KONTRIBUSI SEKTOR PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Widiani Putri Mubariq Ahmad Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Telepon : +62856-988-0259 Email :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini menganalisis dampak dari aktivitas sektor pertambangan terhadap pembangunan berkelanjutan antar provinsi di Indonesia untuk periode tahun 2000 sampai dengan 2010. Sektor pertambangan yang menjadi tumpuan pendapatan negara pada masa Orde Baru nyatanya sampai dengan saat ini pendapatan riil dari sektor pertambangan meningkat sepanjang tahun. Begitu juga dengan proporsi ekspor sektor primer yang meningkat bahkan sudah mulai melebihi proporsi ekspor sektor manufaktur. Meningkatnya aktivitas sektor pertambangan tersebut mempengaruhi penurunan tingkat keberlanjutan secara rata-rata di Indonesia. Berdasarkan hasil regresi, dampak negatif antara pendapatan sektor pertambangan dengan tingkat keberlanjutan yang menggunakan indikator genuine saving merupakan akibat dari hubungan positif antara pendapatan sektor pertambangan dengan tingkat deplesi. Walaupun masih tinggi pendapatan sektor pertambangan yang menyebabkan deplesi, harus dilakukan proses alih kapasitas kepada modal manusia untuk menjaga tingkat keberlanjutan tetap positif. Berdasarkan hasil regresi, hubungan pendapatan sektor pertambangan dengan investasi modal manusia memang positif namun tidak berpengaruh signifikan. Kata Kunci : Pembangunan berkelanjutan, sektor pertambangan, genuine saving. ABSTRACT This study analyzes the impact of mining sector activities on sustainable development among provinces in Indonesia for the period 2000 to 2010. Mining sector, which became the main source of the state revenues during the New Order era, has an increase in real income during observed year. In addition, the proportion of primary sector exports has been increasing moreover it started to exceed the proportion of manufacturing exports. Increased mining sector activity affects a decrease of sustainability level in Indonesia. Based on the regression result, the negative impact of mining sector revenues to the level of sustainability using Genuine Saving as indicator is the result of a positive relationship between the mining sector incomes to natural resource depletion. Although higher mining sector incomes lead to depletion, capacity transfer process must be made to the human capital capacity investment in order to maintain positive level of sustainability. Based on the regression result, the mining sector revenue relationship with human capital investment is positive but not significant. Key words : Sustainable development, mining sector, genuine saving. JEL Classification : Q01, Q33, Q56 PENDAHULUAN Selama ini semua negara dalam pembangunan negara hanya fokus terhadap satu hal yaitu output atau GDP (Gross Domestic Product) yang selalu menjadi tolak ukur kemampuan pembangunan suatu negara. Namun saat ini indikator GDP yang mengukur tingkat pembangunan suatu negara mulai dipertanyakan. Berdasarkan Salim (2010), walaupun tingkat output dunia dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2000 meningkat sebesar tujuh kali lipat, namun pembangunan sosial jauh tertinggal dimana lebih dari satu per tiga penduduk di dunia hidup di bawah garis kemiskinan dan berkurangnya akses untuk kesehatan, pendidikan, dan standar hidup yang layak. Begitu juga dengan lingkungan yang mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan akan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara. Akibat pola pembangunan yang terfokus hanya pada output tersebut, maka ada generasi masa depan yang dikorbankan karena berkurangnya akses untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan daya dukung lingkungan yang menunjang kehidupan. Oleh karena itu, lahirlah konsep pembangunan berkelanjutan dimana pola pembangunan diarahkan tidak hanya fokus kepada output secara ekonomi tetapi juga kebutuhan sosial dan lingkungan masyarakat saat ini dan generasi masa depan. Pentingnya konsep pembangunan berkelanjutan tersebut direspon baik oleh dunia dengan diresmikannya Earth Charter yang berisi nilai dan prinsip pembangunan berkelanjutan pada Rio Earth Summit 2000. Komitmen berbagai negara dalam mencapai pembangunan berkelanjutan adalah dengan ditandanganinya kontrak untuk mewujudkan Millennium Development Goals (MDGs) yang diantara tujuan tersebut adalah untuk mengurangi kemiskinan dan mendukung adanya keberlanjutan lingkungan. MDGs akan diterapkan sampai tahun 2015. Untuk lebih memperkuat komitmen dunia mengenai pembangunan berkelanjutan, saat ini mulai dikembangkan konsep Sustainable Development Goals yang dikenal dengan nama POST 2015. Dengan konsep tersebut, semua negara
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
di dunia tidak hanya mencapai target pembangunan dalam MDGs tetapi juga terus melestarikannya untuk generasi yang akan datang. Definisi pembangunan berkelanjutan oleh World Commission on Environment and Development (1987) dalam Hackett (2011) yaitu pemenuhan kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam pemenuhan kebutuhannya. Berdasarkan laporan World Bank (2012), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan dimana hubungan pilar ekonomi dan sosial serta pilar sosial dan lingkungan sudah terbukti compatible dan complementary, sedangkan kinerja pilar ekonomi menimbulkan biaya tinggi untuk lingkungan sehingga dibutuhkan konsep green growth. Menurut Salim (2010), ketiga aspek tersebut (ekonomi, sosial, dan lingkungan) harus saling berinteraksi satu dengan yang lain dan tumbuh bersama-sama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, seperti yang tertera dalam gambar berikut.
Tabel 1 : Keterkaitan Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Ekonomi Sosial Lingkungan
Dari/Ke Ekonomi Sosial
Pengentasan Rakyat Miskin Dampak Terkait
Lingkungan
Dampak Terkait
Dampak Terkait
Dampak Terkait
Pembangunan Manusia Dampak Terkait
Dampak Terkait Pelestarian Ekosistem
Sumber : Salim (2010) Selain keterkaitan antar tiga aspek tersebut, Salim (2010) juga menitikberatkan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan maka pola pikir jangka pendek harus diubah menjadi pola pikir jangka panjang, sehingga segala bentuk aktivitas ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam harus mempertimbangkan dampak jangka panjang. Pola pikir dampak jangka panjang tidak serta merta lahir dengan sendirinya. Pola pikir jangka panjang akan muncul apabila sudah ada kesadaran dalam masyarakat suatu negara akan dampak dari pola pikir jangka pendek terhadap perekonomian. Sebagai contohnya adalah dengan menggantungkan nasib perekonomian negara terhadap sumber daya alam yang dipunya. Karena pola pikir jangka pendek tersebutlah muncul fenomena Dutch Disease akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Ketergantungan akan hasil sumber daya alam tersebut juga dirasakan oleh Indonesia. Indonesia merupakan salah satu penghasil sumber daya alam dan mineral terbesar di dunia. Pada masa Orde Baru, sumber pendapatan utama Indonesia adalah hasil sumber daya alam. Walaupun sumber pendapatan negara terbesar sudah dialihkan ke pajak, kontribusi dari sektor pertambangan untuk Indonesia tidak berhenti. Grafik 1 : Proporsi Ekspor Indonesia Tahun 2010
Sumber : Trade Profiles, World Trade Organization – www.wto.org , diolah. Berdasarkan profil perdagangan Indonesia dari World Trade Organization tahun 2010, menunjukan bahwa proporsi terbesar ekspor Indonesia masih diduduki oleh sektor pertambangan walaupun mulai disusul oleh sektor manufaktur. Pendapatan secara nasional untuk sektor pertambangan juga memperlihatkan peningkatan secara umum sepanjang tahun. Dari grafik pendapatan riil sektor pertambangan menunjukan bahwa produksi sektor pertambangan secara riil meningkat sepanjang tahun yang mengindikasikan masih cukup tingginya permintaan akan barang-barang sektor pertambangan dari dalam negeri maupun luar negeri.
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
Grafik 2 : PDB Riil Sektor Pertambangan Indonesia
Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah.
