LAPORAN PENELITIAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (SUATU KAJIAN NORMATIF)
Oleh: 1. B.RINI HERYANTI, S.H, M.H. (KETUA) 2. SUBAIDAH RATNA JUITA, S.H, M.H. (ANGGOTA) 3. ANI TRIWATI, S.H, M.H. (ANGGOTA)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG 2011 1
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
: Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Suatu
2. Bidang Penelitian
Kajian Normatif)
: Hukum
3. Ketua Peneliti a.Nama Lengkap
: B.Rini Heryanti, S.H, M.H.
b.Jenis Kelamin
: Perempuan
c.NIP : 06557003801005 d.Disiplin Ilmu
: Hukum Perdata
e.Pangkat/Golongan
: Penata Tk I/III-d
f.Jabatan
: Sekretaris Fakultas
g.Fakultas/Jurusan
: Hukum
h.Alamat
: Jl. Soekarno - Hatta
i.Telpon/Faks/E-mail
: (024) 6702757
j.Alamat Rumah
: Jl.Tusam Blok M-1, Semarang
k.Telpon/Faks/E-mail
: 0813255537349/
[email protected]
4. Jumlah Anggota Peneliti
: 2 orang
a.Nama Anggota I
: Subaidah Ratna Juita, S.H, M.H.
b.Nama Anggota II
: Ani Triwati, S.H, M.H.
5. Lokasi Penelitian
: Semarang
6. Jumlah biaya yang diusulkan
: Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu)
Mengetahui,
Semarang, 26 Januari 2012
Dekan Fakultas Hukum,
Ketua Peneliti,
Efi Yulistyowati,S.H,M.H . NIS: 06557003801006
B.Rini Heryanti,S.H, M.H. NIS: 06557003801005 Menyetujui, Ketua LPPM Universitas Semarang Wyati Saddewisasi, SE., M.Si NIP. 196001191987032001 2
BAB I PENDAHULUAN
Kebutuhan akan transportasi untuk menunjang semua kegiatan manusia atau masyarakat dirasa sangat penting, seiring dengan meningkatnya kegiatan tersebut maka semakin besar jumlah alat tranportasi yang dibutuhkan oleh manusia/ masyarakat. Memiliki alat tranport/ kendaraan sendiri saat ini sudah merupakan suatu kebutuhan primer bukan kebutuhan sekunder lagi, bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat yang meningkat ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh pelaku usaha dalam memberikan penawaran alat tranportasi
baik berupa kendaran
bermotor roda dua /motor/ kendaran bermotor roda empat kepada masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini pelaku usaha saling berlomba-lomba dalam menawarkan barangnya dengan pemberian hadiah, diskon, kemudahan-kemudahan cara pembelian yaitu dengan cara pemberian kredit dengan uang muka yang ringan. Selain memberikan kemudahan kepada konsumen yang membutuhkan alat tranportasi tersebut, juga para pelaku usaha berlombalomba menawarkan dagangannya dengan cara membuat iklan maupun langsung membuka show room dijalan-jalan khususnya untuk alat tranportasi sepeda motor atau melakukan promosi/pameran di mal/pasar swalayan untuk alat tranportasi roda empat/mobil maupun sepeda motor. Segala bentuk penawaran ini dilakukan agar konsumen tertarik untuk membelinya dan akhirnya pelaku usaha dapat dengan mudah untuk meraup keuntungan dari konsumen. Peralihan kepemilikan alat transportasi baik kendaran roda dua maupun roda empat, dari pelaku usaha ke konsumen dapat dilakukan dengan membeli langsung maupun dengan cara angsuran atau dalan praktek bisnis dikenal dengan istilah kredit. Cara-cara pembelian langsung artinya peralihan kepemilikan barang beralih seketika itu juga diikuti dengan pembayaran/penyerahan uang secara lunas dalam praktek hal ini tidak mengalami kendala yang berarti, namun peralihan barang secara angsuran dalam praktek banyak permasalahan yang timbul dan semakin kompleks.
Banyaknya animo masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan alat transportasi ini secara angsuran/kredit/berkala , mengakibatkan menjamurnya pendirian perusahaanperusahaan lembaga pembiayaan. Bahkan Bank Indonesia mencatat pada bulan Juli tahun 2011 kemarin posisi pembiayaan seluruh multifinance mencapai Rp.217,54 trilliun, angka ini mengalami kenaikan 2,4 % bila dibandingkan pada bulan sebelumnya. Khusus untuk leasing pada bulan Juli Tahun 2011 nampak meningkat 2,2% dari bulan sebelumnya menjadi Rp.167,44 trilliun .Hari raya Lebaran tahun ini diyakini yang mampu mendorong meningkatnya pembiayaan tersebut.1 Dengan banyaknya lembaga pembiayaan
yang ada ini, memang satu sisi
merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha maupun orang perseorangan karena dapat membantu dalam masalah keuangan, bagi perusahaan dapat memperoleh dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dalam jangka waktu tertentu, bagi orang perseorangan dapat meringankan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang, karena pembayaran pembelian diangsur dengan jangka waktu tertentu ( tiga sampai lima tahun). Namun disisi lain banyak kasus/masalah yang timbul seiring dengan menjamurnya keberadaan lembaga pembiayaan ini yang utama adalah masih lemahnya pengawasan terhadap proses pelaksanaan
lembaga pembiayaan khususnya dalam pelanggaran
perjanjian baku pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2 Hal ini merupakan masalah yang paling tinggi yang ada, selain itu juga adanya pemakaian jasa dept collector yang berprilaku tidak etis dalam cara penarikan kendaraan bermotor dan sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, BPKB yang dijaminkan kepada Bank oleh pelaku usaha tanpa sepengetahuan konsumen. Lembaga jaminan Fidusia juga mempunyai peran yang sangat penting pada pelaksanan perjanjian pembiayaan konsumen juga memunculkan masalah sendiri dalam hal eksekutorial barang jaminan, dalam praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diatur pada Undang-Undang No.42 Tahun1999 tentang Jaminan Fidusia.
