LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN MUTU DAN STANDAR PRODUK EKSPOR TERTENTU DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2012
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Gedung Utama Lt. 16 Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
TIM KAJIAN PUSKA DAGLU
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Keberhasilan pengembangan di bidang teknologi komunikasi dan informatika
serta jaringan informasi dunia saat ini telah mampu memperpendek jarak geografis maupun psikologis masyarakat dunia. Globalisasi dalam segala sendi kehidupan terlaksana karena apa yang terjadi di salah satu bagian dunia akan segera tersebar dan dapat diketahui oleh bagian dunia lainnya. Sebagai salah satu konsekuensi logis globalisasi ekonomi tersebut adalah terjadinya pergeseran cara pandang dalam pelaksanaan perdagangan internasional yang mengarah ke perdagangan global. Hal tersebut menimbulkan phenomena-phenomena baru seperti timbulnya pasar bebas dunia dimana pada gilirannya akan meningkatkan persaingan bebas di pasar internasional. Meningkatnya persaingan bebas tersebut menimbulkan dampak kehadiran dan menguatnya kecenderungan ke arah regionalisasi wilayah ekonomi dunia yang pada dasarnya merupakan pengelompokan kekuatan ekonomi yang dilembagakan secara formal. Kenyataan ini secara tidak langsung memberikan indikasi kepada kita bahwa proteksionisme bukannya akan berkurang namun sebaliknya, azas “Bilateral Reciprocities” akan semakin dituntut oleh suatu negara/kelompok negara kepada para mitra dagangnya. Dalam era globalisasi, perdagangan internasional menjadi semakin transparan. Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menandatangani Urugay Round WTO harus mengikuti ketentuan-ketentuan dalam GATT/WTO yaitu melakukan liberalisasi perdagangannya dan tidak melakukan hambatan-hambatan perdagangan dalam bentuk tarif impor, pajak dan lain-lain untuk memproteksi produksi dalam negeri sehingga produksi dalam negeri harus bersaing secara jujur dengan produk impor. Dengan adanya ketentuan WTO tersebut, maka banyak negara khususnya negara-negara maju menggunakan standar sebagai instrument dalam melakukan hambatan perdagangan secara tersamar untuk melindungi rakyatnya. Oleh karena itu para pelaku usaha harus sadar akan pentingnya standar dan mutu dalam perdagangan, khususnya perdagangan internasionalnya. Pelaku usaha diharapkan
dapat berusaha untuk memenuhi semua persyaratan dalam standar dalam memproduksi barang atau jasa. Cara pandang positif yang harus dibangun adalah bahwa standar sebagai salah satu pilar mutu merupakan instrumen utama untuk meningkatkan daya saing produk suatu bangsa. Dengan memiliki standar dan mutu yang disyaratkan oleh negara tujuan ekspor maka akan membuka peluang peningkatan ekspor yang sangat besar karena berkembangnya interdepensi antar kawasan-kawasan ekonomi di dunia, seperti antara Amerika Utara dengan negara-negara di Asia Pasifik, antara negaranegara di Eropa dengan negara-negara di Amerika Utara, begitu pula antara negaranegara di Eropa dengan negara-negara di Asia, utamanya ASEAN, RRC dan Jepang. Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapai persaingan yang semakin ketat, yang mau atau tidak, produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan baik dalam menghadapi pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Standar melalui pengukuran dan pengujian akan menghasilkan sertifikasi yang disyahkan oleh lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis akan menghasilkan produk yang siap untuk masuk ke pasar internasional dan bersaing dengan produk negara lain (Gambar 1).
PRODUK
GLOBALISASI
GLOBAL EVALUASI
PERDAGANGAN BEBAS
GLOBAL
KOMPETENSI
RANTAI PASOKAN GLOBAL
TEKNIS
AKREDITASI
STANDAR
LEMBAGA
SERTIFIKASI
PENGUKURAN PENGUJIAN
Sumber: UPTD BPPMB Sulawesi Selatan, 2012 Gambar 1. Peran Standar dan Mutu dalam Meningkatkan Daya Saing pada Era Globalisasi
2
Dilain pihak, bagi konsumen akan tersedia pilihan produk yang lebih luas baik produk dalam negeri maupun impor. Disamping itu kebutuhan masyarakat akan semakin meningkat karena peningkatan taraf hidup, mereka berpindah dari ”Price Oriented” ke ”Quality Oriented”. Konsumen memperoleh kepastian kualitas dan keamanan produk. Sementara publik dilindungi dari segi keamanan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungannya. Gambar 2 menunjukkan bagaimana standar, metrology dan conformity assessment menjembatani kepentingan sosial dan kepentingan bisnis. Masyarakat memiliki kepentingan sosial terhadap produk yang akan dikonsumsinya baik itu dari sisi kesehatan (health of human today and future serta health of animal), keamanan (safety for consumers khususnya children), maupun produk yang tidak merusak lingkungan. Dari sisi produsen, kepentingan bisnis dikedepankan khususnya kualitas produk yang akan menyangkut standar dan mutu mengingat konsumen sudah bergeser pola hidupnya dari Price Oriented ke Quality Oriented. KEPENTINGAN SOSIAL KESEHATAN, KEAMANAN, L INGKUNGAN EKONOMI , FAIR TRADE, PROTEKSI KONSUMEN, PERATURAN PEMERINTAH.
STANDARDIZATION METROLOGY
CONFORMITY ASSESSMENT
KEPENTINGAN BISNIS PERDAGANGAN,
KUALITAS , MANUFACTURING,
SPESIFIKASI,KEUNTUNGAN,
DISTRIBUSI,
KONTRAK
Sumber: UPTD BPPMB Sulawesi Selatan, 2012 Gambar 2. Peran Standar dan Mutu dalam Menjembatani Kepentingan Sosial dan Kepentingan Bisnis Untuk menghindari penggunaan standarisasi sebagai hambatan dalam perdagangan internasional, didalam berbagai forum internasional seperti ASEAN atau APEC telah ada kesepakatan untuk menyelaraskan standar nasional masing-
3
masing anggota dengan standar internasional, termasuk cara asesmen terhadap penerapan standar untuk memudahkan tercapainya saling pengakuan kegiatan standardisasi. Pada tingkat dunia, Tokyo Round 1973-1979 dan Uruguay Round of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 menghasilkan WTO Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) untuk menangani khususnya isu standar internasional untuk mempromosikan perdagangan bebas diantara penandatangan perjanjian tersebut. Selain itu juga menghasilkan SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian. Perjanjian WTO ini telah dirartifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam ”Agreement on Technical barriers to Trade” atau perjanjian TBT yang dapat menjadi hambatan teknis dalam perdagangan adalah standar dan peraturan teknis. Oleh karena itu bagi negara angota WTO, apabila ingin menetapkan suatu standar atau peraturan teknis harus transparan, yaitu sebelum standar dan peraturan teknis diberlakukan
harus
dinotifikasikan
kepada
negara-negara
anggota
untuk
mendapatkan tanggapan/masukan. Sebagai gambaran jumlah produk Indonesia yang telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan dinotifikasi oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional (Pusat Kerjasama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional, 2012). Indonesia, baru memiliki 66 jenis produk yang telah memiliki SNI dan sudah dinotifikasi ke WTO, yakni komoditas pupuk, terigu, lampu hemat energi, dan baja. Apabila
dibandingkan dengan Thailand dan Singapura, produk Indonesia yang
memiliki SNI ternotifikasi di WTO lebih sedikit. Permasalahan standar dan mutu akan terkait dengan banyak faktor antara lain masih lemahnya kinerja lembaga pengujian mutu barang produk ekspor, kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji produk ekspor dan impor yang masih rendah (infrastruktur dan laboratorium yang terbatas). Kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Kondisi Infrastruktur Mutu Indonesia, Tahun 2007 Infrastruktur Mutu
Jumlah
LPK terdaftar* berdasarkan Akreditasi (Komite Akreditasi Nasional)
19
LPK terdaftar* berdasarkan Penunjukan (Perindustrian dan ESDM)
9
Laboratorium Uji 365 Sumber: Direktorat Standardisasi – D.G. SPK Kementerian Perdagangan, 2007 Catatan: *Terdaftar pada Pusat Standardisasi Kementerian Perdagangan terkait Permendag 14 Tahun 2007
Oleh karena itu, diperlukan suatu kerjasama berbagai stakeholders untuk menciptakan produk-produk industri nasional yang memiliki mutu dan daya saing tinggi sesuai ketentuan standar internasional maupun nasional. Tercapainya standar mutu produk tersebut dapat direfleksikan dengan tersedianya sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian (conformity assessment) yang memenuhi persyaratan internasional maupun nasional. Sertifikat yang dimaksud meliputi sertifikat pengujian, sertifikat inspeksi, sertifikat sistem manajemen dan sertifikat produk. Terkait dengan usaha kearah peningkatan standar dan mutu, pemerintah akan melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam SK Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang produk ekspor yang ditetapkan pengawasan mutunya. Produk ekspor yang ditetapkan dalam pengawasan mutunya secara wajib sebanyak 23 (dua puluh tiga) produk ekspor, yaitu: (1) SIR (Standard Indonesia Rubber), (2) Karet Konvensional, (3) Gaplek, (4) Minyak Sereh, (5) Minyak Nilam, (6) Minyak Kenanga, (7) Minyak Akar Wangi, (8) Lada Putih, (9) Lada Hitam, (10) Pala, (11) Fuli, (12) Cassia Vera, (13) Kopi, (14) Teh, (15) Minyak Kayu Putih, (16) Minyak Daun Cengkeh, (17) Minyak Pala, (18) Minyak Fuli, (19)
5
Minyak Cendana, (20) Vanili, (21) Kayu Lapis penggunaan umum, (22) Biji Kakao, (23) Biji Pinang bukan untuk obat. Kajian terhadap kebijakan tidak terlepas dari banyaknya temuan di lapang bahwa mutu komoditas yang rendah, seperti tidak adanya kewajiban penerapan standar nasional Indonesia bagi komoditas ekspor dari hasil perkebunan. Hal ini mengakibatkan mutu barang yang ditentukan melalui kesepakatan negara pembeli dengan produsen tidak sesuai.
Dari 23 komoditas
ekspor yang diawasi dalam SK tersebut, hanya karet dengan Standard Rubber Indonesia (SIR) yang terus menerapkan SK tersebut, sementara yang lainnya tidak konsisten. Dari 23 komoditas berdasarkan SK Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996, komoditas yang memiliki daya saing tinggi berdasarkan nilai RCA antara lain komoditas kakao, pepper, dan biji kopi (Lampiran 1). Namun demikian dalam kajian dipilih 2 komoditas yaitu biji kakao dan kayu. Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao tertinggi ke-3 dunia (Tabel 2.) setelah Pantai Gading dan Ghana. Sedangkan pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.630 ton, dibawah Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton.
Tabel 2. Negara Penghasil Biji Kakao Tertinggi di Dunia, Tahun 2009 Peringkat
Negara
Kuantitas (dalam ton)
Nilai (1000 USD)
1 Pantai Gading 917.700 2.595.900 2 Ghana 498.308 1.151.370 3 Indonesia 439.305 1.087.490 4 Nigeria 247.000 599.000 5 Kamerun 193.973 540.281 6 Belanda 167.521 466.813 7 Ekuador 124.404 334.925 8 Togo 119.500 285.480 9 Belgia 97.578 296.651 10 Papua Nugini 79.091 191.951 Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO), 2009
Unit Nilai (Ton/1000 USD) 2.829 2.311 2.475 2.425 2.785 2.787 2.692 2.389 3.04 2.427
6
Biji kakao Indonesia memiliki daya saing yang tinggi namun standar dan mutu belum memenuhi persyaratan negara tujuan impor seperti persyaratan mengenai fermentasi. Sedangkan pada komoditas kayu lapis salah satunya adalah permasalahan terkait penerapan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang memengaruhi daya saing. SVLK merupakan pedoman dan standar untuk penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dan keabsahan atau legalitas kayu. SVLK berlaku bagi pemegang izin/hak baik di hutan negara maupun di hutan hak (hutan rakyat). Penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dimaksudkan agar hutan dikelola secara optimal dengan tidak merubah fungsinya. Sedangkan penilaian keabsahan kayu untuk memastikan kayu yang berasal dari pemegang izin dan hutan hak diperoleh secara sah sesuai peraturan yang berlaku. SVLK diterapkan secara wajib (mandatory). BSN sendiri menyatakan penerapan standar menjadi wajib bila standar tersebut
diacu oleh regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah di suatu negara.
Merujuk pada definisi tersebut diatas, SVLK masuk kategori kebijakan yang menyangkut mutu dan standar. Oleh karena itu, dalam kajian ini sebagai pioneer akan memfokuskan pada strategi peningkatan mutu dan standar produk ekspor komoditas kakao dan kayu lapis dalam rangka meningkatkan daya saing. Komoditas karet digunakan sebagai benchmark karena telah konsisten mengimplementasikan SK Menperindag nomor 164/MPP/ Kep/6/1996. Apabila kebijakan standar dan mutu ini berhasil maka akan dapat dijajaki kebijakan peningkatan standar dan mutu untuk komoditas lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut relevan dilakukan kajian yang berjudul “Kajian Kebijakan Mutu dan Standar Produk Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing”.
1.2.
Perumusan Masalah Standarisasi dan pengawasan mutu merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan daya saing produk baik dalam maupun luar negeri. Pengawasan mutu ini juga bertujuan untuk mencegah produk-produk dalam negeri maupun ekspor berada dibawah mutu standar dan hal ini juga terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan.
7
Pelaksanaan standarisasi dan pengawasan mutu dilakukan melalui kegiatan pengujian di laboratorium penguji, untuk mengetahui produk telah memenuhi persyaratan atau standar yang diacu. Untuk itu kompetensi laboratorium penguji sangat diperlukan bahkan sangat menentukan terhadap kebenaran hasil uji produk. Produksi dan Kontrol Kualitas (QC) amatlah erat kaitannya dengan "kesesuaian standar" dalam hal "pengukuran", dimana nilai ukur yang didapat dari hasil pengukuran seharusnya sama, atau diharapkan mendekati (tetapi masih dalam batas toleransi metoda pengukuran) "nilai benar". Nilai ukur yang diharapkan dapat diperoleh tersebut, hanya bisa direalisasikan melalui cara memberikan "sifat mampu telusur" terhadap nilai ukur dimaksud, dengan melakukan "kalibrasi" terhadap alat ukur yang digunakan untuk melakukan pengukuran Sejalan dengan hal itu perlu di tetapkan sasaran-sasaran pokok untuk mendukung kebijakan nasional dalam hal standardisasi dan sertifikasi produk yang dapat mendukung persaingan internasional dengan menghasilkan produk dan jasa yang terjamin mutunya. Salah satu syarat untuk mengikuti perkembangan internasional/global memaksa Indonesia harus mempunyai kemampuan dalam menghadapi hambatan teknis di bidang perdagangan terutama bidang standardisasi. Dalam menghadapi persaingan internasional serta untuk meningkatkan perlindungan konsumen dari produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, maka perlu adanya pelaksanaan penilaian kesesuaian dengan melakukan MRA/MOU serta peningkatan mutu produk dalam negeri melalui standardisasi. Saat
ini, program
pembangunan
Indonesia
mulai
berorientasi
pada
pembangunan di bidang agribisnis dengan salah satu sasarannya adalah peningkatan mutu hasil pertanian baik segar maupun olahan untuk tujuan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada era globalisasi, peningkatan daya saing produk pertanian mutlak harus dilaksanakan sedangkan dalam penanganan mutu produk perlu mengacu pada ketentuan atau standar mutu berlaku yaitu secara Nasional yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Internasional. Pengertian mutu secara global pada saat ini tidak hanya dititik beratkan pada mutu produk akhir tetapi lebih mengarah pada sistem jaminan mutu secara terpadu. Sistem Jaminan Mutu secara terpadu mengandung filosofi bahwa bahan baku yang
8
bermutu baik, harus diikuti dengan cara penanganan dan pengolahan yang baik sehingga akan menghasilkan produk yang bermutu baik. Hal ini terjadi pada produk ekspor biji kakao. Berdasarkan identifikasi masalah, standar dan mutu tidak hanya harus dipenuhi di tingkat hilir namun juga di tingkat petani. Dalam perdagangan internasional, khusus untuk mutu dan keamanan pertanian, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan, yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian, serta TBT (Technical Barier To Trade) untuk mutu pertanian. Berbagai progam manajemen, pedoman, dan standar untuk mewujudkan kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui ISO–9000, ISO–14000, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pertanian dari Codex Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM) dalam pembinaan mutu dan keamanan pertanian. Peningkatan daya saing ekspor produk hasil pertanian/perkebunan terkait dengan kemampuan untuk memenuhi persyaratan mutu yang tergolong ketat di beberapa negara tujuan ekspor. Permasalahan mengenai standar dan mutu yang belum memenuhi negara tujuan ekspor
untuk komoditas kakao antara lain
fermentasi. Hal ini menyebabkan penurunan impor biji kakao salah satunya impor Jerman dari Indonesia pada tahun 2000-2004 kecuali tahun 2003. Selain masalah fermentasi, adanya kecenderungan praktek ijon yang diterapkan oleh importir Amerika Serikat yang memanfaatkan para agen pengumpul di sentra produksi kakao utama seperti Sulawesi Tenggara dan Tengah. Para agen pengumpul tersebut telah terlebih dahulu membayar hasil panen yang akan datang, sehingga pemetikan biji kakao tidak mempertimbangkan mutu panen lagi tetapi kebanyakan untuk segera melunasi pembayaran yang telah diterima oleh petani. Akibatnya jelas, standar mutu biji kakao yang dipersyaratkan oleh pasar tidak dapat dipenuhi. Hal ini menunjukkan kesadaran petani/produsen, pedagang pengumpul, dan eksportir tentang mutu masih rendah. Untuk mencegah mutu produk-produk Indonesia dibawah standar, dan untuk mempertahankan pangsa pasar produk ekspor Indonesia, Pemerintah menetapkan SK Deperindag No.164/MPP/KEP/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu serta
9
ketentuan pelaksanaannya melalui SK Sekretaris Jenderal Deperindag No. 470/SJ/SK/VII/1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu. Akan
tetapi
dalam
pelaksanaannya,
masih
terdapat
permasalahan-
permasalahan pada pemangku kepentingan yang disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan kesadaran akan standar dan mutu. Adapun permasalahan tersebut antara lain, beberapa eksportir berpendapat Sertifikat Mutu (SM) tidak diperlukan karena tidak diminta oleh pembeli, jumlah lembaga infrastruktur yang belum memadai untuk melayani uji mutu, laboratorium yang belum lengkap, mahalnya pengurusan sertifikasi misalnya SVLK. Oleh karena itu, penerapan standar dinilai dan dipandang strategis untuk peningkatan daya saing karena sesungguhnya banyak produk ekspor nasional yang berdaya saing bagus bahkan mampu menembus pasar negara maju, namun sering kehilangan daya saing karena tidak terstandarisasi. Bahkan, banyak diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu negara karena tidak menerapkan standar.
1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis daya saing biji kakao dan kayu lapis yang merupakan produk ekspor yang ditetapkan pengawasan mutunya secara wajib. 2. Menganalisis strategi peningkatan standar dan mutu dalam rangka peningkatan daya saing 3. Merekomendasikan kebijakan terkait peningkatan standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis dalam rangka peningkatan daya saing.
1.4. Output/Keluaran 1. Hasil analisis daya saing biji kakao dan kayu lapis yang merupakan produk ekspor yang ditetapkan pengawasan mutunya secara wajib. 2. Strategi peningkatan standar dan mutu produk ekspor biji kakao dan kayu lapis dalam rangka peningkatan daya saing. 3. Rumusan rekomendasi kebijakan terkait peningkatan standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis dalam rangka peningkatan daya saing.
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib untuk Produk Ekspor tertentu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib untuk Produk Ekspor tertentu bertujuan: 1. Mencegah ekspor produk-produk Indonesia yang dibawah mutu standar. 2. Mempertahankan mutu produk ekspor. Sedangkan kegiatan yang dilakukan antara lain: 1. Sertifikat Kesesuaian Mutu (SM) 2. Pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection) 3. Pengambilan contoh oleh PPC (Petugas Pengambil Contoh) 4. Pengujian oleh Laboratorium Penguji 5. Memenuhi uji, bila tidak memenuhi; diterbitan LHA (Laporan Hasil Analisa) dan produk tidak boleh diekspor. 6. Eksportir melampirkan SM pada PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang). 7. Sertifikat Produk Penggunaan anda SNI. 8. Eksportir mencantumkan cap “BEBAS SM” dan nomor Sertifikat pada PEB. Berdasarkan Surat Keputusan Menperindag Nomor 164/1996, jenis komoditas yang diawasi mutunya semuanya berjumlah 23 (dua puluh tiga) jenis. Adapun komoditas-komoditas tersebut yaitu (1) Standard Indonesian Rubber (SIR), (2) karet konvensional, (3) gaplek, (4) minyak sereh, (5) minyak nilam, (6) minyak kenanga, (7) minyak akar wangi, (8) lada putih, (9) lada hitam, (10) pala, (11) fuli, (12) cassia Indonesia, (13) kopi, (14) teh hitam, (15) minyak kayu putih, (16) minyak daun cengkeh, (17) minyak pala, (18) minyak fuli, (19) minyak cendana, (20) panili, (21) kayu lapis penggunaan umum, (22) biji kakao, dan (23) biji pinang bukan untuk obat. Dari 23 (dua puluh tiga) komoditi yang diawasi mutunya tersebut, 11 (sebelas) komoditi diantaranya merupakan komoditi hasil pertanian primer dan 12 (dua belas) komoditi lainnya merupakan komoditi hasil industri.
Pengawasan mutu secara wajib untuk produk industri dalam negeri telah dilaksanakan melalui sertifikasi produk penggunaan tanda SNI, sedangkan pengawasan mutu secara wajib untuk beberapa produk industri bertujuan ekspor telah dilaksanakan melalui sertifikasi produk penggunaan tanda SNI atau sertifikasi mutu produk. Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan kesiapan menghadapi globalisasi perdagangan maka diperlukan adanya perangkat hukum nasional di bidang pengawasan mutu produk impor dan pengawasan mutu produk yang beredar di pasar dalam negeri.
2.2.
Infrastruktur Mutu Infrastruktur mutu adalah semua aspek yang berkaitan dengan metrologi,
standardisasi, pengujian, manajemen mutu, sertifikasi dan akreditasi yang berpengaruh terhadap penilaian kesesuaian (Conformity Assessment) termasuk didalamnya institusi publik maupun swasta dalam
kerangka peraturan dimana
mereka beroperasi. Pada bagian ini akan dibahas terlebih dahulu konsep-konsep yang berkaitan dengan standarisasi, sertifikasi dan akreditasi sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai laboratorium/infrastruktur mutunya. Dibawah disajikan pendukung infrastrukur mutu yang terdiri dari metrologi, standarisasi, pengujian, manajemen mutu, dan terakhir sertifikasi serta akreditasi.
Pengujian
Manajemen Mutu
Standardisasi
Metrologi
Infrastruktur mutu
Sertifikasi dan Akreditasi
Sumber: Direktorat Standardisasi, Kementerian Perdagangan Gambar 3. Aspek Pendukung Infrastruktur Mutu 12
Sedangkan infrastrukur di Indonesia sendiri dapat digambarkan sebagai berikut:
Standardisasi Akreditasi
• BSN
Metrologi • Balai Metrologi • KIM LIPI • Laboratorium Kalibrasi
Pengujian • BPMBEI • B4T Bandung • LUK-BPPT, dll
• KAN (manajemen mutu, sertifikasi produk, laboratorium )
Sertifikasi • LSSM (ISO 9001, HACCP, lingkungan, keamanan pangan, dll) • LSPro/LPK • LSP (Sertifikasi Personal) • Lembaga Inspeksi • Lembaga Pelatihan
Sumber: Direktorat Standardisasi, Kementerian Perdagangan Gambar 4. Infrastruktur Mutu di Indonesia
Metrologi, standarisasi dan kesesuaian mutu memiliki keterkaitan yang sangat erat
dalam mendukung sistem perdagangan internasional yang efisien.
Sistem perdagangan yang efisien akan mengurangi hambatan perdagangan (khususnya non tariff barrier yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan konsumen). Keterkaitan antara Metrologi, standarisasi dan kesesuaian mutu dapat dilihat pada Gambar 5.
13
Sumber: Badan Stadardisasi Nasional (BSN), 2010 Gambar 5. Keterkaitan antara Metrologi, Standarisasi dan Kesesuaian Mutu dalam Mendukung Sistem Perdagangan yang Efisien Sistem perdagangan efisien akan memberikan manfaat perdagangan (gain from trade) bagi negara yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan berdagang. Hal ini akan meningkatkan welfare.
2.2.1. Standarisasi Salah satu kegiatan standardisasi adalah perumusan standar yang mempunyai tujuan antara lain tersedianya sarana penunjang kebijakan pemerintah dibidang ekonomi, sosial dan budaya, terlindungnya kesehatan, keselamatan dan keamanan konsumen serta kelestarian lingkungan hidup. Standar dapat digunakan untuk mengangkat kemampuan produsen dalam usaha menghasilkan produk bermutu. Pengertian peraturan teknis secara umum di dalam standardisasi adalah peraturan yang mensyaratkan persyaratan teknis baik secara langsung maupun dengan merujuk atau dengan memasukkan isi suatu standar atau spesifikasi teknis. Sedangkan standar adalah dokumen tertulis yang berisikan peraturan, pedoman, karakteristik suatu barang dan atau jasa atau proses dan metode yang berlaku umum digunakan secara berulang (BSN, 2010). Standar ditujukan untuk mencapai tingkat keteraturan optimum dalam konteks tertentu. Prinsip yang dianut dalam menyusun standar
14
sejauh mungkin mengacu kepada standar internasional dimaksudkan agar mendapat pengakuan internasional. Standar bertujuan untuk menciptakan iklim yang baik dan sehat dalam iklim perdagangan. Dengan adanya standar, para produsen dapat berproduksi dengan lebih tenang, karena mereka dapat mengarahkan hasil produksinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Di samping itu ada perlindungan terhadap kemungkinan persaingan yang tidak jujur, misalnya pembuatan produk yang sejenis tetapi dengan kadar bahan tertentu yang lebih murah atau lebih rendah. Juga para distributor, mereka dapat memilih dagangan sesuai dengan keinginan konsumen dan tidak raguragu mengenai mutu yang diperdagangkan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 tahun 2000 disebutkan bahwa standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan berkerjasama dengan semua pihak. Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal (Clinical Practice Guideline, 1990). Standar menunjukkan pada tingkat ideal tercapai tersebut tidaklah disusun terlalu kaku, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut dengan nama toleransi. Syarat suatu standar yang baik dipandang cukup penting antara lain : 1. Bersifat jelas Artinya dapat diukur dengan baik, termasuk ukuran terhadap penyimpanganpenyimpangan yang mungkin terjadi. 2. Masuk akal Suatu standar yang tidak masuk akal, bukan saja akan sulit dimanfaatkan tetapi juga akan menimbulkan frustasi para profesional 3. Mudah dimengerti Suatu standar yang tidak mudah dimengerti juga akan menyulitkan tenaga pelaksana sehingga sulit terpenuhi. 4. Dapat dipercaya Tidak ada gunanya menentukan standart yang sulit karena tidak akan mampu tercapai. Karena itu sering disebutkan, dalam menentukan standar, salah satu
15
syarat yang harus dipenuhi ialah harus sesuai dengan kondisi organisasi yang dimiliki. 5. Absah Artinya ada hubungan yang kuat dan dapat didemintrasikan antara standart dengan sesuatu (misalnya mutu pelayanan) yang diwakilinya. 6. Meyakinkan Artinya mewakili persyaratan yang ditetapkan. Apabila terlalu rendah akan menyebabkan persyaratan menjadi tidak berarti. 7. Mantap, Spesifik dan Eksplisit Artinya tidak terpengaruh oleh perubahan oleh waktu, bersifat khas dan gamblang. Di Indonesia keberadaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) sangat diperlukan untuk mendukung produk nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas, guna menjamin terciptanya perdagangan yang adil dan jujur serta menunjang pertumbuhan produk nasional dan perlindungan masyarakat, khususnya dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk nasional, diperlukan pengembangan prasarana teknis standardisasi yang meliputi metrologi, standar, pengujian, dan penilaian mutu dalam rangka meningkatkan dan menjamin mutu barang dan/atau jasa. Pengembangan prasarana teknis tersebut diusahakan agar manfaatnya dapat lebih dirasakan oleh semua pihak. Bagaimana SSN memiliki peranan penting dalam meningkatkan daya saing untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.
16
Sumber: BSN, 2010 Gambar 6. Sistem Standarisasi Nasional
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, standardisasi dapat digunakan sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan standar nasional dengan mutu yang makin meningkat dan dapat memenuhi persyaratan internasional, untuk menunjang tercapainya tujuan strategis, antara lain, peningkatan ekspor barang dan/atau jasa Indonesia, peningkatan daya saing barang dan/atau jasa Indonesia terhadap barang dan/atau jasa impor, peningkatan efisiensi nasional, dan menunjang program keterkaitan sektor ekonomi dengan berbagai sektor lainnya.
17
Dengan demikian diperlukan suatu Sistem Standardisasi Nasional yang merupakan tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional. Ruang lingkup Sistem Standardisasi Nasional meliputi kelembagaan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerja sama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi serta penelitian dan pengembangan standardisasi.
2.2.2. Metrologi Metrologi industri adalah kegiatan untuk menghubungkan hasil-hasil pengukuran melalui standar pengukuran, standar alat ukur dan membandingkan hasil-hasil kalibrasi tersebut dengan persyaratan pengukuran (seperti akurasi, presisi, kesalahan terbesar, dll) yang ditetapkan sebagai persyaratan proses produksi untuk mencapai karakteristik produk yang diinginkan oleh pelanggan. Artinya, untuk menciptakan suatu produk ekspor yang kompetitif, suatu perusahaan atau produsen harus melakukan optimasi produk dengan cara merancang produk agar memiliki karakterisasi yang memenuhi spesifikasi dan regulasi. Hal ini dapat terjadi jika adanya proses pengukuran dan pengujian mutu barang pada laboratorium pengujian yang berkompeten. Laboratorium penguji dikatakan kompeten, jika sudah terakreditasi oleh Badan akreditasi dan semua alat-alat ukur yang digunakan pada alur produksi atau pengujian dalam suatu industri harus melalui proses kalibrasi yang kompeten pula. Laboratorium Kalibrasi yang berkompeten, jika sudah terakreditasi oleh badan akreditasi dan semua peralatan standar yang digunakan tertelusur ke Satuan Internasional (SI) melalui Lembaga Metrologi Nasional (National Metrology Institute – NMI). Jadi peran kalibrasi dalam perdagangan global memang tidak bersifat langsung. Kalibrasi itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan metrologi industri. Dari uraian di atas, kalibrasi merupakan ujuk tombak dari benar atau tidaknya suatu pengukuran yang dilakukan. Hal ini dikarenakan, peran kalibrasi yang tidak terlepas dari sifat ketertelusuran pengukuran. Ketertelusuran pengukuran adalah sifat
18
hasil pengukuran yang dapat menghubungkannya dengan standar-standar nasional atau internasional melalui rantai perbandingan yang tidak terputus yang semuanya memiliki nilai ketidakpastian (uncertainty). Artinya, tujuan kalibrasi adalah menjamin ketertelusuran pengukuran hasil uji produk sehingga jaminan atas hasil dari pengukuran dan atau pengujian dapat dipertanggungjawabkan. Manfaat kalibrasi mencakup antara lain untuk mendukung sistem mutu yang diterapkan di berbagai industri pada peralatan laboratorium dan produksi yang dimiliki, dan mengetahui seberapa jauh perbedaan (penyimpangan) antara nilai benar dengan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur.
Sumber:Pusat Pengawasan Mutu Barang(PPMB), Kemendag Gambar 7. Peran Kalibrasi Sebagai Bagian dari Metrologi pada Perdagangan Global 2.2.3. Akreditasi Kegiatan akreditasi merupakan rangkaian kegiatan pengakuan formal berupa pembarian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, dan pencabutan akreditasi lembaga-lembaga sertifikasi (yang antara lain mencakup sistem mutu, personel, pelatihan, sistem manajemen lingkungan, sistem pengelolaan hutan lestari, sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dan inspeksi teknis), laboratorium teknis/kalibrasi, dan akreditasi dibidang standardisasi lainnya oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang menyatakan bahwa lembaga akreditasi atau
19
laboratorium tersebut telah memenuhi persyaratan untuk melakukan sesuatu standardisasi tertentu. Tujuan dari akreditasi di sektor perdagangan adalah: 1. Memberikan jaminan penerapan standardisasi dalam keterpaduan 2. Mewujudkan satu sistem/prosedur perumusan dan penerapan standard yang baku secara nasional. 3. Meningkatkan peran swasta dalam penerapan Standar Nasional Indonesia 4. Mengembangkan sistem sertifikasi dan jaminan mutu 5. Meningkatkan mutu dan keamanan hasil pertanian Pelaksanaan akreditasi di Indonesia dibawah kewenangan KAN dengan mengikuti peraturan dan persyaratan akreditasi yang berlaku secara internasional, yaitu peraturan dan persyaratan yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi internasional atau regional di bidang standardisasi, misalkan peraturan dan persyaratan yang disusun oleh International Organization for Standard (ISO), International Electrotechnical Comission (IEC), dan sebagainya.
2.2.4. Sertifikasi Istilah sertifikasi digunakan dalam pengertian yang bervariasi tergantung kepada konteksnya. Dalam arti yang lain, sertifikasi adalah proses dimana pengakuan resmi terhadap keabsahan produk, proses, kepemilikan, atau keterangan diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikat sebagai alat untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah dokumen yang menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Jaelani, 1993 dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang diperlukan adalah yang diakui sebagai alat penjamin terhadap dapat diterimanya suatu produk/jasa tersebut (Hubeis, 1997). Upaya ini sangat diperlukan karena Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat dengan negara-negara lain yang menghasilkan barang yang sama atau sejenis. Hal ini juga perlu disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan ASEAN tahun 2003 dan di kawasan Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta perubahan menuju perdagangan global dan terjadinya regionalisasi seperti di Eropa dan Amerika Utara.
20
Indonesia mengadopsi ISO-9000 dengan nama SNI-seri 19-9000-Manajemen Mutu. ISO seri 9000 memberikan pedoman tentang bagaimana suatu organisasi dapat menghasilkan produk atau jasa yang bermutu, dengan mutu yang konsisten. Standar ISO seri 9000 mengarahkan keseluruhan sistem manajemen mutu untuk menyempurnakan dan menjaga mutu produk. Sistem ini mengakui bahwa proses mutu terpadu melibatkan semua bagian dan fungsi organisasi. ISO-9000 dapat digunakan pada situasi tanpa kontrak (ISO 9004) dan situasi kontrak (ISO-9001, ISO-9002, dan ISO-9003). Tiga model jaminan mutu untuk situasi kontrak yaitu ISO-9001 : sistem mutu dalam desain/pengembangan, produksi dan instalasi; ISO9002 : sistem mutu dalam produksi dan instalasi; sedangkan ISO-9003 : sistem mutu dalam inspeksi dan uji akhir (Kadarisman, 1997). Dalam konteks pengawasan mutu barang ekspor hasil pertanian, sesuai dengan SK Sekjen Depperindag No. 407/SJ/SK/VI/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI, sertifikasi memiliki definisi sebagai berikut : sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan kegiatan pemberian sertifikat, sertifikat dalam hal ini merupakan dokumen yang menyatakan kesesuaian hasil kegiatan sertifikasi terhadap persyaratan yang ditentukan.
2.2.5.Pengawasan Mutu Dalam dekade terakhir teori mengenai mutu telah berkembang pesat dan beberapa ahli telah mendefinisikan pengertian mutu dalam berbagai interpretasi. Penerapan konsep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Mutu menurut Suharto (1995) dapat didefinisikan sebagai sifat dan karakteristik produk atau jasa yang membuatnya memenuhi kebutuhan pemakai. Sedangkan Radford (2000) menerangkan bahwa mutu adalah sesuatu yang
21
dikenakan terhadap produk–produk yang diharapkan oleh industri yang berkaitan dengan karakteristik atau grup atau kombinasi dari kombinasi yang membedakan satu hal dari lainnya, atau terhadap barang dari suatu pembuat dari yang dihasilkan pesaingnya, atau satu derajat untuk produk dari suatu pabrik tertentu terhadap produk lain yang dihasilkan oleh pabrik yang sama. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu
berdasarkan ISO/DIS 8402–1992
didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam
memenuhi
kebutuhan
yang telah
ditentukan.
Feigenbaum
(1996)
mendefinisikan mutu sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan–harapan pelanggan. Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik.
Namun, ciri
organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen. Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri, makin kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya. Demikian pula, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin kompleks
22
kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan perdagangan produk pangan. Pengawasan mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajerial dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan dan distribusi komoditas. Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan semata-mata masalah penerapan ilmu dan teknologi, melainkan juga terkait dengan bidangbidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain, yaitu kebijaksanaan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi serta aspek hukum dan perundang-undangan. Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan (Soekarto, 1990).
Hubeis (1997) menyatakan bahwa
pengendalian mutu ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan/industri yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji). Soekarto (1990) menyatakan bahwa pengawasan mutu juga mencakup penilaian, yaitu kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Di samping menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip–prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu dalam
industri
modern
tetap
mempertahankan
penilaian
secara
inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
23
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan, produksi dan produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan total quality management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO seri 9000 (sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004. Pengawasan mutu barang merupakan suatu keharusan dalam rangka meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menekankan peningkatan pengawasan mutu barang ekspor dengan berusaha merevisi berbagai peraturan perundangan terkait dengan pengawasan mutu barang ekspor. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan terkait dengan pengawasan mutu barang antara lain: 1. Keputusan
Menteri
108/MPP/KEP/5/1996
Perindustrian tentang
dan
Standarisasi,
Perdagangan
Sertifikasi,
Nomor
Akreditasi
dan
Pengawasan Mutu Produk di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2. Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
164/MPP/KEP/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu. 3. SK Sekjen Depperindag No. 470/SJ/SK/VII/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu. 4. SK Sekjen Depperindag No. 407/SJ/SK/VI/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI.
24
5. SK Sekjen Depperindag No. 677/SJ/SK/IX/1996 Tentang Lembaga Yang Ditunjuk Sebagai Laboratorium Penguji Dalam Rangka Sertifikasi Produk Pengguna SNI Dan Pengawasan Mutu Produk Ekspor. Semua peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan adalah wujud keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu barang ekspor Indonesia. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia sekaligus meningkatkan volume ekspor Indonesia. Selain daya saing dan peningkatan ekspor, pengawasan mutu barang ekspor juga terkait dengan keamanan produk pertanian. Keamanan produk pertanian, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri produk pertanian merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu produk pertanian. Karena di era pasar bebas ini industri produk pertanian Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri produk pertanian negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya dan memuncaknya barang dipasaran sehingga kurangnya pengawasan dapat menjadikan bahaya terhadap konsumen.
2.3. Terminologi dalam Sistem Standarisasi Nasional Indonesia Di dalam Sistem Standarisasi Nasional Indonesia terdapat beberapa terminologi, antara lain : (1) Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh lembaga akreditasi nasional, yang menyatakan bahwa suatu lembaga/laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu; (2) Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen; (3) Badan Standardisasi Nasional adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Instansi teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
25
Pemerintah Non Departemen yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan standardisasi; (5) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen; (6) Kaji ulang SNI adalah kegiatan penyempurnaan SNI sesuai dengan kebutuhan; (7) Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengukuran; (8) Metrologi legal adalah metrologi yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran; (9) Metrologi radiasi nuklir adalah metrologi yang menyangkut persyaratan teknik dalam pemakaian zat radioaktif dan/atau sumber radiasi lainnya yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan menjamin kesehatan dan keselamatan dengan memberikan ketelitian dan keandalan yang dapat dipertanggungjawabkan; (10) Metrologi teknik adalah metrologi yang menyangkut persyaratan teknik dan pengembangan metode pengukuran, perawatan dan pengembangan standar nasional untuk satuan ukuran dan alat ukur sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kepastian dan kebenaran dalam pengukuran; (11) Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional; (12) Pemberlakuan SNI wajib adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan SNI secara wajib terhadap barang, dan atau jasa; (13) Penerapan SNI adalah kegiatan menggunakan SNI oleh pelaku usaha; (14) Penetapan SNI adalah kegiatan menetapkan RSNI (Rancangan Standar Nasional Indonesia) menjadi SNI (Standar Nasional Indonesia); (15) Perumusan SNI adalah rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun RSNI sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait; (16) Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) adalah rancangan standar yang dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait; (17) Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa; (18) Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan; (19) Sertifikat hasil uji atau laporan hasil uji adalah dokumen yang diterbitkan oleh
26
laboratorium penguji, yang mencantumkan hasil pengujian atas contoh produk yang telah diuji menurut spesifikasi, metode uji, atau standar tertentu; (20) Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada produk/ barang, kemasan atau label yang menyatakan bahwa barang tersebut telah memenuhi persyaratan SNI; (21) Sertifikat kalibrasi atau laporan kalibrasi adalah dokumen yang diterbitkan oleh laboratorium kalibrasi, yang mencantumkan hasil kalibrasi dari peralatan atau instrumen ukur atau bahan ukur yang dikalibrasi; (22) Sistem Standardisasi Nasional adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi; (23) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; (24) Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak; (25) Standar internasional untuk satuan ukuran adalah standar untuk satuan ukuran yang oleh suatu persetujuan atau konsensus internasional ditetapkan sebagai dasar/acuan dalam menentukan nilai semua standar untuk satuan ukuran lain yang sejenis untuk besaran yang dimaksud; (26) Standar nasional untuk satuan ukuran adalah standar untuk satuan ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara sebagai basis dalam menentukan semua standar lain yang sejenis di negara tersebut, untuk besaran yang dimaksud; (27) Standar pengukuran adalah bahan ukur, alat ukur atau sistem pengukuran yang digunakan untuk menentukan, mewujudkan, melestarikan atau mereproduksikan suatu satuan ukuran atau satu atau lebih nilai yang telah diketahui dari suatu besaran untuk dialihkan ke alat ukur lainnya dengan cara pembandingan (Contoh : Standar massa 1 kg; Standar resistor
27
100 Ohm; Standar frekuensi atom Caesium); (28) Standar primer adalah standar untuk satuan ukuran yang mempunyai mutu metrologis tertinggi dalam suatu bidang tertentu; (29) Standar sekunder adalah standar untuk satuan ukuran yang nilainya ditentukan dengan cara pembandingan terhadap suatu standar primer; (30) Standar acuan adalah standar untuk satuan ukuran yang umumnya mempunyai mutu metrologis tertinggi yang ada di suatu lokasi tertentu, digunakan sebagai acuan untuk mengkalibrasi bahan atau alat ukur di lokasi tersebut; (31) Standar kerja adalah standar untuk satuan ukuran yang telah dikalibrasi terhadap suatu standar acuan, dan digunakan sehari-hari untuk mengkalibrasi bahan ukur atau alat ukur.
2.4.
Revealed Comparative Advantage Bilateral (RCAB) Analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan pertama kali oleh Bela
Balassa pada tahun 1965 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia. Pada mulanya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama: didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan yang kedua: pada prestasi ekspor relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkatnya perlindungan tariff, dan pada perkembangan selanjutnya Balassa meninggalkan ukuran yang pertama. Balassa mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di negaranegara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam ekspor dunia untuk masing-masing dalam rumus sebagai berikut:
RCA
( X ij X t ) (W j Wt )
Dimana: Xij
= nilai ekspor komoditi j negara i
Xt
= nilai ekspor total (komoditi j dan lainnya) dari negara i
Wj
= nilai ekspor komoditi j di dunia
Wt
= nilai ekspor total dunia 28
Jika RCA > 1 maka negara tersebut lebih berspesialisasi produksi di kelompok komoditi yang bersangkutan. Wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka semakin kuat keunggulan komparatif yang dimilikinya. Jika RCA < 1 maka sebaliknya wilayah tersebut tidak memproduksi komoditi dimaksud untuk tujuan ekspor karena tidak ada daya saing dan dapat mengganggu efisiensi produksi. Pada penelitian ini, RCA yang digunakan merupakan RCA Bilateral. Analisa ini dikembangkan oleh International Trade Centre sebagai analisa RCA yang menganalisa arus perdagangan, indikator keunggulan komparatif yang bertujuan untuk mengukur spesialisasi. Spesialisasi suatu negara merupakan indikasi tentang bagaimana suatu negara mengalokasikan sumber daya untuk berbagai industri, di bawah asumsi total perdagangan yang seimbang.
2.5. Penggunaan AHP dalam Analisis Strategi Pengambilan Keputusan Para pengambil keputusan hampir selalu membuat keputusan, bahkan setiap detik dari hidupnya. Ketika mereka membuat keputusan, ada suatu proses yang terjadi pada otak manusia yang akan menentukan kualitas keputusan yang dibuat (Permadi, 1992). Ketika keputusan yang akan dibuat sederhana manusia dapat dengan mudah membuat keputusan. Namun ketika keputusan yang akan diambil bersifat kompleks dengan risiko yang besar seperti perumusan kebijakan, pengambil keputusan sering memerlukan alat bantu dalam bentuk analisis yang bersifat ilmiah, logis, dan terstruktur/konsisten. Salah satu alat analisis tersebut adalah berupa decision making model (model pembuatan keputusan) yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk masalah yang bersifat kompleks. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu model pengambilan keputusan yang sering digunakan. AHP dibangun di Wharton School of Business oleh Thomas Saaty, yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan karena memiliki masalah yang kompleks dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa alternatif (Gambar 8). Ketidakpastian dan faktor lain yang mempengaruhi dapat dapat dimasukkan.
29
Beberapa penggunaan AHP antara lain: OPEC menggunakan AHP untuk memilih strategi dalam upaya mewujudkan tujuannya (Permadi, 1992). Bayazit and Karpak (2005) menggunakan AHP dalam menyeleksi pemasok (supplier) untuk pasar modern. Pemilihan berbagai alat transportasi dengan menggunakan AHP dilakukan oleh Teknomo (1999). Bourgeois (2005) juga menggunakan AHP untuk menyusun prioritas topik-topik penelitian yang akan diusulkan oleh UNCAPSA, sebuah lembaga riset yang dikelola oleh UN-ESCAP. Beberapa penelitian di Indonesia yang menggunakan AHP antara lain penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan berjudul “Pengembangan Perangkat Analisis Dampak Instrumen Fiskal terhadap Kinerja Sektor Industri, Perekonomian, serta Kesempatan Kerja. Kerjasama Fakultas Ekonomi”, penelitian Pusat Penelitian dan Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan dengan Widyastutik dan Anggraeni (2010) yang berjudul “Kemungkinan Pembentukan FTA Indonesia Turki, Indonesia-Mesir, dan Indonesia-Pakistan, penelitian Putri, Widyastutik, dan Mulyati berjudul “Formulasi Strategi Peningkatan Daya Saing UMKM Klaster Produk Herbal Dalam Rangka Menghadapi Free Trade Area ASEAN-China (CAFTA) Studi Kasus: UMKM Produk Herbal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Bourgeois (2005) AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif/pilihan yang ada dan pilihan-pilihan tersebut bersifat kompleks atau multi kriteria. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi.
30
Gambar 8. Analytic Hierarchy Process
AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi criteria). Karena sifatnya yang multi kriteria, AHP cukup banyak digunakan dalam penyusunan prioritas. Disamping bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan oleh ahli-ahli yang representatif berkaitan dengan alternatif-alternatif yang akan disusun prioritasnya.
2.5.1. Pembobotan dan Skala Permasalahan pada AHP adalah tentang pendekatan pembobotan dan skor. Hal ini karena struktur yang kompleks ditetapkan sebagai suatu hirarki yang kemudian diturunkan dalam ukuran skala rasio melalui pilihan kebijakan yang akan dibandingkan secara relatif. Manusia memiliki kemampuan yang lebih baik untuk membuat pernyataan secara relatif dibandingkan absolut. Pendapat diturunkan dalam bahasa verbal meskipun kata-kata kadang tidak akurat. Kita dapat menggunakan kata-kata untuk membandingkan faktor-faktor secara kualitatif dan menurunkannya dalam skala rasio prioritas yang dapat dikombinasikan dengan faktor-faktor kuantitatif.
31
2.5.2. Pembobotan atau Prioritas tidak ditentukan secara subyektif AHP yang merupakan proses perbandingan kebijakan, pembobotan atau prioritas diturunkan dari seperangkat pernyataan. Ketika kita mengalami kesulitan untuk memberikan alasan (argumen) pembobotan maka diperlukan suatu proses pencapaian keputusan. Relatif mudah untuk memberikan alasan-alasan dan dasar (data kasar, pengetahuan, dan pengalaman) untuk alasan-alasan tersebut. Pembobotan atau prioritas berupa tingkat rasio yang diukur bukan dihitung.
2.5.3. Ketidak konsistenan AHP kadang tidak konsisten tetapi menyediakan sebuah ukuran dalam setiap perangkat alasan. Ukuran ini sangat penting untuk menghasilkan proses dalam menurunkan prioritas yang berdasarkan perbandingan dari pasangan kebijakan. Wajar apabila manusia ingin konsisten. Bagaimanapun dalam dunia nyata sangat sulit untuk konsisten secara sempurna dan kita dapat mempelajari sesuatu yang baru hanya dengan mengikuti beberapa ketidakkonsistenan yang kita ketahui. Jika kita konsisten sempurna (dalam AHP diukur dengan rasio ketidak konsistenan yang nol), kita tidak dapat mengatakan bahwa alasan kita bagus, sama halnya bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa disana tidak ada yang salah dengan fisik kita jika temperature badan kita sebesar 98.6 derajat. Dengan kata lain jika kita tidak konsisten maka dapat dikatakan 40-50 persen (sebuah rasio ketidakkonsistenan dari 100 persen yang sama dengan pernyataan acak), kita dapat mengatakan bahwa disana terdapat kesalahan, jika temperature badan kita 104 derajat. Rasio ketidakkonsistenan sampai 10 persen atau kurang biasanya dapat diterima, tetapi keadaan khusus menjamin penerimaan yang bernilai tinggi.
2.5.4. Penyebab Ketidak konsistenan Penyebab ketidakkonsistenan adalah: (1) kesalahan administrasi, (2) kekurangan informasi, (3) kurang konsentrasi, (4) dunia nyata tidak selalu konsisten, (5) struktur model yang tidak cukup, dan (6) terpenuhinya syarat perlu tapi belum cukup.
32
2.5.5. Prinsip-prinsip dan Aksioma dari AHP AHP dibangun dengan dasar teori sederhana yang solid. Model dasar sangat familiar dengan diagram pai. Jika kita menggambar diagram pai, maka dalam gambar akan ditunjukkan tujuan dari masalah dalam pengambilan keputusan. Pai disusun dalam irisan-irisan, dimana setiap irisan menunjukkan kontribusi setiap kriteria dari tujuan. AHP membantu menentukan relatih pentingnya setiap irisan dari pai. Setiap irisan dapat dikomposisi dalam irisan yang kecil yang menunjukkan sub kriteria. Selanjutnya, irisan akan berhubungan dengan tingkat terendah dari sub kriteria yang dibagi dalam beberapa alternatif irisan, dimana setiap alternatif irisan menunjukkan berapa banyak alternatif berkontribusi pada setiap sub kriteria. Ditambah oleh prioritas untuk alternatif irisan, kita dapat menentukan berapa banyak alternatif berkontribusi pada kriteria organisasi. AHP didasarkan pada 3 prinsip yaitu pertama dekomposisi dari masalah. Dalam menyusun prioritas, maka masalah penyusunan prioritas harus mampu didekomposisi menjadi tujuan (goal) dari suatu kegiatan, identifikasi pilihan-pilihan (options), dan perumusan kriteria (criteria)untuk memilih prioritas. Kedua penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil
dekomposisi
Setelah masalah
terdekomposisi, maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan untuk menentukan bobot untuk masing- masing kriteria. Di sisi lain, perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria dimaksudkan untuk melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan perkataan lain, penilaian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa penting suatu pilihan dilihat dari kriteria tertentu. Ketiga sintesis dari prioritas. Sintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Semua teori didasarkan atas aksioma-aksioma. Aksioma yang sederhana dan sedikit adalah lebih umum dan mudah diterapkan disebut teori. AHP didasarkan pada tiga axioma yang sederhana. Pertama adalah aksioma resiprokal. Kedua, aksioma
33
homogenitas, dan ketiga, aksioma elemen hirarki tidak tergantung pada elemen yang lebih rendah.
2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapai persaingan yang semakin ketat, yang mau atau tidak, produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan baik dalam menghadapi pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Standar melalui pengukuran dan pengujian akan menghasilkan sertifikasi yang disyahkan oleh lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis akan menghasilkan produk yang siap untuk masuk ke pasar internasional dan bersaing dengan produk negara lain yang memiliki kualitas yang diinginkan konsumen. Konsumen akan memandang di pasar akan tersedia pilihan produk yang lebih luas baik produk dalam negeri maupun impor. Di sisi lain kebutuhan masyarakat akan semakin meningkat karena peningkatan taraf hidup sehingga mereka berpindah dari ”Price Oriented” ke ”Quality Oriented”. Konsumen memperoleh kepastian kualitas dan keamanan produk. Sementara publik dilindungi
dari
segi
keamanan,
kesehatan,
keselamatan,
dan
kelestarian
lingkungannya. Oleh karena itu dituntut peranan yang penting tentang standar, metrology dan conformity assessment menjembatani kepentingan sosial dan kepentingan bisnis. Masyarakat memiliki kepentingan sosial terhadap produk yang akan dikonsumsinya baik itu dari sisi kesehatan (health of human today and future serta health of animal), keamanan (safety for consumers khususnya children), maupun produk yang tidak merusak lingkungan. Dari sisi produsen, kepentingan bisnis dikedepankan khususnya kualitas produk yang akan menyangkut standar dan mutu mengingat konsumen sudah bergeser pola hidupnya dari Price Oriented ke Quality Oriented. Dalam perdagangan internasional, khusus untuk mutu dan keamanan pertanian, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan, yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian, serta TBT (Technical Barier To Trade) untuk mutu pertanian. Berbagai progam manajemen, pedoman, dan standar
34
untuk mewujudkan kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui ISO–9000, ISO–14000, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pertanian dari Codex Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM) dalam pembinaan mutu dan keamanan pertanian. Namun demikian jumlah produk Indonesia yang telah memiliki SNI dan dinotifikasi oleh WTO masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional (Pusat Kerjasama Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional, 2012). Indonesia, baru memiliki 43 jenis produk yang telah memiliki SNI dan sudah dinotifikasi ke WTO, yakni komoditas pupuk, terigu, lampu hemat energi, dan baja. Penerapan standar dan mutu masih bersifat sukarela (voluntary) belum bersifat wajib, hal ini salah satunya disebabkan karena lemahnya kesadaran pengusaha akan pentingnya standar dan mutu bagi peningkatan daya saing. Apabila dibandingkan dengan Thailand dan Singapura, produk Indonesia yang memiliki SNI ternotifikasi di WTO lebih sedikit. Permasalahan standar dan mutu akan terkait dengan banyak faktor antara lain masih kesadaran produsen dan eksportir mengenai standar dan mutu yang masih kurang, lemahnya kinerja lembaga pengujian mutu barang produk ekspor, kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji produk ekspor dan impor yang masih rendah (infrastruktur dan laboratorium yang terbatas), biaya uji standar dan mutu yang memberatkan pengusaha terutama skala kecil. Oleh karena itu penerapan standar dan mutu dinilai serta dipandang strategis untuk peningkatan daya saing karena sesungguhnya banyak produk ekspor nasional yang berdaya saing bagus bahkan mampu menembus pasar negara maju, namun sering kehilangan daya saing karena tidak terstandarisasi. Bahkan, banyak diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu negara karena tidak menerapkan standar. Alur pikir dari kajian ini secara lengkap disajikan dalam Gambar 9.
35
Mutu dan Standar Produk Ekspor Tertentu
PRODUK Kepmenperindag 164/MPP/Kep/6/1996
• • •
Nilai ekspor yang tinggi (daya saing tinggi dan IIT) Berkesinambungan Permintaan pasar besar Kayu lapis dan kakao
Apakah telah mengaplikasikan standar dan mutu Permasalahan di Lapang
1. Penetapan standar dan implementasinya bagaimana di lapang6. Keuntungan dan kerugian jika ditetapkan standar 2. Apakah sesuai dengan standar internasional? 7. Kesiapan infrastruktur pengujian mutu 3. Apakah standar mempengaruhi daya saing? 8. Biaya dan prosedur apakah memberatkan
Rekomendasi Kebijakan Standar dan Mutu Produk Ekspor Biji Kakao dan Kayu Lapis Penggunaan Umum Lainnya dalam Meningkatkan Daya Saing
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian
36
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mencakup seluruh Indonesia dengan responden dari beberapa kota yaitu Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jakarta. Sedangkan Focus Group Disscussion (FGD) diselenggarakan di 3 kota yang representative mewakili daerah pengekspor dan penghasil biji kakao dan kayu lapis penggunaan umum yaitu di Kota Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Selain itu, dilakukan indepth interview ke beberapa laboratorium uji seperti Laboratorium Penguji PT Mutuagung Lestari yang terletak di Jalan Raya Bogor Km. 33, 5 No. 19 Cimanggis dan PT Sucofindo. Waktu penelitian dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan.
3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam kajian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi data kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif terutama informasi tambahan tentang proses pengujian standar dan mutu barang yang diperoleh dari wawancara dengan para eksportir, LPM, LSPro yang dipilih berdasarkan purposive sampling yaitu judgement dan quota sampling. Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai permasalahan mengenai standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis. Selain itu, pengumpulan informasi dilakukan melalui
FGD dengan
mengundang para pihak yang kompeten dengan topik kajian. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui berbagai penerbitan yang bersumber dari Badan Standarisasi
Nasional,
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian Perindustrian, dan Badan Pusat Statistik. Data-data yang terkait dengan permasalahan standar dan mutu barang ekspor hasil pertanian diperoleh dari : 1. Laboratorium Penguji Mutu (LPM) 2. Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro).
3. Pusat Pengujian dan Pengawasan Mutu Barang (PPMB) 4. Pusat Standardisasi (Pustan) Kementrian Perdagangan 5.
Serta lembaga terkait lain yang akan dijadikan responden adalah Dinas Perindag Provinsi dan Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPMSB).
3.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Survai lapangan bertujuan untuk mengamati obyek penelitian sehingga memahami kondisi sebenarnya dan bersifat non partisipatif yaitu peneliti berada di luar sistem yang diamati. b. Indepth interview yaitu komunikasi verbal secara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait yaitu Laboratorium Penguji. c. Kuesioner berupa daftar pertanyaan dan pernyataan bersifat tertutup dan terbuka yang dibagikan peneliti secara langsung. Kuesioner terdiri dari dua jenis yaitu kuesioner yang ditujukan untuk menganalisis kondisi standar dan mutu ekspor biji kakao dan kayu lapis penggunaan dan kuesioner yang ditujukan untuk menganalisis strategi kebijakan standar dan mutu ekspor untuk meningkatkan daya saing dengan metode analisis AHP. Kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. d. Penelusuran literatur Penelusuran literatur dilakukan melalui kajian-kajian terdahulu yang terkait dengan standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis.
3.4. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan non probabilitas dengan kriteria tertentu yaitu purposive sampling berupa judgement dan quota sampling. Sampel pada penelitian diambil dari beberapa kota yang berpotensi menghasilkan dan mengekspor biji kakao dan kayu lapis yaitu Lampung, Semarang, Samarinda, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.
38
3.5. Metode Analisis 3.5.1. Analisis Revealed Comparative Advantage Bilateral (RCAB) Pada penelitian ini, RCA yang digunakan merupakan RCA Bilateral. Rumus RCA Bilateral adalah sebagai berikut:
t RCAicl
X it.. danM it.. X
t danM iclt . icl .
X iclt . M iclt .
X X X
t icl . t i ..
t i ..
t t t X icl 1000 t t t . M icl . * X M X M * icl . i .. i .. icl . t t t t X i.. M i.. X i.. M i..
= total ekspor dan impor negara
i pada tahun t
= total ekspor dan impor produk dalam kluster
cl di negara i pada tahun t
= neraca perdagangan negara i untuk klaster cl pada ta hun t
= besarnya klaster cl di ekspor negara i pada tahun t * XX MM = ke tidak seimbangan teoritikal di negara
M iclt .
M it..
M it..
t icl . t i ..
t icl . t i ..
i untuk klaster cl pada
t tahun
3.5.2. Analisis Deskriptif Metode ini merupakan metode statistik yang digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran permasalahan mengenai standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis. Data disajikan dalam bentuk tabulasi, charts dan diagram.
