Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
1
2.1. 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6.
1 1 1 3 3 3 4 4 5
Latar Belakang Kondisi Sumberdaya Kelautan Indonesia Problem Umum Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Indonesia Tugas Dan Kewenangan Kpk Serta Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Indonesia Tujuan Kajian Ruang Lingkup Kajian Metode Pelaksanaan Kajian Asumsi Dan Sifat Kajian Jadwal Dan Pelaksanaan Kajian
Bab II Gambaran Umum Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumberdaya Kelautan
7
2.1 2.1.1. 2.1.2.
7 7
2.1.3. 2.1.4. 2.1.5. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.3. 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3.
Dasar Hukum Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumberdaya Kelautan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia (UU Perairan) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Sebagaimana Telah Diubah Oleh Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan (UU Perikanan) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Sebagaimana Telah Diubah Oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pesisir) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (UU Pelayaran) Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan (UU Kelautan) Kelembagaan Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumberdaya Kelautan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan Dan Perikanan (DJPT KKP) Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan Dan Perikanan (DJKP3K Kkp) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan Kementerian Kelautan Dan Perikanan (DJPSDKP KKP) Ketatalaksanaan Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumberdaya Kelautan Tata Laksana Di Bidang Pengurusan SIUP/SIKPI/SIPI Yang Ada Pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tata Laksana Di Bidang Pengelolaan Pnbp Pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tata Laksana Di Bidang Penyusunan Rencana Zonasi Tata Ruang Wilayah Pesisir ,Dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K)
Bab III Permasalahan Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumberdaya Kelautan Indonesia 3.1 Permasalahan Terkait Batas Wilayah Laut Indonesia 3.2.1. Penarikan Batas Wilayah Laut Indonesia Yang Hanya Menggunakan Garis Pangkal Kepulauan Dapat Mendelegitimasi Luas Wilayah Laut Indonesia. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
9
11 14 18 20 20 21 21 22 22 26 27 29
29 i
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4. 3.2.5. 3.3.1 3.2.1. 3.2.2. 3.2.3.
3.2.4. 3.2.5. 3.2.6. 3.2.7. 3.2.8. 3.2.9. 3.2.10. 3.2.11. 3.3. 3.3.1 3.3.1.1 3.3.1.2. 3.3.1.3. 3.3.1.4. 3.3.1.5.
3.3.2 3.3.2.1. 3.3.2.2. 3.3.2.3.
2014
Revisi Penarikan Titik-Titik Garis Pangkal (Basepoint) Telah Mengurangi Sebagian Luas Laut Teritorial Indonesia. 30 Belum Semua Segmen Perbatasan Laut Indonesia Dengan Negara Tetangga Telah Selesai Ditetapkan 30 Belum Ada Kesepakatan Luas Wilayah Laut Dan Daratan Indonesia Yang Diterima Secara Bersama Oleh Lintas Kementerian. 30 Tidak Ada Informasi Yang Pasti Terkait Dengan Keberadaan Dan Identitas Pulau-Pulau Kecil Yang Ada Di Indonesia. 31 Permasalahan Terkait Tata Ruang Wilayah Laut Indonesia 31 Belum Ada Pengaturan Secara Khusus Terkait Tata Ruang Wilayah Laut Indonesia Untuk Di Atas 12 Mil Laut. 31 Peta Dasar Tentang Lingkungan Laut Nasional (LLN) Dan Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Belum Tersedia Dalam Skala Yang Lebih Operasional/Detail/Besar. 31 Belum Tersedia Informasi Yang Memadai Terkait Kondisi Laut Seperti: Bathimetri, Hidrologi, Dan Sebagainya, Yang Diperlukan Dan Penyusunan RZWP3K, RPWP3K, Dan RAPWP3K. 32 Tidak Semua Pemerintah Daerah Telah Memiliki RSPWP3K, RZPWP3K, RPWP3K, Dan RAPWP3K. 32 Kompleksitas Permasalahan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. 32 Kompleksitas Persoalan Penerapan Desentralisasi Dalam Pengelolaan Wilayah Laut Oleh Pemerintah Daerah (Provinsi Dan Kabupaten/Kota). 33 Tidak Terdapat Integrasi Data Spasial Untuk Penggunaan Ruang Laut Untuk Berbagai Kepentingan Seperti Pertambangan, Perhubungan, Perikanan, Dan Sektor Lainnya. 33 Belum Terdapat Sistem Data Untuk Monitoring Bangunan Disekitar Pesisir Dan Di Atas Laut. 34 Belum Terdapat Mekanisme Kadaster Laut. 34 Kompleksitas Masalah Terkait Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Ekosistem Pesisir Dan Laut. 34 Tidak Semua Pelabuhan Telah Memiliki Rencana Induk Pelabuhan. 35 Permasalahan Terkait Ketatalaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan 35 Permasalahan Sejumlah Permasalahan Muncul Dalam Pengelolaan Data Dan Informasi Sumberdaya Perikanan Tangkap. 35 Tidak Akuratnya Data Dan Informasi Yang Dicatatkan Dalam Database Hasil Tangkapan Ikan. 35 Tidak Ada Kepastian Akan Akurasi Data Dan Informasi Terkait Potensi Sumberdaya Perikanan. 35 Tidak Akuratnya Data Dan Informasi Berkaitan Dengan Asal Penangkapan Ikan. 35 Tidak Optimalnya Sistem Perizinan Yang Ada Saat Ini Dalam Menjamin Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Dan Daya Dukung Lingkungan. 36 Belum Terdapat Sistem Data Dan Informasi Yang Terintegrasi Terkait Dengan Perizinan Di Sektor Sumberdaya Alam, Khususnya Untuk Aktivitas Yang Menggunakan Ruang Pesisir, Laut, Dan Pulau-Pulau Kecil. 36 Ketatalaksanaan Perizinan SIUP/SIPI/SIKPI Perikanan Tangkap. 36 Permasalahan Terkait Integritas Layanan Publik. 36 Hasil Observasi Yang Dilakukan Oleh Tim Pemantau Layanan Publik KPK Tahun 2014, Menunjukkan Sejumlah Persoalan Dalam Pelayanan Pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. 37 Terdapat Indikasi Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Lainnya Dalam Proses Pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. 37 Direktorat Penelitian dan Pengembangan
ii
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan 3.3.2.4. 3.3.2.5.
3.3.2.6.
3.3.3. 3.3.3.1. 3.3.4. 3.3.4.1. 3.3.4.2.
3.3.4.3. 3.3.4.4. 3.3.4.5. 3.3.4.6. 3.3.4.7. 3.3.5. 3.3.5.1.
3.3.5.2. 3.3.5.3. 3.3.5.4. 3.3.5.5. 3.3.5.6. 3.3.6. 3.3.6.1. 3.3.6.2. 3.3.6.3. 3.4. 3.4.1.
2014
Terdapat Perusahaan Kapal Ikan Asing Yang Memperoleh SIUP/SIPI/SIKPI, Tercatat Bukan Sebagai Perusahaan Penangkapan Ikan Atau Pengangkutan Ikan. 37 Terdapat Perusahaan Yang Mengoperasikan Eks Kapal Ikan Asing Yang Memperoleh Siup/Sipi/Sikpi, Namun Tidak Memiliki NPWP Atau NPWP Tidak Tercatat/Tidak Teridentifikasi. 37 Terdapat Perusahaan Yang Mengoperasikan Kapal Ikan > 30 GT Yang Memperoleh Siup/Sipi/Sikpi, Namun Tidak Memiliki NPWP Atau NPWP Tidak Tercatat/Tidak Teridentifikasi. 37 Ketatalaksanaan Izin Lokasi Dan Izin Pemanfaatan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. 38 Terhambatnya Kegiatan Pemberian Izin Lokasi Pemanfaatan Ruang Dari Sebagian Perairan Pesisir Dan Pemanfaatan Sebagian Pulau-Pulau Kecil. 38 Ketatalaksanaan PNBP Perikanan Tangkap: Pnbp Dalam Bentuk Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). 38 Formula Perhitungan Tarif PPP Dan PHP Yang Tidak Optimal. 38 Besarnya Pungutan Ppp Ditentukan Berdasarkan Rumusan Tarif Per Gross Tonne (GT) Menurut Jenis Alat Tangkap Dilakukan Dengan Ukuran (GT) Kapal Perikanan Yang Dipergunakan. 38 Besarnya Pungutan Php Ditentukan Sesuai Dengan Ukuran Skala Perusahaan. 39 Lemahnya Mekanisme Pembayaran Pnbp. 39 Harga Patokan Ikan Yang Menjadi Dasar Perhitungan Php Yang Tidak Memadai. 39 Tidak Dilakukannya Evaluasi Secara Periodik Terhadap Produktivitas Kapal. 40 Pengalokasian Pemungutan PNBP Di Bidang Perikanan Tangkap, Sebagian Untuk Penerimaan Daerah. 40 Ketatalaksanaan Pelaksanaan Perizinan Pelayaran 40 Adanya Pungutan Dalam Proses Pelayanan Terkait Dengan Pemberian Izin Kapal Yang Mencakup Antara Lain Pemberian Registrasi Kapal, Sertifikat Statutory (Keselamatan, Keamanan, Manajemen, Perlindungan Lingkungan, Lambung Timbul, Surat Ukur, Dan Sebagainya), Dan Sertifikat Kelas (Sertifikat Lambung Kapal, Sertifikat Mesin Dan Listrik, Serta Sertifikat Kelengkapan Lainnya). 40 Terdapat Indikasi Adanya Perubahan Data Gross Tonase Dan Ukuran Kapal. 40 Terdapat Indikasi Adanya Tindak Pidana Korupsi Terkait Penerbitan Izin Operasional Transhipment Bongkar Muat Komoditas. 40 Terdapat Indikasi Tindak Pidana Dalam Bentuk Pemerasan Dalam Jabatan Pada Saat Proses Pengurusan Izin Pengoperasian Kapal Asing (IPKA). 41 Kompleksitas Permasalahan Yang Muncul Dalam Operasional Kapal Dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). 41 Belum Terdapat Sistem Informasi Berbasis Teknologi Informasi Untuk Monitoring Arus Lalu Lintas Barang Dan Kapal. 41 Ketatalaksanaan Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial: Inkamina, Pump, Dan Pugar 42 Mekanisme Cek Silang (Crosscheck) Terhadap Penerima Bantuan Tidak Berjalan Optimal. 42 Pembinaan Terhadap Penerima Bantuan Yang Masih Lemah. 42 Belum Ada Sinergi Yang Kuat Lintas Pihak Dalam Mendorong Optimalisasi Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan/Pesisir. 42 Permasalahan Kelembagaan 42 Kompleksitas Masalah Kelembagaan Dalam Rangka Penegakan Hukum Dan Kedaulatan Di Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. 42 Direktorat Penelitian dan Pengembangan
iii
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan 3.4.2. 3.4.3. 3.4.4. 3.4.5. 3.4.6. 3.4.7. 3.4.7.1.
3.4.7.2. 3.4.7.3. 3.4.7.4. 3.4.7.5. 3.4.7.6. 3.4.7.7. 3.4.7.8. 3.5. 3.5.1. 3.5.1.1. 3.5.1.2. 3.5.1.3. 3.5.2. 3.5.2.1 3.5.2.2. 3.5.2.3.
3.5.3. 3.5.3.1. 3.5.3.2. 3.5.3.3. 3.5.3.4. 3.5.4. 3.5.4.1. 3.5.4.2.
2014
Terdapat Sejumlah Permasalahan Lintas Sektor Terkait Dengan Masalah Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Laut. 43 Terdapat Sejumlah Permasalahan Lintas Sektor Terkait Tata Ruang Wilayah Laut. 43 Terdapat Sejumlah Permasalahan Lintas Sektor Terkait Reklamasi Wilayah Pesisir. 44 Terdapat Sejumlah Permasalahan Lintas Sektor Terkait Dengan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dan Pulau-Pulau Terluar. 44 Terdapat Sejumlah Permasalahan Lintas Sektor Terkait Dengan Konservasi Sumberdaya Laut, Pesisir, Dan Pulau-Pulau Kecil. 44 Terdapat Sejumlah Permasalahan Internal Kelembagaan Di Kementerian Kelautan Dan Perikanan. 45 Masih Terdapat Tugas Pemerintah Yang Diamanahkan Oleh UU Perikanan Berupa Yang Belum Dilaksanakan, Seperti Persetujuan Kapal Penangkapan Ikan Yang Melakukan Penangkapan Di Wilayah Yurisdiksi Negara Lain, Sesuai Dengan Pasal 27 Ayat (4). 45 Beban Kerja Unit Yang Berlebih Pada Pada Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen KP3K, Dan Ditjen PSDKP Karena Kekurangan Pegawai Pada Unit Tertentu 45 Terdapat Permasalahan Kepatuhan Internal Di Lingkungan Ditjen Perikanan Tangkap 45 Beban Tanggung Jawab Pengelolaan Belanja Negara Relatif Besar 45 Terdapat Temuan Bpk Terkait Pengelolaan Keuangan Negara Pada 3 Ditjen Di KKP. 45 Terdapat Penilaian Integritas Pada 3 Unit Eselon I Yang Perlu Ditingkatkan. 46 Terdapat Instrumen Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Di Lingkungan KKP Yang Perlu Ditingkatkan. 46 Terdapat Instrumen Pencegahan Korupsi Yang Harus Ditingkatkan 47 Permasalahan Regulasi 47 Terkait UU Kelautan. 47 Terdapat Sejumlah Aturan Perundang-Undangan Sebagai Pelaksana UU Kelautan Yang Harus Diselesaikan 47 Terdapat Beberapa Kekurangan Dalam Pendefinisian Dan Penulisan/Teks. 47 Terdapat Sejumlah Hal Penting Yang Belum Diatur Dalam UU Kelautan. 48 Terkait Uu Perikanan Tidak Semua Aturan Pelaksana Uu Perikanan Telah Disusun. 48 Beberapa Permasalahan Substansial Muncul Dalam Aturan Pelaksanan Uu Perikanan Seperti, Pp No. 30 Tahun 2008 Sebagai Pelaksanaan Pasal 8 Uu Perikanan. 48 Perubahan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan No. 30 Tahun 2012 Menjadi Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan No. 26 Tahun 2013 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Menghasilkan Sejumlah Perubahan Substansial, Akan Tetapi Dasar Perubahan Tidak Disampaikan. 48 Terkait UU Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil 49 Terdapat Sejumlah Aturan Pelaksana Uu Pesisir Yang Belum Disusun. 49 Terdapat Beberapa Permasalahan Substansial Dalam Aturan Pelaksana UU Pesisir. 49 Terdapat Sejumlah Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam Penyusunan Aturan Pelaksana UU Pesisir. 49 Terdapat Kekosongan Hukum Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional. 49 Terkait UU Pelayaran 49 Terdapat Aturan Pelaksana Uu Pelayaran Yang Belum Ditetapkan. 49 Terdapat Sejumlah Hal Yang Yang Harus Dipastikan Termuat Dalam UU Pelayaran Dan Aturan Pelaksanaannya. 50
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
iv
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Bab IV 4.1 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia Landasan Berfikir Dasar Kegiatan Sifat Kegiatan Tujuan Kegiatan Lokus Dan Fokus Area Kegiatan Sasaran Kegiatan Instrumen Pelaksanaan Kegiatan Peranan Para Pihak
51 51 52 53 53 53 54 55 55
Bab V
Kesimpulan Dan Rekomendasi
57
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
v
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Kontribusi PNBP Sektor Perikanan vs Nilai Produksi Perikanan Laut Tahun 2008 sampai dengan 2013
3
Jadwal Pelaksanaan Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumberdaya Kelautan
5
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
vi
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Tata Cara Penerbitan SIUP
24
Gambar 2.2
Tata Cara Penerbitan SIPI Untuk Kapal Beroperasi Tunggal dan Operasi Dalam Group–Satuan Armada Penangkapan Ikan
25
Gambar 2.3
Tata Cara Penerbitan SIKPI
26
Gambar 2.4
Rumusan Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan
27
Gambar 2.2
Tata Cara Penerbitan SIPI Untuk Kapal Beroperasi Tunggal dan Operasi Dalam Group–Satuan Armada Penangkapan Ikan
25
Tata Cara Penerbitan SIPI Untuk Kapal Beroperasi Tunggal dan Operasi Dalam Group–Satuan Armada Penangkapan Ikan
25
Gambar 2.2
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
vii
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2 Lampiran 3
Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6
: Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2002 Sebagaimana Telah Diubah Oleh PP No. 37 Tahun 2008. : Jenis-Jenis Garis Pangkal Dan Penggunaan Garis Pangkal Dalam UU Perairan Vs UU Kelautan : Hasil Simulasi Perubahan Luas Laut Teritorial Yang Berkurang Akibat
: : :
Adanya Penambahan Titik Dasar Baru Di Tg Ngeres Langu Dan Batu Tugur Landas Kontinen Ekstensi Barat Laut Aceh Status Penyelesaian Batas Laut NKRI Dengan Negara Tetangga Perbedaan Luas Wilayah Daratan Menurut BIG, DISHIDROS TNI AL Dan Kemdagri Pembakuan Nama Pulau-Pulau Di Indonesia, Ditjen KP3K KKP Agustus 2014
Lampiran 7
:
Lampiran 8
: Ruang Lingkup UU Pesisir, Batas Laut Territorial, Batas Zona Tambahan, Batas Zona Ekonomi Eksklusif, Dan Batas Landas Kontinen : Sebaran Peta LPI Dan LLN Dari BIG : Contoh Peta Spatial Yang Dibutuhkan Dalam Penyusunan Perda RZWPK Kabupaten Lombok Tengah : Status Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisi Dan Pulau-Pulau Kecil Oleh Pemerintah Daerah : Sasaran Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Oleh KKP : Daftar Pulau-Pulau Kecil Yang Mendapatkan Izin Investasi : Daftar Pulau-Pulau Kecil Yang Terinvestasi Oleh Penanaman Modal
Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23
Asing : Contoh Permasalahan Batas Wilayah Laut Oleh Beberapa Kabupaten/Kota Di Selat Madura : Peta WPPN-RI, Batas Maritim NKRI, ALKI, WUP : Contoh Bangunan Laut : Definisi Kadaster Kelautan, Manfaat Kadaster Kelautan, Dan ObjekObjek Kadaster Kelautan : Peta Rawan Bencana : Hasil Kajian Greenpeace “Laut Indonesia Dalam Krisis” : Progres Penetapan Rencana Induk Pelabuhan : Jumlah Tangkahan Dan Sebaran Tangkahan Di Kota Tanjung Pinang : Mekanisme Pengelolaan SDI Direktorat Penelitian dan Pengembangan
59 77
80 81 82 84 85 88 90 94 97 101 102 107 117 119 124 125 127 128 134 135 136 viii
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan Lampiran 24 Lampiran 25 Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30
Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34 Lampiran 35 Lampiran 36
: Jenis Izin/Dokumen Dalam Pengurusan SIPI/SIKPI/SIUP; Sumber Dokumen; Dan Contoh Copy Dokumen : Tabel Ringkasan Hasil Survey Integritas Sektor Public Pada Pelayanan Pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI Tahun 2014 : Daftar Permasalahan Pengurusan Perizinan SIUP/SIPI/SIKPI Berdasarkan Hasil Observasi Layanan Publik KPK Tahun 2014 : Statistik Pengaduan Masyarakat Terkait Kelautan Dan Perikanan Tahun 2010 Sampai Dengan 2014 : Daftar Status Perusahaan Kapal Ikan Eks Asing Berdasarkan Hasil Penelusuran Database Perusahaan Pada Kemkumham : Daftar Status Perusahaan Kapal Ikan Eks Asing Berdasarkan Hasil Penelusuran Database Perusahaan Pada Kemkumham : Daftar Status Perusahaan Yang Mengoperasikan Kapal Ikan > 30 Gt
: : : : : :
Berdasarkan Hasil Penelusuran Database NPWP Perusahaan Pada Kemenkeu Contoh Perhitungan PPP Contoh Perhitungan PHP Hasil Perhitungan Terkait PNBP SDA Perikanan Vs Nilai Produksi Perikanan Laut Alur Mekanisme Pungutan Perikanan HPI Menurut Permendag No. 13 Tahun 2011 Produktivitas Kapal Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmen KP No. 61 Tahun 2014 Dan Permen KP 60 Tahun 2010 Data Pengaduan Masyarakat Terkait Perhubungan Perbandingan Tugas Dan Fungsi Pengawasan Dan Pengendalian Laut Sesuai Dengan Amanat UU Kelautan, UU Pesisir, UU Perikanan, UU Pelayaran Tugas Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Laut Menurut UU Perairan, Pelayaran, Perikanan, Pesisir, Dan Kelautan Peran Pemda Dan Pusat Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Laut Dan Pesisir Permasalahan Lintas Sektor Dalam Penataan Ruang Laut
Lampiran 37 Lampiran 38
: :
Lampiran 39
:
Lampiran 40
:
Lampiran 41 Lampiran 42
: : Kronologis Dan Pengaduan Masyarakat Terkait Reklamasi Teluk Benoa Bali : Permasalahan Lintas Sektor Terkait Dengan Reklamasi : Konservasi Sumberdaya Kelautan Yang Masih Dikelola Oleh Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan : Tata Cara Analisis Kelembagaan Pada KKP : Kesesuaian Tugas Dan Wewenang Unit Eselon I Dengan Amanat UU Perikanan Dan UU Pesisir : Analisis Beban Kerja Pada 3 Unit Eselon I Di Lingkungan KKP : Kepatuhan Internal Pada 3 Unit Eselon I KKP : Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara
Lampiran 43 Lampiran 44 Lampiran 45 Lampiran 46 Lampiran 47 Lampiran 48 Lampiran 49
2014
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
137 144 145 148 149 165
166 195 197 199 200 201 203 204
205 211 216 217 219 221 222 225 227 256 291 305 ix
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan Lampiran 50 Lampiran 51 Lampiran 52 Lampiran 53
: : : :
Lampiran 54
: Daftar Kekurangan Pendefinisian Dan Penulisan/Teks Dalam UndangUndang Kelautan : Summary Dan Indikator Evaluasi Terhadap Undang-Undang Kelautan : Aturan Pelaksana UU Perikanan Yang Belum Ditetapkan : Komentar Pakar Terkait Dengan Aturan Pelaksana UU Perikanan Yang
Lampiran 55 Lampiran 56 Lampiran 57 Lampiran 58 Lampiran 59 Lampiran 60
: : :
Kepatuhan Pengelolaan Keuangan Negara Hasil Evaluasi Keberadaan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Hasil Evaluasi Keberadaan Sistem Pencegahan Korupsi
332 341 363
Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kelautan Yang Harus Dipersiapkan
389
:
Lampiran 62 Lampiran 63 Lampiran 64
: : : Hasil Kajian Tim Harmonisasi Undang-undang Sektor SDA terkaiat UU Pelayaran : Rencana aksi pemerintah pusat gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia : Rencana aksi pemerintah provinsi gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia : Rencana aksi pemerintah kabupaten/kota gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia : Format pelaksanaan kegiatan untuk pelaku usaha : Format pelaksanaan kegiatan untuk CSO : Format pelaksanaan kegiatan APH
Lampiran 66 Lampiran 67 Lampiran 68 Lampiran 69 Lampiran 70
390 396 400
Sudah Ditetapkan Perubahan Permen KP Tentang Usaha Perikanan Tangkap Aturan Pelaksana UU Pesisir Yang Belum Ditetapkan Catatan Tim Pakar Atas Terhadap Peraturan Menteri Pelaksana UU Pesisir Hasil Kajian Penjabaran Nilai Demokrasi, Keadilan, Berkelanjutan, Dan Keterpaduan Dalam UU Pesisir Kekosongan Hukum Rencana Tata Ruang Laut Nasional Daftar Aturan Pelaksana UU Pelayaran Yang Harus Ditetapkan
Lampiran 61
Lampiran 65
2014
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
408 418 430 434 444 460 461 464 468 478 485 491 493 495
x
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Kondisi Sumberdaya Kelautan Indonesia Posisi geografis Indonesia yang berada di antara benua Asia dan Afrika serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, telah disadari oleh pendiri bangsa ini sejak awal. Undang-undang Dasar 1945 telah menyebutkan secara jelas bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara. Sebagai negara kepulauan, hak-hak Indonesia diakui secara luas oleh komunitas Internasional, bukan hanya pada kedaulatan atas wilayah teritorial akan tetapi juga hak berdaulat atas pengelolaan sumberdaya yang ada didalamnya. Sebagai negara yang berada dalam posisi geostrategis, sejak dahulu laut Indonesia telah menjadi jalur pelayaran dari dan ke benua Eropa ke Asia Timur. Alur laut sejak dari utara Aceh melalui Selat Malaka pada pesisir timur Pulau Sumatera telah menjadi jalur klasik perdagangan dari dan ke Laut China Selatan. Demikian pula pada alur laut dari Australia ke Laut China Selatan melalui Laut Arafura, Laut Maluku hingga Laut Arafura. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa keberadaan laut Indonesia telah memegang posisi penting perhubungan lintas benua dan samudera sebagai poros maritim dunia. Besarnya karunia bangsa ini akan laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya, sudah diketahui secara luas. Indonesia memiliki 17.480 pulau dengan panjang garis pantai sebesar 95.181 km. Dengan panjang pantai yang demikian, Indonesia memiliki produktivitas hayati yang tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Wilayah pesisir Indonesia mengandung sekitar 2.500 spesies moluska, 2.000 spesies krustasea, 6 spesies penyu, 30 spesies mammalia laut, dan lebih dari 2.000 spesies ikan. Luas terumbu karang mencapai 32.935 kilometer persegi atau sekitar 16,5% dari luas terumbu karang dunia, serta terdiri atas 70 genus dan lebih dari 150 spesies karang (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014). Dengan kekayaan dan posisi strategis yang demikian, ditambah kekayaan laut yang dimiliki, tampaknya tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk mengabaikan anugerah tersebut. Namun sayangnya, selama ini kekayaan tersebut cenderung diabaikan dan tidak dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Baru dalam pemerintahan yang sekarang, kebijakan pemerintah menjadikan laut sebagai fokus utama kebijakan pembangunan nasional. 1.1.2. Problem Umum Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Indonesia Kekayaan laut yang sedemikian besar dan strategis tersebut, dihadapkan pada sejumlah persoalan. Persoalan tersebut sangat kompleks dan multidimensi, karena mencakup persoalan politik, sosial, budaya, ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Ancaman berupa masuknya kapal asing ke dalam wilayah laut teritorial Indonesia termasuk untuk kegiatan penangkapan ikan secara ilegal dan penyelundupan, merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Persoalan sosial dan ekonomi seperti konflik sosial akibat perebutan fishing ground diantara para nelayan serta tingkat kemiskinan nelayan yang masih tinggi, merupakan keprihatinan tersendiri. Sedikit banyak, persoalanpersoalan tersebut menjadi sumber atau akibat dari adanya persoalan lingkungan dari perbuatan manusia seperti tingginya pencemaran laut, kerusakan habitat mangrove akibat pengembangan tambak, limbah dari berbagai industri termasuk dari industri perikanan, limbah pemukiman, penangkapan ikan dengan racun dan bahan peledak, keramba ikan yang Direktorat Penelitian dan Pengembangan
1
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
tidak terkontrol, kegiatan pariwisata laut yang tidak bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Belum lagi persoalan alami lingkungan laut seperti banjir dan naiknya permukaan laut, abrasi, perubahan lingkungan global (climate change), serta tsunami menambah luas kerusakan di laut. Sebagai salah satu unsur wilayah negara, sudah pasti laut merupakan obyek penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan, merupakan tanggung jawab pemerintah. Disinilah letak problem tata kelola muncul ketika pemerintah menjalankan kewajiban dan kewenangannya dalam mengelola laut. Problem tata kelola muncul misalnya dalam pemberian izin yang tidak sesuai, penerbitan regulasi yang tidak memadai, ketiadaan sistem pendataan dan monitoring, kelembagaan yang tidak memadai, hingga pada lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, hadir sebagai permasalahan yang kompleks dan membelenggu pengelolaan ruang laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Persoalan-persoalan tersebut hadir karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Lemahnya politicall will negara dalam mengelola sumberdaya, hingga masalah birokrasi yang menghambat pemerintahan yang efektif ditengarai sebagai salah dua dari penyebab tidak optimalnya tata kelola di sektor pengelolaan sumberdaya kelautan. Dalam perspektif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kelemahan tata kelola biasanya dibarengi dengan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Data dari pengaduan masyarakat yang dihimpun oleh KPK, menunjukkan adanya indikasi ke arah sana. Sejak tahun 2010 sampai dengan 2014, KPK menerima sebanyak 131 pengaduan yang berkenaan dengan korupsi di sektor perikanan dan kelautan, dan 95 diantaranya terindikasi tindak pidana korupsi. Di sektor perhubungan laut, sejak tahun 2010 sampai dengan 2014, laporan yang masuk sebanyak 82 laporan dan 62 diantaranya terindikasi tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi antara lain berupa perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara, penyuapan, pemerasan, dan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa. Hadirnya berbagai persoalan tersebut tentunya sangat merugikan kepentingan negara. Kerusakan atau pencurian di laut tidak hanya berupa persoalan hilangnya penerimaan atau kerugiaan keuangan negara akan tetapi juga kerugian perekonomian negara saat ini dan yang akan datang. Karenanya, KPK dalam konteks pencegahan korupsi memandang perlu untuk melakukan pengkajian sebagai upaya untuk menutup celah terjadinya kerugian tersebut dan sebagai upaya untuk mengembalikan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sisi penerimaan negara, kontribusi sektor penerimaan dari sumberdaya kelautankhususnya perikanan laut relatif kecil. Hasil Kajian Kementerian Keuangan terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak dari perikanan laut menunjukkan kontribusi yang hanya rata-rata sebesar 0,23% dari total nilai produksi perikanan sebesar kurun waktu 2008 sampai dengan 2013. Di tahun 2013 misalnya, total nilai produksi perikanan mencapai Rp 77,33 Triliun, namun PNBP yang disetorkan ke negara hanya sebesar Rp 229,35 Miliar. Kecilnya kontribusi tersebut menunjukkan bahwa ada sejumlah persoalan penting terkait denagn penerimaan negara di sektor perikanan.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