1
2
Solo Kompas.com, 07 September 2011.
Penjelasan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat Undang-Undang adalah upaya pemberdayaan kosumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha.
BAB II PERUMUSAN MASALAH Transaksi barang modal dengan cara angsuran atau kredit baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun badan usaha, satu sisi mempunyai nilai plus antara lain dapat melakukan penghematan-penghematan seperti, penggunaan modal dalam jumlah besar, bebas beban pajak dan biaya, antar lain pajak kekayaan, namun disisi lain menyisakan permasalahan tersendiri
di dalam praktek bisnis. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
termasuk dalam perjanjian baku artinya perjanjian ini dibuat oleh satu pihak saja yakni Lembaga Pembiayaan tentunya pihak yang membuat perjanjian ini yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pihak yang satunya.Namun demikian debetur sebagai konsumen harus lebih tahu dan memahami isi perjanjian tersebut, hak dan kewajibannya serta penggunaan hak opsi yang dimilikinya dan perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah. Dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen kreditur mengabaikan hal tersebut diatas dan kadang melakukan hal-hal yang tidak terpuji dalam menjalankan bisnisnya. Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian dan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kosumen dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen?. 2. Klausula-klausula apa sajakah yang ada dalam perjanjian Pembiayaan Konsumen
yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak konsumen?
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Transaksi Transaksi konsumen dapat diartikan dengan proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang dan atau jasa dari penyedia barang atau penyelanggara jasa kepada konsumen. Peralihan dapat terjadi karena adanya sesuatu hubungan hukum tertentu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan peralihan hak atau penikmatan barang dan jasa ( hubungan hukum jual-beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan lain sebagainya).3 Peralihan barang baik dengan peralihan hak maupun peralihan penikmatan dapat dilakukan dengan pembelian/transaksi secara langsung atau cash and carry atau secara angsuran/berkala/kredit yang mempunyai kaitan dengan suatu lembaga yang mau memberikan dana pembiayaannnya. Lembaga pembiayaan yang ada dalam masyarakat ini dapat dilakukan oleh lembaga keuangan (Bank) atau lembaga keuangan non bank. 2.Lembaga Pembiayaan Pengaturan lembaga Pembiayaan di Indonesia, telah diatur dalam Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang kemudian ditindak lanjuti oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan kemudian SK ini mengalami perubahan menjadi Keputusan Menteri Keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dengan adanya perubahan SK Menteri Keuangan ini maka terjadi pula perubahan dalam kegiatan lembaga pembiayaan 2. Pengertian Leasing Transaksi konsumen yang menimbulkan hubungan hukum sewa menyewa atau menyewakan hak guna barang diartikan sebagai leasing. Pengertian leasing baru dikenal melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik 3
Az.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Penganta, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hlm. 10.
Indonesia
dengan
No.KEP-122/MK/IV/2/1974,
No.32/M/SK/2/1974,
dan
No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 disebutkan leasing ialah, “ Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang- barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”. Definisi leasing atau sewa guna usaha terdapat pula dalam SK Menkeu No.48 Tahun 1991, yaitu Kegiatan pembiayaan dalam bentuk menyediakan barang modal, baik sewa guna usaha dengn hak opsi (finance lease) maupun sewa guan usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh leasse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran berkala. Dalam transaksi leasing terdapat beberapa pihak yang terkait pada proses transaksi, yakni : a. Penjual barang (developer, agent, distributor) b.
Pemakai jasa leasing (lessee)
c. Perusahaan leasing (lessor)
3. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 ayat (1) KUH Perdata disebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pasal1313 ayat (1) KUH Perdata, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Selain dari perjanjian, perikatan dapat juga dilahirkan dari undang-undang (Pasal 1233KUH Perdata) atau dengan
perkataan lain ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Pada kenyataannya yang paling banyak adalah perikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Dan tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata). Perikatan yang lahir dari perjanjian menimbulkan hubungan hukum yang memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada para pihak yang membuat perjanjian berdasarkan atas kemauan dan kehendak sendiri dari para pihak yang bersangkutan yang mengikatkan diri tersebut, sedangkan
perikatan yang lahir dari undang-undang terjadi
karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban di antar pihak yang bersangkutan, tetapi bukan berasal atau merupakan kehendak para pihak yang bersangkutan melainkan telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang.4 Pada suatu transaksi leasing minimal terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu lessor, lessee dan supplier. Terjadinya transaksi leasing biasanya diikuti dengan adanya perjanjian leasing/kontrak leasing antar lessor dan lessee yang merupakan landasan hukum atas perjanjian leasing yang telah disepakati bersama. Perjanjian leasing mencantumkan lessor adalah pihak yang meyediakan dana dan membiayai seluruh pembelian barang, masa leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan perkiraan umur kegunaan barang, pada akhir masa leasing, lesse dapat menggunakan hak opsi (hak pilih) untuk membeli barang yang bersangkutan, sehingga hak milik atas barang beralih pada lessee.Namun dalam praktek pelaksanaan perjanjian leasing ini sering menimbulkan masalah, hal ini dikarenakan perjanjian leasing biasanya merupakan perjanjian sepihak, sehingga kedudukan yang membuat perjanjian akan lebih kuat dari lessee.Pengaduan yang paling tinggi yang ada pada lembaga-lembaga perlindungan konsumen adalah keluhan tentang perjanjian leasing. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen melalui Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa hal yang penting dalam perlindungan konsumen tercantum dalam pasal-pasal dari undang-undang ini. 4. 4
Pengertian Perlindungan Konsumen
R.Soeroso,Perjanjian DiBawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum,(Jakarta : Sinar Grafika,2010), hlm. 4-5.
Pentingnya suatu negara mengatur perlindungan hukum terhadap konsumen umumnya didasarkan pada pertimbangan aktualitas dan urgensinya. Dalam pertimbangan aktualitasnya, perlindungan hukum bagi konsumen perlu ditegakkan pada sebuah pemerintahan berdasarkan rumusan situasi yang sedang dan akan berkembang terhadap “nasib”
masyarakat/konsumen.
Pertimbangan
ini
biasanya
ditempuh
dengan
memperhatikan,5 1
Tingkat pembangunan masing-masing negara
2
Pertumbuhan industri dan teknologi
3
Filosofi dan Kebijakan pembangunan
Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dengan cara intervensi negara untuk melindungi hak-hak konsumen dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Terhadap posisis tawar konsumen yang lemah tersebut, maka ia harus dilindungi oleh hukum. Hal itu karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai bentuk perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan kepada konsumen oleh pemerintah, maka tercermin dalam asas dan tujuan pada UUPK yakni asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan, asas kepastian hukum, sedangkan tujuan yang ingin dicapai pada UUPK ini antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, pemberdayaan konsumen, meningkatkan kesadaran pelaku usaha untuk jujur dan bertanggung jawab dalam usaha, meningkatkan kwalitas barang. 5. Hak dan kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Pasal 4 UUPK mencantumkan hak-hak konsumen yang mendapatkan perlindungan hukum tidak hanya secara fisik saja namun sampai hak-hak yang bersifat abstrak meliputi :
5
Abdul Halim Barkatullah,Hak-Hak Konsumen,(Bandung : Nusa Media,2010), hlm. 24.
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa, b. Hak untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan /atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa, c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa, d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya barang dan/atau jasa yang
digunakan, e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut, f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan juur serta tidak diskriminatif, h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau
penggantian
perjanjian penggantian dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, i.
Hak- hak yang diatur dalam perundang-undangan lain.
Kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 5 UUPK, kewajiban konsumen ini sebagai balance dari hak yang telah diberikan dalam undang-undang ini, sebagai berikut : 1 membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa; 2 beretikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan / atau jasa; 3 membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4 mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patuh. Disamping hak dan kewajiban konsumen, diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha, hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak mengerti akan hak dan kewajibannya sehingga diharapkan oleh pemerintah dapat memperkecil masalah-masalah perselisihan konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam praktek. Hak dan kewajiban pelaku usaha ini terdapat pada pasal 7 dan pasal 8 dari UUPK, mengenai hal ini dirinci sebagai berikut, Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen
tidak
diakibatkan
oleh
barang dan/atau
jasa yang
diperdagangkan, e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha, a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, c. memperlakukan dan melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif,
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/ atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa perjanjiana harus dilaksanakan dengan itikad baik.6 Arrest H.R di negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut, sehingga dalam perjanjian antar para pihak harus mempunyai itikad baik.7 Dalam membuat perjanjianpun pelaku usaha harus memperhatikan ketentuan yang mengatur klausula baku, dalam UUPK klausula baku ini diatur di Pasal 18 yang mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen da/atau perjanjian jika : 1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, 3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen,
6
7
Abdul Halim Barkatullah,op cit., hlm. 41.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.9.
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara
langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, 5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen, 6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa, 7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaat jasa yang dibelinya, 8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen yang secara angsuran. 6. Jaminan Fidusia. Perjanjian leasing juga erat kaitannya dengan fidusia, salah satu keluhan lessee adalah dalam hal eksekutorial barang jaminan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Menurut Subekti perkataan fidusia berarti “secara kepercayaan” ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal balik oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain, bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya kedalam hanya merupakan suatu jaminan saja untuk suatu utang. Sedangkan
yang dimaksud
dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak khususnya bangunan yang tidak terbebani hak tanggungan. a. Prinsip-Prinsip Jaminan Fidusia. Menurut Munir Fuady, jaminan fidusia mengandung beberapa prinsip penting. yaitu :
1. bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya. 2. hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari debitur. 3. Apabila utang sudah dilunasi, maka obyek jaminan fidusia mesti dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. 4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah utangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia. b.
Akta dan Obyek Jaminan Fidusia . Jaminan fidusia haruslah memenuhi syarat syarat sebagai berikut,8 1. Harus berupa akta notaris, 2. Harus dibuat dalam bahasa Indonesia,
3. harus berisi sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut : a) indentitas pemberi dan penerima fidusia, b) mencantumkan, hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia, c) data jaminan pokok yang dijamin dengan fidusia, d) uraian mengenai benda yang menjadi jaminan fidusia, e) nilai jaminannya, dan f)
nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Sedangkan benda-benda yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut : 1. benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum, 8
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kaasus, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hlm.41.
