Laporan Hasil Kajian
Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Laporan Hasil Kajian
Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Juli 2015
ii
Daftar Isi Daftar Isi iii Daftar Gambar v Daftar Tabel vi Daftar Singkatan vii Ucapan Terima Kasih x Prakata xi Ringkasan Eksekutif xii Bab I. Latar Belakang 1 Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia 5 2.1. Ketersediaan dan Kebutuhan Energi di Indonesia 5 2.2. Perkembangan dan Potensi di Sektor Energi 7 2.3. Sumber Pendanaan Pembangunan Sektor Energi di Indonesia 8 2.3.1. Sumber Pendanaan Dalam Negeri untuk Sektor Energi di Indonesia 8 2.3.2. Sumber Pendanaan Internasional untuk Sektor Energi di Indonesia 9 Bab 3. Opsi Peningkatan Efektivitas Kebijakan Fiskal Tersedia pada Sektor Energi 13 3.1. Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Pendapatan Negara dan Hibah 13 3.2. Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Belanja Negara 16 3.3. Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Pembiayaan 17 Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi 23 4.1. Kebijakan-‐kebijakan Strategis yang Menjadi Landasan Pemikiran dalam Penyusunan Strategi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi 23 4.2. Kebijakan-‐kebijakan Teknis Terkait dengan Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi 25 4.3. Opsi Kebijakan Sisi Permintaan Energi 26 4.3.1. Sektor Rumah Tangga 27 4.3.2. Sektor Komersial dan Industri 29 4.3.3. Sektor Publik (Non-‐komersial) 36 4.3.4. Sektor Transportasi 37 4.4. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi 39 Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi 43 5.1. Kebijakan-‐kebijakan Strategis yang Menjadi Landasan Pemikiran dalam Penyusunan Strategi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi 43 5.1.1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-‐2019 43 5.1.2. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 43 5.1.3. Rencana Aksi Nasional/Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-‐GRK) 44 5.1.4. Kebijakan Inventarisasi Gas Rumah Kaca 44 5.1.5. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau) 45 5.2. Kebijakan-‐kebijakan Teknis Terkait dengan Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi 45 5.2.1. Kebijakan Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Energi 45 5.2.2. Kerjasama dengan Pihak Swasta 45 5.3. Opsi Terkait Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi 46 5.3.1. Pengembangan Tenaga Surya Fotovoltaik 46 5.3.2. Pengembangan Tenaga Panas Bumi (Geothermal) 48 5.3.3. Pengembangan Tenaga Air (Hydro) 50 5.3.4. Pengembangan Energi Gas 51 5.3.5. Energi BBM dan Subsidi BBM 54 5.3.6. Pengembangan Energi Kogenerasi 55
iii
5.4. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Bab 6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran 6.3. Potensi Hambatan dan Langkah Antisipasi Daftar Pustaka Lampiran -‐ Lampiran Lampiran 1: Kumpulan Rekomendasi Kebijakan Teknis dari Berbagai Studi Terkait Pengembangan Energi Baru Terbarukan Lampiran 2: Kebijakan-‐kebijakan Terkait Sektor Energi Indonesia
iv
56 59 59 60 61 63 61 70 80
Daftar Gambar Gambar 1. Bauran Energi Indonesia: Realisasi dan Rencana Jangka Panjang 2 Gambar 2. Alur Pembahasan Laporan Opsi Kebijakan Fiskal Sektor Energi 4 Gambar 3. Konsumsi Energi Indonesia Menurut Sektor 5 Gambar 4. Target Bauran Energi Listrik Indonesia Menurut Jenis Bahan Bakar 7 Gambar 5. Alokasi Komitmen Bilateral Overseas Development Assistance Keseluruhan dan Sektor Energi di Indonesia, 2002-‐2013 10 Gambar 6. Jumlah dan Besaran Investasi Proyek Energi di Indonesia dengan Partisipasi Swasta 11 Gambar 7. Negara Utama Penghasil Certified Emission Reduction (CER) dari Clean Development Mechanism (CDM), 2004-‐2014 12 Gambar 8. Kerangka Opsi Kebijakan untuk Sisi Permintaan Energi 27 Gambar 9. Kerangka Opsi Kebijakan untuk Sisi Penawaran Energi 46
v
Daftar Tabel Tabel 1. Potensi dan Kapasitas Terpasang Sumber Energi di Indonesia 7 Tabel 2. Daftar Kerjasama Bidang Energi di Indonesia dengan Institusi Pendanaan Perubahan Iklim, 2008-‐2015 10 Tabel 3. Studi-‐studi Kebijakan Fiskal untuk Pengembangan Sektor Energi di Indonesia 20 Tabel 4. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Peralatan Rumah Tangga Hemat Energi 28 Tabel 5. Opsi Mekanisme Operasional untuk Kebijakan Fiskal Subsidi Langsung atau Rabat 29 Tabel 6. Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC (split) di Gedung Perkantoran 30 Tabel 7. Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC medium di Gedung Perkantoran 32 Tabel 8. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Promosi Pemasangan Kaca Insulasi pada Gedung 33 Tabel 9. Opsi Kebijakan untuk Mempromosikan Pembangunan Gedung Hijau 35 Tabel 10. Opsi Skema Pendanaan Penggantian Lampu Penerangan Jalan dengan Teknologi LED 36 Tabel 11. Opsi Kebijakan Pajak Terkait Peningkatan Efisiensi Energi Kendaraan Bermotor 38 Tabel 12. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi dan Stakeholder Terkait 40 Tabel 13. Sumber Energi dan Peruntukannya di Indonesia 44 Tabel 14. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Promosi Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya 47 Tabel 15. Opsi Skema Pendanaan Eksplorasi Panas Bumi 49 Tabel 16. Komponen Pendanaan yang Mendukung Kesuksesan Proyek Geothermal Sarulla 50 Tabel 17. Opsi Skema Pendanaan Proyek Pengembangan Tenaga Air 51 Tabel 18. Opsi Kebijakan untuk Mengurangi Kebocoran Emisi Produksi Minyak dan Gas 53 Tabel 19. Pilihan Mekanisme Sistem Penyaluran Penghematan Subsidi BBM 54 Tabel 20. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi dan Stakeholder Terkait 57 Tabel 21. Peta Perjalanan Opsi Kebijakan Fiskal Sektor Energi 60 Tabel 22. Batas Atas Tarif dan Feed-‐in-‐Tariff Energi Terbarukan Menurut Sumber Energi 71 Tabel 23. Hasil Simulasi untuk Penentuan Feed-‐in-‐Tariff Tenaga Bayu 72 Tabel 24. Pilihan Satuan Ukur Batas atas Limbah Flaring/Venting Perusahaan Minyak dan Gas 77
vi
Daftar Singkatan ADB AFD APBN APPI BBM BBN BGS BI BKPM BPD BPPT BUMD BUMN CCS CDM CER CPI CRS CTF DAK DANIDA DJEBTKE DKE DME DPR DPR-‐D EBT ESCO ESDM FDI FiT GEF GFBOE GFF GFGR GFOR GGFR GIZ GW HIP HVDC IBRD ICCTF IPCC IPP IRR
Asian Development Bank Agence Française de Développement Anggaran Pendapatan Belanja Negara Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia bahan bakar minyak bahan bakar nabati bangun guna serah Bank Indonesia Badan Koordinasi Penanaman Modal Bank Pembangunan Daerah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Usaha Milik Daerah Badan Usaha Milik Negara carbon capture and storage Clean Development Mechanism Certified Emission Reduction Climate Policy Initiative Creditor Reporting System Clean Technology Fund dana alokasi khusus Danish Development Assistance Programmes Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Direktorat Konservasi Energi desa mandiri energi Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah energi baru terbarukan energy service company Energi Sumber Daya Mineral Foreign Direct Investment Feed-‐in-‐Tariff Global Environment Facility gas flaring to barrel oil equivalent ratio Geothermal Fund Facility gas flaring to gas production ratio gas flaring to oil production ratio global gas flaring reduction Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit gigawatt harga induk pasar high-‐voltage direct current International Bank for Reconstruction and Development Indonesia Climate Change Trust Fund Intergovernmental Panel on Climate Change independent power producer internal rate of return
vii
ISO IUP Jamkrindo JICA KE KEN KKP-‐E KWh LCS LED LEMIGAS LIPI LNG LPG MoU MW MWh NTB NTT ODA ODI OECD OJK OTTV PBB PDB PIP PJU PKB PKPPIM PLN PLTA PLTB PLTBm PLTG PLTM PLTMH PLTS PLTU PMK PNBP PP PPA PPh PPN PPnBM PPP PT PT IIF PT SMI PTTBg
International Organisation for Standardisation Izin Usaha Pertambangan Jaminan Kredit Indonesia Japan International Cooperation Agency Konservasi Energi Kebijakan Energi Nasional Kredit Ketahanan Pangan dan Energi kilowatt per hour Low Carbon Support light-‐emitting diode Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Liquefied natural gas liquified petroleum gas memorandum of understanding megawatt megawatt per hour Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur overseas development assistance Overseas Development Institute Organisation for Economic Co-‐operation and Development Otoritas Jasa Keuangan overall thermal transfer value Pajak Bumi dan Bangunan Produk Domestik Bruto Pusat Investasi Pemerintah Penerangan Jalan Umum Pajak Kendaraan Bermotor Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Perusahaan Listrik Negara Pembangkit Listrik Tenaga Air Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Pembangkit Listrik Tenaga Gas Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Pembangkit Listrik Tenaga Surya Pembangkit Listrik Tenaga Uap Peraturan Kementerian Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak Peraturan Pemerintah Purchasing Power Agreement (perjanjian pembelian energI) Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Penjualan atas Barang Mewah Public Private Partnership Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas Indonesia Infrastructure Finance Perseroan Terbatas Sarana Multi Infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
viii
RAD-‐GRK RAN-‐GRK RAPBN RAPBN-‐P RDB RIKEN ROI RON RPJMN RUKN RUPTL SDA SKEM SNI SPLN TCF UKM UNDP UNFCCC USAID UU VED VRV
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Regional Development Bank (Bank Pembangunan Regional) Rencana Induk Konservasi Energi Nasional return on investment research octane number Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sumber daya alam Standar Kinerja Energi Minimum Standar Nasional Indonesia Standar Perusahaan Listrik Negara trillion cubic feet usaha kecil menengah United Nations Development Fund United Nations Framework Convention on Climate Change United States Agency for International Development Undang-‐undang vehicle excise duty variable refrigerant volume
ix
Ucapan Terima Kasih Laporan Hasil Kajian Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi ini disusun oleh Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi sekumpulan laporan hasil kajian dari berbagai institusi yang telah melalui proses peer-‐review, diskusi dan interaksi. Penyusunan laporan ini bisa terwujud berkat dukungan dari rekan-‐rekan melalui kerjasama bilateral dan multilateral, khususnya the UK’s International Climate Fund melalui United Kingdom Climate Change Unit dan program Low Carbon Support (LCS). Opsi kebijakan fiskal di sektor energi ini disusun berdasarkan arahan dan bimbingan dari Bapak Syurkani Ishak Kasim, Ibu Ria Sartika Azahari, Bapak Kindy Rinaldy Syahrir, Bapak Syaifullah, Bapak Hageng Suryo Nugroho, dan Bapak Prima Yudhistira. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Arief Heru Kuncoro, yang saat ditulisnya laporan ini menjabat sebagai Kepala Sub-‐Direktorat Tekno Ekonomi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Beliau untuk mengumpulkan berbagai masukan terhadap laporan ini dari pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengumpulan data, pekerjaan analisis dan teknis, serta penulisan laporan hasil kajian opsi kebijakan fiskal di sektor energi ini dilakukan oleh Aidy Halimanjaya, yang berperan sebagai Konsultan untuk PKPPIM, atas pengawasan dari PKPPIM. Penyusunan strategi ini tidak akan bisa diselesaikan tanpa adanya masukan dari PKPPIM dan tim program Low Carbon Support (LCS) Indonesia serta masukan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak James Lamont selaku Pimpinan Tim, Bapak Paul Butarbutar selaku Wakil Pimpinan Tim, dan Ibu Melany Tedja selaku Konsultan untuk PKPPIM dan PIP, yang telah memberikan masukan terhadap naskah ini, serta segenap tim program LCS. Kami juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-‐tingginya kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan masukan dalam peningkatkan kualitas laporan hasil kajian opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Disclaimer Laporan ini disusun melalui proses kerjasama yang erat antara PKPPIM dan LCS untuk kepentingan PKPPIM sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Laporan ini didasarkan pada kajian informasi yang tersedia dan berdasarkan atas pengetahuan penulis tentang fakta dan hal-‐hal yang dijelaskan. Laporan ini hanya mewakili kondisi pada saat penulisan. Laporan ini tidak mempertimbangkan pengetahuan selain dari yang tercantum di dalam studi yang disetujui untuk dikaji dikarenakan keterbatasan waktu. PKPPIM dan LCS tidak bertanggung jawab atas kerugian baik langsung ataupun tidak langsung atas penggunaan atau kepercayaan pada laporan studi ini dengan pihak ketiga.
Saran referensi untuk merujuk pada laporan ini: PKPPIM (2015) Laporan hasil kajian: Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia. Juli 2015. Jakarta: Indonesia.
x
Prakata Pesatnya peningkatan kebutuhan energi di Indonesia tidak diiringi oleh peningkatan produksi energi dalam negeri yang mengakibatkan tingginya tingkat ketergantungan energi siap pakai dari negara lain. Kondisi ini dipersulit dengan besarnya pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak yang menjadi faktor penghambat utama dalam upaya pengembangan energi baru terbarukan dan percepatan konservasi energi untuk menanggulangi permasalahan energi yang dihadapi oleh Indonesia. Pemerintah berkomitmen untuk melakukan pengembangan sektor energi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan Indonesia melalui penyusunan strategi ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Pengelolaan energi di sisi permintaan dan penawaran energi merupakan kunci pokok dalam proses penyusunan strategi ketahanan dan kedaulatan energi ini. Pengelolaan energi yang tepat dapat dicapai dengan penetapan dan implementasi dari berbagai jenis kebijakan termasuk kebijakan fiskal yang searah dengan tujuan pengembangan energi dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Perumusan opsi kebijakan fiskal secara strategis diharapkan mampu mendorong berbagai kegiatan yang mendukung upaya pengembangan energi ramah lingkungan di dalam bauran energi Indonesia terutama pembangunan energi baru terbarukan dan pelaksanaan konservasi energi. Pengembangan energi baru terbarukan sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan pasokan energi akan berjalan seiring dengan perkembangan penggunaan teknologi di tanah air. Di sisi lain, desakan kebutuhan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tidak dapat menunggu perkembangan energi baru terbarukan hingga mencapai skala besar. Dalam menghadapi situasi ini, pemerintah memiliki pilihan dalam menentukan langkah peralihan seperti pembangunan infrastruktur untuk penggunaan energi gas sebagai energi alternatif di samping pengurangan subsidi bahan bakar minyak secara bertahap. Dalam menghadapi berbagai tantangan untuk mencapai kedaulatan energi, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) sebagai bagian dari Kementerian Keuangan berupaya untuk melakukan kajian berupa opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Laporan hasil kajian opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi PKPPIM dan Badan Kebijakan Fiskal dalam merancang kebijakan fiskal yang komprehensif untuk mendukung Indonesia dalam pencapaian target-‐target di bidang energi dengan juga memperhatikan aspek lingkungan. Laporan hasil kajian opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi ini disusun berdasarkan kajian dan studi yang diskusikan dan ditelaah kembali relevansinya agar dapat disusun secara sistematis dan dengan mengikuti kaidah dan istilah yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia serta klasifikasi akun fiskal negara. Saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan dukungan dalam penyusunan laporan ini. Saya berharap bahwa laporan opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi ini juga bisa memberikan informasi dan manfaat kepada pihak-‐ pihak lain yang bergerak di bidang energi di Indonesia. Jakarta, 22 Juli 2015
Syurkani Ishak Kasim, PhD. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan FIskal Kementerian Keuangan
xi
Ringkasan Eksekutif Laporan ini memaparkan opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Penyusunan laporan hasil kajian ini berdasarkan pada hasil penelitian dari tiga puluh empat kajian yang berkaitan dengan kebijakan fiskal Indonesia di sektor energi. Penyusunan laporan ini merupakan upaya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) di Kementerian Keuangan dalam mencapai ketahanan dan kedaulatan energi dan mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Upaya pengembangan sektor energi yang berkelanjutan ini selaras dengan Nawa Cita, yaitu sembilan agenda perubahan untuk menuju Indonesia yang berdaulat dalam hal ketahanan energi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-‐2019. Pengembangan sektor energi yang berkelanjutan juga selaras dengan komitmen Indonesia untuk mendukung Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-‐GRK) sebagai bentuk kontribusi Pemerintah Indonesia di tingkat nasional dan daerah dalam menanggapi ancaman perubahan iklim global. Laporan ini memiliki relevansi sebagai panduan bagi Badan Kebijakan Fiskal khususnya PKPPIM dalam merancang kebijakan fiskal yang komprehensif untuk mendukung pencapaian target-‐target sektor energi di Indonesia. Dua kunci pokok penyusunan strategi ketahanan energi nasional adalah melalui pengelolaan sisi permintaan dan penawaran energi. Kedua hal tersebut dapat dicapai dengan penetapan dan implementasi dari berbagai kebijakan termasuk kebijakan fiskal yang searah dengan tujuan pengembangan energi dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Di sisi permintaan energi, opsi kebijakan fiskal jangka pendek terdiri dari empat pilihan berupa: (1) pengurangan PPN untuk peralatan hemat energi, (2) pengurangan bea masuk bagi peralatan hemat energi yang tidak diproduksi di dalam negeri, (3) pengurangan pajak penghasilan untuk jenis usaha yang mendukung konservasi energi seperti energy service companies (ESCO), dan (4) pembiayaan konservasi energi berupa pinjaman lunak untuk mendukung pembelian piranti hemat energi dan pembangunan gedung hijau. Opsi kebijakan fiskal jangka panjang sisi permintaan energi terdiri dari tiga yaitu (1) penyesuaian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor berdasarkan efisiensi energi, (2) pengembangan kebijakan rabat untuk piranti hemat energi, dan (3) penjaminan pinjaman untuk mendukung badan usaha dalam pengajuan pinjaman lunak untuk aktifitas konservasi energi dan pembangunan gedung hijau. Di sisi penawaran energi, perangkat kebijakan fiskal jangka pendek terdiri dari enam opsi (1) penyederhanaan prosedur dan operasionalisasi agar badan usaha di bidang energi terbarukan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh insentif; (2) pengenaan sanksi misalnya sanksi pajak terhadap badan usaha dengan tingkat kebocoran emisi dalam produksi minyak dan gas diatas rata-‐rata, (3) pemilihan institusi pengelola fasilitas pendanaan pengembangan eksplorasi panas bumi, (4) arahan dalam pembiayaan PT PLN (Persero) untuk melaksanakan kogenerasi energi, (5) pinjaman lunak pembelian panel tenaga surya dan (6) dukungan dalam pembangunan infrastruktur energi gas. Dua opsi kebijakan fiskal jangka panjang sisi penawaran energi yaitu (1) pembiayaan pembelian panel tenaga surya melalui skema penjaminan pinjaman dan (2) penjaminan pinjaman untuk pengembangan panas bumi. Kunci dari kesuksesan Indonesia dalam mencapai ketahanan energi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah sinergi dari berbagai elemen pendukung lembaga pemerintahan yang relevan termasuk dengan sektor swasta, bersama dengan evaluasi berkala guna meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal untuk sektor energi. Laporan ini hanya menyajikan opsi kebijakan fiskal berdasarkan 34 studi seperti tersebut di atas dan tidak memperhitungkan pengetahuan lainnya dikarenakan keterbatasan waktu dan merujuk pada metodologi yang sudah disetujui oleh PKPPIM.
xii
Laporan Hasil Kajian
Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Laporan lengkap
xiii
Bab I. Latar Belakang
Bab I. Latar Belakang Laporan ini memaparkan dan menganalisis opsi-‐opsi kebijakan fiskal di sektor energi. Penyusunan laporan ini bertujuan untuk mengoptimalkan peran kebijakan fiskal dalam meningkatkan ketersediaan energi dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi di Indonesia. Hal ini selaras dengan agenda strategis utama. Pertama yaitu prioritas Indonesia untuk membangun ketahanan energi seperti yang tertuang di dalam Nawa Cita, sembilan agenda perubahan untuk menuju Indonesia yang berdaulat dalam hal ketahanan energi yang tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-‐2019. Kedua adalah komitmen Indonesia untuk mendukung Rencana Aksi Nasional dan Daerah Gerakan Rumah Kaca (RAN/RAD-‐GRK) sebagai pendoman bagi Pemerintah Indonesia di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi ancaman perubahan iklim global. Laporan ini merupakan panduan internal bagi PKPPIM dan Badan Kebijakan Fiskal dalam menyusun kebijakan fiskal sektor energi untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengelolaan permintaan dan penawaran energi merupakan salah satu kunci utama dalam penyusunan strategi ketahanan energi di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki target untuk menjadi negara maju di tahun 2033, Indonesia menyadari bahwa upaya pencapaian target tersebut akan berdampak pada pesatnya peningkatan kebutuhan energi di dalam negeri. Untuk memenuhi peningkatkan kebutuhan ini, Indonesia perlu melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dan fasilitas energi termasuk akselerasi efisiensi energi dan pengembangan energi baru terbarukan. Percepatan pembangunan di sektor energi sangat penting untuk mendukung keberlangsungan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 7% per tahun sampai dengan tahun 2033 (PKPPIM, 2014). Tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan energi baru terbarukan dan percepatan konservasi energi (LCS dan PKPPIM 2014a; 2014b). Kisaran rata-‐rata subsidi BBM di tahun 2011-‐2014 mencapai 16-‐19% dari total belanja negara (APBN, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014). 1 Di bulan November 2014, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM premium dari Rp. 6.500,-‐ per liter (US$ 0.55, dengan asumsi selanjutnya US$ 1 = Rp. 11.900,-‐ sesuai RAPBN-‐P 2015) menjadi Rp. 8.500,-‐ per liter (US$ 0.71). Selanjutnya harga BBM premium disesuaikan lagi menjadi Rp. 7.600,-‐ per liter pada 1 Januari 2015. Sejak saat itu, kebijakan harga BBM di Indonesia disesuaikan setiap kuartal mengikuti pergerakan harga minyak dunia terbaru. Setelah diberlakukannya penyesuaian harga BBM, belanja negara untuk subsidi di sektor energi (BBM, Bahan Bakar Nabati (BBN), dan listrik) mengalami penurunan sebesar 54% dari Rp. 344,7 triliun menjadi Rp. 158,4 triliun (lihat Tabel 4.16 di Laporan Kementerian Keuangan (2015b)). Berkurangnya pengeluarkan negara ini membuka ruang fiskal bagi pemerintah untuk melakukan berbagai aktivitas makro ekonomi termasuk pembangunan energi baru terbarukan dan percepatan konservasi energi. Pemerintah Indonesia telah melakukan analisis dampak sosial dari kenaikan harga BBM ini serta pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan (Sugiyarto et al. 2015). Pemerintah Indonesia menetapkan target konservasi energi, yaitu penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahun sampai dengan 2025 supaya elastisitas energi bisa kurang dari 1% per
1
BBM di Indonesia terdiri dari Liquified Petroleum Gas (LPG), Premium, Solar dan Avtur
1
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
tahun. 2 Elastisitas energi dengan nilai ini mempunyai arti bahwa laju pertumbuhan kebutuhan energi lebih kecil daripada laju pertumbuhan ekonomi (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN); Rencana Induk Konservasi Energi Nasional [RIKEN]). 3 Untuk mengetahui tingkat pencapaian target konservasi energi, pemerintah memiliki kebutuhan untuk melakukan pemantauan secara berkala. Pemerintah Indonesia menetapkan target untuk meningkatkan pemanfaatan energi primer dan memperbesar kontribusi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi menjadi 10% -‐ 16% di tahun 2015-‐2019 (RPJMN 2015-‐2019), 23% di tahun 2025, dan 31% di tahun 2030 (KEN, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2014). 4 Target kebutuhan dan bauran ketersediaan energi di Indonesia diilustrasikan di dalam Gambar 1. Gambar 1. Bauran Energi Indonesia: Realisasi dan Rencana Jangka Panjang
Penawaran energi
Permintaan energi
Penurunan intensitas energi final 1% per tahun s/d 2025
Elastisitas energi di tahun 2025 < 1
Catatan: EBT dan BBM adalah masing-‐masing singkatan dari energi baru terbarukan dan bahan bakar minyak; Sumber: Indonesia Energy Outlook 2014; RPJMN 2015 -‐ 2019; Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN)
Kegiatan akselerasi konservasi energi dan pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia masih menemui banyak kendala, antara lain tingginya biaya operasional dan investasi awal, tingkat pengembalian modal yang cukup lama, serta tingginya risiko politik dan ekonomi (LCS dan PKPPIM, 2014b). Risiko-‐risiko ini menghambat pengembangan energi baru terbarukan, seperti yang terjadi pada pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Di samping itu, berbagai risiko juga menyebabkan terbatasnya keterlibatan sektor keuangan dan perbankan dalam berbagai kegiatan yang mendukung akselerasi konservasi energi dan energi baru terbarukan. Pemerintah diharapkan bisa melakukan intervensi untuk mengurangi risiko-‐risiko di atas, mempromosikan investasi di sektor energi, dan memotivasi masyarakat untuk menggunakan produk-‐produk hemat energi. Kebijakan fiskal yang diformulasikan secara strategis akan mampu mendorong berbagai kegiatan ekonomi (Feldstein, 2009) termasuk aksi konservasi energi dan proyek pengembangan energi baru terbarukan. Terdapat 34 studi dari berbagai studi menyangkut kebijakan fiskal dan kebijakan pendukung lain untuk mendorong investasi di bidang energi khususnya konservasi energi dan energi baru terbarukan (lihat Tabel 3 di halaman 20). Studi-‐studi ini sebagian besar dilakukan dengan berkolaborasi dengan PKPPIM. Rekomendasi-‐rekomendasi kebijakan dari berbagai studi terbatas untuk mencakup semua isu terkait sektor energi, misalnya promosi penghematan energi di sisi permintaan energi untuk sektor industri tertentu seperti industri-‐industri yang melakukan
2
Intensitas energi diukur sebagai jumlah energi yang diperlukan untuk memproduksi satu unit produk domestik bruto (PDB). Energi final adalah energi yang dapat dikonsumsi secara langsung oleh pengguna akhir. 3 RIKEN bertujuan untuk memberikan nilai rujukan bagi pihak-‐pihak yang berkepentingan di seluruh sektor yang mengimplementasikan usaha-‐usaha konservasi energi. 4 Energi primer adalah energi yang diperoleh dari alam dan belum mengalami proses pengolahaan lebih lanjut.
2
Bab I. Latar Belakang
kogenerasi. Laporan ini hanya terbatas untuk menyajikan opsi kebijakan fiskal berdasarkan rekomendasi kebijakan dari 34 studi yang terdaftar di dalam Tabel 3 dikarenakan keterbatasan waktu dan metodologi yang telah disetujui oleh PKPPIM. Untuk menyusun opsi kebijakan fiskal, laporan ini menggunakan pendekatan pengelompokan (cluster approach) dengan tipe kajian meta-‐synthesis, yang merupakan teknik non-‐statistik untuk mengintegrasi, mengevaluasi dan menginterpretasikan penemuan dari berbagai studi kualitatif (Cronin et al., 2008). Sesuai dengan pendekatan tersebut, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) mengkonsolidasi rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil studi yang sudah di peer-‐review, dan mengelompokannya menjadi dua bagian besar: (1) opsi kebijakan fiskal di sisi permintaan energi untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan energi dan konservasi energi dan (2) opsi kebijakan fiskal di sisi penawaran energi yang terdiri dari percepatan pembangunan sarana dan prasarana untuk meningkatkan ketersediaan energi dan akselarasi proyek pengembangan energi baru terbarukan. Rekomendasi kebijakan ditelaah berdasarkan tiga klasifikasi kebijakan fiskal Kementerian Keuangan yaitu pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan negara. Pengklasifikasian rekomendasi kebijakan teknis berpedoman pada langkah-‐langkah kebijakan di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004 Ayat 40 tentang Kebijakan Pengembangan Energi Hijau. Proses penyusunan rekomendasi kebijakan fiskal di sisi permintaan dan penawaran energi berpedoman pada sebuah pertanyaan panduan:
Apa sajakah opsi kebijakan fiskal yang bisa mempengaruhi permintaan dan penawaran energi dan sekaligus mendukung pembangunan yang berkelanjutan? Berdasarkan pertanyaan di atas, opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi diklasifikasikan berdasarkan sektor ke dalam empat kategori, yaitu: (1) rumah tangga, (2) komersial dan industri, (3) publik (non-‐komersial), dan (4) transportasi. Sedangkan opsi kebijakan fiskal sisi penawaran energi dibagi menurut sumber energi ke dalam enam kategori yaitu: (1) pengembangan tenaga surya fotovoltaik, (2) pengembangan tenaga air (hydro), (3) pengembangan tenaga panas bumi, (4) pengembangan energi gas, (5) energi BBM dan subsidi BBM, dan (6) pengembangan energi dari kogenerasi. Energi terbarukan seperti tenaga tidal laut tidak dicantumkan di dalam laporan ini karena belum ada kebijakan-‐kebijakan fiskal spesifik yang berkaitan dengan sumber energi tersebut. Buku ini terdiri dari enam bab. Bab kedua merupakan pengantar singkat sektor energi di Indonesia. Bab ketiga memaparkan opsi peningkatan efektifitas kebijakan fiskal tersedia pada sektor energi. Bab keempat menyajikan opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi yang dapat dikembangkan. Selanjutnya bab kelima menyajikan opsi kebijakan fiskal sisi penawaran energi yang dapat dikembangkan. Bab terakhir memberi kesimpulan dan sintesis opsi kebijakan yang ditampilkan dalam bentuk peta perjalanan kebijakan fiskal sektor energi di Indonesia. Alur pembahasan dari laporan ini dapat dilihat di dalam Gambar 2.
3
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Gambar 2. Alur Pembahasan Laporan Opsi Kebijakan Fiskal Sektor Energi
Bab 1. Latar Belakang
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia
Bab 3. Opsi Peningkatan Efektifitas Kebijakan Fiskal Tersedia pada Sektor Energi 3.1. Kebijakan Fiskal Terkait Pendapatan Negara dan Hibah 3.2. Kebijakan Fiskal Terkait Belanja Negara 3.3. Kebijakan Fiskal Terkait Pembiayaan Sintesis Bab 3: Opsi peningkatan efektifitas kebijakan fiskal tersedia sisi permintaan energi dan penawaran energi
Bab 5. Opsi Kebijakan S isi Penawaran Energi berdasarkan sumber energi: (1) Pengembangan tenaga surya fotovoltaik; (2) Pengembangan tenaga air (hydro); (3) Pengembangan tenaga panas bumi; (4) Pengembangan energi gas; (5) Energi BBM dan subsidi BBM; dan (6) Pengembangan energi dari kogenerasi.
Bab 4. Opsi Kebijakan S isi Permintaan Energi berdasarkan kelompok sektor: (1) Rumah tangga; (2) Komersial dan industri; (3) Publik (non-‐komersial); dan (4) Transportasi.
Sintesis Bab 4 dengan tiga klasifikasi fiskal:
Sintesis Bab 5 dengan tiga klasifikasi fiskal: Opsi kebijakan Fiskal Sisi Penawaran energi
Bab 6. Peta perjalanan opsi kebijakan fiskal sektor energi
4
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia Ketersediaan energi di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat cepat (LCS dan PKPPIM, 2014b). Bab 2 membahas secara singkat ketersediaan energi, kondisi energi terkini, dan target konservasi energi, serta sumber pendanaan dan kegiatan di bidang energi di Indonesia dengan membagi bab ini berdasarkan ketiga hal tersebut. Bagian pertama membahas ketersediaan dan kebutuhan energi di Indonesia. Bagian ini menjelaskan kemajuan pengembangan energi baru terbarukan dan upaya yang telah dilakukan dalam rangka konservasi energi. Bagian kedua memaparkan kondisi terkini, target, dan potensi konservasi energi dan energi baru terbarukan di Indonesia. Bagian ketiga menganalisis berbagai sumber pendanaan dan kegiatan di bidang energi di Indonesia termasuk program-‐program energi yang dilakukan melalui kerjasama bilateral dan multilateral dan proyek energi di Indonesia dengan DEWAN ENERGI NASIONAL penyertaan modal swasta.
2.1.
Ketersediaan dan Kebutuhan Energi di Indonesia
pertumbuhan rata-rata sebesar 4,1% per tahun. Total konsumsi energi final meningkat
Meningkatnya konsumsi energi di Indonesia terutama sektor rumah tangga industri dan dari 117 juta TOE pada tahun 2003 menjadi 174 juta TOE di tahundi 2013. komersial (lihat Gambar 3) dipicu oleh berbagai faktor antara lain pertumbuhan populasi dan Pada tahun 2013,pendapatan Sektor industri merupakan sektor2014a). dengan Data pangsa konsumsi energi pertumbuhan (LCS dan PKPPIM, menunjukkan bahwa konsumsi energi
meningkat cepat dengan peningkatkan rata-‐rata 3,3% per tahun dari tahun 2000 sampai dengan final terbesar yaitu sebesar 33% diikuti oleh sektor rumah tangga sebesar 27% dan tahun 2011 ( ibid). sektor transportasi sebesar 27%. Sedangkan sektor komersial, sektor lainnya dan penggunaan untuk bahan baku 10%. Gambar 3. Konsumsi Energi Indonesia Menurut Sektor
Sumber: South East Asia Energy Outlook (2013)
Sumber : Kementerian ESDM, diolah oleh DEN, 2013 Note : dengan Biomassa
Grafik 3.15. Konsumsi Energi Final Indonesia Menurut Sektor Apabila tanpa biomassa, total konsumsi energi final pada periode 2003-2013 tetap mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5,5% per tahun.
5
Total konsumsi energi final meningkat dari 79 juta TOE menjadi 134 juta TOE.
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan efisiensi penggunaan energi terutama di sektor rumah tangga, industri, dan transportasi. Konservasi energi yang mencakup efisiensi energi memiliki berbagai manfaat antara lain untuk meningkatkan tingkat pendapatan rumah tangga, membantu mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing dengan cara mengurangi biaya, mengurangi tingkat polusi, dan mengurangi beban belanja negara untuk subsidi energi (ibid). Meningkatnya permintaan energi di Indonesia menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastrukur di bidang energi dan melakukan percepatan pembangunan sarana dan prasarana energi di seluruh provinsi di Indonesia; hal ini merupakan upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan (Kementerian Keuangan, 2015). Pemerintah Indonesia menemui berbagai kendala dalam pengembangan infrastruktur untuk memenuhi penyediaan dan pemanfaatan energi primer dan kapasitas pembangkit listrik. Di tahun 2012, Indonesia hanya mencapai target usaha jasa penunjang tenaga listrik sebesar 45% dari 10000 megawatt (MW) yang sebenarnya direncanakan untuk selesai pada tahun 2009. 5 Di tahun 2013, Indonesia mengalami kekurangan produksi energi final BBM sebanyak 51% dari 77 juta kilo liter yang dibutuhkan (Pertamina, 2015). Hal ini menyebabkan Indonesia mengimpor BBM siap pakai untuk menutupi kekurangan pasokan BBM nasional. Penghapusan subsidi BBM secara berkala sesuai dengan RPJMN 2015-‐2019 menunjang pemerintah dalam memperbesar ruang fiskal untuk investasi padat modal seperti pembangunan infrastruktur energi, gas alam konvensional, gas non-‐konvensional dan pengembangan energi baru terbarukan. Di tahun 2015, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen dalam memprioritaskan belanja infrastruktur energi guna meningkatkan target kontribusi bauran energi dari energi baru terbarukan. Komitmen ini ditunjukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-‐P) 2015 yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur, antara lain infrastruktur di sektor energi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2014 mencapai 5.1% dengan tingkat inflasi sebesar 8.4% (Kementerian Keuangan, 2015). Dalam meningkatkan pemanfaatan energi primer, pembangunan infrastruktur di bidang energi seperti gas alam kovensional dapat menjadi strategi transisi untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan energi dalam negeri. Strategi transisi ini perlu dilakukan hingga teknologi dan harga komponen untuk pengembangan energi baru terbarukan mencapai skala komersial. Di bidang kelistrikan, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-‐2024 merupakan panduan bagi Perseroan Terbatas (PT) Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) dalam satu dekade ke depan untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan Indonesia (PLN, 2015) dengan tetap mengandalkan tenaga batu bara dan gas alam konvensional sampai dengan tahun 2024 (lihat Gambar 4).
5
Target 10000 MW ini ditetapkan di tahun 2006 melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 jo. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2009 (ESDM, 2012).
6
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia
Gambar 4. Target Bauran Energi Listrik Indonesia Menurut Jenis Bahan Bakar Geothermal
600,000
Impor
GWh
500,000
Biomassa
400,000
Surya/hybrid
300,000
Hydro Batu bara
200,000
Liquified Natural Gas
100,000
Gas
0 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Marine Fuel Oil High Speed Diesel Oil
Sumber: RUPTL PLN 2015-‐2024
2.2.
Perkembangan dan Potensi di Sektor Energi
Pemerintah Indonesia memiliki potensi untuk melakukan konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi di sektor rumah tangga, industri dan transportasi yang merupakan sektor dominan dalam bauran penggunaan energi. Insentif keuangan dalam bentuk subsidi memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan konservasi energi di sektor rumah tangga di Indonesia (JICA 2015, berdasarkan data PLN untuk tahun 2014). Turunnya belanja subsidi energi listrik dari Rp. 103 triliun di tahun 2014 menjadi Rp. 76 triliun di tahun 2015 (RAPBN-‐P 2015) diharapkan bisa menjadi stimulus bagi pihak-‐pihak yang tidak lagi menerima subsidi untuk melakukan konservasi energi. Indonesia juga berpeluang untuk menggali dan menggunakan berbagai potensi energi yang lebih ramah lingkungan dan energi baru terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan. Potensi gas alam dan tenaga panas bumi yang dimiliki Indonesia adalah sekitar 150 triliun kubik kaki (TCF) dan 29 giga watt (GW) dengan tingkat pemanfaatan yang saat ini hanya mencapai masing-‐masing 3.1% dan 4.8% yang telah dapat dimanfaatkan (lihat Tabel 1). Indonesia juga memiliki potensi sumber tenaga air sekitar 75 GW, saat ini hanya 9% yang telah dapat dimanfaatkan. Selain itu terdapat pula 50 GW potensi biomassa, namun saat ini hanya sekitar 9.9% yang telah dipergunakan. Pemanfaatan tenaga surya dan tenaga bayu masih berada pada level yang rendah. Di samping itu Indonesia juga memiliki 49 GW potensi sumber energi yang berasal dari gelombang dan pasang-‐ surut air laut. Namun seperti halnya di banyak negara lain, sumber daya ini belum dikembangkan secara maksimal (LCS dan PKPPIM, 2014b). Gambar 1 menunjukkan bahwa energi terbarukan dan gas alam diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk masing-‐masing 23% dan 22% dari pasokan energi pada tahun 2025 atau hampir setengah dari total kebutuhan energi Indonesia. Tabel 1. Potensi dan Kapasitas Terpasang Sumber Energi di Indonesia No Sumber energi Potensi Kapasitas terpasang (Mei 2013) % 1 Air 75 GW 6.8 GW 9.1 2 Panas bumi 29 GW 1.4 GW* 4.8 3 Biomassa 50 GW 1.6 GW 3.3 2 4 Surya 4.8 KWh/m /hari*** 27 GW n/a 5 Bayu 3-‐6 m/s*** 1.4 MW n/a 6 Tidal 49 GW 0.01 MW 0 7 Gas alam 150,7 TCF** 3,17 TCF/tahun (2012) 2.1%** Sumber: LCS dan PKPPIM (2014b) diadopsi dari ESDM (2013) presentasi di paviliun Indonesia di COP 19 di Warsaw. Catatan: * kapasitas terpasang Mei 2015; ** kapasitas terpasang tahun 2012 saja menurut RUPTL 2015-‐2024 (PLN, 2015); *** Besarnya potensi tenaga solar PV dan bayu bergantung pada luas wilayah yang dialokasikan untuk panel tenaga surya dan turbin angin.
7
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Perbedaan antara profil energi saat ini dengan potensi efisiensi energi dan pengembangan kegiatan energi baru terbarukan dapat dijembatani dengan menggunakan strategi transisi energi. Pengembangan energi baru terbarukan masih membutuhkan waktu dan akan berjalan seiring dengan kematangan teknologi di tanah air. Kebutuhan energi yang mendesak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak dapat menunggu perkembangan energi baru terbarukan hingga mencapai skala komersial untuk menggantikan bahan bakar beremisi tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun langkah-‐langkah peralihan seperti pembangunan infrastruktur untuk pengembangan gas alam dan gas non-‐konvensional serta strategi pengurangan subsidi BBM secara bertahap dalam rangka membangun strategi ketahanan energi nasional.
2.3.
Program dan Pembiayaan Sektor Energi di Indonesia
Pembangunan sektor energi di Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk membangun ketahanan energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca nasional. Kedua tujuan strategis ini diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca global. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan sektor energi di Indonesia didukung oleh pendanaan baik yang bersumber dalam negeri maupun internasional.6 2.3.1. Sumber Pendanaan Dalam Negeri untuk Sektor Energi di Indonesia Pembangunan sektor energi di Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan didukung oleh publik dan swasta nasional. Pendanaan yang berasal dari publik sebagian besar berasal dari pemerintah. Berdasarkan klasifikasi akun fiskal negara, Pemerintah Indonesia bisa mendanai kegiatan di sektor energi melalui belanja negara yang berasal dari pendapatan negara dan hibah asing serta pembiayaan domestik dan internasional. Dalam anggaran pemerintah pusat, belanja negara terdiri dari dua kategori, yaitu belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Sebelum dilakukannya pengurangan subsidi BBM di awal tahun 2015, belanja terbesar pemerintah pusat di bidang energi adalah untuk subsidi energi. Subsidi energi sendiri terbagi menjadi subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi bahan bakar nabati (BBN), dan subsidi listrik. Di tahun 2012, besarnya subsidi energi mencapai 3,7% dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar 20,5% dari pengeluaran pemerintah pusat, dimana angka ini diproyeksikan tidak akan berubah di tahun 2014 (LCS dan PKPPIM, 2014a bersumber dari IMF, 2013). Sekitar 70% subsidi energi digunakan untuk bahan bakar minyak, dan sisanya untuk listrik. Hal ini berujung pada membesarnya defisit fiskal negara. Sumber pendanaan dalam negeri disalurkan ke Pemerintah daerah antara lain melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), yang masih belum menjadi prioritas utama di tahun 2014. 7 Di tahun 2014, pemerintah menganggarkan Rp. 467,9 miliar dari total Rp. 33 triliun, atau sebesar 1,4% dari total
6
Pendanaan dapat berupa hibah dan atau pinjaman, sedangkan pembiayaan diasosiasikan dengan pinjaman atau hutang. 7 Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan salah satu sumber utama modal pendanaan pembangunan bagi pemerintah daerah, termasuk kabupaten, kota, dan provinsi serta merupakan sumber utama suplemen pendanaan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil (DBH). Alokasi DAK diambil dari anggaran nasional dan merupakan sebuah mekanisme untuk mempromosikan prioritas-‐prioritas kebijakan nasional dan untuk berkontribusi pada peningkatan kesetaraan regional. DAK ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan menggunakan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Kementerian nasional terkait menyediakan panduan teknis bagi pemerintah daerah untuk penggunaan DAK berdasarkan kapasitas daerah masing-‐masing. Pengalokasian dana untuk proyek dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah membuat laporan perkembangan triwulanan dan tahunan kepada kementerian terkait, dengan salinan kepada Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. (PKPPIM, 2015).
8
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia
anggaran negara untuk belanja energi pedesaan (PMK Nomor 180/PMK.07/2013). Pada tahun 2015, alokasi belanja DAK untuk energi pedesaan mengalami peningkatan menjadi Rp. 693,6 miliar atau 2,1% dari total Rp. 33 triliun. Pembiayaan dalam negeri untuk pengembangan energi bersih diperoleh dari sektor perbankan dan non-‐perbankan nasional. Sektor perbankan telah membiayai pengembangan energi melalui skema pemerintah seperti melalui program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-‐E) yang ditetapkan melalui PMK Nomor 79/PMK.05/2007. Kredit ini diberikan kepada petani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan, baik secara perorangan maupun kelompok untuk meningkatkan hasil usahanya. Pelaksana program KKP-‐E adalah berbagai jenis bank komersial, baik bank BUMN, bank swasta nasional, maupun bank pembangunan daerah. Fasilitas pembiayaan proyek-‐proyek energi melalui KKP-‐E sudah berjalan namun pembiayaan ini direncanakan hanya untuk pengembangan jenis energi terbarukan biomassa berskala mikro dan medium. Pembiayaan sektor energi melalui program KKP-‐E perlu dipromosikan dan diperluas cakupannya. Pembiayaan kegiatan energi melalui non-‐perbankan dalam negeri diantaranya dilakukan melalui pendanaan negara untuk ekspolasi panas bumi melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang telah dilakukan sejak tahun 2011 dan pembiayaan infrastruktur energi melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). 8 Pembiayaan melalui non-‐perbankan ini juga digunakan untuk membiayai pembebasan lahan, pendanaan bergulir untuk akuisisi tanah, dan kewajiban penjaminan pinjaman seperti untuk pengembangan pembangkit listrik milik PT PLN (Persero). Pengembangan ini bertujuan untuk mendukung percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan biaya yang berkisar antara Rp. 0,6 – 0,9 triliun per tahun sejak tahun 2011 (PKPPIM, 2013). Meskipun pemerintah Indonesia sudah menyediakan dana untuk membiayai pembangunan di sektor energi, peran pihak swasta nasional terutama bank komersial sangat dibutuhkan. Sejauh ini, keterlibatan bank swasta nasional terutama bank komersial masih sangat terbatas walaupun sudah terlibat dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga air berskala kecil dengan skema 30% ekuitas dan 70% pinjaman bank dengan bunga komersial (BI, 2013). Pembiayaan proyek-‐proyek pembangkit kecil ini dapat dikombinasikan dengan pembiayaan bank asing dengan suku bunga yang lebih rendah daripada bank swasta nasional (meskipun terdapat risiko perubahan nilai tukar mata uang dalam pembiayaan asing). Pemanfaatan dari perbedaan suku bunga antara bank asing dengan bank nasional ini harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan ruang gerak lembaga keuangan domestik dalam mendukung pembangunan energi nasional. 2.3.2. Sumber Pendanaan Internasional untuk Sektor Energi di Indonesia Pendanaan asing untuk mendukung pembangunan di sektor energi dapat berasal dari publik dan swasta. Pendanaan publik asing bisa dilakukan melalui skema pembiayaan multilateral dan bilateral. Pendanaan publik asing untuk pembangunan sektor energi di Indonesia baik secara multilateral maupun bilateral sudah cukup besar, walaupun biasanya terdapat perbedaan antara total komitmen dan realisasi, yang lebih rendah daripada total komitmen (Halimanjaya, 2012). Hal ini dipengaruhi antara lain oleh penurunan performa ekonomi negara donor dan juga dapat disebabkan oleh tingkat penyerapan dana yang rendah akibat kegagalan komite pelelangan dalam mencari dan memilih pelaksana proyek-‐proyek dan program-‐program pembangunan (ibid). Hampir sepertiga dari bantuan bilateral overseas development assistance (ODA) untuk Indonesia dialokasikan untuk sektor energi (Gambar 5). Jepang, Belanda dan Jerman adalah negara-‐negara yang memberi dukungan terhadap sebagian besar proyek-‐proyek pengembangan energi di
8
Suku bunga yang digunakan oleh PIP setara dengan tingkat bunga pasar bank komersial di Indonesia meskipun ada kemungkinan jangka waktu yang lebih lama.
9
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Indonesia (OECD, 2015). ODA energi untuk kepentingan mitigasi emisi gas rumah kaca (atau disingkat ODA energi mitigasi di dalam Gambar 5) di Indonesia sebagian besar digunakan antara lain untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga gas (47%), pengembangan dan eksplorasi panas bumi (20%), pengembangan hidroelektrik (17%), pengembangan distribusi gas (15%) dan lain-‐lain (1%) (OECD, 2015). Gambar 5. Alokasi Komitmen Bilateral ODA untuk Sektor Energi di Indonesia, 2002-‐2013
Juta dolar AS
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 total ODA
ODA energi
ODA energi mipgasi
Sumber: Creditor Reporting System OECD (OECD, 2015)
Pendanaan publik asing melalui skema multilateral untuk proyek-‐proyek perubahan iklim diberikan dalam bentuk hibah. Pendanaan tersebut berasal dari antara lain Clean Technology Fund (CTF) dan Global Environment Facility (GEF). Proyek-‐proyek perubahan iklim sudah mulai diimplementasikan dan diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan aktivitas konservasi energi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Sejak tahun 2008 terdapat 18 proyek energi bernilai US$ 54 juta (Tabel 2). Jumlah pendanaan multilateral perubahan iklim sangat kecil bila dibandingkan dengan pendanaan bilateral melalui ODA. Pendanaan multilateral ini hanya 1,3% dari total ODA energi untuk Indonesia di dalam periode 2002-‐2013.
Green Climate Fund (GCF) merupakan lembaga multilateral yang didirikan pada tahun 2009 untuk mendanai proyek dan program perubahan iklim hampir di seluruh negara di dunia. Di akhir tahun 2014, sudah terdapat komitmen sebesar US$ 11 miliar dari berbagai negara termasuk Indonesia. GCF merupakan lembaga yang juga berpotensi untuk mendanai berbagai proyek energi di Indonesia. Untuk mengakses pendanaan dari GCF, pertama-‐tama Indonesia membutuhkan salah satu institusi baik nasional, regional atau multilateral yang diakreditasi oleh GCF.9 Tabel 2. Daftar Kerjasama Bidang Energi di Indonesia dengan Institusi Pendanaan Perubahan Iklim, 2008-‐2015 Institusi pendanaan perubahan iklim
Konservasi energi
Clean Technology Fund (CTF)
Energi baru Energi terbarukan keseluruhan Dalam juta US$ (jumlah proyek)
Total
4,9 (3)
4,9 (3)
Germany's International Climate Initiative
1,6 (1)
5,9 (3)
7,5 (4)
Global Environmental Facility (GEF4)
8,4 (3)
8,2 (3)
16,6 (6)
Global Environmental Facility (GEF5)
14,9 (3)
8.0 (1)
22,9 (4)
2,2 (1)
2,2 (1)
54,2 (18)
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Total komitmen hibah dari institusi pendanaan perubahan iklim internasional
Sumber: climate funds update (2015)
9
Sistem akreditasi online GCF dapat diakses melalui: http://www.gcfund.org/operations/accreditation.html
10
Bab 2. Pengantar Sektor Energi di Indonesia
Pembangunan sarana dan prasarana energi di Indonesia membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga pihak swasta asing dan domestik diharapkan untuk turut berpartisipasi dalam pembiayaan proyek-‐proyek di sektor energi. Indonesia membutuhkan US$ 69.3 miliar untuk merealisasikan pembangunan di sektor kelistrikan dari tahun 2015-‐2024. PT PLN (Persero) memerlukan investasi tambahan sebesar US$ 62.7 miliar yang diharapkan dapat berasal dari pihak swasta dan produsen energi independen (independent power producers (IPP)) (PLN, 2015). Sumber keuangan swasta asing untuk pembiayaan di sektor energi dapat berasal dari foreign direct investment (FDI), venture capital, dan ekuitas atau kepemilikan saham. Dari tahun 1990 – 2014, Bank Dunia mencatat 42 proyek infrastruktur energi yang melibatkan pembiayaan swasta nasional dan asing terutama di sektor kelistrikan dan pengembangan gas.10 Jumlah proyek dan besarnya pembiayaan swasta nasional dan asing berbeda-‐beda setiap tahun seperti terlihat Gambar 6.
7
3500
6
3000
5
2500
4
2000
3
1500
2
1000
1
500
0
0
Besaran total investasi proyek energi
juta US$
Jumlah proyek infrastruktur energi
Gambar 6. Jumlah dan Besaran Investasi Proyek Energi di Indonesia dengan Partisipasi Swasta
Jumlah proyek energi
Sumber: Database Bank Dunia untuk peran swasta dalam infrastruktur (2015)
Pendanaan proyek energi oleh swasta asing juga banyak dilakukan melalui mekanisme perdangangan karbon Clean Development Mechanism (CDM). Menurut proyek CDM yang teregistrasi di dalam sistem United Nations Framework Convention on Climate Change, Indonesia merupakan negara tujuan proyek CDM kelima terbesar di dunia setelah Cina, India, Brasil dan Korea Selatan. Sebagaian besar dari proyek CDM merupakan proyek mitigasi perubahan iklim dimana sektor energi merupakan salah satu sektor utama CDM. Dari tahun 2004-‐2014, Indonesia menghasilkan 14,6 juta Certified Emission Reduction (CER), atau 2,1% reduksi emisi dari total reduksi emisi global (data CDM dari UNFCCC, 2015). 11 Republik Raykat Cina adalah negara penghasil CER terbesar di dunia, dimana 69,2% dari total CER global diproduksi di negara ini dari tahun 2004-‐2014 (lihat Gambar 7).
10
Saat ini data hanya mencakup dua jenis pembangunan infrastruktur energi yaitu kelistrikan dan energi gas. Terdapat insiatif yang sedang dilakukan oleh lembaga multilateral UNDP untuk menelusuri investasi swasta di bidang energi. 11 Satuan mata uang yang digunakan dalam mekanisme perdagangan karbon.
11
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Gambar 7. Negara Utama Penghasil Certified Emission Reduction (CER) dari Clean Development Mechanism (CDM), 2004-‐2014 Negara lain 119.4 Indonesia 17% 14.6 2%
Korea Selatan 16.5 Brasil 2% 24.5 4% India 42.8 6%
Republik Rakyat Cina 489.7 69%
Catatan: angka merupakan satuan CER dalam juta dan persentase merupakan bauran yang dihasilkan negara yang bersangkutan; sumber: Data CDM UNFCCC (2015)
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua jenis proyek energi dapat didukung oleh satu atau lebih sumber pembiayaan dengan mempertimbangkan risiko, skala, dan jumlah investasi. Berbagai pertimbangan tersebut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pembiayaan dan penggunaan sumber keuangan. Analisis profil pendapatan, keuntungan, dan risiko proyek menjadi sangat penting dalam mendukung pemerintah untuk mencapai keberhasilan pengembangan energi dan ketahanan energi nasional.
Penjelasan Mengenai Data Pendanaan Internasional di Dalam Bab 2 OECD Creditor Reporting System (CRS) Data di dalam OECD CRS merupakan data proyek Overseas Development Assistance (ODA) yang dilaporkan oleh negara-‐ negara Development Assistance Committee (DAC) berdasarkan kapasitas pelaporan negara masing-‐masing. Data diperoleh pada bulan Desember 2014. Laporan ini menggunakan besaran komitmen dikarenakan besaran disbursement tidak dipublikasikan lagi sejak tahun 2012. ODA energi yang dimaksud di dalam laporan ini adalah proyek yang didanai oleh ODA untuk pengembangan energi di negara berkembang. ODA energi mitigasi (di Gambar 5) adalah semua proyek ODA energi dengan tujuan utama dan atau tujuan pendukung untuk memitigasi gas rumah kaca.
Climate Funds Update Climate Funds Update merupakan inisiatif independen yang dilakukan oleh Overseas Development Institute (ODI) dan didukung oleh Heinrich Böll Stiftung. Climate Funds Update mencatat data proyek yang diterima dan disalurkan oleh sejumlah institusi pendanaan multilateral perubahan iklim. Negara-‐negara tujuan institusi pendanaan multilateral banyak yang tidak dapat teridentifikasi oleh OECD CRS. Hal ini dikarenakan negara kontributor tidak sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan negara tujuan akhir. Alokasi dana ditentukan berdasarkan kriteria institusi pendanaan perubahan iklim. Pencatatan oleh ODI dilakukan secara berkala dengan frekuensi dua sampai tiga kali dalam satu tahun melalui korespondensi langsung dengan sektretariat institusi pendanaan dan akses terhadap laporan-‐laporan keuangannya. Data proyek yang digunakan dalam laporan ini adalah data yang memiliki penjelasan terkait dengan sektor energi, energi terbarukan, dan konservasi energi. Database Bank Dunia untuk peran swasta dalam pembangunan infrastruktur Sejak tahun 1990 Bank Dunia mencatat jumlah investasi dalam proyek yang pembangunannya melibatkan pihak swasta. Pencatatan dilakukan berdasarkan pada perjanjian kontraktual dan tidak mencakup proyek berskala kecil dan mikro. Jenis infrastruktur yang dicatat dalam database ini mencakup sektor telekomunikasi, energi, transportasi, dan manajemen air. Data untuk sektor energi hanya terbatas pada proyek kelistrikan dan pengembangan gas. UNFCCC Clean Development Mechanism (CDM) Data UNFCCC CDM merupakan data proyek perdagangan karbon yang dicatat oleh jajaran eksekutif CDM dan dilaporkan kepada UNFCCC. Data ini mencakup tujuan negara, dokumen proyek, dan negara asal investor. CDM mencakup proyek energi skala industri, distribusi energi, dan permintaan energi. Laporan ini menggunakan seluruh data proyek CDM yang tersedia untuk mengidentifikasi negara tujuan utama CDM. Data CDM tersedia paling banyak didominasi oleh sektor energi dan transportasi.
12
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Bab 3. Opsi Peningkatan Efektivitas Kebijakan Fiskal Tersedia pada Sektor Energi Kebijakan fiskal merupakan kebijakan keuangan negara yang bila diformulasikan secara strategis dapat digunakan sebagai stimulus untuk mendorong berbagai jenis kegiatan ekonomi (Feldstein, 2009). Kebijakan fiskal menurut tata keuangan negara Republik Indonesia seperti yang diuraikan di tiga kelompok kebijakan yaitu kebijakan fiskal pengelolaan pendapatan negara dan hibah, kebijakan fiskal belanja negara, dan kebijakan fiskal pembiayaan. Bab 3 secara singkat menjelaskan beberapa opsi peningkatan efektivitas dari sejumlah kebijakan fiskal yang tersedia di sektor energi dari ketiga kelompok kategori kebijakan fiskal. Bab ini sebagian besar memaparkan kebijakan yang sudah diambil oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung pengembangan sektor energi di Indonesia.
3.1. Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Pendapatan Negara dan Hibah Kebijakan fiskal yang terkait dengan pendapatan negara dan hibah adalah kebijakan yang mengatur dan mengelola sumber-‐sumber penerimaan negara. Pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta hibah dari berbagai sumber termasuk hibah asing. Penerimaan perpajakan dari sektor energi berasal dari pajak dalam negeri dan pajak dari perdagangan internasional. 12 Pemerintah Indonesia memiliki beberapa kebijakan fiskal terkait dengan penerimaan perpajakan untuk mendukung pengembangan sisi penawaran energi, dan juga memiliki potensi untuk mengembangkan kebijakan fiskal perpajakan untuk mengelola permintaan energi. 3.1.1. Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Terkait dengan Pendapatan Negara dan Hibah Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 mengatur tentang Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, namun tidak mencantumkan produk-‐produk yang bermanfaat untuk konservasi energi sebagai barang strategis, meskipun produk-‐produk ini penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi gas rumah kaca nasional. Peraturan ini bisa dikembangkan untuk mendukung kegiatan konservasi energi dengan menambahkan industri dan bisnis yang memenuhi
12
Pajak, di Indonesia, berdasarkan wewenang pemungutan dan pengelolaannya dibagi menjadi dua: Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Yang termasuk dalam pajak pusat adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3), serta Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah dipungut dan dikelola oleh pemerintah Daerah. Pajak yang termasuk Pajak Daerah contohnya: Pajak Pembangunan I, Pajak Reklame, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan dan PBB sektor Perkotaan dan Pedesaan.
13
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
standar sertifikasi efisiensi energi tinggi seperti ISO 50001 dan atau standar nasional seperti ditetapkan oleh Peraturan Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian. 13 Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas pengurangan bea masuk untuk produk energi tertentu melalui PMK Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Serta Panas Bumi dan PMK Nomor 154/PMK.011/2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Sama halnya dengan pengurangan PPN, fasilitas pengurangan bea masuk belum tersedia untuk barang-‐barang konservasi energi. Fasilitas pengurangan bea masuk untuk barang-‐barang konservasi energi dapat dirumuskan dengan memberikan fasilitas keringanan bea masuk impor untuk barang-‐barang yang memenuhi rating dan sistem pelabelan seperti diatur oleh Kementerian ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2014 tentang Pembubuhan Label Tanda Hemat Energi untuk Lampu Swabalast, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional. 3.1.2. Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Terkait dengan Pendapatan Negara dan Hibah Pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan efektivitas dari kebijakan-‐kebijakan fiskal sisi penawaran energi. Kebijakan terbaru mengenai fasilitas pajak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang–Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-‐Daerah Tertentu. Bidang usaha di sektor energi yang dapat memperoleh insentif pajak penghasilan antara lain pertambangan batu bara dan lignit yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pertambangan minyak bumi dan gas alam serta panas bumi dari seluruh tahapan, industri produksi batu bara dan pengilangan minyak bumi termasuk industri pemurnian dan pengolahan gas alam, industri peralatan listrik, pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan pengelolaan limbah. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 menyempurnakan kebijakan sebelumnya yang tidak membatasi pemberian fasilitas insentif perpajakan bagi pengembang batu bara untuk kepentingan ekspor dimana batubara tergolong sebagai sumber energi beremisi tinggi. Insentif pajak penghasilan ditujukan pada badan usaha yang bergerak di bidang usaha energi terbarukan. Pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan insentif pajak untuk badan usaha energi terbarukan seperti diatur di dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK.011/2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan.14 PMK ini merinci insentif fasilitas pajak yang diberikan kepada badan usaha kena pajak yang merupakan pengembang energi baru terbarukan, termasuk melalui percepatan amortisasi. Percepatan amortisasi dapat mengurangi pajak penghasilan secara signifikan seperti diilustrasikan di bawah ini.
13
ISO 50001 menerapkan kerangka energy management system di fasilitas industri dan bangunan gedung untuk mengelola energi. Penggunaan standar ini diperkirakan bisa berdampak pada sebesar 5-‐12% di suatu industri atau bangunan gedung. http://www.iso.org/iso/home/store/publication_item.htm?pid=PUB100282 14 Bab III pasal 3 memberikan insentif kepada badan usaha kena pajak berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (selama 6 tahun); penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada SPLN sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku; dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.
14
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Ilustrasi 1: Insentif Melalui Percepatan Amortisasi Ilustrasi berikut ini menjelaskan contoh perhitungan pengurangan pajak yang diberikan melalui Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK.011/2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Dengan amortisasi yang dipercepat, badan usaha yang bergerak di bidang energi terbarukan bisa mendapatkan keringanan pajak yang signifikan. Perhitungan penyusutan dan amortisasi dipercepat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun. Di bawah ini merupakan ilustrasi dua skenario untuk mendemostrasikan insentif yang dapat diperoleh pengembang energi baru terbarukan. Skenario pertama menggunakan harta kelompok 1 (masa 4 tahun) dan skenario kedua menggunakan harta kelompok 2 (masa 8 tahun). Untuk skenario pertama, besarnya penyusutan atau amortisasi bertambah dari masing-‐masing 25% untuk metode garis lurus dan 50% untuk metoda saldo menurun menurut Undang-‐ undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi 50% dan 100% sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 21/PMK.011/2010. Penjelasan Undang-‐undang Nomor 36 Tahun 2008 PPh sebelum Amortisasi/Penyusutan Dipercepat PMK Nomor 21/PMK.011/2010 PPh sesudah Amortisasi/Penyusutan Dipercepat Pendapatan Negara Perusahaan
Skenario 1 Harta Kelompok 1 (masa 4 tahun) Garis Lurus Saldo Menurun 25% 50% 15.000.000 8.750.000 50% 100% 5.000.000 -‐ (10.000.000) (8.750.000) 10.000.000 8.750.000
Skenario 2 Harta Kelompok 2 (masa 8 tahun) Garis Lurus Saldo Menurun 12.5% 25% 35.000.000 25.995.483 25% 50% 15.000.000 8.750.000 (20.000.000) (17.245.483) 20.000.000 17.245.483
Catatan: angka dalam Rupiah
Dalam harta kelompok dengan masa empat tahun, badan usaha memperoleh keringanan pajak sebesar Rp. 10 juta untuk perhitungan garis lurus dan Rp. 8,75 juta untuk perhitungan saldo menurun sedangkan pemerintah mengalami pengurangan pendapatan sebesar nilai tersebut. Untuk skenario kedua, nilai penyusutan atau amortisasi bertambah dari masing-‐masing 12,5% untuk metode garis lurus dan 25% untuk metode saldo menurun menurut Undang-‐undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi 25% dan 50% menurut PMK Nomor 21/PMK.011/2010. Dalam hal ini badan usaha mendapat keringanan pajak sebesar Rp. 20 juta untuk perhitungan garis lurus dan Rp. 17.245.483,-‐ untuk perhitungan saldo menurun sedangkan pemerintah mengalami pengurangan pendapatan sebesar nilai tersebut.
Ilustrasi 1 menunjukan bahwa pemerintah memberikan insentif melalui pengurangan besaran pajak penghasilan bagi badan usaha PMK Nomor 21/PMK.011/2010 dengan tujuan memotivasi badan usaha untuk melakukan kegiatan usaha di bidang energi terbarukan. Efektifitas PMK Nomor 21/PMK.011/2010 diharapkan akan meningkat bila disertai dengan panduan teknis yang menjelaskan langkah-‐langkah permohonan untuk mendapatkan insentif. Hal ini perlu juga didukung oleh pengawasan dan pelaksanaan pembayaran pajak untuk badan usaha yang tidak mendapatkan insentif. Langkah-‐langkah permohonan insentif dapat dikembangkan dengan berpedoman misalnya pada panduan yang digunakan di dalam PMK Nomor 144/PMK.011/2012 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-‐Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-‐Daerah Tertentu. Kurangnya panduan untuk badan usaha dalam mendapatkan fasilitas perpajakan bisa jadi menyebabkan berkurangnya ketertarikan swasta untuk membangun fasilitas energi baru terbarukan. Panduan yang jelas dan rinci diharapkan dapat meningkatkan efektivitas PMK Nomor 21/PMK.011/2010 sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam pembiayaan proyek pengembangan energi baru terbarukan.
Secara bersamaan Pemerintah dapat menggali potensi pengembangan kebijakan lain dengan menganalisis keselarasan antara PMK Nomor 21/PMK.011/2010 dengan PMK Nomor 70/PMK.011/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2011 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang merupakan fasilitas pembebasan PPN untuk subsektor panas bumi. Kebijakan ini menjadi dasar pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi barang-‐ barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi panas bumi.
15
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
PMK Nomor 130/PMK.011/2011 juga mengatur tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan bagi badan usaha yang bergerak di bidang energi baru terbarukan.15 Wajib Pajak yang berhak mendapatkan tax holiday adalah wajib pajak badan berupa badan usaha baru yang termasuk dalam industri pionir, atau yang mempunyai rencana penanaman modal dengan nilai minimal Rp. 1 triliun. Insentif ini tidak diberikan kepada badan usaha yang mendukung konservasi energi dan badan usaha dengan modal kurang dari Rp. 1 triliun karena badan usaha jenis ini tidak termasuk di dalam daftar industri pionir.16 Apabila Kementerian Keuangan mau memperluas kriteria bisnis yang tergolong industry pionir, misalnya dengan menyertakan badan usaha tertentu yang berhasil melakukan konservasi energi dan bermodal kurang dari Rp. 1 triliun, PMK Nomor 130/PMK.011/2011 bisa lebih efektif dalam mendukung konservasi energi Indonesia di sektor-‐sektor dengan konsumsi energi terbesar seperti sektor industri dan rumah tangga.
3.2.
Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Belanja Negara
Kebijakan fiskal belanja negara adalah kebijakan yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran negara yang digunakan untuk belanja pemerintah pusat dan belanja pemerintah melalui transfer ke daerah. Belanja Pemerintah Pusat di sektor energi antara lain berupa subsidi untuk BBM dan listrik, sedangkan belanja pemerintah melalui transfer ke daerah dilakukan antara lain melalui Dana Alokasi Khusus untuk energi pedesaan (lihat Tabel 2, Bab 2). Kebijakan fiskal belanja negara di sektor energi bisa ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran energi seperti yang akan dibahas berikut ini. 3.2.1. Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Terkait dengan Belanja Negara Pemerintah Indonesia memiliki alokasi belanja negara untuk konservasi energi dan energi baru terbarukan sebagai bagian dari program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Nota Keuangan RAPBN-‐P 2015). Kementerian Keuangan dan institusi pendukung telah menelaah peran serta sistem pelabelan dalam penganggaran untuk mengidentifikasi besaran belanja negara untuk hal-‐hal yang mendukung perencanaan hijau pemerintah termasuk konservasi energi dan energi baru terbarukan. Pengembangan sistem anggaran dan belanja negara perlu memperhatikan dampak kegiatan-‐kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lingkungan. Hal ini didukung oleh target pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional dan oleh berbagai kebijakan antara lain Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang Perhematan Energi dan Air dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik. Kebijakan – kebijakan seperti ini menjadi pertimbangan bagi seluruh Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD dalam penganggaran kegiatan konservasi energi. 3.2.2. Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Terkait dengan Belanja Negara Kementerian Keuangan telah memiliki berbagai kebijakan fiskal belanja untuk meningkatkan ketersediaan energi dalam negeri seperti kebijakan penjaminan pinjaman untuk pengembangan pembangkit listrik dan infrastruktur. Kementerian Keuangan menetapkan PMK Nomor 139/PMK.011/2011 yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha PT
15
berupa pembebasan pajak 5 sampai dengan 10 tahun sejak produksi komersial, pengurangan pajak sebesar 50% dari PPh terutang selama 2 tahun. 16 Cakupan industri pionir saat ini belum merujuk pada badan usaha yang bergerak di bidang konservasi energi. Pasal 3 ayat 2 PMK Nomor 130/PMK.011/2011 mempertimbangkan industri-‐industri sebagai berikut sebagai industri pionir: a. Industri logam dasar; b. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; c. Industri permesinan; d. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau e. Industri peralatan komunikasi.
16
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
PLN (Persero) untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik dengan Menggunakan Energi Terbarukan, Batu Bara, dan Gas. Pembangunan pembangkit tenaga listrik ini dilakukan melalui kerja sama dengan pengembang listrik swasta. Selain peraturan tersebut, terdapat pula PMK Nomor 260/PMK.011/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. PMK ini membuka peluang untuk peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan sektor energi. Di tahun 2015, Pemerintah Indonesia menganggarkan dana sebesar Rp. 1,1 triliun untuk mendukung percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW dan proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha melalui badan usaha penjaminan infrastruktur (APBN 2015). Pemerintah menganggarkan pinjaman sebesar Rp. 3,3 triliun kepada PT PLN (Persero) untuk membangun infrastruktur di bidang kelistrikan. Selain itu, pemerintah juga memberikan pinjaman sebesar Rp. 0,7 triliun kepada Pertamina untuk membangun pembangkit energi yang berasal dari sumber energi baru terbarukan serta untuk mengurangi dampak negatif pembangunan pembangkit energi baru tersebut terhadap lingkungan. Contoh kebijakan fiskal belanja negara untuk transfer ke daerah adalah anggaran untuk energi pedesaan di dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2015 memberikan petunjuk teknis penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengembangan energi pedesaan tahun anggaran 2015. DAK energi pedesaan memprioritaskan pembangunan energi baru terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga hidro mikro di bawah 1 MW, pembangkit listrik tenaga surya off-‐grid dan on-‐grid (terkoneksi dengan sistem jaringan PT PLN Persero), dan biogas. Untuk pembangunan ini, Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten adalah lembaga yang bertanggung jawab dan menangani bidang energi yang akan menggunakan anggaran atau menyelenggarakan kegiatan yang dibiayai dari DAK Bidang Energi Pedesaan.
