LAPORAN HASIL MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN MELALUI INOVASI (M-P3MI) KABUPATEN LUWU SUL-SEL PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Theobrema cacao
Kakao
L.) merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan penting yang secara historis pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1560, namun baru menjadi komoditas penting sejak tahun 1951. Kemudian pemerintah
mulai
menaruh
perhatian
dan mendukung industri kakao pada
tahun 1975, yaitu setelah PTP VI berhasil meningkatkan produksi tanaman ini melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid (Sunanto, 1992). Tanaman kakao khususnya yang dikelola oleh petani (perkebunan rakyat) dapat dijumpai pada semua provinsi di Indonesia. Statistik
Perkebunan
(Dirjenbun, 2004) menunjukkan bahwa total areal perkebunan kakao rakyat di Indonesia tercatat seluas 801.332 hektar dengan total produksi 512.251 ton per tahun (produktivitas 963,33 kg/ha/tahun) dan jumlah petani sebanyak 910.835 kepala keluarga (rataan pemilikan lahan sekitar 0,89 ha/KK). Wilayah sentra bagian Timur,
utama produksi kakao terdapat
meliputi
di kawasan Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
dan
Sulawesi Tengah. Dari ketiga provinsi tersebut, Sulawesi Selatan tercatat sebagai provinsi terbesar dibandingkan kedua provinsi lainnya.
Total areal perkebunan
kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan tercatat sekitar 296.039 hektar dengan total produksi 282.692 ton per tahun, produktivitas 953,60 kilogram per hektar pertahun, jumlah petani sebanyak 284.029 kepala keluarga, dan rataan pemilikan lahan sekitar 1,04 hektar per kepala keluarga (BPS Sulsel, 2004). Khusus untuk Kabupaten Luwu, luas arealnya tercatat 24.591,3 hektar, produksi 24.458,6 ton per hektar per tahun, produktivitas 994,6 kilogram per hektar per tahun, jumlah petani 19.423 kepala keluarga,
dan rataan pemilikan sekitar 1,27 hektar per
kepala keluarga (BPS Luwu, 2004). Kendati tergolong sebagai komoditas unggulan, secara usahatani
kakao
garis besar
rakyat ini masih memiliki beberapa kekurangan dan perlu
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
ditingkatkan. Kekurangan tersebut terkait dengan berbagai aspek, mulai
dari
budidaya pemeliharaan, panen/pascapanen, pengolahan, hingga pemasaran. Namun dengan potensi yang dimiliki, usahatani ini berpeluang untuk dibenahi baik secara teknis maupun dalam hal penataan kelembagaannya. Salah satu peluang guna merealisasikan tujuan tersebut adalah melalui implementasi Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian
(Prima Tani). Sejak Tahun 2009 yang lalu pemerintah telah melaksanakan Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu (GERNAS)
Kakao, yang
bertujuan memperbaiki kondisi kebun yang tanamannya sudah tua, rusak, tidak
produktif,
dan
terserang
berat
oleh
hama
dan penyakit. Kegiatan
GERNAS meliputi; Intensifiksi, Rehabilitasi dan Peremajaan. Untuk mendukung kebehasilan proram tersebut maka perlu membangun Laboratorium Lapangan sebagai benpat pembelajaran, peremuan dan diskusi antara petani, penyuluh, peneliti dan pemangku kepentingan lainnya. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari M-P3MI adalah bagian dari operasionalisasi program Strategis Kementerian Pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui percepatan diseminasi inovasi pertanian
kepada petani dan
masyarakat pengguna lainya. 2 Tujuan Tahun 2011 a. Pembinaan SDM petani bina hingga tingkat terampil b. Meningkatkan penerapan teknologi pra panen kakao, dan komoditas lainnya termasuk ternak yang ada dilokasi kegiatan c. Meningkatkan
penerapan
teknologi
pasca
pengeringan) skala rumah tangga atau kelompok
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
panen
kakao
(fermentasi,
C. Keluaran Yang Diharapkan 1. Luaran umum Model Laboratorium pengembangan komoditas tanaman kakao secara terintegrasi,
dengan inovasi sistem dan usaha agribisnis yang mampu
meningkatkan
daya saing, nilai tambah,
pendapatan, dan kesejahteraan
masyarakat perdesaan secara nyata dan berkelanjutan. 2. Luaran Tahun 2011 a. Kualitas SDM petani bina meningkat hingga tingkat terampil b. Semakin
menguatnya
kelembagaan
tani,
bertambahnya
akses
pasar,
terbentuknya jaringan kerja dengan lembaga keuangan c. Implementasi teknologi pra panen kakao, dan komoditas lainnya d. Implementasi teknologi pasca panen kakao (fermentasi, pengeringan) skala rumah tangga atau kelompok D. Perkiraan Manfaat dan Dampak a. Meningkatnya daya saing, nilai tambah, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara nyata dan berkelanjutan. b. Meningkatnya animo masyarakat perdesaan terhadap penerapan inovasi teknologi
pertanian
dan
perdesaan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
berkembangnya
system
dan
usaha
agribisnis
I. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Kegiatan M-P3MI Tahun 2011 di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Laboratorium Lapangan dilaksanakan pada hamparan tanaman kakao 5 Ha di Dusun Batu Titti Desa Batu Lappa Kecamatan Larompong Selatan. B. Pendekatan Kegiatan ini dilaksanakan dengan pendekatan kawasan administrasi pemerintahan dalam suatu model agribisnis terpadu yang terbentuk secara partisipatif oleh seluruh komponen masyarakat/lembaga dalam satu atau
yang
terlibat dalam agribisnis di desa tersebut. Komoditas yang ditangani yaitu Kakao dan komoditas yang berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat desa secara nyata, seperti DFurian, Rambutan, Pisang dan Kelapa. C. Ruang lingkup Kegiatan Perencanaan M-P3MI dilaksanakan secara sistematis ke dalam tiga fase yaitu (1) Fase inisiasi Model, (2) Fase
pengawalan Teknologi dan (3) Fase
Pengembangan. Masing-masing fase terdiri dari beberapa tahapan. Kegiatan yang Sosialisasi,
dilaksanakan pada Tahun 2011 meliputi; Koordinasi dan
Penetuan Lokasi, Identifikasi permasalahan,
Perancangan Model
Pengembangan Pertanian Perdesaan (M-P3MI) sebagai Loratorium Lapangan, Implementasi Model Laboratorium, Pendampinga/ pengawalan,
Pengumpulan
data/informasi dan Pelaporan Koordinasi dan sosialisasi : ini diperlukan agar semua pihak dapat memahami maksud dan tujuan kegiatan yang yang akan dilaksanakan, dengan demikian semua pihak diharapkan dapat
berpartisipasi aktif sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing Penentuan Lokaisi: Lokasi yang dipilih merupakan sentra produksi kakao dan pada lokasi tersebut terdapat program Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan Identifikasi Permasalahan: akan mengumpulkan data bio fisik (tofografi, sumber air, Curah hujan, jenis tanah), Sosial ekonomi (akses, transfortasi,
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
struktur keluarga petani, penguasaan lahan pertanian dan aset lainnya), Eksisting teknologi (budidaya tanaman, ternak, pola tanam yang petani) Produksitivas komoditas, usahatani, pendapatan petani, sumber pendapatan, keragaan kelembagaan kelompok tani, kelembagaan pasar sarana produksi, kelembagaan pasar hasil pertanian, kelembagaan kredit pertanian. Perancangan M-P3MI: didasarkan pada hasil identifikasi permasalahan. Orientasi komunitas berbasis agribisnis Implementasi M-P3MI sebagai Laboratorium Lapangan: Disain atau rancangan Laboratorium Lapangan yang telah mendapat dukungan berbagai pihak
diimplementasikan di lapangan dalam bentuk Unit Percontohan yang
berskala
pengembangan
dan
berwawasan
agribisnis
terpadu.
Skala
pengembangan disesuaikan dengan basis usaha yang dilakukan. Agar spektrum diseminasi teknologi yang diujicobakan semakin luas khususnya teknologi di bidang pertanian, maka diperlukan hal sbb.:
Pertama, teknologi yang didiseminasikan kompatibel dengan permasalahan petani
yang
sedang
dihadapi,
atau
teknologi
yang
didemonstrasikan
merupakan teknologi yang mampu memecahkan permasalahan petani.
Di
samping itu teknologi harus bersifat tepat guna, menguntungkan, sesuai kebutuhan, tidak rumit, hasilnya nyata, biaya murah dan teruji.
Kedua, untuk menjamin tingginya efektivitas adopsi, khususnya bagi petani dengan pengetahuan yang relatif rendah, adalah melalui peragaan langsung di lapang menggunakan percontohan dengan skala pengembangan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
III.
Rancangan Program
Perencanaan M-P3MI dilaksanakan secara sistematis ke dalam tiga fase yang masing-masing fase terdiri dari beberapa tahapan. A. Fase I : Inisiasi Model (Tahun 2011) Kegiatan yang akan dilakukan pada fase ini tediri atas empat (4) tahapan, yaitu :
(1) Penentuan Lokasi. Pemilihan lokasi sangat menentukan keberlangsungan kegiatan M-P3MI. Lokasi harus dipilih memenuhi kriteria yang tepat menjadi prasyarat untuk mendorong keberhasilan dan pencapaian tujuan. Kriteria pemilihan lokasi dan Poktan/Gapoktan adalah sebagai berikut : a. Sentra produksi atau kawasan prioritas pengembangan komunitas oleh pemda setempat.
Dalam hal ini, lokasi ditempatkan di lokasi yang
sebelumnya sudah ada kegiatan sinergi antara berbagai program strategis Kementerian Pertanian seperti rumah tani, PUAP, SLPTT, PSDSK, P2KH, FEATI, LM3, P4MI. Jika tidak ada lokasi yang memenuhi kriteria itu, M-P3MI bisa ditempatkan di salah satu lokasi penyelenggaraan program strategis yang dinilai memiliki perspektif pengembangan ke depan.
Apakah di lokasi eks PRIMATANI,
atau di salah satu program strategis Kementerian Pertanian lainnya seperti yang telah dikemukakan. b. Letak lokasi M-P3MI harus strategis, baik dari aspek jarak maupun aksesibilitas, mudah dijangkau sehingga mudah melakukan advokasi kepada Pemda, Asosiasi Petani, LSM, Perguruan Tinggi, Swasta, Anggota DPRD, Camat dan Kepala Desa. c. Poktan/Gapoktan yang akan melaksanakan percontohan, dipilih dari Poktan/Gapoktan yang sudah atau sedang ada kegiatan program Pemda atau program lainnya seperti PUAP, FEATI, P4MI, dll.
Dari sisi
Agroekosistem, M-P3MI akan difokuskan di tiga agroekosistem, yaitu lahan sawah, lahan kering dan lahan pasang surut .
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
(2). Identifikasi Permasalahan Kegiatan ini dilakukan selain untuk menjadi langkah untuk mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi petani dan pelaku agribisnis juga sekaligus untuk merancang teknologi pendamping. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan pada saat identifikasi permasalahan adalah sebagai berikut : o
Keragaan data bio-fisik dan sosial ekonomi petani : data bio-fisik misalnya topografi, sumber air permukaan, pola curah hujan, jenis lahan atau tanah. Data sosial ekonomi, misalnya akses, transportasi, struktur keluarga petani, struktur penguasaan lahan pertanian.
o
Keragaan eksisting teknologi misalnya teknologi budidaya tanaman atau ternak, pola tanam dan pola usahatani yang biasa dilakukan petani.
o
Keragaan eksisting produktivitas usaha tani yang dilakukan petani, pendapatan petani dan sumber pendapatan petani selama satu tahun terakhir.
o
Keragaan eksisting kelembagaan kelompok petani, kelembagaan pasar sarana produksi, kelembagaan pasar hasil pertanian, kelembagaan kredit pertanian.
