LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 RESPON USAHATANI SKALA KECIL TERHADAP LIBERALISASI PERDAGANGAN
Oleh : Budiman Hutabarat M. Husein Sawit Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Saktyanu K. Dermoredjo Wahida Sri Nuryanti Helena J. Purba Frans B.M. Dabukke Andi Askin
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
RINGKASAN EKSEKUTIF I.
Pendahuluan
1.
Kesepakatan multilateral perdagangan internasional telah berjalan hampir 15 tahun, sejak terbentuk OPD (1994) untuk membuka pasar domestik (akses pasar), mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani (subsidi domestik) dan subsidi untuk ekspor komoditas (subsidi ekspor).
2.
Berbagai hasil simulasi penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat menguntungkan/merugikan. Dampak liberalisasi perdagangan multilateral (Doha Round) terhadap komoditas pertanian sangat menguntungkan negara-negara “kaya” (rich countries) dan negara-negara berkembang lebih banyak merugi karena sebagai ‘net importer’, sedikit yang menerima manfaat, padahal sub sektor pertanian di negara berkembang dicirikan petani berlahan sempit, produksi rendah, dan tidak kompetitif di pasar internasional.
3.
Perundingan OPD yang masih berlangsung saat ini bertujuan mewujudkan pengurangan/penghapusan hambatan perdagangan internasional agar komoditas suatu negara akan masuk teritorial negara lain tanpa hambatan (globalisasi). Yang perlu dipertimbangkan komoditas apa yang mampu mengglobal? Unit usaha seperti apa yang memproduksi komoditas ini? Apakah produk yang mengglobal sematamata karena persaingan efisiensi/ekonomi/teknologi/citra atau hambatan bukan tarif? Hal ini terkait dengan kelangsungan struktur usahatani Indonesia yang umumnya berskala kecil. Dapatkah usaha kecil pertanian Indonesia merespons gerakan ini baik untuk tujuan pasar internasional dan bahkan di dalam negeri sendiri?
4.
Tujuan (i)
Melakukan analisis struktur usahatani di Indonesia berdasarkan berbagai kriteria, antara lain ukuran modal, tenaga kerja, nilai aset, produksi dan lainlain.
(ii)
Mengidentifikasi komoditas-komoditas usahatani skala kecil.
(iii)
Menganalisis faktor-faktor liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan dinamika respon usahatani skala kecil.
(iv)
Merumuskan usulan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan revitalisasi usahatani skala kecil dalam menghadapi liberalisasi perdagangan pertanian.
yang
dominan
dalam
struktur
II.
Metodologi
5.
Metoda analisis yang digunakan adalah bersifat deskriptif melalui tabulasi silang dan perhitungan finansial dan analisis usahatani, analisis model ekonometrik penawaran ekspor dan permintaan domestik serta analisis diagram rantai nilai (Value Chain Diagram).
III.
Temuan-temuan dan Kesimpulan Penelitian
A.
Struktur Usaha Tani Jagung, Kakao dan Pisang di Indonesia
6.
Pada umumnya petani jagung hanya memiliki luas lahan yang sangat sempit dengan rerata berkisar sekitar 0,5 ha–0,8 ha, dengan pola tanam padi-jagung-jagung dan
vii
daur modal berkisar Rp 5.965.000/ha/musim, tidak termasuk biaya sewa lahan dengan rerata Rp 2.800.000/ha/tahun, sehingga petani selalu tergantung kepada pemilik modal seperti pengusaha maupun pedagang. 7.
Proporsi terbesar dari biaya total adalah biaya untuk tenaga kerja, yaitu sebesar 36,19 persen dengan nilai nominal sebesar Rp 3.165.000/ha/musim tanam (sekitar 3 bulan). Penggunaan tenaga kerja terbesar terutama terjadi pada saat tanam dan panen.
8.
Pada umumnya petani jagung di Lampung menanam jagung dengan pola mandiri, yakni tidak terikat kemitraan dan atau perjanjian baik dengan perusahaan saprodi atau perusahaan pakan ternak atau perusahaan lainnya atau para pedagang besar atau pengumpul walaupun mereka pada umumnya menjual hasil produksinya ke pedagang yang sebetulnya kepanjangan tangan industri pakan. Biaya modal kerja atau finansial yang mereka butuhkan: untuk pembelian sarana produksi (untuk membeli benih, pupuk, dan obat-obatan) yang proporsinya sebesar 26,70 persen terhadap biaya total (setara Rp 2.340.000/ha/musim tanam), mereka atasi sendiri dari milik sendiri atau bahkan melalui pinjaman tanpa terikat.
