LAPORAN KASUS Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi
MELORHEOSTOSIS
Oleh : dr. Fajar Sinaga Pembimbing: dr. Pande Putu Yuli Anandasari, Sp. Rad
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014
BAB I PENDAHULUAN
Melorheostosis juga dikenal sebagai penyakit Leri, merupakan suatu kelainan displasia mesenkimal yang bermanifestasi atas terjadinya penebalan atau sklerosis pada tulang.1 Penyakit ini sangat jarang ditemui, bersifat non-herediter, jinak, sklerosis mesenkimal/mesodermal terjadi pada tulang-tulang rangka dan jaringan lunak disekitarnya.2 Melorheostosis tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas, namun demikian penyakit ini berhubungan dengan morbiditas fungsional anggota tubuh yang terlibat. Bagian tubuh
yang paling sering terlibat adalah tulang-tulang
panjang anggota gerak bawah.3 Beberapa kasus penyakit ini ditemui secara tidak sengaja, sebelum munculnya tanda dan gejala-gejala penyerta, biasanya rasa nyeri, kaku, dan terbatasnya gerakan sendi atau deformitas. Tanda dan gejala ini yang menyebabkan pasien mengeluh dan mencari pengobatan pada tenaga kesehatan. Onset penyakit ini tidak diketahui, gejala-gejala yang timbul bervariasi, dari tidak ada sampai deformitas berat berupa kontraktur.3,4,5 Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan sebuah kasus melorheostosis yang sangat jarang ditemui pada seorang wanita berusia 34 tahun.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI Pada keadaan normal, sistema tulang merupakan suatu sistema organ yang berubah secara konstan, terdapat keseimbangan dalam proses pembentukan dan resorpsi tulang. Komposisi tulang terdiri dari air sebanyak 25%, substansi organik 30% dan substansi anorganik sebanyak 45%. Substansi anorganik itu berupa persenyawaan kalsium phosfat dan karbonat. Persenyawaan kalsium inilah yang memberikan gambaran opasitas pada pemeriksaan radiografi.6 Terdapat tiga jenis sel yang berperan dalam metabolisme tulang, yaitu: 1. Osteoblas, merupakan sel pembentuk tulang yang memproduksi dan mensekresi kolagen tipe 1 dan mukopolisakarida untuk membentuk matrik tulang yang selanjutnya akan menjadi mineral; 2. Sel osteosit, yaitu sel yang berasal dari osteoblas, pada awalnya berada di permukaan tulang, selanjutnya menyatu dengan tulang; 3. Sel osteoklas, merupakan sel yang berfungsi dalam proses resorpsi tulang dan kartilago.7 Klasifikasi tulang dewasa menurut bentuknya terdiri atas tulang panjang, tulang pipih dan tulang pendek. Tulang panjang secara topografi dibagi menjadi 3 bagian yaitu, epifise, metafise dan diafise. Diantara
epifise dan metafise akan terdapat garis pertumbuhan, disebut sebagai epifiseal line (gambar 1).7 Osifikasi adalah sebuah proses pembentukan tulang. Pembentukan tulang dimulai dari perkembangan jaringan penyambung seperti tulang rawan (kartilago) yang berkembang menjadi tulang keras. Terdapat dua jenis proses pembentukan tulang, yaitu: a. Osifikasi endokondral: pembentukan tulang dari tulang rawan, terjadi pada tulang panjang; b. Osifikasi intramembranosus: pembentukan tulang dari mesenkim, seperti tulang pipih pada tengkorak.6,8 Osifikasi intramembran terjadi pada saat sel-sel embrional (mesenkim) aktif membelah diri membentuk sel-sel tulang muda yang disebut osteoblas. Osteoblas yang terbentuk, kemudian mensekresi matriks tulang yang disebut osteoid kedalam ruang interseluler yang kaya akan serabut kolagen. Selanjutnya, proses yang terjadi adalah pembentukan pembuluh darah pada jaringan tulang yang akan berfungsi untuk membawa kalsium dan fosfat. Kalsium dan fosfat ini kemudian mengendap pada ruang interseluler hingga mengeras dan osteoblas akan menjadi osteosit. Pembentukan osteoid yang membentuk jaringan secara acak akan menghasilkan sebuah jalinan tulang seperti jala yang disebut trabekula. Trabekula berproses membentuk tulang spons yang berangsurangsur mengeras menjadi korteks tulang (gambar 2).8 Osifikasi endokondral adalah pembentukan tulang dari tulang rawan hialin. Kebanyakan tulang rangka manusia terutama tulang pendek
dan tulang panjang terbentuk secara endokondral. Untuk memungkinkan pertumbuhan tulang maka osifikasi dimulai di tiga pusat, yaitu satu daerah tengah yang akan membentuk bagian diafisis, yang lain pada kedua ujung tulang yang akan membentuk epifisis. Osifikasi Intracartilaginosa yaitu suatu proses penulangan tidak langsung, selalu didahului dengan terbentuknya tulang rawan (cartilago) dan prosesnya lebih kompleks. Jaringan mesenkim mula-mula membentuk tulang rawan hyalin yang sekaligus merupakan pola tulang yang akan dibentuk (gambar 3). Jadi pembentukan tulang keras berasal dari tulang rawan (kartilago yang berasal dari mesenkim). Kartilago memiliki rongga yang akan terisi oleh osteoblas (sel-sel pembentuk tulang). Osteoblas membentuk osteosit (selsel tulang). Setiap satuan sel-sel tulang akan melingkari pembuluh darah dan serabut saraf membentuk sistem havers. Matriks akan mengeluarkan kapur dan fosfor yang menyebabkan tulang menjadi keras (gambar 3).8
B. ETIMOLOGI DAN DEFENISI Istilah melorheostosis berasal dari bahasa Yunani, melos yang berarti anggota gerak, rhein yang berarti mengalir dan osteon berarti tulang. Sinonim penyakit ini antara lain penyakit lilin pada tulang, penyakit Leri, dan osteosis eburnisans monomelica. Melorheostosis didefenisikan sebagai penyakit sklerosing mesodermal yang langka, non herediter, jinak, yang menyebabkan sklerosis tulang dan jaringan lunak
disekitarnya. Pertama sekali dideskripsikan oleh Leri dan Joanny pada tahun 1922.2,9 C. EPIDEMIOLOGI Kejadian penyakit ini diperkirakan 0,9 per 1.000.000 penduduk.2 Hingga kini, baru dilaporkan sebanyak 400 kasus melorheostosis di seluruh dunia, dimana sejumlah kasus terdiagnosis secara kebetulan.7,10 Tidak ada predileksi gender untuk penyakit ini. Beberapa kasus muncul pada dekade keempat dan kelima, meskipun demikian sekitar 40%-50% kasus ini didiagnosis pada usia 20 tahun.11 Usia pada saat munculnya melorheostosis bervariasi, dari usia 2 tahun sampai dengan 64 tahun.12
D. ETIOLOGI Etiologi dan patogenesis masih belum diketahui secara pasti. Setelah lima tahun sejak pertama kali dideskripsikan oleh Leri dan Joanny, berbagai teori mulai dikemukakan. Teori gangguan pertumbuhan oleh Zimmer.13 Teori iskemik oleh Putty.14 Teori teleangiektasia oleh Moore dan Lorrimier.15 Pada tahun 1960 Lassere mengemukakan teori infeksi.16 Campbell dkk., mengemukakan teori lainnya, menyatakan kejadian melorheostosis disebabkan adanya kelainan mesodermal pada saat pembentukan kuncup anggota tubuh.3 Teori klasik dikemukakan oleh Murray dan McCredie pada tahun 1979, menyebutkan adanya hubungan melorheostosis dengan sklerotom tubuh (regio pada tulang yang diinervasi oleh saraf sensorik tulang
belakang).
