Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih Genetik Historis Sebuah Kabupaten di Pesisir Urut Sewu
Ravie Ananda Jalan Garuda 13 Kebumen 54311 Jawa Tengah - Indonesia Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
1
Sebuah Pengantar
Merdeka! “KEBUMEN DAN JEJAK – JEJAK MERAH PUTIH” adalah buku sejarah yang mengupas peristiwa-peristiwa penting perjuangan bangsa Indonesia yang terjadi di Kabupaten Kebumen baik pada masa kerajaan maupun pada masa menuju dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kebumen adalah nama baru kabupaten Panjer yang telah dikenal luas jauh sebelum masa kemerdekaan. Kabupaten ini terletak di kawasan Kedu bagian Selatan, dimana dalam kawasan tersebut hanya terdapat dua kabupaten yakni Purworejo dan Kebumen. Banyak buku sejarah yang mengupas perjalanan bangsa menuju dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, akan tetapi dari semua literatur tersebut ternyata tidak didapati catatan sejarah yang mengupas peran Kabupaten Kebumen yang sebetulnya memiliki fungsi yang sangat penting pada masa itu. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka penulis sebagai putra daerah asli Kabupaten Kebumen merasa terpanggil untuk menginformasikan kepada generasi penerus khususnya di Kebumen akan peran pentingnya kabupaten kita ini dalam perjuangan bangsa menuju dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, melalui restu para leluhur bangsa Indonesia, akhirnya setelah melalui pengumpulan data dari berbagai sumber berupa: wawancara dengan pelaku sejarah di kabupaten Kebumen, buku sejarah “Gelegar di Bagelen” yang disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan, kitab-kitab babad, dan beberapa catatan sejarah lainnya, maka buku yang penulis beri judul “ Kebumen dan Jejak-jejak Merah Putih” ini berhasil diselesaikan. Meski masih banyak sejarah yang belum terpublikasikan di dalam buku ini, harapan penulis semoga generasi muda kabupaten Kebumen sebagai generasi penerus bangsa semakin mengenal peristiwa sejarah di kabupatennya sendiri dalam rangka memupuk kecintaan terhadap tanah air. Terlebih setelah mengetahui bahwa sejarah perjuangan di kabupaten Kebumen tidak kalah pentingnya dengan perjuangan di daerah lain dalam rangka mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka!
Kebumen, Selasa Kliwon 21 Februari 2012
Ravie Ananda
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
2
Kebumen pada Masa Kerajaan
Panjer adalah nama sebuah kabupaten pada masa kerajaan, yang kemudian berganti nama menjadi kabupaten Kebumen pada tahun 1935. Kabupaten ini terletak di kawasan Kedu bagian Selatan, dimana dalam kawasan tersebut hanya terdapat dua kabupaten yakni Purworejo dan Kebumen. Nama Panjer sendiri telah lama dikenal, jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya sejak masa Pra Islam. Satu hal yang sangat disayangkan adalah “Nyaris hilangnya riwayat kabupaten Panjer dalam pengetahuan masyarakat kabupaten Kebumen”. Kurangnya perhatian dan pemeliharaan terhadap situs bangunan peninggalan bersejarah dan budaya masa lampau yang terdapat di ibukota kabupaten Panjer tentunya sangat memprihatinkan, mengingat Panjer adalah cikal bakal berdirinya kabupaten Kebumen yang telah dikenal sejak 1000 tahun yang lalu sebagai salah satu wilayah yang diperhitungkan dalam ranah nasional. Beberapa raja dan tokoh besar Nusantara pun menggunakan tempat ini sebagai pengungsian, penyepian, basis pertahanan militer, dan pamoksannya. Sebagai daerah yang kini hanya berbentuk kelurahan, Panjer tetap khas dengan rasa dan suasana masa lampaunya. Panjer dari Masa ke Masa A. Panjer zaman Kerajaan Kediri Wilayah Panjer sebagai sebuah kadipaten/Kerajaan telah dikenal dalam ranah nasional pada masa kerajaaan Kediri. Dalam Kitab “Babad Kedhiri“, disebutkan: “Babagan kadipaten Panjer dicritakake nalika Adipati Panjer sepisanan mrentah ing Panjer, duwe kekareman adu pitik. Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan adu pitik ing pendhapa kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam Asmarandana, asale saka Desa Jalas. Gendam Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi wusana ndadekake para wanita kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati sing weruh baguse Gendam Asmarandana uga melu-melu kayungyun. Kuwi ndadekake nesune Adipati Panjer. Nalika Adipati Panjer sing nesu kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi kerise, Gendam Asmarandana kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange ngenani bangkekane Adipati Panjer. Adipati Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang Kalasan sing duwe kasiyat bisa nambani kabeh lelara. Nanging durung nganti tekan sendhang kasil disusul dening Gendam Asmarandana lan wusana mati. Gendam Asmarandana sing weruh Adipati Panjer mati banjur mlayu tumuju omahe nanging dioyak dening wong akeh. Gendam Asmarandana sing keweden banjur njegur ing Sendhang Kalasan. Wong-wong sing padha melu njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang, tetep ora kasil nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana wus malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo ngeling-eling kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri kanthi aran Smaradana, mapan ing Desa Panjer ”.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
3
Sendang Kalasan diubah menjadi sumur oleh VOC pada tahun 1851 (lokasi di dalam kompleks pabrik Mexolie/Sari Nabati sebelah timur)
B. Panjer sebagai Tempat Mokhsanya Maha Patih Gajah Mada Maha Patih Gajah Mada adalah salah satu tokoh termasyhur pada zaman kerajaan Majapahit yang telah berhasil menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapanya. Dari berbagai literatur yang ada belum pernah didapati mengenai riwayat lengkap mengenai kelahirannya, keluarga, dan kematiannya. Sosok Gajah Mada hingga kini menjadi suatu misteri bagi sejarah Nusantara. Akhir-akhir ini banyak bermunculan klaim terhadap lokasi kelahiran dari Maha Patih Gajah Mada, akan tetapi mengenai Pamokshannya (tempat bertapanya Beliau hingga hilang dengan raganya seperti tradisi tokoh-tokoh besar Jawa jaman dahulu) tidak pernah diketahui. Situs Pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten Panjer. Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam kuno yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak Mexolie/Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang kemudian diubah Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri. Pernah muncul klaim mengenai pamokshan Gajah Mada di suatu gua di balik sebuah air terjun di Jawa Timur. Klaim tersebut berdasar pada pemahaman sekelompok orang terhadap Gajah Mada yang disamakan dengan Patih Udara alias Patih Tunggul Maniq (Patih Majapahit sebelum Gajah Mada). Tentunya dasar landasan tersebut sangat tidak tepat jika mengacu pada literatur Dr. J. Brandes yang diturun dari kitab-kitab babad Jawa yang berhasil ditemukan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Literatur Dr. J. Brandes menyebutkan sebagai berikut : “Kyai Patih Udara als kluizenaar Tunggulmaniq op den berg Mahameru; zijne 2 plichtkinderer: Ki Tanpa Una en Ni (of Dewi) Tanpa Uni de door Siung Wanara in de Karawang rivier geworpen vorst en vorstin van Pajajaran. Rijksbestuurdeerna Patih Udara vertrek: Patih Logender, diens broer, gehuwd met eene dochter van den Adipati van Gending…… Brawijaya – Patih Wirun Bra Kumara – Patih Wahas (zoon van Wirun) en daarna Ujungsabata. Ardiwijaya – Patih Jayasena (zoon van Wahas, dipati van Kadiri) Adaningkung of Kala Amisani – Patih Udara Kencana Wungu – Patih Logender Mertawijaya – Patih Gajah Mada Angkawijaya – Patih Gajah Mada ………. Dari uraian di atas sangat jelas bahwa Gajah Mada bukanlah Tunggul Maniq, sehingga Pamoksan Tunggul Maniq yang diklaim di Jawa Timur tersebut bukanlah Pamokshan Gajah Mada. Semakin kuat kiranya situs Pamoksan Gajah Mada yang berada di Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
4
desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahulu dahul selalu menjadi tempat tokoh-tokoh tokoh besar Jawa mengungsi, bersemadhi, bersemadhi, bersembunyi dan sebagai basis kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak.
Pamokshan Gajah Mada dari Dalam alam
Pamokshan an Gajah Mada dari Luar
C. Panjer Zaman Demak, emak, Pajang dan Mataram Islam Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud hadiah dari Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam membunuh Arya Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri sebenarnya adalah bekas kerajaan erajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 M yang kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat hingga menjadi sebuah hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar tahun 1556 M. Ki Ageng Pemanahan emanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun 1584 M dan dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai pengganti dipilihlah putranya ranya yang bernama Sutawijaya/Panembahan Sutawijaya/Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama, dimakamkan di Kotagedhe). Kotag Panembahan Senopati memerintah tahun 1587 – 1601 M. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang/Sultan Jolang Sultan Agung Hanyakrawati (wafat tahun 1613 M dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama Raden Mas as Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 – 1646 M). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun 1646 – 1677 M). Di dalam “Kidung Kejayaan Mataram Bait 04“ (terjemahan Bahasa Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer. “Demikianlah Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama sela dua minggu Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
5
Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir hingga tiba di suatu tempat, di sana mendirikan Kota Gedhe” Ki Gedhe Karang Lo yang dimaksud dalam bait di atas adalah pemimpin daerah Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini artinya sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang dahulunya merupakan bagian wilayah dari Kadipaten/Kabupaten Panjer telah dikenal dan diperhitungkan dalam ranah pemerintahan kerajaan pada waktu itu (Demak dan Pajang). - Teritorial Panjer pada Jaman Mataram Kerajaan Mataram Islam mengenal sistem pembagian wilayah berdasarkan jauhdekat dan tinggi-rendahnya suatu tempat, sehingga pada saat itu dikenallah beberapa pembagian wilayah kerajaan yakni: 1. Negara Agung 2. Kuta Negara 3. Manca Negara 4. Daerah Brang/Sabrang Wetan 5. Daerah Brang/Sabrang Kulon. Masa Pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan Mataram. Ia memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran. Menurut catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa: “Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang-orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno“. Panjer termasuk dalam katagori daerah Mancanegara Bang/Brang/Sabrang Kulon. Jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya di daerah Karang Lo/wilayah Panjer Gunung (kini masuk dalam wilayah kecamatan Karanggayam), sudah terdapat penguasa kademangan di bawah Mataram (masa pemerintahan Panembahan Senopati sekitar tahun 1587 M). Di daerah tersebut, cucu Panembahan Senopati yang bernama Ki Maduseno (putra dari Kanjeng Ratu Pembayun (salah satu putri Panembahan Senopati) dengan Ki Ageng Mangir VI) dibesarkan. Ki Maduseno menikah dengan Dewi Majati dan kemudian berputra Ki Bagus Badranala (Badranala; makam di desa Karangkembang; dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Ki Badranala adalah murid Sunan Geseng dari Gunung Geyong (Sadang Kebumen). Ia mempunyai peran yang besar dalam membantu perjuangan Mataram melawan Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ki Badranala yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa. Pada tahun 1627 M prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
6
lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah diangkatlah Ki Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia diangkat menjadi Senopati dalam penyerangan ke Batavia dan an behasil memporakmemporak porandakan Belanda di benteng Solitude yang ang kini telah berubah menjadi Masjid Istiqlal Jakarta. - Dibakarnya Lumbung Padi Panjer Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma disebabkan oleh dibakarnya lumbung-lumbung lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut berada di dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik Mexolie/Minyak Minyak Kelapa Sari Sari Nabati yang mempunyai luas sekitar 4 Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri. Selanjutnya, pada masa Sultan Amangkurat I, Panjer berubah beruba menjadi sebuah kabupaten yang tidak sesibuk ketika masih dijadikan pusat lumbung padi dan basis militer Mataram pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Situs bersejarah seluas 4Ha yang tak terawat (disinilah lokasi lumbung padi Mataram dan Kabupaten Panjer kuno)
- Pembagian Wilayah Panjer Panjer masa lalu dibagi dalam dua wilayah yaitu Panjer Roma (Panjer Lembah) dan Panjer Gunung. Ki Badranala diangkat menjadi Ki Gedhe Panjer Roma I atas jasanya menangkal serangan Belanda yang mendarat di pantai Petanahan. anahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih Bupati Panjer, anjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah yang kemudian berjasa memberikan berikan tanah kepada ke Pangeran Bumidirja/Ki Ki Bumi (paman Amangkurat I yang mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham dengan Sultan Amangkurat I). Tanah tersebut terletak di sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan dan lebarr setengah (½) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah (trukah) yang masih berupa hutan tersebut dan menjadikannya desa. Desa inilah yang kemudian bernama Trukahan (berasal dari kata dasar Trukah yang berarti memulai). Seiring Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
7
berjalannya waktu nama desa Trukahan kini hanya menjadi nama padukuhan saja (sekarang masuk dalam wilayah kelurahan Kebumen). Makam Ki Badranala dan Nyai Endang Patrasari di desa Karangkembang
Riwayat desa Trukahan yang kemudian berubah menjadi Kelurahan Kebumen pun kini nyaris hilang, meskipun Balai Desa/Kelurahan Kebumen hingga kini berada di daerah tersebut. Kutipan dari “Babad Kebumen“ menyebutkan: “Kanjeng Pangeran Bumidirdja murinani sanget sedanipun Pangeran Pekik, sirna kasabaranipun nggalih, punapadene mboten kekilapan bilih Negari Mataram badhe kadhatengan bebendu. Puntonipun nggalih, Kanjeng Pangeran Bumidirdja sumedya lolos saking praja sarta nglugas raga nilar kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyan. Tindakipun Sang Pangeran sekaliyan garwa, kaderekaken abdi tetiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking lepen Luk Ula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang nanging taksih wujud wana tarabatan. Wana tarabatan sacelaking lepen Luk Ula wau lajeng kabukak kadadosaken pasabinan lan pategilan sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi padaleman….. Kanjeng Pangeran Bumidirdja lajeng dhedhepok wonten ing ngriku sarta karsa mbucal asma lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi….. Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku lajeng kanamakaken dhusun Kabumen, lami-lami mingsed mungel Kebumen. Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut sapinggiring lepen Luk Ula udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten ½ pal”. Dalam Babad Kebumen memang tidak terdapat cerita mengenai desa Trukahan, akan tetapi jika dilihat dari segi Logika Historis yang dimaksud dengan desa/dhusun Kabumian adalah Trukahan. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan Logika Historis antara lain: 1. Wilayah dan nama Trukahan sejak pra kemerdekaan hingga kini masih tetap ada, dimana Balai Desa/Kelurahan Kebumen dan Kecamatan Kebumen berada dalam wilayah tersebut (sedangkan Pendopo Kabupaten masuk dalam wilayah Bumirejo). 2. Makam/Petilasan Ki Singa Patra yang sebetulnya merupakan Pamokshan, sebagai situs yang hingga kini masih terawat dan diziarahi baik oleh warga setempat maupun dari luar Kebumen (meskipun belum diperhatikan oleh Pemerintah baik Kelurahan maupun Kabupaten) adalah makam tertua yang ada di kompleks pemakaman desa Kebumen. Singa Patra adalah sosok tokoh yang nyaris hilang riwayatnya, meskipun namanya jauh lebih dikenal oleh warga kelurahan Kebumen sejak jaman dahulu kala dan diyakini sebagai tokoh yang menjadi cikal bakal desa Trukahan masa lampau (bukan Ki Bumi). Tokoh ini hidup lebih awal dibandingkan masa kedatangan Badranala, sebab Beliau (Badranala) yang hidup pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah pendatang di desa Panjer (Lembah/Roma). Beliau sendiri Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
8
3.
4.
5.
6.
7.
berasal dari daerah Karang Lo (yang dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Sebagai seorang pendatang yang kemudian berdiam di Panjer Roma, Badranala memperistri Endang Patra Sari, anak perempuan Singa Patra. Endang adalah sebutan kehormatan bagi perempuan Bangsawan. Hal ini bisa kita lihat pada situs pemakaman Ki Badranala di desa Karangkembang dimana terdapat beberapa makam yang menggunakan Klan/Marga Patra, dimulai dari Istri Badranala sendiri, hingga beberapa keturunannya. Hilangnya babad Trukahan dan riwayat Ki Singa Patra dimungkinkan adanya kepentingan politik penguasa waktu itu. Terlebih riwayat Babad Kebumen baru diterbitkan pada tahun 1953 di Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat oleh R. Soemodidjojo (seorang keturunan KP. Harya Cakraningrat/Kanjeng Raden Harya Hadipati Danureja ingkang kaping VI, Pepatih Dalem ing Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat), yang notabene bukan warga asli bahkan mungkin tidak pernah sama sekali tinggal di Panjer ataupun Trukahan/Kebumen. Dengan kata lain, warga Kelurahan Kebumen baru mengenal sosok Bumidirdja semenjak diterbitkannya riwayat Babad Kebumen yang kini lebih populer dengan adanya media Internet. Kurun waktu Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma jelas lebih tua daripada Bumidirja. Sedangkan Ki Badranala yang kemudian bermukim di Panjer saat itu telah memperistri perempuan dari Klan Patra (yang mengilhami nama sebuah Hotel di Kota Kebumen). Dalam “Sejarah Kebumen dalam Kerangka Sejarah Nasional“ yang ditulis oleh Dadiyono Yudoprayitno (Mantan Bupati Kebumen) disebutkan bahwa Pangeran Bumidirdja membuka tanah hasil pemberian Ki Gedhe Panjer Roma II/Ki Hastrosuto (anak Ki Badranala). Riwayat ini pun tidak disebutkan dalam Babad Kebumen. Riwayat yang lebih terkenal sampai saat ini adalah riwayat yang ditulis oleh R. Soemodidjojo yang notabene bukan warga asli dan bahkan mungkin belum pernah tinggal di Kebumen, dimana diceritakan bahwa Kebumen berasal dari kata Ki Bumi yang merupakan nama samaran dari Pangeran Bumidirja yang kemudian trukah di tepi sungai Luk Ula, sehingga kemudian tempat tersebut dinamakan Kebumian. Pasar Kebumen, pada awalnya berada di wilayah Trukahan, tepatnya di daerah yang kini menjadi kompleks kantor Kecamatan Kebumen dan Klenteng hingga kemudian pindah ke daerah yang kini menjadi pasar Tumenggungan (sehingga daerah di sekitar bekas pasar lama tersebut sampai sekarang masih bernama Pasar Pari dan Pasar Rabuk, karena memang lokasi pasar lama telah menggunakan sistem pengelompokan). Adanya pendatang setelah dibukanya tanah/trukah seperti yang disebutkan dalam Babad Kebumen yang kemudian bermukim, juga bisa diperkirakan mendiami daerah yang kini bernama Dukuh. Hal ini dimungkinkan dengan sebutan nama Dukuh yang telah ada sejak lama.
- Asal Mula Nama Tumenggung Kalapaking Datangnya Pangeran Bumidirdja di Panjer, menimbulkan kekhawatiran Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara Panjer Gunung karena Pangeran Bumidirdja saat itu dinyatakan sebagai buronan Kerajaan. Akhirnya Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara memutuskan untuk meninggalkan Panjer dan tinggallah Ki Kertawangsa yang dipaksa untuk tetap tinggal dan taat pada Mataram. Ia diserahi dua kekuasaan Panjer dan kemudian bergelar Ki Gedhe panjer Roma III. Dua Kekuasaan Panjer Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
9
(Panjer Roma dan Panjer Gunung) membuktikan bahwa Panjer saat itu sebagai sebuah wilayah berskala luas sehingga dikategorikan dalam daerah Mancanegara Brang Kulon. Pamokshan Ki Singa Patra di Pemakaman Kelurahan Kebumen
Pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya berhasil menduduki istana Mataram di Plered yang ketika itu diperintah oleh Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I). Sebelum Plered dikuasai oleh Trunajaya, Sultan Amangkurat Agung dan putranya yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil melarikan diri ke arah Barat. Dalam pelarian tersebut, Sultan Amangkurat Agung jatuh sakit. Beliau kemudian singgah di Panjer (tepatnya pada tanggal 2 Juni 1677) yang pada waktu itu diperintah oleh Ki Gedhe Panjer III. Sultan Amangkurat I diobati oleh Ki Gedhe Panjer III dengan air Kelapa Tua (Aking) karena pada waktu itu sangat sulit mencari kelapa muda. Setelah diobati oleh Ki Gedhe Panjer III, kesehatan Sultan Amangkurat I berangsur membaik. Beliau kemudian menganugerahi gelar kepada Ki Gedhe Panjer III dengan pangkat Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I, sebagai jabatan Adipati Panjer I (1677 – 1710). Tumenggung Kalapaking I digantikan oleh putranya dan bergelar Tumenggung Kalapaking II (1710 – 1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III (1751 – 1790) dan Tumenggung kalapaking IV (1790 – 1833)). Setelah merasa pulih, Sultan Amangkurat Agung melanjutkan perjalannya menuju ke Barat, akan tetapi sakitnya ternyata kambuh kembali dan akhirnya Beliau wafat di desa Wanayasa (Kabupaten Banyumas) tepatnya pada tanggal 13 Juli 1677. Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Sultan Amangurat Agung dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Raden Mas Rahmat (putranya sendiri yang menyertai Beliau dalam pelarian). Sesuai dengan wasiatnya, Beliau kemudian dimakamkan di daerah Tegal Arum (Tegal) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegal Wangi. Sementara itu tampuk kepemimpinan Panjer periode Kolopaking hanya berlangsung hingga Kalapaking IV dikarenakan adanya suksesi di Panjer pada waktu itu antara Kalapaking IV yang mendukung Pangeran Diponegoro dan Arungbinang IV yang bekerjasama dengan Belanda, yang berakhir dengan pembagian wilayah dimana Trah Kalapaking mendapat bagian di Karanganyar dan Banyumas, sedangkan Arungbinang tetap di Panjer. Suksesi inilah yang mengakibatkan kematian Kalapaking IV setelah peristiwa penyerbuan besar-besaran Kotaraja Panjer yang akhirnya dibumihanguskan oleh Belanda yang bekerjasama dengan Arungbinang IV karena Kalapaking IV mendukung Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sempat menyusun kekuatan pasukan di daerah tersebut. Panjer pada masa itu merupakan pusat kekuatan terakhir dari Pasukan Diponegoro. Suplai senjata, logistik dan prajurit disiapkan di ibukota Kabupaten Panjer (kini menjadi pabrik minyak Mexolie/Sari Nabati). Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma dan Panjer Gunung digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk memantapkan kedudukan setelah kemenangannya atas peristiwa pembagian wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo Kabupaten baru yang kini menjadi Pendopo dan Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap dengan alun-alunnya. Adapun Pendopo Agung Kabupaten lama/Kabupaten Panjer kemudian
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
10
dibumihanguskan dan diubah menjadi Pabrik Minyak Mexolie/Sari Nabati Panjer yang dibangun pada tahun 1851. Dengan memperhatikan tata kota yang masih ada dan luas wilayah pabrik yang mencapai lebih kurang 4 Ha, serta adanya pohon-pohon Saman dan Beringin tua yang dalam sistem Macapat digunakan sebagai simbol suatu pusat pemerintahan kota zaman kerajaan, begitu juga dengan Tugu Lawet yang pada awalnya merupakan tempat berdirinya sebuah Pohon Beringin Kurung (yang kemudian ditebang dan dijadikan Tugu Lawet), serta lokasi pasar Kebumen lama yang pada awalnya berada di wilayah Trukahan (pusat pasar rabuk berada di sebelah Timur Balai Desa Kebumen, pasar lama berada di sebelah Utara klenteng, sub pasar rabuk berada di sebelah Utara pasar lama, pasar pari/padi berada di sebelah Selatan klenteng semakin menguatkan bahwa pusat pemerintahan Kabupaten Panjer/Kebumen tempo dulu adalah di desa Panjer dan Trukahan. Hal ini sesuai juga dengan kurun waktu berdirinya Masjid Agung Kauman Kebumen yang didirikan oleh KH. Imanadi pada masa pemerintahan Arungbinang IV (setelah masa Diponegoro) yang membuktikan bahwa berdirinya Pendopo Kabupaten Kebumen dan Masjid Agung Kauman di wilayah Kutosari dan Bumirejo merupakan pindahan dari pusat kota lama di Panjer. D. Panjer sebagai Tempat Persembunyian, Bersemadhi dan Penyusunan Strategi Perang Pangeran Diponegoro Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Pada tanggal 21 Juli 1826 datanglah utusan Pangeran Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten Panjer (lokasi Kotaraja tersebut kini berada di kompleks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709 Kebumen dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja karena disitulah taman/kebun Kabupaten Panjer berada). Utusan Pangeran Diponogoro tersebut bernama Senopati Sura Mataram dan Ki Kertadrana (Adipati Sigaluh Karanggayam). Kedatangan mereka di Panjer Roma disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Gamawijaya, dan Banaspati Brata Jayamenggala (nama asli Mbah Jamenggala yang akhirnya dihukum gantung oleh Belanda di tengah alun – alun Kebumen karena mendukung Pangeran Diponegoro). Bersamaan dengan utusan tersebut, datang pula tamu dari Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian mengadakan perundingan dengan keputusan untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro yang sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma (Tumenggung Kalapaking IV) bertugas menyediakan logistik pangan, dan persenjataan untuk para prajurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Senopati Gamawijaya. Pada tanggal 19 November 1828 terjadi perang besar di Bagelen (nama wilayah Kedu selatan saat itu) antara Belanda melawan Pangeran Diponegoro yang pada saat itu dibantu oleh prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro hampir tertangkap oleh Belanda. Beliau jatuh sakit sehingga pasukan Banyumas mundur dan bersembunyi di benteng Sokawarna. Pangeran Diponegoro sendiri bersembunyi di sebuah goa di Lobanggadung selama beberapa hari hingga pulih. Setelah sembuh dari sakitnya, Pangeran Diponegoro segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk bertemu dengan Tumenggung Kolopaking IV dan pemimpin-pemimpin barisan Prajurit Panjer Roma. Di tengah perjalanan, Pangeran Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro serta pengiringnya disergap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya kemudian turun dari kudanya dan bersembunyi dalam jurang sehingga Belanda tidak dapat mengejarnya. Pejalanan ke ibukota Panjer Roma pun dilanjutkan dengan bejalan kaki. Setibanya di Panjer Roma, Pangeran Diponegoro dan rombongan disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV. Mereka kemudian Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
11
menyusun strategi dan kekuatan bersama. Di sana pulalah Beliau selama 3 hari bersemadhi di kompleks makam kuno dan Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang dari dahulu telah menjadi salah satu tempat semadi para tokoh-tokoh Mataram (Lokasi tempat pertemuan dan peristirahatan sementara Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak-kanak PMK Sari Nabati. Di tempat itu pulalah kuda tunggangan Beliau beristirahat sementara Pangeran Diponegoro bersemadhi). Keberadaan Pangeran Diponegoro di kotaraja Panjer ternyata tercium juga oleh Belanda. Beliau berhasil meloloskan diri dari kotaraja Panjer sebelum daerah tersebut diserbu oleh Belanda yang bekerjasama dengan Adipati Arungbinang IV. TK Sari Nabati; Tempat P. Diponegoro dan Kudanya Beristirahat. Kediaman Kalapaking IV
Pada tahun 1831 Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Royen yang bekerjasama dengan Arungbinang IV pun berhasil menguasai Pendopo Agung Panjer setelah melalui pertempuran yang cukup alot dan penyerangan besar – besaran dari tiga penjuru. Pengepungan Pendopo Agung Panjer sebagai Jantung Pertahanan Panjer melibatkan bala bantuan pasukan VOC dalam jumlah besar dari Batavia yang kemudian berposisi di Kongsi Dagang VOC di Gombong (tempat ini kemudian dijadikan pertahanan militer Belanda dalam melawan kekuatan Panjer, sehingga berubahlah status kantor Kongsi Dagang Gombong menjadi Benteng Gombong). Pasukan Pimpinan Mayor Van Royen mengepung dari arah timur,pasukan pimpinan Mayor Biskus dan Magilis menyerang dari arah Selatan (Pertahanan Bocor) yang saat itu telah dikosongkan oleh Gamawijaya dan prajuritnya menuju ke Pendopo Agung Panjer. Sedangkan dari arah barat penyerangan dilakukan oleh pasukan pimpinan Mayor Verbrug, kapten Arons dan Huster. Dikuasainya Pendopo Agung Panjer, dan meninggalnya Tumenggung Kalapaking IV akibat luka parah dalam pertempuran di Pendopo Agung Panjer tidak menyurutkan nyali para pejuang Panjer yang kemudian meneruskan perjuangan dengan mendirikan pemerintahan darurat di Karangsambung. Tokoh – tokoh panjer seperti Senopati Jayamenggala (Jamenggala), Kyai Welaran, KH. Imanadi, Gamawijaya dan lain – lain tidak mau terjebak Belanda yang mengundang diplomasi di Pendopo Agung Panjer. Stategi gerilya pun dilakukan oleh mereka. Padepokan kecil tersembunyi sebagai tempat berkumpul para gerilyawan Panjer di sebelah timur sungai Luk Ula adalah tempat terdekat dari Pendopo Agung Panjer (padepokan tersebut kini menjadi Masjid Darussalam di wilayah kelurahan Kebumen). Atas perintah Gubernur Jenderal Graff Van Den Bosch dengan pertimbangan peperangan yang tetap berlangsung meski Pendopo Panjer telah dikuasai telah memakan biaya yang cukup besar, maka Belanda yang sudah satu tahun menduduki Pendopo Agung Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
12
Panjer pun kemudian membumihanguskan tempat tersebut dan menyerahkan ketataprajaan Panjer kepada Arungbinang IV. Kotaraja dan Pendopo Panjer lama dipindah ke tempat yang baru (di daerah yang sekarang menjadi Pendopo Kebupaten Kebumen beserta alun – alunnya). Gerilya yang membuat pasukan Belanda pimpinan Mayor Biskus, Mayor Verbug dan Kapten Flissinger kewalahan pun berakhir dengan tertangkapnya tokoh – tokoh tersebut. Senopati Jayamenggala/Jamenggala tertangkap di sebelah timur kali Luk Ula (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Kauman Kebumen) setelah berkali – kali melakukan gerilya dari arah barat sungai Luk Ula (Legok). Dia kemudian digantung di pohon beringin kurung di tengah alun – alun baru. Jenazahnya dikuburkan di sebelah timur laut beringin kurung. KH. Imanadi tertangkap di Ayam Putih, setelah berenang dari Kali Gending saat dikepung oleh Belanda. Belanda dengan sabar menyusuri sungai Luk Ula dari Kaligending menuju ke selatan. KH. Imanadi yang menepi di tepian sungai Lukula wilayah selatan pun kemudian tertangkap dan di penjara. Beliau kemudian dikeluarkan oleh Arungbinang IV dan dijadikan Pengulu Landrat Kebumen yang pertama. Saat itulah Beliau mendirikan Masjid Kauman kebumen. Kyai Welaran juga wafat dalam pertempuran di Karangsambung dan dimakamkan di pucuk gunung Paras di bawah pohon Jati. Sedangkan Senopati Gamawijaya tertangkap oleh kolektur Mangunprawira dan ditembak mati di daerah Bocor. Jenazahnya dimakamkan langsung ditempat tesebut. Pertempuran berakhir secara keseluruhan pada tahun 1832. Secara resmi Arungbinang IV mulai memerintah kabupaten Panjer pada tahun tersebut serta mengubah nama kabupaten Panjer menjadi Kebumen. Bekas Pendopo Agung Panjer sendiri kemudian dijadikan Pabrik Mexolie (dalam perkembangannya menjadi Sari Nabati) oleh Belanda pada tahun 1851.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
13
KEBUMEN PADA MASA PEJUANGAN KEMERDEKAAN Peran Kedu Selatan A. Zaman Belanda Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, wilayah Kedu Selatan dikenal sebagai sumber pajurit. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua Batalyon KNIL di Kedu Selatan yaitu Batalyon Gombong dan Batalyon Puworejo, serta sebuah Kader School (Sekolah Bintara) di Gombong dan sebuah Depo Pendidikan untuk merekrut prajurit di Purworejo. Kedu Selatan juga telah menghasilkan seorang Opsir KNIL berpangkat Mayor dengan jabatan Komandan Batalyon. Ia merupakan satu-satunya opsir bangsa Indonesia asli yang mendapat pangkat tertinggi hingga masa berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942. Tokoh tersebut adalah Oerip Soemohardjo yang lahir di Guron, Sindurejan, Purworejo pada tanggal 21 Februari 1893. Oerip adalah anak dari Soemohardjo, seorang mantri guru (cucu dari KRT. Widjoyokusumo Adipati Trenggalek/Cicit dari KRT. Poerbonegoro Bupati Ambal Kebumen yang pertama dan terakhir). Di jaman Jepang, Oerip Soemohardjo hidup bertani di daerah Kaliurang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan keluarnya Dekrit 5 Oktober 1945, Pemerintah RI mengangkat Oerip sebagai Kepala Staf Umum Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Letnan Jenderal. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo inilah yang meletakkan dasar-dasar kemiliteran dalam tubuh Tentara Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi Nasional Indonesia (TNI). B. Zaman Jepang Pada tahun 1942, Indonesia memasuki era baru pendudukan. Tentara Jepang berhasil membuat Belanda bertekuk lutut dan meninggalkan jajahannya di Indonesia. Sejak saat itu berdirilah Pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon. Kedatangan Jepang ke Indonesia dengan janji kemakmuran bersama dalam “Asia Timur Raya” disambut baik oleh rakyat Indonesia. Propaganda “Nippon Cahaya Asia, Nippon Saudara Tua Asia” dan lain - lain semakin meyakinkan dan memikat hati rakyat yang telah 350 tahun dijajah oleh Belanda. Dalam waktu singkat, Jepang berhasil menanamkan rasa hormat dan rasa segan bangsa Indonesia kepadanya meski terkadang dengan jalan paksaan dan kekerasan diantaranya: 1. Para pelajar di seluruh tanah air, mulai dari sekolah terendah, setiap pagi diharuskan mengikuti upacara penghormatan bendera Matahari dengan lagu “Kimigayo” dan menghormat ke Meizi Tenno atau Tenno Heika. 2. Mulai dari pelajar sekolah terendah hingga pegawai negeri diharuskan belajar bahasa Jepang. Selain itu diharuskan latihan baris berbaris, sikap penghormatan, menyanyi, Taizo (senam pagi), Odori (menyanyi) dalam bahasa dan gaya Jepang. 3. Gedung - gedung besar maupun kecil milik pemerintah berikut semua alat - alat yang ada di dalamnya diwajibkan bertempelkan stiker yang berbunyi “Milik Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon”. 4. Adanya keharusan kepada para pelajar yang sudah dewasa, pemuda - pemuda di pedesaan, pegawai kantor, dan juga buruh di pabrik - pabrik untuk mengikuti latihan baris - berbaris dan latihan - latihan kemiliteran setiap hari.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
14
Latihan - latihan kemiliteran yang disertai contoh atau demonstrasi yang harus diikuti peserta latihan, dengan diiringi lagu - lagu yang membangkitkan semangat dan keberanian untuk menghadapi perang (Perang Dunia II), membuat jiwa keprajuritan pemuda Indonesia yang selama ini terbenam menjadi bangkit kembali. Hal ini terbukti dengan besarnya minat pemuda - pemuda Indonesia yang masuk tentara PETA pada tahun 1943 dan 1944. Rakyat Indonesia di berbagai penjuru tanah air berbalik melawan Jepang karena janji-janji manisnya tidak terbukti. Setelah berhasil menguasai Indonesia, ternyata Jepang menguras habis kekayaan tanah air untuk logistik perangnya, tanpa memperdulikan akibat akibat yang sangat menyengsarakan rakyat. Tindakan kejam dan perlakuan kasar terhadap rakyat Indonesia pun sangat mencolok. Dalam kesatuan PETA, juga tumbuh dan berkembang semangat dan jiwa keprajuritan bela bangsa. Hal ini dibuktikan dalam peristiwa pemberontakan tentara PETA Blitar yang dipimpin oleh Shodancho Soepriyadi, pemberontakan tentara PETA Daidan Gemilir (Cilacap) di bawah pimpinan Bundancho Koesaeri tahun 1945, dan peristiwa lain yang sejenis. Kesatuan Militer di Bawah Penjajahan Jepang Setelah masuknya Jepang ke Indonesia, berbagai lapisan masyarakat Indonesia dilatih kemiliteran yang tujuannya untuk mencukupi jumlah tentara Jepang yang semakin berkurang akibat kekalahannya di Perang Dunia II. Kesatuan - kesatuan militer tersebut adalah: 1. Seinendan (Barisan Pemuda) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi) 2. 3. Gakutotai (Barisan Pelajar). Anggota Seinendan, Keibodan, dan Gakutotai diambil menjadi tentara Heiho yang awalnya bertugas sebagai pembantu tentara Jepang. Namun pada akhirnya Heiho juga dikirim oleh Jepang ke medan pertempuran untuk menghadapi Sekutu baik di dalam wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia seperti di Burma, Semenanjung Malaya dan beberapa tempat yang lain. Terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air) Atas usul dari Gatot Mangkoepradja (seorang tokoh pergerakan nasional), maka pada tanggal 3 Oktober 1943 Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) di Jawa dengan Osamu Sirei No. 44 yang berjudul “Tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa”, dimana tugasnya semata - mata untuk mempertahankan daerahnya terhadap serbuan dari luar. Dalam bulan itu juga, dilatihlah puluhan Calon Perwira Indonesia di Jawa dengan sebutan Boe Ei Gyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Jawa). Tingkatan - Tingkatan Perwira Tentara PETA Hanya pemuda - pemuda Indonesia yang terpilihlah yang bisa menjadi anggota PETA. Terdapat tiga tingkatan perwira sekaligus jabatan dalam tentara PETA. Ketiga tingkatan tersebut yaitu: 1. Daidancho (Komandan Batalyon) 2. Chudancho (Komandan Kompi) Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
15
3. Shodancho (Komandan Peleton) Selain itu, terdapat pula: 1. Bundancho (Komandan Regu) 2. Gyuhei (Prajurit) Di setiap Daidan (Batalyon) terdapat: - 1 orang Daidancho - 4 orang Chudancho (tiap Chudancho membawahi 3 Shodancho) - Sejumlah Shodancho (tiap Shodancho membawahi 3 atau 4 Bundancho, sedangkan tiap Bundancho membawahi regu yang berjumlah 10 sampai dengan 12 Gyuhei) Pada dasarnya, dalam setiap kabupaten dibentuk satu Daidan (Batalyon). Para Daidancho berada di bawah Bo Ei Taicho (Komandan Pertahanan Setempat) yang juga merupakan Syuchokan (Residen) dalam wilayah Karisidenan setempat. Dalam setiap Daidan (Batalyon) selalu terdapat Syidokan (Perwira Pelatih) dan Syido-Kasyikan (Bintara Pelatih) yang berasal dari tentara Jepang sekaligus merangkap sebagai Pengawas. Terdapat pula Bo Ei Gyugun Toku Setsu Yugekitai (Pasukan Gerilya Istimewa Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang disingkat Yugekitai dan Detasemen Kempetai (Polisi Tentara). Kesatuan PETA di Kedu termasuk Kedu Selatan Sejak mulai dibentuk sampai dengan dibubarkannya PETA pada tanggal 19 Agustus 1945, di Kedu terdapat kesatuan - kesatuan PETA sebagai berikut: A. Kedu Dai I Daidan (Batalyon) di Gombong dipimpin oleh Daidancho R. Abdoel Kadir, kemudian digantikan oleh R. Bambang Soegeng membawahi Chudancho chudancho: 1. Moein Gozali 2. Sarbini (Jenderal (Purn.)) 3. M. Koesen 4. Soedradjat B. Kedu Dai II Daidan (Batalyon) di Magelang dipimpin oleh Daidancho Moh. Soesman, membawahi Chudancho - chudancho: 1. Maryadi 2. Slamet Soeherman 3. Soeryo Soempeno 4. Bambang Soegeng C.
