“JEJAK KEJAYAAN BAHARI KARIMUNJAWA” Oleh: SOFWAN NOERWIDI
“Nenek Moyangku Orang Pelaut Gemar Mengarung Luas Samudra …”
NEGARA MARITIM TERBESAR Berdasarkan sudut pandang geografis, Kepulauan Nusantara terletak pada persilangan strategis di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, bahkan lebih jauh lagi jika ditarik lebih ke belakangnya adalah Benua Afrika dan Benua Amerika. Potensi geografis yang demikian ini, mengakibatkan Kepulauan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna serta manusia dengan budayanya. Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai, sehingga kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. “Deklarasi Djoeanda” dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia naik 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Dengan perhitungan 196 garis batas lurus dari titik pulau terluar, terciptalah batas mengelilingi NKRI sepanjang 8.069,8 mil laut. Deklarasi ini pada tahun 1982 baru dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai “Hari Nusantara”. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional (http://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda). Namun sayang, setelah 50 tahun berselang sejak pertama kali dicetuskankannya Deklarasi Djoeanda (13 Desember 1957), bangsa kita belum dapat mengelola anugerah yang sangat besar ini, bahkan bangsa kita belum cinta laut. Sejak 15 tahun terakhir Indonesia mengeluarkan devisa sekitar 10 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran asing yang mengangkut 95% dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 45% dari total barang yang dikapalkan antar pulau di wilayah Indonesia. Dibandingkan Jepang dengan panjang pantai 34.000 km memiliki 3000 pelabuhan perikanan atau satu pelabuhan perikanan setiap 11 km garis pantai, sedangkan Indonesia hanya punya 18 pelabuhan perikanan atau satu pelabuhan perikanan setiap 4500 km garis pantai (http://www.dkp.go.id/content.php?c=876). Ada satu catatan penting yang menyertai pergantian tahun 2002 ke tahun 2003 bagi Bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut adalah jatuhnya P. Sipadan dan P. Ligitan ke tangan Malaysia. Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan kedua pulau itu menjadi hak Malaysia berdasarkan pertimbangan asas effectivitee (bukti penguasaan efektif). Meski kecewa, Indonesia harus menerima keputusan tersebut. Biarlah "tragedi" Sipadan dan Ligitan membuka babakan baru dan harus dijadikan pelajaran berharga untuk mengenal dan mengingatkan Bangsa Indonesia bahwa negeri ini adalah negara bahari.
KEJAYAAN BUDAYA BAHARI Sebagai kilas balik mengenang kejayaan bahari Bangsa Indonesia, setidaknya sejak awal abad Masehi di Kepulauan Nusantara terjadi proses global yang didukung dengan perkembangan teknologi transportasi pelayaran antar kawasan, serta digunakannya bahasa serumpun yang menjadi lingua-franca (bahasa perantara) bagi komunikasi antar komunitas di Kepulauan Nusantara. Berdasarkan bukti lingustik dapat diketahui bahwa rumpun bahasa Austronesia merupakan bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, dari Madagaskar di pantai barat Afrika hingga Pulau Paskah di Oseania Timur serta dari Formosa dan Hawai’i di Pasifik Utara hingga Selandia Baru di Pasifik Selatan. Rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 270 juta penutur, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa MelayuIndonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas masih dipergunakan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh komunitas
