LAPORAN AKHIR Kajian Peranan SNI Untuk Penguatan Pasar Dalam Negeri dan Daya Saing Produk Ekspor
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2015
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...........................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ iv DAFTAR TABEL .................................................................................... v BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1.Latar Belakang .................................................................... 1 1.2.Rumusan Masalah .............................................................. 2 1.3.Tujuan dan Output .............................................................. 3 1.4.Manfaat Kajian .................................................................... 3 1.5.Ruang lingkup ..................................................................... 4 1.6. Sistematika penulisan ....................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7 2.1.Perumusan SNI dan Penetapan SNI Secara Wajib ........... 7 2.2. Peranan Standar Dalam Perdagangan
............................ 9
2.3.Hasil Penelitian Sebelumnya ............................................. 11 2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................... 13 BAB III METODOLOGI ....................................................................... 16 3.1. Metode Analisis .................................................................. 16 3.2. Jenis Data dan Metode PengumpulanData......................... 24 3.3. Operasional Survey …………………………………………… BAB IV PENERAPAN SNI BAGI PENGUATAN PASAR DALAM NEGERI 4.1. Standar dan Perlindungan Pasar Dalam Negeri.................33 4.2. Peranan SNI Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri .......34 4.3. Dinamika Penerapan Standar oleh Pelaku usaha Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri ........................................37 BAB V PENERAPAN SNI BAGI PENINGKATAN EKSPOR 5.1. Hubungan Standar dan Daya Saing .............................38 5.2. Peranan SNI Dalam Mendukung Daya Saing.................39 5.3. Dinamika penerapan Standar oleh Pelaku Usaha Dalam Peningkatan Ekspor ............................................................42
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
BAB VISTRATEGI PEMENUHAN KESESESUAIAN STANDAR...........26 6.1. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian SNI dengan Standar Negara Tujuan Ekspor ....................................................... 46 6.2. Analisis Kesesuaian Standar............................................... 70 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Standardisasi dan Regulasi Teknis ....................... 10 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran .......................................................... 15 Gambar 4.1. Pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan wajib sebelum beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan setelah beredar di pasar ................................................... 36 Gambar 5.1. Pengaruh Standar Terhadap Daya Saing ......................... 39 Gambar 5.2. SNI dan Refleksi Pengaruhnya Pada Peningkatan Daya saing dan Akses Pasar di Dalam dan Luar Negeri ............41 Gambar 6.1. Alur pemrosesan teh hitam ............................................... 48 Gambar 6.2. Beberapa jenis produk teh ................................................ 48 Gambar 6.3. Persyaratan wajib dan tambahan untuk produk teh di UE ................................................................................. 52
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 iii
DAFTAR TABEL Tabel1.1
Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang dikaji .........................................................................
5
Tabel1.4
Tahapan dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan ..................... 26
Tabel 3.1
Performance Matrix ………………………………………….. 22
Tabel 3.2
Tujuan – Meningkatkan Ekspor Melalui Produk yang Berstandar …………………………………………………... .23
Tabel 3.3
Tujuan – Melindungi Pasar Dalam Negeri ………………... 24
Tabel 3.4
Tujuan – Meningkatkan Ekspor Melalui Produk yang Berstandar …………………………………………………... .25
Tabel 3.5
Tujuan – Melindungi Pasar Dalam Negeri ………………... 26
Tabel 3.6
Pengumpulan dan Analisis Data …………………………... 29
Tabel 3.7
Operasional Survey …………………………………………. 31
Tabel 5.1.
Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha teh hitam berdasarkan kriteria ........................................................... 42
Tabel 5.2.
Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan kopi berdasarkan kriteria ................................................... 43
Tabel 5.3.
Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan Ekspor .......................................................44
Tabel 6.1
Batasan kandungan kafein pada teh di UE ...................... 49
Tabel 6.2.
Perbandingan MRL CODEX dan negara-negara maju pada teh (mg/kg) .............................................................. 51
Tabel 6.3
Batasan MRL bahan kimia agrikultur pada kategori “otehr spices, dried”......................................................... 54
Tabel 6.4
Kutipan beberapa persyaratan dalam ISO 3720:2011 Black Tea ......................................................................... 55
Tabel 6.5.
Daftar SNI terkait produk kopi dan turunannya ................ 55
Tabel 6.6.
Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya............ 62
Tabel 6.7
HS mainan yang diatur dalam Peraturan Menteri..............63
Tabel 6.8
Batasan N-nitrosamines dan N-nitrosatable sesuai EN 71-12 ............................................................... 66
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 iv
Tabel 6.9
Perbandingan klausul pengujian standar internasional* dan standar EN 71-1 ............................... 67
Tabel 6.10.
Rekapitulasi Hasil Survey Tentang Kasus Penolakan atau Komplain Produk ekspor....................... 73
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 v
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Standardisasi dan mutu produk bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi, perlindungan konsumen, keselamatan, dan kesehatan. Selain itu, standardisasi juga berperan dalam memfasilitasi kegiatan perdagangan, baik pada level domestic, regional, maupun internasional (KADIN, 2012). Faktorfaktor yang mendorong pentingnya pemberlakuan standardisasi yaitu 1) peningkatan persyaratan mutu oleh negara-negara di dunia sehingga perlu kepastian akses ekspor ke negara tujuan utama; 2) kebutuhan di tingkat regional dalam hal standar dan persyaratan teknis dalam rangka kompetisi dan komitmen baru perdagangan, sehingga diperlukan infrastruktur mutu yang sejajar; dan 3) peningkatan perekonomian dalam negeri sehingga masyarakat membutuhkan produk dengan mutu yang baik serta aman dari bahan berbahaya. Standar, atau dalam hal ini Standar Nasional Indonesia (SNI), pada dasarnya diterapkan secara sukarela. Namun demikian, dalam rangka kepentingan umum, keamanan, keselamatan, pelestarian lingkungan hidup, serta perkembangan perekonomian nasional, SNI dapat diberlakukan secara wajib oleh pemerintah. Pemberlakuan SNI secara wajib dilakukan dengan dengan menerbitkan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang berwenang atau kementerian teknis. Pemberlakuan tersebut harus mempertimbangkan berbagai aspek agar tidak tidak terjadi persaingan yang tidak sehat, menghambat inovasi industri dan menghambat perkembangan UKM. Saat ini, ada 107 produk yang SNI-nya diberlakukan secara wajib, 113 SNI yang diberlakukan secara wajib, dan mencakup 269 HS yang terkena pemberlakuan SNI secara wajib. Namun demikian, SNI yang diberlakukan secara wajib juga mengalami permasalahan terkait penerapannya, antara lain (KADIN, 2012) : 1) Banyaknya SNI yang harus di-review dan di-abolisi; 2) keterbatasan laboratorium dan fasilitas uji untuk penerapan SNI wajib; 3) Jumlah SNI yang diberlakukan secara wajib masih relatif sedikit dibandingkan jumlah SNI secara keseluruhan; dan 4) Belum tersosialisasinya program program SNI wajib secara luas dan intensif. Dengan demikian, tolak ukur Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
6
keberhasilan penerapan SNI secara wajib dapat dilihat dari hal-hal berikut (Herjanto, 2011): 1) Industri terkait menerapkan SNI tersebut secara konsisten; 2) diterima oleh pasar atau dengan kata lain memenuhi aspek-aspek penerapan standar; dan 3) ketersediaan lembaga penilaian kesesuaian yang memadai, yaitu tersedianya lembaga pengujian atau sertifikasi (LSPro). Dengan demikian, SNI dapat dikatakan berhasil apabila dapat memfasilitasi perdagangan yaitu diterima oleh pasar dan diterapkan oleh perusahaan. Dengan kata lain, SNI dapat berperan positif dalam peningkatan daya saing produk ekspor dan juga dalam menyaring produk-produk impor berkualitas rendah sehingga SNI sekaligus dapat melindungi konsumen dalam negeri. Namun demikian, hasil penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa alasan utama perusahaan belum memiliki SPPT-SNI yaitu bahwa SNI menambah biaya dan kesulitan teknis, perusahaan menggunakan standar pembeli (buyer), dan bahwa pasar dianggap tidak memerlukan SNI. 1.2. Perumusan masalah Saat ini, sesuai dengan target kinerja Kementerian Perdagangan, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mendongkrak peningkatan ekspor Indonesia di pasar internasional, salah satunya adalah peningkatan daya saing melalui penerapan standar atau Standar Nasional Indonesia (SNI) sejalan dengan
penguatan
pasar
dalam
negeri
guna
untuk
perlindungan
konsumen.Dalam kaitannya dengan peningkatan perdagangan internasional, maka produk-produk ber-SNI yang diperdagangkan akan mempunyai daya saing di negara tujuan ekspor. Hal yang sama juga berlaku untuk produk impor. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka peranan SNI diharapkan mempunyai
dampak
positif
terhadap
perkembangan
produk
ekspor
Indonesia.Dengan demikian, pertanyaan penelitian dalam kajian ini adalah “Apakah
penerapan
SNI
wajib
pada
produk
ekspor
berpengaruh
terhadappeningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri dalam rangka perlindungan konsumen.”
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
7
1.3. Tujuan dan Output Tujuan 1. Menganalisis pengaruh SNI bagi peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri 2. Menganalisis ketidaksesuaian SNI dengan standar di pasar ekspor dan upaya untuk memenuhi kesesuaian standar 3. Merumuskan usulan kebijakan terkait peran SNI dan upaya pemenuhan standard Output 1. Pengaruh penerapan SNI bagi peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri 2. Strategi untuk memenuhi kesesuaian standar di pasar ekspor 3. Usulan kebijakan terkait peran SNI dan upaya pemenuhan standard 1.4. Manfaat Kajian a. Manfaat bagi pemerintah Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan rumusan kebijakan dalam mendorong peningkatan ekspor dan merumuskan kebijakan penerapan SNI secara wajib dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat merumuskan strategi pengembangan industri produk ekspor. b. Manfaat bagi produsen dan industri produk terkait Hasil penelitian ini dapat berguna bagi produsen dan industry terkait sebagai bahan acuan dalam memperbaiki dan mengembangkan standar mutu produk untuk meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor. c. Manfaat bagi konsumen Konsumen dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi jaminan mutu serta Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan (K3L) atas produk-produk elektronik yang beredar di pasar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
8
1.5. Ruang Lingkup 1.5.1. Produk yang dikaji Tahapan pemilihan produk yang dikaji
Strategi Peningkatan Ekspor (Puska Daglu., 2015)
Produk di Kuadran II (Permintaan dunia tinggi, ekspor relatif rendah)
• Permintan dunia bernilai lebih dari 1 milyar US$ • Tren ekspor positif • Diproduksi di dalam negeri dan potensi pertumbuhan positif
Produk Manufaktur (Mainan Anak)
Produk Primer (Teh hitam & kopi olahan)
a. SNI yang dikaji adalah SNI yang berlaku secara wajib maupun sukarela b. Produk/komoditi yang dikaji adalah mainan anak, teh hitam dan kopi olahan. Alasan pemilihan produk : -
Permintaan dunia bernilai lebih dari 1 milyar US$
-
Memiliki tren ekspor yang positif
-
Produk tersebut diproduksi di dalam negeri dan memiliki potensi pertumbuhan produksi yang positif
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
9
Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang dikaji Produk
Mainan anak Teh hitam Kopi olahan
Pertumbuhan rata-rata 2010 - 2014 (%) Permintaan Ekspor Dunia 7,05 23,60 4,35 5,41 10,89 76,24
Pertumbuhan produksi rata-rata (%) 4,31 6 3,5
Sumber :BPS, AEKI, Kemenperind (2015)
1.5.2. Aspek yang dikaji a. Penerapan standar (SNI) oleh pelaku usaha, pemerintah dan konsumen antara lain: -
Kemudahan memenuhi persyaratan standar
-
Tingkat kepercayaan buyer luar negeri (lebih tinggi)
-
Promosi kepedulian (awareness)
-
Akses bahan baku yang lebih berkualitas
-
Daya saing
-
Kepedulian pengusaha
-
Kepedulian konsumen
-
Pengawasan lebih mudah
-
Keberadaan lembaga pendukung
b. Permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam penerapan standar (SNI) c. Perkembangan ekspor dan impor produk yang dikaji d. Permasalahan industri produk yang dikaji dalam meningkatkan ekspor
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
10
1.6. Sistematika Penulisan Laporan dalam kajian ini terdiri dari beberapa bab yang terdiri : Bab I
Pendahuluan Dalam bagian ini dijelaskan tentang latar belakang mengapa perlu dilakukan kajian ini, tujuan dan output, manfaat, ruang lingkup, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka Memaparkan
tinjauan
literature
terkait
peranan
standar
dalam
perdagangan serta hasil kajian sebelumnya yang terkait dengan penerapan standar dan peningkatan ekspor Bab III Metodologi Memaparkan kerangka pikir, metode analisis, pengambilan data dan pengolahannya, serta urutan tahapan kajian. Bab IV Penerapan SNI Bagi Penguatan Pasar Dalam Negeri Menganalisis dampak penerapan SNI bagi penguatan pasar dalam negeri Bab V Penerapan SNI Bagi Peningkatan Ekspor Menganalisis permasalahan penerapan SNI dan peranannya dalam meningkatkan daya saing di pasar ekspor Bab VI Strategi Pemenuhan Kesesuaian Standar Menganalisis permasalahan dalam pemenuhan ketidaksesuaian SNI dengan standar di pasar ekspor dan strategi pemenuhannya Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini, dan rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Standar Dalam Perdagangan Standar merupakan hasil consensus berupa dokumen standar teknis tentang penetapan keseragaman teknis, kualifikasi/persyaratan, metode, proses berdasarkan perkembangan teknologi. Menurut studi yang dilakukan oleh DFC (2011), standar berfungsi untuk: 1) meningkatkan kualitas produk, sistem maupun pelayanan; 2) mengurangi hambatan teknis perdagangan; 3) meningkatkan kerjasama teknis; serta 4) pengurangan biaya bagi produsen, pemasok dan konsumen.
Gambar 2.1. Proses Standardisasi dan Regulasi Teknis Sumber: DFC, 2011
Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk merumuskan dan mengembangkan standar di Indonesia, mengacu pada standar yang ditetapkan oleh badan dunia seperti ISO, CODEX Alimentarius, standar internasional lainnya, serta standar regional. BSN bersama dengan komisi teknis yang terdiri dari kementerian teknis terkait serta para pemangku kepentingan merumuskan standar terkait proses,
manajemen,
produk
dan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
juga
jasa/pelayanan
dengan
12
mempertimbangkan
kesehatan,
keselamatan,
lingkungan
hidup,
serta
perlindungan konsumen. Standar yang telah dirumuskan tersebut bersifat sukarela
dan
dapat
ditetapkan
pemberlakuannya
secara
wajib
oleh
kementerian teknis terkait untuk kemudian dinotifikasi ke World Trade Organisation (WTO). Dengan demikian, standar tersebut berlaku wajib tidak hanya untuk barang-barang yang diekspor namun juga berlaku wajib bagi barang-barang yang diimpor. 2.2. Perumusan SNI dan Penetapan SNI Secara Wajib • Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara Wajib Penyusunan peraturan teknis yang berkaitan dengan pemberlakuan SNI secara wajib dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan penerapan standar serta pemberlakuan regulasi teknis berbasis standar di tingkat nasional, regional, dan internasional membutuhkan pedoman yang dapat dijadikan sebagai acuan. Oleh karena itu BSN menerbitkan Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang pedoman pemberlakuan SNI secara wajib. SNI pada dasarnya dikembangkan sebagai referensi pasar yang penerapannya bersifat sukarela (voluntary) dengan tujuan meningkatkan kepastian, kelancaran serta efisiensi transaksi perdagangan. Selain itu juga digunakan dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen dan efisiensi produksi. SNI dapat diimplementasikan dengan baik apabila proses perumusan dan penetapannya dilakukan secara konsensus oleh pemangku kepentingan seperti produsen, konsumen, pemerintah, pakar, dan pihak lain sehingga pemberlakuan SNI secara wajib diharapkan lebih mudah dimengerti oleh pemangku kepentingan. Selain pemberlakuan SNI secara wajib, intervensi pasar dapat dilakukan melalui penerapan regulasi teknis berbasis SNI oleh instansi teknis. Penetapan regulasi teknis sebaiknya memperhatikan faktor-faktor seperti kesiapan pelaku usaha, kesiapan lembaga penilai kesesuaian, validitas SNI, pengawasan, dan perjanjian internasional atau regional.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
13
• Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 86/MIND/PER/9/2009 Tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri Dalam
rangka
mewujudkan
persaingan
usaha
yang
sehat,
perlindungan konsumen dan meningkatkan mutu dan daya saing industri dalam negeri telah disusun Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang industri. Peraturan ini mengatur ketentuan mengenai perumusan SNI, penerapan SNI, penunjukan
Lembaga
Penilaian
pemberlakuan SNI Kesesuaian,
secara
pembinaan
SNI,
wajib, dan
pengawasan SNI bagi barang dan atau jasa di bidang Industri. Perumusan SNI, kaji ulang SNI dan revisi SNI di bidang industri dilakukan oleh panitia teknis atau sub panitia teknis yang diusulkan oleh BPPI dengan mempertimbangkan masukan Direktorat Jenderal Pembina industri kepada BSN. Pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh BSN dan perjanjian yang telah diratifikasi oleh pemerintah dan menghasilkan rancangan SNI disampaikan kepada BSN untuk ditetapkan menjadi SNI. Penerapan SNI dilakukan secara sukarela dan wajib. Untuk produsen yang telah memiliki SPPT SNI dan menerapkan SNI sukarela dapat memproduksi dan memperdagangakan produk dengan tanda SNI sedangkan yang tidak mengacu persyaratan SNI tidak boleh mencantumkan tanda SNI dan jika melanggar dapat dikenakan sanksi administrasi. Sementara pemberlakuan SNI secara wajib harus terkait dengan aspek K3L mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh BSN dan perjanjian yang telah diratifikasi. Pemberlakuan SNI wajib berlaku sama pada produk dalam negeri maupun impor. Dalam rangka penerbitan SPPT SNI yang berlaku selama 4 (empat tahun), lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji dan lembaga inspeksi ditunjuk oleh Menteri Perindustrian. Lembaga sertifikasi yang ditunjuk adalah lembaga yang telah terakreditasi oleh KAN, telah memiliki perjanjian kerjasama dengan laboratorium penguji atau lembaga inspeksi dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