9.
Salah satu masalah yang dijumpai di lokasi adalah kasus-kasus petani yang memanen dan menjual jagung yang belum masak sempurna, karena umurnya 90100 hari untuk mengejar waktu penanaman kembali pada awal musim hujan yang mereka prakirakan tiba. Hal ini tentu saja dapat menurunkan mutu jagung petani, apalagi kalau pengeringan atau penanganan pasca panennya tidak sempurna. Petani melakukan ini untuk mengejar waktu penanaman kembali pada awal musim hujan yang mereka prakirakan tiba.
10.
Usahatani kakao di lokasi-lokasi penelitian (provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara) didominasi petani kecil dengan luas lahan sangat terbatas dengan rerata luas kepemilikan lahan 0,5 ha –1,0 ha dan menjadi sumber pendapatan utama rumah tangga. Dalam menjalankan usahataninya, petani pada umumnya bermitra dengan pedagang besar. Keragaan kebun kakao di sentra produksi saat ini adalah tanaman yang sudah tua (ditanam pada tarikh 1970-an). Secara teknis budidaya, tanaman-tanaman petani ini sudah selayaknya diremajakan karena produktivitasnya sudah semakin menurun. Namun, upaya peremajaan di tingkat petani tidak berjalan karena mereka tidak memiliki dana dan tidak menyiapkan bibit atau tidak memperoleh akses untuk mendapatkan bibit unggul. Mereka tidak mengantisipasinya sejak awal, atau kalaupun diantisipasi pendapatan dari usahataninya tidak cukup besar untuk sebahagian disisihkan sebagai penyusutan.
11.
Hasil produksi petani kakao hanya mampu sebagai bentuk kering dengan mutu asalan, yang dijual kepada para pedagang perantara atau kepanjangan tangan pedagang ekspor atau industri pengolahan. Dalam kerangka Technical Barriers to Trade (TBT), produk mutu asalan seperti ini dibebani potongan harga yang cukup besar sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan para pembeli/pedagang. Akibatnya penghasilan petani menurun cukup besar, walaupun sebenarnya harga internasional kakao cukup tinggi, yang saat ini mencacpai sekitar 85 persen dari harga FOB.
12.
Skala pengusahaan pisang mas di lokasi penelitian juga masih sangat terbatas, hanya dengan rerata 0,5 ha, meskipun sudah diusahakan secara monokultur setelah tahun 2005 dan dimaksudkan hanya sebagai tanaman pekarangan dan sampai saat ini masih seperti itu. Modal yang digunakan adalah modal sendiri dengan mayoritas
viii
tenaga berasal dari dalam keluarga. Dengan nilai aset dan lahan yang relatif terbatas tersebut, dapat dihasilkan produksi pisang sebesar 7 ton per tahun. Jumlah yang cukup sebagai penambah pendapatan bagi petani. B.
Mengidentifikasi Komoditas-Komoditas Dominan dalam Usahatani Skala Kecil di Indonesia
13.
Rumah tangga usaha tanaman palawija menguasai lahan sawah sekitar rerata 0,19 ha dan yang diusahakan untuk tanaman palawija hanya seluas rerata 0,09 ha. Sedangkan rerata luas lahan bukan sawah yang dikuasai oleh rumah tangga adalah sekitar 0,55 ha dan yang diusahakan tanaman palawija seluas 0,27 ha. Sebagi sumber utama pendapatan rumah tangga, sebanyak 25,2 persen rumah tangga menyebutkannya. Ten pencent of them claims that the secondary crops contribute more than 50 percent of household income. In general secondary crops contribution to household income is only less than 50 persen.
14.
Terlihat bahwa rerata luas lahan yang dikuasai per rumah tangga perkebunan adalah hanya sekitar 1,59 ha, yang terdiri atas lahan yang dimiliki sebesar 1,52 ha, rerata lahan yang berasal dari fihak lain sekitar 0,2 ha serta lahan yang berada di fihak lain sekitar 0,05 ha.
15.