Sklerotom
perkembangan
mencerminkan
embriogenik,
dimana
pola sel-sel
segmental
pada
pembentuk
awal
kartilago
bermigrasi dari sklerotom tubuh menuju kuncup-kuncup anggota tubuh. Adanya lesi sensori segmental oleh karena infeksi spesifik, perusakan, atau cedera pada satu atau lebih segmen neural crest pada saat embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya penyakit melorheostosis. Teori ini dapat menjelaskan sifat ganjil penyakit ini yakni keterlibatan satu anggota gerak tubuh (monomelic).17 Pada tahun 1995, Fryns mengemukakan konsep mosaikisme, penjelasan yang paling mungkin untuk tipe penyakit displasia tulang yang muncul sporadis . Hipotesa ini menduga mutasi awal paska zigotik pada jaringan mesenkim menyebabkan terjadinya beberapa kelainan asimetris pada
struktur
tulang,
disertai
adanya
perubahan
vaskular
dan
hamartomatous jaringan lunak diatasnya. Teori ini dapat menjelaskan perluasan variasi penyakit dan kesetaraan ratio gender penyakit melorheostosis.18 Penelitian genetika yang dilakukan Hellemans dkk., pada beberapa keluarga yang menderita penyakit osteopoikilosis, melorheostosis dan sindrom Buschke-Ollendorf keterlibatan protein gen LEMD3 (pada kromosom 12q). Hilangnya fungsi mutasi pada gen tersebut diperkirakan menjadi penyebab penyakit ini.19 Studi lanjutan oleh peneliti lainnya menyebutkan bahwa gen ini mengkode sebuah protein membran inti sel yang pada keadaan normal
menghambat transformasi faktor pertumbuhan β dan protein morfogenik tulang.20
E. LOKASI Presentasi
melorheostosis
kebanyakan
pada
tulang-tulang
appendikular, pada tulang axial lebih jarang dilaporkan. Kelainan
yang
terjadi dapat segmental
dan
unilateral
(hemimelic), satu anggota gerak (monomelic), menyerang hanya satu tulang (monostotic) atau beberapa tulang (polyostostic). Tulang-tulang anggota gerak bawah lebih sering (dua kali) terlibat daripada anggota gerak atas. Biasanya terjadi diskrepansi panjang antara kaki yang terlibat dan yang sehat, pernah tercatat diskrepansi 1,2cm sampai dengan 10cm.3,21 Kadangkala tulang badan, tulang belakang, tulang kepala dan tulangtulang wajah juga terlibat.22 Penggolongan kelainan displasia tulang sklerosis berdasarkan tempat sasaran membagi melorheostosis termasuk salah satu dalam kelompok kelainan campuran. Terminologi campuran diartikan bahwa sklerosis berasal dari adanya gangguan pada kedua pembentukan tulang baik
endokondral
maupun
intramembranosa,
meskipun
pada
melorheostosis defek osifikasi pada intramembranosa lebih nyata. Melorhostosis
dapat
dibedakan
dari
kelaianan
tulang
sklerotik
endokondral lainnya (osteopetrosis), atau kelainan yang bermuara disekitar pembentukan tulang intramembranosa (penyakit Camurati-Engelmann).
Sebagai tambahan, kelaianan melorheostosis tidak seperti kelaianan displasia sklerosis pada umumnya seperti osteopetrosis, oteopoikilosis, dan osteopathia striata, sifat melorheostosis merupakan kelainan displasia tulang yang tidak diwariskan.22
F. GAMBARAN KLINIS Onset penyakit melorheostosis biasanya tidak diketahui. Gejalagejala berupa rasa nyeri, kaku pada tungkai, keterbatasan gerak pada sendi, deformitas pada anggota gerak yang terlibat, biasanya tidak bermanifestasi sampai masa akhir kanak-kanak atau remaja dan progesifitasnya meningkat sampai masa kehidupan dewasa.3,22 Penyakit ini biasanya menunjukkan perjalanan penyakit yang kronis dengan periode eksaserbasi dan istirahat. Progresifitas melorheostosis bisa cepat pada masa kanakkanak tetapi pada masa dewasa lebih lambat, pada masa ini kekakuan sendi dan rasa nyeri merupakan gejala yang predominan.4,9,23,24 Dikarenakan osifikasi abnormal biasanya melibatkan jaringan lunak dan meluas ke persendian, pada akhirnya akan menyebabkan keterbatasan gerakan sebagai akibat dari kontraktur dan fibrosis. Deformitas lain yang sering muncul ialah kontraktur fleksi pinggul dan lutut, deformitas kaki varus atau valgus , dan jari-jari kaki yang tumpang tindih.25 Ankilosis sendi dapat muncul akibat dari pembentukan tulang heterotopik dan kalsifikasi jaringan lunak.26 Temuan laboratorium kalsium serum, fosfor, dan kadar alkali fosfatase telah dilaporkan berada dalam batas normal.27,28
Nilai laboratorium abnormal pada kasus melorheostosis yaitu ostoblastic spesific factor-2 (osf-2), fibronectin, transforming growth factor-β (TGFβ), dan fibroblast growth factor-23 (FGF-23).29
G. GAMBARAN RADIOLOGIS Karakteristik tampilan radiologis melorheostosis adalah gambaran hyperostosis korteks tulang yang mengalir disepanjang salah satu sisi tangkai tulang panjang yang menyerupai gambaran lilin yang meleleh pada satu sisinya (gambar 4).18 Bagian tulang yang mengalami hiperostosis tersebut biasanya berbentuk linear, terdistribusi segmental dan cenderung saling menjauhi dari satu tulang ke tulang yang lain, pada akhirnya akan melibatkan sebuah tulang atau beberapa jari. Ini merupakan gambaran radiologis klasik melorheostosis. Pada perkembangannya, gambaran klasik ini tidak selalu ditemui pada pasien. Freyschmidt,23 dalam penelitiannya pada 23 kasus melorheostosis menyimpulkan gambaran radiologis melorheostosis memiliki lima pola, yaitu: 1. Pola radiologis khusus dengan gambaran fenomena aliran atau tetesan lilin pada permukaan dalam atau luar tulang yang terlibat (gambar 4), 2. Kasus hiperostosis seperti osteoma pada axis panjang tulang yang terlibat (gambar 5) dengan kriteria: a. Diameter lesi lebih dari 5cm, b. Lebih dari satu tulang yang terlibat, c. Lesi yang hanya terletak eksentrik pada dan atau di tulang yang memenuhi syarat, d. Jika hanya ada satu
tulang yang terlibat, terdapat tanda lain seperti skleroderma yang berbatas, atau fibrosis subkutan diatas tulang yang terlibat, yang wajib ditegakkan diagnosisnya., 3. Pola radiografis dengan hiperostosis goresan-goresan yang panjang dan tebal berdekatan dengan sisi dalam korteks dua tulang atau lebih, namun unilateral berbeda dengan pola khas osteopathia striata (gambar 6)., 4. Pada kasus hiperostosis yang mirip dengan myositis ossificans neuropathica (gambar 7) dengan kriteria: a. Osifikasi berdekatan dengan sendi di dua atau lebih regio unilateral dengan atau tanpa adanya hyperostosis intraoseus, b. Berbeda dengan myositis ossificans klasik, osifikasi tersusun noduler dan tidak terlihat sebagai struktur tulang yang pipih, c. Kriteria eksklusi: riwayat trauma langsung pada daerah yang dimaksud dan atau adanya defisit neurologis., 5. Pola campuran (gambar 8), terdapat lebih dari satu pola radiografis diatas dan dengan tampilan klinis yang berbeda.23 Secara umum gambaran lesi cenderung segmental dan unilateral. Pada kasus yang terjadi bilateral, belum pernah dilaporkan simetris. Biasany terdapat batas yang jelas antara tulang yang telibat dan tulang yang normal. Kebanyakan kortek tulang terlibat, namun perluasan ke tulang spongiosa juga terlihat. Pada anak-anak hiperostosis terjadai pada endosteal, ditandai dengan garis-garis pada tulang panjang dan bercakbercak pada tulang-tulang kecil, pada pasien dewasa terjadi extra kortikal, di subperiosteal.9
