BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SECARA KREDIT A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK Konsumen memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian. Ini disebabkan barang yang diproduksi maupun yang dijual oleh pelaku usaha11 akan dikonsumsi oleh konsumen sehingga pelaku usaha harus memiliki itikad baik dalam menjualkan barang kepada konsumen. Pelaku usaha dan pemerintah dituntut aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku sehingga melindungi kepentingan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa ini juga sejalan dengan Undang‐undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat 1 bahwa “semua sama dimata hukum dan wajib menjunjung hukum di setiap kehidupan sehari‐hari”. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatan maupun keuangannya12. Faktanya pelaku usaha kurang memprioritaskan kepentingan‐kepentingan serta hak‐hak konsumen, itu disebabkan pelaku usaha hanya mementingkan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan barang. Sehubungan dengan hal ini pemerintah telah membuat peraturan perlindungan konsumen sebagai upaya untuk memberi 11
Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Pelaku usaha yang dimaksud adalah termasuk perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain. 12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), Hal. 23-24.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan kepada konsumen dari tindakan‐tindakan pelaku usaha yang merugikan kepentingan konsumen. 13 Perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 UUPK bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. ”Undang‐undang ini sangat jelas untuk menjadi sarana perlindungan hukum bagi kepentingan konsumen. Undang‐ undang yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Undang‐Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk Iebih menyadari akan hak dan kewajibannya. Pasal 4 butir a & c UUPK menyebutkan, bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Selanjutnya konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kedua hak konsumen ini, berkaitan erat dengan keamanan produk bagi konsumen. Misalnya pelaku usaha di dalam menggunakan bahan tambahan makanan dalam produk makanannya, harus bersifat nyaman, aman, dan tidak menimbulkan efek buruk bagi konsumen. dan harus diinformasikan secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun antara pelaku dan
13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindugan Konsumen dan Instrumen‐Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 71
Universitas Sumatera Utara
korban tidak terdapat persetujuan lebih dahulu yang disebut dengan kewajiban produk. Selain kewajiban produk tersebut, UUPK juga mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha antara lain yang berkaitan dengan standar produk, yaitu: Apabila dilihat dari perbuatan produsen yang memproduksi, menjual atau memasarkan makanan berformalin tersebut, tentunya produsen tersebut telah melanggar ketentuan/pasal‐pasal yang diatur dalam UUPK tersebut. Dalam hal pertanggungjawabannya, UUPK juga mengaturnya dalam beberapa pasal, antara lain: Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntuan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan; Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut; Pembuktian mengenai ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi oleh konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Ada yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian darimhukum konsumen yang memuat asas‐ asas atau kaidah‐kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen .”14 Selain berpendapat seperti itu, Az. Nasution juga mengemukakan bahwa: Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hokum 14
Az. Nasution. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada perlindungan konsumen. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang memuat asas‐asas atau kaidah‐kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Hukum konsumen adalah hukum yang bersifat komperhensif mencakup berbagai hal. Sedangkan hukum perlindungan konsumen lebih merupakan bagian yang khusus mengatasi perlindungan Konsumen.15 Menurut Johannes Gunawan dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Perlindungan konsumen”, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).16 Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara : 1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundangan tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan hukum sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan‐batasan dan ketentuan‐ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha. 2. Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku
15 16
Ibid, hal. 82.
Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih hati‐hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.17 UUPK juga mengatur perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi. Di dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUPK dijelaskan bahwa, undang‐undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen disebutkan dalam Pasal 1 Angka (1) UUPK, yaitu “segala upaya yang menj amin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Oleh karena itu dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUPK disebutkan bahwa, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.18 Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa konsumen (BPSK), berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi Konsumen dan tentunya perlindungan Konsumen tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena kedudukan konsumen yang lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan melalui peraturan 17
Ibid, hal. 4 Halim Barkatullah, Abdul. Hak‐Hak Konsumen. Cet 1. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010, hal 49 18
Universitas Sumatera Utara
perundangundanganan yang berlaku, dan Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap dilaksanakannya peraturan perundang‐undangan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait.19 B. Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum Kebutuhan‐kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, ditandai dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lain. Indonesia dituntut membentuk hukum nasional yang mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas hukum di tingkat internasional. Unsur‐unsur dari makna perlindungan konsumen ini yaitu unsur tindakan melindungi, unsur adanya pihak‐pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi. Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan‐ ketentuan yang baik berasal dari legal culture bangsa lain ataupun konvensi‐konvensi internasional yang dapat dimanfaatkan dalam rangka modernsasi hukum nasional. Yang perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk (product liability).20 Secara historis, product liability lahir karena adanya ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya menerapkan strategi producy oriented dalam pemasaran produknya, harus merubah 19 Resti Nurhayati. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 8 tahun 1999. Semarang : Kisi Hukum Majalah Ilmiah FH Unika Soegijapranata, 2001. 20
Happy Susanto, 2008, Hak‐Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, hal 34
Universitas Sumatera Utara
strateginya menjadi consumer oriented. Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap badan/orang yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk. Unsur‐unsur dari makna perlindungan konsumen yaitu unsur tindakan melindungi, unsur adanya pihak‐pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi. Berdasarkan unsur‐ unsur ini berarti perlindungan mengandung makna suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak‐pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara‐cara tertentu. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlindungan konsumen dapat dilakukan melalui berbagai bentuk diantaranya perlindungan ekonomi, sosial, politik dan perlindungan hukum. Tetap dari bentuk‐ bentuk perlindungan terhadap konsumen tersebut yang terpenting adalah perlindungan yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan kalimat untuk kepentingan pihak lain, serta rumusannya hanya terpaku pada orang atau mahluk lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya orang saja yang disebut konsumen, tetapi masih ada yang lain yakni badan usaha.21 Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan adanya penetapan serta pengaturan hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban konsumen yang terdapat pada pasal 4‐5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan batasan terhadap kewajiban‐kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak‐hak produsen 21 Nining Muktamar; 2005, Berperkara Secara Mudah, Murah dan Cepat, Pengenalan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen, Piramedia, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
(Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen (Pasal 8‐17 UUPK). Perlindungan konsumen ini juga ditegaskan lagi dengan adanya permberian sanksi administratif ataupun sanksi pidana (Pasal 60 dan 62 UUPK) terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam UUPK, yakni pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 akan dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 8, pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (e), ayat 2 dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Serta pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat 1 huruf (d) dan huruf (f) dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan lika berat, sakit berat, cacat hingga menyebabkan kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Selain itu, konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (Pasal 45 ayat 1 UUPK). Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan (dengan menggunakan ketentuan Hukum Acara Perdata) atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat 2 UUPK). Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan adanya penetapan serta pengaturan hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban konsumen yang
Universitas Sumatera Utara
terdapat pada pasal 4‐5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan batasan terhadap kewajiban‐kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak‐hak produsen (Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen (Pasal 8‐17 UUPK). Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia dipopulerkan sekitar 25 tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak tahun 1988 dan bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di tanah air.28 Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha), apabila dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III yang benar‐benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen, dan membantu permerintah. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak‐haknya terlindungi. Di samping itu tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.22
22
Happy Susanto,Op.Cit, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip‐prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandas pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara. Prinsip‐prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :23 1. Prinsip‐prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai‐nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada usaha untuk mencapain kesejahteraan bersama. 2. Prinsip Negara Hukum Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan. Nurmandjito membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu : a. Perlindungan hukum yang preventif. Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas 23 Nurmandjito; 2000, Kesiapan Perangkat Perundang‐undangan Tentang Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal 48
Universitas Sumatera Utara
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati‐hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. b. Perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu: 1) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. 2) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. 3) Badan‐badan khusus. Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan‐badan khusus tersebut antara lain
Universitas Sumatera Utara
adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.
Adapun Prinsip Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen yakni:24 1. Let The Buyer Beware
Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi
konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung jawab sendiri
konsumen tidak mendapatkan akses informasi karena pelaku usaha tidak terbuka
DAlam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat venditor
2. The due Care Theory
pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan.
Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristirwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.
kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan
3. The Privity of Contract
24 Permadi; 2006. Pola Sikap Masyarakat terhadap Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta: Bina Cipta, hal 39
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.
fenomena kontrak kontrak standar yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha.
4. Kontrak bukan Syarat
Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu huungan hukum 25
C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang‐Undang Perlindungan Konsumen Pada pokoknya hak dan kewajiban satu pihak terhadap pihak lainnya lahir dari suatu perjanjian maupun undang‐undang. Secara umum telah diketahui bahwa perjanjian tertulis antar konsumen dengan pelaku usaha tidak dapat dikemukakan, sehingga kebanyakan orang hanya berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan dari konsumen yang mempergunakan, memanfaatkan maupun memakai barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban para pihak, Undang‐undang Perlindungan Konsumen telah memberikan batasan mengenai hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban. Hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban dari pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang‐undang 25
http://ranggiwirasakti.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-dalam-hukum.html diakses 26 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
Pelindungan Konsumen Pasal 6 (tentang hak pelaku usaha) dan Pasal 7 (mengenai kewajiban pelaku usaha). Shidarta mengemukakan bahwa dalam UUPK digunakan kata pelaku usaha yang bermakna lebih luas karena untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.26 Pengertian pelaku usaha secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka (3) UUPK, yaitu “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama‐sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Lebih lanjut hal tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 Angka (3) UUPK, bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian diatas adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain‐lain. Dari definisi‐definisi di atas dapat disimpulkan, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, dan menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 UUPK adalah: 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang diperdagangkan 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik 26
Shidarta, Op cit, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen 4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/jasa yang diperdagangkan 5. Hak‐hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan‐undangan lainnya. Ketententuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang kewajiban bagi para Pelaku Usaha sebenarnya sudah jelas di atur dalam Undang‐undang Republik Indonesia No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen namun ternyata masih banyak para pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban ‐ kewajiban tersebut yang mana peraturan yang mengatur tentang kewajiban bagi Pelaku Usaha seperti yang tersebut di bawah ini dalam Pengaturan mengenai kewajiban dari pelaku usaha tertuang dalam Pasal 7 UUPK, yaitu : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
Universitas Sumatera Utara
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam perjanjian jual beli secara kredit, maka terdapat kewajiban bagi para
pihak‐pihak yang berjanji. Pasal 1477 KUHP Perdata, dikatakan tentang dua kewajiban penjual, yakni : 1. Menyerahkan (leveren) barang yang dijualnya Dalam penyerahan ini dapat kita baca dalam pasal 1475 KUHPerdata yakni pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli. Selain itu ada pula dua macam penyerahan yakni : penyerahan secara nyata (feitelijk levering) dan penyerahan menurut hukum (jurische levering). Misalnya, si A menjual rumahnya kepada si B, si A sebagai penjual harus mengusahakan atau memungkinkan agar si B dapat mengusahakan rumah tersebut. Ini dilakukan oleh si A dengan menyerahkan semua kunci‐kunci rumah itu kepada si B. inilah yang dimaksudkan dengan penyerahan secara nyata (feitlijk levering). Tetapi dengan penyerahan ini si B belum menjadi pemilik rumah itu, sebab yang dibeli si B adalah barang yang bergerak dan pemindah tanganan hak milik atas barang tak bergerak harus dilakukan dengan mendaftarkan akta jual belinya itu dalam daftar yang disediakan untuk maksud tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 616, 617 dan 620 KUHPerdata, inilah yang dimaksud dengan penyerahan menurut hukum, (jurisdische levering). Apabila pendaftaran tersebut dilaksanakan barulah si B menjadi pemilik rumah yang dibelinya itu.
Universitas Sumatera Utara