14
• Pedoman Standardisasi Nasional (PSN01:2007) Tentang Pengembangan SNI Pedoman ini dirumuskan bertujuan untuk menciptakan mekanisme yang seragam dalam mengembangkan SNI, keteraturan dengan praktek dunia internasional, dan acuan pelaksanaan pengembangan SNI. Ruang lingkup pedoman ini meliputi program nasional perumusan SNI (PNPS), pelaksanaan perumusan, penetapan, publikasi, dan pemeliharaan SNI. PNPS adalah rencana kegiatan untuk merumuskan SNI dalam periode tertentu yang dipublikasikan agar dapat diketahui semua pihak yang berkepentingan. Perkiraan waktu yang digunakan acuan dalam PNPS minimal 19 bulan tanpa mengurangi mutu dari standar yang dirumuskan. Prinsip dasar dalam proses perumusan SNI adalah transparansi, konsensus, efektif dan relevan, koheren, dan dimensi pengembangan. Selain itu perumusan tidak berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan dan sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional (jika tidak mengacu harus dilakukan validasi). Tahapan perumusan SNI dimulai dengan penyusunan konsep dilanjutkan dengan rapat teknis, rapat konsensu, jajak pendapat kemudian perbaikan akhir disusul dengan pemungutan suara dan penetapan. Untuk publikasi SNI harus dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah penetapan. Sementara pemeliharaan SNI dilakukan melalui kaji ulang sekurang-kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun setelah ditetapkan. 2.3. Penerapan StandarDalam Perdagangan Standar umumnya diberlakukan secara sukarela sebagai pedoman bagi pelaku usaha dalam melakukan proses produksi sehingga menghasilkan produk dengan kualitas tertentu sesuai kebutuhan pasar dan perkembangan teknologi. Seiring dengan makin berkurangnya hambatan perdagangan dari sisi tarif, maka peran non-tarif seperti standar menjadi kian penting, terutama bagi negara berkembang yang juga negara eksportir. Bagi negara eksportir sekaligus negara berkembang, biaya penerapan standar di negara berkembang bisa jadi lebih besar daripada di negara maju (Maskus, 2005). Stephenson (1997) juga mengemukakan bahwa negara berkembang biasanya cenderung menjadi “standard-taker” daripada “standard-maker” karena biaya perumusan dan pengembangan standar lebih mahal daripada Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
15
biaya penyesuaian dengan standar di negara tujuan. Studi oleh Maskus (2005) juga menambahkan bahwa negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup dalam hal laboratorium pengujian dan sertifikasi atau pun kapabilitas secara kolektif untuk menaikkan standar mereka. Sehingga, biaya penyesuaian standar untuk produk ekspor biasanya akan ditanggung oleh perusahaan, dalam hal ini eksportir. Berbagai studi telah dilakukan terkait dengan standar produk, terutama standar swasta yang diberlakukan secara sukarela untuk produk pangan dan produk pertanian seperti GlobalGAP, EuroGAP, Fair Trade, dan BRC Global Standards. Studi yang dilakukan oleh Henson, Masakure, dan Boselie (2005) menunjukkan
bahwa
produsen
produk-produk
pertanian
skala
kecil
menghadapi tantangan yang cukup besar dalam hal mengikuti mengikuti perkembangan keamanan pangan dan standar kualitas, selain kendala biaya untuk penerapan standar tersebut. Produsen skala kecil tersebut perlu dimonitor oleh eksportir melalui sistem kontrol yang berlapis dan dinamis untuk memastikan standar kualitas tetap terjaga. Dengan demikian, peningkatan kinerja eksportir dapat tercapai. Sementara itu, retailer sayuran yang berlokasi di Uni Eropa yang pemasoknya berasal dari negara Afrika terutama Kenya, memiliki konsumen dengan preferensinya cukup beragam dan standar yang cukup tinggi. Namun demikian, para eksportir Kenya justru memposisikan diri menjadi pemasok dengan kategori produk “high-end”. Strategi ini cukup berhasil dengan melakukan investasi cukup besar dalam perbaikan sistem pengadaan dan produksi, meng-upgrade fasilitas pengemasan, dan sistem manajemen kualitas dan keamanan pangan. Peran standar swasta yang cukup penting dalam perdagangan sayuran dan buah dari negara-negara Afrika ke negara-negara Uni Eropa juga dibahas dalam studi oleh Henson, Masakure, dan Cransfield (2011). Para penulis melakukan
studi
kuantitatif
tentang
faktor-faktor
pendorong
sertifikasi
GlobalGAP yang dilakukan oleh perusahaan dan bagaimana kinerja mereka setelah sertifikasi tersebut. Responden dari penelitian ini adalah para perusahaan eksportir produk hasil pertanian di 10 negara Afrika. Mereka memperoleh keuntungan dari peningkatan ekspor sebesar 2,6 juta Euro. Selain
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
16
sertifikasi GlobalGAP, investasi, infrastruktur, layanan dukungan juga turut menyumbang kesuksesan dalam peningkatan ekspor mereka. Sementara, studi terkait penerapan standar dan kinerja ekspor pada sektor lainnya, seperti industri elektronik tidak banyak ditemukan. Salah satu dari studi tersebut yang dilakukan oleh Moenius (2004) mengemukakan bahwa penerapan standar biasanya dianggap sebagai hambatan perdagangan, untuk itu negara-negara lalu melakukan harmonisasi standar untuk meningkatkan perdagangan antara negara. Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa standar bersama antar dua negara secara bilateral terbukti lebih efektif meningkatkan perdagangan. Selanjutnya, pemenuhan standar spesifik negara importir untuk produk manufaktur secara signifikan meningkatkan ekspor. Hal ini terjadi karena negara eksportir memiliki kesempatan untuk memperoleh infomasi mengenai persyaratan dalam standar tersebut sehingga eksportir bisa menyesuaikan spesifikasi produknya sesuai kualifikasi. Dengan kata lain, jika suatu negara ingin
standar
negaranya
berperan
dalam
peningkatan
ekspor,
maka
persyaratan dan kualifikasinya harus disesuaikan dengan standar negara tujuan ekspor. 2.4. Standar dan Daya Saing (Competitiveness) Dalam era perdagangan global sekarang ini, daya saing mempunyai kaitan erat dengan standar.Keterkaitan daya saing dengan standar terutama dalam hubungannya dengan kualitas produk barang yang beredar di pasar, baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (internasional). Daya saing produk bisa ditelaah melalui, setidaknya, tiga dimensi daya saing yaitu (Mbaye dan Gueye, 2015): daya saing harga, daya saing biaya produksi (efisiensi produksi) dan daya saing kualitas. Dari sisi daya saing biaya produksi, bagi perusahaan yang mempunyai inovasi produksi dan teknologi bisa meningkatkan efisiensi produksi, penurunan biaya produksi yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saingnya (Jaffee dan Henson, 2004). Dalam konteks perdagangangan global saat ini, isu kualitas menjadi isu sentral yang menentukan kinerja ekspor (export performance) dan akses pasar suatu negara (Henson et al., 2002).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
17
Kualitas suatu produk menjadi salah satu pertimbangan untuk membeli suatu barang (Jaffee dan Henson, 2004). Salah satu cara untuk mengetahui kualitas produk adalah melalui ketelusuran produk (product traceability) menjadi penting bagi konsumen untuk bertindak (Mbaye dan Gueye, 2015). Traceability bisa diketahui salah satunya adalah melalui adanya tanda standar tertentu yanga da pada produk tersebut. Ketika tidak ada traceability yang cukup maka informasi public yang beredar bisa menjadi pertimbangan konsumen. Namun demikian, informasi publik ini tidak mudah dikontrol oleh perusahaan. Dalam kaitannya dengan traceability dalam kualitas produk, ada dua kondisi yang mempengaruhi konsumen di pasar (Mbaye dan Gueye, 2015). Pertama adalah kondisi dimana konsumen mengetahui siapa produsen barang tersebut. Kedua adalah kondisi dimana konsumen tidak mengetahu produsen dari barang yang bersangkutan. Untuk kondisi kedua, upaya untuk memperoleh informasi (signaling) menjadi mahal bagi konsumen. Mahalnya upaya perolehan informasi ini tentu akan mempengaruhi minat konsumen untuk membeli produk tersebut. Tanpa adanya informasi yang cukup, produk tersebut cenderung tidak diterima oleh pasar. Dengan kata lain, daya saing dari produk itu rendah untuk bisa masuk di pasar (internasional). Dalam kondisi inilah peran standar (adannya tanda standar) bisa menjembatani antara keterbatasn informasi kualitas produk dan keinginan konsumen/pasar untuk memperoleh informasi. Standar dan regulasi teknis merupakan prasyarat dalam perdagangan dan akses pasar, sehingga eksportir dituntuk untuk selalu memenuhinya. Daya saing tidak lagi terbatas pada masalah efisiensi produksi. Standar dan teknis regulasi mempengaruhi daya saing perusahaan dan produk yang dijualnya melalui penciptaan restriksi bagi perusahaan yang ingin masuk di pasar ekspor dengan adanya biaya pemenuhan standar (standard compliance cost) yang harus ditanggung oleh perusahaan (baru) yang bisa menurunkan kemampuan daya saingnya (dari sisi harga) (Ignacio, 2015). Lebih lanjut, khususnya untuk produk-produk pertanian atau produk yang mudah rusak (umur produk terbatas) selain tuntutan standar dan regulasi teknis juga menuntut adanya kemampuan perusahaan untuk maslah kemanan pangan dan Sanitary PhytoSanitary (SPS).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
18
Dalam kaitannya dengan ketidaktersediaan infrastruktur pendukung (pemenuhan standar) yang ada dalam industry/perusahaan mempengaruhi daya saing produk baik itu melalui penurunan kualitas dan keamanan produk atau lebih tingginya biaya transaksi (Ignacio, 2015). Lebih lanjut, UNCTAD (2008) menjelaskan bahwa tingginya biaya transportasi dan ketiadaan system transportasi yang baik akan mempengaruhi daya saing produk. Tingginya biaya transaksi ini tentu akan mempengaruhi daya saing dari sisi harga jual produk di pasar. Studi yang dilakukan oleh Cao dan Prakash (2011) mengkaji persaingan dalam perdagangan telah mempengaruhi insentif bagi perusahaan untuk menerapkan standar dalam rangka meningatkan kualitasnya. Penerapan standar (ISO) pada produk yang diperdagangankan memberikan tanda (signaling) bahwa produk tersebut berkualitas dan mempunyai daya saing yang meningkat. Oleh karena, beberapa negara dan asosiasi perdagangan yang ada berusaha menerapkan standar untuk meningkatkan daya saing perusahaan dalam negeri di pasar global. Standar pada satu sisi bisa bertindak sebagai penghambat ekspor yang bisa muncul sebagai akibat halangan bahwa suatu produk yang masuk ke suatu negara harus berstandar (negara yang bersangkutan) (Jaffee dan Henson, 2004). Di samping itu, standar bisa juga menjadi halangan dalam kaitannya
dengan
biaya
pemenuhan
standar
yang
bisa
mengurangi
kemampuan daya saing ekspor. Terutama untuk produk pertanian, kemampuan daya saing dari sisi kualitas merupakan tantangan tersendiri yang mungkin tidak dihadapi oleh produk manufaktur (Jaffee dan Henson, 2004; Mbaye dan Gueye, 2015). 2.5. Kerangka Pemikiran Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dikeluarkan dengan tujuan agar SNI bisa memberikan manfaat kepada masyarakat baik sebagai konsumen maupun produsen. Sebagai konsumen, SNI diharapkan mampu melindungi mereka menyangkut keamanan, kesehatan, keselamatan serta lingkungan hidup bagi masyarakat. Sementara itu, bagi perusahaan/dunia usaha, keberadaan SNI bisa meningkatkan daya saing mereka baik di pasar local maupun global. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
19
Sampai saat ini, sebagain masyarakat dan pelaku usaha belum memahami arti penting/manfaat dari SNI, baik SNI yang diberlakukan secara wajib maupun sukarela. Makna penting SNI bagi pelaku usaha adalah lebih meningkatnya daya saing. Dengan kata lain, suatu industri yang sebagian besar pengusahanya menyadari akan arti penting SNI dan standar pada umumnya cenderung mempunyai daya saing yang lebih besar. Perusahaanperusahaan yang berada dalam industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan lebih dalam melakukan penetrasi pasar. Demikian juga perusahan yang melakukan ekspor akan lebih mudah menyesuaikan permintaan produk dengan standar tertentu yang dilakukan oleh pihak pemesan/luar negeri. Masih dimungkinkan adanya ketidakmampuan dunia usaha dalam memenuhi permintaan produk dengan standar tertentu (standar masing-masing Negara tujuan ekspor) harus menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah. Ketidakmampuan mereka dalam memenuhi standar bisa berasal dari dalam diri perusahaan menyangkut teknologi, sumber daya dan lainnya yang ada dalam perusahaan. Ketidakmampuan mereka juga bisa disebabkan oleh faktor eksternal menyangkut adanya ketidaksesuaian standar yang ada di Indonesia (SNI) dan juga faktor/lembaga pendukung standar di Indonesia. Pada kondisi lain, kondisi domestik, keberadaan SNI mampu memberikan perlindungan pada konsumen di dalam negeri dari produk yang tidak memenuhi standar (SNI). Kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah dalam menerapkan SNI untuk produk yang beredar di masyarakat sangat diperlukan. Penelitian
ini
bermaksud
untuk
menjawab
berbagai
berbagai
permasalahan yaitu masalah peranan SNI yang diberlakukan secara wajib bagi peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri, kemungkinan ketidaksesuaian SNI dengan standar di pasar ekspor untuk produk-produk prioritas dan upaya untuk memenuhi kesesuaian standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
20
Kegiatan Perdagangan
Perlindungan Konsumen
Standardisasi
SNI Teh Hitam (sukarela) Kopi instan (wajib) Mainan anak (wajib)
RIA: • MCA • Benefitcost Analysis
RIA: • MCA • Benefitcost Analysis
Perlindungan pasar dalam negeri
Peningkatan ekspor (secara tidak langsung)
Standar negara tujuan
SCA
Pilihan Kebijakan
Pilihan Kebijakan
Kesesuaian/ketidaksesuaian
Rumusan usulan kebijakan
Strategi Peningkatan Peran SNI dan Pemenuhan Standar
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Merumuskan usulan kebijakan dalam penerapan SNI secara wajib untuk produk prioritas yang mendukung pencapaian target ekspor, khususnya produk elektronik menjadi demikian penting. Oleh karena itu, studi ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengambil langkah perbaikan terkait
dengan
penerapan
SNI
wajib
dan
mencari
solusi
terhadap
ketidaksesuaian SNI dengan standar di negara tujuan ekspor (Gambar 2.2).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
21
Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan inventarisasi SNI wajib yang sudah diberlakukan dan belum diberlakukan (sukarela)pada produk mainan anak, teh hitam dan produk olahan kopi, kemudian melakukan analisis terhadap pengaruh penerapan SNI terhadap peningkatan ekspor nasional/pemenuhan target
ekspor,
penguatan
pasar
dalam
negeri,
dan
mencari
kesesuaian/ketidaksesuan SNI dengan standar yang diberlakukan oleh negera tujuan ekspor (pasar internasional). Dengan diketahuinya kondisi dan permasalahan yang ada, diharapkan bisa disusun rekomendasi kebijakan terkait dengan pemberlakuan SNI wajib untuk produk (prioritas)elektronik dan bisa dicarikan solusi upaya untuk menerapkan standard compliance. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Beberapa alasan mengenai pemilihan metode deskriptif kualitatif ini adalah karena dalam penelitian ini ingin diketahui gambaran langsung dari pelaku usaha mengenai pengaruh penerapan SNI terhadap peningkatan ekspor dan perlindungan pasar dalam negeri. Sementara itu deskriptif kualitatif juga diperlukan dalam upaya mengkaji faktor lain yang menentukan kesiapan perusahaanproduk prioritas dalam menerapkan SNI wajib.Deskriptif kuantitatif didasarkan pada model analisis yang dipakai yaitu Regulatory Impact Analysis (RIA) dan Standard Compliance Analysis. Ada asumsi mendasar yang dijadikan pijakan dalam menggunakan metode analisis tersebut untuk mengetahui pengaruh dari penerapan SNI wajib pada peningkatan ekspor yaitu: bahwa dengan adanya penerapan SNI wajib, dianggap bahwa industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan baik sisi teknis, infrastruktur, SDM, sumber daya lainnya dan lembaga pendukung. Dengan dimilikinya berbagai faktor penentu tersebut, industri dengan berbagai perusahaan yang ada di dalamnya mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada industri di mana SNI tertentu belum diwajibkan. Kemampuan mereka ini tentu saja akan lebih mudah dipakai untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh negara mitra dagang (standar negara tujuan ekspor) dengan lebih mudah. Memang, SNI bukanlah standar utama yang dijadikan ukuran oleh negara tujuan ekspor untuk bisa menerima produk Indonesia di pasar mereka, melainkan standar internasional dan bahkan standar mereka sendiri yang harus dipenuhi oleh produsen di Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
22
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
23
BAB III METODOLOGI 3.1. Metode Analisis Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan inventarisasi SNI wajib yang sudah diberlakukan dan belum diberlakukan (sukarela) pada produk elektronik, kemudian melakukan analisis terhadap pengaruh penerapan SNI terhadap peningkatan ekspor nasional/pemenuhan target ekspor, penguatan pasar dalam negeri, dan mencari kesesuaian/ketidaksesuan SNI dengan standar yang diberlakukan oleh negera tujuan ekspor (pasar internasional). Dengan diketahuinya kondisi dan permasalahan yang ada, diharapkan bisa disusun rekomendasi kebijakan terkait dengan pemberlakuan SNI wajib untuk produk (prioritas)elektronik dan bisa dicarikan solusi upaya untuk menerapkan standard compliance. A. Regulatory Impact Analysis (RIA) Regulatory Impact Analysis (RIA) adalah sebuat alat analisis yang digunakan untuk menganalisis suatu kebijakan tertentu berdasarkan sejumlah opsi (OECD, 2008; Department of teh Taoiseach, 2009). Analisis ini bisa membantu untuk menentukan opsi mana yang terbaik dalam mencapai suatu tujuan terkait dengan pelaksanaan suatu kebijakan (Department of teh Taoiseach, 2009).1 Dengan RIA ini juga bisa diketahui kemungkinan
berbagai
dampak/effect/cost
sekaligus
juga
keuntungan/benefit yang diperoleh. Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam RIA adalah menentukan permasalahan/tujuan (objective), identifikasi opsi,
criteria
dan
sub-kriteria,
konsultasi
(dengan
pihak
terkait),
perbaikan/revisi (termasuk kriteria, sub-kriteria) dan melakukan analisis. RIA dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Multi-Criteria Anaysis (MCA). MCA ini merupakan teknik pengambilan keputusan yang didasarkan pada berbagai criteria yang didasarkan pada tujuan (objective) tertentu.
Tujuan
ini
bisa
dicapai
dengan
menggunakan
beberapa
1
Dalam kajian ini, model RIA yang dipakai merujuk pada referensi utama dari Department of teh Taoiseach (2009).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
24
pilihan/kebijakan (option) yang penilaiannya didasarkan pada beberapa criteria dan sub-kriteria. Selain penggunaan metode MCA, dalam kajian ini juga dilengkapi dengan Benefit-Cost Analysis (BCA) untuk melihat keuntungan (benefit) dan biaya (cost) dalam penerapan SNI wajib dalam rangka untuk mendukung pencapaian target ekspor dan perlindungan konsumen (di dalam negeri). Kriteria pembobotan Pembobotan ini diperlukan untuk melihat relatif pentingnya suatu kriteria dibandingkan kriteria lain dalam menilai opsi yang diajukan. Kombinasi pembobotan dan nilai akan menentukan tingkat preferensi dari berbagai opsi (kebijakan) yang ada. Pembobotan ini bisa dilakukan dengan: (1)
memberikan nilai (score) secara numeric untuk tiap criteria, misalnya dari 1 sampai 100 atau dari 1 sampai 10. Bisa juga dilakukan dengan membagi angka 100 sesuai dengan tingkat relative pentingnya suatu criteria.
