1
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA
SKRIPSI
Oleh : MAYA RUHTIANI E1A008031
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
2
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : MAYA RUHTIANI E1A008031
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
3
LEMBAR PENGESAHAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA Oleh:
Maya Ruhtiani E1A008031
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada tanggal
November 2012
Penguji I/
Penguji II/
Penguji III/
Pembimbing I
Pembimbing II
Penilai
Saryono Hanadi, S.H., M.H
Suyadi, S.H., M.Hum
Tedi Sudrajat, S.H.M.H
NIP. 19570329 198601 1 001
NIP. 196110110 198703 1 001
NIP. 19800403 200604 1 003
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum NIP : 19640923 198901 1 001
4
PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama
: Maya Ruhtiani
NIM
: E1A008031
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya
Adalah benar bahwa skripsi ini hasil karya sendiri, baik sebagian maupun seluruhnya, semua informasi dan sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini disebutkan dalam daftar pustaka dan telah dinyatakan secara jelas keberadaannya. Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung resiko termasuk gelar kesarjanaan yang telah saya sandang
Purwokerto,
November 2012
MAYA RUHTIANI
5
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA Oleh : MAYA RUHTIANI E1A008031
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan serta faktorfaktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum terhadap pasien di RSUD Tasikmalaya. Dalam penelitian ini penulis mengkaji sejauh mana perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan metode yuridis sosiologis penulis mengkaji mengenai perlindungan hukum terhadap pasien dengan melihat sejauh mana hakhak pasien dipenuhi oleh tenaga kesehatan serta rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya Baik, Faktor-faktor yang menghambat dan menunjang terdiri dari faktor Internal dan eksternal yang meliputi faktor komunikasi, Informasi, kesadaran hukum, fasilitas rumah sakit, lingkungan kerja serta sikap dari pasien.
Kata Kunci : Perlindungan Pasien, Rumah Sakit, Faktor Internal, Faktor Eksternal
6
ABSTRACT
This study reviews about the legal protection of patient as consumers of health care service in RSUD Tasikmalaya. This study aims to determine how the legal protection of patients as consumers of services in the health service and whether factors that support and pursue the legal protection of patients in RSUD Tasikmalaya. In This study, the authors examine the extent to which the legal protection of patients in health care is carried out by medical workers at the hospital. With juridical studies of sociological method writer examines the legal protections for patients to see to what extent the rights of patients met by medical workers and hospitals. The results showed that the legal protection of patients as consumers of health care services in RSUD Tasikmalaya are good, Factors that support and pursue consists of
internal factors and external factors as follow as
communication, information, legal awareness, hospital facilities, the working environment and the attitude of the patients.
Keywords: Protection of Patients, Hospital, Internal Factor, External Factor
7
KATA PENGANTAR Alhamdulilahhirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalan Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Ketika dalam penusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran. masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, untuk dedikasi, kepemimpinan, dan kebijakannya. 2. Bapak Saryono Hanadi, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Kemasyarakatan dan Pembimbing Skripsi, untuk setiap bimbingannya, kesabarannya dan motivasinya dalam penyusunan karya akademik pamungkas ini. 3. Bapak Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi untuk kesabarannya dan motivasinya dalam membimbing karya sederhana ini 4. Bapak Tedi Sudrajat, S.H., M.H selaku Dosen Penguji untuk setiap bentuk evaluasi dan saran atas karya ini. 5. Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku dosen pembimbing akademik, untuk setiap dorongan, motivasi, dan bantuannya dalam menyelesaikan studi penulis di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8
6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih untuk ilmu yang sangat bermanfaat yang telah bapak/ibu berikan. 7. Bapak dr. Wasisto Hidayat, M.Kes. selaku Direktur, dr. Budi Tirmadi selaku Kepala Bidang Pelayanan dan seluruh dokter/tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dalam skrispsi ini. 8. Orangtua dan keluarga atas motivasi, penyemangat serta doa yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Sahabat dan Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut berdasarkan skripsi ini sangat terbuka sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Purwokerto, November 2012
Penyusun
9
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................
iii
ABSTRAK..........................................................................................................
iv
ABSTRACT........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR........................................................................................
vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.........................................................................................
1
B. Perumusan Masalah..................................................................................
8
C. Tujuan Penelitian......................................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian................................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kesehatan 1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan...............................
10
2. Asas-asas Pelayanan Kesehatan..........................................................
12
3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan.....................................................
21
4. Standart Pelayanan Kesehatan............................................................
22
B. Pasien Sebagai Konsumen 1. Pengertian dan Pengaturan Pasien Sebagai Konsumen......................
32
2. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen...............................
35
3. Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen.................................
47
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen.............................................................................
52
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan.................................................................................
59
B. Metode Penelitian....................................................................................
59
C. Spesifikasi Penelitian...............................................................................
61
D. Lokasi Penelitian......................................................................................
61
E. Informan Penelitian..................................................................................
62
10
F. Metode Informan Penelitian...............................................................
62
G. Sumber dan Jenis Data Yang Diperlukan...........................................
64
H. Metode Pengumpulan Data................................................................
65
I. Metode Pengolahan Data...................................................................
67
J. Metode penyajian Data.......................................................................
68
K. Metode Uji Mutu Data.......................................................................
69
L. Metode Analisis Data.........................................................................
70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya..........................................
72
B. Faktor-faktor Yang Menghambat dan Menunjang Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya...........................................................
129
BAB V PENUTUP A. Simpulan..................................................................................................
135
B. Saran........................................................................................................
136
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
11
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Upaya Peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan
suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Di dalam sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia Internasional sebagai berikut : A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of deseaseor infirmity.1 Dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan yang memadai maka pemerintah maupun swasta menyediakan institusi pelayanan kesehatan yang disebut sebagai rumah sakit. Rumah Sakit yang merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat disediakan untuk kepentingan masyarakat dalam hal peningkatan kualitas hidup. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Berbagai cara perawatan dikembangkan
1
Koeswadji, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 17
12
sehingga akibatnya juga bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar pula. 2 Banyaknya terjadi kasus-kasus serta gugatan dari pihak pasien yang melibatkan suatu rumah sakit akibat dari pasien tidak puas atau malah dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yang merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat (pasien) tidak mau lagi menerima begitu saja cara pengobatan yang dilakukan oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis dilakukan agar nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian pihak medis.3 Berikut
ini
merupakan
kasus-kasus
yang
terjadi
akibat
kurangnya
perlindungan hukum yang diberikan kepada pasien : Kasus yang dialami oleh Sudargo pada tahun 2010 di Jakarta yang menderita kencing manis kemudian karena kakinya terluka maka dia datang ke salah satu rumah sakit pemerintah untuk berobat, tetapi luka yang ada di kakinya bukannya sembuh malah semakin parah dan menimbulkan kakinya malah membusuk dan harus diamputasi, akibat adanya kelalaian yang dilakukan oleh pihak rumah sakit maka pihak dari keluarga Sudargo meminta pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit tersebut, namun ketika dimintai pertangungjawabannya pihak rumah 2
Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.5. 3 Soejami, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung, Citra Aditya, hal. 9.
13
sakit tersebut seakan angkat tangan dan tidak mau tau dengan kerugian yang diderita oleh Sudargo. Sampai saat ini kasus tersebut belum ada penyelesaiannya.4 Kasus yang dialami oleh Ratih pada tahun 2011, dia menjalani operasi usus buntu di rumah sakit swasta di Jakarta Timur namun setelah menjalani operasi, Ratih mengalami pendarahan yang diikuti dengan infeksi dan pembusukan jaringan yang membuat Ratih harus mengalami cacat perut, karena luka yang dideritanya tidak kunjung sembuh, ketika keluarga dari Ratih meminta keterangan dari dokter yang menangani penyakit yang diderita Ratih, dokter tersebut hanya menjelaskan kepada keluarga dengan bahasa kedokteran yang tidak dimengerti, walaupun telah diadukan kepada Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.5 Kasus yang dialami oleh seorang Ibu di Lombok pada bulan Januari tahun 2012, yang melahirkan di salah satu rumah sakit umum di Lombok namun bayinya meninggal dunia pada saat proses melahirkan, tragisnya bayi tersebut meninggal dengan kepala yang terputus dan kepalanya masih tertinggal di dalam perut, sehingga harus dilakukan operasi caesar untuk mengambil kepala bayi yang terputus tersebut. Disini pihak dari pasien tidak terima dan menganggap pihak dari rumah sakit telah melakukan malpraktik, kemudian keluarga pasien meminta pertanggungjawaban kepada pihak dari rumah sakit tersebut, namun pihak dari rumah sakit merasa prosedur yang dilakukan telah benar, karena pihak dari rumah
4
Indra Bastian Suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta, hal. 100-101. 5 Indra Bastian Suryono, Ibid, hal. 11-12.
14
sakit tidak mau bertanggungjawab maka keluarga pasien melaporkan rumah sakit tersebut ke Polres setempat, namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.6 Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan menyatakan banyaknya kasus malpraktik di Indonesia adalah akibat sistem kesehatan yang tidak menunjang. Menurut data Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dari tahun 1998 sampai tahun 2004 telah menangani 255 kasus malapraktik dan jarang diselesaikan sampai tingkat penyidikan yang dikarenakan polisi juga masih tidak paham tentang masalah kesehatan ini dan mengakibatkan penanganan polisi terhadap kasus malapraktik kurang optimal.7 Timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter maupun pasien dengan pihak rumah sakit dapat dikarenakan pasien sangat mendesak untuk mendapatkan pertolongan. Dalam keadaan seperti ini pihak rumah sakit terutama dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming, yaitu di mana seorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah mewakili urusan orang lain hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat menyelesaikan kepentingannya tersebut, selain hubungan antara dokter dengan pasien, peran rumah sakit dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap pasien juga sangat diperlukan. Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara 6 7
http//www.opensubscriber.com/massage/
[email protected]. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012 Indra Bastian Suryono, Op,cit, hal.112-113.
15
keseluruhan serta mampu menerapkan perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing.8 Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, dan yang dipekerjakan di rumah sakit haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis, dengan tujuan agar perlindungan terhadap pasien dapat terealisasikan dan dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan
ataupun
kelalaian
yang
dilakukan
tenaga
kesehatan
dalam
melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominan, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan keterampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun
8
Indra Bastian Suryono, Ibid, hal. 6.
16
tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.9 Pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Pasien sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat
karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga
kesehatan/dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan sehingga perlindungan terhadap pasien kurang terjamin. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dan tidak berkedudukan sederajat.10 Untuk melihat sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu institusi kesehatan atau rumah sakit kepada pasien/konsumen kesehatan tentu saja kita tidak hanya mendengar dari orang lain atau hanya membaca dari buku saja, untuk itu disini penulis harus meneliti secara langsung ke suatu institusi 9
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 12. Wila Chandrawila, Ibid, hal. 47-48.
10
17
kesehatan/rumah sakit tertentu dan disini peneliti memilih Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya sebagai tempat untuk meneliti mengenai perlindungan konsumen kesehatan, apakah perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan tersebut sudah dijalankan dengan baik sesuai dengan Undang-undang Kesehatan yang ada saat ini atau masih ada yang perlu diperbaiki dan apa saja yang menjadi faktor penghambat dan pendorong adanya perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan tersebut. Dari penjelasan yang dikemukakan di atas maka masalah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, mengandung permasalahan yang sangat kompleks dan menarik untuk diteliti dan mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai perlindungan hukum bagi pasien yang tumbuh dan berkembang di kalangan dunia medis khususnya dalam konteks pelayanan kesehatan. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dalam konteks penyusunan skripsi dengan judul sebagai berikut : “Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan Di RSUD Tasikmalaya”.
18
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik perumusan masalah sebagai
berikut : 1)
Bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya?
2)
Faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1)
Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya
2)
Dan untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya
D.
Kegunaan Penelitian Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain :
1.
Kegunaan yang bersifat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan sebagai instrumen pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan.
19
b. Penelitian ini dapat menjadi acuan ilmiah bagi pengembangan Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan di masa mendatang. c. Penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama dalam bidang hukum perlindungan konsumen dan dalam bidang hukum kesehatan, menambah pengetahuan penulis dan pembaca lainnya tentang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan. 2. Kegunaan yang bersifat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan, khususnya dalam praktik kedokteran. Dan sebagai acuan meningkatkan kualitas pelayanan dari tenaga kesehatan kepada pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan.
20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelayanan Kesehatan 1.
Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia di samping
sandang pangan dan papan, tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Selain itu orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan tenaga kesehatan tersebut akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dengan cara memberikan pelayanan kesehatan.11 Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada Pasal 1 ayat (11) Ketentuan Umum yang berbunyi : “Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”. Didalam ketentuan Umum yang ada pada Undang-undang Kesehatan memang tidak disebutkan secara jelas mengenai Pelayanan Kesehatan namun hal tersebut tercermin dari pasal 1 Ketentuan Umum ayat (11) bahwa upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka untuk
11
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal . 35.
21
kepentingan kesehatan di masyarakat. walaupun tidak diuraikan secara jelas mengenai pelayanan kesehatan namun kita dapat memahaminya melalui pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana sebagai berikut ini : Menurut Levey dan Loomba Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Jadi pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif ( pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat dan lingkungan.Yang dimaksud sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan adalah input, proses, output, dampak, umpan balik. 12 Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Levey dan Loomba Hendrojono Soewono juga menyebutkan bahwa yang dimaksud pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok/masyarakat.13 Begitupula dengan apa yang dikemukakan oleh Wiku Adisasmito bahwa Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditujukan untuk 12
http://peterpaper.blogspot.com/2010/04/pelayanan-kesehatan-1.html?diunduh pada tanggal 21 april 2012 pukul 07.45. 13 Hendrojono, Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Transaksi Teurapetik, Surabaya, Srikandi. Hal 100-101.
22
meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.14
2.
Asas-asas Pelayanan Kesehatan Bilamana ditinjau dari kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif, dan pasien dalam kedudukannya sebagai penerima layanan kesehatan yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik kedokteran. Dengan demikian dalam kedudukan hukum para pihak di dalam pelayanan kesehatan menggambarkan suatu hubungan hukum dokter dan pasien, sehingga di dalam pelayanan kesehatan pun berlaku beberapa asas hukum yang menjadi landasan yuridisnya.
14
Wiku Adisasmito, 2008, Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, Fak. Kesehatan Masyarakat, UI. Hal. 9.
23
Menurut Veronica Komalawati yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besarnya sebagai berikut 15: (a)
Asas Legalitas Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ; (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan; (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki; (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) yang antara lain berbunyi sebagai berikut : Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ; (1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi; (3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan : a.Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
15
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik (Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra Aditya Bhakti. hal. 126-133.
24
b.Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter atau dokter gigi; c.Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; d.Memiliki sertifikat kompetensi; dan e.Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai berikut : “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat Izin Praktik”. Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa ; Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter dan dokter gigi harus ; a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku; b. Mempunyai tempat praktik; c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara latern tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. (b) Asas Keseimbangan
25
Menurut
asas
ini,
penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
harus
diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan. (c)
Asas Tepat Waktu Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan
asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya. (d) Asas Itikad Baik Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban
26
profesi, penerapan asas itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri. (e)
Asas Kejujuran Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan
kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. Di samping itu, berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi sudah barang tentu akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. (f)
Asas Kehati-hatian Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan,
mengharuskan agar tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Karena kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan terancamnya jiwa pasien,
27
dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa; “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan informed consent dalam transaksi terapeutik. (g)
Asas Keterbukaan Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun
2009 adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ; “Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum” Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, di mana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan.16
16
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik (Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra Aditya Bhakti. hal. 126-133.
28
Di samping Veronica Komalawati, Munir Fuady sebagaimana yang dikutip dari bukunya Veronica Komalawati mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherine Tay Swee Kian antara lain sebagai berikut17 : (1) Asas Otonom Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun pilihan pasien tidak benar, dokter tetap harus menghormatinya dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebenarnya menurut pengetahuan dan keahlian profesional dokter tersebut agar pasien benarbenar mengerti dan memahami tentang akibat yang akan timbul tatkala pilihannya tidak sesuai dengan anjuran dokter. Dalam hal terjadi demikian, menjadi kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut. (2) Asas Murah Hati Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam
17
Ibid, hal. 129.
29
pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun terhadap kesehatan masyarakat. (3) Asas Tidak Menyakiti Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian, maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter bertentangan dengan asas tidak menyakiti. (4) Asas Keadilan Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu, asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya dalam pelayanan kesehatan. (5) Asas Kesetiaan Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter, karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan
30
penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya demi keselamatan pasiennya. (6) Asas Kejujuran Asas ini mengajarkan bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki adanya kejujuran dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter harus secara jujur mengemukakan hasil pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien, dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan riwayat perjalanan penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan Informed Consent harus berorientasi pada kejujuran. Selanjutnya jika ditinjau dari hukum positif yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 29 Tahun 2004,
maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi penyelenggara pelayanan kesehatan. Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 ditetapkan bahwa: “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan normanorma agama”. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa: “Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien”.18
18
http://drampera.blogspot.com/2011/04/asas-asas-dalam-penyelenggaraan.html diakses pada tanggal 10 mei 2012 pukul 08.50.
31
3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan Pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan yang baik, keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok pelayanan kesehatan yaitu19: 1. Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous) Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan adalah harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continuous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit untuk ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat pada setiap dibutuhkan. 2. Dapat diterima dan wajar (acceptable and appropriate) Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik. 3. Mudah dicapai (accessible) Pengertian ketercapaian adalah dari sudut lokasi. Pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik. Pelayanan kesehatan dianggap tidak baik apabila terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan tidak ditemukan di pedesaan. 4. Mudah dijangkau (affordable) Pengertian keterjangkauan terutama dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. 5. Bermutu (quality) 19
Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed 3, Jakarta : Binarupa Aksara. hal 16.
32
Mutu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.
