ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM PERJANJIAN BAKU ASPECTS OF CONSUMER PROTECTION LAW IN BAKU AGREEMENT Heniyatun (1) 1. Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Magelang
Abstrak Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa, karena konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian baku tersebut (take it or leave it). Meskipun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah mengatur larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang berisi mengenai pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 18), namun dalam kenyataannya masih sering dijumpai adanya pencantuman klausula baku yang memuat klausula eksemsi. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi pihak yang posisi tawarnya lemah, agar tidak terjerumus pada keterpaksaan menerima perjanjian yang dibuat oleh yang posisi tawarnya lebih dominan, sehingga posisinya berat sebelah. Konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap segala kebutuhan konsumen serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha. Kata kunci: perlindungan hukum, konsumen, perjanjian baku.
1. Pendahuluan Bentuk perjanjian baku, telah muncul pada setiap level transaksi bisnis, mulai dari transaksi bisnis yang berskala besar sampai pada ”kaki lima”. Munculnya perjanjian baku sebenarnya merupakan akibat tidak langsung dari introduksi asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Tidak adanya restriksi-restriksi substsansial yang mampu menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position) di antara para pihak yang mengadakan perjanjian, maka melahirkan penguasaan oleh satu pihak dan keterpaksaan pada pihak lainnya. Hal tersebut menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Keuntungan kedudukan tersebut oleh pelaku usaha sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak
mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. (Gunawan, 2001: 53). Salah satu hal yang menonjol dalam perjanjian baku adalah terjadinya penekanan secara sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku cenderung menjadi perjanjian yang berat sebelah atau perjanjian sepihak, dengan kata lain transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance. Ahmadi Miru mengatakan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Ahmadi Miru, 2004: 118). Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang kedudukannya lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Hal yang demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausulaklusula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. (Ahmadi Miru, 2004: 114). Perjanjian baku semacam ini sering disebut dengan istilah take it or leave it (ambil atau tidak ambil). Perjanjian dengan klausula baku cenderung menguntungkan pihak yang mempersiapkan atau merumuskannya, hal ini banyak dijumpai dalam kemasan barang atau tercantum dalam produk tertentu, nota-nota penjualan, tiket/karcis perjalanan, karcis parkir, tanda penitipan barang dan sebagainya. Produsen sebagai pihak yang posisinya lebih kuat tidak jarang menetapkan akibat pelaksanaan suatu perjanjian dengan klausula eksemsi (exemption clause) atau klausula eksonerasi (exoneratie clause), yakni klausula yang berisi pembatasan tanggung jawab produsen yang memberatkan atau merugikan konsumen, yaitu pihak yang posisi tawarnya kuat cenderung menghapuskan tanggung jawab dan mengalihkan beban risiko kepada pihak
2
yang posisi tawarnya lebih lemah. Ironisnya, konsumen acapkali tidak terlalu mempersoalkan, baik pada saat negosiasi maupun pada waktu penutupan perjanjian, terutama dalam bisnis eceran (retail business). Bagi produsen, upaya protektif atau penghindaran atas tanggung jawab bila terjadi risiko melalui perjanjian baku tersebut didasari oleh faktor posisi tawar yang lebih dominan daripada konsumen. Adapun bagi konsumen, keengganan mempersoalkan hal tersebut karena pertimbangan kebutuhan, sementara kompetisi harga pasar begitu longgar bisa juga karena pertimbangan kerugian yang tidak terlampau besar apabila terjadi risiko. Kondisi ini juga didukung oleh persepsi konsumen yang cenderung menganggap perjanjian hanya sebagai formalitas. Hal ini terlihat dari keengganan masyarakat konsumen pada waktu negosiasi dan menutup perjanjian, tanpa mempersoalkan syarat-syarat baku dari perjanjian yang disetujuinya, padahal di kemudian hari apabila terjadi kekurang puasan pada pelaksanaan perjanjian tersebut, baru mempersoalkan syarat-syarat yang telah dituangkan