53
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN TERHADAP KLAUSUL BAKU DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA TELEPON SELULER PASCA BAYAR
A. Perlindungan Konsumen dan Pengaturannya Perlindungan konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Az. Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas–asas dan kaidah–kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.45 Pasal 2 UUPK menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Di dalam penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan
5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu :
45
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, halaman 30
36 Universitas Sumatera Utara
54
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keasmanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Menurut Pasal 3 UUPK, perlindungan konsumen bertujuan : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
Universitas Sumatera Utara
55
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha menegnai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).46 Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara antara lain: 1) Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
46
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
56
2) Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.47 Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. Selanjutnya Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda Konsument. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai akhir dari benda dan jasa (Uiteindelijke Gebruiker van Goerderen en Diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer)”.48 Menurut Az. Nasution, pengertian konsumen adalah “Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.49 Definisi lain tentang pengertian konsumen dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu “pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”.50 Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”(koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang
47
Ibid., hal 3 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., halaman 57. 49 Az.Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal.69 50 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., halaman 57. 48
Universitas Sumatera Utara
57
Hukum Perdata.51 Pengertian konsumen jelas lebih luas dari pada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include us all” (konsumen menurut definisi termasuk di dalamnya kita semua).52 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK. Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen (sebagai alih bahasa dari consumer), secara harfiah berarti “seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.53 Dalam Burgerlijk Wetboek baru (NBW) Belanda seperti termuat dalam bagian ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian (algemene voorwaarden), konsumen diartikan sebagai “orang alamia (yang dalam mengadakan perjanjian) tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi 51
Shidarta, Op.Cit., halaman 2.
52
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., halaman 2. Ibid.
53
Universitas Sumatera Utara
58
atau perusahaan”.54 Dengan demikian yang dimaksudkan dengan orang dalam batasan di atas adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum). Unsur mendapatkan digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau jasa itu oleh konsumen (transaksi konsumen) tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual-beli, sewa menyewa, pinjam-pakai, perjanjian jasa angkutan, perbankan, konstruksi, asuransi dan sebagainya), tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian sumbangan, hadiah-hadiah, atau yang sejenisnya baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersial (hadiah undian pemasaran, promosi barang atau jasa tertentu), maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial). Mendapatkan secara sah adalah mendapatkan suatu barang/jasa dengan cara yang tidak bertentangan/melawan hukum. Sekalipun demikian, kelak konsep “tanggung jawab produk” akan mengubah unsur ini. Unsur kegunaan tertentu memberikan tolak ukur pembedaan antara berbagai konsumen yang dikenal (konsumen antara atau konsumen akhir). Tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan tertentu itu untuk tujuan memproduksi barang/jasa lain dan atau untuk dijual kembali (tujuan komersial),
maka hal ini akan disebut dengan konsumen
antara. Sebaliknya bila kegunaan tertentu itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual 54
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
59
kembali (tujuan non-komersial), maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir. Hal-hal yang dikemukakan di atas, tampak terdapat dua pengertian atau jenis konsumen (1) Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial; dan (2) Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan diri sendiri/keluarga dan non-komersial. Jadi istilah konsumen yang digunakan dalam pengertian sebagai konsumen akhir, yaitu : “Setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk keperluan komersial”. Perlindungan konsumen itu sendiri adalah segala usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani memparalelkan dengan definisi konsumen, yaitu “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.55 Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini memang dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-undang, di mana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah : 55
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
60
Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.56 Ini berarti tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan barang atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai atau pengguna barang atau jasa. Untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa yang dimaksudkan Gunawan Wijaya juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut: Barang adalah “setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”; dan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan/prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.57 Gunawan
Wijaya
memberikan
perbandingan
definisi
perlindungan
konsumen dalam UUPK dengan pengertia dalam Law Dictionary Karya Steven H. Giffis. Dari perbandingan tersebut ia mengutip beberapa hal sebagai berikut : 1. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan perumusan maupun pengelompokan yang jelas mengenai macam dan jenis barang yang dilindungi. Hal ini erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Tidak adanya 56 57
Ibid. , halaman.5.. Ibid., halaman 6.
Universitas Sumatera Utara
61
perumusan atau pengelompokan dan pembedaan yang jelas dari jenis/macam barang dan/atau jasa tersebut pada satu sisi “dapat” memberikan keuntungan tersendiri pada “konsumen” yang memanfaatkan, mempergunakan, ataupun memakai suatu jenis barang dan/atau jasa tertentu dalam kehidupan sehari-harinya. 2. Undang-undang Perlindungan Konsumen tampaknya sangat menekankan pada pentingnya arti dari “Konsumen”, di mana dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut ditegaskan lagi bahwa : “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”58 Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas dapat dilihat bahwa UUPK masih sangat terbuka untuk melahirkan berbagai macam penafsiran. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang tampak sangat “melindungi” kepentingan
konsumen
ini
diharapkan
dapat
benar-benar
kepentingan konsumen, sesuai dengan yang dibutuhkan
“melindungi”
oleh konsumen, dan
bukan hanya semata-mata perlindungan yang dikehendaki oleh pelaku usaha dan/atau the ruling class untuk kepentingan mereka sendiri. Hubungan yang demikian sering kali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Dengan perkataan lain, konsumen adalah
58
Ibid. halaman 9-10.
Universitas Sumatera Utara
62
pihak yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Dalam rangka melindungi atau memberdayakan konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum. Oleh karena itu, diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Dengan demikian ditetapkannya UUPK merupakan langkah maju dalam pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Meskipun Undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undangundang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat (Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
63
B. Klausul Baku dalam Perjanjian Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Berkembangnya klausula dan perjanjian baku erat hubungannya dan dipacu oleh gejala perkembangan di bidang ekonomi yang bersifat massal serta percepatan di bidang proses distribusi dan produksi, termasuk meningkatnya tuntutan akan pemberian jasa yang profesional.59 Penggunaan klausula baku diperkirakan juga karena dipengaruhi oleh banyaknya perusahaan yang melakukan nasionalisasi. Penggunaan klausula baku dan perjanjian baku memiliki beberapa keuntungan praktis, seperti mengurangi perundingan yang bertele-tele, terlupanya mengatur beberapa hal tertentu dan penghematan biaya. Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:
59
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, halaman 134.
Universitas Sumatera Utara
64
a. b. c. d. e.
Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil; Bahasa yang sulit dipahami artinya; Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca; Kalimat yang disusun secara kompleks dan rumit; Bentuk perjanjian dan klausulanya tidak berwujud seperti suatu perjanjian (tersamar) pada umumnya. f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi di dalam kotak barang yang dibeli.60 Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini dilakukan dengan menggunakan klausula baku, baik itu ter-jadi pada negara maju ataupun terjadi di negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena begitu banyak digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan bahwa: “Standard form contracts probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remembering the last time they contracted other than by standard form”.61 Secara resmi definisi dari klausula baku yang dapat kita jadikan acuan adalah definisi yang diberikan oleh UUPK, yaitu: “setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
60
Munir Fuady, Hukum kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76 61 Mariam Darus Badrulzaman, ”Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard),” (Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 16-18 Oktober 1980), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
65
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.62 Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”.63 Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya.648 Jadi klausula baku berarti satu atau lebih klausula yang diformulasikan secara tertulis sebelum terjadinya perjanjian-perjanjian yang sama jenisnya dengan maksud untuk menentukan pula isi dari perjanjian yang akan terjadi diantara para pihak dan cukup satu klausula tertulis saja, sudah dapat dikatakan sebagai klausula baku. Menurut doktrin, sebenarnya yang dianggap sebagai klausula baku adalah sejumlah klausula yang telah disusun secara mendetail dan seksama oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, klausula baku dan perjanjian baku dikatakan mempunyai sifat konfeksi (confectie karakter), dalam pengertian klausula dan perjanjian tidak disusun secara individual untuk pihak tertentu. Sifat tersebut termanifestasikan lebih lanjut pada kenyataan bahwa pada perjanjian baku hampir
62
Pasal 1 angka 10 UUPK Salim HS., Op.Cit., halaman 146. 64 Ibid., halaman. 146. 63
Universitas Sumatera Utara
66
tidak memungkinkan pihak-pihak untuk menambahkan atau mengubah klausulaklausulanya. Klausula baku dan perjanjian baku pada umumnya di dalam literatur setidaknya memenuhi tiga syarat yaitu, klausula itu harus tertulis, klausula tersebut telah disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang memuat perjanjian baku akan digunakan terhadap pihak lawannya yang berjumlah relatif banyak, adanya peraturan pelaksana yang rinci. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut: a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat daripada kedudukan debitur. b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu. d. Bentuknya tertulis. e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.65 Dari ciri-ciri yang dikemukakan tersebut, seakan-akan suatu perjanjian baku itu sudah pasti mengandung muatan yang negatif dan merugikan pihak yang kedudukannya lebih lemah. Sebenarnya tidaklah demikian halnya karena mungkin sekali perjanjian baku cukup seimbang di dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak.66 Pada umumnya klausula baku di dalam suatu perjanjian baku atau akta standar tidak atau jarang dibaca. Apabila dibaca sering kali juga tidak seluruhnya dimengerti artinya oleh mereka yang membacanya. Gejala ini
65
Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standart) dalam Media Notariat Nomor 28-29, Tahun VIII, Juli-Oktobert 1993, halaman 45. 66 Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 137.
Universitas Sumatera Utara
67
juga dikenal dengan istilah “masalah klausula yang tidak diketahui dan tidak dimengerti” (het euvel der orgeweten en onbegrepen bedingen). Masalahnya adalah apakah seseorang terikat pada perjanjian baku tersebut yang isinya tidak dibaca dan tidak dimengerti atau dibaca tetapi tidak dimengerti, walaupun ia menyatakan telah menyetujuinya. Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan di dalam salah satu syarat untuk sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat. Doktrin menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan ajaran penundukan kehendak yang umum (de leer van de algemene wilsonderwerping). Pada umumnya pernyataan seseorang adalah sama dengan kehendaknya. Menurut ajaran ini, seseorang yang menyetujui sesuatu akan menyatakan apa yang dikehendakinya. Oleh karena itu secara formil ia terikat kepada klausula baku yang tercantum di dalam perjanjian baku yang telah disetujuinya tersebut. Ajaran ini mengambil pijakannya bahwa pihak konsumen yang menyetujui klausula baku/perjanjian baku, memang tidak mengenal seluruh klausula tersebut, tetapi ia menganggap telah menghendaki ketentuan baku tersebut dan oleh karena itu ia terikat. Pernyataan (verklaring) yang diberikan dianggap sesuai dengan kehendak (wil) yang sebenarnya. Pengikut ajaran tersebut berpendapat bahwa tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada seluruh lalu lintas hukum apabila orang tidak terikat walaupun telah menandatangani perjanjian baku tersebut. Jurisprudensi pada umumnya telah menerima ajaran tersebut.
Universitas Sumatera Utara
68
Beberapa ahli hukum menggunakan teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) sebagai dasar keterikatan kontraktualnya, yang berarti bahwa pernyataan yang diberikan seseorang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan yang diberikan tersebut benar adalah kehendaknya. Menurut analisis penulis ajaran “penundukan kehendak yang umum” mengandung otonomi yang terlalu luas pada faktor pernyataan, dimana di dalam praktek tidaklah rasional. Seringkali orang menyetujui perjanjian baku tanpa mengerti dan memahami isinya. Ketidaktahuan dari pengguna perjanjian baku tidak boleh disalahgunakan. Oleh karena itu, ketidaktahuan dari konsumen terhadap perjanjian baku dituntut pula adanya tanggung jawab yuridis yang lebih besar dari pihak pelaku usaha. Van der Werf yang dikutip Herlien Budiyono di dalam disertasinya (Gebondenheid
aan
Standaardvoorwarden,
Standaardvoorwarden
in
het
Rechtsverkeer met Particuliere en Professionele Contracttanten), berpendapat bahwa:67 Apabila klausula tersebut tidak mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak, konsumen tidak terikat terhadap klausula baku karena sudah sepatutnya merupakan harapan konsumen bahwa klausula-klausula tersebut tidak akan merugikan dirinya. Tidak terikatnya konsumen bergantung pada suatu keadaan tertentu yang berarti tidak adanya ukuran atau ketentuan yang pasti, tetapi harus diputuskan secara kasus demi kasus dengan pertimbangan-pertimbangannya untuk masing-masing kasus. Dengan demikian terikat atau tidaknya seseorang pada klausula dan perjanjian baku menjadi relative (gerelativeerd).
67
Ibid., halaman 140.
Universitas Sumatera Utara
69
Van der Werf mengusulkan suatu ajaran “penundukan kehendak yang relatif” (relatieve wilsonderwerping). Menurut ajaran ini pada dasarnya teori kehendak (wilstheorie) dianut, tetapi hanya berlaku apabila adanya faktor kepercayaan (vertrouwen) yang termotivikasi dengan iktikad baik yang harus sesuai dengan kepentingan lalu lintas hukum. Masih menurut van der Werf, keadaan yang dipertimbangkan agar dapat menentukan apakah konsumen akan terikat pada klausula/perjanjian baku, diantaranya adalah : a. Sifat dari perjanjian tersebut, apakah pihak pengguna adalah swasta/awam atau professional, apakah perjanjian/klausula baku tersebut sederhana atau kompleks. b. Cara terjadinya perjanjian tersebut, apakah dengan lisan, tertulis, colportage (penjualan secara door to door), penjualan dengan metode agresif, apakah pelaku usaha jujur dan terbuka, apakah syarat bakunya sudah umum digunakan atau tidak. Adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut berarti ajaran penundukan kehendak secara umum menjadi relatif atau terbatas berlakunya. Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undangundang”. Ketentuan tersebut berhubungan dengan bunyi ketentuan di dalam Pasal 1347 KUH Perdata yang menyatakan, “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”. Pasal 1346 KUH Perdata mengatur mengenai cara menafsirkan klausula yang meragukan, dimana klausula tersebut harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana persetujuan tersebut telah dibuat. Demikian pula ketentuan Pasal 1473 KUH Perdata yang bunyinya “Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan
Universitas Sumatera Utara
70
dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya”.68 Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu (1) diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; (2) dalam bentuk sebuah formulir; dan (3) adanya klausul eksonerasi/pengecualian. Untuk lebih jelasnya, diuraikan pula dengan singkat mengenai karakteristik yang terdapat pada klausula baku sebagai berikut: 1. Bentuk Perjanjian Tertulis Perjanjian yang dimaksud adalah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat per-nyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis, maka perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam 68
Lihat lebih lanjut Pasal 1346 dan Pasal 1473 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
71
waktu singkat. Ini merupakan kerugian bagi konsumen. Contoh perjanjian baku adalah perjanjian jual beli, polis asuransi, charter party, dan kredit dengan jaminan, sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian adalah konosemen, nota pesanan, nota pembelian, dan tiket pengangkutan.69 2. Format Perjanjian Dibakukan Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat perjanjian dapat dibuat secara rinci dengan menggunakan nomor/pasal atau secara singkat berupa klausula tertentu yang mengandung arti tertentu yang hanya dipahami oleh pengusaha, sedangkan konsumen sulit/tidak memahaminya secara singkat sehingga dapat merugikan bagi konsumen. Ukuran kertas perjanjian ditentukan menurut model, rumusan isi perjanjian, bentuk huruf dan angka yang dipergunakan. Contoh format perjanjian baku adalah polis asuransi, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit, konosemen, dan obligasi.70
69
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung., 1992, hal. 6. 70 Ibid., halaman 7.
Universitas Sumatera Utara
72
3. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha Syarat-syarat
perjanjian
yang
merupakan
pernyataan
kehendak
ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha daripada konsumen, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, dimana tanggung jawab itu menjadi beban konsumen. Pembuktian oleh pihak pengusaha yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit diketahui oleh konsumen karena ketidaktahuannya. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah pakai, jika konsumen setuju, tanda tanganilah perjanjian tersebut.71 4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian itu. Penandatangan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syaratsyarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak
71
Ibid., halaman 8.
Universitas Sumatera Utara
73
perjanjian. Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan “take it or leave it”.72 5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula standar (baku) mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang mengendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka pengusaha di Indonesia sebelum menyelesaikan sengketa di pengadilan, menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. 6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha Kenyataan ini menunjukkan bahwa kecenderungan perkembangan perjanjian adalah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dari formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:73
72 73
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
74
a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepada-nya; d. homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak. 7. Jenis-jenis Perjanjian Baku Mariam Darus dalam tulisannya membedakan perjanjian baku ke dalam empat jenis, yaitu: 74 a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu (pihak yang kuat ialah pihak kreditur). Perjanjian ini disebut perjanjian adhesi. b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). c. Perjanjian baku ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah (formulir seperti diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055, dan sebagainya). d. Perjanjian baku yang dipergunakan di lingkungan notaris atau advokat. 74
Ibid., halaman 8-9.
Universitas Sumatera Utara
75
Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulirnya tetapi klausulklausulnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul yang hanya mengambil alih klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul tersebut, maka akta notaris tersebut juga merupakan perjanjian baku. Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata). Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it).
Universitas Sumatera Utara
76
Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract. Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Sutan Remy Syahdeni terhadap klausul eksonerasi lebih memilih penggunaan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan dari exemption clause yang dipakai dalam hukum Inggris. Hal ini didasarkan pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah menurut Keputusan Mendikbud No. 0389/U/1988.75 Sutan Remy Syahdeini mengutip beberapa pendapat sarjana mengenai klausul eksonersi antara lain : 1) Mariam Darus Badrul Zaman, yang mengatakan klausul eksonerasi adalah klausula yang membatasi pertanggung jawaban dari kreditur 2) Kumar memberikan mengenai exslusion clause, yaitu clause of a contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability, for breach of contract. or damage, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time. 3) David Yates yang juga menggunakan istilah exslusion clause, yaitu Any term i acontract restricting, excluding or modifying a remedy or a liability arising out of a breach of a contractual obligations.76 Sutan Remi Syahdeni memberikan pengertian klausul eksonerasi/eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
75
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., halaman 73. Ibid., halaman. 74.
76
Universitas Sumatera Utara
77
bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.77 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual) atau pelaku usaha. Dalam pengertian tersebut terlihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen/penyalur produk (penjual) atau pelaku usaha yang lazim disebut kreditur dan konsumen di lain pihak. Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan karena dalam klausula baku dinyatakan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang dipersiapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi, yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian klausula eksonerasi tidak sekadar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Pasal 18 Ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan, pelaku usaha
dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan 77
Ibid., halaman. 75.
Universitas Sumatera Utara
78
huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya. Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengan klausula eksonerasi? Jika melihat kepada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul eksonerasi. Pasal 18 Ayat (2) UUPK mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa klausul baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan dalam Ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausula baku itu menjadi batal demi hukum. Di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula eksonerasi ini belum diatur secara tegas. Satu-satunya ketentuan adalah UUPK, walaupun di dalamnya digunakan istilah klausul baku yang ternyata berbeda pengertiannya dengan klausula eksonerasi. Dalam hal ini klausul baku diartikan sebagai klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah pada klausula eksonerasi. Sedangkan klausula eksonerasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah klausula yang mengandung upaya untuk
Universitas Sumatera Utara
79
membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada salah satu pihak yang dalam hal ini pelaku usaha. Secara umum, memang dapat ditunjuk beberapa pasal yang ada dalam KUHPerdata yang juga berupa larangan terhadap pembuatan klausula eksonerasi. Salah satunya adalah Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum”. Namun demikian, untuk dapat menguji sejauh mana perjanjian itu bertentangan, perlu diproses melalui gugatan di pengadilan.
C. Klausul Baku Dalam Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pada sub bab terdahulu telah di jelaskan bahwa Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar baik yang diselenggarakan oleh Telkomsel maupun Indosat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menganut sistem pasca bayar dimana pelanggan menggunakan jasa dahulu baru kemudian membayar sesuai pemakaian. Hal ini berbeda dengan Kartu SIM lainnya seperti Simpati dan As (Telkomsel) dan Mentari dan IM3 (Indosat) dan beberapa jenis layanan lainnya yang membeli jasa layanan melalui voucher yang dijual bebas. Dalam praktek perjanjian tersebut dikenal dengan “Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler Pasca Bayar” yang melibatkan dua pihak yaitu pihak Telkomsel dan Indosat sebagai penyedia jasa dan pelanggan sebagai pengguna jasa. Perjanjian tersebut adalah suatu perjanjian antara pihak pengguna
Universitas Sumatera Utara
80
jasa/konsumen dengan pihak penyedia jasa/produsen mengenai perbaikan suatu bentuk layanan telekomunikasi yang menggunakan kartu yang diisikan ke dalam telepon seluler (handphone) dengan sistem pasca bayar, yaitu pelanggan atau konsumen memakai jasa dahulu baru kemudian membayar tagihan sesuai dengan tingkat pemakaiannya.78 Dalam prakteknya, perjanjian penggunaan jasa telekomunikasi telepon seluler ini dibuat dalam bentuk perjanjian baku yang telah disediakan pihak penyelenggara jasa dalam hal ini Telkomsel dan Indosat berbentuk formulir yang harus diisi oleh konsumen yang akan menjadi pelanggan. Pemberian formulir pendaftaraan sebagai pelanggan pemakai layanan seluler
dilakukan setelah
konsumen datang dan menyatakan niatnya untuk menjadi pelanggan dan pengguna jasa layanan seluler Telkomsel dan Indosat. Konsumen yang dapat menjadi
pelanggan Telkomsel dan Indosat dapat berupa Individu maupun
perusahaan pengguna jasa sebagai mana ditentukan dalam Perjanjian.79 Hal ini dibenarkan oleh Efendi A. dan Zulkarmaen bahwa pada mulanya ia menjadi pelanggan pada Telkomsel dilakukan dengan mengunjungi perwakilan Telkomsel di Banda Aceh dan menyatakan niatnya untuk menjadi pelanggan dan disodori formulir termasuk juga memberikan denah lokasi tempat tinggalnya dan berbagai persyaratan lainnya. Setelah ia mengisi formulir yang telah disediakan
78
Wawancara dengan Andiani dan Deanda Fitri, Staf Customer Service pada Telkomsel dan Indosat Banda Aceh, tanggal 26 dan 27 April 2010. 79 Wawancara Syahwiza Dean dan Lidya, Pimpinan Indosat dan Staf Costomer Service Telkomsel Banda Aceh, tanggal 27 dan 27 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
81
dengan data yang sebenarnya ia mengembalikan kepada pihak Telkomsel dan diharuskan memiliki Kartu Hallo Pribadi atau Keluarga dengan tiga paket layanan yang ada. Ketiga paket layanan yang disediakan pada umumnya adalah sama berupa layanan jasa telepon seluler hanya dibedakan bonus yang akan diterima oleh pelanggan.80 Kondisi yang sama juga terjadi pada Indosat yang dalam hal ini diakui Yuliana dan M. Suryadi bahwa pada saat mereka menjadi pelanggan pada Operator seluler Indosat dilakukan dengan mengunjungi perwakilan galeri Indosat di Banda Aceh dan menyatakan niatnya untuk menjadi pelanggan dan disodori formulir yaitu “Formulir Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler Pasca Bayar” termasuk juga memberikan denah lokasi tempat tinggalnya dan berbagai persyaratan lainnya. Setelah ia mengisi formulir yang telah disediakan dengan data yang sebenarnya ia mengembalikan kepada pihak Indosat dan kepadanya diberikan Kartu Sim sebagai perangkat terminal yang nantinya dijadikan media layanan yang disediakan pihak penyelenggara jasa telepon seluler.81 Selanjutnya mengenai paket layanan yang disediakan oleh pihak penyedia jasa, Andiani mengatakan bahwa pihak Telkomsel memang selain menyediakan layanan Karto Hallo secara pibadi juga menyediakan Kartu Hallo Keluarga yang merupakan
jenis
layanan
secara
berkelompok
yang
difokuskan
pada
80
Wawancara dengan Efendi A. dan Zulkarnen, Pengguna Jasa Telepon Seluler Telkomsel Banda Aceh, tanggal 27 dan 30 April 2010. 81 Wawancara dengan Yuliana dan M. Suryadi, Pengguna Jasa Telepon Seluler Indosat Banda Aceh, tanggal 27 dan 30 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
82
keanggotaannya adalah keluarga yang memiliki hubungan darah dengan pemegang kartu utama. Disini pemegang kartu utama mempunyai tanggung jawab penuh atas pemakaian Kartu Hallo tambahan oleh pemegangnya. Sedangkan mengenai paket yang diberikan adalah berupa bonus bagi pelanggan yang terdiri Paket A berupa : 1) Paket A. Gratis Abonemen, di mana pelanggan mendapat keuntungan tanpa membayar abonemen dan hanya membayar pulsa pemakaian saja setiap bulannya dengan minimal pemakaian Rp. 25.000,2) Paket B. Gratis 150 SMS setiap bulannya dan Discon biaya abonemen 30 % menjadi Rp. 45.000,3) Paket C Tarif Flat yaitu tarif 650 per menit dan SMS Rp. 100 untuk 5 nomor favorit. Kesemuanya juga disertai dengan keuntungan bebas roaming nasional dan pembayaran tagihan dapat dilakukan auto debit, cash/tunai, ATM phone banking, 82
internet banking, credit card auto debit, maupun melalui call center.
Sementara itu, untuk porduk Indosat layanan yang disediakan untuk produk pasca bayar namanya sama dengan produk Sim Indosat lainnya yaitu, Mentari, IM3 dan Star One, hanya saja bentuk layanannya yang diberikan dengan system pasca bayar, maka pembayaran terhadap jasa layanan dilakukan dengan tagihan resmi dari penyelenggara jasa bukan melalui pembelian pulsa atau voucher secara 82
Wawancara dengan Andiani, Staf Customer Service pada Telkomsel Banda Aceh, tanggal 26 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
83
bebas. Pelaksanaan pembayaran biaya pemakaian biasanya dilakukan setiap awal bulan untuk pemakaian bulan sebelumnya.83 Berdasarkan hasil penelaahan surat perjanjian diketahui bahwa ruang lingkup perjanjian jasa layanan telepon seluler pasca bayar melalui Terkomsel adalah meliputi layanan penyediaan fasilitas telekomunikasi GSM yang diselenggarakan olehnya Telkomsel dan Indosat untuk dapat digunakan oleh Pelanggan atau konsumen yang setuju mengikatkan diri untuk menggunakan jasa telekomunikasi GSM yang diselenggarakan oleh Telkomsel dan Indosat sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini. Dalan perjanjian Telkomsel dan Indosat wajib untuk memberikan jasa telekomunikasi bergerak selular GSM sehingga memungkinkan digunakannya perangkat Terminal oleh Pelanggan untuk mengirimkan dan menerima panggilan telepon sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh fasilitas telekomunikasi yang dioperasikan oleh Telkomsel dan Indosat (“layanan Dasar”). Selain itu, Telkomsel dan Indosat dapat menyediakan layanan tambahan yang merupakan hasil peningkatan dari layanan sentral GSM yang dioperasikan oleh Telkomsel dan Indosat (“Layanan Tambahan”) yang mencakup antara lain call forwarding, call baring, short message service, voice mail, roaming, dan jasa-jasa lainnya yang dari waktu ke waktu dikembangkan oleh Tekomsel seperti tidak terbatas pada mobile bangking, wireless application protocol (WAP), Multimedia 83
Wawancara dengan Deanda Fitri, Staf Customer Service pada Indosat Banda Aceh, tanggal 27 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
84
Messaging Service (MMS) dan jasa-jasa lainnya yang akan diberitahukan oleh Telkomsel dan Indosat kepada Pelanggan.84 Telkomsel dan Indosat juga dapat menyediakan layanan administratif (“Layanan Administratif”) yang mencakup antara lain pasang baru, ganti kartu, mutasi home location register, pelayanan informasi dan layanan lainnya yang dimungkinkan ketentuan Telkomsel dan Indosat. Perjanjian ini berlaku efektif terhitung sejak disetujuinya persyaratan dalam Formulir Permohonan Berlangganan (“Formulir”) oleh Telkomsel dan Indosat untuk jangka waktu terus menerus sepanjang Telkomsel dan Indosat tetap menjalankan usahanya berdasarkan ketentuan perundang-undangan, kecuali apabila perjanjian ini diakhiri terlebih dahulu. Telkomsel dan Indosat akan melakukan Aktivasi terhitung sejak Perjanjian ini berlaku secara efektif. Ketentuan ruang lingkup perjanjian yang diuraikan tersebut merupakan kewajiban dari Telkomsel dan Indosat dalam penyediaan layanan GSM seluler.85 Selanjutnya mengenai hak dan kewajiban pelanggan dalam perjanjian dimulai sejak penyediaan data yang benar pada waktu mengajukan permohonan sebagai pengguna GSM Kartu Hallo dan Kartu Matrix. Hal ini dituangkan dalam Pasal 4 perjanjian yaitu :
84
Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh 85 Wawancara dengan Andiani dan Deanda Fitri, Staf Customer Service pada Telkomsel dan Indosat Banda Aceh, tanggal 26 dan 27 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
85
1. Pelanggan menjamin bahwa segala data dan informasi Pelanggan yang diberikan kepada Telkomsel dan Indosat dalam Formulir ini adalah benar. 2. Jika seluruh persyaratan dimaksud dalam Formulir ini belum sepenuhnya dilengkapi oleh Pelanggan, Telkomsel dan Indosat berhak untuk menunda atau menangguhkan Aktivasi atau melakukan De-aktivasi apabila Nomor GSM sudah diaktifkan, sampai seluruh persyaratan dimaksud telah dipenuhi oleh Pelanggan. 3. Pemberian keterangan dimaksud Point (1) di atas secara tidak benar atau palsu atau menyesatkan diancam pidana sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 4. Dengan memperhatikan Point (3) di atas, apabila keterangan dimaksud Point (1) tidak benar atau palsu atau menyesatkan, Telkomsel dan Indosat berhak memutuskan atau membatalkan secara sepihak Perjanjian ini setiap saat dan Pelanggan dengan ini sepakat untuk melepaskan segala hak untuk menuntut terhadap segala akibat putusnya atau batalnya Perjanjian. 5. Apabila Perjanjian diputuskan atau dibatalkan sebagaimana dimaksud Poin (4) di atas dilakukan setelah Aktivasi, Pelanggan wajib membayar segala biaya yang timbul sehubungan dengan penggunaan jasa telekomunikasi selular yang telah dilakukannya. Selain itu, dalam Pasal 7 surat perjanjian juga diatur mengenai kewajiban pelanggan terhadap pembayaran berbagai biaya, di mana dinyatakan bahwa : Pelanggan berkewajiban untuk membayar biaya-biaya sebagaimana diuraikan di bawah ini untuk Layanan Dasar yang disediakan oleh Telkomsel dan Indosat bagi Pelanggan : a. biaya pasang sambungan; b. biaya bulanan; c. biaya pemakaian antara lain yang terdiri atas air time, roaming 86 (jelajah), pulsa lokal, pulsa interlokal dan pulsa internasional. Setiap saat selama berlangsungnya perjanjian berlangganan jasa telepon seluler ini, Telkomsel dan Indosat berhak untuk menetapkan adanya biaya yang harus dibayar oleh Pelanggan atas penyediaan dan/atau penggunaan Layanan 86
Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
86
Tambahan dan/atau Layanan Administratif, dan setiap perubahan atas penyediaan dan/atau penggunaan Layanan Tambahan dan/atau Layanan Administratif sebagaimana diminta oleh Pelanggan secara tertulis kepada dan yang telah disetujui oleh Telkomsel dan Indosat. Seluruh biaya dimaksud wajib dibayar oleh Pelanggan setiap bulannya dalam tenggang waktu, tempat dan cara pembayaran sebagaimana ditetapkan oleh Telkomsel dan Indosat dari waktu ke waktu melalui : a. Surat tagihan (invoice) yang akan dikirimkan oleh Telkomsel dan Indosat setiap bulannya, melalui pos tercatat atau kurir, kepada alamat Pelanggan yang tercantum dalam Formulir atau alamat lainnya yang diberitahukan secara tertulis oleh Pelanggan kepada Telkomsel dan Indosat, surat tagihan tersebut dianggap diterima oleh Pelanggan dalam waktu 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya surat tagihan tersebut oleh Kantor pos atau diterimanya surat tagihan tersebut oleh kurir yang bersangkutan dari Telkomsel dan Indosat; b. Informasi
yang diberikan oleh bagian Customer Service Telkomsel dan
Indosat, informasi tersebut wajib dimintakan oleh Pelanggan. Untuk itu Pelanggan wajib dengan didasari itikad baik, untuk menghubungi layanan pelanggan (customer service) Telkomsel dan Indosat guna memperoleh keterangan yang diperlukan. c. Bank-bank yang mempunyai kerjasama dengan Telkomsel dan Indosat untuk pembayaran tagihan (payment gateway).
Universitas Sumatera Utara
87
Kewajiban Pelanggan untuk membayar biaya-biaya yang terhutang olehnya akan jatuh tempo pada tanggal sebagaimana disebutkan dalam surat tagihan atau pemberitahuan yang disampaikan oleh bagian Customer Service Telkomsel dan Indosat atau pemberitahuan tertulis yang disampaikan Telkomsel dan Indosat. Biaya-biaya yang terhutang oleh Pelanggan kepada Telkomsel dan Indosat akan dihitung berdasarkan catatan/data yang dibuat dan dimiliki oleh Telkomsel dan Indosat dan perhitungan tersebut mengikat Pelanggan sepenuhnya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh Pelanggan. Namun demikian, menurut Syahwiza Dean dan Lidya apabila surat tagihan tidak sampai atau tidak dapat dikirimkannya surat tagihan oleh penyelenggara jasa kepada Pelanggan tidak menyebabkan hapusnya kewajiban Pelanggan untuk membayar setiap bulan dan seluruh biaya-biaya yang terhutang olehnya tepat pada waktunya. Apabila Pelanggan, karena sebab apapun, tidak melakukan pembayaran atas biaya-biaya yang terhutang kepada Telkomsel dan Indosat dalam batas waktu yang telah ditetapkan dalam surat tagihan atau sebagaimana yang diinformasikan kepada Pelanggan oleh bagian Customer Service Telkomsel dan Indosat atau melalui pemberitahuan tertulis, maka Telkomsel dan Indosat berhak untuk mengumumkannya dalam surat kabar atau melaksanakan setiap tindakan hukum terhadap Pelanggan guna mendapatkan pembayaran secara penuh atas segala biaya yang terhutang oleh Pelanggan berdasarkan Perjanjian ini dan penggantian atau kerugian yang diderita oleh Telkomsel dan Indosat serta biaya
Universitas Sumatera Utara
88
dan pengeluaran lainnya yang ditanggung oleh Telkomsel dan Indosat dalam mengupayakan pelaksanaan pembayaran dimaksud.87 Demikian pula apabila terdapat kelebihan atas pembayaran yang dilakukan oleh Pelanggan, maka Pelanggan dapat mengajukan restitusi terhadap kelebihan pembayaran tersebut, dengan ketentuan : a. Pelanggan mengikuti prosedur restitusi yang berlaku di Telkomsel dan Indosat dari waktu ke waktu; b. Pelanggan bersedia dipotong biaya transfer untuk restitusi yang ditransfer ke rekening Pelanggan; c. Proses transfer dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja, dengan ketentuan Telkomsel dan Indosat tidak bertanggung jawab apabila terjadi keterlambatan transfer akibat kesalahan bank.88 Selanjutnya apabila dalam praktek perjanjian pelanggan tidak memenuhi ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian pihak Telkomsel dan Indosat berhak melakukan pemutusan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan tentang Pemutusan Perjanjian dan Akibat Hukumnya, yaitu : (1) Telkomsel dan Indosat berhak untuk memblokir penggunaan Kartu Halo dan Kartu Matrix untuk jangka waktu yang ditetapkan oleh Telkomsel dan Indosat dan/atau memutuskan Perjanjian ini serta melaksanakan De-aktivasi apabila terjadi satu atau lebih hal-hal sebagai berikut : a. Informasi yang tercantum dalam Formulir tidak benar dan akurat; b. Pelanggan tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini termasuk namun tidak terbatas pada kewajiban Pelanggan untuk membayar biaya-biaya yang terhutang olehnya berdasarkan Perjanjian ini; c. Pelanggan meninggal dunia, pailit atau ditempatkan di bawah pengampuan; 87
Syahwiza Dean dan Lidya, Pimpinan Indosat dan Staf Costomer Service Telkomsel Banda Aceh, Wawancara 26 dan 27 April 2010. 88 Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
89
(2)
(3)
(4)
(5)
d. Terjadi peristiwa Force Majeure sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 yang berlangsung terus menerus untuk jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan. Atas pertimbangan tertentu Telkomsel dan Indosat dapat melakukan pemutusan atau pemblokiran baik terhadap sebagian maupun seluruh Layanan Dasar dan Layanan Tambahan yang diberikan oleh Telkomsel dan Indosat kepada Pelanggan secara sepihak, dan dengan ini Pelanggan menyatakan sepakat untuk melepaskan hak untuk melakukan segala bentuk tuntutan kepada Telkomsel dan Indosat untuk itu. Pelanggan dapat mengundurkan diri dengan cara memutuskan Perjanjian ini setiap saat atas persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Telkomsel dan Indosat. Pemutusan Perjanjian ini tidak menghapuskan kewajiban Pelanggan untuk membayar seluruh tagihan Pelanggan yang masih tersisa sampai dengan Telkomsel dan Indosat melakukan De-aktivasi atas nomor GSM Pelanggan tersebut. Dalam hal Pelanggan membayar tagihan secara autodebet dan rekening pelanggan masih dikurangi (didebt) setelah terjadinya pemutusan atau De-aktivasi, maka Pelanggan tidak dapat menuntut kesalahan tersebut semata-mata kepada Telkomsel dan Indosat, namun demikian Pelanggan dapat meminta pengembalian uang yang telah di debt tersebut dari Telkomsel dan Indosat disertai dengan bukti-bukti yang cukup dengan dikurangi biaya administrasi (transfer), jika ada.89
Dari hasil penelaahan surat perjanjian juga diketahui adanya klausula baku yang menguntungkan pihak penyelenggara layanan dalam hal ini Telkomsel dan Indosat, di mana diatur tentang force majeur dan pembatasan tanggung jawab bahwa : Terhadap
force
majeur
Telkomsel
dan
Indosat
dibebaskan
dari
kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini apabila terjadi peristiwa Force Majeure yang antara lain meliputi :
89
Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
90
a. bencana alam seperti banjir, angin topan, gempa bumi, petir dan sejenisnya. b. Peristiwa kebakaran, pemogokan, perang pemberontakan atau tindakan militer lainnya; c. Kerusakan listrik (power failure) PLN; dan d. Tindakan pihak yang berwenang yang mempengaruhi kelangsungan penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak selular oleh Telkomsel dan Indosat.90 Sedangkan mengenai pembatasan tanggung jawab diatur bahwa : (1) Sepanjang telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya menurut Perjanjian ini secara wajar, Telkomsel dan Indosat tidak bertanggungjawab terhadap Pelanggan atas tuntutan, biaya-biaya kerusakan, kerugian atau tanggung jawab atas kerusakan atau hilangnya harta benda karena atau sehubungan dengan layanan yang diberikan Telkomsel dan Indosat berdasarkan Perjanjian ini. Telkomsel dan Indosat hanya akan bertanggung jawab kepada Pelanggan terhadap kerugian langsung dan dapat dibuktikan yang disebabkan oleh kegagalan Telkomsel dan Indosat untuk memberikan layanan menurut Perjanjian ini maksimum sebesar rata-rata penggunaan Pelanggan selama tiga (3) bulan terakhir. (2) Telkomsel dan Indosat tidak bertanggung jawab terhadap kegagalan penggunaan layanan telekomunikasi yang timbul dari atau sehubungan dengan kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada jaringan telekomunikasi milik Telkomsel dan Indosat atau yang dioperasikan oleh pihak lain, termasuk dalam hal Pelanggan melakukan panggilan interkoneksi, sambungan langsung internasional dan/atau dalam posisi roaming internasional. Selain itu dalam surat perjanjian juga diatur adanya pengesampingan yang juga menguntungkan penyelenggaraan layanan yaitu : (1) Telkomsel dan Indosat tidak bertanggung jawab terhadap kerugian tidak langsung yang diderita oleh Pelanggan, termasuk tetapi tidak terbatas pada hilangnya keuntungan yang diharapkan, kehilangan data dan kerugian tidak langsung lainnya yang timbul sehubungan dengan kegagalan Pelanggan dalam menggunakan layanan telekomunikasi yang disediakan oleh Telkomsel dan Indosat menurut Perjanjian ini. 90
Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
91
Telkomsel dan Indosat tidak bertanggung jawab terhadap materi atau isi suatu pesan yang bertentangan dengan moral masyarakat (public moral) yang dikirimkan melalui jaringan telekomunikasi yang dioperasikannya.91 Pengaturan hak dan kewajiban dalam perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pasca bayar telah diatur dengan lengkap dalam surat perjanjian yang berbentuk baku dan dikeluarkan oleh pihak penyedia jasa, namun dalam praktek tetap saja pelanggan merasa dirugikan akibat pelayanan jasa yang tidak memuaskan, baik dari segi mutu jaringan yang tidak memenuhi syarat sampai pemutusan sambungan secara sepihak tanpa koordinasi dengan pelanggan padahal pelanggan telah melaksanakan kewajibannya. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pada kedua perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pasca bayar produk Telkomsel dan Indosat dapat digolongkan dalam perjanjian baku di dalamnya memuat ketentuan klausul baku dan apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 UUPK klausul baku tersebut merupakan hal yang dilarang dimuat dalam perjanjian. Penempatan berbagai klausul baku pada perjanjian juga dibelakang formulir pendaftaran dan dibuat sepihak oleh perusahaan dalam bentuk tulisan yang sulit terlihat. Kesemua kondisi yang ditemukan pada perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pasca bayar produk Telkomsel dan Indosat menurut penulis memenuhi kriteria perjanjian baku dan klausul baku sebagaimana yang disebutkan pada sub bab sebelumnya.
91
Surat Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM Telkomsel dan Indosat. Telkomsel dan Indosat Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
92
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terhadap Klausul Baku dalam Perjanjian Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar Menurut UUPK klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Isi perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak oleh salah satu pihak, dan lazimnya pihak tersebut adalah pelaku usaha, menyebabkan pada umumnya isi perjanjian baku lebih banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajibankewajiban yang harus dipenuhi konsumen. Ketidakseimbangan ini diatur lebih lanjut pada Pasal 18 UUPK yang mengatur tentang larangan tentang pencantuman klausula baku dengan tujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha, berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam Pasal 18 UUPK dinyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atau barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan langsung dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen.
Universitas Sumatera Utara
93
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau yang pengungkapannya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pada dasarnya UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang memuat klausul baku, asal tidak berbentuk sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK. Apabila terjadi pelanggaran atas Pasal 18 UUPK tersebut, maka klausul baku tersebut batal demi hukum, tetapi tidak berarti batalnya perjanjian secara keseluruhan. Pelaku usaha diwajibkan menyesuaikan isi perjanjian baku dengan ketentuan Pasal 18 UUPK. Selain berlaku ketentuan UUPK, terhadap perjanjian baku berlaku pula ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Buku III KUH Perdata yang berlaku dalam Hukum Perjanjian, khususnya tentang syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata), ketentuan tentang wanprestasi (Pasal 1243 juncto 1266 juncto 1267 KUH Perdata) maupun ketentuan tentang force majeur atau overmacht (Pasal 1244 juncto 1245 KUH Perdata).
Universitas Sumatera Utara
94
Namun demikian, berdasarkan penelaahan perjanjian pada dua perwakilan layanan telepon seluler diketahui bentuk klausul baku yang dimaksud pada kedua operator adalah dengan (1) adanya ketentuan hak dan tanggung jawab para pihak, (2) pemutusan perjanjian dan (3) akibat hukumnya dan pembatasan tanggung jawab penyelenggara layanan. Sedangkan alasan pelanggan mengajukan komplain adalah (1) pemutusan layanan secara sepihak, (2) gangguan jaringan dan (3) tingginya biaya pemakaian. Dengan adanya klausul baku dimaksud terhadap pelaku usaha dalam hal ini dapat dengan mudah menolak komplain yang diajukan oleh pelanggan atau konsumen. Pada dua perwakilan layanan telepon seluler pasca bayar, yaitu Telkomsel dan Indosat di Kota Banda Aceh diketahui bahwa pada saat penelitian terdapat berbagai komplain dari masyarakat pengguna produk jasa layanan kedua operator tersebut. Adapun jenis komplain yang diajukan antara lain, akibat diterbitkannya surat peringatan pemutusan layanan karena tidak melakukan pembayaran padahal pembayaran telah dilakukan, mutu layanan yang tidak sesuai dengan janji yang diberikan dan juga berbagai komplain mengenai standar pelayanan lainnya. Namun demikian komplain yang diajukan pelanggan tersebut dengan pihak operator mengelak dari tanggung jawabnya dengan adanya klausul baku yang termuat dalam perjanjian yang disetujui pelanggan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah pengajuan komplain dari pelanggan kedua operator tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Universitas Sumatera Utara
95
TABEL JUMLAH KOMPLAIN YANG DIAJUKAN OLEH PELANGGAN PADA OPERATOR JASA LAYANAN TELEPON SELULER TAHUN 2008 – 2009 Tahun
Indosat
Telkomsel
Alasan Pengajuan Komplain
2008
83
96
1.
2009
69
77
2. 3.
Jumlah
142
163
Pemutusan layanan secara sepihak Gangguan Jaringan Tingginya biaya Pemakaian
Sumber : Graha Indosat dan Telkomsel, 2010
Tindakan yang dilakukan penyedia jasa berupa tidak memenuhi layanan jasa secara maksimal dan pemutusan secara sepihak yang dilakukan oleh penyedia jasa ini pada dasarnya dapat dituntut oleh pihak pelanggan sebagai konsumen pengguna jasa, namun hingga kini hal tersebut tidak pernah dilakukan karena pihak pelanggan sebagai konsumen pengguna jasa hanya mengajukan komplain dan pada umumnya ingin dengan segera dapat menikmati kembali fasilitas layanan yang mengalami gangguan atau kerusakan sehingga tidak mempersoalkan apakah perjanjian tersebut berjalan dan menguntungkan dirinya atau bahkan merugikan. Dengan adanya kondisi dan keadaan layanan serta tindakan pemutusan dan pemblokiran layanan secara sepihak, maka akibat hukum yang timbul adanya gejolak dari pelanggan sebagai konsumen pengguna jasa yaitu adanya komplain dari pelanggan yang merasa dirugikan. Berdasarkan uraian keterangan di atas, diketahui bahwa terjadinya gangguan layanan jaringan dan pemutusan secara sepihak yang menimbulkan kesan penyedia jasa tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan.
Universitas Sumatera Utara
96
Gangguan layanan disebabkan karena adanya gangguan cuaca dan gangguan jaringan di wilayah Provinsi Aceh. Pemutusan layanan secara sepihak terjadi akibat kurangnnya koordinasi oleh staf Telkomsel dan Indosat di mana staf dibagian tagihan tidak melaporkan atau terlambat melaporkan tentang adanya perubahan pada pencatatan pembayaran pelanggan. Akibat hukum yang timbul adalah terjadinya komplain dari pelanggan yang apabila tidak mendapat respon dapat menyebabkan terjadinya sengketa konsumen dapat dengan mudah mengelak dari tanggung jawabnya dengan adanya klausul baku yang termuat perjanjian yang disetujui pelanggan. Kondisi ini menunjukkan belum terwujudnya perlindungan hukum bagi konsumen pelanggan akibat adanya klausul baku dalam perjanjian jasa telepon seluler. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh beberapa pelanggan yang berhasil ditemui, di mana umumnya menyatakan pihak pelanggan menyatakan kurang puas terhadap layanan yang tidak maksimal seperti gangguan jaringan
yang
selalu dijadikan alasan klasik. Demikian pula dengan pemutusan layanan secara sepihak tanpa pemberitahuan kepada pelanggan. Menurut analisis penulis, apabila dikaji ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka pelayanan yang tidak memenuhi standar dan pemutusan layanan secara sepihak terhadap jasa layanan sangat merugikan pihak konsumen sehingga dalam hal ini konsumen yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
dan
mendapatkan
perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tersebut. Akan tetapi,
Universitas Sumatera Utara
97
hal tersebut juga harus dibuktikan kurangnya pelayanan dan pemutusan sambungan dimaksud bukan akibat kelalaian/kesalahan pelanggan atau konsumen jasa telekomunikasi dalam melaksanakan kewajiban. Pelaksanaan Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Telepon Seluler Pasca Bayar Telkomsel dan Indosat, dalam hal ini yang mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak, merupakan suatu perbuatan yang dapat
dituntut atas
penggantian suatu kerugian yang dalam hal ini adalah dilakukan oleh penjual. Pembeli dapat mengajukan ganti kerugiannya kepada pengadilan untuk mendapatkan perlindungannya sebagai konsumen. Menyikapi hal ini, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pelaksanaan perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi telepon seluler pasca bayar Telkomsel dan Indosat dalam prakteknya, merugikan pihak pelanggan jasa atau konsumen sebagai pengguna langsung dari jasa layanan telepon seluler. Pelaksanaan perjanjian ini walaupun telah ada ketentuan yang mengatur secara tegas berupa perjanjian baku, tetap mengalami penyimpangan yaitu tidak terpenuhinya perjanjian atau tuntutan yang dilakukan pengguna jasa kepada penyedia jasa. Adanya penerapan klausul baku dalam pelaksanaannya cenderung membawa kerugian bagi pengguna jasa (konsumen), dimana umumnya pengguna jasa (konsumen) terikat dengan klausul baku dimaksud pada saat perjanjian tersebut ditandatangani. Penerapan klausul baku tersebut walaupun dipandang merugikan namun tetap digunakan karena pengguna jasa
telah menyetujui
Universitas Sumatera Utara
98
perjanjian, tidak ada gugatan dari pengguna jasa, pengguna jasa tidak mengerti dengan keberadaan klausul baku dan juga kurangnya
pengawasan dari
pemerintahan dalam hal penggunaan klausul baku tersebut. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen terhadap klausul baku yang dimuat dalam perjanjian berlangganan jasa telepon seluler pada dasarnya telah diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha. Namun, kenyataannya klausul baku yang terdapat praktik penyusunan perjanjian
berlangganan jasa telepon seluler walaupun dianggap merugikan dan bertentangan dengan ketentuan UUPK, namun tetap saja diberlakukan. Penerapan Klausul Baku tersebut walaupun dipandang merugikan namun tetap digunakan karena pengguna jasa telah menyetujui perjanjian, tidak ada gugatan dari pengguna jasa, pengguna jasa tidak mengerti dengan keberadaan klausul baku dan juga kurangnya pengawasan dari pemerintahan dalam hal penggunaan klausul baku tersebut.
Universitas Sumatera Utara