Menurut Widajatno dan Arif (2011), sektor pertambangan masih sangat penting untuk Indonesia karena sektor pertambangan merupakan sumber substantif dari penerimaan ekspor, aktivitas ekonomi dan ketenagakerjaan, serta pembangunan daerah. Oleh karena itu sangat penting untuk sektor pertambangan dalam memperhatikan keberlanjutan dari pendapatan tersebut tidak hanya dampaknya secara ekonomi tetapi juga dampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Sektor pertambangan juga harus mengikuti kaidah pembangunan berkelanjutan. Sehingga diperlukan analisis kontribusi dari sektor pertambangan sejak menjadi tumpuan utama pendapatan negara sampai dengan sekarang terhadap pembangunan berkelanjutan. Dari analisis tersebut selanjutnya diharapkan menghasilkan solusi dalam mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam sektor pertambangan. Sehingga fokus dalam penelitian ini adalah hubungan kontribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan berkelanjutan yang diukur dengan genuine saving. Analisis dalam penelitian ini akan difokuskan kepada dampak yang diberikan oleh aktivitas sektor pertambangan terhadap pembangunan berkelanjutan melalui indikator genuine saving. Selain itu penelitian ini akan melihat dampak variabelvariabel aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan terhadap pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini akan mengobservasi keterkaitan terhadap pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada tingkat provinsi. Hal tersebut bertujuan untuk melihat adanya ketidakmerataan antar provinsi di Indonesia terkait sektor pertambangan dan pembangunan berkelanjutan. Observasi penelitian ini akan menggunakan periode tahun 2000 sampai dengan 2010. TINJAUAN LITERATUR Dalam publikasi UNDP (2012) menyebutkan bahwa pembangunan bukan hanya sekedar growth dan sustainability bukan hanya menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah mengenai pemenuhan kebutuhan masyarakat saat ini tanpa pengorbankan kemampuan pemenuhan masyaraat di masa depan. Pembangunan berkelanjutan merupakan kombinasi dari inclusive growth dimana pembangunan merata dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, serta green economy dimana pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Sehingga disebut dengan triple wins. Menurut Tietenberg (2006), ketidaksempurnaan pasar termasuk eksternalitas antar waktu, openaccess resources dan kekuatan pasar dapat mengintervensi beberapa hal penting dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Dengan membiarkan open-access resources akan menciptakan alokasi yang tidak berkelanjutan. Eksternalitas antar waktu atau generasi juga dapat menimbulkan ketidakberlanjutan dikarenakan emisi gas rumah kaca dapat menimbulkan biaya untuk masyarakat di masa depan. Isu utama dalam permasalahan tersebut adalah penggunaan sumber daya alam yang efisien sehingga dapat menciptakan keberlanjutan. Berdasarkan teori sustainability, terdapat tiga definisi alternatif dari alokasi yang sustainable sebagai berikut. • Weak sustainability. Penggunaan sumber daya alam oleh generasi saat ini tidak boleh melebihi dari level tertentu yang akan membuat generasi masa depan tidak menikmati kepuasan yang sama. Oleh karena itu, nilai dari capital stock yaitu natural dan physical capital tidak seharusnya menurun. Satu komponen dari agregat boleh mengalami menurunan asalkan komponen yang lainnya mengalami
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
kenaikan nilai contohnya melalui investasi, sehingga secara agregat nilai sumber daya alam tidak berubah. • Strong sustainability. Nilai dari persediaan sumber daya alam tidak seharusnya mengalami penurunan. Dalam definisi ini, ditekankan bahwa natural capital harus dipelihara dengan asumsi bahwa natural dan physical capital tidak mempunyai banyak substitusi. Berbeda dengan definisi weak sustainability, seluruh nilai komponen (dibandingkan dengann physical flow yang spesifik) agregat capital harus dijaga tidak ada yang mengalami penurunan. • Environmental sustainability. Dari definisi ini ditekankan bahwa physical flow harus dijaga dibandingkan nilai dari agregat capital. Yang berarti fungsi ekologis harus lebih diutamakan dibandingkan nilainya. Untuk memperoleh penggunaan yang efisien dan juga sustainable merupakan hal yang sangat sulit. Dari berbagai alokasi pasar terkait sumber daya alam yang terjadi adalah penggunaannya efisien tetapi tidak sustainable atau penggunaan sustainable tetapi tidak efisien. Alokasi yang efisien antar waktu dan antar generasi dapat memenuhi sustainability criterion dimana saat kondisi yang paling minimum, generasi masa depan tidak boleh lebih worse off dari generasi masa kini. Tentu saja kriteria tersebut sangat sulit untuk dipenuhi karena alokasi yang adil dan sama untuk setiap generasi khususnya alokasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sulit untuk diimplementasikan. Kemudian pemikiran John Hartwick pada tahun 1977 yang kemudian dikenal dengan Hartwick Rule menjelaskan bahwa tingkat konsumsi yang konstan dapat dijaga sepanjang waktu apabila semua scarcity rent (keuntungan produsen dalam keseimbangan produksi jangka panjang yang diakibatkan supply yang tetap ataupun kenaikan biaya produksi) dapat diinvestasikan ke dalam kapital. Kemudian tingkat investasi tersebut akan mencukupkan nilai dari total kapital sehingga tidak megalami penurunan. Pemikiran tersebutlah yang menjadi cikal bakal konsep weak sustainability yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dimana dalam konsep tersebut nilai dari total kapital dapat terkontrol tetap tidak menurun. Kapital yang dimaksud adalah jumlah dari berbagai macam kapital seperti natural capital (lingkungan dan sumber daya alam) dan physical capital (bangunan, jalan, mesin). Namun kekuatan substitusi antara kapital tersebut belum tentu seimbang. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penggunaan sumber daya alam khususnya untuk sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui merupakan salah satu isu utama dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Beberapa penelitian melihat bahwa terdapat dampak akibat ekstraksi sumber saya alam tersebut terhadap pembangunan berkelanjutan. Penelitian oleh Stern (1995) memulai melihat dampak ekstraksi sumber daya alam tambang dan mineral melalui data GDP sektor pertambangan terhadap keberlanjutan yang diproksikan secara kurang sempurna oleh GNP per capita dimana sustainability akan tercapai apabila kenaikan dari GDP sektor pertambangan tersebut menyebabkan kenaikan jangka panjang GNP per capita. Stern (1995) mengobservasi 19 negara berkembang di luar anggota OPEC yaitu Bolivia, Bostwana, Kamerun, Cili, Kolombia, Jamaika, Liberia, Malaysia, Meksiko, Oman, Peru, Papua Nugini, Sierra Leone, Afrika Selatan, Togo, Tunisia, Zaire, Zambia, dan Zimbabwe. Periode waktu observasi adalah dari tahun 1963 sampai dengan 1988. Dari hasil estimasi secara rata-rata keseluruhan negara yang memiliki angka pengganda positif adalah Kamerun, Jamaika, Meksiko, Oman, Peru, Togo, Tunisia, Zambia, dan Zimbabwe. Negara-negara tersebut menunjukan bahwa sektor pertambangan di negaranya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dikarenakan adanya modal manufaktur namun tambahan modal tersebut menurun sepanjang tahun. Oleh karena itu perlunya tambahan modal manufaktur yang hilang digantikan dengan tambahan modal manusia atau tenaga kerja. Menggunakan indikator genuine saving, Neumayer dan Soysa (2007) mengbservasi 115 negara untuk periode waktu 18 tahun untuk melihat dampak dari fenomena resource curse terhadap pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan indikator genuine saving. Untuk menggambarkan fenomena resource curse, Neumayer dan Soysa (2007) menggunakan variabel ekspor sumber daya alam sebagai variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian. Selain variabel ekspor sumber daya alam sebagai variabel kontrol digunakan pula variabel GNI per kapita, pertumbuhan GDP, angka ketergantungan, serta kualitas institusi. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspor sumber daya alam menunjukkan adanya resource curse berdampak negatif terhadap pembangunan berkelanjutan. Dampak angka negatif dari genuine saving untuk negara dengan kekayaan sumber daya alam meningkat tersebut dikarenakan buruknya kualitas institusional yang tidak dapat memanfaatkan investasi dari resource rents untuk bentuk modal yang lain. Oleh karena itu, Neumayer dan Soysa (2007) menyarankan untuk negara dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah tersebut untuk mencari langkah supaya resource rents menjadi aset yang produktif sehingga dapat meningkatkan genuine saving, termasuk diantaranya dengan mengurangi tingkat korupsi di institusi. Dengan menggunakan indikator yang sama Boos (2011) meneliti hubungan determinan dari genuine saving terhadap resource curse dimana penelitian bermula dari bukti bahwa negara yang mempunyai
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
keunggulan atas sumber daya alam sering sekali diidentifikasikan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lambat. Dalam mengukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dengan investasi ulang dari rent sumber daya alam dari modal alam menjadi modal fisik dan modal manusia. Dalam analisis antar negara, Boos (2011) meneliti dampak dari determinan dan transmisi sektor yang menyebabkan resource curse dan menentukan pembangunan berkelanjutan dengan indikator genuine saving serta komponennya. Menggunakan analisis cross-country karena menggunakan sampel antara 71 sampai dengan 87 negara berkembang dan industri tergantung dari jumlah variabel penjelas serta periode observasi tahun 1970 sampai dengan 2008, Boos (2011) mengolah enam model persamaan dengan variabel terikat yang berbedabeda yaitu GDP, genuine saving, rata-rata perubahan modal fisik, rata-rata perubahan modal manusia dimana menggunakan proksi pengeluaran untuk pendidikan sebagai investasi di modal manusia, rata-rata deplesi sumber daya alam, dan rata-rata dampak dari emisi karbon dioksida. Berdasarkan hasil penelitian oleh Boos (2011) tersebut menunjukan bahwa dominasi sektor primer dengan basis sumber daya alam akan mengurangi pembangunan berkelanjutan dan juga meningkatkan degradasi lingkungan. Hasil dari Boos (2011) juga ada yang mendukung hasil dari Asici (2011) dimana apabila ada sikap radikal yang tegas dari para pembuat kebijakan dan peraturan maka tekanan untuk lingkungan akan berkurang. Dalam hasil tersebut menunjukan bahwa kualitas institusi yang tinggi berdampak positif untuk pembangunan berkelanjutan dan berdampak untuk pengurangan deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Dengan mempertimbangkan teori dan juga penelitian empiris sebelumnya, penelitian ini mengobservasi kondisi sektor pertambangan di Indonesia untuk melihat tingkat keberlanjutannya yang akan dihitung melalui indikator genuine saving. Berdasarkan teori apabila aktivitas sektor pertambangan dimana menunjukan ekstraksi sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui juga diikuti dengan investasi bentuk modal lainnya maka hal tersebut mengikuti pembangunan berkelanjutan. Apabila tidak diikuti dengan investasi bentuk modal lainnya maka sektor pertambangan tidak berkelanjutan. Seperti dalam studi empiris sebelumnya yang sebagian besar menyatakan bahwa negara-negara berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah mempunyai sektor pertambangan yang tidak berkelanjutan dikarenakan tidak diikuti dengan investasi modal lainnya. Ada beberapa yang diikuti investasi modal buatan manusia namun selalu mengalami penurunan karena adanya depresiasi. Penelitian ini akan melihat bagaimana keberlanjutan sektor pertambangan di Indonesia dah proses alih kapasitas untuk bentuk modal yang lain. METODE Penelitian ini memakai indikator bernama adjusted net saving atau genuine saving. Awal mula terbentuknya indikator Adjusted Net Saving merupakan saran akan indikator weak sustainability oleh Pearce dan Atkinson (1993). Indikator weak sustainability yang dimaksud adalah indikator yang dapat memperhitungkan deplesi dari sumber daya alam dan lingkungan, serta konsep weak tersebut tidak membatasi atau menjadikan substitusi terhadap sumber daya alam yang merupakan aset alam dan aset lainnya dalam kegiatan produksi. Aturan indikator ini, Pearce dan Atkinson (1993) memulai dengan menentukan apakah suatu negara mempunyai target ataupun jalur penerapan pembangunan berkelanjutan atau tidak. Pearce dan Atkinson (1993) mengadopsi teori neoklasik dan berasumsi kemungkinan substitusi antara natural capital dan man-made capital. Kemudian diambil kesimpulan bahwa perekonomian suatu negara akan sustainable apabila perekonomian memiliki tabungan lebih besar dari kombinasi depresiasi dari kedua bentuk modal tersebut. Persamaan adalah sebagai berikut, Dimana Z adalah indeks dari keberlanjutan, S adalah tingkat tabungan, δM adalah nilai depresiasi dari modal buatan manusia, dan δN adalah nilai depresiasi dari modal alam. Selanjutnya persamaan tersebut oleh The United Nations System of National Accounts dan World Bank World Development Report menyediakan data untuk komponen persamaan tersebut sebagai rasio terhadap pendapatan nasional (Y). Dalam perkembangannya, data depresiasi dari modal alam sulit untuk diestimasi. Pearce dan Atkinson pada penelitian mengenai topik tersebut mengestimasi modal alam tersebut dengan bentuk valuasi yang kompleks menggunakan modifikasi dari komponen pendapatan nasional, dan valuasi menggunakan basis harga pasar seperti produksi hasil pertanian yang berkurang akibat erosi tanah. Dengan menggunakan satuan persentase terhadap pendapatan nasional, persamaan indikator weak sustainability adalah sebagai berikut.
