DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI PROPINSI DKI JAKARTA (TINJAUAN YURIDIS DAN HAM)
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DKI JAKARTA TAHUN 2007
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup Indonesia yang dianugrahkan Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup rakyat dan bangsa Indonesia serta makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia sebagai pribadi dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan kebahagian batin. Antara manusia, masyarakat dan lingkungan hidup terdapat hubungan timbal balik yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang dinamis. Undang-Undang
Dasar
1945
sebagai
landasan
konstitusional,
sebagaimana diatur dalam pasal 33 mengamanatkan bahwa sumberdaya alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah
dan
memanfatkan
sumber
daya
alam
untuk
meningkatkan
kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk
2
mencapai kepusan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah ketentuan hukum dibidang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dewasa ini, yang merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitasnya, sedangkan permintaan akan sumberdaya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun. Kegiatan pembangunan yang makin meningkat menanggung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pembangunan
yang
memanfaatkan
sumber
daya
alam
akan
menimbulkan perubahan terhadap sistem lingkungan alami. Perubahan system lingkungan alami ini tidak dapat dihindari, namun demikian kemampuan lingkungan sebagai penopang kehidupan yang layak bagi umat manusia dan segala makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan harus tetap dijaga dan dipertahankan. Pelestarian kemampuan lingkungan hidup ini perlu diserasikan dengan kebutuhan pembangunan bangsa kita dewasa ini dan generasi mendatang. Pembangunan yang sedang dilaksanakan mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan
3
tersebut dapat berupa penurunan kualitas udara. Kualitas udara
sangat
dipengaruhi oleh besar dan jenis sumber pencemar yang ada seperti dari kegiatan tranfortasi, kegiatan industri dan lain-lain. Masing-masing sumber pencemar menghasilkan bahan pencemar yang berbeda-beda baik jumlah, jenis dan pengaruhnya bagi kehidupan. Pencemaran udara yang terjadi sangat ditentukan oleh kualitas bahan bakar yang digunakan, teknologi yang digunakan serta pengawasan yang dilakukan.
Untuk melindungi kualitas udara diperlukan upaya-upaya pengendalian terhadap sumber-sumber pencemar udara yang berguna untuk melestarikan fungsi lingkungan, mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana untuk mencapai kualitas udara yang memenuhi syarat bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengendalian pencemaran udara ini dilakukan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan yang meliputi upaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran
serta pemulihan mutu
udara dan
upaya
pencegahan terhadap sumber pencemar.
Upaya pengendalian pencemaran udara dilakukan pula melalui program pembinaan terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerjanya. Pelaksanaan pembinaan
dilakukan melalui
pendidikan dan latihan, pentaatan terhadap peraturan-peraturan pengendalian pencemaran udara serta penegakan hukum. Di Pemerintahan Daerah Propinsi DKI Jakarta upaya pengendalian pencemaran udara adalah dengan ditetapkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan peraturan pelaksanaannya dengan Keputusan Gubernur
Propinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang
Kawasan Dilarang Merokok.
4
Untuk
memperoleh
gambaran
menyeluruh
tentang
Pengendalian
Pencemaran Udara di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Tim Penyusun Kegiatan Penelitian Hukum dan HAM di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta melakukan penelitian hukum dengan judul “EKSISTENSI PERATURAN DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI PROPINSI DKI JAKARTA (TINJAUAN YURIDIS DAN HAM)“
B.
Perumusan Permasalahan 1. Bagaimana eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dilihat dari aspek yuridis ? 2. Bagaimana eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dilihat dari aspek HAM ? 3. Apakah Hambatan–hambatan dalam Penegakan Hukum Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ?
C.
Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ditinjau dari prosfektif yuridis, dan HAM beserta hambatan-hambatan dari pelaksanaan peraturan daerah tersebut. 2.
Untuk mewujudkan sikap perilaku masyarakat yang peduli lingkungan sehingga tercapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
5
3. Untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya secara bijak sana sehingga terjaminnya kelestarian fungsi lingkungan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta. 4. Untuk mewujudkan terkendalinya sumber pencemar udara sehingga tercapai kualitas udara yang memenuhi syarat kesehatan manusia dan makluk hidup lainnya di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
D.
Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori Sistem norma hukum adalah kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat berupa keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.1 Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya system hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya. Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (Stufentheorie). 2 Sistem hukum di dalam menjalankan fungsinya melalui 3 proses (tiga) tahapan yaitu :3 1
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001, hal. 82. Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998, hal. 25. 2
6
1. Pembentukan Hukum ( law making policy). 2. Penegakan Hukum (law enforcement policy). 3. Pembangunan Budaya Hukum (legal cultur). Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi
hukum
yang
responsive
dan
mampu
menjadi
sarana
pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten
dengan menghormati prinsip equality before the law,
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law. Di dalam Pembangunan budaya hukum diarahkan menyempurkan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat. 4
2. Kerangka Konsep Untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam memahami istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang dipakai sehingga diperoleh kesamaan pemahaman terhadap obyek penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah :
3
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, BPHN, Jakarta, 1994, hal. 95. A.A. Oka Mahendra, Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.1 No.4 – Desember 2004, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 29. 4
7
a. Eksistensi Keberadaan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara disahkan dan diberlakukan pada tanggal 16 Februari 2005 di Wilayah Propinsi DKI Jakarta. b. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta
yang berupaya melakukan
pencegahan dan atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara di wilayah Propinsi DKI Jakarta. c. Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta Adalah wilayah hukum/yuridis dimana Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta
Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara berlaku. d. Tinjauan Yuridis dan HAM Eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta di lihat, diamati, dianalis dan dikaji dari aspek hukum dan hak asasi manusia.
E.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normative dengan analisa kwalitatif.
Diawali dengan inventarisasi dan mempelajari data kepustakaan, berupa bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan) bahan hukum sekunder (informasi–informasi actual yang diambil dari buku-buku literature, media massa yang membahas tentang pengendalian pencemaran udara , bahan hukum tertier (kamus).
Di samping itu diperkuat dengan data primer berupa pengamatan
langsung (observasi) di lapangan, serta wawancara dengan pihak yang dianggap
8
kompeten tentang Pengendalian Pencemaran Udara di Wilayah Propinsi DKI Jakarta. Untuk Kemudian data-data yang terkumpul tersebut diedit, diolah, dibahas,dikaji dan dianalisis sehingga dapat menjawab pokok permasalahan penelitian secara logic dan benar.
F.
Jadwal Pelaksanaan
NO.
KEGIATAN
WAKTU
KETERANGAN
1.
Inventarisasi dan Kepustakaan
2 bulan
Januari-Februari 2007
2.
Pengolahan Data Kepustakaan
2 bulan
Maret-April 2007
3.
Pembuatan instrument penelitian: Pedoman wawancara / Questioner Survey, Observasi dan Pengolahan data di Lapangan Analisa data penelitian dan seminar hasil penelitian Pembuatan Laporan Penelitian
1 bulan
Mei 2007
3 bulan
Juni, Juli, Agustus 2007
3 bulan
September, Oktober, November 2007 Desember 2007
4. 5. 6.
G.
1 bulan
Sistimatika BAB I
Pendahuluan A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Maksud dan Tujuan D. Kerangka Teori dan Konseptual E. Metode F. Jadwal Pelaksanaan G. Sistematika H. Personalia Tim
BAB II
Tinjauan Umum tentang Pengendalian Pencemaran Udara
9
BAB III
Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dilihat dari Aspek Yuridis. B. Eksistensi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dilihat dari HAM. C. Hambatan
-
Hambatan
dalam
Penegakan
Hukum
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. BAB IV
Penutup A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
H.
Personalia Tim Penelitian Ketua
: H. Agus Anwar, SH. MH.
Sekretaris
: Usdianto, SH.
Anggota
:
1. Drs. Didin Sudirman, Bc.IP,SH. Msi. 2. Prijatni Sawadi, SH. M. Hum. 3. DR. Agus Sarjono, SH. MH. 3. Marulak Pardede, SH. MH. 4. Iwan Satyoprodjo, SH. MH. 5. Fauzi, SH. 6. Suratin Eko Supono, SH. S.IP. MH. 7. Muhammad, SH.
10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (modern) seringkali bermakna ganda yakni, disatu sisi akan bermanfaat sebagai sarana bagi dilakukannya pembangunan, sedangkan disisi lain dapat melahirkan dampak negatif terhadap kelanjutan kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti pencemaran dan perusakan lingkungan, polusi khemis, kontaminasi mikrobial dan
sebagainya.
Bahkan,
Nigel
Calder
seorang
pakar
lingkungan
mengetengahkan tentang terjadinya “technological horrors” yang meliputi antara lain: bencana thalidomide, penyalahgunaan pestisida, polusi air dan udara dan sebagainya.5 Di negara-negara dunia ketiga yang tengah mengalami modernisasi, proses perubahan tersebut menyangkut pada suatu transisi dari masyarakat tradisional
ke
masyarakat
industri
dengan
segala
dampak kulturalnya.
Perubahan tersebut terwujud sebagai suatu bentuk transformasi dalam proses pengelolaan sumberdaya melalui penggunaan teknologi modern yang secara keseluruhan bekerja sebagai suatu sistem yang mempengaruhi pelbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan dimensi baru pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang ramah lingkungan.6 Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup, tergantung pada usaha manusia, karena manusia adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi 5
Nigel Calder, “Technopolis - Social Control of the Uses of Science”, New York: Simon and Schnater, 1971. 6 Laporan Hasil Penelitian tentang Perkembangan Delik-Delik Khusus Dalam Kejahatan Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, BPHN, Jakarta, 1977, hal 2.
11
lingkungan. Manusia mempunyai kecenderungan untuk tidak mempedulikan keseimbangan dan keserasian lingkungan dalam melakukan aktivitasnya (eksploitasi sumberdaya alam). Dampak negatif atas eksploitasi terhadap sumber daya alam, tidak saja dialami oleh negara berkembang, akan tetapi negara maju juga mengalaminya, seperti hujan asam, pencemaran udara dan lain-lainnya. Suatu hal yang perlu dihayati dalam pengelolaan lingkungan hidup, adalah bahwa : “Lingkungan hidup adalah merupakan warisan anak cucu”. Dengan demikian kelestarian lingkungan harus tetap terjaga. Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungannya. Menurut Otto Sumarwoto, Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi. Dalam konsep ekologi diyakini bahwa komponen-komponen atau unsur-unsur lingkungan hidup, terkait dalam hubungan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi (interaksi). Hubungan tersebut bersifat tetap dan teratur yang berbentuk suatu sistem yaitu ekosistem. Otto Sumarwoto memberikan definisi tentang ekosistem yaitu : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan lingkungannya.7 Apabila terjadi perubahan dalam interaksi antar komponen, yang mengakibatkan terjadinya gangguan yang hanya bersifat sementara, maka berarti gangguan tersebut dapat ditanggulangi, sehingga keseimbangan dalam pola interaksi tersebut dapat dipulihkan kembali. Akan tetapi masalah lingkungan hidup akan muncul, apabila fungsi dalam mata rantai ekosistem terganggu dan gangguan itu melampaui kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri sendiri secara alami.
7
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1985.
12
Kemampuan daya dukung lingkungan untuk menopang pembangunan yang sangat memprihatinkan, ternyata mulai dirasakan oleh masyarakat secara global sehingga United Nations Environment Programme (UNEP), suatu Badan Dunia yang mengurus keselamatan Lingkungan, pada tahun 1982 ketika memperingati 10 tahun gerakan lingkungan hidup, sepakat membentuk Komisi Dunia
untuk
Lingkungan
dan
Pembangunan
(World
Commission
on
Environment and Development-WCED), yang bertugas untuk mempelajari tantangan lingkungan dan pembangunan menjelang tahun 2000 dan cara-cara penanggulangannya.8 WCED adalah lembaga yang memperkenalkan istilah pembangunan yang berkelanjutan yang digunakan dalam laporan dalam bukunya Our Common Future dan memberikan definisinya sebagai berikut: "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa megurangi kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Definisi yang arif tersebut mengandung pesan, bahwa melakukan pembangunan dengan cara merusak lingkungan dapat mengancam kelangsungan pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu
tetap
memelihara
kelestarian
lingkungan
dalam
memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan, demi proses dimasa yang akan datang. Konsep pembangunan yang berkelanjutan tersebut, diikuti oleh negara-negara peserta, demikian juga dengan Indonesia yang telah merumuskan norma-norma dimaksud didalam sistem Hukum Lingkungan, tinggal implementasinya saja yang nampaknya masih banyak kendala dan hambatan. Dalam Pengelolaan Lingkungan, pelestarian kemampuan lingkungan merupakan asas yang mendasari penyelenggaraan lingkungan. Pelestarian kemampuan
ini
mencakup
pelestarian
daya
dukung
lingkungan,
yang
mencerminkan kemampuan lingkungan untuk mendukung hidup dan kehidupan manusia serta mahluk hidup lainnya secara wajar dan lestari, dan daya tampung 8
Hari Depan Kita Bersama, Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta,tahun 1988, hal xix.
