LAPORAN KEGIATAN (TRAINING REPORT) LAPORAN PELAKSANAAN PELATIHAN PEMAHAMAN PERSYARATAN SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK) UNTUK INDUSTRI PENGOLAH KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN RAKYAT/LAHAN MASYARAKAT
WAKTU PELAKSANAAN SEMARANG, 28 NOVEMBER – 2 DESEMBER 2011
ITTO Project TFL-PD 010/09 REV.1 (M) JAKARTA,
DESEMBER 2011
1
Tim ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M) Lasmini Irebella Siswondo Ditha Astriani Dwi Kirana Alamat-alamat : ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (m) Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 7 Ruang 715 Wing B Jl. Gatot Subroto – Senayan Jakarta 10270 T. +62 21 574 7056 F. +62 21 574 7056 E-mail :itto
[email protected] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blik I Lantai 5 Jl. Gatot Subroto – Senayan Jakarta 10270 T. +62 21 5730381 F. +62 21 5730381 Website : www.dephut.go.id The International Tropical Timber Organizatition (ITTO) 5th floor, International Organization Center Pacifico Yokohama, 1-1-1 Minato-Mirai, Nishi-ku Yokohama 220 – 0012, Japan T.81 45 223 1110 F.81 45 229 1111 E-mail :
[email protected] Website : www.itto.or.jp Cover Depan : Dokumentasi foto koleksi ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M)
2
DAFTAR ISI I.
PENDAHULUAN 1. Latar belakang 2. Maksud dan tujuan 3. Keluaran yang diharapkan II. ORGANISASI DAN PELAKSANAAN 1. Dasar Hukum Pelaksanaan 2. Waktu dan tempat pelaksanaan 3. Panitia Pelaksana 4. Instruktur dan Fasilitator III. PESERTA PELATIHAN 1. Syarat peserta 2. Peserta IV. METODOLOGI PELATIHAN 1. Teori 2. Diskusi 3. Praktek 4. Materi Diklat V. MATERI PELATIHAN 1. Bina Suasana dan Kecerdasan Spiritual 2. Kebijakan SVLK 3. Pengenalan Sistem dan Standard VLK 4. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan 5. Aspek Hukum/Legalitas Kayu Hutan Hak di Industri 6. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK 7. Prinsip-prinsip Ketelusuran Pergerakan Bahan Baku 8. Konsep Pembinaan Industri Pengolah Kayu Rakyat VI. PELAKSANAAN PELATIHAN 1. Kemampuan pemateri 2. Pemahaman peserta 3. Diskusi 4. Evaluasi VII. PRAKTEK LAPANGAN VIII. KESIMPULAN dan SARAN 1. Kesimpulan 2. Saran
3 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 9 10 11 12 15 19 21 21 22 23 24
Lampiran-lampiran
3
I.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, dinyatakan bahwa hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Ini berarti bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang telah dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah hutan rakyat diusahakan tidak pada hutan Negara. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, pada Pasal 103 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya, wajib mengembangkan hutan hak/rakyat melalui fasilitasi, penguatan kelembagaan, dan sistem usaha. Hal ini tentunya memperkuat kebijakan Kementerian Kehutanan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 421/Menhut-II/2006 tentang Fokus-fokus kegiatan pembangunan kehutanan, bahwa pengembangan hutan rakyat telah menjadi bagian dalam kegiatan pembangunan kehutanan. Peranan hutan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan kayu lokal, kebutuhan industri perkayuan dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan sosial ekonomi masyarakat semakin dibutuhkan seiring dengan semakin terbatasnya pemenuhan kayu dari hutan alam. Tingginya laju deforestasi dikarenakan maraknya aktivitas pembalakan liar, perdagangan kayu illegal, alih fungsi kawasan tidak sesuai prosedur, perambahan kawasan, kebakaran hutan dan tindak kejahatan hutan lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan potensi hutan alam semakin menurun dan tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan kayu nasional setiap tahunnya. Akibat defisit bahan baku kayu yang bersumber dari hutan alam, maka telah terjadi perubahan orientasi sumber bahan baku dari hutan alam ke bahan baku alternatif “Kayu Rakyat”. Pergeseran orientasi mendongkrak nilai ekonomis kayu rakyat dan mengeliatkan perdagangan kayu rakyat di pasar lokal maupun tujuan ekspor. Sebagian besar industri pengolah kayu terutama di Pulau Jawa, saat ini menggunakan bahan baku yang berasal dari kayu rakyat (hutan hak atau Hutan Rakyat). Oleh karena itu posisi keberadaan dan eksistensi hutan rakyat atau hutan hak sebagai pemasok bahan baku kayu ke industri di Pulau Jawa sangat strategis. Pertanyaan mendasar mengapa Hutan Rakyat perlu mendapat perhatian ? hal ini patut dipertimbangkan mengingat 1). Hutan negara sudah tidak mampu secara lestari mencukupi permintaan akan kayu, 2). Di beberapa daerah produksi kayu dari 4
hutan rakyat sudah lebih banyak dari produksi kayu hutan negara, 3). Membuka peluang pertumbuhan ekonomi dan kesempatan berusaha untuk daerah, 4). Mengurangi tekanan terhadap pembalakan di hutan negara. Setelah berkembangnya hutan rakyat, tentunya hutan rakyat harus dikelola secara berkelanjutan, dengan pertimbangan 1). Di beberapa daerah hutan negara luasnya tidak cukup untuk berperan dalam perlindungan lingkungan, 2). Menekan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan dalam pemanfaatannya, 3). Menjamin keberlanjutan hasil dari hutan rakyat, 4). Tuntutan pasar atas hasil hutan dari sumber yang legal dan dikelola dengan pendekatan ramah lingkungan. Pertanyaan berikutnya, mengapa hutan rakyatpun perlu disertifikasi ? tentunya ini sudah menjadi persyaratan atau piranti untuk mengatur transaksi dalam sistem perdagangan dunia, selain itu juga tumbuh kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya penyelamatan hutan, melalui penerapan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan maupun adanya permintaan pasar, lembaga donor atau investor atas sertifikasi hutan atau hasil hutan. Dalam rangka menjamin legalitas hak dan kepastian hukum atas kayu yang berasal dari pengelolaan hutan hak atau lahan masyarakat, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 51/Menhut-II/2006 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2006 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 33/menhut-II/2007 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SAKU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal dari Hutan Hak. Implementasi Peraturan Menteri Kehutanan tersebut di atas, belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaku usaha akibat minimnya sosialisasi (keterbatasan anggaran) oleh jajaran instansi kehutanan pusat maupun daerah untuk menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Sedangkan salah satu persyaratan untuk mendapatkan sertifikat legalitas hasil hutan adalah menjalankan atau mematuhi setiap segmen dalam penatausahaan hasil hutan yang berlaku. Untuk keberhasilan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diperlukan pelatihan kepada para pelaku usaha khususnya industri pengolah kayu dengan membekali pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk menerapkan sistem verifikasi legalitas kayu sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutananan No. 38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengolahan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Ijin atau pada Hutan hak dan Peraturan Direktur Jenderal No. P.06/VI-Set/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari dan Verifikasi Kayu dan Peraturan Direktur Jenderal BPK No. P.02/VI-BPPHH/2010.