dalam perjanjian baku tersebut, seperti misalnya pembatasan tanggung jawab oleh produsen. Hal tersebut terjadi karena faktor perundang-undangan, realitas ini mungkin dipengaruhi dan merupakan bias dari ketiadaan restriksi yang menjadikan mekanisme pembentukan dan penutupan perjanjian baku. Namun demikian apabila dicermati dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), telah mengatur larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila berisi tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 18), akan tetapi dalam kenyataannya masih sering dijumpai adanya pencantuman klausula baku yang memuat klausula eksemsi. Perjanjian baku pada dasarnya boleh dipergunakan asal dalam perjanjian baku tersebut tidak mengandung klausula eksonerasi, karena klausula eksonerasi dalam perjanjian baku sangat memberatkan salah satu pihak, khususnya pihak konsumen. Klausula eksonerasi berbeda dengan klausula baku, dalam klausula baku yang ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam klausula eksonerasi yang dipersoalkan menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha kepada konsumen. (Celina, 2008: 144) Perjanjian dengan menggunakan klausula eksonerasi hanya akan membebaskan tanggung jawab seseorang (pihak yang posisi tawarnya lebih dominan) pada akibat hukum yang terjadi
3
karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundangundangan, antara lain mengenai ganti rugi dalam hal terjadi perbuatan ingkar janji. Berdasarkan konteks tersebut, diperlukan suatu perlindungan hukum bagi pihak yang posisi tawarnya lemah, agar tidak terjerumus pada keterpaksaan menerima perjanjian yang dibuat oleh yang posisi tawarnya lebih kuat secara baku yang berat sebelah. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis bermaksud mengangkat suatu topik yang berkenaan dengan perlindungan konsumen dalam perjanjian baku.
2. Rumusan Masalah Permasalahan pokok dalam tulisan ini dilandasi adanya kenyataan yang tidak adil dan tidak demokratisnya proses negosiasi dan penutupan perjanjian baku, maka rumusan masalah yang akan diangkat adalah: Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada konsumen dalam perjanjian baku ?
3. Pembahasan
1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian dapat dijumpai dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata tersebut banyak mengundang kritik para sarjana. Pada umumnya para sarjana menganggap definisi perjanjian tersebut mengandung banyak kelemahan-kelemahan, selain tidak lengkap / kurang jelas juga terlalu luas. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: a.
Hanya mengenai perjanjian sepihak saja, yaitu dapat dilihat dari perkataan “satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan“ merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, sehingga ada kesan seolah-olah hanya merupakan
4
perjanjian sepihak. Adapun perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut juga meliputi perjanjian timbal balik. b.
Tanpa menyebutkan tujuan. Pasal 1313 KUH Perdata juga tidak menyebutkan apa yang menjadi tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak itu mengikatkan dirinya.
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini ditemukan dalam kalimat yang berbunyi: “suatu perbuatan”, kata perbuatan disini dapat mencakup semua perbuatan, padahal yang dimaksud adalah perbuatan hukum, yakni perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Selain itu perbuatan di sini dapat juga meliputi perbuatan hukum dan perbuatan melawan hukum, sehingga apabila hanya disebutkan perbuatan saja maka zaakwaarneming dan onrechtmatige daad juga termasuk di dalamnya. Selain itu menurut Salim (2002: 160) juga tidak mengandung adanya konsensus.
Berdasarkan adanya beberapa kelemahan mengenai pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata, maka para pakar hukum kemudian membuat definisi mengenai perjanjian. Menurut Subekti (2004: 1) ”Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Menurut Van Dunne yang diartikan dengan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. (dalam Salim, 2002: 161). Adapun menurut Sudikno (2003: 118), ”Perjanjian itu adalah merupakan hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Kata “hubungan hukum” ini juga mempertegas makna bahwa hubungan antara para pihak dalam perjanjian merupakan hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum, menimbulkan pula hak dan kewajiban, sehingga apabila salah satu pihak melanggarnya maka si pelanggar akan dikenakan sanksi.
