Opsi Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Peningkatan Produksi dan Pemanfaatan Gas Alam di Indonesia Laporan Akhir
Opsi Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Peningkatan Produksi dan Pemanfaatan Gas Alam di Indonesia
Rancangan Makalah Pembahasan Akhir Agustus 2015
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia
Fiscal Policy Options to Support Promotion of the Production and Utilization of Natural Gas in Indonesia
Prakata Makalah Pembahasan ini disusun oleh Castlerock Consulting Pte. Ltd, bekerjasama dengan Pandawa Consultama Sejati sebagai sub-konsultan untuk Program Dukungan Rendah Karbon Pemerintah Inggris untuk Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Bapak David Braithwaite dari PT Q Energy South East Asia membantu dalam pengkajian dan penyelesaian laporan ini. Pekerjaan ini dilaksanakan dengan menjalin kerjasama erat dengan PKPPIM, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang dipimpin oleh direktur BKF, Dr. Syurkani Ishak Kasim, dan pengelolaannya diawasi oleh Dr. Syaifullah. Mitra utama adalah Bp. Hageng Nugroho dengan dukungan dari para anggota tim, yaitu Windy Kurniasari dan Vina Damayanti. Kami ucapkan terima kasih atas dukungan yang kuat dan keterlibatan para pejabat PKPPIM dalam pelaksanaan kajian ini. Kajian ini dalam dikelola dalam rangka Program LCS oleh Paul Butarbutar.
Pernyataan Penolakan Tanggung Jawab Makalah Pembahasan ini disusun melalui Program Dukungan Karbon Rendah untuk Kementerian Keuangan Republik Indonesia, untuk tujuan pengembangan dan pembahasan kebijakan. Pendapat yang diungkapkan dalam Makalah Pembahasan ini adalah sematamata pendapat penulis yang dipekerjakan berdasarkan subkontrak, dan sama sekali tidak dapat dianggap sebagai mencerminkan pendapat dari Kementerian Keuangan atau Pemerintah Indonesia. .
Pertanyaan tentang Makalah Pembahasan ini Pertanyaan apapun tentang Makalah Pembahasan ini atau laporan lain dari Program LCS dapat ditujukan kepada
[email protected].
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
i
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Daftar Isi i
Prakata Daftar Singkatan
vi
Faktor Konversi
viii
Ringkasan Eksekutif
ix
1.
Pendahuluan
1
2.
Analisis Situasi
3
2.1
Pertimbangan Emisi
3
2.2
Permintaan Energi
7
2.3
Pasokan Gas
3.
4.
5.
6.
12
Implikasi untuk Kementerian Keuangan
26
3.1
Situasi Saat Ini
26
3.2
Alternatif Proyeksi Pasokan Energi
28
3.3
Peluang Kemenkeu untuk Mengembangkan Strategi Emisi Rendah39
3.4 Analisis Manfaat Biaya
46
Masalah Peraturan dan Insentif
55
4.1
Masalah Peraturan
56
4.2
Insentif dan Disinsentif
63
Masalah Kebijakan Strategis untuk Promosi Gas
71
5.1
Pasokan Gas
71
5.2
Pertimbangan Logistik
72
5.3
Permintaan Gas
73
Hambatan
76
6.1
76
Potensi Gas Non‐konvensional
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
ii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
7.
6.2
Pengaruh Pemerintah Daerah
77
6.3
Masalah terkait Kontraktor Kontrak Kerja Sama: masalah Eksternal dan masalah terkait KKS
78
6.4
Penentuan Harga Gas: Alasan Reformasi Sistem Gas Saat Ini
78
6.5
Administrasi Harga Gas & Infrastruktur Pengangkutan
79
6.6
Hambatan Lain: masalah Tata‐kelola dan Kurangnya Data yang Handal
80
Kesimpulan dan Rekomendasi
81
7.1
Kesimpulan
83
7.2
Rekomendasi
84 92
Lampiran 1: Emisi Lampiran 2: Kajian Kasus PLN/PGN
105
Lampiran 3: Efisiensi Energi
118
Lampiran 4: Peraturan Minyak dan Gas Alam
126
Lampiran 5: Kajian Penyaringan untuk Enam Instalasi LNG Skala Kecil di Kawasan Timur Indonesia
135
Referensi
137
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
iii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Daftar Tabel Tabel 2.1: Faktor Emisi Pembakaran ................................................................................................ 3 Tabel 2.2: Total Sumberdaya Gas Indonesia, 2014 ..................................................................... 16 Tabel 2.3: Proyeksi Sumberdaya Gas (2015 – 2050) .................................................................. 21 Tabel 3.1: Penentuan Harga LNG Cheniere .................................................................................. 33 Tabel 3.2: Investasi yang Diperlukan dalam Empat Kasus ......................................................... 43 Tabel 3.3: Harga Gas Rata-rata di Indonesia ................................................................................ 44 Tabel 3.4: Proyeksi Pekerjaan ......................................................................................................... 45 Tabel 3.5: Parameter Analisis Manfaat / Biaya ............................................................................. 48 Tabel 3.6: Analisis Manfaat / Biaya, Kasus Rendah (USD 000) ................................................. 50 Tabel 3.7: Analisis Manfaat / Biaya, Kasus Tinggi (USD 000) .................................................... 51 Tabel 3.8: Analisis Manfaat / Biaya – Ringkasan Plus dan Minus ............................................. 54
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
iv
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Daftar Gambar gambar 2-1 ProYEKSI EMISI DARI SUMBER ENERGI INDONESIA ......................................... 4 GAMBAR 2-2: PROYEKSI EMISI INDONESIA MENURUT SEKTOR ........................................ 4 Gambar 2-3: 20 NEGARA PENGHASIL EMISI TERBESAR ........................................................ 5 gambar 3-17: diferensial emisi dari BAU (2015-2050) ................................................................. 46 gambar 4-1: kerangka KERJA industri pasokan listrik ................................................................. 55 GAMBAR 4-2: INFRASTRUKTUR GAS JAWA – YANG ADA DAN DIRENCANAKAN ......... 61 gambar 4-3: jalur pipa dan penghematan fsru ............................................................................... 62 gambar 4-5: Milk Runs di Kawasan Timur Indonesia ................................................................... 66 gambar 4-6: LNG dalam bis jarak jauh ........................................................................................... 67 gambar 4-7: hitungan lalulintas – Jawa ......................................................................................... 68 gambar 4-8: Potensi pemanfaatan lng dalam transportasi .......................................................... 69 gambar 5-1: distribusi produksi listrik untuk pembangkit terbarukan (skenario ken) ............... 71 gambar 5-2: Pasokan energi primer per jenis dan skenario ........................................................ 72 gambar 5-3: pengembalian ekuitas PGN (2009 – 2016) ............................................................. 74 gambar 5-4: PGN dan jalur pipa as & LDC (ROE, ROR) ............................................................. 74 gambar 5-5: PEMBagian gas untuk industri (Gas Plus OBF) .................................................... 75 gambar 7-1: Produksi minyak dan gas Indonesia ........................................................................ 82 gambar 7-2: estimasi pengembangan sumberdaya gas sampai dengan 2050 ........................ 83
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
v
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Daftar Singkatan APBN : ASEAN : BCF : BKPM : CBM : CCGT : COP : CSR : DEN : DMO : DPR : EE&C : ESDM : ETS : FDI : FOB : FSRU : GDMP : GDP : GRK : GOI : HSD : ICE : IEA : IHS-CERA : IMF : INDC : IPCC : kWh : LNG : LPG : MMBTU : MM MT : MMSCF(D) : MM TOE : KEMENKEU : MW : OBF : OBIT : OECD : ONWJ : Pandawa :
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Association of South East Asian Nations Billion Cubic Feet Badan Koordinasi Penanaman Modal Coal Bed Methane Combine Cycle Gas Turbine Conference of Parties Corporate Social Responsibility Dewan Energi Nasional Domestic Market Obligation Dewan Perwakilan Rakyat Energy Efficiency and Conservation Energi dan Sumber Daya Mineral Emission Trading System Foreign Direct Investment Free On Board Floating Storage Regasification Unit Gas Development Master Plan Gross Domestic Product Gas Rumah Kaca Pemerintah Indonesia High Speed Diesel Oil Intercontinental Exchange International Energy Agency IHS-Cambridge Energy Research Associate International Monetary Fund Intended Nationally Determined Contributions Intergovernmental Panel on Climate Change Kilowatt-hour Liquefied Natural Gas Liquefied Petroleum Gas Million British Thermal Units Million Metric Tons Million Standard Cubic Feet (per Day) Million Tons of Oil Equivalent Kementerian Keuangan Megawatt Oil Based Fuel One Billion Indonesia Trees Organisation for Economic Co-operation and Development Offshore Northwest Java Tim kajian yang terdiri atas karyawan PT PandawaConsultamaSejati subkontraktor Pandawa dan staf pendukung PE : Permanent Establishment PGN : Perusahaan Gas Negara PLN : Perusahaan Listrik Negara PMA : Penanaman Modal Asing PP : Peraturan Pemerintah Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia vi
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
PPP KKS RAN-GRK RAD-GRK REDD+ RIKEN RUPTL
: : : : : : :
SC : SE4ALL : SKK Migas : BUMN TOE TOR TPES TSCF/TCF WEC WB
: : : : : : :
Purchasing Power Parity Kontrak Kerja Sama Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Rencana Induk Konservasi Energi Nasional Rencana Usaha PenyediaanTenagaListrik (Rencana Usaha Pasokan Listrik PLN Super Critical Sustainable Energy for All (Energi Berkesinambungan untuk Semua) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Badan Usaha Milik Negara Ton of Oil Equivalent Terms of Reference Total Primary Energy Supply Trillion Standard Cubic Feet World Energy Council World Bank
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
vii
Fiscal Policy Options to Support Promotion of the Production and Utilization of Natural Gas in Indonesia
Faktor Konversi Energi 1 TOE 1 TOE 1 TOE 1 TOE 1 TOE 1 TOE 1 BOE 1 BOE 1 ton Batu Bara 5100 kcal 1 ton Batu Bara 5100 kcal 1 ton biomassa 1 Gigajoule 1 MCF 1 MMCF 1 BCF 1 kWh
: : : : : : : : : : : : : : : :
1,17 Kiloliter 39,20 MCF 44,83 Gigajoule 4,48 Ton biomassa 2,10 Tons batu bara 5100 kcal 7,3 BOE 5,8 MMBTU 0,28 Ton batu-baara 5100 kcal 21,34 Gigajoule 20.40 MMBTU 10,00 Gigajoule 0,94 MMBTU 1 MMBTU 1000 MCF 1000 MMCF 3412 BTU
Emisi CO2 Ekuivalen - 1 Kg CH4 - 1 Kg N2O
: :
25 Kg CO2 298 Kg CO2 Kg/BCF
Jenis Bahan Bakar
7
1
CO2eq 68,091
59,186
3
0
59,296
103,707
85
2
106,295
Batu arang (Coking Coal)
99,803
85
2
102,391
Batu bara bituminous lain
99,803
85
2
102,391
*Batu bara sub-bituminous
101,386
85
2
103,974
Lignite
106,555
85
2
109,143
Briket batu bara coklat
102,863
85
2
105,451
Minyak mentah
77,332
7
1
77,692
BBM motor
73,112
7
1
73,472
BBM penerbangan
73,850
7
1
74,210
BBM jet
73,850
7
1
74,210
Minyak tanah jet
75,433
7
1
75,793
Minyak tanah lain
75,855
7
1
76,215
Shale Oil
77,332
7
1
77,692
Gas / solar
78,176
7
1
78,536
Bahan bakar residual
81,657
7
1
82,017
Gas Gas Alam Anthracite
CO2 67,731
CH4
N2O
Sumber: IPCC Guidelines for National Green House Inventories 2006 *Batu bara sub-bituminous dipergunakan dalam analisis kajian.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
viii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif memuat gambaran umum tentang hasil kajian ini. Laporan ini terlebih dahulu menjelaskan latar belakang; menilai dampak emisi pada perekonomian; mempelajari implikasinya bagi Kemenkeu; membahas dan memberikan alternatif untuk permasalahan kebijakan, pajak dan peraturan; mengidentifikasi sumber-sumber dan implikasi hambatan struktural dan historis; dan menyajikan kesimpulan dan rekomendasi yang terfokus dan didefinisikan secara kuantitatif. Ringkasan Indonesia – dan dunia pada umumnya – menghadapi saat-saat yang semakin hari semakin penuh tantangan. Sebagai contoh dalam pasar energi global, setelah bertahun-tahun dapat diperkirakan secara wajar, baru-baru ini harga energi mengalami penurunan sampai dengan 50%. Indonesia terpaksa harus menghadapi keadaan yang tidak diharapkan tersebut, terutama di masa transisi kepemimpinan baru. Kondisi ini disertai dengan tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan agenda pembangunan nasional yang dituangkan dalam rencana lima tahunan untuk periode 2015-2019 serta anggaran tahun 2015. Situasi dramatis tersebut menekankan perlunya solusi yang inovatif dan fleksibel. .
Setiap keputusan untuk menerapkan strategi emisi karbon rendah, yang fokus pada pengembangan gas, akan memiliki implikasi yang luas terhadap Kemenkeu dan Indonesia, sekurang-kurangnya berupa pendapatan tambahan yang akan dihasilkan oleh Kemenkeu sebesar antara USD 685 miliar sampai dengan USD 3.439 miliar; pengurangan emisi CO2 sampai dengan 7,3 gigaton; investasi modal baru sebesar mulai dari USD 623 miliar sampai dengan USD 1.235 miliar; dan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 275.000 sampai dengan tahun 2050. Saat ini para pemimpin dunia menghadapi masalah yang mengancam planet bumi, yaitu semakin besarnya emisi karbon yang kita buat dan tantangan untuk melakukan mitigasi dampak buruk emisi tersebut pada lingkungan. Hal tesebut mungkin merupakan ancaman global paling kompleks yang pernah dihadapi, di mana setiap negara memiliki tingkat emisi dan kapasitas mitigasi yang berbeda-beda satu sama lain. Sebagaimana yang ditelaah dalam Kajian ini, kegiatan advokasi untuk mendesakkan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran memeroleh momentum yang tepat. Desakan keras tersebut memertanyakan dan menguji penggunaan energi di dunia pada saat ini dalam berbagai bidang, khususnya dalam penggunaan bahan bakar untuk transportasi yang kebutuhannya terus meningkat. Dalam bidang transportasi, tidak ada sumber bahan bakar alternatif langsung yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Berbeda dengan pembangkit tenaga listrik, terdapat sejumlah bahan bakar / sumber alternatif yang telah terbukti mampu menghasilkan listrik, meskipun dalam beberapa kasus masih sangat mahal.
Batu bara – yang merupakan target utama untuk pihak-pihak yang mendukung pengurangan penggunaan bahan bakar fosil – adalah penyumbang terbesar untuk masalah GRK di seluruh dunia. Dalam menentukan kebijakan nasional, Indonesia dapat mengambil posisi bahwa kebutuhan energi / perdagangan nasional lebih penting; namun hal tersebut dapat menjadi pilihan yang terbatas dan mahal. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia ix
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Pertama, perekonomian yang kuat dari negara maju mendukung perubahan yang terus menerus atas standar emisi untuk mengurangi atau membatasi penggunaan batubara. Kedua – dengan cara yang sama sebagaimana advokasi di tingkat akar rumput yang pada akhirnya menyebabkan penghapusan kebijakan apartheid di Afrika Selatan – kampanye publik yang gencar semakin meningkat di tingkat internasional untuk menolak pembiayaan pengembangan lebih lanjut bahan bakar fosil. Kekuatan kampanye-kampanye seperti ini pasti akan mengakibatkan pembatasan yang semakin ketat atas investasi di bidang ini, oleh entitas milik publik seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi, atau sumber semipemerintah seperti dana multilateral. Sebagai alternatif yang layak dari batu bara yang terus menerus digunakan saat ini, kajian ini merekomendasikan transisi bertahap ke sumber energi terbarukan dengan penggunaan sumberdaya yang berlimpah di Indonesia – gas alam – yang sejalan dengan kebijakan nasional emisi rendah. Hal tersebut tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Perubahan dalam bauran energi global memerlukan waktu puluhan tahun. Namun jelas bahwa program transisi yang dirancang, direncanakan dan dilaksanakan secara efektif akan segera mendapatkan dukungan internasional dan, yang terpenting, modal dalam jumlah yang substansial. Di Indonesia, program seperti ini tidak harus dibatasi hanya pada pemanfaatan energi namun dapat diperluas ke kegiatan untuk menjangkau fondasi-fondasi sosial, perdagangan dan geopolitik Indonesia, dan untuk menghasilkan daya saing bagi negara ini dalam ekonomi global. Hanya dalam waktu 150 tahun, gas alam telah berkembang dari sekadar produk sampingan dalam eksplorasi minyak mentah, menjadi pemasok 20% dari bauran energi dunia. Pertumbuhan produksi gas Indonesia selama 45 tahun terakhir, dibandingkan dengan produksi minyak mentah, ditunjukkan dalam Gambar ES1. Meskipun target utama upaya perluasan dan eksplorasi yang direkomendasikan dalam Kajian ini adalah gas alam (lihat Gambar ES 2), namun akan ada penemuan minyak mentah yang terkait, dan mungkin dalam jumlah yang signifikan. Eksplorasi semakin menjadi ilmu pengetahuan yang lebih dapat diandalkan, dan penerapan teknologi semakin menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam industri ini.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
x
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar ES1: Estimasi Produksi Minyak dan Gas
Gambar ES2: Estimasi Pengembangan Sumberdaya Gas 1
Sumber: Statistik BP, Estimasi Pandawa
Selain peluang peningkatan “konektivitas”, eksploitasi atas peningkatan pemanfaatan sumberdaya gas menawarkan: pengurangan emisi dari sektor listrik dan industri; perluasan pasokan energi dengan biaya yang lebih rendah untuk Kawasan Timur Indonesia; bahan bakar transportasi untuk penggunaan dalam negeri dan penyimpanan bahan bakar kapal dengan tujuan pasar internasional (di mana standar emisi yang ketat membatasi ekspor barang Indonesia); serta pengaruh perdagangan/geopolitik yang lebih luas, karena mitra dagang mencari energi yang lebih bersih dengan harga yang kompetitif. Indonesia, dengan tingginya potensi penemuan minyak bumi, dapat menyusun dan menambah pengembangan sistem sosial dan infrastruktur, yang memberikan tanggapan dengan alternatif yang fleksibel agar dapat memanfaatkan peluang, serta meningkatkan keamanan pasokan dalam pemenuhan kepentingan nasional. Upaya untuk menegaskan dan memulai transisi tersebut dalam waktu dekat akan memberikan pilihan kepada generasi mendatang, apabila bidang/teknik/lokasi yang baru menawarkan peluang untuk melakukan pengembangan – sebagaimana sistem jalur pipa AS dapat mendayagunakan manfaat dari energi berbiaya rendah yang melekat pada “peluang fracking.” 1Meskipun
peningkatan komponen pasokan gas diberi label sebagai CBM dan Shale Gas, dengan adanya upaya ekplorasi, peningkatan tersebut dapat berasal dari sumberdaya gas konvensional atau non-konvensional lain. Label CBM dan Shale Gas dipergunakandigunakan berdasarkan dimasukkannya sumberdaya potensial CBM dan Shale Gas dengan tingkat yang signifkan oleh KemenESDM, dalam presentasi tentang sumberdaya gas Indonesia. .
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xi
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Kesimpulan Perubahan mendasar dalam nilai energi telah mempercepat lepasnya hubungan antara produk berbasis minyak bumi dengan gas – yang merupakan hubungan historis yang menjadi dasar dari pengembangan sektor ekspor gas Indonesia. Dengan paradigma baru tersebut, Indonesia berupaya keras untuk menyesuaikan diri dengan persaingan gas-vs-gas dalam perencanaan ekonomi yang terkait dengan permasalahan dalam negeri. Kepentingan berdana besar yang sama, atau yang serupa, telah mengendalikan kegiatan energi di Indonesia selama hampir 50 tahun. Pembagian tanggung jawab energi Indonesia ke dalam bidang-bidang baru sebagai pengakuan atas peran energi yang selalu berubah dalam perekonomian global, akan menghasilkan efisiensi dalam konektivitas, walaupun peluang tersebut mungkin terlihat agak berbeda sehingga sulit untuk dipahami, dan menghadapi penolakan dari mereka yang merasakan manfaat dari jalur tradisional yang saat ini dipergunakan dalam industri. Sebagai contoh, identifikasi dan pemberian kuasa pertambangan minyak dan gas bumi baru yang telah ditingkatkan lebih jauh.dapat dipercepat dengan pengalihan kepada BKPM, di mana proses permohonan dan persetujuan sedang mengalami reformasi besar. Selain itu, BKPM adalah “ujung tombak” untuk bertemu dan menarik FDI, yang memerlukan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam tentang perencanaan energi – tentang pertimbangan pasokan dan kebutuhan. Kendali atas kepentingan batu bara telah beralih dari kepemilikan berbasis asing tradisional sebelum 1997, ke industri yang dimiliki dan dikendalikan oleh pihak-pihak dalam negeri, yang dilengkapi oleh beberapa investor asing baru, termasuk yang berasal dari Cina, dengan peningkatan efektivitas yang nampak jelas dari lobi batu bara versus sektor minyak dan gas bumi yang masih didominasi oleh investasi asing tradisional. Akan tetapi, semakin meningkatnya pemahaman umum tentang peran emisi dalam mendorong perubahan lingkungan global telah mengakibatkan adanya pergeseran prioritas dan hal-hal penting di antara sumberdaya energi. COP 21 akan menjadi peluang bagus untuk kerjasama dunia yang terkait dengan emisi, dan Indonesia secara politis dapat mengambil sikap proaktif terkait pemanfaatan gas. Pasar tradisional seperti Eropa semakin melemah, sedangkan Amerika Utara, melalui revolusi pasokan energi (shale oil dan gas), siap untuk mengendalikan pertumbuhan gas dan petro-kimia yang terkait dengan gas. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya penguatan posisi geopolitik Amerika Utara dalam kaitannya dengan sumberdaya gas. Negara-negara di Timur Jauh nampaknya siap untuk mendominasi peluang pertumbuhan di seluruh dunia, karena usaha untuk meningkatkan standar hidup memicu kegiatan ekonomi di negara-negara di Timur Jauh. Indonesia, khususnya, siap untuk merebut manfaat dari pembuatan keputusan berdasarkan pada nilai ekonomi terbesar untuk negara secara keseluruhan (“Kepentingan Umum”) dan telah mengambil langkah tegas dalam menangani pengalokasian aplikasi bernilai tambah. Energi terbarukan berjuang untuk mendapatkan peran lebih besar dalam bauran energi, namun biaya dan proses pemanfaatan masih belum ada. Memadukan mimpi terbarukan ke Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
dalam aspirasi dalam negeri Indonesia dan internasional memerlukan sistem pengendalian dan keseimbangan (checks and balances) atas realitas dan transisi jangka menengah untuk mencapai sumber daya energi yang terbarukan. Kajian ini berpendapat bahwa bahan bakar fosil akan diproduksi dan dipergunakan dalam jumlah yang semakin besar dalam waktu mendatang yang diperkirakan – sekurangkurangnya beberapa dekade. Sumberdaya gas Indonesia menawarkan nilai yang bagus dan memberikan transisi yang sempurna menuju zaman dominasi energi terbarukan. Dengan demikian, kegagalan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan sumberdaya gas berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia – sebagai pemilik sah dari semua sumberdaya negeri ini. Rekomendasi Kebijakan dalam sektor minyak dan gas bumi secara tradisional dikelola terutama oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, dengan peran Kemenkeu yang tidak langsung. Beberapa rekomendasi yang diberikan dalam laporan ini mencakup masalah teknis sektoral dan fiskal. Kemungkinan besar reformasi kebijakan yang logis akan dirumuskan di kedua Kementerian tersebut, dengan koordinasi erat dalam pengembangan reformasi secara bersama. Seperti dijabarkan secara lengkap dalam teks dan dirangkum di bawah ini, beberapa reformasi utama yang melibatkan pertimbangan kebijakan fiskal penting antara lain: (i) langkah untuk meningkatkan eksplorasi lebih lanjut atas gas nonkonvensional, termasuk bidang fiskal yang tepat dan belanja publik yang memadai untuk infrastruktur pendukung eksplorasi; (ii) pertimbangan reformasi desentralisasi fiskal untuk meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah; (iii) perubahan atas kontrak kerja sama, terutama yang terkait dengan bidang fiskal, yang mendasari kontrak tersebut dan yang menjadi permasalahan penting untuk Kemenkeu; (iv) perubahan final atas Rancangan UU Minyak dan gas bumi dan Rancangan Peraturan Pengelolaan Mata Rantai Pasokan Gas – termasuk pertimbangan insentif eksplorasi, pendanaan untuk infrastruktur gas dan pembiayaan, dan peningkatan efisiensi untuk penentuan harga gas dalam negeri melalui pendekatan yang lebih berorientasi ke pasar; (v) reformasi pengaturan kewajiban pasar dalam negeri dan penentuan harga dalam negeri yang menjadi masalah kebijakan ekonomi penting bagi Kemenkeu; (vi) mengkaji pengaturan pasar dan pembiayaan untuk membentuk aggregator gas dalam negeri; dan (vii) saat penting bagi Kemenkeu untuk mempertimbangkan dimulainya Dana Perminyakan Khusus untuk menyediakan pembiayaan yang telah ditentukan untuk mendukung eksplorasi sumber gas konvensional dan nonkonvesional di masa depan. 1. Memperluas langkah untuk mempermudah eksplorasi dan eksploitasi sumber gas non-konvensional, seperti CBM: a. Peraturan Tepat-Guna: Saat ini peraturan tentang CBM masih sama seperti yang dipergunakan untuk minyak dan gas alam konvensional. Selama beberapa tahun, para pengembang CBM telah meminta agar peraturan tepatguna dikeluarkan, karena lebih banyak sumur CBM yang perlu dibor dibandingkan sumur minyak dan gas alam konvesional, dan bahwa sumur CBM memiliki karateristik operasional yang berbeda. Akibatnya, agar CBM dapat berfungsi sebagai sumber gas alam yang kompetitif, pengembangan CBM tidak dapat diikat dengan standar peraturan yang sama seperti untuk pengembangan minyak dan gas bumi konvensional. Peluang untuk Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xiii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
mengurangi biaya pengembangan dengan mempertimbangkan karateristik khas CBM, harus dipelajari tanpa, tentu saja, mengorbankan kesehatan dan keselamatan. Dalam presentasi yang dilakukan baru-baru ini di DPR terkait dengan usulan perubahan atas UU Minyak dan gas bumi, Menteri ESDM mengakui perlunya meningkatkan peraturan tentang gas non-konvensional. Namun hal tersebut tidak disebutkan dalam rancangan perubahan UU tersebut yang baru saja diselesaikan (yang dikaji lebih lanjut dalam laporan ini). Perlu diambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa perubahan atas UU Minyak dan gas bumi tahun 2001 secara khusus menangani kebutuhan CBM. b. Meningkatkan Proses Perijinan dan Akses Lahan: Perlu mempercepat dan menyederhanakan proses persetujuan ijin lahan. Layanan satu-atap diperlukan untuk perijinan minyak dan gas bumi, seperti yang ditetapkan dalam Perpres 97/2014 dan mirip dengan apa yang ditetapkan oleh BKPM untuk sektor lain seperti listrik. Perlu juga melakukan deregulasi proses pengadaan dan persetujuan untuk mempersingkat waktu dan mengurangi biaya. c. Meningkatkan Laba atas Investasi CBM: Produsen CBM perlu memiliki akses prioritas ke pasar bernilai tinggi seperti pembangkit listrik dan industri dalam negeri, dan apabila mereka dekat dengan kilang LNG, ke pasar ekspor. Ketentuan fiskal yang lebih baik akan meningkatkan usaha investasi CBM. Ketentuan fiskal yang lebih baik diperlukan karena banyak ladang CBM yang terletak jauh dari pusat kebutuhan, sehingga menimbulkan biaya transpotasi yang tinggi untuk mengirim CBM ke pasar. . 2.
Meminimalisir tekanan yang tak semestinya dari Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah kadang menekan para produsen minyak dan gas bumi untuk memberikan manfaat tambahan sebagai dasar untuk kelanjutan kegiatan operasi mereka, yang dengan demikian meningkatkan biaya usaha. Seperti dibahas dalam Bab 6, pemerintah saat ini telah mengambil langkah untuk mengatasi pengaruh yang tidak semestinya dari pemerintah daerah ini. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa Kepentingan Penyertaan (PI, Participating Interest) dalam blok minyak dan gas bumi menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat seperti yang diinginkan. Pemerintah daerah tidak diperbolehkan lagi untuk menjalin kerja sama dengan investor swasta, apabila mereka diberi PI dalam KKS minyak dan gas bumi yang baru, dan hanya boleh menjalin kerjasama dengan BUMN atau perusahaan investasi yang dibentuk oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah Daerah juga dilarang menggunakan PI sebagai jaminan pinjaman. Peraturan baru tersebut tentu akan bermanfaat, namun Kontraktor Kontrak Kerja Sama perlu mengambil langkah lebih lanjut untuk menangani meningkatnya harapan masyarakat daerah. Salah satu cara untuk membantu penanganan tersebut adalah dengan memastikan bahwa dana CSR yang harus disisihkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama memang dipergunakan untuk proyek-proyek yang menangani kebutuhan masyarakat daerah, apabila memungkinkan. Untuk melakukan hal tersebut mungkin harus melawan tekanan Pemerintah Daerah untuk menyalurkan dana tersebut ke proyek lain yang memberi manfaat lebih sedikit bagi masyarakat daerah. .
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xiv
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
3. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan kontrak kerja sama (KKS) Jenis kontrak utama yang dipergunakan oleh pemerintah untuk eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi, adalah sebagai berikut: -
Konsesi, di mana kontraktor memiliki minyak dan gas bumi di dalam tanah; Kontrak Kerja Sama (KKS), di mana kontraktor memiliki sebagian minyak dan gas bumi setelah dikeluarkan dari dalam tanah; Kontrak Layanan (SC), di mana kontraktor menerima ongkos untuk menyedot minyak dan gas bumi dari dalam tanah; dan Usaha Patungan (JV), di mana Negara membentuk kemitraan dengan satu atau lebih perusahaan minyak dan gas bumi. .
Semua jenis kontrak harus menangani dua masalah utama: cara membagikan keuntungan antara pemerintah dan perusahaan yang ikut serta, dan cara memperlakukan biaya. Tidak mengejutkan apabila setiap bentuk kontrak memberikan keuntungan dan kerugian bagi pemerintah dan perusahaan minyak dan gas bumi swasta, seperti dijabarkan dalam Bab 7. Namun pemerintah telah menyatakan bahwa kemungkinan masih terbuka untuk memasukkan Kontrak Layanan (yang masuk dalam definisi “Kontrak Kerjasama”, seperti ditetapkan dalam UU Minyak dan gas bumi saat ini). Selain itu, survei yang baru-baru ini dilakukan oleh PwC menemukan bahwa para responden survei nampaknya terbuka terhadap model “ketentuan royalti dan pajak” (yaitu Kontrak Layanan) dengan Pemerintah. Karena itu disarankan bahwa pemerintah dan industri perlu membahas pencantuman Kontrak Layanan untuk mempermudah pengembangan minyak dan gas bumi di masa depan. Perubahan atas UU Minyak dan gas bumi 2001 yang diperkirakan dapat memberi ruang untuk mencantumkan opsi Kontrak Layanan, selain Kontrak kerja sama yang masih terus dipergunakan. 4. Mengkaji ketentuan dalam rancangan perubahan atas UU Minyak dan gas bumi, yang dapat menghambat produksi atau penggunaan gas alam. a. Bidang Kerja: Sistem yang diusulkan untuk alokasi lahan sebagai bagian dari perubahan atas UU Minyak dan gas bumi, mungkin akan mengurangi minat perusahaan minyak dan gas bumi (kecuali Pertamina) untuk mengikuti tender lahan baru. Hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan yang dinyatakan dalam rancangan UU untuk “Memastikan minyak dan gas bumi tersedia sebagai sumber energi dan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pengguna akhir dalam negeri, dan juga untuk menjaga ketahanan energi nasional”. Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah untuk memastikan ketersediaan gas produksi dalam negeri dalam jangka panjang agar kebutuhan masyarakat terpenuhi (sesuai UUD), dan menjaga ketahanan energi. Pemerintah perlu mengambil langkah untuk mendorong investasi eksplorasi, dan melibatkan perusahaan minyak dan gas bumi yang siap Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xv
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
mempertaruhkan modal mereka sendiri dalam bidang berisiko tinggi ini. Disarankan bahwa pemerintah perlu mencari umpan-balik (feedback) dari industri untuk menentukan insentif yang diperlukan untuk memastikan ketersediaan gas produksi dalam negeri dalam jangka panjang. b. Infrastruktur Gas : Dengan terbentuknya satu atau lebih Aggregataor Gas, yang akan menjadi SOE, pembangunan infrastruktur mungkin akan tergantung sekurang-kurangnya sebagian pada ketersediaan dana Negara. Perlu ada persyaratan bahwa Aggregator harus mengikuti tender semua proyek infrastruktur, dan larangan atau pembatasan pada SOE ini atau cabang-cabang yang mereka kendalikan untuk mengikuti tender ini. c. Memprioritaskan Pemanfaatan Gas Dalam negeri: Tergantung dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah untuk gas dalam negeri, pemerintah mungkin sebaiknya mempertahankan kebijakan yang memungkinkan banyak bagian dari total produksi gas untuk dijual dan diekspor. Apabila harga gas dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar internasional, maka kemungkinan akan semakin besar untuk mendapatkan dana untuk proyek eksplorasi dan produksi gas yang berisiko / berbiaya tinggi di masa depan, apabila beberapa produksi gas dijual di pasar ekspor. d. Penentuan Harga Gas: Disarankan UU yang diubah perlu memberikan pedoman lebih lanjut terkait cara Kementerian ESDM mengatur dan menentukan harga gas di masa depan, untuk memberi investor kepastian yang lebih besar. 5. Mengkaji rancangan peraturan tentang pengelolaan mata-rantai pasokan gas Rancangan peraturan ini telah dibagikan secara terbatas di awal kuartal tahun ini. Setiap ketentuan utama dalam rancangan peraturan ini juga dibahas dalam rancangan perubahan atas UU Minyak dan gas bumi 2001, dan dampaknya juga telah dianalisis di atas. Namun rincian tambahan dalam peraturan ini benar-benar memerlukan beberapa ulasan lebih lanjut, dan analisis tentang apakah ini dapat mendorong atau menghambat pemanfaatan gas di masa mendatang di negara ini. Ini sangat penting karena rancangan peraturan tersebut akan mengatur kegiatan pengembangan minyak dan gas bumi sebelum pemberlakuan UU Minyak dan gas bumi yang baru. Sesuai dengan rancangan perubahan atas UU Minyak dan gas bumi, rancangan saat ini untuk peraturan tersebut secara efektif membebankan DMO 100% dengan kemungkinan pengecualian yang pasti, seperti ketika pengembangan ladang menjadi tidak layak dari segi komersil dan tanpa peluang untuk menjual beberapa bagian produksi di pasar ekspor. Dampak dari ketentuan ini telah diulas di atas. Peraturan ini juga menetapkan peringkat prioritas beberapa kelompok pengguna gas, dengan gas yang dipergunakan untuk meningkatkan produksi minyak sebagai prioritas tertinggi dan gas yang dipergunakan sebagai bahan bakar industri sebagai prioritas terendah. Hal tersebut mirip dengan peringkat yang sekarang dipergunakan. Namun ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah akan lebih baik untuk memperbolehkan pasokan gas dialokasikan ke setiap pengguna akhir, berdasarkan harga yang siap dibayar oleh setiap pengguna akhir, dibandingkan dengan Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xvi
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
mewajibkan pemerintah untuk mengurus masalah tersebut, untuk memastikan bahwa gas diarahkan ke pengguna yang memiliki nilai tertinggi. Subsidi yang pemerintah ingin berikan ke kegiatan atau kelopmpok konsumen tertentu, mungkin akan diarahkan secara lebih baik, apabila dikirim lebih dekat atau lebih langsung ke penerima manfaat yang diinginkan. 6. Memastikan keseimbangan penentuan harga gas untuk eksplorasi dan produksi, dengan nilai dan keterjangkauan harga gas bagi konsumen. Harga gas harus ditentukan cukup tinggi untuk menarik eksplorasi dan produksi, namun harus lebih rendah dibandingkan dengan yang akan dibayar oleh konsumen untuk sumber energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Rencana Induk Pengembangan Gas 2 (GDMP) mengusulkan mekanisme penentuan harga acuan untuk menciptakan keseimbangan ini untuk gas yang dipasok ke pengguna dalam negeri. Mekanisme penentuan harga acuan ini menyertakan unsur-unsur berikut : -
Gas yang dibeli dari produsen untuk memasok pasar dalam negeri, melalui kontrak yang ditanda-tangani setelah sistem baru ini berlaku (yaitu setelah peraturan baru dikeluarkan), akan ditentukan harganya dengan Harga Acuan.
-
Harga Acuan tidak berlaku bagi gas yang dibeli dari impor (LNG atau gas pipa), dan gas yang dibeli dari produsen untuk memenuhi kontrak penjualan dalam negeri yang ditanda-tangani sebelum berlakunya sistem baru.
-
Harga Acuan akan mencerminkan nilai gas yang dibeli untuk masyarakat Indonesia. Harga ini akan ditentukan setiap tahun oleh Kementerian ESDM, dengan menggunakan rumus yang ditetapkan oleh Menteri. Harga Acuan harus dihitung sebagai rata-rata pengimbang nilai gas yang dipergunakan dalam sektor ekonomi pengguna gas terbesar (dengan mempertimbangkan sekurangkurangnya dua per tiga konsumsi gas dalam negeri). Nilai gas di setiap sektor akan diwakili oleh biaya bahan bakar alternatif yang dipergunakan (atau sumber pasokan alternatif). Estimasi biaya ini dan nilai gas yang dihasilkan akan transparan dan menjadi data yang tersedia bagi publik.
-
Rumus tersebut untuk awalnya dapat menggunakan indek harga alternatif berikut ini: o Industri: Minyak Bahan Bakar (Platts Singapore); o Pembangkit Listrik: Batu bara (ICE Newcastle Coal); dan o Pupuk: Urea Impor: (Granular Urea FOB, Mesir). Menteri ESDM akan menentukan satu Harga Acuan untuk seluruh Indonesia tapi, setelah sekurang-kurangnya tiga tahun, akan menentukan harga acuan tersendiri untuk berbagai daerah (di mana bauran konsumsi jauh berbeda).
2
GDMP disusun untuk Bappneas pada tahun 2014, dengan dana dari Australian Aid melalui Indonesia Infrastructure Initiative Facility (Indii). Dia awal 2015, ESDM memimpin analisis dan perencanaan berdasarkan pada GDMP ini, yang disusun oleh tim konsultan yang dipimpin oleh Petroleum Development Consultants, bekerjasama dengan Economic Consulting Associates, PT Q Energy South East Asia dan firma hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xvii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
7. Membentuk Aggregator Gas Harga Acuan yang dijelaskan di atas dapat dijalankan melalui pembentukan Aggregator Gas. GDMP juga mengusulkan karakteristik dan kegiatan berikut ini untuk Aggregator Gas: -
Aggregator Gas akan membeli gas yang dipasok ke pasar dalam negeri, lalu menjual lagi gas ini ke pengguna dengan harga yang seragam dan yang mewakili rata-rata biaya pembelian gas berdasarkan volume, dengan tambahan margin untuk menutupi biaya Aggregator. Harga ini menjadi rata-rata tertimbang dari gas yang dibeli dari produsen menurut mekanisme Harga Acuan Gas yang baru, dan gas yang dibeli dari produsen dan yang tidak tunduk pada ketentuan Harga Acuan Gas yang baru (yaitu, yang memiliki kontrak yang ditanda-tangani bersama pengguna akhir dan yang berlaku sebelum mekanisme baru ini dijalankan).
-
Pengguna akhir yang membeli gas dari Aggregator bertanggung-jawab atas biaya penyaluran dan distribusi gas.
-
Apabila volume gas yang dibeli dari produsen tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pengguna gas, maka Aggregator dapat menjalankan kontrak dengan importir gas. Biaya pembelian seperti ini akan dicantumkan dalam rata-rata tertimbang dari biaya gas.
-
Apabila volume gas yang dibeli dari produsen melebihi kebutuhan pengguna gas dalam negeri, maka Aggregator dapat menjual gas ini ke pasar ekspor.
-
Menteri ESDM dapat menunjuk satu Aggregator untuk seluruh Indonesia, atau dua atau lebih Aggregator untuk melayani berbagai daerah. Dalam kasus yang disebut terakhir ini, perlu menetapkan pangaturan dan harga transfer gas ke beberapa Aggregator regional yang berbeda, untuk memastikan bahwa pasokan dan kebutuhan gas sudah seimbang.
-
Aggregator akan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di mana semua ekuitas dimiliki oleh Negara dan dijamin oleh Pemerintah Indoneisa (untuk memberikan kepastian bagi para KKS bahwa Aggregator patut dipercaya). Disarankan bahwa BUMN ini merupakan bentukan baru untuk menghindari konflik kepentingan. .
-
Para anggota Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dari Aggregator harus independen atau lepas dari semua produsen dan pengguna gas di Indonesia untuk memastikan kesetaraan perlakuan.
