LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA TAHUN 2016
KATA PENGANTAR Terwujudnya Good Governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna dan berhasil guna serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, telah diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 dan UndangUndang Nomor : 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,
yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan
Presiden RI Nomor : 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI dan Jamsos) Tahun 2016 merupakan laporan kinerja tahunan yang berisi ikhtisar pencapaian sasaran sebagaimana yang ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja dan dokumen perencanaan. Sebagai tahun kedua pelaksanaan RPJMN 2015-2019, di dalam Laporan Kinerja tahun 2016 ini memberikan gambaran capaian kinerja anggaran dan permasalahan yang dihadapi selama satu tahun dalam pelaksanaan Program Pengembangan Hubungan Industrial dan Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Dalam pelaksanaan kegiatan Tahun Anggaran 2016 ini, banyak tantangan yang dihadapi, namun
kami sadari masih
tantangan itu bukan merupakan suatu
ancaman atau hambatan tetapi merupakan peluang untuk mencapai apa yang menjadi sasaran dan target dari Ditjen PHI dan Jamsos. Langkah-langkah pembenahan dalam rangka meningkatkan kinerja sebagai bagian dari reformasi birokrasi telah dan akan terus kami lakukan. Capaian Indikator Kinerja Program (IKP) Ditjen PHI dan Jamsos meskipun belum optimal tetapi secara umum mengindikasikan adanya perubahan yang cukup positif. Hal ini mengisyaratkan bahwa langkah-langkah perbaikan internal sebelumnya yang telah dilakukan berdampak bagi kinerja organisasi. Namun demikian, kerja keras dan komitmen bersama untuk mewujudkan visi dan misi Ditjen PHI dan Jamsos ke depan akan terus kami tanamkan.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
i
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam pengyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Tahun 2016.
Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
Haiyani Rumondang NIP. 19640419 198903 2 001
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
ii
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Lampiran Ringkasan Eksekutif BAB
I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................. B. Dasar Hukum ..............................................................................
1 4
C. D.
Tugas, Pokok dan fungsi ............................................................. Susunan Organisasi .....................................................................
5 6
PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. Arah Kebijakan dan Strategi ........................................................ B. Indikator Kinerja............................................................................. C. Perjanjian Kinerja .........................................................................
8 10 11
AKUNTABILITAS KINERJA A. B. C.
BAB IV
Halaman i iii iv v
Pengukuran Kinerja dan Evaluasi Kinerja.................................... Pemecahan Masalah .................................................................. Realisasi Anggaran ......................................................................
PENUTUP
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
13 31 32 34
iii
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Perjanjian Kinerja Formulir Pengukuran Kinerja Kementerian/Lembaga Data Bidang HI dan Jamsos
Tingkat
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
Unit
Organisasi
Eselon
I
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF Tahun 2016 merupakan tahun kedua pelaksanaan RPJMN 2015-2019. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja ikut serta dalam melaksanakan agenda prioritas pembangunan nasional yaitu peningkatan daya saing tenaga kerja melalui perbaikan iklim ketenagakerjaan dan penciptaan hubungan industrial yang harmonis.
Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam penyusunan rencana strategis tahun 2015-2019 Direktorat Jenderal PHI dan Jamsos telah menetapkan 5 (lima) sasaran strategis beserta 8 (delapan) Indikator Kinerja Program dengan memperhatikan kebutuhan/kepentingan para stakeholder. Dari hasil penilaian kinerja Ditjen PHI dan Jamsos tahun 2016, secara umum menunjukan hasil capaian kinerja yang baik. Namun demikian masih terdapat beberapa Indikator Kinerja Program yang belum mencapai target sesuai dengan Penetapan Kinerja Tahun 2016.
Adapun hasil pengukuran capaian Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja terhadap masing-masing sasaran dan indikator Kinerja tahun 2016 sebagai berikut : a. Sasaran : Penguatan kelembagaan hubungan industrial No
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Persentase LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif
28,00%
28,00%
Capaian Kinerja 100 %
b. Sasaran : Meningkatnya kesejahteraan dan penerapan non diskriminasi melalui pengaturan syarat kerja Indikator Kinerja
Target
Realisasi
1
Persentase Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP)
22,60 %
22,62%
Capaian Kinerja 100,08%
2
Persentase Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
6,12%
6,16 %
100,68%
No
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
v
c.
Sasaran : Pengembangan sistem pegupahan yang mendukung keadilan, kesejahteraan dan produktivitas No
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Jumlah perusahaan yang 125 125 menerapkan sistem perusahaan Perusahaan pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Capaian Kinerja 100%
d. Sasaran : Peningkatan program jaminan sosial bagi tenaga kerja No 1
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
30%
45,65
Capaian Kinerja 152,17
e. Sasaran : Pengembangan pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial No 1
2
Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Persentase peningkatan perusahaan yang memiliki tingkat kerawanan hubungan industrial label hijau Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
29%
28,82%
Capaian Kinerja 99,38%
60%
65,71 %
109,52%
Dengan capaian kinerja terhadap sasaran beserta indikator kinerja tersebut di atas, realisasi anggaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di tahun 2016 sebesar Rp188.523.655.422,-
atau
93,06% dari pagu anggaran sebesar Rp202.587.959.000,-.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
vi
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya sistematis dan terencana oleh masing-masing maupun seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia secara optimal, efisien, efektif dan akuntabel, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN)
2015-2019
yang
merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam RPJMN tahun 2015-2019, agenda prioritas pembagunan nasional di bidang ketenagakerjaan adalah melindungi hak dan keselamatan pekerja migran dan peningkatan daya saing tenaga kerja. Adapun arah kebijakan dalam rangka meningkatkan daya saing tenaga kerja adalah dengan meningkatkan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja, serta memperbaiki iklim ketenagakerjaan dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis.
Untuk menyukseskan
pelaksanaan agenda pembangunan tersebut khususnya melalui penciptaan hubungan industrial yang harmonis, merupakan tugas dari Kementerian Ketenagakerjaan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pelaksanaan hubungan industrial senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan politik di masyarakat. Memasuki tahun kedua pelaksanaan RPJMN 2015-2019, masih terdapat beberapa fenomena yang ikut mempengaruhi kondisi hubungan industrial.