Kedu Dai III Daidan (Batalyon) di Gombong dipimpin oleh Daidancho Djoyokoesoemo, membawahi Chudancho - chudancho: 1. Kaslan Hoedyono Soekamto 2. Sanmo Samsiatmojo 3. Soeradji 4. Soetardjo
D.
Kedu Dai IV Daidan (Batalyon) di Purworejo dipimpin oleh Daidancho R. Moekahar Ronohadiwidjoyo, membawahi Chudancho - chudancho: 1. R. Soetarto 2. R. Koen Kamdani Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
16
3. R. Abdoel Madjid 4. Kardjono Markas Kempetai di Kebumen Selain PETA, Jepang juga memiliki kesatuan yang dinamakan Kempetai (Polisi Tentara). Anggota Kempetai berasal dari orang - orang Jepang dan warga Indonesia yang terpilih. Kesatuan ini terkenal sadis dan kejam, bahkan serdadu - serdadu Jepang sendiri pun sangat takut dengan Kempetai. Markas Kempetai di kota Kebumen terdapat di tiga lokasi yakni: di sebelah Utara Stasiun Kebumen (sekarang menjadi kompleks KODIM 0709 Kebumen), di Jalan Pahlawan (sebelah Barat Kantor BRI), dan di Jalan Sarbini (Depan Kantor DPU). Di markas - markas tersebut, hanya terdapat 3 sampai 4 anggota Kempetai. Kesatuan-Kesatuan Lain Para pemuda yang terpilih dalam seleksi masuk menjadi anggota PETA tetapi terlalu muda usianya, kemudian dipisahkan dan dikumpulkan di Magelang (di sebelah Selatan alun - alun Magelang menempati gedung bekas MOSVIA/Sekolah Bupati) untuk dididik khusus dalam kesatuan Tokobetshu Sinentai (Pemuda Istimewa). Dari kabupaten Kebumen hanya terpilih satu orang yang masuk dalam Tokobetshu Sinentai yaitu Darmansyah (terakhir menjabat sebagai Camat Pejagoan). Satu pasukan Tokobetshu Sinentai terdiri dari 40 orang. Pendidikan dilakukan selama tiga bulan dengan materi Ilmu Kemiliteran Tanpa Senjata. Pelatih Militer sekaligus Pemeriksa/Pengawas yang terkenal saat itu adalah Obata Sang, seorang ahli Sumo Jepang. Fungsi dari Tokobetshu Sinentai adalah untuk cadangan pasukan Zibakutai (Barisan Berani Mati) yang bermarkas di Candi Mendut. Setelah dididik selama 3 bulan, para pemuda Tokobetshu Sinentai gagal dikirim dan dipulangkan ke kabupaten masing - masing karena alasan utama mereka membantu orang tua untuk menggarap sawah yang terbengkalai selama mereka dilatih, sedangkan hasil panennya untuk kepentingan Jepang. Tidak lama setelah para pemuda Tokobetshu Sinentai dipulangkan ke kabupaten masing - masing, Jepang mengadakan pelatihan lagi dengan nama Nomin Senentai (Pemuda Pertanian). Pendidikan berlangsung selama 3 bulan di tempat yang sama (di Magelang). Materi yang diajarkan selain Kemiliteran adalah Pertanian. Pelatih Kemiliteran adalah Obata Sang, sedangkan pelatih - pelatih pertanian berasal dari Indonesia. Dari kabupaten Kebumen terpilihlah dua orang pemuda yaitu Darmansyah (bekas Tokobetshu Sinentai) dan Darsu (Terakhir menjabat sebagai Kepala Administrasi Sekolah Teknik Kebumen). Seinendan Di Kebumen Tidak seperti Romusha (tenaga kerja paksa) pada umumnya, Seinendan kabupaten Kebumen terpilih menjadi Seinendan Romusha Teladan untuk percontohan yang kemudian diikutkan dalam program Romusha di Banten selama tiga bulan. Jika Romusha biasa tidak dipulangkan oleh Jepang dan cenderung diperlakukan secara kejam, Seinendan Romusha Kebumen diperlakukan sangat istimewa dan dipulangkan setelah tiga bulan menjadi Seinendan Romusha Percontohan. Di setiap desa di seluruh wilayah kabupaten Kebumen dipilih sepuluh pemuda yang sehat dan kuat untuk dijadikan Seinendan. Pelatihan Seinendan diadakan seminggu sekali di desa masing - masing. Pemimpin Seinendan Kecamatan dinamakan Sonsidoin. Terdapat 300 Seinendan di Kecamatan Kebumen (30 desa) di bawah pimpinan dan kepelatihan Sonsidoin Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
17
Darmasyah. Kensidoin (pimpinan Seinendan tingkat kabupaten) Kebumen dijabat oleh Marsum. Dalam setiap bulan diadakan latihan bersama Seinendan tingkat kabupaten yang diadakan di alun - alun Kebumen. Latihan baris - berbaris dipimpin oleh Sonsidoin Darmansyah yang juga diperbantukan pada Seinendan tingkat Kabupaten. Selain materi baris - berbaris, Seinendan juga dibekali materi Pertanian. Spontanitas Rakyat Kedu Selatan Menyambut Proklamasi Kemerdekaan Seperti halnya yang terjadi di daerah lain, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut gembira oleh masyarakat Kedu Selatan yang terdiri dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga oknum - oknum yang justru bersikap kebalikannya. Golongan yang menyambut gembira dan menerima baik Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikenal sebagai golongan “Republikein”, sedangkan yang sebaliknya disebut “Antirepublik”. Tidak mudah untuk memisahkan siapa yang termasuk dalam golongan republikein dan mana yang antirepublik kecuali dengan pengamatan yang cermat melalui kata - kata, sikap dan perbuatannya. Dengan kondisi masyarakat yang demikian, ditambah lagi dengan adanya peristiwa - peristiwa yang terjadi di berbagai kota besar, maka di Kedu Selatan para prajurit eks tentara PETA berhimpun menyusun kekuatan sesama eks tentara PETA yang baru kembali dari kesatriaan - kesatriaannya (Daidan) dimana waktunya bersamaan dengan munculnya gerakan “Siap-siapan” dari para pemuda pelajar. Gerakan Siap - siapan adalah gerakan yang dilakukan oleh kelompok pemuda pelajar yang dengan jeli mengamati oknum - oknum tertentu dan membuat penilaian Republikein atau Antirepublik. Oknum yang dinilai Antirepublik (bila pejabat) disiapkan atau dipersilakan mundur dan diganti dengan orang-orang Republikein. Hanya saja karena jiwa mudanya, gerakan ini terkadang melampaui batas, yang bila dilepaskan cenderung menjadi boomerang. Karena itu prajurit eks PETA yang tengah menyusun barisan pun ikut turun tangan, Tut Wuri Handayani. Pihak - pihak yang termasuk dalam golongan Antirepublik ialah oknum yang dengan adanya Proklamasi 17 Agustus 1945: - Merasa lebih suka dan cocok menjadi bangsa jajahan. - Secara terang-terangan dalam kata dan perbuatannya tidak mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945 - Acuh tak acuh, tidak terdapat tanda - tanda memberi dukungan terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. - Di zaman Belanda dan Jepang digolongkan penjilat, sangat membantu kepentingan penjajah, serta cenderung menindas rakyatnya. Pada saat itu terdapat sejumlah oknum pejabat yang diturunkan oleh gerakan Siap siapan, diantaranya juga terjadi di Kebumen. Selain itu banyak kepala desa yang dinilai menjilat penjajah, sehingga diturunkan oleh rakyatnya. Istilah popularnya adalah “Didaulat” dan seketika diadakan pemilihan baru. Keadaan demikian mendorong para kepala desa yang tidak didaulat, terpanggil menunjukkan rasa solidaritasnya. Sebagian besar dari mereka meletakkan jabatannya dengan dalih sudah tua dan memberikan kesempatan kepada yang lebih muda. Dengan dikumandangkannya Seruan Presiden 23 Agustus 1945 tentang Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) membuat bekas prajurit PETA yang sebagian telah terhimpun, bekas Heiho, KNIL, Pelaut, dan pemuda lainnya membentuk BKR. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
18
Terbentuknya BKR membuat operasi Siap-siapan menjadi lebih tertib dan teratur caranya. Di tempat tertentu seperti di stasiun, batas daerah, dan kendaraan lewat diadakan pemeriksaan terhadap orang yang dicurigai. Hal ini dilakukan untuk mengamankan dan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Menegakkan Kekuasaan Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan berarti jika kekuasaan pemerintah masih berada di tangan Jepang. Pada waktu itu Jepang memang masih merasa menguasai pemerintahan. Tentaranya masih bersenjata, dan untuk daerah Kedu Selatan, tentaratentara Jepang berada dalam kesatriaan - kesatriaan PETA, instansi pamong praja, pabrik pabrik, serta lembaga tertentu meski jumlahnya tidak banyak. Dengan demikian, hal yang mutlak harus segera dilakukan adalah merebut senjata dan peralatan militer dari tangan Jepang. Pengambilalihan Kekuasaan dari Tangan Jepang Secara formal, Jepang sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi di Indonesia sejak menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Namun, dalam kenyataannya Jepang masih berkuasa atas pemerintahan hingga waktu penyerahan secara resmi kepada Sekutu. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang di Kedu Selatan adalah sebagai berikut: 1. Pada jajaran Kepolisian yang justru merupakan satu-satunya instansi bersenjata, pengambilalihan berlangsung dengan baik tanpa pertumpahan darah. Hal tersebut terjadi karena Jepang yang bertugas di tubuh Kepolisian termasuk golongan yang mengikuti realita. Maka, jadilah polisi Jepang menjadi Polisi RI yang ditandai dengan diturunkannya bendera Jepang dan dikibarkannya Sang Merah Putih. 2. Dalam tubuh pamong praja yang pada tiap kabupaten ditempatkan seorang opsir (biasanya berpangkat Mayor) pun tidak beraksi, sehingga pengambilalihan kekuasaan berlangsung sesuai dengan naskah Proklamasi yang menyatakan bahwa “Hal - hal yang mengenai pemindahan kekuasaan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat - singkatnya”. Seperti halnya pada jajaran Kepolisian, jajaran Pamong Praja dari Bupati, Wedana, Asisten Wedana, sampai dengan Lurah berikut para pegawainya, otomatis menjadi Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Lurah, dan Pegawai Republik Indonesia. Dengan demikian terbentuklah Kabupaten, Kawedann, Asistenan, Kelurahan Republik Indonesia, ditandai dengan dikibarkannya Sang Merah Putih. 3. Pada jajaran pemerintahan lainnya yang terdiri dari dinas – dinas dan jawatan, seperti: Pekerjaan Umum, Kesehatan, Jawatan Kereta Api, Pendidikan dan Pengajaran, Pertanian, Perekonomian, dan Kehewanan, pengambilalihan kekuasaan berlangsung dengan seksama dan tanpa kekerasan. Yang terjadi semata – mata hanyalah pergantian nama, yang semula dinas atau jawatan Pemerintahan Bal Tentara Dai Nippon, menjadi dinas atau jawatan Pemerintah Republik Indonesia. Biasanya ditandai dengan dikibarkannya Sang Merah Putih di depan kantor, sehingga pegawai – pegawainya pun otomatis menjadi Pegawai Republik Indonesia. Walaupun demikian, tentara Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya dengan sukarela kepada pejuang RI.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
19
Tidak semua pengambilalihan kekuasaan dari Jepang dapat dengan mudah dilakukan. Ada beberapa peristiwa pengambilalihan kekuasaan yang didahului secara diplomasi dengan didukung oleh pasukan siap tempur apabila diplomasi mengalami kegagalan. Misal yang terjadi di Pabrik Minyak Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati di desa Panjer) dan di Pabrik Minyak Olvado Karanganyar. Sepasang roda meriam kuno peninggalan Belanda yang dijadikan Monumen Peringatan di Sari Nabati Panjer
Perebutan Senjata Dari Tangan Jepang Perebutan senjata dari tangan tentara Jepang tidak hanya bertujuan untuk melumpuhkan Jepang, tetapi juga untuk mempersenjatai pejuang Indonesia. BKR maupun barisan – barisan para pejuang lain, terpaksa harus merebut senjata sebagai jalan tercepat guna mempertahankan kemerdekaan bangsa. - Upaya Pencarian Senjata di Krendetan dan Prembun Eks Shodancho Sarwo Edhie (Mertua dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono) dan eks Shodancho Sroehardoyo menuju ke Krendetan, tempat pertahanan meriam Jepang yang kuat. Mereka menduga Jepang menyembunyikan senjata di sini. Dengan tekun mereka mencari, tetapi tidak berhasil. Pencarian diteruskan ke Prembun, langsung menuju ke rumah Shidokan yang dikenalinya waktu di pasukan PETA. Dalam sumur, ditemukan satu dus peluru Karaben Steier. Peluru kemudian dibersihkan dan dijemur sambil berharap karebennya ditemukan. Usaha itu gagal, sehingga mereka pun pulang. - Perampasan Senjata di Stasiun Kereta Api Kutoarjo Berita pelucutan senjata Nakamura Butai oleh BKR di Magelang, mendorong Sroehardoyo meneruskan usaha pencarian senjata. Ketika itu Sarwo Edhie telah pindah ke Batalyon A. Yani di Magelang. Sroehardoyo menuju pantai Ayah yang di era Jepang merupakan pertahanan pantai. Ternyata usaha tersebut pun gagal. Saat pulang dengan menggunakan kereta api dari Kroya yang datang dari Jakarta, diketahui bahwa ada satu kompi tentara Jepang yang akan ke Yogyakarta, berada dalam kereta yang sama. Sroehardoyo duduk di bordes terakhir, memikirkan cara melucuti Jepang. Stasiun demi stasiun sudah dilewati. Gombong, Karanganyar, dan Kebumen, tetapi belum juga menemukan caranya. Tidak seorang pun bisa ditanya. Terlintas dalam pikiran, jika sampai di stasiun Kutoarjo tidak menemukan cara, maka kesempatan memperoleh senjata pun akan hilang. Ketika kereta akan masuk stasiun, terlihat BKR dan Pemuda Pelajar Kutoarjo siap mengadakan pengamanan. Sudah menjadi ketentuan bahwa bila ada pasukan Jepang yang lewat, harus diadakan pengamanan ketat. Sroehardoyo tergugah. Apalagi dia bertemu dengan eks Chudancho Sarbini di stasiun. Sroehardoyo pun segera mengutarakan maksudnya. Ia sadar jika menggunakan kekerasan akan menemui kesulitan. Maka Sroehardoyo pun menggunakan cara diplomasi yang ternyata disetujui Sarbini. Perundingan berjalan lancar. Hasil dari perundingan tersebut, Taicho (Pimpinan) Jepang memberi komando “So Juwo desu” (senjata keluarkan). Hanya saja Taicho minta Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
20
agar perwiranya tetap boleh mempertahankan samurainya. Hampir saja pistol tidak diserahkan. Untung Taicho kemudian menyerahkan 3 pucuk pistol. Dengan lega Sroehardoyo dibantu BKR Kutoarjo dan BKR Kereta Api yang bertugas di stasiun Kutoarjo, antara lain pemuda Soekadaroh, mengurus pengangkutan senjata ke BKR Purworejo. Sedangkan eks Chudancho Sarbini melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur bersama pasukan Jepang. Senjata rampasan sebanyak satu kompi tersebut merupakan senjata pertama, embrio Resimen XX/Kedu Selatan. Peristiwa menggembirakan tersebut dirayakan BKR Purworejo dengan show of force berkeliling kota bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus pada pagi harinya. Mereka membuktikan bahwa BKR bukan lagi “macan kertas” (peristiwa ini menjadi dasar acuan dijadikannya stasiun Kutoarjo sebagai bangunan cagar budaya). Pelucutan Senjata di Kebumen Pelucutan senjata di Kebumen dilakukan oleh BKR, pemuda, dan pelajar dipimpin oleh eks Chudancho Soedrajat. Dengan kekuatan 400 orang bersenjata bambu runcing dan senjata lain, mereka meruntuhkan mental Jepang. Pelucutan senjata berlangsung tanpa perlawanan. Orang – orang Jepang selanjutnya dimasukkan ke dalam rumah tahanan di penjara Kebumen. Pelucutan senjata di kota Kebumen berlangsung di empat tempat yakni: 1. Pabrik Minyak Kelapa Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati Panjer kebumen), terhadap satu regu Jepang. 2. Jalan Pahlawan (sebelah barat kantor BRI), terhadap dua regu Jepang. 3. Jalan Kranggan Kebumen, terhadap satu regu Jepang. 4. Jalan Jenderal Sarbini (sekarang depan Kantor DPU), terhadap seorang perwira Jepang. Ex Pabrik Mexolie/Sarinabati Panjer Kebumen
Pelucutan Senjata di Karanganyar Pelucutan senjata di Karanganyar berlangsung di Pabrik Minyak Olvado dilakukan oleh BKR dan pemuda berkekuatan 300 orang dengan bersenjata bambu runcing. Pelucutan dipimpin oleh eks Bundancho Bambang Widjanarko dan eks Bundancho Koedoes yang menjatuhkan mental tentara Jepang sehingga penyerahan lima pucuk senjata berlangsung tanpa perlawanan.
Kantor DPU Kebumen
Pelucutan Senjata di Sumpyuh Pelucutan senjata di Sumpyuh melibatkan hampir semua pasukan BKR di Kedu Selatan, yakni : BKR Kebumen, Gombong, Kutoarjo, dan Purworejo, dipimpin oleh Daidancho Gatot Soebroto, Koordinator BKR Daerah Banyumas. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
21
Selain pasukan BKR, dalam pelucutan tersebut ikut pula lebih kurang 300 orang pemuda bersenjata bambu runcing. Dengan penuh semangat dan rela berkorban, mereka bergerak bersama BKR Gombong yang dipimpin oleh eks Shodancho Soedarsono Bismo dan eks Shodancho Slamet Soebyakto (sebagai komandan dan wakil komandan peleton). Sedangkan yang menjadi komandan regu adalah eks Bundancho Djoerdjani, eks Bundancho Bagyoto, eks Bundancho Yatiman, dan eks Bundancho Soemarto. Mereka berhasil memperoleh sebuah truk Dodge, sepucuk SMR (Senapan Mesin Ringan), 40 senapan, dan puluhan pakaian seragam Jepang. Pasukan BKR Kebumen dengan kekuatan satu kompi dipimpin oleh eks Shodancho H. Soegondo dan wakil eks Shodancho Soedarmin. Adapun Komandan Peleton I adalah eks Shodancho Dimyati (terakhir sebagai mantan Lurah Kebumen), Peleton II eks Bundancho Soemari, dan Peleton III eks Bundancho Soegito. Bertindak sebagai Komandan Regu adalah eks Bundancho D.S. Iskandar, eks Bundancho Soediro, eks Bundancho Soenaryo, dan eks Bundancho Solichin. Mereka berhasil memperoleh sebuah sepeda motor, sedan Chevrolet, pick up, 3 buah truk, 3 pucuk SMR, 60 pucuk senapan, dan 15 peti peluru.
Jalan Kranggan Kebumen
Pasukan BKR Kutoarjo dengan kekuatan satu peleton dipimpin oleh eks Shodancho M. Toegiran dengan komandan – komandan regunya eks Bundancho Senoe, eks Bundancho Soedarman, dan eks Bundancho Badroen berhasil memperoleh sebuah truk Australia dan 40 senapan. BKR Purworejo juga mengerahkan dua peleton pasukan dipimpin oleh eks Shodancho Sanoesi, Seksi I eks Bundancho Soesilo Handoyo, Seksi II eks Bundancho Soewaridjan, dan Komandan Regu diantaranya eks Bundancho Soewandi. Mereka memaki dua truk Ghurka ke Sumpyuh dan berhasil memperoleh lebih kurang 50 senapan pendek yang dipakai PETA. Sejak saat itu, BKR di Kedu Selatan, baik BKR di Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Purworejo kekuatan senjata dan angkutannya bertambah. Hal ini menambah pula rasa percaya diri dan semangat tempur dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Bengkel Senjata Kebumen Para pejuang bersenjata di Kedu Selatan terus berupaya keras untuk menambah persenjataan yang dimiliki dengan berbagai cara. TKR Batalyon III Resimen Moekahar Kebumen mengetahui bahwa di ACW Bandung terdapat sejumlah alat dan mesin selain senapan, pistol, mitraliur, granat yang tidak atau belum dipindahkan dan tidak dibumihanguskan. Atas saran Kepala Bagian Persenjataan Batalyon Letnan II Iskandar dan saran teknis Letnan II Tirtohoedoyo, maka Mayor Rahmat, bersama Letnan II Iskandar dan Letnan II Tirtohoedoyo pergi ke Bandung untuk mengambil dan memindahkan alat – alat dan senjata ke Kebumen. Mereka dikawal oleh satu kompi pasukan yang dipimpin oleh Kapten Soegondo, Letnan I Dimyati (terakhir sebagai Lurah Kebumen), dan Letnan Muda Pratedjo. Pemindahan Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
22
dilakukan dengan menggunakan truk dan kereta api. Mereka berhasil memindahkan beberapa pucuk senjata, 30 mesin bubut, dan sejumlah alat produksi lain. Alat – alat tersebut kemudian dibawa ke kompleks Sekolah Teknik (ST) Kebumen untuk melengkapi alat-alat yang telah ada sebelumnya dan selanjutnya digunakan sebagai alat memproduksi senjata, baik senjata tajam maupun senjata api, seperti : pedang panjang (model samurai Jepang), pedang biasa, pistol, pistol mitraliur, kaki Senapan Mesin Ringan dan kaki Senapan Mesin Berat untuk Pasukan Anti Serangan Udar (PASU) 12.7 dan M 2.3. Dengan demikian Batalyon III/Kebumen memiliki bengkel senjata. Senjata – senjata yang dihasilkan digunakan untuk melengkapi persejataan badan perjuangan di Kedu Selatan, agar potensi dan semangat juang meningkat. SMP 7 Kebumen (dahulu Sekolah Tehnik dan bengkel senjata)
Tenaga yang dilibatkan dalam kegiatan produksi senjata terdiri dari: - 24 orang Guru Sekolah Teknik Kebumen diantaranya; Sanoesi, Haroen, Soedjangi, Dalilan, dan Badaruzzaman. - 100 orang siswa Sekolah Teknik Kebumen. - 200 orang personil yang dipindahkan dari Bandung. Personil dari Bandung pada umumnya telah berkeluarga. Mereka membawa keluarganya tinggal di Kebumen. Keberhasilan produksi senjata di Kebumen merupakan prestasi yang langka. Namun hal tersebut juga menjadi beban bagi kesatuan tingkat batalyon. Karenanya, bertepatan dengan penandatanganan Persetujuan Linggarjati tanggal 25 Maret 1947, atas pertimbangan Resimen dan Divisi, bengkel senjata Kebumen kemudian diserahkan ke Kementerian Pertahanan RI. Begitu juga dengan personilnya, sebagian besar masuk ke TRI (Tentara Republik Indonesia), termasuk siswa di ST Kebumen. Sedangkan guru ST Kebumen kembali bekerja seperti semula. TKR Batalyon I Moekahar/Purworejo tidak ketinggalan pula berupaya menambah senjata. Senjata yang berhasil diproduksi adalah granat yang terkenal dengan sebutan Granat Gombyok. Granat ini adalah hasil karya Letnan II Soenarto (mantan Sersan KNIL) yang ditugaskan di bagian persenjataan Batalyon I Resimen Moekahar. Granat Gombyok mendapat sambutan dan dukungan baik oleh Komandan Batalyon I Resimen Moekahar Mayor Koen Kamdani dan selanjutnya diproduksi secara masal. Granat Gombyok pada masanya benar – benar memasyarakat. Bengkel Granat Gombyok di Batalyon I/Purworejo pun akhirnya diserahkan kepada Kementerian Pertahanan RI di Yogyakarta. Menghadapi Sekutu Tanpa memperhatikan Poklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sebagai pemenang perang, tentara Sekutu merasa berhak masuk ke wilayah Indonesia yang sebelumnya adalah wilayah kekuasaan Bala Tentara Jepang yang berakhir pada 14 Agustus 1945, saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Sekutu mendarat pertama kali di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1945. Disusul pendaratan kedua di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945, di Surabaya pada tanggal 25 Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
23
Oktober 1945, di Palembang pada tanggal 12 oktober 1945, di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945, di Bali pada tanggal 27 Oktober 1945 dan di Makasar sejak awal September 1945. Kedatangan Sekutu belakangan diketahui diboncengi NICA – Belanda. Keadaan ini menimbulkan kecurigaan dan kewaspadaan di kalangan TKR, meskipun di sisi lain masuknya Sekutu ke wilayah RI didasarkan hasil keputusan Perjanjian Postdam. Pengumuman SEAC yang disiarkan di Singapura menyebutkan tujuan Sekutu ke indonesia yaitu: 1. Melindungi dan mengungsikan tawanan – tawanan perang dan tawanan biasa. 2. Melucuti dan mengembalikan tentara Jepang ke negaranya. 3. Menjaga keamanan dan ketenteraman agar kedua maksud itu dapat terlaksana tanpa mengganggu kedaulatan RI. Meskipun tentara Sekutu berdalih sebagaimana di atas, namun dalam kenyataannya mereka bertingkah lain. Hal itu menimbulkan rakyat terutama pemudanya merasa tersinggung kehomatannya karena kedatangan Sekutu tidak lain adalah untuk membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Bangsa Indonesia sendiri telah bertekad bulat “lebih baik mati daripada hidup dijajah”, seperti terlihat dalam semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” dan Merdeka atau Mati” Kehadiran Sekutu yang diboncengi tentara NICA – Belanda telah meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk melakukan perlawanan yang gigih meskipun dengan senjata apa saja yang dimilikinya. Rakyat sadar bahwa dari kekuatan senjata, sangatlah tidak seimbang antara TKR dan barisan – barisan pejuang RI dengan Sekutu yang persenjataannya serba lengkap dan lebih berpengalaman. Namun berkat persatuan dan kesatuan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan sebagai perjuangan mulia dan suci yang diridhoi Tuhan, Sekutu yang demikian kuat dalam alat dan perlengkapan perang pada akhirnya dapat diusir dari bumi Indonesia. Meski untuk sampai ke arah itu harus dibayar dengan pengorbanan besar baik jiwa maupun harta benda. Pertempuran – pertempuran menghadapi sekutu yang kadang kala melibatkan Jepang terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. TKR dan barisan – barisan pejuang RI melawan dengan sekuat tenaga. Menanggulangi Serangan Sekutu Pertempuran dengan Jepang selama 5 hari di Semarang yang menelan korban lebih kurang 2000 jiwa di pihak RI dan 950 jiwa di pihak Jepang telah menyibukkan segenap pemuda di Jawa Tengah. Keadaan ini memberi kesempatan kepada Sekutu untuk mendaratkan pasukannya di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pada mulanya pasukan sekutu tidak mendapatkan gangguan dari pihak RI ataupun pemuda pejuang. Mereka berhasil menuju Ambarawa dan tiba di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945 untuk menjalankan misi melindungi dan mengungsikan tawanan – tawanan perang dan tawanan biasa, melucuti senjata dan mengembalikan tentara Jepang, serta menjaga keamanan dan ketenteraman agar kedua misi dapat terlaksana dengan sebaik – baiknya. Sambutan baik terhadap sekutu di Semarang menjadi berubah setelah diketahui bahwa Sekutu diboncengi NICA – Belanda. Terlebih setelah Sekutu mulai melukai perasaan rakyat, dengan memberikan kebebasan tentara NICA – Belanda untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
24
NICA kemudian membebaskan orang – orang Belanda yang ditawan di tempat penampungan di Ambarawa dan Magelang. Orang – orang ini tidak mau tahu kalau yang kini berkuasa adalah pemerintah RI. Bahkan mereka berusaha mendapatkan kembali kedudukan sebagai penguasa seperti sebelumnya. Dengan demikian teranglah bahwa mereka itu melanggar kedaulatan bangsa Indonesia. Perbuatan mereka itu menjadi penyebab timbulnya kemarahan rakyat Jawa Tengah, sehingga bangkit keberaniannya untuk melakukan pemboikotan makanan dan keperluan sehari – hari lainnya bagi Sekutu. Tindakan itu baru permulaan. Apabila tentara Sekutu dan NICA tidak menyadari tugasnya yang dikeluarkan dalam pernyataan resminya, maka rakyat Jawa Tengah akan bertindak lebih tegas lagi. Kegiatan Sekutu di Semarang dan Magelang lewat Ambarawa, semakin jelas dan nyata memperlihatkan kekurangajarannya. Segenap potensi pasukan – pasukan TKR dan badan – badan kelaskaran di Jawa Tengah mengalir ke kota Semarang dan Ambarawa untuk mengadakan pengepungan terhadap sekutu. Pada tanggal 30 Oktober 1945 di Semarang meletus pertempuran melawan Sekutu. Esok harinya tanggal 1 November 1945 rakyat Magelang mengangkat senjata melawan Sekutu. Pertempuran Magelang Selain 9 orang tentara Sekutu yang diterjunkan di lapangan Gunung Tidar pada tanggal 24 September 1945, pada tanggal 26 Oktober 1945 tentara Sekutu (Inggris) dari Semarang masuk Kota Magelang lengkap dengan tank, panser, truk, jip, dan lain – lain. Pasukan Inggris dari kesatuan tentara Ghurka dan beberapa perwira tentara Belanda turut di dalamnya. Sekutu mendirikan markasnya di Kompleks Militer Badaan, sehingga lapangan penuh dengan kendaraan militer. Tentaranya mulai ditempatkan di Zusteran dan Socitet, dan langsung menduduki gedung – gedung umum di jalan Poncol. Bendera Inggris pun dipasang dimana Sekutu berada. Akhirnya terjadi insiden. Rakyat mengepung gedung – gedung untuk menurunkan bendera Inggris dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih. Inspektur Polisi Legowo kepala Polisi Kota menengahi insiden antara rakyat dengan tentara Inggris. Penyelesaian kompromi dicapai, pengibaran harus didampingi bendera Merah Putih. Insiden berlangsung kembali ketika tentara Inggris merampas kendaraan tentara Jepang yang sudah di tangan rakyat. Bahkan senjata pun harus dikembalikan kepada mereka. Rakyat tetap bertahan. Akhirnya terjadilah “Clash” bersenjata antara pihak Indonesia dengan pihak Sekutu. Korban pun berjatuhan. Pasukan TKR yang sedang disusun di Kedu dan sekitarnya tidak diam. Masing – masing menyusun pasukannya yang terlatih dan bersenjata lengkap untuk membantu pasukan di Magelang. Kekuatan utama pasukan RI di kota Magelang ialah Resimen TKR Kedu Tengah di bawah Komandan Resimen Kedu Tengah, Letkol M. Sarbini (dahulu eks Chodancho) dengan 5 batalyon yaitu: 1. Batalyon I/Mayor Soeryo Soempeno 2. Batalyon II/Mayor Koesen 3. Batalyon III/Mayor Ahmad Yani (Pahlawan Revolusi) 4. Batalyon IV/Mayor Soewito Haryoko 5. Batalyon V/Mayor Wagiman Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
25
Di Kota Magelang/wilayah Kedu Tengah, selain pasukan TKR Resimen Kedu Tengah, terdapat pula pasukan dari badan – badan kelaskaran di antaranya BPRI, Pesindo, Hizbullah, dan Sabilillah. Pasukan bantuan dari luar Kota Magelang pun berdatangan baik dari Purwokerto, Yogyakarta dan Kedu Selatan (Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, dan Gombong). Gombong mengirimkan satu Seksi BKR bersenjata lengkap di bawah pimpinan eks Shodancho Soedarsono Bismo dengan eks Shodancho Slamet Soebyakto sebagai wakil. Sedangkan komandan – komandan regunya antara lain Regu I eks Bundancho Djoerdjani, Regu II eks Bundancho Soeparman, dan Regu III eks Bundancho Bagyoto. Setelah tiba di Tempuran (sebelum masuk Magelang), mereka melaporkan diri kepada Komandan Pertempuran Letkol (TKR) Sarbini yang bermarkas di Tempuran. Atas perintahnya, Peleton Soedarsono Bismo menuju alun – alun Magelang dimana telah berada pasukan – pasukan dari Yogyakarta, Solo, dan Magelang sendiri. Kebumen mengirimkan satu kompi BKR pimpinan eks Shodancho Soedarmin. Komandan seksi I eks Shodancho Dimyati, seksi II eks Bundancho Soemari, seksi III eks Bundancho D.S. Iskandar, komandan regunya eks Bundancho Soegito dan eks Bundancho Pratedjo. Setibanya di Tempuran, Kompi Soedarmin melapor kepada Letkol Sarbini selaku komandan pertempuran. Kehadiran sejumlah pasukan dari berbagai kesatuan tersebut mengakibatkan Magelang dengan tentara Sekutunya terkepung rapat. Pertempuran dan Gencatan Senjata Tanggal 28 Oktober 1945 tentara Jepang Kidobutai dari Semarang datang ke Magelang karena hasutan tentara Inggris yang mengatakan bahwa semua tentara Jepang dibunuh oleh extrimis – extrimis. Kidobutai mengadakan penggeledahan dengan ganasnya kampung – kampung sekitar Badaan, Potrobangsan, Botton mencari pemuda extrimis. Akibatnya rakyat yang dibunuhnya. Dini hari 29 Oktober 2945 pertempuran meletus. Inggris memperkuat kedudukannya, terutama di Zusteran dengan senjata berat “Elenan” dan mortir. Pesawat mengirim makanan dan lain – lain. Kota Magelang terbagi dua. Zusteran merupakan garis depan Inggris dan watertoren garis depan pejuang. Pada malam hari, pasukan TKR masuk ke daerah Sekutu untuk mengadakn perlawanan dan sabotase, sedangkan pagi harinya, TKR sudah menghilang. Keadaan demikian berlangsung selama tiga hari pertempuran. Tanggal 1 November 1945, ada berita Cease Fire karena presiden Soekarno akan datang di Magelang ke Markas BKR di Jalan Embong Mawar. Perwira dari Pertahanan Yogyakarta datang membicarakan kedatangan Presiden pada 2 November 1945. Inspektur Polisi Legowo yang bertugas menjemput Presiden sempat dilucuti tentara Jepang di tikungan Jalan Dukuh dan dihadapkan kepada komandan Sekutu. Namun setelah dijelaskan, Legowo dibebaskan. Setibanya di Rumah Sakit Jiwa Keramat, rombongan Presiden dan jenderal Bethel berikut Merah Putih dan bendera Inggris berdampingan tampak dari jauh. Legowo mengantar rombongan ke tempat perundingan di markas Tentara Inggris Badaan. Perundingan juga diikuti oleh Letkol Sarbini sebagai Komandan TKR, wakil Residen Kedu Winarno, Pimpinan Laskar Rakyat Budi Handoko, dan Walikota Magelang Soeprodjo. Dari pihak Inggris ialah Letkol Edward, Mayor Holmes, dan Kapten Ball.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
26