8. Membentuk Dana Perminyakan (Petroleum Fund) untuk mendukung kegiatan eksplorasi Banyak negara lain seperti Norwegia, Kanada, AS dan Azerbaijan telah membentuk dana seperti ini, yang berhasil dijalankan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi, terutama melalui pengembangan dan pengumpulan data sumberdaya geologis. Dana yang diusulkan oleh ESDM nampaknya menjadi inisiatif logis, dan merupakan penggunaan secara produktif dari dana yang tersedia dalam bonus tanda-tangan (signature Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xviii
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
bonuses) yang diterima oleh ESDM dari peserta tender yang berhasil memperoleh lahan KKS baru. Disarankan juga untuk memfokuskan belanja pada survei geologis di daerah perbatasan. Apabila hasil survei ini tersedia bagi industri, maka hal tersebut akan secara umum dapat membangkitkan minat untuk eksplorasi di perbatasan dan, apabila ada prospek dan arahan dari survei ini, maka persaingan akan semakin besar di bidang ini. Pembahasan telah dilakukan selama dua tahun terakhir, tentang isi UU Minyak dan gas bumi 2001 yang telah diubah, dan telah menyarankan agar dibentuk dana Perminyakan secara khusus berdasarkan UU baru ini. Akan tetapi, rancangan perubahan atas UU tersebut tidak menyebutkan hal tersebut. Disarankan versi akhir dari perubahan atas UU tersebut memberikan ruang untuk Dana Perminyakan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xix
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
1. Pendahuluan Makalah Pembahasan ini, tentang Opsi Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Peningkatan Produksi dan Pemanfaatan Gas Alam di Indonesia (Makalah ini), bertujuan untuk mengkaji pengaturan fiskal yang ada untuk segmen hulu dan hilir dari industri gas alam, dan untuk mengusulkan reformasi kebijakan fiskal. Pekerjaan ini membantu dalam identifikasi manfaat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang potensial, berdasarkan pada peningkatan pemanfaatan gas alam, dan untuk membuat rekomendasi fiskal dan kebijakan lain untuk mendukung realisasi manfaat tersebut.
Tanggung-jawab pemimpin adalah mengelola perubahan – bukan meramalkan perubahan
Kajian ini dilaksanakan dan disusun untuk memberikan opsi (alat) kebijakan dan fiskal kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membantu Indonesia dalam menghadapi kondisi pasar energi yang menantang dan cepat berubah, di tingkat dalam negeri dan global. Adanya fleksibilitas untuk menanggapi, menyesuaikan dan mengelola perubahan seperti saat ini, bermanfaat untuk mempersiapkan keunggulan kompetitif bagi Indonesia.
Terdapat beberapa kejadian dan masalah penting yang menjadi latar-belakang penting untuk makalah ini termasuk yang telah terjadi atau yang menjadi penting sejak awal penulisan Makalah ini, antara lain: 1. Penurunan 50% dari nilai pasar minyak mentah, dan akibatnya penyesuaian dalam hubungan nilai energi terkait – masih berlangsung; 2. Pengukuhan pemerintahan yang “reformis” di Indonesia dengan misi yang jelas untuk mengembangkan transparansi dalam sektor energi; 3. Pengurangan besar-besaran dalam subsidi produk perminyakan; 4. Perlunya memaksimalkan ketersediaan pendapatan pemerintah dari gas alam selama jangka menengah dan panjang; 5. Keperihatinan yang terus ada terkait hasil emisi selama 2014, dan semakin banyaknya suara tentang hidrokarbon “lepas” – terutama batu bara dan beberapa gas alam3; dan 6. Indonesia perlu menyusun “kontribusi yang ditentukan secara nasional yang diinginkan” (INDC) untuk COP 21 yang akan diselenggarakan di Paris pada bulan Desember 2015. 3http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-30709211
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
1
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Bagian lain dari Makalah ini dijelaskan sebagai berikut:
Bab 2 berisi analisis situasional terkait sektor gas alam; Bab 3 mengkaji masalah peraturan perundang-undangan, termasuk insentif pajak; Bab 4 menyoroti masalah kebijakan strategis; Bab 5 menjelaskan hambatan kemajuan; Bab 6 memberikan kesimpulan dan rekomendasi; dan
Lima lampiran pendukung memuat penyempurnaan lebih lanjut terkait: (i) emisi, (ii) kajian kasus produksi energi, (iii) efisiensi energi, (iv) peraturan tentang minyak dan gas bumi; dan (v) kajian kelayakan untuk proyek LNG skala kecil untuk Kawasan Timur Indonesia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
2
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
2. Analisis Situasi Untuk menentukan konteks dan menentapkan dasar reformasi di masa depan, bab ini mengkaji secara bergiliran: (i) pertimbangan emisi; (ii) permintaan energi; (iii) pasokan gas; dan (iv) infrastruktur gas.
2.1
Pertimbangan Emisi 4
Evaluasi emisi ini difokuskan pada pembentukan CO2. Seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1, gas adalah emiten paling ramah di antara semua hidrokarbon. Tabel 2.1: Faktor Emisi Pembakaran5 Faktor Emisi – Absolut (kg CO₂eq / MMBTU) Batubara*
103
Gas alam
59
LNG
68
Solar
78
* Yang dipergunakan dalam analisis kajian ini adalah Batubara sub- bituminous
Proyeksi emisi dari sumber energi Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2-1. Dominasi batubara dalam produksi emisi nampak jelas, karena CO2.adalah produk konsumsi batubara yang diakui di mana-mana.
4Emisi
seperti disebutkan di sini adalah angka aktual sampai dengan 2013, berdasarkan pada proyeksi DEN 2014 terkait bauran energi untuk 2014-2050. Rincian tambahan tentang situasi Indonesia terkait emisi, diberikan di Lampiran 1. 5
Faktor emisi diambil dari IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Analisis dalam kajian ini menggunakan asumsi batubara sub-bituminous dengan faktor emisi batubara sebesar 103.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
3
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-1 PROYEKSI EMISI DARI SUMBER ENERGI INDONESIA
Sumber: Oak Ridge National Laboratory
Dalam Gambar 2-2 proyeksi yang sama untuk emisi Indonesia disusun berdasarkan pemanfaatan sektoral, yang menunjukkan tingkat kepentingannya dengan urutan pembangkit listrik, industri dan transportasi. GAMBAR 2-2: PROYEKSI EMISI INDONESIA MENURUT SEKTOR
Sumber: Oak Ridge National Laboratory
Apabila dibandingkan dengan emisi absolut dari 20 perekonomian terbesar dunia, emisi absolut Indonesia relatif sedikit, seperti ditunjukkan dalam gambar 2-3. Akan tetapi, dengan estimasi pertumbuhan ekonomi yang dibuat Pemerintah Indonesia sampai dengan tahun 2050 dan populasi yang besar, Indonesia perlu bersikap agresif dan proaktif dalam pengelolaan emisi, yang diharapkan tumbuh besar seiring berjalannya waktu. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
4
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-3: 20 NEGARA PENGHASIL EMISI TERBESAR
Sumber: EIA
Dua pertimbangan penting telah ditentukan dalam analisis proyeksi emisi Indonesia: (i) peran positif dari energi terbarukan; dan (ii) ketergantungan Indonesia pada batubara, yang masih berlanjut. 2.1.1 Peran Energi Terbarukan Dalam menganalis proyeksi emisi Indonesia, dorongan yang agresif untuk penggunaan energi terbarukan merupakan hal yang sangat penting. Kombinasi energi panas bumi, air, matahari dan biosolar diperkirakan akan tumbuh cepat dan mencapai 23% dari bauran energi sampai dengan tahun 2025, dan 31% sampai dengan tahun 2050 (lihat Gambar 2-4). Akan tetapi, keyakinan tentang pertumbuhan energi terbarukan ini berlawanan dengan hasilnya sejak tahun 2005, ketika PP No.5/2006 mentargetkan pertumbuhannya sebesar 17% sampai dengan tahun 2025. Hasil aktual memberikan pertumbuhan kecil sebesar 2%; dengan energi terbarukan memberikan 4,25% dari bauran energi pada tahun 2012. Pembahasan lebih lanjut tentang peran energi terbarukan disajikan dalam bagian tentang Permintaan Energi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
5
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-4: BAURAN ENERGI INDONESIA
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN
2.1.2 Peran Batubara Berdasarkan kontribusi pemanfaatan batubara pada emisi dunia, lihat Gambar 2-5, sumber energi pencemar terberat ini sekarang semakin diperhatikan oleh negara-negara dan ilmuwan dunia. GAMBAR 2-5: EMISI DUNIA BERDASARKAN SUMBER ENERGI
Sumber: Oak Ridge National Laboratory
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
6
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Amerika Serikat telah mengeluarkan standar yang ketat untuk emisi baru, yang telah menimbulkan dampak yang nyata pada pemanfaatan batubara dan pembangkit listrik berbasis batubara. Pembangkit litsrik berbasis batubara terakhir dioperasikan pada tahun 2012, dan rencana terkini tidak mencantumkan adanya fasilitas baru. Cina, emiten terbesar dunia dan banyak bergantung pada batubara, untuk pertama kalinya berjanji memperkecil emisi di “sekitar” tahun 2030. Masalah emisi Cina terlihat langsung, seperti ditunjukkan dalam persiapan untuk dan pelaksanaan pertemuan APEC pada tahun 2014, di mana cara jangka pendek seperti pembatasan lalulintas harian secara ketat dan penangguhan jam operasi pabrik diberlakukan untuk mengurangi polusi udara, sebagai langkah antisipasi selama pertemuan tersebut. Peran batubara dalam profil emisi Indonesia ditelisik secara lebih rinci dalam bagian berikut tentang Permintaan Energi.
2.2
Permintaan Energi
Kebutuhan energi Indonesia dalam Makalah ini didasarkan pada proyeksi DEN tentng pertumbuhan PDB Indonesia, yang disesuaikan dengan sedikit variasi karena asumsi administrasi saat ini untuk APBN sebelum perubahan, yaitu laju pertumbuhan sebesar 5,8%. Untuk periode 2015-2050, laju pertumbuhan gabungan yang dipergunakan adalah 4,97%. Estimasi pertumbuhan ini lalu dikonversi menjadi kebutuhan energi, berdasarkan pada analisis DEN terkait energi yang diperlukan untuk mencapai PDB yang ditargetkan. Komponen bauran energi seperti dijelaskan di sini adalah hasil konsultasi oleh Pemerintah Indonesia dengan pihak yang berkepentingan untuk menentukan tujuan berdasarkan jenis energi. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah sebagai berikut: 1. Pola energi historis, yaitu sebelum munculnya sistem pasokan gas dan batubara, pembangkit listrik dan perusahaan manufaktur bergantung pada solar/minyak sebagai bahan bakar untuk energi, karena kesederhanaan sistem logistik dan pengaruh subsidi sistimatis untuk bahan bakar berbasis minyak; 2. Potensi besar untuk sumberdaya panas bumi dan air dalam survei Pemerintah Indonesia; 3. Sistem perkebunan dan lahan terbuka yang besar untuk mendukung pengembangan sumberdaya bio-massa dan bio-solar; 4. Potensi besar dari limbah padat kota, yang dapat diolah untuk menghasilkan listrik; 5. Besar dan relatif mudah untuk menambang sumberdaya batubara. 6. Sistem pengelolaan pasokan gas, yang belum berpengalaman dan belum dikonsolidasikan, diperburuk oleh infrastruktur yang terbatas dan dominasi mentalitas ekspor, dengan rencana pengembangan sendiri-sendiri yang memberi mandat solusi kasus-per-kasus untuk setiap sumberdaya gas. Pendekatan pengembangan satuper-satu ini mendorong pemulihan sumberdaya gas yang tidak efisien, yaitu umur cekungan yang diperpanjang versus umur cekungan yang efisien secara ekonomis. Penggabungan faktor tersebut menimbulkan beberapa hasil dan pertanyaan dan, untuk perihal ini, pembahasan tambahan ditawarkan dengan topik energi terbarukan, penggunaan batubara dalam pembangkit listrik dan efisiensi energi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
7
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
2.2.1
Permintaan Energi dan Energi Terbarukan
Sifat tanggung-jawab DEN yang abstrak, apabila dibandingkan dengan kekakuan tanggungjawab pengelolaan direktorat sebagai konstituen DEN, menimbulkan kompromi dalam target komponen yang dibuat condong ke kebergantungan yang ditunjukkan pada energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan merupakan “topik hangat saat ini”. Akan tetapi, tanpa jaringan listrik yang dikembangkan dengan bagus untuk menyerap karakteristik dan kekhususan beberapa energi terbarukan, pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan secara efisien dan modal terkait dapat rusak atau bahkan hilang. Keterbatasan jaringan listrik ini dapat menghambat pengembangan fasilitas energi terbarukan, dan membuat sulit untuk mewujudkan skala ekonomi yang memadai dan seluruh potensi sumberdaya. Selain itu, walau Pemerintah Indonesia telah mencapai kemajuan dalam menciptakan sistem peraturan perundang-undangan yang kondusif untuk pengembangan beberapa teknologi seperti mikro-hidro, namun teknologi lain dengan potensi besar seperti panas bumi dan photovoltaics yang terhubung dengan jaringan terus menghadapi hambatan peraturan perundang-undangan. . 2.2.2
Pemanfaatan Batubara dalam Pembangkit Listrik
Kajian tentang komponen pembangkit listrik dalam kebutuhan energi mengidentifikasi peran PLN yang dominan dalam pemanfataan batubara, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-6. Berdasarkan peran PLN sebagai pemimpin dalam produksi listrik, PLN dipilih untuk kajian kasus (lihat Lampiran 2). Dalam beberapa pembahasan atau pembahasan selama beberapa dekade, PLN telah menyatakan pilihannya pada gas. Faktor penghambat utama adalah kurangnya sumberdaya gas yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk dipergunakan oleh PLN, dalam merencanakan tambahan untuk fasilitas pembangkit listrik. Selain itu, dengan pengembangan sektor batubara yang cepat – yang termasuk bebas dari keterlibatan Pemerintah Indonesia – sumberdaya batubara dalam negeri dapat segera tersedia dari industri yang didasarkan pada kontrak pasokan yang berjangka waktu relatif pendek (umumnya lima tahun).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
8
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-6: PEMANFAATAN BATUBARA
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN
Sebagai bagian dari analisis Tim Kajian, dilakukan pemeriksaan atas biaya produksi listrik, yang disesuaikan dengan pendapatan yang diterima Pemerintah Indonesia dari minyak dan gas bumi. Karena Pemerintah Indonesia menerima bagian yang jauh lebih besar dari aliran pendapatan produksi gas, dibandingkan dengan pendapatan produksi batubara, maka terdapat pergeseran nyata dalam biaya relatif untuk menghasilkan listrik, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-7 dan Gambar 2-8. Berdasarkan pada perlakuan setelah pajak dan royalti ini, harga pulang-pokok (break-even) dihitung untuk gas versus batubara masing-masing pada USD 80, USD 65 dan USD 50 per ton. Hasilnya menunjukkan nilai gas sebesar USD 8,60, USD 7,85 dan USD 7,30 – yang memadai untuk merangsang minat eksplorasi dan produksi oleh perusahaan minyak dan gas bumi internasional.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
9
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-7: BIAYA DAN EMISI YANG DIRATAKAN SECARA BRUTO (GROSS LEVELIZED)6
Sumber; Perhitungan Pandawa
GAMBAR 2-8: BIAYA DAN EMISI YANG DIRATAKAN SECARA NETO (NET LEVELIZED)7
Sumber; Perhitungan Pandawa
6
Listrik berbasis gas didasarkan pada gabungan konfigurasi siklus. Listrik berbasis batubara didasarkan pada teknologi superkritis. Batubara 5100 kcal dipergunakan dalam analisis ini. 7 Biaya yang diratakan secara netto (net levelized) menggunakanmencakup biaya bahan bakar, setelah menguranginya dengan bagian dan pajak Pemerintah Indonesia yang harus dibayar oleh kontraktor. Menggunakan biaya bahan bakar yang disesuaikan untuk Pemerintah Indonesia memungkinkan evaluasi Kepentingan Umum di antara alternatif-alternatif bahan bakar.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
10
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
2.2.3
Efisiensi Energi dan Permintaan Energi
Prakiraan DEN tidak mencantumkan estimasi kebutuhan pengurangan energi, yang mungkin dilakukan melalui penerapan langkah efisiensi energi, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-9. Namun dasar pengurangan permintaan energi melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan energi, tidak didefinisikan dengan jelas dalam materi yang ada. Dalam program Bank Dunia Energi Berkesinambungan untuk Semua (SE4ALL), intensitas dan konsumsi energi per kapita dibandingkan antara 40 konsumen energi terbesar. Pemanfaatan energi Indonesia berada di ujung bawah dari skala ini, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-10. Hal yang jauh lebih jelas adalah ketertinggalan Indonesia dalam upaya meningkatkan efisiensi energi, dibandingkan dengan negara lain. Selama jangka waktu 20 tahun (19902010), Indonesia menjadi konsumen energi terbesar ke 14, menurut analisis Bank Dunia. Akan tetapi, apabila dilihat dari penghematan energi kumulatif, Indonesia bahkan tidak masuk peringkat dalam 20 teratas (lihat Gambar 2-11). Langkah efisiensi energi, dan program yang dapat diterapkan di Indonesia, dibahas lebih lanjut dalam Lampiran 3. GAMBAR 2-9: PROYEKSI EFISIENSI ENERGI DARI DEN
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
11
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-10: EFISIENSI / INTENSITAS ENERGI INDONESIA
Sumber: Berdasarkan Indikator Pembangunan Dunia, Bank Dunia, EIA
GAMBAR 2-11: PENGHEMATAN ENERGI KUMULATIF (1990 – 2010)
Sumber: Berdasarkan Indikator Pembangunan Dunia, Bank Dunia, EIA
2.3
Pasokan Gas
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
12
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Sumberdaya gas Indonesia terdiri atas akumulasi konvensional dan non-konvensional (”air dalam”, CBM dan shale gas). Proyeksi ESDM menunjukkan pasokan gas yang memadai untuk kebutuhan dalam negeri sampai dengan 2020, dengan kesenjangan pasokan gas meningkat setelah itu karena permintaan gas meningkat dan pasokan gas konvensional menurun. Produksi sumberdaya gas non-konvensional tidak dicantumkan dalam prakiraan ESDM. Proyeksi dari Tim Kajian memperkirakan bahwa potensi defisit pasokan dalam negeri akan terjadi 3-4 tahun lebih cepat dibandingkan dengan potensi defisit dari ESDM. Defisit pasokan yang relatif kecil ini mungkin dapat ditutup dengan jalan menyesuaikan laju pemulihan untuk sumberdaya gas konvensional, ditambah impor LNG. Namun penyesuaian laju pemulihan untuk sumberdaya gas konvensional akan jauh lebih dapat diterima, apabila produksi sumberdaya gas non-konvesional ditargetkan dan didukung untuk pembangunan di awal 2020an, karena penyesuaian apapun yang dibuat dalam jangka pendek harus diimbangi dalam jangka menengah. Estimasi Tim Kajian untuk pasokan gas dan estimasi DEN untuk kebutuhan sumberdaya gas ditunjukkan dalam Gambar 2-12. Pengembangan Gambar 2-12 dan faktor-faktor utama lain dari kebutuhan dan pasokan, dibahas lebih lanjut di bawah dalam topik latar belakang, titik waktu penting untuk energi, dan infrastruktur gas. GAMBAR 2-12: ESTIMASI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA GAS
Sumber; Perhitungan Pandawa
2.3.1 Latar Belakang Pasokan Indonesia Indonesia telah menjadi produsen sumberdaya gas yang subur, dan pernah menjadi ekspotir LNG terbesar di dunia (~ 25MM MT/yr). Pendapatan ekspor LNG menjadi faktor utama dalam mewujudkan stabilitas, mendanai pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja pada tahun 1980 dan 1990an. Dari fokus ekspor gas pada tahun 1980 dan 1990an, Pemerintah Indonesia menggeser fokus tersebut ke gas untuk pemanfaatan dalam negeri. Kebutuhan mengimpor solar yang semakin mahal mendorong terjadinya pergeseran 180o dalam prioritas, sebagai cara untuk menghindari biaya subsidi yang meningkat cepat selama periode 5-10 tahun (tingkat subsidi Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
13
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
komparatif pada Gambar 2-13). Sentimen yang berubah ini secara fisik didukung dan dijalankan lagi melalui peningkatan pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-14. Inti dan sebagian besar kegiatan produksi dan eksplorasi dalam industri minyak dan gas bumi difasilitasi oleh sejumlah kecil perusahaan internasional, yang mengeluarkan modal investasi dalam jumlah sangat besar untuk proyek minyak dan gas bumi yang berisiko tinggi di seluruh dunia. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2-15, produksi gas Indonesia didominasi oleh kegiatan perusahaan minyak dan gas bumi besar, walau perkembangan terakhir untuk memperkuat peran Pertamina nantinya dapat mempengaruhi sentimen di sektor ini. GAMBAR 2-13: TINGKAT SUBSIDI HISTORIS
Sumber; Kementerian Keuangan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
14
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-14: PEMANFAATAN GAS DALAM NEGERI8
Sumber; Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
GAMBAR 2-15: KEGIATAN UTAMA PERUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
Sumber: SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
8
Ada data untuk semua empat sektor, namun data tingkat pemanfaatan gas dalam transportasi dan sektor lain sangat kecil sekali sampai dengan tidak dapat dilihat dalam grafik. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
15
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dari segi jumlah sumberdaya gas yang tersisa, Indonesia memiliki cadangan sumberdaya terbesar kedua di Asia9, sebagai bagian dari total sumberdaya gas yang ada seperti pada saat ini ditunjukkan di TABEL 2.2.TABEL 2.2 Tabel 2.2: Total Sumberdaya Gas Indonesia, 2014 Gas Konvensional
TSCF
Terbukti
102
Potensial
47
Gas Non-konvensional CBM
453
Shale Gas
574
Namun sebagian sumberdaya gas yang tersisa ini berada di daerah yang jauh dari pusat ekonomi dan populasi, di Jawa seperti ditunjukkan di gambar 2-16: sumberdaya gas yang tersisa di indonesia . GAMBAR 2-16: SUMBERDAYA GAS YANG TERSISA DI INDONESIA 2014
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Indonesia memiliki potensi untuk penemuan tambahan. Dari 60 cekungan (basin) yang telah diketahui di Indonesia, 16 sekarang memproduksi hidrokarbon, 7 memiliki penemuan komersial dan dalam proses pengembangan, 15 memiliki penemuan hidrokarbon yang belum komersial dan / atau “lobang kering”, dan 22 belum dibor dalam proses eksplorasi. (GAMBAR 2-17). 9
Pemilik sumberdaya terbesar pertama adalah Cina, dan yang langsung di bawah Indonesia adalah Malaysia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
16
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-17: CEKUNGAN GAS INDONESIA
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
2.3.2 Saat Penting untuk Pasokan dan Permintaan Energi Apa yang dimaksud dengan Indonesia menghadapi “saat penting” dalam pengelolaan pasokan gas? Hal tersebut berarti bahwa bermacam faktor bersatu padu – yang menghasilkan keputusan dan rekomendasi krusial yang idealnya dijalankan dalam waktu 2 – 3 tahun mendatang. Dan hal ini berarti juga bahwa Pemerintah Indonesia harus berada dalam posisi yang ideal untuk melakukan tindakan yang tepat, dan untuk menuai manfaat dari strategi ekonomi dan geopolitik. Namun perlu disadari bahwa, tanpa tindakan yang efektif, Indonesia tidak akan dapat mewujudkan manfaat strategis dari situasi yang selalu berubah ini dan paradigma baru yang diusulkan. Indonesia dapat berkembang pesat sejak 2008, ketika banyak perekonomian di dunia yang mengalami resesi atau pertumbuhan yang sangat rendah. Akan tetapi, kondisi internasional yang menantang sekarang mempengaruhi Indoneisa, menghimpit perekonomian Indonesia yang banyak ditopang oleh pasar dalam negeri. Realisasi dan profil ekspor barang melambat, atau berkurang, dan persaingan di pasar semakin ketat. Tenaga kerja Indonesia relatif muda dan merupakan pasar konsumsi yang ramai untuk kebaikan mereka sendiri. Namun pekerjaan yang bagus dan kapasitas pendapatan sangat penting dalam mewujudkan potensi aset yang berharga ini. Revolusi dalam akses ke hidrokarbon yang berasal dari sumber shale serta penurunan harga hidrokarbon dunia sampai dengan lebih dari 50%, telah mendorong “tatanan baru” hubungan ekonomi. Indonesia telah memulai gerakan reformasi besar-besaran kedua sejak Presiden Suharto mundur pada tahun 1998. Pelaksanaan paradigma baru ini, berdasarkan pada peningkatan transparansi, akuntabilitas dan dedikasi untuk sumberdaya laut Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
17
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Indonesia10 , menjadi wadah bersatunya “mayoritas diam” dengan mengharapkan adanya peluang yang lebih besar. Sisi buruk yang mungkin timbul dari adanya pertumbuhan kebanggaan pada jati diri bangsa tersebut adalah berkembangnya arus nasionalisme yang kuat, aktif dan vokal serta berpotensi mengganggu dan merusak Kepentingan Umum11 dari sebagian besar warga. Indonesia sedang menyusun rencana untuk memperluas pengaruh ekonominya ke seluruh dunia, dan mewujudkan potensi terkait dengan jumlah penduduknya yang diakui sebagai yang terbesar keempat di dunia. Namun diperlukan pendekatan yang konsisten dan dikembangkan dengan baik untuk manajemen emisi CO2 agar dapat melindungi dan meningkatkan kepentingan Indonesia. COP 21 yang akan diselenggarakan di Paris bulan Desember 2015 merupakan langkah besar dalam proses ini, melalui pengembangan dan komitmen pada Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional dan yang Diinginkan (INDC). Unsur-unsur utama dan pertimbangan inti dari kebijakan tentang pasokan gas saat ini dibahas lebih lanjut dengan topik emisi, proyeksi pasokan gas dan fleksibilitas. 2.3.2.1 Emisi dan Kebijakan Pasokan Gas Semakin banyaknya bukti tentang masalah GRK, melalui riset, kejadian fisik dan meningkatnya kesadaran individu, membuat pengembangan solusi penanganan perubahan lingkungan global menjadi semakin mendesak. Pembahasan terkait tujuan dan metodologi telah dilakukan melalui pertukaran gagasan yang berlangsung selama bertahun-tahun yang memuncak pada COP 20 (Lima) pada tahun 2014, dengan program untuk meningkatkan usaha penanganan perubahan iklim melalui janji masing-masing negara – masih tidak mengikat – yang direncanakan untuk diperkenalkan dalam COP 21 pada bulan Desember 2015. Panggung telah disiapkan pada bulan November 2014 untuk COP 21, dalam pengumuman bersama antara AS dan Cina – dua negara yang bertanggung-jawab atas 45% emisi dunia. AS setuju untuk mengurangi emisi dari tingkat pada tahun 2005 sebesar ~ 25% sampai dengan tahun 2025, sedangkan Cina untuk pertama kalinya setuju untuk memperkecil emisi sampai dengan tahun 2030. Mekanisme penentuan tujuan untuk COP 21 dapat langsung dikaitkan dengan rencana pasokan gas untuk Indonesia. Di satu sisi, pasokan gas adalah emiten yang relatif kecil dan menghasilkan CO2 per unit energi paling rendah di antara bahan-bahan bakar fosil lain. Di sisi lain, koalisi ilmuwan 12 dan aktivis lingkungan menghendaki penangguhan semua pemanfaatan batubara dan gas, dan mendukung perluasan penggunaan energi terbarukan. Kesesuaian dengan analisis kelompok yang disebut terakhir (koalisi ilmuwan dan aktivis lingkungan) akan mengharuskan dilakukannya “pengabaian” atas sumberdaya gas dan 10 Penggunaan fokus kelautan dan munculnya kepentingan internasional memiliki kemiripan dengan tahap awal dalam evolusi Era Majapahit (1293 – 1500). 11 Kepentingan Umum disoroti di seluruh Laporan ini untuk menunjukkan pentingnya analisis pengaruh pendapatan terhadap seluruh kepentingan departemen, yaitu apa yang memberikan aliran pendapatan atau manfaat ekonomi terbesar bagi negara secara keseluruhan. 12http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-30709211
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
18
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
batubara yang ada, yang selanjutnya tidak akan dipergunakan sampai dengan teknologi penangkap-karbon sudah tersedia. Penangkap karbon masih merupakan “pekerjaan” yang sedang dilakukan, dan ada masalah bahwa persyaratan penangkap karbon dapat berarti mengabaikan sumberdaya hidrokarbon selamanya. Namun demikian, dalam strategi pengabaian sambil menunggu adanya sistem penangkap yang layak, terjadi pembahasan aktif dalam kajian ilmiah acuan di atas yang menyoroti pertimbangan emisi regional. Pemeriksaan data yang diterbitkan dari kajian tersebut menunjukkan bahwa daerah timur-jauh memiliki salah satu kapasitas terbesar untuk menyerap emisi dari pemanfaatan gas (lihat GAMBAR 2-18), yang serupa dengan REDD+, manajemen emisi Perubahan Pemanfaatan Lahan (LUC). Atmosfir tidak berfungsi layaknya sistem yang menyatu dan menyebar rata. Oleh karena itu, beberapa kawasan seperti Asia yang sedang berkembang mungkin dapat berdalih bahwa pemanfaatan gas adalah strategi transisi yang diperlukan, sehingga mereka mengurangi kegiatan penangkapan karbon agar tersedia waktu untuk mengembangkan teknologi CSS. GAMBAR 2-18: DISTRIBUSI ENERGI CADANGAN DAN BELUM TERBAKAR SEBELUM TAHUN 2050, TANPA PENANGKAPAN KARBON
GAMBAR 2- juga menunjukkan bahwa, dalam asumsi tertentu, akan ada kapasitas yang 2030% lebih besar untuk penyerapan CO2 dari sumberdaya gas, dibandingkan dengan sumberdaya batubara, di kawasan Asia yang sedang berkembang. Akhirnya, skenario pasokan gas yang agresif sebagaimana yang disarankan memungkinkan Indonesia untuk “tampil sempurna” di Paris. Dengan hasil seperti ini, Indonesia akan berada di posisi untuk “menawar” “surplus” pengurangan emisi atau berpotensi mendapatkan lebih banyak pembiayaan pendukung untuk pengembangan infrastruktur energi – mirip REDD+ dalam manajemen emisi. 2.3.2.2 Masalah Proyek Pasokan Gas Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
19
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Komponen utama pasokan gas di Indonesia adalah sumberdaya gas konvensional dan potensi sumberdaya gas non-konvesional. Setiap tahun Pemerintah Indonesia menerima estimasi sumberdaya konvensional dari operator setiap daerah kontrak, yang menyatakan sumberdaya di awal tahun dengan penyesuaian untuk produksi, penambahan dan pengurangan yang menyertakan klasifikasi, termasuk perubahan atas sumberdaya gas seperti terbukti, berpotensi dan mungkin diambil. Saat ini, tidak ada pengembang sumberdaya gas non-konvesional yang potensial dan yang mengajukan permohonan Pernyataan Komersialitas (Statement of Commerciality) (langkah besar dalam proses pengembangan) dari Pemerintah Indonesia. Konsesi ~ 60 CBM yang paling maju masih dalah tahap awal pengujian, dan memerlukan waktu sekurang-kurangnya 3-4 tahun sebelum produksi komersial dapat dilaksanakan. Sebagian besar perusahaan minyak dan gas bumi besar telah menarik diri dari posisi CBM di Indonesia, karena operator di seluruh dunia menganggap potensi keuntungan (berdasarkan pada ketentuan dan persyaratan Indonesia) tidak memadai untuk modal mereka yang langka. Usaha untuk mendefinisikan potensi berbasis shale di Indonesia juga masih dalam tahap awal. sampai saat ini, empat kajian telah diberikan untuk menentukan estimasi sumberdaya di daerah yang dianggap paling menjanjikan. Akan tetapi, perundingan masih sedang dilakukan terkait ketentuan dan persyaratan untuk pengaturan berbagi produksi, berdasarkan karakteristik khusus dari pengembangan sumberdaya shale. Dengan latar belakang ini, DEN memperoyeksikan gas akan memasok 40% energi Indonesia sampai dengan tahun 2040. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menarik peningkatan pengeluaran dalam jumlah besar untuk eksplorasi, pengembangan dan produksi – untuk mencari sumberdaya gas konvensional dan non-konvensional. Tujuan tersebut dapat berhasil diwujudkan dengan pengembangan sumberdaya gas nonkonvensional yang padat modal atau melalui eksplorasi yang diperluas untuk sumberdaya gas konvensional – atau, tentunya, beberapa kombinasi antara sumberdaya gas konvensional dan non-konvensional. Untuk menemukan sumberdaya gas yang memadai dalam jumlah yang dijelaskan dalam Kajian ini, usaha eksplorasi harus difokuskan pada prospek lepas-pantai dan darat namun dengan prospek lepas-pantai tertinggi, yang berada di laut dalam, sedangkan sumberdaya non-konvensional mendominasi potensi sumberdaya di darat Dalam tiga tahun terakhir, industri membelanjakan lebih dari USD 1 miliar untuk mengebor 11 sumur eksplorasi dan mencari “kunci” ke akumulasi laut-dalam. Semua adalah sumur kering. Proses ini “normal” di daerah perbatasan, karena spesialis eksplorasi mencari kunci geologis untuk membuka daerah, dan peningkatan dalam pencarian ini akhirnya akan memberi pengalaman sukses. Pasokan gas yang diproyeksikan dalam Kajian ini didasarkan pada sumberdaya gas konvensional dan non-konvensional, yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3 yang disesuaikan dan didasarkan pada pengalaman dan penilaian kami 13 . Pencapaian proyeksi sumberdaya gas konvesional ini memang 13
Sumberdaya gas yang diinventarisasi oleh Pemerintah Indonesia menyertakan Kilang Natuna dengan kandungan 70% CO2. Mengingat berlimpahnya penemuan sumberdaya gas yang berbiaya lebih rendah, kami
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
20
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
memerlukan beberapa perubahan kecil, namun proyeksi sumberdaya gas konvesional ini mewakili tujuan jangka panjang yang sangat menantang. Gas komersial pertama diperkirakan akan mulai diproduksi pada tahun 2023 dari sumberdaya gas non-konvensional, dan setelah itu akan tumbuh secara teratur seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11 di atas. Jadual penemuan, pengembangan dan produksi ini menggambarkan target yang ambisius dan memerlukan komitmen besar dari Pemerintah Indonesia. Dengan mencapai tujuan ini - dengan dukungan yang kuat dari Pemerintah Indonesia dan tenaga kerja yang memadai dan penuh dedikasi - Indonesia dakan mendapatkan banyak posisi yang kompetitif dalam perekonomian global, yang dapat menarik banyak investasi untuk eksplorasi minyak dan gas bumi serta untuk industri manufaktur. Selanjutnya, pekerjaan bernilai tinggi akan tercipta, yang mendukung penambahan nilai bagi sumberdaya alam Indonesia. Efek pengali akan memperkuat nilai-nilai ini di seluruh negeri – dengan manfaat tambahan yang memberikan banyak kontribusi untuk pengelolaan lingkungan. Kajian tentang inventarisasi sumberdaya gas Pemerintah Indonesia dan sumberdaya gas yang dipergunakan dalam proyeksi pasokan gas dicantumkan Tabel 1.314. Tabel 2.3: Proyeksi Sumberdaya Gas (2015 – 2050) Gas Konvensional
TSCF
Terbukti
51
Potensial
48
Sub total
99 Gas Non-konvensional
CBM
113
Shale Gas
133
Sub Total
246
menilai bahwa Kilang Natuna tidak akan dikembangkan dalam waktu mendatang. Selain itu, beberapa sumberdaya gas yang masuk dalam inventaris Pemerintah Indonesia terletak di daerah yang dari segi logistik menantang dan mungkin kurang ekonomis apabila dibandingkan dengan penemuan baru yang berbiaya lebih rendah. Akhirnya, inventaris sumberdaya gas yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan Gas Yang Ada (GIP). Umumnya, untuk sumberdaya gas konvensional, laju pemulihannya adalah ~ 80%. Untuk gas nonkonvensional, laju pemulihannya dapat bervariasi dengan dasar ladang-per-ladang, dan laju pemulihan GIP jarang melebihi 50%. Dalam kajian ini, lajau pemulihan sebesar 80% dan 50% dipergunakan masing-masing untuk sumberdaya gas konvensional dan non-konvensional. 14
Selain kebutuhan yang diproyeksikan oleh Pemerintah Indonesia untuk pasar dalam negeri, kontrak ekspor LNG dan gas pipa yang tersisa diperkirakan memerlukan ~ 9 TCF. Tanpa Ladang Natuna, nampaknya Pemerintah Indonesia akan tertantang untuk memiliki pasokan gas yang memadai, apabila semua kontrak ekspor dan konsumen dalam negeri mengambil jumlah yang diproyeksikan oleh Pemerintah Indonesia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
21
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Total
345
Persentase Sumberdaya Pemerintah Indonesia yang Dilaporkan
30%
Profil pasokan gas yang ditunjukkan dan dikembangkan di atas jauh lebih besar dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan gas dari DEN untuk periode 2025 sampai dengan 2045, dan akan menggunakan 66% dari sumberdaya gas konvensional yang diperkirakan oleh Pemerintah Indonesia (lihat Tabel 2). Faktor pendorong pengembangan profil yang agresif ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Skala ekonomi yang bagus dari pengembangan gas, karena investasi awal yang besar dapat menambah banyak kapasitas yang semakin meningkat untuk dana tambahan yang relatif kecil. 2. Penciptaan “cadangan” dan fleksibilitas energi untuk mendukung manajemen analisis dan keputusan opsi oleh Pemerintah Indonesia. . Contoh saat ini adalah 35.000 MW dari fasilitas pembangkit listrik tambahan yang diperintahkan oleh pemimpin Indonesia yang baru untuk dibangun selama 5 tahun mendatang. Tujuan yang diubah ini diterjemahkan menjadi ~ 3,000 MW tambahan dari fasilitas berbahan bakar gas yang PLN akan perlu rencanakan, dibandingkann dengan apa yang ditunjukkan di RUPTL sebelumnya. Sebagian perubahan yang diminta dalam program 35.000 MW dapat dipasang dan dioperasikan dalam kurun waktu tertentu, melalui penggunaan fasilitas berbahan bakar gas. Pembahasan lebih lanjut tentang profil pasokan gas ini diberikan di topik berikut ini tentang Fleksibilitas dan dalam Implikasi Kemenkeu (Bab 3). 2.3.2.3 Gas Dapat Memperkuat Fleksibilitas Pasokan Energi Memproyeksikan dan melaksanakan strategi pasokan gas yang disarankan di Makalah ini akan banyak meningkatkan cadangan dan posisi ketahanan energi Indonesia. Apabila bentuk energi lain melemah dalam profil pelaksanaan yang diperkirakan, atau apabila kebutuhan yang tidak diperkirakan muncul, maka gas akan memiliki fleksibilitas untuk menutup kesenjangan tersebut. . Penambahan 35.000 MW dalam RUPTL tersebut di atas merupakan contoh yang baik tentang kebutuhan energi berbasis gas yang tidak diperkirakan. Pembangunan fasilitas pembangkit listrik berbahan bakar non-gas memerlukan waktu minimum 48-60 bulan, untuk menyelesaikan proses persetujuan lingkungan yang menyeluruh dan mendapatkan peralatan yang tunduk pada satu off construction dan waktu utama yang lama. Untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas, proses lingkungan yang relatif sedikit dan ketersediaan peralatan “di luar rak” menghasilkan fasilitas yang dapat mendukung perubahan tujuan pembangkitan dan operasional dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, Indonesia – dengan akses yang bagus ke pasar timur jauh yang kekurangan energi – dapat menjual volume pasokan gas yang melebihi kebutuhan pasar dalam negeri ke pasar ekspor, jadi dapat memperbanyak macam mitra dagang dan memperluas pengaruh global (geopolitis) melalui ekspor LNG atau jalur pipa. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
22
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dengan fasilitas pembuatan LNG yang masih berfungsi dan menurun nilainya (saat ini dicadangkan atau dioperasikan dengan kapasitas lebih kecil), ditambah jarak pengapalan yang banyak berkurang, sumberdaya gas Indonesia dapat mendapatkan pembeli yang bersedia dari wilayah sekitar dengan harga yang kompetitif dan menambah nilai pada sumberdaya Indonesia. Yang terakhir, proyeksi rencana pasokan energi dengan fleksibilitas yang tinggi akan menjadi faktor penting, dan sering kali menentukan, dalam menarik investasi asing. Pasokan energi jangka panjang yang bersih dan dengan harga yang kompetitif merupakan keuntungan mendasar dalam persaingan memperebutkan investasi. Indonesia, dengan akses yang bagus ke sumberdaya alam dan biaya tenaga kerja yang umumnya lebih rendah, akan mendapatkan semakin banyak perhatian di antara proses intensif energi dan penambahan nilai serta perusahaan yang memilikinya. Pembahasan lebih lanjut dan kuantifikasi potensi manfaat ekonomi dimuat dalam bab tentang Implikasi bagi Kemenkeu.