2. Sahnya Perjanjian
5
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi adanya empat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: a.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
Pengertian sepakat adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, dengan perkataan lain, sepakat terjadi apabila ada persesuaian kehendak secara timbal balik di antara kedua belah pihak. Oleh karena itu para pihak yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju / seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Pengertian sepakat tersebut
dilukiskan
sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemmende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). (Mariam Darus, 2001: 74). Suatu perjanjian dikatakan tidak mengandung kesepakatan apabila di dalamnya terdapat cacat kehendak (wilsgebrek), yaitu adanya unsur-unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog) (Pasal 1321 KUH Perdata). Mengadung unsur paksaan, apabila
paksaan
itu
mengenai
badan
(fisik)
dan
terhadap
jiwa
(psikis).
Kekhilafan/kekeliruan dapat terjadi karena keliru terhadap orang atau keliru terhadap barang. Unsur penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar. Kecakapan untuk membuat perikatan, secara yuridis diatur dalam Pasal 1329 KUH Perdata dan Pasal 1330 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan orang yang tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang (isteri). Akan tetapi dalam perkembangannya, seorang isteri dapat melakukan perbuatan
6
hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963. Syarat ketiga sahnya perjanjian adanya suatu hal tertentu. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan yang akan ada dikemudian hari (Pasal 1333 KUH Perdata). Selanjutnya syarat yang keempat adalah adanya sebab (causa) yang halal. Hal ini undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai “sebab” (oorzaak, causa). Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui kausa, di dalam praktik maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. (Mariam Darus, 2001: 61). Mengenai kausa yang halal ini undang-undang tidak menjelaskan secara tegas, oleh karena itu dapat ditafsirkan secara a contrario dengan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1337 KUH Perdata hanya menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab terlarang, ialah sebab yang dilarang undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Oleh karena itu perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata). Jadi yang dimaksud sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh undangundang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Ke empat unsur sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dalam doktrin ilmu hukum digolongkan ke dalam dua unsur, yaitu: 1). Unsur subyektif, yaitu yang menyangkut pihak yang mengadakan perjanjian, yang meliputi unsur kesepakatan dan kecakapan. 2). Unsur objektif, yaitu meliputi objek tertentu dan kausa yang halal. Suatu perjanjian apabila tidak memenuhi salah satu unsur dari keempat unsur yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut menyebabkan perjanjian itu cacat dan diancam dengan kebatalan. Jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif maka perjanjiannya dapat dibatalkan, dan salah satu pihak yang merasa dirugikan berhak
7
menuntut pembatalan perjanjian dimuka hakim. Jika tidak dipenuhinya unsur objektif, maka perjanjian itu batal demi hukum, yang berarti bahwa perjanjian itu tidak pernah ada. 3. Perjanjian Baku a. Pengertian Perjanjian Baku Beberapa istilah dalam perjanjian baku antara lain yang dikenal di negeri Belanda dengan nama standaard contract; di Jerman dikenal dengan nama standard vertrag; dan di Inggris serta negara-negara Anglo Saxon lainnya dikenal dengan istilah standard forms of contract. Di samping istilah-istilah tersebut, perjanjian baku juga mendapat sebutan khusus karena sifatnya, yaitu disebut sebagai unconcious bargain, karena perjanjian ini dianggap tidak berperikemanusiaan. Selain itu juga diberi nama dengan sebutan agrement d’adhesion, karena bersifat menekan salah satu pihak. Adapun sebutan konfeksi sering ditujukan pada perjanjian baku karena format perjanjian (biasanya dalam bentuk formulir) yang telah tersedia dalam jumlah yang banyak dan siap untuk diisi jika akan membuat perjanjian. Pasal 1 angka (10) UUPK, menjelaskan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang dipejanjikan. (dalam Shidarta, 2006: 146-147) Perjanjian baku ini lazim digunakan dengan istilah ”kontrak baku” atau ”kontrak standar”. Di dalam kontrak baku tersebut lazimnya dimuat syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat-syarat itu dinamakan eksonerasi klausules atau exemption clause. Syarat ini sangat merugikan debitur, tetapi debitur tidak dapat membantah syarat tersebut, karena kontrak itu hanya memberi 2 (dua) alternatif, diterima atau ditolak oleh debitur. Mengingat
