Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI MELALUI PERKAWINAN ALAM DAN PEMANFAATAN INSEMINASI BUATAN (IB) UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PEMULIAAN POLMER SITUMORANG dan I PUTU GEDE Balai Penelitian Ternak, PO BOX 221, Bogor 16002 ABSTRAK POLMER SITUMORANG dan I PUTU GEDE. 2003. Peningkatan Efisiensi Reproduksi Melalui Perkawinan Alam dan Pemanfaatan Inseminasi Buatan (IB) untuk Mendukung Program Pemuliaan. Program pemuliaan khususnya ternak ruminansia besar masih dirasakan sangat kurang. Keterbatasan ternak unggul merupakan kendala yang umum di Indonesia, disamping produksi pedet (net calf crop) yang belum optimal baik secara kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu usaha meningkatkan efisiensi reproduksi melalui perkawinan alam maupun pemanfaatan inseminasi buatan (IB), merupakan hal mutlak yang perlu mendapat perhatian dalam upaya mendukung program pemuliaan tersebut. Keberhasilan perkawinan alami sangat dipengaruhi pemilihan pejantan baik secara kualitas dan kuantitas. Kualitas ditentukan oleh nilai genetik dan performa pejantan yang bersangkutan, sedangkan faktor kuantitas dipengaruhi perbandingan jantan betina yang dipengaruhi oleh topografi dan kondisi pastura yaitu kualitas dan kuantitas pakan dan ketersediaan air. Strategi pengembangan sapi melalui pola inti -plasma merupakan alternatif yang perlu dipikirkan dalam penggunaan semen dingin untuk meningkatkan pemanfaatan IB, khususnya pada daerah-daerah dimana lokasi padang penggembalaan sangat terbatas dan kepemilikan ternak yang rendah Kelompok inti bertanggung jawab dalam penyediaan pejantan unggul, produksi semen dingin, melakukan IB dan pencatatan perkawinan sedang kelompok plasma memelihara ternak-ternak bunting dan anak-anaknya. Kata kunci: Pemuliaan, ruminansia besar, inseminasi buatan dan semen cair
PENDAHULUAN Ternak ruminansia besar memegang peranan penting dalam penyediaan sumber protein hewani di Indonesia. Data statistik peternakan menunjukkan bahwa populasi sapi potong, kerbau dan sapi perah di Indomesia berturut-turut 10.436.200, 2.436.100 dan 354.000 ekor. (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2002). Efisiensi produksi ternak ruminansia pada negara-negara tropis secara umum lebih rendah dibanding negara negara sub-tropis (JALALUDIN dan HO, 1991). Beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak ruminansia ini antara lain; kepemilikan luas tanah yang tidak ekonomis, kurangnya modal, dan teknologi yang tidak sesuai dengan lingkungan, keterampilan peternak dan ketersediaan pakan yang kurang dan tingginya infestasi parasit dan penyakit-penyakit lainnya. Pada beberapa negara, khususnya Indonesia, kekurangan pakan ternak, masih dapat diperdebatkan dengan kenyataan banyaknya hasil samping pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak, antara lain jerami padi, bungkil dan lumpur sawit, pucuk tebu dan daun singkong. Perkebunan kelapa sawit yang sekarang ini berkembang sangat cepat berpotensi sebagai sumber pakan ternak yang cukup besar. Hal ini merupakan peluang yang cukup baik dalam usaha pengembangan produksi ternak ruminansia. Di Malaysia, penggunaan palm kernel cake 103
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
(PKC) dilakukan secara extensif untuk penggemukan sapi potong dan suplementasi ransum sapi perah. Faktor yang masih pembatas sampai saat ini adalah pemberian jangka panjang secara terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan ternak berhubungan dengan kadar mineral yang tinggi khususnya copper. Salah satu faktor lain yang cukup dominan yang menurunkan produktivitas ternak ruminansia adalah mutu genetik yang inferior akibat tidak adanya sistim pemuliaan yang konsisten dan terarah. Perhatian akan pentingnya pemuliaaan (culling and selction) dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak ruminansia besar khususnya ternak sapi potong dan kerbau masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dengan kurangnya pejantan-pejantan, baik secara kuantitas maupun kualitas yang digunakan sebagai pemacak baik dalam perkawinan alam maupun inseminasi buatan (IB). Akhir-akhir ini jalan pintas diambil oleh pemerintah maupun peternak dengan melakukan kawin silang dengan menggunakan pejantan pejantan impor. Akan tetapi program ini pada kondisi peternakan dengan low input production tidak meningkatkan produksi secara lestari, bahkan kadang kadang menurunkan masa produktivitas dari spesies yang bersangkutan (HAMMOND dan GALAL, 2000). Faktor yang cukup dominan mempengaruhi rendahnya proktivitas dari ternak unggul lokal maupun impor adalah tingkat reproduksi yang masih rendah sehubungan dengan strategi perkawinan belum optimal. Oleh karena itu upaya meningkatkan efisiensi reproduksi baik melalui kawin alam maupun pemanfaatan IB pada ternak ruminansia besar perlu mendapat perhatian. PERKAWINAN ALAM Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa ternak lokal yang telah terbukti adaftif pada lingkungan. Untuk sapi potong, sekitar 95% sistim perkawinan yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia adalah secara alam (O'MARRY dan DYER, 1978; HAFEZ, 1993). Teknik perkawinan dengan inseminasi buatan (IB) pada sistim penggembalaan dilaporkan pada beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu berkisar 74-84% pada IB pertama (WILTBANK, 1970). Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian antara lain: (1) pemilihan pejantan dan (2) perbandingan pejantan dan betina. Pemilihan pejantan Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh BAKER (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat.Testes yang kecil dan lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh REDDY et al. (1996). Faktor lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi berahi dan mengawini betina (CHENOWETH, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan 18-20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak (O'MARRY dan DYER ,1978).
