La Galigo sebagai cermin budaya; Beberapa catatan Ringkasan presentasi pada Seminar I La Galigo Masamba, 25 April 2012 Apa sebenarnya La Galigo? Sureq Galigo, atau La Galigo, atau Bicaranna Sawérigading bukan karya sastera seperti kita biasa mendefinisikan karya sastera: Tidak ada penulis atau pengarangnya; jalur cerita cukup jelas, namun tidak tetap; perkataan tidak tetap, walau gaya bahasanya sangat konsisten; besar, atau panjangnya, tidak tetap; dan tidak pasti pengarangannya sudah tamat atau belum. Kita kenal La Galigo kebanyakan dari sejumlah naskah yang masing-‐masing mengandung satu, dua atau kadang-‐kadang tiga episode. Tidak ada naskah yang memuat cerita dari awal sampai akhir. Bahkan jumlah episode tidak diketahui. Di samping tradisi naskah (yang sebenarnya juga sangat penting aspek kelisanannya, karena dilagukan), ada juga tradisi lisan yang dapat dianggap merupakan bagian dari tradisi La Galigo. Dan sejak tahun 2004 teater internasional juga menjadi bagian dari tradisi tersebut. Tahun-‐tahun terakhir juga terbit beberapa novel berdasarkan cerita La Galigo, antara lain dikarang oleh Idwar Anwar dan Dul Abdul Rahman. Dan barangkali seminar-‐seminar yang mengambil topik La Galigo dapat dianggap pula bagian baru dari tradisi tersebut. Daripada dianggap satu karya sastra, mungkin lebih baik kita anggap La Galigo sebagai tradisi atau kumpulan cerita berseri. Tidak terlalu jauh berbeda dari serial TV sinetron di mana cerita juga cukup cair (fluid), tidak pasti panjangnya, dan setiap episode dapat dinikmati tanpa persis mengetahui jalur cerita utama. Isinya? La Galigo menceriterakan awal penghunian dunia dan asal-‐usul manusia. Enam generasi pertama manusia yang berasal dari dewata di dunia atas, Boting Langiq, dan dunia bawah, Pérétiwi, jelajahnya di dunia tengah diceritakan. Setelah enam generasi dunia kosong lagi, penghuninya kembali ke dunia atas dan dunia bawah. Generasi-‐generasi Batara Guru, Batara Lattuq, Sawérigading, I La Galigo, La Tenritattaq dan Apung ri Toja masing-‐masing diceritakan kehidupannya di dunia (dan sebagian kecil di dunia atas dan duna bawah). Dari kehidupannya kita khusus mengetahui mengenai kehidupan sosial tokoh-‐tokoh: kelahiran, pendidikan, perkawinan dan perjuangannya. Dan semua cerita itu dibangun atas silsilah tokoh-‐tokoh. Bagaimana cara transmisinya? Transmisi cerita-‐cerita La Galigo kebanyakan dalam bentuk naskah. Bagaimana cara menulis atau mengarang naskah tidak diketahui. Namun dapat kita perkirakan bahwa salah satu cara adalah sebagai 'writing composer': seperti dalam tradisi lisan seorang pengarang mengarang cerita berdasarkan
1
'alat',misalnya: formula, paralelisme, ulangan dan metrum. Garis besar alur cerita menjadi 'batang' cerita. Selain 'writing composer' dapat juga dipastikan naskah dapat disalin dari naskah yang lain. Bagaimana cara itu, tidak begitu jelas. Seandainya pada umumnya salinan sangat teliti, seharusnya kita dapat jauh lebih banyak naskah yang lebih bermiripan. Tapi, justru variasi antara naskah-‐naskah salah satu episode sangat besar. Hal itu sesuatu yang khas untuk tradisi La Galigo: hampir tidak dapat naskah isinya pasti dikopikan dari naskah yang lain. Berarti juga tidak dapat dipastikan ada versi 'asli'. Di sini juga perlu dikemukakan bahwa untuk mayoritas konsumen cerita La Galigo merupakan tradisi lisan: mereka selalu mendengar seorang passureq membacakan ceritanya. Buat mereka tidak ada bedanya