2.3.2.4 Masalah Infrastruktur Gas Infrastruktur gas di Indonesia pertama kali dibangun pada akhir 1970an untuk mendukung pemanfaatan gas dari pengembangan berbasis minyak regional seperti Pekanbaru, lepas pantai Jakarta dan Balikpapan. Pipa penyaluran gas pertama disusun konsepnya, dilaksanakan dan dioperasikan oleh Ibnu Sutowo, saat menjabat sebagai Presiden Direktur Pertamina, untuk menangkap gas yang dibakar (flared) dari ladang minyak lepas pantai Jakarta dan mengirim gas ke Pupuk Kujang dan Krakatau Steel – dengan demikian membentuk industri pupuk dan baja pertama di Jawa. Penangkapan dan pemanfaatan gas terbakar (flared) untuk membentuk proyek KKS Jawa Baratlaut (ONWJ) / Pupuk Kujang / Krakatau Steel merupakan konsep yaang mendahului waktu dan skalanya mewakili usaha pengurangan emisi kelas dunia di pertengahan 1970an – pemikiran dan kepimpinan yang inovatif untuk konservasi energi. Jalur pipa ONWJ diikuti oleh pembangunan jalur pipa di Jawa Timur; Gresik ke Duri; Gresik ke Singapura; Natuna Barat ke Singapura; Natuna Barat ke Malaysia; Gresik ke Jawa Barat dan Gundih ke Semarang. Penambahan dan perluasan sistem tersebut dilakukan dengan pembangunan FSRU di Teluk Jakarta dan Lampung, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-19.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
23
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-19: INFRASTRUKTUR GAS INDONESIA – YANG TELAH ADA
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Pada saat ini, konversi fasilitas LNG Aceh untuk mendukung impor LNG untuk pasar lokal dan Medan, melalui jalur pipa, sudah mendekati penyelesaian sepenuhnya. Selain itu, jalur pipa dari Gresik ke Semarang, Semarang ke Cirebon dan Kopodang ke Semarang telah diumumkan dalam beberapa kesempatan dan nampaknya sudah semakin dekat aktualisasinya. Yang juga diumumkan untuk evaluasi dan perencanaan adalah FSRU di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Cilacap dan Bali. Sebagai pelengkap untuk hal—hal tersebut di atas, dan dimaksudkan untuk menjadi pedoman pembangunan infrastruktur gas, adalah diterbitkannya setiap tahun Rencana Induk Gas oleh ESDM, sebagaimana yang diperintahkan dalam UU 21 / 2001 tentang Minyak dan gas bumi, yang memberikan garis besar prioritas pembangunan untuk Indonesia. Yang terakhir, dengan bantuan ASEAN, jalur pipa gas Trans-Asean telah dibahas selama dua dekade. Namun proyek besar ini nampaknya masih jauh dari pelaksanaan, karena kepentingan nasional dan keterbatasan pasokan gas lebih penting dari peluang regional. Kumpulan fasilitas yang telah ada dan yang masih direncanakan ditunjukkan pada Gambar 2-20. Penambahan ke fasilitas yang direncanakan ini, juga berbagai sistem lain yang telah dibahas dalam analisis yang tidak begitu formal, bersama-sama akan memiliki dampak strategis potensial untuk manajemen pasokan gas yang dikaji lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
24
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 2-20: INFRASTRUKTUR GAS INDONESIA – YANG TELAH ADA DAN YANG MASIH DIRENCANAKAN
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
25
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
3. Implikasi untuk Kementerian Keuangan Penerapan strategi emisi karbon rendah, dengan fokus pada pengembangan gas, membawa implikasi luas untuk Kemenkeu dan Indonesia, selain pendapatan tambahan yang Kemenkeu harus hasilkan antara USD 685 sampai dengan 3.439 miliar; pengurangan emisi CO2 sampai dengan 7,3 gigaton; investasi modal yang baru sebesar mulai dari USD 623 sampai dengan 1.235 miliar; dan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 275.000 sampai dengan 2050. Selain itu, parameter manfaat ini dipergunakan untuk menghitung efek pengali terkait – efek yang diperkirakan sebesar 1,19 untuk investasi sektor energi dalam Model Input Output Indonesia, sampai dengan 3,20 oleh Forum Ekonomi Dunia, berdasarkan pada pekerjaan di sektor gas non-konvensional15. Implikasi untuk pendapatan Indonesia dari pemanfaatan gas ditangani di bawah ini, dengan memberikan garis besar situasi saat ini, menjelaskan dan memperinci alternatif proyeksi pasokan energi, menguraikan dan memperkirakan peluang Kemenkeu, dan melaksanakan analisis biaya-manfaat.
3.1
Situasi Saat Ini
Dari segi pendapatan minyak dan gas bumi, Kemenkeu menghadapi kurva produksi yang menurun untuk minyak, kurva produksi yang tidak pasti namun berpotensi menurun, dan kebutuhan impor solar dalam jumlah besar yang akan terus meningkat. Produksi minyak mentah turun pada pertengahan 1990an dan secara teratur menurun sejak saat itu (lihat Gambar 3-1). Produksi Cepu, dan beberapa penambahan kecil lain, mungkin dapat menghentikan penurunan ini dalam periode waktu yang pendek, namun tidak ada penemuan penentu-tren atau prospek pengeboran yang dapat menyebabkan produksi minyak mentah Indonesia meningkat. Selain itu, dengan program yang kecil saat ini untuk mendukung kegiatan eksplorasi, nampaknya tidak mungkin pola seperti ini akan terbalik sendiri. Tingkat impor solar telah menjadi sedikit lebih baik karena penggantian solar dengan gas alam. Akan tetapi, penggunaan produk perminyakan termasuk solar, akan terus tumbuh dan ketersediaan gas untuk pengganti tambahan masih terbatas dalam jangka pendek dan meragukan dalam jangka panjang (lihat Gambar 3-2, Konsumsi Energi per Sektor).
15
Energy for Economic Growth – Energy Vision Update 2012, World Economic Forum / IHS-CERA, Geneva, Switzerland, 2012, halaman 15.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
26
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 3-1: PRODUKSI MINYAK MENTAH
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Minerals
GAMBAR 3-2: KONSUMSI ENERGI BERDASARKAN SEKTOR
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
27
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
3.2
Alternatif Proyeksi Pasokan Energi
Secara umum pengembangan pasokan energi memerlukan waktu yang lama. Dalam semua bentuk alternatif energi, tidak sulit untuk menemukan contoh proyek dan kebijakan yang memerlukan waktu 8-10 tahun untuk mendapatkan hasil. Dalam mengelola ekonomi yang secara geografis beragam dengan keterbatasan infrastruktur seperti di Indonesia, perencanaan pasokan energi menimbulkan banyak tantangan dan konflik tersendiri. Ini karena perubahan dalam posisi ekonomi, dan sering dipicu oleh kelompok-kelompok yang bersekutu dengan salah satu atau beberapa entitas pemasok energi. Untuk menyusun proyek yang masuk akal dan konsisten, Tim Kajian menggunakan estimasi energi DEN yang diperlukan untuk memenuhi target ekonomi Pemerintah Indonesia. Estimasi energi secara agregat ini yang diperlukan per unit GDP logis dan konsisten dengan hubungan di seluruh dunia. Walau konsisten dengan pemanfaatan energi per unit standar GDP, estimasi jangka panjang DEN tampak mungkin walau sedikit agresif. Pertumbuhan jangka panjang energi diperkirakan 4,97% sampai dengan 2050, tanpa mempertimbangkan peningkatan efisiensi yang besar oleh industri. Estimasi DEN yang dikeluarkan tahun 2014 telah disesuaikan untuk target terakhir, yang dipergunakan dalam perumusan APBN dan diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun demikian, dengan gerakan harga energi akhir-akhir ini, anggaran yang diserahkan dan proyeksi jangka pendeknya menjadi problematis dalam aspek-aspek tertentu. Di negara dengan ekonomi berbasis sempit dan lembaga yang meiliki struktur yang berevolusi, kejelasan dan tujuan, fokus cenderung pada jangka pendek. Penyesuaian dalam kerangka pemerintahan yang ringkih ini sulit dilakukan. Misalnya, target pertumbuhan GDP yang dikeluarkan tim Pemerintah Indonesia yang baru adalah5,8% untuk 2015. Dalam waktu tiga bulan setelah diumumkan, target 2015 ini dengan sopan dipertanyakan oleh kalangan dalam Pemerintah Indonesia 16 dan pemberi pinjaman multilateral yang memiliki saham dalam pembangunan Indonesia17. Kejadian jangka pendek membawa pengaruh berlebihan pada perencanaa jangka panjang di negara berkembang dan negara industri baru. Seperti disebutkan sebelumnya, kebijakan energi baru memerlukan puluhan tahun atau lebih lama untuk pengembangan dan pelaksanaan. Dengan visi jangka panjang ini, evaluasi rencana pasokan energi Indonesia sampai dengan 2059, seperti dikeluarkan oleh DEN, dipergunakan sebagai dasar untuk analisis alternatif18. Asumsi paling kontroversial menjadi nampak jelas dengan cepat – pemanfaatan energi terbarukan secara luas. DEN menunjukkan bahwa sampai dengan 2050 energi terbarukan 16
Hard to meet growth target: Finance Minister, Jakarta Post, January 23, 2015, halaman 1. President Jokowi’s unrealistic tax target could backfire: WB (World Bank), Jakarta Post, March 19, 2015, halaman 1. 18 Kebutuhan yang mendesak ini untuk menangani rencana energi terbarukan dan, sebagai tambahan, proyeksi batubara dalam hubungannya dengan peluang / kebutuhan gas memaksa pekerjaan yang terkait dengan TOR ini untuk banyak menyimpang dari TOR untuk Kajian ini. 17
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
28
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
akan mencapai 31% dari total energi, hampir 125% lebih besar dibandingkan dengan gas atau batubara. Sebagai contoh, laju historis untuk pengembangan energi yang diharapkan dan aktual dapat dilihat di PP No. 5/2006, di mana pada tahun 2005 energi terbarukan diproyeksikan memberikan 17% dari semua pasokan energi sampai dengan 2025. Pemanfaatan aktual dari energi terbarukan pada tahun 2012 hanya ~ 3%. Mengingat pemanfaatan energi terbarukan secara konsisten telah dialokasikan, bagian yang tidak perlu dari pasokan energi yang diproyeksikan, apabila dilihat dari prespektif historis terkait pola pemanfaatan energi terbarukan sampai dengan 2050, memerlukan evaluasi ulang yang jujur. Perubahan atas proyeksi energi terbarukan dipertimbangkan dalam Makalah ini untuk menentukan kemungkinan kisaran pasokan energi untuk gas alam, dan untuk menyusun rekoemendasi strategi emisi rendah terkait untuk Kemenkeu. Di tingkat internasional, dengan semakin meningkatnya kesadaran bahwa perubahan iklim itu nyata, alokasi investasi dollar yang sulit harus dilakukan dan keputusan harus dibuat. Belanja energi terbarukan telah tumbuh dan mencapai ~ 20% dari investasi energi senilai USD 1,6 miliar pada tahun 201319. Persaingan memperebutkan modal di antara sumber-sumber energi, dan kebutuhan modal pembangunan untuk Indoneisa, menimbulkan tekanan besar pada pengelolaan Neraca (Balance Sheet) negara. Secara tradisional, modal energi diupayakan dari investor asing yang canggih di bidang analisis risiko dan efisiensi energi. Indonesia sangat perlu untuk mempertimbangkan manfaat ini dan mendapatkan solusi Kepentingan Umum yang paling menguntungkan. Di Indonesia di mana banyak masyarakat kecil berada di lokasi yang menantang dari segi logistik dan tidak dapat mendukung sistem listrik yang merata, energi matahari menjadi potensi untuk pasokan energi. Namun pemanfataan “ladang energi matahari” skala dunia yang memberikan listrik ke “jaringan pintar, belum mungkin terjadi dalam jangka pendek dan menengah. Opsi energi terbarukan dengan potensi yang jauh lebih besar adalah panas bumi. Susunan geologi di banyak daerah di Indonesia menyiratkan potensi yang cukup besar untuk listrik berbasis panas bumi. Walau pengembangan energi panas bumi sering lebih mahal dibandingkan dengan sistem berbasis gas, penekanan pada pengurangan emissi mungkin akan menghasilkan metode untuk mewujudkan manfaat emisi dengan skala yang cukup untuk meningkatkan dan mempercepat pengembangan sumberdaya panas bumi. Dengan pertimbangan yang mempengaruhi ini, tujuan yang ditargetkan DEN untuk energi terbarukan dipertahankan untuk 2050. Namun jalan untuk mewujudkan target 31% ini diubah untuk memungkinkan manfaat ekonomi dari energi terbarukan untuk meningkatkan periode pengembangan, yaitu energi terbarukan diproyeksikan tumbuh sehat pada 10% selama 2015-2035. Setelah itu, laju pertumbuhan ditingkatkan agar Indonesia mencapai target 31% sampai dengan 2050. Evaluasi dasar dan asumsi terkait adalah bahwa, setelah dua dekade, teknologi yang berhubungan dengan sumberdaya energi terbarukan akan terwujud dalam generasi 19
World Energy Investment Outlook Fact Sheet, IEA, 2014, halaman 162.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
29
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
pengembangan ke 3, 4, 5 atau bahkan lebih, dan efisiensi eneri yang mendorong pengurangan biaya unit akan membuat energi terbarukan menjadi kompetitif dari segi biaya, atau lebih unggul dari pemanfaatan gas. Gambar 3-3 memberikan pengaruh asumsi ini dan menentukan “kesenjangan” pasokan energi berdasarkan pada proyeksi lebih rendah untuk pasokan energi terbarukan dalam jangka pendek dan menengah. Dasar analisis yang dipergunakan dalam rekomendasi untuk Kemenkeu terkait strategi emisi rendah, akan dijelaskan secara umum dalam pasokan / kebutuhan energi, penentuan harga, parameter pemanfaatan gas dan analisis emisi. GAMBAR 3-3: PROYEKSI ENERGI TERBARUKAN DARI DEN DAN TIM KAJIAN
Sumber: DEN, Pandawa
3.2.1 Pasokan / Kebutuhan Energi Mengingat defisit yang diproyeksikan dalam pasokan energi dari sumberdaya yang terbarukan, pertanyaan pentingnya adalah cara menutup kesenjangan kebutuhan energi ini. Satu-satunya jawaban yang mungkin untuk Indonesia adalah gas atau batubara, dengan kemungkinan untuk menggunakan lebih banyak produk perminyakan (diimpor). Alasan dari pertimbangan produk perminyakan ini adalah bahwa waktu utama yang lama diperlukan untuk eksplorasi, pengembangan, produksi dan pembangunan infrastruktur gas dan batubara. Produk perminyakan akan dipergunakan sebagai cara terakhir dan langkah untuk menutup kesenjangan – yang mahal untuk Pemerintah Indonesia dan dapat merusak perencanaan pengurangan emisi. Karena proyeksi yang agresif untuk kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi, defisit ini menjadi besar. Untuk menutup seluruh defisit ini yang terkait dengan ketersediaan energi terbarukan yang menjadi tertunda, akan memerlukan batubara sebesar ~ 150 TCF atau ~ 8 MMM MT atau kombinasi kedua sumber energi ini, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3-4. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
30
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 3-4: DEFISIT ENERGI YANG DIPROYEKSIKAN
Sumber: Pandawa
Pembahasan defisit ini digabungkan dengan angka pemanfaatan gas dari DEN. Jelas bahwa paradigma baru diperlukan dalam eksplorasi, pengembangan, produksi dan dukungan infrastruktur gas, agar gas memainkan peran aktif dalam mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. Implikasi dari perihal yang sangat penting ini untuk sektor gas akan dibahas lebih lanjut dalam bagian di bawah ini tentang Pemanfaatan Gas.
3.2.2 Penentuan Harga Gas Untuk membantu memahami peran gas yang berevolusi dari segi kelembagaan dalam masa depan Indonesia, maka perlu menangani penentuan harga gas dan pengharapan untuk jangka panjang. Walau penentuan harga gas dalam negeri saat ini dikendalikan dan didorong oleh Pemerintah Indonesia tapi, dalam jangka panjang saat kekurangan pasokan gas telah ditentukan dan menjadi semakin kritis, hubungan dengan penentuan harga gas internasional akan menjadi semakin kuat. Indonesia terus menentukan harga gas dengan dasar kasus-per-kasus, dan nilai di pasar dalam negeri dianggap sebagai berbeda dengan nilai internasional. Perbedaan utamanya adalah keyakinan Indonesia bahwa penjualan gas secara internasional sebagai LNG dapat terus terkait dengan penggantian produk perminyakan oleh negara pengimpor, dengan hargayang mendekati seimbang dengan kandungan pemanas. Menyisihkan beberapa pertimbangan Pemerintah-ke-Pemerintah, perdagangan atau yang lainnya, hari-hari untuk mewujudkan harga LNG yang mendekati harga minyak mentah sudah berlalu. Pasokan gas yang sangat berlebih dari daerah seperti Amerika Utara, Australia, Mozambik, Tanzania, Qatar dan Siberia, dan sejumlah lokasi lain yang menunjukkan potensi penemuan gas, akan memaksa Indonesia untuk mengembangkan pendekatan kompetitif untuk biaya pengembangan, produksi dan transportasi gas. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
31
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dalam perdagangan gas, persaingan ini disebut persaingan gas-vs-gas, di mana nilai gas tidak ditentukan oleh penggantian produk perminyakan namun oleh persaingan dengan sumber gas lain. Pengujian pengaruh persaingan gas-vs-gas ini dapat terlihat saat mengkaji akibat dari penurunan harga minyak mentah sebesar lebih dari 50% di pasar energi AS, lihat Gambar 3-5. Walau pun nilai minyak mentah dan solar menunjukkan penurunan tajam namun nilai gas, seperti disajikan oleh kontrak pertukaran gas Henry Hub, hampir tidak pernah berubah-ubah dari nilai sebelum penurunan nilai minyak mentah. Ini adalah contoh yang bagus dari persaingan gas-vs-gas. Untuk memperluas analisis ini sehingga mencakup posisi pasar Indonesia, pertanyaan pentingnya adalah “apabila ada defisit dalam produksi Indonesia, maka di mana gas harus dicari untuk memasok pasar dalam negeri?” GAMBAR 3-5: HARGA ENERGI UTAMA
Sumber: EIA, Statistik BP
Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari banyaknya permohonan ijin ekspor LNG dari Amerika Utara dan biaya LNG yang diperlukan untuk usaha seperti ini. Tabel 3.1 memberikan gambaran perhitungan harga pro forma dari LNG yang diekspor dari terminal LNG besar di Louisiana, AS. Tabel ini menunjukkan harga Henry Hub sebesar USD 4,00/MMBTU plus USD 0,60/MMBTU untuk transportasi ke terminall dari kilang. (Pada saat Makalah ini diselesaikan, harga Henry Hub berada dalam kisaran USD 2,60 sampai dengan 2,90/MMBTU).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
32
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel 3.1: Penentuan Harga LNG Cheniere20
Sumber: Cheniere
Selain itu, ada ongkos pencairan sebesar USD 3,50/ MMBTU dan ongkos pengapalan sebesar USD 2,50/ MMBTU untuk pengiriman ke Asia. Jadi harga neto gas sampai terminal penerima di Indonesia menjadi ~ USD 10,60/ MMBTU, walau nilai sebesar USD 9,00-10,00/ MMBTU sudah “terdengar” di forum non-formal karena penataan-ulang pasar di AS yang dipicu oleh turunnya harga minyak mentah sebesar 50%. Dengan angka-angka ini yang menggambarkan pasokan baru dan tambahan untuk menutup desifit pasokan gas di Indonesia, batas atas (plafon) harga diperoleh untuk biaya pengembangan gas dalam negeri dan nilai jual. Pertimbangan penting lainnya pada saat mengevaluasi LNG impor untuk pemanfaatan dalam negeri, adalah bahwa Pemerintah Indonesia menerima pendapatan yang sangat kevil dari transaksi ini. Namun apabila sumberdaya gas dalam negeri dapat diproduksi dan dikirim ke konsumen domestrik pada nilai yang sebanding, maka Pemerintah Indonesia akan menerima ~ 65% harga jual dalam “gas yang dibagi” dan pajak perusahaan. Ini pertimbangan yang sangat penting, yang memasukkan konsep penyesuaian kedalam bagian Pemerintah Indonesia untuk menjamin sifat kompetitif gas dalam negeri sambil memberi pendapatan untuk Pemerintah Indonesia. Ada perbedaan pendapat bahwa produksi gas lebih baik ditingkatkan untuk ekspor atau impor. Dalam realitas politik, Kepentingan Umum terbesar untuk Pemerintah Indonesia mungkin berada di suatu tempat di antara aliran pendapatan Pemerintah Indonesia yang terbatas dari impor LNG dan pemanfaatan gas dalam negeri di mana Pemerintah Indonesia memperoleh pendapatan besar. Pertimbangan dapat diberikan pada “batas atas” sebagai proporsi harga internasional yang efisien dan yang, apabila lebih kecil di Indonesia, akan mengurangi sifat kompetitif barang dan jasa Indonesia dengan komponen biaya gas yang besar. “Batas bawah” dapat ditentukan oleh Pemerintah Indonesia terkait seberapa banyak Pemerintah Indonesia bersedia menyerahkan aliran pendapatannya untuk menstimulir pesanan dengan besaran seperti diperkirakan dalam usaha eksplorasi21. 20
http://phx.corporate-ir.net/phoenix.zhtml?c=101667 Sebagai contoh, apabila memungkinkan untuk mengimpor LNG dari Amerika Utara pada USD 10,00/MMBTU, gas Indonesia dapat diproduksi dengan hargadengan hargaUSD 15,38/MMBTU Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 33 21
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Ketentuan dan persyaratan saat ini cukup untuk mempertahankan tingkat eksplorasi saat ini. Stimulir lebih lanjut dapat datang melalui ketentuan yang lebih bagus dan birokrasi yang berkurang. Penentuan nilai-nilai ini berada di luar lingkup Kajian ini. Memungkinkan para pelaku ekspplorasi minyak dan gas bumi untuk membuat pengaturan komersial yang menguntungkan adalah prinsip yang dipergunakan di Arun dan Bontang. Biaya ekonomi gas dan pemanfataannya di pembangkit listrik menentukan harga batas bawah untuk gas; kajian strategis tentang potensi perubahan dalam bagian Pemerintah Indonesia dari pendapatan gas dapat memberikan energi dengan harga yang lebih kompetitif, sambil mengembangkan kue besar (pendapatan total untuk Pemerintah Indonesia) apabila diasumsikan bahwa eksplorasi dan eksploitasi lebih kecil dibandingkan dengan yang diharapkan. Kajian terkait pengaturan pembagian berada di luar TOR Kajian ini jadi masalah ini dibiarkan agak terbuka. Membawa analisi satu langkah lebih jauh, apabila gas ditemukan dengan jumlah lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan dalam negeri, serta kebutuhan keselamatan dan keamanan, maka kelebihan ini dapat diekspor sebagai LNG ke pasar Asia yang besar dan sedang tumbuh, jadi menghasilkan cadangan devisa untuk mempercepat pembangunan Indonesia. Dalam skenario ini, gas Indonesia akan memiliki keuntungan harga yang besar saat fasilitas pencairan Arun dan Bontang menurun nilainya dan memiliki kapasitas tak-terpakai. Jadi, biaya pencairan gas di Indonesia, sampai dengan kapasitas tak-terpakai dari setiap fasilitas, akan sebesar ~90% atau lebih kecil apabila dibanding dengan fasilitas di AS, Selain itu, karena pasar Asia yang besar lebih dekat dari Indonesia, maka biaya pengapalan juga akan berkurang setengahnya (USD1,25/ MMBTU) atau lebih. Gabungan keuntungan ini akan memberi Indonesia manfaat biaya LNG Indonesia di atas LNG Amerika Utara, sebesar ~ 70-75% penghematan modal / pengeluaran, juga memberi Indonesia sumber pendapatan besar lainnya. Selain itu, negara dengan surplus sumberdaya gas yang secara ekonomis dapat dikembangkan dapat menggunakan sumber energi penting ini untuk mendorong, meningkatkan dan memperluas tujuan geopolitik dan menangani proses globalisasi.
3.2.3 Parameter Pemanfaatan Gas Pengakuan atas gas sebagai emiten terendah di antara bahan bakar berbasis hidrokarbon menjadi pendorong strategi emisi rendah. Apabila dinyatakan secara sederhana, lebih banyak gas diproduksi maka akan lebih sedikit emisi yang ditimbulkan, dibandingkan hidrokarbon lain. Aksioma ini juga terbukti benar untuk LNG ekspor, di mana LNG akan apabila Pemerintah Indonesia bersedia menerima USD 0 dari transaksi ini. Apabila memerlukan USD 4,00/MMBTU untuk mengembangkan shale gas di Amerika Utara dan USD 1,50-2,00/MMBBTU sebagai pengeluaran tambahan untuk CBM sebagai komponen gas, maka akan ada margin antara LNG impor dan CBM / shale gas yang sepenuhnya dikembangkan untuk mendukung pengelolaan sistem insentif Pemerintah Indonesia. Kompleksitas analisis yang lebih rinci mendorong penggunaan kemungkinan “di suatu tempat di antara” seperti dipergunakan dalam latihan penyaringan konseptual ini. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
34
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
menggantikan bahan bakar atau batu bara perminyakan, yang keduanya merupakan emiten yang lebih besar per unit energi dibandingkan dengan gas. Namun demikian, sumberdaya batubara Indonesia banyak dan “lobi batubaranya” kuat. Oleh karena itu, beberapa kasus dievaluasi mulai dari pemanfaatan batubara untuk menutup 100% defisit energi karena defisit energi terbarukan, sampai dengan pemanfaatan gas 100% untuk menutup defisit ini. Metodologi ini menghasilkan kisaran hasil yang dapat membantu identifikasi arah dan besaran pergeseran pemanfaatan antara gas dan batubara. Yang terakhir, berdasarkan manfaat “Kepentingan Umum” dari pemanfaatan gas dalam pembangkit listrik versus pemanfaatan batubara seperti dijelaskan di paragraf 2.2.2 dan diringkas pada Gambar 2.8, kasus tambahan dikembangkan dengan menggunakan gas untuk menggantikan 50% kebutuhan pembangkit listrik berbasis batubara. Manfaat dan besaran tingkat pemanfaatan gas yang diproyeksikan akan dijelaskan secara umum dalam pembahasan tentang manfaat pemanfaatan gas dan penjelasan tentang kasus yang dipergunakan untuk analisis.
3.2.4 Manfaat Pemanfaatan Gas Selain pengurangan emisi dari pemanfaatan gas dalam strategi emisi rendah (yang dikuantifikasi dalam bagian berikut), pemanfaat gas menawarkan sejumlah keuntungan tambahan melalui pembangunan infrastruktur dan perluasan ketersediaan gas: 1. Penciptaan pekerjaan secara langsung dan tidak langsung. Perluasan pemanfaatan gas memerlukan penerapan beberapa tingkat ketrampilan yang tinggi, tenaga profesional bernilai tinggi yang memperbesar nilai tambah melalui perluasan sektor layanan – dari operator anjungan minyak (rig) sampai dengan tukang cukur rambut / toko kelontong / penjual makanan. 2. Ketersediaan gas dapat melayani beragam tujuan karena, selain pembangkit listrik, gas dapat dan sering dipergunakan sebagai perantara proses, untuk mengeringkan / memasak dalam usaha manufaktur, untuk bahan bakar transportasi, untuk pencahayaan, untuk pemanas air / masak di rumahtangga dan usaha komersial. Berbagai penggunaan industri yang bernilai tinggi sudah banyak diketahui, seperti di pembuatan keramik dan kaca gelas produk yang dihasilkan memiliki “kejernihan” yang lebih bagus dan nilai lebih tinggi, karena kateristik gas yang membakar secara bersih. 3. Terminal penerima LNG mungkin memang diperlukan berdasarkan logistik untuk lokasi daerah tertentu tapi, setelah masuk dalam jalur pipa, distribusi gas hampir tak terlihat. Jalur pipa dipendam untuk mengurangi “jejak” operasi sekecil mungkin. Keselamatan dan pengendalian sumberdaya jauh lebih unggul dibandingkan dengan hidrokarbon lain yang harus dikapalkan, dinaikkan tongkang atau truk ke lokasi konsumsi dan disimpan di tumpukan atau tangki. Ini membuat biaya inventarisasi dan akuntansi menjadi lebih murah. 4. Menggunakan kompresor dan “memberi ruang” pada segmen jalur pipa gas yang gampang diakses dapat banyak memperluas kapasitas. Perluasan ini biasanya tercapai dengan kebutuhan waktu yang kecil, karena persetujuan lingkungan yang ada dan koridor daerah milik jalan umumnya memadai untuk kebutuhan perluasan. 5. Berbagai sumber pasokan dapat dipergunakan, karena gas umumnya diproses agar bersih sesuai “spesifikasi jalur pipa”, standar yang menghasilkan produk yang dapat diukur dan cocok untuk sebagian besar konsumen. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
35
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
6. Penyaluran dan distribusi gas menawarkan lebih banyak peluang untuk skala ekonomi, karena berbagai macam konsumen dapat menggunakan produk yang sama dan dapat diukur, dengan gerakan jalur pipaa yang memerlukan biaya modal lebih rendaah per unit energi, apabila dibandingkan dengan tongkang, kereta, truk dan kapal. 7. Fleksibilitas yang semakin baik dalam pengelolaan kebutuhan energi dalam negeri jangka pendek dan menengah karena defisit energi alternatif, penuaan (outage) yang tidak diperkirakan, peluang pertumbuhan jangka pendek yang dipercepat dan masalah terkait waktu lain. Sebagai contoh, pembangkit listrik bertenaga gas dapat dipasang di blok kecil atau di fasilitas skala dunia dalam waktu 18-24 bulan. Membangun pembangkit bertenaga batubara atau bentuk energi lainnya umumnya memerlukan waktu sekurang-kurangnya dua kali lebih lama untuk konsep dan pelaksanaannya. 8. Dukungan untuk program yang menemukan sumberdaya gas yang memadai untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri, keselamatan dan keamanan dapat dilengkapi dengan inisiatif efektif biaya untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan menghasilkan semua sumberdaya gas yang layak dari segi komersial. Sumberdaya gas yang melebihi kebutuhan dalam negeri dapat diekspor dan akan memberikan manfaat tambahan. a. Pendapatan tambahan Pemerintah Indonesia, kapasitas untuk memperoleh pinjaman dan akses ke sumberdaya keuangan untuk pendanaan percepatan program pembangunan nasional; b. Pengurangan risiko sumberdaya berbasis gas yang menjadi “ketinggalan zaman”, karena energi terbarukan dan insentif internasional sedikit demi sedikit menggeser pertimbangan pasar; c. Pengaruh geopolitik yang semakin baik dan besar di perdagangan regional dan masalah keamanan, karena negara pengimpor gas akan tergantung pada pasokan energi Indonesia; d. Skala ekonomi yang lebih besar karena biaya eksplorasi dan pengembangan dapat diangsur di seluruh tingkat produksi yang ditingkatkan; dan e. Fleksibilitas dalam mengimbangkan sumberdaya dan kebutuhan dalam negeri yang telah diinventarisasi. Keberhasilan eksporasi sangat sulit untuk diproyeksikan. Perencanaan pasar ekspor gas untuk sukses yang menguntungkan akan meningkatkan efisiensi dengan jalan menurunkan biaya unit dan mempercepat pemulihan modal, menimbulkan fleksibilitas melalui campuran kontrak jangka pendek dan menengah dengan beberapa bagian pasokan gas dicadangkan untuk peluang pasar mendadak (spot market).
3.2.5 Kasus yang Digunakan Sebagai Model Secara keseluruhan, empat kasus terpisah dipergunakan untuk menentukan besaran dan implikasi perubahan arah dari pemanfaatan gas yang semakin meluas. Tiga dari empat kasus ini membahas cara menutup defisit dengan jalan memperpanjang waktu pengembangan pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi (ditunjukkan sebelumnya pada Gambar 3-3). Kasus keempat berusaha menentukan kemungkinan maksimum dari pemanfaatan gas, dengan jalan mengganti batubara dengan gas untuk rencana pengembangan PLN saat ini. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
36
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tingkat permintaan gas berdasarkan berbagai asumsi, ditunjukkan pada Gambar 3-6. Kasus 1 menggunakan asumsi bahwa batubara akan menutup 100% defisit energi terbarukan. Oleh karena itu, pemanfaatan gas yang diproyeksikan akan sesuai dengan proyeksi DEN, yang memungkinkan 24% dari bauran energi pada tahun 2050. Kasus 2 menggunakan asumsi bahwa defisit energi terbarukan akan diimbangi dengan menggunakan bagian gas dan batubara yang sebanding, yaitu 50% : 50% Kasus 3 menggunakan asumsi bahwa gas akan memasok 100% defisit energi terbarukan. Kasus 4 merupakan estimasi Tim Kajian terkait penggantian secara maksimal pembangkit listrik berbasis batubara seperti yang direncanakan oleh PLN. Pembangkit listrik berbasis batubara yang direncanakan oleh PLN, seperti dijelaskan dalam rencana jangka panjang PLN, RUTPL 2015-2024, ditunjukkan pada Gambar 3-7 dengan tren sama yang memanjang dari 2024 sampai dengan 2050. Hasil proses ini konsisten dengan proyeksi DEN untuk pemanfaatan batubara dalam bauran energi sebesar 25% sampai dengan 2050. GAMBAR 3-6: PERMINTAAN GAS DALAM EMPAT KASUS
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN, Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
37
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 3-7: PROYEKSI PEMANFAATAN BATUBARA OLEH INDUSTRI DAN PEMBANGKIT LISTRIK
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN, Pandawa
Berdasarkan proyeksi ini, asumsi dibuat bahwa unit-unit berbahan bakar batubara yang saat ini direncanakan, sedang dibangun dan dilelang akan tetap menjadi bagian dari pembangkit listrik berbasis batubara. Tahun “pemotongan” pada 2020 dipergunakan untuk memperkirakan kurun waktu yang cocok bagi PLN untuk mulai “mengalihkan” beberapa penambahan unit pembangkit listrik berbasis batubara ke unit unit pembangkit listrik berbasis gas, tanpa mengganggu proses perencanaan dan pengadaan PLN. Kebutuhan energi untuk pasokan energi yang ditata-ulang ini ditunjukkan pada Gambar 3-8. GAMBAR 3-8: PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN ASUMSI PENGGANTIAN BATUBARA DENGAN GAS SECARA BERTAHAP
Sumber: Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
38
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Untuk Kasus 4, sebagaimana yang digunakan sebagi model dalam Kajian ini, asumsinya adalah bahwa untuk ketahanan energi, melalui sumber energi berimbang dan dukungan untuk industri batubara yang kuat, pembagian 50 / 50 untuk pembangkit listrik yang “dapat dialihkan” akan dipergunakan, yaitu 50% kebutuhan energi akan dialihkan dari batubara ke gas. Grafik yang menggambarkan modifikasi bauran energi ini ditunjukkan pada Gambar 39. GAMBAR 3-9: MODEL 50% PENGALIHAN KEBUTUHAN ENERGI DARI BATUBARA KE GAS
Sumber: Pandawa
3.2.6 Analisis Emisi Memang emisi CO2 akan dikuantifikasi dalam bagian berikut, namun perlu dicatat bahwa, tanpa memandang energi pengganti yang dipergunakan, gas atau batubara, untuk menutup kekurangan energi terbarukan selama periode Kajian ini, proses ini akan menciptakan tingkat emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi proyeksi DEN untuk energi terbarukan, karena energi terbarukan diramalkan mengeluarkan emisi yang mendekati nol, sedangkan gas dan batubara mengeluarkan CO2.
3.3 Peluang Kemenkeu untuk Mengembangkan Strategi Emisi Rendah Untuk memperoleh manfaat strategi emisi rendah dari pemanfaatan gas, komitmen serius untuk eksplorasi dan pengembangan sumberdaya gas tambahan akan perlu disusun konsepnya dan dilaksanakan melalui pedoman kebijakan dan perpajakan. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
39
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Indonesia akan menghadapi defisit pasokan gas sampai dengan 2020. Sumber gas konvensional saat ini tidak akan dapat mendukung perluasan pasokan energi setalah kurun waktu ini (2020), tanpa penemuan dan pengembangan baru. Sumberdaya gas baru ini dapat diambil dari shale gas dan / atau CBM karena Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi potensi besar dari kedua sumberdaya gas non-konvensional ini. Akan tetapi, mempertahankan tingkat eksplorasi yang ada saat ini dengan pemberian konsesi baru setiap tahun tidak akan memadai. Ini nampak jelas ketika memeriksa sumberdaya gas yang saat ini dipergunakan sebesar ~ 100 TCF, bandingkan dengan sumberdaya gas yang diperlukan untuk mencapai target seperti yang disebutkan di Kasus 1 – 4 sebesar masing-masing 129 TCF, 205 TCF, 181 TCF; and 362 TCF. . Untuk mencapai sasaran pasokan gas yang agresif ini, upaya untuk mengidentifikasi dan lalu mengembangkan sumberdaya gas non-konvensional tersebut harus banyak dipercepat. Namun usaha eksplorasi ini tidak harus dibatasi hanya pada sumberdaya non-konvensional yang ditargetkan. Secara khusus, dari 60 cekungan (basin) yang diketahui di Indonesia, 22 belum dibor dan 15 telah sedikit dieksplorasi dengan beberapa atau bahkan hanya satu sumur eksplorasi. Bahkan cekungan dengan sumberdaya perminyakan yang terbukti dieksplorasi hanya sedikit apabila dibandingkan dengan daerah berpotensi tinggi di negara lain. Keseimbangan pasokan dan permintaan gas dihitung berdasarkan usaha yang ditingkatkan untuk mewujudkan sumberdaya gas dari sumberdaya non-konvensional di Indonesia. Jumlah gas dari formasi CBM dan shale gas juga dapat diambil dari kegiatan di cekungan yang kurang dan belum dieksplorasi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-16. Tanpa memandang sumberdaya, keseimbangan pasokan dan permintaan gas untuk DEN (Kasus 1) dan Kasus lain ditunjukkan pada Gambar 3-10. GAMBAR 3-10: PERMINTAAN DAN PASOKAN GAS DALAM EMPAT KASUS
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, DEN, Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
40
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Kajian ini mendefinisikan perluasan yang diperlukan dari segi kuantitatif untuk mewujudkan pengurangan emisi yang diperkirakan. Ekspolitasi sumberdaya ini akan dibahas dalam topik komitmen modal, aliran pendapatan, penciptaan pekerjaan dan pengurangan emisi.