104
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Perbandingan pejantan dan betina Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (HAFEZ, 1993), dan nisbah yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu 60-90 hari (O'MARRY and DYER 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen. Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen. PEMANFAATAN IB Teknologi IB sebagai alat untuk meningkatkan produksi ternak secara luas telah dilaporkan khususnya pada ternak sapi perah dimana manajemen yang intensif telah digunakan. Penggunaan teknologi IB, dapat mempercepat peningkatan kualitas genetik dengan menggunakan pejantan unggul, dan pengontrolan penyakit reproduksi lebih mudah dibanding kawin alam. Teknologi ini menjadi pilihan utama mengingat adanya beberapa faktor yang membatasi perkawinan secara alami khususnya di Indonesia, antara lain: • Lahan yang terbatas sehingga berkurangnya padang penggembalaan • Jumlah kepemilikan ternak yang rendah <4 ekor • Keterbatasan pejantan • Preferensi breed sehingga sulit untuk program crossbreeding Pengawetan semen Salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan IB adalah daya hidup spermatozoa. Berbeda dengan sel-sel lainnya, spermatozoa hanya dapat hidup sangat singkat post-ejaculat dan hanya tergantung dari penggunaan enersi yang tersedia pada seminal plasma, serta tidak dapat mensintesa sendiri enersi yang diperlukan baik untuk proses metabolisme maupun memperbaiki kerusakan sel yang terjadi selama pendinginan dan pembekuan (HAMMERSTEDT, 1993). Oleh karena itu teknologi pengawetan semen adalah mutlak diperlukan didalam menunjang program IB. Pengawetan semen umumnya dilakukan dengan menurunkan temperatur sampai–196oC sehingga daya hidupnya dapat dipertahankan sampai bertahun-tahun. Penelitian pengawetan semen selama empat dekade terakhir masih tetap pada kendala yang sama yaitu daya hidup spermatozoa setelah pencairan kembali (Post-thawed) rendah (WATSON, 1990). Hasil penelitian telah membuktikan 105
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
bahwa kurang lebih 30% spermatozoa akan mati selama pembekuan (GOLDMAN et al., 1991) dan spermatozoa yang hidup post-thawed, mempunyai fertilitas yang rendah (PARKS dan GRAHAM, 1992). Hambatan teknis lainnya adalah proses pembekuan memerlukan peralatan yang mahal dan kompleks antara lain mesin pembeku, kontainer nitrogen cair dan lain sebagainya. Dari hasil pengkajian IB pada lima propinsi (Jawa Barat, Sumatera Barat, DIY, Jawa Timur dan NTB) menunjukkan beberapa kendala yang masih dihadapi antara lain: nitrogen cair yang terbatas, terlambatnya pelaporan berahi oleh peternak sehingga kinerja IB relatif rendah. (SIREGAR et al., 1997; SITEPU dan DHARSANA, 1997; SETIADI et al., 1998). Untuk menghindari hal tersebut penggunaan semen dingin menjadi satu pilihan yang baik dilakukan. Semen dingin (Chilled semen) Menurut survei tahun 1980, jumlah inseminasi yang dilaporkan di dunia lebih dari 130 juta dan jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 200 juta dosis pada tahun 1995, dan kurang lebih 95% dalam bentuk semen beku. Dari penggunaan semen dingin (5%) yaitu sekitar 10 juta dosis, kurang lebih 4 juta dosis dilakukan di Selandia Baru dan sisanya di Perancis, Belanda, Australia dan Eropa Timur. Beberapa keuntungan penggunaan semen dingin antara lain; proses pembuatannya yang lebih sederhana, laboratorium dan peralatan yang murah, jumlah spermatozoa per inseminasi yang lebih rendah yang berarti produksi straw per pejantan yang tinggi, dan tingkat fertilitas yang lebih tinggi pula. Salah satu kelemahan pokok penggunaan semen dingin adalah waktu penyimpanan yang jauh lebih pendek yaitu hanya sampai harian saja dibandingkan dengan semen beku yang dapat disimpan sampai tahunan, sehingga perlu mendapatkan pengencer yang optimal (VISHWARATH dan SHANON, (2000). SITUMORANG et al. (2000, 2001, 2002a,b) melakukan penelitian untuk mengoptimalkan penggunaan semen dingin dalam usaha meningkatkan kinerja IB pada sapi perah. Pengencer yang optimal untuk semen dingin yang didapat adalah Tris-Citrat yang mengandung 2, 422g Tris; 1,34g asam sitrat; 1,0g fruktosa; 0,1g Streptomicin; 100.000 IU Penicilin; 10 ml kuning telur dan 4 ml glycerol dalam 100 ml aquades. Persentase kebuntingan dengan menggunakan semen dingin menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding semen beku. Untuk sapi potong, penggunaan pengencer air kelapa muda yang mengandung 