PROPOSAL OPERASIONAL T.A. 2008
RESPONS USAHATANI SKALA KECIL TERHADAP LIBERALISASI PERDAGANGAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Pemberlakuan
kesepakatan
multilateral
yang
akan
mengatur
perdagangan
internasional telah berjalan hampir 12 tahun, yakni sejak terbentuknya OPD pada tahun 1994. Melalui kesepakatan tersebut para anggota OPD setuju (lebih rinci lihat Tabel 1) untuk: (1) membuka pasar domestiknya bagi komoditas pertanian dari luar dan sebaliknya, disebut perluasan pasar (akses pasar/AP) atau market access/MA, (2)
mengurangi
dukungan dan subsidi terhadap petaninya, disebut sebagai subsidi domestik/SD atau domestic support/DS, dan (3)
dan mengurangi dukungan dan subsidi petani untuk
mengekspor komoditasnya (atau subsidi ekspor/SE atau export competition disebut juga export subsidy/ES. Untuk Akses Pasar, seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke dalam tarif dan dikurangi hingga 36 persen untuk negara maju/NM, dengan pengurangan minimum pos tarif (tariff line) sebesar 15 persen dalam jangka waktu 6 tahun. Bagi negara berkembang/NB penguranganya sebesar 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun, dengan pengurangan minimum 10 persen.
Dalam jangka waktu yang bersamaan, persyaratan
akses minimum akan mulai berlaku dari 3 persen konsumsi domestik dan naik menjadi 5 persen pada akhir perjanjian. Dalam kondisi-kondisi tertentu, NB dapat dikecualikan dari komitmen tarifikasi tersebut, bila terjadi sesuatu dengan bahan pangan pokok tradisionalnya. Untuk Bantuan Domestik, pengurangan total atas subsidi domestik yang dianggap mendistorsi perdagangan akan berkisar pada 20 persen dari ukuran dukungan agregat atau Aggregate Measure of Support/AMS dari acuan periode 1986 - 1988. Bagi NB pengurangan dilakukan sebesar dua pertiganya atau serkitar 13,3 persen. Aturan ini tidak berlaku bagi negara yang AMS-nya kurang dari 5 persen (negara yang sedikit atau tidak menjalankan AMS-nya) atau NB yang AMS-nya kurang dari 10 persen. Ada pengecualian bagi subsidi yang berdampak kecil pada perdagangan serta dibayar langsung pada produksi yang terbatas.
NB juga memperoleh beberapa pengecualian dalam subsidi masukan dan
investasi. Untuk Subsidi Ekspor, jumlah subsidi ekspor akan dikurangi 21 persen dari tiap produk sesuai dengan rata-rata tahun 1986 -1990. Sementara itu pengeluaran anggaran subsidi ekspor juga akan dikurangi sebesar 36 persen selama 6 tahun.
Untuk NB,
pengurangannya sebesar dua pertiganya, dengan jangka waktu implementasi hingga 10 tahun. Bantuan pangan dan ekspor yang tidak disubsidi tidak masuk dalam aturan ini.
2
Table 1.
Aturan-aturan penting Perjanjian Pertanian (1995-2000)
Aturan Pemotongan akses pasar dalam tarif (terkecil per pos tarif) Masa (tahun dasar 1986-88) Peluang akses pasar Batas waktu Pemotongan dukungan domestik dalam AMS Masa (tahun dasar 1986-88) Aturan de minimis (% nilai produksi) Pengecualian Pemotongan nilai subsidi ekspor (per produk) Pemotongan volume subsidi ekspor Masa (tahun dasar 1986-90 atau 1991-92) Pengecualian
Negara Maju/NM
Negara Berkembang/NB (tak termasuk Negara Terbelakang)
36% (15%) 6 tahun 5% 2000
24% (10%) 10 tahun 4% 2005
20% 6 tahun
13.3% 10 tahun
5%
10%
Kotak Biru dan Hijau
Kotak Biru dan Hijau dan Perlakuan Khusus+Berbeda/PKB
36% 21%
24% 14%
6 tahun
10 tahun
-
Bantuan untuk pemasaran dan angkutan domestik dan internasional
