MENGEMBANGKAN GAGASAN HUKUM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Andreas Pramudianto, SH,MSi *Peneliti di Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Program pascasarjana Universitas Indonesia (PPSML PPs-UI) **Dosen Tidak Tetap Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-HI UI) ***Dosen Tidak Tetap Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (PSIL-UI) ****Dosen Tidak Tetap Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Papua (PSIL-UNIPA)
I.
PENDAHULUAN Di sekitar tahun 60-an di negara-negara maju telah terjadi beberapa kasus terkait dengan lingkungan hidup seperti pencemaran laut akibat kandasnya kapal tanker Torrey
Canyon, meningkatnya penggunaan bahan kimia yang kemudian memunculkan publikasi Rachel Carson dalam bukunya The Silent Spring, penyakit Minamata di Jepang yang semuanya ini mendorong semakin perlunya perhatian dan kepedulian terhadap kondisi lingkungan hidup manusia. Sedangkan negara-negara berkembang mengalami masalah lingkungan hidup yang berbeda. Kelaparan, kemiskinan, stagnasi ekonomi, banyaknya penyakit akibat sanitasi yang buruk, pemukiman yang kumuh, pengangguran, kerusakan habitat dan sumberdaya alam dan beberapa masalah lainnya, yang samapai kini menjadi persoalan yang laten negara-negara berkembang. Lingkungan hidup mulai terangkat menjadi persoalan politik internasional diawal tahun 1970-an. Keinginan untuk mengkaitkan persoalan lingkungan hidup dan pembangunan dilakukan dalam Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nations
Conference on Human Environment) yang diadakan di kota Stockhlom, Swedia antara tanggal 5 -16 Juni 1972. Dalam konferensi ini negara-negara mencapai kesepakatan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan menyelamatkan bumi dari kehancuran. Tema “Hanya Satu Dunia” (Only One World) dimana planet bumi yang merupakan tempat hidup manusia dan merupakan suatu ekosistem yang saling kait mengkait menjadi satu sehingga harus dilindungi dan diselamatkan baik untuk generasi sekarang maupun
Page 1
mendatang. Deklarasi Stockhlom 1972 (Stockhlom Declaration) yang merupakan salah satu hasil dari konferensi ini, menegaskan dalam salah satu prinsipnya yaitu Prinsip 1, menghimbau agar manusia bertanggung jawab untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan hidup untuk generasi-generasi masa kini dan masa datang. Pembukaan deklarasi ini menyatakan :
“Perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup merupakan suatu isu besar yang mempengaruhi kelangsungan hidup bangsa-bangsa dan pertumbuhan ekonomi diseluruh dunia, hal ini merupakan keinginan mendesak dari bangsa-bangsa di seluruh dunia dan tugas semua pemerintah/negara.”
Kualitas lingkungan hidup harus diperbaiki dan upaya perlindungan lingkungan hidupnya juga harus ditingkatkan. Kualitas lingkungan hidup akan berbeda disetiap negara dan karenanya upaya perlindungan dan perbaikannya harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing negara. Seperti kondisi lingkungan hidup yang dihadapi negara-negara berkembang akan berbeda dengan negara-negara maju.
Seperti
dinyatakan dalam pembukaan bagian 4 deklarasi ini :
“Di negara-negara berkembang kebanyakan masalah-masalah lingkungan hidup disebabkan oleh keterbelakangan........Di negara-negara industri masalah-masalah lingkungan hidup umumnya berkaitan dengan industrialisasi dan kemajuan teknologi.” Setiap negara harus memiliki sistem perencanaan pembangunan yang baik dalam menerapkan kebijakan pembangunannya yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Prinsip 14 Deklarasi Stockhlom menyatakan :
“Perencanaan rasional merupakan alat esensial untuk meleraikan setiap konflik antara kebutuhan pembangunan dan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan hidup.”
Prinsip diatas telah memberikan arahan bahwa antara pembangunan dan lingkungan hidup merupakan konsep yang dapat dikaitkan. Konsep lingkungan hidup harus merupakan bagian integral dari suatu pembangunan yang terencana seperti tercantum dalam Prinsip 13 yang menyatakan :
Page 2
“Untuk mencapai pengelolaan sumber-sumber yang lebih rasional dan dengan demikian memperbaiki lingkungan hidup maka negara-negara hendaknya menempuh pendekatan yang terintegrasikan dan terkoordinasikan terhadap perencanaan pembangunan mereka agar terjamin bahwa pembangunan dapat berlangsung sejalan dengan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan insani demi kemaslhatan penduduk.”
Dengan demikian maka antara lingkungan hidup dan pembangunan telah tercapai integrasi kebijakan yang kemudian diterapkan dalam perencanaan pembangunan nasional di masing-masing negara. Dari pemikiran ini terbentuk prinsip integrasi lingkungan hidup kedalam kebijakan politik dan pembangunan nasional. Deklarasi Stockhlom 1972 juga memperkenalkan beberapa prinsip yang kemudian mendasari konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini tentu saja mempengaruhi arah perkembangan hukum yang mulai berubah secara jelas sejak tahun 1970-an dengan lahirnya hukum lingkungan. Era ini telah melahirkan berbagai perangkat hukum yang penting dan bersifat global serta multilateral. Era ini juga melahirkan institusi penting yang ramping namun efektif yaitu United Nations
Environmental Programme (UNEP). Institusi ini ternyata memainkan peran penting dalam mengembangkan hukum lingkungan internasional khususnya perjanjian internasional yang modern. Hingga akhir millenium kedua, hukum lingkungan telah memerankan peran penting sebagai ujung tombak perubahan masyarakat. Paradigma hukum lingkungan yang pada mulanya meletakan keadilan lingkungan
(environmental justice) bergeser menjadi paradigma baru yaitu keadilan generasi sekarang dan mendatang (now and future generation justice). Hampir semua perjanjian internasional yang lahir pada era ini telah mengintegrasikan prinsip perlindungan lingkungan bagi generasi sekarang dan mendatang. Inilah era yang kemudian dikenal sebagai era hukum pembangunan berkelanjutan (law of sustainable development). Sebagai awal dari era ini KTT Rio telah meletakan dasar dan prinsip dalam Deklarasi Rio dan Bab 19 Agenda 21 mengenai hukum pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan dari konferensi ini (FAO). Agenda 21 kemudian menjadi pedoman dalam pengembangan hukum pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya sebagai barometer perkembangan hukum
Page 3
pembangunan berkelanjutan adalah hasil-hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan. Di era ini prinsip-prinsip yang dikembangkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip hukum yang melindungi lingkungan hidup di masa mendatang. Deklarasi Johesnburg dan Rencana Implementasi Johanesburg merupakan langkah selanjutnya menuju era hukum pembangunan berkelanjutan. Pengembangan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, rencana-rencana untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan hingga implementasi dalam kerangka hukum akan menjadi sangat penting di masa mendatang. Hukum Pembangunan Berkelanjutan akan menjadi salah satu ukuran dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
II.
PEMIKIRAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Perkara antara Inggris dengan Amerika Serikat di tahun 1893 (Behring Sea Fur Case) mengenai penangkapan anjing laut di perairan Behring merupakan peristiwa awal dalam sejarah
hukum
internasional
mengenai
pertama
keberkelanjutan (sustainibility). (Sands: 1995). Ide
kali
digunakannya
konsep
penggunaan istilah ini kemudian
tidak terlepas dari berbagai istilah yang kemudian diperkenalkan seperti sustainable of
use, optimum sustainable yield, optimum sustainable productivity, reasonable use, maximum sustainable yield, dll. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya tidak terlepas dari keberadaan sumberdaya alam yang sangat terbatas pada waktu itu dan juga dicadangkan untuk generasi mendatang. Karena itu antara istilah-istilah diatas dengan
future generation memiliki keterkaitan yang erat. Perhatian terhadap generasi mendatang (future generation) juga sudah diperkenalkan sejak lama dalam beberapa konvensi internasional, termasuk juga Piagam Perserikatan bangsa-bangsa. Setelah berakhirnya Behring Sea Fur Case (Great Britain v. USA) banyak perjanjian internasional secara langsung atau tidak langsung menerapkan konsep tanggung jawab negara dalam menggunakan sumberdaya alamnya yang digunakan secara berkelanjutan demi generasi mendatang. Dalam Pembukaan (Preambule) International Whaling
Convention 1946 diakui bahwa kepentingan negara-negara di dunia untuk mengamankan sumberdaya alam yang besar untuk generasi mendatang yang diwakilkan melalui
Page 4
persediaan ikan Paus. (Sands: 1995) Berkaitan dengan penangkapan beberapa jenis ikan Tuna, diperbolehkan menangkap ikan dengan jumlah tangkapan tertentu atau produksi yang dibatasi melalui maximum sustained. Hal ini tercantum dalam Pembukaan
Washington Convention for the Estabilishment of an Inter-American Tropical Tuna Comission 1949 menyatakan : “.....to facilitate maintaining the populations of these fishes at a level which will permit maximum sustained catches year after year,....”