(2)
Memberikan nilai berdasarkan penilaian ordinal (nilai relative). Penilaian ordinal yang dipakai adalah: Highly positive (3) Moderately positive (2) Slightly positive (1) Neutral (0) Slightly negative (-1) Moderately negative; and (-2) Highly negative (-3)
Performance matrix Performance matrix ini disajikan untuk menampilkan hasil/performance dari beberapa opsi yang diusulkan berdasarkan criteria yang ada. Secara sederhana performance matrix ditampilkan seperti berikut (Tabel 3.1): Tabel 3.1: Performance Matrix Opsi Opsi I Opsi II
Kriteria A +++ ++
Kriteria B Kriteria C Kriteria D ++ 0 + ++ + 0
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
25
Opsi
Kriteria A
Opsi III
Kriteria B Kriteria C Kriteria D -
+
A1. Multi-Criteria Anaysis (MCA): Tujuan, Opsi dan Kriteria Yang Digunakan Tujuan ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa pencapaian tujuan tersebut bisa dilakukan apabila produk yang bersangkutan sudah memenuhi standar, baik SNI maupun standar yang diterapkan di pasar internasional. Namun demikian, kajian ini menggunakan pendekatan SNI untuk menentukan tingkat kemampuan daya saing produk ekspor kita di pasar internasional dan juga di pasar dalam negeri. Seperti diuraikan dalam Bab II (Kerangka Pemikiran) ada asumsi dasar yang dijadikan pijakan dalam mengkaji bagaimana SNI bisa mempengaruhi peningkatan ekspor (secara tidak langsung). Meskipun perusahaan yang melakukan ekspor cenderung menerapkan standar sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan, keberadaan perusahaan di dalam negeri yang sudah mampu menerapkan SNI menunjukkan bahwa industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan (yang lebih) baik sisi teknis, infrastruktur, SDM, lembaga pendukung dan sumber daya lainnya. Study yang dilakukan oleh Maskus (2005) mendukung asumsi tersebut bahwa infrastruktur
dan
layanan
dukungan
standar
terkait
dengan
kemampuan mereka dalam memenuhi standar yang diminta oleh pasar negara tujuan (ekspor). Dalam
kajian
ini,
tujuan
yang
ingin
dicapai
adalah
(1)
meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar dan (2) Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri melalui produk yang berstandar. Beberapa opsi yang diajukan adalah: (1) tidak melakukan apa-apa (do nothing), (2) Penerapan SNI (sukarela), (3) Penerapan SNI (wajib) dan upaya memenuhi kesenjangan yang ada dalam standar yang berlaku di negara tujuan/internasional (Standard Compliance). Opsi ‘do nothing’ yang dimaksudkan dalam kajian ini
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
26
adalah bahwa industri/perusahaan (khusus yang melakukan ekspor) hanya memenuhi standar yang ada (yang diminta) oleh negara tujuan. Berikut ditampilkan ringkasan tujuan, opsi dan criteria yang akan dipakai dalam kajian ini (Table 3.2 dan Table 3.3). Tabel 3.2: Tujuan - Meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar Kriteria Opsi 1 Do Nothing
Opsi Opsi 2 Opsi 3 Opsi 4 Penerapan Penerapan Penerapan SNI SNI wajib Standar sukarela Tujuan Ekspor
Kemudahan memenuhi persyaratan standar Lebih lengkapnya peralatan teknis Lebih baiknya SDM Lebih baiknya institusi pendukung (infrastruktur di luar perusahaan) Tingkat kepercayaan buyer luar negeri (lebih tinggi) Rendahnya tingkat penolakan (rejection rate) Rendahnya jumlah komplain Promosi kepedulian (awareness) Banyak perusahaan yang lebih peduli Masyarakat yang lebih peduli/sadar Akses bahan baku yang lebih berkualitas Supplier lebih cenderung memperhatikan kualitas Jumlah bahan baku berkualitas (lebih banyak) Harga bahan baku (kompetitif)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
27
Tabel 3.3: Tujuan - Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri melalui produk yang berstandar Kriteria Opsi 1 Do Nothing
Opsi Opsi 2 Penerapan SNI sukarela
Opsi3 Penerapan SNI Wajib
Daya saing Produk yang lebih berkualitas Harga yang lebih kompetitif Kepedulian pengusaha Kesadaran berstandar yang lebih tinggi Kepedulian konsumen Produk harus ber-SNI Pelaporan oleh konsumen Pengawasan yang lebih mudah Labeling Kehadiran lembaga pendukung Jumlahnya yang memadai Kapasitas, kapabilitas
A2. Benefit – Cost Analysis Upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan melindungi konsumen di dalam negeri melalui penerapan standar menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi dunia usaha. Demikian juga standar lain (internasional) yang diminta oleh negara mitra dagang. Upaya pemenuhan standar (standard compliance) satu sisi memberikan manfaat (benefits), pada sisi lain juga merupakan suatu biaya (cost) yang harus ditanggung oleh dunia usaha/perusahaan. Analisis BCA ini (baik untuk tujuan ekspor maupun perlindungan pasar dalam negeri) dilakukan untuk melihat bagimana opsi yang ada (dalam model MCA) mempunyai manfaat sekaligus biaya yang harus ditanggung oleh industri/perusahaan sebagai upaya untuk memenuhi SNI ataupun melakukan upaya pemenuhan standar yang diminta oleh negara tujuan (Standard Compliance). Dengan membandingkan benefit, cost dan melihat impact yang ditimbulkan, bisa dilihat sejauh mana penerapan SNI bisa memberikan dampak positif (tidak langsung) bagi peningkatan ekspor sekaligus perlindungan pasar dalam negeri.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
28
Tabel 3.4: Tujuan - Meningkatkan ekspor melalui produk yang berstandar Opsi
BCA Cost
Benefits
Impact
1 Do Nothing 2 Penerapan SNI (sukarela) 3 Penerapan SNI (wajib) Seperti halnya tujuan yang ingin dicapai dan berbagai opsi yang ada dengan menggunakan model MCA, berikut ditampilkan penerapan BCA dengan menguji berbagai opsi yang ada (Tabel 3.4. dan Tabel 3.5): (1) tidak melakukan apa-apa (do nothing), (2) Penerapan SNI (sukarela),
(3)
Penerapan
SNI
(wajib)
dan
upaya
memenuhi
kesenjangan yang ada dalam standar yang berlaku di negara tujuan/internasional (Standard Compliance). Selain benefit dan cost, di kolom berikutnya juga ditampilkan dampak (impact) dari pilihan kebijakan yang ada.
Tabel 3.5: Tujuan - Melindungi pasar dalam negeri/Konsumen dalam negeri melalui produk yang berstandar Opsi
BCA Cost
Benefits
Impact
1 Do Nothing 2 Penerapan SNI (sukarela) 3 Penerapan SNI (wajib) Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan benefit adalah keuntungan/nilai tambah yang diperoleh oleh perusahaan dari berbagai opsi
(pilihan
kebijakan
yang
ada).
Keuntungan
bisa
berupa
kenaikan/pertumbuhan penjualan/ekspor sebagai akibat dari dari pilihan kebijakan yang ada. Benefit/cost tidak harus selalu diukur dengan nilai Rp atau USD, tapi juga bisa menggunakan penilaian kualitatif berupa peningkatan/penurunan akses pasar. Yang dimaksudkan dengan cost adalah biaya/beban baik yang berkaitan langsung/tidak langsung dengan sertifikasi, teknik produksi, Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
29
dan teknologi dalam upaya pemenuhan standar. Biaya bisa berupa nilai Rp/USD yang dikeluarkan untuk proses sertifikasi, pemenuhan standar yang diminta oleh pasar (Negara tujuan ekspor), maupun biaya yang ditanggung sebagai akibat dari ketidakmampuan pemenuhan standar yang diminta oleh pasar. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan dampak (impact) adalah akibat yang muncul dengan adanya penerapan standar (SNI ataupun
lainnya).
Dampak
tersebut
bisa
dalam
lingkup
mikro/perusahaan/industri juga dalam lingkup makro/ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa berupa, misalnya, meningkatnya daya saing perusahaan/industri, menurunnya daya saing perusahaan/industry baik di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Dampak lain juga bisa berupa perubahan partisipasi perusahaan/industri dalam ikut/tidak ikut menerapkan standar (SNI/standar lainnya). B. Standard Compliance Analysis Analisis standard compliance ini dilakuan untuk mengetahui adanya kesesuaian/ketidaksesuaian SNI dengan standar yang berlaku di Negara tujuan ekspor (internasional) dan mencari tahu berbagai kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam memenuhi persyaratan standar untuk produk-produk prioritas dan upaya yang sudah dilakukannya. Merujuk pada studi yang dilakukan oleh UNIDO (Kaeser, 2013), Analisis standard compliance ini dilakukan dengan melalui beberapa subanalisis yaitu: 1. Analisis Penolakan Ekspor (Export rejection analysis) Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi ada tidaknya penolakan (rejection) yang dilakukan oleh negara pengimpor/mitra dagang. Penolakan tersebut terkait dengan adanya ketidaksesuaian standar yang dilakukan oleh pengekspor/perusahaan di dalam negeri. Analisis ini diharapkan dapat menemukan berbagai permasalahan yang terjadi dalam proses ekspor-impor produk prioritas, termasuk alasan penolakan dan standar atau regulasi yang menjadi acuan penolakan. Semakin sedikit jumlah ekspor yanag dikembalikan/ditolak (rejected) maka upaya pemenuhan standar yang dilakukan oleh Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
30
industri/perusahaan akan lebih mudah. Dengan kata lain, semakin kecilnya penolakan menunjukkan semakin besarnya ekspor yang bisa dilakukan oleh industri/perusahaan. Demikian juga sebaliknya. 2. Estimasi Kehilangan Ekspor (Export lost estimation) Analisis ini dilakukan dengan mengestimasi kerugianekonomi secara nominal
yang
bisa
diperoleh
industri/perusahaan
dalam
upaya
memenuhi standar yang diinginkan untuk berbagai produk prioritas. Namun demikian, bila tidak ditemukan data riil, diharapkan kerugian yang bersifat kualitatif dari adanya penolakan oleh pihak negara tujuan bisa diuraikan. Potensi kerugian akibat penolakan ekspor dilihat dari berapa nilai produk yang diekspor, estimasi stok produk yang memiliki spesifikasi yang sama serta berapa besar potensi pasar atau ekspor lanjutan yang mungkin hilang akibat penolakan.Analisis kehilangan ekspor ini bisa menunjukkan seberapa besar pasar ekspor yang seharusnya bisa diperoleh seandainya industry/perusahaan mampu memenuhi standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor. 3. Kualitas Infrastruktur (Quality infrastructure) Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi kualitas dan kapasitas dari infrastruktur pendukung pelaksanaan SNI atau standar lainnya. Infrastruktur tersebut tidak hanya menyangkut infrastrukturyang berada dalam perusahaan tetapi juga di luar perusahaan, seperti laboratorium uji dan sertifikasi, termasuk di dalamnya sumber daya manusia dan tingkat teknologi seberapa
yang
digunakannya.Kualitas
besar
industri/perusahaan
peningkatan apabila
infrastruktur
ekspor
infrastruktur
yang
bisa
pendukung
bisa menentukan dilakukan
oleh
penerapan
dan
pemenuhan standar memenuhi kualitas yang bagus. Analisis standard compliance dengan melalui tiga pokok analisis (export rejection, export lost dan quality infrastructure) ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi dan permasalahan standar yang ada di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan bisa ditemukan langkah perbaikan oleh pemerintah bersama dengan dunia usaha sehingga dampak negatif/kerugian bisa diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
31
Dengan
kata
lain,
adanya
kemampuan
industri/perusahaan
dalam
memenuhi standar yang diminta oleh negara tujuan bisa memberikan dampak positif bagi peningkatan ekspor Indonesia. Tabel 3.6. Pengumpulan dan Analisis Data Tujuan Analisis
Mengkaji pengaruh penerapan SNI Wajib pada peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri
Menganalisis ketidaksesuaian standard di pasar ekspor dan upaya pemenuhan standar
Merumuskan usulan kebijakan terkait penerapan SNI Wajib dan upaya pemenuhan kesesuaian standar
Metode analisis/ Pengumpulan Data RIA (MCA dan BCA): Survey dan FGD
Standard compliance analysis: Survey dan FGD
Sintesa 1, 2: FGD
Data
Sumber Data
Output
Primer : respon pelaku usaha thd pertanyaan kuesioner Sekunder : ekspor impor, data terkait perusahaan, SNI, regulasi Primer : respon pelaku usaha thd pertanyaan kuesioner Sekunder : ekspor impor, data terkait perusahaan, SNI, regulasi Pengaruh penerapan SNI wajib, kesesuaian standar, pendapat para pemangku kepentingan
Hasil wawancara, BPS, BSN, Kemendag, Kemenperin d, asosiasi
Pengaruh penerapan SNI peningkatan ekspor dan perlindungan pasar dalam negeri
Hasil wawancara, BPS, BSN, Kemendag, Kemenperin d, asosiasi
Strategi untuk memenuhi kesesuaianstan dar di pasar ekspor untuk produk-produk prioritas
Hasil kajian dan para pemangku kepentingan
Usulan kebijakan terkait penerapan SNI Wajib dan pemenuhan kesesuaian standar
3.2. Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Jenis dan sumber data Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer maupun sekunder. a. Data primer antara lain diperoleh melalui hasil survey/wawancara dengan pelaku usaha, asosiasi pengusaha dan lembaga/institusi terkait. b. Data sekunder yang diperlukan adalah data ekspor impor produk, data industri produk, data SNI dan regulasi terkait.Data sekunderdiperoleh dari instansi terkait seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN), Pusat Standardisasi
Kementerian
Perindustrian,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
Pusat
Standardisasi
32
Kementerian
Perdagangan,
Badan
Pusat
Statistik
(BPS),
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Asosiasi pelaku usaha, studi pustaka, hasil kajian terkait SNI dan lain sebagainya.. 3.2.2. Metode pengumpulan data Survei dilakukan pada pelaku usaha yang memproduksi teh hitam, produk olahan kopi dan mainan anak, khususnya pelaku usaha yang juga merupakan eksportir. Teknik pengambilan sampel adalah dengan teknik purposive samplingdan dilakukan melalui wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Respondendalam kajian ini sebagai berikut : 1. Pelaku usaha (produsen dan eksportir) di daerah survey (Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, banten dan DKI Jakarta) untuk beberapa produk prioritas kopi, teh dan mainan anak. 2. Instansi
pemerintah
dan
non-pemerintah
terkait
:
Kementerian
Perindustrian, BSN, lembaga sertifikasi produk (LSPro), Dinas Perindustrian dan Perdagangan 3. Asosiasi : KADIN, asosiasi pelaku usaha Daerah yang menjadi wilayah survey adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Banten. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi dan lokasi eksportir. 3.3. Operasional Survei Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi menjadi 4 (empat) tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim survey dan target responden adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7. Operasional Survey Daerah
Waktu Pelaksanaan
Petugas Survey
Sumatera Utara
M-1 Mei 2015
Erizal Mahatama, Yudha Hadian Nur,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
Target Responden Pelaku usaha produk olahan kopi
33
Jawa Barat
M-3 Mei 2015
Dwi Ariestiyanti, Riska Pujiati
dan teh hitam
Erizal Mahatama, Ranni Resnia,
Pelaku usaha teh hitam dan mainan anak
Ratna A Carolina, Dwi Ariestiyanti Jawa Timur
M-1 Juni 2015
Erizal Mahatama, Rahayuningsih, Ratna A Carolina, Nasrun
Pelaku usaha produk olahan kopi, tehhitam dan mainan anak
Banten
M-3 Juni 2015
Erizal Mahatama, Ranni Resnia, Ratna A Carolina, Dwi Ariestiyanti
Pelaku usaha mainan anak
DKI Jakarta
M-5 Juli 2015
Erizal Mahatama, Ranni Resnia, Ratna A Carolina, Riska Pujiati
Pelaku usaha produk olahan kopi, teh hitam, dan mainan anak
M-1 Agustus 2015
3.4 Jumlah Perusahaan Penelitian ini dilakukan dengan mengunjungi sejumlah perusahaan dalam industry kopi instan, teh hitam dan mainan anak. Perusahaan yang menjadi responden kajian adalah perusahaan yang memasarkan produknya di pasar dalam
negeri
sekaligus
melakukan
ekspor.
Secara
keseluruhan
jumlah
perusahaan di daerah penelitian yang dikunjungi adalah (Tabel 3.8). Tabel 3.8 Jumlah Responden Perusahaan Perusahaan
Jumlah
Kopi instan
8 perusahaan (dari 15)
Teh hitam
5 perusahaan (dari 10)
Mainan anak
5 perusahaan (dari 6)
Untuk komoditi kopi, perusahaan yang menjadi responden hanya produsen kopi hitam instan, tidak termasuk kopi mix atau kopi olahan lainnya. Sementara itu, Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
34
untuk komoditi mainan anak, perusahaan yang menjadi responden khusus produsen mainan anak jenis mainan beroda (wheeled toys), dan bola yang diisi udara (inflated balls).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
35
BAB IV PENERAPAN SNI BAGI PENGUATAN PASAR DALAM NEGERI
4.1. Standar dan Perlindungan Pasar Dalam Negeri Dalam rangka terwujudnya perlindungan konsumen, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kebijakan tersebut diimplementasikan melalui pemberian jaminan hak dan kewajiban konsumen
serta
mendorong
bertanggungjawab dalam
pelaku
usaha
melakukan kegiatan
agar
bersikap
jujur
dan
usahanya. Hubungan antara
konsumen dan pelaku usaha terjadi ketika melakukan transaksi baik secara konvensional maupun menggunakan sistem online. Oleh karena itu informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai harga, standar/mutu, dan jaminan suatu barang/jasa yang diberikan pelaku usaha menjadi salah satu dasar bagi konsumen untuk memutuskan membeli suatu barang/jasa. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014, Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional yang terkait
dengan
memperhatikan
syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Secara jelas telah disebutkan diatas bahwa penerapan standar harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya pelaku usaha dan konsumen. Dalam hal standar ditetapkan memiliki tujuan untuk meningkatkan daya saing barang/jasa dan sebagai filter bagi barang/jasa berkualitas rendah yang akan masuk ke pasar dalam negeri. Standar umumnya memuat beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai acuan terkait pengukuran mutu suatu barang/jasa. Parameter yang ada di dalam standar tersebut dirumuskan dan disusun melalui mekanisme yang ketat dan konsensu para pemangku kepentingan sehingga menjadi paramenter ideal dan dapat diakui atau adanya pengakuan keberterimaan standar antar negara. Pelaku usaha yang mengacu standar dalam menghasilkan suatu Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
36
barang/jasa akan menerima manfaat dari barang/jasa yang dihasilkan berkualitas baik dan kepercayaan dari para konsumen. Selain itu juga akan memacu pelaku usaha untuk berkompetisi secara sehat di pasar dengan cara menghasilkan barang/jasa yang berkualitas baik agar memiliki daya saing dengan barang/jasa yang dihasilkan oleh pesaing. Saat ini standar umumnya digunakan sebagai hambatan perdagangan yang bersifat non tariff dimana standar diajadikan sebagai persyaratan oleh suatu negara dalam persyaratan barang/jasa asal impor yang akan memasuki pasar. Sehingga barang/jasa impor yang berkualitas rendah (tidak memenuhi standar) tidak dapat beredar di pasar dalam negeri. Apabila barang/jasa beredar di pasar dalam negeri telah memenuhi parameter yang dimuat didalam standar maka secara langsung dapat melindungi konsumen dari kerugian akibat mengkonsumsi barang/jasa berkualitas rendah. 4.2. Peranan SNI Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri SNI pada dasarnya dikembangkan sebagai referensi pasar yang penerapannya bersifat sukarela (voluntary) dengan tujuan meningkatkan kepastian, kelancaran dan efisiensi transaksi perdagangan, meningkatkan perlindungan K3L bagi konsumen, dan menciptakan efisiensi produksi serta menciptakan persaingan usaha yang sehat dan transparan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, bahwa barang/jasa yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi SNI/persyaratan teknis/kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib. Pemberlakuan
SNI/persyaratan
teknis/kualifikasi
ditetapkan
oleh
Menteri
Perdagangan atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan mempertimbangkan aspek: a. Keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. Daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. Kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau d. Kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian. Barang/jasa yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib , wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah. Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
37
sertifikat
kesesuaian diterbitkan
terakreditasi
oleh
oleh
lembaga
penilaian
kesesuaian
yang
Komite Akreditasi Nasional dan terdaftar pada Kementerian
Perdagangan. Standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antar negara. Dalam rangka perlindungan konsumen, salah satu langkah yang diambil oleh pementah adalah melakukan pengawasan terhadap barang beredar dan jasa di pasar mengingat perlindungan yang diberikan kepada masyarakat harus bersifat preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pengawasan dilaksanakan pada dua tahapan, yaitu (1) sebelum barang beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan (2) setelah barang beredar di pasar. Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperdagangkan, pengawasan tahap pra pasar dimaksudkan untuk memastikan bahwa barang yang akan beredar, telah memenuhi standar dan ruang lingkup pengawasan lainnya sesuai peraturan yang ada.
Tahap pra pasar meliputi pengujian mutu dan
pendaftaran barang kepada Kementerian Perdagangan. Dalam rangka pemberlakuan SNI secara wajib, diharapkan dalam implementasinya bersifat non diskriminasi, baik barang/jasa dalam negeri dan barang/jasa asal impor mempunyai perlakuan yang sama. Untuk produk dalam negeri yang sudah berlaku SNI secara wajib, pelaku usaha mendaftarkan produknya untuk memperoleh Nomor Registrasi Produk (NRP) dan mencantumkan NRP tersebut pada setiap barang atau kemasan dibawah tanda SNI. Sedangkan untuk barang impor yang akan memasuki daerah pabean harus memperoleh Nomor Pendaftaran Barang (NPB) yang dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian dan mencantumkan NPB tersebut pada setiap barang atau kemasan dibawah tanda SNI.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
38
Pengawasan Pra Pasar Barang produksi dalam negeri yang SNI-nya diberlakukan secara wajib
Barang Impor yang SNI-nya diberlakukan secara wajib
SPB/NPB
PASAR
NRP
Permohonan pendaftaran Permohonan pendaftaran Di-terima Di-tolak
Di-tolak
Di-terima Kementerian Perdagangan/ Direktur Pengembangan Mutu Barang
Kementerian Perdagangan/ Direktur Pengembangan Mutu Barang
Pengawasan Barang Beredar
Gambar 4.1. Pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan wajib sebelum beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan setelah beredar di pasar Sumber:Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 20/M-DAG/PER/5/2009
Setelah pengawasan pada tahap Pra-Pasar, pengawasan kemudian dilanjutkan pada tahap setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang beredar dilaksanakan
sesuai
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor:
20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (Ditwas), bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang berhubungan,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
39
dan masyarakat. Pengawasan barang beredar di pasar berperan penting dalam melengkapi dan memperkuat pengawasan Pra-Pasar serta memastikan bahwa barang-barang dan jasa yang beredar di pasar telah sesuai dengan parameter pengawasan yang ada. Secara rinci dapat dilihat pada gambar tersebut (diatas). 4.3. Dinamika Penerapan Standar oleh Pelaku usaha Dalam Melindungi Pasar Dalam Negeri Pada bagian ini dibahas mengenai pilihan (opsi) kebijakan yang diambil oleh pelaku usaha dalam menerapkan SNI sebagai upaya untuk melindungi pasar dalam negeri. Dalam menentukan pilihan yang diambil oleh pelaku usaha, sebenarnya pelaku usaha diberi beberapa opsi/pilihan kebijakan yaitu: tidak melakukan apa-apa (do nothing)/tidak menerapkan SNI, pilihan SNI sukarela, dan pilihan SNI wajib. Masing-masing pilihan tersebut di atas disertai dengan beberapa kriteria yang bisa dijadikan acuan bagi pelaku usaha untuk menentukan pilihan yang ada. Untuk proses yang lebih lengkap dalam melihat bagaimana perusahaan menentukan pilihan kebijakan yang ada bisa dilihat dalam Lampiran 1. Tabel 4.1: Kriteria Dalam Menentukan Pilihan: Opsi Do Nothing, Penerapa SNI Sukarela dan SNI Wajib Kriteria Daya saing Produk yang lebih berkualitas Harga yang lebih kompetitif Kepedulian pengusaha Kesadaran berstandar yang lebih tinggi Kepedulian konsumen Produk harus ber-SNI Pelaporan oleh konsumen Pengawasan yang lebih mudah Labeling Kehadiran lembaga pendukung Jumlah yang memadai Kapasitas, kapabilitas
Dari hasil pengolahan data untuk tiga jenis produk yaitu teh, kopi dan mainan anak, terlihat baha pelaku usaha melihat penerapan SNI Wajib merupakan pilihan yang diambil. Pilihan kebijakan penerapan SNI Wajib dinilai oleh pelaku usaha
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
40
mampu untuk melindungi pasar dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan di pasar dalam negeri. Selanjutnya setelah diketahui opsi kebijakan, pada bagian selanjutnya dilihat bagaimana perkiraan manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditanggung oleh pelaku usaha sebagai konsekuensi dari opsi kebijakan yang dibuatnya. Manfaat yang diperoleh pelaku usaha antara lain peningkatan penjualan, peningkatan product image, akses pasar dan market share. Sementara itu biaya yang muncul berupa biaya sertifikasi SNI dan biaya pemenuhan standar yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha. a.
Teh hitam
Produk teh hitam Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga dapat bersaing dengan kompetitor di pasar internasional seperti Kenya. Namun hampir mirip dengan produk asal perkebunan, harga teh hitam tidak mampu bersaing dikarenakan produktivitasnya rendah dan adanya biaya lain yang timbul akibat buruknya infrastruktur. Quality control dilakukan melalui penerapan standar yang mengacu kepada standar internal perusahaan yang menggunakan parameter SNI. Sementara negara tujuan belum menetapkan standar secara ketat hanya mewajibkan fumigasi saja. Tabel 4.2. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Teh hitam berdasarkan kriteria Kriteria 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) 2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
SNI Wajib Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju
41
8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Sangat setuju
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang digunakan untuk produk teh hitam adalah SNI 01-1902-1995, yang masih berlaku secara sukarela. Penerapan SNI yang masih bersifat sukarela menyebabkan masih banyaknya ditemui produk teh yang belum memenuhi standar. Umumnya, konsumen dalam negeri tidak mempertimbangkan penerapan standar pada produk teh, melainkan hanya melihat dari sisi harga. Hal ini menyebabkan beberapa produk teh yang menerapkan SNI kalah bersaing (dari sisi harga) dengan produk teh yang tidak menerapkan SNI. Oleh karena itu, hasil penelitian di lapangan menyatakan bahwa, dari seluruh kriteria terkait dengan penerapan SNI, produsen teh (pelaku usaha) sangat setuju apabila penerapan SNI untuk teh yang dijual di dalam negeri, diberlakukan secara wajib. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk teh hitam di dalam negeri terhadap produk impor maupun produk lokal lainnya yang tidak memenuhi standar. Selain itu, pelaku usaha juga berharap dilakukan revisi terhadap SNI Teh Hitam yang saat ini berlaku, karena SNI tersebut dianggap sudah terlalu lama dan tidak sesuai dengan kondisi perkembangan pasar. Tabel 4.3 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib Kriteria Benefit
Cost
Impact
Penjualan meningkat Product image meningkat Akses pasar meningkat Biaya sertifikasi mahal Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi Biaya pemenuhan standar mahal Daya saing meningkat Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
Penerapan SNI Wajib TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK YA TIDAK TIDAK YA YA
Pertimbangan untuk memberlakukan SNI teh hitam secara wajib memiliki beberapa manfaat dan biaya bagi pelaku usaha. Secara umum, pelaku usaha tidak menganggap bahwa penerapan SNI Teh Hitam secara wajib dapat meningkatkan penjualan, akses pasar maupun product image. Hal ini dikarenakan pelaku usaha menganggap bahwa konsumen dalam negeri masih belum terbiasa dalam
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
42
mengkonsumsi teh yang berkualitas. Preferensi konsumen dalam negeri umumnya hanya pada warna teh, aroma dan terutama pada harga yang terjangkau sehingga penerapan SNI wajib diperkirakan masih belum mampu untuk meningkatkan penjualan, akses pasar maupun product image. Namun opsi penerapan SNI wajib dianggap lebih baik untuk menyaring produk teh yang beredar di pasar dalam negeri yang tidak memenuhi standar. Sementara itu, penerapan SNI Teh Hitam secara wajib dianggap tidak terlalu membebani pelaku usaha. Biaya sertifikasi serta biaya pemenuhan standar dianggap pelaku usaha masih cukup terjangkau, serta mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi. Oleh karena itu, apabila SNI Teh Hitam diberlakukan secara wajib, maka diperkirakan pelaku usaha lain yang belum memenuhi SNI tidak akan terbebani dengan biaya penerapan SNI tersebut. Secara umum, menurut pelaku usaha, dampak dari penerapan SNI Teh Hitam secara wajib diperkirakan tidak mampu meningkatkan daya saing produk, Namun penerapan SNI secara wajib dipastikan dapat meningkatkan partisipasi perusahan dalam menerapkan standar. Dengan demikian, meskipun pelaku usaha beranggapan bahwa daya saing produk tidak meningkat, namun aspek – aspek dalam K3L (keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan), dapat terjamin. b.
Produk olahan kopi
Di pasar internasional, kopi asal Indonesia dikenal berkualitas baik dan dapat bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam dan Brazil. Walaupun memiliki daya saing dari sisi kualitas namun tidak dapat bersaing pada sisi harga yang disebabkan pengelolaan kopi di negara kompetitor tersebut didukung penggunaan teknologi, rendhanya produktivitas kopi Indonesia karena usia tanaman yang sudah tua, tingginya tarif gas dan listrik, dan infrastruktur pendukung seperti jalan dan pelabuhan di dalam negeri menyebabkan biaya tambahan. Tabel 4.4 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan kopi berdasarkan kriteria SNI Wajib 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
Setuju
43
2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG) 8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Setuju Setuju Setuju Setuju Agak tidak setuju Setuju Agak tidak setuju
Penerapan SNI wajib untuk kopi instant hanya bertujuan untuk melindungi produsen dan konsumen di dalam negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha kopi instan, opsi penerapan SNI wajib lebih dibutuhkan untuk menjadi filter yang dapat menyaring produk impor yang berkualitas rendah dengan harga yang murah sehingga dapat mendorong daya saing produsen di pasar dalam negeri dan melindungi konsumen. Namun, konsumen dalam negeri dianggap masih belum cukup peduli dengan penerapan standar pada kopi instan. Umumnya konsumen dalam negeri lebih memilih kopi dengan harga yang lebih terjangkau tanpa memperhatikan standar yang diterapkan pada produk tersebut. Selain itu, kendala yang dihadapi dalam penerapan SNI wajib di dalam negeri adalah keberadaan lembaga pendukung seperti laboratorium penguji yang masih terbatas. Saat ini di Indonesia hanya ada satu laboratorium penguji yaitu Balai Besar Industri Agro (BBIA) sehingga pelaku usaha membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh sertifikasi SNI. Sementara itu, biaya sertifikasi SNI cukup terjangkau yaitu sebesar 18 juta rupiah. Tabel 4.5 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib Kriteria Benefit
Cost
Impact
Penjualan meningkat Product image meningkat Akses pasar meningkat Biaya sertifikasi mahal Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi Biaya pemenuhan standar mahal Daya saing meningkat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
SNI Wajib TIDAK TIDAK TIDAK YA YA YA YA
44
Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
YA YA
Pemberlakuan SNI wajib pada kopi instan memiliki beberapa manfaat dan biaya yang dirasakan oleh pelaku usaha. Secara umum, penerapan SNI wajib dianggap tidak dapat meningkatkan penjualan, akses pasar maupun product image. Hal ini terkait dengan kurangnya kepedulian konsumen akan produk kopi instan yang berstandar. Umumnya, konsumen memilih produk dengan harga yang terjangkau (lebih murah). Pelaku usaha menganggap hanya segelintir konsumen yang peduli dengan penerapan SNI pada produk kopi instan. Oleh karena itu, menurut pelaku usaha, penerapan SNI wajib pada kopi instan tidak dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi pelaku usaha. Disamping itu, pelaku usaha menganggap biaya untuk pemenuhan SNI relatif mahal. Saat ini hanya ada satu laboratorium penguji untuk produk kopi instan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mememuhi persyaratan sertifikasi SNI cukup lama. Biaya sertifikasi SNI diperkirakan mencapai 18 juta rupiah, dan bagi sebagian besar pelaku usaha, jumlah ini dianggap mahal sehingga menjadi kendala dalam penerapan SNI wajib. Namun secara umum, penerapan SNI wajib pada produk kopi instan memiliki dampak positif seperti peningkatan daya saing terutama terhadap kopi impor yang tidak memenuhi standar. Selain itu, dengan diwajibkannya penerapan SNI pada kopi instan, jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam menerapkan standar akan mengalami peningkatan sehingga dapat menjamin aspek K3L pada proses produksi kopi instan di dalam negeri.
c.
Produk Mainan SNI untuk mainan anak telah diberlakukan wajib sejak tahun 2013 melalui
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 yang kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013. Pemberlakuan SNI wajib untuk mainan anak bertujuan untuk meningkatkan daya saing mainan anak produk lokal terhadap mainan mainan impor yang tidak memenuhi standar. selain itiu, tujuan lainnya adalah melindungi konsumen dari mainan anak yang memang mayoritas anak – anak, dari produk yang tidak memenuhi standar keamanan dan kesehatan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
45
Tabel 4.6 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk Mainan Anak Berdasarkan Kriteria SNI Wajib 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) 2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG) 8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Setuju Setuju Sangat setuju Setuju Sangat setuju Agak setuju Sangat setuju Setuju
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha mainan anak di dalam negeri, secara umum mayoritas pelaku usaha setuju dengan pemberlakuan SNI mainan anak secara wajib. Dari beberapa kriteria dari penerapan standar, pemberlakuan SNI wajib untuk mainan anak didukung oleh tingkat kepedulian konsumen akan produk mainan yang berstandar. Selain itu, pelaku usaha juga beranggapan bahwa saat ini banyak pelaku usaha yang sudah peduli dengan penerapan standar dengan tujuan meningkatkan daya saing produknya. Oleh karena itu, opsi penerapan SNI wajib untuk mainan anak menjadi pilihan utama bagi mayoritas pelaku usaha mainan anak di dalam negeri, dengan tujuan utama untuk meningkatkan daya saing serta penguatan pasar dalam negeri. Dari sisi pengawasan, penerapan SNI wajib untuk mainan anak akan memudahkan pihak pengawas untuk melakukan pengawasan terhadap produk mainan yang tidak memenuhi standar. Dengan demikian, dengan adanya penerapa SNI Wajib untuk produk mainan anak bisa menjadi filter terhadap produk maianan anak yang tidak memenuhi standar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
46
Tabel 4.7 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 3 Penerapan SNI Wajib Benefit
Cost
Impact
Penjualan meningkat Product image meningkat Akses pasar meningkat Biaya sertifikasi mahal Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi Biaya pemenuhan standar mahal Daya saing meningkat Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
Penerapan SNI Wajib TIDAK YA TIDAK YA biaya: 7 - 10 juta; 50 juta YA YA TIDAK YA YA
Terkait dengan aspek biaya dan manfaat, penerapan SNI wajib pada produk mainan anak belum dapat memberikan mafaat bagi peningkatan daya saing produsen mainan anak di pasar dalam negeri. Mereka masih menemui beberapa halangan tantangan diantaranya adalah masih belum meningkatnya penjualan secara signifikan dengan penerapan SNI Wajib. Kemampuan untuk melakukan penetrasi pasar di dalam negeri juga belum meningkat, meskipun mereka mengakui bahwa dengan penerapan SNI Wajib, product image yang dijualnya meningkat. Sementara itu di sisi lain, perusahaan dalam industry mainan anak masih menghadapi kendala yang menurut mereka adalah masih tingginya biaya pengurusan sertifikasi dan pemenuhan standar yang mahal. Memang, pada satu sisi mahalnya biaya sertifikasi dan pemenuhan standar bersifat relative antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, namun perlu diketahui bahwa banyak dari produsen mainan anak yang merupakan usaha kecil dan menengah yang menganggap biaya-biaya tersebut sebagai tambahan/beban tambahan yang harus ditanggungnya. Ketidakmampuan untuk melakukan penetrasi di pasar dalam negeri yang bisa dilihat dari tidak signifikannya peningkatan penjualan mereka juga tidak terlepas dari adanya produk mainan anak lain yang berasal dari luar negeri. Produk impor ini bahkan sebagian merupakan produk yang tidak ber-SNI yang beredar di pasar dalam negeri (Republika, 2015). Meskipun sudah diterapkan kebijakan penerapan SNI Wajib untuk produk mainan anak, akan tetapi masih dijumpai produk mainan anak impor yang tidak ber-SNI. Hal ini tentu saja merugikan produse mainan anak di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
47
dalam negeri. Pengawasan barang beredar khususnya untuk produk mainan anak mutlak harus ditingkakan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
48
BAB V PENERAPAN SNI DAN PENGARUH TIDAK LANGSUNG BAGI PENINGKATAN EKSPOR 5.1. Deskripsi Hubungan Standar dan Daya Saing Standar mempunyai kaitan erat dengan kemampuan daya saing suatu produk yang dihasilkan oleh industri/perusahaan di suatu negara(Henson et al., 2002; Jaffee dan Henson, 2004). Daya saing ini bisa dilihat dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing di pasar ekspor (internasional) maupun kemampuan daya saing produk yang bersangkutan di pasar dalam negeri. Untuk pasar dalam negeri, standar juga mempunyai kaitan dengan upaya perlindungan konsumen di dalam negeri dari produk yang tidak memenuhi standar (bisa berupa produk impor). Dalam kaitannya dengan daya saing, standar menjamin bahwa produk yang diedarkan di pasar adalah produk yang memenuhi kualitas dan memberikan perlindungan/keamanan kepada konsumen dan juga lingkungan Untuk bisa bersaing di pasar internasional, produk yanag dihasilkan oleh suatu negara harus bisa memenuhi persayaratan minimal sebagaimana yang ditentukan oleh standar masing-masing negara tujuan ekspor. Persyaratan tersebut bisa meliputi persyaratan teknis maupun kualitas produk. Sementara itu untuk bisa bersaing di pasar produk dalam negeri, produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri harus bisa memenuhi persyaratan SNI (untuk produk yang ber-SNI wajib). Demikian juga untuk produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri juga wajib memenuhi persyaratan teknis dan kualitas sesuai SNI. Berikut diuraikan bagaimana standar bisa mempengaruhi daya saing produk yang dijual di pasar baik di dalam negeri maupun luar negeri (Gambar 5.1).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
49
Standar
Kualitas dan Keamanan
Daya Saing
Biaya Produksi
Harga
Gambar 5.1. Pengaruh Standar Terhadap Daya Saing
5.2. Deskripsi Peranan SNI Dalam mendukung Daya Saing SNI mempunyai peranan dalam mendukung daya saing, terutama daya saing di pasar dalam negeri. Hal ini karena di pasar dalam negeri, khususnya untuk produk yang dikenai SNI wajib, wajib mematuhi persyaratan yang diminta oleh SNI. Pada sisi yang lain, SNI juga mempunyai peran dalam mendukung daya saing di pasar luar negeri melalui jalur tidak langsung (indirect impact). Kalau untuk jalur langsung, akan lebih mudah diikuti proses pengaruhnya. Hal ini dikarenakan perusahaan yang melakukan ekspor cenderung hanya memenuhi persyaratan standar yang diminta oleh importer/atau konsumen di negara tujuan. Seperti yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya (khususnya Bab II – Tinjauan Pustaka dan Bab III – Metodologi Penelitian), kajian ini mempunyai asumsi dasar yang didukung oleh beberapa hasil kajian bahwa dengan adanya penerapan SNI wajib, dianggap bahwa industri yang bersangkutan mempunyai kemampuan baik sisi teknis, infrastruktur, SDM, sumber daya lainnya dan lembaga pendukung. Lebih lanjut, implikasi asumsi dasar tersebut adalah, perusahaan yang sudah menerapkan SNI wajib untuk produknya cenderung memilki berbagai fasilitas pendukung (termasuk prasarana yang berada di luar perusahaan) untuk berhasilnya penerapan standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor. Infrastruktur dan layanan dukungan standar terkait dengan kemampuan mereka dalam memenuhi standar yang diminta oleh pasar negara tujuan (Maskus, 2005).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
50
SNI sendiri mengacu pada beberapa standar acuan seperti International Standard Organization (ISO), Codex Alementarius (khususnya untuk produk pertanian dan makanan), dan HAACCP. Dengan demikian, pada dasarnya persyaratan minimal yang diacu oleh SNI (dari beberapa referensi standar tersebut diatas) juga dipakai sebagai acuan oleh negara lain, meskipun tidak menolak adanya kemungkinan terdapat perbedaan standard (standard gap). Menilik pada adanya gap ini, berdasarkan hasil kajian Puska Dagri, Kementerian Perdagangan (2014) bahwa memang ada gap standar antara SNI dengan standar yang diterapkan di beberapa negara tujuan ekspor. Namun dalam hal ini ada gap positif dalam arti bahwa pada persyaratan tertentu SNI mempunyai persyaratan standar yang lebih tinggi. Demikian juga ada gap negatif, dimana persyaratan standar minimal SNI lebih rendah daripada yang dipersyaratkan oleh standar yang diterapkan oleh negara lain. Berikut diilustrasikan pengaruh SNI (untuk perusahaan yang sudah menerapkan SNI bagai produk yang di jual di dalam negeri, sekaligus juga mengekspor produk sejenis ke pasar internasional) dalam mendukung daya saing produk ekspor. Pngaruh ini bukan merupakan pengaruh langsung, tetapi pengaruh yang terefleksikan dari adanya penerapan SNI (Gambar 4.2). Dalam Gambar 4.2, baik SNI maupun standar negara lain mempunyai sumber acuan yang sama (meski diakui ada modifikasi sehingga memunculkan standard gap). Kemampuan perusahaan untuk memenuhi atau menerapkan SNI akan terefleksikan kepada kemampuan perusahaan dalam memenuhi standar negara lain (tujuan ekspor). Hal ini dikarenakan sumber daya baik SDM maupun infrastruktur penunjang (internal dan eksternal) adalah sama.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
51
Acuan global: ISO, CODEX, HACCP
Infrastruktur SDM external
SNI Produk ber-SNI
Daya saing (kualitas) menngkat
Akses pasar DN
Produk ber-Standar
Daya saing (kualitas) menngkat
Akses pasar LN
Perusahaan DN (Infrastruktur SDM internal)
(negara tujuan)
Standar Negara Tujuan
Acuan global: ISO, CODEX, HACCP
Gambar5.2: SNI dan Pengaruh Tidak Langsung Pada Peningkatan Daya saing dan Akses Pasar di Dalam dan Luar Negeri
Yang dimaksudkan dengan pengaruh SNI dalam kajian ini adalah bukan pada ada tidaknya label SNI pada produk yang diekspor tetapi lebih pada kemampuan perusahaan untuk mengikuti berbagai permintaan persyaratan dari negara mitra dagang. Kemampuan dalam hal ini terkait dengan berbagai factor pendudkung (infrastruktur pendukung) yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangutan (infrastruktur dan SDM internal: seperti lab uji internal, internal auditor dan kelengkapan teknis internal) maupun infrastruktur pendukung yang berada di luar perusahaan (infrastruktur DM external: lab uji luar, LSPro, external auditor). Dalam perspektif yang lebih luas, Kebijakan dalam negeri terkait regaulasi teknis dan standar mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan produktivitas dan daya saing perdagangan baik untuk produk manufaktur maupun produk pertanian (Babool, 2007).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
52
5.3. Dinamika penerapan Standar oleh Pelaku Usaha Dalam Peningkatan Ekspor Pada bagian ini dibahas mengenai pilihan kebijakan yang diambil oleh pelaku usaha dalam menerapkan standar. Seperti halnya peran SNI dalam melindungi pasar dalam negeri, untuk peran SNI dalam mendukung peningkatan ekspor juga dilakukan dengan langkah yang sama, namun dengan tambahan opsi yaitu: penerapan standar negara tujuan ekspor. Kriteria-kriteria yang dijadikan dasar pelaku usaha dalam menentukan pilihan adalah sama seperti dalam kasus SNI untuk perlindungan pasar dalam negeri (Tabel 4.1). Dari hasil pengolahan data untuk tiga jenis produk yaitu teh, kopi dan mainan anak, terlihat baha pelaku usaha melihat bahwa pemenuhan standar negara tujuan adalah menjadi pilihan kebijakan yang diambil. Untuk proses yang lebih lengkap dalam melihat bagaimana perusahaan menentukan pilihan kebijakan yang ada bisa dilihat dalam Lampiran 1. Perkiraan manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditanggung oleh pelaku usaha sebagai konsekuensi dari pilihan kebijakan yang dibuat sebelumnya juga dilihat. Dari hasil survei, hampir seluruh responden pelaku usaha yang juga eksportir memilih
untuk
menerapkan
standar
negara
tujuan
ekspor
dalam
rangka
meningkatkan ekspor daripada menerapkan SNI baik secara sukarela maupun wajib. Manfaat yang diperoleh pelaku usaha antara lain peningkatan penjualan, peningkatan product image, akses pasar dan market share. a. Teh hitam Hasil survey menunjukkan bahwa dalam menerapkan standar pelaku usaha masih mengacu pada standar negara tujuan ekspor (buyer) dengan alasan bahwa perusahaan menerapkan prinsip market-oriented atau market-based dan standard tersebut dianggap lebih tinggi daripada SNI. Sementara penerapan SNI untuk beberapa produk ditujukan untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk impor yang berkualitas rendah.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
53
Tabel 5.1. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Teh hitam berdasarkan kriteria Kriteria 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) 2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG) 8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Standard Negara Tujuan Setuju Setuju Sangat setuju Setuju Setuju Setuju Setuju Setuju
Teh hitam sebagian besar diekspor ke luar negeri yaitu negara-negara Uni Eropa (Inggris, Jerman, Polandia, dan lain-lain), Rusia, Timur Tengah, Amerika Utara, Pakistan, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya. Sebagian kecil dipasarkan di dalam negeri kepada supplier tertentu (bukan secara eceran) Terkait dengan penerapan standard mutu untuk produk teh, responden menggunakan standard internasional seperti UTZ, Rainforest Allience, ISO 22000, dan seluruhnya sudah tersertifikasi dan terakreditasi. Sementara, SNI belum dikenal baik oleh produsen maupun oleh importir (buyer). Dalam hal pengujian mutu produk, selain menggunakan laboratorium uji internal perusahaan, perusahaan juga menggunakan laboratorium uji luar negeri yang dirujuk oleh negara pengimpor (buyer) dengan pertimbangan independensi hasil uji dan reliabilitas hasil uji.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
54
Tabel 5.2 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan Ekspor: Teh
Benefit
Kriteria Penjualan (ekspor) emningkat Product image meningkat Akses pasar meningkat
Market share di negara tujuan meningkat Cost
Biaya sertifikasi mahal
Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi
Biaya pemenuhan standar mahal
Impact
Daya saing meningkat Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
Standard Negara Tujuan YA Estimasi peningkatan: 25% YA YA JUMLAH & NEGARA TUJUAN EKSPOR: Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Timur Tengah, Amerika Utara, Pakistan. Eropa (UK, Netehrland), Timur Tengah (Mesir, Arab Saudi), Asia (Pakistan, Singapura, Jepang, China) TIDAK YA Biaya awal 5000 - 10.000 US$ dan ada iuran tahunan; BIAYA: 0,12% dari biaya produksi YA Persyaratan fasilitas dan infrastruktur tertentu YA NILAI DAN AKVIFITAS : set up mutu, investasi peralatan dan alat uji. Alat uji utama adalah uji fisik, biologi, kimia, serta residu limit.; Kurang lebih 5% dari biaya produksi YA Tidak, hanya perusahaan besar yang berpartisipasi YA
Analisis Biaya dan Manfaat untuk produk teh dengan menerapkan standar yang ditetapkan negara tujuan ekspor (buyer), penjualan produk mengalami peningkatan sampai 25%. Hal ini karena product image mereka membaik seiring dengan pemenuhan syarat dan kualitas mutu yang sesuai dengan permintaan pasar tujuan. Selain itu, dengan memiliki sertifikat mutu dan persyaratan lainnya, perusahaan dapat mengakses pasar yang lebih luas yang ditandai dengan bertambahnya negara tujuan ekspor mereka. Negara
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
55
tujuan ekspor untuk produk kopi adalah tersebar di berabagai kawasan Eropa, Amerika dan juga Asia. Negara-negara tujuan ekspor produk teh tersebut adalah Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Polandia, Timur Tengah (Mesir, Arab Saudi), Amerika Utara, Asia (Pakistan, Singapura, Jepang, China). Meskipuun ada peningkatan ekspor, namun para pelaku usaha tidak melihat adanya perubahan market share yang dikuasai oleh mereka di pasar internasional tersebut, karena ketatnya persaingan yang ada di negara tujuan ekspor. Dalam kaitannya dengan standar, perusahaan penghasil kopi olahan menilai bahawa upaya untuk memperoleh sertifikasi relative mudah. Namun demikian, mereka menilai bahwa upaya untuk pemenuhan standar merupakan halangan tersendir. Biaya pemenuhan standar mahal karena adanya keterbatasan teknis menyangkut ketersediaan peralatan dan lab uji di Indonesia.
b. Produk kopi olahan Sebagian besar pelaku usaha telah menerapkan beberapa sertifikasi seperti ISO 22000 yaitu suatu standar internasional yang menggabungkan dan melengkapi elemen utama ISO 9001 dan HACCP dalam hal penyediaan suatu kerangka kerja yang efektif untuk pengembangan, penerapan, dan peningkatan berkesinambungan dari Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP), Rainforest Certificate yaitu standar untuk kelestarian lingkungan dan memastikan kondisi yang lebih baik pada lingkungan kerja dan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang bekerja pada suatu industri, Fair Trade Certificate adalah sertifikasi produk yang telah menerapkan kelaestarian lingkungan, kesejahteraan tenaga kerja dan pengembangan standar, dan ISO 17025 diterapkan untuk pengujian laboratorium internal yang dimiliki oleh industri. Standar-standar tersebut diatas adalah standar yang dipersyaratkan oleh pembeli diluar negeri yang harus dipenuhi oleh eksportir. Beberapa negara yang menerapkan standar sangat ketat adalah Jepang dan Amerika Serikat, jika pelaku usaha dapat mengadopsi persyaratan standar pada negara tersebut maka akan lebih mudah untuk memasuki pasar di negara lain. Selain itu untuk memastikan kualitas produk tetap sesuai standar yang dipersyaratkan, buyer juga melakukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
56
pemerikasaan produk di negara asal baik secara langsung maupun melalui pihak ketiga yang ditunjuk sebagai representasi pembeli yang dilakukan secara rutin. Dalam
memenuhi
persyaratan
sertifikasi
tersebut,
pelaku
usaha
berpendapat tidak sulit dan biaya yang dikeluarkan cukup terjangkau serta jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen yaitu satu bulan. Secara umum tidak ditemui kendala dalam memperoleh sertifikasi namun untuk pelaku usaha menengah dirasa cukup sulit untuk memperoleh sertifikasi tersebut khususnya pemenuhan persyaratan dan biaya sertifikasi. Tabel 5.3. Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk olahan kopi berdasarkan kriteria Standar Tujuan Ekspor 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) 2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG) 8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Setuju Setuju Sangat setuju Sangat setuju Sangat setuju Setuju Setuju Setuju
Untuk produk kopi olahan, dengana penerapan standar negara tujuan pengusaha menilai ada manfaat yang diperoleh dengan adanya peningkatan penjualan, product image dan juga market share di negara tujuan ekspor kopi. Market share perusahaan meningkat cukup signifikan dengan kisaran 30 – 50% dibanding periode sebelumnya saat belum menerapkan standar negara tujuan tersebut. Penjualan juga meningkat sampai sekitar 50%. Negara tujuan ekspor untuk produk kopi adalah negara anggota ASEAN, Jepang, China, Amerika Serikat, Italia, Arab Saudi dan Uni Eropa. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
57
Tabel 5.4 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan Ekspor: Kopi
Benefit
Kriteria Penjualan (ekspor) meningkat Product image meningkat Akses pasar meningkat
Market share di negara tujuan meningkat Cost
Biaya sertifikasi mahal Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi
Biaya pemenuhan standar mahal
Impact
Daya saing meningkat Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
Standard Negara Tujuan YA Estimasi peningkatan: 20% - 50% YA YA Jepang, As, Italia, ASEAN, Arab Saudi, China, UE YA estimasi peningkatan: 30 - 50% YA biaya: 50 - 90 juta TIDAK persyaratan: biaya tahunan, mendidik staf untuk mengikuti sisem iso 22000 YA TIDAK nilai dan aktifitas : ada pajak, Untuk uji Sucofindo Rp 3 juta/produk YA YA YA
Para pelaku usaha dalam industry kopi melihat bahwa mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi. Mereka juga menilai bahwa biaya pemenuhan stadar adalah mahal. Namun demikian, secara keseluruhan mereka melihat bahwa penerapan standar bagi mereka memberikan keuntungan/manfaa yang lebih bagi peningkatan daya saing dan juga akses pasar. C.
Produk Mainan Anak Seperti halnya untuk produk teh dan kopi olahan, untuk pelaku usaha produk mainan anak juga melihat hal yang sama dalam pilihan kebijakan. Pilihan kebijakan yang diambil adalah pilihan kebijakan penerapan standar negara tujuan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
58
Dari berbagai sub-kriteria yang ada, pelaku usaha setuju bahwa adanya kemudahan dalam memenuhi persayaratan, kemudahan proses sertifkasi menjadi hal utama dalam memutuskan untuk menerapkan standar negara tujuan sebagai pilihan kebijakan. Sub-kriteria lain yang mendukung keputusan penerapan standar negara tujuan eskpor adalah pada aspek tingkat kepercayaan dan kepedulian pembeli (konsumen) di luar negeri. Dari sisi internal (dalam negeri) berbagai kriteria yang menyangkut keberadaan lembaga pendukung standar dan pengawasan juga berkontribusi terhadap keputusan yang diambil oleh perusahaan dalam menentukan kebijakan terkait standar yang diambilnya. Tabel 5.5 Pilihan Kebijakan oleh Pelaku usaha Produk Mainan Anak berdasarkan kriteria Standard Negara tujuan 1. Kemudahan memenuhi persyaratan standar (peralatan teknis, SDM dan infrastruktur pendukung) 2. Kemudahan proses sertifikasi/pengujian (prosedur sertifikasi, biaya, waktu pengurusan, konsultansi) 3. Tingkat kepercayaan konsumen LN (lebih tinggi) (rendahnya komplain, pemesanan berulang) 4. Daya saing thd produk sejenis LN (kualitas produk, harga produk) 5. Kepedulian (awareness) pengusaha (banyak pesaing lebih peduli, standar pendukung daya saing) 6. Kepedulian konsumen LN (produk harus berstandar, pelaporan oleh konsumen) 7. Pengawasan yang lebih mudah (pelabelan, komposisi bahan, MKG) 8. Lembaga pendukung (Lab uji, LSPro) (jumlah memadai, kapasitas, kapabilitas)
Sangat setuju Setuju Setuju Setuju Setuju Setuju Setuju Setuju
Sementara itu, biaya yang harus mereka keluarkan dalam rangka penerapan standar tujuan ekspor terkait dengan investasi peralatan dan mesinmesin produksi dan pengujian mutu dan biaya sertifikasi standar mutu. Pengeluaran investasi untuk produksi sesuai dengan standar tidak dirinci karena responden menganggap hal tersebut merupakan informasi internal perusahaan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
59
Tabel 5.6 Perkiraan Manfaat – Biaya untuk Opsi 4 Penerapan Standar Tujuan Ekspor Mainan Anak
Benefit
Kriteria Penjualan meningkat
Cost
Product image meningkat' Akses pasar meningkat Market share di negara tujuan meningkat Biaya sertifikasi mahal
Mudah dalam memenuhi persyaratan sertifikasi Biaya pemenuhan standar mahal Impact
Daya saing meningkat Partisipasi perusahaan tinggi dalam menerapkan standar K3L terjamin
Standar Negara Tujuan YA estimasi peningkatan (%): 10 - 15% YA TIDAK Tidak tahu YA biaya: 40 jt - 50 juta untuk 2 HS code, tetapi dihitung oleh LSPro biayanya utk 4 HS code (SNI belum ada kepastian soal biaya). Untuk mainan anak, ada biaya sertifikasi ulang tiap 6 bulan YA TIDAK YA TIDAK YA Cukup tinggi YA TIDAK
Selanjutnya, untuk biaya sertifikasi, mereka mengungkapkan bahwa kisarannya antara 40 – 50 juta Rupiah per tahunnya tergantung jenis sertifikasi yang diperlukan. Biaya ini tergolong relatif mahal dibandingkan dengan sertifikasi SNI untuk produk yang sama. Namun jika dibandingkan dengan omset perusahaan atau nilai penjualan untuk ekspor, maka biaya tersebut mencakup sekitar 1 – 5% dari keseluruhan biaya produksi. Penerapan standar negara tujuan ekspor ini dirasakan pelaku usaha memberikan dampak secara makro maupun mikro yaitu adanya peningkatan daya saing. Produk yang dihasilkan perusahaan menjadi lebih memiliki daya jual dan lebih menarik bagi pasar luar negeri. Hal tersebut yang mendorong pelaku usaha lainnya untuk juga menerapkan standar mutu dan kualitas yang baik pada produknya. Kemudian, penerapan standar oleh pelaku usaha juga menimbulkan dampak, baik secara mikro yang dirasakan perusahaan (berupa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
60
peningkatan penjualan dan akses pasar, maupun secara makro dalam konteks perekonomian nasional yaitu meningkatnya daya saing produk nasional secara umum.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
61
BAB VI STRATEGI PEMENUHAN KESESUAIAN STANDAR
Standar Nasional Indonesia (SNI) pada dasarnya ditujukan untuk memberikan perlindungan pasar dalam negeri. Dengan penerapan SNI, maka konsumen di dalam negeri bisa terlindungi dari produk asing (impor) yang tidak memenuhi standar. Juga, konsumen memperoleh jaminan dari barang yang beredar (termasuk produksi dalam negeri) bahwa produk yang dikonsumsinya memenuhi standar Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan (K3L). Demikian juga, SNI diharapkan bisa meningkatkan eningkatkan daya saing produk lokal di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Untuk daya saing di pasar luar negeri, penerapan SNI bisa dikatakan tidak berpengaruh langsung tetapi mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap daya saing produk nasional di pasar internasional. Dengan kemamuan produsen dlam nenegri dalam memenuhi persyaratan SNI wajib, maka bila mereka melakukan ekspor akan lebih mudah menyesauikan persyaratan yang diminta oleh negara tujuan ekspor. Kemudahan pemenuhan standar yang diminta oleh negara tujuan ekspor akan lebih mudah, bila SNI yang berlaku mempunyai kesesuaian dengan standar negara tujuan. Dengan kata lain standar yang dipakai di negara tujuan dengan segala persyaratan dan parameter yang ada di dalamnya relatif sama dengan yang ada dalam SNI (tidak ada gap standar antara SNI dengan negara tujuan ekspor). Bila standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor lebih tinggi dari SNI maka sudah seharusnya produsen di dalam negeri harus menyesuaikan standar tersebut dengan usaha dan biaya yang lebih. Demikian juga dengan sebaliknya. Bab VI ini membahas kesesuaian dan ketidaksesuaian yang ada antara SNI untuk tiga produk yaitu teh (SNI 01-1902-1995), kopi dalam kemasan (Diantaranya adalah SNI 01-3542-2004, SNI 01-2983-1992 / SNI 2983:2014, SNI 01-4446-1998, SNI 6685:2009) dan mainan anak (diantaranya SNI ISO 8124-1:2010, SNI ISO 8124-2:2010,
SNI
ISO
8124-3:2010
dan
SNI
IEC
62115:2011).
Sebagai
perbandingan adalah berbagai standar yang berlaku di negara tujuan ekspor, khususnya Jepang, dan Uni Eropa.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
62
Selain itu dalam bab ini juga dibahas analisis kesesuaian standar (Standard Compliance Analysis) yang di dasarkan pada wawancara dengan dunia industry di tiga industry teh, kopi dan mainan anak. Beberapa aspek yang dilihat dalam Standard Compliance Analysis ini adalah analisis terhadap ada tidaknya penolakan ekspor, penghitungan/estimasi hilangnya nilai ekspor sekaligus membahas aspek kualitas Infrastruktur pendukung penerapan SNI di Indonesia.
6.1. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian SNI dengan Standar Negara Tujuan Ekspor 6.1.1. Teh Hitam SNI untuk teh hitam Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk teh hitam adalah SNI 011902-1995. Definisi teh hitam menurut SNI tersebut adalah teh kering hasil pengolahan pucuk dan daun muda termasuk tangkainya dari tanaman Camellia sinensis, melalui proses fermentasi. Mutu teh hitam menurut SNI 01-1902-1995 ditentukan berdasarkan karakteristik ukuran partikel; kenampakan yang meliputi bentuk-ukuran-berat, tip, warna, dan kebersihan; air seduhan (liquor) yang meliputi warna, rasa, dan bau; kenampakan ampas seduhan (infusion) yang meliputi warna dan kerataan warna. Untuk penggolongannya teh hitam dibagi menjadi teh Orthodox dan teh Crushing Tearing Curling (CTC). Teh Orthodox dibedakan menjadi 4 (empat) golongan besar teh yaitu: Teh daun (leafy grades), teh bubuk (broken grades), teh halus (small grades), teh campuran (mixed grades). Kemudian dari keempat golongan besar teh orthodox tersebut masih dibagi lagi menjadi: 1. Teh daun (leafy grades) a. Orange Pekoe (OP); b. Orange Pekoe Superior (OP Sup); c. Flowery Orange Pekoe (FOP); d. Souchon (S); e. Broken Souchon (BS); f. Broken Orange Pekoe Superior (BOP Sup); g. Broken Orange Pekoe Grof (BOP Grof); h. Broken Orange Pekoe Special (BOP Sp); i.
Leafy Mixed (LM).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
63
2. Teh bubuk kasar (broken grades) a. Broken Orange Pekoe I / Broken Orange Pekoe (BOP I / BOP); b. Broken Orange Pekoe II (BOP II); c. Flowery Broken Orange Pekoe (F BOP); d. Broken Pekoe (BP); e. Broken Pekoe II (BP II); f. Broken Tea (BT); g. Broken Tea II (BT II); h. Broken Orange Pekoe Fanning Superior (BOPF Sup); i. Broken Orange Pekoe Fanning (BOPF); j. Broken Mixed (BM). 3. Teh bubuk halus (small grades) a. Tippy Pekoe Fanning (TPF); b. Pekoe Fanning (PF); c. Fanning (F); d. Fanning II (F II); e. Pekoe Fanning II (PF II); f. Dust; g. Dust II; h. Dust III. 4. Teh Crushing Tearing Curling (CTC) a. Broken Pekoe 1 (BP 1); b. Pekoe Fanning 1 (PF 1); c. Pekoe Dust (PD); d. Dust 1 (D 1); e. Fanning CTC (FANN); f. Dust 2 (D 2); g. Broken Mixed CTC (BMC ); h. Dust 3 (D 3); i. Powdery Dust (PW Dust); j. Mixed CTC (teh campuran CTC). Standar dan regulasi produk teh di Uni Eropa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
64
Berdasarkan informasi didalam Compendium of Guidelines for Tea yang dibuat oleh European Tea Committee (ETC), teh hitam didefinisikan oleh mereka mengacu kepada ISO 3720:2011 sebagai teh yang diproduksi dengan proses pelayuan, maserasi, fermentasi, aerasi dan pengeringan. Teh yang dimaksud berasal semata-mata dan secara eksklusif dari tunas yang baik, merupakan varietas dari spesies Camellia sinensis (L.) O. Kuntze (Lihat Gambar6.1).
Fresh leaf
Gambar 6.1. Alur pemrosesan teh hitam Sumber: ETC Compendium of Guidelines for Tea
Gambar 6.2. Beberapa jenis produk teh Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland Dijelaskan pula bahwa teh adalah jenis makanan yang memiliki kelembapan rendah ambien-stabil, oleh karena itu mikrobiologi stabil apabila kondisi penyimpanan normal; yaitu suhu pada max. 25 ° C, dan kelembapan pada max. 65% RH serta dilindungi dari cahaya. Namun demikian ETC merekomendasikan Microbiological Guideline for Tea dengan batasan: Angka Lempeng Total ≤ 107/g, khamir ≤ 104/g, Kapang ≤ 105/g, E. Coli ≤ 102/g, Salmonella negatif dalam 125 g.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
65
Karakteristik umum teh yang dipersyaratkan adalah: 1. Teh bebas dari segala bentuk vegetatif jamur dan harus bebas dari bahan asing. 2. Kandungan abu larut dalam asam pada bahan kering teh mengacu pada standar ISO 3720 dengan nilai tidak melebihi 1%. Konten abu larut dalam asam menyediakan informasi mengenai kontaminasi atau kemungkinan tercampur dengan komponen mineral seperti tanah atau pasir. 3. ISO 3720 tidak memberikan spesifikasi batas kandungan air. Namun, sebagai aturan umum tingkatnya tidak boleh melebihi 8%. Penentuan ini didasarkan pada ISO 1573. 4. Kafein secara alami ada dalam teh. Teh mengandung tidak kurang dari 1,5% kafein pada bahan kering. Terdapat proses untuk mengurangi kadar kafein alami pada teh; apabila pengirangan kadar kafein dilakukan, maka tingkat maksimum kafein dalam bahan kering adalah 0,4%, walaupun batasan ini berbeda-beda antar negara seperti ditampilkan pada Tabel X. Untuk pelabelan, dekafeinasi ditunjukkan dengan penggunaan istilah "tanpa kafein" (decaffeinated) atau varian istilah lain yang mirip. 5. Bahan teh yang larut dalam air biasanya tidak lebih rendah dari 32%. Pengecualian untuk ini adalah teh dari Turki dan Rusia yang mengandung setidaknya 26% dalam bahan kering. Lebih lanjut, dijelaskan dalam kompendium bahwa persyaratan umum adalah didasarkan kepada Regulasi (EC) No 178/2002 dan evaluasi sensori mengacu pada standar ISO 3103. Tabel 6.1 Batasan kandungan kafein pada teh di UE Negara
Kandungan
Kandungan
minimum
maksimum pada teh tanpa kafein
Austria
1.5% berat
0.4% berat kering
kering
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
66
Belgia
-
0.1%
Perancis
-
1 g per kg teh
Jerman
1.5% berat
0.4% berat kering
kering Italia
-
0.1%
Slovakia
-
0.4 g per 100 g berat kering
Swiss
-
0.1%
Sumber: Sumber: ETC Compendium of Guidelines for Tea Untuk regulasi lainnya yang terkait ekspor produk teh hitam ke UE adalah terkait batasan residu pestisida dan kandungan logam berat mengacu pada regulasi (EC) No. 396/2005, paparan radioaktif mengacu pada regulasi (EC) No.1609/2000 dan (EU) No. 996/2012, higienitas mengacu pada regulasi (EC) No. 852/2004, Genetically Modified Organism (GMO) mengacu pada regulasi (EC) No. 1829/2003 dan No. 1830/2003, dan alergen mengacu pada Directive 2000/13/EC dan regulasi (EU) No. 1169/2011. Kemudian terdapat pula ketentuan pelabelan yang mengacu pada Directive 2000/13/EC serta regulasi (EU) No 1169/2011. Kesemua regulasi dan directive tadi apabila terdapat versi terbaru maka harus merujuk pada versi terbarunya. Kemudian, terdapat ratusan pestisida yang diatur batasan Maximum Residue Level (MRL) –nya untuk produk teh (berupa dried leaves and stalks, fermented or otehrwise of Camellia sinensis) di Uni-Eropa sesuai regulasi (EC) 178/2006 dan (EC) 149/2008. Pengaturan MRL ini jauh lebih banyak dan beberapa lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh CODEX bahkan terhadap negara-negara maju lain seperti Amerika, Kanada, Australia dan Jepang seperti yang diinformasikan FAO Inter Governmental Group on Tea. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
67
Tabel 6.2. Perbandingan MRL CODEX dan negara-negara maju pada teh (mg/kg)
Source: FAO Inter Governmental Group on Tea, 2014 Lebih lanjut, CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland menyebutkan bahwa selain peraturan legal wajib, masih terdapat pula standar privat yang biasa diminta pelanggan/pengimpor untuk dipenuhi oleh produsen teh (lihat Gambar X). Lebih lanjut terkait beberapa standar privat tersebut akan dijelaskan pada bagian produk olahan kopi. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
68
Dengan demikian dapat dirangkum bahwa persyaratan untuk produk teh hitam yang akan diekspor ke UE adalah mencakup pemrosesan, bebas dari bahan asing, kandungan abu larut dalam asam, kandungan air, kandungan kafein, bahan larut dalam air, evaluasi sensori, batasan residu pestisida dan kandungan logam berat, paparan radioaktif, higienitas, GMO, bahan alergen, ditambah dengan persyaratan mikrobiologi namun hanya merupakan rekomendasi dari ETC dan tidak diharuskan dalam peraturan.
Gambar 6.3.. Persyaratan wajib dan tambahan untuk produk teh di UE Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs Teh Netehrland Kemudian dari rangkuman diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk ekspor produk teh hitam, SNI belum cukup untuk digunakan dalam mengakses pasar UE. SNI 01-1902-1995 tentang teh hitam pada persyaratan mutunya hanya mengatur hal-hal terkait ukuran partikel dan sensori seperti warna, rasa, bau dan kenampakan. Berbeda dengan SNI-SNI lainnya terkait produk teh, beberapa hal yang dipersyaratkan di UE diatur didalamnya (lihat Lampiran X) seperti bebas dari bahan asing, kandungan abu larut dalam asam, kandungan air, kandungan kafein, bahan larut dalam air, kandungan logam berat dan mikrobiologi. Dengan demikian apabila SNI teh hitam direvisi, karena tahun terbitnya sudah lama yaitu tahun 1995, dan ditambahkan persyaratan seperti milik UE yang memang sudah ada di SNI-SNI
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
69
lainnya terkait teh, maka hal tersebut akan membantu menaikkan standar produk teh hitam Indonesia dalam mengakses pasar potensial UE. Standar dan regulasi produk teh di Jepang Berdasarkan Handbook for Agricultural and Fishery Products Import Regulations yang diterbitkan oleh Japan External Trade Organization (JETRO) pada tahun 2010, produk teh dengan kepala kode HS 0902 masuk kedalam kategori spices, dan terkena regulasi Plant Protection Act, Food Sanitation Act, dan JAS Law. Plant Protection Act dimaksudkan untuk melindungi tanaman lokal dari penyakit dan hama berbahaya, namun tidak berlaku pada produk yang telah dikeringkan dan dimasukkan dalam wadah tertutup. Food Sanitation Act dimaksudkan untuk mencegah bahaya dari makanan seperti residu bahan kimia. JAS Law adalah menyangkut pelabelan seperti kandungan bahan dan jumlahnya, serta mengatur untuk produk organik. Ketidaksesuain terhadap aturan ini dapat mengakibatkan penolakan dengan pengapalan kembali atau pemusnahan. Dalam Specifications and Standards for Foods, Food Additives, etc. Under Teh Food Sanitation Act 2010 yang diterbitkan Japan External Trade Organization (JETRO) pada 2011, didalamnya terdapat detail lebih mendalam. Dijelaskan dalam panduan tersebut, secara umum pangan tidak boleh mengandung antibiotik atau sintesa substansi kimia antibakteri kecuali yang memang diperbolehkan, dan GMO perlu di laporkan dan diberi label yang jelas. Substansi kimia agrikultur berikut ini tidak boleh terdeteksi: 1) 2,4,5-T, 2) Azocyclotin dan Cyhexatin, 3) Amitrol, 4) Captafol, 5) Carbadox, 6) Coumaphos, 7) Chloramphenicol, 8) Chlorpromazine, 9) Diethylstilbestrol, 10) Dimetridazole, 11) Daminozide, 12) Nitrofurans, 13) Nitrofurantoin, 14) Furazolidone, 15) Furaltadone, 16) Propham, 17) Malachite Green, 18) Metronidazole, dan 19) Ronidazole. Batasan kontaminan yang terkena adalah Aflatoxin dengan batasan “undetectable” atau tidak boleh terdeteksi. Terdapat pula aturan terkait bahan kemasan produk. Aturan MRL untuk “otehr spices, dried” dari Teh Japan Food Chemical Research Foundation diberikan pada Tabel X. Jenis kimia yang ditur pada sumber tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan informasi yang ada pada Tabel X, dimana dapat dilihat FAO Inter Governmental Group on Tea Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
70
menampilkan data bahwa Jepang mengatur 28 jenis kimia. Dapat diketahui pula dari Tabel tersebut, Codex hanya mengatur 16 jenis kimia (daftar terbaru terdapat 17 jenis), dan batasan MRL Jepang yang sama kebanyakan adalah setara atau lebih longgar. Tabel 6.3 Batasan MRL bahan kimia agrikultur pada kategori “otehr spices, dried” Bahan kimia
MRL (ppm) 0.1
Dichlorvos dan Naled Disulfoton 0.05 Permethrin 0.05 Vinclozolin 0.05 Sumber: Teh Japan Food Chemical Research Foundation Dari berbagai batasan untuk ekspor ke UE dan Jepang maka SNI untuk teh hitam perlu ditingkatkan. Peningkatan SNI dapat mengacu pada standar internasional untuk teh hitam yaitu ISO 3720:2011 Black tea - - Definition and basic requirements; standar ini dikembangkan oleh ISO/TC 34/SC8 – Tea dimana Indonesia
(melalui
BSN) menjadi
Participating (P)
members.
Standar
ini
sebagaimana telah diapaparkan diatas juga telah diacu oleh UE. ISO 3720:2011 mengatur berbagai hal yang seperti ditampilkan pada Tabel X, yang bila diidentifikasi masih terdapat gap bila dibandimgkan dengan hal yang dipersyaratkan oleh UE dan Jepang. Namun demikian dengan tahun terbit SNI Teh hitam yang telah lama maka revisi dengan mengacu kepada ISO tentu akan menambah kemungkinan keberterimaan ke pasar global, terutama untuk UE dan Jepang. Tabel 6.4 Kutipan beberapa persyaratan dalam ISO 3720:2011 Black tea Parameter Water extract (%) Total ash (%) Water soluble ash (%) Alkalinity of total ash (%) Acid soluble ash (%) Crude fiber (%)
Batasan Min. 32 4–8 45 1–3 Maks. 1,0 Maks. 16,5
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
71
Total polyphenol Min. 9 (%) Sumber: Nimal Punyasiri, Tea Research Institute of Sri Lanka 6.1.2. Produk kopi SNI untuk produk olahan kopi Berdasarkan penelusuran pada sistem informasi SNI (sisni), ditemukan beberapa SNI untuk produk olahan kopi yang ditampilkan dalam Tabel X dan kumpulan ekstrak persyaratan mutunya diberikan pada Lampiran X. Tabel 6.5. Daftar SNI terkait produk kopi dan turunannya No. No. SNI 1 SNI 01-35422004 2 SNI 01-29831992 / SNI 2983:2014 3 SNI 01-44461998 4 SNI 01-42821996 5 SNI 01-43141996
Judul (Ind) Kopi bubuk
Judul (Eng) Coffee
Kopi instan
Instant coffee
Kopi mix
Coffee mix
Kopi celup
Coffee bag
Minuman kopi dalam kemasan
Coffee drinks in package Coffee creamer sugar in packaging Coffee sugar milk in sachets
6
SNI 7708:2011
Kopi gula krimer dalam kemasan
7
SNI 6685:2009
Kopi susu gula dalam kemasan
Sumber: sisni.bsn.go.id (diolah) Sebagai penjelasan untuk produk-produk tersebut, kutipan definisi yang diambil dari SNI-nya dalah sebagai berikut: (1)
Kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted) kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan.
(2)
Kopi instan adalah produk kering yang mudah larut dalam air, diperoleh seluruhnya dengan cara mengekstrak biji tanaman kopi (Coffee Sp.) yang telah disangrai, hanya dengan menggunakan air.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
72
(3)
Kopi mix adalah produk berbentuk serbuk, mudah larut dalam air, yang diperoleh dari campuran kopi dengan atau tanpa bahan tambahan makanan lain yang diizinkan.
(4)
Kopi celup adalah kopi bubuk hasil dari biji kopi yang disangrai (roasted) kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu yang tidak membahayakan kesehatan , dan dikemas dalam kantong khusus untuk dicelup.
(5)
Minuman kopi dalam kemasan adalah minuman yang dibuat dari campuran ekstrak kopi dan air minum dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, dikemas secara hermetik.
(6)
Kopi gula krimer dalam kemasan adalah produk berbentuk bubuk, yang terdiri dari campuran kopi bubuk dan atau kopi instan, gula serta krimer, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan dikemas secara kedap
(7)
Kopi susu gula dalam kemasan adalah produk berbentuk bubuk, yang terdiri dari campuran kopi instan, gula putih serta susu dan derivasinya dengan atau tanpa bahan tambahan pangan lain yang diizinkan dan dikemas secara hermetis.
Standar dan regulasi produk kopi di Uni Eropa Dijelaskan dari sumber CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands tentang, produk kopi untuk dapat dipasarkan di Uni-Eropa harus memenuhi persyaratan legal wajib yang diatur pemerintah dan memenuhi persyaratan tambahan dari pembeli/pengimpor. Daftar persyaratan legal wajib ini dapat dilihat pada Tabel 6, dan yang menjadi hal paling utama adalah terkait Regulasi Umum Pangan (General Food Law, Regulation EC 178/2002) dan kontaminan dalam pangan (Contaminants in Food, Regulation EC 1881/2006). Sebagai catatan, persyaratan legal wajib dapat berbeda antara satu negara dan negara lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
73
Tabel 6.6 Regulasi dan jenis Persyaratan Produk Kopi di Uni Eropa Jenis persyaratan
Sumber peraturan
Kontaminan dalam
Regulation (EC) 1881/2006
pangan Regulasi pangan
umum Regulation (EC) 178/2002
Material kontak dengan pangan
Kontrol pangan
Penjelasan -
Regulasi Umum Pangan adalah kerangka kerja utama yang mengatur pangan di Uni Eropa. Regulasi ini mencakup pula persyaratan ketertelusuran sumber pangan, mengatur kasus temuan ketidaksesuaian untuk produk pangan yang disampaikan dalam European Rapid Alert System for Food (and Feed) Products (RASFF) sebagai alat untuk pertukaran informasi di kawasan UE.
Regulation (EC) 1935/2004 Directive 84/500/EEC Directive 2007/42/EEC Directive 2002/72 EC Regulation (EC) 282/2008 Regulation (EC) 372/2007 Directive 78/142/EEC Directive 93/11/EEC Regulation (EC) 1895/2005 Directive 2008/39/EC
Aturan untuk bahan kontak dengan makanan adalah untuk mencegah perubahan yang tidak dapat diterima dalam komposisi bahan makanan dan untuk melindungi kesehatan
Regulation (EC) 882/2004 Regulation (EC)
Semua produk pangan yang masuk ke kawasan Uni Eropa tunduk pada kontrol resmi untuk
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
74
Jenis persyaratan
Pelabelan pangan
Sumber peraturan
Penjelasan
669/2009
memeriksa apakah produk sesuai dengan regulasi yang relevan terkait pangan. Dengan aturan ini, beberapa produk tertentu dapat dikenakan tingkat kontrol yang lebih ketat
Directive 2000/13/EC Directive 90/496/EC Regulation 1924/2006/EC Directive 2005/26/EC Directive
Menjelaskan persyaratan yang berkaitan dengan label gizi, kandungan dan alergen.
2007/68/EC Good manufacturing practice (GMP)
Regulation (EC) 2023/2006
GMP tidak berlaku langsung untuk produsen diluar Uni Eropa. Namun, dapat saja berlaku karena tuntutan pembeli untuk penerapan sistem mutu
Hygiene of foodstuffs (HACCP)
Regulation (EC) 852/2004
hygiene of foodstuffs (HACCP) mengikat secara hukum untuk pihak pemroses pangan dan direkomendasikan untuk petani
Maximum Residue Levels (MRLs) dari pestisida
Regulation (EC) 396/2005 Regulation (EC) 178/2006 Regulation (EC) 149/2008
-
Kontaminan mikrobiologi Produksi pangan organik dan pelabelannya
Regulation (EC) 2073/2005 Regulation (EC) 834/2007 Regulation (EC) 889/2008 Regulation (EC)
persyaratan produksi dan pelabelan yang harus dipenuhi apabila produk diklaim merupakan produk organik
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
75
Jenis persyaratan
Sumber peraturan
Penjelasan
1235/2008 Sumber: CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands, Compliance with EU buyer requirements for coffee Terkait kontaminan yang diatur dalam Regulation (EC) 1881/2006, maka untuk produk kopi instan hanya terdapat persyaratan batasan Ochratoxin A sebesar 10,0 mg/kg dan tidak diidentifikasi batasan untuk kontaminan lain seperti logam berat. Sedangkan untuk Maximum Residue Level (MRL) produk kopi berdasarkan annex didalam Regulation (EC) 149/2008 dan edaran International Coffee Organization (ICC) No. 110-3 Rev.2 tertanggal 25 Februari 2013, dari kedua sumber tersebut dapat diketahui bahwa walaupun terdapat ratusan pestisida yang residunya diatur untuk produk kopi di UE, lebih banyak daripada yang diatur di Codex yaitu 29 jenis pestisida untuk biji kopi dan yang hanya sebanyak satu jenis pestisida untuk roasted coffee beans yaitu Cyprocronazole, hal tersebut hanya berlaku untuk produk biji kopi. Pada batasan mikrobiologi berdasarkan Regulation (EC) 2073/2005, juga tidak ditemukan batasan untuk produk kopi. Untuk persyaratan tambahan, hal tersebut ditambahkan oleh pembeli atau pihak pengimpor karena mereka dapat saja menambahkannya setelah persyaratan minimum legal wajib dipenuhi. Persyaratan tambahan ini biasanya terkait lingkungan dan sosial, antara lain seperti Fair Trade, UTZ dan Rainforest Alliance. Fair Trade adalah adalah gerakan sosial yang tujuannya membantu
produsen di
negara-negara berkembang mencapai
kondisi
perdagangan yang lebih baik dan dengan demikian mendukung perdagangan yang keberlanjutan; dengan penerapan standar Fair Trade maka
eksportir
mendapatkan pembayaran harga yang lebih tinggi. UTZ Certified adalah program yang dan label untuk pertanian berkelanjutan; sertifikasi UTZ mencakup praktik pertanian yang baik (Good Agicultural Practice, GAP), manajemen pertanian, kondisi sosial dan kehidupan, serta lingkungan. Sedangkan Rainforest Alliance adalah sertifikasi yang dimaksudkan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menjamin penghidupan yang berkelanjutan dengan mengubah praktek penggunaan lahan, praktek bisnis dan perilaku konsumen (Wikipedia).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
76
Sesuai paparan diatas, maka SNI dapat digunakan sebagai alat pendukung untuk produk olahan kopi dalam melakukan akses pasar UE namun masih diperlukan penambahan hal-hal lain sesuai daftar peraturan legal wajib yang berlaku dan permintaan tambahan yang biasanya diminta pembeli yang memang merupakan pemberi nilai tambah, alat diferensiasi dan biasanya didorong juga karena permintaan pasar atau konsumen akhir. Persyaratan terkait kontaminan bila dibandingkan dengan SNI, maka SNI sudah baik namun perlu penambahan pemeriksaan kandungan kontaminan Ochratoxin A. Aturan mikrobiologi telah diatur dalam SNI namun tidak teridentifikasi dalam regulasi European commission sehingga menjadi gap positif, sedangkan aturan batasan MRL untuk UE sebenarnya cukup sulit karena lebih ketat dari batasan Codex dimana Indonesia menjadi anggota aktifnya, namun beruntung peraturan tersebut tidak menjadikan produk olahan kopi sebagai produk yang diatur.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015
77
6.1.3. Produk mainan SNI untuk produk mainan Saat ini di Indonesia SNI untuk mainan telah diberlakukan wajib oleh
Kementerian
Perindustrian
dengan
Per.Men
No.
24/M-
IND/PER/4/2013 yang kemudian direvisi dengan Per.Men No. 55/MIND/PER/11/2013. SNI yang diberlakukan wajib terdapat 5 buah seperti yang terdapat pada Tabel 3; dan turut pula ditetapkan disana sebagian parameter pada standar EN 71-5 untuk uji ftalat dan SNI 7617:2010 untuk uji azo dan formaldehida. Produk mainan yang diatur ditetapkan pula didalam Peraturan Menteri tersebut, yang menyangkut 12 jenis sesuai Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya No. SNI Judul (Ind) Judul (Eng) No. 1 SNI ISO 8124Keamanan mainan – Safety of toys – part 1:2010 Bagian 1: Aspek 1: safety aspects keamanan yang related to mechanical berhubungan dengan and physical sifat fisis dan mekanis properties 2 SNI ISO 8124Keamanan mainan – Safety of toys – part 2:2010 Bagian 2: Sifat mudah 2: Flammability terbakar 3 SNI ISO 8124Keamanan mainan – Toy safety – Part 3: 3:2010 Bagian 3: Migrasi Migration of certain unsur tertentu elements (ISO 81243:1997, IDT) 4 SNI ISO 8124Keamanan mainan – Safety of toys – Part 4:2010 Bagian 4: Ayunan, 4: Swings, slides and seluncuran dan similar activity toys mainan aktivitas for indoor and sejenis untuk outdoor family pemakaian di dalam domestic use (ISO dan di luar lingkungan 8124-4:2010,IDT) tempat tinggal 5 SNI IEC Mainan elektrik – Electric toys – Safety 62115:2011 Keamanan 6 EN 71-5 Untuk pengujian Safety of toys – Part phtalat 5: Chemical toys (sets) otehr than experimental sets 7 SNI 7617:2010 Untuk pengujian non Tekstil - Persyaratan azo dan formaldehida zat warna azo, kadar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
78
Tabel 6.7. Daftar SNI terkait produk mainan dan turunannya No. No. SNI Judul (Ind) Judul (Eng) formaldehida dan kadar logam terekstraksi pada kain Sumber: Per.Men No. 24/M-IND/PER/4/2013 dan sisni.bsn.go.id (diolah) Tabel 6.8 HS mainan yang diatur dalam Peraturan Menteri No 1
2
3 4 5
6 7 8
9
10 11
12
Jenis Mainan Baby Walker dari logam Baby Walker dari plastik Sepeda roda tiga, skuter, mobil berpedal dan mainan beroda semacam itu; kereta boneka. Boneka; bagian dan aksesorinya Kereta elektrik, termasuk rel, tanda dan aksesoris lainnya Perabot rakitan model yang diperkecil ("skala") dan model rekreasi semacam itu dapat digerakkan atau tidak Perangkat konstruksi dan mainan konstruksional lainnya dari bahan selain plastik. Stuffed toy menyerupai binatang atau selain manusia Puzzle dari segala jenis Blok atau potongan angka, huruf atau binatang; perangkat penyusun kata; perangkat penyusun dan pengucap kata; toy printing set; counting frame, mainan (abaci); mesin jahit mainan; mesin tik mainan Tali lompat Kelereng Mainan lainnya selain sebagaimana yang disebut pada angka 2 sampai dengan 11 terbuat dari semua jenis material baik dioperasikan secara elektrik maupun tidak.
Kode HS Ex. 9403.20.90.00 9403.70.10.00 9503.00.10.00 9503.00.21.00 9503.00.22.00 9503.00.29.00 9503.00.30.00 9503.00.40.10 9503.00.40.90
9503.00.50.00 9503.00.60.00 9503.00.70.00
9503.00.91.00
9503.00.92.00 9503.00.93.00
9503.00.99.00
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 79
'- Balon, pelampung renang untuk anak atau mainan. '- Senapan/pistol mainan '- Mainan lain Sumber: Per.Men No. 24/M-IND/PER/4/2013 Tujuan dari pemberlakuan wajib SNI mainan adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan menjamin mutu hasil industri, melindungi konsumen atas keselamatan, keamanan, dan kesehatan khususnya pada bayi dan anak, serta menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil. Standar dan regulasi produk mainan di Uni-Eropa Pembahasan gap atau perbedaan antara SNI terkait mainan anak dan standar yang berlaku di Uni-Eropa berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, antara lain: (1) website International Council for Toy Industries (ICTI); (2) website Intertek; (3) Global Toy Safety Standards Manual, dari TUV Rheinlad Group; dan (4) Guide to International Toy Safety Requirement, dari Underwriter Laboratories (UL). Mainan wajib memiliki CE Marking agar dapat beredar di UniEropa (UE). Regulasi yang mengaturnya adalah Teh Toy Safety Directive. Dijelaskan dalam website European Commission, Toy Safety
Directive
maksimum
bagi
dimaksudkan
untuk
anak-anak
dapat
memastikan dicapai
keamanan dan
untuk
mengharmoniskan peraturan yang mengatur penjualan mainan didalam
internal kawasan UE.
Directive terbaru bernomor
2009/48/EC berlaku sejak 20 Juli 2011 kecuali ketentuan terkait kimianya yang berlaku penuh 2 tahun kemudian pada tahun 2013; directive ini menggantikan yang lama bernomor 88/378/EEC. Menambahkan informasi dari ICTI, macam peraturan dan regulasi terkait mainan agar dapat masuk kedalam kawasan EU ini cukup banyak, hingga mencapai 27 buah (diberikan dalam lampiran B).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 80
Berbeda dengan regulasi di Indonesia yang penentuan sebuah produk masuk kedalam kategori mainan atau bukan sangat tergantung
pada
golongan
HS-nya,
Directive
2009/48/EC
mendefinisikan mainan sebagai “any product or material designed or intended, whetehr or not exclusively, for use in play by children under 14 years of age”. Kalimat ‘wetehr ir not exclusively’ menyatakan bahwa produk yang penggunaanya dapat lebih dari satu dapat saja dianggap sebagai mainan; contohnya apabila sebuah gantungan kunci memiliki bentuk boneka dan dapat dimainkan, maka gantungan kunci tersebut dapat dikategorikan sebagai mainan. Kalimat lain terkait adalah perubahan dari “clearly intended…for use in play” menjadi hanya “intended…for use in play”; hal ini berarti mendukung konsep bahwa pendugaan yang beralasan akan kemungkinan penggunaan sebuah produk sebagai mainan lebih dimenangkan dari pada tujuan penggunaan produk yang dideklarasikan oleh produsen. TUV Rheinland dalam Global Toy Safety Standards Manualnya banyak memaparkan detail aturan terkait kimiawi pada Directive baru 2009/48/EC. Disebutkan bahwa Toy safety directive yang baru memiliki aturan terkait kimiawi lebih ketat dan melingkupi lebih banyak produk. Restriksi kimia lebih ketat tersebut antara lain berupa peningkatan jumlah elemen logam berat yang diatur menjadi 19 macam, daripada sebelumnya yang hanya 8 macam (perbandingan diberikan pada Lampiran C). Kemudian terdapat peraturan untuk migrasi N-nitrosamines dan N-nitrosatable, dan juga pelarangan untuk 55 jenis wewanginan yang dapat memicu reaksi alergi. Determinasi substansi N-nitrosamines dan N-nitrosatable untuk
mainan
diatur
dalam
EN
71-12;
dengan
pengaturan
dimaksudkan bagi mainan yang dimainkan anak berumur dibawah 3 tahun atau mainan dan bagian dari mainan yang dimaksudkan untuk ditaruh di mulut; batasannya adalah seseuai Tabel 6.9. Kemudian, mainan juga harus memenuhi regulasi umum UE terkait kimia termasuk Registrastion, Evaluation, Authorisation and Restriction of
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 81
Chemicals (REACH). Untuk batasan ftalat sendiri aturan Indonesia sesuai REACH Annex XVII (Teh Previous 2005/84/EC) yaitu sebesar < 0,1%. Tabel 6.9 Batasan N-nitrosamines dan N-nitrosatable sesuai EN 71-12
Sumber: TUV Rheinland Selanjutnya, setelah persyaratan kandungan logam berat dan kimia lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, standar baru EN 71-9 ditambahkan dalam rangkaian penerapan toy safety directive baru. Standar ini menyangkut persyaratan senyawa organik dan digunakan bersama dengan EN 71-10 untuk preparasi sampel dan ekstraksinya, serta EN 71-11 untuk metode analisisnya. EN-71-9 dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan bahaya yang diakibatkan senyawa organik didalam mainan antara lain seperti kanker, mutasi organik, kerusakan pada sistem reproduksi. EN 71-9 dengan jelas mendefinisikan kandungan dan migrasi senyawa berbahaya seperti diberikan pada lampiran D, yang diklasifikasikan berdasarkan beberapa macam kemungkinan cara paparan, yaitu: dengan jilatan (lick), tertelan (swallow), kontak kulit (skin contact), kontak mata (eye contact) dan hirupan (inhale). Dengan demikian diharapkan dalam penggunaan mainan secara normal, pemberian perhatian yang lebih harus diberikan pada perilaku anak, serta pembuatan desain dan fungsi mainan. Selanjutnya terkait uji fisis dan mekanis, maka perbedaan antara standar internasional yang diacu SNI dan EN 71-1 ditampilkan dalam Tabel 6.10.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 82
Tabel 6.109 Perbandingan klausul pengujian standar internasional* dan standar EN 71-1 Pengujian
Internasional*
UE
Analisis gap
Torque force
0.45 Nm/10s
0.34 Nm/10s
Tensile force
70 N/10s
Largest accessible dimension
+ NE
> 6mm, 90N. 50N for otehrs. For protective component, 60N Compression 114N/10s (for under 36 months), 136N/10s (for children 36 months –
110 N/10s
+
At a height of 850mm, 5 times
+
96 months) Drop
At a height of 138cm, 10 times (for children under 18months); At a height of 93cm, 4 times (for children 18months – 96 months).
Tip over
Pushing teh toy slowly past its center of balance, 3 times
Apply a force not greater than 120N, 3 times tip over
NE
Impact Test for Toys Covering teh Face
A steel ball with a diameter 16mm and weight of 15g, fall from a height of 130cm
For rigid materials, a round
-
piece with a diameter of 80mm, and a weight of 1 kg, at a height of 100mm, 1
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 83
Pengujian
Internasional*
UE
Analisis gap
time impact
-
A round piece with a diameter
-
of 80mm, and a weight of 1 kg, at a height of 100mm, 1 time flexure
Bend teh wire or rod 30 cycles at a rate of 1 cycle/2s, with a 60s rest period after 10 cycles. Two 120o arc bends shall constitute one cycle
Twist 120 degrees, a circle includes 2 times and costs 2 seconds; 30 times for wires intended to bent, 1 time for wires not designed and intended to be bent but likely to
0
occasionally or accidentally be bent; stop for 60 seconds after 10 times (precondition:70N can twist 60 degrees) Dynamic strength
Static strenght
According to teh test age, a driving toy carrying correspondent load impacts a nonflexible step (50mm
0
height) with 2m/s; 3 times
According to teh test age, load teh toy 25kg for children under 3; and 50kg for children over 3. Impacts a nonflexible step (50mm height) with 2m/s; 3 times
35kg for children up to and including 36 months. 80kg for
1) Ordinary Toy: under 3, 25 kg; above 3 years old, 50kg; scooter:
+
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 84
Pengujian
Internasional*
UE
Analisis gap
children from and including 37 to 96 months. 140kg for children 97 months or more
a) suitable to a child’s weight ≤ 20kg; 50 kg; b) otehr scooter; 100 kg; c) teh principle and assistant devices of teh handle are locked at teh same time: teh middle suspending part 50 kg x 2 Only teh assistant lock is working as a device. bottom up teh scooter, and lock both teh principle and assistant devices; 25 kg x 2
Sideways stability test
A tilt platform of 10 degrees (free legs for stabilization) or 15 degrees (not free feet for stabilization), bearing 25kg for children under 3 years, 50kg for otehrs
For toys intended for children of 36 months and over, if foot can support teh seat without any limitation to teh sideways, teh sides stability can be exempted. A tilt platform of 10 degrees, bearing 25kg for children under 3 years, 50kg for otehrs
0
Front-rear stability test
A tilt platform of 15 degrees, bearing 25kg for children under 3 years, 50kg for otehrs
A tilt platform of 10 degrees, bearing 25kg for children under 3 years, 50kg for otehrs
+
Sumber: www.tuv.comKeterangan: (+) SNI lebih tinggi, (-) SNI lebih rendah, (0) setara, (NE) Not Equal
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 85
(*) standar internasional dianggap sebagai acuan yang mendekati SNI. Standar internasional dimaksud yang digunakan adalah yang telah diadopsi oleh Australia
Walaupun perbandingan persyaratan uji fisik dan mekanis menunjukkan kemiripan dan cenderung lebih unggul standar internasional ISO dibandingkan acuan EN 71-1, dapat disimpulkan bahwa masifnya persyaratan kimiawi dalam Toy Safety Directive yang baru, 2009/48/EC, menjadi kendala terbesar untuk ekspor produk mainan Indonesia ke Uni-Eropa. Regulasi di Indonesia yang mengacu kepada standar internasional baru mengatur 8 jenis logam berat dibandingkan 19 macam logam berat yang diatur dalam EU directive; Indonesia juga tidak mengatur migrasi N-nitrosamines dan N-nitrosatable; 55 jenis wewanginan yang dapat memicu reaksi alergi juga belum disentuh oleh regulasi dalam negeri. Lebih jauh, perlu diwaspadai juga terkait interpretasi yang diperluas dari definisi mainan dalam directive toy safety yang baru. Definisi tersebut dapat mengakibatkan penolakan pada produk serupa mainan karena sebuah produk yang pada awalnya menurut penggolongan kode HS-nya tidak termasuk mainan menurut deklarasi pelaku ekspor ternyata apabila dinilai ‘dapat saja dimainkan oleh anak’ maka produk tersebut dapat dikategorikan sebagai mainan.
6.2. Analisis Kesesuaian Standar (Standard Compliance Analysis): Analisis Penolakan Ekspor, Estimasi Kehilangan Ekspor, Kualitas Infrastruktur
Salah satu tujuan utama dari penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk – produk impor yang tidak sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan yang berpotensi dapat merugikan konsumen dalam negeri. Selain itu, SNI juga berfungsi untuk meningkatkan daya saing produk lokal dari produk –
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 86
produk impor, karena melalui penerapan SNI, pelaku usaha terdorong untuk menghasilkan produk berkualitas yang sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan yang berlaku. Namun demikian, meskipun tujuan utama dari penerapan SNI adalah untuk melindungi pasar dalam negeri, tidak menutup kemungkinan bahwa penerapan SNI di dalam negeri juga dapat bermanfaat bagi pelaku usaha yang
melakukan
ekspor,
dikarenakan
beberapa
parameter
yang
tercantum di dalam SNI mengacu pada standar internasional sehingga bagi pelaku usaha yang sudah menerapkan SNI akan lebih mudah untuk menyesuaikan dengan standar internasional yang diterapkan di negara tujuan ekspor. Tabel 6.11 Analisis Kesesuaian Standar untuk Teh Varian produk Komposisi bahan baku
Kasus penolakan (rejection)/komplain terkait ketidaksesuaian standar
Permasalahan (kelengkapan dokumen ekspor dan permasalahan pengiriman/shipment) Tindakan yang dilakukan perusahaan dengan adanya penolakan/komplain
Potensi kerugian ekonomi (atau tidak memenuhi standar yang diinginkan) Kualitas dan kapasitas dari infrastruktur pendukung pelaksanaan SNI/standar lainnya (SDM, alat uji, akreditasi, teknologi)
Teh hitam, teh hijau bahan baku 100% lokal. Produksi 70% diekspor, sisanya dipasarkan lokal (untuk Sariwangi, Unilever) Jenis produk: teh hitam (sekitar tahun 2005) dengan nilai: 0,5% dari nilai ekspor. Alasan penolakan: terkaitmutu, daun yang tidak melebar saat diseduh (bentuk daun). Penolakan dilakukan oleh pihak importir. Standar yang digunakan: acuannya merupakan konsensus importir mengenai bentuk daun teh saat diseduh Pernah ada masalah, kemasan rusak, kadar kimia tinggi Mengganti biaya fumigasi; Daun yang tidak melebar sesuai keinginan pembeli tsb disebabkan tingkat kelembaban yang bervariasi saat produksi teh dan tidak mempengaruhi kualitas mutu teh, sehingga yang dilakukan perusahaan adalah memperbaiki proses seleksi teh yang diekspor berikutnya. Komplain tidak berakibat pada penolakan (ekspor tersebut tidak ditolak atau pun dikembalikan, sehingga tidak merugikan perusahaan). Internal perusahaan: Lab memiliki sendiri, kualitas sudah cukup bagus, sudah memperoleh ISO 9002, Perusahaan memiliki lab internal sendiri, terutama tempat penampungan yang higienis dan cangkir uji. Eksternal perusahaan: Biaya berluktuasi, Lab eksternal merujuk ke lab di luar negeri yang
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 87
Langkah yang dilakukan bila ada kendala dalam quality infrastructure di perusahaan
Harapan dari perusahaan terhadap pemerintah? (untuk perbaikan)
memiliki lab uji untuk kontaminan dan cemaran kimia Merawat mesin dengan baik, ada sertifikasi UTZ, Rainforest Allianze dsb, tetapi tidak bisa diterapkan di semua pabrik karena mengakomodir teh dari petani mitra yang kualitasnya tidak seragam. Namun untuk teh yang diekspor, tidak ada kendala dalam quality infrastructure karena hanya teh yang berasal dari pabrik yang tersertifikasi yang diekspor. Kondisi pelabuhan masih kurang, Pemerintah harus mengedukasi masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri, perbaikan harga teh, mekanisme lelang perlu campur tangan pemerintah, upgrade SNI . Langkah lain adalah: 1. SDM penguji perlu disertifikasi 2. Jika SNI teh akan diberlakukan secara wajib, maka perlu diperhatikan bahwa teh memiliki 19 grade, jadi apakah SNI akan ditetapkan untuk semua grade 3? Yang perlu diberlakukan secara wajib SNI-nya segera adalah teh hijau. 4. Untuk spesifikasi teknis teh, sebaiknya merujuk ke standard Uni Eropa
Tabel 6.12: Analisis Kesesuaian Standar untuk Kopi Varian produk Komposisi bahan baku Kasus penolakan (rejection)/komplain terkait ketidaksesuaian standar yang dilakukan oleh pengekspor/perusahaan di dalam negeri Permasalahan dalam proses eksporimpor (kelengkapan dokumen ekspor dan permasalahan pengiriman/shipment) Tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengatasi penolakan/komplain Potensi kerugian ekonomi karena tidak memenuhi standar yang diinginkan Kualitas dan kapasitas dari
Green bean, kopi instan, Roasted bean, green bean, rempah, Kopi instan 3 in 1 90% lokal Jenis Green bean, Coffee bean. Tahun: 2013. Dengan nilai: USD 600, satu kontainer. Alasan penolakan: kadar air tidak sesuai, kemasan rusak, kadar fumigasi tinggi. Yang melakukan penolakan: pembeli, perusahaan dengan standar FDA, standar Jepang Ada karantina negara tujuan, fumigasi produk organik, inefisiensi pengurusan izin.
Mengembalikan uang senilai barang yang rusak, mengganti produk, menurunkan harga jual Harga turun
Internal perusahaan: sudah memiliki infrastruktur
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 88
infrastruktur pendukung pelaksanaan SNI/standar lainnya (SDM, alat uji, akreditasi, teknologi) Langkah yang dilakukan bila terdapat kendala dalam quality infrastructure di perusahaan Harapan dari perusahaan terhadap pemerintah (untuk perbaikan)
dan lab yang bagus, Lab uji Iso 17025. Eksternal perusahaan: sudah ada ISO, Lab pembeli, melakukan tes kimia di Jepang Tidak ada kendala. Penerapan ISO terus dievaluasi Infrastruktur pelabuhan dan jalan harus ditingkatkan, mengurangi impor, pelayanan harus lebih cepat, menyederhanakan proses karantinan (fumigasi khussus untuk kopi organic. Perlu dikaji kembali terkait penerapan SNI wajib terhadap produk HS tertentu, perlu ada pengecualian untuk bahan baku (tidak diberlakukan secara general).