2. Menanggungnya Menurut pasal 1474 KUHPerdata kewajiban lain dari penjual ialah menanggung. Menanggung ini mempunyai tujuan yakni : penguasaan (bezit) secara aman dan tenteram dari barang yang dijual, dan cacat yang tidak dapat dilihat. Kedua tujuan dapat kita baca dalam pasal 1491 KUHPerdata yang berbunyi :”Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal yaitu, pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram, kedua terhadap adanya cacat‐cacat barang tersebut yang tersembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”. Bermacam‐macam caranya orang dapat mengganggu si pembeli dalam penguasaan barangnya secara aman dan tenteram. Diantaranya itu dapat dilakukan oleh pihak‐pihak ketiga dengan perbuatan melanggarhukum (onrechtmatigedaad). Dalam hal ini pembeli dapat melawan pihak ketiga yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu. Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih ada ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik oleh karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa menganggur, pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau memindahtangankan barang (objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindah tanganan objek perjanjian beli sewa selama masa angsuran, maka dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu didalam masa angsuran pembeli juga diwajibkan untuk memelihara barang yang dibelinya dan tidak boleh menyalah gunakannya atau pun merubahnya. Pada masa pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya. Kewajiban tersebut dapat disamakan sebagai kewajiban penyewa dalam perjanjian sewa menyewa. Selama
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan objek perjanjian dan tidak menyewakan atau tindakan yang berlainan dengan tujuannya. Ia harus merupakan “tuan rumah” yang baik dan bertanggung jawab atas keselamatan barang. Apabila dilihat seperti dalam keadaan tersebut diatas, maka terdapat gambaran seakan‐ akan pembeli adalah penyewa, sesungguhnya tidaklah demikian. Niat utamanya adalah adanya peralihan hak. Pembeli sewa (dehuurkoper) lebih merupakan pembeli daripada penyewa, sehingga memikul tanggungjawab atas objek perjanjian.27 D. Perjanjian Kredit ditinjau dari Undang‐undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Perjanjian kredit tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak kreditor dalam hal ini bank. Pihak debitor sebagai pihak yang mengajukan kredit tidak memiliki kewenangan untuk turut campur dalam membuat rumusan isi perjanjian tersebut. Dalam posisi yang seperti ini pihak debitor merupakan pihak yang kedudukannya berada di bawah kreditor, sehingga debitor tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap isi perjanjian. Bentuk perjanjian yang digunakan dalam perjanjian kredit tersebut adalah merupakan bentuk perjanjian baku atau kontrak standar. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata adalah: ”Suatu perbuatan yang mengikatkan diri antara satu orang atau lebih terhadap suatu subyek tertentu. Hal ini berarti bahwa kontrak menimbulkan adanya hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban di antara para pihak yang membuatnya.” Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selain melihat unsur–unsur sahnya, perjanjian yang dibuat harus 27
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia PT. Buku Kita, Jakarta, hal 41
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan asas kebebasan berkontrak. Para pihak bebas menentukan isi kontrak dan objek perjanjian. Namun dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak mempunyai keterbatasan. Untuk itu perlindungan bagi debitor selaku konsumen dalam perbankan perlu diperhatikan lebih lanjut.28 Dengan dikeluarkannya Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka hak‐hak konsumen yang diatur di dalam Pasal 18 melarang adanya klausula eksonerasi ( pengecualian ) dalam perjanjian kredit bank. Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melarang bank untuk menyatakan tunduknya debitor pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. Nasabah peminjam kredit juga merupakan konsumen yang hak‐ hak dasarnya harus dilindungi. Perjanjian baku yang dibuat bank dalam perjanjian kredit terkadang masih mengabaikan hak‐hak dasar konsumen. Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan perjanjian yang dibuat menimbulkan hak dan kewajiban pada masing‐masing pihak. Perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum yang cakap hukum tidak boleh merugikan ataupun menguntungkan salah satu pihak tertentu saja. Jika dalam suatu perjanjian baku menguntungkan pihak kreditor saja maka perjanjian ini menjadi tidak seimbang dan bisa batal demi hukum. Pihak bank dalam membuat perjanjian kredit hanya melihat dan berpikir pada pertimbangannya sendiri. Perjanjian yang dibuat oleh pihak bank sebagai kreditor hanya memikirkan bagaimana ia dapat mengambil keuntungan yang sebesar‐besarnya dan meminimalisir terjadinya 28 Salim H.S, Op.Cit, hal 44
Universitas Sumatera Utara