13
lingkungan yang mencerminkan suatu tingkat kualitas lingkungan yang menjamin tingkat kualitas hidup manusia. Terlestarikannya daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.9 Untuk mendukung usaha pembangunan yang berlanjutan demikian, diperlukan beberapa piranti atau instrumen penegakan hukum lingkungan, seperti AMDAL yang merupakan filter pertama sebelum suatu kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diizinkan untuk dilaksanakan. Undang-undang No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna terbuka pada tanggal 22 Agustus 1997 dan secara resmi berlaku pada tanggal 19 September 1997, namun ternyata masih dirasakan banyaknya kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak dapat diselesaikan. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan, sejauh mana kebijaksanaan pemerintah dibidang pengelolaan lingkungan, dapat mencegah usah-usaha kegiatan ekonomi yang mengarah pada terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan.
1.
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan. Untuk lebih mendalami apa sebenarnya perusakan dan pencemaran
tersebut, ada baiknya ditinjau definisi
serta kriteria dari kedua hal tersebut.
Definisi perusakan dan pencemaran lingkungan menurut UUPLH, dapat dikemukakan, bahwa : "Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya".
9
Rancangan Naskah Akademis Tentang Pengelolaan Lingkungan, BAPEDAL, Jakarta, 1995, hal 13.
14
"Perusakan
lingkungan
adalah
tindakan
yang
menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan,yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan ". Pencemaran
pada hakekatnya
berbeda dengan
pengotoran
atau
terkontaminasi, karena dalam kontaminasi tingkat konsentrasi zat pencemaran tersebut sedemikian rupa, sehingga eksistensinya dalam lingkungan tidak menyebabkan terganggunya fungasi atau peruntukan/penggunaan lingkungan itu. Dengan perkataan lain, dalam pengotoran atau kontaminasi tingkat konsentrasi zat pollutan tidak melampaui nilai ambang batas dan tidak menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi. Kriteria yang dipergunakan untuk mengetahui apakah lingkungan hidup telah mengalami pencemaran atau perusakan, tolok ukur yang dipergunakan adalah Baku Mutu Lingkungan (BML). Gangguan terhadap lingkungan dan ekologi, besar kecilnya penyimpangan diukur dari batas-batas yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan atau daya dukung (carryng capacity) ekosistem lingkungan. Batas-batas daya dukung atau kemampuan lingkungan disebut nilai ambang batas (NAB). NAB adalah batas tertinggi (maksimum) dari kandungan zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain yang diperbolehkan dalam setiap interaksi dengan lingkungan, khususnya berpotensi mempengaruhi mutu tata lingkungan hidup atau ekologi. Menurut N.H.T. Siahaan, dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu ekosistem telah tercemar, apabila ternyata kondisi lingkungan itu telah melebihi NAB yang ditentukan berdasarkan penetapan Baku Mutu Lingkungan (BML).10 Walaupun dalam perumusan nampaknya terdapat perbedaan antara pengertian pencemaran dan perusakan, namun sesungguhnya secara yuridis 10
N.H.T. Siahaan, “Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan”, Erlangga, Jakarta, 1989, hal 163.
15
kedua pengertian itu tidak mengandung perbedaan, karena unsur-unsur esensial keduanya adalah sama. Unsur-unsur esensial persamaan kedua pengertian tersebut ialah antara lain 11 : Baik pencemaran lingkungan atau kerusakan lingkungan adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan perubahan baik langsung atau tidak langsung; Baik pencemaran atau kerusakan lingkungan,adalah dua tindakan yang sama sama menyebabkan lingkungan kurang atau tidak dapat berfungsi lagi; Dihubungkan dengan tanggung jawab perdata maupun pidana keduanya tidak dibedakan menurut konsekwensi yuridis seperti diatur dalam pasal 34,35 UUPLH; Keduanya
baik
dalam
hal
adanya
kesengajaan
atau
kelalaian,diancam dengan ancaman pidana yang sama. Perbedaan antara pencemaran dan perusakan lingkungan hanya terletak pada manifestasi akibatnya. Pada pencemaran, akibatnya berupa kurang atau tidak berfungsinya lingkungan, karena menurunnya kualitas lingkungan tidak langsung
kelihatan.
Akibatnya
hanya
dapat
diketahui
berdasarkan
uji
laboratorium. Konkritisasi akibat secara fisik baru akan nampak setelah jangka waktu yang lama (10 tahun lebih). Sedangkan akibat perusakan, akan nampak segera, bahkan dapat dipahami oleh orang awam. Misalnya kerusakan hutan, kematian hewan atau tumbuh-tumbuhan.
2.
Penyebab Terjadinya Pencemaran dan Perusakan Lingkungan. Setelah diketahui arti pencemaran dan perusakan lingkungan, selanjutnya
dipandang perlu untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang faktor-faktor (permasalahan-permasalahan) yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.
11
Harun M Husein, SH, "Lingkungan Hidup" Bumi Aksara, Jakarta, tahun 1992, hal 64.
16
Dari hasil telaahan beberapa bahan kepustakaan, diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan lingkungan seperti pencemaran dan perusakan diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai yang membentuk proses, yakni memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan proses penegakan hukum pada umumnya. Menurut Bambang Prabowo : "masalah masalah karena
penegakan
lingkungan
tidaklah
semata-mata
lingkungan karena
timbul
keberesan
peraturan yang mengatur saja, tetapi lebih dari itu adalah karena pemahaman, kesadaran dan kepatuhan semua pihak terhadapnya, ditunjang dengan institusionalisasi peraturan tersebut yang belum menggembirakan.12 Pada tahun 1972 telah diadakan Konferensi Lingkungan Hidup Dunia di Stockholm yang mencetuskan berbagai gagasan untuk mengatasi masalah pencemaran dan perusakan
lingkungan. Konferensi tersebut berhasil
membentuk UNEP (United Nations of Environmental Program). Badan tersebut disebut juga dengan Program Lingkungan PBB. Namun sesudah konferensi tersebut, ternyata keadaan lingkungan hidup diberbagai dunia tidak bertambah baik bahkan cenderung turun kualitasnya dan kerusakan lingkungan menjadi masalah global.13 Seperti diuraikan sebelumnya, badan dunia ini juga telah membentuk WCED yang mengkaji masalah-masalah pembangunan ekonomi dan lingkungan, yang akhirnya melahirkan konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development). Menurut Otto Soemarwoto, terjadinya pencemaran lingkungan, dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu :
12
Bambang Prabowo Soedarso,Kumpulan Bahan Kuliah Hukum, Yayasan Indonesia Lestari, Jakarta, 1999, hal 13. 13
Dra. Liana Brasida, MS "Potensi Pengembangan Program Pruduksi Bersih di Indonesia", BAPEDAL, tahun 1996, hal 1.
17
Adanya
a.
pencemaran
karena
lebih
besarnya
kecepatan
produksi suatu zat daripada kecepatan penggunaannya atau degradasi secara kimia fisik. Adalah
b.
proses
biologi
yang
membentuk
atau
mengkonsentrasikan zat pencemar tertentu.Misalnya ikan mengkonsentrasikan zat-zat pollutan. Berdasarkan proses fisika-kimia non biologi. Proses ini dapat
c.
terjadi
tanpa
pengaruh
(langsung)oleh
manusia,
seperti
pencemaran yang berasal dari gunung berapi. Terjadi kecelakaan, seperti kecelakaan atau kebocoran tangker
d.
dilepas pantai sehingga mencemari lingkungan. Berdasarkan
Rancangan
Naskah
Akademis
yang
disiapkan
oleh
BAPEDAL, tentang Perubahan UULH, dapat dikemukakan beberapa faktor penyebab
kurang
efektifnya
UULH
mengantisipasi
masalah-masalah
pengelolaan lingkungan, antara lain 14 : Perkembangan kegiatan pembangunan dalam 10 tahun terakhir diberbagai sektor seperti industri, pertambangan dan energi, perdagangan,
perumahan,
pemukiman
dan
sebagainya,
telah
melahirkan berbagai masalah baru yang semakin komplek sekaligus mempertinggi tekanan terhadap lingkungan. 3.
Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Lingkungan. Perkembangan aspirasi Internasional mengenai pengelolaan lingkungan
global, semakin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup, termasuk Indonesia. Dalam kaitan tersebut, Indonesia telah menyempurnakan UU No.4/1982 melalui Undang-undang No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna
14
Rancangan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentang "Pengelolaan Lingkungan Hidup" (disampaikan dalam seminar intern oleh Legal Mandate Team), BAPEDAL, 1995, hal. 1-3.
18
terbuka pada tanggal 22 Agustus 1997 dan secara resmi berlaku pada tanggal 19 September 1997. Nampaknya titik berat pendekatan yang digunakan oleh UUPLH dalam pengelolaan lingkungan adalah penaatan (compliance) terhadap norma-norma lingkungan hukum, sedangkan hukuman (sancioning) merupakan tindakan terakhir. Penegakan hukum berdasarkan penaatan tersebut merupakan awal dari implementasi pembangunan yang berkelanjutan. Penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan dengan mendasarkan pembangunan yang berkelanjutan juga telah diamanatkan dalam penyusunan Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 yang dalam lampirannya, memberi arahan dalam Bab X tentang Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup sebagai berikut : ".....dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang ketiga, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan mempercepat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dalam bab ini menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin". Dengan demikian pembangunan sektor ekonomi akan tetap diprioritaskan dalam rangka pemulihan ekonomi, yang berarti akan dilakukan peningkatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hal ini berarti akan merupakan ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan ketentuan pasal 11 UUPLH, Penyusunan dokumen AMDAL, merupakan sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pemantauan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan lingkungan terutama didalam penyusunan dokumen
ANDAL, RKL dan RPL, didalam dokumen-
19
dokomen tersebut terutama dalam RKL dan RPL, berisi upaya-upaya yang akan dilakukan dalam mencegah terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanakan AMDAL pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan terhadap ketentuan AMDAL untuk melaksanakan pasal 11 UUPLH tersebut yaitu PP No. 29 tahun 1986, PP. No. 51 tahun 93 dan terakhir PP 27 tahun 1999. Namun walaupun penyempurnaan penyempurnaan PP. AMDAL telah dilakukan, ternyata masih belum berhasil mengurangi jumlah kegiatan usaha yang mencemarkan, karena nampaknya penyusunan AMDAL yang banyak memakan waktu dan biaya, cenderung dihindari atau dicarikan jalan pintasnya. Piranti atau
istrumen
yang juga
penting untuk mencegah atau
menanggulangi pencemaran atau perusakan Lingkungan adalah penetapan standar. Standar minimum sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat pencemaran/perusakan lingkungan adalah Baku Mutu Lingkungan yang meliputi baku mutu lingkungan ambien (batas zat yang diizinkan terdapat dalam udara) maupun baku mutu limbah (batas zat pencemaran yang diizinkan
dibuang
kedalam lingkungan tanpa melampaui baku mutu) sesuai dengan Keputusan Menteri KLH nomor : Kep-02/MENKLH/1/88 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan (BML). Baku Mutu Lingkungan pada dasarnya adalah batasan sejauh mana unsur pencemaran dapat diterima kedalam lingkungan dan pelanggaran BML, akan merupakan bukti juridis dalam menentukan apakah telah terjadi pencemaran atau tidak. Apabila limbah yang dihasilkan dan dibuang kedalam lingkungan melebihi batas yang telah ditentukan, itulah yang akan menjadi ukuran ada atau tidaknya pencemaran lingkungan. Pada dasarnya dalam sistem pengelolaan lingkungan yang dituangkan dalam UUPLH adalah, larangan membuang limbah tanpa izin dan larangan melakukan kegiatan atau usaha yang berdampak penting, tanpa izin (pasal 14 UUPLH) maka diharapkan piranti atau instrumen pengelolaan lingkungan
20
tersebut selalu dikaitkan dalam persyaratan perizinan. Instansi sektoral yang berwenang mengeluarkan izin usaha, pada dasarnya bertanggung jawab atas pengawasan dalam mencegah terjadinya pencemaran seperti yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 5 tahun 1984. Dalam pasal 11 UUPLH ditetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa : setiap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL. Sejalan dengan ketentuan tersebut dalam pasal 14 UUPLH dinyatakan bahwa : setiap kegiatan usaha yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki izin melakukan kegiatan atau usaha. Dengan diberlakukannya ketentuan tersebut dapat dikatakan
bahwa kewajiban penyusunan AMDAL, diwujudkan dengan
persyaratan-persyaratan perizinan yang wajib dipatuhi oleh pemegang izin untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan. Apabila dikaitkan dengan PP No. 51 tahun 1993 tentang AMDAL, maka persyaratan perizinan dijabarkan dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang merupakan pedoman bagi pemrakarsa kegiatan. 15 Selanjutnya kewajiban tersebut secara implisit diharapkan ditampung dalam setiap peraturan tentang kegiatan yang mempunyai dampak lingkungan dan memerlukan izin untuk pelaksanaannya. Contohnya adalah pasal 21 UU No 5 tahun 1984 Tentang Perindustrian sebagai berikut : "Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian
sumber
daya
alam
serta
pencegahan
timbulnya
kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilaksanakan." Ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan kualitas lingkungan wajib dituangkan dalam Izin Usaha Industri yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Kepentingan lingkungan juga tercermin dari
15
Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, SH, Hukum Lingkungan Administratif : IZIN, UNAIR,
1994, hal 2.
