JEJAK KEJAHATAN Mary Fortune
2016
Jejak Kejahatan Diterjemahkan dari Traces of Crime karangan Mary Fortune terbit tahun 1865 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: November 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
B
ANYAK
orang masih ingat kesibukan di Dataran Chinaman.
Di puncak kemakmurannya, terjadi perkosaan keji terhadap
seorang wanita hingga membangkitkan kegelisahan masyarakat dan polisi untuk menghukum pelakunya. Kasus itu diserahkan ke tanganku. Karena ini menghadirkan kesulitan hebat yang nyaris sulit diatasi bagi pemerhati biasa, yang penanggulangannya
berpotensi
menghasilkan
apresiasi
di
departemen berwajib, maka kuterima tugas itu dengan senang hati. Modalku tak banyak. Suatu malam gelap, di sebuah tenda di pusat jalan yang ramai, seorang wanita sedang bersiap-siap untuk tidur—suaminya biasa bertahan di bar hingga larut malam—ketika seseorang bertopeng krep, yang diperkirakan sudah masuk dari awal, merenggutnya, dan dalam pelaksanaan tindak kriminal, melukai dan memperlakukan wanita malang ini secara tidak pantas hingga hidupnya dipenuhi keputusasaan. Kendati ada pelita yang menyala pada waktu itu, sang wanita hampir tidak mampu mendeskripsikan penampilan umum pelaku; baginya dia seperti orang Jerman, tidak bercambang, rambutnya
pirang, dan
perawakannya pendek gemuk. Cuma itu informasi yang bisa dia berikan padaku, dengan satu pengecualian penting. Tapi pengecualian ini sangat berarti untuk seorang detektif, dan kuharap nantinya menjadi bantuan tak ternilai bagiku. Dalam pergulatan itu dia mengoyak lengan kemeja pelanel pelaku, dan mendapat kesan pasti bahwa pada bagian atas lengannya terdapat tato jangkar kecil dan hati. Nah, aku sadar betul, di koloni ini mencari seseorang dengan 5
lengan bertato adalah urusan sehari-hari. Apalagi di tempat penggalian, di mana, aku berani bilang, hampir tak ada orang yang tidak bersinggungan lebih dari satu atau dua kali dengan setengah lusin pria bertato dalam gaya yang kusebutkan—jangkar atau hati, atau dua-duanya, adalah gambar favorit di antara “pria-pria jantan” yang menyukai pencitraan. Namun, petunjuk ini menjadi berharga, dan bahkan tanpa itu, kurang dari dua pekan kemudian ketika dengan bantuan polisi setempat aku berhasil melacak seorang pria yang penampilannya mirip si pelaku ke sebuah tempat penggalian sekitar tujuh mil dari Dataran Chinaman. Tak perlu kuceritakan setiap rincian tentang bagaimana kecurigaanku diarahkan pada orang ini, yang tidak tinggal di Dataran Chinaman, dan kelihatannya belum meninggalkan penggalian tempatnya berkemah sejak pertama kali bekerja di sana. Aku bilang “kelihatannya”, sebab menurut informasi tertentu dia absen dari tendanya di malam biadab itu. Maka pada suatu malam aku bersusah-payah menyusuri dataran di mana tendanya didirikan, dengan barang bawaan di punggungku, kemudian duduk di atas kayu gelondongan tak jauh dari tempatnya menyalakan api untuk masak atau tujuan lain. Lokasi penggalian ini akan kunamai McAdam’s. Ini adalah ladang emas besar dan berkembang, dan di dataran tempat orang incaranku
berkemah
terdapat
beberapa
tenda
lain
yang
berkelompok. Jadi tak aneh aku harus mencari-cari sepasang semak-belukar, agar aku dapat menggantung potongan terpal kecil untuk malam itu. 6
Setelah mengencangkan tali, dan menghampar tenda di atasnya dengan gaya tukang gali biasa, kupatahkan beberapa semak sebagai alas tidur dan kutebar selimut di atasnya. Lantas aku menghampiri orang itu—yang kemudian kupanggil “Bill”—untuk minta izin merebus kambing jantan di apinya. Izin dikabulkan dengan senang hati. Jadi kunyalakan pipa rokok dan duduk menunggu didihnya air, memutuskan apakah aku bisa membuat tersangka ini menerimaku sebagai mitra sebelum aku berbaring malam itu. Bill ikut merokok, dan tentu saja tidak curiga sedikitpun bahwa penggali kasar dan normal di hadapannya sedang merenungkan “dandanan” detektif Victoria, yang telah membuatnya sedikit diperbincangkan
di
antara
rekan-rekan
berkat
satu
dua
penangkapan cerdik. “Dari mana asalmu, kawan?” selidik Bill, sambil mengisap pipa bergagang pendek dengan santai. “Dari Burnt Creek,” sahutku, “dan jalan yang cukup panjang dalam cuaca sepanas ini.” “Tak ada pekerjaan di Burnt Creek?” “Tidak—tempat itu habis.” “Kalau begitu kau kemari untuk mencoba-coba?” tanyanya, agak antusias kukira. “Well, kupikir begitu. Adakah peluang menurutmu?” “Sudah punya hak penambang?” tanyanya mendadak. “Sudah,” kataku sambil mengeluarkannya dari saku, dan menyerahkan potongan perkamen tersebut untuk dia periksa. 7
“Kau pembuat topi?” selidik Bill, sambil mengembalikan dokumen. “Ya,” jawabku. “Well, kalau kau tak keberatan, aku mau bermitra denganmu— aku punya prospek cukup bagus, dan lapang ini akan turun agak dalam untuk satu orang, kurasa.” “Baguslah.” Ini persis yang kuinginkan, menetap tanpa masalah sedikitpun. Tujuanku bermitra dengan orang ini, aku yakin, mudah dipahami. Aku tak mau mempertaruhkan karakter ketangkasanku dengan menangkapnya tanpa yakin dia punya cap sebagaimana dideskripsikan oleh wanita itu. Lagipula, dalam pengawasan dekat yang dapat kulakukan terhadapnya sambil bekerjasama setiap hari, apapun
mungkin
terjadi
sebagai
bukti
tambahan
yang
memberatkannya. Minimal begitulah argumenku. Dengan pikiran setengah lega aku membuat makan malam sederhana, dan berpurapura “pergi tidur”, letih, sebagaimana lazimnya setelah jalan kaki panjang. Padahal aku tidak pergi tidur, tidak. Aku punya objek pandangan lain, sekiranya seseorang boleh disebut mempunyai objek pandangan di salah satu malam tergelap di pekan tanpa rembulan—mengingat malam itu jadi cukup gelap, bahkan sebelum aku selesai makan malam dan membuat persiapan tidur. Kami berkemah cukup dekat dengan wilayah usaha yang ramai sehingga keadaannya tidak tenang. Ada banyak gaduh—gaduh malam di ladang emas subur—datang ke arah kami, dan bahkan di 8
beberapa tenda dekat kami, permainan kartu, minum-minum, nyanyian, dan gelak-tawa terus berlangsung. Jadi cukup mudah bagiku untuk menyelinap ke belakang tenda kecil Bill tanpa ketahuan, dan, berkat celah kecil pada kain mori yang kubuat dengan pisau, memeriksa apa yang sedang dia kerjakan di dalam. Aku sangat ingin mengenal kebiasaannya, dan tentu saja bertekad memantaunya secermat mungkin. Well, contoh pertama yang kuperoleh mengenai kebiasaannya memang janggal, dan menjadi satu pengecualian terhadap tingkah lakunya secara umum. Para penggali, atau golongan apapun, biasanya tidak menghabiskan malam dengan menyayat-nyayat sepatu mereka menjadi potongan kecil, tapi itulah yang sedang Bill kerjakan
saat
kuarahkan
mataku
ke
lubang.
Dia
sudah
menyelesaikan sebagian besar benda tersebut ketika aku mulai mengamatinya: seluruh “bagian atas” sepatu bot
blucher
berlumpur tergeletak di atas meja kasar dalam tumpukan kecil, dan potongan terkecil yang disayat-sayat dengan sabar dari bot kulit usang, keras, dan kering. Ini agak membingungkan bagiku. Bahwa Bill berbuat demikian hanya untuk menghibur diri sama sekali tidak masuk akal. Justru, tanpa memperhatikan bahwa dia menutup rapat pintu tendanya di malam yang hangat, dan bahwa dia kaget oleh suara sekecil apapun, naluri detektif tua sudah cukup meyakinkanku bahwa Bill punya alasan besar untuk menyingkirkan sepatu bot tua itu. Makanya aku terus mengamati. Dia menetak sol dengan pisau jagal usang tapi tajam, tapi sol 9
tersebut tahan terhadap upaya penceraiberaiannya, dan lama-lama dia menyerah dalam keputusasaan. Menghimpun bagian-bagian kecil di atas meja, disapunya mereka dengan sol buntung ke dalam topi. Terus dia membuka pintu tenda dan pergi keluar. Aku betul-betul menebak dia hendak menuju api. Karena api kebetulan berada di sisi lain kayu gelondongan dari tempatku bersembunyi, aku punya peluang bagus untuk terus memata-matai. Dia menggaruk beberapa sisa bara api dekat kayu gelondongan, dan melemparkan potongan kain itu ke atasnya, lalu kembali ke dalam tenda. Dia pasti berhitung bahwa abu panas akan segera menghanguskan dan memilin mereka hingga sulit dikenali, sementara api yang akan dia buat di atasnya keesokan pagi akan menuntaskan urusan secara memuaskan. Semua ini akan terjadi, tentunya, andai aku tidak berhasil mengorek hampir setiap keping dari tempat Bill melemparnya. Kulakukan itu diam-diam dan cepat-cepat, sehingga aku sudah berada di dalam tenda gantung dengan barang hasil jerih-payahku dan satu dua luka bakar pada jemariku sebelum dia sempat melepas pakaian dan memadamkan pelita. Dia melakukannya singkat sekali, sementara aku terjaga untuk waktu lama sebelum akhirnya tertidur. Aku memikirkan perkara tersebut dengan segala cara, dan merenungkannya dengan segala informasi yang sanggup kususun. Tapi karena selalu mengaitkan sepatu hancur ini dengan kasus yang sedang kuselidiki, aku tak mampu mencernanya sama sekali. Apakah kami melewatkan suatu petunjuk, terlepas dari 10
perasaan teliti kami, yang Bill khawatirkan jatuh ke tangan kami, yang kuncinya adalah sepatu amburadul ini? Dan jika ya, kenapa baru sekarang dia menghancurkannya? Itu, seperti kubilang, membingungkan bagiku, dan otakku sungguh letih saat aku pergi tidur. ***** Well, aku bekerjasama dengan Bill selama sepekan, dan boleh dibilang itu pekerjaan yang tidak terlalu kusukai. Tak biasa memakai beliung dan sekop mengakibatkan tanganku luka. Tapi, karena takut menimbullkan kecurigaan mitraku, aku tidak berani mengeluh, hanya bertahan dalam diam, atau seperti kata temanteman Skotlandia kita: “Meringis dan menunggu.” Dan yang terburuk dari semua itu adalah aku tidak mendapat apa-apa—tidak sama sekali—dari kerajinanku yang tak lazim. Aku berharap melihat jangkar dan hati secara kebetulan, tapi hari demi hari aku terus kecewa, karena mitraku sangat tidak teratur dalam membersihkan badannya. Dan aku mengecualikan tuan rumahku dalam mengira bahwa kebiasaan lazim seorang penggali, yakni “mandi teratur” minimal setiap hari Minggu, akan bagus dan tepat untuk menyingkap tato. Tapi kenyataannya tidak. Bill membiarkan Minggu datang dan pergi tanpa sekalipun melepas kemeja pelanel yang telah dia pakai sepanjang pekan, dan aku mulai menyerapahi ketumpulanku sendiri. “Orang ini pasti sadar kemejanya dikoyak oleh wanita itu. 11
Tentu dia curiga wanita itu telah melihat tatonya, dan dia akan sangat berhati-hati untuk tidak menampakkannya, ada mitra ataupun tidak,” pikirku. Dan aku mengatai diriku keledai. Selama beberapa
hari berikutnya, seraya
mengandalkan
rangkaian
kebetulan, aku juga mempertimbangkan “jadi atau tidaknya” menangkapnya segera dan mengambil resiko. Sabtu petang datang lagi. Aku lega menyambut jam akhir kerja lebih awal, salah satu dari empat hari libur di kalangan penambang, yakni jam empat. Dengan tekad bulat untuk tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah terkutuk itu, aku memanggul beliung dan sekop dan berjalan ke arah tenda. Dalam perjalanan aku bertemu seorang polisi, dan mendapat isyarat yang sudah disepakati dengannya bahwa aku ditunggu di kemah. Maka aku pun bilang pada Bill bahwa aku hendak menemui kawan lama terkait utangnya padaku, dan langsung berangkat. “Kami temukan hal lain dalam bidang perhatianmu, kawan,” kata sobat lamaku Joe Bennet sewaktu aku masuk kemah, “yang, menurutku, akan menjadi pertanyaan janggal bagimu, seperti biasa. Ditemukan sesosok mayat di Galur Pipeclay, dan kami hampir tidak punya alasan dari penampilannya untuk menduga-duga bagaimana dia mati.” “Apa maksudmu?” selidikku. “Dia sudah lama mati?” “Sekitar dua minggu, aku berani bilang, tapi kami belum berbuat apa-apa. Karena tahu kau ada di lapang ini, kami bahkan belum menyentuh jasadnya. Maukah kau ikut sekarang juga?” 12
“Tentu saja!” Setelah mengganti seragam pasukanku dengan kostum penggali seperti yang kukenakan, untuk berjaga kalau-kalau kami bertemu “mitra”-ku, kami langsung pergi ke “Pipeclay”. Jasadnya telah dipercayakan pada salah seorang polisi, dan masih berbaring tak terusik dalam posisi ditemukannya. Tak ada siapa-siapa di sekitar situ, bahkan galur sudah ditelantarkan, dan tidak memuat jejak pekerjaan tangan manusia sedikitpun, kecuali lubang-lubang penambang dan tonjolan-tonjolan kecil lempung pipa, yang darinya nama galur tersebut diambil. Dan itu betul-betul “galur”, membentang antara dua baris bukit. Perbukitan diliputi belukar wattle dan pohon ceri, dan bertabur bebatuan dan tandatanda kwarsa, yang, aku yakin, sudah pernah dicoba. Well, di lereng salah satu bukit, di mana ia menyatu dengan permukaan galur, dan di mana penurunan tersebut jelas-jelas dangkal, tergeletak jasad orang mati itu. Dia berpakaian dalam gaya penambang standar, dan, kecuali fakta keberadaan senapan di sisinya, orang akan menduga dia sekadar berhenti menggali demi merebahkan diri lalu mati di samping lubang. Namun lubang itu penuh air—cukup penuh. Malah airnya membasahi tanah sekitar, dan lubang itu jelas sudah tua, berdasarkan pinggiran yang hancur, dan pecahan dahan-dahan tua yang membusuk di air. Jasad
tergeletak
dekat
lubang
ini.
Gesturnya
yang
mengindikasikan pengerahan tenaga terakhir sewaktu masih bernyawa adalah gestur merangkak keluar dari lubang air, di mana 13
bagian kaki pria malang ini tertinggal. Tak ada topi di kepalanya, dan kendati kondisi mayat sudah lumayan busuk, pengamat biasa sekalipun pasti melihat retakan besar pada sisi kepalanya. Kuperiksa senapannya. Itu senapan gotri berlaras ganda, dan satu laras sudah diletuskan, sedangkan pada batang senapan terdapat bekas darah yang sangat nyata, yang gagal dihapus oleh hujan lebat terakhir. Dalam sakunya tidak ada apa-apa, selain yang biasa dibawa penggali manapun—pipa dan tembakau, pisau murah, dan satu atau dua koin shilling, cuma ini. Meninggalkan mayat untuk diangkat oleh polisi, kuikuti jejakku kembali ke kemah sambil berpikir. Yang cukup aneh, selama ketidakhadiranku, ada seorang wanita datang ke sana, memberi informasi tentang suaminya, lantaran dia cemas dengan kepergiannya. Karena kewaspadaan polisi yang bertugas di kemah mencegahnya memberitahukan fakta penemuan mayat di hari itu, aku segera pergi ke alamat yang ditinggalkan si wanita, bukan sekadar untuk mencaritahu, jika memungkinkan, apakah itu memang pria yang hilang, tapi juga untuk mendapatkan informasi yang mungkin membantuku mengendus si pembunuh, sebab aku tidak ragu sedikitpun bahwa dia telah dibunuh. Well, aku berhasil menemukan wanita itu, seorang wanita Inggris muda dan rupawan dari golongan rendah, dan memperoleh informasi berikut darinya: Kira-kira dua pekan lalu, suaminya, yang kurang sehat dan karenanya tidak bekerja selama satu atau dua hari, membawa 14
senapan di suatu pagi untuk menghibur diri selama satu dua jam, serta untuk memandang perbukitan dekat Galur Pipeclay, dan sekaligus melakukan sedikit pencarian. Dia tak kunjung kembali, tapi karena dia sudah mengisyaratkan kemungkinan untuk berkunjung ke tempat saudaranya yang sedang menggali sekitar empat mil dari situ, sang wanita tidak merasa cemas hingga menyadari bahwa, setelah berkomunikasi dengan saudara yang dimaksud, suaminya tidak pernah ke sana. Dari deskripsinya, aku langsung tahu pria malang di Galur Pipeclay memang jenazah orang hilang itu, dan dengan hati-hati dan halus kusampaikan kabar ini kepada sang isteri yang syok. Setelah membiarkannya menyalurkan kesedihan dalam banjir air mata, aku berusaha mencari suatu petunjuk menuju pelaku potensial pembunuhan tersebut. “Apa kau punya kecurigaan?” tanyaku, “adakah perseteruan antara suamimu dan siapapun yang namanya bisa kau sebutkan?” Mulanya dia menjawab “tidak”, tapi tiba-tiba dia teringat. Dia bilang, beberapa pekan lalu, selagi suaminya tak ada di tempat, seorang lelaki datang merayunya, berpura-pura mengiranya belum bersuami. Meski dia jelas-jelas bersikap menolak, lelaki itu tetap meneruskan niatnya. Dia jadi khawatir terhadap tindakannya yang terburu nafsu, dan terpaksa meminta perhatian suami pada masalah ini. Sang suami, yang tentu saja naik darah, mengancam akan menembak si penyelinap jika berani lagi mendekati tempatnya. Dia mendeskripsikan lelaki ini padaku. Dalam gejolak kegirangan, sebagaimana dirasakan orang-orang menjelang sebuah 15
penemuan hebat, aku bergegas ke kemah, yang mana tidak jauh. Waktu itu jam setengah lima kurang. Beberapa menit kemudian aku sudah dalam perjalanan, bersama dua atau tiga rekan lain, menuju lokasi pembunuhan mengerikan itu. Tujuanku di sana segera jelas. Sebelumnya aku sudah mencoba kedalaman air berlumpur, dan ternyata tidak sampai empat kaki. Dan kini kami buru-buru memanfaatkan sisa cahaya siang yang panjang di musim panas itu untuk mengeringkan lubang. Susah-payahku terbayar. Pada endapan lumpur pekat di dasarnya, kami menemukan sepatu blucher yang tertanam sangat dalam. Aku yakin kalian bisa menebak bagaimana jantungku melompat atas pemandangan itu. Bagi para penggali kawakan, tugas selanjutnya tidaklah sulit. Kami sudah melengkapi diri dengan “bak” dan lain-lain, dan “mendulang” setiap genggam lumpur di dasar lubang. Akan tetapi satu-satunya “penemuan” yang kami dapat adalah sekeping kayu aneh, yang, alih-alih menjadi ganjaran usaha kami dengan teronggok bagai emas di dasar piring di mana kami “merasa jijik”, justru bersikeras mengambang di dasar bak, setelah lepas dari lempung yang mengepungnya. Itu kepingan kayu aneh, dan pada akhirnya cukup membayar kesusahan yang kami alami dalam mendapatkannya. Itu tembereng sebuah lingkaran, atau bagian tembereng lingkaran, tidak lebih dan tidak kurang dari sekeping kayu yang patah dari kancing kayu hitam kuno, yang masih dijumpai pada jaket monyet para penggali Australia, dan di tempat-tempat lain. 16
Well, aku merasa kenal kancing identik yang darinya kepingan kayu ini patah. Aku bisa pergi dan langsung mencocokkannya tanpa repot sedikitpun—aneh, bukan? Sambil mengantongi kepingan tersebut, mau tak mau aku berpikir, “Well, keadaan ini memang dan sangat mirip kerja Tuhan.” Ada
banyak
kejadian
di
mana
sebuah
kebetulan
mengakibatkan terurainya misteri, yang mungkin tetap menjadi misteri hingga hari pengadilan walau kita sudah berusaha sekuat dan semampu mungkin, kecuali jika membalik halaman kematian. Kecerdasan manusia semata takkan pernah menemukan kunci hieroglif rahasia, tidak pula menyusun secara berdampingan setiap mata rantai tersembunyi yang cukup panjang dan kuat untuk mencabik si pembunuh dari rasa amannya, dan menggantungnya setinggi Haman. Tampaknya begitu pula kasus yang sedang kusinggung. Cuma, alih-alih mengatributkan penjelasan dan keteruraian ini pada mitos kuasa kebetulan, dorongan “jiwa” justru menulis kata Tuhan. Tapi aku tidak terlalu mempertimbangkan moral ketika berjalan ke arah tenda pria yang kusebut Bill, setelah kembali mengenakan “dandanan” penggali. Tidak, aku merasakan lebih banyak dan lebih dalam daripada yang dipahami moralis belaka. Keyakinan bahwa kekuatan yang lebih tinggi memanggil, dan memilih, salah satu makhluknya sebagai instrumen kekuasaan pembalasan, telah menjadi alat kejahatan hebat dalam sejarah dunia kita, dan aku berharap pemikiran semacam itu tidak merasukiku sedetik pun. Aku tidak sadar akan perasaan bahwa aku 17
telah dipilih sebagai momok dan instrumen hukuman duniawi; tapi aku memang merasa sangat mungkin menjadi alat pemutus benang kehidupan sesama makhluk yang paling tidak siap, dan kujamin pada kalian, mengingatkan seseorang adalah tanggungjawab serius. Cahaya kemerahan terakhir sedang memudar rendah di arah barat ketika aku sampai ke lapang kemah kami, dan mendapati Bill duduk di atas kayu gelondongan, asyik dengan pipanya dalam senjakala yang menuju kelabu. Tentu saja aku sudah bertekad untuk menangkapnya langsung, dan sudah mengirim dua polisi ke belakang tenda kami, kalaukalau dia berusaha kabur. Dan kini, cukup siap, aku duduk di belakangnya. Usai meraba borgol di tempat biasa pada ikat pinggangku, aku menyalakan pipa dan mulai ikut merokok. Jantungku berdebar-debar. Walau sudah lama terlibat dalam urusan semacam ini, aku belum juga kebal terhadap perasaan penjahat malang atau kegairahan yang mengiringi setiap penangkapan. Kami merokok dalam kebisuan untuk beberapa menit, dan aku tekun menunggu bunyi isyarat sekecil apapun dari rekan-rekanku. Akhirnya Bill memecah kesunyian. “Kau sudah dapat uangmu?” tanyanya. “Tidak,” jawabku, “tapi kurasa tidak lama lagi. Sunyi lagi. Mencabut pipa dari mulut dan pelan-pelan menggetokkan abu ke kayu gelondongan, aku berbalik ke arah mitraku dan berkata: “Bill, apa yang membuatmu membunuh pria di Galur Pipeclay?” 18
Dia tak menyahut, tapi kulihat wajahnya pucat dan putih dalam cahaya senja redup kelabu, dan lama-kelamaan mencolok jelas, mirip dengan wajah mayat yang tergolek di galur sepi itu. Tak diduga dia betul-betul tertegun: dia tidak tahu sedikitpun bahwa mayatnya sudah ditemukan. Aku mengunci borgol pada pergelangan tangannya yang cukup lemas, sementara rekanrekanku datang dan mengurusnya. Sedikit pulih, dia bertanya parau, “Siapa bilang aku pelakunya?” “Tidak ada,” jawabku, “tapi kau tahu kau melakukannya.” Kembali dia membisu, dan tidak menentangku. Maka dia pun dibawa ke kerangkeng. Aku benar soal kancing patah itu, dan sudah sering melihatnya pada jaket tua Bill. Kepingan itu memang pas, ditambah lagi sepatu blucher yang disayat-sayat itu! Sesungguhnya ada suatu pengaruh kuat yang bekerja dalam penemuan pembunuhan ini, dan sekali lagi kuulangi kearifan manusia semata tak sanggup menyelesaikannya. Bill, kelihatannya, juga berpikir begitu. Mengutarakan demikan padaku, dia membuat pengakuan penuh, bukan cuma soal pembunuhan, tapi juga kejahatan lain, yang mana pengingatannya sangat kuperlukan. Saat mendengar jasad pria naas itu ditemukan di permukaan, pada siang bolong, setelah ditinggalkan dalam kondisi tewas di dasar lubang, dia jadi bertakhayul bahwa Tuhan sendiri yang telah memperkenankan mendiang keluar dari tempat penyembunyian 19
agar menyeret si pembunuh ke pengadilan. Tidak aneh mendapati penjahat sekelasnya sangat dipenuhi takhayul, dan Bill bersikukuh sampai akhir bahwa orang yang dibunuh itu sudah mati ketika diletakkan di dalam lubang, di mana, di tengah kegelisahannya untuk mencegah mayat timbul ke permukaan, dia kehilangan sepatu di dalam lumpur, dan terlalu takut ketahuan untuk mencoba mengeluarkannya. Bill divonis, dijatuhi hukuman mati, dan digantung; banyak kejahatannya yang lain, yang jenisnya serupa dengan perbuatan di Dataran Chinaman, telah teringatkan oleh pengakuannya sendiri.
20