BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN
A. Tinjauan Umum Tentang Pasien Kurang Mampu 1.
Pengertian Pasien Kurang Mampu Dalam pelayanan kesehatan, pasien berkedudukan sebagai konsumen jasa
di bidang pelayanan kesehatan. Pengertian pasien tidak banyak dibahas di dalam literatur hukum kesehatan maupun literatur hukum kedokteran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pasien sebagai orang yang sakit (yang dirawat dokter); penderita (sakit). 25 Pengertian lebih lanjut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 1 Angka (10), dikatakan bahwa “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 1 Angka (4) dikatakan bahwa “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.”
25
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ketiga (Balai Pustaka, Jakarta, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tidak dijumpai kata pasien, pasien dalam kode etik tersebut diganti dengan kata “penderita”. Menurut Wila Chandrawila Supriadi, Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya dan pasien juga diartikan sebagai orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. 26 Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama dalam buku "Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien”, Pasien adalah orang perorangan yang memerlukan jasa dari orang lain, yang dalam hal ini adalah dokter untuk konsultasi masalah kesehatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 27 Menurut Amri Amir dalam buku “Bunga Rampai Hukum Kesehatan”, Pasien adalah orang yang sedang menderita penyakit atau gangguan badaniah/rohaniah yang perlu ditolong agar lekas sembuh dan berfungsi kembali melakukan kegiatannya sebagai salah satu anggota masyarakat. 28 Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pasien adalah orang awam yang melakukan konsultasi ke dokter atau dokter gigi atau di rumah sakit mengenai masalah kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jasa yang dimaksud adalah keterampilan yang dimiliki seorang dokter atau dokter gigi untuk mencari solusi kesehatan yang diderita pasien. 29 Profesi
26
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm.
27. 27
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198. 28 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Widya Medika, Jakarta, 1997), hlm. 17 29 Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
kedokteran harus tunduk pada kode etik organisasi profesi kedokteran sehingga orang yang menjalankan profesi ini dapat disebut dengan “menyediakan jasa”. Pengertian pasien kurang mampu tidaklah diuraikan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam literatur-literatur mengenai hukum kesehatan dan hukum kedokteran. Namun kita dapat menemukan definisi mengenai orang tidak mampu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yakni dalam Pasal 1 Angka 6 “Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar Iuran bagi dirinya dan keluarganya”. Orang tidak mampu secara umum didefinisikan sebagai orang yang berpenghasilan, hanya saja penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluargannya atau singkatnya penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari. Orang tidak mampu berbeda dengan orang miskin. Orang miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. 30 Pasien kurang mampu dapat diartikan sebagai orang awam yang melakukan konsultasi dengan dokter atau dokter gigi mengenai masalah kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk 30
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Bab I, Pasal 1 Angka 5.
Universitas Sumatera Utara
membiayai biaya pelayanan kesehatan diperoleh. Pasien kurang mampu yang dibahas penulis di dalam skripsi ini adalah pasien yang memperoleh jaminan kesehatan dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang berobat di RSU Imelda Pekerja Indonesia (RSU IPI). Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 Angka (5) dikatakan bahwa Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan konsumen dalam Pasal 1 Angka (2) diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pasien mempunyai ciri khas yang sama dengan konsumen dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen. Unsur-unsur konsumen antara lain: 31 a. Adanya subjek atau orang Subjek yang disebut dalam konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barangdan/atau jasa. Istilah orang pada konsumen tidak hanya terbatas pada orang secara individual atau natuurlijke persoon tetapi juga termasuk badan hukum atau rechtspersoon. Namun dalam pengertian pasien yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sangat jelas disebutkan bahwa setiap orang yang dimaksud adalah orang individu atau natuurlijke persoon. b. Pemakai
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, 32 yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. 33 Sesuai bunyi penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate comsumer). Konsumen sebagai konsumen terakhir sebagaimana yang dimaksud penjelasan Pasal 1 Angka (2) tersebut adalah sama dengan konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.34 UU Perlindungan Konsumen sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen. Konsumen memang tidak sekadar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannnya.35 Dalam pengertian pasien, untuk bisa dimasukkan ke dalam unsur pemakai (jasa), harus ada hubungan hukum antara pasien tersebut dengan dokter. Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dan pasien dengan rumah sakit dibedakan ke dalam 4 bentu, antara lain: 36
32
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010), Hlm. 17. 33 Ibid. 34 Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. 35 Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 199. 36 Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 200.
Universitas Sumatera Utara
1) Rumah sakit dengan perawat yang diatur dalam Perjanjian Kerja (arbeidsovereenkomst), Pasal 1601 KUH Perdata. 2) Dokter
spesialis
dengan
rumah
sakit
yang
diatur
dengan
toelatingscontract. 3) Dokter
spesialis
dengan
pasien
yang
diatur
dengan
diatur
dengan
behandelingsvereenkomst. 4) Pasien
dengan
rumah
sakit
yang
verzorgingsovereenkomst. Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien bisa berdasarkan 2 hal, yakni: 37 1) Perjanjian (ius contractual) Hubungan hukum antara dokter dengan pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya wawancara medis dan pemeriksaan oleh dokter. Seorang dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan santa tergantung pada banyak faktor-faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit yang diderita, komplikasi dan lainlain) 38. Dengan demikian, perjanjian antara dokter-pasien secara yuridis dimasukkan ke dalam golongan “perjanjian berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis). Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa dokter
37 38
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tersebut boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medis yang berlaku. Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa dapat melakukan suatu tindakan medis ia harus bertindak dengan hati-hati dan teliti; berindikasi medis; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medis; dan adanya persetujuan pasien (informed consent). 39 Jika seorang dokter tidak melakukan, salah melakukan atau terlambat melakukan suatu tindakan medis sampai menimbulkan cedera/kerugian kepada pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti yang tercantum di dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu: “Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila si berhutang
sesudah
ditagih,
tetap
lalai
tidak
memenuhi
kewajibannya, atau apabila si berhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan dalam
jangka
waktu
tertentu,
dan
waktu
mana
telah
dilampauinya.” Prinsip ini mengartikan suatu wanprestasi (breach of contract) jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan pasiennya, namun ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan tersebut, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu atau yang dinamakan
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian hasil (resultaatverbintenis). Perjanjian semacam ini seolaholah telah terjadi suatu kontrak di mana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medis dokter. Jika gagal, maka unsur wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya. 2) Undang-undang (ius delicto). Di dalam KUH Perdata, selain gugatan berdasarkan pada wanprestasi, juga dapat berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum, “dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders rechtsplicht of industruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed” (sebagai suatu tindakan atau non tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentang dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain). 40 Dalam dunia medis, ketidakhati-hatian dan ketelitian tersebut mengacu pada standar-standar dan prosedur profesi medis di dalam melakukan suatu tindakan medis tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang dengan tegas telah mengatur berbagai kewajiban tersebut.
40
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 201.