Kondisi
ketenagakerjaan yang masih ditandai dengan jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding
dengan
lapangan
pekerjaan
yang
tersedia
sehingga
angka
pengangguran cukup tinggi. Disisi lain, kualitas angkatan kerja yang relatif rendah ditandai dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah dan sedikitnya angkatan kerja yang berketerampilan. Selain itu, kondisi perekonomian juga sempat
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
1
mendorong dunia usaha untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang berdampak pada hubungan industrial. Kelesuan dunia usaha
telah menyebabkan terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Jumlah pekerja bertambahnya
ter-PHK disamping menyebabkan
jumlah penganggur juga menimbulkan keresahan dikalangan
pekerja dan memicu unjuk rasa yang apabila tidak segera diantisipasi dapat mengganggu stabilitas nasional. Menghadapi beberapa kondisi tersebut, pemerintah dituntut untuk dapat membuat kebijakan yang fleksibel yang mampu mengakomodir keinginan-keinginan unsur pekerja dan pengusaha dalam rangka menciptakan hubungan yang kondusif bagi peningkatan produktivitas kerja, kesejahteraan pekerja yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah terkait dengan pengupahan. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015. Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) ini, sesungguhnya tidak hanya difokuskan terhadap penataan upah minimum, akan tetapi tujuan yang paling utama diberlakukannya PP ini adalah untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pengupahan di perusahaan, sehingga berdampak terhadap peningkatan produktivitas di perusahaan yaitu melalui penerapkan alternatif sistem pengupahan di perusahaan melalui penyusunan struktur dan skala upah. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2016 telah ditetapkan beberapa peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai petunjuk pelaksanaan atas PP dimaksud. Dalam rangka meningkatakan kesejahteraan pekerja/buruh, selain melaui kebijakan pengupahan, Pemerintah mendorong pengusaha untuk menyediakan fasilitas kesejahteraan pekerja/buruh yang antara lain : pelayanan Keluarga Berencan (KB), tempat penitipan anak, kantin, tempat ibadah, fasilitas olah raga, rekreasi, perumahan dan koperasi pekerja/buruh. Pemerintah juga telah mengesahkan beberapa peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan untuk mengakomodir dinamika hubungan industrial ke depan khususnya dalam peningkatan perlindungan tenaga kerja. Setelah ditetapkannya Undang-Undang Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
2
Nomor : 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang memberikan payung hukum bagi program jaminan sosial kepada seluruh masyarakat dan Undang-Undang Nomor : 24 tahun 2011 tetang Badan Penyelenggara
Jaminan
Sosial
(BPJS),
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah menyusun beberapa peraturan pelaksanaannya baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden (Perpres), khususnya dalam rangka mendukung pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan yang mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan jaminan sosial saat ini diantaranya adalah perluasan cakupan kepesertaan. Tantangan perluasan kepesertaan jaminan sosial terutama bersumber pada kurangnya pengetahuan dan
pemahaman pekerja/buruh
maupun pemberi kerja mengenai pentingnya jaminan sosial. Untuk membangun hubungan industrial yang harmonis tentunya diperlukan para pelaku hubungan industrial yang berkualitas dan profesional. Agar pelaku hubungan industrial berkualitas dan profesional, diperlukan upaya peningkatan kualitas pelaku hubungan industrial baik oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja maupun bekerjasama dengan pihak-pihak lain. Pelaku hubungan industrial yang berkualitas dan profesional akan berdampak pada peningkatan sarana hubungan industrial seperti : Lembaga Kerja Sama Bipartit, Lembaga Kerja Sama Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pelaku hubungan industrial yang berkualitas dan profesional dapat mempercepat upaya-upaya perlindungan tenaga kerja dan perbaikan syarat-syarat kerja melalui pembuatan Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Selain itu, jumlah perselisihan hubungan industrial yang terjadi masih signifikan dengan tuntutan-tuntutan yang semakin beragam, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat dan adil.
Dari berbagai pengalaman menunjukkan, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi) maupun melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian yang paling efektif adalah penyelesaian non litigasi. Penyelesaian non litigasi diawali dengan penyelesaian melalui perundingan secara bipartit, mediasi atau konsiliasi dan Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
3
arbitrase, sedangkan penyelesaian melalui litigasi dihadapkan pada proses yang rumit dan panjang. Di antara penyelesaian non litigasi-pun, yang paling efektif dan efisien adalah melalui perundingan bipartit. Oleh karena itu ke depan diharapkan pihak-pihak yang berkepentingan mengoptimalkan penyelesaian perselisihan
hubungan
industrial
mengutamakan
penyelesaian
melalui
perundingan secara bipartit. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah, khususnya
Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah dan akan terus melakukan upaya-upaya yang strategis untuk mengembangkan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja agar dapat semaksimal mungkin memberikan kontribusi positif bagi pembangunan. Pemerintah perlu untuk terus melakukan pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja dalam rangka menciptakan kondisi hubungan industrial yang harmonis dimana
pekerja/buruh
dapat
bekerja
dengan
tenang
dan
ditingkatkan
kesejahteraannya, serta pengusaha dapat meningkatkan usahanya. Kondisi hubungan industrial yang demikain, tidak hanya berguna bagi kepentingan perusahaan, secara makro sekaligus sebagai daya tarik bagi penanaman modal baik dari dalam maupun luar negeri. Hal tersebut juga diperlukan dalam rangka perluasan kesempatan kerja baru untuk mengatasi pengangguran.
B.
DASAR HUKUM 1.
Undang-Undang
Nomor
: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 2.
Instruksi Presiden RI Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
3.
Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;
4.
Keputusan Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;
5.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi Nomor : 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja
Instansi
Pemerintah; Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
4
6.
Peraturan
Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Ketenagakerjaan. 7.
Peraturan
Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2016 tentang
Rencana Strategis Kemeneterian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019.
C.
TUGAS, POKOK DAN FUNGSI Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang merupakan unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Menteri
Ketenagakerjaan
mempunyai
tugas
merumuskan
dan
melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis di bidang hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan kebijakan dibidang persyaratan kerja, pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, kelembagaan dan kerjasama hubungan industrial, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial; b. Pelaksanaan kebijakan dibidang persyaratan kerja, kelembagaan dan kerja sama hubungan industrial, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial; c.
Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang persyaratan kerja, pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, kelembagaan dan kerja sama hubungan industrial, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi
dibidang persyaratan kerja,
pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, kelembagaan dan kerja sama hubungan industrial, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial; e. Pelaksanaan
evaluasi
dan
pelaporan
dibidang
persyaratan
kerja,
pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, kelembagaan dan kerja sama hubungan industrial, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial; f.
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja; dan
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
5
g. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
D.
SUSUNAN ORGANISASI Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mengalami beberapa kali perubahan, hal ini antara lain bertujuan untuk lebih mengefektifkan dan memaksimalkan peran dan fungsi direktorat jenderal. Guna mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut, sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2015, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja didukung oleh satuan organisasi sebagai berikut :
1.
Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administratif kepada
semua unsur satuan
organisasi di
lingkungan Direktorat Jenderal pembinaaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2.
Direktorat Persyaratan Kerja Direktorat Persyaratan Kerja mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di bidang persyaratan kerja.
3.
Direktorat Pengupahan Direktorat Pengupahan mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di bidang pengupahan.
4.
Direktorat Jaminan Sosial Tenaga Kerja Direktorat Jaminan Sosial Tenaga Kerja mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di bidang jaminan sosial tenaga kerja.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
6
5.
Direktorat Kelembagaan dan Kerja Sama Hubungan Industrial Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Hubungan Industrial mempunyai tugas
melaksanakan
perumusan
kebijakan,
pelaksanaan
kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi dan pelaporan di bidang kelembagaan dan kerja sama hubungan industrial.
6.
Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di bidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagan Struktur Organisasi
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dapat dilihat sebagai berikut :
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
7
BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Sebagai implementasi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional 2015-2019, Menteri Ketenagakerjaan telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor : 14 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019 menjadi acuan untuk seluruh unit kerja pada jajaran Kementerian Ketenagakerjaan dalam menyusun Rencana Kerja (Renja) tahunan yang merupakan terjemahan lebih rinci dari pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Ketenagakerjaan secara keseluruhan.
A.