Sentra utama perkebunan kakao Indonesia salah satunya adalah Sulawesi Selatan, karena wilayah ini memiliki keadaan alam dan fasilitas yang sangat baik bagi tanaman dan perkebunan kakao. Di provinsi ini terdapat sekitar 400.000 petani pekebun kakao yang mengusahakan lahan untuk tanaman kakao dengan rerata sekitar 1,5 ha dan memproduksi kakao jenis lindak dan tidak difermentasi. Ukuran lahan seluas ini hampir sama dengan rerata nasional pemilikan lahan perkebunan, sangat kecil untuk menjadi satu-satunya sumber pendapatan bagi petani. Mayoritas tenaga yang membantu dalam usahatani kakao adalah tenaga kerja dalam keluarga, meskipun ada sedikit rumah tangga pekebun yang mempekerjakan juga tenaga kerja luar keluarga.
16.
Komoditas dominan untuk usaha tanaman hortikultura dan mewakili hampir 60 persen dari total rumah tangga hortikultura adalah pisang. Pemilikan lahan yang sempit dan terpisah-pisah atau tidak menyatu dalam satu hamparan merupakan ciri khas petani pisang, sehingga cenderung kurang efisien dan kurang memiliki daya saing terhadap produk impor. Rerata lahan yang di miliki oleh rumah tangga hortikultura hanya seluas 0,8 ha, dan rerata lahan yang dikuasai atau diusahakan sebesar 0,89 ha. Namun dari 0,89 ha lahan yang di usahakan tersebut ternyata hanya 0,2 ha yang dimanfaatkan untuk usaha tanaman hortikultura.
17.
Fakta dan data yang dianalisis menunjukkan bahwa petani di Indonesia pada umumnya adalah petani sempit/kecil atau dalam bahasa lokal (Jawa) disebut petani gurem, yang mungkin dapat diartikan dalam bahasa Inggris sebagai peasant dan bukan petani (farmer) sebagaimana difahami masyarakat di negara maju atau para perunding di ruang perundingan atau perdebatan perdagangan dunia tingkat multilateral atau regional. Sebagai sumber pekerjaan anggota keluarga dan penymbang pendapatan utama, meskipun bukan andalan.
18.
Di Indonesia tampak ada petunjuk proses polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius dan dalam waktu yang sama fragmentasi pemilikan lahan, seperti ditunjukkan oleh semakin tingginya proporsi petani kecil (kurang dari 0,50 Ha), dengan proporsi tahun 2003 mencapai lebih dari 60 persen rumah tangga petani.
ix
Lahan pertanian yang dikuasai rumah tangga pertanian, umumnya hanya ditanami kombinasi 2 atau lebih komoditas pertanian. Di antara lahan yang ditanami hanya oleh satu tanaman saja, sebagian besar tanamannya adalah padi/palawija, diikuti perkebunan. C.
Respons Usahatani Jagung, Kakao dan Pisang Skala Kecil Terhadap Liberalisasi Perdagangan
19.
Respons usahatani jagung terhadap liberalisasi perdagangan masih memerlukan analisis dan model yang lebih mendalam untuk dapat memahami dinamika dan kinerjanya dengan baik. Meskipun dengan tabulasi dan analisis hubungan sederhana dapat saja dilakukan, tetapi analisis dan kesimpulannya menjadi kurang kuat dan tidak konklusif. Respons usahatani jagung terhadap liberalisasi perdagangan baik dari dinamika penawaran di pasar domestik yang berasal dari produksi domestik di tingkat petani maupun dari sisi peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi serta peningkatan mutu masih harus diteliti apakah faktor liberalisasi perdagangan memberi pengaruh yang nyata.
20.
Dalam perdagangan internasional jagung, baik dari sisi ekspor maupun impor, Indonesia mengalami gejolak yang sangat besar dan mengalami beberapa lonjakan dalam perdagangannya. Tetapi imbasnya bagi usahatani jagung skala kecil di lokasi penelitian tidak terlalu terlihat. Atau dengan kata lain liberalisasi perdagangan tidak banyak berpengaruh terhadap usahatani jagung skala kecil atau bahkan seolah-oleh petani kurang responsif terhadap pengaruh ini. Satu hal yang menjadi permasalahan dasar dan utama dalam komoditas jagung Indonesia adalah gejolak dan ketidakkonsistenan kemampuan Indonesia mempertahankan volume ekspor yang mantap dan berkesinambungan.
21.