Pada saat ini (2007) batas waktu pemotongan hambatan perdagangan (tarif, bantuan domestik dan subsidi ekspor) telah terlewati, hampir 7 tahun bagi NM dan hampir 2 tahun untuk NB, tetapi modalitas penurunan semua hambatan perdagangan tersebut belum ada dan sampai saat ini masih dirundingkan. Ketua perundingan khusus Komisi Pertanian telah berusaha membuat draft modalitas pada bulan Juni 2007 dan saat ini masih dalam pembahasan di negara-negara anggota. Namun, pertemuan G-4 yang beranggotakan Brazil, India, AS dan UE di Potsdam, Jerman telah gagal mencapai kesepakatan. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran pada para anggota apakah Putaran Doha dapat diselesaikan dengan dicapainya kesepakatan. Berbagai hasil simulasi penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dari sisi mana kita melihat. Dengan melakukan simulasi dari beberapa skenario, Hutabarat dkk. (2004) dan Hutabarat dkk. (2005a) mendapatkan bahwa kebijakan yang mengarah ke perdagangan yang semakin terbuka, yakni dengan penurunan out of quota tariff di negara-negara kawasan Asia dan
3
Eropa akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, tetapi penurunan out of quota tariff di kawasan Amerika akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, skenario kebijakan-kebijakan ini semuanya memberikan peningkatan surplus produsen padi, jagung, oilseeds, roots and tuber di Indonesia. Demikian pula penurunan subsidi ekspor di negara-negara kawasan Asia akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan produsen padi, jagung, oilseeds, roots and tuber di Indonesia meningkat. Penurunan subsidi ekspor di negara-negara kawasan Amerika dan Eropa akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, termasuk kesejahteraan produsen padi, jagung, oilseeds, roots and tuber. [Hutabarat dkk. (2004) dan Hutabarat dkk. (2005a)]. Selanjutnya, penurunan dukungan domestik di negara-negara kawasan Asia akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia termasuk tingkat kesejahteraan produsen padi, jagung, oilseeds, roots and tuber juga. Tetapi penurunan dukungan domestik di negara-negara kawasan Amerika dan Eropa akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan produsen padi, jagung, oilseeds, roots and tuber meningkat. Kemudian Hutabarat dkk. (2005b) pada penelitian mereka melakukan simulasi beberapa skenario penurunan bantuan domestik, akses pasar dan subsidi ekspor yang diterapkan oleh negara pengekspor utama dan melihat dampaknya terhadap Indonesia, memberikan hasil-hasil antara lain:
(i) apabila negara maju/NM melakukan liberalisasi
dengan penurunan bantuan domestik/BD sebesar 75 persen atas produk ekspor pertaniannya, sedangkan negara berkembang/NB tetap (proposal Harbinson dan subsidi ekspor/SE tidak diturunkan), maka konsumen di NM dan di NB dan produsen pertanian Indonesia mendapatkan manfaat dari kebijakan ini, tetapi sebaliknya produsen di NM dan di NB dan konsumen di Indonesia mengalami kerugian.
Kesimpulan yang sama akan
diperoleh dengan penerapan tingkat persentase yang berbeda, kecuali dalam angka-angka mutlaknya.
Hasil yang sama akan diperoleh jika seandainya kebijakan ini dilakukan
bersama-sama oleh NM dan NB, seperti diusulkan K 20, AS dan UE. Semua skenario alternaf kebijakan liberalisasi menyebabkan peningkatan harga komoditas pertanian dunia, seiring dengan hasil penelitian Diao et al. (2001). Dengan peningkatan harga tentu saja konsumen di negara pengimpor akan dirugikan tetapi produsen akan diuntungkan karena adanya peluang mendapatkan keuntungan. Dalam perdagangan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan diamati kecenderungan peningkatan dalam jumlah pos tarif komoditas yang diekspor murni oleh Indonesia ke Korea Selatan. Demikian pula dengan pos tarif yang diekspor dan diimpor
4
Indonesia secara bersamaan (Hutabarat dan Setyanto 2006). Meskipun demikian, nilai devisa yang dihimpun dari pengeksporan komoditas tersebut cenderung menurun secara nyata. Bagi pos tarif yang diekspor dan diimpor bersamaan, nilai ekspornya juga mempunyai kecenderungan menurun, sedangkan koefisien trend nilai impornya tidak nyata meskipun cenderung meningkat.
Di fihak lain nilai impor murni Indonesia terlihat
kecenderungan yang juga menurun. Jadi, memang komoditas pertanian Indonesia menunjukkan perkembangan ekspor yang baik ke Korea Selatan, tetapi perkembangan ini tidak cukup meyakinkan untuk berharap bahwa di masa depan yang dekat ini keadaan seperti ini akan berlanjut, apalagi kalau kita harus berhadapan dengan negara-negara sahabat Indonesia di kawasan ASEAN. Selain itu, telah ditunjukkan juga bahwa peningkatan pendapatan di Korea Selatan tidak mampu mengangkat nilai ekspor pertanian Indonesia ke negara tersebut dan terlihat pula bahwa Korea Selatan sangat kuat sekali melindungi sektor pertaniannya. Pemberlakuan skema penurunan tarif di ASEAN yang mensyaratkan tarif menjadi nol persen tahun 2005 melalui Kawasan Perdagangan Bebas/KPB atau Free Trade Area/FTA, memberikan dampak yang berbeda terhadap produsen dan konsumen komoditas
di
dalam
negeri.
Terhadap
produsen/petani
Indonesia,
kebijakan
ini
menyebabkan mereka mengalami kehilangan surplusnya yang dicerminkan oleh penurunan produksi dan anjloknya harga ekspor komoditas pertanian, khususnya atas komoditas kelapa dan minyak kelapa, cerutu, biji kakao dan jagung. Lebih lanjut diperlihatkan bahwa liberalisasi
perdagangan
antara
Indonesia
dengan
negara-negara
ASEAN
hanya
memberikan keuntungan kepada konsumen di dalam negeri. Jadi, karena pemerintah telah bertekad ingin meningkatkan kesejahteraan produsen/petani, maka dalam melaksanakan Kawasan Perdagangan Bebas/KPB ASEAN, terutama pemotongan hambatan tarif, Indonesia sebaiknya berhati-hati. Selanjutnya, KPB antara ASEAN termasuk Indonesia dengan Jepang secara bersama-sama berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat baik di negara pengekspor (Indonesia) maupun pengimpor (Jepang). Demikian juga penerapan Kesepakatan Perdagangan Bebas/KPB ASEAN (termasuk Indonesia) dengan China dan dengan Korea Selatan (Hutabarat dkk 2005b). 1.2.
Justifikasi Penelitian Anjuran penerapan liberalisasi perdagangan di berbagai forum merupakan deduksi
suatu teori yang disebut teori keunggulan komparatif. Teori ini mengimplikasikan di tahap manapun ekonomi satu negara berada, negara ini pasti memiliki keunggulan relatif terhadap negara yang lain. Sehingga seandainya ada dua negara masing-masing memproduksi dua
5
komoditas yang sama, maka sebaiknya dua negara ini menilai di bidang produksi apa mereka masing-masing memiliki keunggulan dan sebaiknya komoditas tersebutlah yang diproduksi, sementara komoditas yang kurang diunggulkan diimpor dari negara mitranya. Dengan adanya pertukaran komoditas ini kesejahteraan masing-masing negara dan kesejahteraan bersama/agregat kedua negara akan lebih meningkat. Teori ini, meskipun sangat sederhana dengan andaian-andaian yang sangat terbatas dan tidak sesuai dengan kenyataan oleh banyak ahli diyakini kebenarannya. Sehingga tidak heran mendapatkan banyaknya hasil-hasil kajian dan anjuran kebijakan agar setiap negara menerapkan kebijakan perdagangan yang liberal atau tanpa hambatan, karena keberadaan hambatan perdagangan sumberdaya di negara tersebut tidak dialokasikan secara efisien.
Oleh
karena itu, kalau negara itu mempunyai kebijakan perlindungan pasar domestiknya, negara yang bersangkutan dianjurkan membuka pasarnya melalui penerapan kebijakan penurunan dan pada akhirnya penghapusan hambatan perdagangan. Kesimpulan teori di atas tidaklah salah dan tidak bermanfaat untuk diperdebatkan karena memang andaian-andaiannya begitu ketat.
Yang patut disimak adalah apakah
kesimpulan induktif yang diperoleh dari teori benar dalam kenyataan empiris yang berlaku di dalam perekonomian dan apakah implikasi kebijakan tersebut memberikan hasil yang sesuai dengan yang diprakirakan. Yang terjadi selama ini adalah bahwa para pengikutnya meyakini teori dan implikasinya benar dan selanjutnya menganjurkan agar perilaku ekonomi dan landasan budaya yang menopang teori ini diadopsi supaya teori menghasilkan implikasinya yang telah diketahui itu.