5
2. Maksud dan Tujuan Maksud penyelenggaran diklat pemahaman Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ini dimaksudkan agar industri yang menggunakan kayu dari sumber hutan rakyat dapat mengetahui dan memahami prosedur dan protokol dalam pelaksanaan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin. Tujuan diberikan pembekalan kepada para pelaku industri pengolahan kayu berbasis kayu rakyat adalah agar pelaku usaha dapat memahami kerangka logika dan memahami tentang konsep SVLK dan peraturan perundangan yang terkait lainnya untuk meningkatkan kemampuan individu peserta menuju penerapan sistem verifikasi legalitas kayu. 3. Keluaran Yang Diharapkan Dari hasil pelatihan ini, diharapkan para peserta dapat : a. Memahami kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu yang berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat. b. Mampu menggambarkan situasi penerapan sistem verifikasi legalitas kayu pada hutan rakyat/pemilik lahan c. Memahami prosedur & persyaratan penilaian SVLK pada Hutan Rakyat/ lahan masyarakat. d. Memahami kelembagaan untuk SVLK pada Hutan Rakyat/lahan masyarakat. e. Memahami sistem dokumentasi/arsip dokumen unit manajemen hutan rakyat/lahan masyarakat. 4. Materi Diklat Berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan No. SK 114/Dik-22011 tanggal 8 September 2011 untuk diklat pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri kayu, telah ditetapkan jumlah mata diklat sebanyak 36 jam, terdiri dari teori 20 jam dan praktek 16 jam, sebagaimana tabel 1 berikut : Tabel 1 : NO.
Daftar materi pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolahan kayu yang berasal dari hutan hak : MATA DIKLAT
I. TEORI 1. Bina Suasana Diklat (Dinamika Kelompok) 2. Kebijakan SVLK dalam konteks perdagangan hasil hutan (PUHH hutan rakyat) 3. Pengenalan Sistem dan standard VLK pada Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat
JPL 20 1 3 3
6
NO.
MATA DIKLAT
4. Peraturan bidang penatausahaan hasil hutan di Industri Pengolah dan pengguna kayu rakyat 5. Aspek hukum/legalitas dalam industri pengolah dan pengguna kayu rakyat 6. Prosedur dan Protokol dalam Pelaksanaan Penilaian VLK pada unit pemegang izin 7. Prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan/pergerakan bahan baku pada Industri pengguna kayu rakyat 8. Konsep pembinaan Industri pengolah dan pengguna kayu rakyat terhadap pemasok, dan petani pemilik hutan rakyat/lahan masyarakat.
3 2 4 2 2
16
II. PRAKTEK 1. Simulasi dan praktek penerapan VLK di Industri Pengolah dan pengguna kayu rakyat JUMLAH II.
JPL
16 36
ORGANISASI DAN PELAKSANAAN 1. Dasar Hukum Pelaksanaan Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu yang berasal dari hutan hak/rakyat, didasarkan pada : a. Project document, Project agreement, dan dokumen 2th Yearly Plan of Operation ITTO TFL-PD 010/09 Rev.1 (M). b. Surat Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor 132/Set2/2011 tanggal 23 Agustus 2011. c. Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Nomor SK.114/Dik-2/2011 tanggal 8 September 2011. 2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu yang berasal dari hutan hak/rakyat, dimulai tanggal 28 November – 2 Desember 2011, bertempat di Plaza Hotel, Jl. Setiabudi 201 Semarang. 3. Panitia Pelaksana Panitia pelaksana kegiatan pelatihan, terdiri dari : a. Ketua Panitia : Ir. Lasmini b. Sekretaris : Ditha Astriani Dwi Karina, S.Hum, M.Psi c. Bendahara : Irebella Siswondo, SE
7
4. Instruktur dan Fasilitator Instruktur dan fasilitator pada pelatihan ini berasal dari unsur Birokrasi Kementerian Kehutanan yang memahami kebijakan SVLK, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Penatausahaan Hasil Hutan Hak dan kebijakan industri kehutanan, yaitu : a. Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, M.M (Instruktur) b. Ir. Teguh Widodo, M.Si (Fasilitator) c. Nurcahyo, S.Hut, MAP, MA(Fasilitator) III. PESERTA PELATIHAN 1. Syarat peserta a. Peserta adalah personil yang bertugas dalam pengadaan dan pengolahan bahan baku terutama bersumber dari kayu rakyat. b. Peserta mengerti tentang Penatausahaan hasil hutan rakyat dan dokumen legalitas kayu. c. Peserta mempunyai kemampuan pembuatan laporan penggunaan bahan baku kayu rakyat (RPBBI, LMKB/O) d. Syarat pendidikan minimal SMA/Sederajat 2. Peserta Peserta pelatihan diikuti oleh 20 peserta terdiri dari perusahaan- perusahaan industri perkayuan dengan bahan baku utama berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat serta unsur Asosiasi Mebel Rotan Indonesia (ASMINDO), yang berasal dari wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Utusan perusahaan yang diikutsertakan dalam pelatihan ini pada umumnya terkait langsung dengan proses produksi, dengan tingkat jabatan administrasi sampai tingkat Direktur. Secara lengkap nama dan asal peserta sebagaimana terlampir. IV. METODOLOGI PELATIHAN 1. Teori Pelatihan pemahaman SVLK lebih mengenalkan teori atau peraturan perundangan terkait agar peserta dapat menguasai dasar-dasar kebijakan pengelolaan hutan lestari. 2. Diskusi Untuk lebih memahami teori atau peraturan perundangan, maka kepada para peserta diberikan kesempatan untuk melakukan diskusi dengan para nara sumber terkait dengan praktek-praktek pelaksanaan peraturan yang selama ini dihadapi para peserta selaku pelaku usaha. Diskusi ini juga sekaligus memberikan peluang
8
kepada para peserta untuk memberikan masukan atau saran perbaikan dalam upaya penyempurnaan peraturan perundangan. 3. Praktek Para peserta akan mengunjungi salah satu industri pengolahan kayu yang berbasis kayu rakyat, yaitu PT. Kayu Lapis Indonesia yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah untuk melaksanakan praktek simulasi bagaimana melaksanakan penilaian/verifikasi legalitas kayu. V.