Dari sisi harga internasional, meskipun terjadi gejolak harga internasional jagung yang cukup besar dan nyata, produksi jagung nasional mengalami peningkatan yang terus menerus dan hanya pernah mengalami penurunan pada tahun 2005. Ini menunjukkan bahwa harga internasional bukan menjadi satu-satunya faktor penarik dan pendorong kenaikan produksi, karena pada beberapa keadaan meskipun harga internasional turun drastis pada tahun tertentu, tetapi produksi jagung nasional tetap relatif meningkat. Ini merupakan pertanda bahwa: (i) tampaknya jagung nasional sudah mempunyai pasar sendiri, (ii) permintaan domestik masih relatif tinggi dan belum terpenuhi keseluruhannya, terutama untuk mencukupi perusahaan pakan ternak yang ada di Indonesia, yang menjadi pasar terbesar dan utama bagi komoditas jagung.
22.
Bagi komoditas kakao, gejolak harga komoditas kakao yang cenderung meningkat dengan gejolak yang cukup tinggi dan sangat cepat direspons positif oleh dan merupakan insentif bagi petani. Namun, petani kakao sampai saat ini belum mampu mengantisipasi gejolak tesebut karena di satu fihak modal kerja dan modal cadangan mereka sangat terbatas, sementara di fihak lain kakao adalah tanaman tahunan yang daur usahanya sangat panjang.
23.
Harga dunia harian di pasar lelang New York menjadi acuan penetapan harga kakao di lokasi penelitian dengan menyesuaikan terhadap berbagai hal antara lain: kriteria mutu dan biaya ongkos angkut. Ketika harga dasar telah ditetapkan pedagang pengumpul, pedagang hingga pengekspor akan terikat pada proses pemotongan harga (diferensial harga) dengan mengurangi parameter-parameter baku mutu yang ditentukan oleh pembeli dari harga dasar yang ditawarkan. Mekanisme pemotongan harga itu sudah merupakan merupakan aturan tidak tertulis bisnis kakao.
x
Sebenarnya, peningkatan mutu dan produksi menjadi perangsang utama bagi petani untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi atau memperkecil besaran diferensial harga di tingkat perantara, pengekspor maupun pembeli di negara tujuan. 24.
Secara agregat nasional. gejolak harga dunia dan perkembangan keadaan ekonomi negara tujuan pasar sangat menentukan perkembagan ekspor Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, rantai pasok/nilai untuk kakao diantisipasi secara beragam. Panjang atau pendek rantai pasok dari komoditas kakao yang diperdagangkan ditentukan oleh jumlah pedagang perantara yang terlibat. Di daerah sentra produksi yang menghasilkan kakao dengan mutu tinggi dan memiliki pasokan cukup besar umumnya memiliki rantai pasok yang lebih sederhana dan pendek dibandingkan di bukan daerah sentra produksi. Keberadaan perwakilan pengimpor di tingkat desa untuk beberapa kabupaten sentra bahkan memotong rantai pasok sehingga jalurnya lebih efisien dan ramping.
25.
Perubahan rezim perdagangan memberikan respon yang berbeda diukur dari volume dan nilai ekspor kakao Indonesia. Volume dan nilai ekspor Indonesia ke China dan ASEAN sebagai salah satu wujud rezim perdagangan kawasan/bilateral menunjukkan terjadinya peningkatan. Namun, di tingkat petani beragam bentuk insentif yang ada belum spenuhnya dapat direspons secara maksimal. Petani hanya mampu meningkatkan mutu pemeliharaan, pemupukan dan proses pasca panen, sedangkan upaya antisipasi penanaman kembali dan peremajaan masih sulit dilaksanakan.
26.
Secara agregat, liberalisasi perdagangan juga berpengaruh terhadap pola ekspor biji kakao, bubuk kakao dan kakao cair dari negara-negara pengekspor utama seperti Afrika Barat (Ghana dan Pantai Gading) dan Indonesia. Jika mengamati pola pergerakan ekspor biji kakao dari negara penghasil utama tersebut, Malaysia merupakan pemain baru di sisi penghasil.
27.
Pisang Mas Kirana berpeluang besar dalam perdagangan ekspor Indonesia karena bebas dari ketentuan Sanitary dan Phytosanitary, bebas pestisida dan menggunakan pupuk organik. Kriteria ini sudah sesuai dengan permintaan beberapa negara seperti China, Jepang dan Thailand yang meminta healthy food. Namun, dari pengamatan di lapangan produk pisang Mas Kirana ini mungkin belum dapat memenuhi kriteria Technical Barriers on Trade (TBT).
28.
Perbaikan usahatani dan program penyuluhan merupakan salah satu pertanda adanya respons usahatani petani pisang terhadap preferensi pasar. Terkait dengan pasar global yang mempunyai tingkat persaingan tinggi, petani pisang di lokasi penelitian saat ini sudah menerapkan Baku Operasi Produksi (BOP) dan melaksanakan usahatani pisang secara baik (Good Agricultural Practices/GAPs) dan organik.
29.
Saat ini, kerjasama kemitraan antara perusahaan dan petani pisang masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumsi pisang Mas Kirana di dalam negeri, karena kebutuhan ini saja belum dapat terpenuhi. Namun, antisipasi pemasaran ke luar negeri sudah mulai dirintis dengan pembudidayaan pisang dengan pola organik untuk pasar domestik dan ke depan dapat menembus pasar dunia (ekspor). Sehubungan dengan informasi tentang adanya permintaan pasar Jepang yang menginginkan pisang sampai di Jepang masih dalam keadaan hijau, petani memulai teknik pemberian tanda pada bunga pisang saat pertama kali muncul. Ini digunakan untuk menyeragamkan masa panen dimulai dari awal kemunculan bunga. Meskipun sederhana, upaya ini merupakan salah satu langkah
xi
maju ke depan untuk memenuhi pasar. Namun, upaya ini masih belum memberikan hasil yang diharapkan.
IV.
Rekomendasi Kebijakan
30.
Dalam rangka merevitalisasi usahatani kecil komoditas jagung untuk menghadapi liberalisasi dan globalisasi perdagangan perhatian sebaiknya diutamakan kepada upaya pengembangan sarana pengolahan pasca panen seperti fasilitas pengeringan dan fasilitas pemipilan serta fasilitas penyimpanan yang terjangkau dan ekonomis sampai ke tingkat desa. Dengan demikian posisi tawar petani kecil dapat ditingkatkan sehingga tidak selalu kalah dari desakan pedagang.
31.
Bersamaan dengan upaya pengembangan fasilitas pengolahan pasca panen, program kemitraan yang saling menguntungkan baik dengan pedagang maupun dengan pabrik pakan atau perusahaan saprodi perlu digalakkan dan ditingkatkan dengan meikutsertaan petani, dengan syarat ada suatu jaminan dan konsistensi dalam tingkat keuntungan yang diterima langsung oleh petani.
32.
Pengamatan dan kenyataan di lapangan yang dihadapi petani kakao memberi masukan bagi para peneliti bahwa perbanyakan tanaman kakao baru seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah, diikuti dengan peningkatan kemampuan petani dalam melakukan perbanyakan dengan menyediakan entries (bibit) yang bebas penyakit. Untuk itu pemerintah di daerah sentra produksi disarankan untuk memberdayakan sumberdaya yang dimilikinya, seperti dana, tenaga dan sumberdaya fisik, seperti lahan serta menyusun program kegiatan perbanyakan kebun entries kakao di tingkat lokal, sebagai sumber bibit kakao di wilayahnya. Keterlibatan lembaga donor maupun swasta seharusnya menjadi mitra pemerintah dalam upaya memenuhi kelangkaan bibit.
33.
Berhubung pemanfaatan masukan usahatani secara berimbang telah menjadi perhatian pemerintah, maka program ini semakin disebar-luaskan dan disosialisasikan lagi di tingkat kelompok tani. Selain itu, program pupuk bersubsidi hendaknya ditinjau kembali dari segi manfaat dan keefektifannya, supaya tidak semata-mata diarahkan bagi tanaman pangan, karena di beberapa daerah pertanian tanaman pangan bukan merupakan sumber pendapatan utama. Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini antara lain adalah perbaikan dalam sistem penyaluran atau distribusi masukan, terutama pupuk agar petani mudah mendapatkannya.
34.
Para pemangku kepentingan seharusnya semakin memberdayakan dan memanfaatkan kelompok tani atau gabungan kelompok tani kakao sebagai kelembagaan mikro di pedesaan yang dapat membantu petani untuk mengakses fasilitas permodalan seperti lembaga perbankan dan lembaga finansial lainnya di pedesaan.
35.
Upaya peningkatan produksi melalui program revitalisasi hendaknya diikuti dengan peningkatan kemampuan petani dalam peningkatan mutu produk dan pengelolaan pasca panen. Oleh karena itu, keterampilan dan pengetahuan petani harus lebih ditingkatkan lagi. Peningkatan mutu dapat dilaksanakan dalam bentuk sinergi antara pemerintah, lembaga donor dan fihak swasta.
36.