Pemeriksaaan dengan pemindaian radionuklida tulang bertujuan untuk membedakan sebuah fokus melorheostosis dengan lesi-lesi lainnya. Pada melorheostosis, terdapat akumulasi fokal radionuklida. Terlihat adanya peningkatan uptake radionuklida 99Tc piropospat (gambar 9). Faktor yang bertanggung jawab atas peningkatan uptake kemungkinan oleh karena peningkatan massa korteks, aktifitas osteoblastik, hiperemia lokal, munculnya kolagen imatur, dan perubahan pada permeabilitas kapiler.30 Pada pemeriksaan MRI, terdapat gambaran penurunan intensitas sinyal yang terlokalisir pada tulang yang terlibat pada semua sekuen (gambar 10).31 Pemeriksaan MRI bermanfaat untuk membedakan massa jaringan lunak untuk keperluan perencanaan tindakan pembedahan.22 Temuan khas MRI menunjukkan intensitas sinyal yang rendah pada area hiperostosis, sesuai dengan gambaran korteks tulang. Edema sumsum tulang jarang ditemukan, dan sinyal yang tinggi pada ruang sumsum tulang jarang terlihat.22,31 Berdasarkan temuan Yu dkk.,32
lesi lama dapat dibedakan
penampilannnya dari lesi yang baru dengan memodifikasi repetition time dan excitation time. Ada dugaan lesi baru menunjukkan peningkatan sinyal pada sekuen T2 sehubungan dengan jumlah jaringan fibro-vaskuler yang lebih banyak.32
Pemeriksaan CT Scan menunjukkan adanya hiperostosis kortikal, ditandai dengan area beratenuasi tinggi. Kemampuan CT scan dapat menampilkan derajat mineralisasi yang berbeda pada lesi (gambar 11).31,32
H. HISTOPATOLOGI Analisa histologi menunjukkan tulang yang padat tanpa adanya kelainan
seluler
yang
khusus,
meskipun
demikian
penampakan
mikroskopis lesi tidak identik untuk semua kasus. Temuan histologis melorheostosis yaitu penebalan korteks dengan derajat yang berbeda-beda (gambar 12.a) terdiri atas pulau-pulau kondroid dikelilingi anyaman atau tulang padat tidak berlapis-lapis bergantung tahap maturasinya dengan ciri menebal, sklerotik, dan lapisan-lapisan yang ireguler. Zona fibrokartilago yang berdekatan dengan permukaan fibrilasi yang ireguler juga teramati. Sejumlah besar sel osteoid tanpa adanya mineralisasi diduga terjadi produksi berlebihan matrik tulang pada tulang yang terlibat. Meskipun demikian,
sel
osteoklas
juga
banyak
(gambar
12.b).
Hal
ini
mengindikasikan terjadinya kombinasi proses pembentukan dan resorbsi tulang pada melorheostosis. Kelainan pada jaringan lunak terdiri atas sel osseus, kondroid, vaskuler, dan jaringan fibro-kartilago telah dilaporkan pada 76% kasus melorheostosis.3,33
I. DIAGNOSIS BANDING Berdasarkan gambaran radiologis lesi melorheostosis memiliki diagnosa banding antara lain osteomyelitis kronis, osteopetrosis, osteopoikilosis osteopathia striata, dan infantile cortical hyperostosis (tabel 1).3,12 Bila terdapat displasia sklerosis campuran atau terdapat beberapa sindrom meliputi melorheostosis dan osteopoikilosis dan atau osteopathia striata pada seorang pasien.34 Skleroderma fokal dapat menyebabkan fibrosis jaringan lunak dan kontraktur, namum pemeriksaan radiologis menunjukkan tulang yang normal. Lesi tunggal mungkin dikelirukan dengan fokus matang myositis osifikan, osteoma atau parosteal sarcoma (tabel 2). Kondisi-kondisi yang menyebabkan kalsifikasi atau osifikasi massa para artikular seperti sinovial osteokondromatosis, extra skeletal osteosarcoma, sinovial sarcoma kalsifikasi, atau sclerosis tumoral harus dijadikan diagnosis banding.12 Miositis osifikans adalah sebuah massa jinak yang ditandai dengan osifikasi heterotopik, merupakan
pertumbuhan tulang baru bukan
neoplasma diluar tulang normal. Biasanya kelaianan ini dimulai dengan adanya riwayat trauma, atau komplikasi yang terjadi seperti paralisis, namun juga dikenal sebagai kelaianan yang bisa diwariskan. Ada beberapa jenis miositis osifikan antara lain: a. myositis ossificans circumscripta; b. myositis ossificans progressiva; c. panniculitis ossificans; d. fibro-osseous pseudotumour of the digits.35
Kebanyakan kasus miositis osifikan muncul setelah terjadi sebuah trauma, dengan demikian penyakit ini sering mengenai dewasa muda sekitar dekade ke-2 sampai 3. Keterlibatan otot-otot besar di tubuh sering dijumpai. Otot quadriceps dan brachialis paling sering terlibat. Penyakit ini ditandai dengan adanya massa yang membesar, lunak, terasa sakit, sebanyak 80% kasus ini berada pada otot-otot alat gerak. Gambaran radiologi khas miositis osifikans adalah berupa kalsifikasi melingkar dengan area lusen di tengah-tengahnya, terdapat celah radiolusen yang memisahkan lesi dengan korteks tulang terdekat. Kalsifikasi mulai terlihat dengan radiografi konvensioanal pada saat 2-6 minggu. Kemudian lesi berkembang membentuk batas perifer yang berkalsifikasi dalam waktu 2 bulan. Setelah 4 bulan dan seterusnya, ukuran lesi mengecil dan bertambah padat. Pada pemeriksaan CT scan gambaran
radiologis sesuai
dengan foto radiologi konvensional,
menunjukkan proses mineralisasi dari tepi terluar menuju ke tengahtengah lesi. Celah radiolusen antara lesi dengan tulang normal terdekat biasanya terlihat dengan jelas. Pada pemeriksaan MRI, penampakan lesi berbeda pada tiap tahapan usia lesi. Pada tahap awal tampak gambaran udema jaringan lunak, kalsifikasi belum terlihat. Pada lesi yang dewasa, tampak sebagai struktur tulang dengan gambaran sumsum tulang di tengah-tengah lesi (gambar 13).36 Osteoma merupakan sebuah bentuk perkembangan tulang yang berasal dari tulang membranosa, biasanya ditemukan pada tulang kepala
dan tulang-tulang wajah. Lesi ini bersifat asimptomatik dan tumbuh lambat. Gejala muncul bila lesi tumbuh sampai menggangu fungsi tubuh seperti pendengaran, penglihatan dan pernafasan. Insidensi tertinggi pada dekade ke-6. Paling banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (3:1). Secara patologis terdapat tiga jenis ostema: a. ivory osteoma: juga dikenal sebagai eburnated osteoma, tulang padat dengan sedikiti sistem Haversian; b. mature osteoma: juga dikenal sebagai osteoma spongiosa, menyerupai tulang normal, termasuk tulang trabekular sering disertai sumsum tulang; c. mixed osteoma: campuran antara ivory osteoma dan mature osteoma (gambar 14.a.b). Osteoma multipel sering dikaitkan dengan sindrom Gardner.37 Gambaran radiologis osteoma bergantung pada lokasinya. Osteoma sentral berupa lesi sklerotik berbatas halus, sedangkan osteoma perifer merupakan lesi radiopak dengan batas yang meluas dan bersifat sesil atau bertangkai. Gambaran radiologis ini menjelaskan jenis-jenis patologi osteoma, ivory osteoma tampak sebagai lesi yang sangat padat mirip dengan korteks tulang, sementara mature osteoma dapat menampilkan gambaran sumsum tulang.37 Osteopoikilosis adalah displasia tulang sklerosis yang ditandai dengan gambaran pulau-pulau tulang yang multipel. Suatu kelaianan jinak yang diwariskan melalui gen autosom dominan. Biasanya ditemukan insidental pada pemeriksaan radiologi. Lesi biasanya berada di dekat persendian tulang-tulang panjang, tulang pinggul, skapula dan pada
tulang-tulang tangan dan kaki. Kejadian pada wanita dan pria sama banyaknya. Lesi multipel sklerotik pada tulang ini berbentuk agak bundar, ukuranya bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan beberapa sentimeter. Pulau-pulau tulang ini berkembang semasa kanak-kanak, dan tidak mengalami kemunduran, sehingga kelaianan ini dapat terlihat pada semua kelompok umur. Pasien biasanya asimptomatik, dan pemeriksaan laboratorium adalah normal. Osteopoikilosis sering ditemukan bersamasama dengan kelainan osteopathia striata dan melorheostosis. Ada dugaan keterlibatan gen LEMD3.38 Gambaran radiologi konvensional tampak lesi opak multipel berbentuk agak bulat, terletak di epifise sampai metafise, berdekatan dengan persendian, sehingga tulang tampak seperti berbintik-bintik. Pada pemeriksaan MRI, tampak lesi seperti tulang yang dewasa, lesi memiliki sinyal yang rendah pada sekuen T1 maupun T2. Pada pemeriksaan bone scan tidak ada tampak aktifitas peningkatan uptake bahan radiofarmaka (gambar 15).39 Osteopathia striata dikenal juga sebagai penyakit Voorhoeve, merupakan kelainan displasia tulang jinak yang langka, melibatkan epifise dan metafise tulang-tulang panjang maupun tulang pipih. Kelainan ini ditandai dengan adanya garis-garis vertikal dengan ketebalan 2-3 mm, diibaratkan sebagai tangkai seledri. dan terlihat dalam pemeriksaan radiologis. Kelaianan bersifat asimtomatis, dan ditemukan secara insidental. Oseopathia striata dapat ditemui pada semua kelompok umur.
Kelaianan osteopathia striata biasanya ditemui bilateral, meskipun kadangkala bisa saja unilateral, terutama pada tulang-tulang panjang (gambar 16).40
J. TERAPI Terapi untuk kasus melorheostosis biasanya simptomatis. Tidak ada pengobatan yang khusus untuk kondisi ini. Gejala pasien berbedabeda, sehingga pengobatan yang diberikan juga bergantung individu, bergantung umur dan lokasi lesi. Pada anak-anak, melorheostosis ditandai dengan adanya diskrepansi panjang tungkai, deformitas, atau kontraktur sendi, sementara pada usis dewasa gejala yang khas adanlah nyeri, kekakuan sendi, atau defomitasa yang progresif.25 Tujuan utama pengobatan adalah mengurangi rasa nyeri dan mengembalikan pergerakan yang berkurang. Pengobatan medis dapat berupa pengendalian nyeri dan fisioterapi. Prosedur bedah termasuk diantaranya pengankatan massa jaringan lunak, kapsulotomi, fasciotomi, pemanjangan tendon dan prosedur bedah tulang.3,25
BAB III LAPORAN KASUS Seorang wanita dengan inisial NY. RKY, berumur 34 tahun pada tanggal 26 Oktober 2011 datang berobat ke poliklinik penyakit dalam RSUP Dr Sardjito Yogyakarta dengan keluhan rasa nyeri dan bengkak di lutut kiri. Pada lutut kiri pasien juga dirasakan sedikit hangat dan berwarna kehitaman. Pasien tersebut merupakan rujukan dari RSUD Magelang. Nyeri di lutut kiri sudah terasa sejak empat tahun yang lalu. Nyeri hilang timbul. Dua bulan yang lalu nyeri bertambah berat. Lutut kiri sedikit membesar dibandingkan lutut kanan. Lutut kiri tidak bisa ditekuk. Pada saat berobat di RSUD Magelang, pasien didiagnosis osteoporosis dan sakit jantung. Riwayat penyakit pasien adalah menderita kelainan jantung sejak lahir. Pada saat pemeriksaan di poliklinik penyakit dalam ditemui adanya pembengkakan dan nyeri tekan pada regio lutut kiri. Tidak ditemui adanya kelainan pada lutut kanan. Keluhan adanya kelaianan di bagian tubuh lain disangkal oleh pasien. Hasil pemeriksaan laboratorium darah: Hb:12,6; AL:6,46; AT:186; HMT:45,6; AE:5,76; GDS:74,2; Alb:4,55; SGOT:18,5; SGPT:22,3. Selanjutnya pasien didiagnosis suspek RA, diberikan terapi oral MP 4mg 2-1-0 dan paracetamol 3x1. Direncanakan akan konsultasi dengan bagian kardiologi dan pemeriksaan laboratorium CRP, RF dan Ana test. Pada tanggal 31 Oktober 2011, pasien datang kontrol dengan membawa hasil pemeriksaan TEE sesuai dengan TOF. Diagnosis pasien TOF dengan suspek
keganasan tulang dd RA. Diberikan terapi oral tramadol 3x1 tab, paracetamol 3x1 tab, dan MP 4mg 1-1-0. Selanjutnya direncanakan pemeriksaan foto lutut kiri dan kanan di poliklinik radiologi. Pada tanggal 1 November 2011 pasien datang ke poliklinik radiologi untuk melakukan pemeriksaan foto lutut kiri dan kanan. Didapatkan hasil expertise foto lutut kiri dan kanan tampak osteosklerosis endosteal kortek yang menyebabkan hiperostosis dengan gambaran 'like candle wax dripping; pada epi-meta-diafisis os tibia dan epifisis end distal femur sinistra.Diagnosis: suspek melorheostosis di os femur dan os tibia sinistra (gambar 17,18,19). Pada tanggal 3 November 2011, pasien melakukan pemeriksaan ekokardiografi:RA dan RV dilatasi, VSD perimembran bidirectional shunt dengan PV valvar, overriding aorta 50%, sesuai dengan TOF, Fx sistolik global LV dan segmental normal dengan EF 57%, dan Fx sistolik RV normal, TR moderate, PR mild. Diagnosis: TOF, direncanakan konsultasi dengan bagian bedah. Pada tanggal 7 November 2011, pasien kontrol ke poliklinik penyakit dalam. Keluhan rasa nyeri lutut sudah berkurang, namun bengkak pada lutut sedikit bertambah. Diagnosis: TOF dan suspek keganasan tulang. Direncanakan untuk kontrol lagi bulan Desember sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium RF, Ana test dan CRP. Selanjutnya pasien atas nama NY RKY tidak datang untuk melakukan kontrol ke RSUP Dr Sarjito.