8
debitur sangat membutuhkan kontrak itu, maka debitur menandatanganinya. Di dalam kepustakaan, kontrak baku ini disebut perjanjian paksaan (dwang kontrak) atau take it or leave it contract (Mariam Darus Badrulzaman, 2001: 285). Perjanjian baku ini sering kali dikaitkan dengan masalah keberadaan syarat-syarat eksemsi (eksonerasi). Hal ini juga sering disebut dengan ”perjanjian adhesi” karena isinya sering kali menekan salah satu pihak (umumnya pihak yang posisi tawarnya lemah). Penekanan tersebut merupakan upaya yang biasanya dilakukan dengan cara mencantumkan syaratsyarat eksemsi yang memberatkan salah satu pihak ke dalam bentuk syarat-syarat baku. Untuk melindungi lemahnya kedudukan masyarakat konsumen, dalam upaya perlindungan hukum yang selama ini hanya menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya, yaitu yang dikenal dengan tanggung gugat produsen. Oleh karena itu perlu adanya upaya perlindungan konsumen, dengan mencari alternatif jalan keluarnya. Khusus dalam proses litigasi dan pembentukan hubungan hukum, pada umumnya, pihak yang mempunyai kekuatan tawar yang dominan cenderung dalam posisi ”di atas angin”, jika dibanding dengan pihak yang posisi tawarnya lemah. Kaitannya dengan perjanjian baku, dalam pembentukan hubungan hukum, pihak konsumen tampak dan terkesan lebih bersikap ”pasif”, sementara pihak pelaku usaha lebih bersifat ”aktif”, dalam arti lebih mempunyai posisi yang menentukan. Di dalam kerangka sistem hukum pancasila, pembangunan hukum dihadapkan pada terciptanya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan masyarakat. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pembuatan perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat diharapkan berlangsung secara adil dan demokratis. Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undangundang, dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum. (Pitlo dalam Ahmadi Miru, 2004: 117) Pasal 1 angka (10) UUPK, memberikan definisi klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
9
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan perjanjian baku, di satu sisi sangat menguntungkan apabila dilihat dari segi waktu tenaga dan biaya karena hal ini dapat dihemat, tetapi di sisi lain menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul di dalam perjanjian tersebut sebagai pihak yang dirugikan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena pembuatan perjanjian baku yang secara sepihak dan sudah distandarisasikan hanya menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang gerak bagi pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian tersebut. Lagi pula apabila dilihat dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak, biasanya pihak pelaku usaha cenderung melindungi kepentingannya sendiri, yaitu dengan menetapkan sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan, sebaliknya pengusaha meminimalkan kewajibannya sendiri dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan. Pasal 18 ayat (2) UUPK menyebutkan mengenai ketentuan teknis dari pencantuman klausula baku yang isinya adalah bahwa “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausuka baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti”. Kemudian Pasal 18 ayat (4) UUPK, menyatakan bahwa “pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK”. Setelah berlakunya UUPK, para pelaku usaha yang telah mencantumkan atau membuat klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 UUPK tersebut diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku sehingga tidak bertentangan dengan UUPK. UUPK pada prinsipnya tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang memuat klausula baku dalam setiap dokumen dan/atau transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK, yaitu mengenai pencantuman klausula eksonerasi yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti oleh konsumen.
b. Bentuk Perjanjian Baku
10
Bentuk perjanjian baku yang berkembang dalam masyarakat semakin beragam. Menurut Mariam Darus perjanjian baku yang terdapat di dalam masyarakat dapat dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: (dalam Salim, 2006: 156) a.
Perjanjian baku sepihak Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) lebih kuat dibandingkan pihak debitur.
b.
Perjanjian baku timbal balik Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c.
Perjanjian yang ditetapkan pemerintah Perjanjian yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
d.
Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.