tertentu di Formosa, Vietnam, Kamboja, Birma dan Pantai Utara Papua (Tryon, 1995: 17-19). Robert Blust (1985) berhasil merekonstruksi kosa kata bahasa Austronesia yang berhubungan dengan teknologi perkapalan, navigasi, biota serta lingkungan laut yang berumur hingga 3500 SM. Selain itu, dari bukti etnografi juga masih dijumpai beberapa etnis tradisional di Kepulauan Nusantara yang mempertahankan tradisi pelayaran perdagangan jarak jauh antar kawasan, seperti; Sama-Bajau dan Bugis-Makassar (lihat: Sather, 1995). Perkembangan faktor komunikasi dan transportasi mendorong terjadinya proses global yang diikuti dengan meningkatnya arus pelayaran-perdagangan jarak jauh, sehingga membentuk jaringan antar kawasan yang melibatkan Mediterania, Asia Barat, SubKontinental India, Asia Tenggara Kepulauan, Asia Tenggara Daratan dan Cina. Bukti Arkeologi yang mengindikasikan hal tersebut adalah; temuan cengkeh di Terqa, Euphrates Timur Tengah yang berumur 3500 BP (Spriggs, 2000: 69), mata uang Kekaisaran Romawi Barat Victorinus (268-270 AD) di U-Thong, Thailand Barat (Glover, 1990: 4), bekal kubur koin Cina dan manik-manik Carnelian di Uattamdi, Maluku Utara yang berumur 2300 BP (Bellwood, 2000: 431-432), gerabah Rouletted Indo-Roman di situs Buni (pantai utara Jawa Barat), serta gerabah Arikamedu (Tamil Nadu) dengan aksara Kharoshthi atau Brahmi di Sembiran dan Pacung (Pantai Utara Bali) dari awal abad Masehi (Ardika dan Bellwood, 1991: 225-226). Beberapa temuan data arkeologi itu mengindikasikan adanya interaksi antar kawasan yang letaknya sangat berjauhan, dari Eropa hingga Cina lewat Kepulauan Nusantara. Walaupun hal tersebut tidak membuktikan adanya interaksi langsung antar kawasan, namun setidaknya mengindikasikan adanya jaringan luas yang menghubungkan secara tidak langsung beberapa wilayah di Eropa-Asia Barat-Kepulauan Nusantara-Cina. Melalui jaringan pelayaran-perdagangan tersebut, komoditas hasil bumi dari Kepulauan Nusantara mulai diperkenalkan ke dunia barat, seperti; rempah-rempah, fauna eksotis serta berbagai jenis kayu-kayuan yang langka. Sebaliknya, barang-barang bermartabat dari barat, seperti; logam, manik-manik, perhiasan batu hijau (jade) mulai masuk dan digemari di Kepulauan Nusantara. Menurut Tanudirjo (2005), di Kepulauan Nusantara terdapat dua jaringan pelayaran perdagangan yang agak berbeda. Satu jaringan meliputi wilayah Filipina Selatan, Sabah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara (mungkin juga Papua Barat), sedangkan jaringan lainnya melibatkan Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan Selatan dan Barat Laut, Jawa, Sunda Kecil, dan mungkin Pantai Selatan Papua Barat. Jaringan yang disebut terakhir inilah yang tampaknya menjadi jalur utama persebaran pengaruh kebudayaan dari luar (India, Cina, Timur Tengah, Eropa) di Kepulauan Nusantara. Salah satu kawasan strategis yang terletak di tengah-tengah jalur utama pelayaran-
perdagangan tersebut adalah Kepulauan Karimunjawa, di perairan Laut Jawa sebelah utara Pulau Jawa.
KEPULAUAN KARIMUNJAWA Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar 83 kilometer di barat laut kota Jepara. Secara administratif wilayah ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kepulauan ini, merupakan gugusan pulau yang berjumlah 27 pulau dengan teritorial seluas 107.225 ha. Dari 27 pulau tersebut, lima di antaranya telah dihuni penduduk, yaitu Pulau Karimunjawa, Kemujan, Parang, Nyamuk, dan Genting (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/08/Wisata/1454122.htm). Penduduk Kepulauan Karimunjawa didominasi oleh etnis Jawa, Madura dan Bugis. Selain itu ada juga beberapa etnis lainnya yang tidak terlalu besar jumlahnya, seperti Cina, Arab dan Bajo. Dalam pergaulan sehari-hari dipergunakan bahasa Jawa yang bercampur logat Madura dan Bugis.