Dengan menggunakan satuan persentase, Z menunjukan marginal sustainability. Semakin tinggi nilai negatif dari Z maka akan semakin besar usaha yang dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi pembangunan berkelanjutan relatif terhadap pendapatan nasional. Selain menggunakan satuan persentase, alternatifnya adalah dengan menggunakan unit currency. Persamaannya adalah sebagai berikut.
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
Contoh aplikasinya adalah dalam pengukuran alur bantuan dari dalam maupun luar negeri yang dibutuhkan untuk menjaga tingkat perekonomian yang berkelanjutan. Setelah publikasi Pearce dan Atkinson (1993), World Bank membuat paparan estimasi kondisi genuine saving untuk negara-negara di dunia dimana diambil kesimpulan bahwa negara dengan tingkat genuine saving yang negatif merupakan perekonomian yang tidak berkelanjutan. Hamilton, Atkinson, dan Pearce (1997) melengkapi konsep indikator genuine saving tersebut dengan membuat hubungan antara perhitungan tingkat tabungan dengan pembangunan berkelanjutan. Pengertian genuine saving dalam perekonomian oleh Hamilton, Atkinson, dan Pearce (1997) adalah total dari investasi bersih atas aset yang diproduksi oleh manusia atau penduduk dan perubahan dari berbagai macam persediaan sumber daya alam dan polutan, yang dinilai dengan harga bayangan untuk mendukung jalur keberlanjutan yang optimal dimana diproksikan dengan scarcity rent untuk sumber daya alam dan biaya tambahan dampak dari polutan. Perekonomian dalam penelitian tersebut dideskripsikan sebagai kondisi perekonomian sederhana dimana merupakan agregasi dari produksi yang mengkombinasikan sumber daya alam dan aset yang diproduksi oleh manusia. Apabila genuine saving bernilai negatif maka akan terdapat indikasi bahwa perekonomian yang optimal tidak mempunyai sifat keberlanjutan. Dua faktor produksi yang digunakan yaitu sumber daya alam dan aset yang diproduksi oleh manusia memiliki keterbatasan masing-masing. Sumber daya alam dapat habis sewaktu waktu terutama untuk depletable resources, sedangkan untuk aset yang dapat diproduksi oleh manusia akan berkurang nilai penggunaannya karena ada depresiasi. Hamilton, Atkinson, dan Pearce (1997) menyadari bahwa ada beberapa hal yang akan mempengaruhi kedua faktor produksi tersebut yaitu perubahan teknologi atau akumulasi ilmu pengetahuan dan modal manusia. Hamilton, Atkinson, dan Pearce (1997) menyimpulkan bahwa genuine saving merupakan GNP (Gross National Product) dikurangi konsumsi, dikurangi depresiasi, dikurangi deplesi sumber daya alam, ditambah dengan premium. Premium yang dimaksud adalah perubahan dari kedua faktor produksi tersebut seperti untuk teknologi adalah tingkat pertumbuhan dari teknologi dan untuk modal manusia adalah education premium dimana dapat diproksikan dengan pengeluaran untuk pendidikan saat ini. Perhitungan secara lengkap untuk genuine saving dilakukan oleh Departemen Lingkungan World Bank yang tercakup dalam publikasi oleh Bolt, Matete, dan Clemens (2002). Bolt, Matete, dan Clemens menjelaskan genuine saving atau adjusted net saving sebagai indikator yang sederhana secara relatif untuk menunjukan seberapa tingat keberlanjutan dari kebijakan investasi yang dilakukan oleh suatu negara. Dalam perhitungan tingkat tabungan yang standar secara nasional, hanya modal yang diprodusi oleh manusia yang dihitung sebagai investasi di masa depan sehingga akan meningkatkan nilai investasi yang ada di masyarakat. Nilai depresiasi yang dihitung juga hanya nilai depresiasi dari modal yang diproduksi oleh manusia yang akan menentukan meningkat atau menurunnya nilai aset di suatu negara. Konsep genuine saving mempertimbangkan tidak hanya modal tersebut yang menentukan investasi untuk masa depan tetapi juga modal sumber daya alam dan modal manusia. Adanya depletable resources akan mempengaruhi jumlah dari stok aset suatu negara sehingga tidak dapat memberikan investasi di masa depan. Ditambah dengan modal manusia dimana dengan membuat tingkat pendidikan dan keahlian penduduk yang meningkat maka akan meningkatan nilai investasi untuk sumber daya manusia dan juga dapat dikategorikan sebagai investasi di masa depan. Perhitungan oleh Bolt, Matete, dan Clemens (2002) dari World Bank dimulai dengan menggunakan nilai tabungan nasional bruto yang merupakan selisih dari pendapatan nasional bruto dengan konsumsi baik pemerintah maupun swasta. Tingkat tabungan tersebut kemudian dikurangi dengan penggantian nilai dari modal yang dipakai untuk proses produksi. Setelah itu, untuk penambahan digunakan nilai pengeluaran pendidikan saat ini dengan mempertimbangkan bahwa modal manusia dapat dikategorikan sebagai investasi masa depan, dan sumber daya manusia juga merupakan aset yang berharga dalam pembangunan suatu negara. Terkait dengan pengaruh lingkungan dan sumber daya alam, nilai dari deplesi sumber daya alam dan nilai dampak dari emisi karbon dioksida akan menjadi pengurang tingkat tabungan. Sumber daya alam yang termasuk dalam perhitungan adalah semua depletable resources seperti energi dan barang tambang mineral, serta untuk pengecualian adalah hutan karena nilai deplesi dari hutan dihitung dari nilai ekstraksi yang melebihi batas volume kayu di hutan. Sedangkan emisi karbon dioksida diperhitungan untuk membuat nilai aset nasional yang diproduksi tidak termasuk udara yang tercemar. Penelitian ini akan melihat kondisi pembangunan berkelanjutan di Indonesia menggunakan indikator genuine saving dalam tingkat provinsi dimana perhitungan komponen dari genuine saving tersebut mengacu kepada publikasi Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2010 yang membuat kajian perhitungan genuine saving dan PDRB Hijau dalam tingkat provinsi. Komponen genuine saving yang digunakan dalam kajian tersebut pada dasarnya mempunyai konsep yang sama dengan perhitungan yang dilakukan Bank Dunia sebelumnya namun untuk investasi pada modal manusia ditambahkan pengeluaran
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
untuk kesehatan dimana juga berguna untuk peningkatan kualitas masyarakat dalam berproduksi dan menghasilkan pendapatan di sistem perekonomian. Bentuk persamaan genuine saving adalah sebagai berikut.