2. dapat atas benda berwujud, termasuk piutang, benda bergerak, 3. benda tidak bergerak yang diikat dengan hak tanggungan, 4. benda tidak bergerak yang tidak diikat dengan hak tanggungan 5. benda bergerak, 6. benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek, 7. baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh
kemudian, 8. dapat atas satu satuan atau jenis benda, 9. dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda, 10. termasuk hasil benda yang telah menjadi obyek fidusia, 11. termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, 12. benda persediaan dapat juga menjadi obyek jaminan fidusia.
c.
Hapusnya Fidusia. 1. hapusnya utang yang dijamin oleh jaminan fidusia, 2. pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, 3. musnahnya benda yang menjadi jaminan fidusia.
d.
Eksekusi Fidusia. Dalam eksekusi fidusia dapat dilakukan dengan beberapa cara : a. secara fiat eksekusi(dengan memakai titel eksekutorial) melalui penetapan
pengadilan, b. secara parate eksekusi, yaitu dengan menjual benda yang dijadikan obyek jaminan
fidusia di depan pelelangan umum tanpa memerlukan penetapan pengadilan,
c. dijual dibawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.
BAB IV TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan hal yang telah diuraikan di bab terdahulu, mengenai masalah- masalah yang timbul dalam kontrak leasing dalam praktek serta perlindungan hukum yang telah
diberikan oleh pemerintah sebagai pengawas dan pengontrol pelaksanaan perlindungan konsumen maka, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui
perlindungan hukum yang ada
bagi konsumen dalam
Perjanjian Pembiayaan Konsumen. 2. Untuk mengetahui klausula-klausula apa saja yang ada dalam perjanjian
pembiayaan konsumen yang dapat melindungi pihak konsumen. Tentunya harapan peneliti agar hasil dari penelitian dan temuan-temuan yang ada di dalam penelitian ini juga bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan adalah, a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada
dunia akademis mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak konsumen dalam perjanjian pembiayaan secara yuridis b. Penelitian ini diharapakan dapat mengembangkan pengetahuan hukum terutama pada hukum perlindungan konsumen. Manfaat praktis, a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan bagi konsumen dalam
melakukan perjanjian pembiayaan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen khususnya dan dalam melakukan pengawasan serta pembinaan lembaga pembiayaan.
BAB V METODE PENELITIAN 1.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif digunakan untuk mengkaji perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan menggunakan tolok ukur pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan R.I. 2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptf analitis, artinya memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang sedang diteliti. 9 3.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang merupakan hasil olahan/tulisan/penelitian pihak lain.Dalam penelitin ini diperoleh dengan studi data sekunder berupa : a. Bahan hukum primer yang terdiri dari : -
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
-
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
-
Keppres RI No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
-
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Perdagangan R.I No.Kep122/MK/IV/2/1974.No.32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpd/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
-
KepMenkeu
RI
No.448/KMK.017/2000
tentang
Perusahaan
Pembiayaan b. Bahan-bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer, yang meliputi buku-buku ilmiah yang membahas 9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.III, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 10.
perlindungan konsumen dan hasil-hasil penelitian, makalah-makalah seminar, naskah diberbagai media masa yang ada kaitannya dengan perjanjian baku dan perlindungan konsumen dalam perjanjain pembiayaan konsumen. c. Bahan hukum tersier, terdiri dari kamus hukum dan kamus lain yang membantu dalam penelitian ini. 4. Analisa Data Pada analisa data metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan teknik induksi yang digunakan untuk menganalisis data sekunder yang berbentuk dokumen perjanjian pembiayaan konsumen. Hasil editing kemudian diinterprestasikan dengan menggunakan teori dan konsep yang hasilnya dideskripsikan secara kualitatif kemudian diambil kesimpulan.
BAB VI PEMBAHASAN
A.Perlindungan Hukum bagi Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Meningkatnya kebutuhan akan alat transportasi bagi masyarakat, menimbulkan banyaknya penawaran alat transportasi (baik itu sepeda motor maupun mobil) kepada masyarakat. Cara penjualannyapun ditawarkan beraneka ragam, pembeli dapat langsung bertransaksi dengan penjual /agen membeli secara langsung/cash and carry, dapat pula dilakukan dengan memakai jasa lembaga pembiayaan. Meningkatnya penjualan kendaraan bermotor di Indonesia ini, tidak terlepas dari banyaknya pendirian lembaga pembiayaan dalam penyediaan modal yang ada di masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan yang dimaksud dengan Perusahaan Pembiayaan : Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiaan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Dengan adanya Perusahaan Pembiayaan yang kegiataannya adalah memberikan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen, memberikan kemudahan bagi konsumen untuk membeli kendaraan bermotor secara angsuran/berkala. Semakin banyaknya peralihan barang yang terjadi antara konsumen dengan agen maka semakin banyak pula beredarnya perjanjian pembiayaan konsumen yang ada di masyarakat. Untuk bisa mendapatkan atau memiliki kendaraan motor yang diinginkan dengan cara angsuran/berkala tentunya konsumen harus membuat beberapa perjanjian atau akta-akta tambahan sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan dengan perjanjian pembiayaan dan harus disetujui baik dengan Perusahaan Pembiayaan Kosumen maupun dengan agen (supplier). Beberapa perjanjian yang berkaitan dengan pembelian kendaraan bermotor secara leasing yang harus disetujui oleh beberapa pihak yang terkait, pada masyarakat bentuk dan jenisnya hampir sama, dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel pada perusahaan PT Sinar Mas Multi Finance (PT.SMMF) dan PT.ADIRA FINANCE Ada beberapa macam perjanjian yang harus disetujui oleh para pihak yang akan melakukan pembelian kendaraan bermotor melalui lembaga finance yakni, -
Formulir Permohonan,
-
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dan Pemberian Jaminan Secara Kepercayaan (FIDUSIA),
-
Surat Persetujuan,
-
Surat Kuasa,
-
Jaminan Pembayaran,
-
Surat Pernyataan Bersama,
-
Bukti Serah Terima Kendaraan Bermotor,
-
Perjanjian asuransi.
