LAPORAN AKHIR
KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Heny Sukesi Suminto Ranni Resnia Erizal Mahatama Yudha Hadian Nur Bagus Wicaksena
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang 1. Makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada produk barang yang dihasilkan dan dipasarkan. 2. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produkproduk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu dengan standar yang ditetapkan negara tujuan. 3. Namun demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar antara lain produk perikanan dan hortikultura. Di sisi lain, produk-produk khas Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa banyaknya impor, padahal produk-produk ini berpotensi besar untuk dikembangkan ekspornya. 4. Dengan demikian perlu dikaji mengenai kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik. Selanjutnya,
perlu
diketahui
apakah
terdapat
kesesuaian
atau
ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik. Metodologi 5. Metode analisis yang dipakai dalam kajian ini adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu produk agar bisa memenuhi standar tertentu. Analisis gap akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional i Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
yang ada ataupun persyaratan tertentu lainnya (national standard yang diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private standard). 6. Untuk mengetahui respon para pelaku usaha di Indonesia terkait bagaimana mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak maupun dalam hal adanya gap antara SNI dengan standar yang ada, maka dilakukan indepth interview dengan para pelaku usaha tersebut mengenai hal-hal berikut: (1) Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen (commitment).
Pembahasan dan Kesimpulan 7. Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus diterapkan mulai dari asal usul bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi, proses pengolahan, sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun, kondisi dan kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut antara lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan produsen khususnya UKM. 8. Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit dilakukan di sisi hulu. Bahan baku untuk produk perikanan dan hortikultura, dalam hal ini ikan dan buahbuahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula dengan proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku sulit untuk dipenuhi sesuai standar yang ada. 9. Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar. 10. Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang disebabkan antara lain : a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional sebagai acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak hanya mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC, ii Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dan lain-lain namun juga mengadopsi ketentuan dan parameter yang ada pada standar swasta (private standards) dan standar lain. b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura (manggis dan jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar logam berat akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan baku sulit untuk memenuhi SNI dan atau standar negara mitra dagang. c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk non pangan (mebel rotan dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar. d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam memenuhi
persyaratan
mutu
dan
keamanan
produk
yang
dipersyaratkan negara mitra dagang. Kesulitan tersebut disebabkan oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM mengenai standar mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi UKM,
serta
terbatasnya
sumber
daya
yang
terampil dalam
penanganan pra dan pasca panen. Selain itu, keterbatasan insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah belum optimal dalam mendukung proses penerapan standar. 11. Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai acuan atau panduan utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha mengacu pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir di negara mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa SNI kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra dagang. iii Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Rekomendasi Kebijakan 12. Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melakukan peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk eskpor ke negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan teknologi. 13. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang antara lain : i. Di sisi hulu, perlu memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik dan perbaikan penanganan pasca panen. Sedangkan di sisi hilir, perlu memberikan pelatihan dan studi banding, dll kepada pelaku usaha agar meningkatkan kualitas produk ke pasaran. ii. Melakukan bridging the gap: untuk UKM antara lain (i) memberikan kemudahan
dalam
proses
sertifikasi,
(ii)
sosialisasi
pentingnya
pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii) pembinaan teknis yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen yang tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian dilakukan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, peningkatan teknologi, kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan yang terkait dengan standar. 14. Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri, untuk menjadi bagian solusi dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia antara lain melakukan mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia. 15. Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada masyarakat baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir dan masyarakat konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif masyarakat khususnya dalam mengawasi produk impor yang masuk (tidak memenuhi standar) harus ditingkatkan,
iv Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga laporan analisis “Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen” dapat diselesaikan. Kajian ini dilatarbelakangi bahwa peran standar mutu sangat penting, baik untuk produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya saing untuk akselerasi ekspor, maupun untuk produk impor dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri. Namun tidak semua produk yang dihasilkan oleh Indonesia bisa memenuhi standar, baik SNI maupun standar internasional dan standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor. Demikian juga, tidak semua produk yang masuk ke Indonesia sesuai dengan standar SNI. Penolakan terhadap beberapa produk ekspor Indonesia (perikanan dan hortikultura) menunjukkan bahwa masih ada kelemahan atau ketidakmampuan dalam penerapan standar untuk memenuhi standar negara tujuan ekspor. Ketidakmampuan
tersebut
dikarenakan
kurang
siapnya/mampunya
dalam
pemenuhan standar dan adanya kesenjangan (gap) antara SNI dengan standar yang ada. Kajian
ini diselenggarakan secara swakelola
oleh
Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri dengan tim penelitian yaitu Heny Sukesi, Yudha Hadian Nur, Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena, Ranni Resnia, dan Suminto. Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang standarisasi dan perlindungan konsumen.
Jakarta, Nopember 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
v Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Kajian 1.3. Keluaran Kajian 1.4. Manfaat Kajian 1.5. Ruang Lingkup 1.6. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Standar 2.2. Penelitian Terdahulu 2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Metode Analisis 3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data BAB IV KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA 4.1. Perkembangan Jumlah SNI 4.2. Penerapan SNI Wajib dan Kendalanya BAB V KEBUTUHAN STANDAR PRODUK 5.1. Standar Produk Perikanan 5.2. Standar Produk Hortikultura 5.3. SNI Produk Non-Pangan BAB VI GAP KEBUTUHAN STANDAR 6.1 Cakupan Standar Dalam Arus Barang : SNI dan Standar Internasional 6.2. Analisis Gap Standar per Produk 6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan 6.4. Pemenuhan Standar Untuk Perlindungan Konsumen dan Peningkatan Daya Saing Melalui Zero Gap 6.5. Upaya Mengatasi Gap Dalam Standar
i v vii ix 1 1 3 3 4 4 8 10 10 15 18 21 21 24 31 34 34 38 43 43 53 62 72 73 74 95 110 113
vi Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan 7.2. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
117 118 119 120 124
vii Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 1.2.
Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 -2009 (%)
Tabel 1.3. Tabel 1.4. Tabel 3.1.
Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya Periode 2008 - 2012 (%) Daerah Survey Sisi Ekspor - Gap SNI dengan Standar Internasional, National Standard Negara Importir dan Private Standards
Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3.
Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional Metodologi dan Analisis Data SNI yang Telah Diberlakukan Secara Wajib Jumlah Pelanggaran Produk yang Tidak Memenuhi Ketentuan Kepemilikan SPPT - SNI Syarat Mutu dan Keamanan Tuna Beku Syarat Mutu dan Keamanan Cakalang Beku Kandungan Bahan Tambahan Makanan yang Diperbolehkan Menurut CODEX
Tabel 5.4. Tabel 5.5. Tabel 5.6. Tabel 5.7. Tabel 5.8. Tabel 5.9. Tabel 5.10. Tabel 5.11. Tabel 5.12. Tabel 5.13. Tabel 5.14. Tabel 5.15. Tabel 5.16. Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 6.6. Tabel 6.7. Tabel 6.8.
Beberapa Contoh Private Standards di Sektor Perikanan Syarat Mutu FDA Amerika Serikat Penggolongan Standar Mutu Produk Tuna di Filipina Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Manggis Spesifikasi Persyaratan Mutu Jagung Kriteria Dalam CODEX Produk Jagung Persyaratan Mutu Jagung Dalam CODEX (Ekspor ke Filipina) Kriteria Mutu Jagung ke India Syarat Mutu Batik Berdasarkan SNI Standar Mutu Kemeja Menurut ISO Syarat Keamanan Cina Untuk Produk Tekstil Kriteria Mutu Kursi dan Meja Rotan ke Jepang Klasifikasi Rotan Berdasarkan Permukaan Analisis Gap Standar Produk Tuna Beku Analisis Gap Standar Produk Cakalang Beku Analisis Gap Standar Produk Manggis Analisis Gap Standar Produk Jagung Analisis Gap Standar Produk Kemeja (Batik) Analisis Gap Standar Produk Mebel Rotan Hasil Survey Untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang Hasil Survey Untuk Komoditas Manggis viii
Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
5 6 6 8 26 28 30 32 35 41 42 43 45 47 48 50 51 55 55 57 60 62 62 65 68 69 70 74 77 81 84 90 92 97 102
Tabel 6.9. Tabel 6.10. Tabel 6.11.
Hasil Survey Untuk Komoditas Jagung Hasil Survey Untuk Komoditas Kemeja Batik Hasil Survey Untuk Komoditas Mebel Rotan
104 105 109
ix Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1.
Gambar 3.2. Gambar 6.1. Gambar 6.2. Gambar 6.3. Gambar 6.4.
Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan, dan Lingkungan Hidup) Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis Cakupan Standar Dalam SNI dan Standar Internasional Lainnya Proses Kesesuaian Standar Eksportir - Importir Perikanan Manfaat Standar Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen Pemenuhan Gap Standar
22 23 73 100 111 114
x Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Era perdagangan bebas memungkinkan arus barang dan/atau jasa dapat
masuk ke suatu negara dengan atau tanpa hambatan perdagangan (trade barriers), sehingga berbagai jenis produk akan banyak beredar di pasaran. Dengan makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada produk yang dihasilkan dan dipasarkan. Pada dasarnya standar berfungsi untuk membantu menjembatani antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha/produsen, karena dengan cara menerapkan standar terhadap suatu produk yang tepat dapat memenuhi kepentingan dari kedua belah pihak. Barang yang tidak memenuhi syarat mutu dapat menimbulkan kerugian pada konsumen karena standar berhubungan dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup.
Sedangkan bagi produsen, pemenuhan syarat mutu atau
standar merupakan upaya peningkatan daya saing selain untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi. Saat ini, terdapat 259 SNI Wajib untuk produk yaitu SNI yang wajib diterapkan oleh para pelaku usaha pada produk akhirnya. Namun, SNI yang sifatnya sukarela berjumlah 7.261 untuk seluruh sektor, mayoritas SNI tersebut ada di sektor teknologi bahan yaitu sebesar 30% dan sektor pertanian dan teknologi pangan yaitu 19% (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia, 2012). Agar dapat diterapkan secara luas, maka SNI harus memenuhi kriteria sebagai berikut
(BSN,
2009):
1)
harmonis
dengan
standar
internasional
dan
dikembangkan berdasarkan kebutuhan nasional, termasuk industri; 2) SNI yang diberlakukan wajib harus didukung oleh infrastruktur penerapan yang kompeten; 3) infrastruktur penunjang tersebut harus diakui kompetensinya secara nasional/regional/internasional. Namun demikian, penerapan SNI menemui
1 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
kendala utama yaitu kemampuan serta kesiapan pelaku usaha atau industri yang terkait (BSN, 2012). Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan, standar mutu untuk produk pangan menjadi penting. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku untuk produk impor. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produk-produk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu dengan standar yang ditetapkan negara tujuan. Namun demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar. Berdasarkan data dari Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat, pada periode tahun 2002 – 2010 produk pangan Indonesia mengalami penolakan di negara tersebut sebanyak 2.608 kasus. Produk yang paling banyak ditolak adalah produk perikanan yaitu ikan, udang dan kepiting yang mencapai 80% dari keseluruhan kasus penolakan (Saputra dan Hariyadi, 2012). Penolakan produk perikanan tersebut antara lain disebabkan alasan kotor, kandungan salmonela, veterinary drugs, dan kandungan histamine yang melebihi batas, padahal produk perikanan merupakan salah satu produk unggulan ekspor Indonesia yang menyumbang sekitar 1,6% dari total eskpor non migas selama periode 2007-2012 (BPS, 2013). Di sisi lain, nilai impor produk perikanan juga besar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan tren sekitar 40% selama periode 2007 – 2011(BPS, 2013)1. Selain produk perikanan, produk hortikultura juga mengalami permasalahan yang sama (BPOM, 2012). Mayoritas produk ekspor hortikultura Indonesia belum dapat memenuhi standar Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) di negara tujuan (Purwanto, 2010). Selain itu, ekspor hortikultura baru mencapai 5-20 % dari total produksi hortikultura nasional. Hal tersebut antara lain disebabkan karena produk hortikultura Indonesia tidak dapat memenuhi standar penanganan pasca panen (Good Agricultural Practices) di Uni Eropa, Amerika Serikat, China, Australia, dan Korsel (Harian Pelita, 2007). Di sisi impor, produk-produk khas 1
Data BPS diolah oleh Pusdatin Kementerian Perdagangan
2 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa banyaknya
impor,
padahal
produk-produk
ini
berpotensi
besar
untuk
dikembangkan ekspornya. Impor batik dari China besar dengan nilai mencapai US$ 30 juta tahun 2012 dan diprediksi akan terus meningkat (Kemenperin, 2013).
Lebih lanjut, impor mebel rotan tahun 2010 lebih dari US$ 386.000
(Kontan, 2011), padahal potensi ekspor besar. Pengusaha mengakui mebel rotan domestik kurang bersaing dalam hal standar kualitas dan harga (Bisnis, 2012) Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa peran standar mutu sangat penting baik bagi produk ekspor untuk akselerasi ekspor maupun produk impor untuk melindungi konsumen. Adanya kasus penolakan produk ekspor dan meningkatnya
impor
karena
kurang
bersaingnya
standar
kualitas
mengindikasikan terjadinya gap standar antara produk dalam negeri dengan produk negara lain. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengkaji kesesuaian
antara
Standar
Nasional
Indonesia
(SNI)
dengan
standar
internasional, standar yang berlaku di negara tujuan ekspor dan negara asal, serta private standards. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: a. Kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik? b. Apakah terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik?
1.2.
Tujuan Kajian
a. Mengidentifikasi kebutuhan
standar produk
di pasar
domestik
dan
internasional; b. Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional; c. Menganalisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar; d. Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar.
3 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
1.3.
Keluaran Kajian
a. Kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional; b. Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional; c. Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar; d. Usulan kebijakan untuk mengatasi gap standar.
1.4. Manfaat Kajian a. Manfaat bagi pemerintah Hasil kajian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan rumusan kebijakan pengawasan mutu atau standar pangan produk ekspor dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat merumuskan strategi pengembangan industri produk ekspor. b. Manfaat bagi produsen dan industri produk terkait Hasil kajian ini dapat berguna bagi produsen dan industri terkait sebagai bahan acuan dalam memperbaiki dan mengembangkan standar mutu produk untuk meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor. c. Manfaat bagi konsumen Konsumen dapat memanfaatkan hasil kajian ini sebagai referensi jaminan mutu serta Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan (K3L) atas produk-produk pangan dan non-pangan yang beredar di pasar.
1.5. Ruang Lingkup a. Komoditas Kajian ini dilakukan pada beberapa kasus komoditas pangan dan non- pangan : i. Produk pangan - Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan ikan cakalang); - Produk hortikultura (manggis dan jagung); ii. Produk non-pangan - Batik; - Kursi dan meja tamu rotan.
4 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Pertimbangan pemilihan komoditas tersebut sebagai berikut : i. Pertimbangan umum Pertimbangan
umum
pemilihan
produk
adalah
besarnya
nilai
perdagangan dan potensi pertumbuhannya baik ekspor maupun impor. Kedua hal tersebut berpengaruh besar terhadap kemampuan daya saing produk Indonesia baik di pasar dalam negeri dan luar negeri; kelangsungan industri nasional (terutama UKM), konsumen (baik konsumen akhir maupun antara); juga berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1., pertumbuhan ekspor ikan tuna sirip kuning cukup tinggi yaitu sebesar 35,1% selama periode 2008 – 2012 dengan potensi produksi 5,9% per tahun. Namun, volume impor juga sangat besar, pertumbuhan rata-ratanya mencapai 116,82%. Hal ini sangat disayangkan mengingat produk ini merupakan salah satu produk ekspor non migas andalan Indonesia. Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji Pertumbuhan rata-rata Pertumbuhan 2008 - 2012 (%) Komoditas produksi rata-rata Ekspor Impor (%) (volume) (volume) Tuna sirip kuning ^) 35,1 116,82 5,9 Ikan cakalang ^^) 17,5 117,41 5,67 Mebel rotan *) -9,67 5,60 302,96 ^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2005 - 2010 ^^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2008 - 2011 *) data ekspor impor dari BPS periode 2008 – 2012, data produksi dari kementerian Kehutanan periode 2000–2006
Begitu pula halnya dengan ikan cakalang yang produksinya berpotensi untuk dapat ditingkatkan untuk dapat meningkatkan volume ekspor yang selama ini tumbuh sebesar 17,5% per tahun selama periode 2008 – 2012. Serupa dengan ikan tuna sirip kuning, impor ikan cakalang juga tumbuh pesat dari
5 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
tahun ke tahun sebesar 117,41%. Begitu pula dengan komoditas lainnya yang menghadapi kasus serupa (Tabel 1.2. dan 1.3.)
Tabel 1.2 Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 – 2012 (%) Kontribusi Rata-rata Terhadap Ekspor (%) Impor (%) Jagung 3,50 10,77 Manggis 2,02 0.00 Sumber : BPS (diolah) Komoditas
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2., jagung dan manggis merupakan kontributor ekspor yang cukup baik diantara komoditas hortikultura lainnya. Selain itu, manggis merupakan buah khas negara tropis andalan Indonesia. Namun, impor jagung juga tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan jagung untuk keperluan pakan ternak. Lebih lanjut, produk andalan Indonesia lainnya yaitu batik, khususnya kemeja batik, mengalami tren ekspor yang makin menurun dan tren impor yang meningkat (Tabel 1.3). Menurut data dari BPS, mayoritas kemeja batik ini diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sementara itu, sebagian besar kemeja batik yang masuk ke Indonesia berasal dari Cina.
Tabel 1.3 Perubahan Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya Periode 2008 – 2012 (%)
Keterangan Ekspor Kemeja batik pria dan anak laki-laki Kemeja/blus wanita dan anak perempuan Impor
Perubahan tahun 2012 thd 2011 (%)
Tren tahun 2008 - 2012 (%)
-22,50
5,54
-45,30
-5,92
6 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Kemeja batik pria dan anak laki-laki 9,05 22,57 Kemeja/blus wanita dan anak perempuan 7,60 10,25 Sumber : BPS, 2013 (diolah Pusdatin, Kementerian Perdagangan)
ii. Pertimbangan khusus Pertimbangan khusus pemilihan produk yaitu adanya kasus-kasus tertentu yang terjadi pada produk ekspor nasional seperti penolakan di negara tujuan eskpor (produk makanan) dan membanjirnya barang impor (non makanan). Sementara di sisi lain, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam memenuhi pasar dalam negeri dan luar negeri. -
Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan cakalang) merupakan salah satu produk ekspor non migas andalan Indonesia dengan potensi yang cukup besar. Produk perikanan paling banyak mengalami penolakan ekspor di negara tujuan karena alasan standar, yaitu 80% dari 2.608 kasus di Amerika Serikat. Ikan tuna sirip kuning dan cakalang juga memiliki pertumbuhan volume impor yang lebih besar daripada ekspornya
- Produk hortikultura (manggis dan jagung) mengalami masalah penolakan ekspor karena alasan standar keamanan pangan antara lain mengandung kloramfenikol, formalin dan zat pewarna buatan (Tempo, 2012). Manggis khususnya mengalami penolakan di Cina karena mengandung organisme pengganggu tanaman dan logam berat di atas ambang toleransi (Detik Finance, 2013) . - Batik produksinya menyumbang 20% produksi garmen nasional dan merupakan
warisan
budaya
Indonesia
yang
sudah
diakui dunia
internasional. Selain itu, belum ada pedoman kualitas yang baku terkait batik sehingga belum ada jaminan daya saing dan pedoman syarat mutu batik (Tempo, 2013). - Ekspor mebel rotan mengalami penurunan, sedangkan impor cenderung meningkat, padahal Indonesia adalah produsen terbesar rotan. Dengan adanya aturan pelarangan ekspor rotan mentah, seharusnya memberi peluang untuk meningkatkan ekspor produk rotan. Dengan demikian, diperlukan analisis kesesuaian standar mutu dalam rangka peningkatan
7 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
ekspor dan juga menyeleksi mebel rotan impor melalui standar mutu tersebut.
b. Aspek yang dikaji SNI produk terkait, standar internasional, standar yang berlaku di negara tujuan ekspor dan negara asal, serta private standard. c. Daerah Kajian Daerah penelitian terdiri dari 4 (empat) daerah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan daerah tersebut adalah daerah yang mempunyai sentra produksi dan industri, keberadaan insfrastruktur standar seperti pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Daerah Survey Daerah Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sulawesi Selatan
Tuna Sirip Kuning v
v
Cakalang Manggis Jagung Batik v
v v
v v v
v
v
v
v v v
Mebel Rotan v v v v
1.6. Sistematika Penulisan Laporan dalam kajian ini terdiri dari beberapa bab: Bab I:
Pendahuluan Dalam bagian ini dijelaskan tentang latar belakang mengapa perlu dilakukan kajian ini, tujuan, output, manfaat, ruang lingkup, dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan Pustaka Deskripsi mengenai standar (standar Indonesia, standar Internasional, standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta Private Standard), standar produk perikanan, standar produk hortikultura, standar batik dan
8 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
mebel rotan, hasil penelitian terdahulu dan hasil kajian dari beberapa negara (best practices) Bab III: Metodologi Memaparkan bagaimana kerangka pikir, metode analisis, pengambilan data dan pengolahannya, serta urutan tahapan kajian. Bab IV: Kondisi dan Perkembangan SNI Produk di Indonesia Perkembangan jumlah SNI, penerapan SNI dan kendalanya, serta pengawasan penerapannya untuk produk, baik yang wajib maupun bersifat sukarela. Bab V: Kebutuhan Standar Produk Identifikasi kebutuhan standar produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik Bab VI: Gap Kebutuhan Standar Analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik serta menganalisis faktorfaktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan dan non pangan. Bab VII: Kesimpulan dan Rekomendasi Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini, dan rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan standar.
9 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Standar produk merupakan alat yang penting dan utama dalam upaya peningkatan daya saing produk ekspor dan perlindungan terhadap konsumen dalam negeri, terutama untuk produk-produk yang mudah rusak (perishable goods) seperti produk perikanan dan hortikultura. Peningkatan peradaban penduduk dunia merupakan salah satu sebab utama pentingnya jaminan mutu dan keamanan produk pangan (Rokhman, 2008 seperti dikutip oleh Yuwono, 2012). Penolakan yang dialami oleh beberapa komoditas ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa ada ketidaksesuaian dalam hal standar, baik yang meliputi kualitas, keamanan, kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini menelaah apakah SNI sukarela pada produk perikanan dan hortikultura sudah sesuai dengan standar yang disyaratkan di negara-negara tujuan ekspor dan diterapkan oleh negara asal impor (national standards). Standar-standar yang dibahas antara lain SNI, standar internasional (CODEX Alimentarius), Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), ISO 22000, standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta private standard untuk produk pangan dan non-pangan. 2.1. Standar a. Standar Nasional Indonesia (SNI) Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah ketentuan teknis berupa aturan, acuan atau kriteria dari sebuah kegiatan atau hasil dari kegiatan tersebut yang diperoleh melalui konsensus untuk kemudian ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (BSN, 2011). Proses konsensus diperlukan agar standar disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan. Lebih lanjut, terdapat beberapa kriteria agar penerapan standar memiliki jangkauan yang luas sebagai berikut (BSN, 2011): i. SNI
harus
harmonis
dengan
standar
internasional
dan
SNI
dikembangkan berdasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk juga kebutuhan industri.
10 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
ii. Pengembangan SNI yang bersifat wajib dalam rangka penerapan regulasi teknis harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga dapat melindungi kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup serta pertimbangan ekonomi secara efektif dan efisien. iii. Kompetensi infrastruktur yang diperlukan dalam rangka mendukung penerapan SNI harus diakui di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Berikut adalah standar nasional Indonesia terkait produk-produk yang diteliti dalam kajian ini : • Tuna beku 1. SNI No. 01-2710.1-2006 : spesifikasi 2. SNI No. 01-2710.2-2006 : persyaratan bahan baku 3. SNI No. 01-2710.3-2006 : penanganan dan pengolahan •
Cakalang beku 1. SNI No. 01-2733.1-2006 : spesifikasi 2. SNI No. 01-2733.2-2006 : persyaratan bahan baku 3. SNI No. 01-2733.3-2006 : penanganan dan pengolahan
•
Manggis : SNI No. 3211:2009
•
Jagung : SNI No. 01-3920-1995
•
Batik : SNI No. 08.3540.1994
•
Mebel rotan 1. SNI No. 7555.24:2011 : Kursi tamu rotan 2. SNI No. 7555.25:2011 : Meja tamu rotan
b. Standar Internasional i. CODEX CODEX Alimentarius Commission (CAC) merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin terjadinya perdagangan yang adil, selain berkoordinasi dengan institusi
standarisasi
lainnya
untuk
mengkampanyekan
pentingnya
keamanan pangan atau food safety (WHO dan FAO, 2009 seperti dikutip
11 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
oleh Salim, 2012). Lebih lanjut, lembaga yang berada di bawah naungan World Health Organisation (WHO) dan Food and Agricultural Organisation (FAO) ini menghasilkan rekomendasi internasional yang terangkum dalam CODEX tentang prinsip umum dalam praktek kesehatan dan keamanan pangan (Simangunsong, 2006). Dengan demikian, regulasi ini mendukung para pelaku usaha di sektor perikanan dalam rangka menyediakan produk yang terjamin keamanan dan kesehatannya kepada konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional (Salim, 2012). ii. HACCP HACCP merupakan sistem pengawasan mutu untuk menjamin keamanan dan mutu produk perikanan. Penerapan pengawasan ini dimulai dari penangkapan ikan, pengangkutan, pengolahan dan pendistribusian produk ke tempat penjualan atau sampai ke konsumen akhir (Deboyser, 2005 seperti dikutip oleh Simangunsong, 2006). Penerapan HACCP adalah upaya pencegahan dan pendeteksian berbagai permasalahan yang mungkin terjadi selama proses produksi berlangsung sehingga terbentuk suatu rangkaian pengawasan mutu dan keamanan (Simangunsong, 2006). iii. ISO 22000 Standar ini menetapkan persyaratan sistem manajemen kemanan pangan yang
mengkombinasikan
unsur-unsur
kunci
umum
berikut
untuk
memastikan keamanan pangan sepanjang rantai pangan hingga konsumsi akhir (BSN, 2012): -
Komunikasi interaktif;
-
Manajemen sistem;
-
Program Persyaratan Dasar (PPD); dan
-
Prinsip HACCP.
iv. Private Standard Istilah Private Standard sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, seiring dengan peningkatan peran perdagangan internasional dalam
12 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
kegiatan ekonomi dunia. ISO (2010) mendefinisikan private standard sebagai segala jenis standar yang dikembangkan oleh institusi nonpemerintah yang memiliki karakteristik tertentu yang terkait dengan aspek tatakelola (governance), pengembangan (development), dan keterkaitan berbagai pihak (stakeholder engagement). Liu (2009) menjelaskan bahwa munculnya semangat menggunakan private standard didominasi oleh globalisasi, liberalisasi perdagangan, perubahan preferensi konsumen, dan kemajuan informasi dan teknologi (IT). Dalam penerapannya, jenis dan kategori private standard sangat beragam, tergantung pada sasaran, cakupan, kelebihan, serta kekurangannya. Oleh karena itu, private standard tidak bisa dikategorikan sebagai jenis standar yang homogen. Lebih lanjut, Liu (2009) dan Shepherd dan Wilson (2010) juga mengemukakan bahwa private standard di satu sisi dapat memberikan keuntungan dalam hal akses pasar, efisiensi manajemen, peningkatan kualitas produk sekaligus citra perusahaan, dan bahkan penurunan biaya usaha. Namun di sisi lain, penerapan private standard dapat menjadi masalah terkait dengan kepemilikan dan kewenangan oleh otoritas tertentu yang terkadang tidak transparan dan belum tentu berdasar pada alasan ilmiah (scientific-based reason). Selain itu, penerapan private standard juga dapat membebani produsen tertentu, seperti small-holders dan produsen yang berada di luar area diberlakukannya private standard. Selain itu, private standard juga dapat memiliki peran yang tumpang tindih dengan standar yang sudah ada, seperti standar nasional yang diterapkan pemerintah ataupun standar internasional. 1) Tujuan dan Cakupan Private Standard Serupa dengan tujuan standardisasi seperti yang tertulis dalam ISO (2010), private standards bertujuan untuk menjamin bahwa bahan baku, produk, proses, serta proses pelayanannya sesuai dengan tujuannya. Lebih detil, standar memiliki tingkatan tujuan antara lain: tujuan utama (ultimate objectives), tujuan yang mendesak (immediate objectives), dan tujuan
operasional
(operational
objectives).
Ultimate
objectives
mensyaratkan ketentuan yang lebih umum, seperti ketentuan produksi, produk diferensiasi, dan sebagainya. Sementara immediate objectives 13 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
lebih menekankan pada aspek traceability yang mensyaratkan informasi asal suatu produk. Penerapan standar dalam rangka immediate objectives banyak dijumpai pada standar di sektor pangan. Sedangkan operational objectives lebih menekankan pada hasil dari penerapan standar (operation) yang telah ditentukan, seperti misalnya penerapan standar keamanan pangan yang sesuai dengan ketentuan Good Agricultural Practices (GAP) dan ketertelusuran atau traceability. 2) Institusi yang Menerapkan Private Standard Pada umumnya private standard ditentukan oleh perusahaan, asosiasi bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan pada persyaratan produksi dan diferensiasi produk. Dengan perkataan lain, produk yang dijual kepada perusahaan atau pasar konsumen tertentu harus menerapkan standar yang sudah ditentukan oleh institusi tersebut. Beberapa contoh private standard yang sudah diterapkan antara lain: - COLEACP, private standard yang ditetapkan oleh asosiasi produsen hortikultura di Florida. - Tesco’s Nature Choice, British Retail Consortium (BRC),
dan
Carrefour’s Filière Qualité, private standard yang ditetapkan oleh perusahan ritel. - GlobalGAP, private standard yang diinisiasi oleh konsumen melalui LSM yang berkaitan dengan Good Agricultural Practices yang meliputi sektor perikanan dan hortikultura. Standar tersebut juga telah diadopsi oleh pelaku ritel modern di Eropa. - The International Confederation of Free Trade Union (ICFTU), private standard yang diinisiasi oleh LSM yang berkaitan dengan ketentuan jaminan terhadap hak-hak pekerja. Standar ini serupa dengan FairTrade Labeling Organisation (FLO) dan The Sustainable Agricultural Network (SAN) yang menentukan standar keadilan bagi petani, pekerja, dan lingkungan hidup. 3) Cakupan Geografi Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan internasional, cakupan wilayah penerapan private standard pun sudah bersifat global. 14 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Artinya, produsen baik eksportir maupun importir dari berbagai negara disyaratkan memenuhi ketentuan sesuai dengan private standard yang berlaku. Namun demikian, beberapa private standard hanya diterapkan di wilayah tertentu, seperti FLO yang berlaku bagi negara berkembang dan Rainforest Alliance yang berlaku bagi negara yang memilik hutan tropis. 2.2. Penelitian Terdahulu Standar produk perikanan telah menjadi fokus studi dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi ekspor, produk perikanan Indonesia masih mengalami hambatan terutama di pasar negara maju. Di samping itu, kinerja ekspor produk perikanan Indonesia masih belum optimal. Sementara untuk pasar dalam negeri, beberapa kajian menitikberatkan pada penerapan standar oleh pelaku usaha dimana kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan standar mutu dan keamanan produk masih rendah. Lambaga (2009) menganalisis tentang kinerja ekspor produk perikanan Indonesia di beberapa pasar tujuan ekspor terkait dengan penerapan standar, baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Dalam mengukur kinerja ekspor, digunakan variabel antara lain harga produk perikanan di Indonesia, produksi, nilai tukar, dan hambatan non-tariff. Analisis dilakukan terhadap tiga blok utama, yaitu: (1) Jenis komoditas ekspor utama yaitu tuna dan udang, (2) Pasar ekspor utama yang dibagi dalam empat kelompok yaitu Jepang, Uni Eropa, Amerika, dan pasar prospektif yang diisi oleh negara-negara ASEAN dan Asia Timur, serta (3) Komoditas per pasar dengan menggunakan data periode 2002-2007. Hasil dari analisis dengan metode Regresi Linier Berganda (Ordinary Least Square) menjelaskan bahwa kenaikan harga ikan dari Indonesia cenderung akan menurunkan volume ekspor produk perikanan. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk pasar Jepang, terutama untuk produk udang. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa udang Indonesia merupakan produk yang diminati oleh konsumen Jepang dimana harga rata-rata produk udang Indonesia yang diekspor ke Jepang mencapai US$ 8,18/kg selama periode 2002-2007, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasar Uni Eropa dan Amerika yang hanya berada pada tingkat US$ 1,80/kg dan US$ 5,60/kg.
15 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Sementara itu, volume ekspor produk perikanan Indonesia sangat dipengaruhi oleh nilai tukar, dimana semakin tinggi nilai tukar rupiah maka semakin rendah volume ekspornya. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar transaksi ekspor perikanan dilakukan dengan mata uang dollar Amerika. Terkait dengan volume produksi, jika terjadi peningkatan volume produksi, maka ekspor produk perikanan dan udang akan mengalami peningkatan. Pengecualian terdapat pada pasar Jepang, Uni Eropa, dan pasar prospektif dimana peningkatan produksi tidak sera merta diikuti dengan peningkatan ekspor. Beberapa hal seperti pengkelasan atau grading, persyaratan mutu, dan jenis produk merupakan faktor yang menyebabkan ekspor tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi. Terkait dengan hambatan non-tarif, ekspor udang ke Jepang, udang dan tuna ke pasar prospektif akan menurun jika dilakukan penerapan standar di negara tujuan ekspor. Yang menarik, penerapan standar di Amerika dan Uni Eropa belum berpengaruh menurunkan ekspor produk perikanan. Hal ini diduga karena prosedur ekspor ke AS dan UE sangat ketat namun mendapat pengawasan langsung dari otoritas kompeten di Indonesia sehingga ekspor ke negara tersebut tidak terlalu berpengaruh. Peluang untuk meningkatkan ekspor produk perikanan semakin terbuka di masa mendatang. Hal ini terkait dengan kebijakan negara-negara di Eropa untuk mengurangi kegiatan penangkapan ikan. Selama ini impor produk perikanan Eropa berasal dari negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara yang didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspornya. Data menunjukkan bahwa ekspor Indonesia masih kurang dari separuh ekspor Thailand padahal produksi perikanan tangkap Indonesia lebih besar daripada Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa produk perikanan Indonesia masih berorientasi memenuhi kebutuhan domestik dan jenis dan mutu produk perikanan Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar ekspor. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja ekspor dapat dilakukan melalui beberapa langkah seperti peningkatan kualitas produk, penanganan pasca panen yang baik, pengembangan industri bioteknologi, pembenahan jasa angkutan, dan
16 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
penyebaran informasi terkait standar mutu di negara tujuan ekspor (Fahrudin, 2003). Riyadi et a.l (2007) menemukan bahwa terdapat penanganan produk yang tidak memenuhi kaidah keamanan dengan penggunaan bahan tambahan makanan ilegal (formalin dan peroksida) pada produk ikan segar dan ikan asin di Pantura dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap aspek teknis (pengambilan bahan baku dan pengolahan), ekonomi, sosial budaya yang meliputi pedagang dan konsumen, kelembagaan, dan kebijakan keamanan pangan. Hasil analisis secara deskriptif menemukan bahwa penanganan produk perikanan masih kurang memperhatikan faktor sanitasi dan higienis. Malahan, beberapa produk perikanan menggunakan bahan pengawet formalin yang bertujuan untuk memenuhi segmen pasar tertentu yang menginginkan ikan yang bertekstur kenyal dan lebih tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran produsen dan konsumen domestik terhadap mutu produk perikanan masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kesadaran produsen dalam menerapkan keamanan mutu antara lain faktor sosial budaya rendahnya tingkat pendidikan baik para pengolah maupun masyarakat konsumen. Sementara dari aspek kelembagaan dikarenakan kurangnya penyuluhan dan pengawasan oleh pemerintah. Sementara itu Yuwono, Zakaria, dan Panjaitan (2012) menyebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Kementerian Kelautan dan perikanan memperkenalkan Good Manufacturing Practises (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Namun dalam prakteknya penerapan GMP dan SSOP masih belum dapat diterapkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan pada pabrik pengolahan fillet ikan yang berhenti menerapkan GMP dan SSOP dengan
tujuan
untuk
menemukan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kelangsungan proses penerapan tersebut. Pengolahan dan analisis data menggunakan metode deskripsi dan analisis pra syarat. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan GMP dan SSOP pengolahan fillet ikan antara lain disebabkan faktor internal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pemahaman, faktor eksternal seperti kurangnya sosisalisasi, kurangnya fasilitas air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan, 17 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan faktor karakteristik inovasi seperti rendahnya permintaan pasar, rendahnya keuntungan yang diperoleh, dan rumitnya penerapan GMP dan SSOP. Pemahaman pelaku usaha terhadap materi SNI (sukarela) keberadaan lembaga penunjang (lembaga sertifikasi produk, supervisi/pengawas mutu) menjadi faktor penentu utama bagi perusahaan dalam menerapkan SNI yang ada. Dengan menerapkan SNI sebenarnya perusahaan memperoleh manfaat atau benefit yaitu adanya image atau anggapan bahwa produk yang dihasilkan perusahaan yang bersangkutan merupakan produk berkualitas. Sehinga secara tidak langsung, kualitas yang baik dari produk yang dihasilkannya akan mampu meningkatkan daya saing produk tersebut di pasar (Puska Dagri, 2012). Penerapan suatu standar, termasuk SNI seringkali dianggap sebagai suatu biaya tambahan (extra costs) bagi perusahaan. Hal ini karena mereka melihat bahwa dengan SNI mereka harus menambah biaya untuk proses pengujian, laboratorium yang tersertifikasi. Biaya untuk peralatan dan dan sertifikasi ini dianggap sebagai biaya terbesar dalam menerapkan SNI. Perlu adanya insentif dari pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana Laboratorium Uji dan Sumber Daya Manusia di bidang standardisasi yang terkareditasi secara nasional dan internasional (Puska Dagri, 2012).
2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara Pemerintah Australia melalui Departemen Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Department of Agriculture, Fisheries and Forestry) melakukan kajian terhadap sistem kualitas manajemen (quality management systems) dalam hubungannya dengan supply chain management untuk komoditas dan produk olahan Genetically Modified (GM) dan non-GM products dalam upaya untuk memenuhi persyaratan domestik dan internasional (Lovell, Clark, dan Jeffries, 2003). Produk-produk yang menjadi kajian adalah kanola (canola), katun (cotton), susu dan poppies. Kajian ini, bertujuan, salah satunya untuk melihat adanya gap yang terjadi pada sistem supply chain. Studi ini juga melakukan penilaian terhadap resiko yang muncul bila terjadi gap dalam sistem yang ada.
18 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana produk tertentu sepeti susu, kanola dan lainnya bergerak dari pergudangan (areal pemanenan) sampai ke penyalur. Permasalahan yang mungkin muncul dan penyebabnya juga dikaji, termasuk di dalamnya adalah apakah suatu permasalahan yang timbul memberikan
efek
negatif
secara
komersial
atau
tidak.
Resiko
akan
kemungkinan adanya keluhan dari konsumen juga menjadi perhatian tersendiri dalam kajian ini. Beberapa negara seperti Chili, Kenya, Malaysia dan Meksiko berupaya untuk
melihat
adanya
gap
standar
yang
terjadi
dengan
melakukan
benchmarking dengan GlobalGAP khususnya untuk produk-produk pertanian (Valk dan Roest, 2009). Beberapa negara tersebut melakukan benchmarking standar nasional mereka dengan GlobalGAP dalam upaya untuk meningkatkan akses pasar ekspor khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana karakteristik dari standar nasional mereka dan quality sistem dari produk makanan dan proses benchmarking dengan GlobalGAP. Di negara-negara tersebut skema National Gap dimotori oleh pihak pemerintah dan juga swasta. Untuk Malaysia dan Mexico, National Gap Scheme dimotori oleh pemerintah (Malaysia's Best and Mexico Calidad Suprema). Sementara itu di Kenya dan Chili, inisiatif untuk melakukan benchmarking justru dilakukan oleh swasta dengan nama ChileGAP dan KenyaGAP. Untuk Kenya, inisiatif pembentukan GAP tersebut dilakukan oleh perusahaan besar di negara tersebut kemudian disetujui oleh pemerintah. Pembentukan benchmarking di negara-negara mengembangkan
tersebut pasar
dibentuk ekspornya.
sebagai
instrumen
Benchmarking
pasar
dalam
digunakan
untuk
meningkatkan kredibiltas produk mereka di pasar ekspor. Negara ASEAN lain yang melakukan benchmarking terhadap GlobalGAP adalah Thailand. Di Thailand ide pembentukan gap ini adalah datang dari pemerintah dengan Thai Q-Gap dan ThaiGAP yang diusulkan oleh pihak eksportir swasta. Tujuan dari benchmarking yang dilakukan Thailand adalah sama seperti negara lainnya, terutama untuk meningkatkan market share dari buah-buahan segar dan sayuran, khususnya di pasar Eropa. Langkah bersama yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta ini adalah upaya bersama untuk 19 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
mencapai kesesuaian dengan standar internasional yang ada (Valk dan Roest, 2009). Meskipun, pada dasarnya upaya pemenuhan gap ini bersifat sukarela seperti halnya pemenuhan standarisasi pada umumnya.
20 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB III METODOLOGI
Standar produk menjadi suatu kebutuhan masyarakat sekarang ini, baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen dengan adanya standar berarti mereka bisa memperoleh jaminan bahwa produk yang bersangkutan mempunyai kualitas yang baik dan memenuhi standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian
lingkungan
hidup.
Bagi
produsen,
standar
berimplikasi
pada
meningkatnya daya saing produk baik di pasar dalam negeri maupun pasar global. Dengan demikian upaya penerapan standar mempunyai dua keuntungan baik bagi produsen, konsumen maupun
perekonomian
nasional secara
umum. Ada
kecenderungan sekarang ini bahwa banyak negara yang mulai memperhatikan dan peduli pada arti pentingnya standar internasional dan sistem sertifikasi sebagai alat untuk memastikan adanya jaminan terhadap kualitas, efisiensi produk, kesehatan dan kelangsungan lingkungan hidup (Khan, Ali dan Tanveer, 2005). 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam rangka mewujudkan produk dengan kualitas yang baik, memenuhi standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup, maka suatu produk harus dipastikan bahwa dalam seluruh proses produksinya (mulai dari bahan baku sampai produk akhir) harus memenuhi standar tertentu yang dipersyaratkan. Untuk memastikannya maka keseluruhan supply chain yang ada termasuk para pelakunya bertanggung jawab untuk mewujudkannya dari produk dasar/bahan baku dan asal usulnya (raw materials) sampai konsumsi akhir (final consumption) (CODEX Alimentarius Commision, 2003; Faergemand and Jespersen, 2004; Khan, Ali, Tanveer, 2005; Will and Guenther, 2007). Gambar 2.1 berikut menampilkan proses aliran barang dalam upaya untuk memperoleh produk yang memenuhi standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup). Jaminan produk yang berkualitas dan memenuhi standar yang diinginkan harus dimulai dari bahan baku termasuk asal usul dari bahan baku tersebut, sampai barang tersebut berada di tangan konsumen akhir. Jaminan ini melibatkan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan yang 21 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
terlibat dalam upaya untuk melakukan kegiatan (practices) yang baik dalam memproduksi bahan baku, penjualan/distribusi bahan baku, proses produksi (manufacturing), dan distribusi barang jadi. Dalam semua rantai itu harus bisa memastikan adanya higinitas melalui, diantaranya, praktek Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).
Gambar 3.1 Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup)
Sumber: Diadopsi dari Will and Guenther (2007).
Kondisi ideal yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 menjadi sesuatu yang diinginkan oleh konsumen secara umum. Namun demikian, dalam kondisi tertentu yang ada di dalam suatu perekonomian, dimana konsumen dan produsennya sangat beragam, upaya untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut tidaklah mudah. Ada berbagai pertimbangan baik itu pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan dan lainnya yang terlibat dalam aliran barang tersebut, sehingga pemerintah harus bijak
22 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dalam membuat suatu peraturan terkait standar ini. Beberapa pertimbangan tersebut adalah perlindungan konsumen, produsen (perbedaan kemampuan, khususnya usaha kecil dan menengah), dunia industri dan perekonomian secara umum. Hal ini pulalah, untuk kasus Indonesia, yang mendasari adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sukarela dan wajib. SNI sukarela yang ada tidak serta merta bisa dijadikan menjadi SNI wajib, diantaranya, dengan pertimbangan tersebut di atas. Gambar 3.2 Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis
Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO, Private Standards)
Pertimbangan kebutuhan (perlindungan konsumen, peningkatan daya saing) Kesesuaian atau ketidaksesuaian (gap positif dan negatif)
Standar nasional (SNI, regulasi teknis)
Solusi (bridging the gap)
Kebijakan Mengatasi Gap Standar
Catatan: + Gap adalah adanya perbedaan SNI dengan standar internasional, dimana SNI mempunyai unsur lebih; - Gap adalah kekurangan yang ada dalam SNI. Dalam penelitian tentang kebutuhan standar dalam dimensi perlindungan konsumen dan penguatan daya saing, akan dilihat ada tidaknya gap dalam kebutuhan standar di Indonesia. Kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.2. SNI (khususnya produk makanan) merujuk pada standar internasional yang ada seperti CODEX Alimentarius, HACCP dan juga ISO (khususnya ISO
23 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
22000 yang terkait dengan food safety). Namun demikian, dalam kenyataannya, ada kemungkinan terjadi gap antara SNI dengan standar internasional yang ada, baik positif maupun negatif. Yang dimaksudkan dengan gap positif adalah bahwa apabila SNI yang ada mempersyaratkan sesuatu pada produk tertentu dengan standar yang lebih tinggi (kualitas yang lebih baik) dari pada yang dipersyaratkan dalam standar internasional. Sementara gap negatif adalah apabila SNI yang ada terdapat kekurangan atau tidak mempersyaratkan sesuatu yang seharusnya (idealnya). Untuk perusahaan/importir dari negara-negara tertentu seperti dari Uni Eropa (UE), ada juga yang menerapkan private standard yang dikeluarkan oleh swasta (perusahaan). Bagi negara atau produsen untuk produk tertentu yang ingin melakukan ekspor ke negara tujuan juga harus memenuhi private standard. Gap analisis juga akan diterapkan pada SNI dan private standard. Dengan diketahuinya gap diharapkan bisa ditemukan solusi (bridging) sehingga standar yang ada (SNI) bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen di pasar domestik maupun internasional. Perbaikan standar ini diharapkan bisa diarahkan untuk perlindungan konsumen yang lebih baik dan peningkatan kemampuan daya saing produk Indonesia di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus juga memperkuat daya industri khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).
3.2. Metode Analisis Metode analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu produk untuk bisa memenuhi standar tertentu. Kebutuhan standar ini akan dibandingkan antara SNI dengan standar internasional yang ada yang mengacu pada CODEX Alimentarius, HACCP, dan ISO (ISO 22000).
a. Analisis Gap Analisis gap dalam standardisasi ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melihat adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian (Compliance Gap Analysis). Analisis compliance gap ini bisa dilakukan dengan membandingkan antara kondisi yang sekarang ada ada (real situation) dengan kondisi yang dibutuhkan (desired situation). Di samping itu juga pengukuran terhadap gap yang terjadi (measuring the 24 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
gap) dan juga upaya untuk menutup atau mengatasi gap (closing/bridging the gap) yang juga penting untuk dilakukan (Khan, Ali dan Tanveer, 2005). Dengan adanya analisis gap, diharapkan bisa ditemukan solusi untuk mencapai kondisi yang diharapkan (sesuai persyaratan yang ada). Analisis gap akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional yang ada ataupun persyaratan tertentu lainya (national standard yang diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private standard). Dalam upaya untuk mengetahui bahwa produk makanan memperolah jaminan sesuai standar, maka pemenuhan persyaratan dalam proses (produksi) dan persyaratan yang ditentukan oleh konsumen harus diketahui secara menyeluruh. Adanya komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam jaringan produk terhadap sistem, konsumen, pasar dan juga persyaratan teknis menjadi sangat penting. Analisis gap untuk melihat adanya gap yang mungkin terjadi dalam rantai nilai dalam proses produksi (termasuk bahan baku) produk perikanan di Indonesia. Dalam melakukan kajian ini, gap yang ada akan dilihat dari dua sisi, yaitu sisi ekspor dan impor: -
Sisi ekspor
Dari sisi ekspor, kajian ini dilakukan untuk mencari gap antara SNI dan standar internasional yang berlaku (CODEX Alimentarius, HACCP, dan ISO (ISO 22000), national standard dari mitra dagang dan private standard). Kajian gap dari sisi ekspor ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional dan meningkatkan akses dan penetrasi di pasar internasional. -
Sisi impor
Masuknya barang impor yang terkadang tidak memenuhi standar yang ada bisa merugikan konsumen dan produsen. Jenis produk impor tersebut cenderung mempunyai kualitas yang rendah dan harga yang murah, sehingga mengancam produk lokal di pasar dalam negeri. Gap analisis akan dilakukan terhadap produk impor yang masuk ke pasar domestik. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah produk impor tersebut memiliki standar tertentu atau tidak dan bagaimana gap yang ada antara SNI dengan standar produk yang masuk. 25 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Berikut disajikan analisis gap SNI dengan standar yang ada baik dari sisi ekspor (Tabel 3.1) maupun dari sisi impor (Tabel 3.2) Tabel 3.1 Sisi Ekspor - Gap SNI* dengan Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO), National Standard Negara Importir dan Private Standard Unsur
Rincian
Bahan baku
a) Bentuk b) Asal c) Mutu d) Peyimpanan sesuai SNI 01-02221995)
Bahan tambahan makanan Penanganan dan Pengolahan
Sanitasi dan higiene
a) b) c) d) e) f)
+ Gap
-Gap
Solusi
Penerimaan Pencucian Sortasi Penimbangan Pembekuan Pengepakan
a) Bahan penolong b) Peralatan (jenis dan persyaratan) ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene
Syarat mutu dan keamanan pangan
a) b) c) d) e)
Organoleptik Cemaran Mikroba Cemaran Kimia Fisika Parasit
Pengambilan contoh
SNI 01-2326-1991, Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan).
26 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Cara uji
a) b) c) d) e)
Organoleptik Mikrobiologi Kimia Fisika Parasit
Pengemasan/ Packing
Penandaan/ Labelling
a) Bahan kemasan b) Teknik pengemasan a) jenis produk b) berat bersih produk c) nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap d) bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut e) tanggal, bulan dan tahun produksi f) tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Penyimpanan Catatan: Tabel kesesuaian ini adalah untuk produk perikanan, sebagai contoh analisis gap. Dalam SNI, khususnya yang terkait dengan produk perikanan, arti penting standar sebagai upaya untuk menghilangkan potensi bahaya. Dengan diketahuinya gap dan upaya mengatasinya dalam penerapan SNI sebagai upaya untuk melindungi konsumen, memperkuat industri dan pasar domestik, diharapkan tidak terjadi gangguan terhadap keamanan (food safety), mutu produk/keutuhan pengolahan (wholesomeness) dan ekonomi (economic fraud). Dalam kaitannya dengan adanya penolakan produk (perikanan), analisis gap bisa diterapkan untuk melihat standar dalam proses (produksi). Pada dasarnya standar proses mempunyai cakupan yang luas yang tidak hanya terkait dengan upaya untuk mewujudkan kesehatan dan sanitasi dalam proses produksi tetapi juga terkait ke belakang (backward
linkage)
dengan
bahan
baku,
praktek
penangkapan
(dengan
menggunakan kapal atau lainnya), transportasi dan lainnya (Khan, Ali dan Tanveer, 2005).
27 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 3.2 Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir Unsur
Rincian
Bahan baku
a. Bentuk b. Asal c. Mutu d. Peyimpanan sesuai SNI 01-02221995)
Bahan tambahan makanan Penanganan dan Pengolahan
Sanitasi dan higiene
a. b. c. d. e. f.
+ Gap
-Gap
Solusi
Penerimaan Pencucian Sortasi Penimbangan Pembekuan Pengepakan
a. Bahan penolong b. Peralatan (jenis dan persyaratan) ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene
Syarat mutu dan keamanan pangan
a. b. c. d. e.
Pengambilan contoh
SNI 01-2326-1991,
Cara uji
Organoleptik Cemaran Mikroba Cemaran Kimia Fisika Parasit
Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan). a. Organoleptik b. Mikrobiologi c. Kimia d. Fisika
28 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
e. Parasit Pengemasan /Packing
Penandaan /Labelling
a. Bahan kemasan b. Teknik pengemasan a. jenis produk b. berat bersih produk c. nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap d. bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut e. tanggal, bulan dan tahun produksi f. tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Penyimpanan Catatan: National standard adalah standar nasional yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor.
Dengan adanya penolakan yang sering terjadi terhadap produk makanan yang diekspor, maka penting untuk mengetahui respon perusahaan di Indonesia. Bagaimana mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak; maupun dalam hal adanya gap antara SNI dengan standar yang ada. Beberapa hal mendasar terkait dengan perilaku perusahaan/produsen yang dikaji dengan menggunakan analisis gap adalah sebagai berikut (Gomm, 2009): (1) Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen (commitment). Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan kepada perusahaan (eksportir) terkait dengan perilaku mereka terhadap standar internasional yang ada diuraikan dalam Tabel 3.3. Pertanyaan dalam Tabel 3.3 ini terutama untuk mengkaji bagaimana respon mereka bila produk yang mereka ekspor ditolak di pasar internasional, apa yang dilakukannya dan bagaimana mengatasi gap yang ada. Sementara itu, Tabel 3.4 mengkaji perilaku perusahaan (importir) terhadap SNI yang berlaku. Pertanyaan dalam Tabel 3.4 untuk mengkaji bagaimana respon mereka bila mendapatkan
29 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
produk yang diimpor tidak sesuai dengan standar yang berlaku (SNI), bagaimana mereka meresponnya dan langkah apa yang diambil untuk mengatasinya.
Tabel 3.3 Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional Gap
Solusi
Kepedulian (awareness)
a) Adanya kepedulian terhadap Standar b) Memperhatikan ada atau tidaknya label standar Pengetahuan a) Mengetahui (knowledge) tentang Standar dan SNI b) Mengetahui bahwa produk memenuhi standar negara tujuan Implementasi Mengekspor produk (implementation) yang memenuhi standar Komitmen Hanya mengekspor (commitment) produk ber-standar Langkah yang a) Adanya penolakan dilakukan produk b) Ketidaksesuaian dengan standar
b. Mapping SNI Mapping ini dilakukan untuk mengidentifikasi SNI yang ada dan pengelompokkannya berdasarkan SNI wajib dan sukarela. Mapping SNI dilakukan terutama untuk melihat jumlah SNI yang ada untuk produk perikanan, hortikultura, batik dan mebel rotan. 3.3.