10 ml kuning telur; 0,1g Streptomicin; 100.000 IU Penicilin dan 4 ml glycerol menghasilkan daya hidup spermatozoa yang lebih baik. Mengingat kondisi peternak yang terbatas kemampuannya dalam penyediaan lahan penggembalaan, kurangnya pejantan yang unggul, jumlah kepemilikan yang rendah dan faktor sosio-ekonomi lainnya; perlu dilakukan usaha mengoptimalkan penggunaan semen dingin melalui sistim usaha terpadu dengan pembentukan kelompok inti dan plasma. Kelompok inti bisa perusahaan swasta murni maupun lembaga-lembaga swadaya yang berminat pada usaha peternakan maupun badan pemerintah. Kelompok inti tersebut mennyediakan fasilitas produksi semen dingin yang ditampung dari ternak jantan unggul, termasuk melakukan IB pada ternak-ternak betina yang dimiliki oleh kelompok plasma, dan pencatatan pencatatan sehingga perkawinan mengikuti prosedur yang benar untuk menghindari inbreeding yang terlalu tinggi. IB dapat dilakukan pada fasilitas tanah milik kelompok inti maupun pada lokasi peternak plasma yang bersangkutan tergantung dari kondisi dan situasi setempat. Khususnya untuk perkebunan kelapa sawit, maka yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan dengan menyediakan sebidang tanah untuk pemanfaatan teknologi IB menggunakan semen cair. Sebagai plasma adalah peternak-peternak sekeliling perkebunan yang memelihara ternak betina yang sudah bunting dan anak-anak sapi yang dihasilkan. Disamping produksi semen dingin, perkebunan juga menyediakan pakan (hasil sampingan perkebunan sawit). Peternak plasma diminta untuk membawa dan menitipkan ternak-ternak betina miliknya untuk 106
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
periode tertentu (diharapkan kurang dari 2 bulan) kepada peternak inti, dan memelihara ternak ternak yang sudah kawin. Peternak akan memberikan kompensasi berupa uang untuk pemeliharaan selama dua bulan dan pelayanan perkawinan. KESIMPULAN DAN SARAN Untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia besar perlu melakukan pemuliaan yang terarah melalui kawin alam maupun IB tergantung dari kondisi lokal setempat. Pada sistim perkawinan alam khususnya ternak sapi potong, produksi anak sapi potong (net calf crop) dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan pejantan dan betina selama kebuntingan, penyapihan dini, mengoptimalkan ratio jantan dan betina, pemilihan pejantan untuk menghindari distokia dan pengontrolan penyakit. Untuk pemanfaatan teknologi IB, penggunaan semen dingin dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja IB tersebut. Pada lokasi lahan peternakan yang terbatas sistim peternak inti dan plasma, dimana kelompok inti bertanggung jawab dalam penyediaan semen dingin dan fasilitas pendukung lainnya dapat dimungkinkan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, yang akhirnya meningkatkan pendapatan peternak. DAFTAR PUSTAKA BAKER, J.F. 1996. Effect of Tuli, Brachman, Angus and Pooled Hereford sire breeds on birth and weaning traits of offspring. J. Anim. Sci. Suppl. 74: 124 CHENOWETH, P.J. 1981. Libido and mating behaviour in bulls, boars and rams. Theriogenology 16:155. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2002. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. GOLDMAN, E.E., J.E. ELLINGTON, F.B. FARREL and R.H. FOOTE. 1991. Use of fresh and frozen Thawed bull sperm invitro. Theriogenology 35: 204. HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in farm animals. 6th Ed.Lea & Febiger Philadelphia, USA. HAMMERSTEDT, R.H. 1993. Maintenance of bioenergetic balance in sperm and prevention of lipid peroxidation: A review of the effects on design and storage preservation system. Reprod. Fert. Div. 5: 675-690. HAMMOND, K. and S. GALAL. 2000. Developing breeding strategies for lower input animal production environments. An introduction. ICAR Technical series 3: 13-20. JALALUDIN, S. and Y.W. HO. 1991. Animal production in Southeast Asia: present status and research directions. Aciar Proc. 34: 16-19. O'MARY, C.C. and A.J. DYER. 1978. Commercial beef cattle production. 2 nd Ed. Lea & Febiger Philadelphia, USA. PARKS, J.E and J.K. GRAHAM. 1992 Effects of cryopreservation procedures on sperm membrans. Theriogenology 38: 209-222. REDDY, M., M.E. DAVIS, and R.C.M. SIMMEN. 1996. Correlated response in scrotal circumferences, semen trends and reproductive performance due to selection for increased or decreased blood serum IGF-I concentration in Angus beef cattle. J. Anim. Sci Suppl. 74: 108.