Universitas Sumatera Utara
c. Barang dan/atau Jasa. Kata barang dan/atau jasa sering diganti penggunaan terminologinya dengan kata “produk”. Saat ini kata “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Dalam dunia medis, pelayanan kesehatan digolongkan ke dalam bentuk jasa. Pengertian jasa menurut Pasal 1 Angka 5 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam
perundingan
ke
delapan
(Uruguay/Uruguay
Round),
berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994 melahirkan apa yang disebut dengan WTO ( World Trade Organization), pada tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian WTO mengatur masalah mengenai GATT (the General Agreement on Tariffs and Trade), jasa atau GATS (the General Agreement on Trade in Services) dan hak cipta atau TRIPs (the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). 41 Meskipun ketiga perjanjian ini berbeda dalam ruang lingkup dan isinya, namun, ada sejumlah prinsip dasar yang mendasari ketiganya, yakni :Most Favoured Nations; National Treatment; Transparency; Elimination of Quantitative Restrictions; Rectriction to Safequard the BOP; Special and Differential Treatment. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, hanya dua prinsip yang wajib diberlaku pada kebijakan pemerintah menyangkut perdagangan jasa, yaitu Most-Favoured Nations 42 dan perlakuan nasional 43.
41
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 203. Perlakuan MFN berarti bahwa negara harus memperlakukan semua mitra perdagangan asing secara setara, oleh karena itu, negara tidak diperkenankan untuk membedakan barang, jasa atau agen (supplier) dengan dasar perbedaan asal (asing). Dalam prinsipnya, doktrin MFN berlaku 42
Universitas Sumatera Utara
Jasa yang berlaku dalam perjanjian GATS adalah jasa-jasa kecuali jasa pemerintahan, yaitu “jasa-jasa yang disediakan dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintah”; jasa seperti ini telah dijabarkan sebagai jasa yang “tidak disuplai pada dasar komersial, maupun dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia (supplier) jasa”. Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penawaran perdana (intial offer) di sektor jasa untuk diliberalisasikan dalam kerangka WTO. Atas dasar itu, Departemen Perdagangan RI memberikan 7 intial offer antara lain di sektor pendidikan kejuruan; profesi kesehatan; kepemilikan perbankan kepada warga asing yang semula 49% menjadi 51%; diizinkannya profesi pengacara asing beroperasi di Indonesia; jasa konstruksi asing untuk membangun infrastruktur di Indonesia; pembangunan rumah sakit asing dengan kapasitas minimal mempunyai 400 tempat tidur; dan perluasan izin keimigrasian.44 Dalam hal ini, bidang jasa kesehatan menyangkut lima hal, yaitu : tenaga medis termasuk perawat; penyelenggara pelayanan kesehatan; penyedia pelayanan kesehatan; penyedia dana dan fasilitas kesehatan. d. Yang tersedia dalam masyarakat. Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak disebutkan apakah jasa pelayanan kesehatan harus tersedia dalam masyarakat atau tidak. Namun, jika untuk semua jasa dan semua sektor, bahkan ketika negara belum membuat komitmen untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing dalam sektor itu. 43 Perlakuaan Nasional berarti memperlakukan perusahaan, produk atau jasa asing tidak kurang setara dari perlakuan terhadap produk dan jasa negara sendiri. Meskipun perlakuan nasional adalah prinsip umum WTO, dalam konteks GATS ini hanya berlaku ketika negara telah membuat komitmen spesifik, dan pengecualian diperbolehkan. 44 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kita lihat dalam praktik di masyarakat, ketersediaan pelayanan kesehatan oleh dokter ataupun oleh rumah sakit sudah menjamur di masyarakat. e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain. Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Dalam pelayanan kesehatan, unsur ini sangat jelas penerapannya. Seseorang tidak akan menggunakan jasa dokter jika ia tidak sakit (diri sendiri) atau ia memanggil dokter tersebut untuk menyembuhkan keluarga atau tetangga (orang lain) yang sakit. f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangankan. Unsur ini jelas dalam pelayanan kesehatan. Dimana Pasien sebagai konsumen akhir menerima upaya penyembuhan dari dokter atau rumah sakit untuk kesembuhannya, pastinya tidak untuk diperdagangkan kembali. Dari keenam unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konsumen adalah sama dengan pengertian pasien. 45 Pasien menggunakan jasa dokter atau dokter gigi yang tentunya jasa tersebut telah tersedia dalam masyarakat sebelumnya dan tentunya digunakan untuk kepentingannya sendiri atau tidak untuk diperjualbelikan.
2.
Pengaturan Hukum Tentang Hak-Hak Pasien Kurang Mampu. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak
adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan ini sendiri diartikan sebagai suatu tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat
45
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 205.
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum. 46 Dalam bidang pelayanan kesehatan, hak pasien sangat penting. Hak pasien harus dipenuhi dengan baik mengingat kepuasaan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi: 47 a. Pemberian layanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan; b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan); c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyaman; d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien. Pada Musyawarah ke-34 Asosiasi Kedokteran Sedunia (World Medical Association) bulan September 1981 di Lisabon, untuk pertama kalinya dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih dokter secara bebas, hak untuk dirawat dokter yang memiliki kebebasan dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adequate, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan perincian kesehatan dan
46
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, Yogyakarta, 1999), hlm. 24. 47 Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010), hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual. 48 Hak-hak pasien sangat penting untuk dibahas karena pada kenyataan menunjukkan bahwa adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien menjadi semakin pudar. Selain itu secara umum ada anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang perlu dilakukannya dalam upaya untuk menyembuhkan si pasien. Anggapan ini ternyata keliru, jika dipandang dari sudut perjanjian karena hubungan antara dokter dan pasien timbul berdasarkan adanya perjanjian dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang dalam dunia medis disebut perjanjian terapeutik. Berdasarkan perjanjian terapeutik, kedudukan antara dokter dan pasien adalah sama atau sederajat. Secara hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan sendiri untuk kepentingan dirinya. Pasien tetap mampu mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan kepentingan dirinya walaupun dalam kondisi sakit. Dengan demikian walaupun dalam kondisi sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak 48
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198.
Universitas Sumatera Utara
asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan. Pada umumnya dikenal dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individual. Dalam hukum kesehatan terdapat dua azas hukum yang
melandasi yakni the right to health care atau hak atas
pelayanan kesehatan dan the right of self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri. 49 Kedua hak tersebut merupakan hak primer atau hak dasar dalam bidang kesehatan. Akan tetapi batasan antara hak dasar sosial dan hak dasar individual agak kabur. Hal ini disebabkan karena hak dasar individual atau hak menentukan nasib sendiri juga terdapat pada hak dasar sosial. The Right To Health Care menimbulkan hak individual lain yaitu the right to medical care (hak atas pelayanan medis). The Right to Self-Determination (hak menentukan nasib sendiri) terdapat pengaturannya dalam konvensi-konvensi internasional misalnya di dalam International Covenant on Civil and Political Right (1966) Pasal 1 menyatakan : “All peoples have the right to selfdeterminations......” artinya bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri.....“. The Right of Self-Determination (TROS) menjadi hak dasar atau hak primer individual, merupakan sumber dari hak-hak individual, yaitu: 50 a. Hak atas privacy b. Hak atas tubuhnya sendiri
49
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37. 50 Danny Wiradharma, op.cit., hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini skema hak-hak yang dimiliki oleh pasien dalam profesi kedokteran berdasarkan pemaparan di atas: SKEMA 1 Hak-Hak Pasien Dalam Profesi Kedokteran HAK DASAR KESEHATAN
SOSIAL The Right to Health Care Hak atas Pelayanan Medis
INDIVIDUAL
Hak atas Privacy Hak atas rahasia Kedokteran
Hak atas badan sendiri - Hak atas informasi - Hak memilih - Hak menolak • Perawatan • Tindakan medis tertentu - Hak menghentikan perawatan - Hak atas second opinion - Hak memeriksa rekam medis
Sumber: Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran karya Danny Wiradharma hlm. 41.