3.3. Kebijakan Fiskal pada Sektor Energi Terkait dengan Pembiayaan Negara Kebijakan fiskal terkait dengan pembiayaan adalah kebijakan yang berhubungan dengan investasi negara dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri di sektor energi dilakukan melalui antara lain pembiayaan perbankan dalam negeri dan pembiayaan non-‐perbankan dalam negeri seperti dana investasi pemerintah. Pembiayaan luar negeri antara lain mencakup pinjaman program dan proyek. 3.3.1. Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Terkait dengan Pembiayaan Negara Kementerian Keuangan dapat mempertimbangkan kebijakan fiskal pembiayaan untuk mendukung upaya konservasi energi. Salah satu dari kebijakan yang berpotensi untuk digunakan adalah kebijakan pendanaan bergulir yang diatur oleh PMK Nomor 218/PMK.05/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga. Menurut PMK Nomor 218/PMK.05/2009, Kementerian ESDM dan/atau Kementerian Keuangan dapat mendirikan fasilitas pembiayaan secara masing-‐masing atau dengan kolaborasi melalui mekanisme pendanaan bergulir untuk mendukung upaya konservasi energi sebagaimana diamanatkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi. Pemerintah memiliki pilihan untuk memberi insentif berupa dana suku bunga rendah untuk investasi konservasi energi sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 20 Ayat 1d. Hal ini merupakan pilihan dari sejumlah insentif lain berupa fasilitas perpajakan untuk produk hemat energi seperti pengurangan PPN (ayat 1a), pembebasan atau pengurangan pajak daerah produk hemat energi (ayat 1b) dan atau audit energi dalam pola kemitraan yang dibiayai oleh Pemerintah (ayat 1d).
17
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Penjabaran mengenai berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam pendirian fasilitas dana bergulir dijelaskan di Sub-‐Bab 4.4 Ilustrasi 2. 3.3.2. Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Terkait dengan Pembiayaan Negara Kementerian Keuangan telah menetapkan berbagai kebijakan pembiayaan yang dapat digunakan untuk pengembangan energi baru terbarukan dan energi secara luas. Beberapa contoh dari kebijakan tersebut adalah kebijakan untuk fasilitas pembiayaan pengembangan tenaga panas bumi, fasilitas pendanaan infrastruktur kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-‐E). Adapun isu-‐isu yang berkaitan dengan fasilitas-‐fasilitas tersebut diantaranya adalah belum tersalurkannya dana yang sudah dialokasikan untuk eksplorasi energi panas bumi dan pembiayaan untuk pengembangan energi baru terbarukan yang belum mencakup berbagai skala dan jenis energi. A. Fasilitas Pembiayaan untuk Eksplorasi Tenaga Panas Bum i Kementerian Keuangan telah menyediakan fasilitas pembiayaan untuk eksplorasi tenaga panas bumi melalui Geothermal Fund Facility (GFF), dengan PIP sebagai lembaga pelaksana, melalui PMK Nomor 03/PMK.011/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Fasilitas Dana Pengembangan Tenaga Panas Bumi.. Dengan proses restrukturisasi kelembagaan (penggabungan PIP dengan PT SMI), GFF memerlukan kejelasan tentang pelaksana pengelolaan agar GFF dapat segara disalurkan kepada pemerintah Daerah, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan pemegang izin pengelolaan sumber daya panas bumi untuk proyek-‐proyek yang telah dikoordinasikan dengan Kementerian ESDM dan yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Indonesia membutuhkan institusi seperti PIP yang dapat menjadi pengelola GFF dan semua jenis pendanaan energi terbarukan, dan kemungkinan besar peran ini akan diserahkan kepada PT SMI. PMK Nomor 03/PMK.011/2012 di atas dapat sekaligus disempurnakan untuk mengatasi beberapa kendala dalam operasionalisasi GFF seperti penyederhanaan prosedur bagi IUP untuk mengakses dana GFF dan melalui provisi pembagian risiko yang memadai antara pemerintah dan pengembang swasta. B. Pembiayaan untuk Perusahaan melalui PT Sarana M ulti Infrastruktur (SM I) Kementerian Keuangan memfasilitasi pembiayaan infrastruktur untuk perusahaan melalui PT SMI seperti tertuang dalam PMK Nomor 396/KMK.01/2009 tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur Kepada PT SMI (Persero). Penyertaan modal negara dalam pendirian perusahaan Perseroan (Persero) di bidang penjaminan infrastruktur diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007. Di tahun 2015, Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp. 2 triliun dari APBN kepada PT SMI untuk meningkatkan kapasitas usaha di bidang infrastruktur. Untuk menilai efektivitas dari kebijakan pembiayaan ini, Kementerian Keuangan perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja investasi PT SMI di sektor energi dengan memperhatikan proses dan mekanisme pembiayaan PT SMI dalam melakukan investasi di energi terbarukan. C. Fasilitas Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-‐E) Kementerian Keuangan juga menyediakan fasilitas pembiayaan untuk sektor energi khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui PMK Nomor 79/PMK.05/2007 tentang Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-‐E). Pelaksana fasilitas pembiayaan ini adalah berbagai bank komersial, baik bank BUMN, bank swasta nasional, maupun bank pembangunan daerah. Kredit ini diberikan kepada para petani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan baik kelompok maupun perorangan dalam rangka pembiayaan intensifikasi hasil pertanian, peternakan, dan perikanan. Fasilitas pembiayaan ini mendukung peraturan Kementerian Keuangan terdahulu mengenai kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (PMK Nomor 117/PMK06/2006). Pada mulanya program KKP-‐E dirancang untuk mendukung badan usaha kecil dan menengah. Akan
18
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
tetapi, Kementerian Keuangan dapat memperluas cakupan fasilitas pembiayaan KPP-‐E untuk proyek-‐proyek energi berskala medium dan besar dan menyederhanakan prosedur untuk mengakses dana ini. Tiga Opsi Peningkatan Efektivitas Beberapa Kebijakan Fiskal Sektor Energi Analisis kebijakan fiskal sektor energi di dalam Bab 3 mengarah pada tiga opsi utama dalam meningkatkan efektifitas kebijakan fiskal sektor energi guna mendukung ketahanan dan kedaulatan energi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi 1. Mengembangkan fasilitas pengurangan bea masuk untuk produk konservasi energi dengan rating energi tinggi bersertifikasi melalui revisi PMK Nomor 154/PMK.011/2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum; 2. Mempertimbangkan fasilitas perpajakan yang mengundang investasi dan pendirian badan usaha jasa jenis ESCO, yaitu badan usaha yang khusus menyewakan barang hemat energi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkategorikan badan usaha ESCO ke dalam kategori industri pionir sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 130/PMK.011 Tahun 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; dan Opsi kebijakan fiskal sisi penawaran energi 3. Menambahkan prosedur permohonan badan usaha untuk memperoleh insentif ke dalam PMK Nomor 21/PMK.011/2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Prosedur dapat merujuk pada PMK Nomor 144/PMK.011/2012 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-‐ Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-‐Daerah Tertentu. Alternatif lain yang dapat dilakukan Kementerian Keuangan yaitu dengan mengembangkan PMK tentang petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan PMK Nomor 21/PMK.011/2010.
Ketiga hal ini perlu didukung dengan peningkatan sistem pengawasan dan pelaksanaan pembayaran pajak bagi badan usaha yang tidak mendapatkan fasilitas pajak. Tanpa disertai dengan peningkatan sistem pengawasan dan pelaksanaan pembayaran pajak, insentif pajak untuk badan usaha tertentu memiliki keterbatasan dalam memotivasi badan usaha untuk mengembangkan industri yang menjadi sasaran pemerintah. Selain dari peningkatan efektivitas kebijakan fiskal sektor energi, beberapa institusi telah melakukan studi dan kajian untuk melengkapi kebijakan-‐kebijakan fiskal Indonesia di sektor energi. Studi dan kajian tersebut dilakukan dalam upaya mendukung konservasi energi, meningkatkan ketersediaan energi, meningkatkan pendapatan negara, dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tabel 3 merupakan daftar kumpulan studi terkait kebijakan fiskal sisi permintaan dan penawaran energi dan kumpulan studi berkaitan dengan kebijakan non-‐fiskal yang mendukung pengembangan sektor energi Indonesia.
19
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Tabel 3. Studi-‐studi Kebijakan Fiskal untuk Pengembangan Sektor Energi di Indonesia 17
No Judul Studi terkait kebijakan fiskal sisi permintaan energi 1 Kerangka kebijakan fiskal terpadu untuk meningkatkan efisiensi energi di Indonesia 2 Kajian mengenai pengembangan dan implementasi dari efisiensi energi dan program pelabelan di Indonesia yang memiliki biaya yang tepat manfaat 3 Kerjasama teknis untuk pengembangan kapasitas untuk ekonomi hijau di Indonesia: riset di dalam pengembangan kawasan perkotaan hijau. 4 Sistem rabat untuk peralatan rumah tangga yang efisien 5 Insentif efisiensi energi di Asia Tenggara – Pembelajaran dari negara Singapur, Malaysia, Thailand dan Filipina 6 Mekanisme desain pembiayaan lampu penerangan jalan umum hemat energi LED untuk pemerintah Daerah 7 Buku profil investasi efisiensi energi 8 Perangkat kebijakan fiskal untuk menanggulangi emisi kendaraan bermotor di Indonesia 9 Desain awal skema pendanaan bergulir untuk mendukung aksi efisiensi energi Studi terkait kebijakan fiskal sisi penawaran energi 10 Kerangka kebijakan fiskal terpadu untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia 11 Potensi sumber pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia 12 Pembelajaran dari tenaga surya off-‐grid di Suderbans
Tahun
Institusi
Lokasi
2014
LCS
Bab 1, 2, 4, 5
2014
UNDP
Bab 4
2015
JICA
2014 2011
UNDP DANIDA
Sub-‐Bab 4.3.2.1 s.d. 4.3.2.4
2013 2013 2014
GIZ PAKLIM UKAID LCS
2013
LCS
Sub-‐Bab 4.3.3.1 Bab 4 Sub-‐Bab 4.4.4.1 Sub-‐Bab 4.4
2014
LCS
Bab 1, 2, 5
2013
USAID
Bab 5
2014
Bab 5
13
Insentif di tingkat provinsi untuk instalasi panel tenaga surya
2014
Reemergin g World Palmetto
14
Laporan akhir studi untuk mempromosikan kebijakan pengembangan panas bumi oleh pengembang independen Penggunaan pendanaan swasta dalam mengakselerasi pengembangan panas bumi: studi kasus pembangkit listrik panas bumi Sarulla Pola pembiayaan: pembangkit listrik tenaga air berskala kecil
2011
JICA
2015
CPI
2013
BI
Opsi kebijakan fiskal untuk mempromosikan penggunaan bahan bakar gas di Indonesia Perangkat kebijakan fiskal untuk menanggulangi limbah bahan bakar minyak dan gas dari industri bahan bakar minyak dan gas berbasis karbon di Indonesia Studi dampak pengurangan subsidi BBM di wilayah DKI Jakarta Kajian mekanisme insentif fiskal pengurangan subsidi BBM di tingkat daerah Menggali potensi sistem kogenerasi di sektor industri
2015
LCS
2015
LCS
` 2014 2014
LCS USAID UNDP
15 16 17 18 19 20 21
17
Lokasi kontribusi studi bersangkutan di dalam laporan ini.
20
Sub-‐Bab 5.3.1 Sub-‐Bab 5.3.2 Sub-‐Bab 5.3.2 Sub-‐Bab 5.3.3 Sub-‐Bab 5.3.4
Sub-‐Bab 5.3.5 Sub-‐Bab 5.3.6 Dilanjutkan di halaman berikut
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
No Judul Studi – studi berkaitan dengan berbagai kebijakan non-‐fiskal 22 Feed-‐in-‐Tariff sebagai instrumen kebijakan untuk mendorong komersialisasi pembangkit listrik tenaga bayu di Indonesia 23 Kajian singkat untuk industri biofuel di Indonesia 24 Panduan investasi bioenergi 25 Analisis biaya dan keuntungan untuk pendanaan dalam investasi pengelolaan limbah untuk sumber energi melalui program pemberian kredit 26 Opsi kebijakan fiskal untuk pengunaan teknik penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia 27 Dokumen penilaian World Bank untuk proyek pengembangan tenaga panas bumi 28 Potensi energi untuk konektifitas grid kelistrikan dari biomas dan biogas di Indonesia 29 Opsi konversi limbah menjadi energi di Malang 30 Penguatan pertumbuhan ramah lingkungan di Indonesia : Pengalaman internasional dan pembelajaran dalam mendorong investasi energi terbarukan melalui bank sentral dan insentif pemerintah -‐ studi kasus dari enam negara 31 Studi awal dari biomassa kelapa sawit di Provinsi Riau 32 Studi fisibilitas mengenai perspektif untuk bagaimana mempromosikan investasi di bidang energi baru terbarukan: studi kasus bioenergi 33 Pembelajaran dari pengembangan pasar untuk teknologi tenaga surya fotovoltaik 34 Studi kelayakan ekonomi dan keuangan untuk produksi biometanol dari limbah sektor kehutanan
Tahun
Institusi
Lokasi
2013
UNDP
Lampiran 1
2013 2014 2014
LCS USAID LCS
2014
LCS
2011
World Bank GIZ
2014 2012 2013
Japan BI dan USAID
2013 2014
USAID USAID
2012
PKPPIM, LCS, IESR LCS
2015
Rekomendasi kebijakan dari berbagai studi di dalam tabel diatas dikaji untuk digunakan dalam penyusunan laporan opsi kebijakan fiskal sektor energi. Bab 4 dan Bab 5 memaparkan analisis singkat dari berbagai opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi dan penawaran energi.
21
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Kebijakan fiskal sisi permintaan energi merupakan instrumen strategis dalam memotivasi badan usaha dan konsumen untuk meningkatkan efisiensi konsumsi energi dan konservasi energi. Bab 4 bertujuan untuk memaparkan opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi dengan memaparkan dan mengulas rekomendasi kebijakan yang bersumber dari sekumpulan studi di dalam Tabel 3. Bab 4 dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan beberapa kebijakan yang menjadi landasan pemikiran dalam penyusunan kebijakan fiskal baru untuk mengelola sisi permintaan energi. Bagian kedua memaparkan berbagai kebijakan teknis yang mendukung penyusunan opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi. Bagian ketiga memaparkan opsi-‐opsi dalam menyusun strategi kebijakan fiskal sisi permintaan energi. Bagian terakhir memetakan pilihan prioritas yang diusulkan berdasarkan klasifikasi akun fiskal Kementerian Keuangan yaitu pendapatan negara dan hibah, belanja negara dan pembiayaan.
4.1. Kebijakan-‐kebijakan Strategis yang Menjadi Landasan Pemikiran dalam Penyusunan Strategi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Kebijakan-‐kebijakan yang menjadi landasan pemikiran dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi permintaan energi mendasari penyusunan strategi fiskal berkontribusi terhadap pencapaian sasaran Pemerintah Indonesia di bidang ekonomi makro dan lingkungan. Kebijakan-‐kebijakan yang dimaksud yaitu: (i) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-‐2019, (ii) Kebijakan Energi Nasional (KEN), (iii) Kebijakan Konservasi Energi, (iv) Rencana Aksi Nasional/Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-‐GRK), (v) Kebijakan Inventarisasi Gas Rumah Kaca, dan (vi) Kebijakan Pengembangan Energi Hijau. 4.1.1. Rencana Pem bangunan Jangka M enengah Nasional 2015 -‐2019 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-‐2019 (RPJMN) 2015-‐2019 tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015. RPJMN 2015-‐2019 menjelaskan bahwa salah satu tujuan Pemerintah Indonesia adalah untuk mencapai kedaulatan energi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Bagian 6.7.2 Buku 1 RPJMN 2015-‐2019, peningkatan efisiensi penggunaan atau konsumsi energi merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi (BAPPENAS, 2014a). Hal ini perlu dilakukan bersamaan dengan pembangunan di sisi penawaran energi, antara lain meningkatkan produksi sumberdaya energi lain terutama energi terbarukan. Perumusan rekomendasi kebijakan fiskal yang mempromosikan konservasi energi menjadi bagian dari fungsi Kementerian Keuangan. 4.1.2. Kebijakan Energi N asional (KEN) Kebijakan Energi Nasional (KEN) tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. KEN merupakan pedoman dalam pengelolaan energi di Indonesia guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan yang
23
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
berkelanjutan.18 Sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional mengenai hubungan antara kebijakan konservasi energi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) meskipun keduanya berhubungan erat dalam tema pemanasan global dan pengurangan emisi gas rumah kaca (Belke, et al. 2010). Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, kebijakan konservasi energi perlu diimbangi dengan kebijakan pemanfaatan energi baru terbarukan (ibid). 4.1.3. Kebijakan Konservasi Energi Kebijakan Konservasi Energi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah ini mengatur kerangka insentif dan disinsentif yang dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah kepada pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi di dalam negeri. 19 Pasal 19 – 21 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 merinci kriteria keberhasilan badan usaha yang dikategorikan sukses dalam melakukan implementasi konservasi energi yang kemudian dapat digunakan untuk mendeskripsikan industri pionir sebagaimana dimaksud di dalam PMK Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Audit konservasi energi bisa mengidentifikasi badan usaha yang sukses melakukan konservasi energi dimana identifikasi ini bisa mempermudah Kementerian Keuangan untuk menggunakan kebijakannya sebagai sebuah instrumen untuk mendukung kegiatan konservasi energi. 4.1.4. Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penurunan Emisi Gas Rum ah Kaca (RAN/RAD-‐GRK) Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-‐GRK) tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 dan dilengkapi dengan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-‐GRK). RAN-‐GRK bertujuan untuk mendukung target Pemerintah dalam mengurangi gas emisi rumah kaca nasional sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumber daya nasional dan 41% bila didukung oleh bantuan asing. Dalam aksi efisiensi energi, RAN-‐GRK Lampiran 1 memberikan panduan antara lain aksi mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan, dan pengurangan pengeluaran karbon pada kendaraan bermotor untuk berbagai sarana transportasi. Kementerian Keuangan diharapkan untuk berkontribusi dalam implementasi aksi efisiensi energi salah satunya dengan mendukung Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah terkait penerapan Congestion Charging dan Road Pricing yang dikombinasikan dengan pengembangan angkutan umum massal cepat terutama di kota Jakarta dan Surabaya. Salah satu instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mendukung aksi ini adalah pajak kendaraan bermotor. Pemerintah Daerah memiliki peranan besar dalam pelaksanaan aksi efisiensi energi ini karena kewenangan pajak kendaraan diserahkan kepada pemerintah daerah. 4.1.5. Inventarisasi Gas Rum ah Kaca Penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011. Bab 3 Pasal 3 ayat 3 dari Peraturan Presiden ini menjelaskan cakupan inventarisasi GRK dan landasan penghitungan kontribusi sektoral dalam pengurangan emisi dari kegiatan di sektor industri, transportasi, rumah tangga, komersial, pertanian, konstruksi dan
18
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) Pasal 1 ayat 11; Bab 3, bagian kedua mendefinisikan konservasi energi sebagai ‘upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan Sumber Daya Energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.’ Upaya ini mencakup dari sisi hulu sampai hilir, meliputi pengelolaan Sumber Daya Energi dan seluruh tahapan eksplorasi, produksi, transportasi, distribusi, dan pemanfaatan Energi dan Sumber Energi (KEN Pasal 17 ayat 1). 19 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi membagi tanggung jawab Pemerintah Pusat (Pasal 4) dan pemerintah Daerah (Pasal 5 dan 6) dan tanggung jawab pengusaha (Pasal 7) dan masyarakat (Pasal 8). Peraturan Pemerintah ini lebih lanjut membagi pelaksanaan konservasi energi ke dalam empat jenis: konservasi dalam penyediaan energi, konservasi dalam pengusahaan energi, konservasi dalam pemanfaatan energi dan konservasi sumber daya energi.
24
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
pertambangan. Inventarisasi GRK ini membuka peluang bagi Kementerian Keuangan untuk menghitung rasio besaran belanja terhadap kontribusi dari setiap sektor dalam bauran energi dalam pengurangan emisi karbon nasional. 4.1.6. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau) Kebijakan Pengembangan Energi Hijau tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004. Peraturan Menteri ESDM ini menjabarkan antara lain hambatan serta tantangan dalam melakukan konservasi energi. Beberapa tantangan dalam melakukan konservasi energi yang dijabarkan di dalam Peraturan Menteri ESDM ini antara lain tingginya biaya investasi konservasi energi, keterbatasan pangsa pasar dan sulitnya penerapan budaya hemat energi. Hambatan-‐ hambatan ini merupakan hal yang bisa ditanggulangi melalui insentif-‐isentif fiskal. Di sisi lain, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur, serta penguatan koordinasi antara lembaga pemerintah dalam penerapan berbagai peraturan merupakan pra-‐syarat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan fiskal. Sebagai contoh, rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis para personel di sektor perbankan tentang isu-‐isu energi akan berpengaruh terhadap reliabilitas analisis risiko investasi yang dapat mengakibatkan rendahnya investasi perbankan di sektor energi (BI, 2013).
4.2. Kebijakan-‐kebijakan Teknis Terkait dengan Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi Kebijakan fiskal dapat mendukung terlaksananya kebijakan-‐kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kementerian-‐kementerian teknis dalam mengatasi berbagai tantangan di sisi permintaan energi. Beberapa kebijakan teknis yang dapat didukung dan diintegrasikan ke dalam strategi kebijakan fiskal sisi permintaan energi antara lain: Undang-‐undang Industri Hijau, Kebijakan Pelabelan dan Rating, Kebijakan Gedung Hijau, dan Kebijakan Manajemen Energi termasuk audit energi serta kebijakan terkait penggunaan kendaraan bermotor. Di bawah ini merupakan penjelasan singkat mengenai hubungan timbal balik antara berbagai kebijakan fiskal dan beberapa kebijakan teknis yang dapat bermanfaat dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi permintaan energi. 4.2.1. Undang – undang Industri Hijau Undang-‐undang Nomor 3 Tahun 2014 menetapkan definisi industri hijau sebagai industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Jumlah industri hijau di Indonesia masih terbatas dimana pertumbuhannya dapat didorong oleh insentif fiskal, misalnya pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Badan Usaha Kena Pajak sebagai produsen, distributor maupun pengembang energi baru terbarukan. Kementerian Keuangan dapat merujuk pada definisi dan standar industri hijau dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi permintaan energi untuk menghitung insentif perpajakan. 4.2.2. Kebijakan Pelabelan dan Rating Kebijakan pelabelan dan rating tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 Bab IV mengatur kegiatan konservasi energi melalui standar dan label. Keputusan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2014 mengatur tentang Standar dan Label untuk Lampu Swabalast dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2015 mengatur tentang Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) AC. Bersamaan dengan disusunnya laporan ini, standar dan label untuk piranti lain seperti lemari es, penanak nasi, kipas angin dan lampu Light-‐emitting Diode (LED) dalam proses pembahasan dan sedang dalam proses final menjadi kebijakan Peraturan Menteri ESDM.
25
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
4.2.3. Kebijakan Gedung Hijau Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2015 mengatur tentang Bangunan Gedung Hijau. Kebijakan ini mencakup antara lain tentang persyaratan dan kriteria bangunan gedung hijau yang mencakup tahap pemrograman, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, dan pembongkaran. Kebijakan Gedung Hijau ditetapkan bersamaan dengan penyusunan laporan ini. Kebijakan Gedung Hijau bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan jumlah gedung hijau di Indonesia. Kebijakan ini dapat bermanfaat dalam penyusunan insentif perpajakan berupa fasilitas pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk gedung hijau. Pemerintah Daerah dapat menggunakan persyaratan dan kriteria bangunan gedung hijau di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2015 sebagai prasyarat pengajuan pemberian fasilitas PBB. 4.2.4. Kebijakan M anajemen Energi termasuk Audit E nergi Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2012 mengatur tentang manajemen energi termasuk audit energi yang diusulkan untuk dilakukan sekurang-‐kurangnya sekali dalam tiga tahun (Pasal 8). Kementerian ESDM telah melakukan fungsi audit, walaupun kapasitas auditor energi di dalam Kementerian ESDM untuk melakukan audit teknis masih terbatas. Dari 2003-‐2014, Kementerian ESDM sudah melakukan 1000 energi audit untuk gedung dan industri (JICA, 2015). Fungsi audit bermanfaat dalam penyusunan strategi fiskal terutama dalam uji kelayakan badan usaha atau perorangan untuk mengajukan insentif fiskal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan seperti yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi badan usaha. 4.2.5. Kebijakan terkait dengan Penggunaan Kendaraan B ermotor Kebijakan kendaraan bermotor ditetapkan diantaranya melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 2012 tentang Amandemen untuk Regulasi Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2012 untuk Kendaraan Bermotor Tipe L3.20 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013. Saat ini pajak kendaraan seperti contoh di atas ditetapkan berdasarkan kapasitas silinder (cc) dari kendaraan, dimana kendaraan dengan kapasitas silinder (cc) yang besar akan memiliki pajak yang lebih besar. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan mewah oleh Pemerintah Pusat dan pengembangan Pajak Kendaraan oleh Pemerintah Daerah memiliki potensi sebagai instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam mendukung pelaksanaan RAN/RAD-‐GRK. Kedua kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan bermotor dapat dirancang untuk memotivasi pengendara kendaraan bermotor agar membeli dan menggunakan kendaraan hemat energi. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dapat melakukan survey konsumen terlebih dahulu untuk menentukan tingkat pajak yang efektif dalam memformulasikan kebijakan PPnBM dan pajak kendaraan. Pengurangan laju jumlah kendaraan yang tidak efisien dapat mengurangi antara lain pemborosan penggunaan bahan bakar, polusi udara dan emisi gas rumah kaca.
4.3.
Opsi Kebijakan Sisi Permintaan Energi
Opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi disusun berdasarkan sekumpulan rekomendasi kebijakan fiskal yang selaras dengan tujuan dan target Pemerintah Indonesia. Sekumpulan rekomendasi kebijakan ini berasal dari kajian-‐kajian kebijakan fiskal di Tabel 3 dan didukung oleh kebijakan-‐kebijakan teknis terkait yang dibahas di Sub-‐Bab 4.2. Opsi kebijakan fiskal sisi
20
3
Kendaraan bermotor tipe L3 adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya.
26
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
permintaan energi terbagi ke dalam empat kelompok sektor yaitu sektor rumah tangga, sektor komersial dan industri, sektor publik (non-‐komersial), dan sektor transportasi (Gambar 8). Berikut ini adalah penjabaran dari opsi kebijakan fiskal sisi permintaan energi masing-‐masing sektor. Gambar 8. Kerangka Opsi Kebijakan untuk Sisi Permintaan Energi 4.3.1.1.%Opsi%Kebijakan%untuk%Promosi%Penggunaan%AC%Split%dan% Kulkas%Hemat%Energi%oleh%Rumah%Tangga%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (JICA,'2015)
4.3.1.%Sektor%Rumah% Tangga
4.3.1.2.%Opsi%Mekanisme%Rabat%untuk%Alat%Aplikasi%Rumah%Tangga%%%%%% (UNDP'BRESL,'2014) 4.3.2.1.%Opsi%Kebijakan%untuk%Promosi%Penggunaan%AC%Split%di% Gedung%Perkantoran%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (JICA,'2015)
Opsi%Kebijakan%Fiskal% Sisi%Permintaan%Energi
4.3.2.2.%Opsi%Kebijakan%untuk%Promosi%Penggunaan%AC%Medium% (Package'dan%Chiller)%di%Gedung%Perkantoran%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (JICA,'2015)
4.3.2.%Sektor%Komersial%%%%% dan%Industri
4.3.2.3.%Opsi%Kebijakan%untuk%Promosi%Pemasangan%Kaca%insulasi% Penangkal%Panas%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (JICA,'2015) 4.3.2.4.%Opsi%Kebijakan%untuk%Promosi%Pembangunan%Gedung%Hijau%%%% (JICA,'2015)
4.3.3.%Sektor%Publik%%%%%%%%%%%% (nonJkomersial)
4.3.3.1.%Pilihan%Skema%Pendanaan%Proyek%PengganLan%Lampu% Penerangan%Jalan%Umum%dengan%Teknologi%Light/Emi2ng'Diode%%%%%%%%% (Harisman'et'al.,'2013)
4.3.4.%Sektor% Transportasi
4.3.4.1.%Penyesuaian%Kebijakan%Pajak%Berkaitan%dengan% Penggunanaan%Kendaraan%Bermotor%Berdasarkan%Tingkat%Emisinya%%% (Martawardaya'dan'SekarHni,'2014)
Catatan: Sumber studi yang memberi usulan rekomendasi kebijakan di dalam tanda kurung
4.3.1. Sektor Rumah Tangga Kebijakan fiskal sisi permintaan energi di sektor rumah tangga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi dan konservasi energi oleh rumah tangga dan perorangan. Kebijakan yang dapat dikembangkan adalah kebijakan fiskal untuk barang aplikasi rumah tangga yang hemat energi dan sudah terdaftar dalam sistem rating energi yaitu, AC split dan kulkas. Terdapat dua pilihan kebijakan fiskal sisi permintaan energi untuk mempromosikan penggunaan barang hemat energi. Pertama adalah fasilitas pengurangan PPN untuk AC split dan kulkas rumah tangga yang hemat energi. Pilihan kebijakan fiskal kedua adalah subsidi langsung atau rabat. Sub-‐Bab ini juga memaparkan opsi mekanisme operasionalisasi subsidi langsung atau rabat bila Pemerintah Indonesia memilih untuk mengembangkannya dalam mempromosikan penggunaan alat aplikasi rumah tangga yang hemat energi. 4.3.1.1. Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC Split dan Kulkas Hemat Energi oleh Rum ah Tangga Studi JICA (2015) menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan barang hemat energi khususnya AC split dengan inverter dan kulkas (berating empat) oleh rumah tangga di Indonesia. 21 Sampai dengan akhir tahun 2014, pangsa pasar AC split dengan inverter di Indonesia hanya sebesar 5%, paling rendah diantara negara-‐negara dengan perkembangan pesat di Asia Tenggara. Pertumbuhan penjualan kulkas didominasi oleh penjualan kulkas dengan variasi rating 2 sampai
21
Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) AC telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2015. Standar rating empat Kementerian ESDM untuk AC split bila Energy Efficiency Ratio ≥ 10.41 (JICA, 2015).
27
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
dengan rating 4. Untuk meningkatkan pangsa pasar AC split dengan inverter dan kulkas hemat energi di Indonesia, studi JICA (2015) mengusulkan dua pilihan strategi kebijakan fiskal yaitu: (1) intervensi jangka pendek berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikombinasikan dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan (2) intervensi jangka menengah berupa subsidi langsung (lihat Tabel 4). Kedua kebijakan bertujuan supaya 30% dari AC terpasang dan semua kulkas yang dijual di tahun 2025 adalah barang hemat energi. Peralihan penggunaan kulkas berating 4 dan pertumbuhan pangsa pasar AC split sebesar 5% per tahun diperkirakan berkontribusi pada penurunan rata-‐rata konsumsi energi sebesar 55.000 MWh dan 27.600 MWh per tahun.22 Tabel 4. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Peralatan Rumah Tangga Hemat Energi Opsi kebijakan
Pengurangan PPN
Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah skema mengurangi PPN untuk Penjelasan singkat opsi kebijakan barang AC split dengan inverter dan kulkas berating 4.
Subsidi langsung (rabat) Subsidi langsung atau rabat adalah skema pengembalian sejumlah nilai pembelian dalam bentuk uang atau barang kepada pembeli barang.
AC split
¤
¡ (900 Volt Amper (VA) kategori rumah tangga)
Kulkas
¤
¡ (450VA/900VA kategori rumah tangga)
Prioritas
Alasan pendukung
Risiko untuk dipertimbangkan
Relatif mudah untuk diimplementasikan dan memiliki dampak yang besar terhadap perilaku pembelian konsumen.
Memiliki dampak yang besar terhadap perilaku pembelian konsumen untuk segmen pasar rumah tangga 900VA ke bawah.
Dapat dilihat sebagai kebijakan yang memiliki dampak langsung terhadap pendapatan negara.
Memiliki beban fiskal yang tinggi, beban biaya dan risiko administrasi pemerintah yang besar seperti pemalsuan kupon.
Keuntungan neto Pemerintah Pengurangan PPN 10%: Rp. 262,4 miliar Indonesia dan rumah tangga (RT) (Pemerintah) dan Rp. 214,5 miliar (RT). rata-‐rata / tahun * Pengalaman negara lain
Malaysia tidak mengenakan pajak untuk barang elektronik yang hemat energi yang disertifikasi oleh komisi energi.
Subsidi rabat 10% dari harga barang: Rp. 243,7 miliar (Pemerintah) dan Rp. 190,4 miliar (RT). Program eco point Jepang menyediakan penukaran kupon rabat pembelian barang dan jasa hemat energi.
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan; * Total dari AC (split) dan kulkas di sektor rumah tangga; Asumsi dicantumkan di dalam laporan JICA (2015).Catatan: Indonesia sudah menerapkan pengurangan bea masuk untuk AC split dengan inverter dan kulkas hemat energi tetapi permintaan pasar masih rendah karena harga AC split lebih mahal Rp. 1 juta walaupun setelah pengurangan bea masuk (JICA, 2015). Tidak terdapat banyak informasi tentang penggunaan dan efektifitas pengurangan bea masuk untuk AC split dengan inverter dan kulkas hemat energi.
Analisis pilihan kebijakan Pengurangan PPN memberikan keuntungan neto yang lebih tinggi dengan besaran beban fiskal risiko administratif dan biaya transaksi yang lebih rendah. Kedua kebijakan tetap dapat dikembangkan sesuai dengan ketersediaan waktu dan sumber daya. Kebijakan fiskal PPN dapat digunakan dalam jangka pendek dan bila Pemerintah Indonesia ingin mengurangi beban fiskal belanja negara. Kebijakan subsidi langsung dapat dikembangkan pertama-‐tama dengan mempersiapkan landasan hukum dan perencanaan bisnis yang matang guna mengurangi risiko administratif. Piranti rumah tangga hemat energi lain yang sudah terdaftar dalam sistem rating Kementerian ESDM juga dapat dipromosikan dengan kedua jenis kebijakan fiskal ini.
22
Informasi lengkap mengenai perhitungan dan asumsi tercantum di dalam studi JICA (2015).
28
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
4.3.1.2.
Opsi M ekanisme Rabat untuk Alat Aplikasi Rum ah Tangga
Studi UNDP BRSEL (2014) menunjukkan bahwa mekanisme rabat untuk alat aplikasi rumah tangga hemat energi seperti AC dan kulkas yang langsung ditujukan kepada konsumen memiliki dampak yang besar untuk akselarasi efisiensi energi. Bila Pemerintah Indonesia hendak mengembangkan subsidi langsung untuk memotivasi pemilihan barang rumah tangga yang hemat energi, UNDP BRSEL (2014) menawarkan dua pilihan mekanisme operasional untuk subsidi langsung: (1) mekanisme berdasarkan utilitas dan (2) mekanisme berdasarkan unit manajemen proyek (Tabel 5). Tabel 5. Opsi Mekanisme Operasional untuk Kebijakan Fiskal Subsidi Langsung atau Rabat Opsi mekanisme
Mekanisme berdasarkan utilitas
Penjelasan singkat opsi mekanisme
Sistem utilitas perusahaan dibiayai oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE). DJEBTKE akan menyalurkan anggaran rabat kepada PT PLN (Persero) untuk dikelola. Konsumen mendaftarkan barang yang ingin dibeli di website yang dikelola PT PLN (Persero) atau dari kios yang ditunjuk untuk mendapatkan kupon rabat. Konsumen mengunakan kupon rabat ketika membeli barang elektronik yang dibeli. Penjual dapat menukarkan kupon rabat ke PT PLN (Persero) untuk direimburse.
Sistem unit manajemen proyek identik dengan mekanisme berdasarkan utilitas. Hanya saja agen pelaksana dibentuk dan diawasi oleh DJEBTKE sebagai unit manajemen proyek yang menggunakan fasilitas website dari PT PLN (Persero). Setelah mendapatkan kupon, konsumen dapat langsung membeli barang. Kupon dapat ditukarkan langsung (reimburse) oleh penjual ke unit manajemen proyek.
PT PLN (Persero)
Direktorat Konservasi Energi di Kementerian ESDM
Agen pelaksana
Risiko untuk PT PLN (Persero) belum menyatakan kesediaannya untuk dipertimbangkan menjadi agen pelaksana.
Mekanisme berdasarkan unit manajemen proyek
Perlunya perencanaan yang matang disertai dengan peningkatan kapasitas yang signifikan.
Analisis pilihan mekanisme Kedua pilihan mekanisme kebijakan tidak memiliki perbedaan yang siginifikan selain dari usulan institusi agen pelaksana. Studi UNDP BRSEL (2014) mendukung hasil studi JICA (2015); terdapat trade-‐off untuk mekanisme subsidi langsung. Mekanisme subsidi langsung berpeluang besar memotivasi konsumen, tetapi memiliki biaya transaksi, beban fiskal, dan risiko administratif yang besar pula. Untuk mengembangkan skema rabat di Indonesia, DJEBTKE dapat membuat proyek percontohan dan strategi untuk meminimalisir risiko administrasi dan biaya transaksi. Pembelajaran dari kasus percontohan serta estimasi besaran anggaran yang dibutuhkan dapat dijadikan landasan pengajuan kebijakan bagi Kementerian ESDM untuk ditanggapi oleh Kementerian Keuangan.
4.3.2. Sektor Komersial dan Industri Rekomendasi kebijakan fiskal sisi permintaan energi di sektor komersial dan industri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi dan konservasi energi oleh pelaku industri seperti kontraktor dan manajemen gedung. Kebijakan yang bisa dikembangkan di sektor ini adalah kebijakan untuk memotivasi penggunaan komoditas industri hemat energi yang sudah terdaftar di dalam sistem rating energi atau terstandardisasi, antara lain yaitu AC medium (package dan chiller), kaca insulasi penangkal panas, pembangkit listrik tenaga surya dan gedung hijau. 23 Terdapat beberapa pilihan strategi kebijakan sisi permintaan energi seperti pengurangan PPN, PPh, PBB, dan penyediaan pinjaman lunak. Sub-‐Bab ini membahas pilihan kebijakan terutama
23
AC medium yang terdiri dari AC package dan high efficient chiller merupakan mesin pendingin yang digunakan di gedung komersial yang terdiri dari beberapa split dan menggunakan sistem Variable Refrigerant Volume (VRV). AC medium hemat energi yang dimaksud di dalam laporan ini mengikuti klasifikasi barang di dalam laporan JICA (2015), yaitu AC medium yang 10% atau lebih dari ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) 6390:2011 yang merupakan standar minimum efisiensi energi untuk AC berkapasitas besar.
29
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
kebijakan fiskal yang dapat digunakan untuk mempromosikan komoditas tertentu yang mendukung penurunan konsumsi energi dan efisiensi energi di sektor komersial dan industri.24 4.3.2.1.
Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC Split di Gedung Perkantoran
Promosi penggunaan AC split di gedung perkantoran berpotensi untuk berkontribusi terhadap peningkatan pangsa pasar AC split dan penurunan konsumsi energi di Indonesia sebagaimana telah disinggung di dalam Sub-‐Bab 4.3.1.1. Untuk mempromosikan penggunaan AC split di gedung perkantoran, studi JICA (2015) mengusulkan tiga pilihan kebijakan yaitu: (1) fasilitas pengurangan PPN, (2) promosi penyewaan dan (3) subsidi langsung (lihat Tabel 6). Studi JICA (2015) juga membedakan usulan kebijakan untuk badan usaha terdaftar dan badan usaha tidak terdaftar termasuk usaha kecil menengah (UKM). Tabel 6. Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC (split) di Gedung Perkantoran Opsi kebijakan
Penjelasan singkat opsi kebijakan
Pengurangan PPN
Promosi penyewaan
Pengurangan Pajak Pertambahan nilai (PPN) adalah pengurangan PPN yang dibebankan kepada badan usaha untuk pembelian AC (split) dengan inverter.
Promosi penyewaan adalah program promosi untuk memotivasi badan usaha untuk menyewa barang hemat energi seperti AC (split) dengan inverter.
Subsidi langsung (rabat) untuk penyewaan alat Subsidi langsung atau rabat adalah subsidi langsung kepada badan usaha yang menyewa peralatan hemat energi seperti AC (split) dengan inverter.
Badan usaha kena pajak
¤
¤
X
Badan usaha tidak kena pajak
¤
X
¤
Alasan pendukung
Intervensi pemerintah dapat memperkecil perbedaan harga antara kedua jenis barang. Perbedaan harga pasar rata-‐rata untuk AC split yang efisien dan yang tidak adalah Rp. 1 juta.
Risiko untuk dipertimbangkan
Harga AC split dengan inverter setelah pengurangan PPN akan tetap lebih tinggi; kebijakan perlu disertai dengan peningkatan kesadaran hemat energi.
Keuntungan neto Pengurangan PPN 10%: Rp. 625 Pemerintah Indonesia dan miliar (Pemerintah) dan Rp. 214,5 industri rata-‐rata / tahun* miliar (industri).
Pengalaman negara lain
Vietnam tidak mengenakan pajak untuk barang hemat energi yang tidak diproduksi di Vietnam.
Di Indonesia, penyewaan sudah menjadi skema insentif bagi penyewa tetapi tidak untuk pemberi sewa karena pembayaran beban penyewaan untuk barang yang memiliki manfaat lebih dari satu tahun dihitung sebagai beban yang dapat dikurangkan atau deductible expense ketika menghitung pajak penghasilan 25 perusahaan. Perusahaan peminjam mungkin kurang tertarik untuk menambahkan barang-‐barang hemat energi sebagai barang yang dipinjamkan.
Dampak subsidi langsung untuk penyewaan terbatas pada badan usaha yang menyewa AC (split) untuk gedung.
Informasi tidak tersedia.
Subsidi rabat 10%: Rp. 70,3 miliar (Pemerintah) dan Rp. 190,4 miliar (industri).
Thailand mempromosikan penyewaan melalui ESCO fund (biaya pemasangan dan bunga tetap 4-‐6%) maksimum peminjaman 5 tahun.
Jepang memberikan subsidi penyewaan sebesar 3-‐5% untuk alat-‐alat hemat energi melalui program eco-‐lease.
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan; * Asumsi di dalam laporan JICA (2015).
Analisis pilihan kebijakan Pengurangan PPN memberikan keuntungan bersih yang paling besar dibandingkan dengan kebijakan promosi penyewaan dan subsidi langsung. Kementerian Keuangan dapat menggunakan
24
Produk hemat energi lain yang dapat dipertimbangkan adalah inverter (VSD) dan economizer yang dipasang di boiler. Penyewa dapat mengkategorikan beban penyewaan AC sebagai deductible expense. Sebagai contoh, bila Perusahaan A berpenghasilan Rp. 150 juta di tahun 2010 dan memiliki biaya operasional Rp. 50 juta dan sewa (AC split) sebesar Rp. 25 juta maka penghasilan kena pajak Perusahaan A adalah sebesar Rp. 75 juta (Rp. 150 juta – (Rp. 50 juta + Rp. 25 juta)). 25
30
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
satu intervensi, yaitu pengurangan PPN, yang berlaku di dua sektor sekaligus karena pengurangan PPN juga merupakan rekomendasi prioritas untuk AC split di sektor rumah tangga (lihat Tabel 4). Untuk mendukung promosi penyewaan, kerjasama Direktorat Jenderal EBTKE dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran penting dalam memberikan arahan bagi Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) agar perusahaan penyewaan menyertakan barang hemat energi ke dalam daftar barang yang disewakan. Hal ini memerlukan biaya yang tinggi dan peningkatan kapasitas institusi keuangan. Untuk hal ini, pendanaan publik internasional perubahan iklim seperti Clean Technology Fund dapat berperan serta dan mendukung pemerintah Indonesia dalam pengembangan kapasitas sektor industri dan komersial. Subsidi langsung dapat dilakukan bila Pemerintah sudah memiliki mekanisme seperti yang diuraikan di dalam Tabel 5.
31
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
4.3.2.2.
Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC M edium ( package dan chiller ) Hemat Energi di Gedung Perkantoran
Studi JICA (2015) mengestimasikan bahwa peralihan pangsa pasar AC sebesar 5% per tahun ke AC medium yang lebih efisien akan berkontribusi terhadap estimasi penurunan konsumsi energi sebesar 15.000 MWh. Untuk mempromosikan penggunaan AC medium di gedung perkantoran, studi JICA (2015) mengusulkan beberapa pilihan kebijakan, yaitu: (1) pengurangan PPN, (2) promosi penyewaan, (3) pengurangan bea masuk, (4) pinjaman lunak, dan (5) penjaminan pinjaman. Pilihan kebijakan dibedakan berdasarkan badan usaha dan strategi promosi barang, serta penggantian AC lama dan instalasi AC baru (Tabel 7). Tabel 7. Opsi Kebijakan untuk Promosi Penggunaan AC medium di Gedung Perkantoran Opsi kebijakan
Pengurangan PPN
Pengurangan Pajak Pertambahan nilai (PPN) adalah pengurangan PPN Penjelasan singkat opsi yang dibebankan kebijakan kepada badan usaha untuk pembelian AC medium. Badan usaha kena pajak Badan usaha tidak kena pajak
Promosi penyewaan
Pengurangan bea masuk
Pinjaman lunak
Penjaminan
Promosi penyewaan adalah skema promosi untuk mendorong agar lebih banyak badan usaha menyewakan AC medium kepada pengelola gedung.
Skema untuk mengurangi bea masuk impor bagi barang hemat energi yang masuk melalui darat, laut, dan udara.
Pinjaman lunak adalah skema pinjaman dengan bunga rendah untuk diinvestasikan dalam bentuk barang yang hemat energi termasuk AC medium.
Penjaminan adalah skema untuk meringankan beban agunan pinjaman untuk membeli barang hemat energi.
Penggantian AC
¡
¤
¡
¤
¡
Instalasi baru
¤
¤
¤
¤
¡
Penggantian AC
¡
X
¡
¤
¤
Instalasi baru
¤
X
¤
¤
¤
Alasan pendukung
Skema menarik bagi pengembang gedung baru untuk memilih AC medium hemat energi.
Di Indonesia, skema ini didukung oleh kerangka kebijakan yang sudah ada (lihat Tabel 6).
Dapat menjadi insentif yang efektif bila AC medium tidak diproduksi di dalam negeri.
Insentif ini menarik untuk perusahaan dan memiliki beban fiskal rendah bila institusi keuangan dan perbankan ikut andil.
Cocok untuk badan usaha berkapasitas keuangan rendah.
Risiko untuk dipertimbangkan
Insentif ini mungkin tidak memotivasi pengelola gedung lama untuk mengganti AC dengan yang hemat energi.
Badan usaha mungkin kurang tertarik untuk menyewakan barang-‐barang hemat energi.
Insentif ini mungkin tidak memotivasi pengelola gedung lama untuk mengganti AC dengan AC hemat energi.
Barang-‐barang hemat energi perlu didaftarkan secara spesifik. Perbankan biasanya membutuhkan penjaminan pinjaman.
Perlu diimplementasi bersamaan dengan pinjaman lunak.
Informasi tidak tersedia.
10% biaya= Rp. 37,7 Informasi tidak miliar (Pemerintah), tersedia. 481,2 miliar (industri)
Keuntungan neto Pemerintah Indonesia dan industri rata-‐rata / tahun *
Vietnam tidak mengenakan pajak untuk barang hemat energi yang tidak tidak Pengalaman negara lain diproduksi di Vietnam.
Thailand memiliki ESCO fund untuk barang-‐barang yang hemat energi (biaya pemasangan dan bunga tetap 4-‐ 6%) dengan maksimum peminjaman 5 tahun.
Thailand menerapkan pengurangan bea masuk untuk periode 2014-‐ 2017.
Subsidi bunga 2% = Rp. Informasi tidak 39,2 miliar tersedia. (Pemerintah), Rp. 394,4 miliar (industri) Malaysia menerapkan pinjaman dengan 2% suku bunga dengan subsidi sampai 500 miliar Ringgit Malaysia untuk maksimal 15 tahun.
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan * Asumsi di dalam laporan JICA (2015).
32
Malaysia memiliki alokasi penjaminan pinjaman pemerintah sebesar 500 juta Ringgit Malaysia untuk maksimal 15 tahun.
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Analisis pilihan kebijakan Kebijakan pengurangan PPN dapat diberlakukan secara serempak untuk mempromosikan instalansi AC baru baik jenis split maupun medium. Pengurangan bea masuk tidak diperlukan bila sebagian besar AC medium dapat diproduksi di Indonesia. Strategi promosi penyewaan seperti yang diterapkan untuk AC split dapat dilakukan untuk semua jenis barang hemat energi. Pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman memerlukan intervensi pemerintah melalui kebijakan fasilitas pendanaan untuk konservasi energi. Fasilitas ini dibentuk untuk disalurkan melalui Bank komersial dan institusi-‐institusi penjaminan pinjaman dan kredit seperti Jamkrindo. Rekomendasi rancangan fasilitas pendanaan untuk konservasi energi dibahas lebih lanjut di Ilustrasi 2 Sub-‐Bab 4.4. 4.3.2.3.
Opsi Kebijakan untuk Promosi Pemasangan Kaca Insulasi Penangkal Panas
Studi JICA (2015) menunjukkan masih minimnya penggunaan kaca insulasi penangkal panas untuk gedung di Indonesia walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen utama kaca jenis ini. Penggunaan kaca insulasi penangkal panas akan mengurangi suhu ruangan di dalam gedung sehingga diharapkan akan menurunkan penggunaan energi listrik untuk mendinginkan ruangan di dalam gedung. Kaca insulasi penangkal panas yang disarankan untuk dipromosikan adalah kaca insulasi yang memiliki Overall Thermal Transfer Value (OTTV) ≤ 45W/m2, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 6389-‐2011 (JICA, 2015). Pertumbuhan sebesar 5% dalam pemasangan kaca insulasi penangkal panas untuk konstruksi gedung baru di lahan yg diasumsikan seluas 20 juta m2 , diperkirakan dapat berkontribusi terhadap penurunan penggunaan energi sebesar 6.000 MWh per tahun. Melalui penerapan kebijakan pemerintah, diharapkan bahwa 50% dari volume kaca yang dijual di tahun 2025 adalah kaca dengan teknologi insulasi penangkal panas. Berdasarkan studi JICA (2015), kebijakan pengurangan PPN merupakan kebijakan yang paling efektif dalam mempromosikan penggunaan kaca insulasi penangkal panas di sektor komersial dan industri (Tabel 8). Tabel 8. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Promosi Pemasangan Kaca Insulasi pada Gedung Opsi kebijakan Penjelasan singkat opsi kebijakan Prioritas Alasan pendukung
Pengurangan PPN Pengurangan PPN adalah pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dibebankan pada pemasangan kaca insulasi penangkal panas. ¤
Pengurangan bea masuk Pengurangan bea masuk adalah skema untuk mengurangi beban bea masuk untuk kaca insulasi yang diimpor.
Memiliki potensi untuk menjadi insentif yang kuat bagi pengelola gedung untuk menggunakan kaca insulasi penangkal panas.
Indonesia merupakan produsen utama sehingga barang tersedia di dalam negeri. Kesulitan untuk petugas bea cukai di lapangan untuk membedakan kualitas kaca. -‐
X
Kurang efektif bila tidak disertai dengan sosialisasi dan peningkatan kesadaran pengembang gedung akan potensi Risiko untuk dipertimbangkan penghematan listrik akibat berkurangnya energi yang dibutuhkan untuk pendingin ruangan dalam jangka panjang. Pengurangan PPN sebesar 10% selama 5 Informasi tidak tersedia. Keuntungan neto Pemerintah tahun Indonesia rata-‐rata / tahun* = Rp. 278 juta Malaysia tidak mengenakan pajak untuk Malaysia menghapuskan bea cukai untuk barang elektronik yang hemat energi yang peralatan hemat energi termasuk kaca disertifikasi oleh komisi energi termasuk kaca insulasi; Vietnam mengurangi bea untuk Pengalaman negara lain insulasi. Vietnam tidak mengenakan pajak barang yang hemat energi yang tidak ada di untuk barang yang hemat energi yang tidak pasar domestik dan tidak diproduksi di dalam ada di pasar domestik dan tidak diproduksi di negeri termasuk kaca insulasi. dalam negeri termasuk kaca insulasi. Legenda: ¤ Prioritas pertama; X Tidak disarankan; * Asumsi di dalam laporan JICA (2015).
33
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Analisis pilihan kebijakan Pengurangan PPN berpotensi untuk menjadi insentif yang menarik bagi pengelola gedung untuk menggunakan kaca insulasi penangkal panas. Pengurangan bea masuk tidak direkomendasikan karena barang ini banyak diproduksi di dalam negeri. Penerapan kebijakan pengurangan PPN akan lebih efektif diterapkan pada proses pembelian kaca dan hanya pada tahap pemasangan kaca oleh pengelola gedung. Kebijakan ini akan kurang efektif bila juga diterapkan pada rantai produksi atau pembelian dari distributor oleh pengecer. Hal ini disebabkan karena pengurangan PPN ditujukan secara khusus kepada pengembang gedung agar mereka termotivasi untuk memasang kaca jenis. Untuk mencapai hasil yang optimal, kebijakan ini perlu dibarengi dengan promosi peningkatan kesadaran pengembang gedung akan potensi penghematan tagihan listrik dalam jangka panjang dikarenakan lebih rendahnya penggunaan energi untuk pendingin ruangan.
34
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
4.3.2.4.
Opsi Kebijakan untuk Promosi Pembangunan Gedung Hijau
Hasil studi JICA (2015) menunjukkan bahwa jumlah gedung hijau di Indonesia masih terbatas meskipun sudah terdapat kebijakan mengenai kriteria gedung hijau yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02 Tahun 2015 mengenai gedung hijau (lihat 4.2.3). Biaya instalasi sarana dan prasarana gedung hijau yang relatif lebih tinggi memiliki kecenderungan dalam mengurangi motivasi pembangunan gedung hijau walaupun terdapat potensi pengurangan penggunaan energi dalam jangka panjang. Insentif dari pemerintah diharapkan dapat memotivasi pembangunan gedung hijau supaya 30% dari gedung yang didirikan setelah tahun 2015 merupakan gedung hijau. Studi JICA (2015) mengusulkan beberapa alternatif kebijakan untuk mempromosikan pembangunan gedung hijau antara lain pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemerintah dan swasta dapat berpartisipasi dalam mempromosikan pembangunan gedung hijau dengan memberikan pinjaman lunak dan/atau penjaminan pinjaman. Tabel 9. Opsi Kebijakan untuk Mempromosikan Pembangunan Gedung Hijau Opsi kebijakan
Penjelasan singkat opsi kebijakan
Prioritas
Gedung lama Gedung baru
Pengurangan PBB Pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah skema pengurangan beban PBB untuk bangunan yang bersertifikasi gedung hijau.
Pinjaman lunak
Penjaminan
Pinjaman lunak adalah skema Penjaminan adalah skema pinjaman dengan bunga rendah meringankan beban agunan untuk pembangunan gedung hijau. untuk pinjaman untuk membangun gedung hijau.
¤ ¤
¡
¤
¤
¡
Alasan pendukung
Skema ini dapat mendukung regulasi gedung hijau. Meningkatkan pendapatan pemerintah dan menguntungkan pengelola gedung.
Menarik untuk perusahaan Menarik untuk perusahaan pengelola gedung terutama gedung pengelola gedung yang memiliki baru. Beban fiskal pemerintah kapasitas keuangan terbatas. rendah bila pinjaman dapat difasilitasi oleh lembaga keuangan nasional dan internasional. Membutuhkan sertifikasi gedung hijau sebagai bukti pengurangan pajak.
-‐
Risiko untuk dipertimbangkan
Membutuhkan sertifikasi gedung hijau sebagai bukti pengurangan pajak dan pengembangan kapasitas Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan.
Informasi tidak tersedia.
Informasi tidak tersedia.
Keuntungan neto Pengurangan PBB sebedar Pemerintah Indonesia rata-‐ 0,16% = Rp. 2,5 miliar rata / tahun*
Pengalaman negara lain
Malaysia mengurangi pajak Di beberapa pemerintahan daerah di Malaysia memiliki alokasi untuk perusahaan pengelola Jepang menerapkan subsidi untuk penjaminan pinjaman pemerintah gedung bila perusahaan gedung permukiman penduduk yang sebesar 500 juta Ringgit Malaysia memiliki sertifikasi gedung hijau memenuhi standar CASBEE. untuk maksimal 15 tahun.
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan; * Asumsi di dalam laporan JICA (2015).
Analisis pilihan kebijakan Pengurangan PBB merupakan kebijakan fiskal yang memotivasi pembangunan gedung hijau baru dan revitalisasi gedung lama, hanya pengembangan kebijakan ini memerlukan inisiatif dari pemerintah daerah karena pengurangan PPB gedung hijau tergolong pada skema pajak daerah (lihat catatan kaki pada awal Bab 3) dan dukungan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pengalaman Pemerintah DKI Jakarta dalam menerapkan kebijakan gedung hijau dapat dijadikan benchmark bagi pemerintah daerah lain di Indonesia. Kebijakan pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman keduanya dibutuhkan dan dapat
35
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
dilakukan melalui dana bergulir konservasi energi yang dibahas lebih lanjut di Sub-‐Bab 4.4. Kesuksesan implementasi fasilitas pendanaan konservasi energi perlu didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terutama untuk mendorong institusi keuangan seperti bank-‐bank komersial dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) dan Jamkrindo untuk aktif berpartisipasi.
4.3.3. Sektor Publik (Non-‐komersial) Rekomendasi kebijakan fiskal sisi permintaan energi di sektor publik bertujuan untuk mendukung konservasi energi pemerintah demi kepentingan khalayak umum. Kebijakan yang bisa dikembangkan untuk mengelola permintaan energi antara lain skema pendanaan untuk penggantian lampu penerangan jalan dengan teknologi Light-‐Emitting Diode (LED). Penggantian lampu penerangan jalan umum (PJU) dengan teknologi LED diperlukan karena sebagian besar Pemerintah Daerah belum menggunakannya sedangkan teknologi ini dapat menghemat penggunaan energi sampai dengan 70% (Harisman et al., 2013). 4.3.3.1. Pilihan Skem a Pendanaan Proyek Penggantian Lampu Penerangan Jalan Umum dengan Teknologi Light-‐Emitting Diode Penggantian lampu PJU dapat dilakukan melalui skema pendanaan dari pemerintah dan kemitraan antara pemerintah dengan swasta (public private partnership [PPP]). Studi GIZ PAKLIM (2013) mengevaluasi berbagai mekanisme pendanaan untuk penggantian lampu PJU dan mengusulkan tiga skema terbaik: skema perbankan, skema Kerja Sama Swasta Bangun Guna Serah biasa (BGS), dan skema Kerja Sama Swasta BGS dengan bantuan lembaga pemerintah (PT SMI dan atau PIP). Tabel 10. Opsi Skema Pendanaan Penggantian Lampu Penerangan Jalan dengan Teknologi LED Opsi skema Penjelasan singkat opsi skema
Skema Perbankan Pinjaman daerah melalui perbankan umum dan atau Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Pemerintah daerah merencanakan kegiatan dan menyiapkan proposal dan mengajukan permohonan pinjaman kepada BPD setelah mendapatkan Mekanisme pertimbangan kementerian dalam negeri yang dikonsultasikan dengan Kementerian Keuangan. Bank kemudian menilai dan memberi keputusan. Prioritas
Alasan pendukung
Badan usaha memperoleh hak untuk mendanai penggantian lampu PJU dan dapat menarik iuran sampai kepemilikan diserahkan ke pemerintah.
Bunga yang dikenakan adalah bunga pasar dikurangi premi risiko (berkisar antara 1-‐3%) atau secara kasar mendekati 9-‐10% pada saat studi dilakukan; diperlukan izin dari DPRD.
Asumsi bunga komersial 12% -‐ 3% = 9%
Sama dengan model kerjasama swasta BGS biasa tetapi badan usaha mendapatkan pinjaman dana dari lembaga pemerintah dan sumber lain.
Kepala Pemerintah Daerah dan/atau Kerjasama swasta BGS dengan badan usaha menawarkan rencana melibatkan lembaga pemerintah kerjasama dan membuat rancangan seperti PT SMI. Untuk model ini, perjanjian kerjasama; Pemerintah badan usaha menjadi Special Purpose daerah menerbitkan surat kuasa untuk Vehicle (SPV) yang memudahkan penyelesaian rencana kerjasama. mekanisme peminjaman.
¡
Moral hazard dan kemungkinan kredit Risiko untuk macet; BPD harus mengikut peraturan dipertimbangka Bank Indonesia, misalnya kredit tidak n boleh melebihi batas maksimal pinjaman kredit. Biaya
Skema Kerja Sama Swasta Skema Kerja Sama Swasta BGS + Bangun Guna Serah biasa (BGS) lembaga pemerintah
¡ Pemerintah daerah tidak perlu menyertakan modal dan hanya cukup mengeluarkan izin; lebih mudah dan lebih cepat karena hanya diperlukan pembahasan anggaran untuk sewa saja di DPRD.
¤ Pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan/menyertakan modal tetapi hanya cukup mengeluarkan izin; hanya diperlukan pembahasan anggaran untuk sewa saja di DPRD; bunga lebih rendah dibandingkan dengan pola BGS biasa.
Aset yang diterima oleh Pemerintah Daerah dari badan usaha mungkin sudah tidak punya nilai ekonomis atau rusak; nilai investasi lebih rendah dibandingkan dengan skema lainnya karena swasta memerlukan profit margin dan memiliki risiko yang harus ditanggung sehingga mungkin terlalu mengeksploitasi asset yang diterima. Bunga komersial + margin keuntungan Bunga lembaga pemerintah + margin = 12% + 10% = 22% keuntungan = 7,75% + 10% =17,7%
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan
36
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Analisis pilihan kebijakan Dalam penggantian lampu PJU, pemerintah daerah disarankan untuk menggunakan skema Kerja Sama Swasta BGS dengan lembaga pemerintah (PT SMI) karena model ini tidak memerlukan penyertaan modal dari pemerintah daerah melainkan hanya mensyaratkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan perizinan, serta memiliki perbedaan bunga pinjaman sebesar 4.3% (22% -‐ 17.7%), sehingga biaya untuk pendanaan lebih rendah dibandingkan model BGS biasa sehingga tingkat pengembalian investasi menjadi lebih besar. Program ini memerlukan peran serta aktif dari Kementerian Dalam Negeri dalam mensosialisasikan mekanisme pendanaan dan pemetaan kebutuhan pemerintah daerah dan peran serta PT PLN (Persero) dalam melakukan instalasi sistem net metering.26
4.3.4. Sektor Transportasi Rekomendasi kebijakan fiskal sisi permintaan energi di sektor transportasi bertujuan untuk mengurangi emisi melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan energi dan konservasi energi antara lain oleh pengguna kendaraan bermotor. Salah satu kebijakan di sektor publik yang bisa dikembangkan dalam mengelola permintaan energi adalah kebijakan pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Penentuan tarif pajak dilakukan berdasarkan efisiensi energi yang berfungsi sebagai insentif untuk mendorong masyarakan agar beralih menggunakan kendaraan bermotor beremisi rendah. Hal ini diharapkan dapat berdampak positif pada peningkatan efisiensi energi dan penurunan polusi udara. 4.3.4.1. Penyesuaian Kebijakan Pajak Berkaitan dengan Penggunaan Kendaraan Bermotor Berdasarkan Tingkat Emisinya LCS dan PKPPIM (2014e) memaparkan beberapa pilihan kebijakan pajak berkaitan dengan penggunaan kendaraan bermotor untuk memotivasi masyarakat supaya merubah pilihan dalam menggunakan kendaraan bermotor. Melalui kebijakan tersebut, masyarakat diharapkan untuk menggunakan kendaraan dengan emisi yang lebih rendah, seperti kendaraan hybrid atau kendaraan dengan jenis bahan bakar efisien (gas, RON ≥ 92).
26
Net metering mengukur penggunaan energi dan penghematan energi yang didapatkan dari penggantian lampu PJU.
37
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Tabel 11. Opsi Kebijakan Pajak Terkait Emisi Buang Kendaraan Bermotor Pajak karbon pada bahan bakar (carbon tax on fuel)
Opsi kebijakan
Penjelasan singkat opsi kebijakan
Pajak emisi yang dimasukkan pada harga bahan bakar.
Prioritas
Pajak kendaraan bermotor Pajak pembelian kendaraan Pajak pencatatan/registrasi 27 bermotor baru Tahunan (PKB) Pajak emisi yang dimasukkan pada harga beli kendaraan bermotor baru dan dibayarkan satu kali saat pembelian. Besarnya pajak bergantung pada rating/tingkat emisi kendaraan.
Penurunan tarif pajak registrasi tahunan kendaraan bermotor (PKB) untuk kendaraan yang dilengkapi dengan gas conversion kit.
¡
X
¤
Korelasi positif antara emisi yang dihasilkan dengan Alasan pendukung pajak yang harus dibayar.
Memiliki tingkat keadilan yang lebih tinggi.
Dipengaruhi oleh dukungan Risiko untuk politik dipertimbangkan
Belum tersedianya mekanisme fiskal yang Bergantung pada insiatif pemerintah mendukung kebijakan ini. daerah. Belum tersedianya sarana dan prasarana secara luas, termasuk pemantauan dan evaluasi.
Potensi Keuntungan neto rata-‐rata / tahun*
Mobil beremisi rendah bila digunakan dengan frekuensi tinggi akan menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mobil beremisi tinggi yang jarang digunakan.
Hasil simulasi statis: total emisi berkurang 37,1%, bila total penjualan mobil berkurang 26,5%, tetapi pendapatan pemerintah meningkat sebesar 10%.
-‐
UK memberlakukan sistem vehicle excise duty (VED). Jerman, Belanda, Swedia, dan Norwegia mengikuti sistem UK. Perancis 28 menerapkan fee-‐bate system. Thailand mengikuti sistem UK, sedangkan SIngapura mengikuti sistem yang mirip dengan Perancis.
Pengalaman negara lain
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua; X Tidak disarankan; * Asumsi di dalam studi oleh LCS dan PKPPIM (2014).
Analisis pilihan kebijakan Pemerintah Pusat bersama-‐sama dengan Pemerintah Daerah dapat berperan dalam mengurangi emisi dari kendaraan bermotor. Pemerintah Pusat dapat menerapkan kebijakan pajak pembelian kendaraan bermotor baru dengan menerapkan tarif pajak berdasarkan tingkat emisi, dimana kendaraan beremisi tinggi akan dikenakan pajak yang lebih besar dibanding kendaraan beremisi rendah. Inisiatif ini bisa dilakukan antara lain dengan melaksanakan PMK yang mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan ini mengatur penggunaan ukuran mesin sebagai sistem yang dapat dihubungkan dengan emisi karbon. Menurut hasil studi LCS dan PKPPIM (2014e), sistem yang dipakai oleh UK lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena Indonesia sudah memiliki kerangka kebijakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 mengenai keringanan pajak bagi mobil hemat energi. Kebijakan ini mirip dengan sistem perpajakan vehicle excise duty yang berlaku di UK. Selain itu, Indonesia belum memiliki kerangka kebijakan untuk sistem rabat seperti yang diterapkan di Perancis. Partisipasi dari Pemerintah Daerah dapat berupa penyesuaian besaran pajak pencatatan atau registrasi tahunan untuk memperpanjang Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), misalnya pajak yang
27
Pajak untuk mendukung pengembangan mobil berbahan bakar gas dan meningkatkan conversion rate VED sistem adalah sistem tarif pajak berdasarkan pada rating CO2 sebagai insentif untuk membeli kendaraan dengan rating emisi yang lebih rendah; fee-‐bate-‐system adalah sistem dimana pemilik kendaraan beremisi tinggi harus membayar biaya sedangkan pemilik kendaraan beremisi rendah mendapatkan rabat yang mengurangi harga kendaraan. 28
38
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
lebih rendah untuk kendaraan yang dilengkapi dengan gas convertion kit. Studi LCS dan PKPPIM (2014e) melakukan simulasi dan memberikan sejumlah opsi besaran PKB berdasarkan besaran emisi CO2. Kementerian Perhubungan dan beberapa Pemerintah Daerah sudah berhasil menerapkan kebijakan pajak registrasi tahunan ini contohnya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur yang memberlakukan tarif pajak progresif, dimana tarif pajak meningkat apabila beberapa kendaraan terdaftar atas nama dan alamat yang sama.
4.4.
Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Beberapa di antara opsi kebijakan fiskal dan kebijakan non-‐fiskal untuk mengelola sisi permintaan energi memerlukan peran serta pihak swasta baik berasal dari dalam negeri maupun internasional. Dari tabel-‐tabel opsi kebijakan yang dipaparkan sub-‐Bab 4.3 terdapat tiga pilihan kebijakan fiskal utama sisi permintaan energi yaitu pengurangan PPN untuk piranti hemat energi berlabel, pengurangan bea masuk untuk piranti hemat energi berlabel yang tidak diproduksi di dalam negeri dan kebijakan fiskal berkaitan dengan pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman untuk pembelian piranti hemat energi. Kebijakan rabat untuk pembelian piranti hemat energi dan dan penyesuaian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan kebijakan prioritas kedua. Ada beberapa kriteria untuk sintesis pilihan kebijakan fiskal. Opsi yang diprioritaskan tidak mencakup kebijakan-‐kebijakan yang kewenangannya berada di bawah pemerintah daerah, diantaranya pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor gedung hijau di pedesaan dan perkotaan, pajak kendaraan bermotor berbasis tingkat emisi, dan penggantian lampu penerangan jalan umum dengan teknologi LED. Pilihan-‐pilihan yang diprioritaskan juga tidak mencakup kebijakan non-‐fiskal dimana kewenangannya tidak berada pada Kementerian Keuangan seperti promosi penyewaan untuk peralatan hemat energi.
39
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Tabel 12. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi dan Stakeholder Terkait Klasifikasi kebijakan fiskal Pendapatan negara dan hibah
Belanja negara
Pembiayaan negara
29
Prioritas
Sumber informasi
Sektor
Stakeholder terkait utama
Pengurangan PPN untuk piranti hemat energi berating terutama AC split, AC medium, kulkas dan kaca insulasi. Pengurangan bea masuk untuk piranti hemat energi terutama AC medium (yang tidak diproduksi di dalam negeri). Penyesuaian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor berdasarkan efisiensi energi. Rabat untuk piranti hemat energi AC dan kulkas.
¤
Tabel 4, 5, 7 dan 8
Rumah tangga, industri dan komersial
¤
Tabel 7
¡
Tabel 11
Transportasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan (PKPN, PKPPIM dan Direktorat Jenderal Anggaran) Kementerian Keuangan (PKPN), Gaikindo (asosiasi produsen kendaraan beroda empat)
¡
Tabel 1 dan 2
Rumah tangga, industri dan komersial
Pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman untuk pembelian piranti hemat energi (AC medium) dan pembangunan gedung hijau.
¤
Tabel 7 dan Rumah 9 tangga, industri dan komersial
Opsi kebijakan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Keuangan (PKPPIM dan Direktorat Jenderal Anggaran) Fiskal: ESDM DJEBTKE, Kementerian Keuangan Non fiskal: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk peran swasta dalam promosi penyewaan dan pinjaman lunak, ESDM DJEBTKE
Legenda: ¤ Prioritas pertama; ¡ Prioritas kedua
Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penyusun dan pengambil keputusan kebijakan fiskal, pemerintah perlu memperhatikan berbagai dampak dari kebijakan yang disusun baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang (IPCC, 2014). Selain itu kebijakan fiskal memiliki risiko dan manfaat yang berbeda untuk skala waktu yang berbeda. Pengurangan PPN dan bea masuk relatif mudah dilakukan walaupun kemungkinan memiliki dampak terhadap pertumbuhan kontribusi PPN di dalam bauran pendapatan negara. Sedangkan kebijakan pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman membutuhkan kebijakan kelembagaan dan kemungkinan akan meningkatkan jumlah pembiayaan negara yang dapat berdampak pada neraca keuangan negara tetapi berpotensi menjadi pengungkit investasi dunia usaha yang rendah karbon. Risiko fiskal, peluang pertumbuhan ekonomi dan investasi serta target penurunan emisi Indonesia merupakan landasan analisis dalam menindaklanjuti ketiga pilihan kebijakan fiskal sisi permintaan energi. Laporan ini memaparkan panduan dari berbagai pertimbangan utama dalam memformulasikan kebijakan pinjaman lunak dan jaminan peminjaman untuk kegiatan konservasi energi. Fasilitas ini bertujuan untuk menumbuhkan minat institusi-‐institusi keuangan seperti bank komersial untuk menyediakan pinjaman lunak dan garansi peminjaman untuk aktivitas konservasi energi seperti mengganti mesin-‐mesin lama dengan mesin baru yang hemat energi. Di bawah ini merupakan kajian literatur singkat mengenai aspek pertimbangan utama dalam pendirian fasilitas pendanaan konservasi energi sebagai strategi dalam memfasilitasi pengembangan opsi kebijakan pinjaman lunak dan kebijakan penjaminan pinjaman.
29
Opsi kebijakan fiskal nasional tidak mencakup kebijakan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah antara lain pengurangan PBB untuk gedung hijau sektor perkotaan dan pedesaan, pajak kendaraan bermotor berdasarkan efisiensi energi, pendanaan lampu PJU dengan teknologi LED dan tidak mencakup rekomendasi prioritas utama yang bukan kebijakan fiskal yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan seperti promosi penyewaan piranti hemat energi.
40
Bab 4. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Permintaan Energi
Ilustrasi 2: Fasilitas Pendanaan Konservasi Energi Rendahnya minat badan usaha dalam melakukan konservasi energi merupakan salah satu tantangan bagi upaya konservasi energi. Sesuai dengan Pasal 20, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Pemerintah, fasilitas pendanaan bertujuan untuk memotivasi badan usaha untuk melakukan kegiatan konservasi energi dengan mendorong tersedianya pembiayaan suku bunga rendah, fasilitas pajak dan audit energi. Pelaku usaha cenderung enggan melakukan konservasi energi dengan biaya sendiri karena perusahaan cenderung mengalokasikan sumber daya yang tersedia untuk peningkatan hasil produksi jangka pendek (Setyawan, 2014). Di bawah ini merupakan sejumlah aspek yang dapat menjadi pertimbangan utama dalam merealisasikan pendanaan konservasi energi antara lain jenis insentif, calon pengguna, kebijakan kelembagaan dan perhitungan biaya dan keuntungan. Jenis-‐jenis insentif: pinjaman lunak dan atau penjaminan pinjaman Menurut kajian yang dirangkum di dalam Tabel 12, badan usaha akan membutuhkan pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman untuk pembelian AC hemat energi dan pembangunan gedung hijau. Konservasi energi membutuhkan kedua instrumen pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman yang disediakan oleh institusi-‐institusi keuangan seperti bank dan Jamkrindo untuk mengurangi kebutuhan agunan sebagai prasyarat pinjaman melalui institusi keuangan seperti perbankan nasional. Baik pinjaman lunak maupun penjaminan pinjaman dibutuhkan dalam mendorong badan usaha untuk melakukan konservasi energi. Hal ini dapat dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk memotivasi pasar dan menggerakan permintaan badan usaha agar melakukan kegiatan konservasi energi secara komersial. Pada tahap pertama, instrumen yang dapat digunakan adalah dana suku bunga rendah melalui subsidi bunga perbankan sehingga perbankan dapat mengeluarkan pinjaman lunak kepada publik. Instrumen kebijakan subsidi bunga pernah (lebih rendah dari suku bunga pasar) digunakan oleh pemerintah melalui program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi dalam meningkatkan produktifitas pangan dan mendukung kedaulatan pangan dan energi Indonesia. Untuk fasilitas pendanaan konservasi energi, besaran subsidi yang dapat diberikan oleh Pemerintah dalam adalah suku bunga Bank Indonesia dikurangi 3%, sedangkan Pihak perbankan menyalurkan ke badan usaha dengan suku bunga Bank Indonesia ditambah 2 – 2,5% (selisih bunga sebesar 5 – 5,5% digunakan oleh bank komersial sebagai perium risiko, biaya administrasi dan margin keuntungan) (Volker, 2015). Tahap kedua bertujuan untuk meningkatkan permintaan yang mulai bermunculan dengan cara menurunkan persepsi risiko usaha melalui instrumen penjaminan pinjaman. Dengan adanya penjaminan pinjaman, kebutuhan agunan untuk prasyarat pendanaan akan berkurang. Namun, beberapa studi yang dilansir oleh Volker (2015), menunjukkan bahwa tahap pertama harus dijadikan prioritas utama sebelum mempertimbangkan tahap kedua, karena target awal adalah pembentukan pasar. Selain itu, biaya transaksi untuk instrumen subsidi suku bunga cenderung lebih rendah dibandingkan penjaminan pinjaman, karena kebutuhan keahlian analisis teknis dan premium risiko untuk pinjaman lunak cenderung lebih rendah (Volker, 2015). Calon debitur fasilitas pendanaan konservasi energi dan potensi penghematan energi Kementerian ESDM telah melakukan audit energi melalui Program Kemitraan dengan melibatkan secara aktif 481 badan usaha. Program audit konservasi energi Kemitraan memperkirakan penghematan energi rata-‐rata sebesar 9.300 MWh per perusahaan (sekitar 10% dari tingkat penggunaan energi saat ini). Badan usaha yang terlibat aktif dalam program audit Kementerian ESDM memiliki potensi menjadi calon penerima dana konservasi energi sekaligus menggunakan fasilitas pendanaan. Kebijakan kelembagaan Untuk memfasilitasi pendanaan konservasi energi, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan memerlukan institusi yang dapat memenuhi kriteria yaitu dapat menyalurkan pendanaan ke perbankan berupa dana suku bunga rendah untuk subsidi bunga perbankan dan kemudian menambahkan skema penjaminan pinjaman (dalam tahap kedua) dan dapat menyalurkan pendanaan ke badan usaha kecil menengah dan besar. Pemerintah perlu mengkaji opsi agen pelaksana yang memenuhi kriteria-‐kriteria utama di atas. Selain pemilihan institusi pelaksana, Kementerian ESDM dapat mempersiapkan pengajuan alokasi dana ke Kementerian Keuangan; penyusunan panduan peraturan (juklak dan juknis); dan penentuan Komite Pengarah. Rancangan kebijakan ini dapat mencakup penyusunan mekanisme evaluasi dan pengawasan untuk memastikan bahwa perbankan menyalurkan dana sesuai ketentuan (Setyawan, 2014). Analisis biaya dan keuntungan Kementerian Keuangan dapat mempertimbangkan risiko fiskal dari pengeluaran dana untuk konservasi energi dan membandingkannya dengan subsidi pemerintah untuk energi yang dapat dihemat oleh industri (dengan asumsi industri akan cenderung boros bila industri yang bersangkutan masih menerima subsidi energi listrik). Kholis (2014) menjabarkan analisis keuntungan dan kerugian fasilitas pendanaan konservasi energi yang dapat menjadi rujukan dalam merancang fasilitas pendanaan ini. Sumber: Program Kemitraan Kementerian ESDM 2014, Setyawan (2014), Kholis (2014), dan Bromund (2015).
41
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Kebijakan fiskal sisi penawaran energi merupakan instrumen strategis yang berpotensi dalam memotivasi badan usaha untuk meningkatkan jumlah produksi energi terutama energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Bab 5 bertujuan untuk memaparkan opsi kebijakan fiskal sisi penawaran energi dengan mengulas rekomendasi kebijakan yang bersumber dari sekumpulan studi di dalam Tabel 3. Bab 5 terbagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan beberapa kebijakan yang menjadi landasan pemikiran dalam penyusunan kebijakan fiskal baru untuk mengelola sisi penawaran energi. Bagian kedua memaparkan berbagai kebijakan teknis yang mendukung penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi penawaran energi. Bagian ketiga memaparkan opsi-‐opsi dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi penawaran energi. Bagian terakhir memetakan pilihan opsi prioritas yang diusulkan berdasarkan klasifikasi akun fiskal Kementerian Keuangan yaitu pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan.
5.1. Kebijakan-‐kebijakan Strategis yang Menjadi Landasan Pemikiran dalam Penyusunan Strategi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Kebijakan-‐kebijakan yang menjadi landasan pemikiran dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal sisi penawaran energi mendasari penyusunan strategi fiskal sehingga bisa berkontribusi terhadap pencapaian sasaran pembangunan Indonesia di bidang ekonomi makro dan lingkungan. Kebijakan-‐ kebijakan yang dimaksud yaitu: (i) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-‐2019, (ii) Kebijakan Energi Nasional (KEN), (iii) Rencana Aksi Nasional/Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-‐GRK), (iv) Kebijakan Inventarisasi Gas Rumah Kaca, dan (v) Kebijakan Pengembangan Energi Hijau. 5.1.1. Rencana Pem bangunan Jangka M enengah Nasional (RPJM N) 2015-‐2019 RPJMN 2015-‐2019 yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai kedaulatan energi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Bagian 6.7.2 Buku 1 RPJMN 2015-‐2019, pengelolaan sisi penawaran energi antara lain bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ketersediaan energi dengan cara meningkatkan produksi sumber energi lain terutama energi terbarukan dan percepatan pembangunan infrastruktur energi. Kedua hal ini berperan penting dalam mengimbangi kebijakan pengeloaan permintaan energi. 5.1.2. Kebijakan Energi Nasional (KEN) Kebijakan Energi Nasional (KEN) tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 yang merupakan pedoman dalam pengelolaan energi di Indonesia guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. 30 Baik energi konvensional maupun energi baru terbarukan berkontribusi dalam pencapaian
30
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) Pasal 1 ayat 4 berbunyi, sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal, dan batubara tergaskan (gasified coal). Ayat 6 berbunyi sumber energi
43
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
kedaulatan energi jangka menengah dan panjang di Indonesia, terutama untuk mendukung peningkatan rasio elektrifikasi di daerah terpencil dan peningkatan ketersediaan energi untuk berbagai sektor (lihat Tabel 13). Pengembangan energi baru terbarukan memiliki kontribusi ganda, yaitu mendukung kedaulatan energi sekaligus mengurangi emisi karbon nasional seperti dijelaskan dalam RAN/RAD-‐GRK.
Tabel 13. Sumber Energi dan Peruntukannya di Indonesia Sumber energi Semua jenis energi terbarukan Energi surya Energi bahan bakar nabati Energi biomassa dan sampah Energi minyak bumi Energi gas bumi Energi batubara Energi baru berbentuk cair (liquified coal) dan hidrogen Energi baru berbentuk padat dan gas
Peruntukan Ketenagalistrikan Ketenagalistrikan dan energi nonlistrik untuk industri, rumah tangga, dan transportasi Menggantikan bahan bakar minyak terutama untuk transportasi dan industri (dilakukan dengan tetap meniaga ketahanan pangan) Ketenagalistrikan dan transportasi Transportasi dan komersial yang belum bisa digantikan dengan energi atau sumber energi lainnya Industri, ketenagalistrikan, rumah tangga, dan transportasi, terutama yang memiliki nilai tambah paling tinggi Ketenagalistrikan dan industri Transportasi Ketenagalistrikan
Sumber: Kebijakan Energi Nasional (KEN), Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 pasal 12
5.1.3. Rencana Aksi Nasional/Daerah Penurunan Em isi Gas Rum ah Kaca (RAN/RAD-‐GRK) RAN/RAD-‐GRK bertujuan untuk mendukung target Pemerintah dalam mengurangi gas emisi rumah kaca nasional sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumber daya nasional dan 41% bila didukung oleh bantuan asing. RAN-‐GRK Lampiran 1 menjelaskan kegiatan peningkatan ketersediaan energi terutama mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan skala kecil dan menengah antara lain melalui produksi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hydro (PLTMH), Tenaga Mini Hydro (PLTM), Tenaga Surya (PLTS), Tenaga Bayu (PLTB) dan Tenaga Biomassa (PLTBm). RAN-‐GRK menunjukkan bahwa target produksi energi terbesar berasal dari energi mini hidro, yaitu sebesar 692 MW dalam periode 2010-‐2020. Hal ini berkaitan dengan pencapaian target untuk meningkatkan jumlah Desa Mandiri Energi (DME) sebanyak 250 desa pada periode 2010-‐2014 dan 450 desa di periode 2015-‐2020. 5.1.4. Kebijakan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011. Bab 3 Pasal 3 ayat 3b di dalam Peraturan Presiden ini secara spesifik menyatakan cakupan inventarisasi GRK meliputi pengadaan energi yang mencakup pembangkitan energi. Dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan pedoman penyelengaraan inventarisasi GRK di bidang energi. Kementerian Keuangan dapat menggunakan data yang dihasilkan dari inventarisasi GRK untuk menghitung rasio belanja negara untuk setiap sumber energi terhadap inventarisasi GRK yang dihasilkan. Hal ini berguna untuk meningkatkan efektifitas belanja negara dalam peningkatan pengadaan energi dan pengurangan emisi GRK.
terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
44
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
5.1.5. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau) Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004 mengatur tentang Kebijakan Pengembangan Energi Hijau. Peraturan Menteri ESDM ini menjelaskan langkah-‐langkah yang perlu ditempuh dalam mendorong peningkatan ketersediaan energi khususnya energi terbarukan melalui kewajiban badan usaha untuk memanfaatkan energi terbarukan. Langkah-‐langkah yang perlu ditempuh antara lain, menyusun kebijakan investasi dan pendanaan, menyusun kebijakan insentif, dan menyusun kebijakan harga energi (Ayat 40 a, b dan c). Kegiatan pengembangan energi terbarukan memerlukan dana yang besar sehingga diperlukan adanya mekanisme pendanaan yang bisa meningkatkan partisipasi swasta, koperasi, BUMN, dan BUMD. Mekanisme ini dapat berupa dana bergulir, penjaminan pinjaman, pinjaman lunak, dan mikrokredit. Kebijakan insentif yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi swasta dalam kegiatan energi terbarukan antara lain pemberian insentif pajak seperti penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi terbarukan (Ayat 44).
5.2. Kebijakan-‐kebijakan Teknis Terkait dengan Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Kebijakan fiskal dapat mendukung terlaksananya kebijakan-‐kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kementerian-‐kementerian teknis dalam mengatasi berbagai tantangan dalam pengelolaan ketersediaan energi. Beberapa kebijakan teknis yang dapat terus disinergikan ke dalam strategi kebijakan fiskal sisi penawaran energi antara lain: kebijakan pelaksanaan pembangunan infrastruktur energi dan kebijakan kerjasama dengan pihak swasta. 5.2.1. Kebijakan Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur E nergi Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur energi. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 menugaskan PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur energi menggunakan energi baru terbarukan, gas dan batu bara. Selain itu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2012 memberikan penekanan pada aspek kegiatan fisik pemanfaatan energi baru terbarukan. Peraturan Presiden di atas menunjuk PT PLN (Persero) sebagai pelaksana pembangunan dan Direktoral Jenderal EBTKE ESDM sebagai agen yang memantau dan menilai perkembangan kegiatan fisik yang berkaitan dengan pemanfaatan energi baru terbarukan. Kebutuhan pembangunan infrastruktur energi di Indonesia sangat besar sehingga tidak dapat sepenuhnya begantung pada sumber daya pemerintah. Dukungan dari pihak swasta dan pengembang energi sangat diperlukan untuk mencapai target pembangunan infrastruktur energi. 5.2.2. Kerjasama dengan Pihak Swasta Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 mengatur perihal kerja sama pemerintah dengan pihak pengembang dalam penyediaan infrastruktur untuk memperlebar ruang bagi pihak swasta baik dalam maupun luar negeri dalam mendukung upaya pencapaian kedaulatan energi. Peraturan ini diperbaharui oleh Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Peran dan dukungan dari pihak swasta diharapkan bisa mempercepat kegiatan dan proyek infrastruktur energi. Salah satu contoh partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur energi adalah proyek Geothermal Wayang Windu yang dikembangkan oleh StarEnergy. Keterlibatan pihak swasta diharapkan akan lebih besar dalam proses pelelangan yang transparan dan profesional (JICA, 2013; Singh dan Setiawan, 2013).
45
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
5.3. Opsi Terkait Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi Bagian ini memaparkan opsi terkait kebijakan fiskal yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan ketersediaan energi dan mendorong pengembangan energi baru terbarukan seperti kebijakan pendanaan dan investasi serta kebijakan insentif. Laporan ini berpedoman pada Ayat 40 Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004 tentang Kebijakan Pengembangan Energi Hijau (Sub-‐Bab 5.1.5). Kategori kebijakan teknis lain dapat dilihat di dalam Lampiran 1. Sub-‐Bab ini membahas beberapa opsi terkait dengan kebijakan fiskal dari beberapa sumber energi yaitu tenaga surya fotovoltaik, tenaga panas bumi, tenaga air, gas, BBM, dan energi dari kogenerasi (Gambar 9). Gambar 9 mencakup opsi kebijakan fiskal yang diadopsi dari studi-‐studi yang tercantum di dalam Tabel 3. Gambar 9. Kerangka Opsi Kebijakan untuk Sisi Penawaran Energi
Opsi%Kebijakan%Fiskal% Sisi%Penawaran%Energi
5.3.1.%Pengembangan%Tenaga%Surya% Fotovoltaik
5.3.1.1.%Opsi%Kebijakan%untuk%Mempromosikan% Penggunaan%Pembangkit%Listrik%Tenaga%Surya%Fotovoltaik%%%%%% (JICA,%2015)
5.3.2.%Pengembangan%Tenaga%Panas% Bumi%(Geothermal)
5.3.2.%Opsi%Struktur%Pendanaan%untuk%Pengembangan% Tenaga%Panas%Bumi%(Geothermal+Fund+Facility)++++++%%%%%%%%%% (JICA,%2013;%Rachmadi%and%SuQyono,%2015)
5.3.3.%Pengembangan%Tenaga%Air% (Hydro)
5.3.3.%Opsi%Skema%Proyek%dan%Pendanaan%Pengembangan% Tenaga%Air%Skala%Kecil%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (BI,%2013)
5.3.4.%Pengembangan%Energi%Gas%
5.3.4.1.%Opsi%Kebijakan%Fiskal%untuk%Pembangunan% Infrastruktur%Energi%Gas%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (Fuller,%2015) 5.3.4.2.%Skema%(Dis)insenQf%untuk%Penanggulangan% Kebocoran%Emisi%Produksi%Minyak%dan%Gas%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% (Susanto,%2013)
5.3.5.%Energi%Bahan%Bakar%Minyak%(BBM)% dan%Subsidi%BBM 5.3.6.%Pengembangan%Energi%Kogenerasi
5.3.1. Pengembangan Tenaga Surya Fotovoltaik Pengembangan tenaga surya fotovoltaik (solar PV) bertujuan untuk mengubah energi matahari menjadi listrik dengan menggunakan modul fotovoltaik. Opsi kebijakan fiskal ditujukan untuk meningkatkan pemanfaatan energi solar PV yang dihasilkan dan digunakan oleh badan usaha. Terdapat tiga jenis badan usaha yang terlibat dalam pengembangan energi solar PV yaitu produsen panel solar PV, pengembang energi independen, dan pemasang atau pengguna solar PV off-‐grid seperti pengelola gedung. 31 Produsen solar PV memperoleh insentif pajak karena termasuk ke dalam kategori industri pionir (lihat Sub-‐bab 3.1). Pengembang energi solar PV tidak mendapat insentif Feed-‐in-‐Tariff (FiT) seperti pengembang energi terbarukan lain, tetapi bersaing dalam memenangkan tender dengan batas atas tarif yang telah ditentukan (lihat Lampiran 1 Kebijakan harga energi). Studi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan di tahun 2012 mengidentifikasi belum adanya insentif bagi pengguna solar PV seperti pengelola gedung sebagai sebuah celah kebijakan yang dapat dikembangkan untuk memacu pengembangan energi solar PV (PKPPIM, LCS, IESR, 2012).
31
Menurut sistem distribusi listrik, pengembangan tenaga surya dapat dibagi ke dalam dua jenis: on-‐grid dan off-‐grid. On-‐grid panel tenaga surya adalah pengembangan terkoneksi dengan sistem kelistrikan yang dimiliki oleh PT PLN (Persero). Saat ini konektivitas listrik di Indonesia belum tersebar secara merata. Grid listrik paling banyak tersedia di pulau Jawa dan Sumatra (GIZ, 2014). Off-‐grid panel tenaga surya adalah pengembangan tidak terkoneksi dengan sistem kelistrikan yang dimiliki oleh PT PLN (Persero). Off-‐grid panel tenaga surya dapat digunakan di daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan listrik PT PLN (Persero).
46
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
5.3.1.1. Opsi Kebijakan Fiskal untuk M em prom osikan Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Studi JICA (2015) menunjukkan masih rendahnya penggunaan pembangkit listrik dengan panel tenaga surya oleh gedung-‐gedung di Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini, studi JICA (2015) mengusulkan dua pilihan strategi kebijakan fiskal yaitu: (1) promosi peminjaman dan (2) pinjaman lunak yang disertai dengan penjaminan pinjaman (lihat Tabel 15). Kedua kebijakan tersebut bertujuan supaya di tahun 2025 sebanyak 500 gedung tersebar di berbagai daerah di Indonesia sudah menggunakan energi listrik dengan tenaga solar PV. Penggunaan 500 unit panel tenaga surya dengan besaran masing-‐masing 20 KW diperkirakan akan berkontribusi pada penurunan penggunaan energi listrik (dari bahan bakar fosil) sebesar 18.000 MWh per tahun.32 Tabel 14. Opsi Kebijakan Fiskal untuk Promosi Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Opsi kebijakan
Promosi penyewaan
Promosi penyewaan adalah program promosi yang memotivasi Penjelasan singkat opsi badan usaha untuk menyewa kebijakan barang hemat energi seperti pembangkit listrik tenaga surya. Prioritas
Pinjaman lunak Pinjaman lunak adalah skema pinjaman bunga rendah yang diinvestasikan dalam bentuk pembangkit listrik tenaga surya.
¤
Penjaminan Penjaminan adalah skema meringankan beban agunan pinjaman untuk membeli pembangkit listrik tenaga surya.
¤
¡
Alasan pendukung
Skema ini sudah termasuk ke dalam kerangka kebijakan yang sudah ada (lihat Tabel 6).
Menarik untuk pengelola gedung.
Risiko untuk dipertimbangkan
Pemberi sewa mungkin kurang tertarik menyewakan barang seperti pembangkit listrik tenaga surya.
Jika diimplementasikan, barang pembangkit listrik tenaga surya perlu didaftarkan secara spesifik.
Jepang dan Thailand menggunakan ESCO fund dengan Pengalaman negara lain biaya rental (biaya pemasangan dan suku bunga tetap 4-‐6%) dalam period maksimal 5 tahun.
Menarik bagi pengelola gedung dengan kapasitas keuangan yang terbatas.
Malaysia menerapkan skema pendanaan untuk investor dan produsen melalui “Malaysia’s Green Technology Financing Scheme” dengan 2% subsidi bunga dan 60% penjaminan pinjaman pemerintah sampai dengan 500 miliar Ringgit Malaysia, maksimum 15 tahun.
Legenda: ¤ Rekomendasi utama; ¡ Rekomendasi kedua
Analisis pilihan kebijakan Sama halnya dengan promosi penyewaan AC split dan AC medium di sektor industri (lihat Tabel 6 dan 7), promosi penyewaan pembangkit listrik tenaga surya memerlukan kerjasama dari Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan dalam memberikan arahan untuk Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI atau IFSA). Strategi lain yang bisa mendukung promosi penyewaan adalah mempromosikan badan usaha jenis ESCO atau perusahaan persewaan yang melakukan pergeseran jenis produk yang disewakan dari produk yang tidak ramah lingkungan ke produk ramah lingkungan untuk menjadi badan usaha yang memenuhi persyaratan sebagai industri pionir sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. 33 Badan usaha ESCO, walaupun tidak menghasilkan barang, namun layak memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan PPh sebagai perusahaan jasa yang menunjang pelaksanaan efisiensi energi di sektor industri dan bangunan gedung hijau. Pengurangan pajak penghasilan badan untuk jenis usaha ESCO diharapkan bisa meningkatkan
32
Informasi lengkap mengenai perhitungan dan asumsi tercantum di dalam studi JICA (2015). Energy Service Company (ESCO) adalah perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi untuk merancang proyek dan mengimplementasi efisiensi energi, konservasi energi dan infrastruktur energi. Jenis-‐jenis usaha ESCO antara lain, penyediaan alat yang tidak tersedia, penggantian mesin, penyediaan pembangkit listrik, kogenerasi dan lain-‐lain. 33
47
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
jumlah badan usaha penyewaan alat-‐alat yang mendukung konservasi energi dan penggunaan energi terbarukan. Kebijakan pinjaman lunak merupakan kebijakan prioritas utama selain promosi penyewaan. Kementerian Keuangan dapat mengimplementasikan kebijakan pinjaman lunak ini melalui fasilitas pendanaan konservasi energi yang diusulkan (lihat Sub-‐Bab 4.4). 5.3.2. Pengembangan Tenaga Panas Bum i ( Geothermal ) Pengembangan tenaga panas bumi (geothermal) bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem. Undang-‐undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menjadikan kegiatan pengembangan tenaga panas bumi sebagai aktivitas non-‐pertambangan. Hal ini telah menjawab isu perizinan yang sebelumnya menjadi salah satu permasalahan pengembangan panas bumi. Peruntukan panas bumi sebagai sumber energi dikategorikan sebagai usaha untuk pemanfaatan tidak langsung yang dibagi ke dalam tiga kegiatan (Pasal 20): eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan. Dari ketiga kegiatan ini, kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang paling sulit dan membutuhkan campur tangan serta dukungan pemerintah. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan dimana badan usaha pemegang izin panas bumi wajib mencari lokasi yang dinilai dapat dikembangkan sebagai sumber energi pembangkit tenaga panas bumi dan menggali sumur panas bumi. Tahap ini biasanya menghabiskan waktu kurang lebih 3 tahun dengan estimasi kebutuhan dana sebesar US$ 25 juta (JICA, 2011). Sampai saat ini, badan usaha yang bergerak dalam kegiatan eksplorasi cenderung membatasi investasi (Rakhmadi dan Sutiyono, 2015). Salah satu penyebabnya adalah risiko yang besar dengan tingkat keberhasilan yang sulit diprediksi. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah sangatlah diperlukan dalam tahap ini. 5.3.2.1.
Opsi Struktur Pendanaan untuk Pengem bangan Energi Tenaga Panas Bum i (Geothermal) Pemerintah Indonesia sebelumnya mengalokasikan dana ke Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk akselerasi kegiatan eksplorasi energi tenaga panas bumi atau yang dikenal dengan Geothermal Fund Facility (GFF) melalui PMK Nomor 03/PMK.011/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban Fasilitas Dana Pengembangan Tenaga Panas Bumi (lihat Sub-‐Bab 3.3.2). Dengan restrukturisasi kelembagaan serta proses pengalihan aset dari PIP ke PT SMI di tahun 2015, laporan ini menelaah kembali beberapa opsi struktur pendanaan untuk pengembangan tenaga panas bumi yang pernah dikaji oleh JICA (2011) dan menarik pembelajaran dan masukan dari pengalaman GFF dan proyek geothermal Sarulla. Studi JICA (2011) mengkaji tiga struktur pendanaan untuk proyek pengembangan energi tenaga panas bumi: skema PT SMI, skema PT PLN (Persero)/PT Geodipa, dan skema ESDM (Tabel 15). 34
34
Laporan ini mengganti nama ‘model PIP’ di dalam studi JICA (2011) menjadi ‘model PT SMI’ karena terdapat perkembangan kelembagaan berupa peralihan aset dari PIP ke PT SMI di tahun 2015.
48
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
Tabel 15. Opsi Skema Pendanaan Eksplorasi Panas Bumi Opsi skema
Penjelasan singkat opsi skema
Alasan
Skema PT SMI
Skema PT PLN/PT Geodipa
Skema ESDM
PT SMI akan melakukan keseluruhan proses termasuk pemilihan lokasi, melakukan pembelian (procurement) peralatan pembangunan dan juga memberikan pendanaan. ESDM perlu memberikan mandat/wewenang kepada PT SMI.
PT PLN (Persero) atau PT Geodipa menjadi pihak yang melakukan pembelian untuk eksplorasi dan memberikan arahan untuk pekerjaan lapangan dan disaat yang bersamaan menerima dana dari PT SMI.
Kementerian ESDM melakukan pembelian untuk agen pelaksana eksplorasi dan memberikan arahan untuk pekerjaan lapangan. PT SMI akan membiayai proyek dan mendapatkan pengembalian atas investasi melalui pembayaran dari pemenang izin usaha pertambangan (IUP) panas bumi.
Model ini memiliki biaya transaksi yang lebih kecil.
PT Geodipa dan PT PLN (Persero) memiliki kemampuan teknis yang mendukung.
Eksplorasi dapat dilakukan oleh badan usaha melalui penugasan Menteri ESDM.
Tanggung jawab untuk eksplorasi diserahkan kepada PT PLN (Persero) dan/atau PT Geodipa dan diinterpretasikan sebagai aktifitas komersial dan bukan penugasan pemerintah. Sama halnya dengan PT SMI, PT PLN (Persero) dan PT Geodipa berorientasi komersial.
Perlu adanya acuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 dimana aliran dana diatur sesuai dengan peraturan. Badan usaha enggan untuk menanggung bunga pasar PT SMI dan sekaligus menanggung eksplorasi yang berisiko tinggi.
PT SMI berorientasi pada suku bunga pasar dan komersial dan kurang tertarik dengan kegiatan Risiko untuk eksplorasi yang berisiko tinggi. dipertimbangkan PT SMI membutuhkan peningkatan kemampuan teknis secara signifikan.
Analisis pilihan skema Ketiga model di atas memiliki keterbatasan dimana pendanaan kegiatan eksplorasi akan bergantung pada skema pendanaan melalui Perseroan Terbatas (PT) yang berorientasi komersial dan PT SMI menerapkan suku bunga pasar walaupun memiliki tenor (jangka waktu pinjaman) jangka panjang yang tidak dimiliki oleh bank-‐bank komersial nasional. Orientasi bunga pasar menjadi hambatan bagi badan usaha untuk berinvestasi bila tidak disertai dengan mekanisme pembagian risiko kegagalan eksplorasi dan bila badan usaha harus menanggung seluruh risiko. Pengalaman PIP dalam mengelola GFF menunjukkan bahwa GFF harus memenuhi beberapa kondisi agar mampu mendukung kegiatan eksplorasi secara efektif. Pertama yaitu kebijakan yang memfasilitasi pembagian risiko antara pengembang energi dan GFF, misalnya skema yang membedakan pembagian risiko bila pinjaman disertai dengan pinjaman anggunan (collateral) penuh. Kedua adalah kebijakan kelembagaan yang lebih berorientasi pada faktor non-‐komersial seperti jumlah dan kualitas kegiatan eksplorasi panas bumi dan bukan hanya pada tingkat pengembalian dana dan tingkat keberhasilan eksplorasi panas bumi. Faktor lain yang dapat mempercepat proses permohonan pendanaan melalui GFF adalah petunjuk pelaksanaan yang sederhana dan transparan disertai dengan sosialisasi petunjuk teknis bagi pengembang energi independen dan pemerintah daerah. Pengalaman proyek geothermal Sarulla menunjukkan bahwa proyek besar geothermal yang terdiri dari beberapa tahapan menarik minat investasi swasta dalam konstruksi lapangan dimana pendapatan dari unit 1 dan 2 digunakan untuk pengembangan unit 3.35 Rachmadi dan Sutiyono (2015) menganalisis hal-‐hal yang mendorong peran serta swasta dalam proyek geothermal Sarulla antara lain Feed-‐in-‐Tariff yang berjangka waktu lama dengan pendekatan tarif menurun (step-‐ down approach), Surat Jaminan Kelangsungan Usaha berjangka panjang, jaminan politik, dan peran pemerintah dalam melakukan eksplorasi sendiri untuk membuktikan bahwa terdapat cadangan tenaga panas bumi di lokasi eksplorasi (Tabel 16).
35
Proyek geothermal Sarulla terdiri dari dari tiga unit. Unit pertama dan kedua direncanakan untuk selesai sebelum tahun 2018 dimana pendapatan dari kedua unit ini akan digunakan untuk membiayai pengembangan unit 3. Proyek ini diharapkan bisa mulai beroperasi di tahun 2018.
49
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Tabel 16. Komponen Pendanaan yang Mendukung Kesuksesan Proyek Geothermal Sarulla Feed in Tariff (FiT) berjangka panjang (30 tahun) dalam US$ Penerapan FiT yang semakin menurun (pendekatan step down approach) bisa Penjelasan menjadi pilihan untuk singkat memungkinkan komponen pembayaran kembali pendanaan pinjaman dengan lebih cepat.
Kompone n pendanaa n
Meningkatkan kepastian pendapatan selama siklus proyek dan mengurangi tingkat risiko fluktuasi valuta asing; membantu meringankan risiko terkait dengan offtake dan pembiayaan, serta meningkatkan bankability suatu proyek yang bisa membantu penutupan keuangan.
Tujuan
Surat Jaminan Kelangsungan Usaha (20 tahun) Dengan Surat Jaminan Kelangsungan Usaha atau Business Viability Guarantee Letter (BVGL) dan surat kepemilikan dari PT PLN (Persero), pemerintah berkomitmen untuk menjamin pembayaran ke pengembang untuk penjualan listrik jika PT PLN (Persero) gagal memenuhi kewajiban keuangan. Menjawab kekhawatiran akan bankability proyek dengan cara memastikan nilai kredit dari off-‐taker milik pemerintah. Meningkatkan kepastian akan penghasilan selama durasi pinjaman; membantu meringankan risiko-‐risiko yang berhubungan dengan offtake dan pembiayaan, serta meningkatkan bankability suatu proyek yang bisa membantu penutupan keuangan.
Jaminan Politik
Pemberi pinjaman didukung oleh penjaminan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dengan empat fitur: jaminan perang, pengambilalihan, perubahan hukum, dan ketidakmampuan pembayaran oleh pemerintah. Memberikan tambahan keamanan bagi pemberi pinjaman (swasta) terhadap kejadian politik yang merugikan dan ketidakmampuan pembayaran oleh pemerintah Indonesia jika PT PLN (Persero) gagal dalam offtake nya.
Cadangan sumber energi yang sudah terbukti ( Proven Field) Pemerintah berperan lebih besar dalam mengambil risiko eksplorasi dengan cara melakukan eksplorasi sendiri sebelum membuka tender ke pengembang swasta atau dengan menyediakan dukungan finansial dalam bentuk pinjaman konsesi, hibah, jaminan, dan asuransi. Pengembang swasta akan lebih siap untuk menanggung biaya yang besar apabila proyek sudah terbukti menghasilkan tenaga geothermal; risiko yang lebih ringan bagi pengembang dan pemberi pinjaman komersial karena mereka hanya akan menanggung risiko pada taham pengembangan dan konstruksi lapangan, serta operasionalisasi proyek.
5.3.3. Pengembangan Tenaga Air ( Hydro ) Pengembangan tenaga air bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga yang berasal dari aliran atau terjunan air untuk dapat menghasilkan energi listrik. PT PLN (Persero) membagi jenis tarif berdasarkan kapasitas pembangkit listrik tenaga air yaitu, pembangkit dengan kapasitas tegangan menengah sampai dengan 10MW dan pembangkit dengan kapasitas rendah sampai dengan 250kW (lihat Lampiran 2 Kebijakan Harga Energi Tabel 22). Harga tarif untuk pembangkit tegangan tinggi diatas 10 MW diatur lebih lanjut melalui perjanjian dengan PT PLN (Persero) (Lampiran 2). 5.3.3.1.
Opsi Skem a Proyek dan Pendanaan Pengembangan Energi Tenaga Air Skala Kecil Dibandingkan dengan seluruh jenis pengembangan energi terbarukan, proyek pengembangan tenaga air mini hydro (PLTM) merupakan proyek yang memiliki potensi untuk sepenuhnya dibiayai oleh perbankan (BI, 2013). Hal ini dikarenakan jumlah investasi PLTM tidak terlalu besar yaitu berkisar antara US$ 1 – 3 juta per MW. Untuk mendorong peran serta perbankan nasional, Bank Indonesia telah menyusun model pembiayaan pengembangan PLTM. Laporan ini membahas tiga jenis skema pembiayaan, yaitu: skema berbasis proyek, skema korporasi dan skema indikasi atau konsorsium (Tabel 17).
50
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
Tabel 17. Opsi Skema Pendanaan Proyek Pengembangan Tenaga Air Opsi skema pendanaan
Skema berbasis proyek
Dalam praktiknya, pembiayaan ini diberikan kepada pengusaha pengembang independen (IPP) yang dibentuk oleh perusahaan Penjelasan singkat opsi gabungan dengan pola pembagian skema pendanaan saham. IPP ini yang biasanya mengelola seluruh proses dari persiapan proyek hingga pelaksanaan. Mekanisme pendanaan
Alasan
Risiko untuk dipertimbangkan
Skema korporasi
Skema sindikasi atau konsorsium
Pinjaman dana ini biasanya diberikan kepada pihak perusahaan pengembang yang biasanya merupakan nasabah bank tersebut.
Pembiayaan ini melibatkan beberapa bank untuk satu proyek yang sama yang nilainya cukup besar. Ini dapat meminimalisir risiko. Hal ini dimungkinkan bila pengembang mengajukan proposal pendanaan ke beberapa bank sekaligus.
Pinjaman bank diberikan kepada IPP dengan meminta jaminan dari perusahaan gabungan.
Pengembang energi menggunakan pendanaan berupa pinjaman bank dan ekuitas.
Pengembang energi menggunakan pendanaan berupa Pinjaman bank dan atau ekuitas tergantung dari tahapan proyek.
Biasanya sulit bila hanya mengandalkan pendanaan dari bank saja bila proyek sangat besar dikarenakan batas atas pinjaman per bank.
Cocok untuk perusahaan besar yang sudah memiliki reputasi baik.
Cocok untuk tahap awal pengembangan seperti studi kelayakan dan eksplorasi yang diperkirakan sebesar 2-‐3% dari total investasi dengan tingkat bunga tinggi hingga 35%.
Proyek berskala kecil memiliki kemungkinan kecil untuk didanai. Skema ini biasanya digunakan oleh perusahaan gabungan berskala besar.
Skema ini biasanya hanya terbuka bagi debitur yang sudah menjadi nasabah bank yang bersangkutan.
Diperlukan kapasitas manajemen yang besar dari pihak pengembang untuk dapat melibatkan sejumlah bank sebagai sumber pendanaan.
Diperlukan studi kelayakan yang berkualitas untuk menghindari risiko kegagalan proyek; kontraktor operasi dan manajemen hanya menambah lapisan manajemen dan biaya saja. Kontraktor operasi dan manajemen ini tidak diperlukan bila proyek pembangunan dirancang dengan baik; kontraktor Engineering Procurement Construction tidak cocok digunakan untuk proyek pengembangan tenaga air karena nilai pembelian peralatan tenaga air dinilai kecil dan relatif mudah dilakukan oleh pengembang karena aspek teknis pembelian banyak yang sudah terstandardisasi.
Analisis pilihan skema pendanaan Pengembangan tenaga air berskala kecil berpotensi untuk memacu peran serta swasta terutama perbankan nasional untuk mendukung pemerintah dalam mencapai kedaulatan energi. Peran serta Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mensosialisasikan hasil studi BI (2013) tentang model pembiayaan PLTM dan pelatihan bagi pihak perbankan sangat dibutuhkan dalam akselerasi pembiayaan pengembangan PLTM. Dalam melakukan kajian tentang peran swasta dalam pembangunan energi yang berkelanjutan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dapat bekerja sama dengan BI dan OJK dalam mencatat investasi perbankan dalam pengembangan PLTM. Kebijakan teknis terkait dapat dilihat di dalam Lampiran 1.
5.3.4. Pengembangan Energi Gas Ketersediaan gas konvensional di Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan dalam periode 2015-‐2017 (LCS dan PKPPIM, 2015c). Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan liquid natural gas (LNG) yang besar dan berpotensi untuk memanfaatkan gas sebagai sumber energi alternatif, ketersediaan gas di Indonesia mengalami penurunan. Ketersediaan gas yang menurun dapat diantisipasi bila cadangan LNG Indonesia dijadikan salah satu target prioritas pengembangan sumber energi. Peningkatan ketersediaan gas memiliki keuntungan ekonomis dan sosial jangka menengah dan panjang. Akan tetapi, proses produksi
51
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
energi perlu memperhatikan aspek lingkungan. Di bawah ini merupakan rekomendasi umum untuk pembangunan infrastruktur energi gas dan skema insentif untuk penanggulangan kebocoran emisi produksi minyak dan gas. 5.3.4.1. Pilihan Kebijakan untuk Pembangunan Infrastruktur Energi Gas LCS dan PKPPIM (2015c) menunjukkan bahwa gas dapat menjadi alternatif energi yang menguntungkan secara ekonomis dan sosial sampai dengan energi baru terbarukan mencapai level komersial dan skala yang dapat menjawab kebutuhan energi Indonesia. Menurut hasil studi tersebut, pemanfaatan gas setidaknya dapat meningkatkan pendapatan negara berkisar US$ 0,7 -‐ 3,4 triliun dan berkontribusi pada penguranganan emisi CO2 sebesar 7,3 gigaton. Di samping itu, pengembangan energi gas diperkirakan akan mampu membuka lapangan kerja hingga mencapai 275 ribu sampai dengan tahun 2050. LCS dan PKPPIM (2015c) menjelaskan bahwa produksi minyak dan gas di Indonesia banyak dilakukan oleh perusahaan minyak dan gas seperti Total E&P Indonesie, Pertamina, BP Berau (Tangguh), dan Conoco Phillips. Kementerian Keuangan dapat berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara dalam jangka menengah dengan mendukung eksplorasi gas dan pengembangan infrastruktur gas oleh perusahaan negara dan menggunakan instrumen pajak dalam memotivasi perusahaan minyak dan gas dalam melakukan pengeboran di lokasi-‐lokasi yang berpotensi. Saat ini terdapat 50 lokasi berpotensi yang teridentifikasi dimana 22 diantaranya belum pernah dilakukan kegiatan pengeboran dan 15 lainnya telah dieksplorasi tetapi belum maksimal. Perusahaan negara seperti PT Pertamina diharapkan dapat menggali potensi ini dan menjadi yang terdepan dalam mendukung ketahanan energi Indonesia.
Analsis pilihan kebijakan LCS dan PKPPIM (2015c) memberi rekomendasi umum yang dapat ditindaklanjuti oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dalam bentuk kajian mengenai (dis)insentif yang cocok dan optimal dalam memotivasi perusahaan minyak dan gas untuk melalukan pengeboran. Survey dan kajian dapat dilakukan melalui kerjasama dengan institusi terkait misalnya SKK Migas sebagai institusi yang didirikan Pemerintah Indonesia di tahun 2013 untuk mengatur aktivitas bisnis pada industri hulu minyak dan gas. Hal lain yang perlu diperhatikan di dalam kajian mengenai pengembangan energi gas adalah pertimbangan alternatif (dis)insentif pajak seperti potensi penggunaan regulasi. Analisis keseluruhan dari opsi-‐opsi dan alasannya sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa insentif pajak adalah solusi yang tepat untuk memicu pengembangan energi gas di Indonesia. 5.3.4.2. Skem a Insentif untuk Penanggulangan Kebocoran Emisi Produksi M inyak dan Gas Dalam pengembangan sektor energi dalam ruang lingkup pembangunan yang berkelanjutan, peningkatan ketersediaan energi berbasis fosil perlu dibarengi dengan penanggulangan kebocoran emisi yang dihasilkan dari proses produksi minyak dan gas atau dikenal dengan istilah gas flaring and venting. Kebocoran emisi bisa terjadi di seluruh tahapan proses produksi dan menghasilkan zat-‐zat berbahaya (LCS dan PKPPIM, 2015d). Studi yang dilakukan oleh LCS dan PKPPIM (2015d) mengusulkan tiga pilihan skema insentif untuk memotivasi produsen hulu minyak dan gas untuk mengurangi kebocoran emisi produksi minyak dan gas. Ketiga kebijakan tersebut yaitu komersialisasi emisi kebocoran melalui penggunaan regulasi harga maksimum untuk kebocoran limbah emisi, penetapan regulasi pemerintah bagi perusahaan minyak dan gas, dan disinsentif dengan batas atas yang disesuaikan.
52
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
Tabel 18. Opsi Kebijakan untuk Mengurangi Kebocoran Emisi Produksi Minyak dan Gas Komersialisasi emisi kebocoran melalui penggunaan regulasi
Opsi kebijakan
Penetapan regulasi pemerintah bagi perusahaan minyak dan gas
Menetapkan harga maksimum yang dikenakan pada badan usaha untuk kebocoran limbah emisi yang dihasilkan, memberi insentif kepada perusahaan Penjelasan singkat minyak dan gas untuk opsi kebijakan memproses limbah emisi, mengembangkan sistem kontrak bagi hasil antara produsen migas dan pengelola limbah emisi kebocoran. Prioritas
Disinsentif dengan batas atas yang disesuaikan
Bekerja sama dengan asosiasi Mendenda perusahaan dengan kebocoran GGFR (Global Gas Flaring emisi di atas ambang batas yang ditentukan Reduction) yang dipimpin oleh oleh pemerintah dan dibedakan untuk kasus Bank Dunia untuk mendukung per kasus. Batas atas dapat ditentukan inisiatif yang mendorong dengan menggunakan rata-‐rata GFBOE yang dibuatnya kebijakan yang ditambahkan dengan standar deviasi (lihat mengharuskan perusahaan Lampiran 1 laporan ini dan studi Susanto minyak dan gas untuk aktif (2013)). Batas atas maksimum adalah rata-‐ berpartisipasi di dalam program. rata kategori ditambah 1.
¡
X
¤
Regulasi yang ada masih bersifat Sudah adanya perusahaan seperti Regulasi ini sudah diterapkannya di negara normatif dan tidak adanya Chevron yang terlibat dalam aksi lain. instrumen ekonomi dan fiskal ini. Alasan pendukung yang dapat diterapkan; SKK migas tidak tertarik untuk menjual gas Produsen dan SKK migas menetapkan harga yang tinggi sehingga bagi badan usaha minyak dan gas, pemrosesan limbah gas menjadi tidak menarik secara ekonomis.
Risiko untuk dipertimbangkan
Pengalaman negara lain
-‐
Sulitnya menentukan batas atas emisi kebocoran mengingat perbedaan lokasi dari pengeboran dan produksi minyak dan gas.
Sejak 2009 Chevron di lepas pantai Agbami Nigeria sudah beroperasi tanpa mengeluarkan emisi limbah. Hal ini dapat dilakukan dengan menyuntikan kembali gas emisi limbah ke dalam proses.
Di Norwegia, batas atas ditentukan kasus per kasus. Alberta menerapkan batas atas yang seragam.
Legenda: ¤ Rekomendasi utama; ¡ Rekomendasi kedua; X :idak direkomendasi
Analisis pilihan mekanisme Dari ketiga pilihan kebijakan tersebut, disinsentif dengan batas atas yang disesuaikan merupakan pilihan kebijakan yang memiliki biaya paling kecil dan berpotensi meningkatkan pendapatan negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkannya hanya pada perusahaan baru dan pada perusahaan yang sudah beroperasi ketika perusahaan yang bersangkutan memperpanjang kontrak pembagian hasil produksi (production sharing contract) dengan pemerintah atau setelah periode pemberitahuan yang wajar. Hanya saja pilihan kebijakan ini memiliki risiko politik yang cukup besar karena bisa mengundang reaksi dari asosiasi produsen minyak dan gas, meskipun kebijakan serupa saat ini telah diterapkan di beberapa negara dan perusahaan internasional sudah sangat akrab dengan kebijakan ini. Rekomendasi kebijakan pertama membutuhkan waktu paling lama karena membutuhkan pengembangan sistem dimana Kementerian Keuangan memiliki peran yang terbatas. Pilihan kebijakan kedua adalah rekomendasi yang memiliki risiko dan hasil moderat serta mengandalkan inisiatif dari Bank Dunia dan produsen-‐produsen minyak dan gas itu sendiri. Pengembangan kebijakan ini mungkin akan berjalan lebih lambat. Pilihan kebijakan ketiga dapat disusun oleh Kementerian ESDM Direktorat Minyak dan Gas melaui diskusi dengan Badan Kebijakan FiskalBKF Kementerian Keuangan.
53
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
5.3.5. Energi BBM dan Subsidi BBM Kontribusi energi BBM masih menjadi bagian terbesar dalam bauran energi di Indonesia (lihat Gambar 1). Sebelum dan bersamaan dengan pengurangan subsidi BBM di akhir tahun 2014, terdapat banyak kajian yang menganalisis faktor-‐faktor terkait dengan BBM yang menunjukkan bahwa pengurangan subsidi BBM memiliki dampak yang luas terhadap masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan energi berkelanjutan, laporan ini menyertakan hasil penemuan studi mengenai pengurangan subsidi BBM dan peran pemerintah lokal (ICED, 2014) serta dampak pengurangan subsidi BBM terhadap masyarakat miskin di DKI Jakarta (LCS dan PKPPIM, 2015a). 5.3.5.1. Pengurangan Subsidi BBM dan Pemerintah Lokal Pengurangan subsidi BBM masih berada dalam kewenangan pemerintah pusat walaupun kebijakan dan sistem penanggulangan dampak pengurangan subsidi BBM terhadap masyarakat diserahkan kepada pemerintah daerah. Proyek Indonesia Clean Energy Development (ICED) (2014) menganalisis dua opsi untuk penyaluran dana hibah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berasal dari penghematan subsidi BBM. Penyaluran dana dapat dirancang agar mendukung pengurangan emisi di tingkat daerah. Dua opsi yang dimaksud yaitu pendekatan dari atas ke bawah dan pendekatan dari bawah ke atas (Tabel 19). Tabel 19. Pilihan Mekanisme Sistem Penyaluran Penghematan Subsidi BBM Opsi mekanisme
Pendekatan dari atas ke bawah
Pendekatan dari bawah ke atas
Pemerintah daerah dinilai berdasarkan pengurangan emisi, subsidi BBM, dan subsidi listrik. Hal ini diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri untuk dikaji oleh tim yang memverifikasi (terdiri dari Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian lain yang terkait). Bila disetujui, maka Kementerian Penjelasan singkat Dalam Negeri akan mengajukan permohonan ke opsi mekanisme Kementerian Keuangan berupa hibah daerah. Kementerian Keuangan memutuskan perihal hibah yang diajukan. Setelah disetujui, Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah menandatangani nota kesepahaman, lalu Pemerintah Daerah membuat rencana penggunaan hibah daerah.
Pemerintah daerah dinilai dan dimonitor berdasarkan pengurangan emisi, subsidi BBM, dan subsidi listrik. Tim pengawas teknis menilai kinerja dan jumlah hibah yang dibutuhkan dan mengajukannya ke Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Dalam Negeri kemudian mengajukan proposal ke Kementerian Keuangan untuk hibah daerah yang diusulkan oleh tim teknis. Kementerian Keuangan memutuskan perihal hibah yang diajukan. Bila disetujui, Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah menandatangani nota kesepahaman dan Pemerintah Daerah membuat rencana penggunaan hibah daerah.
¡ Kerangka kebijakan untuk melakukan pendekatan ini tersedia; sistem pengawasan Kementerian Dalam Negeri Alasan pendukung diharapkan akan meningkat; partisipasi daerah juga diharapkan akan meningkat Risiko untuk Tidak tersedianya tim lintas kementerian untuk dipertimbangkan memverifikasi Legenda: ¤ Prioritas utama; ¡ Prioritas kedua Catatan: peranan kementerian dijelaskan lebih lanjut di ICED (2014)
¤ Rendahnya potensi konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; efektif sebagai instrumen kebijakan
Prioritas
Kontrol dari penggunaan hibah akan sulit dilakukan oleh Kementerian teknis terkait.
Analisis pilihan mekanisme Kedua sistem bertujuan untuk memotivasi pemerintah daerah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan konsumsi BBM. Dari kedua pilihan kebijakan, pendekatan sistem dari bawah ke atas memberikan kebebasan bagi Pemerintah Daerah untuk menunjukkan insitiatif masing-‐masing. Walapun kedua pendekatan telah memiliki landasan hukum (lihat studi ICED 2014), efektivitas hibah daerah tergantung pada persepsi dan ketertarikan pemerintah daerah untuk mengakses hibah daerah dalam mendanai kegiatan di daerahnya masing-‐masing.
54
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
5.3.5.2. Dam pak Penghapusan Subsidi BBM terhadap M asyarakat di DKI Jakarta Studi yang dilakukan oleh Kodrat (2015) menunjukkan bahwa pengurangan subsidi BBM berdampak negatif pada masyarakat yang tergolong miskin di DKI Jakarta (Kodrat, 2015). Kemampuan daya beli warga Jakarta golongan termiskin mengalami penurunan yang paling signifikan dibandingan dengan golongan lain terutama untuk konsumsi non-‐bahan pangan seperti bantuan pendidikan dan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam merealisasikan aspirasi untuk menghilangkan subsidi BBM, pemerintah khususnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta perlu mempertimbangkan kebijakan-‐kebijakan untuk mengurangi dampak pengurangan subsidi BBM terhadap masyarakat kelas ekonomi kurang mampu. Hal ini dapat dilakukan dengan mempersiapkan ruang fiskal dalam belanja pemerintah daerah yang ditujukan untuk program-‐ program kesejahteraan masyarakat ekonomi kurang mampu sehingga bisa meminimalisir guncangan ekonomi jangka pendek.
Tindak lanjut hasil penemuan Sebagai kebijakan jangka pendek, Pemerintah Daerah DKI Jakarta dapat mempertimbangkan pengalihan penghematan subsidi BBM. Pertama adalah membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu dan membutuhkan bantuan non-‐pangan seperti kesehatan. Kedua yaitu dengan membantu kelompok masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada sektor transportasi. Sebelum melakukan alokasi dana, Pemerintah DKI dapat melakukan dua studi singkat, yaitu studi peran jaminan sosial kesehatan dan pendidikan dalam pasca-‐pengurangan subsidi BBM dan studi lanjutan untuk melihat sub-‐sektor transportasi yang terkena dampak paling besar. Sebagai kebijakan jangka panjang, subsidi bahan bakar fosil dapat diinvestasikan dalam pengembangan berbagai moda transportasi umum di kota-‐kota besar seperti MRT, akses kereta api, dan layanan antar-‐jemput untuk komuter dari daerah sekitar Jakarta. Hal ini akan memperlancar arus perputaran ekonomi yang selaras dengan RPJMN 2015-‐2019 yang menyatakan bahwa “penghematan subsidi energi dialokasikan pada belanja modal, sehingga alokasi belanja modal naik dari 1,8% PDB tahun 2014 menjadi 3,9% pada tahun 2019” (RPJMN hal. 3-‐75).
5.3.6. Pengembangan Energi Kogenerasi Pengembangan energi kogenerasi adalah pemanfaatan energi dari pendaur ulangan panas yang dihasilkan oleh proses produksi di sektor industri. Beberapa jenis industri seperti industri semen, industri peleburan baja/logam, industri keramik/kaca/gelas, dan industri makanan/minuman berpotensi besar untuk memanfaatkan energi dari kogenerasi. Selain itu, kogenerasi dapat pula dilakukan melalui produksi listrik dari pembangkit listrik PT PLN (Persero) yang menggunakan mesin diesel/gas dengan kogenerasi siklus kombinasi (combined cycle) yang memanfaatkan buangan panas mesin tersebut. Dengan sistem kogenerasi, pelaku industri dapat memanfaatkan listrik dari proses produksi dan mengurangi energi listrik dari pembangkit lainnya atau dari PLN Persero (B2TE/BPPT, 2014). Kogenerasi sudah berhasil dilakukan oleh beberapa industri dan dapat dipercepat dengan dukungan pemerintah. 36 .
Analisis dan tindak lanjut hasil penemuan Pemerintah memiliki keleluasan dalam meningkatkan kegiatan kogenerasi di sektor publik dan di sektor komersial. Di sektor publik, PT PLN (Persero) dapat melakukan kogenerasi siklus kombinasi untuk meningkatkan efisiensi termal pembangkit listrik tenaga mesin diesel/gas dari 30% -‐ 40% menjadi sekitar 50% -‐ 60% (B2TE/BBPT, 2014). Kogenerasi PT PLN (Persero) untuk Pembangkit
36
Studi dari Pusat Kajian dan Pengembangan Energi dan Kelistrikan Kementerian ESDM (Wargadalam, 2014) menunjukkan bahwa industri makanan dan minuman dan industri semen dan kaca telah menerapkan tekonologi kogenerasi masing-‐masing 33% dan 28% dari total kebutuhan energi untuk produksi.
55
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Listrik Tenaga Diesel dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dapat menghasilkan 13.093 GWh/tahun (ibid). Kementerian Keuangan dapat mengusulkan agar kegiatan konservasi energi dikategorikan sebagai indikator kinerja eksekutif senior PT PLN (Persero) untuk meningkatkan ketersediaan energi dan melaksanakan efisiensi produksi listrik melalui sistem kogenerasi (LCS dan PKPPIM, 2014a). Di sektor komersial, saat ini belum terdapat instrumen (dis)insentif yang spesifik untuk mempromosikan kegiatan kogenerasi. Meskipun demikian, perusahaan ESCO sebagaimana dijelaskan di Sub-‐Bab 5.3.1.1 merupakan jenis perusahaan yang dapat menyediakan jasa instalasi kogenerasi. Penggolongan perusahaan jenis ESCO sebagai industri pionir yang dapat memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh) (lihat Sub-‐Bab 3.1) merupakan sebuah strategi dalam mempromosikan kegiatan di sisi penawaran kogenerasi. Untuk strategi sisi permintaan kogenerasi, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan dapat melakukan kajian mengenai skema insentif yang cocok untuk memotivasi badan usaha yang bergerak di industri semen, baja, keramik, kaca, gelas dan makanan serta minuman berskala besar untuk meningkatkan produksi energi dari kogenerasi.
5.4.
Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal untuk Mengelola Penawaran Energi
Opsi-‐opsi prioritas yang berupa kebijakan fiskal dan kebijakan non-‐fiskal untuk mengelola sisi penawaran energi memerlukan peran serta dari pihak swasta baik domestik maupun internasional. Dari opsi kebijakan yang dipaparkan di dalam sub-‐Bab 5.3, terdapat enam pilihan kebijakan fiskal utama sisi penawaran energi yaitu disinsentif untuk mengurangi kebocoran emisi produksi minyak dan gas, pinjaman lunak untuk pemasangan panel tenaga surya, struktur pendanaan pengembangan panas bumi, penjaminan pinjaman pendanaan pengembangan panas bumi, arahan dalam pembiayaan PLN (Persero) untuk melaksanakan kogenerasi, dan dukungan dalam pembangunan infrastruktur energi gas (Tabel 20 di halaman berikut).
Terdapat beberapa kriteria untuk mensintesis opsi kebijakan fiskal. Sintesis kebijakan fiskal ini tidak mencakup kebijakan-‐kebijakan yang kewenangan dan tanggung jawabnya berada di bawah pemerintah local dan pihak swasta, seperti promosi penyewaan. Sintesis ini tidak meliputi rekomendasi prioritas utama yang tidak tergolong sebagai kebijakan fiskal dimana Kementerian Keuangan tidak memiliki kewenangan dan/atau tanggung jawab, seperti feed in tariff dan eksplorasi panas bumi, skema pengembangan dan pendanaan tenaga air, studi tentang peranan jaminan sosial dan pendidikan dalam membantu masyarakat miskin, atau studi untuk mengidentifikasi subkelompok mana dalam sektor transportasi yang terkena dampak paling parah dari pemotongan subsidi. Saran dan studi yang direkomendasikan akan dibahas di bagian 6.2. Feed in tariff adalah kebijakan fiskal yang diatur oleh Kementerian ESDM.
56
Bab 5. Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi
Tabel 20. Sintesis Opsi Kebijakan Fiskal Sisi Penawaran Energi dan Stakeholder Terkait Klasifikasi kebijakan fiskal Pendapatan negara dan hibah Pembiayaan negara
37
Opsi kebijakan
Disinsentif untuk mengurangi kebocoran emisi pada produksi minyak dan gas Pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman untuk pemasangan panel tenaga surya
Struktur pendanaan pengembangan panas bumi Penjaminan pinjaman pengembangan panas bumi Arahan dalam pembiayaan PLN (Persero) untuk melaksanakan kogenerasi Dukungan dalam pembangunan infrastruktur energi gas Legenda: ¤ Prioritas utama; ¡ Prioritas kedua
Prioritas
Sumber informasi
Sumber energi
Stakeholder terkait utama
¤
Tabel 18
Minyak dan gas
¤ untuk pinjaman lunak ¡ untuk penjamina n pinjaman
Tabel 14
Tenaga surya fotovoltaik
¤
Tabel 15
Tenaga panas bumi
¤
Tabel 16
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Kementerian Keuangan, SKK Migas, Asosiasi Produsen Minyak dan gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, PT SMI, Bank Indonesia, perwakilan perbankan, Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, PT SMI, perwakilan pengembangan IUP panas bumi
¤
Sub-‐Bab 5.3.6
Kogenerasi
¤
Sub-‐Bab 5.3.4.1
Energi gas
Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Kementerian Keuangan, SKK Migas
Kementerian Keuangan dapat menimbang pilihan strategi kebijakan fiskal yang mendukung target pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara dan ketersediaan energi menurut jumlah sumber daya tersedia yang terbatas. Pertama disinsentif untuk mengurangi kebocoran emisi produksi minyak dan gas merupakan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Kedua terdapat beberapa pilihan kebijakan yang merupakan kelanjutan proses dari restrukturisasi kelembagaan seperti struktur pendanaan pengembangan panas bumi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan tidak akan memerlukan pembiayaan jangka pendek yang besar dalam memutuskan untuk memilih dan mengembangkan opsi kebijakan. Akan sangat menguntungkan bila dana yang sebelumnya sudah dialokasikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai dana alokasi pengembangan panas bumi dapat berfungsi sebagai penjaminan pendanaan untuk mendorong partisipasi swasta baik dalam eksplorasi maupun pengembangan lapangan yang sudah terbukti memiliki cadangan panas bumi (proven field). Pemberian fasilitas pinjaman dan penjaminan pinjaman untuk pemasangan panel tenaga surya dapat dilakukan bersamaan dengan pemberlakuan kebijakan serupa untuk peralatan hemat energi yang sudah dibahas di sisi permintaan energi, seperti didiskusikan di Bab 4. Walaupun biayanya sangat besar, pemerintah dapat mendukung pengembangan dan pembangunan infrastruktur energi gas dan mendorong partisipasi dari pihak swasta terutama dalam kegiatan pengeboran. Skema sistem penyaluran penghematan BBM perlu dikaji terlebih dahulu oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sumber Daya Manusia. Dalam hal ini tugas dan peran Kementerian Keuangan yaitu sebagai penilai proposal yang masuk.
37
Opsi kebijakan fiskal nasional tidak mencakup pilihan kebijakan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan swasta antara lain promosi penyewaan dan tidak mencakup rekomendasi prioritas utama yang bukan kebijakan fiskal yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan seperti FiT dan eksplorasi panas panas bumi, skema dan pendanaan pengembangan tenaga air, studi peran jaminan sosial kesehatan dan pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu pasca-‐pengurangan subsidi BBM dan studi untuk melihat sub-‐sektor transportasi yang terkena dampak paling besar. Saran berupa studi lanjut dibahas di dalam Sub-‐Bab 6.2.
57
Bab 6. Kesimpulan dan Saran
Bab 6. Kesimpulan dan Saran Bab 6 mengemukakan kembali pertanyaan panduan dan menyajikan kesimpulan dengan menjawab pertanyaan panduan dan menawarkan sejumlah saran yang dapat dikembangkan dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Keuangan dalam rangka membangun ketahanan energi. Bab ini juga disertai dengan analisis singkat mengenai potensi hambatan dalam pengembangan kebijakan fiskal sektor energi dan langkah antisipasinya.
6.1. Kesimpulan Indonesia memiliki potensi yang besar dalam melakukan konservasi energi dan meningkatkan ketersediaan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan menggunakan seperangkat instrumen fiskal. Pendanaan dalam negeri memiliki peran penting dalam menggali potensi tersebut. Pendanaan internasional menjadi pemacu dalam pembangunan sektor energi yang berkelanjutan. Bab 3 sampai dengan Bab 5 memaparkan sejumlah perangkat fiskal yang bermanfaat dalam meningkatkan efektivitas penggunaan pendanaan dalam negeri dan juga luar negeri. Sejumlah perangkat fiskal ini berguna dalam menjawab pertanyaan panduan: Apa sajakah opsi kebijakan fiskal yang mempengaruhi permintaan dan penawaran energi dan sekaligus mendukung pembangunan yang berkelanjutan? Di sisi permintaan energi, sasaran utama kebijakan fiskal bertujuan untuk mengakselerasi kegiatan konservasi energi dengan memotivasi badan usaha dan konsumen untuk memilih proses produksi dan konsumsi serta barang yang ramah lingkungan sekaligus meningkatkan kontribusi terhadap PDB Indonesia. Di sisi penawaran energi, sasaran utama kebijakan fiskal berpotensi untuk memotivasi investasi pembangunan sarana dan prasarana energi yang lebih ramah lingkungan, terutama energi baru dan energi terbarukan dengan potensi terbesar seperti energi dari gas alam, energi air, energi panas bumi, dan energi biomassa. Laporan ini menyuguhkan semua opsi kebijakan fiskal prioritas seperti dipaparkan di akhir Bab 3, 4, dan 5 dalam bentuk peta perjalanan kebijakan fiskal di sektor energi dalam menjawab pertanyaan panduan di atas (lihat Tabel 21). Peta perjalanan opsi kebijakan fiskal sektor energi menjabarkan opsi kebijakan fiskal yang dibagi ke dalam dua periode yaitu periode jangka pendek (2015 – 2017, sesuai dengan periode RPJMN 2015-‐2019) dan periode jangka menengah (2018-‐ 2019). Opsi kebijakan jangka pendek menjawab peningkatan efektivitas dari strategi kebijakan fiskal yang telah ada seperti dibahas di dalam Bab 3 dan opsi kebijakan prioritas utama seperti diuraikan di dalam Bab 4 dan 5. Opsi jangka menengah adalah opsi kebijakan prioritas kedua di dalam Bab 4 dan Bab 5.
59
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Tabel 21. Peta Perjalanan Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi yang Diprioritaskan Klasifikasi kebijakan fiskal Sisi Permintaan energi Pendapatan negara dan hibah
Belanja negara Pembiayaan negara
Sasaran jangka pendek (2015-‐2017)
Sasaran jangka menengah (2018-‐2019)
• Peralatan hemat energi dengan rating energi tinggi dan bersertifikasi yang tidak tersedia di dalam negeri mendapatkan keringanan bea masuk (Tabel 7); • Badan usaha yang mempromosikan konservasi energi seperti ESCO dikategorikan sebagai industri pionir dan mendapat pengurangan pajak penghasilan (Bagian 3.1, Tabel 14, 17); • Peralatan hemat energi dengan rating energi tinggi mendapat pengurangan PPN (Tabel 4, 5, 7, dan 8);
• Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor disesuaikan berdasarkan efisiensi energi (Tabel 11).
• Fasilitas pendanaan untuk konservasi energi yang menggerakkan institusi keuangan seperti bank komersial dalam menyediakan pinjaman lunak bagi badan usaha untuk pembelian piranti hemat energi seperti AC dan pembangunan gedung hijau (Tabel 7 dan 9).
• Peralatan hemat energi dengan rating energi tinggi mendapat rabat atau subsidi langsung (Tabel 5). • Fasilitas pendanaan untuk konservasi energi yang memicu institusi keuangan seperti bank komersial dan Jamkrindo dalam menyediakan pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman untuk pembelian piranti hemat energi seperti AC dan pembangunan gedung hijau (Tabel 7 dan 9).
Sisi Penawaran energi Pendapatan negara dan hibah
Pembiayaan negara
• Langkah prosedur dan operasionalisasi dipahami dan dipergunakan oleh badan usaha di bidang energi terbarukan untuk memperoleh insentif (Bab 3); dan • Badan usaha dengan tingkat kebocoran emisi dalam produksi minyak dan gas diatas rata-‐rata mendapat sanksi misalnya sanksi pajak (Bab 5). • Tersalurkannya pendanaan pengembangan eksplorasi panas bumi (Bagian 3.3, Tabel 15 dan 16); • Pembelian panel tenaga surya mendapatkan fasilitas pinjaman lunak (Tabel 14); • Pembiayaan PLN (Persero) diarahkan antara lain untuk melaksanakan kogenerasi energi (Bagian 5.3.6); dan • Pembangunan infrastruktur energi gas mendapat dukungan dari pemerintah (Bagian 5.3.4.1).
• Pembelian panel tenaga surya mendapatkan fasilitas pinjaman lunak dan penjaminan pinjaman (Tabel 14); dan • Pengembangan panas bumi dapat memperoleh penjaminan pinjaman (Bagian 3.3, Tabel 15 dan 16).
6.2.
Saran
Laporan ini memaparkan berbagai opsi kebijakan fiskal untuk pengembangan sektor energi yang dapat diprioritaskan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Keuangan. Opsi-‐opsi ini berhubungan dengan seperti investasi dalam kegiatan konservasi energi di sektor industri dan sektor rumah tangga dan yang berhubungan dengan agenda pemerintah untuk mempromosikan pengembangan energi baru terbarukan. Kedua hal ini adalah dua bidang dengan potensi terbesar untuk mengelola peningkatan kebutuhan dan penawaran energi baik jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam menggali potensi ini, Pemerintah Indonesia membutuhkan investasi yang besar dan dapat dipandang sebagai pengorbanan jangka pendek dan jangka menengah untuk mendapatkan hasil jangka panjang. Pertimbangan risiko fiskal dari seluruh jenis strategi menjadi sangat penting dalam memilih kebijakan dengan risiko yang tepat untuk mendukung keseimbangan risiko fiskal dan neraca keuangan negara. Laporan ini menawarkan sejumlah studi lanjutan yang dapat dilakukan dalam mendukung pembangunan sektor energi yang berkelanjutan.
60
Bab 6. Kesimpulan dan Saran
Pemerintah dapat melakukan berbagai studi dan kajian untuk menggali potensi instrumen pendanaan guna mendukung sektor energi yang berkelanjutan. Di sisi permintaan energi, laporan ini menyarankan pelaksanaan sejumlah studi antara lain studi mengenai partial grant subsidy dengan skema reimbursement terhadap biaya investasi peralatan hemat energi dan/atau peralatan penghemat energi di sektor industri dan komersial, dan studi lanjutan mengenai peran dan efektivitas dari regulasi (seperti direkomendasikan diatas) yang telah berhasil merubah perilaku konsumen dan mengembangkan kebijakan tersebut agar dapat lebih efektif. Untuk sisi penawaran energi, laporan ini menyarankan sejumlah studi lanjutan antara lain studi tentang skema insentif kogenerasi sektor industri, studi mengenai skema insentif perusahaan minyak dan gas dalam melakukan pengeboran untuk pengembangan tenaga panas bumi, potensi penjaminan pinjaman dalam skema pendanaan panas bumi, dan alokasi belanja negara serta penelusuran bersama alokasi belanja pemerintah untuk Feed-‐in-‐Tariff antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan dan evaluasi efektivitasnya dalam akselerasi pembangunan infrastruktur energi. Di samping itu, laporan ini juga mengusulkan berbagai studi lain seperti pengembangan skema dan kebijakan kelembagaan misalnya studi terkait dengan obligasi hijau (green bonds) yang dilakukan oleh pengkaji independen untuk diterbitkan dan dijual oleh penerbit obligasi kepada investor di bursa saham/pasar uang yang ditujukan untuk mendanai berbagai kegiatan pengembangan energi hijau termasuk kegiatan konservasi energi; studi yang menganalisis opsi skema kerja sama swasta terutama dalam investasi pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Studi yang diusulkan juga dapat berupa penilaian yang rinci tentang biaya dan keuntungan dari inisiatif tertentu yang didukung oleh kajian literatur yang sistematis, yang didukung dengan contoh sukses peran swasta dalam pengembangan energi terbarukan dari institusi pendanaan perubahan iklim misalnya Global Environment Facility dan Clean Technology Fund. Hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung kedaulatan energi antara lain mendukung program kampanye Kementerian ESDM untuk menumbuhkan kesadaran publik dan badan usaha, mengembangkan skema pengadaan barang hemat energi untuk keperluan pemerintah, dan perluasan audit efisiensi energi untuk gedung.
6.3.
Potensi Hambatan dan Langkah Antisipasi
Bagian ini menjelaskan potensi hambatan yang berpeluang untuk muncul dalam tahap pengembangan kebijakan fiskal pengelolaan permintaan energi dan penawaran energi serta langkah yang dapat dipertimbangkan bila hambatan yang dimaksud muncul dalam pelaksanaan pengembangan kebijakan.
1. Prioritas di Kementerian Keuangan Pengembangan solusi bagi sektor energi merupakan salah satu prioritas utama dari Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan memiliki mandat untuk merancang kebijakan yang meningkatkan pendapatan melalui berbagai jenis instrumen pajak sekaligus mencapai berbagai tujuan seperti tujuan-‐tujuan di sektor energi. Berbagai hal kemungkinan dapat menjadi pertimbangan untuk menunda opsi penurunan pajak seperti PPh, PPN, dan penurunan bea masuk untuk barang hemat energi dan badan usaha yang mempromosikan konservasi energi. Beberapa kebijakan ini mungkin akan mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor perpajakan dalam jangka pendek, namun akan memberikan keuntungan jangka panjang yang lebih luas dalam bentuk pengembangan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Akan tetapi, laporan ini menunjukkan bahwa penurunan penerimaan dalam negeri jangka pendek ini kemungkinan dapat dikompensasi dalam jangka menengah dan jangka panjang misalnya dengan pilihan skema
61
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
disinsentif yang diusulkan di dalam laporan ini. Analisis detail tentang keuntungan yang lebih luas dan biaya dari inisiatif-‐inisiatif tersebut juga akana berguna bagi para pengambil keputusan.
2. Risiko kegagalan proyek pembiayaan Persiapan dan perencanaan yang kurang baik bisa berakibat pada tidak tersalurkannya dana konservasi energi, dan berdampak pada kinerja Kementerian Keuangan. Risiko tidak tersalurkannya dana proyek akan lebih besar apabila perencanaan strategis yang matang tidak dikembangkan berdasarkan data di lapangan. Kegagalan ini dapat dikurangi dengan perencanaan strategis dan estimasi keuangan yang dibuat berdasarkan survey lapangan dan penelitian. 3. Kurangnya minat dari pemerintah daerah Pemerintah daerah bisa jadi kurang tertarik dalam merancang kebijakan fiskal pengelolaan energi bila terdapat perbedaan antara prioritas dan kebijakan pemerintah daerah. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengindentifikasi dan memberikan dukungan keuangan pada 1-‐2 daerah yang memiliki minat dan potensi tinggi untuk pengembangan hijau yang selanjutnya dijadikan proyek percontohan bagi daerah lain, misalnya kota Surabaya dan Bandung dimana walikotanya sudah mendapatkan banyak penghargaan di bidang lingkungan tetapi mungkin masih membutuhkan dana untuk melaksanakan proyek pembangunan hijau berskala besar. 4. Kapasitas pemerintah daerah yang terbatas Pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan institusi memerlukan pendanaan yang sangat besar. Pemerintah daerah biasanya memiliki keterbatasan dalam mengakses sarana dan sarana pengembangan kapasitas sumber daya manusianya. Hal ini dapat diantisipasi melalui kerja sama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan milik Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian ESDM. Kerja sama ini salah satunya dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan pengembangan kapasitas pengembangan energi di tingkat daerah melalui kerja sama dengan para ahli baik di tingkat nasional dan internasional untuk meningkatkan kapasitas daerah sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. 5. Tingginya biaya koordinasi dengan kementerian terkait Pengembangan energi dan energi baru terbarukan merupakan aktivitas yang membutuhkan sebuah sistem informasi dan biaya untuk koordinasi lintas kementerian. Bila dana belum tersedia, koordinasi dapat memanfaatkan pertemuan teknis antar program pengembangan energi dengan program pengembangan sektor yang berkaitan misalnya menggabungkan acara program Low Carbon Support di Kementerian Keuangan dengan program Multi-‐stakeholder Forestry dan Land Governance di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk membahas isu-‐isu terkait pengembangan sektor energi seperti alokasi lahan yang ditujukan bagi kepentingan pengembangan energi yang berada di berbagai jenis kawasan hutan.
62
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka B2TE/BPPT (2013). Feed-‐in-‐Tariff Sebagai Instrumen Kebijakan untuk Mendorong Komersialisasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu di Indonesia. WhyPGen. United Nations Development Programme. Jakarta, Indonesia. B2TE/BPPT (2014). Menggali Potensi Sistem Kogenerasi di Sektor Industri. United Nations Development Programme. Jakarta, Indonesia.. BAPPENAS (2011). Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/images/documents/Buku_Pedoman_Pelaksanaan_ Rencana_Aksi_Penurunan_Emisi_GRK_Bahasa.pdf. BAPPENAS (2012). Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Indonesia. BAPPENAS (2014a). Rancangan Awal Pembangunan Jangkan Menengah Nasional 2015-‐2019: Buku 1 Agenda Pembangunan Nasional. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Indonesia. Diambil dari: http://www.bpkp.go.id/sesma/konten/2254/Buku-‐I-‐II-‐dan-‐ III-‐RPJMN-‐2015-‐2019.bpkp BAPPENAS (2014b). Rancangan Awal Pembangunan Jangkan Menengah Nasional 2015-‐2019: Buku 2 Agenda Pembangunan Bidang. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.bpkp.go.id/sesma/konten/2254/Buku-‐I-‐II-‐dan-‐ III-‐RPJMN-‐2015-‐2019.bpkp. Belke A, Dreger C, dan De Haan F. (2010). Energy consumption and economic growth: New insights into the cointegration relationship, Ruhr Economic Papers, No. 190, ISBN 978-‐3-‐ 86788-‐214-‐9. Diambil dari http://www.econstor.eu/bitstream/10419/37017/1/629737991.pdf. BI (2013). Pola Pembiayaan: Pembangkit Listrik Tenaga Air Berskala Kecil. Bank Indonesia. Jakarta: Indonesia. BPPT (2014) Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta: Indonesia. Diambil dari www.bppt.go.id/index.php/unduh?task=document.download&id. CFU (2015). Climate Funds Update database. Overseas Development Institute. London: UK. Diambil dari http://www.climatefundsupdate.org/. Conrad L dan Prasetyaning K (2014). Potensi energi untuk konektifitas grid kelistrikan dari biomas dan biogas di Indonesia. Promotion of Least-‐Cost Renewables in Indonesia (LCORE-‐ Indonesia). GIZ. Jakarta: Indonesia. Cronin P, Ryan F, dan Coughlan M (2008). Melakukan Kajian Literature: Pendekatan Langkah demi Langkah (judul asli: Undertaking a literature review: a step-‐by-‐step approach). British Journal of Nursing, 17(1), 38. Diambil dari http://www.researchgate.net/publication/5454130_Undertaking_a_literature_review_a_st ep-‐by-‐step_approach/links/0912f505c6fc817b55000000.pdf. ESDM (2012). Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2012 – 2031. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta: Indonesia.
63
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
EECCHI (2011). Insentif efisiensi energi di Asia Tenggara – Pembelajaran dari negara Singapur, Malaysia, Thailand dan Filipina (original title: Energy Efficiency Incentives in Southeast Asia : Lessons Learned from Singapore, Malaysia, Thailand, and the Philippines). DANIDA. Feldstein M (2009). Pemikiran Ulang Mengenai Peran Kebijakan Fiskal (Judul asli: Rethinking the Role of Fiscal Policy). National Bureau of Economic Research. Cambridge, United States. Diambil dari: http://www.nber.org/feldstein/RethinkingtheRole.pdf. GCI (2011). Percepatan Penerapan CCS: Penggunaan Karbon Dioksida yang Ditangkap di Sektor Industri (Judul asli: Accelerating the Uptake of CCS: Industrial Use of Captured Carbon Dioxide). Global CCS Institute and Parsons Brinckerhoff. Diambil dari http://decarboni.se/sites/default/files/publications/14026/accelerating-‐uptake-‐ccs-‐ industrial-‐use-‐captured-‐carbon-‐dioxide.pdf. Halimanjaya A dan Papyrakis E (2012). Donor Characteristics and the Supply of Climate Change Aid. DEV Working Paper Series No. 42. University of East Anglia. Norwich: UK. Diambil dari: https://www.uea.ac.uk/documents/6347571/6504346/paper-‐42/5b2772ba-‐a14c-‐4b3c-‐ bcd2-‐0d042b7323a5. Halstead M, Mikunda T, dan Cameron L (2015). Rangkuman Kebijakan Singkat: Indonesia Feed-‐in Tarif: Tantangan dan Pilihan (Judul asli: Policy Brief: Indonesian Feed-‐in Tariffs: Challenges and Options). Mitigation Momentum and Climate and Development Knowledge Network. Diambil dari: http://cdkn.org/wp-‐content/uploads/2015/04/ECN-‐Policy-‐Brief-‐Indonesian-‐ Feed-‐in-‐tariff-‐140304.pdf. Harisman R, Haryanto, J T I, Muhammad H, Munzinger P, dan Rakhmindyarto.(2013). Mekanisme desain pembiayaan lampu penerangan jalan umum hemat energi LED untuk pemerintah daerah. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: Indonesia. Hitachi Zosen Corporation, EX Research Institute Ltd., dan Smart Energy Co. (2012). Opsi konversi limbah menjadi energi di Malang (judul asli: Waste-‐to-‐energy Conversion Option in Malang). Jakarta, Indonesia. ICED (2013). Potensi Sumber Pendanaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia. USAID. Jakarta: Indonesia. ICED (2014). Panduan Investasi Bioenergi. USAID. Jakarta: Indonesia. India budget (2015). Dari Carbon Subsidi ke Pajak Karbon: Tindakan Hijau Pemerintah India (judul asli: From Carbon Subsidy to Carbon Tax: India’s Green Actions). New Delhi: India. Diambil dari: http://indiabudget.nic.in/es2014-‐15/echapvol1-‐09.pdf. IPCC (2014). Perubahan Iklim 2014: Laporan Sintesis. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (judul asli: Climate Change 2014: Synthesis report. Intergovernmental Panel on Climate Change). Geneva: Switzerland. Diambil dari http://www.ipcc.ch/report/ar5/syr/. JICA (2011). Laporan Akhir Studi untuk Mempromosikan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi oleh Pengembang Independen (judul asli: Study on Promotion Policies for Geothermal Power Development by Independent Power Producers). Japan Economic Research Institute Inc. and West Japan Engineering Consultants, Inc.. Japan International Cooperation Agency. Jakarta: Indonesia. JICA (2015). Kerjasama Teknis untuk Pengembangan Kapasitas untuk Ekonomi Hijau di Indonesia: Riset di Dalam Pengembangan Kawasan Perkotaan Hijau (judul asli: Technical Cooperation Project for Capacity Development for Green Economy Policy in Indonesia: Research on
64
Daftar Pustaka
Green Urban Development). Electric Power Development Co Ltd. Japan International Cooperation Agency. Jakarta: Indonesia. Kementerian Keuangan (2011). Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010. Diambil dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/10-‐01-‐ 06,%20NK%20APBN%202010.pdf. Kementerian Keuangan (2012). Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Subkatalogdata/Th.%202011%20-‐ %20APBNP.pdf. Kementerian Keuangan (2013). Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/11-‐11-‐22,%20NK%20APBN%202012.pdf. Kementerian Keuangan (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2013. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Subkatalogdata/Th.%202013%20RAPBNP.pd f. Kementerian Keuangan (2015a). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Advertorial%20APBN%202014_061213.pdf. Kementerian Keuangan (2015b). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-‐Perubahan Tahun Anggaran 2015. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/NK%20RAPBNP%202015.pdf. LCS dan PKPPIM (2013). Kajian Singkat untuk Industri Biofuel di Indonesia. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2014a). Kerangka Kebijakan Fiskal Terpadu untuk Meningkatkan Efisiensi Energi di Indonesia. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2014b). Kerangka Kebijakan Fiskal Terpadu untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2014c). Opsi Kebijakan Fiskal untuk Pengunaan Teknik Penangkapan dan Penyimpanan Karbon di Indonesia. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2014d). Analisa biaya dan keuntungan untuk pendanaan dalam investasi pengelolaan limbah untuk sumber energi melalui program pemberian kredit (judul asli: Cost and benefit analysis of investment funding in waste-‐to-‐energy management through the provision of credit). Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2014e). Perangkat kebijakan fiskal untuk menanggulangi emisi kendaraan bermotor di Indonesia). Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2015a). Studi Dampak Pengurangan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (2015b). Desain awal skema pendanaan bergulir untuk mendukung aksi efisiensi energi. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia.
65
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
LCS dan PKPPIM (2015c). Strategi Aspek Kebijakan Fiskal Promosi Gas (judul asli: Strategy for Fiscal Policy Aspects of Gas Promotion). Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia. LCS dan PKPPIM (201d5). Perangkat kebijakan fiskal untuk menanggulangi limbah bahan bakar minyak dan gas dari industri bahan bakar minyak dan gas berbasis karbon di Indonesia. Low Carbon Support Programme. Jakarta: Indonesia Murni S, Urmee T, Whale J, Davis J, dan Harries D (2014). Pelaksanaan Proyek-‐Proyek Hidro Mikro di Desa-‐desa Terpencil di Perbatasan Indonesia dan Malaysia: Pelajaran yang Ditarik (judul asli: The Implementation of Micro Hydro Projects in Remote Villages on the Border of Indonesia and Malaysia: Lessons Learnt). Green Energy for Sustainable Development (ICUE), 2014 International Conference and Utility Exhibition. OECD (2015) Organisation for Economic Development and Coorperation's Creditor Reporting System (CRS). Organisation for Economic Development and Coorperation. Paris: OECD. Diambil dari https://stats.oecd.org/Index.aspx?DataSetCode=CRS1 Palmetto (2014). Isentif di tingkat provinsi untuk instalasi panel tenaga surya (Judul asli: Special Report: State incentives for Residential and Commercial Solar Installations – A discussion on the unique state solar incentives landscape across the United States). Los Angeles: United States. Pertamina (2015). Pasokan dan Permintaan BBM di Indonesia dan Upaya Pertamina dalam Pemenuhan Kebutuhan BBM Nasional. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.migasreview.com/upload/d/c%7Bca%7DKondisiPasokandanPermintaanBBMdiI ndonesiadanUpayaPertaminaDalamPemenuhanKebutuhanBBMNasional%7Bca%7D2015-‐ 02-‐04%7Bca%7D05-‐53-‐57%7Bca%7D1421138112.pdf. PKPPIM (2013). Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan. Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.iesr.or.id/wp-‐content/uploads/Ramadhan_Insentif-‐ fiskal-‐dan-‐Instrument-‐Pembiayaan-‐untuk-‐Pengembangan-‐EBT-‐dan-‐Listrik-‐Pedesaan-‐ Final.pdf. PKPPIM (2014). Green Planning and Budgeting Strategy for Indonesia’s Sustainable Development, 2015-‐2020. Executive Summary. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. Diambil dari: http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/gpb-‐strategy.pdf. PKPPIM (2015). Laporan Studi Kementerian Keuangan tentang Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. In press. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Jakarta: Indonesia. PKPPIM, LCS dan IESR (2012). Pembelajaran dari pengembangan pasar untuk teknologi tenaga surya fotovoltaik dan presentasi-‐presentasi pendukung. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: Indonesia. PLN (2013). Statistik PLN 2013. PT PLN. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf. PLN (2013). Independent Power Producers Business in PT PLN (Persero). IPP Procurement Division. PT. PLN (Persero). PT PLN. Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.pln.co.id/dataweb/ipp/bookletipp.pdf
66
Daftar Pustaka
PLN (2015). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-‐2024 (pp. 2015–2024). Jakarta: Indonesia. Diambil dari http://www.pln.co.id/dataweb/RUPTL/RUPTL PLN 2015-‐ 2024.pdf Rachmadi R dan Sutiyono G (2015) Penggunaan Pendanaan Swasta dalam Mengakselerasi Pengembangan Panas Bumi: Studi Kasus Pembangkit Listrik Panas Bumi Sarulla (judul asli: Using Private Finance to Accelerate Geothermal Deployment: Sarulla Geothermal Power Plant Indonesia. Climate Policy Initiative. Jakarta: Indonesia. Reemerging World (2014). Pembelajaran dari Tenaga Surya Off-‐grid di Suderbans (judul asli: Lessons from Solar Off-‐grid Models in the Sunderbans: Insights and Analysis Based on Field Trips to Sunderbans for Indonesia Solar PV). Department for International Development. London: United Kingdom. Setyawan D (2014). Merumuskan Bergulir Skema Dana untuk Mendukung Proyek Efisiensi Energi di Indonesia (judul asli: Formulating Revolving Fund Scheme to Support Energy Efficiency Projects in Indonesia). Energy Procedia, 47(0), 37–46. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.egypro.2014.01.194. Singh R dan Setiawan A D (2013). Kebijakan Biomassa Energi dan Strategi: Potensi Panen di India dan Indonesia (judul asli: Biomass energy policies and strategies: Harvesting potential in India and Indonesia). Renewable and Sustainable Energy Reviews, 22, 332–345. doi:10.1016/j.rser.2013.01.043. Sugiyarto G, Corong E, dan Taningco A (2015). Dampak Peningkatan Harga Minyak terhadap Ekonomi dan Kemiskinan: Studi Kasus Indonesia (judul asli: Economic and Poverty Impacts of Soaring Oil Prices: The Case for Indonesia. Working Paper. Ecomod Network. Boston: Amerika Serikat. Retrieved from: http://ecomod.net/system/files/OIL%20SHOCKS%20IMPACT_%2029%20January%202014.d ocx Tetra Tech ES, Inc. (2013). Penguatan Pertumbuhan Ramah Lingkungan di Indonesia : Pengalaman Internasional dan Pembelajaran dalam Mendorong Investasi Energi Terbarukan Melalui Bank Sentral dan Insentif Pemerintah -‐ Studi Kasus dari Enam Negara (judul aslI: Powering Indonesia’s Green Growth: International Experience and lesson learned in stimulating Renewable Energy Investment through Central Bank and Government Incentives – Case study from Six Countries). USAID. Jakarta: Indonesia. Tetra Tech ES, Inc. (2013). Studi Awal dari Biomassa Kelapa Sawit di Provinsi Riau (judul asli: Pre-‐ Feasibility Study of Palm-‐based Biomass Power Generation and Biogas Resource Potential and their Utilisation). USAID. Jakarta: Indonesia. UNDP BRESL (2014). Sistem Rabat untuk Peralatan Rumah Tangga yang Efisien (judul asli: Rebate Scheme for Energy Efficient Appliances). United Nations Development Programme. Jakarta: Indonesia. UNFCCC (2015). UNFCCC’s Clean Development Mechanism database. Bonn: United Nations Framework Conventions on Climate Change. Bonn: Germany. Diambil dari https://cdm.unfccc.int/Projects/projsearch.html Wargadalam V (2014) Kogenerasi di Indonesia: Situasi dan Prospek (judul asli: Cogeneration in Indonesia: Current Situation and Prospects). Research and Development Centre of Energy and Electricity Technology (EERDC), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta: Indonesia.
67
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
World Bank (2011). Dokumen Penilaian Bank Dunia untuk Proyek Pengembangan Tenaga Panas Bumi (judul asli: Project Appraisal Document: For A Geothermal Clean Energy Investment Project (Total Project Development in Ulubelu Units 3 & 4 And Lahendong Units 5 & 6). Indonesia Sustainable Development Unit. Jakarta: Indonesia. World Bank (2015). Partisipasi Swasta dalam Infrastruktur. (judul asli: Private Participations in Infrastructure). World Bank. Washington DC, Amerika Serikat. Diambil dari http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreCountry.aspx?CountryID=53.
68
Lampiran
Lampiran -‐ Lampiran
69
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Lampiran 1: Opsi Kebijakan Teknis Terkait Pengembangan Energi Baru Terbarukan Laporan ini memaparkan sejumlah opsi kebijakan teknis yang berhubungan dengan pengembangan energi baru terbarukan dimana kewenangannya berada pada kementerian teknis terkait dan pemerintah daerah. Opsi-‐opsi kebijakan teknis terkait pengembangan energi baru terbarukan pada laporan ini bersumber dari sekumpulan studi yang terangkum di dalam Tabel 3, dan dikelompokan berdasarkan langkah-‐langkah pengembangan kebijakan energi hijau sebagaimana tertuang di dalam Ayat 40, Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004 tentang Kebijakan Pengembangan Energi Hijau. Klasifikasi opsi kebijakan yang digunakan disini adalah kebijakan harga energi, kebijakan peningkatan sumber daya manusia, kebijakan informasi, kebijakan standardisasi dan sertifikasi, kebijakan penelitian dan pengembangan, serta kebijakan kelembagaan. Dua klasifikasi kebijakan lain yaitu kebijakan investasi dan pendanaan serta kebijakan insentif di dalam Ayat 40, Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004 menjadi bahasan utama di dalam Sub-‐Bab 5.3. A. Opsi Kebijakan Harga Energi Terdapat dua opsi kebijakan harga energi di dalam daftar studi Tabel 3 yaitu (1) kebijakan tariff tinggi, merekomendasikan pemerintah untuk melakukan pembelian dengan harga tinggi bagi produsen energi baru terbarukan (B2TE/BBPT ,2014) serta (2) penentuan harga induk pasar untuk biodiesel dan ethanol (LCS dan PKPPIM, 2013).
Tarif tinggi untuk pembelian listrik energi terbarukan Kementerian ESDM telah menetapkan peraturan mengenai tarif tinggi termasuk Feed-‐in-‐Tariff (FiT). FiT didefinisikan sebagai harga premium yang dibayarkan kepada pengembang energi terbarukan yang dijamin untuk jangka waktu tertentu (biasanya 10 sampai 20 tahun). Hal ini dilakukan untuk membantu pengembang dalam mengimbangi biaya modal yang lebih tinggi dan risiko yang terkait berkaitan dengan proyek-‐proyek energi terbarukan (Halstead et al., 2015). FiT dirancang sebagai sebuah insentif yang diberikan kepada produsen berupa subsidi pembelian energi dengan harga yang lebih tinggi dari tarif listrik yang dibayarkan kepada pengembang independen untuk energi non-‐terbarukan. Saat ini tersedia Feed-‐in-‐Tariff untuk produsen energi tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga air, dan tenaga bioenergi (biogas, biomassa, maupun sampah kota) dengan tarif yang disesuaikan (lihat Tabel 22). Kebijakan FiT mengatur harga pembelian listrik khususnya untuk pembangkit dengan kapasitas kurang dari 10 MW yang cenderung lebih rentan terhadap inflasi tinggi. Terdapat pengecualian untuk FiT tenaga panas bumi dan batas atas tarif (ceiling price) tenaga surya fotovoltaik dimana tarif keduanya ditetapkan dalam US$, yang memiliki kemungkinan untuk lebih rentan terhadap fluktuasi valuta asing, tetapi mungkin lebih menarik minak investor asing. Selain itu, batas atas tarif pengembangan pemanfaatan energi tenaga surya memungkinkan perlombaan tarif hingga ke bawah sehingga pengembang mendapat harga tarif yang tidak dapat menutupi ROI yang berakibat terbengkalainya pelaksanaan proyek pengembangan solar PV di lapangan. Pemerintah Indonesia dapat melakukan pembelian listrik dari pembangkit berkapasitas di atas 10 MW dengan tarif yang didasarkan pada kesepakatan antara PT PLN dengan badan usaha.
70
Lampiran
Tabel 22. Batas Atas Tarif dan Feed-‐in-‐Tariff Energi Terbarukan Menurut Sumber Energi Sumber energi Tenaga energi terbarukan skala kecil dan menengah ** Tenaga sampah kota berteknologi zero waste ** Tenaga sampah kota berteknologi sanitary landfill ** Tenaga biomassa**
Tenaga biogas**
Tenaga panas bumi (geothermal)
Tenaga Surya fotovoltaik
Tarif per kWh • Rp 656/kWh x F , jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah; • Rp 1.004/kWh x F , jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah. (lihat catatan untuk satuan F)
Sumber kebijakan dan keterangan • Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2012
• Rp 1.450/kWh , jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah (sebelumnya Rp • Peraturan Menteri 1.050/kWh); ESDM Nomor 19 Tahun 2013 • Rp 1.798/kWh , jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah (sebelumnya Rp 1.398/kWh). • Sebelumnya Peraturan Menteri • Rp 1.250/kWh , jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah (sebelumnya Rp ESDM Nomor 4 850/kWh) Tahun 2012 • Rp 1.598/kWh , jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah (sebelumnya Rp 1.198/kWh) • Rp 1.150/kWh x F , jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah (sebelumnya Rp • Peraturan Menteri 975/kWh x F); ESDM Nomor 27 Tahun 2014 • Rp 1.500/kWh x F , jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah (sebelumnya Rp 1.325/kWh x F). • Sebelumnya (lihat catatan untuk satuan F) Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 • Rp 1.050/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah; (sebelumnya Rp Tahun 2012 975/kWh x F); • Rp 1.400/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah (sebelumnya Rp 1.325/kWh x F). (lihat catatan untuk satuan F) Peraturan Menteri Commercial Harga Patokan Tertinggi (sen ESDM Nomor 17 Operation Date US$/kWh) Tahun 2014 mencabut (COD) Wilayah Wilayah Wilayah Peraturan Menteri I II III ESDM Nomor 22 2015 11.8 17.0 25.4 Tahun 2012 2016 12.2 17.6 25.8 2017 12.6 18.2 26.2 2018 13.0 18.8 26.6 2019 13.4 19.4 27.0 2020 13.8 20.0 27.4 2021 14.2 20.6 27.8 2022 14.6 21.3 28.3 2023 15.0 21.9 28.7 2024 15.5 22.6 29.2 2025 15.9 23.3 29.6 Wilayah I : Sumatera, Jawa, dan Bali; Wilayah II : Sulawesi, NTB, NTT, Halmahera, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan; Wilayah III : Wilayah di wilayah I atau II yang terisolasi dan pemenuhan kebutuhan tenaga listriknya sebagian besar diperoleh dari pembangkit listrik dengan BBM. Batas atas tarif yang diizinkan: Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 • US$25 sen/kWh Tahun 2013 • US$30 sen/kWh bila PLTS menggunakan modul fotovoltaik dengan komponen dalam negeri sekurang-‐kurangnya 40%. Bersambung di halaman berikutnya
71
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Sumber energi Tenaga Air**
Tarif per kWh Harga Pembelian: Tegang Lokasi/Wilayah an Jaringa n Listrik
Tegang an Menen gah (s.d. 10 MW)
Tegang an Rendah (s.d. 250 kW)
Jawa, Bali dan Madura Sumatera Kalimantan dan Sulawesi NTB dan NTT Maluku, Maluku Utara Papua dan Papua Barat Jawa, Bali dan Madura Sumatera Kalimantan dan Sulawesi NTB dan NTT Maluku, Maluku Utara Papua dan Papua Barat
Harga pembelian dari PLTA multiguna* Th. Ke-‐1 Th. Ke-‐ s.d. Th. 9 s.d. Ke-‐S Th. Ke-‐ 20 967,5 x F 675 x F
Harga Pembelian dari PLTA (Rp./kWh)
967,5 x F 967,5 x F
F
Th. Ke-‐1 s.d. Th. Ke-‐S
Th. Ke-‐9 s.d. Th. Ke-‐20
1.075 x F
750 x F
1
675 x F 675 x F
1.075 x F 1.075 x F
750 x F 750 x F
1.1 1.2
967,5 x F
675 x F
1.075 x F
750 x F
967,5 x F
675 x F
1.075 x F
750 x F
1.2 5 1.3
967,5 x F
675 x F
1.075 x F
750 x F
1.6
1,143,0 x F 1,143,0 x F 1,143,0 x F 1,143,0 x F 1,143,0 x F 1,143,0 x F
693 x F
1.270 x F
770 x F
1
693 x F
1.270 x F
770 x F
1.1
693 x F
1.270 x F
770 x F
1.2
693 x F
1.270 x F
770 x F
693 x F
1.270 x F
770 x F
1.2 5 1.3
693 x F
1.270 x F
770 x F
1.6
Sumber kebijakan dan keterangan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2014 mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2014
Catatan: * yang memanfaatkan waduk/bendungan dan/atau saluran irigasi yang pembangunannya bersifat multiguna. ** untuk kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik; Rumus F (faktor insentif sesuai dengan lokasi pembelian) untuk energi terbarukan skala kecil dan menengah F = 1 untuk Jawa dan Bali, F = 1,2 untuk Sumatera dan Sulawesi, F = 1,3 untuk Kalimantan, NTB, dan NTT; F = 1,5 untuk Maluku dan Papua. F untuk sampah kota berteknologi zero waste, sampah kota berteknologi sanitary landfill , biomassa, biogas F = 1 untuk Jawa; F = 1,15 untuk Sumatera; F = 1,25 untuk Sulawesi; F = 1,3 untuk Kalimantan; F = 1,5 untuk Bali, Bangka Belitung, Lombok; F = 1,6 untuk Kepulauan Riau, Papua, lainnya.
Saat ini pemerintah sedang menyusun kebijakan Feed-‐in-‐Tariff untuk tenaga bayu meskipun tingkat produksi jenis energi ini masih tergolong rendah. Hasil simulasi FiT Studi B2TE/BPPT (2014) menunjukkan bahwa Pemerintah memiliki dua pilihan, yaitu menetapkan tarif tetap selama kontrak berlaku (asumsi 20 tahun) dan memberlakukan tarif berjenjang dimana besarnya tarif akan mengalami penurunan setelah 10 tahun pertama (lihat Tabel 23). Tarif berjenjang memakan biaya yang lebih tinggi pada dekade pertama pengembangan tenaga bayu sedangkan tarif tetap akan membebani Pemerintah Indonesia dalam dekade kedua setelah penandatanganan kontrak. Tabel 23. Hasil Simulasi untuk Penentuan Feed-‐in-‐Tariff Tenaga Bayu Simulasi
Kapasitas Faktor kapasitas Faktor kapasitas Faktor kapasitas pembangkit 30% 25% 20% Simulasi 1: FIT dengan 1 MW Rp 2.232/kWh Rp.2.658/kWh Rp 3.297/kWh tarif tetap kapasitas 20 MW Rp 1.429/kWh Rp 1.694/kWh Rp. 2.093/kWh Simulasi 2: FIT dengan 1 MW Rp. 2.596/kWh Rp 3.139/kWh Rp 3.953/kWh tarif turun bertahap* 20 MW Rp. 1.574/kWh Rp 1.912/kWh Rp 2.419/kWh Sumber: Studi B2TE/BPPT (2013) Catatan: Asumsi-‐asumsi dalam perhitungan: *tarif awal berlaku untuk periode 10 tahun pertama, dan pada sepuluh tahun kedua berubah menjadi Rp 900/kWh. IRR dianggap layak pada kondisi yang lebih besar dari 14%, tingkat suku bunga 7% per tahun, nilai residu asset dianggap nol pada tahun ke 20, harga turbin angin US$ 1.350/kW, US$ 1 sama dengan Rp 10.000,-‐, periode konstruksi diasumsikan 18 bulan, inflasi sebesar 2 % per tahun, pinjamanan bank sebesar 70% dan modal sendiri sebesar 30% (lihat Studi B2TE/BPPT (2013)).
72
Lampiran
Untuk meningkatkan efektifitas belanja negara yang dipergunakan untuk subsidi energi melalui FiT secara keseluruhan, Kementerian ESDM bersama dengan PT PLN (Persero) dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dapat secara bersama-‐sama mencatat subsidi energi untuk FiT bagi setiap jenis sumber energi dan mengevaluasi efektivitas belanja negara untuk FiT, serta modalitas keuangan lain seperti asuransi untuk eksplorasi panas bumi. Pelaksanaan evaluasi diharapkan dapat menjadi dasar empiris untuk merancang rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas sistem operasi panas bumi, pendanaan panas bumi, dan kebijakan FiT.
Harga Induk Pasar (HIP) biodiesel dan ethanol Pada mulanya penggunaan BBN (biofuel) seperti bioethanol dan biodiesel sebagai bahan bakar masih terbatas. Pengembangan biodiesel telah berjalan secara komersial sejak terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Kebijakan ini disempurnakan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008. Kebijakan ini mendorong pemanfaatan biofuel di sektor transportasi, industri maupun pembangkit listrik. Pada tahun 2014, terjadi peningkatan total volume pemanfaatan biodiesel untuk kebutuhan domestik sebesar 1,85 juta kilo liter atau 75% dibandingkan dengan tahun 2013. Kementerian ESDM mengusulkan kembali alokasi subsidi BBN (biofuel) untuk tahun 2016 dengan rincian Rp. 4.000,-‐/liter untuk biodiesel dan Rp. 3.000,-‐/liter untuk bioetanol sebagai langkah antisipasi apabila mekanisme yang digunakan pada tahun 2015 tidak berjalan sesuai rencana. Ketepatan dalam penentuan harga biodiesel dan bioethanol sangat dibutuhkan dalam meningkatkan ketersediaan BBN sebagai strategi untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari penggunaan BBM. Untuk menetapkan HIP biodiesel dan ethanol yang efektif, Studi Soerawidjadja (2013) merekomendasikan penetapan harga yang kompetitif dengan rumusan Harga index Pasar (HIP) Biodiesel = Domestic olein price + US$ 120; dan untuk HIP Bioethanol = (Argus Price) x 788 kg/m3 x (1 + 0.35), diperlukan subsidi sebesar Rp.1000/lt di atas subsidi yang sudah diberikan. 38 B. Opsi Kebijakan Peningkatan Sumber Daya M anusia Terdapat beberapa opsi kebijakan peningkatan sumber daya manusia terkait dengan pengembangan energi terbarukan yaitu, (1) pelatihan dan pendidikan tenaga surya fotovoltaik di tingkat daerah, (2) pendidikan dan pelatihan untuk auditor panel tenaga surya fotovoltaik, (3) pengembangan kapasitas institusi yang berhubungan dengan pengembangan tenaga panas bumi, (4) profesionalisasi pelelangan dan komite pemilihan pengembang panas bumi, (5) peningkatan analisis potensi dan risiko di bidang bioenergi, (6) peningkatan kemampuan dalam penyusunan panduan teknis investasi bioenergi, dan (7) peningkatan kemampuan dalam menelaah lokasi dan kualitas turbin.
Pelatihan dan pendidikan tenaga surya fotovoltaik di tingkat pemerintah daerah Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam pemberian izin penggunaan lahan dan penggunaan instrumen pajak daerah sebagai insentif/disinsentif untuk memotivasi pemasangan panel tenaga surya di daerah-‐daerah yang tidak memiliki konektivitas (Paltmetto, 2014). Oleh karena itu, program pelatihan dan pendidikan untuk pemerintah daerah sangat penting dalam
38
Sawit olein di pasar komoditas dikenal dengan nama Refined, Bleached and Deodorized (RDB) Palm Olein. Jenis minyak ini adalah bagian dari minyak cair yang dihasilkan dari pembagian minyak sawit setelah mengkristal pada suhu yang telah ditentukan. Minyak ini cocok untuk masak dan menggoreng.
73
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
mendorong perkembangan tenaga surya fotovoltaik terutama untuk daerah yang tidak memiliki konektivitas.
Pendidikan dan pelatihan untuk auditor tenaga surya fotovoltaik Kualitas panel tenaga surya belum terstandardisasi secara global. Minimnya pengetahuan personel dalam melakukan penilaian kualitas panel dapat berujung pada kegagalan proyek karena panel tenaga surya hanya akan menghasilkan energi yang minimal (Reemerging World, 2014). Sebagai langkah pencegahan, pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi perlu meningkatkan kompetensi dari para auditor melalui pendidikan dan pelatihan sehingga auditor-‐ auditor tersebut mereka mampu menilai kualitas dan standar panel tenaga surya yang akan digunakan. Pengembangan kapasitas institusi yang terlibat dalam pengembangan tenaga panas bumi Studi JICA (2011) menekankan pentingnya melakukan peningkatan kemampuan teknis dari Kementerian ESDM dan institusi-‐institusi keuangan terkait seperti PT. SMI dalam pengembangan energi baru terbarukan terutama energi panas bumi. Peningkatan kapasitas teknis ini sangat diperlukan mengingat pentingnya peran serta berbagai institusi dalam proyek infrastruktur energi terutama dalam menggali potensi pendanaan pengembangan tenaga panas bumi dan proyek energi terbarukan lainnya. Profesionalisasi pelelangan dan komite pemilihan pengembang panas bumi Dalam mengembangkan pemanfaatan tenaga panas bumi, pemerintah membutuhkan komite pemilihan yang bertugas menilai investasi dan memilih agen pelaksana. Investasi perlu berpedoman pada prinsip investasi yang berkeadilan dan transparan. Komite pemilihan yang profesional dan transparan menjadi salah satu faktor penentu tingkat keterlibatan pihak swasta dalam proyek pengembangan panas bumi (JICA, 2011). Peningkatan analisis potensi dan risiko di bidang bioenergi Investor dan pelaku usaha agroindustri (sawit, padi, dan tebu) pada umumnya belum memahami tata cara penilaian kelayakan investasi, manfaat dari berinvestasi di bidang bioenergi, dan prosedur untuk mengakses fasilitas pendanaan yang tersedia. Salah satu cara untuk meningkatkan investasi di bidang bioenergi adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas investor serta pelaku usaha agroindustri terutama tentang langkah-‐langkah teknis dalam menganalisa aspek legal, teknis, keuangan, dan potensi serta risiko berinvestasi di bidang bioenergi (EBTKE/ESDM, 2013). Peningkatan kemampuan personel dalam penyusunan panduan teknis investasi bioenergi Keberhasilan proyek dan kualitas rekomendasi sebagian besar ditentukan oleh kinerja konsultan menurut kualifikasi dan keahliannya (USAID, 2014). Maka dari itu, pemilihan konsultan perlu disusun secara detil dalam panduan teknis pemerintah. Panduan teknis yang diusulkan sudah tertuang secara lengkap dalam studi ICED tentang panduan investasi di bidang bioenergi (USAID, 2014). Peningkatan kemampuan dalam menelaah lokasi dan kualitas turbin Keberhasilan pengembangan tenaga bayu ditentukan antara lain oleh kemampuan personel dalam menganalisis lokasi yang cocok untuk dikembangkan serta kualitas turbin angin yang sesuai dengan karakteristik lokasi. Studi B2TE/BBPT (2014) Lampiran 1 dan 2 merinci nama-‐nama lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Menurut data LAPAN dalam studi B2TE/BBPT (2014), lokasi-‐lokasi potensial untuk pengembangan tenaga bayu adalah lokasi-‐lokasi yang berada di sekitar garis lintang 9° sampai dengan 10°S. 39 Area ini memiliki kecepatan rata-‐rata tahunan
39
Potensi menengah untuk jenis pengembangan tenaga bayu skala menengah berada di provinsi Bengkulu, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Potensi besar untuk jenis pengembangan tenaga bayu berskala besar berada di
74
Lampiran
angin yang tinggi. Aspek penting kedua dalam pengembangan tenaga bayu adalah tipe turbin angin. Studi B2TE/BBPT (2014) berpendapat bahwa potensi energi bayu di Indonesia berada pada kategori kelas IV menurut standar IEC 61400-‐1, sehingga turbin yang dipakai sebaiknya juga menggunakan teknologi turbin kelas IV. Turbin kelas IV ini dirancang untuk beroperasi pada regim kecepatan angin yang rendah. C. Opsi Kebijakan Inform asi Terdapat empat opsi kebijakan informasi terkait dengan pengembangan energi terbarukan yaitu, (1) informasi terpadu dan database energi baru terbarukan untuk investor, (2) sosialisasi program energi baru terbarukan melalui kelompok kerja yang fokus pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia, (3) fasilitas konsultasi untuk pemeriksaan kelengkapan proposal pengembangan energi terbarukan, (4) komunikasi dengan masyarakat di daerah dengan surat penunjukkan PT PLN (Persero) atas pengembangan energi di daerah tertentu.
Informasi terpadu dan database energi baru terbarukan untuk investor Saat ini belum ada layanan informasi terpadu bagi pihak pengembang dan investor yang tertarik untuk menggali informasi di bidang energi baru terbarukan terutama bioenergi untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan sebelum melakukan investasi. Studi BI (2013) menyarankan penyusunan database dan perpustakaan online yang menyimpan berbagai informasi mengenai aspek-‐aspek yang berhubungan dengan energi baru terbarukan untuk meningkatkan akses bagi komunitas perbankan, investor, dan pelaku usaha di bidang industri agro bisnis. Beberapa institusi yang bisa bekerja sama dalam proses penyusunan database, perpustakaan online, dan layanan informasi terpadu adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian ESDM, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia. Institusi seperti OKJ dan BI bisa berperan sebagai fasilitator dalam konsultasi penyusunan database energi baru terbarukan dengan mempertemukan institusi penyusun dan calon pengguna potensial. Salah satu contoh informasi yang dapat disertakan dalam informasi terpadu adalah panduan bagi pihak perbankan dalam mengkaji izin pengembangan tenaga air. Panduan ini diperlukan agar persyaratan investasi tidak hanya mencakup ada tidaknya perizinan namun juga menitik beratkan pada kualitas proyek pengembangan energi baru terbarukan seperti tenaga air skala kecil (microhydro dan minihydro) (BI, 2013).40 Sosialisasi program energi baru terbarukan melalui kelompok kerja Informasi yang diterima oleh para investor mengenai peluang investasi dan perkembangan kebijakan di bidang energi terbarukan masih tergolong minim. Studi AUSAID (2014) merekomendasikan pembentukan kelompok kerja yang bertugas untuk mengkomunikasikan informasi dalam melakukan penilaian terhadap sebuah investasi. Studi ini menekankan pentingnya sosialisasi yang berkesinambungan dimana kelompok-‐kelompok kerja diharapkan dapat memperluas sistem jejaring di antara para pelaku usaha. Fasilitas konsultasi untuk pemeriksaan kelengkapan proposal pengembangan energi terbarukan Studi BI dan USAID (2013) mengidentifikasi bahwa proses pengembangan tenaga air berjalan lambat antara lain karena banyaknya proposal yang tidak dilengkapi dengan dokumen-‐dokumen yang dibutuhkan. Untuk mengurangi jumlah proposal yang tidak lengkap akibat kurangnya pengetahuan pemohon, seiring dengan membangun informasi terpadu dan database energi baru terbarukan, institusi pemerintah misalnya BKPM, Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) dapat mendirikan fasilitas pusat layanan informasi terpadu sehingga para penanam modal dan pemohon
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Timur, dan Sulawesi Utara. Potensi pengembangan off-‐grid dikarenakan ketidaktersediaan fasilitas koneksi berada di lokasi Kayong Utara dan Kaimana Papua. 40 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil dengan batasan kapasitas antara 5 kW-‐1 MW per unit.
75
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
bisa melakukan konsultasi baik dengan mendatangi pusat informasi ataupun secara online. Pusat layanan informasi tersebut diharapkan akan mampu membantu para pemohon dalam mempersiapkan kelengkapan proposal sehingga bisa mempercepat proses pengajuan proyek pengembangan tenaga air dan energi terbarukan lainnya.
Komunikasi dengan masyarakat di daerah Komunikasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan komite pelaksana dengan masyarakat setempat sangat dibutuhkan terutama dalam koordinasi pemanfaatan lahan untuk pengembangan energi terbarukan; hal ini mempengaruhi kesuksesan implementasi proyek di lapangan (Murni et al. 2014). Masyarakat khususnya yang berdomisili di sekitar daerah yang direncanakan akan menjadi daerah pengembangan energi terbarukan perlu mendapatkan informasi mengenai manfaat, risiko proyek pengembangan energi terbarukan dan dampaknya atas kehidupan masyarakat luas dan lingkungan. Proyek energi terbarukan kurang dari 10 MW tidak diharuskan untuk menyertakan hasil konsultasi dengan masyarakat lokal dalam dokumen perencanaan PT PLN (Persero). Akan tetapi kajian Murni et al. (2014) menunjukkan bahwa dalam studi kasus pengembangan tenaga air skala mikro di sebuah desa terpencil di area perbatasan Indonesia dan Malaysia, komunikasi kultural dengan masyarakat adat sangat diperlukan agar proyek pengembangan energi terbarukan mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Komunikasi dengan masyarakat setempat bisa mempercepat proses pelaksanaan proyek di lapangan. D. Opsi Kebijakan Standardisasi dan Sertifikasi Terdapat empat opsi kebijakan standardisasi dan sertifikasi terkait dengan pengembangan energi terbarukan yaitu, (1) pengembangan regulasi untuk pengelolaan limbah dalam pengembangan limbah menjadi energi, (2) standar kapasitas sebagai kriteria penerima Feed in Tariff, (3) satuan ukur untuk batas atas limbah industri minyak dan gas, dan (4) regulasi penyediaan jasa setelah pemasangan dan penjaminan kinerja komponen panel tenaga surya. Pengembangan regulasi untuk pengelolaan limbah dalam pengembangan limbah menjadi energi Undang-‐undang Nomor 18 Tahun 2008 mengatur tentang pengelolaan sampah. Selain bertujuan untuk mengurangi polusi berupa emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara, kebijakan ini juga mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah/limbah menjadi energi. Pengelolaan sampah merupakan kebijakan yang diatur lebih lanjut oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah telah menetapkan beberapa peraturan tentang pengelolaan sampah seperti Peraturan Kota Malang Nomor 10 Tahun 2010. Peraturan ini membuka peluang bagi pihak swasta yang tertarik untuk melakukan usaha pengolahan sampah seperti pendirian pembangkit tenaga listrik dari landfill atau sampah padat. Salah satu proyek limbah/sampah energi yang dapat dijadikan contoh yaitu proyek pengelolaan sampah menjadi energi di TPST Bantar Gebang yang merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah dan swasta dengan skema public private partnership (PPP). Walaupun sudah terdapat regulasi tentang pengelolaan limbah, regulasi ini perlu disempurnakan dengan menambahkan larangan lokasi pembuangan limbah selain sungai. Saat ini regulasi limbah diasosiasikan dengan buangan yang dialirkan ke sungai, sedangkan banyak kasus dimana limbah/sampah yang mencemari lingkungan dibuang ke tempat-‐tempat lain yang bukan sungai. Standar kapasitas sebagai kriteria penerima Feed-‐in-‐Tariff (FiT) Guna meningkatkan efektifitas Feed-‐in-‐Tariff, regulasi yang mengatur tentang Feed-‐in-‐Tariff perlu didukung oleh kejelasan persyaratan proyek pengembangan dalam mendapatkan akses Feed-‐in-‐ Tariff (B2TE/BBPT, 2014). Studi B2TE/BPPT (2014) menyarankan bahwa suatu proyek PLTB dinyatakan layak untuk mendapatkan dukungan Feed-‐in-‐Tariff, antara lain apabila Internal Rate of Return (IRR) melampui tingkat tertentu pada kondisi harga teknologi sebesar US$ 1.350/kW (sekitar US$ 1.750/kW terpasang) dengan faktor kapasitas 25% dan IRR sebesar 14% apabila Feed-‐
76
Lampiran
in-‐Tariff-‐nya minimal sebesar Rp. 1.741,-‐/kWh (ibid). Studi B2TE/BPPT (2014) juga menyarankan agar skala proyek bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kriteria pemberlakuan Feed-‐in-‐Tariff. Proyek tenaga bayu baru diatas 10MW dapat dipertimbangkan untuk ikut serta dalam tender terbuka dengan batas atas harga Feed-‐in-‐Tariff berdasarkan penawaran setelah PT PLN (Persero) menandatangani Purchasing Power Agreement (PPA) untuk 250MW pertama (B2TE/BBPT, 2014). Feed-‐in-‐Tariff dengan tarif tetap dipertimbangkan untuk proyek skala kecil (≤10MW) dan untuk proyek yang sedang berjalan (≤250MW) dengan tarif yang disesuaikan. Satuan ukur untuk batas atas limbah industri minyak dan gas Dalam mengatasi kebocoran limbah flaring/venting, Kementerian ESDM perlu menentukan satuan ukur untuk menentukan batas atas limbah flaring perusahaan minyak dan gas. Studi LCS (2015c) menganalisis empat pilihan satuan seperti dijelaskan di dalam Tabel 24. Tabel 24. Pilihan Satuan Ukur Batas atas Limbah Flaring/Venting Perusahaan Minyak dan Gas Pilihan satuan ukur
Total emisi limbah kebocoran
Perusahaan minyak dan gas di rangking berdasarkan jumlah Penjelasan besaran kebocoran emisi singkat pilihan dengan tidak pengukuran memperhitungkan jumlah produksi minyak dan gas yang dihasilkan. Rekomendasi
Alasan pendukung
Rasio emisi limbah kebocoran dari total minyak yang diproduksi (GFOR)
Rasio emisi limbah kebocoran dari total gas yang diproduksi (GFGR)
Kombinasi GFOR and GFGR (GFBOE)
Produsen minyak dan gas di Produsen minyak dan gas di rangking berdasarkan rasio rangking berdasarkan rasio keborocoran emisi dibagi kebocoran emisi dibagi dengan dengan jumlah produksi minyak jumlah produksi gas yang yang dihasilkan. dihasilkan.
Produsen minyak dan gas di rangking berdasarkan rasio kebocoran emisi dibagi dengan jumlah produksi minyak dan gas yang dihasilkan.
¡ Satuan ini hanya memperhitungkan aspek emisi limbah tetapi tidak memperhitungkan aspek efisiensi dari pengurangan limbah per unit produksi.
¡
¡
Untuk produsen minyak, GFOR akan lebih baik dari GFGR. Hal ini dikarenakan kebocoran emisi diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan produksi minyak dan gas sehingga pengukuran dengan rasio lebih logis dan akan lebih dapat diterima oleh produsen minyak dan gas.
Untuk produsen gas, GFGR akan lebih baik dari GFOR. Karena kebocoran emisi diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan produksi minyak dan gas sehingga pengukuran dengan rasio lebih logis dan akan lebih dapat diterima oleh produsen minyak dan gas.
¤ Minyak dan gas diproduksi secara simultan sehingga sulit untuk memisahkan emisi dari produksi minyak dan gas. Disarankan untuk menerapkan kombinasi keduanya.
Legenda: ¤:Rekomendasi utama, ¡:Rekomendasi kedua
Dari keempat satuan ukur, GFBOE merupakan satuan ukur yang paling ideal. Limbah akan meningkat seiring dengan jumlah produksi minyak dan gas sehingga satuan ukur relatif terhadap total produksi akan lebih adil dan lebih mudah diterima oleh produsen minyak dan gas. Minyak dan gas biasanya diproduksi secara simultan sehingga sulit untuk memisahkan emisi dari produksi minyak dan gas. Penentuan skema insentif untuk mengurangi limbah flaring/venting oleh produsen minyak dan gas dapat dikembangkan oleh Kementerian ESDM melalui kerjasama dengan Kementerian Keuangan.
Regulasi penyediaan jasa setelah pemasangan dan penjaminan kinerja komponen panel tenaga surya Pemasangan panel tenaga surya membutuhkan layanan perawatan berkala serta penggantian komponen. Selain itu kontraktor yang sama juga perlu memberikan jasa layanan bila terjadi masalah yang disebabkan oleh spesifikasi panel yang tidak standar. Para kontraktor biasanya menyediakan tipe panel yang berbeda sehingga layanan perbaikan biasanya tidak bisa dilakukan oleh kontraktor lain dengan jenis komponen yang berbeda dengan panel yang digunakan. Apabila kontraktor tidak melakukan pelayanan secara berkala, pengguna panel tenaga surya dengan tingkat ekonomi rendah terutama pengguna di sektor rumah tangga akan mencari alternatif energi
77
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
lain yang mengakibatkan ketidakefektifan penggunaan panel tenaga surya. Studi Sunderbans (Reemerging World, 2014) menyarankan pemberian jasa penjaminan penggantian komponen yang rusak dan yang sudah tidak berfungsi setelah pemasangan panel (after sales service) seperti baterai. Hal ini bisa difasilitasi dengan pencantuman penjaminan di dalam kontrak antara pengguna dan pengembang panel tenaga surya (off-‐grid). E. Opsi Rekom endasi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Terdapat tiga opsi kebijakan penelitian dan pengembangan terkait dengan energi baru terbarukan, yaitu (1) studi mengenai penilaian harga dan pajak untuk agro-‐industri dengan menggunakan data empiris terbaru, (2) peningkatan kualitas studi kelayakan, dan (3) penelitian untuk uji kelayakan Carbon Capture and Storage (CCS).
Studi mengenai penilaian harga dan pajak untuk agro-‐industri dengan data empiris terbaru Salah satu faktor penting yang kerap menjadi permasalahan dalam pengembangan bioenergi adalah ketersediaan komoditas yang menjadi bahan baku energi. Sebagai solusi awal, Kementerian ESDM dan Kementerian Pertanian dapat melakukan studi mengenai ketersediaan bahan baku dan besaran kapasitas energi minimal untuk mendapatkan pendapatan yang menguntungkan bagi pengembang energi (Soerawidjaja, 2013). Selain itu dibutuhkan pula penelitian dan pengembangan agribisnis untuk potensi penggunaan komoditas lemak dan minyak non-‐konsumsi terutama yang berasal dari kelapa sawit, padi, tebu, tanaman pongam, tanaman nyamplung, semambu, dan kemiri sunan sebagai bahan baku energi. Informasi lebih lengkap mengenai aspek-‐ aspek tersebut di atas dapat membantu dalam melakukan estimasi nilai investasi untuk pengembangan bioenergi. Peningkatan kualitas studi kelayakan Kesalahan dalam proses pengembangan energi terbarukan dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas studi kelayakan. Untuk meningkatkan tingkat keberhasilan pengembangan energi terbarukan, perlu dilakukan peningkatan atas standar kualitas dari studi kelayakan yang mencakup aspek teknis, keuangan, dan aspek hukum (TetraTech ES, Inc., 2014). Peningkatan kualitas dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan sistem peer-‐review dan quality based payment bagi para kontraktor yang terlibat dalam studi kelayakan. Penelitian untuk uji kelayakan CCS Untuk mempercepat pengurangan emisi karbon, para ahli mengusulkan penggunaan teknologi dan perangkat penangkapan serta penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage (CCS)) dari proses pembakaran bahan bakar di unit pembangkit listrik berbasis BBM. Program instalasi CCS di pembangkit listrik berpusat pada alat penangkapan karbon, jenis transportasi karbon seperti pipa penyaluran, dan pengembangan lokasi penyimpanan karbon misalnya di bawah tanah atau di bawah laut. Teknologi ini juga memungkinkan penggunaan ulang residu karbon (recycle) yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti untuk digunakan dalam karbonasi sisa bauksit (GCI, 2011). Studi yang dilakukan oleh LCS dan PKPPIM (2014c) menyarankan untuk menunda penggunaan teknologi CCS di Indonesia dan menunjukkan tiga kendala utama yang menjadi pertimbangan atas belum siapnya teknologi ini untuk diimplementasikan di Indonesia. Tiga kendala tersebut yaitu tingginya biaya penangkapan dan fasilitas transportasi karbon dioksida yang meningkatkan biaya produksi listrik hingga mencapai 21-‐91%, tingkat kebutuhan energi yang relatif tinggi (peningkatan kebutuhan energi hingga 25-‐40%), dan sulitnya mencari tempat yang aman untuk melakukan injeksi dan penyimpanan karbon dikarenakan terlalu dangkalnya tempat penampungan yang tersedia sampai saat ini (LCS dan PKPPIM, 2014c). Untuk memperluas area yang berpotensi dijadikan tempat penyimpanan karbon, LEMIGAS bisa melakukan studi penangkapan dan
78
Lampiran
penyimpanan karbon pada reservoir kosong di Sumatera dengan audit untuk mengidentifikasi karbon yang dihasilkan baik dalam produksi hulu dan hilir pada industri BBM dan gas. F. Opsi Kebijakan Kelembagaan Terdapat empat opsi kebijakan kelembagaan terkait dengan energi baru terbarukan yaitu (1) pendirian/penunjukan institusi penelitian energi baru terbarukan, (2) skema koordinasi lintas kementerian dan dengan pemerintah daerah untuk penentuan lokasi proyek energi terbarukan, (3) penyederhanaan prosedur aplikasi Feed-‐in-‐Tariff tenaga air melalui tender kelompok, dan (4) perpanjangan hipotik rumah dan gedung untuk promosi pemasangan panel tenaga surya.
Pendirian/penunjukan institusi penelitian energi baru terbarukan Saat ini belum ada lembaga nasional yang secara resmi berfungsi sebagai pusat penelitian energi baru terbarukan. Studi BI dan USAID (2013) berpendapat bahwa pusat penelitian energi baru terbarukan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan teknologi untuk energi baru terbarukan. Kementerian ESDM bersama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dapat menunjuk atau mendirikan institusi penelitian yang didedikasikan untuk pengembangan energi terbarukan. Beberapa institusi yang berpotensi untuk menjalankan mandat ini antara lain Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan/atau universitas yang memiliki fokus serta staff ahli pengajar dan peneliti di bidang energi baru terbarukan. Skema koordinasi lintas kementerian dan dengan pemerintah daerah untuk lokasi proyek energi terbarukan Sejumlah proyek pengembangan energi baru terbarukan terhambat salah satunya karena lemahnya koordinasi pemberian izin penggunaan lahan untuk pengembangan proyek energi terbarukan (Rakhmadi dan Sutiyono, 2015); banyak dari potensi energi terbarukan berada di dalam kawasan hutan yang dilindungi dimana kewenangannya berada pada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Hutan harus terus dilindungi tanpa menghambat kemajuan perkembangan energi terbarukan. Direktoral Jenderal EBTKE ESDM dapat mengembangkan skema kerjasama dengan pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, serta jajaran pemerintah daerah untuk memetakan lokasi proyek pengembangan energi terbarukan dan pengukuhan bersama izin pinjam pakai untuk daerah yang dapat digunakan untuk pengembangan energi terbarukan tanpa merusak keseimbangan alam. Penyederhanaan prosedur aplikasi FiT untuk pengembangan tenaga surya melalui tender kelompok Banyaknya proposal Feed-‐in-‐Tariff untuk pengembangan energi terbarukan berskala kecil bisa menambah beban panitia seleksi yang pada akhirnya akan memperlambat proses seleksi. Studi BI dan USAID (2013) menyarankan Kementerian ESDM untuk mengembangkan sistem tender kelompok dimana beberapa proyek energi terbarukan, misalnya untuk sumber energi yang sama di dalam satu daerah tertentu, dapat dikelompokan dalam satu proposal pengajuan. Selain itu studi BI dan USAID (2013) juga berpendapat bahwa skema tender berkelompok akan meningkatkan koordinasi antar level pemerintahan dalam melakukan pengembangan kebijakan. Perpanjangan hipotik rumah dan gedung untuk promosi pemasangan panel tenaga surya Studi Palmetto (2014) memberikan contoh implementasi promosi pemasangan panel tenaga surya melalui perpanjangan hipotik rumah di Amerika Serikat. Skema ini dinilai berhasil karena mampu menawarkan insentif bagi pemilik rumah untuk memasang panel tenaga surya melalui keringanan perpanjangan hipotik bila rumah yang dimiliki/disewa memasang alat energi baru terbarukan sebagai sumber listrik. Skema ini dapat dikembangkan oleh Kementerian ESDM bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Perumahan Rakyat.
79
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Lampiran 2: Kebijakan-‐kebijakan Terpilih Terkait Sektor Energi di Indonesia 41
Kode Peraturan Undang-‐Undang Dasar 1945 Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 Undang-‐undang (UU) Undang-‐undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-‐undang Nomor 17 Tahun 2006 pasal 26 Undang-‐undang Nomor 25 Tahun 2007
Undang-‐undang Nomor 30 Tahun 2007 Undang-‐undang Nomor 18 Tahun 2008 Undang-‐undang Nomor 28 Tahun 2008 Undang-‐undang Nomor 36 Tahun 2008 Undang-‐undang Nomor 22 Tahun 2009 Undang-‐undang Nomor 32 Tahun 2009 Undang-‐undang Nomor 23 Tahun 2014 Undang-‐undang Nomor 23 Tahun 2014 Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2011
Perihal Pengertian Perekonomian, Pemanfaatan Sumber Daya Alam, dan Prinsip Perekonomian Nasional Minyak dan Gas Bumi Fasilitas pada Bea Masuk: Perubahan atas Undang-‐Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Penanaman Modal. Pasal 18(4): Berupa Pengurangan Penghasilan Neto sampai Tingkat Tertentu terhadap Jumlah Penanaman Modal yang Dilakukan dalam Waktu Tertentu. Pasal 18 (5): Khusus untuk Penanaman Modal Baru yang Merupakan Industri Pionir Dapat Diberikan Pembebasan Pph. Energi Pengelolaan Sampah Pajak dan Retribusi Daerah yang Mencantumkan Keharusan Menjaga Lingkungan Tentang Perubahan Keempat atas Undang-‐Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Panas Bumi Tentang Pemerintahan Daerah, misalnya untuk Kerjasama Lokasi Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Tingkat Daerah Fasilitas pada PPN: Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Penyertaan Modal Negara RI untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur (Pendirian PT PII)
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-‐Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-‐Daerah Tertentu Menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Konservasi Energi Terkait dengan Fasilitas Keringanan Pajak dan Bea Masuk untuk Konservasi Energi Fasilitas pada PPh: Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008: PIP Melakukan Investasi Langsung di Bidang Infrastruktur dan Bidang Lainnya yang Ditetapkan oleh Menteri Keuangan
41
Jenis dan hierarki perundang-‐undangan diatur oleh Undang-‐undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7 dan 8 yang menyatakan bahwa terdiri dari a. Undang-‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-‐undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-‐undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (1) Jenis Peraturan Perundang-‐ undangan selain diatas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-‐undang atau Pemerintah atas perintah Undang-‐undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
80
Lampiran
Kode Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014
Perihal Fasilitas pada Pph. Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-‐Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-‐Daerah Tertentu Kendaraan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah Peraturan Pemerintah Nomor Kebijakan Energi Nasional (KEN) 79 Tahun 2014 Peraturan Pemerintah Nomor Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang–Bidang Usaha Tertentu dan/atau 18 Tahun 2015 di Daerah-‐Daerah Tertentu Instruksi dan Peraturan Presiden (Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden) Instruksi Presiden Nomor 1 Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Tahun 2006 Instruksi Presiden Nomor 13 Penghematan Energi dan Air Tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 5 Kebijakan Energi Nasional (KEN) (lama) Tahun 2006 Peraturan Presiden Nomor 4 Penugasan kepada PLN (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tahun 2010 Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas Peraturan Presiden Nomor 78 Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek KPS dengan Badan Usaha yang Dilakukan melalui Badan Tahun 2010 Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) Peraturan Presiden Nomor 56 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Tahun 2011 Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Presiden Nomor 71 Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 61 RAN -‐ GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) Tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 16 Rencana Umum Penanaman Modal, seperti Pemberian Fasilitas, Kemudahan, dan/atau Insentif Tahun 2012 Penanaman Modal; dan Promosi Penanaman Modal di Tingkat Daerah Keputusan dan Peraturan Menteri Keuangan (KMK dan PMK) KMK Nomor Tatalaksana Penindakan di Bidang Kepabeanan: Pembebasan Bea Masuk terhadap Peralatan 136/KMK.05/1997 dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup PMK Nomor Biofuel: Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan 117/PMK06/2006 PMK Nomor 79/PMK.05/2007 Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-‐E) PMK Nomor Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan dan 154/PMK.011/2008 Pengembangan Industri Pembangkit Listrik untuk Kepentingan Umum PMK Nomor Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga yang merupakan 218/PMK.05/2009 Perubahan PMK Nomor 99/PMK.05 Tahun 2008 KMK Nomor Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur Kepada PT SMI (Persero) 396/KMK.09/2009 PMK Nomor Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi 21/PMK.011/2010 Terbarukan PMK Nomor Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi 24/PMK.011/2010 Terbarukan PMK Nomor Organisasi dan Tata Kerja Kemenkeu termasuk PKPPIM 184/PMK.01/2010 PMK Nomor Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan 260/PMK.011/2010 Badan Usaha PMK Nomor Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan 130/PMK.011/2011 PMK Nomor Tata Cara Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha PLN (Persero) untuk Pembangunan Pembangkit 139/PMK.011/2011 Tenaga Listrik dengan Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas yang Dilakukan melalui Kerja Sama dengan Pengembang Listrik Swasta PMK Nomor Tata Cara Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban Fasilitas Dana Geothermal 03/PMK.011/2012
81
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Kode Peraturan PMK Nomor 76/PMK.011/2012
Perihal Perubahan atas PMK Nomor 176/PMK.011 Tahun 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-‐Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-‐Daerah Tertentu Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2014
PMK Nomor 144/PMK.011/2012 PMK Nomor 180/PMK.07/2013 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Peraturan Menteri ESDM) Peraturan Menteri ESDM Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau) Nomor 2 Tahun 2004 Peraturan Menteri ESDM Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan dalam Usaha Penyediaan Nomor 1 Tahun 2006 Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum Peraturan Menteri ESDM Harga Pembelian Tenaga Llstrlk oleh PLN (Persero) darl Pembangkit Tenaga Llstrlk yang Nomor 31 Tahun 2009 Menggunakan Energi Terbarukan Skaia Kecll dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Llstrlk Peraturan Menteri ESDM Feed-‐In-‐Tariff Energi Skala Kecil: Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN (Persero) dari Nomor 4 Tahun 2012 Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik Peraturan Menteri ESDM Pelaksanaan Kegiatan Fisik Energi Baru dan Terbarukan Nomor 10 Tahun 2012 Peraturan Menteri ESDM Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik Nomor 13 Tahun 2012 Peraturan Menteri ESDM Manajemen Energi Nomor 14 Tahun 2012 Peraturan Menteri ESDM Feed-‐In-‐Tariff Panas Bumi/ tentang Penugasan kepada PLN untuk Melakukan Pembelian Nomor 17 Tahun 2014 Tenaga Listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Peraturan Menteri ESDM Pengendalian Pengunaan BBM dengan Target Mengendalikan Kuota BBM Nomor 1 Tahun 2013 Peraturan Menteri ESDM Feed-‐In-‐Tariff Tenaga Surya Fotovoltaik/ tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN (Persero) Nomor 17 Tahun 2013 dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Peraturan Menteri ESDM Feed-‐In-‐Tariff Waste To Energy/ tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Pembangkit Nomor 19 Tahun 2013 Listrik Berbasis Sampah Kota Peraturan Menteri ESDM Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Nomor 25 Tahun 2013 Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Peraturan Menteri ESDM Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Energi Perdesaan Tahun Anggaran Nomor 3 Tahun 2014 2014 Peraturan Menteri ESDM Pembubuhan Label Tanda Hemat Energi untuk Lampu Swabalast Nomor 18 Tahun 2014 Peraturan Menteri ESDM Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Penyediaan, Nomor 20 Tahun 2014 Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Peraturan Menteri ESDM Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Nomor 22 Tahun 2014 Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air oleh PLN Peraturan Menteri ESDM Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Nomor 27 Tahun 2014 Tenaga Biogas oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (2015-‐2019 menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Peraturan Menteri Pengendalian Pencemaran Udara Lingkungan Hidup Nomor 41 Tahun 1999 Peraturan Menteri Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2006 Peraturan Menteri Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Carbon Black Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2008 Peraturan Menteri Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2009 Peraturan Menteri Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 Peraturan Menteri Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lingkungan Hidup Nomor 5 Mencakup Contoh Insentif Non-‐Keuangan untuk Program for Incentive/Disincentive Pollution Tahun 2011 Control, Evaluation,and Rating (PROPER)
82
Lampiran
Kode Peraturan Perihal Contoh-‐contoh Peraturan Lain Perdirjen 211-‐12/20/600/1 Tata Cara Permohonan Persetujuan dan Penandasahan Rencana Impor Barang Modal untuk Tahun 2012 Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum Perdirjen 978.K/10/DJM.S Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Solar 48 yang Dipasarkan di dalam Tahun 2013 Negeri Perdirjen 933.K/10/DJM.S Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Bensin 88 yang Dipasarkan di dalam Tahun 2013 Negeri Surat Edaran Menteri Persyaratan Lulus Uji Emisi untuk Perpanjangan STNK Lingkungan Hidup B/38X/MENLH/PDALs/12 Tahun 2013 Peraturan Menteri Kehutanan Tata Cara Pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) 30/II Tahun 2009 Perhubungan Peraturan Pemakaian Bahan Bakar Gas Jenis Liquid Gas for Vehicle (LGV) Pada Kendaraan Bermotor Dirjen Perhubungan darat 78/AJ.006/DRJD Tahun 2008 Perhubungan Peraturan Pelaksanaan Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Dirjen Perhubungan Darat Sedang Diproduksi (Current Production) SK.1544/AJ.402/DRJD Tahun 2006 Contoh-‐contoh Peraturan Daerah Peraturan Gubernur DKI Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Peraturan Gubernur DKI Uji Emisi dan Perawatan Kendaraan Bermotor Jakarta Nomor 92 Tahun 2007 Peraturan Gubernur DKI Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Jakarta Nomor 31 Tahun 2008 Peraturan Gubernur DKI Gedung Hijau Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 Peraturan Daerah DKI Jakarta Pengendalian Pencemaran Udara 2 Tahun 2005 Peraturan Daerah Istimewa Pengendalian Pencemaran Udara Yogyakarta 5 Tahun 2007 Peraturan Daerah Kota Pengelolaan Sampah Malang 10 Tahun 2010
83
Opsi Kebijakan Fiskal Indonesia untuk Sektor Energi
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Jl. Wahidin Raya No. 1, Jakarta (10710) Indonesia Telp: +62 21 34831678 Fax: +62 21 34831677 Website: www.fiskal.depkeu.go.id 84