3.5.3. Analytical Hierachy Process (AHP) Pengolahan data urutan prioritas strategi menggunakan Analytical Hierachy Process (AHP) dengan software Expert Choice 2008. Menurut Saaty (1994), AHP merupakan suatu tahapan proses pembuatan keputusan yang mencakup tahapantahapan berikut: 1. Menstrukturkan permasalahan sebagai suatu hirarki atau suatu sistem dengan lingkaran yang yang saling berhubungan (dependence loop)
39
2. Menjelaskan pernyataan yang merefleksikan gagasan-gagasan, perasaan atau intuisi. 3. Merepresentasikan pernyataan (judgement) degan nilai-nilai yang memiliki arti 4. Menggunakan nilai-nilai tersebut untuk menghitung prioritas elemen dalam hirarki 5. Menginterpretasikan hasilnya untuk menentukan seluruh keputusan 6. Menganalisis sensitivitas untuk mengubah pernyataan
Pendekatan model AHP hampir identik dengan model perilaku politis yaitu model keputusan (individual) dengan menggunakan pendekatan kolektif dari proses pengambilan keputusannya. AHP dikembangkan oleh Saaty (1980) yang dapat memecahkan masalah kompleks dengan aspek atau kriteria yang diambil cukup banyak. Selain itu kompleksitas disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambil keputusan serta ketidakpastian data statistik yang akurat bahkan tidak ada sama sekali. Setiap tingkat hirarki mempengaruhi tujuan utamanya dengan intensitas yang berbeda. Namun dengan teori matematika, dapat dikembangkan metode untuk mengevaluasi pengaruh dari suatu jenjang terhadap tingkat terdekat di atasnya, yaitu berdasarkan komposisi relatif atau bobot prioritas dari elemen pada tingkat tertentu terhadap setiap elemen pada tingkat di atasnya yang terdekat (pengolahan horizontal). Kemudian dilanjutkan dengan melihat kontribusi setiap elemen pada tingkat di atasnya secara vertikal, sampai kepada tingkat hirarki yang tertinggi (pengolahan vertikal). Menurut Kadarsah dan Ramdhani (2000), pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP meliputi : 1. Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria
40
yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga
memperoleh
judgement
seluruhnya sebanyak n x [(n-1)]/2 buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung eigenvalue dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka pengambilan data diulangi. 6. Menghitung langkah 3,4,5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7. Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen, Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari 10 persen maka penilaian data judgement harus diperbaiki. Saaty (1980) menyatakan skala kuantitatif dari 1 sampai 9 untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan Intensitas kepentingan 1 3 5
7 9
2,4,6,8 Kebalikan
Keterangan
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Elemen yang satu sedikit lebih penting Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong daripada elemen yang lainnya satu elemen dibandingkan elemen lainnya Elemen yan satu lebih penting daripada Pengalaman dan penilaian sangat kuat elemen lainnya. menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya. Satu elemen jelas lebih mutlak penting Satu elemen yang kuat disokong dan dominan daripada elemen lainnya. terlihat dalam praktek. Satu elemen mutlak penting daripada Bukti yang mendukung elemen yang satu elemen lainnnya. tehadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di pertimbangan yang berdekatan. antara dua pilihan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan aktivitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.
Sumber : Kadarsah dan Ramdhani, 2000
41
3.5.3.1. Perhitungan Bobot Elemen Pada dasarnya formulasi matematis pada model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Misalkan dalam suatu sistem operasi terdapat n elemen operasi yaitu elemen-elemen operasi A1, A2, ….,An, maka hasil perbandingan secara berpasangan
elemen-elemen
operasi
tersebut
akan
membentuk
matriks
perbandingan. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarkis paling tinggi dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Selanjutnya perhatikan elemen yang akan dibandingkan.
A1
A2
.
An
.. A1 A11
a12
a1n
A2 A21
a22
a2n
an2
ann
. . An an1
Matriks An x n merupakan mariks resiprokal dan diasumsikan terdapat n elemen yaitu w1, w2, …, wn yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai (judgement) perbandingan secara berpasangan antara (wi, wj) dapat dipresentasikan seperti matriks tersebut. wi/wj = a(i,j) ; i,j = 1,2…,n Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matiks A dengan unsur-unsurnya adalah aij dengan i,j = 1,2…,n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan membandingkan satu elemen operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat hirarki yang sama. Misalnya unsur a11 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi a1 dengan elemen operasi A1 sendiri. Maka nilai unsur a11 sama dengan 1. Dengan cara yang sama maka diperoleh semua unsur diagonal matriks perbandingan sama dengan 1. Nilai unsur a12 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1
42
terhadap elemen operasi A2. Besarnya nilai a21 adalah 1/a12 yang menyatakan tingkat intensitas kepentingan elemen operasi A2 terhadap elemen operasi A1. Bila vektor pembobotan elemen-lemen operasi A1, A2,…, An tersebut dinyatakan sebagai vektor W dengan W = ( W1, W2,…, Wn) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan A2 dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A1 terhadap A2, yaitu W1/W2 yang sama dengan a12. Sehingga matriks perbandingan dapat pula dinyatakan sebagai berikut:
A1
A2
.
An
.. A1
W1/w1
w1/w2
w1/wn
A2
W2/w1
w2/w2
w2/wn
wn/w1
wn/w2
wn/wn
. . An
Nilai-nilai wi/wj dengan i,j =1,2,…, n diperoleh dari responden yaitu orangorang yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Bla matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W= (W1, W2, …, Wn) maka diperoleh hubungan; AW =nW …………...........………………………………………….…….(1) Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut: [A-nI] W= 0 ………….................................……........................................(2) dimana I adalah matriks identitas. Persamaan (2) dapat menghasilkan solusi yang tidak nol jika dan hanya jika n merupakan eigenvalue dari A dan W adalah eigen vektornya. Setelah eigenvalue matriks perbandingan A tersebut diperoleh misalnya λ1, λ2, …, λn dan berdasarkan matriks A yang mempunyai keunikan yaitu aii= 1 dengan i= 1,2,…,n maka: ∑ λ1 =n . Disini semua eigenvalue bernilai nol kecuali nilai eigen maksimum. Kemudian jika penilai yang dilakukan konsisten akan diperoleh nilai eigen maksium dari A yang
43
bernilai n. Untuk mendapatkan W maka dapat dilakukan dengan mensubstitusikan harga eigenvalue maksimum pada persamaan: AW = λmaks W Sehingga persamaan 2 menjadi : [AλmaksI]W=0………........................…………....….....................................(3) Untuk memperolehharga nol maka yang perlu diset adalah λmaks=0 ……………………....................……...…...................................…(4) Berdasarkan persamaan 4) dapat dipeoleh harga λmaks Dengan memasukkan harga λmaks ke persamaan 3) dan ditambah dengan persamaan ∑ Wi2 = 1 maka akan diperoleh bobot masing-masing elemen operasi (Wi dengan I =1,2,…,n) yang merupakan eigenvektor yang bersesuaian dengan eigenvalue maksimum.
3.5.3.2. Perhitungan Konsistensi Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut: Hubungan kardinal : aij.ajk = aik Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj> Ak maka Ai>Ak Pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut sehingga matriks tidak konsisten karena ketidak konsistenan dalam preferensi seseorang. Dalam teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pada eigenvalue. Penyimpanagan dari konsistensi dinyatakan sebagai Indeks Konsistensi. Pengukuran konsistensi dinyatakan melalui suatu indeks yang disebut ‘consistency index’ (CI) , adapun rumus CI adalah : CI
maks n n 1
…………………..............................................................(5)
dimana : λmaks : eigenvalue maksimum n
: ukuran matriks
Indeks konsistensi (CI) matriks random dengan skala penilaian 9 (1 sampai 9) beserta kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan menggunakan besaran CI
44
dan RI maka dapat digunakan suatu patokan untuk menentukan tingkat konsistensi suatu matriks, yang disebut ‘consistency ratio’ (Saaty, 1991). CR
CI ......................................................................................................(6) RI
dimana : CR : rasio konsistensi CI : indeks konsistensi RI : Random Consistency Index Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai Rasio Konsistensi (CR) ≤ 0,1 (Kadarsah dan Ramdhani, 2000).
3.5.3.3. Mengevaluasi Inkonsistensi Seluruh Hirarki Evaluasi inkonsistensi seluruh hirarki dilakukan dengan mengalikan setiap indeks inkonsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan, dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks inkonsistensi acak yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama pada setiap indeks inkonsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan, dan hasilnya dijumlahkan. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi hirarki harus bernilai kurang atau sama dengan 10 persen.
3.5.3.4. Penggunaan AHP dalam Analisis Kebijakan Standar dan Mutu Produk Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai pengambilan keputusan mengenai kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing. Pengambilan keputusan mengenai kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing memiliki masalah yang kompleks, ditunjukkan dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa alternatif. Pengambilan keputusan mengenai kebijakan standar dan mutu untuk meningkatkan daya saing dilakukan dengan FGD. Peserta FGD terdiri dari tenaga
45
ahli (expert) dibidangnya yaitu para eksportir, pengusaha, asosiasi, lembaga uji standar dan mutu dan pemerintah. Peserta FGD akan melakukan penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki dengan memberikan bobot numerik. Gambar 10 menunjukkan hirarki kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing. Proses hirarki analitik dalam perumusan kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing, menggunakan tiga prinsip dasar proses hirarki analitik, yaitu : (a) penyusunan hirarki, yang ditujukan untuk memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah, (b) penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut kepentingannya serta (c) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan.
Gambar 10. Struktur Hirarki Analisis Kebijakan Standar dan Mutu Produk Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing
46
Keterangan: Tingkat 1 : Goal yang menjadi inti atau fokus dari permasalahan yang ingin dipecahkan dengan metode AHP (FOKUS). Tingkat 2 : Hal-hal yang menjadi faktor penentu peningkatan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing (FAKTOR). RPA
: Regulasi perdagangan antar negara
PPT
: Infrastruktur pengujian mutu
MSL
: Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional
MMS
: Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor
MSN
: Harmonisasi Mutu dan standar produk ekspor nasional dengan internasional
Tingkat 3 : Aktor-aktor yang berperan dalam peningkatan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing (AKTOR). GOV
: Pemerintah
LEM
: Lembaga mutu dan standar
EKS
: Eksportir
NTE
: Negara tujuan ekspor
Tingkat 4 : Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam peningkatan standar dan mutu ekspor (TUJUAN). ER
: Eliminasi regulasi yang menghambat
MKK
:Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian standar dan mutu
EB
: Eliminasi biaya yang tidak relevan
MPM
: Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan standar dan mutu ekspor
MKE
: Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan standar dan mutu dengan negara tujuan ekspor
Tingkat
5
:
Hal-hal
direkomendasikan
yang
sebagai
dirumuskan
hasil
untuk
sebagai mencapai
pilihan tujuan
yang
akan
penelitian
(ALTERNATIF). A : Fasilitasi regulasi
47
B : Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian standar dan mutu C : Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan standar dan mutu D : Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan standar dan mutu ekspor E : Memfasilitasi kerjasama harmonisasi standar dan mutu internasional
48
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Keragaan Produksi dan Ekspor Biji Kakao Pada bab ini akan dibahas produk ekspor biji kakao sisi produksi dan ekspor ke beberapa negara tujuan ekspor utama yang selanjutnya pada pembahasan akan dianalisis daya saing dengan metode RCA. Produksi kakao di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun kecenderungannya terus meningkat dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,05 persen per tahun. Tanaman kakao di Indonesia tersebar hampir di semua kepulauan, namun areal perkebunan kakao paling banyak berada di Pulau Sulawesi yakni 58 persen dari luasan pertamanan kakao nasional, yang menghasilkan 63 persen kakao nasional, sehingga dikenal sebagai sentra produksi kakao. Luas panen komoditas kakao cenderung semakin bertambah dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,12 persen per tahun. Perkembangan produksi, luas panen, dan produktivitas kakao tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kakao Tahun 2002-2010 Tahun Total Produksi Luas Panen Produktivitas (Ton) (000)
(Ha)
(Kg/Ha)
2002
571.155
914.051
620
2003
698.816
964.223
720
2004
691.704
1.090.960
630
2005
748.828
1.167.046
640
2006
769.386
1.320820
580
2007
740.006
1.379.279
530
2008
803.594
1.425.216
560
2009
809.583
1.587.136
510
2010
844.626
1.651.539
510
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
49
Produktivitas yang tinggi terjadi pada tahun 2003, selanjutnya mengalami penurunan sampai tahun 2010. Produktivitas kebun yang menurun salah satunya akibat serangan hama penggerek buah kakao. Menurut usahanya, perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Kepemilikan perkebunan ini ratarata per petani sangat kecil yakni 1 ha per petani. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539 Ha. Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruhan perkebunan kakao di Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan dari sisi ekspor, sejak tahun 2002 hingga tahun 2010 menunjukkan trend yang berfluktuatif yang dapat dilihat pada tabel 5. Ekspor biji kakao pada tahun 2002 menunjukkan trend yang meningkat, namun pada tahun 2003 ketika produktivitas mengalami peningkatan justru ekspor mengalami penurunan sekitar 21,25 persen hingga nilai ekspornya hanya mencapai US$ 410,5 juta, begitu juga pada tahun 2004 yang menunjukkan penurunan sebesar 9,80 persen dengan nilai sebesar US$ 370,2 juta. Turunnya nilai ekspor kakao dikaitkan dengan adanya kebijakan bea keluar untuk biji kakao sehingga mengurangi insentif bagi eksportir untuk melakukan ekspor (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Kemudian pada dua tahun berikutnya yaitu tahun 2005 dan 2006 menunjukkan peningkatan, yaitu pada tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 26,48 persen dengan nilai US$ 468,3 juta dan pada tahun 2006 meningkat sebesar 32,46 persen dengan nilai US$ 620,3 juta. Peningkatan kembali terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,48 persen menjadi US$ 623,3 juta. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2008 yaitu naik 37,34 persen dengan nilai mencapai US$ 856,0 juta, serta di tahun 2009 yaitu naik 27,11 persen US$ 1.088,1 juta. Dilihat dari kontribusinya terhadap sektor pertanian juga selalu meningkat seiring dengan peningkatan nilai ekspornya. Pada tahun 2002 komoditi
50
ini bahkan mampu mencapai nilai ekspor sebesar US$ 521,3 juta, memberikan kontribusi sebesar 20,3 persen terhadap ekspor sektor pertanian dan memberikan kontribusi devisa terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit.
Tabel 5. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Tahun 2002-2009 Tahun
Volume
Nilai
% Perubahan
(Ton)
(Ribu US$)
Nilai
2002
367.664
521.257
188,45
2003
266.292
410.465
78,75
2004
277.060
370.243
90,20
2005
368.678
468.279
126,48
2006
494.047
620.286
132,46
2007
381.689
263.282
100,48
2008
382.677
856.025
137,34
2009
440.408
1.088.136
127,11
Sumber : Badan Pusat Stastistik (2010)
Tabel 6 di bawah ini
menunjukkan perkembangan ekspor biji kakao
Indonesia pada beberapa negara tujuan ekspor utama. Negara tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia antara lain Malaysia, USA, Singapura, Cina, Brazil, India, Belanda, Jerman, dan Thailand. Ekspor biji kakao perkembangannya mengalami peningkatan adalah ke negara Singapura, sedangkan negara lainnya cenderung berfluktuasi.
51
Tabel 6. Perkembangan Ekspor Biji Kakao pada Negara Tujuan Ekspor Utama, Tahun 2002-2010 (US ‘ribu) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Brazil 25.948,8 11.116,1 64.636,3 19.997,0 15.280,0 27.600,1 63.799,3 42.087,4 29.917,6 41.646,5 31.984,2
Cina 16.406,0 11.932,0 2.919,7 6.581,8 5.474,6 15.830,1 18.240,9 20.746,1 15.902,5 7.122,6 15.317,9
Jerman 13.792,5 8.121,0 4.938,4 45,1 0,8 1.012,5 9.938,5 903,0 487,5 7.155,7 12.278,0
India Malaysia 0,2 61.820,6 1.119,8 78.217,8 961,8 75.935,3 36,5 132.268,5 1.098,5 125.384,3 0,0 156.457,0 0,2 190.298,0 0,3 183.172,1 0,7 209.408,5 1.900,0 183.081,6 4.055,5 202.849,2
Belanda Singapura Thailand 554,0 56.855,4 7.057,1 367,5 35.908,0 4.755,5 25.431,0 37.639,4 8.120,5 80,1 33.146,9 4.795,0 725,7 31.570,3 6.386,7 1.087,5 30.093,9 9.414,7 2.943,4 43.976,5 8.260,4 668,3 43.683,5 7.325,0 239,6 45.157,5 8.116,2 2.452,0 55.889,3 7.405,5 5.847,5 53.932,2 6.716,3
USA 134.107,4 128.895,5 117.278,4 60.850,7 84.007,0 107.630,5 131.738,5 53.224,4 53.689,7 120.304,0 89.306,5
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu)
4.2. Keragaan Produksi dan Ekspor Kayu Lapis 4.2.1. Keragaan Produksi dan Ekspor Wilayah Indonesia yang tersebar pada 17.000 kepulauan yang meliputi 181,2 juta ha, setara dengan luas wilayah Perancis, Spanyol, Jerman dan Inggris apabila digabungkan secara bersama-bersama. Luas daratan Indonesia sekitar 70 persen atau 133,6 juta ha terdiri dari hutan. Kawasan hutan yang telah dicadangkan untuk perlindungan atau konservasi kira-kira sekitar 37 persen, sekitar 17 persen dikonversi untuk penggunaan lainnya sedangkan sekitar 46 persen diperuntukkan untuk kepentingan produksi. Kayu lapis merupakan hasil produksi hutan. Produksi hasil hutan sendiri bermacam-macam antara lain kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, produk kayu dan olahan lainnya. Sedangkan kayu lapis sendiri adalah panel kayu yang tersusun dari lapisan veneer di bagian luarnya, sedangkan dibagian intinya (core) bisa berupa veneer atau materai lain, diikat dengan lem kemudian dipress (ditekan) sedemikian rupa sehingga menjadi panel kayu yang kuat. Termasuk dalam artian ini adalah kayu lapis yang dilapisi dengan material lain (Bina Usaha Kehutanan, 2011). Bahan baku kayu lapis dihasilkan oleh areal hutan yang memiliki potensi untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan
52
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. IUPHHK dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha swasta dan BUMN/BUMD. Tren produksi kayu lapis mengalami penurunan sejak tahun 2006 (Tabel 7). Hal ini disebabkan adanya kelangkaan pasokan bahan baku khususnya dari hutan produksi alam beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor penyebab kelangkaan itu sendiri adalah illegal logging.
53
Tabel 7. Perkembangan Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan Produksi IUPHHK Kapasitas diatas 6.000 2001-2010
/tahun, Tahun
54
Berdasarkan tabel 8, terlihat bahwa selama tahun 2006-2010 provinsi penghasil kayu lapis terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua. Namun demikian kecenderungan produksi di ketiga provinsi tersebut juga mengalami penurunan sama dengan produksi nasional kecuali pada tahun 2010 .
Tabel 8. Produksi Kayu Lapis (termasuk LVL) yang berasal dari IUPHHK Kapasitas diatas 6.000 / tahun Per Provinsi, Tahun 2006-2010
Sumber: Direktoral Jenderal Bina Usaha Kehutanan, 2012
Tren ekspor juga cenderung mengalami penurunan dari tahun 2006-2009, konsisten dengan penurunan produksi pada periode waktu yang sama. Peningkatan produksi yang terjadi pada tahun 2010, mendorong terjadinya peningkatan ekspor juga (Tabel 9). Peningkatan produksi kayu lapis salah satunya didorong oleh penggunaan kayu sengon dari hutan rakyat untuk bahan baku kayu lapis, penggunaan tersebut beberapa tahun terakhir semakin meningkat seperti yang berlangsung di
55
Provinsi Jawa Tengah (Dwiprabowo,2008). Selain itu kebijakan yang kondusif untuk pengembangan hutan rakyat berupa penyediaan lahan dan bibit unggul serta sarana produksi lainnya dan upaya perang terhadap pembalakan liar sangat membantu membangkitkan kembali industri kayu lapis.
Tabel 9. Perkembangan Kayu Lapis dan Hasil Hutan Lainnya, Tahun 2006-2010
Negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia antara lain Uni Emirat Arab, Cina, Jerman, Inggris, Jepang, Malaysia, dan Belanda. Tahun 2009 ekspor kayu lapis cenderung mengalami penurunan. Namun demikian tahun 2010 ekspor kayu lapis kembali meningkat, peningkatan ekspor yang tinggi terjadi ke negara Cina dan Jepang. FTA ASEAN-Cina mendorong perkembangan ekspor kayu lapis Indonesia. Sedangkan ekspor ke negara Jepang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor selera masyarakat Jepang yang menyukai kayu lapis Indonesia karena kayu lapis Indonesia terbuat dari potongan kayu yang bermutu tinggi. Kayu lapis banyak digunakan untuk kebutuhan pembangunan perumahan serta bahan baku pembuatan kerangka beton, kayu lapis juga sebagai bahan baku pembuatan dekorasi display, pintu, dan lemari (Amir 2004).
56
Tabel 10. Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2000-2010 (ton) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
UEA 92,7 129,9 118,8 119,9 95,3 98,1 119,0 102,5 111,5 55,6 85,7
Cina 285,0 209,2 216,3 287,6 247,1 173,6 139,0 87,5 121,0 77,0 146,3
Jerman 58,4 60,5 42,2 37,7 27,8 26,0 19,0 38,6 46,0 31,1 40,9
UK 112,5 181,0 137,5 66,2 62,1 40,2 18,2 18,3 19,3 12,9 14,3
Jepang Malaysia 1.546,3 10,3 1.561,3 13,6 1.485,9 5,7 1.161,1 8,1 1.057,5 4,6 887,6 2,7 831,0 7,6 596,6 7,2 563,0 25,9 529,8 14,6 610,3 28,6
Belanda 39,0 51,0 38,0 31,0 31,0 36,4 21,0 20,8 20,6 16,7 20,3
Sumber: BPS (diolah)
4.2.2. Kebijakan Mutu dan Standar Kayu Lapis & Penggunaan Umum Lainnya a. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Hingga saat ini, laju deforestasi di Indonesia mencapai angka 2,8 juta Ha/tahun (FAO, 2007) mendorong munculnya inisiatif untuk mendefinisikan standar legalitas kayu hingga pengembangan sistem verifikasinya. Proses ini dimulai sejak tahun 2002 dalam kerangka MoU Indonesia-Inggris. Memorandum ini mengawali berbagai kegiatan penyusunan standar legalitas kayu di Indonesia yang berlangsung melalui banyak tahap, dan melibatkan banyak pihak. pada tahun 2005 muncul beberapa inisiatif antara lain program FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) oleh Uni Eropa (UE), yang ”bergerak”di wilayah perdagangan kayu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan adanya program persetujuan kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement, VPA). Pada 8 Januari 2007 diselenggarakan pernyataan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan Komisi Eropa untuk dapat memulai proses negosiasi VPA. Dengan menandatangani VPA, Indonesia akan memastikan bahwa kayu yang diekspor ke UE adalah kayu legal. Sementara UE akan bertanggung jawab dalam meningkatkan kapasitas dan melarang kayu illegal memasuki pasar UE. Serangkaian proses yang berlangsung bertujuan untuk menghasilkan standar yang diharapkan mampu memberi kepastian bagi semua
57
pihak: pembeli, pemilik industri, pengusaha, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.
Hal ini sangat penting untuk peningkatan efisiensi produksi dan
kredibilitas kayu Indonesia di mata dunia, mulai dari penyusunan standar legalitas, adanya kelembagaan yang mengimplementasikan SVLK (tata kelola (governing), akreditasi, verifikasi, lisensi, penyelesaian keberatan, dan pemantauan), hingga adanya prosedur verifikasi legalitas kayu yang mengatur tata hubungan dan tahapan pelaksanaan verifikasi legalitas kayu oleh masing-masing pihak. Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia.
Sistem verifikasi legalitas kayu
dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Para petani dari hutan rakyat dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tidak perlu risau hasil kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual.
Para
produsen mebel yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Keberadaaan SVLK telah mendapat dukungan luas baik dari pihak pemerintah, swasta, asosiasi pengusaha kehutanan, perwakilan masyarakat adat, LSM kehutanan dan masyarakat adat, dan para perwakilan institusi pendidikan terkemuka di Indonesia, seperti IPB dan UGM.
b. Tujuan dan Ruang Lingkup Penerapan SVLK Tujuan dari penerapan SVLK yaitu: 1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar. 2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia. 3. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia.
58
4. Menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya tinggi dan mendorong munculnya pembalakan liar 5. Mereduksi praktek pembalakan liar Ruang lingkup proses pemeriksaan SVLK meliputi pemeriksaan keabsahan asal usul kayu dari awal hingga akhir. Mulai dari pemeriksaan izin usaha pemanfaatan, tanda-tanda identitas pada kayu dan dokumen yang menyertai kayu dari proses penebangan, pengangkutan dari hutan ke tempat produksi kayu, proses pengolahan hingga proses pengepakan dan pengapalan. SVLK efektif diterapkan di seluruh tipe pengelolaan hutan di Indonesia : hutan alam produksi, hutan tanaman, hutan rakyat (hutan milik) maupun hutan adat. Baik yang berbasis unit manajemen maupun yang tidak berbasis unit manajemen (pemegang izin pemanfaatan kayu). Standar legalitas SVLK diterapkan di : 1. Hutan negara yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan Swasta, termasuk di dalamnya pemegang IUPHHK Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman. 2. Hutan negara yang dikelola masyarakat, termasuk di dalamnya : hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa, hutan adat, hutan tanaman rakyat (HTR). 3. Hutan negara yang tidak berbasis Unit Manajemen, termasuk di dalamnya pemegang Izin Pemanfaatan Kayu. 4. Hutan Hak/hutan rakyat/hutan milik dan areal non hutan. Penerapan SVLK diharapkan akan memberikan manfaat bagi produsen dan eksportir kayu khususnya kayu lapis dan penggunaan umum lainnya. Manfaat tersebut antara lain: 1.
SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negaranegara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
2. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif. 3. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi. 4. Pembinaan secara intensif oleh pemerintah. 5. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
59
SVLK diterapkan mulai dari sumber asal kayu di hutan hingga industri pengolahan kayu. Baik industri hulu maupun industri hilir. SVLK diterapkan untuk memastikan legalitas kayu di hutan negara (baik yang berbasis unit manajemen maupun pemegang izin pemanfaatan kayu), di hutan hak sampai di areal non hutan. SVLK juga meliputi pemeriksaan untuk pengangkutan di darat sampai pengapalan, pengolahan dan perdagangan kayu.
c. Pengaturan Kelembagaan Pihak berwenang yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap para pelaku usaha adalah Lembaga Verifikasi yang telah memegang izin dan akreditasi dari Komisi Akreditasi yang berkedudukan di Kementrian Kehutanan RI. Ketika melakukan tugasnya Lembaga Verifikasi wajib berpegang pada SVLK. Asesor yang turun ke lapangan pun harus yang telah teregistrasi. Lembaga maupun asesor yang tidak terdaftar oleh Komisi Akreditasi tidak berhak melakukan verifikasi menggunakan SVLK. SVLK memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembagalembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Hal ini untuk menjamin proses dalam system ini terbuka dan kegiatan verifikasi dapat diketahui oleh semua pihak sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional maupun internasional. Seluruh lembaga dan badan tersebut memperoleh mandate dari Kementrian Kehutanan, kecuali Lembaga Pemantau yang hanya mendaftarkan di Kementrian Kehutanan. Selama ini dalam Kementrian Kehutanan yang menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan adalah Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk Lembaga Penyelesaian Keberatan (LPK) yang juga merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Lembaga
60
Pemantau (LP) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang telah memiliki badan hukum Indonesia hanya cukup mendaftar sebagai LP untuk SVLK di BP. Untuk Lembaga Akreditasi, Menteri Kehutanan mempunyai hak prerogratif dalam memilih lembaga Akreditasi ini. Pada saat ini Lembaga Akreditasi yang ada untuk Pengelolaan Hutan di Indoesia adalah Lembaga Ekolable Indonesia (LEI). Selain LEI, lembaga lain yang berhubungan dengan Akreditasi Produk Kayu adalah Komisi Akreditas Nasional (KAN). Namun siapa yang menjadi Lembaga Akreditasi ini akan menjadi wewenang Menteri.
d. Kekuatan Hukum dari SVLK SVLK diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia. Namun bagi unit manajemen yang telah mendapatkan sertifikasi lacak balak (Chain of Custody/CoC) maka implementasi SVLK bersifat voluntary, karena unit manajemen telah memenuhi aspek keterlacakan asal usul kayu dan legalitas, bahkan lebih dari itu telah memenuhi asas kelestarian hutan. Yang patut menjadi perhatian adalah apabila pihak pengusaha kayu yang harus membayar atas jasa terhadap proses verifikasi ini kepada pemerintah, maka bayaran atas jasa tersebut kepada pemerintah tidak akan langsung diterima oleh Kementrian Kehutanan akan tetapi melalui prosedur sebagaimana pada mekanisme PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yaitu melalui Kementrian Keuangan. Dengan birokrasi yang seperti demikian, alokasi dan jumlah yang diterima bisa berkurang bahkan dapat digunakan untuk kepentingan lain sehingga tidak sesuai dengan pioritas program dari Kementrian Kehutanan sehingga anggaran disinyalir tidak digunakan untuk kepentingan pembiayaan sertifikasi. Proses verifikasi menghasilkan suatu dokumen sertifikasi SVLK yang menunjukkan legalitas produk kayu dari unit manajemen bersangkutan telah diverifikasi pada periode tertentu (selama 3 tahun). Namun dokumen sertifikasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai bukti legalitas produk kayunya. Apabila suatu unit manajemen yang telah memperoleh sertifikasi dari sisten verifikasi legalitas kayu kemudian pada suatu saat ternyata peredaran produk kayu
61
bersangkutan tidak disertakan dokumen-dokumen kayu maka produk kayu dari unit manajemen bersangkutan diindikasikan tidak legal (illegal). Dokumen sertifikasi tersebut dengan sendirinya tidak dapat digunakan oleh unit manajemen bersangkutan untuk dipakai sebagai bukti legalitas bahan produknya. Dokumen sertifikasi tersebut hanya membuktikan bahwa pada periode tertentu keabsahan legalitas produk kayu dari unit manajemen telah diverifikasi. Dokumen sertifikasi tersebut lebih berguna untuk kepentingan pasar yaitu untuk meyakinkan kepada pembeli bahwa legalitas kayu yang telah dijual telah dilakukan verifikasi. Apabila dalam proses peradilan ternyata unit manajemen dinyatakan bersalah, maka dokumen sertifikasi SVLK pada unit manajemen tersebut menjadi batal atau dibekukan oleh Kementrian Kehutanan. Namun karena sistem verifikasi bersifat mandatory dan akan berlaku secara nasional, maka bagi pengusaha kayu yang belum mendapatkan sertifikasi, keabsahan legalitas atas produk kayunya masih dipertanyakan. Walupun demikian, bukan berarti produk kayu tersebut tidak legal, namun besar kemungkinan produk tersebut tidak akan mendapat respon positif oleh pasar (karena legalitas produknya belum diverifikasi). Hal yang dikhawatirkan adalah pemikiran dan tindakan dari penegak hukum yang belum mengerti penuh sistem ini menganggap bahwa produk tersebut ilegal. Hal ini menuntut sosialisasi dari pihak Kementrian Kehutanan, agar kebijakan yang baru tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari rente ekonomi.
e. Revisi SVLK Ketentuan soal SVLK pada awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.38/Menhut-II/2009. Melalui Permenhut Nomor: P. 68/Menhut-II/2011 pemerintah merevisi peraturan SVLK bagi unit manajemen hutan alam, hutan tanaman, hutan hak/rakyat, industri primer dan industri lanjutan. Salah satu pokok perubahan yang diatur antara lain terkait dengan batas waktu pemberlakuan SVLK dimana terhadap IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, pemegang hak pengelolaan atau IUIPHHK diwajibkan untuk memiliki S-PHPL atau S-LK selambat-lambatnya tahun 2012. Sedangkan untuk IUI dan TDI, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor diwajibkan untuk memiliki S-
62
LK selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan ini diberlakukan. Selain itu Permenhut ini juga mengatur penerbitan dokumen V-Legal sebagai pengganti dokumen endorsment, dimana bagi pemegang SLK maka V-Legal diterbitkan oleh LVLK sedangkan bagi yang belum memiliki SLK, V-Legal diterbitkan berdasarkan inspeksi per shipment. Selain itu pemerintah juga merevisi Pedoman dan Standar Verifikasi Legalitas Kayu dengan diterbitkannya Perdirjen BUK Nomor. P.08/VI-BPPHH/2011 tanggal 30 Desember 2011. Banyak terjadi perubahan pada pedoman dan standar yang baru ini, mulai dari penambahan verifier mencakup K3 dan Ketenagakerjaan, perubahaan tata waktu sertifikasi, diakomodirnya eksportir non produsen dalam skema SVLK serta dari sisi kelembagaan adanya LIU (License Information Unit) sebagai pusat data untuk sertifikasi legalitas kayu.
SKEMA SVLK
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Regulator) KELUHAN
KOMITE AKREDITASI NASIONAL (KAN) BANDING
SERTIFIKAT AKREDITASI
Independent Monitoring (JPIK) KELUHAN
AKREDITASI PENERBITAN
LPPHPL / LVLK PERMOHONAN
AUDIT
S - PHPL S - LK
DOKUMEN V-Legal (FLEGT License)
BANDING
PELAKU USAHA
LIU SILK
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012 Gambar 11. SVLK dari Sisi Kelembagaan Revisi mencakup: (1) Sisi ruang lingkup tambahan cakupan verifikasi mencakup IUIPHHK, IUI, Industri RT, Pengrajin dan pedagang ekspor. Untuk pengrajin dan pedagang 63
diakomodir melalui skema group sertifikasi, sedangkan untuk pedagang ekspor diakomodir melalui ETPIK non produsen yang masih digagas implementasinya. Selain itu khusus untuk industri terdapat mekanisme konsultasi publik sebelum pelaksanaan audit meskipun pelaksanaannya dapat dilakukan selama ada permintaan dari pihak terkait. (2) Sisi publikasi, tata waktu audit menjadi lebih lama dari yang sebelumnya hanya publikasi 7 hari menjadi 14 hari dengan selang waktu pengajuan publikasi 10 hari di website Kemenhut sehinggo total waktu untuk publikasi menjadi 24 hari. Tata waktu untuk sertifikasi sebagaimana digambarkan pada skema berikut:
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012 Gambar 12. Tata Waktu Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu
(3) Sisi sertifikat, tidak lagi terdapat pengidentifikasian menggunakan warna pada sertifikat Legalitas Kayu yang diterbitkan. Sebagaimana sebelumnya diatur terdapat 5 warna yang membedakan sumber bahan baku yang digunakan. (4) Sisi pelaksanaan verifikasinya sendiri terdapat kewajiban untuk melakukan penelusuran atas bahan baku yang digunakan dengan ketentuan, jika sumber bahan baku belum bersertifikast LK/PHPL, dilakukan penelusuran satu langkah kebelakang dapat melalui surat dan/atau verifikasi langsung ke pemasoknya. Jika ada subkon/ kerjasama produksi maka perlu ditelusur bahwa subkon/ supplier beroperasi secara sah
64
Selain itu sanksi atas pemenuhan ketentuan bagi pemegang S-LK diatur lebih jelas, yaitu S-LK dibekukan apabila : tidak bersedia dilakukan penilikan sesuai tata waktu yang ditetapkan dan atau terdapat temuan ketidaksesuaian sebagai hasil audit tiba-tiba. S-LK dicabut apabila : tetap tidak bersedia dilakukan penilikan setelah 3 (tiga) bulan sejak penetapan pembekuan sertifikat, secara hukum terbukti membeli dan/atau menerima dan/atau menyimpan dan/atau mengolah dan/atau menjual kayu illegal, pemegang izin kehilangan haknya untuk menjalankan usahanya atau izin usaha dicabut. Sedangkan tahapan verifikasi legalitas kayu dapat di jelaskan berdasarkan bagan dibawah ini:
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012 Gambar 13. Tahapan Verifikasi Legalitas Kayu
65
Penelurusan / konfirmasi hanya sampai 1 tahap ke belakang Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012 Gambar 14. Penelusuran Bahan Baku Verifikasi Legalitas Kayu di industri primer
Penelurusan / konfirmasi hanya sampai 1 tahap ke belakang Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012 Gambar 15. Penelusuran Bahan Baku Verifikasi Legalitas Kayu di Industri Lanjutan
Selain negara tujuan ekspor dan pintu keluar, diperlukan suatu unit pendataan ekspor kayu. Oleh karena itu pemerintah membentuk License Information Unit (LIU) yang menangani pendataan ekspor kayu. Badan itu akan menggantikan "pintu" ekspor kayu olahan atau woodworking maupun kayu lapis atau plywood yang selama ini melalui Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Kementerian Kehutanan sudah mengembangkan sistem online pengelolaan informasi terkait penerbitan
66
Dokumen V-Legal yang siap dioperasikan di akhir tahun 2012. Sistem ini akan dijalankan oleh Unit Pengelolaan Informasi Verifikasi Legalitas Kayu atau Lincense Information Unit (LIU) yang berpusat di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementrian Kehutanan. Sistem online ini akan menggantikan mekanisme endorsement ekspor kayu dan produk kayu oleh Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Pada 1 Agustus 2012, LIU resmi terbentuk dan 1 Oktober 2012 resmi beroperasi. LIU akan melakukan uji coba sistem pencatatan ekspor selama dua bulan, sehingga selama masa percobaan itu, ekspor woodworking dan plywood masih menjadi kewenangan BRIK. LIU
juga langsung terhubung dengan sistem
INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor. Sedangkan BRIK sendiri adalah lembaga yang berdiri sejak 2002. Lembaga ini bertugas mengelola dokumen ekspor bagi produk wood-working maupun plywood. Melayani 600 perusahaan kayu, BRIK harus diubah karena belum bisa mengakomodasi tuntutan konsumen luar negeri tentang asal muasal kayu. BRIK juga hanya bertugas mengelola "pintu" ekspor produk woodworking dan plywood, sementara untuk pulp and paper serta furnitur langsung ke bea cukai. LIU akan menjadi pintu untuk seluruh ekspor produk kayu, sehingga perusahaan yang mempunyai SVLK bisa dengan mudah melakukan ekspor.
4.3. Infrastruktur Standar dan Mutu Produk 4.3.1. Badan Standarisasi Nasional Indonesia pada tahun 2025 memiliki visi “Mewujudkan masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Untuk mencapai visi tersebut, pemerintah melakukan kegiatan transformasi percepatan pembangunan ekonomi yang tersusun dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI menyusun strategi yaitu (1) pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, (2) penguatan konektivitas nasional, (3) penguatan kemampuan SDM dan IPTEK nasional. Pengembangan 6 (enam) koridor mempertimbangkan potensi ekonomi dan difokuskan pada 8 (delapan) program
67
utama yaitu pertanian, pertambangan, energi, industrim kelautan, pariwisata, dan telematika serta pengembangan kawasan strategis yang dijabarkan dalam 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Keenam koridor tersebut yaitu: (1) koridor Sumatera, (2) koridor Jawa, (3) koridor Kalimantan, (4) koridor Sulawesi, (5) koridor Bali-Nusa Tenggara, dan (6) koridor Papua – Kepulauan Maluku. Gerakan Nasional Penerapan (GENAP) SNI dilakukan untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yaitu melalui peningkatan daya saing dengan (1) menjamin ketersediaan SNI, (2) mendukung ketersediaan LPK, (3) fasilitasi penyiapan, notifikasi, dan implementasi regulasi teknis berbasis SNI serta (4) edukasi publik. Badan Standarisasi Nasional (BSN) menerapkan dan mengembangkan SNI yang selaras dan disesuaikan dengan produk unggulan di tiap wilayah koridor ekonomi. Salah satu penerapan dan pengembangan SNI yang selaras dan disesuaikan dengan produk unggulan di tiap wilayah koridor ekonomi adalah produk kakao. Produk Kakao merupakan salah satu potensi produk utama pertanian di koridor Sulawesi. SNI terkait produk kakao umumnya mengatur persyaratan mutu. Selain persyaratan mutu, diatur pula cara produksi dan pemrosesan produk kakao secara higienis. Dalam penerapan SNI baik voluntary maupun wajib kaitannya dengan perdagangan perlu tersedia infrastruktur agar penerapan SNI berlangsung taat azas, sesuai dengan tata cara yang berlaku baik di tingkat internasional maupun nasional. Infrastruktur dapat berupa kebijakan yang tertuang dalam peraturan perundangan maupun ketersediaan lembaga penilaian kesesuaian. Berdasarkan data BSN, hingga bulan Agustus 2012 terdapat 17 judul SNI terkait kakao, 80 lembaga penilaian kesesuaian yang tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Jayapura serta 3 regulasi teknis terkait kakao. Pengelompokan SNI terkait kakao berdasarkan ICS (International Classification of Standards) adalah sebagai berikut:
68
Tabel 11. Jumlah Pengelompokkan Produk yang ber-SNI a. 65.060 Mesin, perkakas, dan peralatan pertanian 1 2 3 4 5 6 7
SNI 7465:2008
Mesin Sangrai kopi dan kakao tipe silinder datar berputar - Syarat mutu dan cara uji SNI 7467: 2008 Mesin pengering kopi dan kakao tipe bak datar – Syarat mutu dan cara uji SNI 7693: 2011 Peti fermentasi biji kakao – Syarat mutu dan metode uji SNI 7694: 2011 Mesin Pemecah buah dan pemisah biji kakao – Syarat dan Metode uji SNI 02-1185- Mesin cuci biji coklat - Cara uji unjuk kerja 1989 SNI 7602: 2010 Mesin sortasi biji kakao meja getar – Unjuk kerja dan metode uji SNI 02-1184- Alat pengering biji coklat tipe bak – Cara Uji unjuk 1989 kerja b. 67.100 Susu dan produk susu
8 9
SNI 3752: 2009 Susu coklat bubuk SNI 01-4293- Coklat susu 1996 c. 67.140. Teh. Kopi, Kakao
10 11 12 13 14 15
SNI 2323:2008 SNI 2323:2008/ Amd1:2010 SNI 3747:2009 SNI 3748:2009 SNI 3749:2009 SNI 7553:2009
Biji Kakao Biji Kakao Amandement 1 Kakao Bubuk Lemak Kakao Kakao Massa Bungkil Kakao
d. 67.190. Cokelat 16 17
SNI 01-42921996 SNI 01-44581998
Cokelat Butir Pasta Cokelat
Berdasarkan data BSN, lembaga penilaian kesesuaian produk kakao di Indonesia terdiri dari (1) Laboratorium Penguji, (2) Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu, (3) Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, (4)
69
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan (LSSMKP) (belum tersedia), (5) Lembaga Sertifikasi Sistem Hazard Analysis and Critical Control Point, (6) Lembaga Sertifikasi Produk. Secara detil lembaga penilaian kesesuaian produk kakao adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Laboratorium Penguji No.
No LPK
Laboratorium Penguji
1
LP 003 IDN
Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang Propinsi Sulawesi Selatan PT. PAN Asia Superintendence Cooperation Cabang Sulawesi Selatan Laboratorium Sentral Operasi Cibitung, PT Sucofindo (Persero) Balai Pengujian Mutu Barang Jakarta
2
LP 008 IDN
3
LP 024 IDN
4
LP 025 IDN
5
LP 028 IDN
6
P 031 IDN
7
LP 057 IDN
PT. Sucofindo (Persero) Cabang Laboratorium Surabaya UPT Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang Provinsi Riau Balai Besar Industri Agro Bogor
8
LP 067 IDN
MBRIO Food Laboratory Bogor
9
LP 110 IDN
10
LP 114 IDN
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar, Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Makassar Balai Besar Kimia dan Kemasan Jakarta
11
LP 125 IDN
12
LP 132 IDN
13
LP 133 IDN
14
LP 139 IDN
15
LP 173 IDN
16
LP 178 IDN
17
LP 220 IDN
18
LP 243 IDN
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Jogjakarta Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Semarang Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Surabaya Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Denpasar Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Bandung Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Jakarta Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang Medan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Banjarmasin
70
19
LP 244 IDN
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Jayapura Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Palangkaraya Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Bengkulu Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Ambon
20
LP 278 IDN
21
LP 290 IDN
22
LP 291 IDN
23
LP 337 IDN
24
LP 354 IDN
25
LP 377 IDN
26
LP 458 IDN
27
LP 459 IDN
28
LP 471 IDN
29
LP 481 IDN
30
LP 512 IDN
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Bandar Lampung UPTD Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang Prov Aceh Laboratorium Cabang Makassar, PT Sucofindo
31
LP 513 IDN
PT Geoservices Bontang
32
LP 534 IDN
33
LP 553 IDN
34
LP 592 IDN
UPT Penguji dan Sertifikasi Mutu Barang Prov Sulteng UPT Penguji dan Sertifikasi Mutu Barang Prov Bali Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
35
LP 599 IDN
36
LP 606 IDN
37
LSPr 008 IDN
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Ambon BPSMB Surabaya
38
LSSHACCP 002 IDN
Embrio Biotekindo, PT. Bogor
39
LSSHACCP 004 IDN
Lab Terpadu – IPB (ILFA)
40
LSPr 004 IDN
Pustan Kementrian Perindustrian
41
-
42
-
Balai Besar Industri Hasil Hutan dan Perkebunan (BBIHP) Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri Padang
Balai Pengawasan dan Pengkajian Mutu Benih Perkebunan Surabaya Balai Pengawasan dan Pengkajian Mutu Benih Perkebunan Sumut PT Beckjorindo Paryaweksana Makassar Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang Provinsi Lampung Balai Besar Karantina Pertanian Makassar
71
Tabel 13. Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu No.
No LPK
1
LSSM-001-IDN
2
LSSM-002-IDN
3 4 5
LSSM-003-IDN LSSM-005-IDN LSSM-007-IDN
6
LSSM-008-IDN
7 8 9 10 11 12
LSSM-012-IDN LSSM-015-IDN LSSM-016-IDN LSSM-019-IDN LSSM-021-IDN LSSM-024-IDN
13
LSSM-029-IDN
14
LSSM-031-IDN
15 16
LSSM-035-IDN LSSM-036-IDN
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu Balai Besar Bahan dan Barang Tehnik-Quality System Certification (B4T-QSC) PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo International Certification Services Agrobase Industry Quality Assurance (ABIQA) Yogya Quality Assurance (YOQA) Balai Industri Semarang Quality Assurance (BISQA) PT. Mutuagung Lestari Quality Assurance (MALQA) PT. SGS Indonesia PT. TUV Rheinland Indonesia PT. TUV NORD Indonesia PT. TUV SUD PSB Indonesia PT. Bureau Veritas Indonesia Baristand Industri Palembang Quality Assurance (BIPQA) Integrated Laboratory Quality Assurance (ILQAIPB) PT. Lyod’s Register Indonesia (LSSM LRQA Jakarta) LSSM Surabaya VRC Service Inc
Tabel 14. Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan No.
No LPK
1
LSSML-001-IDN
2
LSSML-002-IDN
3
LSSML-004-IDN
4
LSSML-005-IDN
5 6 7 8
LSSML-007-IDN LSSML-008-IDN LSSML-010-IDN LSSML-011-IDN
Laboratorium Penguji PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo International Certification Services PT. Mutuagung Lestari Environmental System Certification (MALECO) Jogya Environmental Certification Assurance (JECA) Baristand Indag Environmental Management Assurance (BRISEMA) PT. SGS Indonesia PT. TUV NORD Indonesia PT. TUV Rheinland Indonesia PT. Bureau Veritas Indonesia
72
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan (LSSMKP) belum tersedia
Tabel 15. Lembaga Sertifikasi Sistem Hazard Analysis and Critical Control Point No.
No LPK
1
LSSHACCP-001-IDN
2 3 4 5
LSSHACCP-002-IDN LSSHACCP-004-IDN LSSHACCP-006-IDN LSSHACCP-007-IDN
6
LSSHACCP-008-IDN
Laboratorium Penguji PT. Mutuagung Lestari Environmental System Certification (MALECO) PT. Embrio Biotekindo Laboratorium Terpadu-IPB (ILFA-IPB) ABIHACCP SBU Sucofindo International Certification Services PT. TUV Rheinland Indonesia
Tabel 16. Lembaga Sertifikasi Produk No.
No LPK
1 2
LSPr-001-IDN LSPr-022-IDN
3 4 5 6 7 8
LSPr-032-IDN LSPr-036-IDN LSPr-004-IDN LSPr-010-IDN LSPr-018-IDN LSPr-021-IDN
Laboratorium Penguji Pusat Pengujian Mutu Barang PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo International Certification Services BPPMB Makassar CCQC Pustan Kemenprind ABI-Pro, Balai Besar Industri Agro BBIHP Makassar Chempack, Balai Besar Kimia dan Kemasan
Pengelompokan SNI terkait kayu lapis berdasarkan ICS (International Classification of Standards) adalah sebagai berikut: Tabel 17. Jumlah Pengelompokkan Produk Kayu Lapis yang ber-SNI a. ICS 01.040.79 Teknologi kayu (Kosakata) 1 SNI ISO Kayu lapis - Istilah dan definisi (Plywood- Vocabulary 2074:2008 (ISO 2074:2007, IDT) b. ICS 79.040 Kayu, batang kayu gergajian dan gergajian 2 SNI 7731.1:2011 Kayu lapis indah jenis jati - Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan c. ICS 79.060 Panel kayu 3 SNI 7630:2011 Kayu lapis - Toleransi dimensi
73
d. ICS 79.060.01 Panel kayu secara umum 4 SNI ISO Kayu lapis – Klasifikasi 1096:2010 5 SNI ISO 12466Kayu lapis - Mutu 1:2010 6 ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - mutu perekatan - Bagian 2: Persyaratan
e. ICS 83.180 Perekat (SNI perekatan - Bagian 1: Cara uji) 7 SNI 06-0060Urea formaldehida cair untuk perekat kayu lapis 1998 8 SNI 06-0121Perekat fenol formaldehida cair untuk kayu lapis 1987 9 SNI 06-0163Melamin urea formaldehida cair untuk perekat kayu 1998 lapis 10 SNI 13-4237Mutu dan cara uji kaolin bahan pengisi perekat kayu 1996 lapis 11 SNI 01-4239Mutu dan cara uji tepung tempurung kelapa untuk 1996 pengisi perekat kayu lapis 12 13
SNI 06-45671998 SNI 06-48971998
Fenol formaldehida cair untuk perekat kayu lapis Urea formaldehida bubuk untuk perekat kayu lapis
f. ICS 87.040 Cat dan pernis 14 SNI 06-4564Dempul untuk kayu lapis 1998 15 SNI 15-4752Mutu dan cara uji kalsit untuk bahan pengisi dempul 1998 kayu lapis g. ICS 79.060.10 Kayu lapis 16 SNI 01-2024-1990 Kayu lapis cetakan beton 17 SNI 01-2025-1996 Kayu lapis indah dan papan blok indah 18 SNI 01-4240-1996 Kayu lapis alas peti kemas 19 SNI 01-4448-1998 Kayu lapis bermuka film 20 SNI 01-5008.2-2000 Kayu lapis penggunaan umum 21 SNI 01-5008.7-1999 Kayu lapis struktural 22 SNI 01-5010.2-2002 Pendukung di bidang kehutanan - Bagian 2: Pengemasan dan penandaan kayu lapis 23 SNI 01-6123-1999 Cara uji kerapatan kayu lapis 24 SNI ISO 2426.1:2008 Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 1: Umum (Classification by surface appearance - Part 1: General (ISO
74
25
SNI ISO 2426.2:2008
26
SNI ISO 2426.3:2008
27 28
SNI 01-7201-2006 SNI 01-7211-2006
2426.1:2000, IDT)) Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 2: Kayu daun lebar (Classification by sun'ace appearance - Part 2: Hardwood (ISO 2426-2:2000, IDT)) Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 3: Kayu daun jarum (Classification by surface appearance - Part 3: Softwood (ISO 2426-3:2000, IDT)) Kayu lapis dan papan blok bermuka kertas indah Kayu lapis untuk kapal dan perahu
Tabel 18. Lembaga Penguji dan Lembaga Sertifikasi Produk No.
No LP
1 2 3 4 5 6
LSPr-004-IDN LP 013 IDN LP 001 IDN LP 057 IDN LP 025 IDN LP 485 IDN
7
LSSM-030-IDN
Laboratorium Penguji Pustan Kemenprind PT. Mutu Agung Lestari Samarinda Laboratorium Penguji - PT. Mutuagung Lestari Balai Besar Industri Agro Balai Pengujian Mutu Barang Jakarta UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang Provinsi Sumatera Selatan Handicraft and Batik Quality Assurance (CRAFTIQA) Balai Besar Kerajinan dan Batik
4.3.2. Metrologi, Pengujian dan Sertifikasi Kasus: 1. PT Mutuagung Lestari Indept interview dilakukan pada salah satu laboratorium penguji yaitu pada PT.Mutuagung Lestari. Secara deskriptif lingkup uji yang dapat dilakukan oleh PT Mutuagung Lestari adalah sebagai berikut: No. LPK
: LP 001 IDN
Nama
: Laboratorium Penguji - PT. Mutuagung Lestari
Alamat
: Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis
Kota
: KOTA DEPOK
Propinsi
: JAWA BARAT
Kode Pos
: 16593
Telepon
: 021-8740202
75
Fax
: 021-87740745-46
Kontak
: Budi Tjahyono Dian Harini, B.Sc.; Leli Nurlaeli; Andri Zaenal
Person
Sadikin, S.Si.; Faiz El Makky
Email
:
[email protected]
Website
: http://mutucertification.com
Lingkup
: Kayu lapis (playwood),venir lamina (laminated veneer lumber),
(B.Indonesia) kayu lamina (glue laminated timber), lantai kayu (flooring), papan partikel (particleboard), papan serat (fibreboard), kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis cetakan beton, kayu lapis struktural, pupuk tripel superfosfat/TSP, pupuk amonium sulfat, pupuk, amonium klorida, pupuk SP 36, pupuk fosfat alam untuk pertanian, pupuk tripel superfosfat plus Zn, pupuk NPK padat, pupuk dolomit, pupuk kalium klorida, pupuk mono amonium/MAP, pupuk urea ammonium fosfat/UAP, pupuk diamonium fosfat, pupuk SP 36 plus Zn, pupuk cair sisa protein asam amoni (sipramin), pupuk urea, air dan air limbah,jarinagan Tanaman,Ikan dan Produk Perikanan. Gambar 16 menunjukkan tahapan untuk melakukan uji laboratorium pada PT Mutu Agung Lestari. Tahapan tersebut menjelaskan bagaimana suatu perusahaan melakukan permohonan uji laboratorium dimana tahap pertama mengajukan sampel yang akan diuji sampai dengan tahap akhir perusahaan memperoleh hasil uji. Sedangkan tabel 19 menunjukkan parameter-parameter produk kayu lapis yang akan diuji oleh PT Mutu Agung Lestari. Lebih lanjut lagi pada tabel 20 khusus untuk parameter-parameter LVL yang dapat diuji pada PT Mutu Agung Lestari.
76
Pelanggan
Sampel
PT MUTUAGUNG LESTASI UJI-201 HANDLING OF TEST ITEM ISSUED No. :7 REVISION No. :0 ISSUED DATE : Januari 3, 2011 PAGE : 11 dari 12 Laboratorium Penguji Mutu Certification Sampel Administrasi Koord. Lab. Uji PPC Teknisi/Analis Manajer Preparasi Pendataan Informasi ke pelanggan jika tidak dapat diuji
Permintaan sampling
Kaji ulang permintaan
Sampel kayu
Pemotongan sampel kayu
Pengujian
Sampel non kayu
Kaji ulang permintaan & Penjadwalan sampling
Pelaksanaan sampling
Pendataan Penyalinan & pembuatan laporan hasil uji
Pemeriksaan data primer
Data primer
Pemeriksaan laporan
Laporan hasil uji asli
Penggandaan, distribusi ke pelanggan & penyimpanan file
hasil uji
Pemeriksaan pengesahan laporan hasil uji
Gambar 16. Mekanisme Permohonan Sertifikasi Uji Mutu pada Laboratorium Pengujian Mutu PT Mutuagung Lestari 77
Tabel 19. Parameter yang Diuji pada Produk Kayu Lapis di Laboratorium Pengujian Mutu PT Mutuagung Lestari Parameter Moisture Content Delamination Bonding Strength Formaldehyde Emission Cyclic Cryogenic and heat treatment Flat Plane Tensile Water Resistance Color Fading Abrasive Scratch Hardness Impact test Stain Resistance Alkali Resistance Moist Heat Test Acid Resistance Thiner resistance Bending Bending stiffness Panel Shear Insect Control Treatment Hygroscopic property Incombustibility Gas Toxic Property Non flammability
OP T1/T2 √ √ √
Nat.Wood Dec Ply T1/T2 √ √
Specially Processed Docorative Plywood F FW W SW √ √ √ √ √ √ √ √
CP T1
SP T1/TS √
Reg. √
Finish √ √
√ √ Only for product marking √ B
√ A √ A A A A A √ √ √ √
√ B √ B B B B B
√ C √ C B C
√ D √ D B
Class 1 Class 2 Class 1 Only for those marked as an insect control treatment is made
C √
√
√
Only for those marked as an incombustible treatment is made Only for those marked as an incombustible treatment is made
78
Tabel 20. Parameter yang Diuji untuk Sertifikasi LVL Parameter Warm Water Delamianation test
LVL for fixture
SLVL
√
Cold Water Delamination Test
√
Boiling Water Delamination Test
√
MC
√
√
LFE
√
√
Horizontal shear test
√
Bending test
√
Block shear strength cyclic cold and heat test Insect resistance
secondary adhesion decorative prosessing surface Insect control treatment
79
Kasus: 2 Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB) Salah satu laboratorium yang melakukan peran kalibrasi adalah Balai Kalibrasi PPMB Menjamin Ketertelusuran Pengukuran Balai Kalibrasi, Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB) yang bergerak dalam bidang metrologi industri merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nomor akreditasi KAN LK-008-IDN yang memberikan pelayanan di bidang kalibrasi alat ukur besaran kepada masyarakat maupun dunia usaha. Balai kalibrasi PPMB bekerja secara profesional dan selalu meningkatkan mutu pelayanan kalibrasi secara berkesinambungan dengan mengacu pada ISO/IEC 17025-2005 untuk menunjang daya saing dalam perdagangan nasional maupun internasional. Balai Kalibrasi PPMB terus melakukan pengembangan ruang lingkup dan rentang ukur guna memenuhi kebutuhan dunia bisnis dan industri. Hingga akhir tahun 2009, Balai Kalibrasi PPMB telah mendapat akreditasi untuk 12 besaran (tabel 21).
Tabel 21. Besaran Parameter yang di Uji oleh Balai Kalibrasi PPMB, Tahun 2009 No. Besaran 1 Temperatur (Suhu)
2 3
Massa Dimensi (Panjang)
4
Volumetrik
5 6 7 8 9 10 11 12
Densitas Tekanan Gaya Torsi Kekerasan Waktu Rotasi Instrumen Analitik
Instrumen yang dapat dikalibrasi Oven, Incubator, Muffle Furnace, Refrigerator, LIG thermometer, Termometer sensor, Dryer, Autoclave, Thermometer platina, Termokopel, Thermohygrometer Timbangan dan Anak timbangan Micrometer, Caliper (vernier, digimatic), Dial indicator, Steel ruler, Gauge Block, dll Labu ukur, piknometer, pipet gondok, pipet skala, pipet mikro, gelas ukur,trap, titrator, dll Hydrometer Pressure Gauge, Vacuum Gauge Tensile Machine, Push/pull Gauge Torquemeter/Torque wrenches Hardness durometer Stopwatch, Timer Rpm meter (centrifuge, tachometer, dll) pH meter, conductivity meter, UV/VIS spectrophotometer, Repractometer, Polarimeter
80
Pada tahun 2010 ini, Balai Kalibrasi PPMB telah berhasil menambah ruang lingkup akreditasi untuk besaran kelistrikan dan dua instrumen untuk besaran Panjang (Dimensi). Semua besaran yang diusulkan tersebut telah memenuhi semua persyaratan KAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 22.
Tabel 22. Besaran Parameter Tambahan yang di Uji oleh Balai Kalibrasi PPMB, Tahun 2010 BESARAN JENIS ALAT KAPASITAS AC/DC Amperemeter
0 ~ 10 A
AC/DC Voltmeter
0 ~ 1000 V
Ohmmeter
0 ~ 4000 W
Panjang
Saringan Kawat (Sieve wire)
0 ~ 325 mesh
(Dimensi)
Siku (Square)
0 ~ 270°
Kelistrikan (electrical)
Agar memberikan jaminan atas hasil pengukuran dan pengujian, Balai kalibrasi PPMB didukung oleh peralatan standar yang memiliki tingkat akurasi dan presisi tinggi. Semua peralatan ini selalu terkalibrasi dan tertelusur ke Satuan Internasional (SI) melalui KIM-LIPI selaku Lembaga Metrologi Nasional (LMI) di Indonesia. Beberapa peralatan standar tersebut diantaranya precision oil-bath, superthermometer, electronic micro-balance (ketelitian 1 μg) dan semi micro-balance (ketelitian 0,01 mg), dan pressure controller/calibrator. Peralatan tersebut ditujukan agar dapat memberikan hasil pengukuran yang akurat dan presisi sehingga dapat mendorong dunia usaha dan industri untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki daya saing yang tinggi.
81
Gambar 17. (a) Precision oil-bath, (b) Super-thermometer, (c) Electronic micro- balance, (d) Pressure controller/calibrator
Balai kalibrasi PPMB terus juga memperbaiki kemampuan kalibrasi dan pengukuran atau Calibration Measurement Capability (CMC) laboratorium kalibrasi. CMC adalah ketidakpastian terkecil yang dapat dicapai oleh laboratorium pada ruang lingkup akreditasinya, dalam melakukan kalibrasi rutin standar pengukuran yang mendekati ideal yang digunakan untuk mendefinisikan, merealisasikan, memelihara atau mereproduksi suatu satuan dari besaran ukur tersebut atau satu atau lebih nilai-nilainya; atau peralatan ukur yang mendekati ideal yang digunakan untuk mengukur besaran ukur tersebut. Dengan nilai CMC yang sangat kecil, menunjukkan bahwa pengukuran yang dilakukan oleh Balai Kalibrasi PPMB memiliki tingkat akurasi dan presisi yang tinggi sehingga meningkatkan nilai jual jasa kalibrasi yang diberikan.
82
Peningkatan pelayanan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kemampuan teknis dalam hal pengembangan ruang lingkup merupakan suatu upaya bagi Balai Kalibrasi untuk terus memberikan pelayanan jasa kalibrasi yang berkualitas dalam meningkatkan perdagangan produk Indonesia di pasar internasional. Indept Interview untuk PPMB dilakukan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara singkat struktur organisasi BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut:
Ka. UPTD BPPMB Kasubag. Tata Usaha Kasie. Sertifikasi
Kasie. Kalibrasi & Standardisasi
Peraturan Gubernur No. 93 Tahun 2009
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 18. Struktur Organisasi BPPMB Dinas Perindustrian & Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Struktur organisasi BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan didasarkan atas Peraturan Gubernur No 93 tahun 2009, kedudukan paling tinggi adalah Kepala UPTD BPPMB yang membawahi Kepala Sub Bagian Tata Usaha untuk bagian administrasi. Sedangkan dari segi teknis membawahi Kepala Seksi Sertifikasi dan Kepala Seksi Kalibrasi dan Standarisasi.
83
UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (BPPMB) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas dinas dalam rangka pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis (pengamanan mutu barang), perawatan barang dan gudang (fumigasi, spraying, fogging), penimbangan (uji volume), kalibrasi, sertifikasi produk serta memberikan pembinaan standardisasi dalam rangka peningkatan mutu kepada para eksportir, eksportir produsen, pedagang pengumpul, petani, dunia usaha lainnya dan koordinasi teknis peningkatan mutu barang dengan lembaga lembaga terkait lainnya, dipimpin oleh kepala UPTD berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Manajemen Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan memberikan pelayanan pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI yang mengutamakan mutu dan kepuasan pelanggan serta menjamin bahwa pekerjaan pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI dilaksanakan dengan kejujuran teknis, teliti, cepat, tepat dan akurat serta efisien dalam menggunakan sumberdaya. Untuk itu segala kegiatan pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI selalu dilaksanakan berdasarkan Sistem Manajemen Mutu yang sesuai dengan ISO/IEC 17025: 2005 dan ISO / IEC 65 : 1996 guna memberikan jaminan konsistensi kompetensi teknis pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI dalam lingkup kegiatannya. Sistem Manajemen Mutu Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan dituangkan dalam panduan mutu, prosedur dan instruksi kerja yang didokumentasikan, dimengerti dan dilaksanakan oleh semua personil secara profesional. Visi BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan adalah “Terdepan dalam Pengelolaan Penilaian Kesesuaian Mutu”. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut: 1. Menerapkan sistem manajemen mutu ISO / IEC 17025 : 2005 :
persyaratan
umum kompetensi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi dan ISO / IEC 65 : 1996 : Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Produk secara konsisten dan berkelanjutan;
84
2. Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan dan infrastruktur standardisasi 3.
Mengembangkan
dan
mengkoordinasikan
kebijakan
pengawasan
dan
pengendalian mutu barang yang efektif dan efisien; 4. Meningkatkan kerjasama dengan Lembaga Penilaian Kesesuaian di
dalam dan
luar negeri; 5. Meningkatkan pembinaan terhadap pelaku usaha dalam menjamin mutu barang sesuai dengan permintaan pasar; 6. Mewujudkan pelayanan publik yang baik (excellent service), terpercaya dan transparan; 7. Mewujudkan sumberdaya manusia aparatur yang potensial, integritas tinggi, profesional serta membangun system kelembagaan yang berbasis kompetensi. 8. Meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia yang profesional di bidang mutu barang. Untuk pelayanan sertifikasi, klien harus mengikuti tahap-tahap dari pembayaran retribusi, menyerahkan surat permohonan, pengambilan contoh, pengujian laboratorium, penerbitan sertifikasi sampai tahap akhir penyerahan sertifikasi oleh BPPM kepada klien. Alur mekanisme pelayanan sertifikasi dapat dilihat pada gambar 19.
85
MEKANISME PELAYANAN SERTIFIKASI
SURAT PERMOHONAN
PENGAMBILAN CONTOH
WAJIB RETRIBUSI PENGUJIAN LABORATORIUM
PENYERAHAN SERTIFIKAT
Wajib Retribusi menyerahkan: bukti pembayaran retribusi dari Bank Sulsel
PENERBITAN SERTIFIKAT
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian & Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 19. Mekanisme Pelayanan Sertifikasi BPPMB Dinas Perindustrian & Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Uji kalibrasi memiliki mekanisme tersendiri yang dapat dilihat pada gambar 20. Kalibrasi memiliki peran pada sifat ketertelusuran pengukuran. Ketertelusuran pengukuran adalah sifat hasil pengukuran yang dapat menghubungkannya dengan standar-standar nasional atau internasional melalui rantai perbandingan yang tidak terputus yang semuanya memiliki nilai ketidakpastian (uncertainty). Artinya, tujuan kalibrasi adalah menjamin ketertelusuran pengukuran hasil uji produk sehingga jaminan atas hasil dari pengukuran dan/atau pengujian dapat dipertanggung jawabkan. Manfaat kalibrasi mencakup antara lain untuk mendukung sistem mutu yang diterapkan di berbagai industri pada peralatan laboratorium dan produksi yang dimiliki, dan mengetahui seberapa jauh perbedaan (penyimpangan) antara nilai benar dengan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur.
86
MEKANISME PELAYANAN KALIBRASI PENYERAHAN ALAT
PERMOHONAN
PELANGGAN
KALIBRASI
PENYERAHAN ALAT DAN SERTIFIKAT Pelanggan menyerahkan: bukti pembayaran retribusi dari Bank Sulsel
PENERBITAN SERTIFIKAT
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 20. Mekanisme Pelayanan Kalibrasi BPPMB Disperindag, Provinsi Sulawesi Selatan Beberapa inovasi pelayanan yang diberikan untuk memberikan kepuasan pada klien dilakukan oleh BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan. Inovasi pelayanan yang dilakukan adalah pada pembayaran retribusi dan pengurangan persyaratan administrasi. Inovasi yang dilakukan pada pembayaran retribusi adalah pembayaran retribusi dapat dilakukan dengan menyetor langsung ke kas daerah Tk. I Bank Sulsel atau melalui transfer antar bank. Sedangkan pengurangan persyaratan administrasi antara lain: 1. Permintaan sertifikasi dapat disampaikan melalui telepon atau email. 2. Untuk penerbitan dokumen rekomendasi, eksportir atau dunia usaha cukup menunjukkan : a. Copy asli bukti setoran retribusi dari Bank Sulsel atau bukti transfer antar bank ke rekening kasda Tk. I Bank Sulsel. b. Copy asli Certificate of conformity atau Laporan Hasil Analisa (untuk keperluan ekspor) 87
3. Untuk pelayanan kalibrasi : a. Alat yang dikalibrasi dapat dilakukan di lokasi atau dijemput untuk dikalibrasi di Laboratorium BPPMB. b. Penyerahan alat dan sertifikat kalibrasi dapat diantar langsung kepada pelanggan
Beberapa hasil yang telah dicapai BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan antara lain: 1. Akreditasi Lab. Pengujian oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai ISO / IEC 17025 : 2005. 2. Akreditasi Lab. Kalibrasi oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai ISO / IEC 17025 : 2005. 3. Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai ISO Guide 65 1996. 4. Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 lingkup pelayanan sertifikasi dan kalibrasi. 5. Memperoleh penilaian tertinggi yaitu 94.70 pada kompetisi kinerja Unit Pelayanan Publik (UPP) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010. 6. Mewakili pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam lomba Citra Pelayanan Prima tingkat nasional Untuk mempertahankan hasil yang telah dicapai dan menuju perkembangan yang lebih baik ke depan, BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan menyusun rencana kerja untuk periode 2010-2013, yang mana untuk periode tahun ini masih berjalan. Rencana kerja BPPMB Disperindag, Provinsi Sulawesi Selatan untuk periode tahun 2010-2013: 1. Pengujian Mutu : Uji mutu untuk produk kakao, kopi, pala, fuli, gaplek, the hitam, karet konvensional, mete gelondong, mete kupas, rumput laut, beras, jagung, gabah, lada, vanili, semen, pupuk, cocoa powder, cocoa butter, cocoa cake, cocoa residu, AMDK, tepung terigu, garam beryodium, kabel, lampu swaballast, besi beton, baja
88
lembaran lapis seng dan ban. Sasarannya yaitu peningkatan mutu ekspor dan impor barang beredar serta meningkatkan penerimaan PAD 2. Sistem Resi Gudang Melaksanakan penilaian kesesuaian mutu sistem resi gudang komoditi jagung, gabah, beras, kakao, kopi, karet, lada dan rumput laut 3. Kalibrasi Memberikan Pelayanan jasa penilaian alat ukur yang ada pada perusahaan dan instansi pemerintah di wilayah Sulawesi Selatan maupun di kawasan timur Indonesia, meliputi bidang : a. suhu, b. massa, c. gaya, d.
dimensi,
e.
tekanan,
f.
optik,
g. volumetrik, h.
waktu / frekwensi,
i.
flowmeter,
j.
alat analisa,
k.
alat kelistrikan dan
l.
peralatan medis.
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 21. Pelayanan Jasa Kalibrasi
89
Dan pemasyarakatan serta pembinaan standardisasi dalam rangka peningkatan dan pengawasan mutu komoditi / produk dan peralatan ukur / produksi. 4. Sertifikasi Produk Sertifikasi dilakukan terhadap komoditi / produk SNI Wajib baik ekspor, impor maupun yang beredar di pasar meliputi : kakao, kopi, gaplek, AMDK, pupuk NPK, pupuk KCL, Cocoa Powder, Semen Potland dan Rumput Luat. Dalam rangka pengembangan dan peningkatan mutu ekspor, BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki beberapa program prioritas. Secara detil kegiatan prioritasnya dapat dilihat pada gambar 22.
PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN MUTU EKSPOR
Kegiatan Prioritas
:
1. Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB)
- Sebagai Kegiatan
2. Peningkatan Kapasitas Laboratorium Penguji
- Pelaksana Pengujian Mutu - Sistem Resi Gudang
3. Peningkatan Kapasitas Laboratorium Kalibrasi
- Kalibrasi
4. Pengembangan dan Penerapan Penilaian Kesesuaian SNILSPro
- Pengawasan Mutu Produk SNI Wajib (Sertifikasi Produk)
Supporting Pelayanan
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 22. Program Pengembangan dan Peningkatan Mutu Ekspor
90
4.4. Kebijakan Negara Tujuan Ekspor 4.4.1. Produk Ekspor Kakao Eropa menjadi pasar terbesar di dunia dengan sekitar 325 juta konsumen dan produk domestik bruto setingkat dengan Amerika Serikat. Dalam pasar tunggal Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE atau EU) ini berlaku pendekatan baru untuk mencapai harmonisasi dan standardisasi. Pendekatan baru ini dijadikan sebagai dasar hukum untuk pengaturan standar Eropa, selanjutnya dengan pusat perhatian untuk meletakkan persyaratan-persyaratan keselamatan yang harus dimiliki setiap produk guna menjamin perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat serta perlindungan hidup dan konsumen. Ketentuan persyaratan keselamatan tersebut dituangkan dalam pengarahan (directive) Dewan Menteri MEE untuk produk atau kelompok produk. Produsen barang harus memperhatikan dan menerapkan persyaratan keselamatan tersebut dalam setiap barang yang dihasilkannya. Masingmasing negara Eropa mempunyai standar nasional serta peraturan teknisnya sendirisendiri. Hal ini merupakan hambatan teknis dalam perdagangan antar negara Eropa sendiri Eksportir kakao, termasuk eksportir Indonesia apabila ingin memasuki pasar Eropa harus memperhatikan berbagai persyaratan pemerintah EU. Persyaratan tersebut meliputi standar mutu yang biasanya juga dikaitkan dengan persyaratan lingkungan, kesehatan, keamanan, ketenagakerjaan dan etika dalam berbisnis. Beberapa persyaratan yang diatur dalam regulasi maupun ketentuan umum harus dipenuhi eksportir kakao antara lain: 1. Regulasi European Communities (EC) No. 178/2002 yang mengatur prinsip umum dan persyaratan pangan. Regulasi EC No. 178/2002 bukan merupakan Undang-Undang dan hanya merupakan regulasi namun mengikat seluruh negara anggota UE. Oleh karena itu eksportir harus menyesuaikan persyaratan pangan yang telah ditetapkan oleh UE agar dapat memasuki pasar. 2. Directive 93/43/EEC yang berlaku efektif mulai 1 Januari 1996 berisi ketentuan umum mengenai higienis. Directive ini mengatur ketentuan mengenai keamanan pangan dan menjamin dilaksanakannya prosedur keamanan pangan yang sudah ditetapkan. Aktivitas perusahaan tersebut harus didasarkan pada sistem Hazard
91
Analysis Critical Control Point (HACCP). Berdasarkan Directive tersebut, setiap perusahaan bidang makanan (pengolah, kemasan, pengangkutan, distributor atau pedagang) di UE secara hukum terikat kepada sistem HACCP atau dengan kata lain seluruh mata rantai baik dari budidaya sampai ketangan konsumen menjadi tanggung jawab dari perusahaan makanan tersebut. HCCP perlu diketahui oleh eksportir karena industri makanan UE akan enggan melakukan bisnis dengan perusahaan pengolahan makanan di negara lain yang tidak melaksanakan ketentuan HACCP. Pelaksanaan ketentuan tersebut akan menyebabkan munculnya tambahan biaya, untuk mengikuti ketentuan UE disamping terdapatnya resiko penolakan akibat tidak lolosnya dari lembaga pengawas. 3. Council Regulation (EEC) 2029/91 adalah regulasi UE untuk produksi makanan organik dan labeling yang dapat dipasarkan di UE. 4. Council Regulation amandemen No. 1804/1999 mengenai ketentuan organik dan modifikasi genetik mensyaratkan bahwa Genetically Modified Organisms (GMOs) dan produk ikutannya tidak dapat menggunakan label seperti produk organic lainnya. Berdasarkan regulasi ini, maka produk organik yang menggunakan GMOs dan ingin memasuki pasar UE akan diperlakukan berbeda dengan produk organik. 5. Council Regulation (EC) No 1154/98 yang mengatur pemberian insentif khusus produk industri dan pertanian dari negara ketiga yang masuk ke pasar UE apabila telah melaksanaan hak asasi manusia dan melakukan perlindungan lingkungan. Kebijakan tersebut diatas, meskipun merupakan kebijakan diluar perdagangan namun terkait dengan perdagangan atau biasa disebut Trade Related Measures juga sering menjadi hambatan ekspor ke pasar UE. Kebijakan tersebut antara lain berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial. Isu lingkungan dan sosial ini memainkan peran penting dalam keberhasilan penetrasi pasar ke UE. Disamping pemerintah UE, pihak lain seperti perhimpunan konsumen juga memberikan perhatian serius untuk masalah ini. Beberapa perhimpunan konsumen di UE yang memberikan perhatian serius atas masalah llingkungan dan sosial antara lain Skandinavia, Jerman, Belanda dan Inggris.
92
6. Regulation (EC) No 850/2004 mengatur larangan memproduksi atau memasukkan atau menggunakan produk terkait dengan persistent organic pollutants ke pasar UE. Kebijakan ini sesuai dengan ketentuan perdagangan dunia yang memperbolehkan suatu negara menerapkan larangan impor bila produk yang akan masuk tersebut dapat mengancam kehidupan di negara tersebut. 7. Directive 94/62/EC mengatur Limbah Kemasan. Dalam upaya untuk melindungi lingkungan dari limbah kemasan, UE menetapkan berbagai persyaratan kemasan yang dapat memasuki pasar UE seperti kemasan tersebut harus dapat didaur ulang, tidak mengandung substansi yang berbahaya seperti logam berat, kemasan tersebut harus aman, bersih dan diterima masyarakat. 8. Directive 2001/95/EC mengenai ketentuan umum keamanan pangan. Dalam upaya melindungi konsumen dari produk yang beredar di pasar, UE menerbitkan ketentuan umum keamanan pangan; konsumen harus diberitahukan resiko yang mungkin terjadi apabila mengkonsumsi produk tersebut sehingga untuk dapat memasuki pasar UE maka produk tersebut harus terlebih dahulu melewati pengawasan dari lembaga berwenang. 9. Directive 2000/36/EC mengatur mengenai kakao dan produk cokelat untuk konsumsi manusia. Dalam directive tersebut disebutkan bahwa mulai tanggal 3 Agustus 2003, penggunaan sampai 5% lemak sayur bukan kakao sebagai pengganti cocoa butter dalam cokelat diijinkan menggunakan label cokelat. Namun demikian harus dituliskan kandungan lemak sayur yang ditambahkan pada cocoa butter tersebut. Ketentuan ini akan merugikan produsen cocoa butter karena akan mengurangi permintaan kakao. Sumber: Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di EU
4.4.2. Produk Ekspor Kayu Lapis Eksportir harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor. Untuk kayu lapis masing-masing negara menggunakan standar yang berbeda seperti negara tujuan ekspor USA menggunakan standar CARB (California Air Resources Board), ke Jepang JAS (Japan Agricultural Standard), sedangkan kalau ke Eropa
93
menenuhi standar CEMAC. Indonesia sendiri telah memiliki ISO 9001 kaitannya dengan mutu.
(1) JAS (Japan Agricultural Standards) Certification Scheme The JAS certification scheme adalah sebuah skema di Jepang untuk memberikan sertifikasi pada produk plywood dan Laminated Veneer Lumber (LVL) yang digunakan negara Jepang . Sistem standar JAS merujuk pada sistem sertifikasi dimana suatu produk harus melampirkan identifikasi JAS yang menunjukkan produk tersebut telah dilakukan inspeksi sesuai dengan Japan Agricultural Standard (JAS Standards) yang disyahkan oleh Minister for Agriculture, Forestry and Fisheries. Langkah untuk memperoleh sertifikat JAS adalah 1.
Inquiry from the manufacturer.
2.
Submission of application form, Code of Practice, and relevant document from Mutu Certification International to factory.
3.
Submission of quotation of certification costs and fess.
4.
Contract of Certification.
5.
Submission of application document from manufacturer to Mutu Certification International.
6.
Documentation review.
7.
Evaluation visit (two visits as minimum).
8.
Evaluation report (from audition to Judgment Team).
9.
Evaluation result (Committee).
10. Corrective action from manufacturer due to evaluation report (if any). 11. Certification decision. 12. Notification of Certification. 13. Report to MAFF, Japan 14. Audit 15. Obligation of JAS Certified manufacturer. Salah satu lembaga sertifikasi yang membuka layanan di bidang kehutanan untuk JAS certification adalah MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL (oleh PT. Mutuagung Lestari). Mutu Certification International akan mengeluarkan JAS
94
Certification jika perusahaan dapat menjaga kualitas produk berdasarkan standar JAS dan kinerja mereka berdasarkan criteria teknisnya. Mutu Certification International telah disyahkan MAFF sebagai ROCB dengan ruang lingkup sertifikasi sebagai berikut:
Plywood
Laminated Veneer Lumber (LVL)
Structural Laminated Veneer Lumber (SLVL)
Glued Laminated Timber (GLT)
Flooring
Finger Jointed Structural Lumber for Wood Framing
Platform Construction (FJSL)
Skema dari JAS Certification System adalah sebagai berikut:
Minister of Agriculture, Foresty and Fisheries
Registration Aplication
Registration
Audit
Registered Overseas Certifying Body (ROCB) Certification Aplication
Certification
Audit
Certified Producers
Grading
Distribution of Product with JAS Marks
Sumber: Mutu Certification Internasional, 2012 Gambar 23. Skema JAS Certification System 95
(2) CARB (California Air Resources Board) CARB adalah “clean air agency” dalam pemerintah Californoa. Didirikan pada tahun 1967 yang menjaga kesehatan kualitas udara; memproteksi masyarakat dari udara yang terkontaminasi dan menyediakan pendekatan yang inovatif untuk mengikuti aturan dan regulasi mengenai polusi udara. Mutu Certification International telah disyahkan oleh CARB pada bulan Juli 2008 sebagai pihak ketiga yang mensertifikasi CARB executive Order W-08-06 dan J CARB-approved third party certifier assign number: TPC-6. CARB memberikan wewenang kepada Mutu Certification International untuk mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan yang menghasilkan produk kati agar memenuhi regulasi airborne Toxic Control Measure to Reduce Formaldehyde Emission from Composite Wood Products. (ATCM), title 17, California Code of Regulation, Section 93120-93120.12.
(3) SFM (Sustainble Forest Management) SFM adalah sertifikat untuk mendapatkan pengakuan di dunia Internasional mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari dilatarbelakangi oleh terjadinya degradasi sumberdaya hutan, illegal logging, permasalahan mengenai keanekaragaman hayati, konflik kepentingan dalam penguasaan lahan, isu ketenagakerjaan, sampai dengan isu hak asasi manusia merupakan masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pengelola hutan di hampir seluruh belahan penjuru dunia. Pada tahun 2000, MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL telah membuka jasa layanan sertifikasi bidang kehutanan yang ditangani secara khusus oleh Sub Divisi Forestry dan telah terakreditasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai Lembaga Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL). Tahun 2004 MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL bekerjasama dengan salah satu lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC, yaitu WoodmarkSoil Association sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah berpengalaman secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan. Keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi di
96
Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari Woodmark. Sehingga biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas layanan sertifikasi yang diberikan. Sub Divisi Forestry juga telah diakreditasi oleh LEI sebagai Lembaga Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang pertama. Selain itu, pada tahun 2009 Komite Akreditasi Nasional (KAN) memberikan akreditasi sebagai Lembaga Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari skema Kementrian Kehutanan RI.
(4) COC (Chain of Custody) Selain SFM, CoC juga merupakan salah satu sertifikat yang diperoleh untuk mendapatkan pengakuan di dunia Internasional mengenai jaminan ketelusuran kayu. Ketelusuran kayu sampai ke sumbemya akan memberikan jaminan bagi pengguna (konsumen) bahwa kayu yang dikonsumsi adalah benar berasal dari hutan lestari. Jaminan ketelusuran kayu tersebut dapat ditunjukkan melalui sertifikasi sistem lacak balak/Chain of Custody (CoC). Salah satu lembaga yang melayani sertifikasi CoC adalah MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun 2000 memberikan akreditasi CoC yang pertama kepada MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL. Kemudian pada tahun 2001, untuk memenuhi kebutuhan sertifikasi CoC skema FSC, Sub Divisi Forestry menjalin kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang telah diakui oleh BM TRADA. Sehingga, klien dapat menghemat biaya sertifikasi dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan dunia internasional.
(5) CE Marking CE Marking untuk produk kayu merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi agar produk kayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan konstruksi di
97
kawasan Uni Eropa. Sertifikasi CE Marking dilakukan oleh “notified body” yang ada di Uni Eropa dengan mengacu pada European Standard EN 13986:2002. Salah satu lembaga sertifikasi yang melayani CE marking adalah MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL yang bekerjasama dengan BM TRADA Certification Ltd. England (sebuah Lembaga Sertifikasi International berpusat di Inggris yang sudah diakreditasi oleh UKAS/ United Kindom Accreditation Service) dan Wilhelm Klauditz Institut (WKI) Hoizforschung, Germany. .
98
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing (RCAB) 5.1.1. RCAB Biji Kakao Sebagian besar kakao Indonesia yang diproduksi setiap tahunnya di ekspor keluar negeri dalam bentuk biji kakao. Hal ini terjadi karena belum berkembangnya industri kakao di Indonesia yang dapat mengolah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar pemasok kakao dunia, yaitu sebesar 13,6 persen. Sementara pemasok kakao dunia lainnya adalah Pantai Gading sebesar 38,3 persen, Ghana 20,2 persen, Kamerun 5,1 persen, Brasil 4,4 persen dan Ekuador 3,1 persen (ICCO, 2007). Keberadaan Negara Indonesia sebagai negara eksportir terbesar ketiga di dunia tidak begitu saja dapat mengantarkan komoditas unggulannya ke pasar internasional tanpa hambatan. Meskipun produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering atau tingginya kadar air (7%), ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan kadar kotoran yang tinggi (8 – 10 %) (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007). Persaingan di antara negara pengekspor kakao sangat ketat, karena negara importir selaku konsumen menuntut tidak hanya kuantitas yang kontinu namun juga kualitas kakao yang baik. Daya saing kakao Indonesia dari segi mutu di pasar Internasional tentunya akan mempengaruhi perkembangan volume dan nilai ekspor. Sebagai salah satu negara produsen eksportir komoditi kakao terbesar dunia, Indonesia harus meningkatkan daya saing agar dapat menghasilkan komoditi kakao yang semakin kompetitif di pasar Internasional. Kondisi daya saing komoditi kakao Indonesia di pasar beberapa negara mitra dagang selama periode 1990-2010 dapat dilihat pada Gambar 24.
99
Gambar 24. RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Produk Ekspor Biji Kakao Komoditi kakao Indonesia sangat berdaya saing di pasaran Jerman dan Brazil selama periode 1997-2010. Sedangkan untuk periode sebelumnya tidak terjadi perdagangan antara Indonesia dengan kedua negara tersebut. Jika dilihat secara agregat maka kakao Indonesia memiliki daya saing dengan rata-rata nilai RCAB lebih dari nol (Gambar 25). RCAB Indonesia dengan Jerman memiliki rata-rata nilai RCAB tertinggi selama periode 1997-2010 yaitu sebesar 87,6 (RCAB >0). Ini menunjukkan bahwa kakao merupakan komoditi yang memiliki dayasaing yang tinggi di pasar dunia, atau dapat dikatakan pula bahwa komoditi kakao ini juga merupakan komoditi yang memiliki kemampuan yang paling baik diantara negaranegara lainnya dalam hal penetrasi ke pasar dunia selama periode 19972010.Tingginya nilai rata-rata RCAB Indonesia untuk komoditi kakao ini disebabkan karena komoditi tersebut memiliki rata-rata nilai ekspor yang paling tinggi. 100
Gambar 25. Rata-Rata Nilai RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Untuk Produk Ekspor Biji Kakao, Periode 1990-2010 Pasar kakao USA dan Eropa merupakan pasar kakao dunia dimana transaksi jual beli kakao di pasar internasional dapat terjadi di dua pasar tersebut. Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana juga mengalami diskriminasi di Eropa. Uni Eropa mengenakan bea masuk 0 persen bagi produk kakao dari Ghana dan Pantai Gading, sedangkan Indonesia dikenakan bea masuk 10 persen. Sementara bea masuk kakao ke Indonesia dari luar negeri hanya dikenakan 5 persen. Padahal Malaysia 30 persen dan India 38 persen 1. Walaupun demikian, jika dilihat dari sisi daya saing maka rata-rata daya saing Indonesia di pasar USA tetap relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain (rata-rata RCA sebesar 21,6). Sedangkan untuk pasar Eropa, jenis kakao yang terbanyak diimpor oleh Uni Eropa adalah biji kakao (cocoa beans). Besarnya permintaan ini berkaitan langsung dengan tingginya permintaan biji kakao dari industri coklat di negara anggota. Untuk memasok biji kakao, industri cokelat juga telah menetapkan berbagai persyaratan 1
Siswono Yudo H. 2005. Bea Masuk ke Cina Turun. Dalam www.indobic.biotrap.org. [26 Mei 2008]
101
yang harus dipenuhi oleh importir antara lain standar mutu biji, persyaratan kesehatan, lingkungan dan yang paling penting dari semuanya itu, biji kakao tersebut harus difermentasikan terlebih dahulu sebelum diekspor. Walaupun sebagai produsen kakao terbesar ke 3 di dunia, tetapi perdagangan ekspor Indonesia ke pasar UE hanya menduduki posisi ke-6 yaitu dengan pangsa hanya 2,46% atau jauh dibawah kemampuan produksinya sekitar 1/6 dari total produksi dunia. Negara pesaing utama Indonesia di pasar UE adalah Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Cameroon yang mendapat preferensi bea masuk karena tergabung dalam Africa, Carribean, Pacific (ACP) Countries. Sementara itu, pesaing lainnya, Swiss adalah negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan UE. Kakao dan produk kakao dari negara-negara tersebut menjadi sangat berdaya saing karena memiliki fasilitas bebas bea masuk jika dibandingkan produk kakao Indonesia. Kakao yang diimpor UE dari negara berkembang kemudian diolah menjadi berbagai komoditi berbeda. Produk hasil olahan kakao tersebut kemudian diekspor kembali ke berbagai negara asal bahan mentahnya termasuk ke Indonesia. Umumnya produk olahan kakao yang di ekspor kembali oleh UE adalah cokelat dan produk makanan yang mengandung cokelat. Namun demikian disamping produk olahan kakao, diantara negara UE juga terjadi perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan industri pengolahan yang membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya.
5.1.2. RCAB Kayu Lapis Nilai RCAB Indonesia untuk komoditi kayu lapis Indonesia secara rata-rata berdaya saing dipasaran negara mitra dagang utama. Kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang tertinggi di pasar United Emirat Arab (UEA) selama periode 19902004. Selain Uni Emirat Arab, pasar Eropa seperti Jerman dan Belanda merupakan pasar yang potensial. Untuk kawasan Asia, Jepang merupakan salah satu negara importir utama kayu lapis Indonesia. Masyarakat Jepang sangat menggemari kayu 102
lapis Indonesia karena kayu lapis Indonesia terbuat dari potongan kayu yang bermutu tinggi. Kayu lapis banyak digunakan untuk kebutuhan pembangunan perumahan serta bahan baku pembuatan kerangka beton, kayu lapis juga sebagai bahan baku pembuatan dekorasi display, pintu, dan lemari (Amir 2004). Kerjasama FTA ASEAN-Cina juga mendorong peningkatan ekspor kayu lapis Indonesia ke Cina. Nilai RCAB kayu lapis Indonesia ke Cina mengalami peningkatan.
Gambar 26. RCA Bilateral Kayu Lapis dan Penggunaan Umum Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Utama Produksi mempengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia ke negara-negara utama, karena jika produksi suatu komoditas meningkat maka akan meningkatkan penawaran sehingga akan mempengaruhi volume ekspor. Indonesia bersama Malaysia merupakan pengekspor utama pasar dunia untuk kayu lapis keras tropik (tropical hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Ekspor kedua negara memiliki pangsa 103
terbesar (dominant players) di dunia untuk jenis kayu lapis tersebut, secara total jika diperhitungkan jenis kayu lapis kayu lunak (softwood plywood), pangsa kedua negara pada tahun 2000 adalah 47 %.Oleh karena itu untuk komoditas kayu lapis tropik, Indonesia dan Malaysia merupakan pesaing (competitor ) untuk segmen pasar tersebut. Selama bertahun-tahun hingga tahun 2003, industri kayu lapis Indonesia mendominasi pasar dunia kayu lapis tropik, namun sejak tahun 2004 Malaysia mengungguli volume ekspor kayu lapis Indonesia (FAO 2009).
Gambar 27. Rata-Rata Nilai RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Untuk Komoditi Kayu Lapis, Periode 1990-2009 Berdasarkan nilai rata-rata RCAB, perdagangan dengan UK memiliki nilai tertinggi, disusul Jerman, SAU, Cina dan USA. Ini menunjukkan bahwa kayu lapis Indonesia memiliki tingkat dayasaing dan kemampuan penetrasi yang tinggi di pasar dunia. Baik komoditi ekspor biji kakao maupun kayu lapis memiliki peluang yang besar terutama di pasar Eropa. Oleh karena itu persyaratan mengenai mutu dan standar yang ditetapkan kawasan Eropa harus diikuti oleh eksportir Indonesia. 104
Kayu lapis telah menjadi primadona produk industri kayu olahan Indonesia selama beberapa tahun. Angka ekspor tertinggi yang pernah dicapai adalah pada tahun 1992 sebesar 9,7 juta m3(FAO, 2009). Dengan tingkat volume ekspor tersebut Indonesia dapat digolongkan memiliki peranan dominan dalam pasar kayu lapis tropis dunia. Kurang lebih 80% produksi kayu lapis Indonesia selama ini dijual untuk tujuan ekspor. Di sisi lain pada kurun waktu tersebut Malaysia merupakan pengekspor kayu lapis tropis terbesar kedua setelah Indonesia namun ditinjau dari sisi volume masih jauh di bawah Indonesia. Dalam konteks negara yang memiliki industri pengolahan kayu tropis, Malaysia dapat digolongkan sebagai negara pengikut (follower) dibandingkan Indonesia yang dominan (market leader) terutama dari sisi kapasitas dan volume ekspor. Industri kayu lapis Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya namun merosotnya pasokan bahan baku menyebabkan pangsa pasar ekspornya menurun secara tajam. Menurunnya pasokan bahan baku ke Industri kayu lapis Indonesia merupakan penyebab utama menurunnya ekspor kayu lapis Indonesia. Disamping itu, sebagian kayu bulat Indonesia juga memasok industri pengolahan kayu Cina. Pada saat yang sama, Malaysia mampu mempertahankan bahkan meningkatkan pasokan bahan baku ke Industri kayu lapisnya. Meningkatnya peredaran kayu liar menyebabkan Indonesia tidak mampu mempertahankan pasokan bahan baku ke industri kayu lapis dalam negeri. Peredaran kayu liar tersebut diselundupkan ke luar negeri. Dengan perkataan lain, peningkatan pasokan kayu bulat karena peningkatan pembalakan di dalam negeri tidak dapat dikapitalisasi oleh industri pengolahan kayu khususnya industri kayu lapis Indonesia. Kondisi ini memberikan landasan bagi perbaikan strategi implementasi kebijakan atau program anti illegal logging nasional. Beberapa alternative penggunaan bahan baku untuk kayu lapis Indonesia digunakan. Salah satunya penggunaan kayu sengon dari hutan rakyat untuk bahan baku kayu lapis. Penggunaan kayu sengon sebagai bahan kayu lapis beberapa tahun 105
terakhir semakin meningkat seperti yang berlangsung di Provinsi Jawa Tengah (Dwiprabowo, 2008). Namun kelangkaan tersebut baru sebagian kecil dari yang dibutuhkan industri. Kebijakan yang kondusif untuk pengembangan hutan rakyat berupa penyediaan lahan dan bibit unggul serta sarana produksi lainnya akan membantu membangkitkan kembali industri kayu lapis. Di samping itu, penggunaan kayu sawit untuk kayu lapis perlu mendapat perhatian lebih besar mengingat potensi yang tinggi dan teknik pembuatannyat telah cukup lama ditemukan oleh Puslitbang Hasil Hutan, Bogor (Balfas, 2009).
5.2. Analisis Strategi Peningkatan Mutu dan standar Produk Ekspor: Pendekatan AHP a) Produk Ekspor Biji Kakao Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai model pengambilan keputusan yang dalam hal ini untuk kajian analisis kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam peningkatan daya saing. Pengambilan keputusan pemilihan strategi memiliki masalah yang kompleks, ditunjukkan dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa alternatif. Peserta FGD akan melakukan penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki dengan memberikan bobot numerik. Stakeholder yang diundang untuk FGD Makassar terdiri dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Balitbang Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Besar POM Makassar, UPTD BPPMB Disperindag, Eksportir antara lain PT Bumi Niaga Pratama, PT Olam, Laboratorium Uji Mutu antara lain PT. Sucofindo, dan asosiasi yaitu ASKINDO. Sedangkan untuk FGD Jakarta, stakeholder yang diundang antara lain Pusat Standardisasi, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu, Industri Kementerian Perindustrian; Pusat Kerjasama Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional; Direktorat Bina Pengolahan dan 106
pemasaran Hasil Hutan, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Dibawah ini disajikan output hirarki secara keseluruhan:
Gambar 28. Ouput Hirarki Keseluruhan untuk Produk Ekspor Biji Kakao
Hierarkhi Pertama adalah Peubah Faktor, yaitu identifikasi faktor-faktor penentu model pengambilan keputusan untuk kajian analisis kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah faktor tersebut yaitu: 1. Regulasi perdagangan antar Negara (RPA) 2. Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN) 3. Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL) 4. Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor (MMS) 5. Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
107
a. Level Faktor Hasil perbandingan faktor memperlihatkan bahwa peningkatan mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional serta regulasi perdagangan antar negara adalah elemen penting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing. Faktor ini memiliki bobot tertinggi yaitu 0,238 dan 0,217 baru disusul oleh faktor-faktor lain, berturut-turut mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk (bobot sebesar 0.197), biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor (bobot sebesar 0.177) dan terakhir infrastruktur pengujian mutu (bobot sebesar 0.171). Tabel 23. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan antar Elemen Pada Level Faktor NO INDIKATOR BOBOT RANGKING 1 2
3
4 5
Regulasi perdagangan antar Negara (RPA)
0.217
2
0.238
1
0.177
4
standar produk ekspor (MMS)
0.197
3
Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
0.171
5
Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN) Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL) Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan
Persyaratan mutu dan standar produk ekspor internasional pada saat ini dianggap stakeholder memiliki peranan yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil observasi lapang dimana kenyataan dilapang banyak eksportir yang belum mengutamakan mutu dan standar yang disyaratkan oleh negara tujuan ekspor. Mereka menyatakan bahwa setiap produk yang mereka ekspor memiliki pasar sendiri. Kondisi sekarang, eksportir menyesuaikan dengan standar yang disyaratkan oleh negara tujuan ekspor, mengingat setiap negara menetapkan persyaratan yang berbeda. 108
Menurut eksportir kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka untuk beberapa negara tujuan ekspor. Namun demikian yang patut dikaji lebih mendalam adalah walaupun mereka tidak mengalami penolakan oleh negara tujuan ekspor, namun karena beberapa mutu dan standar seperti fermentasi belum terpenuhi maka harga yang mereka terima lebih rendah dari seharusnya. Hal ini tentunya akan mengurangi nilai ekspor biji kakao Indonesia. Dalam jangka panjang, kesadaran petani maupun eksportir (dari hulu maupun hilir) mengenai persyaratan mutu dan standar harus menjadi perhatian, mengingat banyaknya pesaing yang lebih memiliki mutu dan standar yang disyaratkan negara tujuan ekspor. Regulasi perdagangan yang terkait standar (health and safety) mensyaratkan produk ekspor kakao memiliki standar yang ditetapkan seperti kandungan residu pestisida. Berdasarkan hasil FGD Makassar, kakao Indonesia mengandung residu pestisida. Sedangkan untuk FGD Jakarta, stakeholder menyatakan bahwa ekspor kakao Indonesia diklaim terkontaminasi CD. Namun PPMB pada tahun 2009 dengan menggunakan sampel 9 daerah sentra produksi kakao menguji apakah produk kakao terkontaminasi CD. Hasil uji menunjukkan bahwa produk kakao Indonesia tidak terkontaminasi CD. Beberapa kemungkinan yang muncul adalah pertama, isu tersebut hanya untuk menghambat ekspor kakao Indonesia; kedua, perbedaan metode uji serta ketiga, perbedaan alat uji. Berdasarkan informasi dinas terkait, produk kakao dapat terkontaminasi CD karena beberapa hal antara lain: pupuk, residu pestisida, tanah yang mengandung CD dan penjemuran di atas aspal. Disamping masalah standar (health and safety) terkait dengan kebijakan tarif impor, pesaing kakao Indonesia misalnya di pasar Uni Eropa cukup banyak dan datang dari negara-negara yang memperoleh fasilitas bebas bea masuk, seperti: Pantai Gading yang menguasai hampir setengah (41,54 persen) dari pasokan yang dibutuhkan UE, Ghana, Nigeria, Kamerun, Brazil, Ecuador dan Swiss. Hampir semua 109
negara tersebut kecuali Swiss merupakan negara beneficiaries’ dari General System of Preferences (GSP) UE. Fasilitas yang diperoleh melalui skema GSP tersebut tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Negara produsen kakao yang merupakan negara miskin akan memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk. Sementara negara lain seperti Indonesia yang masuk dalam kelompok negara berkembang hanya memperoleh pengurangan tariff sebesar 3,5 persen dari tarif yang berlaku umum (Most Favoured Nations). Disamping itu, perlakuan khusus juga diberikan bagi negara (Swiss dan Norwegia) yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan UE. Implikasinya, Indonesia akan memiliki daya saing yang rendah karena dikenakan bea masuk yang tinggi. Bobot yang rendah pada jumlah infrastruktur menunjukkan stakeholder memiliki anggapan bahwa faktor jumlah infrastruktur mutu kurang berperan penting dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Anggapan stakeholder ini didukung bukti masih terbatasnya jumlah infrastruktur mutu sehingga kurang berperan dalam memengaruhi peningkatan mutu dan standar kakao. Hasil observasi lapang menunjukkan beberapa infrastruktur mutu belum mampu melayani secara keseluruhan uji mutu yang akan dilakukan eksportir. Hal ini terjadi di UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (BPPMB) yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis di bawah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan dimana memiliki kendala dalam operasional pengujian mutu tersebut yaitu adanya hambatan terkait sarana/prasarana dan infrastruktur (terkait pengadaan alat uji). Insentif pengadaan laboratorium dan fasilitas mutu lainnya dan kualitas pelayanan yang memadai akan mendorong peran yang lebih berarti dari infrastruktur mutu terhadap peningkatan mutu dan standar biji kakao yang akan diekspor.
110
b. Level Aktor Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki kedua adalah peubah aktor merupakan identifikasi pelaku yang memiliki peran dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah aktor tersebut yaitu: 1.
Pemerintah (GOV)
2.
Lembaga mutu dan standar (LEM)
3.
Eksportir (EKS)
4.
Negara tujuan ekspor (NTE) Hasil perbandingan aktor menunjukkan negara tujuan ekspor memiliki peranan
penting sebagai pelaku dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao untuk peningkatan daya saing. Hal ini konsisten dengan level faktor bahwa faktor regulasi antar negara sebagai factor rangking kedua sebagai penentu kebijakan peningkatan mutu dan standar untuk peningkatan daya saing. Mengingat negara tujuan ekspor memiliki bobot yang tinggi yaitu 0.274, implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah melakukan kerjasama harmonisasi mutu dan standar. Program harmonisasi sangan penting dalam rangka memenuhi persyaratan mutu dan standar negara tujuan ekspor melalui negosiasi. Aktor pemerintah merupakan aktor kedua yang terpenting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar biji kakao untuk meningkatkan daya saing yaitu dengan bobot 0,245. Sedangkan eksportir sendiri dianggap sebagai aktor yang paling kecil peranannya dalam penentuan kebijakan mutu dan standar biji kakao dalam rangka meningkatkan daya saing yaitu dengan bobot sebesar 0,236. Hal ini mengimplikasikan pentingnya peran pemerintah sebagai fasilitator terkait kebijakan mutu dan standar biji kakao untuk meningkatkan daya saing, sebagai contoh kebijakan yang diterapkan oleh Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan dalam proses on farm seperti replanting, intensifikasi maupun sistem tumpangsari sangat membantu para petani kakao untuk meningkatkan standar, mutu dan jumlah produksi kakao. 111
Dari sisi peningkatan produksi yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar dilakukan program sistem Kakao Lestari (proses budidaya yang ramah/peduli terhadap kelestarian lingkungan) dan pola pendampingan yang berkesinambungan. Beberapa program lain yang diterapkan pemerintah antara lain: program GERNAS (yang dilakukan oleh kementrian Pertanian), program pembinaan petani dan program peningkatan produksi dan kualitas biji kakao. Sedangkan kebijakan untuk meningkatkan mutu dan standar antara lain dari kementrian Perdagangan mengeluarkan SK Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang produk ekspor yang ditetapkan pengawasan mutunya yang bertujuan untuk (1) Mencegah ekspor produk-produk Indonesia yang dibawah mutu standar, dan (2) Mempertahankan mutu produk ekspor. Kebijakan lain untuk memperkuat kerjasama perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi dengan melakukan kesepakatan kerjasama antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards, Metrology and Quality Organization (SASO) dari Arab Saudi. Produk yang diekspor Indonesia tidak perlu lagi menjalani pengecekan laboratorium di negara tersebut, namun cukup dilakukan di Indonesia. Tabel 24. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Aktor AKTOR 1. Pemerintah (GOV) 2. Lembaga mutu dan standar (LEM) 3. Eksportir (EKS) 4. Negara tujuan ekspor (NTE)
Faktor 1
Faktor 2
Faktor 3
Faktor 4
Faktor 5
Bobot Faktor
Bobot Aktor
Rang king
0.235
0.213
0.234
0.277
0.278
0.217
0.245
2
0.218
0.223
0.228
0.258
0.303
0.238
0.243
3
0.252
0.244
0.292
0.21
0.182
0.177
0.237
4
0.295
0.319
0.246
0.254
0.237
0.197
0.274
1
0.171
112
Hasil olahan AHP secara vertikal memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Aktor NO 1 2 3 4
INDIKATOR Pemerintah (GOV) Lembaga mutu dan standar (LEM) Eksportir (EKS) Negara tujuan ekspor (NTE)
BOBOT
RANGKING
0.245214 0.243375 0.236932 0.274044
2 3 4 1
c. Level Tujuan Analisis pada level tujuan dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui prioritas dari tujuan yang ingin dicapai dalam kajian kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing. Hirarki ketiga dari peubah tujuan ini dikategorikan menjadi 5 yaitu: 1. Eliminasi regulasi yang menghambat 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar 3. Eliminasi biaya yang tidak relevan 4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor 5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan Berdasarkan hasil pengolahan secara vertikal maupun horizontal pada level tujuan, tujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar memiliki bobot tertinggi dengan skor 0.209. Hal ini menunjukkan dalam rangka analisis kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing produk ekspor kakao, kuantitas maupun kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar merupakan ujung tombak peningkatan mutu dan standar itu sendiri. Jumlah lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar yang masih relatif terbatas menyebabkan biaya yang tinggi karena kompetisi atau persaingan 113
yang rendah. Selain kuantitas, kualitas infrastruktur mutu harus ditingkatkan. Kualitas infrastruktur mutu menyangkut sarana prasarana atau alat uji, metode uji serta keahlian dari SDM lembaga pengujian mutu. Kualitas mutu nasional harus terhubung dengan kualitas yang ditetapkan di tingkat internasional. Tabel 26. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Tujuan TUJUAN 1. Eliminasi regulasi yang menghambat (ER) 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar (MKK) 3. Eliminasi biaya yang tidak relevan(EB) 4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (MPM) 5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
Aktor
Tujuan
king
0.173
0.166
0.2
0.192
0.245
0.183
5
0.211
0.24
0.177
0.209
0.243
0.209
1
0.215
0.206
0.201
0.172
0.237
0.198
4
0.207
0.193
0.221
0.187
0.274
0.201
3
0.193
0.195
0.201
0.24
0.208
2
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Tujuan NO
INDIKATOR
BOBOT
RANGKING
1
Eliminasi regulasi yang menghambat (ER) Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar (MKK) Eliminasi biaya yang tidak relevan (EB)
0.183
5
0.209
1
0.198
4
0.201
3
0.208
2
2 3 4 5
Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (MPM) Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
114
Hasil AHP untuk level alternatif strategi (tabel 28), fasilitasi terkait dengan infrastruktur pengujian mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing memiliki bobot tertinggi yaitu 0.406. Setelah itu disusul fasilitasi regulasi. Implikasi kebijakan dari hasil olahan AHP ini adalah perlunya peningkatan infrastruktur mutu dari segi jumlah dan kualitas. Sedangkan fasilitasi regulasi menduduki rangking 2 dalam analisis kebijakan peningkatan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing ekspor kakao dengan bobot 0.237. Negosiasi berkaitan dengan regulasi mengenai mutu dan standar yang diterapkan negara tujuan ekspor diperlukan agar eksportir dapat memenuhi ketentuan yang berlaku. Peran pemerintah sebagai negosiator dengan pihak negara tujuan ekspor sangat diperlukan sehingga transmisi mengenai regulasi yang diterapkan mengenai mutu dan standar dapat dipenuhi eksportir Indonesia. Kedua alternatif strategi ini akan efektif apabila peningkatan mutu dan standar tidak hanya dipenuhi pada level hilir namun juga pada level hulu. Sosialisasi pada petani pentingnya peningkatan mutu dan standar untuk penetrasi pasar perlu dilakukan. Penetrasi pasar pada negara tujuan ekspor akan berdampak positif pada kesejahteraan petani dengan syarat harga internasional ditransmisikan ke ditingkat petani. Tabel 28. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Alternatif Strategi ALTERNATIF STRATEGI
Tujuan 1
Tujuan 2
Tujuan 3
Tujuan 4
Tujuan 5
Bobot Tujuan
Bobot Alternatif
Rang king
1. Fasilitasi regulasi (A)
0.232
0.241
0.249
0.227
0.237
0.183
0.237
2
2. Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar (B)
0.412
0.404
0.392
0.406
0.415
0.209
0.406
1
115
3. Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar (C) 4. Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (D) 5. Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional (E)
0.119
0.129
0.123
0.13
0.121
0.198
0.124
4
0.078
0.077
0.078
0.079
0.078
0.201339
0.078
5
0.159
0.15
0.158
0.158
0.149
0.208178
0.155
3
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal untuk alternatif strategi juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Alternatif Strategi NO 1 2 3 4 5
INDIKATOR Fasilitasi regulasi (A) Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar (B) Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar (C) Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (D) Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional (E)
BOBOT
RANGKING
0.237
2
0.406
1
0.124
4
0.078
5
0.155
3
116
Hasil akhir dari software Expert Choice dapat disajikan pada Gambar 29. Berdasarkan gambar 29 dapat dilihat bahwa alternative strategi fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar merupakan alternative yang seharusnya diprioritaskan untuk mendukung kebijakan peningkatan mutu dan standar dalam rangka peningkatan daya saing ekpor produk kakao.
Gambar 29. Output Akhir Pembobotan Strategi dari Software Expert Choice untuk Produk Ekspor Biji Kakao b) Produk Ekspor Kayu Lapis Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai model pengambilan keputusan yang dalam hal ini untuk kajian strategi peningkatan mutu dan standar produk ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya dalam peningkatan daya saing. Pengambilan keputusan pemilihan strategi memiliki masalah yang kompleks, ditunjukkan dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan 117
hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa alternatif. Peserta FGD akan melakukan penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki dengan memberikan bobot numerik. FGD dihadiri oleh stakeholder antara lain BPSMB (Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang) Surabaya dan Jember, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Balai Besar Karantina, Gabungan Pengusaha Ekspor Jawa Timur, BRIK, dan perusahaan-perusahaan pelaku ekspor antara. Hasil hirarki keseluruhan dengan alat analisis AHP dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya disajikan pada gambar 30.
Gambar 30. Ouput Hirarki Keseluruhan untuk Produk Ekspor Kayu Lapis dan Penggunaan Umum Lainnya Hierarkhi Pertama adalah Peubah Faktor, yaitu identifikasi faktor-faktor penentu model pengambilan keputusan untuk kajian analisis kebijakan mutu dan
118
standar produk ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya dalam peningkatan daya saing. Peubah faktor tersebut yaitu: 1. Regulasi perdagangan antar Negara (RPA) 2. Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN) 3. Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL) 4. Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor (MMS) 5. Infrastruktur pengujian mutu (PPT) a) Level Faktor Hasil perbandingan faktor memperlihatkan bahwa peningkatan mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional serta regulasi perdagangan antar negara adalah elemen penting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing. Faktor ini memiliki bobot tertinggi yaitu 0,238 dan 0,219 baru disusul oleh faktor-faktor lain, berturut-turut mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk (bobot sebesar 0.195), biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor (bobot sebesar 0.177) dan terakhir infrastruktur pengujian mutu (bobot sebesar 0.171). Hasil ini sesuai dengan temuan pada saat FGD bahwa dalam rangka untuk dapat masuk ke pasar Uni Eropa, pemerintah Indonesia menandatangani VPA. Dengan menandatangani VPA, Indonesia akan memastikan bahwa kayu yang diekspor ke UE adalah kayu legal. Sementara UE akan bertanggung jawab dalam meningkatkan kapasitas dan melarang kayu illegal memasuki pasar UE. Serangkaian proses yang berlangsung bertujuan untuk menghasilkan standar yang diharapkan mampu memberi kepastian bagi semua pihak: pembeli, pemilik industri, pengusaha, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat. Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Sistem ini diatur dalam regulasi pemerintah yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang telah disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 tentang SVLK. Regulasi baru ini 119
menimbulkan permasalahan bagi pengusaha karena memerlukan biaya yang tinggi dan diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan biaya tinggi yang ditanggung pengusaha terutama pengusaha kecil sebagai akibat penerapan regulasi baru tersebut, pemerintah mencoba mengkaji kelayakan pengajuan SVLK dilakukan secara berkelompok. Sertifikat SVLK akan berisi nama-nama perusahaan kecil, sehingga perusahaan kecil pun akan bisa masuk pasar Eropa. Selain itu, memperbanyak infrastruktur mutu sebagai pihak yang berwenang menerbitkan SVLK akan meningkatkan kompetisi antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan kompetitif. Kompetisi dalam pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi bersaing yang selanjutnya berdampak pada penurunan biaya untuk penerbitan SVLK. Tabel 30. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Faktor NO INDIKATOR BOBOT RANGKING 1 2
3
4 5
Regulasi perdagangan antar Negara (RPA) Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN) Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL) Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor (MMS) Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
0,219
2
0,238
1
0,177
4
0,195
3
0,171
5
b) Level Aktor Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki kedua, peubah aktor merupakan identifikasi pelaku yang memiliki peran dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah aktor tersebut yaitu: 120
1. Pemerintah (GOV) 2. Lembaga mutu dan standar (LEM) 3. Eksportir (EKS) 4. Negara tujuan ekspor (NTE) Hasil perbandingan aktor menunjukkan negara tujuan ekspor memiliki peranan penting sebagai pelaku dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao untuk peningkatan daya saing dengan bobot sebesar 0.274. Dalam jangka pendek pengusaha dapat mencari negara tujuan ekspor selain Eropa. Namun dalam jangka panjang, semua negara tentunya secara bertahap akan menerapkan SVLK untuk menjaga perdagangan yang fair. Oleh karena itu SVLK harus disikapi secara positif. Pengusaha harus memenuhi SVLK. Permintaan yang meningkat untuk pengurusan SVLK harus diimbangi dengan infrastruktur mutu untuk penerbitan sertifikat SVLK. Persiapan dari sisi infrastruktur mutu baik alat uji maupun SDM-nya harus dilakukan. Lembaga sertifikasi yang ada baru berjumlah ± 7, diantaranya: BRIK, Secofindo, Mutu Agung Lestari, Mutu Hijau. Demikian juga untuk SDM, diperlukan tenaga inspeksi dalam proses penerbitan SVLK. Sebagai gambaran untuk kepentingan SNI yang sudah lama diberlakukan saja tenaga standarisasi yang dimiliki Indonesia masih minim. Untuk mengantisipasi tenaga standarisasi, Badan Standarisasi Nasional menjajaki membuka studi khusus tentang standarisasi yaitu studi pascasarjana standarisasi di Universitas Gajah Mada dan Institut Teknologi Bandung. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman SNI, untuk system SVLK, persiapan SDM yang ahli dibidangnya sangat diperlukan. Aktor pemerintah merupakan aktor kedua yang terpenting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar kayu lapis dan penggunaan umum lainnya untuk meningkatkan daya saing yaitu dengan bobot 0,250. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memfasilitasi peningkatan mutu dan standar. Salah satu hal yang dibutuhkan oleh pengusaha adalah sosialisasi mengenai setiap peraturan yang dikeluarkan pemerintah sejak dini. Selain itu, birokrasi yang panjang harus 121
dipangkas. Untuk keperluan SVLK birokrasi yang panjang harus dilalui antara lain pengurusan surat-surat untuk penjualan kayu yang membutuhkan biaya tinggi dari tingkat desa, kabupaten dan dinas kehutanan untuk mengurus Surat Keterangan AsalUsul Kayu. Setelah legalitas industry, legalitas sumber bahan baku dan legalitas pindah tangan dipenuhi, setiap setahun sekali dilakukan inspeksi yang biayanya juga tidak murah. Padahal SVLK sendiri hanya berlaku selama 3 tahun. Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horizontal antar elemen pada level actor dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Aktor AKTOR
Faktor
Faktor
Faktor
Faktor
Faktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
5
Faktor
Aktor
king
0.238
0.216
0.24
0.286
0.283
0.219
0.250
2
0.219
0.217
0.225
0.258
0.301
0.238
0.241
3
0.252
0.238
0.292
0.202
0.18
0.177
0.234
4
0.291
0.329
0.244
0.254
0.237
0.195
0.275
1
1. Pemerintah (GOV) 2. Lembaga mutu dan standar (LEM) 3. Eksportir (EKS) 4. Negara tujuan ekspor (NTE)
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 32. 122
Tabel 32. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Aktor NO INDIKATOR BOBOT RANGKING 1
Pemerintah (GOV)
0.250173
2
2
Lembaga mutu dan standar (LEM)
0.241213
3
3
Eksportir (EKS)
0.233686
4
4
Negara tujuan ekspor (NTE)
0.275276
1
c) Level Tujuan Analisis pada level tujuan dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui prioritas dari tujuan yang ingin dicapai dalam kajian kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing. Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki ketiga, peubah tujuan dikategorikan menjadi 5 yaitu: 1. Eliminasi regulasi yang menghambat 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar 3. Eliminasi biaya yang tidak relevan 4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor 5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan Berdasarkan hasil pengolahan secara vertikal maupun horizontal pada level tujuan, tujuan meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar yang sesuai dengan yang disyaratkan oleh negara tujuan memiliki bobot yang tinggi yaitu sebesar 0.210. Hal ini menunjukkan mutu dan standar yang ditetapkan di tingkat nasional harus sesuai dengan mutu dan standar yang ditetapkan di tingkat internasional. Selama ini mutu dan standar kayu tergantung pada persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing negara tujuan. Misalnya untuk tujuan ekspor negara Jepang, harus memiliki sertifikat JAS dan diregistrasi oleh MAFF. Apabila setiap negara memiliki 123
standar yang berbeda hal ini berdampak pada peningkatan biaya. Biaya yang tinggi menyebabkan produk ekspor kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang rendah. Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification International (yang melayani sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari) pada tahun 2004 dengan lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC yaitu Woodmark-Soil Association sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah berpengalaman secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan patut dikaji. Karena keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi di Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari Woodmark. Sehingga biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas layanan sertifikasi yang diberikan. Kerjasama seperti ini layak untuk dikaji lebih mendalam apabila memberikan manfaat positif bagi peningkatan mutu dan standar sehingga volume ekspor Indonesia meningkat. Demikian juga untuk sertifikasi sistem lacak balak/Chain of Custody (CoC) yang merupakan jaminan ketelusuran kayu oleh MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL, Sub Divisi Forestry menjalin kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang telah diakui oleh BM TRADA. Sehingga, klien (pengusaha dan eksportir) dapat menghemat biaya sertifikasi dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan dunia internasional. Kuantitas dan kualitas infrastruktur mutu di Indonesia merupakan tujuan yang bobotnya menduduki posisi kedua dengan skor 0,208. Masih minimnya infrastruktur mutu dan SDM-nya akan menghambat peningkatan mutu dan standar yang berdampak pada kesulitan eksportir menembus pasar ekspor.
124
Tabel 33. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Tujuan Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
Aktor
Tujuan
king
0.171
0.161
0.191
0.188
0.250
0.178
5
0.208
0.239
0.176
0.208
0.241
0.208
2
0.215
0.202
0.207
0.176
0.234
0.199
4
4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (MPM)
0.208
0.2
0.226
0.186
0.275
0.204
3
5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
0.198
0.197
0.2
0.242
0.210
1
TUJUAN 1. Eliminasi regulasi yang menghambat (ER) 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar (MKK) 3. Eliminasi biaya yang tidak relevan(EB)
Hasil AHP vertikal untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Tujuan NO 1 2 3 4 5
INDIKATOR Eliminasi regulasi yang menghambat (ER) Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar (MKK) Eliminasi biaya yang tidak relevan (EB) Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (MPM) Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
BOBOT 0,178
RANGKING 5
0,208
2
0,199
4
0,204
3
0,210
1
d) Level Alternatif Strategi Hasil AHP untuk level alternatif strategi, fasilitasi eliminasi hambatan biaya yang tinggi dalam memenuhi persyaratan mutu dan standar memiliki bobot tertinggi yaitu 0.306 (tabel 35). Hal ini sesuai dengan temuan dalam FGD, bahwa eliminasi 125
hambatan biaya yang tidak diperlukan dalam peningkatan standar yang disyaratkan merupakan factor yang penting. Hal yang tidak diinginan adalah dengan penerapan SVLK yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing justru menyebabkan daya saing turun karena biaya sertifikasi yang tinggi. Oleh karena itu pemerintah selayaknya memfasilitasi bagaimana agar biaya sertifikasi tidak memberatkan. Biaya sekitar Rp 80 juta untuk sertifikasi dan pendampingan tentunya menjadi hambatan bagi pengusaha agar berkembang. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan perputaran uang pengusaha yang hanya sebesar Rp 20 – Rp 50 juta perbulan. Tabel 35. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen Pada Level Alternatif Strategi ALTERNATIF STRATEGI 1. Fasilitasi regulasi (A) 2. Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar (B) 3. Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar (C) 4. Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (D) 5. Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional (E)
Tujuan 1
Tujuan 2
Tujuan 3
Tujuan 4
Tujuan 5
Bobot Tujuan
Bobot Alternatif
Rang king
0.206
0.223
0.225
0.206
0.211
0.1780
0.214
2
0.177
0.184
0.174
0.172
0.185
0.208
0.178
3
0.335
0.339
0.229
0.314
0.316
0.199
0.306
1
0.122
0.115
0.128
0.123
0.119
0.204
0.121
5
0.16
0.139
0.174
0.185
0.168
0.210
0.165
4
Fasilitasi regulasi juga merupakan alternatif strategi yang disarankan dalam kajian kebijakan peningkatan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing dengan bobot 0.214. Sosialisasi mengenai SVLK sangat diperlukan. Pada awal FGD di Makassar maupun Surabaya, stakeholder baik dari dinas maupun pengusaha dan 126
eksportir masih belum menerima informasi yang jelas terkait dengan kapan diberlakukan dan apakah SVLK bisa dilakukan secara berkelompok. Namun ketika FGD diselenggarakan di Jakarta, tingkat pusat, Kementerian Kehutanan yang mampu memberikan informasi secara detil menyangkut kapan SVLK diberlakukan dan apakah SVLK bisa dilakukan secara berkelompok. Di tingkat daerah, pihak dinas tidak mengetahui bahwa SVLK bisa dilakukan secara berkelompok, namun di tingkat pusat menyatakan bahwa sertifikasi SVLK dimungkinkan dilakukan secara berkelompok. Selain itu, dari hasil AHP vertikal untuk alternatif strategi juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada Level Alternatif Strategi NO 1 2 3 4 5
INDIKATOR Fasilitasi regulasi (A) Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar (B) Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar (C) Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor (D) Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional (E)
BOBOT 0.214
RANGKING 2
0.179
3
0.306
1
0.121
5
0.165
4
Hasil akhir dari software Expert Choice dapat disajikan pada Gambar 31, dimana terlihat bahwa alternatif strategi fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan standar merupakan alternatif yang seharusnya diprioritaskan untuk mendukung kebijakan peningkatan mutu dan standar dalam rangka peningkatan daya saing ekspor produk kakao.
127
Gambar 31. Output Akhir Pembobotan Strategi dari Software Expert Choice untuk Produk Ekspor Kayu Lapis 5.3. Implikasi Kebijakan 5.3.1. Kebijakan Peningkatan Mutu dan standar Produk Ekspor Biji Kakao dan Kayu Lapis Indonesia Dalam WTO dikenal persetujuan-persetujuan untuk mengatasi kendala teknis, birokrasi dan peraturan yang menghambat seperti: (1) Peraturan-peraturan teknis dan standarisasi (2) Lisensi impor (3) Pemeriksaan sebelum pengapalan (4) Aturan mengenai asal produk (5) Tindakan terkait investasi Seperti diketahui bahwa peraturan teknis dan standarisasi untuk industri sangat penting, namun setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda sehingga pihak importir maupun eksportir mengalami kesulitan dalam perdagangan. Seringkali 128
peraturan teknis dan standarisasi tersebut digunakan sebagai cara untuk melakukan proteksi dan menghambat perdagangan internasional. Oleh sebab itu, persetujuan hambatan-hambatan teknis dalam perdagangan mengatur sedemikian rupa sehingga regulasi teknis standar prosedur penilaian kesesuaian di tingkat domestik tidak menjadi hambatan bagi perdagangan internasional. Di sisi lain dengan memenuhi persyaratan mutu dan standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor diharapkan produk ekspor Indonesia dalam hal ini kakao dan kayu lapis tidak mengalami penolakan. Berdasarkan observasi lapang dan FGD, yang telah dirumuskan dalam AHP secara detail
implikasi kebijakan terkait permasalahan daya saing pada produk
ekspor biji kakao dan kayu lapis adalah sebagai berikut:
a. Produk Ekspor Kakao Kakao merupakan produk ekspor Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif. Namun demikian sering kehilangan daya saing karena tidak terstandarisasi. Bahkan, banyak diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu negara karena tidak menerapkan standar. Hal ini menyebabkan kakao Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional. Permasalahan yang dihadapi terkait mutu dan standar kakao antara lain masalah fermentasi. Fermentasi pada pengolahan biji kakao merupakan salah satu tahapan yang penting karena sangat menentukan mutu biji kakao kering yang dihasilkan. Saat ini petani cenderung menjual biji kakao secara gelondong (tanpa proses fermentasi) dengan alasan harga biji kakao yang terfermentasi maupun yang tidak terfermentasi tidak terpaut jauh, sedangkan proses fermentasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Faktor lain mengapa petani tidak melakukan fermentasi karena pasar mampu menyerap produk biji kakao baik yang terfermentasi maupun yang tidak difermentasi mendorong pelaku ekspor biji kakao tidak melakukan proses fermentasi. Salah satu kerugian yang diperoleh adalah karena harganya lebih rendah maka nilai ekspor kakao yang 129
tidak terfermentasi cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang terfermentasi sehingga mengurangi pemasukan ekspor (devisa negara). Fermentasi pada biji kakao sendiri adalah proses melepaskan pulp dari biji, membentuk warna, flavor dan warna biji. Menurut Sudjatha et al (1991) pemberian ragi tape sebesar 1.5 persen akan dapat menghasilkan biji kakao kering dengan kadar lemak dan kadar keping biji tertinggi dan mutunya masuk kedalam mutu 1B, sedangkan tanpa ragi masuk mutu 1C. Jadi untuk mengatasi permasalahan fermentasi, usaha yang dapat dilakukan adalah pemberian ragi tape untuk memperpendek masa fermentasi. Namun demikian perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai aspek ekonomis dari penerapan teknologi pemberian ragi tape pada proses fermentasi biji kakao oleh laboratorium uji baik pemerintah maupun swasta serta dukungan institusi akademik. Sulawesi Selatan dapat menjadi leader karena ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dimana Sulawesi Selatan sebagai pusat riset kakao: produksi, penanganan penyakit, penanganan pascapanen, riset sosial ekonomi masyarakat serta riset kerjasama dengan pasar baik lokal maupun internasional. Selain masalah biji kakao yang tidak terfermentasi, alasan penolakan oleh negara tujuan ekspor adalah karena biji kakao Indonesia yang teracuni herbisida. Dinas Perkebunan sudah melakukan pengecekan di Laboratorium Universifas Gajah Mada dan hasilnya adalah negatif. Eksportir Indonesia secara ilmiah harus dapat membuktikan bahwa biji kakao Indonesia tidak mengandung herbisida. Hal ini perlu kerjasama semua pihak terutama eksportir, pemerintah, maupun akademisi/peneliti. Selain itu permasalahan ini dapat dijembatani dengan adanya inisiasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor. Pemerintah mempunyai kemampuan negosiasi untuk melakukan fasilitasi mengenai persyaratan mutu dan standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor melalui kerjasama harmonisasi mutu dan standar produk ekspor. Inisiasi mengenai harmonisasi mutu dan standar telah dilakukan Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi untuk memperkuat kerjasama perdagangan dengan melakukan kesepakatan kerjasama antara Badan 130
Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards, Metrology and Quality Organization (SASO) dari Arab Saudi. Sehingga, produk yang diekspor Indonesia tidak perlu lagi menjalani pengecekan laboratorium di negara tersebut, namun cukup dilakukan di Indonesia. Hal ini patut dijadikan pertimbangan, apabila kesepakatan kerjasama dengan Arab Saudi ini berhasil tentunya dapat dilakukan penjajagan kesepakatan kerjasama dengan negara lain khusus untuk produk ekspor yang diawasi mutunya secara wajib. Sedangkan permasalahan dari sisi infrastruktur, lembaga uji mutu baru mampu melaksanakan uji mutu di sektor hilir (belum mampu mencakup sektor hulu). Pengujian mutu dapat dilakukan di semua jalur perdagangan biji kakao (baik di petani, pedagang pengumpul, maupun eksportir) sehingga dengan pengawasan mutu dari sektor hulu sampai dengan hilir tersebut standar mutu ekspor yang dipersyaratkan oleh Negara tujuan ekspor terpenuhi. Terlebih lagi sektor hulu cukup signifikan memengaruhi nilai ekspor kakao. Jika proses budidaya telah berjalan dengan baik maka akan menghasilkan biji kakao yang baik, sesuai dengan standar mutu yang diharapkan.
Bagaimanapun uji mutu atau standarisasi yang akan
diterapkan di sektor hilir tidak akan siginifikan berpengaruh apabila budidaya yang telah dilakukan tidak menghasilkan biji kakao yang memenuhi mutu dan standar yang dipersyaratkan. Produktivitas kakao Indonesia cenderung menurun. Hal ini disebabkan tanaman kakao sudah tua (tanaman kakao yang ada saat ini berumur sekitar 30 tahun-an) atau rusak, serta meluasnya serangan hama dan penyakit (Penggerek Buah Kakao / PBK dan Vascular Streak Dieback / VSD). Pada perkebunan rakyat penurunan produktivitas diindikasikan terjadi karena mutu benih yang digunakan rendah, banyak petani yang menggunakan benih tidak bersertifikat dan teknik budidaya tidak sesuai standar. Kriteria tanaman kakao unggul yaitu memiliki daya hasil tinggi (> 2 ton/ha/tahun), jumlah biji per tongkol rata – rata > 30, berat per biji kering _ 1 g, rendemen (nisbah biji kering terhadap biji segar berlendir) > 30 %, kadar lemak > 50 131
%, kadar kulit ari < 12 %, untuk kakao mulia mempunyai sifat biji segar berwarna putih > 90 %. Tahan terhadap hama dan penyakit utama antara lain hama penghisap tunas dan buah (Helopeltis spp.), hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit busuk buah (Phytophtora palmivora) (Puslitkoka, 2008). Untuk mengatasi permasalahan tentang mutu benih yang rendah karena banyak petani yang menggunakan benih tidak bersertifikat dan teknik budidaya tidak sesuai standar pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumber daya yang ada melalui kegiatan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) 2009 - 2011. Proporsi kepemilikan usaha perkebunan kakao terbesar di Indonesia adalah perkebunan rakyat seluas 1.555.596 ha (94 %) diikuti oleh perusahaan pemerintah seluas 54.443 ha ( 3 %) dan perusahaan swasta seluas 50.220 ha (3 %) (Ditjenbun, 2009). Program GERNAS kakao tepat sekali untuk dilaksanakan karena sangat membantu petani kecil yang merupakan pelaku utama usaha perkebunan kakao di Indonesia. Sasaran kegiatan GERNAS meliputi perbaikan tanaman kakao rakyat seluas 450.000 ha terdiri dari program peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi. Pada awal pelaksanaan GERNAS kakao tahun 2009, dilakukan di 9 provinsi dan 40 kabupaten / kota yang merupakan sentra produksi kakao. Provinsi tersebut yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat dan Papua. Pada tahun 2011 berkembang menjadi 14 provinsi dengan bertambahnya provinsi Gorontalo, Bengkulu, Lampung, Banten dan Jawa Timur. Kegiatan GERNAS kakao membutuhkan benih kakao bermutu yang bersertifikat dan berlabel dalam jumlah yang besar. Pengadaan benih unggul berbasis klonal dibutuhkan dalam kegiatan peremajaan dan rehabilitasi melalui bibit kakao Somatic Embryogenesis dan teknik sambung samping yang memerlukan entres dari kakao unggul yang tahan hama dan penyakit utama tanaman kakao. Teknologi pembibitan menggunakan teknik sambung samping dan Somatic 132
Embriyogenesis diperlukan dalam mendukung penyediaan benih bermutu yang bersertifikat dan berlabel dalam kegiatan GERNAS kakao. Permasalahan selanjutnya adalah ketersediaan peralatan uji mutu yang masih sangat minim. Kondisi ini terjadi pada PPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan. PPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah mampu menguji 7 buah komoditas pertanian yaitu: kopi, pala, mete, kakao, dsb. Personel (SDM) juga sudah mampu melayani proses operasional uji mutu. Namun dalam operasional pengujian mutu tersebut terdapat hambatan antara lain sarana/prasarana dan infrastruktur yang belum lengkap (terkait pengadaan alat uji). Untuk laboratorium uji yang lain hambatan terletak pada ketersediaan SDM yang memiliki keahliah yang diperlukan. Sumber daya manusia yang memiliki knowledge dan keahlian yang tinggi mengenai mutu dan standar juga salah satu faktor yang penting dalam rangka peningkatan daya saing. Tenaga standarisasi yang dimiliki Indonesia masih sedikit (BSN, 2012). Salah satu fakta yang mendukung pernyataan ini adalah belum ada studi khusus standarisasi pada perguruan tinggi. BSN menjajagi untuk membuka studi pasca sarjana di beberapa Universitas antara lain di UGM dan ITB (BSN, 2012). Tenaga standarisasi sangat dibutuhkan untuk mendongkrak daya saing nasional. Permasalahan lain yang menghambat peningkatan mutu dan standar biji kakao adalah masalah regulasi. Masalah regulasi yang menghambat peningkatan mutu dan standar biji kakao untuk mencapai daya saing yang tinggi adalah studi kasus di pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan sentra penghasil biji kakao. Dalam rangka peningkatan mutu dan standar sehingga daya saing tinggi dapat tercapai, dinas perindustrian dan perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan memiliki program harmonisasi mutu dan standar ekspor. Namun program ini sering terganjal karena tidak memperoleh persetujuan dari PEMDA, BAPPEDA, DPRD maupun dinas terkait yang merupakan pengambil kebijakan di tingkat daerah. Hal ini patut disayangkan mengingat income daerah (PAD) banyak diperoleh dari ekspor produk ini. Kontribusi biji kakao pada PAD sangat besar, maka permasalahan yang terkait 133
ekspor biji kakao diharapkan melibatkan semua pihak antara lain unsur PEMDA, BAPPEDA, DPRD maupun dinas terkait. Sebagai gambaran ekspor biji kakao merupakan penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan yaitu hampir 70 persen. Komoditas lain yang dihasilkan Provinsi Sulawesi Selatan antara lain beras, jagung, sapi, udang, dan rumput laut. Karena penyumbang terbesar PAD adalah biji kakao maka menurunnya produksi biji kakao menyebabkan fluktuasi PAD Provinsi Sulawesi Selatan (Tabel 37). Tabel 37. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2002Maret 2011 TAHUN 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 s.d 25 Maret 2011
REALISASI (Rp.) 10.709.971.518 8.300.298.767 9.077.936.551 9.285.001.437 9.854.120.705 7.909.667.084 6.792.610.828 7.371.659.470 7.226.987.450 812.153.024
Sumber: UPTD BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. Sulawesi Selatan, 2012 Diperlukan koordinasi antar instansi untuk mengatasi permasalahan ini. Untuk itu langkah awal diperlukan lembaga yang mampu mengintegrasikan seluruh pihak seperti halnya Pusat Metrologi Nasional (Misalnya memperkuat posisi KIM LIPI). Disamping itu perlu dibangun Laboratorium Acuan untuk Produk Ekspor terpilih Misalnya: SIR, Biji Kakao, dan Kayu Lapis. Selanjutnya peningkatan kapasitas laboratorium dan SDM diperlukan dengan melibatkan sektor swasta. Hal ini akan meningkatkan kompetisi antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan
134
kompetitif. Kompetisi dalam pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi bersaing yang selanjutnya berdampak pada penurunan biaya sertifikasi. Keseluruhan permasalahan terkait biji kakao tersebut akan relative lebih mudah diselesaikan apabila Infrastruktur Mutu yang ada di Indonesia tersedia dan terintegrasi. Integrasi diperlukan agar setiap instansi tidak bekerja secara sendiri. Diperlukan kerjasama antar semua instansi agar mutu dan standar yang ditetap negara tujuan ekspor dapat dipenuhi.
b. Produk Ekspor Kayu Lapis Perubahan pola perdagangan dunia menuju pasar bebas semakin nyata. Penghapusan tariff barrier untuk produk impor telah dilakukan di berbagai negara. Akan tetapi, beberapa negara tujuan ekspor produk kayu menetapkan non-tariff barrier, seperti penetapan persyaratan teknis untuk suatu produk agar dapat diimpor. Hal ini tentunya akan mempengaruhi daya saing produk ekspor suatu negara. Tidak terkecuali produk ekspor kayu lapis Indonesia. Ekspor dilakukan ke beberapa negara seperti Jepang, UK dan Jerman. Salah satu faktor penyebab kinerja ekspor kayu Indonesia relative turun adalah karena krisis ekonomi yang masih melanda Eropa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di wilayah setempat yang amat kritis terhadap kelegalan kayu asal Indonesia. Hingga sekarang kampanye negatif kayu ilegal sangat melekat terhadap produk kayu Indonesia. Untuk memastikan bahwa unit manajemen atau industri menggunakan bahan baku legal yang dibuktikan dengan seluruh bahan baku yang digunakan dilindungi oleh dokumen legalitas, pemerintah menerapkan instrumen Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Jaminan legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya sistem yang dibangun dalam pergerakan kayu mulai dari hutan sebagai sumber kayu, industri sebagai produsen produk kayu, hingga ke pemasaran hasil olahannya. Atas tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari sumber yang legal. Sertifikasi 135
merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internasional. Jadi SVLK merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk merespon permintaan pasar, terutama pasar ekspor bahwa produk industri kehutanan menggunakan bahan baku dari sumber yang legal atau lestari. Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikat dari pasar internasional, khususnya datang dari beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Sebagai bentuk “National Initiative” untuk mengantisipasi semakin maraknya permintaan terhadap skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dsb. Jadi SVLK merupakan komitmen pemerintah dalam memerangi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal sebagai perwujudan Good Forest Governance menuju pengelolaan hutan lestari. Terkait dengan SVLK, Kementerian Kehutanan sudah berketetapan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berlaku pada tahun 2013. Karena itu, bagi pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan dan industri primer serta industri lanjutan, termasuk industri rumah tangga atau pengrajin dan pedagang ekspor diwajibkan sudah mengantongi sertifikat legalitas kayu paling lambat 21 Desember 2012. Ketentuan soal SVLK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.38/Menhut-II/2009 jo No P.68/Menhut-II/2011. Ketentuan SVLK akan berlaku secara efektif dalam proses ekspor setelah ketentuan ekspor kayu yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 20/2008 direvisi maksimal akhir tahun 2012. Tercatat hingga Juli, baru ada 63 unit pengelola hutan yang memperoleh sertifikat legal kayu. Padahal, terdapat 295 unit HPH, 247 HTI, 4 unit hutan restorasi dan 3.262 unit hutan tanaman rakyat. Saat ini perusahaan kayu diwajibkan memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan hambatan yang paling memberatkan adalah masalah biaya. Dalam kontrak (kasus beberapa perusahaan menggunakan jasa SUCOFINDO) disebutkan bahwa audit akan dilakukan setiap tahun selama masa berlaku sertifikat 136
yaitu 3 tahun. Dana di awal untuk pengurusan SVLK lebih dari 40 juta dan per tahun. Selain itu setiap tahunnya harus dianggarkan 30 juta untuk audit SVLK (biaya resmi Rp. 15 juta). Hal ini memberatkan pengusaha terutama pengusaha kecil karena akan menambah beban biaya. Apalagi ditambah dengan kenaikan upah minimum per tahun dan BBM yang juga mengalami kenaikan. Waktu pengurusan SVLK juga dinilai cukup lama. Ijin primer selesai 2 hari, sedangkan SVLK sendiri membutuhkan waktu 14 hari setelah dilakukan audit. Hal ini tentunya akan memperlambat proses ekspor.Selain biaya yang memberatkan, masa berlaku sertifikat yang terlalu pendek tidak dapat mengakomodasi kepentingan bisnis jangka panjang. Sebagai contoh Dinas Kesehatan sekarang sertifikat berlaku minimal 5 tahun dan tetap dilakukan pembinaan dan pengawasan. Selain permasalahan biaya dan masa berlaku SVLK yang tidak mengakomodir bisnis jangka panjang permasalahan terkait SVLK adalah bahwa saat ini negara yang mengakui SVLK, baru Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Oleh karena itu pemerintah harus berusaha agar SVLK bisa diakui banyak negara (Yazid, 2012). Terkait dengan biaya, pemerintah mencoba mengkaji kelayakan pengajuan SVLK dilakukan secara berkelompok. Sertifikat SVLK akan berisi nama-nama perusahaan kecil, sehingga perusahaan kecil pun akan bisa masuk pasar Eropa. Selain itu, pemerintah akan melakukan langkah percepatan yaitu melalui Kementrian Kehutanan mendorong tumbuhnya lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan SVLK. Selain itu bagi industri kecil dan menengah, sertifikasi akan memperoleh subsidi APBN. Dorongan tumbuhnya lembaga verifikasi akan meningkatkan kompetisi antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan kompetitif. Kompetisi dalam pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi bersaing yang selanjutnya berdampak pada penurunan biaya untuk penerbitan SVLK. Uni Eropa sebagai salah satu Negara tujuan ekspor utama produk-produk kayu Indonesia melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan pemerintah Indonesia, mensyaratkan hanya produk kayu "legal" yang boleh diekspor ke Eropa 137
(Eropa menerapkan amandemen Timber Regulation). Sedangkan Amerika Serikat, dengan penerapan amandemen Lacey Act, mensyaratkan adanya self declare dari importir yang menyatakan bahwa hanya "kayu legal" yang diimpor. Australia, Cina, Malaysia dan negara tujuan ekspor lainnya akan menyusul. Selain itu, berbagai permintaan dari importir produk kayu yang mensyaratkan adanya sertifikat Sustainable Forest Management (SFM) untuk setiap produk kayu yang diimpor juga semakin meningkat. SFM sendiri sertifikat yang diperoleh mendapatkan pengakuan di dunia internasional terkait pengelolaan hutan secara lestari. Pengelolaan hutan lestari sendiri diharapkan terlepas dari permasalahan degradasi sumberdaya hutan, illegal logging, keanekaragaman hayati, konflik kepentingan dalam penguasaan lahan, isu ketenagakerjaan, sampai dengan isu hak asasi manusia merupakan masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pengelola hutan di hampir seluruh belahan penjuru dunia. Hal-hal tersebut merupakan bukti semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk kayu yang legal dan lestari. Untuk menghadapi permasalahan ini lembaga sertifikasi domestik dapat membuat MoU dengan lembaga sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang dibutuhkan eskportir.
Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification
International (yang melayani sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari) pada tahun 2004 dengan lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC yaitu Woodmark-Soil Association sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah berpengalaman secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan patut dikaji. Keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi di Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari Woodmark. Biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas layanan sertifikasi yang diberikan. Kerjasama seperti ini layak untuk dikaji lebih mendalam apabila memberikan manfaat positif bagi peningkatan mutu dan standar sehingga volume ekspor Indonesia meningkat. Demikian juga untuk sertifikasi sistem lacak 138
balak/Chain of Custody (CoC) yang merupakan jaminan ketelusuran kayu oleh MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL, Sub Divisi Forestry menjalin kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang telah diakui oleh BM TRADA. Klien (pengusaha dan eksportir) dapat menghemat biaya sertifikasi dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan dunia internasional. Selain itu beberapa negara tujuan ekspor seperti Jepang dan Eropa (berlaku sejak tahun 1990) juga mensyaratkan sertifikasi ekolabel pada semua produk kayu olahan atau hasil hutan yang diekspor termasuk kayu lapis. Program yang diberi nama Green Kanyuho, membuat semua produk hasil hutan Indonesia yang diekspor ke Jepang harus bersertifikasi ekolabel yang diberikan oleh lembaga yang diakui oleh Jepang (Dirjen Bina Produksi Hutan (BPK) - Kementrian Kehutanan, 2012). Lembaga yang dipercaya mensertifikasi kayu dan produk kayu yang diekspor ke Jepang dari Indonesia itu PT Mutu Agung Lestari (MAL). Lembaga sertifikasi yang terakreditasi (Registered Foreign Certification Organization/RFCO) itu menjadi yang kelima di dunia. Empat lembaga sertifikasi lain ada di Kanada, Amerika Serikat (AS), Australia, dan Norwegia. Dengan penunjukkan itu, PT MAL dapat melakukan sertifikasi untuk produk-produk kayu dari negara-negara ASEAN, Papua Nugini, dan Timor Timur. Dengan adanya perusahaan sertifikasi itu, produk-produk kayu dari Indonesia sebenarnya lebih mudah diekspor karena sertifikasi produk dapat dilakukan di dalam negeri. Eksportir dapat lebih mudah memproses sertifikasi, sehingga bisa menghemat waktu dan biaya. Sebelumnya, eksportir harus meminta atau mengundang petugas dari Japanese Agriculture Standard (JAS) untuk melakukan sertifikasi. Pada saat Jepang memberlakukan persyaratan ekolabel untuk kayu lapis, nilai ekspor kayu lapis (plywood) Indonesia ke Jepang hingga November 2005 menurun jika dibandingkan 139
dengan 2004. Pada November 2005 ekspor plywood ke Jepang mencapai US$ 0,77 miliar atau sekitar Rp7,2 triliun. Pada 2004 sekitar US$1,06 miliar atau sekitar Rp9,96 triliun. Secara kubikasi, ekspor plywood ke Jepang pada 2005 hanya mencapai 1,76 juta m3. Pada 2004, Indonesia masih bisa mengekspor plywood 2,45 juta m3. Selain permasalahan SVLK dan ekolabel, permasalahan lainnya adalah beberapa negara yang menerapkan aturan ketat mengenai fumigasi salah satunya Australia dan Amerika. Hal ini menyebabkan beberapa kali produk Indonesia harus difumigasi ulang di negara tersebut karena ditemukan serangga di dalamnya. Sampai saat ini ekspor kayu ke China dan India cukup dengan COO, fumigasi, dan phytosanitary. Berdasarkan hasil lapang fumigasi dapat dilakukan melalui AQIS dan hanya memerlukan biaya Rp 1,1 juta/container 20 feet sedangkan biaya phytosanitary hanya Rp 350 ribu/container 20 feet. Sedangkan untuk pengurusan COO melalui jasa EMKL (forwarder). Dari sisi sarana dan prasarana di Indonesia masih belum lengkap. Di Indonesia kurang lebih terdapat 19 lembaga sertifikasi produk dan ada beberapa penunjukan dari Menteri. Lembaga sertifikasi produk tidak bisa dengan mudah menambah ruang lingkup produk karena keterbatasan laboratorium uji. Jika telah tersedia laboratorium uji, lembaga sertifikasi domestik dapat membuat MoU dengan lembaga sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang dibutuhkan eskportir. Hal ini peluang bagi lembaga sertifikasi domestik. Lembaga sertifikasi domestik harus mampu bersaing dengan lembaga sertifikasi asing. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan SVLK. Selain dari sisi negara tujuan ekspor yang mensyaratkan sertifikat ekolabel dan SVLK, dari sisi domestik pemerintah membatasi ijin produksi. Ijin produksi dibatasi (2000m3-6000m3) dan produksi lebih dari 6000m3 pengurusannya di tingkat pusat yaitu Jakarta. Berdasarkan hasil FGD, responden menganggap prosedurnya sulit. Perlu dipertimbangkan ijin primer yang ada di daerah dapat ditingkatkan. Di sisi lain 140
beberapa perusahaan memiliki ijin hingga 6000 m3, namun pada prakteknya berproduksi lebih dari itu. Pihak yang berwajib diharapkan memberikan sanksi atas pelanggaran ijin produksi tersebut.
5.3.2. Penerapan Quality Infrastructure (QI) Sebagai suatu Sistem Keseluruhan permasalahan terkait biji kakao dan kayu lapis tersebut akan relative lebih mudah diselesaikan apabila laboratorium, fasilitas teknis, SDM yang professional dan berdedikasi serta lembaga-lembaga yang tergabung dalam infrastruktur mutu (QI) tersebut bekerja dalam suatu system. Berbicara mengenai QI, Indonesia harus melihat dan belajar dari pengalaman negara-negara yang telah menerapkan QI yang bekerja sebagai system, mengingat infrastruktur mutu yang ada di Indonesia sudah tersedia namun belum bekerja sebagai suatu sistem Ekspor biji kakao dan kayu lapis memainkan peran yang besar dalam meningkatkan neraca perdagangan yang selanjutnya memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penetrasi biji kakao dan kayu lapis di Indonesia di pasar luar negeri mensyaratkan Indonesia harus memiliki QI yang berfungsi dengan baik sehingga dapat memastikan bahwa proses dan produk ekspor Indonesia dapat menembus Hambatan Teknis Perdagangan (TBT) yang semakin meningkat diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Beberapa laboratorium dan fasilitas teknis untuk mendukung peningkatan mutu dan kualitas biji kakao dan kayu lapis telah tersedia di Indonesia, demikian juga SDM yang profesional dan berdedikasi yang bekerja di lembaga-lembaga QI tersebut walaupun jumlahnya terbatas karena seluruhnya tidak tersedia di sektor publik. Oleh karena itu peningkatan kualitas dan kuantitas (dari segi jumlah) infrastruktur mutu tersebut mutlak diperlukan. Namun, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur mutu baru merupakan necessary condition. Sufficient condition, yaitu berfungsinya lembaga-lembaga tersebut dalam suatu sistem sangat diperlukan. Selama ini lembagalembaga cenderung beroperasi sendiri, jarang melakukan koordinasi dalam 141
melakukan pembagian tanggungjawab, pembuatan kebijakan dan operasional. Hasilnya adalah meskipun pada dasarnya QI Indonesia dapat memberikan kontribusi yang besar, hal itu tidak terjadi seperti yang diharapkan. Masalah serius ada dalam hal: kewenangan dan tanggung jawab yang tidak jelas; utilisasi aset negara yang tidak maksimal; kompetisi antar lembaga yang terus berlangsung, dan kurangnya perhatian terhadap dinamika perubahan situasi regulasi perdagangan internasional. Dengan bekerja dalam suatu sistem QI akan mencapai efisiensi. Efisiensi terhadap struktur QI sangat penting mengingat tingginya dinamika situasi internal dan eksternal Indonesia. Secara internal adanya gerakan menuju otonomi dan desentralisasi yang lebih besar berimplikasi pada satu resiko yang cukup besar sehingga diperlukan sinergi dalam sebuah system yang berfungsi dengan baik. Secara eksternal, Indonesia dihadapkan pada batas-batas TBT yang bergerak cepat, terjadi persaingan yang sangat kuat di pasar ekspor terutama dengan negara-negara tetangga ASEAN sendiri, serta komitmen yang disepakati Indonesia dengan ASEAN, WTO dimana semuanya serba cepat dan dalam derajat yang meningkat melalui perdagangan bilateral dan pengaturan kerjasama. Regulasi Teknis (TR) yang hukumnya wajib harus dipenuhi jika suatu produk ingin untuk mendapatkan akses masuk ke pasar. TR ini ada dalam rangka untuk melindungi kesehatan penduduk di pasar tujuan ekspor, keselamatan umum, keamanan dan lingkungan. Dengan ketentuan untuk memenuhi persyaratan ilmiah tertentu dan dirancang dengan cara yang ditujukan untuk meminimalisir dampak dari perdagangan, TR tersebut diterima di bawah perjanjian WTO mengenai Hambatan Teknis Perdagangan (TBT) dan pengaturan Sanitari dan Phyto-Sanitari (SPS). Oleh karena itu, sebelum biji kakao dan kayu lapis Indonesia dijual di pasar luar negeri, produk tersebut harus bersertifikat sesuai dengan TR yang berlaku di pasar tersebut. Sertifikasi itu harus dilakukan oleh lembaga yang diakui ketidakberpihakan dan kompetensinya. Lembaga sertifikasi ini, pada gilirannya, harus diakreditasi untuk menjalankan fungsi mereka, oleh badan yang memenuhi serangkaian kondisi yang 142
diakui secara internasional. Karena itu, jelas bahwa di Indonesia harus ada sebuah sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada tingkat teknis dan objektifitas yang diperlukan. Selain TR, dan standar internasional, berlaku pula privat standar. Standar ini tidak dibuat dalam forum internasional seperti yang disebutkan di atas, tetapi dirumuskan oleh sekelompok produsen besar dan pelaku perdagangan di bidang tertentu. Standar disebut “Private” karena mereka tidak bekerja melalui dan menuruti proses yang ditetapkan lembaga-lembaga internasional. Standar ini bersifat sukarela dan legal. Dalam rangka untuk membangun QI yang efisien untuk produk ekspor Indonesia khususnya biji kakao dan kayu lapis sehingga tidak akan terhambat karena tidak memenuhi Regulasi Teknis dalam bentuk TBT maupun SPS serta standar internasional maupun standar privat, dilakukan studi banding ke Negara Jerman yang telah memiliki QI yang efisien yang bekerja dalam suatu sistem. Disamping itu dilakukan riset dokumen yang diperoleh dari studi yang dilakukan oleh DFC S.A.U untuk Eropa terkait QI di negara-negara tetangga.
1. National Metrology of German: Physikalisch Technische Bundensanstalth (PTB) PTB (the National Metrology of Germany) memiliki 1.400 staff members yang merupakan pemain besar dalam dunia metrology. Klien dari Technical Cooperation Project adalah German Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), European Union, The World Bank, dan organisasi lain yang merupakan konsumen dari PTB. International Technical Cooperation dari PTB (Physikalisch Technische Bundensanstalth) secara konsisten menggunakan konsep daya saing yang sistemik. QI menurut PTB, didasarkan pada sejumlah komponen-komponen yang berkaitan erat dan membentuk jaringan yang hubungan logisnya berdasarkan hirarki teknis. 143
Gambar 32 menunjukkan keterkaitan yang dapat dijabarkan dalam tiga segmen. Bagian tengah menunjukkan komponen inti yang harus ada sepenuhnya diintegrasikan dalam suatu sistem nasional (sudah ada di Indonesia). Untuk dapat diterima secara internasional, dan kemudian memberikan dukungan untuk ekspor sesuai yang dibutuhkan oleh produsen nasional dan pelaku perdagangan, dimana bagian tengah tersebut harus terhubung ke lembaga-lembaga internasional utama lembaga ini ditampilkan pada sisi kanan diagram. Bagaimanapun, seluruh sistem pada akhirnya ada untuk melayani produsen dan pelaku perdagangan. Perusahaanperusahaan tersebut membentuk bagian dari rantai nilai mereka sendiri sesuai dengan bidang produk (dan jasa) dimana mereka bekerja dan proses yang digunakan, ketertelusuran dari standar yang sebenarnya harus ditinjau dari rantai nilai tersebut. Mereka diwakili secara skematis di sisi kiri diagram.
Sumber: International Technical Cooperation, PTB Gambar 32. QI Menurut PTB (Physikalisch Technische Bundensanstalth) Jaringan QI nasional harus diarahkan untuk pemenuhan persyaratan internasional. Apabila syarat tersebut terpenuhi maka akan menjamin perdagangan internasional biji kakao dan kayu lapis tidak akan terhambat oleh TR. Sebuah 144
gambaran dari sistem National QI yang berdampak pada peningkatan dayasaing ditampilkan pada Gambar 33.
Sumber: International Technical Cooperation, PTB Gambar 33. National QI Sebagai Suatu Sistem untuk Meningkatkan Daya Saing Gambar 34 menunjukkan bagaimana keterkaitan antara QI dengan promosi suatu negara mengenai pembangunan yang berkelanjutan. QI Nasional didasarkan pada empat pilar: Metrologi (M), Standardisasi (S), Pengujian (T) dan Mutu (Q).Dua elemen terakhir digabung menjadi Penilaian Kesesuaian (CA).
Sumber: International Technical Cooperation, PTB Gambar 34. Keterkaitan QI dengan Promosi Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan 145
Metrologi • Laboratorium Kalibrasi • Metrologi Kimia • Sistem Verifikasi (Metrologi Legal)
Standardisasi • Standar Sukarela Nasional & internasional • Regulasi Teknis (TR). Di Indonesia biasa dikenal sebagai Standard Wajib
Pengujian & Mutu (Penilaian Kesesuaian) • Pengujian, Analisis & Inspeksi • Akreditasi & sertifikasi Selain itu Technical Cooperation of Germany’s National Metrology Institute PTB juga membentuk CALIDENA untuk mendorong pembangunan QI di negara berkembang. Bentuk dari QI tersebut berupa jasa yang berhubungan dengan metrologi, standardisasi, tes, manajemen kualitas dan evaluasi terhadap complain yang semuanya relevan baik bagi negara yang mengimpor (konsumen) maupun negara yang melakukan ekspor (produsen), khususnya perusahaan SMEs. Sejauh ini CALIDENA telah diaplikasikan oleh negara Amerika Tengah (Costa Rica, Guetamala, dan Nicaragua). Berdasarkan benchmark QI di Jerman, peningkatan kapasitas metrologi, standardisasi, pengujian, jaminan mutu, akreditasi dan sertifikasi khususnya untuk produk ekspor biji kakao dan kayu lapis Indonesia nantiya adalah inti dari usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam mengekspor produk yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai tambah tinggi. Kondisi ini mensyaratkan di Indonesia harus ada sebuah sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada tingkat teknis dan objektifitas yang diperlukan. 146
Sebagai negara terbesar keempat di dunia, yang berorientasi pada pasar domestik, proses pembangunan di QI adalah normal dan perlu. Tetapi sejak tahun 1990,sebagian besar negara berkembang terbesar di dunia (China, India, Brazil) yang juga menciptakan sistem yang berorientasi pasar domestik, telah meningkatkan profil perdagangan internasional di negara mereka, dan dengan demikian mulai melakukan adaptasi QI mereka sehingga menjadi suatu sistem yang melayani dimensi internasional pertumbuhan ekonomi mereka. Indonesia saat ini harus mulai menyesuaikan sistemnya sendiri menuju satu sistem yang sepadan dengan sistem internasional. Sistem itu dapat disebut sebagai Infrastruktur Kualitas Ekspor (EQI) Indonesia (DFC SAU untuk Uni Eropa, 2012). Direktorat Standarisasi – D.G SPK, Kementrian Perdagangan telah menyusun bagaimana hubungan antara EQI dengan QI internasional yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan Gambar 35. Hubungan EQI dengan QI Internasional Untuk kasus Indonesia, inisiasi dimulai dengan kerjasama Pusat Penelitian RC Chem (Research Centre of Chemistry) -LIPI dengan PTB. Pusat Penelitian RC Chem-LIPI merupakan partner instutitions dari PTB. Pusat Penelitian untuk RC 147
Chem –LIPI adalah kustodian Indonesia yang ditunjuk untuk standar acuan kimia (RENSTRA LIPI 2010-2014). Proyek dari PTB adalah mendukung jaringan dari leading state laboratorium (dibawah koordinasi RC-Chem) untuk membangun struktur awal dari MiC (Metrology in Chemistry) dan mendukung integrasi Indonesia dengan internasional. Namun berdasarkan observasi yang dilakukan oleh DFC SAU untuk Uni Eropa, 2012 terhadap RC Chem-LIPI menunjukkan:
RC Chem –LIPI pada saat ini tidak memiliki aset (gedung, peralatan) dan kapabilitas untuk memenuhi tugas yang diberikan.
RC Chem –LIPI memperoleh dukungan dari PTB. Belum ada proyek khusus yang dimulai. Diperkirakan bahwa proses apapun untuk menempatkan RC Chem-LIPI dalam posisi untuk mengelola metrologi kimia akan membutuhkan waktu sekitar 8 - 10 tahun.
RC Chem –LIPI berencana untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan BBIA– Kementerian Perindustrian , POMN-BPOM, PPMB-Kementerian Perdagangan dan NCQC-Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam rangka menyediakan Materi Acuan Kimia untuk Indonesia.
RCChem –LIPI kekurangan fasilitas, SDM dan struktur organisasi. Maka langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas RC
Chem LIPI agar dapat memenuhi tugas yang diberikan selanjutnya “menghidupkan kembali” RC Chem LIPI dalam mengelola metrology kimia karena untuk bisa bersaing diperlukan waktu untuk membangunnya. Kerjasama dan koordinasi dengan semua pihak diperlukan untuk membangun struktur kelembagaan yang sudah ada saat ini.
148
Sumber: International Technical Cooperation, PTB Gambar 36. Struktur Untuk Sistem Penelusuran Pengukuran Kimia 2. Benchmark Standar Rubber Indonesia (SIR) Selain benchmark dari QI di Jerman, untuk produk ekspor karet yang termasuk dalam SK Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib terhadap 23 produk dapat dijadikan acuan. Pertimbangannya adalah dari 23 komoditas ekspor yang diawasi dalam SK tersebut, hanya karet dengan Standard Rubber Indonesia (SIR) yang terus menerapkan SK tersebut dalam rangka meningkatkan mutu dan standar. Sementara yang lainnya tidak konsisten. SIR sendiri sudah mengaplikasikan QI, walaupun dalam perjalanannya masih perlu ditingkatkan. Gambar 37 menggambarkan mekanisme SNI 06-1903-2000 untuk SIR. SIR telah menyusun infrastruktur mutu untuk meningkatkan daya saingnya.
149
Sumber : Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan Gambar 37. Standard Indonesian Rubber (SNI 06-1903-2000) Pabrik Karet SIR harus mempunyai TPP sebagai identitas produsen karet SIR Indonesia yang telah memenuhi ketentuan sesuai Permendag Nomor 10 Tahun 2008. Adapun persyaratan untuk memperoleh TPP adalah sebagai berikut (gambar 38): 1. Memiliki akte pendirian perusahaan dan perubahannya 2. Memiliki ijin usaha industri atau ijin usaha tetap 3. Memiliki laboratorium sebagai laboratorium Quality Control 4. Menjadi anggota GAPKINDO 5. Memiliki SPPT SNI atau rekomendasi teknis dari laboratorium yang terdaftar di Pusat Standardisasi Gambar 38 di bawah ini menunjukkan mekanisme yang harus dilakukan oleh produsen SIR untuk memperoleh Tanda Pengenal Produsen (TPP).
150
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan Gambar 38. Mekanisme Penerbitan TPP Sedangkan Gambar 39 menunjukkan persyaratan mutu dan standar yang harus dipenuhi oleh produsen karet agar dapat melakukan ekspor dan bersaing di pasar ekspor.
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan Gambar 39. TPP Meningkatkan Daya Saing Menuju Ekspor Pasar Global 151
Namun demikian, SIR sendiri telah mengadopsi konsep bagaimana seharusnya cara kerja infrastruktur mutu Indonesia dan konsep tersebut dapat dijabarkan dalam Gambar 40.
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan Gambar 40. Bagaimana Seharusnya Cara Kerja Infrastruktur Mutu Indonesia Selain itu, gambar di atas juga menunjukkan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi sebelum eksportir karet mengekspor produknya dan juga bagaimana infrastruktur mutu nasional terintegrasi dengan infrastruktur mutu internasional.
3.
Bencmark QI di Singapura, Malaysia dan Thailand Berdasarkan kajian yang dilakukan DFC S.A.U untuk Eropa, EQI Singapura
adalah kelas dunia yang secara terus menerus ditingkatkan sesuai dengan standar internasional tertinggi. Singapura berusaha untuk melakukan penetrasi ke semua pasar. Sedangkan Malaysia dan Thailand memiliki EQI tingkat menengah. Kedua negara menunjukkan kesamaan dalam struktur perdagangan dengan Indonesia, 152
sehingga dengan menganalisa posisi mereka saat ini dan perspektif masa depannya merupakan pelajaran yang berharga sebagai indikasi atas tantangan dan peluang yang mungkin dihadapi Indonesia dari para pesaing regional. Thailand sendiri juga telah menerapkan pendekatan “Single Trade Window” yang mulai diimplementasikan di Indonesia pada tahun 2010. Meskipun karakteristik dari 3 negara yang dikaji oleh DFC SAU untuk Eropa berbeda, namun terdapat beberapa kesamaan pada ketiga negara tersebut yaitu: 1.
Sektor publik maupun swasta memiliki kesadaran yang kuat akan pentingnya pengaruh mutu terhadap peningkatan daya saing.
2.
Dalam perencanaan nasional, QI merupakan salah satu factor untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Hal ini tercermin dalam elaborasi strategi nasional untuk perbaikan berbagai elemen QI. Sebagai contoh, Thailand, sejalan dengan tujuan utama pembangunan ekonomi di negaranya memiliki Strategi Metrologi Nasional untuk periode 2009-2017 yang berfokus pada bidang Kimia dan Biologi.
3.
Keterlibatan sektor swasta. QI tidak hanya melibatkan pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan, pengembangan standar dan hal-hal serupa lainnya, sektor swasta juga merupakan operator utama dalam banyak dimensi EQI. Sebagai contoh, ada 140 laboratorium kalibrasi untuk metrologi ilmiah di Thailand, yang mayoritas besar dipegang oleh pihak swasta dan warga negara Thailand (beberapa dimiliki oleh Jepang dan Singapura). Di Malaysia pasar penyedia Layanan Pengujian, Inspeksi dan Sertifikasi (TIC) sangat kompetitif , tumbuh di angka sekitar 15% per tahun. SIRIM adalah salah satunya, namun sebagian besar dari 15 atau lebih penyedia jasa layanan adalah perusahaanperusahaan swasta (terutama afiliasi perusahaan internasional). Harga untuk jasa yang ditawarkan dapat ditentukan sendiri secara bebas oleh pemain, termasuk SIRIM. Salah satu keuntungan yang diperoleh dari pendekatan pasar mengkhususkan layanan TIC adalah dicapainya kualitas yang lebih tinggi. 153
4.
Lansekap institusional mencerminkan orientasi terhadap pertumbuhan, sektor swasta dan persaingan. Instansi pemerintah memiliki posisi sebagai koordinator dan pembuat kebijakan – bukan operator. Institusi kunci untuk QI (SIRIM di Malaysia, SPRING di Singapore, TISI di Thailand) berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis. Meskipun tingkat kepemilikan pemerintah bervariasi, tata kelola dan pengambilan keputusan dilakukan sejalan dengan situasi di sektor swasta.
5.
Untuk mengatasi masalah QI yang mendesak, dibangun kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta. Di Thailand FXA, sebuah perusahaan swasta Thailand spesialisasi perangkat lunak, telah merancang sebuah sistem ketertelusuran berbasis komputer yang memungkinkan identifikasi lengkap pada semua tahap dari rantai produksi dan distribusi untuk berbagai macam produk makanan. Perusahaan ini bekerjasama sangat erat dengan dua kementerian (Pertanian dan Kesehatan Masyarakat), dan untuk tingkat yang lebih rendah dengan
dua
kementerian
lainnya
(Industri
dan
Transportasi).
Sistem
ketertelusuran menghubungkan basis data yang ada di masing-masing kementerian menjadi data bersama, yang sebelumnya digunakan untuk keperluan internal saja. 6.
Diperlukan waktu yang cukup lama agar struktur institusional memiliki basis yang kuat. Sebagai contoh pada ketiga negara, diperlukan waktu 10 tahun untuk menciptakan perangkat institusional yang berlaku saat ini, termasuk status hukum institusi tersebut (badan korporat, institusi pemerintah dan varian lainnya. Perlu proses yang panjang untuk membangun basis yang kuat bagi terbentuknya EQI.
7.
Komitmen semua institusi terhadap SMEs, sebagai buktinya semua institusi memiliki program khusus untuk membantu SMEs. Sebagai contoh MATRADE di Malaysia institusi secara eksplisit menyelenggarakan pelatihan bagi UKM dalam berbagai aspek Metrologi, Standar, Pengujian dan Mutu (MSTQ). 154
8.
Pelaku sektor publik dan swasta bekerja bersama dan berusaha bertindak proaktif daripada reaktif. Lembaga-lembaga Standardisasi menyediakan informasi “peringatan dini” tentang proses-proses baru yang kompleks dari Regulasi Teknis yang sedang dikembangkan dan diperkenalkan di pasar ekspor (misalnya, ketiga negara mulai menganalisa REACH, baik melalui jalur pemerintah maupun swasta, sejak awal diperkenalkan di Uni Eropa).
9.
Untuk negara Malaysia dan Thailand masih diterapkan “Standar Ganda”, yaitu produk yang dijual secara domestik tidak memiliki kualitas yang sama dengan yang dijual di pasar ekspor, walaupun fenomena ini telah mulai dieliminasi di Singapura. Insiden besar karena faktor keamanan di pasar domestik di negaranegara ini tampaknya tidak signifikan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun tidak sepenuhnya hilang.
10. Ketiga Negara memiliki perwakilan yang kuat di luar negri, baik melalui kedutaan, misi perdagangan, kantor promosi investasi, kamar dagang swasta dan koneksi lainnya, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pengetahuan tentang perkembangan pasar ekspor. Intelejen pasar sangat diperlukan untuk mengetahui persyaratan mutu dan standar negara tujuan ekspor sekaligus sebagai fasilitator apabila terjadi penolakan. 11. Partisipasi aktif dalam badan-badan MSTQ internasional. Di ketiga negara, tampaknya mulai ada kesadaran dan inisiatif terhadap kemungkinan menjadi “ pembuat standar” dan bukan hanya “pengikut standar”. Sebuah contoh yang kuat adalah Malaysia secara eksplisit memfokuskan diri menjadi pemimpin dunia untuk produk halal (yang mencakup rentang produk yang sangat luas). Sebuah perusahaan telah dibentuk (Korporasi Pengembangan Halal, HDC, di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri) dengan tujuan menjadi pencanang kecepatan internasional di bidang ini. Mengingat bahwa perkiraan jumlah konsumen halal di dunia adalah 1,6-1,9 miliar, dan perkiraan perdagangan global tahunan untuk produk Halal melebihi $ 2 triliun (lebih dari 155
100 kali ekspor Indonesia), potensinya sangat besar. Fokus standar yang kuat telah diberikan kepada inisiatif Halal. Pada pertemuan Organisasi negara-negara Islam (OKI) di bulan April 2009, Malaysia ditugaskan memegang peran utama dalam pengembangan standar Halal. Standard Malaysia (MS) seri 1500 sekarang menjadi acuan penting di bidang ini. Perhatian khusus juga diberikan untuk tersedianya proses sertifikasi yang efisien di bidang ini. Pada pertengahan tahun 2010, proses yang sebelumnya ata-rata membutuhkan waktu 8 bulan, diperpendek menjadi hanya satu bulan. Enam perusahaan internasional yang beroperasi di Malaysia sudah disertifikasi. 12. Masalah EQI digunakan sebagai alat negosiasi. Di tahun-tahun sebelumnya, proses di WTO cukup mendominasi, dimana pada periode tersebut, negaranegara hanya menjadi pemain yang lebih kecil. Tapi sekarang, yang lebih memegang peranan adalah perjanjian bilateral (dan, pada tingkat lebih rendah, perjanjian regional). Singapura, dengan infrastruktur canggih dan ambisi yang besar untuk menjadi penghubung global bagi inovasi dan kualitas tinggi, menempatkan perjanjian yang berkaitan dengan EQI (seperti Perjanjian Pengakuan Reksa, MRA) sebagai bagian penting dari perjanjian bilateral. Malaysia dan Thailand, yang tidak dalam situasi yang sama seperti Singapura dari perspektif pembangunan secara keseluruhan, mengadopsi target yang tidak seambisius Singapura, namun selalu berusaha memperoleh pengakuan melalui perjanjian bilateral dengan mitra terkemuka. 13. Bantuan asing sebagai pelengkap bagi pendanaan pembangunan QI. Ketiga negara tersebut sekarang melakukan utilisasi secara optimum sumber daya mereka sendiri. Sebagai mitra asing, Jepang yang paling aktif. Bantuan diarahkan terutama untuk membantu pengembangan “ketertelusuran secara lengkap di rantai produk” dalam bidang makanan dan perikanan. Bantuan Jepang juga diarahkan pada kelompok sektor publik dan swasta, terutama untuk
156
meningkatkan standar mutu di sektor industri di mana perusahaan Jepang memiliki FDI yang signifikan. Berdasarkan bencmark dari PTB, SIR, maupun EQI di negara ASEAN Singapura, Malaysia dan Thailand, produk ekspor biji kakao dan kayu lapis memerlukan sebuah sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada tingkat teknis dan objektifitas yang diperlukan. Hal ini akan mendorong Indonesia akan mengekspor produk yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai tambah tinggi.
157
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan nilai rata-rata RCAB biji kakao, tertinggi perdagangan IndonesiaJerman disusul Brazil, Cina, USA dan Malaysia. Secara series, nilai RCAB biji kakao cenderung stabil untuk semua negara tujuan ekspor utama kecuali ke India. Berdasarkan nilai rata-rata RCAB, perdagangan kayu lapis Indonesia dengan UK memiliki nilai tertinggi, disusul SAU, Jerman, dan USA. Sedangkan secara series, trend ekspor hampir seragam dan meningkat untuk semua negara tujuan ekspor. Artinya untuk komoditi biji kakao dan kayu lapis Indonesia memiliki dayasaing dan kemampuan penetrasi yang tinggi di pasar dunia. 2. Analisis strategi kebijakan peningkatan mutu dan standar ekspor biji kakao adalah (1) fasilitasi infrastruktur pengujian mutu dan standar, (2) fasilitasi regulasi, (3) Fasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional, (4) fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar, (5) Fasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar Sedangkan untuk kayu lapis (1) fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar, (2) fasilitasi regulasi, (3) fasilitasi infrastruktur pengujian mutu dan standar, (4) Fasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional (5) Fasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor 3. Berdasarkan hasil AHP maka rekomendasi strategi peningkatan standar dan mutu produk ekspor biji kakao meningkatkan fasilitasi infrastruktur standar dan mutu. Sedangkan untuk produk ekspor kayu lapis rekomendasi strategi peningkatan standar dan mutu kayu lapis adalah meningkatkan fasilitasi terhadap adanya hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar ekspor.
158
6.2 Rekomendasi 6.2.1 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor Biji Kakao: 1. Biji kakao yang berdaya saing tinggi akan salah satunya akan sangat ditentukan oleh kualitas benih dan proses budidaya. Saat ini hampir sebagian besar benih biji kakao belum terstandarisasi dengan baik. Untuk itu diperlukan benih kakao yang bermutu yang telah disertifikasi. 2. Untuk meningkatkan standar mutu kakao terkait fermentasi diperlukan riset untuk memperpendek waktu fermentasi. Riset ini dapat dilakukan oleh Pusat Riset Kakao yang dibentuk oleh pemerintah. 3. Penolakan isu terkontaminasi bahan kimia diatasi dengan memberikan argumentasi disertai bukti ilmiah berupa uji mutu yang diterima secara internasional. Selain itu perlu dilakukan inisiasi harmonisasi standar dan mutu mis: Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards, Metrology and Quality Organization (SASO) dari Arab Saudi, produk ekspor cukup dilakukan di Indonesia.
6.2.2 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor Kayu Lapis: 1. Optimalisasi pengajuan SVLK secara berkelompok oleh pengusaha kecil untuk mengatasi masalah biaya. 2. Pemerintah melakukan langkah percepatan dengan mendorong tumbuhnya lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan SVLK sehingga diharapkan mampu memperluas pelayanan dan pengurangan biaya yang ditanggung pengusaha kayu. 3. Terkait sertifikasi internasional lainnya (seperti CoC, SFM, CARB, JAS) maka diharapkan lembaga sertifikasi domestik dapat melakukan MoU dengan lembaga sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang dibutuhkan eksportir. Hal ini diharapkan akan mampu mengurangi biaya dan mempermudah prosedur. Contoh: Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification International dengan Woodmark-Soil Association , Sub Divisi Forestry menjalin kerjasama dengan BM TRADA kerjasama mengenai sistem lacak
159
balak (CoC). Proses audit sertifikasi dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang telah diakui oleh BM TRADA.
6.2.3 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor: 1. Peningkatan kapasitas (IT & staf) dan peningkatan jumlah, ruang lingkup & kompetensi infrastruktur mutu baik di laboratorium, lembaga inspeksi dan sertifikasi. 2. Dalam jangka panjang agar daya saing dari sisi standar dan mutu meningkat perlu dibentuk Quality Infrastructur (QI) Nasional yang didasarkan atas 5 pilar yaitu standarisasi, metrologi, pengujian, akreditasi dan sertifikasi yang selanjutnya dibentuk Pusat Metrologi Nasional yang diharapkan berfungsi seperti
National
Metrology of
German
Physikalisch Technische
Bundensanstalth (PTB). Kedudukan QI nasional bisa di bawah naungan Kementrian Perdagangan atau Kementrian Ristek. Agar QI berjalan sebagai suatu sistem maka diperlukan koordinasi antar instansi baik pemerintah maupun swasta. 3. Mengoptimalkan peran LIU sebagai unit yang memfasilitasi penggunaan database yang terintegrasi langsung dengan sistem INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor Sistem ini diharapkan menjamin ketertelusuran menghubungkan basis data yang ada di masing-masing kementerian menjadi data bersama, yang sebelumnya digunakan untuk keperluan internal saja. 4. Membangun Laboratorium Acuan untuk sektor (produk) terpilih, misalnya sebagai leading sector produk yang telah secara konsisten mengaplikasikan SK Deperindag No.164/MPP/KEP/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu adalah SIR.
160
DAFTAR PUSTAKA Agung, I., G., N. 1997. Memperpendek Masa Fermentasi Biji Kakao dengan Pemberian Ragi Tape. Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Bali. Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI Penguat Daya Saing Bangsa. BSN, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2012. Informasi Standar Nasional Indonesia Produk Unggulan untuk Mendukung MP3EI. BSN, Jakarta. BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2010. Profil UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (BPPMB) Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementrian Kehutanan. 2010. Statistik Kayu Tahun 2010. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan. 2007. Kebijakan Umum di Bidang Ekspor. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Jakarta DFC SAU untuk Eropa. 2012. Infrastruktur Kualitas Ekspor Indonesia. Fahmi, Z.K. 2012. Penggunaan Benih Kakao Bermutu dan Teknik Budidaya Sesuai Standar Dalam Rangka Mensukseskan GERNAS Kakao 2009-2011. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan,Surabaya. Kristianingrum, E., dan Lukiawan R. 2011. Kajian Standar Sektor Rempah-rempah terkait Penolakan Produk dalam Mendukung Peningkatan EKspor Indonesia. Jurnal Standardisasi Vol. 13, No. 1 Tahun 2011: 67 – 71. Mutuagung Lestari (MAL). The Profile of PT. MUTUAGUNG LESTARI Mutuagung Lestari (MAL). CARB (California California Air Resources Board) Certification. MAL, Depok. Mutuagung Lestari (MAL). CE Marking dan SNI Marking. MAL, Depok. PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. Promotion of Economic Development in Technical Cooperation: Quality Infrastructure. PTB, Braunschweig. PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. Sharing Expertise for Quality. PTB’s Technical Cooperation in Asia. PTB, Braunschweig. 161
PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. CALIDENA Methodology Handbook Participative Analysis of Quality and Value Chains. PTB, Braunschweig. PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). International Technical Cooperation. PTB, Braunschweig. Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Kementrian Perdagangan. 2008. Kajian Kebijakan Pengawasan Mutu Barang Ekspor Hasil pertanian. Workshop. Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Jakarta. Saleh, A., R. 2012. Standar dan Perundang-undangan Kayu Lapis dan Kakao. Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi, Jakarta Tamburian, E. 2012. SVLK Jangan Beratkan Usaha Kehutanan. Sinar Harapan Kamis, 5 Juli 2012. Kompas. Biaya Sertifikasi Memberatkan. Kompas Jumat, 13 Juli 2012. Kompas. Tingkatkan Pasar dengan Kredibilitas SVLK. Dulu Sukarela, Kini Wajib Sertifikasi Hutan Lestari. Kompas Sabtu, 4 Agustus 2012. Tim Kecil Pengembangan Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. 2008. Pedoman Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara atas Dukungan MFP-Kehati. 2009. SVLK Menuju Pengelolaan Hutan Lestari dan Legalitas Kayu. Zakiyah. 2009. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dan Legalitas Kayu (LK). Komite Akreditasi Nasional, Surabaya.
162