Penelitian ini akan menggunakan lima model regresi berdasarkan lima variabel terikat yang berbeda untuk setiap model regresi. Variabel terikat yang digunakan adalah indikator pembangunan berkelanjutan yaitu genuine saving, serta komponen-komponen pembentuk indikator tersebut yaitu saving yang sudah disesuaikan dengan depresiasi, human capital investment yang merupakan total dari pengeluaran untuk modal manusia yaitu pendidikan dan kesehatan, deplesi sumber daya alam, dan degradasi lingkungan yaitu emisi karbon. Fokus dalam penelitian ini adalah melihat dampak perekonomian terhadap tingkat genuine saving yang menggambarkan pembangunan berkelanjutan. Sementara variabel terikat lainnya yang berupa komponen dari genuine saving adalah sebagai penguat penjelasan melalui komponen manakah dampak perekonomian terhadap tingkat genuine saving. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini fokus utama adalah kontribusi sektor pertambangan dimana berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Stern (1995) menggunakan variabel pendapatan dari sektor pertambangan. Selain itu, Stern (1995) juga menggunakan pembanding yaitu pendapatan dari sektor lain selain sektor pertambangan. Dikarenakan penelitian ini mempunyai ruang lingkup provinsi di Indonesia, sehingga variabel bebas utama yang digunakan adalah PDRB sektor pertambangan. Dan untuk pembanding pendapatan sektor lainnya dipecah menjadi dua dimana apabila sektor pertambangan termasuk sektor primer, maka untuk sektor lainnya menggunakan pendapatan sektor sekunder dan sektor tersier yaitu PDRB sektor manufaktur dan PDRB sektor jasa. Dalam Stern (1995) mengasumsikan pendapatan sektor-sektor tersebut sebagai output suatu perekonomian dan membutuhkan input yaitu tenaga kerja, kapital, dan human capital. Dalam penelitian ini juga akan digunakan variabel tersebut yaitu tenaga kerja, human capital yang diproksikan dengan rata-rata angka partisipasi sekolah dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas, serta kapital yang diproksikan dengan investasi dimana dalam Boos (2011) menggunakan variabel share investasi terhadap pendapatan, dalam penelitian ini terhadap PDRB. Variabel kontrol lainnya berdasarkan Boos (2011) adalah share konsumsi dan total perdagangan terhadap PDRB. Untuk variabel institusional dalam Boss (2011) tidak diikutsertakan dalam penelitian ini dikarenakan tidak adanya data tersebut dalam tingkat provinsi. Untuk melihat dampak variabel sosial digunakan variabel tingkat kemiskinan dalam model ini. Sehingga persamaan model regresi adalah sebagai berikut. 1. Indikator pembangunan berkelanjutan (genuine saving)
Dimana : GS : indikator pembangunan berkelanjutan yaitu genuine saving dalam satuan persentase terhadap PDRB. lngdrpmin : pendapatan regional riil sektor pertambangan dalam bentuk logaritma natural. lngdrpman : pendapatan regional riil sektor manufaktur dalam bentuk logaritma natural. lngdrpser : pendapatan regional riil sektor jasa dalam bentuk logaritma natural. labor : jumlah tenaga kerja semua sektor dalam satuan orang. shrinv : proporsi investasi riil terhadap PDRB riil. avrenr : rata-rata tingkat pastisipasi sekolah SD sampai SMA. shrcon : proporsi konsumsi riil terhadap PDRB riil. shrtrd : proporsi total perdagangan riil terhadap PDRB riil. povr : tingkat kemiskinan per provinsi berdasarkan garis kemiskinan nasional. Persamaan model di atas merupakan persamaan model regresi utama dimana akan dilihat dampak aktivitas perekonomian yang dalam penelitian ini akan difokuskan untuk sektor pertambangan. Sebagai penjelasan atas dampak variabel bebas terhadap variabel indikator pembangunan berkelanjutan dilakukan estimasi melalui persamaan model regresi dimana menggunakan komponen-komponen dari indikator pembangunan berkelanjutan genuine saving sebagai variabel terikat. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut. 2. Komponen saving
3.
Komponen human capital investment
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
4.
Komponen deplesi sumber daya alam
5.
Komponen degradasi lingkungan
Dimana : sav : tingkat tabungan bersih sudah dikurangi dengan depresiasi aset dengan satuan persentase terhadap PDRB. hci : investasi modal manusia melalui pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan satuan persentase terhadap PDRB. depl : tingkat deplesi sumber daya alam dengan satuan persentase terhadap PDRB. degr : tingkat degradasi yang mengukur dampak emisi lokal dan global dengan satuan persentase terhadap PDRB. Variabel indikator pembangunan berkelanjutan yaitu genuine saving merupakan perhitungan dari komponen-komponen yang sudah dijelaskan sebelumnya. Data saving didapat dari perhitungan pendapatan regional provinsi Indonesia tahun 2000 sampai dengan 2010 berdasarkan pendekatan pengeluaran dimana saving didapat dengan mengurangkan pendapatan dengan konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Untuk membuat data tingkat tabungan yang bersifat netto, ditambahkan dengan perubahan stok dari modal buatan manusia. Data provinsi tersebut didapat dari Biro Pusat Statistik. Data human capital investment merupakan penjumlahan dari investasi melalui pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dalam tingkat provinsi tahun 2000 sampai dengan 2010. Data pengeluaran tersebut didapat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Data deplesi dan degradasi didapatkan dari publikasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia untuk tingkat provinsi dan ekstrapolasi untuk mendapatkan data tahunan lengkap tahun 2000 sampai dengan 2010 dengan asumsi mengikuti pergerakan PDRB. Hal tersebut didasarkan studi literatur pada bagian sebelumnya yang menjelaskan bahwa polusi udara yang dapat mengurangi kualitas lingkungan untuk kasus penelitian ini adalah degradasi yang dihitung dengan tingkat emisi, sehingga semakin banyak produksi akan meningkatkan pendapatan (PDRB) dan juga meningkatkan polusi udara. Selain itu, dalam proses produksi memerlukan bahan baku salah satunya dari komoditas sektor tambang sehingga semakin banyak hasil produksi maka bahan baku yang digunakan semakin banyak dan meningkatkan deplesi sumber daya alam. Perhitungan dari KLH untuk deplesi didapatkan dari pertimbangan satuan rent serta komponen harga dan kuantitas komoditas yang mencerminkan deplesi. Untuk perhitungan degradasi oleh KLH didapatkan dengan mengalikan jumlah emisi di udara, dimana diasumsikan untuk emisi dari kendaraan bermotor yaitu nitrogen oksida untuk polusi lokal dan karbon dioksida untuk polusi global, dengan external damage dari polusi tersebut seperti biaya kesehatan. Satuan genuine saving beserta komponen-komponen didalamnya adalah persentase terhadap PDRB. Data PDRB sektor pertambangan, sektor manufaktur, dan sektor jasa didapatkan dari data pendapatan regional provinsi di Indonesia tahun 2000 sampai dengan 2010 dengan pendekatan sektoral atau produksi. Data sektoral tersebut didapatkan dari Biro Pusat Statistik dari publikasi PDRB provinsi di Indonesia berdasarkan lapangan usaha yang sudah dikategorikan menjadi sembilan lapangan usaha atau sektor. Satuan dari data sektoral tersebut adalah satuan mata uang yaitu rupiah. Namun dalam penelitian ini data PDRB sektoral tersebut dibentuk menjadi logaritma natural untuk melihat dampak perubahannya terhadap indikator pembangunan berkelanjutan dan komponennya. Data tenaga kerja, rata-rata angka partisipasi sekolah, dan tingkat kemiskinan didapat dari data regional provinsi Biro Pusat Statistik tahun 2000 sampai dengan 2010. Untuk data angka partisipasi sekolah terdapat ketidaklengkapan data pada awal-awal periode. Satuan dari data tenaga kerja adalah jumlah orang yang bekerja. Satuan rata-rata angka partisipasi sekolah adalah persentase dari jumlah penduduk dalam usia sekolah. Satuan dari tingkat kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk yang hidup dengan pendapatan atau pengeluaran dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik antara lain garis kemiskinan nasional dan garis kemiskinan daerah sehingga setiap daerah mempunyai garis kemiskinan masing-masing. Data share untuk investasi, konsumsi, dan total perdagangan didapatkan dari data pendapatan regional provinsi Indonesia tahun 2000 sampai dengan 2010 dengan pendekatan pengeluaran. Total
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
perdagangan merupakan penjumlahan dari nilai ekspor dan nilai impor. Satuan dari variabel-variabel tersebut adalah persentase terhadap PDRB. Estimasi untuk penelitian ini dilakukan dengan mengolah data menggunakan STATA dan juga Microsoft Office Excel. Karena lingkup penelitian ini adalah tingkat provinsi di Indonesia dengan mengobservasi 30 provinsi untuk periode waktu tahun 2000 sampai dengan 2010, maka digunakan analisis data panel. Dalam analisis data panel terlebih dahulu dilakukan pemilihan model regresi data panel. Model regresi untuk data panel terdapat tiga jenis yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Berdasarkan penjelasan dari Gujarati dan Porter (2009), perbedaan dari ketiga jenis model regresi tersebut antara lain untuk PLS adalah estimasi dimana seluruh individu disatukan sehingga menjadi grand regression dan tidak melibatkan sifat data cross section dan time series. Metode estimasi PLS tersebut menurut Gujarati (2009) akan mempermudah proses estimasi namun dapat mendistorsi gambaran sebenarnya terhadap hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk model FEM mempunyai intersep yang berbeda dan unik untuk setiap individu karena perbedaan intersep antar individu bersifat tetap. Sedangkan untuk model REM mempunyai intersep yang sama untuk setiap individu karena diasumsikan bahwa nilai intersep bersifat acak. Untuk penelitian ini, setelah dilakukan uji pemilihan model, maka model estimasi yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM). Setelah pengujian model, dilakukan pengujian kriteria ekonometrika yaitu pengujian untuk melihat pemenuhan asumsi Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) untuk model. Setelah melakukan uji pemenuhan kriteria BLUE, maka dilakukan regresi sesuai dengan metode yang ditentukan sebelumnya kemudian identifikasi kriteria statistik antara lain signifikansi setiap variabel bebas dengan melakukan Uji-T, signifikansi model secara keseluruhan dengan melakukan Uji-F, serta interpretasi koefisien dari variabel dengan hipotesis yang berdasarkan studi literatur. Untuk Uji-T apabila nilai pengujian statistik setiap variabel bebas (p-value) lebih kecil dari standard error maka variabel tersebut secara signifikan yaitu nilai tidak sama dengan nol terhadap variabel terikat. Untuk Uji-F apabila nilai pengujian statistik lebih kecil dari standard error maka secara keseluruhan model adalah signifikan. HASIL DAN ANALISIS Berdasarkan grafik tingkat genuine saving atau adjusted net saving 30 provinsi di Indonesia yang menjadi observasi, menunjukan tingkat keberlanjutan yang berbeda-beda untuk setiap provinsi. Sebagian besar dari provinsi-provinsi tersebut mempunyai tingkat keberlanjutan yang cenderung stabil sepanjang tahun observasi. Namun, terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat keberlanjutan yang cenderung menurun sepanjang tahun observasi bahkan mempunyai tingkat keberlanjutan yang negatif. Provinsiprovinsi tersebut antara lain Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua. Untuk provinsi Maluku dan Maluku Utara mempunyai tingkat keberlanjutan yang cenderung stabil namun mempunyai angka positif dan negatif mendekati nol. Untuk provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada awal mula observasi mempunyai tingkat keberlanjutan positif namun diakhir observasi mempunyai tingkat keberlanjutan negatif. Grafik 4 : Tingkat Keberlanjutan di Indonesia berdasarkan Provinsi Bali
Banten
Bengkulu
DIY
DKI Jakarta
Gorontalo
Jabar
Jambi
Jateng
Jatim
Kalbar
Kalsel
Kalteng
Kaltim
Lampung
Maluku
Maluku Utara
NAD
NTB
NTT
Papua
Riau
Sulsel
Sulteng
Sultra
Sulut
Sumbar
Sumsel
Sumut
-100 -50 50 0 -100 -50 50 0 -100 -50 50 0 -100 -50
Adjusted Net Saving
0
50
-100 -50
0
50
Babel
2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
Tahun Graphs by Provinsi
Sumber : Olahan Pribadi.
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
2005
2010
Grafik 5 : Tingkat Keberlanjutan di Indonesia Berdasarkan Wilayah Pulau
Sumber : Olahan Pribadi. Apabila tingkat keberlanjutan tersebut dirata-ratakan berdasarkan wilayah kepulauan, maka wilayah pulau yang mempunyai tingkat keberlanjutan paling rendah adalah Papua. Pada awal tahun observasi tingkat keberlanjutan Papua masih positif, namun sepanjang tahun terjadi penurunan yang cukup besar. Begitu juga dengan pulau Sumatera dan Kalimantan yang pada awal tahun observasi mempunyai tingkat keberlanjutan yang positif namun sepanjang tahun mengalami penurunan hingga mencapai tingkat keberlanjutan negatif walaupun penurunan tersebut tidak sebesar Papua. Wilayah kepulauan Maluku mempunyai tingkat keberlanjutan negatif dari awal tahun observasi namun perkembangannya cenderung stabil dan pada akhir tahun observasi tingkat keberlanjutan wilayah kepulauan Maluku lebih besar dibandingkan wilayah pulau Sumatera dan Papua. Grafik 6 : Tingkat Keberlanjutan Indonesia Secara Rata-rata.
Sumber : Olahan Pribadi. Secara rata-rata 30 provinsi, tingkat keberlanjutan di Indonesia mempunyai trend yang terus menurun sepanjang tahun observasi. Tingkat keberlanjutan pada awal tahun observasi mempunyai angka positif. Namun dimulai setelah tahun 2008, angka keberlanjutan Indonesia adalah negatif yang mana mengindikasikan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Angka negatif tersebut terus menurun hingga tahun 2010. Dalam penelitian ini menggunakan indikator genuine saving yang mempunyai komponen antara lain tingkat tabungan, investasi pada modal manusia, deplesi, dan degradasi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat keberlanjutan di Indonesia secara rata-rata provinsi mempunyai trend yang menurun sepanjang tahun. Pergerakan komponen-komponen dari genuine saving yang menjadi indikator tingkat keberlanjutan berbeda dengan pergerakan tingkat keberlanjutan itu sendiri. Dapat dilihat dari grafik pergerakan komponen tingkat keberlanjutan bahwa proporsi terbesar pembentuk tingkat keberlanjutan adalah melalui tingkat tabungan dimana pergerakannya cukup berfluktuasi dimana mengalami penurunan yang cukup lama untuk tahun 2006 sampai tahun 2009. Fluktuasi pada tingkat tabungan disebabkan oleh penyesuaian dari depresiasi aset modal buatan manusia. Tingkat deplesi dan degradasi mengalami
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
peningkatan seiring dengan tingkat deplesi lebih besar dibandingkan tingkat degradasi. Dari peningkatan deplesi menunjukan bahwa eksploitasi sumber daya alam sektor kehutanan dan pertambangan mengalami peningkatan sepanjang tahun. Sedangkan dari peningkatan degradasi yang dihitung dengan tingkat emisi menunjukan bahwa seiring dengan peningkatan pendapatan maka pengurangan kualitas dari segi kualitas udara semakin besar. Untuk proporsi pembentuk tingkat keberlanjutan terkecil berasal dari tingkat investasi modal manusia. Hal tersebut menunjukan bahwa secara rata-rata pengeluaran pemerintah daerah provinsi untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan masyarakat relatif kecil. Karena tingkat investasi modal manusia merupakan komponen penambah tingkat keberlanjutan, kecilnya proporsi komponen tersebut membuat tingkat keberlanjutan meningkat tidak terlalu besar. Sedangkan deplesi dan degradasi yang menjadi faktor pengurang maka peningkatannya tersebut membuat tingkat keberlanjutan semakin kecil. Grafik 7 : Pergerakan Komponen Genuine Saving.
Sumber : Olahan Pribadi. Dalam penelitian ini, untuk observasi kontribusi sektor pertambangan menggunakan output atau pendapatan sektor pendapatan yang dapat menunjukan aktivitas dari sektor tersebut.
Babel
Bali
Banten
Bengkulu
DIY
DKI Jakarta
Gorontalo
Jabar
Jambi
Jateng
Jatim
Kalbar
Kalsel
Kalteng
Kaltim
Lampung
Maluku
Maluku Utara
NAD
NTB
NTT
Papua
Riau
Sulsel
Sulteng
Sultra
Sulut
Sumbar
Sumsel
Sumut
50000 0 50000 0
50000
0
PDRB Mining
0
50000
0
50000
Grafik 8 : PDRB Sektor Pertambangan di Indonesia berdasarkan Provinsi.
2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010 2000
2005
2010
Tahun Graphs by Provinsi
Sumber : Olahan Pribadi. Berdasarkan grafik PDRB sektor pertambangan untuk 30 provinsi di atas, menunjukan bahwa beberapa provinsi mempunyai aktivitas sektor pertambangan yang sangat sedikit. Hal itu dapat ditunjukan dari pendapatan yang relatif kecil dibandingkan provinsi lain. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Bangka Belitung, Bali, Banten, Bengkulu, Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Untuk provinsi dengan aktivitas sektor pertambangan paling besar adalah provinsi
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
Kalimantan Timur dan Riau dengan pertumbuhan keduanya yang cenderung meningkat. Provinsi Papua, Sumatera Selatan, dan Aceh juga mempunyai aktivitas sektor pertambangan yang cukup besar, namun berkembangannya tidak mengalami peningkatan seperti dua provinsi dengan aktivitas terbesar. Papua mempunyai output sektor pertambangan yang cenderung berfluktuasi. Untuk provinsi Sumatera Selatan dan Aceh mempunyai trend aktivitas sektor pertambangan yang stabil dan menurun. Banten Banten Banten Banten Banten Banten Banten Banten NAD DKI Jakarta Banten DKI Jakarta Sumut Sumut Sumut Papua DKI Jakarta Banten Babel Sumut Sumut Babel NAD DKI Jakarta Banten Bali Kalbar Kalbar DKI Jakarta Sumut NADPapua Kalbar DKI Jakarta Sulut Kalteng NTB NTT Kalteng Kalteng Kalteng Kalsel Kalsel Jatim Sumut Kalsel KalselPapua NAD Kaltim DKI DKI Jakarta Jakarta Babel Jatim Kalsel DKI Jakarta NTB NTT Bali Bali Kalbar NTB Papua Kalteng NTB Jatim DIY Sulut Jateng Sumut DKI Babel Jakarta Sulut Sumut Jatim Papua Sulut Papua Bali DIY Bali Lampung Babel Bali Lampung DIY Sulut Kalteng Lampung Jabar Bali NTT Kalsel Jatim NTB Jatim Jabar Bali Kalbar Kalteng Kalteng Sulut Lampung DIY Bali Jabar Jabar Kaltim Kalbar Babel Jabar Sulteng Sumut Jatim Bali Lampung DIY NTB Jabar Sumbar Babel NTT Sultra Kalteng DIY Jatim Sumbar Jabar Sultra Sulteng Sulut Jatim Sulsel Sultra NAD Sumbar Jabar Sultra Sumut Sumbar Jabar Lampung NTB Lampung Sulut Sumbar Kalteng Jabar Sulteng Sulut Sulteng Babel Sulsel DIY Sumbar Sulteng Babel Gorontalo Jatim Kalteng Kalsel Kaltim Bengkulu DIY Sulteng Sultra Sulut Sumbar Jabar Jatim Jateng NTB NTT Sulteng Jateng NTT Bengkulu Sultra Lampung Sulut Sulsel Bali Kalbar Sulsel Bengkulu Bengkulu Sultra Sulsel Sultra Riau Bengkulu Bengkulu Sumbar Bengkulu Jateng Sulteng JatengSulsel Sulsel Bengkulu Sultra Lampung Bengkulu Sultra NTB Kalbar Jateng Sulteng Babel Sulsel Lampung NTBKalsel Kaltim DIY NTT Jateng Bengkulu Lampung Sulsel NTT NTT Babel Kalbar Bengkulu Sulteng NTT NTT Jateng Jambi NAD Sulteng NAD Sulsel Riau Gorontalo Maluku Gorontalo Maluku Jateng NTB Jambi Jateng Kalsel Gorontalo Maluku Jateng Papua Gorontalo NAD Kalsel Gorontalo Maluku Jambi Maluku Utara Maluku Sumsel Sumsel Sulsel Kalsel Kaltim Maluku NAD Sumsel Gorontalo Maluku Maluku Gorontalo Jambi Maluku Riau Gorontalo NAD Riau Jambi NAD Sumsel Gorontalo Maluku Maluku Maluku Utara Riau Kaltim Jambi Papua Maluku Utara Jambi Maluku Utara Jambi Sumsel Maluku Utara Maluku Utara Maluku Utara Utara Maluku Utara Sumsel Kaltim Gorontalo Maluku Jambi Papua Riau Riau Maluku Utara Jambi Sumsel Sumsel Jambi Riau Sumsel Papua Kaltim Papua Riau Sumsel Sumsel Kaltim Riau
-100
-50
0
50
Grafik 9 : Grafik Hubungan PDRB Sektor Pertambangan dengan Tingkat Keberlanjutan.