MATERI PELATIHAN 1. Pembukaan pelatihan Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala Bagian Pengembangan Diklat mewakili Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan pada tanggal 28 November 2011, dan dihadiri oleh perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah. Acara pembukaan dimulai pada pukul 19.30 dan berakhir pada pukul 21.00, diawali dengan sambutan Ketua Pelaksana Diklat (Ir. Lasmini) dan sambutan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah (Ir. Ramadhan). Kepala Bagian Pengembangan Diklat (Ir. Udy, M.Sc) pada sambutan pembukaan pelatihan menyatakan bahwa pelatihan pemahaman semacam SVLK ini merupakan kebutuhan untuk menjawab tantangan pasar yang terus berkembang sesuai dengan dinamika pasar hasil hutan kayu di pasar internasional yang diperlukan menekankan akan pentingnya SVLK pada perdagangan hasil hutan kayu pada masa mendatang, karena pada akhirnya nanti semua produk kayu dari Indonesia harus berasal dari sumber yang legal bersertifikat, tidak hanya terbatas pada pasar ekspor, akan tetapi juga akan mengarah pada perdagangan kayu di dalam negeri yang bersertifikat. Secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan kayu bersertifikat legal akan semakin diminati masyarakat dan pada akhirnya produsen kayu olahan akan terdorong oleh kebutuhan pasar yang mengharuskan setiap produk kayu olahan berasal dari sumber yang sah dan bersertifikat. Keuntungan lain dari kayu bersertifikat legal akan mudah untuk menembus pasar ekspor di berbagai negara, dengan harapan juga diikuti dengan perolehan harga premium. Adanya kebijakan SVLK secara mandatory mengharuskan setiap industri perkayuan berorientasi ekspor terutama untuk pasar ekspor Eropa, tentunya sudah menjadi keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap eksportir. Dengan pelatihan pemahaman ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi para peserta yang beruntung diundang dan hadir pada acara ini.
9
Gambar 1 : Kepala Bagian Pengembangan Diklat Ir. Udy, M.Sc. Pada Acara Pembukaan Tanggal 28 November 2011
Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah dalam sambutannya yang disampaikan oleh Ir. Ramadhan, menyampaikan bahwa jumlah industri di Provinsi Jawa Tengah jumlahnya mencapai sekitar 15.000 an unit, yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Melalui Kementerian Kehutanan yang difasilitasi oleh ITTO, pembinaan industri perkayuan di Jawa Tengah dalam rangka menyosong pemberlakuan SVLK, walaupun tidak terhadap seluruh industri perkayuan, namun cukup memberikan dukungan terhadap keberadaan industri di Jawa Tengah. Dinas Perindustrian mengharapkan adanya peningkatan pembekalan kepada perusahaan perkayuan lainnya, tidak berhenti pada 20 industri perkayuan yang mengikuti pembekalan saat ini. Gambar 2 : Sambutan Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah : Ir. Ramadhan
10
2. Bina Suasana dan Kecerdasan Spiritual Fasilitator : Nurcahyo, S.Hut, M.AP, M.A Waktu
: Jam 08.00 – 09.30
Bina suasana diberikan pada saat akan dimulainya kegiatan materi pelatihan, yang dimaksudkan untuk memberikan nuansa pembelajaran yang lebih akrab menuju kebersamaan dalam menjalin kerjasama tim. Hal ini sangat menggugah peserta dalam mengemukakan pendapat yang terbentuk dalam 3 tim yang dinakam tim Pisang, Jambu, dan Mangga. Permainan dalam tim cukup efektif untuk saling mengenal sesama peserta, disertai dengan olah badan untuk menyegarkan pikiran dan fisik. Gambar 3 : Fasilitator tengah menjelaskan jenis permainan yang akan dikuti oleh seluruh peserta
Tujuan pembelajaran Bina Suasana Pelatihan dimaksudkan agar setiap peserta yang mengikuti pelatihan diharapkan mampu saling mengenal dan mengembangkan rasa kebersamaan, sehingga mempunyai semangat yang tinggi dalam mengikuti pelatihan. Dalam pembentukan kelompok, dimaksudkan agar terbentuk suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota satu dengan lainnya, dan berlangsung dalam situasi alami secara bersama-sama. Pembentukan kelompok ini juga nantinya akan bermanfaat dalam mewujudkan target tertentu melalui suatu kerjasama dan menanamkan diantara mereka rasa ketaatan dan tanggung jawa bersama.
11
Gambar 4 : Fasilitator sedang berdiskusi dengan peserta
3. Kebijakan SVLK Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 09.30 – 11.45 Ruang Rapat Alamanda Lampiran 3
Pemateri Ir. Teguh Widodo, M.Si mengalami keterlambatan dalam penerbangan, sehingga pada sesi I diisi oleh Ir. Lasmini terkait dengan kebijakan SVLK. Materi pelatihan ini diberikan agar peserta mampu memahami latar belakang mengapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan SVLK dalam konteks perdagangan hasil hutan, yaitu dengan pertimbangan bahwa : a. Secara ekonomi dan perdagangan, bahwa hutan Indonesia menghasilkan pendapatan bagi jutaan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan dan ekspor produk perkayuan yang berkontribusi pada pendapatan negara. b. Secara politis adanya isu illegal logging, karbon hutan, dan perubahan iklim yang sudah menjadi isu global yang harus disikapi Pemerintah Indonesia untuk ditangani dengan langkah-langkah konkrit. c.
Dari sisi lingkungan, hutan Indonesia memiliki keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi, terancam oleh pembalakan liar dan penyelundupan kayu ilegal.