Sedangkan International Convention for the Conservation of Atlantic Tunas 1966 Pasal IV (2)(b) juga menyatakan :
“...to ensure maintance of the populations of tuna and tuna like fishes in the Convention area at levels which will permit the maximum sustainable chatch,...” Penggunaan istilah maximum sustained dipakai juga dalam Pembukaan International
Convention for the High Seas Fisheries of the North Pacific Ocean 1952 dan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 82). Sedangkan konsep optimum sustainable
yield dan optimum utilitation dipakai dalam Pembukaan Convention for the Conservation of Antartic Seals 1972 yang menyatakan : “ Recognizing that this resources should not be depleted by overexploitation and hence that any harvesting should be regulated so as not exceed the levels of the optimum sustainable yield.” Konvensi Hukum Laut 1958 dan UNCLOS 1982 Pasal 64 (1) juga menyatakan :
“Negara pantai dan negara lainnya yang warganegaranya melakukan penagkapan ikan di kawasan untuk jenis ikan berimigrasi jauh sebagimana tercantum dalam Lampiran I, harus bekerjasama secara langsung atau melalui organisasi internasional yang bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal berkelanjutan (optimum sustainable yield) jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan,.........”
Page 5
Sedangkan istilah sustainable utilisation dipakai pada Pasal 1 (h ) International Tropical
Timber Agreement 1983 yang menyatakan : “....sustainable utilisation and conservation of tropical forests and their genetic resources...”
ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985 juga menggunakan istilah ini dan bahkan sebelum terbitnya Our Common Future suatu laporan yang dikeluarkan Komisi Dunia mengenai Lingkungan dan Pembangunan, persetujuan ini telah menggunakan istilah sustainable development yang lengkapnya menyatakan : “Necessary to maintain essential ecological processes and life suport systems to preserve genetic diversity, and to ensure the sustainable utilisation of harvested natural resources under their jurisdiction in accordance wih scientific principles and with a view to attaining the goal of sustainable development.”
Istilah optimum sustainable productivity tercantum dalam General Principle of World
Charter for Nature yang menyatakan bahwa : “Ecosystims and organisms, as well as the land, marine and athmospheric resources that are utilized by man, shall be managed to achieve and maintain optimum sustainable productivity, but not in such a way as to endangered the integrity of those other ecosystems or species whith which their coexist.” Istilah Rational Utilitazion tercantum pada Pasal VII Convention on Nature Protection
and Wildlife Preservation in the Westren Hemisphere 1940 yang menyatakan : “ ......a rational utilization of migratory birds for the purpose of sport s as well as for food, commerce, industry and for scientific study and investigation.”
Pembukaan Convention concerning Fishing in the Black Sea 1959 menyatakan : “Having a common interest in the rational utilization of the fishery resources of the Black Sea and in the development of marine fishing.”
Page 6
Beberapa konvensi lainnya yang menggunakan istilah ini diantaranya Danube Fishing
Convention 1958, North-East Atlantic Fisheries Convention 1959, South-East Atlantic Fisheries Convention 1969, Baltic Fishing Convention 1973, North West Atlantic Fishiries Convention 1978, North Atlantic Salmon Convention 1982, Amazonian Treaty 1978. Bahkan kini Agreement Estabilishing of European bank for Reconstruction and
Development 1990 Pasal 2 VII mendorong untuk mempromosikan bank yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dari penggunaan istilah-istilah diatas yang diterapkan dalam berbagai ketentuan konvensi-konvensi internasional maka ide-ide mengenai pembangunan berkelanjutan telah digunakan dan dikembangkan dengan cara lain. Umumnya dasar dari dipakainya istilahistilah diatas adalah untuk menjaga keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia dan memelihara persediaan secara terus menerus . Hal ini berkaitan juga dengan upaya mempertahankan keberadaan berbagai spesies yang kelak diharapkan berguna bagi generasi mendatang.
III.
KESEPAKATAN INTERNASIONAL 3.1. Konferensi Stockholm1972 Walaupun tidak dihadiri oleh Uni Sovyet dan negara-negara satelitnya konprensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972, tetap diadakan. Konperensi ini merupakan konprensi pertama tentang lingkungan hidup yang dilakukan oleh PBB. Kepedulian terhadap lingkungan dalam Persikatan Bangsa-bangsa sebenarnya bermula dari kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic Social Council ECOSOC). Dalam peninjauan terhadap hasil "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-I" (1960-1970) lahirlah gagasan mengenai perlunya masalah lingkungan dimasukkan dalam "Dasawarsa Pembangunan
Dunia ke-II" (1970-1980). Wakil Swedia pada
tanggal 28 Mei 1968
pernah mengajukan gagasan mengenai masalah lingkungan hidup serta saran mengenai
Page 7
perlunya penyelenggaraan suatu konperensi internasional mengenai lingkungan hidup manusia. Konferensi ini adalah merupakan tindakan yang diambil dalam level nasional maupun internasional dalam upaya mengatasi kemerosotan lingkungan hidup. Konferensi ini berakhir pada tanggal 16 juni 1972 dengan hasil sbb: 1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan nama "Deklarasi Stockhlom 1972". Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asas. 2. Action Plan yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18 rekomendasi mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia. 3. Rekomendasi tentang Kelembagaan dan Keuangan untuk menunjang Action Plan yang terdiri : (i) Dewan Pengurus UNEP (ii) Sekretariat yang dikepalai Direktur Eksekutif (iii) Dana Lingkungan Hidup (iv) Badan Koordinasi Lingkungan Hidup 4. Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup
3.2. Konferensi Nairobi 1982 Sepuluh tahun setelah Deklarasi Stockhlom 1972 dicanangkan, beberapa persoalan lingkungan global ternyata mulai
berkembang. Masalah pencemaran serta kerusakan
lingkungan masih saja terjadi bahkan kecenderungannya semakin cepat. PBB kembali menggelar konferensi tentang lingkungan hidup. Konpernsi ini diadakan di Nairobi, Kenya tahun 1982. Dalam pertemuan ini dihadiri wakil-wakil pemerintah dan
Governing Council UNEP. Dalam konperensi ini diusulkan pembentukan komisi yang kemudian bernama WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini telah disetujui Sidang Majelis Umum PBB tahun 1983 yang kemudian komisi inil melakukan pertemuan diberbagai tempat dibelahan dunia dengan para stakeholders. Dari pertemuan ini kemudian WCED menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat berbagai hal menyangkut permasalahan lingkungan hidup dan pembangunan serta pengenalan konsep pembangunan berkelanjutan. (Bambang;1989) Defenisi pembangunan berkelanjutan menurut WCED yaitu
Page 8
" …… pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri." Dokumen ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum melalui Resolusi 42/187 tanggal 11
Desember
1987 dan pada tanggal yang
sama
juga
diadopsi
Resolusi 42/186
tentang Environmental Perspektive to the Year 2000 and Beyond hasil dari UNEP. Dari komisi ini pula dipersiapkan berbagai persoalan yang kemudian dibawa ke sidang Majelis Umum PBB. Dari Majelis Umum inilah lahir beberapa resolusi seperti Resolusi 43/196 tanggal 20 desember 1988, 44/172 A dan B tanggal 19 Desember 1989, 44/228 tanggal 22 Desember 1989, 45/211 tanggal 21 Desember 1990 dan 46/168tanggal 19
Desember 1991 yang semuanya
merupakan
dasar
hukum diadakannya United
Nations Conference Environment and Development (UNCED). (UN Year Book: ) Sasaran dicapainya konperensi ini adalah ekonomi dan kesejahteraan