Dalam melaksanakan pembelian kendaraan bermotor secara angsuran atau dalam praktek lebih dikenal dengan istilah kredit, maka ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh para pihak dalam mekanisme pembiayaan konsumen antara lain, -
Tahap permohonan, konsumen mengajukan permohonan kepada lembaga finance,
-
Tahap pengecekan dan pemeriksaan lapangan, setelah surat permohonan diterima oleh lembaga finance maka lembaga finance akan mengadakan survey ke konsumen (finansial) yang akan melakukan transaksi tersebut,
-
Tahap pembuatan customer profile, dari hasil survey tersebut dapat diketahui apakah data dilapangan dapat mendukung sebagai syarat konsumen melaksanakan Perjanjian Pembaiyaan Konsumen
-
Tahap pengikatan, apabila dari hasil survey tersebut data konsumen dapat masuk dalam kreteria Lembaga Pembiayaan, maka selanjutnya para pihak yang terkait akan mengadakan hubungan hukum dengan memberikan persetujuan beberapa perjanjian seperti yang telah sebutkan diatas.
-
Tahap pemesanan barang yang dibutuhkan konsumen, konsumen dapat datang ke dealer/supplier untuk memilih sendiri barang (dalam hal ini kendaraan bermotor) yang sesuai dengan permohonannya kepada lembaga finance,
-
Tahap pembayaran kepada dealer/supplier, Lembaga Pembiayaan melakukan perjanjian pembelian dengan agen/supplier,
-
Tahap penagihan atau monitoring pembayaran,
-
Pengambilan surat jaminan.
Mekanisme penggunaan lembaga Pembiayaan dalam aturan, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut,10 -
Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud,
-
setelah Lessee mengisi formulir permohonan Lessee mengirimkan kepada lessor disertai dengan dokumen pelengkap,
-
lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberi fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sewa lease), maka kontrak lease dapat ditanda tangani,
-
pada saat yang sama lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease denan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuansi terjalin kontrak utama,
-
kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan suplier peralatan tersebut,
-
supplier dapat mengirim peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan memelihar kondisi perlatan tersebut, supplier akan menandatangani pelayanan purna jual,
-
lesse menandatangani tanda terima dan menyerahkan kepada supplier,
-
supplier menyerahkan surat tanda terima (yang diterima dari lesse) buku pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor,
-
lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier,
-
lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.
Dengan demikian mekanisme Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang ada dan di lakukan oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen di masyarakat pada umumnya sudah sesuai dengan mekanisme leasing yang telah ditentukan dalam aturan yang ada. Perlu diketahui bahwa kegiatan Leasing ini juga diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mekanisme Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang ada sudah memenuhi Pasal 4 khususnya, 10
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang : UMM, 2006), halaman 59.
a) hak atas kenyaman, keamanan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan
atau jasa, b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/ jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijaminkan, c) hak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, Telah diuraikan diatas dalam mekanisme pembiayaan konsumen yang terjadi dilapangan ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh konsumen. Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) dan Perjanjian Leasing (Financial Leasing) dalam perbedaan perjanjian dapat digolongkan dalam perjanjian tidak bernama /innominaat (Pasal 1319 KUH Perdata) yakni perjanjian yang dalam praktik sehari-hari ada tetapi tidak diatur dalam undang-undang secara khusus. Khusus dalam tahap pengikatan, semua perjanjian yang akan disetujui oleh konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen sudah diformatkan dengan baku atau yang biasa disebut dengan standart contract/ algemenevoorwarden. Perjanjian baku ini sudah banyak dan meluas merasuk di dalam masyarakat kita. Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan atau jasa konsumen seolah-olah telah dikuasai oleh perjanjian ini.Hal ini dapat dipahami karena adanya suatu perubahan kebutuhan dari masyarakat yang berubah menurut waktu serta tempat dan sistem selalu menyesuaikan perubahan kebutuhan tersebut. Standart contrac/algemenevoorwarde mempunyai batasan diantaranya yaitu : “perjanjian dengan syarat-syarat baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa membicarakan lebih dulu isinya”11 Tentunya dengan membakukan isi/format perjanjian tersebut ada salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak lagi melaksanakan haknya dalam asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang terkandung dalam hukum perjanjian dengan sistem terbuka, hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum kesusilaan. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law) yang berarti pasal-pasal itu boleh dikesampingkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian.
11
Suroso, Perjanjian Dibawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), halaman 16.
Dengan demikian para pihak diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. Asas ini lazim disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Perjanjian-perjanjian dengan syarat-syarat baku dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang ketentuannya ditetapkan oleh pihak Lembaga Pembiayaan secara ekonomis, psykologis, kedudukan Lembaga Pembiayaan lebih kuat dan hal ini dapat dicermati lebih mendalam pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan Secara Kepercayaan (Fidusia) yang beredar dimasyarakat. Dalam perjanjian ini hanya memuat sedikit pasal-pasal yang dilandasi dengan perjumpaan kehendak dan banyak diketemukan pasal-pasal yang memuat prestasi para pihak yang terbentuk tidak dari suatu perundingan. Hal ini didasarkan banyaknya pasal-pasal yang tertera dengan memakai kata/kalimat, seperti debetur setuju, debetur sepakat, debetur berjanji, tanpa diadakannya perundingan terlebih dahulu antara debetur dengan kreditur dalam proses persetujuan atau kesepakatnya, sehingga kedudukan antar kreditur dengan debetur menjadi tidak seimbang. Debetur/konsumen benar-benar dalam keadaan yang betul-betul tidak bebas untuk menentukan apa yang diinginkannya dalam perjanjian tersebut.Hal ini tentunya akan mendatangkan kerugian bagi konsumen , walaupun konsumen masih mempunyai pilihan untuk menerima atau menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan pihak kreditur . Kalaupun konsumen akan berpindah pada Lembaga Pembiayaan/ Pelaku Usaha lain akan tetap demikian halnya, apakah konsumen masih mempunyai pilihan lain, tentunya tidak selama konsumen memilih cara pembelian dengan angsuran/kredit karena hubungan yang terjadi antara kreditur dengan konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen, disisi lain barang-barang yang ditawarkan merupakan barang-barang keperluan yang akan dipakai dalam kebutuhan hidupnya. Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur tentang perjanjian baku, hanya dalam Pasal 18 mengatur mengenai larangan pencantuman klausula baku, larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Mengenai Pemberian Jaminan Secara Kepercayaan (Fidusia), ini masuk dalam jaminan pokok. Sebab dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen terdapat 3 (jaminan) yang prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit Bank biasa, khususnya kredit konsumsi. Ketiga Jaminan tersebut yakni, 1. Jaminan Utama, sebagai suatu kredit maka jaminan pokoknya adalah kepercayaan dari kreditur kepada debetur (konsumen) bahwa pihak konsumen dapat dipercaya
dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Jadi diberlaku prinsip-prinsip kredit yang berlaku, 2. Jaminan Pokok, sebagai jaminan pokok dalam transaksi pembiayaan konsumen
adalah barang yang dibeli menggunakan dana yang didapat dari kreditur, jika dana tersebut diperuntukkan pembelian kendaraan bermotor/mobil maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk fiducairy transfer of ownership (Fidusia), karena jaminan fidusia meruapakan jaminan ikutan dari jaminan pokok yang menimbulkan keajiaban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi (Pasal 4 Undang-Undang Fidusia No.4 tahun 1999). Maksud dari prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Dengan adanya Fidusia ini, maka biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditur hingga kredit lunas, 3. Jaminan Tambahan yakni berupa pengakuan hutang (promissiry notes),atau
acknowlwdgment of indebteedness, kuasa menjual barang dan of proceed (cessie) dari asuransi. Di dalam praktek Perjanjian Pembiayaan Konsumen, seharusnya benda yang dibebani jaminan Fidusia dibuatkan perjanjian jaminan Fidusia yang dibuat dihadapan Notaris dan wajib didaftarkan (Pasal 11 UUJF), karena dengan melakukan pendaftaran maka jaminan Fidusia mempunyai kekuataneksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yangmemperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila debetur cidera janji, penerima Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Pengadilan dan bersifat finalserta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut (Pasal 15 ayat12dan ayat3). Disamping itu penerima Fidusia mempunyai hak prefensi dari penerima Fidusia dan tidak akan hilang dengan pailit/likuidasinya debetur (Pasal 27 UUJF), namun banyak terjadi perjanjian jaminan fidusia ini tidak didaftarkan. Alasan yang ada di dalam praktek biasanya pembuatan perjanjian fidusia oleh notaris sampai dengan pendaftaranya butuh waktu yang lama disisi lain transaksi dengan konsumen berjalan dengan cepat. Seharusnya dengan tidak didaftarkannya perjanjian jaminan Fidusia oleh kreditur, maka kreditur tidak akan memilik hak yang telah disebutkan diatas. Namun pada kenyataannya kreditur dapat melakukan hak eksekutorialnya dan debetur tidak dapat berbuat apa-apa untik mempertahankanhak miliknya. 2.Klausula-klausula dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang dapat melidungi konsumen.