Di negara kita pengaturan tentang hak asasi manusia di bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana pada Pasal 4
yang berbunyi bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.
Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara mengatur bahwa setiap warga negaranya berhak atas kesehatan. Pengaturan hak atas kesehatan bagi warga negaranya ini adalah sama untuk semua warga negara, tidak membedakan status, golongan, ras maupun agama.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengaturan perundang-undangan di bidang kesehatan tidak ada pembedaan antara pasien mampu, pasien kurang mampu maupun pasien miskin. Menurut peraturan perundang-undang ketiganya adalah sama status dan kedudukannya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1), “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Oleh karena itu, maka tidak pembedaan yang signifikan antara hak yang dimiliki pasien mampu dan pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam memperoleh pelayanan kesehatan, seorang pasien mempunyai hak sebagai berikut: 51 a. Hak atas informasi medis Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindakan medis yang dilakukan, risiko dari tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan medis tersebut. Hal-hal yang perlu diinformasikan ini harus meliputi prosedur yang akan dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Selain itu perlu juga diinformasikan pula kemungkinan yang akan terjadi jika tidak dilakukan tindakan yang dimaksud atau ramalan (prognosis) atau perjalanan penyakit yang akan di derita. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya. 51
Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kedokteran : Melindungi Pasien dan Dokter (Widya Medika, Jakarta, 1996), hlm. 4-6.
Universitas Sumatera Utara
Prosedur tindakan medis yang hendak dilakukan juga perlu diuraikan alat yang akan digunakan dalam tindakan medis, bagian tubuh mana yang akan terkena dapat dari tindakan medis, efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan tindakan medis (kemungkinan menyebabkan cacat/nyeri beserta waktu timbulnya, taraf keseriusan), kemungkinan perlu dilakukannya operasi. Pihak yang berkewajiban memberikan informasi, tergantung dari sifat tindakan medis, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi tersebut kepada dokter lain atau perawat dengan syarat dokter atau perawat yang menerima delegasi harus paham mengenai informasi yang akan ia katakan kepada si pasien mengenai penyakit yang di deritanya. Informasi medis yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula identitas dokter yang merawat. Dokter dapat menahan informasi medis, apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien. 52 b. Hak atas persetujuan tindakan medis atau yang dikenal dengan informed consent Syarat utama dalam mengadakan perjanjian di bidang medis adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya kerjasama antara dokter dan pasien. Sesuai dengan teori bahwa informed consent merupakan hak pasien maka dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien kepadanya dan memperoleh izin/persetujuan untuk melakukan tindakan medis. Tindakan medis yang diberikan kepada si pasien dilakukan setelah
52
Chrisdiono M. Achadiat, op.cit., hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
memperoleh izin/persetujuan dari pasien yang telah memperoleh informasi tentang penyakitnya dari dokter. Persetujuan dan informasi kemudian dilembagakan dalam sebuah lembaga bernama lembaga informed consent. Lembaga informed consent ini mendapatkan kekuatan hukum dengan diundangkannya Pemenkes Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dalam Permenkes ini informasi dan persetujuan medis menjadi hak dari pasien yang disusun dalam Pasal 2 Ayat (1), bahwa “Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.” Mengenai persetujuan tindakan medis diuraikan lebih rinci pada Pasal 45 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi: 1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. 2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap 3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c) Alternatif tindakan lain dan resikonya; d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan yang diberikan oleh pasien dapat berupa persetujuan tertulis maupun persetujuan lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan. 53 Mengenai pihak yang berkewajiban memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum dalam keadaan tertentu. Syarat seorang pasien boleh memberikan persetujuan tindakan medis, yaitu: 54 1) Pasien tersebut sudah dewasa Batasan usia seseorang dikatakan dewasa masih mengalami perdebatan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika telah berusia 21 Tahun atau telah menikah. Seseorang yang belum mencapai usia 21 Tahun tetapi telah menikah dianggap telah dewasa. 2) Pasien dalam keadaan sadar Pasien harus dalam keadaan dapat diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar. Hal ini mengandung makna bahwa pasien tidak sedang dalam kondisi pingsan, koma atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lainnya. 3) Pasien dalam keadaan sehat akal Pasien
tidak
mengalami
gangguan
kejiwaan
sehingga
dapat
memberikan persetujuan dengan sadar.
53
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm.
18-19. 54
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi Kesehatan, Ed. 1, Cet. 1 (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hlm.33.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan pasien gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh melakukan tindakan ”atas dasar penyelamatan jiwa”, tanpa memerlukan informed consent 55. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang disebut “fiksi hukum” di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam situasi yang sama. 56 Van der Mijn berpendapat bahwa tindakan medis pada pasien tidak sadar bisa dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu Zaakwaarneming atau perwakilan sukarela. 57 Dokter yang melanggar ketentuan informed consent akan dikenakan sanksi. Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) Pasal 13 menyatakan bahwa terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya. Informed consent tidak membuat dokter terbebas dari tanggung gugat atas kerugian yang terjadi karena tindakan atau akibat tindakan medis yang dilakukan. 58 Untuk sanksi perdata digunakan KUH Perdata Pasal 1365 mengenai Onrechtmatigedaad, yakni sanksi dalam bentuk ganti kerugian atas cacat atau luka karena adanya perbuatan yang salah misalnya kelalaian. Oleh
55
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 59. 56 Ibid, hlm. 59-60. 57 Ibid, hlm. 60. 58 Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia (P.T. Alumni, Bandung, 2007), hlm. 110.
Universitas Sumatera Utara
karena itu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat dijatuhi sanksi perdata. 59 Persetujuan tindakan medis di dalam tata hukum pidana merupakan hal yang penting karena dengan adanya persetujuan, maka tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat dsb) mempunyai dasar hukum yang kuat. Tanpa persetujuan, tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat diduga melanggar hak-hak pasien dan perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal-pasal KUHP. Pelanggaran terhadap informed consent dapat dijatuhi sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Pasal 351 mengenai penganiayaan, misalnya dokter melakukan operasi tanpa izin pasien atau ahli anestesi yang melakukan bius tanpa izin pasien dapat dikenakan Pasal 89 yaitu tentang perbuatan membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. c. Hak memilih dokter atau rumah sakit Pada dasarnya setiap dokter memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medis, namun pasien tetap diberikan kebebasan untuk memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Kebebasan ini dapat dilaksanakan oleh pasien tertentu dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya masalah biaya, jika si pasien memilih rumah sakit yang elite/ asing maka otomatis biaya perawatan yang harus ditanggungnya lebih besar dibandingkan jika ia milih rumah sakit yang umum.
59
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
d. Hak atas rahasia medis Keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya dikenal dengan nama rahasia kedokteran 60 atau rahasia medis dalam literatur lainnya. Dalam beberapa literatur disebutkan perumusan rahasia medis adalah 1) Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien baik secara sadar maupun secara tidak sadar kepada dokter. 2) Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien. Selain dokter, rumah sakit juga berkewajiban menjaga rahasia medis pasien yang melakukan perawatan di rumah sakit tersebut. 61 Namun hak ini dapat dikesampingkan dalam hal-hal sebagai berikut : 1) Diatur oleh Undang-Undang (misalnya UU Penyakit Menular); 2) Bila pasien mendapat hak sosial tertentu (misalnya tunjangan atau penggantian biaya kesehatan); 3) Pasien sendiri sudah mengizinkan secara lisan maupun secara tertulis; 4) Pasien menunjukkan kesan bahwa ia menghendaki demikan (misalnya membawa pendamping ke ruang praktek dokter); 5) Bila untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi. Menurut etika kedokteran, kerahasiaan medis ini tetap harus dihormati oleh dokter walaupun pasien tersebut telah meninggal dunia. Peraturan
60
M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. 1 (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 39. 61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Pasal 38.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1996 telah mengatur tentang pelanggaran terhadap hak atas rahasia medis. Pelaku pelanggaran hak ini akan dikenakan Pasal 112 dan Pasal 322 KUHP, disamping sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan. Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi perdata yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365 Angka (1),(2). Petugas kesehatan seringkali ditempatkan pada posisi yang dilematis, apalagi dengan maraknya tuntutan HAM. Misalnya pada institusi TNI, seorang dokter karena perintah atasan harus memberikan penjelasan dan keterangan perihal penyakit pasiennya. Di satu sisi dokter harus menjaga kerahasiaan penyakit pasien, akan tetapi di sisi lain dokter juga harus menaati perintah atasannya. Dalam kondisi seperti ini Pasal 51 KUHP dapat dijadikan rujukan, menyatakan bahwa “orang yang melakukan tindak pidana untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhak akan itu, tidak dapat dipidana atau istilahnya presume consent. 62 Misalnya seseorang yang memutuskan menjadi anggota TNI karenanya segala data mengenai dirinya harus diketahui oleh atasan/instansinya. e. Hak atas Pendapat Kedua (Second Opinion) Adakalanya seorang pasien yang telah memeriksakan kondisi kesehatannya kepada seorang dokter dan memperoleh hasil pemeriksaan menginginkan pendapat dari dokter lain mengenai kondisi kesehatanya. Hal ini pun kerap menyinggung perasaan sang dokter karena dokter menganggap
62
Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional (EGC, Jakarta, 2009), hlm. 28-30.
Universitas Sumatera Utara
pasien tidak percaya akan kemampuannya dan meragukan hasil kerjanya. Pasien dapat saja meminta pendapat ke dokter yang lain setelah memperoleh pendapat dari dokter pertama. Akan tetapi, jika terdapat perbedaan pendapat antara kedua dokter tersebut maka pasien hanya akan menjadi lebih bingung mengenai kondisi kesehatannya. Yang dimaksud pendapat kedua adalah adanya kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua dimana dokter pertama memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. 63 Kerjasama ini dilakukan bukan atas inisiatif dari dokter pertama tetapi atas inisiatif pasien. Apabila inisiatif datang dari dokter pertama, maka hal ini dinamakan “rujuk”, dimana pasien dirujuk ke dokter yang lebih ahli. Dalam hak atas pendapat kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil pemeriksaan dokter pertama dan bila ia melihat adanya perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter pertama untuk membicarakan tentang perbedaan hasil pemeriksaan yang dilakukannya. Hak atas pendapat kedua ini memberikan keuntungan yang besar bagi pasien. Pertama, pasien tidak perlu lagi mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan
pemeriksaan
berkomunikasi
dan
medis.
bersikap
Kedua,
lebih
kedua
terbuka
dokter
sehingga
dapat
saling
memungkinkan
menghasilkan pendapat yang lebih baik. f. Hak atas rekam medik (medical record)
63
Danny Wiradharma, op.cit., hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
Membuat rekam medis menjadi kewajiban dokter dan rumah sakit sejak diundangkannya Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik yang ditegaskan dalam Pasal 2 yang berbunyi “Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan, maupun rawat inap wajib membuat rekam medik.” Pengertian rekam medik menurut Pasal 1 Butir a Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 10 Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 dan Pasal 47 Ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 diatur mengenai kepemilikan dari rekam medik adalah sebagai berikut: 64 1) Berkas rekam medik adalah milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan 2) Isi rekam medik milik pasien Pendapat dari para pakar Hukum Kesehatan, hak pasien untuk melihat rekam medik (inzage recht) termasuk untuk memperoleh salinan dari rekam medik yang isinya adalah milik pasien. 65 Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu dalam rekam medis yang bukan milik pasien, yaitu: 66 1) Personal note atau persoonlijke aantekeningan, yaitu catatan pribadi dokter, misalnya mengenai perkiraan tentang hal-hal yang berhubungan
64
M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. Pertama (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 41. 65 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 27. 66 Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis/memutuskan terapi. 2) Catatan tentang orang ketiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien. Beberapa pendapat mengatakan bahwa rekam medik yang berisi pendapat pribadi dokter ini tidak perlu diperlihatkan kepada pasien. 67 Selain hak-hak pasien diatas ada beberapa hak pasien lainnya seperti: hak untuk menolak pengobatan/perawatan; hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan; hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya 68, kemudian hak atas rasa aman, hak pasien menggugat, hak menolak perawatan tanpa izin, hak atas rasa aman, hak mengakhiri perjanjian perawatan,hak mengenai bantuan hukum, dan hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights. 69 Hak pasien juga diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berikut ini tabel hak pasien yang diatur dalam ketiga UU tersebut:
67
M. Sofyan Lubis, Konsumen dan Pasien Dalam Hukum Indonesia, Ed. 1, Cet. 1 (Liberty, Yogyakarta, 2008), hlm. 16. 68 Danny Wiradharma, op.cit., hlm. 57. 69 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1 (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005), hlm. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
TABEL 1 Daftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Hak-Hak Pasien Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004 dan UU Nomor 44 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Setiap orang mempunyai hak: 1) Hak atas kesehatan; 70 2) Hak yang sama dalam askes untuk mendapatkan sumber daya dibidang kesehatan; 71 3) Hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan 72 terjangkau; 4) Hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya sendiri; 73 5) Lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan; 74 6) Hak atas informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab; 75 7) Hak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
70
Undang-Undang Nomor 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2004 tentang Praktik Tahun 2009 tentang Rumah Kedokteran Sakit Seorang pasien mempunyai Setiap pasien mempunyai hak: 80 hak: 81 1) Hak untuk mendapatkan 1) memperoleh informasi penjelasan secara lengkap mengenai tata tertib dan tentang tindakan medis peraturan yang berlaku di sebagaimana yang Rumah Sakit; dimaksud Pasal 45 Ayat 2) memperoleh informasi (3); tentang hak dan kewajiban 2) Hak untuk meminta pasien; pendapat dokter atau 3) memperoleh layanan yang dokter gigi lain; manusiawi, adil, jujur, dan 3) Hak untuk mendapatkan tanpa diskriminasi; pelayanan yang sesuai 4) memperoleh layanan dengan kebutuhan medis; kesehatan yang bermutu 4) Hak untuk menolak sesuai dengan standar tindakan medis; profesi dan standar 5) Hak untuk mendapatkan prosedur operasional; keterangan yang 5) memperoleh layanan yang merupakan rahasia dokter efektif dan efisien dan isi dari rekam medis. sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; 6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; 7) memilih dokter dan kelas
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab
III, Pasal 4 71
Republik Indonesia, III, Pasal 5, Ayat (1). 72 Republik Indonesia, III, Pasal 5, Ayat (2). 73 Republik Indonesia, III, Pasal 5, Ayat (3). 74 Republik Indonesia, III, Pasal 6. 75 Republik Indonesia, III, Pasal 7.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab
Universitas Sumatera Utara
diterimanya dari tenaga kesehatan; 76 8) Hak untuk memberikan persetujuan dan menolak tindakan medis; 77 9) Hak atas rahasia kedokteran; 78 10) Hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan karena kesalahan atau kealpaan tenaga kerja. 79
perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; 9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya; 10) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dantata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; 11) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; 12) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
80
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Bab VII, Pasal 52. 81 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab VIII, Pasal 32. 76 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab III, Pasal 8. 77 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab VI, Pasal 56. 78 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab VI, Pasal 57. 79 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bab VI, Pasal 58.
Universitas Sumatera Utara
13) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; 14) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; 15) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; 16) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; 17) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan 18) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber: Data sekunder yang telah diolah oleh peneliti
Hak selalu berdampingan dengan kewajiban, dimana jika ingin memperoleh haknya maka seseorang harus pula melaksanakan kewajibannya. Seorang pasien bukan hanya dapat menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Dalam memperoleh pelayanan kesehatan, seorang pasien juga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kewajiban sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran antara lain: TABEL 2 Daftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Kewajiban Pasien Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 29 Tahun tentang Kesehatan 2004 tentang Praktik Kedokteran Setiap orang berkewajiban: Seorang pasien mempunyai 1) Setiap orang berkewajiban ikut kewajiban: 87 mewujudkan, mempertahankan, dan 1) memberikan informasi yang meningkatkan derajat kesehatan lengkap dan jujur mengenai masyarakat yang setinggimasalah kesehatannya; tingginya; 82 2) mematuhi nasihat dan petunjuk 2) Setiap orang berkewajiban dari dokter atau dokter gigi; menghormati hak orang lain dalam 3) mematuhi ketentuan yang berlaku upaya memperoleh lingkungan yang di sarana pelayanan kesehatan; sehat, baik fisik, biologi, maupun dan sosial; 83 4) memberikan imbalan jasa atas 3) Setiap orang berkewajiban pelayanan yang diterima. berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggitingginya; 84 4) Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya; 85 5) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. 86 Sumber: Data sekunder yang telah diolah oleh peneliti
82
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab
III,Pasal 9 83
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 III, Pasal 10. 84 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 III, Pasal 11. 85 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 III, Pasal 12. 86 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 III, Pasal 13, Ayat (1). 87 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun Kedokteran, Bab VII, Pasal 53.
tentang Kesehatan, Bab tentang Kesehatan, Bab tentang Kesehatan, Bab tentang Kesehatan, Bab 2004 tentang Praktik
Universitas Sumatera Utara
Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.YM.02.04.3.5.2504 Tahun 1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit yaitu: 88 1) pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit; 2) pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya; 3) pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat; 4) pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/dokter; 5) pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya. Kewajiban-kewajiban pasien tersebut secara timbal balik merupakan hak dari dokter dan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan.
3. Tanggung Jawab Rumah Sakit dan Dokter Terhadap Pelayanan Kesehatan Pasien Sebelum membahas mengenai tanggung jawab rumah sakit dan dokter terhadap pelayanan kesehatan pasien, akan lebih baik jika membahas mengenai hubungan antara dokter dengan pasien dan antara rumah sakit dengan pasien.
88
Bahder Johan Nasution, op.cit., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
Pertama, mengenai hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan kesehatan. Hubungan antara dokter dengan pasien ditandai oleh prinsip-prinsip etis yang utama, yaitu: 89 a. Berbuat baik, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merugikan (non nocere), berbuat baik meskipun mengakibatkan kesulitan bagi dokter dan dokter harus berkorban. b. Keadilan, yaitu perlakuan yang sama untuk setiap orang dalam situasi kondisi yang sama dengan menekankan persamaan dan kebutuhan menurut kategori penyakit yang diderita, bukannya jasa, kekayaan, status sosial, atau kemampuan membayar. c. Otonomi, yaitu hak atas perlindungan privacy. Dalam pemberian pelayanan medis terhadap pasien, antara dokter dengan pasien timbul suatu hubungan hukum yang diakibatkan oleh pengikatan diri kedua mpihak dalam suatu kontrak/perjanjian yang disebut dengan perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini berbeda dengan objek perjanjian umumnya. Dalam perjanjian terapeutik, yang menjadi objek perjanjian adalah upaya/terapi untuk menyembuhkan pasien. Sehingga perjanjian terapeutik adalah perjanjian untuk menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. 90 Menurut hukum, objek perjanjian dalam perjanjian
89
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 12. 90 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1 (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
terapeutik bukanlah kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien. 91 Perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Buku III KUH Perdata, perjanjian terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Perjanjian terapeutik tidak disebutkan secara khusus dalam KUH Perdata, tetapi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 1319 KUH Perdata 92, maka perjanjian ini masuk dalam bentuk perjanjian yang dikenai ketentuan dalam Buku III KUH Perdata. Di dalam perjanjian terapeutik ada kekhususan tersendiri, yakni terdapat ikrar atau cara para pihaknya mengadakan perjanjian. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian ini dijelaskan bahwa kedatangan pasien ke tempat praktik atau ke rumah sakit tempat dokter bekerja dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat sudah dianggap terjadi suatu perjanjian terapeutik. Hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu: a. Inspanningsverbintenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berdaya
upaya
secara
maksimal
untuk
mewujudkan
apa
yang
diperjanjikan.
91
Ibid. Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab-bab terdahulu.” 92
Universitas Sumatera Utara
b. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu hasil (resultaat), yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian antara dokter dengan pasien ini termasuk dalam perjanjian inspaningsverbintenis, karena dokter hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai standar profesinya. 93 Perjanjian ini dianggap sah jika memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu: 94 a. Adanya kata sepakat dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toesteming van degenen die zich verbiden); Maksud kata sepakat dalam perjanjian ini adalah pasien memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent). Dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasiennya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktiknya. b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan); Pasien yang mengikatkan diri dalam perjanjian ini dengan dokter haruslah mempunyai kecakapan bertindak dalam hukum. Pasien yang
93
Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010), hlm. 24. 94 Bahder Johan Nasution, op.cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
dimaksud harus telah berusia 21 Tahun atau telah menikah (bukan pihak yang dilarang dalam Pasal 1330 KUH Perdata 95) c. Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); Ketentuan mengenai hal tertentu ini berkaitan dengan objek perjanjian, yang dalam perjanjian ini berupa upaya/terapi untuk menyembuhkan pasien dimana dokter harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Oleh karena itu, secara yuridis, termasuk dalam jenis inspanningsverbintenis, dimana dokter tidak memberikan jaminan kepastian dalam menyembuhkan penyakit pasien tetapi berikhtiar dan keahliannya diharapkan dapat membantu dalam upaya penyembuhan. d. Suatu sebab yang diperbolehkan (eene geoorloofdeoorzaak). Suatu sebab yang diperbolehkan artinya objek yang menjadi pokok perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang berlaku. 96 Selain berdasarkan perjanjian terapeutik, hubungan antara dokter dengan pasien juga timbul karena perintah undang-undang. Misalnya seorang korban kecelakaan lalu lintas yang dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) suatu RS, maka merupakan kewajiban dokter dan tenaga paramedis lainnya untuk segera memberikan pertolongan darurat yang dibutuhkan. Meskipun terdapat aturan tindakan medis hanya dapat dilakukan jika telah mendapatkan persetujuan dari 95
Pasal 1330 berbunyi: “ Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa ( belum berusia 21 Tahun atau belum menikah); 2) Mereka yang berada di bawah pengampuan; 3) Wanita yang masih berstatus sebagai istri. 96 Pasal 1337 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
pasien (jika pasien telah cakap bertindak) atau dari keluarga pasien. Namun demi menyelamatkan nyawa pasien, pengaturan tersebut dapat dikesampingkan. Akan tetapi, setelah pasien sadar, maka dokter harus memberitahukan kepadanya tindakan medis yang telah ia jalani secara menyeluruh. Dalam kepustakaan ditemukan hal-hal yang menyebabkan berakhirnya hubungan antara pasien dengan dokter, yaitu: 97 a. Pasien sudah sembuh; b. Dokter mengundurkan diri; c. Pengakhiran oleh pasien; d. Meninggalnya pasien; e. Meninggalnya atau tidak mampu lagi menjalani (incapacity) profesi seorang dokter; f. Kewajiban dokter dalam perjanjian telah terpenuhi; g. Lewat jangka waktu yang telah diatur di dalam perjanjian; h. Persetujuan kedua pihak untuk mengakhirinya. Dokter adakalanya melakukan kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Kesalahan dokter ini dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. 98 Apabila kesalahan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian dokter, maka pasien dan keluarganya dapat meminta pertanggungjawaban (responsibility) dari dokter yang
97
J. Guwandi, Hukum Medik (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005),
98
Bahder Johan Nasution, op.cit., hlm. 14.
hlm.33.
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan. Pertanggungjawaban dokter dapat berupa pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban administrasi. Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum (liability), yaitu: a. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata. b. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawat hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Menurut Subekti 99, Seseorang dikatakan melakukan wanprestasi dalam hukum perdata apabila: a. Tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan; b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; d. Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan. Di
dalam
perjanjian
terapeutik,
dokter
hanya
berikrar
untuk
menyembuhkan pasiennya dengan segala daya upayanya. Namun jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin kesembuhan pasiennya, tetapi pasiennya tidak sembuh-sembuh. Maka dokter tersebut dapat dituntut telah melakukan wanprestasi. Jika dokter melakukan wanprestasi, pasien dapat menuntut ganti rugi kepada dokter. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1243 KUH 99
Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. Kesepuluh (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995), hlm.
45.
Universitas Sumatera Utara
Perdata yang berbunyi “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Penggantian kerugian sebagai wujud pertanggungjawaban dokter secara perdata ada dua macam, yaitu kerugian materiil dan kerugian immateriil. Dokter harus bertanggung jawab kepada pasiennya secara perdata jika ia melakukan perbuatan yang lawan hukum. Berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, setiap orang melakukan perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian bagi orang tersebut wajib memberikan penggantian kerugian. Onrechtmatigedaad terjadi
pada
perjanjian
yang
timbul
karena
undang-undang
sehingga
mengakibatkan pihak yang bersangkutan mempunyai tanggungjawab hukum berdasarkan undang-undang. Tidak ada batasan pengertian mengenai perbuatan melawan hukum sehingga harus ditafsirkan oleh hakim. Secara umum segala perbuatan yang bertentang dengan undang-undang merupakan perbuatan melawan hukum. Namun, sejak tahun 1919, Yurisprudensi telah memberikan pengertian tentang perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai setiap tindakan atau kelalaian yang: 100 a. Melanggar hak orang lain; b. Bertentangan dengan kewajiban pribadi; c. Menyalahi adat kebiaasan yang berlaku; 100
F. Tengker dan S. Verbogt, Bab-Bab Hukum Kesehatan (Nova, Bandung, 1989), hlm.
56.
Universitas Sumatera Utara
d. Tidak sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan dalam lingkungan pergaulan masyarakat. Suatu kelalaian yang dilakukan oleh dokter dalam mempergunakan keterampilan dan ilmu pengetahuannya untuk mengobati pasiennya disebut sebagai tindakan malpraktik. 101 Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati dimana tindakan yang dilakukan oleh dokter berada dibawah standar pelayanan medis. Tidak semua kelalaian merupakan sebuah kejahatan. Jika suatu kelalaian menyebabkan kerugian atau cedera bagi orang lain dapat diterima oleh orang tersebut (de minimus non curat lex artinya hukum tidak mengurusi hal-hal sepele), tetapi jika kelalaian yang terjadi menyebabkan orang lain celaka atau merenggut nyawanya maka dapat dikategorikan dalam kelalaian berat (culpa lata) yang tolak ukurnya bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindari, dan perbuatannya dapat dipersalahkan. 102 Akibat seperti ini merupakan kewajaran bagi pelaku untuk dihukum. Adami Chazawi menilai tidak semua malpraktik medis masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 unsur yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, sikap batin dokter (ada kesengajaan/dolus atau culpa); kedua, tindakan medis yang dilakukan melanggar standar profesi kedokteran, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum , tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien; dan ketiga, menimbulkan luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien. Malpraktik yang dilakukan dengan sikap batin culpa hanya diterapkan pada Pasal 359 KUHP (jika menyebabkan kematian pasien), Pasal 360 KUHP 101
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 129. 102 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
(jika menyebabkan luka berat) dan tindak pidana aborsi (aborsi criminalis) pada Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materiil (yang melarang akibat yang timbul, dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). 103 Unsur pidana dalam malpraktik kedokteran meliputi kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau menghambat tugas dan mata pencaharian bagi korbannya. Pertanggungjawaban seorang dokter secara administrasi dinilai dari sudut kewenangannya, apakah ia berwenang atau tidak melakukan perawatan. Dasar seorang dokter melaksanakan pekerjaannya menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560 dan 561/Menkes/Per/1981, ia harus memiliki Surat Izin Dokter (SID), Surat Izin Praktik (SIP) (untuk praktik pada instansi pemerintah maupun instansi swasta) dan Surat Izin Praktik (SIP) semata-mata (untuk praktik secara perorangan). Jika dokter melalukan kelalaian atau kesalahan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, sanksi administrasi yang secara umum diterima oleh dokter tersebut berupa pemberian surat peringatan dan pencabutan Surat Izin Praktik (SIP). Selain berhubungan dengan dokter, seorang pasien juga berhubungan dengan rumah sakit dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hubungan pasien dengan rumah sakit timbul berdasarkan 2 hal, yaitu 104: a. Perjanjian keperawatan, seperti kamar dengan perlengkapannya. b. Perjanjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang dibantu oleh paramedis. 103
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 130. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 113. 104
Universitas Sumatera Utara
Dalam pertanggungjawaban, RS bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan yang
dilakukan
baik
oleh
tenaga
medis
ataupun
paramedis.
Beban
pertanggungjawaban diberikan kepada kepala RS atau direktur rumah sakit yang telah menerima delegasi kewenangan dari pemilik RS untuk melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Pertanggungjawaban yang diterima RS juga dapat berasal karena adanya kelalaian
atau
kesalahan
dari
tenaga
medis/paramedisnya.
Wujud
pertanggungjawaban RS secara perdata adalah berupa penggantian kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Sedangkan pertanggungjawaban secara administrasi yang dibebankan kepada RS dapat berupa surat peringatan dan pencabutan izin pendirian RS.
B. Tinjauan Umum Tentang Jasa di Bidang Pelayanan Kesehatan 1. Pengaturan dan Jenis Pelayanan Kesehatan Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. Pasien yang mengalami masalah kesehatan akan mendatangi dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Harapan pasien dengan pelayanan kesehatan yang diberikan maka masalah kesehatan yang ia hadapi akan terselesaikan atau singkatnya ia akan sembuh/sehat kembali. Hak Atas Pelayanan Kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak setiap orang dalam kaitannya dengan hukum kedokteran merupakan hak
Universitas Sumatera Utara
pasien. Hak atas pelayanan kesehatan memerlukan penanganan yang sungguhsungguh sebagaimana yang diakui dan diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Beberapa pasal yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dimuat dalam article 3 yang berbunyi: “ Everyone has right to life, liberty, and the security of person” dan dalam Article 5 yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment...” Ketentuan lainnya juga termuat dalam International Covernant on Civil and Political Rights tahun 1966, yakni pada Article 7 yang berbunyi : “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment... in particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation” dan Article 10 yang berbunyi: “All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person”. Pengaturan mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia secara tersirat terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UndangUndang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Berikut ini pengertian pelayanan kesehatan menurut para ahli dan institusi kesehatan adalah: 105 a. Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo 105
A. A. Maulana, 2013, http://aamaulana96.blogspot.com/2013/03/sosiologi_16.html?m=1 diakses tanggal 22 Maret 2014 pukul 20.55 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya
adalah
pelayanan
preventif
(pencegahan)
dan
promotif
(peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. b. Menurut Azwar (1996) Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalamn suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, keluarga kelompok, dan ataupun masyarakat. c. Menurut Depkes RI (2009) Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga,
kelompok
dan
ataupun
masyarakat. d. Menurut Levey dan Loomba (1973) Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan,
Universitas Sumatera Utara
keluarga, kelompok atau masyarakat, lingkungan. Maksud dari sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan yang meliputi: input , proses, output, dampak, umpan balik. 106 a. Input adalah sub elemen-sub elemen yang diperlukan sebagai masukan untuk berfungsinya sistem. b. Proses adalah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan sehingga mengasilkan sesuatu (keluaran) yang direncanakan. c. Output adalah hal-hal yang dihasilkan oleh proses. d. Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran setelah beberapa waktu lamanya. e. Umpan balik adalah hasil dari proses yang sekaligus sebagai masukan untuk sistem tersebut. f. Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang mempengaruhi sistem tersebut. SKEMA 2 Sub Sistem Dalam Pelayanan Kesehatan
INPUT
PROSES
OUTPUT
DAMPAK
UMPAN BALIK
LINGKUNGAN Sumber: Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni karya Soekidjo Notoatmodjo, hlm. 98.
Contoh : Di dalam pelayanan kesehatan Puskesmas. a. Input
:Dokter, perawat, obat-obatan.
106
Soekidjo Notoatmodjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Cet. 1 (Rineka Cipta, Jakarta, 2007), hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
b. Prosesnya
:kegiatan pelayanan puskesmas.
c. Outputnya
:Pasien sembuh/tidak sembuh.
d. Dampaknya
:meningkatnya status kesehatan masyarakat.
e. Umpan baliknya :keluhan-keluhan pasien terhadaf pelayanan. f. Lingkungannya :masyarakat dan instansi-instansi di luar puskemas tersebut.
Pelayanan Kesehatan merupakan hal yang penting yang harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku. Pada hakikatnya pelayanan merupakan suatu usaha untuk membantu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan orang lain serta dapat memberikan kepuasan sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh konsumen/pemakainya. Menurut Gronroos, suatu pelayanan dikatakan
mempunyai kualitas yang baik jika
memenuhi kriteria sebagai berikut: 107 a. Profesionalisme dan keterampilan (profesionalisme and skill); b. Sikap dan perilaku (attitudes and behaviour); c. Mudah dicapai dan fleksibel (accessibility and flexibility); d. Reliabel dan terpercaya (reliability and trustwothiness); e. Perbaikan (recovery); f. Reputasi dan kredibilitas (reputations and credibility. Tujuan Pelayanan Kesehatan, antara lain: 108
107
Sutopo, Standar Kualitas Pelayanan Medis (Mandar Maju, Jakarta, 2000), hlm. 11. A. A. Maulana, 2013, Sistem Pelayanan Kesehatan, http://aamaulana96.blogspot.com/2013/03/sistem-pelayanan-kesehatan.html?m=1 diakses tanggal 22 Maret 2014 pukul 20.55 WIB. 108
Universitas Sumatera Utara
a. Promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), hal ini diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan. b. Preventif (pencegahan terhadap orang yang berisiko terhadap penyakit), terdiri dari : 1) Preventif primer Terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi,penyediaan nutrisi yang baik, dan kesegaran fisik. 2) Preventif sekunder Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk membatasi kecacatan dengan cara mengindari akibat yang timbul dari perkembangan penyakit tersebut. 3) Preventif tersier. Pembuatan diagnosa ditunjukan untuk melaksanakan tindakan rehabilitasi, pembuatan diagnosa dan pengobatan. c. Kuratif (penyembuhan penyakit). d. Rehabilitasi (pemulihan), usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental , cedera atau penyalahgunaan. Menurut Azwar (1996), Bentuk pelayanan kesehatan adalah: a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh: 1) Dokter Umum (Tenaga Medis)
Universitas Sumatera Utara
2) Perawat Mantri (Tenaga Paramedis) Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukim di pedesaan, serta masyarakat yang berpenghasilan rendah di perkotaan. Pelayanan kesehatan ini sifatnya berobat jalan (Ambulatory Services). Diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Contohnya : Puskesmas, Puskesmas keliling, klinik. b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder) Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan yang lebih bersifat spesialis dan bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan rumah sakit kelas A. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh: 1) Dokter Spesialis 2) Dokter Subspesialis terbatas Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat (inpantient services) dan diperlukan untuk kelompok masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
memerlukan perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Contoh : Rumah Sakit tipe C dan Rumah Sakit tipe D. c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tersier) Pelayanan kesehatan tersier adalah pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan subspesialis serta subspesialis luas. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh: 1) Dokter Subspesialis 2) Dokter Subspesialis Luas Pelayanan kesehatan ini sifatnya dapat merupakan pelayanan jalan atau pelayanan rawat inap (rehabilitasi).Diperlukan untuk kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder. Contohnya: Rumah Sakit tipe A dan Rumah sakit tipe B. Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu: 109 a. Pelayanan kedokteran Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi.
109
Tujuan
utamanya
untuk
menyembuhkan
penyakit
dan
Soekidjo Notoatmodjo, op.cit., hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara
memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga. b. Pelayanan kesehatan masyarakat Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit dan sasarannya untuk kelompok dan masyarakat. Pelayanan
kesehatan
masyarakat
pada
prinsipnya
mengutamakan
pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balai kesehatan masyarakat saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan. Dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dilakukan berbagai upaya kesehatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
Universitas Sumatera Utara
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Upaya kesehatan terbagi menjadi 2, yaitu: 110 a. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) UKM adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah & menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. b. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) UKP adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah & menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan. Syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah: 111 a. Tersedia dan berkesinambungan Pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia dimasyarakat serta bersifat berkesinambungan artinya semua pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan. b. Dapat diterima dan wajar Pelayanan
kesehatan
tidak
bertentangan
dengan
keyakinan
dan
kepercayaan masyarakat.
110
Indan Entjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cet. Ketiga Belas (P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000), hlm. 19. 111 A. A. Maulana, 2013, Sistem Pelayanan Kesehatan, http://aamaulana96.blogspot.com/2013/03/sistem-pelayanan-kesehatan.html?m=1 diakses tanggal 22 Maret 2014 pukul 20.55 WIB.
Universitas Sumatera Utara
c. Mudah dicapai Dipandang dari sudut lokasi untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. d. Mudah dijangkau Dari sudut biaya untuk mewujudkan keadaan yang harus dapat diupayakan biaya
pelayanan
kesehatan
sesuai
dengan
kemampuan
ekonomi
masyarakat. e. Bermutu Menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan dipihak lain tata cara penyelenggaraanya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan. Pelayanan kesehatan menyeluruh dan terpadu menurut Somers adalah: 112 a.
Pelayanan kesehatan yang memadukan berbagai upaya kesehatan yakni peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, pencegahan, penyembuhan penyakit dan pemulihan penyakit.
b.
Pelayanan
kesehatan
yang
tidak
hanya
memperhatikan
keluhan
penderita,tapi juga latar belakang ekonomi,sosial,budaya,psikologi dan lainnya. Dalam sistem pelayanan kesehatan dikenal adanya sistem rujukan. Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 32 Tahun 1972, Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan
112
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pelimpahan wewenang atau tanggung jawab timbal balik, terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan, secara vertikal dalam arti dari unit yang terkecil atau berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horisontal atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat kemampuannya. Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam Sistem kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Dalam pengertiannya, sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu tatanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional. 113 Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari: 114 a. Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas, puskesmas pembantu ke puskesmas induk. b. Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah). 113 114
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sistem rujukan menurut lingkup pelayanannya terbagi: 115 a. Rujukan medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus) ke rumah sakit umum daerah. b. Rujukan kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas.
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Dalam Pemberian Pelayanan Kesehatan Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit merupakan suatu usaha yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi: 116 a. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. b. Pendidikan dan latihan tenaga medis/paramedis. c. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.
115
Ibid. Alfred Albert Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran (Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991), hlm 70-71. 116
Universitas Sumatera Utara
Personalia RS terdiri dari dokter (umum dan spesialis), perawat, paramedis non perawat, dan tenaga adminstratif serta tenaga teknis. 117 Berdasarkan pelayanan yang diberikan, RS dapat dibedakan menjadi RS Umum dan RS Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. 118 Sedangkan Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. 119 RS Umum (RSU) kemudian dibedakan lagi atas: a. RSU Pemerintah, dibagi menjadi: 120 1) RSU Pemerintah kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis. 2) RSU Pemerintah kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. 3) RSU Pemerintah kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
117
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah 1996), hlm. 111. 118 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab VI, Pasal 19, Ayat (2). 119 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab VI, Pasal 19, Ayat (3). 120 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab VI, Penjelasan Pasal 24, Ayat (2).
Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Universitas Sumatera Utara
sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. 4) RSU Pemerintah kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar. b. RSU Swasta, dibagi menjadi: 1) RSU Swasta Pratama melayani pelayanan medis umum. 2) RSU Swasta Madya melayani pelayanan spesialistik. 3) RSU Swasta Utama melayani pelayanan spesialistik dan sub spesialistik. RS Khusus juga diklasifikasikan dalam menjadi beberapa kelas, antara lain: 121 a. Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. b. Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. c. Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik
121
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab VI, Penjelasan Pasal 24, Ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. 122 Rumah sakit publik sebagaimana dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah Sakit privat. 123 Sedangkan rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. 124 Pelayanan kesehatan secara paripurna adalah Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 125 Untuk menjalankan tugas tersebut, Rumah Sakit mempunyai fungsi sebagai berikut: 126 a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; 122
Republik Indonesia, Undang-Undang Bab VI, Pasal 20, Ayat (1). 123 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab VI, Pasal 20, Ayat (2), Ayat (3) dan, Ayat (4). 124 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab III, Pasal 4. 125 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab I, Pasal 1, Angka 3. 126 Republik Indonesia, Undang-Undang Bab III, Pasal 5.
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Universitas Sumatera Utara
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan; Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan 127, etika dan profesionalitas 128, manfaat 129, keadilan 130, persamaan hak dan anti diskriminasi 131, pemerataan 132, perlindungan dan keselamatan pasien 133, serta mempunyai fungsi sosial 134. Oleh karena itu, segala kegiatan yang dilaksanakan oleh rumah sakit harus berdasarkan azas-azas tersebut 127
Yang dimaksud dengan ”nilai kemanusiaan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras. 128 Yang dimaksud dengan ”nilai etika dan profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap profesional, serta mematuhi etika rumah sakit. 129 Yang dimaksud dengan ”nilai manfaat” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 130 Yang dimaksud dengan ”nilai keadilan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu. 131 Yang dimaksud dengan ”nilai persamaan hak dan anti diskriminasi” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan. 132 Yang dimaksud dengan ”nilai pemerataan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 133 Yang dimaksud dengan ”nilai perlindungan dan keselamatan pasien” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap 134 Yang dimaksud dengan “fungsi sosial rumah sakit” adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
karena azas-azas ini menjadi pedoman rumah sakit dan perangkatnya menjalankan tugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Fungsi rumah sakit pada awalnya hanya memberikan pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap. Pelayanan kesehatan ini perlahan berubah menjadi karena kemajuan ilmu pengetahuan khususnya teknologi kedokteran, peningkatan pendapatan dan pendidikan masyarakat. Pelayanan kesehatan di rumah sakit saat ini tidak saja bersifat kuratif (penyembuhan)
tetapi juga
bersifat
pemulihan (rehabilitatif). Keduanya
dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Dengan demikian, cakupan sasaran pelayanan kesehatan lebih luas, yang sebelumnya hanya untuk pasien saja menjadi berkembang untuk keluarga pasien dan masyarakat umum. 135 Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus melaksanakan tugasnya dengan mengutamakan kepentingan pasiennya. Rumah sakit tidak boleh mendahulukan kepentingan lain selain kepentingan pasiennya. Dalam keadaan darurat, rumah sakit harus mendahulukan kepentingan pasien. Hal ini karena fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk RS) wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. 136 Rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi apapun ataupun meminta uang muka. 137 Walaupun ada larangan meminta uang muka, RS tetap
135
A.A. Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, Ed.2, Cet. 1 (EGC, Jakarta, 2004), hlm.
220. 136
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab VIII, Pasal 32, Ayat (1). 137 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab VIII, Pasal 32, Ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
meminta uang muka terlebih dahulu sebelum memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Hal ini sangat disayangkan karena rumah sakit yang berazaskan fungsi sosial ini malah berubah menjadi berazaskan komersialis. Rumah sakit juga membutuhkan pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan yang telah ia berikan kepada pasiennya. Akan tetapi, ada baiknya kalau rumah sakit mendahulukan kepentingan pasiennya sebelum meminta uang muka kepada pasien ataupun keluarga pasien, terutama terhadap pasien yang membutuhkan penanganan medis segera (emergency patient). Dalam memberikan tindakan medis kepada pasiennya, suatu tindakan medis sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 138 a. mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit. b. dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran. c. harus mendapat persetujuan dahulu dari pasien. Syarat huruf a dan huruf b dapat disebut sebagai syarat legi artis. Pelaksanaan tindakan medis harus memenuhi ketiga syarat tersebut karena ketiganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. 139 Rumah Sakit dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan keselamatan pasiennya. Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. 140 Keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman, termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan 138
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 45-46. 139 Ibid, hlm. 45. 140 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Pasal 43, Ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. 141 Dalam proses perawatan kesehatannya, pasien bisa saja mengalami hal-hal yang membahayakan keselamatannya. Hal-hal membahayakan ini dapat berupa kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan kejadian yang nyaris terjadi (near miss). 142
141
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Penjelasan Pasal 43, Ayat (2). 142 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Penjelasan Pasal 43, Ayat (3).
Universitas Sumatera Utara