LA GALIGO FOR NUSANTARA
SETAHUN JEJAK KONSERVASI KREATIF DARI DAN UNTUK PEMUDA
LA GALIGO FOR NUSANTARA: SETAHUN JEJAK KONSERVASI KREATIF DARI DAN UNTUK PEMUDA INDONESIA Team dan Kontributor LONTARA Project Copyright©2012 by LONTARA Project
Penerbit I UPS! LA GALIGO www.lontaraproject.com
Desain Sampul: Maharani Budi
Seluruh keuntungan yang didapatkan melalui penjualan buku ini akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan LONTARA Project Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Ucapan Terima Kasih:
Dewata SeuwwaE alias Tuhan Yang Maha Esa Orang tua-orang tua yang telah melahirkan kami Bunda Profesor Nurhayati Rahman dan Bapak Gene Ammarell Penulis-penulis kami yang oke punya Indonesia Buku Rekan-rekan La Galigo Music Project Sobat Lontara di seluruh dunia
MELESTARIKAN BUDAYA SEMBARI BERKREASI Oleh Muhammad Ahlul Amri Buana
“Promoting La Galigo, as the largest written oral tradition in the world, to youth outside of Sulawesi Island. Also to increase information and understanding of people in Indonesia toward heritage, culture and local wisdom in South Sulawesi.” Lontara Project merupakan singkatan dari La Galigo for Nusantara. Gerakan pemuda yang lahir tanggal 31 Desember 2011 ini bertujuan untuk mempromosikan La Galigo sebagai warisan kebudayaan nasional serta menginspirasi generasi muda untuk menggunakan kreatifitas mereka guna melestarikan tradisi Indonesia. Gerakan ini dipelopori oleh empat orang mahasiswa asli Makassar di perantauan. Muhammad Ahlul Amri Buana dari Fakultas Hukum UGM, Sri Maharani Budi dari Desain Grafis STISI-TELKOM Bandung, Fitria Sudirman dari Sastra Inggris UI, dan Setia Negara dari ITB memadukan ide-ide mereka untuk kemudian melahirkan gerakan berskala nasional ini sejak pertengahan 2011 lalu. Motivasi awal mereka menciptakan Lontara Project adalah karena ingin mengangkat nama Sulawesi Selatan lewat kekayaan budaya daerahnya. Selama ini mereka mengaku tidak nyaman dengan pemberitaan nasional terkait Makassar. Mereka sering disindir dengan teman-teman dari daerah lain setiap kali
mahasiswa Makassar terlibat tawuran atau bentrok dengan polisi. Beranjak dari rasa malu itulah mereka berjuang untuk menunjukkan kegemilangan Sulawesi Selatan yang tertutup oleh aksi anarkisme. Gerakan ini juga muncul karena kemirisan keempat pemuda tadi terhadap warisan sastra terpanjang di dunia yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Memory of The World namun kurang dikenal di panggung kebudayaan nasional. Semakin hilangnya antusiasme masyarakat di daerah terhadap tradisi La Galigo serta ketidakpedulian generasi muda terhadap epos ini menjadi penggerak utama Lontara Project untuk mengajak pemuda-pemuda Indonesia mengonservasi kebudayaan bangsa. Lontara Project tidak bertujuan untuk menciptakan ensiklopedia lengkap soal La Galigo atau menjadi pusat jawaban seputar tradisi ini. Keempat penggeraknya bukanlah ahli di bidang La Galigology dan mereka pun masih belajar. Referensi mereka selama ini adalah buku-buku serta diskusi dengan Prof. Nurhayati Rahman, seorang pakar La Galigo yang telah malangmelintang di dunia naskah kuno. Tujuan utama gerakan ini ialah berjuang untuk mempopulerkan La Galigo sebelum dilupakan atau bahkan diklaim oleh negara lain. Dengan mengusung tema konservasi kreatif, Lontara Project berusaha untuk memperkenalkan La Galigo kepada khalayak nasional (tidak hanya Sulawesi Selatan) ke dalam bentuk yang lebih “youth-friendly”. Bersenjatakan kreatifitas, media sosial, serta semangat muda untuk perubahan, Lontara Project mengajak semua orang untuk mengambil peran langsung melestarikan identitas bangsa.