Di sini terjadi persoalan pemahaman bagaimana
suatu teori menerangkan fenomena dalam masyarakat yang dinamis. Masalahnya adalah bahwa andaian-andaiannya yang diminta oleh teori di atas tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam perilaku ekonomi dan ternyata hasil-hasil penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dari sisi mana kita melihat. Secara deduktif belum dapat dikatakan bahwa di mana saja, pada komoditas atau usahatani apa saja, dan oleh negara mana saja kebijakan liberalisasi perdagangan yang dilakukannya senantiasa meningkatkan kemakmurannya. Usahatani di Indonesia yang sebahagian besar terdiri dari usahatani kecil dan rumahtangga dan mempunyai strategi usaha masing-masing yang khas pasti ada yang mendapatkan manfaat dan ada yang menderita kerugian, karena manfaat dan biaya yang diperoleh sesuatu usaha tidak semata-mata ditentukan kebijakan perdagangan makro. Kebijakan internal sangat mempengaruhi. Inilah salah satu kritik Porter (dalam Tarmidi dan Basri 1997) yang menyatakan perusahaan-perusahaan domestik dapat memperoleh
6
keunggulan kompetitif, karena keunggulan tidaklah terletak pada tingkat nasional tetapi pada tingkat industri atau bagian industri tertentu. Yang menjadi perhatian lebih lanjut adalah bagaimana usahatani pertanian skala kecil menghadapi upaya liberalisasi perdagangan pertanian yang berjalan sekarang ini. Apakah mereka merespons dengan positif, artinya mampu bertahan dan melakukan penyesuaian terhadap tantangan yang ada atau sebaliknya semakin tersisih dan tak berdaya dan bangkrut? Hal ini tentu saja perlu dikaji dengan saksama. 1.3.
Perumusan Masalah Dengan berbagai mekanisme perundingannya, OPD bertujuan mewujudkan
perdagangan internasional yang hambatannya semakin berkurang dan pada akhirnya hilang sama sekali. Secara pasti dampak ikutannya adalah globalisasi perdagangan, di mana komoditas suatu negara akan memasuki teritorial negara lain yang tanpa hambatan itu. Namun, permasalahannya adalah jenis komoditas apa yang mampu mengglobal ini dan unit usaha seperti apa yang memproduksi komoditas ini. Apakah ini semata-mata persaingan efisiensi atau ekonomi atau persaingan teknologi, atau bahkan persaingan citra atau hambatan bukan tarif? Hal ini berkaitan dengan kelangsungan struktur usahatani Indonesia, yang umumnya berskala kecil. Meskipun dalam teori ekonomi, pengertian skala usaha sebenarnya tidak mempunyai implikasi apa-apa terhadap keefisienan usaha, melainkan pada cara bagaimana usaha itu dikelola dan lingkungan pasar serta kebijakan pendukung. Skala usaha yang kecil sama efisiennya dengan skala usaha besar kalau dikelola secara baik. Dapatkah usaha kecil pertanian Indonesia merespons gerakan ini baik untuk tujuan pasar internasional dan bahkan di dalam negeri sendiri? Untuk itu diperlukan suatu pengkajian tentang Respons Usahatani Skala Kecil Terhadap Liberalisasi Perdagangan. 1.4.
Tujuan dan Keluaran Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian Penelitian terdiri atas hanya satu kegiatan dengan judul “Respons Usahatani Skala Kecil terhadap Liberalisasi Perdagangan” dengan tujuan sebagai berikut: (1) (2) (3) (4)
Melakukan analisis struktur usahatani di Indonesia berdasarkan berbagai kriteria, antara lain ukuran modal, tenaga kerja, nilal aset, produksi dan lain-lain, Mengidentifikasi komoditas-komoditas yang dominan dalam struktur usahatani skala kecil, Menganalisis unsur-unsur kekuatan liberalisasi dan pengaruhnya terhadap usahatani skala kecil, dan Merumuskan usulan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan revitalisasi usahatani skala kecil dalam menghadapi liberalisasi perdagangan pertanian.
7
1.4.2. Keluaran Penelitian (1) (2) (3) (4)
Tersedia dan dimanfaatkannya informasi tentang struktur usahatani di Indonesia, Tersedia dan dimanfaatkannya informasi dan data tentang komoditas-komoditas yang dominan dalam struktur usahatani skala kecil, Tersedianya dan diketahuinya unsur-unsur kekuatan liberalisasi dan ukuran pengaruhnya terhadap usahatani skala kecil, Usulan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan revitalisasi usahatani skala kecil dalam menghadapi liberalisasi perdagangan pertanian.
II.
2.1.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran Tantangan pembangunan pertanian Indonesia sampai kini salah satunya berasal
dari aspek perdagangan internasional.
Tantangan ini berasal dari perubahan struktur
perdagangan komoditas pertanian melalui mekanisme pasar. Mekanisme ini dapat terjadi secara murni melalui mekanisme permintaan dan penawaran, melalui aturan kesepakatan atau melalui kombinasi keduanya. Mekanisme pasar melalui perkembangan saling hubungan permintaan dan penawaran komoditas telah berjalan dan akan tetap berjalan selamanya dalam perekonomian untuk menentukan jumlah dan harga komoditas yang akan diproduksi dan yang akan diperdagangkan.
Kesepakatan dalam aturan perdagangan
multilateral, regional dan bilateral juga akan berpengaruh terhadap kinerja pasar yang pada akhirnya menentukan jumlah dan harga komoditas di dalam perekonomian. Persetujuan tentang aturan-aturan perdagangan multilateral, regional dan bilateral dihasilkan melalui perundingan yang menurut beberapa pengamat dilakukan secara demokratis, meskipun beberapa pengamat lain mengatakan tidak demokratis karena keputusan sudah diambil jauh-jauh hari sebelumnya. Hanya saja pada waktu suatu keputusan diambil, para peserta perundingan di fasilitasi dalam forum yang seolah-olah demokratis. Sebagaimana
disebutkan
dalam
Bab
Pendahuluan,
aturan
perdagangan
internasional telah menggariskan bahwa hambatan perdagangan harus dikurangi secara bertahap dan pada akhirnya nanti akan hapus sama sekali. Demikian pula, pada sisi lain kesepakatan regional dan bilateral juga berusaha mengurangi dan bahkan menghapus hambatan perdagangan, dan tidak hanya itu hambatan aliran modal dan investasi antar berbagai negara dalam kelompoknya agar komoditas dan modal dapat dengan mudah mengalir dari satu negara ke negara lain, sesuai dengan azaz keunggulan komparatif. Dengan mekanisme pasar dan mekanisme aturan yang disepakati secara demokratis, seperti melalui wadah Organisasi OPD dan KPB, Indonesia yang masih didominasi
8
pertanian harus rela menerima pembukaan pasar domestiknya terhadap produk-produk pertanian yang berasal dari luar negeri. Sebaliknya, Indonesia juga berhak memasukkan produk pertaniannya ke negara lain.
Dengan demikian produk pertanian Indonesia
ditantang untuk bersaing di dalam pasar domestik dan di pasar internasional. Bagi perusahaan-perusahaan pertanian domestik bermodal besar dan maju mungkin dapat memanfaatkan ekonomi skala dan jaringan mereka menghadapi persaingan ini agar tetap mendapatkan keuntungan atau paling tidak dapat bertahan di dalam usahanya, tetapi bagi usaha pertanian skala kecil dapat diduga mereka akan mengalami kesulitan. Padahal data menunjukkan bahwa sebahagian besar usaha pertanian Indonesia merupakan usaha skala kecil. Data Sensus Pertanian 2003 (BPS 2005) mendapatkan bahwa dengan kriteria pemilikan lahan 0.5 ha sebagai petani gurem, separuh dari rumahtangga/RT pertanian palawija menguasai lahan rerata di bawah 0.5 ha dan hampir 74 persen mengusahakan tanaman palawija dengan luas rerata di bawah 0.5 ha. Bagi RT pertanian hortikultura, dari rerata lahan yang dikuasai sebesar 0.90 ha, hanya rerata 0.25 ha yang diusahakan untuk ditanami komoditas hortikultura. Hampir 47 persen RT pertanian hortikultura menguasai hanya di bawah rerata 0.5 ha dan 84 persen RT mengusahakan komoditas hortikultura di bawah 0.5 ha. Pada komoditas perkebunan, rerata pemilikan lahan adalah 1.53 ha tetapi sebahagian besar RT (29.29 persen) menguasai lahan antara 1.0 - 1.9 ha, sementara yang menguasai lahan di atas 3.0 ha hanya sebesar 13.5 persen dan yang menguasai lahan di bawah 0.5 ha persentasenya masih tinggi 19.6 persen. Untuk perkebunan luasan lahan antara 1.0 - 1.9 ha sebenarnya masih terlalu kecil, apalagi luasan yang hanya 0.5 ha. Untuk beberapa komoditas perkebunan bernilai tinggi seperti kelapa sawit, kakao atau karet luasan sebesar ini hanya mampu menampung beberapa batang pohon. Namun, dalam keadaan seperti itulah petani perkebunan kita menopang hidupnya. Selanjutnya di produk peternakan rerata jumlah ternak yang dipelihara RT peternakan utama seperti sapi, kambing dan ayam buras adalah 3 ekor sapi, 7 ekor kambing dan 42 ekor ayam buras, tidak begitu jauh dari batas minimal usaha yang ditetapkan untuk menggolongkan suatu RT adalah RT peternakan, yakni pemeliharaan sapi 2 ekor, kambing 6 ekor dan ayam buras 30 ekor (BPS 2005). Konteks globalisasi dan liberalisasi pasar membuka peluang baru, tetapi juga tantangan baru kepada petani, melalui keunggulan dan efisiensi. Dalam hal ini penghasil skala kecil harus mampu menjamin mutu, konsistensi dan baku keamanan produk jika
9
mereka hendak mendapat manfaat dari pasar yang baru. Keunggulan komparatif yang didapatkan dari sumberdaya alam yang melimpah tidaklah cukup, tetapi perlu diikuti oleh keunggulan yang berasal dari peran kewirausahaan yang lebih kuat dan mengaitkannya dengan tahap-tahap pengolahan.
Pendekatan baru dalam usahatani perlu digalakkan
termasuk segala jenis kaitan dalam rantai dari produksi sampai konsumsi. Kebijakan sektoral dan ekonomi makro, menawarkan rangsangan atau hambatan terbuka untuk pengembangan usahatani. Penggalakan yang tegas dapat timbul dari tingkat sektoral, mulai dari mekanisme penggalakan sampai pemunculan dan pengembangan usahatani melalui bantuan finansial, teknologi,kewirausahaan, perniagaan dan normatif. Hal ini semua dapat dicakup dalam pengembangan rantai produksi. Proses desentralisasi dan pembangunan di wilayah dapat juga berdampak taklangsung pada pengembangan rantai produksi lokal. Beberapa aspek ekonomi makro penting yang berpengaruh terhadap iklim usahatani adalah kebijakan nilai tukar, suku bunga, aliran modal dan kebijakan investasi. Dalam hal ini perlu dikaji apakah lingkungan ekonomi makro dan sektoral mendukung pengembangan usahatani dan bagaimana membangkitkan dan menggalakkan lingkungan seperti ini. Sebagai sesuatu kekuatan, liberalisasi akan mempengaruhi kinerja berbagai bidang sosial dan ekonomi serta pelaku-pelakunya. Selanjutnya pelaku-pelaku ini akan berespons terhadap pengaruh tersebut dan dalam konteks penelitian ini usahatani skala kecil akan meresponsnya dalam tatakelola usahatani dengan indikator-indikator pemilihan komoditas, alokasi sarana produksi, besaran produksi dan pada akhirnya keuntungan serta tatakelola pemasaran hasil dan pengadaan sarana melalui indicator-indikator system jual-beli dan kinerja rantai pasok. Pengembangan agribisnis jelas sangat menentukan keterlibatan usahatani kecil. Untuk itu ada beberapa pertanyaan yang akan dikaji berkaitan dengan hal ini: Apakah penghasil produk ikut-serta dalam pengembangan agribisnis pedesaan? Bagaimana keikutsertaan mereka? Apa aspek-aspek endogen yang mendukung penggalakan dan pengembangan agribisnis seperti ini? Lingkungan yang mana yang menguntungkan dan merugikan keterkaitan agribisnis yang mengikutsertakan petani kecil dalam pertimbangan kebijakan publik dan swasta dan lingkungan ekonomi makro?
Bagaimana keterkaitan
agribisnis dikembangkan untuk penghasil kecil di pedesaan dalam konteks globalisasi? Apa dampak kaitan tersebut dengan kesejahteraan petani kecil?
10
2.2.
Jenis Data dan Analisis Data
2.2.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini memusatkan perhatian pada dua tahap analisis berdasarkan jenis data yang diperoleh:
Pertama, di tingkat primer, yakni data yang didapatkan dari hasil
wawancara terhadap petani-petani skala kecil pada komoditas-komoditas yang rentan terhadap pasokan, permintaan dan harga dunia. Untuk penelitian kali ini dipilih jagung dan daging sapi, dan Kedua di tingkat sekunder, yakni data yang dihimpun dari berbagai sumber domestik dan internasional yang melaporkan pasokan, permintaan dan harga jagung dan daging sapi untuk melihat saling hubungan antara harga internasional, harga domestik, harga di tingkat petani. Data primer didapatkan dari kunjungan lapangan dengan melakukan wawancara kepada petani, nara sumber, penentu kebijakan di berbagai tingkat administrasi pemerintahan. Pokok-pokok pertanyaan bagi responden adalah antara lain: sumber dan jenis bibit/benih, racun hama dan penyakit, pupuk, teknologi yang mereka gunakan dan ketergantungan dan alasan ketergantungan mereka terhadap masukan-masukan tertentu; fihak yang membeli hasil produksi petani dan ketergantungannya pada fihak tersebut. Selain itu, penelitian juga akan menghimpun data dari responden berkaitan dengan pemilihan komoditas, alokasi sarana produksi, besaran produksi serta sistem jual-beli dan kinerja rantai pasok. Yang menjadi perhatian adalah respons penawaran dan permintaan domestik yang sebagian terbesar berasal dari petani kecil terhadap harga-harga di berbagai tingkatan.