kerugian. Undang‐undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa setiap konsumen harus dilindungi hak‐haknya. Hak‐hak tersebut antara lain adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, hak untuk tidak didiskriminasi, dan kaitannya dalam perjanjian standart adalah hak untuk tidak melakukan perubahan‐perubahan terhadap isi perjanjian secara sepihak oleh pihak bank. Masyarakat dalam hal pengajuan kredit biasanya tidak menyadari bahwa sebenarnya ada payung hukum yang melindungi masyarakat dari tindakan pelanggaran hak‐hak konsumen di dalam perjanjian kredit tersebut.29 Perjanjian kredit bank sebagaimana telah diuraikan diatas, cenderung menempatkan posisi tawar pemohon kredit menjadi lebih lemah sebagai akibat adanya klausula yang ditentukan secara sepihak oleh pihak perbankan. Meskipun pihak pemohon kredit telah menerima syarat‐syarat dalam perjanjian yang berarti telah secara sukarela bersedia mengikatkan diri untuk menerima persyaratan‐persyaratan yang dimaksud, penting kiranya adanya itikad baik dari pihak bank untuk menjaga agar terms and condition pada perjanjian tersebut memenuhi unsur‐unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang.30 Bila ditinjau dari hukum perjanjian, memang tidak ada pengaturan secara rinci mengenai batasan klausula baku dalam KUH Perdata yang diterapkan dalam praktek dunia usaha, sehingga hal ini menggambarkan belum diberikannya perlindungan yang seimbang bagi para pihak. Dengan diundangkannya 29 Subekti & R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 52 30
Patrik, Purwahid, Dasar‐dasar hukum perikatan (perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang‐undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 67
Universitas Sumatera Utara
Undang‐undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), kekosongan hukum tersebut menjadi terjawab melalui pengaturan dan batasan‐batasan tentang bagaimana seharusnya perlindungan konsumen diberikan secara berimbang, berdasarkan keadilan dan kepastian hukum terhadap penggunaan perjanjian baku.31 UUPK dalam hal ini telah menuangkan secara tegas dalam pasal 2 mengenai asas perlindungan konsumen yang digunakan sebagai landasan untuk mewujudkan perlindungan bagi konsumen, termasuk dalam penerapan perjanjian baku. Adapun beberapa asas perlindungan konsumen yang dimaksud disini yaitu Asas Manfaat, Asas Keadilan, Asas Keseimbangan, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta Asas Kepastian Hukum. Adanya Asas Manfaat dimaksudkan agar segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan membedakan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil sesuai dengan Asas Keadilan. Selanjutnya Asas Keseimbangan bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Begitu pula dengan Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan. Agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
31 Siahaan NHT; 2005, Perlindungan Konsumen & Tanggung jawab Produk, Panta Rei, hal 38
Universitas Sumatera Utara
Negara memberikan jaminan adanya kepastian hukum sesuai dengan Asas Kepastian Hukum. Tentunya dalam perjanjian pemberian kredit antara pemohon dan pihak bank apabila ditinjau dari UUPK haruslah berpegang pada kelima asas di atas. Dari segi manfaat, perjanjian pemberian kredit pastinya telah memberikan manfaat yang besar bagi pemohon kredit yang membutuhkan bantuan financial, sehingga kebutuhan akan uang dapat terpenuhi melalui peran pelaku usaha yaitu perbankan. Demikian pula dari sisi pihak bank sendiri, dengan adanya transaksi pemberian kredit dapat meningkatkan keuntungan melalui rentang positif suku bunga bank atau positive spread (bunga pinjaman lebih tinggi daripada bunga simpanan).32 Yang juga perlu diperhatikan dalam perjanjian pemberian kredit adalah dari segi keseimbangan para pihak. Tentunya dengan penetapan sejumlah persyaratan oleh pihak bank dimaksudkan untuk menyeimbangkan pengeluaran dan resiko atas fasilitas pemberian kredit tersebut, namun upaya untuk menjaga kedudukan yang berimbang antara pelaku usaha dan konsumen haruslah tetap dijaga. Seringkali karena kurangnya informasi bagi pemohon kredit dan posisinya yang sangat tergantung pada bank pada akhirnya membuat nasabah harus tunduk pada perjanjian yang telah ditandatangani tersebut.33 Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK disebutkan bahwa: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat‐syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
32
Ketut Rindjin, 2000, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.112. 33 Widijantoro; 1999, Dari Tradisi Hukum Caveat Emptor Menuju Product Liability Mengenai Hak dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha –UUPK, Rajawali Press, Jakarta, hal 71
Universitas Sumatera Utara
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Dengan adanya ketentuan ini, setiap syarat yang digunakan dalam dokumen (bon pembelian, kwitansi pembayaran, tanda penyerahan kiriman, dan lain sebagainya) atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian, perjanjian asuransi, dan sejenisnya) dilarang dipergunakan sepanjang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana telah tertuang dalam pasal 18 UUPK yang menetapkan bahwa dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila klausula baku tersebut:34 (1) Isinya: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
34
Ida Susanti & Bayu Seto (editor), Op.cit., hal.120.