12
Gambar 5 : fasilitator sedang memperagakan gerakan untuk menyegarkan pikiran
Fasilitator memberikan penjelasan dari sisi tata Kepemerintahan dalam penanganan illegal logging, masih terkendala dengan lemahnya kapasitas pemerintah untuk menyiapkan paket kebijakan yang tepat dan penegakan hukum yang adil, kurangnya konsultasi publik menyebabkan peraturan tidak transparan, kurangnya pendanaan bagi kegiatan politik, kurangnya pendanaan untuk penegakan hukum yang adil, lembaga peradilan yang korup, kompetensi pejabat yang tidak jelas dan standar, dan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak masyarakat. Dampak terjadinya kegiatan illegal logging berdampak terhadap rusaknya fungsi ekologi hutan, berpengaruh terhadap daerah resapan air, terganggunya areal hutan lindung dan taman nasional yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati, dan hilangnya pendapatan pemerintah. Selain itu penegakan hukum terabaikan, memburuknya tata laksana kehutanan, meningkatnya kemiskinan dan konflik sosial, merusak kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia yang berdampak menurunnya daya saing perdagangan komoditi lainnya di pasar global yang sangat merugikan. Terkait dengan kegiatan illegal logging yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim global, maka sejumlah negara menerapkan standar sertifikat bagi produk kayu di pasar dunia. Regulasi yang diterapkan oleh beberaa negara, sebenarnya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari negara-negara konsumen, seperti Jepang memberlakukan Goho Wood/Green Konjuho 2006, Amerika menerapkan Lacey Act 2008, dan Uni Eropa dengan EU Timber Regulation
13
2010. Regulasi ini diikuti oleh negara lain seperti New Zealand, Australia dan lainllain melalui illegal logging Prohibition Bill. Japan’s Guideline for Verification of Legality and Sustainability of Wood and Wood Products, menerapkan prinsip legalitas, yaitu kayu harus dipanen secara sah sesuai ketentuan perundangan yang berlaku di negara produsen kayu, aspek kelestarian dalam arti bahwa kayu harus dipanen dari hutan yang dikelola dengan menerapkan prinsip kelestarian, dan metoda verifikasi dilakukan oleh lembaga verifikasi di bawah asosiasi resmi industri. Di Amerika, melalui Lacey Act, telah melarang perdagangan tumbuhan dan produk dari tumbuhan yang berasal dari sumber illegal, dan mensyaratkan para importir untuk menyediakan berkas pernyataan/deklarasi infomasi untuk menyertai setiap pengiriman tumbuhan ataupun produk dari tumbuhan. Dalam berkas penyataan/deklarasi tersebut harus memuat antara lain nama ilmiah dari setiap species yang digunakan, negara asal/tempat pemanenan, kuantitas/jumlah dan ukuran, dan nilainya. Negara-negara Uni Eropa melakukan kerjasama bilateral yang mengatur perdagangan kayu ke Uni Eropa dengan FLEGT VPA melalui Timber Legality Assurance System (TLAS), yaitu dengan mengidentifikasi dan memberi izin kayu legal dan untuk memastikan hanya kayu legal yang dapat diekspor ke Uni Eropa. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengecekan mulai dari areal pemanenan/penebangan sampai ke pelabuhan ekspor termasuk proses pengolahan di industri kayu. Para peserta diberikan pemahaman apa itu yang dinamakan VPA atau Voluntary Partnership Agreement, yaitu Perjanjian kemitraan sukarela antara negara penghasil kayu dengan Uni Eropa dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangan hasil hutan ilegal. Dengan tujuan untuk menekan masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa, berbagi peran dan tanggungjawab antara negara pengekspor (Indonesia) dengan negara pengimpor (UE). Prinsip kerja VPA adalah tidak diskriminatif, mengikuti hukum di Indonesia, kKewajiban timbal balik (reciprocal obligation), Zero laundring. Melalui SVLK, diharapkan Indonesia dapat mempromosikan kayu legal melalui implementasi standar legalitas pada konsumen, pemasok dan negara produsen, dalam rangka enegakan hukum dan tata kelola kehutanan, mendorong sektor swasta untuk menerapkan kebijakan pasokan kayu legal, merupakan trend dalam perdagangan internasional kayu yang memerlukan bukti legalitas serta sekaligus merupakan komitmen untuk memberantas illegal logging dan perdagangannya melalui pengelolaan hutan lestari dan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
14
Pada bulan Oktober 2010, Uni Eropa mengadopsi Timber Regulation untuk menghambat beredarnya kayu ilegal di pasar Eropa, sehingga SVLK akan mulai efektif berlaku sejak 3 Maret 2013. Kayu yang masuk ke Uni Eropa yang berasal dari negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due diligence (DD). DD dan Timber Regulation tidak berlaku ketika suatu negara eksportir kayu seperti Indonesia menandatangani VPA dengan Uni Eropa. Dengan kesepakatan VPA, akan diperoleh keuntungan, yaitu pasar akan terbukaluas karena terhindar dari isu illegal logging, dan bagi pasar Eropa, kayu Indonesia dengan sertifikat V- Legal akan melalui “Green lone” sehingga tidak sulit memperoleh pengakuan legalitasnya. 4. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 08.45 – 10.45 Ruang Rapat III Lampiran 5
Untuk lebih memahami persiapan pelaksanaan SVLK, maka para peserta diberikan pemahaman tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang merupakan salah satu instrumen yang penting dalam proses SVLK. Penatausahaan Hasil Hutan didasarkan pada status lahan, yaitu pada lahan milik/hutan hak diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003, Pasal 118, yang dinyatakan bahwa semua hasil hutan yang berasal dari hutan hak, dilakukan penetapan jenis, pengukuran volume/berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil hutan hak. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis, pengukuran volume/berat serta surat keterangan asal usul hasil hutan hak diatur dengan peraturan menteri. Implementasi dari Peraturan Pemerintah tersebut di atas, diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 51/Menhut-II/2006 jis. P. 62/Menhut-II/2006 dan P.33/Menhut-II/2007 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Yang Berasal Dari Hutan Hak. Pada intinya Peraturan Menteri dimaksudkan adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi hasil hutan yang berasal dari lahan masyarakat atau lahan hak. Legalitas hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat pada prinsipnya sangat sederhana, yaitu kayu dipanen atau dipungut dari lahan yang mempunyai bukti legalitas atau status lahan yang dibuktikan dengan surat atau dokumen yang diakui sebagai bukti penguasaan atau kepemilikan tanah, serta kayu
15
diangkut dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal usul (SKAU) atau Nota atau SKSKB Cap KR, dimana penggunaannya tergantung dari jenis kayu yang diangkut. Aspek penggunaan dokumen hasil hutan hak, mensyaratkan bahwa setiap komoditas hasil hutan yang berbeda dan asal yang berbeda akan memerlukan surat keterangan yang berbeda, sehingga pengendalian peredarannyapun akan mudah dilakukan. Dalam Penatausahaan Hasil Hutan Hak pada prinsipnya tidak mengatur perizinan, sehingga pemanfaatan hasil hutan hak atau lahan masyarakat tidak diperlukan adanya perizinan termasuk izin penebangan. Kunci utama dalam Penatausahaan Hasil Hutan Hak adalah aspek kepemilikan lahan, yang mensyaratkan status lahan-nya, apakah milik negara atau milik masyarakat. Hal ini penting diketahui, agar tidak menyebabkan terjadinya kerugian Negara. Penggunaan SKAU, pada prinsipnya dimaksudkan untuk : a. Melindungi hak-hak yang merupakan hak milik masyarakat. b. Memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi masyarakat. c. Menghindari campur aduknya penatausahaan kayu yang berasal dari hutan Negara. d. Menghindari penerapan sanksi yang tidak proporsional. 5. Aspek Hukum/Legalitas Kayu Hutan Hak di Industri a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Drs. Djoni Gunawan, B.Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 08.45 – 10.45 Ruang Rapat III Lampiran 6
Untuk lebih memahami aspek legalitas kayu yang berasal dari hutan hak yang diterima industri, maka para peserta diberikan pemahaman tentang aspek hukum atas penerimaan kayu hutan hak. Hal ini penting untuk ketnetraman para pelaku usaha industri dan sekaligus merangsang industri pengolahan kayu terus meningkatkan pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan hak, yang mempunyai dampak multiplier efek bagi peningkatan ekonomi rakyat. Penerbitan dokumen legalitas harus mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan, yang mengalir secara konsisten dengan dokumen-dokumen sebelumnya sejak dari hutan sampai ke tempat tujuan. Artinya, bahwa hasil hutan harus dapat dilacak kebenaran asal usulnya melalui penelusuran dokumen dan fisik kayu (VLO).
16
Gambar 6 : Fasilitator sedang menjelaskan materi PUHH
Hanya industri primer yang sah dan tempat penampungan KO terdaftar yang diberi kewenangan mencetak blanko FA-KO. Petugas Penerbit FAKO diangkat oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dengan pertimbangan teknis dari BP2HP, sekaligus sebagai fungsi kendali. Di setiap TPK, TPK Antara dan TPK Industri, perusahaan wajib membuat LMKB sebagai alat monitoring. Untuk kayu olahan, perusahaan baik industri maupun tempat penampungan terdaftar wajib membuat LMHHOK. Legalitas kayu olahan dinilai dari legalitas izin industrinya, bahan bakunya dan proses pengolahannya. Hak negara (PSDH/DR) diperhitungkan terhadap KB/bahan bakunya yang berasal dari izin sah dan bukan terhadap kayu olahan (tidak ada hak negara yang melekat pada kayu olahan).Verifikasi legalitas kayu olahan dilakukan dengan penelusuran ke legalitas asal usulnya baik terhadap industri maupun bahan bakunya (KB). Untuk dapat membuktikan legalitas kayu dari hutan hak/lahan masyarakat, maka bukti pemilikan lahan harus dilengkapi dengan sertifikat Hak Milik, Letter C atau Girik atau surat keterangan lain yang diakui oleh BPN sebagai dasar kepemilikan lahan, atau Sertifikat Hak Pakai, atau surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan. Sanksi dalam pelanggaran pengangkutan kayu olahan, apabila fisik kayu tidak sesuai dengan dokumen angkutan (FAKO), hal ini merupakan indikasi adanya pelanggaran, sehingga harus dibuktikan legalitas asal usul dan bahan bakunya (KB). Apabila Bahan bakunya (KB) terbukti tidak sah atau industrinya ilegal, maka kayu olahan tersebut tidak sah. Pelanggaran dalam pengangkutan kayu rakyat, misalnya volume fisik lebih besar dari dokumen, maka sepanjang asal usul kayu dapat dibuktikan keabsahannya, cukup dikenakan sanksi administratif yang sifatnya pembinaan. 17
6. Pengenalan Sistem dan Standard VLK a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 08.45 – 10.45 Ruang Rapat III Lampiran 4
Melalui pengenalan Sistem dan Standar VLK, diharapkan peserta mampu memahami latar belakang dan konsep standar Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) dalam perdagangan kayu internasional dan memahami persyaratan pemenuhan standar VLK. Fasilitator pada intinya menekankan bahwa SVLK adalah untuk memenuhi persyaratan legalitas kayu/ produk kayu yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan, yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. Sertifikasi pada dasarnya adalah proses pengabsahan (verifikasi) untuk menunjukkan bahwa suatu produk/proses telah memenuhi persyaratan sesuai dengan standar produk/proses dimaksud, dengan unsur terdiri dari standar, proses verifikasi pemenuhan standar, dan akreditasi. Berdasarkan sifatnya, sertifikasi dibedakan 2, yaitu Voluntary dan Mandatory, yaitu untuk : 1. Voluntary, dilaksanakan secara sukarela, merupakan instrumen pasar/persyaratan perdagangan, dengan kriteria dan indikator disepakti oleh stakeholder (LSM, Akademisi, produsen dan buyer), dan diakreditasi oleh kembaga sertifikasi pengembang sistem seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan FSC, dengan biaya yang ditanggung oleh pemegang izin. 2. Mandatory, wajib dilaksanakan karena berdasarkan pada aturan Pemerintah, sifatnya lebih pada pembinaan, dengan kriteria dan indikator ditetapkan oleh Pemerintah, dengan Lembaga Sertifikasi yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), serta dengan sanksi berdasarkan peraturan perundangan, dengan biaya untuk tahap I oleh Pemerintah dan selanjutnya oleh pemegang izin. Prinsip legalitas kayu atau kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK), meliputi : 18