4. Standar Pelayanan Kesehatan Bagian penting dari suatu pelayanan kesehatan adalah tersedia dan dipatuhinya standar, karena pelayanan kesehatan yang bermutu adalah bila pelayanan tersebut dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada. Umumnya petugas banyak menemui variasi pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dalam penjaminan mutu pelayanan kesehatan standar digunakan untuk menjadikan variasi yang ada seminimal mungkin.20
Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.21 Dari pengertian di atas maka apabila dihubungkan dengan standar pelayanan kesehatan maka disini sudah pasti berhubungan dengan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri seperti puskesmas atau rumah sakit sebagai tempat yang memberikan pelayanan kesehatan, dan secara langsung hal tersebut 20
Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya, Jakarta, Erlangga. Hal. 21. 21 Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, hal. 182.
33
berhubungan dengan tenaga kesehatan, maka untuk mengetahui standar pelayanan kesehatan kita dapat melihatnya dari standar profesi medik/ standar kompetensi tenaga kesehatan.22 Untuk mengetahui standar pelayanan kesehatan maka harus melihat pada standar pelayanan kesehatan yang harus dimiliki oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini penyedia layanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit dan dari tenaga kesehatan itu sendiri seperti dokter, perawat, apoteker dan lain-lain. Pelayanan kesehatan baik di puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, saling tergantung, saling mempengaruhi antara satu sama lain. Standar pelayanan kesehatan yang baik terdiri dari 3 (tiga) komponen yang harus dimiliki yaitu adanya masukan (input, disebut juga structure), proses, dan hasil (outcome).23 1.
Masukan (Input) Masukan (Input) yang dimaksud di sini adalah sarana fisik, perlengkapan dan
peralatan, organisasi dan manajemen keuangan, serta sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di puskesmas dan rumah sakit. Beberapa aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah kejujuran, efektivitas, serta kuantitas dan kualitas dari masukan yang ada. Pelayanan kesehatan yang baik memerlukan dukungan input yang bermutu yaitu sumber daya yang ada perlu diorganisasikan dan dikelola sesuai dengan 22 23
Ibid, hal. 183. Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, Erlangga, Jakarta, hal. 16-17.
34
perundang-undangan dan prosedur kerja yang berlaku dalam hal ini adalah memiliki tenaga kesehatan yang baik yang bekerja secara profesional. 2.
Proses yang Dilakukan Proses adalah semua kegiatan atau aktivitas dari seluruh karyawan dan tenaga
profesi dalam interaksinya dengan pelanggan. Baik tidaknya proses yang dilakukan di puskesmas atau rumah sakit dapat diukur dari: 1) Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan dalam hal ini pasien; 2) Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan; 3) Dan mutu proses yang dilakukan. Variable proses merupakan pendekatan langsung terhadap pelayanan kesehatan. Semakin patuh petugas atau tenaga kesehatan terhadap standar pelayanan kesehatan, maka semakin baik pula standar pelayanan kesehatan yang dimiliki. 3.
Hasil yang dicapai Hasil yang dicapai disini adalah merupakan tindak lanjut dari pelayanan
kesehatan yang diberikan terhadap pasien, apakah pelayanan kesehatan yang diberikan telah sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang ada atau tidak dapat dilihat dari hasil pengobatan yang diberikan kepada pasien dan apakah pasien tersebut dengan melihat dari kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Mengenai standar pelayanan kesehatan di rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan
35
Minimal Rumah Sakit. Hal tersebut berarti segala hal yang bersangkutan dengan standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan yang ada didalam peraturan menteri tersebut. Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit antara lain : 1. Gawat Darurat - Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa memenuhi standar 100% - Jam buka pelayanan gawat darurat 24 jam - Pemberi pelayanan kegawatdaruratan yang bersertifikat yang masih berlaku ATLS/BTLS/ACLS/PPGD 100 % - Kesediaan tim penanggulangan bencana 1 tim - Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat ≤ 5 menit terlayani setelah pasien datang - Kepuasan pelanggan ≥ 70 % - Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka 100 % - Kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah 8 jam) 2. Rawat Jalan - Dokter pemberi Pelayanan di Poliklinik Spesialis 100% Dokter Spesialis - Ketersediaan pelayanan a. Klinik Anak b. Klinik Penyakit Dalam c. Klinik Kebidanan d. Klinik Bedah - Jam buka pelayanan 08.00 s/d 13.00 Setiap hari kerja kecuali Jum’at : 08.00 - 11.00 - Waktu tunggu di rawat jalan ≤ 60 menit - Kepuasan pelanggan ≥ 90 % 3. Rawat Inap - Pemberi pelayanan di Rawat Inap a. Dokter spesialis b. Perawat minimal pendidikan D3 - Dokter penanggung jawab pasien rawat inap 100 % - Ketersediaan Pelayanan Rawat Inap a. Anak b. Penyakit Dalam c. Kebidanan d. Bedah
36
-
Jam Visite Dokter Spesialis 08.00 s/d 14.00 setiap hari kerja Kejadian infeksi pasca operasi ≤ 1,5 % Kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5 % Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakhir kecacatan / kematian 100 % - Kematian pasien > 48 jam ≤ 0,24 % - Kejadian pulang Paksa ≤ 5 % - Kepuasan pelanggan ≥ 90 % - Rawat inap TB : a. Penegakan Dianogsis TB melalui pemeriksaan mikroskopis TB 100% b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB di rumah sakit 100% - Ketersediaan pelayanan rawat inap di rumah sakit yang memberikan pelayanan jiwa yaitu NAPZA,Gangguan psikotik, Gangguan Nerotik, dan Gangguan Mental Organik - Tidak adanya kejadian kematian pasien gangguan jiwa karena bunuh diri 100% - Kejadian re-admission pasien gangguan jiwa dalam waktu ≤ 1 bulan 100% - Lama hari perawatan pasien gangguan jiwa ≤ 6 minggu 4. Bedah Sentral (Bedah saja ) - Waktu tunggu operasi elektif ≤ 2 hari - Kejadian Kematian di meja operasi ≤ 1 % - Tidak adanya kejadian operasi salah sisi 100 % - Tidak adanya kejadian operasi salah orang 100 % - Tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi 100 % - Tidak adanya kejadian tertinggalnya benda asing / lain pada tubuh pasien setelah operasi 100 % - Komplikasi anastesi karena overdosis, reaksi anastesi, dan salah penempatan endotracheal tube ≤ 6 % 5. Persalinan dan Perinatalogi (kecuali rumah sakit khusus diluar rumah sakit ibu dan Anak) - Kejadian kematian ibu karena persalinan a. Perdarahan ≤ 1 % b. Pre –Eklamsia ≤ 30% c. Sepsis ≤ 0,2 % - Pemberi pelayanan persalinan normal a. Dokter Sp.OG b. Dokter Umum terlatih (Asuhan Persalinan Normal ) c. Bidan - Pemberi pelayanan dengan persalinan penyulit Tim PONEK yang terlatih. - Pemberi pelayanan persalinan dengan tindakan operasi a. Dokter Sp.OG b. Dokter Sp.A c. Dokter Sp.An - Kemampuan menangani BBLR 1500 gr - 2500 gr 100% - Pertolongan Persalinan melalui seksio cesaria ≤ 20 %
37
- Keluarga Berencana : a. Persentase KB (Vasektomi & tubektomi) yang dilakukan oleh tenaga kompeten dr. Sp.OG, dr.Sp.B, dr.Sp.U, dokter umum terlatih 100% b. Persentase peserta KB mantap yang mendapatkan konseling KB mantap oleh bidan terlatih 100% - Kepuasan Pelanggan ≥ 80 % 6. Intensif - Rata-rata Pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus yang sama < 72 jam yaitu ≤ 3 % - Pemberi pelayanan Unit intensif a. Dokter Sp.Anestesi dan dokter spesialis sesuai dengan kasus yang di tangani b. 100 % perawat minimal D3 dengan sertifikat Perawat mahir ICU/setara (D4) 7. Radiologi - Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto ≤ 3 jam - Pelaksana ekspertisi Dokter Spesialis Radiologi - Kejadian kegagalan pelayanan Rontgen Kerusakan foto ≤ 2% - Kepuasan pelanggan ≥ 80 % 8. Laboratorium Patologi Klinik - Waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium ≤ 140 menit - Kimia darah & darah rutin Pelaksana ekspertisi - Dokter Spesialis Patologi Klinik Tidak adanya kesalahan pemberian hasil pemeriksaan laboratorium 100 % - Kepuasan pelanggan ≥ 80 % 9. Rehabilitasi Medik - Kejadian Drop Out pasien terhadap pelayanan rehabilitasi medik yang direncanakan ≤ 50 % - Tidak adanya kejadian kesalahan tindakan rehabilitasi medik 100 % - Kepuasan pelanggan ≥ 80 % 10. Farmasi - Waktu tunggu pelayanan a. Obat jadi ≤ 30 menit b. Obat Racikan ≤ 60 menit - Tidak adanya Kejadian kesalahan pemberian obat 100% - Kepuasan pelanggan ≥ 80 % - Penulisan resep sesuai formularium 100 % 11. Gizi - Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien ≥ 90 % - Sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien ≤ 20% - Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian diet 100 % 12. Tranfusi Darah - Kebutuhan darah bagi setiap pelayanan tranfusi 100 % terpenuhi - Kejadian reaksi tranfusi ≤ 0,01 % 13. Pelayanan GAKIN
38
- Pelayanan terhadap pasien GAKIN yang datang ke RS pada setiap unit pelayanan 100 % terpenuhi 14. Rekam Medik - Kelengkapan pengisian rekam medik 24 jam setelah selesai pelayanan 100% - Kelengkapan Informed Concent setelah mendapatkan informasi yang jelas 100% - Waktu penyediaan dokomen rekam medik pelayanan rawat jalan ≤ 10 menit - Waktu penyediaan dokumen rekam medik rawat Inap ≤ 15 menit 15. Pengelolaan Limbah - Buku mutu limbah cair a. BOD < 30 mg/1 b. COD < 80 mg/1 c. TSS < mg/1 d. PH 6-9 - Pengelolaan limbah padat infeksius sesuai dengan aturan 100 % 16. Administrasi dan manajemen - Tindak lanjut penyelesaian hasil pertemuan direksi 100 % - Kelengkapan laporan akuntabilitas kinerja 100 % - Ketepatan waktu pengusulan kenaikan pangkat 100 % - Ketepatan waktu pengurusan gaji berkala 100 % - Karyawan yang mendapat pelatihan minimal 20 jam setahun ≥ 60 % - Cost recovery ≥ 40 % - Ketepatan waktu penyusunan laporan keuangan 100 % - Kecepatan waktu pemberian informasi tentang tagihan pasien rawat inap ≤ 2 jam - Ketepatan waktu pemberian imbalan (insentif ) sesuai kesepakatan waktu 100 % 17. Ambulance/ Kereta Jenazah - Waktu pelayanan ambulance / kereta jenazah 24 jam - Kecepatan memberikan pelayanan ambulance/kereta jenazah di rumah sakit ≤ 30 menit - Response time pelayanan ambulance oleh masyarakat yang membutuhkan - Sesuai ketentuan daerah 18. Pemulasaraan Jenazah - Waktu tanggap (response time) pelayanan pemulasaraan jenazah ≤ 2 jam 19. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit - Kecepatan waktu menanggapi kerusakan alat ≤ 80 % - Ketepatan waktu pemeliharaan alat 100 % - Peralatan laboratorium dan alat ukur yang di gunakan yang digunakan dalam pelayanan terkalibrasi tepat waktu sesuai dengan ketentuan kalibrasi 100 % 20. Pelayanan Laundry - Tidak adanya kejadian linen yang hilang 100 % - Ketepatan waktu penyediaan linen untuk ruang rawat inap 100 % 21. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ( PPI )
39
- Adanya anggota tim PPI yang terlatih ≥ 75 % - Tersedia APD disetiap instalasi / departement ≥ 60 % - Kegiatan pencatatan dan pelaporan infeksi nosokomial / HAI (health care associated infections) di rumah sakit (minimum 1 parameter) ≥ 75% Standar Pelayanan tersebut menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya, dan standar pelayanan kesehatan tersebut juga menentukan apakah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh institusi kesehatan telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Setelah membahas mengenai standar pelayanan kesehatan maka kita juga akan membahas mengenai standar tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang yang sedang menderita penyakit, tentu menimbulkan perasaan yang tidak enak dan juga mempengaruhi emosi pasien, sehingga tenaga kesehatan selalu berhubungan dengan orang yang secara fisik dalam keadaan sakit dan dapat pula secara psikis juga dalam keadaan sakit. Ukuran apa yang dituntut dari seorang profesional dalam melakukan pekerjaannya dan siapa yang menentukan ukuran tersebut berkaitan erat dengan situasi dan kondisi dari tempat standar profesi medik itu berlaku. Undang-undang tentang Kesehatan yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 menetapkan sebagai berikut: (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
40
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain Undang-undang Kesehatan kita juga dapat mengetahui mengenai standar profesi medik atau yang disebut sebagai standar tenaga kesehatan dari pendapat yang diberikan oleh Leenan sebagaimana yang dikutip dari bukunya Ameln sebagai berikut 24: “De Formulering van de norma voor de medische profesionele standard zou dan kunnen zijn: zorgvuldigd volgens de medische standard handelen al seen gemiddelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concrete handelingsdoel.” Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut: “Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut: bertindak teliti sesuai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dari kategori keahlian medik yang sama dalam keadaan yang sama dengan cara yang ada dalam perseimbangan yang pantas untuk mencapai tujuan dari tindakan yang kongkret.” Sebagaimana yang dikutip dari bukunya Endang Kusuma Astuti maka jika diamati maka dari pendapat yang dikemukakan oleh Leenan tersebut terdapat lima unsur, yaitu 25: a. Tindakan yang diteliti, berhati-hati. b. Sesuai ukuran medis. Unsur ukuran medis ini ditentukan oleh pengetahuan medis. Pengertian ukuran medis dapat dirumuskan bahwa: suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu. Ukuran tersebut didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam bidang 24 25
Ameln, F. Drs, SH, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Garfika Jaya. Hal. 58. Endang, Kusuma, Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal 30-31.
41
medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi suatu kriteria yang tepat untuk dapat dipakai pada pihak perbuatan medis karena situasi kondisi dan juga karena reaksi pasien yang berbeda-beda. c. Sesuai dengan dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibandingkan dengan dokter dari kategori keahlian medis yang sama. Ukuran etika, menurut standar yang tertinggi dari dokter, sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 1983, yang menyatakan bahwa: “dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi”. d. Dalam situasi dan kondisi yang sama. Unsur ini tidak terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada, tetapi terdapat pada rumusan Daniel K. Robert pada Practicing in the same or similar locality. Dalam situasi kondisi yang sama, misalnya praktik di Puskesmas berbeda dengan rumah sakit tipe A, Seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. e. Dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar dibandingkan dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan diagnostik, terapeutik dan dengan peringanan penderita (conforting), dan pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu. Jika ada suatu tindakan diagnosis yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif ringan sekali, hal ini tidak memenuhi prinsip keseimbangan. Dokter harus selalu membandingkan tujuan tindakan medis dengan resiko tindakan tersebut dan berusaha untuk resiko yang terkecil.
42
B. Pasien Sebagai Konsumen 1.
Pengertian dan Pengaturan Pasien sebagai konsumen Berbicara mengenai pasien sebagai konsumen dalam kaitannya di dalam
pelayanan medis, dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang merupakan konsumen jasa. Terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan konsumen. Menurut UU No. 8/ Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2) menyebutkan konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.26 Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai konsumen adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kesehatan. Orang yang menggunakan jasa 26
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. hal 1.
43
tersebut adalah orang yang menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.27 Dalam pelayanan di bidang kesehatan, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam bidang kesehatan.28 Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian pada umumnya didasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada dasar-dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan terhormat. Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko 27 28
Ibid, hal. 13. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, hal. 138.
44
yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan
bahwa
dokter
melakukan
kekeliruan
karena
kelalaian.29
2.
Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Berbicara mengenai perlindungan hukum pasien sebagai konsumen maka harus melihat terlebih dahulu mengenai pengertian dari perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Hal ini diartikan bahwa adanya upaya mengenai adanya kepastian hukum itu dengan cara memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen disini berkaitan dengan adanya jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan, namun sebelumnya perlu diketahui mengenai pengertian jasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh William Stantoa dan Jetzel J. Walker dalam Bukunya Malayu. S. P. Hasibuan menyatakan bahwa30: “Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud yang merupakan tujuan penting dari suatu transaksi guna memberikan kepuasan pada konsumen”. 29
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung. Hal 7-11. H.Malayu,S.P. Hasibuan, 2001, Pelayananan Terhadap Konsumen Jasa, Jakarta, PT. Bumi Aksara. Hal. 161. 30
45
Jasa adalah setiap setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 ayat (5) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam permasalahan yang diangkat penulis mengenai perlindungan pasien, adalah pasien di sini merupakan konsumen dalam bidang jasa medis. Sebagaimana yang diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen melalui penjelasan, bagian umum, menentukan beberapa Undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, yang salah satunya adalah UU No. 23 Tahun 1992 ( diganti menjadi UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Pembentukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, didasari pada pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha, disamping itu konsumen yang pada dasarnya tidak mengetahui hak-haknya karena pendidikan konsumen yang rendah
dan
UU
Perlindungan
Konsumen
memberikan
landasan
bagi
pemberdayaan konsumen. Selain itu tujuan diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 adalah mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.31 Dilihat dari kedudukan pasien dan konsumen, maka pasien tidak identik dengan konsumen, sebab hubungan yang unik antara tenaga kesehatan dan pasien, sangat sulit disamakan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha di bidang ekonomi. Dilihat dari sudut pasien, maka pengaturan tentang perlindungan pasien
31
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 47.
46
tidak dapat diambil dari UU No. 8 Tahun 1999, sebab selain terlalu umum, juga tidak mewakili kepentingan pasien yang sangat banyak dan juga sangat unik. Dilihat dari sudut tenaga kesehatan, maka tenaga kesehatan tidak dapat diidentikan dengan pelaku usaha di dalam bidang ekonomi, sebab pekerjaan dalam bidang kesehatan adalah pekerjaan yang banyak mengandung unsur sosial.32 Jadi berkaitan dengan perlindungan hukum pasien sebagai konsumen memang tidak hanya harus diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Konsumen tetapi juga harus dikaitkan dengan apa yang diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang mana didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban pasien, hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri. Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien dalam kaitannya sebagai konsumen di bidang pelayanan kesehatan akan berkaitan pula dengan adanya pola hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien itu sendiri karena pola hubungan yang timbul tersebut juga akan berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien. Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
32
Wira Chandrawila, Ibid, hal. 48.