2
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Tabel 1.1 Kontribusi PNBP Sektor Perikanan vs Nilai Produksi Perikanan Laut Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2013
Rincian Nilai Produksi Perikanan Laut PNBP SDA Perikanan % PNBP vs Nilai Produksi
Tahun 2008
2009
2010
2011
2012
2013
46.598.552.733.000 49.527.135.768.000 59.580.474.171.000 64.452.537.439.000 72.016.210.109.000 77.334.050.000.000 77.404.162.800 0,17%
92.039.435.895 0,19%
91.785.569.110 0,15%
183.802.161.080 0,29%
215.766.602.000 0,30%
229.350.562.720 0,30%
Sumber: Hasil Olahan berdasarkan Data Statistik Perikanan KKP, tahun 2008 -2013.
1.1.3. Tugas dan Kewenangan KPK serta Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Indonesia Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengamanatkan sejumlah hal yang menjadi tugas KPK. Selain kegiatan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, KPK juga diberi tugas untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai pasal 6 UU 30 tahun 2002. Dalam melaksanakan tugas monitor, sesuai dengan pasal 14 UU No. 30 tahun 2002, KPK berwenang untuk melakukan hal-hal berikut: 1) Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; 2) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; 3) Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. Sejalan dengan pelaksanaan amanat UU KPK tersebut, rencana strategis KPK tahun 2011 sampai 2015 menitikberatkan pada fokus kegiatan antara lain sumberdaya alam dan lingkungan hidup, ketahanan pangan, serta penerimaan negara. Karenanya KPK berkepentingan untuk melakukan pengkajian dalam rangka perbaikan sistem sebagai upaya untuk mencegah korupsi sekaligus memperbaiki tata kelola di sektor kelautan dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 khususnya pasal 33.
1.2.
TUJUAN KAJIAN Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumberdaya Kelautan bertujuan untuk: 1) Memetakan permasalahan terkait dengan sistem pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan di Indonesia yang berpotensi korupsi. 2) Merumuskan saran perbaikan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan Indonesia. 3) Memantau perumusan tindak lanjut terhadap saran perbaikan dalam rangka mengatasi permasalahan pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan di Indonesia.
1.3.
RUANG LINGKUP KAJIAN Kajian difokuskan pada hal berikut: 1) Penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas laut teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif. 2) Pengelolaan tata ruang laut Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
3
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
3) Pengelolaan sumberdaya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan sumberdaya perikanan. Terhadap ketiga hal tersebut, kajian mencakup aspek regulasi, ketatalaksanaan dan kelembagaan. 1) Aspek regulasi yang dikaji khususnya terkait dengan UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, UU No. 27 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 30 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 45 tahun 2010 tentang Perikanan, serta UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. 2) Aspek ketatalaksanaan yang dikaji adalah pelaksanaan perizinan di perikanan tangkap, pengelolaan PNBP dari perikanan tangkap, pengelolaan tata ruang pesisir dan pulaupulau kecil, perizinan reklamasi pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pemberian hibah dan bantuan sosial. 3) Aspek kelembagaan yang dikaji adalah kelembagaan pada tiga unit eselon I di Kementerian Kelautan dan Perikanan yakni Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
1.4.
METODE PELAKSANAAN KAJIAN Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumberdaya Kelautan dilakukan dengan menggabungkan dua pendekatan yakni studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan untuk menganalisis berbagai dokumen yakni data statistik, aturan perundangundangan, kebijakan, struktur organisasi, dokumen kelembagaan, laporan kegiatan, berita acara kegiatan, dan dokumen sumberdaya manusia. Sementara studi lapangan mencakup: bisnis proses pengelolaan perizinan perikanan tangkap, PNBP perikanan tangkap, pendataan hasil penangkapan ikan, serta pengelolaan hibah dan bantuan sosial . Data dan informasi yang diperoleh bersifat primer dan sekunder. Data primer berupa keterangan dari narasumber/informan dan hasil observasi. Keterangan narasumber diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi dengan berbagai pihak dari lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, pakar, pelaku usaha dan masyarakat. Hasil observasi diperoleh dari kunjungan lapangan ke instansi pemerintah dan pelabuhan perikanan. Data sekunder berupa data statistik dan dokumen diperoleh dari berbagai instansi pemerintah, pelaku usaha dan laporan hasil penelitian pihak lain. Data dan informasi di atas dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Deskriptif analitis dipilih untuk menyesuaikan tujuan kajian ini yakni untuk memetakan permasalahan. Hasil analisis dituangkan dalam sejumlah temuan permasalahan yang dituangkan dalam Bab III: Permasalahan, Hasil Analisis dan Saran Perbaikan Kajian.
1.5.
ASUMSI DAN SIFAT KAJIAN Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumberdaya Kelautan dibatasi pada beberapa hal berikut: 1) Dokumen kebijakan dan regulasi yang dianalisis dalam kajian ini mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 30 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 45 tahun 2010 tentang Perikanan, UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan. ` Direktorat Penelitian dan Pengembangan
4
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
2) Data statistik yang digunakan merupakan data statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2012 sampai dengan November 2014. 3) Data yang bersumber dari pemerintah daerah yang digunakan adalah data yang diperoleh dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 4) Kajian ini terbuka untuk penambahan dan penajaman terhadap aspek-aspek yang termuat didalamnya, terutama jika terdapat penambahan data dan informasi. Karenanya hasil kajian ini masih terbuka untuk dikembangkan dan didiskusikan, layaknya dokumen yang bertumbuh (living document). 5) Ruang laut yang dimaksud dalam kajian ini mencakup wilayah laut, pesisir, dan pulaupulau kecil dengan batasan definisi sesuai dengan undang-undang: a) Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. b) Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan laut dan atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. c) Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. d) Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. e) Sumberdaya kelautan adalah sumberdaya laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui.
1.6.
JADWAL DAN PELAKSANAAN KAJIAN Kajian ini dimulai sejak Februari 2014 sampai Desember 2014. Jadwal pelaksanaan kajian dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 1.2 Jadwal Pelaksanaan Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumberdaya Kelautan No
Kegiatan
Tanggal Pelaksanaan
1.
Pengumpulan Data Awal
2.
Penyusunan Term of Reference
4.
Pengumpulan data dan Informasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan
Maret, Agustus, September, Oktober, Desember 2014
5.
Pengumpulan data dan informasi di Provinsi Kepulauan Riau
Maret 2014
6.
Pengumpulan data dan informasi di Provinsi Kalimantan Barat
Maret 2014
7.
Pengumpulan data dan informasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Juni 2014
8.
Pengumpulan data dan Informasi di Provinsi Jawa Tengah
Agustus 2014
9.
Pengolahan data dan informasi
10. Penyusunan laporan
Januari-Februari 2014 Februari 2014
Juli s.d Oktober 2014 Oktober-Desember 2014 Direktorat Penelitian dan Pengembangan
5
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
No
Kegiatan
2014
Tanggal Pelaksanaan
11. Pembahasan di internal KPK
Desember 2014
12. Penyempurnaan laporan
Desember 2014
13. Paparan Hasil Kajian ke pihak Eksternal 14. Kesepakatan Rencana Aksi tindak lanjut hasil kajian
24 Desember 2014 23 Januari 2015
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
6
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
BAB II GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN
2.1.
DASAR HUKUM PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN Pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang bangsa ini untuk memperjuangkan kedaulatan dan hak berdaulat di laut. Setidaknya tiga momen besar yang menjadi pilar dalam memperkukuh keberadaan Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka dan negara yang didasarkan atas kepulauan sehingga diakui dunia yaitu sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda menjadi titik tolak perjuangan kedaulatan Indonesia di laut karena dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa Indonesia mulai memperjuangkan kesatuan kewilayahan dan pengakuan secara de jure yang pada akhirnya diakui secara luas oleh komunitas internasional dan tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea-UNCLOS). UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang No. 17 tahun 1985. Dengan diratifikasinya UNCLOS, maka secara umum Indonesia mengakui bahwa pengelolaan ruang laut dan penggunaan sumberdaya kelautan tunduk pada ketentuan internasional. Terkait dengan pengelolaan ruang laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya, terdapat setidaknya (5) lima undang-undang yang berkaitan langsung dengan hal tersebut yakni: 1) Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (UU Perairan) 2) Undang-undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan) 3) Undang-undang No. 27 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU Pesisir) 4) Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) 5) Undang-undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) Dasar berpijak kelima undang-undang di atas tetaplah pada konstitusi UUD 1945. Sebagai bagian dari sumberdaya alam milik bangsa, pengelolaan ruang laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, bagian berikut ini akan menguraikan secara singkat muatan yang terkandung di dalam ke-lima undang-undang tersebut di atas dengan menitikberatkan pada kewenangan-kewenangan pemerintah yang menjadi pengejewantahan dari hak menguasai negara.
2.1.1. Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (UU Perairan) Undang-Undang Perairan lahir dari kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan wawasan nusantara. Dengan demikian, bangsa ini menegaskan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan. Segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau Direktorat Penelitian dan Pengembangan
7
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia (pangkal lurus kepulauan dan atau garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus). Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Secara umum, UU Perairan terdiri dari tujuh bab yang akan diuraikan sebagai berikut: 1) Bab I: Ketentuan Umum. Bagian ini terdiri dari sembilan pengertian yang menjadi batasan istilah yang ada dalam undang-undang. Perairan Indonesia didefinisikan sebagai laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya (Pasal 1). 2) Bab II: Wilayah Perairan Indonesia. Wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pasal 2 sampai pasal 10). 3) Bab III: Hak Lintas Bagi Kapal-kapal Asing. Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia. Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh, serta berlabuh ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut (pasal 11 sampai pasal 22). 4) Bab IV: Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan, dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum Internasional (pasal 23). 5) Bab V: Penegakan Kedaulatan dan Hukum di Perairan Indonesia. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 24). 6) Bab VI: Ketentuan Peralihan. Peraturan pelaksana Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini (pasal 25). 7) Bab VII: Ketentuan Penutup. Dengan berlakunya undang-undang ini, Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dinyatakan tidak berlaku (pasal 26 sampai pasal 27). Direktorat Penelitian dan Pengembangan
8
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Hak menguasai negara di wilayah perairan Indonesia, dimulai dari penentuan garis pangkal untuk perairan Indonesia sampai pada penegakan kedaulatan Indonesia atas perairan tersebut. Pemerintah juga melakukan pengaturan berbagai hal seperti lintas damai, alur laut, skema pemisahan lalu lintas laut, hak dan kewajiban kapal dagang/kapal perang/kapal pemerintah asing, serta hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan. Pemerintah juga dapat membentuk badan koordinasi untuk penegakan kedaulatan dan hukum serta pemanfaatan, pengelolaan dan perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia. 2.1.2. Undang-undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan) Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia mengacu pada UU N0. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan (UU Perikanan). Undang-undang ini hadir karena kesadaran akan adanya sumberdaya perikanan, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Orientasi pemanfaatan tersebut haruslah memperhatikan daya dukung dan kelestarian sumberdaya perikanan, dengan berorientasi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan kecil, meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah, dan penataan ruang. Pengelolaan perikanan didasarkan pada 11 asas. Asas tersebut yakni manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian; dan pembangunan yang berkelanjutan. Asas-asas tersebut seharusnya mencerminkan aturan normatif yang tertuang dalam UU Perikanan. Beberapa asas yang penting untuk diperhatikan seperti, asas manfaat bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Asas lainnya adalah asas pembangunan yang berkelanjutan berarti bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. UU Perikanan mendefinisikan pengelolaan perikanan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Sementara perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. UU Perikanan terdiri dari 17 Bab dan mencakup 111 pasal. Ketujuh belas bagian tersebut adalah: 1) Bab I: Ketentuan Umum. Bab ini mencakup dua bagian yakni pengertian serta asas dan tujuan. Bab ini terdiri dari tiga pasal (Pasal 1 sampai pasal 3). 2) Bab II: Ruang Lingkup. Bab ini menjelaskan tentang ruang lingkup keberlakuan undang-undang, dan hanya terdiri dari satu pasal (pasal 4). 3) Bab III: Wilayah Pengelolaan Perikanan. Bab ini menjelaskan tentang wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang terdiri dari WPP-RI (perairan indonesia, ZEEI, sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya) serta laut lepas. Bab ini terdiri dari satu pasal (pasal 5). 4) Bab IV: Pengelolaan perikanan.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
9
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Bab ini mengatur tentang wewenang pemerintah, kewajiban pelaku usaha, keberadaan komisi perikanan, serta pengaturan pemerintah terkait dengan pengelolaan perikanan. Bab ini terdiri dari 19 pasal (pasal 6 sampai dengan pasal 24). 5) Bab V: Usaha Perikanan. Bagian ini menjelaskan tentang aturan yang berkenaan dengan tata cara pelaksanaan usaha di bidang perikanan. Bab ini terdiri dari 26 pasal (pasal 25 sampai dengan pasal 45). 6) Bab VI: Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan. Bagian ini menjelaskan tentang pengelolaan data dan informasi dalam sistem yang terintegrasi. Bab ini terdiri dari 3 pasal (pasal 46 sampai dengan pasal 47). 7) Bab VII: Pungutan Perikanan. Bab ini mengatur tentang pungutan yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha perikanan, kecuali oleh nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Bab ini terdiri dari 4 pasal (pasal 48 sampai dengan pasal 51). 8) Bab VIII: Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Bagian ini mengatur tentang kegiatan penelitian dan pengembangan yang berkenaan dengan perikanan. Bab ini terdiri dari 5 pasal (pasal 52 sampai dengan pasal 56). 9) Bab IX: Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan. Bagian ini mengatur tentang kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan lembaga terkait. Bab ini terdiri dari 3 pasal (pasal 57 sampai dengan pasal 59). 10) Bab X: Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil. Bagian ini mengatur skema dan kegiatan untuk pemberdayaan nelayan/pembudidaya ikan kecil serta kesempatan usaha untuk nelayan kecil. Bab ini terdiri dari 5 pasal (pasal 60 sampai dengan pasal 65). 11) Bab XI: Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan. Bagian ini mengatur tentang kemungkinan pemberian tugas pembantuan kepada pemerintah daerah. Bab ini terdiri dari satu pasal (pasal 65). 12) Bab XII: Pengawasan Perikanan. Bagian ini mengatur keberadaan pengawas perikanan, ruang lingkup pengawasan perikanan, cakupan tugas pengawasan, wewenang pengawas perikanan, serta instrumen pengawasan. Bab ini terdiri dari 8 pasal (pasal 66 sampai dengan pasal 70). 13) Bab XIII: Pengadilan Perikanan. Bagian ini mengatur tentang pembentukan pengadilan perikanan serta wewenang pengadilan perikanan. Bab ini terdiri dari 2 pasal (pasal 71 dan pasal 71A). 14) Bab XIV: Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Perikanan. Bagian ini menjelaskan tentang proses penegakan hukum di bidang perikanan. Bab ini terdiri dari 15 pasal (pasal 74 sampai dengan pasal 83). 15) Bab XV: Ketentuan Pidana. Bagian ini memuat bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang perikanan dan sanksi yang diberikan. Bab ini terdiri dari 26 pasal (pasal 84 sampai dengan pasal 105). 16) Bab XVI: Ketentuan Peralihan. Terdiri dari 4 pasal (pasal 106 sampai dengan pasal 109). 17) Bab XVII: Ketentuan Penutup. Terdiri dari 3 pasal (pasal 110 sampai dengan pasal 111). Undang-Undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan, memberikan batasan tersendiri tentang kegiatan perikanan. Dalam undang-undang tersebut, kegiatan perikanan didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran Direktorat Penelitian dan Pengembangan
10
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sementara pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Keberlakuan UU Perikanan dibatasi pada 4 hal. Ke-empat hal tersebut sesuai dengan pasal 4 yakni: 1) Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; 2) Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia; 3) Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan 4) Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing. Dalam penyusunan UU Perikanan, mempertimbangkan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan yang berada dalam kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas dengan tetap mengacu pada daya dukung lingkungan dan kelestariannya. Pemanfaatan tersebut dimaksudkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan amanat pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (3) yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Memperhatikan hal tersebut, UU Perikanan mencoba untuk menerjemahkan hak menguasai negara, dalam berbagai bentuk seperti penetapan, pengaturan, pengendalian, pelarangan, pengawasan, pembinaan, pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan, serta penegakan hukum. 2.1.3. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU Pesisir) Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil didasarkan pada UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 2014. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diterjemahkan sebagai suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Dalam hal ini, sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai sumberdaya hayati, sumberdaya non-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya non-hayati meliputi pasir, air laut, dan mineral dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) dilaksanakan dalam rangka melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumberdaya Direktorat Penelitian dan Pengembangan
11
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
P3K serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Pengelolaan P3K sudah seharusnya menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan P3K juga dimaksudkan untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dan lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya P3K agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan. Pengelolaan P3K harus meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil (UU Pesisir), mengatur sejumlah hal yang sejak dari perencanaan hingga pengawasan dan penegakan sanksi yang terdiri dari 19 bab dan 80 pasal. Secara ringkas, isi UU pesisir mencakup beberapa hal berikut: 1) Bab I: Ketentuan Umum. Bagian ini terdiri dari 46 pengertian isilah yang digunakan dalam UU Pesisir. Beberapa istilah penting yang didefinisikan antara lain wilayah pesisir, pulau kecil, ekosistem, bioekoregion, perairan pesisir, konservasi, reklamasi, mitigasi bencana, dan sebagainya. (pasal 1 sampai pasal 2) 2) Bab II: Asas dan Tujuan. Asas pengelolaan WP-3K antara lain keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, pemerataan, dan keadilan. Tujuan pengelolaan WP3K dibagi dalam empat bagian. Keempat tujuan tersebut mencakup aspek perlindungan, konservasi, rehabilitasi, pemanfaat sumberdaya secara berkelanjutan, harmonisasi dan sinergi lintas pemerintah, peran serta masyarat, dan peningkatan nilai sosial,ekonomi, serta budaya. (pasal 3 sampai pasal 4) 3) Bab III: Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kegiatan ini mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya P3K, dengan memperhatikan lintas pemerintahan dan lintas ekosistem. (Pasal 5 sampai pasal 6). 4) Bab IV: Perencanaan. Kegiatan perencanaan mencakup tata cara penyusunan rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP3K), rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pualu-pulau kecil (RPWP3K), serta rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RAWP3K). ( Pasal 7 sampai pasal 15). 5) Bab V: Pemanfaatan. Pemanfaatan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dilakukan dengan menggunakan instrumen perizinan. Dalam hal ini, setiap pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan. Konservasi, reklamasi dan rehabilitasi juga menjadi aspek yang diatur dalam bagian pemanfaatan. (Pasal 16 sampai pasal 35). 6) Bab VI: Pengawasan dan Pengendalian. Kegiatan pengawasan dilakukan secara koordinatif dengan instansi lainnya. Kegiatan pengendalian dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen seperti program akreditasi dan mitra bahari. (Pasal 36 sampai pasal 41). 7) Bab VII: Penelitian dan Pengembangan. Bagian ini menekankan pentingnya kegiatan penelitian dan pengembangan serta keterlibatan para pihak dalam kegiatan tersebut. (pasal 42 sampai pasal 46). 8) Bab VIII: Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan. Kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan diselenggarakan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan berbagai pihak baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. (pasal 47 sampai pasal 49). 9) Bab IX: Kewenangan. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
12
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
10)
11)
12)
13)
14)
15)
16)
17)
18) 19)
2014
Kewenangan pemberian dan pencabutan izin pemanfaatan WP3K diletakkan secara berjenjang pada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota. (pasal 50 sampai pasal 55). Bab X: Mitigasi Bencana. Mitigasi bencana dilakukan sejak penyusunan rencana pengelolaan dan pemanfaatan WP3K. Pelaksanaan mitigasi bencana dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (pasal 56 sampai pasal 59). Bab XI: Hak, Kewajiban, dan Peran Serta Masyarakat. Pengelolaan WP3K, selain melibatkan masyarakat juga memperhatikan hak-hak masyarakat disamping kewajiban yang harus dipenuhinya. (pasal 60 sampai pasal 62). Bab XII: Pemberdayaan Masyarakat. Dalam rangka pengelolaan WP3K pemerintah pusat maupun daerah berkewajiban untuk memberdayakan masyarakat antara lain peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya dengan mendorong kegiatan usaha masyarakat. (pasal 63). Bab XIII: Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa dalam pengelolaan WP3K dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. (pasal 64 sampai pasal 67). Bab XIV: Gugatan Perwakilan. Masyarakat berhak untuk mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan, yang dapat diwakili oleh organisasi kemasyarakatan. (pasal 68 sampai pasal 69). Bab XV: Penyidikan. Kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan WP3K, dilakukan dengan mengacu pada KUHAP, dan dapat dilakukan oleh penyidik kepolisian atau PPNS. (Pasal 70). Bab XVI: Sanksi Administratif. Sanksi administratif diberikan kepada para pihak yang memanfaatkan pesisir dan pulaupulau kecil yang tidak sesuai dengan izin lokasi dan izin pengelolaan. (Pasal 71 sampai pasal 72). Bab XVII: Ketentuan Pidana. Ketentuan pidana berlaku pada setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakantindakan seperti menambang terumbu karang, merusak ekosistem mangrove, merusak padang lamun, serta melakukan penambangan (pasir, migas, mineral) yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan atau merugikan masyarakat sekitarnya. (pasal 73 sampai pasal 75). Bab XVIII: Ketentuan Peralihan. (pasal 76 sampai pasal 78). Bab XIX: Ketentuan Penutup. (Pasal 79 sampai pasal 80).
Hak penguasaan negara terhadap sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil diterjemahkan dalam berbagai hal seperti perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian, penelitan dan pengembangan, dan sebagainya. 1) Penyusunan perencanaan pengelolaan wilayah P3K dalam bentuk rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP3K), rencana zonasi (RZWP-3K), rencana pengelolaan (RPWP3K) dan rencana aksi pengelolaan (RAPWP3K). (Pasal 7 ayat (1)). 2) Penyusunan norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan pengelolaan WP3K. 3) Pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan sebagai dasar pemanfaatan WP3K. 4) Penetapan hal-hal yang berkenaan dengan konservasi WP3K. 5) Pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan hal-hal yang berkenaan dengan rehabilitasi dan reklamasi WP3K. 6) Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan WP3K. 7) Pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
13
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
8) Pengelolaan kawasan konservasi (zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan) WP3K. 9) Penetapan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. 10) Pengaturan dan pelaksanaan rehabilitasi WP3K. 11) Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan reklamasi WP3K. 12) Penyelenggaraan akreditasi terhadap program pengelolaan WP3K. 13) Pengaturan terkait mitra bahari dalam rangka peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan WP3K. 14) Pengaturan terkait aktivitas yang dilarang di WP3K. 15) Pengaturan dan penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek dan SDM terkait pengelolaan WP3K secara berkelanjutan 16) Penyelenggaraan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pengelolaan WP3K. 17) Perencanaan dan penyelenggaraan mitigasi bencana. 18) Pengaturan dan penyelenggaraan izin untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya. 19) Pengaturan terkait penamaman modal asing di WP3K 2.1.4. Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, lahir dari kesadaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang di satukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang dan diakui secara internasional. Dalam rangka melayani rakyat, diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan negara. Karena itu, kegiatan pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Undang-Undang Pelayaran mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Bab I: Ketentuan Umum. Ketentuan ini memuat 64 pengertian yang menjadi acuan dalam pendefinisian istilah dalam UU Pelayaran. Dalam hal ini, pelayaran didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. (Pasal 1) 2) Bab II: Asas dan Tujuan. Asas pelayaran antara lain manfaat, persaingan sehat, kepentingan umum, berwawasan lingkungan hidup, serta kedaulatan negara. Salah satu tujuan pelayaran adalah memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, serta menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional. (Pasal 2 dan Pasal 3). 3) Bab III: Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang. Undang-undang pelayaran mencakup hal-hal seperti semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia, semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia, serta semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia. (Pasal 4). 4) Bab IV: Pembinaan. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
14
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
2014
Kegiatan pembinaan dilakukan oleh pemerintah dan mencakup hal-hal seperti pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. (Pasal 5). Bab V: Angkutan dI Perairan. Jenis angkutan di perairan terdiri atas angkutan laut, angkutan sungai dan danau, serta angkutan penyeberangan. (Pasal 6 sampai pasal 59). Bab VI: Hipotek dan Piutang-Pelayaran yang Didahulukan. Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal. Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek. (Pasal 60 sampai pasal 66). Bab VII: Kepelabuhanan. Tatanan Kepelabuhanan Nasional merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam. Jenis pelabuhan terdiri dari pelabuhan laut, dan pelabuhan sungai dan danau. Lokasi pelabuhan disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan. (pasal 67 sampai pasal 115). Bab VIII: Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. Keselamatan dan keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya persyaratan kelaiklautan kapal dan kenavigasian. Kelaiklautan kapal sesuai dengan daerahpelayarannya yang antara lain meliputi keselamatan kapal, pencegahan pencemaran dari kapal, pengawakan kapal, serta garis muat kapal dan pemuatan. (Pasal 116 sampai pasal 123). Bab IX: Kelaiklautan Kapal. Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal. Persyaratan keselamatan kapal antara lain mencakup material, bangunan, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, serta elektronika kapal. (Pasal 124 sampai pasal 171). Bab X: Kenavigasian. Pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran sesuai dengan perkembangan teknologi. (pasal 172 sampai pasal 206). Bab XI: Syahbandar. Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan. Syahbandar juga membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan (Search and Rescue/SAR) di pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 207 sampai pasal 225). Bab XII: Perlindungan Lingkungan Maritim. Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal, dan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan. Selain pencegahan dan penanggulangan perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap pembuangan limbah di perairan dan penutuhan kapal. (pasal 226 sampai pasal 243). Bab XIII: Kecelakaan Kapal Serta Pencarian dan Pertolongan. Bahaya terhadap kapal dan/atau orang merupakan kejadian yang dapat menyebabkan terancamnya keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia. Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas. (pasal 244 sampai pasal 260). Bab XIV: Sumberdaya Manusia. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
15
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
15)
16)
17)
18)
19)
20)
21)
22)
2014
Penyelenggaraan dan pengembangan sumberdaya manusia mencakup perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penempatan, pengembangan pasar kerja, dan perluasan kesempatan berusaha. (pasal 261 sampai pasal 273). Baba XV: Sistem Informasi Pelayaran. Sistem informasi pelayaran diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi untuk pelayaran. (pasal 269 sampai pasal 273). Bab XVI: Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat antara lain berupa memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan pelayaran, memberi masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang pelayaran, serta menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan. (Pasal 274 sampai pasal 275). Bab XVII: Penjagaan Laut dan Pantai. Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. (pasal 276 sampai pasal 281). Bab XVIII: Penyidikan. Penyidik terdiri dari PPNS dan penyidik kepolisian. Penyidik pegawai negeri sipil berwenang antara lain meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran, serta melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran. (Pasal 282 sampai pasal 283). Bab XIX: Ketentuan Pidana. Ketentuan pidana berlaku antara lain bagi setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Ketentuan pidana dan denda juga berlaku pada beberapa tindakan seperti kegiatan angkutan laut khusus tanpa izin, mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha, serta tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos. (pasal 284 sampai pasal 336). Bab XX: Ketentuan Lain-lain. Untuk aspek-aspek terkait dengan ketenagakerjaan, pendidikan dan pelatihan SDM, penegakan hukum pada ZEEI dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. (Pasal 337 sampai pasal 340). Bab XXI: Ketentuan Peralihan. Aturan peralihan antara lain mencakup hal-hal seperti kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku (7 Mei 2011). (pasal 341 sampai pasal 346). Bab XXII: Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku (7 Mei tahun 2010). (pasal 347 sampai pasal 355).
Hak menguasai negara dalam penyelenggaraan pelayaran, diterjemahkan dalam berbagai hal. Dalam UU pelayaran, ditegaskan bahwa pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Beberapa hal yang menunjukkan bentuk hak penguasaan negara melalui peran pemerintah antara lain: Direktorat Penelitian dan Pengembangan
16
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan a.
b. c.
d. e. f. g. h. i. j. k. l.
m.
n. o.
p. q. r. s. t. u. v. w. x. y. z. aa. bb. cc. dd. ee.
2014
Pengaturan meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain mencakup penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan. Pengendalian meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian. Pengawasan meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum. Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur. Pelayanan izin operasi angkutan laut khusus. Pelayanan izin angkutan laut pelayaran rakyat. Pelayanan izin angkutan sungai dan danau. Pelayanan izin angkutan penyeberangan. Pelaksanaan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan atau wilayah terpencil. Penetapan jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan barang/penumpang serta tarif usaha jasa terkait. Memobilisasi armada niaga nasional dalam keadaan tertentu. Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional melalui pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan, fasilitas kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal, dan memberikan jaminan kesediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan. Perkuatan industri perkapalan nasional antara lain melalui penetapan kawasan industri perkapalan terpadu, pengembangan pusat desain dan penelitian, pengembangan industri kapal nasional, pengembangan standardisasi dan komponen kapal, pengembangan industri bahan baku dan komponen kapal, serta pemberian insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional. Penetapan rencana induk pelabuhan nasional untuk jangka waktu 20 tahun Kegiatan pemerintahan di pelabuhan seperti pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, keselamatan dan keamanan pelayaran, kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan, serta kegiatan tidak tetap. Pelayanan izin pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan pelabuhan danau. Penetapan jenis, struktur, dan golongan tarif kepelabuhanan serta tarif usaha jasa terkait. Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran. Pengesahan terhadap gambar rancang bangun dan data pembangunan dan pengerjaan kapal. Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan kapal. Pemberian sertifikat keselamatan kapal. Penunjukan badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing untuk pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal. Pencegahan dan pengendalian pencemaran. Pengukuran kapal. Pencatatan kapal. Pemberian surat tanda kebangsaan kapal. Audit terhadap manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran kapal serta pemberian sertifikat. Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran. Penyelenggaraan telekomunikasi pelayaran. Pelaksanaan survei dan pemetaan hidrografi. Penyelenggaraan alur pelayaran. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
17
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
ff. gg. hh.
Penetapan alur laut kepulauan Indonesia dan tata cara penggunaannya. Penetapan zona keamanan dan zona keselamatan. Penetapan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. ii. Mengangkat dan menguasai kerangka kapal dan atau muatannya yang tidak diketahui pemiliknya. jj. Pengangkatan syahbandar dan pelaksanaan fungsi-fungsi syahbandar. kk. Penyelenggaraan perlindungan maritim. ll. Pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan kapal. mm. Pengembangan sumberdaya manusia. nn. Penyelenggaraan sistem informasi pelayaran. oo. Penjagaan laut dana pantai. pp. Penyidikan. 2.1.5. Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) Undang-Undang kelautan lahir dari kesadaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wilayah laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan yang merupakan modal dasar pembangunan nasional. Pengelolaan sumberdaya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Undang-Undang Kelautan mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) Bab I: Ketentuan Umum. Ketentuan umum memuat 14 definisi istilah yang menjadi batasan pengertian dalam UU Kelautan. Pengertian kelautan dalam UU tersebut adalah hal yang berhubungan dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (pasal 1). 2) Bab II: Asas dan Tujuan. Asas penyelenggaraan kelautan antara lain keberlanjutan, keterpaduan, kepastian hukum, pemerataan, keterbukaan, dan keadilan. Tujuan penyelenggaraan kelautan antara lain memanfaatkan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. (pasal 2 dan pasal 3). 3) Bab III: Ruang Lingkup. Pengaturan penyelenggaraan kelautan dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan yang meliputi berbagai hal seperti wilayah laut, pembangunan kelautan, pengelolaan kelautan, pengembangan kelautan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, pertahanan, kemanan, penegakan hukum, dan keselematan di laut, serta tata kelola dan kelembagaan. (pasal 4). 4) Bab IV: Wilayah Laut. Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yuridiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan terdiri atas perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial. Wilayah yurisdiksi terdiri dari zona tambahan, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan landas kontinen. Laut lepas merupakan bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Kawasan dasar laut internasional merupakan dasar laut serta tanah dibawahnya yang terletak di luar batas-batas yurisdiksi nasional. (pasal 5 sampai pasal 12).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
18
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
5) Bab V: Pembangunan Kelautan. Pembangunan kelautan diselenggarakan melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang mencakup 8 aspek, yakni pengelolaan sumberdaya kelautan, pengembangan sumberdaya manusia, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut, tata kelola dan kelembagaan, peningkatan kesejahteraan, ekonomi kelautan, pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut, serta budaya bahari. (pasal 13). 6) Bab VI: Pengelolaan Kelautan. Pengelolaan kelautan dimaksudkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan dengan menggunakan prisip blue economy. Pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat meliputi perikanan, energi dan sumberdaya mineral, sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sumberdaya nonkonvesional. Sementara pengusahaan sumberdaya kelautan dapat berupa industri kelautan, wisata bahari, perhubungan laut, dan bangunan laut. (pasal 14 sampai pasal 33). 7) Bab VII: Pengembangan Kelautan. Pengembangan kelautan mencakup pengembangan sumberdaya manusia, riset ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi dan data kelautan, serta kerjasama kelautan. (pasal 34 sampai pasal 41). 8) Bab VIII: Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut. Pengelolaan ruang laut dilakukan antara lain melalui pelindungan sumberdaya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal, serta pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. (pasal 42 sampai pasal 57). 9) Bab IX: Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut. Pertahanan laut diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI. Penegakan kedaulatan dan hukum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional. Penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dilakukan oleh Badan Keamanan Laut (BAKAMLA). Bakamla merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri yang mengkoordinasikannya. (pasal 58 sampai pasal 68). 10) Bab X: Tata Kelola dan Kelembagaan Laut. Kebijakan tata kelola dan kelembagaan laut meliputi rencana pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan serta sistem perencanaan, koordinasi, pemonitoran, dan evaluasi pembangunan kelautan yang efektif dan efisien. (pasal 69). 11) Bab XI: Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pembangunan kelautan dilakukan melalui partisipasi dalam penyusunan kebijakan pembangunan kelautan, pengelolaan kelautan, pengembangan kelautan, dan memberikan masukan dalam kegiatan evaluasi dan pengawasan. (pasal 70). 12) Bab XII: Ketentuan Peralihan. Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya BAKAMLA, namun tugasnya mengacu pada UU Kelautan. (pasal 71). 13) Bab XIII: Ketentuan Penutup. Peraturan pelaksana UU Kelautan harus telah ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun setelah UU kelautan ditandatangani (Agustus 2016). (pasal 72 sampai pasal 74).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
19
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2.2.
2014
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN Pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan, tidak bisa dipisahkan dari instansi yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakasanakan 5 Undang-Undang di atas. Untuk kepentingan kajian ini, kelembagaan yang akan disampaikan di sini adalah kelembagaan pemerintah yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perhubungan. Dengan mempertimbangkan muatan pelaksanaan yang lebih banyak dan ruang lingkup kajian, Unit Eselon satu pada KKP yang disampaikan adalah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Sementara di Kementerian Perhubungan, kelembagaan unit eselon satu yang akan disajikan dalam kajian ini adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan No. 15 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, KKP memiliki tugas pokok menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, KKP menjalankan beberapa fungsi sebagai berikut: 1) Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan; 2) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab KKP; 3) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan KKP 4) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan KKP di daerah; dan 5) Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. Struktur organisasi KKP terdiri dari : 1) Sekretariat Jenderal 2) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 3) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 4) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan 5) Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil 6) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan 7) Inspektorat Jenderal 8) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan 9) Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan 10) Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya 11) Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik 12) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga; dan 13) Staf Ahli Bidang ekologi dan Sumberdaya Laut
2.2.1. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Tugas Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perikanan tangkap. Sementara fungsi DJPT KKP adalah : 1) Perumusan kebijakan di bidang perikanan tangkap; 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang perikanan tangkap; 3) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perikanan tangkap; 4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perikanan tangkap; 5) Pelaksanaan administrasi DJPT KKP; Unit eselon II dan Kelompok Jabatan yang ada di lingkungan DJPT KKP adalah : 1) Sekretariat Direktorat Jenderal 2) Direktorat Sumberdaya Ikan 3) Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
20
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan 4) 5) 6) 7)
2014
Direktorat Pelabuhan Perikanan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan Direktorat Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan, Kelompok Jabatan Fungsional
Jumlah Pegawai yang ada di lingkungan DJPT KKP per Juli 2014 sebanyak 1.436 pegawai yang terdii dari 1.415 PNS dan 21 non PNS. Pegawai tersebut terbagi di setiap unit eselon II, serta dipekerjakan baik di kantor pusat maupun pada BPPI dan PPS yang berlokasi di berbagai daerah. 2.2.2. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJKP3K KKP) Tugas Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil adalah merumuskan serta melaksanakan kebjakan dan standarisasi teknis di bidang kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Untuk melaksanakan tugas tersebut DJKP3K KKP memiliki fungsi : 1) Perumusan kebijakan di bidang kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; 3) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; 4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; 5) Pelaksanaan administrasi Ditjen KP3K KKP; Unit eselon II dan kelompok jabatan yang ada di lingkungan DJKP3K adalah: 1) Sekretariat Direktorat Jenderal 2) Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil 3) Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan 4) Direktorat Pesisir dan Lautan 5) Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil 6) Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha 7) Kelompok Jabatan Fungsional Jumlah pegawai yang ada di lingkungan DJKP3K per Juli 2014 sebanyak 836 orang yang terdiri dari 558 PNS dan 278 non PNS. Pegawai tersebut tersebar di unit-unit eselon II di pusat dan berbagai BPSPL, LPSPL, dan LKKPN/BKKPN yang ada di berbagai daerah. 2.2.3. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPSDKP KKP) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan. Fungsi yang harus diselenggarakan oleh DJPSDKP adalah: 1) Perumusan kebijakan di bidang pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan; 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 3) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan; 4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaawasan sumberdaya kelautan dan perikanan 5) Pelaksanaan administrasi Ditjen PSDKP Unit eselon II dan kelompok jabatan yang ada di Ditjen PSDKP adalah: Direktorat Penelitian dan Pengembangan
21
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
1) 2) 3) 4) 5)
Sekretariat Direktorat Jenderal Direktorat Pengawasan Sumberdaya Perikanan Direktorat Pengawasan Sumberdaya Kelautan Direktorat Kapal Pengawas Direktorat Pemantauan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dan Pengembangan Infrastruktur Pengawasan 6) Direktorat Penanganan Pelanggaran 7) Kelompok jabatan fungsional Jumlah pegawai yang ada di lingkungan DJPSDKP per Agustus 2014 sebanyak 1.388 orang yang terdiri dari 927 PNS dan 461 non PNS. Pegawai tersebut tersebar di kantor pusat dan dibeberapa UPT pangkalan pengawasan, UPT stasiun pengawasan, dan kapal pengawasan.
2.3.
KETATALAKSANAAN PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN Ketatalaksanaan pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan, sangat kompleks dan multi dimensi karena melibatkan berbagai instansi pemerintah terkait, baik di pusat maupun di daerah. Untuk kepentingan awal, kajian dilakukan pada tata laksana di bidang pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI, pengelolaan PNBP, dan Izin Lokasi dan Izin Pemanfaatan Kawasan Reklamasi.