Kaltim Riau
-150
Sumbar
2
4
6 lngdrpmin Fitted values
8
10
Adjusted Net Saving
Sumber : Olahan Pribadi. Dapat dilihat dari grafik hubungan PDRB sektor pertambangan dengan tingkat keberlanjutan bahwa hubungan dianatar kedua variabel tersebut adalah negatif. Hubungan negatif tersebut dirasakan tidak hanya untuk provinsi dengan PDRB sektor pertambangan yang tinggi seperti provinsi Kalimantan Timur, Riau, Papua, Jambi, dan Sumatera Selatan, tetapi juga untuk provinsi dengan PDRB sektor pertambangan yang rendah seperti provinsi Gorontalo, Maluku, dan Banten. Pada analisis rata-rata tingkat keberlanjutan sebelumnya dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat keberlanjutan rendah yaitu dengan nilai yang negatif sehingga diindikasikan pembangunan tidak berkelanjutan, adalah provinsiprovinsi dengan PDRB sektor pertambangan yang tinggi seperti Kalimantan Timur, Riau, Papua, dan Sumatera Selatan. Provinsi dengan PDRB sektor pertambangan yang tinggi mempunyai tingkat deplesi sumber daya alam yang tinggi pula sehingga menyebabkan tingkat keberlanjutan menjadi neagtif karena deplesi sumber daya alam merupakan faktor pengurang dalam perhitungan indikator tingkat keberlanjutan. Berdasarkan hasil regresi model utama dengan genuine saving sebagai variabel terikat menunjukan bahwa sebagian besar dari variabel bebas signifikan dalam menjelaskan hubungan dengan variabel terikat. Namun ada beberapa variabel bebas yang tidak signifikan seperti PDRB sektor manufaktur, tenaga kerja, tingkat kemiskinan, dan kontribusi investasi terhadap PDRB. Untuk variabel bebas yang menjadi fokus penelitian yaitu PDRB sektor pertambangan signifikan dalam menjelaskan hubungan dengan genuine saving. Berdasarkan hasil regresi, hubungan PDRB sektor pertambangan dengan genuine saving adalah negatif dimana apabila terjadi peningkatan satu persen PDRB sektor pertambangan maka akan menurunkan tingkat genuine saving sebesar 0,044 persen. Untuk hasil regresi model penjelas, didapatkan bahwa PDRB sektor pertambangan signifikan dalam menjelaskan hubungan dengan deplesi, dan degradasi, namun tidak signifikan untuk menjelaskan dampak kepada tingkat tabungan bersih, dan investasi modal manusia. Tidak signifikan hubungan antara PDRB sektor pertambangan dengan tingkat tabungan bersih karena adanya depresiasi dalam aset dimana apabila dilakukan analisis regresi dengan menggunakan tingkat tabungan bruto seperti pada lampiran hasil regresi dengan tingkat tabungan bruto, maka hubungan keduanya akan signifikan dan positif sesuai dengan hipotesis. Apabila dilihat dari grafik hubungan PDRB sektor pertambangan dengan tingkat investasi modal manusia pada lampiran, bahwa banyak provinsi yang berada jauh diluar garis linear. Hal tersebut dapat disebabkan karena beragamnya pengeluaran pemerintah daerah provinsi untuk pendidikan dan kesehatan, serta tidak adanya kebijakan khusus yang mengaitkan penurunan komoditas pertambangan dengan alih kapasitas modal manusia. Selanjutnya, dapat diindikasikan bahwa yang membuat dampak negatif sektor pertambangan terhadap pembangunan adalah hubungan positif PDRB sektor pertambangan dengan deplesi. Karena dengan semakin banyaknya aktivitas di sektor pertambangan maka akan semakin banyak ekstraksi komoditas pertambangan dan akan meningkatkan deplesi sumber daya alam. Dapat dilihat dari grafik proporsi deplesi di Indonesia bahwa
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
sebagian besar deplesi sumber daya alam berasal dari komoditas pertambangan. Komoditas yang termasuk dalam perhitungan deplesi tersebut antara lain minyak bumi, gas alam, batubara, bauksit, timah, emas, perak, dan bijih nikel.
Tabel 2 : Hasil Regresi. Variabel Terikat Var. GS SAV HCI DEPL Intersep -11,674 -36,244*** 0,4716 -28,7208*** (17,09783) (13,2418) (0,4336) (9,5222) lngdrpmin -4,4146*** 0,3857 0,0016 5,297*** (0,8811) (0,6823) (0,0223) (0,4906) lngdrpman 0,5347 1,2882 -0,0904* 2,0471** (1,8789) (1,4552) (0,0476) (1,0464) lngdrpser 10,313*** 5,885*** -0,0068 -5,3608*** (2,3446) (1,8157) (0,0594) (1,3057) labor -3,75e-07 -1,38e-06*** -1,15e-08 -9,88e-07*** (4,84e-07) (3,75e-07) (1,23e-08) (2,70e-07) shrinv -0,0029 0,1246 -0,0118*** 0,1461 (0,1700) (0,1317) (0,0043) (0,947) avrenr -0,2801** -0,1158 0,0122*** 0,1483* (0,1366) (0,1058) (0,0034) (0,0761) shrcon 0,4035*** -0,0139 -0,0046*** -0,3701*** (0,0478) (0,0370) (0,0012) (0,0266) shrtrd -0,3405*** 0,1218*** 0,0051*** 0,4214*** (0,0498) (0,0288) (0,0012) (0,0277) povr -0,3056 0,1771 0,0045 0,5816*** (0,1949) (0,1509) (0,0049) (0,1085) Prob>chi2 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 Observasi 266 266 266 266 Sumber : Olahan pribadi. Tingkat signifikansi : *α=0,1 ; **α=0,05 ; ***α=0,01.