21
ketentuan tentang upaya pencegahan pencemaran yang ditetapkan melalui prosedur AMDAL sebagai bagian dari prosedur perizinan. Upaya ini ditetapkan dengan jelas dalam pasal 5 PP AMDAL, yang mengkaitkan prosedur AMDAL dengan prosedur perizinan: "Pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang membidangi jenis usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, hanya dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab". Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa berkenaan dengan perizinan sebagimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap perizinan suatu bidang usaha, baik pada tahap perencanaan/tahap operasional harus selalu dikaitkan dengan AMDAL. Dengan demikian pemrakarsa/penanggung jawab perusahaan akan selalu terikat dengan kewajiban-kewajiban sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam dokumen AMDAL. Untuk mengatasi permasalahanpermasalahan lingkungan di Indonesia, selain telah dirumuskan undang-undang yang
mengatur
tentang
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
yaitu
UUPLH,
mengantikan UULH demikian pula pengaturan yang lebih rendah yang bersifat melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut baik ditingkat pusat maupun daerah, dibidang kelembagaan juga telah dibentuk Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH). Pada awalnya yaitu tahun 1978 Menteri Negara PPLH, tugas Meneg LH adalah membuat kebijaksanaan dan melakukan koordinasi berkenaan dengan pengelolaan lingkungan. Untuk membantu Meneg LH, pada tahun 1990 dibentuk BAPEDAL yang bertugas melaksanakan pengendalian dampak lingkungan, meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak dan pemulihan kualitas lingkungan. Walaupun telah didukung oleh materi perundang-undangan yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan pembentukan Lembaga yang berwenang
mengatur,
namun
permasalahan
lingkungan
di
Indonesia,
22
bermunculan seiring dengan meningkatnya pembangunan. Misalnya: kasus pencemaran air, udara dan tanah oleh limbah industri, kebakaran hutan, kesulitan penanggulangan pengelolaan sumber daya alam yang tidak didasarkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
4.
Penegakan Hukum (Law Enforcement). Dari hasil telaahan beberapa bahan kepustakaan, diperoleh kesimpulan
bahwa permasalahan lingkungan seperti pencemaran dan perusakan diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai yang membentuk proses, yakni memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan proses penegakan hukum pada umumnya. Jaro Madya dalam bukunya : “The Penal Protection of Environment”, menyatakan bahwa : “sanksi pidana dalam proteksi lingkungan hidup, dipergunakan sebagai ultimum remedium”.16 Pakar hukum lingkungan, Sundari Rangkuti juga menyetujui bahwa sanksi pidana bukan merupakan pemecahan utama dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan, tetapi hanya merupakan utimum remedium. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hukum lingkungan sebagian besar merupakan hukum administrasi negara, sehingga sanksi administratif sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan. 17 Di Amerika Serikat, tuntutan pidana merupakan mata rantai yang paling akhir, dengan tujuan untuk menghapuskan atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai tersebut, antara lain meliputi : a. Penentuan kebijaksanaan, desain dan perencanaan, pernyataan dampak lingkungan; b. Peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur perizinan; 16
Jaro Madya, “The Penal Protection of Environment” , Ibid, hal 170.
17
Gatot. P. Soemartono, "Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia", Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal 141.
23
c. Keputusan
administratif
terhadap
pelanggaran,penentuan
tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati; d. Gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran, penelitian denda atau ganti rugi; e. Gugatan masyarakat untuk memaksa atau mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan,gugatan ganti rugi; dan f. Tuntutan Pidana.
Apa yang telah dikemukakan oleh Jaro Madya, yaitu penggambaran mata rantai penegakan hukum lingkungan di Amerika, sebenarnya beberapa hal juga sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Bambang Prabowo, bahwa beberapa masalah penegakan hukum lingkungan yang harus dibahas yaitu meliputi : a.
Peraturan perundang-undangan;
b.
Masalah Perizinan;
c.
Masalah Kesaksian dan Pembuktian;
d.
Masalah Koordinasi Kelembagaan Instansi/Departemen terkait;
e.
Masalah-masalah lainnya yang meliputi-ketidak pahaman tentang peraturan yang ada, tidak sadar arti pentingnya lingkungan, tidak patuh terhadap ketentuan yang ada, tidak lengkapnya peraturan dan institusi yang bertanggung jawab.
Untuk
dapat
mengetahui
akar
permasalahan
penegakan
hukum
lingkungan yang menyebabkan belum berhasil mengatasi masalah-masalah pencemaran dan perusakan lingkungan, secara berturut dikaji berdasarkan masalah penegakan hukum lingkungan, sebagaimana diuraikan diatas, oleh Bambang Prabowo, sebagai berikut :
24
A.
Peraturan Perundang-undangan. Kebijaksanaan pengelolaan lingkungan
digariskan
dalam
Tap.MPR/II/2000
tentang
secara konsepsional, telah GBHN,
khususnya
dalam
kebijaksanaan bidang Lingkungan Hidup, yang kemudian dijabarkan kedalam Repelita. Selanjutnya dalam era reformasi ini dijabarkan lebih lanjut dalam Propenas tahun 2000-2004. Secara hukum materi pengelolaan lingkungan diatur dalam Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), menggantikan
Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). UUPLH berfungsi sebagai ketentuan
payung
(umbrella
act)
bagi
ketentuan
ketentuan-ketentuan
lingkungan yang ada maupun yang akan dikeluarkan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut telah dikeluarkan : a. Beberapa peraturan pemerintah seperti PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, PP No. 20 tentang Pengendalian Pencemaran Air, UU No. 5 tahun
1990
Ekosistemnya, Pengendalian
tentang Keppres Dampak
Konservasi No.
10
Sumber tahun
Lingkungan
Daya
2000
(BAPEDAL)
Alam
tentang
dan
Badan
menggantikan
Keppres No. 196 tahun 1998 tentang BAPEDAL, UU No. 5 tahun 1992 tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya, UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, PP No. 12 tahun 1995 tentang Perubahan,
PP No. 19 tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah B-3. b. Beberapa Surat Keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup, sebagai pedoman tehnis, antara lain : Kep.Men.LH No. 49/87 Tentang Pedoman Penentuan Dampak Lingkungan, Kep.Men.LH No. 2/88 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, Kep.Men.LH No. 51/95 tentang Baku Mutu Limbah cair Bagi Kegiatan Industri,
25
Kep.Men.LH No.13/95 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, Kep.Men.LH No. 42/94 tentang Audit Lingkungan, dll. c. Berbagai surat -surat keputusan dari menteri sektoral sebagai pelaksanaan PP No. 27 tahun 1999 tentang Amdal (menggantikan PP No. 51 tahun 1993 tentang AMDAL), serta peraturan-peraturan ditingkat daerah berkaitan dengan pelaksanaan PP AMDAL tersebut, antara lain : Kep Menteri Kesehatan No. 286/93 tentang Kegiatan di Bidang Kesehatan yang wajib Membuat AMDAL, Kepmenteri PU No. 45/90 tentang Pengendalian Mutu Air Pada Sumber Air dan lainlainnya.
Apabila ditelaah lebih dalam berbagai ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, ternyata masih harus diadakan peninjauan terhadap peraturan perundangan yang diperlukan dalam melaksanakan penegakan
UUPLH
tersebut, karena : Masih banyak peraturan yang sifatnya mendesak yang harus diatur seperti, pengendalian pencemaran udara/lingkungan laut, prosedur mengajukan gugatan Class Action dan lain lain. Masih perlu meninjau peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada zaman sebelum kemerdekaan, seperti Ordonansi Gangguan (HO). Masih perlu penyesuaian peraturan perundang-undang yang bersifat sektoral terhadap UUPLH yang akan menggambarkan satu sistem pengaturan dibidang pengelolaan lingkungan, baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun ditingkat Pemerintah Daerah.
B.
Perizinan. Dalam sistem pengelolaan lingkungan, izin merupakan instrumen
pengendalian lingkungan yang paling effektif, karena dalam perizinan wajib 26
disertai dengan persyaratan-persyaratan dan pertimbangan lingkungan sebagai upaya pencegahan pencemaran. Perizinan dalam sektor industri, meliputi izin Usaha industri, izin Lokasi, Izin HO dan izin Pembuangan Limbah Cair. Perizinan merupakan instrumen administratif guna mewujudkan kebijaksanaan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan dengan pembangunan dan pertumbuhan industri disatu pihak, dan pemeliharaan daya dukung lingkungan dipihak lain. Standar minimum sebagai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran dan perusakan lingkungan, telah diatur dalam Kep.Men.LH No. 2/88 Tentang Baku Mutu Lingkungan (BML). Prosedur perizinan telah diatur dalam beberapa peraturan, diantaranya adalah : Kep.Men.Perindustrian No.134/86 Tentang Pencegahan dan penangggulangan Pencemaran sebagai Akibat kegiatan Industri, SK. Men.Perindustrian No. 291/89 tentang Tata Cara Perizinan standar Teknis Kawasan Industri. Jenis izin mengenai kegiatan yang mempunyai dampak penting
terhadap
lingkungan,
dikenal
dengan
istilah
izin
lingkungan
(environmental license).18 Dikaitkan dengan PP AMDAL, dalam pasal 5, dinyatakan antara lain bahwa : “Pemberian izin oleh instansi yang berwenang, hanya akan diberikan setelah adanya persetujuan RKL dan RPL yang merupakan hasil penyusunan dokumen AMDAL. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan AMDAL, harus diintegrasikan ke
dalam
setiap
izin
yang
dikeluarkan
oleh
instansi
yang
berwenang”. Perizinan ditangani oleh berbagai instansi, sesuai dengan bidang usaha yang bersangkutan seperti : Departemen Perindustrian memberikan izin usaha, Departemen Kehutanan memberikan izin penguasaan Hutan. Ditingkat Pemda, Pemda memberikan izin HO, yang pemberian izinnya didasarkan pada
18
Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, SH, "Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan”, Makalah Seminar, Jakarta, Tahun 1996, hal 3.
27
pemenuhan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh instansi yang terkait dengan bidang kegiatan tersebut. Dengan cara tersebut pemrakarsa/penanggung jawab kegiatan akan selalu terikat pada kewajiban-kewajibannya sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan AMDAL. Dengan dikeluarkannya Permendagri No. 12 tahun 1984, izin HO yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah, bagi perusahaanperusahaan yang menggunakan fasilitas berdasarkan UU PMA dan UUPMDN, dinyatakan tidak berlaku dan pemberian izin HO dilimpahkan kepada BKPMD. Bagi perusahaan yang berdasarkan fasilitas UUPMA dan UUPMDN pemberian izin usaha industri dilimpahkan dari Menteri Perindustrian kepada Ketua BKPM. Dalam kaitan tersebut diatas, permasalahan yang timbul sehubungan dengan masalah perizinan, antara lain adalah : Cukup banyak izin yang harus diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan industri yang melibatkan banyak sektor atau instansi,
sehingga
tidak
jarang
akan
menimbulkan
kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan. Hal ini akan menyulitkan baik pengawasan maupun penindakan, apabila terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan. Menurut hasil penelitian EMDI-BAPEDAL mengenai studi Perizinan Pengendalian Pencemaran, disimpulkan bahwa izin belum didayagunakan sebagai alat pengendalian dampak lingkungan. Bahkan suatu kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, izin telah diberikan pada hal AMDAL-nya masih belum disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.19
19
Studi Perizinan Pengendalian Pencemaran Lingkungan, EMDI, Jakarta, 1991, hal
72.
28
C.
Koordinasi Kelembagaan Antar Instansi/Departemen Terkait. Masalah koordinasi kelembagaan instansi/departemen terkait dalam
pengelolaan lingkungan, sangat penting untuk dilakukan. Hal ini mengingat, bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah bukan hanya merupakan tugas Kantor Meneg Lingkungan Hidup semata, akan tetapi adalah merupakan kewajiban seluruh umat manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian penegakan hukum atas pencemaran dan perusakan lingkungan, Meneg. Lingkungan Hidup perlu mengkoordinasikannya dengan isntansi/departemen terkait, antara lain, seperti : Mabes POLRI; Kejaksaan Agung; Makhamah Agung; Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; Departemen Perindustrian dan Perdagangan; Departemen Perikanan dan Kelautan; Departemen Kehutanan; Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja; Departemen Pertahanan; Departemen Perumahan Rakyat; BAPPENAS; Departemen Keuangan; Bank Indonesia; Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); Tokoh/Pemuka Masyarakat; Dan Intansi terkait lainnya. Dengan adanya persepsi yang sama diantara instansi/lembaga terkait, maka penegakan hukum atas pencemaran dan perusakan lingkungan hidup akan lebih mudah dilakukan. Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup dibentuk
dengan
dilahirkannya
Kantor
Menteri
Negara
Pengawasan
29
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) pada tahun 1978. Tugas dan Kewenangan
Menteri
PPLH
yang
selanjutnya
diubah
dengan
Menteri
Lingkungan Hidup (LH), adalah mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan Lingkungan Hidup. Selama 12 tahun Menteri KLH, telah membina sistem pengelolaan Lingkungan secara nasional, mulai dari tahap perencanaan, kelembagaan, sarana penunjang (antara lain produk-produk hukum yang melahirkan UULH, sampai pada hal yang sifatnya koordinatif operasional). Disamping keberhasilan yang telah dicapai, KLH juga menemui hambatan-hambatan yang bersifat struktural, dimana KLH tidak dapat memaksakan pada Departemen/Sektor lain atau daerah mengenai pengelolaan lingkungan, karena sifat kewenangan yang dipunyai adalah koordinatif. Untuk pelaksanaannya tergantung pada tiap sektor yang membidangi kewenangan masing-masing. Akibatnya adalah pendekatan KLH yang selalu ekosistemik mengenai pengelolaan, bertentangan dengan pendekatan sektor dan daerah yang eksploitatif. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 23 tahun 1990
Tentang
diharapkan
Badan
dapat
Pengendalian
mengatasi
Dampak
Lingkungan
kesulitan-kesulitan
(BAPEDAL),
pengendalian
dan
penanggulangan pencemaran lingkungan. Keppres tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Keppres No. 77 tahun 1994 tentang BAPEDAL yang memberikan dasar hukum pendirian Bapedal Pusat, wilayah dan Daerah. Terakhir mengalami perubahan pula dengan dikeluarkannya Keppres No. 10 tahun 2000 tentang BAPEDAL. Permasalah yang timbul adalah : sejauh ini Bapedal masih dianggap belum menjalankan perannya sebagai institusi pengendalian dampak lingkungan secara optimal, karena peran tersebut secara hukum masih melekat pada instansi-instansi sektoral (di Pusat maupun di Daerah). Oleh karena itu, dalam UUPLH diupayakan agar Meneg LH mempunyai kewenangan untuk menerbitkan izin
lingkungan,
melakukan
pengawasan
dan
memerintahkan
untuk
30
melaksanakan audit lingkungan apabila diduga suatu kegiatan atau usaha melakukan penyimpangan dalam pengelolaan lingkungan. Demikian juga dengan direalisirnya pembentukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Bapedal Pusat dan Daerah, diharapkan tahap awal proses penegakan sanksi pidana, diharapkan akan lebih berhasil apabila ditangani oleh instansi yang secara teknis maupun kelembagaan melakukan upaya-upaya perlindungan lingkungan.
D.
Masalah Kesaksian dan Pembuktian. Setiap pembangunan yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa hendaknya disertai pula usaha untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Istilah lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan
hidup manusia
sebagai terjemahan
dari bahasa
Inggris
environment and human environment, seringkali digunakan secara silih berganti dalam pengertian yang sama. Sekalipun arti lingkungan dan lingkungan hidup manusia dapat diberi batasan yang berbeda-beda berdasarkan persepsi dan disiplin ilmu tiap-tiap penulis, Beberapa penulis memberikan pengertian antara lain, Lingkungan atau lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita (Otto Sumarwoto, 1976). Environment can be defined as the sum of all external influences and forces acting upon an object, usually assumed to be living being (Sewell, 1971)20. Sedangkan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup. Dalam
20
. Dr. Daud Silalahi, SH, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penerbit Alumni/ Bandung, 1972 hal 8.
31
pengelolaan lingkungan hidup, manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Karena pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri, pada akhirnya ditujukan buat kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Batasan tentang lingkungan berdasarkan isinya untuk kepentingan praktis atau kebutuhan analisis perlu dibatasi hingga lingkungan dalam arti biosphere saja, yaitu permukaan bumi, air dan atmosfir tempat terdapat jasad-jasad hidup. Batasan lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda, daya, dan kehidupan, termasuk didalamnya manusia dan tingkah lakunya
yang
terdapat
dalam
suatu
ruang,
yang
mempengaruhi
kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Lingkungan hidup menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Begitupun
sebaliknya,
kehidupan
manusia
sangat
tergantung
pada
tersedianya sumberdaya alam yang memadai dalam lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup mulai menjadi topik dunia ketika manusia mulai tersentak bahwa bumi sudah tidak ramah lagi dan mulai merasakan dampaknya yang semakin meluas akibat berbagai aktivitas manusia itu sendiri. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan aktivitas eksploitasi terhadap alam oleh manusia sehingga membuat alam tidak mampu lagi memperbaiki manfaat yang optimal, mencukupi kebutuhan kehidupan generasi saat ini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan generasi yang akan datang. Sehubungan dengan hal tersebut berbagai aktivitas pembangunan yang banyak memberikan tekanan terhadap kondisi lingkungan hidup seperti penggunaan teknologi modern pada berbagai aktivitas industri, penerapan berbagai kebijaksanaan pembangunan yang mengabaikan kelesatarian lingkungan, maupun aktivitas bidang ekonomi yang tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan kerusakan
32
lingkungan hidup umpamanya, kehancuran kawasan pesisir dan laut telah terjadi dengan bukti semakin punahnya berbagai jenis terumbu karang atau misalnya banyaknya perambahan hutan secara liar dimana orang-orang itu menebang hutan tanpa izin, akibat dari perbuatan mereka hutan-hutan menjadi gundul dan negara serta masyarakat dirugikan, pengambilan pasir oleh masyarakat secara liar, penambangan dan lain-lainnya yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan. Dalam hal berbagai aktivitas yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pengusaha atau masyarakat yang melakukan misalnya perambahan hutan atau penggalian liar atau penambangan seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi kegiatan tersebut harus dilihat pemanfaatan, untung ruginya baik dari segi ekonomi maupun sosial. Kerusakan lingkungan yang sering terjadi sering menimbulkan sengketa dalam
masyarakat
terutama
pihak-pihak
yang
dirugikan
sehingga
menimbulkan pertikaian. Kerusakan lingkungan tidak hanya dilihat telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pihak yang merugikan, tetapi harus
dilihat
apakah
kerusakan
lingkungan
tersebut
tidak
hanya
mengakibatkan timbulnya kerugian tetapi juga harus dilihat dari keuntungan yang diperoleh akibat kerusakan lingkungan tersebut, begitu juga mengenai penyelesaiannya tidak hanya dengan mengajukan pihak yang merugikan telah melakukan suatu tindak pidana tetapi penyelesaiannya dapat dilakukan dengan memulihkan atau merehabilitasi lingkungan yang rusak. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan
terdapat
aspek
hukum
perselisihan
lingkungan,
hukum
perselisihan lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai kuliahnya, merupakan terjemahan dari milieu conflicten recht. Dalam terbitan edisi ketujuh/cetakan kelima belas bukunya tersebut istilah hukum perselisihan
33
lingkungan dan dengan istilah hukum sengketa lngkungan dan dalam kaitannya misalnya dengan masalah ganti rugi. Mengenai lingkup dari apa yang disebut penyelesaian sengketa lingkungan sangat tergantung pada ketentuan hukum yang mendasarinya. Hal ini dikarenakan bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan yang terutama didasarkan atas prinsip hukum perdata, yaitu mengusahakan perdamaian di antara para pihak yang bersengketa. Namun dalam konteks kehidupan bermasyarakat Indonesia, penyelesaian sengketa pada umumnya didasarkan pada musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara pihak. Penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan secara keperdataan adalah dengan melakukan gugatan oleh pihak-pihak yang dirugikan melalui pengadilan. Dalam praktek di masyarakat sering terjadi penyelesaian sengketa lingkungan tidak hanya dilakukan melalui pengadilan tetapi juga diluar pengadilan, penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jasa baik pihak ketiga . Dalam penyelesaian sengketa lingkungan dengan menggunakan jasa baik pihak ketiga
ini
dilaksanakan dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dikembangkan di luar negeri, yang makin lama makin mendapat tempat dalam kehidupan hukum di Indonesia. Secara umum acuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah mengacu pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 berjudul “Penyelesaan Sengketa Lingkungan Hidup” Pasal 30-39. Secara khusus, pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup harus dilihat dari pengaturan sektoral yang termasuk dalam bidang lingkungan hidup seperti pertambangan dan kehutanan. Pengaturan masalah kehutanan ditemukan dalam UU No. 41 Tahun 1999 yakni Pasal 74-76. Ketentuanketentuan ini nantinya akan dijadikan rujukan dalam membicarakan masalah
34
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan ketentuan-ketentuan ini dapat disebut sebaga ketentuan hukum sengketa lingkungan. Dalam
Undang-undang
Lingkungan
mengenai
penyelesaian
sengketa lingkungan telah dibakukan melalui suatu rumusan hukum yang pasti. Rumusan tersebut yang dimaksud dengan
sengketa lingkungan itu
adalah perselisihan dua pihak atau lebih dari subyek hukum baik perorangan atau kelompok orang. Penyebab sengketa ini adalah karena adanya (secara realita memang ada) atau diduga (baru sebatas dugaan) adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Dengan adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan ini menimbulkan kerugian
pada
berbagai pihak,
kerugian tersebut mencakup berbagai aspek baik moril maupun materiel. Sulitnya penegakan Hukum Administratif dalam rangka pengelolaan lingkungan, apabila dihadapkan dengan keputusan administratif berupa pencabutan izin usaha yang akan berdampak secara sosiologis ekonomis, telah menimbulkan desakan dari masyarakat/LSM untuk mengajukan kasus pencemaran dan perusakan ke sidang pengadilan, seperti : kasus PT Inti Indorayon
Utama
(IIU),
PT.Freeport,
dan
kasus
lainnya.
Hal
ini
mengisyaratkan, bahwa penegakan hukum lingkungan melalui Hukum Pidana tetap harus dilakukan. Hal yang paling sulit untuk membawa kasus-kasus lingkungan ke pengadilan
adalah masalah
pembuktian dan
kesaksian.
Pembuktian
dimaksudkan untuk membuktikan secara yuridis tentang telah terjadinya tindak pidana lingkungan, sebagaimana diatur dalam pasal 183 sampai dengan pasal 189 KUHAP. Dalam pembuktian tindak pidana lingkungan, digunakan pendekatan
masalah lingkungan yang bersifat komprehensif,
untuk itu dituntut kemampuan untuk menterjemahkan fakta menurut ilmu pengetahuan (science evidence) menjadi fakta hukum (legal evidence). Karena itu pembuktian tindak pidana lingkungan, didominasi oleh keterangan
35
ahli dan hasil analisis laboratoris, yang harus didukung pula oleh alat bukti lain. Permasalahan akan timbul apabila Hakim meragukan hasil analisis laboratoris atas sampel dari unsur lingkungan yang tercemar, dengan demikian
maka
hakim
akan
memerintahkan
penelitian
ulang
yang
kemungkinan hasilnya akan dapat berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi, antara lain karena : Faktor alam, sungai yang tercemar kemudian tertimpa air hujan dapat menyebabkan
pertambahan debit air tersebut
menetralizir zat-zat pollutan, setidak-tidaknya menurunkan tingkat intensitasnya, sehingga hasilnya sungai tersebut tidak tercemar lagi tetapi hanya terkontaminasi dan masih dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (tidak melampaui BML). Perbedaan
sarana
seperti
laboratorium,
juga
dapat
mengeluarkan hasil yang berbeda.
Dalam kaitan tersebut, perlu dibuat suatu kebijakan mengenai pembakuan atau standar yang mempunyai nilai juridis dalam penetapan mengenai tatacara atau teknik-teknik pengambilan sampel, penunjukan laboratorium dan lain-lain. Berdasarkan uraian tersebut diatas, pada akhir penulisan tinjauan umum tentang pengendalian pencemaran udara ini, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Sistem ekologi terbentuk dari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan lingkungannya. Apabila terjadi perubahan dalam interaksi antar komponen yang mengakibatkan terjadinya gangguan yang melampaui kemampuan ekosistem (Daya Dukung Lingkungan (DDL) dan Daya
36
Tampung Lingkungan (DTL) untuk memulihkan diri sendiri secara alami, maka akan timbul permasalahan lingkungan. 2.
Tampaknya terdapat perbedaan antara pengertian pencemaran dan perusakan, namun sesungguhnya secara yuridis kedua pengertian itu tidak mengandung perbedaan, karena unsur-unsur esensial keduanya adalah sama. Perbedaan antara pencemaran dan perusakan lingkungan hanya terletak pada manifestasi akibatnya. Pada pencemaran, akibatnya berupa kurang atau tidak berfungsinya lingkungan, karena menurunnya kualitas lingkungan tidak langsung kelihatan. Akibatnya hanya dapat diketahui berdasarkan uji laboratorium. Sedangkan akibat perusakan, akan nampak segera, bahkan dapat dipahami oleh orang awam.
3.
UU No.4 tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan (UULH), telah memasuki usia lebih dari satu dasawarsa, akan tetapi masih dirasakan berbagai kelemahan, diantaranya adalah : Belum terwujudnya perilaku yang ramah lingkungan; Lemahnya penegakan hukum lingkungan; UULH tidak effektif untuk mengatasi kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan.
4.
Sebagai langkah awal yang sangat penting dan menentukan keberhasilan upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan berdasarkan UU No.23 Tahun 1997 (Penyempurnaan UU No. 4 Tahun 1982) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaksanaan penegakan hukum didasarkan atas persyaratan penaatan lingkungan hidup yang ditentukan oleh penaatan terhadap norma-norma pengelolaan lingkungan hukum dan pemberian sanksi sebagai upaya terakhir.
5.
Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah dalam rangka pengelolaan yang ramah lingkungan, belum bisa menjawab konflik yang sering timbul antara tujuan pelestarian lingkungan dengan tujuan pembangunan ekonomi. 37
6.
Pencemaran dan perusakan ternyata masih terus berlangsung sampai saat ini, karena dalam penegakan hukum administratif ditemui banyak kendala, antara lain : Masalah yang bersifat sosiologis ekonomis; Masalah
koordinasi
kewenangan
yang
menyebabkan
sulitnya
melalukan pengawasan. Peraturan perundang-undangan; Masalah Perizinan; Masalah Kesaksian dan Pembuktian; Masalah Koordinasi Kelembagaan Instansi/Departemen terkait; Masalah-masalah lainnya yang meliputi-ketidak pahaman tentang peraturan yang ada, tidak sadar arti pentingnya lingkungan, tidak patuh terhadap ketentuan yang ada, tidak lengkapnya peraturan dan institusi yang bertanggung jawab. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan penegakan hukum pidana, karena selain diberlakukan delik materiil (perlu pembuktian) bagi tindak pidana yang bersifat geneneric Crimes, juga diberlakukan delik formil (tidak perlu pembuktian) bagi tindak pidana yang bersifat spesific crimes. 7.
Dengan dibentuknya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Bapedal Pusat dan Daerah, diharapkan pada tahap awal proses penegakan hukum lingkungan dari aspek hukum pidana akan lebih berhasil, apabila ditangani oleh instansi yang secara teknis maupun kelembagaan menangani masalah lingkungan hidup.
8.
Untuk
mengatasi
pencemaran
dan
perusakan
lingkungan
yang
merupakan permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia pelestarian
dalam
memenuhi
sumber
daya
kebutuhannya
alam
(DDL
dan
tanpa DTL),
memperhatikan maka
konsep
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) harus di
38
implementasikan
dalam
sistem
perundang-undangan
mengenai
pengelolaan lingkungan. 9.
Untuk mengatasi kendala pencemaran dan perusakan lingkungan, dimasa mendatang
perlu
dilakukan/dijalin
koordinasi
diantara
lembaga/instansi/departemen terakit, antara lain : Meneg. LH/BAPPEDAL; Kejaksaan
Agung;
Mabes
Polri,
Makhamah
Agung,
Departemen
Kehakiman; LSM dan instansi terkait lainnya.
39
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Eksistensi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dilihat Dari Aspek Yuridis
Dasar hukum pembuatan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Esensi mengenai lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 yang berbunyi sebagai berikut : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sebagaimana amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspeknya. Pendayagunaan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum perlu dilaksanakan dengan pembangunan berkelanjutan
40
yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi yang akan datang. Dengan demikian penyelenggaraan pengolahan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan serta perangkat hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
2.
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
1999
tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran udara telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut : 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat (1)). 2. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 14 ayat (2)).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dalam rangka pengendalian pencemaran udara telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada tanggal 26 Mei 1999 sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999. Pertimbangan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini adalah : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makluk hidup lannya harus dijaga dan dipelihara kelestarian
41
fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya; b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara. Pasal 1 memberikan pengertian tentang pencemaran udara dan pengendalian pencemaran udara sebagai berikut : a. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara embien tidak dapat memenuhi fungsinya; b. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. Pasal 2 menyatakan bahwa pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian meliputi pengendalian dari usahadan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien. Pasal 3 menyatakan
bahwa
perlindungan mutu
udara
ambien
didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sebagaimana baku mutu ambien diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 ditentukan pula penetapan baku mutu emisi dan ambang batas emisi gas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9. Demikian pula penetapan baku tingkat gangguan dan ambang batas kebisingan yang diatur
42
dalam Pasal 10 dan Pasal 11. Adapun Indeks Pencemar Udara (ISPU) diatur dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 15. Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemar udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab yait Bapedal. Kebijaksanaan teknis tersebut dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, sedang ayat (2) menyatakan bahwa pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur. Pasal 21 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien wajib : a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan
yang
ditetapkan
untuk
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
dilakukannya; b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam linkup usaha dan/atau kegiatannya. Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
43
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu
emisi
dan/atau
baku
tingkat
gangguan
untuk
mencegah
dan
menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya. Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung-jawab. Pasal 24 ayat (3) menyatakan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dala izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya. Pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa kepala instansi yang bertanggung
jawab
menetapkan
pedoman
teknis
penanggulangan
dan
pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 54 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya. Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegaiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat
44
terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Sanksi diatur dalam Pasal 56 ayat (1) yaitu diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup bagi yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Pencemaran Udara yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau gangguan. Pasal 56 ayat (2) berkaitan dengan sanksi yang berkaitan dengan tidak memenuhi persyaratan tentang ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan, yang diancam pidananya tercantum dalam Pasal 57 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 57 mengatur tentang ketentuan peralihan, yaitu bahwa selambatlambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas di dalam hak dan kewajibannya mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan pemerintah ini juga diatur hak dan kewajiban mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan pemerintah ini juga diatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat serta setiap pelaku usaha dan atau kegiatan agar dalam setiap langkah kegiatannya tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengendalian pencemaran udara mencakup kegiatan yang berintikan : a. inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai criteria yang ada dalam pengendalian pencemaran udara; b. penetapan baku mutu udara ambient dan baku mutu emisi yang digunakan sebagai tolok ukur pengendalian pencemaran udara;
45
c. penetapan mutu kualitas udara di suatu daerah termasuk perencanaan pengalokasian kegiatan yang berdampak mencemari udara; d. pemantauan kualitas udara baik ambient dan emisi yang diikuti dengan evaluasi dan analisis; e. pengawasan terhadap penataan peraturan pengendalian pencemaran udara; f. peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara; g. kebijakan bahan bakar yang diikuti dengan serangkaian kegiatan terpadu dengan mengacu kepada bahan bakar bersih dan ramah lingkungan; h. penetapan
kebijakan dasar baik teknis maupun non
teknis dalam
pengendalian pencemaran udara secara nasional.
4. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dalam konteks otonomi daerah maka pemerintah daerah perlu menetapkan peraturan daerah untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi daerah terutama untuk mengantisipasi dampak negatif terhadap lingkungan yaitu semakin meningkatnya pencemaran udara. Pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta telah mencapai tingkat memprihatinkan sehingga menyebabkan turunnya kualitas udara daya dukung lingkungan. Zat, energi dan/atau komponen lain sebagai hasil sampingan maupun limbah suatu kegiatan dapat menimbulkan turunnya mutu/ kualitas lingkungan hidup yang akhirnya dapat mengakibatkan pencemaran udara. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas serta dalam upaya memelihara dan menjaga
kualitas
lingkungan,
khususnya
udara,
Provinsi
DKI
Jakarta
mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Upaya pengendalian pencemaran udara dilakukan melalui program pembinaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegaitan dengan tujuan
46
untuk meningkatkan kinerjanya. Pelaksanaan pembinaan dilakukan melalui pentaatan terhadap peraturan-peraturan pengendalian pencemaran udara serta penegakan hukum, pemberian insentif dan disinsentif serta pula melalui pendidikan dan pelatihan. Faktor penting pendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran udara adalah upaya pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang memiliki potensi mencemari udara. Pengawasan dilakukan terhadap pentaatan peraturan pengendalian pencemaran udara dan atau persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan limbah udara. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, namun disisi lain terdapat pula kewajiban untuk memelihara fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran dalam upaya pengendalian pencemaran udara dan menjaga serta memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam arti yang lebih luas. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diatur ketentuan tentang Pengendalian Pencemaran Udara ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pada saat masyarakat mulai memahami bencana bagi kesehatan manusia dan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan yang mencemarkan, mereka dapat menuntut pemerintah daerah mengambil tindakan.Strategi dominan yang diambil pemerintah adalah mengeluarkan peraturan untuk menanggulangi pencemaran. Peraturan tentang penanggulangan pencemaran terdiri dari standar larangan pengeluaran buangan (emisi) kecuali yang telah ditentukan dalam ijin yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan diidentifikasikannya berbagai masalah lingkungan, pemerintah menetapkan peraturan untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi, biasanya karena dampak negatifnya terhadap lingkungan segera dapat dilihat seperti terjadinya polusi akibat dari asap kendaraan bermotor.
47
Dengan
demikian
penanggulangan
perusakan
ketentuan dan
mengenai
pencemaran
pencegahan
lingkungan
hidup
dan beserta
pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh dan atau secara sektoral ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, eksistensi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara secara jelas terlihat dari aspek yuridis.
B. Eksistensi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Dilihat Dari Aspek Hak Asasi Manusia
1.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketentuan Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya Pasal 28J menyebutkan bahwa : (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
48
Berdasarkan ketentuan di atas terlihat bahwa masalah lingkungan jelas diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Setiap orang berhak memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat tersebut, setiap orang wajib menghormati dalam kaitannya dengan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat diberi kebebasan oleh Negara tetapi tidak tanpa batas karena masyarakat diberi pembatasan oleh undang-undang dan menghormati hak dan kebebasan orang lain.
2.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Ketentuan Pasal 1 ayat 1 menyebutkan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemeribntahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia. Pasal 2 menyebutkan Negara kesatuan Repyublik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati
dan
ditegakkan
demi
peningkatan
martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian dan kecerdasan serta keadilan. Dengan demikian Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar tidakdapat dilepskan dari manusia pribadi karena tanpa HAM dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan harkat dan mrtabat kemanusiaannya, oleh karena itu negara Republik Indonesia termasuk pemerintah berkewajiban untuk melindungi HAM dan kebebasan dasar manusia. Pasal 9 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tersebut merupakan bagian dari hak untuk hidup yang merupakan 49
salah satu dari sepuluh hak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tersebut maka setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Idonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Setiap orang awjib menghormati ak Asai
Manusia
orang
lain,
moral,
etika
dan
tata
tertib
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang dengan maksud untuk menjaminpengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjaminpengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang laindan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denga pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu msyarakat demokratis. Terhadap masalah tersebut, pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi lagkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanankeamanan negara dan bidang lain.
3.
Undang-undang
Nomor
23
tahun
1999
tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) Untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat perlu usaha pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam Pasal 1 butir 5 UUPLH terdapat pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup yaitu rangkaian upaya untuk memlihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pasal 14 ayat (1) UUPLH menyatakan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup setiap usaha dan/atau kegiatan yang dilarang melanggar
50
baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Definisi baku mutu lingkungan tercantum dalam pasal 1 butir 11 UUPLH yang menyatakan bahwa baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebgai unsur lingkungan hidup. Pasal 1 butir 12 menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pasal 1 butir 14 menyatakan bahwa perusakan lingkungan hidup adalah tindakan menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Denga demikian baku lingkungan hidup diperlukan untuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya apabila keadaan lingkungan telah ada di atas ambang bats baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah rusak tau tercemar. Sejak tahun 1980, pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memuat kebijakan mengenai penetapan kriteria ambient kualitas udara dan kriteria ambient bising dalam wialayah DKI Jakarta dengan mengeluarkan Keputusan Gebenur Nomor 587 Tahun 1980. Pertimbangan Keputusan Gebenur tersebut adalah bahwa dengan meningkatnya perkembangan industri, transportasi dan pembangunan semakin bertambah kemungkinan bahaya pencemaran pda perairan, udara dan tanah yang dikenakanoleh hasil buangannya. Pencemaran udara khususnya mempengaruhi kesehatan manusia dan organisme hidup lainnya. Dalam rangka menertibkan buangan-buangan tersebut untuk membatasi
51
kemungkinan terjadinya pencemaran, perlu ditetapkan kriteria ambient kaulitas udara dalam wilayah DKI Jakarta. Pembangunan di Indonesia saat ini mencakup semua sektor antara lain sektor pemukiman, inmdustri dan transportasi. Pengembangan pembangunan sektor-sektor tersebut dan juga kemajuan tehnologi baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan hidup. Pencemaran udara merupakan salah satu segi dari keseluruhan pencemaran lingkungan hidup yang pada umumnya tidak mengenal secara tegas bats wilayah administratif. Secara alamiah udara bebas mengandung unsur-unsur kimia seperti O2, NO, SO dan lain-lain. Penambahan unsur-unsur kimia dalam udara bebas dengan
sisa-sisa
kegiatan-kegaitan
pengembangan
pembangunan
yang
melampaui kandungan alami semakin lama pula dapat menggangu kesehatan manusia. Akibat adanya pengembangan transportasi akan menimbulkan sisasisa buangan gas yang apabila dibuang ke lingkungan hidup akan menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Proses perkembangan tehnologi, pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan bertambahnya aktifitas manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Aktivitas tersebut merupakan sumber pencemaran yang pontensial dan salah satunya adalah pencemaran udara sebagai akibat sampingan dari aktivitas tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari wakil kantor Menteri Negara PPLH berbagai Deaprtemen dan Lembaga Penelitian tahun 1982 menemukan bahwa masalah pencemaran udara lebih banyak dihadapi dikotakota bear, berdasarkan data hasil penelitian maka sumber pencemaran utama adalah kegiatan transportasi terutama buangan gas kendaraan bermotor, sehingga perlu diperhatikan dalam masa yang akan datang untuk membuat peraturan tentang keharusan bagi setiap kendaraan bermotor yang masuk ke
52
Indonesia atau yang dirakit di Indonesia harus dilengkapi dengan sistem pengamanan terhadap pencemaran udara untuk gas CO, SO2, NO2, kadar debu. Pemerintah daerah agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap kondisi lingkungan terutama kualitas udara baik melalui aparatnya maupun instansi lain sehingga kemugkinan-kemugkinan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dapat diketahui seawal mungkin.
4.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam hubungannya dengan pencemaran udara, provinsi DKI Jakarta
telah berhasil mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Udara. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas terlihat bahwa terdapat hubungan antara pencemaran udara dengan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari sepuluh hak yang diatur dalam undang-undang tersebut, salah satunya mengatur hak hidup yang didalammya terdapat hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Kemudian dalam UUPLH mengatur mengenai pelestarian lingkungan hidup yang didalamnya terdapat baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan diperlukan untuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya apabila keadaan lingkungan telah ada diatas ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah rusak atau tercemar. Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2005 merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undan-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
53
dan Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Ruang lingkup pengendalian pencemaran udara terdiri dari pengendalian pencemaran udara ambien dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Pengendalian pencemaran udara terdiri dari pencegahan pencemaran udara, penanggulangan pencemaran udara dan pemulihan mutu udara. Pengaturan tersebut di atas adalah dalam rangka mewujudkan fungsi pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara yang diatur dalam Undang-Undang. Terhadap orang atau badan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan atau gangguan berati telah melangggar hak dasar manusia khususnya hak untuk hidup berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam menjalankan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih tersebut, setiap warga negara wajib pula tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang. Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
54
C.
Hambatan Dalam Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Saat ini ada banyak sekali persoalan hukum yang perlu mendapatkan perhatian. Departemen Hukum dan HAM RI sebagai lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum,21 mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memperbaiki keadaan ini. Khusus dalam menyikapi banyak persoalan yang berkaitan dengan PERDA, Departemen Hukum dan HAM RI seharusnya mampu mendamping Pemerintah Daerah (PEMDA) melalui Kantor Wilayah yang tersebar di setiap Provinsi. Perlu pula dicari tahu lebih jauh, apa penyebab terjadinya begitu banyak PERDA yang bermasalah. Peraturan Daerah (PERDA) sebagai bagian dari hukum positif merupakan sarana yang penting untuk memelihara ketertiban. Untuk itu harus dikembangkan dan dibina sedemikian rupa, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi perubahan, dan bukan sebaliknya, menghambat usaha-usaha pembaruan karena semata-mata ingin mempertahankan nilai-nilai lama22, atau hanya sekedar mengakomodasi kepentingan sesaat dari kelompok tertentu. Pembentukan PERDA harus dipersepsikan sebagai salah satu upaya
pembaharuan
hukum
agar mampu
mengarahkan
dan
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkattingkat kemajuan pembangunan di segala bidang. Dengan demikian diharapkan akan tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan terwujudnya 21
Lihat pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005 Lebih jauh tentang ini lihat Pidato Kepala Negara RI pada pelantikan Menteri Kehakiman pada tanggal 19 Januari 1974 dalam Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002) hal.74 22
55
kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang kemajuan dan reformasi yang menyeluruh. Dengan mengedepankan bahwa hukum harus dapat menjalankan fungsinya, yaitu memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat, maka
pertimbangan
yang
dianggap
penting
dalam
pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah memperhatikan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang menjiwai materi hukum itu23. Dan, mengingat saat ini kondisi masyarakat kita begitu cepat mengalami perubahan, maka hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat dimasa yang akan datang (futurologi)24. Pemerintah provinsi DKI akan memberlakukan Perda No 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan Peraturan Gubernur No
75
Tahun
2005
tentang
kawasan
dilarang
merokok.
Para
pelanggarnya akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal Rp 50 juta. Sayangnya, pelaksanaan peraturan larangan merokok di tempat umum ternyata tak belum efektif. Larangan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara itu masih sulit diawasi. Walaupun pengawasan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tetapi masyarakat tampaknya tidak peduli.25 Sebenarnya pengawasan bisa lebih efektif bila dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hal ini didukung oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta yang akan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang ikut mengawasi terlaksananya aturan tersebut.26 Kita tidak dapat menjelaskan tentang efektifitas hukum tanpa membicarakan lebih dahulu tentang hukum dalam tataran normative (law 23
BPHN, Departemen Kehakiman RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, 1995/1996. 24 Ibid., 25 Yudha Setiawan, Perda Larangan Merokok Tak Efektif, Tempo Interaktif, Selasa, 10 Oktober 2006, 14:06 Wib 26 ibid
56
in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa membandingkan kedua variable ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat efektifitas hukum. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum dalam praktek sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya.27 Hukum dianggap tidak efektif jika terdapat perbedaan antara keduanya. Untuk mencari solusinya, langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum dengan ideal hukum agar 2 (dua) variable (law in books dan law in action) menjadi sama? Pertanyaan berikutnya adalah manakah yang harus berubah dari kedua variable tersebut, apakah hukumnya yang harus dirubah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat atau sebaliknya, yaitu tingkah laku masyarakat yang harus berubah mengikuti kehendak hukum? Tidak
efektifnya
pelaksanaan
Perda
ini
pada
dasarnya
merupakan gejala yang bersifat umum di Indonesia hingga saat ini. Hal tersebut mengingat bahwa masih banyak sekali hambatan-hambatan dalam pelaksanaan suatu aturan hukum. Romli Atmasasmita melihat bahwa setidaknya terdapat tiga hambatan mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan berkaitan dengan pembangunan sistem hukum pada umumnya. Masalah yang menghambat tersebut adalah:
28
1. masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komperhensif sehingga melahirkan berbagai ekses,
27
Soerjono Soekanto tentang, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hokum, dalam buku Zulfadli Barus, Berfikir Kritis dan Sistemik Dalam Filsafat Hukum, CELS, Jakarta, Tahun 2004, hal 48. 28 Romli Atmasasmita sebenarnya menyebutkan ada 4 (empat) masalah mendasar, namun masalah pertama, yaitu reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal ke dalam sistem hukum nasional di satu sisi dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang berasal/bersumber dari perjanjian internasional, kurang relevan dalam konteks pengkajian ini Lebih jauh lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2003) hal 17-19
57
antara lain egoisme sektoral dan menurunnya kerjasama antar aparatur penegak hukum secara signifikan. 2. masalah pemberdayaan masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. 3. masalah pemberdayaan birokrasi dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan. Permasalahan-permasalahan di atas pada dasarnya merupakan cerminan dari permasalahan hukum sebagai suatu sistem. Memandang hukum sebagai suatu sistem biasanya akan melihat kepada keberadaan sistem hukum nasional sebagaimana dikemukakan oleh W. Friedman, yakni terdiri atas Materi Hukum (Substance), Struktur (Structure) dan Budaya Hukum (Legal Culture).29 Disisi lain sistem hukum juga dipahami akan mencakup sarana dan prasarana dari hukum itu sendiri. Hambatan – hambatan dalam penegakan hukum Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
KELEMBAGAAN Sebagaimana
dikatakan
oleh
Romli
Atmasasmita30,
masalah
penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komperhensif sehingga melahirkan berbagai ekses, antara lain egoisme sektoral dan menurunnya kerjasama antar aparatur penegak hukum secara signifikan. Masalah pemberdayaan birokrasi dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan juga perlu ditingkatkan.
29
Friedman W, Leal Theory, New York: Columbia University Press, Fifth Edition, 1967. hal 29. 30 Rmli Atmasasmita, opcit
58
Dalam
Perda
No
2
Tahun
2005
tentang
pengendalian
pencemaran udara, perlu diperhatikan lembaga-lembaga dan aparatur hukum yang bagaimana yang mengemban tugas: 1. Penetapan Baku Mutu Udara Ambien 2. Penetapan Status Mutu Udara Ambien 3. Penetapan Indeks Standar Pencemaran Udara 4. Penetapan Baku Mutu Emisi 5. Penetapan Baku tingkat gangguan 6. Penetapan Ambang Batas Emisi Gas Buang 7. Penetapan Ambang Batas Kebisingan 8. Larangan dan Sanksi membakar sampah dan perbuatan lain yang berpotensi mengganggu kebersihan udara. Sedangkan dalam Peraturan Gubernur No 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok perlu pula diperjelas lembaga-lembaga dan aparatur hukum yang melaksanakan tugas : 1. Penetapan kawasan dilarang merokok (KDM) 2. Larangan dan sanksi merokok di KDM 3. Pengawasan Instansi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menangani langsung mengenai pengendalian pencemaran udara adalah Badan Pengeloaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta
(selanjutnya
disebut
BPLHD),
Dinas
Ketenteraman,
Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya disebut Dinas Trantib dan Linmas), dan Dinas Perhubungan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya disebut Dinas Perhubungan). Salah satu cara untuk melihat hambatan-hambatan dalam penegakan hukum pengendalian pencemaran udara akan diteliti dari segi kelembagaan
59
unit BPLHD, Dinas Trantib dan Linmas, dan Dinas Perhubungan. Dalam mencermati ketiga unit tersebut akan dibahas dengan menginventarisasi dan mengkaji peraturan perundang-undangan daerah yang mengatur organisasi dan tata kerja yaitu : 1. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Keputusan Gubernur Nomor 139 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3. Keputusan Gubernur Nomor 13 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Ketenteraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 4. Keputusan Gubernur Nomor 79 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perhubungan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ditata dalam rangka meningkatkan pelaksanaan fungsi-fungsi Pemerintah Daerah yang berorientasi pada pelayanan publik, pemberdayaan perekonomian. Berikut ini akan dijabarkan organisasi dan tata kerja dari BPLHD, Dinas Trantib dan Linmas, dan Dinas Perhubungan. 1. BPLHD BPLHD merupakan unsure penunjang Pemerintah Daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. BPLHD dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada Gubernur
melalui
Sektetaris
Daerah.
BPLHD
mempunyai
tugas
melaksanakan pembinaan dan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, BPLHD mempunyai fungsi :
60
a. perumusan
kebijakan
teknis
di
bidang
pencegahan
dan
penanggulangan pencemaran kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan; b. pengkoordinasian pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
kerusakan
lingkungan,
dan
pemulihan
kualitas
lingkungan; c. pengembangan program kelembagaan dan peningkatan kapasitas pengendalian dampak lingkungan; d. pelaksanaan pembinaan teknis penegakan dan penanggulangan pencemaran,
kerusakan
lingkungan,
dan
pemulihan
kualitas
lingkungan; e. pembinaan dan pengendalian teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); f. pengawasan dan penyidikan pelaksanaan pengendalian dampak dan kerusakan lingkungan; g. pengkoordinasian pembinaan teknis laboratorium lingkungan; h. pengujian/analisis secara laboratorium di bidang lingkungan; i.
pengelolaan lingkungan teknis dan adminstratif.
Susunan organisasi BPLHD terdiri dari : 1. Kepala Badan 2. Sekretariat 3. Bidang Pengembangan Kapasitas 4. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan 5. Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan 6. Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan 7. Bidang Pengembangan Informasi dan Kemitraan Lingkungan 8. Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan 9. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kotamadya 10. Unit Pelaksana Teknis Badan
61
11. Kelompok Jabatan Fungsional. Dari struktur organisasi tersebut di atas, Kepala Badan, Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan sangat berperan dalam urusan pengendalian pencemaran udara. Kepala Badan mempunyai tugas memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi
pembinaan
dan
koordinasi
pengelolaan
lingkungan
hidup,
memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan Sekretariat, Bidang, Unit Pelaksana Teknis Badan, dan Kelompok Jabatan Fungsional, dan membina teknis adminstratif BPLHD Kotamadya. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan mempunyai tugas merumuskan kebijakan dan melaksanakan kegiatan di bidang perizinan lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, penataan hukum dan penanganan
sengketa
lingkungan,
serta
pembinaan
laboratorium
lingkungan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan mempunya fungsi : a. perumusan
kebijakan
pembinaan
dan
pengendalian
teknis
pencegahan dampak lingkungan; b. pelaksanaan penerbitan perizinan lingkungan; c. pelaksanaan
pembinan
teknis
analisis
pencegahan
dampak
lingkungan; d. pelaksanaan koordinasi penataan hukum dan penanganan sengketa lingkungan; e. pelaksanaan koordinasi pembinaan laboratorium lingkungan di daerah. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala
Bidang
yang
dalam
melaksanakan
tugas
dan
fungsinya
bertanggung jawab kepada Kepala Badan. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan terdiri dari : a. Subbidang Perizinan Lingkungan;
62
b. Subbidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; c. Subbidang Penataan Hukum dan Penanganan Sengketa Lingkungan; d. Subbidang Bina Laboratorium Lingkungan. Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan mempunyai tugas merumuskan
kebijakan
dan
melaksanakan
kegiatan
di
bidang
pengendalian pencemaran air, laut, udara, tanah limbah padat, dan limbah bahan berbahaya dan beracun, serta pengendalian implementasi dokumen pengelolaan lingkungan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan mempunyai fungsi : a. perumusan
kebijakan
operasional
pengendalian
pencemaran
lingkungan; b. pelaksanaan
pembinaan
dan
koordinasi
pengawasan
dan
pengendalian pencemaran lingkungan; c. pelaksanaan pengawasan dan pengendalian implementasi dokumen pengeloaan lingkungan; d. pelaksanaan evaluasi dan pengembangan pengendalian pencemaran lingkungan; e. pelaksanaan
pemberian
rekomendasi
pembuatan
rekomendasi
pembuangan limbah untuk proses perizinan. Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bertanggung jawab
kepada
Kepala
Badan.
Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan terdiri dari : a. Subbidang Pengendalian Pencemaran Air dan Laut; b. Subbidang Pengendalian Pencemaran Udara; c. Subbidang Pengendalian Pencemaran Limbah Padat serta bahan berbahaya dan beracun;
63
d. Subbindag
Pengendalian
Implementasi
Dokumen
Pengelolaan
Lingkungan. Subbidang Pengendalian Pencemaran Udara mempunyai tugas : a. menyusun bahan kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara; b. melaksanakan
pembinaan
pengawasan
dan
pengendalian
pencemaran udara; c. memproses rekomendasi pembuangan emisi; d. melaksanakan
evaluasi
dan
pengembangan
pengawasan
dan
pengendalian pencemaran udara. Berdasarkan organisasi dan tata kerja BPLHD tersebut diatas terdapat fungsi : kebijakan pembinaan dan pengendalian teknis pencegahan dampak lingkungan, pelaksanaan penerbitan perizinan lingkungan, pelaksanaan koordinasi penataan hukum dan penanganan sengketa lingkungan. Selain itu terdapat fungsi perumusan kebijakan operasional pengendalian pencemaran lingkungan, pembinaan dan koordinasi pengawasan dan pengendalian pencemaran lingkungan, dan pelaksanaan pemberian rekomendasi pembuangan limbah untuk proses perizinan.
2. Dinas Trantib dan Linmas Dinas
Trantib
dan
Linmas
merupakan
unsure
pelaksana
Pemerintah Daerah di bidang ketenteraman, ketertiban, dan perlindungan masyarakat. Dinas Trantib dan Linmas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Trantib dan Linmas mempunyai tugas menyelenggarakan pembinaan ketenteraman, ketertiban masyarakat, penegakan peraturan daerah dan perlindungan masyarakat. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Trantib dan Linmas mempunyai fungsi :
64
a. perumusan kebijakan teknis di bidang ketenteraman, ketertiban, dan perlindungan masyarakat; b. penyusunan pedoman dan petunjuk operasional bidang ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat; c. penyusunan program kegiatan pembinaan bidang ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat; d. pembinaan personil, ketatalaksanaan, sarana dan prasarana kerja satuan ketenteraman, ketertibanm dan perlindungan masyarakat; e. pengkoordinasian pembinaan bidang ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat. f. pemberian izin tempat usaha tertentu; g. pengelolaan dukungan teknis dan adminstratif; h. pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan suku dinas; i.
pembinaan personil polisi pamong praja. Susunan organisasi Dinas Trantib dan Linmas terdiri dari :
1. Kepala Dinas 2. Wakil Kepala Dinas 3. Bagian Tata Usaha 4. Subdinas Ketertiban Masyarakat 5. Subdinas Pembinaan dan Pelatihan 6. Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan 7. Subdinas Perizinan dan Pengawasan Tempat Usaha 8. Subdinas Kesiagaan 9. Subdinas Penanggulangan 10. Satuan Perlindungan Masyarakat 11. Satuan Polisi Pamong Praja 12. Suku Dinas Trantib dan Linmas 13. Seksi Dinas Trantib dan Linmas Kecamatan 14. Kelompok Jabatan Fungsional.
65
Dari struktur organisasi tersebut di atas, Kepala Dinas, Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan, Subdinas Ketertiban Masyarakat dan Satuan Polisi Pamong Praja sangat berperan dalam urusan pengendalian pencemaran udara. Kepala Dinas mempunyai tugas dan fungsi memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi menyelenggarakan pembinaan ketenteraman, ketertiban masyarakat, penegakan hukum Peraturan Daerah,
dan perlindungan
masyarakat serta memimpin dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan bagian, subdinas, suku dinas, operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Satuan Perlindungan Masyarakat serta Kelompok Jabatan Fungsional. Subdinas
Ketertiban
Masyarakat
mempunyai
tugas
menyelenggarakan pengendalian operasional, penentraman, penertiban serta pengamanan acara protokoler dan objek vital, pengaduan masyarakat, penyelesaian sengketa serta kerjasama antar aparat ketertiban dan instansi lainnya. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Subdinas Ketertiban Masyarakat mempunyai fungsi : a. penyusunan program dan pedoman, penentraman pengendalian operasional
pengamanan/pengawalan,
pelaksnaan
operasional,
pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Gubernur; b. penyusunan
program,
pedoman,
petunjuk
teknis
penentraman,
penertiban dan melakukan pengamanan kegiatan protokoler serta pengawasan obyek-obyek vital; c. penyusunan program, pedoman, petunjuk teknis penentraman dan penertiban terhadap pengaduan masyarakat serta melakukan opaya penanganan sengketa; d. penyusunan program, pedoman, petunjuk teknis penentraman dan penertiban serta melakukan kerjasama antara aparat terkait lainnya. Subdinas Ketertiban Masyarakat terdiri dari :
66
a. Seksi Pengendalian Operasional; b. Seksi Protokoler dan Pengamanan Obyek Vital; c. Seksi Pengaduan dan Sengketa; d. Seksi Kerjasama Antar Aparat. Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan penertiban fasilitas sosial, sarana umum, dan sarana/prasarana pemukiman serta
lepas
pantai. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan mempunyai fungsi : a. penyusunan program, pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan, penentraman dan penertiban fasilitas sosial; b. penyusunan program, pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan, penentraman dan penertiban fasilitas umum; c. penyusunan dan penertiban kawasan pemukiman dan lepas pantai. Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan dipimpin oleh seorang Kepala Subdinas yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Subdinas Ketertiban Sarana dan Prasarana Perkotaan terdiri dari : a. Seksi Ketertiban Fasilitas Sosial; b. Seksi Ketertiban Sarana Umum; c. Seksi Ketertiban Pemukiman dan Lepas Pantai. Satuan Polisi Pamong Praja adalah unsure pelaksana Dinas dalam kegiatan operasional Satuan Polisi Pamong Praja di lapangan. Polisi Pamong Praja adalah aparat perangkat Pemerintah Daerah yang bertugas untuk membantu Kepala Daerah dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Berdasarkan organisasi dan tata kerja Dinas Trantib dan Linmas di atas terdapat fungsi penyusunan program dan pedoman penegakan
67
Peraturan Daerah dan Keputusan Gubernur; penyusunan program, pedoman, petunjuk teknis penentraman dan penertiban serta melakukan kerjasama antara aparat terkait lainnya, dan aparat Pemerintah Daerah yang berfungsi menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Gubernur.
3. Dinas Perhubungan Dinas Perhubungan merupakan unsure pelaksana Pemerintah Daerah di bidang perhubungan darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi. Dinas Perhubungan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Perhubungan mempunyai tugas menyelenggarakan pembinaan, pembangunan, pengelolaan, pengendalian dan pengkoordinasian kegiatan di bidang perhubungan darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Perhubungan mempunyai tugas antara lain : a. perumusan kebijakan teknis di bidang perhubungan darat, laut, udara dan telekomunikasi; b. pembinaan dan pengendalian pelaksanaan tugas di bidang perhubungan darat, laut, udara, pos dan telekomuniksi; c. pemberian izin atau rekomendasi di bidang perhubungan darat, laut, udara, pos dan telekomuniksi; d. pengkoordinsian dengan instansi terkait dalam rangka pelaksanaan tugas operasional di bidang perhubungan darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi; e. penyelenggaraan pengujian kendaraan bermotor dan pemeriksaan mutu karoseri
kendaraan
bermotor,
pengujian
dan
sertifikat
perangkat
telekomunikasi. Susunan organisasi Dinas Perhubungan terdiri dari :
68
a. Kepala Dinas b. Wakil Kepala Dinas c. Bagian Tata Usaha d. Subdinas Pengembangan Sistem e. Subdinas Teknik Lalu Lintas Jlan f. Subdinas Bina Usaha Angkutan Jalan g. Subdinas Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan h. Subdinas Perhubungan Laut i.
Subdinas Perhubungan Udara, Angkutan Jalan, Rel dan Penyeberangan
j.
Subdinas Pos dan Telekomunikasi
k. Suku Dinas Perhubungan l.
Unit Pelaksana Teknis Dinas
m. Kelompok Jabatan Fungsional. Dari struktur organisasi tersebut di atas, Kepala Dinas, Subdinas Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berperan dalam penegakan hukum pengendalian pencemaran udara. Kepala Dinas mempunyai tugas memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi
menyelenggaraan
pembinaan,
pengendalian dan pengkoordinasian
pembangunan,
pengelolaan,
di bidang perhubungan darat, laut,
udara, pos dan telekomunikasi. Subdinas Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai tugas melaksanakan pengendalian, pengawasan dan penertiban lalu lintas dan angkutan jalan, sekolah mengemudi, bimbaingan dan penyuluhan serta pengendalian
bengket
kendaraan
bermotor
dan
karoseri.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut, Subdinas Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai fungsi : a. penyusunan bahan kebijakan teknis di bidang pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan;
69
b. pelaksanaan kegiatan pengawasan dan penertiban lalu lintas dan angkutan jalan; c. pembinaan kegiatan sekolah mengemudi; d. pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan; e. pengendalian bengkel kendaraan bermotor dan karoseri. Subdinas Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri dari : a. Seksi Penertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. Seksi Sekolah Mengemudi; c. Seksi Bimbingan dan Penyuluhan; d. Seksi Pengendalian Bengkel Kendaraan Bermotor dan Karoseri. Seksi Penertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai tugas : a. menyusun petunjuk pelaksanaan dan/atau jadwal waktu pengawasan dan penertiban lalu lintas dan angkutan jalan; b. melaksanakan pengawasan dan penertiban lalu lintas dan angkutan jalan; c. melaksanakan koordinasi pernertiban lalu lintas dan angkutan jalan; d. memproses pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku; e. melaksanakan pembinaan teknis penyelenggaraan penertiban untuk dilaksanakan oleh Suku Dinas Perhubungan. Dalam organisasi dan tata kerja Dinas Perhubungan di atas terdapat fungsi pengawasan dan penertiban lalu lintas dan angkutan jalan dan memproses pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan kelembagaan unit BPLHD, Dinas Trantib dan Linmas dan Dinas Perhubungan tersebut di atas, terlihat bahwa ketiga unit tersebut terdapat fungsi-fungsi dalam penegakan hukum pengendalian pencemaran udara. Hambatan penegakan hukum dilihat dari sudut kelembagaan terjadi karena koordinasi antar ketiga unit tersebut yang tidak dilakukan secara terus
70
menerus dan berkesinambungan, serta tidak adanya tim terpadu yang melibatkan ketiga unit tersebut dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Ketidakharmonisan
kelembagaan
yang
terkait
dengan
pencemaran udara di DKI Jakarta ini sebisa mungkin harus dihindari. Selain itu, secara simultan perlu pula dilakukan peningkatan kualitas mental maupun intelektual para aparatur hukumnya agar mampu menjalankan tugasnya secara lebih baik. Salah satu upaya untuk membentuk atmosfer kerja yang lebih kondusif, efektif dan efisien serta bervisi nasionalistik, adalah dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Peningkatan
kualitas
sumber
daya
manusia
ini
meliputi
peningkatan kemampuan aparatur hukum di bidang: 1. Akademis Peningkatan kemampuan akademis sangat diperlukan mengingat bahwa untuk melakukan penegakan hukum diperlukan pemahaman yang memadai dalam bidang hukum secara makro maupun mikro. Hal ini sangat penting untuk nantinya membangun sebuah sistem hukum yang kokoh dan bervisi nasionalistik. 2. Administratif dan ketrampilan teknis Dalam melakukan penegakan hukum diperlukan pula kemampuan administratif agar kegiatan yang dilakukan ini benar-benar efisien dan efektif dan benar-benar bermanfaat bagi tugas unit di atasnya sehingga organisasi dapat berjalan dengan baik. 3. Moral dan Etika Dalam
suasana
negara
yang
terpuruk
secara
moral
dengan
diindikasikan menjamurnya kegiatan korupsi, maka membangun sisi moral dan etika merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan agar negara
secara
perlahan
mampu
kembali
bangkit
ke
pentas
internasional sebagai negara yang bersih dari korupsi. Dengan
71
membangun moral dan etik di lingkup yang kecil terlebih dulu maka diharapkan akan mempunyai imbas pada skala yang lebih luas. Para aparat hukum harus memberikan contoh yang baik terlebih dulu agar masyarakat bisa melihat keseriusan suatu cita-cita yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang akan ditegakkan.
2.
Budaya Hukum Menurut Koentjaraningrat kebudayaan memiliki dimensi ”wujud”
yang mencakup
tiga bentuk: (1) wujud ideal, (2) wujud kelakuan, (3)
wujud fisik. Adat atau adat-istiadat adalah wujud ideal dari kebudayaan, yang disebut adat tata kelakuan, karena ia berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat tata kelakuan itu mempunyai empat tingkat, yaitu: (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4) aturan khusus. Di samping itu, kebudayaan memiliki juga dimensi isi. Menurut pandangan beliau, dimensi isi adalah unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (culture universals), meliputi: (1) bahasa, (2) sistem tehnologi, (3) sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi, (4) sistem organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, dan (6) sistem relegi. Secara umum, hukum adalah subsistem dari sistem organisasi sosial.31 Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami, bahwa salah satu produk kebudayaan adalah hukum, karena itu hukum pun menjadi bagian dari kebudayaan. Dari uraian ini, secara konkrit masalah pemberdayaan masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi.
31
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 5, 10.
72
Berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2005 pasal 32 ayat 1 menyebutkan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengelolaan kualitas udara.
Pelaksanaan ketentuan yang
dimaksud pada ayat 1 diatas dengan cara : a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. b. Menumbuhkembangkan
kemampuan
dan
kepelaporan
masyarakat. c. Menumbuhkan
ketanggap
segeraan
masyarakat
untuk
melakukan pengawasan sosial. d. Memberikan saran, pendapat dan apresiasi e. Menyampaikan informasi dan laporan Keterlibatan
masyarakat
akan
menjadi
salah
satu
kunci
keberhasilan dalam upaya menekan kontribusi pencemaran udara di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebagai langkah menuju pemulihan tingkat kualitas udara. Kontribusi pencemaran udara yang berasal dari aktifitas transfortasi, industri, penggunaan bahan bakar rumah tangga serta pembakaran limbah padat (sampah) menjadi ancaman bagi lingkungan hidup
serta
ekosistemnya.
Dilematis
serta
kompleksitasnya
isu
pencemaran udara ini pada akhirnya harus menempatkan faktor masyarakat menjadi problem solver, sebagai langkah koreksi selama ini yang menempatkan masyarakat hanya sebagai penyebab sekaligus korban. Kurangnya publik awareness bahkan sering dijadikan kambing hitam. Peran yang sesungguhnya diharapkan dalam konteks keterlibatan masyarakat ini adalah bagaimana mengajak masyarakat pada tingkat perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta evaluasi. Harapan adanya
73
rasa memiliki dan kepedulian yang timbul dari masyarakat dari keterlibatan ini akan lebih memudahkan penyelesaian secara bersama. Efektifitas dalam penerapan suatu peraturan perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan masyarakat terhadap materi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan
tersebut.
Agar
masyarakat mematuhi dan melaksanakan suatu peraturan perundangundangan, selain adanya sanksi yang diterapkan dengan tegas terhadap pelanggarnya juga perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat. Hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara antara lain masih banyaknya anggota masyarakat yang masih belum mematuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah yang dimaksud. Contohnya masih banyak anggota masyarakat yang merokok dan membuang puntung rokok pada tempat yang tidak disediakan, kendaraan bermotor yang mengeluarkan gas buang ( emisi ) melebihi ambang batas dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, pencemaran yang terjadi di kota Jakarta sebagaian besar disebabkan oleh pencemaran udara khususnya emisi gas buang kendaraan bermotor. Berdasarkan Hasil Laporan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta
tentang Implementasi
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dalam Program Kerja Pelaksanaan Kawasan Dilarang Merokok Periode Juli-Desember 2006 menyebutkan kendala dan permasalahan yang ada hubungannya dengan peran serta masyarakat yaitu : a. Masih
kurangnya
masyarakat
dalam
peran
serta
penerapan
dan
keterlibatan
Kawasan
Dilarang
Merokok.
74
b. Keterbatasan pemahaman masyarakat tentang Perda Nomor
2
Tahun
2005
tentang
Pengendalian
Pencemaran Udara dan Pergub Nomor 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. c. Keberanian mengingatkan
masyarakat kepada
untuk perokok
menegur yang
dan
melanggar
Kawasan Dilarang Merokok masih kurang.
3. Sarana Dan Prasarana Hukum Peningkatan sarana dan prasarana juga diperlukan agar dapat mendukung pelaksanaan Perda ini. Sarana yang hingga saat ini sulit ditemukan adalah ruangan khusus di tempat-tempat umum atau gedunggedung perkantoran dan dana anggaran operasional yang sangat terbatas dalam usaha penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Jika sarana-sarana ini masih belum bisa diwujudkan maka tidak ada alasan untuk memberi sanksi bagi pelanggar Perda ini karena pemerintah juga masih belum bisa memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh Perda ini sendiri. Berdasarkan Hasil Laporan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta
tentang Implementasi
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian
Pencemaran
Udara
Periode
Juli-Desember
2006,
menyebutkan permasalahan dan kendala yang berhubungan sarana dan prasarana yaitu : a. Keterbatasan
kapasitas
Pemda
DKI
Jakarta
untuk
melakukan
pengawasan terhadap pengelola gedung dan pelanggar Kawasan Dilarang Merokok. 75
b. Ketersediaan Stiker Tanda Lulus Emisi dan Surat keterangan Memenuhi Baku Mutu Emisi tidak mencukupi. c. Belum tersedianya Sistem Informasi dan Manajemen Data Hasil Uji Emisi.
76
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Eksistensi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dilihat dari aspek yuridis adalah sebagai berikut : a.
Dasar hukum yang menjadi landasan terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
b.
Dasar pertimbangan yang menjadi landasan terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara adalah pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta telah mencapai tingkat yang memprihatinkan sehingga menyebabkan turunnya kualitas udara dan daya dukung lingkungan. Di samping itu zat, energi dan atau komponen lain sebagai hasil sampingan maupun limbah suatu kegiatan dapat menimbulkan turunnya
kualitas
lingkungan
hidup
yang
akhirnya
dapat
mengakibatkan pencemaran udara. c.
Di dalam Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara ini dikenakan sanksi yaitu sanksi administrasi berupa peringatan tertulis dan pencabutan izin serta diancam dengan pidana kurungan paling
77
lama
6
(enam)
bulan
atau
denda
sebanyak-banyaknya
Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), tetapi di dalam pelaksanaannya belum diterapkan secara optimal sanksi-sanksi tersebut.
2.
Eksistensi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dilihat dari aspek hak asasi manusia adalah sebagai berikut : a.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara jelas terlihat bahwa terdapat hubungan antara pencemaran udara dengan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari sepuluh hak yang diatur dalam undang-undang tersebut, salah satunya mengatur hak hidup yang didalammya terdapat hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Kemudian dalam UUPLH mengatur mengenai pelestarian lingkungan hidup yang didalamnya terdapat baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan diperlukan utnuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya apabila keadaan lingkungan telah ada diatas ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah rusak atau tercemar.
b.
Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2005 merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undan-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undangundang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang
Nomor
23
tahun
1999
tentang
pengelolaan
78
Lingkungan Hidup. Ruang lingkup pengendalian pencemaran udara terdiri dari pengendalian pencemaran udara ambien dan pengendalian pencemaran udara di dalam
ruangan.
Pengendalian pencemaran
udara terdiri dari pencegahan pencemaran udara, penanggulangan pencemaran udara dan pemulihan mutu udara. Pengaturan tersebut di atas adalah dalam rangka mewujudkan fungsi pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara yang diatur dalam Undang-Undang. Terhadap orang atau badan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan atau gangguan berati telah melangggar hak dasar manusia khususnya hak untuk hidup berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam menjalankan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih tersebut, setiap warga negara wajib pula tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang.
3. Hambatan dalam penegakan hukum Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dilihat dari aspek kelembagaan,
budaya hukum dan sarana dan prasarana hukum.
Sehingga dengan adanya hambatan-hambatan tersebut
menyebabkan
pelaksanaan dari Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara berlaku kurang efektif.
B. Saran 1. Dengan berlakunya Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara di harapkan dari aspek yuridis bisa menjadi pranata hukum dalam usaha pengendalian pencemaran udara dan perlindungan mutu udara di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
79
2. Dengan berlakunya Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara di harapkan dari aspek HAM adalah bisa memenuhi hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, namun terdapat pula kewajiban untuk memelihara fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran dan upaya pengendalian pencemaran udara dan menjaga serta memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam arti luas. 3. Perlunya kegiatan sosialisasi Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara kepada masyarakat yang berada dilokasi sasaran Kawasan Dilarang Merokok ( tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, sarana kesehatan, arena bermain anak, tempat belajar mengajar dan angkutan umum ) serta perlunya melibatkan peran serta masyarakat secara aktif sebagai pengawas dalam penerapan Kawasan Dilarang Merokok . Disamping itu perlunya penambahan aparat/petugas baik dari segi kuantitas dan kualitas yang terlibat dalam penegakan hukum peraturan daerah tersebut sehingga bisa menjaungkau seluruh wilayah propinsi DKI Jakarta.
80