Mengingat kegiatan pemeliharaan kebun membutuhkan jam kerja yang cukup tinggi, sementara tenaga kerja sulit diperoleh maka pola pergiliran pemeliharaan tanaman dan panen secara gotong royong menjadi satu-satunya pilihan bagi petani. Namun, kegiatan sanitasi kebun hendaknya mendapatkan perhatian yang sama pentingnya
xii
dengan kegiatan panen. Sosialisasi untuk melaksanakan sanitasi kebun hendaknya dapat dilakukan secara teratur, sehingga kelangkaan tenaga kerja dapat diatasi. Untuk itu petani dan kelompok tani perlu dibina agar rasa kebersamaan semakin kukuh lagi. 37.
Dukungan dan langkah-langkah yang telah dilakukan para pengekspor dan perusahaan pengolahan atau kepanjangan tangannya di lokasi banyak yang sangat bermanfaat. Namun, pemerintah diharapkan dapat berperan untuk memadukan peranan masing-masing “supporting program” yang ada ini dan dapat menempatkan diri untuk memilih sendiri fungsi terbaik yang akan dijalankannya agar kegiatan tidak berduplikasi dengan pelaksana program yang berasal dari lembaga non pemerintah.
38.
Melalui program revitalisasi perkebunan khususnya kakao peran serta penyuluh harusnya dapat dipadukan dengan beragam program pendampingan teknologi yang dilaksanakan sehingga terdapat sinergi program dan pelaksanan program termasuk di dalamnya petani sebagai penerima program. Upaya peningkatan produktivitas hanya dapat tercapai melalui penananaman kembali dan rehabilitasi kebun kakao rakyat. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan oleh petani kecil seperti petani perkebunan dalam pengembangan kebun, terutama dalam mendapatkan bibit yang unggul dan sesuai dengan kondisi kebun petani serta modal kerja dan pendampingan di lapangan.
39.
Sistem informasi harga kakao sudah berjalan cukup baik, fihak swasta (pembeli dan pedagang) sudah memiliki jejaring yang sangat baik dengan petani. Namun, pemerintah harus memantau dan mengumpulkan informasi dan data terkait perkembangan harga biji kakao. Kemampuan petani dalam proses negosiasi harga perlu semakin ditingkatkan.
40.
Pemeliharaan akses jalan antara lokasi penghasil dan pusat penjualan adalah tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dalam hal ini pembangunan dan peningkatan mutu jalan desa menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan, guna memperlancar angkutan biji kakao dari petani ke pedagang baik di tingkat kecamatan atau kabupaten. Perbaikan mutu jalan akan sangat membantu arus peredaran barang karena sebagian besar petani memiliki motor sebagai alat angkutan utama.
41.
Program revitalisasi perkebunan hendaknya dapat menyentuh seluruh tahap dalam rantai tataniaga dan pasok/nilai termasuk teknologi pasca panen dengan melibatkan semua pemangku kepentingan komoditas kakao. Program tidak saja diarahkan untuk penanaman kembali dan rehabilitasi, tetapi juga ditujukan bagi peningkatan mutu biji kakao sesuai dengan permintaan pasar.. Untuk itu sangat diperlukan teknologi di bidang pasca panen dan pemberdayaan angkatan kerja di pedesaan untuk semakin berperan di industri kakao.
42.
Pemerintah hendaknya memberikan bantuan fasilitas permodalan kepada petani, sehingga mereka dapat memiliki sumber pendapatan lain. Dengan demikian kebutuhan atas dana tunai dapat ditutupi dari sumber pendapatan di luar kakao. Atau pemerintah dapat membantu dengan melibatkan kelembagaan kemitraan yang sudah ada seperti “cocoa sustainable partnership” yang memberikan fasilitas informasi terkait harga kepada petani. Format yang ada saat ini biarlah tetap dapat dipertahankan dan dilepas kepada mekanisme pasar, fihak swasta (pedagang, pabrik pengolahan) menyediakan informasi ini secara gratis.
xiii
43.
Untuk menghadapi pasar dunia pisang yang sangat ketat persaingannya dan peralihan hambatan tarif ke hambatan bukan-tarif, seperti TBT serta permintaan impor pisang produk tertentu dengan keseragaman ukuran dan warna tertentu oleh Jepang, Indonesia harus sudah memiliki program yang jelas dalam peningkatan mutu budidaya dan penanganan pasca panen pisang, tentu yang terjangkau oleh petani. Untuk itu diperlukan pengembangan teknologi budidaya dan penanganan pasca panen hemat modal dan bermutu baik.
xiv