DEGR 4,6222** (2,3261) -0,4962*** (0,1198) 0,3146 (0,2556) 0,9264*** (0,3189) -3,06e-08 (6,59e-08) -0,0302 (0,0231) 0,0281 (0,0185) -0,0519*** (0,0065) 0,0460*** (0,0067) -0,0943*** (0,0067) 0,0000 266
Grafik 10 : Proporsi Deplesi di Indonesia
Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah. Di lain sisi, dampak peningkatan aktivitas sektor pertambangan sebesar satu persen maka akan menurunkan tingkat degradasi sebesar 0,0049 persen. Tingkat degradasi dalam penelitian ini tidak menggunakan semua hal yang dapat mengurangi kualitas lingkungan tetapi hanya menggunakan data emisi. Berdasarkan hasil regresi yang menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara PDRB sektor pertambangan dengan tingkat degradasi, dapat ditunjukkan bahwa sektor pertambangan bukan
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
penyumbang emisi karbon yang besar sehingga mempunyai dampak degradasi yang tidak besar. Menurut data emisi karbon Indonesia berdasarkan sumber emisi menunjukkan bahwa sumber emisi terbesar di Indonesia adalah berasal dari hasil pembakaran hutan. Aktivitas dari sektor hutan inilah yang membuat Indonesia menjadi negara dengan emisi terbesar yang disebabkan oleh deforestasi. Serta berdasarkan sumber data oleh KLH data emisi lokal hanya mengikutsertakan nitrogen dioksida sehingga terdapat ketidaklengkapan data. Grafik 11 : Emisi Nasional Indonesia berdasarkan Sumber Tahun 2000
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup (2010) Grafik 12 : a) Emisi Karbon Indonesia Berdasarkan Sumber Tahun 2000. b) Emisi Karbon Indonesia Berdasarkan Sumber diluar Sektor Kehutanan Tahun 2000
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup (2010) Untuk variabel kontrol dalam model regresi seperti pendapatan untuk sektor sekunder dan tersier yaitu sektor manufaktur dan jasa menunjukan hasil yang berbeda. Aktivitas sektor manufaktur tidak signifikan berdampak kepada tingkat keberlanjutan. Sedangkan sektor jasa mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap tingkat keberlanjutan. Sektor manufaktur dan jasa tersebut berdampak positif secara signifikan untuk tingkat tabungan dikarenakan kedua sektor tersebut berdasarkan teori pembangunan struktural dapat memberikan pendapatan yang lebih besar karena pemberian nilai tambah yang besar dibandingkan sektor primer. Setiap peningkatan satu persen aktivitas dan pendapatan sektor manufaktur dan jasa akan meningkatka tingkat tabungan bersih masing-masing sebesar 0,012 persen dan 0,059 persen dimana lebih besar dampaknya dibandingkan sektor pertambangan yang merupakan sektor primer. Namun, sama halnya dengan sektor pertambangan, hubungan PDRB sektor manufaktur dengan tingkat tabungan bersih adalah tidak signifikan dikarenakan faktor depresiasi aset dimana sektor manufaktur mempunyai ketergantungan besar terhadap aset modal buatan manusia seperti mesin. Dampak aktivitas sektor manufaktur dan jasa mempunyai dampak yang berbeda terhadap deplesi. Untuk dampak aktivitas sektor manufaktur terhadap tingkat deplesi adalah positif signifikan dimana setiap satu persen peningkatan pendapatan sektor manufaktur akan meningkatkan deplesi sebesar 0,02 persen. Sedangkan untuk dampak aktivitas sektor jasa terhadap tingkat deplesi adalah negatif signifikan dimana setiap satu persen peningkatan pendapatan sektor jasa akan mengurangi deplesi sebesar 0,053 persen. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia memang masih bergantung terhadap hasil-hasil sumber daya alam dari sektor
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
primer. Oleh karena itu aktivitas produksi sektor manufaktur yang menggunakan bahan baku dari sumber daya alam akan meningkatkan deplesi sumber daya alam. Aktivitas sektor jasa tidak banyak mengikutsertakan hasil alam, namun aktivitasnya dapat meningkatkan emisi dimana setiap satu persen peningkatan pendapatan sektor jasa akan meningkatkan degradasi sebesar 0,092 persen. Sementara dampak aktivitas sektor manufaktur tidak mempengaruhi tingkat degradasi. Untuk variabel kontrol berupa input untuk produksi yaitu tenaga kerja, kapital yang diproksikan dengan investasi, serta kualitas modal manusia yang diproksikan dengan tingkat partisipasi sekolah mempunyai dampak yang sama yaitu negatif terhadap tingkat keberlanjutan. Namun, hanya dampak partisipasi sekolah saja yang signifikan dapat menjelaskan dampak terhadap tingkat keberlanjutan sedangkan tenaga kerja dan investasi tidak signifikan. Hubungan yang tidak signifikan antara tingkat keberlanjutan dengan tenaga kerja dikarenakan yang mempengaruhi tingkat keberlanjutan adalah kualitas tenaga kerja dalam menghasilkan pendapatan.Berdasarkan hasil regresi, meningkatnya jumlah tenaga kerja secara signifikan mempunyai dampak yang negatif terhadap tingkat tabungan bersih dan deplesi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh lebih banyaknya tenaga kerja yang menjadi buruh sehingga pendapatannya tidak besar. Selain itu, tidak banyak tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertambangan, yang menyumbang deplesi terbesar. Proporsi terbesar tenaga kerja berada pada sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja tidak signifikan mempunyai dampak terhadap tingkat keberlanjutan berdasarkan hasil regresi karena tidak ada dampak signifikan pula antara jumlah tenaga kerja dengan investasi modal manusia dan degradasi. Untuk kontribusi investasi terhadap tingkat keberlanjutan tidak ada dampak signifikan berdasarkan hasil regresi dikarenakan dampak kontribusi investasi terhadap komponen-komponen genuine saving adalah tidak signifikan kecuali dampak untuk investasi pada modal manusia yang mempunyai dampak negatif signifikan. Hal tersebut disebabkan dengan investasi di aset fisik akan mengurangi porsi pendapatan yang digunakan untuk investasi di jenis aset lainnya termasuk aset untuk modal manusia. Berdasarkan penelitian oleh Boos (2011) dengan observasi negara-negara berkembang juga menunjukan bahwa proporsi investasi tidak signifikan mempengaruhi tingkat keberlanjutan. Untuk dampak negatif dari tingkat partisipasi sekolah terhadap tingkat keberlanjutan hanya dapat dijelaskan oleh hubungan positif signifikan terhadap deplesi dimana setiap peningkatan satu persen tingkat partisipasi sekolah akan meningkatkan deplesi sebesar 0,148 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat indonesia maka semakin banyak hasil sumber daya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk variabel kontrol lainnya seperti kontribusi konsumsi, kontribusi perdagangan, dan tingkat kemiskinan mepunyai dampak yang berbeda-beda terhadap tingkat keberlanjutan namun ketiganya signifikan dapat menjelaskan dampaknya. Untuk dampak kontribusi konsumsi terhadap tingkat keberlanjutan adalah positif dimana setiap satu persen peningkatan kontribusi konsumsi akan meningkatkan keberlanjutan sebesar 0,40 persen. Berdasarkan hasil regresi, dampak positif antara kontribusi konsumsi dengan tingkat keberlanjutan disebabkan oleh hubungan negatif antara kontribusi konsumsi dengan tingkat deplesi dan degradasi dimana setiap satu persen peningkatan kontribusi konsumsi akan mengurangi tingkat deplesi dan degradasi masing-masing sebesar 0,37 persen dan 0,05 persen. Banyaknya konsumsi komoditas pertanian untuk makanan oleh masyarakat, membuat proporsi konsumsi bukan makanan lebih kecil dari proporsi konsumsi makanan termasuk konsumsi bahan bakar yang berasal dari sektor pertambangan. Hal tersebut yang menjadi kemungkinan dampak konsumsi terhadap tingkat deplesi menjadi negatif. Namun apabila dilihat dari tabel proporsi konsumsi, terdapat hubungan konsumsi dengan deplesi yang tidak dapat dijelaskan dikarenakan tidak ada kategori spesifik untuk konsumsi komoditas sektor pertambangan atau kehutanan yang menyebabkan tingginya deplesi. Untuk variabel kontribusi perdagangan mempunyai dampak negatif terhadap tingkat keberlanjutan dimana setiap satu persen peningkatan kontribusi perdagangan akan menurunkan tingkat keberlanjutan sebesar 0,34 persen. Dampak negatif dari kontribusi perdagangan terhadap tingkat keberlanjutan berdasarkan hasil regresi dapat disebabkan oleh hubungan positif antara kontribusi perdagangan terhadap deplesi dan degradasi dimana setiap satu persen peningkatan kontribusi perdagangan akan meningkatkan deplesi dan degradasi masing-masing sebesar 0,42 persen dan 0,046 persen. Meningkatnya deplesi sumber daya alam akibat meningkatnya perdagangan dapat dibuktikan dengan meningkatnya perdagangan khususnya ekspor komoditas tambang dan bahan bakar dibandingkan komoditas pertanian dan manufaktur seperti yang dapat dijelaskan pada grafik proporsi ekspor Indonesia. Untuk variabel tingkat kemiskinan mempunyai dampak negatif tidak signifikan terhadap tingkat keberlanjutan dimana setiap satu persen peningkatan kemiskinan akan mengurangi keberlanjutan sebesar 0,30 persen. Hasil yang tidak signifikan tersebut dikarenakan pengaruh depresiasi aset dalam tingkat tabungan. Selain itu hubungan positif tidak signifikan antara tingkat kemiskinan dan tabungan bersih kemungkinan dikarenakan penduduk dengan pendapatan tinggi yang berkontribusi besar untuk
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
peningkatan tabungan. Namun berdasarkan hasil regresi dengan tingkat tabungan bruto, tingkat kemiskinan dengan signifikan mempengaruhi tingkat keberlanjutan secara negatif. Hubungan negatif antara tingkat kemiskinan dengan keberlanjutan berdasarkan hasil regresi dapat disebabkan oleh hubungan positif antar tingkat kemiskinan dengan deplesi dimana setiap satu persen peningkatan kemiskinan akan meningkatkan deplesi sebesar 0,58 persen. Peningkatan deplesi dari masyarakat yang hidup dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan dapat disebabkan masih banyaknya masyarakat tersebut yang masih menggantungkan hidupnya kepada hasil sumber daya alam. Walaupun begitu, peningkatan satu persen dari tingkat kemiskinan justru mengurangi tingkat degradasi sebesar 0,094 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas dari masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak menimbulkan polusi dari emisi karbon. Grafik 13 : Proporsi Ekspor Indonesia
Sumber : World Trade Organization, diolah. SIMPULAN Dilihat dari indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu indikator Adjusted Net Saving atau Genuine Saving, menunjukan bahwa tingkat keberlanjutan Indonesia untuk periode observasi tahun 2000 sampai dengan 2010 mempunyai trend yang selalu menurun sepanjang tahun. Bahkan, untuk tingkat keberlanjutan Indonesia di tahun 2008 sampai tahun akhir periode observasi menunjukan angka yang negatif dimana berarti pembangunan di Indonesia tidak berkelanjutan. Hasil tersebut merupakan rata-rata tingkat keberlanjutan 30 provinsi di Indonesia yang menjadi observasi dimana mengeluarkan provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Berdasarkan komponen pembentuk genuine saving bahwa peningkatan deplesi dan degradasi yang menjadi faktor pengurang menyebabkan secara rata-rata tingkat keberlanjutan di Indonesia mengalami penurunan mencapai tingkat negatif. Berdasarkan hasil regresi, kontribusi sektor pertambangan dengan menggunakan variabel PDRB sektor pertambangan adalah negatif terhadap tingkat keberlanjutan dimana apabila terjadi peningkatan satu persen PDRB sektor pertambangan maka akan menurunkan tingkat genuine saving sebesar 0,044 persen. Hubungan PDRB sektor pertambangan dengan komponen-komponen genuine saving adalah beragam. Hubungan PDRB sektor pertambangan dengan tingkat tabungan dan tingkat deplesi adalah positif. Sedangkan hubungan PDRB sektor pertambangan dengan tingkat degradasi adalah negatif. Berdasarkan hasil regresi penjelas model utama, yaitu regresi dengan variabel terikat adalah komponen genuine saving, dapat diindikasikan bahwa hubungan negatif antara PDRB sektor pertambangan dengan tingkat keberlanjutan dapat disebabkan oleh hubungan positif antara PDRB sektor pertambangan dengan tingkat deplesi. Dalam perhitungan genuine saving, tingkat deplesi menjadi pengurang, sehingga apabila terjadi peningkatan tingkat deplesi maka nilai genuine saving akan menurun dengan asumsi semua komponen konstan. Semakin meningkatnya PDRB sektor pertambangan maka semakin banyak ekstraksi sumber daya alam tambang dan deplesi meningkat. Berdasarkan data proporsi deplesi dimana oleh BPS deplesi yang dihitung adalah deplesi dari hasil hutan dan hasil tambang, proporsi deplesi dari hasil tambang adalah yang terbesar dan mempunyai trend yang meningkat sepanjang tahun. Dengan tingkat deplesi hasil tambang yang selalu meningkat akibat ekstraksi sumber daya alam tambang, dapat disimpulkan bahwa dampak peningkatan PDRB sektor pertambangan akan mengurangi tingkat keberlanjutan di Indonesia. Selain itu tidak adanya alih kapasitas dalam investasi modal manusia membuat tingkat keberlanjutan sektor pertambangan tidak bertambah.
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain penelitian ini menggunakan data provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Namun penelitian ini tidak mengobservasi semua provinsi yang ada di Indonesia. Ada tiga provinsi yang tidak termasuk dalam observasi penelitian ini yaitu provinsi Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Kepulauan Riau. Ketiga provinsi tersebut tidak termasuk dalam observasi karena ada ketidaklengkapan data dari provinsi tersebut. Sehingga dalam observasi digunakan 30 provinsi di Indonesia. Untuk perhitungan indikator pembangunan berkelanjutan yiatu menggunakan genuine saving mengalami berbagai kesulitan. Hal tersebut disebabkan oleh perhitungan genuine saving yang tersedia sampai saat ini adalah utnuk tingkat nasional bukan untuk tingkat daerah atau provinsi. Dan untuk kasus Indonesia, data indikator tersebut tidak mencapai 30 tahun untuk mendapatkan syarat distribusi normal dalam kriteria statistik. Sehingga, penulis menggunakan data provinsi untuk indikator tersebut yang dilakukan perhitungan sendiri dengan menggunakan data komponen-komponen genuine saving untuk tingkat provinsi. Data provinsi untuk komponen tingkat tabungan dapat dihitung menggunakan PDRB provinsi berdasarkan pengeluaran. Yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah data untuk komponen investasi modal manusia, deplesi, dan degradasi. Untuk data investasi modal manusia beberapa tahun untuk provinsi tertentu tidak lengkap. Hal tersebut disebabkan oleh sistem desentralisasi di Indonesia dimana peran otonomi daerah lebih besar pada tingkat kabupaten, sehingga pengeluaran pemerintah daerah provinsi untuk sektor pendidikan dan kesehatan sangat kecil, bahkan untuk tahun tertentu tidak ada pengeluaran. Untuk data komponen deplesi dan degradasi lingkup provinsi tidak tersedia secara lengkap untuk semua tahun. Data dari kajian Kementerian Linkungan Hidup hanya ada untuk tahun 2005, sehingga untuk mendapatkan data deplesi dan degradasi dilakukan ekstrapolasi supaya mendapatkan data untuk periode observasi yang diinginkan. Untuk tahap tersebut menggunakan asumsi dimana pergerakan deplesi dan degradasi mengikuti pergerakan PDRB karena berdasarkan studi literatur bahwa deplesi dan degradasi merupakan hasil dari proses produksi dan termasuk dalam kesatuan alur aktivitas ekonomi. Saran untuk penelitian selanjutnya yang sejenis, terutama penelitian dengan menggunakan data Indonesia pada tingkat provinsi, tidak adanya data indikator adjusted net saving atau genuine saving pada tingkat provinsi maka harus dilakukan perhitungan khusus pada tingkat provinsi. Dalam penelitian ini keterbatasan utama ada pada data lingkungan dimana tidak ada dalam tingkat provinsi. Untuk mendapatkan data lingkungan tersebut yang tepat untuk tingkat provinsi harus dilakukan penelitian yang lebih mendalam karena sulitnya mengukur variabel tersebut dalam satuan mata uang, terlebih untuk tingkat provinsi. Berdasarkan analisis dalam penelitian ini, penulis melihat beberapa masalah untuk Indonesia yaitu tingkat keberlanjutan yang menurun mencapai angka negatif, dan masih bergantungnya Indonesia dengan sektor pertambangan. Untuk menurunnya tingkat keberlanjutan, para pengambil kebijakan, dalam hal ini adalah pemerintah, khususnya untuk pemerintah daerah yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, dapat di atasi dengan peningkatan investasi pada modal manusia yaitu pendidikan dan kesehatan yang proporsinya masih sangat kecil sehingga kurang cukup untuk meningkatkan keberlanjutan. Dengan meningkatnya investasi pada pendidikan dan kesehatan maka kualitas sumber daya manusia di Indonesia akan meningkat sehingga berdampak kepada meningkatnya pendapatan dan kualitas hidup. Selain itu peningkatan keberlanjutan dapat dicapai dengan menjalankan komitmen negara untuk mengurangi tingkat emisi hingga 26 persen bahkan hingga 41 persen dengan bantuan negara lain. Dengan begitu, tingkat degradasi berkurang dan tingkat keberlanjutan meningkat. Sedangkan untuk permasalahan tergantungnya pendapatan pada sektor pertambangan, maka pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus mengambil langkah yang tepat untuk masa depan. Hal tersebut dikarenakan komoditas sektor pertambangan mempunyai sifat yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat persediaan akan habis. Berdasarkan teori ekonomi sumber daya alam apabila persediaan komoditas tersebut semakin menipis maka harga komoditas tersebut semakin tinggi. Dan masyarakat mulai mencari alternatif. Pemerintah dapat mendukung dengan kebijakan yang membuat perkembangan komoditas yang dapat diperbaharui sehingga secara ekonomi dapat memberikan pendapatan untuk masyarakat secara berkelanjutan. Terkait dengan tingkat kekeberlanjutan, semakin berkurangnya persediaan komoditas pertambangan, harus dilakukan proses alih kapasitas untuk menjamin pendapatan di masa depan yang lebih baik, salah satunya dengan investasi pada modal manusia yang besarannya sesuai dengan pengurangan persediaan komoditas pertambangan. Selain investasi pada modal manusia, pengurangan persediaan tambang tersebut dapat dialihkan untuk investasi kepada sektor yang dapat memberikan peluang pendapatan yang lebih besar di masa depan seperti sektor sekunder atau untuk komoditas yang dapat diperbaharui.
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Bolt, K., Matete, M., & Clemens, M. (2002). Manual for Calculating Adjusted Net Savings. Washington: World Bank. Boos, A. (2011). The relationship between the Resource Curse and Genuine Savings: Empirical Evidence. Germany: Institute for Food and Resource Economics, University of Bonn. Kementerian Lingkungan Hidup. (2010). Estimasi Produk Domestik Hijau (PDH) Indonesia 2004-2007 dan Produk Domestik Regional Hijau (PDRH) Provinsi di Indonesia tahun 2005. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. (2010). Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Neumayer, E., & Soysa, I. D. (2007). Corruption, the resource curse and genuine saving. Enviornmental and Development Economics 12 , 33-53. Pearce, D. W., & Atkinson, G. D. (1993). Capital theory and the measurement of sustainable development: an indicator of weak sustainability. Ecological Economics 8 , 103-108. Salim, E. (2010). Paradigma Pembangunan Berkelanjutan. In I. J. Azis, L. M. Napitupulu, A. A. Patunru, & B. P. Resosudarmo (Eds.), Pembangunan Berkelanjutan : Peran dan Kontribusi Emil Salim (pp. 21-30). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Stern, D. I. (1995). The contribution of the mining sector to sustainability in developing countries. Ecological Economics 13 , 53-63. Tietenberg, T. (2006). Environmental and Natural Resource Economics, 6th Edition. Maine: Pearson Education. UNDP. (2012). Triple Wins for Sustainable Development. New York: United Nations Development Program. Widajatno, D., & Arif, I. (2011). The Indonesian Mineral Mining Sector : Prospects and Challenges . GermanIndonesia Mining Technology Symposium. Jakarta: Association of Indonesia Mining Professional . www.wto.org Biro Pusat Statistik
Kontribusi sektor ..., Widiani Putri, FE UI, 2013