Perjanjian Pembiayaan Konsumen merupakan perjanjian baku, dalam UndangUndang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak mendefinisikan mengenai perjanjian baku karena dalam (UUPK) hanya merumuskan klausula baku, yaitu dalam Pasal 1 angka 10 yang didefinisikan sebagai berikut, Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam perjanjian baku pasti berisikan klausula baku dan UUPK Pasal 18 memberikan pelarangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan untuk tidak mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian apabila, a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen, c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen, d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran, e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen, f. memberi kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa, g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Selanjutnya juga ditekankan pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit dilihat atau tidak dapat dibaca secara jelas
atau yang
mengungkapkannya sulit dimengerti, dan apabila pelaku usaha mencantunkan klausula baku seperti larangan tersebut diatas maka dinyatakan batal demi hukum. Hampir
setiap transaksi barang dan atau jasa dengan cara angsuran memuat
klausula baku. Termasuk perjanjian pembiayaan konsumen, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam penelitian ini yang tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan oleh konsumen dengan lembaga pembiayaan konsumen. Yang menonjol diketemukan pada perihal cidera janji/lalai sebagai contoh dalam perjanjian pembiayaan konsumen tidak dicantumkan batasan penunggakan pelunasan angsuran, namun kenyataannya apabila konsumen lalai dalam waktu dua atau tiga bulan berturut-turut maka kendaraan langsung ditarik kembali oleh kreditur. Kasus pengambilan paksa obyek perjanjian pembiayaan konsumen oleh kreditur ini juga mensisakan problem tersendiri dalam masyarakat, dalam hal debetur lalai akan kewajibannya pembayarannya, tidak jarang pula kreditur melaporkan kasus ini kepada polisi untuk diproses dan penyidik POLRI memprosesnya sebagai pencurian, perampasan dan sejenisnya, tentunya hal ini akan merugikan konsumen. Peristiwa ini terjadi dikarenakan belum adanya kesamaan presepsi diantara penyidik, maka dengan dikeluarkannya Surat KABARESKRIM POLRI No.POL:B/2110/BARESKRIM tanggal 3 Agustus 2009 membawa pencerahan dalam penangannya yakni
Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) bertugas untuk
menyelesaikan sengketa keperdataan antara pelaku usaha dengan konsumen apabila terjadi sengketa sebelum upaya penyidikan hal ini terkait dengan tugas den wewenang BPSK (Pasal 52). Dalam menyelesaikan sengketa tersebut diatas, bilamana BPSK tidak dapat menyelesaikan sengketa keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen dan apabila ditemukan unsur tindak pidana, maka BPSK membuat laporan kejadian. Laporan Kejadian tersebut diteruskan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Dengan demikian untuk menyidik kasus di bidang perlindungan konsumen dilaksanakan setelah menerima laporan kejadian dari BPSK. Apabila penyidik menerima laporan seperti hal tersebut diatas dari pelaku usaha atau konsumen agar pelaku usaha atau konsumen diarahkan untuk melalui BPSK terlebih dahulu.Dari ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No.tahun1981 tentang KUHAP dan ketentuan Undang-Undang No.8 tentang Perlindungan Konsumen, maka yang berwenang
melakukan penyidikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perlindungan Konsumen atau penyidik POLRI. Dengan beredarnya surat dari KABARESKRIM ini diharapkan tidak ada mispresepsi diantara penyidik POLRI dengan BPSK. Dan dengan demikian pula konsumen terlindungi. Selanjutnya dalam mencantumkan klausula baku oleh undang-undang, kreditur dilarang dalam hal letak dan bentuknya dilarang untuk sulit dilihat, tidak dapat dibaca dengan jelas, pengungkapan bahasanya sulit dimengerti. Dalam praktek di lapangan semua penulisan kalusula baku ditulis dengan huruf yang kecil-kecil sehingga konsumen enggan membaca dan bahasanya sulit untuk dimengerti konsumen , walaupun pada peletakannya sudah mudah untuk dilihat. Dengan demikian dalam hal letak dan bentuk pencantuman klausula baku oleh kreditur tidak memenuhi Pasal 18 ayat 2 UUPK. Banyaknya klausula-klausula baku yang tercantum dalam perjanjian pembiayaan konsumen tidak memberikan perlindungan kepada konsumen, karena pada perjanjian ini menempatkan pihak yang tidak ikut dalam membuat klausul-klausul di dalam perjanjian ini sebagai pihak baik langsung maupun tidak langsung dirugikan. Klausulklausul yang tidak adil sangat memberatkan konsumen. Terlebih-lebih dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang merupakan perjanjian baku dimungkinkan kreditur untuk leluasa mencantumkan klausula eksonerasi, yang dimaksud dengan klausula eksonerasi oleh Rijken dikatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruh atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melangar hukum.Klausula eksonerasi ini merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang pada umumnya mempunyai posisi yang lemah jika dibandingkan produsen/kreditur, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya klausula ini menjadi beban konsumen.
Menurut Ahmadi Miru perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi cirinya, a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak ayang possisinya kuat, b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian, c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak yang lemah terpaksa menerima perjanjian terebut, d. bentuknya tertulis, e. dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individu.
BAB VII
A.Simpulan. Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan alat transportasi (mobil atau kendaraan bermotor) dengan cara pembelian secara angsuran/kredit mengakibatkan banyaknya pendirian lembaga pembiayaan. Semakin semakin banyaknya lembaga pembiayaan yang didirikan masyarakat/konsumen dapat diuntungkan dengan pemberian kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan alat transportasi. Namun disisi lain konsumen semakin terjebak pada aturan persetujuan perjanjian baku/standart contract dalam hal ini adalah Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Pada perjanjian baku yang ada dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen asas kebebasan berkontrak tidak nampak dalam proses pembuatan perjanjiannya, sehingga kedudukan Lembaga Pembiayaan/kreditur secara ekonomis dan psykologis lebih kuat dari kedudukan debetur/konsumen. Apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang lemah biasanya tidak berada pada keadaan yang betul-betul tidak bebas dalam menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Namun demikian debetur/konsumen masih mempunyai pilihan dalam memberikan persetujuan perjanjian pembiayaan konsumen dengan menerima atau menolak (take it or leave it), akan tetapi dengan perjalanan waktu konsumen selalu terikat dengan pemenuhan kebutuhan yang terus menerus sehingga mau tidak mau konsumen yang ingin kebutuhannya terpenuhi mendatangi perjanjian pembiayaan tersebut. Dalam perjanjian baku maka terdapat juga klausula baku,UUPK tidak mendefinisikan mengenai perjanjian baku namun yang ada hanyalah perumusan mengenai kalusula bakuyang tercantum pada Pasal 18 UUPK Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian pembiayaan sebagian besar merugikan konsumen, hal ini manpak antara lain pada klausula yang mengatur cidera janji dalam eksekusi obyek perjanjian pembiayaan konsumen, letak dan bentuk penempatan klausula baku pada perjanjian pembiyaan konsumen. Terlebih-lebih apabila terdapat pencantuman klausula eksonerasi pada perjanjian baku dalam hal ini adalah perjanjian
pembiayaan konsumen akan mengakibatkan lebih terpuruknya kedudukan konsumen dihadapan kreditur (Lembaga Pembiayaan). Namun demkian perjanjian baku/perjanjian pembiayaan konsumen masih tetap dibutuhkan dalam masyarakat khususnya dalam dunia bisnis/perdagangan karena kegunaanya relatif lebih cepat sesuai semboyan yang ada dalam dunia bisnis yakni waktu adalah uang. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan bukti campur tangan dari pemerintah
dalam menjaga keseimbangan kebutuhan/kepentingan konsumen/debetur
dengan lembaga pembiayaan.kreditur.