Perundingan Presiden RI dan Jenderal Bethel menghasilkan : - Pembentukan Contact Committe (CC) terdiri dari pihak Indonesia dan Inggris, atas nama semua yang duduk dalam committe. Tujuan CC bekerja sama secara erat untuk bersama – sama mencari jalan penyelesaian konflik yang akan timbul. - Penjelasan rinci tugas kewajiban tentara Inggris selama pendudukan, terutama pengamanan tawanan perang maupun sipil Sekutu dan pelucutan senjata tentara Jepang. - Penjelasan yang berkuasa menurut hukum di bumi Indonesia adalah RI. - Semua kebutuhan tentara Inggris seperti bahan makanan, alat angkutan, dan keperluan lainnya agar dapat dicukupi pihak Indonesia. Seusai perundingan Presiden melakukan release ke seluruh tanah air melalui RRI yang terletak di kantor telepon, seberang rumah bupati. Cease Fire resmi berlaku mulai pukul 06.00 wib tanggal 2 November 1945. Kota Magelang pun tenteram, hanya kadang – kadang pada malam hari terdengar tembakan di sana – sini. Dengan diam diam, pada tanggal 21 November 1945 tentara Inggris dengan 62 truk meninggalkan Magelang tanpa Pamit kepada CC. Markas dan rumah – rumah ditinggalkan kosong. Mereka membawa pasukan sipil, wanita dan anak – anak Belanda. Pasukan TKR terdiri dari Batalyon Mayor Soeryo Soempenoe, Mayor Achmad Yani dan Mayor Koesen, dipimpin Letnan Kolonel Sarbini sebagai pejuang mengejar Sekutu yang mundur ke Ambarawa. Di pihak TKR, khusus Kedu Selatan eks Shodancho Yahya Purworejo, pemuda Ribut dari Kebumen, dan dua pemuda Purworejo tak dikenal gugur tertembak. Sedangkan pemuda Blewuk dari kebumen cedera matanya. Korban di pihak Inggris tidak diketahui. Ketika gencatan senjata mulai berlaku tanggal 2 November 1945, maka pasukan BKR dan badan kelaskaran kembali ke basisnya. Begitu pula pasukan BKR Purworejo, Kutoarjo, Kebumen maupun Gombong yang selanjutnya segera merampungkan penyusunan TKR. Berhubung tiga batalyon di Magelang mengejar mundurnya Inggris, maka TKR Purworejo kembali ke Magelang sebagai pasukan keamanan dan pertahanan kota. Salah satu posnya ialah Magelang Utara di Kramat. Komando Pos berada di salah satu barak Rumah Sakit Kramat. Pos Depan di jalan Raya Magelang – Ambarawa (dekat Payaman). Antara Komando Pos dengan Pos Depan dihubungkan telepon lapangan yang kebetulan dapat kiriman dari PTT Bandung. Pos Magelang Utara dipimpin Sroehardoyo (Komandan Seksi TKR Purworejo). Dengan senjata lengkap senapan panjang dan mitraliur. Logistik terurus baik, 3 kali sehari dapat Nuk dari dapur umum ibu – ibu pegawai rumah sakit Kramat. Heriosme Pejuang Kedu Selatan dalam Pertempuran Ambarawa Pertempuran Ambarawa yang dikenal pula sebagai “Palagan Ambarawa” merupakan suatu rentetan peristiwa dengan pertempuran Magelang. Pertempuran itu merupakan luapan kemarahan rakyat terhadap Sekutu yang secara nyata membantu Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Tentara Sekutu berada di Ambarawa sejak hari pendaratannya di Semarang pada 20 Oktober 1945. Tindakan – tindakan tentara Sekutu ternyata tidak menghormati kedaulatan RI, maka terjadilah insiden pada hari itu juga antara TKR dan pemuda dengan pihak Sekutu dan NICA.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
27
Insiden lalu meluas menjadi pertempuran. TKR dipimpin Mayor Soemarto, Komandan Batalyon Ambarawa, dengan dua Kompi di dalam kota, dan dua kompi di Bantir Sumowono, dibantu angkatan Muda pimpinan Soekardjan. Setelah pertempuran meletus di Ambarawa, pasukan – pasukan bantuan dari sekitar Ambarawa berdatangan yaitu dari Salatiga, Boyolali, dan Surakarta. Mundurnya Sekutu dari Magelang diduga ada hubungannya dengan petempuran di Ambarawa. Dalam perjalanan mundur, di daerah Pingit pasukan Sekutu menteror rakyat dengan kejamnya. Pasukan Mayor Imam Hadrongi dari Purwokerto yang telah berada di Magelang sejak pertempuran meletus, berkekuatan 3 kompi diperkuat dengan 2 pucuk meriam 7,5 cm siap membebaskan Pingit. Pada pagi 22 November 1945 Batalyon Imam Hadrongi melakukan serangan subuh terhadap daerah Pingit. Ternyata Sekutu telah meninggalkan Pingit menuju ke Ambarawa. Pada hari yang sama Sekutu membuka serangannya dengan tembakan – tembakan mortir dan senapan mesin ke kampung Temanggungan dan Kampung Panjang Kidul dimana terdapat pertahanan Kompi Soehardi, Polisi di bawah pimpinan Soegito, Angkatan Muda di bawah pimipnan Soekarjan yang di dalamnya bergabung Angkatan Muda Narapidana Ambarawa. Tentara Sekutu menggunakan tentara Jepang sebagai tawanan, untuk mendesak pertahanan pasukan RI. Pada tanggal 23 November 1945, pasukan Sekutu diperkuat tank melancarkan serangan ke seberang timur kali Panjang, kemudian ke kawedanan dan pasar Praja. Semakin hebatnya pertempuran di Ambarawa, menyebabkan bertambahnya pasukan – pasukan TKR dan badan – badan kelaskaran datang ke Ambarawa. Dari Yogyakarta datang Batalyon 10 Divisi III pimpinan Mayor Soeharto (Presiden ke – 2 RI), Batalyon B di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan Tentara Rakyat Mataram (TRM) di bawah pimpinan Soetardjo yang dikenal dengan Bung Tardjo. Sementara dari Purwokerto selain Batalyon Imam Hadrongi juga tiba Batalyon Wijaya Kusuma pimpinan Mayor Soegeng T. Sewoyo. Kedua Batalyon ini langsung di bawah pimpinan Komandan Resimen I Divisi V Purwokerto Letkol Isdiman yang telah bertugas sejak pertempuran Magelang. Setibanya di Ambarawa, semua batalyon menyusun pertahanan dan persiapan melancarkan serangan. Sekutu berusaha mempertahankan kedudukannya, sedangkan TKR berupaya merebut pertahanan Sekutu. Kedua belah pihak mengerahkan segala kemampuannya, sehingga pertempuran berjalan cukup sengit. Tembakan meriam dibalas dengan tembakan meriam. Tembakan senapan mesin dibalas dengan tembakan senapan mesin. Tekanan – tekanan kuat pasukan TKR dan pejuang, menyebabkan Sekutu mengerahkan pesawat terbangnya untuk melakukan pemboman dan penembakan senapan mesin ke arah kedudukan RI. Namun TKR dan para pejuang tidak gentar. Sekutu menjadi cemas, sehingga tentara Jepang digunakan untuk menyusup dengan kawalan tank ke daerah belakang RI. Dalam situasi demikian, Pos Ngampin (sebelah selatan Gereja Jago) jebol. Seksi Sroehardoyo diperintahkan maju. Tugas Pos Magelang Utara digantikan Seksi Soeparyo dari Purworejo. Seksi Sroehardoyo langsung menghadapi serangan dengan tembakan – tembakan mitraliur 12,7 dan bom seberat 50 kg di belakang pertahanannya. Lubang – lubang bekas jatuhnya bom, dimanfaatkan sebagai perlindungan sehingga atas kehendak Tuhan, anak
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
28
buah seksi Sroehaardoyo tetap utuh. Peristiwa ini dirasakannnya sebagi suatu vuurdroop (ujian latihan tembak) baginya. Tidak disangka beberapa saat setelah serangan udara Inggris berhenti, datang Mayor Koen Kamdani selaku Komandan Batalyon I/TKR Purworejo menengok anak buah yang bertugas di garis terdepan. Mayor Koen Kamdani sekaligus menyerahkan SK pengangkatan eks Shodancho Sroehardoyo menjadi komandan Kompi I Batalyon I dengan pangkat Kapten. Tidak lama kemudian komandan Resimen Purworejo Letnan Kolonel Moekahar juga datang. Setelah melihat keadaan anak buah Sroehardoyo yang kelelahan dan pucat, Letnan Kolonel Moekahar memerintahkan pasukan istirahat di garis belakang. Pasukan Sroehardoyo baru kembali ke Purworejo setelah pasukan pengganti pos Ngampin datang. Perjalanan ke Purworejo untuk istirahat ternyata banyak menghadapi tantangan dan hambatan, bahkan sebagian sempat kesasar. Sementara itu situasi pertempuran Ambarawa semakin bertambah gawat setelah Sekutu menggunakan bantuan tentara Jepang secara besar – besaran. Sadar akan bahaya, maka pasukan TKR yang semula sudah berada di dekat kota Ambarawa, segera mundur hingga Bedono. Untung saja pasukan – pasukan bantuan mulai berdatangan dari beberapa daerah, antara lain dari Yogyakarta Batalyon I Divisi III dipimpin oleh Mayor Pranoto Reksosamudra. Batalyon Polisi Istimewa dipimpin oleh Oni Sastroatmodjo, Barisan Macan yang anggotanya terdiri dari para narapida yang dipersenjatai, juga Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang aktif menyelenggarakan dapur umum dan PPPK. Sedangkan dari Purwokerto selain pasukan divisi V TKR yang telah berada di medan sejak di Magelang, juga menyusul para pasukan Resimen Moekahar (Resimen Purworejo) yang kelak menjadi Resimen XX/Kedu Selatan. Setelah reorganisasi dan kosolidasi, semula Resimen Purworejo akan mengirim Batalyon I/Mayor Koen Kamdani dan Batalyon III/Soedradjat, serta satu kompi meriam. Karena keterbatasan angkutan, Batalyon I yang terdiri dari Kompi I/Kapten Sroehardoyo, Kompi II/Kapten Sanoesi, Kompi III/Kapten Bambang Irawan, dan Kompi Meriam Letnan I Oerip, pada 6 Desember 1945 dengan truk menuju Magelang terus ke Gumawang. Selanjutnya mereka menyusun pertahanan di lokasi yang telah ditentukan. Lima hari kemudian Batalyon III berkekuatan 3 kompi berangkat dari Kebumen menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) ke Yogyakarta. Setelah istirahat di hotel Tugu, mereka ganti kereta ke Magelang dan turun di stasiun Wates. Atas pertimbangan pimpinan, setelah Batalyon III tiba di Magelang hanya satu kompi saja yang ke Ambarawa. Dua kompi lainnya termasuk Komandan Batalyon III/Kebumen, kembali ke Kebumen. Dalam tugas ke Ambarawa, Kapten Soemrahadi yang semula Kepala Staf Batalyon III menjabat sebagai Komandan Kompi, sedangkan Kapten H. Soegondo Komandan Kompi I menjabat sebagai wakil Komandan Kompi I. Adapun Komandan Seksi I letnan II Kliwon, Seksi II Letnan Muda Tambeng, Seksi III Letnan Muda Soepadi, Kepala Staf kompi Serma Soepardi. Kompi Soemrahadi ke Ambarawa dari stasiun Wates (Magelang) dengan kereta dan turun di Stasiun Bedono sekitar pukul 16.00 Wib. Di sana Kompi Soemrahadi mendengar dan melihat kilat tembakan dari Banyubiru dengan sasaran kedudukan musuh di Ambarawa. Tembakan tersebut ternyata dari barisan Jenggot yang lebih dahulu tiba, untuk melindungi Kompi Soemrahadi. Ketika menyeberangi Jalan Raya Magelang – Ambarawa menuju kiri jalan, pasukan disambut mortir musuh selama satu jam. Sungguh satu mukjizat, mortir musuh yang menghujani tidak satu pun melukai, meskipun berjatuhan di sela – selanya. Bahkan satu Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
29
diantaranya jatuh tiga meter di hadapan Kapten Soemrahadi langsung menghunjam ke dalam tanah, tapi tidak meledak. Pasukan semakin hati – hati dan tiba di desa Jambu pada malam hari. Selama dua hari dua malam Kompi Soemrahadi bertahan di desa Jambu di daerah pohon – pohon besar, tanpa ganti pakaian, dengan makan seadanya seperti singkong bakar, jagung bakar, kelapa, atau gori rebus. Setelah dua hari bertahan,pada malam ke tiga Kompi Soemrahadi mendapat perintah masuk kota Ambarawa pada jam 04.30 Wib dengan sasaran Zusteran. Pada jam D kompi telah siap dan pada jam 04.30 Wib terdengar ledakan. Sasaran didekati melalui selokan menerobos di bawah tembok Zusteran. Ternyata tidak ada perlawanan. Bunyi ledakan tadi bukan komando maju, melainkan ledakan ranjau di jalan dekat jembatan masuk Kota Abarawa yang megakibatkan gugurnya Komandan Kompi III Kapten Bambang Irawan berikut seorang pengawal komandan batalyon. Dua orang pengawal lain luka berat. Mayor Kamdani terpental ke sawah dan dirawat. Kejadian ini membuat Kompi Bambang Irawan “Ngamuk”. Kompi Sroehardoyo dan Kompi Sanoesi terus maju melancarkan serangan ke kota. Dengan penuh kesiagaan dan kewaspadaan Kompi Soemrahadi dan Kompi I, II, III Batalyon I melakukan pembersihan sekitar kompleks Zusteran. Semua kamar dan ruangan, bahkan kamar mandi dan gudang diperiksa. Namun tidak ada seorang musuh pun yang masih hidup ditemukan. Yang ada hanyalah mayat – mayat serdadu Ghurka berserakan di halaman, ruangan, dan di gudang, dengan pakian seragam dan senjata yang masih di tangan. Ada pula Gurkha berseragam dan senjata di tangan dalam keadaan berdiri, mati bersandar di dalam WC diduga telah bunuh diri. Dari ratusan mayat yang ditemukan terdapat beberapa yang sudah mulai berbau. Kompi Soemrahadi memeriksa secara teliti. Kompleks Zusteran ini akan digunakan sebagai penampungan pasukan. Kompi Soemrahadi ditunjuk menempati tiga gedung di pusat kota, di jalan menuju stasiun (seberang Monumen Palagan). Pasukan lainya termasuk kompi I, II, III Batalyon I tersebar di dalam kota yang telah ditunjuk pimpinan. Sejauh ini beberapa gedung ternyata merupakan gudang makanan (terbanyak makanan kaleng), gudang pakaian, sedikit gudang benzene, dan sedikit gudang peluru. Siang harinya pembersihan dan patroli terus dilakukan. Di sana - sini terdapat kebakaran gedung – gedung, kantor, rumah, pasar, yang dilakukan musuh saat mundur ke Semarang. Beberapa penduduk yang tidak ikut mengungsi keluar kota, memilih tetap dalam rumahnya. Pada malamnya kota Ambarawa sunyi senyap. Sesekali memang terdengar suara – suara tembakan dan masih terlihat api kebakaran yang belum padam. Lebih kurang pukul 22.00 Wib, Panglima Divisi V Kolonel Soedirman didampingi para komandan resimen mengadakan inspeksi dalam kota dan beberapa asrama penampungan, untuk menyampaikan amanat agar pasukan TKR tidak “melik” terhadap benda musuh maupun milik penduduk. Hal itu berarti pasukan TKR tidak boleh menggunakan kesempatan untuk mengambil apalagi merampas barang atau harta benda yang bukan miliknya. Kepada mereka yang sudah terlanjur mengambil atau membawanya diperintahkan untuk mengembalikan di mana barang tersebut diambil. Panglima menegaskan bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci dan tidak boleh dikotori oleh nafsu kebendaan. Pesan Panglima divisi V ini diteruskan para komandan dan anak buah dalam kesatuan masing - masing. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
30
Bila pada saat terakhir pasukan RI masuk kota tidak mendapat perlawanan, tidak berarti secara kebetulan Sekutu telah tiba waktunya mundur meninggalkan Ambarawa. Sesungguhnya Sekutu telah kehilangan kepercayaan terhadap kekuatannya sendiri untuk menghadapi pasukan TKR dan pejuang RI yang bersatu dengan daya dobraknya yang demikian hebat, sehingga mereka memilih lari mundur ke Semarang daripada hancur. Gerakan mundur Sekutu ke Semarang, dikejar Kompi Letnan I Panoedjoe Batalyon II yang baru datang. Di Semarang Barat terjadi tembak - menembak. Dalam peristiwa ini Letnan Soeratman Komandan Seksi Kompi Panoedjoe gugur dan dimakamkan di Bandungrejo (Bayan) timur kota Kutoarjo. Demikianlah Ambarawa dapat dikuasai secara penuh oleh pihak RI pada tanggal 15 Desember 1945. Hari itu kemudian dijadikan hari Infanteri dan kemudian dikukuhkan sebagai hari TNI Angkatan Darat. Monumen Palagan Ambarawa didirikan untuk mengenang peristiwa heroik tersebut. Mengembalikan Tawanan Perang Para tawanan perang yang akan dikembalikan tergolong atas: tawanan perang yang terdiri dari orang Belanda, Australia, dan Eropa lain berikut keluarganya yang dikenal sebagai APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Mereka berstatus tawanan sejak Belanda menyerah kepada Jepang pada 2 Maret 1942 sampai dengan 14 Agustus 1945. Tawanan Jepang yang berstatus tawanan sejak Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945 hingga masalah pengembalian tawanan perang selesai. Dalam prakteknya sebagian Jepang ditawan RI. Latar Belakang Pengembalian Tawanan Perang oleh RI Indonesia mendapatkan kepercayaan Internasional melalui Sekutu dalam perundingan RI dengan Sekutu pada 30 November 1945 di Jakarta. Pihak RI diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI Agus Salim, dan Sekutu diwakili oleh Wakil Kepala Staf Sekutu Brigjen I. C. A. Lauder. Dalam perundingan disepakti bahwa pemulangan Jepang dan APWI yang berada dalam daerah kekuasaan RI diserahkan dan dipertanggungjawabkan kepada pihak RI. Perundingan itu merupakan tindak lanjut dari tawaran kerja sama RI dengan Sekutu yang dilontarkan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI sebagai move diplomatic setelah melihat Sekutu menderita kekalahan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dan terhambatnya tentara Sekutu melucuti tentara Jepang karena sudah dilucuti oleh RI. Sampai akhir November 1945 masih terdapat 35.000 orang tentara Jepang dan 36.000 APWI di daerah kekuasaan RI yang tidak berhasil dicapai oleh Sekutu. Bagi RI penyerahan tugas Internasional ini merupakan pengakuan de facto oleh Sekutu terhadap keberadaan negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Selanjutnya untuk pelaksanaannya pemerintah mempercayakan kepada TKR. Operasional Pengembalian Tawanan Perang Operasional pengembalian berada di bawah Panglima Besar Soedirman. Pelaksanaannya adalah Panitia Urusan Pengangkutan Jepang dan APWI (POPDA) yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir, wakilnya Kolonel Laut Jayadiningrat, bermarkas di dekat bandara Solo. TKR Resimen Moekahar mendapat perintah dan kepercayaan mengirim kompi guna melaksanakan tugas Internasional tersebut. Ikut pula kesatuan TKR Jawa tengah lainnya dari Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
31
divisi Siliwangi antara lain dipimpin oleh Komandan Kompi Letnan I Ismail. Kemudian disusun komandan kompi, seksi, regu, dan prajurit yang secara khusus diberikan latihan dan tambahan pengetahuan untuk menghadapi tugas POPDA. Pasukan lalu diberi seragam, perlengkapan perseorangan dan senjata dari pihak POPDA. Anggota Resimen Moekahar tugas POPDA ekspedisi pertama bertugas di Colomadu, masuk Batalyon AURI sejak bulan Desember 1945 sampai April 1946 adalah: - Komandan Kompi Kapten Toemiran (Bataliyon I/Kutoarjo). - Seksi I Letnan II Soegito (Batalyon III/Kebumen) - Seksi II Letnan Muda Bagyoto (Batalyon IV/Gombong). - Seksi III Letnan Muda Legiman (Batalyon I/Purworejo). Sedangkan pasukan ekspedisi II terdiri dari: - Komandan Kompi Kapten Roes’an (Batalyon IV/Gombong) - Seksi I Letnan II AA Djoerdjani (Batalyon IV/Gombong) - Seksi II Letnan Muda Bagyoto (Batalyon IV/Gombong) - Seksi III Letnan Muda Soeparman (Batalyon IV/Gombong). Mereka bertugas di Tegalgondo, masuk Batalyon I Markas Besar Tentara pimpinan Letkol Achmad S. Widjaya. Sejak Mei 1947, kompi Roes’an, Seksi I dan Seksi II bertugas di Purbalingga (Purworejo-Klampok), Seksi III tetap bertugas seperti biasa. Pelaksanaan Tugas Tugas yang dilakukan Kompi Resimen Purworejo dalam POPDA sebagai berikut: Tugas pokok kompi adalah sebagai satuan pengawal atau satuan pengaman tawanan. Pelaksanaannya baik dalam kamp maupun perjalanan atau pengangkutan, baik dengan kendaran bermotor, kereta api ataupun pesawat udara untuk mencegah terjadinya hal – hal yang tidak diinginkan. Tugas pengamanan kamp tawanan di Solo berjalan lancar. Namun di Purbalingga, satuan pengamanan dituntut tegas dalam menghadapi gangguan berupa perkelahian antarsesama kelompok tawanan yang terdiri dari tentara Sekutu asal India (Gurkha/Sikh). Biasanya terjadi karena adanya perbedaan agama dan kebudayaan yang berakibat jatuhnya korban. Tawanan dari Solo ke Semarang diangkut dengan Dakota. Tiap pesawat terdapat seorang pilot dan co pilot Inggris, seorang perwira RI selaku pengawal, seorang anggota palang merah bangsa Indonesia dan seorang Inggris menerima di Semarang, sekaligus mendampingi perwira RI yang mengawal hingga kembali meninggalkan Semarang. Di Semarang, tawanan diterbangkan ke Jakarta tiap hari. Apabila cuaca baik mencapi 3 - 4 perjalanan pengangkutan Solo – Semarang, yang berlangsung sampai dengan akhir Desember 1945. Pengangkutan dengan pesawat Solo – Semarang terhenti karena lapangan terbang Banteng dihancurkan TRI. Pengangkutan selanjutnya dengan kereta api yang dikenal Kereta Luar Biasa (KLB). Tawanan Jepang langsung ke Tegal, APWI ke Jakarta melalui Yogyakarta, Kroya, Cirebon, Cikampek. Formasi KLB biasanya 10 gerbong. Setiap gerbong berisi 50 tawanan atau lebih dan dikawal dua anggota TRI satgas POPDA. KLB berjalan tidak cepat, sering berhenti karena dicegat pasukan dengan bendera merah. Perjalanan Solo – Jakarta ditempuh dua hari. Setiap KLB dihentikan, turunlah
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
32
perwira dari satgas memberikan penjelasan pada komandan pasukan, barulah kereta dapat melanjutkan perjalanannya. Setelah Cirebon, kereta dihentikan pasukan, penjelasan seperti biasa diberikan, namun komandan pasukan sulit menerima, hingga harus menghadap Jenderal Mayor Abdoel Kadir yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi dalam KLB. Barulah sang komandan pasukan mau mengerti, seraya ketakutan setelah mendapat teguran dari Jenderal Mayor Abdoel Kadir. Setibanya di Bekasi dilakukan acara serah terima dengan pengawal dari Belanda. Pengawalan dari Bekasi ke Jakarta selanjutnya menjadi tanggung jawab pasukan NICA Belanda (bukan Inggris - Sekutu). Satgas POPDA lalu turun dari KLB. Satgas POPDA dari RI menginap di asrama yang disediakan.Letaknya tidak jauh dari pos tentara Inggris di Bekasi. KLB langsung ke Jakarta termasuk Jenderal Mayor Abdoel Kadir, penghubung dan staf MBT untuk penyerahan administrasi tawanan. Selama di Bekasi, satgas POPDA berada dalam pelayanan dan pengamanan Belanda. Pernah suatu kali satgas harus menyingkir ke Jakarta dan berada dalam lindungan Sekutu karena Bekasi diserang secara gencar oleh pejuang RI. Setelah seminggu berada di Bekasi, barulah KLB datang untuk selanjutnya segera berangkat ke Solo. KLB penuh dengan saudara seperjuangan yang sebelumnya ditawan Belanda. Mereka hendak pulang ke kampung halamannya dan ada pula yang karena tugasnya sehingga perlu ke Yogyakarta. Dalam perjalanan Solo- Jakarta atau sebaliknya, pada setiap stasiun tertentu kereta api berhenti cukup lama untuk menerima Nuk makan pagi, makan siang atau makan sore yang dibagikan kepada para penumpang. Tugas Berakhir tanpa Berkesudahan Kompi Roes’an berikut Seksi I Letnan II A.A. Djoerdjani dan Seksi II Letnan Muda Bagyoto sudah sejak bulan Mei 1947 bertugas di Purbalingga untuk pengamanan dan pemulangan APWI. Akan tetapi tugas Internasional ini berakhir tanpa berkesudahan. Secara mendadak datang perintah untuk secepat mungkin menutup jalan di Bobotsari guna menghambat gerak laju pasukan Belanda yang sedang menuju ke Purwokerto melalui daerah Purbalingga pada 22 Juli 1947. Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati dan tanggal 22 Juli 1947 merupakan hari kedua terjadinya Agresi Militer Belanda I. Laskar-Laskar Perjuangan Kebumen setelah Kemerdekaan Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, di Kebumen segera bermunculan laskar - laskar perjuangan secara spontanitas yang bertujuan untuk mempertahankan, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan. Laskar - laskar tersebut antara lain: 1. Kelompok atau Barisan Bekas Prajurit PETA; - di Kebumen dipimpin oleh eks Chudancho M. Sarbini didampingi oleh eks Chudancho Soedradjat. - di Gombong dipimpin oleh eks Chudancho Kaslan Hoedyono Soekamto didampingi eks Shodancho Soedarsono Bismo dan eks Shodancho Slamet Soebyakto. Pada waktu pembentukan di Gombong, eks Chudancho M. Sarbini memberikan pengarahan. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
33
2. Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dipimpin oleh Kyai Masdoeki, R. Moh. Syafei, Soekirno, dan Koencoro. 3. Barisan Hizbullah, dipimpin oleh Idroes. 4. Barisan Banteng 45, dipimpin oleh R. Moh. Syafei dan Moh. Sodik 5. Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), dipimpin oleh Soehendro Hendarsin. 6. Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dipimpin oleh Sri Darmadji. 7. Kelompok Guru Badan Pendidikan Anak (BAPA), dipimpin oleh Aboe Chamid Yoedopranoto. 8. Kelompok Pegawai Negeri dan Karyawan dengan nama PERBI (Persatuan Buruh Indonesia), dipimpin oleh Alip Prawirohardjo. 9. Pemuda Putri Indonesia (PPI), dipimpin oleh Sri Moelyani. 10. Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), dipimpin oleh Ibu Goelarso dan Ibu Mangkoe Soemitro. 11. Palang Merah Indonesia (PMI), dipimpin oleh Dokter Goelarso Sosrohadikoesoemo. 12. Pemuda Minyak; - di Kebumen (Mexolie) dipimpin oleh Soewarno - di Karanganyar (Olvado) dipimpin oleh Soepomo 13. Tentara Kereta Api dipimpin oleh Letnan Muda Basuki 14. AOI (Angkatan Oemat Islam), dipimpin oleh Kyai Abdurrohman, Kyai Mahfud Abdurrohman (Romo Pusat), dan H. Noersodik Abdurrohman (Komandan Pasukan) 15. Pamong Praja, dipimpin oleh Bupati Kebumen Said, kemudian diganti oleh Prawoto Soedibyo. 16. Polisi Negara; - di Kebumen dipimpin oleh Ajun Komisaris Soedjono - di Gombong dipimpin oleh Inspektur I Soebiyono 17. Corps Tentara Pelajar Kompi 330 Kedu Selatan pimpinan Wiyono dengan seksi seksi; - di Prembun dipimpin oleh Soewignyo - di Kebumen dipimpin oleh Sadar Soedarsono - di Karanganyar dipimpin oleh Soetrisno - di Gombong dipimpin oleh David Soelistanto 18. Corps Armada (CA) II (AL) pimpinan Mayor (AL) Wagiman, sejak masuk di Kedu Selatan dari Cilacap pada pertengahan tahun 1947 Markas berada di Kutoarjo dan sebagian kekuatannya di Kebumen. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Kebumen Dalam suasana siaga menghadapi berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari Proklamasi 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 23 Agustus 1945 keluarlah Seruan Presiden RI sebagai berikut: “ Saya berharap kepada kamu sekalian, hai prajurit - prajurit bekas PETA, Heiho, dan Pelaut serta pemuda-pemuda lain, untuk sementara waktu, masuklah dan bekerjalah pada Badan Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia…” Berdasarkan seruan Presiden tersebut, segenap jajaran pemerintahan di daerah segera mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengambil langkah - langkah
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
34
lanjutan dengan berpedoman dan memperhatikan petunjuk yang telah digariskan dari tingkat atasnya, antara lain: - Badan Keamanan Rakyat (BKR) ditempatkan dalam wadah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKP) yang dibina oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah daerah. - Tugas BKR adalah menjaga keamanan rakyat setempat. Rakyat terutama pemuda para bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut serta pemuda lain menanggapi dan menyambut baik Seruan Presiden dengan perasan lega, karena wadah untuk berjuang telah jelas tersedia. Pembentukan BKR di Kedu Selatan khususnya di Kebumen tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di daerah - daerah lain. Pembentukan melalui berbagai proses dan melalui sejumlah tahapan. Di daerah tingkat kabupaten diadakan musyawarah koordinasi antara bekas Opsir Peta yang tertinggi pangkatnya dengan Bupati dan Kepala Polisi Negara Kabupaten untuk memecahkan berbagai masalah guna melaksanakan Seruan Presiden tersebut, dimana hasilnya sebagai berikut: - Segera diadakannya pemanggilan kepada para bekas prajurit PETA, Heiho, Pelaut, KNIL, dan pemuda lain di kampung - kampung atau desa - desa, agar berkumpul pada tanggal dan tempat yang telah ditentukan. - Pemanggilan dilakukan oleh Camat ditujukan kepada Kepala Desa/Lurah setempat melalui Kurir Khusus yang pada tiap hari membawa surat-surat dari kecamatan ke desa/kelurahan. Yang dimaksud dengan Kurir Khusus adalah pamong desa yang secara bergiliran dari desanya, tiap hari berdinas jaga (piket) di Kantor Kecamatan, yang sekaligus menjadi Rumah Dinas Camat. Dengan cara ini, berita panggilan cepat sampai pada alamat yang dituju, meski di pelosok dan gunung - gunung sekali pun. Cara pemanggilan itu ditempuh berhubung keterbatasan jumlah radio saat itu. - Mengenai konsumsi BKR di tingkat Kabupaten menjadi tanggung jawab Bupati selaku Ketua BPKKP Kabupaten, Wedana untuk tingkat Kawedanan, dan Camat untuk tingkat Kecamatan. - Mengenai persenjataan, berasal dari pinjaman Kepala Polisi setempat. - Mengenai akomodasi, sejumlah gedung yang ada milik siapa pun sementara waktu boleh digunakan oleh BKR. A. BKR Prembun Pembentukan dan markas BKR di Prembun mengambil tempat di rumah Ibu Bantar, seorang penduduk setempat (hingga BKR menjadi TKR). Setelah TKR Ki IV Batalyon III Resimen 14/ Moekahar resmi terbentuk, markas pindah di gedung bekas Pabrik Gula Prembun (sekarang menjadi Polsek Prembun). Pembentukan BKR Prembun dipimpin oleh eks Sersan KNIL Soedirman dan eks Sersan Heiho Soegiarto. Para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut, dan pemuda lainnya yang bertempat tinggal di sekitar Prembun mulai dari Kecamatan Prembun hingga Kecamatan Mirit diminta untuk mejadi BKR. Pembentukan BKR Prembun dihadiri oleh: 1. Eks Bundancho Saterdjan 2. Eks Bundancho Soeprapto 3. Eks Bundancho Ponirin Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
35
4. Eks KNIL Soehardjo 5. Eks KNIL Soekandari Jumlah pemuda yang mendaftar BKR Prembun lebih banyak pada hari berikutnya dibandingkan pada hari pertama, hingga mencapai lebih kurang 1 Kompi dengan kekuatan 100 orang anggota. Eks Heiho Soegiarto terpilih menjadi Komandan Pasukan (sejak kepulangannya dari Butai ke kampung halamannya, Soegiharto langsung menghimpun pemuda-pemuda baik bekas prajurit maupun bukan untuk diajak menjadi pasukan di bawah pimpinannya). Bekal anggota BKR Prembun diselenggarakan oleh Wedana Prembun dengan bantuan Ibu-ibu Perwari dan dari organisasi wanita lainnya. Mereka menyelenggarakn dapur umum guna menyediakan “Nuk” (nasi bungkus) bagi pasukan BKR. Senjata BKR Prembun lumayan banyak. Senjata-senjata tersebut berasal dari hasil melucuti tentara Jepang yang ada di gedung bekas Pabrik Gula dan pinjaman Polisi Prembun. Senjata tajam berupa keris, tombak dan bambu runcing juga dimiliki oleh BKR Prembun. Tempat pendaftaran BKR Prembun kebanyakan menggunakan tempattempat yang pada masa Jepang dihuni oleh prajurit-prajurit PETA. Pakaian BKR Prembun sebagian berseragam PETA, sebagian kecil berseragam Heiho dan sebagian lagi berpakaian campuran milik sendiri. Pada BKR Prembun berlaku Komandan Tunggal, artinya langsung atas komando dari Pimpinan BKR. Hal ini berlaku hingga seksi-seksi (peleton) terbentuk. B. BKR Kutowinangun Pembentukan BKR Kutowinangun bertempat di Kawedanan Kutowinangun dipimpin oleh eks Shodancho Eri Soepardjan. Pada waktu itu hadir pula: 1. Eks Shodancho Goenoeng 2. Eks Bundancho Marsoem 3. Eks Bundancho Aboe Soejak 4. Eks Heiho Bawoek 5. Eks Heiho Saimin Satu Kompi BKR Kutowinangun berhasil dibentuk dan dipusatkan di Sekolah Muhammadiyah, serta sebagian lain di SDN Kutowinangun (menjadi asrama BKR, asrama TKR, asrama TRI Ki. III Batalyon III Resimen 14/ Moekahar Div. V, dan asrama TNI Ki. I Batalyon 64 Resimen 20 Div. III/ Diponegoro). Eks Shodancho Goenoeng dipilih sebagi pemimpin, sedangkan eks Shodancho Eri Soepardjan dapat panggilan masuk BKR di Magelang. Pada waktu itu eks Shodancho Chanafie datang terlambat karena beberapa hari ditahan oleh Jepang di Bogor. Sementara itu, eks Shodancho Soepardiyo yang baru saja dari Bogor langsung menuju ke kampungnya di Tanjung Meru dan sempat menjemur kedelai hasil panen. Namun setelah mendengar berita tentang adanya pembentukan BKR Kutowinangun, dia segera ke Markas BKR Kutowinangun. Dengan pertimbangan sendiri bahwa dirinya kemungkinan akan lebih bermanfaat dan lebih tepat bila ke BKR di ibukota Kabupaten, maka eks Shodancho Chanafie dan eks Shodancho Soepardiyo kemudian pindah dan masuk ke BKR di Kebumen. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
36
Pembentukan BKR Kutowinangun didukung oleh Wedana Kutowinangun sedangkan dapur umum diselenggarakn oleh Ibu-ibu Perwari yang menyediakan “Nuk”. Pakaian BKR Kutowinangun ada tiga macam yaitu Hijau PETA, Khaki Heiho, dan campuran. Persenjataan BKR Kutowinangun masih sangat minim, namun semangat mereka tetap tinggi. C. BKR Kebumen Kepala Polisi Kebumen Ajun Komisaris Soedjono sejak menerima berita radio tentang panggilan masuk BKR, bersama Wedana Kota Kebumen Soembono, terjun langsung dalam menghubungi bekas Opsir PETA yang berkedudukan di kota Kebumen agar secepatnya membentuk BKR Kebumen. Hanya dalam waktu singkat, eks Shodancho Dimyati (terakhir menjabat sebagai Lurah Kebumen), eks Chudancho Soedradjat dan eks Chudancho M. Sarbini dapat dihubungi. Kompleks Ruko Pasar Tumenggungan Kebumen (dahulu Pos Polisi pada awal kemedekaan)
Pada tanggal 23 Agustus 1945 diadakan pembentukan BKR Kebumen bertempat di Kantor Polisi Kebumen (kini menjadi kompleks Ruko sebelah Timur Pasar Tumenggungan) dipimpin oleh eks Chudancho Soedradjat dan mendapat pengarahan dari eks Chudancho M. Sarbini. Hadir pula pada saat itu: 1. Eks Shodancho Soediyono 2. Eks Shodancho Soegondo 3. Eks Shodancho Dimyati 4. Eks Bundancho Pratedjo 5. Eks Bundancho Koesni 6. Eks Bundancho Kliwon 7. Eks Bundancho Soepadi 8. Eks Bundancho Soerodjo 9. Eks Bundancho Soemarsono 10. Eks Bundancho D.S. Iskandar 11. Eks Bundancho Soekardi 12. Eks Bundancho Karsadi 13. Eks Bundancho Karsidi 14. Eks Bundancho Soepyan 15. Eks Bundancho Soerip 16. Eks Bundancho Soemari 17. Eks Bundancho Soediro 18. Eks Bundancho Soepardi 19. Eks Bundancho Marikin 20. Eks Bundancho Nasikun Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
37
21. Eks Bundancho Soeparman 22. Eks Bundancho Djoefri 23. Eks Gyuhei Badroen Asmara 24. Pemuda Satiyo 25. Brigadir Polisi Soepodo dan lain-lain hingga terhimpun 1 Kompi Eks Shodancho Soepardiyo, eks Shodancho Chanafie dan eks Shodancho Soemrahadi (Mayor Jenderal (Purn.) Soemrahadi) datang menyusul setelah tiba kembali dari Bogor dan sempat beberapa hari singgah di Kutowinangun. Bupati Kebumen Said Prawirosastro yang juga berasal dari Kebumen menyerahkan satu koper uang Jepang yang masih berlaku saat itu kepada Perwira Logistik BKR eks Shodancho Chanafie untuk membiayai BKR Kebumen. Dapur umum diadakan oleh Ibu-ibu Perwari Kebumen di bawah pimpinan Ibu Goelarso dan Ibu Mangkoe Soemitro yang dipusatkan di Gedung Sekolah Cina HCS (Holland Chinese School) yang terletak di jalan Ahmad Yani (dahulu termasuk jalan Kutoarjo; dekat Tugu Lawet/sekarang SMA Masehi/Politeknik Darma Patria).
SMA Masehi/STIMIK Dharmapatria (dahulu HCS)
Kepala polisi Kebumen, Ajun Komisaris Soedjono memberikan pinjaman senjata kepada BKR Kebumen berupa: - 5 pucuk pistol Buldok - 3 pucuk pistol Colt Kuda - 1 pucuk pistol Mauser - 24 pucuk senapan panjang polisi Senjata tersebut merupakan kekuatan BKR Kebumen dalam menghadapi tugas dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, antara lain perlucutan senjata tentara Jepang di Kebumen dan di Sumpyuh. Pakaian BKR Kebumen ada tiga macam yaitu sebagian besar Hijau PETA, sebagian kecil Khaki Heiho, dan campuran milik masing-masing. D. BKR Pejagoan Atas pertimbangan terhadap Kawedanan Pejagoan yang letaknya berada di sebelah Kali Luk Ula, maka Pejagoan ditunjuk menjadi tempat pendaftaran anggota BKR bagi pemuda bekas PETA, Heiho, Pelaut, dan pemuda lain yang tinggal di sekitar Pejagoan. Pembentukan BKR Pejagoan dihadiri pula oleh: 1. Eks Shodancho Soeprapto 2. Eks Heiho Soegito Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
38
3. Eks Bundancho Tambeng 4. Eks Bundancho Aifin Para pemuda berdatangan mendaftar sehingga terhimpunlah pasukan sebesar kompi. Kegiatan pembentukan, pendaftaran, dan kesiagaan pasukan BKR dilakukan di pabrik Genteng Soka di Kebulusan. Seperti halnya didaerah lainnya, bekal pasukan BKR Pejagoan diselenggarakan oleh Wedana Pejagoan. Pelaksanaannya dilakukan oleh Camat Pejagoan Daroesman dengan dibantu oleh Ibu-ibu Perwari Pejagoan. Seragam BKR Pejagoan seperti halnya di BKR lainnya, sebagian Hijau PETA, sebagian kecil Khaki Heiho, dan sebagian besar lainnya campuran milik masingmasing. BKR Pejagoan pada awalnya tidak memiliki senjata sama sekali. Mereka memiliki semangat yang tinggi untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan meski hanya bersenjatakan keris, tombak, pedang dan bambu runcing. E. BKR di Karanganyar Pembentukan BKR di Karanganyar dilakukan melalui proses rapat terlebih dahulu di rumah eks Bundancho Bambang Widjonarko. Turut hadir dalam rapat tersebut: 1. Wedana Karanganyar Hardjo Kartoatmodjo 2. Eks Shodancho Moeryoeni 3. Eks Shodancho Saparin Soeprayitno 4. Eks Bundancho Soeprihatin Soendoro 5. Eks Bundancho O. Wagiman 6. Eks Bundancho Koedoes Rapat memutuskan tentang waktu dan tempat pendaftaran masuk BKR untuk para pemuda baik bekas pajurit maupun bukan, yang tinggal di sekitar Karanganyar. Pada hari dan waktu yang telah ditentukan, berkumpullah para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, dan lain-lain di kawedanan Karanganyar hingga mencapai satu kompi. Bekal pasukan BKR Karanganyar dan dapur umum diselenggarakan oleh Wedana Karanganyar dibantu Ibu-ibu Perwari. BKR Karanganyar memiliki 5 pucuk senjata hasil dari pelucutan tentara Jepang yang berada di Karanganyar oleh para bekas tentara PETA sebelum BKR terbentuk. Senjata lain yang dimiliki BKR Karangayar adalah bambu runcing dan berbagai jenis senjata tajam. Seragam BKR Karanganyar seperti halnya di BKR lainnya, sebagian Hijau PETA, sebagian kecil Khaki Heiho, dan sebagian besar lainnya campuran milik masingmasing pemuda non prajurit. F. BKR di Gombong Pembentukan BKR di Gombong dilakukan oleh para bekas PETA yang sejak dibubarkannya PETA pada 19 Agustus 1945 mereka tetap berkumpul dan siaga di kesatrian menempati kantin yang terletak di depan kesatrian. Mereka adalah: 1. Eks Shodancho Soedarsono Bismo Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
39
2. Eks Shodancho Slamet Soebyakto (Brindil) 3. Eks Shodancho Soetjipto 4. Eks Bundancho A.A. Djoerdjani 5. Eks Bundancho Bagyoto 6. Eks Heiho Soemarto Atmaji. Gombong yang memiliki fasilitas militer lebih lengkap berhasil membentuk pasukan sebesar kekuatan 2 kompi. Anggota-anggota kompi tersebut antara lain: 1. Eks Chuyak Bundancho Soembogo 2. Eks Bundancho Soetrisno 3. Eks Bundancho Soemardjo 4. Eks Bundancho Soeparman 5. Eks bundancho Soetiyono 6. Eks Bundancho Soewarso 7. Eks Gyuhei Soemarno 8. Eks Gyuhei Sarmin 9. Eks Gyuhei Soekarno 10. Eks Gyuhei Soedarmin 11. Eks Gyuhei Marsoem 12. Eks Gyuhei Lawoek 13. Eks Gyuhei Ponimin 14. Eks Heiho Kasmin 15. Eks Heiho Sombol 16. Eks Heiho Solichin 17. Eks heiho Soeyono Pengarahan kepada Pasukan BKR Gombong disampaikan oleh Eks Chudancho M. Sarbini. Sedangkan eks Chudancho Kaslan Hoedyono Soekamto ditunjuk sebagai Pimpinan BKR Gombong. Atas permintaan Wedana Gombong Sosroboesono, Ibu-ibu Perwari Gombong menyelenggarakan dapur umum untuk menyediakan Nuk bagi pasukan BKR Gombong. Persenjataan BKR Gombong meminjam dari Kepala Polisi Gombong. Sebanyak 40 pucuk senjata pun dipinjamkan kepada Komandan Pasukan BKR Gombong. Organisasi Kelaskaran Kebumen setelah adanya BKR Meskipun telah berdiri BKR di berbagai tempat sebagai wadah perjuangan sesuai dengan seruan Presiden pada 23 Agustus 1945, oganisasi kelaskaran-kelaskaran tetap aktif dan memperkuat diri. Organisasi Kelaskaran yang ada di Kabupaten Kebumen antara lain: 1. Barisan Pemuda Rakyat Indonesia (BPRI) Sejak November 1945, atas anjuran Bung Tomo (pemimpin peristiwa 10 November 1945) setelah para pemuda kembali dari pertempuran Surabaya, Barisan Pemuda Rakyat Indonesia (BPRI) berubah nama menjadi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
40
Di Kebumen, BPRI dipimpin langsung oleh Soekirno dan Koencoro. Dalam pengembangannya, disusunlah Pasukan Laskar Rakyat (PLR) yang dipimpin langsung oleh Soekirno dengan markas di Gedung Bunder (dahulu termasuk wilayah jalan Stasiun, kemudian berubah menjadi jalan Pemuda; Depan Hotel Putra). 2. Barisan Banteng 45 Barisan Banteng 45 Kebumen dipimpin RM. Syafei dan Moh. Sodik; bermarkas di belakang Gedung Bunder (belakang Markas BPRI). Anggota Banteng 45 kebanyakan berasal dari pemuda-pemuda Gombong. Laskar ini memiliki Markas Besar di Solo yang dipimpin oleh dr. Mawardi. 3. Barisan Pelajar - Gabungan Sekolah Menengah (GSM) - Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) - Pasukan Tentara Pelajar (TP) Barisan Pelajar di bawah pimpinan Soetoyo Sismomihardjo juga mengadakan perubahan organisasi secara bertahap. a. Pada mulanya dibentuk Gabungan Sekolah Menengah (GSM), dipimpin oleh Marsoedi (Ketua Pelajar pada SMP Negeri). b. Tahap berikutnya dibentuk wadah yang disebut Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), dipimpin oleh ketua terpilih Imam Pratiknyo dari SMP, Wakil Ketua Utari dari SKP, dan Sekretaris Soeyati dari SKP. c. Tahap selanjutnya IPI Purworejo membentuk Pasukan Tentar Pelajar (TP) sebagi perwujudan dari peran aktif mereka dalam memprtahankan kemerdekaan. Pasukan TP Purworejo disebut sebagai Kompi 330 yang secara organisasi di bawah Komandan Batalyon TP 300 Kapten Martono yang berkedudukan di Yogyakarta. TP 330 dipimpin oleh Komandan Kompi Wiyono (dari SMP Negeri), Wakil Komandan Kompi Tuwuh (dari STP) bermarkas di gedung bekas Hotel Van Laarn Purworejo. TP Kompi 330 meliputi Kedu Selatan terdiri dari 6 seksi yaitu: 1. Seksi 331 di Purworejo, Komandan Seksi; Toewoeh 2. Seksi 332 di Kebumen, Komandan Seksi; Sadar Soedarsono 3. Seksi 333 di Gombong, Komandan Seksi; David Soelistanto 4. Seksi 334 di Kutoarjo, Komandan Seksi; Chajat Soemarsono 5. Seksi 335 di Karanganyar, Komandan Seksi; Soetrisno 6. Seksi 336 di Prembun, Komandan Seksi; Soewignyo Pada awalnya, IPI kebumen di bawah pimpinan Soehendro Hendarsin (dari SMP Negeri), kemudian berkembang mengikuti dan menyesuaikan diri dengan IPI Purworejo sehingga terbentuk seksi-seksi TP di Kebumen, Gombong, Karanganyar dan Prembun di bawah komando Ki TP 330 Wiyono di Purworejo. 4. Barisan Hizbullah Tidak seperti BPRI dan TP yang lahir setelah Kemerdekaan, Hizbullah telah ada sejak Jepang berkuasa di Indonesia. Hizbullah dibentuk oleh Pemerintah Jepang pada tanggal 14 Oktober 1944 di Jakarta dan berkembang luas di seluruh pulau Jawa. Tujuan dibentuknya Hizbullah adalah untuk menambah potensi pertahanan Jepang dalam rangka menghadapi Perang Dunia II dengan menghimpun kekuatan dari pemuda-pemuda Islam setempat yang mendapat latihan secara kemiliteran.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
41
Hizbullah Kebumen dipimpin oleh Idroes dan tidak banyak mengalami perubahan organisasi maupun pimpinan. Hizbullah Kebumen meningkatkan kualitas dengan mengadakan latihan hingga ke desa-desa. 5. Angkatan Muda Angkatan Muda Kebumen awalnya dipimpin oleh Sri Darmadji. Barisan ini kemudian pecah menjadi dua yaitu: 1. Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dipimpin oleh Sri Darmadji 2. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dipimpin oleh Samso dan Chamdini 6. Pemuda Puteri Indonesia (PPI) PPI Kebumen di bawah pimpinan Sri Moelyani meningkatkan kegiatannya dengan kegiatan PMI/PPPK dan membantu kegiatan pengawasan terhadap orangorang (wanita) yang dicurigai, dalam rangka kewaspadan dan dalam koordinasi/bimbingan BKR/TKR. 7. Badan Pendidikan Anak (BAPA) Pada awalnya, BAPA Kebumen dipimpin oleh Abu C. Yoedapranoto, lalu berkembang menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGRI) dipimpin oleh Brotosoesastro. Secara otomatis semua guru kemudian masuk dalam PGRI. 8. Persatuan Buruh Indonesia (PERBI) Gerakan ini pada awalnya dipimpin oleh Alip Prawirohardjo, kemudian berkembang menjadi Barisan Buruh Indonesia dipimpin oleh Sarjono. 9. Angkatan Oemat Islam (AOI) AOI muncul pada pertengahan September 1945 bermarkas di Somalangu Desa Sumberadi kecamatan dan kabupaten Kebumen. Organisasi ini didirikan oleh Kyai Abdurrohman, Kyai Affandi (Kepala Depertemen Agama (DEPAG) pertama Kabupaten Kebumen), dan Kyai Moh. Syafei. Dalam perjalanannya, dikarenakan adanya perbedaan pendapat, Kyai Affandi dan Kyai Moh. Syafei mengundurkan diri dari AOI. Pimpinan AOI adalah Kyai Mahfoed Abdoelrahman yang dikenal sebagai “Romo Pusat”. Hampir di setiap desa dalam Kabupaten Kebumen terdapat santri yang amat patuh kepada Romo Pusat, sehingga tidak heran AOI dari hari ke hari semakin banyak cabang dan rantingnya. Bahkan AOI mempunyai pasukan bersenjata yang dipimpin oleh adik Romo Pusat yang bernama H. Noersodik (berpangkat Mayor). 10. Muslimat Muslimat Kebumen merupakan salah satu organisasi wanita Islam yang dipimpin oleh Ibu Mangkoe Soemitro. Dalam wadah ini, wanita-wanita Islam siap berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan tetap memperhatikan kodratnya sebagai wanita. 11. Pamong Praja Dipimpin oleh Bupati Kebumen Said, kemudian diganti oleh Prawoto Soedibyo. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
42
12. Polisi Negara - di Kebumen dipimpin oleh Ajun Komisaris Soedjono - di Gombong dipimpin oleh Inspektur I Soebiyono 13. Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) Perwari Kebumen dipimpin oleh Ibu Goelarso 14. Palang Merah Indonesia (PMI) PMI Kebumen dipimpin oleh dr. Goelarso Sosrohadikoesoemo 15. Pemuda Minyak - Di Kebumen (Mexolie/Sari Nabati) dipimpin oleh Soewarno - Di Karanganyar (Olvado) dipimpin oleh Soepomo 16. Tentara Kereta Api Tentara Kereta Api Kebumen dipimpin oleh Letnan Muda Basoeki 17. Corps Armada (CA) II (AL) Di bawah pimpinan Mayor (AL) Wagiman, sejak masuk di Kedu Selatan dari Cilacap pada pertengahan tahun 1947 Markas berada di Kutoarjo dan sebagian kekuatannya di Kebumen.
Eks Pabrik Mexolie/ Sarinabati Panjer, markas Barisan Pemuda Minyak Kebumen
Dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Kedu Selatan Dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para anggota BKR dan pemuda pejuang karena Pemerintah RI belum juga membentuk suatu tentara nasional Indonesia yang resmi. Mantan Opsir KNIL yang berpangkan Mayor di jaman Hindia Belanda, Oerip Soemohardjo pun sampai berkata “Aneh suatu Negara zonder tentara”. Maklumat Pemerintah Tanggal 5 Oktober 1945 Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah RI mengeluarkan maklumat sebagai berikut: “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat”.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
43
Maklumat ini disusul dengan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 yang berbunyi: “Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah di Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia”. Pemuda-pemuda bekas Peta, Heiho, Keigun, dan pemuda dari Barisan Pelopor telah menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membaktikan tenaganya untuk menentang kembalinya penjajah Belanda. Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan itu dengan segera diperlengkapi dengan persenjataan, agar dengan jalan demikian dapat mempertahankan keamanan umum. Dua hari setelah dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah tersebut, segera disusul dengan seruan Mr. Kasman Singadimedja selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang isinya sebagai berikut: “Untuk menjaga keamanan rakyat pada dewasa ini oleh Presiden Republik Indonesia telah diperintahkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. Tentara ini terdiri atas rakyat Indonesia yang berperasaan penuh tanggung jawab atas keamanan masyarakat Indonesia dan guna menjaga kehormatan Negara Indonesia. Pemuda dan lain-lainnya yang tegap sentosa badan dan jiwanya, bekas prajurit PETA, prajurit HIndia Belanda, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pemuda, Hisbullah, pelopor dan lain-lainnya, baik yang sudah maupun yang belum pernah memperoleh latihan militer supaya selekas-lekasnya mendaftarkan diri pada kantor BKR di ibukota kabupaten masing-masing atau kepada badan-badan lainnya yang ditunjuk oleh Residen (kepala darah) atau wakilnya. Merdeka!!! Maklumat, Pengumuman Pemerintah dan Seruan Ketua KNIP tersiar ke seluruh negeri. Semakin jelaslah bagi rakyat, terutama pemuda yang sejak awal berniat mengabdikan dirinya untuk berjuang melalui kesatuan bersenjata. TKR mendapat sambutan hangat, tidak hanya dari pemuda yang telah tergabung dalam BKR, tetapi juga pemudapemuda lainnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya unsur pegawai negeri, swasta, guru, pelajar, petani, pedagang, dan santri yang tadinya belum masuk ke dalam BKR, berbondongbondong masuk TKR. Sehingga apabila tidak diadakan pembatasan peneriman saat itu, pasti kekuatan TKR sangat besar. Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menyusun TKR dengan 10 Divisi di Jawa dan 6 Divisi di luar Jawa. Satu di antara 10 Divisi TKR di Jawa adalah Divisi V di bawah pimpinan Kolonel Soedirman (dikemudian hari dikenal sebagai Panglima Besar Jenderal Soedirman) yang berkedudukan di Purwokerto meliputi daerah Kedu, Pekalongan, dan Banyumas. Perubahan Nama Dan Peningkatan Status TKR Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2 Tanggal 7 Januari 1946, maka nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Ini berarti bahwa Tentara Keamanan Rakyat hanya berumur 93 hari, yakni sejak tanggal 5 Oktober 1945 hingga 7 Januari 1946.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
44
Pembentukan TKR DI Kedu Selatan Pengumuman sekaligus pemanggilan pemuda-pemuda untuk masuk TKR selain disampaikan melalui pimpinan-pimpinan BKR, disebarluaskan pula melalui jalur Pamong Praja, Bupati, Wedana, Camat, dan Lurah. Untuk Kedu Selatan, pengumuman dan panggilan baru dilakukan pada akhir bulan Oktober 1945. Hal ini disebabkan karena kesibukan tugas yang tengah dihadapi, di samping persiapan akomodasi, administrasi, dan lain-lain. Inti dari pasukan TKR adalah para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut, Pelopor, BKR dan pemuda-pemuda lain yang telah mendapat latihan kemiliteran di zaman Hindia Belanda dan Jepang. Namun dalam penyusunan kesatuan-kesatuannya mereka diharuskan mendaftarkan ulang dan melalui penelitian latar belakang keluarga dan kesehatan. Oleh karena itu tidak sedikit di antara mereka yang tidak diterima karena kesehatan atau latar belakang keluarganya tidak mendukung. Adapun jalannya pembentukan TKR di Kedu Selatan (khususnya di Kebumen) adalah sebagai berikut: 1. Di Kebumen Pendaftaran dan pemeriksaan kesehatan serta penelitian bagi pemuda-pemuda yang mendaftarkan masuk TKR dilakukan secara terpusat di Pendopo Kabupaten Kebumen oleh sebuah tim pendaftar yang dipimpin oleh eks Shodanco Soemrahadi pada bulan November 1945. Pemuda yang berasal dari BKR Kebumen, BKR Prembun, BKR Kutowinangun, dan BKR Pejagoan merupakan intinya. 2. Di Gombong Pendaftaran dan pemeriksaan dilakukan secara terpusat di Markas BKR di Kesatrian Gombong. BKR Gombong dan Karanganyar dijadikan intinya.
Pendopo Kabupaten Kebumen
Kesatuan-kesatuan TKR Resimen Purworejo di Kedu Selatan Resimen Purworejo dipimpin oleh Letnan Kolonel Moekahar. Selanjutnya resimen ini lebih dikenal dengan sebutan Resimen Moekahar dimana daerahnya meliputi Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen. Penyusunan resimen menggunakan pedoman sebagai berikut: 1. Komandan Batalyon dijabat oleh eks Chudancho 2. Komandan Kompi dijabat oleh eks Shodancho 3. Komandan Seksi dijabat oleh eks Bundancho 4. Komandan Regu dijabat oleh eks Prajurit PETA/Heiho 5. Staf dijabat oleh eks Perwira dan Bintara KNIL Selanjutnya ada empat batalyon dalam Resimen Purworejo. Untuk Batalyon I dan II berkedudukan di Kabupaten Purworejo, sedangkan Batalyon III dan IV berkedudukan di kabupaten Kebumen.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
45
Batalyon III Markas di Gedung bekas Kepatihan Kebumen, Jalan Tamanwinangun, kompleks Pabrik Gula (sekarang menjadi MAN 2 Kebumen) Susunan Batalyon III sebagai berikut: Komandan Batalyon Kepala Staf/Wadan Staf Umum/Sekretariat Intelejen Operasi dan Pendidikan
Organisasi dan Personalia
Perlengkapan Keuangan Persenjataan dan Kendaraan Kesehatan
Perhubungan Pos Tentara Komandan Kompi I Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III Komandan Kompi II Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III Komandan Kompi III Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III Komandan Kompi IV Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III Komandan Kompi Markas
: Mayor Soedradjat (pindah ke Staf Divisi V), diganti : Mayor R. P.S. Rachmat : Kapten Soemrahadi (terakhir Mayjen (Purn)) :Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti : Letnan I Soedirman : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti : Letnan II Soeparman : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti : Letnan II Soediro : Letnan Muda Soetomo : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti : Letnan I Soedirman : Letnan Muda Soeparno (kemudian diganti) : Letnan II Soehardjo : Letnan II Soekardi : Letnan II Soedarmo : Letnan II D.S. Iskandar : Sersan Soedman : Serma Sukir : Sersan Diran : Kopral Satiyo : Letnan II Tirtohoedoyo : Serma Sabirin : Kapten H. Soegondo (di Kebumen kemudian di Kutowinangun) : Letnan II Soediro (kemudian diganti) : Letnan II Soemari : Letnan II Soegito : Letnan Muda Pratedjo : Kapten Goenoeng (di Kutowinangun kemudian di Kebumen) : Letnan II Marsum : Letnan Muda Saterdjan (kemudian diganti) : Letnan Muda Soerodjo : Letnan Muda Aboe Soedjak (kemudian diganti) : Letnan Muda Soetardjo : Letnan I Soedarmin (di Kebumen) : Letnan II Moh. Koesni : Letnan Muda Tambeng : Letnan Muda Soemarsono : Kapten Chanafie (di Prembun) : Letnan II Soehardjo (kemudian diganti) : Letnan Muda Suparno : Letnan Muda Sastrodihardjo : Serma Soegiharto : Letnan I A.A. Dimyati Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
46
Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III
: Letnan II Kliwon (pindah ke Staf Divisi V) : Letnan II Soepadi (pindah ke Staf Divisi V) : Letnan Muda Soepyan
MAN II Kebumen/Panjer Eks Kepatihan
Batalyon IV Markas berkedudukan di Gombong dan menempati tangsi bagian Selatan (bekas Dai III Daidan PETA), dengan susunan selengkapnya sebagai berikut: Komandan Batalyon
Kepala Staf
Ajudan Batalyon Sekretaris Operasi, Pedidikan&Latihan Organisasi dan Personalia Intelejen Perlengkapan Keuangan Persenjataan Kendaraan Perhubungan Kesehatan Pos Tentara Komando Polisi Militer Komandan Kompi I Kepala Staf Kompi Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan Seksi III Komandan Kompi II Dan. Seksi I Dan Seksi II
: Mayor Kaslan H. Soekamto (pindah ke Wonosobo) : diganti Mayor Roedy Soeyono (kemudian diganti) : Kapten Soedarsono Bismo (pengganti sementara) : Mayor Panoedjoe : Kapten Soeyono (kemudian diganti) : Kapten Soeyono (kemudian diganti) : Kapten Soepono : Letnan I Hadisiswoyo : Letnan II Soemardjo : Letnan I Slamet (kemudian diganti) : Letnan II Soedirman : Letnan Muda Rasiman : Letnan II Soeratin (kemudian diganti) : Letnan II I. Soeparman : Letnan II R. Soehodo : Letnan I Soetjipto (kemudian diganti) : Letnan I Moeryoeni : Letnan II Maryono : Letnan Muda Soeratman : Letnan II Maryono (dirangkap) : Letnan I Ben Oni (kemudian diganti) : Kapten Kaprawi : Sersan Ratimin : Letnan I CPM Y. Soedjono : Kapten Soepono (kemudian diganti) : Kapten Soedarsono Bismo : Serma Soeratmin : Letnan II B. Soetrisno : Letnan Muda Karsidi : Letnan Muda Sardjono : Letnan II I. Soeparman (kemudian diganti) : Letnan I Slamet : Letnan II Bambang Widjanarko : Letnan Muda Soemardjo Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
47
Dan. Seksi III Kepal Markas Kompi Komandan Kompi III Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan Seksi III Kepala Markas Kompi Komandan Kompi IV Dan. Seksi I Dan. Seksi II Dan. Seksi III Kepala Markas Kompi Komandan Kompi Markas Dan. Seksi I Dan. Seksi II
: Letnan Muda Soewondo : Serma Koedoes (kemudian berubah menjadi Kompi IV) : Letnan II Oerip (kemudian diganti) : Letnan I Soetjipto : Letnan Muda Soemarto Atmadji : Letnan Muda Roemkasah : Letnan Muda Joemin : Serma Hadiprayitno : Kapten Soedarsono Bismo (kemudian diganti) : Kapten Roes’ an : Letnan II A.A. Djoerdjani : Letnan Muda Bagyoto : Letnan Muda Soeparman : Serma Soetikto (kemudian berubah menjadi Kompi II) : Letnan I Soendoro : Letnan II M. Badjoeri : Serma Salimin
Batalyon F/ Batalyon Jenggot Batalyon F dibentuk atas perintah langsung Kepala Staf Markas Tertinggi TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dalam kunjungannya ke Purworejo dengan maksud mempersatukan dan menghimpun para bekas KNIL yang sudah pensiun dalm satu kesatuan KTR, serta untuk mencegah agar nantinya mereka tidak melakukan salah satu perbuatan yang dapat merugikan perjuangan RI. Oleh karena usia anggota batalyon ini sebagian besar telah tua-tua dan rata-rata telah berjenggot, maka Batalyon F kemudian dikenal sebagai Batalyon Jenggot. Markas Batalyon ini berkedudukan di Meranti Purworejo. Anggotanya sebagain besar tinggal dan menetap di wilayah Purworejo dan Gombong. Peran Sekolah Militer Gombong Direktur Sekolah Militer Gombong adalah Kolonel Samidjo, sedangkan instruktur/tenaga pengajarnya selain dari Sekolah Militer Gombong, juga berasal dari Sekolah Militer Yogyakarta. Pada awal tahun 1946, diadakan pendidikan bagi tamtama, bintara dan bahkan yang sudah berpangkat perwira secara selektif dari batalyon-batalyon. Mereka mendapatkan pendidikan secara kilat dalam rangka mengisi kekurangan perwira di kesatuan-kesatuan. Resimen Purworejo mengirimkan prajuritnya antara lain: 1. Sersan Soemartono dari Batalyon I 2. Kopral Hardiyono dari Batalyon II 3. Prajurit Soetardjo dari Batalyon III (Kebumen) 4. Sersan Mochamad Achmad dari Batalyon IV (Gombong) Pertengahan tahun 1946, Resimen Purworejo menyelenggarakan Latihan Opsir Persamaan (LOP) selama 4 minggu untuk Tingkat Komandan Seksi (Peleton).Tiap batalyon mengirimkan 3 orang Komandan Seksi untuk tiap angkatan. Latihan diselenggarakan dalam beberapa angkatan dan menitikberatkan pada serangan dan pertahanan. Bersamaan dengan itu di Panasan (Maospati) diselenggarakan Latihan Opsir Persamaan untuk Tingkat Komandan Kompi dan Perwira Operasi Batalyon se-Jawa. Latihan dipimpin Kolonel Latief Hendraningrat, dengan Komandan Kompi Latihan Kapten Setiadi. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
48
Dalam latihan tersebut, selain PBB, diajarkan pula Tata Upacara Militer (TUM), Taktik dan Ketangkasan Militer, serta Olah Raga Militer. Materiil/Logistik dan akomodasi Keadaan Logistik/materiil masing-masing batalyon tidak sama. Markas Resimen Purworejo Batalyon I dan IV yang berada di Purworejo dan Gombong menggunakan bangunan militer peninggalan Hindia Belanda sebagai kantor, perumahan perwira, asrama bintara, dan tamtama. Sedangkan Batalyon II (Kutoarjo) dan Batalyon III (Kebumen) dikarenakan tidak memiliki bangunan militer, maka BPKKP setempat menyediakan bangunan yang diperoleh dari pinjaman baik milik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan. Batalyon III di Kebumen menggunakan beberapa gedung antara lain: 1. Gedung yang terletak di Jalan Taman Winangun (dikenal dengan Jalan Pasar Hewan) sebelah selatan stasiun Kebumen, milik pabrik gula dan bekas rumah kediaman patih Kebumen. 2. Kompleks Pabrik Minyak Mexolie, sebelah utara stasiun Kebumen milik Pabrik Minyak Kebumen (PMK Sari Nabati). 3. Kompleks Rumah Sakit, sebelah timur RSU milik RSU Kebumen, Yayasan Zending 4. Kompleks Pabrik Gula (Tebu) Kebumen (Bioskup/GOR Gembira), jalan Pasar Hewan yang terletak di sebelah selatan stasiun Kebumen, milik pabrik gula. Pada waktu Perang Dunia II, gedung ini pernah dihuni oleh tentara Australia. 5. Sekolah HCS, Jalan Kutoarjo 1 (berubah menjadi jalan Ahmad Yani; SMA Masehi/STIMIK Dharma Patria), milik yayasan. 6. Kompleks Pabrik Gula (Tebu) di Prembun, milik perusahan swasta. 7. Sekolah Muhammadiyah Kutowinangun, milik yayasan dan Sekolah Dasar Negeri milik Pemerintah
GOR Gembira (eks Bioskop/Pabrik Gula Panjer Kebumen)
Terpilihnya Panglima Besar Jenderal Soedirman Pada awal pembentukan resimen tanggal 15 Oktober 1945, diadakan pencalonan Panglima Jawa Tengah di bekas Gedung Kempetai (eks HCS Magelang). Rapat dihadiri para komandan resimen. Dari Resimen Purworejo hadir Komandan Resimen Letkol Moekahar dan Kapten Soedjono. Dalam rapat tersebut, Komandan Resimen Purworejo mendapat dropping satu juta rupiah dan langsung diserahkan kepada Kapten Soedjono. Dana tersebut dirasakan amat besar dan digunakan sebagai modal awal dalam pembentukan resimen. Karena belum ada bagian keuangan, kasir, dan pembukuan, penggunaan dipertanggungjawabkan kepada Kapten Soedjono sendiri. Dalam melengkapi aparat keamanan negara untuk menghadapi musuh, Presiden Soekarno telah menunjuk dan mengangkat Soepriyadi, seorang Shodancho PETA Daidan Blitar sebagai pimpinan TKR. Soepriyadi telah terbukti memiliki kebangsaan yang tinggi Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
49
karena berani memberontak terhadap Jepang yang bertindak kejam dan sangat merendahkan martabat bangsa dan rakyat Indonesia. Soepriyadi diharapkan mampu bertindak sebagai pucuk pimpinan TKR dan pimpinan Pertahanan Negara. Namun setelah lama tidak muncul, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan rapat para perwira tinggi dan menengah TKR di Markas Besar TKR Yogyakarta dengan acara tunggal “Memilih Panglima Besar”. Rapat mencalonkan sejumlah perwira TKR, antara lain Kepala Staf TKR Letjen Oerip Soemohardjo, dan Panglima Divisi V Purwokerto Kolonel Soedirman. Akhirnya dengan suara bulat, Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Pelantikan Kolonel Soedirman sebagai Panglima Besar TKR diselengarakan oleh Presiden RI, Ir. Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945. Kolonel Soedirman kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal penuh. Sedangkan Letjen Oerip tetap menjabat sebagai Kepala Staf TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Perubahan Nama TKR menjadi TRI Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 26 Januari 1946, maka nama Tentara Keselamatan Rakyat disempurnakan dan ditingkatkan statusnya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) Lahirnya TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro Tindak lanjut penyempurnaan organisasi Tentara Republik Indonesia (TRI) telah melahirkan Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro. Resimen ini merupakan peralihan dari TKR Resimen Purworejo pimpinan Letkol Moekahar (cikal bakal Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro). TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro mempunyai tugas dan tanggung jawab wilayah pertahanan Kedu Selatan, sehingga kemudian lazim disebut Resimen XX/Kedu Selatan. Hari lahirnya Resimen ini pada tanggal 5 Oktober 1946, yakni saat diselenggarakannya upacara peresmian divisi - divisi hasil penyempurnaan organisasi TRI dan pelantikan panglima – panglima divisi yang baru. Brigade –bBrigade dan resimen – resimen telah masuk di dalamnya. Dalam kenyataannya penyerahan Duaja Resimen XVII, XVIII, XIX, XX, XXI, XXII Divisi III baru dapat dilangsungkan pada tanggal 17 Oktober 1946. Kesatuan Organik TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro Tentara Republik Indonesia Resimen XX berkedudukan di Purworejo, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Koen Kamdani, mempunyai: 1. Markas Resimen berkedudukan di Purworejo, satu kompleks dengan Rumah Sakit Tentara di Jalan Marga Cakra. 2. Batalyon 62 Resimen XX (dahulu Batalyon IV) berkedudukan di Gombong, Tangsi Kantin Gombong, pimpinan Mayor Panoedjoe. 3. Batalyon 64 Resimen XX (dahulu Batalyon III) berkedudukan di Kebumen, di gedung bekas Kepatihan Kebumen di jalan Pasar Hewan (MAN 2 Kebumen/Panjer). Komando Batalyon adalah Mayor Rahmat. Markas Batalyon pindah ke Prembun pada pertengahan tahun 1947. 4. Batalyon 66 Resimen XX (dahulu Batalyon I) berkedudukan di Purworejo, Tangsi Kedung Kebo, dipimpin oleh Mayor Sroehardoyo. 5. Batalyon 68 Resimen XX (dahulu Batalyon II) berkedudukan di Kutoarjo kemudian pindah ke Purworejo (Tuksongo), dipimpin oleh Mayor Slamet Soedibyo. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
50
6. Batalyon F dikenal dengan Batalyon Jenggot Resimen XX, bekedudukan di Purworejo (Tuksongo) dipimpin oleh Mayor Ismail. 7. Kompi Artileri dikenal dengan Kompi Meriam Resimen Purworejo, pimpinan Letnan I Oerip, pindah ke Magelang menjadi Batery III Batalyon Altileri Divisi III. Komandan Batalyon adalah Kapten Soetadi, dan sebagai Kepala Staf Batalyon Kapten Soepardi (mantan Kepala Staf Batalyon F). Penyerahan Duaja Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro Peresmian divisi – divisi dan sekaligus pelantikan panglima – panglima divisi hasil reorganisasi dalam rangka penyempurnaan organisasi Tentara Republik Indonesia (TRI) dilangsungkan pada tanggal 5 Oktober 1946 di alun – alun Utara Yogyakarta. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Panglima Besar Jenderal Soediman. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 1946 dilangsungkan upacara penyerahan Duaja Resimen Divisi III/Pangeran Diponegoro di Lapangan Tidar Magelang dengan Ispektur Upacara Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro Jenderal Mayor Soesalit. Komandan Upacaranya adalah Letkol M. Sarbini yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Resimen XIX/Magelang. Pasukan upacara terdiri dari enam batalyon; empat Batalyon Infanteri dan dua Batalyon Senjata Bantuan. Dari Resimen XX/Kedu Selatan, mengirim satu Batalyon Upacara, dipimpin oleh Mayor Rahmat (Komandan Batalyon 64 Kebumen), terdiri dari: 1 Kompi dari Batalyon 62/Gombong, dipimpin oleh Letnan I Soetjipto 1 Kompi dari Batalyon 64/Kebumen, dipimpin oleh Kapten Chanafie 1 Kompi dari Batalyon 66/Purworejo, dipimpin oleh Kapten Radjiman 1 Kompi dari Batalyon 68/Puworejo, dipimpin oleh Letnan II Semin (Mayor (Purn.)) Batalyon gabungan bersenjata lengkap ini sebelum melaksanakan tugasnya terlebih dahulu melapor kepada Komandan Resimen XX Letkol Koen Kamdani di alun – alun Purworejo pada tanggal 15 Oktober 1946 pukul 17.00 Wib. Setelah itu berangkat ke Magelang dengan berjalan kaki melalui Mergoyoso. Tiba di Magelang pada tanggal 16 Oktober 1946 pukul 05.00 Wib menjelang fajar. Setelah menerima petunjuk seperlunya, pasukan istirahat di Asrama Tuguran Magelang. Pagi hari berikutnya pada tanggal 17 Oktober 1946, Batalyon Gabungan Resimen XX bersama – sama dengan Batalyon Upacara lainnya dari Resimen XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII, siap melaksanakan upacara di Lapangan Tidar. Penyerahan Duaja dilakukan langsung Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro kepada para Komandan Resimen yaitu: 1. Resimen XVII (warna Ungu), Komandan Letkol Wadiono, Temanggung 2. Resimen XVIII (warna Kuning), Komandan Letkol Slamet Soeharman, Wonosobo 3. Resimen XIX (warna Hijau), Komandan Letkol Sarbini, Magelang 4. Resimen XX(warna Biru), Komandan Letkol Koen Kamdani, Purworejo 5. Resimen XXII (warna Merah), Komandan Letkol Soeharto, Yogyakarta. Dalam peristiwa yang sangat penting ini, Panglima Besar Jenderal Soediman menghadiri acara dan memberikan amanatnya yang sangat singkat sebagai beikut: “Keadaan makin gawat, hendaknya Duaja ini menambah semangat dan persatuan Corps”
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
51
Kesatuan – Kesatuan B.P (Bawah Perintah) Resimen XX Pertahanan daerah Jawa Tengah memiliki Divisi III/Pangeran Diponegoro (bertanggung jawab atas daerah Pekalongan, Kedu, dan Yogyakarta) dan Divisi IV/Panembahan Senopati (bertanggung jawab atas daerah Surakarta, Semarang, dan Madiun) Selanjutnya divisi - divisi membagi lagi daerah pertahanannya ke resimen – resimen di bawahnya. Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan daerah Kedu Selatan yang terdiri dari Kabupaten Purworejo dan Kebumen.
Menjelang dan Menghadapi Agresi Militer Belanda I Perseteruan antara pihak Republik Indonesia dan Belanda dari hari ke hari semakin memanas. Pemerintah RI dengan dukungan rakyat berupaya keras untuk mempertahankan Negara Proklamasi. Di sisi lain Belanda masih bermimpi untuk kembali berkuasa dan berusaha mewujudkannya dengan berbagai cara. Situasi Politik Dalam Negeri Menjelang Agresi Militer Belanda I Menjelang Agresi Militer Belanda I terjadi beberapa peristiwa penting antara lain: Dalam rangka membuktikan kepada dunia Internasional terutama pihak Barat bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi, pada tanggal 3 November 1945 Pemerintah Indonesia mengeluarkan “Maklumat Pemerintah No. X” tentang Pembentukan Partai Politik. Sejak saat itu timbul partai - partai politik yang bermacam coraknya, melengkapi partai politik yang telah berdiri sebelumnya (PNI, Masyumi dan PKI). Partai - partai politik baru tersebut antara lain; PIR, Murba, Partai Kebangsaan Indonesia, dan NU dengan maksud untuk mengarahkan tujuannya melawan Belanda. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Sesama partai terjadi saling jegal untuk kepentingan sendiri dan adakalanya melupakan tujuan utamanya untuk saling menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Terlebih lagi masing - masing partai, terutama partai yang kuat membentuk pasukannya sendiri sebagi pengawal memperkuat organisasi partainya. Keadaan ini mempersulit kedudukan RI. Waktu itu pemerintahan RI adalah Kabinet Parlementer pimpinan Sultan Syahrir, yang cenderung menginginkan diplomasi dengan pihak Belanda, antara lain dicapainya perundingan Linggar Jati yang sangat menguntungkan Belanda karena Pemerintah Belanda hanya mengakui kekuasan De Facto Pemerintah RI atas Jawa dan Sumatera saja. Meskipun demikian Belanda selalu saja melanggarnya, seperti perjanjian - perjanjian sebelumnya. Pro dan Kontra Perjanjian Linggarjati Selain pelanggaran dan pengambilalihan kedudukan Sekutu yang termasuk dalam wilayah De Facto RI, Belanda bertindak lebih jauh dengan membentuk Negara Federal, seperti Negara Pasundan pada 4 Mei 1947. Menghadapi perkembangan tersebut, selain kesulitan - kesulitan yang datang dari Belanda yang jelas hendak menjajah kembali, pemerintah RI pun menghadapi kesulitan yang timbul karena pertikaian antara Tentara Indonesia dengan laskar yang menolak perjanjian Linggar jati. Hal ini sampai menimbulkan insiden penculikan terhadap seorang komandan Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
52
pasukan Tentara Indonesia Letnan Kolonel Soeroto Koento yang dilakukan oleh Pasukan Laskar Rakyat. Padahal perwira tersebut belum tentu setuju atas isi perundingan Linggar Jati. Dalam rangka kegiatan pengamanan dan pembinaan teritorial dan terjadinya kemelut situasi, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan instruksi yang sangat penting yakni: - Berjuang terus, jangan guncang dan jangan bimbang menghadapi tindakan Belanda dan kakitangannya. - Kuatkan persatuan kita dan eratkan kerjasama antara semua kekuatan yang ada di Negara kita. - Kerahkan tenaga kelaskaran sebanyak - banyaknya ke medan perjuangan yang telah ditentukan. - Kirim ke medan pertempuran alat senjata dan keperluan lainnya sebanyak – banyaknya. - Berjuanglah bersama tentara dengan teratur, jangan sekali - kali bertindak sendiri - sendiri. - Tetap teguh, kuat, hati - hati, dan waspada. Perintah Harian tersebut sangat memperteguh jiwa dan semangat seluruh slagorde Pemerintahan RI, baik sipil maupun militer dan laskar - laskar dalam badan - badan perjuangan yang ada. Pembinaan Teritorial Kegiatan pembinaan teritorial waktu itu dilakukan antara lain dalam bentuk pagar desa, penerangan - penerangan terhadap pemuda dan pelajar serta masyarakat umum, tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan RI, kesadaran bernegara, dan melatih pemuda desa untuk pembelaan terhadap Negara dan Bangsa. Dislokasi Militer Belanda Dislokasi tentara Belanda konsentrasi terbesar berada di Jawa Barat yaitu: Jakarta, Bogor, Cianjur, dan Bandung. Divisi “C” KL (Divisi 7 Desember) Terdiri dari 3 Brigade dalam komando Mayor Jenderal A. Durst Birtt. Setiap Brigade berkekuatan 3 Batalyon dan 2 ½ Batalyon sebagai cadangan untuk tentara pendudukan. Divisi C adalah divisi KL pertama yang dibentuk menurut organisasi tentara Inggris. Markasnya di daerah Selatan Bogor, termasuk Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Divisi “B” KNIL Markas Divisi B berada di Bandung dalam komando Mayor Jenderal Siem de Waal. Divisi B terdiri dari Brigade V pimpinan Kolonel Jan Meyer dan Brigade W pimpinan Kolonel Van Gulik. Setiap brigade berkekuatan 4 batalyon, ditambah 3 batalyon untuk pendudukan dan cadangan. Tugasnya menduduki daerah Utara dan Timur Bandung, lalu menuju Jawa Tengah gabung dengan Brigade T/Van Langen dari Semarang. Divisi “A” Divisi A bermarkas di Surabaya dalam komando Mayor Jenderal de Bruijne. Terdiri dari Brigade Marinir, Brigade Infanteri 4, dan Brigade X yang menduduki daerah Malang dan Jawa Timur bagian Timur. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
53
Panglima Besar Soedirman menetapkan kata sandi seandainya Belanda menyerang: - Ibu Pertiwi memanggil; jikalau perundingan dengan Belanda gagal. - Siap maju jalan; sebagai perintah untuk menyerang Belanda. Kenyataannya dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Belanda selalu menggunakan perundingan sebagai peluang untuk mengkhianati. Kini dalam masa perjuangan kemerdekaan perundingan - perundingan yang dilakukan adalah usaha mengembalikan kekuasaan secara penuh di bumi Indonesia sebagai penjajah. Sementara perundingan berjalan, di perbatasan sering terjadi insiden yang ternyata merupakan upaya penjajakan Belanda untuk mengetahui titik lemah pertahanan RI. Belanda yang semula membonceng dan kemudian mengoper daerah pendudukan Sekutu, kini terdislokasi di Jakarta, Semarang, Surabaya dan meluaskan dislokasi di Bogor dan Palembang. Pihak TNI tetap mematuhi Cease Fire. Sementara Belanda memanfaatkan dengan menyerang dan merebut Krian, Sidoarjo dan Mojokerto. Penugasan Batalyon 64 Kebumen dan 62 Gombong menghadapi Belanda Untuk menghadapi pasukan Belanda di berbagai front, pasukan TNI Kedu Selatan ditugaskan keluar daerah. - Di Jawa Barat Tugas di front Jawa Barat yakni di Bandung Utara dilakukan sejak awal tahun 1946. Pasukan pertama yang diberangkatkan sebesar satu kompi dari Batalyon 64 Kebumen dipimpin oleh Kapten Chanafie dengan Komandan Seksi Letnan Muda Saterdjan dan Letnan Muda Soepyan. Kemudian diganti oleh kompi Kapten Goenoeng dengan komandan seksinya Letnan Muda Koesni, Letnan Muda Pratedjo, lalu diganti Kompi H. Soegondo dengan komandan - komandan Seksi Letnan Tambeng dan Letnan Muda Soemarsono. Pasukan diangkut dengan kereta api melalui Cikampek dan Purwakarta. Di Rendeh pasukan berjalan kaki sepanjang 12 Km ke Cipunduy, tempat kedudukan Komando Sektor pimpinan Mayor Panoedjoe. Selanjutnya kompi ditempatkan di desa Liwiliang, tidak jauh dari sungai Citarum. Selesai tugas, pasukan kembali ke pangkalan Kebumen. Penggantinya adalah Kompi Dimyati dan diperintahkan Mayor Rachmat selaku Komandan Sektor untuk survey ke Cigentrong. Ternyata di sana terdapat gudang peluru mortir, beberapa kotak peluru mitraliur, dan ban mobil yang terus diangkut ke Rendeh. Kompi Dimyati sempat diserang “Anjing Nica” Kartalegawa. Setelah tugas sekitar 25 hari, Kompi Dimyati diganti Kompi Chanafie yang berasal dari seksi - seksi gabungan antarkompi: Seksi I Letnan II Soehardjo, Seksi II Letnan Muda Soetardjo (sebelum pindah ke Batalyon 68 Resimen XX) dan seksi III Letnan Muda Soewandi. Aliran kali Citarum digunakan sebagai garis pertahanan. Seksi I bersama markas kompi tugas di Liwiliang, Seksi II di Bayabang, Seksi III di sayap paling kiri dari markas kompi. Selama tugas tidak pernah terjadi pertempuran. Namun tembakan - tembakan sepihak pasukan Belanda untuk mengacaukan pasukan RI sering terjadi, bahkan pernah pula terjadi tembakan jebakan. Di daerah ini Belanda banyak memperalat penduduk untuk menjadi mata - mata. Kompi IV, salah satu Kompi Batalyon 62 (Batalyon IV di Gombong) pimpinan Letnan I Slamet Soebyakto bertugas di front Bayabang, Bandung Utara pada Mei 1947, di
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
54
perkebunan karet Cigentrong Nagreg sektor Cipendey. Kompi IV menggantikan pasukan dari Divisi Siliwangi. Setelah selesai tugas, posisinya diganti lagi oleh pasukan dari Siliwangi. Senjata kompi IV sempat kurang. Mereka diangkut menggunakan kereta api, setelah di radius medan, dilanjutkan berjalan kaki. Konsumsi dari dapur umum, makan dua kali dalam sehari. Aktifitas kompi ialah pertahanan, pengintain, dan patroli tempur. Lokasi musuh antara lain di Ciranjang berkekuatan satu seksi yang didukung persenjataan penyangga. Tidak ada korban dari kedua belah pihak karena tidak terjadi kontak senjata. Keadaan pasukan di medan laga sangat memprihatinkan. Soegito, Komandan Seksi Kompi Chanafie hanya menelan ludah ketika dapur umum kebakaran. Nuk selalu terlambat. Mandi di pancuran sawah membuat para prajurit terkena gudig (penyakit kulit). Baju hanya tokji biji (katok siji klambi siji), sehingga ketika dijemur selama menunggu kering pemilik baju juga harus ikut berjemur di tengah teriknya matahari. - Di Mojokerto – Jawa Timur Bulan November 1946, Kompi Kapten Goenoeng dari Batalyon 64 Kebumen dengan Komandan Seksi I Letnan II Soemari, Seksi II Letnan Muda Pratedjo dan Seksi III Letnan Muda Soepyan dikirim ke Purworejo untuk bergabung dengan Batalyon 66 pimpinan Mayor Sroehardoyo. Kompi Goenoeng menginap di Purworejo dan menerima pakaian masing masing mendapat dua stel serta gaji dua bulan sebesar Rp. 360,- (perbulan Rp. 180,-). Seluruh anggota kompi menjadi senang. Pagi harinya kompi berangkat menuju Yogyakarta dan bermalam lagi di STM Jetis. Kemudian berangkat ke Mojokerto dan ditempatkan di desa Patokpalung. Pada saat itu sedang terjadi gencatan senjata. Terkadang Belanda berpatroli ke daerah perbatasan pendudukannya. Penduduk Patokpalung melapor ke pos penjagaan TNI, maka TNI bersama rakyat mengejar musuh sambil diteriaki. Musuh pun lari sampai jauh masuk ke daerah pendudukannya. Pernah terjadi baku tembak antara pasukan Republik dengan Belanda yang sama sama sedang berpatroli. Ketika berada di tepi “ Segara Trowulan”, barulah keduabelah pihak saling menyadari bahwa mereka berpapasan dengan patroli musuh masing - masing. Setelah sekitar 40 m jaraknya, barulah terjadi tembak - menembak yang seru sehingga Belanda kehilangan dua orang dan mereka bergegas meninggalkan tempat dan berlari - lari menuju truk yang mangkal di ujung jalan dekat jalan raya Mojokerto dan Sidoarjo. Peristiwa ini terjadi menjelang malam. Adanya peristiwa ini membuat masyarakat berpendapat bahwa di daerah Trowulan masih bergema wibawa kerajaan Majapahit sebagai pertanda di sekitar Pendopo Agung Majapahit dan segara Trowulan masih wingit. Atas perlindungan Tuhan, pasukan RI selamat dari pertempuran. Penerimaan peduduk setempat baik sekali. Batalyon Mayor Sreohardoyo sendiri merupakan Batalyon gabungan dari resimen XX yang terdiri: 1 kompi dari Batalyon 64 Kebumen, Komandan Kompi Kapten Goenoeng 1 kompi dari Batlyon 62 Gombong, Komandan Kompi Kapten Roes’an 1 kmpi dari Batalyon 66,Komandan Kompi Kapten Sanoesi 1 kompi dari Batalyon 68, Komandan Kompi Kapten Toemiran
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
55
- Di front Markas Medan Barat - Semarang Sejak Februari 1946 selama satu bulan pasukan Batalyon IV Mayor Soeyono dengan kekuatan tiga kompi bertugas di front MMB. Soeyono juga bertindak sebagai Komandan Sektor di MB. Mereka merupakan pasukan gabungan Letkol Sarbini. Kompi-kompi dalam Batalyon Soeyono dilengkapi dengan empat pucuk Senapan Mesin Ringan (SMR), 70 kareben, dan dua senjata semi otomatis (organic sector Karanganyar Semarang). Pasukan berangkat dari Gombong dengan kereta api sampai stasiun Kaliwungu dan diteruskan jalan kaki ke garis depan sejauh 10 Km. Pasukan melakukan blokade ekonomi dan pertahanan, patroli tempur dan pengintai, serta pengawasan lalu lintas pengungsi dari Semarang ke luar kota. Pada suatu hari di bulan Februari, patroli pengintai pasukan di desa Jerakah Tugu sempat diketahui musuh. Patroli pun menghindar, setengah jam kemudian musuh berkekuatan satu kompi lengkap diperkuat kavaleri dan artilerinya serta dibantu pesawat jenis piper (capung) menembaki patroli TNI dengan beberapa pucuk mortir 8 sehingga dua orang TNI gugur oleh peluru mortir musuh. Ketika Batalyon Soeroyo diserang di Tugurejo, Batalyon Jenggot membalas serangan Belanda dengan meriamnya. Di Kendal, Kompi Roes’an terlibat serangan dengan Belanda cukup sengit. Korban cukup banyak, terutama dari pasukan Angkatan Laut. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Tapakrejo karena terjadi di desa Tapakrejo wilayah Kendal, sebelah utara rel kereta api. Seminggu setelah hari pernikahannya, pada tanggal 18 Desember 1946, Kapten Chanafie dari Batalyon 64 Kebumen dengan kompinya ditugaskan ke front untuk: - Melaksanakn blokade ekonomi terhadap Belanda di Semarang - Bersiap siaga bila Belanda memperluas posisinya - Mengisi garis pertahanan yang ditinggalkan Batalyon Muin dari Wonosobo yang hancur dan menelan banyak korban. Batalyon 68 menugaskan Kompi IV pimpinan Komandan Kompi Letnan I Toegiyo dengan para Komandan Seksinya; Letnan Muda Kasil, Letnan Muda Soegiyo, Letnan Muda Soetardjo. Mereka menggantikan Kompi Kapten Soedirman Batalyon 64 Kebumen. Batalyon 64 menugaskan Kapten Soedirman untuk kedua kalinya menggantikan Kompi Kapten Chanafie. Kapten Soedirman lalu digantikan Kapten H. Soegondo, dengan anak buah Kompi Biroe. Ini terjadi atas kebijakan Komandan Batalyon Mayor Rachmat. Pada masa penugasan Kompi H. Soegondo pecahlah Agresi Militer belanda I. Belanda masuk Kaliwungu, Cirebon telah jatuh. Kompi Soegondo kembali ke Kebumen, melewati Banjarnegara, Sadang Wetan, dan langsung memotong jalan lewat pegunungan. Sebagian besar pasukan Kompi Soegondo dipimpin oleh Letnan II Soegito, komandan seksi I, dari Darupono ke Kebumen melalui Kendal, rumah sakit Pekalongan, terus ke selatan menuju Kebumen. Dalam perjalanan mereka sempat melaksanakan bumi hangus. Nota Panglima Besar Soedirman Perihal Sistem Wehrkreise Untuk menghadapi rencana serbuan Belanda, Panglima Besar mengeluarkan perintah kepada kesatuan-kesatuan TNI mengenai desentralisasi komando dengan memperkenalkan sistem Wehrkreise atau Lingkungan Pertahanan. Namun pendeknya waktu dan sulitnya komunikasi, membuat sistem tersebut tidak dapat diterapkan dalam
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
56
menghadapi penyerbuan Belanda. TNI masih menggunakan sistem pertahanan Linie atau garis melebar. Pada tanggal 20 Juli 1947 Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Belanda untuk melaksankan aksi militer terhadap Indonesia. Pada pukul 00.20 Wib tanggal 21 Juli 1947 Radio Belanda menyiarkan pidato Perdana Menteri Belanda Beel tentang persetujuan atas aksi militer tersebut. Bahkan pada pukul 00.00 Wib hari itu pasukan Belanda sudah mulai menghantam kedudukan pasukan RI di garis demarkasi, dengan tembakan-tembakan meriam dan senjata-senjata lainnya. Enam jam kemudian induk kekuatan pasukan Belanda di darat ikut menggempur dibantu angkatan udaranya. Di front Barat, Belanda menggerakkan Brigade V yang terdiri dari Resimen Infanteri 1-3, Resimen Infanteri 1-8, dan Resimen Infanteri 1-9 menerobos Tomo-CirebonPurbalingga-Banyumas-Cilacap kemudian Gombong. Setelah melewati kota-kota tersebut, untuk masuk lebih jauh ke Jawa Tengah, akan bergabung lagi dengan Brigade V pasukan dan Resimen Infanteri 1-4, Resimen Infanteri II-4, dan Resimen Infanteri I-II. Akan tetapi kuatnya pertahanan RI di Bumiayu dan Purwokerto membuat Brigade V yang seharusnya menerobos Bumiayu terhambat sampai tanggal 25 Juli 1947. Pasukan tersebut kemudian melambung dan menusuk melalui jalan Belik-Bobotsari-Purbalingga baru bisa sampai di Purwokerto dan Cilacap. Jalan ini oleh TNI dihancurkan untuk memberi kesempatan mundur pasukan TNI di Pekalongan. Pertempuran Hambatan di Belik-Purbalingga Untuk menghadang laju Belanda, Batalyon 62 Gombong yang sedang bertugas POPDA di Purworejo Klampok diperintahkan ke Belik-Purbalingga. Pertempuran Belik adalah pertempuran kecil. Namun merupakan salah satu tonggak kecil dalam Darma Bhakti Resimen XX di Kedu Selatan terhadap tanah air yang dilakukan oleh kompi Roes’an dengan hanya berkekuatan dua seksi yakni Seksi Letnan II Djoerdjani, dan Seksi Letnan Muda Bagyoto, yang di dalamnya ikut pula anggotanya yang bernama Kasno. Sebelum Agresi Militer, Seksi Djoerdjani pernah ditugasi sebagai pengawal eks tahanan Jepang dan Kamp Tentara India di Klampok. Tawanan Jepang yang dikawal adalah orang Eropa dan adapula nyonya-nyonya dan noni-noninya. Seksi ini juga pernah secara bergantian ditugasi menjaga Lapangan Terbang Wirasaba yang letaknya 4 Km dari Puworejo Klampok. Pada tanggal 22 Juli 1947, setelah mendengar tentara Belanda yang telah menduduki Pemalang bergerak ke selatan menuju Purbalingga, Kompi Roes’an diperintahkan untuk segera memperkuat pertahanan Kota Purbalingga. Komando Pertahanan Kota saat itu dipegang oleh Mayor Polisi Tentara Prayoga dengan kekuatan satu Detasemen Polisi Tentara. Pada saat itu, pasukan TNI tidak ada di Purbalingga, sebab sedang ditugasi di front Bandung Timur. Seksi I Letnan II Djoerdjani dilengkapi dengan 3 pucuk Senapan Mitraliur Ringan (SMR) dan 30 senapan LE. Karena tergesa – gesa dan pemilihan tempat untuk bertahan sudah malam, maka penempatan pasukan tidak tepat posisi stelling atau penempatan pertahanannya. Seksi I berkedudukan di kiri jalan antara Purbalingga dengan Belik, sedangkan Seksi II yang saat itu dioper langsung di bawah pimpinan Kapten Roes’an, menempatkan diri di sebelah kanan jalan. Vuur Contak dimulai pukul 03.30 Wib. Lebih kurang hanya 10 menit musuh membuka tembakan dari atas panser dan dari kendaraan Belanda lainnya. Personil tentara Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
57
Belanda yang diangkut dengan kendaraan lapis baja tidak sempat turun mengadakan pembersihan. Belanda melaju terus menuju kota Purbalingga. Jalan Belik – Purbalingga dijadikan poros jalan untuk memisahkan Seksi I dengan Seksi II. Kedua seksi ini mundur menuju ke daerah Purworejo Klampok, namun kalah cepat dengan gerak lajunya pasukan Belanda yang menggunakan kendaraan panser lapis baja, yang juga menuju Puworejo Klampok. Melalui rute yang berbeda, Seksi I Djoerdjani dan Seksi II Bagyoto dioper langsung oleh Komandan Kompi Roes’an dan sampailah di Gombong untuk bergabung dengan induk pasukan Batalyon 62. Keesokan harinya,tanggal 5 Agustus 1947 lebih kurang pukul 04.00 Wib, kota ini jatuh ke tangan Belanda. Gerakan cepat musuh pada peristiwa Belik – Purbalingga ini bisa digarisbawahi sebagai berikut: - Lawan yang dihadapi adalah poros utama gerakan musuh ke pedalaman Jawa Tengah, berhenti untuk berpangkalan di Gombong yang ada tangsi dan depo batalyonnya, yang melahirkan istilah Clash I atau Agresi Militer Belanda I. Musuh melewati daerah yang di luar dugaan TNI, yaitu dari Pemalang menuju ke kota Purbalingga. - Taktis, gerakan musuh sangat cepat di Purbalingga tanpa mengalami hambatan yang berarti, sebab semua pasukan penghambat tidak sempat untuk memilih tempat yang strategis guna menghambat lajunya musuh. Seluruh unsur pertahanan kota Purbalingga termasuk batalyon yang didatangkan dari Cilacap, dengan menggunakan kereta api, belum sampai seluruhnya keluar dari dalam gerbong, serta emplasemen stasiun Kalimanah yang jaraknya 2 Km sebelah selatan Purbalingga, sudah Vuur Contak dengan pasukan kendaraan bermotor Belanda yang melalui Kalimanah tersebut. - Banyumas yang pernah dinyatakan sebagai daerah yang memiliki pasukan cukup kuat sejak jaman Palagan Ambarawa, baik dalam arti kekuatan manusia maupun senjatanya, pada waktu Agresi Militer Belanda I tersebut dalam keadaan kosong. Sebagian besar pasukannya sedang memperkuat garis demarkasi di Priangan Timur. - Pasukan yang ada selain staf divisi dan brigade adalah pasukan dari Puwokerto sendiri yakni Batalyon Mayor Brotosiswoyo, Batalyon Mayor Wongso/Purbalingga, dan Batalyon Mayor Soerono/Cilacap, yang akan ikut menghambat di Purbalingga – Belik. Akan tetapi di stasiun Kalimanah, pasukan ini lebih dahulu ditembaki oleh Belanda. Selain itu ada Detasemen polisi Tentara (PT), Perhubungan (PHB), Zeni, BAT 340 TP Purwokerto dan satu Seksi 344 TP Purwokerto yang ikut menghadang dari jurusan Bumi Jawa – Belik – Bobotsari. Seksi TP 342/ Soemarko malah ikut dalam penghancuran 9 jembatan di jalur Bumiayu sampai Purwokerto, dan setibanya di Purwokerto atas perintah Panglima Divisi Gatot Soebroto ikut menghancurkan jembatan – jembatan dari jurusan Cijulang – Banjar – Patoman. Seksi 343 Batalyon TP betugas di Lapangan Terbang Wirasaba pernah mendampingi Kompi Roes’an. Seksi 342 TP Zeni Purwokerto bertugas di Bumiayu, Cijulang dan Banyumas – Wangon. Seksi 341 TP Purwokerto yang sedang latihan Tentara Pelajar di Tawangmangu minta dipulangkan untuk berjuang di Purwokerto. Demikanlah situasi dan kondisi di wilayah Karisidenan Banyumas yang berbatasan dengan Kedu Selatan. Jika Belanda menyerbu Gombong (daerah Kedu Selatan paling utara), Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
58
tentu melangkahi dahulu wilayah Banyumas sebagai “ Sedulur Sinarawadi “ dalam legenda Dulang Mas pada masa perang gerilya Diponegoro. Situasi di Gombong Menjelang Agresi Militer Belanda I Menghadapi gerakan Belanda menyerbu Gombong, kekuatan TNI yang berkedudukan di kota Gombong adalah : 1. Batalyon 62 Resimen XX Divisi III pimpinan Mayor Panoedjoe 2. Kader School pimpinan Kolonel Samidjo yang kemudian diganti oleh Kolonel Soekaswo 3. Inspektorat Infanteri pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita 4. Satu seksi Polisi Tentara (PT) 5. Satu seksi Tentara Pelajar pimpinan Soewarno 6. Badan Perjuangan: Pesindo, BPRI, Hizbullah, dan Sabilillah. Selain itu pada awal tahun 1947 ada Balai Besar Jawatan Kereta Api, mengungsi dari Bandung dan berkantor di Benteng Tangsi Gombong. Di desa Selokerto terdapat “Barisan Bambu Runcing“ pimpinan Abdul Manap yang bergabung dalam wadah “Instansi Gerilya Maruto“.
Berbagai Peristiwa Militer Mengingat situasi yang semakin genting, maka Komandan Batalyon 62 Mayor Panoedjoe mempertimbangkan perlunya penempatan pasukan guna membentuk Garis Pertahanan Kota Gombong (GPKG). 1. Idjo Daerah Idjo ditetapkan sebagai “Garis Pertahanan Pertama”. Kompi III Letnan I Soetjipto ditempatkan di perbatasan Kebumen dan Banyumas (di Idjo). Seksi I Letnan II Soemardjo di poros jalan kereta. Seksi II Letnan Muda Hadiprayitno di Selatan Stasiun Idjo membujur ke Selatan, jalan arah Rawakele - Jatijajar ke Kaligending. Seksi III Serma Soemarno di Selatan dan Timur stasiun, terowongan kereta api Idjo dan sekitarnya. Seksi I Kompi I Toegiran dan Kompi II Roes’an yang baru saja datang dari Belik bertugas di Komando Markas Batalyon di kota Gombong. Adapun Kompi Badan Perjuangan ditempatkan membujur ke Selatan. Pada tanggal 27 Juli 1947 sekitar pukul 15.00 Wib di garis pertahanan terdepan pasukan Batalyon 62 terjadi kontak senjata yang cukup seru dengan pasukan Belanda yang datang dari jurusan Banyumas menuju Gombong. 2. Bantar - Jetis Pelemahan Bantar - Jetis Pelemahan ditetapkan sebagai “Garis Petahanan Kedua”. Kompi IV Letnan I Slamet (dikenal dengan Slamet Bindil karena rambutnya melingkar atau bindilbrindil) markas kompinya di Pendopo Penatus Sepuh Selokerto Sangkalputung. Pasukan ditempatkan mulai dari Desa Tambak ke Timur dan sekitar Jembatan Bantar dan Jembatan Jetis Pelemahan (sekitar 3 Km dari kota Gombong ke Barat). Kompi IV berkekuatan 2 Seksi, yaitu Seksi I Letnan Muda M. Badjoeri dan Seksi II Serma Koedoes. Tugas pokoknya ialah apabila garis pertahanan pertama gagal, maka tugas yang harus dilaksanakan adalah: Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
59
- Menghancurkan lawan - Penghambatan lawan - Jika musuh tidak bisa dibendung, maka Jembatan Jetis - Pelemahan harus dihancurkan dengan trekbom. Pasukan komando batalyon sendiri yang terdiri dari Kompi I dan Kompi II tetap berada di Benteng Tangsi Gombong. Belanda menyerbu kota Gombong dengan kekuatan besar yang didukung pelengkapan dan persenjataan lengkap seperti Tank dengan senjata meriamnya, kendaraan lapis baja, senjata berat altileri, dan dikawal oleh pesawat Mustang yang terbang menyambar-nyambar. Dalam situasi demikian, Jembatan Bantar di Timur desa Kretek diledakkan tapi Landmijn(Ranjau Darat) yang ditanam tidak meledak. Di desa Bawang Purbowangi, Belanda dihambat pasukan Seksi I Letnan II M. Bajoeri. Bersamaan dengan itu terdengarlah bunyi trek bom di jembatan Jetis Pelemahan yang dilakukan Seksi Serma Koedoes. Badan jalan di ujung Barat jembatan menjadi hancur. Tank Belanda yang berkubah meraung-raung mesinnya, maju tidak bisa, mundur pun tidak bisa. Infanteri Belanda yang mencoba menyeberang kali Welar disambut Bren Kompi IV dari kubu di kampung Wakaf Klepusari (kini makam Klepusari - makam keluarga Penatus). Secara mendadak komandan Infanteri Belanda (seorang totok) menembak Komandan Kompi IV Letnan I Slamet Brindil dari jarak sangat dekat (sekitar 10 m). Namun Tuhan masih melindunginya sehingga tidak kena. Belanda totok tersebut kemudian menyelinap mundur. Sejak saat itu Letnan I Slamet Brindil dikabarkan telah gugur di sebelah Timur “Pertapaan Jetis”. Penduduk desa Jetis Selokerto ikut berkabung atas meninggalnya Komandan Kompi IV yang sering dipanggil “Mas Slamet”. Mas Slamet sendiri adalah cucu buyut dari tokoh cikal bakalnya Desa Jetis Selokerto. Karena kekuatan yang tidak seimbang, Kota Gombong tepaksa ditinggalkan. Namun sebelum pergi, pasukan Batalyon 62 bersama dengan anak-anak TP (Tentara Pelajar) Seksi Gombong dan pasukan lainnya mengadakan taktik bumi hangus dan penghancuran bangunan-bangunan vital. Lebih kurang pukul 24.00 wib seluruh kota sudah dikosongkan. Pasukan Pertahanan Kota Gombong di bawah komando Mayor Panoedjoe menuju ke titik konsolidasi di Karanggayam. 3. Comando Operasi Pertahanan Daerah Kedu Selatan (COP PDKS) di Kebumen COP PDKS di Kebumen dibentuk pada tanggal 5 Agustus 1947 (beberapa hari setelah Belanda menduduki Gombong). Direktur Jenderal Angkatan Darat (DDAD) Jenderal Mayor Abdoel Kadir yang pada saat itu bermarkas di Kebumen, berperan aktif dalam mempersiapkan COP di Kebumen. Sesuai rencana yang disiapkan, untuk menahan Belanda ke Yogyakarta, di Jawa Tengah bagian Selatan telah ditugaskan Resimen XX, Resimen XXI dan Resimen XXII. Sedangkan untuk bagian Tengah, tugas tersebut dipercayakan kepada Resimen XVII, Resimen XVIII dan Resimen XIX. Karena itu, Pimpinan COP di Kebumen di jabat secara bergantian oleh Resimen XX, XXI, dan XXII. Komandan COP Kebumen yang pertama dijabat oleh Letkol Koen Kamdani, Komandan Resimen XX, lalu oleh Mayor Soedjono dari Resimen XXII, dan terakhir ketika
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
60
-
Agresi Militer II dijabat oleh Mayor Rachmat, Komandan Batalyon Teritorial Kedu V di Kebumen. COP PDKS di Kebumen memiliki tugas Pengendalian Operasi Intel, Operasi Teritorial dan Operasi Tempur. Adapun Staf Pelaksananya adalah: Perwira Intel : Letnan I Soeparman Perwira Operasi : Kapten Soebiandono, (kemudian diganti) : Kapten Soedarsono Bismo Perwira Organisasi/ Personel : Letnan I Soenandar Perwira Logistik : Letnan I Moeryoeni Perwira Keuangan : Letnan I Soengkono Markas COP Kebumen menggunakan gedung bekas rumah dr. Goelarso Sosrohadi Koesoemo, Kepala RSU Kebumen, yang pindah ke rumah jabatan Kepala RSU di Kompleks RSU Kebumen. Gedung tersebut terletak di sebelah Timur dan satu deret dengan Kabupaten (sekarang menjadi Sekolah Taman Dewasa).
Taman Dewasa Kebumen
Markas Logistik karena tugas dan kegiatannya menggunakan kediaman eks Bupati Aroeng Binang Soemrah yang terletak di Jalan Aseman (sekarang menjadi Jalan Jenderal Sarbini Kebumen). Eks Bupati Aroeng Binang Soemrah mengosongkan kediamannya karena memilih tinggal di Purworejo. Mess Pimpinan COP Kebumen menggunakan gedung yang terletak di Selatan alun alun Kebumen, bersebelahan dengan Kantor Pos Kebumen (sekarang menjadi Rumah Dinas Ketua DPRD Tingkat II Kebumen).
Rumah Dinas Ketua DPRD Kebumen
Awalnya PDKS dibagi atas dua sektor, yaitu sektor Utara dan sektor Selatan. Sektor Utara mempunyai wilayah operasi Utara rel kereta api ke Utara, meliputi Karanggayam, Kajoran, dan Clapar di bawah komando Mayor Panoedjoe Komandan Batalyon 62, bergantian dengan Mayor Slamet Soedibyo Komandan Batalyon 68 dan bermarkas di Karanggayam. Sektor Selatan mempunyai daerah operasi sebelah Selatan jalan kereta api ke Selatan, meliputi Sugihwaras, Sidobunder, dan Puring, di bawah Komando Mayor Rahmat Komandan Batalyon 64 yang bergantian dengan Mayor Sroehardoyo Komandan Batalyon 66 dan bermarkas di Adimulya.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
61
Setelah beberapa hari lamanya, mulai dirasakan bahwa jarak Komando Operasi dengan Pasukan Operasi perlu diperpendek. Oleh karena itu, markas COP PDKS yang semula di Kebumen, kemudian dipindahkan ke Karanganyar dengan Komandan COP dijabat secara bergantian antara Mayor Panoedjoe, Mayor Slamet Soedibyo, Mayor Sroehardoyo dan Mayor Rachmat. Front Pertahanan Daerah Kedu selanjutnya dibagi atas tiga sektor yaitu: 1. Sektor Utara, dipimpin oleh Letnan I Soetjipto Komandan Kompi III Batlyon 62 dan bermarkas di Kajoran. 2. Sektor Tengah, dipimpin oleh Kapten Toegiman Komandan Kompi I Batalyon 62 dan bermarkas di Karanganyar. 3. Sektor Selatan, dipimpin oleh Kapten Radjiman Komandan Kompi II Batalyon 66 bermarkas di Nampudadi. Kapten Radjiman kemudian digantikan oleh Kapten Soemrahadi Kepala Staf Batalyon 66. Pasukan yang siap di Front, selain pasukan - pasukan Kompi Soetjipto, Kompi Toegiran, Kompi Radjiman/Soemrahadi, juga pasukan-pasukan TP Seksi Gombong dan TP Seksi Yogya, pasukan Seksi Hizbullah pimpinan Safuan, Seksi BPRI pimpinan Ismail, dan pasukan Gurkha sebagi pertukaran jasa baik dengan negara sahabat India. Pada Bulan Juli 1947 (Perang Kemerdekaan/PK I) Belanda memasuki Gombong dari arah Kroya. Di sekitar lokasi Terowongan Idjo, Batalyon 62 Resimen 20/Divisi Diponegoro bertahan. Pertahanan di sebelah Selatan rel kereta api oleh Kompi Soetjipto, sebelah Utara rel oleh Kompi Slamet Brindil, masing – masing dari Batalyon 62 Resimen 20. Terowongan Idjo dikuasai oleh Kompi Slamet yang dipercayakan pada Seksi (Peleton) Yatiman. 4. Pertempuran Karanggayam Desa Karanggayam juga dipakai sebagai nama Kecamatan Karanggayam, karena kantor Camatnya berada di sini. Letaknya 5 Km sebelah Utara Karanganyar. Waktu itu di Karanganyar masih ada kantor Kawedanan yang dulunya pernah menjadi kantor kabupaten Karanganyar. Pada tanggal 19 Agustus 1947 hari Jumat Pon, satu Batalyon Belanda yang berkedudukan di Gombong menyerang kedudukan Batalyon 62 TNI di Kajoran Karanggayam. Belanda bergerak melambung ke Utara melalui desa Sidayu, Penimbun, Kenteng dan menyusup menuju Karanggayam yang waktu itu merupakan Front terdepan di pedalaman Jawa Tengah yang langsung berhadapan dengan musuh yang berkedudukan di Gombong. Melalui pengintaian udara, Belanda mengetahui di kuburan Pamekas ada kubu pertahanan dengan kekuatan senjata otomatis berat Watermantel (nama senjata berpendingin air). Di tegalan medan terbuka berkibar bendera Merah Putih dengan tiangnya dua batang bambu yang dirakit ala tali - temali Pramuka. Seharusnya bendera yang dikibarkan, diturunkan dan dilipat agar musuh tidak mengetahui kedudukan TNI. Namun Prajurit Yacob malah duduk berdampingan dengan Soedar, seorang prajurit gabungan yang tengah asik membersihkan kareben nya sambil menyanyikan lagu “Berkibarlah Benderaku Sang Merah Putih”. Memang pada waktu itu adalah zaman pemuda harapan bangsa tidak gentar menghadapi maut. Ternyata keesokan paginya tanggal 19 Agustus 1947 sekitar jam 05.00 Wib, terjadilah pertempuran sengit di Karanggayam.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
62
Sebelum Belanda sampai di Karanggayam, terjadi kontak senjata dengan patroli TNI pada jam 23.00 Wib di kampung Randakeli dan Penimbun. Pasukan Belanda membagi diri menjadi beberapa kesatuan dan melingkar sampai kuburan Pamekas. Karena sudah sangat terdesak, pasukan TNI yang berada di Gunung Pukul mundur ke arah Kalipancur. Gunung Pukul kemudian diduduki kompi cadangan Belanda yang bergerak melalui Pejaten. Sedangkan Pasukan Belanda yang telah menduduki Kuburan Pamekas, tidak mengetahui bahwa pasukan TNI sudah mundur, dan Gunung Pukul telah diduduki oleh Belanda kawannya sendiri. Maka terjadilah baku hantam senjata yang cukup seru dan lama antara sesama pasukan Belanda di Gunung Pukul dengan pasukan Belanda yang lainnya yang telah menduduki kuburan Pamekas. 60 orang anggota pasukan Belanda tewas di Karanggayam. Lebih kurang pukul 10.00 - 14.00 Wib terjadi kontak senjata lagi antara pasukan Belanda yang menduduki Gunung Kodenan dan Simpang Empat Kajoran dengan pasukan TNI yang mempertahankan Markas Batalyon 62 di Pos Komando Kalipancur. Oleh karena kedudukan pasukan TNI makin kritis, maka kurang lebih pukul 02.00 Wib, Mayor Panoedjoe selaku Komandan Pasukan Pertahanan di Karanggayam memerintahkan pasukannya untuk pindah ke desa Clapar. Pasukan pun bergerak ke sana. Setelah semalam di Clapar, Pasukan Batalyon 62 kembali lagi mempertahankan Karanggayam pada tanggal 20 Agustus 1947 sambil mengadakan pembersihan dan penguburan anggota TNI dan penduduk Karanggayam yang gugur. Seminggu sesudah pertempuran, Batalyon 62 kemudian diganti oleh Batalyon 64 Resimen XX Kebumen pimpinan Mayor R.P.S. Rachmat. Anggota Batalyon 62 Gombong istirahat di desa Pacor Kutoarjo. Dalam pertempuran Karanggayam pada tanggal 19 Agustus 1947 tersebut, gugur sebanyak 25 orang yaitu: 1. Aminas, Kopral dari Kompi I Batalyon 62. 2. Boediman, Prajurit I Kompi III Batalyon 62 3. Kasimin, Sersan dari Markas Kompi IV Batalyon 62 4. Yohanes, Prajurit I Kompi Markas Batalyon 62 5. Ismadi, Prajurit I Kompi Batalyon 62 6. Soemarto, Sersan Komandan Regu III Kompi II Batalyon 62 7. Saproel, Prajurit I anggota Kesehatan Batalyon 62 8. Sadjim, Prajurit I anggota Kesehatan Batalyon 62 9. Ngadiran, Sersan Mayor anggota Kader School Gombong. 10. Usman Kuper (Jepang RI), Regu III Seksi II Kompi III Batalyon 62 11. Gonggo, Prajurit I anggota Kesatuan Inspektorat Infanteri Gombong 12. Tujuh orang tak dikenal dari Inspektorat Infanteri Gombong 13. Dua Orang tak dikenal, anggota Polri 14. Dua orang tak dikenal anggota Hizbullah 15. Daslan penduduk Karanggayam, Pembantu Dapur Umum 16. Keman penduduk Karanggayam. Adapun yang luka - luka dalam pertempuran tersebut adalah Rosimin (Prajurit Kompi III), Prajurit Soekiman (Cembuk) dan Prajurit II Soeparno. Selain itu ada beberapa nama
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
63
Pembantu Dapur Umum, dan satu di antaranya masih meninggalkan keluarganya bernama Mbok Yatin. Selain itu, Kriyataroena yang rumahnya dijadikan dapur umum, ditangkap Belanda dan diangkut ke Tangsi Gombong. Ia ditawan selama 10 hari dan mendapat siksaan berat. Hal serupa juga dialami oleh Pardjo dari Desa Karang Jengkol yang rumahnya diserahkan untuk tempat tinggal para keluarga Komandan Batalyon 62, Camat Karanggayam RM. Soedarto, dan keluarga Letnan I Slamet (Komandan Kompi IV). Untuk menghormati jasa - jasa dan pengorbanan para Pahlawan Perang Kemerdekan, di lokasi pertempuran di bangun “Monumen Pertempuran Karanggayam” atau yang sering disingkat Monumen Purangga. Monumen Purangga diselesaikan dalam beberapa tahap. Penyelesaian Tahap I telah diresmikan pada tanggal 19 Agustus 1992. Terletak di lokasi yang strategis di tepi jalur kota Karanggayam ke Utara ke arah Clapar, Wanareja, Wadaslintang, yang kini menjadi jalur perekonomian penduduk setempat. Pembangunan Monumen Purangga dilaksanakan secara gotong royong oleh Paguyuban Keluarga Eks Anggota Batalyon 62 Gombong dan didukung oleh beberapa donatur yang secara umum diketuai oleh Brigjen TNI (Purn.) Slamet Soebyakto. Setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh Mayjen Polisi Drs. Soebagjo mantan Kapolda Jawa Timur, yang pada Agresi Militer Belanda II pernah bersama - sama dengan Soekyanto (Ir. Dosen FT. UGM), Djoefri Abdoellah (Drs. dan mantan Direktur Keuangan Depdagri), Soemardi Growol (mantan Guru SMAN 15 Jakarta), RG. Soedarsono (Letkol Purn. Mantan Asbin Pusjarah ABRI), dan Soetardjo Martoyoguno (Mantan Guru SMEP di Gombong). 5. Pertempuran Sidobunder Sidobunder terletak 10 Km sebelah Barat kota Gombong. Sejak Agresi Militer Belanda I, di bagian Barat desa terdapat pos-pos Pertahanan Garis Lini Sektor Selatan. Desa Sidobunder dilalui oleh sungai Kemit dari kanal Tirtomoyo yang membelah menjadi Sidobunder bagian Barat dan Sidobunder bagian Timur. Sungai ini di desa Kemit sendiri airnya bening dan mengendakan pasir, kerikil dan krokos/kerakal. Namun di desa Sidobunder, airnya keruh dan berlumpur, apalagi kalau banjir, menggenangi sawah dan pekarangan sehingga halaman rumah penuh air. Oleh karenanya di daerah tersebut pada saat itu disetiap tepi empang dipagari bambu untuk pengamanan terhadap anak - anak kecil atau kambing peliharaan. Desa Sidobunder pernah mengalami serangan tentara Belanda sampai delapan kali diantaranya: - Pada suatu hari, saat istirahat, Hadi Soewarno memberitahu anggota TP (Tentara Pelajar) terdahulu yang sedang asyik mencari ikan di selokan, bahwa ada patroli Belanda NICA. Namun merka tidak percaya, dikiranya hanya partoli teman sendiri. Betapa terkejutnya mereka, karena setelah dekat, baru diketahui bahwa yang datang ke arahnya adalah pasukan Belanda NICA. Mereka ditangkap dan disiksa. - Pada hari Selasa, akhir Agustus 1947, pukul 09.00 Wib di pos pertahanan TNI sebelum anggota TNI sempat sarapan, Belanda melakukan penyerangan yang menyebabkan banyak gugurnya anggota TNI termasuk Komandan Kompi Letnan II Soemari yang baru saja menggantikan Kompi Letnan I Dimyati (mantan Lurah Kebumen) Batalyon 64, serta lima orang penduduk tewas. Untuk menghindari korban lebih banyak, tentara RI mundur ke
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
64
daerah Sugihwaras. Letnan II Soemari gugur disergap Belanda pada awal serangan, jenazahnya dimakamkan di Krakal desa tempat kelahirannya. Kisah Pertempuran Sidobunder, dimulai pada akhir Agustus 1947. Waktu itu Moedoyo Sekretaris Batalyon 300 Detasemen II TP Yogyakarta datang ke markas Kompi 330 pimpinan Letnan Wiyono yang menempati Hotel Van Laar Purworejo, membawa perintah Komandan Batalyon 300 Martono perihal suatu penugasan bagi pasukan TP Yogyakarta untuk menggunakan TP yang ada di Front Gombong. Adapun yang mendapat tugas adalah seksi 321 Anggoro dari Kompi 320 Tjok Saroso Hoerip TP Yogyakarta (terakhir Marsekal Pertama AURI). Anggota TP mayoritas berasal dari anak-anak SMA Kota Baru (Keluarga Pelopor Padmanaba) dan pelajar asal Sulawesi anggota pasukan Perpis. Pada saat itu, pasukan pelajar Perpis baru saja menyelesaikan pelatihan militer di Wates. Persenjataannya lengkap, menyandang Bedil Popda serta Bren Gun (sejenis senjata otomatis), pakaiannya sudah berseragam hijau. Kabarnya perlengkapan tersebut diberikan oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir. Pasukan seksi 321 berangkat dari Yogyakarta menggunakan kereta api dan turun di stasiun Kebumen menghampiri pasukan pelajar Perpis pimpinan M. Saelan. Selanjutnya perjalanan diteruskan berjalan kaki, ada juga yang naik gerobak kuda yang rodanya tinggi dengan roda besi (kini sudah punah). Mereka tiba di Sidobunder pada tanggal 31 Agustus 1947. Setelah melapor kepada Perwira yang bertugas dan Kepala Desa Sidobunder, pasukan dijamu dengan “Noni Bungkus (nasi bungkus)” khas ala jaman Repiblik (saat itu Republik sering diucapkan Repiblik). Noni tersebut segera diserbu oleh seluruh anak TP yang sudah lapar dan lelah yang lagi semega – semeganya (senang – senangnya makan). Pasukan Seksi 321 ditempatkan di sini untuk menggantikan pos pertahanan TP I Sidobunder dan Puring yang dipimpin oleh Soemardi. Markasnya berada di rumah Kartowiyoto (sekarang Gedung Sekolah Dasar Inpres). Malam itu tampak banyak obor yang mencurigakan di seberang sawah. Namun, Kepala Desa menerangkan bahwa itu adalah penduduk yang sedang mencari Jangkrik, belut, ikan kutuk bayong sawah, dan katak hijau yang sangat bergizi. Situasi dianggap aman, Komandan Seksi kemudian mengijinkan anak buahnya untuk beristirahat. Selesai istirahat, Seksi 321 membagi peralatan dan menempati tempat tugas di beberapa titik, misalnya ada yang bertugas jaga di Dukuh Sidobunder Tunjungan. Regu I Poernomo dan Regu II Djoko Pramono bertugas mengawasi jembatan Sidobunder. Pemegang Bren Gun ditempatkan di Kanan pos pertahanan. Sedangkan Perpis di sebelah Selatan menempati pertigaan dekat lumbung desa. Di sebelah Utara pertahanan TP adalah kedudukan pertahanan Hizbullah dan AOI (Angkatan Oemat Islam). Keesokan harinya, pada tanggal 1 September 1947 dua anggota Seksi Anggoro beserta empat pasukan Perpis antara lain Losung, menuju ke Karangbolong untuk mengecek kebenaran berita bahwa Belanda sudah berada di sana. Sejauh titik batas pandang pengintain, terlihat tiga serdadu Belanda sedang tugas jaga dan satu orang sedang mandi di sumur timba (pada saat itu, sumur umumnya dikelilingi pagar hidup atau Turus yang tumbuh setinggi dada atau bahu). Pada malam harinya, sampai saat peralihan waktu ke tanggal 2 September 1947, keadaan cuaca sangat buruk, langit mendung, dan guruh pun bergemuruh bersaut – sautan.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
65
Hujan lebat pun kemudian turun, sungai menjadi banjir, sawah dan kebun tergenang air. Komunikasi antarpasukan sulit dilakukan. Sekitar pukul 01.00 Wib pos pertahanan Perpis regu pimpinan Soekiman didatangi perempuan berpakaian Jawa, mengantarkan wedang kopi panas dan singkong. Soekiman curiga kepada orang tersebut. Disuruhnya perempuan itu cepat pergi, karena Ia teringat kejadian di salah satu pos pertahanan, ada empat prajurit TNI meninggal karena ulah mata – mata musuh yang mengantar makanan dan kopi panas. Selanjutnya, pada pagi - pagi buta, rakyat dikejutkan oleh suara tembakan. Perpis sudah dikepung. Anggoro segera membagi granat serta tambahan peluru. Seorang kurir MBT tanpa senjata bernama Achmad (masih muda orangnya) yang pada saat itu kemalaman, bergabung dalam TP dan diberi granat. Namun ia memilih kareben pegangan Anggoro. Anggoro pun memberikannya. Mundurnya pasukan Hizbullah dan AOI telah membuka jalan Belanda. Prajurit TP Ridwan dengan senjata Bren berhasil menyapu serangan Belanda gelombang pertama. Gelombang kedua pun dapat dibabatnya. Namun pada serangan gelombang ke tiga, Ridwan tertembak Belanda dan gugur seketika. Senjata Bren kemudian diambil oleh Kampret. Bersama dengan Acmad, Kampret berhasil menghambat serangan Belanda dari arah Utara. Akan tetapi akhirnya kedua prajurit pejuang itu pun gugur. Kampret memiliki nama asli Koenarso, ia adalah teman satu sekolah R.G. Soedarsono di SMP Gombong yang sering memanggilnya “Mas Koen” karena usia dan angka kelasnya lebih senior. Pasukan pelajar Perpis dengan senjata dan seragamnya yang lengkap, berusaha keras menghambat serangan pasukan Belanda dari arah Timur. Namun serangan Belanda datang begitu gencarnya. Bahkan pasukan Perpis pun akhirnya dapat terkepung. Maulwi Saelan masih bisa meloloskan diri dari kepungan Belanda dengan cara melepas bajunya sehingga kelihatan kulit badannya yang kuning langsat sehingga dikira sebagai Sinyo Belanda yang tengah bersama pasukannya. Penyerangan Belanda terus berlangsung hingga menjelang siang hari, dengan bayonet terhunus di ujung larasnya. Regu I Purnomo pun datang dari pos terdepan untuk bergabung dengan pasukan induknya dan terus bersama - sama mengadakan perlawanan secara sengit. Pasukan TP berusaha menggeser pertahanannya ke sebelah Selatan, tetapi Belanda sudah menghadang. Anak - anak TP tetap teguh dan terus mengadakan perlawanan dengan gigih sampai akhirnya mereka benar - benar kehabisan peluru. Anak - anak TP tidak juga menyerah. Pertempuran berlanjut dengan perkelahian satu lawan satu menggunakan sangkur, sehingga banyak berjatuhan korban. Dari 36 orang anggota seksi 321, hanya 11 orang yang hidup antara lain mereka yang bertahan di sudut desa dan berpura - pura mati dengan tidur di samping kawannya yang telah berlumuran darah. Ada juga anggota TP yang keningnya terluka kena goresan telapak sepatu Belanda yaitu prajurit TP Imam Soekotjo dan ada yang selamat karena bersembunyi di bawah lesung. Pertempuran usai sekitar pukul 11.00 Wib, tanggal 3 September 1947. Jenazah jenazah yang berserakan di sawah dan pekarangan dikumpulkan, ditutupi dengan daun pisang, dan dibawa ke Sugihwaras. Selanjutnya dengan “Risban Engkrak” yang terbuat dari bambu, jenazah ditandu untuk dibawa ke Karanganyar, lalu diangkut dengan kereta api menuju ke Yogyakarta, dan disemayamkan di Gedung Badan Penolong Keluarga Korban Perang di Secodiningratan Yogyakarta. Di stasiun Tugu Yogyakarta para penjemput dan pelayat sudah menanti dengan suasana penuh berkabung. Keluarga para korban, pelajar SMP 1 Terban Taman, SMP II, SMP Bopkri, STM Jetis, Taman Siswa, SMT Kota Baru (Keluarga Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
66
Pelajar Padmanba) yaitu asal sekolah anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur, dan tidak ketinggalan pula dengan penduduk ibukota perjuangan RI tersebut, ikut menjemput di stasiun Tugu. Pada waktu menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, semakin berbondong - bondong penduduk Yogyakarta berjajar di Kanan dan Kiri jalan yang dilalui jenazah Pahlawan. Para pelajar Yogyakarta berjajar rapi berdiri di tepi Jalan untuk memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang masih sangat muda, yang gugur mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Para anggota Tentara Pelajar yang gugur antar lain: 1. Abunandir 2. Achmad Suryomiharjo 3. Ben Roemayar 4. Bayu 5. Djoko Pramono 6. Haroen 7. Herman Fernandes 8. Kadarisman 9. La Indi 10. Laksoedi 11. Koenarso (Kampret) 12. Losung 13. Purnomo 14. Pramono 15. Rahmat 16. Ridwan 17. Pinanggur Beni 18. Soegiyono 19. Soehapto 20. Soepadi 21. Soeryoharyono 22. Tadjoedin 23. Wiliy Hutahuruk Sedangkan korban penduduk yang tewas adalah: 1. Ny. Ardjowinangun 2. Damiun 3. Kartowiyoto (pensiunan Carik Gede, rumahnya sebagai markas TP) 4. Madjani (mantan Polisi Desa Sidobunder) 5. Meran alias Madkarta 6. Ngalimun 7. Sungkowo (guru SD Sidobunder) 8. Sawal 9. Sawikrama 10. Paing alias Bajang, dari Banjareja Puring, berada di pasar Sidobunder.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
67
Di samping itu, ada juga korban luka di bibirnya, hingga hilang tak berbibir, dan telah meninggal pada tahun 1960. Sebagai tanda peringatan dan penghormatan bagi para pahlawan TP serta korban penduduk dalam pertempuran Sidobunder, di pertigaaan jalan Sidobunder didirikan Tugu Pertama pada tahun 1959. Pada tahun 1984 dibangun Monumen Balai Desa berbentuk Joglo di belakang Tugu Pertama (di sebelah Utara dekat Tugu Pertama). Dalam peresmian Monumen Balai Desa oleh Menteri Transmigrasi RI Martono (eks Komandan Detasemen III TP Brigade XVII), dihadiri juga warga TRIP Jawa Timur, antara lain Mayjen. (Purn.) Soebyantoro (Toret) eks Komandan Kompi TRIP Detasemen I Brigade XVII Jawa Timur, mantan Duta Besar RI di Belgia, Alex Rumambi (eks Pasukan Pelajar Perpis), dan beberapa Menteri eks TP yaitu: Menteri Perhubungan RI Marsekal Roesmin Noeryadin, mantan KASAU Letjen. TNI Ali Said, SH, mantan Jaksa Agung dan Ketua MA, serta mantan Menteri Sosial RI Nani Soedarsono, SH. 6. Blekatuk Pada tanggal 21 Desember 1948, Kompi IV Batalyon 62 dengan kekuatan satu Seksi dipimpin oleh Letnan I Slamet, turun dari Karanggayam menuju daerah pendudukan Belanda di Gombong untuk menyerang pos-pos penjagaan Stelling (posisi siap tembak, menghadap musuh) Belanda di Sumpyuh. Rencana ini sudah disepakati dengan pasukan Kapten Soepardijo yang bertugas di daerah Pemalang. Keduanya pernah menjadi Shodancho PETA di Gombong. Dengan kuasa Tuhan mereka bertemu lagi dan sepakat mengadakan gerakan mengepung Belanda di Sumpyuh. Pasukan Soepardijo dari Barat- Utara, Kompi Slamet dari arah Timur. Mereka akan saling kirim berita setelah tiba di titik yang telah ditentukan. Kompi Slamet menunggu berita dari kurir yang disertai Serma Sumbogo sambil istirahat di Bawang Blekatuk, setelah melakukan perjalanan jauh dari Karanggayam. Tetapi kurir berlum juga tiba, padahul semua sudah lelah sehingga tak ada yang bertugas jaga. Desa Blekatuk adalah desa yang terletak menjorok ke tengah sawah di Utara desa Bawang dan Utara Jalan Raya Banyumas Tugu - Gombong di kaki dataran tinggi. Ketika semua tidur, Belanda menggrebeg desa tetangga di Selatan. Tujuannya adalah mencari seorang serdadu Belanda totok yang hilang disergap gerilya RI, selagi berkencan dengan perempuan desa ini. Mata - mata Belanda melaporkan adanya pasukan TNI bergerak ke arah Utara dan beristirahat di Blekatuk. Belanda lalu mengalihkan perhatiannya ke desa Blekatuk. Tembakan serempak Belanda menyebabkan Seksi bubar tak terarah. Beberapa di antaranya meloloskan diri ke sawah yang baru ditanami. Sedangkan Sersan Mayor Marsoem gugur terkena tembakan musuh. Kurir pasukan Soepardiyo yang ditunggu - tunggu tidak kunjung datang. Ternyata Kapten Soepardiyo tertangkap sebelum pengepungan terhadap musuh di Sumpyuh dilakukan. Serdadu Belanda totok yang telah hilang tetap tidak ditemukan. Sedangkan pasukan Kompi IV berhasil lolos dari sergapan dan kembali ke kedudukan pertahanannya di Karanggayam. 7. Canonade Candi Desa Candi terletak di sebelah Timur kota Karanganyar yang pada waktu itu menjadi pengganti Pasar Karanganyar yang semula terletak di jalan raya Gombong – Kebumen, kemudian ditutup karena pertimbangan keamanan umum terutama untuk menghindari keganasan Belanda. Hal itu mengingat Markas COP Karangayar terletak di jalan Perlawanan, Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
68
sebelah Timur Alun-alun, sedangkan kantor dan gudang Logistik COP Karanganyar yang terletak di Kelurahan Candi telah tiga kali terkena tembakan kanon/meriam (Kanonade) musuh. Kantor Logistik COP Karanganyar saat itu dipimpin oleh Letnan I Moeryoeni (terakhir menjabat sebagai Wakil Komandan Pusat Altileri di Cimahi). Belanda sering menembakkan meriamnya ke daerah - daerah RI yang dianggap rawan dan sangat dicurigai. Maksud dari Kanonade tersebut adalah untuk membuyarkan pemusatan pertahanan Pasukan TNI. Sebelum melakukan penembakan, Belanda mengadakan pengintaian terlebih dahulu melalui udara dengan pesawat Capung (sekarang pesawat sejenis masih ada dan dijadikan koleksi Museum Satria Mandala Jakarta). Pada tanggal 19 Oktober 1947, hari Minggu Wage, sekitar pukul 06.00 Wib mulailah terdengar dentuman meriam dari Gombong, sebagai tembakan pendahuluan Belanda ke arah Selatan Sugihwaras, kemudian baru ke arah Candi. Pada waktu itu cuaca mendung karena sejak malam hari hujan telah turun dengan lebat. Pasar Candi Karanganyar tidak seberapa jauh, berada di belakang gedung kantor Kawedanan (yang ketika itu tinggal puing-puing karena telah dibumihanguskan; sekarang gedung tersebut telah dibangun kembali). Keadaan pasar tersebut tidak terlalu baik. Namun karena hari itu adalah hari pasaran, maka pasar Candi tetap ramai dikunjungi dan orang mulai melaksankan jual beli/candak - kulak. Sekonyong-konyong aktifitas pasar pagi itu dikejutkan oleh datangnya pesawat Capung musuh yang melakukan pengintain sambil memberikan sinar kode, kemudian disusul dentuman peluru meriam yang pertama jatuh di dekat pasar Candi. Tembakan meriam dari Gombong semakin gencar bagai hujan peluru. Lebih - kurang pukul 10.00 Wib tembakan mereda sebentar. Penduduk Candi dan sekitarnya bergegas untuk mengungsi, namun tidak lama kemudian peluru Kanon kembali berjatuhan, bertubitubi di Candi dan Plarangan. Kanonade Candi baru berhenti sekitar pukul 13.00 Wib. Jumlah peluru yang ditembakkan lebih - kurang 300 butir. Hal ini bisa dihitung dari jumlah lubang di tanah bekas jatuhnya ledakan peluru Kanon. Karena bertepatan dengan hari pasaran, maka korban yang tewas pun banyak sekali. Korban adalah penduduk setempat dan penduduk desa lain yang sedang berada di pasar. Ada juga anggota TNI, TP dan pasukan perjuangan yang sedang berada di Candi. Mayat mayat bergelimpangan di mana-mana, terutama di pasar Candi sampai rel kereta api sebelah Timur. Ada yang kepala, tangan, dan kakinya terpisah dari badannya. Jumlah korban meninggal yang bisa didata ada 786 orang, termasuk di dalamnya 70 orang lebih terdapat di pinggir rel kereta api, 13 orang anggota TP antara lain cucu Bupati Arung Binang (Mantan Bupati Kebumen). Sangat dimungkinkan terdapat jenazah yang hanyut terbawa arus kali yang waktu itu sedang banjir. Peti - peti jenazah disiapkan oleh Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) dan rumah Sakit Tentara (RST) di Kebumen. Di antara petugas DKT yang mengurus jenazah - jenazah tersebut terdapat Letnan Satiyo yang bertugas di DKT Resimen XX/ Kedu Selatan. Korban lain dari Kanonade Candi ialah banyak rumah yang rusak bahkan hancur, hewan piaraan seperti kerbau, sapi, dan kambing juga banyak yang mati. Belum lagi barang – barang milik masyarakat yang tidak dapat di data. Karena banyaknya jumlah korban, maka dibuatlah lubang - lubang untuk penguburan masal. Bagi mereka yang identitasnya jelas, seperti anggota TP, kemudian dikumpulkan untuk dirawat oleh kesatuannya dan diangkut ke Kebumen. Pada keesokan harinya dengan menggunakan kereta api mereka diangkut ke Purworejo (bagi yang induknya di Purworejo) atau ke Yogyakarta (bagi yang induknya di Yogyakarta). Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
69
Candi termasuk dalam daerah sektor Tengah di bawah Komando Kapten Toegiran yang bermarkas di Karanganyar. Dalam Canonade Candi, Kapten Toegiran selamat, akan tetapi Komandan Seksinya, yakni Letnan Muda Soehari terkena pecahan meriam di bagian muka dan pundaknya, meski telah berlindung di bawah kolong jembatan kereta api dekat stasiun kereta api Karanganyar. Selain itu, Letnan Muda Pratejo, Komandan Seksi, terkena pecahan meriam di kaki (betis) kanan; dan Sersan Zarkoni, Komandan Regu Seksi Pratedjo terkena di bagian perut. 8. Pertempuran Meles Bersamaan dengan terjadinya Canonade Candi (Karanganyar), Belanda menyerang Caruban, Bonjok Lor, melingkar masuk dari belakang, menyerang Regu I Seksi II Kompi III Biroe Batalyon 64 Resimen XX/Divisi III. Komandan Regu I ialah Serma Soemosastro, Komandan Seksi II Letnan II Soegito Bawor, Komandan Seksi I merangkap Wakil Komandan Kompi III adalah Letnan II Iskandar, Komandan Kompi III adalah Kapten Biroe. Pada waktu itu Pimpinan Staf Komando di bawah Komandan SKO Mayor Rachmat, Komandan Batalyon 64 Resimen XX. Regu I Seksi II Kompi Biroe yang mendapat serangan gencar Belanda dari arah belakang, mengadakan perlawanan gigih sambil bergeser mengarah ke posisi pasukan Seksi II/Soegito Bawor, dengan maksud memperkuat kedudukan pasukan TNI terhadap serangan Belanda. Dalam pertempuran ini pasukan TNI mendapat bantuan dari Opsir Jepang, dan 1 Regu Gurkha. Selain Pasukan TNI Kompi Biroe Resimen XX, di Meles juga terdapat pasukan TP. Anak-anak TP dengan gigih melakukan perlawanan, meskipun banyak korban yang jatuh dari pihak TP. Pertempuran Meles berlangsung cukup sengit. Korban di pihak Belanda tidak diketahui. Kedudukan Seksi II Soegito Bawor di desa Pekuwon kecamatan Kewarasan berdekatan dengan rumah Letnan I Soedarmin eks Komandan Kompi II Batalyon 64 Resimen XX, yang waktu itu berstatus sebagai Perwira Staf Resimen XX. Kebetulan, Letnan I Soedarmin pada saat itu sedang berada di rumahnya, tempat di mana ia dilahirkan, tanpa membawa sepucuk senjata pun. Juga tanpa pasukan, dan tidak menggabungkan diri pada pasukan TNI terdekat. Akhirnya, Letnan I Soedarmin ditangkap dan ditembak oleh Belanda. Jenazahnya dimakamkan di Kebumen. 9. Pertempuran Lingkar Sruweng Pada Tanggal 20 Juli 1948, ketika Komandan Komando Operasi dijabat Mayor Rachmat, terjadi pertempuran hebat antara TNI melawan Belanda. Dalam Komando Sektor Selatan di Karanganyar terdapat pasukan TNI Kompi Toemiran dari Batalyon 68 Resimen XX/Divisi III, pasukan TNI AL dari Corps Armada II (CA II) Cilacap, Hizbullah, dan TNI Masyarakat. Secara diam-diam Belanda menyeberang ke Timur di Sidobunder, masuk dari Buayan (sebelah Selatan Gombong) langsung menuju ke Timur sampai di Selatan Sruweng. Belanda menyerang pasukan TNI dan pejuang RI dari arah Sruweng. Dengan demikian, pejuang RI menghadapi musuh dari dua arah yaitu dari Sruweng dan Gombong, dengan kata lain dari arah depan dan belakang pertahanan TNI. Dalam keadan terjepit, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Korban mulai berjatuhan, baik dari TNI AD, TNI AL, TP, Hizbullah, maupun TNI Masyarakat dan rakyat
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
70
setempat yang sulit dihitung berapa banyak jumlahnya. Mayat - mayat manusia bergelimpangan di jalan raya antara Sruweng hingga Karanganyar. COP Kebumen segera mengirim pasukan bantuan ke Karanganyar yang dipimpin oleh Kapten Soedarsono Bismo, dan Letnan II Soeparman Dljiteng sebagai wakilnya, dengan tugas menghalau serangan Belanda. Akhirnya pasukan bantuan TNI berhasil menghalau serangan musuh. Pasukan Belanda pun kembali ke Gombong. Letnan II Soekadroh yang karena tugasnya menjadi pengatur lalu lintas kereta api untuk pasukan-pasukan ke Karanganyar, sesaat setelah pasukan Belanda terhalau tiba di desa Jingklak dan masuk kota Karanganyar. Letnan II Soekadroh melihat mayat yang bergelimpangan di jalan raya. Selain itu ia melihat 19 kepala manusia yang sengaja dijajar di pinggir jalan raya oleh Belanda. Pemandangan yang sangat memilukan. Pasukan Palang Merah Indonesia yang antara lain terdapat Letnan Satiyo amat sibuk mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pasukan PMI kemudian merawat dan sekaligus mengurusnya sampai semua dimakamkan. Peristiwa ini mengakibatkan kota Kebumen yang biasanya sehari-hari tampak ramai, menjadi lengang dan sepi. Selain itu sekolah-sekolah yang terletak di sebelah Barat kali Luk Ula dan 5 Km sebelah Timur kali Luk Ula diliburkan. Sementara beberapa Jawatan Pemerintahan pindah ke Prembun, antara lain Jawatan Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kebumen. 10. Berbagai Peristiwa di Kemit Fakta Pelanggaran Belanda Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda secara terang - terangan telah melanggar persetujuan Linggarjati, dengan melancarkan ekspansinya hingga ke Gombong. TNI mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak RI kemudian mengambil Kali Kemit sebagi garis pertahanan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I. Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk. Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal Renville yang menghasilkan Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut maka : 1. Oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen, Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Garis Status Quo. 2. Pasukan-Pasukan TNI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah. Pasukan Siliwangi diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Karanganyar, dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
71
Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah Jembatan Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi. Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh tujuh anggota PK yang menggunakan rumah Bp. Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI. Ketujuh PK yang menjalankan tugas istimewa ini gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi anggota PK penjaga Garis Demarkasi tersebut. Makam tujuh Pahlawan tersebut sebelumnya terletak di lokasi yang tidak layak, kemudian atas swadaya masyarakat Kemit, dipindahkan ke pemakaman yang layak di desa Grenggeng diprakarsai oleh Bp. Taufik dan Bp. Dwidjomartono.
Jembatan Renville Panjer
Perlakuan dan tindakan Kejam Belanda Semasa Gombong diduduki Belanda, rakyat sekitar Kemit menyaksikan perlakuan kejam Belanda terhadap rakyat pejuang RI, antara lain: - Bermula dari gerakan pembersihan yang dilancarkan Belanda pada siang hari di Kemit dan sekitarnya sampai ke desa Tratas, Sidomukti Penunggalan dan Kwarasan, Belanda menangkap KH. Aboemoestar dan H. Abdoellah dari pasukan Sabilillah. Mereka diangkut ke Pos Tentara NICA di Kemit untuk disiksa, dipukuli, dan akhirnya ditembak mati. - Kyai Affandi, Daldiri, Moekri, dan penduduk desa Grenggeng sebelum diangkut ke ID (Inlichtings Dienst) harus mengalami penyiksaan berat. Kedua kakinya diikat, digantung dengan kepala di bawah, kaki di atas, dan dipukuli sampai berulang - ulang kali. Namun berkat kemampuan (doa-doa) yang dimilikinya, mereka tidak merasakan apa - apa. Belanda menjadi cemas sehingga mereka kemudian dipulangkan ke Pos Kemit. Terkecuali Daldiri, ia berusaha untuk melarikan diri, sehingga tertembak mati oleh senjata Bren Belanda. - Asrul bin Kyai Muksin dari dusun Pancasan Grenggeng tertangkap oleh serdadu Belanda sewaktu bertugas melakukan penyelidikan di Desa Sedayu Utara Gombong. Ia diketahui Belanda telah mencatat sejumlah nama - nama tentara NICA di Pos Kemit. Akibatnya Asrul tidak luput dari siksaan yakni: - Sebuah papan bertuliskan “Garong” diikat di dahinya. - Setelah itu kedua tangannya diikat, ia ditarik ke kanan dan ke kiri, diarak di jalan raya Kemit sambil disiksa dengan kayu bakar yang membara. - Berikutnya, kedua kaki Asrul diikat dengan tali, dimasukkan ke dalam air di sungai Kemit, dengan posisi kepala di bawah. Berulang kali ia ditarik dan dimasukkan lagi, seperti orang menimba air.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
72
Siksaan - siksaan berat tersebut membuat anjing-anjing NICA merasa sangat puas. Mereka menganggap bahawa Asrul sudah mati. Namun, ternyata ia masih hidup. Anjing NICA pun menjadi cemas. Asrul kemudian diseret ke dalam sebuah lobang yang telah disiapkan, lalu ditembak dengan pistol Metraliur oleh kedua serdadu NICA yang bernama Berlin dan Pietera. Namun ia belum mati juga. Akhirnya Asrul pun dikubur hidup - hidup. Monumen Kemit Untuk mengenang dan memperingati Perjuangan Kemerdekaan RI terutama para TP (Tentara Pelajar) dalam berbagai pertempuran di sekitar Kemit, dibangunlah Monumen Perjuangan Kemit yang diprakarsai dan disponsori oleh para mantan anggota TP Detasemen 300/Kapten Martono.
Perjuangan Pada Akhir Perang Kemerdekaan di Kedu Selatan Menjelang Agresi Militer Belanda II Situasi Dalam Negeri Persetujuan Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 ternyata masih belum dapat menyelesaikan persengketaan antara pihak RI dengan Kerajaan Belanda. Situasi Politik Program Pemerintah terutama mengenai pelaksanaan Program RERA (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) menimbulkan sikap pro dan kontra. Partai -partai politik yang giat mencari pengikut dan pengaruh dalam kesatuan tentara, menunggangi pelaksanaan RERA. Akibatnya, walaupun pelaksanaan RERA dalam tingkat Kementerian dan Pertahanan dapat diselesaikan dengan lancar, namun di tingkat daerah mengalami hambatan bahkan di angkatan perang sendiri timbul beberapa kendala. Adanya pro dan kontra terhadap perjanjian Renvile, mendorong terjadinya Clash antara pasukan setempat, terutama dari satuan laskar - laskar, badan perjuangan yang sudah terpengaruh golongan kiri dengan pasukan hijrah yang datang dari kantong gerilya di daerah pendudukan. Mereka hijrah ke dalam wilayah RI yang sudah sempit, di Pulau Jawa tinggal sepertiganya karena patuh terhadap pemerintah. Akibat diterimanya perjanjian Renville, beban perjuangan RI semakin berat. Situasi Ekonomi Kemampuan ekonomi dan keuangan Negara RI menjadi sangat berat antara lain karena beban pemeliharaan 350.000 personil pasukan TNI ditambah dengan 470.000 anggota laskar perjuangan. Situasi ini ingin diperbaiki oleh Kabinet Hatta melalui program pemerintah: a. Berunding atas perjanjian Renville b. Mempercepat pembentukan Negara Serikat c. Rekonstruksi d. Rasionalisasi
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
73
Pada saat itu, pencetakan uang RI yang disingkat ORI (Oeang Republik Indonesia) masih kurang sempurna, sehingga banyak sekali uang palsu beredar. Untuk menyelidiki pihak mana yang membuat uang palsu tidak mudah. Tanda-tanda uang palsu tidak mudah diketahui. Perbedaan kadang hanya karena kurang satu atau tiga tanda titik kecil yang tercantum di salah satu sisi halaman uang tersebut. Kekurangan bahan sandang, pangan dan peralatan terasa sekali di dalam daerah RI yang wilayahnya menjadi sempit. Pada tahun 1948, sudah 20 juta jiwa yang menghuni hanya sepertiga pulau jawa dan masih ditambah dengan pasukan hijrah seperti Siliwangi. Dalam daerah pendudukan Belanda, berlaku uang NICA (dikenal dengan uang merah karena pecahan uang terbuat dari logam tembaga seperti: sen, serini, sebenggol warnanya merah tembaga). Uang rupiahan atau seringgitan dari kertas berwarna coklat kemerahan, sedangkan nilai tukarnya jauh lebih tinggi dibanding uang ORI. Barang siapa menolak peredaran uang NICA akan berurusan dengan polisi Belanda (IVG). Situasi Pertahanan dan Keamanan Akibat dari Rekonstruksi dan Rasionalisasi, formasi Angkatan Perang RI dipekecil, dari tiga divisi lebih, menjadi satu divisi. Hal ini berdasarkan Instruksi Panglima Besar No. 37 tanggal 25 Maret 1948, yang berlaku pula pada pasukan Tentara Pelajar yang diwadahi dalam Kesatuan Reserve Umum “W”, disingkat KRU “W”. Ditinjau dari segi ekonomi, adanya RERA memang masuk akal. Namun dalam kenyataannya banyak anggota tentara yang terkena rasionalisasi, menjadi kecewa atau sakit hati, sehingga pernah juga muncul “barisan sakit hati”. Mereka ada yang dimanfaatkan oleh pihak kiri komunis kelak dalam pemberontakan PKI Madiun. Situasi Umum di Kebumen Menjelang Pemberontakan PKI, situasi politik memprihatinkan. Di Kabupaten Kebumen tersebar berita bahwa di alun – alun Kebumen akan diadakan rapat akbar golongan kiri dengan pembicara Muso PKI. Saat itu, Kompi III Bimo Batalyon Mobil Sroehardoyo mengadakan pertahanan di desa Plarangan Karanganyar untuk menghadapi Belanda yang bermarkas di benteng Gombong. Pagi hari menjelang pelaksanaan rapat, rakyat berbondong-bondong menghadiri rapat tersebut. Mereka membawa senjata tajam seperti: arit, bendo, alu tumbuk padi, tombak, dan kudi dalam kora-kora yang disandang melingkari perutnya. Untunglah ada berita bahwa rapat akbar batal, sehingga keadaan aman dan tidak ada bentrok apapun, mengingat keadaan sedang gawat-gawatnya menghadapi Belanda. Pengamanan Tokoh – tokoh PKI di Kebumen Ketika terjadi peristiwa Madiun, Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo segera mengadakan rapat Tritunggal merumuskan langkah yang perlu diambil dalam mengamankan wilayahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tritunggal di Kabupaten Kebumen. Langkah – langkah yang segera diambil adalah: - Menangkap dan mengamankan tokoh – tokoh PKI serta simpatisannya yang tinggal di desa – desa. - Mengadakan pemisahan, yang berkaliber berat dikirim ke Yogyakarta/Magelang, yang sedang diamankan di kabupaten (Batalyon Teritorial Kedu IV untuk Purworejo, dan Batalyon Teritorial Kedu V untuk Kebumen).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
74
-
Dalam rangka pengamanan dilakukan pembinaan yang dipertanggungjawabkan pada kedua Batalyon Teritorial. Di Kebumen bertempat di bekas asrama TNI Batalyon 64, selatan jalan kereta, dan di LP Kebumen.
Agresi Militer Belanda II Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 wib Belanda telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan dari Gombong menuju Yogyakarta. Peristiwa Militer di Kebumen Pada hari Minggu pagi – pagi benar pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk menengok keluarganya yang sakit. Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong, bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan rencananya “door stoot naar Yogyakarta“. Hal itu menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara berulang – ulang. Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di wilayah Kabupaten Kebumen. Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah – pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon. Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan personil yang ada pada kecamatan tersebut. Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah – sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya Agresi II. Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI Tujuh orang anggota Polisi keamanan (PK) yang terdiri dari CPM penjaga garis demarkasi Kemit gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi anggota PK penjaga Garis Demarkasi tersebut. Ketujuh anggota PK tersebut menghuni rumah Bapak Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
75
Gagalnya Trekbom jembatan Renville Panjer Satu - satunya akses jalan darat yang bisa dilalui angkatan perang Belanda menuju ke Yogyakarta adalah melalui Jembatan Renville Panjer sebab jembatan resmi Tembana berhasil dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan Renville sendiri adalah jembatan kereta api di sungai Luk Ula Kebumen yang secara darurat digunakan sebagai akses penghubung dengan cara menumpuk balok – balok kayu di atas rel agar bisa dilalui kendaraan. Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen bagian selatan dengan kereta api, dan bagian utara dengan jeep, panser wagen, dan tank sebanyak kurang lebih 50 buah menggunakan lambang – lambang KTN, yang merupakan Stoot Troop. Pada saat Belanda masuk kota, di dalam kota telah kosong. TNI dibagi dua yakni sektor Utara dan Sektor Selatan. Jembatan Renville Panjer (Letnan II Iskandar tertangkap Belanda ketika akan melakukan trekboom)
Saat Belanda masuk dan mendarat di selatan kota, di sana terdapat Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar. Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom. Sementara itu, di areal Pabrik Mexolie/Sarinabati Panjer, Soewarno (pimpinan pemuda karyawan pabrik tersebut) dan dua anggota CA II Angkatan Laut serta dua karyawan pabrik yang sedang melakukan bumi hangus di pabrik tersebut tertangkap basah oleh Belanda yang begitu cepat menduduki Nabati. Soewarno dibawa ke stasiun, sedangkan empat lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis Panjer (di utara stasiun) kemudian ditembak mati di sana. Soewarno dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang perjalanan ia mengalami beberapa peristiwa : 1. Di Kepedek Kutowinangun Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas pabrik padi (kini dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata kareben polisi menghadang Konvoi Belanda yang membawa Soewarno dengan tembakan. Belanda membalas serangan, tiga AOI gugur dan dua lainnya menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi kampung, mereka tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur. 2. Di Jembatan Butuh 100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari kolong jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya dengan mitraliur 12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah seorang Kopral dari Kompi Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik trekbom untuk memutuskan jembatan. Pemasangan trekbom dipimpin oleh Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I. Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut, diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg yang siap
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
76
diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena tergesa-gesa kawat yang diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom tersebut diangkut Belanda ke Purworejo. 3. Di Kota Purworejo Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep (Purworejo Timur). 4. Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa Polisi Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia akan ditembak mati. Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian, Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah timur RSU Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di Banyuurip dan ke barat sampai di Panjer dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada tanggal 20 Desember 1948.
Lapangan Tenis Panjer (tempat eksekusi 4 pejuang aksi bumihangus Sarinabati yang tertangkap basah oleh Belanda)
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada tanggal 19 Desember 1948 adalah Pabrik Minyak Sari Nabati. Cepatnya gerak pasukan Belanda untuk masuk ke pabrik ini menyebabkan gagalnya aksi bumihangus. Malah beberapa pejuang yang tengah beraksi tertangkap dan ditembak mati oleh Belanda. Tertangkapnya Letnan II D.S. Iskandar oleh Belanda Ketika bertugas di sekitar jembatan Renville sungai Luk Ula, Letnan II D.S. iskandar terkepung dan tertangkap Belanda. Ia lalu dibawa dengan kendaraan jeep ke berbagai sudut kota Kebumen sehingga banyak anggota TNI dan masyarakat yang melihatnya. Salah seorang yang melihatnya langsung adalah Letnan I Soeparman Clapar (kawan lama Letnan II D.S. Iskandar) yang semula bermaksud menumpang jeep nya yang melintas di jalan Stasiun (kini jalan Pemuda), sebelum mengetahui bahwa Letnan Iskandar duduk di samping serdadu Belanda. Setelah mengetahui keadaan, Letnan I Soeparman segera ke rumah untuk cepat – cepat memindahkan keluarganya ke Clapar. Letnan II Iskandar dibawa ke stasiun dan diangkut ke Purworejo. Setelah tiga hari di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke Gombong dan terus ke Purwokerto pada tanggal 25 Desember 1948 di Brigade V. Sesudah 17 hari ditawan di Bigade V, dengan kecerdikannya Letnan II Iskandar meloloskan diri melalui RSU Puwokerto dan melapor ke induk pasukannya (berada di gunung Sumbing).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
77
Konvoi Belanda menuju Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 melalui Kebumen, Purworejo menggunakan kereta dan kendaraan terdiri dari beberapa Jeep, Panser Wagon dan truk yang dipenuhi serdadu Belanda. Karena terputusnya telepon dan radio belum ada, pada pukul 12.30 Wib Letnan I Oemar datang dengan motor mewartakan kepada Kompi I Soedarsono Bismo yang bertugas di pertahanan Kutoarjo (jalan Kaliwatu) bahwa keberangkatan Belanda dari Gombong menggunakan simbol-simbol KTN. Konvoi paling depan adalah tiga Panser dan diikuti 13 truk.
Tugu/Monumen Perjuangan Renville Panjer
Instansi Sipil dan Militer Kebumen Meninggalkan Kota Dinas-dinas, jawatan-jawatan, dan lembaga-lembaga pemerintahan sipil setelah dilancarkannya Agresi Militer Belanda II tidak tinggal diam dan menyerah kepada Belanda. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota melaksanakan pengabdian tugas pemerintahan di luar kota, di desa-desa dan di gunung-gunung. Baik di kabupaten Purworejo maupun di Kebumen melakukan hal yang sama. - Komandan Batalyon II Brigade X Mayor Soedarmo di Pacekelan Wadasmalang, di rumah Doelah Sepingi (wilayah kabupaten Wonosobo). - Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten, Mayor Rachmat di dukuh Brondong, Kemejing kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo). - Bupati kebumen Sosroboesono di desa Kalipuru, rumah Lurah (wilayah kabupaten Wonosobo). - Kompi Gatotkaca, Antareja, dan Antasena sesekali secara bergantian di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo). - Wedono Tirtomenggolo di rumah Tirtodikrama desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo). - Rumah Penjara di Tegal, Brondong, kelurahan Kamejing, kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo). - Kantor Pos di rumah Kartodikaryo, Karang Jambu, Wetan Gili (wilayah kabupaten Wonosobo). - Kejaksaan di rumah Doelsalam, Karang Jambu, Kulon Gili (wilayah kabupaten Wonosobo). - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di rumah Soewadji Madsirod, Kepala Dusun Wetan Gili ( wilayah kabupaten Kebumen). - Kantor Kabupaten di rumah Bapak Madaslah, Congkokan, Karang Jambu (wilayah kabupaten Kebumen). - Sekretaris Kabupaten R. Soetikno di rumah Bapak Sariyoem, Kepala Sekolah Rakyat III Wadasmalang (wilayah kabupaten Kebumen). - Wedono, Opsir Pekerjaan Istimewa (OPI), Camat, Kepala PMO masing-masing dalam wilayahnya.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
78
Selanjutnya muncul golongan Co (cooperator) yakni golongan yang mau mengabdi dan bekejasama dengan Belanda, dan golongan Non Co yakni golongan yang tidak mau mengabdi dan bekerjasama dengan Belanda. Golongan yang menjadi Co disebut menyebrang. Alasan mereka adalah takut hidup sengsara dan sikap mental politik yang memang melekat di dalam dirinya sebagai penjilat. Long Mars Pasukan Siliwangi Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 adalah pertanda bagi RI untuk tidak lagi terikat oleh perjanjian apapun dengan Belanda. RI berkuasa kembali sepenuhnya atas wilayah dari Sabang sampai Merauke. Belanda hanya menguasai wilayah kota – kota saja, sedangkan di luar kota, pihak RI dikuasai oleh RI. Atas peristiwa itu, maka pasukan – pasukan yang tadinya terpaksa mengungsi akibat perjanjian Renville, diharuskan kembali kedaerahnya masing – masing. Misalnya pasukan Siliwangi yang tadinya masuk ke Jawa Tengah, harus kembali ke Jawa Barat untuk mempertahankan daerahnya. Perjalanan pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dikenal dengan istilah Long Mars. Perjalanan dengan jalan kaki dan gerak cepat tersebut kadang kala mendapat hambatan dari Belanda dan pasukan DI/TII. Namun pasukan Siliwangi mampu menghadapi dan dalam waktu yang relatif singkat Jawa Barat segera dikuasai kembali, kecuali kota-kota tertentu. Pasukan Gerilya Maruto di Gombong Utara Sejak serdadu kolonial Belanda menduduki daerah Gombong dan bercokol di tangsi Gombong pada 25 Juli 1947, muncul kesatuan – kesatuan gerilya di Gombong dengan sebutan Instansi Gerilya. Salah satu instansi tersebut adalah Instansi Gerilya Maruto yang bergerilya di Gombong Utara. Instansi ini meliputi desa Selokerto (dipimpin oleh Abdul Manap), desa Jatinegara (dipimpin oleh Soemedi;kini anggota veteran), desa Semanding, Sedayu, Wanasigra, Pekuncen, Bejiruyung, dan Kedung Puji. Desa Kedung Puji pernah menjadi ibukota kecil Gombong Utara. Pada masa Agresi Militer Belanda I, daerah ini melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Setelah Belanda melakukan Agresi Militer II, maka banyak warga Gombong termasuk anggota TNI dan para pelajar pejuang yang mengungsi di daerah RI yaitu di sebelah timur Kemit (sebagai Garis Demarkasi RI dan Belanda), Karanganyar, dan Kebumen. Mereka terhimpun dalam wadah “Instansi Gerilya Maruto” yang dipimpin oleh Komandan Kompi Werkudara Kapten Soemantoro dari Batalyon Pendawa pimpinan Mayor Soedarmo Djayadiwangsa. “Instansi Gerilya Maruto” adalah gabungan dari satuan-satuan gerilya “Setan Merah, Samber Nyawa, Ronggolawe, dan Bambu Runcing”. Dengan kembalinya pasukan RI ke Gombong menjadikan aktivitas perang gerilya sering dilaksanakan di wilayah Gombong. Pos-pos pertahanan Belanda selalu diserang, seperti halnya pos pertahanan Belanda di Sangkalputung. Pos itu diserang dari balik perlindungan gedung rumah Penatus Sepuh Asmoredjo, sehingga terjadi baku tembak yang seru. Serdadu Belanda dengan tiarap memuntahkan peluru senjata bren bekaki dua (standar dua), yang dibalas pasukan gerilya, dengan brondongan senjata mesin otomatis ringan dan granat. Esoknya terlihat darah berceceran di sebelah samping barat rumah, tembok-tembok dan undak-undakan (trap) berlubang-lubang terkena ujung peluru Belanda. Sebaliknya di pos kubu-kubu Belanda juga tercecer darah akibat tembakan gerilya. Selain menyerang pos-pos Belanda tadi, peranan Instansi Gerilya Maruto antara lain: Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
79
1. 2. 3. 4.
Ikut dalam Serangan Umum Gombong Malam Jumat Kliwon Ikut aktif dalam penggulingan kereta api di Ngentak Penyergapan CP Belanda di Sangkalputung Membantu/mengerahkan tenaga untuk instansi, dinas, Pamong Praja Kebumen dan desa-desa serta ODM-ODM (Onder Distrik Militer) di Gombong.
Pertempuran di Kebumen Pada awal Agresi Belanda II, awal Januari 1949 untuk pertama kalinya Belanda mengadakan patroli dalam kota Kebumen. Selama ini Belanda hanya berdiam diri dan membaca situasi serta menerima laporan-laporan dari kaki tangannya. Suatu hari patroli Belanda tiba di pasar Mertakanda desa Kutosari kecamatan Kota Kebumen. Tanpa diduga mereka bertemu dengan pasukan TP yang sedang melintasi jalan raya dari Kota Kebumen menuju ke luar kota (Sadang). Tembak-menembak pun berlangsung selama kurang lebih 3/4 jam. Seorang anggota TP bernama Soehadi gugur tertembak.
Penjajah merampasi keris saat berpatroli
-
-
Pertempuran di Kedung Bener Pasukan AL CA II yang berada di Kedu Selatan sejak Agresi Belanda I, telah memperkuat pertahanan di front Karanganyar. Dalam menghadapi Agresi Belanda II, pasukan AL CA II dibagi : Grup A di bawah pimpinan Kapten Soeharto tetap ditugaskan di daerah Kebumen untuk melakukan infiltrasi dan sabotase terhadap kedudukan musuh di wilayah Kebumen. Grup B kembali ke pangkalan Cilacap. Grup C tetap di Purworejo di bawah pimpinan Mayor AL Wagiman.
Kapten Soeharto juga ditugaskan sebagai Sub SWK dibantu Letnan Badarusamsi dan Letnan Kardiman. Ia membawahi dua kesatuan bersenjata yakni TNI eks AOI dan TNI eks Hizbullah. Dalam melancarkan serangan, Komandan Sub SWK Kapten Soeharto menemukan penyebab mengapa dalam serangan yang pertama kali dilakukan banyak membawa korban terutama di pihak AOI karena dengan cepat diketahui oleh musuh. Tiap kali menyerang dan sebelum melepaskan tembakan, pasukan eks AOI meneriakkan “ Allah Akbar “. Keberanian eks AOI tidak berdasarkan perhitungan, akan tetapi cenderung karena fanatisme organisasi. Namun ada satu serangan yang berhasil yakni ketika melakukan penghadangan konvoi Belanda berkekuatan tiga Tank dan sejumlah truk yang membawa pasukan.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
80
Jembatan Kedung Bener terhadap Konvoi Belanda)
(sabotase
TNI
Pasukan TNI terdiri satu seksi AL CA II, satu Kompi eks AOI, satu kompi eks Hizbullah berhasil menghancurkan tiga buah truk tentara Belanda dengan menggunakan trekbom, merampas 7 pucuk mortir, 2 pucuk mitraliur 12.7 mm dan menawan 7 orang tentara KNIL. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Januari 1949 di desa Jatisari kecamatan Kebumen tepatnya di jembatan Kedung Bener. Pada hari berikutnya, Kedung Bener digrebeg dan dibakar Belanda. Pertempuran di Pager Kodok Kekalahan Belanda di jembatan Kedung Bener desa Jatisari pada awal bulan Januari 1949 nampaknya menimbulkan kemarahan besar. Beberapa hari kemudian, pada sekitar tanggal 10 Januari 1949 patroli Belanda berkekuatan satu kompi bersenjata lengkap langsung menuju gunung Pager Kodok. AOI yang berpusat di desa Somalangu memilih gunung Pager Kodok sebagai basis pertahanan sekaligus jalan Pager Kodok sebagai titik penghadangan. Di gunung Pager Kodok terdapat satu Batalyon AOI siap bertahan dan menghadang musuh dengan Kompi Mustakim sebagai kompi terdepan. Ketika patroli Belanda bertemu dengan pasukan AOI, maka pertempuran pun terjadi. AOI menggunakan taktik Supit Udang dan dibantu rakyat dengan kentongan gobyoknya yang membuat Belanda menjadi bingung karena telah terkepung. Pertempuran berlangsung sejak pukul 09.00 Wib hingga sore hari pukul 16.00 Wib. Kompi Mustakim dan Kompi Belanda sama – sama kehabisan peluru, sehingga berlanjut dengan perkelahian seorang lawan seorang (sebuah kejadian yang langka bahkan mungkin hanya terjadi di Kebumen ; dalam sebuah peperangan hingga berkelahi satu lawan satu). Peristiwa ini terjadi di sebelah utara daerah Gunung Pager Kodok desa Tanahsari Kebumen. Di pihak Belanda korban cukup besar dan hanya tersisa beberapa orang saja. Di pihak AOI korban gugur adalah Letnan Mustakim beserta lima prajurit lainnya. Hari beikutnya desa Tanahsari digrebeg dan dibakar Belanda.
Monumen Pager Kodok (pertempuran melawan Belanda hingga perkelahian tanpa senjata)
Pertempuran di Prembun Pada masa Agresi Militer Belanda II, Belanda menempatkan pasukannya di Prembun dengan maksud untuk mengamankan poros jalan KebumenKutoarjo. Pasukan Belanda menempati gedung-gedung bekas pabrik gula dan berkekuatan satu detasemen dengan dibantu dua atau tiga buah bren carier. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
81
TNI dan rakyat pejuang yang terdiri dari pemuda pelajar yang bergabung dalam TP dan rakyat, telah bertekad akan melakukan serangan terhadap pos Belanda tersebut. Tujuannya tidak hanya untuk melemahkan pihak musuh saja, tetapi yang lebih penting adalah untuk membuktikan bahwa TNI tetap dalam keadaan utuh dan mempunyai kekuatan yang handal untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Serangan dilakukan pada pertengahan bulan Januari 1949 oleh induk pasukan Kompi Soemantoro Batalyon Soedarmo dan dibantu beberapa pasukan lain yang ada di daerah Prembun. Posisi pasukan penyerang sebagai berikut: - Di barat laut kota sebelah utara jalan Kebumen-Prembun, sekitar 1 km dari kota, ditempatkan satu regu dengan tugas menutup jalan dari arah barat. - Di timur laut kota sebelah utara jalan Prembun-Kutoarjo, sekitar 1 km dari kota, ditempatkan satu regu dengan tugas menutup jalan dari arah timur. - Kompi Soemantoro menyerang dari arah selatan kedudukan lawan (seberang rel kereta api). Tepat pukul 23.00 Wib serangan diawali dengan tembakan pengacauan oleh kedua regu di utara kota, disusul tembakan dari arah selatan yang dipusatkan dari stasiun Prembun. Untuk menangkis serangan dari selatan, Belanda menghamburkan tembakan mortir (tekidanto), disusul mengerahkan bren carriernya sampai halaman stasiun. Tembakan gencar dari TNI memaksa bren carrier Belanda hanya bertahan beberapa menit dan segera kembali ke induk pasukan. Pertempuran yang berlangsung kurang lebih 30 menit sangat besar artinya bagi perjuangan, kepercayaan rakyat dan tidak sedikit pula pengaruhnya bagi musuh TNI. Serangan Umum Malam Jumat Kliwon di Gombong Rencana penyerangan kota Gombong pada malam Jumat Kliwon pertengahan Februari 1949 dicetuskan oleh para perwira komandan-komandan kesatuan TNI di wilayah Kedu Selatan bagian barat. Rapat perencanaannya dibicarakan pada malam hari di Kalipuru, dipimpin oleh Mayor Soedarmo Djayadiwangsa Komandan Batalyon Pendowo yang daerah operasinya meliputi daerah kabupaten Kebumen termasuk Gombong. Waktu itu diputuskan seluruh kesatuan bersenjata yang ada di wilayah Kebumen dilibatkan, antara lain Polisi Tentara (kini CPM), Polisi Negara (Polri) dan Tentara Pelajar Kompi 330 Seksi 333 Brigade 17. Serangan umum ini sebagai rentetan serangan umum lain, seperti Serangan Umum Kota Purworejo dan Serangan Umum di Yogyakarta. Sebelumnya, satuan penyelidik para pelajar pejuang yang bergabung dengan kesatuan TNI telah menentukan kedudukan pos-pos penjaga Belanda di Gombong dan sekitarnya. Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa kekuatan Belanda di Gombong sudah tidak sekuat waktu pertama kali. Pasukan TNI akan menyerang kota Gombong dari segala penjuru. Dari arah utara ialah pasukan Gerilya Maruto yang dikomandani langsung oleh Kapten Soemantoro. Komandan Batalyon menyerang dari barat. Dari timur ditangani oleh Kompi Gatotkaca, dari selatan Kompi Antareja dengan beberapa satuan lain yaitu satu Seksi 333 TP. Setelah waktu Asar, pasukan RI sudah berada di desa-desa pinggiran kota Gombong, yang akan menuju ke sasaran. Menjelang malam, satu – persatu gerilyawan sampai di lingkungan rumah penduduk pinggir kota. Terdengar suara muslimin-muslimat membaca ayat suci Al Quran. Hari itu memang malam Jumat, seolah tanda barokah bagi TNI. Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
82
Ada dua orang, bapak beserta ibunya keluar rumah mau sholat di suraunya di dekat rumah, terkejut melihat beberapa orang merunduk berjalan hati-hati dan waspada, sambil memberi ucapan salam. Orang tua itu menjawab disertai doa “Semoga Tuhan bersama pasukan gerilya TNI”! Sekitar pukul 23.00 Wib tembakan senapan terdengar di malam sunyi di utara desa Semanding, penyerangan dari arah Jatinegara. Berikutnya terdengar lagi dari arah selatan. Pasukan Belanda yang berjaga di pos ujung desa Semanding dan di ujung desa Wanakriya mulai terlihat ketakutan. Kemudian tembakan kareben dari arah barat dipastikan Belanda di Sangkalputung, disusul tembakan senapan dari arah timur. Penyerang dari daerah Grenggeng, Sidomulyo dan Dwarawati Gombong Tenggara sudah di desa Wera dan Punjungsari. Pos-pos Belanda sudah mulai gentar dengan mengumpat dan menggerutu “Wah duh kita (Belanda) dikepung dari segala arah”. Sekitar pukul 23.30 Wib, pos Belanda di Penjagaan Wanakriya diserang lebih dahulu dengan maksud menggiring Belanda mundur masuk ke kota. TNI memperhitungkan, bren carrier pasti datang dari Tangsi Gombong membantun pos Belanda yang diserang. Kemudian pos penjagaan Belanda di ujung Semanding diserang, bren carrier keluar lagi menuju Semanding lewat Kedung Ampel. Walaupun kedua pos Belanda dibantu bren carrier, karena sudah terlanjur gelisah, maka bisa didesak. Selanjutnya pos penjagaan Sangkalputung diserang dan digiring masuk kota Gombong. Bren carrier Belanda terlihat sibuk dan meraung-raung kebingungan, bergerak ke selatan ada penghadangan dari utara, menyerang ke utara ada serangan dari selatan, bergerak ke barat membantu pos Belanda di Sangkalputung, sepertinya ada serangan dari timur. Akhirnya bren carrier bergerak menderu-deru ke sana-sini dengan tembakan ngawur ke rumah-rumah penduduk kota di tepi jalan. Belanda dengan bren carrier dan panser yang membantu pos penjaga di utara didesak masuk kembali ke Tangsi Gombong. Dari kanan – kiri jalan yang dilewati, mereka mendapat lemparan granat pasukan gerilya yang menghadang kembalinya pulang masuk Tangsi Gombong. Pasukan penyerang dengan leluasa masuk kota Gombong sambil melakukan bumi hangus pos-pos penjagaan Belanda dan gedung vital di kota Gombong. Dua orang pelajar pejuang selaku penyelidik yaitu Ngatiman dan Sudarsono, sekitar pukul 06.00 Wib mengitari kota Gombong sampai ke Semanding. Keduanya bisa menyaksikan sisa-sisa kepulan asap bumi hangus dari gedung-gedung vital, dan ada pula bren carrier yang mogok di tengah jalan raya. Keberhasilan pejuang melakukan Serangan Malam Jumat Kliwon karena tepat perhitungannya. Kekuatan moril pasukan Belanda di Gombong sedang turun, karena dunia Internasional telah mengutuki Belanda sebagai agresor gara-gara “Door Stoot naar Jogya”, pada Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Prajurit-prajurit yang gugur dalam Serangan Umum di Gombong yaitu: - Letnan II Soetrisno Komandan Seksi dari Kompi Gatotkaca, seorang bintara dan seorang tamtama dari Kompi Antasena. - Letnan Martono, Sersan Mayor Konafi dan Sersan Soedibyo dari Kompi Werkudara Batalyon Pandawa yang menyerang dari arah Semanding.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
83
Hasil dari Serangan Umum Gombong ialah : - Pasukan kolonial Belanda menjadi panik - Belanda mengakui keberanian gerilyawan Indonesia, tingginya tekad Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. - Mereka yang selama ini memihak dan membantu kolonialis Belanda mulai menyadari bahwa kekuatan pasukan Republik masih tangguh. Dalam serangan umum di Gombong, Kompi Gatotkaca mendapat perlawanan sengit dari Belanda yang mengerahkan 16 truk penuh dengan serdadunya mengejar Kompi Gatotkaca. Namun Kompi Gatotkaca berusaha menghindari pertempuran, karena tugasnya menyusul Kompi Soedarsono Bismo dari Batalyon Sroehardoyo yang diperbantukan untuk Serangan Umum 1 Maret di Yogya. Dalam perjalanan ke Yogyakarta dari Kebumen, Kompi Gatotkaca dihadang Belanda di Pituruh. Pasukan kocar-kacir dan banyak jatuh korban. Akhirnya, mereka kembali ke Kebumen sehingga tugas ke Yogyakarta menjadi tertunda. Penggulingan Kereta Api Belanda di Ngentak Pada akhir Februari 1949 di perbatasan Karisidenan Kedu bagian selatan dengan Karisidenan Banyumas bagian timur, tepatnya di desa Ngentak, sebelah selatan desa Purbowangi Mbawang, pasukan gerilya RI berhasil menggulingkan lokomotif kereta api Belanda di sebelah timur Terowongan Idjo (penduduk Gombong menyebutnya “Ngijo”). Penggulingan berhasil berkat kerjasama antara Instansi Gerilya Maruto di Gombong Utara dengan Pasukan Gerilya Gombong Selatan, beserta rakyat di sekitarnya. Kedua Instansi Gerilya tersebut sebelumnya telah bermufakat di Markas Gerilya di desa Bejiruyung, akan memberhentikan dan menggulingkan lokomotif kereta dari timur ke barat di malam hari, pada waktu yang telah diperhitungkan. Suatu malam di akhir Februari 1949, hujan intik-rintik turun awan mendung angameng leliwengan. Pemuda pelajar Soemedi asal desa Jatinegara, anggota Pasukan Serba Guna Gombong Jatinegara dengan dua temannya bergegas keluar dari ujung jalan pedusunan Rollah ke selatan menuju ke titik “lampu cangking”. Saat itu seorang “petugas ronda keamanan rel kereta api” berjalan perlahan menelusuri jalur rel sepanjang GombongIdjo. Soemedi mencegat petugas ronda tersebut, karena diduga NICA. Petugas rel sangat terkejut, tidak mengira pada malam gerimis dan sunyi, ada juga yang berkeliaran. Petugas tersebut dengan agak gemetaran menjawab tenang bahwa dirinya bukan NICA, sambil merogoh lipatan kertas kecil yang diselipkan di tudungnya diberikan kepada Soemedi. Isinya berupa surat keterangan yang menyatakan ia bernama Sise, pejuang RI, anggota Instansi Gerilya Maruto. Selanjutnya Soemedi membagi tugas. Kawan yang satu ditugasi menjemput dan menghubungi gerilyawan dari Gombong Selatan, dari Kwarasan Jatiluhur dan Buayan, agar bergerak ke barat desa Ngentak. Sedang teman yang satu lagi, ditugasi kembali menuju Jatinegara, menghubungi Instansi Gerilya di utara untuk secepatnya menuju ke barat desa Ngentak. Sekitar pukul 23.00 Wib terdengar suara lokomotif dengan suara klakson “ngorong” panjang meninggalkan stasiun Gombong. Gerilya telah siap stelling di kanan – kiri rel, di belakang selokan irigasi jalur rel, berlindung di tepi tanggul selokan. Kereta api tidak dijalankan cepat, tapi lambat sekali. Mudah direm. Menjelang sampai di desa Ngentak, lima gerilyawan memberi tanda dengan senter agar kereta Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
84
berhenti dan memerintahkan agar lokomotif dipisahkan dari gerbong-gerbong yang ditariknya. Semuanya ada tujuh gerbong. Gerilyawan lalu masuk gerbong, memeriksa para penumpang dan menemukan tiga orang Cina yang membawa dagangan berbal-bal bahan pakaian. Mereka juga menemukan lima prajurit NICA pengawal kereta dengan senjata kareben dan sangkur serta granat nanasan yang semuanya segera dirampas. Di gerbong lain, mereka menemukan lima orang “anjing NICA” bersama isteri-isterinya yang masih muda. Kelima wanita itu jelas tidak memiliki kesadaran berbangsa. Senjata – senjata “anjing ompong” disita tanpa ada perlawanan, sebab saat-saat itu serdadu kolonial Belanda sudah turun mental, sudah tidak seganas tahun 1946 sampai dengan 1947 dan 1948 sebab sudah mengetahui bahwa Yogya sebagai ibukota sudah diduduki pasukan gerilya Republik. Para penumpang pedagang atau penumpang umum lainnya, diperintahkan kembali ke rumahnya masing-masing. Ada yang bareng jalan dengan gerilyawan, ada yang mencari jalan sendiri, orang-orang Tionghoa tidak berani pulang dan minta ditawan, sebab akan lebih aman pikirnya. Tawanan semacam ini dibawa dan diarahkan agar mengajak temanteman berpihak kepada RI, tawanan ialah anggota Poh Ang Tui. Seperti diketahui sewaktu Belanda baru datang di Gombong, gerakannya tidak karuan dan ganas. Anjing-anjing NICA dibawa menyingkir ke pedalaman. Barang-barang yang bisa dimanfaatkan seperti obat-obatan dan bahan baju dibagikan pada satuan-satuan di luar kota Gombong untuk dibuat baju tentara dengan blaco dicelep atau diwenter ijo, atau warna coklat kemerahan dengan pupus daun jati. Setelah itu masinis diminta untuk membakar tungku lokomotifnya dengan dimasukkan berpuluh-puluh potongan balok sehingga menyala-nyala seperti berkobarkobar api dalam tungku. Secepat kilat gerilya petugas pembawa bom yang masih muda meloncat naik ke lokomotif, membalikkan badan dan berjongkok, menerima benda tidak panjang tidak pendek seberat 50 kg disampaikan kepada temannya di bawah pintu lokomotif. Benda kemudian dimasukkan ke dalam lokomotif. Secepat kilat gerilyawan menyambar tangan masinis lalu meloncat ke luar dari dalam lokomotif dan terus bergulir menggelinding ke bawah dengan mendekap masinis lalu meloncat ke atas melangkahi selokan irigasi dan terus bertiarap dengan nafas ngos-ngosan sambil menyebut asma Allah. Tidak lama kemudian meledaklah dengan suara yang menggelegar benda yang tadi dimasukkan ke dalam tungku lokomotif. Bebarengan dengan gelegar bom yang meledak, dengan pelan-pelan lokomotif tumbang melintang berguling ke sebelah kanan rel atau agak ke sebelah utara rel kereta api tersebut. Lahirnya Kompi Arimbi Pada masa Agresi Militer Belanda II, dalam kurun waktu Desember 1948 sampai Desember 1949 di dataran tinggi Kebumen bagian utara di desa Kalipuru, ada satu kompi kaum ibu yang diberi nama Kompi Arimbi. Mereka adalah para isteri perwira dan prajurit dari Batalyon Pendawa yang dipimpin oleh Ibu Soedarmo Djayadiwangsa. Tugas kompi ini antara lain memberi saran atau masukan kepada Batalyon Pendawa terutama bantuan mental dan moril bagi prajurit. Selain itu Kompi Arimbi juga mendidik anak-anaknya yang sering ditinggal tugas oleh bapaknya. Mereka juga menyiapkan dapur umum atau bekal makanan yang berhari-hari masih bisa dimakan serta menyelenggarakan pembinaan mental dan fisik isteri tentara yang ada di Kalipuru. Kompi juga memberikan kursus pengetahuan tentang kewanitaan sepeti kursus masak dengan bahan sesuai keadaan dan kursus menjahit pakaian dengan tangan serta Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
85
membuat pola baju anak dan wanita, serta mengadakan pengajian. Ada yang berpendapat bahwa Kompi Arimbi merupakan embrio Persit (Persatuan Isteri Tentara). Tugas Kompi Arimbi ternyata bekembang dan berkelanjutan untuk mendukung tugas suami, berkaitan dengan tugas bangsa dan negara yaitu dalam Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Persit, Aditya Garini, Jalesyanastri dan Bhayangkari. Kalupuru adalah desa di Krakal Kebumen yang belum bisa dijamah oleh Belanda selama Perang Kemerdekaan 1948-1949. Hal itu terjadi karena di Kalipuru bermarkas Batalyon Pendawa yang dikomandani Soedarmo Djayadiwangsa. Bermalam dan Bertempur dalam Satu Desa Kompi Antasena pimpinan Komandan Kompi III Letnan I Moeklis melakukan penghadangan di desa Kalijaya (selatan Krakal). Sejak pagi hingga malam musuh yang dihadang tidak datang. Maka Letnan I Moeklis menentukan bermalam di desa Kalijaya. Namun sungguh mengejutkan ketika anggota kompi mandi pagi, mereka melihat di kali yang sama, juga mandi serdadu Belanda. Rupanya mereka menginap di desa yang sama. Dengan cepat mereka kembali ke kemah masing-masing dan melapor kepada komandannya. Dalam waktu singkat terjadi kontak senjata antara Kompi Moeklis dengan Belanda yang sehari sebelumnya telah dinantikan. Hasilnya beberapa prajurit TNI luka-luka, sedangkan di pihak Belanda tidak diketahui. Kompi Bantuan Teritorial Kebumen Pada pasca Rera, masing-masing kesatuan baik kesatuan mobil maupun kesatuan teritorial telah menduduki posisinya serta siap melaksanakan tugasnya. Misal : Batalyon Mobil Sroehardoyo untuk wilayah tempur Purworejo, Batalyon Teritorial Kedu IV Mayor Slamet Soedibyo untuk wilayah teritorial Purworejo, Batalyon Mobil Panoedjoe untuk wilayah tempur Temanggung, Batalyon Teritorial Kedu V Mayor R.P.S. Rachmat untuk wilayah teritorial Kebumen, dan Batalyon Mobil Soedarmo untuk wilayah tempur Kebumen. Letnan I Slamet Brindil ditugaskan sebagai Opsir Pekerjaan Istimewa yang mengadakan koordinasi dan pengawasan terhadap KODM-KODM/PMO-PMO di wilayah kawedanan Karanganyar. Di samping itu, Letnan I Slamet Brindil juga memimpin pasukan bersenjata yang terdiri dari anggota Eks Batalyon 62 dan Batalyon 64 Resimen XX yang memilih bergerilya di kampung sendiri meski telah masuk dalam susunan Batalyon Mobil Panoedjoe di Temanggung dan sebagian masuk Batalyon Mobil Sroehardoyo. Keberadaan pasukan Letnan I Slamet Brindil dilihat dari kacamata komando SWK merupakan pasukan liar. Oleh karena itu mereka diminta bergabung ke Batalyon Soedarmo dengan sanksi bila tidak bersedia menggabungkan akan dilucuti. Pasukan Slamet yang telah berbentuk kompi dengan Komandan Seksi I letnan II Soeparman (Kranjingan), Seksi II Letnan II A. Dimyati (Kebumen), Seksi III Letnan Muda Bambang Soetjipto (Gombong), memilih bergabung ke Batalyon Mobil Sroehadoyo. Setelah mendapat persetujuan dari Komandan Batalyon Teritorial Kedu V/KDM Kebumen dan Komandan Batalyon Mobil Sroehardoyo/Komandan SWK Purworejo, mereka berangkat ke Purworejo untuk melapor ke Komandan Batalyon Mobil melalui Puring, Petanahan, Klirong, Ambal Jenar, langsung ke Markas Komando Batalyon Mobil Soehardoyo di Bruno. Pasukan ini diterima dengan status Kompi Bantuan Teritorial. Mereka ditugaskan kembali ke Teritorial Kebumen di bawah Komando KDM/Pemerintah Militer Kabupaten Kebumen dalam koordinasi dengan Komandan SWK Kebumen Mayor Soedarmo.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
86
Dalam tugasnya, Kompi Bantuan Teritorial berhasil menghadang patroli serta menyergap Belanda di pedalaman dan pinggiran Gombong, Karanganyar, Petanahan, Kwarasan, Dwarawati, Adimulyo, Kwaru, Puring, Banyumudal, Karang Bolong, Ragadana, Buayan, Ayah, logending, Idjo, Sumpyuh, Jatiluhur, Karangpetir, Wonorejo, dan pos Polisi Sangkalputung. Mereka berhasil merampas beberapa pucuk senjata. Penyergapan Pos Cipil Polisi (CP) Belanda di Pos Sangkalputung Sangkalputung terletak di perempatan jalan raya sebagai ibu kota kelurahan desa Selokerto, 2 Km barat kota Gombong. Perempatan jalan tersebut terdiri dari jalur jalan besar dari Purwokerto ke Purworejo dan terus ke Yogyakarta. Dari arah barat ke timur, jalan raya itu dipotong oleh desa dari Sempor lewat desa Jatinegara terus ke selatan ke desa Bayan, Banyumudal, bisa terus ke Karangbolong. Pada bulan Juli 1949, hari Minggu malam di Jetis diadakan pertemuan kecil antara Komandan Kompi Bantuan KDM Kebumen (dikenal juga Kompi Bantuan Teritorial Wilayah Kebumen) dengan Harun Jetis (terakhir purnawirawan ABRI), dan pelajar RG Soedarsono selaku penyelidik dan koodinator sebagai pembantu umum dari Onder Distrik Militer (ODM) Kwarasan. Mereka menentukan titik-titik tempat pasukan penyergapan itu akan stelling, menanti datangnya satu regu Cipil Polisi Belanda, dengan seragam baju kuning kecoklatan dari bahan dril lokal, bersenjata Lee Endfield (senapan ujung tumpul buatan Inggris). Sedangkan komandan regunya menyandang stand (pistol metraliur bertangkai besi separuh pipa). Pada hari Minggu di pekarangan rumah Paman Harun di desa Jetis, pakaian R. Slamet sedang di cat coklat, hijau, kuning, warna pakaian loreng seperti seragamnya serdadu Belanda. Sedang topinya adalah helm baja tentara Dai Nippon, terbuat dari gabus, juga di cat loreng dan di bagian depannya ditulis “Jager” yang berarti pemburu. Maksudnya pemburu sergap. Sewaktu dicat loreng-loreng, digelar di rerumputan sambil dijemur agar esok pagi bisa dipakai. Seperti ODM (Onder Distrik Militer) Kwarasan, Soedarsono adalah Staf Pembantu Penerangan dan Pembantu Penyelidik. Seminggu sekali Soedarsono membuat plakat gambar lukisan dengan cat air di kertas karton gambar dan ditempel di papan pengumuman tepi jalan depan pasar Kwarasan dan pasar Purwaganda. Isinya besifat pembinaan wilayah serta pembinaan teritorial untuk membangkitkan semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pagi-pagi benar pada hari Senin, bulan Juli 1949, regu penyergap telah siap di bagian barat jembatan Kali Krewed. Mereka tiarap di tepi jalan raya. Ada yang amping-ampingan pohon kenari besar, ada yang menyelinap di antara rumah penduduk di tepi jalan. Penyergapan ini berkekuatan sekitar lima belas orang pejuang, dipimpin oleh R. Slamet Soebyakto. Ikut dalam penyergapan ini adalah : Serma Ponimin (badut, pelawak) dengan panggilan akrab “Badel”, Adi Soetjipto, Hadiprajitno, Letnan Soetrisno Sembodro, Kopral Harun, Paman Burhan dan Sersan Masduki. R. Slamet Soebyakto selaku komandan berdiri bertolak pinggang tegak berwibawa, memakai topi Jager ditengah jalan perempatan Sangkalputung. Dari jauh kelihatan CP Belanda berdatangan naik sepeda yang catnya warna hijau rumput. Mereka didiamkan saja oleh para penyergap, sesuai instruksi, agar tidak melepaskan tembakan. CP Belanda yang datang paling awal, berikutnya dan berikutnya lagi sempat bersikap sempurna dan memberi hormat kepada R. Slamet Soebyakto dengan berkata “Slamat Pagi Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
87
Tuan!”, dijawab dengan berteriak “Aman!”. Agaknya Slamet yang berseragam loreng dianggap sebagai Komandan Patroli Belanda yang baru selesai berpatroli. Komandan CP Belanda yang bersepeda paling belakang. Ia melihat anggota CP Belanda yang di depannya sudah pada berjatuhan karena kaget digertak oleh penyergap, sedang senjata beserta sepedanya masing-masing dirampas. Melihat keadaan gawat tersebut, maka Komandan CP Belanda melepaskan tembakan sten gunnya. Mendengar rentetan tembakan, maka komandan penyergap mengacungkan pistolnya, serta kode gerakan tanda selesai cukup, dengan aba-aba “Tinggalkan!”. Pasukan pemburu sergap dengan secepat kilat bergegas menyelinap ke arah barat, masuk desa Selokerto, Kewangen. Mereka menyeberang lewat pesantren Tegalsari, Lemah Tenger turun lagi menyeberang kali lalu masuk desa Jetis, lewat desa Kecepit, Margasana, dan terus bablas ke Puring. Penyergapan CP Belanda di Sangkalputung, telah behasil merampas tujuh pucuk senjata laras panjang Belanda serta magazennya yang penuh peluru dan empat buah sepeda baru, tanpa korban seorangpun, baik pihak TNI maupun pihak lawan. Tidak beberapa lama kemudian datang bantuan tiga Anjing Nica yang menangkapi pemuda-pemuda dan orang-orang yang dicurigai Belanda, antara lain Adimas Soemantri (alm) dan juga cucunya Mbah Penatus Sesepuh Sangkalputus yang terakhir pemegang kas militer di MBAD, dengan pangkat Pama TNI-AD. Serangan Belanda di Tanuraksan Pada tanggal 13 Agustus 1949 adalah hari mulai berlakunya gencatan senjata antara Belanda dengan TNI. Namun setelah itu, serdadu Belanda mengadakan serangan terhadap pertahanan RI di desa Tanuraksan, 5 Km sebelah utara Kebumen.. Menyadari kemungkinan bahwa serangan Belanda ini merupakan serangan jebakan, maka TNI tidak mengadakan pelawanan tetapi menyingkir ke sebelah barat sungai Luk Ula. Namun di Mertakanda Kebumen, pada waktu yang sama, tentara Belanda tewas ditembak oleh anggota TP. Peran Pejuang Kebumen dalam Serangan Umum 1 Maret Serangan Umum 1 Maret 1949 yang lebih dikenal dengan Operasi Janur Kuning merupakan pelaksanaan pengembangan jiwa dari Instruksi MBKD No. 3/1948 yang disertai penerapan strategi dan taktik jitu di bawah Komando Letnan Soeharto Komando Batalyon Bigade X Divisi III/Diponegoro. Selain strategi, taktik dan komando yang tepat, keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak luput pula dari keikutsertaan segenap potensi pertahanan dan rakyat di Yogyakarta dan sekitarnya, baik keikutsertaan secara moral maupun material. Tokoh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sangat besar peranannya. Satu rapat siasat di desa Batok, kecamatan Candirata kabupaten Magelang merumuskan dukungan untuk Serangan Umum 1 Maret 1949 yang bakal dilancarkan. Keputusan rapat tersebut adalah “Tiap pasukan TNI harus mengadakan serangan pada waktu bersamaan dengan dilancarkannya SU 1 Maret sebagai usaha mengikat agar Belanda tidak dapat mengirim bantuannya ke Yogyakarta sehingga kekuatan Belanda tidak sulit diperhitungkan”. Untuk memperkuat pasukan RI di Yogyakarta, Batalyon Mobil III Brigade X SWK Purworejo, atas perintah Panglima Divisi Diponegoro mengirimkan satu kompi bersenjata lengkap diperkuat sepucuk 12.7 yang dipimpin oleh Kapten Soedarsono Bismo, yang terdiri
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
88
dari empat seksi dengan Komandan Seksi I Letnan II Soeparman Jliteng, Seksi II Letnan Muda Soewandi, Seksi III Letnan Muda Hardjowinoto dan Seksi IV Letnan (AL) Soedjarwo. Pasukan Soedarsono Bismo berangkat dari Bruno-Kedu Selatan pada tanggal 16 Februari 1949 menuju Yogyakarta melalui Bener, Banyuasin, Nagulan, dan Pengasih. Pada tanggal 19 Februari 1949 mereka melapor kepada Komandan SU 1 Maret 1949/Komandan Brigade X/Divisi III sekaligus juga merangkap sebagai Komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto. Kompi Bismo yang dikenal sebagai Kompi Irawan mendapat tugas langsung dari Komandan SU 1 Maret 1949 sebagai pasukan pendobrak atau Stoot Troep. Tugas ini berhasil dilaksanakan dengan baik, namun Kompi Bismo kehilangan enam anak buahnya dalam pertempuran, yaitu: Serma Soemadio, Serma Bambang, Prajurit Satu Pasno, Prajurit Satu Warmo Djoko, Prajurit Satu Talawi, dan Prajurit Satu Maryono. Jenazahnya dimakamkan di dekat tempat kejadian, namun pada tahun 1952 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Purworejo. Penyerahan Kekuasan dari Pihak Belanda kepada Pihak RI di Kebumen Keberhasilan SU 1 Maret 1949 dilanjutkan dengan langkah diplomasi pada tanggal 23 Agustus 1949 dengan diadakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag untuk membicarakan masalah Penyerahan Kekuasaan Balanda kepada Indonesia. Dengan pertimbangan yang cukup bijaksana dan matang, akhirnya pemerintah RI menerima Naskah Persetujuan KMB yang sebetulnya sangat merugikan, dimana di dalamnya dinyatakan adanya negara RIS, APRIS, dan masalah Irian Barat yang penyelesaiannya secara menyeluruh baru akan dibicarakan di kemudian hari. Hari penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada RIS ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1949. Di Gombong Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan Cilacap-YogyakartaSempor pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak Belanda diwakili antara lain oleh: - Letkol Beets (Komandan Garnizoen Gombong) - Letnan I Joepen (Ajudan Komandan) - R. Soepardo (Wedana NICA) - Achmad (Asisten Wedana NICA) - Sapari (Juru Tulis Kawedanan NICA) Pihak RI diwakili oleh: - Kapten Soegiono (Komandan Kompi Batalyon Pendawa) - Letnan II Purwosasmito - Letnan Muda Soemarto - Serma Ahcmad Baseri - Sersan Oentoeng Soetomo - Sersan Agoes
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
89
Di Kebumen Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan KaranganyarYogyakarta-Karangsambung (Mertakanda) pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak RI diwakili oleh Letnan I Moeklis (Komandan Kompi Batalyon Pendawa) sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Komandan KL setempat.
Perempatan Mertakanda Kebumen lokasi penyerahan kekuasaan Belanda ke pihak RI di Kebumen
Sementara itu, Komandan Brigade IX/WK II Kedu Letnan Kolonel Achmad Yani mengadakan inspeksi di Kedu Selatan, bersama tiga orang perwira KTN masing-masing dari Amerika, Belgia, dan Australia untuk menyaksikan acara serah terima tersebut di Pituruh, Kutoarjo, dan Purworejo. Upacara serah terima secara resmi untuk wilayah Jawa Tengah dilangsungkan di kota Semarang pada tanggal 27 Desember 1949. Pihak RI diwakili oleh Kolonel Gatot Soebroto Panglima Divisi III/Diponegoro merangkap Gubernur Militer Jawa Tengah. Sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Jenderal Mollinger Panglima Divisi KL untuk Jawa Tengah. Pertempuran melawan Angkatan Oemat Islam (AOI) Somalangu Kebumen AOI adalah suatu oganisasi beraliran Islam yang muncul pada 11 September 1945 di Somalangu Desa Sumberadi Kabupaten Kebumen. AOI mempunyai laskar yang berpaham Islam. Kebanyakan anggotanya adalah penduduk di Somalangu, Kebumen dan sekitarnya. AOI didirikan oleh Kyai Affandi (Kepala DEPAG pertama Kab. Kebumen), Kyai Moh. Syafei, dan Kyai Abdoelrahman Somalangu. Dikarenakan adanya perbedaan pendapat, Kyai Moh. Syafei dan Kyai Affandi kemudian mengundukan diri dari AOI. Kantor AOI pertama kali berada di Jalan Stasiun (Sekarang menjadi Jalan Pemuda; Kantor Deperindagkop) dengan nomor telp. 44. Setelah mundurnya dua tokoh utamanya, AOI dipimpin oleh Kyai Abdoelrahman dan para putranya yakni: 1. Kyai Machfoed Abdoelrahman (selanjutnya dikenal sebagai Romo Pusat) 2. Kyai Toifur Abdoelrahman 3. Kyai Noersodik Abdurrahman (Panglima Perang AOI dengan pangkat Mayor) Basis Komando Laskar AOI berada di Somalangu. Besarnya pengaruh Romo Pusat terhadap para pengikutnya,mengakibatkan timbulnya fanatisme dan bapakisme di Kebumen. Kyai Somalangu pun mulai membuat aturan - aturan meski bersifat tidak tertulis khususnya mengenai ketataprajaan yang sifatnya tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI. Hal ini mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan rakyat di Kebumen, dimana mereka patuh terhadap peraturan AOI mengenai pembayaran pajak. Sejak saat itu pejabat, petugas pamong praja, dan aparat pemerintahan lainnya mulai mendapat kesulitan. Keadaan semacam ini menyebabkan timbulnya ketegangan yang berlangsung sejak awal berdirinya AOI hingga masa pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
90
1. 2. 3. 4.
Setelah pengakuan kedaulatan tersebut, AOI mulai melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum yang secara nyata dilakukan dengan sadar dan sengaja sehingga menambah ketegangan antara pihak AOI dan Pemerintah RI. Musyawarah yang diajukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan ketegangan dan pertikaian tanpa jatuhnya korban pun ditolak mentah-mentah oleh AOI. Pemerintah sangat menyesalkan sikap penolakan AOI terhadap maksud baik pemerintah RI tersebut, karena bagaimana pun juga Pemerintah tetap menghargai jasa AOI terhadap perjuangan kemerdekaan antara lain: Perlawanan Sidobunder (Karanganyar). Perlawanan Kepedek (Kutowinangun) Perlawanan Kedung Bener (Kebumen) Perlawanan Pager Kodok (Kebumen)
Jembatan Kedung Bener terhadap Konvoi Belanda)
(penyerangan
AOI
Pada sisi lain, dengan gejala – gejala yang nampak, jelas menunjukkan bahwa AOI telah bekembang sejalan dan senafas dengan cita – cita pembentukan negara Islam konsepsi Kartosuwiryo. Berhubung sikap AOI yang keras kepala dan tetap menolak maksud baik pemerintah yang sah, maka pihak pemerintah terpaksa mengambil tindakan militer. Dalam hal ini pun pemerintah tetap bertindak bijaksana. Dalam bidang kemiliteran, laskar AOI yang ikut aktif bergerilya melawan Belanda bersama TNI, kemudian bersama pasukan Surengpati pimpinan Masdoeki, digabungkan dalam satu batalyon, yaitu Batalyon Lemah Lanang di bawah pimpinan H. Noersodik dengan pangkat Mayor, dimasukkan ke dalam Brigade IX/Diponegoro. Akan tetapi ketika Batalyon Lemah Lanang di APRIS – kan, Kyai Somalangu segera membentuk pasukan tandingan yang disebut “Pasukan Chimasatul Islam”. Sejak inilah nampak semakin nyata ketidakpatuhan AOI terhadap Pemerintah RI. Dalam suasana tegang, Batalyon Lemah Lanah pimpinan H. Noersodik memihak AOI. Demikian pula dengan pasukan Surengpati yang anggotanya berasal dari Cilacap, segera bergerak ke daerah asalnya. Sikap keras AOI segera diimbangi oleh TNI dengan mengambil tindakan militer. Batalyon 3 Brigade IX Mayor Sroehardoyo yang sedang bertugas di GBN IV di kabupaten Brebes sejak awal Januari 1950 untuk menghadapi DI/TII di daerah ini pada tanggal 7 Mei 1950, seluruh anggota Batalyon 3 ditarik kembali ke pangkalannya di Gombong untuk menghadapi AOI di Kebumen. Pada tanggal 9 mei 1950 Peleton II Kompi Bismo ditempatkan di Kutowinangun untuk menjaga keamanan jalan Kutoarjo – Kebumen, karena Komandan Brigade IX Divisi Diponegoro Letkol Achmad Yani dan rombongan akan mengadakan peninjauan ke Batalyon Lemah Lanang di Kebumen.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
91
Pada tanggal 11 Mei 1950, rombongan Komandan Brigade IX/Divisi III telah melewati daerah Kutowinangun dengan aman. Rombongan terdiri dari sebuah jeep, dua buah bren carrier, dua buah overval wagon yang berisi satu peleton pasukan. Setelah dekat Wonosari, rombongan Komandan Brigade disambut dengan tembakan oleh pasukan AOI yang dibalas dengan tembakan pula oleh pengawal. Tidak lama kemudian Rombongan Komandan kembali ke arah Kutoarjo, sambil menanyakan di mana kedudukan Komandan Kompi Kapten Soedarsono Bismo.
Lemah Lanang Somalangu/Candimulyo
Setelah dijelaskan bahwa Komandan Kompi berada di Selatan Somalangu untuk mengamankan jembatan dan rombongan Komandan Brigade, seketika itu juga Komandan Brigade memerintahkan agar Kompi I dari Batalyon Sroehardoyo pada hari itu juga harus masuk kota, tidak bertahan mengambil lokasi yang sekarang. Perintah itu dilaksanakan. Komandan Kompi bersama Peleton I bertugas di Utara Stasiun Kereta Api Kebumen di Panjer (kini KODIM 0709 Kebumen), sedangkan Peleton II di depan RSU Kebumen, dan Peleton III di Kawedusan. Pada tanggal 14 Mei 1950, pukul 05.30 Wib, semua Kompleks yang telah ditempati Kompi I/Bismo di depan Stasiun Kereta Api Kebumen di Panjer diserang pasukan AOI. Waktu itu sebagian pasukan sedang stelling (posisi siap tembak) dan sebagian lagi sedang mandi. Serangan AOI dibalas TNI dengan tembakan. Akhirnya, pasukan AOI mundur ke Timur untuk menuju Somalangu. Komandan Kompi I memerintahkan pengejaran dengan rute Peleton II melalui depan Stasiun KA Kebumen terus menuju Selang dan mendekati desa Somalangu. Peleton III menghadang dan menutup di Utara Kuburan Lemah Lanang, di sebelah Gumuk (gunungan). Ketika itu Kompi II Soebiandono (Brigjen (Purn.)) datang membantu. Setelah Kompi Bismo dan Kompi Soebiandono menerobos masuk Somalangu, pasukan AOI mundur ke Wadug Gudig (Tirtomoyo), dan bertahan selama dua hari. Dikarenakan tidak mendapat rangsum dari Somalangu, mereka akhirnya mundur ke Krakal dan terus dikejar oleh TNI. Pasukan AOI naik ke Kalirancang menuju Kalipuru. Di Kalipuru pasukan AOI bertahan empat hari, karena letak medannya yang memang menguntungkan AOI. Pada hari kelima pertahanan pasukan AOI akhirnya dapat ditembus pasukan TNI dengan kontak senjata. Pasukan AOI lari sambil membakari rumah – umah penduduk setempat menuju Igirtejo, Telepok, Sadang, Kaligending, dan terus ke pegunungan Mahameru setelah mendapat desakan dari pasukan Batalyon Soeryo Soempeno dari arah Wadaslintang. Pegunungan Mahameru yang diserang TNI mengakibatkan pasukan AOI lari ke Jagasima, lalu menuju Kroya. Dari Kroya, mereka melalui Kecamatan Adipala untuk menuju Gunung Srandil, melewati Sampang, tetapi disambut dan mengalami kontak senjata dengan
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
92
Batalyon Nocoh Baros di desa Kebarongan selama satu jam pada pukul 12.00 Wib (tiga hari setelah meninggalkan Kalipuru). Sementara itu, sejak kontak senjata di Kebarongan sampai di Gunung Srandil, Komando Operasi pasukan TNI telah berada di bawah kendali komando Komandan Brigade IX Letkol Achmad Yani. Kyai Somalangu sendiri bersama dengan pasukannya menuju Gunung Srandil melalui Timur kota Kroya. Sedangkan TNI mendapatkan informasi bahwa pasukan H. Noersodik mundur ke Mandalagiri.
Utara Stasiun KA Panjer Kebumen/Kodim 0709 Kompleks Sarinabati Panjer (tempat pecahnya peristiwa AOI melawan TNI)
Sepanjang malam pasukan TNI menembaki Gunung Srandil dengan mortir 8 mm. Akhirnya peluru mortirlah yang menamatkan riwayat AOI dan Kyai Somalangu, tepat di salah satu bukit yang bernama Mandalagiri . Sebagian besar pasukan Somalangu melarikan diri ke arah Timur di pagi hari, menyusur pantai menuju daerah Karang Duwur Pantai Ayah. Di desa ini, mereka berhadapan dengan Kompi Doelhadi dari Batalyon Soeryo Soempeno dan Kompi Bismo dari Batalyon Sroehardoyo, sehingga kontak senjata tak dapat dielakkan lagi. Selain pasukan AOI yang lari ke arah Timur, pasukan Haji Noersodik dengan kekuatan kurang lebih 200 orang lari ke Barat, menggabungkan diri dengan DI/TII Amir Fatah di daerah Tegal – Brebes. Pasukan DI/TII Amir Fatah dapat diatasi oleh pasukan TNI dengan melancarkan “Operasi Merdeka” yang dilakukan serentak oleh Komando GBN untuk mengejar anggota – anggota DI/TII, sehingga banyak anggota DI/TII yang tewas. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1950 Amir Fatah menyerahkan diri di Cisayong – Tasikmalaya. Sejak dari Kalipuru sampai dengan desa Karang Duwur, pasukan Batalyon VIII Panoedjoe terus melakukan kontak senjata dengan pihak pasukan AOI di desa Karangsambung, di hutan karet Krumput (Kalimalang), di Kebarongan, di Gunung Srandil, dan di Karangduwur. Pada tanggal 29 September 1950, seluruh Batalyon Sroehardoyo ditarik ke pangkalannya di Gombong untuk tugas lain.
-
Dalam peristiwa AOI Somalangu ini, diketahui bahwa kekuatan utama AOI terdiri atas: Satu Batalyon Lemah Lanang Satu Pasukan Chimasayul Islam Satu pasukan Hidayatul Islam
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
93
-
Sedangkan pasukan TNI pimpinan Letkol Achmad Yani Komandan Brigade IX/Divisi III terdiri atas: Batalyon 3 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon 411 di bawah pimpinan Mayor Sroehardoyo Batalyon 8 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon 409 di bawah pimpinan Mayor Panoedjoe Batalyon 1 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon “X” di bawah pimpinan Mayor Soeryo Soempeno Batalyon APRIS, yang kemudian menjadi Batalyon 414 Brigade IX/Divisi III di bawah pimpinan Kapten Nocoh Baros Detasemen Brigade Mobil Polisi dari Yogyakarta di bawah pimpinan Inspektur I Soemarsono Kompi Kavaleri dari Magelang Kompi Zeni Tempur dari Magelang Kompi PHB dari Magelang Sementara itu, menurut keterangan dari KH. Afifudin Hanif (cucu Kyai Somalangu), faktor utama terjadinya pemberontakan AOI dikarenakan Kyai Somalangu merasa sangat kesal setelah melihat kenyataan bahwa Batalyon Lemah Lanang di APRIS kan dan dimasukkannya sejumlah anggota APRIS ke dalam Batalyon Lemah Lanang. Keinginannya adalah Batalyon Lemah Lanang tetap utuh dan kompak, tidak ada seorang pun dari luar yang boleh masuk bergabung ke dalam Batalyon Lemah Lanang. Sumber Lain Tujuan AOI Somalangu ialah mendirikan negara Islam. Setelah merasa memiliki kekuatan yang cukup dan anggota yang tersebar di berbagai daerah AOI berniat membentuk pemerintahan yang berdiri sendiri seperti layaknya desa Mutihan (desa bebas pajak). Didukung dengan banyaknya bekas TNI pelarian dari Madiun yang begabung dengan AOI di Somalangu. Dikuatkan oleh Kyai Kebarongan (saudara Ipar) yang terkenal sakti mandra guna dan kebal senjata yang kebetulan pada saat itu menjadi guru di Somalangu yang akhirnya menjadikan Somalangu sebagai daerah yang sangat disegani dan memiliki kharisma bagi seluruh umat islam di Kebumen terutama sebelah timur sungai Luk Ula. Adapun sebelah Barat sungai Luk Ula hanya sebagian saja yang berkiblat pada Somalangu. Kyai Kebarongan geraknya senafas dengan pegerakan di Bandung (DI/TII). Namun setelah diadakan penelitian ternyata hanya tokoh utama AOI somalangu dan para tentaranya saja yang sepaham dengan Kyai Kebarongan tesebut. Adapun para pemudanya hanya yang berada di pusat/ Somalangu, sedangkan di desa – desa hampir tidak terpengaruh.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
94
WWW.KEBUMEN2013.COM
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih |
95