LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
HARMONISASI PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DKI JAKARTA
TAHUN 2007
1
HARMONISASI PERDA DKI JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM
I.
Latar Belakang Pembangunan adalah suatu upaya perubahan yang dilandaskan pada suatu pilihan
pandangan tertentu yang tidak bebas dari pengalaman (sejarah), realitas keadaan yang sedang dihadapi, serta kepentingan pihak-pihak yang membuat keputusan pembangunan. Program pembangunan kota Jakarta yang dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate, lapangan golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol dan jalan layang susun tiga (triple decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya. Dimanapun, pembangunan mempunyai hubungan dengan kemiskinan begitu pembangunan
tersebut
diimplementasikan.
Bahkan
pembangunan
yang
tidak
memperhitungkan kondisi masyarakat yang dibangun akan membawa dampak perubahan sosial yang ekstrem seperti ketertinggalan kaum miskin karena keterbatasan akses nonekonomis, akses politis, sosial, dan sebagainya. Sepertinya, pembangunan yang diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta) adalah pembangunan yang seperti tersebut di atas, dimana pemerintah tidak memperhatikan keadaan masyarakat yang berbeda (dari berbagai aspek) dan kesiapan dari Pemda sendiri maupun masyarakat yang akan dibangun. Karena kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi tersebut, menyebabkan semakin meningkatnya orang miskin di Jakarta karena kebijakan tersebut kemudian mensentralisir kegiatan ekonomi ke pusat kota dan semakin meminggirkan orang miskin karena dampak pembangunan investasi tersebut kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan tidak akan menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai dan ada syarat bagi pemilik proyek disamping dari Pemda sendiri juga ikut andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur. 2
Gagalnya pembangunan di Indonesia secara umum dan DKI Jakarta secara khusus ini, setidaknya diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, dan menjadi sebab utama adalah tidak adanya arah kebijakan yang jelas dari pemerintah terhadap jalannya pembangunan nasional, sebaliknya pemerintah dengan mudah „menggantungkan diri‟ pada bantuan asing.
Kedua, pemerintah memilih
melayani
kepentingan borjuis
lokal dan
mengutamakan penggemukan kelas elite dalam rangka memperluas sumber-sumber pajak baru. Ketiga, pemerintah mengembangkan strategi baru yang hiper-pragmatis yakni pengkomersialisasian lahan-lahan yang ada, termasuk penggunaan ruang-ruang publik untuk kepentingan „bisnis‟, seperti bisnis property, pembuatan jalan tol, yang cendrung menggusur kepentingan publik terutama mereka yang berada di lapisan bawah. Kemudian, untuk mengatasi permasalahan kota Jakarta tersebut, Pemerintahan Daerah DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya dituangkan dalam Perda-Perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik, penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain sebagainya. Itu semua adalah untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah, aman, nyaman dan bersahabat tentunya. Namun dari beberapa program yang dilaksanakan, ternyata ada beberapa yang tidak menyelesaikan masalah kota Jakarta tersebut, namun justru malah menimbulkan persoalan baru seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda yang diberlakukan untuk menertibkan kota Jakarta ini didasarkan atas pertimbangan bahwa intensitas pelanggaran hukum semakin meningkat. Tetapi, ketika Perda yang menjadikan masyarakat sebagai obyek itu tidak melibatkan masyarakat dalam pembuatanannya atau mendengarkan aspirasi dari masyarakat, maka tentu saja hal tersebut mendapatkan banyak keberatan terutama dari masyarakat sendiri. Bahkan yang menjadi prioritas sasaran dari Perda ini adalah gelandangan, pengemis, asongan, pak ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya saja, perda ini sepertinya menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan menghalangi ketertiban umum kota Jakarta.
3
Pragmatisme pembangunan tersebut juga berdampak semakin menyempitnya lahan untuk pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum karena dikalahkan untuk pengadaan lahan yang berinvestasi besar . II. Konteks Historis Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum ini merupakan pengganti dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (yang juga merupakan pengganti dari Perda Nomor 3 Tahun 1972) yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat DKI Jakarta sekarang. Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007 ini merupakan salah satu komitmen dari Gubernur DKI Jakarta dalam usahanya mewujudkan Jakarta yang tertib nyaman, aman dan kondusif. Perda ini juga menjadi pedoman /dasar dalam melindungi warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya dengan obyek hukumnya adalah masyarakat miskin kota (gelandangan, becak, pengemis, pedagang kaki lima, WTS dan lainnya). Pemberlakuan Perda ini juga berbarengan dengan semangat otonomi daerah, sehingga mau tidak mau, Jakarta sebagai daerah yang terbatas (bahkan tidak mempunyai) sumber daya alam mencari alternatif lain dalam usaha meningkatkan PAD-nya. Jadi, jika dilihat lebih lanjut, Perda ini juga merupakan salah satu produk kebijakan yang bisa menjadi alat dalam menarik restribusi dari berbagai sektor.