47
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson33 dalam bukunya Veronika Komalawati, digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dan jemaah yang sedang mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.34 Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.35 Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia rasa ada sesuatu
yang
dirasakannya
membahayakan
kesehatannya.
Keadaan
psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien. Sebaliknya dokter
33
Veronika Komalawati, 1999, op, cit, hal. 38 Endang, Kusuma Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 97. 35 Ibid, hal 98. 34
48
berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungannya paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai “bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkan pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya.36 Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatsi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.37 Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintesis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan
36 37
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum dan Masalah Medik, Erlangga, Surabaya, hal. 36 Endang Kusuma Astuti, Op, Cit, hal 99.
49
kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg en inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu risikoverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti.38 Szasz dan Hollender sebagaimana yang dikutip dari dalam bukunya Veronica Komalawati39, mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototype hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa. 1.
Pola hubungan aktif-pasif Secara historis ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipient atau penerima belaka, seperti
38 39
Hermien Hadiadji Koeswadji, op, cit, hal. 37. Veronika Komalawati, 1999, op, cit, hal. 44.
50
pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan. Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi. Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat, dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam hubungan dengan dokter. Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan keahlian berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita. Bahkan oleh John (seorang ahli sosiologi) dikatakan bahwa dokter adalah The God Complex. Namun dilihat dari segi tanggungjawabnya, dokter dapat dikatakan bertanggung jawab tunggal terhadap segala resiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tindakannya. 2.
Pola hubungan Membimbing dan Bekerja Sama Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter,
yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut
51
menderita penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, melaksanakan diet, melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu. Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dan remaja. Orang tua itu memberi nasihat dan membimbing, sedang anak yang sudah remaja itu akan bekerja sama dan mengikuti nasihat dan bimbingan orangtuanya. Hubungan membimbing dan bekerja sama ini sama pula dengan hubungan pimpinan perusahaan dengan pegawai. Yang satu memberikan bimbingan, yang lain bekerja sama sebagai suatu respon aktif. Yang membedakan kedua pihak dalam hubungan ini ialah adanya kekuasaan yang dimiliki pihak yang satu (pengetahuan kedokteran, kepemimpinan) dan kemampuan atau kemauan yang dimiliki pihak lain untuk menuruti (nasihat, bimbingan). Pihak yang lebih mempunyai kekuasaan akan menjalankan peran sebagai pimpinan, penasihat, dan pembimbing, sedangkan pihak yang kurang memiliki kekuasaan berperan sebagai pelaksana atas dorongan kehendak dan kemauannya sendiri. 3.
Pola hubungan saling berperan serta Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia
memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada struktur sosial yang demokratis.
52
Pola hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check up), misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun (kronis), seperti penyakit gula, penyakit jantung koroner, penyakit arthritis, dan sebagainya. Dalam hubungan semacam ini pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan dapat membantu dokter secara aktif dalam menetapkan situasi sebenarnya, dan memberikan nasihat dan pengobatan yang tepat. Di samping itu, hampir seluruh rencana pengobatan terletak di tangan pasien sendiri, misalnya: minum obat atau tidak, menjalankan diet atau tidak, berpantang sesuatu atau tidak, memeriksakan kembali pada waktu yang ia tentukan sendiri, mengulangi pembelian resep atau tidak, dan sebagainya. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas di antara kedua pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya. Dari pola hubungan tersebut dikenal juga menimbulkan adanya adanya Transaksi Terapeutik. Transaksi terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktik dokter, sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi justru sejak dokter menyatakan ketersediaannya yang dinyatakan secara lisan atau yang tersirat dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya, dan
53
sebagainya. Dengan kata lain transaksi terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. A. Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik Sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Endang Kusuma Astuti, menyebutkan bahwa, didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu40: a.Adanya kata sepakat diantara para pihak. b.Kecakapan para pihak dalam hukum. c.Suatu hal tertentu. d.Kausa yang halal. Oleh sebab itu didalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian tersebut maka perjanjian itu akan berlaku sebagai Undangundang bagi para pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Disamping kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak yaitu
adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk
melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : “ Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. 40
Endang Kusuma Astuti, op, cit, hal. 155.
54
B. Berakhirnya Transaksi Terapeutik Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter – pasien sangatlah penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir. Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya hubungan ini dapat disebabkan karena 41: a.
Sembuhnya pasien Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah
tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien maupun keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang dideritanya sudah benarbenar sembuh, maka pasien dapat mengakhiri hubungan transaksi terapeutik dengan dokter atau rumah sakit yang merawatnya. b. Dokter mengundurkan diri Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter – pasien dengan alasan sebagai berikut : 1.
Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
2.
Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain.
3.
Karena
dokter
merekomendasikan
kepada
dokter
lain
yang
sama
kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.
41
Al Purwohardiwardoyo, 1989, Etika Medik, Kanisius, Yogyakarta, hal .13.
55
4. Karena dokter tersebut merekomendasikan ( merujuk ) ke dokter lain atau rumah sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap. c.
Pengakhiran Oleh Pasien Adalah hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan
pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah ke dokter lain atau Rumah Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena kesembuhan dirinya juga merupakan tanggung jawabnya sendiri. d.
Meninggalnya pasien
e. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak. f. Didalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan
pasien
sudah
datang,
atau
terdapat
penghentian
keadaan
kegawatdaruratan. g. Lewat jangka waktu apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka waktu. Setelah membahas mengenai pola hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan dan dari pola hubungan tersebut dikenal juga dengan adanya transaksi teurapetik antara dokter/ tenaga kesehatan dengan pasien maka dari pola hubungan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pasien.
56
3.
Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen Jasa di Bidang Pelayanan Kesehatan Seperti yang telah dibahas bahwa dengan adanya pola hubungan antara
tenaga kesehatan dengan pasien akan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pasien. Hak memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu di dalam melaksanakannya. Sedangkan kewajiban adalah pembatasan dan beban.42 Ada beberapa pengertian hak, antara lain: a)
Hak di dalam pengertian umum yaitu tuntutan seseorang terhadap suatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas.43
b) Hak sendiri merupakan suatu kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi. Hak mengandung 4 unsur : (1) Subjek hukum : segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban ini disebut kewenangan hukum. (2) Obyek hukum : segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan diadakannya hubungan hukum. (3) Hubungan hukum : hubungan yang terjalin karena peristiwa hukum. (4)Perlindungan hukum : segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi. 42 43
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty. Hal. 39. Nila Ismani, 2001, Etika Keperawatan. Jakarta, Widya Medika. Hal 20.
57
Ada dua macam hak : a) Hak Absolut : memberi kewenangan pada pemegangnya untuk berbuat dan tidak berbuat yang pada dasarnya dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. b) Hak relatif : hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seorang terhadap orang- orang tertentu.44 Kemampuan profesional tenaga kesehatan merupakan salah satu indikator kepercayaan pasien terhadap dunia medis khususnya tenaga kesehatan, maka sudah sebaiknya kepercayaan tersebut harus dilakukan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kode etik medik. Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien merupakan dampak dari keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak mereka dari timbulnya hubungan hukum antara pasien dan dokter sebagai tenaga profesi. Dengan semakin maju dan meningkatnya kemampuan pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan.45 Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap kemampuan ilmu (science) dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh dokter bersangkutan dalam dunia kedokteran dan teknologi. Penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesi yang merugikan pasien dan atau bertentangan dengan hukum dinamakan malpraktik (negligence) di bidang kedokteran. Maka oleh sebab itu penjelasan tentang hak dan kewajiban pasien secara hukum sangat 44 45
Nila Ismani, Ibid, hal. 38-40. Bahder Johan Nasution, op,cit, hal. 23.
58
penting dilakukan. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan kehati-hati dari tenaga kesehatan dalam mejalani tugas profesinya sebagai dokter. Keselamatan dan perkembangan kesehatan merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya. Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak yang melekat pada pasien.46 Dalam hal ini yang dimaksud dengan konsumen adalah pasien. Mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen , Pasal 4 menyebutkan , diantaranya; 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; 2) Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa; 4) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;
46
http://m.serambinews.com/news/hak-dan-kewajiban-pasien, diakses pada tanggal 27 mei 2012 pukul 08.30.
59
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 8) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dari delapan butir hak konsumen yang tercantum diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/ atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan /atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi. Setelah berbicara mengenai hak tentunya harus berbicara mengenai kewajiban sebagai seorang pasien antara lain 47:
47
Bahder Johan Nasution, Ibid, hal. 34.
60
1) Memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter. 2) Memberikan informasi yang lengkap dan benar tentang penyakitnya. 3) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter 4) Menandatangani surat- surat Persetujuan Tindakan Medis atau Informed Consent (IC) surat jaminan dirawat di rumah sakit. 5) Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh 6) Melunasi biaya perawatan Perlindungan konsumen didorong oleh adanya kesadaran dan pemahaman baik dari pelaku medis maupun pasien sendiri tentang hak dan kewajibannya, khususnya hak pasien. “Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the course of delivering healthcare services, patients are not discriminated against on grounds of their social status, political views, origin, nationality, religion, gender, sexual preferences, age, marital status, physical or mental disability, qualification or on any other grounds not related to their state of health”. 48 Terjemahannya adalah sebagai berikut : “ Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika, dalam rangka memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis kelamin, preferensi seksual, usia, status perkawinan , cacat fisik atau mental, kualifikasi atau alasan lain yang tidak terkait dengan kondisi kesehatan mereka”.
48
Act CLIV on Health. 1997. Right to Health Care Right to Health Care. Journal Act CLIV of 1997 on Health. Section 7.
61
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Sebelum
membahas
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perlindungan hukum pasein sebagai konsumen maka terlebih dahulu kita kan membahasa mengenai hukum dan perlindungan hukum itu sendiri. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana yang dikutip dari bukunya Marwan Mas49, menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi karena subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum. Fungsi hukum sebagai instrument pengatur dan instrument perlindungan ini diarahkan pada satu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum antarsubjek hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu (baik
49
Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 116.
62
materiil maupun ideal), kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya). Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing subjek hukum mendapatkan hak-haknya secara wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.50 Adanya kewajiban pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya merupakan faktor yang mempengaruhi adanya perlindungan hukum itu sendiri, dengan adanya kewajiban pemerintah ini maka pemerintah diharuskan untuk menjaga agar hak-hak warga negaranya dapat dijamin oleh Negara atau pemerintah agar hak-hak yang melekat pada warga negaranya dapat terlindungi maka disini ada yang dinamakan perbuatan pemerintah yaitu perbuatan pemerintah membuat peraturan perundang-undangan. Perbuatan pemerintah membuat peraturan perundang-undangan misalnya dibuatnya Undangundang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang atau badan hukum.51 Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan maka disini erat kaitannya dengan adanya kepatuhan dari seorang tenaga kesehatan terhadap profesinya dan adanya peranan pasien yang mana sebagai orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan dari pihak tenaga kesehatan dan faktor inilah yang sangat mempengaruhi adanya perlindungan hukum terhadap pasien.
50
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. Ridwan, HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Hal. 279289. 51
63
Dalam pemberian layanan kesehatan menyangkut hubungan antara tenaga kesehatan
dan
konsumen
(pasien)
telah
lama
mengemuka
pentingnya
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak tersebut. Menurut peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan disini terdiri atas : 1.
Tenaga Medis
2.
Tenaga Keperawatan
3.
Tenaga Keparmasian
4.
Tenaga Kesehatan Masyarakat
5.
Tenaga Gizi
6.
Tenaga Keterapian Fisik dan
7.
Tenaga Keteknisan Medis Perlindungan hukum terhadap pasien akan tercipta apabila tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugasnya dapat sesuai dengan asas-asas yang melandasi pelayanan kesehatan yaitu asas khusus yang meliputi: asas tepat waktu; asas legalitas; asas proporsionalitas; asas kejujuran; dan asas kebebasan memilih tindakan.52 Dengan adanya asas-asas ini dapat menampung aspirasi rakyat untuk dapat melindungi hak dan kewajibannya. Sudah tidak pada tempatnya mempertahankan hubungan yang bersifat paternalistik antara tenaga medis dan pasien. Sifat paternalistis muncul dalam ungkapan-ungkapan semacam “dokterlah yang paling
52
Yusuf Sofie, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumennya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124.
64
tahu, apa yang menurut anda baik” atau “saya pasrahkan saja pada dokter, apa yang menurut dokter merupakan tindakan terbaik”.53 Saat ini fenomena yang mengedepankan pasien tidak lagi semata-mata menerima tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis. sebab pada prinsipnya transaksi teurapetik (penyembuhan) antara dokter dan pasien bertumpu pada salah satu hak dasar manusia yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination). Dalam transaksi teurapetik ini, hubungan tenaga medis dan pasien dikuasai perikatan berdasarkan daya upaya/usaha maksimal untuk menyembuhkan pasien, tetapi tidak menjanjikan kesembuhan.54 Ketika pasien mempertanyakan salah satu hak dasar manusia yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri tadi, sebaliknya tenaga medislah yang menentukan apa yang baik atau apa yang buruk bagi pasiennya berdasarkan pertimbangan profesinya. Pertimbangan profesi inilah menimbulkan adanya ketaatan seorang tenaga kesehatan terhadap profesinya yang secara tidak langsung menimbulkan adanya perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri.55 Adanya tanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien oleh tenaga kesehatan menimbulkan adanya perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, hal ini disebabkan karena setiap orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang optimal dalam hal ini setiap pasien yang diberikan pelayanan kesehatan berhak dan wajib mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dari tenaga kesehatan.
53
Yusuf Sofie, Ibid, hal .124. Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Tama Jaya, Jakarta, hal. 42. 55 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran, Grafiti Pers, Jakarta, hal. 26-27. 54
65
Sedang sakit atau tidak, setiap anak manusia memang memerlukan pelayanan kesehatan. Mereka pada dasarnya ingin tetap sehat jasmani dan rohani, malah sebagian orang menginginkan derajat kesehatan yang lebih tinggi. Diakui atau tidak saat ini sedang terjadi perubahan pola prilaku interaksi antara penyedia jasa dan penerima jasa kesehatan. Pasien tidak lagi semata-mata orang sakit yang memerlukan pertolongan dokter. Terjadi pergeseran orientasi dari pelayanan kesehatan beralih ke industry kesehatan. Beberapa peralatan canggih seperti ultrasonografi (USG), Skaning Tomografi Komputer (CTS), dan Litoripsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal (ESWL) merupakan investasi yang tergolong mahal bagi penyedia jasa layanan kesehatan, namun disini penyedia layanan kesehatan juga harus dapat bertindak hati-hati terhadap pelayanan kesehatan yang diberikannya agar tidak merugikan pasien.56 Dari penjelasan diatas maka factor yang mempengaruhi adanya perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen adalah adanya peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pasien dan konsumen sehingga mengharuskan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya atau pada saat memberikan pelayanan kesehatan diwajibkan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hal ini adanya Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan-batasan tertentu kepada pemberi pelayanan kesehatan agar pada saat memberikan pelayanan kesehatan tidak
56
Yusuf Sofie, op, cit, hal. 134.
66
bertentangan atau melanggar ketentuan dari kedua Undang-undang tersebut, bahkan kepada institusi kesehatan seperti rumah sakit terdapat Undang-undang tersendiri yaitu UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dan bagi tenaga kesehatannya terdapat UU No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan serta Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kesehatan yang harus diberikan kepada pasien. Dengan adanya peraturan perundang-undangan serta peraturan menteri ini akan dijadikan pedoman pada saat melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien sehingga secara langsung mempengaruhi adanya perlindungan hukum terhadap pasien. Selain harus patuh terhadap peraturan perundang-undangan, tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan harus patuh terhadap etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Etika profesi adalah norma-norma, nilai-nilai, atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan atau “jasa” kepada masyarakat. Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku bertindak bagi petugas atau profesi kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat.57 Setelah membahas mengenai tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan yang harus
mematuhi peraturan sebagai
faktor yang
mempengaruhi adanya
perlindungan hukum terhadap pasien, disini juga tidak terlepas pada peran serta dari pasien untuk memperoleh perlindungan hukum tersebut. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa pasien mempunyai hak dan kewajiban, berkaitan dengan hak dan kewajiban inilah yang menentukan adanya perlindungan hukum
57
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rieneka Cipta, Jakarta, hal. 36.
67
terhadap pasien, untuk mendapatkan haknya pasien juga harus memenuhi kewajibannya, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatnnya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter atau tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan seperti kewajiban untuk memberikan informasi, kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan, kewajiban untuk berterus terang apabila timbulnya masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan, kewajiban memberikan imbalan jasa, dan kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan.58 Itulah faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen kesehatan, jadi adanya perlindungan hukum tersebut dipengaruhi oleh adanya peraturan hukum dan kode etik tenaga kesehatan yang diharuskan memberikan pelayanan kesehatan yang benar dalam upaya melindungi pasien dan dalam perlindungan hukum itu sendiri, pasien berperan untuk melindungi dirinya sendiri dengan cara melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
58
Bahder Johan Nasution, Op,Cit, hal. 34.
68
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis sosiologis atau yang sering disebut dengan pendekatan yuridis empiris dan dengan menggunakan konsep yang ke 4, dengan mengkaji Law as it in society, yaitu Hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Pengertian dari yuridis sosiologis adalah suatu pendekatan yang memandang hukum sebagai suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial lainnya. 59 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan, dan juga prilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain peneliti yang mempergunakan metode kualitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut.
B. Metode Penelitian Dalam Penelitian ini digunakan metode penelitian sebagai berikut: 1.
59
Survey
Ronny Soemitro Hanitijo, 1988, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia. Hlm. 14.
69
Survey yaitu suatu teknik penelitian yang ditujukan untuk mangkaji situasi sosial atau institusional guna menemukan insidensi, distribusi, relasi dan interelasi relatif dari konstruk-konstruk penelitian, seperti nilai-nilai, persepsi, aspirasi, motivasi dan prilaku individual.60 Dipilihnya metode ini didasarkan pada alasan bahwa, penggunaan metode ini berkaitan dengan teknik wawancara dalam tahap pengumpulan informasi faktual. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Fred N. Kerlinger yang menyatakan bahwa : ”Penelitian survey yang terbaik menggunakan wawancara pribadi sebagai metode utama pengumpulan informasi. Informasi Faktual yang dikumpulkan dalam survey mencakup apa yang disebut sebagai data sosiologis”.61 2. Studi Observasi Observasi adalah teknik penelitian dengan cara melakukan pengamatan terhadap objek penelitian yang berupa situasi sosial yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Dipilihnya metode ini, karena peneliti secara langsung dapat mengamati sendiri semua sikap dan prilaku tenaga kesehatan dan pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan. Instrumen yang digunakan dalam studi observasi ini yaitu : 1. Anecdotal record yang juga disebut riwayat kelakuan adalah catatan-catatan yanbg dibuat peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
60
Noeng Muhadjir, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Rekesarasin, Yogyakarta, hal. 44-47. 61 Fred. N. Kerlinger, 1990. Asas-asas Penelitian Bihavioral, Penterjemah Landung R. Simatupang, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 663.
70
2. Catatan berkala yaitu peneliti tidak mencatat macam-macam kejadian khusus melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. 3. Check list yaitu suatu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan di bidang lain. 4. Rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkatannya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatannya. 5. Mechanical devices yaitu observasi yang menggunakan alat-alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. 3.
Dokumentasi Metode Dokumentasi adalah suatu teknik penelitian untuk keperluan
mendeskripsikan secara obyektif, sistematis dan kualitatif terhadap setiap bahan tertulis atau film (dokumen-dokumen) yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Dokumen ini dapat dipandang sebagai narasumber yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, meskipun dokumen hanya dapat bereaksi sejauh apa yang tertulis, namun banyak yang dapat ditafsirkan dari tulisan itu, tidak tersurat akan tetapi tersirat.
71
C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara deskripsi analisis, adalah suatu penelitian yang bertujuan bukan semata-mata untuk mengungkapkan atau menggambarkan kesesuaian perundang-undangan dalam realita kehidupan masyarakat belaka, akan tetapi juga untuk memahami pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut berlandaskan pada peraturan hukum dengan memahami apa yang menjadi latar belakang dari pelaksanaan tersebut.62
D. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. Pemilihan Lokasi ini didasarkan pada : 1. Sebagai penduduk kota Tasikmalaya, Peneliti ingin mengetahui bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD Tasikmalaya terhadap pasiennya. 2. Sebagaimana yang tercantum di dalam Profil RSUD Tasikmalaya, RSUD Tasikmalaya mempunyai visi dan misi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada pasien, untuk itulah peneliti ingin mengetahui apakah peningkatan pelayanan kepada pasien juga mempengaruhi terhadap perlindungan hukum kepada pasien yang diberikan pelayanan kesehatan oleh RSUD Tasikmalaya.
62
Soerjono Soekanto, op. cit., Hlm 250.
72
E. Informan Penelitian Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai informan adalah beberapa pasien RSUD
Tasikmalaya
dan
beberapa
pejabat/tenaga
kesehatan di
RSUD
Tasikmalaya, yang dimaksud pejabat disini adalah para medis yang menduduki posisi tertentu yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Tasikmalaya.
F. Metode Informan Penelitian Dalam Penelitian ini pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling, atas dasar apa yang diketahui tentang variasi-variasi yang ada atau elemen-elemen yang ada.63 Menurut Sugiono64, teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini adalah orang yang dianggap tau tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti. Digunakan metode ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien RSUD Tasikmalaya, diasumsikan sama-sama mengetahui penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Tasikmalaya;
b.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien RSUD Tasikmalaya, diasumsikan merupakan pelaku yang benar-benar
63
Sanapiah Faesal, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh (Y A3), Malang, hal. 21-22. 64 Sugiono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Alfabeta, Bandung, hal. 219.
73
menguasai
permasalahan
mengenai
pelayanan
kesehatan
di
RSUD
Tasikmalaya secara menyeluruh dengan segala aspek prilakunya; c.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu dan dokter di RSUD Tasikmalaya telah cukup waktu dan intensif menyatu dengan tugas dan wewenangnya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien, yang tidak sekedar mengetahui dan dapat memberikan informasi, melainkan juga telah menghayatinya secara serius terhadap profesinya;
d.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien RSUD Tasikmalaya, berdasarkan budayanya diasumsikan dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu, tetapi masih relatif lugu dan apa adanya. Untuk pemilihan Informan berikutnya, digunakan metode Snow Ball
Sampling (Bola Salju), sehingga pemilihan informan berkembang mengikuti prinsip Bola Salju dan pilihan Informan akan berhenti, apabila tidak ditemukan informasi baru. Berdasarkan pada metode di atas, maka akan diperoleh Informan Kunci yang direncanakan sebanyak 9 (sembilan) Informan, yang terdiri dari 6 (enam) orang pejabat RSUD Tasimalaya/ Dokter penanggung jawab dari setiap jenis pelayanan medis/tenaga kesehatan di RSUD Tasikmalaya dan 3 (tiga) orang pasien dan/atau keluarganya, di mana informan ini adalah aktor yang secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Tasikmalaya.
74
G. Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam data agar tercapai kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu : 1) Data Primer Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data ini diperoleh langsung dari informan dengan wawancara kepada Pejabat/Dokter dengan posisi tertentu dan Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. 2) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang diluar peneliti sendiri. Dan diperlukan untuk melengkapi data primer. Data sekunder terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Menurut Bambang Sunggono, jenis bahan hukum primer yaitu peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan Hakim dan Yurisprudensi. 65 Pada penelitian ini digunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UndangUndang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan perubahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MENKES/PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 65
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 113.
75
436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literatur-literatur, kamus hukum, dan sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
H. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan dengan metode sebagai beikut : 1.
Wawancara Wawancara adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban.66 Digunakannya metode ini didasarkan pada dua alasan utama yakni : 1. Dengan wawancara peneliti dapat menggali bukan saja mencakup apa yang diketahui dan dialami informan pada saat diselenggarakannya pelayanan kesehatan, melainkan juga apa yang tersembunyi di dalam diri para pelaku; 2. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan dapat mencakup halhal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di masa lampau, masa sekarang dan juga mungkin masa mendatang. 66
Laxy J. Moleong, 1996. Metdodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosakarya, Bandung, hal. 135.
76
Teknik wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah model Wawancara Terstruktur yaitu wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.67 2. Dokumenter Metode Dokumenter adalah teknik pengumpulan data yng bersumber dari dokumen-dokumen atau bahan-bahan tertulis untuk memperoleh deskripsi kejadian secara nyata. Menurut Meleong68, dokumentasi adalah setiap bahan tertulis ataupun film, yang lain dari recording, yang telah dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Dokumentasi ini bertujuan untuk memperoleh data-data pasti tentang objek penelitian. Dokumen dari penelitian ini dapat berupa pengumuman, intruksi, aturanaturan hukum, catatan harian para pelaku, foto-foto, gambar, kliping berita media, agenda kegiatan, hasil-hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, dan hasilhasil pertemuan ilmiah seperti : seminar, lokakarya, diskusi panel, simposium dan sebagainya. 3.
Studi Kepustakaan Studi kepustakan ini dengan cara identifikasi isi yaitu pengumpulan data
dengan mengidentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundangundangan, artikel dari internet, makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan data- data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini.
67 68
S. Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.72. Meleong, 2005, Metode Peneliitan Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.161.
77
I.
Metode Pengolahan Data Informasi yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya diolah agar menjadi lebih
ringkas dan sistematis, yakni dengan menuliskan hasil wawancara rekaman dan beberapa dokumen menjadi satu bentuk laporan lapangan. Laporan lapangan ini untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan metode reduksi data, display data dan mengkategorisasikan data.69Menurut Miles dan Huberman sebagaimana yang dikutip dari bukunya Sugiono mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion/verification. Dalam proses analisis kualitatif ini terdapat tiga komponen pokok yang harus diperhatikan, yaitu70: a.
Data Reduction (reduksi data) yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
b.
Data Display (penyajian data) bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang paling sering diguanakan untuk menyajikan data adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
69
Sanapiah Faesal, Op. Cit.,hal. 158. Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Alfabeta, Bandung, hal. 247-253. 70
78
c.
Conclusion Drawing/ Verification (penarikan kesimpulan) dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti yang telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Selanjutnya dalam membuat kategorisasi data, akan ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut 71: 1.
Kategori dibuat sesuai dengan masalah dan tujuan utama penelitian;
2.
Setiap data harus dapat ditempatkan dalam satu kategori;
3.
Isi data tidak boleh termasuk dalam lebih dari satu kategori; dan
4.
Tiap kategori harus bebas dan terpisah secara nyata dan mengikuti prinsip taat asas.
J.
Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini data akan disajikan dalam bentuk Teks Naratif dan
Matriks Data. Model penyajian data dalam bentuk Teks Naratif, merupakan uraian informatif secara serempak, terfokus dan sistematis, yang memberikan gambaran verbal mengenai konsep-konsep umum yang tersusun dari gugusan fakta-fakta. Sedangkan model penyajian data dalam bentuk Matriks, yang bukan diisi dengan angka-angka kuantitatif, melainkan dengan kata-kata.72 Adapun model Matriks
71
Maria S.W. Sumardjono, 1990, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Makalah penataran Metodologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal.24. 72 Noeng Muhadjir, Op. Cit., hal. 32.
79
yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Matriks Efek atau pengaruh dan Model Matriks Tataperan.73 Matriks Efek atau Pengaruh digunakan untuk mengungkap faktor-faktor penunjang dan penghambat pelaksanaan perlindungan hukum kepada pasien dalam pelayanan kesehatan, sedangkan Matriks Tataperan, digunakan untuk menjelaskan bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan pada saat pelaksanaan pelayanan kesehatan.
K. Metode Uji Mutu Data Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini akan diguanakan teknikteknik sebagai berikut : 1. Ketekunan pengamatan, yakni suatu cara untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan masalah yang sedang diteliti dan memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci; 2. Triangulasi Data, yakni cara pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh. Adapun triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data, metode, instrumen dan bilamana perlu triangulasi peneliti.
73
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif, Penerjemah Tjepjep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 145 & 352.
80
3. Pemeriksaan Sejawat melalui media diskusi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan dengan cara mengekspos hasil penelitian sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik. Dalam penelitian ini uji mutu data yang digunakan hanya meliputi Ketekunan pengamatan, di mana peneliti dalam melakukan observasi terfokus pada sikap dan pola perilaku pasien dan Keluarga serta sikap dan pola prilaku Dokter, yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan dan triangulasi data, terutama triangulasi sumber dan triangulasi metode.
L. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini data akan dianalisis dengan menggunakan metode Kualitatif, terutama ”Content Analysis Method” dan ”Constant Comperative Analysis Method”.74 Untuk dapat mengadakan penilaian terhadap setiap data, dilakukan Analisis (Content Analysis), agar dapat menjelaskan makna-makna simbolik yang tersirat dalam bunyi setiap data dengan berpedoman pada tujuan utama penelitian. Selanjutnya dalam menjelaskan hubungan antara konsep-konsep atau kategori simbolik, data akan dianalisis dengan menggunakan metode Constant Conparative Analysis, yaitu suatu interpelasi data dengan cara membandingkan suatu konsep atau kategori simbolik tertentu dengan konsep atau kategori simbolik lainnya, dengan pola pikir secara Induktif-Kualitatif.
74
NoengMuhadjor, Op.Cit., hal. 49.
81
Penafsiran data dilakukan dengan menggunakan teknik ”Theoritical Interpretation”, dimana pada taraf permulaan, peneliti tidak membatasi diri pada satu teori, melainkan menggunakan beberapa teori yang dapat dimanfaatkan untuk memahami data. Teori dalam proses ini bukan untuk menjelaskan semua data akan tetapi memfokuskan analisis data yang mendorong untuk melakukan kajian selanjutnya. Teknik penafsiran dilakukan secara ”Interpretasi dan Diskusi”, dimana data didiskusikan dengan teori, sehingga terjadi dialog antara data di satu pihak dan teori dilain pihak. Dengan model dialog yang demikian, diharapkan pengambilan keputusan yang menyimpang sekecil mungkin dapat dihindari.
82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1.
Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya maka, berbicara mengenai
perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, maka harus melihat terlebih dahulu mengenai pengertian dari perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Hal ini diartikan bahwa adanya upaya mengenai adanya kepastian hukum itu dengan cara memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen disini berkaitan dengan adanya jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan, namun sebelumnya perlu diketahui mengenai pengertian jasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh William Stantoa dan Jetzel J. Walker dalam Bukunya Malayu. S. P. Hasibuan menyatakan bahwa 75: “Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud yang merupakan tujuan penting dari suatu transaksi guna memberikan kepuasan pada konsumen”. Jasa adalah setiap setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 ayat (5)
75
H.Malayu,S.P. Hasibuan, op, cit, 2001, Hal. 161
83
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam permasalahan yang diangkat penulis mengenai perlindungan pasien, adalah pasien di sini merupakan konsumen dalam bidang jasa medis. Perjanjian pasien dan dokter menimbulkan adanya hubungan serta akibat hukum berupa hak dan kewajiban masing- masing pihak. Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut mendorong adanya
perlindungan hukum terhadap pasien,
mengingat pasien sering dirugikan dalam pelayanan kesehatan. Perlindungan hukum terhadap pasien dianggap perlu untuk diatur lebih mendalam dan luas di dalam undang- undang yang berkaitan dengan pasien sebagai konsumen, sehingga tercipta suatu kepastian hukum mengenai perlindungan hukum pasien tersebut. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu, dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dan pasien untuk menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien. Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal baik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum. Hubungan dokter pasien dalam transaksi terapeutik itu
84
bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.76 Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal- balik. Hak tenaga kesehatan (dokter ataupun tenaga kesehatan lain) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien menjadi kewajiban tenaga kesehatan. Hubungan tenaga kesehatan dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Setiap dokter dituntut
bertindak secara profesional dan senantiasa
mengembangkan ilmunya. Sehingga pekerjaan kedokteran tidak pernah lepas dari riset dan pengembangan ilmunya sendiri. Kadangkala dokter lebih senang menggunakan metode yang sudah- sudah dan tidak mau mencari metode yang terbaik bagi pasiennya. Padahal setiap perkembangan pengobatan akan sangat berguna bagi perkembangan kesehatan pasien dan masyarakat pada umumnya. Di
samping
itu
seorang
dokter
tidak
diperbolehkan
menjalankan
kewajibannya atas dasar keuntungan pribadi. Pada dasarnya kewajiban ini akan sulit dilakukan pada era di mana kapitalisme berkuasa. Pendidikan kedokteran yang harusnya ditempuh dengan biaya murah menjadi sangat mahal. Praktis seorang yang baru saja lulus dari pendidikan kedokteran akan dibebani kewajiban untuk mengembalikan biaya pendidikan yang besar dalam tempo waktu yang
76
Endang Kusuma Astuti, op, cit, hal. 168-169.
85
sesingkat- singkatnya. Hal tersebut berpengaruh terhadap pasien dan masyarakat pada umumnya. Kesulitan masyarakat saat ini khususnya pasien adalah pembiayaan kesehatan yang mahal. Tidak hanya dokternya tetapi untuk menjangkau sarana dan prasarana kesehatan juga harus dengan usaha yang tidak sedikit. Sehingga kebanyakan upaya untuk perlindungan terhadap pasien yang merupakan bagian dari masyarakat kurang terjamin. Kepentingan pasien menjadi tolok ukur semua pengobatan. Oleh karena itu seorang dokter wajib untuk merawat pasien sesuai dengan kebutuhan pasien. Didalam Hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan yang lebih menjadi sorotan adalah hak yang didapat oleh pasien sebagai wujud dari perlindungan hukum terhadap pasien. Hak yang sangat berhubungan erat dengan pasien adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak mendapat informasi. Hal yang berkaitan dengan hak menentukan nasibnya sendiri adalah tindakan dokter terhadap pasien sesuai dengan persetujuan yang diberikan oleh pasien. Sedangkan hal yang berkaitan dengan hak mendapat informasi adalah informasi dari dokter mengenai keadaan yang berhubungan dengan pasien serta langkah- langkah untuk menanganinya. Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
86
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. 77 Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat penting. Melalui komunikasi, disini disebut sebagai wawancara maka maksud serta kehendak kedua belah pihak dapat jelas tertuang. Dengan begitu pasien mendapatkan pelayanan dan tindakan yang sesuai dengan keadaannya. Dokterpun menjalankan kewajibannya terhadap pasien sesuai dengan persetujuan yang ada, sehingga menghindarkan dari tindakan salah seorang dokter terhadap pasien. Keselamatan atau penanganan yang benar dan kenyamanan pasien adalah suatu perwujudan perlindungan terhadap pasien. Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen memang tidak hanya harus diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Konsumen tetapi juga harus dikaitkan dengan apa yang diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang mana didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban pasien, hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri.
77
Wila Chandrawila Supriadi, op, cit, hal. 19.
87
Disini peneliti melakukan penelitian secara langsung ke salah satu rumah sakit umum di kota Tasikmalaya yaitu RSUD Tasikmalaya guna melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, untuk meneliti apakah perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan sudah ada atau dapat dilaksanakan atau belum, peneliti menganalisis dari Undang-undang yang berkaitan dengan pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan yaitu dengan menganalisis hak pasien, karena untuk menilai ada atau tidaknya perlindungan terhadap pasien maka yang lebih diutamakan adalah pemenuhan hak dari pasien itu sendiri dan peniliti menganalisis dengan mengkaji UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Konsumen, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yaitu sebagai berikut : Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah: a) b)
c) d) e) f) g)
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
88
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Perlindungan Pasien Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56 yang berbunyi : (1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. (2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat. (3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 yang berbunyi : (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut. Pasal 58 yang berbunyi : (1)Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
89
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 adalah: a)
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3); b) meminta pendapat dokter atau dokter lain; c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d) menolak tindakan medis; e) mendapatkan isi rekam medis. Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu: a) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; b) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; d) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; g) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; i) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya; j) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; k) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; o) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
90
p) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan keempat Undang-undang tersebut maka peneliti secara garis besar menyimpulkan bahwa ada 5 (lima) jaminan hak pasien yang harus dipenuhi oleh pihak rumah sakit agar perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan dapat terpenuhi yaitu : 1.