memperioritaskan isu-isu mengenai pertumbuhan
umat manusia melalui pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. 3.3. Konferensi Tingkat Tinggi Rio De Janerio 1992 Tanggal 3 Juni sekitar pukul 11.00 adalah hari bersejarah dikarenakan KTT Rio De Janerio mengenai Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environmental and Development/UNCED) Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali
dibuka
di
Rio
secara resmi oleh Sekeretariat Centro tempat
delegasi
resmi
pemerintahan hadir. KTT Rio De Janerio yang berakhir hingga 14 Juni tahun 1992 dihadiri oleh sekitar 13.000 orang dari berbagai kalangan pemerintah, LSM, masyarakat, tokoh-tokoh dll. Sehingga boleh dikatakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini merupakan yang terbesar ketiga yang pernah dihadiri oleh umat manusia. Wakil-wakil dari 176 negara dan 7 anggota komisi regional, 2 organisasi pembebasan, wakil dari organisasi regional, wakil dari 35 Inter Governmental Organization (IGO), 1500 NGO/Lembaga Swadaya Masyarakat serta 7000
organisasi lainnya dan kurang lebih ada 60 pertemuan yang
berbeda, berkumpul untuk membahas lingkungan hidup dan pembangunan. Lokasi KTT Bumi ini berada di 3 tempat yaitu Baixada Fluminense, Taman Flamengo
Page 9
dan
Rio Centro. Baixada Fluminense merupakan tempat
bertemunya para tokoh
keagamaan, Taman Flamengo merupakan tempat bertemunya berbagai organisasi seperti LSM, para pakar dan individu sedangkan Rio Centro adalah pusat perhatian dimana merupakan tempat pertemuan para utusan negara-negara. (Michaelson: 1994) Selama perundingan Amerika
Serikat
telah
mengajukan
beberapa keberatan
mengenai masalah "rights of development principle” karena "pembangunan sering dijadikan dalih oleh para pengusaha negara berkembang untuk menekan hak-hak manusia. Keberatan lainnya berkenaan dengan prinsip"
common but differensial
responsibility" prinsip ini dianggap memberatkan beban Amerika Serikat. Sedangkan pemerintah Israel berkeberatan atas prinsip: people under oppression, domination and
occupation. Hingga sampai malam terakhir tanggal 13 Juni 1992 akhirnya masalah-masalah diatas berhasil disepakati kecuali keberatan Amerika Serikat dan Israel. Bahkan Amerika Serikat tidak mau menandatangani Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992. Alasannya adalah
konvensi
ini
akan
mengancam hak-hak cipta intelektual dan paten dari
perusahaan Amerika karena kepemilikan dan privellege mereka dalam memperoleh royalti mengenai perkembangan produk-produknya berasal dari hutan tropis. Walaupun akhirnya tercapai kesepakatan, ternyata ada persoalan belum terselesaikan
seperti
masalah stok
ikan
yang
sebenarnya
berpindah, convention to combat
desertifcation atau konvensi penggurunan yang kemudian ditunda untuk dibahas setelah KTT ini. Setelah wakil
disepakati beberapa dokumen penting kemudian ditandatangani
negara,
maka dokumen hasil KTT tersebut
resmi
untuk
oleh
para
disetujui . "Earth
Summit" berhasil memutuskan beberapa dokumen penting yaitu: a. Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration on Environmental and Development) b. Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim Global (United Nations Convention Framework on Climate Change) c. Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity). d. Prinsip-prinsip Kehutanan. (Non-Legally Binding Authoritative Statments of Principles for a Global Concensus on the Management, Conservation and Sustainable Developmnet of all Types of Forest)
Page 10
e. Agenda 21 Hasil KTT Bumi ini kemudian di bawa oleh wakil-wakil dari masing-masing negara untuk mendapatkan persetujuannya secara nasional. Nampaknya persoalan ini tidak mudah karena
dokumen-dokumen tersebut ternyata masih banyak
diketahui oleh pemerintah nasional. Tapi dokumen
hal
baru yang
ini menjadi
belum
penting bagi
perkembangan hukum internasional khususnya hukum lingkungan internasional. Ternyata konsep
hukum
internasional
di bidang lingkungan khususnya hukum perjanjian
internasional masih digunakan sebagai sarana untuk mencapai global.
Kesepakatan ini menjadi penting
dimana
kesepakatan secara
masing-masing negara memiliki
tanggungjawab secara bersama sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai. Hasil kesepakatan global ini
ternyata mampu
menekan negara-negara maju untuk
menandatangani dokumen-dokumen KTT Rio. Hal ini disebabkan juga makin menguatnya peranan negara-negara berkembang yang menuntut dicapainya suatu kerjasama yang realistis dalam memperbaiki lingkungan bumi. Hasil dari KTT ini nampaknya mencerminkan adanya keterkaitan yang erat antara lingkungan hidup dan pembangunan. Selain itu beberapa dokumen yang dihasilkan sudah secara tegas menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini telah menunjukan bahwa sustainable development telah menambah daftar perbendaharaan kata bagi perkembangan hukum internasional yang berarti harus diperjelas dan diperinci lebih lanjut. KTT Bumi tahun 1992 merupakan pergeseran penting dari paradigma hukum lingkungan internasional. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Peter Sand (1993) dalam Shabecoff (1996) dalam Soemitro (2000) :
“Pergeseran paradigma besar di Rio dari HLI ke arah yang belum pernah didefinisikan sampai sekarang yaitu hukum tentang pembangunan berkelanjutan”
Paradigma ini tercermin dalam beberapa prinsip deklarasi diantaranya Prinsip 1 Deklarasi Rio menyatakan dengan tegas bahwa manusia adalah merupakan perhatian utama dari pembangunan yang berkelanjutan. Sedangkan Prinsip 4 deklarasi ini menyatakan :
Page 11
“Dalam upaya untuk mewujudkan suatu pembangunan berkelanjutan, aspek perlindungan lingkungan harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan tersebut dan karenanya hal ini tidak dapat dipandang secara terpisah dari proses termaksud.”
Prinsip ini telah menegaskan kembali bahwa perlindungan lingkungan sebagai bagian dari proses pembangunan merupakan salah satu indikator untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan. Prinsip diatas juga telah tercantum dalam Prinsip 13 Deklarasi Stockhlom 1972 dimana
proses ini kini telah dipraktekkan diberbagai negara. Sementara itu
indikator lainnya dalam upaya tercapainya pembangunan berkelanjutan dapat terlihat dalam prinsip 5 yang menyatakan :
“Setiap negara dan bangsa hendaknya dapat bekerjasama dalam upaya menghilangkan kemiskinan yang merupakan syarat utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan dalam standard hidup yang ada dan untuk memenuhi kebutuhan dari mayoritas rakyat didunia ini”. Dari prinsip ini terlihat bahwa memerangi kemiskinan merupakan prioritas yang didahulukan dan syarat utama agar tercapai pembangunan berkelanjutan. Namun upaya ini harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kerjasama internasional (international
cooperation principle) yang selama ini telah memasuki tahapan baru dalam perkembangan hukum lingkungan internasional. Dalam KTT Rio prinsip ini telah berkembang lebih jauh dan dikenal dengan sebutan kemitraan global (global partnership). Lebih lanjut tercantum dalam prinsip 7 yang menyatakan :
“Negara-negara hendaknya bekerjasama dalam semangat kemitraan global untuk melestarikan, melindungi, memulihkan kondisi dan integritas ekosistem dunia. Berdasarkan adanya perbedaan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan masing-masing negara, maka sementara semua negara memiliki kewajiban bersama untuk melestarikan lingkungan namun tingkat dari kewajiban tersebut adalah berbeda satu sama lainnya. Negara-negara maju mengakui akan tanggungjawab mereka dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan tekanan terhadap lingkungan global yang dilakukan oleh masyarakat meraka dan sesuai pula dengan kemampuan teknologi dan sumber keuangan yang mereka miliki.”