4. Klausula Eksonerasi / Klausula Eksemsi Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian baku pada dasarnya tidak dilarang, yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian baku adalah apabila terdapat klausula yang memberatkan salah satu pihak. Klausula yang dimaksud disebut dengan klausula eksonerasi atau klausula eksemsi, yaitu klausula yang isinya pembebasan tanggung jawab (exemtion clause) salah satu pihak yang dilimpahkan kepada pihak lawan. Klausula eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya terdapat dalam perjanjian baku. Rijken (dalam Ahmadi Miru, 2004: 114) mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan 11
diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. David Yates memberikan definisi terhadap klausula eksonerasi yaitu bagian dari suatu perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian. (dalam Celina, 141) Ahmadi Miru (2004: 116) memberikan ciri-ciri perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi, yaitu: a. Pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat; b. Pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian; c. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut; d. Bentuknya tertulis; e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Klausula eksonerasi dalam KUH Perdata tercantum dalam Pasal 1493, yang menyatakan bahwa “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh Undang-undang ini, bahwa mereka itu diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun.” Selanjutnya Pasal 1506 KUH Perdata menyatakan bahwa “Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta perjanjian bahwa ia tidak diwajibkan menanggung suatu apapun. Adapun klausula eksonerasi di dalam UUPK diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf (a) yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha”. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (penjelasan Pasal 18 ayat 1 UUPK).
12
5. Hak dan Kewajiban Konsumen Perlindungan konsumen identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hakhak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak-hak konsumen, yaitu: a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) c. Hak untuk memilih (the right to choose) d. Hak untuk didengar (the right to be heard) Hak-hak di atas ditegaskan dalam suatu perundang-undangan, sehingga semua pihak baik konsumen, produsen, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam mewujudkannya. Hal ini berkaitan dengan upaya hukum dalam mempertahankan hak-hak konsumen, yaitu apabila hak-hak konsumen dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan prosedur yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hak-hak konsumen secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK yaitu: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
13
Di samping hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK tersebut juga yang dirumuskan dalam Pasal 7 UUPK yang merupakan kewajiban pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha merupakan antinomi dari hak konsumen Selain hak-hak tersebut, konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu yang diatur dalam Pasal 5 UUPK. Kewajiban konsumen tersebut adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Pengaturan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian. Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK, yaitu: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ini menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen kurang atau tidak memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.
14
Adapun kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 UUPK, adalah: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Undang-undang perlindungan konsumen mewajibkan pelaku usaha beritikat baik dalam melakukan usahanya, sedangkan konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Jika pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya, maka pelaku usaha tersebut dapat dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban tersebut. 7. Tanggungjawab Pelaku Usaha Tujuan perlindungan konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, oleh karena itu untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktifitas perdagangan pelaku usaha. Pelaku usaha wajib bertanggung jawab dan melakukan pengawasan terhadap produk yang dihasilkannya. Pengawasan ini senantiasa harus selalu dilakukan secara teliti dan berkala. Jika tidak, maka sebagai pihak yang menghasilkan produk dapat dianggap lalai, dan kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit, cidera atau bahkan menyebabkan meninggalnya konsumen karena pemakai produk yang dihasilkannya, maka produsen harus mempertanggung jawabkannya. Pertanggung jawaban ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yaitu mewajibkan
15
pelaku usaha sebagai pihak yang menghasilkan produk untuk menanggung segala kerugian yang mungkin timbul dari pemakaian suatu barang yang dihasilkannya. Pasal 7 huruf (f) UUPK menyebutkan, bahwa “Pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau pergantian barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”. Namun dalam kenyataannya masih ada pelaku usaha yang tidak memberikan ganti rugi, dan/atau penggantian barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut tanggung jawab pelaku usaha disebutkan dalam Pasal 19 UUPK khususnya dalam ayat (1) disebutkan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan“. Jika diperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha tersebut meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen. Hal ini terlihat bahwa tanggung jawab pelaku usaha itu meliputi semua kerugian yang dialami konsumen. Prinsip tanggung jawab ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen mengingat bahwa beberapa sumber hukum formal dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan sering memberikan pembatasan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan antara lain: (Shidarta, 2006: 72-79) a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault). Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan ini umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367 KUH Perdata. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya, yakni bertentangan dengan undang-undang, kepatutan dan kesusilaan.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab.
16
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai dia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat, artinya yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Namun demikian konsumen tidak kemudian dapat sekehendak hati mengajukan gugatan, akan tetapi posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika penggugat gagal menunjukkan kesalahan tergugat. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh penerapan prinsip ini adalah terjadi pada hukum pengangkutan; misalnya: kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin / bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang; sehingga pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liabiliy). Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat“ pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas ini dikenal dengan product liability. Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability priniple). Prinsip ini sangat disukai oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar. Hal ini misalnya terjadi dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang dicuci/cetak hilang/rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru misalnya. Oleh karena itu prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, sehingga pelaku usaha seharusnya tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.
17
Adanya klausula eksonerasi yang isinya membebaskan tanggung jawab pelaku usaha menyebabkan konsumen tidak dapat berbuat apa-apa. Seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan dan barang yang dipasarkan bila dikemudian hari produk tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen, sehingga pelaku usaha tidak boleh mengelak dari tanggung jawab dengan berlindung di bawah klausula eksonerasi yang tercantum dalam suatu perjanjian standar atau pada nota maupun faktur penjualan. Biasanya pelaku usaha selalu berkelit bila ada konsumen yang mengembalikan barang yang telah dibelinya karena rusak misalnya, dengan alasan bahwa dalam nota pembelian telah dicantumkannya klausula yang berbunyi: “segala kerusakan atas barang yang dibeli, tidak menjadi tanggung jawab penjual setelah meninggalkan toko.” Berkaitan dengan hal tersebut di atas ada suatu prinsip di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang tanggung jawab produk (pruduct liability), yaitu suatu tanggung jawab hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk, atau yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Tanggung jawab produk pada dasarnya mengacu pada tanggung jawab produsen terhadap produk yang ada di pasaran/peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung Jawab Produk tersebut merupakan suatu konsepsi hukum yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Pasal 19 ayat (1) UUPK yang telah disebutkan di atas secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk. Selain tanggung jawab produk juga terdapat tanggung jawab profesional. Tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, sedangkan tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Menurut Komar (dalam Shidarta, 2006: 82), tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Persoalan yang timbul dalam tanggung jawab profesional ini adalah karena para penyedia jasa profesional tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati atau bisa juga karena kelalaian dari penyedia jasa, yang dalam hal ini bisa mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum. Pelanggaran terhadap tanggung jawab profesional ini dapat berimplikasi membahayakan jiwa konsumen, misalnya terjadi di bidang kedokteran, yaitu terjadinya mala
18
praktek. Berkaitan dengan hal ini maka Pasal 19 ayat (1) UUPK tersebut sekaligus juga memuat tanggung jawab pelaku usaha di didang jasa. 8. Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penerapan Perjanjian Baku yang Mencantumkan Klausula Eksonerasi. Perjanjian dalam bidang bisnis yang pada umumnya berbentuk baku senantiasa berkesan sebagai perjanjian yang tidak seimbang. Hal ini terlihat banyaknya fakta dalam berbagai model perjanjian baku sering didominasi dengan opsi yang menguntungkan salah satu pihak khususnya pihak yang kedudukan ekonominya kuat. Keberadaan klausula eksonerasi dalam dunia bisnis dicantumkan hanya untuk membatasi tanggung jawab pelaku usaha. Adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku sangat merugikan bagi pihak konsumen yang mempunyai posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, karena pihak konsumen tidak ikut menegosiasikan isi dari perjanjian baku tersebut dan biasanya konsumen setuju saja dengan syarat yang diajukan oleh pelaku usaha. Kebutuhan akan barang dan jasa yang sangat mendesak yang dibutuhkan oleh konsumen mengakibatkan konsumen harus setuju terhadap ketentuan atau syarat-syarat yang diberikan oleh pelaku usaha. Hal ini karena didesak kebutuhan akan barang dan/atau jasa, ada juga karena hasrat ingin membeli, sehingga mau tidak mau harus setuju dengan syarat yang telah ditentukan oleh pelaku usaha, juga karena tidak peduli dengan syarat yang ditetapkan oleh pelaku usaha, bahkan ada yang tidak memperhatikan adanya syarat yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha Pemberian ganti kerugian yang harus diberikan pelaku usaha terhadap konsumen akibat dari kesalahan, kelalaian atau keteledoran yang dilakukan oleh pelaku usaha bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata pelaku usaha berkewajiban mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen baik kerugian materiil maupu moril akibat dari keteledoran pelaku usaha. Bila konsumen mengalami kerugian dengan adanya cacat produk pada barang yang dibelinya, konsumen berhak mendapatkan ganti kerugian berupa barang yang sama ataupun dengan memberi pengembalian uang senilai dengan nilai kerugian yang diderita oleh konsumen.