Jaminan Untuk Mendapat Informasi Pada Saat Diberikan Pelayanan Kesehatan
2.
Jaminan Atas Keamanan, Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan Kesehatan
3.
Jaminan Atas Persamaan Hak Dalam Pelayanan Kesehatan
4.
Jaminan Atas Kebebasan Memilih Atas Pelayanan Keperawatan
5.
Jaminan Atas Kebebasan Untuk Menuntut Hak-hak Yang Dirugikan Setelah menyimpulkan jaminan hak tersebut maka peneliti dalam melakukan
penelitiannya menggunakan metode wawancara kepada pasien, dokter/tenaga kesehatan serta pejabat rumah sakit, seperti yang direncanakan sejak awal peneliti melakukan wawancara kepada 9 (sembilan) Informan sebagai narasumber dan informan kunci yaitu kepada 3(tiga) orang dokter (informan kunci), 1 (satu) pejabat rumah sakit), 2 (dua) perawat dan 3 (tiga) pasien/keluarga pasien yang bertempat di RSUD Tasikmalaya.
91
Dari hasil penelitian tersebut kemudian hasil penelitian dibuat dalam bentuk Matriks sebagai berikut :
92
Matriks 1 : Jaminan Atas Informasi Atas Pelayanan Kesehatan NAMA SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN INFORMAN “U” “kami memberikan informasi mengenai penyakit (Dokter) yang diderita oleh pasien seperti diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi”. “ saya rasa pasien dapat mengerti mengenai apa yang saya jelaskan karena memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien” “saya juga harus merahasiakan kondisi pasien kepada orang lain karena merupakan kode etik sebagai dokter” “informasi mengenai tata tertib atau peraturan yang ada di rumah sakit biasanya dikasi tau” “V” (Pejabat Rumah Sakit)
“setelah pasien datang dokter menjelaskan langsung kepada pasien mengenai informasi tersebut kepada pasien dan pertimbangan-pertimbangan atas dugaan tindakan yang akan dilakukan juga disampaikan langsung kepada pasien dan nantinya juga ada inform concent. dokter menjelaskan dengan baik mengenai kondisi pasien tersebut dan saya rasa pasien mengerti dengan apa yang dijelaskan pasien
MAKNA TEMA
IMPLIKASI
Pemberian informasi medis Penjelasan kondisi penyakit pasien Kerahasiaan medis Pemberian Informasi tata tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas informasi medis kerahasiaan medis dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan kepada pasien pada saat diberikan pelayanan kesehatan.
pemberian informasi medis pemberian inform concent kepada pasien penjelasan kondisi penyakit pasien kerahasiaan medis sebagai kode etik dokter pemberian informasi
Baik, jaminan atas informasi, kerahasiaan dan pencegahan penyakit dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan pada saat diberikan pelayanan kesehatan
93
“Bunga” (Pasien)
mengenai kerahasiaan penyakit pasien saya rasa itu merupakan suatu keharusan dan hal tersebut berkaitan dengan kode etik yang dimiliki oleh seorang dokter. Mengenai informasi tata tertib hal tersebut sudah tercantum secara jelas di setiap sudut rumah sakit yaitu dengan adanya papan informasi bagi siapa saja yang datang ke rumah sakit dan dapat dibaca oleh para pengunjung rumah sakit misalnya mengenai ketentuan anak yang masih dibawah umur tidak boleh masuk ke ruangan pasien atau mengenai jam besuk pasien selain itu juga jika ada keluarga pasien yang menginap akan ada surat izin untuk menginap dan hal tersebut akan diinformasikan kepada keluarga pasien”. “iya, dokter menjelaskan mengenai informasi penyakit yang diderita oleh anak saya” “saya tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh dokter karena memakai bahasa kedokteran”. “mengenai kerahasiaan penyakit anak saya, saya tidak tau, saya serahkan sepenuhnya kepada dokter” “saya mengetahuinya dari papan mengenai tata tertib di rumah sakit ini”
tata tertib rumah sakit pencegahan penyakit menular kepada pasien
Pemberian Informasi Medis Pemberian Informasi tata tertib rumah sakit
Baik, namun belum dilaksanakan sepenuhnya karena pasien masih tidak mengerti dengan informasi yang diberikan dan tidak mengetahui mengenai kerahasiaan medis
94
“W” (Dokter)
“X” (Perawat)
“Bisma” (Pasien)
“Mengenai informasi seperti diagnosis, tata cara tindakan medis tujuan tindakan medis, alternatif tindakan medis, alternatif tindakan medis, tujuan tindakan medis resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis semuanya dilakukan “saya menjelaskan sedetail mungkin sampai pasien mengerti dengan kondisi penyakit pasien tersebut” “saya menjelaskan kondisi pasien kepada keluarganya jadi tidak sembarang orang saya beritahukan mengenai kondisi pasien.” “mengenai tata tertib biasanya dikasi tau”.
“iya, biasanya memang dokter menjelaskan mengenai informasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pasien tersebut kepada pasien atau keluarganya “saya kira pasien mengerti dengan apa yang dijelaskan dokter” “ mengenai kerahasiaan saya tidak tau” “biasanya sebelum ke ruangan perawatan pasien diberi informasi mengenai tata tertib”. “iya, dokter sudah memberikan informasi tersebut kepada saya”. “saya kira sejauh ini saya mengerti mengenai apa
Pemberian Informasi Medis Penjelasan kondisi penyakit pasien Kerahasiaan medis Pemberian informasi tata tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas informasi, kerahasiaan dan pencegahan penyakit dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan pada saat diberikan pelayanan kesehatan
Pemberian Informasi Medis Kerahasiaan Medis Pemberian Informasi tata tertib rumah sakit
Baik, Jaminan atas informasi medis dalam pelayanan kesehatan telah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan
Pemberian Informasi Medis Penjelasan kondisi
Baik, Jaminan atas Informasi medis dalam pelayanan
95
“Y” (Dokter)
“Z” (Perawat)
yang dijelaskan oleh dokter .” “Mengenai kerahasiaan saya tidak tau”. “Mengenai tata tertib saya membacanya dari tulisan atau banner yang bertuliskan tata tertib rumah sakit”.
“Iya,saya menjelaskan mengenai informasi kondisi pasien tersebut” “saya rasa pasien mengerti dengan apa yang saya jelaskan” “mengenai kerahasiaan memang harus dilakukan” “iya, pasien diberikan informasi mengenai tata tertib”
“Pasti, dokter menjelaskan mengenai informasi tersebut kepada pasien dan ada Inform concent” “saya kira pasien mengerti, dokter biasanya menanyakan pendidikannya apa, kalau pasiennya tidak mengerti mengenai apa yang dijelaskan maka dokter akan berusaha menjelaskannya kembali dengan bahasa yang bisa dimengerti” “kondisi pasien harus dirahasiakan karena merupakan kode etik”. Iya, dikasi informasi namun biasanya sudah ditempel ditiap sudut ruangan di rumah sakit
penyakit pasien Pemberian informasi tata tertib rumah sakit
kesehatan telah dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan dan dapat diterima oleh pasien
Pemberian Informasi Medis Penjelasan mengenai kondisi penyakit pasien Kerahasiaan medis Pemberian informasi tata tertib rumah sakit
Baik, Jaminan atas informasi medis dalam pelayanan kesehatan telah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan
Pemberian informasi medis Pemberian inform concent kepada pasien Penjelasan kondisi penyakit pasien Kerahasiaan medis sebagai kode etik dokter Pemberian informasi tata tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas informasi, kerahasiaan dan pencegahan penyakit dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan pada saat diberikan pelayanan kesehatan
96
“Melati” (Pasien)
“Iya , setelah mendiagnosis waktu itu dokter memberikan informasi mengenai penyakit apa yang diderita”. “saya kira dokter menjelaskan dengan bahasa kedokteran yang rumit sedangkan kita adalah orang awam yang sudah pasti tidak mengerti mengenai apa yang dijelaskan oleh dokter tersebut”. “mengenai kerahasiaan saya tidak tau” “saya membacanya dari tulisan atau banner yang bertuliskan tata tertib rumah sakit”.
Pemberian Informasi Medis Pemberian Informasi tata tertib rumah sakit
Baik, namun belum dilaksanakan sepenuhnya karena pasien masih tidak mengerti dengan informasi yang diberikan dan tidak mengetahui mengenai kerahasiaan medis
97
Dilihat dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa salah faktor yang paling penting dan untuk melihat sejauh mana adanya perlindungan hukum di suatu rumah sakit adalah terpenuhinya hak-hak pasien yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan informasi. Hak atas informasi ini terproses secara evolusi, sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Inti dari hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya, dalam hal terjadi hubungan dokter dan pasien, adalah tindakan yang baik bila dokter mginformasikan kepada pasien tentang kesehatannya. Menurut JF.Rang dalam bukunya Hermien Hadiati Koeswadji hak informasi merupakan hak pasien, ia memberikan perumusan terhadap hak pasien tersebut sebagai berikut 78: “ Bagian hukum kesehatan yang khusus mengatur tentang hak dan kewajiban manusia yang bersangkutan dengan penerimaan perawatan kesehatan karena ia sakit atau mencegah agar ia tidak menjadi sakit” Dilihat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”. Sebagai hasil dari wawancara kepada dokter, perawat dan pejabat rumah sakit hampir semuanya menyebutkan bahwa mereka telah memberikan informasi yang
78
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum dan Masalah Medik, Erlangga University Press, Surabaya, hal. 59.
98
dibutuhkan oleh pasien, salah satunya ketika peneliti mewawancarai seorang dokter sebut saja dokter “U” yang menyebutkan bahwa79: “kami memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien seperti diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi”.
Peneliti juga tidak hanya menanyakan hal tersebut kepada dokter atau tenaga kesehatan yang berada di rumah sakit, namun juga kepada pasien atau keluarga pasien mengenai informasi tersebut, apakah memang tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan telah memberikan informasi yang diperlukan oleh pasien, dan dari hasil wawancara kepada pasien tersebut memang semuanya menyatakan bahwa pasien telah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, seperti wawancara yang dilakukan kepada keluarga pasien sebut saja namanya “Melati” yang menyebutkan bahwa 80: “Iya, setelah mendiagnosis waktu itu dokter memberikan informasi mengenai penyakit apa yang diderita”. Setelah menanyakan mengenai informasi yang diberikan tentunya, informasi yang diberikan tersebut harus dapat dimengerti oleh pasien, disini pasien sebagai konsumen kesehatan dapat dilihat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang berbunyi : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Dilihat dari undang-undang perlindungan konsumen maka sudah jelas bahwa informasi yang diberikan haruslah benar jelas dan jujur, dalam hal ini informasi 79 80
Wawancara dengan dokter U : tanggal 1September 2012 Wawancara dengan keluarga pasien 27 Agustus 2012
99
yang diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit harus dapat dimengerti oleh pasien, dan dari hasil wawancara kepada pejabat rumah sakit sebut saja namanya “V” menyebutkan bahwa 81: “ saya rasa pasien dapat mengerti mengenai apa yang saya jelaskan karena memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien” Dari wawancara yang dilakukan kepada pejabat rumah sakit tersebut maka harus menanyakan hal tersebut kepada pasien sebagai orang yang diberikan pelayanan kesehatan dan dari hasil wawancara kepada pasien, hampir semua pasien kurang bahkan tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh dokter atau tenaga kesehatan karena menurut pasien informasi yang diberikan memakai bahasa kedokteran yang susah untuk dimengerti oleh pasien, seperti wawancara yang dilakukan kepada salah seorang pasien yang yang bernama “Melati” menyebutkan bahwa : “saya kira dokter menjelaskan dengan bahasa kedokteran yang rumit sedangkan kita adalah orang awam yang sudah pasti tidak mengerti mengenai apa yang dijelaskan oleh dokter tersebut”. Dari hasil temuan peneliti hal tersebut memang sangat wajar terjadi walaupun informasi telah diberikan kepada pasien namun belum tentu pasien mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh dokter dan menurut pendapat peneliti sebaiknya memang dokter memberikan penjelasan secara jelas dengan hanya menyebutkan intinya saja dengan memakai bahasa sehari-hari atau yang dapat dimengerti oleh pasien, jika pasien masih belum mengerti maka dokter lebih baik memanggil keluarga dari pasien tersebut dan menjelaskan kepada keluarga pasien yang sekiranya dapat menangkap informasi dari dokter dengan baik. 81
Wawancara dengan pejabat rumah sakit “V” : tanggal 1 Agustus 2012.
100
Dari informasi mengenai penyakit pasien tentunya penyakit pasien harus diterangkan kepada pasien atau keluarganya dengan baik namun tidak sembarang orang dapat mengetahui penyakit dari pasien tersebut dan dokter harus merahasiakan informasi mengenai penyakit pasien tersebut kepada orang lain, keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama “rahasia kedokteran”. Dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien, penyakit pasien dan kewajiban dokter ini merupakan hak pasien. Menurut Soedjono Soekanto rumusan rahasia medis seperti yang tercantum dalam beberapa literatur medis yaitu 82: “segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien (secara sadar dan tidak sadar) kepada dokter dan segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien” Hal ini tercantum di dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 huruf i yaitu pasien berhak : “mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya”. Dari wawancara kepada tenaga kesehatan di rumah sakit hampir semua mengatakan bahwa mereka diharuskan untuk merahasiakan penyakit pasien kepada orang lain. Seperti keterangan dari wawancara yang dilakukan kepada pejabat rumah sakit sebut saja namanya “U” yang mengatakan bahwa : “mengenai kerahasiaan penyakit pasien saya rasa itu merupakan suatu keharusan dan hal tersebut berkaitan dengan kode etik yang dimiliki oleh seorang dokter”.
82
Soedjono Soekanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung, hal. 5.
101
Setelah mendengar keterangan dari tenaga kesehatan kemudian peneliti juga menanyakannya kepada pasien mengenai kerahasiaan penyakitnya, namun dari semua keterangan pasien semuanya tidak tau mengenai apakah dokter merahasiakan penyakitnya atau tidak, semua pasien yang menjadi informan mengatakan : “mengenai kerahasiaan saya tidak tau” Dari temuan peneliti hal tersebut terdengar sangat aneh karena pasien tidak mengetahui bahwa penyakitnya harus dirahasiakan kepada orang lain oleh dokter yang memeriksanya, informasi yang diberikan kepada pasien tidak boleh dokter beritahukan kepada orang lain tanpa izin dari pasien tapi karena pasien tidak mengetahui mengenai hal ini maka kerahasaiaan mengenai penyakit pasien ini menjadi pertanyaan, apakah dokter telah benar-benar menjaga kerahasiaan atas informasi penyakit pasien sebagai kode etik dari seorang dokter atau tidak, karena pasien tidak mengatakan agar dokter menjaga kerahasiaan penyakitnya. Berkaitan dengan informasi pasien juga diharuskan untuk mengetahui tata tertib yang ada dirumah sakit sebagaimana yang tercantum di dalam Undangundang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yaitu pasian berhak : “ memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit” Hal tersebut juga ditanyakan kepada tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit dan dari wawancara kepada pejabat rumah sakit sebut saja namanya “V” yang mengatakan bahwa : “Mengenai informasi tata tertib hal tersebut sudah tercantum secara jelas di setiap sudut rumah sakit yaitu dengan adanya papan informasi bagi siapa saja yang datang ke rumah sakit dan dapat dibaca oleh para pengunjung rumah sakit
102
misalnya mengenai ketentuan anak yang masih dibawah umur tidak boleh masuk ke ruangan pasien atau mengenai jam besuk pasien selain itu juga jika ada keluarga pasien yang menginap akan ada surat izin untuk menginap dan hal tersebut akan diinformasikan kepada keluarga pasien”. Kemudian dari wawancara kepada pasien penelliti memastikan hal tersebut kepada pasien dan memang semua mengatakan hal yang sama yaitu: “saya mengetahuinya dari papan mengenai tata tertib di rumah sakit ini” Dari temuan peneliti mengenai tata tertib atau peraturan rumah sakit memang sudah ada atau disediakan oleh pihak rumah sakit dengan menempelkannya ditiap sudut rumah sakit atau bisa disebut dengan papan informasi, dan menurut penilaian peneliti hal tersebut sudah cukup memberikan informasi kepada pasien mengenai tata tertib rumah sakit, namun alangkah baiknya agar peraturan atau tata tertib tersebut dapat dijelaskan kembali kepada pasien yang dirawat walaupun hanya intinya saja, hal ini untuk menghindari adanya kesalahpahaman dari pasien dan tenaga kesehatan, agar pasien mengerti bahwa tata tertib tersebut harus dipenuhi dan tidak menyinggung pasien dan pasien tidak merasa haknya terganggu. Sebagaimana yang diatur didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 huruf c yang berbunyi konsumen memiliki : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa” Dari hak atas informasi dokter atau tenaga kesehatan dituntut untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Pada pelaksanaannya pemberian informasi yang benar, jelas dan jujur itu memang sulit untuk dilaksanakan, walaupun pada kenyataannya dokter atau tenaga kesehatan merasa
103
telah melakukan hal tersebut, namun belum tentu hal tersebut telah dirasakan oleh pasien, karena apa yang menurut dokter atau tenaga kesehatan telah cukup tidak berarti cukup juga untuk pasien. Secara Keseluruhan pelayanan kesehatan pasien yang berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur dalam pelayanan kesehatan sudah baik dan dapat dilaksanakan secara sepenuhnya hal tersebut dapat dibuktikan dengan keterangan dari dokter sebagai informan kunci serta tenaga kesehatan yang lain yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik serta pasien yang menyatakan bahwa dokter/ tenaga kesehatan pada saat memberikan pelayanan kesehatan telah memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien. Berdasarkan temuan peneliti dari hasil wawancara kepada pasien, dokter/tenaga kesehatan serta pejabat rumah sakit ada terdapat informasi yang berkaitan dengan kerahasiaan medis, pencegahan penyakit menular serta kode etik sebagai seorang dokter namun yang paling dominan disini memang mengenai informasi medis, dan hal ini juga menunjukan bahwa jaminan pasien untuk mendapatkan informasi atas pelayanan kesehatan telah dilaksanakan dengan implikasi baik dan dapat dapat diterima oleh pasien.
104
Matriks 2 : Jaminan Atas Keamanan, Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan Kesehatan NAMA SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN MAKNA TEMA INFORMAN “U” “Iya, pasien diberikan jaminan keamanan, Pemberian jaminan (Dokter) keselamatan dan kenyamanan selama dirawat keamanan, kenyamanan dirumah sakit.” dan keselamatan di rumah sakit
IMPLIKASI Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit.
“V” (Pejabat Rumah Sakit)
“saya rasa iya, karena disini ada satpam yang Pemberian jaminan selalu menjaga 24 jam, dan mengenai keamanan, kenyamanan keselamatan dan kenyamanan tentu saja ada dan keselamatan di rumah yaitu dengan adanya pemisahan ruangan sesuai sakit dengan penyakit pasien dan kepada pasien yang mempunyai penyakit menular akan dipisahkan Pencegahan penularan ruangannya.” penyakit
Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit.
“Bunga” (Pasien)
“Iya, saya disini merasa aman dan nyaman.”
Pemberian jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan di rumah sakit
Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit dan dapat diterima oleh pasien
105
“W” (Dokter)
“Iya, mengenai keamanan, kenyamanan dan keselamatan kita sudah ada SOP-SOP khusus sesuai dengan standarnya.”
Pemberian Jaminan Keamanan,Kenyamanan dan Keselamatan Penerapan Standar Operasional Prosedur
Baik, jaminana keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya sebagai standar prosedur rumah sakit (SOP)
“X” (Perawat)
Iya, hal tersebut juga berkaitan dengan standar Pemberian Jaminan operasional rumah sakit yang mengharuskan Keamanan,Kenyamanan adanya jaminan keamanan, keselamatan dan dan Keselamatan kenyamanan selama di rawat di rumah sakit.” Penerapan Standar Operasional Prosedur
Baik, jaminana keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya sebagai standar prosedur rumah sakit (SOP)
“Bisma” (Pasien)
“Saya kira dalam hal ini saya merasa aman dan Pemberian jaminan nyaman” keamanan, kenyamanan dan keselamatan di rumah sakit
Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit dan dapat diterima oleh pasien
106
“Y” (Dokter)
“Iya, pasien diberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan selama dirawat di rumah sakit”
Pemberian Jaminan Keamanan,Kenyamanan dan Keselamatan
Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit.
“Z” (Perawat)
“saya rasa iya, misalnya untuk kenyamanan dari pasien orang yang menjenguk pasien dibatasi, untuk keamanannya ada satpam yang mengawasi, dan untuk keselamatannya ada ruang isolasi pada pasien yang mempunyai penyakit menular, supaya tidak menularkan penyakitnya kepada pasien lain.”
Pemberian Jaminan Keamanan,Kenyamanan dan Keselamatan
Baik, jaminan keamanan,kenyamanan dan keselamatan dilaksanakan sepenuhnya, dengan ditaatinya tata tertib rumah sakit serta pencegahan penularan penyakit kepada pasien.
“Melati” (Pasien)
Penerapan tata tertib rumah sakit Pencegahan penularan penyakit kepada pasien
“Saya kira iya, saya cukup aman, nyaman Pemberian jaminan walaupun belum sepenuhnya”. keamanan, kenyamanan dan keselamatan di rumah sakit
Baik,jaminan keamanan,kenyamanan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak rumah sakit dan dapat diterima oleh pasien
107
Berdasarkan
Matriks
tersebut
dapat
dijelaskan
bahwa
Keamanan,
Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan Kesehatan merupakan hak dari pasien yang harus dipenuhi oleh dokter atau tenaga kesehatan dan yang paling berperan tentu saja dari pihak rumah sakit karena rumah sakit harus memberikan jaminan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan pada saat memberikan pelayanan kesehatan dan pada saat pasien dirawat di rumah sakit. Dalam kegiatan pelayanan medis yang dilakukan rumah sakit tentunya terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang mengatur, terutama menyangkut tanggung jawab, baik menajemen rumah sakit maupun tenaga personalia, dokter, tenaga perawat, dan hal lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit. Kaidah-kaidah atau aturan-aturan tersebutlah yang dimaksud dengan hukum rumah sakit. Berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan tentunya ini merupakan kewajiban dari rumah sakit ketika memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan terhadap pasien. Menurut J. Guwandi merumuskan bahwa 83: “Kesemua kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perumasakitan dan pemberian pelayanan kesehatan di dalam rumah sakit oleh tenaga kesehatan serta akibat-akibat hukumnya” Hal ini juga tercantum didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 huruf a yaitu konsumen memiliki : “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa” Sejalan dengan hal tersebut didalam Undang-undang Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pada Pasal 32 huruf n yaitu pasien berhak : 83
J. Guwandi, 1991, Hukum dan Rumah Sakit, FK UI, Jakarta, hal. 12.
108
“memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit” Dari hal tersebut sudah jelas bahwa keamanan, kenyamanan dan keselamatan pasien sangat penting. Dari hasil wawancara kepada tenaga kesehatan di rumah sakit semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa pasien diberikan jaminan atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan, seperti hasil wawancara kepada salah satu perawat sebut saja namanya “Z” mengatakan bahwa 84: “saya rasa iya, misalnya untuk kenyamanan dari pasien orang yang menjenguk pasien dibatasi, untuk keamanannya ada satpam yang mengawasi, dan untuk keselamatannya ada ruang isolasi pada pasien yang mempunyai penyakit menular supaya tidak menularkan penyakitnya kepada pasien lain.” Sesuai dengan yang dikatakan oleh perawat tersebut, pasien juga mengatakan hal yang sama, semua pasien yang menjadi informan juga mengatakan bahwa mereka cukup aman dan nyaman selama dirawat di rumah sakit seperti pernyataan yang dikatakan oleh salah seorang pasien sebut saja namanya “Bisma” yang mengatakan bahwa 85: “Saya kira dalam hal ini saya merasa aman dan nyaman” Dari hasil temuan peneliti, rumah sakit memang telah memberikan jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan yang baik kepada pasiennya karena itu merupakan kewajiban dari rumah sakit dan merupakan standar operasional prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan sebagai pedoman rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Dalam hal ini rumah sakit telah melaksanakan standar operasional prosedur tersebut dengan baik.
84 85
Wawancara dengan perawat Z : tanggal 27 Agustus 2012. Wawancara dengan keluarga pasien Bima : tanggal 11 Agustus 2012
109
Secara keseluruhan pemberian jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan terhadap pasien selama mendapatkan pelayanan kesehatan sudah dilaksanakan dengan implikasi baik dan dapat diterima oleh pasien, hal ini dapat dibuktikan dari keterangan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit yang menyatakan bahwa pemberian keamanan, kenyamanan dan keselamatan kepada pasien sudah dilakukan seperti adanya petugas keamanan yang disediakan pihak rumah sakit untuk menjaga keamanan pasien, serta untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan pasien pihak rumah sakit menyediakan ruangan khusus bagi pasien yang mempunyai penyakit yang menular. Dari keterangan yang diberikan oleh pasien selama pasien diberikan pelayanan kesehatan pasien merasa sudah diberikan keamanan, kenyamanan dan keselamatan selama dirawat di rumah sakit.
110
Matriks 3 :Jaminan Persamaaan Hak Dalam Pelayanan Kesehatan NAMA SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN INFORMAN “U” “tindakan diskriminatif tidak boleh dilakukan (Dokter) oleh tenaga kesehatan kepada pasien”.
“V” (Pejabat Rumah Sakit)
“saya rasa tenaga kesehatan/rumah sakit sudah memperlakukan pasien dengan baik dan tidak ada diskriminatif terhadap pelayanan yang diberikan hanya saja jika mengenai fasilitas tentunya pasti berbeda disesuaikan dengan kelas atau ruangan perawatan yang diinginkan atau dipilih oleh pasien itu sendiri”.
MAKNA TEMA
IMPLIKASI
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan di rumah sakit
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan di rumah sakit
Kebebasan pasien menentukan kelas perawatan
111
“Bunga” (Pasien)
“saya diperlakukan dengan baik disini dan tidak dibeda-bedakan baik oleh perawat ataupun oleh dokter.”
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan dan dapat diterima oleh pasien
“W” (Dokter)
“kita merasa tidak ada tindakan yg diskriminatif kepada pasien.”
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan
“X” (Perawat)
“mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan pasien jadi mengenai hal tersebut saya kurang tau.”
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Tidak Baik, karena perawat tidak mengetahui apakah pelayanan kesehatan yang diberikan non diskriminatif atau tidak
112
“Bisma” (Pasien)
“saya kira tidak ada.”
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan dan dapat diterima oleh pasien
“Y” (Dokter)
“kita merasa tidak ada diskriminatif kepada pasien”.
yang
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan
“Z” (Perawat)
“tidak, menurut saya pelayanan yang diberikan sama saja dan tidak ada tindakan yang diskriminatif”.
Pelayanan Kesehatan Non Diskriminatif
Baik, penerapan pelayanan kesehatan non diskriminatif dilaksanakan sepenuhnya oleh dokter/tenaga kesehatan
tindakan
113
“Melati” (Pasien)
“iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya merasa diperlakukan diskriminatif, mungkin pihak rumah sakit memperkirakan saya berasal dari keluarga yang tidak mampu tetapi setelah saya membayar sejumlah uang barulah saya bisa diperlakukan dengan baik dan saya merasa dipersulit”.
Pelayanan kesehatan yang Tidak Baik, karena pasien merasa diskriminatif diperlakukan diskriminatif pada saat akan diberikan pelayanan kesehatan oleh rumah sakit
114
Dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa pasien harus diberikan jaminan atas persamaan hak dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit sebagaimana yang diatur didalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 huruf g konsumen memiliki : “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 huruf c yaitu pasien berhak : “memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi” Sesuai dengan hal tersebut maka disini pasien harus diperlakukan sama atau tidak diskriminatif, dari hasil wawancara kepada dokter atau tenaga kesehatan di rumah sakit hampir semuanya menyatakan bahwa tidak ada tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit kepada pasien dan hal tersebut memang tidak diperbolehkan sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang dokter sebut saja namanya “U” yang mengatakan: “tindakan diskriminatif tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada pasien”. Sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
dokter
tersebut,
peneliti
juga
menanyakannya kepada pasien karena tentunya yang mengalami adalah pasien, dari
informan yang diwawancarai tanggapannya berbeda-beda, ada yang
menyebutkan bahwa dia diperlakukan dengan baik, seperti yang dikatakan oleh “Bunga” yang mengatakan bahwa86 :
86
Wawancara dengan keluarga pasien Bunga : tanggal 1 Agustus 2012
115
“saya diperlakukan dengan baik disini dan tidak dibeda-bedakan baik oleh perawat ataupun oleh dokter”. Namun ada juga pasien yang mengatakan sebaliknya seperti yang dikatakan oleh pasien sebut saja namnya “Melati” yang mengatakan bahwa : “iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya merasa diperlakukan diskriminatif, mungkin pihak rumah sakit memperkirakan saya berasal dari keluarga yang tidak mampu tetapi setelah saya membayar sejumlah uang barulah saya bisa diperlakukan dengan baik dan saya merasa dipersulit”. Dari keterangan yang diberikan oleh kedua pasien tersebut memang bertolak belakang satu sama lain, begitu pula dengan yang dikatakan oleh dokter, dan dengan adanya keterangan pasien yang mengatakan dia pernah dilakukan diskriminatif ketika datang ke rumah sakit, hal tersebut menimbulkan suatu pertanyaan, apakah memang benar tindakan diskriminatif tersebut telah terjadi. Berdasarkan temuan peneliti, tindakan diskriminatif bisa saja terjadi kepada pasien, seperti yang telah dijelaskan bahwa yang merasakan adalah pasien sendiri, hal tersebut seperti yang dikatakan oleh salah seorang perawat sebut saja namanya “X” yang mengatakan bahwa 87: “mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan pasien jadi mengenai hal tersebut saya kurang tau.” Sebagaimana keterangan yang diberikan perawat tersebut, memang benar bahwa perlakuan diskriminatif telah dilakukan atau tidak yang merasakan hanyalah pasien dan perlakuan diskriminatif seharusnya tidak dilakukan kepada pasien apalagi tindakan tersebut dilakukan berdasarkan latar belakang ekonomi dari pasien atau bahkan dilihat dari penampilannya, untuk itu pihak rumah sakit harus mencoba untuk bertindak netral atau memperlakukan semua pasiennya 87
Wawancara dengan perawat X : tanggal 11 Agustus 2012
116
sama. Walapun ada salah satu pasien yang menyebutkan bahwa dia telah mendapatkan perlakuan diskriminatif, namun belum tentu menunjukkan rumah sakit selalu membeda-bedakan pasien satu sama lain karena dari hasil wawancara kepada pasien lainnya menunjukkan bahwa pasien diperlakukan baik oleh rumah sakit, merupakan suatu hal yang wajar apabila ada pasien merasa tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan dan merasa dibedakan dari pasien yang lain dan dianggap sebagai tindakan yang diskriminatif. Secara keseluruhan jaminan atas persamaan hak dalam pelayanan kesehatan telah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit dengan implikasi baik, hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan yang bersikap sama kepada pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan atau tidak membeda bedakan pasien baik pasien yang umum ataupun pasien yang menggunakan jamkesmas.
117
Matriks 4 : Jaminan Atas Kebebasan Memilih Atas Pelayanan Kesehatan NAMA SUBSTANSI JAWABAN INFORMAN PENELITIAN INFORMAN “U” “jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada (Dokter) pasien, mengenai penolakan mungkin hal tersebut berkaitan dengan berbagai alasan seperti ekonomi atau adanya ketidak sepahaman dengan dokter yang merawatnya..”. “itu hak sepenuhnya dari pasien, dia boleh memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan kecuali peserta jamkesmas karena sebagian haknya hilang karena peserta jamkesmas adalah pasien yang ditanggung oleh pemerintah jadi pasien tersebut sudah ditetapkan mengenai kelas perawatannya dan tidak boleh memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya”. “pasien diminta persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan” “V” (Pejabatan Rumah Sakit)
Pernah, biasanya pasien menolak atas dasar ketidakmampuan biaya, maka biasanya dokter juga tidak dapat melarang atau mengharuskan pasien untuk menggunakan pengobatan yang akan diberikan oleh dokter karena itu merupakan hak dari pasien sendiri. “mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan
MAKNA TEMA Penentuan pengobatan oleh pasien Hak pasien untuk memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
Penentuan pengobatan oleh pasien Hak pasien untuk memilih tenaga kesehatan dan kelas
IMPLIKASI Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui
118
“Bunga” (Pasien) merupakan peserta jamkesmas
untuk memilih dan untuk dokter, hal tersebut tergantung dari kelas perawatan yang dipilih oleh pasien, kalau kelas perawatan utama dan VIP pasien boleh memilih namun di kelas perawatan III hal tersebut disesuaikan dengan pemegang atau dokter yang merawat dikelas III tersebut” “pasien diminta persetujuannya untuk dirawat”.
perawatan
“Tidak, saya mengikuti apa yang dikatakan oleh dokter saja”. “hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada rumah sakit”. “waktu saya datang ke rumah sakit, saya diminta persetujuan dahulu oleh rumah sakit.”
Pengobatan ditentukan oleh dokter
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
pengobatan yang diberikan
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
Tenaga kesehatan dan kelas perawatan ditentukan oleh rumah sakit
Baik, walaupun semuanya ditentukan oleh pihak rumah sakit, hal tersebut dikarenakan keadaan pasien yang merupakan peserta jamkesmas yang sebagian haknya hilang karena penentuan fasilitas sesuai dengan peraturan pemerintah dan hal tersebut dapat diterima oleh pasien
119
“W” (Dokter)
“X” (Perawat)
“bisa saja, tidak apa2 itu disesuaikan dengan permintaaan pasien”. “boleh, kecuali peserta jamkesmas”. “diharuskan untuk diminta persetujuannya”.
Penentuan pengobatan oleh pasien
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
Penentuan pengobatan oleh pasien
Kelas perawatan ditentukan oleh pasien
Pemilihan dokter berdasarkan rujukan
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
“pernah, dan tentu saja dokter pasti mengikuti apa yang menjadi keinginan dari pasien misalnya jika pasien kena patah tulang dan selanjutnya akan mengobatinya di alternative maka dokter tidak dapat menghalanginya dan hal tersebut diserahkan kepada keluarga pasien juga”. “iya, kami hanya sebatas memberikan pelayanan kepada pasien dan yang memutuskan adalah pasien untuk perawatan yang selanjutnya dan mengenai pemilihan dokter biasanya dengan rujukan dari perawatan yang diterima pasien sebelumnya”. “pasien pasti diminta persetujuannya”
Pemilihan tenaga kesehatan dan kelas perawatan bagi peserta Jamkesmas ditentukan oleh rumah sakit
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan
120
“Bisma” (Pasien)
“Y” (Dokter)
Penentuan pengobatan oleh pasien
Kelas perawatan ditentukan oleh pasien
Pemilihan dokter berdasarkan rujukan
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
“Jadi tergantung penyakit yang diderita pasien dan jika pasien menolak hal tersebut tergantung kepada pasien saja dan dokter juga dapat menerimanya”. “iya boleh, itu merupakan hak dari pasien, kecuali pasien jamkesmas, “pasien diminta persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan”.
Penentuan pengobatan oleh pasien
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
“Sejauh ini saya percaya sepenuhnya kepada dokter dengan pengobatan yang diberikannya namun apabila tidak ada reaksi maka akan ada tindakan alternatif lain dan saya rasa dokter akan mengijinkannya”. “tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas perawatan kita diperbolehkan untuk memilih, “mengenai persetujuan saya diminta persetujuan perawatan oleh rumah sakit”
Pemilihan tenaga kesehatan dan kelas perawatan bagi peserta Jamkesmas ditentukan oleh rumah sakit
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan dan dapat diterima oleh pasien
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan
121
“Z” (Perawat)
“Melati” (Pasien)
selama saya disini pasien biasanya mengikuti apa yang dianjurkan oleh rumah sakit mengenai pengobatan yang harus dijalani, jika ada yang menolakpun itu tidak masalah, dan dokter pasti mengijinkannya. “mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan untuk memilih dan untuk dokter, saya kira jika ada rekomendasi maka bisa dipilih namun apabila tidak rekomendasi, rumah sakit telah menyediakannya” mengenai persetujuan pasien, itu diharuskan oleh pihak rumah sakit”.
Penentuan pengobatan oleh pasien
Penentuan pengobatan oleh pasien
Kelas perawatan ditentukan oleh pasien
Pemilihan dokter berdasarkan rujukan
Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
Tidak, menurut saya dokter bisa saja menerima untuk tidak melakukan pengobatan yang diinginkannya karena itu semua merupakan hak dari pasien jadi semuanya saya kira akan diserahkan sepenuhnya kepada pasien, dan saya kira mungkin dokter juga akan menrimanya. “tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas perawatan kita diperbolehkan untuk memilih. mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya oleh pihak rumah sakit”.
Hak pasien untuk memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan Permintaan persetujuan perawatan dari pasien
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan
Baik, pelayanan kesehatan yang diberikan disesuaikan dengan keinginan pasien dan pasien diperbolehkan untuk menentukan, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan dan dapat diterima oleh pasien
122
Berdasarkan Matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa Kebebasan Memilih Atas Pelayanan Kesehatan merupakan hak dari pasien, ada 3 (tiga) hal yang menjadi pokok memilih atas pelayanan kesehatan yaitu menolak atau menerima pelayanan kesehatan atau pengobatan yang direkomendasikan oleh dokter, memilih dokter dan kelas perawatan serta mendapatkan persetujuan pada saat diberikan pelayanan kesehatan. Walaupun pada dasarnya setiap dokter dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindak medis dalam bidangnya, pasien tetap berhak memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Hak ini dapat dilaksanakan oleh pasien, tentu saja dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya misalnya masalah biaya. Sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56 angka (1) yang berbunyi : “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52 huruf d pasien berhak: “menolak tindakan medis” Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf g dan k yaitu: “g) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit k) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya”.
123
Kebebasan memilih atas pelayanan kesehatan ini berkaitan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya dengan yang dimaksudkan dengan hak pribadi yaitu hak atas keamanan yang menyngkut mengenai hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan serta hak atas kebebasn pribadi. Hak-hak ini menurut John Locke tidak dapat diganggu gugat. Teori ini kemudian menjadi dasar pikiran United Nations Universal Declaration of Human Right. Setiap manusia berhak untuk dihargai, diakui, dihormati sebagai manusia dan diperlakukan secara manusiawi, sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. maka dari itu, seorang pasienpun sebagai manusia berhak dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Asas dan dasar pemikiran yang telah diletakan dalam deklarasi ini, kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia melalui konstitusi masing-masing dan dalam hukum positifnya.88 Begitupula dengan persetujuan tindakan medis (atau yang lebih dikenal dengan informed consent) merupakan hal yang sangat prinsip dalam profesi kedokteran jika ditinjau dari sudut hukum perdata ataupun pidana. Mengenai sayarat izin dari pasien dalam bukunya Joseph H.King JR dalam bukunya Endang Kusuma Astuti menyebutkan bahwa89: 1.
Pasien sungguh-sungguh berkeinginan menjalani prosedur medis yang dibicarakan.
88 89
Op, cit, Endang Kusuma astuti, hal. 168-169. Ibid, hal. 185-286.
124
2. Terlepas dari keinginan dan keengganannya yang sebenarnya, pasien lewat sikapnya telah menunjukkan izin yang cukup bahwa hukum akan mendapati izin yang sah. Dari ketiga Undang-undang dan teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut jelas disebutkan bahwa pasien memang berhak untuk menolah, memilih dan menyetujui pengobatan yang diberikan kepadanya, seperti hasil wawancara kepada dokter “U” yang menyebutkan bahwa:
“jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada pasien, mengenai penolakan mungkin hal tersebut berkaitan dengan berbagai alasan seperti ekonomi atau adanya ketidak sepahaman dengan dokter yang merawatnya..”. “itu hak sepenuhnya dari pasien, dia boleh memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan kecuali peserta jamkesmas karena sebagian haknya hilang karena peserta jamkesmas adalah pasien yang ditanggung oleh pemerintah jadi pasien tersebut sudah ditetapkan mengenai kelas perawatannya dan tidak boleh memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya”. “pasien diminta persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan” Sejalan dengan keterangan yang diberikan oleh dokter tersebut, keterangan
yang diberikan oleh pejabat rumah sakit juga sama dengan apa yang dikatakan dokter, pejabat rumah sakit “V” mengatakan bahwa :
Pernah, biasanya pasien menolak atas dasar ketidakmampuan biaya, maka biasanya dokter juga tidak dapat melarang atau mengharuskan pasien untuk menggunakan pengobatan yang akan diberikan oleh dokter karena itu merupakan hak dari pasien sendiri. “mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan untuk memilih dan untuk dokter, hal tersebut tergantung dari kelas perawatan yang dipilih oleh pasien, kalau kelas perawatan utama dan VIP pasien boleh memilih namun di kelas perawatan III hal tersebut disesuaikan dengan pemegang atau dokter yang merawat dikelas III tersebut” “pasien diminta persetujuannya untuk dirawat”. Hampir semua tenaga kesehatan yang diwawancarai mengungkapkan hal yang
sama dan pasien yang diwawancarai juga hampir semua mengungkapkan yang
125
sama namun yang berbeda hanya pada saat memilih dokter saja, seperti yang dikatakan oleh pasien sebut saja namanya “Bunga” dengan kelas perawatan III :
““Tidak, saya mengikuti apa yang dikatakan oleh dokter saja”. “hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada rumah sakit”. “waktu saya datang ke rumah sakit, saya diminta persetujuan dahulu oleh rumah sakit.” Sejalan dengan yang dikatakan oleh “Bunga”, sebut saja namanya “Melati”
kelas perawatan VIP mengatakan bahwa:
“Tidak, menurut saya dokter bisa saja menerima untuk tidak melakukan pengobatan yang diinginkannya karena itu semua merupakan hak dari pasien jadi semuanya saya kira akan diserahkan sepenuhnya kepada pasien, dan saya kira mungkin dokter juga akan menerimanya. tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas perawatan kita diperbolehkan untuk memilih, mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya oleh pihak rumah sakit”. Dari hasil temuan peneliti keterangan dokter atau tenaga kesehatan serta
pejabat rumah sakit memang telah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pasien, mengenai kelas perawatan memang pasien “Bunga” tidak diperbolehkan memilih kelas perawatan dan diserahkan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit karena pasien “Bunga” merupakan peserta jamkesmas, jadi sebagian haknya hilang untuk memilih kelas perawatan karena telah dijamin oleh pemerintah yang menjadikannya harus menjalani perawatan dikelas III (Tiga), untuk dokter, memang biasanya jarang ditanya mengenai dokter siapa yang akan merawatnya kecuali ada rekomendasi yang mengharuskan pasien tersebut untuk dirawat oleh dokter tertentu atau pasien tersebut memang sebelumnya telah berkonsultasi dan diberikan perawatan oleh dokter tersebut, dan pihak rumah sakit biasanya memperbolehkannya, seperti yang dikatakan oleh perawat sebut saja namanya “X“ yang mengatakan bahwa :
126
“iya, kami hanya sebatas memberikan pelayanan kepada pasien dan yang memutuskan adalah pasien untuk perawatan yang selanjutnya dan mengenai pemilihan dokter biasanya dengan rujukan dari perawatan yang diterima pasien sebelumnya”. Secara keseluruhan jaminan atas kebebasan memilih atas pelayanan kesehatan telah dilaksanakan sepenuhnya dan dapat diterima oleh pasien dengan implikasi baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya persetujuan dari pasien untuk diberikan pelayanan kesehatan oleh dokter/tenaga kesehatan, dengan adanya persetujuan dari pasien tersebut hal ini membuktikan bahwa pasien bebas untuk memilih tenaga kesehatan serta kelas perawatan yang diinginkannya dan rumah sakit tidak bertindak sepihak kepada pasien pada saat pemberian pelayanan kesehatan serta adanya pernyataan dokter/ tenaga kesehatan, pejabat rumah sakit serta pasien sama yaitu pasien dimintai persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan atau pengobatannya.
127
Matriks 5 : Jaminan Atas Kebebasan Untuk Menuntut Hak-hak Yang Dirugikan NAMA SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN INFORMAN “U” “pasien dapat mengadukannya kepada providernya (Dokter) langsung seperti perawat atau dokternya langsung atau dapat melalui kotak saran yang ada di tiap ruang rawat inap atau bisa langsung ke management”. “Keluhan pasien ditanggapi lalu dijelaskan dengan tidak ditutup-tutupi”.
“V” (Pejabat Rumah Sakit)
“jika ada keluhan dari pasien, maka disini disediakan kotak saran untuk menampung keluhankeluhan dari pasien dan dari keluhan pasien yang diterima dari kotak saran tersebut nantinya akan menjadi bahan evaluasi bagi rumah sakit. Selain itu juga pasien dapat mengadukannya kepada staff yang bersangkutan misalnya jika dirawat di Rawat Inap pasien dapat mengadukannya kepada kepala Ruangan Rawat Inap”. “keluhan pasien tersebut ditanggapi dengan baik dan setelah ada keluhan maka dilakukan pendekatan kepada pasien dan apa yang dikeluhkan oleh pasien tersebut menjadi bahan evaluasi.
MAKNA TEMA Pengaduan pasien melalui perawat/dokter, kotak saran dan management rumah sakit Pemberian penjelasan serta tanggapn atas pengaduan pasien Pengaduan pasien melalui kotak saran dan staff rumah sakit Pemberian tanggapan yang positif terhadap pengaduan pasien oleh pihak rumah sakit
IMPLIKASI Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan
Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan
128
“Bunga” (Pasien)
“iaa dapat, biasanya saya langsung ke dokter yang merawat anak saya atau ke kepala instalasinya langsung”. biasanya dokter langsung menanggapinya dan memberikan informasi mengenai apa yang harus saya lakukan dan juga dokter mengambil tindakannya secara langsung.
“W” (Dokter)
“X” (Perawat)
“pasien dapat mengadukannya di bidang pelayanan” “jika ada keluhan biasanya berkaitan dengan bidang pelayanan dan tanggapan tentu saja akan ada dari bidang pelayanan tersebut dan biasanya akan langsung diambil tindakan tertentu”.
Pengaduan pasien melalui dokter atau kepala instansi rumah sakit Tanggapan positif atas pengaduan dari pasien
Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan dan dapat diterima oleh pasien
Pemberian informasi kepada pasien atas keluhannya Pengaduan pasien melalui bidang pelayanan Tanggapan atas keluhan pasien diserahkan sepenuhnya kepada bidang pelayanan
“pasien dapat mengadukannya melalui kotak saran Pengaduan pasien yang disediakan oleh rumah sakit dan nantinya melalui kotak saran akan dibahas mengenai survey kepuasan pasien”. “tentu saja pihak dari rumah sakit memberikan Pemberian respon dari respon terhadap keluhan pasien tersebut”.
Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan
Tidak baik, karena kotak saran kurang efektif dalam hal menanggapi keluhan dari pasien karena
129
rumah sakit
“Bisma” (Pasien)
“Y” (Dokter)
“saya mengadukan kepada pihak rumah sakit secara langsung”. “Pihak rumah sakit menanggapinya lumayan baik”.
Pengaduan melalui pihak rumah sakit
“pasien dapat mengadukannya kepada dokter atau suster secara langsung atau di bidang pelayanan”. “jika ada keluhan biasanya langsung ditanggapi oleh dokter atau suster jika keluhan tersebut ditujukan langsung kepada dokter atau suster tersebut”.
Pengaduan melalui dokter/suster atau di bidang pelayanan
Tanggapan positif dari pihak rumah sakit
Tanggapan positif dari dokter/suster
pasien tidak bisa menjelaskan secara langsung mengenai keluhannya Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan dan dapat diterima oleh pasien Baik, kebebasan pasien untuk menuntut hakhak yang dirugikan telah dilaksanakan sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan
130
“Z” (Perawat)
“Melati” (Pasien)
“Biasanya ada kotak saran untuk menampung keluhan-keluhan dari pasien, dan bisa ke bidang pelayanan.” “jika keluhannya diberikan melalui kotak saran maka saran-saran yang ada dikotak saran tersebut kita kumpulkan lalu kita berikan kebidang pelayanannya sebagai evaluasi kinerja, namun apabila keluhan2 yang secara langsung dan biasanya keluhan yang kecil bisa langsung diatasi”.
Baik, kebebasan pasien Pengaduan melalui kotak saran dan bidang untuk menuntut hakhak yang dirugikan pelayanan telah dilaksanakan Tanggapan positif yang sepenuhnya pada saat diberikan pelayanan diberikan oleh bidang kesehatan pelayanan terhadap keluhan pasien serta solusi untuk mengatasinya
“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak ada tanggapan, dan setelah itu saya juga tidak tau kemana saya harus mengadukannya”. “tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari rumah sakit atau tenaga kesehatan”.
Pengaduan melalui suster yang merawat pasien Tidak ada tanggapan terhadap pengaduan pasien
Tidak baik, karena pengaduan dari pasien tidak ditanggapi dengan baik oleh rumah sakit sehingga menimbulkan kekecewaan bagi pasien
131
Dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa kebebasan untuk menuntut hak-hak yang dirugikan merupakan hak pasien dan hal ini sangat penting karena menyangkut hak pasien apabila dirugikan oleh dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit, hal ini juga tercantum di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e dan h yang berbunyi: e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1) “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf q dan r yang berbunyi : q) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari ketiga Undang-undang tersebut sudah jelas bahwa ada hak pasien yang merasa dirugikan untuk menuntut haknya, hal ini ketika ditanyakan kepada dokter/tenaga kesehatan mengenai apabila ada keluhan dari pasien kemanakah pasien dapat mengadukannya dan bagaimanakah tanggapan atas pengaduan dari pasien tersebut, dokter/tenaga kesehatan dan pejabat rumah sakit memberikan tanggapan yang beragam seperti pernyataan dokter “W” yang mengatakan bahwa: “pasien dapat mengadukannya di bidang pelayanan”
132
“jika ada keluhan biasanya berkaitan dengan bidang pelayanan dan tanggapan tentu saja akan ada dari bidang pelayanan tersebut dan biasanya akan langsung diambil tindakan tertentu”. Tanggapan dari pejabat rumah sakit sebut saja namanya “V” yang mengatakan bahwa :
“jika ada keluhan dari pasien, maka disini disediakan kotak saran untuk menampung keluhan-keluhan dari pasien dan dari keluhan pasien yang diterima dari kotak saran tersebut nantinya akan menjadi bahan evaluasi bagi rumah sakit. Selain itu juga pasien dapat mengadukannya kepada staff yang bersangkutan misalnya jika dirawat di Rawat Inap pasien dapat mengadukannya kepada kepala Ruangan Rawat Inap”. “keluhan pasien tersebut ditanggapi dengan baik dan setelah ada keluhan maka dilakukan pendekatan kepada pasien dan apa yang dikeluhkan oleh pasien tersebut menjadi bahan evaluasi dan nantinya untuk penjaminan mutu Rumah Sakit kedepannya”.
Tanggapan dari perawat sebut saja namanya “X” mengatakan bahwa :
“pasien dapat mengadukannya melalui kotak saran yang disediakan oleh rumah sakit dan nantinya akan dibahas mengenai survey kepuasan pasien”. “tentu saja pihak dari rumah sakit memberikan respon terhadap keluhan pasien tersebut”. Pernyataan dari dokter/tenaga kesehatan, pejabat, serta pasien sangat
beragam, jika dilihat dari tanggapan
atau pernyataan yang diberikan oleh
dokter/tenaga kesehatan, pejabat rumah sakit serta pasien maka dapat disimpulkan disini ada 3 (tiga) cara pasien mengadukan keluhan terhadap pelayanan kesehatan yang telah diberikan yaitu dengan kotak saran, mengadukan secara langsung kepada dokter atau perawat yang menanganinya serta kepada bidang pelayanan. Berdasarkan hasil wawancara kepada pasien hampir semuanya biasanya langsung mengadukannya kepada suster atau dokter yang merawatnya, seperti hasil wawancara kepada pasien sebut saja namanya “Bunga” mengatakan bahwa :
133
“iaa dapat, biasanya saya langsung ke dokter yang merawat anak saya atau ke kepala instalasinya langsung”. “biasanya dokter langsung menanggapinya dan memberikan informasi mengenai apa yang harus saya lakukan dan juga dokter mengambil tindakannya secara langsung”.
Kemudian wawancara yang dilakukan kepada “Melati” yang mengatakan bahwa :
“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak ada tanggapan, dan setelah itu saya juga tidak tau kemana saya harus mengadukannya”. “tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari rumah sakit atau tenaga kesehatan”. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa biasanya mereka memang
mengadukannya secara langsung kepada dokter atau perawat yang merawatnya namun apabila melihat pernyataan yang dikatakan oleh pasien “Melati”, yang tidak ada tanggapan dari suster dan pihak rumah sakit yang merawatnya, maka kemanakah “Melati” dapat mengadukan atas ketidaknyamanannya atau atas keluhan-keluhan terhadap pelayanan kesehatan yang didapatkannya. Sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-undang Perlindungan konsumen yang disebutkan ada Pasal 4 huruf e dan h serta Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pasien mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/jasa tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Sudah jelas jika dikaitkan maka pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan harus mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa, begitupula jika dikaitkan dengan Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf q dan r yang menyatakan bahwa pasien dapat menggugat dan/atau menuntut rumah sakit
134
apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar dan pasien juga dapat mengeluhkan pelayanan rumah sakit apabila tidak sesuai dengan standar melalui media cetak atau elektronik sesuai peraturan perundang-undangan. Sebagai rumah sakit yang baik seharusnya ada tempat khusus yang bisa menampung keluhan-keluhan dari pasien sehingga pasien bisa tau dan jelas kemana dia bisa mengadu dan meminta pertanggungjawaban untuk segera mendapatkan penyelesaian dari keluhannya tersebut dan hak pasien atas kebebasan meuntut hak-hak yang dirugikan bisa terpenuhi dengan baik. Secara keseluruhan jaminan atas kebebasan untuk menuntut hak-hak yang dirugikan sudah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit terhadap pasien dengan implikasi baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kotak saran yang disediakan oleh pihak rumah sakit sebagai sarana untuk menampung keluhan-keluhan dari pasien, pasien juga dapat mengadukan keluhannya kepada dokter atau perawat secara langsung apabila pasien merasa tidak nyaman dengan pelayanan kesehatan yang diberikan serta adanya bidang pelayanan yang merespon positif terhadap keluhan-keluhan dari pasien dengan baik.
135
Matriks 6 : Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perlindungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya Nama Hasil Penelitian Makna Tema Sifat Pengaruh Informan (Faktor) “U” Berpengaruh positif “kami memberikan informasi mengenai penyakit Informasi (Dokter) dan menunjang adanya yang diderita oleh pasien seperti diagnosis, tata cara Komunikasi perlindungan hukum tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif Peran dokter terhadap pasien dalam tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin Motivasi pasien pelayanan kesehatan terjadi”. “X” (Perawat)
“iya, biasanya memang dokter menjelaskan mengenai informasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pasien tersebut kepada pasien atau keluarganya”
“Bisma” (Pasien)
“iya, dokter sudah memberikan informasi tersebut kepada saya”. “saya kira sejauh ini saya mengerti mengenai apa yang dijelaskan oleh dokter .” “Saya rasa penjelasan dari dokter dapat membuat saya percaya bahwa penyakit saya dapat disembuhkan”
“W” (Dokter)
“Iya, mengenai keamanan, kenyamanan dan keselamatan kita sudah ada SOP-SOP khusus sesuai dengan standarnya serta disediakannya penjaga keamanan dan petugas kesehatan yang cukup untuk pasien”
Kepatuhan pasien Sumber Daya Manusia
Berpengaruh positif dan menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan
136
“V” (Pejabat Rumah Sakit)
“saya rasa iya, karena disini ada satpam yang selalu menjaga 24 jam, dan mengenai keselamatan dan kenyamanan tentu saja ada yaitu dengan adanya pemisahan ruangan sesuai dengan penyakit pasien dan kepada pasien yang mempunyai penyakit menular akan dipisahkan ruangannya.”
“Bunga” (Pasien)
“Saya kira saya merasa aman dan nyaman disini, saya juga selalu mengikuti peraturan rumah sakit sebagaimana yang ada dan tercantum pada papan peraturan rumah sakit”
“W” (Dokter)
“...mungkin ada beberapa pasien yang merasa diperlakukan diskriminatif oleh rumah sakit, sedangkan sebenarnya hal tersebut merupakan ketentuan dari rumah sakit” “mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan pasien jadi mengenai hal tersebut saya kurang tau.” “Memang selama ini ada keluhan pasien yang merasa kalau petugas kesehatan yang ada kurang memberikan perhatian terhadap pasien atau acuh tak acuh kepada pasien sehingga dianggap diskriminatif namun hal tersebut dapat dikarenakan petugas kesehatan lelah dengan pekerjaannya.”
“X” (Perawat)
“Melati”
“iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya merasa diperlakukan diskriminatif, mungkin pihak rumah
Lingkungan kerja Sikap dokter/tenaga kesehatan Sikap pasien Komunikasi yang kurang terhadap pasien
Berpengaruh negatif dan menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan
137
(Pasien)
“U” (Dokter)
sakit memperkirakan saya berasal dari keluarga yang tidak mampu tetapi setelah saya membayar sejumlah uang barulah saya bisa diperlakukan dengan baik dan saya merasa dipersulit”.
“mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan untuk memilih dan untuk dokter, karna dokter disini terbatas maka pasien tidak bebas memilih dokter yang diinginkannya.
“tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas perawatan kita diperbolehkan untuk memilih. mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya oleh pihak rumah sakit”.
“Z” (Perawat)
“Melati” (Pasien)
“Y” (Dokter)
“jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada pasien, mengenai penolakan mungkin hal tersebut berkaitan dan dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya”. “pasien diminta persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan”
“pasien dapat mengadukannya kepada dokter atau suster secara langsung atau di bidang pelayanan”.
Sikap pasien Peran dokter/tenaga kesehatan Kesadaran hukum dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit Fasilitas dokter/tenaga kesehatan yang kurang memadai
Berpengaruh positif dan menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien kecuali untuk penyediaan Fasilitas yang kurang merupakan faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan
Fasilitas pengaduan kurang memadai Komunikasi yang kurang
Berpengaruh negatif dan menghambat adanya perlindungan hukum terhadap
138
“V” (Pejabat)
“..jika ada keluhan dari pasien, maka disini disediakan kotak saran Selain itu juga pasien dapat mengadukannya kepada staff yang bersangkutan”
“Melati” (Pasien)
“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak ada tanggapan, dan setelah itu saya juga tidak tau kemana saya harus mengadukannya”. “tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari rumah sakit atau tenaga kesehatan”.
Sikap pesimis pasien
pasien dalam pelayanan kesehatan
139
2. Faktor-faktor yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya. Berdasarkan matriks di atas dapat dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menunjang dan menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor
internal dan eksternal yang menunjang adanya perlindungan hukum
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan yaitu : 1.
Faktor Internal yang menunjang : 1. Informasi, merupakan hal yang sangat penting untuk diberikan kepada pasien pada saat diberikan pelayanan kesehatan oleh dokter/tenaga kesehatan supaya pasien mengetahui mengenai penyakit apa yang diderita serta bagaimana cara pengobatan yang harus dilakukan agar pasien dapat sembuh dari penyakitnya, dengan diberikannya informasi yang benar, jelas dan jujur oleh dokter/tenaga kesehatan kepada pasien maka informasi ini menjadi faktor penunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien. 2. Komunikasi
merupakan
cara
penyampaian
yang
diberikan
oleh
dokter/tenaga kesehatan kepada pasien dengan cara menjelaskan informasi yang ada sehingga pasien mampu mencerna informasi tersebut dengan baik, dengan adanya komunikasi yang baik maka informasi akan dapat tersampaikan dengan baik pula kepada pasien dan hal ini menjadi faktor yang menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien.
140
3.
Peran dokter/tenaga kesehatan, setelah adanya informasi dan komunikasi kepada pasien maka disini juga ada peran dari dokter/tenaga kesehatan untuk memberikan informasi dan komunikasi yang benar kepada pasien serta berfungsi sebagai pendekatan kepada pasien, peran dokter/tenaga kesehatan ini meliputi peran dokter dalam mengobati pasien maupun peran dokter dalam menginformasikan mengenai kondisi penyakit pasien, supaya pasien dapat mengerti mengenai penyakit apa yang diderita oleh pasien juga pengobatan apa
yang
harus diberikan oleh dokter
untuk
menyembuhkan pasien, juga untuk memberikan kepercayaan atau optimisme kepada pasien untuk meyakinkan bahwa penyakitnya bisa disembuhkan, peran dokter/tenaga kesehatan ini memberikan dampak positif dan menjadi faktor penunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. 4.
Sumber daya manusia, jika sumber daya manusia yang ada di rumah sakit baik dan dapat mencukupi kebutuhan pasien pada saat diberikan pelayanan kesehatan maka perlindungan hukum terhadap pasien akan terlaksana dengan baik dan menjadi faktor yang menunjang terlaksananya perlindungan hukum terhadap pasien, pasien akan merasa diberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan jika sumber daya manusia yang ada di rumah sakit mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik.
5. Kesadaran Hukum dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit menjadi faktor yang menunjang adanya perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan,
141
hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya persetujuan pasien pada saat diberikan pengobatan, hal ini menunjukkan adanya kesadaran hukum dari dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit untuk memberikan perlindungan hukum baik terhadap pasien maupun terhadap dokter/tenaga kesehatan serta perlindungan hukum terhadap rumah sakit itu sendiri. II. Faktor ekstrenal yang menunjang : 1. Motivasi Pasien, hal ini memberikan dampak yang positif dan dapat menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan karena dengan adanya motivasi yang baik dari pasien maka dapat dikatakan pelayanan kesehatan yang baik telah diberikan oleh pihak rumah sakit, motivasi yang baik dari pasien ini sebagai dampak dari adanya informasi, komunikasi serta peran dokter/tenaga kesehatan yang baik. 2. Kepatuhan pasien, dengan adanya kepatuhan pasien maka perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan dapat terlaksana dengan baik dan merupakan faktor yang menunjang karena dengan adanya kepatuhan pasien terutama terhadap peraturan yang ada di rumah sakit serta terhadap pengobatan yang harus dijalani maka segala kerugian yang akan dialami oleh pasien akan terhindari. Faktor internal dan eksternal yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan yaitu : 1.
Faktor Internal yang menghambat :
142
1. Fasilitas dokter/tenaga kesehatan kurang memadai, hal ini dapat dilihat dari keterangan perawat yang menyebutkan bahwa fasilitas tenaga kesehatan terutama dokter masih kurang sehingga pasien tidak dapat memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya sebagai haknya, hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan karena hak pasien untuk dapat memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya menjadi tidak terpenuhi. 2. Fasilitas Pengaduan kurang memadai, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya fasilitas pengaduan yang diberikan oleh rumah sakit untuk pasien, jadi jika pasien ingin mengeluhkan ketidaknyamanan yang dialaminya ketika mendapatkan pelayanan kesehatan pasien tidak tau pasti kemana dapat mengadukannya, hal ini menjadi faktor penghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan terutama hak pasien untuk menuntut hak-hak yang dirugikan. 3. Lingkungan kerja, lingkungan kerja yang kurang baik akan berakibat adanya sikap yang kurang baik terhadap pasien, dengan sikap yang kurang baik dari dokter/tenaga kesehatan akan menjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan karena pasien akan merasa diberikan perlakuan yang tidak sama atau diksriminatif, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterangan pasien yang mengeluh karena tidak mendapatkan pelayanan yang baik karena keluhannya terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit kepada tenaga kesehatan tidak ditanggapi dengan baik, hal ini juga dapat diakibatkan dari
143
lingkungan kerja yang kurang baik seperti dari keterngan perawat yang menyebutkan bahwa sikap tenaga kesehatan yang kurang baik terhadap pasien bisa diakibatkan karna lingkungan kerja yang kurang baik. 4. Komunikasi yang kurang, hal ini dibuktikan dengan adanya pasien yang mengeluh karena pengaduannya tidak ditanggapi dengan serius oleh rumah sakit, dengan adanya komunikasi yang kurang antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan serta pihak rumah sakit maka akan menimbulkan kesalahpahaman antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan serta pihak rumah dan menjadi faktor penghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. II. Faktor eksternal yang menghambat : 1. Sikap pesimis pasien, dengan adanya sikap pesimis dari pasien hal ini menunjukkan adanya pelayanan kesehatan yang tidak dapat memuaskan pasien dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada dokter/tenaga kesehatan serta pihak rumah sakit hal ini dapat dibuktikn dari keterangan pasien yang tidak tau lagi kemana mengadukan keluhannya dan seakan tidak percaya lagi terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan.
144
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sebagaimana dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya sudah baik hal ini dapat dibuktikan dengan : a) Terpenuhinya informasi yang dibutuhkan pasien mengenai penyakitnya pada saat diberikan pelayanan kesehatan; b) Adanya Pelaksanaan jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan pada saat diberikan pelayanan kesehatan c) Pasien diperlakukan sama pada saat diberikan pelayanan kesehatan oleh dokter/tenaga kesehatan; d) Adanya persetujuan pasien dalam pemberian pelayanan kesehatan sebagai realisasi pelaksanaan kebebasan pasien memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan; e) Disedikannya kotak saran, pengaduan langsung kepada dokter/perawat dan adanya bidang pelayanan untuk pengaduan pasien.
2. Faktor- faktor yang menunjang dan menghambat pelaksanaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya terdiri dari faktor internal dan eksternal, faktor internal yang menunjang yaitu adanya Informasi yang baik, komunikasi yang baik, peran dokter, sumber daya manusia dan
145
kesadaran hukum dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit dan sebagai faktor eksternal yang menunjang yaitu adanya motivasi pasien dan kepatuhan pasien. Faktor Internal yang menghambat yaitu fasilitas dokter/tenaga kesehatan
yang
kurang
memadai,
fasilitas
pengaduan
kurang
memadai,lingkungan kerja, dan komunikasi yang kurang antara pihak rumah sakit dan pasien serta faktor eksternal yang menghambat yaitu sikap pesimis dari pasien
B. SARAN Sebagai Rumah Sakit Umum pilihan utama dengan standar pelayanan nasional di Priangan Timur yang mampu memberikan pelayanan sesuai dengan fungsinya sebagai intansi pelayanan publik bersifat individual terhadap pasien maka hendaknya RSUD Tasikmalaya juga harus selalu mementingkan aspek perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yaitu dengan selalu mementingkan hak-hak dari pasien. Disini peneliti menyarankan agar RSUD Tasikmalaya membentuk bagian khusus untuk melayani segala hal yang berhubungan dengan kepentingan dari pasien yaitu dengan membentuk humas atau hubungan masyarakat karena di RSUD Tasikmalaya belum terdapat humas, maka untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap pasien dan untuk kepentingan rumah sakit, humas diperlukan sebagai salah satu jalan untuk menuntut hak pasien yang dirugikan.
146
DAFTAR PUSTAKA Ameld, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama Jaya. Az.Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media. Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed 3, Jakarta : Binarupa Aksara. B. Miles, Matthew, 1992, Analisis Data Kualitatif, Penerjemah Tjepjep Rohendi Rohidi, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Bastian Suryono, Indra, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika. Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan Dan Akseptabilitasnya, Jakarta : Erlangga. Chandrawila Supriadi, Wila, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung : CV. Mandar Maju. Faesal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Malang : Yayasan Asih Asah Asuh. Hanafiah, M.Yusuf dan Amir, Amri, 1987, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC. Hadiati Koeswadji, Hermien, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya: Erlangga University Press. J. Guwandi, 1993, Dokter dan Rumah Sakit, Jakarta : FK UI. Johan Nasution, Bahder, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Kerlinger, Fred. N, 1990, Asas-asas Penelitian Bihavioral, Penterjemah Landung R. Simatupang, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Komalawati, Veronika, 1999, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Teurapetik, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Kusuma Astuti, Endang, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Media Di Rumah Sakit, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Leenen, H.J.J. and Lamintang, 1991, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Bandung: Bina Cipta.
147
Miru, Ahmadi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Moleong, Laxy J, 1996, Metdodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosakarya. Muhadjir, Noeng, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta : Rekesarasin. Notoatmodjo, Soekidjo, 2012, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta : PT.Rineka Cipta. Purwohardiwardjoyo, Al, 1989, Etika Medik, Yogyakarta: Kanisius. Shidarta,
2006,
Hukum
Perlindungan
Konsumen
Indonesia,
Jakarta
:
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Pnelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia (UI-PRESS). Soemitro, Ronny, 1988, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia. Sofie, Yusuf, 2009, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Soejami. 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung : Citra Aditya Bakti. Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta. Sukanto Soerjono dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: Remaja Karya.
148
Sumber Lain : http://peterpaper.blogspot.com/2010/04/pelayanan-kesehatan-1.html/ diakses pada tanggal 21 april 2012 pukul 07.45. Hak dan Kewajiban. http://www.mail-archive.com/ppiind/ diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 08.00 Arsip Hukum. Http://arsiphukum.wordpress.com/ Diakses pada tanggal 22 April 2012 pukul 10.15.
UNDANG-UNDANG : Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
149
PEDOMAN WAWANCARA I.
Identitas Informan
Nama
:
Umur
:
Jabatan/Pekerjaan
:
Jenis Kelamin
:
II. Pertanyaan 1. Ketika anda datang ke rumah sakit untuk mendapat pelayanan kesehatan, setelah pasien melakukan pemeriksaan kesehatan, Apakah dokter sudah memberikan informasi yang benar jelas dan lengkap seperti diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya? 2. Setelah dokter memberikan informasi mengenai penyakit pasien, apakah dokter menjelaskan mengenai resep obat apakah yang harus diberikan kepada pasien? 3. Bagaimana cara dokter menjelaskan fungsi obat tersebut kepada pasien? 4. Apakah
pasien
pernah
menolak
untuk
diberikan
pengobatan
yang
direkomendasikan oleh dokter, bagaimanakah reaksi dokter atas penolakan pengobatan tersebut? 5. Bagaimanakah cara dokter menjelaskan mengenai kondisi penyakit pasien dan apakah pasien mengerti mengenai penjelasan yang disampaikan oleh dokter? 6. Setelah diberikan penjelasan mengenai kondisi pasien, apakah dokter merahasiakan kondisi pasien kepada orang lain?
150
7. Bagaimanakah tenaga kesehatan/rumah sakit memperlakukan pasien, apakah ada tindakan yang diskriminatif yang pernah dialami oleh pasien? 8. Apakah pasien diperbolehkan untuk memilih tenaga kesehatan dan kelas perawatan selama mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan? 9. Apakah pasien diminta persetujuannya untuk dirawat dan diberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit? 10. Apakah pasien diberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan selama di rawat di rumah sakit? 11. Apakah pasien diperbolehkan dijenguk oleh rekan, saudara atau kerabatnya selama dirawat di rumah sakit? 12. Selama pasien dirawat apakah pasien diberikan informasi mengenai tata tertib atau peraturan yang ada di rumah sakit? 13. Jika ada keluhan atau ketidaknyamanan yang dialami oleh pasien, apakah pasien dapat mengadukan ketidaknyamanannya tersebut kepada pihak rumah sakit dan kemanakah pasien mengadukannya? 14. Bagaimanakah pihak rumah sakit/tenaga kesehatan menanggapi keluhan dari pasien? 15. Secara keseluruhan bagaimanakah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan/rumah sakit kepada pasien?
151