B.Saran - diperlukan adanya sosialisasi dari BPSK mengenai Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada masyarakat terutama dalam hal pencantuman klausula baku pada perjanjian baku. -
Sebaikanya diadakan kesepakatan antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik POLRI dalam hal memutuskan sengketa konsumen.
BAB VIII PERSONALIA PENELITIAN 1. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap
: B.Rini Heryanti,S.H., M.H.
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIS
: 06557001005
d. Disiplin Ilmu
: Hukum Perdata
e. Pangkat/Golongan
: Penata Tk I/III d
f. Jabatan Fungsioanal/Struktural
: Lektor/Sekretaris Fakultas
g. Fakultas/Jurusan
: Hukum
h. Waktu penelitian
: 12 minggu
2. Anggota Peneliti
: 2 orang
a. Nama
Lengkap
: Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIS
: 06557001049
d. Disiplin Ilmu
: Hukum Pidana
e. Pangkat/Golongan
: Penata /III b
f.
Jabatan Fungsioanal/Struktural
: Lektor/Ka.Laboratorium
g.
Fakultas/Jurusan
: Hukum
a. Nama
Lengkap
:Ani Triwati,S.H., M.H.
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIS
: 06557001050
d. Disiplin Ilmu
: Hukum Pidana
e. Pangkat/Golongan
: Penata /III b
i. Jabatan Fungsioanal/Struktural
: Lektor/dosen tetap
j.
: Hukum
Fakultas/Jurusan
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdul Halim Barkatullah, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung Salim, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Praktek, Prenada Media Group, Jakarta Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Az.Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Penganta, Jakarta
Diadit Media,
R.Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika,Jakarta Tjiptono Darmadji , 1999, Problematika Leasing Di Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 mengatur tentang Perizinan Usaha Leasing Keppres RI No.61 Tahun1988 tentang Lembaga Pembiayaan SK Menkeu No.48 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan INTERNET http://dahlanforum wordpress.com/2009/04/24 Solo Kompas.com, 07 September 2011
CURRICULUM VITAE 1. N a m a
: B. Rini Heryanti,SH,MH
2. Tempat/ Tgl lahir
: Semarang, 24 November 1959
3. Alamat
: Jl. Tusam Blok M -1 Banyumanik, Semarang
4. Jenis Kelamin
: Perempuan
5. Kebangsaan
: Indonesia
6. Telpon
: 081325537349
7. Pendidikan
:
a.S1
: Ilmu Hukum Univesitas Diponegoro Semarang, 1988
b. S2
:Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2005
8. Pengalaman Kerja 9. Penelitian
:1988 – sekarang Dosen Fak. Hukum Universitas Semarang : - Kebijakan Yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Kota Semarang Sebagai Instrumen Untuk Menarik Penanam Modal Asing, 2007 - Implementasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri di Kota Semarang, 2009 - Penerapan Good Corporate Governance Pada Perusahaan Asuransi di Kota Semarang, 2009 - Abortus Pada Korban Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Pidana, 2010 - Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce, 2010 - Pelaksanaan Tugas dan wewenang BPSK Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2010 - Penyelesaian Sengketea Bidang Perdagangan Melalui Mekanisme Nonlitigasi ( Sutau Kajian Normatif), 2011
10.Pengabdian Masyarakat
11. Pelatihan /Seminar
:
:
1
Sosialisasi Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT di Kelurahan, Mlatihardjo 2007
2
Sosialisasi Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang KDRT di Kelurahan Bugangan, 2008
3
Sosialisasi Undang Undang Pemilu di Kelurahan Mlatihardjo 2009
4
Penyuluhan Hukum Mengenai Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kelurahan Bugangan Kecamatan Semarang Timur, 2009
5
Penyuluhan Hukum Mengenai Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di R.T 08, RW.06 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik, 2010
6
Penuyluhan Hukum Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Perlindungan Bagi Anak, 2010 1. Sarasehan ke III Perguruan Tinggi Program CoOP di UKM , Pekan Baru 14 Juni 2008 2. Diklat Fasilitator Kewirausahaan Bagi KelompokWirausaha Kampus ( Co-Op) di Prov. Jawa Tengah, Semarang 17 – 20 Jli 2008 3. Lokakarya Hak Asasi Manusia, Semarang 28 November 2008 4. Diskusi Bersama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Swasa Se DKI Jakarta – Jawa Tengah, Semarang 15 Januari 2009 5. Diskusi Publik Hak gugat Pasien Versus Hak Gugat Rumah Sakit,Semarang,27 Maret ,2010
6.Workshop Nasional Satu Hari tentang Aspek Hukum, Legalitas Dan Pajak Yayasan, Jakarta, 27 Nopember 2010
Semarang, 9 September 2011
B. Rini Heryanti,SH,MH