3.3.1 Komitmen Modal Secara historis, investasi minyak dan gas bumi adalah sekitar 50% dari investasi total di Indonesia (lihat Gambar 3-11). Perincian menurut fungsi untuk modal yang dipergunakan dalam sektor minyak dan gas bumi, ditunjukkan pada Gambar 3-12. Belanja eksplorasi aktual diambil dari bagian yang relatif kecil dari total pengeluaran modal (lihat Gambar 3-13). Untuk memberikan pemahaman pengarah terkait modal yang diperlukan untuk kasus perluasan, biaya historis diramalkan kemungkinannnya (extrapolated) menjadi estimasi modal yang diperlukan untuk tingkat sumberdaya gas yang baru ini (lihat Tabel 3.2), dengan estimasi dalam keempaat kasus berkisar dari USD 623,7 miliar sampai dengan USD 1.3 triliun. GAMBAR 3-11: INVESTASI DI INDONESIA
Sumber: BKPM, SKK Migas
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
41
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 3-12: INVESTASI MINYAK DAN GAS BUMI
Sumber: SKK Migas
GAMBAR 3-13: INVESTASI EKSPLORASI
Sumber: SKK Migas
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
42
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel 3.2: Investasi yang Diperlukan dalam Empat Kasus Kasus
Investasi (USD Juta)
1
623.743
2
828.597
3
1.033.451
4
1.253.538
3.3.2 Proyeksi Aliran Pendapatan Kemenkeu mengumpulkan pendapatan berdasarkan bagian Pemerintah Indonesia dari produksi gas dan kewajiban pajak produsen. Pendapatan historis dari produksi gas ini dan pendapatan yang diproyeksikan dalam APBN terkini ditunjukkan pada Gambar 3-14. GAMBAR 3-14: PENDAPATAN GAS PEMERINTAH, 2007 – 2018
Sumber: Kementerian Keuangan
Proyeksi kedepan22 dalam APBN telah disesuaikan dengan asumsi minyak mentah senilai USD 70/ BBL untuk 2015, namun tetap berdasarkan pada USD 100/ BBL untuk tahun-tahun tersisa (2016 – 2018). 22
Proyeksi APBN untuk periode 2016-2018
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
43
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Harga gas rata-rata saat ini di Indonesia sekitar USD 5.00/ MMBTU, (see TABEL 3.3), dan gas impor (LNGi) from Amerika Utara dapat dikirim ke Indonesia pada ~ USD 10.00/ MMBTU (hanya berbasis biaya, yaitu tidak termasuk ROI). Untuk menunjukkan pengaruh relatif dari gerakan dalam penentuan harga gas, pendapatan untuk Pemerintah Indonesia dihitung dengan menggunakan harga gas rata-rata saat ini (USD 5,00 / MMBTU), nilai menengah untuk mencerminkan kondisi pasar yang berubah dan membantu menstimulir pengembangan sumberdaya (USD 8.00/ MMBTU); dan kasus berdasarkan batas atas yang ditentukan oleh nilai ekonomi dari impor LNG dari Amerika Utara (USD 12.00/ MMBTU). Hasil kumulatif dari proyeksi ini ditunjukkan pada Gambar 315. Pendapatan berkisar dari USD 700 miliar dalam kasus 1 dengan harga gas sebesar USD 5 / MMBTU, sampai dengan USG 3,4 triliun dalam kasus 4 dengan harga gas sebesar USD 12 / MMBTU. Tabel 3.3: Harga Gas Rata-rata di Indonesia Estimasi Harga Gas Rata-rata Tahun USD /MMBTU 2008 3,59 2009 3,93 2010 3,51 2011 3,81 2012 5,33 2013 5,36 GAMBAR 3-15: PENDAPATAN DALAM EMPAT KASUS DAN VARIASI HARGA GAS 23
Sumber: Pandawa
23
Pekerjaan ini berdasarkan hanya pada produksi gas – tidak ada ruang untuk pendapatan batubara di setiap kasus. Selain itu, tidak ada pertimbangan pajak karbon yang dicantumkan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
44
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
3.3.3 Penciptaan Pekerjaan Pelaksanaan kasus yang dijelaskan dalam Kajian ini akan menciptakan peluang kerja yang cukup banyak di bidang-bidang bernilai tinggi. Pengali boilerplate untuk Model Input / Ouput Indonesia menggunakan angka kecil 1,19 kali jumlah input, walau WEC telah menerbitkan laporan yang menunjukkan pengali sebesar 3,2 kali input untuk kegiatan yang berhubungan dengan gas non-konvensional. Prakiraan lapangan kerja baru yang diperlukan untuk memenuhi target sumberdaya gas dalam kasus 1 – 4 telah dibuat berdasarkan pada pekerjaan seperti dilaporkan oleh SKK Migas dalam kaitannya dengan produksi gas terkait, lihat Tabel 3.4. Estimasi ini sama dengan sekitar .105.926 – 275.514 lapangan kerja baru bergaji tinggi per tahun dengan pengali antara ~ 1,2 dan 3,2 – dorongan yang besar untuk ekonomi. Tabel 3.4: Proyeksi Pekerjaan Kasus
Lapangan Kerja Baru yang Tercipta
1
105.926
2
132.734
3
195.419
4
275.514
3.3.4 Pengurangan Emisi Penurunan pemanfaatan energi terbarukan yang diproyeksikan dalam bauran energi Indonesia akan meningkatkan proyeksi emisi di Indonesia, Gambar 3-16 secara grafis menunjukkan emisi yang akan diharapkan, dengan menggunakan batubara dan /atau gas untuk menutup defisit energi terbarukan. Terlihat jelas bahwa penggunaan 31% bauran energi (2050) yang diusulkan oleh DEN untuk energi terbarukan, akan menghasilkan tingkat emisi paling rendah. GAMBAR 3-16: PROYEKSI EMISI TAHUNAN DALAM EMPAT KASUS
Sumber: Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
45
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Apabila model tersebut menggunakan asumsi penundaan dalam mewujudkan ketersediaan energi terbarukan dan menggantikan energi ini dengan batubara, maka akan dihasilkan proyeksi yang menggambarkan profil emisi paling besar dalam kasus yang dipelajari. Seperti dapat dilihat, menggunakan semakin banyak gas dalam bauran energi, seperti dijelaskan dalam Kasus 2 – 4, akan menimbulkan pola penurunan emisi. Apabila dilihat dalam agregat, maka Kasus 1 akan menambahkan ~ 15 gigaton emisi CO2 pada profil Indonesia, sedangkan penggunaan tingkat gas maksimum seperti dijelaskan dalam Kasus 4 akan menambahkan 7 gigaton pada asumsi dasar DEN. Penggantian batubara dengan gas dalam bauran energi DEN akan menghasilkan 8 gigaton pengurangan emisi selama periode kajian (lihat gambar 3-17). GAMBAR 3-1: DIFERENSIAL EMISI DARI BAU (2015-2050)
Sumber: Pandawa
3.4 Analisis Manfaat Biaya Strategi emisi rendah yang efektif untuk pemanfaatan gas akan difokuskan pada identifikasi dan produksi semua sumberdaya gas di Indonesia, secepat mungkin. Peningkatan pendapatan yang diproyeksikan berkisar dari USD 1,3+ triluan sampai dengan USD 9.1+ triliun untuk periode sampai dengan 2050, lihat Tabel 3.6 dan tabel 3.7. Dasar pikiran utama Makalah ini, seperti dievaluasi di bawah, adalah bahwa belanja dana strategis melalui APBN untuk rencana komprehensif untuk mengoptimalkan sumberdaya energi, akan memberikan banyak manfaat bersih. Yang sangat penting bagi pendekatan yang diusulkan tersebut, adalah penggunaan dana senilai total ~ USD 400 juta (dollar saat ini) selama periode 2015 – 2050 (rata-rata hanya USD 11,4 juta per tahun) untuk mendukung evaluasi dan pemasaran sumberdaya gas yang pasti24. 24
Dalam konteks ini, pemasaran berarti potensi eksplorasi daerah konsesi untuk menarik perusahaan minyak dan gas agar menanamkan modal mereka. Belanja yang diperkirakan oleh Kemenkeu didasarkan pada pelaksanaan 2D seismic, 3D seismic dan pemasaran potensi eksplorasi Indonesia melalui saluran promosi eksplorasi tradisional. 2D seismic ditentukan biayanya untuk memberi cakupan setiap 20 km (dalam satu cross hatch) pada biaya sebesar USD 1000/km. 3D seismic mewakili anggaran tahun senilai USD 5 juta untuk
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
46
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Sumberdaya gas yang menjadi target identifikasi tidak dibatasi hanya pada sumberdaya gas yang diperkirakan diperlukan oleh pasar dalam negeri, namun juga menyertakan program yang mempertimbangkan Kepentingan Umum terbesar dalam pemanfaatan energi oleh Indonesia, melalui dokumentasi sumberdaya gas di semua 60 cekungan minyak dan gas bumi yang diidentifikasi oleh MEMR25. Selain itu, belanja senilai USD 400 juta bukanlah komitmen berujung terbuka. Fase awal (lebih intensif) akan memerlukan hanya ~ USD 90 – 100 juta selama periode lima tahun. Berdasarkan hasil program selama lima tahun pertama, usaha dapat diperluas, dikurangi atau dihentikan tergantung Kepentingan Umum Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mulai menjalankan kerangka pendanaan dan administrasi kegiatan ini. Pemerintah baru saja membentuk Komisi Eksplorasi Nasional, yang dimulai oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk meningkatkan iklim investasi, hubungan dengan para pemangku kepentingan serta cadangan minyak dan gas bumi. Komisi ini akan didukung oleh Dana Perminyakan yang mungkin akan dicantumkan dalam anggaran 2016, untuk mendorong kegiatan eksplorasi dan membantu pendanaan lebih banyak pemetaan yang lebih akurat terkait sumberdaya dan cadangan minyak dan gas bumi. Dana ini akan diambil dari pendapatan non-pajak dari produksi minyak dan gas bumi (seperti dana dari bojus tanda-tangan). Menurut Dirjen Minyak dan gas bumi, sumber dana lain juga akan dipergunakan. Saat ini pemerintah mendanai hanya sedikit pekerjaan survei, apabila ada, dan pemerintah bergantung sebagian besar pada data dari Kontrakor Berbagi Produksi dari kegiatan di Wilayah operasional. Karena itu ada banyak lingkup untuk meningkatkan mutu informasi yang diberikan oleh pemerintah, dan yang pasti membantu mendorong perusahaan minyak dan gas bumi untuk ikut serta dalam putaran pelelangan mendatang. Pemerintah memang menerima beberapa dana dari perusahaan yang membeli paket data yang pemerintah keluarkan saat mengumumkan putaran pelelangan baru. Tidak jelas bagaimana dana ini dipergunakan saat ini. Tujuannya adalah untuk mendukung pembuatan keputusan Kepentingan Umum agar dapat memperoleh manfaat maksimal untuk Indonesia, dan untuk mengurangi kemungkinan keputusan mendatang yang mirip dengan apa yang terkait dengan jalur pipa Kalimantan Timur ke Jawa versus FSRU Teluk jakarta, di mana Kepentingan Umum senilai sekitar USD 4 miliar hilang. Bab 4 memberikan pembahasan rinci tentang analisis ini.
meningkatkan pengetahuan dan prospek yang telah diidentifikasi. Yang terakhir, USD 5 juta / tahun disisihkan untuk pemasaran peluang eksplorasi dalam konperensi, kampanye keliling dan tempat lain yang ditargetkan untuk memberikan hasil terbaik bagi Indonesia. 25
Data seismik ini harus dikumpulkan, diproses dan diberikan gratis ke para calon investor. Selain itu, Pemerintah Indonesia memiliki perpustakaan besar untuk data seismik, berdasarkan pada biaya kemungkinan seismik yang dipulihkan dalam KKS historis / yang ada. Data harus juga diinventarisasi untuk memberikan akses gratis ke pihak-pihak yang berkepentingan. Elnusa saat ini mengendalikan data ini, dan cara hak Pemerintah Indonesia ditangani tidak diketahui. Semua data tentang pemasaran daerah baru harus disusun sesuai standar media sosial saat ini untuk memberikaan akses yang luas dan mudah. Pemasaran peluang eksplorasi ini, melalui penyaringan dan penyediaan, adalah hal yang umum dalam pasar eksplorasi dunia. Dalam survei empiris tentang rekanan dalam industri minyak dan gas, data seismik Indonesia yang ada ini dianggap sulit untuk diperoleh dan relatif mahal.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
47
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Selain itu, proyeksi pasokan gas seperti ditunjukkan pada Gambar 3.10 tidak harus dari CBM atau shale gas (seperti ditunjukkan), di mana gambar ini didasarkan pada pencantuman sumberdaya gas yang diidentifikasi oleh MEMR. Namun skenario pasokan gas ini dapat juga didukung oleh penemuan baru, atau sebagian, oleh salah satu dari 50 cekungan. Seperti dijelaskan, pendekatan ini dapat banyak mengubah bauran energi yang disebutkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014 (KEN 2014). Perubahan dan penerapan strategi emisi rendah merupakan suatu jalur tindakan yang berada “di luar bisnis seperti biasanya”, dan sesuai dengan pedoman yang didukung oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan dibahas dalam Tempo. Akan tetapi, pelaksanaan dengan jalur tindakan yang sama sekali berbeda dari KEN 2014 akan menimbulkan tingkat kompleksitas lain, dalam menangani patokan administratif dan birokratis yang ditentukan. masalah ini akan dibahas dalam bagian berikut26. Selain itu, ada peluang tambahan potensial yang sulit dikuantifikasi, seperti: 1. Pengaruh geopolitis yang semakin meluas; 2. Perlindungan dari kemungkinan keusangan sumberdaya gas (pengabaian) karena seluruh dunia menerapkan emisi rendah dengan penggunaan sumberdaya terbarukan; 3. Peluang ekspor LNG untuk sumberdaya gas yang jelas surplus untuk kebutuhan dalam negeri Indonesia dan kebutuhan keamanan; 4. Eksploitasi “surplus” penghematan emisi dengan negara dan sektor swasta melalui mekanisme pajak karbon; 5. Peningkatan peringkat kredit Indonesia (yang mengurangi biaya pinjaman); dan 6. FDI yang semakin luas dan banyak ditarik serta penciptaan pekerjaan terkait. Walau identifikasi surplus sumberdaya gas tetap menjadi kemungkinan yang jelas, namun analisis manfaat dan biaya terbatas pada kebutuhan energi dalam negeri. Dalam analisis ini, variabel utamanya adalah nilai gas (nilai jual), nilai kredit karbon, dan pengali (multiplier) berdasarkan pada investasi dan penciptaan lapangan kerja. Parameter potensi hasil telah ditentukan dengan menggunakan dua skenario – skenario kasus rendah dan skenario yang menggunakan asumsi ke ujung yang lebih tinggi dari hasil yang mungkin diperoleh (Tabel 3.5). Tabel 3.5: Parameter Analisis Manfaat / Biaya Kasus Rendah Tinggi
Harga Gas (USD / MMBTU) 5,00 10,00
Kredit Karbon (USD / MT) 10 40
Pengali (%) 1,19 3,20
Berdasarkan pada parameter ini (ternasuk asumsi harga kredit karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang saat ini berlaku), manfaat neto untuk Indonesia adalah antara 26
Bab 4 tentang masalah Peraturan dan Insentif; Bab 5 tentang masalah Kebijakan Strategis untuk Promosi Gas; dan Bab 6 tentang Hambatan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
48
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
USD 1,3 triliun dan USD 9,1 triliun untuk periode 2015 sampai dengan tahun 2050 (dollar saat ini). Ringkasan rinci diuraikan dalam dua tabel di bawah (Tabel 3.6 untuk kasus rendah dan Tabel 3.7 untuk kasus tinggi), yang mencakup seluruh periode per tahun dan tersedia dalam format yang belum diterbitkan dari penulis.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
49
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel 3.6: Analisis Manfaat / Biaya, Kasus Rendah (USD 000) Dasar
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
Seismik 2D
0
58
58
58
58
Seismik 3D
0
170
170
170
170
0
180
180
180
180
0
408
408
408
408
Biaya Modal Risiko Biaya Seismik
Biaya Pemasaran Total Manfaat Pendapatan Pemerintah Bagian
165.668
403.830
589.394
776.068
976.622
Pajak
34.276
83.551
121.943
160.566
202.060
Bonus Penandatanganan Sub Total
0
2.887
2.887
2.887
2.887
199.944
490.268
714.224
939.521
1.181.569
Lainnya Penggantian Industri27
0
60.061
60.061
60.061
60.061
Pengantian Transportasi28
0
60.061
60.061
60.061
60.061
0 10.460
0 10.460
1.362.003 10.460
2.724.006 10.460
3.599.826 18.382
Gaji Karyawan dikurangi Pajak
47.871
66.178
110.524
156.528
207.548
Pajak Karyawan
12.938
16.545
27.747
39.443
52.279
Batubara
0
205.938
169.890
133.843
66.921
Gas
0
69.731
90.429
111.128
149.554
Pengurangan Modal Pembangkit Listrik (gas vs batubara) Dividen PGN
Pajak Karbon
27 28
Berdasarkan pada penggantian 25% kebutuhan solar yang diproyeksikan oleh industri . Berdasarkan pada penggantian 10% kebutuhan solar yang ditimbulkan oleh sektor transportasi
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
50
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dasar
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
71.268
488.973
1.891.175
3.295.529
4.214.633
67
142.878
197.375
252.164
311.028
Biaya Produksi
13.515
93.048
123.608
154.167
186.999
Penghasilan Karyawan
41.571
59.064
98.504
139.331
184.770
Sub Total
55.153
294.990
419.487
545.662
682.797
Total
326.365
1.274.231
3.024.886
4.780.712
6.078.999
Total Neto
326.365
1.273.823
3.024.478
4.788.227
6.078.591
56
120.066
165.861
211.903
261.368
56.787
390.958
519.360
647.761
785.710
Dasar
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
0
58
58
58
58
Sub Total Pengali (Multiplier) Modal Investor Biaya Pengembangan
Modal Investor Biaya Pengembangan Biaya Produksi
Tabel 3.7: Analisis Manfaat / Biaya, Kasus Tinggi (USD 000) Biaya Modal Risiko Biaya Seismik Seismik 2D Seismik 3D Biaya Pemasaran Total
0
170
170
170
170
0
180
180
180
180
0
408
408
408
408
Manfaat
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
51
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dasar
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
Bagian
331.335
807.660
1.178.787
1.552.135
1.953.245
Pajak
68.552
167.102
243.887
321.131
404.119
0
2.887
2.887
2.887
2.887
399.887
977.649
1.425.561
1.876.154
2.360.252
Industri Substitution
0
100.101
100.101
100.101
100.101
Pengantian Transportasi
0
102.063
102.063
102.063
102.063
0
0
1.362.003
2.724.006
3.599.826
Gaji Karyawan dikurangi Pajak
10.460 47.871
10.460 66.178
10.460 110.524
10.460 156.528
10.460 207.548
Pajak Karyawan
23.197
16.545
28.977
42.737
56.426
0
823.752
679.562
535.371
267.686
Pendapatan Pemerintah
Bonus Penandatanganan Sub Total Lainnya
Pengurangan Modal Pembangkit Listrik (gas vs batubara) Dividen PGN
Pajak Karbon (USD 40/ MT) Batubara Gas
0
278.923
361.717
444.511
598.216
81.540
1.396.074
2.753.458
4.113.829
4.940.377
180
384.210
530.756
678.089
836.377
Biaya Produksi
36.344
250.213
332.390
414.567
502.855
Penghasilan Karyawan Multiplier
78.958
158.828
260.949
364.132
483.590
Sub Total Pengali Modal Investor Biaya Pengembangan
Sub Total
115.482
793.251
1.124.095
1.456.788
1.822.822
Total Total Neto
596.909
3.166.973
5.303.115
7.446.771
596.909
3.166.565
5.302.707
7.446.363
9.133.323 9.132.915
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
52
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Dasar
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
56
120.066
165.861
211.903
261.368
56.787
390.958
519.360
647.761
785.710
Modal Investor Biaya Pengembangan Biaya Produksi
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
53
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Berdasarkan analisis yang telah diselesaikan, plus dan minus strategi emisi rendah ditunjukkan pada Tabel 3.8. Tabel 3.8: Analisis Manfaat / Biaya – Ringkasan Plus dan Minus Plus Pengurangan emisi antara 2.63 dan 7.33 GT
Minus Perubahan pada program yang ada – KEN 2014 dan lainnya yang menyebabkan kebingungan / perlawanan administratif dan birokratis
Peningkatan langsung dalam pendapatan negara untuk mendukung pengembangan senilai antara USD 490.268 juta dan USD 2.36.,252 juta. Mempertimbangkan pengali dan manfaat lain (seperti yang dijelaskan), nilai totalnya berkisar antara ~ USD 1.3+ triliun dan ~USD 9.1+ triliun
Berkurangnya kepastian dalam perencanaan energi karena sumberdaya batubara diidentifikasi secara spesifik, dan sumberdaya gas harus menyertakan program identifikasi.
Penangkapan nilai untuk sumberdaya gas yang mungkin dibiarkan karena standar emisi dunia dan pertumbuhan energi terbarukan.
Perlawanan dari lobi batubara negeri yang kuat
Makin banyak peluang untuk mengurangi subsidi, karena gas dapat langsung dipergunakan untuk pembangkit listrik, tujuan industri (feedstock dan proses) dan bahan bakar transportasi).
Hilangnya nilai beberapa sumberdaya batubara, yang berkelas rendah dan tidak dapat langsung diekspor
Kapasitas ‘tersisa” yang banyak untuk ekspor gas (LNG / jalur pipa) , dan kedekatan dengan negara konsumen gas yang besar dan potensial.
Hambatan nasionalisme pada pengeksporan gas
Pengaruh geopolitik yang semakin kuat, karena negara pengimpor gas dari Indonesia menjadi tergantung pada efisiensi gas dan pengurangan emisi.
Berkurangnya peluang skala ekonomi di sektor batubara
Sistem akuntansi eksisting yang kuat untuk identifikasi pendapatan Pemerintah Indonesia, apabila dibandingkan dengan sistem akuntansi yang “mudah bocor” untuk pendapatan batubara.
Berkurangnya pekerjaan dan investasi modal karena menurunnya kebutuhan batubara dalam negeri. Meningkatkan ekspor batubara dapat mengimbangi minus ini.
Makin banyak pekerjaan bernilai tinggi dengan alih teknologi dan pengali langsung, berdasarkan pada kontribusi gaji untuk ekonomi.
Modal risiko Pemerintah Indonesia menjadi terbuka, dan mungkin peluang komersial tidak ada atau tidak memadai
Potensi perdagangan dalam kredit karbon, karena sistem berbasis batubara yang direncanakan diganti dengan sistem berbasis gas.
Konflik kelembagaan dan peraturan terkait program emisi rendah untuk pengendalian pengembangan gas
berbasis dalam
Peringkat kredit membaik, jadi semakin banyak akses ke modal FDI semakin banyak karena akses yang bagus ke energi berbiaya rendah yang “lebih bersih” Fleksibilitas pemanfaatan energi yang semakin baik karena pemanfaatan gas untuk berbagai macam tujuan, siklus pengembangan yang lebih pendek, kemampuan mengalihkan kedalam atau keluar untuk ekspor. Dukungan untuk perubahan jangka pendek dalam prioritas, seperti program 35.000 MW dan kebutuhan potensial lain yang muncul karena kinerja yang bagus di sektor ekonomi lain dan kebutuhan energi tambahan terkait. Energi yang dapat diukur tersedia untuk dipergunakan di hampir semua sektor, berdasarkan pada pemrosesan di lapangan versus fasilitas berbasis batubara yang spesifiaksinya terbatas
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
54
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
4. Masalah Peraturan dan Insentif29 Kemenkeu adalah penjaga gerbang akuntabilitas fiskal. Pengelolaan yang bertanggungjawab dan inovatif dapat meningkatkan kinerja ekonomi, memperbaiki peringkat kredit karena pengaruh langsung dari menurunnya biaya peminjaman dan semakin menariknya investasi. Kemenkeu yang efektif akan memungkinkan akses ke pengelolaan subsidi, menangani emisi dan memberikan insentif untuk pengurangan emisi secara lebih baik, sambil meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan memastikan bahwa “Kepentingan Umum” Indonesia ditangani dalam kegiatan yang saling melengkapi antar departemen. Masalah pengelolaan kelembagaan dalam pembuatan keputusan Kepentingan Umum adalah masalah yang sulit dalam semua pemerintahan. Sistem khusus Indonesia seperti dijelaskan pada Gambar 4-1 30 untuk konsumen energi terbesar – PLN – menunjukkan betapa kompleknya pengelolaan, koordinasi dan optimalisasi keputusan Kepentingan Umum di antara kepentingan departemen. Potensi tumpang-tindih tanggung-jawab dan peraturan nampak jelas. GAMBAR 4-1: KERANGKA KERJA INDUSTRI PASOKAN LISTRIK
Sumber: PLN31
Salah satu penyebab evolusi prosedur standar ini adalah rendahnya prioritas yang diberikan untuk pengelolaan pasokan gas dalam negeri. Pendorong utamanya adalah kebutuhan devisa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indoneisa pada tahun 70 dan 80an. 29
Latar belakang hukum dan peraturan dijelaskan di Lampiran 5.
30
Energy Nusantara, Joi Surya Dharma, 20 Maret 2015, https://www.facebook.com/joi.dharma/posts/10152819981202198 31 Tambahan terbaru ke angka ini adalah dari BKPM, karena penanganan dan percepatan ijin produksi listrik telah dialihkan ke mereka.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
55
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Mengingat keadaan memaksa ini, Indonesia membangun sistem ekspor LNG yang membuat Indonesia mendominasi pasar internasional sebagai pemasok terbesar dunia. Pemilihan waktu dan proses untuk perubahan atas prosedur historis untuk meningkatkan prioritas pasokan gas dalam negeri, sangat komplek dan dipenuhi tantangan dan kegiatan ini masih dalam masa transisi. Walau investor menyukai tingkat pertumbuhan yang tinggi dari ekonomi yang berkembang cepat, namun jenis perluasan seperti ini sering memerlukan sistem untuk identifikasi dan pelaksanaan prosedur baru agar menjadi kompetitif di tingkat global. Beberapa perangkat yang dipergunakan oleh Kemenkeu untuk mempengaruhi adaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi, dibahas di bawah dengan topik masalah peraturan, insentif pajak dan strategi kebijakan.
4.1
Masalah Peraturan
4.1.1 Konteks Historis gambar 4-1 adalah contoh bagus dari kemungkinan kerancuan peraturan. Secara historis, dan bahkan saat ini, struktur birokrasi Indonesia telah dipertanyakan oleh banyak sektor. Di antara pihak-pihak yang melaksanakan operasi sesungguhnya, banyak masalah penting yang dikemukakan seperti di bawah ini32:
Banyak instansi dan pihak berwenang di tingkat pemerintah pusat dan daerah dilibatkan dalam peratauran, dan proses tidak dikoordinasikan dengan baik; Peraturan yang tumpang-tindih; Sistem peraturan yang tidak disinkronkan; Kurangnya pedoman untuk pelaksanaan peraturaan; Peraturan yang saling bertentangan dan, Oleh karena itu, peraturan yang dikeluarkan oleh instansi administratif tidak disetujui oleh instansi yang memiliki juridiksi peraturan; Ketidak-pastian kebijakan (masa depan yang tidak jelas dari kebijakan pemerintah, yang menimbulkan risiko ekonomi dan pengembangan); dan Peraturan rentan terhadap keterlibatan pihak ketiga.
Dalam kenyataannnya, beberapa perusahaan yang aktif di Indonesia berhasil menerobos masuk melalui labirin peraturan dan prosedur ini, namun dengan mengorbankan tenaga, waktu, efisiensi dan melakukan kegiatan tidak penting lain, karena itu menyerap sebagian nilai bruto yang melekat dalam biaya transaksi – jadi sama-sama merugikan bagi penjual dan pembeli. Dengan menurunnya harga energi dan kedatangan LNG dengan harga kompetitif dari Amerika Utara, masalah seperti Kewajiban Pasar Dalam negeri dan harga gas ekspor yang terkait dengan minyak mentah telah digantikan oleh kepentingan yang lebih fleksibel dalam pemberian kontrak penjualan dalam negeri33.
32
Energy Nusantara, Joi Surya Dharma, March20, 2015, http://us4.campaignarchive2.com/?u=4a14b815fc3cb642eb6dd538d&id=5f1278b89d&e=[UNIQID] 33 Govt, ENI discussing Jangkrik’s commercial aspects, Petrominer, February 18, 2015
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
56
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Kematangan sistem ekonomi Indonesia yang semakin baik umumnya menyisihkan urusan historis terkait nilai gas, risiko negara dan kurangnya jaminan pemerintah untuk pembeli seperti PLN. Pada tahun 2001, saat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh krismon (krisis moneter 1997), UU Minyak dan Gas Bumi yang baru, UU No 22 / 2001, diberlakukan. Ada banyak masukan dari industri dalam UU ini, dan masalah yang dianggap penting bagi perusahaan internasional juga dicantumkan seperti mengeluarkan Pertamina sebagai regulator, alokasi dan penentuan harga gas bisnis ke bisnis, dan menyetujui tarif jalur pipa dari regulator (BPH Migas) berdasarkan pada biaya layanan dengan ketentuan “akses terbuka”. Sistem bisnis-ke-bisnis pada dasarnya diubah bentuknya oleh peraturan pelaksanaan BP Migas (sekarang SKK Migas). Namun biaya layanan untuk transportasi jalur pipa berada di ujung tertinggi dari kisaran biaya, dan akses terbuka dengan sadar berhasil ditunda oleh PGN. 4.1.2 Perubahan atas UU 22 / 2001 tentang Minyak dan gas bumi Kebutuhan mendesak untuk mengubah UU 22 / 2001 dipicu oleh perintah Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa kegiatan Badan Ekskutif di Hulu, BP Migas, bertentangan dengan UUD. Selain itu, kembali ke tahun 2003, Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan bahwa pemerintah harus mengendalikan harga minyak dan gas bumi yang dijual ke pengguna akhir, bukan menyerahkannya kepada pasar. Pemerintah saat ini, melalui ESDM, memperlakukan ini sebagai prioritas tinggi dan memberikan banyak waktu dan sumberdaya untuk menyusun rancangan perubahan atas UU ini, dengan harapan dapat menyelesaikan pembahasannya bersama DPR apabila memungkinkan di akhir tahun ini. ESDM juga telah menyusun rancangan Peraturan Pengelolaan Mata Rantai Pasokan Gas yang akan dikeluarkan dalam waktu beberapa bulan mendatang. Saat ini ada rancangan perubahan atas UU ini, dan peraturan baru tentang manajemen mata rantai pasokan gas sudah tersedia dengan penyebaran terbatas. . Ketentuan utama dalam kedua hukum ini diringkas di bawah, dengan analisis apakah keduanya akan dapat mendukung peningkatan pemanfaatan gas di Indonesia di masa depan, atau keduanya malah menimbulkan hambatan baru dan membatasi pemanfaatan gas di masa depan. Apabila dinilai bahwa hambatan baru mungkin akan tercipta, maka ini akan disebutkan di Bab 7 dengan saran terkait cara membuang hambatan ini. (1) Ketentuan Utama dalam Rancangan Perubahan atas UU Minyak dan Gas Bumi 2001 -Tujuan: Penting untuk mengacu ke tujuan yang ditentukan dalam rancangan ini, karena sampai dengan kini pemerintah belum mengeluarkan Catatan Akademis atau dokumen yang sejenis, yang menjelaskan harapan apa yang ingin dicapai dari pemberlakukan UU yang diubah ini. Tujuan dalam rancangan tersebut meliputi: - Memastikan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi dikendalikan dan dikelola dengan cara yang transparan, sehingga industri ini menjadi kompetitif dan berkelanjutan; - Memasikan bahwa pemrosesan, pengangkutan, penyimpanan, distribusi dan penjualan minyak dan gas bumi dilakukan dengan cara yang kompetitif, adil dan transparan;
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
57
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
- memastikan bahwa minyak dan gas bumi tersedia sebagai sumber energi dan sebagai bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pengguna akhir dalam negeri, dan untuk menjaga ketahanan energi nasional; - Mendukung dan meningkatkan kapasitas nasional agar minyak dan gas bumi dapat bersaing di tingkat nasional dan internasional; dan - Memberikan pendapatan ke Negara, memperkuat industri, menciptakan pekerjaan dan mempertahankan keselamatan, serta melindungi lingkungan. Ketentuan Utama: Hulu - Wilayah operasional (lahan baru untuk eksplorasi dan produksi): akan ditawarkan oleh Menteri ESDM secara langsung ke Pertamina atau ke BUMN-K (Badan Usaha Milik Negara Pelaksana Kerjasama Hulu) yang merupakan perusahaan milik negara dan dibentuk untuk melaksanakan kegiatan minyak dan gas bumi di tingkat hulu secara bekerjasama dengan entitas bisnis. Pertamina akan diberi prioritas pertama untuk memilih Wilayah operasional yang ingin diberikan melalui Ijin Hulu Minyak dan Gas Bumi. Wilayah operasional lainnya untuk BUMN-K akan dilelang, dan pemenang lelang akan mendapatkan Ijin Hulu Minyak dan Gas dan berkomitmen untuk bekerjasama dengan entitas bisnis melalui Kontrak Kerja Sama. - Penjualan minyak dan gas bumi: Semua produksi minyak dan gas bumi akan dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ke Agregator Minyak (Badan Usaha Penyangga) atau ke Agregator Gas, dengan hargayang mencerminkan harga ekonomi dari ladang penghasil. Apabila minyak dan gas bumi tidak dapat dipergunakan di tingkat dalam negeri karena alasan seperti kurangnya infrastruktur atau ladang tidak ekonomis, maka minyak dan gas bumi tersebut dapat diekspor. - Perpanjangan Ijin Minyak dan gas bumi: Masa berlaku awal adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang maskimum sampai dengan 20 tahun. Apabila ada permintaan perpanjangan yang melebihi masa ini, maka Wilayah operasional akan diberikan ke Pertamina (asalkan bagiannya menjadi 100% Milik Negara). Ketentuan Utama: Hilir (Pemrosesan, Pengangkutan, Penyimpanan dan Perdagangan) - Prioritas Dalam negeri / Ketahanan Energi: Pemerintah akan memperioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan menjaga cadangan minyak dan gas bumi strategis. - Agregator Minyak / Agregator Gas: akan memastikan ketersediaan dan kelanjutan pasokan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan akan mengembangkan infrastruktur pendukung. Untuk melakukan ini, Agregator dapat bekerjasama dengan pihak lain. Agregator akan berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Agregator Produk Minyak / Minyak Mentah dan Agregator Gas Alam akan ditunjuk. Tugas utama Agregator Minyak adalah: - Membentuk dan mengelola cadangan produk minyak dan minyak mentah nasional; - Membeli produk minyak dan minyak mentah dari sumber dalam negeri atau dari impor; Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
58
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
- Membangun infrastruktur untuk menyuling, mengangkut dan menyimpan minyak; - Menjual minyak ke konsumen dalam negeri dan pemegang ijin komersial; dan - Membuat agregat harga produk minyak untuk tingkat nasional / regional. Tugas utama agregataor Gas adalah: - Membentuk dan mengelola cadangan gas nasional; - Membeli gas dari sumber dalam negeri; - Membeli LNG dari sumber dalam negeri dan impor; - Membangun infrastruktur gas; - Menjual minyak ke konsumen dalam negeri dan pemegang ijin komersial; dan - Membuat agregat harga gas alam untuk tingkat nasional / regional - Pemrosesan / Penyulingan: Pemegang ijin harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan dapat membeli minyak mentah atau gas alam dari Agregator atau impor. Setelah diproses, produk minyak (Bahan Bakar Minyak), LPG dan gas alam harus dijual ke Agregator. Harga akan ditentukan oleh Menteri ESDM. - Pengangkutan: Pemegang ijin mengangkut minyak dan gas bumi dari Agregator. Pemroses / Penyuling, Penyimpanan dan pemegang ijin Komersial. - Penyimpanan: Pemegang ijin harus berbagi fasilitas di daerah yang terpencil atau daerah yang kekurangan minyak dan gas bumi. - Perdagangan (beli, jual, ekspor, impor minyak dan gas bumi). Pemegang ijin harus membeli minyak dan gas bumi dari Agregator, dan harus menjualnya ke konsumen dengan hargayang diatur oleh Menteri ESDM. - Pengelolaan Gas Alam: Pemerintah akan memenuhi kebutuhan dalam negeri, dengan jalan memprioritaskan pemanfaatan produksi gas dalam negeri, dan juga melalui impor. Kebijakan alokasi akan dirumuskan, yang mempertimbangkan Neraca Gas Nasional tahunan, kebijakan energi nasional, kepentingan umum, cadangan gas, peluang pasar gas, infrastruktur yang ada / direncanakan, ekonomi ladang gas. Pengusaha yang memiliki ijin pengangkutan gas akan diberi segmen penyaluran tertentu dan / atau jaringan distribusi tertentu, yang harus dijadikan akses terbuka dan tersedia bagi semua pengguna jalur pipa gas. Harga gas akan ditentukan oleh Menteri ESDM. - Gas untuk Transportasi dan Rumah-tangga: Pemegang ijin komersial harus mengalokasikan 25% dari total perdagangan mereka untuk memenuhi kebutuhan gas di sektor transportasi dan rumah-tangga. (2)
Analisis Dampak Ketentuan Utama dari Rancangan Perubahan atas UU Minyak dan Gas Bumi pada Peningkatan Pemanfaatan Gas Alam di Indonesia (A) Ketentuan yang Mungkin Mendukung Pemanfaatan Gas Alam - Agregator Gas: Secara seimbang, meskipun terdapat masalahtersebut di bawah terkait pembangunan infrastruktur, hal ini mungkin positif dengan asumsi bahwa Agregator dapat mempercepat komersialisasi cadangan gas, dengan kemampuan untuk mengalokasikan pasokan gas (dari sekumpulan cadangan gas) ke pengguna akhir, secara jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang KKS
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
59
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
dapat lakukan saat ini, dan beroperasi sendiri (serta memperoleh persetujuan dari SKK Migas). (Peran Agregator ditangani lebih rinci di Bab 6 dan 7). (B) Ketentuan yang Mungkin Menghambat Pemanfaatan Gas Alam -
Wilayah operasional: Semua perusahaan minyak dan gas, ditambah Pertamina, akan memperhatikan proses pemberian lahan yang baru ini dan yang membuang transparansi dari proses saat ini untuk alokasi Wilayah operasional baru, dan yang menimbulkan ketidak-pastian terkait cara pemerintah memutuskan daerah yang mana yang akan diberikan ke Pertamina dan ke BUMN khusus (BUMN-K). Seperti disebutkan dalam rancangan, apabila Pertamina diberi pilihan pertama, maka pasti perusahaan lain akan berkurang minatnya untuk bekerjasama dengan BUMN, setelah mengetahui Wilayah operasional yang diberikan kepada mereka kurang begitu menarik untuk ditawarkan. Juga tidak jelas apakah perusahaan swasta dapat menjadi operator dalam KKS bersama BUMN khusus. Secara keseluruhan,inisiatif ini jelas tidak akan membantu memberikan kontribusi ke keberlanjutan produksi gas dalam negeri dalam jangka panjang, yang menjadi prioritas utama pemerintah.
-
Memperioritaskan Pemanfaatan Gas Dalam negeri: Perusahaan hulu minyak dan gas mungkin akan kuatir apabila ruang untuk ekspor gas semakin mengecil, terutama perusahaan yang perlu mendapatkan satu atau dua kontrak ekspor gas untuk memperoleh pembiayaan bagi proyek berisiko tinggi yang besar (Catat: presentasi ESDM sebelumnya tentang perubahan yang diusulkan untuk UU minyak dan Gas, mengacu ke DMO minimum sebesar 25% yang lebih menarik bagi investor, namun ini telah dibuang).
-
Infrastruktur Gas: Karena Agregator bertanggung-jawab mengembangkan infrstruktur, maka tidak jelas peran apa yang akan diberikan ke sektor swasta (apabila Agregatornya adalah Pertamina atau PGN, maka pasti keduanya akan mengalami konflik kepentingan). Tanpa banyak melibatkan sektor swasta, maka laju pengembangan infrastruktur gas akan sangat bergantung pada ketersediaan dana Negara, apabila semua proyek pembangunan infrastruktur diberikan ke BUMN.
-
Penentuan Harga Gas: Walau dipahami bahwa pemerintah perlu menunjukkan pengendalian yang dilakukannya dengan hargaminyak dan gas, seperti diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun kurangnya rincian dalam UU tersebut terkait cara Menteri mengatur harga ini akan membuat investor sulit untuk menentukan kasus usaha yang layak dari segi komersial.
Baru-baru ini, MEMR mengungkapkan bahwa sistem baru sedang dalam proses penyusunan untuk memfasilitasi pengembangan dan penjualan gas. Pada dasarnya, agregator pasokan gas tidak akan “mengumpulkan” sumberdaya gas dan menjualnya dengan harga“campuran” ke konsumen. Dinyatakan bahwa sistem ini mungkin akan dijalankana oleh Pemerintah Indonesia, atau mungkin Pertamina dan / atau PGN atas nama Pemerintah Indonesia34.
34
New body planned to handle gas supply and distribution, Jakarta Post, Maret, 2015, halaman 13
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
60
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Bahkan yang lebih layak diberitakan adalah indikasi dari KemenESDM bahwa peran SKK Migas akan dialihkan ke Pertamina. Hal tersebut menimbulkan siklus yang hampir lengkap ke UU Minyak dan Gas No. 22 / 2001. Berita yang dikeluarkan memberikan garis besar rencana untuk menyerahkan amandemen UU 22 / 2001 ke DPR35. Untuk mewujudkan keberhasilan strategi emisi rendah dengan jalan mendorong pengembangan dan pemanfaatan gas, Kemenkeu harus mengembangkan rencana untuk menemukan jalan melewati masalah-masalah peraturan yang memberi Kemenkeu peran sebagai libero (pembagi bola). Contoh diperlukannya pemikiran ekonomi jangka panjang yang lebih luas adalah pengalaman dalam jalur pipa Kalimantan – Jawa. Pada tahun 2006 BPH Migas menyelenggarakan lelang untuk kontrak pembangunan tiga segmen jalur pipa, yang akan menjadi tulang punggung antara Kalimantan Timur / Tengah yang berprospek cerah dan Semarang, dengan perluasan ke Jakarta dan Surabaya, lihat Gambar 4-2. Kontrak telah diberikan namun pembangunan tidak dimulai, karena proyek ini berdasarkan pada penyaluran gas sebesar ~ 7 TCF, dan BP Migas mengatakan bahwa hanya 4-5 TCF yang tersedia untuk dipergunakan.
GAMBAR 4-2: INFRASTRUKTUR GAS JAWA – YANG ADA DAN DIRENCANAKAN
Sumber: PLN
Pada tahun 2012, FSRU Teluk Jakarta disusun untuk memasok gas ke pembangkit listrik PLN di wilayah Jakarta, sebagai pengganti solar. Diperkirakan proyek bernilai ~ USD 300 juta ini akan memberi Pemerintah Indonesia penghematan sekitar USD 400 – 500 juta 35
Pertamina on a Roll. Tempo, March 29, 2015, page 37
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
61
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
dalam 18 bulan pertama operasinya, karena penggantian solar ini. FSRU ini ditanggung oleh kontrak pasokan gas selama 11 tahun dari Kalimantan Timur, yang mencapai ~ 3.6 TCF. Apabila segmen jalur pipa gas di atas yang diperkirakan, dilelang dan diberikan pada tahun 2006 telah dilaksanakan, maka saluran gas ini dapat melayani pembangkit listrik PLN untuk wilayah Jakarta pada tahun 2009, plus pembangkit tambahan di Bekasi dan Semarang, lihat Gambar 4.1 (di atas). Potensi penghematan total dari proyek ini, berdasarkan pada penggunaan sistem jalur pipa selama hanya 11 tahun, diperkirakan sebesar ~ USD 5.0 triliun dengan menggunakan ~ 3,6 TCF yang sama. Pelaksanaan proyek ini akan memberi Pemerintah Indonesia penghematan tambahan sebesar ~ USD 3,9 triliun apabila dibandingkan dengan FSRU, lihat Gambar 4-3. Selain itu, tarif jalur pipa sebesar ~ USD 2,50 / MMBTU lebih kecil dibandingkan dengan ~ USD 3,43 / MMBTU yang sekarang dibayar dalam sistem FSRU. Oleh karena itu, walau apabila sumberdaya gas tambahan tidak ditemukan di Kalimantan untuk segmen jalur pipa di atas, maka tetap saja masih lebih mahal kalau mengimpor LNG ke Bontang lalu mengirimnya ke wilayah jakarta, seperti terminal penerima LNG dengan jalur pipa yang sangat sangat panjang. GAMBAR 4-3: JALUR PIPA DAN PENGHEMATAN FSRU
Sumber: Pandawa
Poinnya di sini adalah bahwa sistem peraturan (yang lalu dan saat ini) yang terkait dengan proyek ini atau yang mirip, tidak menentukan dengan jelas pihak yang dapat membuat keputusan untuk memulai dengan sumberdaya gas sebesar ~ 4 TCF yang tersedia untuk melayani kepentingan publik dan Kepentingan Umum Indonesia. Ketika Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan: “kita harus melampaui bisnis seperti biasanya dalam membangun pasokan gas alam perkotaan”36, menguasai lingkungan 36
We must go beyond business as usual, Menteri Bambang Brodjonegoro, Tempo, 7 Desember 2014, halaman 88.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
62
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
peraturan perundang-undangan adalah pertimbangan utama untuk melaksanakan dan menyelaraskan strategi emisi bagi pengembangan gas. Kepemimpinan seperti ini akan diperlukan untuk mewujudkan potensi strategi emsisi rendah bagi pengembangan gas.
4.2
Insentif dan Disinsentif
4.2.1
Insentif dan disinsentif: Sektor hulu gas
Ringkasan tentang insentif dan disinsentif untuk menarik kegiatan di sektor hulu gas diuraikan pada Tabel 4.1 dan dibahas di bawah ini. First Tranch Petroleum (FTP): FTP adalah kuantitas tertentu dari minyak mentah dan/atau gas alam yang diproduksi di satu wilayah operasional dalam waktu satu tahun kalender, yang dapat diambil atau diterima oleh Badan Pelaksana (sekarang SKK Migas) dan/atau kontraktor dalam setiap tahun kalender, sebelum pengurangan perolehan kembali biaya dan penggunaan sendiri. FTP dibagi berdasarkan pada pembagian ekuitas seperti yang disebutkan dalam kontrak kerja sama. Pembagian Ekuitas: Gas yang tersisa setelah kredit investasi dan perolehan kembali biaya dibagi di antara Badan Usaha (sekarang SKK Migas) dan kontraktor. Kredit Investasi: Dalam sistem KKS, kredit investasi dipergunakan pada produksi sebelum perolehan kembali biaya operasional, namun setelah penerapan FTP dan sebelum pembagian ekuitas. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 79 / 2010, tidak jelas apakah kredit investasi masih berlaku karena tidak ada peraturan pelaksanaan yang mengaturnya. Disinsentif: Perolehan Kembali Biaya dalam Sistem KKS Berdasarkan pada prinsip Perolehan Kembali Biaya, kontraktor dapat memperoleh kembali biaya produksi tertentu yang mencakup biaya operasi tahun-berjalan dari ladang tertentu dengan persetujuan Rencana Pengembangan (POD), biaya pengeboran tak-kasat mata di sumur eksplorasi dan pengembangan, biaya inventarisasi saat mendarat di Indonesia, depresiasi biaya modal dan biaya operasi dan depresiasi yang tak-terpulihkan dari tahun sebelumnya. Namun ini berlaku hanya pada KKS yang pada akhirnya beroperasi dan memproduksi. Bagi KKS yang gagal produksi, biaya eksplorasi tidak ditutup. Ini menimbulkan risiko eksplorasi yang besar bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang melakukan eksplorasi di Wilayah operasional (yaitu KKS) yang baru diberikan, di mana tidak ada kegiatan produksi gas atau minyak, jadi tidak ada peluang untuk memperoleh kembali biaya eksplorasi apabila tidak menemukan cadangan yang dapat diproduksi. Pasal 19 dari PP 79/2010, tentang perolehan kembali biaya, berlaku hanya pada kontrak yang ditanda-tangani setelah 20 Desember 2010.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
63
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel 4.1: Elemen Insentif dalam Sektor Hulu Gas Eelemen Insentif
First Tranche Petroleum (FTP)
KKS Generasi Pertama (1965-1975)
Tidak ada
KKS Generasi Kedua (1976-1988)
Tidak ada
KKS Generasi Ketiga (1988-kini)
15-20%
Pembagian Ekuitas setelah pajak (gas) antara pemerintah dan kontraktor
Produksi perbatasan = 70%:30% Daerah konvensional= 70%:30% Pengembangan ladang di daerah konvensional: 65%:35% Pengembangan ladang di daerah perbatasan = 60%:40% Pengembangan di laut dalam > 1500 m = 55%:45%
Kredit Investasi
Untuk daerah eksplorasi laut dalam di atas 00ft (gas): 55% Untuk daerah eksplorasi pengembangan: - Batu cekungan pre-tersier: 110% untuk untuk minyak dan gas - Air dalam 200m-1500 m: 110% untuk minyak dan gas - Air dalam kurabg dari 1500 m: 125% untuk minyak dan gas
Batas Perolehan kembali biaya
40%
100%
80%-85%
Generasi Kelima -1995 Kawasan Timur Indonesia*
15%
Generasi Kelima Paska UU no 22/2001
10% untuk BP Migas, tidak dibagi dengan kontraktor
60%:40% tanpa kredit investasi
85%
KKS Paska 2007 (Berdasarkan PP No. 79/2010)
20%
bervariasi
Ladang kering (brown field) dan ladang marjinal, Insentif diberikan
Menurut PP no 79, MEMR Memiliki wewenang untuk menentukan kreddit insentif investasi. Namun kriteria kredit ini belum diberikan.