2.2.2. Analisis Data Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik analisa, kombinasi metoda dan alat-alat deskriptif dan ekonometrika untuk menjelaskan masalah-masalah penelitian. Bagi tujuan (1) dan (2) metoda analisis yang digunakan adalah bersifat deskriptif melalui tabulasi silang dan perhitungan finansial dan analisis usahatani. Untuk tujuan (3) dilakukan beberapa pendekatan, antara lain:
(1) Analisis
penawaran dan permintaan domestik, dan (2) Analisis Model Koreksi Galat (MKG) atau Error Correction Model (ECM), serta (3) Analisis dampak melalui gabungan model GTAP dan SAM Indonesia (kalau memungkinkan). Model-model ini adalah sebagai berikut: (1)
Analisis penawaran dan permintaan akan diduga melalui persamaan regresi
berganda sebagai berikut:
11
Penawaran: Qs = a 0 + a1 HDunia + a2 QDunia + a3 T + e s
(1)
Permintaan: Qd = b 0 + b1 HDunia + b2 HDom + b 3 Y + ed
(2)
di mana Qs (Qd) adalah jumlah penawaran (permintaan) dalam ton, a0 dan b0 adalah intersep, ai dan bi adalah dugaan koefisien, HDunia (HDom) adalah harga dunia (domestik) masing-masing dalam dolar AS dan rupiah, T adalah indeks teknologi, Y adalah pendapatan dan es dan ed adalah galat. (2)
Hubungan Timbal-balik Harga-harga Selanjutnya, hubungan timbal-balik harga-harga dunia dan domestik (FOB, CIF dan
tingkat petani) dilakukan dengan menggunakan teknik analisis MKG dalam bentuk Vector Autoregression (VAR) sebagai berikut: ? Y t = d + G1 ? Yt-1 + G2 ? Y t-2 + G3 ? Yt-3 ...+Gp-1 ? Yt-p-1 + aß’ Yt-1 + et
(3)
di mana Yt adalah suatu vektor dari sebanyak n peubah [harga dunia, harga domestik (fob, cif, yang diterima petani)] dan (p-1) dipilih sedemikian rupa untuk membuat nilai galat bersifat white noise. Model ini digunakan untuk menguji apakah ada hubungan sahih antara harga-harga
yang.
Jika
harga-harga
berkointegrasi
maka
perubahan
dari
jejak
keseimbangan jangkapanjangnya akan terbatas. Untuk itu digunakan teknik pendugaan nisbah kemungkinan maksimum Johansen (1988) dan Johansen dan Juselius (1990). (3)
Analisis GTAP dan SAM Analisis GTAP merupakan salah satu paket model CGE yang memiliki database
hingga 89 negara dengan 57 sektor. Paket program ini memuat: [1] Peubah kuantitatif (Quantity variables); [2] Peubah harga (Price Variables); [3] Peubah kebijakan (Policy Variables); [4] Peubah perubahan teknologi (Technical Change Variables); [5] Peubah boneka (Dummy Variables); [6] Peubah cadangan (Slack Variables); [7] Peubah nilai dan perdapatan (Value and Income Variables); [8] Peubah kepuasan/utilitas (Utility Variables); [9] Peubah Kesejahteraan (Welfare Variables) dan [10] Peubah neraca perdagangan (Trade Balance Variables). Analisis GTAP dapat dipergunakan untuk melihat dampak perdagangan (tariff, subsidi ekspor, dll) dalam kerangka: (1) satu negara (single country) dan (2) banyak pasar, banyak negara (multi market, multi country). Hasil-hasil skenario modalitas liberalisasi di forum multilateral atau regional/bilateral yang diperoleh dari analisis GTAP selanjutnya dipadukan dengan SAM Indonesia yang telah dimodifikasi dengan membagi Rumahtangga dalam SAM ini ke dalam beberapa kelas pendapatan dan kelompok wilayah Perkotaan dan Pedesaan. Skema SAM diperlihatkan pada Lampiran Tabel L1.