107
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
SETIADI, B., D. PRIYANTO, SUBANDRIYO dan N.K. WARDHANI. 1998. Pengkajian pemanfaatan teknologi Inseminasi Buatan (IB) terhadap kinerja reproduksi ternak sapi peranakan ongole di Daerah Istemewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 1: 208. SIREGAR, A.R.P., P. SITUMORANG, J. BESTARI, Y. SANI dan R.H. MATONDANG. 1997. Pengaruh flushing pada sapi induk peranakan ongole di dua lokasi yang berbeda ketinggiannya pada program IB di Kabupaten Agam. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2: 244. SITEPU, P. dan R. DHARSANA. 1997. Aplikasi inseminasi buatan (IB) di Propinsi Lampung: Penanganan dan penyimpanan frozen semen. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2:317. SITUMORANG, P. 2002a. The effects of inclusion of exogenous phospholipid in Tris diluent containing different level of egg yolk on the viability of bull spermatozoa. JITV 7(3): 181-187. SITUMORANG, P. 2002b. Pengaruh kolesterol terhadap daya hidup dan fertilitas dari spermatozoa sapi. JITV 7(4): 251-258. SITUMORANG, P., E.TRIWULANINGSIH, A. LUBIS, T. SUGIARTI and C. WIWIE. 2001. Optimalisasi penggunaan chilling semen untuk meningkatkan persentase kebuntingan sapi perah. Laporan Tahunan. Balai Penelitian Ternak Ciawi. SITUMORANG, P., E. TRIWULANINGSIH, A. LUBIS, C. WIEWIE and T. SUGIARTI. 2000. Pengaruh proline, carnitine terhadap daya hidup spermatozoa yang telah disimpan pada suhu 5oC. JITV 6: 1-6. VISHWARATH and SHANON. 2000. Liquid semen: A review. Reprod. Fert. Div. 12: 675-690. WATSON, P.F. 1990. Artificial insemination and the preservation of semen. In: Marshall's Physiology of Reproduction. Vol 2. 4th Ed. G.E. LAMMING (Ed.). pp 747-869. WILTBANK, J.V. 1970. Research need in beef cattle production. J. Anim. Sci. 31: 755.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Bangsa/breed sapi potong apa yang dapat beradaptasi pada lingkungan perkebunan di Indonesia
2.
Bagaimana model pengembangan sapi dengan pola inti-plasma? • Skala usaha peternak swasta • Apakah pihak inti dapat berperan sebagai pemberi kredit
3. Bagaimana hubungan pola usaha pembibitan/penghasil pedet dan penggemukan Jawaban: 1. Belum ada penelitian yang menentukan bangsa sapi tertentu cocok pada kondisi perkebunan. Akan tetapi karena perkebunan di Indonesia umumnya ada di dataran rendah dan panas maka bangsa ternak yang paling cocok barangkali adalah sapi-sapi yang berasal dari daerah tropis antara lain, ongole, bali dan brahman
108
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
2. Skala usaha harus komersial 3. Sebaiknya pihak inti juga memberikan bantuan dana ke peternak plasma dengan bunga yang rendah. Karena kita mengetahui distribusi keuntungan yang didapat pada usaha peternakan didapat terkecil pada usaha penghasil bibit yang dalam sistim ini dilakukan oleh kelompok plasma. Oleh karena itu sebaiknya kalau kelompok inti juga berfungsi sebagai penampung pedet yang dihasilkan oleh kelompok plasma, maka harga pembelian pedet harus disepakati kedua belah pihak untuk keuntungan bersama-sama. Kelompok plasma juga harus dipekenankan untuk melakukan pembesaran dan penggemukan.
109