III. Analisa Umum Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan pembangunan dijalankan dalam suatu policy yang menekankan aspek stabilitas dan ini terjelma dalam bentuk pendekatan keamanan (security approach) yang ketat, sehingga memberikan peran yang signifikan pada Militer dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Kebijakan yang memberikan peran besar pada militer ini dalam pelaksanaannya banyak mengabaikan hak-hak sipil dan politik masyarakat. Hal ini menyebabkan peran serta rakyat dalam penyelenggaraan
pembangunan
menjadi
sangat
terbatas.
Pembangunan
justru
4
menciptakan diskriminasi dan kesenjangan sosial yang semakin lebar serta meningkatnya prektek KKN di tingkat eksekutif maupun legislatif dan baik di Pusat maupun Daerah. Yang terjadi saat ini proses pemiskinan yang terus berlangsung terhadap rakyat banyak khususnya kelompok-kelompok marjinal, seperti komunitas miskin, yang sebagian adalah perempuan dan anak-anak. Tingginya tingkat pengangguran terbuka dan semakin meningkatnya keluarga miskin di Indonesia menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan sosial di masyarakat kita. Tetapi Pemda DKI Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya hanya melihat masalah itu secara parsial saja, tidak melihatnya sebagai satu permasalahan yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Padahal dalam masalah pembangunan, kemiskinan, kesenjangan sosial, pemukiman dan masalah sosial lainnya saling mempengaruhi dan berkaitan. Perbedaan dan pendiskriminasian dalam pembangunan sudah melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Seperti kita ketahui, bahwa di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terdapat Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR – 1976) yang mengakui hak setiap orang untuk menentukan nasibnya dengan usaha dan ekonomi yang dipilihnya sendiri, hak atas jaminan sosial, hak untuk mendapatkan taraf hidup yang layak, hal atas pendidikan dan sebagainya. Sedangkan dalam UUD 1945 pasal 27 (2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UU No.39 tahun 1999 tentang HAM pasal 44 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak. Dari tindakan Pemda DKI Jakarta yang melakukan operasi penggusuran pemukiman dan usaha kegiatan perekonomian rakyat, jelas telah melanggar hak setiap orang untuk dapat mencari nafkah dan memilih pekerjaan, hak menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan hak memperoleh kehidupan dan tempat tinggal yang layak serta hak untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang diperlukan.
5
IV.
Kritisi Pasal per Pasal
1. Dasar Hukum Perda ini perlu dikritisi karena selain jelas-jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia Perda ini juga melanggar berbagai aturan lainnya yang berada diatasnya. Seperti: 1. Undang Undang Dasar 1945 : a. Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” e. Pasal 28H ayat (2): “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” f. Pasal 34 ayat (1):
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara.” g. Pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” 2. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : a. Pasal 5 ayat (3): “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” b. Pasal 9 ayat (1): “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” 6
c. Pasal 9 (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin” d. Pasal 30 menyatakan “setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” e. Pasal 36 ayat (2): “tidak seorangpun boleh merampas miliknya dengan sewenangwenang dan secara melawan hukum”. f. Pasal 38 ayat (1): “setiap warga negara sesuai dengan bakat dan kecakapan dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak” g. Pasal 38 ayat (2) “setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaanl” 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah : a. Pasal 28 a.: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;” b. Pasal 136 ayat (4): “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.” c. Pasal 139 ayat (1): “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.” d. Pasal 145 ayat (2): “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.” 4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan:
7
Pasal 53: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”
2. Poin-poin yang dikritisi: a. BAB VII TERTIB BANGUNAN: Perda Nomor 8 Tahun 2007 Pasal 36 ayat (1) huruf b. dan c. menyatakan: (1) Setiap orang atau badan dilarang: b. mendirikan bangunan pada ruang milik jalan, ruang milik sungai, ruang milik setu, ruang milik waduk, ruang milik danau, taman dan jalur hijau, kecuali untuk kepentingan dinas; c. mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api dan di bawah jembatan kereta api.
Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam hal ini kepada mereka (terutama kaum miskin) yang tidak mampu membeli tanah di DKI Jakarta sehingga mendirikan tempat-tinggal/usaha di ruang publik, Pemda DKI Jakarta seharusnya memberikan solusi dengan menyediakan tempat untuk menampung mereka. Karena “bertempat tinggal” merupakan hak yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana disebutkan diatas. b. BAB VIII TERTIB SOSIAL Perda Nomor 8 Tahun 2007 Pasal 40 menyatakan: Setiap orang atau badan dilarang : a. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; b. menjadi pengemis pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 : -
Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 8
-
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
-
Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
-
Pasal 34 ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
-
Pasal 34 ayat (2):
“Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : -
Pasal 38 ayat (1): “setiap warga negara sesuai dengan bakat dan kecakapan dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak”
-
Pasal 38 ayat (2) “setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaanl”
Pemda DKI seharusnya tidak hanya bisa melarang seseorang untuk melakukan pekerjaan yang dianggap mengganggu ketertiban umum, melainkan harus mampu menyalurkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena hak untuk mendapatkan pekerjaan dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-undang yang lebih tinggi dari Perda. c. BAB XIV KETENTUAN PIDANA Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 Pasal 61 dan 62 diatur mengenai Pelanggaran, sedangkan dalam Pasal 63 diatur tentang Kejahatan. Kenyataan tersebut mencerminkan bahwa Perda ini tidak mengatur bagaimana agar tercipta suatu Ketertiban Umum melainkan hanya berisi larangan semata, dengan ancaman pidana, kurungan dan denda, yang malah makin meresahkan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :
9
-
Pasal 9 ayat (1): “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
-
Pasal 9 (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin”
-
Pasal 30 menyatakan “setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”
d. IZIN
KEPALA
DAERAH/GUBERNUR
ATAU
PEJABAT
YANG
BERWENANG : Hampir sebagian besar larangan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 ini, disertai dengan
pengecualian
bahwa
larangan
tersebut
diperbolehkan
dengan
izin/persetujuan dari Kepala Daerah/Gubernur atau Pejabat yang berwenang. Hal ini dapat menimbulkan tindakan korupsi. Padahal ketentuan tersebut sangat dilarang
berdasarkan
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 28 a.: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;” e. PERDA SECARA UMUM: Secara umum Perda ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan hanya membela kepentingan golongan tertentu saja. Masyarakat dalam penyusunan Perda ini tidak diajak berperan serta. Padahal telah diamanatkan dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 139 ayat (1): “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.” Dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 53 menyatakan: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan 10
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah.” Selain itu, sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Perda ini bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi, maka Perda ini dapat dibatalkan. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah : -
Pasal 136 ayat (4): “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.”
-
Pasal 145 ayat (2): “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”
V. Penutup Perda Nomor 8 Tahun 2007 ini merupakan salah satu produk kebijakan yang tidak melihat realita yang terjadi di masyarakat. Bahkan terlihat bahwa kebijakan ini memuat kepentingan dari pihak tertentu karena sangat tidak mengakomodir hak-hak rakyat kecil. Kebijakan ini merupakan salah satu alat dalam usaha memiskinkan kelompok tertentu karena peraturan ini berisi pelarangan terhadap usaha perekonomian rakyat kecil dan semakin menyudutkan dan memarginalkan rakyat kecil dari pembangunan kota. Kebijakan pembangunan yang mengakomodir kepentingan rakyat miskin masih sedikit, sementara pemberlakuan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum justru tidak mengakomodir kepentingan rakyat kecil. Perda ini juga telah banyak mendapat kritikan dan protes dari berbagai kalangan khususnya masyarakat dan LSM di Jakarta karena Perda tersebut secara substansial melanggar aturan yang lebih tinggi dan melanggengkan kejahatan kemanusiaan yang juga telah dipertontonkan Pemda selama ini atas nama ketertiban kota. Isi dari Perda tersebut juga sebagian besar adalah merupakan larangan bagi rakyat untuk berada di tempat-tempat umum sedangkan Pemerintah DKI sendiri tidak 11
menyediakan fasilitas dan sarana maupun prasarana sebagai akibat dari pelaksanaan Perda tersebut. Oleh karena itu pencabutan terhadap Perda tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dan sebagai gantinya adalah dibuat kebijakan baru dengan melibatkan semua elemen masyarakat dan menjadikan catatan kritisi di atas sebagai referensi dalam membuat kebijakan baru tersebut.
12