12
2.2.3. Perencanaan Contoh Dalam
penelitian
ini
lokasi
contoh
sentra
produksi
jagung
peternakan/penggemukan sapi, yakni Gorontalo dan Jawa Timur.
III. 3.1.
PERENCANAAN OPERASIONAL
Personalia Tim Pelaksana Kedudukan Dalam Tim
1.
Dr. Budiman Hutabarat
IV/e
2.
Dr. M. Husein Sawit
IV/e
Jabatan Fungsional/Bidang Keahlian Ahli Peneliti Utama/Ekonomi Pertanian Ahli Peneliti Utama
3.
Dr. Erna Maria Lokollo
III/d
Peneliti Muda
Anggota
4.
Dr. Sahat Pasaribu, M.Eng
IV/b
Peneliti Madya
Anggota
5.
Ir. Saktyanu K.D. MSi
III/d
Peneliti Muda
Anggota
6.
Wahida SP, MSi
III/d
Peneliti Non-Klas
Anggota
7.
Sri Nuryanti, STP, MSi
III/b
Peneliti Pertama
Anggota
8.
Helena J. Purba, SP, MSi
III/c
Peneliti Pertama
Anggota
9.
Ir. Frans Betsi M.D., MSi
III/c
Peneliti Non-Klas
Anggota
10.
Ir. Andi Askin
III/d
Peneliti Pertama
Anggota
No
3. 2.
Nama
Gol.
Penanggung Jawab/ Anggota Anggota
Jadwal Palang
Kegiatan
Bulan 1
2
3
4
1. Persiapan : Ø Studi Pustaka Ø Pembuatan/Penyempurnaan proposal Ø Penyusunan kuesioner Ø Seminar Proposal 2. Pengumpulan data 3. Pengolahan dan Analisa data 4. Penulisan Laporan Tengah Tahun 5. Penulisan Laporan Akhir 6. Seminar Laporan Akhir 7. Perbaikan Laporan Akhir 8. Penggandaan Laporan
13
5
6
7
8
9
10
11
12
dan
14
Lampiran Tabel L1. Industri Kategori Industri
Pangan Manufaktur Jasa-jasa Ekspor
Komoditas
Pangan Manufaktur Jasa-jasa Ekspor
Faktor
Tenaga kerja Modal Lahan
Rumatangga Lainnya
1
2
3
Social Accounting Matrix (SAM) Komoditas
4
5
6
7
Dunia Lainnya
8
9
10
11
RT 12
Lainnya 13
14
1 2
VX(i)
3 4 5
VQ(c)
6 7
VE(c)
8 9 10
VL(i)
11
VY0
12 Pajak/tarif
Faktor
13 14
VRM(c) and VRE(c) VM(c)
Total
13
VR
VJ
Total
DAFTAR PUSTAKA Diao, X. , A. Somwaru, and T. Roe. 2001. ”A global analysis of agricultural reform in WTO member,” In M. E. Burfisher (Ed.). Agricultural Policy Reform in WTO--The Road Ahead. Agricultural Economic Report No. 802. ERS-USDA: pp. 25-40. Hutabarat, B., M. Husein Sawit, B. Rahmanto, Supriyati, H. J. Purba, A. Setyanto. 2004. Penyusunan Bahan Advokasi Delegasi Indonesia dalam Perundingan Multilateral. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hutabarat, B., M. Husein Sawit, B. Rahmanto, Supriyati, H. J. Purba, A. Setyanto. 2005a. Penyusunan Bahan Advokasi Delegasi Indonesia dalam Perundingan Multilateral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hutabarat, B., M. Husein Sawit, H. J. Purba, S. Nuryanti, A. Setiyanto, Juni Hestina. 2005b. Analisis Perubahan dan Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional dan Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hutabarat, B. dan A. Setiyanto. 2006. Kajian Kinerja Perdagangan Bilateral Pertanian Indonesia dan Korea Selatan. Laporan Akhir. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor, Mai 2006. Johansen, S. 1988.”Statistical analysis of cointegrating vectors,” Journal of Economics Dynamics and Controls 12: 231 - 254. Johansen, S. And K. Juselius. 1990.”Maximum likelihood estimation and inference on cointegration - with applications to the demand for money,” Oxford Bulletin of Economics and Statistics 52: 169 - 210.
14