Tabel 6.13: Analisis Kesesuaian Standar untuk Mainan Anak Varian produk Komposisi bahan baku Kasus penolakan (rejection)/komplain Permasalahan dalam proses ekspor-impor (kelengkapan dokumen ekspor dan permasalahan pengiriman/shipment Tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengatasi penolakan/komplain? Harapan dari perusahaan terhadap pemerintah? (untuk perbaikan)
Baby Walker, Sepeda Roda Tiga, Stroller, Puzzle Pelaku adalah pengusaha lokal, dengan bahan baku impor sebesar 50% Rolling Elephant, 2013, tanpa uji
masalah impor karantina, dokumen palsu, HS Code tidak diterima, adanya pengurusan dengan calo
Mengganti dengan unit baru
Waktu penerapan SNI, Mahalnya biaya sertifikasi, perlu peningkatan dan penambahan fasilitas LSPro dan lab uji, pengurusan SNI yang lama. Perusahaan asing di kawasan berikat (barang dari kawasan luar daerah berikat tidak boleh digabung dengan barang dari kawasan berikat.
Hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha di beberapa daerah tujuan penelitian menunjukkan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor, standar yang diterapkan adalah standar yang berlaku di negara tujuan, atau standar yang diminta oleh pembeli (buyer) di negara tujuan ekspor. Pada umumnya, parameter yang ditetapkan di dalam standar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 89
internasional lebih tinggi dibandingkan dengan parameter yang diterapkan di dalam SNI. Oleh karena itu, pelaku usaha yang akan melakukan ekspor harus melakukan penyesuaian dengan standar yang diterapkan oleh pembeli di luar negeri. Beberapa
perusahaan
pernah
mengalami
penolakan
ekspor.
Sebagian besar penolakan disebabkan karena ketidaksesuaian dengan standar di negara tujuan ekspor, seperti yang terjadi pada ekspor produk teh, kopi kemasan dan mainan anak (Tabel 6.11, 6.12 dan 6.13). Penolakan produk kopi yang diekspor terjadi karena kadar air yang tidak sesuai dengan standar atau kadar fumigasi dan kadar kandungan zat kimia yang tinggi melebihi batas standar yang ditetapkan di negara tujuan. Alasan lain dari penolakan ekspor adalah karena kemasan rusak yang terjadi selama perjalanan dari negara asal ke negara tujuan ekspor. Kerugian
yang
diakibatkan
dari
penolakan
ekspor
bervariasi
tergantung dari penyebab penolakan serta respon dari buyer. Beberapa pelaku usaha mengganti produk yang tidak sesuai standar dengan produk yang baru yang sudah disesuaikan dengan standar buyer, sementara itu beberapa pelaku usaha lainnya mengembalikan uang sesuai dengan barang yang rusak dan mengganti biaya fumigasi dan lain – lain. Namun, ada juga beberapa pelaku usaha yang menurunkan harga jual produknya dan menjualnya ke negara lain atau pembeli yang lain. Estimasi dari kerugian sangat bervariasi tergantung dari nilai dan volume produk yang dijual. Dari beberapa responden yang diwawancarai, estimasi kerugian akibat penolakan ekspor ini bisa mencapai USD 600. Secara umum, kualitas infrastruktur laboratorium uji standardisasi untuk komoditi kopi dan teh, sudah cukup memadai, hanya untuk komoditi mainan anak belum dapat dilakukan uji di dalam negeri, karena belum ada laboratorium yang terakdreditasi oleh KAN. Untuk produk yang akan di ekspor, laboratorium uji yang digunakan berbeda tergantung pada permintaan dan kebutuhan dari buyer, meskipun beberapa perusahaan yang diwawancarai sudah memiliki laboratorium uji yang cukup memadai. Terdapat
beberapa
perusahaan
yang
melakukan
uji
produk
di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 90
laboratorium uji milik buyer di negara tujuan ekspor, atau di negara yang ditunjuk oleh buyer. Seperti pada produk mainan anak yang akan di ekspor ke Eropa, pengujian produk dilakukan di negara Hongkong. Beberapa perusahaan mainan lainnya juga melakukan uji standardisasi di Taiwan atau di Thailand, karena laboratorium uji di Indonesia belum terakreditasi KAN.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2015 91
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN I. Kesimpulan 1.
Pengaruh SNI bagi penguatan pasar dalam negeri dan pengaruh (tidak langsung) peningkatan ekspor • Pilihan
opsi
yang
diambil
(penerapan
SNI-wajib)
berdasarkan kriteria yang ada, secara umum, mempunyai manfaat (peningkatan penjualan, akses pasar dan product image) yang lebih besar; di samping adanya biaya yang muncul (biaya sertifikasi dan pemenuhan standar yang dianggap masih mahal). Berdasarkan opsi ini, SNI Wajib mampu memberikan perlindungan terhadap pasar dalam negeri. • Pilihan opsi yang diambil (penerapan standar tujuan ekspor) mempunyai manfaat (peningkatan penjualan, akses pasar dan product image) yang lebih besar; di samping adanya biaya yang muncul (biaya sertifikasi dan pemenuhan standar). 2. Penerapan SNI wajib sebagai instrumen penguatan pasar dalam negeri
telah
mampu
membatasi
peredaran
produk
impor
berkualitas rendah, namun masih belum mampu meningkatkan daya saing produk lokal di dalam negeri. Kekurangmampuan ini karena masih terdapat kendala dalam memperoleh SPPT-SNI, antara lain: proses pengurusan yang lama, biaya pengurusan yang relatif mahal, dan masa berlaku sertifikasi SNI yang pendek (contoh masa berlaku SNI pada mainan anak hanya 6 bulan sementara waktu pengurusan rata-rata 3 bulan, umumnya pemberlakuan SNI produk lain berlaku 1 tahun). 3. SNI wajib tidak mendukung peningkatan ekspor secara langsung, namun jika pelaku usaha sudah mampu memenuhi SNI wajib maka mereka akan dengan mudah dapat memenuhi semua persyaratan standar negara tujuan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
92
4. Secara umum ekspor produk teh hitam, kopi instan, dan mainan anak sudah memenuhi standar negara tujuan. Proses pengujian dilakukan dengan cara menguji sampel pada lab uji yang ditunjuk oleh buyer luar negeri baik menggunakan lab uji di dalam negeri maupun luar negeri, namun penerapan SNI baik dalam rangka penguatan pasar dalam negeri maupun peningkatan daya saing produk ekspor masih menghadapi beberapa kendala, antara lain: a. Terdapat sejumlah produk yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri belum bisa diterima oleh pasar internasional (negara tujuan). Penolakan untuk teh hitam karena masalah kualitas daun; untuk kopi instan karena masalah kadar air, residu fumigasi yang berlebihan dan kemasan yang rusak; serta untuk mainan anak karena tidak adanya pengujian). Adanya penolakan tersebut menunjukkan bahwa masih ada kelemahan atau ketidakmampuan perusahaan/industri dalam negeri dalam memenuhi standar negara tujuan. b. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung (infrastruktur lembaga penilai kesesuaian), kemauan dan kemampuan perusahaan/industri
belum
mendukung
secara
penuh
pemberlakuan SNI secara wajib. 5. Berdasarkan penilaian kesesuaian dan ketidaksesuain antara SNI dengan standar negara tujuan ekspor diperoleh beberapa perbedaan yaitu: a. Untuk produk teh hitam, SNI belum cukup untuk mendukung akses pasar (UE), terkait dengan persyaratan mutu dalam SNI yang hanya mengatur hal-hal terkait ukuran partikel, warna, rasa, bau dan kenampakan. Sementara negara tujuan ekspor lebih detil (aspek kimiawi, logam berat dan higienitas). b. Untuk produk kopi, SNI dapat mendukung akses pasar (UE). SNI sudah mengatur kontaminasi mikrobiologi yang tidak ada pada standar EU, namun SNI perlu mengakomodasi adanya penambahan pemeriksaan kontaminan.
93
c. Untuk produk mainan anak ada kesesuaian pada aspek uji fisik dan mekanik. Namun masih perlu penyesuaian pada definisi mainan anak dan kandungan logam berat. II.Rekomendasi Kebijakan Strategi peningkatan peranan SNI dalam upaya penguatan pasar dalam negeri dan peningkatan ekspor dilakukan melalui langkah operasional sebagai berikut: a. Melakukan penyesuaian SNI dengan standar negara tujuan ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar di luar negeri. Sementara persyaratan lain yang sudah ada dalam SNI dan bersifat unik (tidak ada dalam standar negara tujuan) tetap dipertahankan.
Penyesuaian
dilakukan
dengan
cara
menyempurnakan standar teknis untuk: 1) SNI teh hitam harus memperhatikan masalah teknis terkait aspek kimiawi, logam berat dan higienitas yang selama ini belum masuk dalam klausul SNI teh hitam. 2) SNI
kopi
instant
perlu
mengakomodasi
pemeriksaan
kontaminan. 3) SNI mainan anak perlu memperhatikan kandungan logam berat dan mempertimbangkan penerapan SNI Wajib untuk komponen penyusunnya. b. Upgrading SNI dan pemberlakuan SNI Wajib perlu dilakukan. Khusus untuk SNI teh hitam perlu direvisi mengingat standar tersebut yang dibuat tahun 1995 kurang relevan dengan perkembangan pasar. Selain itu, SNI teh hitam perlu didorong untuk diberlakukan secara wajib dalam rangka meminimalisasi peredaran produk teh hitam berkualitas rendah di pasar dalam negeri.
94
c. Memperbaiki prosedur pengurusan sertifikasi yang dinilai oleh pelaku usaha masih memberatkan dengan proses yang lama dan masa berlaku sertifikasi SNI yang pendek. d. Menambah jumlah lembaga penilaian kesesuaian yang merata dan mudah diakses oleh pelaku usaha dalam mendukung penerapan SNI wajib. e. Melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya SNI dalam mendukung penguatan pasar dalam negeri.
95
DAFTAR PUSTAKA Babool, Md. Ashfaqul Islam. (2007). Teh Impact of Domestic Policies on International Competitiveness. University of Kentucky Doctoral Dissertations Cao, Xun and Aseem Prakash. (2011). Growing Exports by Signaling Product Quality: Trade Competition and teh Cross-National Diffusion of ISO 9000 Quality Standards. Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 30, No. 1, 111–135 (2011) CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands, Compliance with EU buyer requirements for coffee. CBI Ministry of Foreign Affairs of Teh Netehrlands. (2015). CBI Product Factsheet: Tea in Europe CMA Testing and Certification Laboratories. New Japan Toy Safety Standards:
ST
2012.
http://www.cmatcl.com/ContentFiles/1111/Japan%20Toy%20Safety %20Standards%20ST%202012%20v4.pdf (diakses 13 Juli 2015) Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, DT1114-Tea, Green, Black (black fermented and dried) . Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, SB0716Coffee
Beans.
http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht ml?id=240 (Diakses 22 Juli 2015) Codex Alimentarius. Pesticide Residues in Food and Feed, SB0716Coffee
Beans.
http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht ml (Diakses 22 Juli 2015) Department of teh Taoiseach (2009). Revised Ria Guidelines: How To Conduct A Regulatory Impact Analysis, Department of teh Taoiseach, Government Buildings, Dublin. June 2009. Economics.Henson,S., Masakure, O., Cranfield, J. (2011). Do Fresh Produce Exporters in Sub-Saharan Africa Benefit from GolablGAP Certification?. World Development Vol.39 No.3, pp 375-386. EU Export Helpdesk. How to export coffee to teh European Union
96
European Commission, Enterprise and Industry. CE Marking for Teh Toy Industry. European Tea Committee. 2014. Compendium of Guidelines for Tea, issue 3, 18 September 2014 FAO Inter Governmental Group on Tea. 2014. Implications of Maximum Residue Levels on Tea on Trade Henson, S. J. et al. (2002), Impact of sanitary and phytosanitary measures on developing countries, Reading, UK, University of Reading, Department of Agricultural and Food Henson,S., Masakure, O., Boselie, D. (2005). Private Food Safety and Quality Standards for Fresh Produce Exporters : Teh Case of Hortico Agrisystem Zimbabwe. Food Policy 30, pp 371 – 384. Herjanto, Eddy. (2011). Pemberlakuan SNI Secara Wajib di Sektor Industri : Efektifitas dan Berbagai Aspek Dalam Penerapannya. Jurnal Riset Industri Vol.5 No.2, pp 121 – 130. http://www.codexalimantarius.net/pestres/data/commodities/details.ht ml?id=101 (Diakses 22 Juli 2015) http://www.iso.org/iso/home/standards_development/list_of_iso_technical_ committees/iso_technical_committee_participation.htm?commid=479 18 (Diakses 23 Juli 2015) http://www.taoiseach.gov.ie/eng/Publications/Publications_Archive/P ublications_2011/Revised_RIA_Guidelines_June_2009.pdf Ignacio,Laura L. (2015). Implications of Standards and Technical Regulations on Export Competitiveness. teh Agriculture and Rural Development Department, World Bank. Infomasi keanggotaan Indonesia dalam ISO/TC 34/SC 8 - Tea. International Council of Toy Industries. Toy safety standards around teh world. http://www.toy-icti.org/info/toysafetystandards.html (diakses 8 Juli 2015) Intertek.
Japan
Toy
Safety
Standard
ST2012.
http://www.intertek.com/sparkles/japan-toy-safety-standard-st-2012/ (diakses 13 Juli 2015) Jaffe, S., Masakure, O. (2005). Strategic Use of Private Standards to Enhance International Competitiveness : Vegetable Exports From Kenya and Elsewhere. Food Policy 30, pp 316 – 333.
97
Jaffee, Steven and Spencer Henson. (2004). Standards and Agro-Food Exports from Developing Countries: Rebalancing teh Debate. World Bank Policy Research Working Paper 3348, June 2004 JETRO. 2009. Handbook for Agricultural and Fishery Products Import Regulations JETRO. 2011. Specifications and Standards for Foods, Food Additives, etc. Under teh Food Sanitation Act (Abstracts) 2010 KADIN. (2012). Peningkatan Daya Saing Produksi Indistri Nasional Melalui Penerapan SNI Wajib. Disampaikan pada Seminar Perdagangan tanggal 9 Oktober 2012. Koran SINDO. (2014). Daya Saing Industri Topang Ekonomi. Koran SINDO Maskus, K.E. (2005). Teh Cost of Compliance with Product Standards for Firms in Developing Countries: An Econometric Study. World Bank Policy Research Working Paper 3590, May 2005. Mbaye, Ahmadou Aly and Adama Gueye. (2015). SPS standards and international competitiveness in Africa: teh case of Senegal. ………………… Connecting to global markets OECD. (2008). Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis (RIA), Version 1.0 October 2008. Organisation for Economic Cooperation and Development. http://www.oecd.org/gov/regulatorypolicy/44789472.pdf Punyasiri, Nimal. Tea Research Institute of Sri Lanka. Standards of Tea for
Ensuring
Market
Requirement.
http://www.tri.lk/userfiles/file/223_E&E/3_223_E&E_Presentation_Pu nyasiri%282%29.pdf (diakses 23 Juli 2015) Puska Daglu. (2014). Strategi Melipat-gandakan Ekspor Dalam Lima Tahun Kedepan. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Rabu, 17 Desember 2014. Diunduh pada tanggal 13 Februari 2014 dari http://www.koran-sindo.com/read/938328/150/daya-saingindustri-topang-ekonomi-1418784262
98
Republika. (7 Juli 2014). Produk Impor tak Sesuai SNI Banyak Beredar. Diunduh tanggal 8 Agustus 2015, dari http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/07/07/nr46qkproduk-impor-tak-sesuai-sni-banyak-beredar Sianesi, B. (2010). Introduction to Matching Method for Causal Inference and Tehir Implementation in STATA. STATA Users’ Group Meeting, Berlin 25 Juni 2010. Sistem informasi SNI. www.sisni.bsn.go.id (diakses 9 juli 2015) SNI 01-1898-2002, Teh wangi SNI 01-1902-1995, Teh hitam SNI 01-2983-1992, Kopi instan SNI 01-3542-2004, Kopi bubuk SNI 01-3753-1995, Teh hitam celup SNI 01-3836-2000, Teh kering dalam kemasan SNI 01-3945-1995, Teh hijau SNI 01-4282-1996, Kopi celup SNI 01-4314-1996, Minuman kopi dalam kemasan SNI 01-4324-1996, Teh hijau celup SNI 01-4446-1998, Kopi mix SNI 01-4453-1998, Teh hijau bubuk SNI 01-6685-2002, Kopi susu gula dalam kemasan SNI 3143:2011, Minuman teh dalam kemasan SNI 7707:2011, Teh instan SNI 7708:2011, Kopi gula krimer dalam kemasan SNI ISO 8124-1:2010, Keamanan mainan – Bagian 1: Aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis SNI ISO 8124-3: 2010, Keamanan mainan – Bagian 3: Migrasi unsur tertentu Steffen Kaeser. (2013). UNIDO’s Trade Standards Compliance Analyses and Reports . Trade and Development Symposium, Session on Standard Compliance Capacity and Trade, WTO Ministerial Conference – Bali, 4 December 2013 Stephenson, Sherry M. (1997). Standards, Conformity Assessment and DevelopingCountries. Policy Research Working Paper 1826, Teh World Bank, Washington DC. 99
Stuart, E.A. (2010). Matching Method for Causal Inference: A Review and A Look Forward. Stat Sci. 2010 February 1; 25(1): 1–21. Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation (EC) No. 178/2006, amending Regulation (EC) No 396/2005 of teh European Parliament and of teh Council to establish Annex I listing teh food and feed products to which maximum levels for pesticide residues apply Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation (EC) No. 149/2008, amending Regulation (EC) No 396/2005 of teh European Parliament and of teh Council by establishing Annexes II, III and IV setting maximum residue levels for products covered by Annex I tehreto Teh Commission of Teh European Communities. Commission Regulation (EC) No. 1881/2006, Maximum Levels for Certain Contaminants in Foodstuffs Teh Japan Food and Chemical Research Foundation. Table of MRLs in Food,
Otehr
Spices
Dried.
http://www.m5.ws001.squarestart.ne.jp/foundation/fooddtl.php?f_inq =24900 (diakses 23 Juli 2015) TUV Rheinland Group. Global Toy Safety Standards Manual UNCTAD. (2008). Export competitiveness and development in LDCs: policies, issues and priorities for least developed countries for action during and beyond UNCTAD XII. United Nations Conference on Trade and Development. Underwriter Laboratories (UL). Guide to International Toy Safety Requirements Wikipedia. Fair Trade. https://en.wikipedia.org/wiki/Fair_trade (diakses 22 Juli 2015) Wikipedia.
Rainforest
Alliance.
https://en.wikipedia.org/wiki/Rainforest_Alliance (diakses 22 Juli 2015) Wikipedia.
UTZ
Certified.
https://en.wikipedia.org/wiki/UTZ_Certified
(diakses 22 Juli 2015)
100
LAMPIRAN 1. Proses Penentuan Pilihan Kebijakan oleh Pelaku Usaha (untuk pengujian SNI dalam mendukung peningkatan ekspor, maka ada tambahan opsi yaitu penerapan standar negara tujuan ekspor)* Dalam penentuan opsi oleh pelaku usaha ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu: 1. Langkah 1: memetakan semua jawab responden untuk berbagai pihan yang ada: do nothing, penerapan SNI Sukarela dan Penerapan SNI Wajib. Hanya pilihan yang terisi yang diinput datanya. Angka yang diisikan adalah penilaian yang diberikan oleh pelaku usaha dengan masing-masing nilai sebagai berikut: Memberikan nilai berdasarkan penilaian ordinal (nilai relative). Penilaian ordinal yang dipakai adalah: Highly positive (3) Moderately positive (2) Slightly positive (1) Neutral (0) Slightly negative (-1) Moderately negative; and (-2) Highly negative (-3) 2. Langkah 2: mengambil modus (angka yang sering muncul) sebagai pilihan kebijakan yang diambil untuk tiap-tiap sub-kriteria 3. Langkah 3: mengambil modus dari nilai yang muncul dari sub-kriteria, kemudian diangkat sebagai pilihan pada kriteria 4. Langkah 4: memindahkan jawaban masing-masing kriteria ke dalam satu matriks (Performance Matrix)
101
Langkah 1: Pengisian kolom opsi dengan jawaban responden
102
Langkah 2 dan 3: Penentuan jawaban sub-kriteria dan kriteria dengan MODUS
Langkah 4: Performance Matrix
103