antara cerita yang dituliskan atau yang dikarang pada saat performancenya. Sebuah naskah biasanya mengandung satu atau dua episode. Jalur cerita utama, yang memuat 'semua' episode tidak ada dalam bentuk tertulis. Apa fungsi cerita? Sebuah karya (atau koleksi karya) seperti La Galigo, selain mempunyai fungsi penghiburan dalam masyarakat ada fungsi lain pula. Manusia tidak bisa hidup tanpa cerita. Dua minggu lalu ada buku diterbitkan dengan judul: The Storytelling Animal (Binatang yang bercerita). Intinya, manusia selalu memerlukan cerita untuk mengerti dan mengertikan dunia dan lingkungannya. Setiap pengalaman diberikan tempat di dalam sebuah cerita. Dan otak kita hanya dapat memproseskan informasi (baik dari luar, maupun dari dalam) melalui cerita. Mungkin ciri khas kemanusiaan yang paling menonjol adalah sifat sosial kita. Setiap orang mempunyai jaringan dan hubungan dengan ratusan orang lain. Setiap manusia harus menyesuaikan diri dengan orang lain, dan perlu mempunyai ketrampilan bergaul dan mencari jalan hidup di antara masyarakat lain yang harus berbuat begitu juga. Untuk menghadapi tantangan yang bermuncul dalam jaringan sosial manusia mempunyai bahasa. Dengan kata lain: kita punya budaya. Robin Dunbar berpendapat bahwa kemampuan berbahasa manusia berasal dari tantangan jaringan sosial yang meluas. Hanya dengan bahasa kita dapat memelihara hubungan sosial dengan begitu banyak orang lain. Dan menurut Dunbar fungsi awal bahasa adalah gossip: cerita atau tukaran informasi mengenai orang lain di lingkungan kita. Berarti, bukan hanya gossip dalam arti sempit -‐ menukarkan informasi negatif mengenai orang di sekitar -‐ tapi yang luas, semua informasi mengenai orang lain, mengenai hubungan antara orang lain, mengenai perbuatan orang lain, mengenai pendapat orang lain, mengenai karakternya, mengenai rahasianya, dst. Untuk bertahan di dalam lingkungan sosial dan alam tidak cukup hanya bercerita, kita memerlukan pengalaman. Dari pengalaman kita belajar dan dapat menangani sebuah situasi yang pernah sebelumnya kita alami lebih baik dan tepat. Namun, tidak mungkin kita dapat mengalami setiap situasi dalam
2
kenyataan. Dan kadang-‐kadang lebih baik begitu: banyak situasi terlalu bahaya dan risikonya kita terluka atau malah mati terlalu besar. Kita juga dapat mengalami sesuatu atau sebuah situasi melalui cerita. Dan bukan hanya melalui cerita yang benar atau nyata, tetapi juga melalui fiksi, cerita yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan tapi muncul dari imajinasi seseorang atau sekelompok orang. Pasti kita semua pernah mengalami emosi kita pada saat lagi menikmati sebuah karya fiksi, seperti film, sinetron, novel atau dongeng. Ada yang ketawa, menangis, marah, berteriak atau terharu, walaupun kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa kejadian yang membuat kita beremosi tidak nyata. Hanya fiksi. Hal yang sama terjadi di dalam fiksi yang paling pribadi, yaitu mimpi: kita dapat mengalami situasi apa saja, tanpa ada bahaya. Dan itu merupakan pelajaran buat situasi yang nyata. La Galigo sebagai gossip? Mengingat apa yang dikemukakan di atas, kita kembali ke La Galigo. Jika melihat isinya dapat dikatakan bahwa sebagian besar merupakan gossip: cerita mengenai orang dan hubungan sosialnya. Setiap episode menceritakan mengenai kehidupan sosial dan masalah-‐masalahnya. Siapa calon suami atau isteri yang paling cocok, dia sudah punya jodoh, mau kawin atau tidak, dsb? Siapa musuh, siapa dapat dipercaya, siapa teman? Malah, jarang ada deskripsi yang intinya bukan sosial. Tidak ada deskripsi jelas mengenai bentuk perahu atau rumah, tidak ada deskripsi pemandangan alam, atau kota, atau negara. Kalau disebut, perkataannya pendek dan hanya terdiri dari formula-‐formula. Bahwa intinya La Galigo adalah gossip dalam arti yang luas, tidak mengherankan. Setiap karya sastra atau fiksi dari seluruh sudut dunia mempunyai inti begitu: dari Ilias dan Odyssee dari Yunani Kuno, Mahabharata dan Ramayana dari India, Hikayat Hang Tuah dari daerah Melayu sampai film Bollywood dan Hollywood, sinetron dan telenovela, dan sastra pop. Tema dan motifnya universal. Kalau mau diringkaskan: cinta, perang dan penjelajahan. Di mana-‐mana dan pada setiap zaman hal itu yang ternyata paling menarik untuk diceritakan. Tidak aneh, karena itu hal yang paling penting dalam kenyataan kehidupan sosial juga. Dari awal La Galigo pencarian isteri yang cocok untuk Batara Guru menjadi pokok cerita, kemudian perkawinannya dan kelahiran anak-‐anaknya. Dan itu diteruskan pada setiap generasi: pencarian isteri Batara Lattuq di Tompoq Tikkaq, Sawerigading di Cina, I La Galigo di beberapa negara lain, dan puluhan tokoh lain. Perang sebagai halangan dalam perjalanan hidup juga sering menjadi pokok cerita. Baik sebagai halangan dalam pencarian jodoh di mana dua pesaing harus pastikan siapa yang mendapat jodoh, atau sebagai halangan yang harus dihadapi untuk meraih tujuan salah satu tokoh. Misalnya Sawerigading yang harus melawan tujuh musuh selama perjalanan dari Luwuq ke Cina. Salah satu musuhnya Settia Bonga, tunangannya We Cudaiq, calon isteri Sawerigading.
3
La Galigo: sumber atau cermin? Dari karya sastra yang begitu panjang, jelas kita masih bisa mengambil banyak contoh yang lain, namun tidak mungkin dalam rangka satu presentasi. Lebih baik sekarang kita bertanya apakah yang diceritakan dalam La Galigo merupakan contoh yang perlu diikuti oleh masyarakat, atau mungkin La Galigo merupakan cermin budaya pada zaman-‐zaman naskah ditulis? Atau, dan itu pendapat saya, La Galigo mencerminkan imajinasi masyarakat mengenai dunia nenek-‐ moyangnya yang diagungkan dan dicocokkan dengan dunia dan budaya mereka sendiri? Pada titik ini kita kembali lagi ke bentuk tradisi La Galigo. Seperti dikatakan pada awal presentasi ini, bentuk dan isi naskah dan tradisi lisan La Galigo tidak tetap. Banyak variasi di antara naskah, dan malah kadang-‐kadang ada yang bertentangan. La Galigo berabad-‐abad lamanya bertumbuh: ada tambahan episode, ada perluasan episode tertentu (misalnya ada satu naskah di mana deskripsi kelahiran I La Galigo sepanjang 100 halaman, padahal di naskah lain jauh lebih pendek). Salah satu episode yang mungkin baru ditambah setelah intinya La Galigo sudah terbentuk adalah episode kelahiran Sangiang Serri dan asal-‐usulnya padi. Ada beberapa versi yang cukup berbeda, dan sebenarnya ceritanya agak berbeda dengan cerita lain dalam La Galigo. Mungkin episode tersebut baru diciptakan setelah padi dikenal oleh masyarakat Bugis. Yang menurut saya agak aneh juga, walaupun daerah Luwuq menonjol pada awal La Galigo setahu saya sama sekali tidak disebut kapurung, makanan khas daerah itu. Berhubungan dengan makanan juga kami bisa pertanyakan apakah mungkin babi juga dihilangkan dari tradisi La Galigo setelah agama Islam masuk di Sulawesi Selatan? Kemungkinan besar masyarakat tidak mau nenek-‐moyangnya makan barang yang haram. Sayangnya, tidak dapat dipastikan karena tidak ada lagi naskah dari zaman pra-‐Islam. Salah satu episode yang saya sebagai orang Belanda paling suka adalah mengenai asal-‐usul orang Belanda. Cerita ini setahu saya hanya ada dalam bentuk lisan. Sawerigading bepergian ke dunia arwah, Pammessareng, dan di situ jatuh cinta dengan I Pinrakati. Maunya, membawa I Pinrakati ke dunia tengah, tapi tidak mungkin karena orang yang telah meninggal tidak bisa kembali lagi. Setelah beberapa bulan, I Pinrakati hamil. Datang waktunya Sawerigading harus kembali ke dunia tengah. I Pinrakati mengantar Sawerigading ke perbatasan dunia bawah dan dunia tengah. Pas tiba di situ dia melahirkan. Karena I Pinrakati sebenarnya sudah meninggal, kulit bayinya pucat dan matanya kayak kaca. Sawerigading ingin bawa anaknya ke dunia tengah dan setelah dia naik, orang dunia tengah tarik bayinya juga ke atas, memegang hidungnya, sampai hidungnya jadi mancung. Berarti orang Belanda juga keturunan Sawerigading. Beberapa hal bisa kita lihat dari cerita ini. Pasti baru diciptakan setelah orang Belanda masuk di daerah Sulawesi Selatan, abad ke-‐17. Namun, mengapa justru orang Belanda? Padahal, ada juga orang Arab, Portugis, Inggeris dan lain-‐lain yang mulai kunjungi Sulawesi pada zaman itu. Saya kira karena orang Belanda sebagai penjajah dan penguasa perannya cukup penting. Daripada dikuasai oleh orang lain dari jauh, lebih baik mengartikan posisi orang Belanda sebagai
4
saudara yang wibawanya berasal dari sumber yang sama dengan penguasa sendiri. Ini juga sebuah contoh dari fleksibilitas tradisi La Galigo: selalu disesuaikan dengan situasi baru. Masuknya agama Islam dan integrasinya dalam tradisi La Galigo dapat dilihat pada episode Doa-doa I Attaweq yang ada beberapa doa dalam bahasa Arab. Episode Taggilinna Sinapatie mengandung cerita bagaimana zaman La Galigo berakhir dan Sawerigading ke Mekkah, lalu bawa agama Islam ke Sulawesi. Dari contoh-‐contoh di atas dapat dilihat bahwa La Galigo bukan suatu tradisi yang statis dan abadi. Justru sebaliknya. Setiap generasi atau zaman dapat menyesuaikan tradisi dengan situasi yang baru, dengan zaman yang berubah. Jelas, banyak hal yang tetap sama dan tidak atau hampir tidak berubah: silsilah tokoh, masalah mencari jodoh, persaingan antara tokoh-‐tokoh dan sebagainya. Mungkin justru karena fleksibilitas itu La Galigo bertahan dan tumbuh begitu besar selama ratusan tahun. Apakah tradisi La Galigo juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman modern? Budaya moderen bukan hanya membawa perubahan budaya dalam arti yang luas, namun juga perubahan media. Tradisi naskah sudah tidak ada lagi, malah seringkali tulisan tangan ditinggalkan. Kebanyakan orang tidak menulis lagi, tapi langsung mengetik ceritanya di dalam komputer. Untuk hiburan tidak lagi perlu ada passureq yang membacakan atau menceritakan. Sekarang bisa nonton TV, dengar radio, membaca novel, atau nonton YouTube di internet. Cerita fiksi yang begitu menarik dan penting buat manusia dan jaringan sosialnya terdapat di mana-‐mana. Malah setiap orang bisa ikut di dalam pengarangan fiksi melalui akun Facebook atau Twitternya. Tahun-‐tahun terakhir juga muncul sejumlah blog di internet yang topiknya La Galigo. Siapa tahu tradisi La Galigo bisa mengadaptasi juga dengan media baru, dan dilanjutkan melalui blog, Twitter, film dan/atau sinetron.
5