Cermin Retak Pengelolaan Benda Cagar Budaya Oleh: Jajang Agus Sonjaya, M.Hum. (Dosen Arkeologi FIB UGM dan Staf Peneliti Sosial Budaya PSAP UGM)
Tanggal 19 Februari 2005 Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM menggelar diskusi seputar pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB). Topik tersebut sebenarnya sudah sering diangkat dalam diskusi, seminar, lokakarya, dan semacamnya. Namun diskusi yang dilakukan kali ini lain dari yang lain. Peserta diskusi berasal dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan BCB, yakni dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah diwakili oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY, BP3 Jawa Tengah, BP3 Jawa Timur, serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. Akademisi diwakili oleh beberapa arkeolog, antropolog, arsitek, dan mahasiswa. Adapun masyarakat diwakili oleh LSM. Dalam diskusi tersebut, 32 orang yang hadir punya hak yang sama untuk mengisahkan pengalaman dan mengeluarkan gagasan seputar pelestarian dan pemanfaatan BCB. Sebuah cermin besar diletakkan di arena diskusi. Cermin itu dipakai sebagai media refleksi terkait dengan pengelolaan BCB selama ini. Apa yang sudah dilakukan terhadap BCB? Mengapa pelestarian dan pemanfaatan BCB selalu dipertentangkan dan seringkali berbuah konflik? Mengapa masih saja terjadi sekat-sekat di antara pihak pengelola BCB? Mengapa masyarakat masih kesulitan mengakses manfaat BCB? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun mengalir begitu saja, keluar dari mulut praktisi, rekan-rekan LSM, dan para ahli. Namun semua peserta diskusi nampak terperangah ketika dihadapkan pada pertanyaan bodoh yang tak sengaja terlontar hampir di akhir diskusi: apakah sebenarnya BCB itu?
Pertanyaan itu sederhana. Tapi jadi aneh ketika para pakar dan praktisi pelestari BCB mempunyai perspektif yang berlainan terhadap objek yang digelutinya. Perbedaan perspektif tersebut jelas akan berdampak pada perlakuan kita pada BCB. Persoalan Jagad Jawa di Borobudur, sengketa tanah di Situs Dieng, gardu pandang di Sangiran, pengembangan pariwisata Candi Plaosan, revitalisasi Taman Sari, dan alih fungsi Ambarukmo, merupakan beberapa cermin retak yang memperlihatkan betapa perbedaan perspektif itu telah menimbulkan kebingungan-kebingungan para pihak yang terkait dengan pengelolaan BCB. Selama ini pemerintah dan sebagian besar dari kita memandang BCB sebagai sumberdaya. Laiknya sumberdaya alam, BCB pun bisa dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Di dalam UU 5/1992 tentang BCB memang disebutkan bahwa BCB yang merupakan benda buatan manusia yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dapat dimanfaatakan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dengan begitu menjadi jelas, bahwa BCB adalah sebuah entitas atau wujud yang diperlakukan betulbetul sebagai ‘benda mati’. Realitas itu ternyata sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar peserta diskusi. Mereka memahami BCB lebih sebagai sebuah simbol yang memiliki ragam makna ketimbang hanya sebagai benda mati semata. Selain BCB itu memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi, karena pada hakekatnya BCB adalah sebuah warisan budaya. Bahkan dalam satu generasi, makna tersebut bisa sangat beragam. Di sinilah ironisnya. Di dalam hati para pihak mengakui bahwa BCB itu kaya makna, namun dalam prakteknya mereka tak menyadari bahwa BCB tersebut telah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi semata.
Borobudur, misalnya, diperlakukan pemerintah sebagai monumen mati (dead monument) dalam pengertian bahwa BCB tersebut telah ditinggalkan oleh pembuat dan masyarakat pendukungnya. Ketika Candi Borobudur divonis sebagai monumen mati, maka UU 5/1992 dan PP 10/1993 sebenarnya tidak memperbolehkan BCB tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan. Kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Namun di sisi lain, karena BCB tersebut dipandang sebagai sumberdaya, pemerintah tak ragu untuk menjadikan BCB sebagai ‘mesin’ yang dapat menghasilkan uang, yakni melalui sektor pariwisata. Nilai kultural dan kesakralan Borobudur pun tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang asongan, tertimbun ratusan kakilima, dan samar tertutup hotel mewah yang dibangun pihak pengelola. Hal demikian terjadi pula di Dieng. Karena pendapatan dari Dieng begitu menggiurkan, maka Dieng pun menjadi barang rebutan dua kabupaten. Sementara keduanya saling berebut, BCB di Dieng pun terbengkalai. Arca-arca sering dicuri, batubatu candi banyak yang hilang, bahkan situsnya sendiri sudah disulap menjadi taman dan lahan pertanian. Pemerintah seolah lupa bahwa Dieng adalah tempat sakral bagi sebgian besar pemeluk agama Hindu. Pemerintah juga tidak mengindahkan upayaupaya yang dilakukan para spiritualis Kejawen yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualis candi-candi dan BCB lainnya di Dieng. Pemerintah juga menutup mata atas upaya masyarakat setempat untuk menjadikan Situs Dieng sebagai pusat kegiatan kebudayaan. Candi Plaosan adalah salah satu cermin lainnya. Candi yang sudah menghabiskan uang milyaran untuk pemugaran dan pemeliharaannya, bagi masyarakat di sekitarnya ternyata justru “mung kanggo sawangan thok”. Bahkan pemugaran yang dilakukan oleh BP3 justru dianggap masyarakat telah menurunkan pamor Candi Plaosan
yang tadinya wingit menjadi tidak wingit. Upaya pengembangan pariwisata yang sudah dirintis pun di mata masyarakat justru menjadi momok. Mereka takut digusur seperti tetangga dan saudara mereka di Prambanan. Belum juga ada kesepahaman, Diparta Klaten kini telah memasang pegawainya yang bertugas untuk menarik retribusi pengunjung di gerbang masuk Candi Plaosan. Pemerintah secara sepihak seringkali potong kompas untuk mentransformasikan BCB yang bernilai kultural tinggi menjadi sumberdaya ekonomi, tanpa mengindahkan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang lain. Sebagai sebuah karya manusia, BCB bukanlah merupakan wujud yang mati, melainkan memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat pendukungnya di masa lalu. Nilai-nilai tersebut merupakan modal karena dapat diambil hikmahnya untuk pegangan generasi-generasi penerusnya. Demikian pula ketika BCB itu pindah kepemilikan ke generasi berikutnya, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. Jadi, letak sumberdaya bukan pada bendanya, tapi pada manusia yang memaknainya. Dari pemahaman akan arti BCB tadi, menurut saya, pelestarian dan pemanfaatan BCB dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengembalikan kepada kondisi awal agar dapat diketahui nilai-nilai asli yang dikandung. Kedua, memperbaiki kondisi yang ada agar nilai-nilai kultural dan historisnya dapat diapresiasi oleh pengamat pada masa kini. Ketiga, menyiapkan setting baru agar dapat mengapresiasikan dirinya sesuai dengan jamannya. Cara pertama dapat dikatakan sudah biasa dilakukan oleh pemerintah, terutama terhadap objek monumen mati seperti candi melalui proyek pemugaran. Sangat berbeda dengan cara pertama, kedua cara lainnya dapat dikatakan lebih sulit. Selain harus mempertahankan keaslian, cara kedua dan ketiga harus didahului dengan studi yang
komprehensip untuk mengungkap terlebih dahulu nilai-nilai kultural dan historis serta kepentingan-kepentingan publik sekarang. Apabila kita benar-benar mau bercermin pada kasus Borobudur, Dieng, Plaosan, dan lain-lain, sebenarnya upaya pelestarian pemanfaatan BCB jauh akan lebih mudah. Sebelum upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan BCB dilakukan, semua pihak yang terkait (pemerintah, akademisi, dan masyarakat) hendaknya sama-sama memahami terlebih dahulu bahwa BCB bukanlah sumberdaya yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Perspektif inilah yang diharapkan mampu mengakomodasi beragam kepentingan dalam pengelolaan BCB sehingga bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin pihak. ***