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI Arah kebijakan dan strategi pembangunan Ketenagakerjaan pada dasarnya selaras dan medukung agenda, sasaran dan arah kebijakan pembangunan nasional termasuk pembangunan bidang ekonomi. Adapun kebijakan di bidang hubungan industrial selama 5 (lima) tahun kedepan sebagaimana tertuang dalam Renstra Kementerian adalah penciptaan hubungan industrial yang harmonis dan memperbaiki iklim ketenagakerjaan. Untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan memperbaiki iklim ketenagakerjaan, dilakukan melalui strategi sebagai berikut : 1)
Meningkatkan kualitas tata kelola kelembagaan dan kerjasama hubungan industrial, melalui : a)
Peningkatan pelatihan bagi pelaku hubungan industrial mengenai teknik-teknik negosiasi;
b)
Penyebarluasan hubungan industrial dan penguatan kelembagaan hubungan industrial;
c)
Pemberdayaan pengurus dan anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
d)
Pemberdayaan anggota LKS Tripartit;
e)
Pemberdayaan pengurus dan anggota organisasi pengusaha;
f)
Peningkatan
pemahaman
kepada
pengusaha,
pekerja/SP/SB
mengenai tata cara pembentukan LKS Bipartit; g)
Penetapan
Norma,
Standar,
Prosedur
dan
Kriteria
tentang
kelembagaan dan kerjasama hubungan industrial. Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
8
2)
Mewujudkan sistem pengupahan yang adil, melalui : a)
Peningkatan pemahaman pelaku hubungan industrial mengenai pengupahan;
b)
Peningkatan pelatihan bagi perusahaan mengenai penyusunan sturktur skala upah, dan kepada pejabat hubungan industrial dan pengawai teknis hubungan industrial;
c)
Pemberdayaan anggota Dewan Pengupahan;
d)
Penetapan
Norma,
Standar,
Prosedur
dan
Kriteria
tentang
pengupahan. 3)
Meningkatan program perlindungan jaminan sosial bagi pekerja/buruh, melalui : a)
Peningkatan pemahaman kepada para pelaku hubungan industrial mengenai program jaminan sosial;
b)
Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria tentang jaminan sosial tenaga kerja.
4)
Menerapkan prinsip-prinsip hubungan industrial dalam pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melalui : a)
Audit kondisi hubungan industrial pada perusahaan besar;
b)
Peningkatan pelatihan kepada pelaku hubungan industrial mengenai pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
c)
Mewujudkan tercapainya Perjanjian Bersama (PB) dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Mediator Hubungan Industrial;
d)
Penetapan
Norma,
Standar,
Prosedur
dan
Kriteria
tentang
pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 5)
Meningkatkan kualitas tata kelola persyaratan kerja, kesejahteraan dan analisis diskriminasi, melalui : a)
Peningkatan pembuatan Peraturan Perusahaan;
b)
Peningkatan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama;
c)
Mendorong
perusahaan
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja/buruh; d)
Mendorong perusahaan untuk menerapkan kesetaraan di tempat kerja;
e)
Peningkatan
pemahaman
pelaku
hubungan
industrial
tentang
hubungan kerja; Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
9
f)
Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria tentang persyaratan kerja, kesejahteraan dan analisis diskriminasi.
B.
INDIKATOR KINERJA Untuk mewujudkan ukuran keberhasilan yang dapat menggambarkan terwujudnya kinerja/tercapainya hasil program, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
telah menetapkan
Indikator Kinerja Program sesuai dengan tugas fungsinya. Adapun Indikator Kinerja Program yang tertuang
di dalam Rencana
Strategis adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal PHI Dan Jamsos
No
Sasaran Program
Indikator Kinerja
1
Penguatan kelembagaan Persentase LKS Bipartit hubungan industrial berfungsi secara efektif
yang
2
Meningkatnya kesejahteraan a. Persentase Peningkatan dan penerapan non Perusahaan yang membuat diskriminasi melalui Peraturan Perusahaan (PP) pengaturan syarat kerja b. Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
3
Pengembangan sistem Jumlah perusahaan yang menerapkan pegupahan yang mendukung sistem pengupahan berbasis struktur keadilan, kesejahteraan dan dan skala upah serta produktivitas produktivitas
4
Peningkatan program jaminan a. Persentase Tenaga Kerja Penerima sosial bagi tenga kerja Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan b. Persentase Tenaga Kerja Bukan Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
10
5
Pengembangan pencegahan a. Persentase peningkatan dan penyelesaian perselisihan perusahaan yang memiliki tingkat hubungan industrial kerawanan hubungan industrial label hijau b. Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
C.
PERJANJIAN KINERJA Dalam rangka mewujudkan
manajemen pemerintahan yang efektif,
transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, maka perlu adanya perjanjian kinerja tahunan. Dokumen Perjanjian Kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/ perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki. Terkait dengan hal tersebut,
untuk dapat mengukur
keberhasilan pencapaian kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah menetapkan target tahunan untuk masing-masing sasaran dan kegiatan yang harus dicapai. Dalam dokumen perjanjian kinerja dimaksud mencantumkan sasaran strategis, Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, beserta target kinerja dan anggarannya yang dapat dimanfaatkan untuk : a.
Memantau dan mengendalikan pencapaian kinerja organisasi;
b.
Melaporkan capaian realisasi kinerja dalam Laporan Kinerja;
c.
Menilai keberhasilan organisasi. Selama tahun 2016, rencana dan realisasi capain sasaran terkait dengan
kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminal Sosial Tenaga Kerja adalah sebagaimana Tabel 2.3 dan Tabel 3.1.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
11
Tabel 2.2 Rencana Capaian Sasaran Ditjen PHI dan JamsosTahun 2016
No
Sasaran Program
Indikator Kinerja
Target
1
Penguatan kelembagaan Persentase LKS Bipartit yang hubungan industrial berfungsi secara efektif
28,00%
2
Meningkatnya a. Persentase Peningkatan kesejahteraan dan Perusahaan yang penerapan non membuat Peraturan diskriminasi melalui Perusahaan (PP) pengaturan syarat kerja b. Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
22,60%
sistem yang keadilan, dan
6,12 %
3
Pengembangan pegupahan mendukung kesejahteraan produktivitas
Jumlah perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas
125 perusahan
4
Peningkatan program a. Persentase Tenaga Kerja jaminan sosial bagi tenga Penerima Upah yang kerja menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
30%
5
Pengembangan a. Persentase peningkatan pencegahan dan perusahaan yang memiliki penyelesaian perselisihan tingkat kerawanan hubungan industrial hubungan industrial label hijau
29,00%
b. Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
60,00%
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
12
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA A.
PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA Dengan telah berakhirnya program/kegiatan tahun anggaran 2016, maka Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminal Sosial Tenaga Kerja perlu melakukan pengukuran pencapaian target kinerja yang ditetapkan dalam dokumen perjanjian kinerja. Pengukuran kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminal Sosial Tenaga Kerja tahun 2016 dilakukan dengan membandingkan antara target kinerja dengan realisasi kinerja sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan/atau kegagalan pelaksaaan program/kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan pembangunan bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan Perjanjian Kinerja Tingkat Unit Eselon I sebagaimana terlampir dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminal Sosial Tenaga Kerja Tahun 2016, terlihat persentase capaian kinerja dari 5 (lima) sasaran dengan 8 (delapan) indikator kinerjanya sebagai berikut : Tabel 3.1 Realisasi Capaian Sasaran Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016 No
1
2
Sasaran Program
Indikator Kinerja
Penguatan Persentase LKS kelembagaan Bipartit yang hubungan industrial berfungsi secara efektif Meningkatnya a. Persentase kesejahteraan dan Perusahaan yang penerapan non membuat diskriminasi melalui Peraturan pengaturan syarat Perusahaan (PP) kerja b. Persentase Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
Capaian Kinerja
Target
Realisasi
28,00%
28,00%
100 %
22,60%
22,62%
100,08%
6,12%
6,16%
100,68%
13
3
4
5
Pengembangan sistem pegupahan yang mendukung keadilan, kesejahteraan dan produktivitas Peningkatan program jaminan sosial bagi tenaga kerja
Jumlah perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas a. Persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan Pengembangan a. Persentase pencegahan dan peningkatan penyelesaian perusahaan yang perselisihan memiliki tingkat hubungan industrial kerawanan hubungan industrial label hijau b. Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
125 perusaha an
125 Perusaha an
100%
30%
45,65%
152,17
29,00%
28,82%
99,38%
60,00%
65,71%
109,52%
1. PENGUATAN KELEMBAGAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Indikator : Persentase Lembaga Kerjasama Bipartit yang berfungsi secara efektif Indikator Kinerja Persentase LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya 22,66%
Target 2016
Realisasi 2016
28,00%
28,00%
Capaian Kinerja 100 %
Target Renstra s.d. 2019 46%
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 60,87 %
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja melalui program Pengembangan Hubungan Industrial dan Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mempunyai beberapa kegiatan untuk mencapai sasaran beserta target-target yang telah ditentukan dalam rencana strategis. Satu diantaranya adalah penguatan kelembagaan hubungan industrial Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
14
dengan indikatornya yaitu meningkatkan persentase Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang befungsi secara efektif. LKS Bipartit sebagai salah satu sarana hubungan industrial dimaksudkan sebagai sarana komunikasi untuk membahas berbagai permasalahan hubungan industrial yang timbul di perusahaan, sehingga dapat dihindarkan berbagai perselisihan yang berakibat kurang harmonisnya hubungan antara pekerja dan pengusaha. Sampai dengan akhir tahun 2014, jumlah LKS Bipartit yang terbentuk di perusahaan adalah sebanyak 16.168 lembaga. Dari jumlah tersebut, LKS Bipartit yang sudah menjalankan fungsinya antara lain melakukan pertemuan secara periodik atau sewaktu-waktu bila diperlukan dan mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh dalam rangka mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di perusahaan
baru sebanyak
2.929 lembaga. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2015 menjadi 3.664 LKS. Melihat kondisi tersebut, Ditjen PHI dan Jamsos selain tetap mendorong terbentuknya Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan juga berupaya agar jumlah Lembaga Kerjasama Bipartit yang berfungsi secara efektif
dapat
meningkat. Hal tersebut dimaksudkan agar keberadaan Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan dapat lebih dirasakan manfaatnya untuk mendukung kondisi hubungan industrial yang kondusif di tempat kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2016 ditargetkan jumlah LKS Bipartit yang berfungsi dapat terus meningkat menjadi sebanyak 4.576 lembaga atau 28% dari prediksi LKS Bipartit yang terbentuk di tahun 2015 yaitu sebanyak 16.363. Sejalan dengan hal tersebut, maka di tahun 2016 Ditjen PHI dan Jamsos melakukan upaya dalam meningkatkan profesionalisme pengelolaan LKS Bipartit di perusahaan dengan melaksanakan kegiatan Peningkatan Kapasitas Pengurus LKS Bipartit dan Dialog Sosial Penguatan LKS Bipartit. Hasil dari pelaksanaan kegiatan tersebut, jumlah LKS Bipartit yang berfungsi bertambah sebanyak 912 LKS, sehingga secara keseluruhan LKS Bipartit yang berfungsi mencapai
4.576 LKS. Pada tahun yang sama jumlah LKS Bipartit yang
terbentuk di perusahaan juga meningkat menjadi 16.657 LKS. Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
15
Dengan membandingkan jumlah LKS Bipartit yang telah berfungsi secara efektif sampai dengan akhir tahun 2016 (4.576 LKS) dengan prediksi jumlah LKS Bipartit pada tahun 2015 (16.363 LKS), maka diperoleh prosentase sebesar 28%. Angka tersebut menunjukan capaian kinerja sebesar 100% dari target yang ditetapkan. Jika melihat penambahanan jumlah LKS Bipartit yang berfungsi di tahun 2015 (735 LKS Bipartit) dan di tahun 2016 (912 LKS Bipartit), maka penambahan LKS Bipartit yang berfungsi di tahun 2016 lebih besar dibdanding penambahan di tahun 2015. Hal ini menunjukkan pelaksanaan kegiatan terutama dalam rangka pembinaan LKS Bipartit yang lebih baik. Memperhatikan rencana strategis Ditjen PHI dan Jamsos, dimana sampai dengan akhir tahun 2019 ditargetkan akan ada sebanyak 7.997 LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif, maka masih diperlukan berbagai langkah upaya untuk mendorong meningkatnya jumlah LKS Bipartit yang berfungsi sebanyak 3.421 selama periode 2017 s.d 2019. Dengan meningkatnya LKS Bipartit yang dapat berfungsi efektif di perusahaan diharapkan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif yang dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan menghindarkan perselisihan yang berdampak terhadap menurunnya produktivitas dan produksi perusahaan. Namun demikian, ada kalanya LKS Bipartit yang sudah terbentuk belum melaksanakan fungsinya secara optimal dikarenakan disibukan dengan target produksi perusahaan ataupun tuntutan pekerjaan.
2. MENINGKATNYA
KESEJAHTERAAN
DAN
PENERAPAN
NON
DISKRIMINASI MELALUI PENGATURAN SYARAT KERJA. Indikator : Persentase Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP)
Indikator Kinerja
Persentase Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP)
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya
Target 2016
Realisasi 2016
Capaian Kinerja
Target Renstra s.d 2019
21,65%
22,60%
22,62%
100,08%
25,89%
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 87,37%
16
Salah
satu
indikator
semakin
membaiknya
syarat-syarat
kerja
di
perusahaan adalah jumlah Peraturan Perusahaan yang disahkan oleh Kementerian
Ketenagakerjaan
maupun
Dinas
yang
membidangi
ketenagakerjaan. Peraturan Perusahaan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Membandingkan jumlah perusahaan dengan jumlah Peraturan Perusahaan (PP) yang telah disahkan,
terlihat masih terdapat perusahaan yang belum
membuat PP. Berdasarkan data tahun 2014, jumlah perusahaan adalah sebanyak 274.000 perusahaan, sedangkan perusahaan yang sudah membuat PP baru sebanyak 56.981 perusahaan atau 20,80% dari jumlah perusahaan yang ada. Sedangkan di tahun 2015 perusahaan yang sudah membuat PP meningkat menjadi 59.340 perusahaan atau 21,65% dari jumlah perusahaan di tahun 2014. Dengan menggunakan data jumlah perusahaan di tahun 2014 sebagai angka dasar (baseline), Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menargetkan adanya peningkatan perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan menjadi 22,60% di tahun 2016. Untuk mencapai target tersebut, pada tahun 2016 Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah melakukan berbagai kegiatan, yaitu : Dialog Syarat Kerja Bidang Pelayanan Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP), Supervisi Permasalahan PP, dan
Bimbingan
Teknis Pembuatan PP yang dilakukan oleh satuan kerja di daerah melalui alokasi dana dekonsentrasi. Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2016 tersebut, tidak lain untuk meningkatkan pemahaman pengusaha tentang tata cara pembuatan Peraturan Perusahaan dalam rangka pemenuhan kewajibannya. Permasalahan yang kerap ditemui
dalam penyusunan Peraturan Perusahaan, yaitu materi yang
terkandung dalam Peraturan Perusahaan kualitasnya lebih rendah dari peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Untuk
itu,
didalam
penyusunannya pengusaha perlu memahami berbagai ketentuan dan peraturan ketenagakerjaan sehingga Peraturan Perusahaan dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengusaha
perlu
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang ada di Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
17
perusahaan guna mencegah hal-hal yang dapat merugikan pekerja/buruh. Untuk
meningkatkan
pemahaman
pekerja/buruh
dan
pimpinan
serikat
pekerja/buruh tentang kondisi perusahaan pada umumnya dan syarat kerja pada khususnya, perusahaan juga perlu berkonsultasi dengan perwakilan pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/buruh bagi perusahaan yang telah memiiliki serikat pekerja/buruh. Data sampai dengan akhir 2016 menunjukan jumlah perusahaan yang sudah memiliki Peraturan Perusahaan adalah sebanyak 61.973 perusahaan atau ada penambahan sebanyak 2.587 PP. Dengan demikian, apabila kita bandingkan jumlah perusahaan yang sudah membuat peraturan perusahaan terhadap total perusahaan di tahun 2014, maka diperoleh angka sebesar 22,68%, sehingga capaian kinerja untuk indikator ini mencapai 100,68%. Tercapainya target indikator persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP) kiranya juga tidak lepas dari apa yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada akhir tahun 2014 telah ditetapkannya Permenaker Nomor 28 Tahun 2014 pada tanggal 31 Desember 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sebelumnya diatur melalui Permenakertrans Nomor Per.16/MEN/XI/2011. Salah satu perubahan mendasar dengan diterbitkannya Permenaker Nomor 28 tahun 2014 yaitu waktu proses penerbitan Surat Keputusan Pengesahan Peraturan Perusahaan dari sebelumnya 7 (tujuh) hari kerja menjadi 5 (lima) hari kerja sejak dokumen dan materi telah memenuhi persyaratan. Sedangkan di tahun 2016, untuk mempermudah akses pelayanan, permohonan pengesahkan PP dapat dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) yang ada di Kemnaker. Hal ini tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 30 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Satu Atap. Pada akhir tahun 2019, ditargetkan PP yang telah disahkan adalah sebanyak 70.940 PP, dengan kata lain masih terdapat kekurangan 11.600 PP yang harus dicapai selama periode tahun 2017 s.d 2019. Diharapkan dengan semakin banyaknya Peraturan Perusahaan yang disyahkan oleh perusahaan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan semangat kerja, disiplin
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
18
dan produktivitas kerja dan dapat dijadikan upaya yang sifatnya preventif demi terciptanya hubungan kerja yang harmonis.
Indikator
:
Presentase Perusahaan yang Membentuk Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) Indikator Kinerja Persentase Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya 5,98%
Target 2016
Realisasi 2016
Capaian Kinerja
6,12%
6,16%
100,68%
Target Renstra s.d 2019 6,57%
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 93,76%
Indikator lain dari sasaran meningkatnya kesejahteraan dan penerapan non diskriminasi melalui pengaturan
Syarat Kerja
adalah peningkatan
Perusahaan yang membentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Tujuan perumusan PKB adalah melibatkan para pekerja melalui Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam perundingan dengan pengusaha untuk menentukan hak dan kewajiban pekerja serta kewenangan dan kewajiban pengusaha. Dengan demikian, pengusaha dan pekerja dapat besama-sama menjamin kelangsungan dan meningkatkan produktivitas perusahaan, untuk kemudian meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Dari jumlah perusahaan di tahun 2014 dikurangi jumlah perusahaan yang telah membuat Peraturan Perusahaan (PP) di tahun yang sama atau dari 217.000 perusahaan, PKB yang didaftarakan baru mencapai 5,88% atau 12.762 PKB. Berkenaan dengan hal tersebut, di tahun 2015 Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menargetkan adanya peningkatan perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama menjadi 5,90% atau 13.017 PKB dan pada 2016 menjadi 6,12% atau 13.303 PKB. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di tahun 2016 melalui dukungan anggaran yang tersedia telah melaksanakan kegiatankegiatan antara lain : Dialog Syarat Kerja Bidang Pelayanan Pendaftaran PKB, Supervisi Permasalahan PKB dan Bimbingan Teknis Tata Cara Pembuatan PKB Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
19
yang dilaksanakan oleh satuan kerja di daerah melalui dana dekonsentrasi. Selain hal tersebut, melalui dukungan regulasi berupa penerbitan Peraturan Menteri Ketengakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 pada tanggal 31 Desember 2014, dimana terdapat perubahan/percepatan waktu penerbitan surat keputusan PKB dari 6 (enam) hari menjadi 4 (empat) hari kerja dan telah berfungsinya Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) di Kemnaker pada awal tahun 2016 diharapkan dapat mendukung pencapaian target dimaksud. Berdasarkan pemantauan tehadap hasil pelaksanaan kegiatan selama tahun 2016, diketahui bahwa sampai dengan akhir tahun 2016 jumlah PKB yang didaftarkan selama tahun 2016 adalah sebanyak 373 Perjanjian Kerja Bersama. Sehingga total keseluruhan PKB yang telah didaftarkan adalah sebanyak 13.371 PKB. Dengan membandingkan total PKB yang telah didaftarkan dengan jumlah perusahaan sebanyak 217.000 perusahaan, maka prosentase
Perusahaan
yang telah membentuk PKB sebesar 6,16%. Dengan demikian, angka tersebut menunjukan capaian kinerja sebesar 100,68%. Namun demikian, apabila kita bandingkan apa yang telah dicapai sampai dengan akhir tahun 2016 dengan target di tahun 2019, menunjukan masih banyak upaya yang perlu dilakukan dan mendapatkan dukungan anggaran yang memadai. Dimana untuk memenuhi target tersebut, selama periode 2017 s.d. 2019, PKB yang didaftarkan minimal sebanyak 1.158 PKB. Meskipun capaian indikator dalam 2 (dua) tahun terakhir dapat melebihi target yang telah ditetapkan, namun dalam prakteknya masih ditemui/terdapat kendala dalam pembuatan PKB, antara lain : adanya keengganan pengusaha untuk melayani permintaan perundingan PKB dari SP/SB. Selain itu, dalam proses pembuatan PKB masih terdapat perselisihan kepentingan sehingga mengakibatkan berlarut-larutnya perundingan PKB. Untuk dapat membuat perundingan PKB berjalan dengan baik diperlukan berbagai persyaratan, antara lain : persiapan yang matang oleh kedua belah pihak yaitu persiapan materi secara cermat sangat diperlukan yang didukung dengan data yang akurat, dan perlu ditangani secara sungguh-sungguh serta disediakan waktu yang memadai karena tidak mustahil perundingan memakan waktu yang panjang. Sebagai upaya untuk mengurangi/mengatasi masalah tersebut Ditjen PHI dan Jamsos juga melaksanakan kegiatan Pelatihan Teknik Negosiasi. Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
20
3. PENGEMBANGAN SISTEM PEGUPAHAN YANG MENDUKUNG KEADILAN, KESEJAHTERAAN DAN PRODUKTIVITAS Indikator : Jumlah Perusahaan Yang Menerapkan Sistem Pengupahan Berbasis Struktur dan Skala Upah serta Produktivitas
Indikator Kinerja
Jumlah perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Kondisi
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya
Target 2016
Realisasi 2016
100 perusahaan
125 perusahaan
125 perusahaan
Target Renstra s.d 2019
Capaian Kinerja 100%
1000 perusahaan
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 22,50%
Capaian sampai dengan 2016 adalah 225 perusahaan
hubungan
industrial
masih
dihadapkan
pada
persoalan
pengupahan. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman (safety net) agar tingkat upah yang diterima pekerja/buruh tidak jatuh hingga level yang sangat rendah akibat ketidakseimbangan pasar kerja. Namun dalam pelaksanaannya, penetapan upah minimum belum dapat terlaksana sesuai harapan. Hal ini terlihat dimana pengusaha cenderung memberlakukan upah minimum sebagai standar upah di perusahaan, di sisi lain pekerja/buruh mengganggap
upah
minimum
sebagai
sarana
untuk
meningkatkan
kesejahteraan sehingga pekerja/buruh cenderung menuntut kenaikan upah minimum yang relatif tinggi. Oleh karena itu, Pemerintah sangat berkepentingan agar pengusaha tidak menjadikan upah minimum sebagai standar upah yang berlaku di perusahaan, sehingga dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan diwajibkan kepada pengusaha untuk menyusun dan mengimplementasikan struktur dan skala upah di perusahaan. Dengan diterapkannya struktur dan skala upah di perusahaan tentu akan mewujudkan pengupahan yang berkeadilan di perusahaan yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan produktivitas. Mengingat pentingnya penyusunan dan penerapan struktur dan skala upah dalam mewujudkan upah yang adil dan efektif untuk pemenuhan kehidupan Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
21
yang layak dan mendorong peningkatan produktivitas, maka pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menargetkan bertambahnya jumlah perusahaan yang menyusun dan menerapkan stuktur dan skala upah sebanyak 100 perusahaan dan telah terealisasi 100% atau 100 perusahaan. Sementara pada tahun 2016, target penambahan jumlah perusahaan yang menyusun dan menerapkan stuktur dan skala upah adalah sebanyak 125 perusahaan dan telah terealisasi 100% atau 125 perusahaan. Bila membandingkan target selama 5 tahun (2015-2019) sebanyak 1.000 perusahaan dengan capaian tahun 2015-2016 sebayak 225 perusahaan, menunjukan bahwa capaian Ditjen PHI dan Jamsos sampai dengan saat ini baru sebesar 22,5%. Dengan demikian, target yang masih harus dipenuhi adalah sebanyak 775 perusahaan. Agar target tersebut dapat tercapai secara keseluruhan, Ditjen PHI dan Jamsos akan terus melaksanakan pelatihan Penyusunan Stuktur Skala Upah baik kepada perusahaan-perusahaan maupun kepada pejabat/pegawai teknis di bidang hubungan industrial. Mengingat penyusunan struktur dan skala upah telah ditetapkan sebagai norma yang bersifat wajib dan berlaku bagi semua skala usaha, serta adanya ketentuan pengenaan sanksi bagi pengusaha yang melanggar, maka agar hal tersebut dapat berjalan efektif
Ditjen PHI dan
Jamsos juga sudah mempersiapkan peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Struktur dan Skala Upah. 4. PENINGKATAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL BAGI TENAGA KERJA Indikator : Persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
Indikator Kinerja
Persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya
Target 2016
Realisasi 2016
Capaian Kinerja
Target Renstra s.d 2019
18.988.996
30%
45,65% atau 21.254.010 orang
152,17%
100%
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 45,65%
22
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Pada dasarnya semua pekerja/buruh mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dari jumlah tenaga kerja formal/penerima upah di tahun 2014, yang menjadi peserta jamsostek aktif adalah sebanyak 13.012.856 orang, sehingga masih banyak pekerja yang belum terlindungi oleh program jaminan sosial. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja ikut mendorong peningkatan kepesertaan pekerja/buruh dalam program jaminan sosial tenaga kerja baik melalui pengaturan regulasi maupun melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja di pusat maupun daerah melalui pemberian dana dekonsentrasi. Di tahun 2016, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menargetkan Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan menjadi sebanyak 13.967.663 orang atau 30% dari jumlah penduduk yang bekerja formal di tahun 2014 (46.558.877 Orang).
Upaya yang telah dilakukan Ditjen PHI dan Jamsos di tahun 2016
terkait peningkatan kepesertaan, yaitu melalui pelaksanaan kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi Jaminan Sosial Nasional dan Bimbingan Teknis Advokasi Jaminan Sosial bagi SP/SB. Berdasarkan data yang bersumber dari BPJS Ketenagakerjaan, pada tahun 2016 tenaga kerja penerima upah yang menjadi peserta aktif dalam program jaminan sosial tenaga kerja mencapai 21.254.010 orang atau 45,65% dari jumlah penduduk yang bekerja formal di tahun 2014. Dengan demikian, capaian kinerja untuk indikator ini mencapai 152,17%. Meskipun target yang telah ditetapkan dapat tercapai, namun masih terdapat permasalahan terkait dengan Jaminan sosial tenaga kerja antara lain berkaitan dengan kurangnya kesadaran para pengusaha dan pekerja/buruh akan pentingnya program jamsos sebagai salah satu bentuk perlindungan Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
23
tenaga kerja. Belum semua perusahaan wajib jamsos mengikuti program jamsos, masih terdapat perusahaan yang hanya mengikutsertakan sebagian pekerja/buruh dan sebagian program. Atau dengan kata lain cakupan kepesertaan program jamsos yang belum maksimal, dikarenakan masyarakat masih menganggap jaminan sosial bukan sebagai investasi SDM tetapi sebagai labour cost. Terkait dengan kondisi dan masih terdapatnya masalah seperti tersebut di atas, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja akan terus berupaya untuk melakukan sosialisasi secara terus menerus tentang program jamsos kepada pekerja atau SP/SB dan pengusaha, terutama dengan adanya pembaruan sistem jaminan sosial nasional. Selain itu, diharapkan peran dan dukungan pihak-pihak lain yang peduli terhadap perlindungan tenaga kerja untuk terus menerus melakukan pembinaan dan penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. MENINGKATNYA PENCEGAHAN DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Indikator : Presentase peningkatan perusahaan yang memiliki tingkat kerawanan hubungan industrial label hijau
Indikator Kinerja Persentase peningkatan perusahaan yang memiliki tingkat kerawanan hubungan industrial label hijau
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya
Target 2016
Realisasi 2016
Capaian Kinerja
Target Renstra 2019
-
29,00%
28,82%
99,38%
50%
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) 57,64%
Untuk meminimalisir timbulnya perselisihan diperlukan adanya pembinaan secara terus-menerus kepada pengusaha maupun pekerja, yang dilakukan oleh petugas teknis mediator hubungan industrial. Dalam rangka mengefektifkan pembinaan perusahaan maka diperlukan adanya suatu alat (tools) melalui penilaian hubungan industrial di perusahaan. Dari hasil penilaian tersebut dapat kita lihat potret hubungan industrial dari suatu perusahaan. Perusahaan
yang
berlabel
hijau
adalah
perusahaan
besar
yang
mempekerjakan 100 orang atau lebih pekerja/buruh, dan memiliki sarana Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
24
hubungan industrial serta melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan (normatif) dengan baik. Jumlah perusahaan besar pada tahun 2014 adalah sebanyak 35.363 perusahaan, dari jumlah tersebut sebanyak 25,94% atau 9.172 perusahaan merupakan perusahaan yang berlabel hijau. Untuk tahun 2015 indikator ini belum di targetkan sehingga belum dianggarkan. Sementara di tahun 2016 ditargetkan perusahaan yang memiliki kerawanan hubungan industrial berlabel hijau sebanyak 10.255 perusahaan atau 29% dari jumlah perusahaan besar pada tahun 2014. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain Penerapan Audit Perusahaan Aman Hubungan Industrial, Pelatihan Tata Cara Penilaian Perusahaan Aman Hubungan Industrial, Penanganan Mogok Kerja/Unjuk Rasa dan Penutupan Perusahaan (Lockout) serta dengan menyusun Pedoman Audit Hubungan Industrial. Pada akhir tahun 2016, jumlah perusahaan yang berlabel hijau bertambah sebanyak 1.020 perusahaan, sehingga jumlah perusahaan yang berlabel hijau pada tahun 2016 menjadi 10.192 perusahaan atau 28,82% dari jumlah perusahaan besar di tahun 2014. Sehingga capaian kinerja untuk indikator ini adalah 99,38%. Target renstra pada 2019 adalah akan ada sebanyak 17.682 perusahaan berlabel hijau atau 50% dari jumlah perusahaan besar di tahun 2014. Berkenaan dengan hal tersebut, maka bila dibandingkan capaian di 2016 dengan target renstra di 2019 baru mencapai 57,64%. Untuk mencapai target akhir masih diperlukan tambahan 7.490 perusahaan berlabel hijau, hal tersebut harus dicapai selama tahun 2017 s.d 2019.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
25
Indikator : Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
Indikator Kinerja
Kondisi/ Realisasi tahun sebelumnya
Target 2016
Realisasi 2016
Capaian Kinerja
Target Renstra 2019
91,84%
60%
65,71%
109,52%
75%
Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
Pencapaian Target Renstra Sampai Dengan 2016 (%) -
Perselisihan hubungan industrial timbul karena perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, disamping itu tuntutan akan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup pekerja menjadi salah satu akibat timbulnya perselisihan. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun, apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan Industrial). Selanjutnya, bila penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan Industrial tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Tahun 2016, jumlah kasus hubungan industrial yang masuk adalah sebanyak 1.680 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.104 kasus telah diselesaikan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui Mediasi. Dengan membandingkan jumlah kasus yang berhasil diselesaikan di luar Pengadilan Hubungan Industrial
oleh Mediator terhadap jumlah kasus yang masuk, maka
diperoleh persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator Hubungan Industrial sebesar 65,71%. Persentase tersebut lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan yaitu sebesar 60%, sehingga capaian kinerja adalah sebesar 109,52%. Kondisi di Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
26
tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2015 jumlah kasus hubungan industrial yang masuk adalah sebanyak 1.263 kasus dan yang diselesaikan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui Mediasi sebesar 91,84% atau 1.160 kasus. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan di athun 2015 yaitu sebesar 55%. Capaian kinerja dalam 2 (tahun) terakhir yang selalu di atas target yang ditetapkan, dapat terwujud atas berbagai upaya yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kemampuan (skill) tenaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan, berupa pelatihan-pelatihan dalam bentuk bimbingan teknis, forum kosultasi/dialog antara Mediator HI, Serikat Pekerja/Buruh dan perusahaan. Kondisi Mediator saat ini masih belum sesuai kebutuhan. Secara kuantitas jumlah Mediator yang ada hanya sebanyak 830 orang, sedangkan kebutuhan Mediator adalah 2.794 orang sehingga terdapat kekurangan Mediator sebanyak 1.964 orang. Sementara secara kualitas, Mediator HI di daerah sudah dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, namun dalam hal pembuatan anjuran yang baik dan benar masih perlu ditingkatkan melalui kegiatan bimbingan dan
pelatihan seperti pelatihan pencegahan dan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, bimbingan teknis pembentukan jabatan fungsional Mediator HI, termasuk juga pemberian biaya penyelesaian kasus oleh Mediator HI. Dari hasil pengukuran pencapaian sasaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
selama tahun 2016
dengan menggunakan formulir pengukuran kinerja, terlihat bahwa capaian kinerja tertinggi adalah sebesar 7.916% yaitu pada sasaran : Peningkatan program jaminan sosial bagi tenaga kerja dengan indikator Persentase Tenaga Kerja Bukan Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan terdapat indikator kinerja yang capaian kinerjanya masih di bawah target yaitu pada sasaran pengembangan pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan indikator Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI. Pencapaian kinerja yang mencapai 100% atau lebih menandakan Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
27
efektifnya kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian masingmasing indikator kinerja, sedangkan untuk indikator yang capaiannya kurang dari 100% diakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan kegiatan yang telah disusun dalam dokumen perencanaan. Persentase capaian kinerja masing-masing indikator kinerja program dapat dilihat pada gambar berikut :
Capaian Kinerja (%)
Meningkatnya persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
109,52 99,38
Meningkatnya persentase perusahaan yang memiliki tingkat kerawanan hubungan industrial label hijau
152,17
Meningkatnya persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan Meningkatnya jumlah perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas Jaminan Sosial Tenaga Kerja
100,00
Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
100,68
Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP)
100,80
Meningkatnya persentase LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif
100,00 0
25
50 75 100 125 150 Persentase Capaian Kinerja
Gambar : Persentase Capaian Kinerja Indikator Kinerja Program Ditjen PHI dan Jamsos
B.
PEMECAHAN MASALAH Bahwa melalui pelaku hubungan industrial yang profesional dan sarana hubungan industrial yang berkualitas serta melalui kebijakan pemerintah yang memberikan iklim yang kondusif bagi peningkatan perlindungan tenaga kerja dan usaha serta perbaikan syarat-syarat kerja diharapkan dapat mewujudkan kondisi hubungan industrial yang dapat mendukung kelangsungan usaha dan membawa peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan beberapa langkah untuk terus meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja khususnya terhadap sasaran yang belum tercapai secara sempurna, sebagai berikut : a.
Melakukan berbagai dialog sosial, baik secara tripartit atau bipartit
b.
Meningkatkan
komunikasi,
koordinasi,
dan
kerjasama
lintas
sektor/instansi/lembaga terkait, serta membangun komitmen bersama untuk Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
28
menjadikan hubungan industrial sebagai hal yang strategis dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh, kemajuan usaha, memperluas kesempatan kerja, serta untuk mengurangi pengangguran; c.
Meningkatkan pemahaman para pelaku hubungan industrial dan masyarakat melalui
kegiatan
sosialisasi/penyuluhan/bimbingan/pelatihan
dibidang
peraturan perundang-undangan mengenai hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja secara berkesinambungan.
C.