Penelitian eksploratif untuk mengenal sumberdaya arkeologi di perairan Kepulauan Karimunjawa pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1995 (lihat: Koestoro, 1995). Penelitian tersebut berhasil menginventaris beberapa peninggalan budaya yang tersebar di beberapa pulau di kawasan Kaimunjawa, antara lain adalah:
1. Pulau Karimunjawa; Struktur bekas benteng, Bangunan Kolonial, Makam Cina, Makam Eropa, Makam Danyangjoyo, Makam Sunan Nyamplung dan Sayid Kambang (Kemloko). 2. Pulau Genting; Makam Mbah Endang Setyawati, Makam Gadung Wulung (Klenting Wesi), dan Wreck Site Gunung Lor. Di samping beberapa situs yang telah ditemukan tersebut, masih ada beberapa penelitian yang berhasil menemukan situs-situs baru lainnya seperti Wreck Site di Pulau Parang (penelitian Direktorat Purbakala) dan Wreck Site “Indonoor” di Pulau Kemujan. Selain itu, berdasarkan pada informasi dari POSSI Pengda Jawa Tengah masih terdapat beberapa situs antara lain; 2 lokasi Wreck Site di Pulau Nyamuk, Wreck Site di Pulau Mandalika, dan Wreck Site di antara Pulau Kembar dan Pulau Parang (pers com). Banyaknya peninggalan budaya di Kepulauan Karimunjawa disebabkan oleh posisi strategis kawasan tersebut yang berada di tengah-tengah jalur pelayaran-perdagangan Laut Jawa. Menurut sumber sejarah berita Cina, pada tahun 1292 Masehi sebanyak 20.000 orang armada Mongol utusan Khubilai Khan yang dipimpn oleh Shih Pi, Kau Shing dan Ike Mese diberangkatkan ke Jawa untuk menghukum Raja Kertanegara (Kerajaan Singasari). Armada tersebut berhenti di Biliton (Belitung) untuk menentukan strategi perang. Ike Mese bertolak lebih dulu dengan membawa 500 orang dan 10 kapal perang, kemudian sandar di Karimon (Karimunjawa) menunggu kesempatan untuk memasuki Tupingtsuh (Tuban) (Muljana, 2005). Dalam berita Cina lainnya, Shun Feng Hsiang Sung yang memuat rute pelayaran antara Cina dan kepulauan Nusantara, Chi Li Wen atau Karimunjawa digambarkan sebagai tempat yang penting bagi pelayaran antara Wu Yu di dekat Amoy (Cina) dan Tu Ping Shu (Tuban). Pada masa Kesultanan Demak, ketika pelabuhan utama kerajaan bergeser dari Tuban ke Jepara, Kepulauan Karimunjawa masih dianggap sebagai lokasi yang strategis bagi transit kapal-kapal yang berlayar di laut Jawa. Penguasaan secara politis Kepulauan Karimunjawa diusahakan oleh Kesultanan Islam dengan cara mengirimkan para mubalig ke tempat tersebut untuk meng-Islam-kan masyarakatnya. Beberapa tokoh yang dianggap sebagai penyebar agama islam di Karimunjawa adalah Sunan Nyamplung atau Mbah Amir Khasan adalah. Beberapa versi cerita setempat menganggap bahwa tokoh ini adalah putera Sunan Muria atau Sunan Kudus. Tokoh lainnya adalah Sayid Kambang (Kemloko) yang dianggap sebagai anak angkat Sunan Muria. Selain itu juga ada tokoh Sayid Abdullah Legon Kluwak di Pulau Kemujan yang dipercaya sebagai keturunan Hasan-Husein (cucu Nabi Muhammad) (Koestoro, 1997: 41-43).
Pada abad 17 Masehi, peran Jepara sebagai pelabuhan utama di pantai utara Jawa Tengah digantikan oleh Semarang. Hal ini disebabkan oleh sulitnya hubungan antara Jepara dengan pedalaman Jawa Tengah. Padahal dari pedalaman Jawa Tengah harus di kirim beras yang akan dijual kepada pedagang dari seberang yang berada di kota-kota pelabuhan pantai utara (Graaf & Pigeaud, 2001:117). Walaupun pelabuhan utama di Pulau Jawa telah berganti, namun Kepulauan Karimunjawa masih dianggap sebagai pelabuhan transit yang penting. Menurut berita Belanda, pada abad 18-19 Masehi para pengrajin meubel di Batavia mendatangkan bahan baku kayu sonokeling dari Karimunjawa. Pada tahun 1815, Carel Rudolph von Michalovski, seorang perwira Jerman, diangkat sebagai posthouder (setingkat asisten residen) pertama untuk memerintah Kepulauan Karimunjawa. Pada masa HindiaBelanda, secara administratif Karimunjawa berada di bawah pemerintahan Residen Semarang (Anwar, 2004:188-189). Peninggalan budaya bahari yang mengindikasikan peran pentingnya Karimunjawa adalah; bekas struktur benteng, bangunan kolonial lainnya dan Wreck Site “Indonoor” di Pulau Kemujan. Berikut ini adalah tabel dinamika hubungan antara pelabuhan transit (Karimunjawa) dengan pelabuhan utama di Pulau Jawa seiring dengan perubahan jaman. Masa
Pelabuhan Utama
Kerajaan-Kerajaan Kuno
Tuban
Kesultanan Islam
Jepara
Kolonialisme Eropa
Semarang
Pelabuhan Transit
Karimunjawa
REFERENSI
Sumber Pustaka: Anwar, Rosihan 2004
Sejarah Kecil “Petit Histoire” Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Ardika, I Wayan dan Peter Bellwood 1991
“Sembiran: the Beginnings of Indian Contact with Bali”, Antiquity No. 65, Hlm. 221-232.
Bellwood, Peter 2000
Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Blust, Robert 1985
“The Austronesian Homeland: A Lingustic Perspective”, Asian Perspectives No. 26
Dradjat, Hari Untoro. 2005, “Penelitian dan Penyelamatan Sumberdaya Budaya Bawah Laut”, dalam ed. Edi Sedyawati Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim, Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan dan Universitas Indonesia. Glover, Ian 1990
“Early Trade Between India and Southeast Asia: a Link in the development of a World trading System”, Occasional Paper No. 16, London: Centre for South-East Asian Studies
Graaf, H.J. de, dan Th. Pigeaud 2001
Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Koestoro, L.P. 1995
“Penelitian Pasang Surut Budaya Masyarakat Pulau di Perairan Utara Jawa Tahap I, di Kepulauan Karimunjawa”, Laporan Penelitian Arkeologi, Yogyakarta: Balai Arkeologi.
1997
“Karimunjawa dan Sisa Benda Budaya Masyarakat Pulau-pulau di Perairan Utara Jawa”, Berkala Arkeologi, Tahun XVII No. 2 November 1997, Yogyakarta: Balai Arkeologi, Hlm. 37-51.
Muljana, Slamet 2006
Sriwijaya, Yogyakarta: LKiS
Sather, Clifford 1995
“Sea Nomads and Rainforest Hunter-Getherers: Foraging Adaptations in the Indo-Malaysian Archipelago”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox dan Darrell Tryon, ed. The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, Canberra: ANU printing service, Hlm. 17-38.
Spriggs, Matthew 2000
“Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and Neolitic Maritime Culture in Island Southeast Asia and the Western Pacific”, dalam Sue O’Connor & Peter Veth ed., East of Wallace’s Line, Studies of Past and Precent Maritime Culture of the Indo-Pacific Region, Roterdam: A.A. Balkema
Tanudirjo, Daud Aris 2005
“Sejarah Budaya Indonesia dalam Perspektif Proses Global”, dalam Sumijati Atmosudiro dan Marsono, ed., Potret Transformasi Budaya di Era Global, Yogyakarta: FIB, Univ. Gadjah Mada
Tryon, Darrell 1995
“Proto-Austronesian and The Major Austronesian Subgroups”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox dan Darrell Tryon, ed. The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, Canberra: ANU printing service, Hlm. 17-38.
Sumber Internet: http://www.dkp.go.id/content.php?c=876 http://www.kompas.com/kompas‐cetak/0501/08/Wisata/1454122.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda