JEJAK PUTIH R. Austin Freeman
2016
Jejak Putih Diterjemahkan dari The Case of the White Footprints karangan R. Austin Freeman terbit tahun 1920 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juli 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
“WELL,” kata sahabatku Foxton, menguber topik yang itu-itu juga dan tak pernah ada habisnya, “aku lebih sudi melakoni pekerjaanmu daripada kerjaanku sendiri.” “Aku percaya,” sahutku tak simpatik. “Aku tak pernah bertemu orang yang tak sudi. Kita semua cenderung mempertimbangkan pekerjaan orang lain dari segi keuntungannya dan pekerjaan kita dari segi kekurangannya. Itu tabiat manusia.” “Oh, buatmu tak apa-apa bersikap begitu filosofis,” ketus Foxton. “Kau takkan seperti itu seandainya ada di posisiku. Di sini, di Margate, ada campak, cacar air, skarlatina sepanjang musim panas, serta bronkhitis, pilek, dan rheumatik di musim dingin. Amat membosankan. Sementara kau dan Thorndyke duduk-duduk di majelis kalian dan menunggu klien mengumpan bahan romansa mentah. Ah, hidup kalian semacam drama Adelphi abadi.” “Kau melebih-lebihkan, Foxton,” kataku. “Kami, seperti halnya kau, punya tugas rutin, hanya saja tak pernah terdengar di luar Kantor Pengadilan; dan kau, seperti halnya setiap dokter lain, pasti menjumpai misteri dan romansa dari waktu ke waktu.” Foxton menggeleng seraya mengulurkan tangan ke cangkirku. “Tidak,” timpalnya. “Praktekku tak menghasilkan apa-apa selain keliling rutin yang menjemukan dan tak berujung-pangkal.” Dan kemudian, seolah mengomentari pernyataan terakhir ini, pembantu rumahtangga menghambur masuk dan berseru dengan kehebohan yang nyaris tak tersamarkan: “Permisi, tuan, pesuruh dari Beddingfield’s Boarding-House mengatakan seorang wanita ditemukan meninggal di ranjangnya 5
dan meminta Anda segera ke sana.” “Baiklah, Jane,” kata Foxton. Selagi si pembantu undur diri, dia melahap satu telur goreng lagi dan menatapku di seberang meja, berseru, “Bukankah selalu begini? Datang segera—sekarang —saat ini juga, padahal boleh jadi pasien sudah mempertimbangkan selama satu atau dua hari untuk memanggilmu atau tidak. Tapi dia langsung putuskan kau harus loncat dari tempat tidur, atau lompat dari sarapanmu, dan lari.” “Memang betul,” aku sependapat, “tapi yang ini kelihatannya kasus mendesak.” “Mendesak apanya?” tanya Foxton. “Wanita itu sudah mati. Siapapun akan mengira bisa-bisa dia hidup lagi dan bahwa kedatanganku seketika adalah satu-satunya hal yang dapat mencegah petaka macam itu.” “Kau cuma dengar pernyataan pihak ketiga bahwa dia mati,” kataku. “Mungkin saja belum; dan jikapun dia mati, berhubung kau harus memberi kesaksian di pemeriksaan resmi, kau tentu ingin polisi datang dulu ke sana dan menjaga ruangannya sebelum kau selesai melakukan inspeksi.” “Astaga!” seru Foxton. “Aku tak terpikir soal itu. Ya. Kau benar. Aku akan pergi sekarang juga.” Dia melahap sisa telur dalam sekali telan, lalu bangkit dari meja. Dia terhenti dan berdiri sejenak, menatapku ragu. “Aku mau tahu, Jervis,” ujarnya, “apa kau keberatan ikut denganku. Kau hafal semua pertalian medis-hukum, sedang aku tidak. Bagaimana?” 6
Serta-merta kuiyakan, setelah tertahan oleh makanan lezat untuk mengusulkannya sendiri. Usai mengambil kamera saku dan tripod teleskop dari kamarku, kami berangkat bersama tanpa menunda-nunda lagi. Beddingfield’s Boarding-House hanya berjarak beberapa menit jalan kaki dari kediaman Foxton; terletak dekat pertengahan Ethelred Road, Cliftonville, sebuah jalan sepi pinggiran kota yang dipenuhi bangunan serupa. Kebanyakan, kulihat, sedang bersihbersih musim semi dan renovasi untuk musim mendatang. “Itu rumahnya,” kata Foxton, “tempat wanita itu berdiri di pintu depan. Perhatikan para penyewa yang berkumpul di jendela ruang makan. Ada keributan langka di dalam rumah itu, kujamin.” Sesampainya di rumah tersebut dia berlari menaiki anak tangga dan menyapa seorang wanita sepuh dengan nada simpatik. Wanita ini sedang berdiri dekat pintu depan yang terbuka. “Ini sungguh mengerikan, Ny. Beddingfield! Buruk sekali! Sangat membuatmu susah!” “Ah, kau benar, Dr. Foxton,” sahutnya. “Urusan ini tak mengenakkan. Mengejutkan. Juga jelek untuk bisnis. Aku sungguh berharap dan percaya takkan ada skandal.” “Kuharap tidak,” timpal Foxton. “Takkan ada, aku yakin. Dan karena temanku Dr. Jervis, yang menginap di tempatku selama beberapa hari, adalah pengacara sekaligus dokter, kita akan mendapat nasehat terbaik. Kapan ketahuannya?” “Tak lama sebelum aku memanggilmu, Dr. Foxton. Pelayan menyadari bahwa Ny. Toussaint—nama perempuan malang itu— 7
belum menerima jatah air panas, jadi dia ketuk pintunya. Karena tak kunjung mendapat jawaban, dia coba membuka pintu dan ternyata diselot dari dalam, lantas melapor padaku. Aku naik dan mengetuk dengan keras. Tak juga ada jawaban, kuminta bujang membuka paksa pintunya dengan pencongkel peti, yang dikerjakan cukup mudah lantaran selotnya kecil. Terus aku masuk, gemetar, karena firasatku bilang ada yang tak beres; dan di sana dia terkapar membatu, dengan mata terbelalak di wajahnya dan sebuah botol kosong di tangannya.” “Hah, sebuah botol!” kata Foxton. “Ya. Dia bunuh diri, kasihan; dan semua gara-gara skandal asmara konyol—bahkan hampir bukan itu.” “Ah,” ujar Foxton. “Hal biasa. Kau harus ceritakan itu nanti. Sekarang lebih baik kita naik dan memeriksa si pasien—setidaknya si—eh—barangkali kau mau tunjukkan kamarnya, Ny. Beddingfield.” Si nyonya rumah berbalik dan mendahului kami naik tangga ke bagian belakang lantai satu. Di situ dia berhenti, membuka pintu pelan-pelan, mengintip ke dalam kamar dengan gugup. Sewaktu kami melewatinya dan masuk, dia cenderung ingin ikut, tapi Foxton menangkap lirikan penuh arti dariku dan mengusirnya secara persuasif, lalu menutup pintu. Kami membisu sesaat dan menengok sekeliling. Anehnya, suasana kamar tidak serasi dengan drama tragedi yang dimainkan di balik temboknya; perpaduan hal lumrah dan hal buruk yang hampir berarti antiklimaks. Lewat jendela yang terbuka 8
lebar, sinar mentari cerah musim semi mengalir masuk, menerpa kertas dinding berkilat-kilat dan furnitur murah; dari jalan raya di bawah, teriakan berkala penjual “sol dan jas hujan” masuk ke dalam nada stakato orgel tangan. Kedua suara ini bercampur dengan sebuah suara serak tak jauh dari situ, menyanyikan lagu populer riang-gembira, yang dijelaskan oleh adanya siku berbalut linen bergerak turun-naik di depan jendela. Rupanya tangan seorang tukang cat rumah di tangga sebelah. Semua itu sangat lumrah dan familiar, tidak selaras dengan sosok yang tergolek kaku di atas ranjang bagaikan patung lilin perlambang tragedi. Di sini tak ada nikmat kekantukan di mana maut kerap menampakkan diri bersama sugesti tidur abadi. Wanita ini mati; secara mengerikan, secara mencolok. Wajah pucat pipihnya kaku seperti batu, mata gelapnya memandang ruang tak terhingga dengan kelurusan seram yang tak enak dilihat. Tapi pose mayat tidak gelisah, bahkan anehnya agak simetris, dengan kedua lengan di luar seprai dan kedua tangan terkepal, yang kanan mencengkeram botol kosong seperti kata Ny. Beddingfield. “Well,” kata Foxton, sambil berdiri mengamati mayat wanita itu, “kasusnya sangat jelas. Dia menyiapkan jasadnya sendiri dan tetap memegang botol supaya tak ada kesalahpahaman. Menurutmu, sudah berapa lama wanita ini mati, Jervis?” Aku meraba tungkai-tungkai yang kaku dan menguji suhu permukaan tubuh. “Tidak kurang dari enam jam,” jawabku. “Barangkali lebih. Bisa dibilang dia mati sekitar jam dua pagi.” 9
“Dan hanya itu yang bisa kita katakan,” kata Foxton, “sampai dilakukan post-mortem. Semua terlihat apa adanya. Tak ada tanda rontaan atau bekas kekerasan. Darah di mulut itu mungkin akibat menggigit bibirnya sendiri saat minum dari botol. Ya; ada luka kecil di bagian dalam bibir, sesuai dengan gigi seri atas. Ngomongngomong, aku penasaran apa ada sisa di dalam botolnya.” Sambil bicara, dia menarik botol kaca hijau kecil tak berlabel dari tangan terkepal—yang lepas dengan mudah darinya—dan diangkatnya ke sumber cahaya. “Ya,” serunya, “ada sisa lebih dari satu dram, cukup untuk analisa. Tapi aku tak kenal aromanya. Kau kenal?” Aku mengendus botol dan menyadari bau nabati tak familiar yang samar-samar. “Tidak,” sahutku. “Sepertinya suatu jenis larutan encer, tapi aku tak bisa tentukan namanya. Mana sumbatnya?” “Aku belum lihat,” jawabnya. “Mungkin di lantai.” Kami membungkuk guna mencari sumbat yang hilang dan segera menemukannya dalam bayang-bayang, di bawah meja kecil samping ranjang. Tapi, di tengah pencarian singkat itu, kutemukan sesuatu yang lain, yang tergeletak jelas sejak awal—sebatang korek lilin. Memang benda ini tak bersalah dan lumrah sekali, tapi keberadaannya membuatku terhenti sejenak. Terlebih kaum wanita umumnya tidak memakai korek lilin, meski hal ini tak terlalu signifikan. Yang lebih penting adalah kandil di sisi ranjang memuat sekotak korek api, dan karena ada satu sisa bakaran di penampannya, kelihatannya itu bekas dipakai untuk menyalakan lilin. Jadi 10
kenapa dengan korek lilin ini? Sementara aku merenungkan masalah ini, Foxton telah menyumbat botol, membungkusnya dengan selembar kertas dari meja rias lalu dimasukkan ke dalam saku. “Well, Jervis,” katanya, “kurasa kita sudah lihat semuanya. Analisa dan post-mortem akan melengkapi kasus ini. Haruskah kita turun dan mendengarkan cerita Ny. Beddingfield?” Tapi korek lilin itu, betapapun sepele, bagiku seperti komponen terakhir dari serangkaian fenomena yang masingmasingnya rawan penafsiran seram; dan efek kumulatif dari sugesti sepele ini mulai memberiku kesan kuat. “Tunggu sebentar, Foxton,” kataku. “Kita jangan terima begitu saja. Kita di sini untuk mengumpulkan bukti, dan kita harus cermat. Ada yang namanya pembunuhan dengan racun, kau tahu.” “Ya, sudah pasti,” balasnya, “tapi tak ada indikasi ke arah itu dalam kasus ini; setidaknya, aku tak lihat. Kau sendiri?” “Tak ada yang meyakinkan,” kataku, “tapi ada beberapa fakta yang menuntut perhatian. Mari tinjau kembali apa yang sudah kita lihat. Pertama-tama, terdapat ketidaksesuaian pada penampilan mayat. Pose tenang simetris, seperti pose jenazah di kuburan, menyiratkan efek racun yang pelan tanpa rasa sakit. Tapi tengok wajahnya. Tak ada ketenangan di situ. Jelas mengisyaratkan kesakitan atau kengerian atau dua-duanya.” “Ya,” ujar Foxton, “memang begitu. Tapi kau tak bisa menarik kesimpulan memuaskan dari ekspresi wajah orang mati. Orangorang yang digantung, atau bahkan ditusuk, seringkali tampak 11
sedamai bayi.” “Tetap saja,” timpalku, “itu fakta yang perlu dicatat. Terus luka di bibir. Mungkin itu ditimbulkan dengan cara yang kau sebutkan; tapi bisa juga akibat tekanan pada mulut.” Foxton tak berkomentar, hanya mengangkat bahu sedikit, maka aku melanjutkan: “Lalu kondisi tangan. Terkepal, tapi tidak betul-betul mencengkeram benda yang dimuatnya. Kau menarik botol tanpa hambatan. Itu tergeletak begitu saja dalam tangan terkepal. Tapi kondisi ini tidak normal. Sebagaimana kau tahu, ketika seseorang mati sambil memegang suatu benda, tangannya pasti mengendur dan menjatuhkannya, atau gerak otot mengalami spasme kadaverik dan mencengkeram benda dengan kuat. Dan terakhir, korek lilin ini. Dari mana datangnya? Kelihatannya mendiang menyalakan lilin dengan korek api dari kotak itu. Ini soal remeh, tapi perlu penjelasan.” Alis Foxton naik tanda protes. “Kau seperti semua spesialis pada umumnya, Jervis,” ujarnya. “Kau melihat spesialisasimu dalam segala hal. Dan selagi mengencangkan isyarat-isyarat rapuh ini untuk mengolah bunuh diri sederhana menjadi pembunuhan, kau abaikan fakta tegas bahwa pintu diselot dan harus dibuka paksa sebelum bisa dimasuki siapapun.” “Kau tidak lupa, kukira,” kataku, “bahwa jendelanya terbuka lebar dan para tukang cat berkeliaran dan mungkin ada tangga dibiarkan bersandar pada tembok rumah.” “Soal tangga,” kata Foxton, “itu murni asumsi, tapi kita bisa 12
tuntaskan dengan bertanya kepada orang di luar sana, apa memang dibiarkan berdiri tadi malam.” Serentak kami menghampiri jendela; tapi baru separuh jalan kami berhenti mendadak. Urusan tangga seketika jadi sepele. Pada linolium merah pudar yang melapisi lantai terdapat jejak sepasang kaki telanjang, tercetak dalam cat putih dengan ketajaman ala ukiran kayu. Tak usah bertanya apa itu dihasilkan oleh mendiang: tak salah lagi itu kaki seorang pria, terlebih ukurannya besar. Pun tak ada keraguan dari mana kaki itu datang. Dimulai dengan ketajaman di bawah jendela, intensitas jejak meluruh pesat sebelum sampai ke area berkarpet, di mana mereka lenyap tibatiba. Dan hanya dengan pemeriksaan cermatlah tapak tipis itu dapat dideteksi. Aku dan Foxton melongo sesaat, terbungkam oleh bentukbentuk putih beralamat buruk itu. Terus kami saling memandang. “Kau sudah selamatkan aku dari blunder terburuk, Jervis,” kata Foxton. “Dengan atau tanpa tangga, orang itu masuk lewat jendela, dan dia datang tadi malam, sebab kulihat mereka mengecat ambang-ambang jendela ini kemarin sore. Aku penasaran dari sisi mana dia datang?” Kami bergerak ke jendela dan mengamati ambangnya di luar. Sederet jejak pekat tapi tajam pada cat baru memberi konfirmasi tegas dan menunjukkan bahwa si penyusup mendekat dari sisi kiri, yang di dekatnya ada pipa cerobong besi tuang, kini terlapisi cat hijau baru. “Jadi,” kata Foxton, “keberadaan atau ketiadaan tangga 13
tidaklah penting. Orang itu masuk ke dalam jendela dengan suatu cara, dan itulah yang terpenting.” “Sebaliknya,” kataku, “poin itu mungkin penting sekali dalam identifikasi. Tidak setiap orang mampu memanjat pipa cerobong, sekalipun itu dilindungi papan, sedang kebanyakan orang dapat menaiki tangga. Tapi fakta bahwa orang itu melepas sepatu dan kaos kakinya mengisyaratkan dia naik lewat pipa. Kalau hanya berniat meredam bunyi langkah kakinya, mungkin dia akan melepas sepatu saja.” Dari jendela kami berbalik untuk memeriksa jejak-jejak di lantai lebih seksama, dan selagi aku melakukan serangkaian pengukuran dengan pita pegas, Foxton mencatatnya dalam buku catatanku. “Bukankah agak aneh, Jervis,” ujarnya, “di sini tak ada tanda kelingking kaki?” “Betul juga,” sahutku. “Penampilannya memberi kesan tak ada kelingking kaki, tapi aku belum pernah menjumpai kondisi seperti ini. Kau sendiri?” “Tak pernah. Tentu saja kita kenal yang namanya kelebihan jumlah jari kaki, tapi aku belum pernah dengar kekurangan kelingking kaki secara bawaan.” Sekali lagi kami mencermati jejak-jejak tersebut, bahkan memeriksa jejak di ambang jendela, tercetak samar pada cat baru. Tapi meski sama tajamnya dengan jejak pada linolium, sampai menampakkan setiap kerut dan ciri kulit, tak sedikitpun terlihat tanda kelingking di kedua kaki. 14
“Ini luar biasa sekali,” pungkas Foxton. “Dia pasti kehilangan kelingking kaki, kalau pernah punya. Tak mungkin jari kelingking tidak meninggalkan bekas. Tapi urusan ini janggal. Durian runtuh untuk kepolisian, boleh dibilang. Maksudku untuk kegunaan identifikasi.” “Ya,” kuiyakan, “dan sehubungan dengan nilai penting jejak ini, kupikir ada bijaknya difoto.” “Oh, polisi akan urus itu,” balas Foxton. “Lagipula kita tak punya kamera, kecuali kalau kau bermaksud memakai penjepret mainan kecil milikmu itu.” Karena Foxton bukan fotografer, aku tak repot-repot menjelaskan bahwa kameraku, meski kecil, dibuat secara khusus untuk kegunaan ilmiah. “Yang penting ada foto, daripada tidak sama sekali,” kataku sambil membuka tripod dan memasangnya di atas salah satu jejak paling tajam, terus menyekrup kamera pada pipa gooseneck, membingkai jejak kaki di dalam finder dan menyetel fokusnya, dan terakhir membuat pencahayaan dengan antinous release. Proses ini kuulangi empat kali, dua pada jejak kaki kanan dan dua pada jejak kiri. “Well,” ujar Foxton, “dengan foto-foto itu seharusnya polisi mampu mengendus.” “Ya, mereka punya modal untuk meneruskan, tapi mereka harus menangkap kelincinya sebelum bisa dimasak. Dia takkan berjalan-jalan dengan kaki telanjang, kau tahu.” “Tidak. Ini petunjuk yang lemah. Dan karena sudah lihat 15
semuanya, sekarang kita bisa pergi. Kurasa tak banyak yang bisa dikatakan kepada Ny. Beddingfield. Ini kasus polisi, dan semakin sedikit aku terlibat di dalamnya semakin baik untuk profesiku.” Aku sedikit geli oleh kewaspadaan Foxton jika ditilik dari ucapannya di meja sarapan. Rupanya hasratnya akan misteri dan romansa mudah terpuaskan. Tapi itu bukan urusanku. Aku menunggu di tangga pintu selagi dia menyampaikan beberapa patah kata—mungkin elakan—kepada nyonya pemilik penginapan. Lalu, saat kami bertolak ke arah pos polisi, aku mulai merenungkan segi-segi mencolok dari kasus ini. Beberapa lama kami berjalan dalam kebisuan, dan kemungkinan besar menempuh jalan pikiran yang sama; pasalnya, ketika akhirnya angkat bicara, dia hampir mengungkap renunganku ke dalam kata-kata. “Kau tahu, Jervis,” cetusnya, “harusnya ada petunjuk pada jejak kaki itu. Aku sadar, kita tidak bisa pastikan jumlah jari kaki seseorang hanya dengan melihat kaki berbungkus sepatu. Tapi jejak-jejak tak lazim itu harusnya memberi petunjuk kepada seorang pakar perihal jenis orang yang patut dicari. Tidakkah itu memberimu petunjuk apapun?” Kurasa Foxton benar; kurasa seandainya kolega cerdasku, Thorndyke, ada di posisiku, dia pasti sudah menggali suatu fakta penting dari jejak kaki itu yang akan menjadi bekal bagi kepolisian sepanjang garis penyelidikan tegas. Dan keyakinan itu, dirangkai dengan tantangan Foxton, membuatku bersemangat. “Itu tak memberiku isyarat tertentu sekarang ini,” balasku, “tapi kupikir, jika kita mempertimbangkannya secara sistematis, 16
mungkin kita dapat menarik suatu kesimpulan berguna.” “Baiklah,” kata Foxton, “mari kita pertimbangkan secara sistematis. Lontarkan saja. Aku ingin dengar bagaimana kau memecahkan semua ini.” Sikap menonton ala Foxton ini agak membingungkan, terutama karena itu seolah mengikatku pada hasil yang tak yakin dapat kuraih. Makanya aku mengawali sedikit malu-malu. “Kita berasumsi kedua kaki yang meninggalkan jejak-jejak itu tidak punya kelingking karena suatu sebab. Asumsi ini—yang hampir pasti benar—kita perlakukan sebagai fakta. Dengan menjadikannya
titik
tolak,
langkah
pertama
kita
dalam
penyelidikan adalah mencari penjelasannya. Nah, ada tiga kemungkinan, dan hanya tiga: cacat, cedera, dan penyakit. Kelingkingnya mungkin tidak ada sejak lahir, mungkin hilang akibat cedera mekanis, atau mungkin hilang akibat penyakit. Mari susun semua kemungkinan ini. “Kita kesampingkan kecacatan, sebab kelainan bentuk semacam itu tidak dikenal. “Cedera mekanis rasanya disingkirkan oleh fakta bahwa kedua kelingking berseberangan dan tidak mungkin dirusak oleh suatu kekerasan yang menyisakan kaki di tengah tetap utuh. Ini mempersempit kemungkinan ke faktor penyakit, dan timbul pertanyaan: penyakit apa yang mungkin mengakibatkan hilangnya kedua kelingking?” Aku menatap Foxton penuh selidik, tapi dia cuma berangguk menyemangati. Perannya adalah peran pendengar. 17
“Well,” sambungku, “hilangnya kedua kelingking menyingkirkan kemungkinan penyakit lokal, serta cedera lokal; adapun penyakit umum, aku hanya terpikir tiga faktor yang mungkin mengakibatkan kondisi ini—penyakit Raynaud, ergotisme, dan radang dingin.” “Kau tidak sebut radang dingin sebagai penyakit umum, kan?” Foxton keberatan. “Untuk kepentingan sementara, ya. Efek-efeknya lokal, tapi penyebabnya—suhu eksternal rendah—mempengaruhi seluruh tubuh dan menjadi penyebab umum. Well, nah, setelah mengurutkan penyakit-penyakit ini, kukira kita bisa kesampingkan penyakit Raynaud. Memang betul, kadang itu membuat jari tangan atau kaki layu dan gugur, dan kelingking kaki paling rawan terkena karena paling jauh dari jantung. Tapi dalam kasus separah itu, jari-jari lain pasti terkena. Mereka akan kerut dan lancip, sementara, kalau kau ingat, jari-jari kaki tadi cukup padat dan lebar, dinilai dari jejak besar yang ditinggalkannya. Jadi kiranya aman menolak penyakit Raynaud. Sisanya ergotisme dan radang dingin; dan pemilihan di antara mereka adalah soal kekerapan relatif. Radang dingin lebih lumrah, oleh karenanya ia lebih probabel.” “Apa keduanya sama-sama cenderung merusak kelingking kaki?” tanya Foxton. “Secara probabilitas, ya. Racun ergot beraksi dari dalam, sedangkan hawa dingin hebat beraksi dari luar, menyusutkan pembuluh darah kecil dan menahan peredaran darah. Kaki, sebagai organ tubuh terjauh dari jantung, adalah yang pertama merasakan 18
efeknya, dan kelingking kaki, bagian kaki terjauh, adalah yang paling rentan di antara semuanya.” Foxton merenung sejenak, lantas berkata: “Ini semua memang betul, Jervis, tapi menurutku kau belum beranjak maju. Orang itu kehilangan kedua kelingking kaki, dan, menurut pengakuanmu sendiri, probabilitasnya adalah itu disebabkan oleh racun ergot kronis atau radang dingin, dengan neraca probabilitas lebih condong pada radang dingin. Cuma itu. Tak ada bukti, tak ada pembuktian, sekadar hukum probabilitas yang diterapkan pada kasus tertentu, yang senantiasa tak memuaskan. Bisa saja dia kehilangan kelingking dengan cara lain. Tapi kalaupun semua probabilitas ini tepat, aku penasaran apa gunanya kesimpulanmu bagi polisi. Itu tak memberitahu jenis orang seperti apa yang harus mereka cari.” Keberatan Foxton banyak benarnya. Seseorang yang menderita ergotisme atau radang dingin tidak berbeda secara penampilan dari orang lain. Tapi kami belum kupas kasus ini lebih dalam, sebagaimana sedang kuusahakan. “Jangan terlalu dini, Foxton,” kataku. “Mari teruskan argumen kita sedikit lebih jauh. Kita sudah buat probabilitas bahwa orang asing ini mengidap ergotisme atau radang dingin. Itu, seperti kau bilang, tak ada gunanya; tapi seumpamanya kita bisa tunjukkan kondisi ini cenderung mempengaruhi golongan orang tertentu, maka kita telah membuktikan fakta yang menandai garis penyelidikan. Dan kurasa kita bisa. Mari kaji argumen ergotisme terlebih dahulu. 19
“Bagaimana keracunan ergot kronis ditimbulkan? Bukan dengan pemakaian obat-obatan, tapi dengan konsumsi gandum hitam yang mengandung ergot. Oleh karenanya itu ciri khas negara-negara di mana gandum hitam digunakan secara luas sebagai makanan. Mereka, secara umum, adalah negara-negara Eropa Timurlaut, khususnya Rusia dan Polandia. “Kemudian argumen radang dingin. Jelas, orang paling mungkin untuk terkena radang dingin adalah penghuni negara beriklim dingin. Iklim paling keras yang dihuni oleh bangsa kulit putih adalah Amerika Utara dan Eropa Timurlaut, khususnya Rusia dan Polandia. Jadi, kau lihat, wilayah-wilayah yang terkait dengan ergotisme dan radang dingin saling meliputi sampai taraf tertentu. Bahkan bukan sekadar saling meliputi; orang yang terkena ergot sedikitpun akan rentan terhadap radang dingin, gara-gara terganggunya peredaran darah. Kesimpulannya, secara rasial, dalam argumen ergotisme maupun radang dingin, neraca probabilitas lebih condong kepada Rusia, Polandia, atau Skandinavia. “Berarti dalam argumen radang dingin ada faktor pekerjaan. Golongan orang seperti apa yang paling cenderung terkena radang dingin? Well, sudah pasti, penderita terbesar radang dingin adalah pelaut, khususnya mereka yang ada di atas kapal layar, dan, tentunya, kapal yang berniaga ke negara-negara Arktik dan subArktik. Tapi sebagian besar kapal layar demikian adalah mereka yang terlibat dalam perniagaan Baltik dan Arkhangelsk, dan para awak kapalnya hampir didominasi orang Skandinavia, Finlandia, Rusia, dan Polandia. Jadi, lagi-lagi, semua probabilitas ini 20
menunjuk kepada orang asli Eropa Timurlaut, dan secara keseluruhan, menurut faktor-faktor yang saling meliputi, menunjuk kepada orang Rusia, Polandia, atau Skandinavia.” Foxton tersenyum sinis. “Pintar, Jervis,” dia bilang. “Pintar sekali. Sebagai sebuah pernyataan akademis tentang probabilitas, itu sungguh bermutu. Tapi untuk kegunaan praktis, sama sekali tak bermanfaat. Biar bagaimanapun kita sudah sampai di kantor polisi. Aku akan masuk dan menyampaikan fakta-faktanya, terus pergi ke kantor koroner.” “Sepertinya lebih baik aku tidak ikut masuk?” kataku. “Well, ya,” sahutnya. “Kau tak punya kaitan resmi dengan kasus ini, dan mereka mungkin tak suka itu. Sebaiknya kau pergi dan hibur dirimu selagi kuselesaikan praktek kunjungan pagi. Kita bisa bahas lagi makan siang nanti.” Dengan ini dia menghilang ke dalam pos polisi, dan aku berbalik sambil tersenyum cemberut. Pengalaman cenderung membuat kita sedikit kejam, dan pengalaman telah mengajariku bahwa mereka yang paling mencela penalaran akademis seringkali tidak segan menceritakannya kembali seraya bungkam soal pengarang
aslinya. Aku
curiga
Foxton
saat
ini
sedang
memuntahkan “pernyataan akademisku tentang probabilitas” yang dipandang rendah kepada inspektur polisi yang kagum. Perjalananku ke arah laut melintasi Ethelred Road, dan aku sudah menempuh setengahnya dan sedang mendekati rumah tragedi ketika kulihat Ny. Beddingfield di jendela anjur. Jelas dia mengenaliku, sebab tak lama kemudian dia menampakkan diri 21
dengan pakaian luar di ambang pintu dan maju menghampiri. “Kau sudah temui polisi?” tanyanya sewaktu kami bertemu. Kujawab, Dr. Foxton bahkan sedang di pos polisi. “Ah!” ujarnya, “ini urusan buruk; sangat disayangkan, baru awal musim. Sebuah skandal adalah kehancuran mutlak bagi rumah sewa. Apa pendapatmu tentang kasus ini? Bisakah diredam? Kata Dr. Foxton kau pengacara, kalau tak salah, Dr. Jervis?” “Ya, aku pengacara, tapi aku tak tahu apa-apa soal kenyataan kasus ini. Apa kiranya ada suatu skandal asmara?” “Ya—sekurangnya—well, mungkin tak seharusnya aku bilang begitu. Tapi bukankah lebih baik kuceritakan semuanya? Kalau ini tak menyita banyak waktumu.” “Aku pasti tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi sebelum petaka itu,” balasku. “Kalau begitu,” katanya, “akan kuceritakan semuanya. Mau masuk ke dalam, atau kita jalan-jalan sedikit?” Karena aku curiga polisi sedang menuju rumah tersebut, aku pilih alternatif kedua dan mengajaknya ke arah laut dengan langkah cepat. “Apa nona malang itu seorang janda?” tanyaku, sementara kami mulai menapaki jalan raya. “Tidak, bukan,” jawab Ny. Beddingfield, “dan itulah masalahnya. Suaminya ada di luar negeri—setidaknya dulu, dan sedang pulang. Harusnya pulang yang indah, kasihan sekali orang itu. Dia perwira di Kepolisian Sipil di Sierra Leone, tapi belum lama di sana. Dia pindah ke sana karena masalah kesehatan.” 22
“Apa! Ke Sierra Leone!” seruku, berhubung ‘Kuburan Kulit Putih’ itu adalah tempat peristirahatan yang aneh. “Ya. Kau tahu, Tn. Toussaint adalah orang Kanada Prancis, dan sepertinya dia selalu berpindah-pindah. Beberapa lama dia di Klondyke, tapi menderita kedinginan, jadi harus pergi. Itu sangat merusak kesehatannya, entah bagaimana, tapi aku tahu dia pincang beberapa waktu. Setelah membaik, dia mencari tempat tugas di iklim hangat dan akhirnya ditunjuk sebagai Inspektur Kepolisian Sipil di Sierra Leone. Itu sekitar sepuluh bulan lalu, dan saat dia berlayar menuju Afrika, isterinya datang menginap di tempatku, dan berada di sini sejak waktu itu.” “Lantas skandal asmara yang kau singgung tadi?” “Tapi, tapi tak seharusnya kusebut begitu. Biar kujelaskan kejadiannya. Kira-kira tiga bulan silam, seorang pria Swedia—Tn. Bergson—datang menginap di sini, dan dia tampak sangat tertarik pada Ny. Toussaint.” “Dan nyonya itu?” “Oh, dia cukup menyukainya. Pria itu tinggi, tampan—meski tidak lebih tinggi dari suaminya, tidak pula lebih tampan. Duaduanya di atas enam kaki. Tapi tak ada bahaya sepanjang pengetahuan nyonya, kecuali bahwa dia tidak cukup sigap melihat keadaan. Dia sangat ceroboh, bahkan aku merasa perlu memberinya sedikit nasehat. Akan tetapi, Tn. Bergson pergi dan tinggal di Ramsgate untuk mengawasi bongkar muat kapal-kapal es (dia datang dari Swedia dengan kapal es), dan kukira masalah selesai. Tapi ternyata tidak. Dia mulai mengunjungi Ny. Toussaint, dan 23
tentu aku tak bisa terima. Jadi akhirnya aku harus bilang dia tak boleh datang lagi ke rumah. Sial betul; dalam kesempatan itu dia baru ‘mencicipi’, kalau kata orang-orang Skotlandia. Memang tidak mabuk, tapi dia emosional dan gaduh, dan saat kuminta jangan datang lagi, dia mengacau hebat sampai-sampai dua orang penyewa—Tn. Wardale dan Tn. Macauley—harus turun tangan. Dan saat itulah dia menghina mereka, khususnya Tn. Macauley, orang non-kulit putih; mengatainya ‘negro jantan’ dan segala macam nama yang menyakitkan.” “Lalu bagaimana tanggapan pria non-kulit putih itu?” “Sangat tidak baik, dengan sesal kukatakan, padahal orang terhormat—penyelidik hukum yang memiliki majelis di Temple. Malah tata bahasanya kasar, sampai Tn. Wardale mendesakku agar memberinya peringatan saat itu juga. Tapi aku berhasil membuatnya diterima di rumah sebelah, berselang satu rumah dari sini. Kau tahu, Tn. Wardale pernah jadi Komisioner di Sierra Leone—lewat dialah Tn. Toussaint mendapat penugasan—jadi kukira dia agak bermartabat terhadap orang-orang non-kulit putih.” “Dan itu yang terakhir kau dengar soal Tn. Bergson?” “Dia tak pernah datang lagi kemari, tapi beberapa kali menulis surat untuk Ny. Toussaint, memintanya datang. Akhirnya, baru beberapa hari lalu, nyonya menulis kepadanya dan menyampaikan perkenalan mereka harus berakhir.” “Dan berakhir?” “Sejauh yang kutahu, ya.” “Kalau begitu, Ny. Beddingfield,” kataku, “apa yang 24
membuatmu mengaitkan skandal tersebut dengan kejadian ini?” “Well, kau mengerti,” jelasnya, “ada sang suami. Dia sedang pulang, dan barangkali sudah di Inggris.” “Memang!” kataku. “Ya,” sambungnya. “Di Sierra Leone, dia masuk ke dalam semak-belukar untuk menangkap beberapa pribumi anggota salah satu geng pembunuh—sebutannya Leopard Societies kalau tak salah—dan dia terluka serius. Dia menulis kepada isterinya dari rumah sakit bahwa dirinya akan segera dipulangkan setelah cukup bugar untuk bepergian, dan kira-kira sepuluh hari lalu nyonya mendapat surat bahwa dia akan datang dengan kapal berikutnya. “Kuperhatikan, nyonya tampak gugup dan gelisah saat menerima surat dari rumah sakit, terlebih ketika surat terakhir datang. Tentu saja aku tak tahu apa isi surat-surat itu. Boleh jadi bahwa Tn. Toussaint sudah dengar kabar tentang Tn. Bergson, dan mengancam mengambil tindakan. Tentunya aku tak tahu pasti. Aku cuma tahu nyonya sangat gugup dan resah, dan saat kami baca di koran empat hari lalu bahwa kapal yang ditumpanginya sudah tiba di Liverpool, dia terlihat betul-betul gelisah. Dan dia semakin memburuk sampai—well, sampai tadi malam.” “Sudah ada kabar tentang suaminya sejak kapal itu tiba?” tanyaku. “Tidak,” jawab Ny. Beddingfield, dengan tatapan penuh arti yang tak sulit kutafsirkan. “Tak ada surat, telegram, ataupun pesan. Dan kau paham, sekiranya tidak jadi datang dengan kapal itu, hampir pasti dia akan mengirim surat padanya. Dia pasti sudah tiba 25
di Inggris, tapi kenapa dia belum juga muncul, atau paling tidak mengirim telegram? Apa yang sedang dia kerjakan? Kenapa menghindar? Mungkinkah dia sudah dengar sesuatu? Dan apa yang hendak dia perbuat? Inilah yang terus membuat gadis malang itu tegang, dan inilah, aku yakin, yang mendorongnya bunuh diri.” Bukan urusanku menentang deduksi keliru Ny. Beddingfield. Aku sedang cari informasi—nampaknya aku hampir menyedot habis sumber yang satu ini. Tapi ada satu hal yang perlu dipertegas. “Kembali ke Tn. Bergson, Ny. Beddingfield,” kataku. “Apa dia penjelajah laut?” “Dulunya,” jawabnya. “Sekarang ini dia menetap di Ramsgate sebagai manajer perusahaan perdagangan es, tapi tadinya dia pelaut. Aku pernah dengar dia bercerita bahwa dirinya dahulu adalah anggota awak kapal penjelajah yang menyusuri Kutub Utara dan terkurung di antara es selama berbulan-bulan. Seharusnya aku sudah menduga dia punya cukup es setelah itu.” Aku mengungkapkan kesetujuan hangat dengan pandangan ini. Usai memperoleh semua informasi yang tersedia, kuakhiri tanyajawab ini. “Well, Ny. Beddingfield,” kataku, “urusan ini agak misterius. Semoga ada keterangan lain di pemeriksaan resmi. Sementara itu, kurasa ada bijaknya kau rahasiakan ini dari orang luar.” Sisa pagi itu kuhabiskan dengan mondar-mandir di atas hamparan pasir halus yang memanjang ke timur dermaga, dan merenungkan keterangan yang kuperoleh terkait kejahatan tunggal ini. Rupanya ada petunjuk dalam kasus ini. Bahkan ada dua garis 26
penyelidikan kentara, karena si Swedia maupun si suami yang hilang menampakkan karakter pembunuh hipotetis. Keduanya terpapar kondisi yang cenderung mengakibatkan radang dingin; salah satu dari mereka mungkin pengkonsumsi makanan gandum hitam, dan dua-duanya bisa dibilang punya motif—meski tentunya tak memadai—untuk melakukan kejahatan itu. Tapi tetap saja, dalam kedua hal, buktinya masih spekulatif; itu menyiratkan garis penyelidikan, tapi tidak lebih. Tatkala bertemu Foxton di acara makan siang, aku mencium perubahan mencurigakan pada tingkahnya. Sikap meluap-luap digantikan dengan sikap bungkam dan kerahasiaan resmi. “Kukira, Jervis,” katanya, saat aku membuka topik tersebut, “sebaiknya jangan bahas urusan ini. Kau paham, aku saksi utama, dan selagi kasusnya sedang dalam pertimbangan yudisial—well, bahkan polisi tak mau kasus ini dibicarakan.” “Tapi aku juga saksi, dan saksi ahli, apalagi—” “Itu bukan pandangan polisi. Mereka melihatmu sebagai kurang-lebih amatir, dan karena kau tak punya hubungan resmi dengan kasus ini, kurasa mereka tidak berniat memanggilmu di persidangan. Inspektur Platt, yang memegang kasus ini, tidak suka aku mengajakmu ke rumah tadi. Katanya itu melawan aturan. Oh, ngomong-ngomong, dia bilang kau harus serahkan foto-foto itu.” “Tapi bukankah Platt akan memotret jejak-jejak itu sendiri?” tolakku. “Sok pasti. Dia akan mendapat kumpulan foto layak yang diambil oleh fotografer ahli—dia geli saat mendengar urusan 27
jeprat-jepretmu itu. Oh, kau bisa percaya Platt. Dia orang hebat. Dia sudah memberi serangkaian instruksi di Departemen Sidik Jari di London.” “Aku tak mengerti, bagaimana itu akan membantunya, berhubung tak ada sidik jari dalam kasus ini.” Ini cuma umpanku, tapi seketika Foxton bangkit menerkam umpan culas ini. “Oh, tidak ada?” serunya. “Kebetulan saja kau tidak lihat, padahal itu ada. Platt sudah dapat sidik tangan kanan utuh. Ini sangat rahasia, kau tahu,” imbuhnya dengan kewaspadaan yang terlambat. Sikap bungkam Foxton menahanku dari mengomentari pencapaian inspektur. Aku kembali ke soal foto. “Seandainya aku tak mau serahkan filmku?” kataku. “Tapi kuharap kau mau—dan malah harus. Aku tersangkut resmi dengan kasus ini, dan aku perlu menyesuaikan diri dengan orang-orang ini. Sebagai ahli bedah kepolisian, aku bertanggungjawab atas bukti medis, dan Platt berharap aku mengambil fotofoto itu darimu. Jelas kau tak berhak menyimpannya. Itu akan sangat melawan aturan.” Percuma membantah. Rupanya kepolisian tak mau mengikutsertakanku ke dalam kasus ini. Lagipula inspektur bekerja dalam lingkup haknya jika dia memilih menganggapku sebagai individu swasta dan menuntut penyerahan film. Meski begitu aku enggan menyerahkan foto-fotoku, setidaknya sampai selesai kupelajari. Kasus ini ada dalam spesialisasi 28
profesiku, kasus yang aneh dan menarik. Apalagi sepertinya ini dipegang oleh tangan-tangan tak cakap, ditilik dari kisah sidik jari barusan, dan pengalaman telah mengajariku untuk menyimpan carik-carik bukti kebetulan, sebab kita tak pernah tahu kapan akan terseret ke dalam kasus dengan kapasitas profesional. Praktisnya, kuputuskan
untuk
tidak
menyerahkan
foto-fotoku,
meski
keputusan ini membawaku kepada tipu muslihat yang dengan berat hati kugunakan. Aku lebih suka bertindak terus-terang. “Well, kalau kau bersikeras,” kataku, “akan kuserahkan film itu atau, kalau kau mau, akan kuhancurkan di hadapanmu.” “Kurasa Platt lebih suka filmnya tidak rusak,” ujar Foxton. “Dengan begitu dia akan tahu, kau mengerti,” imbuhnya dengan seringai licik. Dalam hati aku berterimakasih kepada Foxton atas seringainya. Itu membuat proses tipuanku jauh lebih mudah; kapan lagi ada seorang pencuriga mengundangmu untuk mengakalinya kalau mampu. Usai makan siang aku naik ke kamar, mengunci pintu, dan mengambil kamera kecil dari saku. Setelah digulung, kucabut filmnya, kubungkus dengan hati-hati, lantas kumasukkan ke dalam saku dada. Kemudian aku menyisipkan film baru, dan pergi ke jendela terbuka, mengambil empat jepretan langit berturut-turut. Sehabis itu, kututup kameranya, kuselipkan ke dalam saku, lalu turun ke lantai bawah. Sewaktu aku turun Foxton ada di lorong, sedang menyikat topi, dan langsung mengulang permintaannya. “Soal foto-foto itu, Jervis,” katanya, “sebentar lagi aku akan 29
mampir ke pos polisi, jadi kalau kau tak keberatan—” “Tentu,” timpalku. “Akan kuserahkan sekarang juga kalau kau mau.” Mengambil kamera dari saku, aku serius menggulung sisa film, mencabutnya, menahan ujung yang lepas dengan sok hati-hati, lalu kuserahkan kepadanya. “Sebaiknya
jangan
sampai
terkena
cahaya,”
kataku,
melengkapi penipuan, “atau eksposurnya akan berkabut.” Foxton mengambil kumparan tersebut dariku seolah-olah benda ini panas—dia bukan fotografer—terus disodoknya ke dalam tas tangan. Dia masih berterimakasih padaku ketika pintu depan berdering cukup banyak. Sang tamu terungkap saat Foxton membuka pintu. Dia pria mungil kurus dengan corak kulit mirip kertas cokelat khas yang mengindikasikan lama bermukim di daerah tropis. Dia melangkah masuk dengan cepat dan memperkenalkan diri dan keperluannya tanpa mukadimah. “Namaku Wardale—penyewa di Beddingfield’s. Aku mampir terkait peristiwa tragis yang—” Di sini Foxton memotong dengan nada resmi paling dingin. “Maaf, Tn. Wardale, aku tak bisa memberimu informasi apapun tentang kasus ini sekarang.” “Aku lihat kalian berdua di rumah tadi pagi—” sambung Tn. Wardale, tapi Foxton memotong lagi. “Ya. Kami ke sana—atau sekurangnya aku—sebagai wakil Hukum, dan selagi kasusnya sedang dalam pertimbangan yudisial —” 30
“Belum,” sela Wardale. “Well, aku tak boleh membahasnya—” “Aku tak memintamu,” sergah Wardale sedikit tak sabar. “Tapi aku tahu salah satu dari kalian adalah Dr. Jervis.” “Aku,” tanggapku. “Aku harus memperingatkanmu—” Foxton mulai lagi, tapi Tn. Wardale menyela dengan jengkel. “Tuan yang terhormat, aku pengacara dan hakim dan paham betul apa-apa yang tidak diperbolehkan. Aku datang cuma untuk membuat janji profesi dengan Tn. Jervis.” “Dalam hal apa aku dapat membantumu?” tanyaku. “Akan kuberitahukan,” balas Tn. Wardale. “Nyonya malang itu, yang kematiannya begitu misterius, adalah isteri seorang pria yang, seperti diriku, adalah pegawai Pemerintah Sierra Leone. Aku teman mereka berdua, dan di tengah ketidakhadiran sang suami, aku ingin ada penyelidikan terhadap perkara kematian nyonya ini oleh pengacara kompeten yang memiliki pengetahuan khusus tentang bukti medis. Maukah kau atau kolegamu, Dr. Thorndyke, berusaha memantau kasus ini untukku?” Tentu saja aku mau mengusahakan kasus ini dan kusampaikan demikian. “Kalau begitu,” kata Tn. Wardale, “akan kuinstruksikan solisitorku agar menulis surat kepadamu dan secara formal menyewamu dalam kasus ini. Ini kartu namaku. Kau akan temukan namaku dalam Daftar Kantor Kolonial, dan kau tahu alamatku di sini.” 31
Dia menyerahkan kartunya, mengucapkan selamat sore kepada kami berdua, dan diawali bungkukan kaku dan tipis dia berbalik pergi. “Kurasa sebaiknya aku cepat-cepat ke kota dan berunding dengan Thorndyke,” kataku. “Bagaimana jadwal kereta?” “Ada kereta bagus kurang-lebih tiga perempat jam lagi,” jawab Foxton. “Kalau begitu aku akan naik itu, tapi aku akan datang lagi besok atau lusa, dan barangkali Thorndyke akan ikut.” “Baguslah,” kata Foxton. “Ajak dia makan siang atau makan malam, tapi aku rasa tak bisa menampungnya.” “Lebih baik tidak,” balasku. “Temanmu Platt takkan suka. Dia tak menginginkan Thorndyke—ataupun aku. Dan soal foto-foto itu, Thorndyke akan memerlukannya, kau tahu.” “Dia tak berhak mendapatkannya,” kata Foxton keras kepala, “kecuali kalau Platt bersedia mengembalikannya, dan kurasa tidak akan.” Aku punya alasan pribadi untuk menduga sebaliknya, tapi kurahasiakan. Sementara Foxton berangkat untuk praktek keliling sore, aku kembali ke lantai atas guna mengemas kopor dan menulis telegram kepada Thorndyke, memberitahukan pergerakanku. ***** Jam baru menunjukkan lima seperempat saat aku masuk ke majelis kami di King’s Bench Walk. Lega rasanya mendapati kolegaku di 32
rumah, dan asisten laboran kami, Polton, sedang menyajikan teh untuk dua orang. “Kusimpulkan,” kata Thorndyke, sewaktu kami berjabat tangan, “saudaraku yang terpelajar ini membawa sumber keuntungan?” “Ya,” jawabku. “Secara nama hanya watching brief1, tapi kupikir kau akan sependapat denganku bahwa kasus ini perlu pengusutan independen.” “Apa akan ada sesuatu untuk bidangku, tuan?” selidik Polton, yang selalu bergairah dengan istilah ‘pengusutan’. “Ada film yang harus dicuci. Empat eksposur jejak kaki putih di lantai gelap.” “Ah!” ujar Polton, “kau akan perlu negatif yang sangat kuat, dan mereka harus diperbesar jika berasal dari kamera kecil. Bisa beritahu dimensinya?” Kutuliskan ukurannya pada buku catatanku dan kuserahkan kertas tersebut beserta kumparan film. Dia pun undur diri dengan riang-gembira ke laboratorium. “Nah, Jervis,” kata Thorndyke, “sementara Polton bekerja dengan film itu, mari bahas gambaran kasar kasusnya sambil minum teh.” Aku memberinya lebih dari gambaran kasar, berhubung peristiwa itu masih baru dan aku sudah pilah fakta-faktanya selama perjalanan ke kota dengan membuat catatan kasar, yang kini 1
Watching brief adalah ikhtisar yang dipegang oleh barister untuk mengikuti perkara atas nama klien yang tidak terlibat langsung. 33
kukonsultasikan. Dia mendengarkan cerita panjang-lebar dengan sikap penuh perhatian seperti biasa, tanpa komentar, kecuali menyangkut manuverku untuk mempertahankan film terekspos itu. “Sayang sekali kau tidak menolak,” katanya. “Mereka hampir tak berhak memaksakan tuntutan, dan aku punya firasat, menghindari penipuan langsung, kecuali kalau terdesak, akan lebih mudah dan lebih terhormat. Tapi barangkali kau merasa terdesak.” Aku memang terdesak waktu itu, tapi sejak saat itu aku sependapat dengan Thorndyke. Manuver kecilku akan menjadi sumber kesusahan sebentar lagi. “Well,” kata Thorndyke begitu aku selesai bercerita, “kurasa bisa kita anggap teori polisi adalah teorimu sendiri yang didapat dari Foxton.” “Kukira begitu, kecuali satu hal: aku dengar dari Foxton bahwa Inspektur Platt sudah dapat sidik jari utuh tangan kanan.” Thorndyke mengangkat alis. “Sidik jari!” serunya. “Ah, orang itu pasti tolol saja. Tapi,” tambahnya, “setiap orang—polisi, pengacara, hakim, bahkan Galton sendiri—rupanya kehilangan setiap sisa akal sehat begitu topik sidik jari diangkat. Tapi menarik untuk diketahui bagaimana dia mendapatkannya dan seperti apa bentuknya. Kita harus caritahu. Akan tetapi, kembali ke kasusmu, karena teorimu dan teori polisi kemungkinannya sama, kita dapat mempertimbangkan nilai kesimpulanmu. “Saat ini kita berurusan dengan kasus secara abstrak. Data kita sebagian besar adalah asumsi, dan kesimpulan kita sebagian besar diambil dari penerapan hukum matematika probabilitas. Jadi kita 34
asumsikan telah terjadi pembunuhan, walaupun bisa saja itu bunuh diri. Kita asumsikan pembunuhan dilakukan oleh orang yang meninggalkan jejak kaki, dan kita asumsikan orang itu tak punya kelingking kaki, walaupun bisa saja dia menarik kelingkingnya agar tidak menyentuh lantai dan tidak meninggalkan jejak. Dengan berasumsi bahwa dia tak punya kelingking kaki, kita menerangkan ketiadaannya dengan menimbang sebab-sebab dikenal dalam urutan probabilitasnya. Mengesampingkan—kurasa cukup tepat— penyakit Raynaud, kita sampai pada radang dingin dan ergotisme. “Tapi dua orang, yang tinggi badannya sepadan dengan ukuran jejak kaki itu, mungkin memiliki motif, walau tidak memadai, untuk melakukan kejahatan, dan keduanya pernah terpapar kondisi yang cenderung mengakibatkan radang dingin, sedangkan salah satu dari mereka barangkali pernah terpapar kondisi yang cenderung
mengakibatkan
ergotisme.
Hukum
probabilitas
menunjuk kepada dua orang ini, dan peluang si Swedia sebagai pembunuh ketimbang si Kanada akan dilambangkan oleh faktor bersama—radang dingin—dikalikan dengan faktor tambahan, ergotisme. Tapi ini murni spekulatif untuk sementara. Tak ada bukti bahwa mereka pernah terkena radang dingin atau pernah makan gandum hitam berjamur. Walaupun demikian, itu metode logis pada tahap ini. Itu mengindikasikan garis penyelidikan. Jika ternyata salah satu dari mereka menderita radang dingin atau ergotisme, niscaya kemajuan akan tercapai. Nah, Polton sudah selesai dengan sepasang cetakan. Bagaimana kau bisa mengerjakannya secepat itu, Polton?” 35
“Ah, kau tahu, tuan, aku cuma mengeringkan film dengan spiritus,” jawab Polton. “Itu menghemat banyak waktu. Akan kuserahkan sepasang pembesaran kira-kira seperempat jam lagi.” Setelah menyerahkan dua cetakan basah, masing-masing tertempel pada pelat kaca, dia kembali ke laboratorium. Aku dan Thorndyke menyelidiki foto-foto tersebut dengan bantuan lensa saku. Pembesaran yang dijanjikan sebetulnya tidak begitu diperlukan kecuali untuk ukuran pembanding, sebab citra jejak putih ini, dengan panjang dua inchi, begitu tajam secara mikroskopis sehingga dengan bantuan lensa sekalipun kami dapat melihat jelas detil-detil terkecilnya. “Jelas tak ada tanda kelingking kaki,” ujar Thorndyke, “dan penampilan padat jari-jari lain mendukung sanggahanmu soal penyakit Raynaud. Apa karakter jejak ini memberimu petunjuk lain, Jervis?” “Itu memberiku kesan bahwa pemiliknya biasa bepergian telanjang kaki di masa muda dan baru mulai memakai alas kaki belakangan. Posisi jempol kaki mengisyaratkan hal ini, dan keberadaan sejumlah bekas luka kecil pada jari-jari dan bola kaki rasanya mengkonfirmasi ini. Orang yang berjalan telanjang kaki akan selalu mendapat banyak luka kecil akibat menginjak benda kecil dan tajam.” Thorndyke kelihatan tidak puas. “Aku sependapat denganmu,” katanya, “tentang petunjuk dari kondisi jempolnya yang utuh, tapi bagiku cekung-cekung kecil itu tidak mengesankan bekas luka akibat kebiasaan yang kau kemukakan barusan. Tapi, boleh jadi 36
kau benar.” Di sini percakapan kami terpotong oleh ketukan pada kayu ék luar. Thorndyke melangkah ke lorong dan kudengar dia membuka pintu. Tak lama kemudian dia masuk kembali, ditemani seorang pria pendek berwajah cokelat yang serta-merta kukenali sebagai Tn. Wardale. “Berarti kita datang dengan kereta yang sama,” ujarnya selagi kami berjabat tangan, “dan sampai taraf tertentu untuk keperluan yang sama. Aku berpikir, aku ingin menempatkan urusan kita di atas pijakan bisnis, karena aku orang asing bagi kalian berdua.” “Apa yang kau ingin kami lakukan?” tanya Thorndyke. “Aku ingin kalian pantau kasus ini, dan kalau perlu, dalami fakta-faktanya secara independen.” “Bisakah kau beri kami informasi yang mungkin membantu?” Tn. Wardale merenung. “Kurasa tidak,” akhirnya dia berkata. “Aku tak punya fakta yang kalian butuhkan, dan dugaanku bisa saja menyesatkan. Sebaiknya kalian terus berpikir terbuka. Tapi mungkin kita bisa masuk ke soal biaya.” Ini tentu saja agak sulit, tapi Thorndyke berusaha menjelaskan pertanggungjawaban yang mungkin timbul, hingga Tn. Wardale pun puas. “Ada satu masalah kecil lain,” kata Wardale, bangkit untuk pergi. “Aku bawa kopor yang Ny. Beddingfield pinjamkan kepadaku untuk mengangkut beberapa barang ke kota. Ini ditinggalkan oleh Tn. Macauley sewaktu pindah dari rumah sewa. Kata Ny. Beddingfield aku boleh menitipkannya di majelis Tn. 37
Macauley kalau sudah selesai; tapi aku tak tahu alamatnya, pokoknya di suatu tempat di Temple, dan aku tak mau bertemu orang itu jika kebetulan dia datang ke kota.” “Apa itu kosong?” tanya Thorndyke. “Hanya satu setel piyama dan sepasang sandal usang yang mengejutkan.” Dia bicara sambil membuka kopor dan memamerkan isinya diiringi seringai lebar. “Khas negro, bukan? Piyama sutera merah muda dan sandal yang tiga kali lebih kecil.” “Baiklah,” kata Thorndyke. “Aku akan suruh orang cari alamatnya dan titipkan ini di sana.” Sementara Tn. Wardale pergi, Polton masuk dengan foto-foto diperbesar, yang
menampakkan
jejak kaki ukuran
wajar.
Thorndyke menyerahkannya padaku. Selagi aku duduk memeriksa, dia mengikuti asistennya ke laboratorium. Dia kembali beberapa menit kemudian. Usai mencermati foto-foto sebentar dia berkata: “Tidak menunjukkan apa-apa selain yang sudah kita lihat, tapi mungkin berguna nanti. Jadi kita hanya berbekal simpanan faktafaktamu sekarang. Apa kau akan pulang malam ini?” “Ya, aku akan kembali ke Margate besok.” “Kalau begitu, karena aku harus mampir di Scotland Yard, kita bisa jalan kaki ke Charing Cross bersama-sama.” Seraya menyusuri Strand kami bergunjing tentang tema umum, tapi sebelum berpisah di Charing Cross, Thorndyke kembali menyinggung kasus ini. “Beritahu aku tanggal pemeriksaan resminya,” ujarnya, “dan 38
coba caritahu racun apa itu—kalau memang racun.” “Cairan yang tersisa di dalam botol kelihatannya sejenis larutan encer,” kataku, “kalau tak salah sudah kusebutkan.” “Ya,”
kata
Thorndyke.
“Mungkin
godokan
encer
strophanthus.” “Kenapa strophanthus?” tanyaku. “Kenapa tidak?” timpal Thorndyke. Dengan ini dan senyum tak dimengerti, dia berbalik menyusuri Whitehall. ***** Tiga hari kemudian aku berada di Margate—duduk di samping Thorndyke di sebuah ruangan sebelah Town Hall, di mana pemeriksaan resmi atas kematian Ny. Toussaint akan diadakan. Koroner sudah di kursinya, juri di tempat duduk mereka, dan para saksi berkumpul di sekelompok kursi tersendiri. Mereka mencakup Foxton, satu orang asing di sebelahnya (mungkin saksi medis lain), Ny. Beddingfield, Tn. Wardale, inspektur polisi, dan pria non-kulit putih berpakaian rapi, yang kusangka dengan tepat sebagai Tn. Macauley. Selagi aku duduk di samping kolega mirip sphinx, untuk keseratus kalinya pikiranku melayang ke daya sintesa batinnya yang luar biasa. Ucapan perpisahannya perihal sifat racun pada waktu itu sekejap menyadarkanku bahwa dia sudah punya teori definitif atas kejahatan ini, dan bahwa teorinya bukanlah teoriku atau teori polisi. Betul, biar bagaimanapun racunnya mungkin 39
bukan strophanthus, tapi itu takkan mengubah posisi. Dia punya teori kejahatan, tapi dia belum punya fakta kecuali apa yang sudah kuberikan. Jadi fakta-fakta tersebut mengandung bahan untuk sebuah teori, sementara yang kusimpulkannya darinya hanya probabilitas matematis sederhana dan ambigu. Saksi pertama yang dipanggil tentu saja adalah Dr. Foxton. Dia melukiskan keadaan yang sudah kuketahui. Selanjutnya dia menyebutkan, dirinya hadir dalam proses otopsi, bahwa dia menemukan lebam pada tenggorokan dan tungkai mendiang yang mengindikasikan rontaan dan kekangan kasar. Penyebab kematian paling dekat adalah gagal jantung, tapi dia tak bisa berkata pasti apakah gagal tersebut akibat syok, teror, atau racun. Saksi berikutnya adalah Dr. Prescott, ahli patologi dan toksikologi. Dia yang melakukan otopsi dan bersepakat dengan Dr. Foxton tentang penyebab kematian. Dia sudah periksa cairan dalam botol yang diambil dari tangan mendiang dan ternyata itu air godokan atau rebusan biji strophanthus. Dia sudah menganalisa cairan yang terkandung di dalam perut dan mendapati sebagian besarnya terdiri dari godokan yang sama. “Apakah
godokan
biji
strophanthus
dipakai
dalam
pengobatan?” tanya koroner. “Tidak,” jawabnya. “Larutan adalah bentuk pemakaian strophanthus
kecuali
kalau
itu
diberikan
dalam
bentuk
strophanthine.” “Menurut pertimbanganmu strophanthus menyebabkan atau turut mengakibatkan kematian?” 40
“Sulit dikatakan,” jawab Dr. Prsecott. “Strophanthus adalah racun jantung. Ditemukan dosis beracun yang sangat banyak, tapi sedikit sekali yang terserap, dan penampilan mayat cocok dengan kematian akibat syok.” “Mungkinkah kematian ditimbulkan sendiri dengan minum racun secara sukarela?” tanya koroner. “Aku harus bilang, jelas tidak. Keterangan Dr. Foxton menunjukkan bahwa botolnya hampir pasti ditempatkan di tangan mendiang pasca kematian, dan ini cocok dengan temuan dosis besar dan serapan kecil.” “Kau mau bilang penampilan itu menunjuk pada racun bunuh diri atau pembunuhan?” “Aku harus bilang itu menunjuk pada racun pembunuhan, tapi kematiannya barangkali disebabkan terutama oleh syok.” Ini mengakhiri keterangan sang pakar. Disusul oleh keterangan Ny. Beddingfield, yang tidak mengemukakan satupun hal baru bagiku selain fakta bahwa sebuah peti telah dijebol dan tas atase kecil milik mendiang dipisahkan dan dicuri. “Kau tahu apa yang mendiang simpan dalam tas itu?” tanya koroner. “Aku pernah melihatnya memasukkan surat-surat suaminya ke dalam tas itu. Cukup banyak. Entah apa lagi yang dia simpan kecuali tentu saja buku cek.” “Apa dia punya saldo yang banyak di bank?” “Aku yakin begitu. Suaminya biasa mengirim sebagian besar gajinya dan mendiang biasa menyetorkan dan menyimpannya di 41
bank. Mungkin dia punya dua atau tiga ratus pound di dalam rekening.” Sementara Ny. Beddingfield mengakhiri, dipanggillah Tn. Wardale, dan disusul Tn. Macauley. Keterangan mereka berdua cukup singkat dan seluruhnya terkait dengan kekacauan yang dibuat Bergson, dan ketidakhadirannya di persidangan sudah kusoroti. Saksi terakhir adalah inspektur polisi, dan dia, sesuai perkiraanku, jelas-jelas pendiam. Dia memang merujuk pada jejak kaki itu, tapi, seperti Foxton—yang kiranya sudah dapat instruksi —tak bersuara perihal kejanggalannya. Tidak pula berkata apa-apa soal sidik jari. Adapun identitas si penjahat, itu harus diselidiki lebih dalam. Mulanya kecurigaan terpaku pada Bergson, tapi ternyata si Swedia berlayar dari Ramsgate dengan kapal es dua hari sebelum kejadian. Lalu kecurigaan mengarah pada sang suami, yang diketahui telah mendarat di Liverpool empat hari sebelum kematian isterinya dan raib secara misterius. Tapi dia (sang inspektur) baru pagi itu menerima telegram dari kepolisian Liverpool yang memberitahukan bahwa jasad Toussaint ditemukan mengambang di Mersey dan memuat sejumlah luka bercirikan pembunuhan. Rupanya dia dibunuh dan mayatnya dilempar ke sungai. “Ini mengerikan,” kata koroner. “Apa pembunuhan kedua ini memberi petunjuk tentang kasus yang sedang kita usut?” “Kurasa begitu” jawab sang perwira, namun tanpa keyakinan besar, “tapi sebaiknya tidak masuk lebih detil.” 42
“Benar sekali,” koroner setuju. “Sangat tidak patut. Tapi apa kau punya petunjuk menuju pelaku kejahatan ini—seumpamanya telah terjadi kejahatan?” “Ya,” sahut Platt. “Kami dapat beberapa petunjuk penting.” “Dan semua itu menunjuk pada individu tertentu?” Inspektur bimbang. “Well...” cetusnya agak malu, tapi koroner memotong: “Mungkin pertanyaan barusan tidak bijaksana. Kita tak boleh menghambat kepolisian, tuan-tuan, dan poin tersebut tidak begitu penting bagi pemeriksaan kita. Kau lebih suka mengecualikan pertanyaan ini, Inspektur?” “Kalau Anda berkenan, Yang Mulia,” jawabnya sungguhsungguh. “Apakah cek-cek dari buku cek mendiang sudah dipertunjukkan di bank?” “Belum sejak kematiannya. Baru pagi ini aku minta keterangan bank.” Ini mengakhiri kesaksian, dan usai kesimpulan ringkas tapi cakap dari koroner, juri memberi putusan “pembunuhan disengaja terhadap orang tak dikenal”. Sementara proses pemeriksaan berakhir, Thorndyke bangkit berputar, dan aku kaget melihat Inspektur Miller dari Departemen Penyelidikan Kriminal, yang masuk tanpa kusadari dan duduk di belakang kami. “Aku sudah
ikuti instruksimu, pak,” katanya
kepada
Thorndyke, “tapi sebelum kita mengambil tindakan pasti, aku ingin 43
bicara sedikit denganmu.” Dia memimpin jalan menuju ruang sebelah. Saat masuk kami diikuti oleh Inspektur Platt dan Dr. Foxton. “Nah, Dokter,” kata Miller, menutup pintu pelan-pelan, “sudah kulaksanakan saranmu. Tn. Macauley dicekal, tapi sebelum melakukan penahanan, kita harus punya dasar. Aku mau kau tunjukkan argumen prima facie.” “Baiklah,” kata Thorndyke, menaruh kopor hijau kecil, yang hampir selalu mendampinginya, di atas meja. “Aku sudah lihat argumen prima facie yang itu,” kata Miller menyeringai, sementara Thorndyke membuka kuncinya dan mengambil amplop besar. “Apa yang kau punya di situ?” Sewaktu Thorndyke mengeluarkan pembesaran foto-foto kecil buah kerja Polton, mata Platt terlihat menonjol, sedangkan Foxton memberiku lirikan penuh cela. “Ini,” kata Thorndyke, “adalah foto-foto jejak kaki tersangka pembunuh dalam ukuran normal. Inspektur Platt mungkin bisa memverifikasinya.” Agak enggan Platt mengeluarkan sepasang foto pelat utuh dari sakunya, yang kemudian ditaruh di samping hasil pembesaran. “Ya,” kata Miller, setelah membandingkan, “mereka jejak kaki yang sama. Tapi, Dokter, kau bilang mereka adalah jejak Macauley. Apa buktinya?” Lagi-lagi Thorndyke berpaling pada kopor hijau. Dia mengeluarkan dua lempeng tembaga yang terpasang pada kayu dan dilapisi tinta cetak. 44
“Aku usulkan,” katanya, mengangkat lempengan tersebut dari bingkai pelindung, “kita buat jejak kaki Macauley dan bandingkan dengan foto-foto ini.” “Ya,” kata Platt. “Dan lagi kami sudah dapat sidik jari. Itu juga bisa diuji.” “Kau tak butuh sidik jari kalau sudah dapat jejak kaki,” tolak Miller. “Berkenaan dengan sidik jari itu,” kata Thorndyke, “bolehkah aku tanya apa mereka diambil dari botol?” “Ya,” aku Platt. “Dan ada sidik jari lain?” “Tidak,” jawab Platt. “Ini satu-satunya.” Sembari bicara dia menaruh foto yang memperlihatkan sidik jempol dan telunjuk tangan kanan. Thorndyke melirik foto tersebut dan berpaling kepada Miller: “Itu sidik jari Dr. Foxton.” “Mustahil!” seru Platt, lalu terdiam. “Kita lihat saja,” kata Thorndyke, mengeluarkan sebuah bloknot kertas putih dari kopor. “Kalau Dr. Foxton mau menaruh ujung-ujung jari kanannya pada lempeng bertinta ini dan kemudian pada kertas ini, kita bisa bandingkan sidiknya dengan foto.” Foxton menempatkan jemarinya pada lempeng yang dihitami dan kemudian menekannya pada bloknot, meninggalkan empat sidik jari hitam nan jelas. Inspektur Platt mencermatinya dengan semangat, dan sementara pandangannya beralih dari sidik ke foto, tiba-tiba dia tersenyum malu. 45
“Sial!” rengutnya. “Mereka sidik yang sama.” “Well,” kata Miller, dengan nada muak, “kau pasti mudah ditipu sampai tidak terpikir akan hal ini, padahal kau tahu Dr. Foxton sudah pegang botolnya.” “Bagaimanapun juga fakta ini penting,” kata Thorndyke. “Ketiadaan sidik jari selain milik Dr. Foxton bukan cuma mengindikasikan bahwa si pembunuh mengambil tindakan antisipasi dengan memakai sarungtangan, tapi terutama itu membuktikan botolnya tidak dipegang oleh mendiang semasa hidup. Tangan pelaku bunuh diri biasanya sangat lembab dan meninggalkan jejak mencolok, kalau bukan gamblang.” “Ya,” Miller sependapat, “itu betul. Tapi terkait jejak-jejak kaki ini, kita tak bisa paksa orang itu agar kita diizinkan memeriksa kakinya, tanpa ada penahanan. Jangan kira, Dr. Thorndyke, bahwa aku curiga kau cuma menebak. Aku sudah mengenalmu terlalu lama akan reputasi itu. Kau sudah benar dengan fakta-faktamu, aku tidak ragu, tapi kau harus beri kami cukup dasar untuk menjustifikasi penahanan.” Jawaban Thorndyke adalah terjun lagi ke dalam kopor hijau yang tak ada habisnya. Kali ini dia mengambil dua objek berbungkus kertas tisu. Setelah kertas dilucuti, tersingkaplah model sepasang sepatu cokelat amat lusuh. “Ini,” kata Thorndyke, memamerkan ‘model’ ini kepada Inspektur Miller—yang memandangnya dengan seringai jijik —“adalah cetakan gips bagian dalam dari sepasang sandal usang dan sempit milik Tn. Macauley. Namanya tertulis di bagian dalam. 46
Cetakan ini dilapisi lilin dan dicat dengan umber mentah, yang telah digosok sampai bersih, hingga menampakkan tonjolan dan lekukan. Kau akan lihat, jejak jari kaki pada sol bawah dan jejak buku jari pada sol atas tampak sebagai tonjolan; malah kita mendapat reproduksi sederhana kaki sungguhan. “Nah, pertama soal dimensi. Pengukuran jejak kaki oleh Dr. Jervis memberi kita angka sepuluh inchi tiga perempat sebagai panjang terluar dan empat inchi lima perdelapan sebagai lebar terluar di bungkul metatarsus. Pada cetakan ini, sebagaimana kalian simak, panjang terluar adalah sepuluh inchi lima perdelapan —kekurangan seperdelapan disebabkan oleh lengkungan sol, dan lebar terluar adalah empat inchi seperempat—kekurangan tiga perdelapan disebabkan oleh mampatan lateral sandal sempit. Kecocokan dimensi ini luar biasa, mengingat ukurannya tak biasa. Dan sekarang soal kejanggalan kaki. “Kalian perhatikan, setiap jari kaki membuat jejak jelas pada sol bawah, kecuali kelingking, yang tak ada bekasnya pada kedua cetakan. Dan, pada sol atas, kalian lihat buku jari tampak cukup jelas dan menonjol—lagi-lagi kecuali kelingking, yang tak meninggalkan jejak sama sekali. Dengan demikian ini bukan kasus kelingking tertarik ke belakang, sebab mereka akan kelihatan sebagai tonjolan tambahan. Maka, mempertimbangkan kaki secara keseluruhan, jelaslah kelingkingnya tidak ada; terdapat satu rongga nyata, di mana semestinya ada tonjolan.” “Em, ya,” kata Miller ragu, “sangat apik. Tapi bukankah itu sedikit spekulatif?” 47
“Oh, ayolah, Miller,” protes Thorndyke, “pertimbangkan faktafaktanya. Ada seorang tersangka pembunuh yang diketahui memiliki ukuran kaki tak biasa dan menampakkan kecacatan langka. Itu adalah kaki seseorang yang tinggal serumah dengan wanita terbunuh itu, dan pada tanggal kejadian dia tinggal dua pintu saja darinya. Apa lagi yang kau mau?” “Well, ada persoalan motif,” Miller keberatan. “Itu hampir bukan bagian dari argumen prima facie,” kata Thorndyke. “Tapi jikapun ya, tak adakah bahan yang cukup untuk curiga? Ingat, siapa wanita terbunuh itu, apa profesi suaminya, dan siapa pria Sierra Leone ini.” “Ya, ya, itu betul,” kata Miller agak tergesa-gesa, entah mencium penyimpangan argumen Thorndyke (yang tak kusadari), atau enggan mengaku masih tak paham. “Ya, kita akan bawa masuk orang itu dan mendapatkan jejak kakinya.” Dia pergi ke pintu dan menyembulkan kepalanya keluar, membuat suatu isyarat, yang seketika disusul hentakan kaki: Macauley masuk, diikuti dua polisi kekar berpakaian preman. Si negro jelas gusar. Dia menengok ke sana kemari dengan ekspresi liar seperti binatang buruan. Tapi sikapnya agresif dan garang. “Kenapa aku diusik dengan cara kurang ajar seperti ini?” tanyanya dengan suara dalam dan berdengung, khas lelaki negro. “Kami ingin lihat kakimu, Tn. Macauley,” kata Miller. “Maukah kau melepas sepatu dan kaus kaki?” “Tidak,” raung Macauley. “Kalian saja duluan!” “Kalau begitu,” kata Miller, “kutahan kau atas tuduhan 48
membunuh—” Sisa kalimat tenggelam dalam kegaduhan mendadak. Si negro jangkung dan kuat melenguh bagai banteng murka, mencabut sebilah pisau besar berbentuk aneh dan menyerbu Inspektur dengan geram. Tapi dua petugas berpakaian preman selalu memantau dari belakang dan kini menerjangnya, masing-masing mencengkeram satu lengan. Didahului dua bunyi klik logam yang nyaring, dentaman bergemuruh, dan teriakan memekakkan, si barbar dahsyat itu terbaring tak berdaya di lantai; satu polisi raksasa duduk mengangkangi dadanya, satu lagi menduduki lututnya. “Sekarang kesempatanmu, Dokter,” kata Miller. “Akan kulepas sepatu dan kaus kakinya.” Sementara Thorndyke memoles ulang lempeng-lempengnya dengan tinta, Miller dan sang inspektur lokal melepas sepatu perlak apik dan kaus kaki sutera hijau dari kaki si negro yang sedang menggeliat dan melenguh. Lalu Thorndyke cepat-cepat dan cekatan menerapkan lempengan bertinta pada tapak kakinya— yang kupegangi untuk keperluan ini—disusul dengan tekanan gesit bloknot kertas, pertama pada kaki yang satu, kemudian, sehabis mencabut lembar cetakan, pada kaki yang lain. Meski ada kesulitan akibat rontaan Macauley, masing-masing lembar menampakkan cetakan tapak kaki yang jelas dan tajam, bahkan pola rabung jari dan bola kakinya cukup jelas. Thorndyke menaruh masing-masing cetakan baru di atas meja, di samping foto besar, dan mengundang kedua inspektur untuk membandingkan. 49
“Ya,” kata Miller, sementara Inspektur Platt mengangguk setuju, “tak diragukan lagi. Cetakan tinta dan foto-foto ini identik, sampai setiap garis dan tanda kulitnya. Kau sudah tunjukkan argumenmu, Dokter, seperti biasa.” ***** “Kau tahu,” kata Thorndyke, selagi kami mengisap pipa malam di dermaga batu tua, “metodemu logis sama sekali, hanya saja tidak kau terapkan dengan tepat. Seperti banyak matematikawan, kau memulai dengan perhitunganmu sebelum mendapat data. Andai kau terapkan hukum sederhana probabilitas pada data riil, itu akan menunjuk lurus ke arah Macauley.” “Menurut dugaanmu bagaimana dia kehilangan kelingking kakinya?” tanyaku. “Aku tak menduga-duga. Jelas itu kasus ainhum ganda.” “Ainhum!” seruku tiba-tiba teringat. “Ya, itulah yang kau lewatkan. Kau membandingkan probabilitas tiga penyakit yang masing-masing sangat jarang menyebabkan hilangnya satu kelingking sekalipun dan teramat jarang menghilangkan dua-duanya. Dan tak satupun dari tiga kondisi
itu
terbatas pada
golongan
orang
tertentu. Kau
mengabaikan ainhum, penyakit yang menyerang nyaris hanya kelingking, membuatnya gugur, dan cukup lazim merusak kedua kelingking—sebuah penyakit yang terbatas pada ras kulit hitam. Dalam praktek Eropa, ainhum tak dikenal, tapi di Afrika, dan 50
sampai taraf tertentu di India, itu cukup lumrah. “Seandainya kau kumpulkan semua manusia di dunia yang kehilangan kedua kelingking kaki, lebih dari sembilan persepuluh akan mengidap ainhum; alhasil, menurut hukum probabilitas, jejak kaki yang kau temukan itu, dengan peluang sembilan banding satu, adalah milik penderita ainhum, dan karenanya milik orang kulit hitam. Tapi begitu kau tetapkan orang kulit hitam sebagai penjahat probabel, kau membuka bidang baru yakni bukti nyata. Ada orang kulit hitam di tempat itu. Orang itu asli Sierra Leone dan hampir pasti orang penting di sana. Sementara suami korban punya musuh-musuh mematikan dari perkumpulan rahasia pribumi Sierra Leone. Surat-surat sang suami mungkin memuat materi yang memberatkan orang pribumi tertentu. Bukti ini menjadi kumulatif, kau lihat. Secara keseluruhan, itu menunjuk terang-terangan pada Macauley, terlepas dari fakta baru pembunuhan Toussaint di Liverpool, kota dengan populasi mengambang Afrika Barat yang lumayan banyak.” “Dan kusimpulkan dari penyebutan racun Afrika strophanthus, bahwa kau langsung memilih Macauley saat menyimak gambaran kasus ini dariku?” “Ya, terutama saat kulihat foto-foto jejak kaki tanpa kelingking dan bekas luka kuman pada jari-jari kaki yang tersisa. Tapi keberuntunganlah yang memungkinkanku memasang fondasi ke tempatnya dan mengubah probabilitas menjadi kepastian praktis. Hampir-hampir aku memeluk si pesulap Wardale saat dia membawa sandal ajaib. Tapi ini belum menjadi kepastian mutlak, 51
bahkan hingga sekarang, sepertinya sampai besok.” Dan Thorndyke benar. Malam itu juga polisi masuk ke majelis Macauley di Tanfield Court, di mana mereka menemukan tas atase milik wanita itu. Tas tersebut masih berisi surat-surat Toussaint kepada sang isteri, dan salah satu surat menyebutkan nama beberapa tokoh Sierra Leone sebagai anggota perkumpulan rahasia berbahaya, termasuk tertuduh David Macauley.
52