Dari kegiatan ini akan diperoleh adanya bukti-bukti keefektifan dari teknologi yag sudah eksis di lingkungan petani. Jika ditemukan petani yang belum menerapkan teknologi itu akan diketahui pula alasan mengapa belum diterapkan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
IV. HASIL PARTICIPATORY RURAL APPARAISAL (PRA) A. Potensi dan Program Pengembangan Pertanian Kabupaten 1. Potensi Kabupaten Luwu terletak di pesisir timur Sulawesi Selatan yang luasnya 3.000,25 km2, terdiri atas laut, dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian mencapai 2000 m dpl. Secara administrasi Kabupaten Luwu pada tahun 2009 dibagi menjadi 21 Kecamatan yang dibagi menjadi 227 desa/kelurahan.. Berdasarkan ketinggian tempat dari muka laut, terdapat 40,2 % berada pada ketinggian 0 – 100 dpl; 18,09 % pada ketinggian 100 – 500 m dpl 18,09 %; 22,98 % berada pada ketinggian 500 – 1000 m dpl, 20,2 % pada ketinggian > 1000 m dpl. Kabupaten Luwu memiliki curah hujan yang relatif tinggi dan merata sepanjang tahun. Tipe iklimnya termasuk tipe A dan B, dan sebagian kecil C. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Luwu adalah alluvial sebanyak 25,69%, Podzolik 1,08%, Latosol 8,39%, Regosol 50,17%. Penggunaan tanah meliputi pemukiman 2,61%, sawah 11%, kebun campuran 26,40%, tegalan/ ladang 1,17%, perkebunan 13,01%, tambak 2,68%, dan padang rumput 2,68%. Jumlah penduduk Kabupaten Luwu tahun 2009 adalah sebesar 328.180 jiwa terdiri dari 162.101 jiwa laki-laki dan 166.079 jiwa perempuan.. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu pada kurun waktu 2007-2009 berturut-turut sebesar 5,53%, 5,74% dan 6,82%. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu 6,82 persen, yaitu dari angka PDRB sebesar 1.480.669,09 (jutaan rupiah) pada tahun 2008 menjadi 1.581.663,43 (jutaan rupiah) tahun 2009. Pada tahun 2007 PDRB Perkapita Penduduk Kabupaten Luwu sebesar Rp 7.043.694 meningkat menjadi Rp 8.316.218 pada tahun 2008. Pada tahun 2009 terus mengalami peningkatan menjadi Rp 9.737.480 atau mengalami kenaikan rata-rata tiap tahun sebesar 14,14 persen. Struktur perekonomian Kabupaten Luwu dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2009 masih didominasi oleh sektor Pertanian. Pada tahun 2009 kontribusi sektor Pertanian dalam pembentukan nilai Total PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kabupaten Luwu sekitar 51,27 persen atau lebih dari separuh nilai total PDRB Kabupaten Luwu berasal sektor Pertanian. Besarnya kontribusi sektor Pertanian erat kaitannya dengan peranan sub sektor Tanaman Perkebunan dan www.sulsel.litbang.deptan.go.id
subsektor Tanaman Bahan Makanan serta sub sektor Perikanan dengan andil masing-masing sebesar 27,09 persen dan 12,50 persen serta 9,96 persen.Dengan demikian Kabupaten Luwu masih bertumpu pada sektor pertanian. 2. Keadaan Umum Kabupaten Luwu dan Lokasi Luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.000,25 km2atau 300.025 ha. Pada tahun 2009 luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian di Kabupaten Luwu mencapai 161.634 hektar, sedangkan luas lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian sebesar 138.391 hektar (46,13 persen). Dari 161.634 hektar lahan pertanian tersebut 22,63 persen diantaranya merupakan lahan sawah, dan selebihnya merupakan lahan bukan sawah.
Dari 12 komoditi perkebunan yang
cukup bernilai ekonomi, komoditi KAKAO mempunyai produksi terbanyak yakni 18.649,24 Ton per tahun dengan luas Areal 36.762,16 Ha. Kondisi ini dicapai karena adanya usaha perbaikan genetis sebanyak 30 persen dari sentra-sentra produksi yang tersebar di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan Bupon, Ponrang, Batulappa, Larompong & Lamasi. Berdasarkan ketinggian tempat
dari muka laut, 40,2% berada pada
ketinggian 0 – 100 m; 18,09% pada ketinggian 100 – 500 m; 22,98% berada pada ketinggian 500 – 1000 m dan 20,2% pada ketinggian > 1000 m. Kabupaten Luwu memiliki curah hujan yang relatif tinggi dan merata sepanjang tahun. Tipe iklimnya termasuk tipe A dan B, dan sebagian kecil C. Secara garis besar kondisi lokasi biofisik kabupaten Luwu adalah sebagai berikut : Secara geografis terletak pada 2o3,45 LS – 3o37,30 LS dan 119o41’15 BT – 121o43’11 BT. Seara astronomis berada pada posisi 2o59’ – 3o44’ LS dan 199o98’ – 120o25’ BT. Sebagian besar berada di wilayah dataran rendah, ketinggian 0-2000 dpl Jenis tanah entisol dan insectisol mulai dari pesisir pantai, dataran rendah sampai daerah berbukit dan pegunungan. Temperatur rata-rata harian bervariasi antara 23o-24o C. Kelembaban relatif bervariasi dari 76,8% -85% Jarak dari provinsi Sulawesi Selatan /Makassar
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
300 km.
Lama penyinaran bervariasi antara 5,2 jam/hari s/d 10,5 jam/hari. Radiasi berkisar antara 304 kalori/cm/hari. Kecepatan angin bervariasi antara 41,9 km/jam – 72 km/jam Curah hujan 1500 mm – 2700mm per tahun atau rata-rata diatas 100 mm per bulan dan curah hujan terendah pada bulan September-Oktober yaitu 50-90 mm per bulan. Tipe iklim manurut Smith dan Fergusson termasuk tipe A (amat basah) dan B (basah). Luas pertanaman komoditas kakao saat ini 36.782,16 ha dan potensi pengembangan 192.328 ha Tabel 1. Zona Agroekologi Kabupaten Luwu Zo na III ax
IV ax
Eleva si (m dpl) < 750
<750
Rejim Suhu
Rejim Kelembab an
Fisiogra fi
Leren g (%)
Panas
Lembab
Dataran
8-15
Hapludults Hapludults Dystrudept s Eutrudepts Hapludults
Baik
Wanata ni/ Budiday a lorong
Panas
Lembab
Dataran
<8
Dystrudept s Eutrudepts Hapludults Hapludults Hapludults Hapludults Udipsamm ents
Baik
Pertani an Lahan kering
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Klasifikasi Tanah
Drain ase
Sistem Pertani an
3. Keadaan Umum Kecamatan Larompong Selatan dan Desa Batulappa Kecamatan
Larompong
Selatan
merupakan
hasil
pemekaran
dari
Kecamatan Larompong. Berdasarkan data Kecamatan Larompong Selatan dalam angka (2010) luas kecamatan mencapai 131 km2 dengan jumlah penduduk 17.043 jiwa dengan kepadatan penduduk 130 jiwa/ km2. Lahan umumnya datar sampai bernukit dengan ketinggian 0 – 500 meter dpl.