REALISASI ANGGARAN Untuk mendukung pencapaian program pengembangan hubungan industrial dan peningkatan jaminan sosial tenaga kerja tahun 2016, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mendapatkan alokasi anggaran (setelah pemotongan) sebesar : Rp239.497.430.000,- (Dua ratus tiga puluh sembilan miliar empat ratus sembilan puluh tujuh juta empat ratus tiga puluh ribu rupiah), namun ada self blocking sebesar Rp36.909.471.000, (tiga puluh enam miliar sembilan ratus sembilan juta empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) sehingga pagu anggaran menjadi Rp202.587.959.000 (dua ratus dua miliar lima ratus delapan puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh sembilan ribu rupiah) dengan realisasi anggaran per 31 Desember 2016 adalah sebesar
Rp188.523.655.422,- (seratus delapan puluh delapan miliar lima ratus dua puluh tiga juta enam ratus lima puluh lima ribu enpat ratus dua puluh dua rupiah) atau senilai 78,72 % dari pagu sebelum self blocking atau 93,05 % dari pagu akhir. Realisasi anggaran yang dialokasikan di pusat dan di daerah melalui dana dekonsentrasi dapat dilihat pada tabel di bawah. PAGU DAN REALISASI KEUANGAN DITJEN PHI DAN JAMSOS PER KEGIATAN
1.
Pengelolaan Kelembagaan dan Kerjasama Hubungan Industrial
42.276.704.000
PAGU REALISASI SETELAH BLOKIR 35.576.849.000 34.606.374.046
2.
Pengelolaan Persyaratan Kerja, Kesejahteraan dan Analisis Diskriminasi
26.470.469.000
23.175.993.000 22.325.856.140
84,34
96,33
3.
Peningkatan Penerapan Pengupahan
24.087.313.000
20.201.782.000 19.648.853.307
81,57
97,26
4.
Peningkatan Penerapan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
6.395.506.000
13.587.260.000 13.050.332.323
79,60
96,05
NO
KEGIATAN
PAGU
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
%
% ke blokir
81,86
97,27
29
5
Konsolidasi Pelaksanaan Peningkatan Intensitas Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
27.956.250.000
23.775.116.000 23.107.197.100
82,65
97,19
6
Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
102.311.188.000
86.270.959.000 75.785.042.506
74,07
87,85
78,72
93,06
JUMLAH (I + II)
239.497.430.000 202.587.959.000 188.523.655.422
PAGU DAN REALISASI KEUANGAN DITJEN PHI DAN JAMSOS PER INDIKATOR KINERJA No 1
2
3
4
5
Sasaran Program Penguatan kelembagaan hubungan industrial Peningkatan penerapan syaratsyarat kerja dan prinsip-prinsip non diskriminasi
Indikator Kinerja Persentase LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif
Pagu 9.951.030.000
Pagu Setelah Blokir 8.031.128.000
%
7.877.702.923
79,16
98,09
79,5
96,84
80,04
98,41
80,70
96,35
78,73
96,61
a. Persentase Perusahaan yang membuat Peraturan 10.528.369.000 8.641.614.000 8.368.679.536 Perusahaan (PP) b. Persentase Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Pengembangan Jumlah perusahaan yang sistem menerapkan sistem 2.855.860.000 2.322.772.000 2.285.783.100 pegupahan yang pengupahan berbasis struktur mendukung dan skala upah serta keadilan, produktivitas kesejahteraan dan produktivitas Peningkatan a. Persentase Tenaga Kerja program jaminan Penerima Upah yang 14.309.030.000 11.985.069.000 11.547.629.973 sosial bagi tenaga menjadi peserta BPJS kerja Ketenagakerjaan b. Persentase Tenaga Kerja Bukan Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan Pengembangan a. Persentase peningkatan pencegahan dan perusahaan yang memiliki 18.981.718.000 15.469.908.000 14.944.892.400 penyelesaian tingkat kerawanan perselisihan hubungan industrial label hubungan hijau industrial b. Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
% ke blokir
Realisasi
30
BAB IV PENUTUP Pembinaaan hubungan idustrial diselenggarakan untuk menciptakan suasana hubungan
kerja yang harmonis, dimana pekerja dapat bekerja dengan tenang
usahapun dapat dikembangkan secara layak, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja bersama keluarganya. Hubungan industrial yang yang harmonis juga merupakan salah satu syarat penting agar kita mampu besaing dengan negara lain dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara (MEA). Ke depan, dalam rangka mewujudkan kondisi hubungan industrial yang lebih harmonis tentunya diperlukan perubahan mindset/sikap dasar dari pelaku hubungan industrial untuk saling menghargai dan menghormati peran dari masing-masing pihak. Pemberi kerja harus menjadikan pekerja sebagai mitra dalam berusaha, sebaliknya pekerja yang berorientasi hanya pada tuntutan kesejahteraan berubah menjadi mitra pengusaha dalam kelanggengan perusahaan. Segala perselisihan yang terkadang timbul yang melibatkan pekerja/buruh dan pengusaha harus segera diselesaikan melalui dialog-dialog dan melalui sarana hubungan industrial yang ada di perusahaan. Begitu pula dengan substansi hukum, integritas/profesioalisme aparat, termasuk program dan kegiatan harus diorientasikan pada upaya mendukung pencapaian hal tersebut. Semoga Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
tahun 2016
yang merupakan salah satu
bentuk
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Tahun Anggaran 2016 dapat bermanfaat dan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk penyempurnaan dokumen perencanaan periode yang akan datang dan penyempurnaan berbagai kebijakan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja.
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
31
LAMPIRAN : PERJANJIAN KINERJA
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
1
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
2
FORMULIR PENGUKURAN KINERJA NO
SASARAN STRATEGIS
INDIKATOR KINERJA
TARGET
REALISASI
CAPAIAN KINERJA
PAGU PROGRAM REVISI
1
Penguatan kelembagaan hubungan industrial
2
Meningkatnya kesejahteraan dan penerapan non diskriminasi melalui pengaturan syarat kerja
3
Pengembangan sistem pegupahan yang mendukung keadilan, kesejahteraan dan produktivitas
4
Peningkatan program jaminan sosial bagi tenaga kerja
5
Pengembangan pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Persentase LKS Bipartit yang berfungsi secara efektif
28,00%
28,00%
1 Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Peraturan Perusahaan (PP)
22,60%
22,62%
2 Persentase Peningkatan Perusahaan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
6,12%
6,16%
100,68%
125 perusahaan
125 perusahaan
100%
6,5%
17,41%
267,85%
2 Persentase Tenaga Kerja Bukan Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
2%
158,31%
7916%
1. Persentase peningkatan perusahaan yang memiliki tingkat kerawanan hubungan industrial label hijau
29,00%
28,82%
99,38%
60%
65,71%
109,52%
Jumlah perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah serta produktivitas Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1 Persentase Tenaga Kerja Penerima Upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan
2. Persentase penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan hubungan industrial oleh Mediator HI
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
100% Program pengembangan hubungan industrial dan peningkatan jaminan sosial tenaga kerja 100,08%
202.587.740.000
REALISASI 188.523.655.422
% 93,06
1
DATA PENDUKUNG A.
LEMBAGA KERJA SAMA (LKS) BIPARTIT 17000
16168
16000
16365
16657
15376
15000 13912
14339 LKS BIPARTIT
14000 13000 12000 2011
B.
2012
2013
2014
2015
2016
PERATURAN PERUSAHAAN (PP) DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
70000 60000 50000
51895 45852
56981
59340
61973
45969
40000
PP
30000 20000
PKB
11137
11435
12113
12762
12998
13371
10000 0 2011
2012
2013
Laporan Kinerja Ditjen PHI dan Jamsos Tahun 2016
2014
2015
2016
1