19
Aspek perlindungan hukum yang diberikan terkait adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha, yaitu jika barang yang dibeli terdapat cacat tersembunyi / hal-hal yang tidak tampak, maka konsumen yang mengkonsumsi atau menggunakan barang tersebut harus mendapat perlindungan hukum. Dalam praktek perlindungan hukum yang diterima oleh konsumen biasanya hanya sebatas tanggung jawab produk, yakni konsumen hanya akan mendapatkan ganti kerugian berupa produk atau barang sesuai dengan yang dibelinya. Berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata bahwa berkaitan terhadap kerugian yang disebabkan oleh kesalahan, keteledoran dan kelalaian pelaku usaha sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Pelaku usaha berkewajiban memberi ganti rugi kepada konsumen atas kerugian yang diderita konsumen. Ganti rugi yang diberikan dapat berupa barang atau uang setara dengan kerugian yang diderita oleh konsumen. Kemudian mengenai aspek perlindungan hukum yang diberikan terkait dengan adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha dalam prakteknya, bila terjadi komplain terhadap barang yang dibeli konsumen, hanya sebatas tanggung jawab produk (product liability) terhadap penggunaan barang yang digunakan oleh konsumen yang mengalami kerugian. Konsumen berhak mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita, setelah mengkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. 4. Kesimpulan Pelaku usaha dalam membuat perjanjian belum menerapkan asas keseimbangan dan asas keadilan. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa, karena konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan, konsumen hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian baku tersebut (take it or leave it). Bila dilihat dari sisi pembuatannya bahwa perjanjian baku dapat dikatakan sebagai perjanjian sepihak karena konsumen pada saat mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha, konsumen tidak ikut menegosiasikan isi dari perjanjian baku tersebut, karena pelaku usaha telah mempersiapkan terlebih dahulu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen yang dituangkan dalam suatu dokumen dalam bentuk formulir. Perjanjian dengan klausula baku pada dasarnya tidak dilarang oleh Undang-undang karena terkait dengan asas kebebasan berkontrak. Pelaku usaha boleh membuat atau mencantumkan
20
syarat-syarat sesuai dengan keinginannya sepanjang isi dari perjanjian baku tersebut tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan melanggar Undang-undang. Konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap segala kebutuhan konsumen serta mempertahankan atau membela hakhaknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha. Oleh karena itu terkait dengan pemberian ganti kerugian terhadap adanya kerugian yang dialami konsumen, maka harus mendapatkan ganti kerugian berupa produk atau barang yang sesuai dengan yang dibelinya. Pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang mengalami kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pelaku usaha maupun kerugian yang disebabkan kelalaian dan kurang hati-hatinya pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata.
21
Daftar Acuan 1. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlidungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2. Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 3. Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 4. Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 5. Salim, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar graha, Jakarta. 6. ........, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 7. Shidarta, 2006, Hukum Perlidungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta. 8. Subekti, 2004, Hukum Perjanjian , Intermasa, Jakarta. 9. Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
22