Beberapa contoh aktifitas yang telah dilakukan oleh Lontara Project untuk mewujudkan tujuannya ini antara lain; pembuatan web www.lontaraproject.com yang berisi berbagai macam artikel ringan dan basic information seputar La Galigo, pembuatan akun twitter (@lontaraproject) dan facebook, kampanye melestarikan budaya lewat selfphoto-tag, pembuatan komik mengenai isi dan sejarah La Galigo bagi mereka yang malas membaca buku-buku literatur yang tebal, reportase ke pameran-pameran, seminar maupun wawancara dengan para pakar, pembuatan lagu yang memadukan musik tradisional dengan instrumen modern, serta merchandise. Keseluruhan kegiatan tersebut terangkum dalam kampanye budaya ala anak muda jaman sekarang yang dinamai I UPS! LA GALIGO. UPS merupakan singkatan dari Uncover, Preserve, dan Speak La Galigo. Bulan Februari lalu, Lontara Project bekerjasama dengan Indonesia Buku mengadakan grand launching di Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Acara ini dihadiri pula oleh beberapa orang perwakilan IKAMI Sulsel di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bulan Mei mendatang, La Galigo Music Project yang merupakan bagian dari Lontara Project diundang untuk tampil pada pembukaan JOINMUN (Jogja International Model United Nations). Yang mengejutkan adalah, mayoritas penggarap lagu di La Galigo Music Project berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan. Muhammad Yusuf, “panglima” grup musik ini berasal dari Jakarta. Perannya begitu penting dalam mengonsep musik. Mereka didukung pula oleh Puspaningtyas Panglipurjati pada vokal (sinden Jawa) bersama Ursula Natali Langouran dan Widya Noviani;
Diva Indraswari, Sartika serta Angling Widyanto pada tarian; Fajar Rausyanfikr (tarian dan lagu Dayak); Himawan dan Mandira pada biola; Rahmat, Unchie dan Gendon pada perkusi; Juli pada flute serta Jodi dan Putri pada gitar. Ke depannya, Lontara Project berencana untuk mengadakan lomba-lomba, road show, dan dokumenter singkat untuk menarik lebih banyak perhatian dan partisipasi masyarakat. Semangat kreatifitas dalam melestarikan budaya Lontara Project jelas membutuhkan dukungan dari segala pihak. Bagi mereka yang ingin bergabung, menyumbangkan kreasi, berkerjasama atau memberikan donasi dalam bentuk apapun, dapat menghubungi Lontara Project lewat
[email protected]. Siapa bilang melestarikan budaya itu susah? Melestarikan budaya itu mengasyikkan!
LA GALIGO DI ATAS KERTAS Oleh Maharani Budi
OEEE SAMBALU`! Aga kareba? Bajiq-bajiq ji? Dari awal, saya tahu tidaklah mudah untuk meleburkan diri ke dalam proyek yang berskala amat besar ini. Dengan sukarela saya memilih untuk memikul tanggungjawab yang tak dapat lepas dari punggung (makanya punggung saya sering sakit), mungkin untuk seumur hidup. Akan tetapi, beban ini pun menjadi beban yang menyenangkan pada akhirnya. Saya yakin keputusan yang didasari oleh niat baik ini akan menjadi jalan untuk melunasi hutang saya kepada bangsa, kepada tanah tempat saya lahir. Usaha ini dapat dikategorikan sebagai wujud terima kasih atas nasi yang saya makan, air yang saya minum, dan budaya yang berusaha saya pegang teguh dalam menjalani peran di kehidupan sehari-hari. Dengan senyum saya katakan pada Ahlul Amri Buana, "Ayo kita lakukan ini!" Dengan mata melotot saya berseru kepada Setia Negara, "Kenapa malas sekali ko jadi orang?! Kenapa begitu webnya?!"
Dan dengan ramah saya bilang kepada Fitria Afriyanti Sudirman, "Dek.. minta tolong bantu translate.. hehhee.." *** Mengilustrasikan sebuah naskah kuno yang dikeramatkan (yang konon berasal dari abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, ada banyak pendapat tentang ini) dan gaungnya baru kedengaran beberapa tahun terakhir bukanlah pekerjaan mudah. Menginterpretasikan berpuluh-puluh paragraf suatu episode La Galigo ke dalam bentuk ilustrasi, dengan miskinnya data serta informasi yang dibutuhkan, membutuhkan nyali yang besar. Di dalam imanjinasi saya, beberapa orang yang cukup "strict" mengultuskan cerita ini mungkin saja kurang berkenan dengan gambar yang saya buat. Saya membayangkan "to matoa" (orang-orang terdahulu atau siapa saja yang merasa memiliki kewenangan) akan melaknat saya karena dianggap melanggar adat dan pamali. Mereka semua duduk mengelilingi saya di sebuah ruangan, sementara saya duduk di tengah mereka semua, tanpa pembela dan disoroti lampu persis dari atas : sedang disidang. *telan ludah Tapi orang-orang meyakinkan saya, termasuk Ahlul, bahwa tiada yang mulus kecuali Sandra Dewi.. eh, kamsudnya, setiap perkara pasti ada yang pro dan kontra (mudah-mudahan yang pro lebih banyak). Kadang-kadang tindakan breaking the rules diperlukan, mungkin salah satunya dengan jalan ini. Saya hanya
tidak ingin ada bule yang lebih tahu La Galigo ketimbang kita sendiri (dan sayangnya sudah terjadi, bahkan berpuluh-puluh tahun sebelum saya dan kalian lahir). Ironi memang, makanya.. bacalah web ini secara lengkap! Akhirnya saya mengiyakan, walaupun pada awalnya saya kecewa, sangat sangat kecewa (curcol). Sebuah gambar Sawerigading yang saya buat kira-kira hampir dua tahun lalu, dalam imajinasi terbatas, karena info yang saya dapatkan begitu minimnya, beredar cukup banyak di kalangan blogger, bahkan website. Bukankah seharusnya saya senang? Tidak, kenyataannya tidak begitu. Seorang blogger, yang kurang bahan, biasanya memposting, lebih tepatnya memindahkan karya orang lain ke dalam post mereka. Sebuah kekeliruan besar yang seringkali mereka lakukan adalah : tidak mencantumkan sumber dimana karya itu mereka salin. Dalam kasus saya, adalah gambar. Bagi beberapa orang, memang cuma sebuah gambar. Tapi bagi saya dan seniman-seniman lain pun pasti merasakan hal yang sama, sangat menyakitkan ketika karya kita diklaim oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi kalau kita sudah jelas-jelas mencantumkan sebuah signature dalam karya tersebut. Sudah tidak terlalu mengejutkan lagi ketika menemukan gambar saya (di samping) dalam blog-blog
orang yang tentunya tidak saya kenal telah kehilangan sumber yang dengan amat jelas menunjukkan bahwa karya itu merupakan hak milik saya. Lebih menyakitkan lagi ketika gambar itu di-stretch sampai melebar atau memanjang sehingga bentuknya menjadi tidak proporsional. Sangat mengganggu! (tanduk saya bisa keluar dua dari jidat). Mengutip kalimat Hana Tajima Simpson ketika mengetahui gaya berkerudungnya dicopas abis oleh pengguna blog lain, "It`s not cool!" man.. Benar-benar tidak keren. Maka dari itu, untuk kedua kalinya, saya sangat berhati-hati dalam memposting sebuah karya. Penyebaran data di internet begitu cepat dan mudahnya. Ketika anda memposting sesuatu di dunia maya, bersiaplah untuk menyaksikan apa yang anda posting itu menjadi milik publik. Di lain pihak saya cukup senang karena akhirnya kami memiliki web sendiri. Dan selanjutnya, karya saya hanya akan muncul secara resmi di web ini atau di galeri saya. Selain itu tidak! Kalian!!! Tunggulah karyaku! :) *putar-putar lengan seperti Kamen Rider RX PS : Jangan makan dan minum berdiri ya... Kata pak ustad yang begitu temannya setan.
Bandung, 06 Desember 2011