Universitas Sumatera Utara
f.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Letak atau bentuknya: a. sulit terlihat; b. tidak dapat dibaca secara jelas. (3) Pengungkapannya sulit dimengerti. Dalam perjanjian pemberian kredit bank terdapat beberapa klausula baku yang dianggap merugikan kedudukan salah satu pihak yang secara ekonomi lebih lemah dari pihak yang lain yaitu nasabah, diantaranya tentang jaminan dan jaminan tambahan serta cara pengikatannya, pelaksanaan eksekusi barang jaminan, pelunasan kembali sebelum jangka waktu pelunasan dan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Mengenai jaminan dan cara pengikatannya, terdapat klausula yang menyatakan bahwa debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberikan bantuan guna memungkinkan bank melaksanakan pengikatan barang jaminan kredit menurut cara dan pada saat yang dianggap baik oleh bank dan memberikan kuasa kepada bank yaitu kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sebelum utangnya kepada bank dilunasi, yang merupakan kuasa mutlak untuk menjual barang jaminan yang dijaminkan maupun
Universitas Sumatera Utara
jaminan tambahan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi nilai jaminan pokok tidak cukup untuk membayar seluruh utang dan bunga bank,maka debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dari bank membayar kepada bank sejumlah uang menurut ketetapan bank atau menambah barang‐barang atau benda‐benda tertentu oleh bank untuk dijadikan jaminan tambahan menurut ketetapan bank.35 Dalam melaksanakan bisnis perbankan, ada prinsip kehati‐hatian yang harus diterapkan oleh bank terutama dalam hal penilaian benda jaminan yang diberikan oleh debitur. Tentunya pihak bank dalam melakukan penilaian benda jaminan telah menilai cukup bahwa nilai benda jaminan mampu menutupi seluruh nilai utang berikut bunganya apabila debitur wanprestasi. Akan tetapi bank masih mencantumkan klausula bagi debitur untuk memberi tambahan benda jaminan bilamana nilai jaminan awal tidak mencukupi pada saat eksekusi. Klausula demikian tersebut jelas merugikan pihak debitur karena pada saat pelaksanaan eksekusi, debitur tidak pernah dilibatkan oleh pihak bank karena debitur sudah memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada bank untuk melaksanakan eksekusi. Menurut ketentuan Undang‐undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, seharusnya benda jaminan tersebut dieksekusi melalui lelang. akan tetapi, yang sering terjadi apabila debitur wanprestasi adalah dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan tanpa dilakukan lelang dan biasanya debitur tidak mengetahui siapa yang membeli benda jaminannya. Selain itu, seringkali dalam eksekusi tersebut benda jaminan dinilai jauh di bawah harga pasaran yang wajar yang akhirnya mengakibatkan pelunasan terhadap seluruh utang beserta bunga‐bunganya 35
Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 81
Universitas Sumatera Utara
menjadi kurang dan pihak bank meminta tambahan benda jaminan untuk melunasi seluruh sisa utang beserta bunganya.36 Adanya klausula baku seperti yang disebut di atas, maka klausula‐klausula ini mengesampingkan hak‐hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 huruf c UUPK yaitu “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. E. Jual beli menurut KUH Perdata Secara umum pengertian jual beli kredit menurut istilah adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah‐jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan.37 Dengan pengertian lain dapat dikatakan bahwa jual beli kredit adalah: “pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dan dalam waktu‐waktu yang ditentukan”. Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur‐unsur yang pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak.38 Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang 36 Subekti R, 1996, Jaminan‐jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 33 37
http://ruslibatubara-ruslibatubara.blogspot.com/2012/03/hukum-jual-beli-secarakredit.html diakses 26 Oktober 2013 38 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 79-80
Universitas Sumatera Utara
itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan beli”. Sebenarnya kata “jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang.39
Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual. Sedangkan beli
adalah adanya perbuatan membeli.
Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam
satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.