2.3.1
Tata Laksana di bidang pengurusan SIUP/SIPI SIKPI yang ada pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap UU Perikanan mewajibkan kepemilikan izin bagi setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha perikanan tangkap baik berupa penangkapan maupun pengangkutan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Izin dapat terdiri dari Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Pengaturan tentang pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI bagi kapal yang beroperasi pada WPP-NRI didasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 tahun 2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Beberapa hal penting yang diatur terkait dengan perizinan tersebut adalah : 1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP-NRI, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang terdiri dari SIUP, SIPI dan SIKPI. Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi nelayan kecil, pemerintah, atau perguruan tinggi untuk kepentingan pelatihan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI dikecualikan bagi nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti dengan bukti pencatatan kapal. 2) SIUP belaku selama orang tersebut melakukan kegiatan usaha perikanan tangkap tetapi SIPI, SIKPI, dan bukti pencatatan kapal hanya berlaku selama satu tahun dan harus diperpanjang. 3) Dirjen Perikanan Tangkap KKP menerbitkan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT, serta usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan atau tenaga kerja asing. Wilayah operasi berada pada lebih dari 12 mil laut dan di laut lepas. 4) Gubernur berwenang menerbitkan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran diatas 10 GT sampai dengan 30 GT untuk orang yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi pada perairan di Wilayah Pengelolaan Perikanan provinsi tersebut berkedudukan serta tidak menggunakan modal asing dan atau tenaga kerja asing. Wilayah operasi pada 4 sampai 12 mil laut. 5) Bupati/walikota berwenang menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran sampai dengan 10 GT untuk orang yang berdomisili di wilayah Direktorat Penelitian dan Pengembangan
22
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
administrasinya dan beroperasi pada perairan provinsi tempat kabupaten/kota tersebut berkedudukan serta tidak menggunakan modal asing dan atau tenaga kerja asing. Bupati/walikota juga berwenang untuk menerbitkan bukti pencatatan kapal untuk nelayan kecil yang menggunakan satu kapal berukuran paling besar 5 GT untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Wilayah operasi pada maksimum 4 mil laut. Usaha perikanan tangkap pada prinsipnya terbagi kedalam empat kelompok yakni: a) Usaha penangkapan ikan. Dalam hal ini penggunaan kapal dapat berupa kapal tunggal, satuan armada, serta kapal tugnggal dan satuan armada sekaligus. b) Usaha pengangkutan ikan. Terdiri dari pengangkutan dalam negeri (dari sentra nelayan, dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat, dan pola kemitraan) serta tujuan ekspor. c) Usaha penangkapan ikan dan pengangkutan ikan. Usaha ini dilakukan hanya dalam satu perusahaan. d) Usaha perikanan tangkap terpadu. Usaha penangkapan ikan, pengangkutan ikan dan pengolahan ikan dilakukan secara terintegrasi. Setiap surat izin, ditujukan untuk berbagai kepentingan. SIUP dapat dimiliki oleh perorangan, perusahaan, dan penanaman modal. SIPI dapat dimiliki oleh kapal penangkap yang dioperasikan secara tunggal, kapal penangkap yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan, kapal pendukung operasi penangkapan ikan, dan kapal latih atau penelitian/eksplorasi perikanan. SIKPI dapat dimiliki oleh kapal pengangkut ikan dari sentra nelayan, kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat, kapal pengangkut ikan pola kemitraan, kapal pengangkut ikan tujuan ekspor, kapal pengangkut ikan berbendera asing yang diageni perusahaan bukan perusahaan perikanan, serta kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang diageni perusahaan bukan perusahaan perikanan. SIUP berlaku selama melakukan kegiatan usaha di WPP-NRI dan dapat berlaku juga untuk laut lepas. SIPI dan SIKPI berlaku satu tahun dan perpanjangan berlaku selama satu tahun terhitung sejak berakhirnya masa berlaku SIPI. Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak berakhirnya masa berlaku SIPI tidak dilakukan perpanjangan, ketentuan perpanjangan SIPI diberlakukan sama dengan ketentuan penerbitan SIPI baru. Dalam pengurusan SIUP, setiap orang atau badan hukum harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan persyaratan berikut: a) Rencana usaha yang meliputi rencana investasi, rencana kapal, dan rencana operasional b) Fotokopi NPWP pemilik kapal atau perusahaan, dengan menunjukkan aslinya c) Fotokopi KTP pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan dengan menunjukkan aslinya d) Surat keterangan domisili usaha e) Fotokopi akta pendirian perusahaan dengan menunjukkan aslinya f) Fotokopi pengesahan badan hukum bagi perusahaan perikanan yang menggunakan kapal penangkap ikan dan atau kapal pengangkut ikan dengan jumlah kumulatif 300 GT ke atas g) Surat pernyataan bermaterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan: Kesanggupan membangun, memiliki UPI atau bermitra dengan UPI yang telah memiliki SKP bagi usaha perikanan tangkap terpadu Kesediaan mematuhi dan melaksanakan semua ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Kebenaran data dan informasi yang disampaikan
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
23
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Gambar 2.1 Tata Cara Penerbitan SIUP
Penilaian kelayakan rencana usaha & persyaratan (< 5 hari)
Permohonan SIUP
diterima
Terbit SPP-PPP (< 3 hari)
ditolak Pemohon harus membayar PPP (< 10 hari) Direktur Jenderal PT menerbitkan SIUP (< 2 hari)
pengambilan pas foto dan specimen (<1 hari)
SIUP dapat berlaku juga untuk kegiatan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan yg rencana usahanya meliputi laut lepas
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP
Untuk kapal yang beroperasi tunggal atau beroperasi dalam satu grup armada penangkapan ikan, pengurusan SIPI dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Dirjen Perikanan Tangkap dengan melampirkan persyaratan berikut: a) Fotokopi SIUP b) Fotokopi grosse akta dengan menunjukkan aslinya, dan fotokopi buku kapal perikanan apabila grosse akta dalam jaminan bank serta melampirkan akta hipotik dengan menunjukkan aslinya c) Spesifikasi teknis alat penangkap ikan yang digunakan d) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement) e) Data kapal dengan format yang telah ditetapkan f) Rencana target spesies penangkapan ikan g) Surat pernyataan bermaterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan: Kesanggupan menerima, membantu kelancaran tugas, dan menjaga keselamatan petugas pemantau (observer) untuk kapal penangkap ikan berukuran 30 GT keatas Kesanggupan untuk menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya Kesanggupan mengisi logbook sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Kesanggupan menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Kesanggupan merealisasikan pembangunan, kepemilikan UPI, atau kemitraan dengan UPI yang telah memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi usaha perikanan tangkap terpadu Kapal yang digunakan tidak tercantum dalam daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing) Kebenaran data dan informasi yang disampaikan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
24
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Gambar 2.2 Tata Cara Penerbitan SIPI Untuk Kapal Beroperasi Tunggal dan Operasi Dalam Group– Satuan Armada Penangkapan Ikan Penilaian kelengkapan, persyaratan dgn memperhatikan SIUP (< 2 hari)
Permohonan SIPI
disetujui
Tidak sesuai
ditolak
Pemeriksaan fisik (< 2 hari)
sesuai Petugas menerbitkan Rekomendasi ke Dirjen PT (< 3 hari)
Direktur Jenderal PT menerbitkan SIPI (< 3 hari)
Pemohon harus membayar PHP (< 10 hari)
Terbit Draft SIPI & SPP-PHP (< 2 hari)
Permohonan SIPI kapal lampu dalam satua armada diajukan bersamaan dengan permohonan SIPI untuk operasi satuan armada penangkapan ikan
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP
Untuk pengurusan SIKPI dengan pola kemitraan, tujuan ekspor, dan dari pangkalan ke pelabuhan muat dan dari sentra nelayan, setiap pengurus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a) Fotokopi SIUP b) Fotokopi grosse akta dengan menunjukkan aslinya, dan fotokopi buku kapal perikanan apabila grosse akta dalam jaminan bank, harus melampirkan akta hipotik dengan menunjukkan aslinya c) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement) d) Data kapal dengan format yang telah ditetapkan e) Surat pernyataan bermaterai cukup dari pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan: Kesanggupan menerima, membantu kelancaran tugas, dan menjaga keselamatan petugas pemantau (observer) untuk kapal penangkap ikan berukuran 30 GT ke atas Kesanggupan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya Kesanggupan mengisi logbook sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Kesanggupan menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Kesanggupan merealisasikan pembangunan, kepemilikan UPI, atau kemitraan dengan UPI yang telah memiliki sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) bagi usaha perikanan tangkap terpadu Kapal yang digunakan tidak tercantum dalam daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Kebenaran data dan informasi yang disampaikan
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
25
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Gambar 2.3 Tata Cara Penerbitan SIKPI
Penilaian kelengkapan, persyaratan dgn memperhatikan SIUP (< 2 hari)
Permohonan SIKPI
disetujui
Tidak sesuai
ditolak
Pemeriksaan fisik (< 2 hari)
sesuai Petugas menerbitkan Rekomendasi ke Dirjen PT (< 3 hari)
Direktur Jenderal PT menerbitkan SIKPI (< 3 hari)
Pemohon harus membayar PPP (< 10 hari)
Terbit Draft SIPI & SPP-PPP (< 2 hari)
Permohonan SIKPI kapal pengangkut ikan dalam satua armada diajukan bersamaan dengan permohonan SIPI untuk operasi satuan armada penangkapan ikan
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP
2.3.2
Tata Laksana di bidang pengelolaan PNBP pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Pungutan perikanan tangkap, didasarkan pada sejumlah aturan perundang-undangan yakni UU N0. 27 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2002 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2006 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan, Peraturan Pemerintantah Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 60 tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2011 tentang Harga Patokan Ikan. Pungutan PNBP pada sumberdaya alam hasil perikanan tangkap, terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). PPP dikenakan saat perusahaan memperoleh Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) baru dan atau perpanjangan. PHP dikenakan pada saat perusahaan memperoleh Surat Izin Penangkapan Ikan (SIKPI). Besarnya Pungutan Perusahaan Perikanan didasarkan pada tarif per gross tonnage (GT) menurut jenis alat tangkap dan ukuran (GT) kapal perikanan yang dipergunakan. Sementara besarnya Pungutan Hasil Perikanan ditentukan berdasarkan koefisien skala usaha, produktivitas kapal, dan harga patokan ikan. Koefisien skala usaha untuk skala usaha besar ditentukan sebesar 2,5% dan skala usaha kecil sebesar 1%. Produktivitas kapal mempertimbangkan ukuran GT kapal, bahan, kekuatan mesin, jenis alat tangkap, jumlah trip, dan wilayah penangkapan. Harga patokan ikan ditetapkan berdasarkan harga rata-rata tertimbang di pasar domestik dan internasional.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
26
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Gambar 2.4 Rumusan Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
Besarnya Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Ditentukan berdasarkan rumusan: tarif per Gross Tonnage (GT) menurut jenis alat tangkap
Tarif x GT Kapal
ukuran (GT) kapal perikanan yang dipergunakan
Besarnya Pungutan Hasil Perikanan (PHP) Ditentukan berdasarkan rumusan:
Koefisien Skala Usaha Skala besar (2,5%) Skala kecil (1%)
X
Produktivitas Kapal
X
Mempertimbangkan: ukuran GT kapal; bahan; kekuatan mesin; jenis alat tangkap; jumlah trip; wilayah penangkapan
Harga Patokan Ikan Ditetapkan berdasarkan harga rata” tertimbang di pasar domestik & internasional
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP
Mekanisme pungutan perikanan sangat tergantung pada proses pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Pungutan dilakukan hanya jika dokumen pengurusan perizinan sudah dinyatakan lengkap. Disamping itu, pemohon tidak mempunyai tunggakan atas kapal yang sedang diproses maupun atas nama kapal-kapal lainnya yang berada dalam satu kepemilikan. Pemohon menerima surat perintah pembayaran (SPP) yang telah dilengkapi dengan perhitungan PPP dan atau dilengkapi surat setoran penerimaan negara bukan pajak (SSBP) rangkap lima, Wajib bayar membayar ke bank persepsi dalam hal ini Bank Mandiri dengan batas waktu pembayaran maksimal sepuluh hari. Tanda bukti pembayaran (SSBP lembar V) yang telah divalidasi wajib diserahkan kembali ke DJPT. Setelah diserahkan, petugas memberikan surat tanda pelunasan pungutan perikanan, baru kemudian SIUP/SIPI/SIKPI diterbitkan. 2.3.3. Tata Laksana di Bidang Penyusunan Rencana Zonasi Tata Ruang Wilayah Pesisir,dan PulauPulau Kecil (WP3K) Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dimulai dari kegiatan perencanaan. Perencanaan pengelolaan WP3K terdiri atas rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi pengelolaan. Rencana strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indiaktor yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. Rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dlakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Jangka waktu berlakunya rencana zonasi selama dua puluh tahun dan dapat ditinjau kembali setiap lima tahun. Fungsi rencana zonasi WP3K antara lain untuk kepentingan dokumen formal perencanaan pembangunan daerah, perisai legitimasi peruntukan ruang laut, rujukan konflik ruang laut, acuan pemberian izin pemanfaatan ruang laut, alat sinergitas spasial, serta memberikan kekuatan hukum pemanfaatan ruang laut. Terdapat setidaknya 14 tahapan dalam penyusunan rencana zonasi WP3K yakni: Direktorat Penelitian dan Pengembangan
27
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
1) Persiapan. Dalam hal ini pemerintah daerah menyusun rencana kerja, kerangka acuan kerja dan rencana anggaran biaya. 2) Pengumpulan data. Dilakukan pengumpulan data sekunder. 3) Survei lapangan. Dilakukan pengumpulan data primer apabila data sekunder yang telah dikumpulkan belum memenuhi kebutuhan. 4) Pengolahan dan analisis data. Pengolahan dan analisis data untuk disusun dalam petapeta tematik. 5) Deskripsi potensi dan kegiatan pemanfaatan. Pendeskripsian dilakukan terhadap petapeta tematik yang telah disusun. 6) Penyusunan dokumen awal. Dokumen awal mencakup peta-peta tematik dan dan hasil pendeskripsian terhadap peta-peta tematik yang telah disusun. 7) Konsultasi publik. Kegiatan ini berupa penyampaian draf dokumen awal untuk menjaring masukan dari publik. 8) Penentuan usulan alokasi ruang. Dalam proses ini dilakukan tumpang susun peta-peta tematik dalam dokumen awal yang telah diperbaiki dari hasil konsultasi publik. Dilakukan juga analisis kesesuaian terhadap kriteria kawasan, zona, subzona, dan atau pemanfaatannya serta penentuan usulannya. 9) Penyusunan dokumen antara. Dalam tahapan ini diperoleh hasil perbaikan dokumen awal, analisis non spasial, analisis konflik konflik pemanfaatan ruang, penentuan alokasi ruang, penyelarasan, penyerasian, dan penyeimbangan ruang, pemanfaatan ruang, serta penyusunan indikasi program. Hasil dari semua dokumen ini disusun sebagai bagian dari draft rancangan peraturan daerah rencana zonasi WP3K. 10) Konsultasi publik. Draf dokumen antara rencana zonasi WP3K disampaikan kembali ke publik untuk menjaring masukan. 11) Penyusunan dokumen final. Hasil dari konsultasi publik terhadap dokumen antara, disempurnakan dan disusun dalam bentuk dokumen final. 12) Permohonan tanggapan/saran. Terhadap dokumen final, dimohonkan tanggapan atau saran kepada instansi terkait. 13) Pembahasan rancangan peraturan daerah. Pembahasan dilakukan oleh DPRD. 14) Penetapan. Penetapan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah rencana zonasi WP3K.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
28
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
BAB III PERMASALAHAN PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN INDONESIA
Penggunaan ruang laut secara bersama-sama oleh setidaknya dua belas sektor menciptakan permasalahan yang demikian kompleks. Permasalahan tersebut hadir dalam berbagai dimensi dengan dampak dan cakupan mulai dari aspek teknis hingga strategis. Dengan mengacu pada syarat lahirnya sebuah negara, permasalahan sektor kelautan hadir dalam tiga dimensi yakni dimensi wilayah, pemerintahan, dan rakyat. Sebagai fokus dari pemanfaatan sumberdaya kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, rakyat hadir sebagai subyek sentral dalam pembangunan sektor kelautan. Karenanya, unsur wilayah dan pemerintahan harus dikelola untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Di sektor kelautan, aspek wilayah dan pemerintahan juga masih dilingkupi sejumlah persoalan. Persoalan pada aspek wilayah menjadi persoalan mendasar karena hal tersebut berkaitan langsung dengan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penarikan garis pangkal yang menentukan batas laut teritorial, dan seterusnya hingga Zona Ekonomi Eksklusif, menjadi dasar keberlakuan kedaulatan dan hak berdaulat NKRI di laut. Dengan demikian, penggunaan ruang laut untuk berbagai kepentingan, termasuk sumberdaya yang ada di dalamnya haruslah mengacu pada batas wilayah laut yang diakui secara internasional. Permasalahan terkait batas wilayah laut NKRI, tata ruang wilayah laut, serta pengelolaan sumberdaya yang ada di laut khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan, pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi fokus pada Bab III ini.
3.1.
PERMASALAHAN TERKAIT BATAS WILAYAH LAUT INDONESIA
3.1.1. Penarikan batas wilayah laut Indonesia yang hanya menggunakan garis pangkal kepulauan dapat mendelegitimasi luas wilayah laut Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam UU Kelautan, pasal 5 ayat (1) yakni: Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruhnya terdiri atas kepulauan-kepulauan dan mencakup pulaupulau besar dan kecil yang merupakan satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial budaya, dan historis yang batas-batas wilayahnya ditarik dari garis pangkal kepulauan. Penjelasan lebih jauh tentang garis pangkal kepulauan, tidak ditemukan dalam penjelasan pada UU Kepulauan. Disisi lain, UU Perairan memungkinkan penggunaan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat (1) UU Perairan menyebutkan bahwa garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, namun sesuai ayat (2) dalam hal garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat digunakan maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus. Mengacu pada UU Perairan, selama ini penetapan titik koordinat garis pangkal kepulauan didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Berdasarkan PP tersebut, penarikan titik koordinat garis pangkal kepulauan tidak hanya didasarkan pada garis pangkal kepulauan, namun juga garis pangkal biasa. Sebagai contoh, pada perairan Laut Timor (08°14'20"S dan 127°38'34"T, dengan data Tg. Karang, P. Leti, Titik Dasar No. TD.110, Pilar Pendekatan No. TR.196, Antara TD.110-TD.110A, Nomor Peta No. 375) ditentukan dengan menggunakan garis pangkal biasa. Secara keseluruhan terdapat 31 segmen garis pangkal biasa yang dipakai untuk menarik batas wilayah laut Indonesia. Dengan tidak digunakannya garis pangkal lurus atau garis pangkal biasa, maka luas wilayah laut Indonesia, dapat berkurang sejumlah 31 segmen tersebut pada 0-12 mil laut untuk batas laut teritorial, 0-24 mil laut zona tambahan, dan 0-200 mil laut zona ekonomi eksklusif. Diperkirakan luas laut teritorial yang hilang akibat tidak digunakannya garis pangkal lurus Direktorat Penelitian dan Pengembangan
29
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
atau garis pangkal biasa, sekitar 5.030 km2 (lima ribu tiga puluh kilometer persegi). (Lampiran 1: Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, berdasarkan PP No. 38 tahun 2002 sebagaimana telah diubah oleh PP No. 37 tahun 2008). (Lampiran 2: Jenis-jenis garis pangkal dan penggunaan garis pangkal dalam UU Perairan vs UU Kelautan) 3.1.2. Revisi penarikan titik-titik garis pangkal (basepoint) telah mengurangi sebagian luas laut teritorial Indonesia. Perubahan koordinat geografis titik-titik pangkal kepulauan Indonesia, sebagaimana diatur oleh PP No. 37 tahun 2008 dimaksudkan untuk beberapa titik koordinat baru garis pangkal dan mengurangi beberapa koordinat karena kekalahan Indonesia dalam kasus sengketa kepulauan Sepadan-Ligitan. Namun, penambahan garis pangkal tersebut justru mengurangi luas laut teritorial. Sebagai contoh, PP 37 tahun 2008, pasal I No. 5, memasukkan dua titik dasar baru yakni titik dasar 127A (Samudera Hindia: 08°06'05"S dan 110°26'20"T) dan 127B (Samudera Hindia: 07°46'39"S dan 109°25'52"T), diantara titik dasar yang sudah ada sebelumnya (127 dan 128). Akibat adanya perubahan tersebut, luas laut teritorial Indonesia menjadi berkurang sekitar 1.214 km2 (seribu dua ratus empat belas kilometer persegi). Perubahan tersebut sepertinya tidak mempertimbangkan dengan matang upaya yang dibutuhkan dalam memperjuangkan luas wilayah laut. Sebagai perbandingan, untuk menambah hak kedaulatan Indonesia di dasar laut wilayah di luar 200 mil laut di seluas kurang lebih 3.915 kilometer persegi di barat laut Aceh, diperlukan upaya yang besar. Proses submisi wilayah di luar 200 mil laut (extended continental shelf-ECS) berhak dilakukan Indonesia sebagai negara yang berpihak terhadap UNCLOS. Untuk mendukung keperluan submisi tersebut, data ilmiah survey dan pemetaan telah dibina Indonesia sejak tahun 2003 yang dikoordinasikan beberapa instansi seperti BIG, BPPT, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Dinas Hidro Oseanografi TNI AL, dan Kementerian Luar Negeri. (Lampiran 3 : Hasil Simulasi perubahan luas laut teritorial yang berkurang akibat adanya penambahan titik dasar baru di Tg Ngeres Langu dan Batu Tugur). (Lampiran 4: Landas Kontinen Ekstensi Barat Laut Aceh). 3.1.3. Belum semua segmen perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga telah selesai ditetapkan. Pada beberapa segmen, batas laut wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan setidaknya 10 negara tetangga. Sebagaimana diatur dalam UNCLOS pasal 15, disebutkan bahwa dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan di atas. Dengan demikian, dalam penentuan batas laut Indonesia, harus ada kesepakatan dengan negara tetangga. Namun hingga saat ini, belum semua segmen batas laut dengan negara tetangga sudah selesai. Sebagai gambaran, baru terdapat 17 segmen perbatasan yang sudah ditetapkan dan diratifikasi. Masih terdapat setidaknya 2 (dua) segmen yang sudah ditetapkan namun belum diratifikasi, 4 (empat) segmen dalam proses perundingan, serta 3 (tiga) segmen yang belum dirundingkan. (Lampiran 5: status penyelesaian batas laut NKRI dengan Negara Tetangga). 3.1.4. Belum ada kesepakatan luas wilayah laut dan daratan Indonesia yang diterima secara bersama oleh lintas kementerian. Luas wilayah Indonesia, dihitung berdasarkan luas wilayah laut dan wilayah darat. Akan tetapi, terdapat perbedaan luas daratan dan luas lautan yang dihitung oleh kementerian/lembaga, seperti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Hidro Oseanografi-TNI Angkatan Laut. Berdasarkan Peraturan Menteri Direktorat Penelitian dan Pengembangan
30
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Dalam Negeri No. 18 tahun 2013 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, luas wilayah daratan NKRI sebesar 1.913.578,68 kilometer persegi. SE Kepala Dinas Hidro Oseanografi No. 1241/IV/2012 tanggal 10 April 2012 tentang Wilayah NKRI, luas wilayah daratan Indonesia sebesar 2.010.000 kilometer persegi. Sementara berdasarkan hasil perhitungan oleh BIG dengan melibatkan berbagai ahli dari berbagai universitas, menyebutkan bahwa luas wilayah daratan Indonesia berkisar antara 1.890.739 kilometer persegi sampai 1.899.904 kilometer persegi. Total luas wilayah laut Indonesia menurut BIG mencapai 9.060.014 kilometer persegi dan menurut Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut sekitar 5.800.000 kilometer persegi, namun dalam Permendagri No. 18 tahun 2013 tidak menyebutkan luas wilayah laut dari masing-masing kabupaten/kota. (Lampiran 6: Perbedaan luas wilayah daratan menurut BIG, DISHIDROS TNI AL dan Kemdagri). 3.1.5. Tidak ada informasi yang pasti terkait dengan keberadaan dan identitas pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Surat Edaran Kepala Dinas Hidro Oseanografi TNI AL No. SE/1241/IV/2012, tanggal 10 April 2012 tentang Data Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, jumlah pulau yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 17.504 pulau. Namun hingga saat ini baru sebanyak 13.466 pulau yang sudah dibakukan (diberi nama), dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui sidang UNCSGN tahun 2012 di New York Amerika Serikat. Terhadap sebanyak 4.038 pulau yang belum dibakukan, belum dapat dipastikan identitas dan keberadaannya. Selain informasi dari TNI AL di atas, instansi pemerintah lainnya yang juga telah melansir namanama pulau yakni LIPI di tahun 1972, Pussurta ABRI tahun 1987, Bakosurtanal tahun 1992, dan Depdagri tahun 2004, namun dengan jumlah yang berbeda-beda. (Lampiran 7: Pembakuan Nama Pulau-pulau Di Indonesia, Ditjen KP3K KKP Agustus 2014).
3.2.
PERMASALAHAN TERKAIT TATA RUANG WILAYAH LAUT INDONESIA
3.2.1. Belum ada pengaturan secara khusus terkait tata ruang wilayah laut Indonesia untuk di atas 12 mil laut. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa pengelolaan ruang laut dan ruang udara diatur dengan undang-undang tersendiri. Melanjutkan undang-undang tersebut, pada tanggal 17 Juli 2007, Presiden mengesahkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pesisir). UU Pesisir mengatur tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas mil) laut diukur dari garis pantai. Disisi lain, Indonesia mengakui adanya Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen. Zona tambahan diukur sejauh 24 mil laut dari garis pangkal, dan pada zona ini Indonesia berhak untuk mencegah pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan tentang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorial. Dengan demikian, di dalam Zona Tambahan juga perlu dilakukan pengaturan ruang untuk kegiatan pencegahan empat hal tersebut. Namun UU Pesisir hanya membatasi pengaturan ruang laut sampai pada 12 mil laut. Demikian juga dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dimana UNCLOS menjamin adanya hak-hak berdaulat untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, serta yurisdiksi yang berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dengan demikian, penataan ruang pada zona-zona tersebut tidak memiliki panduan sebagai dasar dalam pengelolaannya. (Lampiran 8: ruang lingkup UU pesisir, batas laut territorial, batas zona tambahan, batas zona ekonomi eksklusif, dan batas landas kontinen) 3.2.2. Peta dasar tentang Lingkungan Laut Nasional (LLN) dan Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) belum tersedia dalam skala yang lebih operasional/detail/besar. Saat ini BIG baru memiliki peta LLN dan LPI dalam skala yang lebih kecil/tidak detail (skala 1: 500.000), dan baru sebagian Peta LPI yang berada dalam skala operasional 1:50.000. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
31
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Sementara untuk kegiatan perencanaan/penataan ruang laut diperlukan peta LLN dan LPI dengan skala yang lebih besar seperti skala 1: 50.000, 1:25.000 dan seterusnya. Akibat ketiadaan peta dengan skala operasional tersebut, sulit bagi pemerintah untuk merencanakan secara detail peruntukan ruang laut. (Lampiran 9: Sebaran Peta LPI dan LLN dari BIG). 3.2.3. Belum tersedia informasi yang memadai terkait kondisi laut seperti: bathimetri, hidrologi, dan sebagainya, yang diperlukan dan penyusunan RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K. Penyusunan rencana tata ruang laut memerlukan setidaknya 33 informasi penting dalam bentuk informasi spasial seperti topografi, jenis tanah, kelerengan, kontur bathimetri, substrat dasar, gelombang musim barat, gelombang musim peralihan I, gelombang musim timur, gelombang musim peralihan II, arus surut menuju pasang, arus pasang menuju surut, kontur amonia, kontur oksigen terlarut, kontur fosfat, kontur kecerahan, kontur derajat keasaman (pH), kontur salinitas, kontur suhu, kontur Total Dissolved Solid (TDS), kontur Total Suspen Sedimen (TSS), ekosistem lamun, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, pola ruang, pemanfaatan wilayah pesisir, infrastruktur, rawan bencana, paket sumberdaya, kesesuaian keramba jaring apung, kesesuaian rekreasi air, kesesuaian budidaya rumput laut, kesesuaian wisata selam dan snorkeling, serta alokasi ruang. Akan tetapi tidak semua informasi tersebut telah tersedia, apalagi dalam skala operasional yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini menghambat proses penyusunan RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K. (Lampiran 10: contoh peta spatial yang dibutuhkan dalam penyusunan perda RZWPK Kabupaten Lombok Tengah). 3.2.4. Tidak semua Pemerintah Daerah telah memiliki RSPWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K. UU Pesisir mewajibkan penyusunan RSWP3K yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana jangka panjang setiap pemerintah daerah. Jangka waktu RSWP3K pemerintah daerah selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RZWP3K merupakan arahan pemanfaatan sumberdaya yang harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan berjangka waktu 20 tahun namun dapat ditinjau kembali setiap lima tahun. RZWP3K diturunkan dalam bentuk RPWP3K yang berjangka waktu 5 tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya satu kali, dan RAPWP3K yang berlaku 1 sampai 5 tahun. Proses penyusunan rencana tersebut harus melibatkan berbagai unsur yakni pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Keempat bentuk rencana pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut, dimaksudkan antara lain untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya, keseimbangan ekosistem, keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya, serta pemanfaatan untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Akan tetapi, hingga September 2014, baru 12 Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah menyelesaikan RZWP3K, 122 Pemda sedang dalam proses penyusunan RZWP3K, dan 184 Pemda belum menyusun RZWP3K sama sekali. (Lampiran 11 : Status Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisi dan Pulau-pulau Kecil oleh Pemerintah Daerah). 3.2.5. Kompleksitas permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil. UU Pesisir mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Sejumlah permasalahan yang muncul dalam pengelolaan pulau-pulau kecil (menurut Dit. PPPK, Ditjen KP3K KKP—Februari 2014) antara lain: (1) kondisi masyarakat masih terisolir dan termarjinalkan, sehingga mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab; (2) maraknya pelanggaran hukum seperti transnational crime, illegal fishing, illegal logging, perompakan, pelanggaran wilayah dan penyelundupan; (3) terbatasnya sarana dan prasarana; (4) sulitnya melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya ke pulau terpencil dan tidak berpenduduk; (5) kondisi pulau sangat rentan terhadap kerusakan baik alam maupun oleh manusia; (6) kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau kecil terluar; (7) belum sinkronnya pengelolaan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
32
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
pulau kecil terluar, baik yang mencakup kelembagaan, program maupun kejelasan kewenangan; serta (8) belum tercapainya kesepakatan bersama tentang batas wilayah laut dengan negara tetangga. Jumlah pulau Indonesia menurut Dinas Hidro Oseanografi TNI AL sebanyak 17.504 pulau namun yang telah tercatat di PBB sebanyak 13.466 pulau. Dari jumlah pulau yang sedemikian besar dan tersebar, baru sedikit pulau kecil yang telah dikelola dan menjadi bagian dari program pengelolaan pemerintah. Dalam kurun 2010 sampai dengan 2014 misalnya, program pengembangan pulau-pulau kecil di KKP hanya menargetkan 25 pulau yang terfasilitasi investasi. Dan di tahun 2014, hanya 30 pulau yang diidentifikasi potensinya, difasilitasi penyediaan infrastukturnya, perbaikan lingkungan dan adaptasi berbasis mitigasi, termasuk pulau-pulau kecil terluar. Keterbatasan tersebut, seperti menjadi alasan untuk mendorong investasi asing di pulau-pulau kecil. Terdapat sebanyak 57 pulau yang terinvestasi oleh Penanaman Modal Asing (PMA). (Lampiran 12: sasaran pembangunan pulau-pulau kecil oleh KKP) (Lampiran 13: Daftar pulau-pulau kecil yang mendapatkan izin Investasi), (Lampiran 14: Daftar pulau-pulau kecil yang terinvestasi oleh Penanaman Modal Asing) . 3.2.6. Kompleksitas persoalan penerapan desentralisasi dalam pengelolaan wilayah laut oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengelolaan sumberdaya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya yang ada didalamnya harus dilaksanakan mengikuti rezim otonomi daerah yang saat ini berlaku di Indonesia. Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menempatkan urusan kelautan dan perikanan sebagai urusan pilihan pemerintah, dan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Urusan pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil diserahkan kepada pemerintah pusat (ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional) dan pemerintah provinsi (pengelolaan ruang laut sampai 12 mil di luar minyak dan gas bumi), tanpa melibatkan pemerintah kabupaten/kota. Disisi lain, UU Pesisir mewajibkan penyusunan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K menitikberatkan pada Pemerintah Kab/Kota dan Pemerintah Provinsi. Belum lagi masalah pengelolaan laut yang telah muncul selama proses otonomi daerah antara lain: (1) sengketa secara vertikal berupa penetapan garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah provinsi, serta antara daerah provinsi dengan kabupaten/kota. Sengketa secara horizontal antar provinsi, dan antar kabupaten/kota; (2) pengeksplotasian sumberdaya alam lintas batas administratif (transboundary natural resources) dalam wilayah laut Indonesia; (3) konflik antara pelaku usaha (misalnya pelaku perusahaan tambang di laut/pesisir) dengan nelayan/masyarakat tradisional setempat; (4) konflik antara nelayan modern dengan nelayan tradisional karena perbedaan alat tangkap; (5) konflik antar nelayan tradisional akibat penangkapan lintas batas wilayah; (6) pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat di laut, dan lain sebagainya. Kesemua permasalahan tersebut berdampak pada pengelolaan sektor kelautan yang tidak optimal. (Lampiran 15: Contoh Permasalahan Batas Wilayah Laut oleh Beberapa Kabupaten/Kota di Selat Madura). 3.2.7. Tidak terdapat integrasi data spasial untuk penggunaan ruang laut untuk berbagai kepentingan seperti pertambangan, perhubungan, perikanan, dan sektor lainnya. Setiap sektor memiliki informasi tersendiri terkaait penggunaan ruang laut. Sebagai contoh, KKP memiliki peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), Kementerian ESDM memiliki peta Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Peta Konsesi Minyak dan Gas, dan Kementerian Perhubungan memiliki Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepelabuhanan (DLKp). Akan tetapi peta tersebut masih menyebar di setiap sektor dan belum ada upaya untuk mengintegrasikan/menggabungkan (overlay) peta tematik tersebut menjadi satu kesatuan agar menajdi dasar pengambilan kebijakan. Akibatnya keberadaan sektor tersebut menggunakan ruang laut yang tumpang tindih satu sama lain. (Lampiran 16: Peta WPP-NRI, ALKI, WUP). Direktorat Penelitian dan Pengembangan
33
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
3.2.8. Belum terdapat sistem data untuk monitoring bangunan disekitar pesisir dan di atas laut. Penggunaan ruang laut, termasuk pesisir untuk kepentingan pembangunan memerlukan pengaturan. Karena keterbatasan ruang darat, menyebabkan pembangunan ruang laut sebagai alternatif seperti untuk pembangunan infrastruktur pariwisata (hotel dan restoran), dan untuk fasilitas perhubugan laut. Ruang laut juga seringkali menjadi lokasi pengeboran minyak dan gas bumi, sehingga di atas laut dibangun instalasi pengeboran (rig). Saat ini belum ada sistem data dan informasi yang memonitor lokasi bangunan laut tersebut. Sementara disisi lain, informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk monitoring lokasi, baik untuk pencegahan kerusakan maupun untuk mitigasi bencana. (Lampiran 17: Contoh bangunan laut) 3.2.9. Belum terdapat mekanisme kadaster laut. Sebagai warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), laut tidak dapat dimiliki oleh pihak lain di luar negara, namun laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Pemanfaatan laut (termasuk pesisir) sangat dimungkinkan dan telah berlangsung lama. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kejelasan batas-batas geografis dari penggunaan/pemanfaatan ruang-ruang laut serta tidak ada lembaga yang secara khusus mengadministrasikan penggunaan ruang laut. Sementara disisi lain, masyarakat menuntut jaminan kepastian hukum terkait penggunaan atas ruang perairan akibat perkembangan yang pesat di wilayah laut dan pesisir secara umum. Hal ini dikarenakan tidak adanya sistem kadaster kelautan yang memungkinkan adanya pencatatan batas-batas dan kepentingan di laut. Permasalahan akibat ketiadaan kadaster kelautan menimbulkan persoalan kepastian hukum dan identifikasi bangunan yang dibangun di atas laut atau pada zona pasang surut. (Lampiran 18: definisi kadaster kelautan, manfaat kadaster kelautan, dan objek-objek kadaster kelautan). 3.2.10. Kompleksitas masalah terkait pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Permasalahan terkait pencemaran dan kerusakan ekosistem laut telah banyak diungkap oleh berbagai pihak baik oleh lembaga riset/penelitian maupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Secara umum, krisis ekologi pesisir dan laut setidaknya diperlihatkan oleh empat hal yakni kerusakan sumberdaya (banjir dan abrasi), pencemaran lingkungan pesisir (pencemaran industri, tumpahan minyak, dan sebagainya), degradasi biodiversitas (rusaknya terumbu karang dan kelangkaan spesies), serta perubahan lingkungan global. Diseluruh wilayah Indonesia, terdapat 2.266 desa rawan bencana rob dengan total jumlah penduduk sekitar 9 juta jiwa. Rob mengancam 2 PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera), 11 PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara), dan 21 PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai). Terdapat 7.801 desa rawan bencana tsunami dengan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa. Tsunami mengancam 3 PPS, 8 PPN, dan 19 PPP (KKP, 2014). Kondisi terumbu karang di Indonesia sebagian besar terancam kerusakan. Hanya 5,30% terumbu karang yang berkategori sangat baik dan 27,19% berkategori baik. Sisanya, sebanyak 67,70% berkategori cukup baik dan kurang baik (LIPI, 2012). Hasil publikasi terbaru Greenpeace menyebutkan bahwa Laut Indonesia dalam kondisi krisis. Selain krisis ekologi terumbu karang, permasalahan utama lainnya adalah hilangnya sebagian hutan mangrove Indonesia dari 4,2 juta ha hinggga menjadi 2 juta ha dalam kurun waktu 1982 sampai 2000. Berbagai indikasi juga menunjukkan ekosistem padang lamun juga menjadi rentan akibat gangguan alam dan kegiatan manusia seperti pembangunan real estate pinggir laut, pelabuhan, saluran navigasi, limbah industri terutama logam berat dan senyawa organoklorin, pembuangan limbah organik, limbah pertanian, pencemaran minyak, dan perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan. Pertambangan dan sedimentasi membawa dampak buruk yang signifikan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi perairan pantai dan terumbu karang di Kabupaten Buyat Ratotok Sulawesi Utara yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut dari pembuangan emas skala industri dan skala kecil yang menggunakan penggabungan merkuri. Persoalan-persoalan ekologis tersebut, Direktorat Penelitian dan Pengembangan
34
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
berpengaruh secara langsung pada daya dukung ruang pesisir dan laut beserta sumberdaya yang ada di dalamnya, dalam mendukung sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Lampiran 19: Peta Rawan Bencana). (Lampiran 20: Hasil Kajian Greenpeace “Laut Indonesia Dalam Krisis”). 3.2.11. Tidak semua pelabuhan telah memiliki rencana induk pelabuhan. Rencana Induk Pelabuhan (RIP) adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp). DLKr adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. DLKp adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Rencana induk pelabuhan disusun dengan memperhatikan rencana induk pelabuhan nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan, kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan, dan keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal. RIP serta DLKr dan DLKp yang telah ada sebelum UU Pelayaran ditetapkan (tahun 2008) harus selesai dievaluasi dan disesuaikan dengan UU Pelayaran paling lambat 2 tahun sejak UU Pelayaran ditetapkan (tahun 2010). RIP serta DLKr dan DLKp yang belum ditetapkan berdasarkan UU No. 21 tahun 1992 tentang pelayaran harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 tahun sejak UU Pelayaran (tahun 2010). Hingga akhir tahun 2013, baru sebanyak 2,5% dari total pelabuhan umum yang telah memiliki RIP. (Lampiran 21: progres penetapan Rencana Induk Pelabuhan).
3.3.
PERMASALAHAN TERKAIT KETATALAKSANAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN
3.3.1. Sejumlah permasalahan muncul dalam pengelolaan data dan informasi sumberdaya perikanan tangkap. 3.3.1.1. Tidak akuratnya data dan informasi yang dicatatkan dalam database hasil tangkapan ikan. Hal ini mengakibatkan tidak tepatnya data tangkapan ikan yang menjadi dasar pengambilan kebijakan. Hal ini disebabkan antara lain oleh (1) adanya hasil pencatatan yang berbeda-beda seperti di tempat pelelangan ikan, pelabuhan pendaratan, dan satker pengawasan; (2) logbook kapal tidak diisi atau diisikan bukan oleh pengurus kapal; (3) pendaratan ikan pada tangkahan (pelabuhan perseorangan/swasta) yang pencatatannya sulit dimonitor; (4) ketiadaan sistem pencatatan realtime karena pencatatan dilakukan secara manual; (5) informasi terkait data jenis tangkapan ikan yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. (Lampiran 22: jumlah tangkahan dan sebaran tangkahan di Kota Tanjung Pinang). 3.3.1.2. Tidak ada kepastian akan akurasi data dan informasi terkait potensi sumberdaya perikanan. Hal ini menyebabkan tidak tepatnya data potensi tangkapan maksimum (Maximum Sustainable Yield-MSY) yang menjadi dasar alokasi/kuota tangkapan. Hal ini disebabkan antara lain oleh keterbatasan pemetaan potensi sumberdaya perikanan dan ketiadaan sistem informasi potensi perikanan yang melibatkan pemerintah daerah. (Lampiran 23: Mekanisme Pengelolaan SDI). 3.3.1.3. Tidak akuratnya data dan informasi berkaitan dengan asal penangkapan ikan. Hal ini disebabkan antara lain (1) belum optimalnya sistem monitoring pergerakan kapal ikan secara realtime; (2) tidak akuratnya posisi kapal sesuai dengan informasi yang bersumber dari VMS (Vessel Monitoring System) karena VMS dipasang pada tempat yang lain; (3) posisi kapal tidak dapat terdeteksi karena VMS tidak dipasang; (4) tidak adanya sistem data dan informasi yang melakukan cek silang (crosscheck) antara lokasi izin penangkapan dengan lokasi penangkapan secara nyata sesuai Direktorat Penelitian dan Pengembangan
35
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
dengan posisi VMS serta dengan posisi penangkapan sesuai dengan pelaporan dan hasil pengisian logbook. 3.3.1.4. Tidak optimalnya sistem perizinan yang ada saat ini dalam menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dan daya dukung lingkungan. Hal ini disebabkan antara lain: (1) Tidak semua data SIPI/SIKPI/SIUP/Surat Tanda Kapal Nelayan Kecil yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah tercatat di Pemerintah Pusat, sementara data-data tersebut sangat dibutuhkan untuk memetakan kondisi eksploitasi sumberdaya perikanan; (2) Tidak ada sistem data yang dapat melakukan pengecekan silang (crosscheck) antara data izin penangkapan dan izin budidaya dengan kondisi daya dukung lingkungan dalam satu wilayah/lokasi penangkapan/budidaya sebagai bagian dari mekanisme pengambilan keputusan alokasi pemberian izin; (3) Tidak adanya mekanisme kontrol (pengendalian) terhadap pemberian izin di bidang perikanan oleh pemerintah daerah dalam rangka pembatasan tangkapan sesuai dengan tangkapan maksimum berkelanjutan (MSY) dan daya dukung lingkungan; (4) Tidak dijadikannya siklus kehidupan ikan/biota laut (fish life cycle) sebagai dasar pemberian masa izin operasi untuk kapal adan alat tangkap tertentu. 3.3.1.5. Belum terdapat sistem data dan informasi yang terintegrasi terkait dengan perizinan di sektor sumberdaya alam, khususnya untuk aktivitas yang menggunakan ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Hingga saat ini, setidaknya terdapat lebih dari sepuluh jenis perizinan yang berkenaan dengan penggunaan ruang laut. Database dan sistem informasi data perizinan yang dikembangkan oleh masing-masing instansi belum terintegrasi satu sama lain, padahal dalam prakteknya bisa jadi suatu izin yang dikeluarkan oleh satu instansi tertentu menjadi syarat untuk pengurusan izin oleh instansi lainnya. Sebagai contoh, gross akta pendaftaran kapal yang memuat informasi tentang identitas pemilik kapal, panjang, lebar, dalam, isi kotor, isi bersih, tanda selar, merek mesin, dan lokasi pembuatan kapal yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan menjadi syarat untuk pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI yang diterbitkan oleh KKP. Demikian pula untuk akta perusahaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan NPWP yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan juga menjadi syarat pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Izin Lingkungan yang mencakup AMDAL yang diterbitkan oleh Kementerian LH dan Kehutanan menjadi dasar pemberian Izin Pemanfaatan wilayah pesisir oleh Kementerian KKP, dan sebaliknya Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Kementerian KKP menjadi dasar kegiatan AMDAL oleh Kementerian LH dan Kehutanan. Ketiadaan sistem data yang terintegrasi sangat berpotensi untuk disalahgunakan seperti penggantian isi dokumen, pemalsuan, penggunaan untuk kepentingan lain, memperlama proses pengurusan, serta kesalahan input data. Ketiadaan sistem juga menjadi celah terjadinya proses transaksional yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam pelayanan perizinan atau tindak pidana lainnya. (Lampiran 24: Jenis Izin/dokumen dalam pengurusan SIPI/SIKPI/SIUP; sumber dokumen; dan contoh copy dokumen). 3.3.2. Ketatalaksanaan Perizinan SIUP/SIPI/SIKPI Perikanan Tangkap. 3.3.2.1. Permasalahan terkait Integritas layanan publik. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2014 yang diadakan oleh KPK, khususnya layanan publik pada pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, menunjukkan masih adanya kelemahan dalam berbagai hal. Hasil survei yang mendasarkan pada pengalaman yang dirasakan oleh pihak pelaku usaha yang diwakili oleh pengurus izin, menunjukkan bahwa pelayanan perizinan belum optimal terutama terkait dengan kepraktisan SOP, keterbukaan informasi, tingkat upaya antikorupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat. (Lampiran 25: Tabel Direktorat Penelitian dan Pengembangan
36
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
ringkasan hasil survey integritas sektor publik pada pelayanan pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI tahun 2014) 3.3.2.2. Hasil observasi yang dilakukan oleh tim pemantau layanan publik KPK tahun 2014, menunjukkan sejumlah persoalan dalam pelayanan pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Permasalahan tersebut antara lain mencakup praktek gratifikasi yang terpaksa dilakukan oleh pengguna layanan agar pengurusan layanan cepat selesai, gratifikasi dilakukan setelah proses pengurusan selesai dengan alasan sebagai ucapan terima kasih, ada pertemuan di luar prosedur dengan tujuan pemberian gratifikasi, dan pertemuan di luar prosedur dilakukan masih dilingkungan KKP. (Lampiran 26: Daftar permasalahan pengurusan perizinan SIUP/SIPI/SIKPI berdasarkan hasil observasi layanan publik KPK tahun 2014) 3.3.2.3. Terdapat indikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya dalam proses pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Data dan informasi yang dihimpun oleh KPK melalui mekanisme pengaduan masyarakat, menunjukkan pelaporan adanya berbagai bentuk praktek tindak pidana seperti suap menyuap, pemerasan, perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara dalam proses pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Secara umum, jumlah pengaduan yang masuk ke KPK terkait dengan kelautan dan perikanan tahun 2010 sampai November 2014 mencapai 131 jenis pengaduan, dengan indikasi TPK sebanyak 95 pengaduan. Pengaduan tersebut dilanjutkan ke internal KPK (Pencegahan dan Penindakan), serta ke eksternal seperti kejaksaan dan kepolisian. (Lampiran 27: Statistik pengaduan masyarakat terkait kelautan dan perikanan tahun 2010 sampai dengan 2014). 3.3.2.4. Terdapat perusahaan Kapal Ikan Asing yang memperoleh SIUP/SIPI/SIKPI, tercatat bukan sebagai perusahaan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan. Hasil penelusuran dan crosscheck database akta pendirian perusahaan yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM, sejumlah perusahaan tercatat bergerak dibidang non perikanan seperti pertanian, agrobisnis, pengangkutan darat, pertambangan batubara, percetakan, dan sebagainya. Bahkan terdapat perusahaan yang tidak tercatat dalam database perusahaan pada Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM. (Lampiran 28: daftar status perusahaan Kapal Ikan eks Asing berdasarkan hasil penelusuran database perusahaan pada Kemkumham). 3.3.2.5. Terdapat perusahaan yang mengoperasikan eks kapal ikan asing yang memperoleh SIUP/SIPI/SIKPI, namun tidak memiliki NPWP atau NPWP tidak tercatat/tidak teridentifikasi. Hasil penelusuran terhadap dokumen NPWP kapal ikan eks asing menunjukkan sebanyak 53 perusahaan/pemilik kapal (28,3%) yang tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 187 perusahaan/pemilik kapal eks asing yang di telusuri. (Lampiran 29: daftar status perusahaan yang mengoperasikan Kapal Ikan eks Asing berdasrkan hasil penelusuran database NPWP perusahaan pada Kemkeu). 3.3.2.6. Terdapat perusahaan yang mengoperasikan kapal ikan > 30 GT yang memperoleh SIUP/SIPI/SIKPI, namun tidak memiliki NPWP atau NPWP tidak tercatat/tidak teridentifikasi. Hasil penelusuran terhadap dokumen NPWP kapal ikan > 30 GT menunjukkan sebanyak 1444 perusahaan/pemilik kapal (70,9%) yang tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 2036 perusahaan/pemilik kapal yang di telusuri. (Lampiran 30 : daftar status perusahaan yang mengoperasikan Kapal ikan > 30 GT berdasarkan hasil penelusuran database NPWP perusahaan pada Ditjen Pajak, Kemkeu).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
37
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
3.3.3. Ketatalaksanaan Izin Lokasi dan izin Pemanfaatan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 3.3.3.1. Terhambatnya kegiatan pemberian izin lokasi pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil. Revisi UU No. 27 tahun 2007 oleh UU No.1 tahun 2014 dilakukan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak membenarkan adanya pemanfaatan perairan pesisir dalam bentuk Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). Sebagai gantinya, pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap, diberikan melalui izin lokasi yang mengacu pada RZWP-3K, dalam luasan dan waktu tertentu serta menjadi dasar izin pemanfaatan. Pemberian izin lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional dan hak lintas damai bagi kapal asing. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan dan berakhirnya izin lokasi dan izin pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah. Hingga saat ini, peraturan pemerintah tersebut belum diterbitkan, dan cenderung membutuhkan waktu oleh karena adanya perubahan pembagian kewenangan seperti penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut dibawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi menjadi wewenang pemerintah provinsi, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun 2014. Dengan demikian, aktivitas pemanfaatan perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, tidak dapat dilaksanakan. Walaupun dalam kenyataannya pemanfaatan untuk kegiatan tersebut di atas sudah terjadi di lapangan. (Lihat lampiran permasalahan regulasi di Bab III). 3.3.4. Ketatalaksanaan PNBP Perikanan Tangkap: PNBP dalam bentuk Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). 3.3.4.1. Formula perhitungan tarif PPP dan PHP yang tidak optimal. Penjelasan UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengisyarakatkan bahwa pembayaran pembayaran PNBP dari bidang perikanan merupakan jenis penerimaan yang termasuk dalam kelompok penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumberdaya alam berupa royalti perikanan. Keberadaan PNBP dimaksudkan antara lain untuk menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara bukan pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP ke kas negara. Berdasarkan PP No. 62 tahun 2002 sebagaimana telah diubah oleh PP No. 19 tahun 2006 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP, pungutan PNBP Sumberdaya alam perikanan tangkap terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). PPP dikenakan saat perusahaan memperoleh SIUP, Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan SIKPI baru/perpanjangan. PHP dikenakan pada saat perusahaan memperoleh SIPI. (Lihat Gambar 2.4 formula penetapan tarif PNBP Perikanan Tangkap). 3.3.4.2. Besarnya pungutan PPP ditentukan berdasarkan rumusan tarif per gross tonne (GT) menurut jenis alat tangkap dilakukan dengan ukuran (GT) kapal perikanan yang dipergunakan. Misalnya untuk ukuran kapal 84 GT dengan alat tangkap rawai tuna (tuna longline), berada dalam alokasi ukuran 50 sampai 100 GT, dengan demikian nilai GT yang dipergunakan adalah 75 GT. Tarif menurut PP adalah sebesar Rp34.000 per GT dengan demikian tagihan PPP kapal tersebut hanya sebesar Rp2.550.000,-. Pembayaran pertama untuk PPP sebesar 50% dari total tagihan. Dengan demikian pembayaran yang dilakukan oleh pemilik kapal tersebut hanya sebesar Direktorat Penelitian dan Pengembangan
38
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Rp1.275.000,-. Sedangkan untuk pembayaran PPP sisanya dilakukan dengan menggunakan rumusan GT yang real, dikurangi dengan nilai tengah GT yang sudah dibagi dua, dikalikan dengan tarif. Dengan demikian, sisa PPP yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp1.581.000,-. (Lampiran 31: Contoh Perhitungan PPP). 3.3.4.3. Besarnya pungutan PHP ditentukan sesuai dengan ukuran skala perusahaan. Perusahaan skala kecil dengan kapal sampai dengan 30 GT, dikenakan tarif 1% dikalikan dengan produktivitas kapal dan dikalikan dengan harga patokan ikan. Untuk perusahaan skala besar (kapal diatas 30 GT dan 90 DK), dikenakan tarif 2,5% dikalikan produktivitas kapal dikalikan dengan harga patokan ikan. (Lampiran 32: contoh perhitungan PHP). Memperhatikan formula di atas, terlihat bahwa baik tarif maupun tata cara perhitungannya, tidak dilandaskan pada prinsip pembayaran kompensasi yang selayaknya terhadap hasil sumberdaya alam yang merupakan kekayaan negara, sebagaimana prinsip pembayaran royalti selama ini. Sebagai perbandingan, PNBP pertambangan mineral dan batubara yang oleh UU No. 20 tahun 1997 juga dikategorikan sebagai PNBP sumberdaya alam dalam bentuk royalti pertambangan, ditetapkan berdasarkan volume penjualan hasil tambang yang secara riil diambil. Dengan adanya mekanisme perhitungan yang demikian, ada potensi penerimaan negara yang tidak terpungut dari nilai produksi perikanan yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 77,3 Triliun di tahun 2013. Sebagai perbandingan, jika menggunakan formula perhitungan royalti batubara minimum sebesar 3% dari nilai penjualan, maka PNBP dari penangkapan ikan akan mencapai sebesar Rp 2,3 Triliun, yang nilainya masih jauh lebih besar dari realisasi PNBP perikanan tangkap yang sebesar Rp 229,3 Miliar di tahun 2013. (Lampiran 33: hasil perhitungan terkait PNBP SDA Perikanan vs Nilai Produksi Perikanan Laut). 3.3.4.4. Lemahnya mekanisme pembayaran PNBP. Sesuai dengan amanat UU No. 20/1997 tentang PNBP, seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara (pasal 4). Menteri Keuangan dapat menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP yang terutang. Instansi pemerintah yang ditunjuk, wajib menyetor langsung PNBP yang diterima ke kas negara. Tidak dipenuhinya kewajiban instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP dan menyetor langsung ke kas negara, dikenakan sanksi antara lain terkait peraturan disiplin pegawai dan pemberantasan tindak pidana korupsi (pasal 6). Dalam tata cara/mekanisme pungutan perikanan tangkap, wajib bayar membayar ke bank persepsi (Bank Mandiri) maksimal 10 hari setelah menerima surat perintah pembayaran (SPP) dilengkapi dengan perhitungan PPP dan/atau dilengkapi surat setoran penerimaan negara bukan pajak (SSBP) rangkap lima. (Lampiran 34: Alur Mekanisme Pungutan Perikanan). 3.3.4.5. Harga patokan ikan yang menjadi dasar perhitungan PHP yang tidak memadai. Harga patokan ikan dalam perhitungan PHP didasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 13 tahun 2011 tentang Harga Patokan Ikan (HPI). HPI didasarkan pada persentase volume penjualan ikan di pasar dalam negeri dan luar negeri (ekspor) dengan memperhatikan harga rata-rata tertimbang setiap jenis untuk pasar domestik dan ekspor. Dengan berdasarkan pada rumusan tersebut, HPI ditentukan dalam nilai rupiah seperti Rp27.000/kg untuk tuna sirip biru selatan, Rp17.400/kg tuna mata besar, Rp5.500/kg untuk tuna lain-lain. Melihat selisih waktu penetapan HPI, dan kondisi konsumsi ikan domestik dan internasional, maka HPI yang menjadi dasar perhitungan saat ini sudah tidak sesuai. Sebagai perbandingan, harga tuna sirip biru per/kg di pasar Internasional pada Oktober 2011 saja (bertepatan dengan pertemuan Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT)), sebesar 2000 sampai dengan 6000 Yen per Kilogram. Kewajiban untuk melakukan tinjauan terhadap HPI secara periodik wajib dilakukan sesuai dengan PP No. 19 tahun 2006 Direktorat Penelitian dan Pengembangan
39
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
dimana Menteri Perdagangan menetapkan secara periodik HPI berdasarkan harga jual rata-rata tertimbang ikan yang berlaku di pasar domestik dan atau internasional, sesuai dengan pasal 6 ayat (4). (Lampiran 35: HPI menurut Permendag No. 13 tahun 2011). 3.3.4.6. Tidak dilakukannya evaluasi secara periodik terhadap produktivitas kapal. Dasar perhitungan PHP selain didasarkan pada harga patokan ikan, juga didasarkan pada produktivitas kapal penangkap ikan. PP No. 19 tahun 2006 sesuai pasal 6 ayat (3) mewajibkan Menteri Kelautan dan Perikanan Menetapkan secara periodik produktivitas kapal penangkap ikan menurut alat penangkap ikan yang digunakan berdasarkan hasil evaluasi pemanfaatan sumberdaya ikan menurut wilayah pengelolaan ikan. Akan tetapi, hingga saat ini acuan terhadap produktivitas kapal yang digunakan masih mengacu pada Permen KP No. 61 tahun 2010 tentang produktivitas kapal penangkap ikan yang kemudian diperbaharui pada Keputusan Menteri KP No. 61 Tahun 2014. (Lampiran 36: Produktivitas Kapal Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmen KP No. 61 tahun 2014 dan Permen KP 60 Tahun 2010). 3.3.4.7. Pengalokasian pemungutan PNBP di bidang perikanan tangkap, sebagian untuk penerimaan daerah. UU PNBP menyebutkan bahwa PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak (pasal 1 poin No. 1). Kelompok PNBP antara lain meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam termasuk royalti di bidang perikanan (Pasal 2 ayat (1) huruf b). Akan tetapi, dalam prakteknya, sejalan dengan wewenang pemberian izin (SIUP/SIPI/SIKPI) bagi kapal 30 GT kebawah oleh pemda, maka pungutan terhadap kapal kategori tersebut diserahkan ke Pemda. Sebagai perbandingan, walaupun perizinan di sektor pertambangan mineral dan batubara diberikan oleh pemerintah daerah, tetapi pemungutan royalti dan iuran tetap bentuk PNBP, tetap menjadi penerimaan pemerintah pusat. 3.3.5. Ketatalaksanaan Pelaksanaan Perizinan Pelayaran 3.3.5.1. Adanya pungutan dalam proses pelayanan terkait dengan pemberian izin kapal yang mencakup antara lain pemberian registrasi kapal, sertifikat statutory (keselamatan, keamanan, manajemen, perlindungan lingkungan, lambung timbul, surat ukur, dan sebagainya), dan sertifikat kelas (sertifikat lambung kapal, sertifikat mesin dan listrik, serta sertifikat kelengkapan lainnya). Data dari hasil pengaduan masyarakat menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pelayanan di bidang perhubungan laut. Sebagai gambaran, jumlah pengaduan masyarakat yang masuk terkait dengan perhubungan laut sebanyak 76 pengaduan sejak tahun 2010 sampai 2014. Dari pengaduan tersebut, 62 diantaranya terindikasi Tindak Pidana Korupsi dan sedang ditindaklanjuti di internal KPK atau disampaikan ke aparat penegak hukum lainnya. Delik yang muncul terkait dengan indikasi tindak pidana korupsi tersebut sebagian besar berupa perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. (Lampiran 37: Data Pengaduan Masyarakat terkait Perhubungan). 3.3.5.2. Terdapat indikasi adanya perubahan data gross tonase dan ukuran kapal. Hasil observasi di lapangan menunjukkan adanya perubahan data ukuran kapal antara lain untuk menghindari pengurusan SIPI dan SIKPI di Kementerian KKP (sehingga pengurusan izin cukup di Pemda) sekaligus untuk menghindari adanya pungutan PNBP dalam bentuk PPP dan PHP. 3.3.5.3. Terdapat indikasi adanya tindak pidana korupsi terkait penerbitan izin operasional transhipment bongkar muat komoditas. Informasi pengaduan masyarakat menunjukkan indikasi korupsi dimulai dari adanya permohonan persetujuan izin dan penetapan koordinat perairan lokasi transhipment dengan alasan pendangkalan alur pelabuhan sehingga harus direlokasi Direktorat Penelitian dan Pengembangan
40
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
ke alur pelabuhan yang bisa menjadi tempat bersandar kapal berbobot besar. Dalam proses perizinan tersebut, dilaporkan adanya tindak pidana dalam bentuk suap menyuap, dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang besar. 3.3.5.4. Terdapat indikasi tindak pidana dalam bentuk pemerasan dalam jabatan pada saat proses pengurusan Izin Pengoperasian Kapal Asing (IPKA). Informasi dari pengaduan masyarakat, menunjukkan adanya serangkaian pungutan liar dalam pengurusan IPKA sejak dari memasukkan dokumen, penelitian dokumen, penyusunan draf nota dinas, penelitian nota dinas oleh pejabat yang berwenang, paraf nota dinas oleh pejabat yang berwenang, penandatanganan nota dinas oleh pejabat yang berwenang, pemberian nomor nota dinas, draf IPKA, proses penandatangan IPKA, dan penandatanganan salinan IPKA. Besarnya pungutan berkisar antara Rp100.000,- sampai dengan Rp8.000.000, yang jika ditotal sejak awal pengurusan hingga dokumen diterima mencapai sebesar Rp17.800.000,- untuk setiap pengurusan IPKA. 3.3.5.5. Kompleksitas permasalahan yang muncul dalam operasional kapal dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Hasil kajian KPK berkerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya terkait dengan perencanaan kebijakan dan tata kelola angkutan laut dan terminal khusus menunjukkan sejumlah persoalan sebagai berikut: a) Rute Kapal: asal-tujuan kapal yang tidak terpantau disebabkan oleh 1) perbedaan antara pelabuhan bongkar dan pelabuhan muat dalam rencana dan realiasia; 2) tidak terinformasinya asal-tujuan kapal; 3) tidak terindikasi awalnya kapal melalui sistem informasi. b) Kargo Kapal: volume kargo yang tidak tercatat dengan jelas baik dari sisi kuantitas, kualitas, asal barang, maupun tujuan barang. c) Operasi pelabuhan: izin lokasi dan izin operasi yang tidak jelas, lebih seperti dermaga ketimbang terminal, dan operasi tidak penuh sebagai terminal. d) Pengelolaan kewajiban keuangan (PNBP) yang tidak jelas oleh karena: 1) ketidakjelasan peran BUP; 2) besaran PNBP TUKS yang tidak jelas; 3) ketidakjelasan proses pemungutan PNBP; 4) ketidakjelasan kewajiban pajak lainnya. Sejumlah alasan dan motif terjadinya pelanggaran operasi TUKS dan kapal seperti: a) Terbatasnya pelabuhan umum: keterbatasan dermaga, terminal dan peralatan bongkar muat yang didedikasikan untuk kargo curah kering bahan tambang. b) Otoritas pemerintah daerah dalam merekomendasikan TUKS: kewenangan pemerintah daerah khususnya kabupaten dalam berdirinya terminal baru. c) Terbatasnya pengawasan kapal dan TUKS: lemahnya teknologi pengawasan sistem komunikasi kapal dan pelabuhan antara pemilik kapal, syahbandar dan otoritas pelabuhan dan pemilk kargo. d) Lemahnya pengawasan perbankan/keuangan: kurangnya sinergi pengawasan lembaga keuangan, perbankan dan perpajakan nasional. e) Lemahnya koordinasi antar kementerian: kuatnya egosentris kementerian dalam pemberian Surat Izin Berlayar (SIB) dan izin operasi kapal-kapal pertambangan. f) Lemahnya pengawasan internal Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub: panjangnya rantai pengawasan internal dan lemahnya kapasitas pengawasan unit di daerah. 3.3.5.6. Belum terdapat sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk monitoring arus lalu lintas barang dan kapal. Informasi terkait manifes kapal yang berlabuh dari satu pelabuhan asal, tidak dapat dimonitoring secara realtime pada pelabuhan tujuan karena sistem pencatatan manifes yang ada masih bersifat manual. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
41
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
3.3.6. Ketatalaksanaan Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial: INKAMINA, PUMP, dan PUGAR 3.3.6.1. Mekanisme cek silang (crosscheck) terhadap penerima bantuan tidak berjalan optimal. Usulan penerima bantuan sosial/hibah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan disampaikan oleh pemerintah daerah setempat melalui dinas kelautan dan perikanan. Dalam prosesnya, walaupun kriteria pengusulan calon penerima telah ditetapkan oleh KKP, akan tetapi dalam proses pendataan dan pengusulannya tetap diserahkan sepenuhnya ke Pemda tanpa adanya cek silang dari KKP. Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak, di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah diakui bahwa penetapan alokasi penerima bantuan masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik. Misalnya penerima bantuan kapal INKAMINA masih tergantung pada keinginan orang/kelompok tertentu untuk memperjuangkan konstituennya agar dapat menerima bantuan tersebut. 3.3.6.2. Pembinaan terhadap penerima bantuan yang masih lemah. Proses pembinaan terhadap kelompok penerima bantuan diserahkan sepenuhnya kepada tenaga pendamping yang direkrut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Kota dan dibiayai dari anggaran pemerintah pusat. Dari hasil observasi di Provinsi Jawa Tengah, terlihat bahwa tenaga pendamping untuk program hibah/bantuan sosial lebih banyak memberikan bantuan pada pengadministrasian kegiatan untuk kepentingan pelaporan. Upaya-upaya untuk mengembangkan kegiatan/usaha kelompok penerima bantuan masih sangat sedikit, terutama dalam menemukan langkah-langkah inovasi dan kreatif yang dapat meningkatkan taraf hidup kelompok penerima. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh insentif yang diterima oleh tenaga pendamping, orientasi/motivasi tenaga pendamping yang lebih banyak menginginkan status untuk menjadi PNS, jaringan kerja yang masih terbatas, serta pengalaman pendampingan dan kewirausahaan yang masih terbatas. 3.3.6.3. Belum ada sinergi yang kuat lintas pihak dalam mendorong optimalisasi program pemberdayaan masyarakat nelayan/pesisir. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Perdagangan No. 13 tahun 2011 menetapkan Harga Patokan Garam sebesar Rp6400,-/Kilogram. Akan tetapi dalam kenyataannya, harga patokan tersebut jauh diatas harga yang diterima oleh petani garam. Hasil observasi di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah misalnya, kelompok penerima PUGAR mengakui harga garam yang diterima sebesar Rp150 sampai Rp450 rupiah per kilogram (September, 2014). Sementara di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah harga garam yang diterima petani sebesar maksimal sebesar Rp700,- per kilogram. Hal ini dikarenakan, suplai garam yang ada di pasaran relatif berlimpah akibat dibukanya kran impor garam serta tidak adanya mekanisme pengendalian harga garam oleh PN Garam sehingga harga diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya. 3.4. PERMASALAHAN KELEMBAGAAN 3.4.1. Kompleksitas masalah kelembagaan dalam rangka penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia. UU kelautan, sesuai dengan amanat pasal 59 ayat (3), menyebutkan bahwa dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli kemanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan Keamanan Laut. BAKAMLA antara lain menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. UU Pelayaran, sesuai pasal 276 menyebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai, yang dilakukan oleh penjaga laut dan pantai (sea and cost guard). UU Perikanan pasal 66 menyebutkan bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
42
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perikanan. UU Pesisir pasal 36 menyebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh pejabat tertentu yang berwenang di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan sifat pekerjaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus. Untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan amanat UU Pesisir dan UU Perikanan, KKP telah memiliki unit pelaksana pengawasan yakni Ditjen PSDKP. Pelaksanaan pengawasan sesuai amanat UU Kelautan dilakukan oleh BAKAMLA yang telah dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden No. 178 tahun 2014 dengan tugas melakukan patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi. Namun untuk pelaksanaan UU Pelayaran, penjaga laut dan pantai (sea cost guard) belum dibentuk. Memperhatikan amanat undang-undang tersebut, perlu ditegaskan kembali posisi dan peran dari setiap kelembagaan pengawasan agar pelaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan tidak ada fungsi pengawasan yang tidak dilaksanakan. (Lampiran 38: perbandingan tugas dan fungsi pengawasan dan pengendalian laut sesuai dengan amanat, UU Kelautan, UU Pesisir, UU Perikanan, UU Pelayaran). 3.4.2. Terdapat sejumlah permasalahan lintas sektor terkait dengan masalah pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan laut. UU Pelayaran mengamanatkan kepada penjaga laut dan pantai (sea cost guard) untuk melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut. UU Pesisir melarang adanya pemanfaatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat merusak ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, serta kegiatan lain yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan atau pencemaran lingkungan dan atau merugikan masyarakat sekitarnya. Untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, dilakukan pengawasan dan atau pengendalian oleh pejabat pegawai negeri sipil yang menangani bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan sifat pekerjaan yang dimiliki. UU Perikanan memberikan wewenang kepada pengawas perikanan untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, antara lain melakukan pengawasan terhadap pencemaran akibat perbuatan manusia. Memperhatikan amanat ketiga undang-undang tersebut, sudah seharusnya dilakukan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan laut akibat ulah manusia. Akan tetapi untuk melaksanakan kegiatan pengendalian tersebut, belum ada lembaga yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan setiap kegiatan, sea cost guard belum di bentuk, masih lemahnya koordinasi lintas lembaga, dan lemahnya kapasitas unit pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada di lingkungan KKP. (Lampiran 39: tugas pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan laut menurut UU perairan, pelayaran, perikanan, pesisir, dan kelautan). 3.4.3. Terdapat sejumlah permasalahan lintas sektor terkait tata ruang wilayah laut. Penyusunan rencana tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dilaksanakan oleh pemerintah daerah (provinsi dan atau kabupaten kota). Rencana zonasi wilayah harus diselaraskan dengan rencana tata ruang wilayah yang bersifat spasial, dengan rencana pembangunan yang sifatnya non-spasial. Penyusunan rencana tata ruang laut juga memerlukan sejumlah data dan informasi yang harus disiapkan oleh berbagai sumber. Akan tetapi, sejumlah permasalahan dalam penyusunan tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil muncul seperti terbatasnya fasilitator yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terbatasnya anggaran untuk pengumpulan data dan informasi untuk pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, terbatasnya sumberdaya manusia dan masih rendahnya komitmen daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini mengakibatkan penyusunan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
43
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
rencana zonasi laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi terhambat. Disamping itu, permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan penataan ruang laut antara lain dengan BPN, ESDM, Perhubungan, dan kehutanan. (Lihat lampiran progress penyelesaian RZWP3K) (Lampiran 40: Peran Pemda dan pusat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah laut dan pesisir). (Lampiran 41 : permasalahan lintas sektor dalam penataan ruang laut). 3.4.4. Terdapat sejumlah permasalahan lintas sektor terkait reklamasi wilayah pesisir. UU Pesisir, sesuai dengan pasal 34 menetapkan bahwa reklamasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan atau nilai tambah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, sosial dan ekonomi. Dengan demikian, pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian, serta persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya persoalan reklamasi pesisir seringkali menimbulkan protes dari berbagai kalangan masyarakat karena dianggap mengabaikan sejumlah hal seperti hak-hak kelola masyarakat, keseimbangan ekosistem, hak sosial budaya masyarakat setempat, dan dianggap hanya berpihak pada investor. Permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan reklamasi, mencakup permasalahan dengan sektor perhubungan, kehutanan, perusahaan, pertanahan, pariwisata, lingkungan hidup, pertambangan dan pemerintah daerah. (Lampiran 42 : kronologis dan pengaduan masyarakat terkait reklamasi teluk benoa bali). (Lampiran 43 : permasalahan lintas sektor terkait dengan reklamasi). 3.4.5. Terdapat sejumlah permasalahan lintas sektor terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar sudah seyogyanya mempertimbangkan berbagai aspek seperti daya dukung lingkungan, keseimbangan ekosistem, keberlanjutan sumberdaya, hingga pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, sebelum izin lokasi dan pemanfaatan terhadap pulau-pulau kecil diberikan, instansi pemerintah terkait harus melakukan penelusuran secara komprehensif terhadap dampak yang akan ditimbulkan terhadap pemberian izin tersebut, tidak hanya saat ini namun juga masa yang akan datang. Sebagai contoh, sebelum izin lokasi atau izin pemanfaatan diberikan, kementerian lingkungan hidup/Instansi yang membawahi bidang lingkungan hidup, melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Namun ketiadaan aturan perundang-undangan dan pengambilan kebijakan tanpa melibatkan sektor lain secara intensif, menjadikan terkadang pengambilan keputusan untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil sepertinya hanya didorong oleh kepentingan ekonomi semata. 3.4.6. Terdapat sejumlah permasalahan lintas sektor terkait dengan konservasi sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. UU Pesisir menyebutkan bahwa konservasi adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman. Konservasi diselenggarakan untuk menjaga kelestarian eksosistem, melindungi aluir migrasi ikan dan biota laut lainnya, melindungi habitat biota laut, dan melindungi situs budaya tradisional. UU Perikanan menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Akan tetapi, hingga kini terkait konservasi ekosistem pesisir dan sumberdaya ikan, masih terdapat dualisme antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagai contoh, konservasi ikan napoleon masih berada di tangan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
44
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Lampiran 44: konservasi sumberdaya kelautan yang masih dikelola oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan). 3.4.7. Terdapat sejumlah permasalahan internal kelembagaan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hasil kajian terhadap aspek kelembagaan di 3 unit eselon I di lingkungan kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan hal-hal berikut (Lampiran 45: tata cara analisis kelembagaan pada KKP). 3.4.7.1. Masih terdapat tugas pemerintah yang diamanahkan oleh UU Perikanan berupa yang belum dilaksanakan, seperti persetujuan kapal penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di wilayah yurisdiksi negara lain, sesuai dengan pasal 27 ayat (4). Sampai saat ini KKP belum memiliki peraturan terkait hal tersebut. Jika dilaksanakan oleh KKP maka hal tersebut seharusnya menjadi tugas Direktorat Pelayanan Usaha Perikanan Ditjen Perikanan Tangkap. (Lampiran 46: Kesesuaian tugas dan wewenang unit eselon I dengan amanat UU perikanan dan UU pesisir). 3.4.7.2. Beban kerja unit yang berlebih pada pada Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen KP3K, dan Ditjen PSDKP karena kekurangan pegawai pada unit tertentu. Pada Ditjen PSDKP, kekurangan pegawai paling banyak pada Direktorat kapal Pengawas, pangkalan PSDKP dan stasiun PSDKP. Pada Ditjen KP3K, kekurangan pegawai paling banyak dirasakan pada Balai Kawasan Konservasi dan Loka Kawasan Konservasi. Sementara pada Ditjen Perikanan Tangkap, kekurangan pegawai paling dirasakan pada beberapa PPN dan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. (Lampiran 47: analisis beban kerja pada 3 unit eselon I di lingkungan KKP). 3.4.7.3. Terdapat permasalahan kepatuhan internal di lingkungan Ditjen Perikanan Tangkap seperti adanya pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin, perencanaan kinerja yang belum didukung dokumen yang valid dan rinci, pengukuran kontrak kinerja individu yang baru mencapai 43,2% dari total pegawai, LAKIP yang belum dimanfaatkan untuk pemberian reward and punishment, capaian kinerja yang belum optimal, perhitungan potensi Tuna-Tongkol-Cakalang (TTC) yang belum didukung data yang memadai, serta industrialisasi TTC yang belum optimal. Pada Ditjen PSDKP permasalahan yang muncul terkait kepatuhan internal seperti pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin, terdapat tugas-tugas yang belum sepenuhnya dilaksanakan, pelaksanaan perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta kegiatan tim yang tidak efektif. Pada Ditjen KP3K terdapat pegawai yang dikenakan hukuman disiplin, perencanaan kinerja yang belum inovatif, pengukuran kinerja belum dilaksanakan secara berjenjang dan menyeluruh, LAKIP yang belum dimanfaatkan untuk penilaian kinerja, pelaksanaan kegiatan sebagian besar belum efektif dan tidak sesuai ketentuan, serta pembangunan Solar Packed Dealer untuk nelayan (SPDN) yang belum efektif. (Lampiran 48: kepatuhan internal pada 3 unit eselon I KKP hasil review pakar). 3.4.7.4. Beban tanggung jawab pengelolaan belanja negara relatif besar. Tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, pada umumnya berupa tanggung jawab pengelolaan belanja negara. Pada Ditjen Perikanan Tangkap, tanggung jawab pengelolaan belanja negara paling besar pada Direktorat Pelabuhan Perikanan. Pada Ditjen KP3K, tanggung jawab pengelolaan belanja negara paling banyak pada Direktoran Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil. Sementara di Ditjen PSDKP, tanggung jawab pengelolaan belanja negara paling banyak pada Direktorat Kapal Pengawas. (Lampiran 49: tanggung jawab pengelolaan keuangan negara). 3.4.7.5. Terdapat temuan BPK terkait pengelolaan keuangan negara pada 3 Ditjen di KKP. Pada Ditjen Perikanan Tangkap, terdapat paket kegiatan pengadaan barang yang mengalami keterlambatan belum dikenakan denda, dan pajak atas belanja barang/jasa kurang dipungut, namun telah ditindaklanjuti. Temuan BPKP berupa pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana ikan yang masih harus Direktorat Penelitian dan Pengembangan
45
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
ditindaklanjuti sisanya. Pada Ditjen PSDKP, terdapat temuan BPK terkait dengan pengadaan barang yang mengalami keterlambatan namun belum dikenakan denda, penyelesaian paket pengadaan barang dan jasa berlarut-larut, kelebihan pembayaran atas pekerjaan konstruksi, dan pajak atas belanja barang/jasa kurang dipungut. Temuan tersebut telah ditindaklanjuti. Temuan BPKP pada pengadaan kapal pengawas, telah ditindaklanjuti. Pada Ditjen KP3K temuan BPK berupa penyelesaian paket pengadaan barang dan jasa yang berlarut-larut, dan kelebihan pembayaran atas paket pengadaan namun telah ditindaklanjuti. Temuan BPKP berupa proyek pengelolaan sumberdaya KP telah ditindaklanjuti, serta temuan kegiatan MCRMP, COREMAP, dan PEMP di daerah sedang ditindaklanjuti. (Lampiran 50: kepatuhan pengelolaan keuangan negara). 3.4.7.6. Terdapat penilaian integritas pada 3 unit eselon I yang perlu ditingkatkan. Untuk Ditjen Perikanan Tangkap adalah pengaturan terhadap post employment, pemberian insentif yang memperhatikan aspek penilaian etika/integritas, pengembangan sistem pengaduan, pengukuran evaluasi integritas, dan perbaikan dukungan lingkungan agar tidak terjadi situasi yang dapat menabrak/membengkokkan aturan. Pada Ditjen KP3K, hal-hal yang harus diperbaiki adalah pengembangan kode perilaku yang merupakan turunan dari nilai-nilai organisasi, peraturan tentang konflik kepentingan, peraturan mengenai penerimaan gratifikasi, peraturan mengenai post employment, rotasi pegawai untuk menghindari resiko dan penyimpangan kode etik, pelatihan tentang etika dan integritas kepada pegawai, kompensasi dengan mempertimbangkan hasil penilaian etika/integritas, mempertimbangkan faktor integritas dan kode etik sebagai salah sartu kriteria penilaian promosi dan pengembangan karir, pengembangan sistem pengaduan, pengukuran integritas, prosedur dan mekanisme investigasi dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran kode etik/perilaku atau aturan lain terkait integritas, kecukupan anggaran untuk melaksanakan tugas, saluran komunikasi untuk mendiskusikan integritas, layanan konsultasi terkait integritas, kebijakan dan prosedur mengenai keterbukaan informasi publik, komitmen untuk menjalankan nilai/kode etik/kode perilaku organisasi, rasa saling percaya antara pegawai dengan pejabat struktural, situasi yang menekan untuk menabrak aturan, dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat secara terbuka. Pada Ditjen PSDKP, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah peraturan terkait konflik kepentingan, peraturan yang mendukung mengenai post employment, sistem dan prosedur mengenai rotasi pegawai untuk menghindari resiko kecurangan dan penyimpangan kode etik, pelatihan tentang etika dan integritas kepada pegawai, kriteria etika/integritas sebagai bagian penilaian kinerja, pemberian insentif yang salah satunya didasarkan atas hasil penilaian etika/integritas, faktor integritas sebagai bagian pertimbangan dalam pengembangan karir, deskripsi jabatan, prosedur mengenai pengelolaan asset-aset organisasi, prosedur keuangan yang membantu organisasi melindungi keuangan organisasi dari kecurangan, identifikasi dan analisis resiko terhadap potensi pelanggaran kode etik/integritas, pengukuran terhadap integritas organisasi, mekanisme investigasi dan penegakan sanksi organisasi terhadap pelanggaran kode etik/perilaku, komunikasi dan saluran komunikasi yang menginformasikan dan mendiskusikan mengenai nilai, kode etik/perilaku dan integritas organisasi, layanan konsultasi terkait kode etik, prosedur mengenai keterbukaan informasi kepada eksternal, rasa saling percaya antara pegawai dengan pejabat struktural, pandangan akan kepentingan organisasi sebagai hal yang didahulukan, situasi yang dapat menekan untuk menabrak aturan, dan kesempatan untuk mengutarakan pendapat secara terbuka. 3.4.7.7. Terdapat instrumen sistem pengendalian internal pemerintah di lingkungan KKP yang perlu ditingkatkan. Instrumen sistem pengendalian internal pemerintah sudah Direktorat Penelitian dan Pengembangan
46
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
tersedia, akan tetapi instrumen tersebut harus diluaskan cakupannya, dilaksanakan secara konsisten, dan dievaluasi secara regular. Terkait dengan lingkungan pengendalian beberapa hal yang harus ditingkatkan seperti integritas tidak hanya berhenti pada penerbitan aturan tapi juga pada penegakan yang dilakukan secara konsisten, komitmen terhadap kompetensi harus diterapkan pada semua level dan jenis pekerjaan, kepemimpinan yang kondusif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan penuh integritas, kebijakan pembinaan SDM yang dapat memacu kerja yang profesional, serta hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait. Terkait kegiatan pengendalian, perlu dilakukan reviu atas kinerja secara regular untuk semua pegawai, pengendalian dan pengelolaan sistem informasi dengan mengintegrasikan sistem yang ada baik di internal maupun eksternal, dan pengendalian fisik atas aset. Terkait informasi dan komunikasi, pengembangan sistem informasi berbasis IT wajib dilakukan dan penyediaan jalur komunikasi yang efektif baik di internal maupun eksternal. Terkait pemantauan, perlu dilakukan pemantauan secara berkelanjutan terhadap proses pelaksanaan tugas dan evaluasi dapat dilakukan secara terpisah baik oleh internal maupun eksternal. (Lampiran 51: hasil evaluasi keberadaan sistem pengendalian internal pemerintah). 3.4.7.8. Terdapat Instrumen pencegahan korupsi yang harus ditingkatkan. Secara umum sudah tersedia. Akan tetapi instrumen tersebut tidak hanya berhenti sampai pada tataran dokumen/aturan akan tetapi harus diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan. Terkait kode etik, instrumen kode etik yang ada harus diinternalisasikan dalam proses pelaksanaan kegiatan di lingkungan KKP. Pengendalian gratifikasi harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan yang diterima secara luas di lingkungan KKP. Kepatuhan penyampaian LHKPN dan kebenaran isi yang disampaikan juga perlu dimonitor dan dievaluasi secara terus menerus. Mekanisme pengaduan masyarakat juga harus mencakup pengaduan di lingkungan internal KKP termasuk pengaduan terhadap pelanggaran kode etik/perilaku. Kegiatan promosi antikorupsi harus dilakukan secara regular untuk membangun kesadaran antikorupsi. (Lampiran 52: hasil evaluasi keberadaan sistem pencegahan korupsi).
3.5.
PERMASALAHAN REGULASI
3.5.1. Terkait UU Kelautan 3.5.1.1. Terdapat sejumlah aturan perundang-undangan sebagai pelaksana UU Kelautan yang harus diselesaikan seperti peraturan pemerintah terkait dengan kebijakan pembangunan kelautan, industri maritim dan jasa maritim, pendirian bangunan laut, budaya bahari, pusat fasilitasi kelautan, dan perencanaan ruang laut, kebijakan tata kelola dan kelembagaan, dan izin lokasi di laut. Aturan pelaksana tersebut harus disusun paling lambat dua tahun sejak UU Kelautan ditandatangani (September 2014). Untuk menunjang hal tersebut, undang-undang tetang zona tambahan untuk disusun dan undang-undang tentang landas kontinen juga untuk disesuaikan. (Lampiran 53: peraturan perundang-undangan terkait kelautan yang harus dipersiapkan). 3.5.1.2. Terdapat beberapa kekurangan dalam pendefinisian dan penulisan/teks. Kekurangan tersebut dapat dilihat antara lain pada definisi negara kepulauan yang belum sesuai dengan UNCLOS dan belum menambahkan ruang udara di atasnya pada pasal 1, penggunaan hanya garis pangkal kepulauan saja pada pasal 5, pasal 8 ayat (3) yang merujuk pada undang-undang zona tambahan sementara undangundang tersebut belum tersedia, dan pasal 9 ayat (3) yang merujuk pada Undangundang landas kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa tahun 1958 dan bukan didasarkan pada UNCLOS tahun 1982. Kekurangan tersebut harus Direktorat Penelitian dan Pengembangan
47
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
dilengkapi untuk memperkuat dasar hukum tata kelola sektor kelautan Indonesia. (Lampiran 54: daftar kekurangan pendefinisian dan penulisan/teks dalam undangundang kelautan). 3.5.1.3. Terdapat sejumlah hal penting yang belum diatur dalam UU Kelautan. Hasil kajian 2014 Tim Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Sektor Sumberdaya Alam KPK dengan menggunakan lima prinsip pengelolaan sumberdaya alam yakni konteks kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia, keberlanjutan sumberdaya, pengelolaan yang berkeadilan, proses pengelolaan yang demokratis, dan pengelolaan yang berkepastian hukum, menunjukkan adanya sejumlah kekurangan. Hasil kajian tersebut menyebutkan antara lain bahwa UU Kelautan belum mencakup pembatasan atas keikutsertaan asing, pembatasan kepemilikan individu atau korporasi, kewajiban menghitung dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya, dan keterlibatan masyarakat adat. (Lampiran 55: summary dan indikator evaluasi terhadap undang-undang kelautan). 3.5.2. Terkait UU Perikanan 3.5.2.1 Tidak semua aturan pelaksana UU Perikanan telah disusun. UU Perikanan mengamanatkan setidaknya 54 aturan pelaksana yang harus disusun, yang terdiri dari 18 peraturan pemerintah, 22 peraturan menteri, 1 keputusan presiden, dan 13 keputusan menteri. Sampai dengan September 2014, dari sejumlah aturan tersebut, terdapat 11 Peraturan Pemerintah, dan 4 Peraturan Menteri yang belum ditetapkan. Sementara UU Perikanan menyebutkan bahwa semua peraturan pemerintah yang diamanatkan untuk melaksanakan UU Perikanan haru ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkan tanggal 29 Oktober 2009. (Lampiran 56 : Aturan pelaksana UU Perikanan yang belum ditetapkan). 3.5.2.2. Beberapa permasalahan substansial muncul dalam aturan pelaksanan UU Perikanan seperti, PP No. 30 tahun 2008 sebagai pelaksanaan pasal 8 UU Perikanan. PP No. 30 tahun 2008 lebih banyak bicara tentang kegiatan penelitan dan pengembangan sementara amanat pasal 8 lebih terkait dengan penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara penangkapan dan pembudidayaan ikan. Demikian juga dengan pengaturan standar mutu hasil perikanan sesuai dengan amanat pasal 25 A, dimana yang harus disusun adalah peraturan menteri yang bersifat regelling (berlaku umum kedalam dan keluar), namun dalam prakteknya hanya dibuat dalam bentuk Keputusan Menteri KP No. 8 tahun 2014 yang sifatnya beschiking (berlaku individual dan konkrit). (Lampiran 57: Komentar pakar terkait dengan aturan pelaksana UU perikanan yang sudah ditetapkan). 3.5.2.3. Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 tahun 2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, menghasilkan sejumlah perubahan substansial, akan tetapi dasar perubahan tidak disampaikan. Perubahan tersebut seperti persyaratan total kumulatif kapal penangkap ikan dan atau pengangkut ikan yang dapat dilakukan oleh perusahaan perikanan dari 200 GT menjadi 300 GT, skala prioritas insentif tambahan untuk perusahaan perikanan yang telah memiliki dan mengoperasikan UPI, membangun UPI, dan bermitra dengan UPI yang telah memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Hal lainnya terkait dengan perubahan seperti tidak dicantumkan lagi surat keterangan pemasangan TVMS sebagai syarat pengurusan SIPI, penghapusan surat keterangan dari Dirjen P2HP terkait realisasi pembangunan untuk persyaratan pengurusan SIKPI, dan beberapa hal penting lainnya. Akan tetapi, hingga saat ini dasar perubahan aspek-aspek Direktorat Penelitian dan Pengembangan
48
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
tersebut dalam Permen KP tidak disampaikan. (Lampiran 58: perubahan permen KP tentang usaha perikanan tangkap). 3.5.3. Terkait UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 3.5.3.1. Terdapat sejumlah aturan pelaksana UU pesisir yang belum disusun. UU Pesisir menyatakan setidaknya ada 24 aturan pelaksana yang harus disusun, terdiri dari 5 peraturan pemerintah, 7 peraturan presiden, dan 11 peraturan menteri. Akan tetapi hingga September 2014, baru 2 peraturan pemerintan yang telah disusun, 2 peraturan presiden dan 9 peraturan menteri yang telah disusun. Disisi lain, UU pesisir mewajibkan peraturan pemerintah pelaksana undang-undang tersebut diselesaikan paling lambat 12 bulan, peraturan presiden diselesaikan paling lambat 6 bulan, dan peraturan menteri paling lambat 3 bulan, sejak undang-undang pesisir diberlakukan. UU pesisir pertamakali ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 dan perubahannya ditetapkan tanggal 15 Januari 2014. (Lampiran 59: Aturan pelaksana UU Pesisir yang belum ditetapkan). 3.5.3.2. Terdapat beberapa permasalahan substansial dalam aturan pelaksana UU Pesisir. Hal ini antara lain dapat dilihat pada Permen KP No. 12 tahun 2013 tentang pengawasan dan pengelolaan WP3K yang walaupun telah mengatur materi tentang Pengawas PNS yang diberi tugas tentang akreditasi terhadap pengelolaan WP3K perlu memperhatikan mekanisme pemberian kewenangan akreditasi karena pemanfaatan wilayah laut harus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, tanpa terkendala oleh pelaksanaan di pemda. (Lampiran 60: Catatan tim pakar atas terhadap peraturan menteri pelaksana UU pesisir). 3.5.3.3. Terdapat sejumlah hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan aturan pelaksana UU Pesisir. Hasil kajian 2014 Tim Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Sektor Sumberdaya Alam KPK dengan menggunakan empat asas yakni demokrasi, keadilan, berkelanjutan, dan keterpaduan, menunjukkan hal tersebut. Misalnya, UU Pesisir hanya memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi terkait rencana tata ruang, sumberdaya di wilayah WP3K, dan pengelolaan WP3K. Didalam penyusunan aturan pelaksana UU Pesisir, juga harus menjabarkan keempat asas tersebut secara konsisten. (Lampiran 61: hasil kajian penjabaran nilai demokrasi, keadilan, berkelanjutan, dan keterpaduan dalam UU Pesisir). 3.5.3.4. Terdapat kekosongan hukum dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional. Dalam hal ini rencana tata ruang nasional diperlukan antara lain sebagai arahan untuk zonasi ruang laut secara nasional, penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. Rencana tata ruang nasional juga dibutuhkan untuk kerjasama penataan ruang laut antar negara dan antar provinsi. (Lampiran 62 : Kekosongan Hukum Rencana Tata Ruang Laut Nasional). 3.5.4. Terkait UU Pelayaran 3.5.4.1. Terdapat aturan pelaksana UU Pelayaran yang belum ditetapkan. UU Pelayaran mengamanatkan sejumlah peraturan pelaksana yang harus disusun. Aturan pelaksana tersebut setidaknya terdiri dari 52 peraturan pemerintah dan 18 peraturan menteri. Beberapa hal lainnya yang juga harus ditetapkan sesuai dengan amanat UU pelayaran seperti otoritas pelabuhan, unit penyelenggara pelabuhan, syahbandar pelabuhan, dan rencana induk apelabuhan nasional. Akan tetapi, belum semua aturan tersebut telah selesain disusun. Sementara sesuai pasal 347 UU Pelayaran, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana UU Pelayaran ditetapkan paling lambat 7 Mei 2009. (Lampiran 63: Daftar Aturan Pelaksana UU Pelayaran yang Harus Ditetapkan). Direktorat Penelitian dan Pengembangan
49
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
3.5.4.2. Terdapat sejumlah hal yang yang harus dipastikan termuat dalam UU Pelayaran dan aturan pelaksanaannya. Hasil kajian Tim Harmonisasi Aturan Perundang-undangan sektor Sumberdaya Alam KPK, sejumlah prinsip telah termuat dalam UU Pelayaran seperti prinsip demokrasi, Negara Kesatuan, keadilan, partisipatif, dan keberlanjutan. Namun yang harus dipastikan lebih lanjut apakah prinsip-prinsip tersebut telah dituangkan secara nyata dalam sejumlah aturan pelaksana UU Pelayaran. (Lampiran 64: Hasil Kajian Tim Harmonisasi Undang-undang Sektor SDA terkaiat UU Pelayaran) .