90%
Penundaan perolehan kembali biaya sampai ladang dihasilkan
Disinsentif: Daftar Negatif Daftar investasi negatif yang baru, yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Presiden No 39/2014 yang menggantikan Keputusan Presiden No. 36/2010, membatasi kegiatan pemain asing dalam sektor minyak dan gas di Indonesia. Ini akan menjadi disinsentif dalam pengembangan gas, karena teknologi, keahlian dan modal asing masih banyak dibutuhkan di sektor hulu gas. Daftar Negatif 2014 yang baru ini tidak berlaku bagi investasi sebelum penerbitan daftar ini.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
64
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel 4.2 Keppres 39/2014 Vs Keppres 36/2010 Kegiatan Pengeboran di darat
Pengeboran lepas pantai
Keppres 36/2010 Maksimum saham asing untuk entitas PMA yang terlibat dalam kegiatan ini adalah 95% Maksimum saham asing untuk entitas PMA yang terlibat dalam kegiatan ini adalah 75%
Jasa kontruksi minyak dan gas untuk pemasangan pipa di darat, fasilitas penyimpanan, instalasi LNG dan CNG Jasa kontruksi minyak dan gas untuk hulu minyak dan gas lepas pantai, tangki horisontal / vertikal Pembangunan anjungan minyak dan gas
Semua pengadaan teknis dan jasa kontruksi terbuka untuk maksimum saham asing sebesar 95%.
Operasi dan pemeliharaan sumur, jasa disain dan dukungan teknis atau inspeksi teknis, jasa disain teknis minyak dan gas. Survei minyak dan gas
Semua kegiatan operasi dan pemeliharaan terbuka terhadap maksimum saham asing sebesar 95% Tidak ada keterangan tentang kegiatan ini
Keppres 39/2014 Entitas PMA tidak boleh terlibat dalam kegiatan ini.
Perusahaan milik asing sepenuhnya dapat terlibat dalam kegiatan ini di Kawasan Timur Indonesia. Maksimum saham asing adalah 95% untuk semua daerah lain. Entitas PMA tidak dapat lagi terlibat dalam kegiatan ini.
Maksimum saham asing untuk entitas PMA yang terlibat dalam kegiatan ini adalah 49% Maksimum saham asing untuk entitas PMA yang terlibat dalam kegiatan ini adalah 75% Entitas PMA tidak dapat lagi terlibat dalam kegiatan ini.
Maksimum saham asing untuk entitas PMA yang terlibat dalam kegiatan ini adalah 49%.
4.2.2
Insentif Pajak di Sektor Hilir Gas
Kemenkeu telah menggunakan insentif pajak (“pembebasan”) sebagai alat promosi investasi untuk beberapa tahun. Pembebasan ini berkisar dari lima sampai dengan sepuluh tahun untuk investasi di industri prioritas tinggi seperti logam dasar, penyulingan minyak, petrokimia dasar, permesinan, energi terbarukan dan peralatan telekomunikasi (dengan investasi minimum senlai IDR. 1 triliun). Contoh pemanfaatan pembebasan pajak, dan penerapannya yang fleksibel, adalah permohonan Chandra Asri untuk pembebasan pajak, setelah pembangunan dimulai, dari pabrik karet sintetis senilai USD 435 juta37.Selain itu, untuk proyek intensif-tenaga (minimum IDR 50 miliar), pengurangan kewajiban pajak sampai dengan 30% dapat diberikan untuk periode sampai dengan enam tahun. Dalam eksplorasi minyak dan gas, tarif pajak dan pengaturan berbagi produksi telah dikurangi untuk memberikan insentif bagi kondisi “air dalam” dan lainnya yang ditentukan. Sebagai contoh, dalam air dalam, bagian produksi Pemerintah Indonesia yang berlaku dikurangi dari 70% menjadi 65%. Peluang promosi yang dipergunakan pertama kali untuk LNG skala kecil di Kawasan Timur Indonesia terjadi melalui insentif pajak yang “dibuat khusus” bagi yang baru-baru ini dilelang, usaha pertama untuk merumuskan proyek LNG kecil oleh PLN. Memang LNG skala kecil telah dipergunakan di Norwegia, Jepang dan aplikasi skala kecil lain, namun tapi tidak satupun pernah dicoba di tempat lain dengan skala dan jarak seperti dalam proyek di Indonesia. Gambaran 33 lokasi yang diidentifikasi sebagai berpotensi untuk 37
Chandra Asri eyes more tax breaks, Jakarta Post, 23 Maret 2015, halaman 20
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
65
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
pasokan LNG skala kecil, ditunjukkan pada Gambar 4-4, lihat Lampiran 6 tentang Ringkasan Eksekutif untuk LNG Skala Kecil PLN untuk Kajian Indonesia. GAMBAR 4-4: LNG SKALA KECIL – KAWASAN TIMUR INDONESIA
Sumber: Pandawa
Untuk memberikan pasokan LNG ke lokasi-lokasi ini, sistem empat “milk run” dirancang berdasarkan pada titik-titik (tempat) pasokan LNG yang diketahui ada sekarang dan di masa depan seperti ditunjukkan pada Gambar 4-5. GAMBAR 4-5: MILK RUNS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
Sumber: Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
66
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Potensi penghematan, berdasarkan pada kajian / estimasi tahun 2011 untuk PLN oleh Pandawa, diperkirakan pada USD 7,4 miliar melalui penggantian solar, dengan biaya sebesar USD 2,2 miliar, lihat Tabel 4.3 yang menunjukkan penghematan neto senilai USD 5,2 miliar. Tabel 4.3: Ringkasan Penghematan Biaya dari Milk Runs di Kawasan Timur Indonesia (USD miliar) Bontang 25
Donggi 19
Marsela 12
Tangguh 15
Total 71
Biaya Unit Baru s
429
184
99
149
861
Biaya Fasilitas
154
128
82
81
444
Pengapalan
197
197
197
197
788
Biaya Konversi
805
528
390
442
2,164
Penghematan Biaya Energi
2.921
1.956
983
1.517
7.369
Penghematan Neto
2.116
1.428
593
1.075
5.204
Subtotal
Proyek khusus lainnya di mana pendekatan insentif pajak nampak paling tepat, adalah bantuan penggunaan LNG dalam sistem bis jarak jauh, lihat Gambar 4-6. Perusahaan sektor swasta ini umumnya berbasis di kota dan wilayah di luar Jakarta, dan pusat ekonomi besar lainnya. Banyak perusahaan ini memberikan layanan selama beberapa dekade, mengangkut orang dan produk ke Jakarta dan pusat ekonomi lain. Lokasi lalulintas dengan volume tertinggi untuk beberapa daerah di Jawa, ditunjukkan pada Gambar 4-7. GAMBAR 4-6: LNG DALAM BIS JARAK JAUH
Sumber: Pandawa
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
67
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 4-7: HITUNGAN LALULINTAS – JAWA
Sumber: Pandawa
Karena transportasi barang menjadi masalah utama dan sumber pendapatan, dan ruang yang tersedia untuk penyimpanan bahan bakar untuk bis jarak jauh masih terbatas; Oleh karena itu, LNG yang cara penyimpanannya sama seperti solar akan menjadi bahan bakar yang sempurna dari segi biaya dan pengurangan emisi. Diperlukan ruang penyimpanan yang lebih kecil sekitar 85% versus CNG, dan ada juga penghematan berat yang banyak dan terkait dengan tangki penyimpan (versus CNG). Berdasarkan pada kajian yang dilakukan tahun 2007 oleh Pandawa, ~ 15.000 bis menggunakan ~1.3 juta BBLs solar per tahun yang dapat digantikan oleh LNG, jadi menghemat sekitar USD 50 juta dan mengurangi emisi sebesar 10.000 MT CO2 per tahun. Penggantian ini akan memerlukan sekitar 150 MMCFD pasokan gas, dan mengurangi impor solar ke Indonesia sebesar 15%, lihat Gambar 4-8. Sistem bahan bakar di akar rumput ini yang diarahkan ke pasar tertentu, akan menjadi program yang bagus untuk didukung oleh Kemenkeu melalui sistem pembebasan pajak sebagai insentif untuk distribusi dan penyimpanan LNG serta konversi bis38. “Proyek hijau” seperti penggantian solar dengan gas ini, akan mudah memperoleh pembiayaan dari banyak sumber yang menjadikan pengurangan emisi sebagai targetnya. .
38
Dukungan Pemerintah AS melalui kredit pajak telah dan terus menjadi faktor Utama pendukung pengembangan LNG yang berlangsung dalam transportasi permukaan, sebagian besar truk, yang menjadi tulang punggung Mr. T. Boone Pickens Clean Energy Company – perusahaan nomer satu di bidang ini di AS Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
68
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 4-8: POTENSI PEMANFAATAN LNG DALAM TRANSPORTASI
Source: Pandawa
Tabel 4.4 memberikan ringkasan peraturan pajak yang ada, yang memberikan insentif potensial untuk sektor hilir gas di Indonesia. Tabel 4.4: Insentif Pajak di Sektor Gas Hilir Peraturan Peraturan Pemerintah No 94/2010
Keputusan Presiden No 9/1998 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
UU Investasi No 25/2007
Peraturan Pemerintah no 1/2007
Isi Pembebasan Pajak Penghasilan selama 5 sampai dengan 10 tahun sejak dimulainya produksi, 50% pengurangan tarif pajak untuk periode dua tahun setelah berakhirnya periode pembebasan Pajak Penghasilan. Tidak ada pengenaan VAT dan LST (Pajak Jasa Lokal) pada transaksi barang mewah tertentu; Pembebasan Pajak Penghasilan prabayar untuk impor barang modal dan peralatan lain yang langsung berkaitan dengan kegiatan produksi; Penundaan bea impor untuk barang modal dan peralatan serta barang dan bahan pemrosesan; Pembebasan bea impor selama empat tahun untuk mesin dan suku-cadang tertentu. Kemudahan pajak dan bea untuk investasi tertentu yang memenuhi syarat
Memberikan insentif pajak yang diusulkan dalam UU Investasi No
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
Relevansi pada Sektor gas Pembebasan ini diberikan ke industri pelopor, termasuk kilang minyak dan / atau kimia organik dasar yang bersumber dari minyak dan gas.
Kegiatan hilir gas yang berada di daerah yang ditetapkan sebagai KAPET, dapat menikmati kemudahan pajak ini.
UU ini berlaku bagi LNG kecil, atau pembuatan senyawa kimia berbasis organik yang berasal dari produk perminyakan dan gas alam UU ini berlaku bagi LNG kecil, atau pembuatan senyawa kimia
69
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Peraturan
Peraturan Pemerintah no 52/2011
Isi 25/2007. PP ini memberikan kredit investasi (pada 30% dari belanja yang memenuhi syarat), depresiasi / amortisasi yang dipercepat, pengurangan tingkat penangguhan pajak dan perpanjangan ke periode kerugian dimuka (loss carried forward period). Semua insentif ini harus diminta melalui BKPM dan akan menyertakan rekomendasi kantor pajak. PP ini memberikan insentif seperti dalam PP 1/2007, yang akan tersedia untuk sektor-sektor utama, termasuk regasifikasi LNG dengan menggunakan Floating, Storage, and Regasification Unit (FSRU)
Relevansi pada Sektor gas berbasis organik yang berasal dari produk perminyakan dan gas alam
Insentif pajak yang diberikan oleh PP 1/2007, juga berlaku pada regasifikasi LNG dengan menggunakan Floating, Storage, and Regasification Unit (FSRU)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
70
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
5. Masalah Kebijakan Strategis untuk Promosi Gas Untuk melaksanakan strategi emisi rendah yang efektif dan menyertakan gas, tiga komponen harus disatukan – pasokan gas tambahan, akses ke pasar dengan harga yang logis, dan kepastian pasokan gas untuk menciptakan kebutuhan gas. Topik-topik untuk mendukung strategi emisi rendah tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam topik pasokan gas, pertimbangan logistik dan kebutuhan gas.
5.1
Pasokan Gas
Metodologi pengembangan pasokan gas tambahan telah dijelaskan rinci di bagian sebelumnya. Namun ini memerlukan reformasi besar dan akan memasukan perubahan besar dari parameter pasokan energi yang ada. Pendekatan untuk menangani defisit pasokan energi terbarukan yang diperkirakan, yang dipergunakan dalam kajian ini, nampak sama dengan proyeksi dalam skenario Kebijakan Energi Nasional (KEN), lihat Gambar 5-1, proyek “tongkat hockey” yang mulai sekitar 2035. GAMBAR 5-1: DISTRIBUSI PRODUKSI LISTRIK UNTUK PEMBANGKIT TERBARUKAN (SKENARIO KEN)
Sumber: DEN
Hubungan dengan proyeksi KEN untuk pasokan energi total lebih sulit dimengerti, dan pembahasan lebih lanjut dengan para perancang KEN benar-benar diperlukan untuk memahami implikasi yang diringkas dalam Gambar 5-2.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
71
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 5-2: PASOKAN ENERGI PRIMER PER JENIS DAN SKENARIO
Sumber: DEN
Tanpa memandang masalah-masalah ini, ketentuan dan persyaratan eksplorasi dan produksi di Indonesia cukup kompetitif di tingkat internasional, menurut sejumlah kajian terakhir (Indonesia Infrastructure Initiative; Buku Putih Sektor Energi ADB). Akan tetapi, untuk mencapai tingkat pasokan gas yang diperkirakan dalam strategi emisi rendah, peningkatan 3-4 kali lipat diperlukan dalam penawaran konsesi tahunan yang dilakukan.
5.2
Pertimbangan Logistik
Mendistribusikan pasokan gas ke konsumen jelas merupakan fungsi penting. Saat ini, Indonesia menggunakan jalur pipa dan FSRU untuk menjalankan fungsi ini. Selain itu, PLN sedang dalam proses mengembangkan sistem pasokan regional berdasarkan pada LNG skala kecil, yang mungkin akan menggunakan kapal laut, tongkang, penyimpanan apung, fasilitas penerima, penyimanan di darat dan fasilitas regasifikasi. Seperti dibahas sebelumnya, untuk merencanakan dan mewujudkan strategi emisi rendah, beberapa tanggung-jawab perlu dibuat jelas agar instansi yang bertanggung-jawab dapat melayani dan melindungi Kepentingan Umum Indonesia. Ini berarti tanggung-jawab belanja, pajak dan peminjaman berada di tangan Pemerintah Indonesia, juga pembentukan prosedur untuk memungkinkan asumsi risiko. Dua contoh telah dijelaskan dalam laporan ini. 1. Perlunya komitmen senilai ~ USD 400 juta untuk program yang dirancang untuk mempercepat pencarian dan perluasan produksi lebih banyak gas untuk mewujudkan penghematan terkait. 2. Membuat keputusan cerdas yang meski demikian tidak selalu didukung oleh cadangan yang terbukti dan kebutuhan yang dikontrakkan. Contoh hilangnya pendapatan negara, ketika mekanisme ini tidak diterapkan, adalah proyek jalur pipa Kalimantan ke Jawa, apabila dibandingkan dengan FSRU Teluk Jakarta. Sekitar USD 3-5 miliar dibiarkan di atas meja karena persyaratan memiliki sumberdaya gas yang disertifikasi selama umur proyek jalaur pipa.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
72
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Beberapa proyek berbasis logistik perlu didukung melalui program kredit pajak yang ada. Sebagai contoh, dalam proyek LNG skala kecil PLN, beberapa lokasi di Kawasan Timur Indonesia dijadikan sasaran untuk pasokan gas. Akan tetapi, untuk komponen “lokal: seperti dermaga penerima, penyimpanan dan regasifikasi, setiap lokasi memiliki beberapa pertimbangan ekonomi dan pemangku kepentingan sendiri. Fasilitas lokal ini dapat juga memacu peluang investasi pembangkit non-listrik, seperti penggantian bahan bakar transportasi. Mengingat potensi manfaat untuk kepentingan lokal dan biaya yang relatif murah untuk penghubung dalam mata rantai pasokan, promosi dengan menggunakan insentif pajak nampaknya akan cukup untuk mendorong pembangunan fasilitas pendukung regional tersebut.
5.3
Permintaan Gas
Ada dua bidang di mana Kemenkeu jelas memiliki pengaruh kuat pada kebutuhan gas – pembangkit listrik dan karbon emisi. Di bidang pembangkit listrik, PLN memegang peran produksi dan pemasaran utama dengan marjin yang besar. KEMENKEU menyediakan dana melalui program pemberian pinjaman dan subsidi untuk mendukung kebutuhan PLN. KEMENKEU akan menjadi penjaga gerbang untuk pengumpulan kredit karbon. Sifat kompetitif dari pembangkit listrik bertenaga gas versus fasilitas berbasis batubara ditunjukkan di Bab 2, Gambar 2.7 dan Gambar 2.8. Apabila mempertimbangkan bagian Pemerintah Indonesia dari pasokan gas ke PLN, maka ditunjukkan bahwa, dengan harga gas sebesar ~ USD 7,00 – 8,60 / MMBTU, pembangkit listrik berbasis gas lebih kompetitif dibandingkan pembangkit berbasis batubara. Selain itu, untuk harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan ini apabila diambil dari impor LNG, pendapatan berbasis gas dalam negeri untuk Kemenkeu tetap menarik dengan harga gas yang jauh lebih tinggi. Manfaat ini didorong oleh bagian Pemerintah Indonesia yang melekat dalam setiap produksi gas dalam negeri, yang akan berlawanan apabila Pemerintah Indonesia tidak memiliki bagian dari LNG impor. Selain itu juga, KEMENKEU akan menjadi titik pengumpulan dan penjaga gerbang untuk dana dari program kredit karbon. Program agresif dalam menentukan harga emisi untuk mendorong pengurangan emisi, akan menjadi pendorong pendukung kedua dalam meningkatkan pemanfaatan gas dalam pembangkit listik, apabila dibandingkan dengan batubara. Faktor ketiga dalam pertimbangan peningkatan kebutuhan gas dari pihak selain PLN, akan memberikan pasokan gas dengan harga kompetitif ke pelanggan industri. Saat ini PGN dan Pertamina mengendalikan lebih dari 90% penjualan gas. Pengendalian ini membawa ke harga gas, walau lebih menguntungkan dibandingkan alternatif seperti solar, yang cukup tinggi yang membuat PGN mendapatkan profitabilitas (profitability) atau kemampuan menghasilkan keuntungan yang luar biasa39, lihat 39
Lihat Lampiran 2.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
73
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 5-3.
TINGKAT PRODUKTIVITAS MODAL JAUH INI JAUH DI ATAS PERAN TRADISIONAL SEBAGAI PERUSAHAN PENYALUR DAN DISTRIBUTOR (LIHAT
gambar 5-4). GAMBAR 5-3: PENGEMBALIAN EKUITAS PGN (2009 – 2016)
Sumber: PGN, Batavia, CIMB, Samuel Sekuritas, Standard Chartered
GAMBAR 5-4: PGN DAN JALUR PIPA AS & LDC (ROE, ROR)
Sumber: PGN, AGA Utility Rate Case Data Base
Ijin penyaluran dan distribusi PGN dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dan didasarkan pada kewajiban layanan dan dukungan Pemerintah Indonesia untuk utilitas publik. Monopoli distribusi merupakan cara untuk melayani kepentingan umum dan harus menangani Kepentingan Umum.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
74
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Berdasarkan profitabilitas PGN yang berlebih dan ketersediaan arus uang terkait, instansi ini telah membuat komitmen senilai total USD 900 juta untuk eksplorasi gas40. Skema untuk memberikan harga gas yang kompetitif bagi industri dan menarik FDI, jelas adalah hak istimewa Indonesia. Sistem saat ini dengan profitabilitas yang kuat dan akses terbatas ke pasar, berbeda dari yang biasanya dialami di pasar global. Yang terakhir, seperti dijelaskan sebelumnya, gas memiliki potensi terbesar untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi. Apabila dibandingkan dengan standar dunia. Pemanfaatan gas dalam negeri Indonesia relatif kecil, lihat gambar 5-5. Bahkan dengan proyeksi peningkatan sebesar 25% dalam pemanfaatan gas dalam negeri dan efisiensi, penggunaan gas relatif di Indonesia tetap sekitar setengah dari tingkat pemanfaatan yang dirasakan dunia. Pemanfaatan dalam negeri yang rendah ini memberikan peluang bagus untuk menggunakan kredit pajak dan langkah lain untuk meningkatkan pemanfaatan gas dan efisiensi. GAMBAR 5-5: PEMBAGIAN GAS UNTUK INDUSTRI (GAS PLUS OBF)
Sumber: EIA
40
Model usaha hibrida ini untuk tanggung-jawab utilitas dan eksplorasi risiko tinggi, tidak dipergunakan di ekonomi barat karena telah ditentukan bahwa layanan “publlik” dapat memberikan subsidi untuk risiko eksplorasi yang menimpa lembaga pemberi, biasanya pemerintah pusat atau daerah, dan berpotensi merugikan hak masyarakat untuk infrastruktur yang layak. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
75
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
6. Hambatan Hambatan utama dalam peningkatan produksi dan pemanfaatan gas alam di negeri ini, dijelaskan rinci di bawah ini.
6.1
Potensi Gas Non-konvensional41
Seperti diungkapkan dalam laporan ini, dalam jangka menengah sampai dengan panjang akan ada pengharapan tinggi terkait tingkat produksi yang dapat dicapai dari gas nonkonvensional, khususnya CBM dan shale gas. Namun harus diakui bahwa KKS CBM pertama ditanda-tangani 7 tahun yang lalu, pada tahun 2008, dan sejak itu secara keseluruhan telah ada 54 KKS CBM yang diberikan, 93 sumur telah dibor dan 8 proyek percontohan sedang berjalan, namun hanya sedikit atau tidak ada produksi skala komersial yang telah dimulai. Beberapa perusahaan minyak besar seperti BP, Exxon, Total dan Santos, telah menghentikan keterlibatan mereka dalam CBM di Indonesia, dan total komitmen investasi eksplorasi yang tercapai kurang dari 20%. Akibatnya, apabila proyeksi mendatang untuk produksi gas non-konvensional adalah untuk mempertahankan kredibilitas, maka hambatan sampai dengan kini perlu diidentifikasi pada keberhasilan produksi CBM di Indonesia, dan mengidentifikasi apa yang dapat dilakukan untuk menangani ini. Pertanyaa besar yang perlu dijawab adalah apakah CBM dapat diproduksi secara ekonomis di Indonesia? Perlu dicatat bahwa pengembangan sumberdaya shale gas (diperkirakan sebesar 574 TCF) masih dalam tahap awal. Eksplorasi dimulai tahun 2013, dan belum ada sumur yang dibor. Tantangan utama terhadap keberhasilan produksi CBM nampaknya adalah sebagai berikut: Bawah-permukaan: Ketersediaan data yang terbatas dan pertanyaan tentang tingkat kelayakan produksi, dan tentang ukuran cadangan yang dapat dipulihkan, beberapa sumur yang dibor sampai saat ini menunjukkan isi dan resapan gas yang lebih rendah dari yang diharapkan. Akibatnya, debit gas yang rendah memerlukan lebih banyak simulasi, yang membuat biaya sumur semakin tinggi. Peraturan: Peraturan yang tidak cocok dengan sifat CBM, dan diambil begitu saja dari peraturan gas konvensional. Proses perijinan yang bertele-tele dan rumit, ijin lahan yang juga bertele-tele, serta prosedur pengadaan yang komplek, semuanya menghambat pengembangan.
41
Sumber: Pertamina Hulu Energi “Unconventional Gas as a Solution to Indonesia Energy Crisis” 29 January 2015,Indogas 2015. VICO “Progressing CBM Development in Indonesia – an Industry Perspective“ and ”Unconventional Gas: CBM in Indonesia: Challenges and Opportunities“ January 2015, Indogas 2015
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
76
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Kegiatan operasi dan lingkungan: Ada tiga tantangan. Pertama, operasi CBM umumnya meninggalkan jejak yang besar. Kedua, tenaga kerja berpengalaman masih kurang dan, ketiga, pembuangan air berbiaya mahal dan sulit dilakukan tanpa merusak lingkungan. Peralatan dan Jasa Pendukung: Ada kekurangan jumlah anjungan pengeboran yang tepat-guna dan pemasok jasa pengeboran. Sumur CBM umumnya lebih dangkal namun lebih banyak dibandingkan dengan sumur gas konvensional, jadi memerlukan penyesuaian prosedur dan peralatan pengeboran. ROI yang Rendah: Biaya investasi tinggi, dan umumnya harga gas yang terjangkau oleh produsen CBM rendah. Solusi potensial untuk menangani tantangan tersebut diuraikan di bagian tentang rekomendasi.
6.2
Pengaruh Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah saat ini memiliki peran lebih besar untuk dimainkan di sektor minyak dan gas, akibat pemberlakuan UU No. 22 / 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU Minyak dan Gas 2001 yang mengharuskan perserta KKS untuk memberikan 10% hak Partisipasi Indonesia (IP) ke pemerintah daerah. Akibatnya, banyak Kontrak kerja sama (KKS) sekarang mempunyai perusahaan yang juga dimiliki oleh pemerintah daerah (dikenal sebagai BUMD) sebagai mitra usaha 10%. Ini membawa beberapa manfaat juga tantangan baru bagi peserta KKS lain, terutama operator. Salah satu manfaat utamanya adalah bahwa pemerintah daerah sekarang memiliki kepentingan finansial tetap yang jelas dalam kinerja sebagian besar KKS (yang telah ditanda-tangani selama 14 tahun terakhir), karena mereka sekarang menjadi “pemegang saham”. Oleh karena itu, mereka termotivasi untuk memastikan bahwa gangguan apapun yang diakibatkan oleh masyarakat lokal pada operasi KKS harus diminimalisir. Akan tetapi, pengalaman selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kontraktor KKS menemui kesulitan dalam hubungannya dengan masyarakat lokal dan, dalam beberapa kasus, dengan pemerintah daerah. UU desentralisasi daerah tersebut di atas telah menaikkan pengharapan masyarakat lokal, dan pemerintah lokal, terkait manfaat yang mereka harapkan terima dari proyek minyak dan gas yang beroperasi di daerah mereka. Apabila pengharapan ini tidak terpenuhi, maka akan ada kecenderungan yang semakin besar bahwa masyarakat akan mengganggu kegiatan KKS dengan cara, sebagai contoh, menutup jalan akses, agar keinginan mereka dipenuhi. Selain itu, pembebasan lahan menjadi semakin sulit (dan ini juga berlaku pada sektor lain seperti listrik dan pertambangan) karena pemilik lahan meminta ganti-rugi yang sangat tinggi, atau ngotot agar fasilitas proyek dipindahkan ke tempat lain. Hubungan dengan BUMD juga tidak berjalan mulus. Dalam banyak contoh, pemerintah daerah memperbolehkan entitas swasta untuk mengelola hak partisipasi 10% mereka dalam KKS, dengan imbalan ongkos yang disepakati. Akibatnya, pemerintah daerah menjadi semakin jauh dari operasi KKS dan kurang terlibat dalam menyelesaikan sengketa yang muncul. Selain itu, karena mereka menyerahkan sebagian manfaat finansial yang meraka akan peroleh dari IP 10% mereka ke pihak ketiga, maka dana yang tersedia menjadi berkurang untuk belanja pembangunan infrastruktur lokal dll.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
77
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
6.3 Masalah terkait Kontraktor Kontrak Kerja Sama: masalah Eksternal dan masalah terkait KKS Masalah utama yang dihadapi oleh kontraktor KKS dapat dibagi menjadi: (a) masalah yang pada intinya adalah masalah eksternal, dan (b) masalah yang berkaitan langsung dengan ketentuan dan persyaratan Kontrak kerja sama. Ringkasan berikut didasarkan pada informasi dari IPA dan dari survei investor di industri minyak dan gas Indoneisa yang barubaru ini dilakukan oleh PWC. (1) Masalah Eksternal o Birokrasi: Pembuatan keputusan yang lambat, kurangnya kebijakan yang konsisten, proses perijinan dan persetujuan yang bertele-tele, kurangnya lembaga tunggal untuk menyelesaikan sengketa pemerintah, campurtangan politik dan kepentingan tetap. o Hubungan dengan pemerintah daerah dan masyarakat lokal: Ini ditangani di tempat lain dalam laporan ini. o Tenaga kerja: Kurangnya tenaga kerja trampil (lokal dan asing) (2) Masalah yang Langsung Berdampak pada Ketentuan dan Persyaratan KKS o Berkurangnya wibawa kontrak o Peraturan pajak yang tidak jelas: misalnya PP 79/2010 tentang perolehan kembali biaya dan pajak di sektor hulu. o Perpanjangan KKS: Perlu ditingkatkan kejelasannya terkait aturan dan persyaratan o Peraturan baru: sebagai contoh Peraaturan Kemenkeu No. 218/PMK.02/2014 tentang pengembalian VAT di sektor hulu. o Insentif fiskal and non-fiskal untuk merangsang kegiatan eksplorasi: Insentif tersebut perlu ditingkatkan. Usulan yang diberikan antara lain: tarif PPN sebesar nol untuk biaya pengeboran dan seismik; penghapusan sementara atau parsial atas ring fencing terhadap KKS untuk tujuan perolehan kembali biaya. o Perubahan model kontrak: Survei yang dilakukan PwC mengungkapkan bahwa responden terbagi ke dalam kelompok yang setara terkait masalah ini: separuh mendukung Kontrak kerja sama saat ini dipertahankan, dan separuh lainnya mendukung peralihan ke sistem royalti dan pajak. Pro dan kontra ini diringkas secara terpisah dalam Bab 7. Perlu dicatat bahwa, pada tanggal 11 Mei 2015, ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri No. 15 / 20015 tentang “Pengelolaan Wilayah Operasional Minyak dan Gas yang Kontrak Kerjasamanya akan Habis”. Walaupu hal ini mungkin tidak mengatasi semua masalah yang dihadapi Kontraktor Kontrak Kerja Sama terkait dengan proses perpanjangan KKS, namun dapat diasumsikan bahwa penerbitan Peraturan ini akan banyak mengurangi ketidak-pastian peraturan tentang proses ini.
6.4
Penentuan Harga Gas: Alasan Reformasi Sistem Gas Saat Ini
Hal-hal berikut ini didasarkan pada analisis yang disusun untuk Rencana Induk Pengembangan Gas (GDMP). Sistem Pada Saat Ini Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
78
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
UU Minyak dan Gas tahun 2002 mengharapkan adanya pasar gas yang kompetitif namun, dalam prakteknya, campur tangan pemerintah masih tetap banyak dalam penentuan harga gas. Dapat disanggah bahwa ini adalah respon terhadap perintah Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa membiarkan harga gas ditentukan oleh pasar bertentangan dengan UUD, dan pemerintah harus mempertahankan hak campur-tangan dan menentukan harga. Contoh campur-tangan pemerintah dalam penentuan harga gas adalah sebagai berikut: -
Harga yang dirundingkan dalam GSPA (Perjanjian Jual Beli Gas) antara pembeli dalam negeri dan kontraktor KKS, memerlukan persetujuan dari ESDM (melalui SKK MIGAS );
-
Pemerintah dapat mempengaruhi harga yang ditentukan oleh dua pedagang terbesar yaitu Pertagas (Pertamina) dan PGN, karena menjadi pemegang saham terbesar di keduanya.
-
Gas diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; dan
-
Pemerintah memprioritaskan alokasi gas ke berbagai macam sektor pengguna akhir (di mana harga gas umumnya banyak bervariasi), dan juga menentukan harga gas melalui peraturan untuk beberapa sektor pengguna akhir, misalnya gas untuk transportasi.
Alasan Diperlukannya Reformasi -
-
Perlu meningkatkan pasokan gas ke pasar dalam negeri. Agar hal tersebut terjadi, maka perlu menaikkan harga yang dibayar ke produsen untuk gas yang dipasok ke pasar dalam negeri. Hal tersebut harus mencerminkan nilai gas ini untuk Indonesia; Diperlukan lebih banyak transparansi dan prediktabilitas (kemampuan dapat diramalkan) dalam penentuan harga gas dalam negeri; dan Salah satu dampak besar dari campur-tangan pemerintah dalam penentuan harga gas, seperti disebut di atas, adalah bahwa kontraktor KKS memerlukan waktu sangat lama (bertahun-tahun dalam beberapa kasus) untuk menyelesaikan GSPA dengan pengguna akhir.
Mekanisme Harga Acuan Gas seperti yang disarankan dalam Bab 7 akan: - Mempercepat proses komersialisasi pasokan gas baru untuk pasar dalam negeri - Membuat pasar menjadi lebih menarik bagi produsen, karena peningkatan harga yang mendekati tingkat kesamaan ekspor; - Meningkatkan transparansi dan prediktabilitas dalam penentuan harga gas dalam negeri; dan - Menentukan nilai gas dalam negeri sebagai penghematan biaya yang diambil dari pemanfaatan gas bukan dari bahan bakar alternatif lain.
6.5
Administrasi Harga Gas & Infrastruktur Pengangkutan
Masalah-masalah yang terkait dengan hal ini adalah sebagai berikut: -
Penundaan dan risiko pada pasokan, akibat kontraktor KKS perlu merundingkan GSPA secara individual dan setelah selesai mendapatkan persetujuan dari ESDM.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
79
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
-
Perlu pula untuk mematuhi proses alokasi gas yang diatur oleh pemerintah (yang mengundang lobi dan campur-tangan politik); Kurangnya koordinasi dalam pembangunan infrastruktur dan ketersediaan pasokan gas; dan Dalam sistem saat ini, pemenang tender infrastruktur gas (terutama untuk membangun dan mengoperasikan jalur pipa gas) cenderung akan menunda pembangunan sampai ada kepastiaan terkait pasokan gas, dan sampai GSPA sudah ada antara pemasok gas dan pengguna infrastruktur baru ini, karena pemenang ini dapat memperoleh kembali biayanya hanya setelah gas mulai mengalir melalui infrastruktur baru ini. Sebetulnya, pengembang infrastruktur gas menanggung risiko volume karena penundaan ketersediaan gas atau risiko volume penjualan yang lebih kecil dibandingkan dengan yang diharapkan, tanpa memiliki cara untuk mitigasi risiko ini.
Pembentukan Gas Agregator seperti disarankan dalam Bab 7 akan: - Memberikan mitra tunggal yang besar dan patut dipercaya untuk penjualan gas: - Mempermudah integrasi berbagai pasokan gas yang berbeda-beda harga; dan - Mempermudah pengembangan jaringan infrastruktur gas nasional.
6.6 Hambatan Lain: masalah Tata-kelola dan Kurangnya Data yang Handal -
Kelemahan tata-kelola (governance) di sektor minyak dan gas Indoneisa sudah ada sejak lama, dan estimasi non-formal (yang sulit untuk divalidasi) menyiratkan kebocoran besar seiring waktu, termasuk sebagian dengan jalan mempengaruhi pemanfaatan gas dalam negeri dan mengejar sistem penentuan harga secara nonpasar untuk gas dalam negeri. Pemerintah baru dari akhir 2014 telah mengumumkan langkah dan reformasi struktural yang ditujukan untuk mengatasi dan menyusun kembali kelemahan tata-kelola di sektor ini; dan
-
Ada kekurangan data yang handal, terutama data geologis untuk tujuan eksplorasi. Pembentukan Dana Perminyakan atau pengaturan pendanaan lain untuk mendukung pekerjaan penguatan survei geologi akan meningkatkan daya-tarik sektor gas bagi investor.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
80
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
7. Kesimpulan dan Rekomendasi Semakin lama Indonesia – dan juga dunia – menghadapi saat-saat yang semakin penuh tantangan. Sebagai contoh dalam pasar energi, setelah bertahun-tahun dapat diramalkan, harga baru-baru ini turun sampai dengan 50%. Indonesia terpaksa harus menangani kejadian yang tak-diharapkan ini, pada saat yang bersamaan menghadapi transisi ke kepemimpinan yang baru dan tantangan untuk mengembangkan agenda guna memfokuskan usaha Pemerintah Indonesia dalam rencana lima tahunan 2015-2019 yang baru dan anggaran 2015. Situasi dramatis seperti ini menekankan perlunya solusi yang inovatif dan fleksibel Setiap keputusan untuk menerapkan strategi emisi karbon yang rendah, dengan fokus pada pengembangan gas, akan membawa implikasi luas pada Kemenkeu dan Indonesia, belum lagi pendapatan tambahan yang Kemenkeu harus hasilkan antara USD 685 sampai dengan 3.439 miliar; pengurangan emisi CO2 sampai dengan 7,3 gigaton; investasi modal yang baru sebesar mulai dari USD 623 sampai dengan 1.235 miliar; dan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 275.000 sampai dengan 2050. Saat ini para pemimpin dunia menghadapi masalah yang mengancam planet bumi – semakin besarnya emisi karbon yang kita buat dan tantangan mitigasi dampak buruknya pada lingkungan. Ini mungkin ancaman global paling komplek yang pernah dihadapi, dengan setiap negara memiliki tingkat emisi dan kapasitas mitigasi yang berbeda-beda satu sama lain. Akan tetapi, seperti dikaji dalam Kajian ini, advokasi dengan cepat memperoleh momentum untuk banyak mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Sikap keras seperti ini menguji cara yang dunia lakukan saat ini di beberapa bidang, dan yang paling nampak jelas adalah di bidang bahan bakar transportasi, di mana kebutuhan semakin meningkat. Dalam transportasi, tidak ada sumber bahan bakar alternatif langsung yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Namun produksi listrik adalah hal yang berbeda, karena ada beberapa bahan bakar / sumber alternatif yang terbukti mampu menghasilkan listrik, walaupun mahal. Hanya dalam jangka waktu 150 tahun, gas alam telah berkembang dari sekadar produk sampingan eksplorasi minyak mentah, menjadi pemasok 20% dari bauran energi dunia. Pertumbuhan produksi gas Indonesia selama 45 tahun terkahir, dibandingkan dengan produksi minyak mentah, ditunjukkan di gambar 7-1. Walau target utama usaha perluasan dan eksplorasi yang disarankan dalam Kajian ini adalah gas alam42 (lihat Gambar 7-2), namun akan ada penemuan minyak mentah ikutan yang akan mungkin banyak. Eksplorasi sekarang menjadi ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan, dan penerapan teknologi menghasilkan banyak peningkatan mutu dalam industri ini Selain peluang untuk “konektivitas” yang semakin baik, eksplorasi peningkatan pemanfaatan sumberdaya gas memberikan: pengurangan emisi pembangkit listrik dan industri; perluasan 42 Memang
komponen pasokan gas yang meningkat diberi label atau disebut sebagai CBM dan Shale Gas, dengan adanya ekplorasi yang diperkirakan akan dilakukan, peningkatan ini dapat diambil dari sumberdaya gas konvensional atau non-konvensional lain. Sebutan CBM dan Shale Gas dipergunakan berdasarkan pada inklusi (pencantuman) MEMR dengan kadar tinggi dari sumberdaya potensial CBM dan Shale Gas, dalam presentasi tentang sumberdaya gas Indonesia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
81
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
pasokan energi dengan biaya lebih rendah untuk Kawasan Timur Indonesia; bahan bakar transportasi untuk penggunaan dalam negeri dan bahan bakar yang disimpan untuk kapal dengan tujuan pasar internasional (di mana standar emisi yang ketat membatasi ekspor barang Indonesia); dan pengaruh perdagangan / geopolitis yang meluas karena mitra dagang mencari energi yang lebih bersih dengan harga yang kompetitif. Indonesia, dengan potensi ditemukannya minyak dalam jumlah besar, dapat menyusun dan menambah pengembangan sistem sosial dan infrastruktur, yang tanggap dengan alternatif yang fleksibel terhadap peluang yang datang, juga meningkatkan keamanan pasokan untuk kepentingan nasional. Menegaskan dan memulai transisi ini dalam waktu dekat akan memberikan opsi-opsi untuk generasi mendatang, ketika bidang / teknik / lokasi baru menawarkan peluang pengembangan – sebagaimana sistem jalur pipa AS mampu dengan cepat mengkapitalisasi manfaat energi berbiaya rendah yang melekat dalam “peluang fracking”.