Dari defenisi yang dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa jual beli itu
dapat terjadidengan cara :40 1. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela, dan 2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan. Oleh karena perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.41 Dalam kehidupan dewasa ini semakin hari tingkat kebutuhan semakin meningkat, apalagi budaya konsumtif sudah semakin meluas ditengah‐tengah masyarakat, tidak jarang untuk pembeliannya dengan cara kredit.42
39
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Cetakan Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 33 40 Ibid 41 Ibid 42 Ibid, hal 50
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang dimaksud dengan pembelian dengan cara kredit ini adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap sesuatu barang, yang mana pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur‐angsur dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah pihak (pembeli dan penjual). Adapun jenis jual beli kredit yang lazim dilakukan oleh anggota masyarakat dewasa ini adalah seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan, Kredit alat‐alat rumah tangga dan lain‐lain sebagainya.43 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli kredit adalah pembayaran yang tertunda dengan cara cicilan, bisa dengan adanya tambahan harga ataupun tidak. Namun biasanya jual beli secara kredit itu memang dengan adanya tambahan harga dari yang kontan. Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupamata uang sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakansuatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggotamasyarakat.Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak‐hak dankewajiban‐kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu sipenjual dan si pembeli.Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457KUHPerdata adalah; “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, danpihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimanapihak 43
Ibid
Universitas Sumatera Utara
penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan.Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindahtangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesuaidengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dianggaptelah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang‐orang inimencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipunkebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar (Pasal1458 KUHPerdata).Barang dan harga inilah yang menjadi unsur pokok dariperjanjian jual beli.44 Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, jika pihak pembelitidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasiyang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugiatau pembatalan perjanjian menurut ketentuan‐ketentuan Pasal 1266 dan1267 KUHPerdata.“Harga“ tersebut harus berupa sejumlah uang. Jikadalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal tersebut (barang danuang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar, ataukalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjiankerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termaktubpengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli ituterjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam matauang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkannyadalam mata uang apa saja.45
44 Wirjono Prodjodikoro, Azaz‐ azaz Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta Cetakan Ketujuh, 1983, hal 67 45
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Op.Cit, hal 14
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hokumBelanda, perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifatmengikat para pihak.Jual beli yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUHPerdatamenerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akanberpindah tangan kepada pembeli selama belum diadakan penyerahanyuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata.Dari sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapatdijabarkan menjadi beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalamsifat obligatortersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja yangmenjadi obyeknya), harga yang telah disepakati kedua belah pihak dalamperjanjian jual beli, dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.46 Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejaktercapainya kata sepakat mengenai jual beli atas barang dan harga walaupunbelum dilakukan penyerahan barang ataupun pembayaran maka sejak saatitulah sudah lahir suatu perjanjian jual beli. Asas konsensualitas itu sendirimenurut pasal 1458 KUHPer mengatur sebagai berikut : Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun barang belum diserahkan dan hargabelum dibayar.47 Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa latin consensus yangartinya kesepakatan. Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwadari para pihak yang bersangkutan telah tercapai suatu persesuaiankehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh para pihak telah tercapai suatukesamaan, kemudian dari persesuaian kehendak tersebut tercapai katasepakat. Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal 46 47
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang sertelah mendapatkan sejumlahuang sebagai imbalannya.Begitu pula dipihak kedua sebagai pihak pembeliyang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersediamemberikan sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagaipemegang hak milik sebelumnya.Jual beli yang bersifat obligator dalam KUHPerdata (Pasal 1359) bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tanganpembeli selama belum diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612 yang menyebutkan bahwa penyerahan atas benda bergerak dilakukan denganpenyerahan nyata, Pasal 613 bahwa penyerahan piutang atas nama,dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan.Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUHPerdata maksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajibanbertimbal balik pada para pihak. Yaitu saat meletakkan kepada penjualkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran atasharga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untukmendapatkan penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelahdiadakan penyerahan.48 Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang‐undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang‐undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang‐undang Hukum Dagang. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457‐1540 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 48
http://mvpivanaputra-show.blogspot.com/2013/03/perjanjian-jual-beli-menurutkuhperdata.html diakses 26 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu : 49 1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. 2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Menurut Salim H.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.50 Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.51 1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli 2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga 3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara 49
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 181. Salim H.S., Op.Cit, hlm. 49. 51 Ibid. 50
Universitas Sumatera Utara
kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.52 Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul‐klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan‐ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang‐undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.53 Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :54 1. Benda Bergerak Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut. 2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan. 3. Benda tidak bergerak
52
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127. 54 Salim H.S,Op.Cit , hlm. 49. 53
Universitas Sumatera Utara
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457‐pasal 1540 BW. Ketentuan tersebut untuk masa sekarang ini tentu saja tidak cukup untuk mengatur segala bentuk atau jenis perjanjian jual beli yang ada dalam masyarakat, akan tetapi cukup untuk mengatur tentang dasar‐dasar perjanjian jual beli. Dalam pasal 1457 BW diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut : Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yangsatu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.55
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena
mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.56
Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia,
karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal‐hal lain yangtidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul‐klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan‐ ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang‐undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.
55 56
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 126 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual
karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang‐barang tidak bergerak.57
Kesepakatan dalam perjanjian jual beli yang pada umumnya melahirkan jual beli
tersebut, juga dikecualikan apabila barang yang diperjual belikan adalah barang yang biasanya dicoba dulu pada saat pembelian, karena apabila yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut adalah barang yang harus dicoba dulu untuk mengetahui apakah barang tersebut baik atau sesuai keinginan pembeli, perjanjian tersebut selalu dianggap dibuat dengan syarat tangguh, artinya perjanjian tersebut hanya mengikat apabila barang yang menjadi objek perjanjian adalah baik (setelah dicoba).58
Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya
kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan.
Apabila dalam perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak dimana
seharusnya barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan, penyerahan harus dilakukan di tempat dimana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan.
Cara penyerahan benda yang diperjualbelikan berbeda berdasarkan kualifikasi
barang yang diperjualbelikan terebut. Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut :59
57
Ibid Ibid 59 Ibid 58
Universitas Sumatera Utara
1. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol‐simbol tertentu (penyerahan simbolis), misalnya penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut. Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah, jika : a. Barang yang dibeli tersebut sudah ada di tangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan, misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli; b. Barang yang di beli tersebut masih berada di tangan penjual pada saat penyerahan karena adanya suatu perjanjian lain, misalnya barang yangsudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual; c. Barang yang dijual tersebut berada di tangan pihak ketiga, baik karena persetujuan sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan berlangsung. 2. Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta di bawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh si berutang. 3. Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama.
Universitas Sumatera Utara
Apabila karena kelalaian penjual, penyerahan tersebut tidak dapat dilaksanakan, pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian atas alasan bahwa si penjual tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1266 BW bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam perjanjian‐perjanjian timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Di samping menuntut pembatalan perjanjian, si pembeli juga dapat menuntut agar penyerahan barang tersebut dilaksanakan sepanjang penyerahan tersebut masih memungkinkan untuk dilaksanakan bahkan dapat disertai penggantian biaya rugi dan bunga.60 Jual beli angsuran atau biasa juga disebut jual beli cicilan banyak dijumpai dalam praktik, baik dalam jual beli yang objeknya adalah barang bergerak maupun barang tidak bergerak.61 Istilah cicil yang dikenal dalam masyarakat tidak selamanya harus diartikan sebagai jual beli cicilan, tetapi ada kemungkinan yang dimaksud adalah sewa beli karena dalam masyarakat biasanya kalau membeli barang dengan pembayaran yang dilakukan secara bertahap, yaitu dilakukan tiap bulan maka sebagian anggota masyarakat dengan mudah mengatakan bahwa itu adalah jual beli cicilan, tanpa memerhatikan konsep kontraknya apakah jual beli cicilan ataukah sewa beli. Sepintas antara sewa beli dan jual beli angsuran memang sama, yaitu pembayaran dilakukan secara bertahap tiap bulan, namun pada dasarnya antara kedua kontrak tersebut terdapat perbedaan yang sangat berarti.62
60
Ibid Ibid 62 Ibid 61
Universitas Sumatera Utara
Salah satu perbedaan yang paling menonjol antara jual beli angsuran dan sewa beli adalah kalau jual beli angsuran pada dasarnya hak milik sudah beralih pada saat barang yang menjadi objek jual beli diserahkan kepada pembeli sedangkan pada perjanjian sewa beli, hak milik baru beralih pada saat pembayaran angsurannya telah lunas, sehingga pada perjanjian sewa beli, angsuran yang dibayar setiap bulan oleh pembeli hanyalah merupakan pembayaran uang sewa sehingga apabila perjanjian sewa beli tersebut pembayaran harga (sewa) barangnya macet, angsuran yang telah dibayarkan tidak seharusnya diminta kembali. Akan tetapi, bila pembayaran tersebut sudah berlangsung sekian lama bahkan hampir lunas, sangatlah tidak patut jika penjual dengan begitu saja menarik barang yang disewabelikannya tanpa memperhitungkan pembayaran yang telah dilakukan oleh pembeli sewa, jika pembayaran harga sewanya macet.63 Walaupun secara konseptual antara jual beli angsuran dan sewa beli memiliki perbedaan, dalam praktiknya keduanya hampir sama karena para pelaku usaha membuat klausul yang menyebabkan pembeli tidak diberi kebebasan untuk mengalihkan barang yang dibeli secara angsuran atau disewa beli sebelum barang tersebut dibayar lunas, sebaliknya baik pada sewa beli maupun pada jual beli angsuran, pihak pembeli atau penyewa beli selalu dibebani untuk menanggung segala resiko yangtimbul pada barang yang menjadi objek perjanjian jual beli angsuran atau perjanjian sewa beli.64 63 64
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara