TAKEHOME MID-EXAM TINJAUAN LITERATUR
DIMENSI-DIMENSI SPIRITUALITAS DAN RELIGIUSITAS DALAM INTENSI KEPERILAKUAN KONSUMEN
DISUSUN OLEH: DARU ASIH/373562
PROGRAM DOKTORAL MANAGEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015
1
DIMENSI-DIMENSI SPIRITUALITAS DAN RELIGIUSITAS DALAM INTENSI KEPERILAKUAN KONSUMEN
1. Pendahuluan Riset mengenai spiritualitas dan religiusitas dalam pemasaran, khususnya terkait dengan keperilakuan pelanggan atau konsumen masih belum begitu banyak dilakukan, namun dalam perkembangannya sampai saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Spiritualitas adalah berkenaan dengan kehidupan bathin (inner life) seseorang, yang ternyata memiliki konsekuensi positif pada perilakunya dalam kontek organisasional. Sedangkan religiusitas adalah berkenaan dengan perasaan keberagamaan seseorang, yakni segala perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, yang sifatnya lebih dogmatis. Pada mulanya spiritualitas dianggap bukan sebagai variabel saintifik, namun dalam perkembangannya, terutama sejak awal 1990 an, spiritualitas tersebut telah mulai menjadi pusat perhatian dalam riset dan publikasi. Dalam riset konsumen, spiritualitas mulai mendapat perhatian, sebagai elemen dari pencarian kebebasan postmodernis, untuk meningkatkan kehidupan manusia. Telah ada upaya yang sistematis dan berhasil dalam menerapkan konsep spiritualitas dalam seting organisasional untuk memperbaiki kesehatan karyawan (Ratnakar dan Nair, 2012). Terdapat dua aliran riset konsumen yang inheren secara implisit, yaitu materialisma dan yang bersifat batiniah (sacred). Agama juga diyakini memiliki serangkaian hukum dan peraturan yang mempengaruhi perilaku konsumen secara riatualistik dan simbolik (Rahman, 2012). Social cognitive theory menjelaskan adanya interaksi antara faktor personal dengan faktor situasional dalam memengaruhi perilaku individu. Social cognitive theory menyatakan terdapat hubungan segi tiga yang saling mempengaruhi (triadic reciprocal causation) antara perilaku, faktor kognitif dan personal, serta lingkungan 2
eksternal (Wood dan Bandura, 1989). Faktor kognitif dan personal merupakan faktor-faktor yang berada dalam diri seseorang meliputi sifat, watak, kepribadian, kebutuhan, nilai, dan keyakinan. Dalam hal ini, spiritualitas dan religiusitas dapat dikategorikan sebagai faktor personal. Sementara itu, variabel situasional merupakan faktor-faktor eksternal berupa situasi, konteks, dan kondisi lingkungan. 2. Tinjauan Literatur Sampai saat ini, masih sangat sedikit studi empiris yang menguji tentang peran religiusitas dan spiritualitas dalam intensi keperilakuan pelanggan. Riset-riset sebelumnya telah mengeksplorasi bahwa religiusitas, spiritualitas, animositas , dan konsep negara asal (country of origin) masih merupakan hal baru bagi negara-negara berkembang seperti Bangladesh, yang menjadi seting penelitian dari Rahman (2012). 2.1.
Spiritualitas Isu spiritualitas dalam perilaku konsumen sekarang ini sedang mengalami
peningkatan. Pada riset-riset awal banyak peneliti menyarankan bahwa tingkat pengembangan spiritualitas dan komitmen dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan perilaku konsumen yang dapat dimotivasi spiritualitas itu merupakan hal yang baik (Ulvoa, 2009; Homer & Kahle, 1988; Mokhlis, 2006) dalam Rahman (2012).
2.1.1 Definisi Spiritualitas Ada banyak sekali definisi mengenai spiritualitas. Ratnaker dan Nair (2012) mengutip pendapat Hodge (2001) bahwa spiritualitas didefinisi sebagai sebuah keterhubungan dengan Tuhan, atau pada yang “Akhir” yang menimbulkan suatu makna, tujuan dan misi dalam hidup. Pendapat lain menurut Krishnakumar & Neck (2002) dalam Ratnakar dan Nair (2012) menyatakan bahwa pandangan kompleks terhadap spiritualitas adalah sebagai hal positif bagi organisasi jika manager berusaha memahami perbedaan pandangan spirituall dan mendorong pula semua pandangan dalam organisasi, dan coba menelusuri deskripsi difinitif dari istilah 3
tersebut. Spiritualitas merupakan aspek psikologis baku yang memunculkan perilaku religius. Parsian dan Dunning (2009) yang telah mengembangkan kuesioner spiritualitas mendefinisi spiritualitas sebagai “pencarian makna dalam kehidupan, aktualisasi diri dan koneksi dengan diri sendiri (inner-self), orang lain dan keseluruhannya” dan menyatakan bahwa definisi tersebut dapat diterapkan pada orang yang religius maupun yang tidak religius. Jadi spiritualitas ini cakupannya lebih universal, tidak terikat pada satu agama atau keyakinan tertentu. Namun, sampai saat ini belum disepakati definisi spiritualitas yang sifatnya umum. McSherry dan Cash (2004) dalam Ratnakar dan Nair (2012) telah menelusuri beberapa definisi yang dikutip secara umum terutama dalam konteks keperawatan (nursing) untuk menguatkan apakah konsep spiritualitas ini dapat diartikan ‘universal.’ Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada definisi universal mengenai spiritualitas dan probabilitas teoritis untuk membuatkan secara virtual adalah tidak mungkin. Pada artikel mutakhir, Poole (2009) dalam Ratnakar dan Nair (2012) menyarankan untuk tetap menjaga definisi spiritualitas ini tetap bervariasi, dan mengarah pada tujuan, nilai dan pemberian makna, baik dan etis, transendensi, aktualisasi diri dan lain-lain yang bersifat duniawi.
2.1.2 Spiritual Intelligence . Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dipublikasi pertama kali oleh Gardner (1993) dalam Ratnakar dan Nair (2012), mencakup tujuh macam kecerdasan yaitu: Linguistik/verbal, matematis/logis/analitis, visual/spasial, auditory/music, kinestetik/motoric, interpersonal, intrapersonal, dan pada tahun 2000, ditemukan lagi kecerdasan yang ke delapan, yaitu naturalistik. Emmons (2000) dalam Ratnakar dan Nair (2012) menulis artikel secara revolusioner dengan mengajukan kecerdasan yang ke sembilan yaitu kecerdasan spiritual. 4
Zohar dan Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya. SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
2.1.3 Dimensi-dimensi spiritualitas Ada
13
dimensi
spiritualitas
menurut
Bennet
dan
Bennet
(
2007) dalam Ratnakar dan Nair (2012), yaitu:
Tabel 1. Dimensi-dimensi Spiritualitas 1. Gairah (Aliveness) 2. Kepedulian (Caring) 3. Belas kasih (Compassion) 4. Hasrat (Eagerness)
5. Empati (Empathy) 6. Ekspentansi (Expectancy) 7. Harmoni (Harmony)
9. Cinta (Love) 10. Respek (Respect) 11. Sensitivitas (Sensitivity)
8. Keceriaan (Joy)
12. Toleransi (Tolerance) 13. Kesediaan/kerelaan (Willingness)
Sumber: Bennet dan Bennet (2007) dalam Ratnakar dan Nair (2012)
Sedangkan menurut Graci (1999) spiritualitas itu mencakup kedermawanan (charity), komunitas (community), belas kasih (compassion), pemaaf (forgiveness), 5
harapan (hope), peluang pembelajaran (learning opportunity), kebermaknaan (meaning/purpose), dan moralitas (morality). Selain itu, McCormick (1994) memaparkan lima tema spiritualitas yang dianggap relevan secara signifikan dalam konteks pasar global dan tempat kerja multicultural, yaitu compassion, right livelihood, selfless service, pekerjaan sebagai media dan puralisma (kemajemukan).
2.1.4 Pengukuran Spiritualitas Banyak orang berupaya mengembangkan konstrak-konstrak terkait dengan spiritualitas dan alat pengukurannya. Ratnakar dan Nair (2012) memaparkan beberapa skala pengukuran sebagaimana berikut: Ellison (1983) membuat Spiritual Well-Being Scale (SWBS) terdiri atas dua dimensi yaitu Existential Well-Being (EWB) dan Religious Well-Being (RWB). Beberapa tahun lalu skala ini telah banyak dipakai secara luas. Instrumen lain yaitu Kuhn’s Spiritual Inventory dilaporkan McKee & Chappel, 1992), dibuat dalam 25 pertanyaan yang fokus pada hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan transenden, tapi bukan lingkungan. Mascaro, Rosen & Morey (2004) mengkonstrakkan 14 aitem Spiritual Meaning Scale (SMS) untuk mengukur perluasan
makna
yang
diturunkan
dari
spiritualitas.
Ryan
&
Fiorito
(2003) mengembangkan Means-Ends Spirituality Questionnaire dengan 63 aitem ME-S-Q) untuk meneliti keterhubungan agama dan kesehatan mental. Glik (1990) mengembangkan 19 aitem Index of Spiritual Orientation, yang memiliki tiga faktor yang unik yang berhubungan secara konseptual dengan Ideational beliefs (9 aitem), ‘Salience of religion’ (6 aitem) dan ‘Mysticism’ (4 aitem). The Spiritual Health in Four Domains Index (SH4DI) dikembangkan oleh Fiser, Francis & Johnson (2000) untuk menilai kesehatan spiritual dalam istilah dari empat domain spiritual well-being berkenaan dengan diri sendiri, komunitas, lingkungan dan Tuhan. Kuesioner spiritualitas terdiri atas 29 aitem, yang dikembangkan oleh Parsian & Dunning (2009) untuk mengukur spiritualitas dan menguji keterhubungan antara spiritualitas dan penyembuhan orang muda yang kena diabetes, yang 6
mencakup empat faktor: self-awareness, pentingnya keyakinan spiritual, praktik spiritual dan kebutuhan spiritual. Kelemahan dari pengukuran ini adalah dominasi seting Barat (Kristiyani) sehingga menjadi masalah ketika akan diaplikasikan pada seting Timur, dan mencakup agama lain, Hindu, Budha, dan Islam.
2.2.
Religiusitas Agama (religion) adalah fondasi penting dari budaya yang mempengaruhi
kebiasaan konsumen, sikap dan nilai (Taylor, 1979). Religiusitas adalah nilai sakral dan suci yang pengaruhnya kuat pada pengalaman emosi seseorang, perilaku, pemikiran dan perasaan psikologis yang baik. Agama berdampak pada kehidupan konsumen sehari-hari baik pada konsumsi maupun secara budaya. Itulah mengapa peneliti-peneliti terdahulu sepakat bahwa pengaruh keyakinan beragama dapat memainkan peran penting pada perilaku sosial konsumen individual yang mencakup keputusan pembelian mereka (Greelay, 1977; Uppal, 1986; Anand & Kumar, 1982; Luqmani, Yavas & Quraeshi, 1987; Michell & Al-Mossawi, 1999; Walker & Fam, 2000; Birch, Schirato & Srivastava, 2001; Delener, 1990). Menurut Johnstone (1975) sebagaimana dikutip oleh Mokhlis (2006) bahwa agama adalah sistem keyakinan dan praktik atas pemahaman dan respon seseorang terhadap hal-hal supernatural dan kesucian (sacred), sebagai unsur fundamental dari masyarakat dalam budaya dan secara pasti berkaitan dengan banyak aspek dalam kehidupan dan perilaku. Sedangkan menurut Zimbardo dan Ruch (1979) dalam Mokhlis (2006) bahwa agama mempengaruhi tujuan, keputusan, motivasi dan kepuasan. Pada kenyataannya agama memang berperan penting dalam kehidupan dan pengalaman hidup (Ellison dan Cole, 1982 dalam Mokhlis, 2006) dan selanjutnya menjadi kekuatan kunci dalam perilaku individu (LaBabera, 1987 dalam Mokhlis, 2006). Dua sumber utama dari keyakinan beragama adalah berkenaan dengan larangan dan perintah Tuhan, yang pada agama tertentu harus dipraktekkan. 7
Contohnya, dalam Islam, ada larangan minum minuman keras dan memakan daging babi, perintah atau kewajiban shalat lima waktu, dan sebagainya, yang sesuai dengan kitab suci Al qur’an dan Hadits. Sedangkan sumber kedua adalah terkait dengan kultur, norma, sikap dan nilai dalam masyarakat, yang tuntunannya juga ada pada kitab suci masing-masing agama. Religiusitas, menurut Schiffman dan Kanuk (2007) telah berperan penting dalam masyarakat Yahudi di Amerika Serikat dalam mempengaruhi keputusan membeli produk. Masyarakat Yahudi di Amerika menganggap masalah halal adalah perkara penting di dalam memilih suatu produk yang akan dikonsumsinya. Hal serupa juga terdapat di Indonesia berdasarkan beberapa penelitian yang menemukan kecenderungan konsumen muslim untuk mempertimbangkan masalah kehalalan dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Kemudian dalam Schiffman dan Kanuk (2000), religiusitas dimasukkan sebagai sub budaya dalam kelompok sosio-kultural yang juga memberikan pengaruh ekternal dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Teori ini didukung hasil penelitian Abdelghani dan Hassanuddeen (2012) yang menemukan bahwa religiusitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan membeli. Menurut Sekaran (2006) hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya tidak selalu bersifat universal tetapi tergantung kepada situasi. Menurut Hirschman (1981) dalam Rahman (2012) afiliasi religius membentuk sikap konsumen terhadap pemilihan produk dan jasa seperti majalah, restoran bahkan gagasan politik. Akibatnya peneliti menemukan bahwa ada keterhubungan yang kuat antara religiusitas dan standar moral (Wiebe & Fleck, 1980; Barton & Vaughan, 1976; Wilkes, Burnett & Howell, 1986). Para peneliti sebelumnya juga menyetujui bahwa pemasar tidak harus terlalu bergantung pada implikasi terkait dengan karakteristik demografis mendasar dari pembeli seperti tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, umur jenis kelamin, status karyawan dan sebagainya, karena elemen-elemen tersebut berubah-ubah sepanjang 8
waktu dan dari generasi ke generasi (McDaniel & Burnett, 1990 dalam Rahman, 2012). 2.2.1 Pengukuran Religiusitas Saat ini sudah cukup banyak dikembangkan ukuran-ukuran terhadap konstruk religiusitas. Pengukuran religiusitas yang dipakai secara luas adalah Religious Orientation Scale (ROS) dari Allport dan Ross, 1967 dalam Vitell (2009), yang berdasarkan pada tinjauan teoritis Allport terdahulu pada psikologi agama (Allport, 1950 dalam Vitell, 2009). Skala ini mencakup dua dimensi religiusitas yang berbeda secara mendasar, yaitu dimensi ekstrinsik dan dimensi intrinsik. Dimensi ekstrinsik mengacu pada motivasi kebermanfaatan yang mendasari perilaku religius, sedangkan dimensi intrinsik adalah mengacu pada motivasi yang berdasarkan pada tujuan yang inheren dari tradisi religius itu sendiri. Karakterisasi dimensi orientasi religius ini didukung fakta bahwa dimensi ekstrinsik merupakan prediktor yang lebih lemah terhadap luaran positive life daripada dimensi intrinsiknya (Vide, Salsman et al., 2005 dalam Vitell, 2009). Sedangkan dimensi intrinsik berkaitan dengan komitmen dan keterlibatan yang lebih inheren pada tujuan spiritual. Salah satu temuan penting dari riset sebelumnya adalah perlunya ukuran multi aitem yang lebih jelas untuk mengukur religiusitas dikarenakan adanya kompleksitas inheren dari konstruk religiusitas tersebut. Perlu dikembangkan pula skala multidimensional untuk meneliti konstruk religiusitas yang rumit itu. 2.3. Perbedaan antara Spiritualitas dan Religiusitas Sering terjadi kerancuan pemahaman mengenai spiritualitas dan religiusitas, bahkan kedua istilah tersebut sering dianggap sama, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. Ratnakar (2011) dalam Ratnakar dan Nair (2012) membedakan spiritualitas dan religiusitas sebagaimana tersaji dalam tabel berikut: 9
Tabel 2. Perbedaan antara Religiusitas dan Spiritualitas NO 1
Keterangan Pengertian
Spiritualitas Keinginan batin akan makna dan komunitas Topik yang pantas/sesuai untuk didiskusikan di tempat kerja
Religiusitas Sistem kepercayaan terorganisasi Topik yang tidak sesuai didiskusikan di tempat kerja
2
Etika pembahasan:
3
Keterkaitan
Tidak tergantung pada kepercayaan tertentu
Dapat berfungsi sebagai alat atàu jalan untuk memelihara, memahami, dan mengekspresikan spiritualitas
4
Cakupan konsep
Konsep yang lebih luas mewakili kepercayaan dan nilai
5
Cara pandang
Melihat ke dalam diri individu, lebih inklusif, berlaku universal dan mencakup beragam ekspresi keterikatan
Konsep yang lebih kecil mengacu pada perilaku, memiliki prinsip-prinsip, dogma, dan doktrin yang telah ditentukan Sering melihatnya dari luar, upacara dan ritual tertentu terkadang cenderung dogmatis dan ekslusif
6
Hubungan dengan etika
Dukungan teoritis dan praktis yang kuat antara spiritualitas dan etika
Hubungan yang belum jelas antara religiusitas dan etika
Sumber: Ratnakar (2011) dalam Ratnakar dan Nair (2012). 3. Pengembangan Hipotesis Sebelum tahun 1990-an, religion dan religiusitas belum banyak mendapat perhatian para peneliti untuk dipelajari lebih dalam. Ada beberapa kendala yang menghalangi peneliti konsumen untuk menghasilkan studi mendalam mengenai hal tersebut. Kendala itu antara lain adalah agama merupakan hal yang sensitif, sulit 10
diukur, menyangkut masalah gender, dan kesulitan metodologis dalam memperoleh data yang valid dan reliabel (Mokhlis, 2006). Pengaruh agama pada perilaku konsumen agak diabaikan dalam masyarakat sekuler, sebagaimana dikemukakan oleh Delener (1994) dalam Mokhlis (2006) bahwa meskipun agama berpengaruh kuat dalam kehidupan, namun pada umumnya dalam perilaku pembelian, peran agama ini masih belum begitu jelas. Namun demikian seiring berjalannya waktu dan adanya perubahan sosial serta pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, kini para peneliti banyak tertarik untuk lebih memperhatikan pada faktor-faktor personal, termasuk spiritualitas dan religiusitas. Isu spiritualitas dalam perilaku konsumen semakin menarik untuk diteliti. Meskipun eksplorasi fenomena spiritualitas dan imbasnya pada pasar tergolong lamban, namun perhatian masyarakat terhadap hal ini semakin meningkat. Pada studi terdahulu banyak peneliti menyarankan bahwa tingkat pengembangan spiritualitas dan komitmen dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan perilaku konsumen yang dapat dimotivasi spiritualitas itu adalah baik (Ulvoa, 2009; Homer dan Kahle, 1988; Mokhlis, 2006 dalam Rahman, 2012). Keputusan pembelian konsumen didasarkan pada banyak faktor di antaranya adalah ekuitas merek dan loyalitas merek (Knox and Walker, 2001; Myers, 2003 dalam Rahman, 2012). Selain itu, religiusitas konsumen, spiritualitas dan animositas juga mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli produk asing dari perusahaan-perusahaan yang berdasarkan negara-negara yang ada hubungan atau yang bermusuhan (Sutikno dan Cheng, 2011 dalam Rahman, 2012). Berdasarkan kajian literatur empirik ditemukan bahwa pengaruh variabel produk terhadap keputusan pembelian belum bersifat universal. Artinya, masih ditemukan research gap menyangkut hubungan variabel-variabel tersebut. Abdelghani dan Hassanuddeen (2012) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara religiusitas dengan pilihan nasabah terhadap jasa jasa keuangan Islam di 11
Marokko, menemukan bahwa religiusitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengunaan jasa-jasa keuangan Islam di Marocco. Studi tentang religiusitas dalam keperilakuan konsumen sudah banyak dilakukan dan akan terus berkembang. Namun studi yang membahas spiritualitas dalam keperilakuan konsumen masih sangat terbatas. Kebanyakan studi mengenai spiritualitas yang sudah ada, lebih berfokus pada spiritualitas di tempat kerja. Dari tinjauan literature di atas, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H1: Spiritualitas berpengaruh positif terhadap intensi keperilakuan konsumen H2: Religiusitas berpengaruh positif terhadap intensi keperilakuan konsumen H3: Spiritualitas dan religiusitas berpengaruh positif terhadap intensi keperilakuan konsumen.
Pada tinjauan literatur ini belum ditentukan obyek penelitian, karena penelusuran referensi masih sangat terbatas, sehingga terlalu prematur jika dalam tulisan ini juga mengungkapkan seting penelitian.
12
Daftar Pustaka Abdelghani, E. & Hassanuddeen, Abd Aziz (2012), The Relationship Between Religiousity and Customer Adaption of Islamic Services in Marocco. Oman: Arabian Journal of Business & Management Review, Vol. 1, No. 9.
Asih, D. (2004), Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ) dan Kualitas Sumber Daya Manusia: Sebuah Tinjauan Konseptual, Jurnal EKOBIS, Vol. 5 No.1: 87-97 Gibbs, P. & Ilkan, M. (2007), The ethics of marketing in Islamic and Christian communities: Insight Global Marketing, Equal Opportunities International, Vol. 26 Iss 7 pp. 678-692. Rahman, S. (2012), Young Consumer’s Perception on Foreign Made Fast Moving Consumer Goods: The Role og Religiosity, Spirituality and Animosity, International Journal of Business and Management Science, 5(2): 103-118. Ratnakar, R. & Nair, S. (2012), A Review of Scientific Research on Spirituality, Business Perspective and Research, July-December. Rinallo, B., Maclaran, P., Belk, R.W., Gould, S. J., Izberk-Bilgin, E., Kedzior, R., Kozinets, R., Schau, H. J., Scott, L., Sherry, J. F. and Arnould, E. J. (…)Roundtable Conversation on the Sacred and Spirituality in Consumer Behavior, Advances in Consumer Researh Vol.40. Schifmann, G. L. & Kanuk, L. L. (2010), Consumer Behavior, 10th Ed. Education.
Pearson
Sekaran, Uma (2003), Research Methods For Business, 4th Edition Vitell, S. J. (2009), The Role of Religiosity in Business and Consumer Ethics: A Review of the Literature, Journal of Business Ethics, 90: 155-167. Wood, R. dan Bandura, A. (1989). Sosial cognitive theory of organizational management. Academy of Management Review, Vol. 14, No. 3: 361-384. Zohar, D & Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence. Bloomsbury.
13