GAMBAR 7-1: PRODUKSI MINYAK DAN GAS INDONESIA
Sumber: Statistik BP
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
82
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
GAMBAR 7-2: ESTIMASI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA GAS SAMPAI DENGAN 2050
Sumber: Estimasi Pandawa
7.1
Kesimpulan
Perubahan mendasar dalam nilai energi telah mempercepat lepasnya hubungan antara produk berbasis minyak bumi dengan gas – hubungan historis yang menjadi fondasi pengembangan sektor ekspor gas Indonesia. Dengan paradigma baru ini, Indonesia berjuang untuk menyesuaikan diri dengan persaingan gas-vs-gas dalam perencanaan ekonomi untuk masalah dalam negeri. Kepentingan bermodal besar yang sama, atau mirip, telah mengendalikan kegiatan energi di Indonesia selama hampir 50 tahun. Pembagian tangung jawab energi menjadi bidangbidang baru untuk mengakui perubahan sifat peran energi dalam ekonomi global, akan menghasilkan efisiensi dan konektivitas, walau peluang ini mungkin terlihat berbeda dan karena itu sulit untuk dipahami, dan menghadapi penolakan dari merka yang merasakan manfaat dari jalur tradisional yang saat ini dipergunakan dalam industri . Sebagai contoh, penetapan dan pemberian konsesi minyak dan gas baru yang semakin banyak.dapat dipercepat melalui langkah ke peran tambahan untuk BKPM, di mana proses permohonan dan persetujuan sedang mengalami reformasi besar. Selain itu, BKPM adalah “ujung tombak” untuk bertemu dan menarik FDI, jadi memerlukan pemahaman yang global dan mendalam tentang perencanaan energi – tentang pasokan dan permintaan. Pengendalian kepentingan batu bara telah bergeser dari kepemilikan berbasis asing tradisional sebelum 1997, ke industri yang dimiliki dan dikendalikan secara dalam negeri, ditambah beberapa investor asing baru, termasuk Cina, dengan peningkatan efektivitas yang nampak jelas dari lobi batu bara, versus sektor minyak dan gas yang masih didominasi oleh investasi asing tradisional. Akan tetapi, semakin meningkatnya pemahaman umum tentang peran emisi dalam mendorong perubahan .lingkungan global telah membawa ke pergeseran prioritas dan perihal penting di antara sumberdaya energi. COP 21 akan menjadi peluang bagus dalam Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
83
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
kerjasama dunia terkait emisi, dan Indonesia secara politis cerdik dan mengambil sikap proaktif terkait pemanfaatan gas. Pasar tradisional seperti Eropa semakin melemah, sedangkan Amerika Utara, melalui revolusi pasokan energi (shale oil dan gas), siap untuk mengendalikan pertumbuhan gas dan petro-kimia yang terkait dengan gas. Ini telah membawa ke penguatan posisi geopolitis Amerika dalam kaitannya dengan sumberdaya gas. Perekonomian di Timur Jauh tampaknya siap untuk mendominasi peluang pertumbuhan di seluruh dunia, karena usaha untuk meningkatkan standar hidup memicu kegiatan ekonomi di negara-negara di Timur Jauh. Indonesia, khususnya, siap untuk merebut manfaat dari pembuatan keputusan berdasarkan pada nilai ekonomi terbesar untuk negara secara keseluruhan (“Kepentingan Umum”) dan telah mengambil langkah berani dalam menangani alokasi aplikasi bernilai tambah Energi terbarukan berjuang untuk mendapatkan peran lebih besar dalam bauran energi, namun biaya dan proses pemanfaatan masih belum ada. Memadukan mimpi terbarukan kedalam aspirasi dalam negeri Indonesia dan internasional memerlukan sistem pengendalian dan pengimbangan (checks and balances) yang kuat. . Kajian ini menemukan bahwa bahan bakar fosil akan diproduksi dan dipergunakan dalam jumlah yang semakin besar dalam waktu mendatang yang diperkirakan – sekurangkurangnya selama beberapa dekade. Sumberdaya gas Indonesia menawarkan nilai yang bagus dan memberikan transisi yang sempurna menuju zaman dominasi energi terbarukan. Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengembangkan sumberdaya gas berpotensi menilmbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia – sebagai pemilik sah dari semua sumberdaya negeri ini.
7.2
Rekomendasi
Kebijakan terkait sektor minyak dan gas secara tradisional dikelola terutama oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, dengan peran langsung Kemenkeu yang lebih kecil. Beberapa rekomendasi yang dibuat dalam laporan ini mencakup masalah teknis sektoral dan fiskal. Kemungkinan besar reformasi kebijakan yang logis akan dirumuskan di kedua Kementerian tersebut, dengan koordinasi erat dalam pengembangan reformasi secara bersama. Seperti dijabarkan di bawah ini, beberapa reformasi utama yang menyertakan pertimbangan kebijakan fiskal penting meliputi: (i) langkah untuk meningkatkan eksplorasi gas non-konvensional, termasuk sistem fiskal yang tepat dan belanja publik yang memadai untuk infrastruktur pendukung eksplorasi; (ii) pertimbangan reformasi desentralisasi fiskal untuk meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah; (iii) perubahan untuk kontrak kerja sama, terutama yang terkait dengan sistem fiskal, yang menjadi dasarnya dan yang menjadi masalah penting bagi Kemenkeu; (iv) perubahan final untuk Rancangan UU Minyak dan Gas dan Rancangan Peraturan Pengelolaan Mata Rantai Pasokan Gas – termasuk pertimbangan insentif eksplorasi, pendanaan untuk infrastruktur gas dan pembiayaan, dan peningkatan efisiensi untuk penentuan harga gas dalam negeri melalui pendekatan yang lebih berorientasi ke pasar; (v) reformasi pengaturan kewajiban pasar dalam negeri dan penentuan harga dalam negeri yang menjadi masalah kebijakan ekonomi penting bagi Kemenkeu; (vi) mengkaji pengaturan pasar dan pembiayaan untuk membentuk Agregator gas dalam negeri; dan (vii) sangat penting bagi KEMENKEU untuk mempertimbangkan dimulainya Special Petroleum Fund (Dana Perminyakan Khusus) untuk
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
84
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
menyediakan pembiayaan yang telah ditentukan untuk mendukung eksplorasi sumber gas konvensional dan non-konvesional di masa depan. 1. Memperluas langkah untuk mempermudah eksplorasi dan eksploitasi sumber gas non-konvensional, seperti CBM. Rekomendasinya adalah sebagai berikut: a. Peraturan yang Tepat-Guna: Mengingat tantangan kondisi bawah permukaan yang dihadapi CBM, maka perlu ditemukan cara untuk mengurangi biaya. Saat ini peraturan untuk CBM masih sama seperti yang dipergunakan untuk minyak konvensional dan gas alam. Pengembang CBM telah meminta selama beberapa tahun agar peraturan tepat-guna dikeluarkan, untuk mempertimbangkan kenyataan bahwa lebih banyak sumur CBM perlu dibor dibandingkan dengan sumur minyak konvesional dan gas alam, yang tidak begitu mahal. Akibatnya, biaya pengboraan saat ini harus dikurangi. Dalam presentasi yang disampaikan Menteri ESDM di hadapan DPR beberapa minggu lalu, terkait perubahan yang diusulkan untuk UU Minyak dan Gas, Kebutuhan meningkatan peraturan untuk gas non-konvensional diakui. Namun ini tidak disebutkan dalam rancangan teks yang baru-baru diselesaikan tentang UU yang diubah ini (dikaji di atas dalam laporan ini). Langkah harus diambil untuk memastikan bahwa ini disebut khusus dalam versi final perubahan atas UU Minyak dan Gas 2001. b. Meningkatkan Proses Perijinan dan Akses Lahan: Perlu mempercepat dan menyederhanakan proses persetujuan ijin lahan. Layanan satu-atap diperlukan. Perlu juga melakukan deregulasi proses pengadaan dan persetujuan untuk mempersingkat waktu dan mengurangi biaya. c. Meningkatkan Laba atas Investasi CBM: Produsen CBM perlu memiliki akses prioritas ke pasar bernilai tinggi seperti pembangkit listrik dan industri dalam negeri, dan apabila mereka dekat dengan kilang LPG, dan ke pasar ekspor. Ketentuan fiskal yang baik akan meningkatkan usaha investasi CBM (sebagai contoh di AS, di mana deregulasi kredit banyak dilakukan, dan peraturan biasanya ditangani secara sederhana). Alasan mengapa ketentuan fiskal yang lebih baik diperlukan adalah karena banyak ladang CBM terletak jauh dari pusat kebutuhan, jadi menimbulkan biaya transpotasi yang tinggi untuk mengirim CBM ke pasar. 2. Pengaruh Pemerintah Daerah Pemerintah yang baru telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh pemerintah daerah (melalui BUMD) yang bermitra dengan pihak ketiga dalam pengelolaan Kepentingan Penyertaan (PI, Participating Interest) 10% mereka, seperti disebutkan di Bab 6, dengan jalan mengeluarkan peraturan untuk menangani ini. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa PI pemerintah daerah dalam blok minyak dan gas menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal seperti yang diinginkan. Pemerintah daerah tidak diperbolehkan lagi di membentuk tim dengan investor swasta, apabila mereka diberi PI dalam KKS minyak dan gas yang baru, dan hanya boleh membentuk kerjasama dengan BUMN atau perusahaan investasi yang dibentuk oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah Daerah juga dilarang menggunakan PI sebagai jaminan pinjaman. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
85
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Walaupun peraturan baru tersebut akan bermanfaat, namun Kontraktor Kontrak Kerja Sama perlu mengambil langkah lebih lanjut untuk menangani meningkatnya pengharapan masyarakat daerah. Salah satu cara untuk membantu penanganan ini adalah memastikan bahwa dana CSR, yang harus disisihkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama, memang dipergunakan untuk proyek-proyek yang menangani kebutuhan masyarakat daerah, apabila memungkinkan. Untuk melakukan ini mungkin harus melawan tekanan, yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah untuk menyalurkan dana ini ke proyek lain yang memberi manfaat lebih sedikit bagi masyarakat daerah. 3. Rekomendasi untuk mengatasi masalah kontrak kerja sama (KKS) Jenis utama kontrak yang dipergunakan oleh pemerintah untuk eksplorasi dan produksi minyak dan gas, adalah sebagai berikut: -
Konsesi, di mana kontraktor memiliki minyak dan gas didalam tanah; Kontrak kerja sama (KKS), di mana kontraktor memiliki sebagian minyak dan gas setelah dikeluarkan dari dalam tanah; Kontrak Layanan (SC), di mana kontraktor menerima ongkos untuk menyedot minyak dan gas dari dalam tanah; dan Usaha Patungan (JV), di mana Negara melakukan kemitraan dengan satu atau lebih perusahaan minyak dan gas.
Semua jenis kontrak harus menangani dua masalah utama: cara membagikan keuntungan antara pemerintah dan perusahaan yang ikut serta, dan cara memperlakukan biaya Pemerintah Indonesia (Menteri ESDM) telah menunjukkan bahwa jenis-jenis kontrak tersebut mungkin terbuka terhadap masuknya Kontrak Layanan dengan perusahaan swasta, sebagai alternatif sistem KKS saat ini. Nampaknya Pemerintah Indonesia juga sedang mempertimbangkan bentuk JV dengan jalan mengundang perusahaan untuk ikut Usaha Patungan (JV) dengan Negara, yang diwakili oleh BUMN khusus ( BUMN – K) dalam satu KKS. Ringkasan tingkat tinggi tentang pro dan kontra terkait dengan setiap bentuk kontrak, adalah sebagai berikut: -
-
Konsesi telah dhapus dari evaluasi ini, karena diasumsikan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mempertimbangkan penerapan model kontrak ini, karena pemberian kepemilikan minyak dan gas didalam tanah ke perusahaan swasta bertentangan dengan UUD. Kontrak kerja sama. Kepemilikan minyak dan gas tetap dipegang oleh Negara, dan Kontraktor berhak melakukan eksplorasi minyak dan gas untuk menyedot minyak dan gas atas nama pemerintah, serta memiliki dan menjual beberapa bagian minyak dan gas yang telah disedot. Perusahaan swasta berhak atas perolehan kembali biaya modal yang mereka tanam, dan biaya operasional apabila eksplorasi berhasil dan kemudian minyak dan gas diproduksi. Setelah biaya dipulihkan, “minyak keuntungan” dibagi menurut pembagian persentase yang disepakati dengan pemerintah.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
86
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Keuntungan utama bagi Negara adalah bahwa: Semua risiko finansial dan operasional ditanggung oleh perusahaan swasta, dan pemerintah dapat berbagi keuntungan tanpa harus melakukan investasi. Kerugian utama bagi Negara adalah bahwa: Perolehan kembali biaya dapat menjadi masalah yang kontroversial, dan pemerintah perlu menjelaskan dengan jelas ke masyarakat umum dan pemangku kepentingan lain bahwa ini tidak menyertakan pemberian dana Negara ke perusahaan swasta, namun mengembalikan uang yang telah ditanam oleh perusahaan tersebut dengan risiko mereka sendiri untuk eksplorasi produksi minyak dan gas, apabila berhasil. Pemerintah perlu juga menekankan bahwa, apabila eksplorasi tidak berhasil, maka tidak ada biaya yang akan dikembalikan ke perusahaan swasta yang melakukan eksplorasi, jadi Negara tidak rugi sama sekali. . - Kontrak Layanan. Sama seperti KKS, Kontrak Layanan tidak memberikan kepemilikan minyak didalam tanah ke perusahaan swasta. Akan tetapi, tidak seperti KKS, perusahaan tidak pernah mengambil kepemilikan minyak dan gas dihasilkan tapi, sebagai gantinya, menerima pembayaran ongkos layanan yang mereka berikan untuk menyedot minyak dan gas pemerintah. . Keuntungan utama bagi Negara adalah bahwa: Perusahaan swasta (Kontraktor Layanan) memberi pemerintah layanan ahli dan informasi untuk membantu Negara dalam mengembangkan sumberdaya minyak dan gasnya. Setelah cadangan minyak dan gas ditemukan, kontraktor wajib mengembangkan cadangan ini dan membantu produksi dan dapat juga diharapkan untuk memberikan peralatan dan melatih karyawan untuk operasi fasilitas. Pemeritah tetap memegang kepemilikan sumberdaya gas dan minyak da, di akhir kontrak, biasanya semua aset yang dipergunakan dialihkan ke pemerintah. . Kerugian utama bagi Negara adalah bahwa: Karena hanya sebagai Kontraktor Layanan, perusahaan swasta hanya memiliki sedikit kendali atas operasinya (bandingkan dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama), yang mungkin akan mengorbankan integritas teknis dan, tanpa ekuitas dalam minyak yang dihasilkan, perusahaan menjadi kurang termotivasi untuk menggunakan inovasi teknis. - Usaha Patungan (JV) melibatkan negara, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menanda-tangani kemitraan dengan perusahaan swasta. Umumnya JV diberi hak untuk eksplorasi, pengembangan, produksi dan penjualan minyak dan gas. Namun ada banyak bentuk JV dan ini kurang umum dipergunakan sekarang oleh pemerintah, sebagai perjanjian dasar antara pemerintah dan perusahaan swasta. Keuntungan utama bagi Negara adalah bahwa: JV membuat BUMN mendapatkan akses ke dan belajar dari keahliaan perusahaan swasta, juga berbagi risiko dengan mereka. Kerugian utama bagi Negara adalah bahwa: Perundingan dapat bertele-tele dan keputusan harus dicapai terkait cara membagi biaya dan keuntungan. Kesimpulannya, tidak mengejutkan apabila setiap bentuk kontrak menimbulkan keuntungan dan kerugian bagi pemerintah dan perusahaan minyak dan gas swasta. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
87
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Akan tetapi, mengingat pemerintah telah menyatakan bahwa kemungkinan masih terbuka untuk memasukkan Kontrak Layanan (yang masuk dalam definisi “Kontrak Kerjasama”, seperti ditetapkan dalam UU Minyak dan Gas saat ini), dan karena telah disebutkan di Bagian 6.3 bahwa survei yang baru-baru ini dilakukan oleh PwC menemukan bahwa para responden survei nampaknya terbuka terhadap ide pembahasan model “sistem royalti dan pajak” (yaitu Kontrak Layanan) dengan Pemerintah, maka disarankan pembahasan perlu dilakukan antara pemerintah dan industri tentang masuknya Layanan Kontrak dan kemungkinan ini, bersama dengan kelanjutan Kontrak kerja sama, perlu dipertimbangkan dalam Perubahan atas UU Minyak dan Gas 2001. 4. Perubahan atas UU Minyak dan Gas: Menangani rancangan ketentuan yang mungkin akan menghambat pemanfaatan gas alam -
Wilayah operasional: Sistem baru yang diusulkan untuk alokasi lahan baru mungkin akan mengurangi minat perusahaan minyak dan gas (kecuali Pertamina) untuk mengikuti tender lahan baru. Perlu ditekankan ke pemerintah (ESDM) bahwa ini akan bertentangan dengan tujuan yang ditetapkan (dalam rancangan UU) untuk “Memastikan bahwa minyak dan gas tersedia sebagai sumber energi dan sebagai bahan mentah untuk memenuhi pengguna akhir dalam negeri, dan juga untuk menjaga ketahanan energi nasional”. Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah untuk memastikan ketersediaan gas produksi dalam negeri dalam jangka panjang agar kebutuhan masyarakat terpenuhi (sesuai dengan UUD), dan menjaga ketahanan energi. Pemerintah perlu mengambil langkah untuk mendorong investasi eksplorasi, dan melibatkan perusahaan minyak dan gas yang siap mempertaruhkan modal mereka sendiri dalam bidang berisiko tinggi ini. Disarankan bahwa pemerintah perlu mencari umpan-balik (feedback) dari industri untuk menentukan insentif yang diperlukan untuk memastikan ketersediaan gas produksi dalam negeri dalam jangka panjang.
-
Infrastruktur Gas : Dengan terbentuknya satu atau lebih Agregator Gas, yang akan menjadi BUMN, pembangunan infrastruktur baru mungkin akan tergantung pada ketersediaan Dana Negara. Perlu ada persyaratan bahwa Agregator Gas harus mengikuti tender semua proyek infrastruktur, dan larangan atau pembatasan pada BUMN ini untuk mengikuti tender ini.
-
Memprioritaskan Pemanfaatan Gas Dalam negeri: Disarankan bahwa pemerintah perlu menjalankan kebijakan yang masih memungkinkan banyak bagian dari total produksi gas untuk dijual dan diekspor. Kemungkinan akan semakin besar untuk mendapatkan dana untuk proyek eksplorasi dan produksi gas yang berisiko / berbiaya tinggi di masa depan, apabila beberapa produksi gas dijual di pasar ekspor.
-
Penentuan Harga Gas: Disarankan dalam UU yang diubah perlu ada definisi lebih lanjut terkait cara Kementerian ESDM mengatur dan menentukan harga gas di masa depan, untuk memberi investor kepastian yang lebih besar.
5. Rancangan Peraturan tentang Pengelolaan Mata-Rantai Pasokan Gas Rancangan peraturan ini telah diberikan dengan sebaran terbatas sekitar dua bulan yang lalu. Setiap ketentuan utama dalam rancangan peraturan ini juga ditangani dalam rancangan perubahan atas UU Minyak dan Gas 2001, dan dampaknya juga telah dianalisis di atas. Namun rincian tambahan dalam peraturan ini benar-benar Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
88
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
memerlukan beberapa ulasan lebih lanjut, dan analisis tentang apakah ini dapat mendorong atau menghambat pemanfaatan gas di masa mendatang di Indonesia. -
Alokasi Gas: Sesuai dengan rancangan perubahan atas UU Minyak dan Gas, rancangan ini akan secara efektif membebankan DMO sebesar 100% dengan kemungkinan pengecualian yang pasti, seperti ketika pengembangan ladang menjadi tidak layak dari segi komersil dan tanpa peluang untuk menjual beberapa bagian produksi di pasar ekspor. Dampak dari ketentuan ini telah diulas. Peraturan ini juga menetapkan prioritisasi (peringkat) beberapa kelompok pengguna gas, dengan gas yang dipergunakan untuk meningkatkan produksi minyak sebagai prioritas tertinggi dan gas yang dipergunakan sebagai bahan bakar industri sebagai prioritas terendah. Ini mirip dengan peringkat yang sekarang dipergunakan. Namun ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah akan lebih baik apabila memperbolehkan pasokan gas dialokasikan ke setiap pengguna akhir, berdasarkan dengan harga yang siap dibayar oleh setiap pengguna akhir, dibandingkan dengan mewajibkan pemerintah untuk mengurus hal tersebut untuk memastikan bahwa gas disalurkan ke pengguna akhir bernilai tertinggi?
-
Agregator Gas: Diusulkan bahwa beberapa Agregator Gas regional perlu dibentuk, bukan satu Agregator nasional. Karena proses menetapkan zona regional dan menunjuk pihak-pihak yang menjadi Agregator nasional mungkin akan panjang, maka disarankan peraturan memungkinkan proses dua-tahap, dengan Agregator nasional ditunjuk lebih dahulu lalu Agregator regional dipilih di kemudian hari. Ini untuk menghindari risiko penundaan lama dalam pembentukan konsep Agregator.
-
Penentuan Harga Gas: Hal ini dibahas dengan rinci di bagian lain dari laporan ini. Perlu disebutkan di sini bahwa rekomendasi penentuan harga acuan yang dirinci dalam laporan GDMP, hanya tercerminkan sebagian dalam peraturan ini, dan ada ketidak-terkaitan antara penentuan harga di hulu dan di hilir. Dalam salah satu bagian peraturan, harga acuan yang diusulkan dipergunakan untuk pengguna di hilir, tanpa pedoman untuk menentukan harga di hulu, sedangkan di bagian lain ada acuan untuk harga bagi pengguna akhir di hilir, yang dibuat dari biaya pembelian di hulu plus biaya infrastruktur. Pasal-pasal ini perlu diperluas dan diperjelas, dan ketidak-konsistenan dibuang, serta membuat tujuan harga acuan dan perhitungannya menjadi lebih eksplisit.
6. Rekomendasi terkait Penentuan Harga Gas dan Agregator Gas. Perihal berikut didasarkan pada rekomendasi yang dibuat dalam GDMP. -
Penentuan Harga Gas. Elemen utama dari mekanisme penentuan harga acuan untuk gas yang dipasok ke pengguna dalam negeri, yang Rencana Induk Pengembangan gas (GDMP), adalah sebagai berikut. o Gas yang dibeli dari produsen untuk memasok pasar dalam negeri, melalui kontrak yang ditanda-tangani setelah sistem baru ini berlaku (melalui penerbitan peraturan baru), akan ditentukan harganya dengan Harga Acuan o Harga Acuan tidak berlaku bagi gas yang dibeli dari impor (LNG atau gas pipa), dan gas yang dibeli dari produsen untuk memenuhi kontrak penjualan dalam negeri yang ditanda-tangani sebelum berlakunya sistem baru. o Harga Acuan akan mencerminkan nilai gas yang dibeli untuk masyarakat Indonesia. Harga ini akan ditentukan setiap tahun oleh Meenteri ESDM, dengan menggunakan rumus yang ditetapkan oleh Menteri. Harga Acuan harus dihitung sebagai rata-rata pengimbang nilai gas yang dipergunakan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
89
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
o
o
-
dalam sektor ekonomi pengguna gas terbesar (dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya dua per tiga konsumsi gas dalam negeri). Nilai gas di setiap sektor akan diwakili oleh biaya bahan bakar alternatif yang dipergunakan (atau sumber pasokan alternatif). Estimasi biaya ini dan nilai gas yang dihasilkan akan transparan dan menggunakan data yang tersedia bagi publik. Disarankan bahwa untuk awalnya rumus dapat menggunakan menggunakan indek harga alternatif berikut ini: : Industri: Minyak Bahan Bakar (Platts Singapore) Pembangkit Listrik: Batu bara (ICE Newcastle Coal); dan Pupuk: Urea Impor: (Granular Urea FOB, Mesir) Menteri ESDM akan menentukan satu Harga Acuan untuk seluruh Indonesia tapi, setelah sekurang-kurangnya tiga tahun, akan menentukan harga acuan tersendiri untuk berbagai daerah yang berbeda (di mana campuran konsumsi banyak berbeda).
Agregator Gas (Berdasarkan pada rekomendasi dalam GDMP) o Satu Agregator Gas akan dibentuk. Agregator ini akan membeli gas yang dipasok ke pasar dalam negeri, lalu menjual lagi gas ini ke pengguna dengan harga yang seragam dan yang mewakili rata-rata biaya pembelian gas berdasarkan volume, dengan tambahan margin untuk memperoleh kembali biaya Agregator. Harga ini menjadi rata-rata tertimbang dari gas yang dibeli dari produsen menurut mekanisme Harga Acuan Gas yang baru, dan gas yang dibeli dari produsen dan yang tidak tunduk pada ketentuan Harga Acuan Gas yang baru (yaitu, yang memiliki kontrak yang ditanda-tangani bersama pengguna akhir dan yang berlaku sebelum mekanisme baru ini dijalankan). o Pengguna akhir yang membeli gas dari Agregator bertanggung-jawab atas biaya penyaluran dan distribusi gas. o Apabila volume gas yang dibeli dari produsen tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pengguna gas. Maka Agregator dapat menjalankan kontrak dengan importir gas. Biaya pembelian seperti ini akan dicantumkan dalam rata-rata tertimbang dari biaya gas. o Apabila volume gas yang dibeli dari produsen melebihi kebutuhan pengguna gas dalam negeri, maka Agregator dapat menjual gas ini ke pasar ekspor. o Menteri ESDM dapat menunjuk satu Agregator untuk seluruh Indonesia, atau dua atau lebih Agregator untuk melayani berbagai daerah. Dalam kasus yang disebut terakhir ini, perlu menetapkan pangaturan dan harga transfer gas ke beberapa Agregator regional yang berbeda, untuk memastikan bahwa pasokan dan kebutuhan gas sudah seimbang. o Agregator akan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di mana semua ekuitas dimiliki oleh Negara dan dijamin oleh Pemerintah Indoneisa (untuk memberikan kepastian bagi para KKS bahwa Agregator patut dipercaya). Disarankan bahwa BUMN ini merupakan bentukan baru untuk menghindari konflik kepentingan. o Dewan Direksi (dan Dewan Komisaris) dari Agregator harus independen atau lepas dari semua produsen dan pengguna gas di Indonesia untuk memasttikan kesetaraan perlakuan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
90
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
7. Dana Perminyakan (Petroleum Fund) untuk Mendukung Kegiatan Eksplorasi (seperti kurangnya data yang handal) Banyak negara lain memiliki dana ini (seperti Norwegia, Kanada, AS dan Azerbaijan), yang berhasil dijalankan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Dana yang diusulkan untuk dibentuk oleh ESDM nampaknya menjadi inisiatif logis, dan dapat menjadi penggunaan secara produktif dari dana yang tersedia dalam bonus tanda-tangan (signature bonuses) yang ESDM terima dari peserta tender yang berhasil memperoleh lahan KKS baru. Disarankan juga untuk memfokuskan belanja pada survei geologis di daerah perbatasan. Apabila hasil survei ini tersedia bagi industri, maka ini akan secara umum dapat membangkitkan minat untuk eksplorasi di perbatasan dan, apabila ada prospek dan arahan dari survei ini, maka persaingan akan semakin banyak di bidang ini. Perlu dicatat bahwa, dalam pembahasan yang telah dilakukan selama dua tahun terakhir tentang isi perubahan atas UU Minyak dan Gas 2001, Dana Perminyakan harus disebutkan secara khusus dalam UU baru ini. Rancangan perubahan atas UU saat ini tidak menyebutkan ini. Disarankan ini perlu ada dan versi akhir dari perubahan atas UU tersebut.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
91
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lampiran 1: Emisi A.1.1 Emisi Dunia – Latar Belakang Telah ditunjukkan bahwa kegiatan manusia memperbanyak konsentrasi gas rumah-kaca (GRK). Sekitar 36 miliar ton CO2 saat ini dipancarkan ke atmosfir setiap tahun. 75% dari emisi ini berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, dan sisanya karena penggundulan hutan (Global Carbon Project). Gas yang diketahui menjadi pendorong meningkatnya akumulasi GRK adalah carbon dioxide (CO2), methane (CH4), nitrous oxide (N2O), sulphur hexafluoride (SF6), hydro fluorocarbons (HFC), per fluorocarbons (PFC), and senyawa lain yang menghabiskan ozon stratosfir. Namun apabila orang membicarakan jumlah emisi GRK, maka yang umumnya dimaksud adalah jumlah emisi CO2. CO2 dipancarkan dan diserap oleh bumi di atmosfir, laut dan depresi tanah (land sink). Kegiatan manusia mengurangi kemampuan laut dan tanah untuk mentralisir GRK. Akibatnya, banyak CO2 dan gas rumah-kaca lain terserap dan tertinggal di atmosfir, seperti ditunjukkan pada Gambar A.1.1. Semakin banyak konsentrasi CO2 dan gas rumah-kaca lain menumpuk di atmosfir selama beberapa dekade. Konsentrasi yang tebal dan semakin banyak ini menimbulkan pengaruh buruk pada spektrum radiasi gelombang panjang yang keluar dari sistem atmosfir bumi. Peningkatan suhu yang diakibatkan di atmosfir bawah dikenal sebagai pengaruh rumah-kaca anthropogenic (gas rumah-kaca yang diakibatkan oleh kegiatan manusia).
Gambar A.1.1: Depresi (Sink) Karbon Global 45
atmospheric growth
ocean sink
land sink
40 35 GtCO2/year
30 25 20 15 10 5 1959 1961 1963 1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013
0
Sumber: Global Carbon Project
Pada waktu lalu GRK membawamenimbulkan pengaruh yang positif terhadap bumi, karena memanaskan bumi sampai dengan ke tingkat yang membuatnya dapat dihuni. Namun pengaruh rumah-kaca anthropogenic telah meningkatkan kecepatan akumulasi gas di atmosfir dan menimbulkan dampak buruk pada bumi. Pemanasan global ini mendorong Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
92
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
perubahan iklim. Kejadian ekstrim seperti kebakaran hutan yang lebih sering, periode kekeringan yang lebih lama di beberapa daerah seperti di Indonesia, dan peningkatan jumlah, durasi dan intensitas badai tropis adalah beberapa contoh dari pengaruh perubahan iklim yang saat ini dialami. Faktor yang memberikan kontribusi besar dalam peningkatan emisi adalah konsumsi bahan bakar fosil, seperti ditunjukkan dalam Gambar A.1.2. Pada tahun 1960, emisi dari bahan bakar mencapai 60,1% dari total emisi dan, sampai dengan tahun 2013, proporsi ini meningkat sampai dengan 86,1%. Pendorong peningkatan emisi ini dari bahan bakar fosil adalah kebutuhan energi yang semakin banyak sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Gambar A.1.2: Emisi Global menurut Sumber Coal
Oil
Gas
land‐use change emissions
others
12
CO2 Emission (GtC/year)
10 8 6 4 2
1959 1961 1963 1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013
0
Sumber: Global Carbon Project
A.1.2 Emisi Indonesia Diperkirakan sumber GRK terbesar Indonesia pada tahun 2020 adalah sektor-sektor berikut: hutan dan lahan gambut, energi dan transportasi, serta pertanian, lihat Tabel A.1.1: Tabel A.1.1: Proyeksi Emisi Indonesia sampai dengan 2020 Emisi CO2e di 2020 BAU - Total Sektor Hutan dan lahan gambut Energi dan transportasi Pertanian Industri Air limbah Total pengurangan emisi
% Pengurangan BAU
Pengurangan RAN GRK
1344 1000 221 134 250 2950
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
672 38 40 2 15 767
50.0% 3.8% 18.0% 1.8% 5.9% 26.0%
93
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Walaupun target emisi dalam tabel di atas sedang diubah, namun petunjuk arah besarannya sudah jelas. Masalah terkait emisi energi akan terus meluas karena pemanfaatan energi tumbuh untuk mendukung peningkatan GDP. Dalam sektor energi dan transportasi, kegiatan pembangkit listrik menjadi sumber emisi terbesar di Indonesia, diikuti industri manufaktur dan transportasi. Dalam dasawarsa pertama abad ini, emisi yang dihasilkan oleh sektor pembangkit listrik Indonesia meningkat 69%. Akan tetapi, emisi di bangunan hunian, perusahaan komersial, layanan publik dan sektor lain telah menurun, masing-masing 38% dan 2%. Jadi secara total, emisi Indonesia antara tahun 2000 dan 2010 telah meningkat 51%, lihat Gambar A.1.3. Gambar A.1.3: Emisi CO2 per Sektor di Indonesia, 1980 – 2010 0,45 Other Sectors
GtCO2/year
0,40
Residential Buildings and Commercial and Public Services
0,35
Transport
0,30
Manufacturing Industries and Construction Electricity & Heat Production
0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0,00
Sumber: Carbon Dioxide Information Analysis Centre, United States.
Profil emisi Indonesia per jenis bahan bakar menunjukkan bahwa minyak masih menjadi emiten utama, diikuti oleh batubara. Minyak telah menjadi emiten GRK terbesar selama lebih dari 40 tahun; Indonesia adalah produsen utama minyak selama banyak tahun dan bahan bakar berbasis minyak menjadi fondasi untuk usaha industrialisasi pada tahun 60an, 70an dan 80an, dengan pemanfaatan batubara mulai meningkat pada tahun 80an. Antara periode 1999-2009, emisi dari pemanfaatan batubara meningkat 368%; dari minyak 81%; dan dari bahan bakar lain 85%, sedangkan emisi dari gas menurun 30%, lihat Gambar A.1.4.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
94
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.1.4: Sumber Emisi per Jenis Bahan Bakar, Indonesia, 1980 – 2009 0,50
Coal
Oil
Gas
Others
0,45 0,40 gtCO2/year
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0,00
Sumber: Carbon Dioxide Information Analysis Centre, United States.
Tren emisi mengikuti tren konsumsi bahan bakar. Minyak menjadi sumber utama energi untuk Indonesia, sampai batubara mulai banyak dipergunakan di Indonesia di awal tahun 80an. Harga batubara yang relatif lebih rendah menjadi faktor dalam tren peningkatan konsumsi batubara. Gambar A.1.5: Konsumsi Bahan Bakar Indonesia, 1980 – 2012 7 Coal
Oil
Gas
Others
10^ 9 mmbtu
6 5 4 3 2 1
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Sumber: Carbon Dioxide Information Analysis Centre, United States.
Bank Dunia (2010) menyarankan bahwa pemanfaatan gas alam lebih banyak dapat membantu Indonesia dalam mencapai targetnya untuk mengurangi emisi gas rumah-kaca sebesar 26% sampai dengan 2020. Juga diusulkan bahwa pergesaran penekanan dari batubara ke energi terbarukan akan membantu mempercepat gerakan Indonesia ke jalur Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
95
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
energi yang lebih berkelanjutan dari segi lingkungan. Pemanfaatan energi di sektor transportasi adalah sumber emisi terbesar kedua di Indonesia, dan yang tumbuh paling cepat. A.1.3 Rencana Pengurangan Emisi Indonesia Target emisi Indonesia diatur melalui Peraturan Presiden no.61/2011, yaskni Rencana Aksi Nasional untuk Gas Rumah Kaca yang dikenal sebagai RAN-GRK. Selain mengatur kebijakan pemerintah terkait kegiatan untuk mewujudkan pengurangan emisi GRK di tingkat nasional, peraturan ini juga mengawasi kegiatan di tingkat regional melalui rencana yang dikenal sebagi RAD-GRK. Rencana-rencana aksi ini adalah hasil dari komitmen pemerintah di beberapa Konperensi Para Pihak (COP) dari Konperensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), COP 13, COP 15, COP 16, serta komitmen Indonesia di Konperensi G20 yang diselenggarakan di Pittsburgh. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi Emisi GRK, sebanding dengan usaha seperti biasanya sebesar 26% sampai dengan 2020 dengan usaha sendiri, dan sebesar 41% apabila ada bantuan internasional. Tahun dasar untuk memulai program mitigasi untuk mengurangi emisi ini adalah 2010 (Sekretariat RAN-GRK). Pasal pertama dari Peraturan Presiden no. 61/2011 membahas definisi istilah yang dipergunakan dalam rencana aksi ini, apakah emisi alami atau anthropogenic, yang diserap oleh attmosfir, dan periode tingkat emisi yang didefinisikan sebagai tingkat emisi gas rumahkaca tahunan. Target yang ditetapkan dalam Perpres 61/2011 adalah untuk mengurangi emisi di setiap sektor, seperti dirinci dalam Tabel A.12 di bawah ini. Table A.1.2: Targey Emisi GRK Indonesia sampai dengan 2020 per Sektor Sektor
Skema (gtCO2) 26% skema
%
41% skema
%
Pertanian
0,008
1,04%
0,011
0,93%
Hutan dan Lahan Gambut
0,672
87,61%
1,038
87,37%
Energi dan Transportasi
0,038
4,95%
0,056
4,71%
Industri
0,001
0,13%
0,005
0,42%
Pengelolaan Limbah
0,048
6,26%
0,078
6,57%
Total Source: Presidential Regulation no.61/2011
0,767
1,188
Peraturan Presiden ini memberikan dua lampiran yang menjelaskan aksi strategis yang diperlukan untuk mencapai target tersebut. Tentang sektor energi, sebagian besar rencana berhubungan dengan konversi konsumsi bahan bakar di transportasi, rumah-tangga, dan penggunaan energi baru dan yang terbarukan dalam pembangkit listrik dan industri. Sebagai contoh, strategi utama yang direncanakan untuk meraih target RAN-GRK terkait sektor Energi dan Transportasi khususnya, difokuskan pada: 1. Peningkatan penghematan energi; 2. Peningkatan pemanfaatan energi bersih, melalui penggantian bahan bakar; 3. Peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi yang terbarukan; 4. Penggunaan teknologi bersih dalam pembangkit listrik dan transportasi; Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
96
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
5. Pengembangan transportasi umum yang beremisi rendah dan ramah lingkungan Pengenalan dan pelaksanaan program 35.000 MW akan mempengaruhi sasaran emisi jangka pendek – implikasi seluruhnya dari program ini masih belum jelas. A.1.4 Penentuan Harga Karbon Identifikasi dan penentuan harga emisi karbon akan membantu dalam alokasi biaya lingkungan ke para emiten. Daripada mengarahkan siapa yang harus mengurangi emisi dan di mana serta bagaimana melakukannya, harga karbon memberikan sinyal ekonomi dan para pencemar memutuskan sendiri apakah menghentikan kegiatan mereka yang mencemari, mengurangi emisi atau terus mencemari dan membayar. Dengan cara ini, tujuan lingkungan keseluruhan tercapai dengan cara yang paling flesibel dan biaya terkecil bagi masyarakat. Harga karbon juga menstimulir teknologi bersih dan inovasi pasar, memicu pendorong karbon rendah yang baru untuk pertumbuhan ekonomi. Ada dua macam penentuan harga karbon: sistem perdagangan emisi (ETS) dan pajak karbon. Jenis pertama, ETS, kadang disebut sebagai sistem batas atas-dan-perdagangan. ETS menetapkan batas atas untuk tingkat total emisi gas rumah-kaca dan mengijinkan industri beremisi rendah untuk menjual kelonggaran ekstra ke emiten yang lebih besar. Dengan menciptakan pasokan dan kebutuhan kelonggaran emisi, ETS menjalankan harga pasar untuk emisi gas rumah-kaca. Batas atas ini membantu memastikan bahwa pengurangan emisi yang diperlukan terjadi untuk membuat emiten (dalam agregat) tetap berada dalam anggaran karbon yang dialokasikan sebelumnya. Gambar A.1.7 43 menunjukkan cara kerja sistem perdagangan emisi. Dengan sistem perdagangan emisi, setiap kredit memungkinkan suatu entitas untuk mengeluarkan emisi setara satu ton karbon-dioksida. Kredit ini menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan. Sebagai contoh, apabila suatu perusahaan mengurangi hasil polusi karbonnya sampai dengan di bawah batas atas, maka perusahaan ini dapat menjual kredit yang tak-terpakai ke perusahaan yang belum berhasil mengurangi emisi. Dinamika pasar pasokan dan kebutuhan akan menentukan harga kelonggaran ini.
43 Catatan: (i) Emisi perusahaan A di bawah batas atas, perusahaan ini memiliki teknologi lebih bersih dan dapat menjual kelebihan kreditnya untuk menerima pendapatan; (ii) Perusahaan B telah melampaui batas atas emisinya. Melalui sistem batas atas dan perdagangan, perusahaan B dapat membeli kredit untuk mengimbangi kelebihan emisinya. Sistem ini juga menjadi insentif moneter untuk bertindak bersih; (iii) Keseimbangan akan dihasilkan oleh proyek yang dirancang untuk mengurangi gas rumah-kaca.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
97
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.1.7: Sistem Batas Atas dan Perdagangan
Sumber: RBC Capital Market
Jenis kedua harga karbon berbentuk pajak karbon. Ini berarti pajak yang dikaitkan langsung dengan tingkat emisi karbon-dioksida (CO2) yang dihasilkan dari kegiatan manusia, Pajak karbon sering dinyatakan sebagai nilai per ton ekuivalen CO2. Melalui pajak ini, respon pasar yang diharapkan dari peningkatan harga adalah pengurangan emisi. Pengurangan ini mungkin datang dalam bentuk pengurangan konsumsi bahan bakar, peningkatan efisiensi bahan bakar, penggunaan bahan bakar bersih dan penerapan teknologi baru, yang dengan demikian mengakibatkan kegiatan bisnis dan perseorangan dapat mengurangi pajak karbon yang mereka bayar. . Pajak karbon dapat dikenakan dalam bentuk pajak per unit energi, atau jumlah konsumsi bahan bakar. Pajak ini dikenakan untuk membatasi konsumsi bahan bakar fosil dan, terlebih lagi, untuk menghilangkan produksi polutan. Tabel A.1.3 memberikan negara yang telah menerapkan pajak karbon langsung, dan jumlah karbon pajak per ton ekuivalen CO2 di tiap negara tersebut. Ada 14 negara telah melaksanakan atau menyetujui peraturan perundang-undanga untuk mengenakan pajak karbon. Baru-baru ini pada tahun 2014, Australia menghapus peraturan karbon yang dijalankan sebelumnya.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
98
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel A.1.3: Negara yang Melaksanakan Pajak Karbon No.
1
2
3
4
5
Negara /Juridiksi
Australia
British Kolumbia
Kosta Rika
Denmark
Finlandia
Jenis
Nasional
Subnasional
Nasional
Nasional
Nasional
Tahun Pelaksanaan
Ikhtisar / Cakupan
Tarif pajak
2012
Penentuan harga karbon Australia berlaku langsung pada sekitar 370 kegiatan usaha Australia, dan semula dirancang sebagai perintis skema “batas atas dan perdagangan”, dengan transisi ke harga yang lebih fleksibel dan dijadualkan terlaksana pada 1 Juli 2015. Setelah pergantian pimpinan politik baru-baru ini, Australia menghapus pajak karbon di bulan Juli 2014.
AUD 24,15 per tCO2e (2013)
2008
Pajak karbon berlaku pada pembelian atau penggunaan bahan bakar di propinsi. Semua pajak karbon adalah netral pendapatan; semua dana dari pajak ini dikembalikan ke masyarakat melalui pengurangan pajak lain.
CAD30 per tCO2e (2012)
1997
Pada tahun 1997, Costa Rica memberlakukan pajak polusi karbon pada 35% dari nilai pasar dari bahan bakar fosil. Pendapatan dari pajak ini untuk program Pembayaran Layanan Lingkungan (PSA) yang menawarkan insentif ke pemilik properti untuk mempraktekan pembangunan berkelanjutan daan pelestarian hutan.
3.5% pajak untuk bahan bakar hidrokarbon
1992
Pajak karbon Denmark mencakup semua konsumsi bahan bakar fosil (gas alam, minyak dan batubara), dengan ketentuan pembebasan sebagian dan pembayaran kembali untuk sektor yang masuk dalam EU-ETS, proses intensif-energi, barang ekspor, bahan bakar di kilang dan banyak kegiatan terkait transportasi. Bahan bakar yang dipergunakan untuk produksi listrik tidak dikenakan pajak karbon, namun pajak dikenakan pada produksi listrik.
USD31 per tCO2e (2014)
1990
Walau semula didasarkan pada kandungan karbon, pajak karbon Finlandia selanjutnya diubah menjadi kombinasi pajak karbon / energi. Pada awalnya pajak ini mencakup hanya produksi panas dan listrik, namun kemudian diperluas sampai dengan mencakaup transportasi dan bahan bakar pemanas.
EUR35 per tCO2e (2013)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
99
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
No.
6
7
8
9
Negara /Juridiksi
Perancis
Eslandia
Irlandia
Jepang
Jenis
Nasional
Nasional
Nasional
Nasional
Tahun Pelaksanaan
Ikhtisar / Cakupan
Tarif pajak
2014
Di bulan Desember 2013, parlemen Perancis menyetuji pajak konsumsi dalam negeri untuk energi, berdasarkan pada kandungan CO2, untuk konsumsi bahan bakar fosil yang tidak dicakup oleh EU ETS. Pajak karbon dimasukkan mulai 1 April 2014 untuk pemanfaatan gas, bahan bakar minyak berat dan batubara, menaikkan nilainya dari € 14,5/ tCO2 di 2015 sampai dengan € 22/ tCO2 di 2016. Dari 2015 dan selanjutnya,pajak karbon akan diperluas ke bahan bakar transportasi dan minyak pemanas.
EUR7 per tCO2e (2014)
2010
Semua importir dan ekspotir bahan bakar fosil cair (gas dan solar, bensin, bahan bakar pesawat terbang dan jet serta bahan bakar minyak) dikenakan pajak karbon, tanpa memandang apakah untuk diecer atau digunakan sendiri. Pajak karbon untuk bahan bakar fosil cair dibayarkan ke kantor bendahara, dengan (sejak 2011) tingkat yang mencerminkan harga karbon yang setara dengan 75% harga terkini dalam skema EU ETS.
USD10 per tCO2e (2014)
2010
Pajak karbon dibatasi pada sektor-sektor di luar EU ETS, dan juga tidak menyertakan emisi dari pertanian. Sebagai gantinya, pajak berlaku pada bensin, minyak berat, solar, minyak tanah, gas minyak cair (LPG), minyak bahan bakar, gas alam, batubara dan gambut, serta bahan bakar penerbangan.
EUR 20 per tCO2e (2013)
2012
Pajak Jepang untuk Mitigasi Perubahan Iklim mencakup pemanfaatan semua jenis bahan bakar fosil seperti minyak, gas alam dan batubara, tergantung emisi CO2nya. Khususnya, dengan menggunakan faktor emisi CO2 untuk setiap sektor, tarif pajak per unit kuantitas ditentukan sehingga setiap beban pajak sama dengan USD 2/tCO2 (mulai April 2014).
USD2 per tCO2e (2014)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
100
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
No.
10
11
12
13
Negara /Juridiksi
Meksiko
Norwegia
Afrika Selatan
Swedia
Jenis
Nasional
Nasional
Nasional
Nasional
Tahun Pelaksanaan
Ikhtisar / Cakupan
Tarif pajak
2012
Pajak karbon Meksiko mencakup penjualan dan impor bahan bakar fosil oleh pabrik pembuat, produsen dan importir. Ini bukan pajak untuk seluruh kandung karbon dari bahan bakar, namun untuk sejumlah tambahan emisi yang akan dihasilkan apabila bahan bakar fosil dipergunakan, bukan gas alam. Oleh karena itu, gas alam tidak dikenai pajak karbon, walau mungkin saja di masa depan. Batas atas tarif pajak adalah 3% dari harga jual bahan bakar. Perusahaan yang wajib membayar pajak ini dapat memilih membayar pajak dengan kredit dari proyek CDM yang dikembangkan di Meksiko, yang setara dengan nilai kredit pada saat membayar pajak.
MXN 10-50 per tCO2e (2014)* * Tergantung jenis bahan bakar
1991
Sekitar 55% dari CO2 Norwegia dipajak secara efektif. Emisi yang tidak tercakup oleh pajak karbon dicantumkan ETS negara ini, yang dikaitkan dengan ETS Eropa pada tahun 2008.
USD 4-69 per tCO2e (2014)* * Tergantung jenis bahan bakar dan pemanfaatan
2016
Makalah kebijakan Mei 2013 mengusulkan pajak masukan bahan bakar, berdasarkan pada kandungan karbon dari bahan bakar. Disepakati bahwa faktor emisi dan / atau prosedur tersedia untuk kuantifikasi emisi CO2-eq dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi untuk berbagai proses dan sektor. Pajak karbon akan mencakup semua emisi GRK langsung dari pembakaran bahan bakar, emisi proses industri, yang diharapkan dimulai Januari 2016.
R120/tCO2 (Tarif pajak yg diusulkan untuk 2016)* *Pajak diusulkan dinaikkan 10% per tahun sampai dengan akhir 2019
1991
Pajak karbon Swedia sebagian besar diperkenalkan sebagai bagian dari reformasi sektor energi, dengan sektor terpajak utama meliputi gas alam, bensin, batubara, minyak bahan bakar berat dan ringan, gas minyak cair (LPG) dan minyak pemanas rumah. Selama beberapa tahun, pembebasan pajak karbon telah meningkat untuk instalasi di bawah EU ETS, dengan peningkatan terkini dimulai dari 2014, untuk instalasi pemanas distrik yang ikut serta dalam EU ETS.
USD168 per tCO2e (2014)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
101
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
No.
14
15
Negara /Juridiksi
Swiss
Inggris
Jenis
Nasional
Nasional
Tahun Pelaksanaan
Ikhtisar / Cakupan
Tarif pajak
2008
Pajak Swiss mencaakup semua bahan bakar fosil, kecuali apabila dipergunakan untuk energi. Perusahaan Swiss dapat dibebeaskan dari pajak ini, apabila mereka ikut serta dalam ETS negara ini.
USD 68 per tCO2e (2014)
2013
Batas bawah harga karbon (CPF) Inggris adalah pajak untuk bahan bakar fosil yang dipergunakan untuk pembangkit listrik. Pajak ini mulai berlaku di April 2013 dan mengubah sistem Bea Perubahan Iklim (CCL) sebelumnya, melalui penerapan tingkat dukungan harga karbon (CPS) dari CCL untuk gas, bahan bakar padat, dan gas minyak cair (LPG) yang dipergunakan dalam pembangkit listrik.
USD15.75 per tCO2e (2014)
Sumber: Bank Dunia44
Dampak pajak karbon dapat dilihat dari pengalaman British Kolumbia (BC). British Kolumbia adalah propinsi di Kanada yang mengenakan tarif pajak karbon yang berbeda dengan tingkat nasional Kanada. BC mulai mengenakan pajak karbon pada 1 Juli 2008, berdasarkan pada USD 10 per ton emisi setara CO2. Pajak naik sebesar USD 5 per ton setiap tahun dan mencapai USD 30 per ton pada tahun 2012 (lihat Tabel A.1.4). Periode penahapan yang relatif lama ini sampai dengan mencapai tingkat USD 30 per ton, dimaksudkan untuk memberi masyarakat dan pengusaha waktu menyesuaikan kebiasaan dan pola pembelian mereka, dan untuk menghormati keputusan yang dibuat sebelum pajak diumumkan, seperti pembelian kendaraan. . Tabel A.1.4: Tarif pajak Karbon British Kolumbia Tanggal Berlaku
Tarif pajak USD /ton CO2
1 Juli 2008
10
1 Juli 2009
15
1 Juli 2010
20
1 Juli 2011
25
1 Juli 2012 30 Sumber: British Columbia Budget Fiscal Plan
B.C. sekarang memiliki tarif Pajak Penghasilan pribadi terendah di Kanada (dengan potongan tambahan yang menguntungkan masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat perdesaan), dan salah satu tarif pajak perusahaan terendah dalam OECD. Pada waktu yang sama, pajak karbon secara efektif telah mengurangi penyebab utama dari polusi karbon di BC, pembakaran bahan bakar fosil. Sejak pajak ini diberlakukan, penggunaan bahan bakar di BC menurun 16% (lihat Tabel A.1.5). Sebagai perbandingan, Target Kyoto Kanada adalah untuk mengurangi emisi sebesar 6% dalam 20 tahun.
44 Putting a Price on Carbon With Tax, diunduh dari
http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/SDN/background‐note_carbon‐tax.pdf
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
102
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel A.1.5: Konsumsi Produk Perminyakan Per Kapita yang Dikenai Pajak Karbon BC (% Perubahan) 2007/20082008/2009
2008/20092009/2010
2009/20102010/2011
2010/20112011/2012
2011/20122012/2013
2007/20082012/2013
British Kolumbia
-3,50%
-6,70%
-1,30%
-6,20%
0,70%
-16,10%
Bagian lain Kanada
-2,50%
-1,50%
6,80%
-1,70%
2,20%
3%
Sumber: Elgie, 2014
Sebuah laporan 45 tentang perkembangan konsumsi bahan bakar BC menunjukkan bagaimana pajak karbon menjadi pendorong utama perubahan, dan bahwa penurunan besar dalam pemanfaatan bahan bakar di BC bukan karena penurunan ekonomi global. Propinsi lain mengalami juga penurunan ekonomi, namun pemanfaatan bahan bakar mereka naik 3% selama 2008-2013. Penurunan pemanfaatan bahan bakar tersebut juga bukan karena pembelian gas lintas-batas. Sebuah kajian memperkirakan bahwa pembelian gas lintas-batas mencapai hanya 1-2% dari penurunan BC dalam pemanfaatan bahan bakar sejak 2008. Penurunan dalam gas ini juga bukan karena tren yang telah ada sebelumnya. Selama 2000-2008, pemanfaatan bahan bakar di BC sebenarnya meningkat 1,1% per tahun relatif terhadap semua bagian lain Kanada, sedangkan setelah 2006 pemanfaat ini turun 4% per tahun (lihat gambar A1.8). Gambar A.1.8: Penjualan Bahan Bakar yang Dikenai Pajak Karbon British Kolumbia, (2000 - 2013)
Sumber: Elgie, 2014
Pengaruh emisi karbon juga dapat dilihat dari pengalaman Australia. Australia menghasilkan 1,3% dari emisi global sedangkan, dengan basis per kapita, Australia merupakan emiten 45 Elgie, Stwert (2014), British Columbia’s Carbon Tax Shift: An Environmental and Economic Success, http://blogs.worldbank.org/climatechange/british‐columbia‐s‐carbon‐tax‐shift‐environmental‐and‐economic‐success
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
103
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
terbesar ke11 dari semua negara. Pembangkit listrik, penyulingan minyak dan pemrosesan gas adalah penghasil utama gas rumah kaca Australia. Sumber-sumber ini bertanggunjgjawab atas sedikit di bawah setengah dari semua emisi. Pajak karbon di Australia dimulai 1 Juli 2012. Skema ini mensyaratkan entitas yang menghasilkan emisi lebih dari 25.000 ton gas rumah kaca setara CO2 per tahun, dan bukan di sektor transportasi atau pertanian, untuk memiliki ijin emisi. Penentuan harga menjadi bagian dari paket umum reformasi energi yang disebut Rencana Energi Bersih, dan yang ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Australia sebesar 5% di bawah tingkat tahun 2000 sampai dengan 2020 dan 80% di bawah tingkat tahun 2000 sampai dengan 2050. Regulator Energi Bersih menjalankan skema ini. . Pajak karbon terbukti berhasil mengurangi emisi, dengan sektor yang tunduk pada mekanisme penentuan harga menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya. Sembilan bulan setelah penerapan skema penentuan harga, emisi karbon-dioksida Australia dari pembangkut listrik menunjukkan penurunan 10-tahunan. Australia menghapus aturan pajak karbon. Pengaruh penghapusan ini adalah untuk meningkatkan emisi, terutama dari bisnis pembangkit listrik. Produksi listrik mencapai sekitar sepertiga emisi rumah-kaca Australia. Seperti ditunjukkan pada Gambar A.1.9, emisi secara ajeg berjalan keatas. Sejak pajak karbon dihapus, batubara coklat menjadi lebih murah, relatif terhadap sumber lain, dan lebih banyak dipergunakan untuk membangkitkan listrik. .
Gambar A.1.9. Emisi Australia dari Pembangkit Listrik, Selama dan setelah Pajak Karbon, 2012 – 2014
Sumber: The Guardian46
46 Politics in 2014: the Coalition dished out slogans, and its sentence is clear, http://www.theguardian.com/australia-news/2014/dec/19/politics-in-2014-the-coalition-dished-out-slogans-and-itssentence-is-clear?CMP=share_btn_tw
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
104
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lampiran 2: Kajian Kasus PLN/PGN A2.1 Pendahuluan TOR meminta kajian kasus untuk pembangkit listrik, industri dan transportasi. Lampiran 2 ini memberikan latar belakang empiris, dukungan dan definisi pemanfaatan energi serta peluang mengembangkan dan melaksanakan strategi pengembangan gas emisi rendah. PLN menghasilkan ~ 70-80 % listrik di Indonesia, karena itu penanganan masalah bauran energi untuk PLN dan dampak pada sistem manajemen PLN yang saat ini kusut – kewajiban layanan publik yang tidak ekonomis, kurangnya identifikasi pasokan gas untuk perencanaan fasilitas, subsidi dari Pemerintah Indonesia dan masalah lain – membuat PLN menjadi pilihan yang tepat untuk kajian kasus. Demikian juga, dalam pasokan gas dan penyaluran gas, PGN sampai dengan kini menjadi pihak terbesar – dan kunci untuk struktur masalah penting ini – jad PGN dipilih agar dapat memberikan masukan berharga untuk kajian kasus tentang industri dan transportasi. Pemanfaatan gas sebagai bahan bakar transportasi dipelajari untuk kajian kasus, karena potensi pengurangan emisinya jelas, dengan banyak menerapkan dan meningkatkan pemanfaatan gas untuk transportasi. Akan tetapi, tanpa penyaluran gas ke konsumen, baik pembangkit listrik, industri maupun transportasi tidak akan memiliki pasokan gas yang cukup untuk menjalankan program emisi rendah. Oleh karena itu, kegiatan penyaluran gas di bawah PGN dipilih untuk kajian kasus. Meskipun demikian, masalah terkait perluasan pemanfaatan LNG untuk bis umum juga dicantumkan dalam bagian 4.2 di atas. Masalah dan peluang terkait strategi emisi rendah akan ditangani dalam kajian kasus PLN dan kajian kasus PGN. A2.2 Kajian Kasus PLN PLN memiliki banyak tantangan, termasuk karakteristik fisik “sistim” mereka. PLN dibagi menjadi tiga daerah operasional dengan parameter operasional yang terpisah dan berbeda, lihat Gambar A.2.1: 1. Sistem Jawa Bali – sebuah sistem terpadu dengan kapasitas penyaluran yang besar antar daerah serta lokasi pembangkit yang relatif besar, total ~ 30,000 MW, di mana ~ 60-70% listriknya dikonsumsi. 2. Indonesia Barat, di mana ada beberapa sistem yang tidak-berdekatan (noncontiguous) dan melayani daerah dengan kepadatan populasi yang rendah. 3. Kawasan Timur Indonesia yang bercirikan banyak pulau dengan populasi dan basis ekonomi yang relatif kecil. Seperti diharapkan, sebagian besar listrik yang dihasilkan dan pendapatan yang dikumpulkan berasal dari sistem Jawa Bali, lihat Gambar A.2.2 dan A.2.3
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
105
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.1: Daerah PLN
Gambar A.2.2: Pembangkit PLN per Daerah Gambar A.2.3: Pendapatan PLN per Daerah
Untuk menganalisis sifat emisi rendah dan efisiensi untuk gas, disusun estimasi biaya menghasilkan listrik dari batubara dan gas. Asumsi utama yang dipergunakan dalam analisis ini dijelaskan pada Tabel A.2.1. Lembar data lebih rinci disediakan dari penulis dalam lampiran yang tidak diterbitkan, apabila diminta namun tidak dicantumkan di sini.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
106
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tabel A.2.1: Asumsi dalam Perkiraaan Biaya yang Diratakan Bruto dan Neto (Gross and Net Levelized Costs) ASUMSI GLOBAL HHV
Bahan Bakar ICP HSD IDO FO
$X/$BCO $/Bbl Btu/Liter MMBTU/B $/MMBTU 1.00 100.00 36,800 5.851 17.09 1.24 124.00 36,939 5.873 21.11 1.22 122.00 38,437 6.111 19.96 0.83 83.00 39,685 6.310 13.15
2009 Pembangkit Listrik Berbasis Batubara yg Dipasang 7,420 Listrik yg Dihasilkan (GWH) 45,774 Tingkat Pemanfaatan 70% Harga Batubara 51.21 Harga Gas Pulang-Pokok (Break-Even) 7.30 $/MT, FOB EK Transport kcal/kg Btu/kcal $/MMBTU MMBTU/MT
2010 8,020 47,628 68% 64.4 7.80
51 64 3.5 3.5 5100 5100 3.968 3.968 54.710 67.900 20.2368 20.2368
2011 10,695 55,532 59% 83.61 8.50 84 3.5 5100 3.968 87.110 20.2368
2012 12,990 66,558 58% 69.06 8.00
2013 13,970 73,314 60% 61.07 7.60
69 3.5 5100 3.968 72.560 20.2368
61 3.5 5100 3.968 64.570 20.2368
Untuk awalnya, perhitungan dibuat dengan basis analisis “bruto”, karena tidak ada pertimbangan diberikan ke aliran pendapatan yang diterima oleh Pemerintah Indonesia dari pembagian gas, pembayaran batubara royalti dan Pajak Penghasilan. Biaya pembangkit bertenaga batubara dibuat untuk biaya modal dan efisiensi “konvesional” dan “superkritikal”, sedangkan untuk gas didasarkan pada kombinasi konfigurasi siklus. Setelah nilai-nilai ini ditentukan, biaya kurva pembangkit dikembangkan untuk biaya rendah, menengah dan tinggi untuk bahan bakar47 – batubara dan gas. Nilai-nilai ini menjadi dasar untuk Gambar A.2.4.
47
Harga dalam USD / MT utnuk batubara dana USD / BBL minyak mentah untuk gas.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
107
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.4: Biaya dan Emisi yang Diratakan Bruro (Gross Levelized)48
Sumber: Perhitungan Pandawa
Setelah analisis bruto selesai, biaya bahan bakar disesuaikan untuk pendapatan Pemerintah Indonesia dalam hubungannya dengan bagian gas Pemerintah Indonesia, pembayaran royalti dan Pajak Penghasilan. Nilai yang dihasilkan kemudian dipergunakan untuk menghasilkan Gambar A.2.5.yang disebut Biaya dan Emisi yang Diratakan Neto. Gambar A.2.5: Biaya dan Emisi yang Diratakan Neto (Net Levelized)
Sumber: Perhitungan Pandawa
Dalam uji empiris, pembangkit listrik berbasis batubara untuk Jawa selama 2009 sampai dengan 2013, berdasarkan biaya batubara yang diterbitkan49, dibandingkan dengan harga gas sebesar USD 7.00 / MMBTU, yang secara kasar mewakili biaya gas dari Sumatera dan 48 Listrik berbasis gas didasarkan pada kombinasi konfigurasi siklus. Listrik berbasis batubara didasarkan pada teknologi superkritikal. Batubara 5100 kcal dipergunakan dalam analisis ini.
49
Asosiasi Pertambangan Indonesia
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
108
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Jawa Timur ke PLN (Sistem Jawa – Bali). Analisis ini mengungkapkan potensi penghematan sebesar USD 2 miliar selama periode lima tahun (berkisar dari yang terendah sebesar USD 102 juta dalam tahun satu dan meningkat pada USD 682 juta pada tahun tiga), lihat Gambar A.2.6 dan A.2.7. Gambar A.2.6: Perbandingan Biaya Bahan Bakar Neto
Sumber: Perhitungan Pandawa
Gambar A.2.7: Penghematan Neto, Gas vs Batubara
Sumber: Perhitungan Pandawa
Penghematan sebesar >10% dari subsidi yang Pemerintah Indonesia berikan ke PLN selama periode ini. Akan tetapi, ini adalah analisis yang sangat kasar dan penghematan mungkin akan lebih besar apabila diselaraskan. Namun maksud analisis ini adalah untuk menunjukkan potensi dan peluang – sebagai masukan pikiran untuk perumusan kebijakan, lihat Gambar A.2.8 Jelas, apabila PLN memiliki akses lebih baik ke gas, maka PLN akan mampu mewujudkan banyak penghematan ini.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
109
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.8: Subsidi dan Penghematan Listrik, 2009 - 2013
A2.3 Kajian Kasus PGN PGN telah tumbuh cepat menjadi kekuatan utama dalam kegiatan gas dalam negeri. Dari operasi kecil senilai ~ USD 100 juta di akhir 80an, PGN telah menangkap berbagai peluang dan sekarang memiliki nilai pasar sebesar ~ USD 12 triliun, lihat Gambar A.2.9. Demikian juga, sejak menjalankan IPO pada tahun 2003, harga saham PGN (lihat Gambar 8) menunjukkan kinerja yang sangat bagus, walau penyusunan kembali harga eneri dunia, ditambah beberapa masalah investor, menyebabkan penurunan 10% di akhir 2014 / awal 2015. . Gambar A.2.9: Kapitalisasi Pasar PGN, 2008 – 2014
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
110
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.10: Harga Saham PGN, 2003 - 2014
PGN mendapatkan dukungan Pemerintah Indonesia, sebagai pemegang saham 45%, dan perlakuan yang menguntungkan dalam sistem regulasi Indonesia. Keuntungan dari kekuatan pasar yang membatasi untuk PGN dapat dilihat dari Laba atas Investasi yang ada dari kegiatan penyaluran dan distribusi, lihat Gambar A.2.11. Pengembalian yang diterima jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi yang sama di misalnya AS. Kapitalisasi dan pengembalian pasar yang tinggi, pada pokoknya, memberi manajemen PGN peran dalam penambahan infrastruktur dan promosi investasi yang berada di luar tatanan utilitas, yang dijinkan untuk menyediakan layanan dan melindungi kepentingan masyarakat. Protokol dan manifestasi keterlibatan ekstra-korporasi ini dibahas lebih lanjut di bawah dalam topik distribusi, penyaluran dan Kepentingan Umum. Gambar A.2.11: PGN jalur Pipa AS & LDC (ROE, ROR)
Sumber: PGN, AGA Utility Rate Case Data Base
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
111
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
A2.3.1 Distribusi PGN Pelanggan PGN, dilihat dari jumlah, sebagian besar adalah rumah-tangga, lihat Gambar A.2.12. Akan tetapi, apabila volume penjualan gas dipertimbangkan, maka pelanggan rumah-tangga hampir menghilang karena statistik dan penjualan didominasi oleh industri / pembangkit listrik dan penjualan komersial, lihat Gambar A.2.13. Gambar A.2.12: Bagian PGN dari Total Jumlah Pelanggan Distribusi
Gambar A.2.13: Volume Gas PGN yang Dijual per Klasifikasi Pelanggan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
112
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
PGN menentukan tarif penjualan untuk pelanggan industri dengan persetujuan Pemerintah Indonesia 50 . Jadual tarif PGN ditunjukkan pada Gambar A.2.13. Pengaruh tingkat yang dinaikkan ini adalah peningkatan yang ajeg dalam tarif distribusi rata-rata PGN, lihat gambar A.2.14. Gambar A.2.13: Tarif Distribusi PGN, 2011 – 2013
Gambar A.2.14: Tarif Distribusi Rata-rata PGN
50
Persetujuan khusus dan resmi diperlukan dari Pemerintah Indonesia untuk tarif gas rumah-tangga.
. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
113
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
A2.3.2 Jalur Transmisi PGN PGN adalah pemimpin dalam pemasangan infrastruktur penyaluran gas sampai dengan pertengahan 2000an, pembangunan sistem di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera (yang mendukung sistem steam flood Duri, Jawa Barat, Batam dan Singapura). Walau tarif untuk segmen jalur pipa utama seluruhnya lebih besar dari USD 1,00 / MCF, namun biaya penyaluran internal PGN untuk gas yang PGN jual melalui operasi distribusinya sendiri adalah ~ USD 0,50-0,60/ MCF, lihat Gambar A.2.15. Gambar A.2.15: Biaya Penyaluran Internal PGN, 2004 – 2013
Selain menyediakan layanan penyaluran dengan persyaratan dan biaya yang menguntungkan, PGN secara konsisten menempatkan halangan di jalan persaingannya dengan menggunakan hak transportasi “akses terbuka” diseluruh sistem penyaluran jalur pipa pembawa milik bersama, melalui masalah spesifikasi, ukuran nominasi, “masalah” operasional, prosedur pengiriman, persyaratan ukuran dll. A2.3.3 Kepentingan Umum Tingkat pengembalian yang tinggi dan resmi disetujui dan yang diperoleh PGN, telah menciptakan arus kas yang kuat di bawah kendali manajemen PGN dan mata rantai wewenang terkait operasi PGN. Sayangnya, arus kas PGN ini tidak nampak mendukung pertumbuhan penambahan infrastruktur; Gambar A.2.16 menunjukkan bahwa penambahan distribusi dan penyaluran selama 7-8 tahun terakhir hanya mengalami pertumbuhan kecil.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
114
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.16: Panjang Jalur Pipa PGN
Dalam perbandingan arus kas yang saat ini dialami, dengan arus kas didasarkan pada standar utilitas normal (lihat Gambar A.2.17), diferensial dalam pembayaran dividen dan laba ditahan (retained earning) adalah ~ USD 500-700 juta per tahun. Suatu porsi besar dari arus kas ini dibagikan ke pemegang saham asing dalam bentuk dividen. Selain itu, PGN menjalankan program eksplorasi / pembelian sumberdaya gas dan minyak51; lihat Gambar A.2.18. Pada tiga tahun yang lalu, lebih dari USD 1 miliar telah diberikan ke bidang usaha berisiko tinggi ini.
51
Serangan ke eksplorasi dan produksi ini sangat sulit dipahami, karena sumberdaya baru ini dapat dibeli dari perusahaan minyak dan gas regional / internasional pada nilai yang logis. Bahkan kepemilikan kepentingan dalam sumberdaya oleh PGN bermasalah, karena tidak ada jaminan bagi PGN bahwa nilai tertinggi sumberdaya berguna dalam sistem PGN. Yang terakhir, PGN hanyalah pemilik-sebagian dalam konsesi apapun dan, Oleh karena itu, harga gas harus ditentukan oleh semua pemangku kepentingan sumberdaya gas. Penentuan harga transfer selalu menjadi perundingan yang sangat sulit.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
115
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.2.17: Struktur Arus Kas PGN, 2004 – 2013
Gambar A.2.18: Pengeluaran Saka Energy52 untuk Sumberdaya Gas dan Minyak Baru
Yang terakhir, pengelolaan arus kas ini oleh PGN, berdasarkan harga jual gas yang sangat menguntungkan di pasar dalam negeri, meningkatkan biaya energi bagi perusahaan Indonesia – membuat perusahaan ini menjadi kurang kompetitif dalam proses globalisasi. Selain itu, dengan harga energi yang lebih tinggi dalam sistem ini, sulit untuk menarik investor asing. Dari gagasan sumberdaya gas – strategi karbon rendah, menyesuaikan parameter ini akan meningkatkan pembangunan infrastruktur dan strategi emisi rendah, dengan jalan menyediakan akses ke basis pelanggan yang lebih luas dan dihubungkan oelh penambahan infrastruktur. 52
100% dimiliki oleh PGN.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
116
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lebih banyak investasi, peningkatan sifat kompetitif dan pengurangan emisi melalui strategi yang dirancang, akan menambah macam konektivitas yang meningkatkan pengali dan setiap penghubung dalam mata rantai.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
117
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lampiran 3: Efisiensi Energi “Tujuan yang luas” Indonesia untuk mengurangi pemanfaatan energi melalui peningkatan efisiensi, diproyeksikan oleh DEN sebagaimana ditunjukkan pada Gambar A.3.1, sedangkan upaya efisiensi historis yang sebagian besar besar tidak berhasil dibahas lebih lanjut di bawah ini. Gambar A.3.1: Proyeksi Energi DEN
Bidang yang paling subur untuk mencapai hasil dari efisiensi energi dan emisi adalah pemanfaatan gas alam dalam pembangkitan listrik, konsep yang didefinisikan, dikuantifikasi dan dijelaskan secara rinci dalam Laporan utama. Peluang untuk memperoleh hasil dari sektor industri akan terus tumbuh, karena semakin banyak kegiatan ekonomi Indonesia difokuskan pada usaha manufaktur untuk mewujudkan peningkatan bernilai tambah dalam pengembangan produk. Pemanfaatan gas alam di sektor industri Indoneisa jauh lebih sedikit dibandingkan dengan standar dunia, lihat Gambar A.3.2. Gambar A.3.2: Bagian Gas untuk Industri (Gas Plus OBF)
Source: IEA
Kebijakan dan Peraturan tentang Efisiensi Energi Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
118
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Kebijakan dan peraturan saat ini merupakan faktor yang hampir tidak dapat dipindahkan dalam disain program. Berikut adalah ringkasan dasar dari kebijakan dan peraturan Pemerintah Indonesia yang relevan. Pihak-pihak yang diperlukan untuk melaksanakan peningkatan efisiensi dengan menggunakan gas, akan perlu memadukan dan menyesuaikan diri dengan kebijakan / peraturan ini. Secara umum, Indonesia telah menyusun rencana umum untuk mewujudkan efisiensi energi. Rencana ini memadukan berbagai rencana aksi yang disarankan oleh Dewan Energi Dunia (WEC). Beberapa peraturan yang diusulkan WEC untuk dilaksanakan oleh negara dalam usaha mewujudkan efisiensi energi, adalah sebagai berikut: 1. Standar efisiensi minimum dan label untuk lima peralatan rumah-tangga (kulkas, mesin cuci, AC, lampu dan pemanas air), mobil, bangunan yang ada dan baru (hunian dan komersial / publik) dan motor listrik; 2. Peraturan lain untuk pelanggan tertentu: audit energi wajib, manajer energi, pelaporan konsumsi energi, rencana penghematan energi serta kuota penghematan energi; dan 3. Persyaratan wajib untuk beberapa perusahaan energi untuk meningkatkan penghematan energi bersama pelanggan. Setiap pemerintahan yang berupaya untuk membantu efisiensi energi negaranya, dapat juga memilih fokus pada langkah finansial dan fiskal, seperti (i) dana efisiensi energi, insentif ekonomi seperti subsidi untuk audit energi oleh sektor (bangunan industri, komersial, publik atau hunian, perusahaan transportasi); (ii) subsidi atau pinjaman lunak untuk efisiensi energi, investasi dan peralatan per sektor; dan (iii) langkah fiskal, seperti kredit atau pengurangan pajak atas mobil, peralatan dan bangunan, depresisasi yang dipercepat untuk industri, sektor transportasi atau tersier, dan pengurangan pajak per jenis peralatan (peralatan rumah-tangga, mobil, lampu dll). Kebutuhan energi yang semakin meningkat, berkurangnya cadangan minyak / gas, dan peningkatan fokus pada pengurangan emisi telah membuat Pemerintah Indonesia mempertimbangkan efisiensi energi. Tujuannya bukan untuk menggunakan lebih sedikit bahan bakar, namun untuk meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan energi yang sama. Untuk mencapai tujuan ini, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan konservasi energi sejak I982, seperti terlihat pada Gambar A.3.3.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
119
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.3.3: Sejarah Kebijakan Konservasi Energi Indonesia
Sumber: Kementerian ESDM
Dari penerjemah untuk gambar di atas KEBIJAKAN KONSERVASI ENERGI 1982 – Instruksi Presiden No. 9/1982 tentang Konservasi Energi 1995 – Rencana Induk Konservasi Energi Nasional 2002 – UU No 28/2002 tentang Bangunan 2006 – Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional 2007 – UU No. 30/2007 tentang Energi 2008 – Instruksi Presiden No. 2/2008 tentang Penghematan Energi dan Air 2009 – Peraturan Pemerintah No. 70 / 2009 tentang Konservasi Energi 2011 ‐ Instruksi Presiden No. 13/2011 tentang Penghematan Energi dan Air 2012 & 2013 – Peraturan Menteri ESDM tentang Penghematan Energi dan Air Peraturan Menteri ESDM No 13/2012 tentang penghematan listrik Peraturan Menteri ESDM No 14/2012 tentang manajemen energi Peraturan Menteri ESDM No 01/2013 tentang penghematan bahan bakar minyak Rencana konservasi energi Pemerintah Indonesia juga telah didokumentasikan dalam beberapa rencana energi lain, seperti Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN, 2005). Dokumen ini menyatakan bahwa tujuan Indonesia adalah untuk mengurangi intensitas energi dengan rata-rata 1% per tahun sampai dengan 2025. RIKEN juga menetapkan potensi penghematan energi di beberapa sektor, sebagai berikut: i.
Sektor industri (untuk industri terpilih) – 15% sampai dengan 30% untuk dicapai melalui pengurangan intensitas energi sebesar 1% sampai dengan 2025. Untuk membantu mewujudkan tujuan ini, Pemerintah Indonesia memberikan insentif fiskal, program pendidikan dan audit. Usaha lain untuk menghemat energi di sektor industri adalah melalui Program Kemitraan Konservasi Energi, di mana Pemerintah
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
120
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
ii.
iii.
Indonesia membantu industri dengan imbalan komitmen dari perusahaan. Program ini memiliki target peningkatan efisiensi sebesar 20%. Sektor bangunan komersial – penghematan listrik sebesar 25%. Untuk mewujudkan rencana ini, pemerintah berniat meningkatkan kapasitas panas-bumi sampai dengan 5.000 MW (48%), dengan pengurangan tahunan CO2e sebesar 82 Mt. Dalam sektor transportasi, pemerintah menetapkan kandungan biosolar 10% wajib dalam bahan bakar untuk kendaraan jalan raya, mulai tahun 2009. Pemerintah Indonesia juga mengembangkan Inisiatif Transportasi Bersih dan Ramping untuk meningkatkan efisiensi dalam armada kendaraan. Sektor hunian – 10% sampai dengan 30% melalui pemberlakuan standar efisiensi nasional untuk bangunan baru, dan penyediaan alat perangkat-lunak untuk perancang,serta pengembangan program Peduli di mana rumah-tangga memperoleh potongan harga apabila membeli lampu hemat energi – lampu neon padat (CFL).
Cetak biru Pengelolaan Energi Nasional (PEN, 2006) juga membahas rencana efisiensi energi Pemerintah Indonesia. Dokumen ini menyatakan tujuan Indonesia untuk mencapai pengurangan 41% dari total pasokan energi primer (TPES) sampai dengan 2025 versus prakiraan TPES dalam kasus usaha seperti biasanya, melalui langkah RIKEN untuk efisiensi dan konservasi energi (EE&C). Kebijakan Energi Nasional (2006) juga difokuskan pada tujuna Indonesia untuk mewujudkan elastisitas energi sebesar kurang dari 1 sampai dengan 202553. Untuk mencapai ini, Pemerintah Indonesia membuat pergesaran paradigma dalam mengelola pasokan dan kebutuhan energi. Pergeseran paradigma ini ditunjukkan pada Gambar A.3.4. Gambar .3.4: Pergeseran Paradigma dalam pengelolaan Energi Nasional
Sumber54: Hutapea, 2013
53 Elastisitas energi didefinisikan dalam Kebijakan Energi Nasional (2006) sebagai tingkat perubahan pasokan energi total, di
atas tingkat prubahan GDP. 54 Hutapea,Maritje, 2013, Kebijakan Konservasi dan Efisiensi Energi di Indonesia, presentasi di Jakarta, 22 April 2013
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
121
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Tanggung-jawab melaksanakan konservasi energi, seperti disebutkan dalam UU Energi No. 30/2007, bukan hanya di pemerintah namun juga di masyarakat. Konservasi energi harus dilaksanakan di semua tingkat manajemen energi, mulai dari pasokan energi sampai dengan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya energi. Pelaksanaan konservasi energi yang dinyatakan dalam UU energi, diperjelas dalam Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi. Peraturan ini menyatakan bahwa konservasi energi dilaksanakan berdasarkan pada Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN). Rencana konservasi energi juga mendukung rencana pemerintah untuk mengurangi emisi GRK di sektor energi. Melalui Peraturan Presiden no. 61/2011, pemerintah mentargetkan 30 juta ton pengurangan CO2 dari sektor energi. Pemerintah merencanakan mencapai target ini dengan jalan mengembangkan sumber energi baru dan yang terbarukan serta melaksanakan konservasi di semua sektor, dengan mengikuti dokumen RIKEN. Ada potensi besar penghematan energi. Gerakan menjauhi subsidi umum untuk bahan bakar dapat membantu menumbuhkan pemanfaatan energi secara lebih efisien, terutama minyak. Baru-baru ini dalam usaha diversifikasi energi dan pelaksanaan program konservasinya, pemerintah baru Indonesia telah banyak mengurangi subsidi minyak. Seperti dilaporkan oleh Dewan Energi Dunia (2013), subsidi bahan bakar dapat menjadi disinsentif besar untuk investasi efisiensi energi dan membatasi lingkup dan profitabilitas ESCO. Selain itu, subsidi membawa dampak buruk pada anggaran pemerintah, terutama pada tahun-tahun belakangan saat harga minyak melonjak tajam. Subsidi sering menimbulkan perdagangan ilegal dan mengakibatkan konsumsi energi yang tinggi dan tidak wajar di negara ini, karena harga rendah dan ironi konsumsi di negara lain dengan harga yang lebih tinggi. Karena perdagangan ilegal tidak tercatat dalam statitstik, maka ini mempengaruhi usaha pemantauan konsumsi atau tren efisiensi energi di negara ini. Indonesia memiliki beragam opsi untuk mengurangi kandungan karbon dalam pasokan energinya. Ini termasuk pengembangan sumberdaya listrik-hidro, panas-bumi dan angin, dan lebih banyak pembangkit listrik bertenaga panas bumi. Namun, sampai dengan kini, pengembangan energi baru dan yang terbarukan tidak menunjukkan banyak kemajuan. Seperti ditunjukkan Gambar A.3.5, sumber energi baru dan yang terbarukan adalah biomassa, tenaga-air, panas-bumi dan biofuel. Indonesia adalah konsumen biomassa tradisional yang besar di sektor hunian, terutama di daerah terpencil yang tidak terhubung dengan jaringan penyaluran energi. .
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
122
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.3.5: Bauran Energi Indonesia
Pasokan tenaga-air atau panas-bumi, dibandingkan dengan jumlah total, masih sangat kecil. Pada tahun 2000, proporsi tenaga-air hanya 2,54% dan panas-bumi 0,96% dan, sejak 2014, tidak ada peningkatan berarti dalam proporsi pasokan panas-bumi atau tenaga-air. Beberapa program efisiensi energi yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, diberikan pada Tabel A.3.1. Tabel A.3.1: Program Indonesia untuk Efisiensi dan Konservasi Energi Program 1. Pengembangan Kebijakan dan Peraturan
Uraian
2. Insentif dan Disinsentif
Penyusunan Keputusan Menteri sebagai tindak-lanjut Peraturan Pemerintah No. 70/2009; Peraturan ESDM No. 6/2011, 13,14 tahun 2012 dan 01 tahun 2013; Penyusunan kebijakan efisiensi energi untuk sektor industri, perdagangan, rumah-tangga dantransportasi; dan Penyusunan kebijakan konservasi sumberdaya energi. Sebagai tindak-lanjut Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi; Penyusunan mekanisme insentif fiskal, insentif untuk bea impor peralatan yang hemat energi; Analisis skema pembiayaan untuk pelaksanaan efisiensi energi, seperti dana bergulir; Analisis kriteria untuk peralatan hemat energi dan pelaksanaannya; dan Langkah konservasi energi yang akan dikenai insentif dan disinsentif.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
123
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Program 3. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Uraian
4. Pendidikan dan Pelatihan
5. Program Kemitraan Konservasi Energi
6. Manajer & Auditor Energi
7. Standar dan Pemberian Label
Penyelenggaraan seminar / lokakarya dan iklan layanan masyarakat melalui media cetak dan eletronik, dan penyebaran brosur tentang efisiensi energi; Pelaksanaan Penghargaan Energi Nasional untuk sektor industri dan bangunan, partisipasi dalam Penghargaan Energi ASEAN; Pedoman Efisiensi Energi (untuk Bangunan). Pelatihan konservasi dan efisiensi energi oleh Pusat Pelatihan dan Pendidikan – ESDM; Partisipasi dalam pelatihan konservasi energi di negara-negara lain. . Insentif audit energi gratis untuk bangunan dan industri yang ingin mengurangi konsumsi energi dengan jalan meningkatkan efisiensi energi; Selama 2003-201, audit energi diselesaikan untuk 806 industri dan bangunan. Pengembangan standar untukmanajer dan auditor energi; Penyusunan Lembaga Sertifikasi; HAKE (Asosiasi ahli EC); dan Pelaksanaan sertifikasi manajer energi. Pemberian label efisiensi energi sebagai informasi untuk konsumen tentang tingkat efisiensi energi peralatan elektronik rumah-tangga; Mendorong pengusaha manufaktur untuk meningkatkan mutu produk mereka, terutama terkait efisiensi energi; Label efisiensi energi untuk SFL – pelopor peralatan elektronik rumah-tangga.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
124
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Program 8.Kerjasama Internasional
Uraian
9. Penerangan Jalan (SL) Hemat Energi
Jaringan Sub-sektor Konservasi dan Efisiensi Energi ASEAN (EE&C - SSN); Kerjasama Bilateral Indonesia – Denmark (DANIDA) dengan tiga hasil utama: : 1. Lembaga Persetujuan (Clearing House) untuk Konservasi dan Efisiensi Energi; 2. Hemat energi: bangunan besar yang baru hemat energi; 3. Sertifikasi auditor dan kajian skema insentif. Kerjasama Bilateral Indonesia-belanda (lembaga NL): peningkatan efisiensi energi di sektor industri melaui pelaksnaan Pemindaian Potensi Energi (EPS); Kerjasama Bilateral Indonesia-jepang (NEDO): Pelaksanaan Jaringan Pintar di Kawasan Industri; Asosiasi tembaga Internasional (ICA): pelaksanaan Standar Kinerja Energi Minimum (MEPS) untuk motor listrik dan alat pendingin (AC); Pembuangan hambatan pada pengembangan efetif biaya dan Standar Energi dan Pemberian Label Efisiensi (BRESL): proyek kerjasama yang melibatkan enam negara Asia (Banglades, Cina, Indonesia, Pakistan, Thailan dan Vietnam), untuk menyelaraskan standar dan label untuk tujuh peralatan rumah-tangga (AC, kipas angin, kulkas, ballast elekronis, motor listrik, CFL dan penanak-nasi); juga proyek penggantian lampu yang ada dengan LED di bangunan pemerintah daerah di Makassar; Organisasi Pembangunan Industri PBB (UNIDO): membantu proses penerapan Standar Sistem Manajemen Energi internasional, ISO 50001 kedalam SNI, dan proyek percontohan pelaksanaan standar ini di industri; Pengembangan Energi Bersih Indonesia (ICED) adalah program bantuan teknis dari Lembaga Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) mulai Maret 2011 sampai dengan september 2014. ICED membantu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani dalam meningkatkan kontrbusi sumberdaya energi bersih (energi terbarukan, konservasi dan efisiensi energi) di Indonesia; dan Pengembangan strategi NAMA untuk mengganti lampu penerangan jalan konvesional dengan LED, dibantu oleh GIZ.