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
50
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
BAB IV GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SEKTOR KELAUTAN INDONESIA Kompleksitas permasalahan yang muncul dalam pengelolaan ruang laut dan sumberdaya yang didalamnya, mengharuskan adanya upaya simultan dan sistematis untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bagian ini merupakan usulan untuk mengatasi permasalahan yang muncul seperti halnya yang dijelaskan pada Bab III, dan berbagai permasalahan lainnya yang tidak terangkum dalam kajian.
4.1
LANDASAN BERFIKIR
Pembukaan UUD 1945 telah menetapkan kehadiran Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ditengah tujuan yang demikian, Indonesia menegaskan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Negara mengakui hak-hak warga negara antara lain atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya, hidup sejahtera lahir dan batin, serta bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Dengan demikian, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sebagai negara kepulauan, bangsa Indonesia mengakui bahwa wilayah laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan serta merupakan modal dasar pembangunan nasional. Pengelolaan sumberdaya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Dengan demikian, pembangunan kelautan haruslah memberikan arahan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekonomi pesisir dan laut. Dengan pertimbangan yang demikian, penataan atas pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan yang ada di dalamnya merupakan hal mendesak yang harus dilakukan secara bersamasama. Sebagai negara kepulauan, sudah barang tentu Indonesia harus menjaga sumberdaya kelautan sebagai warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) yang berarti bahwa kewajiban untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya merupakan tugas setiap generasi. Untuk itu, gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia merupakan gerakan bersama setiap elemen bangsa, dan menjadi warisan perjuangan yang harus dilakukan oleh setiap generasi.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
51
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
4.2.
2014
DASAR KEGIATAN
1. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas antara lain: a. Huruf b: ‘supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.’ b. Huruf e: ‘melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.’ 2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002: ‘Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.’ 3. Pasal 14 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002: ‘Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf e, KPK berwenang: a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, DPR, dan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.’ 4. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: a. Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. b. Pasal 2 menyebutkan: “Keuangan Negara sebagaimana pasal 1 angka 1 meliputi pasal 2 huruf (i): Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”. 5. Dalam UNCAC pasal 12 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebutkan: “Setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukum nasionalnya, untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta, meningkatkan standar akuntansi dan audit di sektor swasta, dan dimana diperlukan, memberikan sanksi perdata, administratif dan pidana yang efektif sebanding untuk kelalaian memenuhi tindakan-tindakan tersebut”. 6. Rencana Strategis KPK tahun 2011-2015 menetapkan sektor Sumberdaya Alam (Ketahanan Energi, Ketahanan Pangan, dan Lingkungan Hidup), Infrastruktur, dan penerimaan negara sebagai beberapa fokus area pemberantasan korupsi. 7. Deklarasi penyelamatan sumberdaya alam yang ditandatangani oleh Panglima TNI Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia yang ditandatangani di Ternate pada tanggal 9 Juni 2014. Deklarasi tersebut sebagai tekad dari ke-empat pimpinan lembaga tersebut untuk (1) mendukung tata kelola sumberdaya alam Indonesia yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) mendukung penyelamatan kekayaan sumberdaya alam Indonesia; (3) melaksanakan penegakan hukum di sektor sumberdaya alam sesuai dengan kewenangan masing-masing. 8. Visi, Misi dan Program Aksi (Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian) pemerintahan saat ini (Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla) sebagaimana yang disampaikan pada saat kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, berkomitmen antara lain untuk (1) mengedepankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerjasama Direktorat Penelitian dan Pengembangan
52
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
internasional; (2) mensinergikan tata kelola pemerintahan Indonesia sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terfragmentasi; (3) melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat; (4) mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan; (5) meningkatkan pengamanan khusus wilayah kelautan; (6) menegakkan hukum lingkungan secara konsekwen tanpa pandang bulu; (7) memberantas korupsi di kalangan aparatur sipil negara; (8) melakukan aksi-aksi nyata bagi perbaikan kualitas layanan publik; (9) membangun kedaulatan pangan; (10) membangun kedaulatan energi; (11) penguatan kapasitas fiskal negara; (12) penguatan infrastruktur; (13) pembangunan ekonomi maritim; (14) serta membangun tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan.
4.3.
SIFAT KEGIATAN
Penyelamatan sumberdaya kelautan merupakan tugas bersama semua elemen bangsa. Dalam hal ini, KPK menjalankan fungsi sebagai trigger mechanism dengan menggunakan peran koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi sesuai dengan amanat UU No. 30 tahun 2002. Karenanya, KPK mendorong pelibatan banyak pihak dalam kegiatan serta mengakselerasi berbagai bentuk upaya yang dapat membantu penyelematan sumberdaya kelautan Indonesia. KPK dalam hal ini juga menggunakan pendekatan pencegahan yang lebih ofensif dengan mengedepankan perbaikan sistem dan pembangunan budaya anti korupsi. Kegiatan ini juga merupakan gabungan dari berbagai pola perbaikan sistem yang telah dilakukan KPK selama ini yakni kegiatan pemantauan terhadap tindak lanjut atas hasil kajian serta kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan berbagai sektor sumberdaya alam. Upaya perbaikan di sektor kelautan merupakan satu kesatuan dengan upaya penyelamatan sumberdaya alam yang ada di darat.
4.4.
TUJUAN KEGIATAN
1) Penegasan dan penegakan kedaulatan serta hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayah laut melalui penegasan batas wilayah laut Indonesia, pengaturan pengelolaan ruang laut dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya. 2) Mendorong perbaikan tata kelola sektor kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. 3) Perbaikan sistem pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan untuk mencegah korupsi, kerugian keuangan negara dan kehilangan kekayaan negara.
4.5.
LOKUS DAN FOKUS AREA KEGIATAN
4.5.1. Pusat 1) Penetapan dan penegasan batas wilayah laut Indonesia 2) Pengintegrasi sistem perencanaan nasional terkait dengan penggunanaan ruang laut dan sumberdaya kelautan. 3) Penyempurnaan dan pelengkapan aturan perundang-undangan 4) Pengembangan kapasitas kelembagaan 5) Pengembangan sistem data dan informasi 6) Perbaikan sistem ketatalaksanaan perizinan, pengelolaan penerimaan negara dan pemberian bantuan sosial/hibah/subsidi. 7) Pelaksanaan kewajiban para pihak Direktorat Penelitian dan Pengembangan
53
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
4.5.2. Provinsi 1) Penyusunan tata ruang wilayah laut 2) Penataan Perizinan 3) Pelaksanaan kewajiban para pihak 4) Pemberian dan perlindungan hak-hak masyarakat 4.5.3. Kabupaten/Kota 1) Penataan Perizinan 2) Pelaksanaan kewajiban para pihak 3) Pemberian dan perlindungan hak-hak masyarakat
4.6.
SASARAN KEGIATAN
Secara umum sasaran kegiatan adalah penegasan batas wilayah laut Indonesia, penataan ruang laut, serta perbaikan tata kelola sumberdaya yang ada di laut. Secara khusus sasaran kegiatan difokuskan pada 5 hal berikut: 1) Pengembangan sistem data dan informasi yang terintegrasi termasuk database, perizinan, monitoring dan evaluasi. 2) Mendorong perbaikan tatakelola di sektor kelautan 3) Mendorong kepatuhan para pihak dalam melaksanakan kewajibannya. 4) Melakukan harmonisasi terhadap aturan perundang-undangan yang terkait. 5) Meningkatkan kapasistas kelembagaan terutama kelembagaan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan sumberdaya kelautan. 6) Menjamin perlindungan dan pemberian hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan seusai dengan yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan aturan perundang-undangan lainnya.
4.7.
INSTRUMEN PELAKSANAAN KEGIATAN
Untuk melaksanakan upaya perbaikan sesuai dengan fokus area kegiatan, disusun rencana aksi kegiatan untuk setiap lokus kegiatan. Bagi para pihak yang terlibat, disusun format pelaksanaan kegiatan sebagai bagian untuk mendukung pelaksanaan rencana aksi pada fokus dan lokus yang telah ditetapkan. 4.7.1. Rencana Aksi Kegiatan untuk Pemerintah Pusat. Rencana aksi dalam hal ini berupa uraian terhadap setiap fokus area perbaikan di tingkat pemerintah pusat yang terdiri dari rincian rekomendasi, penanggung jawab, rencana aksi, ukuran keberhasilan, jangka waktu pelaksanaan, status capaian progres, dan keterangan pelaksanaan kegiatan. (Lampiran 65: Rencana aksi pemerintah pusat gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia) 4.7.2. Rencana Aksi Kegiatan untuk Pemerintah Provinsi. Rencana aksi dalam hal ini berupa uraian terhadap setiap fokus area perbaikan di tingkat pemerintah provinsi yang terdiri dari rincian rekomendasi, penanggung jawab, rencana aksi, ukuran keberhasilan, jangka waktu pelaksanaan, status capaian progres, dan keterangan pelaksanaan kegiatan. (Lampiran 66: Rencana aksi pemerintah provinsi gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia) 4.7.3. Rencana Aksi Kegiatan Pemerintah Kabupaten/Kota. Rencana aksi dalam hal ini berupa uraian terhadap setiap fokus area perbaikan di tingkat pemerintah kabupaten/kota yang terdiri dari rincian rekomendasi, penanggung jawab, rencana aksi, ukuran keberhasilan, jangka waktu pelaksanaan, status capaian progres, dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan
54
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
keterangan pelaksanaan kegiatan. (Lampiran 67 : Rencana aksi pemerintah kabupaten/kota gerakan nasional penyelamatan sumberdaya kelautan Indonesia). 4.7.4. Format pelaksanaan kegiatan untuk Pelaku Usaha. Fokus area kegiatan pelaku usaha berupa pelaksanaan kewajiban sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha diminta untuk melakukan self-assessment terhadap pelaksanaan kewajibannya selama ini, dan kemudian disampaikan kepada pemerintah sebagai pemberi izin untuk dievaluasi. (Lampiran 68: Format pelaksanaan kegiatan untuk pelaku usaha). 4.7.5. Format pelaksanaan kegiatan untuk CSO. Peran CSO dititikberatkan sebagai kekuatan penyeimbang dari informasi yang disampaikan oleh pelaksana rencana aksi. Dalam hal ini, CSO akan diposisikan sebagai salah satu sumber informasi realisasi pelaksanaan rencana aksi sekaligus sebagai mitra penyampaian informasi kepada public terkait dengan rencana aksi yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Peran CSO sangat dibutuhkan dalam memantau proses pelaksanaan renacana aksi dan kondisi riil yang terjadi di lapangan. (Lampiran 69 : Format pelaksanaan kegiatan untuk CSO). 4.7.6. Format pelaksanaan kegiatan untuk Aparat Penegak Hukum. Posisi aparat penegak hukum hadir untuk memastikan bahwa setiap pihak melaksanakan rencana aksi/rencana kegiatan berjalan sesuai dengan koridor aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, aparat penegak hukum akan melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan tindak lanjut atas hasil evaluasi dan monitoring pelaksanaan rencana aksi/rencana kegiatan yang memerlukan penegakan hukum. (Lampiran 70 : Format pelaksanaan kegiatan APH).
4.8.
PERANAN PARA PIHAK
4.8.1. Pemerintah Pusat 1) Menyiapkan data dan informasi yang mendukung terlaksananya kegiatan 2) Melaksanakan rencana aksi pemerintah pusat 3) Melakukan pelaporan pelaksanaan rencana aksi 4) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana aksi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota 5) Melaksanakan tindak lanjut atas hasil evaluasi pelaksanaan rencana aksi pemerintah pusat, dan rencana aksi pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. 6) Melakukan monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut atas hasil kewajiban pelaku usaha sesuai dengan kewenangan pemberian izin 4.8.2. Pemerintah Provinsi 1) Melaksanakan rencana aksi pemerintah provinsi 2) Melakukan pelaporan rencana aksi pemerintah provinsi 3) Melakukan koordinasi pelaporan terhadap rencana aksi pemerintah kabupaten/kota 4) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi kabupaten/kota. 5) Melakukan monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut atas hasil kewajiban pelaku usaha sesuai dengan kewenangan pemberian izin 4.8.3. Pemerintah Kabupaten/Kota 1) Melaksanakan rencana aksi pemerintah kabupaten/kota 2) Melakukan pelaporan rencana aksi pemerintah kabupaten/kota 3) Melakukan monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut atas hasil kewajiban pelaku usaha sesuai dengan kewenangan pemberian izin 4.8.4. Pelaku Usaha 1) Melakukan pelaporan pelaksanaan kewajiban kepada pemberi izin Direktorat Penelitian dan Pengembangan
55
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
4.8.5. Civil Society Organization (CSO) 1) Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan rencana aksi dan kewajiban para pihak 2) Melaporkan kepada aparat penegak hukum jika terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan rencana aksi dan kewajiban para pihak 4.8.6. Aparat Penegak Hukum 1) Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan rencana aksi dan kewajiban para pihak terutama untuk mendeteksi tindakan-tindakan yang melanggar hukum. 2) Melakukan upaya hukum terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum berkenaan dengan penggunaan ruang laut dan pengelolaan sumberdaya di dalamnya 4.8.7. KPK 1) Melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan rencana aksi dan rencana kegiatan oleh para pihak terkait. 2) Melakukan monitoring dan evaluasi atas implementasi rencana aksi. 3) Fasilitasi untuk pengembangan integritas dan sistem pencegahan korupsi pada lembaga terkait. 4) Kampanye, sosialisasi, dan edukasi untuk hal-hal yang mendukung kegiatan. 5) Deteksi dan profiling terhadap actor dan faktor yang menghambat proses pelaksanaan kegiatan. 6) Kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendorong akselerasi pelaksanaan kegiatan. 7) Pengembangan sistem pelaporan progress kegiatan berbasis teknologi informasi.
4.9
TAHAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN RENCANA KEGIATAN 1) Membangun kesepahaman dengan para pihak termasuk penyepakatan rencana aksi (Desember 2014 s.d. Januari 2015) 2) Pengumpulan/pelengkapan data dan informasi (Januari 2015) 3) Pengembangan/penyempurnaan instrumen dan rencana kegiatan (Januari s.d. Februari 2015) 4) Kick of Meeting (Maret 2015) 5) Implementasi rencana aksi dan format pelaksanaan kegiatan (Maret 2015 s.d November 2016) 6) Pelaporan implementasi rencana aksi setiap semester oleh K/L Pusat dan Pemerintah Daerah (Juni dan Desember 2015, Juni dan Desember 2016) 7) Monitoring implementasi rencana aksi (Maret 2015 s.d. November 2016) 8) Evaluasi implementasi rencana aksi (Juni 2015, Desember 2015, Juni 2016, Desember 2016) 9) Tindak Lanjut atas hasil monitoring dan evaluasi (Maret 2015 s.d Desember 2016).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
56
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dianugerahi ruang laut dengan sumberdaya kelautan yang berlimpah di dalamnya. Dengan panjang garis pantai sejauh 95.181 kilometer dengan jumlah pulau sebanyak, 17.480, dan posisi geografis di perlintasan dua samudera, sudah pasti Indonesia memiliki posisi penting diantara negara-negara di dunia. Belum lagi kekayaan hayati laut tropis terkaya di dunia dan kekayaan non hayati dalam berbagai bentuk, sudah seharusnya bangsa Indonesia menjaga warisan bersama umat manusia tersebut dengan penuh integritas. Sayangnya, dalam banyak hal sektor kelautan belumlah menjadi mainstreaming (pengarus utamaan) dalam pembangunan selama ini. Kebijakan pemerintahan sebelumnya hanya berorientasi pada daratan sehingga memberikan tekanan yang besar pada daya dukung ruang darat yang hanya sepertiga dari luas wilayah NKRI. Akibatnya sektor kelautan memberikan kontribusi yang kecil terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, penerimaan negara bukan pajak dari sektor kelautan, khususnya dari perikanan laut hanya sebesar 0,3% dari nilai produksi perikanan di tahun 2013. Nelayan di Indonesia masih dianggap sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang paling tinggi. Kesemua ini membangun kesadaran betapa termarjinalkannya sektor kelautan selama ini. Hasil kajian terhadap sistem pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Kedeputian Bidang Pencegahan KPK di tahun 2014 menunjukkan sejumlah permasalahan muncul di sektor kelautan. Permasalahan hadir mulai dari penetapan batas wilayah laut, penataan ruang laut, hingga pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya. Permasalahan batas wilayah laut dapat dilihat dari kesalahan penetapan penggunaan garis pangkal kepulauan saja yang dapat mendeligitimasi wilayah laut Indonesia, revisi penggunaan garis pangkal yang justru mengurangi luas laut Indonesia, penetapan segmen perbatasan laut dengan negara tetangga yang belum selesai, data luas wilayah darat dan laut yang masih berbedabeda, dan keberadaan dan identitas yang tidak pasti tentang pulau-pulau kecil Indonesia. Dalam penataan ruang sejumlah permasalahan juga muncul terutama terkait dengan pengaturan tata ruang laut nasional, penyusunan rencana zonasi ruang laut, peta dasar lingkungan laut dan lingkungan pantai yang belum operasional, penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, desentralisasi dalam pengelolaan ruang laut, pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem. Dari sisi ketatalaksanaan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait dengan proses perizinan, pengelolaan PNBP, dan pemberian bantuan sosial/hibah kepada masyarakat. Permasalahan tersebut di atas tidak terlepas dari sejumlah permasalahan yang muncul terkait dengan aturan perundang-undangan yang belum disusun, kesalahan tekstual dan kontekstual dalam aturan perundang-undangan, hingga permasalahan substansi dari aturan perundang-undangan tersebut. Permasalahan semakin kompleks karena adanya permasalahan kelembagaan lintas sektoral dan permasalahan kapasitas kelembagaan pemerintah, seperti yang terjadi di internal Kementerian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Penelitian dan Pengembangan
57
Laporan Hasil Kajian sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan
2014
Permasalahan tersebut di atas akan menjadi ganjalan jika bangsa ini ingin mendorong akselerasi pembangunan di sektor kelautan. Indonesia sebagai poros maritim yang menjadi fokus pemerintahan saat ini, hanya akan tecapai jika ada upaya bersama dari semua elemen bangsa untuk menyelamatkan sektor kelautan. Upaya bersama tersebut harus simultan dalam berbagai aspek, baik di tataran kebijakan maupun di tataran implementasi, serta melibatkan pemerintah pusat dan daerah secara intensif. Tentunya elemen lain seperti Civil Society Organization (CSO), pelaku usaha dan aparat penegak hukum harus dilibatkan sebagai bagian dari pemangku kepentingan. Persoalan yang sedemikian kompleks, mengharuskan kita untuk memilih prioritas area perbaikan. Sebagai langkah awal, perbaikan dan penyempurnaan aturan perundang-undangan, pengembangan kapasitas kelembagaan, penetapan dan penegasan batas wilayah laut Indonesia, pengembangan peta wilayah laut Indonesia yang terintegrasi, pengembangan sistem data dan informasi, integrasi sistem perencanaan nasional, dan pelaksanaan kewajiban para pihak bisa menjadi pilihan. Di tingkat daerah, pemerintah daerah juga dapat didorong untuk berfokus pada penyusunan dan penyempurnaan tata ruang kawasan, penataan izin, pelaksanaan kewajiban para pihak, serta pemberian dan perlidungan hak-hak masyarakat. Dengan menetapkan fokus kegiatan yang demikian, maka diharapkan satu per satu permasalahan yang membelit sektor kelautan dapat diurai. Tentu saja upaya tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya komitmen yang kuat dari pemerintahan yang sekarang. Sebab bagaimana pun juga, fungsi pencegahan KPK hanya hadir sebagai trigger (pemicu) perbaikan tata kelola pemerintahan, untuk mencegah korupsi sebagai upaya penyelamatkan kekayaaan negara, agar dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat saat ini dan akan datang sesuai amanat UUD 1945.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
58