Berdasarkan
kalsifikasi
tanah
maka
kecamatan
Larompong
Selatan
mempunyai jenis tanah Alluvial, Latosol dan Gramozol dengan tekstur lempung sampai liat dan pH antara 4-6 pada lahan sawah dan 5-7 untuk lahan kering, suhu udara antara 210-320 C.
Penggunaan lahan berupa kebun (dominan kakao),
sawah, dan pekarangan. Komoditas yang diusahakan yaitu: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kakao, kelapa, pisang, cengkeh, langsat, durian, rambutan, nangka, kedondong, jambu, dan ternak. Luas wilayah Desa Batulappa 15 km2 , terdiri atas 4 dusun, 4 RW terletak pada ketinggian + 100 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 287,33 mm per tahun dan relatif merata sepanjang tahun. Curah hujan terendah umumnya terjadi pada bulan Oktober-November yaitu 80 - 100 mm per bulan. Tipe iklim manurut Smith dan Fergusson termasuk tipe A (amat basah) dan B (basah). Jarak dari ibu kota kabupaten
46 km, dari ibu kota kecamatan 2,5 km.
Transportasi yang umum untuk masuk dan keluar desa adalah ojek (sepeda motor).
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Curah hujan dan Pola Tanam Berdasarkan data curah hujan 2 tahun terakhir (2009 – 2010) dari Stasiun curah hujan no.23 C Dadeko (stasiun CH terdekat), rata-rata curah hujan 225,08 mm/tahun dengan 169 hari hujan. Curah hujan tersebut hampir merata setiap bulan. Curah hujan tertinggi tercatat pada bulan Mei sebanyak 406 mm, dan terendah pada bulan Desember 100 mm (Gambar 1). Kondisi iklim yang demikian itu sangat cocok untuk tanaman kakao, yang secara ekonomi juga sangat menguntungkan. Secara umum petani di Desa Batulappa mengandalkan tanaman kakao dan sedikit tanaman cengkeh, kelapa dan rambutan, durian sebagai sumber pendapatan. Aktivitas petani berlangsung sepanjang tahun dengan aktivitas utama pemangkasan, pemupukan, panen, penyemprotan.
Gambar 1. Pola curah hujan di Kecamatan Larompong Selatan selama 2009 - 2010
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Kelompok
Gapoktan
Tani
DESA BATULAPPA
10 km
Kios Sarana Produksi
Pedagang pengepul
PENYULUH
46 km 10 km
7 Km
Pedagang eksportir
2,5 km
PASAR KECAMATAN
Bank
300 km
LSM BPTP
Gambar 2. Diagram ven keterkaitan berbagai lembaga di Desa Batulappa B. Masalah dan Alternatif Pemecahannya Penelusuran permasalahan yang ada ditingkat petani dilakukan melalui wawancara dengan sejumlah anggota kelompok tani yang ada di Desa Batulappa, Dusun
Batutitti
yaitu
Kelompok
Tani
Sipammase-mase,
Hidup
Bersama,
Perdamaian, SabbaraE dan Subur Tani. Kegiatan PRA melibatkan Tim MP3MI BPTP Sulsel, Penyuluh Desa Batulappa, Tim Kakao Lestari Dinas Perkebunan Prov. Sulsel, Kepala Desa Batulappa dan Kepala Dusun Batutitti.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Topik yang didiskusikan pada kegiatan PRA yaitu, bidang produksi tanaman, diversifikasi usahatani, pascapanen, kelembagaan, pemanfaatan limbah, dan infra struktur.
Gambar 3. Pelaksanaan PRA Berdasarkan hasil diskusi dirumuskan masalah, sumber masalah, akar masalah, kebutuhan inovási, dan sumber teknologi yang diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan MP3MI. 1. Bidang Produksi Tanaman Masalah
:
- Produksi hasil sambung samping 900 – 1.200 kg/thn dan produktivitas masih dapat ditingkatkan
Sumber masalah
:
- Hama PBK, penyakit busuk buah, VSD, umur tanaman yg suda tua, pemupukan dan pengelolaan lahan
Akar masalah
: - Teknik pengendalian hama/penyakit, sanitasi, penanganan limbah belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan petani - Belum melakukan pemupukan yang tepat
Kebutuhan inovasi
:
Sumber teknologi
:
-
Sekolah Lapang pengendalian hama/penyakit Teknik peremajaan tanaman tua Analisis rekomendasi pemupukan, Puslit Koka, Puslitbang Perkebunan, BPTP, Balitklimat
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2. Bidang Diversifikasi Usahatani Masalah
:
- Petani tidak/kurang memberi perhatian terhadap komoditas lain seperti kelapa, pisang, rambutan, durian, Lansat, dan ayam sebagai sumber pendapatan
Sumber masalah
:
- Terfokus pada kakao karena hasil dari tanaman kakao lebih banyak
Akar masalah
:
- Pemahaman tentang peluang peningkatan pendapatan dari tanaman lain masih terbatas
Kebutuhan inovasi
:
- Teknik dan tata tanam komoditas lain dan ternak terpadu (CLS) - Pembuatan pupuk organik dari limbah kakao, ternak dll - Pengadaan terbak sapi
Sumber teknologi
:
- Puslit Koka, BPTP, Puslibangbun, Balitnak
3. Bidang Kelembagaan Masalah
:
- Gapoktan belum berfungsi optimal. - Penyalur saprodi di luar desa - Lembaga penyediaan modal yang mudah diakses belum ada
Sumber masalah
:
- Seksi-seksi yang ada di Gapoktan maksimal - Belum ada lembaga Koperasi
Akar masalah
:
- Organisasi dan manfaat kelompok belum dipahami secara baik oleh petani
Kebutuhan inovasi
:
- Pembinaan kelompok secara berkelanjutan - Kemitraan, modal kemitraan
Sumber teknologi
:
- Dinas Koperasi, Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perbankan, BPTP
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
belum
berfungsi
4. Bidang Pascapanen Masalah
:
- Belum ada perbedaan harga yang signifikan antara biji fermentasi dan tidak fermentasi - Mutu biji kakao rendah
Sumber masalah
:
- Petani hanya berhubungan dengan pedagang pengumpul desa
Akar masalah
:
- Petani butuh uang tunai secara cepat - Lembaga pemasaran belum teroganisir - Teknologi pengeringan dan fermentasi
Kebutuhan inovasi
:
- Penguatan lembaga pemasaran desa/petani - Perbaikan teknologi pasca panen (fermentasi, pengeringan dan sortasi) - Kemitraan pemasaran - Teknologi pengolahan
Sumber teknologi
:
- BB Alsintan, BB Pasca Panen, Puslit Koka, BPTP
5. Bidang Pemanfaatan Limbah kakao/ternak Masalah
:
- Belum dimanfaatkan baik untuk pakan maupun pupuk
Sumber masalah
:
- Petani belum mengetahui teknologi pemanfaatan limbah
Akar masalah
:
- Kurang informasi
Kebutuhan inovasi
:
- Teknologi prosessing limbah untuk pupuk organik, pakan ternak dalam kaitannya dengan diversifikasi usahatani
Sumber teknologi
:
- BB Alsintan, BPTP
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
C. Peluang Peningkatan Batulappa
Produktivitas
Tanaman
Kakao
di
Desa
Produksi tanaman kakao di Desa Batulappa, Dusun Batutitti pada tingkat petani bervariasi antara 0,90 – 1,2 t/ha. Sementara produktivitas di tingkat kecamatan Larompong Selatan dan Kabupaten Luwu pada tahun 2009 masingmasing 0,79 t/ha, dan 0,51 t/ha,.
Dengan penerapan teknik budidaya kakao
yang baik dan didukung oleh berbagai lembaga yang terkait, produktivitas kakao di Desa Batulappa, Dusun Batutitti masih dapat ditingkatkan menjadi 1,5 – 2,5 t/ha serta kualitasnya menjadi lebih baik. Disamping itu juga terdapat peluang untuk meningkatkan pendapatan petani dengan meningkatkan mutu biji kakao melalui sertifikasi (kakao lestari) de ikian pulah dengan diversikasi tanaman atau diversifikasi produk hasil samping kakao, seperti pembutan kompos dan pakan ternak.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
V. HASIL BASELINE SURVEY A. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa tanggungan keluarga per rumah tangga umur dibawah 15 tahun berkisar 0 – 3 orang.
Keragaan jumlah
tanggungan anggota keluarga per KK dapat dilihat pada Tabel 2. Dan untuk tanggungan keluargan umur lebih dari 15 tahun tersaji pada Tabel 3. Jumlah tanggungan dalam keluarga merupakan sumberdaya yang dapat membantu aktivitas usahatani sekaligus tanggungan kepala keluarga dalam penyediaan kebutuhan hidup. Tanggungan keluarga umur produktif yaitu umur lebih dari 15 tahun, sebagian besar petani (52 %) mempunyai tanggungan keluarga 1 orang dan 16 % mempunyai tanggungan keluarga 3 orang. Tabel 2. Keragaan jumlah tanggungan anggota keluarga per KK responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 UMUR KURANG 15 TAHUN Jumlah tanggungan anggota keluarga (jiwa/KK) 0 1 2 3 Jumlah UMUR LEBIH DARI 15 TAHUN 0 1 2 3 4 5 Jumlah
Jumlah Responden
%
8 5 6 6 25
32 20 24 24 100
3 13 3 4 1 1 25
12 52 12 16 4 4 100
Jumlah anggota keluarga petani responden yang ikut dalam kegiatan usahatani terbanyak 1 orang yatu mencapai 72% dan di ikuti dengan 2 orang anggota keluarga yaitu 20%. Jumlah anggota kelurga yang ikut bekerja dalam usahatani sangat berpengaruh terhap pengelolaan usahatani sehingga petani dapat
memperoleh
produksi
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
yang
optimal,
yang
pada
akhirnya
akan
meningkatkan pendapatan dan sejahteraan petani. Secara rinci jumlah anggota keluarga yang ikut terlibat dalam usahatani disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah anggota keluarga responden yang ikut terlibat dalam usahatani wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011. Anggota Kel. yang ikut usahatani 1 2 3 4 5 Jumlah
Jumlah Responden 18 5 1 0 1 25
% 72 20 4 0 4 100
Umur Petani Responden Umur petani responden berkisar 25 – 65 tahun. Petani responden kebanyakan berumur 25-35 tahun yaitu mencapai 36% dan umur 36-45 tahun mencapai 28%. Umur seperti itu tegolong usia produkti dalam melaksanakan usahataninya. Umur petani responden secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Umur petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Umur Petani 25 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 Jumlah
Jumlah KK 9 7 4 5 25
% 36 28 16 20 100
Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat pendidikan petani responden dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA). Pendidikan petani responden didominasi sekolah dasar yaitu mencapai 48%, menyusul SMP 36% dan SMA 4% (Tabel 5).
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 5. Tingkat Pendidikan petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Umur Petani SD SMP SMA Jumlah
Jumlah Responden 12 9 4 25
% 48 36 16 100
Status dan Luas Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan petani responden 100% adalah milik sendiri. Luas kepemilikan lahan berkisar 0,5 – 7,5 ha per petani. Kepemilikan lahan 0,5 – 2,5 ha yang terbanyak yaitu mencapai 72%, kepemilikan 2,6 – 5,0 ha mencapai 24% dan 5,1 – 7,5 ha mencapai 4% (Tabel 6). Tabel 6. Luas kepemilikan lahan petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Umur Petani 0,5 – 2,5 2,6 – 5,0 5,1 – 7,5 Jumlah
Jumlah Responden 18 6 1 25
% 72 24 4 100
Mata Pencaharian Mata pencaharian utama petani responden yang dominan 100% adalah usahatani perkebunan kakao. 1. Teknologi eksisting Teknologi eksisting ditingkat petani responden yaitu; Penggunaan klon unggul Sulawesi 1 dan Sulawesi 2 (100% responden) Penggunaan bibit sambung pucuk 40% Penggunaan bahan organik dari limbah kakao (32%) Teknologi Sambung Samping 92% Pemupukan 100% PHT, Pemangkasan, Sanitasi dan panen sering 100% Fermentasi 68%
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2. Pertimbangan dalam penerapan teknologi Beberapa faktor yang dipertimbangkan oleh petani dalam penerapan suatu teknologi antara lain sebagai berikut; 100% petani menyatakan faktor utama adalah Produktifitas tinggi, mudah diterapkan dan pasar tersedia, 100% petani menyatakan faktor ketersediaan teknologi dan murah, 100% juga menyatakan perubahan dari penerapan teknologi nyata dan 84% yang menyatakan kegagalan rendah.
Dari berbagai faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam
penerapan teknologi dapat di susun berdasarkan skala prioritas sebagai berikut; Skala Prioritas: 1.
Produktivitas tinggi
2.
Mudah diterapkan
3.
Pasar ada
4.
Teknologi tersedia murah
5.
Perubahan nyata
6.
Kegagalan rendah
Karakteristik anggota rumah tangga dari seluruh petani responden dapat dilihat pada Tabel 7. Laki – laki bekerja adalah 1,67 orang dan perempuan 1,16 per KK. Hal ini menunjukan bahwa perempuan pun cukup berperan dalam berbagai aktivitas usahatani. Berdasarkan umurnya, petani di lokasi pengkajian yang aktif bekerja adalah yang berumur 15 – 55 tahun. Jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan kaum wanita. Tabel 7. Keragaan anggota rumah tangga petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Golongan Umur (tahun) < 15 15 – 55 > 55 Total
Laki-laki (1) Bekerja 0,18 1,46 0,03 1,67 2,45
Tidak 0,72 0,03 0,03 0,78
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Perempuan (2) Bekerja
Tidak
0,08 1,08 0 1,16 2,27
0,95 0,13 0,03 1,11
Jumlah (1)+(2) Bekerja
Tidak
Total
0,26 2,54 0,03
1,67 0,16 0,06
1,93 2,70 0,09
2,80
1,89
4,69
3. Penguasaan Lahan dan Status Penggarapan Lahan merupakan aset utama bagi aktivitas pertanian. Luas lahan yang dimiliki oleh responden pada umumnya berkisar 0,5 – 1 ha tiap KK. Tetapi masih terdapat 5
% responden yang pemilikan lahannya lebih kecil dari 0,5 ha.
Keragaan kepemilikan lahan disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan kepemilikannya, semua responden memiliki lahan dan digarap sendiri. Lahan tersebut ditanami kakao, yang sebagian kecil diantaranya ditumpang sari dengan kelapa. Tabel 8. Kepemilikan lahan petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Pemilikan lahan (ha) < 0,5 0,5- 1 1,1-2 2,1-3 3,1-4 >4
% 5 50 25 7,5 5 7,5
5. Penguasaan Alsintan Alat dan mesin pertanian sangat membantu dalam efisiensi penggunaan waktu dan biaya tenaga kerja dalam berusaha tani. Alsintan yang paling banyak dimiliki petani adalah hand sprayer (91,5 %) dan sabit/antel/parang (100 %) dengan rata- rata kepemilikan 1-3 unit/ KK. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua alat tersebut merupakan alat utama yang dipakai petani dalam usahataninya. Selain itu petani juga memiliki lantai jemur. Persentase kepemilikan alsintan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase petani berdasarkan kepemilikan alsintan petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Jenis Alsintan
% RT Tani
Unit/KK
0
0
0
0
53,5
1
4 Hand sprayer
91,5
1
5 Lantai jemur
56,5
1
0
0
0
0
100
1-3
1 Traktor 2 Thresser 3 Pompa air
6 Lumbung 7 Penggilingan 8 Sabit/arit/antel/parang
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
6. Penguasaan Ternak Selain bercocok tanam, petani responden juga memiliki ternak diantaranya sapi, kambing, ayam, dan itik manila/entok. Semua petani memiliki ayam buras 5 – 10 ekor tiap KK. Sementara itu sapi dan kambing baru dimiliki/dipelihara oleh sebagian kecil petani. Persentase kepemilikan ternak dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase petani berdasarkan kepemilikan ternak petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Jenis Ternak 1 2 3 4 5
% RT Tani 2,5 2,5 30,5 0 100
Sapi Kambing Itik manila/entok Ayam ras Ayam buras
Ekor/RT 2 4 3 0 5-10
7. Penguasaan Alat Transport Untuk mendukung kelancaran usahataninya, sebagian besar petani memiliki sepeda (77,5 %) dan hampir separuh diantaranya memiliki sepeda motor (37,5 %). Sementara
hanya hanya
sebagian
kecil diantaranya yang
memiliki
truk/kendaraan roda 4 (7,5 %). Sepeda merupakan alat angkut utama pada berbagai aktivitas usahatani seperti mengangkat sarana produksi dan hasil panen. Sepeda tersebut termasuk alat transportasi serbaguna dan murah serta dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Tabel 11. Persentase petani berdasarkan kepemilikan alat transport petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Jenis Alat Transport 1
Truk/Roda 4
2
% RT Tani
Unit/RT
7,5
1
Sepeda Motor
37,5
1
3
Sepeda
77,5
1
4
Gerobak Traktor
0
0
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
8. Pendapatan Rumah Tangga Total pendapatan petani per tahun adalah Rp 5.715.000, yang terutama berasal dari kakao dan hanya sebagian kecil berasal dari kelapa dan pisang. Sementara pendapatan dari aktivitas lain diluar usahatani sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Kontribusi berbagai aktivitas terhadap pendapatan petani disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Rata-rata pendapatan bersih RT tani per tahun petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Kegiatan Buruh Pekerjaan tetap Usaha rumah tangga dan sumber pendapatan lain Usaha ternak Kakao Kelapa Pisang Total
Rupiah 0 0 0 0 5.365.000 150.000 200.000 5.715.000
9. Teknik Budidaya Kakao Kakao merupakan komoditas utama yang diusahakan oleh penduduk di Desa Batulappa. Secara umum petani sudah berpengalaman dalam budidaya kakao. Umur tanaman kakao umumnya sudah tua (> 10 tahun). Pengetahuan budidaya kakao diperoleh secara turun temurun, sesama petani, dan dari penyuluh. Menurut petani, produksi biji kakao yang tertinggi diperoleh pada tahun 1999. Setelah itu, produksi biji kakao menurun yang disebabkan oleh adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit busuk buah pada musim hujan, yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 40%.Serangan hama/penyakit tersebut semakin tinggi karena teknik budidaya yang dilakukan petani belum sesuai dengan cara berkebun kakao yang baik.
Bahan Tanam Pada umumnya petani menggunakan bibit lokal yang bersumber dari petani lain sebagai bahan tanam. Menurut petani ada dua jenis kakao yang mereka dibudidayakan yaitu lokal dan “hibrida”. Pengertian hibrida disini adalah bahwa bibit tersebut awalnya berasal dari Dinas Perkebunan yang dikembangkan pada
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
tahun 1980-an. Semua bibit yang ditanam berasal dari perbanyakan generatif (biji). Tabel 13. Klon kakao yang ditanam petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011. Klon
(%)
Hibrida
35
Lokal
65
Tabel 14. Kualitas benih/bibit yang ditanam petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Kualitas Benih Label Tidak Berlabel
% 0 100
Tabel 15. Sumber benih/bibit yang digunakan petani petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Sumber benih/bibit
(%)
Sendiri
72
Petani lain
25
Penangkar Benih
0
Pedagang Benih
0
Lain-lain
3
Penanaman Sebelum penanaman, dilakukan pembersihan lahan dari gulm baik dengan cara mekanis menggunakan parang/sabit dan cara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Setelah lahan bersih, dilakukan pembuatan lubang tanam. Sebagian besar (63 %) petani menggunakan jarak tanam yang teratur
(3-4 x 3-4 m) dan
sebagian kecil (27 %) petani tidak menggunakan jarak tanam yang teratur. Secara umum (92 %) pola tanam yang dilakukan petani adalah kakao, yang pada tempattempat tertentu dari lahan tersebut ditanami pisang. Rata-rata terdapat 10 – 15 rumpun pisang tiap hektar. Sebagian kecil petani yang melakukan tumpang sari dengan kelapa (8 %), yang juga berfungsi sebagai pohon pelindung bagi kakao.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pada awal-awal pengembangan kakao pada umumnya menanam kelapa diantara tanaman kakao, tetapi pada tahun 2000-an sebagaian petani menebang pahon kelapanya karena dianggap sebagai saran hama (PBK dan tikus).
Produktivitas Kakao Rata – rata produktifitas kakao adalah 1010 kg/ha/tahun (biji kering sehari). Sebagian kecil petani ( 5 %) memiliki produktivitas kakao lebih kecil dari 500 kg/ha/tahun (Tabel 16). Hal ini terjadi karena tanamannya sudah tua yang tidak dipelihara lagi oleh pemiliknya. Terdapat 60 % petani yang produktivitas kakaonya berkisar 500 - 1000 kg/ha dan hanya 35 % yang mampu menghasilkan lebih dari 1000 kg/ha. Menurut petani, penyebab utama rendahnya hasil kakao dalam tiga tahun terakhir secara berurutan adalah karena (1) serangan penyakit/hama (busuk buah, penggerek buah kakao, dan kanker batang), (2) kurang pemupukan dan pemangkasan, (3) tanaman sudah berumur tua. Tabel 16. Produktivitas tanaman kakao yang dicapai oleh petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Produktivitas Kakao (kg/ha/tahun) < 500 500-600 600-700 700-800 800-900 900-1000 1.100 – 1.500 > 1.500
Petani (%) 5,0 7,5 10,0 17,5 7,5 17,5 22,5 12,5
10. Kelembagaan
Kelembagaan Input Usaha Tani Berdasarkan
hasil
survei, diketahui bahwa semua petani
sudah
menggunakan pupuk dan pestisida dalam budidaya kakao, meskipun jenis dan jumlahnya bervariasi antar petani. Sebagian besar petani (80 %) kadang-kadang tidak mampu membeli pupuk (jenis, jumlah, dan kualitas) dan pestisida secara tepat waktu. Hal ini disebabkan karena petani belum terbiasa mengelola pendapatan dari hasil panen yang mereka peroleh. Hanya 20 % petani yang mampu membeli pupuk dan pestisida secara tepat waktu. Pembelian sarana www.sulsel.litbang.deptan.go.id
produksi tersebut dilakukan secara tunai. Lokasi lembaga penyedia sarana produksi tersebut berada di luar desa. Sementara koperasi tani yang ada di Desa Batulappa belum mampu menyediakan kebutuhan petani karena keterbatasan modal yang dimiliki. Pupuk yang umum digunakan oleh petani hanya urea saja, sementara pupuk KCl dan SP36 hanya digunakan oleh sebagian kecil petani. Dosisnya tiga genggam per pohon yang diaplikasikan sekali setahun. Sementara pupuk organik belum digunakan oleh petani. Menurut sebagian besar petani (85 %), pupuk selalu tersedia baik jenis, jumlah maupun kualitasnya. Sementara pestisida selalu tersedia kapan saja dan jenisnya semakin beragam, bahkan petugas dari dari beberapa perusahaan (formulator) aktif mendatangi petani memperkenalkan beberapa jenis pestisida.
Kelembagaan Usaha Tani Kelompok tani dan koperasi sudah ada di Desa Batulappa, tetapi aktivitasnya masih sangat terbatas. Koperasi misalnya masih lebih banyak menyediakan kebutuhan beras penduduk. Menurut petani teknik budidaya yang dilakukannya masih belum baik, sehingga petani masih membutuhkan bimbingan berupa penyuluhan pada seluruh aspek teknis budi daya, panen dan pasca panen, serta pemasaran. Pekerjaan yang dilakukan secara berkelompok dengan bergotong royong adalah pembuatan saluran air dan jalan tani. Untuk menyelesaikan masalah, khususnya dalam teknis budidaya tanaman, 60 % petani bertanya kepada penyuluh karena menurut petani, penyuluh lebih mengetahui cara mengatasinya. Hal ini menunjukkan bahwa petani cukup aktif berinteraksi dengan penyuluh. Tetapi ada juga petani (20 %) yang tidak bertanya kepada siapa pun ketika menghadapi masalah. Sementara yang bertanya kepada sesama petani hanya 14 %. Alasan bertanya kepada petani lain adalah lebih cepat dilayani karena kedekatan jarak maupun adanya hubungan kekeluargaaan. Tabel 17 menjelaskan persentase petani berdasarkan sumber informasi yang diakses petani jika terjadi masalah dalam berusahatani.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel. 17. Persentase petani berdasarkan sumber informasi yang diakses petani responden jika menghadapi masalah dalam berusahatani di wilayah MP3MI Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Sumber informasi
%
Penyuluh
60
Petani lain
14
Pamong desa
6
Tidak bertanya
20
Kelembagaan Pasca Panen dan Pemasaran Kelembagaan pasca panen yang terdapat di Desa Batulappa adalah pengolahan minyak kelapa skala rumah tangga. Sementara aktivitas pasca panen kakao hanya terbatas pada penjemuran secara individu. Pada umumnya petani belum mengetahui standar mutu biji kakao. Petani hanya berhubungan dengan pedagang pengumpul yang ada di desa. Pedagang-pedagang tersebut biasanya mendatangi petani pada sore hari dengan harapan biji kakao yang dijemur pada pagi hari sudah kering. Sistem penjualan biji kakao adalah secara tunai. Saluran pemasaran biji kakao di Desa Batulappa disajikan pada Gambar 9.
Petani
Pedagang pengumpul desa
Pedagang/pemilik modal di kabupaten
Eksportir di Makassar
Gambar 4. Rantai pemasaran biji kakao di Desa Batulappa
Kelembagaan Permodalan Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa tidak ada petani yang secara terus menerus menggunakan pinjaman dalam aktivitas usahataninya atau aktivitas lainnya. Dalam lima tahun terakhir, hanya 53,8 % yang kadang-kadang
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
meminjam uang/modal untuk memenuhi kebutuhannya dan 46,2 % petani tidak pernah meminjam. Pedagang hasil lebih banyak menjadi tujuan petani untuk meminjam modal (38,5 %), kemudian ke Bank (28,5 %) dan sesama petani sebanyak 20,5 %. Petani meminjam ke bank jika kebutuhan modalnya cukup besar, biasanya digunakan untuk membeli kebun atau jika ada kebun yang digadaikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa akses petani ke bank masih kurang. Petani beranggapan bahwa meminjam kepada pedagang hasil lebih mudah dan lebih cepat daripada di bank. Tabel 18. Persentase petani berdasakan tempat peminjaman modal petani responden wilayah MP3MI di Desa Batulappa, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, 2011 Lembaga
%
Bank
28,5
Pedagang hasil
38,5
Pedangan input
5,5
Petani lain
20,5
Lain-lain
7,0 Aplikasi Teknologi
Sebelum aplikan kompos terlebi dahulu dilakukan pelatihan pembuatan kompos dari limbah kulit buah kakao dan limbah laonnya. Kompos dibuat secara
insitu
dengan menggukan dekomposer promi produk dari Balai Bio Teknologi
Perkebunan Bogogr.
Petani membuat rorak dan atau lubang diantara pohon
kakao, kemudian kulit buat kakao dan limbah pertanian lainnya di masukan secara bertahan ke dalam rorak dan atau luang sambil disiram dengan dekomposer, pembuatan kompos dengan cara seperti sangat diminati petani karena sangat sederhana dan murah.
Seluruh anggota kelompok tani suda mulai mencoba
menerapkan pembuatan kompos secara In Situ. Teknologi
lainnya
yang
banyak
diaplikasikan
oleh
petani
adalah
Penggunaan klon unggul Sulawesi 1 dan Sulawesi 2, baik pada kegiatan rehabilitasi melalui sambung samping, maupun kegiatan peremajaan dengan menggunakan bibit sambung pucuk
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
KESIMPULAN 1. Produksi kakao di wilayah Desa Batu Lappa berkisar 500 – 1.500 kg/ha/tahun, dan terdapat 22, % petani yang produksi tanaman kakaonya berkisar 1.000 – 1.500 kg/ha/tahun yaitu petani yang telah melakukan rehabilitasi dan peremajaan dengan menggunakan bibit sabung pucuk 2. Program
MP3MI
bersinegri
dengan
Program
pengembangan
kakao
Lestari/bersertifikat yang dikembangkan oleh dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan 3. Petani Dusun BatuTiti Desa Batu Lappa merespon positif teknologi pembuatan kompos secara In
Situ pada lahan kebun kakao dan sudah mulai
menerapkannya
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1998. Gerakan Peningkatan Produksi dan Ekspor Komoditas Ungulan (Grateks). Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Universitas Hasanuddin Ujungpandang. Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2000. Evaluasi Kinerja Pembangunan Bidang Ekonomi Sulawesi Selatan. Kerjasama BAPPEDA Sulawesi Selatan dengan BPS Provinsi Sulawesi Selatan Badan Pusat Statistik 2003. Kecamatan Batulappa dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu, Palopo. Badan Pusat Statistik 2004. Kabupaten Luwu Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu, Palopo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Panduan Umum Prima Tani. Bennet, C dan F. Hasan. 1993. Export of low quality cocoa from Sulawesi. Makalah pada International Converence on Cocoa Economy. Bali, 19-22 Oktober 1993. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Luwu. 2003. Laporan Tahunan. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Luwu, Palopo. Hendriadi, A. 2004. Penyusunan Road Map. Makalah Disampaikan pada Workshop Prima Tani 13 -17 Desember di Bogor. Irawan, B., A. Hendriadi, Z. Mahmud, Tri Pranadji, B. Susilo, Sudjadi. 2005. Petunjuk Teknis Survei Pendasaran (Baseline Survey) Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Penyunting : K., Subagyono, A. Mulyani, A. Adimihardja. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. . Irawan, B., A. Hendriadi, Z. Mahmud, T. Pranadji, B. Susilo, dan Sudjadi. 2005. Petunjuk Teknis PRA Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Hendrisman, M., H. Suhendra, A. Iskandar, Dahlan. 2005. Laporan Akhir Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untuk Mendukung Primatani di Batulappa-Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan skala 1 : 50.000. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id