Pengembangan standar untuk sistem SL; Promosi teknologi hemat energi untuk SL; dan Mengembangkan pedoman untuk melaksanakan teknologi hemat energi untuk penerangan jalan.
Sumber: H. Maritje KemenESDM. 2013. Presentasi Kebijakan Efisiensi Energi dan Konservasi di Indonesia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
125
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lampiran 4: Peraturan Minyak dan Gas Alam Selama bertahun-tahun, konsumsi energi Indonesia sangat bergantung pada minyak bumi. Hal tersebut dimulai tahun 1970 ketika Indonesia mengalami boom minyak dan produksi minyak meningkat tajam, dan ekonomi bergantung pada produk minyak bumi. Selama era Orde Baru, sektor minyak dan gas memberikan kontribusi sebesar 60% untuk anggaran negara. Selain itu, padaa tahun 1980-an, pertumbuhan Indonesia mencapai 7%, yang dikaitkan dengan boom dan produksi minyak yang tinggi, serta harga minyak dunia yang tinggi. Tanpa penemuan baru yang banyak, produksi minyak Indonesia tentu saja akan menurun. Akibatnya, sejak tahun 2003, Indonesia menjadi pengimpor minyak netto. Total produksi minyak lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan beberapa program yang bertujuan untuk diversifikasi sumberdaya energi dan pemanfaatan energi secara efisien. Pada saat ini, selain produk minyak bumi, batubara dipergunakan sebagai sumber energi alternatif. Harga batubara yang lebih rendah meningkatkan pemanfaatan batubara, dibandingkan bahan bakar lain. Akan tetapi, batubara menimbulkan dampak negatif, yaitu bahwa emisi CO2 dari batubara cukup tinggi. Untuk mengimbangi penurunan produksi minyak, pemerintah terus melakukan usaha untuk diversifikasi dan konservasi energi. Usaha diversifikasi energi dilakukan di sisi produksi; pemerintah mendorong produksi energi alternatif seperti batubara, gas alam dan berbagai macam bentuk energi baru dan terbarukan, termasuk energi air dan panas bumi. Dari sisi konsumsi, peraturan dan kebijakan dijalankan utnuk mendorong penggunaan bahan bakar alternatif, sebagai pelengkap untuk penggunaan bahan bakar minyak. Kajian ini membahas pemanfaatan gas sebagai energi alternatif. Oleh karena itu, laporan ini difokuskan pada peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan gas alam. Peraturan yang menjadi dasar kebijakan energi nasional adalah Pasal 33 UUD 1945. Dengan mengacu kepada konstitusi Indonesia tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan yang secara khusus menyoroti pengelolaan dan pengembangan sektor minyak dan gas bumi, dan kebijakan energi nasional. Peraturan perundang-undangan dasar tersebut adalah: i. ii. iii. iv.
UU No. 22/ 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 30/ 2007 tentang Energi; UU No. 30/2009 tentang Listrik; dan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi UU 22/2001 adalah undang-undang utama untuk sektor minyak dan gas bumi. Tujuan utama UU tersebut adalah untuk membuka persaingan di industri minyak dan gas, meningkatkan administrasi dan pengawasan industri, serta memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan “hak untuk menambang”. UU 22/2001 dimaksudkan untuk meningkatkan persaingan dalam industri minyak dan gas bumi, dengan jalan menghapuskan monopoli Pertamina di kegiatan hulu dan hilir. Pertamina tidak lagi menjadi regulator dan pelaku industri. Pertamina sekarang diwajibkan menjadi Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
126
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
pelaku komersial akan tetapi, karena masih tetap milik negara, Pertamina masih menikmati hak-hak khusus seperti hak eksklusif di daerah-daerah tertentu. Sebelumnya dalam sistem lama, Pertamina bertanggung-jawab atas pengawasan industri seluruhnya. Akan tetapi, UU ini dirancang untuk meningkatkan administrasi dan pengawasan industri, dengan menunjuk BP Migas, sekarang SKK Migas, untuk mengawasi kegiatan hulu. Penunjukkan ini juga memberikan kembali kekuasaan Pemerintah Indonesia untuk memberikan “hak untuk menambang”, di mana sebelumnya Pertamina mengendalikan kontrak kerjasama. Selain itu, pengawasan kegiatan hilir dialihkan ke BPH Migas. Kontrak Kerja Sama Model kontrak kerja sama Indonesia telah dipergunakan di banyak negara lain. Menurut model ini, pemerintah bermitra dengan perusahaan yang berpengalaman dalam industri dan yang bersedia mendanai proyek yang padat modal dan penuh risiko. Orang asing diperbolehkan melaukan investasi melalui cabang lokal dari perusahaan yang berbadanhukum di luar Indonesia (yang disebut Badan Usaha Tetap atau BUT); juga dapat melakukan investasi melalui perusahaan berbadan hukum dan berbasis lokal, yang disebut perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing). Namun PMA belum diberi ijin untuk beroperasi di industri minyak dan gas bumi. Sementara itu, kegiatan usaha hilir dibatasi sebagian besar untuk badan usaha Indonesia, termasuk badan usaha milik negara dan daerah, koperasi dan perusahaan swasta. BUT tidak dapat menanamkan modalnya di kegiatan hilir, namun penyediaan jasa pendukung oleh perusahaan asing diperbolehkan melalui perusahaan PMA. . Ijin kegiatan eksplorasi dan eksploitasi diberikan berdasarkan kontrak kerja sama. Kontrak tersebut merupakan cara Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan kegiatan hulu. Kontrak kerja sama diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 35/ 2004. Ada dua macam kontrak kerja sama, yaitu (1) Kontrak kerja sama (KKS) dan (2) Kontrak Layanan. KKS menetapkan peran setiap entitas yang terlibat dalam kontrak: (1) Pemerintah Indonesia tetap memegang kepemilikan minyak dan gas bumi sampai dengan tempat pengiriman (tempat penjualan minyak dan gas bumi); (2) BP Migas tetap memegang kendali operasi, termasuk wewenang untuk menyetujui rencana kerja, anggaran dan rencana pembangunan ladang; (3) kontraktor menanggung semua biaya modal dan risiko finansial terkait; dan (4) minyak dan gas bumi yang dihasilkan dibagi antara kontraktor dan Pemerintah Indonesia sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak kerjasama patungan. Tabel A.4.1 meringkas beberapa hal penting dari KKS.
Tabel A.4.1. Ringkasan Butir‐Butir Kontrak dalam KKS Ketentuan
Uraian
Periode Kontrak
• Masa berlaku maksimum 30 tahun – namun dapat meminta perpanjangan kepada BP Migas selama 20 tahun.
Operator
• Dengan tunduk pada persetujuan sebelumnya dari BP Migas, apabila wilayah operasional minyak dan gas bumi melibatkan lebih dari satu pemilik kepentingan penyerta, maka satu pemilik Kepentingan Penyertaan harus ditunjuk sebagai Operator, dengan wewenang untuk melaksanakan kegiatan perminyakan.
Pengalihan
• Harus ada persetujuan dari ESDM dan BP Migas. Pembatasan ekstra untuk melakukan pengalihan kepada pihak non-afiliasi, termasuk persyaratan penawaran kepada warga Indonesia dan larangan pengalihan selama awal eksplorasi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
127
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Ketentuan
Uraian • Setelah rencana pengembangan disetujui, kontraktor harus memberikan 10% Kepentingan Penyertaan ke perusahaan daerah.
Kegiatan
• Operasi harus dimulai dalam waktu enam bulan sejak tanggal mulai KKS.
Penyerahan wilayah operasional
• Kontraktor secara bertahap harus menyerahkan sebagian atau seluruh wilayah operasionalnya ke BP Migas.
Persyaratan Belanja
• Kontraktor harus membiayai proyek dan menanggung semua biaya dan risiko pembiayaan • Persyaratan belanja eksplorasi tahunan dan jaminan kinerja • Kontraktor harus mendapatkan ijin dari BP Migas sebelum mengeluarkan biaya investasi dan operasi.
Biaya dan perolehan kembali biaya
• Kontraktor dapat memperoleh kembali biaya operasi yang dianggarkan, relevan dan disetujui oleh BP Migas setelah produksi komersial dimulai. • Biaya yang tidak dapat diperoleh kembali dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 22/2008, dan Peraturan Pemerintah No. 79/2010 yang baru dikeluarkan.
Bonus
• Kementerian ESDM biasanya diberi bonus penandatanganan dan bonus produksi, dan mungkin ada juga bonus untuk tujuan khusus.
Pendapatan negara
• Pendapatan pajak (pajak penghasilan, PPN, bea dan tarif impor, pajak dan cukai daerah) serta pendapatan non-pajak (bagian negara dari produksi, eksplorasi dan ongkos eksploitasi dan bonus).
Kepemilikan data
• Sebagai aturan umum, pemerintah memiliki dan mengendalikan data yang diperoleh dari kegiatan proyek.
Distribusi minyak dan/atau gas antara kontraktor dan Pemerintah
• Urutan khusus dari distribusi volume – “First Tranche Petroleum” untuk Pemerintah (disepakati dalam KKS), lalu perolehan kembali biaya, kemudian sisanya dibagi sesuai ketentuan dalam KKS, diikuti oleh pengurangan bagian kontraktor untuk kewajiban pasar dalam negeri.
Prosduksi komersial
• Saat minyak ditemukan, kontraktor harus menyerahkan rencana pengembangan yang diusulkan untuk ladang tempat minyak ditemukan. Setelah ESDM menyetujui rencana pengembangan kontraktor untuk ladang pertama di daerah kontrak, persetujuan rencana pengembangan ini menjadi pernyataan komersialitas untuk seluruh daerah kontrak, dan kontraktor harus memulai pengembangan ladang tempat minyak ditemukan.
Kewajiban pasar dalam negeri
• Kontraktor harus memberikan 25% bagian produksi minyak mentah atau gas alam (tidak termasuk volume perolehan kembali biaya) untuk kebutuhan dalam negeri, sesuai ketentuan KKS dan kebijakan tahunan ESDM.
Kesehatan dan keselamatan kerja
• Kontraktor harus mematuhi peraturan perundang-undangan kesehatan dan keselamatan kerja.
Pengelolan lingkungan
• Kontraktor harus mencegah pencemaran dan memperbaiki kerusakan pada lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan operasi, serta pekerjaan perbaikan paskaeksploitasi yang dicantumkan dan ditambah dalam program kerja Kontraktor, termasuk biaya seperti untuk pembongkaran anjungan.
Pembangunan masyarakat dan lingkungan Prioritas penggunaan tenaga kerja Indonesia
• Kewajiban umum menyertakan prioritas penggunaan tenaga kerja lokal dan peningkatan infrastruktur lokal. Dana dicantumkan dalam program dan anggaran kerja. Kontraktor perlu mengkoordinasikan inisiatif ini dengan pemerintah daerah. • Kontraktor wajib memprioritaskan penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa lokal, serta mengembangkan dan melatih perkerja Indonesia.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
128
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Ketentuan Penggunaan barang dan jasa dalam negeri
Uraian • Pembatasan penggunaan barang dan peralatan impor (termasuk persetujuan dari Menteri ESDM, Menteri Perdagangan dan penyerahan rencana kebutuhan ke BP Migas). • Semua barang yanag dibeli (impor atau bukan) akan dimiliki oleh Negara.
Persyaratan pelaporan
• Kontraktor harus melapokan deposit gas dan inrusi kelebihan minyak dan gas bumi ke daerah lain
Kewajiban paskaeksploitasi
• Kontraktor harus mengembalikan wilayah operasional dan melakukan pekerjaan perbaikan (mengalokasikan dana dalam program kerja dan anggaran sejak awal eksplorasi / eksploitasi).
Sumber: Oentoeng Suria, 2011
Kebijakan Energi Nasional Di awal tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional seperti diuraikan dalam Keputusan Presiden No. 5/2006. Kebijakan Energi Nasional pada prinsipnya menekankan: (1) optimalisasi pemanfaatan bauran energi (diversifikasi energi); (2) upaya penghematan energi dan peningkatan efisiensi energi (konservasi energi); (3) peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan55; (4) intensifikasi eksplorasi bahan bakar fosil; (5) menumbuhkan pengembangan dan pembangunan infrastruktur energi, di hulu dan hilir56; (6) fokus pada masalah lingkungan, seperti pengembangan teknologi energi fosil yang lebih bersih, pelaksanaan riset dan kajian dampak lingkungan dan biaya eksternalitas; dan (7) pelaksanaan riset, pengembangan dan penerapan sain dan teknologi untuk sektor di atas, dan melibatkan industri nasional untuk meningkatkan kemampuan nasional. Dari segi konsumsi energi, sejak tahun 1991, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 43/1991 tentang konservasi energi. Peraturan ini kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi. Upaya konservasi energi ditetapkan sebagai upaya yang sistematis, terencana dan terpadu untuk melestarikan sumberdaya energi di Indonesia dan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan. Untuk mendorong hal tersebut, PP No. 20/2099 mencantumkan serangkaian insentif dan disinsentif untuk pengguna energi. Insentif meliputi pengurangan, pembebasan pajak, fasilitas bea impor untuk peralatan hemat energi, serta suku bunga yang rendah untuk produsen yang melakukan investasi untuk usaha konservasi energi. . Kemudian pada tahun 2014, pemerintah menyelesaikan rancangan Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). RPP KEN ini mencantumkan rencana dengan target pasokan energi dan pemanfaatan energi primer dan final, sebagai berikut: 1. Pencapaian pasokan energi primer sampai dengan 2025 sekitar 400 MTOE, dan di 2050 sekitar 1.000 MTOE; 2. Pencapaian pemanfaatan energi primer per kapita di 2025 sekitar 1,4 TOE, dan di 2050 sekitar 3,2 TOE;
55 Energi
baru dan energi terbarukan adalah boifuel (biosolar, bio‐etanol / gasohol, bio‐minyak dan Minyak Tanaman Murni), bahan bakar sintetis (batubara cair, GTL, DME dll.), panas‐bumi, mini dan mikro hidro, nuklit, matahari, angin, hidrogen (sel bahan bakar), energi aliran dan gelombang laut. 56 Seperti industri penyulingan minyak dan fasilitas pengangkutannya, instalasi jalur pipa atau terminal LNG dan fasilitas distribusi, fasilitasi transportasi dan pelabuhan untuk batubara, pembangkit listrik dan fasilitas penyaluran dan distribusi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
129
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
3. Pencapaian penyediaan kapasitas pembangkit listrik di 2025 sekitar 115 GW, dan di 2050 sekitar 430 GW; dan 4. Pencapaian pemanfaatan listrik per kapita di 2025 sekitar 2.500 sekitar kWh, dan di 2050 sekitar 7.000 KWh. . Untuk memenuhi produksi dan pemanfaatan energi primer dan final, target Kebijakan Energi Nasional ditentukan sebagai berikut: a. Melaksanakan paradigma baru bahwa sumber energi merupakan modal penting untuk pembangunan nasional, bukan sebagai sumber pendapatan; b. Mewujudkan elastisitas energi yang kurang dari 1 pada tahun 2025, yang diselaraskan dengan target perumbuhan ekonomi; c. Mengurangi intensitas energi final sebesar 1% per tahun sampai dengan tahun 2025; d. Mewujudkan rasio elektrifikasi sebesar 85% pada tahun 2014 dan mendekati 100% sampai dengan 2020; e. Mewujudkan rasio pemanfaatan gas rumah-tangga pada tahun 2015, sebesar 85%; dan f. Mewujudkan bauran energi primer optimal, yaitu: i. Peran energi baru dan energi terbarukan sekurang-kurangnya 23% pada tahun 2025, dan sampai dengan tahun 2050 sekurang-kurangnya 31%; ii. Peran minyak kurang dari 25% pada tahun 2025, dan pada tahun 2050 kurang dari 20%; iii. Peran batubara sekurang-kurangnya 30% pada tahun 2025, dan pada tahun 2050 sekurang-kurangnya 25%; dan iv. Peran gas alam sekurang-kurangnya 22% pada tahun 2025, dan pada tahun 2050 sekurang-kurangnya 24%. Selain itu, dari segi produksi minyak dan gas bumi, pengelolaan usaha dan pemanfaatan ekonomi minyak dan gas bumi diatur dalam UU Minyak dan gas bumi No. 22/2001. UU Minyak dan gas bumi ini mengatur kegiatan usaha di hulu dan hilir, serta distribusi minyak dan gas bumi. Selanjutnya, ada juga Peraturan Pemerintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP35 / 2004), Peraturan Pemerintah No. 36/2004 tentang Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (PP36 / 2004), dan peraturan pelaksanaan lain seperti dibahas di atas. Kebijakan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi Untuk menjamin pasar gas dalam negeri, ketersediaan infrastruktur sangat penting. Infrastruktur menghubungkan produksi dengan pelanggan. Pengembangan infrastruktur energi mengacu ke Cetak biru Manajemen Energi Nasional. Cetak biru (blueprint) ini adalah produk dari Keputusan Presiden No. 5/2006, dan berisi beberapa program untuk membangun infrastruktur energi, seperti jaringan jalur pipa Kalimantan – Jawa, jaringan jalur pipa Jawa Barat – Jawa Timur, jaringan jalur pipa Jawa – Sumatera, jalur pipa gas terpadu Indonesia, jaringan jalur pipa trans-ASEAN (TAGP), dan terminal regasifikasi LNG. Salah satu alasan mengapa gas Indonesia kurang dimanfaatkan sepenuhnya adalah bahwa sebagian gas yang diproduksi diekspor. Akibatnya, pasokan gas tidak terjamin. Faktor yang mendorong ekspor gas adalah kurangnya kebutuhan dalam negeri dan harga LNG internasional yang menarik. Secara historis, harga dalam negeri ditentukan rendah karena harga gas menghadapi persaingan dengan solar yang menerima banyak subsidi, jadi mendorong kontraktor untuk menjual gas ke luar negeri dan mendapatkan harga yang lebih menarik. Peraturan Menteri ESDM no. 21/2008 menangani penentuan harga gas dan pasar dalam negeri. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
130
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Upaya lain untuk menjamin pasokan gas dalam negeri adalah peraturan Kewajiban Pasar Dalam negeri (DMO). Pemerintah menetapkan bahwa 25% gas alam yang dihasilkan dari kontrak kerja sama di Indonesia harus dialokasikan untuk pasokan pasar dalam negeri. Pemerintah bahkan mengenakan kewajiban lebih besar dalam kontrak tertentu akhir-akhir ini. Sebagai contoh, LNG Donggi-Senoro yang direncanakan mendapatkan persetujuan pemerintah hanya setelah pengembang menetapkan 30% hasilnya secara jelas untuk konsumsi dalam negeri. Salah satu industri yang memegang peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi di Indonesia, dan dianggap sebagai konsumen gas potensial, adalah industri pembangkit listrik. Sebagai usaha untuk menyediakan listrik, pemerintah menetapkan UU No. 30/2009. Melalui UU ini, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam penyediaan listrik, untuk meningkatkan keterjangkauan harga listrik di tingkat rumah-tangga. . Usaha pembangkitan listrik terdiri atas dua kegiatan utama, usaha pasokan listrik, dan kegiatan usaha lain yang mendukung penyediaan listrik seperti penyaluran dan distribusi. Usaha pasokan listrik itu sendiri terdiri atas dua kegiatan, yaitu usaha pasokan listrik untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan swasta. Usaha pendukung juga terdiri atas dua kegiatan – jasa usaha pendukung kegiatan pembangkit listrik dan industri pendukung kegiatan pembangkit listrik. Pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan ijin usaha sesuai wewenang mereka 57 . Pemerintah kota / kabupaten memberikan ijin untuk usaha pasokan listrik untuk kepentingan umum dan pembangkit listrik, serta wewenang mengeluarkan ijin untuk kegiatan usaha pendukungnya. Dalam UU No. 30/2009, sebagai imbalan dari wewenang yang diberikan dalam sektor listrik, pemerintah daerah diberi kewajiban untuk meningkatkan kapasitasnya. Kondisi Saat Ini di Proyek Kalija, Gresem, dan Semarang-Cirebon Upaya tertentu Pemerintah Indonesia untuk mengatur dan meningkatkan pembangunan infrastruktur gas, telah menjadi kegagalan yang mahal dan memberikan beberapa wawasan terkait kelemahan dalam pembuatan keputusan Kepentingan Umum, dan pengaruh dari tindakan pengaturan. Ketiga proyek initersebut terus mendapat perhatian, dan baru-baru ini ada pasal-pasal baru tentang segmen jalur pipa. Berikut adalah pembaharuan dalam protokol dan status proyek. Kelemahan dan keterbatasan dibahas dalam bagian utama Laporan ini. Seperti ditetapkan dalam UU Minyak dan gas bumi No. 22/2001, gas adalah sumberdaya strategis. Peningkatan dan perluasan infrastruktur penyaluran dan distribusi, serta ketersediaan gas dengan harga yang terjangkau oleh semua tingkat masyarakat, adalah masalah utama untuk pemerintah. UU Minyak dan gas bumi tersebut juga menetapkan kewajiban pemerintah untuk menjamin pasokan dan distribusi energi. Melalui keputusan Menteri ESDM No. 2700/K/11/MEM/2012, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral mengeluarkan rencana induk untuk penyaluran dan distribusi gas alam nasional, dengan mengacu ke Pasal 27 dari UU Minyak dan gas bumi. Rencana induk untuk 57
Baru‐baru ini, pemberian ijin pembangkit listrik telah dialihkan ke BKPM.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
131
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
jaringan penyaluran dan distribusi gas alam, yang dikeluarkan tahun 2012, menggantikan rencana induk sebelumnya yang dikeluarkan melalui Keputusan Menteri ESDM No. 0225 K/11/MEM/2010, pada tanggal 27 Januari 2010. Rencana induk sebelumnya ini menetapkan rencana pemerintah untuk membangun jaringan penyaluran dan distribusi antara tahun 2010 dan 2025. Dengan mengacu ke Pasal 46 dari UU Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah No. 67/2002, Pemerintah Indonesia memberi BPH Migas mandat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan usaha gas di hilir. Dengan mengacu ke mandat ini dan Peraturan Pemerintah No. 36/2007 Pasal 7, BPH Migas menyelenggarakn pelelangan terbuka untuk penyediaan jaringan pipa penyaluran dan distribusi minyak dan gas bumi. Pelelangan atau tender ini terbuka untuk perusahaan swasta yang memiliki ijin usaha dari Menteri untuk menyediakan jaringan penyaluran dan distribusi. Rencana Induk Nasional untuk Jaringan Penyaluran dan Distribusi Gas Alam tahun 20122025, yang diatur oleh Keputusan Menteri ESDM No.2700 K/11/MEM/2012, saat ini menjadi acuan bagi Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur jalur pipa gas alam. Tiga dari proyek jalur pipa gas alam pemerintah, yang saat ini sedang dikerjakan, adalah (1) proyek Kalimantan Timur – Jawa (Kalija); (2) proyek Semarang – Cirebon; dan (3) proyek Semarang – Gresik. BPH Migas menyelenggarakan pelelangan tiga proyek ini pada tahun 2006. Sebagai hasil dari pelelangan tersebut, PT Bakrie & Brothers Tbk telah dintunjuk, melalui keputusan Kepala BPH Migas No. 042/PL/BPH Migas/Kom/VII/2006, sebagai pemenang proyek jalur pipa Kalija pada tanggal 27 Juli 2006; PT. Pertamina sebagai pemenang ijin untuk proyek jalur pipa penyaluran gas Gresik-Semarang (Gresem) (mengacu ke keputusan Kepala BPH Migas No. 034/Kpts/PL/BPH Migas/Kom/III/2006); dan PT Rekaya Industri menjadi pemenang ijin untuk proyek Semarang-Cirebon. Sejak keputusan pemenang pelelangan untuk proyek jalur pipa gas alam diumumkan, pembangunan semua proyek tersebut telah dan terus ditunda. Keputusan hukum untuk memperbolehkan penundaan ini dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 2011. Menteri ESDM mengeluarkan moratorium tentang ijin sementara untuk pengangkutan gas alam melalui jalur pipa, No. 4277/10/DJM.O/2011. Moratorium ini berlaku sejak tanggal dikeluarkannya sampai pasokan gas tersedia. Sebagai pemilik kontrak, PT Bakrie & Brothers Tbk telah melakukan kerjasama dengan PGN melalui PT Kalimantan Jawa Gas (PT KJG) untuk melaksanakan proyek jalur pipa Kalija. Tahap pertama dari dua tahap proyek ini adalah jalur pipa untuk menghubungkan Kepodang dengan Tambak Lorok (sekitar 207 km), sedangkan tahap kedua akan menghubungkan Kalimantan Timur dengan Jawa. Tahap pertama dimulai pada 14 maret 2014, delapan tahun setelah PT. Bakrie diumumkan sebagai pemenang ijin jalur pipa pada tahun 2006. Proyek jalur pipa penyaluran gas Gresik-Semarang (Gresem) telah dimulai. PT Pertamina, sebagai perusahaan induk dari Pertagas, telah mengeluarkan Keputusan Investasi Final pada minggu ketiga bulan Juni 2015. Tanah mulai dicangkul untuk proyek jalur pipa penyaluran ini di bulan September 2015; pembangunan jalur pipa ini ditargetkan selesai dalam waktu 18 bulan, dan operasi dijadualkan dimulai di kuartal kedua tahun 2016. Jalur pipa penyaluran Semarang-Cirebon belum dimulai. PT. Rekin telah mengundurkan diri dari kontrak kerjanya, namun lalu menarik kembali surat pengundurannya. PT. Rekin masih memiliki ijin proyek jalur pipa penyaluran ini, dan BPH Migas telah mendesak PT. Rekin Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
132
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
untuk memulai proyek pada Maret 2015, dan Petragas mengumumkan perjanjian kerjasama untuk segmen jalur pipa ini, namun masih belum jelas. Mengacu ke Keputusan Menteri ESDM No. 2700 K/11/MEM/201, kondisi saat ini dari ketiga jalur pipa tersebut ditunjukkan pada Gambar A.4.1. jalur pipa ditunjukkan sebagai garis bertitik biru, yang menunjukkan bahwa jalur pipa ini masih dalam tahap perencanaan. Ketiga jalur pipa yang dibahas dikategorikan sebagai Akses Terbuka (Kategori I). Segmen penyaluran gas alam atau jaringan distribusi dikategorikan sebagai Akses Terbuka (kategori I), apabila perusahaan mengembangkan operasi dan infrastruktur jalur pipa. Ringkasan perkembangan ketiga jalur pipa tersebut diberikan pada Tabel A.4.2. Gambar A.4.1: Infrastruktur Jalur Pipa
Tabel A.4.2. Ringakasan Perkembangan Jalur Pipa No
1
Jalur Penyaluran
Kalimantan Timur – Jawa Tengah
Pemilik Ijin Penyaluran
PT Bakrie Brothers, menurut Keputusan Kepala BPH Migas No. 042/PL/BPH Migas/Kom/ VII/2006, 27 Juli 2006
Jarak (km)
1.218
Kapasitas (MMCSFD)
1.000
Sumber Gas
Catatan
Chevron, Total E&P Indonesia, Petronas Carigali Muriah Ltd
Ijin usaha sementara No. 4062/10/DJM.O/2 009 yang berlaku sampai dengan 27 Februari 2011 Moratorium tentang ijin sementara untuk pengangkutan gas alam melalui jalur pipa, No. no.4277/10/DJM. O/2011, yang berlaku dari 27 Februari 2011 sampai pasokan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
133
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
No
Jalur Penyaluran
Pemilik Ijin Penyaluran
Jarak (km)
Kapasitas (MMCSFD)
Sumber Gas
Catatan gas tersedia
2
Semarang Gresik
PT Pertamina EP, menurut Keputusan Kepala BPH Migas no.034/Kpts/ PL/BPHMiga s/Kom/III/200 6.
260
500
Cepu (Exxon Mobil Oil), FSRU Jawa Tengah
3
Semarang Cirebon
PT Rekayasa Industri
230
500
FSRU Jawa Tengah
Jalur pipa direncanakan untuk dibangun secara bertahap Ijin usaha sementara No. 9124/24/DJM.O/2 005 Moratorium tentang pengangkutan gas alam melalui jalur pipa, No.4277/10/DJM. O/2011, yang berlaku dari 27 Februari 2011 sampai pasokan gas tersedia Ijin usaha sementara No. 2947/10/DJM.O/2 009, yang dikeluarkan tanggal 16 Februari 2009, berlaku mulai 1 Februari 2011 Moratorium tentang ijin sementara untuk pengangkutan gas alam melalui jalur pipa No.4277/10/DJM. O/2011, yang berlaku dari 27 Februari 2011 sampai pasokan gas tersedia
Sumber: Keputusan Menteri ESDM No. 2700 K/11/MEM/2012
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
134
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Lampiran 5: Kajian Penyaringan untuk Enam Instalasi LNG Skala Kecil di Kawasan Timur Indonesia Latar Belakang dan Tujuan Kajian Penyaringan Kajian Penyaringan untuk Pemanfaatan Instalasi LNG Skala Kecil oleh PLN di Kawasan Timur Indonesia, bertujuan untuk menentukan apakah akan ekonomis apabila pasokan gas dimasukkan kedalam fasilitas PLN. Rekomendasi dan Kesimpulan Kajian Penyaringan Kajian tersebut menyimpulkan bahwa penyediaan pasokan gas ke lokasi yang dipilih di daerah operasi PLN di Kawasan Timur Indonesia akan merupakan hal yang layak secara ekonomi. Penghematannya besar dan akan dengan cepat mengembalikan investasi, lihat Tabel A.5.1. Tabel A.5.1: Ringkasan Milk Runs
Biaya konversi Biaya unit baru Biaya fasilitas Pengiriman Subtotal Penghematan biaya energi
Penghematan netto
Bontang
Donggi
Marsela
Tangguh
Total
25
19
12
15
71
429
184
99
149
861
154
128
82
81
444
197
197
197
197
788
805
528
390
442
2.164
2.921
1.956
983
1.517
7.369
2.116
1.428
593
1.075
5.204
Rekomendasi menyebutkan bahwa pelaksanaan harus dimulai sesegera mungkin di mana lokasi Tello digabungkan dengan Bitung, Sorong dan Jayapura merupakan calon terbaik. Untuk awalnya, PLN perlu menyewa kapal yang diperlukan dan, saat pengalaman operasi semakin berkembang, disain dan kontruksi kapal “tujuan khusus” dapat dipertimbangkan. Perlu segera dilaksanakan program evaluasi atas desain dan kontruksi terminal apung penerima LNG untuk mendukung lokasi PLN yang dipilih. Saat kebutuhan pembangkitan dan gas membesar, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan unit pembangkit listrik dengan siklus gabungan. Pengurangan 5-10% dari total emisi CO2 dari operasi PLN Indonesia Timur, akan tercapai dengan penggunaan gas alam, tergantung apakah yang diganti adalah pembangkit listrik berbahan bakar solar atau batubara, lihat Gambar A.5.1.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
135
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Gambar A.5.1- Pengurangan Tingkat CO2 dari Proyek LNG - PLN Indonesia Timur
25
Million Ton CO2/year
20
HSD MFO Gas Batubara Emission Saving Gas vs Coal Emission Saving Gas vs Diesel
15
10
5
0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
136
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Referensi American Gas Association, (2015). AGA Utility Case Database. [online] Available at: http://archive.aga.org/ourissues/RatesRegulatoryIssues/ratesregpolicy/ratecases/Pages/default.aspx?PF=1&PF =1&PF=1&PF=1&PF=1. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, (2014). Harga Acuan Batubara January 2014. Harga Acuan Batubara. Badan Koordinasi Penanaman Modal, (2015). BKPM - Indonesia Investment Coordinating Board Official Website - Statistik. [online] Available at: http://www7.bkpm.go.id/contents/p16/statistics/17#.VUwfhpPQj_E. Batavia Prosperindo Sekuritas, (2014). Batavia Stock Focus : Perusahaan Gas Negara. Batavia Stock Focus. Batavia Prosperindo Sekuritas. BBC News, (2015). Most fossil fuels 'unburnable' under 2C climate target - BBC News. [online] Available at: http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-30709211. British Petroleum, (2014). BP Statistical Review of World Energy 2013. British Petroleum. Cahyafitri, R. (2015). New body planned to handle gas supply and distribution. The Jakarta Post. Chinn, B. (2014). Perusahaan Gas Negara. Samuel Equity Research. CIMB, (2014). Perusahaan Gas Negara. CIMB. Dewan Energi Nasional, (2014). Outlook Energi Indonesia 2014. Dewan Energi Nasional. Dharma, J. (2015). MCSV | Mail Chimp. [online] Mail Chimp. Available at: http://us4.campaignarchive2.com/?u4a14b815fc3cb642eb6dd538d&id=5f1278b89d&e=[UNIQID] Direktorat Jenderal Minyak dan gas bumi Bumi, (2015). Direktorat Jenderal Minyak dan gas bumi Bumi - Kementerian ESDM Republik Indonesia - Peta Cekungan. [online] Available at: http://migas.esdm.go.id/post/category/petadandata/Petacekungan. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, (2015). Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi - Kementerian ESDM Republik Indonesia - Peta Infrastruktur. [online] Available at: http://migas.esdm.go.id/post/category/petadandata/petainfrastruktur/petaRIJTDGBN. Elgie, Stwert (2014), British Columbia’s Carbon Tax Shift: An Environmental and Economic Success, World Bank online news, available at http://goo.gl/LCtETB Energy Information Administration, (2015). Europe Brent Spot Price FOB (Dollars per Barrel). [online] Available at: http://www.eia.gov/dnav/pet/hist/LeafHandler.ashx?n=pet&s=rbrte&f=m. Energy Information Administration, (2015). Henry Hub Natural Gas Spot Price (Dollars per Million Btu). [online] Available at: http://www.eia.gov/dnav/ng/hist/rngwhhdm.htm. European Commission Joint Research Centre, (2000). Greenhouse Gas Emissions from Fossil Fuel Fired Power Generation System. European Commission Joint Research Centre institute For Advanced Materials. Gupta, A. and Suttikulpanich, D. (2013). Perusahaan Gas Negara. Indonesia Oil Equipment, Services and Distribution. Standard Chartered. Hutapea, M. (2013). Energy Efficiency and Conservation Policy in Indonesia. Intergovernmental Panel of Climate Change, (2006). 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. International Energy Agency, (2014). World Energy Investment Outlook Fact Sheet. p.162. IPA - Indonesian Petroleum Association, (2015). IPA - Indonesian Petroleum Association Statistics. [online] Available at: http://www.ipa.or.id/index.php/overview/index/30. v, (2006). Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2014). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2013. Lenore, Taylor (2014), Politics in 2014: the Coalition dished out slogans, and its sentence is Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
137
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
clear, published at The Guardian online edition, available at: http://goo.gl/qGfn1w Lubis, A. (2015). Chandra Asri eyes more tax break. The Jakarta Post. Maheswari, M. and Lee, S. (2014). Perusahaan Gas Negara (Persero) TBK, Tide Is Turning; Increasing Confidence on Gas Volumes. Morgan Stanley. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2009). Indonesia Oil and Gas Statistics 2008. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2010). Indonesia Oil and Gas Statistics 2009. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2011). Indonesia Oil and Gas Statistics 2010. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2012). Indonesia Oil and Gas Statistics 2011. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2013). Indonesia Oil and Gas Statistics 2012. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2014). Indonesia Oil and Gas Statistics 2013. Kementerian Keuangan, (2014). Nota Keuangan RAPBN 2015. Kementerian Keuangan, (2015). Nota Keuangan RAPBN-P 2015. Oak Ridge National Laboratory, (2011). Indonesia Fossil-Fuel CO2 Emissions. [online] Available at: http://cdiac.ornl.gov/trends/emis/tre_ido.html. Pertamina On a Roll. (2015). Tempo, p.13. Perusahaan Gas Negara, (2009). Annual Report 2008. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2010). Annual Report 2009. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2010). Consolidated Financial Statement 2009. Consolidated Financial Statement. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2011). Annual Report 2010. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2011). Consolidated Financial Statement 2010. Consolidated Financial Statement. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2012). Annual Report 2011. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2012). Consolidated Financial Statement 2011. Consolidated Financial Statement. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2013). Annual Report 2012. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2013). Consolidated Financial Statement 2012. Consolidated Financial Statement. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Gas Negara, (2014). Consolidated Financial Statement 2014. Consolidated Financial Statement. Perusahaan Gas Negara. Perusahaan Listrik Negara, (2012). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2012-2021. Perusahaan Listrik Negara. Perusahaan Listrik Negara, (2013). PLN Statistics 2012. Perusahaan Listrik Negara. Perusahaan Listrik Negara, (2013). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2013-2022. Perusahaan Listrik Negara. Perusahaan Listrik Negara, (2014). PLN Statistics 2013. Petrominer, (2015). Government, ENI discussing Jangkrik's commercial aspects. Price Waterhouse Cooper, (2012). Investment and Taxation Guide. Oil and Gas in Indonesia. Price Waterhouse Cooper. Price Waterhouse Cooper, (2013). Mine Indonesia 2013. Annual review of trends in Indonesian mining industry. Price Waterhouse Cooper. RBC Capital Market (2010), Carbon Emissions Trading: An Emerging New Market, online resource available at Sambijantoro, S. (2015). Jokowi's unrealistic tax target could backfire : WB. The Jakarta Post. SKK Migas, (2014). Laporan Tahunan 2013. SKK Migas. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
138
Opsi untuk Reformasi Kebijakan Fiskal untuk Membantu Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor
Sukhyar, R. and Fakhrudin, R. (2013). Unconventional Oil and Gas Potential in Indonesia with Special Attention to Shale Gas and Coal-bed Methane. Suria, O. (2011). Indonesia Oil and Gas Laws, A Legal Introduction. 1st ed. Oentoeng Suria and Partners, p.www.oentoengsuria.com. Technologies, E. (2014). Nasdaq's Investor Relations Solutions. [online] Phx.corporateir.net. Available at: http://phx.corporate-ir.net/. Tumiran. (2014). Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional. U.S. Energy Information Administration, (2014). Levelized Cost and Levelized Avoided Cost of New Generation Resources in the Annual Energy Outlook 2014. Annual Energy Outlook. We must go beyond business as usual, Menteri Bambang Brodjonegoro. (2014). Tempo, Hal.88. World Bank, (2015). Indonesia | Data. [online] Available at: http://data.worldbank.org/country/indonesia. World Bank, (2015). World Development Indicators | Data | the World Bank Data Bank Create Widgets or Advanced Reports and Share. [online] Available at: http://databank.worldbank.org/data/views/variableSelection/selectvariables.aspx?sourc e=world-development-indicators. World Economic Forum, (2012). Energy vision update 2012. energy for economic growth. Geneva. World Energy Council (2013), World Energy Resource: 2013 Survey, (London: World Energy Council, online resource); available at: http://goo.gl/nuuQlv. World Bank (2010) Indonesia: Climate Change (Washington DC: The World Bank, online resource); available at: http://go.worldbank.org/HQQFW5MV70. World Bank (2013), Putting a Price on Carbon with Tax, (Washington DC: The World Bank, online resource); available at: http://goo.gl/xhL5rw. Yahoo! Finance, (2015). Perusahaan Gas Negara (Persero). [online] Available at: http://finance.yahoo.com/q?s=PGAS.JK. Yulisman, L. and Sipahutar, T. (2015). Hard to meet growth target: Finance Minister. The Jakarta Post. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No. 67/2002. Peraturan Pemerintah No.36/2004. Peraturan Pemerintah No.36/2004. Peraturan Pemerintah No. 20/2009. UU No. 22/ 2001. UU No. 30/ 2007. UU No. 30/2009. UU No.22/2001. UU No.30/2009. Keputusan Menteri ESDM No 0225 K/11/MEM/2010, Keputusan Menteri ESDM No 2700 K/11/MEM/2012. Keputusan Menteri ESDM No. 21/2008. Keputusan Presiden No. 43/1991. Keputusan Presiden No.61/2011. Rencana Induk Konservasi Energi Nasional / RIKEN (2005) Kebijakan Energi Nasional / RPP KEN, (2014)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
139