1. Prinsip, Industri mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah, Unit usaha mempunyai dan menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya, dan keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu olahan. 2. Kriteria, unit usaha (industri pengolahan dan eksportir produk olahan) memiliki izin yang sah. 3. Indikator, industri pengolahan memiliki izin yang sah eksportir produk hasil kayu olahan adalah eksportir produsen yang memiliki izin yang sah, 4. Verifier, (akte pendirian perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, Amdal, IUI/TDI, dan RPBBI), 7. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) : jam 08.45 – 10.45 : Ruang Rapat III : Lampiran 7
Pemberian materi pelatihan tentang prosedur dan protokol dalam penilaian SVLK dimaksudkan agar peserta dapat mengetahui dan memahami prosedur dan protokol dalam pelaksanaan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin. Gambar 7 : Fasilitator sedang menjelaskan kepada peserta diskusi
Lembaga Verifikasi LK yang telah mendapat penetapan Komite Akreditasi Nasional (KAN), ada 8 lembaga, yaitu 1). Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (LVLK-001IDN), PT. Sucofindo (LVLK-002-IDN), PT. Mutuagung Lestari (LVLK-003-IDN), PT. Mutu Hijau Indonesia (LVLK-004-IDN), PT. TUV International Indonesia (LVLK-005-
19
IDN), PT. Equality Indonesia (LVLK-006-IDN), PT. Sarbi Moehani Lestari (LVLK-007IDN), dan PT. SGS Indonesia (LVLK-008-IDN). Permohonan verifikasi dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Permohonan kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang telah mendapat penetapan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). b. LVLK mengkaji permohonan untuk menjamin agar persyaratan verifikasi dipahami dengan jelas dan didokumentasikan, tidak terdapat perbedaan pengertian antara LVLK dan Pemegang Izin, LVLK mampu melaksanakan VLK yang diminta, dan menjangkau lokasi operasi Pemegang Izin. c. Penyelesaian urusan kontrak kerja . Dalam pelaksanaan verifikasi dilakukan melalui tahapan pertemuan pembukaan, verifikasi dokumen dan observasi lapangan, dan pertemuan penutupan. 8. Prinsip-prinsip Ketelusuran Pergerakan Bahan Baku a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Ir. Teguh Widodo, M.Si (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 08.45 – 10.45 Ruang Rapat III Lampiran 8
Materi prinsip-prinsip ketelusuran pergerakan bahan baku diberikan kepada para peserta dapat mengetahui dan memahami prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan pergerakan bahan baku pada pengguna industri kayu (sistem lacak balak di industri) Sertifikasi lacak balak merupakan penilaian satu langkah ke belakang (one step backward) untuk menilai apakah sumber bahan baku kayu yang digunakan oleh industri kayu sudah bersertifikat hutan lestari. Pada prinsipnya sertifikasi lacak balak dilakukan untuk mengetahui kejelasan sistem pergerakan hasil hutan dan kinerja sistem pergerakan hasil hutan. Manfaat sertifikasi lacak balak mempunyai efek ganda, yaitu terhadap konsumen yang berguna untuk membedakan produk kayu dari hutan yang lestari dengan yang tidak, dan terhadap produsen/industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi dan keteraturan administrasi kayu, dan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap produk kayu yang dihasilkan Prinsip lacak balak adalah rangkaian penilaian kebertelusuran kayu dari industri sampai ke sumber bahan baku melalui penilaian administrasi kayu, sehingga didapatkan rantai tak terputus yang menggambarkan asal kayu berasal dari hutan yang diproduksi secara lestari.
20
9. Konsep Pembinaan Industri Pengolah Kayu Rakyat a. b. c. d.
Fasilitator Waktu Tempat Bahan ajar
: : : :
Drs. Djoni Gunawan, B,Sc.F, MM (Ditjen Bina Usaha Kehutanan) jam 08.45 – 10.45 Ruang Rapat III Lampiran 9
Fasilitator menekankan, bahwa pembinaan industri pengolah kayu rakyat lebih diarahkan pada kegiatan yang bersifat hulu dan hilir dan kebijakan pendukung. Perkembangan industri kehutanan berbasis kayu hutan rakyat yang tercatat sampai dengan s/d tahun 2011, terdapat sebanyak 64 industri kehutanan yang berbasis kayu tanaman rakyat, dengan jenis dan kapasitas. Berdasarkan hasil monitoring bahan baku dari hutan alam cenderung menurun, yaitu pada tahun 2005 tercatat 20,50 juta meter kubik, sedangkan pada tahun 2010 hanya mencapai 6,12 juta meter kubik. Pasokan bahan baku mulai tergantikan, dengan pasokan kayu yang berasal dari hutan tanaman (HTI, HR, dan perkebunan) yang meningkat di Tahun 2005 sebesar 11,47 juta meter kubik mejadi 35,82 juta meter kubik di tahun 2010. Hutan tanaman ke depan akan menjadi basis dan tulang punggung industri perkayuan nasional. Untuk itu pola pembinaan yang dikembangkan melalui Sektor Hulu Kehutanan, pembinaan sektor hilir kehutanan, dan kebijakan pendukung. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha industri, maka sejak tahun 2009, Kementerian Kehutanan memberikan penghargaan “Prima Wana Mitra” bagi industri dan Kelompok Tani yang giat melakukan inovasi dan kemitraan dalam pengembangan Hutan Rakyat. Penghargaan Prima Wana Mitra pada Tahun 2009 diberikan kepada 14 industri dan Tahun 2010 diberikan kepada 11 industri dan 15 Kelompok Tani. Pembinaan kemitraan IPHH dan masyarakat dalam pengembangan Hutan Rakyat, dilakukan melalui : a. Penguatan kelembagaan (pembentukan Koperasi atau Kelompok Tani, pembuatan tata hubungan kerja, dll) yang sudah terbentu misalnya: Koperasi Alas Mandiri-KTI, KSU Sumber Graha Sejahtera Karya Mandiri. b. Pembagian bibit. c. Pembangunan kebun bibit rakyat, bibit yang dihasilkan dibeli oleh industri. d. Bimbingan teknis: penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemasaran, dan penatausahaan hasil hutan. e. Sertifikasi Hutan Rakyat Kemitraan. Sebagai contoh KAM-KTI telah memperoleh sertifikasi skema FSC untuk HR Kemitraan di Probolinggo.
21
VI. PRAKTEK LAPANGAN KE INDUSTRI Untuk dapat implementasikan teori yang diperoleh dalam kelas, maka peserta melaksanakan praktek simulasi pada industri primer hasil hutan kayu PT. Kayu Lapis Indonesia, berlokasi di Kendal, Jawa Tengah. PT. Kayu Lapis Indonesia merupakan salah satu industri kayu lapis yang telah mendapatkan sertifikat SVLK, dengan dukungan bahan baku yang berasal dari IUPHHK-HA milik sendiri yaitu PT. Sarpatim Parakantja yang juga telah mendapat sertifikat PHPL serta bahan baku dari hutan rakyat. Tahapan yang dilaksanakan dalam simulasi proses penilaian SVLK pada industri PT. Kayu lapis Indonesia, sebagai berikut : 1. Paparan atau pengenalan kondisi industri disampaikan oleh General Manager, terutama berkaitan dengan proses pengadaan bahan baku, proses pemilahan bahan baku, proses produksi, dan proses barang jadi. 2. Peninjauan lapangan, mulai dari proses bahan baku kayu masuk ke logyard, pemilahan bahan baku, bahan baku diproses mesin rotary, composer, pressing, sizing, sampai dengan proses packing barang jadi di gudang disertai penjelasan mengenai adminstrasi pendokumenan pada tiap tahapan atau proses. 3. Pihak manajemen mempersiapkan dokumen yang berkaitan dengan persiapan penilaian SVLK, yaitu terkait dengan dokumen legalitas izin industri, yaitu berupa akte pendirian perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, Amdal, IUI/TDI, RPBBI, EPTIK, dokumen kontrak jual beli bahan baku kayu, dokumen angkutan kayu (SKSKB/FAKB/SKAU), LMKB/LMHHOK, dokumen PKAPT, ETPIK, PEB, packing list, invoice, B/L, FAKO/Nota Perusahaan, dan dokumen kepabenanan. 4. Praktek simulasi dibagi dalam 3 kelompok, dengan mengambil kelompok yang susag terbentuk pada saat bina suasana, yaitu kelompok mangga, pisang dan jambu. 5. Kelompok Mangga mencermati legalitas usaha, seluruh dokumen legalitas usaha dan kesesuaian dan keabsahan data-data pada setiap dokumen legalitas usaha. 6. Kelompok Pisang mencermati legalitas produksi, yaitu dengan mencermati seluruh sistem produksi yang ada apakah telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Cermati izin kapasitas terpasang dengan realisasi produksi dibandingkan bahan baku yang diolah (rendemen), dengan laporan RPBBI. Mencermati kelengkapan dan keabsahan seluruh dokumen yang terkait dengan produksi, seperti SKSKB/FAKB/SKAU, LMKB, dan laporan produksi (LMHHOK).
22
Gambar 8 : Foto bersama di depan Kantor PT. Kayu Lapis Indonesia
7. Kelompok Jambu mencermati sistem pemasaran yang dijalankan selama ini apakah telah sesuai dengan prosedur yang berlaku, kemudian mencermati kelengkapan dan keabsahan seluruh dokumen pemasaran, seperti FA-KO/Nota Perusahaan, PEB, B/L, Invoice, endorsement. 8. Dari hasil pencermatan dari masing-masing kelompok, hasilnya dipresentasikan oleh perwakilan kelompok, dimana hasil akhir yang diperoleh dari tiap kelompok menunjukan bahwa industri PT. Kayu Lapis Indonesia memang telah memenuhi semua kelengkapan data dan prosedur yang dipersyaratkan oleh SVLK. 9. Terdapat beberapa catatan yang diberikan oleh pihak manajemen terkait dengan hasil perolehan sertifikat SVLK, yaitu : a. Pada prinsipnya yang diperlukan adalah adanya kelengkapan dan ketertiban dalam penyimpanan data adminstrasi. b. Diperlukan sistem atau mekanisme dalam pelacakan dalam setiap simpul pergerakan kayu, dimulai dari kayu bulat diolah, sampai pada tiap tahapan atau simpul dalam pengolahan diperlukan pencatatan yang cermat dan mudah untuk dimonitor. VII. EVALUASI PELAKSANAAN PELATIHAN 1. Kemampuan pemateri Pemateri atau nara sumber cukup mumpuni dalam menyampaikan paparan materinya, yang dilakukan secara sistematis dan mengalir, sehingga dapat segera dipahami oleh peserta pelatihan.
23
Keterbatasan waktu dan kesibukan nara sumber yang seharusnya memberikan paparan sesuai dengan agenda yang telah disusun, tidak semua dapat dipenuhi, sehingga ada beberapa nara sumber yang berhalangan hadir, namun dapat diatasi oleh nara sumber lain yang tetap dapat memberikan kontribusi pemahaman materi yang baik. 2. Pemahaman peserta Secara umum kemampuan para peserta dalam menangkap materi pembelajaran cukup baik, bahkan diantaranya sangat memahami prosedur dan mekanisme yang menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari. 3. Diskusi Pada setiap sesi teori diselingi diskusi untuk lebih memahami materi dan penerapan serta kondisi nyata yang ada dalam pelaksanaan kegiatan industri dalam keseharian. Adapun permasalahan yang muncul pada setiap diskusi, adalah sebagai berikut : a. Kebijakan SVLK Dalam Konteks Perdagangan Hasil Hutan. Dipertanyakan oleh peserta pelatihan, apakah dengan SVLK akan mendapat manfaat baik untuk industri maupun dari nilai tambah yang akan diperoleh dari produk kayu yang bersertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat VLK, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan bagaimana dengan masa berlaku sertifikat, apakah dilakukan valuasi setiap periode tertentu. b. Pengenalan Sistem dan Standar VLK Pada Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat. Selain SVLK, apakah dengan sertifikat yang sudah dimiliki oleh industri pengolah kayu untuk persyaratan perdagangan seperti LEI atau FSC juga akan berlaku di pasar internasional dan disetarakan dengan SVLK. Dalam penilaian legalitas kayu, syaratnya adalah kayu yang dipanen legal, kayu diangkut legal, kayu yang diproduksi dari proses legal, dan kayu yang dijual/dipasarkan secara legal, bagaimana jika dalam salah satu dokumen angkutan hilang apakah dapat diganti dengan surat pernyataan kebenaran penerimaan kayu. c. Peraturan Bidang Penatausahaan Hasil Hutan di Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat. Prosedur penatausahaan hasil hutan sudah dijalankan sepenuhnya, walaupun masih terjadi kekurang-sempurnaan dalam pelalaksanaannya, yang menjadi pokok permasalahan adalah adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan yang menambah beban biaya produksi, seperti dalam pelayanan nomor seri dokumen angkutan kayu olahan, penetapan penerbit dokumen angkutan, pelatihan Ganis, penetapan lokasi gudang industri, dan sebagainya. Di beberapa industri 24
pengolahan kayu lanjutan, terjadi permasalahan pada saat bahan baku berupa kayu gergajian yang akan diangkut ke industri pengeringan kayu (kiln dry) memerlukan dokumen angkutan FA-KO, sehingga IPKL ditetapkan sebagai Perusahaan Penampung Terdaftar agar dapat memperoleh pelayanan penetapan Nomor Seri FA-KO dari Dinas Kehutanan Provinsi. d. Aspek Hukum/Legalitas Dalam Industri Pengolah dan Pengguna Kayu Rakyat. Banyak kasus dijumpai pada pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, terutama pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada saat kayu diangkut menuju industri. Hal ini juga berakibat pada penambahan biaya produksi yang pada akhirnya akan mengurangi daya saing produk olahan di pasar ekspor. Secara yuridis, kayu dari hutan hak atau lahan masyarakat tidak dapat dikenakan sanksi pidana sepanjang kayu yang diperoleh berasal dari lahan yang memilki status kepemilikan yang jelas. Pada hutan hak atau lahan masyarakat tdak terdapat hak-hak negara yang melekat, seperti PSDH atau DR e. Prosedur dan Protokol Dalam Pelaksanaan Penilaian VLK Pada Unit Pemegang Izin. Bagaimana jika industri yang telah mendapat sertifikat mendapat pengaduan dari masyarakat pemantau independen, apakah akan dilakukan audir khusus dan siapa yang berhak untuk melakukan penilaian atas kebenaran laporan tersebut. Dari 8 Lembaga Penilai VK yang telah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN), apakah pemohon dapat mengajukan permohonan VLK terhadap semua lembaga, dengan pertimbangan untuk memperoleh harga penawaran yang kompetitif. f. Prinsip-prinsip ketelusuran perjalanan/pergerakan bahan baku Pada industri pengguna kayu rakyat. Sebagai industri pengguna kayu rakyat, bagaimana jika kayu yang diperoleh dari hutan rakyat atau lahan masyarakat ditemukan kesulitan untuk pelacakan asal kayu, mengingat jangka waktu penilaian diperlukan data-data lama. Kadangkala bahan baku yang dibeli melalui pedagang perantara, yang harus dilengkapi dokumen yang sah, bagaimana teknis pembuktiannya. g. Konsep pembinaan industri pengolah dan pengguna kayu rakyat terhadap pemasok, dan petani pemilik hutan rakyat/lahan masyarakat
25
4. Evaluasi Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK untuk industri pengolah kayu yang berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat dinilai berjalan cukup efektif, selain karena telah diselengarakan untuk kedua kalinya, juga berkat dukungan dan kerjasama yang baik diantara panitia, instruktur, fasilitator dan nara sumber. Pemaparan materi yang diberikan pada saat jam-jam setelah makan siang diselingi dengan pemulihan atau kesegaran fisik melalui energizing yang memang sangat membantu peserta untuk kembali bersemangat dan memberikan nuansa tersendiri dan penuh keakraban. Kurikulum pelatihan 20 jam pelajaran teori dan 16 jam praktek untuk dapat memahami persyaratan dalam SVLK memang belum cukup untuk menguasasi semua materi, namun cukup menjadi bekal para pelaku usaha untuk mengenal dan menuju pelaksanaan SVLK pada industri. VIII. KESIMPULAN dan SARAN 1. Kesimpulan Pelaksanaan pelatihan pemahaman persyaratan SVLK bagi industri pengolah kayu yang berasal dari hutan hak dapat berjalan sesuai dengan agenda, dan tata waktu yang telah ditetapkan, yaitu dibuka pada tanggal 28 November 2011 dan ditutup pada tanggal 1 Desember 2011 serta check out pada tanggal 2 Desember 2011. Berkat dukungan panitia dan fasilitator sebagai pihak yang sangat bermanfaat dalam melakukan transfer pengetahuan, dan disertai dengan dedikasi dan tanggung jawab peserta, sehingga pelatihan dapat berjalan secara tertib dan lancar. Secara umum semua peserta telah memahami prosedur dan persyaratan dalam SVLK, sehingga antara teori dengan praktek dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, sesuai dengan keluaran yang diharapkan, yaitu dapat memahami kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu yang berasal dari hutan rakyat/lahan masyarakat, mampu menggambarkan situasi penerapan sistem verifikasi legalitas kayu pada hutan rakyat/pemilik lahan, mampu memahami prosedur & persyaratan penilaian SVLK pada Hutan Rakyat/ lahan masyarakat, dapat memahami kelembagaan untuk SVLK pada Hutan Rakyat/lahan masyarakat, serta dapat memahami sistem dokumentasi/arsip dokumen unit manajemen hutan rakyat/lahan masyarakat. Dari hasil praktek penilaian persyaratan SVLK yang dilakukan terhadap PT. Kayu Lapis Indonesia, para peserta secara langsung dapat memahami teknik dan mekanisme dalam VLK, disamping ada beberapa perusahaan yang telah 26
mendapat VLO, sehingga dari sebagian peserta sudah lebih mudah untuk memahami mekanisme SVLK. Dengan demikian diharapkan dapat diterapkan dalam mempersiapkan diri menghadapi penilaian yang akan dilakukan oleh Lembaga Penilai. 2. Saran Pelatihan pemahaman persyaratan SVLK sangat membantu industri pengolah kayu berorientasi ekspor, terutama karena pada pelaksanaan pelatihan kali ini tidak terbatas terhadap industri yang mengolah bahan baku kayu yang berasal dari hutan hak saja, akan tetapi juga terhadap industri yang mengolah bahan baku kayu yang berasal dari hutan negara. Hal ini penting mengingat legalitas kayu dari hutan alam lebih kompleks, dan saat ini bahan baku kayu dari hutan alam termasuk hutan tanaman masih cukup besar dalam kontribusi pemenuhan bahan baku industri di dalam negeri.
27