BAB IV PEMBAHASAN
Melorheostosis pertama kali dideskripsikan oleh Leri dan Joany pada tahun 1922. Kelainan tulang yang jarang ini termasuk dalam kelompok displasia dengan peningkatan kepadatan tulang berdasarkan International Nomenclature and classification of the Osteochondrodysplasias (1997).41 Menurut klasifikasi ini, melorheostosis masuk dalam kelompok kelainan dengan peningkatan kepadatan tulang tanpa adanya modifikasi bentuk tulang. Adapun sifat-sifatnya sporadis dan tidak tampak pada saat baru lahir. Dengan adanya ciri-ciri khusus ini, dapat membantu kita untuk menyingkirkan diagnosa kelainan displasia hiperostosis tulang lainnya.41 Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Leri dan Joanny tahun 1922, berbagai hipotesis telah dikemukakan sebagai dasar patogenesis melorheostosis. Terdapat dua teori utama yaitu (1) teori klasik oleh Murray dan Mc Credie tahun 1979 yang menghubungkan antara melorheostosis dan sklerotom, dimana melorheostosis mungkin timbul akibat lesi sensoris segmental oleh infeksi atau jejas terhadap segmen neural crest saat embriogenesis; dan (2) teori oleh Fryns tahun 1995 yang mengemukakan mosaicism sebagai kemungkinan penyebab displasia tulang sporadik.7,8,17,22,27 Pola melorheostosis yang mengikuti sklerotom tubuh secara parsial mampu menjelaskan kecenderungan manifestasi monomelic. Sedangkan hipotesis
mosaikisme dimana diduga terjadi mutasi post-zigotik mesenkimal selain mampu menjelaskan manifestasi yang sporadik, juga adanya perubahan vaskuler dan hamartom jaringan lunak sekitar dan keseimbangan rasio gender.7,28 Penegakan diagnosis melorheostosis didasarkan atas temuan klinis, pemeriksaan penunjang radiologis, laboratoris, dan patologi anatomis. Pada kebanyakan kasus, tampilan pemeriksaan radiologis sudah dapat mentingkirkan diagnosis banding. Hal ini dikarenakan tampilan radiologis melorheostosis sangat khas.6 Dari uraian data-data klinis dan pemeriksaan radiologis pasien diatas, kita dapat menganalisa temuan yang didapat dan membandingkannya dengan keterangan-keterangan di literatur. Pasien seorang wanita berusia 34 tahun, menurut epidemiologi penyakit melorheostosis tidak dapat perbedaan gender. Kejadian pada wanita dan pria sama besarnya, dengan demikian jenis kelamin tidak bisa dijadikan patokan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Kelainan osteoma memiliki prediksi pada pria dibandingkan wanita (3:1).53 Pada miositis ossifikan, osteopoikilosis dan osteopathia striata juga tidak ditemukan predileksi gender. Dari segi usia pasien yang berusia 34 tahun, sesuai dengan yang didapat pada literatur. Kasus melorhoestosis terdeteksi pada dekade keempat dan kelima. Pada kasus miositis ossifikans biasanya ditemui pada usia dewasa muda ditandai adanya riwayat trauma sebelumnnya. Pada kasus osteoma, kebanyakan ditemui pada usia 10 sampai 30 tahun, kejadian pada usia diatas 30 tahun jarang ditemui.1111 Kelainan
pada osteopoikilosis dan osteopathia striata dapat ditemui pada semua kelompok umur. Rasa nyeri yang dirasakan sudah lebih dari 4 tahun oleh pasien. Kadangkala rasa nyeri ini mereda dan bahkan hilang. Dua bulan yang lalu rasa nyeri pada lutut kiri bertambah berat, hal ini yang menyebabkan pasien untuk berobat. pasien juga merasakan keterbatasan gerak pada sendi lutut kiri. Hal ini sesuai dengan gejala-gejala klinis melorheostosis, yaitu rasa nyeri, kaku pada tungkai, terdapat keterbatasan gerak sendi. Biasanya penyakit ini menunjukkan perjalanan penyakit kronis dengan periode eksaserbasi akut dan istirahat. Keterbatasan gerak ini disebabkan proses osifikasi pada melorheostosis meluas ke jaringan lunak.3,4,9 Miositis osifikan biasanya ditandai dengan rasa nyeri, pembengkakan pada kaki (biasanya berukuran besar), terasa lunak, dan berlokasi pada otot-otot besar. Dari segi lokasi, lesi ini tidak sesuai dengan gambaran miositis. Kelainan osteoma biasanya ditandai dengan pembengkakan dan rasa nyeri. Rasa nyeri bersifat terus menerus, dan dalam. Biasanya rasa nyeri ini terlokalisir pada lesi. Rasa nyeri memberat pada malam hari dan bisa menghilang di pagi hari. Kelainan osteopoikilosis dan osteopathia striata diketahui asimptomatis, jarang ditemui adanya keluhan rasa nyeri, meskipun pada osteopathia striata kadang kala ditemui rasa tidak nyaman pada persendian. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini dalam batas normal. Dalam literatur dikatakan, tidak ada temuan laboratorium definitif untuk kasus melorheostosis. Pemeriksaan darah perifer lengkap, dan kimia darah rutin menunjukkan angka normal.
Lokasi lesi di lutut kiri dengan melibatkan tulang femur dan tibia sangat mendukung pola penyakit melorheostosis. Kebanyak kelainan ini dijumpai pada tungkai bawah. Ditinjau dari sisi sklerotom tubuh, kelaian yang didapat diperkirakan sesuai dengan persyarafan sklerotom L4. Menurut literatur, kelainan ini bersifat monomelik, artinya kelainan ini hanya melibatkan satu tungkai saja yakni tungkai kiri bawah. Kelainan bersifat monomelik merupakan yang terbanyak (66-81%) pada melorheostosis. Kelainan miositis osifikan biasanya ditemui pada anggota gerak tubuh yang memiliki otot-otot yang besar, tertutama di paha, lengan atas dan sekitar pinggul. Kejadian miositis pada tungkai kaki bawah jarang ditemui. Kelainan osteoma memiliki predileksi pada ektremitas bawah. Kebanyakan ditemui pada regio intertrokanterika, atau regio kapsuler pinggul. Penelitian lain menemukan osteoma memiliki predileksi yang tinggi di tulang femur dan tibia. Osteopoikilosis memiliki predileksi di tulang-tulang panjang tangan dan kaki, carpal, tarsal, pinggul dan skapula. Bentuk lesi yang khas seperti pulau-pulau tulang. Kelaianan osteopathia striata biasanya ditemui bilateral, meskipun kadangkala bisa saja unilateral, terutama pada tulang-tulang panjang. Ditinjau dari lokasi lesi, kelainan yang didapat pada pasien ini memiliki kesesuaian dengan kelainan melorheostosis. Gambaran radiologis yang didapati pada pasien ini adalah hiperostosis dengan gambaran 'like candle wax dripping; pada epi-meta-diafisis os tibia dan epifisis end distal femur sinistra. Pada foto lutut kiri tampak hiperostosis periosteal di sepanjang korteks tulang tibia dan distal end femur menyerupai
tetesan lilin. Lesi pada kasus ini bersifat polyostotik, melibatkan tulang tibia dan femur; monomelic, karena yang terlibat hanya pada tungkai sebelah kiri. Berdasarkan teori sklerotom tubuh, maka pola lesi ini sesuai dengan persyarafan sensorik L4. Berdasarkan temuan radiologis pada kasus ini, manifestasinya adalah monomelic, hanya melibatkan tungkai kiri bawah saja. Beberapa literatur mengatakan bahwa varian monomelic adalah presentasi terbanyak (66-81%).7 Campbell dkk.3, melaporkan 8 dari 14 pasien melorheostosis memiliki manifestasi monomelic, dan Morris dkk.33, menemukan bahwa 81% dari 131 pasien melorheostosis memiliki manifestasi monomelic. Tanda patognomonik melorheostosis pada pemeriksaan radiologis yaitu hiperostosis periosteal di sepanjang korteks tulang panjang yang tampak menyerupai tetesan/aliran lilin cair (the dripping candle wax sign), meskipun demikian tanda klasik ini tidak selalu tampak jelas pada semua pasien. Untuk mengetahui dan memastikan ada tidaknya lesi-lesi di bagian tubuh yang lain ada baiknya dilakukan pemeriksaan radiologi konvensional seluruh anggota tubuh, sehingga keterangan radiologis yang dapat diambil dari pasien ini menjadi lengkap dan menambah nilai diagnosis dan prognosis pasien. Bila memungkinkan modalitas pemeriksaan juga ditingkatkan, yaitu pemeriksaan MRI atau bahkan bone scan. Gambaran radiologi khas miositis osifikans berupa kalsifikasi melingkar dengan area lusen di tengah-tengahnya dan terdapat celah radiolusen yang memisahkan lesi dengan korteks tulang terdekat tidak sesuai dengan gambaran radiologis pasien ini. Gambaran radiologis osteoma berupa lesi sklerotik berbatas
halus, bersifat sesil atau bertangkai tidak sesuai dengan gambaran radiologis pasien ini. Gambaran radiologi konvensional osteopoikilosis berupa lesi opak multipel berbentuk agak bulat (pulau-pulau tulang), terletak di epifise sampai metafise, berdekatan dengan persendian sehingga tulang tampak seperti berbintikbintik tidak sesuai dengan gambaran radiologis pasien ini. Gambaran radiologi konvensional osteopathia berupa lesi sklerotik dengan bentuk garis-garis vertikal dengan ketebalan 2-3 mm pada tulang-tulang panjang yang diibaratkan sebagai tangkai seledri, , biasanya kelainan ini bersifat simetris. Pasien pada kasus ini juga didiagnosis memiliki sakit jantung berupa kelaianan TOF. Tetralogi Fallot (TOF) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Kelainan yang terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang dari bagian infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama besar dengan lubang aorta. Kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi: a. Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel; b. Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan katup pembuluh darah yang keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot dibawah katup juga menebal dan menimbulkan penyempitan; c. Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari bilik kanan; d. Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan foto thorax. Diagnosis TOF didapt dari hasi ekokardiografi. Dari literatur yang ada, penyakit
melorheostosis tidak memiliki hubungan langsung dengan kelainan jantung. Demikian juga dengan kelainan TOF tidak memiliki kecenderungan untuk menimbulkan kejadian melorheostosis. Kemungkinan pada kasus ini, kejadian antara melorheostosis dan TOF merupakan entitas yang berdiri sendiri.
Berdasarkan analisa temuan klinis, laboratoris dan radiologis diatas, simpulan yang dapat diambil adalah pada pasien ini didapati kelainan hiperostosis periosteal dan endosteal dengan gambaran 'like candle wax dripping; pada epimeta-diafisis os tibia dan epifisis end distal femur sinistra, sesuai gambaran melorheostosis klasik. Berbagai pendekatan terapi konservatif dan operatif telah dilakukan untuk mengobati nyeri dan deformitas akibat melorheostosis. Terapi konservatif meliputi farmakologi seperti bisphosphonate, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dan nifedipin, serta non-farmakologi seperti terapi fisik di bagian rehabilitasi medis, penggunaan alat bantu penyangga tubuh (kruk), serial casting/splint (bebat), blok saraf dan simpatektomi. Satu laporan kasus melorheostosis dengan gejala nyeri hebat pada punggung dan anggota gerak, serta ditemukan peningkatan kadar ALP berhasil diterapi dengan pemberian infus bisphosphonate selama 6 hari. Pemberian nifedipin, suatu vasodilator, selama 6 bulan, terbukti efektif pada pasien wanita usia 42 tahun dengan nyeri hebat seperti terbakar pada paha atas yang membatasi aktifitas sehari-harinya.25 Pasien ini sebelumnya telah mengkonsumsi NSAIDs paracetamol dan natrium diclofenak. Sangat disayangkan penanganan pasien ini belum dilakukan secara holistik hal ini
dikarenakan pasien tidak lagi memeriksakan diri ke poliklinik penyakit dalam RSUP Dr Sardjito. Penangan secara menyeluruh antar berbagai disiplin ilmu sangat membantu dalam proses pengembalian fungsi tubuh yang berkurang. fisioterapi di bagian rehabilitasi medis, terutama ditujukan untuk mempertahankan fungsi anggota gerak kontralateral disamping membantu mengurangi nyeri. Setiap pasien melorheostosis adalah unik, dan mengingat kasusnya yang langka.
Mayoritas kasus melorheostosis
diterapi
simtomatis dan tidak
memerlukan tindakan operatif. Adapun teknik operasi bisa meliputi jaringan lunak seperti pemendekan tendon, eksisi jaringan fibrous dan osseus, fasiotomi dan kapsulotomi. Teknik lain yaitu osteotomi korektif, debulking tulang yang mengalami osteotik, bahkan amputasi anggota gerak yang terserang bila disertai nyeri hebat dengan tanda-tanda iskemik vaskuler. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sering terjadi kekambuhan pasca operasi. Karena itu, pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan yang baik mengenai teknik, manfaat, risiko dan ekspektasi realistis operatif.3,25,34
BAB V KESIMPULAN
Dilaporkan sebuah kasus melorheostosis pada seorang wanita berusia 34 tahun, dengan keluhan utama nyeri lutut kiri dan mulai terasa sulit untuk digerakkan. Selama ini pasien didiagnosis rheumatoid atritis dan adanya kecurigaan keganasan tulang. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah foto lutut kaki kiri dan kanan. Adapun temuan radiologi pada foto lutut kiri berupa gambaran hiperostosis periosteal kortek pada epi-meta-diafisis os tibia dan epifisis end distal femur sinistra. Gambaran lesi ini sesuai dengan gambaran 'like candlle wax dripping' pada penyakit melorheostosis. Pemeriksaan radiologi konvensional ini dirasa cukup untuk menegakkan diagnosis melorheostosis pada kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Bansal A. The dripping candle wax sign. Radiology. 2008; 246(2):638-40.
2.
Taybi H, Lachman R.S. Radiology of syndromes, metabolic disorders, and skleteal dysplasias. (4th ed). Chicago: Year Book; 1996. P 843-4.
3.
Campbel CJ, Papademtriou T, Bonfiglio M. Melorheostosis. A report of the clinical roentgenographic, and pathological finding in fourteen cases. J Bone Surg Am 50(7): 1281-1304, 1968.
4.
Rozenzwaig R, Wilson MR, McFarland GB Jr. Melorheostosis. Am J Orthop 26(2): 83-86,1997.
5.
Taylor PM. Melorheostosis. J Foot Surg 15 (2): 55-58, 1976.
6.
Meschan I. Introduction to the Muskuloskeletal System in Synopsis os Analysis of Roentgen Sign In General Radiology. WB Saunders Company, 1976:21-25.
7.
Stoker D.J. Bone tumors: General Characteristics Benign Lesions, A Textbook of Medical Imaging, Grainger R.G., Allison. Churchill Livingstone, New York, 1997.
8.
Clarke B (2008) Normal bone anatomy and physiology. Clin J Am Soc Nephrol 3:S131–S139.
9.
Leri A, Joanny J. Une affection non decrite des os hyperostose “en coulee” sur toute la lounger d’un membre ou “melorheostose”. Bulletins et Memoires de la Societe Medicale des Hopitaux de Paris 1992; 46:1141-1145.
10.
Murano T, Egarian M. Case report: Emergency department diagnosis of melorheostosis in the upper extremity: A rare disease with an unsual presentation. The Journal of Emergency Medicinie 2010;5(8):1-3.
11.
Qureshi FI, Wilson AG, Meggit BF. Melorheostosis: an unusual presentation in the foot. Foot 1999;9:101-3.
12.
Greenspan A . Sclerosing bone dysplasias: a target-site approach. Skeletal Radiol 20:561– 583, 1991.
13.
Zimmer P. Bietrage zur klinischen. Chirurgie1927; 140 :75.
14.
Putty V. L’Osteosi eburneizzante monomelica (una nuova syndrome osteopatica). Chir organi 1927; 11:335.
15.
Moore JJ, de Lorimier AA. Melorheostosis leri d review of literature and report of a case. AJR Am J Roentgenol 1933; 29:161–71.
16.
Lassere C. A case of melorheostosis [in French]. Rev Rhum Mal Osteoartic 1960; 27:347.
17.
Murray RO, McCredie J. Melorheostosis and the sclerotomes: a radiological correlation. Skeletal Radiol 1979; 4:57–71.
18.
Fryns JP. Melorheostosis and somatic mosaicism. Am J Med Genet 1995; 28:199.
19.
Hellemans J, Preobrazhenska O, Willaert A, et al. Loss-of-function mutations in LEMD3 result in osteopoikilosis, Buschke-Ollendorff syndrome and melorheostosis. Nat Genet 2004;36:1213–1218.
20.
Lin F, Morrison JM, Wu W, Worman HJ. MAN1, an integral protein of the inner nuclear membrane, binds Smad2 and Smad3 and antagonizes transforming growth factor β signaling. Hum Mol Genet 2005;14:437– 445.
21.
Younge D, Drummond D, Herring J, Cruess RL. Melorheostosis in children. Clinical features and natural history. J Bone Joint Surg Br 61-B(4):415–418, 1979.
22.
Parashar P, Musella A, Novak T, Greer RO, Melorheostosis: report of two cases affecting the jaw. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007;104: e 66-70.
23.
Freyschmidt J. Melorheostosis: A review of 23 cases. Eur Radiol. 2001; 11:474-479.
24.
Ihde LL, Forrester DM, Gottsegen CJ, Masih S, Patel DB, Vachon LA, White EA, Matcuk GR Jr. Sclerosing bone dysplasias: Review
and
differentiation
from
other
causes
of
osteosclerosis.
Radiographics. 2011; 31:1865-1882. 25.
McLeod RA, Beabout JW, Cooper KL, Swee RG. Case of the day. AJR Am J Roentgenol. 1984; 142:1062-1068.
26.
Dissing I, Zafirovski G. Para-articular ossifications associated with melorheostosis Léri. Acta Orthop Scand. 1979; 50:717-719.
27.
Gagliardi GG, Mahan KT. Melorheostosis: A literature review and case report with surgical considerations. J Foot Ankle Surg. 2010; 49:80-85.
28.
Greenspan A, Azouz EM. Bone dysplasia series. Melorheostosis: Review and update. Can Assoc Radiol J. 1999; 50:324-330.
29.
Kerkeni S, Chapurlat R. Melorheostosis and FGF-23: is there a relationship? Joint Bone Spine. 2008; 75(4):486-488.
30.
Whyte MP, Murphy WA, Siegel BA. 99mTc-pyrophospahte bone imaging in osteopikilosis, osteopathia striata, and melorheostosis. Radiology. 1978;127(2):439-443.
31.
Judkiewicz AM, Murphey MD, Resnick CS, Newberg AH, Temple HT, Smith WS. Advanced imaging of melorheostosis with emphasis on MRI. Skeletal Radiol 30:4 47– 453, 2001.
32.
Yu JS, Resnick D, Vaughan LM, Haghighi P, Hughes T. Melorheostosis with an ossified sof t tissue mass: MR features.
Skeletal Radiol 24:367 – 370, 1995. 33.
HoshiK, Amizuka N, Kurokawa T, Nakamura K, Shiro R, Ozawa H.
Histopathological
characterization
of
melorhiostosis.
Orthopedics. 2001; 24(3):273-277. 34.
Moulder E, Marsh C. Soft tissue knee contracture of the knee due to melorheostosis, treated by total arthroplasty. Knee. 2006; 13(5):395-396.
35.
Kransdorf MJ, Meis JM. From the archives of the AFIP. Extraskeletal osseous and cartilaginous tumors of the extremities. Radiographics. 1993;13 (4): 853-84.
36.
Kransdorf MJ, Meis JM, Jelinek JS. Myositis ossificans: MR appearance with radiologic-pathologic correlation. AJR Am J Roentgenol. 1991;157(6):1243-8.
37.
Maroldi R, Nicolai P, Antonelli AR. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. Springer Verlag. (2005) ISBN:3540423834.
38.
Benli IT, Akalin S, Boysan E et-al. Epidemiological, clinical and radiological aspects of osteopoikilosis. J Bone Joint Surg Br. 1992;74 (4): 504-6.
39.
Balkissoon
AR,
Hayes
CW.
Case
14:
osteosclerosis. Radiology. 1999;212 (3): 708-10.
intramedullary
40.
John A. Gehweiler, M.D., Wiley R. Bland, M.D., Terrece S. Carden, JR., M.D., Richard H. Daffner, M.D. Osteopathia Striata— Voorhoeve's Disease, Review of the Roentgen Manifestations. American Journal of Roentgenology. 1973;118: 450-455.
41.
Lachman RS (1998) International nomenclature and classification of the osteochondrodysplasias (1997). Pediatr Radiol 28:737-744.
LAMPIRAN Gambar 1
Gambar 1. Bagian-bagian dari sebuah tulang panjang: epifise, metafise dan diafise.
Gambar 2
Gambar 2. Diagram proses osifikasi intramembranosa pada tulang tubuler: a. Perikondrium (garis hitam di pinggir) terletak di pinggiran model kartilago.; b. Perikondrium di diafise digantikan oleh periostium (garis tipis), bertanggung jawab langsung pada penggantian korteks tulang (garis tebal).; c. Setelah lahir, keseimbangan penggantian periosteal (garis tipis) korteks tulang dan resorpsi endostel (garis putus-putus), berperan dalam remodeling tulang dan pembentukan tabung.
Gambar 3
Gambar 2. Diagram skematik tahapan-tahapan penting proses osifikasi endokondral: a.Model kartilago hialin (usia minggu ke-7); b.Degenerasi kondroblas di tengah model kartilago hialin: 1.Pusat osifikasi primer, 2.Tampak model memiliki dinding tipis berkalsifikasi (spongiosa primer).; c.Invasi tunas pembuluh darah pada pusat osifikasi (minggu ke-9) dan disertai sel-sel osteoprogenitor: 1.Sel osteoid ditumpuk pada matrik kartilago (spongiosa kedua), 2.Selanjutnya resorpsi osteoklastik menciptakan sumsum tulang, 3.Hanya beberapa trabekula tulang dewasa yang tersisa.; d. Pada saat lahir, diafise mengalami osifikasi, namun osifikasi endokondral berlanjut pada epifise (pusat osifikasi kedua): 1.Cakram pertumbuhan, 2. Zona residu antara osifikasi endokondral pertama dan kedua, bertanggung jawab untuk pemanjangan tulang. Osifikasi endokondral berhenti setelah cakram pertumbuhan menyatu.
Gambar 4
Gambar 1.a,b Fenomena tetesan atau lelehan lilin, a. Pada lilin sesungguhnya, b. Pada tulang fibula sorang pria berumur 45 tahun.
Gambar 5
Pola melorheostosis menyerupai osteoma. 2.a,b Seorang wanita berumur 18 tahun dengan klinis fibrosis subkutan dan skleroderma berbatas pada tulang femur dan tibia yang terlibat. Pasien menderita nyeri kronik sejak umur 9 tahun. Hyperostosis terletak eksentrik di korteks medial tulang femur dan korteks ventral tulang tibia kanan. 2.c,d Seorang anak laki-laki berumur 14 tahun dengan hyperostosis seperti osteoma di tulang tibia, berkesesuaian dengan sklerotome tubuh L4.
Gambar 6
Pola melorheostosis menyerupai osteopathia striata pada seorang pria berusis 25 tahun. Tampak goresan goresan hyperostosis padat terletak eksentrik pada ujung distal tulang femur dan ujung proksimal tulang tibia (sklerotom L3). Alasan utama yang membedakan dengan osteopathia murni adalah sifat lesi eksentrik dan hyperostotis hanya tereletak unilateral.
Gambar 7
Pola melorheostosis predominan menyerupai myositis ossificans pada pasien 26 tahun. Pada permukaan kulit diatas osifikasi terdapat fibrosis subkutan yang sangat nyeri dan tampak hiperpigmentasi kulit disekitar pinggul dan lutut. Terdapat keterbatasan gerak pada kedua sendi.
Gambar 8
Pola melorheostosis campuran dengan osifikasi paraarticular menyerupai myositis ossificans yang menyolok di bagian laterodorsal lutut, gambaran khas hyperostosis tetesan lilin di tulang fibula, dan kalsifikasi seperti osteoma di kerangka kaki (gambar tidak diperlihatkan), sesuai dengan pola sklerotome L4/L5 pada seorang laki-laki berumur 45 tahun dengan riwayat nyeri kronik bila berdiri lama dan kontraktur pada lutut kiri.
Gambar 9.
Pemindaian tulang dengan peningkatan uptake 99Tc terlihat pada tulang fibula kiri.
Gambar 10
Tampilan MRI. Potongan sagital sekuen T2, tampak area multiple di intrameduler tidak menunjukkan sinyal yang rendah. Telah dilakukan prosedur patelektomi oleh karena rasa nyeri yang hebat.
Gambar 11
Gambar radiografi konvensional thoraks, menunjukkan hiperostosis di sepanjang permukaan caudal tulang rusuk ke-8 dan ke-9 kanan belakang. Pada pemeriksaan CT scan tampak gambaran tegas antara tulang yang sehat dengan tulang yang terlibat melorheostosis.
Gambar 12.a.b.
Gambar 12.a. foto mikrograf menunjukkan adanya hiperostosis trabekula korteks tulang dengan ketebalan yang berbeda, 12.b. tampak adanya aktifitas osteoklastik.
Gambar 13
Massa dengan osifikasi sirkuler pada tungkai kanan atas, dengan celah radiolusen dan area lusen di tengah lesi, sesuai gambaran miositis osifikans.
Gambar 14.a.b.
Gambar 14. CT scan kepala tampilan axial menunjukkan gambaran osteoma pada atap orbita pada dua pasien yang berbeda. 14.a ivory osteoma; b. mature osteoma.http://radiopaedia.org/articles/osteoma
Gambar 15
Gambar 15.a. Foto pelvis seorang laki-laki 13 tahun, poikilosis ditemukan secara insidental, b. MRI (T1) Ankle menunjukkan lesi hypointens multipel sesuai dengan gambaran poikilosis.http://radiopaedia.org/articles/osteopoikilosis-2
Gambar 16
Gambar 16.a.b. Gambar rontgen lutut seseorang berusia 19 tahun. Garis-garis linear pada ujung tulang femur dan tibia sejajar dengan poros tulang. Kelainan ini semakin terlihat pada tulang femur. Terdapat osteonkondroma pada tulang tibia kanan.
Tabel 1 Perbedaan Klinis-radiologis Kondisi-kondisi Tulang Hiperostosis Penyakit
Transmisi
Melorheostosis
Kehidupan Komplikasi
Nyeri pada tulang, kontraktur sendi, Normal Kongenital
Osteopathia striata Kongenital,
Osteopoikilosis
Tampilan Klinis
keterbatasan gerak, abnormalitas kulit Biasanya asimtomatik, berhubungan Normal
kemungkinan
dengan sklerosis kranial dan Sindrom
genetik Autosomal
Goltz Biasanya simtomatik, perubahan kulit Normal
dominan
terjadi pada 25% kasus
Radiologi
Lokasi
Tulang Panjang, Penutupan Tulang periosteal baru yang physis dini, berbentuk garis-garis atau monomelik pada pemendekan, bergelombang, seperti aliran ankilosing sendi tetesan lilin kebanyakan kasus
Densitas Tulang
Tc99 pyropospat
Meningkat
Meningkat
Tidak ada
Garis-garis vertikal multipel Tulang Panjang dengan peningkatan densitas
meningkat
Normal
Tidak ada
Radiopasitas bulat atau oval Tulang panjang, multipel pada area juxtra karpal, tarsal, pinggul Meningkat artickular tulang dan skapula
Normal
Tabel 2
Diagnosis Banding Melorheostosis Kelainan
Ciri-ciri
Myositis Ossificans
Osteoma
Melorheostosis
Terdapat fenomena zonal, celah Tidak ada, tidak ada celah, radiolusen antara lesi dan korteks, tidak peningkatan uptake fokal ada atau minimal uptake pada bone scan Permukaan halus
Permukaan bergelombang
Parosteal Sarcoma
Uptake tracer yang kuat, erosi kortek dan Uptake tracer sedang, peningkatan uptake tracer pada ruangan bergantung luas permukaan medula lesi
Focal Scleroderma
Kontraktur tidak berhubungan dengan Terdapat lesi tulang adanya lesi tulang
Caffey's diseases
Reaksi periosteal sementara kurang tebal Lebih tebal
FOTO PEMERIKSAAN KASUS Gambar 17
Gambar 18
Gambar 19