Page 12
Pemborosan terhadap sumberdaya alam merupakan salah satu gejala yang berkembang pada saat ini. Pola konsumsi yang tinggi serta pola produksi yang tidak bermanfaat nampaknya telah banyak dilakukan dan hal ini bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Karena itu Prinsip 8 menegaskan :
“Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi umat manusia, negara-negara harus mengurangi dan menghilangkan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan dan mengambil kebijakan yang baik di bidang demografi.” Kerjasama internasional juga termasuk dalam bentuk pertukaran ilmiah dan teknologi serta
alih
teknologi
yang
juga
merupakan
indikator
pentingnya
pembangunan
berkelanjutan. Hal ini tercantum dalam Prinsip 9 yang menyatakan :
“ Negara-negara harus bekerjasama untuk memperkuat peningkatan kemampuan yang
ada
di
masing-masing
negara
untuk
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan, dengan meningkatkan pemahaman pengetahuan melalui kerjasama dan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan meningkatkan pembangunan, adaptasi, penerapan dan alih teknologi, termasuk teknologi baru dan mukhtahir.” Berkaitan dengan pembentukan sistem ekonomi internasional dan tindakan-tindakan yang mengkaitkan persoalan lingkungan hidup sebagai alat dan hambatan yang terselubung, maka prinsip 12 menegaskan agar negara-negara dapat bekerjasama dalam membentuk sistem ekonomi yang terbuka. Selain itu tidak boleh dilakukan tindakan diskriminasi dan tindakan yang tidak adil dalam perdagangan karena tidak menunjang pembangunan berkelanjutan. Dalam mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, kelompokkelompok utama seperti wanita, pemuda, penduduk asli, masyarakat setempat dan anggota masyarakat lainnya memiliki peran yang penting. Prinsip 20 menyatakan :
“Wanita
mempunyai
peranan
penting
dalam
pengelolaan
lingkungan
dan
pembangunan. Karenanya partisipasi mereka secara penuh sangat penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.” Mengenai pemuda ditegaskan dalam prinsip 21 yang menyatakan :
Page 13
“Kreativitas, idealisme dan semangat dari para pemuda haruslah dimobilisasikan untuk
menumbuhkan
kemitraan
global,
untuk
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan serta menjamin masa depan yang lebih baik.” Prinsip 22 menegaskan bahwa penduduk asli (indegenous people), masyarakat setempat
(local peoples) serta anggota masyarakat lainnya memiliki peran yang besar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena itu negara-negara diharuskan menghormati kepentingan kelompok masyarakat ini dan melindungi kebudayaan mereka. Juga harus didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Peperangan menjadi masalah yang sangat merugikan umat manusia. Dalam keadaan perangpun negara-negara diwajibkan untuk melindungi lingkungan hidup sesuai dengan hukum internasional. Peperangan yang ternyata merusak tercapainya pembangunan berkelanjutan telah ditegaskan dalam prinsip 24 deklarasi ini. Karena itu perlu dikembangkan kerjasama dalam mewujudkan hukum internasional di bidang pembangunan berkelanjutan. Hal ini ditegaskan dalam prinsip 27 yang menyatakan :
“Negara-negara dan anggota masyarakat hendaknya dengan niat baik dan berdasarkan semangat kemitraan bersama dapat bekerjasama dalam mewujudkan dan melaksanakan prinsip-prinsip yang termaktub dalam Deklarasi ini, dan bekerjasama pula dalam upaya untuk mengembangkan lebih jauh hukum internasional di bidang pembangunan berkelanjutan.”
Prinsip ini merupakan dasar dari lahirnya hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan (International Law on Sustainable Development) yang nampaknya bersifat lebih luas dari hukum lingkungan internasional. Karena hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan juga mengatur mengenai masalah-masalah perdagangan, ekonomi, hak asasi manusia, alih teknologi, dan masalah lainnya termasuk juga masalah lingkungan hidup. Mendasarkan pada Prinsip 27 Deklarasi ini maka beberapa produk hasil KTT Bumi 1992 juga telah diterapkan prinsip-prinsip hukum internasional mengenai pembangunan
Page 14
berkelanjutan. Dalam Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim 1992 bagian pembukaan menyatakan :
“Menegaskan bahwa semua negara, terutama negara berkembang, harus ikut dalam sumberdaya untuk mencapai pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.....” Untuk mewujudkan hal ini maka dibutuhkan kerja sama internasional dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan seperti tercantum dalam Pasal 3 (5) yang menyatakan :
“Semua pihak harus bekerjasama untuk mengembangkan sistem ekonomi internasional yang menunjang dan bersifat terbuka menuju pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan..........” Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 juga dikembangkan prinsip-prinsip hukum pembangunan berkelanjutan melalui pasal-pasalnya. Pasal 8 (e) menyatakan :
“Merintis pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan di daerah dekat atau sekitar kawasan lindung dalam rangka perlindungan kawasan ini”. Walaupun demikian konvensi ini masih menggunakan istilah pendayagunaan berkelanjutan
(sustainable use) yang dalam konvensi ini berarti
pemanfaatan komponen-komponen
keanekargaman hayati dengan cara dan pada laju yang tidak menyebabkan penurunannya dalam jangka panjang, dengan demikian potensinya dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi masa kini dan mendatang. (Pasal 2 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992.) Istilah pendayagunaan berkelanjutan ini tercantum dalam beberapa pasal konvensi ini serta lampirannya. Diantaranya pasal 1, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13 ,16, 17, 18, 19 dan beberapa pasal lainnya UNCBD. Dokumen lainnya yang dihasilkan KTT Bumi adalah Prinsip-prinsip Kehutanan atau lengkapnya disebut Non Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a
Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of All Types of Forest. Prinsip-prinsip ini terdiri dari 16 pasal yang mencakup mengenai aspek pengelolaan, konservasi dan aspek pemanfaatan dan pengembangan. Bersifat tidak mengikat (non legal binding) dan untuk semua jenis hutan. Mukadimah bagian a Prinsip ini menegaskan bahwa :
Page 15
“Masalah kehutanan adalah terkait dengan lingkungan dan pembangunan, termasuk hak atas pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan”. Mengenai hak kedaulatan suatu negara dalam memanfaatkan hutannya maka diperlukan suatu integrasi kedalam kebijakan nasionalnya yang mendasarkan pada penggunaan tata guna tanah yang rasional seperti tercantum dalam pasal 2 (a) yang menyatakan :
“Negara-negara memiliki hak kedaulatan untuk memanfaatkan, mengelola dan mengembangkan
hutan
sesuai
dengan
kebutuhan
pembangunan
tingkat
pembangunan sosial ekonominya berdasarkan pada kebijaksanaan nasional yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan legislasi termasuk konversi areal semacam itu untuk penggunaan lain di dalam rencana pembangunan sosial ekonomi menyeluruh dan didasarkan kebijaksanaan tata guna tanah rasional.” Selanjutnya penggunaan istilah pembangunan hutan berkelanjutan telah dipakai dalam prinsip-prinsip ini diantaranya dalam pasal 3 (a) : “Kebijaksanaan dan strategi nasional perlu menyediakan kerangka kerja bagi
upaya
yang
meningkatkan,
termasuk
mengembangkan
dan
memperkuat
kelembagaan dan program bagi pengelolaan dan peestarian dan pembangunan hutan secara berkelanjutan.” Pasal-pasal lainnya yang menerapkan istilah ini diantaranya pasal 5, 6 8, 12, dan 14. Sedangkan istilah pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan dalam pasal 8, 9 dan 13. Agenda 21 banyak menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tercantum dalam Bagian I, Bab 2 (1) yang menyatakan :
“Kebijakan
ekonomi
masing-masing
negara
dan
hubungan
perekonomian
internasional besar relevansinya terhadap pembangunan berkelanjutan.” Bab 2(2)(a) menyatakan :
“ Mendorong pembangunan berkelanjutan melalui perdagangan”. Pada bab-bab selanjutnya Agenda ini memberikan prinsip-prinsip serta pedoman bertindak dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun hal yang terpenting
adalah pada bab 27 dan 38 yang merekomendasikan untuk membentuk suatu komisi yang memantau pelaksanaan Agenda 21 ini. Pada sidang Majelis Umum PBB dibentuk suatu
Page 16
badan permanen tingkat tinggi yang disebut Komisi Pembangunan Berkelanjutan
(Commission on Sustainable Development/CSD). Komisi ini dibentuk melalui rekomendasi Sekjend PBB dan mandat CSD didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/47/191. CSD berkedudukan di bawah ECOSOC dan bermarkas di New York. Dengan terbentuknya Komisi ini nampak bahwa konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya merupakan prinsip-prinsip hukum saja tetapi kini telah melembaga. Pentingnya kelembagaan ini semakin memperjelas status bagi pengembangan hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan. Walaupun komisi ini hanya merupakan badan pemantau bagi negara-negara untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan, namun dapat mendorong dan menegakkan komitmen yang telah disepakati sehingga diharapkan mampu
mengembangkan lebih jauh hukum internasional mengenai pembangunan
berkelanjutan Dari hasil-hasil KTT Bumi ini terlihat bahwa penerapan konsep pembangunan berkelanjutan telah mendominasi dalam berbagai pasal yang hal ini telah menunjukkan bahwa upaya Komisi Dunia mengenai Lingkungan dan Pembangunan telah mencapai hasil yang memuaskan. Banyak prinsip-prinsip hukum yang diusulkan oleh para ahli hukum dari komisi dunia, telah diterapkan dalam berbagai dokumen hasil KTT Bumi 1992. Dengan diadakan KTT ini sebenarnya telah lahir cabang baru dalam hukum internasional yang mendasarkan pada prinsip 27 Deklarasi Rio 1992, yang disebut hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan (International Law on Sustainable Development). III.4.
Konferensi New York atau Rio +5
Dalam rangka menindaklanjuti dan melihat hasil-hasil yang telah dicapai selama berakhirnya KTT Bumi, maka pada tahun 1997 di kota New York, AS diadakan suatu pertemuan yang disebut sebagai Konperensi Rio +5 juga disebut KTT Bumi +5 (Earth
Summit + 5). Dalam Konferensi ini dilaporkan hasil-hasil KTT Bumi 1992 yang telah dicapai dan dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia. Delegasi Indonesia telah melaporkan pelaksanaan agenda 21 di Indonesia. Dewan ekonomi dan social PBB melalui Komisi Pembangunan Berkelanjutan (Comission on
Sustainable/CSD)
telah
menyiapkan
sebuah
Page 17
dokumen
yang
berjudul
"program
implementasi lanjutan Agenda 21". Dalam sidang dibahas mengenai program kerja komisi dari tahun 1998-2002. Rio + 5 dihadiri lebih dari 50 menteri dan lebih dari 1000 organisasi non pemerintah. Hasil pertemuan ini akan membantu komisi untuk bekerja lebih
banyak
dengan
pemerintah
nasional
dan
rekanan
NGO
lainnya
untuk
memperkenalkan pembangunan berkelanjutan ke seluruh dunia. Dalam Rio +5 bersamaan juga diadakan Sidang Majelis Umum ke 55 yang kemudian memutuskan bahwa pada bulan Desember 2000 CSD berperan sebagai badan pusat pengelolaan untuk penyelenggaraan Konferensi Dunia 2002. Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyatakan bahwa banyak indikator global mengenai pembangunan berkelanjutan menunjukkan sedikit perbaikan atau kemunduran terusmenerus selama 10 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari kemiskinan bertambah, air bersih dan ketersediaan pangan yang ada tidak cukup tersedia dan juga kesenjangan antara kaya dan miskin makin melebar.
3.5. KTT Pembangunan Berkelanjutan, Johanesburg 2002 KTT Pembangunan Berkelanjutan diadakan pada tanggal 26 Agustus 2002 hingga 4 September 2002. KTT ini diadakan di Sandton Convention Center di Johanesburg, Afrika Selatan. KTT ini dibuka oleh Presiden Afrika Selatan Mandela dan Sekretariat Jenderal PBB Kofi Anan. Dihadiri hampir semua Kepala Negara kecuali Presiden Amerika Serikat yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Colin Powel. Hasil-hasil KTT di Johanesburg diantaranya : 1. Deklarasi Johanesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan. Deklarasi ini memuat 6 hal yang harus dilakukan dan 37 prinsip yang dilaksanakan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. 2. Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan. Rancana Pelaksanaan ini terdiri dari 11 bab Dari hasil pertemuan internasional diatas perlu digarisbawahi bahwa negara-negara di dunia telah sepakat untuk melaksanakan hasil-hasil yang dicapai dan menindaklanjuti hasil-hasil tersebut di tingkat nasional. Dengan demikian diharapkan komitmen di semua negara terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup dapat dicapai. Bagi Indonesia hal ini sangat penting dikarenakan pengaruh lingkungan hidup Indonesia juga akan
Page 18
dipengaruhi kondisi lingkungan global. Namun demikian Indonesia harus mampu mengantisipasi berbagai kegiatan lingkungan hidup global yang berdampak merugikan bagi Indonesia. Deklarasi Johanesburg dan Rencana Aksinya merupakan komitmen internasional yang disepakati oleh berbagai pihak baik negara, organisasi internasional seperti badan-badan dunia hingga kelompok-kelompok utama (majoring group) seperti NGO, kelompok wanita, pemuda, masyarakat adat dll. Untuk mencapai kesepakatan ini diperlukan proses yang panjang dan bertahun-tahun. Melalui negosisasi, lobi, dialog, kampanye, serta tindakantindakan lainnya seperti sirkulasi berbagai dokumen-dokumen baik yang berupa draft hingga yang sudah disepakati. Hal yang terpenting adalah KTT Pembangunan berkelanjutan merupakan proses politik internasional yang melibatkan berbagai entitas baik negara maupun non negara, baik subjek hukum internasional maupun bukan subjek hukum internasional. Peristiwa ini sesungguhnya telah mengubah paradigma hukum internasional dimana selama ini hanya subjek hukum internasional sajalah yang dilibatkan dalam mencapai kesepakatan internasional. Proses ini ternyata telah memberikan ruang dialog antara subjek hukum internasional dengan entitas bukan subjek hukum internasional dengan menghasilkan kesepakatan yang penting sehingga merupakan kemajuan yang luar biasa dalam studi hukum internasional. Deklarasi Johanesburg 2002 menegaskan sebagai berikut :
“10. Pada KTT Johanesburg, kami telah merangkum beragam pandangan dan berbagai kelompok masyarakat dalam mencari suatu jalan bersama yang konstruktif, ke arah dunia yang menghormati dan melaksanakan visi pembangunan berkelanjutan. Johanesburg juga menegaskan bahwa kemajuan penting telah diraih menuju tercapainya kesepakatan global dan kemitraan diantara seluruh masyarakat planet kita.” Selain itu ditegaskan peran subjek hukum internasional dengan bukan subjek hukum internasional seperti dinyatakan :
“34. Kami menyepakati bahwa proses ini harus berlangsung secara terbuka (inclusive),
melibatkan
semua
kelompok
utama
dan
berpartisipasi pada KTT Johanesburg yang bersejarah ini.”
Page 19
pemerintah
yang
Sehingga pembangunan berkelanjutan sebagaimana dicita-citakan sebelumnya, telah memberikan makna penting bagi kemitraan global (global partnership) yang sudah digalang sejak lama. Makna ini merupakan tekad yang sederajat baik bagi subjek hukum internasional maupun bukan subjek hukum internasional. Hal ini ditegaskan dalam Deklarasi Johanesburg Mengenai Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2002 dalam bagian 2:
“2. Kami bertekad untuk membangun masyarakat global yang manusiawi, sederajat dan penuh kepedulian, dengan penuh kesadaran akan pentingnya harkat kemanusiaan bagi semua.” Tekad untuk menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai inti dari pembangunan di masa mendatang dinyatakan juga dalam bagian lainnya :
“1. Kami, wakil-wakil masyarakat dunia, berkumpul pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Johanesburg, Afrika Selatan tanggal 2-4 September 2002, menegaskan kembali komitmen kami bagi pembangunan berkelanjutan.” Dalam melaksanakan komitmen pembangunan berkelanjutan yang berupa keputusan hukum dan kebijakan, tidak hanya cukup dilakukan oleh pihak-pihak yang terbatas serta hanya dalam tahap tertentu, namun harus dilihat jauh ke depan serta melibatkan banyak pihak. Hal ini ditegaskan dalam Deklarasi ini :
“26. Kami menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan perspektif jangka panjang dan partisipasi luas dalam perumusan kebijakan, pembuatan keputusan, dan pelaksanaanya di semua tingkatan. Sebagai mitra sosial, kami akan melanjutkan kerjasama untuk kemitraan yang stabil dengan keseluruhan kelompok utama dengan menghormati kemandirian dan peran penting semua pihak.”
Dengan demikian sesungguhnya dikaitkan dengan pengembangan hukum pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perspektif jangka panjang serta keterlibatan yang luas bagi seluruh pihak yang berkepentingan.
Selain itu pilar dari pembangunan
berkelanjutan juga menjadi perhatian penting bagi pengembangan hukum pembangunan berkelanjutan seperti dinyatakan dalam deklarasi ini :
Page 20
“8. Tiga puluh tahun yang lalu di Stockholm, kami sepakat untuk segara menanggapi masalah-masalah kerusakan lingkungan. Sepuluh tahun yang lalu, pada Konferensi Perserikatan bangsa-bangsa mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio De Janerio, kami menyepakati bahwa perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial merupakan dasar-dasar dari pembangunan berkelanjutan, berdasarkan prinsip-prinsip Rio. Untuk mewujudkan pembangunan tersebut kami mensahkan program global, Agenda 21 dan Deklarasi Rio, dimana kami menegaskan kembali komitmen kami. KTT Rio merupakan tonggak utama dalam pembentukan agenda baru bagi pembangunan berkelanjutan.” Seperti dinyatakan diatas, selain pilar pembangunan berkelanjutan, pengembangan hukum pembangunan berkelanjutan memiliki dasar yang kuat seperti tercantum dalam Deklarasi sebelumnya yaitu Prinsip 26 Deklarasi Rio 1992 yang merupakan dasar-dasar dari pembangunan berkelanjutan. Hal yang terpenting adalah diperkuat dengan berbagai pertemuan internasional, prinsip dan tujuan piagam PBB, hukum internasional serta peranan multilateralisme yang menguat. Hal ini tercantum pada Deklarasi Johanesburg pada prinsip 9, 23, serta Prinsip 32. Lebih jauh, dukungan perangkat undang-undang terkait pembangunan berkelanjutan dinyatakan dalam Rencana Aksi Johanesburg ditegaskan dalam bagian 163 yang menyatakan :
“163. Setiap negara mempunyai tanggungjawab utama bagi pembangunan berkelanjutannya, dan peran kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah penting. Semua negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan tingkat nasional dengan, antara lain, memberlakukan dan menegakan undangundang yang mendukung pembangunan berkelanjutan secara jelas dan efektif. Semua negara harus memperkuat lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk melalui persediaan prasaranan yang diperlukandan memajukan transparansi, tanggung gugat dan lembaga adminsitratif dan peradilan yang adil.”
Selanjutnya diperlukan juga perangkat regulasi seperti tercantum dalam Rencana Aksi Johanesburg bagian 164 :
“164. Semua negara harus memajukan partisipasi publik, termasuk melalui langkah-langkah penyediaan akses pada informasi mengenai legislasi, regulasi, kegiatan, kebijakan dan program. Semua negara juga harus memperkuat partisipasi penuh publik dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kaum perempuan harus dapat berpartisipasi secara penuh dan setara dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.”
Page 21
Pembentukan kelembagaan melalui struktur tersendiri sesungguhnya diperlukan karena akan memberikan banyak arah serta pedoman bagi terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Hl ini tercantum dalam bagian 165 yang menyatakan :
“165. Memajukan lebih lanjut pembentukan atau penguatan Dewan Pembangunan Berkelanjutan dan/atau struktur koordinasi di tingkat nasional, termasuk di tingkat lokal, agar dapat memberikan fokus tingkat tinggi pada kebijakan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini partisipasi antara pemangku kepentingan perlu didukung.” Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa setiap negara harus membentuk berbagai regulasi terkait dengan pembangunan berkelanjutan, membentuk dan memperkuat kelembagaan, serta mengadakan peradilan yang adil. Diharapkan melalui hukum pembangunan berkelanjutan, maka perangkat seperti yang tercantum dalam Rencana Aksi Deklarasi Johanesburg ini dapat diaplikasikan dengan baik.
IV.
HUKUM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Ide penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan tidak terlepas dari berbagai istilah
seperti sustainable of use, optimum sustainable yield, optimum sustainable productivity, reasonable use, maximum sustainable yield, dll. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya tidak terlepas dari keberadaan sumberdaya alam yang sangat terbatas pada waktu itu dan juga dicadangkan untuk generasi mendatang. Karena itu antara istilah-istilah diatas dengan future generation memiliki keterkaitan yang erat. Perhatian terhadap generasi mendatang (future generation) juga sudah diperkenalkan sejak lama dalam beberapa konvensi internasional, termasuk juga Piagam Perserikatan bangsa-bangsa. Menurut Mann (2000) hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan sekarang ini dibentuk melalui perundingan diantara negara-negara , berhubungan juga dengan program-program dan kegiatan organisasi internasional, perkembangan melalui kasus-kasus hukum internasional dan nasional dan juga perkembangan dalam hukum nasional itu sendiri. Defenisi pembangunan berkelanjutan menurut WCED adalah :
Page 22
" …… pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri."
Dari definisi ini telah menimbulkan implikasi-implikasi yaitu : 1. Berkenaan dengan hubungan antara penggunaan sumberdaya, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan dan kemajuan teknologi. 2. Berkenaan dengan produksi dan distribusi sumberdaya makanan, energi, dan industri diantara negara-negara maju dan berkembang. 3. Berkenaan dengan ketidakmerataan pembangunan, ketidakseimbangan bangsa kaya dan miskin, perbedaan dominasi ekonomi dan ideologi. 4. Berkenaan dengan degradasi lingkungan dan bencana ekologi. (smith : 1991) Tahun 2002 secara tegas Convention for Cooperation in the Protection and Sustainable
Development of the Marine and Coastal Environment of the Northeast Pacific mendefinisikan pembangunan berkelanjutan dalam pasal 3(1)(a):
“…[S]ustainable development means the process of progressive change in the quality of life of human beings, which places them as the centre and primary subjects of development, by means of economic growth with social equity and transformation of production methods and consumption patterns, sustained by the ecological balance and life support systems of the region. This process implies respect for regional, national and local ethnic and cultural diversity, and full public participation, peaceful coexistence in harmony with nature, without prejudice to and ensuring the quality of life of future generations.” 15
FAO menegaskan bahwa hukum pembangunan berkelanjutan tidak hanya sekedar hukum lingkungan akan tetapi merupakan pendekatan terintegrasi antara perlindungan lingkungan dan instrumen-isntrumen hukum yang merupakan bagian dalam proses pembangunan. Hal ini nampaknya sejalan dengan Mann (2000) yang menyatakan hukum lingkungan internasional hanya merupakan salah satu aspek dari hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan. Berkenaan dengan penentuan definisi pembangunan berkelanjutan menurut Mitchell et al (1995) menyatakan bahwa stakeholders seharusnya mencapai konsensus mengenai definisi dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang digunakan dan tujuantujuan program indikator yang berkelanjutan. Konsep hukum internasional pembangunan
Page 23
berkelanjutan menurut Center for International Sustainable Development Law (CISDL) adalah sbb : (http://www.CSIDL.org)
“For the CISDL, the concept of sustainable development, in international law, requires accommodation, reconciliation and integration between economic growth, social justice (including human rights) and environmental protection objectives, towards participatory improvement in collective quality of life for the benefit of both present and future generations.”
Dalam konsep diatas hukum internasional pembangunan berkelanjutan mensyaratkan akomodasi, rekonsiliasi dan integrasi antara tujuan-tujuan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial termasuk hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup yang tujuannya untuk meningkatkan partisipasi kolektif kualitas hidup demi keuntungan generasi sekarang dan mendatang. Dengan demikian kesatuan 3 pilar atau dimensi, kualitas hidup dan generasi kini dan mendatang menjadi konsep penting dalam hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan. Kemudian CSDL mendefinisikan hukum internasional pembangunan berkelanjutan sbb :
“The corpus of international legal principles and instruments which address the intersections between international economic, environmental and social law (including human rights law), towards development that can last for the benefit of present and future generations.”
Definisi diatas menjadi sangat penting sebagai pegangan, karena sebagai salah satu cabang baru diperlukan suatu arah (direction) pembahasan yang jelas. Peneliti mencoba memberanikan
diri
untuk
mendefinisikan
hukum
internasional
pembangunan
berkelanjutan sebagai berikut : (Pramudianto : 2006)
” Hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan adalah cabang hukum internasional yang berisi konsep, prinsip-prinsip, norma, aturan, ketentuan-ketentuan serta keputusan-keputusan yang didasarkan pada hubungan keterkaitan dan kausatif antara pilar ekonomi, ekologi dan sosial sebagai satu kesatuan yang holistik untuk melindungi generasi sekarang maupun mendatang.” V.
HUKUM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Page 24
Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Nairobi 1982, Deklarasi Rio 1992 dan Deklarasi Johanesburg 2002, juga menerapkan strategi pembangunan nasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum
dalam
berbagai
deklarasi
ini.
Perencanaan
pembangunan
yang
mengintegrasikan aspek ekonomi, lingkungan hidup dan sosial menjadi perhatian penting dalam proses rencana pembangunan nasional. Selainitu juga menerapkan strategi pembangunanan berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam berbagai deklarasi ini. Dalam konteks ruang lingkup yang luas, sesungguhnya hukum pembangunan berkelanjutan
(sustainable development law) dipengaruhi oleh hukum internasional baik hukum internasional publik maupun hukum internasional privat. Selain itu hukum pembangunan berkelanjutan merupakan bagian dari sistem hukum nasional (yang juga memperhatikan hukum lokal atau hukum adat). Hukum Internasional Pembangunan Berkelanjutan mempelajari
berbagai
aspek
diantaranya
adalah
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan, pencemaran lintas batas negara (transnasional) akibat dari pembangunan global yang juga sebagian dipelajari dalam hukum lingkungan internasional, mekanisme pendanaan internasional untuk penanggulangan permasalahan akibat proses pembangunan yang juga sebagian dipelajari dalam hukum ekonomi internasional dll. Sedangkan hukum pembangunan berkelanjutan
diantaranya mempelajari
asas-asas hukum nasional,
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pusat maupun daerah serta perangkat hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi dan hukum adat yang berhubungan erat dengan aspek lingkungan hidup, ekonomi dan sosial sebagai pilar pembangunan berkelanjutan. Dasar dari hukum pembangunan
berkelanjutan
adalah
keberadaan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan yang berkembang saat ini. Namun menurut Segger te al (2002) perlu diuji status hukum dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga memungkinkan lahirnya hukum pembangunan berkelanjutan. Lingkup kajian hukum pembangunan berkelanjutan akan berkaitan erat dengan bidang hukum lainnya seperti :
Page 25
1. Hukum Internasional Dalam hukum internasional hal-hal yang berhubungan erat dengan hukum pembangunan berkelanjutan diantaranya adalah hukum organisasi internasional, hukum laut, hukum lingkungan internasional, hukum diplomatik dan konsuler, hukum ekonomi internasional. Aspek-aspek yang dikaji diantaranya indigenous
people,
kerjasama
internasional,
badan-badan
internasional,
pendanaan
internasional dll, terutama terkait dengan ketiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan. 2. Hukum Lingkungan Hal-hal yang berhubungan erat dengan hukum pembangunan berkelanjutan adalah hukum sumberdaya alam seperti hukum kehutanan, hukum pertambangan, hukum minyak dan gas, hukum keanekaragaman hayati, hukum administrasi lingkungan, hukum pidana lingkungan, hukum perdata lingkungan dll.. Aspek-aspek yang dapat dikaji diantaranya sumberdaya alam hayati dan non hayati, amdal, perizinan, pencemaran dll yang juga terkait dengan ketiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan. 3. Hukum Ekonomi Hal-hal yang berhubungan erat dengan hukum pembangunan berkelanjutan adalah hukum dagang, hukum transaksi perdagangan, hukum kontrak, hukum bisnis, hukum perdata, hukum paten dll. Aspek yang dapat dikaji diantaranya adalah kerjasama ekonomi, sistem ekonomi, instensif disinsetif ekonomi, perdagangan internasional, hak kekayaan intelektual dll yang juga terkait dengan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan. 4. Hukum Sosial Hal-hal yang berhubungan erat dengan hukum pembangunan berkelanjutan diantaranya hukum adat, hukum ketenagakerjaan, hukum hak asasi manusia, sosiologi hukum, hukum tata pemerintahan dll. Aspek-aspek yang dikaji diantaranya masyarakat hukum adat, kearifan lokal, hak asasi manusia,
Page 26
komunikasi massa, pelapisan sosial, kelompok sosial dll yang terkait juga dengan tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Bidang hukum diatas, sebagai bidang yang saling berkaitan satu sama lain, masing-masing akan mempengaruhi perkembangan dari hukum pembangunan berkelanjutan. Pengaruh perkembangan ini akan dapat dilihat melalui contoh misalnya perkembangan hak atas kekayaan intelektual melalui pemanfaatan sumberdaya alam akan mempengaruhi kehidupan masyarakat adat yang kemudian menjadi isu nasional bahkan internasional. Untuk melihat hal ini, dikaji saling keterkaitan antar bidang-bidang hukum seperti hukum ekonomi, hukum lingkungan, hukum sosial, hukum nasional dan hukum internasional yang mendorong perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan. Karena itu dalam mengkaji hukum pembangunan berkelanjutan tidak bisa dilihat satu aspek hukum saja tetapi harus dilihat sebagai suatu sistem hukum yang menyeluruh atau holistik dan saling kait mengkait terutama sebab akibatnya atau kausatif. Karena itu dibutuhkan perubahan dan pergeseran dari paradigma lama yaitu satu bidang atau disiplin ilmu menjadi paradigma baru yang terkait dengan banyak bidang dari dispilin ilmu atau multibidang atau multidisiplin dan antar dispilin atau transdisiplin.
VI.
PENERAPAN HUKUM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Seperti halnya di tingkat internasional dimana perjanjian internasional merupakan produk hukum tertulis, demikian juga dalam hukum nasional dimana Undang-undang adalah produk hukum tertulis . Selain undang-undang juga terdapat produk turunan dari undang-undang seperti peraturan pemerintah (PP),, Peraturan Menteri (Premen), Perauran daerah dll. Kesemuanya ini disebut peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum formal. Beberapa undang-undang yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan diantaranya : a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya b. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan kawasan Pesisir
Page 27
c. Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkaitan dengan hukum adat, umumnya negara-negara berkembang yang baru berdiri sejak tahun 40-an, mengalami suatu masalah dibidang hukum terkait hubungan antara hukum adat dengan hukum barat. Sejak era kolonial, sistem hukum adat di Indonesia telah berhadapan dengan sistem hukum barat, yang hal ini kadang-kadang hukum barat sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Hukum yang harus dikembangkan sebaiknya tidak boleh meninggalkan hukum adat karena hukum adat tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang dianut masyarakat. Berkaitan dengan ini Kusumaatmadja (1976) menyatakan :
“…masyarakat negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik dimana sistem dan lembaga-lembaga hukum adat berlaku berdampingan dengan sistem dan lembaga-lembaga hukum Barat atau mungkin dengan sistem dan lembagalembaga hukum asing lainnya menghadapi suatu masalah yang khusus. Oleh karena hukum itu tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat.” Dalam sistem hukum adat, umumnya hanya ditemukan hukum yang tidak tertulis. Namun beberapa praktek-praktek hukum adat, ternyata telah menerapkan hukum pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh Hukum adat sasi yang dikenal di Maluku menerapkan suatu larangan untuk menangkap ikan pada waktu-waktu tertentu. Hal ini ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada alam dalam mengembangbiakan secara alami demi keberlanjutan persediaannya. Agar sasi dapat ditegakan seperti halnya dalam konsep hukum maka ”Korps Kewang” (semacam polisi) yang diangkat oleh Dewan Adat mengawasi pelaksanaan dan menegakkan aturan ini demi kepentingan keutuhan sumberdaya hayati perikanan. Dengan demikian keberlanjutan dari kegiatan sasi dengan sistem penegakan hukumnya telah menggambarkan salah satu contoh aplikasi dari hukum pembangunan berkelanjutan. Asas-asas hukum nasional juga berkembang di Indonesia sebagai salah satu sumber hukum terpenting. Asas-asas pemerintahan yang baik, asas-asas good governance, asasasas hukum perdata, hukum islam, dll merupakan asas-asas hukum nasional yang berkembang saat ini. Asas-asas ini dapat juga berasal dari nasional maupun dari dunia
Page 28
internasional. Asas-asas hukum nasional yang terkait dengan hukum pembangunan berkelanjutan diantaranya : a. Asas-asas hukum Pidana b. Asas-asas hukum perdata c. Asas-asas hukum administrasi negara d. Asas-asas hukum internasional e. Asas-asas hukum tata negara f.
Asas-asas hukum islam
Di Indonesia putusan pengadilan yang dapat dikaitkan dengan hukum pembangunan berkelanjutan diantaranya adalah : a.1. Perkara Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan Perkara ini dipustuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Juli 2005. Gugatan diajukan oleh Koalisi LSM terhadap Pemerintah RI. Inti dari perkara ini adalah apakah UU no. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan melanggar Undang-undang dasar 1945 ? Salah satu gugatannya adalah UU ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, terutama pada Bagian III 3.5. yang nyata-nyata bertentangan dengan Asas-asas Pembangunan Berkelanjutan yaitu : 1. Prinsip Keadilan antargenerasi 2. Prinsip Keadilan satu generasi 3. Prinsip Pencegahan Dini 4. Prinsip Perlindungan Keanekaragaman hayati 5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan
Pada bagian pertimbangan Hukum bagian 3 pokok permohonan bagian B mengenai pengujian materiil menyatakan :
”Bahwa konsideran ”menimbang” UU no. 19 tahun 2004 beserta penjelasan umum dan isi pasal Perpu No. 1 /2004 yang menjadi lampiran UU a quo bertentangan dengan asas-asas pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang tercantum dalam dokumen yang dihasilkan UNCED tahun 1992 yaitu Prinsip Keadilan antargenerasi, Prinsip Keadilan satu generasi, Prinsip Pencegahan Dini, Prinsip Perlindungan Keanekaragaman hayati, prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan. Dengan demikian juga bertentangan dengan ketentuan pasal 33 (4) UUD 1945 yang berbunyi ” Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas Page 29
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan. berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
b.2. Perkara Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Putusan ini diajukan oleh LSM terhadap pemerintah dengan pokok perkara apakah UU No. 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945. Bab IV Fakta Hukum tentang Hak Rakyat atas air dalam standard dan norma hukum internasional tentang Hak Asassi Manusia :
7.......pernyataan semacam ini terus diulangi seperti dinyatakan dalam Commmission on the Human Right 2003/71 dimana disebutkan bahwa ”Hak asasi manusia dan lingkungan hidup sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan (Human right and the environment as a part of sustainable development).”
VII.
PENUTUP
Konsep pembangunan berkelanjutan kini semakin banyak dipakai dalam berbagai perjanjian internasional setelah lahirnya KTT Bumi 1992, saat ini menjadi norma hukum internasional yang semakin penting dan dibutuhkan. Perjanjian internasional telah mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam pembukaannya dan beberapa pasalnya Convention on Civil Liability for Damage Resulting From Activities Dangerous
to the Environment 1993 dan NAFTA 1993 telah menerapkan berbagai prinsip-prinsip hukum mengenai pembangunan berkelanjutan. Sementara beberapa deklarasi seperti
Nuuk Declaration 1993, Barbados Declaration 1993, Bahama Declaration 1994, telah juga menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya perkembangan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan hukum intenasional mengenai pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini tidak terlepas dari beberapa elemen penting seperti hak untuk membangun, perhatian pada generasi mendatang, integrasi kebijakan antara lingkungan hidup dan pembangunan, kerjasama internasional, keadilan antar generasi, partisipasi masyarakat global, kemitraan global, hak untuk memperoleh informasi dll. Berbeda dengan hukum lingkungan internasional, pertumbuhan hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan lebih mendasarkan pada persoalan-persoalan
Page 30
global yang semakin kompleks. Hukum lingkungan internasional hanya membatasi pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sedangkan hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan bersifat lebih luas karena tidak hanya mencakup hukum lingkungan internasional tapi juga bersinggunan dengan bidang hukum lainnya seperti hukum ekonomi, hukum perdagangan, hukum hak asasi manusia, dll. Namun satu hal yang perlu menjadi perhatian penting mengenai
pembangunan
berkelanjutan
lahir
sebagai
bahwa hukum internasional konsekuensi adanya
hukum
lingkungan internasional seperti yang tercantum dalam prinsip 27 Deklarasi Rio 1992. Dengan demikian hukum lingkungan internasional memiliki peran penting bagi lahirnya cabang baru dalam hukum internasional yaitu hukum internasional mengenai pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR BACAAN I. Buku Allott, Anthony. 1980, The Limit of Law, London: Butterworths, London Azis, I et al (eds) . 2009. Pembangunan Berkelanjutan : Peran dan Kontribusi Emil Salim, KPG, Jakarta. Danusaputro, M. 1982. Hukum Lingkungan Buku III : Regional, Bina Cipta, Bandung -------------------. 1982. Hukum Lingkungan Buku IV : Global, Bina Cipta, Bandung. Dimyati, Khudzaifah. 2010. Teorisasi Hukum : Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ibrahim, Johnny. 2010. Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum : Teori dan Implikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum, Penerbit Putra Media Nusantara dan ITS Penerbit, Surabaya. Keraf, A. Sonny. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. LPHK Fakultas Hukum Unpad, Bandung: Binacipta. _______________________1976. Pengantar Hukum internasional, Binacipta, Bandung Mandalangi, J Pareira. 1988. Dari Hukum Perburuhan ke Hukum Kerja dan hukum Sosial, Dalam Yoyon, A (ed) Percikan Gagasan Tentang Hukum, FH Unika Parahiyangan, Bandung.
Page 31
McCormick, John. 1989. The Global Environmental Movement, Belhaven Press, London. Michaelson, Wesley G. 1994. Redeeming the Creation. The Rio Earth Summit: Challenges for the Churches, WCC Publication, Switzerland. Mitchell, B et al. 1997. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gajahmada University, Yogyakarta. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip. Notohadiningrat, Tejoyuwono. 2006. Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Kelanjutan Kegunaan Sumberdaya Alam, Ilmu Tanah UGM, Yogyakarta. Rahardjo, S. 1980. Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung. Reid, JC and Robert Prescott-Allen. 1994. Strategies for National Sustainable Development : A handbook for Their Planning and Implementation, IUCN,IIED, Earthscan, London. Shaw, Malcolm N. 2003. International Law, fifth ed, Camridge University Press, London. Sand, Peter. 1993. International Environmental law after Rio, European Journal of International Law. Sands, Phillippe. 1995. Principles of International Environmnetal Law : Framework, Standards and Implementation, Vol I. Manchester University Press, London. Scolten, P. 1942. De Structure Der Rechswetenschap diterjemahkan oleh Arief Sidharta. 2005 : Struktur Ilmu hukum, Penerbit Alumni, Bandung. Smith, Paul M & Kiki War. 1991. Global Environmental Issues, Open University Press-Hodder & Stoughton, London. (221) WCED. 1987. Our Common Future diterjemahkan menjadi Hari Depan Kita Bersama, Bambang Sumantri, PT Gramedia, Jakarta. Wisnubroto, Al. 2010. Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Atmadjaya Yogyakarta, Yogyakarta. II. Majalah/Jurnal/News Letter/Laporan dll Annon.1990a. Scientific Information for Sustainable Development. SCOPE Newsletter (33) : 4-5 Idris. 2009. Pembentukan Pengadilan Lingkungan Internasional : Sebuah Gagasan, dalam Padjajaran : Jurnal Ilmu hukum, Jilid XXXIV Nomor 2 Oktober 2009. ___________2008. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional dan Relevansinya Dalam Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru, Laporan Penelitian FH Universitas Padjajaran, bandung. Faizal, Elly Burhainy, (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www. papuaindependent.com dalam Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara Sebuah kajian filsafati dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2
Page 32
Santosa, Mas Achmad. 2003. Arah Pengembangan Hukum dan Sistem Penegakan Hukum Pasca KTT Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Seminar Pembangunan Hukum Nasional, Bali, 14 - 18 Juli 2003 Mulyadi, L. Tanpa Tahun. Teori Hukum Pembangunan Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M : Sebuah Kajian Deskriftif Analitis. http://www.Mahkamah Agung. go.id. Rahardjo, A. 2008. Model hibrida hukum cyberspace (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia), Desertasi Doktor Ilmu hukum, Universitas Diponegoro. Stefanus Stanis, Supriharyono, Azis Nur Bambang. 2007. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui pemberdayaan kearifan lokal di Kabupaten lembata Propinsi nusa tenggara timur dalam Jurnal Pasir Laut, Vol.69 2, No.2, Januari 2007 : 67-82 Suparman, E. Tanpa Tahun. Asal usul serta landasan Pengembangan ilmu hukum indonesia (kekuatan moral hukum progresif sebagai das sollen), tanpa penerbit.
III. Lain-lain Annual Meeting of ASIL Procedings 1991, American Society of International Law Departement of Public Information. Year Book of the United Nations Vol. 46. International Environmental Law News March 1996 Volume 6 No. 1, ASIL Majalah Hukum Pro Jutitia Tahun XIII No. 4 Oktober 1995. Text Declaration on Environment and Development Rio 1992. Twenty Years After Stockhlom : UNEP Annual Report 1992. Johanesburg Fact Sheet, United Nations 2002 ASIL. 1991. Proceeding of Annual Meeting of American Society of International Law, ASIL, USA. Dokumen konvensi Internasional. Dokumen hasil-hasil KTT Bumi 1992. Dictionary of English, Webster UNEP.1992. Twenty Years Since Stockhlom, UNEP Annual Report 1992. Intip Hutan. Edisi I-06/Januari-Februari 2006
Page 33