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi hasil studi sebelumnya serta literatur lainnya terkait dengan standardisasi dan perlindungan konsumen. Data yang dipakai dalam studi ini adalah data yang diperoleh dari studi pustaka dan penelitian lapangan. Data dari studi pustaka
30 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
meliputi CODEX Alimentarius, HACCP, ISO terkait, national standard mitra dagang, private standard, SNI dan data lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengetahui respon perusahaan bila terjadi penolakan atau komplain karena adanya ketidaksesuaian dengan standar (SNI). Untuk menentukan jumlah perusahaan yang akan dikunjungi di daerah penelitian digunakan metode pengambilan sampel dengan purposive sampling. Dengan jumlah industri dan produk yang sangat banyak, maka dalam kajian ini kunjungan lapangan akan ditujukan pada industri produk-produk pilhan dengan melakukan
wawancara
(dengan
pertanyaan
terstruktur)
dengan
perusahaan/produsen (eksportir/importir), dan atau asosiasi serta dinas teknis di daerah. Selain dari penelitian di daerah, untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan untuk pemantapan hasil kajian maka akan dilakukan diskusi terbatas di Jakarta. Tabel 2.5. berikut ini memperlihatkan bagaimana data akan dianalisis di setiap tahap, yang disusun berdasarkan tujuan dan output kajian.
Tabel 3.4. Metodologi dan Analisis Data Tujuan Kajian
Metode analisis
Data
Sumber
Output
Mengidentifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional
Standard mapping
Sekunder dan primer: laporan regular, pustaka, hasil wawancara
BSN, lembaga/inst ansi terkait, stakeholders
Identifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional
Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional
Gap Analysis
SNI, CODEX Alimentarius, ISO 22000, Private Standard
BSN, , CODEX Alimentarius, ISO, Global Gap
Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional
31 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Menganalisis faktor- faktor penghambat dalam penerapan standar
Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar
Gap Analysis
Primer; hasil indept interview
Pelaku usaha (eksportir dan importer), instansi teknis
Sintesa 1, 2, 3, dan 4 serta hasil diskusi
Data primer dan sekunder (1, 2, 3)
Hasil analisis gap dan faktor-faktor penghambat serta dari hasil diskusi dengan steakholders
Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan
Usulan kebijakan mengatasi gap standar dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen
32 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB IV KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA
Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan ketentuan teknis yang diperoleh melalui konsensus dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN, 2011). Perumusan SNI dilakukan secara konsensus dengan melibatkan berbagai stakeholders sesuai dengan jenis produknya sudah menggunakan standar internasional yang ada sebagai acuannya. Namun demikian, tidak semua aturan teknis standar internasional tersebut dipakai atau diaplikasikan. Penerapan SNI dari SNI sukarela menjadi wajib memerlukan berbagai infrastruktur pendukung yang memadai (BSN, 2011). Dukungan infrastruktur diperlukan sehingga SNI produk yang bersangkutan bisa diterima tidak hanya di tingkat nasional tapi juga internasional. Penerapan SNI oleh perusahaan pada dasarnya bersifat sukarela. Namun, pemerintah dengan tujuan untuk melindungi kepentingan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat memberlakukannya menjadi SNI wajib. Penerapan
SNI
sudah
berlangsung
selama
tiga
belas
tahun
sejak
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah penerapan SNI pada sektor industri baru mencapai sekitar 20%. Masih rendahnya tingkat penerapan SNI di dunia industri dikarenakan ketidaktahuan produsen maupun konsumen atas penerapan SNI pada produk tertentu, sulitnya proses sertifikasi dan mahalnya biaya pengujian untuk mendapatkan sertifikasi SNI (Kementerian Perindustrian, 2011).
4.1 Perkembangan Jumlah SNI Pengembangan SNI tidak hanya menyangkut jumlah SNI tetapi juga bisa berupa revisi atau perbaikan dari SNI yang sudah ada, maupun abolisi atau penghapusan SNI. Kementrian Perindustrian juga melakukan revisi terhadap SNI produk industri. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya dalam kurun waktu 5 tahun, SNI bisa ditinjau ulang untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan
33 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
teknologi dan kondisi lainnya. Ketidaksesuain SNI dengan perkembangan teknologi, juga
kebutuhan
produsen
dan
konsumen
tentu
saja
bisa mempengaruhi
perkembangan industri nasional, sekaligus keamanan dan keselamatan konsumen yang menggunakan produk tersebut. Penghapusan (abolisi) SNI dilakukan karena produk yang bersangkutan dinilai mengalami perubahan kegunaan atau semakin berbahaya seperti pada contoh kasus asbes semen. Ada sekitar 104 SNI yang diabolisi oleh BSN tahun 2009 (Kontan, 2009).
Tabel 4.1. SNI yang Telah Diberlakukan Secara Wajib Instansi Teknis
2013
Kementerian Perindustrian Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Pertanian BPOM Kementerian Perhubungan Kementerian Pekerjaan Umum Jumlah SNI Wajib Jumlah SNI (9.824), target BSN 2012 Jumlah SNI Wajib Jumlah SNI (9.324) Sumber : BSN (Juli 2013)
SNI yang diberlakukan Wajib 84 80 19
SNI Wajib yang telah dinotifikasi ke WTO 70 0 17
1 4 14 57 259
1 0 0 0 88
247
Dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan perlindungan industri dalam negeri, pada dasarnya semakin banyak jumlah SNI wajib akan semakin lebih baik. Hal ini seperti yang pernah diusulkan oleh Wakil Menteri Perdagangan untuk menambah jumlah usulan produk yang wajib ber-SNI terkait dengan maraknya dan meningkatnya jumlah produk impor yang beredar di pasar dalam negeri yang tidak sesuai ketentuan (Tempo, 2012). Lebih lanjut, Wakil Menteri Perdagangan tersebut, menjelaskan usulan produk-produk tersebut terkait dengan alat-alat kelistrikan, bahan bangunan, alat rumah tangga, alat olah raga, bahan konstruksi, dan yang terkait dengan perlindungan lingkungan. BSN
34 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
menargetkan untuk bisa mengeluarkan sekitar 500 SNI baru di tahun 2013 yang tersebar di 11 sektor industri (Neraca, 2013). Jumlah SNI wajib mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan data dahun 2012. Bila pada tahun 2012 jumlah SNI wajib sebesar 247 SNI (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia, 2012), kemudian sampai semester pertama tahun 2013 meningkat menjadi 259 (BSN, 2013). Dari sejumlah SNI yang ada saat ini, jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib masih sangat terbatas. Hal ini karena adanya berabagai pertimbangan baik yang menyangkut aspek teknis, kemampuan dan kapasitas lembaga pendukung, juga adanya pertimbangan lainya diantaranya adalah bahwa penerapan SNI jangan sampai menghambat persaingan yang sehat, menghambat inovasi dan menghambat perkembangan UKM (BSN, 2013). Dari jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib sebanyak 259 buah, baru 88 SNI yang sudah dinotifikasi ke WTO. Salah satu prinsip penyusunan standar, dalam hal ini SNI, adalah adanya transparansi. Dalam konteks global transparansi ini diwujudkan melalu notifikasi berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh suatu Negara yang dianggap bisa mempengaruhi arus barang dan jasa antar negara. Notifikasi ini penting untuk dilakukan dalam kaitannya dengan perdagangan internasional yang melibatkan sebagian besar negara WTO. Notifikasi ini sebaiknya dilakukan untuk menghindari adanya complain dari negara mitra dagang terhadap kemungkinan dugaan perlindungan/hambatan yang bersifat teknis (technical barriers to trade). Dengan melihat kondisi jumlah SNI yang diberlakukan wajib dan masih banyak yang belum dinotifikasi ke WTO, maka pemerintah harus segera melakukan notifikasi tersebut. Lembaga yang mempunyai tugas melakukan notifikasi SNI ke WTO adalah BSN (sesuai dengan notifikasi No. G/TBT/2/Add.3/Rev.1 pada tanggal 18 Mei 2004). Dengan surat tersebut BSN berfungsi tidak hanya sebagai lembaga yang melakukan notifikasi (notification body) yang menyampaikan informasi mengenai rencana pemberlakuan suatu regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian tetapi juga sebagai pihak penerima pengaduan (enquiry point) yang memberikan respon/informasi terhadap berbagai pertanyaan/sanggahan dari berbagai pihak (anggota WTO) baik untuk regulasi atau SNI yang sudah diberlakukan atau yang belum diberlakukan (BSN, 2013). Secara umum, tujuan dari notifikasi ini adalah agar negara mitra dagang dapat memberikan pandangan/masukan/sanggahan serta 35 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dapat mempersiapkan diri dengan adanya suatu aturan/standar yang baru di Indonesia. Sejumlah SNI wajib yang sudah dinotifikasikan ke WTO meliputi beberapa kriteria produk sebagai berikut (BSN, 2013): kualitas produk yang dikonsumsi masyarakat (seperti susu formula, tepung terigu, gula kristal merah dan pupuk); persyaratan keselamatan untuk perlindungan konsumen (seperti peralatan listrik); keselamatan untuk transportasi darat (seperti ban, kaca pengaman dan helm); keselamatan bangunan dan konstruksi (seperti semen, baja tulangan beton dan lembaran);
keselamatan produk untuk pengguna (seperti kompos gas berbahan
bakar LPG dan kelengkapannya). Relatif sedikitnya jumlah SNI Wajib yang telah diterapkan disebabkan antara lain oleh hal-hal sebagai berikut (Puska Dagri – Kementerian Perdagangan, 2012): 1. Keterbatasan sarana pelaku usaha yang belum menunjang terhadap kegiatan penerapan SNI sukarela; 2. Keterbatasan biaya dalam rangka menerapkan SNI sukarela; 3. Kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap penerapan SNI sukarela. 4. Rendahnya motivasi pelaku usaha dalam penerapan SNI sukarela dikarenakan masih rendahnya pengawasan yang dilakukan terhadap SNI sukarela. Dengan jumlah SNI wajib yang terbatas, maka harus dilakukan pengaturan kegiatan dan peredaran produk tersebut di pasar. Namun demikian, pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh adanya pengawasan pasar. Pengawasan pasar ini bisa dilakukan dalam dua tahap yaitu pengawasan pra-pasar dan pengawasan pasca pasar. Pengawasan pra-pasar dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan atau produk tersebut telah memenuhi ketentuan SNI wajib. Sedangkan pengawasan pasca-pasar dilakukan untuk mengawasi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu sekaligus melakukan koreksi atau perbaikan (BSN, 2013). Fungsi penilaian kesesuaian pada barang yang beredar terhadap SNI yang bersifat sukarela adalah bentuk pengakuan, sementara pada SNI wajib penilaian kesesuaian adalah sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Dalam kaitannya dengan kegiatan pengawasan, maka penilaian kesesuaian ini bisa digunakan sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar (BSN, 2013).
36 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
4.2 Penerapan SNI Wajib dan Kendalanya Dalam pelaksanannya, penerapan SNI oleh dunia industri masih menemui banyak kendala diantaranya adalah masalah kemampuan dan kesiapan pelaku usaha atau industri yang terkait (BSN, 2012). Industri menengah dan besar, akan lebih mudah dalam menerapkan SNI dibandingkan dengan industri kecil. SNI dilihat secara beragam oleh perusahaan baik sebagai faktor pendorong untuk merebut pasar (konsumen), pemenangan dalam persaingan; maupun dilihat sebagai tambahan beban biaya (extra costs) yang harus ditanggung oleh perusahaan. Besar kecilnya ukuran perusahaan
juga mempengaruhi penerapan
SNI sukarela (Puska Dagri Kementerian Perdagangan, 2012). Dengan demikian, perhatian kepada industri kecil dan menengah (IKM) harus dilakukan. Kementerian Perindustrian telah berupaya untuk memberikan fasilitas atau bantuan kepada setidaknya 10 IKM garmen dan mainan untuk mendapatkan SNI sehingga produk industri tersebut bisa memiliki nilai tambah yang lebih dan mampu bersaing di pasar internasional. Beberapa IKM tersebut adalah 5 IKM dari Jawa Barat, 2 dari Jawa Tengah, 2 dari Jawa Timur, dan 1 dari Bali (Neraca, 2012). Pemberlakuan SNI wajib perlu mempertimbangkan banyak hal yang terkait dengan prinsip-prinsip SNI sendiri yang mengacu pada ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT) dari WTO, berikut ini (BSN, 2013): a. Keterbukaan (openness), yaitu melibatkan berbagai unsur terkait dalam pembentukan/ pengembangannya; b. Transparan (transparent), pemangku kepentingan bisa memantau dan mengikuti proses penyusnan dan pengembangannya; c. Tidak memihak (impartial), tidak memihak kepada salah satu pemangku kepentingan; d. Dimensi pembangunan (development dimension), bahwa penyusunan SNI (termasuk
pemberlakuannya)
harus
memperhatikan
kepentingan
umum/nasional dan memperhatikan daya saing nasional di pasar luar negeri; e. Konsensus (consensus), perumusan SNI harus disepakati oleh semau pemangku kepentingan yang ada; f.
Lengkap (coherent), SNI harus mengacu pada standar internasional yang ada namun tidak merupakan duplikasi sehingga diharapkan produk nasional Indonesia bisa lebih mudah diterima di pasar internasional. 37
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh BPS tahun 2007 terhadap industri pengolahan (skala besar dan sedang), diperoleh hasil bahwa jumlah industri yang menerapkan standar sebanyak 3.914 industri (sekitar 13%), sementara yang khusus menerapkan SNI sejumlah 2.971 industri (9.8%). Berdasarkan skala industrinya, jumlah industri berskala besar yang menerapkan SNI adalah 1.397 industri (4.6%). Sementara itu untuk industri skala sedang sejumlah 1.574 industri (5.2%) (BSN, 2008). Data lain menjukkan, bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Herjanto (2011) mengenai pemberlakuan SNI wajib di dunia industri, masih banyak menemukan
kendala.
Dalam
survey
industri
yang
dilakukannya,
Herjanto
menemukan bahwa perusahaan menemui kesulitan terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia dalam menerapkan standar manajemen mutu (30.0%), kesulitan dalam melakukan kalibrasi peralatan laboratorium dan produksi (14,8%), pesaing yang menjual produknya di bawah standar dan harga yang rendah (13,0%), mahalnya biaya pengujian/ sertifikasi (12,5%), kepedulian konsumen terhadap standar yang kurang (10,1%), sulitnya proses sertifikasi (7,4%), akses dan lokasi laboratorium/ inspeksi/ lembaga sertifikasi yang jauh (6,0%), dan faktor lain seperti kurangnya sosialisasi sistem manajemen mutu (6,3%). Di sisi lain, sebenarnya perusahaan sudah mengetahui manfaat dari diterapkannya SNI tersebut. Dari survey Herjanto (2011) diperoleh hasil bahwa bahwa 85,1% perusahaan mengetahui arti penting SNI wajib, sementara sekitar 14,6% beranggapan bahwa SNI wajib tidak memberikan mafaat yang signifikan. Ketidaktahuan
akan
manfaat
SNI
kemungkinan
lebih
disebabkan
karena
ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang regulasi teknis. Kondisi
masyarakat
konsumen
Indonesia
masih
belum
sepenuhnya
mendukung pemberlakuan SNI (terutama SNI wajib). Hal ini bisa dilihat dari masih terbatasnya pengetahuan mereka tentang SNI. Oleh karena itu perlu sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dilakukan oleh BSN dalam melakukan sosialisasi ini adalah dengan melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan/bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pihak lain termasuk memperkenalkan dan sosialisasi intensive melalui jaringan internet milik BSN serta
38 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
mengoptimalkan fungsi Mastan (masyarakat standardisasi) (Neraca, 2012). Pemberlakuan SNI wajib dikatakan efektif jika (Herjanto, 2011): 1) Diterapkan secara konsisten oleh industri yang ditandai dengan penerapan sistem manajemen mutu dan kepemilikan SPPT-SNI; 2) Diterima oleh pasar (konsumen); 3) Adanya dukungan dari lembaga penilaian kesesuaian yang memadai. Dengan keberhasilan penerapan SNI wajib, bisa memberikan dampak baik internal maupun eksternal. Dampak internal seperti ketersediaan standar, kesiapan produsen, kesiapan lembaga penilaian kesesuaian, regulasi teknis, koordinasi antarinstansi terkait dan mekanisme pengawasan. Sementara secara eksternal berdampak pada komitmen stakeholder, harga produk, arus barang impor, perdagangan internasional, kesepakatan internasional, dan lainnya (Herjanto, 2011).
4.3 Pengawasan Barang Beredar dan Pelanggaran SNI Kementerian Perdagangan secara rutin melakukan pengawasan barang beredar di pasar. Untuk pengawasan tahun 2012, ditemukan sejumlah 621 produk yang tidak memenuhi ketentuan atau standar. Terjadi peningkatan jumlah pelanggaran yang sangat besar bila dibandingkan dengan tahun 2011 yang jumlahnya sekitar 28, kemudian meningkat menjadi 621 produk di tahun 2012. Sebagian besar pelanggaran (61%) merupakan produk yang berasal dari luar negeri (impor), sedangkan sisanya atau sekitar 39% merupakan produk lokal. Sementara menurut jenis pelanggaran yang terjadi ada sekitar 34% produk tidak sesuai dengan persyaratan SNI, 22% produk melanggar Manual dan Kartu Garansi (MKG), 43% melanggar ketentuan label dalam Bahasa Indonesia, sedangkan sekitar 1% diduga tidak memenuhi ketentuan produk yang diawasi distribusinya. Berdasarkan kelompok produk ada sekitar 39% adalah produk elektronika dan alat listrik, 20% adalah produk alat rumah tangga, 13% produk suku cadang kendaraan bermotor. Sementara itu sisanya atau sekitar 28% merupakan produk bahan bangunan, produk makanan minuman dan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Yang cukup memprihatinkan adalah adanya peningkatan jumlah produk yang tidak sesuai dengan ketentuan ini mengalami peningkatan sekitar 28 produk bila dibandingkan dengan data 2011.
39 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 4.2. Jumlah Pelanggaran Produk Yang Tidak Memenuhi Ketentuan Kriteria
Uraian
Asal barang
Barang Impor
61
Produksi dalam negeri
39
Persyaratan SNI
34
Manual dan Kartu Garansi (MKG)
22
Label dalam bahasa Indonesia
43
Jenis Pelanggaran
Ketentuan
Jumlah (%)
produk
yang
diawasi
1
distribusinya Kelompok Produk
Elektronika dan alat listrik
39
Alat rumah tangga
20
Suku cadang kendaraan bermotor
13
Sumber: Ditjen SPK, Kemendag (2013).
Bagi produk yang ber-SNI wajib, maka Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT-SNI) merupakan persyaratan suatu produk tersebut untuk bisa diedarkan di pasar. Namun demikian, kondisi di lapangan menujukkan bahwa masih dijumpai banyak pelanggaran khususnya yang terkait dengan SPPT-SNI. Berdasarkan data di lapangan, masih ditemui perusahaan yang tidak memiliki SPPT-SNI padahal produk mereka masuk dalam produk yang ber-SNI wajib (seperti tercantum dalam Tabel). Beberapa produk yang tingkat kepemilikan SPPT-SNI kurang dari 50% adalah produk pakan udang, baja profil, lampu pijar, dan kakao bubuk. Dengan kondisi seperti ini menunjukkan masih banyak perusahaan yang belum serius dalam menerapkan SNI, dan belum optimalnya LSPro dalam melakukan survailan/pengawasan (Herjanto, 2011).
40 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 4.3 Kepemilikan SPPT-SNI Jenis Produk
%
Jenis Produk
%
Tepung terigu
100
Motor bakar
100
Pakan buatan untuk udang windu
33
Baja lembaran lapis seng
67
Air minum dalam kemasan
86
Baja tulangan beton
91
Cairan rem
100
Kabel PVC
63
Pupuk
82
Tabung baja LPG
96
Garam konsumsi beryodium
74
Kompor gas LPG
75
Ban
67
Pipa baja karbon
75
Helm
80
Baja profil
25
Kaca pengaman kendaraan bermotor
75
Batu battery
100
Semen
100
Lampu pijar dan swaballast
43
Selang karet kompor gas LPG
100
Aki kendaraan bermotor
89
Lembaran serat krisotil
100
Crumb rubber
67
Regulator tabung baja LPG
100
Kakao bubuk
11
Katub tabung baja LPG
100
Produk lain-lain
0
Sumber: Herjanto (2011).
41 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB V KEBUTUHAN STANDAR PRODUK
5.1. Standar Produk Perikanan 5.1.1. SNI i. Tuna beku Untuk produk perikanan, khususnya tuna beku terdapat tiga SNI yaitu SNI spesifikasi No. 01-2710.1-2006, SNI persyaratan bahan baku No. 01-2710.22006, dan SNI penanganan dan pengolahan No. 01-2710.3-2006. -
SNI No. 01-2710.1-2006 : Spesifikasi Ruang lingkup dalam SNI ini mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan, cara pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna beku. Persyaratan mutu dan keamanan produk tuna beku dalam SNI ini meliputi cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika dan parasit.
Tabel 5.1. Syarat Mutu dan Keamanan Tuna Beku Rincian a. Organoleptik b. Cemaran mikroba - ALT (koloni/g) - E coli (APM/g) - Salmonella (APM/g) - Vibrio cholerae (APM/g) c. Cemaran kimia - Raksa (mg/kg) - Timbal (mg/kg) - Histamin (mg/kg) - Kadmium (mg/kg) d.Fisika : Suhu pusat (Celcius) e. Parasit (ekor)
Nilai Rujukan Minimal 7 Maksimal 5 x 10 Maksimal <2 Negatif Negatif Maksimal 1 Maksimal 0,4 Maksimal 100 Maksimal 0,1 Maksimal -18 Maksimal 0
42 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
-
SNI No. 01-2710.2-2006 : Persyaratan Bahan Baku SNI ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanannya. Mutu bahan baku harus memenuhi persyaratan antara lain bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, dan bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu. Standar ini juga mengatur penyimpanan bahan baku yaitu yang harus disimpan dengan suhu maksimal -20 derajat Celcius.
-
SNI No. 01-2710.3-2006 : Penanganan dan Pengolahan Dalam SNI ini diatur penetapan bahan, peralatan, teknik penanganan dan pengolahan, pengemasan dan penyimpanan. Teknik penanganan dan pengolahan ditetapkan syarat-syarat bahan baku yang meliputi penerimaan, pencucian, sortasi, penimbangan, pembekuan, penggelasan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.
ii.Cakalang beku Untuk produk cakalang beku terdapat tiga SNI yaitu SNI spesifikasi No. 012733.1-2006, SNI persyaratan bahan baku No. 01-2733.2-2006, dan SNI penanganan dan pengolahan No. 01-2733.3-2006. -
SNI No. 01-273.1-2006 : Spesifikasi Ruang lingkup dalam SNI ini mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong
dan
bahan
tambahan
makanan,
cara
penganganan
dan
pengolahan, teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan, cara pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna beku. Persyaratan mutu dan keamanan produk tuna beku dalam SNI ini meliputi cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika dan parasit.
43 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 5.2. Syarat Mutu dan Keamanan Cakalang Beku Rincian a. Organoleptik b. Cemaran mikroba - ALT (koloni/g) - E coli (APM/g) - Salmonella (APM/g) - Vibrio cholerae (APM/g) c. Cemaran kimia - Raksa (mg/kg) - Timbal (mg/kg) - Histamin (mg/kg) - Kadmium (mg/kg) d. Parasit (ekor) -
Nilai Rujukan Minimal 7 Maksimal 5 x 10 Maksimal <2 Negatif Negatif
Maksimal 1 Maksimal 0,4 Maksimal 100 Maksimal 0,1 Maksimal 0
SNI No. 01-2733.2-2006 : Persyaratan Bahan Baku SNI ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanannya. Mutu bahan baku harus memenuhi persyaratan antara lain bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, dan bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu. Standar ini juga mengatur penyimpanan bahan baku yaitu yang harus disimpan dengan suhu maksimal -20 derajat Celcius.
-
SNI No. 01-2733.3-2006 : Penanganan dan Pengolahan Dalam SNI ini diatur penetapan bahan, peralatan, teknik penanganan dan pengolahan, pengemasan dan penyimpanan. Teknik penanganan dan pengolahan ditetapkan syarat-syarat bahan baku yang meliputi penerimaan, pencucian, sortasi, penimbangan, pembekuan, penggelasan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.
5.1.2. Standar Internasional Dalam panduan CODEX dan HACCP terdapat dua prinsip utama dalam proses pengolahan ikan beku sebagai berikut (CAC, 2003): 44 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
i.
Proses pembekuan
• Produk
harus
dibekukan
sesegera
mungkin
karena
penundaan
pembekuan akan menyebabkan kenaikan suhu produk, sehingga akan meningkatkan kerusakan dan mengurangi daya simpan karena aksi mikroorganisme dan reaksi kimia yang tidak diinginkan. • Waktu dan pengaturan suhu untuk proses pembekuan harus dilakukan sesuai dengan pertimbangan kemampuan kapasitas dan peralatan, karakteristik produk termasuk suhu, ketebalan, bentuk, serta volume produksi untuk menjamin bahwa suhu maksimum kristalisasi tercapai sesegera mungkin. • Ketebalan, bentuk dan temperatur ikan pada proses pembekuan harus seragam. • Produksi fasilitas pemrosesan harus disesuaikan dengan kapasitas mesin pendingin. • Produk beku harus dipindahkan ke alat pendingin secepat mungkin. • Suhu ikan beku harus dimonitor secara regular demi kesempurnaan proses pembekuan. • Pemeriksaan secara regular harus dilakukan untuk menjamin bahwa proses pembekuan telah dilakukan dengan benar. • Seluruh proses pembekuan harus dicatat dengan baik dan akurat. • Suhu dan waktu pembekuan harus dipadukan dengan penanganan inventory yang baik untuk menjamin kelayakan suhu pembekuan. Hal ini ditujukan untuk menghilangkan parasit yang merugikan bagi kesehatan manusia. ii. Proses pelapisan • Pelapisan dinyatakan lengkap apabila seluruh permukaan produk ikan beku tertutup oleh lapisan es yang cukup • Jika air yang digunakan dalam proses pelapisan menggunakan bahan tambahan, maka harus dipastikan bahwa jumlahnya proporsional sesuai dengan spesifikasi produk Selain proses pengolahan, CODEX juga mensyaratkan ambang batas cemaran bahan kimia, mikrobiologi, serta bahan tambahan makanan dalam rangka jaminan 45 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
kualitas keamanan pangan untuk konsumsi manusia. Berikut adalah kriteria untuk bahan tambahan makanan khususnya produk perikanan : Tabel 5.3. Kandungan Bahan Tambahan Makanan yang Diperbolehkan Menurut CODEX Jenis Bahan Tambahan Makanan
Batas Maksimum yang Diperbolehkan
Acesulfame potassium
200 mg/kg
Brilliant blue (pewarna)
500 mg/kg
Butylated hydroxyanisole oksidan) Cantaxanthin (pewarna)
(anti
200 mg/kg 35 mg/kg
Ammonia caramel (pengawet)
100 mg/kg
Carotenoids (pewarna)
100 mg/kg
Ethylene diamine (pengawet)
75 mg/kg
Phospates
2200 mg/kg
Sumber : CODEX General Standard for Food Additives, CODEX STAN 1921995 5.1.3. Private Standard Private standards di sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu dari beberapa private standard di sektor pangan yang mulai banyak diterapkan di beberapa negara importir. Washington and Ababouch (2011) mengungkapkan bahwa tujuan utama penerapan private standards di sektor ini adalah untuk menjaga pasokan (stok) ikan di daerah maritim, perlindungan lingkungan hidup, keamanan pangan dan kualitas, kesehatan hewan, dan pemberdayaan sosial. Hal ini sangat berdasar karena sebagian industri perikanan tergolong dalam kategori Open Access sehingga perlu pengendalian dalam kegiatan bisnisnya. Selain itu, kemunculan private standard juga lebih didasarkan pada persepsi bahwa kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah di sektor ini belum mencukupi dan tidak menjamin keberlangsungan (sustainability) perikanan laut dan keamanan pangan. Inisiasi pemberlakuan private
46 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
standard di sektor ini dimulai dari desakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang kemudian ditindak-lanjuti oleh dunia usaha yang umumnya didominasi oleh negara maju, industri besar, industri pengolah dan ritel modern. Tabel 5.4. Beberapa Contoh Private Standards di Sektor Perikanan Jenis Private Standards
Orientasi Pasar
Thai Quality Shrimps, GAP, Thailand
Uni Eropa, Amerika Serikat Uni Eropa, Amerika Serikat Inggris, Eropa
COCcertified Thai Shrimps IFOAM
Isu yang Dipersyaratkan Food Safety
Animal Health
Environment
Social/ Ethical
x
Food Quality x
x
x
x
x
x
x
x
x
Agriculture Eropa x x Biologique Qualite Perancis, Aquaculture Uni Eropa de France Shrimp Seal of Quality, Global x Bangladesh China GAP Global x x The Responsible Inggris Fishing Scheme Sumber : Washington and Ababouch (2011)
x
x x
x
x
x
x x
x
x
Dalam penerapannya, private standard di sektor perikanan kelautan terdiri dari dua tipe, yaitu “Ecolabels”, merupakan private standard di sektor perikanan yang mensyaratkan keberlangsungan stok populasi ikan di wilayah maritim, dan “Food Safety Management Schemes (FSMS)”, merupakan private standard di sektor perikanan yang mensyaratkan keamanan pangan dan kualitas produk makanan laut (seafood) dan ikan. Kemudian terdapat juga beberapa tipe private standard di sektor perikanan yang berkaitan
47 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dengan fair trade, organik, dan standar tenaga kerja dan sosial. Namun hal tersebut hanya bersifat parsial dan disesuaikan dengan tujuan keunggulan. Beberapa contoh private standard di sektor perikanan ditunjukan dalam Tabel 4.3. 5.1.4. Regulasi Teknis Regulasi teknis terkait produk perikanan di negara-negara tujuan ekspor utama adalah sebagai berikut (Lambaga, 2009): 1.
Uni Eropa EC No. 178/2002 tentang syarat-syarat utama regulasi pangan dan prosedur kemanan pangan EC No. 882/ 2004 tentang pengawasan oleh pemerintah EC No. 852/2004 mengenai kemanan produk pangan EC No. 853/2004 tentang peraturan khusus terkait keamanan bahan baku produk pangan EC No. 854/2004 mengenai badan yang bertugas mengawasi keamanan asal bahan pangan EC No. 446/2001 tentang batas toleransi maksimum terhadap kontaminasi dalam bahan pangan EC No. 2073/2005 mengenai persyaratan dan kriteria mikrobiologis yang terdapat dalam bahan pangan
2.
Amerika Serikat Federal Food, Drug and Cosmetic Act Code of Federal Regulation (CFR) 123 Bioterrorism Act (TBA)
3.
Kanada Food and Drug Act Canadian Food Inspection Agency Act Fish Inspection Act Consumer and Labelling Act Fish Inspection Regulation
4.
Jepang
48 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Food Sanitation Law 5.
China Food Hygiene of the People’s Republic of China
5.1.5. Standar Mitra Dagang i. Tuna 1). Negara tujuan ekspor (AS) Syarat mutu dan keamanan pangan untuk produk ikan khususnya ikan tuna beku diatur dalam aturan Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat. Berikut adalah kriteria dan acuannya :
Tabel 5.5. Syarat Mutu FDA Amerika Serikat Kriteria Salmonella
Acuan/toleransi Tidak boleh ada
Staphylococcus aereus
>104 /gr
Clostridium botulinum
Tidak boleh ada
Histamin Polychlorinated biphenyls
500 ppm 2 ppm
Chlordane
0,3 ppm
Heptachlor
0,3 ppm
Sulfamerazine Mercury
Tidak boleh ada 1
ppm
2). Negara asal impor (Filipina) Standar negara Filipina terkait produk perikanan diatur dalam Fishery Administrative Order No.117 Series of 1975. Aturan ini mencakup operasional pabrik pengolahan produk perikanan, persyaratan kualitas, quality control, dan cara inspeksi pemrosesan produk perikanan. Persyaratan minimum untuk pabrik harus memenuhi kriteria pabrik yang higienis dan kondisi sanitasi yang baik, termasuk lantai, dinding, langit-
49 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
langit, pencahayaan, pintu masuk dan keluar, ventilasi, toilet, fasilitas pencucian tangan serta pipa saluran air. Selain itu, terdapat pula persyaratan terkait peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan ikan. Petugas dalam pabrik pengolahan juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut: - Seluruh pegawai atau petugas yang melakukan proses pengolahan harus memakai pakaian yang sesuai dan mudah dicuci, serta harus menggunakan pengaman kepala; - Tiap petugas harus diperiksa kesehatannya secara regular setahun sekali; - Pegawai yang mengerjakan pemrosesan ikan dan produk perikanan lainnya dengan menggunakan tangan mereka sendiri, harus memiliki kuku jari tangan yang pendek dan tanpa dipoles. Selanjutnya, untuk standar mutu ikan tuna digolongkan ke dalam 3 kelas, A, B dan C yang kriterianya (Tabel 5.6.) Tabel 5.6 Penggolongan Standar Mutu Produk Tuna di Filipina -
Grade A & B : Mata bersih dan cerah Insang merah cerah Berbau segar Daging kaku Dinding perut utuh Warna badan cerah Bebas dari kusam, sisik yang lepas, luka terpotong, tusukan dan luka-luka lain
Grade C : sedikit keruh,
- Mata pupil kelabu - Insang sedikit kusam dan mengkilap - Daging dan tulang sedikit lembek - Perut sedikit lembek - Bau sedikit asam
Ikan yang tidak memenuhi syarat Grade C harus ditolak
ii. Cakalang 1). Negara tujuan ekspor (Thailand) Thailand melalui Kementerian Pertanian dan Koperasi-nya menetapkan standar mutu untuk ikan beku melalui Thai Agricultural Standards (TAS) No.7014-2005. Komposisi utama 50 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
yang harus dimiliki produk adalah ikan segar yang cocok dikonsumsi manusia dan lapisan es yang bebas zat-zat berbahaya. Sementara untuk faktor kualitas ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : 1) Dekomposisi. Kandungan histamine pada produk tidak boleh melebihi 10 mg/100 g; 2) Cacat.
Produk
dinyatakan
cacat
apabila
memenuhi
persyaratan berikut : - Dehidrasi; jika 10% dari satuan sampel menunjukkan kehilangan kelembaban; - Benda asing; terdapat banda asing yang bukan berasal dari ikan yang menunjukkan bahwa proses pengolahannya tidak sesuai dengan cara berproduksi yang baik dan saniter; - Parasit; terdapat 2 atau lebih parasit tiap 1 kilogram sampel - Tulang; jika disebutkan ikan tersebut “tanpa tulang”, maka jika terdapat lebih dari 1 tulang yang panjangnya lebih atau sama dengan 10 mm atau diameternya 1 mm; - Bau dan rasa; jika terdapat bau dan rasa aneh yang kuat dan mengganggu sebagai tanda dekomposisi dan bau anyir/tengik; - Abnormalitas
daging
ikan; jika
terdapat kelembaban
berlebih yang lebih banyak dari 86%, seperti adanya lendir lengket atau tekstur daging seperti bubur/adonan yang disebabkan oleh infestasi parasit lebih dari 5% dari berat ikan. Lebih
lanjut,
keamanan
aturan
pangan
ini
juga
seperti
mencantumkan
bahan
tambahan
persyaratan makanan,
kontaminan, residu obat-obatan, dan higienitas (cemaran). 2). Negara asal impor (Jepang) Dalam Handbook for Agricultural and Fishery Products Import Regulations 2009 yang merupakan panduan standar bagi produk perikanan yang beredar di Jepang, disebutkan bahwa peraturan 51 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
yang berlaku untuk produk ikan beku adalah Food Sanitation Act dan Quarantine Act. Hal-hal yang diatur dalam peraturan tersebut antara lain kriteria keamanan pangan termasuk cemaran bahan kimia, mikrobiologi, bahan tambahan makanan, serta pelabelan. - Produk perikanan yang berasal dari daerah yang terkontaminasi penyakit Cholera harus diawasi secara ketat oleh badan karantina; - Produk perikanan yang merupakan hewan yang dilindungi tidak boleh diperdagangkan atau diperjualbelikan; - Produk perikanan, termasuk ikan tuna, tidak boleh mengandung zat karbon dioksida; - Ambang batas cemaran mikrobiologi: bacillus atau bacterial count (maksimal 100.000/gr sampel), colon bacillus (negatif atau tidak boleh ada), Escherichia-Coli (negatif atau tidak boleh ada), Coliform group (negative atau tidak boleh ada); - Pelabelan : yang harus tercantum dalam label yaitu nama produk dan negara asal, komposisi bahan baku/mentah, kuantitas isi, nama produsen, tanggal buka dan kadaluarsa, serta metode penyimpanan dan pengawetan.
5.2. Standar Produk Hortikultura 5.2.1. SNI i. Manggis (SNI No. 3211:2011) Standar SNI untuk manggis menentukan syarat mutu, ukuran, toleransi, penampilan, pengemasan, pelabelan, rekomendasi dan higienitas. Ketentuan standar ini berlaku untuk manggis yang dikonsumsi segar dan tidak untuk manggis sebagai bahan baku industry olahan. Ketentuan umum mutu buah manggis yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : a. Utuh; b. Kelopak buah dan tangkai harus lengkap; c. Layak dikonsumsi;
52 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
d. Bersih, bebas dari benda-benda asing yang tampak; e. Bebas dari hama dan penyakit; f.
Bebas dari kelembaban ekstra yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin;
g. Bebas dari aroma dan rasa asing; h. Penampilan segar, memiliki bentuk, warna dan rasa sesuai dengan sifat/cirri varietas; i.
Daging buah bening dan getah kuning sesuai dengan pengkelasan;
j.
Bebas dari memar;
k. Buah mudah dibelah. Lebih lanjut, buah manggis digolongkan dalam 3 kelas mutu dengan spesifikasi sebagai berikut : a. Kelas Super ; merupakan manggis dengan kualitas paling baik atau super yang bebas dari cacat kecuali cacat sangat kecil pada permukaan dan daging buah bening dan atau getah bening tidak lebih dari 5%. b. Kelas A ; manggis bermutu baik dengan cacat yang diperbolehkan seperti : -
Sedikit kelainan pada bentuk;
-
Cacat sedikit pada kulit dan kelopak buah seperti lecet, tergores atau kerusakan mekanis lainnya;
-
Total area yang cacat tidak lebih dari 10% dari luas total seluruh permukaan buah;
-
Cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah;
-
Daging buah bening dan atau getah kuning tidak lebih dari 10%.
c. Kelas B; merupakan manggis dengan kualitas baik dengan persyaratan cacat yang diperbolehkan antara lain : -
Kelainan pada bentuk;
-
Cacat sedikit pada kulit dan kelopak buah seperti lecet, tergores atau kerusakan mekanis lainnya;
-
Total area yang cacat tidak lebih dari 10% dari luas total seluruh permukaan buah;
-
Cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah;
-
Daging buah bening dan atau getah kuning tidak lebih dari 20%.
53 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Selain itu, standar ini juga mencantumkan batas maksimum cemaran logam berat pada buah manggis seperti berikut.
Tabel 5.7 Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Manggis Jenis Logam Berat
Batas Maksimum (mg/kg)
Arsen (As)
0,25
Kadmium (Cd)
0,20
Merkuri (Hg)
0,03
Timbal (Pb)
0,50
Timah (Sn)
40
ii. Jagung (SNI No. 01-3290-1995) Standar ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan, pengemasan dan rekomendasi. Jagung digolongkan dalam 4 (empat) jenis mutu : Mutu I, Mutu II, Mutu III, dan Mutu IV. Syarat mutu secara umum yaitu : a. Bebas hama dan penyakit; b. Bebas bau busuk, asam atau bau asing lainnya; c. Bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida; d. Memiliki suhu normal. Sedangkan syarat mutu secara khusus seperti dalam tabel berikut ini :
Tabel 5.8 Spesifikasi Persyaratan Mutu Jagung No
Jenis Uji
1. 2. 3. 4. 5.
Kadar air Butir rusak Butir warna Butir pecah Kotoran
Satuan (%) (%) (%) (%) (%)
I max max max max max
Persyaratan mutu II III max max max max max max max max max max
IV max max max max max 54
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
5.2.2. Standar Internasional a. Manggis Standar internasional untuk manggis diatur dalam CODEX STAN 204-1997, yaitu manggis yang segar untuk dikonsumsi langsung setelah dikemas, bukan manggis yang akan diproses lebih lanjut di pabrik. Terkait standar kualitas, manggis harus memenuhi kriteria minimum seperti berikut : - Utuh, dengan batang dan kelopak buah yang masih menempel; - Sehat dan segar, buah yang sekiranya tidak cocok untuk dikonsumsi karena busuk harus langsung dibuang; - Bersih, harus bebas dari benda asing; - Harus bebas dari hama; - Bebas dari kelembaban yang tidak normal, termasuk uap akibat proses pendinginan; - Bebas dari bau dan atau rasa asing; - Terlihat segar, memiliki bentuk, warna dan rasa sesuai karakter spesies buah; - Bebas dari lateks; - Bebas dari cacat; - Buah dapat dikupas dengan mudah. Kemudian, manggis diklasifikasikan dalam 2 kelas : Kelas Ekstra dan Kelas 1. Manggis yang termasuk dalam Kelas Ekstra harus memiliki kualitas superior dan harus bebas dari cacat dengan kualitas dan penampilan yang sempurna. Toleransi untuk kelas ini adalah 5% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi persyaratan Kelas Ekstra namun masih memenuhi persyaratan Kelas 1. Sedangkan manggis dalam kategori Kelas 1 harus memiliki kualitas yang baik, hanya memiliki sedikit cacat yang tidak mempengaruhi keseluruhan kualitas dan penampilan secara umum. Toleransi dalam kelas ini adalah sebesar 10% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi baik persyaratan minimum kelas maupun persyaratan minimum buah manggis.
55 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Selain persyaratan kualitas, CODEX ini juga mengatur pelabelan dalam kemasan non retail yang harus memuat identifikasi eksportir, termasuk nama, alamat, pengepak, dan kode identifikasi. Selain itu harus juga memuat jenis varietas buah, negara asal atau wilayah asal, identifikasi komersial seperti kelas, ukuran, dan berat bersih, dan tanda inspeksi resmi. b. Jagung Standar kualitas jagung untuk konsumsi manusia diacu dalam CODEX STAN 153-1985 yang telah direvisi pada tahun 1995. Secara umum, jagung harus aman dan cocok dikonsumsi manusia, bebas dari rasa dan bau yang abnormal, serta bebas dari keberadaan serangga hidup.
Jagung
juga
harus
bebas
dari
kotoran
yang
dapat
membahayakan kesehatan manusia. Selanjutnya, Tabel 5.9 merinci kriteria kualitas yang harus dimiliki jagung.
Tabel 5.9 Kriteria Dalam CODEX Produk Jagung Kriteria Kadar kelembaban Kotoran Racun dan bahan berbahaya, termasuk biji-bijian yang beracun Benda asing organik Benda asing anorganik
Nilai Rujukan Maksimal 15% Maksimal 0,1% Tidak ada Maksimal 1,5% Maksimal 0,5%
Selain kriteria kualitas, standar ini tidak secara langsung mensyaratkan kadar cemaran yang diperbolehkan termasuk cemaran logam berat, residu pestisida, dan mycotoxin. Syarat cemaran tersebut diatur pada standar CODEX yang lain.
5.2.3. Standar Mitra Dagang a. Manggis i.
Negara Tujuan Ekspor (Cina)
56 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Standar terkait buah manggis di negara Cina diatur sesuai dengan ketentuan pada undang-undang karantina hewan dan tumbuhan Tiongkok (Law of People’s Republic of China on the Entry and Exit Animal and Plant Quarantine) dan undang-undang keamanan pangan (Food Safety Law of People’s Republic of China). ii.
Negara Asal Impor (Thailand, Malaysia) Standar buah manggis segar di Thailand yang diatur dalam Thai Agricultural Standards (TAS) No. 2 Tahun 2003 secara umum sama dengan standar di CODEX, hal ini mengindikasikan bahwa Thailand sudah mengadopsi parameter-parameter yang ada di CODEX untuk diterapkan pada standar nasionalnya. Persyaratan minimal yang harus dimilikimoleh buah manggis segara adalah sebagai berikut : - Utuh, dengan batang dan kelopak buah yang masih menempel; - Berpenampilan segar; - Sehat dan tidak retak, tidak menunjukkan tanda-tanda pembusukan; - Bersih, harus bebas dari benda asing; - Harus bebas dari hama yang mempengaruhi penampakan buah secara umum; - Bebas dari kerusakan yang disebabkan hama atau faktor lain yang mempengaruhi kualitas daging buah; - Bebas dari kerusakan yang disebabkan suhu udara yang rendah dan atau tinggi; - Bebas dari bau dan atau rasa asing; - Buah dapat dikupas dengan mudah dan daging buahnya dapat dipisahkan dengan mudah dari kulitnya. Dalam standar ini manggis diklasifikasikan dalam 3 kelas : Kelas Ekstra, Kelas 1 dan Kelas 2. Manggis yang termasuk
57 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dalam Kelas Ekstra harus memiliki kualitas superior, memiliki kelopak yang utuh dan lengkap serta harus bebas dari cacat dengan kualitas dan penampilan yang sempurna. Selain itu, adanya daging buah yang transparan dan getah kuning atau lateks pada buah tidak melebihi 5% dari jumlah atau berat seluruh buah yang dikirim. Toleransi untuk kelas ini adalah 5% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi persyaratan Kelas Ekstra namun masih memenuhi persyaratan Kelas 1. Kulit buah yang memiliki jaring (net) serangga harus dikeluarkan dari kategori kelas ini. Sedangkan manggis dalam kategori Kelas 1 harus memiliki kualitas yang baik, hanya memiliki sedikit cacat yang tidak mempengaruhi keseluruhan kualitas dan penampilan secara umum. Daging buah yang transparan dan getah kuning atau lateks pada buah tidak melebihi 10% dari jumlah atau berat seluruh buah yang dikirim. Toleransi dalam kelas ini adalah sebesar 10% dari jumlah atau berat keseluruhan tidak memenuhi baik persyaratan minimum kelas maupun persyaratan minimum buah manggis. Kelas terakhir yaitu Kelas 2 memiliki kriteria yaitu jika 10% dari jumlah atau berat manggis tidak dapat memenuhi persyaratan 2 kelas lainnya atau persyaratan minimal, serta tidak boleh ada buah yang busuk. b. Jagung i. Negara Tujuan Ekspor (Filipina) Standar nasional Filipina untuk komoditas jagung diatur dalam Philippine National Standard (PNS) No.15:2004 yang meliputi standar jagung untuk dikonsumsi manusia. Standar ini pada dasarnya mengatur mengenai acuan standar mutu, ukuran, serta pengkelasan. Sedangkan untuk kadar kontaminasi seperti aflatoksin, logam berat, dan residu pestisida, standar ini mengacu pada CODEX. Hal-hal terkait persyaratan mutu jagung adalah sebagai berikut :
58 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Kriteria
cacat,
yaitu
terdapatnya
aflatoksin
(yang
batasannya diacu ke CODEX), warna bulir jagung yang memudar karena panas eksternal atau karena proses fermentasi, adanya benda asing, dan kotor; Faktor kualitas, yaitu persyaratan kualitas antara lain bebas bau aneh dan bau asing, warna bulir jagung harus seragam, serta kadar kelembaban yang dicantumkan dalam persen. Kemudian,
pengkelasan
jagung
dilakukan
berdasarkan
kriteria dalam faktor kualitas seperti berikut : Tabel 5.10 Persyaratan Mutu Jagung Dalam CODEX (Ekspor Ke Filipina) Kriteria (% berdasarkan berat maksimal) Kadar kelembaban Aflatoksin Kotoran Bulir berwarna pudar Benda asing Bulir berwarna lain Bulir berukuran lain
Kelas Premium
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
14
14
14
14
14
20 ppb 0,1 Trace
20 ppb 0,1 0,5
20 ppb 0,1 1
20 ppb 0,1 2
20 ppb 0,1 3
Trace Trace
0,5 0,5
0,8 1,5
1 3
2 5
1
4
7
10
13
Untuk pelabelan atau penandaan, standar ini mengharuskan pada bagian luar kemasan terdapat label yang mencantumkan nama dan jenis produk, kelas dan ukuran bulir, berat bersih dalam satuan kilogram, nama dan alamat produsen, serta tanggal produksi. Label tersebut ditempelkan pada sisi yang sama untuk tiap kemasan, distempel dengan tinta yang tidak dapat dihapus atau dihilangkan.
59 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
ii.
Negara Asal Impor (India) India merupakan negara asal impor utama jagung ke Indonesia selain Argentina. Nilai impor jagung Indonesia dari India pada tahun 2012 mencapai 318 juta US$ dengan tren nilai impor selama tahun 2007 – 2012 sebesar 113,6%. Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana standar mutu jagung yang diterapkan oleh India dalam rangka perlindungan konsumen dalam negeri. Standar jagung untuk konsumsi manusia di India diatur dalam Manual Good Agricultural Marketing Prantises for Maize MRPC-85 tahun 2008. Standar ini komprehensif mengatur mengenai jagung, mulai dari jenis varietas, cara memanen, perlakuan pasca panen, pengkelasan,
syarat
mutu,
pengemasan,
jenis
hama,
transportasi, penyimpanan, serta cara-cara pemasaran. Terkait syarat mutu dan keamanan pangan, jagung harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut : Matang; Manis, keras, bersih, sehat, ukuran dan warnanya seragam serta layak dijual; Bebas dari zat pewarna, jamur, serangga/kumbang, bau, biji beracun, dan benda-benda lain; Kadar uric acid dan aflatoksin masing-masing tidak melebihi 100 mg dan 30 mcg per kilogram jagung; Bebas dari rambut/bulu dan kotoran hewan pengerat. Kemudian, untuk kriteria khusus, standar ini mencantumkan hal-hal seperti dalam tabel berikut.
60 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 5.11 Kriteria Mutu Jagung ke India Toleransi Batas Maksimal untuk Kriteria Mutu (% dari berat) Kelembaban Benda asing organic Benda asing non-organik Butir lain Campuran varietas lain Bulir rusak Butir mentah dan berkerut Butir yang terkena serangga/ kumbang
Kelas 1 12 0,1 Nil 0,5 5 1 2 2
Kelas Kelas 2 3 12 0,25 0,1 1 10 2 4 4
14 0,5 0,25 2 15 3 6 6
Kelas 4 14 0,75 0,25 3 15 4 6 8
5.3. Standar Produk Non-Pangan 5.3.1. SNI a. Batik (SNI 08-3540-1994) Standar batik ini mencakup syarat mutu ketahanan luntur warna, cara pengujian mutu, cara pengmabilan contoh dan cara pengemasan batik.
Batik
memiliki
definisi
sebagai
bahan
tekstil
dengan
menggunakan lilin batik. Dalam standar ini batik ada dua macam yaitu batik tulis dan batik cap yang masing-masing digolongkan menjadi dua jenis mutu, yaitu Mutu A dan Mutu B. Penggolongan mutu tersebut didasarkan pada ketahanannya terhadap luntur warna. Berikut adalah persyaratan mutu yang ditetapkan : Tabel 5.12 Syarat Mutu Batik Berdasarkan SNI Karakteristik Tahan luntur warna terhadap pencucian - Gray scale - Staining scale Tahan luntur warna terhadap keringat - Gray scale
Syarat Mutu A
Mutu B
Min. 4 Min. 4
Min. 3 Min. 3
Min. 4
Min. 3
61 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
- Staining scale Tahan luntur warna terhadap gosokan - Kering - Basah Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas - Gray scale - Staining scale Tahan luntur warna terhadap sinar lampu karbon
Min. 4
Min. 3
Min. 3 -4 Min. 3
Min. 3 Min. 2-3
Min. 3 Min. 3 Min. 4 - 5
Min. 3 Min. 3 Min. 4
Kemudian, kain batik harus dikemas dengan berat bersih maksimal 50 kg. Standar ini juga mensyaratkan tiap potong atau helai kain batik harus mencantumkan nama bahan dasar, serat yang digunakan, ukuran, cara perawatan, dan tulisan “Made in Indonesia” yang mencerminkan keadaan kain tersebut. Sedangkan hal-hal yang harus dicantumkan pada bagian luar kemasan adalah tulisan “Made in Indonesia”, nama/kode perusahaan atau eksportir, nama barang, jenis mutu, nomor kemasan, berat bruto dan netto, serta negara tujuan. b. Kursi dan Meja Rotan - Kursi tamu rotan (SNI 7555.23:2011) Dalam SNI ini ditetapkan mengenai syarat mutu dan cara pengujian untuk kursi tamu yang terbuat dari rotan yang siap pakai, yaitu
meliputi
ukuran,
konstruksi,
kestabilan,
ketangguhan,
kekuatan dan ketahanan. Standar ini mengacu pada ISO sebagai acuan normatif dan juga SNI lain yang terkait. Dalam hal pembuatan, konstruksi kursi harus kokoh dan tidak ada bagian kursi yang dapat melukai pemakai. Tiap sudut kursi juga harus tumpul dan aman bagi keselamatan pengguna. Selain itu, bahan kimia yang digunakan dalam cat atau vernis harus aman untuk pemakai dan kesehatannya. Konstruksi sambungan pada kursi juga dipersyaratkan untuk menggunakan sekrup, bukan paku, atau menggunakan teknik purus. Terkait kekuatan, kursi rotan harus
62 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
lolos uji kekuatan alas duduk, sandaran, kaki depan dan samping, kekuatan beban jatuh, beban horizontal dan vertical lengan, uji pikul sandaran, dan uji pukul lengan. Sebagai persyaratan kestabilan, kursi rotan tidak boleh terungkit (overturns) ke arah depan, samping dan belakang. Lebih lanjut, untuk ketahanan permukaan kursi syaratnya adalah permukaan tidak berubah ketika terekspos cairan kimia, serta lapisan terkelupas maksimum 15% untuk uji ketahanan lekat permukaan. Selebihnya, SNI ini merinci secara teknis mengenai cara, metode dan alat pengujian. - Meja tamu rotan (SNI 7555.24:2011) SNI ini merupakan acuan syarat mutu dan cara pengujian meja tamu rotan yang kriterianya meliputi ukuran, konstruksi, kestabilan, ketangguhan, kekuatan dan ketahanan. Dalam pembuatannya, produk ini harus kokoh dan tidak memiliki bagian runcing yang berbahaya bagi pengguna, termasuk sudut meja, serta cat, vernis dan bahan kimia lain harus aman bagi kesehatan pengguna. Konstruksi bagian yang menempel dan melekat pada meja ini harus terpasang sempurna dan tidak boleh cacat. Meja juga harus stabil terhadap gaya vertikal sehingga kaki meja yang berlawanan tidak terangkat. Selain itu, ada uji kekakuan meja dengan nilai rujukan maksimum 34 mm/mm dari tinggi meja. Daun meja atau permukaan paling atas juga harus memenuhi parameter defleksi yaitu perubahan tidak lebih dari 0,4% dan tidak sampai rusak dan tidak terjadi perubahan bentuk yang dapat mengganggu pengguna. Permukaan meja harus kuat terhadap cairan rumah tangga sehingga tidak terjadi perubahan pada permukaan terebut. Untuk ketahanan lekat permukaan, lapisan yang terkelupas dari meja disyaratkan maksimum 15%. Selain itu, standar ini juga menjabarkan secara rinci cara dan metode
pengujian
serta
perlengakapan
uji sesuai dengan
parameter yang disyaratkan. Terakhir, standar ini memuat kriteria pengemasan dan penandaaan. Untuk pengemasan, meja rotan 63 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
siap pasang dan siap pakai harus dikemas dengan kertas atau bahan lain yang tidak merusak struktur dan permukaan meja. Sedangkan untuk penandaan atau pelabelan, yang dicantumkan pada tanda di meja antara lain kode produksi, nama perusahaan, merek dagang. Sementara untuk tanda pada kemasan harus mencantumkan keterangan buatan Indonesia, nama barang, kode produksi, nama perusahaan, dan merek dagang.
5.3.2. Standar Internasional (ISO) a. Kemeja Batik Standar mutu khusus untuk kemeja batik belum diatur dalam standar internasional seperti ISO. Dengan demikian ketentuan standar mutu tersebut akan mengacu pada standar mutu untuk kemeja secara umum. Dalam hal ini, yang akan diperbandingkan dengan SNI batik adalah ISO 105-1997, ISO 105-1999, ISO 105-2010, ISO 105-2002, ISO 6330-2001, ISO 13934-2:1999, IAO 13935-2:1999, dan ISO 13936-1:2004. Standar-standar tersebut terkait dengan kriteria dan uji mutu untuk tahan luntur, stabilitas kain, dan kekuatan jahitan yang dirangkum dalam Tabel 5.12. Tabel 5.13 Standar Mutu Kemeja Menurut ISO Kriteria Ketahanan luntur terhadap pencucian Ketahanan luntur terhadap air Ketahanan luntur terhadap gosokan Ketahanan luntur terhadap cahaya Stabilitas terhadap pencucian Kekuatan terhadap tarikan atau peregangan Kelicinan jahitan
Nilai Rujukan (dalam skala) Change : 4 Stain : 4 Cross-stain : 4/5 Change : 4 Stain : 4 Kering : 4 Basah : 3/4 Std : 4 +/- 3% 150 Newton 6 mm SO 80 Newton 64
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Kekuatan jahitan
SS 120 Newton
b. Kursi dan Meja Rotan • Kursi rotan Panduan kualitas mutu internasional untuk kursi adalah ISO 7173:1989 yang menjabarkan metode uji kekuatan dan ketahanan dan ISO 7174-1:1988 mengenai pengujian stabilitas kursi. Uji kekuatan meliputi tes statis dan beban, sedangkan uji stabilitas mensimulasikan pergerakan berulang yang dilakukan dalam jangka panjang dan kemudian menguji kekuatan komponen dalam kondisi tersebut. Selanjutnya, yang dimaksud dengan uji stabilitas adalah uji kemampuan kursi untuk menahan gaya dan beban yang dapat menyebabkan kursi terbalik. • Meja rotan Selanjutnya, ISO 7172:1988 memberikan panduan pengujian untuk kestabilan meja. Standar ini mencakup metode pengujian stabilitas untuk segala jenis meja, termasuk meja yang terbuat dari rotan, kecuali meja yang menempel pada struktur bangunan. Yang diuji antara lain kestabilan ketika mendapat gaya vertikal, horizontal, dan ketahanan untuk tidak terungkit. 5.3.3. Standar Nasional Mitra Dagang a. Batik • Negara tujuan ekspor (AS) Panduan mengenai standar mutu untuk tekstil dan produk tekstil di Amerika Serikat terangkum dalam A Guide to United States Apparel and Household Textiles Compliance Requirements yang disusun oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) – U.S. Department of Commerce. NIST adalah laboratorium metrologi nasional di Amerika Serikat. Institusi ini menyediakan infrastruktur
pengukuran/pengujian
teknis
untuk
mendukung
perdagangan internasional dan sistem pengukuran/pengujian komersial. Pengembangan sistem standarisasi di Amerika Serikat didorong oleh pihak swasta melalui consensus dan bergantung
65 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
pada kebutuhan produsen, konsumen, dan pemerintah. Mayoritas standar yang berlaku di negara tersebut bersifat sukarela. Persyaratan mutu untuk produk tekstil khususnya kemeja antara lain mencakup : - Pelabelan; terdiri dari label keterangan produk dan label perawatan produk. Terkait label keterangan produk, pada produk dan atau kemasan harus tercantum: nama umum dan persentase berat dari serat atau bahan penyusun produk, nama produsen atau nomor registrasi perusahaan, serta nama negara dimana produk tersebut dihasilkan atau diproduksi. Label tersebut harus secara aman menempel pada produk dan tahan lama atau awet sehingga akan tetap menempel dalam melalui proses distribusi sampai ke tangan konsumen. Sedangkan untuk label perawatan; - Keamanan produk; terdiri dari kriteria ketahanan terbakar dan kandungan bahan-bahan berbahaya atau beracun; - Metode uji kualitas produk; terdiri dari ketahanan luntur terhadap pencucian kering (dry-cleaning), ketahanan luntur terhadap cahaya, ketahanan luntur terhadap keringat, serta terhadap air. Selain itu juga terdapat metode uji untuk analisis serat secara kualitatif dan kuantitatif. Kemudian, ketentuan mutu ini juga meliputi tes untuk daya serap kain dan bagaimana penampakan produk setelah mengalami pencucian berulang pada rumah tangga (bukan pencucian profesional). • Negara asal impor (Cina) Cina adalah negara asal impor utama untuk tekstil dan produk tekstil, tidak terkecuali produk batik. Standar nasional Cina yang digunakan sebagai acuan standar mutu produk tekstil adalah National General Safety Technical Code for Textile Products GB 18401-2003. Regulasi ini mencakup aturan umum keamanan dan spesifikasi teknis, metode pengujian, aturan inspeksi, implementasi dan supervise terhadap produk tekstil. Produk tekstil diklasifikasikan menjadi 3 tipe :
66 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
-
Tipe A adalah produk tekstil untuk bayi;
-
Tipe B adalah produk tekstil yang penggunaannya berkontak langsung dengan kulit;
-
Tipe C adalah produk tekstil yang tidak berkontak langsung dengan kulit.
Berikut adalah syarat keamanan dan spesifikasi teknis untuk produk tekstil : Tabel 5.14 Syarat Keamanan Cina Untuk Produk Tekstil Rincian
Tipe A
Tipe B
Tipe C
Kandungan formalin (mg/kg)
Maks. 20
Nilai pH
4,0 - 7,5
Maks. 75 4,0 - 7,5
Maks. 300 4,0 9,0
3 3 3 3
3 3 3 3
Ketahanan luntur warna - Dalam air 3,0 - 4,0 - Dalam penguapan asam 3,0 - 4,0 - Dalam penguapan alkalin 3,0 - 4,0 - Terhadap penggosokan 4 - Dalam air ludah 4 Bau tidak wajar/aneh Pewarna yang dapat mengeluarkan zat "arylamine"
Nil Dilarang
b. Kursi dan Meja Rotan • Negara tujuan ekspor (Jepang) Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia untuk produk meja dan kuris tamu rotan selain Amerika Serikat, Uni Eropa dan Korea Selatan. Nilai ekspor mebel rotan ke Jepang mengalami tren yang meningkat dan cukup signifikan, yaitu meningkat rata-rata 3,89% per tahunnya selama periode 2007 sampai 2012. Untuk dapat masuk ke pasar Jepang, produsen mebel rotan Indonesia harus dapat memenuhi persyaratan atau kriteria seperti pada Tabel 5.15.
67 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 5.15 Kriteria Mutu Kursi dan Meja Rotan ke Jepang Kriteria
Rincian
Kekuatan
- Kualitas bahan baku rotan harus baik - Kursi harus kuat menahan beban sampai 80 kg - Apabila menggunakan bahan kulit rotan, maka harus kuat dan tidak mudah putus - Lem yang digunakan harus rendah formalin
Penampilan
- Pengecatan harus merata terutama untuk cat yang berwarna - Penampilan harus lurus, tidak bengkok dan tidak ada bekas gigitan serangga - Hasil rautan dan anyaman rotan harus halus, bebas dari bagian yang tajam dan membahayakan - Harus bebas sernagga - Handling saat pengiriman harus diperhatikan agar mebel rotan tidak berjamur - Kondisi mebel harus kokoh dan tidak reyot - Harus dilengkapi dengan manual cara perakitan, pemakaian, dan perawatan - Pengemasan harus kuat, namun tidak merusak mebel - Komposisi kain ataua bahan yang digunakan dalam pembuatan mebel harus terinci secara jelas komposisinya
Lain-lain
• Negara asal impor (Malaysia) Berdasarkan dokumen yang bersumber dari International Network for Bamboo and Rattan, hal-hal yang harus diperhatikan dalam memproduksi mebel rotan di Malaysia antara lain: -
Seleksi dan klasifikasi bahan baku. Rotan diklasifikasikan berdasarkan kualitas permukaan seperti dalam tabel berikut;
68 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 5.16 Klasifikasi Rotan Berdasarkan Permukaan Grade Natural
Kriteria 1/1
Tidak terdapat bintik hitam atau kecoklatan Terdapat sedikit bintik Terdapat banyak bintik Warna keputihan yang seragam Terdapat sedikit warna buram
1/3 4/5 A B
Peeled
Selain itu, rotan juga diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameternya. Ukuran 1 berdiameter 40 mm dan lebih besar, ukuran 2 dengan diameter 35 – 39 mm, ukuran 3 berdiameter 30 -34 mm, ukuran 4 yang berdiameter 25 – 29 mm, dan terakhir yang paling kecil adalah ukuran 5 dengan diameter 24 mm atau lebih kecil. Grade atau kelas 1/1 merupakan rotan dengan kualitas tertinggi atau terbaik dengan kulit yang halus dan bersih. Rotan yang tergolong dalam kelas ini biasanya digunakan sebagai
komponen
kerangka
utama
dan
kaki
mebel.
Sedangkan grade 1/3 digunakan untuk membuat komponen yang lebih pendek dan tersembunyi seperti alas duduk, penyangga atau pengikat. Kulit luar dari rotan dengan grade 4/5
akan
dikupas
sehingga
menghasilkan
rotan
yang
berwarna merata, putih pudar, dan seragam. Kemudian, rotan yang sudah dikupas tersebut dikelompokkan lagi menjadi kelas A dan B; -
Pelurusan rotan. Rotan biasanya bengkok karena merupakan fitur rotan itu sendiri dan atau rotan tersebut disimpan secara vertikal. Rotan yang bengkok dapat diluruskan secara manual atau menggunakan mesin pelurus pneumatic. Rotan yang telah diluruskan akan memudahkan proses pembuatan mebel yang berkualitas;
69 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
-
Pengukuran dan pemotongan rotan. Rotan yang sudah diluruskan kemudian diukur dan dipotong sesuai kebutuhan;
-
Pembengkokan dibengkokkan
dan dan
pembentukan dibentuk
sesuai
rotan.
Sebelum
keinginan,
rotan
dipanaskan sehingga menjadi lembut dan fleksibel atau mudah dibentuk; -
Pengeboran, pengaluran, dan end-coping;
-
Perakitan. Proses perakitan dilakukan dalam 2 tahap : 1) subperakitan untuk membentuk struktur kerangka dasar yaitu kaki, penyangga tangan, sandaran, dan tempat duduk; 2) perakitan final untuk menempel atau menambah komponen lain, seperti penyangga kaki, alas duduk, dan alas punggung;
-
Proses penyatuan dan penganyaman;
-
Scraping dan pengamplasan;
-
Finishing. Proses finishing dilakukan dengan menyemprot mebel dengan sprayer bertekanan udara di dalam ruangan khusus yang dilengkapi dengan sistem exhaust.
70 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB VI GAP KEBUTUHAN STANDAR
Seperti dijelaskan dalam proses alur barang dalam upaya untuk memenuhi standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup) di Gambar 3.1, maka seluruh proses yang ada harus memenuhi standar (minimal) yang diharuskan oleh suatu standar yang berlaku di suatu negara. Demikian halnya untuk SNI di Indonesia. Dalam proses perumusannya, Standar Nasional Indonesia (SNI) sebenarnya telah mengacu pada standar internasional yang ada baik itu Internasional Standard Organization (ISO), CODEX Alimentarius, termasuk juga panduan teknis yang terkait dengan produk yang bersangkutan. SNI yang dihasilkan melalui konsensus dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional diupayakan untuk bisa mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholders yang ada (BSN, 2011). Meskipun SNI mengacu pada standar internasional yang ada, namun demikian, ada kondisi dimana SNI mempunyai kriteria yang berbeda dengan kriteria standar yang berlaku di dunia internasional. Tidak semua aturan teknis, kriteria, dan lainnya dari standar internasional tersebut dipakai atau diaplikasikan di Indonesia melalui SNI dengan berbagai pertimbangan, termasuk upaya perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing (khususnya untuk usaha kecil dan menengah). Dalam
penerapan suatu SNI oleh industri masih ditemui
banyak kendala terutama menyangkut kemampuan dan kesiapan dunia usaha (BSN, 2012). Skala industri akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam menerapkan suatu standar (Puska Dagri Kementerian Perdagangan, 2012). Pertimbangan kondisi riil tersebut merupakan salah satu pertimbangan keberadaan gap standar yang terjadi antara SNI dengan standar yang lainnya. Bab ini mengkaji gap yang ada antara SNI dengan standar internasional yang ada. Beberapa standar internasional yang dibandingkan untuk menemukan gap yang ada adalah ISO, CODEX Alimentarius, standar nasional yang diberlakukan oleh negara asal (eksportir), negara tujuan (importir) dan juga standar lain yang berlaku seperti private standard. Dalam analisis gap, ada beberapa kemungkinan yaitu (+ Gap) yang menunjukkan bahwa SNI mempunyai unsur lebih (standar yang
71 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
lebih tinggi dibanding standar lainnya). Sementara itu (- Gap) menunjukkan bahwa SNI yang kita miliki mempunyai kekurangan (standar yang lebih rendah) bila dibandingkan dengan standar internasional yang ada. Dengan diketahuinya gap antara SNI dengan standar yang ada, akan diperoleh solusi (bridging) dalam rangka untuk memperkuat dan memperbaiki SNI sehingga standar nasional yang kita miliki bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen di pasar domestik maupun internasional sekaligus mampu meningkatkan daya saing produk nasional baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
6.1 Cakupan Standar Dalam Arus Barang: SNI dan Standar Internasional Suatu produk yang beredar di pasar harus memenuhi standar dalam setiap lini atau proses pembentukannya, termasuk distribusinya. Jaminan standar tersebut harus dimulai dari bahan baku (asal dan proses produksi bahan baku), distribusi bahan baku, proses produksi dalam perusahaan, distribusi barang jadi sampai standar yang menjamin bahwa produk tersebut tetap memenuhi standar yang ditentukan, ketika sampai di tangan konsumen. Dalam SNI maupun standar internasional lainnya, distribusi bahan baku maupun barang jadi tidak menjadi perhatian tersendiri sebagai bagian/komponen utama dalam kriteria standar yang ada (Gambar 6.1). Berbeda dengan konsep dasar alur barang dalam memenuhi standar oleh Will and Guenther (2007), disamping proses produksi bahan baku juga proses produksi barang jadi, juga memperhatikan aspek distribusi yang harus memenuhi standar.
2
Gambar 6.1 Cakupan Standar dalam SNI dan Standar Internasional Lainnya
2
Standar dalam masalah distribusi barang/jasa berada di luar dari standar barang/produk.
72 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
6.2. Analisis Gap Standar per Produk 6.2.1. Tuna Beku Tabel 6.1 Analisis Gap Standar Produk Tuna Beku Gap positif
CODEX • Syarat bahan baku : tekstur elastis, padat dan kompak • Penanganan dan pengolahan : peralatan dan perlengkapan yang digunakan Amerika Serikat (FDA) • Kadar histamin : maksimal 100 mg/kg
Gap negatif
CODEX • Syarat bahan baku : kriteria penolakan produk • Penanganan dan pengolahan : kontrol inventory yang bagus (regular checking) • Pengemasan : bahan kemasan harus food grade Filipina • Syarat bahan baku : Penggolongan Grade A, B, dan C Amerika Serikat • Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran mikroba, toksin, logam berat dan residu obat-obatan Uni Eropa • Syarat mutu : tidak mengandung CO
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI/persyaratan yang lebih longgar. Dari seluruh parameter yang ada dalam SNI mengenai ikan tuna beku, hampir seluruhnya sudah sesuai (comply) dengan parameter yang ada dalam CODEX. Bahkan untuk dua parameter yaitu khususnya persyaratan bahan baku dan penanganan dan pengolahan, SNI memiliki gap atau kesenjangan positif. Dalam SNI yang mengatur tentang persyaratan bahan baku mensyaratkan bahwa bahan baku yang digunakan dalam pengolahan ikan tuna beku, yaitu
73 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
ikan tuna, harus memiliki tekstur elastic, padat dan kompak. Selain itu, dalam hal penanganan dan pengolahan tuna, peralatan dan perlengkapan digunakan harus memenuhi beberapa kriteria antara lain memiliki permukaan halus dan rata, bebas karat, bebas dari cemaran jasad renik, tidak retak dan juga mudah dibersihkan. Perbandingan SNI dan standar negara Amerika Serikat, khususnya yang bersumber dari Food and Drugs Administration (FDA) untuk syarat keamanan produk perikanan, menunjukkan adanya gap positif. Gap tersebut terkait dengan kadar histamin yang diperbolehkan terdapat pada ikan tuna, yaitu maksimal 50 ppm atau 500 mg/kg. Sedangkan SNI mensyaratkan kadar histamin hanya diperbolehkan maksimal 100 mg/kg. Parameter yang sudah sesuai dengan CODEX antara lain syarat bahan baku dengan rincian penampakan dan kesegaran ikan serta suhu penyimpanan bahan baku maksimal 4,4 derajat Celcius. Selanjutnya, dalam parameter penanganan dan pengolahan, kriteria yang sudah sesuai dengan CODEX yaitu cara sortasi, membersihkan, pembekuan dengan suhu -18 derajat Celcius, pengemasan dan penyimpanannya dalam gudang beku. Lebih lanjut, parameter utama yaitu syarat mutu dan keamanan pangan dengan mempersyaratkan kriteria organoleptik serta ambang batas untuk cemaran mikroba dan kimia juga sudah sesuai dengan standar internasional tersebut. Parameter lainnya adalah pengemasan serta pelabelan dengan mencantumkan nama dan alamat produsen, bahan tambahan lain, tanggal lengkap produksi dan tanggal lengkap kadaluarsa. Pada CODEX, selain kriteria untuk bahan baku juga dirinci mengenai kriteria penolakan produk. Hal inilah yang menjadi kesenjangan atau kelemahan dari SNI. Produk ikan tuna beku wajib ditolak jika kulit atau lendirnya berwarna pucat atau kuning kecoklatan, insangnya berwarna abu-abu kecoklatan, serta berbau tidak normal seperti bau ammonia, laktat susu, sulfit atau pun bau tengik. Kemudian, CODEX juga mensyaratkan control inventory yang baik dalam hal penyimpanan ikan. Dalam hal pengemasan, tidak hanya bersih, bahan kemasan juga diharuskan tidak mencemari ikan serta harus termasuk kategori food grade. Sedangkan jika dibandingkan dengan standar negara Filipina, SNI memiliki kelemahan dalam hal grading atau pengkelasan bahan baku. Filipina mengkategorikan bahan baku ikan tuna menjadi 4 kelas yaitu 74 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
kelas A, B, dan C. Kelas A dan B memiliki kriteria yang sama mengenai penampakan ikan yaitu memiliki mata bersih dan cerah, insangnya berwarna merah cerah, berbau segar, dagingnya kaku, dinding perutnya utuh, warna badan cerah dan bebas dari kusam, tidak boleh ada sisik yang rusak, tidak ada luka terpotong maupun luka tusukan. Kemudian, ikan tuna dikategorikan dalam Kelas C jika matanya sedikit keruh dan pupilnya kelabu, insang sedikit kusam dan mengkilap, daging, tulang dan perut sedikit lembek, dan baunya sedikit asam. Jika bahan baku ikan tidak dapat memenuhi persyaratan dalam Kelas A, B maupun C, maka produk tersebut harus ditolak. Kemudian, SNI juga memiliki gap negatif jika dibandingkan dengan standar dari negara Amerika Serikat terkait dengan keamanan pangan. Yang menjadi kekurangan SNI adalah bahwa SNI tidak memasukkan beberapa cemaran sebagai persyaratan mutu seperti berikut : • bakteri Staphylococcus aereus : maksimal 10.000/gram; • cemaran toksin Clostridium botulinum : tidak boleh terdeteksi; • cemaran Polyclorinated biphenyil : maksimal 2 ppm; • cemaran logam berat Methyl mercury : maksimal 1 ppm; • residu obat-obatan hewan : tidak boleh terdeteksi. Hal tersebut sesuai dengan hasil survey di lapangan terhadap para pelaku usaha, khususnya eksportir. Mereka mengemukakan bahwa komponen standar yang menjadi perhatian utama di masing-masing negara tujuan ekspor adalah persyaratan dalam keamanan pangan, khususnya kadar cemaran dalam produk. Cemaran yang paling sering bermasalah adalah Histamine, padahal SNI sudah cukup ketat dalam menetapkan ambang batas amannya. Cemaran kedua yang cukup sering bermasalah adalah cemaran logam berat Merkuri yang belum dimasukkan dalam SNI sebagai persyaratan keamanan pangan.
6.2.2. Cakalang Beku Selanjutnya, analisis perbandingan standar (SNI) ikan cakalang beku dengan standar di negara tujuan ekspor utama yaitu Thailand menunjukkan hampir seluruh kriteria dalam kedua standar tersebut sama. Namun demikian, SNI memiliki keunggulan pada salah satu parameter yaitu syarat mutu dan
75 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
keamanan pangan pada kriteria cemaran mikroba dan kimia. Untuk cemaran mikroba khususnya bakteri E.coli, SNI memiliki nilai rujukan maksimal 2 APM/gram sedangkan standar Thailand mensyaratkan cemaran E.coli 10 APM/gram. Selanjutnya SNI untuk cemaran bahan kimia logam berat yaitu Timbal dan Cadmium, SNI memiliki nilai rujukan masing-masing sebanyak maksimal 0,4 dan 0,1 mg/kg sementara kriteria tersebut pada standar Thailand masing-masing adalah 1 dan 0,2 mg/kg. Dengan demikian, kriteria mutu dan keamanan pangan dalam SNI untuk ikan cakalang beku lebih ketat atau lebih baik daripada standar Thailand.
Tabel 6.2 Analisis Gap Standar Produk Cakalang Beku Gap positif
CODEX • Syarat bahan baku : tekstur elastis, padat dan kompak • Penanganan dan pengolahan : peralatan dan perlengkapan yang digunakan Thailand • Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran E.coli, cemaran zat Timbal, dan cemaran logam Kadmium
Gap
CODEX
negatif
• Syarat bahan baku : kriteria penolakan produk • Penanganan dan pengolahan : kontrol inventory yang bagus (regular checking) • Penyimpanan : temperatur dan kelembaban harus sesuai aturan, rotasi stok harus dijaga, isi dan kemasan harus terlindung dan terpisah untuk menghindari kontaminasi silang • Pengemasan : bahan kemasan harus food grade Jepang • Syarat mutu dan keamanan pangan : cemaran mikroba
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI/persyaratan yang lebih longgar. Seperti halnya dengan ikan tuna beku, standar CODEX untuk ikan cakalang beku juga menetapkan persyaratan yang sama. Dengan demikian, SNI 76 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
memiliki keunggulan dalam hal rincian mengenai peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam pengolahan ikan yang tidak dirinci dalam CODEX, yaitu permukaannya halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak dan mudah dibersihkan. Sementara untuk rincian lain mengenai penanganan dan pengolahan, SNI sudah sesuai dengan CODEX seperti berikut : • Sortasi bahan baku dilakukan berdasarkan mutu, jenis dan ukuran; • Kepala dan isi perut ikan dibuang; • Ikan dicuci dengan air bersih dingin yang mengalir; • Ikan ditimbang dengan timbangan yang telah dikalibrasi; • Pembekuan ikan dilakukan hingga suhu pusat ikan mencapai -18 derajat Celcius dan waktunya mencapai 4 jam; • Ikan kemudian harus dikemas plastik dan dimasukkan dalam master karton dengan segera secara cepat. Dalam hal pengemasan, CODEX mensyaratkan kemasannya harus food grade; • Ikan selanjutnya disimpan dalam gudang beku dengan suhu maksimal -25 derajat celcius. Namun, pengolah (produsen cakalang beku) harus melakukan monitoring terhadap proses pendinginan dan pembekuan serta dilengkapi dengan kontrol persediaan (inventory) yang baik dalam rangka membunuh berbagai parasit yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Yang dimaksud dengan kontrol persediaan yang baik antara lain manajemen persediaan masuk dan keluar, pengecekan secara teratur terhadap suhu ruang pendingin, dan rotasi stok yang sistematis. Hal inilah yang belum tercantum dalam SNI. Kemudian, dibandingkan dengan standar Jepang sebagai negara asal impor, SNI memiliki gap negatif dalam hal syarat mutu dan keamanan pangan khususnya cemaran mikroba ALT dengan nilai rujukan maksimal 100/gr dan Staphylococcus Aereus kurang dari 1.000/gram. Jika Jepang menerapkan standar tersebut pada ikan cakalang beku yang diekspor ke Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa standar mutu cakalang impor dari Jepang lebih tinggi daripada standar mutu yang ditetapkan SNI dalam hal cemaran mikroba.
77 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
6.2.3. Manggis Manggis sebagai salah satu komoditas hortikultura merupakan komoditas buah asli tropis yang memiliki warna dan rasa yang unik dibandingkan dengan komoditas buah-buahan lainnya sehingga dijuluki sebagai “Queen of the Tropical Fruit”. Berdasarkan data tahun 2007 - 2012, nilai ekspor manggis Indonesia ke beberapa negara di dunia cenderung mengalami peningkatan dengan tren 34,54%. Ekspor manggis tertinggi terjadi pada tahun 2012 yang mencapai lebih dari 20 ribu ton dengan nilai 1u juta US$. Negara yang menjadi tujuan ekspor manggis terbesar Indonesia adalah China (75 persen), kemudian Taiwan, Hongkong, Timur Tengah, dan Jepang3. Pada umumnya, salah satu kendala yang dihadapi adalah mutu buah manggis masih rendah. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dapat dilakukan melalui penerapan standar mutu sebagai acuan bagi petani dalam proses menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik. Dalam hal ini standar SNI dapat menjadi salah satu acuan. Berikut akan dipaparkah hasil identifikasi SNI dibandingkan standar lain seperti CODEX dan standar di negara tujuan ekspor. Berdasarkan beberapa parameter yang dibandingkan dengan standarstandar lain, SNI memiliki kelebihan atau keunggulan dibandingkan standarstandar yang lain. Dalam parameter ketentuan mutu yang diatur dalam SNI mensyaratkan daging buah yang bening dan getah kuning sesuai dengan pengkelasan. Untuk Kelas Super getah kuning (yellow gum) tidak lebih dari 5%, Kelas A getah kuningnya tidak lebih dari 10%, dan Kelas B getah kuning tidak lebih dari 20%. Sedangkan parameter ketentuan mengenai toleransi mengatur bahwa jumlah maksimum yang tidak memenuhi mutu kelas B adalah 10% namun harus memenuhi persyaratan minimum. Untuk penandaan dan pelabelan, SNI mewajibkan label ditunjukkan pada dokumen yang menyertai buah yang diangkut dalam bentuk curah, memenuhi syarat higienis dan mikrobiologis. Untuk menguji higienitas komoditas manggis, SNI mengatur persyaratan uji organoleptik dan cemaran logam sesuai standar internasional. Parameter-parameter yang ada di
3
http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1429
78 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dalam SNI tersebut tidak diatur atau diatur namun persyaratnya lebih ketat dibandingkan CODEX. Sementara hasil identifikasi SNI dibandingkan dengan standar negara lain dalam hal ini adalah standar manggis di Thailand, ada beberapa parameter dalam SNI yang memiliki keunggulan seperti: kelopak buah dan tangkai harus lengkap, bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin, daging buah bening dan getah kuning sesuai dengan pengkelasan, cacat tidak lebih dari 10% dan cacat tsb tidak mempengaruhi daging buah, berasal dari kawasan yang sama, dan untuk kemasan yang tidak menampakkan isinya, harus diberi label yang berisi nama buah dan nama varietas. Disamping memiliki keunggulan dibandingkan dengan standar-standar lain, SNI masih memilki beberapa kelemahan dalam ketentuan mutu, pencemaran logam berat, serta penandaan dan pelabelan. CODEX mewajibkan komoditas manggis bebas dari lateks sementara SNI belum mengatur hal tersebut. Untuk pencemaran logam berat, kadar maksimumnya diatur dalam CODEX General Standard for Contaminants and Toxins in Food and Feed dan batas maksimum residu pestisida yang ditetapkan oleh CODEX Alimentarius Commission. Sedangkan penandaan dan pelabelan SNI belum mengatur secara rinci sebagaimana diatur dalam CODEX seperti Nama dan alamat eksportir, pengemas dan/atau operator. Kode identifikasi (opsional), Sifat Produk, Asal Produk dan Identifikasi Komersial. Jika dibandingkan dengan standar manggis di Thailand, SNI memiliki kelemahan pada ketentuan mutu, pengkelasan, ketentuan mengenai toleransi, ketentuan mengenai penampilan serta penandaan dan pelabelan. Untuk ketentuan mutu standar manggis di Thailand menambahkan persyaratan bebas dari kerusakan yang disebabkan pestisida dan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas daging buah dan bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh temperatur yang rendah dan atau tinggi. Dalam pengkelasan, untuk kelas yang sama (kelas A) standar manggis Thailand mensyaratkan cacat sedikit tidak lebih dari 30% dan cacat tersebut tidak mempengaruhi daging buah sementara SNI hanya mensyaratkan 10%. Untuk ketentuan mengenai toleransi pada Kelas Super, standar manggis Thailand menambahkan persyaratan netted skin fruit yang 79 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
disebabkan oleh serangga dikecualikan. Sementara parameter ketentuan menegenai penampilan, SNI tidak mensyaratkan warna yang seragam dan bahan kemasan yang digunakan harus baru. Untuk penandaan dan pelabelan, standar manggis di Thailand mengatur lebih rinci dibandingkan SNI seperti berat bersih, informasi distributor, negara asal, khususnya pasar domestik wajib menggunakan bahasa Thailand dan pasar ekspor menggunakan bahasa sesuai negara tujuan ekspor, dan wajib Sertifikat Kementerian Pertanian (sudah lolos inspeksi).
Tabel 6.3 Analisis Gap Standar Produk Manggis Gap Positif
CODEX • • • •
Ketentuan mutu : daging buah, pengkelasan (grading) Toleransi mutu Penandaan dan pelabelan : label harus ada pada dokumen Higienis : uji cemaran organoleptik dan cemaran logam berat TAS • Ketentuan mutu • Pengkelasan • Ketentuan mengenai penampilan Gap Negatif
CODEX • Ketentuan mutu : ketentuan minimum, kondisi buah saat dipanen • Pencemaran logam berat • Pelabelan dan penandaan : kemasan TAS • • • •
Ketentuan mutu : bebas dari kerusakan Pengkelasan Ketentuan mengenai toleransi Ketentuan mengenai penampilan : keseragaman, pengemasan • Penandaan dan pelabelan : kemasan untuk konsumen Cina (AQSIQ) • Syarat keamanan pangan : kadar kadmium 0,05 ppm
80 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Isu yang terkait dengan penolakan ekspor manggis di negara Cina terkait dengan kandungan Kadmium pada manggis yang berasal dari Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan di Cina yaitu 0,05 ppm. Kandungan tersebut terlalu rendah apabila dibandingkan dengan SNI yang sebesar 0,2 ppm,terjadi gap negatif antara SNI dengan ketentuan standar di Cina, pada hal menurut CODEX STAN 228-2001 batas maksimum kandungan kadmium pada buah sebesar 0,2 ppm. Hasil analisis kandungan kadmium pada tanah di Kecamatan Sibolangit Sumatera Utara berkisar antara 0,127-0,270 ppm, sementara pada tanah/daun berkisar antara 0,39-o,49 ppm (Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, 2013). Kandungan tersebut melebihi ambang batas maksimum yang ditoleransi oleh Pemerintah Cina. Selain kandungan kadmium tersebut, komplain yang dijadikan alasan penolakan adalah ditemukan hama coccid pada buah. Pada hasil penelitian yang sama, tidak ditemukan adanya hama coccid, serangga yang ditemukan adalah semut. Selain semut tidak ditemukan serangga lain pada buah. Untuk mengendalikan semut ini tidak dilakukan fumigasi, namun dengan cara mencelupkan buah kedalam; (a) larutan air dicampur Decis (20:2) selama 20 menit, kemudian dikering-anginkan; (b) buah yang telah kering kemudian dicelup dalam air 20 l ditambah dengan cairan penyegar (pengawet) yang mengandung larutan gula; (c). Setelah itu buah dibilas dengan air bersih. Hasilnya menunjukan buah tidak terdapat semut (0%), terdeteksi kandungan residu deltamethrin sebesar 0,032 ppm pada kulit buah, sedangkan pada daging buah tidak terditeksi (0 ppm).
6.2.4. Jagung Pada dasarnya SNI Jagung yang sudah diperbarui pada tahun 2013 merupakan adopsi dari beberapa
standar internasional seperti CODEX
Alimentarius yang diatur dalam Sanitary and Phyto-Sanitary dalam ketentuan WTO. Namun demikian, dalam penerbitannya, SNI sudah disesuaikan dengan beberapa ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan pelaku usaha di dalam negeri, sehingga terdapat beberapa perbedaan dengan CODEX, yang pada akhirnya dapat digolongkan sebagai sisi positif atau negatif.
81 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan hasil analisis deskriptif, SNI Jagung memiliki gap positif sehingga diharapkan dapat berdampak pada kualitas produk jagung lokal di pasar internasional. Beberapa gap positif tersebut antara lain: 1)
Klasifikasi Mutu. Dalam SNI dijelaskan klasifikasi mutu yang terdiri
dari 4 (empat) kategori, yaitu Mutu I, II, III, dan IV. Penentuan mutu tersebut diikuti dengan persyaratan yang pada akhirnya akan membentuk harga dan kualitas di pasar internasional. Standar Mutu jagung ditentukan oleh beberapa atribut seperti kadar air, butir rusak, butir warna lain, butir pecah, dan kotoran. Semakin baik mutu jagung, maka ambang batas toleransi kadar air dan butir jagung semakin ketat. Penentuan mutu jagung secara rinci dinilai akan berdampak baik karena dapat memberikan informasi yang jelas kepada eksportir/importir untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. 2)
Petugas pengambil contoh. SNI mengatur syarat pengambil contoh
(sample)sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penilaian mutu. Dalam ketentuan tersebut, petugas pengambil contoh harus memenuhi kriteria antara lain harus memiliki pengalaman, bersertifikat resmi, dan bekerja pada instansi yang berbadan hukum. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menjamin nilai kualitas produk yang dijual. 3)
Penandaan. SNI juga mengatur ketentuan penandaan dalam
kemasan sebagai bagian dari mutu produk. Kemasan harus secara jelas mencakup informasi antara lain produk indonesia, asal produk, nama dan mutu barang, nama perusahaan/eksportir, berat bruto, berat netto, dan tujuan pasar. Setiap kemasan harus dalam bentuk karung dengan nomor registrasi. Namun demikian juga terdapat kekurangan (gap negatif) antara SNI dengan CODEX, dimana ada beberapa atribut yang tidak diatur dalam SNI namun diatur dalam CODEX. Beberapa gap negatif SNI antara lain: 1)
CODEX mensyaratkan batas maksimum sifat bau, keasaman, dan zat
kimia termasuk fungisida dan herbisida, serta ketentuan suhu untuk menjamin kelembaban normal. CODEX secara jelas mencantumkan batas maksimum dan toleransi ukurannya yang ditetapkan oleh Komisi CODEX Alimentarius. 2)
Proses pengambilan contoh dan cara uji didasarkan pada Methods of
Analysis and Sampling Method CODEX sesuai dengan komoditi yang telah ditetapkan dan bersifat sangat teknis, bahkan mempertimbangkan kandungan 82 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
protein, lemak, kelembaban, dan ukuran partikel. Kemudian masing-masing kriteria di-sampling berdasarkan metode yang digunakan dalam ISO, AOAC, dan ICC yang sudah tentu teruji secara internasional. 3)
Kemasan pada ketentuan CODEX pada dasarnya sudah diadopsi
oleh SNI. Namun ada beberapa ketentuan yang bersifat teknis, antara lain seperti: a.
Kontainer kemasan harus menjamin higienitas dari kandungan nutrisi, teknologi, dan kualitas produk;
b.
Bahan kemasan harus terbuat dari bahan yang aman, dan cocok untuk peruntukannya, dan bebas dari bahan berbahaya dan bau;
c.
Jika dikemas dalam karung, harus bersih dan dijahit dengan kuat dan kemasan harus diberi label “Maize (Corn)”;
d.
Kemasan yang diperuntukan untuk partai besar (non ritel) harus dijelaskan apakah pada kemasan atau pada dokumen yang disertakan.
Namun
untuk
nama
produk,
perusahaan
kemasan/produsen, alamat perusahaan, dan volume harus dituliskan dalam kemasan.
Tabel 6.4 Analisis Gap Standar Produk Jagung Gap Positif
CODEX • • • •
Klasifikasi mutu : pengkelasan berdasarkan mutu Syarat khusus : kadar air, butir rusak, kadar kotoran Petugas pengambil contoh : kriteria petugas Penandaan : tulisan pada kemasan, ketrangan yang harus dicantumkan India • • • •
Klasfikasi mutu : pengkelasan berdasarkan mutu Cara pengambilan contoh : jumlah sampel, metode pengambilan Petugas pengambil contoh : kriteria petugas Penandaan : tulisan pada kemasan, ketrangan yang harus dicantumkan • Pengemasan : kemasan bersih dan dijahit, berat bersih, pencantuman kadar aflatoksin Filipina
83 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
• Pengemasan : kemasan bersih dan dijahit, berat bersih, pencantuman kadar aflatoksin • Petugas pengambil contoh : kriteria petugas • Cara uji : uji mutu berdasarkan hama, butir rusak, kadar air dan aflatoksin Gap Negatif
CODEX • Syarat mutu : ambang batas maksimum zat kimia, kelembaban • Cara pengambilan contoh : pertimbangan kandungan protein, lemak, kelembaban dan ukuran partikel • Cara uji : sesuai ISO, AOAC, ICC • Pengemasan : kemasan menjamin higienitas, bahan harus aman, jahitan karung kuat, label “maize (corn)” India • Syarat khusus : keberadaan butir dan benda asing sebagai kriteria untuk tiap kelasnya Filipina • Klasifikasi mutu : ada 5 kelas; premium, I, II, III, dan IV • Syarat mutu : bebas baud an hama, warna seragam, kadar kelembaban • Syarat khusus : kadar kelembaban, kotoran, aflatoksin, zat asing untuk tiap kelas • Cara pengambilan contoh : sesuai ISO 874 • Penandaan : hal-hal yang perlu dicantumkan dalam kemasan • Higienitas : harus sesuai CODEX
India merupakan importir utama bagi Indonesia (Drake, 2013) menjelaskan bahwa standar yang berlaku di suatu negara akan dijadikan acuan bagi persyaratan produk ekspor. Apalagi, SNI jagung belum berlaku wajib sehingga ketentuan produk impor jagung dari India secara dominan akan mengacu kepada standar yang berlaku di India. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa SNI memiliki kelebihan (gap positif) antara lain: klasifikasi mutu, cara pengambilan contoh, petugas pengambil contoh, penandaan, dan pengemasan. Dalam hal pengambilan contoh, SNI mensyaratkan beberapa ketentuan seperti formulasi dan tatacara pengambilan contoh. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa penilaian mutu sudah tepat, didukung dengan persyaratan petugas pengambil contoh. Sementara untuk
84 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
pengemasan, produk harus dipastikan dalam kemasan karung yang higienis, tertutup rapi dan aman, serta dalam kemasan dengan berat yang aman untuk proses handling. Kadar aflatoksin yang menjadi syarat penting bagi pasar ekspor harus ditulis dalam kemasan secara jelas. Dengan demikian, hal ini tidak hanya baik bagi penciptaan standar mutu jagung, namun juga dapat memudahkan petugas inspeksi di negara ekspor dalam melakukan verifikasi. Sementara beberapa kekurangan SNI (gap negatif) dibandingkan dengan standar jagung di India hanya berupa syarat khusus mutu/grade jagung dimana dalam standar di India, atribut untuk menentukan grade lebih banyak dan detil seperti kelembaban dan butir rusak dengan ambang batas (maksimal) lebih ketat dari pada SNI, batas toleransi zat asing baik organik maupun anorganik, butir keriput, weeviled grain, dan campuran dengan varietas lain. Kemudian, Filipina merupakan negara tujuan ekspor utama komoditas jagung Indonesia pada periode tahun 2007 – 2012 dengan jumlah ekspor rata-rata per tahun mencapai 25 juta ton. Dalam mengekspor produknya, eksportir disyaratkan memperhatikan ketentuan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Filipina yang diatur dalam Philippine National Standards (PNS) No. 15 : 2004 agar produknya dapat dijual di negara tersebut. Namun demikian, perlu juga dilihat perbandingan antara SNI dengan standar jagung di Filipina untuk mengetahui kesesuaian jika komoditas jagung sudah memenuhi ketentuan SNI akan mempermudah pemenuhan standar di Filipina. Beberapa ketentuan dalam SNI yang tidak ada dalam standar Filipina antara lain: 1)
Pengemasan. SNI mensyaratkan kemasan yang higienis, berat maksimal untuk persyaratan handling, pencantuman kadar aflatoksin sesuai dengan analisa;
2)
Petugas pengambil contoh. SNI mengatur ketentuan bahwa petugas pengambil contoh harus memiliki pengalaman, memiliki sertifikat, dan berasal dari instansi yang berbadan hukum;
3)
Cara uji sample yang diatur dalam SNI juga dinilai lebih ketat dibanding standar Filipina. Sebagai contoh, selain pengujian sample menggunakan standar uji umum untuk mengetahui kadar butir rusak, pecah, busuk, dan hama dengan ambang tertentu, SNI juga mengatur penentuan kadar air biji ditentukan dengan moisture tester electronic atau "Air Oven Method" yang mengacu pada ISO/R939¬-1969E atau AOAC 930.15. 85
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Perlu juga menjadi perhatian bahwa masih terdapat ketentuan yang diatur dalam standar Filipina namun tidak ada dalam SNI sehingga menjadi kekurangan (gap negatif) SNI. Hal ini perlu dicermati mengingat SNI dapat dijadikan referensi bagi eksportir jika ingin mengekspor produknya, walaupun ketentuan dalam standar Filipina merupakan acuan utama. Dengan demikian, gap negatif SNI dapat berdampak pada rendahnya kualitas komoditas ekspor jagung ke Filipina. Beberapa hal yang menjadi gap negatif SNI dibandingkan dengan standar Filipina antara lain: 1)
Klasifikasi mutu dalam standar Filipina terdiri dari Premium, Grade I, II, III, dan IV. Hal ini akan berdampak pada persyaratan khusus yang lebih ketat dibandingkan dengan SNI sesuai dengan klasifikasi mutu komoditas jagung;
2)
Kemasan yang baik dan higinitas, dimana kemasan harus mendukung kualitas produk dengan pencantuman informasi penting seperti berat dan tanggal penggilingan (milling) dan harus memperhatikan asas-asas standar yang sesuai dengan Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygine (CAC/RCP 1-1969 Rev 3 - 1997, Amd (1999) dan ketentuan dalam CODEX yang relevan seperti Codes of Hygine Practice and Codes of Practice yang sudah tentu diakui di pasar internasional.
6.2.5. Kemeja Batik Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga salah satu komoditas ekspor yang potensial. Hal ini ditunjukkan dengan data ekspor kemeja batik yang bersumber dari BPS, khususnya kemeja untuk laki-laki yang mengalami tren pertumbuhan ekspor sebesar 5,54% selama periode tahun 2008 – 2012. Dengan demikian peningkatan ekspor batik ini perlu didorong melalui peningkatan daya saingnya yang diindikasikan dengan standar mutunya.Industri batik banyak terdapat di provinsi Jawa Tengah antara lain di Semarang, Pekalongan dan Solo. Selain untuk pasar domestik juga untuk memenuhi pasar ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa dan lainnya. Dengan membandingkan standar mutu kemeja batik produksi Indonesia, dengan SNI sebagai acuannya, dengan standar internasional dan standar negara mitra dagang maka dapat diperoleh gambaran mengenai daya saing produk ekspor ini di dunia internasional. Namun demikian, tidak ada standar khusus untuk batik 86 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
seperti yang ada pada SNI. Dengan demikian, perbandingan dilakukan antara SNI dengan standar untuk kemeja pada umumnya. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa SNI memiliki gap positif atau kelabihan dibanding ISO sebagai acuan standar internasional dan standar negara tujuan ekspor maupun asal impor. Pada ISO, tidak terdapat salah satu syarat mutu terkait ketahanan luntur yaitu ketahanan luntur terhadap keringat dengan nilai acuan mutu skala 3 untuk kelas mutu B dan skala 4 untuk kelas mutu A. Selain itu, SNI juga mencantumkan kriteria ketahanan luntur terhadap penyetrikaan panaa dengan skala acuan 3 untuk kedua pengkelasan tersebut. Sementara untuk kriteria syarat mutu lainnya seperti ketahanan luntur terhadap pencucian, gosokan basah dan kering, serta terhadap penyinaran lampu, SNI dan ISO mensyaratkan skala kualitas yang sama. Begitu pula dengan pelabelan, kedua standar mensyaratkan label pada produk harus tercantum : • Nama bahan dasar; • Serat yang digunakan; • Ukuran; • Cara perawatan; • Asal produk, misalnya “Made in Indonesia”. Selanjutnya, perbandingan dengan standar nasional Cina menunjukkan bahwa SNI mensyaratkan kriteria ketahanan luntur terhadap panas yang berasala dari setrika dan juga ketahanan luntur terhadap sinar yang berasal dari lampu karbon. Namun demikian, SNI juga memiliki beberapa kelamahan dalam persyaratan mutu jika dibandingkan dengan ISO dan standar nasional Cina. Pada ISO, standar mutu kemeja khususnya dalam peramater ketahanan luntur, terdapat kriteria bahwa kemeja harus tahan luntur terhadap air yang tidak ada dalam SNI. Kemudian, parameter lain yang menjadi gap negatif dari SNI terhadap ISO adalah uji kestabilan kain kemeja setelah proses pencucian, daya tahan atau kekuatan kemeja apabila diregangkan, serta kekuatan jahitan terhadap genggaman yang kuat dan terhadap tarikan. Uji-uji tersebut pada dasarnya mengetes apakah kemeja dan jahitannya tahan robek atau rusak terhadap perlakuan sehari-hari. Di sisi lain, standar nasional Cina mengklasifikasikan produk tekstil ini berdasarkan spesifikasi teknis, yaitu apakah kemeja ini diperuntukkan untuk bayi (tipe A), produk tekstil dengan kontak
87 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
langsung dengan kulit manusia (tipe B), dan produk yang tidak kontak langsung (tipe C). Standar mutu untuk kemeja ataupun pakaian secara umum berbeda untuk tiap spesifikasi teknis tersebut. Selain itu, keunggulan dari standar ini dibandingkan SNI adalah bahwa ada batasan kandungan formalin sesuai kategori pakaian; . 1) tipe A : maksimal 20 mg/kg; 2) tipe B : 75 mg/kg, dan 3) tipe C : 300 mg/kg. Hal ini sejalan dengan standar yang ditetapkan CODEX yang mencantumkan bahwa formalin adalah bahan berbahaya sehingga kandungannya dibatasi pada pakaian atau pun makanan selain Kadmium dan Kromium. Standar Cina juga mengatur kadar keasaman atau pH seperti berikut : - Ketegori baju bayi dan anak : 4 – 7,5; - Kategori baju dengan kontak langsung dengan kulit : 4 – 7,5; - Kategori baju tanpa kontak langsung dengan kulit : 4 – 9. Pakaian juga harus bebas dari bau aneh yang tidak normal dan tidak boleh meggunakan pewarna yang mengandung zat arylamine. Zat tersebut dikategorikan sebagai zat karsinogenik atau zat pemicu kanker untuk manusia. Dengan demikian, hal ini mengindikasikan bahwa standar mutu untuk kemeja dari standar internasional maupun negara mitra dagang lebih ketat daripada SNI. Selanjutnya, dibandingkan dengan standar nasional Amerika Serikat sebagai negara tujuan utama ekspor pakaian jadi Indonesia, termasuk Batik, SNI relatif memiliki lebih banyak kesenjangan negatif terutama yang terkait syarat mutu. Syarat mutu yang tidak diatur dalam SNI antara lain ketahanan terbakar atau flammability yang merupakan komponen utama dalam standar yang diberlakukan oleh negara ini. Selain itu, standar negara tersebut juga mensyaratkan kandungan maksimal terhadap bahan-bahan beracun pada paroduk maupun pada kemasan. Syarat mutu selanjutnya yang tidak dimiliki SNI adalah ketahanan luntur produk terhadap pencucian kering (dry-cleaning) dan juga terhadap air. Standar mutu ini juga mengacu pada standar terkait dalam hal analisis serat secara kuantitatif dan kualitatif, pengujian daya serap kain, serta pengujian penampakan produk setelah pencucian berulang pada rumah tangga (bukan pencucian professional).
88 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 6.5 Analisis Gap Standar Produk Kemeja (Batik) Gap positif
ISO • Syarat mutu : ketahanan penyetrikaan panas
luntur
terhadap
keringat
dan
Cina • Syarat mutu : Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas, Tahan luntur warna terhadap sinar lampu karbon Amerika Serikat • Syarat mutu : Tahan luntur warna terhadap penyetrikaan panas, tahan luntur terhadap gosokan Gap negatif
ISO • Syarat mutu : skala tahan luntur, tahan luntur terhadap air, stabilitas terhadap pencucian, kekuatan terhadap peregangan, tes kelicinan dan kekuatan jahitan • Zat terlarang : Kadmium, formalin, kromium Cina • Penggolongan mutu : berdasarkan golongan konsumen • Syarat mutu : kadar formalin, keasaman (pH), tahan luntur, bebas bau aneh, bebas pewarna yang mengandung zat arylamine
Amerika Serikat • Pelabelan : harus mencantumkan komposisi dan kandungan serat kain, label perawatan harus harus menempel secara permanen, aman dan dapat mudah terlihat oleh konsumen selama masa pakai produk tersebut. • Syarat mutu : ketahanan terbakar terbagi atas 3 kelas dan harus memenuhi minimal kriteria pada kelas 1 atau 2; kandungan toksin atau racun dan bahan-bahan berbahaya pada produk dan pada kemasan khususnya untuk bahan-bahan seperti merkuri, lead, kadmium, dan hexavalent chromium; ketahanan luntur terhadap
89 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
pencucian kering (dry-cleaning); ketahanan luntur terhadap air, analisis serat secara kuantitatif dan kualitatif; daya serap kain; penampakan produk setelah pencucian berulang.
6.2.6. Mebel Rotan Pada
prinsipnya
tujuan
dari
standardisasi
nasional
adalah
untuk
meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian
lingkungan
hidup,
membantu
kelancaran
perdagangan
dan
mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. Terkait hal tersebut pemerintah menetapkan SNI furnitur rotan baik untuk kursi maupun meja tamu rotan. Standar ini menetapkan syarat mutu dan cara uji kursi dan meja tamu yang terbuat dari rotan yang siap pasang dan siap pakai. Standar ini juga mencakup
ukuran,
konstruksi,
kestabilan,
ketangguhan,
kekuatan,
dan
ketahanan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif dengan membandingkan SNI dan ISO furnitur rotan kursi tamu, SNI Kursi Tamu Rotan memiliki gap positif sehingga diharapkan dapat berdampak pada kualitas produk kursi rotan lokal di pasar internasional. Beberapa gap positif tersebut antara lain: 1)
Pembuatan. SNI mengatur kontruksi produk, sudut kursi, penggunaan bahan kimia dan kontruksi bangunan, dimana kontruksi produk harus kokoh dan tidak ada bagian yang runcing, setiap sudut kursi dibuat tidak tajam dan aman digunakan, penggunaan bahan kimia seperti cat dan vernis harus dijamin keamananya terhadap kesehatan pemakai dan kontruksi sambungan menggunakan skrup (bukan paku);
2)
Persyaratan Mutu. Pada SNI terkait persyaratan mutu terbagi menjadi dua bagian besar yaitu, konstruksi bagian yang menempel terpasang sempurna, tidak ada yang cacat dan ketahanan permukaan tidak berubah terhadap cairan kimia dan ketahanan lekat permukaan lapisan terkelupas maksimal 15%;
90 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
3)
Pengemasan. SNI juga mengatur mengenai ketentuan pengemasan kursi tamu siap pakai dengan menggunakan kertas atau bahan lain yang tidak merusak struktur dan permukaan kursi serta aman saat pengangkutan dan ada petunjuk perakitan. Demikian halnya pula dengan standar kursi tamu rotan, SNI Meja Tamu
Rotan memiliki gap positif jika dibandingkan dengan ISO terkait. Beberapa gap positif tersebut antara lain: 1)
Pembuatan. SNI mengatur kontruksi produk, sudut kursi, dan penggunaan bahan kimia, dimana kontruksi harus kokoh dan tidak ada bagian yang runcing, setiap sudut meja dibuat tidak tajam, penggunaan bahan kimia seperti cat dan vernis harus dijamin keamananya terhadap kesehatan pemakai dan tidak beracun;
2)
Persyaratan Mutu. Pada SNI terkait persyaratan mutu terbagi menjadi beberapa kelompok besar yaitu, konstruksi bagian yang menempel terpasang sempurna, tidak ada yang cacat, kekuatan meja terhadap gaya vertikal dan horizontal tidak terjadi kerusakan yang dapat mempengaruhi keamanan, fungsi dan penampilan, uji kekuatan meja maksimum 34 mm/m tinggi meja dan ketahanan permukaan tidak berubah terhadap cairan kimia dan ketahanan lekat permukaan lapisan terkelupas maksimal 15%;
3)
Pengemasan. SNI juga mengatur mengenai ketentuan pengemasan meja tamu siap pakai dengan menggunakan kertas atau bahan lain yang tidak merusak struktur dan permukaan kursi serta aman saat pengangkutan dan ada petunjuk perakitan.
Tabel 6.6 Analisis Gap Standar Produk Mebel Rotan Gap Positif
ISO • Pembuatan : konstruksi • Persyaratan mutu : konstruksi bagian yang menempel, ketahanan permukaan • Pengemasan : menggunakan bahan yang tidak merusak
91 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Jepang • Syarat bahan baku : diameter dan tingkat kelembaban 14%
Malaysia • Pengemasan: menggunakan bahan yang tidak merusak Gap negatif
ISO • Persyaratan mutu : kestabilan meja terhadap gaya vertical • Metode uji kestabilan : arah depan, samping, dan belakang Jepang • Pembuatan : lem yang digunakan rendah formalin, hasil rautan dan anyaman harus halus, harus anti serangga • Kekuatan : harus kuat diduduki beban sampai 80 kg • Penampilan : cat harus rata, tidak ada bekas gigitan serangga, kokoh tidak reyot, tidak berdebu dan tidak kotor • Pengemasan : bagus dan kuat sehingga tidak berjamur dalam perjalanan • Pelabelan : dilengkapi cara perakitan/pemakaian dan perawatan Malaysia • Bahan baku : penggolongan rotan berdasarkan kualitas dan ukuran diameter, peruntukan rotan disesuaikan dengan kualitas dan jenis rotan • Proses finishing : penyemprotan dengan sprayer bertekanan udara dilakukan dalam ruangan khusus bersistem exhaust
Namun demikian, SNI juga memiliki beberapa kekurangan atau gap negatif. Gap negatif tersebut lebih tertuju kepada parameter persyaratan mutu dengan melihat dari dua metode pengujian yaitu metode eksperimen dan metode kalkulatif. Metode eksperimen yang dilakukan meliputi kursi dengan sandaran yang fleksibel 92 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
dimana ketika diberi beban sebesar 600 N, maka nilai toleransi pergeseran dengan garis vertikal adalah kurang lebih 15 derajat, dan kursi tidak terungkit. Sedangkan metode kalkulatif mengukur jarak minimum horizontal dari titik pemberhentian kaki kursi hingga ke titik vertikal dimana beban akan diaplikasikan pada kursi, dan mengukur pula ukuran tinggi vertikal dari titik yang diaplikasikan beban diatas permukaan horizontal. Tidak berbeda dengan gap negatif pada perbandingan SNI dan ISO furnitur rotan kursi tamu, gap negatif meja tamu lebih tertuju kepada parameter persyaratan mutu dengan mengukur kekuatan stabilitas daun meja dengan metode trial and error, sehingga meja tidak terungkit meski beban diletakkan dibagian paling pinggir dari meja. Selanjutnya, sesuai dengan Standar Acuan Furnitur Rotan produk-produk kursi dan meja rotan yang diterima di pasar Jepang baik penjualan melalui internet ataupun pemasaran melalui toko/butik furnitur rotan banyak melihat dari sisi kekuatan dan kedua produk rotan tersebut. Kekuatan produk yang dilihat terdiri dari kualitas bahan baku rotan tidak harus nomor satu, untuk jenis kursi harus memiliki kekuatan diduduki sampai 80 kg, tidak perlu after sales service/garansi, apabila design furnitur menggunakan kulit rotan harus kuat/tidak mudah putus dan lem yang digunakan harus rendah formalin (lem khsusus untuk bangunan). Sedangkan pada sisi tampilan mereka melihat jika produk rotan tersebut menggunakan cat berwarna maka hasil cat harus rata dan harus lurus tidak ada bekas gigitan serangga. Disamping sisi kekuatan dan penampilan terdapat beberapa tambahan yang perlu diperhatikan terkait pemasaran produk rotan yang dapat diterima pasar Jepang antara lain ukuran harus sesuai dengan pemesanan dan tidak boleh lebih atau kurang meskipun hanya 1 cm. Hasil rautan dan anyaman rotan pada kursi dan meja tamu yang dijual harus halus dan ujung-ujung yang memungkinkan menusuk jari harus diambil atau dipotong, disamping harus diberi anti serangga. Pada saat pengiriman dari Indonesia harus diperhatikan agar tidak berjamur selama perjalanan laut dan kondisi furnitur harus kokoh tidak reyot, furnitur harus dilengkapi dengan cara perakitan/pemakaian/perawatan, pengepakan barang harus bagus/kuat, bagian kaki furnitur harus halus tidak sampai melukai lantai atau tatami, terakhir apabila menggunakan kain, maka komposisi kain itu harus jelas, tidak berdebu dan tidak kotor. 93 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Dibandingkan dengan proses pembuatan mebel rotan di Malaysia yang terangkum dalam panduan yang disusun oleh International Network for Bamboo and Rattan, ada beberapa hal yang menjadi keunggulan maupun kekurangan dari SNI. Dalam panduan untuk produsen mebel rotan Malaysia tersebut, tidak dirinci mengenai acuan pengemasan produk, sedangkan pada SNI diatur bahwa kemasan produk mebel rotan tidak boleh merusak sehingga kualitasnya tetap terjaga sampai ke tangan konsumen. Namun demikian, SNI tidak menggolongkan bahan baku yaitu rotan seperti di Malaysia yang melakukan hal tersebut berdasarkan kualitas kulit atau permukaan dan diameter. Selain itu, para produsen atau pengrajin rotan juga diminta untuk menyesuaikan peruntukan rotan tersebut sesuai dengan kualitasnya. Sebagai contoh, rotan kualitas tertinggi seharusnya digunakan sebagai kerangka mebel seperti kaki atau sandaran kursi. Sementara, rotan dengan kualitas lebih rendah dan diameter lebih kecil dapat digunakan sebagai alas duduk atau pengikat. Kemudian, untuk proses akhir, mebel rotan harus disemprot dengan menggunakan sprayer dalam ruangan khusus berbentuk bilik yang memiliki sistem pangaturan udara atau sistem exhaust.
6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan Dengan adanya penolakan produk ekspor Indonesia di negara tujuan, maka digali lebih lanjut mengenai bagaimana pelaku usaha dalam menerapkan standar pada produk serta respon mereka dalam menghadapi keluhan maupun penolakan produk yang dialami. Hal-hal yang digali dari pelaku usaha meliputi : •
Kepedulian dan perhatian terhadap standar produk;
•
Pengetahuan tentang standar dan pemenuhannya;
•
Implementasi penerapan standar;
•
Komitmen untuk memasarkan hanya produk yang memenuhi standar;
•
Langkah yang dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian dengan standar.
a.
Tuna dan cakalang beku Pelaku usaha, baik eksportir maupun importir, untuk produk tuna dan cakalang menganggap standar itu sangat penting karena merupakan prasyarat untuk dapat memasarkan produk mereka. Penandaan atau pelabelan standar
94 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
juga penting sesuai dengan permintaan pembeli di negara tujuan ekspor. Namun demikian, belum ada pembeli yang mensyaratkan pelabelan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk. Hal ini mengindikasikan bahwa belum ada international recognition terhadap SNI. SNI untuk tuna dan cakalang beku diacu oleh seluruh responden dalam hal pengujian mutu produk, seperti uji cemaran mikroba, kimia, logam dan kadar histamine. Hal itu dimungkinkan karena SNI tuna beku sudah diberlakukan wajib sehingga seluruh parameter terkait standar pada produk tuna beku harus dipenuhi. Selanjutnya, dalam proses produksi, standar yang diacu adalah ISO 22000, Hazard Analysis & Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing Process (GMP). Kesesuaian standar yang dipenuhi oleh eksportir tersebut merupakan ketentuan utama dalam mengekspor produk ke negara tujuan. HACCP merupakan sistem manajemen yang menjamin prosedur keamanan pangan yang diadopsi dari Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang perikanan. Beberapa SNI yang dijadikan acuan dalam manual HACCP antara lain SNI 01-2733.1-2006 tentang Cakalang Beku, SNI 01-4485.1-2006 tentang Tuna steak beku, SNI 01-4104.1-2006 tentang Tuna loin beku, SNI 012710.1-2006 tentang Tuna beku, dan SNI 01-4104.1-2006 tentang Tuna loin beku. Dalam prosesnya, importir atau buyer mensyaratkan keharusan penerapan HACCP oleh eksportir yang dibuktikan dengan manual book yang sudah disertifikasi oleh Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) selaku perwakilan dari pemerintah. Dengan demikian, buyer memastikan bahwa eksportir sudah menyesuaikan standar internasional yang menjamin keamanan pangan (food safety requirement). Ikan tuna dan cakalang beku produksi para responden diekspor ke Uni Eropa, Jepang, Timur Tengah, Amerika Serikat dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Malaysia, Taiwan, Korea dan Vietnam. Pada umumnya negara tujuan ekspor menerapkan standar yang sesuai dengan CODEX yang dikeluarkan oleh FAO dan WHO. Dari seluruh negara tersebut, responden mengemukakan bahwa standar yang paling tinggi atau sulit adalah standar oleh Uni Eropa dan Jepang. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain traceability, keamanan pangan (cemaran dan kandungan zat tertentu), serta health certificate yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan 95 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
setempat.
Sertifikat
tersebut
terkait
dengan
cara
penangkapan
dan
ketertelusuran produk. Para eksportir ini berkomitmen untuk memenuhi berbagai persyaratan dan parameter dalam standar.
Tabel 6.7 Hasil Survey untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara-negara tujuan utama
1. Eropa : kadar antibiotik, traceability, uji cemaran logam berat, kadar histamin, kandungan CO, kandungan Salmonela 2. AS : Uji mikrobiologi (salmonella), fisik ikan, kadar histamine, dan filthy (jorok) 3. Jepang : uji kadar merkuri, benda asing 4. Australia : sertifikat penangkapan 5. Timur tengah : harus bebas radiasi (uji di BATAN) 6. Rusia: ditambah uji radiasi
Komponen utama standar yang belum dipenuhi
Tindakan untuk memenuhi komponen standar
Alasan penolakan
Tindakan untuk mengatasi penolakan
• Kualitas bahan baku kadang kurang konsisten, • Persyaratan kandungan mikrobiologi seperti Salmonela • Persyaratan kandungan histamine • Penerapan HACCP untuk proses produksi, • Sortasi dan grading ulang bahan baku, • SNI digunakan sebagai pedoman untuk uji organoleptik, cemaran kimia, mikrobiologi, • Kesegaran bahan baku harus selalu terjamin, • Memasukkan traceability ke dalam sistem manajemen mutu, • Selalu melakukan uji keamanan pangan, cemaran kimia, dll • Memperbaiki produksi, • Membatasi supplier yang bermasalah, • Menaruh alat data track untuk memantau suhu selama perjalanan, • Inspeksi oleh FDA dari Amerika • Label informasi produk kurang detail • kadar Histamin terlalu tinggi • kualitas tidak sesuai permintaan, • Penampakan (appearance) kurang baik, • Ada benda asing misalnya pembuluh darah dan rambut pada produk (Jepang) • Salmonela dan Kandungan CO • Memperbaiki kualitas sesuai dengan permintaan • untuk mengurangi kadar histamin, harus
96 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
perbaikan dalam penanganan pasca penangkapan ikan, • memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik, termasuk melakukan uji kadar logam, • supplier diwajibkan memiliki sertifikat (health certificate) • mencari pasar baru; Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
Informasi Tambahan
Teknik penangkapan: • Nelayan belum semuanya memiliki kapal yang bersertifikat; • Pola penangkapan ikan masih tradisional sehingga handling belum konsisten • Kondisi alam kurang kondusif sehingga waktu merapat kapal lebih lama menyebabkan kesegaran bahan baku berkurang; • Penanganan pasca penangkapan kurang bagus karena pola masih tradisional; Bahan baku: • Untuk mengganti CO dengan bahan alami diperlukan penanganan yang relatif mahal ; • Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang tercemar; Supplier: • Pemilihan kualitas ikan masih sulit walaupun sudah melalui kontrak dengan nelayan; • proses handling tidak seragam antar supplier; • kontrol terhadap supplier butuh waktu utk proses auditing, monitoring karena semuanya belum terintegrasi; • Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang tercemar; Perubahan regulasi: • terjadinya perubahan regulasi di negara tujuan, seperti EU dan Rusia, walaupun sudah melalui konfirmasi pemerintah (Balai Karantina); terutama EU yang perubahannya terjadi cukup sering • menurut responden, SNI dan standar lain pada dasarnya sama. Namun, standar negara lain berkembang dan bertambah syaratnya sesuai perubahan selera konsumen dan perkembangan teknologi. Sedangkan SNI tidak, penerapan standar juga tidak disesuaikan dengan ketersediaan alat uji; • menurut responden, standar produk agak ketinggalan di sisi hulu, untuk ikan tuna, resiko lebih besar karena resiko cemaran
97 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
•
• •
•
• •
• •
•
logam berat sangat tinggi karena habitat tercemar limbah industri; standar yang diterapkan oleh negara/pemerintah tujuan ekspor lebih ketat, sedangkan dari importir luar negeri lebih fleksibel dan biasanya barang yang sudah dikirim tersebut belum tentu dikembalikan tergantung penyebab penolakan/komplainnya standar yang diterapkan Uni Eropa dianggap paling sulit dibandingkan negara lain; selama ini perusahaan menerapkan standar dari importir luar negeri yang merupakan gabungan dari beberapa standar seperti HACCP, BRC, IFS; Health certificate adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh dinas kelautan perikanan terkait kesehatan dan ketertelusuran hasil tangkapan ikan (online); bahan baku diperoleh dari nelayan maupun hasil tangkapan sendiri; tren permintaan terbaru dari Australia adalah tuna yang ditangkap dengan pancing, bukan dengan kapal. Kapal menangkap tuna dengan jaring besar, sedangkan yang menangkap dengan pancing adalah nelayan kecil yang sulit diperoleh sertifikasi dan penerapan standarnya SKP adalah surat kelayakan proses yang dikeluarkan oleh KKP; EU juga kadang mempermasalahkan soal dokumentasi administrasi misalnya profile number untuk EU yang menjelaskan perusahaan adalah produsen, dsb Perwakilan RI di luar negeri harus menjadi bagian dari solusi karena selama ini belum terlibat secara optimal
Responden eksportir dengan volume ekspor 10 – 40 ton per bulan menyebutkan setidaknya terdapat empat hal yang menjadi perhatian utama dalam pemenuhan standar, yaitu kandungan logam berat, zat kimia, mikrobiologi, dan kotoran (filthy). Ketidakmampuan eksportir dalam memenuhi komponen standar tersebut akan berdampak pada penolakan produk di pelabuhan. Sebagai contoh, hampir semua responden eksportir pernah mengalami penolakan produk di negara tujuan karena kandungan salmonella
98 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
pada Tuna dan Cakalang, zat kimia tertentu/histamine, dan kotoran seperti rambut atau pasir. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan khusus yang diberlakukan di negara tujuan ekspor seperti uji radiasi untuk pasar Rusia dan uji kandungan karbon monoksida (CO) untuk pasar UE. Kedua ketentuan tersebut merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas keamanan pangan dalam mengatasi kasus kebocoran radioaktif di Jepang dan isu pemanasan global. Namun demikian, peraturan tambahan tersebut tidak melekat pada ketentuan standar dan disampaikan melalui pemberitahuan secara resmi (notification) ke pemerintah. Gambar 6.2. Proses Kesesuaian Standar Eksportir – Importir Perikanan
Sumber: Data Primer (diolah)
99 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Gambar 6.2 di atas menunjukkan proses kesesuaian standar antara eksportir dengan importir, dimana setelah eksportir menerapkan standar keamanan pangan sesuai dengan manual book HACCP, beberapa tahapan pengujian mutu dilakukan untuk menjamin bahwa kualitas produk ekspor sudah sesuai dengan standar negara tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan oleh eksportir adalah pengujian mutu yang terdiri dari uji organoleptik di penampungan ikan, uji internal di laboratorium eksportir, dan uji verifikasi oleh Balai Pembinaan Dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) untuk mendapatkan Health Certificate (HC) sebagai ketentuan ekspor (Gambar 2). Selanjutnya, importir yang diwakili oleh badan karantina di pelabuhan (seperti FDA di Amerika atau CD di Uni Eropa) melakukan pengujian mutu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan. Langkah-langkah yang dilakukan perusahaan untuk memenuhi standar antara lain melakukan sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku sebelum diolah, menguji keamanan bahan baku dan barang jadi di laboratorium yang terkareditasi, menjamin kesegaran (freshness) bahan baku, serta melengkapi persyaratan administrasi seperti sertifikasi dan dokumen lainnya. Di sisi lain, pelaku usaha masih menemui beberapa hambatan dalam memenuhi komponen standar yaitu nelayan masih banyak yang menggunakan metode tradisonal dalam melakukan penangkapan ikan sehingga sulit memenuhi syarat sertifikasi dalam hal penangkapan dan kelayakan kapal. Kemudian, cara penanganan (handling) ikan setelah ditangkap juga ada yang belum bisa memenuhi standar, sehingga ikan yang dipasok kadang kurang sesuai spesifikasi.
b.
Manggis Eksportir hortikultura khususnya produk manggis menganggap penerapan standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas produk yang akan dibeli. Standar yang terkait ekspor manggis antara lain adalah ukuran, tingkat kematangan, warna, kesegaran dan kelengkapan kelopak. Dari beberapa standar tersebut, eksportir sudah bisa memenuhinya namun masih terkendala jumlah yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok. Sama halnya dengan produk jagung, Pemerintah sebaiknya menertibkan eksportir yang 100
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal Indonesia. Informasi lain terkait preferensi konsumen adalah konsumen di Dubai lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya. Tabel 6.8. Hasil Survey untuk Komoditas Manggis Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara tujuan utama
Hambatan untuk memenuhi standar Informasi tambahan
• Kualitas : Grade A (90-100%) ,Grade B ( 80- 90%), Grade C (<80%) • Ukuran • Tingkat kematangan • Warna • Kesegaran • Kelengkapan kelopak buah • Kesegaran dan suhu udara /temperatur pada saat pengiriman • Tidak boleh ada semut dan pestisida • Pemerintah sebaiknya menertibkan eksportir yang temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal Indonesia • Konsumen di Dubai lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya • Permintaan dari importir luar negeri lebih rumit dari SNI • Perlu dilengkapi dokumen SOP gudang dan sertifikasi packing house atau lahan yang sudah di registasi oleh Kementan • Eksportir Indonesia saat ini sulit melakukan ekspor langsung ke Cina (Cina membatasi/melarang impor produk buah dari Indonesia), sehingga eksportir untuk melakukan ekspor ke Cina melalui importir yang ada di Thailand atau Malaysia • Alasan pemerintah Cina untuk penghentian impor manggis adalah penemuan hama dan logam berat yang 101
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
berulang kali pada impor manggis dari Indonesia (16 kasus penemuan hama dan 1 kali penemuan logam berat cadmium melampaui batas yang diperbolehkan sejak Nopember 2012)
c.
Jagung Eksportir hortikultura khususnya produk jagung menganggap penerapan standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas produk yang akan dibeli. Eksportir sudah mengetahui Standar Nasional Indonesia (SNI) produk jagung tetapi belum mengelaborasi SNI tersebut karena lebih mengacu pada standar yang ditetapkan oleh pembeli. Negara tujuan ekspor produk jagung adalah Singapura dengan segmentasi konsumen supermarket. Standar yang terkait ekspor jagung antara lain adalah ukuran, tingkat kematangan, dan warna. Dari beberapa standar tersebut, eksportir sudah bisa memenuhinya namun masih terkendala jumlah yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok.
Tabel 6.9. Hasil Survey untuk Komoditas Jagung Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara tujuan Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
• • • •
Ukuran; Tingkat Kematangan; dan Warna Menjaga kualitas pada pasca panen agar tidak timbul jamur
Informasi Tambahan
•
Kompetitor selain perusahaan lokal juga dari negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Myanmar (diprediksi mulai meningkat); Kendala yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau; Kemasan harus Food Grade; Segmentasi untuk Supermarket
• • •
102 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan hasil wawancara dengan eksportir diharapkan adanya peran pemerintah terutama dalam menertibkan eksportir yang “temporer”. Alasannya adalah
para
eksportir temporer ini kurang memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang cukup serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini menyebabkan kualitas yang tidak terjaga sehingga negara tujuan ekspor menganggap secara umum produk asal Indonesia kurang berkualitas yang dapat menyebabkan rendahnya harga dan daya saing dibandingkan dengan produk dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina, Myanmar (yang diprediksi mulai meningkat). Kendala yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau. Informasi dari eksportir saat ini Kementerian Pertanian mengeluarkan sertifikat "Rumah Kemas" kepada perusahaan hortikultura yang memiliki infrastruktur pendukung dalam pengemasan produk hortikultura seperti gudang dan cold storage yang telah sesuai untuk pengemasan produk hortikultura untuk makanan.
d.
Kemeja batik Seperti sebagian besar pelaku usaha lain, eksportir batik juga beranggapan bahwa standar penting karena terkait dengan mutu atau kualitas produk yang mereka jual. Seluruh responden setuju bahwa standar itu penting karena merupakan prasyarat bagi mereka untuk memasarkan produk mereka dan merupakan jaminan bahwa produk mereka berdaya saing. Namun, tidak semua responden merasa perlu untuk mencantumkan label standar pada produk mereka. Hal ini dikarenakan dalam memasarkan produk, mereka sudah melampirkan sertifikasi dan atau surta keterangan lolos uji standar tertentu sehingga label pada produk tidak lagi diperlukan. Namun, mereka kurang mengetahui mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait batik dan parameter yang ada di dalamnya. Standar mutu yang mereka terapkan diacu ke syarat yang diajukan oleh pembeli di negara tujuan, yang kemudian diterapkan dalam proses produksi. Sepertiga responden tidak memiliki pengetahuan mengenai SNI, sepertiga berikutnya mengetahui tentang SNI namun tidak menjadikan SNI sebagai acuan untuk standar mutu. Responden tersebut lebih mengutamakan standar mutu yang ditetapkan atau dipersyaratkan oleh pembeli (importir) dan atau standar mutu negara tujuan. 103
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Sepertiga responden lainnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai SNI dan mensyaratkan pencantuman label pada bahan baku yang mereka gunakan, atau dengan kata lain pemasok bahan baku harus bisa memenuhi SNI.
Tabel 6.10 Hasil Survey untuk Komoditas Kemeja Batik Komponen standar yang menjadi perhatian utama masing-masing negara
• • •
• •
Tindakan untuk memenuhi komponen standar
•
• •
Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan
•
• • •
Malaysia, Thailand, dan Vietnam: Ketahanan luntur, bahan nyaman dikulit, motif seragam harus sama untuk semua Eropa: Kualitas kain dan kualitas jahitan Amerika Serikat, Kanada, Singapura: Pewarna tidak boleh mengandung klorin, tahan robek (strength) : sertifikasi dari Hongkong Amerika dan Kanada: Konstruksi kain, tingkat kelembutan kain, Color fastness, Flammability Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan (untuk butik): Spesifikasi kain/katun harus sesuai untuk 4 musim, pewarna tahan luntur
Monitoring proses pembuatan batik, pembatik harus ekstra hati-hati sehingga mengurangi resiko cacat atau pembatikan yang kurang rapi Memastikan bahan baku dari supplier memenuhi syarat mutu, monitoring proses produksi Bahan baku harus disesuaikan dengan permintaan, melakukan uji/tes yang dipersyaratkan
Tidak mudah mengontrol proses pembuatan batik, menyesuaikan desain atau motif dengan selera pasar di negara tujuan Bahan baku kain dengan syarat sertifikat tertentu kadang sulit dicari Teknik produksi untuk beberapa motif yang mengandalkan cuaca, sedangkan cuaca sering tidak kondusif Harga kurang bersaing dengan negara 104
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
•
Informasi Tambahan
• • • • •
kompetitor seperti Cina dan Vietnam, Harus menyesuaikan motif batik dengan selera konsumen, karena batik dianggap terlalu "ramai” Motif batik yang klasik tidak terlalu disukai; Untuk fabric, SNI masih cukup kompatibel, tapi untuk produk jadi sepertinya masih kurang; Sosialisasi SNI masih sangat kurang; Standar mutu yang dipersyaratkan oleh importir luar negeri sudah sesuai dengan standar negara tujuan; dan Cina dan Vietnam bisa menawarkan harga lebih murah karena pajak lebih rendah dan biaya buruh juga rendah
Produk batik ini dipasarkan ke Eropa, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain kualitas kain, kualitas jahitan, keseragaman ukuran serta kain yang tahan luntur. Motif batik tergantung selera pasar dan biasanya lebih menyukai motif batik yang kontemporer. Hambatan dalam memenuhi komponen standar ditemui ketika harus menyeragamkan ukuran dan kualitas batik tulis karena proses yang tradisional. Standar mutu yang diterapkan oleh para eksportir batik bersumber dari permintaan pembeli dan berdasarkan pengalaman standar tersebut sudah sesuai dengan standar yang berlaku di negara tujuan. Komponen standar yang menjadi perhatian utama antara lain konstruksi kain, kualitas pewarna (tidak boleh mengandung chlorine), ketahanan luntur, flammability, ketahanan robek (strength), serta pelabelan petunjuk perawatan pakaian (care instruction). Komponen-komponen standar tersebut sudah dapat dipenuhi oleh para responden. Hal-hal yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk dapat memenuhi berbagai komponen standar tersebut antara lain : -
Melakukan kontrol mutu yang ketat terhadap bahan baku, seperti kain dan pewarna pakaian dari supplier ;
105 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
-
Memastikan
proses
produksi
sudah
sesuai
dengan
standar
yang
dipersyaratkan.
e.
Mebel rotan Selanjutnya
untuk
produk
kursi
dan
meja
tamu
rotan,
eksportir
mengemukakan bahwa standar itu sangat penting sebagai syarat utama untuk ekspor, terutama dalam
hal kualitas dan workmanship. Mereka juga
menganggap bahwa standar mutu produk itu sangat penting karena hal tersebut menjamin
keberlangsungan
usaha
mereka. Produk-produk
yang
dapat
memenuhi standar mutu yang tinggi pasti dapat bersaing di pasar domestik maupun ekspor. Pengetahuan responden mengenai SNI sudah cukup baik dan menganggap mereka sudah dapat memenuhi komponen standar yang terdapat dalam SNI. Dalam kaitannya dengan pasar ekspor, responden mengemukakan bahwa komponen standar yang disyaratkan oleh negara importir lebih tinggi atau ketat dari SNI. Namun tidak semua produk harus ditandai atau dilabeli pemenuhan standar tertentu, tergantung permintaan pembeli kecuali label “Made in Indonesia”. Sebagian lagi belum menganggap label pada standar itu penting karena lebih mementingkan produknya laku. Produk rotan ini sebagian besar dipasarkan ke Amerika Serikat, lalu sebagian lainnya ke negara-negara Eropa, Timur Tengah, Australia dan negara Amerika Latin. Standar yang dipersyaratkan antara lain penerapan ISO, standar untuk produk hasil hutan dan standar terkait kualitas dan keamanan produk. Komponen standar tersebut meliputi syarat kualitas bahan baku, cat & sekrup (screw) yang digunakan, lolos uji durabilitas, serta lolos uji tahan api untuk cushion atau bantalan kursi. Secara umum, standar yang dipersyaratkan terkait kualitas sama antara negara tujuan ekspor. Namun secara khusus, Amerika Serikat dan Eropa berbeda dalam hal ukuran meja dan kursi. Eropa mensyaratkan ukuran yang lebih besar sesuai dengan postur tubuh masyarakatnya, Sedangkan Australia mensyaratkan 2 kali fumigasi untuk menghilangkan cemaran makhluk hidup, baik mikrobiologi maupun serangga. Saat ini di Eropa juga sudah mulai menetapkan standar cat yang menggunakan sedikit bahan kimia. Eksportir belum menghadapi kendala dalam memenuhi standar dari pembeli selama 106 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
proses mengerjakan pesanan pembeli sesuai kontrak. Sebelum barang diekspor, pembeli atau perwakilannya di Indonesia datang ke bengkel kerja untuk melakukan quality control jadi belum pernah mengalami penolakan. Produsen juga mengirim sampel bahan/material yang akan digunakan untuk proses produksi. Selain itu, yang mereka lakukan adalah memonitor pemasok dalam memenuhi persyaratan kualitas bahan baku serta memonitor tiap tahap dalam proses produksi. Sehingga kesesuaian produk mereka dengan standar di negara tujuan berdampak positif yaitu kontinuitas atau keberlangsungan usaha dan meminimalkan sistem beli putus dari pembeli. Dalam mengimplementasikan standar produk, perusahaan menerapkan prinsip-prinsip
International
Standard
Organisation
(ISO)
dalam
proses
produksinya. Terkait bahan baku, yaitu rotan yang merupakan produk hasil kehutanan, perusahaan hanya menerima rotan atau bahan baku yang memiliki sertifikat tertentu dan sudah memiliki FO atau surat muat barang untuk perdagangan antar pulau. Perusahaan juga mensyaratkan kualitas tertentu untuk bahan baku rotan, seperti kadar kelembaban 14% dan diameter tertentu sesuai peruntukan, sehingga bahan baku tersebut siap pakai. Untuk barang jadi yaitu kursi dan meja tamu rotan, komponen standar yang harus dipenuhi meliputi spesifikasi produk, ukuran, durability, dan keamanan produk. Strategi yang dilakukan oleh responden dalam pemenuhan standar yaitu melakukan control yang ketat dalam hal kualitas (quality control) dalam setiap tahap pengerjaan serta melakukan final inspection. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pernah terjadi complain kepada responden terkait standar, yaitu pada produk ditemukan serangga. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi karena serangga biasanya muncul karena tingkat kelembaban yang tinggi. Peningkatan kelembaban diduga terjadi saat pengiriman barang menuju tujuan.
107 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Tabel 6.11 Hasil Survey untuk Komoditas Mebel Rotan Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara-negara tujuan utama
• Uni Eropa: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diameter dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Standar cat dan pelitur yang menggunakan sedikit bahan kimia (waterbased) dan environmentally friendly (dilengkapi sertfikat) • Amerika Serikat: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Lolos uji tahan air, tahan api, ada sertifikasi dari lembaga standar California • Australia: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Produk harus diproses dengan 2 kali fumigasi • Jepang: kualitas bahan baku rotan dgn spesifikasi diamater dan tingkat kelembaban maksimal 14%; Standar keamanan lebih ketat, ukuran lebih kecil
Tindakan untuk memenuhi komponen standar
• Monitoring dalam proses pengerjaan sangat penting, terutama jika disubkontrakkan; • Mempelajari apa-apa yang diminta oleh buyer utk kemudian dipenuhi • Penetapan standar harus sesuai dengan ISO dan importir luar negeri; • Quality control di tiap tahap produksi
Informasi tambahan
• SNI dianggap kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh negara tujuan karena kurang dapat mengikuti perkembangan • SNI lebih rendah dan tidak laku di negara ekspor, terutama untuk syarat kualitas bahan penunjang seperti lem, sekrup, dll • Bahan baku rotan berasal dari Kalimantan dan Sulawesi dan sudah siap pakai karena syarat mutu bahan baku sudah diajukan terlebih dahulu ke supplier • Kompetitor luar negeri antara lain Cina, Filipina dan Vietnam • Sebelum barang dikirim, pembeli atau perwakilannya di Indonesia datang ke bengkel kerja untuk melakukan quality control 108
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
• Produsen mengirim sampel bahan/material yang digunakan untuk proses produksi • Produsen kesulitan mendapatkan mutu bahan baku dan kontinyuitas suplai
6.4. Pemenuhan Standar Untuk Perlindungan Konsumen dan Peningkatan Daya Saing Melalui Zero Gap Kebijakan perlindungan konsumen dan daya saing sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen atau masyarakat secara umum. Standar menjadi salah satu penghubung bagaimana mencapai tujuan perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing secara bersama. Kebijakan daya saing, yang salah satunya melalui penerapan standar, bisa meningkatkan kemampuan daya saing produk dalam negeri untuk memenangkan persaingan tidak hanya di pasar dalam negeri tetapi juga di pasar luar negeri. Penerapan standar mempunyai nilai ekonomis yang mampu meningkatkan daya saing, mendukung inovasi untuk bisa menciptakan produk yang lebih berkualitas. Untuk kasus di Eropa, peranan standar sangat signifikan dan menyumbang sekitar seperempat dari pertumbuhan produktivitas di Eropa. Lebih lanjut, standar memberikan keuntungan yang signifikan bagi perusahaan kecil dan menengah dengan adanya peningkatan kemampuan daya saing (European Commission, 2012). Lebih lanjut, standar juga mendukung inovasi dan mendorong pemakaian teknologi baru yang bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing. Pemenuhan standar menjadi salah satu kunci untuk memperoleh akses pasar di luar negeri. Sementara di dalam negeri, penerapan standar menjadi salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terkait dengan kualitas dan perlindungan kesehatan, keamanan, keselamatan dan lingkungan hidup manusia (K3L). Kebijakan perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing bersifat komplementer, dan ini bisa dilakukan dengan penerapan standar di Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999. Dalam undang-undang
109 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
tersebut, perlindungan konsumen ditujukan untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanaan dan keselamatan konsumen. Di dalam undang-undang ini tersirat bahwa upaya perlindungan konsumen terkait dengan upaya peningkatan kualitas barang dan jasa, sebgaai salah satu unsur penting dalam peningkatan daya saing produk atau barang dan jasa.
Gambar 6.3 Manfaat Standar Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Terkait dengan standar, dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, konsumen berhak untuk memperoleh K3L dalam mengkonsumsi barang dan jasa,termasuk dalam upaya memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
110 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Secara eksplisit, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya saing melalui kebijakan tentang standardisasi menyebutkan bahwa pemberlakukan standar nasional ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada tidak hanya konsumen tetapi juga pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat pada umumnya. Di sisi lain, kebijakan pemerintah ini juga diharapkan bisa meningkatkan kelancaran perdagangan (termasuk akses pasar). Bagaimana peran standar dalam meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar dalam negeri? Pemberlakukan SNI (wajib) di pasar dalam negeri berlaku tidak hanya untuk produk impor tapi juga produk lokal Indonesia. Hal ini bisa dilihat sebagai langkah bahwa produk nasional yang ber-SNI bisa bersaing dengan produk sejenis yang berasal dari impor. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan atau mengedarkan barang atau jasa yang tidak memenuhi persyaratan SNI (yang sudah diberlakukan wajib). Di sisi lain, pelaku usaha yang sudah memperoleh sertifikasi SNI dilarang untuk memproduksi barang dan jasa yang tidak memenuhi standar yang sudah ditetatapkan (SNI). Dalam kenyataannya, tidak semua produk yang dihasilkan di Indonesia bisa memenuhi standar yang ada, baik itu SNI ataupun standar internasional/standar yang diterapkan oleh negara tujuan. Ketidakmampuan ini bisa dikarenakan kurang siapnya/mampunya mereka dalam memenuhi standar yang ada, maupun karena, adanya gap antara SNI dengan standar yang ada. Oleh karena itu pemenuhan standar dengan meminimalkan gap yang ada atau dengan kata lain pencapaian zero gap menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan perlindungan konsumen sekaligus peningkatan daya saing produk Indonesia. Di bagian sub-gap analisis, terlihat bahwa SNI memiliki gap positif maupun negatif. Dari sisi perlindungan konsumen, gap positif berarti bahwa SNI lebih memberikan jaminan kualitas dan perlindungan kesehatan, keamanan dan keselamatan kepada konsumen di Indonesia. Sementara dari sisi peningkatan daya saing, gap positif adalah bahwa produk yang ber-SNI mempunyai daya saing yang lebih dibandingkan dengan produk sejenis dari luar negeri. Dengan demikian pengawasan barang beredar menjadi penting untuk dilakukan, sebagaimana kebijakan yang sudah dibuat yaitu Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan peyelenggaraan 111 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
perlindungan konsumen. Peraturan ini secara tidak langsung merupakan pijakan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri dengan menjaga kualitas barang dan jasa yang beredar di masyarakat. Adanya gap dalam standar bisa berakibat pada tidak diterimanya produk kita di luar negeri yang berarti menurunnya jumlah nilai ekspor dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang adalah hilangnya akses pasar pada di negara tujuan ekspor tertentu. Penolakan beberapa produk perikanan dan buah-buahan Indonesia di pasar Eropa dan Amerika Serikat, salah satunya karena adanya gap atau ketidakmampuan pelaku usaha di Indonesia dalam memenuhi standar yang ada. Persyaratan yang diminta oleh pasar bisa lebih berat dari standar yang berlaku di Indonesia (SNI).
6.5 Upaya Mengatasi Gap Dalam Standar Berdasarkan hasil dari Gap Analisis diketahui bahwa antara SNI dengan standar internasional yang ada baik itu ISO, CODEX maupun standar nasional yang diterapkan oleh masing-masing negara partner dagang, terdapat gap positif maupun negatif. Secara umum, gap yang terjadi sebenarnya berada pada parameter yang relatif sama yaitu dari mulai bahan baku, proses pengolahan sampai masalah packing dan labeling. SNI pada parameter tersebut mempunyai kelebihan atau gap positif. Di sisi lain, SNI juga mempunyai kekurangan atau gap negatif (Gambar 6.2).
6.5.1. Upaya pemenuhan Gap Standar (Kondisi Gap Negatif) Pada kondisi adanya gap negatif, terutama terkait dengan persyaratan standar yang ada di negara tujuan ekspor, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memenuhi gap positif tersebut. Sebagai contoh, untuk parameter bahan baku, SNI cenderung tidak memperhatikan asal-usul bahan baku, maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kriteria bahan baku. Kemudian terkait dengan masalah penanganan dan pengolahan adanya gap negatif lebih dikarenakan kurangnya kontrol mutu seperti inventory control yang bagus yang dilakukan secara regular.
112 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Gambar 6.4 Pemenuhan Gap Standar
Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO, National Standard Partners)
• •
Gap positif Syarat bahan baku Penanganan dan pengolahan Kadar histamin Syarat mutu dan keamanan pangan Ketentuan mutu, klasifikasi mutu Ketentuan mengenai penampilan Penandaan dan pelabelan • Petugas pengambil contoh, kriteria petugas, cara pengambilan contoh Gap negatif • Syarat bahan baku • Penanganan dan pengolahan • Pengemasan • Syarat mutu dan keamanan pangan • Klasifikasi mutu, Penggolongan mutu: (berdasarkan golongan konsumen) • Penanganan dan pengolahan • Penyimpanan • Ketentuan mengenai penampilan • Syarat khusus • Cara pengambilan contoh: sesuai ISO 874 • Higienitas: harus sesuai CODEX • Zat terlarang: cadmium, formalin, • • • • • • •
Standar Nasional Indonesia (SNI)
Solusi/Bridging the Gap (Praktis)* Sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku, penanganan bahan baku, uji keamanan bahan baku di laboratorium yang terkareditasi, menjamin kesegaran (freshness) bahan baku, memastikan proses produksi sudah sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, quality control yang ketat, melakukan final inspection, penanganan/perbaikan handing dan storage yang benar (sesuai standar) melengkapi persyaratan administrasi
Kebijakan Mengatasi Gap Standar** Keterangan: * dilakukan oleh Pelaku usaha/eksportir/Importir, ** dilakukan oleh pemerintah
113 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Masalah penyimpanan juga masih ada gap negatif, terutama menyangkut masalah kelembaban, rotasi stok harus dijaga, isi dan kemasan yang harus terlindungi dan terpisah untuk menghindari kontaminasi. Kemudian gap negatif dalam masalah kemasan juga harus diperbaiki dalam SNI yang cenderung tidak diperhatikan yaitu bahan kemasan yang harus food grade dan menjamin higienitas produk yang ada di dalamnya. Di
samping
itu
upaya
pemenuhan
gap
negatif
adalah
dengan
memperhatikan persyaratan-persyaratan khusus yang diterapkan dalam standar nasional mitra dagang. Persyaratan khusus tersebut termasuk diantaranya keberadaan benda asing yang tidak boleh terdapat dalam produk yang dikemas, kadar kelembaban tertentu dan zat terlarang seperti pada kasus produk makanan yaitu: kadmium, formalin, dan kromium. Upaya pemenuhan gap negatif ini lebih diarahkan pada peningkatan daya saing dan akses pasar produk ekspor Indonesia. Sehingga dengan pemenuhan gap yang ada, keberterimaan produk Indonesia di pasar luar negeri bisa ditingkatkan. Di sisi lain, upaya pemenuhan gap negatif ini juga bermanfaat pada peningkatan kepedulian dan peningkatan kualitas produk sejenis yang beredar di pasar domestik.
6.5.2 Upaya Pemenuhan Gap Standar (Kondisi Gap Positif) Dalam kondisi adanya gap positif antara SNI dengan standar nasional yang diterapkan mitra dagang Indonesia, maka sudah seharusnya gap positif tersebut dipertahankan. Gap positif yang ada dalam SNI juga berada pada parameter bahan baku, proses pengolahan sampai pengepakan. Beberapa gap positif tersebut, khususnya produk makanan, adalah seperti masalah syarat mutu dan keamanan pangan yang tidak boleh ada cemaran bakteri dan benda asing, seperti cemaran E.coli, cemaran zat Timbal, dan cemaran logam Kadmium. Di sisi lain, rujukan kadar histamin yang ditetapkan dalam SI untuk produk perikanan juga lebih tinggi dari pada yang diterapkan negara lain, yaitu SNI mematok maksimal 100 mg/kg. Sementara negara lain lebih tinggi dari itu, bahkan ada yang lebih dari 500 mg/kg. Di samping itu, dalam hal pengklasifikasian produk, SNI lebih menekankan pada
114 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
pengklasifikasian berdasarkan mutu, sementara negara lain lebih cenderung berdasarkan pada golongan konsumen. Esensi dari upaya mempertahankan persyaratan yang ada dalam SNI yang mempunyai standar yang lebih tinggi adalah merupakan upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dalam negeri untuk memperoleh bahan yang lebih berkualitas dan memenuhi persyaratan K3L sekaligus melindungi produsen dalam negeri dari persaingan produk sejenis dengan standar yang lebih rendah.
6.5.3 Upaya Pemenuhan Gap Standar Secara Praktis Oleh Dunia Usaha Berdasarkan survey, diperoleh informasi mengenai berbagai upaya yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia dalam memenuhi standar yang diinginkan oleh negara mitra dagang, seperti yang diuraikan dalam sub-bab sebelumnya yaitu sub-bab 6.3. Secara umum, langkah pemenuhan gap tersebut adalah menyangkut masalah sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku, penanganan bahan baku, uji keamanan bahan baku melalui laboratorium uji dalam perusahaan dan laboratorium yang terkareditasi, upaya melakukan quality control yang ketat, melakukan final inspection, penanganan/perbaikan handling dan storage yang benar (sesuai standar) dan upaya melengkapi persyaratan administrasi (seperti sertifikasi, termasuk pelabelan dan lainnya).
6.5.4 Upaya Pemenuhan Gap Standar Secara Strategis oleh Pemerintah Upaya pemenuhan gap standar secara strategis ini bisa dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan berbagai pihak/instansi terkait dengan masalah standar dan perdagangan. Dalam kondisi adanya gap negatif pada SNI untuk produk tertentu, maka pemerintah bisa mengajukan usulan perubahan/amandemen terhadap SNI yang ada. Pada prinsipnya SNI memang dimungkinkan dilakukan perubahan secara berkala (dalam kurun waktu setelah lima tahun). Usulan perubahan ini adalah menyangkut berbagai parameter yang ada dalam SNI yang tidak memenuhi persyaratan standar internasional yang ada khususnya standar nasional yang diterapkan oleh mitra dagang Indonesia. Di samping itu, secara tidak langsung, upaya pemenuhan gap standar juga bisa dilakukan oleh pemerintah. Berbagai upaya pemenuhan standar secara tidak langsung tersebut diantaranya adalah upaya perbaikan sarana dan prasarana 115 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
laboratorium uji termasuk di dalamnya tingkat teknologi, kelengkapan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia dan juga kualitas pelayanan. Keberadaan infrastruktur ini sangat penting dalam upaya untuk membangun budaya standar sekaligus upaya mengatasi gap standar yang ada, sehingga pihak pengguna (pengusaha) bisa memanfaatkannya dalam upaya memenuhi standar yang dipersyaratkan. Hal praktis lainya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan hal-hal khusus seperti penertiban eksportir dan importir yang temporer yang cenderung memiliki pengalaman dan pengetahuan yang terbatas. Di samping itu, mereka juga cenderung memiliki infrastruktur pendukung yang terbatas seperti gudang dan cold storage yang sangat diperlukan dalam menjaga kualitas bahan baku dan bahan jadi. Upaya pengawasan barang yang beredar, khususnya untuk memantau produk yang beredar di pasaran yang berasal dari impor yang tidak memenuhi standar SNI. Selama ini pengawasan barang yang beredar mungkin lebih ditekankan pada upaya pemenuhan K3L, tetapi dalam konteks standar ini, pengawasan harus diperluas pada upaya pemenuhan persyaratan yang ada dalam SNI. Upaya pembentukan lembaga Early Warning System untuk produk yang beredar di pasar bisa dibentuk untuk mengatasi permasalahan standar dalam upaya perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing produk nasional.
116 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan 1.
Peran standar mutu sangat penting, baik untuk produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya saing untuk akselerasi ekspor, maupun untuk produk impor dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri.
2.
Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus diterapkan mulai dari asal usul bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi, proses pengolahan, sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun, kondisi dan kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut antara lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan produsen khususnya UKM.
3.
Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit dilakukan di sisi hulu. Bahan baku untuk produk perikanan dan hortikultura, dalam hal ini ikan dan buah-buahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula dengan proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku sulit untuk dipenuhi sesuai standar yang ada.
4.
Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar.
5.
Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang disebabkan antara lain : a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional sebagai acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak hanya mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC, dan lain-lain namun juga mengadopsi ketentuan dan parameter yang ada pada standar swasta (private standards) dan standar lain. 117
Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura (manggis dan jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar logam berat akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan baku sulit untuk memenuhi SNI dan atau standar negara mitra dagang. c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk non pangan (mebel rotan dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar. d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam memenuhi
persyaratan
mutu
dan
keamanan
produk
yang
dipersyaratkan negara mitra dagang. Kesulitan tersebut disebabkan oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM mengenai standar mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi UKM,
serta
terbatasnya
sumber
daya
yang
terampil dalam
penanganan pra dan pasca panen. Selain itu, keterbatasan insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah belum optimal dalam mendukung proses penerapan standar. 6.
Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai acuan atau panduan utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha mengacu pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir di negara mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa SNI kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra dagang.
118 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
7.2. Rekomendasi 1. Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melakukan peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk eskpor ke negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan teknologi. 2. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang antara lain : a.
Di sisi hulu, perlu memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik dan perbaikan penanganan pasca panen. Sedangkan di sisi hilir, perlu memberikan pelatihan dan studi banding, dll kepada pelaku usaha agar meningkatkan kualitas produk ke pasaran.
b.
Melakukan bridging the gap: untuk UKM antara lain (i) memberikan kemudahan
dalam
proses
sertifikasi,
(ii)
sosialisasi
pentingnya
pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii) pembinaan teknis yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen yang tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian dilakukan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, peningkatan teknologi, kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan yang terkait dengan standar. 3. Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri, untuk menjadi bagian solusi dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia antara lain melakukan mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia. 4. Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada masyarakat baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir dan masyarakat konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif masyarakat khususnya dalam mengawasi produk impor yang masuk (tidak memenuhi standar) harus ditingkatkan,
119 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
DAFTAR PUSTAKA
BSN. (2013). Penerapan SNI Pada Dasarnya Bersifat Sukarela. Diakses 28 Juli 2013 dari http://web.bsn.go.id/bsn/activity.php?id=52 BSN. (2008). Kajian Penerapan dan Pertumbuhan SNI di Industri. Pusat Peneitian dan Pengembangan Standardisasi. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Laporan Akhir Penelitian CODEX Alimentarius Commision. (2003). Recommended International Code of Practice General Principles Of Food Hygiene, CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003. Ditjen SPK, Kemendag. (2013). Pengumuman Hasil Pengawasan Tahap VI oleh Wamendag.
Diakses
31
Juli
2013
dari
http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/information/articlesdetail/berita/91. European Commission. (2012). Using Standards to Competitiveness and Innovation. DOI 10.2769/42198
Support
Growth,
Detik Finance. (2013, 27 Mei). Manggis RI Ditolak China, Ini Penjelasan Wamentan. Diakses tanggal 3 Juni 2013 dari Dari http://finance.detik.com/read/2013/05/27/124747/2256607/4/manggis-riditolak-china-ini-penjelasan-wamentan
Drake, Graeme. (2013). International Standardization. Materi training dalam International Standards Cooperation:ISO and other international bodies., Jakarta, Indonesia September 2013. Jakarta. Faergemand, Jacob and Dorte Jespersen. (2004). ISO 22000 to Ensure Integrity of Food Suply Chain.
ISO Insider, ISO Management System, September –
October 2004. Gomm, Moritz. (2009). Gap Analysis: Methodology, Tool and First Application. PARSE.Insight Workshop, Darmstadt 21st - 22nd September 2009 Herjanto, Eddy. (2011). Pemberlakuan SNI Secara Wajib di Sektor Industri: Efektifitas dan Berbagai Aspek dalam Penerapannya. Jurnal Riset Industri Vol. V, No.2, 2011, Hal 121-130.
120 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
ISO. (2010). International Standards and “Private Standards”. Jane Lovell, Allison Clark, David Jeffries. (2003). Gap Analysis in relation to Quality Management for the Supply Chain Management of Genetically Modified (GM) Products: Supply chain identity preservation and segregation case studies. Canberra, A.C.T.: Australian Government Department of Agriculture, Fisheries and Forestry. Kementerian Perindustrian. (2011). Penerapan SNI Wajib untuk Perlindungan Industri Nasional. SOLUSI, No. 34, Juni 2011 Khan, Shaheen Rafi; Fahd Ali and Azka Tanveer. (2005). Compliance with International Standards in the Marine Fisheries Sector: A Supply Chain Analysis from Pakistan. Sustainable Development Policy Institute (SDPI). December 2005, Trade Knowledge Network (TKN). Kontan. (2009). Departemen Perindustrian akan Revisi 615 SNI. Diakses 29 Juli 2013 dari http://industri.kontan.co.id/news/departemen-perindustrian-akanrevisi-615-sniLambaga, Arifin.(2009). Akselerasi Ekspor Produk Perikanan Indonesia Melalui Penerapan Standar. Prosiding PPI Standardisasi 2009 – Makassar 3 Juni 2009 Liu, Pascal. (2009). Private Standard in International Trade: Issues and Opportunities. Trade and Market Division, FAO. National Institute of Standards and Technology. (2013). A Guide to United States Apparel and Household Textiles Compliance Requirements GCR 12-970. U.S. Department of Commerce. Neraca. (2012, 10 Mei). Pemerintah Bakal Kenakan SNI Pada Tiga Produk: Jaga Pasar Domestik dari Banjir Impor. Neraca. (2013, 29 Juli). BSN Akan Keluarkan 500 SNI di 2013. Diakses 29 Juli 2013 darihttp://www.neraca.co.id/harian/article/26616/BSN.akan.Keluarkan.500.SN I.di.2013 Puska Dagri – Kementerian Perdagangan. (2012). Analisis Penerapan SNI Sukarela Pada Industri Mie Instan dan Minyak Goreng Dalam Kemasan.
121 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Salim, Zamroni. ed. (2012). Standarisasi Produk Perikanan dan Olahannya Dalam Penguatan Pasar Ekspor. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ekonomi (P2E). Shepherd, Ben and Nobert L Wilson. (2010). Product Standard and Developing Country Agricultural Exports: The Case of The European Union. Department of Agricultural Economics and Rural Sociology, Auburn University. SNI 01-0222-1995. Bahan tambahan makanan SNI 01-2326-1991. Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan). SNI 01-2710.1-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Spesifikasi. SNI 01-2710.2-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Persyaratan Bahan Baku. SNI 01-2710.3-2006. Standar Ikan Tuna Beku : Penanganan dan Pengolahan. SNI No. 01-2733.1-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Spesifikasi SNI No. 01-2733.2-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Persyaratan bahan baku SNI No. 01-2733.3-2006. Standar Ikan Cakalang Beku : Penanganan dan pengolahan SNI No. 3211:2009. Standar Manggis SNI No. 01-3920-1995. Standar Jagung SNI No. 08.3540.1994. Standar Batik SNI No. 7555.24:2011. Standar Kursi tamu rotan SNI No. 7555.25:2011. Standar Meja tamu rotan Tempo (2012, November 2012). Pemerintah Akan tambah Produk Wajib SNI.
Valk, Olga van der dan Joop van der Roest. (2009). National benchmarking against GLOBALGAP: Case studies of Good Agricultural Practices in Kenya, Malaysia, Mexico and Chile. Report 2008.079. LEI Wageningen UR, The Hague
122 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Washington, S & Ababouch, L. (2011). Private Standards and Certification in Fisheries and Aquaculture: Current Practice and Emerging Issues. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No.553. Will, Margret and Doris Guenther. (2007). Food Quality and Safety Standards: as Required by EU Law and the Private Industry. A Practitioners’ Reference Book. 2nd edition. GTZ.
123 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner KUESIONER PERILAKU PERUSAHAAN (EKSPORTIR) TERHADAP SNI & STANDAR INTERNASIONAL Identifikasi Perusahaan Nama : ......................................... Alamat : ......................................... 1. Apakah menurut anda standar itu penting? a. Ya b. Tidak Alasan : ............. 2. Apakah menurut Anda, pencantuman label standar pada produk Anda itu penting? a. Ya b. Tidak Alasan : .............. 3. Apakah anda mengetahui tentang standar dan SNI? a. Ya b. Tidak Alasan : .............. 4. Negara mana sajakah yang menjadi tujuan ekspor untuk produk perusahaan anda? a. b. c. d. 5. Standar apa sajakah yang terkait dengan produk yang anda ekspor? a. b. c. d. 6. Komponen standar apa saja menurut Anda yang menjadi perhatian utama di masing-masing negara tujuan ekspor? a. b. c. d. 7. Apakah produk perusahaan anda sudah dapat memenuhi komponen utama (pertanyaan nomor 6) pada standar tersebut? a. Ya b. Belum 8. Jika BELUM, komponen standar mana yang belum dipenuhi oleh produk perusahaan anda?
124 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
a. b. c. d. 9. Tindakan apa yang Anda lakukan untuk memenuhi komponen standar tersebut? a. b. c. d. 10. Apakah produk anda pernah mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar? a. Ya b. Tidak 11. Jika YA, apa saja alasan ditolaknya produk anda di negara tujuan? a. b. c. d. 12. Tindakan apa yang Anda lakukan untuk merespon penolakan tersebut tersebut? a. b. c. d. 13. Apa saja hambatan bagi perusahaan anda dalam memenuhi standar di negara tujuan? a. b. c. d. 14. Bagaimana dampak kesesuaian atau ketidaksesuain standar produk anda dengan standar produk di negara tujuan dalam mempengaruhi kemampuan daya saing produk perusahaan anda? ..................................................................... Alasan : .......................................................
125 Kajian Kebutuhan StandardDalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen