LAPORAN TAHUNAN
Kehidupan
Beragama
di Indonesia 2011
Center for Religious & Cross-cultural Studies
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Penulis: Zainal Abidin Bagir Mustaghfiroh Rahayu Marthen Tahun Najiyah Martiam Budi Asyhari Suhadi Cholil Moh Iqbal Ahnaf Endy Saputro
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center For Religious and Cross-cultural Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia telah diterbitkan sebanyak empat kali, setiap awal tahun, sejak tahun 2009. Laporan-laporan tersebut mengkaji beberapa masalah utama dalam kehidupan beragama di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan keragaman agama oleh negara maupun masyarakat. Laporan ini berusaha menilai perkembangan positif maupun negatif dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Sejak laporan yang pertama, beberapa isu yang menjadi fokus adalah agama dan kebijakan publik, hubungan antar maupun intrakomunitas agama, konflik dan kekerasan menyangkut masalah-masalah keagamaan, maupun agama dalam pemilihan umum. Selain analisis, laporan-laporan tersebut mengajukan rekomendasi untuk pemerintah, organisasi keagamaan, partai politik, tokoh agama, maupun beberapa pemangku kepentingan lain. Laporan-laporan terdahulu dapat diunduh dari crcs.ugm.ac.id/ annualreport, atau dengan menghubungi email
[email protected]
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA 2011 Januari 2012 ISBN: 978-602-96257-8-3 Penulis: Zainal Abidin Bagir Mustaghfiroh Rahayu Marthen Tahun Najiyah Martiam Budi Asyhari Suhadi Cholil Moh Iqbal Ahnaf Endy Saputro Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia
Desain + layout: Wahid Ar., ISGRAdesign, Yogya
4
Daftar Isi Pendahuluan ~ 8 Bab Satu Kebijakan Publik Keagamaan ~ 12 Akomodasi Kepentingan Muslim dalam Kebijakan Publik ~ 13 UU Pornografi: Moralitas Agama dalam Kebijakan Publik ~ 19 RUU KUB: Pengelolaan Keragaman dengan Instrumen Hukum ~ 22 Bab Dua Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme ~ 26 Penodaan Agama dan Aliran Sesat: Reaksi minus Antisipasi ~ 27 Ahmadiyah: Repetisi Menunggu Solusi ~ 32 Masalah-masalah Seputar Rumah Ibadah ~ 40 Terorisme 2011: Pola Baru, Aktor Baru, Jaringan Lama ~ 54 Bab Tiga Kekerasan dan Provokasi Perdamaian ~ 61 Kekerasan, Peristiwa yang Terus Membebani Bangsa ~ 61 Provokasi Damai Masyarakat Sipil ~ 67 Kesimpulan dan Rekomendasi ~ 75 Kualitas Kekerasan yang Meningkat ~ 75 Ringkasan Rekomendasi ~ 78 Ucapan Terimakasih ~ 81
5
Daftar Tabel Kebijakan terkait Ahmadiyah (Januari – Oktober 2011) ~ 33 Kekerasan terhadap Ahmadiyah (Januari – Agustus 2011) ~34 Kuantitas kasus rumah ibadah berdasarkan lokasi ~ 37 Masalah di seputar rumah ibadah tahun 2011 ~ 42
6
Daftar Singkatan AJI Damai: Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai AMAN : Asian Muslim Action Network BAZ : Badan Amil Zakat BAZNAS: Badan Amil Zakat Nasional BKSAUA: Badan Kerjasama Antar Umat Beragama BLU : Badan Layanan Umum BNPT : Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BP7 : Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila BPIH : Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji BPS : Badan Pusat Statistik BUMN : Badan Usaha Milik Negara DMI : Dewan Masjid Indonesia DPR : Dewan Perwakilan Rakyat FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama FORKAMI: Forum Komunikasi Muslim FPI : Front Pembela Islam GAPAS : Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat HTI : Hizbut Tahrir Indonesia ICW : Indonesia Corruption Watch IMB : Izin Mendirikan Bangunan IMPULSE: Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies IPHI : Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia JPH : Jaminan Produk Halal Kemenag: Kementerian Agama
Kemenkominfo: Kementerian Komunikasi dan Informatika Kemenkumham: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KPPU : Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPU : Komisi Pemilihan Umum KPWK : Koordinator Pelayanan Wilayah Klasis LAZ : Lembaga Amil Zakat LAZIS : Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqah LEMSAKTI: Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia MK : Mahkamah Konstitusi MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama MUI : Majelis Ulama Indonesia NA : Naskah Akademik P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila PBM : Peraturan Bersama Menteri Pemda : Pemerintah Daerah Pemkot : Pemerintah Kota Perwali : Peraturan Walikota PMA : Peraturan Menteri Agama Ponpes : Pondok Pesantren PP : Peraturan Pemerintah Prolegnas: Program Legislasi Nasional RHI : Rabithah Haji Indonesia RUU : Rancangan Undang-Undang UPZ : Unit Pengumpul Zakat UU : Undang-Undang
7
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Pendahuluan
Bagaimanakah kualitas kehidupan beragama di Indonesia? Apa saja yang menjadi masalah-masalah utamanya? Haruskah kita pesimis atau masih ada harapan untuk optimis? Laporan Tahunan ini berusaha memberikan salah satu jawaban yang didasarkan pada penelitian (dengan metode, sumber dan keterbatasan yang akan dijelaskan di bawah) yang berlangsung rutin sepanjang tahun. Kami juga sadar, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, maka ada banyak kemungkinan jawaban karena perspektif yang berbeda, berdasarkan penelitian atau lontaran spontan, dari pemerintah, tokoh agama, maupun organisasi masyarakat sipil.
Ragam Analisis dan Pencitraan Kehidupan Beragama di Indonesia Sebagai ilustrasi, kita dapat melihat salah satu cara penilaian yang diajukan oleh beberapa organisasi masyarakat sipil. The Wahid Institute (WI), misalnya, setiap tahun sejak 2008 menerbitkan Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia (sebelumnya, sejak 2005 telah menerbitkan laporan bulanan). Sesuai namanya, laporan ini terutama membahas dua hal: (1) pelanggaran kebebasan beragama, yang pelakunya adalah institusi negara (termasuk kantor kementerian, badan-badan negara, polisi, kantor pengadilan, tentara, dan juga pemerintah daerah—desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi); dan (2) intoleransi atas dasar agama dan keyakinan, yang pelakunya dapat negara, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat (ormas, khususnya ormas keagamaan, individu, maupun massa yang tak
8
teridentifikasi). Berdasarkan kedua kriteria itu, WI menghitung secara kuantitatif jumlah pelanggaran dan tindakan intoleransi. Membandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, WI menilai situasi kebebasan beragama di Indonesia pada 2011 sudah sampai pada tahap lampu merah. Sebagai kontras, jika contoh analisis di atas menekankan pada konsep kebebasan beragama (dan melihat pelanggaran kebebasan), Kementerian Agama cenderung memberi perhatian pada isu kerukunan. Kedua konsep ini sebetulnya tak sepadan. Sementara kebebasan adalah konsep legal yang telah memiliki instrumen-instrumennya dan memiliki dasar hukum kuat dalam hukum internasional dan nasional, kerukunan tak memiliki definisi operasional yang cukup tajam (apalagi instrumen-instrumen pengukurannya), namun biasanya digunakan untuk mengacu pada kondisi ideal dimana tidak ada konflik (berdasarkan agama dan keyakinan). Bagi Menteri Agama, Suryadharma Ali, seperti disampaikannya di penghujung 2011 dalam sebuah acara di Serang, Banten, kualitas kerukunan umat beragama di Indonesia sepanjang 2011 dinilai baik. Persoalanpersoalan yang terjadi dalam suatu komunitas agama atau beragama tak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai konflik agama, karena penyebabnya boleh jadi kekerasan murni, persoalan perizinan mendirikan rumah ibadah, atau politik yang menyeret umat beragama. Pernyataan Menag itu sebagiannya dapat diterima, karena memang benar, konflik agama tidak pernah hanya melibatkan agama—sebagaimana halnya semua peris-
Pendahuluan
tiwa sosial tak pernah punya sebab tunggal. Pernyataan itu dapat dipahami jika diletakkan dalam kerangka sektoral administrasi negara, yaitu bahwa jika ada kekerasan, maka itu tak menjadi urusan Kemenag, tetapi penegak hukum; jika ada masalah perizinan, maka itu juga bukan wilayah Kemenag, namun Kemendagri dan Kemenhumham atau pemerintah daerah; jika ada isu politik, khususnya terkait dengan Pilkada, maka itu juga di luar wilayahnya. Benar bahwa kerukunan bukan hanya tanggung jawab Kemenag, dan benar pula bahwa kerukunan umat beragama dipengaruhi banyak faktor nonagama. Namun memberikan penilaian adanya kerukunan di tengah banyak tumpukan masalah, seperti yang ingin ditunjukkan Laporan Tahunan ini, sungguh tak konstruktif untuk upaya pembangunan kerukunan, karena usaha itu dapat dimulai dari pengakuan adanya masalah yang kemudian dicarikan pemecahannya. Seiring dengan semakin sulitnya menolak kenyataan bahwa ada masalah cukup serius dengan kehidupan beragama di negara kita, ada satu penggambaran lain yang kerap diajukan, termasuk di lingkaran pemerintah; yaitu bahwa secara umum kerukunan umat beragama baik, namun ada beberapa masalah yang lebih merupakan perkecualian. Ada banyak kasus gereja yang sulit didirikan atau terganggu ibadahnya, bahkan diserang, namun mayoritas gereja di Indonesia aman-aman saja. Demikian pula dengan kelompok minoritas lain yang sebagian besar tidak mendapat masalah. Penggambaran itu secara faktual benar; hingga Laporan Tahunan 2010 pun kami memberikan gambaran semacam itu. Namun mesti diakui, pernyataan faktual itu tak akan berarti banyak kalau dibiarkan berhenti di sana. Pertama, perkecualian itu mesti ditunjukkan dengan jelas terjadi di mana. Dalam Laporan Tahunan 2010, dan masih benar untuk laporan tahun ini, dua isu yang kerap membawa pada kekerasan adalah isu tuduhan penodaan/penyimpangan agama dan rumah ibadah. Di luar itu, keteganganketegangan yang terjadi tak terlalu mengkhawatirkan, bahkan masih dapat dianggap wajar sebagai konsekuensi adanya keragaman yang luar biasa di Indonesia. Di bawah
nanti diringkaskan bagaimana gambaran mengenai 2011 menurut Laporan ini, namun secara ringkas perlu disampaikan bahwa saat ini, melihat eskalasi kekerasan pada 2011, kami ragu penilaian di atas masih dapat diterapkan untuk kondisi 2011. Penilaian semacam itu, jika berhenti di sana, juga sangat tidak menguntungkan, karena dapat melenakan kita dari masalahmasalah serius yang ada di hadapan mata. Karena sebetulnya isunya bukan hanya jumlah, akan tetapi rasa aman. Ketika segelintir rumah ibadah mengalami masalah bahkan diserang, yang hilang bukan hanya segelintir gereja itu, tetapi rasa aman. Apalagi jika penyebabnya beragam dan tak selalu jelas. Demikian pula ketika masjid di Cirebon atau gereja di Solo kedatangan seorang pembom bunuh diri, tanpa alasan jelas kenapa dua rumah ibadah itu yang dipilih. Sifat kekerasan yang terkadang acak itulah yang menghilangkan rasa aman: setelah ini, apa dan di mana lagi? Menyangkut kelompok Ahmadiyah, benar hanya tiga orang yang terbunuh sementara ratusan ribu pengikutnya yang tersebar di Indonesia memang tak terganggu secara fisik. Dalam kasus ini pun, alasannya sebetulnya juga tak sepenuhnya jelas: apa istimewanya Cikeusik? Jika itu dapat terjadi di Cikeusik, mustahilkah itu terjadi di tempat lain juga? Demikian pula, tiga orang di Cikeusik memang jauh lebih sedikit dari jumlah orang yang terbunuh di jalan raya, karena bencana alam, pohon tumbang, dan sebagainya. Akan tetapi, kita perlu tahu bahwa sebetulnya pembunuhan tiga orang itu dapat dihindari, dan tak perlu terjadi. Berdasarkan beberapa fakta, dan seleksi atas fakta-fakta itu, kita dapat memberikan gambaran yang baik mengenai kehidupan umat beragama di Indonesia, tetapi dapat juga gambaran yang buruk. Penggambaran selektif yang terlalu optimis dapat membuat kita terlena, tak terpicu untuk menyelesaikan masalah, sementara penggambaran alarmist yang terlalu buruk dapat menghilangkan optimisme untuk perbaikan. Sampai di sini, kita perlu bertanya, apa sebetulnya tujuan penggambaran itu? Laporan Tahunan ini, dan banyak laporan atau hasil penelitian lain, yang menggambarkan banyak masalah, berpotensi (dan
9
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
sudah) dituduh mencitrakan Indonesia sebagai tempat tak aman, dengan umat beragamanya yang intoleran, pemerintahannya yang diskriminatif terhadap minoritas dan sebagainya. Untuk tujuan pencitraan, misalnya melalui inisiatif-inisiatif Kementerian Luar Negeri yang melakukan dialog-dialog antariman di tingkat internasional, memang yang diperlukan adalah menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim yang cukup toleran. Untuk ini pun, sebetulnya ada dasar faktual yang kuat, dan Indonesia sudah menjadi negara tujuan untuk studi mengenai keberhasilannya. Tuduhan lain, yang juga sudah pernah dilontarkan, adalah bahwa Laporan Tahunan ini, dengan data yang ditampilkannya mengenai kelompok-kelompok muslim yang menyerang gereja atau melakukan tindakan anarkis, berupaya “menyudutkan umat Islam”. Di luar beberapa kritik metodologis yang dapat diterima, dan keterbatasan metodologis yang selalu diakui di sini, tuduhan seperti itu mengasumsikan, sekali lagi, bahwa Laporan Tahunan ini terutama ingin menampilkan suatu citra mengenai kehidupan beragama di Indonesia. Untuk itu, penting sekali lagi Laporan Tahunan ini menegaskan tujuannya. Laporan Tahunan ini memang (harus) menampilkan banyak masalah. Rumah-rumah ibadah yang ditampilkan di sini sebagian besar adalah yang bermasalah; demikian juga dengan kelompok-kelompok nonmainstream. Jika data itu mau digunakan untuk keperluan pencitraan, maka jelas tidak menguntungkan. Namun sikap itu dilakukan karena memang Laporan Tahunan ini tak memiliki tujuan pencitraan, tidak juga untuk memberikan gambaran yang diklaim komprehensif, tetapi lebih berorientasi pada penemuan dan pemecahan masalah. Apa yang disebut sebagai masalah jelas terkait dengan perspektif pluralisme sivik yang digunakan Laporan Tahunan ini, yang telah dibahas di Laporan-laporan sebelumnya. Secara umum, masalah yang menjadi titik tolak penelitian ini adalah bagaimana mengakui keragaman dan mengelolanya, dalam kerangka masyarakat demokratis, yang salah satu prinsip utamanya adalah kesetaraan dan partisipasi warga negara. Dua
10
tingkat analisis yang selalu dicoba diajukan di sini adalah negara dan masyarakat. Dalam kerangka ini, sebetulnya juga bukan hanya masalah yang ditampilkan di sini, tetapi juga beberapa contoh masalah yang dapat diselesaikan, atau upaya menyelesaikan masalah itu. Untuk tujuan itu, penggambaran yang sedapat mungkin faktual dan objektif adalah syarat utamanya. Itulah tujuan terpenting penulisan Laporan ini, dengan segala keterbatasannya.
Metodologi Dari segi metodologi penelitian yang mendasari penulisan ini, kami melanjutkan apa yang sudah dilakukan sejak tahun 2008, yang kemudian diperbaiki di tahun-tahun sesudahnya. Salah satu sumber awal penelitian ini adalah laporan-laporan media massa, baik nasional maupun daerah, yang dicetak maupun dari sumber media elektronik. Kami amat menyadari keterbatasan dan kelemahan menggunakan media massa sebagai sumber, namun cara ini tetap merupakan yang paling efisien untuk melihat gambaran yang cukup menyeluruh di wilayah penelitian, Indonesia, yang amat luas. Kelemahan media massa, yang masingmasing memiliki kriteria seleksi berita dan perspektifnya sendiri dicoba diatasi, pertama, dengan menggunakan cukup banyak media massa dengan karakter yang berbeda-beda. Bias atau ketidaklengkapan satu media diharapkan dapat sedikit banyak diatasi dengan menggunakan cukup media lain. Penggunaan media massa daerah adalah satu cara untuk mengatasi bias media massa nasional yang kerap tidak menampilkan isuisu daerah karena tidak terbaca atau dianggap tidak memiliki cakupan nasional. Namun karena alasan keterbatasan sumber daya, jumlah daerah yang bisa tercakup oleh penelitian ini juga amat terbatas, meskipun secara signifikan berhasil mengubah atau melengkapi gambaran yang diberikan oleh media nasional. Tema-tema utama yang tampil di sini diseleksi dari belasan ribu news item yang diperoleh dengan cara di atas. Daftar sumber-sumber media massa yang digunakan ada di bagian terakhir laporan ini. Langkah berikutnya untuk mengatasi keterbatasan itu adalah dengan melakukan
Pendahuluan
penelusuran yang lebih mendalam untuk isuisu tertentu yang dianggap memiliki bobot lebih. Untuk keperluan itu, sumber-sumber lain, termasuk media massa lain yang tidak tercakup dalam penelusuran reguler, digali. Untuk isu-isu yang terkait dengan kebijakan resmi pemerintah (pusat dan daerah), kami mencoba menelusuri semua dokumen yang relevan. Disamping itu kami juga mencoba menelusuri dokumen-dokumen lain yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lain non-pemerintah. Terakhir, kami melakukan beberapa penelitian lapangan untuk pendalaman isu spesifik di wilayahwilayah tertentu, maupun untuk men-
dapatkan perspektif yang cukup mendalam dari sample-sample wilayah agar dapat memberikan perspektif keseluruhan yang lebih baik. Dengan semua upaya ini, meskipun kami tak pernah berani mengklaim bahwa laporan ini bersifat komprehensif, tapi kami yakin telah cukup menampilkan peta yang cukup baik dari isu-isu utama situasi pluralisme sivik terkait kehidupan beragama di tahun 2011. Laporan Tahunan ini diakhiri dengan beberapa kesimpulan dan rekomendasi umum, berdasarkan analisis dan rekomendasi lebih spesifik yang diajukan dalam masingmasing bab.
11
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
B A B
S A T U
Kebijakan Publik Keagamaan
Di tahun 2011 ini UU terkait agama tidak banyak dihasilkan oleh DPR kita. Dari 24 (dua puluh empat) produk perundang-undangan yang dikeluarkan, hanya satu yang terkait agama, yakni UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan di penghujung tahun 2011. Namun, di luar itu, perdebatan mengenai agama di ranah publik tetap marak. Paling tidak ada dua wilayah besar ketika berbicara mengenai agama di ruang publik Indonesia, yakni produk kebijakan negara terkait semua agama (yang diakui negara) dan khususnya Islam. Selain itu, ada pula peraturan-peraturan daerah yang muncul beberapa tahun terakhir ini, yang disebut Perda Syari’ah atau bernuansa Syariah, yang konteksnya berbeda dengan UU pada tingkat nasional itu. Sebagian dari perdebatan yang mengiringi perumusan hukum itu berkutat pada isu apakah negara dapat mengatur kepentingan atau urusan suatu agama. Perdebatan ini dapat saja dianggap belum selesai, namun akomodasi agama (khususnya Islam) adalah isu lama, yang telah berawal bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Setelah Reformasi, konteksnya berubah, dan ada kecenderungan semakin kuat untuk mengakomodasi kelompok-kelompok tertentu, baik
12
terkait agama, adat, maupun, bersamaan dengan desentralisasi di wilayah-wilayah tertentu. Sementara debat berlangsung, tren membuat kebijakan publik terkait agama terus berlangsung. Maka isu yang penting saat ini adalah bagaimana membuat prosesnya lebih baik dan tidak mendiskriminasi kelompok warganegara mana pun—baik warganegara yang langsung terkena pengaturan itu (Muslim, dalam kebijakan-kebijakan tertentu) maupun kelompok-kelompok warganegara lain. Dalam Laporan tahun ini, ada tiga kelompok kebijakan publik yang dibahas di bawah. Pertama, pengaturan yang memang diperuntukkan terbatas pada muslim, yaitu terutama UU Pengelolaan Zakat yang baru disahkan, namun juga terkait penyelenggaraan haji yang masih menjadi subjek perdebatan, dan RUU Jaminan Produk Halal yang tak kunjung berhasil disahkan. Kedua, UU Perkawinan dan UU Pornografi, yang seringkali argumennya dikaitkan dengan moralitas agama. Ketiga, yang cukup istimewa adalah debat mengenai RUU Kerukunan Umat Beragama yang berakhir antiklimaks— telah ada draf naskah akademik dan RUU yang dibuat DPR namun tak dibahas cukup jauh, dan kini sudah tak masuk lagi dalam daftar Program Legislasi Nasional 2012.
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
Akomodasi Kepentingan Muslim dalam Kebijakan Publik UU Pengelolaan Zakat: antara akomodasi dan diskriminasi
Revisi UU Pengelolaan Zakat yang sempat diulas cukup panjang pada Laporan Tahunan CRCS 2009 akhirnya disahkan di penghujung tahun ini menjadi UU No. 23 Tahun 2011 yang merupakan revisi atas UU No. 38 Tahun 1999. Salah satu alasan yang diajukan sebagian muslim mengenai pentingnya suatu UU mengenai zakat adalah bahwa zakat merupakan sesuatu yang wajib ditunaikan oleh muslim dan hanya negara yang berhak memaksa warga negara. Namun sesungguhnya UU ini tidak memiliki ke-
Zakat bukanlah persoalan pemerintah semata, masyarakat sipil sudah menjadi bagian penting dalam praktik pengelolaannya.
kuatan memaksa muslim membayar zakat, namun terbatas pada pengumpulan dan pendistribusiannya. Semangat yang cukup menonjol dari UU Pengelolaan Zakat yang baru ini adalah sentralisasi pengelolaan zakat. Persoalan kelembagaan pengelolaan zakat ini mengambil porsi 32 pasal dari 47 pasal dalam UU ini. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pelaksana Zakat. BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional, LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas
membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, sementara UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat (Pasal 1). Diantara kelima lembaga tersebut, BAZNAS mendapat prioritas untuk dibahas cukup terinci dalam satu bab tersendiri. Hal ini cukup berbeda dengan UU sebelumnya yang hanya menyebut BAZNAS sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan zakat tanpa penjelasan terinci (penjelasan itu ada dalam Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001). Menarik membaca bahwa UU ini mengatur secara khusus kelembagaan BAZNAS. Sebagai sebuah lembaga yang diatur langsung oleh UU, BAZNAS memiliki kedudukan sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau Komnas HAM. Salah satu karakteristik dari lembaga yang diatur oleh undang-undang adalah mandiri dan tidak tidak terikat pada satu cabang kekuasaan negara. Akan tetapi, tampaknya kemandirian BAZNAS ini hanyalah setengah hati. Pada Pasal 5 ayat (3) UU ini menyebutkan, “BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.” Di satu sisi, ia merupakan lembaga mandiri akan tetapi masih harus bertanggung jawab melalui menteri. Sementara itu, nuansa sentralisasi UU ini tercermin dalam ketatnya aturan mengenai lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai amil zakat. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.” Sedangkan syaratsyarat lembaga yang dapat mengajukan diantaranya adalah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial serta bersedia diaudit syariat dan keuangan berkala. Pasal ini menutup kemungkinan dari lembaga-lembaga yang tidak terdaftar, apalagi kelompok yang lebih bersifat informal—sekelompok orang atau keluarga misalnya—untuk melakukan kegiatan mengumpulkan dan mendistribusikan zakat untuk kepentingan apapun
13
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
(Pasal 38). Sesuai dengan semangat UU ini untuk lebih mengoptimalkan potensi zakat dan mengatur pendistribusiannya, maka barangsiapa yang melanggar ketentuan tentang kelembagaan ini akan mendapat sanksi pidana penjara satu tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00. Cukup dapat dipahami apabila semangat optimalisasi dan penertiban kelembagaan ini pada ujungnya terdapat sanksi. Akan tetapi penting juga disadari bahwa pada praktiknya di Indonesia, zakat bukanlah persoalan pemerintah semata. Masyakat sipil sudah menjadi bagian penting dalam praktik pengelolaan zakat selama ini. Fakta ini pula yang mungkin ditangkap DPR RI sebagai pengusul UU ini, sehingga membuatnya lebih ketat untuk menjamin masyarakat dari amil yang tidak bertanggungjawab. Akan tetapi perlu diingat bahwa di luar persoalan legal-formal kelembagaan, keterlibatan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat ini juga mengandung unsur kepercayaan. Bahwa muzakki (orang yang membayar zakat) percaya kepada lembaga yang akan mendistribusikan zakatnya. Persoalan kepercayaan inilah yang tidak dapat dipaksa, termasuk melalui undang-undang sekali pun. Dalam hal ini bagaimana jika ada sebuah lembaga yang cukup dipercaya oleh masyarakat untuk mendistribusikan zakat akan tetapi tidak terdaftar sebagai LAZ yang diakui pemerintah? Dalam konteks ini, nuansa top-down UU ini perlu dikritisi agar memberi ruang partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaannya. Masyarakat muslim yang selama ini menjadi bagian dalam pengelolaan zakat tidak serta merta dilarang untuk menjalankan kegiatannya, akan tetapi negara melalui BAZNAS hendaknya tidak hanya melakukan fungsi regulasi dan pelayanan, akan tetapi juga penguatan terhadap LAZ yang dipercaya masyarakat. Dengan demikian, masyarakat muslim yang sudah menjalankan pengelolaan zakat tidak terdiskriminasi, sementara masyarakat juga terlindungi dari lembaga pengelola zakat yang tidak bertanggung jawab. Ruang partisipasi masyarakat ini masih dapat diupayakan dalam penyusunan peraturan pelaksanaannya baik berbentuk Peraturan Pe-
14
merintan dan Peraturan Menteri. UU Pengelolaan Zakat yang baru ini juga menegaskan kembali ide zakat sebagai pengurang penghasilan terkena pajak yang sudah diperkenalkan pada UU sebelumnya. Dalam salah satu pasalnya disebutkan kewajiban amil untuk memberikan bukti pembayaran zakat ini untuk teknis pengurang pajak (Pasal 23). Teknisnya, bagi seorang muslim yang berkewajiban untuk membayar pajak dan juga zakat, jumlah harta yang diserahkan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat digunakan untuk mengurangi jumlah pendapatan bruto yang dikenai pajak. Apakah aturan ini mendiskriminasi kelompok agama lain? Pasal 25 dari UU ini menyebutkan, “Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik (penerima zakat-ed) sesuai dengan syariat Islam.” Sementara rujukan utama syariat Islam (Qur’an Surat At Taubah ayat 60) menyebutkan bahwa kelompok yang berhak menerima zakat adalah fakir, miskin, amil, mualaf, orang yang berhutang (gharim), memerdekakan budak, orang berjuang di jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan. Dengan demikian, sebagian pajak (yang dikurangkan dari zakat yang ditunaikan) umat Islam ini akan didistribusikan ke kelompok muslim saja. Padahal pajak merupakan perolehan negara yang pemanfaatannya harus dapat dinikmati oleh semua warga negara Indonesia tanpa memandang agama. Namun sebetulnya kebijakan sumbangan keagamaan yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto terkena pajak bukanlah monopoli yang berlaku untuk zakat umat Islam. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 Pasal 1 menyebutkan, “Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi … (b) Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.” Pertanyaannya, berapa jumlah lembaga yang disahkan oleh pemerintah ini? Peraturan Dirjen Pajak No. 33/PJ/2011
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
menyebutkan lembaga-lembaga tersebut adalah BAZNAS, 15 Lembaga Amil Zakat, 3 Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqah (LAZIS) dan 1 Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI). Berdasarkan data ini, tidak semua umat beragama akan mendapatkan keringanan yang sama atas sumbangan keagamaannya. Hal ini dapat menjadi sumber diskriminasi, dalam artian hak yang dimiliki kelompok keagamaan tertentu berbeda dari yang lainnya, jika tak adanya lembaga serupa dari komunitaskomunitas agama lain (sebagiannya) disebabkan oleh tak adanya pengakuan oleh pemerintah. Selain itu, UU Zakat juga dapat menjadi diskriminatif, karena pembiayaan
UU Zakat dapat menjadi diskriminatif, karena sebagian pembiayaan BAZNAS menggunakan dana APBN. BAZNAS sebagiannya menggunakan dana APBN, selain hak amil yang memang ditetapkan oleh syariat Islam. Keterlibatan dana APBN ini yang tidak ditemukan dalam pengelolaan sumbangan keagamaan untuk kelompok nonmuslim. Terkait potensi diskriminasi yang pertama, yang dapat disarankan adalah mengupayakan agar kelompok-kelompok agama non-Islam memanfaatkan peluang ini, dan pemerintah mengakui lembaga-lembaga sumbangan dari agama-agama lain itu. Sebagaimana halnya dengan zakat, sebagaimana dibahas di atas, urusan pendaftaran lembaga-lembaga sumbangan keagamaan sebaiknya tidak disentralisasi menjadi hanya satu representasi untuk setiap kelompok agama (Baznas untuk Muslim, Lemsakti untuk Kristen), namun memungkinkan lebih banyak lembaga agar
partisipasi masyarakat tidak terhambat dan diakui sama oleh pemerintah. Jika tidak demikian, akomodasi justru dapat berpotensi menjadi diskriminasi. Di luar ini semua, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan representasi resmi warga negara dalam masing-masing kelompok agama, agar mereka benar-benar representatif seharusnya ada mekanisme yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi untuk turut menentukan ke mana sumbangan keagamaan itu akan didistribusikan. Penyelenggaraan haji
Haji masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup lama tertunda diselesaikan bagi Kementerian Agama Republik Indonesia setiap tahunnya. Tidak hanya soal penyelenggaraannya yang selalu bermasalah, di tingkat sistemnya pun tidak kunjung sepi dari perdebatan. Dimulai sejak awal tahun, ada upaya yang cukup serius untuk melihat kembali UU No. 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan haji dan umrah. Pihak-pihak seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan RHI (Rabithah Haji Indonesia) menyayangkan ketiadaan PP (Peraturan Pemerintah) setelah beberapa tahun berlalu sejak diundangkan dan menuntut segera dibuat PP untuk UU itu. Keberadaan PP ini diharapkan mampu mengurai carut marut penyelenggaraan haji selama ini, salah satunya mengenai maskapai penerbangan yang hingga saat ini masih melalui penunjukan. Pihak pemerintah menyatakan bahwa tidak ada maksud khusus atas keterlambatan PP yang semata-mata karena kompleksitas persoalan yang membutuhkan koordinasi dan diskusi dengan banyak pihak, misalnya Kemenkumham dan Sekretariat Negara. Melihat perkembangan ini , Kemenag kini tengah melakukan penataan ulang Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang berkaitan dengan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Saat ini dari 21 peraturan tentang haji yang telah ada, 14 di antaranya adalah PMA dan 7 PP. UU No. 13 Tahun 2008 mengamanatkan ada tujuh hal tentang penyelenggaraan haji yang harus diatur melalui PP, di antaranya menyangkut kebijakan tentang penyelenggaraan haji, bentuk organisasi, kewajiban penye-
15
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
lenggaraan haji, tentang WNI di luar negeri yang menunaikan ibadah haji, juga sanksi pidana bagi penyelenggaraan ibadah haji khusus. Sedangkan substansi PMA yang diatur meliputi hak dan kewajiban WNI yang pergi haji, Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH), ketentuan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pengembalian BPIH, pendaftaran calon haji, penetapan kuota haji, akomodasi, serta penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umroh. Intinya, di masa depan seluruh penyelenggaraan haji yang legal harus melalui satu pintu, yaitu Kementerian Agama. Namun, Komisi VII DPR RI menawarkan alternatif lain. Alih-alih menunggu diterbitkannya PP, Ketua Komisi VIII DPR RI, Abdul Kadir Karding, mengusulkan revisi atas UU Penyelenggaraan Haji. Hal krusial yang menurutnya harus direvisi adalah pemisahan yang jelas antara fungsi regulator, operator dan pengawas yang selama ini semuanya ada di tangan pemerintah. Menurutnya, seharusnya pemerintah hanya berlaku sebagai regulator, sedangkan fungsi yang lain bisa dilakukan oleh lembaga lain. Poin lain yang diajukan oleh Komisi VIII dalam revisi tersebut adalah terkait tata kelola dana dan pelaporan keuangan haji. Dengan revisi ini diharapkan Kemenag bisa memberikan pelaporan yang lebih baik. Diluar polemik mengenai penerbitan PP atau revisi UU No. 13 Tahun 2008, pemerintah saat ini juga sedang merancang undangundang lain terkait pelaksanaan haji, yakni RUU Pengelolaan Dana Haji. Sorotan tajam yang ditujukan pada pengelolaan dana haji membuat pemerintah merasa perlu membuat undang-undang khusus mengenai hal ini. Undang-undang ini salah satunya akan membahas tentang lembaga yang mempunyai wewenang dan otoritas mengelola dana haji. Namun hingga saat ini, pemerintah belum menentukan bentuk dan konsep lembaganya. Sejauh ini ada empat usulan mengenai pengelolaan dana haji, yaitu dikelola oleh swasta murni, pemerintah murni, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum). Masing-masing pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Swasta murni cukup tinggi resikonya, apalagi jika bangkrut. Meskipun
16
demikian, ada argumen, seperti disampaikan Zainun Ahmadi, anggota Komisi VIII DPR RI, bahwa pemerintah tidak perlu takut jika pengelolaan dana haji diserahkan kepada swasta, karena kalaupun hal terburuk terjadi, ada asuransi investasi yang akan menalangi. Kelemahan pilihan pemerintah murni adalah kekhawatiran pengelolaan yang tidak profesional seperti sekarang. Pilihan yang cukup moderat adalah BUMN dan BLU, dan saat ini pemerintah lebih cenderung pada yang terakhir karena dinilai lebih terjaga dari sisi keamanan. Akan tetapi kecenderungan ini pun tidak sepi kritik, karena BLU masih melibatkan birokrasi. Persoalan dana haji memang persoalan pelik karena menyangkut uang yang tidak kecil jumlahnya. Setoran awal haji yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya, ditambah lama masa tunggu yang juga terus bertambah membuat banyak pihak mempertanyakan pemanfaatan dana tersebut. Saat ini yang terjadi dana mandek di sukuk dan deposito. Undang-undang ini diharapkan memberi payung atas pemanfaatan setoran awal tersebut. Mengaca pada Malaysia misalnya, setoran awal haji yang ditabung di bank pemerintah khusus,Tabung Haji, salah satunya diinvestasikan ke perkebunan sawit. Laba dari usaha ini dikembalikan kepada calon jamaah haji untuk menambah uang saku. Terobosan yang coba dibuka dengan undang-undang ini diharapkan memberi ruang bagi lembaga pengelola dana haji untuk bebas menginvestasikan dana tersebut untuk kemaslahatan umat. Selain setoran awal jamaah haji, pelaksanaan haji juga melibatkan dana APBN dan APBD yang tidak sedikit. Pasal 6 dan 11 UU No. 13 Tahun 2008 mengamanatkan negara untuk menanggung seluruh biaya persiapan dan penyelenggaraan ibadah haji. Yang dimaksud dalam persiapan ini adalah menyediakan layanan, administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan dan keamanan. Sekedar contoh, untuk pelaksanaan haji tahun 2010 Kementerian Kesehatan menyerap kurang lebih 200 miliar rupiah, sedangkan Kemenag 68 miliar rupiah. Namun sayang, fasilitas yang cukup
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
berlimpah ini tidak juga membuat pelaksanaan haji bebas penyimpangan. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan April 2011, melaporkan adanya dugaan penyimpangan penggunaan bunga tabungan haji ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bunga dari tabungan yang semestinya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan jamaah, sebagiannya diperuntukkan untuk kebutuhan petugas haji. Berdasar data temuan ICW, bunga dana tersebut digunakan untuk gaji ke-13, transportasi, akomodasi dan penginapan petugas haji. Temuan ini mengindikasikan adanya duplikasi anggaran untuk petugas haji. Menanggapi laporan dari ICW, KPK menyampaikan bahwa lembaga tersebut
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan April 2011 melaporkan dugaan penyimpangan penggunaan tabungan haji ke KPK sudah melakukan kajian atas penyelenggaraan ibadah haji. Dari kajian tersebut, KPK menemukan beberapa indikasi korupsi. Tindak lanjut dari temuan ini, KPK mengajukan 11 rekomendasi ke Kemenag (lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010 untuk versi lengkap rekomendasi itu). Salah satu rekomendasi tersebut adalah memisahkan penggunaan dana APBN dengan bunga tabungan jamaah haji yang digunakan untuk biaya penyelenggaraan haji. Mungkin karena beragam kritik tersebut, pemerintah menggagas RUU Pengelolaan Dana Haji. Asumsinya, masalah keuangan haji termasuk layanan publik dan sudah menjadi tugas pemerintah untuk melayani kepentingan umat. Namun pertanyaannya, apakah memang perlu membuat UU yang
memakan biaya banyak untuk menjadi profesional dalam pengelolaan dana haji? Profesionalitas kinerja Kemenag dalam mengelola dana haji tidak membutuhkan sebuah undang-undang. Yang sangat diperlukan adalah adanya political will yang cukup kuat untuk memperbaiki carut-marut yang sudah ada selama ini. Dana APBD yang dikucurkan pemerintah hendaknya membuat pihak-pihak yang terkait lebih bertanggung jawab dalam pelaksanaan haji ini. Karena pada dasarnya ia juga melibatkan pajak yang dikumpulkan oleh seluruh rakyat Indonesia, baik muslim atau bukan. RUU Jaminan Produk Halal (JPH): berbagai cara melindungi konsumen Muslim
Regulasi lain terkait kepentingan Muslim adalah RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang sempat ditargetkan untuk disahkan pada tahun 2009 dan memicu polemik cukup tajam, dan sampai saat ini pembahasannya masih terus berlangsung di DPR RI. Satu kemajuan dari pembahasan ini adalah kesepakatan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dan Komisi VIII mengenai sifat sertifikasi produk. Sertifikasi bersifat mandatory. Akan tetapi, hingga sekarang keduanya belum bersepakat mengenai lembaga yang punya otoritas memberikan sertifikasi; apakah tetap MUI, Pemerintah atau swasta. Komisi VIII DPR RI mengusulkan wewenang sertifikasi kelak di bawah Badan Layanan Umat (BLU) di bawah Kementerian Agama. Sementara MUI mengatakan bahwa pemerintah boleh terlibat dalam dalam fungsi registrasi, pengawasan dan penindakan. Sedangkan wewenang legalitas dan audit syariah tetap dipegang oleh MUI. Pada titik ini, keduanya belum ketemu. Sekali lagi, kasus ini membuka perbincangan mengenai bagaimana seharusnya negara melindungi hak beragama. Apakah kehalalan produk yang beredar harus dijamin oleh UU? Pengurus Besar NU melalui Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Andi Najmi Fuadi, mengingatkan anggota DPR RI untuk berhati-hati dalam hal ini. Menurutnya, dari perspektif HAM, RUU tidak sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan
17
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
setiap orang untuk memeluk agamanya. Dalam hal perlindungan negara kepada masyarakat dari produk yang dilarang agama, hendaknya itu tidak dilakukan pada kelompok muslim saja. Sebuah UU harus berlaku umum dan dimanfaatkan oleh semua warga negara. Muhammadiyah berbeda pendapat. Mengenai jaminan berbentuk UU, PP Muhammadiyah berpandangan bahwa pengaturan tentang JPH sangat mendesak, mengingat UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara dijamin hak konstitusionalnya, termasuk hak memeroleh kehidupan yang layak, hak mengonsumsi pangan serta menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia. RUU Jaminan Produk Halal adalah salah bentuk hak konstitusional warga negara yang selayaknya dituntut, apalagi ini menyangkut hak sebagian terbesar penduduk Indonesia. Perbedaan pendapat dua ormas terbesar Islam di Indonesia ini bermuara pada perdebatan lama mengenai apa yang harus dilakukan negara terkait hak asasi kelompok tertentu. Kenyataannya, seperti dibahas dalam bab ini, telah banyak dan cukup lama ada UU yang berlaku hanya bagi satu kelompok warga negara, dalam hal ini muslim. Pertanyaan utama yang diajukan Laporan ini adalah apakah akomodasi kepentingan satu kelompok tersebut merugikan kelompok lain—atau bahkan kelompok-kelompok di dalam agama itu yang mungkin berpandangan berbeda. Khusus terkait hal terakhir, perlu diingat bahwa bagaimana pun, akomodasi selalu dimulai dengan klaim representasi, yaitu anggapan adanya kepentingan suatu kelompok yang diwakili, yang berpotensi keliru dalam arti kepentingan itu tak mewakili keseluruhan kelompok, bahkan merugikan sub-sub kelompok tertentu di dalamnya. Dalam pembahasan mengenai UU Zakat di atas telah ada contoh mengenai hal ini, menyangkut pembatasan pihak yang berhak mengumpulkan zakat. Dalam RUU JPH, fakta bahwa pemerintah dan DPR yang sudah sampai pada kesepakatan sifat sertifikasi menunjukkan bahwa wacana yang berkembang berpihak pada kewajiban negara untuk memenuhi
18
kepentingan kelompok muslim. Jika demikian, yang perlu dilakukan sekarang adalah mencegah UU ini berlaku diskriminatif terhadap sebagian warga negara, baik muslim, nonmuslim, konsumen maupun produsen. Dengan diberlakukannya UU ini masyarakat nonmuslim tidak seharusnya terkendala aksesnya atas produk-produk yang dianggap tidak halal. Selain itu, UU ini juga seharusnya tidak mendiskriminasi produsen dengan cara mempersulit dan membuat mahal biaya untuk mendapatkan sertifikasi. Di sisi lain, muslim yang membutuhkan jaminan kehalalan produk akan memerolehnya. Kuncinya ada dalam sifat apakah sertifikasi menjadi kewajiban bagi produsen atau tidak. Produsen dibebaskan untuk mencantumkan label halal atau tidak pada produknya. Dengan begitu, pada akhirnya, konsumen muslimlah yang menjadi pengambil keputusan. Apakah mereka akan menggunakan produk bersertifikat halal atau tidak. Dengan begini, negara sudah berperan dalam membuat muslim sebagai individu merdeka dan dewasa untuk memilih yang terbaik menurut agamanya. Kondisi yang demikian, secara aktual akan memaksa produsen memenuhi kebutuhan akan label halal sebagai tuntutan pasar—dan bukan dipaksa oleh klaim mewakili kepentingan mayoritas. Ini adalah isu representasi yang dapat selalu dipertanyakan: ketika negara mengakomodasi kepentingan muslim, selalu ada masalah mengenai siapakah yang mewakili kepentingan muslim, dan biasanya secara sederhana legitimasi representasi diberikan pada lembaga-lembaga resmi seperti MUI. Ini tak berarti negara lepas tangan sama sekali, tak memerhatikan kepentingan pemeluk agama. Peran pertama yang dapat dituntut kepada negara—melalui lembagalembaga agamanya—adalah menjelaskan kepada umat masing-masing agama mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi. Dalam waktu yang bersamaan, mewajibkan para produsen untuk jujur menyebutkan bahan-bahan yang digunakan dalam produk yang dijual pada kemasannya. Kemudian menjaga proses sertifikasi berlangsung dengan baik, serta menegakkan kontrol atas peredaran produk halal demi
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
memberikan jaminan kepada konsumen. Dalam Laporan Tahunan 2009 (h., 23—24), kami pernah menunjukkan bahwa sesungguhnya aspek terakhir inilah yang kerap menjadi kelemahan pemerintah; kasus-kasus yang muncul pada 2009 itu lebih menunjukkan lemahnya kontrol pemerintah atas peredaran produk yang diklaim halal. Mempertimbangkan beberapa argumen di atas, kiranya masih perlu dipertimbangkan membuat sertifikasi bersifat sukarela, tanpa unsur paksaan.
Tuntutan Uji Materi Pasal 39 Ayat 2 huruf F UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah upaya penguatan untuk mendamaikan dan mendudukkan akar masalah yang saat ini absen dari penjelasan pasal tersebut. UU Perkawinan: perlindungan negara di wilayah domestik
Persoalan lain terkait dengan kebijakan publik mengenai agama adalah upaya untuk menguji UU Perkawinan 1974. Halimah Agustina, mantan istri Bambang Trihatmojo, pada pertengahan tahun ini mengajukan uji materi Pasal 39 Ayat (2) huruf (F) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurutnya, keberadaan pasal ini merugikan hak konstitusi pemohon. Pasal 39 Ayat (2) memuat tentang alasan untuk putusnya perceraian, yaitu “antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai
suami istri”. Dalam bagian penjelasan UU, disebutkan enam alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian. Salah satunya di huruf (f), antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi. Menurut Dr. Makarim Wibisono, Ketua Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi tersebut, pasal tersebut merugikan perempuan dan berpotensi merugikan para istri, dan karenanya bertentangan dengan konsep hak asasi manusia. Para suami dapat dengan mudah menceraikan istri dengan alasan terus terjadi perselisihan karena ketentuan itu, tanpa kejelasan mengenai siapa pemicunya atau apa penyebabnya.”Inilah yang tidak adil,” kata Makarim. Alasannya, istri yang membangun rumah tangga atas dasar cinta tentu tidak bisa menerima bila suami memiliki hubungan dengan perempuan lain. Jika karena itu akhirnya muncul cekcok yang berkepanjangan, tidak adil kiranya jika karena alasan itu suami dengan mudah menceraikan istrinya. Memang, perkawinan adalah kontrak sosial, jika salah satu pihak berkeinginan untuk diberhentikan dan tetap dipaksa diteruskan, juga tidak akan membawa pada kebaikan. Akan tetapi, yang dituntut dalam uji materi ini adalah penguatan upaya untuk mendamaikan dan mendudukkan akar masalahnya yang saat ini absen dari penjelasan pasal tersebut. Dengan mudah seorang suami menjatuhkan talak dengan alasan terjadi perselisihan berkepanjangan tanpa ada proses yang cukup untuk mediasi. Jika memang tidak membawa kebaikan, sebaiknya pasal tersebut dihapus saja. Saat ini proses sidang uji materi ini masih terus berlangsung.
UU Pornografi: Moralitas Agama dalam Kebijakan Publik UU Pornografi menjadi relevan dengan isu kebijakan publik dan agama karena UU ini kerap dikaitkan secara eksplisit dengan pertimbangan moralitas agama, baik dalam proses pembuatannya maupun dalam implementasinya. Sebut saja kasus Nazriel Irham, atau yang lebih populer dipanggil
19
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Ariel Peterpan, yang menjadi bulan-bulanan kelompok agama tertentu sebelum kasusnya diputuskan oleh pengadilan. Sebagian besar merujuk pada amoralitas dalam kasus tersebut. Pada hari Senin, 31 Januari 2011, Ariel diganjar penjara 3 tahun 6 bulan dan denda 250 juta rupiah oleh PN Bandung. Dia dinyatakan bersalah telah melanggar pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terkait dengan pembuatan video berisi adegan porno yang dibuatnya dengan Cut Tari dan Luna Maya. Kasus yang sama juga menyeret Reza Rizaldy (Redjoy) yang menyimpan dua video tersebut sejak tahun 2006 sehingga mudah diunduh oleh keponakannya Anggit Gagah Perkasa. Untuk itu Reza divonis 2 tahun penjara dan denda sebesar 250 juta rupiah. Keduanya mengajukan banding dan hasilnya Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menguatkan keputusan PN Bandung untuk perkara banding Ariel dan menambah hukuman Redjoy menjadi penjara 2 tahun 6 bulan dan denda 250 juta rupiah. Dalam dakwaannya hakim mengatakan bahwa terdakwa “telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan tindak pidana memberikan kesempatan menyebarkan, membuat, dan menyediakan pornografi”. Yang menjadi pertimbangan atas tuduhan terdakwa sebagai pembuat video porno diantaranya adalah pengakuan saksi Cut Tari bahwa saat beradegan intim terdakwa sempat memegang kamera. Tiga pertimbangan yang memberatkan putusan ini adalah terdakwa tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat dan terdakwa adalah public figure. Meskipun didakwa melanggar Pasal 29 UU Pornografi, pada dasarnya pasal tersebut merujuk pada pasal 4 ayat 1 yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan membuat adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri”. Akan tetapi argumen ini dipatahkan oleh majelis hakim. Menurut hakim, pengecualian itu berlaku hanya untuk kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Selain itu, majelis hakim juga menyatakan bahwa argumen hak privasi berangkat dari ide yang berasal dari kasuskasus yang terjadi Mahkamah Agung Amerika Serikat yang tidak dapat digunakan
20
sebagai basis untuk penentuan peradilan di Indonesia, karena Indonesia memiliki budaya, norma, etika dan sistem peradilan sendiri. Argumen ini berbeda jauh dengan penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya atas judicial review yang diajukan oleh Farhat Abbas dan LSM Hajar Indonesia (Hukum Jamin Rakyat Indonesia). Kedua pemohon menuntut pengujian atas penjelasan pasal 4 dan penjelasan pasal 6 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yakni pengecualian jika dibuat untuk kepentingan diri sendiri, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1), Pasal (2) dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberi jaminan kepastian hukum. Selain itu, pemohon juga beragumen bahwa pembuatan adegan mesum dengan dalih hanya untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri bertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama dan menimbulkan ekses yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum serta tidak menghormati hak asasi warga lain yang memegang teguh nilainilai agama dan adat budaya sebagai cerminan masyarakat yang beragama bukan penganut seks bebas. Atas tuntutan ini, hakim MK berdasar keterangan dari pemerintah mengatakan bahwa perbuatan pornografi untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan sendiri dan objeknya mengenai dirinya sendiri yang semata-mata dibuat untuk maksud dan tujuan koleksi pribadi masuk ke dalam forum internum yang harus dilindungi. Oleh karena itu membuat pornografi mengenai dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri, dan untuk kepentingan sendiri berarti tidak memenuhi pengertian pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi. Karena tidak disampaikan melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau dipertunjukkan di muka umum. Sementara itu, hakim MK sendiri menyatakan bahwa hukum pada dasarnya mengatur hubungan masyarakat. Dengan demikian segala sesuatu yang hanya untuk kepentingan diri sendiri, tidak berkaitan dengan orang lain, tidak dapat diatur oleh hukum. Perbedaan interpretasi atas apa saja yang termasuk materi pornografi ini yang sejak awal menjadikan undang-undang ini
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
kontroversial. Pengertian pornografi yang cukup luas menjadikannya berpotensi mengenai banyak orang, tidak terbatas pada perlindungan terhadap anak dan perempuan akan tetapi juga materi-materi lain yang terkait seni, budaya yang menyangkut kreativitas pribadi. Kekhawatiran para penentang UU Pornografi bahwa ia akan digunakan untuk melanggar hak privasi warga, sudah terbukti. Hakim PN Bandung memutuskan bahwa pengecualian untuk kepentingan sendiri tidak berlaku pada kasus video mesum yang dilakukan oleh Ariel dan
Multidefinisi pornografi menyebabkan potensi UU Pornografi mengenai banyak orang, tidak terbatas pada perlindungan terhadap anak dan perempuan, tetapi juga materi-materi lain terkait seni, budaya dan kreativitas individu.
dua pasangannya. Tidak hanya itu, wacana bahwa video yang dibuat untuk kepentingan sendiri itu bertentangan dengan nilai-nilai moral agama dan mencederai norma masyarakat umum begitu menguat, sehingga masyarakat lupa bahwa itu semua tidak akan terjadi jika tidak ada pelaku yang menyebarkan. Anggapan bahwa norma agama dan adat ketimuran masyarakat kita terganggu dengan video Ariel juga memakan korban lain. Thamrin Amal Tomagola dikenakan sanksi
wajib membayar denda 500 kg gerantung (gong) dan menanggung penuh biaya pelaksanaan sidang sebesar Rp. 77.777.000,00 dalam sidang adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu karena dinilai melecehkan harkat dan martabat masyarakat Dayak. Dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli di persidangan Ariel, Tomagola dianggap melecehkan masyarakat Dayak karena mengatakan hubungan seksual sebelum menikah adalah biasa di kalangan masyarakat dayak. Pernyataan ini mengacu pada temuan penelitianya di tahun 1983 atas wawancara mendalam dengan 10 ibu usia subur. Meskipun Tomagola menyatakan bahwa temuannya masih perlu diuji, ia tetap harus memenuhi denda adat tersebut. Di luar kasus Ariel, UU Pornografi juga digunakan untuk menghukum Edwin Al Dri (20) karena terbukti terlibat dalam penayangan film porno di megatron milik sebuah perusahaan rokok di jalan Simpang Empat Negarawangi Tasikmalaya. Terdakwa yang sehari-hari bekerja sebagai operator di megatron pada hari Senin malam, 8 November 2010 memasukkan flashdisk yang disambungkan ke komputer. Dia memutar film porno. Tidak disadarinya tayangan film porno itu muncul pada display megatron. Atas perbuatannya itu ia didakwa melanggal pasal 32 jo 4 (1) UU No. 44 Tahun 2008 karena dianggap menyebarluaskan materi pornografi dan dijatuhi hukuman 7 bulan kurungan penjara serta denda 2,5 juta rupiah subsider dua bulan penjara. Dalam kasus ini, Edwin yang terbukti memiliki materi pornografi dan tidak sengaja mempertontonkannya dihukum cukup ringan. UU Pornografi juga menjadi sorotan ketika salah satu anggota DPR RI, Arifinto, tertangkap kamera membuka konten porno waktu sidang. Sempat menjadi perbincangan cukup hangat apakah dia dapat dijerat dengan UU Pornografi, akan tetapi akhirnya kasus ini dimasukkan dalam wilayah etik, bukan pidana. Selain upaya menjerat orang-orang yang terlibat dalam pornografi, pemerintah melalui Kemenkominfo juga melakukan beberapa upaya pencegahan. Salah satunya adalah dengan upaya pemblokiran konten porno di internet dan BlackBerry. Namun upaya ini jauh dari sukses. Hingga saat ini masih
21
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
banyak website penyedia konten porno dapat diakses dengan leluasa oleh semua kalangan, termasuk anak-anak. Setelah tiga tahun disahkan, UU Pornografi baru digunakan untuk menghukum kasus pornografi di tingkat hilir. Ariel, Redjoy dan Edwin adalah contoh-contoh untuk tahun ini. Tidak berbeda jauh, tahun sebelumnya undang-undang ini juga digunakan untuk menjerat penari striptease di Bandung dan kasus video porno di Karanganyar, Jawa Tengah. Belum ada kabar bahwa UU ini digunakan untuk menyeret para produsen pornografi. Produsen pornografi yang seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas maraknya dan mudahnya akses pornografi selama ini luput dari jaring UU ini.
RUU KUB: Pengelolaan Keragaman dengan Instrumen Hukum Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) menjadi perbincangan hangat lagi. Setelah sempat dibekukan setelah kemunculannya pada tahun 2003, kali ini ia menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Meskipun tak sempat dibahas di DPR, draf Naskah Akademik (NA) RUU KUB bertanggal 1 Agustus 2011 yang dipersiapkan oleh Tim Kerja DPR RI telah muncul dan memancing reaksi. Mungkin tidak terlalu tepat menghubungkan RUU KUB produk 2003 yang lalu, dengan versi 2011. Meskipun isinya menunjukkan kemiripan, akan tetapi keduanya digodok oleh dua lembaga berbeda. RUU KUB yang sempat mengundang kontroversi pada tahun 2003 dipersiapkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia (sekarang Kementerian Agama RI), sementara RUU KUB 2011 diajukan oleh DPR RI. RUU tahun 2003 itu sempat menjadi bahan polemik dalam berbagai forum karena banyak pihak melihat bahwa dalam Naskah Akademiknya lebih menekankan kontrol negara atas proses kerukunan umat beragama. St Sunardi, salah seorang yang menjadi peserta dalam lokakarya penyusunan naskah tentang Kerukunan Umat Beragama yang diadakan Depag, menya-
22
takan bahwa model kerukunan yang ditawarkan dalam RUU tersebut didasarkan pada paradigma pembinaan. Akibat dari paradigm tersebut “elite dan umat menjadi obyek binaan” dan “kehidupan umat beragama didaruratkan secara permanen”. Trisno S. Sutanto, dalam tulisan kritisnya mengenai Naskah Akademik RUU KUB versi 2003 yang berjudul “Negara, Kekuasaan, dan “Agama”: Membedah Politik Perukunan Rezim Orba” dalam buku Pluralisme Kewargaan (Mizan dan CRCS, 2011) menengarai bahwa asumsi yang mendasari RUU ini adalah kriminalisasi agama, yakni negara begitu curiga kepada agama, sehingga seringkali melihatnya sebagai sumber utama kerawanan sosial yang perlu dikendalikan. Sekedar contoh dari watak penuh curiga yang mendasari RUU ini adalah, menurut Naskah Akademiknya, “perkawiman antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama (NA 2003, hlm. 25). Dalam bidang pendidikan agama. Menurut Naskah Akademik, jika pelajaran agama yang diberikan kepada anak-anak yang masih usia sekolah dasar dan menengah berbeda dengan agama si anak, “maka kemungkinan akan menggoyahkan keyakinan atau agama anak sehingga dapat menimbulkan penafsiran bahwa lembaga pendidikan merupakan alat terselubung konversi agama” (NA 2003, hlm. 73). Uraian di atas menunjukkan bahwa kita pernah berdebat dan berdiskusi cukup serius mengenai RUU ini satu dekade lalu, namun perdebatan yang cukup penting itu— maupun beberapa perkembangan terakhir lain—tidak terekam dalam Naskah Akademik RUU KUB tahun 2011. Berbeda dengan materi RUU yang tampak cukup mirip antara versi 2003 dan 2011, naskah akademiknya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bahkan, dalam beberapa hal, Naskah Akademik 2003, yang dirancang sebagai kompilasi berbagai peraturan dan perundangan yang menyangkut hubungan antarumat beragama (seperti penyiaran agama, peringatan hari besar keagamaan, pendirian rumah ibadah, dan lain-lain), terkesan lebih sistematis dan ditulis dengan lebih serius.
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
Dari sisi materi, ada kemajuan dalam NA RUU KUB 2011, karena sudah mengakomodasi keberadaan agama-agama lokal di Indonesia. Hanya sayangnya, landasan berpikir ini tidak terakomodasi dengan baik pada rancangan pasal-pasalnya. Hal yang sama terjadi menyangkut beberapa hal yang disebutkan dalam NA tapi kemudian lenyap dalam RUU, sehingga ada kesan seakan-akan penulis NA dan RUU adalah dua penulis yang berbeda. Bahkan dalam NA itu sendiri di beberapa tempat dimulai dengan poin-poin progresif, namun hilang menjelang kesimpulan.
Jika RUU KUB memang diharapkan menjadi pemecahan masalah, DPR dan Pemerintah harus memiliki kehendak kuat mencari solusi, bukan sekedar menyenangkan konstituensi.
Dalam NA RUU KUB 2011 dijelaskan bahwa yang menjadi landasan munculnya RUU ini adalah berbagai pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Komunitas Ahmadiyah, salah satunya, yang menjadi korban pelanggaran atas kebebasan beragama yang meningkat sejak tahun 2005. Yang terparah baru saja terjadi pada awal tahun 2011, yaitu tragedi Cikeusik. Berbagai laporan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menaruh perhatian pada isu-isu keagamaan di Indonesia, seperti CRCS UGM, The Wahid Institute, dan Setara Institute, memang
menunjukkan pelanggaran hak kebebasan beragama yang cenderung menguat. Dalam konteks ini, berbeda jauh dengan respons di tahun 2003, ketika argumen utama penolak RUU itu adalah bahwa kerukunan tidak perlu diregulasi, banyak kalangan kini menerima bahwa hubungan antarumat beragama dapat diatur, misalnya dalam wilayah pendirian rumah ibadah. Alasan utamanya adalah bahwa fakta adanya konflik-konflik yang menyangkut kelompokkelompok agama, yang sulit diingkari. Jika demikian, persoalannya adalah bagaimana membuat regulasi yang baik. Menguatnya keinginan untuk mencari solusi atas berbagai persoalan umat beragama ini menjadi landasan bagi khalayak untuk tidak memperpanjang perdebatan mengenai apakah perlu ada regulasi atau tidak— meskipun hal ini tentu masih dapat diperdebatkan. Dalam diskusi yang digelar Fraksi PKB DPR RI bekerjasama dengan AMAN Indonesia juga terasa keinginan adanya payung yang lebih kuat atas regulasi negara mengenai hubungan antaragama. Namun sayang, banyak persoalan agama yang terjadi dan keinginan atas payung yang lebih kuat, tidak terfasilitasi dengan baik. Membaca NA RUU KUB 2011, kita akan menemukan beberapa hal yang menunjukkan ketidakseriusan DPR RI menggodok UU ini: Pertama, dalam penyusunannya RUU ini tidak banyak melibatkan banyak pihak untuk berdiskusi; yang disebutkan adalah bahwa pernah dilakukan Focus Group Discussion (FGD) selama bulan November-Desember 2010 yang melibatkan beberapa pihak. Selain itu juga dijelaskan bahwa draf tersebut sudah didiskusikan dengan pakar dan akademisi, akan tetapi tidak disebutkan kapan, di mana dan siapa saja yang terlibat. Informasi mengenai pembahasan RUU ini sepi dari pemberitaan kepada khalayak (NA 1 Agustus 2011, hlm. 11-12). Kedua, ada logika yang tidak runtut antara fakta-fakta mutakhir persoalan agama di Indonesia yang disebut sebagai alasan RUU dengan bidang-bidang yang perlu diatur dalam RUU. Disebutkan dalam NA bahwa kekerasan keagamaan merupakan persoalan yang memicu ketidakrukunan antarumat beragama di Indonesia. Contoh kekerasan tersebut adalah kekerasan yang
23
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
menimpa Jemaat Ahmadiyah, penyerangan atas beberapa kelompok agama, dan masalah rumah ibadah. Akan tetapi NA ini selanjutnya menyebutkan 8 (delapan) bidang yang perlu diatur ketika berbicara mengenai hubungan antarumat beragama, yaitu terkait dengan pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari-hari besar keagamaan, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan dan aspek-aspek nonagama. Tidak cukup dijelaskan dalam landasan berpikirnya kenapa perkawinan beda agama dan bantuan luar negeri menjadi titik rawan hubungan antarumat beragama? Apa saja kasus-kasus yang terjadi terkait dengan dua hal tersebut yang membuat kerukunan terganggu? Boleh jadi daftar titik kerawanan tersebut mengikuti logika RUU KUB 2003 yang merupakan kompilasi dari berbagai peraturan dan perundangan terkait hubungan antaragama, akan tetapi NA ini tidak menjelaskannya secara tegas. Lebih parah lagi, kita tidak menemukan kesemua titik kerawanan itu dalam pasal-pasal RUU tersebut. Masalah perkawinan beda agama, misalnya, tidak disinggung sama sekali dalam teks RUU KUB TIMJA 1 Agustus 2011 itu, akan tetapi masuk dalam daftar titik kerawanan NA. Ketiga, pengabaian yang amat kentara tampak pada tidak diperhitungkannya putusan MK (19 April 2010) atas peninjauan kembali PNPS No. 1/PNPS/1965 jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang penodaan agama. Putusan itu merupakan dokumen penting yang merekam perdebatan atas isu-isu mendasar mengenai agama di Indonesia. Akan tetapi, proses ini tampaknya diabaikan dalam penyusunan Naskah Akademik ini. Hasil proses intensif yang cukup melelahkan selama beberapa bulan itu juga diabaikan. Salah satu kesimpulan pentingnya adalah bahwa, meskipun UU itu tetap dianggap konstitusional, diakui ada beberapa kelemahan dan perlu dilakukan revisi untuk memperbaikinya, di antaranya agar tak menjadi diskriminatif. Diskusi mengenai RUU KUB ini menjadi momen penting untuk memenuhi anjuran itu, namun mengherankan bahwa dokumen MK itu sama sekali tak disebut. Bahkan, teks draf RUU KUB Agustus 2011 itu sepenuhnya hanya menyalin UU yang lama, tanpa penjelasan
24
apapun. Hal lain yang menunjukkan ketidakcermatan penyusunan RUU itu adalah adanya pendefinisian penodaan agama di Pasal 1 sebagai ketentuan umum, yang sepenuhnya diambil dari UU yang lama, dan lalu istilah itu sama sekali tak sekali pun disebut di halaman-halaman berikutnya— larangan untuk penodaan ada di Pasal 47. Masih banyak hal yang harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh menyangkut kerukunan umat beragama di Indonesia, jika berbagai persoalan menyangkut hubungan antarumat beragama, sebagaimana dipaparkan dalam Laporan Tahunan ini atau pun beberapa laporan lain, dan sebagiannya diakui pemerintah, hendak benar-benar diselesaikan. Bahkan istilah kerukunan pun masih perlu dicari pemaknaannya yang tepat agar tak sekedar menjadi alat kontrol sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Pertama, penting ada pengetahuan yang cukup baik mengenai situasi keberagamaan kita, yang tak dapat digantikan dengan klaimklaim tanpa justifikasi yang sekedar ingin mengecilkan masalah atau mencitrakan adanya kerukunan yang tak terganggu. Sesuai namanya, Naskah Akademik seharusnya bersifat akademik, disusun dengan sungguh-sungguh, dan didasarkan penelitian yang ketat. Sebagai contoh, terkait PBM 2006 yang menyangkut pendirian rumah ibadah, sesungguhnya kini telah cukup ada bahan untuk mengevaluasi efektivitasnya dan memperbaikinya dengan memerhatikan pengalaman lima tahun terakhir ini. Hal ini akan lebih konstruktif ketimbang bersikukuh untuk mencabutnya atau mempertahankannya bahkan meningkatkan statusnya menjadi UU melalui RUU KUB. Pro-kontra tersebut dapat lebih berkualitas jika saja ada penelitian sistematis atas efektivitas peraturan itu, kekuatan dan kelemahannya, dan bukan sekedar lontaran-lontaran prokontra di media massa. Lebih jauh, upaya pencarian solusi perlu memperhatikan suara warga negara, dan tak bisa digantikan dengan basa-basi suatu FGD untuk sekedar memenuhi syarat adanya partisipasi dan wakil akademik, agamawan, dan sebagainya. Tanpa kehendak yang kuat, kita patut prihatin dan khawatir bahwa yang akan lahir adalah justru regulasi yang memperburuk, bukan menyelesaikan, masa-
Bab Satu: Kebijakan Publik Keagamaan
lah. Jika demikian, seperti yang terungkap dalam skeptisisme sebagian orang, mungkin memang lebih baik tidak membuat regulasi baru, dan mencoba memperbaiki keadaan dengan regulasi lama dan upaya-upaya nonlegal lain, karena bagaimana pun hukum tak mungkin menyelesaikan semua masalah dalam masyarakat; etos kewargaan yang kuat justru dalam banyak kasus menjadi sarana pencapaian konsensus sosial yang dapat menyelesaikan masalah. Skeptisisme lain dapat dengan mudah muncul melihat kualitas UU yang dihasilkan DPR, yang kerap kali merupakan hasil barter-barter politik. Jika RUU KUB memang akan dilahirkan dan diharapkan menjadi solusi, DPR dan pemerintah penting untuk pertamatama memiliki kehendak kuat mencari solusi, bukan sekedar menyenangkan konstituensi. Diskusi mengenai RUU KUB akan menjadi momen historis untuk memperbaiki regulasiregulasi lama yang dirasakan tidak meme-
cahkan atau bahkan menimbulkan masalah. Kegagalan menunaikan tugas historis ini akan membawa konsekuensi panjang. Penting dicatat bahwa setelah upaya menyusun Naskah Akademik dengan segala kontroversi yang menyertainya, yang belum sempat dibahas DPR, Prolegnas 2012 ternyata tidak mencatumkan lagi RUU Kerukunan Beragama dalam daftar prioritasnya. Hal ini mungkin merupakan langkah yang baik, mengingat bahwa penyusunan NA maupun RUU yang sangat penting ini memerlukan persiapan yang jauh lebih kuat dari apa yang sudah dilakukan pada 2011. Jika kelak isu ini akan diangkat kembali, sebaiknya ia dimulai dari usaha penelitian sungguh-sungguh untuk mengidentifikasi masalah-masalah terkait agama di Indonesia, faktor-faktor penyebabnya dan solusi-solusi apa yang tersedia dalam bingkai negara Indonesia yang demokratis dan menghargai keragaman.***
25
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
B A B
D U A
Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Dua masalah utama yang kerap menimbulkan ketegangan selama beberapa tahun ini, dan tak jarang menjadi kekerasan fisik, adalah yang terkait dengan tuduhan penodaan agama atau aliran sesat (termasuk isu di sekitar Ahmadiyah) dan rumah ibadah. Masalah pertama lebih banyak terjadi dalam internal komunitas agama, yang kedua antaragama. Dari segi kemunculan masalah-masalah tersebut maupun pola penanganannya tak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Regulasi yang digunakan pemerintah untuk menghadapi masalah tersebut pun tak ada perubahan. Dalam kasus-kasus menyangkut kedua isu besar itu, tak adanya perubahan sebetulnya dapat berarti kemunduran, karena hal ini seperti menyimpan masalah. Masalah dan ketegangan yang berlarut-larut dapat sewaktu-waktu bereskalasi dan menjadi semakin sulit dikontrol. Inilah yang terjadi, misalnya, dengan isu Ahmadiyah, yang di awal tahun ini memasuki tingkat baru kekerasan dengan terbunuhnya tiga warga Ahmadiyah di Cikeusik secara cukup brutal
26
oleh massa muslim tanpa pihak keamanan dapat melakukan pencegahan berarti. Di sisi lain, logika penyesatan (bahwa suatu kelompok yang dituduh menyimpang dari mainstream dapat disempitkan ruang geraknya bahkan kemungkinan dilarang sama sekali) digunakan untuk banyak kelompok, dengan konsekuensi yang serius. Satu pola yang kini semakin kelihatan juga adalah bagaimana pemerintah-pemerintah daerah semakin berani mengambil posisi lebih keras, bahkan berseberangan, dari pemerintah pusat dalam isu-isu tersebut. Sementara di tingkat nasional ada kehatihatian yang sangat tinggi untuk memutuskan kebijakan baru—dan akibatnya pemerintah tampak seperti mempertahankan status quo—di daerah inisiatif-inisiatif baru yang melampaui kebijakan tingkat nasional, dan tak jarang jelas merugikan dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, semakin berani dikeluarkan. Contoh menonjol adalah dikeluarkannya beragam SK Gubernur atau Bupati menyangkut Ahmadiyah, sebagian lebih keras dari kebijakan nasional. Dalam kasus rumah
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
ibadah, perkembangan menonjol adalah keputusan MA yang membatalkan surat pencabutan IMB Walikota Bogor, yang tampaknya dipenuhi Walikota, tapi lalu segera disusul dengan dikeluarkannya surat pencabutan IMB yang baru. Di hadapan kepala-kepala daerah itu, pemerintah pusat tampak seperti tidak berdaya. Ini adalah ekses lain dari desentralisasi sebagai bagian dari demokratisasi, ketika daerah mendapat kekuasaan lebih besar, dan kini berani mengklaim bahwa mereka lebih mengetahui situasi daerahnya;
Pemerintah menganggap Millah Abraham sebagai aliran sesat dan penodaan, berdasarkan UU PNPS No. 1/ 1965, yang solusinya adalah pembatasan/ pelarangan diikuti dengan pembinaan. di sisi lain, karena mereka lebih dekat dengan konstituen pemilihnya, tampaknya sikap lebih tegas itu diperlukan. Ini sebagiannya menjelaskan mengapa isu-isu keagamaan tertentu menjadi komoditi politik elektoral dalam pemilihan kepala daerah (lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010.) Tentu hal ini terjadi bukan hanya menyangkut isu-isu keagamaan tapi banyak isu lain. Dalam beberapa hal ini dapat menjadi perkembangan baik, sejauh memenuhi tujuan desentralisasi, tapi juga dapat menjadi sumber masalah.
Bab ini membahas kedua masalah tersebut, tuduhan penyesatan (dan secara khusus Ahmadiyah), rumah ibadah, dan diakhiri dengan perkembangan isu terorisme pada tahun ini.
Penodaan Agama dan Aliran Sesat: Reaksi minus Antisipasi Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aliran-aliran yang dituduh menodai agama tahun ini relatif lebih sedikit. Beberapa kasus telah masuk ke proses pengadilan hingga pembacaan vonis, seperti kasus Antonius Richmond Bawerang di Temanggung yang memicu kerusuhan karena vonis tertinggi yang dijatuhkan masih dianggap belum cukup berat. Ada pula kasus penyebaran buku, selebaran, dan VCD di Medan dan Aceh yang dianggap melecehkan Islam; kasus Ondon di Ciamis yang ketika menyembuhkan pasien selalu sambil melarang pasiennya shalat dan dzikir; novel Tidak Hilang Sebuah Nama yang dianggap melecehkan agama Kristen dan beredar di beberapa sekolah di Manado, Sulawesi Utara; kasus Ramot Agus Nasib Mangihut yang menyebarkan buku Ya Tuhan Tertipu Aku yang dianggap memojokkan agama Islam, dan disebarkan di warungwarung sekitar Medan, Sumatera Utara. Di luar Ahmadiyah dan Lia Eden yang kasusnya telah berkembang cukup lama, yang menonjol pada tahun 2011 adalah munculnya Millah Abraham (atau Komunitas Millah Abraham, Komar) di Naggroe Aceh Darussalam, dan, di penghujung 2011, terusirnya komunitas Syi’ah di Sampang, di samping beberapa kasus lain yang dibahas di bawah. Komunitas Millah Abraham (Komar) di Aceh
Di Aceh, fenomena aliran keagamaan di luar mainstream memang bukan hal baru, dan Komar hanyalah kelompok kecil. Namun kemunculan aliran ini memicu lembagalembaga agama di sana untuk bereaksi terhadap aliran-aliran lain yang telah ada sebelumnya. MUI mengeluarkan pernyataan tentang kesesatan Komar, dan pada awal Juni 2011, Bakorpakem Sumatera Barat menetapkan Komar sebagai aliran sesat. Lembaga ini merekomendasikan kepada gubernur untuk
27
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
segera mengeluarkan SK Pelarangan terhadap Komar di Sumatera Barat. Alasan penetapan kesesatan KOMAR karena aliran ini mengajarkan bahwa shalat hanya perlu satu kali, yakni pada malam hari dan cukup 3 rakaat, pada hari tertentu shalat 13 rakaat, dan doa iftitah dalam shalat dicampur dengan doa-doa lain. Pemerintah provinsi dan beberapa daerah di Aceh kemudian mengeluarkan peraturan daerah yang melarang keberadaan dan penyebaran di daerahnya. Kasus ini telah berkembang pada 2010 dan menguat di tahun 2011. Pada Oktober 2010, warga di Padang, Sumatera Barat menganiaya beberapa warga yang diduga menjadi penganut Millah Abraham. Kasus serupa terjadi juga di Bireun, NAD. Pihak Pemda/Pemkot dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) NAD mengeluarkan sikap penolakan terhadap Komar, dan mereka mesti disyahadatkan. Aliran ini berhasil menggaet pelajar, mahasiswa, dan masyarakat biasa. Di NAD, beberapa orang tua melaporkan kehilangan anaknya yang berusia remaja, dan diduga sudah masuk dalam komunitas itu. Rentetan kasus serupa pun kemudian terjadi di beberapa daerah di Sumatera Utara dan NAD. Pada pertengahan Oktober, MPU mengeluarkan fatwa haram membiarkan pendangkalan akidah dan pemurtadan umat Islam. Tidak lama setelah fatwa ini, ada 13 warga Komar yang dikirim di pesantren untuk dibina, sementara warga Komar lain menyatakan permintaan maaf atas kekhilafannya. Hangatnya kasus KOMAR ini sempat terhenti di akhir tahun 2010. Baru pada bulan Maret 2011 muncul kembali ketika ada long march besar-besaran di Kota Banda Aceh yang diikuti oleh sebagian besar ormas Islam di Aceh. Alasan utama bangkitnya kembali gelombang penolakan ini karena ternyata Komar justru dianggap telah merambah jauh ke pedalaman Aceh. Pihak kepolisian pun kembali menangkap beberapa warga Komar. Hingga akhir April, kepolisian Aceh telah mendata 344 warga KOMAR, dan 60%-nya adalah perempuan. 100 warga di antaranya telah disyahadatkan di Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Sementara itu, hingga sekitar Mei 2011, penganut Millah
28
Abraham telah menjadi korban beberapa kekerasan yang dilakukan oleh warga atau anggota beberapa ormas. Tanggapan resmi pemerintah dan lembaga keagamaan umumnya melihat fenomena tersebut sebagai aliran sesat atau penodaan, yang dasar legalnya adalah UU Pencegahan Penodaan Agama (No. 1/PNPS/ 1965), dan solusinya adalah pembatasan atau pelarangan yang diikuti dengan pembinaan. Seberapa memadaikah bentuk tanggapan itu? Hal ini tampak ketika paradigma ini diterapkan ke kelompok-kelompok lain secara lebih masif. Komar memang hanya kelompok kecil saja. Namun reaksi terhadapnya telah merembet hingga ke kelompok-kelompok Islam lain yang dianggap telah keluar dari mainstream Sunni. Pada bulan April, Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan Peraturan Walikota No. 11 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Penindakan Pelaku Penyebaran Aliran Sesat. Pada bulan yang sama, Pemprov NAD juga mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Pelarangan Penyebaran Ajaran Sesat, termasuk penyebaran ajaran Millah Abraham. Peraturan Gubernur ini mencakup 14 aliran dan ajaran kepercayaan yang ada saat ini di Aceh karena, menurut Pemprov, terbukti sesat dan menyesatkan. Tak jelas benar kelompokkelompok mana yang dilarang, namun menurut sebuah sumber, itu termasuk Syi’ah, Baha’iyyah, Ahmadiyah, dan bebeberapa kelompok tarekat, yang dianggap berada di luar mainstream Sunni. Sejalan dengan itu, Bupati Aceh Barat Daya (Abdya) mengeluarkan Surat Edaran yang berisi instruksi ke Dinas Syariat Islam Abdya agar melakukan upaya menghidupkan kembali pengajian di masjid dan meunasah di seluruh kecamatan dan desa. Dinas Syariat Islam pun sudah menyediakan anggaran pembinaan untuk eks-Komar. Pada akhir bulan Mei, Walikota Banda Aceh mengukuhkan pendirian Komite Penguatan Akidah dan Peningkatan Amalan Islam Kota Banda Aceh. Komite ini bukan hanya akan bertugas melawan beberapa aliran yang diduga sesat dan melakukan penodaan agama, tetapi juga melakukan upaya pembentengan terhadap pendangkalan akidah. Alasan mengapa komite ini dibentuk karena penyebaran aliran sesat dianggap
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
sebagai upaya menghambat pembangunan, dan hal ini dapat dikategorikan sebagai upaya makar. Sementara itu, di samping mengeluarkan pernyataan tentang sesatnya KOMAR, MPU juga mendatangi penganut Millah Abraham untuk ditobatkan. Persepsi umum di kalangan lembagalembaga Islam adalah anggapan bahwa penyebab pentingnya muncul aliran-aliran itu adalah menurunnya frekuensi kajian agama di masjid, meunasah, dan majelis taklim, juga karena perhatian keluarga yang
Kelompok mayoritas hanya perlu menyerang kelompok minoritas yang tak diinginkan, dan pemerintah meresponsnya dengan relokasi; apa jadinya negara ini jika hal itu menjadi pola penyelesaian konflik? kurang terhadap pengetahuan keagamaan anak-anaknya. Solusinya pun mengarah pada penekanan pentingnya peran keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, dan lembaga keagamaan dalam pendidikan umat. Dalam komunitas internal agama, reaksi tersebut tentu boleh-boleh saja, karena adanya kewajiban mendakwahkan ajaran yang dianggap benar, akan tetapi negara seharusnya tidak masuk ke dalam arena ini. Kasus NAD mungkin berbeda karena provinsi ini jelas menerima pemberlakuan syariat Islam, namun dengan itu pun penafsiran yang didukung pemerintah dan
dijadikan standar resmi untuk menilai paham-paham yang berkembang di masyarakat dapat (dan sudah) berjalan terlalu jauh. Dalam kasus ini, negara (diwakili Gubernur dan Bupati) tak hanya sekedar melakukan fungsinya sebagai penjaga lalulintas hubungan kelompok-kelompok keagamaan yang melindungi semua kelompok warga negara tanpa diskriminasi atas dasar kepercayaan keagamaannya, tetapi sudah jelas-jelas meneguhkan suatu paham (dalam hal ini yang dianut Sunni mainstream) sebagai satu-satunya yang dapat diterima. Bahaya dari sikap ini menjadi lebih jelas ketika paham-paham lain yang sebetulnya juga sudah cukup established pun dianggap sebagai keluar dari mainstream dan dilarang keberadaannya. Syi’ah Sampang, Madura: Kasus keluarga berujung kasus agama
Pandangan yang melandasi keputusan seperti yang dikeluarkan Gubernur NAD adalah penolakan atas perbedaan dilakukan atas nama penyimpangan (dari apa yang dianggap mainstream). Cara pandang itu mengkhawatirkan, karena akan mengenai lebih banyak kelompok-kelompok yang berbeda dari mayoritas. Kasus terakhir menyangkut penyerangan atas komunitas Syi’ah di Sampang, Madura. Pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, dibakar sekitar 500 orang yang mengatasnamakan kelompok Sunni pada Kamis pagi, 29 Desember 2011. 253 warga Sampang terusir dari pesantren yang dibakar tersebut. Mereka diungsikan ke GOR Wijata Kusuma, depan kantor Bupati Sampang dan berada di sana selama dua minggu, sebelum akhirnya dipulangkan. Sebagian warga pun merasa aman, karena polisi masih hadir di sana, sebagian yang lain masih khawatir dan was-was. Peristiwa ini adalah kasus kedua setelah yang pertama pada bulan April 2011. Saat itu, masyarakat yang tidak setuju dengan keberadaan Syiah menteror dan mengultimatum warga Syiah untuk: 1) menghentikan semua kegiatannya dan kembali ke ajaran Islam; 2) meninggalkan (diusir) wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/ aset yang ada; dan 3) jika dua opsi tersebut
29
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
tidak dipenuhi, maka jamaah Syiah Sampang harus mati. MUI, Muspida, dan Camat setempat ketika itu sempat mengadakan rapat untuk mendamaikan kedua pihak tersebut, namun mengalami kegagalan. Pada Desember pun kekerasan terulang, seakan-akan memenuhi janji ultimatum itu. Hingga akhir 2011, berdasarkan video penyerangan dan data yang terkumpul, pihak keamanan sedang mengusut satu orang berinisial “M” yang diduga sebagai pelaku pembakaran. Mabes Polri menilai, pembakaran dipicu konflik keluarga lama, yaitu pemilik Ponpes Tajul Muluk dengan saudara kandungnya, Rois, yang berpaham Sunni. Syiah di Sampang sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, dan beribadah secara terbuka dan terang-terangan sejak 2004. Tidak ada masalah dengan warga pada waktu itu. Pada tahun 2006 mulai ada penyerangan terhadap pesantren dan warga Syiah, meskipun tidak seberat 29 Desember tersebut. Kekerasan ini diduga karena mulai bermunculannya tokohtokoh agama. Pada tahun 2009, MUI Sampang bersama dengan Kapolsek dan Danramil membuat pernyataan bahwa Syi’ah bukanlah aliran sesat karena tidak ada penyimpangan. Efek dari pernyataan tersebut, warga Syiah di Sampang terlindungi. Akan tetapi, warga non-Syi’ah setempat justru semakin keras menentang keberadaan mereka. Pernyataan MUI Sampang, Kapolsek, dan Danramil Sampang tersebut kehilangan maknanya ketika, seiring dengan kasus pembakaran pesantren ini, Ketua MUI Jawa Timur Abdusshomad justru menyatakan keberadaan Syi’ah di Sampang ibarat bom waktu—selama Syi’ah masih ada di Sampang, maka akan terus menimbulkan masalah. Pihak keamanan, ormas, partai politik, dan Pemprov Jawa Timur mengecam tindakan anarkis tersebut. Gubernur Jawa Timur meminta kepolisian melakukan pendekatan persuasif untuk melerai konflik keluarga tersebut. Lebih jauh, Gubernur Jawa Timur menolak desakan melarang keberadaan Syi’ah di Jawa Timur. Sampai saat ini MUI Pusat pun tidak melarang Syi’ah. Satu hal yang mengherankan adalah pernyataan Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jatim, yang tak lama setelah penyerangan mengajukan
30
usulan relokasi warga Syi’ah, agar konflik tak terjadi lagi. Solusi ini seakan-akan ingin menyelesaikan masalah yang muncul karena perbedaan dengan melenyapkan kelompok berbeda secara paksa. Dapat dibayangkan bagaimana jika hal ini menjadi pola penyelesaian konflik: suatu kelompok mayoritas hanya perlu memberikan bukti (misalnya dengan menyerang atau menghancurkan properti suatu kelompok) bahwa keberadaan suatu kelompok minoritas yang berbeda tak diiinginkan, dan kemudian usulan itu dipenuhi pemerintah melalui relokasi. Respons polisi perlu juga dicatat. Sebenarnya, isu akan adanya penyerangan sudah diketahui warga Syi’ah seminggu sebelumnya. Warga Syi’ah sudah menginformasikan rencana tersebut ke pihak keamanan. Akan tetapi pihak keamanan terlambat merespons laporan tersebut. Pesantren sudah hancur, pihak keamanan baru datang ke lokasi. Sebagaimana dibahas di bab berikutnya, keterlambatan respons polisi ini tak hanya terjadi sekali, tetapi kerap berulang—kita khawatir, sikap ini akan menjadi pola tindakan polisi menghadapi ancaman penyerangan. Secara umum dapat dikatakan bahwa, di luar kasus Ahmadiyah, kasus-kasus penodaan agama pada tahun 2011 lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi penanganan oleh pihak keamanan, kita masih melihat kelanjutan tren dari tahuntahun sebelumnya, yaitu lemahnya antisipasi dan keterlambatan tindakan. Padahal untuk kasus-kasus semacam ini reaksi cepat pihak keamanan cukup penting, demi menghindari eskalasi yang dapat membuat situasi semakin runyam, bahkan memicu kekerasan (baca juga bagian mengenai kekerasan di bab 3 Laporan Tahunan ini, yang melihat gejala serupa untuk kasus-kasus penyerangan lain.) Di sisi lain, reaksi yang kerap muncul dalam menghadapi aliran sesat/menyimpang bukanlah melindungi minoritas yang terancam, tetapi justru—beranjak dari keistimewaan yang diberikan pada arus utama atau mayoritas—usaha mengubah mereka agar tak berbeda dari mainstream, melalui upaya penyadaran (hingga ke tingkat pensyahadatan ulang). DI NAD, proyek penyadaran dan pembentengan dari pendangkalan akidah
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
disponsori pemerintah yang, dengan demikian, tentu mengambil posisi spesifik mengenai ajaran yang benar. Bahkan Kemenag pun menyebutkan bahwa program GEMAR Mengaji (Gerakan Maghrib Mengaji) yang diluncurkannya, salah satunya bertujuan untuk melawan aliran-aliran yang dianggap sesat, sebagai akibat kekosongan akidah dan kekosongan dakwah. Dalam kasus-kasus di atas, keberpihakan negara pada kelompok yang dianggap benar atau mainstream tampak kentara. Kasus Komar, yang diikuti SK Gubernur NAD yang
perbedaan tentu mesti ditoleransi. Jika paham yang berbeda serta merta dianggap menyimpang dan diingkari keberadaannya, hal ini justru akan merugikan dinamika internal komunitas umat beragama (muslim, dalam kedua kasus di atas), di mana keragaman tidak menjadi sarana pengkayaan tetapi sumber konflik yang diselesaikan dengan mengurangi keragaman itu. Untuk saat ini, kelompok yang kebetulan didukung pemerintah ikut mendukungnya, tetapi dalam hitungan jangka panjang, hal ini mempersulit pengembangan etos hidup bersama dalam perbedaan.
Ketertiban masyarakat
Kasus-kasus lain penyimpangan dan penodaan
memang dapat digunakan sebagai alasan membatasi, namun hal ini tak boleh didefinisikan secara sewenang-wenang, terlebih atas nama kenyamanan pihak mayoritas di suatu tempat. melarang banyak kelompok menyimpang lain, maupun kasus Syi’ah di Madura menunjukkan adanya masalah serius dalam penanganan pemerintah (daerah) menyelesaikan konflik yang muncul karena perbedaan. Ide relokasi—yang untungnya tak dilanjutkan—justru seperti mengisyaratkan ketakmampuan menghadapi perbedaan dan hidup bersama dalam perbedaan. Dalam kasus Syi’ah, wacana di media yang muncul untuk berupaya mencari titiktemu Sunni-Syi’ah dapat saja membantu, tetapi sebetulnya yang tak kalah pentingnya adalah ada atau tidak adanya titik-temu,
Di luar kasus-kasus di atas, masih ada beberapa kasus lain yang tak menjadi isu besar, terutama karena komunitas yang terkait terbilang kecil; misalnya, kasus Suranto (pendiri Padepokan Padang Ati di Grobogan, Jawa Tengah), yang membekukan padepokannya dan menyerahkan diri ke kepolisian setelah ada keberatan warga. Di wilayah lain Jateng, muncul sebuah aliran di Mranggen yang mengajarkan pengikutnya melakukan ibadah dengan tertawa terbahakbahak sejak dini hari sampai pagi. Aliran ini oleh warga sekitarnya dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan istirahat malam, meskipun pimpinannya menolak tuduhan itu. Polisi kemudian mengamankan pimpinannya. Kelompok-kelompok dalam kasus di Jawa Tengah itu dapat disebut sebagai gerakan keagamaan baru (new religious movement), suatu fenomena yang telah banyak dijumpai di seluruh dunia, yang perlu ditanggapi tidak hanya dengan bahasa aliran sesat atau penyimpangan. Ketertiban masyarakat memang dapat digunakan sebagai alasan membatasi, namun hal ini tak boleh didefinisikan secara sewenang-wenang, terlebih atas nama kenyamanan pihak mayoritas di suatu tempat. Jika kasusnya sudah menyangkut, misalnya, membahayakan jiwa pengikutnya, polisi dapat bertindak, tanpa perlu alasan aliran sesat. Di luar itu, sebaiknya kasus-kasus ini disikapi secara arif dan persuasif oleh masyarakat, bukan dengan pendekatan keamanan atau bahasa aliran sesat yang terlalu terbatas.
31
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Selain tuduhan penyimpangan, ada kasus lain terkait penodaan, sebagai contoh penyebaran VCD, buku, dan brosur di Medan, Sumatera Utara, pada bulan Januari 2011, yang mendiskreditkan Nabi Muhammad dan umat Islam dengan menggunakan ayat Alquran yang ditafsirkan sendiri oleh pembuatnya. VCD, buku, dan brosur itu dikirim oleh seseorang yang beralamat di Pondok Gede, Jakarta Timur. Sekurangnya ada empat masjid di Medan yang menerima penyebaran tersebut. Pihak Dewan Masjid Indonesia (DMI) Medan dan Sumatera Utara menilai penyebaran tersebut sebagai pendiskreditan Islam. Pemerintah Kota Medan menanggapi penyebaran VCD, Buku, dan Brosur dengan menyatakan bahwa Medan akan dijadikan area baru memecah belah umat beragama karena Medan saat ini dianggap sebagai wilayah yang kondusif hubungan antaragamanya. Beberapa masjid pun mengadukan kiriman tersebut ke lembaga-lembaga Islam dan lembaga lintasagama di Medan. Beberapa pihak, di antaranya MUI, 12 ormas Islam, dan kelompok-kelompok lintasagama melaporkan ke kepolisian. Setelah menerima laporan dari banyak organisasi itu, pihak kepolisian menelusuri kasus ini dan berhasil melacak alamat pengirimnya di Jakarta Timur, namun pelakunya belum ditemukan. Dalam waktu tidak terlalu lama dari laporan dan tindaklanjut kepolisian, salah satu takmir masjid di Labuhanbatu, Medan, menangkap salah seorang pengedar VCD, buku, dan brosur tersebut. Meskipun pengedar tersebut dapat dijadikan titik pijak dalam penelusuran lebih dalam, dan pihak kepolisian berjanji akan menuntaskan kasus ini pada bulan Maret, tetapi hingga Desember 2011, kasus ini belum tuntas. Dalam kasus penodaan di Medan itu, yang patut dipuji adalah bahwa kejadian itu justru menginisiasi para tokoh lintasagama untuk menggalang solidaritas, dan meredam umatnya masing-masing agar tidak terpancing provokasi. Beberapa kali mereka berkumpul dan berkoordinasi dengan pihak pemerintah dan keamanan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya kekerasan sebagai reaksi atas peristiwa itu. Kalau saja polisi dapat cepat menanggapi, hingga
32
menemukan pengirim yang tampaknya memang sengaja berniat melecehkan, sikap itu akan membantu meredam situasi yang sempat panas. Meskipun kasus ini tak membesar, sebaiknya polisi menuntaskan penyusutannya agar peristiwa seperti itu tak terulang kembali.
Ahmadiyah: Repetisi Menunggu Solusi Peristiwa Cikeusik pada Februari 2011 merupakan salah satu isu utama aksi kekerasan sepanjang tahun 2011, sekaligus menjadi pemantik isu-isu penting terkait Ahmadiyah di tahun ini. Peristiwa yang membawa korban jiwa tiga orang Ahmadi ini menandai lompatan kualitas kekerasan terhadap Ahmadiyah. Beberapa tahun terakhir ini kekerasan terhadap Ahmadiyah, terutama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang menjadi sasaran SKB pada 2008, telah mengambil bentuk penyerangan komunitasnya maupun penghancuran properti, termasuk masjid, tetapi tidak pembunuhan. Lebih jauh, meskipun Ahmadiyah menjadi korban dalam peristiwa ini, reaksi yang muncul selama beberapa bulan berikutnya justru mengambil bentuk tindakan yang lebih keras terhadap mereka, khususnya di beberapa daerah. Sub-bab ini akan membahas perlakuan terhadap JAI setelah peristiwa Cikeusik itu pada tingkat nasional dan daerah; sedangkan pembahasan mengenai aspek kekerasannya diuraikan di bab 3. Secara umum, pola respons atas aksi kekerasan Cikeusik itu mirip dengan pola yang terjadi di tahun 2010. Di tahun 2011, respons yang muncul lebih jauh menyentuh aspek regulasi, khususnya di daerah-daerah. Seperti dilaporkan dalam Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010, umumnya, ada tiga pola respons. Pertama, respons dari kelompok muslim yang menganggap Ahmadiyah sesat secara teologis, namun harus disikapi dengan arif tanpa anarki, misalnya respons dari Ketua Umum PBNU, Said Agil Siraj. Kedua, kelompok yang memandang perlu pembubaran Ahmadiyah, yang disuarakan banyak ormas Islam yang lebih kecil, dan sempat didukung Menteri Agama, Suryadharma Ali. Ketiga, kelompok penentang pembubaran Ahmadiyah dan pembela hak-hak sipil mereka,
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Tabel: Kebijakan terkait Ahmadiyah (Januari – Oktober 2011) No
Ketetapan
Daerah
Tanggal Penetapan
Ringkasan Isi
2 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.
Jawa Barat
14 Maret 2011
Upaya persuasif warga dan walikota di Jawa Barat kepada aktivitas Ahmadiyah sebagai tindak lanjut dari Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011.
Peraturan Walikota Depok No. 09 Tahun 2011
Jawa Barat
9 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; serta larangan tindakan anarkis kepada pengikut Ahmadiyah.
4
Surat Kemenag Kantor Kabupaten Cianjur No. Kd.10.03/HM.00/665/2011
Jawa Barat
31 Maret 2011
Pengaturan Jadwal Imam dan Khotib Sholat Jum’at di Masjid Al-Ghofur milik Ahmadiyah Cianjur
5
Surat Keputusan Walikota Bogor No. 300.45-122/2011
Jawa Barat
3 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; serta larangan tindakan anarkis kepada pengikut Ahmadiyah.
6
SK. No. 821.29/153/Kpts/Kesbangpol dan Linmas/Huk/2011
Jawa Barat
11 Maret 2011
Pembentukan tim monitoring dan tim sosialisasi pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Depok.
7
Peraturan Bupati Sukabumi No. 300 Tahun 2011
Jawa Barat
17 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; serta larangan tindakan anarkis kepada pengikut Ahmadiyah.
8
Peraturan Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011
Banten
1 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; dan ajaranajaran yang menyimpang dari pokok Islam
9
Peraturan Bupati Pandeglang No. 5 Tahun 2011
Banten
21 Februari 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah
10
Peraturan Bupati Lebak No. 11 Tahun 2011
Banten
8 Maret 2011
Larangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah baik melalui media lisan maupun tulisan.
11
Peraturan Bupati Serang No. 8 Tahun 2011
Banten
11 Maret 2011
Larangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah baik melalui media lisan maupun tulisan.
12
Surat Bupati Kampar No. 450/PUM/ 2011/68 Tahun 2011
Riau
16 Februari 2011
Ditujukan kepada ketua dan seluruh jema’at JAI agar menghentikan segala aktivitas terkait Ahmadiyah
13
Kesepakatan Bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Prov. Kepri
Kepulauan Riau
25 Maret 2011
Sosialisasi SKB 3 Menteri agar dapat dilakukan penanganan dan pembinaan terhadap Ahmadiyah.
14
Pergub Sumatera Barat No.17 Tahun 2011
Sumatera Barat
24 Maret 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; dan ajaranajaran yang menyimpang dari pokok Islam
15
SK Gubernur Jawa Timur No. 188/94/ KPTS/013/2011
Jawa Timur
28 Februari 2011
Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah; dan ajaranajaran yang menyimpang dari pokok Islam
16
SK Wali Kota Samarinda No. 200/160/ BKPPM.1/11/2011
Kalimantan Timur
25 Februari 2011
Penghentian dan penutupan jemaat Ahmadiyah di Samarinda
17
Surat edaran Gubernur Sulawesi Selatan No. 223.2/803/kesbang
Sulawesi Selatan
10 Februari 2011
Peringatan akan penghentian aktivitas Ahmadiyah di Sulawesi Selatan
18
Peraturan Bupati Konawe No. 01 Tahun Sulawesi Selatan 2011
17 Maret 2011
Larangan kegiatan Ahmadiyah dan pembukaan masjid-masjid Ahmadiyah untuk umum di Konawe.
19
Peraturan Walikota Bekasi No. 40 Tahun 2011
13 Oktober 2011
Larangan segala bentuk aktivitas Ahmadiyah di Bekasi, baik pengurus maupun anggota Ahmadiyah.
1
Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Jawa Barat Tahun 2011
2
Surat Edaran Gubernur Jabar No.188.3/15–Kesbangpol
3
Jawa Barat
(Sumber: Diolah dari dokumentasi LBH Jakarta, berbagai dokumen lain, dan media massa)
33
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Tabel: Kekerasan terhadap Ahmadiyah (Januari – Agustus 2011) No
34
Peristiwa
Daerah Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Narasi Singkat
1
Tuntutan pemberhentian sebagai calon sekretaris daerah bagi kandidat yang diduga ahmadiyah
Jabar
24 Januari
Garut
Sekelompok kyai garut
Sekelompok kyai mendatangi DPRD setempat untuk menyampaikan keberatannya terhadap calon sekretaris daerah. Ketiga kandidat menurut mereka adalah jamaah Ahmadiyah
2
Pembongkarang papan nama Ahmadiyah
Sulsel
29 Januari
Markas Ahmadiyah, Jln. Anuang, Kelurahan Maricayya, Kec. Mamanjang, Makassar, Sulsel
Front Pembela Islam
FPI Sulsel berdemonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyah, di depan Masjid An Nushrat, sekretariat Ahmadiyah. Polisi mengevakuasi sekitar 60 jamaah Ahmadi yang berada di dalam masjid. FPI selanjutnya mencopot papan nama yang berada di markas Ahmadiyah setempat, menyita 45 kaset rekaman video, puluhan batu dalam dua buah ember.
3
Sweeping terhadap Jabar saksi dari ahmadiyah
2 Februari
PN Cibinong, bogor
Warga/massa
Usai pemerikasaan saksi pertama Chumaedi, massa tidak puas dan merangsek maju mencari saksi. Namun tidak sampai dapat. Lalu keluar dengan memeriksa setiap sudut pengadilan
4
Penyerbuan warga Banten Pandeglang terhadap jamaah Ahmadiyah
5 Februari
Rumah Suparman, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten
Warga
Ribuan warga menyerbu rumah Suparman, yang dijaga oleh 17 Ahmadi. Bentrok fisik mengakibatkan 6 orang meninggal, 4 orang kritis, 1 rumah hancur, 2 mobil dibakar dan 1 motor dibuang ke sungai.
5
Pembongkaran masjid
Sulteng 27 Februari
6
Pembongkaran makam seorang Ahmadi
Jabar
3 Maret
Desa Buni Jaya, Kec. Gunung Halu, Kab. Bandung
Sekelompok orang Liang lahat seorang Ahmadi yang tak dikenal baru saja disemayamkan dibongkar dan diletakkan begitu saja. Sebelumnya, warga sempat memprotes penguburan jenazah Ahmadi tersebut karena dimakamkan di kuburan milik warga
7
Pendudukkan masjid Ahmadiyah
Jabar
11 Maret
Masjid al Ghofur, Cianjur, Jawa Barat
GARIS (Gerakan Reformis Islam)
GARIS mendudukki masjid Ahmadiyah, karena tersinggung jama’ah Ahmadiyah mundur ketika shalat jum’at bersama mereka. Pendudukkan ini dilaksanakan agar warga Ahmadiyah tidak melakukan shalat jum’at ulang.
8
Penyerangan masjid dan pembakaran buku-buku ajaran Ahmadiyah
Jabar
13 Maret
Masjid milik Ahmadiyah di RT 02/ 09, Kampung Cisaar, Dipeayeum, Haurwangi, Cianjur, Jabar
Massa dari kampung Cisaar, Desa Dipeayeum, Kec. Haurwangi, Kab. Cianjur, Jabar
Warga menyerang masjid dan membakar buku-buku ajaran Ahmadiyah karena dianggap tidak mengindahkan pergub dan tetap beraktivitas menyebarkan ajarannya
9
Pelemparan batu terhadap rumah jamaah Ahmadiyah
Jabar
13 Maret
Empat rumah milik Ahmadi di Desa Ciaruten Udik, Cibungbulang, Bogor, Jabar
50-75 orang Tak dikenal
Empat rumah masing-masing milik Usman, Ari, Nasir dan Ayu dilempari orang tak dikenal. Kaca-kaca di rumah tersebut pecah.
Masjid Ahmadiyah, di DPRD Sigi Kab. Sigi, Sulawesi Tengah
Dalam dialog, DPRD Sigi meminta jamaah Ahmadiyah untuk membongkar masjid dalam komunitas tersebut. Alasannya, rumah ibadah harus memiliki izin, dan tempat itu lebih menyerupai rumah
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
No
Peristiwa
Daerah
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Narasi Singkat
10
Pelemparan batu terhadap rumah jamaah Ahmadiyah
Jabar
15 Maret
Tiga rumah milik Ahmadi di Ciampea, Bogor, Jabar
Tak dikenal
Tiga rumah masing-masing milik Laswati, Amirudin dan Tuti dilempari batu
11
Penyegelan kantor Ahmadiyah
DIY
20 Maret
Kantor Ahmadiyah di Kotabaru, Yogyakar ta
Front Umat Islam, Yogyakar ta
Massa FUI menempelkan spanduk bertuliskan “Disegel oleh Front Umat Islam Yogyakarta” di kantor Ahmadiyah Yogyakar ta
12
Perusakan rumah jamaah Ahmadiyah
Jabar
29 Maret
Tasikmalaya
Sekitar 50 orang, warga setempat dan dari luar
Satu rumah milik Uha yang ditemepati kakek umur 80 tahuan serta enam anak dan cucunya diserang warga, jendela kaca rusak dan sepeda motor milik ahmadi dibuang ke dekat kolam.
13
Perusakan dan pembakaran rumah dan saung milik Ahmadi
Jabar
30 Maret
Kampung Tolenjeng, Sukagalih, Sukaratu, Tasikmalaya, Jawa Barat
Massa menggunakan pakaian serba putih datang menggunakan truk
Massa sekitar 50 orang mengendarai truk berhenti di depan rumah dan melempari batu, merusak isi rumah dan membakar saung di belakang rumah. Satu Ahmadi terluka terkena lemparan batu.
14
Penyegelan masjid Ahmadiyah
Jabar
4 April
Pemerintah Kota Masjid Mubarok, Bogor Cabang Sindang Barang, Bogor, Bogor Barat, Jabar
15
Pelemparan batu rumah Ahmadi
Jabar
5 April
Kampung Cimanggu III, RT 1/6, Ciaruteun Udik, Cibungbulang, Bogor, Jabar
Massa
16
Pembakaran aset milik Ahmadiyah
Jabar
17 April
Tasikmalaya, Jawa Barat
Massa tak dikenal Warga membakar peternakan ayam miliki Iyos (Ahmadi) di Tolenjeng Sukaratu. Dua kandang ayam hangus terbakar. Sebelumnya rumah Iyos juga dirusak oleh orang tak dikenal.
17
Penyegelan masjid Ahmadiyah
Riau
19 April
Pekanbaru, Riau
FPI dan LPI
18
Penyegelan masjid Ahmadiyah
Riau
10 Mei
Kota Batam
Pemkot, Kemenag Rumah ibadah disegel, penurunan plang karena ajarannya dituduh Batam ber tentangan dengan Islam.
19
Pemukulan ormas pendukung Ahmadiyah
Sulsel
17 Juni
Jln. Anuang, Kelurahan Maricayya, Kec. Mamanjang, Makassar, Sulsel
FPI
5 anggota FPI Sulsel dengan mengendarai sepeda motor hendak melakukan sweeping untuk mencegah JAI menggunakan tempat tersebut untuk shalat jumat. Sebelum meninggalkan tempat, anggota FPI cekcok dengan anggota ormas yang ada di dalam dan sempat memukul tengkuk anggota ormas tersebut.
20
Penyerangan kantor JAI
Sulsel
14 Agustus
Jln. Anuang, Kelurahan Maricayya, Kec. Mamanjang, Makassar, Sulsel
FPI
Dengan mengendarai sepeda motor, massa FPI langsung masuk ke dalam ruangan milik ahmadiyah, memcahkan kaca-kaca ruangan. Memukuli 2 anggota LBH Makasar.
Pemerintah Kota Bogor menempelkan SK Walikota dan SK Gubernur di dinding masjid terkait larangan aktivitas Ahmadiyah. Penyelegelan dilakukan sebagai respons tuntutan warga. Pelemparan batu terjadi terhadap lima rumah Ahmadi, yaitu Narsih, Wahyudin, Nasir, Usman dan Ari. Pelemparan ini menyebabkan pecahnya kaca-kaca dan gentenggenteng rumah.
FPI dan LPI menyegel masjid jamaat Ahmadiyah sebagai respons kelambanan pemerintah daerah menuntaskan kasus Ahmadiyah.
(Sumber: berbagai media massa)
35
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
misalnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan banyak LSM penggiat HAM lainnya. Dialog Nasional
Menyusul peristiwa Cikeusik di bulan Februari 2011, pola respons tersebut muncul kembali, dan kali ini dalam beberapa hal lebih intens menjangkau ke daerah-daerah. Pada tingkat nasional, Kementerian Agama (Kemenag) mengadakan dialog nasional tentang Ahmadiyah yang diselenggarakan pada 22,
Di satu sisi, ketiadaan putusan baru tentang Ahmadiyah menunjukkan kehatihatian pemerintah. Di lain sisi, hal itu menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan masalah status legal Ahmadiyah di Indonesia.
23, 28, dan 29 Maret 2011 di Gedung Kementerian Agama RI di Jln. M.H. Thamrin, Jakarta dengan mengundang perwakilan dari berbagai LSM, kalangan akademik, ormas Islam, Majelis Ulama Indonesia, Badan Intelijen Negara, Polri, Jamintel Kejaksaan Agung dan beberapa perwakilan kepala daerah yang memiliki peraturan daerah terkait pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Dalam dialog ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga diundang, tetapi memutuskan untuk tidak hadir, dengan salah satu alasannya “komposisi
36
peserta dialog tidak netral”. Menurut rencana, pada awal April 2011 akan dikeluarkan keputusan baru menyangkut nasib JAI sebagai tindak lanjut dialog nasional itu. Namun hingga akhir 2011, tidak ada pengumuman resmi dari pemerintah tentang keputusan dialog tersebut. Di satu sisi, ketiadaan putusan baru itu menunjukkan kehati-hatian pemerintah. Di sisi lain, bagi pihak-pihak yang berseberangan dalam hal bagaimana menyikapi JAI, hal itu menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan status legal Ahmadiyah di Indonesia. Memang harus diakui bahwa hal ini bukanlah isu yang mudah dipecahkan. Secara legal, ada dua kekuatan bertentangan yang harus didamaikan. Di satu sisi, hukum yang berlaku (UU Pencegahan Penodaan Agama No. 1/PNPS/1965 yang ditegaskan ulang konstitusionalitasnya pada 2010 oleh Mahkamah Konstitusi) masih memungkinkan pelarangan suatu kelompok agama atas dasar “penyimpangan dari pokok-pokok ajaran agama” (yang secara praktis berarti perbedaan dari apa yang dianggap sebagai arus utama agama itu). Di sisi lain, pelarangan semacam ini akan bertabrakan langsung dengan semangat demokratisasi pasca-Reformasi, yang di antaranya tercermin dalam jaminan lebih kuat bagi kebebasan dan HAM dalam UUD 1945 yang telah diamandemen maupun beberapa regulasi lain. SKB terkait JAI pada 2008, yang tidak melarang keberadaan organisasi ini tapi membatasinya atas nama ketertiban sosial, dapat dipandang sebagai hasil kompromi yang sulit. SKB itu didahului dengan proses panjang dialog yang berjalan dalam 11 putaran, selama dua bulan (Desember 2007Januari 2008), diikuti proses pemantauan selama 2 bulan (yang sebetulnya tak tegas memberikan bukti penyimpangan JAI), sebelum SK dikeluarkan pada Juni 2008. Dari sisi itu, upaya yang dilakukan pada 2008 itu tampak jauh lebih serius dari rangkaian pertemuan pada Maret 2011 yang tak menghasilkan keputusan berarti itu. Padahal pada 2011 (tepatnya pada bulan Maret, ketika pertemuan dilangsungkan) masalahnya sudah menjadi lebih kompleks dan kekerasan pada Ahmadiyah sudah lebih
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
intens. Di sisi lain, boleh jadi SKB 2008 adalah bentuk kompromi yang sudah paling jauh, dan sulit untuk menemukan bentuk solusi lain melampaui SKB 2008 yang tidak berujung pada pelarangan. Tentu ada solusi lain, yaitu pencabutan SKB 2008 yang secara politis hampir mustahil berani diambil oleh pemerintah, dalam suasana ketika sentimen anti-Ahmadiyah di kalangan beberapa kelompok Muslim yang keras justru menguat setelah peristiwa Cikeusik. Dalam situasi ini, pilihan status quo (tak ada keputusan baru) adalah pilihan tidak ideal yang terbaik. Pilihan ini dapat diterima, jika saja diikuti dengan komitmen pemerintah yang jauh lebih kuat untuk melindungi dan perlakuan lebih adil untuk JAI. Namun harapan akan komitmen politik itu tampaknya tak terpenuhi, di antaranya sebagaimana ditunjukkan dalam proses pengadilan terkait dengan Peristiwa Cikeusik (yang akan dibahas di bab berikutnya). Di tengah kebimbangan pemerintah pusat, yang terjadi adalah pemerintahpemerintah daerah yang lebih berani mengambil sikap dari pemerintah pusat. Sebagian pemimpin daerah tegas menjaga agar kompromi minimalis dari pemerintah pusat tidak dibawa ke arah yang lebih jauh, namun tak sedikit yang melangkah jauh, sebagian hingga ke pelarangan JAI. Yang memprihatinkan, pemerintah pusat tampak seperti tak tahu bagaimana harus menanggapi dan tak berdaya berhadapan dengan keputusan-keputusan para pemerintah daerah itu. Tanggapan Pemerintah Daerah
Pada tingkat lokal, beberapa pemerintah daerah telah mengambil langkah lebih berani dengan menerbitkan peraturan daerah pelarangan aktivitas JAI yang lebih jauh, bahkan pelarangan keberadaan JAI. Misalnya, Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 tahun 2011 tentang pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Jawa Barat yang berisi larangan penyebaran Ahmadiyah, larangan pemasangan papan nama JAI di tempat umum, larangan pemasangan papan nama di masjid Ahmadiyah, dan larangan pemasangan atribut JAI. Peraturan yang sama juga ditetapkan di Depok, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Banten, Pendeglang, Lebak, Serang,
Kampar, Pekanbaru, Sumatera Barat, Jawa Timur, Samarinda, Konawe Selatan, Sulawesi Selatan dan Bekasi. Tindakan lainnya bahkan berjalan jauh hingga lebih jelas mengintervensi ranah personal bahkan teologis anggota JAI. Misalnya, pelibatan militer dalam pendataan anggota Ahmadiyah di Garut yang menimbulkan perasaan intimidatif; pengaturan jadwal imam/khotib salat Jum’at oleh pihak Kemenag (misalnya di masjid Ghofur milik Ahmadiyah oleh Kemenag Kabupaten Cianjur, Jawa Barat); dan, yang cukup kontroversial, dukungan untuk pengislaman kembali anggota JAI. Respons daerah terhadap pelarangan aktivitas Ahmadiyah di daerah tidaklah seragam. Di Jawa Barat, MUI Cianjur menegaskan bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sedangkan MUI Bogor merekomendasikan pasal pidana di dalam perda pelarangan Ahmadiyah. Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Jawa Barat (Aljabar) justru mengupayakan pembatalan perda pelarangan Ahmadiyah di Jabar dengan berencana membawanya ke PTUN. Yang menarik, anggota Komisi E DPRD Jabar, Didin Supriadin, mengklaim bahwa Pergub tersebut latah, karena tidak dikaji secara matang. Di daerah lain, misalnya, Jawa Timur, pola respons lokal mirip dengan pola yang terjadi di Jawa Barat. Bahkan, anggota Komisi VIII DPR, Ali Maschan Musa, menganggap SK Gubernur Jatim sarat dengan muatan politis. Tidak di semua daerah terjadi peningkatan pembatasan dan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Di beberapa daerah lain, ada kepala daerah yang mencoba bersikap lebih toleran. Gubernur DIY, sebagai contoh, menyatakan ketegasannya bahwa pelarangan Ahmadiyah bukan kompetensi daerah. Sikap yang sama juga diambil oleh Bupati Sumenep dan Pemerintah Kota Tangerang, yang pada 2011 tidak menerbitkan perda larangan aktivitas Ahmadiyah di daerahnya. Perlu ditekankan, gelombang penolakan dan pembubaran Ahmadiyah tetaplah tinggi di daerah-daerah tersebut, seperti FPI Yogyakarta yang menghimbau Gubernur untuk membubarkan Ahmadiyah dan Forum Umat Islam Yogyakarta yang sempat menyegel pintu kantor JAI Yogyakarta, menuntut pembubaran Ahmadiyah.
37
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Dalam catatan Laporan Tahunan ini, ada 19 keputusan pelarangan aktivitas Ahmadiyah, baik berupa regulasi daerah maupun tindak lanjut regulasi tersebut (daftar selengkapnya, lihat Lampiran 1). Bagaimana hubungan keputusan di tingkat daerah itu dengan sikap formal pemerintah pusat? Sejauh ini, sejak 2008 status legal JAI tidak berubah, yaitu sebagaimana dinyatakan dalam SKB 2008, seperti dibahas di atas. Keputusan-keputusan kepala daerah dikeluarkan dengan mendasarkan diri pada
Situasi ini tidak konstruktif dalam mengembangkan etos hidup bersama, karena kebijakan-kebijakan negara (lokal) itu menjadi pendukung atas sikap teologis yang tidak
38
yang dinyatakan dalam SKB. Jaksa Agung Basrief Arief (2 Maret 2011) mendukung penetapan perda pelarangan Ahmadiyah, dengan alasan kepala daerah lebih mengetahui situasi di daerahnya. Senada dengan itu, Menteri Dalam Negeri (10 Maret 2011) juga berpendapat bahwa perda-perda tersebut tidak bertentangan dengan SKB. Seperti tahun sebelumnya, Menteri Agama (22 Maret 2011) menganggap peraturan daerah tentang Ahmadiyah sudah tepat. Dapat dicatat pula bahwa pernyataan tersebut disampaikan sebelum terjadi Dialog Nasional. Pernyataanpernyataan tersebut ganjil karena setidaknya sebagian dari perda-perda tersebut sudah melampaui keputusan pada tingkat nasional yang diwakili SKB 2008. Dari SKB ke keputusan-keputusan daerah, yang jelas tampak adalah bahwa ruang gerak Ahmadiyah dipersempit. Keputusan-keputusan tersebut pada akhirnya berpotensi menjadi justifikasi legal kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan penekanan bahkan penyerangan kepada kelompok Ahmadiyah yang dianggap melanggar—meskipun selain pembatasan JAI, ada juga klausul dalam SKB maupun beberapa SK daerah yang melarang tindakan anarkis. Situasi ini tidak konstruktif dalam mengembangkan etos hidup bersama, karena kebijakan-kebijakan negara (lokal) itu menjadi pendukung atas sikap teologis yang tidak menerima keberadaan kelompok nonmainstream.
menerima keberadaan kelompok nonmainstream.
Intimidasi dan Anarki Fisik
SKB itu, dan, dalam argumen beberapa kepala daerah, adalah penerjemahan lebih kongkret dari SKB. Persepsi bahwa JAI, dan bukan penyerangan atas mereka, adalah sumber konflik dan ketidaktertiban di masyarakat juga terbawa dalam argumen keputusan-keputusan itu. Yang cukup mengherankan adalah bahwa tiga pemimpin lembaga pemerintah yang menandatangani SKB tahun 2008 memberikan komentar positif atas perkembangan di daerah itu, meskipun sebagian dari perda tersebut sudah melampaui apa
Secara umum, ada dua dua bentuk kekerasan terhadap Ahmadiyah, yaitu intimidasi dan kekerasan fisik oleh kelompokkelompok masyarakat tertentu atas nama penegakan keputusan-keputusan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Beberapa intimidasi dilakukan terkait salat Jumat, dimana komunitas Ahamadiyah bertemu dan berkumpul bersama. Di Cianjur, pelaksana khatib/ imam diatur dan ditetapkan dari Kemenag Cianjur. Tak berhenti di sana, pada 11 Maret 2011, Gerakan Reformis Islam (Garis) menduduki masjid al-Ghofur, Cianjur yang biasa digunakan jemaat Ahmadiyah seusai salat Jumat. Ketika salat Jum’at dilaksanakan, para jemaat Ahmadiyah mundur ke belakang. Garis khawatir, jemaat Ahmadiyah akan
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
mengulangi salat Jum’at. Kejadian serupa terjadi pada 17 Juni 2011 di Makassar, tepatnya di Jln. Anuang, Maricayya. 5 anggota FPI setempat melakukan sweeping untuk mencegah jemaat Ahmadiyah melakukan sholat Jum’at di masjidnya sendiri. Karena dijaga oleh beberapa ormas kepemudaan, usaha ini dapat dicegah, meskipun salah satu anggota FPI sempat beradu mulut dengan seorang anggota ormas. Intimidasi dalam bentuk lain terjadi ketika sekelompok kiai di Garut mengkritik pencalonan sekretaris daerah setempat, karena ketiga calon yang diajukan dianggap anggota Ahmadiyah. Kritik ini disampaikan melalui dialog dengan DPRD setempat, dan tidak ada aksi anarki. Kekerasan yang lebih jelas terjadi di wilayah lain di Cianjur dan beberapa tempat lain, atas nama penegakan perda di sana. Warga Cisaar, Haurwangi, Cianjur menyerang masjid Ahmadiyah, dan membakar kitab-kitab di dalamnya karena menganggap Ahmadiyah masih melakukan aktivitas keagamaan. Kelompok tak dikenal melempari empat rumah Ahmadi di Ciaruten Udik, Cibungbulang. Pelemparan yang sama juga terjadi di Ciampea. Warga Tasikmalaya menyerang satu rumah yang diduga keluarga Ahmadi dan menceburkan satu sepeda motor milik keluarga tersebut ke kolam yang berada di sekitar rumah. Massa kampung Tolejeng, Tasikmalaya, melempari dan merusak isi rumah milik Ahmadi di kampung itu, serta membakar saung di belakang rumah tersebut. Seluruh peristiwa kekerasan ini terjadi di bulan Maret 2011. Tak hanya yang hidup, yang meninggal pun masih menjadi korban. Di desa Buni Jaya, Gunung Halu, Kabupaten Bandung, pada 3 Maret 2011 terjadi peristiwa di luar batas kemanusiaan. Seorang Ahmadi yang telah dimakamkan, tiba-tiba dibongkar kuburannya dan sang jenazah diterlantarkan di samping liang lahat. Sebelum dikuburkan, pemakaman ini telah menuai kritik dari warga yang tidak bisa menerima seorang Ahmadi dikuburkan di pemakaman desa. Konversi atau Koersi?
Selain kekerasan, dampak perda larangan Ahmadiyah adalah pembinaan komunitas Ahmadiyah. Dari beberapa kasus jemaat
Ahmadiyah yang keluar dari komunitas mereka, sebagian mengaku melakukannya atas dasar kemauan sendiri, namun tak sedikit pula yang beralasan merasa terintimidasi. Di beberapa daerah di kabupaten Purwakarta, jemaat Ahmadiyah (52 orang) yang keluar dari komunitasnya mengaku atas dasar kemauan sendiri. Sikap yang sama juga dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah di Cisurupan, Garut (38 orang), Cimahi (18 orang), Baeud, Sukabumi (18 orang), Kalipucang, Ciamis (5 orang), Subang (10 orang), Majalengka (11 orang), Ciaruten Udik (29 orang), Salawu, Tasikmalaya (33 orang). Yang jelas, dengan kemauan sendiri atau tidak, ikrar syahadat mereka dilakukan di masjid atau ruang pertemuan terbuka, dan disaksikan oleh jajaran pejabat terkait, termasuk Majelis Ulama Indonesia, ormas Islam (dalam beberapa kasus, biasanya Front Pembela Islam), dan aparat keamanan (polisi). Beberapa orang mengaku mereka diintimidasi. Sebagian dari mereka ke luar dari JAI karena merasa khawatir rumahnya dirusak, setelah satu rumah Ahmadi diserang warga di Tolenjeng, Sukagalih, Tasikmalaya. Sikap ini dilakukan oleh tiga tokoh Ahmadiyah, diikuti oleh 17 warga Ahmadiyah lainnya di kampung itu. Ada beberapa kasus lain serupa ini. Meskipun demikian, ada pula resistensi atas konversi. Di Cigombong, Warungkiara, Sukabumi, empat jemaat Ahmadiyah batal ke luar dari jemaat karena menaati anjuran dari pimpinan Ahmadiyah setempat. Dakwah Muslim non-Ahmadi kepada Ahmadi tentu boleh dilakukan secara persuasif. Kelompok Ahmadi pun dapat berubah menyesuaikan dengan kelompok non-Ahmadi yang merupakan mayoritas. Tindakan yang patut disesalkan adalah dakwah atau syahadat di hadapan aparat keamanan dan kelompok-kelompok yang menentang mereka, apalagi terkadang dengan syarat menandatangani surat pernyataan. Sikap ini tampak terlalu berlebihan, dan justru memberikan kesan adanya intimidasi, yang seharusnya tak dilakukan. Memandang beberapa perkembangan terakhir, meskipun di atas disebutkan bahwa ketiadaan kebijakan baru pada tingkat pusat mungkin muncul dari kehati-hatian, tetapi
39
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
bila ini dibiarkan berlarut-larut, ditambah dengan kebijakan daerah yang makin berani, seakan tanpa kontrol dari pusat bahkan dijustifikasi pemerintah pusat, maka komunitas Ahmadiyah di Indonesia akan terus dicekam rasa tidak aman. SKB yang semula masih membatasi komunitas Ahmadiyah “untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam”, kini diperkuat oleh peraturanperaturan daerah dengan melarang mereka
Pemerintah tak dapat lagi berargumentasi, pembatasan JAI bersifat konstitusional dan tak melanggar HAM. Mereka perlu bertindak lebih tegas untuk menunjukkan komitmennya melindungi warga.
“menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara tulisan, lisan ataupun melalui media elektronik” atau melarang “pemasangan papan nama pada rumah peribadatan dan lembaga pendidikan dengan identitas JAI”, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam beberapa kasus, praktis perda-perda itu bukan lagi pembatasan aktivitas tetapi telah sampai pada pelarangan keberadaan JAI sendiri. Jika telah sampai pada titik ini, pemerintah tak lagi dapat mengatakan bahwa pembatasan atas JAI sifatnya konstitusional dan tak melanggar HAM. Di sini pemerintah perlu bertindak lebih tegas menyatakan komitmennya melindungi warga negaranya.
40
Masalah-masalah Seputar Rumah Ibadah Persoalan rumah ibadah telah muncul sejak Laporan Tahunan yang pertama, tahun 2008. Peristiwa-peristiwa di seputar rumah ibadah menggambarkan hubungan antar dan intrakomunitas, penerimaan dan penolakan masyarakat di lingkungan sekitar, respons ormas-ormas, serta peran pemerintah dalam melindungi dan mengatur kebebasan menjalankan kepercayaan dan keyakinan beragama. Berbeda dengan beberapa laporan kebebasan beragama di Indonesia, Laporan Tahunan ini mendaftar rumah-rumah ibadah yang mengalami masalah, bukan peristiwaperistiwa (yang dapat mengenai suatu rumah ibadah beberapa kali dalam satu tahun), bukan pula pelanggaran kebebasan beragama yang terkait dengan rumah-rumah ibadah itu. Dibandingkan Laporan Tahunan sebelumnya, yang menggunakan metode yang sama dan cakupan wilayah data yang relatif sama, dapat dikatakan bahwa secara kuantitatif tak ada perubahan berarti pada tahun 2011. Pada tahun 2010, kami mencatat 39 kasus, sedangkan tahun 2011 ada 36. Perbedaan cukup mencolok adalah bahwa pada 2010 hanya ada dua rumah ibadah bukan gereja (yaitu musala) yang mengalami masalah, sementara pada 2011 ini, ada 26 gereja dan 10 masjid; 4 dari 10 masjid yang dipermasalahkan adalah masjid Ahmadiyah. Jenis–jenis persoalan yang terjadi antara lain berupa pengalihfungsian, pembekuan, penyegelan, penutupan atau penggusuran rumah ibadah, maupun ancaman atau perusakan, mulai dari pelemparan batu ke bangunan rumah ibadah sampai pada pembakaran dan teror serta ledakan bom bunuh diri di tempat ibadah. Dalam hal ini, dari segi kualitas ada peningkatan masalah, yang ditandai dengan digunakannya modus bom bunuh diri (dalam satu kasus masjid di Cirebon, dan satu kasus gereja di Solo); yang juga menonjol adalah konflik di seputar GKI Yasmin, Bogor yang semakin intens. Kasus bom bunuh diri tampaknya lebih merupakan kasus terorisme yang memilih target rumah ibadah, dan bukan ketaksetujuan atas berdirinya rumah ibadah itu. Persoalan-persoalan rumah ibadah yang terjadi sepanjang tahun 2011 dapat di-
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Tabel Kuantitas Kasus Rumah Ibadah Berdasarkan Lokasi
Area
Jumlah
DKI
A
1
Banten
B
2
Jabar
C
6
Jateng
D
7
DIY
E
1
Sumut
F
4
Riau
G
4
Kaltim
H
1
Kalteng
I
1
Sulteng
J
3
Sulsel
K
2
Maluku
L
2
NTT
M
1
Papua
N
1
kategorikan ke dalam konflik internal dalam satu kelompok agama, atau yang berhubungan dengan pihak di luar kelompok agama tersebut. Kasus-kasus internal yang berhubungan dengan masjid berupa pengalihfungsian dan penutupan masjid Ahmadiyah (kasus no 1 dalam Tabel Masalah di seputar Rumah Ibadah tahun 2011). Sedangkan persoalan eksternal antara lain berupa penggusuran, penutupan dan pembakaran masjid maupun bom bunuh diri (kasus nomor 2, 7, 8, 10, 13, 14, 18 dan 26). Dua kasus (kasus no. 17 dan 24) di internal umat Kristen yaitu kericuhan antara dua kubu yang memperebutkan kepemimpinan Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI), Medan. Masing-masing mengklaim diri sebagai pengurus yang sah. Kasus lainnya ialah
pencopotan dan penggantian label papan nama Gereja Pentakosta Haleluyah Indonesia (GPHI) Waropen, Papua oleh pimpinan salah satu Gereja Bethel Indonesia (GBI) (kasus nomor 17, 24). Sedangkan mayoritas kasus-kasus gereja, sebanyak 25 kasus, berhubungan dengan pihak eksternal berupa penyegelan, penutupan, perusakan atau ancaman, pelemparan batu ke bangunan rumah ibadah, pembakaran dan teror serta ledakan bom bunuh diri (kasus nomor 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12, 15, 16, 20, 21, 22, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36). Selanjutnya kami memetakan persoalanpersoalan rumah ibadah sepanjang tahun 2011 menurut wilayah dan aktor-aktor yang berperan dalam kasus-kasus itu tersebut. Wilayah
Dari sisi persebaran kejadian, sebagian besar kasus-kasus rumah ibadah terkonsentrasi di wilayah tiga provinsi yang berdekatan, yaitu DKI, Banten dan Jawa Barat dengan 9 kasus, dan di wilayah Jawa Tengah dan DIY dengan 8 kasus. Kasus-kasus ini sama dengan temuan tahun 2010. Selanjutnya ada masing-masing 4 kasus di Riau dan di wilayah Sumatera Utara, di Sulawesi Selatan terjadi 3 kasus dan masing-masing 2 kasus di Sulawesi Tengah dan Maluku. Berikutnya masing-masing 1 kasus di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, NTT dan Papua. Kasus-kasus yang terjadi di wilayah DKI, Banten dan Jawa Barat antara lain berupa penutupan dan pengalihfungsian masjid Ahmadiyah, dan penyegelan maupun penutupan beberapa gereja. Menyusul terjadinya kekerasan di beberapa tempat terhadap jemaat Ahmadiyah, Pemkot Bogor mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwali) No. 9 Tahun 2011 tentang pelarangan Ahmadiyah, dan penutupan masjid yang biasa digunakan oleh jemaat Ahmadiyah. Di samping itu ada beberapa kasus penyegelan dan penutupan gereja, baik terhadap bangunan yang memiliki IMB seperti GKI Taman Yasmin dan GPIB Jemaat Galilea Villa Galaksi maupun yang tidak, seperti Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Sumedang, Gereja Mekargalih Sumedang dan Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Cituis. Kasus-kasus lain yang terjadi di wilayah tiga provinsi itu ialah teror bom di
41
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
beberapa gereja maupun ledakan bom bunuh diri di masjid. Polisi menduga teror bom di masjid masih memiliki keterkaitan dengan jejaring teroris JI. Di Jawa Tengah dan DIY terjadi kasus penyerangan dan perusakan terhadap tempat ibadah oleh massa, penggusuran musala oleh Pemkot dan penyerahan masjid Ahmadiyah kepada masyarakat yang dilakukan dengan dalih menghindari kekerasan. Kasus lain adalah teror dan ledakan bom bunuh diri di gereja. Tiga kasus penyerangan dan perusakan tempat ibadah di Temanggung,
Berbagai persoalan menyangkut rumah ibadah berupa pengalihfungsian, pembekuan, penyegelan, penutupan/ penggusuran, perusakan, pembakaran, teror dan bom bunuh diri di dalam rumah ibadah. Jawa Tengah terjadi setelah Pengadilan Negeri Temanggung menjatuhkan vonis tertinggi 5 tahun penjara kepada Antonius Richmond Bawengan, tersangka kasus penistaan beberapa agama di Temanggung (lihat pembahasannya di bagian mengenai penodaan agama dan juga di bab berikutnya mengenai kekerasan). Massa yang sebagian besar mengenakan atribut beberapa ormas Islam dan berasal dari pinggiran atau luar kota Temanggung, merasa tidak puas dengan keputusan itu, lantas melampiaskan kemarahannya dengan merusak beberapa
42
fasilitas umum dan bangunan, termasuk menyerang dan membakar beberapa bangunan gereja. Dalam kasus Temanggung polisi kembali terlambat untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya sikap anarkis massa, walaupun gejala munculnya kerusuhan tersebut sebenarnya sudah dapat terbaca selama proses persidangan. Di Riau masa pendukung salah satu calon kepala daerah yang kalah dalam Pemilukada merusak beberapa fasilitas umum, termasuk membakar beberapa gereja. Kejadian perusakan berlangsung pascapengumuman hasil Pemilihan Umum di Kuansing yang berlangsung secara serentak pada tanggal 7 April 2011. Pada periode 2006—2011, Sukarmis - Mursini adalah Bupati dan Wakil Bupati Kuansing. Sedangkan pada pemilu kepala daerah periode 2011—2016 masing-masing kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan pasangan yang berbeda. Pasangan pertama adalah Sukarnis – Zulkifli didukung oleh partai Golkar, Demokrat dan beberapa partai lainnya, sementara pasangan kedua adalah Mursini – Gumpita yang diusung oleh beberapa partai (PPP, Gerindra, dll). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kuantan Singingi mengumumkan pada 8 April 2011 pemenang pemilihan Kepala Daerah periode 2011— 2016, yaitu pasangan petahana Sukarnis – Zulkifly. Keputusan ini menimbulkan protes dari sekitar tiga ratus pendukung calon lainnya. Dari kantor KPU di Kota Taluk Kuantan, ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi Riau, massa langsung mengamuk dan melempari kantor KPU rumah pejabat dan rumah penduduk pendukung lawan calon dengan batu. Tak selesai melampiaskan kekecewaannya, massa lalu membakar pos retribusi dan sebuah Gereja Katolik. Kejadian perusakan bangunan tempat ibadah yang diduga terkait dengan hasil Pemilukada masih berlanjut pada bulan Agustus 2011. Tiga gereja, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) dan Gereja Methodist Indonesia berturut-turut dibakar oleh kelompok massa dalam waktu dua hari. Setelah kejadian perusakan bangunan tempat ibadah tersebut, pihak Persatuan Gereja Indonesia (PGI) menghimpun informasi dari kalangan gereja di wilayah itu, nyaris semua jemaat gereja di
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Kecamatan Kuantan Tengah, mendukung pasangan bupati terpilih, dan massa yang merusak tidak menggunakan atribut agama. Dengan demikian, ada dugaan pembakaran tiga gereja di Riau berhubungan dengan konflik Pilkada yang digelar pada April lalu. Di Medan, penggusuran terhadap beberapa masjid oleh pihak pengembang sempat menimbulkan protes dari beberapa ormas Islam di Sumatera Utara. Dalam kasus masjid Raudhatul Islam Medan, pihak pengembang telah mengantongi SK Menteri Agama No. 28 Tahun 2011 tentang izin perubahan status/ tukar menukar tanah wakaf. Selanjutnya PT. Jati Massiondo sebagai pihak pengembang membongkar masjid Raudhatul Islam dan membangun masjid pengganti dengan nama yang sama di lokasi berjarak sekitar 500 meter dari lokasi sebelumnya. Kelompok massa protes karena mereka tidak dilibatkan dalam pembicaraan tentang pembongkaran itu dan lokasi masjid penggantinya pun jauh dari lokasi sebelumnya. Kasus lain ialah pembongkaran masjid Al-Ikhlas di Jl. Timor, Medan sehubungan dengan upaya ruislag ‘tukar-guling’ oleh pengembang PT Gandareksa Mulia atas tanah eks perkantoran Detasemen Perhubungan Kodam (Denhubdam) Kodam I/ Bukit Barisan. Masjid al-Ikhlas berdiri di atas tanah tersebut. Masjid itu awalnya dibangun Kodam I Bukit Barisan untuk para prajurit, kemudian juga dipakai oleh masyarakat sekitar untuk beribadah selama bertahun-tahun. Tanah tempat masjid Al-Ikhlas berdiri tidak pernah diwakafkan oleh pihak Kodam I Bukit Barisan. Ketika markas Denhubdam dipindah ke kawasan Naurambe dan lokasi lama tersebut dikelola oleh pihak pengembang, maka seluruh bangunan di area itu, termasuk masjid Al-Ikhlas pun ikut dirobohkan. Sebagai gantinya, pihak pengembang membangunkan masjid pengganti di markas baru di kawasan Naurambe. Masyarakat sekitar masjid bersama beberapa ormas Islam di Sumatera Utara melakukan protes menentang pembongkaran masjid tersebut. Massa yang melakukan protes menganggap tanah tempat masjid berdiri merupakan tanah wakaf. Alasan mengenai status tanah wakaf tersebut didasarkan pada Fatwa MUI tertanggal 16 Februari 1982 yang
menerangkan, setiap bangunan masjid adalah wakaf yang merupakan milik Allah SWT, tidak dapat dijual, dipindahkan, dan dihibahkan. Jika merujuk pada Fatwa MUI tersebut maka tanah tempat berdiri sebuah masjid, secara otomatis beralih status menjadi tanah wakaf. Sementara UU No. 41 Tahun 2004 yang mengatur tata cara perwakafan tanah menentukan antara lain sejumlah tahapan proses dan prasyarat yang perlu dipenuhi baik oleh calon waqif ‘pihak yang akan mewakafkan tanahnya’ maupun oleh calon nazir ‘pihak yang akan menerima tanah wakaf’, sebelum akhirnya tanah wakaf tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 41 Tahun 2004, status wakaf tanah tempat berdirinya masjid tidak terjadi secara otomatis. Dalam kedua kasus itu, selain karena kesimpangsiuran informasi yang beredar di masyarakat mengenai status tanah masjid, persoalan keberatan masyarakat mengenai pembongkaran masjid-masjid perlu dicermati. Pada kedua kasus di Medan, masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses rembuk bersama sebelum pembongkaran. Ada kesan pembongkaran masjidmasjid tersebut, betapa pun mempunyai dasar hukum yang kuat, tetap dianggap sebagai tindakan sepihak entah oleh pemilik modal, pemerintah, atau institusi yang memfasilitasi pendirian masjid. Persoalan masjid al-Ikhlas merupakan sebuah contoh untuk melihat kemungkinan adanya persoalan serupa pada banyak masjid yang dibangun di dalam area institusi atau perkantoran tertentu, baik oleh pihak swasta pun negeri. Pada kedua kasus masjid di Medan terlihat adanya persoalan status tanah dan negosiasi klaim keterikatan emosional atas tempat-tempat ibadah itu, baik oleh pihak yang memfasilitasi pendirian rumah ibadah tersebut, maupun oleh masyarakat sekitar yang telah merasa ikut memiliki tempat ibadah itu. Dengan demikian, proses relokasi tempat ibadah (baca: masjid) selain perlu memerhatikan kelengkapan aspek hukum juga perlu memerhatikan aspek kerukunan dalam masyarakat, dengan tetap mengedepankan musyawarah antara pihak-pihak yang terkait dengan perwakilan umat setempat.
43
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Aktor
Dalam beberapa kasus besar kita melihat peran aktor seperti pemerintah kota, kepolisian maupun kelompok massa tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan dan pencarian solusi persoalan-persoalan rumah ibadah. Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan kasus di tiga lokasi, yaitu Bogor (GKI Taman Yasmin), Kupang (penundaan pembangunan masjid Nur Musofir di Kupang) dan Manado (pembangunan beberapa masjid).
Persoalan masjid alIkhlas merupakan sebuah contoh untuk melihat kemungkinan adanya persoalan serupa pada banyak masjid yang dibangun di dalam area institusi atau perkantoran tertentu, baik oleh pihak swasta pun negeri.
Persoalan GKI Taman Yasmin yang berlangsung sejak tahun 2008 cukup menyita perhatian publik Indonesia bahkan mendapat sorotan dunia internasional. Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Antar pemerintah ASEAN melihat kasus GKI Yasmin sebagai contoh ketidakpatuhan terhadap hukum yang dapat berpengaruh buruk pada reputasi Indonesia dalam penegakan hukum di ASEAN. Selain itu beberapa pihak seperti Sri Paus, Kongres Amerika, dan Amnesti Internasional sudah mengirim surat untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut.
44
Kasus GKI Taman Yasmin berawal dari pembekuan IMB GKI Taman Yasmin oleh Pemda Bogor pada 14 Februari 2008. Pembekuan tersebut merupakan respons Pemkot atas adanya keberatan dan protes warga sekitar bahwa gereja tersebut adalah pusat pemurtadan di kota dengan mayoritas muslim. Selain itu ada pengakuan warga mengenai pemalsuan tandatangan warga dalam pernyataan tidak berkeberatan atas pembangunan gereja di area tersebut. Fakta pemalsuan tandatangan kemudian muncul di pengadilan, dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bogor No. 265/Pid.B/ 2010/PN Bogor tertanggal 20 Januari 2011 menyatakan Munir Karta, mantan RT VII/RW III, merekayasa surat pernyataan tidak keberatan dari warga dan tandatangannya. Menurut pengadilan, Munir Karta melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan Pasal 38 KUHP perihal perbuatan curang. Majelis Hakim yang diketuai Budi Santoso dengan hakim anggota Syakila dan Widia Irfani menjatuhkan hukuman enam bulan masa percobaan. Di belakang hari, Munir Karta mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak merekayasa surat pernyataan tidak keberatan itu, dan semua tandatangan di sana orisinal, namun ia terpaksa membuat surat pernyatan yang berkebalikan dengan fakta itu di kantor polisi di bawah tekanan, dan dalam situasi ketika beberapa anggota Forum Komunikasi Muslim (Forkami), yang sangat menentang pembangunan GKI Yasmin, hadir di sana. Ia mengatakan awalnya 63 keluarga di Curug Mekar, Bogor Barat memang terbelah, sebagian tidak setuju, namun kemudian semua setuju. Bagaimana pun, surat pernyataan Munir itu dipakai sebagai salah satu alasan pencabutan IMB oleh Walikota Bogor. Pada tanggal 8 Maret 2011 Walikota Bogor Diani Budiarto menerbitkan SK Walikota Bogor Nomor 503.45-135 tahun 2011 tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/ 208-DTKP Perihal Pembekuan Izin Tanggal 14 Pebruari 2008. Hanya tiga hari kemudian, pada tanggal 11 Maret 2011 Walikota Bogor menerbitkan SK lainnya Nomor 645.45-137 tahun 2011 yang isinya mencabut IMB GKI di Taman Yasmin secara permanen di antaranya dengan pertimbangan “... adanya kebo-
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
hongan dalam mengajukan pernyataan tidak keberatan dari warga ...”. Pihak GKI Yasmin kemudian melaporkan perihal terbitnya SK Walikota Bogor 11 Maret 2011 ke lembaga Ombudsman RI. Akhirnya Ombudsman mengeluarkan rekomendasi No. 0011/REK/0259.2010/BS15/VII/2011 pada tanggal 8 Juli 2011 tentang Pencabutan Surat Keputusan Wali Kota Bogor Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011. Sesuai dengan Undang-Undang Pelayanan Publik pasal 54, atasan Walikota Bogor dapat menjatuhkan sanksi kepada Walikota Bogor jika Walikota Bogor Diani Budiarto tak juga melaksanakan rekomendasi Ombudsman dalam waktu yang ditetapkan, yaitu 60 hari setelah dikeluarkannya rekomendasi tersebut. Walikota Bogor, Diani Budiarto, ternyata tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman sampai batas waktu 60 hari setelah surat rekomendasi Ombudsman. Juga, tidak ada sikap tegas dari pimpinan langsung Walikota Bogor, yaitu Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri terhadap Walikota. Oleh karena itu, Ombudsman melaporkan peristiwa itu kepada Presiden RI dan DPR RI dalam surat laporan bertanggal 12 Oktober, meminta Presiden melakukan langkahlangkah untuk menindaklanjuti laporan tersebut sebagai salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan. Diani Budiarto berargumen bahwa ia telah mematuhi keputusan MA melalui penerbitan SK 8 Maret itu. Namun penerbitan SK 11 Maret yang kembali mencabut IMB GKI Taman Yasmin tampak menjadi semacam permainan legal yang tak memecahkan masalah. Sikap ini menekankan satu aspek yang telah dibahas dalam Laporan Tahunan 2010, tentang kecenderungan penanganan masalah rumah ibadah secara terlalu legalistik. Persoalan GKI Taman Yasmin yang berlarut-larut ini pun menimbulkan kecurigaan adanya tarik menarik kepentingan politik maupun ekonomi yang memperkeruh situasi. Beberapa ormas Islam mengisyaratkan ingin membangun identitas kota Bogor sebagai kota Islami, dan walikota berkepentingan menjaga hubungan baik dengan konstituennya. Di samping itu, ada pula kecurigaan adanya desakan kekuatan
pemodal untuk mengintegrasikan area tersebut sebagai suatu pusat perekonomian. Wilayah di sekitar GKI Yasmin memang merupakan lokasi strategis bagi kepentingan bisnis. Di sana ada lokasi rumah sakit, kantor pemerintah, mal-mal dan kemungkinan di dekat area tersebut akan dibuka jalan tol yang semakin memperlancar akses ke dan dari wilayah itu. Di luar pendekatan jalur hukum yang tampaknya belum mampu memberi daya paksa pada penyelesaian kasus GKI Yasmin, ada pendekatan lewat jalur politik yang mulai ditempuh oleh partai-partai politik. Dua partai politik pendukung Walikota Bogor telah mencabut dukungan mereka. Pada tanggal 23 September 2011 DPP PDI Perjuangan menginstruksikan kepada DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, dan Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Bogor untuk mencabut dukungan terhadap Diani Budiarto. Inisiatif tersebut diikuti oleh Partai Golkar dengan mencabut dukungan politik terhadap Diani Budiarto tetapi kemudian membatalkan pencabutan dukungan itu. Sehingga praktis hanya PDIP yang mencabut dukungan terhadap Diani Budiarto. Kasus berikutnya ialah penundaan pembangunan masjid Nur Musofir di Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pembangunan masjid itu sempat terhenti akibat ratusan warga Kelurahan Batuplat mendatangi DPRD Kota Kupang pada 2 Agustus 2011 dan melakukan protes serta menuntut agar pembangunan masjid tersebut dihentikan karena mereka menemukan adanya keganjilan data administrasi persetujuan dari masyarakat sekitar. Di antaranya adalah tidak ada bukti dukungan langsung dari masyarakat sekitar lokasi masjid, sesuai salah satu syarat dalam PBM 2006 yang mengatur pendirian rumah ibadah, juga belum ada urun-rembuk ‘musyawarah’ warga terkait dengan pembangunan masjid. Meskipun demikian, Walikota Kupang bersikeras agar pembangunan masjid tersebut dilanjutkan saja. Ia meminta aparat Polresta Kupang untuk menjaga dan mengawasi pembangunan Masjid Nur Musofir itu, dengan alasan bahwa penolakan pembangunan masjid itu sudah bernuansa suku,
45
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagian kalangan di Kupang menganggap pendirian masjid tersebut kental dengan nuansa politis. Sejumlah pendeta yang tergabung dalam Forum Koordinator Pelayanan Wilayah Klasis (KPWK) Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyayangkan pengawalan yang dilakukan oleh pihak keamanan terhadap pembangunan masjid, yang semakin memberi
Diani Budiarto berargumen bahwa ia telah mematuhi keputusan MA melalui penerbitan SK 8 Maret itu. Namun penerbitan SK 11 Maret yang kembali mencabut IMB GKI Taman Yasmin tampak menjadi semacam permainan legal yang tak memecahkan masalah.
indikasi kuat bahwa bahwa pembangunan masjid tersebut kental kepentingan politiknya. Ada sinyalemen kuat bahwa Walikota Kupang Daniel Adoe yang berasal dari Partai Golkar menjabat sebagai Walikota dengan dukungan dua partai muslim (PKB dan PKS) belum memenuhi janjinya kepada dua partai pendukungnya, sementara masa jabatannya akan segera berakhir dan Pilkada berikut 2012—2017 akan segera tiba.
46
Menanggapi perkembangan kasus tersebut, pada awal Agustus 2011 pemerintah Kota Kupang akhirnya membentuk tim investigasi yang disebut Tim Sembilan, melibatkan berbagai unsur, seperti aparat penegak hukum hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang bertugas menyelidiki kemungkinan terjadinya pemalsuan dokumen pembangunan masjid tersebut. Berdasarkan rekomendasi Tim Sembilan, Walikota memutuskan menghentikan sementara pembangunan masjid tersebut demi menjaga keamanan dan kerukunan antarumat beragama di Kupang. Selanjutnya pada tanggal 13—14 Agustus 2011 sebuah tim dari Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang dipimpin oleh sekretaris Watimpres Bidang Hubungan antaragama, Masykuri Abdilah, berangkat ke Kupang untuk melaksanakan investigasi. Tim Watimpres meminta klarifikasi 65 warga yang telah membubuhkan tandatangan dukungan, tetapi warga membantah telah menandatangani surat persetujuan dukungan. Merespons kecurigaan adanya politisasi pembangunan masjid itu, akhirnya pimpinan MUI NTT menyarankan agar proses pembangunan masjid dihentikan sehingga proses pemilihan Walikota Kupang masa bakti 2012—2017 berakhir. Di beberapa daerah lain dengan mayoritas populasi penduduknya beragama Kristen, persoalan rumah ibadah juga terjadi tetapi dengan dinamika yang berbeda dari kasus-kasus serupa di tempat-tempat lain. Di Manado misalnya, pendirian tiga masjid di Kota Manado (masjid RA. Kartini, masjid alKautsar TVRI Stasiun Manado, dan masjid al-Ikhlas Perumahan GRITMA Mapanget, atau lebih tepatnya musala Jabal Nuur) dan satu masjid di Kota Tomohon (masjid alMujahidin) juga pernah menuai penolakan tapi kemudian dapat teratasi dengan baik. Bentuk penolakan yang pernah terjadi antara lain penentangan dari warga nonmuslim setempat secara verbal, pengusiran terhadap pihak pengembang atau pelemparan batu oleh orang yang tidak dikenal. Bentuk-bentuk penentangan ini bersifat insidental dan tidak dalam skala masif. Upaya pihak masjid dalam merespons penentangan ini antara lain dengan
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
mengomunikasikan pembangunan masjid kepada warga sekitar. Dalam kasus masjid RA. Kartini, ibu-ibu muslim berkoordinasi dengan ibu-ibu nonmuslim di sekitar area masjid untuk menjadi tameng dalam menghadapi protes warga. Dalam keempat kasus pembangunan masjid di Manado, pihak masjid cukup gigih memperjuangkan proses pembangunan sambil membangun hubungan baik dengan berbagai pihak. Walaupun pada awalnya ada penolakan, lama kelamaan warga di sekitar masjid-masjid tersebut tidak lagi melihat kehadiran masjid sebagai ancaman bagi mereka. Faktor lain yang penting adalah sikap Pemkot dan terutama tokoh-tokoh agama di Manado. Meskipun tidak ditemukan pendokumentasian yang baik menyangkut penyelesaian beberapa kasus rumah ibadah di Manado, tokoh-tokoh agama, terutama di forum Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) cukup aktif mendiskusikan dan mencari penyelesaian untuk persoalan-persoalan rumah ibadah yang terjadi di sana. Di samping itu, nilai-nilai budaya dari tradisi Minahasa kerap dianggap oleh tokohtokoh pemerintah dan tokoh agama muslim maupun nonmuslim sebagai pembentuk dan penguat landasan bangunan kerukunan dan toleransi antarkelompok umat beragama di Manado—misalnya tradisi maphalus ‘gotong royong’, torang samua basudara ‘orang semua bersaudara’, dan tou timou tumou tou ‘orang hidup untuk menghidupi orang lain’. Nilainilai tersebut dimanfaatkan secara positif oleh Pemkot untuk menjustifikasi peran politiknya dalam mengupayakan dan menjaga keharmonisan. Dalam banyak kasus Pemkot lebih akomodatif dalam menerima kehadiran masjid yang sudah atau sedang dibangun walaupun tadinya belum mengantongi izin dari pemerintah. Kebijakan ini juga merupakan cerminan dari upaya Pemkot Manado
dalam membangun citra bahwa dalam masyarakat mayoritas kristen, minoritas nonkristen terjamin kebebasan beragamanya. Meskipun upaya birokrat atau politisi untuk membangun citra kerap dikritik, dalam hal ini upaya itu dapat berarti positif karena mendorong penyelesaian masalah. Dari contoh ketiga kasus di atas, kita melihat peran yang berbeda dari aktor-aktor yang terlibat, khususnya betapa kepala daerah berperan penting dalam kasus-kasus rumah ibadah—baik peran negatif maupun positif. Secara umum, tak mengherankan bahwa kepala daerah, yang hubungannya dengan konstituen pemilihnya jauh lebih dekat ketimbang pemerintah pusat, cenderung lebih memerhatikan aspirasi mereka, meskipun akhirnya dapat diskriminatif pada kelompok minoritas. Pada kasus Masjid Nur Musofir di Kupang, sebaliknya Walikota mendorong segera realisasi pembangunan masjid, sebagiannya karena komitmen politiknya ketika Pilkada, walaupun ada protes dari warga sekitar, kelompok-kelompok masyarakat sipil dan penolakan dari anggota DPRD. Berbagai bentuk penolakan tersebut ditujukan sebagai protes terhadap kebijakan walikota yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan politiknya ketimbang menjaga relasi yang telah terbangun secara baik antarkelompok umat beragama di Kupang. Pada akhirnya semua pihak termasuk MUI pada tingkat provinsi sepakat untuk sementara menunda kelanjutan pembangunan masjid, demi menjaga kerukunan hidup beragama, sambil memberikan kesempatan bagi tim investigasi untuk menyelesaikan tugasnya. Alasan penting MUI Kupang yang lain adalah untuk menghindari digunakannya isu pembangunan Masjid Nur Musofir sebagai sarana kepentingan politik pihak-pihak tertentu menjelang Pilkada Kupang, 2012—2017.
47
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Tabel Permasalahan Seputar Rumah Ibadah 2011 (Sumber: Berbagai media massa, Investigasi Tim Peneliti CRCS) No
48
Peristiwa
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Keterangan Singkat
1
Perusakan fasilitas ibadah JAI dan ancaman terhadap warga Ahmadiyah di Makasar.
28 Januari
Makasar, Sulawesi Selatan
Kelompok Massa, Polisi
Peristiwa perusakan, oleh anggota organisasi yang diduga FPI, diketahui dari atribut dan bendera yang mereka bawa, terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia terjadi di Makassar akhir Januari 2011. Pada 28 Januari, sekitar 100 orang anggota FPI berorasi di depan Masjid Ahmadiyah dan mengancam memberhentikan kegiatan tahunan JAI Makassar. Hari berikutnya (29/1) pihak kepolisian gabungan dari Polda, Polsek Mamajang, dan Polwiltabes mengevakuasi paksa warga Ahmadiyah dengan merusak pintu dan jendela, disaksikan anggota FPI.
2
Pembekuan aktivitas, termasuk penutupan masjid Jemaat Ahmadiyah di Samarinda oleh Pemkot Samarinda.
Februari
Samarinda, Kalimantan Timur
Pemkot
Pemerintah kota Samarinda membekukan aktivitas Jemaat Ahamadiyah di Samarinda dengan menutup tempat ibadah Ahmadiyah. Alasan penutupan tersebut adalah demi menjaga keamanan dan keter tiban di Samarinda.
3
Penyerangan sekelompok massa terhadap Gereja Katholik Petrus dan Paulus Temanggung.
8 Februari
Jl. Jend. Sudirman, Temanggung, Jawa Tengah
Kelompok Massa
Kelompok massa yang merasa tidak puas dengan vonis hanya lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Temanggung kepada Antonius Richmond Bawengan, terdakwa perkara penistaan agama di Temanggung, menjadi marah dan merusak beberapa fasilitas termasuk Gereja Katholik Petrus dan Paulus.
4
Penyerangan sekelompok massa terhadap Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Temanggung.
8 Februari
Jl. S.Parman, Temanggung, Jawa Tengah
Kelompok Massa
Seper ti kasus No. 2, pada sekitar pukul 10:00 WIB massa mendatangi GPdI Temanggung dan merusak beberapa mobil dan sepeda motor milik gereja maupun milik pekerja gereja.
5
Penyerangan sekelom-pok massa terhadap Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Tegawano, Kaloran
8 Februari
Tegawano, Temanggung,Jawa Tengah
Kelompok Massa
Seper ti kasus No. 2 dan 3. Pada sekitar pukul 10:00 WIB sekelompok massa datang merusak kaca, keyboard, drum, sepeda motor, pohon natal dan kursi GPdI Tegawano.
6
Penyegelan Gereja GPIB Jemaat Galilea Villa Galaksi, Bekasi oleh sekelompok massa
9 Februari
RT 5/RW 18, Jakasetia, Kompleks Taman Galaksi, Kec. Bekasi Selatan, Kota Bekasi,Jawa Barat
Kelompok Massa
Sekitar 50 orang yang mengatasnamakan diri Front Anti Pemur tatan Bekasi (FAPB) melakukan demonstrasi untuk memprotes pembangunan tempat ibadah GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) Jemaat Galilea Villa Galaksi. Alasannya, bangunan itu tidak mengantongi IMB. Massa lantas membentangkan spanduk berukuran sekitar 20m lalu menyegel gereja yang masih dalam tahap pembangunan. Pendeta Mar tinus Tetelepta, pimpinan GPIB Galilea mengklaim bahwa GPIB Galilea Villa Galaksi sudah mendapat IMB dari Pemkot Bekasi, yang tercatat dengan No. 503/0116/BPPT.I/I/2010.
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
No
Peristiwa
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Keterangan Singkat
7
Penutupan dan pengalihfungsian masjid 1 Maret Ahmadiyah di Kota Depok menjadi tempat ibadah bagi umat Islam secara umum.
Jalan Raya Sawangan, Depok, Jawa Barat
Pemkot
Masjid Ahmadiyah di Jalan Raya Sawangan ditutup berkaitan dengan Peraturan Walikota (Perwali) No 9 Tahun 2011 tentang pelarangan Ahmadiyah. Selanjutnya masjid itu akan difungsikan kembali tetapi tidak untuk dipakai jemaat Ahmadiyah. Pemkot Depok juga mengeluarkan SK No. 821.29/153/Kpts/ Kesbangpol dan Linmas/Huk/2011 tentang tim penanganan jemaat Ahmadiyah.
8
Penyegelan GKI Taman Sejak 2008 Yasmin di Bogor oleh Pemda
Taman Yasmin, Kec. Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat
Pemkot, Kelompok Massa
Kasus GKI Taman Yasmin berawal dari pembekuan IMB GKI Taman Yasmin oleh Pemda Bogor pada 14 Februari 2008.GKI Yasmin lantas menggugat pembekuan itu ke PTUN Bandung dan menang gugatan. Pemerintah Kota Bogor pun mengajukan banding ke Pengadilan TUN di Jakarta, yang putusannya menguatkan putusan PTUN Bandung tersebut. Selanjutnya Pemerintah Kota Bogor mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan hasilnya, MA kembali menguatkan apa yang menjadi putusan PTUN Bandung dan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta. Walaupun demikian, Walikota Bogor kembali mengeluarkan dua SK berturut-turut pada tanggal 8 dan 11 Maret 2011, yang isinya mencabut IMB GKI di Taman Yasmin secara permanen.
9
Penyerahan masjid jemaat Ahmadiyah Karanganyar, Jawa Tengah kepada warga Kalisoro
4 Maret
Kalisoro, Kec. Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah
Pemkot
Penyerahan masjid jemaat Ahmadiyah Karanganyar kepada warga Kalisoro dilakukan demi menghindari tindakan anarkis seperti yang terjadi di Cikeusik atau tempat-tempat lain.
10
Teror bom di halaman Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Medan
19 Maret
Jalan Titi Papan, Medan, Sumatera Utara
Orang tidak dikenal
Bungkusan yang diduga berisi bom diletakan oleh orang yang tidak dikenal di halaman depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Medan. Tim Gegana lantas mengamankan dan meledakan paket tersebut, yang isinya ternyata bukan bom tetapi bola-bolaan hiasan natal.
11
11 April Pembakaran kapela Katolik Santo Antonius, di Air Molek Riau oleh kelompok massa
Desa Simpang Tiga, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Kelompok Massa, Politisi lokal
Ratusan orang yang diduga tidak menerima kekalahan jagoannya dalam Pemilukada di Kota Taluk Kuantan mengamuk, melempari kantor KPU, rumah pejabat dan rumah penduduk pendukung lawan calon dengan batu, membakar pos retribusi dan bangunan Gereja Katolik Santo Antonius.
12
Pembongkaran Masjid Rahdahatul Islam oleh pihak pengembang, PT. Jati Massiondo.
Jl. Yos Yudarso/Jl. H. Adam Malik Gg. Peringatan Kel. Silalas Kec. Medan Barat, Sumatera Utara
Pengembang, Kelompok Massa
Masjid Rahdahatul Islam Medan Barat dibongkar oleh pihak pengembang, PT. Jati Massiondo setelah mendapat surat keputusan dari Menteri Agama No. 28 Tahun 2011 tentang pemberian izin per-ubahan status/tukar menukar tanah wakaf. Sebelumnya pihak pengembang sudah membangun masjid pengganti dengan nama yang sama, terletak 500 m dari lokasi masjid lama. Kelompok massa yang tergabung dalam Komite Nasional Masyarakat Indonesia (KNMI) Sumatera Utara mengajukan protes karena pembongkaran itu tanpa persetujuan umat, bentuk masjid pengganti tidak sesuai, serta jauh dari lokasi masjid sebelumnya.
11 April
49
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
No
50
Peristiwa
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Keterangan Singkat
13
Ledakan bom bunuh diri di Masjid di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon
15 April
Cirebon, Jawa Barat
Individu
Aksi bom bunuh diri terjadi di masjid di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, menjelang salat Jumat (15/4). Puluhan orang terluka, termasuk di antaranya Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco, sedangkan pembawa bom meninggal di tempat kejadian.
14
Bom seberat 150 kg ditemukan Polisi di dekat gedung Gereja Bethel Indonesia (GBI) Christ Cathedral Serpong kawasan Gading Serpong
21 April
Jl. SK. Keris, Gading, Serpong, Kab. Tangerang, Banten
Orang tak dikenal
Polisi menemukan bom rakitan seberat 150 kg, pada lokasi 100 m dari bangunan gereja gedung Gereja Bethel Indonesia (GBI) Christ Cathedral. Rencananya bom itu akan diledakan pada perayaan Jumat Agung, 22 April. Informasi keberadaan bom terungkap dari tertangkapnya 19 orang yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan peledakan-peledakan bom di gereja dan pengiriman paket bom buku ke beberapa tokoh, termasuk Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL).
15
Pelemparan bom molotov ke konsistori GPdI El Shaddai Sleman oleh orang tidak dikenal
29 April
Jl. KRT Pringodiningrat No 41, Pangukan, Kec. Tridadi, Sleman, Jawa Tengah
Orang tak dikenal
Dinihari, 29 April 2011 ada orang tidak dikenal melempar bom molotov ke halaman gereja GPdI (Gereja Pentakosta di Indonesia) El Shaddai, Sleman. Ledakan bom molotov itu menghanguskan dinding atas teras gereja.
16
Pencopotan Label nama Gereja di Waropen
Mei
Waropen, Kab. Waropen, Papua
Individu
Papan nama Gereja Pentakosta Haleluyah Indonesia (GPHI) di Jalan Baru Waropen dicopot dan digantikan dengan papan nama Gereja Bethel Indonesia (GBI) oleh pendeta jemaat GBI Filadelfia di Serui tanpa konfirmasi kepada pihak GPHI.
17
Pembongkaran Masjid Al-Ikhlas, Medan
1 Mei
Jl. Timor, Medan, Sumatera Utara
Pengembang
Pembongkaran Masjid Al-Ikhlas oleh pihak pengembang menimbulkan reaksi keras dari berbagai organisasi Muslim di Medan. Kodam I Bukit Barisan membongkar Masjid Al-Ikhlas karena masjid tersebut tadinya merupakan rumah ibadah milik Detasemen Perhubungan (Denhubdam) yang markasnya dipindahkan ke kawasan Namurambe, Kabupaten Deli Serdang. Sebagai gantinya, Kodam I Bukit Barisan mendirikan masjid pengganti di markas baru Denhubdam di kawasan Naurambe.
18
Pembakaran bangunan Masjid Nurdihayah oleh seorang warga
27 Mei
Desa Danaurawah, Kec. Matangai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah
Individu
Bangunan Masjid Nurdihayah yang menjadi satu-satunya masjid di Desa Danaurawah mengalami kebakaran pada Jumat (27 Mei) pukul 03:00 dini hari. Mimbar dan ruang imam yang terbuat dari kayu rusak terbakar. Pelaku pembakaran adalah Heri (25) warga setempat yang juga sering mengikuti salat berjemaah di masjid itu. Ada dugaan Heri sedang mengalami depresi karena kematian ibu dan kakaknya yang tidak lama berselang sebelum kejadian itu.
19
Pembakaran dan perusakan sejumlah fasilitas Gereja Katolik Santo Paulus oleh oknum tidak dikenal.
2 Juni
Lorong VIII, Desa Purwosar, Kec. Tomoni Timur, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan
Orang tidak dikenal
Sebagian kain gorden Gereja Katolik Santo Paulus hangus terbakar, sebuah salib terbuat dari bahan perunggu juga dilaporkan hilang. Masyarakat menemukan dua buah Alkitab dan sebuah buku panduan rohani tercecer di jalan. Polisi belum menemukan motif di balik kejadian itu.
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Waktu (2011)
No
Peristiwa
Tempat
Pelaku
Keterangan Singkat
20
Teror bom di GKJ (Gereja Kristen Jawa) Trucuk
2 Juni
Dusun Jambon, Desa Orang tidak Sebranglor, Kec. dikenal Trucuk, Klaten, Jawa Tengah
Ber tepatan dengan hari kenaikan Yesus Kristus (2 Juni) di dak teras GKJ Trucuk ditemukan bekas ledakan bom molotov berdaya ledak rendah. Peristiwa itu diduga terjadi pada pukul 02:00 dinihari, dan baru diketahui sekitar pukul 08:00 pagi oleh sejumlah jemaah usai melakukan kebaktian. Menurut penuturan warga jemaat, pada tanggal 6 September 2010 GKJ Trucuk juga pernah menjadi sasaran ledakan bom molotov, yang menyebabkan pintu gereja terbakar.
21
Pembakaran sejumlah fasilitas Gereja Masehi Injili Indonesia (GMII) oleh oknum tidak dikenal.
2 Juni
Lorong V, Desa Purwosari, Kec. Tomoni Timur, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan
Orang tidak dikenal
Sejumlah fasilitas Gereja Masehi Injili Indonesia (GMII) ditemukan terbakar. Satu buah mimbar dan kursi yang hangus terbakar di dalam gereja, sementara 3 unit microphone lengkap dengan tiangnya hilang.Polisi belum menemukan motif di balik kejadian itu.
22
Pelemparan batu oleh orang tidak dikenal terhadap rumah Ibadah Balai Kerajaan SaksiSaksi Yehuwa.
22 Juni
Jalan Tabatoki, Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan, Kab. Poso, Sulawesi Tengah
Orang tidak dikenal
Pada Rabu (22/6) malam, terjadi pelemparan batu secara beruntun terhadap rumah ibadah Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa oleh orang yang tidak dikenal. Akibatnya warga yang tinggal di sekitar tempat ibadah itu menjadi panik. Kecuali kaca jendela bangunan yang pecah, tidak ada korban yang terluka dalam peristiwa itu.
23
Kericuhan antara dua kubu Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI) di Medan
Juli
Medan, Sumatera Utara
Pimpinan dan massa kedua kubu
Kericuhan terjadi di Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI) di kota Medan antara kubu Bishop dan kubu Zebua. Masingmasing kubu mengantongi surat yang menunjukan legalitas mereka dan mengklaim diri sebagai pengurus yang sah.
24
Penggusuran Musala di Desa Bandungrejo karena proyek normalisasi sungai Wonorejo
Juli
Desa Bandungrejo, Pemkot Kec. Karanganyar, Demak, Jawa Tengah
Musala di Desa Bandungrejo tergusur proyek normalisasi sungai Wonorejo. Puluhan warga histeris karena penggusuran tersebut. Menurut surat edaran Dinas Pekerjaan Umum, keberadaan bangunan di atas bandaran sungai melanggar Perda Kabupaten Demak No. 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Irigasi, sehingga harus dibongkar.
25
Penundaan pembangunan Masjid Nur Musofir, Kupang
Agustus
Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT
Pemkot, Kelompok warga
Pembangunan Masjid Nur Musofir terhenti akibat protes dari ratusan warga Kelurahan Batuplat, Kota Kupang. Mereka menuntut agar pembangunan masjid tersebut dihentikan karena ditemukannya keganjilan data administrasi persetujuan dari masyarakat sekitar. Walikota Kupang yang tadinya bersikeras melanjutkan pembangunan Masjid Nur Musofir akhir-nya memberikan instruksi pemberhentian pembangunan secara sementara.
26
Pembakaran bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Riau oleh kelompok massa.
1 Agustus
Logas Tanah Darat, Kab. Kuantam Sengenge, Riau.
Kelompok massa
Sekitar pukul 23:00, sekitar 100 orang yang mula-mula datang dan mengancam jemaat gereja, lalu membakar bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
27
Pembakaran bangunan Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) oleh kelompok massa
1 Agustus
Logas Tanah Darat, Kab. Kuantam Sengenge, Riau
Kelompok massa
Massa yang membakar bangunan Gereja Pentakosta di Indonesia kemungkinan besar sama dengan yang membakar gereja GBKP yang hanya berjarak 5
51
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
No
Peristiwa
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Keterangan Singkat kilometer.Setelah pihak Persatuan Gereja Indonesia (PGI) menghimpun informasi dari kalangan gereja di wilayah itu, nyaris semua jemaat gereja di Kecamatan Kuantan Tengah, mendukung pasangan bupati terpilih. Ada dugaan pembakaran tiga gereja di Riau berhubungan dengan konflik Pilkada yang digelar April lalu.
52
28
Pembakaran gedung Gereja Methodist di Riau oleh kelompok massa
2 Agustus
Kecamatan Pangean, Kelompok massa Kabupaten Kuantan Singingi, Riau
Gereja Methodist Indonesia di Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau terbakar pada pukul 23:30 WIB akibat perbuatan sekelompok massa. Peristiwa kebakaran ini merupakan kali ketiga dalam dua hari berturut-turut. Dua gereja pertama yang mengalami nasib serupa pada Senin malam (1/8) yaitu Gereja Karo Batak Protestan (GKBP) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI).
29
Pemberhentian secara paksa aktivitas beribadah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Cituis Indah oleh kelompok massa.
4 September
Cituis Indah, Desa Kelompok massa Surya Bahari, Kec. Paku Haji, Tangerang Utara,Banten
Hari Minggu, sekitar jam 10:00 WIB ratusan anggota massa mendatangi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Cituis Indah dan memaksa menghentikan aktivitas beribadah. Akibatnya, ratusan jemaat GPdI meminta perlindungan kepada kepolisian setempat. Bangunan gereja itu sudah dipakai sebagai tempat beribadah selama 13 tahun. Massa menuntut agar kegiatan kegiatan ibadah di lokasi tersebut segera dihentikan karena dianggap tidak memiliki izin.
30
Pembakaran pintu Gerbang Gereja Katholik di Kelurahan Moengko, Poso oleh kelompok orang tidak dikenal.
16 September Kelurahan Moengko, Kec. Poso, Kab. Poso, Sulawesi Tengah.
Kelompok massa
Pintu Gereja Katholik di Kelurahan Moengko, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat malam sekitar pukul 23.30 WITA terbakar akibat ulah sekelompok orang tak dikenal. Menurut Kapolda Sulawesi Tengah, pembakaran itu diduga dilakukan tiga orang menggunakan bensin. Dugaan ini diperkuat temuan jerigen berisi sisa bensin yang ikut terbakar bersama pintu gereja.
31
Penutupan secara paksa Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Sumedang oleh sekelompok massa.
20 September Ranca Ekek, Kel. Mekar Galih, Kec. Jatinagor, Kab. Sumedang, Jawa Barat.
Kelompok massa
Pada hari Selasa, 20 September sekelompok orang mendatangi GPdI Sumedang dan menyatakan hendak menutup gereja, tersebut menyusul keluarnya surat dari Pemda setempat yang isinya terkait penutupan gereja ini. Tanggal 17 Juli 2011 sekelompok massa FPI datang mengancam warga gereja yang sedang beribadah.Menurut Camat Jatinangor Sumedang, bangunan yang digunakan selama 24 tahun terakhir oleh jemaat GPdI Sumedang belum mempunyai IMB.
32
Bom bunuh diri di halaman GBIS Solo
25 September Kepunton, Solo, Jawa Tengah.
Individu
Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton menjadi sasaran bom bunuh diri pada Minggu, 25 September 2011, sekitar pukul 10:55 WIB. Satu-satunya korban jiwa adalah pelaku bom bunuh diri, sedangkan sekitar 15 orang lainnya yang berada di sekitar pelaku mengalami luka serius sehingga dirawat di rumah sakit.
33
Ditemukan sebuah bom 26 September Ambon, Maluku rakitan di depan GPM
Orang tidak dikenal
Bom yang ditemukan di depan GPM Maranatha Ambon diduga merupakan
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
No
Peristiwa
Waktu (2011)
Tempat
Pelaku
Maranatha Ambon
Keterangan Singkat bagian dari rangkaian ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Solo pada tanggal 25 September 2011.
34
Pelemparan bom rakitan di depan gereja Anugerah oleh orang yang tidak dikenal
26 September Ambon, Maluku
Orang tidak dikenal
Pada pukul 20.30 WIT ada pengendara sepeda motor yang melemparkan bom rakitan tepat di depan Gereja Anugerah, Karang Panjang
35
Penutupan sementara Gereja Mekargalih di Sumedang oleh Pemkab Sumedang
29 September RT 1 RW 8, Desa Mekargalih, Kec. Jatinango, Kab. Sumedang, Jawa Barat
Pemkot
Pemkab Sumedang menutup untuk sementara sebuah bangunan di lingkungan, Desa Mekargalih. Gedung itu sudah sejak puluhan tahun dipakai oleh umat Kristiani sebagai gereja. Ratusan umat kristiani yang biasa melaksanakan kebaktian minggu di tempat itu terpaksa melakukan ibadahnya dengan menyebar ke sejumlah gereja lain.
36
Teror bom terhadap 7 Oktober Gereja Bethel Indonesia (GBI) Kompleks Gading Batavia, Jakar ta.
Orang tidak dikenal
Gereja Bethel Indonesia (GBI) kompleks Gading Batavia, Jakarta, Jumat (7/10) malam, mendapat ancaman bom melalui telepon. Ancaman itu diterima oleh satpam gereja sekitar pukul 20.00 WIB. Menurut satpam, penelepon mengancam akan meledakkan gereja dalam waktu sepuluh menit. Sejumlah jemaat yang berada dalam gereja sempat panik. Polsek Kelapa Gading dan tim Gegana yang mendapat laporan, langsung mendatangi lokasi. Polisi juga memin-tai keterangan sejumlah saksi termasuk satpam yang menerima ancaman bom.
Jakar ta
Terorisme 2011: Pola Baru, Aktor Baru, Jaringan Lama Dua tahun berselang sejak serangan bom di hotel JW. Marrot dan Ritz Carlton Jakarta pada bulan Juli 2009, kondisi Indonesia cukup tenang dari serangan teroris. Banyak yang berpendapat bahwa organisasi Jemaah Islamiyah mulai melemah akibat gencarnya penangkapan komplotan teroris. Namun, hal ini bukan berarti jaringan teror telah habis. Terbukti, dalam rentang Januari sampai April 2011, terjadi serangkaian aksi teror di sejumlah tempat di Jakarta, Jawa Barat, Cirebon, Klaten dan Medan. Selain kejadiankejadian tersebut, tahun 2011 ini juga menjadi babak penting upaya polisi membongkar jaringan teror di Indonesia, terutama proses pengadilan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam kamp pelatihan kemiliteran di Aceh. Teror bom buku jaringan Pepi
Pada bulan Maret 2011, publik dibuat was-was oleh serangkaian aksi teror yang
dikenal dengan bom buku. Sasaranya adalah sejumlah tokoh dari beragam latarbelakang. Serangan dimulai dengan pengiriman paket buku berisi bom yang ditujukan kepada tokoh penggagas Jaringan Islam Liberal yang kini menjadi ketua DPP Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla. Paket bom gagal mengenai sasaran karena dikirm ke kantor lama Ulil di Utan Kayu, Jakarta Selatan. Tetapi sempat melukai seorang anggota kepolisian yang berusaha menjinakkan bom. Dalam rentang beberapa hari terjadi serangan serupa dengan target tokoh Pemuda Pancasila, Yapto, pimpinan badan anti narkoba Indonesia yang juga mantan anggota Densus 88 Gorris Mere, dan musisi Ahmad Dhani. Semua paket bom buku diamankan aparat sebelum mengenai sasaran. Butuh waktu beberapa bulan bagi polisi untuk membongkar jaringan pelaku aksi teror ini. Polisi menahan 17 tersangka, termasuk Pepi Fernando yang diidentifikasi sebagai tokoh utama pelaku jaringan ini. Pepi adalah lulusan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Jakarta dan sempat menjadi anggota
53
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Negara Islam Indonesia. Menurut beberapa sumber, pada tahun 2004 ia ikut menjadi relawan bantuan korban tsunami Aceh dan berinteraksi dengan aktivis Kompak yang dikenal mempunyai sejumlah anggota terkait organisasi Jemaah Islamiyah. Ia diketahui pernah belajar kepada anggota jaringan Darul Islam pimpinan Kang Jaja, yang tewas ditembak polisi dalam kaitannya dengan aktivitas kamp pelatihan di Aceh. Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan bahwa selain bom buku yang ditujukan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sebagai musuh Islam, kegiatan teror jaringan Pepi juga menyasar sejumlah fasilitas publik
Serangan teror di Cirebon ini boleh jadi tidak berdiri sendiri. Ada dugaan keterkaitan antara Syarif dengan jaringan Pepi karena sama-sama menggunakan tipe bom dengan daya ledak rendah (low explosive). di sekitar Jakarta, termasuk sebuah bom yang ditanam di dekat jalan tol Cawang. Polisi meyakini bom ini ditujukan untuk meledakkan iring-iringan mobil pejabat. Jaringan Pepi juga menanam bom seberat 100 kilogram di jalur pipa gas dekat gereja Christ Cathedral di Serpong, pintu masuk perumahan kota wisata Cibubur, pipa di jembatan banjir kanal timur, Cakung, dan pintu air Cililtan Jakarta. Pepi diduga sudah menyiapkan bom roket yang direncanakan untuk menyerang istana negara. Meski gerakannya terpusat di Jakarta dan sekitarnya, Pepi juga memiliki jaringan
54
di Aceh. Pepi diketahui sering pergi ke Aceh dan singgah di rumah Fadli, teman kuliah Pepi di UIN Jakarta. Di lahan perkebunan milik Fadli di Aceh, polisi menemukan material bom berupa potasium klorit. Oleh karena itu, sebagian anggota jaringan Pepi ditangkap di Aceh. Bom bunuh diri Cirebon dan Solo
Selain modus pengeboman jarak jauh sebagaimana dilakukan jaringan Pepi, ideologi bom bunuh diri nampaknya juga masih hidup. Tahun 2011 diwarnai dua aksi bom bunuh diri yang menyasar dua tempat ibadah berbeda: masjid di Cirebon dan gereja di Solo. Pada 15 April, bom bunuh diri meledak di dalam masjid al-Dzikr di kompleks Mapolresta Cirebon, saat jemaat sedang menjalankan salat Jum’at. Pelaku yang kemudian diketahuai bernama Muhammad Syarif (31 tahun) meledakkan bom yang dililitkan di tubuhnya sesaat setelah khutbah berakhir dan jemaat hendak berdiri menjalankan salat. Bom melukai 27 jemaat. Pelaku Syarif menjadi satu-satunya korban meninggal dalam serangan ini. Berdasarkan penjelasan orang tuanya, M. Syarif dikenal mempunyai kepribadian keras. Syarif ikut serta dalam sejumlah pengajian Abu Bakar Ba’asyir. Ia juga diketahui kerap ikut serta dalam aksi Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS). Polisi menduga bom bunuh diri ini bukanlah aksi kekerasan pertama yang dilakukan M. Syarif. Pada 19 September 2010, ia diduga melakukan aksi perusakan minimarket Alfamart di Cirebon. Ia juga diduga sebagai pelaku pembunuhan anggota TNI di Kodim Cirebon Kokpa Steja pada 3 April 2011. Terkait insiden ini, polisi juga menyelidiki adik Syarif yang bernama Basuki. Di rumah mertua Basuki di Majalengka polisi menemukan empat rangkaian bom dengan sistem pemicu jarak jauh. Basuki ternyata sudah masuk dalam jaringan Syarif. Dari pengakuan Basuki, polisi berhasil membongkar keterkaitan Syarif dengan jaringan pelaku teror lama. Dua bersaudara ini direkrut oleh lelaki bernama Irfan Muhammad yang menurut polisi ciricirinya mirip Sibgho atau Upik Lawanga, pelatih (mudarrib) perakitan bom alumni Poso dan Afghanistan yang juga tersangka kasus
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
kamp pelatihan Aceh yang kini buron. M. Syarif mendapatkan pelatihan istighlayat (penyerangan mendadak) dari Upik Lawanga di bumi perkemahan Telaga Puncar, Sindangwangi, Majalengka. Serangan teror di Cirebon ini boleh jadi tidak berdiri sendiri. Ada dugaan keterkaitan antara Syarif dengan jaringan Pepi karena sama-sama menggunakan tipe bom dengan daya ledak rendah (low explosive). Target serangan juga mirip, yakni musuh lokal seperti polisi, pejabat dan tokoh liberal. Hal ini berbeda dengan model teror jaringan Jemaah Islamiyah yang biasanya mengunakan bom berdaya ledak tinggi dengan sasaran musuh asing. Belum ada bukti kongkret keterkaitan Syarif dengan jaringan Pepi. Namun jika benar Syarif mendapatkan pelatihan dari Upik Lawanga, sangat penting bagi polisi untuk menangkap ahli perakit bom ini. Keterkaitan bom Cirebon dengan pelaku teror lama seperti Upik Lawanga semakin jelas dalam penyelidikan polisi. Sekitar sebulan setelah kejadian (17/10), polisi menetapkan sejumlah buron yang salah satunya adalah Upik Lawanga. Nama-nama buron yang adalah Yadi Al Hasa alias Abu Fatih alias Vijay, Nanang Irawan alias Nang Ndut, Umar alias Bujang alias Dede alias Rosi, Santoso alias Santo alias Abu Wardah, Cahya alias Ramzan, Imam Rasyidi alias Imam Sukanto alias Harun alias Yasir, Pino Damayanto alias Achmad Yosepa Hayat dan Taufik Bulaga alias Upik Lawanga. Hingga ahir Oktober 2011 (sekitar lima bulan setelah kejadian), hampir semua buron ini berhasil dibekuk polisi kecuali Upik Lawanga. Lamanya penangkapan ini memberi peluang terjadi aksi teror terulang. Pada 25 September, salah satu anggota jaringan bom Cirebon, Ahmad Yosepa, melancarkan serangan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo. Mengikuti modus bom Cirebon, target serangan adalah rumah ibadah (masjid di Cirebon dan gereja di Solo). Yosepa meledakkan dirinya di dekat pintu masuk gereja. Untungnya bom meledak bukan pada saat jemaat ke luar dari gereja. Ledakan bom mengakibatkan sekitar 27 korban luka; hanya pelaku Yosepa yang meninggal. Modus penyerangan tempat ibadah boleh jadi dimaksudkan untuk menyulut sikap
permusuhan antaragama atau sektarianisme, situasi yang mendukung mobilisasi ideologi radikal. Selain itu aksi teror demikian mungkin juga dimaksudkan sebagai semacam unjuk gigi untuk mendukung mobilisasi dan penggalangan dana jaringan teror. Polisi masih memburu anggota lain jaringan ini. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah masih bebasnya Upik Lawanga yang berperan penting dalam rekrutmen dan pelatihan teror. Ia boleh jadi menjadi salah satu yang paling berpengalaman di dalam jaringan ini yang mempunyai kemampuan mereproduksi jaringan teroris. Kelompok teror remaja di Klaten
Awal tahun 2011 SMKN 2 Klaten menjadi perhatian. Pada 25 Januari, 2 siswa dan 6 orang lain alumni sekolahnya ditangkap anggota Densus 88 karena diduga menjadi anggota jaringan terorisme. Kedelapan remaja yang sebagian besar berusia 17—19 tahun ini ditangkap di empat lokasi di Klaten. Mereka adalah Roky Apres Giyanto alias Antok alias Atok (28 tahun), Agung, Joko Lelono, Nugroho, Argo, Tribudi, Sigid Purnomo, dan Yudho Anggoro. Berdasarkan penyelidikan polisi, tokoh utama kelompok ini adalah Atok. Ia adalah seorang tukang parkir yang menjadi anggota Darul Islam pada tahun 1997 saat masih berusia 15 tahun sebelum ke luar karena ketidaksetujuan terkait dana infak organisasi. Menurut International Crisis Group, Atok pernah berhubungan dengan Yayasan Kafayeh di Klaten yang mendirikan lembaga penerbitan Kafeya Cipta Media yang menerbitkan buku-buku pengikut Jemaah Islamiyah (JI) . Dari sini Atok berhubungan dengan tokoh-tokoh JI seperti Umar Burhanuddin (pernah dipenjara karena terlibat dalam pengeboman Kedutaan Australia pada tahun 2004), Abu Tholut (ditahan karena terlibat dalam kamp pelatihan Aceh) dan seorang yang dikenal sebagai Joko Jihad (yang pernah dipenjara terkait Noordin M. Top). Atok merekrut para pelajar dan alumni SMKN 2 Klaten yang pernah aktif di organisasi Corps Dakwah Sekolah (CDS). Atok mengenalkan mereka kepada ideologi radikal melalui kajian Islam di seputar Klaten dan Solo dengan pembicara tokoh-tokoh radikal seperti Abu Bakar Ba’asyir dan Aman
55
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Abdurrahman (anggota Jamaah Anshorut Tauhid/JAT) yang pada 20 Desember 2010 divonis 9 tahun penjara karena keterlibatan dalam kamp pelatihan Aceh. Menurut polisi, kelompok Atok adalah tokoh di balik serangkaian teror di sejumlah tempat ibadah dan fasilitas umum di Solo dan Yogyakarta selama bulan Desember 2010— Januari 2011. Misalnya, pada 7 Desember 2010 mereka memasang bom di Pasar Kliwon, Solo dan sebuah gereja. Lalu, pada 23 Desember 2010 kelompok ini melemparkan roket ke masjid Syuhada, Yogyakarta. Keberhasilan jaringan teroris merekrut remaja sebenarnya bukan hal baru. Salah satu pelaku aksi bom bunuh diri di hotel J.W.
Modus penyerangan rumah ibadah dimaksudkan untuk menyulut permusuhan antaragama, sekaligus unjuk gigi untuk dukungan mobilisasi teror. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta pada Juli 2009 adalah seorang pemuda berusia 18 tahun bernama Dani Dwi Permana yang baru saja lulus SMA. Kelompok Medan
Pada 2 Agustus 2011, Pengadilan Negeri Medan memberikan vonis 5—10 tahun kepada 9 orang yang terlibat dalam perampokan Bank CIMB Medan pada 18 Agustus 2010. Polisi menduga kasus ini terkait jaringan teroris. Hal ini didukung oleh putusan pengadilan yang menggunakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam amar putusannya. Dari beberapa tersangka yang ditangkap, seperti Indramawan alias Toni Togar (dipenjara sejak 2003) dan Fadly Sada-
56
ma, ditemukan keterkaitan dengan Jemaah Islamiyah dan kamp pelatihan Aceh. Toni adalah alumni pesantren al Mukmin Ngruki yang terlibat dalam usaha pengeboman gereja di Medan menjelang perayaan Natal tahun 2000. Berdasarkan pengakuan Fadly, yang dikutip International Crisis Group, Toni membentuk Kumpulan Mujahidin Indonesia pada tahun 2005. Dari penjara ia merencanakan perampokan bank untuk mengumpulkan dana dan senjata guna membantu pelariannya dari penjara. Kejadian ini menandakan adanya sel teroris di Medan. Abu Bakar Ba’asyir dan kamp pelatihan Aceh
Salah satu peristiwa penting pada awal tahun 2011 adalah persidangan Abu Bakar Ba’asyir yang dituduh merencanakan dan memobilisasi dana pelaksanaan kamp pelatihan teroris di Aceh. Ba’asyir sendiri mengklaim kamp pelatihan ini adalah program persiapan fisik dan mental untuk menghadapi musuh (i’dad) , bukan pelatihan teroris. Keberadaan kamp itu terungkap pada 22 Februari 2010. Di hutan Jantho Aceh, polisi menggerebek kamp yang ternyata dipimpin oleh Dulmatin, tokoh penting Jemaah Islamiyah yang sudah lama diburu kepolisian Indonesia dan Filipina. Dulmatin dan 7 peserta lain terbunuh dalam sebuah penggerebekan. Hingga April 2011, polisi telah menangkap 48 orang di Aceh, Jakarta dan Banten. Terkait kasus ini, pada Agustus 2010 polisi menangkap Ba’asyir atas tuduhan membantu menghimpun dana dan perencanaan. Ba’asyir ditangkap setelah beberapa bulan sebelumnya polisi menggerebek kantor organisasinya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT) di Jakarta; dan dari anggota JAT yang ditangkap, polisi mendapatkan informasi keterlibatan Ba’asyir dalam kamp pelatihan Aceh. Setelah ditahan lebih dari enam bulan sidang pengadilan Abu Bakar Ba’asyir dimulai pada 14 Februari 2011. Sidang ini cukup menarik perhatian karena kepolisian Indonesia telah berulangkali menangkap dan membawa Ba’asyir ke pengadilan tetapi selalu gagal membuktikan keterlibatannya dalam kasus terorisme. Menurut jaksa, Ba’asyir berperan dalam menunjuk Ubaid,
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Dulmatin dan Abu Tholut sebagai tokoh pelaksana kamp; ia juga berperan dalam menghimpun dana lebih dari 1 milyar dari donatur yang disalurkan lewat Ubaid untuk keperluan pelatihan, termasuk pembelian senjata. Jaksa menjerat Ba’asyir dengan tujuh pasal berlapis termasuk UU terorisme, dengan ancaman hukuman mati. Kesaksian beberapa orang yang dekat dengan Ba’asyir atau sudah divonis terlibat dalam kamp pelatihan Aceh mengisyaratkan peran Ba’asyir dalam menghimpun dana, tetapi mereka membantah pengetahuan atau keterlibatan Ba’asyir. Misalnya, dokter Haryadi Usman (simpatisan JAT) mengaku memberikan dana 200 juta rupiah kepada Ba’asyir tetapi ia menyatakan dana itu untuk aktivitas JAT, bukan untuk kamp pelatihan di Aceh. Hal senada juga dinyatakan oleh Abdullah Sonata. Mantan anggota Laskar Mujahidin Kompak waktu konflik Ambon tahun 1999 yang terbukti menyembunyikan Noordin M. Top ini mengaku menerima dana dari Ubaid dan Abu Tholut yang dipakai untuk membeli senjata untuk pelatihan kemiliteran bagi anggota FPI untuk berjihad di Palestina. Abdullah Sonata membantah kaitan kegiatan ini dengan kamp pelatihan kelompok teroris yang digalang Ba’asyir sebagaimana tuduhan jaksa. Ba’asyir sendiri membela kamp tersebut sebagai kegiatan persiapan mental dan fisik untuk menggentarkan musuh Islam yang dalam hukum Islam disebut i’dad. Terlepas dari bantahan-bantahan di atas, bagi jaksa kesaksian beberapa orang tersebut menunjukkan peran penting Ba’asyir. Apa yang mereka sampaikan boleh jadi bagian dari upaya untuk menyelamatkan Ba’asyir sebagai pimpinan. Ubaid dan Abu Tholut adalah anggota JAT yang dekat dengan Ba’asyir. Merekalah yang menerima dana yang dihimpun Ba’asyir untuk digunakan dalam kamp pelatihan Aceh. Ba’asyir akhirnya divonis 15 tahun penjara atas perannya dalam penggalangan dana yang digunakan untuk kamp itu. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan hukuman mati jaksa. Hakim menganggap tidak cukup bukti peran Ba’asyir sebagai perencana kamp pelatihan teror di Aceh. Hukuman ini pun akhirnya dikurangi menjadi 9 tahun melalui pengadilan banding.
Meski tidak selalu terlibat langsung, Ba’asyir kerap memberi pernyataan yang memosisikan pelaku terorisme sebagai pahlawan atau syahid. Ia adalah figur penting di kalangan kelompok Islam ekstrem. Terbongkarnya kamp pelatihan di Aceh menunjukkan sisi berbeda kegiatan kelompok ekstrem di Indonesia. Selain kelompokkelompok baru yang melakukan teror dalam skala kecil seperti kelompok Pepi, bom bunuh diri Cirebon, dan jaringan Klaten, aktor-aktor lain yang selama ini menjadi bagian dari organisasi JI sudah mengubah strategi perjuangan dengan membentuk pusat konsentrasi di Aceh serupa dengan posisi Mindanao di Filipina. Keberhasilan polisi menggagalkan strategi baru kelompok ekstrem ini patut dihargai. Namun proses pengadilan Ba’asyir juga mesti dilihat sebagai bagian penting dari upaya melawan terorisme. Proses pengadilan dan pembuktian yang transparan dan fair mempunyai makna penting bagi persepsi publik terhadap ekstremisme. Kasus kesaksian secara teleconference dalam persidangan Ba’asyir yang membuat pihak Ba’asyir dari ruang sidang patut menjadi catatan. Sikap para pendukung Ba’asyir di luar sidang yang menghindari anarki meski berada dalam tensi dan emosi yang tinggi juga patut dihargai. Jaringan lama, aktor dan pola baru
Beberapa aksi teror pada tahun 2011 menunjukkan adanya pola dan aktor baru. Sebagian besar aktor aksi terorisme dalam kurun 2010—2011, seperti jaringan Pepi, bom bunuh diri Cirebon, dan jaringan Klaten adalah orang-orang baru. Sebagiannya, seperti para remaja anggota jaringan Klaten, bahkan mungkin belum lama berinteraksi dengan ideologi ekstrem. Dari segi pola serangan, beberapa kasus di atas menunjukkan perubahan strategi kelompok teroris dari serangan skala besar untuk menimbulkan korban dalam jumlah besar dan dengan target asing seperti Kedutaan Besar, warga asing dan hotel milik perusahaan asing. Kasus-kasus terorisme belakangan menunjukkan kecenderungan penggunaan bom berdaya ledak rendah dengan target musuh lokal seperti polisi, tokoh liberal dan gereja. Untuk menciptakan kekacauan, teroris
57
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
juga menyerang fasilitas publik seperti saluran air dan jalan raya. Bahkan masjid dapat menjadi target serangan, meskipun bukan yang pertama kali. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan kecurigaan dan permusuhan terhadap kelompok atau agama non-Islam. Selain bom berdaya ledak rendah, teroris juga menggunakan pola pembunuhan dengan senjata api. Evolusi terorisme juga menunjukkan munculnya kelompok-kelompok kecil yang relatif independen dari organisasi teroris besar, seperti JI Jaringan Pepi dan figur M. Syarif di Cirebon yang dikendalikan oleh orang-orang yang belajar perakitan bom secara mendiri tetapi mendapatkan inspirasi ideologi ekstrem dari sumber-sumber yang
Pembentukan kelompokkelompok kecil ini adalah strategi baru jaringan teroris untuk menghindari pelacakan polisi. disediakan oleh lembaga-lembaga penerbitan yang dikelola oleh anggota atau mantan anggota JI. Pembentukan kelompok-kelompok kecil mandiri ini adalah strategi baru jaringan teroris untuk menghindari pelacakan polisi. Gencarnya penangkapan anggota jaringan teroris oleh kepolisian beberapa tahun terakhir turut mendorong jaringan teroris untuk merubah pola gerakan. Namun demikian, munculnya aktor dan pola baru di atas tidak sepenuhnya terpisah dari jaringan lama. Keterkaitan dengan jaringan lama tampak jelas misalnya dari figur M.Syarif dan jaringan Klaten. M. Syarif bersama adiknya Basuki diketahui pernah mengikuti pelatihan yang dipimpin oleh ahli perakit bom Poso, Upik Lawanga. Tokoh utama bom buku, Pepi, diketahui pernah belajar kepada tokoh Darul Islam Kang Jaja.
58
Antok pemimpin jaringan Klaten juga diketahui pernah bekerja dengan lembaga penerbitan terkait JI, Kafeya Cipta Media. Dari sini Antok berhubungan dengan tokoh-tokoh seperti Abu Tholut, Umar Burhanuddin dan Joko Jihad (murid Noordin M. Top). Keterkaitan ini juga dibenarkan oleh mantan anggota Darul Islam yang juga alumni Afghanistan, Farihin. Menurutnya, penggunaan bom daya ledak rendah akhirakhir ini mirip dengan modus operandi kasus peledakan bom di kontrakan di Cimanggis dan Depok 2004 yang dilakukan oleh anakanak muda murid Aman Abdurrahman. Penggunaan bom dengan menggunakan baterai dalam kasus bom buku, menurut ketua BNPT Ansyaad Mbai, juga pernah dilakukan di Poso. Hal ini mengindikasikan hubungan aktor baru dengan jaringan lama. Selain mendorong munculnya kelompok-keompok kecil independen, jaringan terorisme lama juga melakukan strategi baru dalam bentuk membangun basis perjuangan di wilayah tertentu menyerupai posisi Mindanau di Filipina. Kecenderungan ini tampak dari kasus kamp pelatihan Aceh. Membuka kemungkinan telah terjadi perselisihan antara kelompok yang melakukan serangan skala kecil dengan mereka yang ingin membentuk basis perlawanan di wilayah tertentu. Hal ini tercermin dari pernyataan Abu Bakar Ba’asyir di salah satu sesi sidang di pengadilan yang mengecam teror bom buku dan bom bunuh diri di Cirebon sebagai tindakan pengecut karena tidak berani mengumumkan perang secara terbuka. Terlepas dari friksi internal yang sangat mungkin terjadi di kalangan gerakan ekstrem, kasus-kasus di atas membuktikan bahwa meski sudah banyak aktor utama JI yang ditangkap atau dibunuh, masih tersisa aktor-aktor lain yang terus bergerak mencari anggota baru dan berevolusi dengan pola baru. JAT, gerakan radikal dan persemaian ideologi ekstrem
Fakta yang cukup mengkhawatirkan dari terbongkarnya sejumlah aksi terorisme di atas adalah adanya interaksi antara jaringan ekstrem bawah tanah dengan kelompokkelompok radikal yang lebih terbuka. Organisasi yang banyak anggotanya terlibat dalam jaringan teror adalah Jamaah Anshorut
Bab Dua: Penodaan Agama, Masalah Rumah Ibadah, dan Terorisme
Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Sejumlah anggota JAT seperti Aman Abdurrahman, Abu Tholut, dan Ubaid, diduga terlibat dalam jaringan teroris di Klaten dan kamp pelatihan Aceh. Belum lama ini polisi juga dikejutkan oleh ledakan bom di pesantren Umar Bin Khattab di Bima Nusa Tenggara Barat pada bulan Juli. Di dalam pesantren ditemukan bom molotov, material pembuatan bom, VCD bertemakan jihad, rompi JAT dan VCD deklarasi JAT di Bekasi. Pimpinan pesantren tersebut, ustadz Abrory dan Firdaus diyakini menjadi anggota atau paling tidak pernah menjadi anggota JAT. Hal serupa juga tampak dari latar belakang M. Syarif, pelaku bom bunuh diri Cirebon. Ia diketahui kerap mengikuti kegiatan Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS) Cirebon. Tentu fakta seperti ini belum dapat dijadikan bukti keterkaitan antara kelompok radikal dengan jaringan teroris. Beberapa tokoh kelompok radikal seperti HTI dan FPI juga terkadang menyampaikan penentangan terhadap aksi terorisme. Tetapi fakta adanya interaksi seperti di atas menunjukkan pentingnya ormasormas Islam menarik batas yang jelas antara kegiatan yang masih dalam kerangka hukum dan mobilisasi atau rekrutmen oleh jaringan teroris. Sebagian kalangan seperti International Crisis Group bahkan sudah meyakini bahwa gerakan-gerakan advokasi kelompok radikal seperti penentangan terhadap Ahmadiyah dan aliran sesat berperan penting dalam penyemaian ideologi ekstrem. Ini adalah perkembangan yang relatif baru, karena sebelumnya dua kelompok ini biasanya dilihat sebagai kelompok yang terpisah sama sekali. Kenyataannya, isu-isu anti-Ahmadiyah dan anti aliran sesat, yang menjadi salah satu perhatian utama kelompokkelompok seperti FPI dan GAPAS, berpotensi menjadi media rekrutmen jaringan teroris. Fakta seperti ini patut menjadi perhatian semua kalangan, termasuk kelompokkelompok Islam agar turut mencegah mobilisasi jaringan teroris. Langkah preventif, perlukah UU Intelijen baru?
Serangkaian aksi teror, terbongkarnya jaringan terorisme dan maraknya mobilisasi
gerakan Negara Islam Indonesia mengundang respons keras berbagai kalangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan jajarannya untuk mencegah bahaya dari apa yang ia sebut “terorisme, radikalisme, dan konflik horizontal.” Namun bagi banyak kalangan respons Presiden SBY ini tidak mempunyai implikasi kongkret. Pemerintah sendiri selama ini dianggap cenderung membiarkan kelompok-kelompok radikal. Mantan Ketua PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, misalnya menilai akibat lemahnya respons pemerintah, kelompok radikal yang minoritas kecil tak lebih dari 1 persen populasi umat Islam Indonesia leluasa menebar provokasi dan kebencian. Respons keras juga ditunjukkan oleh organisasi pemuda NU, Anshor, yang mendeklarasikan sayap paramiliter bernama Densus 99 yang dimaksudkan untuk menangkal aksi terorisme. Namun dari berbagai respons tersebut, belum tampak implementasi dalam bentuk yang lebih nyata. Bagi pihak Menkumham dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kelemahan upaya mencegah penyerbarluasan ekstremisme disebabkan oleh tidak adanya perangkat hukum yang memungkinkan mereka menindak aktivitas yang mengarah kepada tindakan ekstrem atau teror. Karena itu BNPT mendukung adanya UU intelijen baru yang memberikan wewenang kepada intelijen untuk melakukan penyadapan (intersepsi komunikasi) dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat mengarah kepada ancaman terorisme, separatisme, dan gangguan bagi kedaulatan negara (pasal 31). Pemerintah juga menuntut wewenang penangkapan untuk intelijen, tetapi ditentang keras oleh aktivis HAM dan kelompok-kelompok Islam garis keras. Setelah sembilan tahun terkatungkatung, RUU intelijen akhirnya disahkan DPR dengan sejumlah kompromi (11/10). Wewenang penyadapan dikabulkan (termasuk menyelidiki terduga teroris), tetapi tidak ada wewenang penangkapan. Soal penangkapan pelaku aktivitas yang diduga kuat mengarah ke terorisme sebenarnya sudah diatur dalam UU AntiTerorisme tahun 2003 yang dengan jelas memberi wewenang kepada polisi untuk menangkap siapa pun yang diyakini me-
59
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
nyembunyikan, berusaha memiliki atau memberikan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk aksi terorisme. Tidak cukup beralasan untuk mengatakan bahwa tidak adanya wewenang penyadapan dan penangkapan oleh intelijen menjadi alasan kelemahan pencegahan terorisme sebagaimana dinyatakan oleh kepala BNPT, Ansyaad Mbai. Yang lebih urgen sebenarnya adalah tindakan terhadap kegiatan-kegiatan yang berperan sebagai jembatan atau media rekrutmen jaringan teroris. Fakta seputar jaringan terorisme baru menunjukkan peran penerbitan, ceramah dan kajian yang mempromosikan ideologi ekstrem dalam proses tumbuhnya kelompok-kelompok ekstrem baru. Pemerintah bersama organisasi keagamaan seharusnya bekerjasama untuk memetakan kantong-kantong penyebaran ideologi ekstrem itu dan melakukan tindakan preventif untuk membendung pengaruhnya.
60
Di samping itu, pemerintah dan tokoh agama juga perlu bekerjasama untuk mendorong kelompok-kelompok garis keras yang memperjuangkan kepentingan umat Islam secara demokratis agar turut mencegah akselerasi ideologi ekstrem yang mengarah kepada terorisme. Seharusnya tak ada lagi pembelaan terhadap aksi terorisme dengan memosisikan pelaku teror sebagai pahlawan atau syahid. Di samping itu perlu upaya serius untuk mengawasi dan membatasi pengaruh aktor-aktor lama, seperti mantan narapidana teroris, dan tokoh-tokoh yang turut menyebarkan ideologi ekstrem. Sangat penting juga bagi aparat berwenang memperlakukan tersangka dan terpidana teroris secara adil, manusiawi dan transparan untuk menghindari dorongan balas dendam yang dapat memperpanjang siklus terorisme. Dengan demikian diharapkan reproduksi aktor dan jaringan terorisme dapat dihentikan.
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
B A B
T I G A
Kekerasan dan Provokasi Perdamaian Peristiwa kekerasan (fisik) keagamaan terus terjadi hingga tahun 2011. Aksi-aksi kekerasan ini menjadi salah satu perhatian utama sejak Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2008. Praanggapan kami adalah bahwa ketegangan antarumat beragama sendiri wajar terjadi sebagai konsekuensi dari kemajemukan dan kebebasan beragama; yang tidak wajar dan perlu ditangani dengan serius adalah ketika terjadi kekerasan. Jika aksi-aksi kekerasan tidak terjadi lagi, hubungan antarumat beragama di Indonesia dapat dikatakan semakin dewasa. Kenyataannya, sepanjang tiga belas tahun sejak Reformasi, aksi-aksi kekerasan masih saja terulang setiap tahunnya dan, yang lebih mengkhawatirkan, ada isyarat peningkatan kuantitas dan kualitasnya— misalnya dalam hal jatuhnya korban jiwa. Sebagian besar kekerasan yang melibatkan komunitas-komunitas agama dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, dan sayangnya tidak mampu secara efektif ditangani atau bahkan dicegah oleh negara. Di sisi lain, sebagaimana dipaparkan di bagian kedua di bawah, sementara ada banyak kritik atas cara negara menangani kekerasan dan potensi kekerasan, kita juga melihat bahwa dalam masyarakat ada banyak upaya untuk membangun perdamaian. Upaya tersebut tak akan sepenuhnya efektif jika negara tak menjalankan tugasnya untuk menjaga penegakan hukum dan ketertiban. Namun adanya gerakan yang telah cukup mengakar untuk membangun perdamaian di banyak tempat di Indonesia, dapat menjadi
dasar optimisme. Dalam situasi-situasi konflik, kekuatan ini bangkit dan tampil lebih jelas. Bagian kedua bab ini membahas upayaupaya tersebut, baik yang berwujud tindakan maupun pengembangan ide untuk membangun kerukunan yang tidak semu.
Kekerasan, Peristiwa yang Terus Membebani Bangsa Dalam Laporan Tahunan sebelumnya kekerasan tidak masuk sebagai suatu bab tersendiri, tapi tersebar di bab-bab lain. Laporan Tahunan 2011 ini menempatkan kekerasan dalam bab tersendiri, walaupun di sub-bab lain juga terdapat pembahasan mengenai kekerasan, terkait dengan isu-isu spesifik seperti tuduhan penodaan dan masalah di seputar rumah ibadah. Pilihan ini terutama dikondisikan oleh tiga kasus kekerasan yang terjadi dalam waktu yang berdekatan di awal 2011, yaitu di Pandeglang, Pasuruan, dan Temanggung. Tujuannya ingin mengetahui pola kekerasan dan penanganannya sampai proses pengadilan atas pelaku-pelaku kekerasan tersebut, agar kemudian dapat memberikan rekomendasi yang berarti untuk mengurai masalah. Laporan tentang kekerasan ini banyak memanfaatkan data yang disusun oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada bulan Mei 2011 atas tiga peristiwa tersebut. Di samping itu, sebagaimana bagian-bagian lain dari Laporan ini, bagian ini juga memanfaatkan data pemberitaan dari media massa yang dipilih. Dari ketiga kasus kekerasan yang dikaji,
61
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
perhatian terbesar diberikan pada peristiwa kekerasan di Cikeusik, Pandeglang karena alasan perhatian pada jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa itu. Aksi kekerasan di Cikeusik
Peristiwa ini terjadi di sekitar rumah Ismail Suparman, tokoh Jemaat Ahmadiyah Indonesia(JAI) di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kecamatan Cikeusik terletak di selatan Banten dan terdiri dari 14 desa. Ahmadiyah mulai masuk ke Cikeusik pada tahun 1992. Pada tahun 1994 seorang penganut Ahmadiyah, Khairuddin Barus, memperkenalkan ajaran Ahmadiyah kepada Suparman. Awalnya Suparman menolak keras ajaran Ahmadiyah, tetapi akhirnya dia balik arah masuk menjadi anggota Ahmadiyah. Kemudian Suparman belajar ke Filipina dan kembali ke Desa Umbulan pada tahun 2009 menjadi mubaligh ‘pendakwah’ Ahmadiyah. Setelah kepulangan Suparman, semua keluarga Suparman masuk Ahmadiyah. Sampai waktu itu jumlah penganut Ahmadiyah di Desa Umbulan berjumlah 25 orang. Penyerangan massa ke rumah Suparman terjadi pada tanggal 6 Februari 2011. Sehari sebelumnya, pihak Polres Pandeglang dan Polsek Cikeusik mengevakuasi Suparman, istri, anak dan seorang yang disebut sebagai sekretarisnya, Atep Suratep, untuk tujuan keamanan. Karena rumahnya kosong, Suparman meminta bantuan kepada Pimpinan Pusat JAI untuk menjaga rumah dan asetnya. Karena itulah 16 warga Ahmadiyah datang dari Jakarta dengan naik dua mobil pada pagi hari tanggal 6 Februari. Ketika mereka datang sudah ada lima warga Ahmadiyah lain yang berada di situ. Sekitar pukul 9:30 WIB pada hari itu juga Kanit Intel Polsek Cikeusik memberitahu kepada warga Ahmadiyah di rumah Suparman bahwa akan ada penyerangan massa. Polisi pun meminta mereka meninggalkan rumah tersebut. Namun karena masih merasa lelah setelah perjalanan dari Jakarta dan mereka juga merasa tidak bersalah, warga Ahmadiyah tersebut memilih tetap bertahan di rumah Suparman. Awalnya sejumlah puluhan hingga kemudian sekitar 1.400 penyerang tiba secara bertahap ke lokasi peristiwa kira-kira pukul
62
10:45 sampai pukul 15:00 WIB. Sementara itu ketika terjadi penyerangan tersebut hanya terdapat sekitar 65 personil polisi. Para penyerang datang dari tiga kabupaten, yaitu Pandeglang, Rangkas, dan Serang. Mereka datang atas seruan beberapa kiai, terutama kiai Ujang. Pita biru yang dipakai oleh sebagian penyerang sebagai identitas juga merupakan saran dari seorang kiai. Persenjataan yang mereka bawa adalah golok, kayu, dan batu. Ketika massa mulai menyerang di rumah Suparman, sebenarnya Kapolsek sempat menghadang penyerang, tetapi tidak berhasil. Di sisi lain dua peleton Pasukan Pengendali Massa (Dalmas) juga tidak turun tangan secara langsung melakukan penghadangan, tetapi hanya berlalu lalang di jalan depan lokasi peristiwa. Setelah menghujat penganut Ahmadiyah, massa mulai melakukan pelemparan batu. Sekitar 15 menit awal warga Ahmadiyah dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi karena jumlahnya tidak imbang, mereka melarikan diri ke belakang rumah. Lima orang warga Ahmadiyah, Deden, Bebi, Ferdiaz, Abdurahim, dan Apip, yang lari ke arah sawah sejak awal sudah kewalahan dan sebagian terluka parah. Beruntung mereka dapat diamankan oleh beberapa polisi dan dibawa ke rumah sakit/ Puskesmas dengan mobil ford ranger dan sepeda motor. Tetapi tidak demikian dengan nasib tiga penganut Ahmadiyah lainnya yang akhirnya meninggal dunia. Tiga korban meninggal dunia tersebut adalah Roni Pasaroni (35 th, asal Jakarta Utara), Tubagus Candra Mubarok Syafai (34 th, asal Bogor), dan Warsono (31 th, Jakarta Utara). Sebelum meninggal para penyerang membacok tubuh ketiga korban berulangulang dan melemparinya dengan batu. Setelah meninggal, mereka juga masih dilempari batu, bata, atau bongkahan aspal serta dilempar ke pagar dan selokan. Hasil otopsi RSUD Serang menunjukkan luka akibat benda tumpul dan tajam di tubuh Roni sebanyak 50 luka, Tubagus 48 luka, dan Warsono 31 luka. Ketiganya juga mengalami retak tulang kepala dan pendarahan di otak. Selain itu ada empat korban luka-luka serius (termasuk ada yang luka-luka sekujur tubuh, luka bacok, dan pendarahan mata) dan sepuluh korban luka-luka lain.
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
Aksi kekerasan di Temanggung dan Pasuruan
Berselang sehari dari kekerasan di Cikeusik, pada 8 Februari 2011 terjadi kekerasan yang melibatkan unsur keagamaan di Temanggung, Jawa Tengah. Persis seminggu setelah itu, 15 Februari, kekerasan terjadi lagi di Pasuruan, Jawa Timur. Pada akhir Oktober 2010, seorang penginjil bernama Antonius Richmond Bawengan asal Duren Sawit, Jakarta Timur datang ke Temanggung dan tinggal di rumah kerabatnya di Desa Kranggan, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung. Di desa tersebut, Richmond menyebarkan buku ke rumah-rumah warga. Sebagian warga dan pengurus RT di Dusun Kenalan Desa Kranggan melaporkannya ke Polsek dengan tuduhan penistaan terhadap agama Islam. Akhirnya kasus tersebut disi-
Berapa jiwa lagi yang harus menjadi korban di masa depan apabila polisi sering terlambat dan tidak profesional?
dangkan di Pengadilan Negeri Temanggung. Menurut sebagian pihak Kristen, sebenarnya buku tersebut juga menyinggung perasaan umat Kristen dan Katolik lain. Namun hanya sebagian umat Islam yang melaporkan. Persidangan pertama diselenggarakan pada tanggal 13 Januari 2011. Sidang keempat yang diadakan pada tanggal 8 Februari 2011 untuk pembacaan vonis banyak didatangi massa pengunjung. Polisi memeriksa semua pengunjung yang akan masuk ke dalam ruang persidangan. Pihak kepolisian mengamankan persidangan dengan mengerahkan sekitar 700 personil. Hakim membacakan vonis dan menutup persidangan sekitar pukul 10:00 WIB dengan hukuman maksimal sebagaimana tuntutan Jaksa, yaitu hukuman penjara lima tahun.
Sebagian pengunjung menginginkan hukuman lebih dari itu, termasuk hukuman mati. Tidak berselang lama setelah persidangan kasus penistaan agama itu selesai, sebagian massa dengan naik truk, mobil, dan sepeda motor menuju pusat kota dan menyerang empat tempat milik lembaga Kristen dan Katolik. Pertama, GPDI Temanggung. Di gereja ini massa merusak 3 mobil milik gereja dan jemaatnya, serta 6 motor milik gereja, pekerja gereja dan aparat. Kedua, Shekinah Christian School yang di dalamnya juga terdapat Gereja Bethel Indonesia (GBI). Di sekolah tersebut massa membakar enam motor, memecahkan kaca, dan membakar beberapa aset sekolah seperti kantin, meja, dan loker. Ketiga, GPDI Tego Wano. Di gereja ini massa merusak sepeda motor dan beberapa fasilitas gereja seperti memecahkan kaca, merusak alat musik keybord-drum, kursi, dan lain-lain. Keempat, gereja Katolik Santo Paulus. Di gereja ini massa memecahkan kaca, merusak peralatan multi-media, alat musik organ, dan peralatan ibadah. Selain itu mereka juga memukul seorang pastor di gereja itu. Massa melakukan penyerangan di empat tempat kejadian ini. Mereka melakukan aksinya cukup singkat, antara lima sampai dua puluh menit. Jumlah massa berkisar antara puluhan sampai seratusan orang dengan persenjataan seperti bom molotov, pedang, parang, dan batu. Massa yang menyerang GPDI memakai ikat kepala hitam. Sedangkan aksi kekerasan di Pasuruan berupa penyerangan massa dari kelompok Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang beraliran Sunni terhadap Pondok Pesantren Al-Ma’hadul Islam di bawah naungan Yayasan Pesantren Islam (YAPI) yang beraliran Syi’ah. Ketegangan antara kelompok Aswaja dan Pesantren YAPI telah terjadi sejak sekitar tahun 2007. Pihak YAPI telah melaporkan gangguan-gangguan atas pesantrennya sejak lama kepada Bupati namun tidak mendapatkan tanggapan berarti. Ketika kelompok Aswaja mengadakan pengajian, sebagian massa yang didominasi anak muda tidak jarang melakukan konvoi melintasi jalan di depan pesantren YAPI dan meneriakkan kesesatan aliran Syi’ah yang dianut oleh YAPI.
63
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Setelah mengikuti pengajian di daerah Singosari Malang dengan penceramah Habib Muchdor Alhamid, sebagian massa pulang berkonvoi melintasi Pesantren YAPI. Konvoi dengan sepeda motor tersebut diikuti sekitar 100—200 orang. Sebelum terjadi penyerangan, kelompok santri Aswaja yang ikut konvoi dan santri YAPI terlibat olok-olokan paham keagamaan mereka. Kemudian sekitar 30 orang peserta konvoi masuk ke pondok putera dan pondok puteri melakukan penyerangan dan pelemparan batu. Dalam peristiwa ini, enam orang dari pihak Pesantren YAPI mengalami luka-luka. Pihak penyerang juga merusak ruang tamu, pos satpam, dan papan nama pesantren. Lemahnya praktik pengendalian massa
Sebelum membicarakan bagaimana peristiwa kekerasan itu diusut secara hukum, penting kita lihat bagaimana peristiwa itu sendiri ditangani di lapangan. Dalam ketiga kasus yang terjadi pada waktu yang berdekatan tersebut, terjadi mobilisasi massa yang melakukan tindakan perusakan tanpa sanggup dikendalikan polisi. Sekitar ribuan massa terlibat melakukan penyerangan atau memberikan dukungan langsung terhadap penyerangan dalam kasus di Cikeusik; di Temanggung terdapat ratusan massa; dan di Pasuruan puluhan massa terlibat langsung. Terjadinya penyerangan massa sampai jatuh korban nyawa atau kerusakan fisik yang ironisnya masih terus terulang setiap tahun merupakan bentuk kegagalan aparat kepolisian dalam menjalankan prosedur pengendalian massa. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sangat tegas menyebutkan dalam Pasal 4 dan 13 bahwa Kepolisian bertujuan dan bertugas untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Lebih dari itu, Kepolisian juga bertugas menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 5, Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut. Pasal 8—10 Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dengan
64
sangat jelas mengatur prosedur cara bertindak polisi dalam situasi tertib (hijau), tidak tertib (kuning), dan melanggar hukum (merah). Sebenarnya dalam tiga kasus di atas polisi telah melakukan tindakan pengamanan terhadap potensi kekerasan massa yang lebih besar. Dalam kasus Cikeusik, polisi mengevakuasi Ismail Suparman dan keluarganya di Polsek Pandeglang sebelum terjadi penyerangan. Beberapa polisi juga terlihat mengambil inisiasi yang dapat mencegah jatuhnya korban meninggal semakin banyak dalam situasi yang sulit. Di Temanggung, polisi mengamankan pengadilan yang berlangsung dengan menerjunkan sekitar 700 personilnya, memeriksa pengunjung ketika memasuki ruang persidangan, dan mengamankan tersangka atas kemungkinan pengeroyokan massa. Namun, polisi terlihat kalah, canggung, dan sering terlambat dalam menjalankan amanat UU dan peraturan lain yang berlaku itu. Peristiwa yang sangat fatal terjadi ketika polisi terlambat mengirimkan personilnya dalam jumlah memadai dalam kasus Cikeusik, sehingga kekuatan pengamanan polisi jauh lebih lemah dari massa. Ketika eskalasi penyerangan massa meningkat serius, jumlah personil polisi di lokasi kejadian sekitar 65 orang sementara jumlah massa sekitar 1.400 orang. Situasi ini juga diperparah oleh tindakan personil polisi yang tidak dapat kita pahami ketika sebagian dari mereka diam dan tidak mengambil inisiatif melindungi korban dari kekerasan bertubi-tubi yang dilakukan massa. Beberapa diantara mereka terlihat sedang merokok ketika massa menghajar korban. Lemahnya sistem pengamanan polisi dalam situasi merah dan ketidakprofesionalan personil polisi memperparah situasi sehingga jatuh korban jiwa dalam kasus Cikeusik. Berapa jiwa lagi yang harus menjadi korban di masa depan kalau kepolisian sering terlambat dan personilnya tidak profesional? Dalam kasus di Pasuruan, pihak Bupati, pemerintah, dan kepolisian juga terlihat sangat meremehkan situasi yang terjadi. Ketika pihak YAPI telah melaporkan gangguan yang sering mereka terima sejak tahun 2007, tidak ada upaya preventif yang berarti dari pemerintah dan kepolisian termasuk ketika hasutan kebencian muncul
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
berulang dalam ceramah-ceramah keagamaan. Setelah kekerasan terjadi, pihak pemerintah kabupaten Pasuruan malah menganggapnya hanya sebagai “tawuran dua kelompok anak muda”. Sistem pengamanan kepolisian dalam kasus di Temanggung juga tidak tuntas. Meskipun kekerasan tidak berlangsung di tempat persidangan, kekerasan malah tumpah di empat tempat yang tersebar di kota Temanggung. Pencopotan atas Kapolda Banten, mutasi atas Kapolres Pandeglang dan Direktur Intelijen dan Keamanan Polda Banten merupakan tindakan yang perlu diapresiasi. Tetapi tidak berlebih apabila kita juga berharap kepolisian harus melakukan evaluasi dan berbenah
Hasil pengadilan Cikeusik membuat rasa keadilan semakin terusik. Para hakim terlihat canggung mengambil keputusan dalam bayangbayang massa. serius dalam menjalankan amanat UU kepolisian dan peraturan mengenai pengendalian massa. Sebagaimana kerap diakui pihak kepolisian, mereka seringkali memang tidak cukup kuat untuk mengendalikan massa dalam jumlah besar. Dari segi jumlah, secara umum jumlah polisi tidak memadai; dari segi kualitas, baik menyangkut ketrampilan maupun kelengkapan prasarana, mereka juga kekurangan. Tentu hal ini tak dapat menjadi alasan bagi polisi, sebagai wakil negara, untuk hadir dalam peristiwaperistiwa konflik, apalagi yang melibatkan mobilisasi massa dalam jumlah besar. Pada akhirnya hal ini terkait dengan beberapa
kebijakan yang lebih luas, termasuk kebijakan anggaran kepolisian, yang dirasakan tak memenuhi kebutuhan lembaga kepolisian maupun individu-individu polisi untuk peningkatan kuantitas dan kualitasnya. Penguatan profesionalitas polisi akan menjadi unsur penting dalam manajemen keragaman agama. Di sisi lain, khususnya dalam kasuskasus seperti di atas, polisi kerap canggung ketika persoalannya menyangkut agama. Fatwa sesat bagi JAI, misalnya, tak membantu polisi melakukan tugasnya mengamankan pihak minoritas itu ketika berhadapan dengan massa yang merasa didukung oleh lembaga-lembaga keagamaan. Karena itu, dukungan politik dari lembaga keagamaan yang besar seperti NU, Muhammadiyah atau MUI, penting untuk menjadi landasan pekerjaan polisi dalam masyarakat dimana otoritas keagamaan dianggap penting. Demikian pula dukungan politik dari tokohtokoh agama, atau tokoh-tokoh masyarakat umumnya, dari DPR, maupun pejabat yang berwenang. Kenyataannya, dalam hal ini dukungan tersebut kerap lemah juga. Pernyataan seorang menteri yang menyalahkan kelompok yang diserang karena berbeda dari mainstream, justru akan menjadi kontra produktif dalam upaya pengendalian konflik berikutnya. Hasutan kebencian
Dalam peristiwa Cikeusik jelas sekali tampak adanya beberapa orang melakukan hasutan kebencian terhadap kelompok Ahmadiyah melalui ceramah lisan maupun penyebaran pesan pendek (SMS). Dalam kasus di Pasuruan juga demikian, hasutan kebencian terhadap kelompok YAPI diulangulang dalam ceramah keagamaan. Di sisi lain hukum di negeri kita sangat tegas mengaturnya. KUHP Pasal 156a dengan jelas mengatur “Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa penduduk negara Indonesia dihukum penjara selamalamanya 5 tahun”. Lagi, UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Hak Sipil dan Politik Pasal 20 mengatur setiap warga negara memiliki “hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (ke-
65
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
bencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan)”. Meskipun aturan ini harus diterapkan secara hati-hati dan cermat, karena kalau tidak, akan berbenturan dengan hak berekspresi, setidaknya polisi memiliki pegangan yuridis yang kuat untuk melakukan tindakan hukum atau melakukan antisipasi sebelum peristiwa kekerasan (fisik) terjadi. Terlepas dari sikap eksklusif Suparman dan warga Ahmadiyah lain di desanya yang patut dikoreksi, pidato Kepala Desa Umbulan yang dilakukan pada tangga 10 April 2010 bersamaan dengan serah terima jabatannya mengenai ancaman jangan memanggil namanya jika dia tidak dapat membubarkan Ahmadiyah di Desa Umbulan merupakan pidato yang tidak pantas dilakukan oleh seorang Kepada Desa. Pernyataan tersebut diulangi beberapa kali ketika memberikan sambutan dalam pengajian dan acara-acara lainnya. Kepala Desa juga pernah mengatakan dalam sebuah acara warga bahwa dirinya dan Ketua FPI (Front Pembela Islam) telah membuat komitmen untuk melakukan penyerangan. Ironisnya, dalam acara tersebut seorang kiai menambahkan dalam ceramahnya bahwa halal untuk mengalirkan darah orang Ahmadiyah dan semua propertinya. Sekitar tanggal 2 atau 3 Februari 2011 (empat-tiga hari sebelum peristiwa penyerangan) telah beredar luas pesan pendek (SMS) ajakan untuk kompak membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik. Pesan pendek pertama kali beredar sejak tanggal 27 Januari 2011. Pesan-pesan pendek tersebut antara lain dikirimkan oleh H. Ujang (Ketua FPI Pandeglang). Kemungkinan massa tergerak dari tiga kabupaten atas hasutan dari pesanpesan pendek ini yang direproduksi luas. Kepolisian dalam hal ini Kasat Intel telah mengetahui pesan-pesan pendek tersebut, melakukan koordinasi, dan melakukan pendekatan kepada H. Ujang. Namun sehari sebelum penyerangan, ketika dikonfirmasi oleh polisi, H. Ujang mengatakan penyerangan tidak jadi akan dilakukan. Suparman dan keluarganya sempat diamankan untuk menghindari kekerasan, sebuah tindakan polisi yang sangat baik. Namun, penyerangan tetap dilakukan dengan jumlah massa yang sangat besar. Hal
66
ini selain menunjukkan kekalahan aparat pengaman di lapangan, juga memperlihatkan ketidakberanian mereka untuk mengambil tindakan hukum atas setiap hasutan kebencian yang sebenarnya telah memiliki landasan yuridis yang kuat terlepas dari agama dan kelompok dari orang yang melakukan hasutan tersebut. Polisi terlihat canggung ketika harus berhadapan dengan kelompok mayoritas di sebuah wilayah tertentu yang melanggar hukum. Hasutan kebencian serupa meskipun dengan intensitas yang berbeda terjadi dalam kasus Pasuruan. Para penceramah agama dengan leluasa melakukan hasutan kebencian di atas mimbar. Akhirnya anak-anak muda dari kelompok tersebut secara tidak langsung merasa mendapatkan legitimasi keagamaan untuk melakukan penyerangan terhadap kelompok YAPI. Tanpa harus mengurangi kebebasan beragamanya, para tokoh agama sepatutnya belajar untuk bersikap santun dan tidak melakukan hasutan kebencian dalam ceramah-ceramah mereka. Ketidaksetujuan atau perbedaan pandangan yang berdasarkan pada keyakinan agama jelas boleh diungkapkan, namun dakwah tentunya dapat dibedakan dari hasutan. Ketika sampai pada hasutan, yang telah merupakan pelanggaran hukum, adalah tugas polisi untuk menegakkan hukum. Kewaspadaan atas ajakan kekerasan
Pengadilan menetapkan 16 tersangka dalam kasus Cikeusik yang terdiri 12 tersangka pelaku penyerangan, 3 orang aparat polisi, dan 1 warga Ahmadiyah. Sebagian pelaku penyerangan dikenakan pasal tentang tindak penganiayaan secara bersama-sama dan lainnya tindak pidana penghasutan. Ironisnya, Pengadilan Negeri Serang juga mendakwa Deden Sudjana (warga Ahmadiyah, salah satu korban) dengan tuduhan penganiayaan dan melawan perintah petugas. Vonis hakim untuk penyerangan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa itu sangat ganjil: para penyerang dihukum penjara 6 bulan dan ada yang 3 bulan. Padahal pasal dakwaan untuk mereka dapat maksimal 10 tahun atau 12 tahun penjara, meskipun jaksa juga menuntut lebih rendah, antara 5—7 tahun. Di sisi lain, Deden
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
yang menjadi korban juga dihukum penjara 6 bulan. Menyaksikan hasil proses pengadilan kasus Cikeusik membuat rasa keadilan masyarakat di negara hukum ini semakin terusik. Para hakim terlihat canggung mengambil keputusan dalam bayang-bayang tekanan massa. Masyarakat tidak dapat mengambil pelajaran bahwa tindakan kekerasan adalah masalah serius yang harus dihindari oleh siapa pun ketika terjadi konflik apapun di antara mereka. Vonis ringan atas
Narasi-narasi positif sepanjang tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian masyarakat tidak tinggal diam menghadapi peristiwa kekerasan di Indonesia. Inilah yang dapat menjadi modal optimisme pluralisme sivik. kejahatan yang serius ini dikhawatirkan akan menyemai kekerasan-kekerasan lain. Dan memang kekerasan terhadap JAI tidak berhenti, karena seakan-akan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat dapat dimaklumi. Pada pertengahan Agustus 2011 Front Pembela Islam (FPI) menyerang sekretariat JAI di Makassar. Masih sering terjadinya kekerasan karena perbedaan identitas, paham, dan kepentingan keagamaan pada tahun 2011 memberikan sinyal pentingnya kewaspadaan masyarakat dalam merespons setiap ajakan atau hasutan kebencian dan kekerasan
kepada kelompok yang berbeda. Adanya puluhan, ratusan atau bahkan ribuan orang yang dikerahkan untuk melakukan tindakan kekerasan tak serta merta berarti bahwa massa umat beragama itu selalu menyimpan potensi kekerasan. Pengakuan sebagian tersangka kasus Temanggung bahwa mereka mengaku awalnya diajak ikut pengajian menunjukkan bahwa sebenarnya umat beragama rentan dimobilisasi oleh sebagian pemuka agama untuk tujuan yang sebenarnya mereka kurang pahami. Di sisi lain, contoh positif misalnya ditunjukkan oleh pemimpin Anshor NU di Cigeulis dan Cimanggu yang menolak untuk bergabung dalam penyerangan walaupun mereka diolok-olok dan diancam karena tidak mau ikut bergabung. Meskipun mereka tidak sepakat dengan paham Ahmadiyah, tetapi menurut mereka tindakan hukum di lapangan hanya dapat dilakukan oleh aparat yang berwenang. Lebih dari itu, setelah peristiwa penyerangan, pihak pimpinan Anshor mengirimkan Banser dan Anshor untuk melakukan investigasi dan bantuan pemulihan kondisi di lapangan. Tindakan sejenis ini juga dilakukan setelah peristiwa kekerasan di Temanggung. Teladan yang baik menyikapi masalah Ahmadiyah juga ditunjukkan oleh H. Ading Subarna, pengasuh pesantren Roudhatul Jannah, yang walau pun tidak sepakat dengan keyakinan Ahmadiyah, tidak setuju dengan setiap bentuk aksi kekerasan. Selain itu beliau tetap memperlakukan hal yang sama bagi muridmuridnya walau pun mengetahui ada seorang muridnya yang menjadi anggota Ahmadiyah. Di bagian berikut, ada lebih banyak contoh-contoh bagaimana masyarakat Indonesia sesungguhnya cukup kuat menghadapi konflik-konflik, dan memiliki potensi penyemaian perdamaian.
Provokasi Damai Masyarakat Sipil Tidak selalu mudah mencari dasar untuk optimisme ketika yang tampak jelas, dan marak diberitakan media massa, sebagaimana ditampilkan dalam dua bab di atas adalah peristiwa-peristiwa ketegangan, konflik, bahkan kekerasan; akan tetapi berita baik kerap muncul sebagai reaksi atas peristiwa buruk.
67
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Di satu sisi, mungkin hal ini adalah masalah perspektif: bagaimana pun lazim bahwa media, yang menjadi sumber informasi utama, lebih sering menampilkan masalah ketimbang berita baik. Perspektif lain mungkin akan melihat berita-berita buruk itu lebih sebagai anomali dalam gambaran besar kerukunan di Indonesia. Inilah yang kerap dicitrakan pemerintah, dan sampai tingkat tertentu ada benarnya, meskipun jika terlalu sering dilakukan akan lebih tampak sebagai upaya penyangkalan terhadap masalah. Satu hal yang menarik, situasi yang dianggap buruk terkadang justru menampilkan sisi baik masyarakat Indonesia yang terdorong tampil untuk menanggapi situasi itu. Di awal tahun 2011, kekecewaan atas bertumpuknya masalah bangsa yang tak diselesaikan pemerintah justru menjadi pemersatu tokoh-tokoh dari berbagai agama. Pada Januari 2011 itu, sejumlah pemimpin agama tingkat nasional yang terdiri dari Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Franz Magnis Suseno, Djohan Effendi, Andreas A. Yewangoe, Martinus Situmorang, Shalahuddin Wahid, ,I Nyoman Udayana Sangging, Pendeta D. Situmorang, Romo Benny Susetyo dan Bikkhu Pannyavaro Mahathera berkumpul dan menyatakan 18 poin mengenai apa yang mereka anggap sebagai kebohongan pemerintah. Mereka menghimbau agar pemerintah melakukan perubahan mendasar dalam kinerjanya dan tidak sekedar bermain angka. Mereka juga menyediakan kantorkantor organisasi mereka sebagai posko pengaduan masyarakat. Tak mengherankan jika ini menjadi kontroversi dan wakil-wakil pemerintah menolaknya dengan keras. Namun, yang lebih penting, peristiwa itu menjadi ilustrasi betapa masyarakat justru menemukan alasan untuk bersatu dan saling memperkuat ketika pihak-pihak yang berwenang dianggap tak lagi memberikan solusi, namun justru menjadi sumber masalah. Pernyataan bersama para tokoh lintas agama itu mengingatkan adanya tumpukan masalah yang belum diselesaikan pemerintah dalam beragam sektor kehidupan masyarakat, termasuk terkait hubungan antarkelompok agama. Yang menjadi sumber pesimisme sebenarnya bukanlah semata-mata karena kita punya banyak masalah, namun ketika harapan pemecahannya tak dapat lagi
68
digantungkan pada pihak-pihak berwenang yang diharapkan menyelesaikannya. Pernyataan para tokoh lintasagama itu juga menjadi isyarat adanya paradoks: situasi yang tak menggembirakan justru memicu upaya-upaya mandiri masyarakat sipil dalam mencegah, menghadapi dan menanggulangi konflik. Narasi-narasi positif yang terekam sepanjang tahun 2011 dalam bab ini menunjukkan bahwa masyarakat telah belajar banyak dari berbagai peristiwa kekerasan yang menyelimuti Indonesia, dan mereka tidak tinggal diam. Inilah yang dapat menjadi salah satu dasar optimisme. Di tahun 2011 kita melihat begitu besar partisipasi dan solidaritas masyarakat dalam menghadapi konflik dan kekerasan. Dalam beberapa contoh, mereka yang menjadi korban justru berinisiatif untuk ke luar dari lingkaran konflik. Demikian pula hidupnya kembali wacana mengenai Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kemajemukan menjadi bukti bahwa masih ada yang dapat diupayakan untuk memperbaiki situasi. Reformasi 1998 membawa Indonesia ke luar dari masa gelap negara otoriter dan sekaligus menggantinya dengan negara demokratis yang dalam beberapa hal lebih lemah, karena kini kekuasaan dibagi dengan lebih banyak aktor dan kontrol lebih ketat dilakukan, baik oleh pihak-pihak yang bersaing maupun oleh media dan masyarakat. Kelemahan negara ini membuka ruang lebih besar bagi persaingan masyarakat sipil dan kelompok yang tidak civil. Di arena inilah kedua kekuatan itu kini bersaing. Kekuatan masyarakat sipil
Pada Laporan Tahunan 2010, kami secara khusus membahas beberapa ormas Islam, dan melakukan analisis dari segi perannya sebagai bagian masyarakat sipil maupun potensi tak-sipil (uncivil) mereka. Dalam bagian ini ada beberapa contoh ormas lain, baik yang berlatar belakang agama tertentu atau tidak, yang menjadi isyarat kekuatan masyarakat. Contoh pertama yang dapat diberikan adalah apa yang dilakukan masyarakat dan provokator damai di Ambon dalam mencegah meluasnya konflik antaragama pada September 2011. Provokator damai merupakan se-
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
butan bagi kelompok aktivis lintasiman yang bahu membahu menghadirkan narasi-narasi damai untuk mengimbangi pemberitaan media yang cenderung eksploitatif. Peristiwa bermula dari terbunuhnya seorang tukang ojek yang kemudian meluas menjadi kerusuhan antaragama. Menyadari bahwa media dapat berperan penting dalam memperkeruh suasana dengan pemberitaan yang cenderung mengekploitasi konflik ditambah masih kuatnya ingatan masyarakat Ambon akan konflik tahun 1999—2004,
Bukan hanya akar etos perdamaian yang tertanam kuat dalam tradisi, di Indonesia telah lama terbentuk organisasi-organisasi yang bertujuan memperkuat etos tersebut di tengah masyarakat. beberapa aktivis jaringan perdamaian lintasiman dari kelompok Ambon Bergerak berinisiatif untuk melakukan perlawanan media dengan mengimbanginya dengan narasinarasi damai agar konflik tak meluas dan berkepanjangan. Berbagai cerita perdamaian antarkelompok agama dihadirkan ke ruangruang media sosial seperti facebook, twitter dan media lain untuk menggugah rasa persaudaraan dan kemanusiaan. Upaya ini, dan upaya-upaya lain yang dilakukan oleh jaringan LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku) yang berupaya membangun komunikasi terus menerus dan mengklarifikasi isu-isu yang berkembang di lapangan,
terbukti efektif. Konflik pun terlokalisasi sebatas pada kelompok yang saling bertikai. Keberhasilan dalam mencegah meluasnya konflik ini membuktikan bahwa masyarakat Ambon sudah banyak belajar dari konflikkonflik sebelumnya dan telah menjadi cukup kuat untuk tidak gampang terprovokasi oleh pemberitaan media dan luka lama yang mereka alami. Ini adalah salah satu contoh berharga bagaimana upaya perdamaian dilakukan oleh masyarakat sipil. Contoh lain adalah yang dilakukan organisasi Islam lokal di Ponorogo. Pada bulan September 2011, sekitar seribu warga NU Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari Gerakan Pemuda Ansor, Banser, PMII, IPNU, serta IPPNU yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Radikalisme (AMAR) melakukan demonstrasi menolak keberadaan radio MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) yang dinilai mengajarkan paham radikal. Sebelumnya pada bulan Mei 2011 di Kabupaten Purworejo puluhan ulama NU mendatangi kantor DPRD setempat untuk menyampaikan penolakannya terhadap segala bentuk aktivitas dakwah MTA yang dinilai tidak menghormati tradisi warga Nahdiyin secara umum. Langkah ini dilakukan untuk menghindari bentrok fisik antara warga NU dengan aktivis MTA. Di tempat-tempat lain masyarakat semakin waspada terhadap ancaman perpecahan dengan semakin kritis terhadap para penceramah yang dianggap keras, seperti yang terjadi di Balikpapan Agustus 2011 lalu. Salah seorang jemaah salat Jumat mengirimkan nota protes ke Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) dan ditembuskan ke seluruh unsur Muspida Balikpapan berkenaan dengan isi khutbah yang dinilai terlalu keras dan tidak etis. Pihak pengurus masjid pun berjanji untuk semakin selektif dalam memilih penceramah. Kekerasan beruntun di bulan Februari yang menimpa kelompok-kelompok minoritas di beberapa tempat, seperti Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Kristen dan Katolik di Temanggung, dan Syi’ah di Pasuruan, memunculkan aksi-aksi protes dan solidaritas dari berbagai organisasi keagamaan di berbagai tempat. Di Jakarta, beberapa organisasi pemuda lintasagama yang terdiri dari PP Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Katolik, Gerakan Angkatan Muda Kristen In-
69
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
donesia, Generasi Muda Konghucu, Pemuda Hindu Dharma dan Gema Buddhis, aktif mengawal proses penanganan kekerasan yang terjadi di beberapa daerah, khususnya Cikeusik, Temanggung dan Pasuruan. Selain menyatakan menentang tindak kekerasan atas nama agama, mereka juga menghimbau para anggotanya untuk tidak terprovokasi oleh tindakan-tindakan anarkis yang terjadi. Tak hanya di Jakarta, hal yang hampir sama dilakukan oleh pemuda Wonogiri. Tujuh organisasi massa kepemudaan di Kabupaten Wonogiri (GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, organisasi-organisasi pemuda Katolik, Kristen, Pemuda Pancasila, Pemuda Hindu, serta Buddha) mendeklarasikan Aliansi Kebangsaaan Wonogiri (AKW). Mereka memberi pernyataan mengutuk keras anarkisme apapun lebihlebih atas nama agama, menuntut pihak berwajib untuk mengusut tuntas kasus Temanggung dan Pandeglang, serta menghimbau semua pihak untuk bersikap arif dan tak terpancing dengan kondisi anarkis yg terjadi. Dari bagian Indonesia yang lain, di Makassar misalnya, Aliansi Persaudaraan untuk Keadilan dan Demokrasi Sulawesi Selatan yang terdiri dari gabungan 17 aktivis muda lintasagama (Lakpesdam NU, PMII Makassar, Walhi Sulsel, PMKRI Makassar, GMKI Makassar, dan sebagainya) menuntut agar peraturan-peraturan pemerintah yang dinilai memberi peluang perlakuan diskriminatif bagi sekelompok warga, dan peluang melakukan tindak kekerasan bagi kelompok lain segera dicabut. Mereka menyebut beberapa regulasi, seperti UU PNPS No. 1 Tahun 1965, PBM 2006 yang mengatur pendirian rumah ibadah, dan SKB 2008 yang membatasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Analisis tentang dampak negatif regulasiregulasi tersebut dapat dan masih diperdebatkan, tetapi yang dicatat di sini adalah bahwa perlakuan diskriminatif negara dan tindak kekerasan suatu kelompok masyarakat tidak dapat dibiarkan. Sementara itu, di Yogyakarta, masih terkait dengan kerusuhan Cikeusik dan Temanggung, sejumlah tokoh agama dan pemuda lintasagama menggelar dialog lintasiman di aula pondok pesantren Asrama Perguruan Islam (API). Dialog ini dihadiri
70
tokoh berbagai agama dan organisasi keagamaan pemuda. Tak lama setelahnya pada 4 Maret, beberapa tokoh dari lima agama dan Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai) yang terdiri dari perwakilan 48 lembaga kemasyarakatan, organisasi masyarakat, LSM, pusat studi, dan perorangan berikrar mengukuhkan Jogja sebagai kota toleran. Aksi keprihatinan juga dilakukan di Semarang, umat lintasagama menggelar aksi seribu lilin untuk perdamaian sebagai bentuk keprihatinan atas gejolak sosial yang mengatasnamakan agama. Di Solo, pascapeledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) September lalu, sejumlah Banser NU bersama polisi turut mengamankan gereja GBIS dan gereja-gereja lain di Solo demi menjaga ketenangan jalannya peribadatan. Selain itu, menanggapi peristiwa bom Solo ini, tokoh-tokoh Muslim dari NU, Muhammadiyah dan MUI menyerukan agar ormas-ormas Islam bersama-sama meluruskan makna jihad yang telah dimaknai secara sempit oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membenarkan aksi-aksi kekerasan mereka. Reaksi-reaksi langsung itu sangat dimungkinkan terjadi karena sesungguhnya telah ada tradisi cukup panjang dalam masyarakat untuk menjaga etos hidup bersama. Bukan hanya soal etos yang mengakar dalam tradisi, di Indonesia telah cukup lama pula terbentuk organisasiorganisasi yang memang bertujuan memperkuat etos itu dalam masyarakat di tengah upaya-upaya melemahkannya dan di tengah peristiwa-peristiwa yang dapat dengan mudah menyulut ketegangan antarkelompok. Contoh baik untuk ini adalah organisasiorganisasi lintasiman dan jejaringnya. Organisasi-organisasi ini tidak hanya berperan sangat besar dalam menjembatani dialog antariman di Indonesia tetapi juga dalam menumbuhkan dan menjaga optimisme para pegiat perdamaian di tengah kekerasan keagamaan yang tak selalu ditangani dengan baik oleh negara. Satu organisasi yang perlu disebut adalah Dian Interfidei, yang pada Oktober 2011 merayakan ulang tahunnya yang ke-20 di Yogyakarta. Diusianya yang cukup panjang ini, Interfidei, sebuah organisasi
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
lintasiman nonpemerintah tertua di Indonesia, telah berhasil menyemai organisasiorganisasi lintasiman di berbagai daerah dan membangun jaringan yang cukup kuat, sebagaimana tampak dalam perayaan ulang tahunnya. Peserta, yang sebagian besar adalah anggota jaringan yang telah dibinanya selama dua dasawarsa itu, datang dari seluruh penjuru Indonesia. Pengembangan kerjasama antariman tak hanya dilakukan di daerah-daerah, tapi gerakan ini juga berkembang memasuki sektor-sektor yang beragam. Beberapa tahun terakhir,
Rangkaian peristiwa konflik dan kekerasan sepanjang 2011 menjadi momentum untuk menghidupkan Pancasila yang masih dipercaya dapat menjadi perekat perbedaan yang membentuk Indonesia.
Interfidei telah bergerak juga dalam upaya antariman untuk menanggapi krisis lingkungan. Sektor lainnya adalah pendidikan sekolah. Salah satu program organisasi ini terkait pendidikan agama adalah workshop pendidikan transformatif bagi guru-guru agama se-Indonesia. Program ini telah menghasilkan organisasi kecil bernama Forum Komunikasi Guru-guru Agama yang terdiri dari guru-guru SMP dan SMA dari berbagai agama. Forum ini menjadi ajang berbagi pengalaman bagaimana mengajarkan agama yang inklusif dan membebaskan kepada anak didik. Program pendidikan untuk guru-guru agama ini menjadi sangat
penting mengingat pengajaran agama baik Islam, Kristen atau pun lainnya di banyak sekolah ditengarai sebagai cenderung eksklusif, bahkan sebagian mengarah pada penumbuhan sikap intoleran. Kegiatan pendidikan masyarakat yang bersifat informal dan kreatif juga tak kalah penting dalam menjaga dan meningkatkan kohesi masyarakat. Misalnya, yang dilakukan Impulse (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies) pada bulan Maret 2011 dengan sekolah Islam rakyatnya. Sekolah yang diikuti oleh berbagai kalangan dari berbagai agama ini menjadi ajang dialog dan klarifikasi berbagai persepsi miring mengenai Islam. Yang masih rutin, kegiatan bulanan grup musik Kyai Kanjeng dan Emha Ainun Najib (Cak Nun) di beberapa kota menjadi ajang dialog agama dan budaya dan memupuk nasionalisme kritis yang melintasi batas-batas agama dan budaya, bahkan bangsa. Kelompok perempuan pun tak tinggal diam dalam mengupayakan kerukunan dan perdamaian di daerah-daerah konflik. Salah satunya Sekolah Perempuan Perdamaian yang digagas Asian Muslim Action Network (AMAN). Melalui sekolah perempuan ini mereka berusaha menyembuhkan luka-luka pascakonflik dan mengembalikan kepercayaan antarwarga yang terpecah akibat konflik. Pada bulan Mei 2010, KOMNAS Perempuan dengan menggunakan jaringan Mahkamah Konstitusi melakukan video konferensi lima kota, yaitu Ambon, Yogyakarta, Medan, Jakarta dan Mataram untuk menyebarluaskan pengalaman perempuan di daerah konflik dalam merawat kebhinnekaan. Selain peristiwa kekerasan berlatar agama, permasalahan lingkungan dan bencana juga ditransformasikan menjadi sarana untuk memperkuat hubungan baik antarumat beragama. Di Yogyakarta, respons atas peristiwa erupsi Merapi di akhir 2010 berlanjut ke 2011, dan menjadi pengantar beberapa dialog antarumat beragama. Dengan mengambil momen World Interfaith Harmony Week, yang pertama kali dilakukan serempak di seluruh dunia pada minggu pertama Februari 2011, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, memfasilitasi
71
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
pertemuan mahasiswa dari berbagai organisasi kerohanian kampus untuk berdialog melalui isu bencana dengan mendiskusikan berbagai isu agama yang muncul pada peristiwa erupsi Merapi, seperti isu kristenisasi pengungsi, kekerasan dalam pengungsian oleh kelompok agama tertentu, dan sebagainya. Di daerah perkemahan lereng gunung Merapi pada bulan April Lentera Anak Bangsa, Konsorsium Penghijauan Area Lereng Merapi (PALM), dan Jaringan Gusdurian menyelenggarakan kemah persaudaraan anak bangsa. Sebanyak 157 pelajar SMA/SMK dan Madrasah Aliyah dari berbagai sekolah dan agama berkumpul untuk menabur benih dan menumbuhkan persaudaraan antarsiswa. Didalam perkemahan ini siswa dengan latar belakang agama dan sekolah yang berbeda dikumpulkan dalam satu kelompok dan berkegiatan bersama mulai dari kegiatan keagamaan, mitigasi bencana, pengenalan evakuasi bencana hingga kegiatan lingkungan. Setiap peserta diwajibkan mengingatkan peserta lain akan kewajiban agamanya masingmasing. Sebelumnya, pada bulan Februari, sebanyak 35 elemen yang tergabung dalam Konsorsium Penghijauan Area Lereng Merapi (PALM) yang diantaranya Uskup Mgr Pujosumarto dari Keuskupan Semarang, Kiai Abdul Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Umahat, putri almarhum Abdurrahman Wahid Alisa Wahid, Bante Pannavaro Sri Mahatera, serta para tokoh dan aktivis lintas agama lainnya melakukan penanaman sebanyak 112.500 bibit tanaman di area seluas 75 hektar di Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta, yang rusak terkena erupsi Merapi. Sementara itu, pada perayaan Idul Adha November lalu, sejumlah biarawati dan 50 umat Katolik lain membantu pelaksanaan kurban yang dilakukan oleh Pesantren Al-Qodir, di desa Wukirsari, di lereng gunung Merapi. Contoh-contoh ini hanya sebagian kecil dari kerjasama antarumat beragama yang terjalin di gunung Merapi. Pada tingkat elit agama, walau pun kualitas FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang tersebar di lebih dari 400 wilayah setingkat Kabupaten dan Provinsi di Indonesia sangat beragam, dan banyak yang
72
dinilai belum efektif menjalankan fungsinya, di beberapa tempat lain upaya-upaya penguatannya telah dilakukan. Di Medan misalnya, sebelum peristiwa kekerasan agama 2011 banyak terjadi, pada Januari FKUB Medan melaksanakan Pelatihan Relawan Kerukunan Pemuda dari perwakilan enam agama. Beberapa bulan sebelumnya FKUB ini juga aktif mengadakan dialog antaragama mengenai ibadah dan rumah ibadah yang bertujuan untuk menambah pemahaman pemeluk agama mengenai konsep ibadah dan rumah ibadah agamaagama lain. Di Kebumen FKUB dan IPNU mengadakan simposium pluralisme yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para siswa SMA dan pemuda. Di Bantul, Yogyakarta, FKUB dan Muspida Bantul mendeklarasikan ikrar damai untuk menjaga iklim yang kondusif dan langkah antisipasi terhadap kerusuhan berbau SARA. Langkah serupa dilakukan FKUB di Kodya Yogyakarta dan Purwokerto, dan Banyumas, sementara di Wonosobo, pemerintah mengadakan saresehan tokoh antaragama dari 15 kecamatan yang ada. Wacana kembali ke Pancasila
Merespons berbagai peristiwa kekerasan berbasis agama, tahun 2011 ditandai dengan menguatnya wacana reaktualisasi dan revitalisasi Pancasila. Perkembangan ini sesungguhnya telah dimulai sejak setidaknya tahun 2004. Ini patut dicatat, karena sebelumnya, akibat sosialisasi Pancasila di masa Orde Baru secara represif, setelah Reformasi ideologi bangsa ini seperti kehilangan reputasinya. Kini Pancasila dilihat kembali dan diharapkan menjadi dasar untuk mempersatukan kelompokkelompok masyarakat yang amat beragam. Wacana ini menguat baik di tingkat pemerintah maupun akar rumput. Hasil survei yang dilakukan pemerintah melalui BPS (Badan Pusat Statistik) menjelang peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2011 menunjukkan 89% masyarakat memandang permasalahan bangsa yang terjadi akhir-akhir ini (seperti konflik antaragama, antaretnis, antarmahasiswa dan pelajar) disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. Oleh karena itu, 79,26 % masyarakat menganggap Pancasila penting
Bab Tiga: Kekerasan dan Provokasi Perdamaian
dipertahankan. Survei yang dilakukan sebelumnya oleh Setara Institute (2008) pada kaum muda perkotaan menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, 78,1 %, menganggap Pancasila sebagai dasar negara terbaik. Survei Lingkar Survey Indonesia (2006) yang terbatas pada responden umat Islam saja, menunjukkan 83% responden menilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara yang cocok untuk Indonesia. Di masa ketika Pancasila sudah tak menjadi ideologi yang dipaksakan oleh negara, dan ada pasar bebas berbagai macam ideologi yang bersaing
Kerinduan untuk kembali pada Pancasila dengan tafsir dan pendekatan yang berbeda menunjukkan bahwa Pancasila masih dipercaya mampu menjadi perekat berbagai perbedaan yang membentuk Indonesia.
di alam kebebasan saat ini, angka ini dapat dipandang menggembirakan. Merosotnya apresiasi terhadap Pancasila secara formal dimulai sejak November 1998, beberapa bulan setelah kejatuhan Soeharto. Sidang pertama MPR era Reformasi memutuskan untuk menghapuskan semua hal yang berkaitan dengan Pancasila karena dinilai sebagai warisan Orde Baru. Ini dilakukan dengan menghapuskan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dinilai sebagai alat in-
doktrinasi versi Orba, penghapusan penggunaan asas tunggal bagi semua organisasi masyarakat dan partai politik, dan penghapusan BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) melalui Undang-undang No. 20 menghapus Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi, menyisakan pelajaran agama dan kewarganegaraan sebagai dua matakuliah umum yang tetap wajib diajarkan. Wacana kembali ke Pancasila selain marak di media massa, juga didukung aksiaksi masyarakat. Di Solo pada bulan Mei, kekecewaan karena pihak keamanan dinilai tak mampu menanggapi aksi-aksi kekerasan dan pembungkaman kebebasan berekspresi oleh kelompok-kelompok tertentu memicu sejumlah budayawan di kota itu untuk membentuk Front Pembela Pancasila. Di Surabaya, Pusat Studi Pancasila menggelar kongres Pancasila untuk ketiga kalinya di bulan Juni. Kongres yang dimulai sejak tahun 2009 itu menyatakan bahwa pada tahun 2011 Indonesia sedang mengalami “Gawat Pancasila” karena Pancasila dibiarkan menjauh dari ranah ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Amandemen UUD 1945 yang di dalamnya memuat Pancasila telah menyisakan 25 pasal asli dengan 174 pasal tambahan. Pasal-pasal tambahan ini dinilai menimbulkan kekacauan sistem kelembagaan dan tidak berfungsi secara optimal, bahkan mengakibatkan tumpangtindihnya peraturan. Di Yogyakarta, pada 19 September, Universitas Gadjah Mada, menggelar seminar Nasional “Pancasila untuk Indonesia dan Dunia” untuk memperingati 60 tahun penganugerahan Doktor Honoris Causa UGM kepada presiden pertama RI, Ir. Soekarno, atas jasanya menggali dan merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Sementara itu di Jakarta, pada peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni, lembaga tertinggi Negara, MPR RI menggelar rangkaian pidato presiden dan mantan presiden RI mengenai Pancasila. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan dua mantan presiden era reformasi yang masih hidup, B.J. Habibie dan Megawati Soekarno
73
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Putri, sepakat mengenai pentingnya Pancasila saat ini sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, dan masing-masing memaparkan visinya mengenai revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila. Di sekitar Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober pun, aksi-aksi untuk memperingati Pancasila marak dilakukan, di antaranya aksi seribu garuda sepanjang 800 meter yang diikuti oleh Siswa dan Guru SMK Taman Siswa Sukoharjo, Solo. Kerinduan untuk kembali pada Pancasila dengan tafsir dan pendekatan yang berbeda menunjukkan bahwa Pancasila masih dipercaya mampu menjadi perekat berbagai perbedaan yang membentuk Indonesia. Rangkaian peristiwa konflik dan kekerasan sejak awal hingga akhir tahun 2011 menjadi momentum yang semakin memperkuat alasan untuk menghidupkan kembali Pancasila.
74
Dalam upaya membangun masyarakat yang demokratis, pluralis dan berkeadilan, Pancasila dapat menjadi rujukan perumusan kebijakan dalam berbagai sektor, dan sekaligus dasar pembentukan konsensus masyarakat. Meskipun demikian, walau pun Pancasila dinilai sangat ideal sebagai kerangka bersama yang dapat menjaga kesatuan Indonesia, banyak kalangan sepakat bahwa ia perlu didemistifikasi, ditafsirkan ulang, diobjektifkan, dan dibersihkan dari sejarah yang pernah dijadikan alat oleh Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya. Di alam demokrasi saat ini, Pancasila kiranya perlu menampilkan wajah barunya—bukan, sebagaimana di masa Orba, dijadikan objek suci yang penafsirannya tergantung pada otoritas tertentu dan tunggal. Tugas menghidupi dan menafsirkan Pancasila di alam demokratis ini menjadi salah satu tugas terpenting Indonesia saat ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara garis besar, gambaran kehidupan beragama tahun 2011 yang muncul di Laporan ini tak berbeda secara signifikan dari beberapa tahun sebelumnya. Hal ini tentu tak berarti berita baik, tetapi mengisyaratkan bahwa dalam beberapa tahun ini belum ada kemajuan yang menggembirakan, atau justru kemunduran dalam beberapa hal. Ada beberapa hal utama yang digarisbawahi dalam Laporan ini. Dari segi isu, dua yang utama dan kerap menjadi masalah masih tetap, yaitu penodaan/ penyimpangan agama dan rumah ibadah. Kedua hal ini menjadi isu utama karena dalam beberapa tahun ini, konflik-konflik di seputar isu itu kerap berubah menjadi kekerasan yang tak tertangani dengan baik.
Kualitas kekerasan yang meningkat Isu kekerasan harus ditekankan di sini, bukan karena modus hubungan umat beragama di Indonesia didominasi oleh kekerasan, namun justru sebaliknya. Sebagaimana berulang kali disampaikan di sini, sesungguhnya apabila kekerasan tidak ada, catatan kehidupan beragama Indonesia tak akan tampak buruk. Kita tak perlu berharap bahwa dalam masyarakat yang sangat beragam, terdiri dari individu dan kelompok
yang berbeda-beda identitasnya, ketegangan atau konflik tak akan pernah terjadi. Akan tetapi selayaknya kita terus mengupayakan agar kekerasan tidak menjadi modus interaksi dalam merespons keragaman itu. Persis itulah yang disampaikan Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010. Namun hanya beberapa hari setelah peluncurannya pada 1 Februari 2011, harapan bahwa pada 2011 kekerasan akan menurun langsung tertolak. Kasus lama terkait Ahmadiyah mencapai tingkat kekerasan baru dengan drastis ketika tiga orang Ahmadiyah terbunuh dengan mengenaskan di Cikeusik, dan minggu berikutnya beberapa fasilitas publik, termasuk gereja, menjadi sasaran amuk massa di Temanggung setelah pengadilan terkait kasus penodaan selesai. Di penghujung tahun, kekerasan lain dengan skala besar, melibatkan pembakaran bangunan pesantren dan memaksa ratusan orang pengikut Syi’ah menjadi pengungsi selama sebulan, terjadi di Sampang, Madura. Inilah yang menjadi sumber kekhawatiran, ketika kasus-kasus kekerasan tidak tertangani atau dicegah dengan baik, skalanya akan terus meningkat, dan tiba-tiba mengejutkan kita. Jika peristiwa ini terus berjalan, kepekaan kita akan kekerasan pun boleh jadi akan terus menumpul, hingga tibatiba kita dikejutkan lagi dengan tingkat
75
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
kekerasan yang tak terbayangkan sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa kita masih harus terus mencatat bahwa kekerasan masih menjadi bagian dari kehidupan beragama di Indonesia. Terlepas dari penghitungan kuantitas yang tidak dilakukan di sini, kesimpulan kami adalah bahwa kualitas kekerasan semakin meningkat, sementara upaya pencegahan dan penanganannya masih tak dapat diandalkan. Aksi kekerasan massa biasanya tak terjadi secara tiba-tiba. Dalam kasus Cikeusik, sudah ada hasutan untuk kekerasan jauh sebelum peristiwa itu terjadi; kasus Sampang sudah bermula beberapa bulan sebelumnya dan sudah ada ancaman. Sayang bahwa polisi gagal mencegah kejadian yang sebetulnya sudah diisyaratkan cukup lama itu. Selain polisi, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lokal, termasuk organisasi keagamaan, sebetulnya dapat memainkan peran besar untuk meredam situasi (yang sebetulnya sudah dicoba dalam kasus Sampang, namun tak efektif). “Daerah-isasi” konflik “penodaan agama” dan rumah ibadah, dan terorisme
Terkait isu penodaan, kasus utama tetap menyangkut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Selain tingkat kekerasan yang meningkat drastis di Cikeusik, tampak pula gejala pemimpin daerah (gubernur atau bupati) yang semakin berani mengambil inisiatif untuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK) sendiri. Ada yang sekedar secara simbolis mengungkapkan pemihakannya kepada mainstream, dengan mengeluarkan SK yang kurang lebih sama dengan SKB tentang Ahmadiyah pada 2008, ada yang memberikan rincian larangan aktivitas yang tak diberikan SKB itu, ada pula yang melampaui SKB, sebagai kebijakan nasional, dengan secara praktis melarang keberadaan Ahmadiyah. Hal ini terjadi dalam konteks status quo kebijakan di tingkat nasional. Dialog nasional sendiri, yang dilaksanakan pada Maret 2011, tak menghasilkan keputusan baru. Selain Ahmadiyah, beberapa kelompok lain juga menjadi target upaya pelarangan. Kelompok yang menonjol di Aceh adalah Komunitas Millah Abraham. Salah satu
76
rangkaian dari kasus menyangkut kelompok itu adalah dikeluarkannya Peraturan Walikota Banda Aceh dan Peraturan Gubernur NAD tentang ajaran sesat, yang juga berdampak signifikan kepada kelompok lain. Di akhir tahun, peristiwa menonjol lain adalah terkait komunitas Syi’ah di Sampang, Madura, yang juga diikuti dengan wacana untuk menganggapnya sebagai aliran sesat yang layak dilarang, meskipun wacana ini tak berkembang lebih jauh. Cara penanganan yang cukup menonjol adalah pembinaan, untuk mengembalikan mereka ke ajaran yang benar atau mainstream, yang dalam kasus-kasus di atas berarti Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, ini berarti beberapa upaya untuk kembali men-syahadat-kan mereka sebagai tanda kembalinya mereka ke dalam Islam, secara sukarela maupun dalam suasana intimidasi, oleh wakil-wakil pemerintah, bahkan militer, bekerjasama dengan pemimpin atau organisasi keagamaan. Secara langsung atau tidak langsung keterlibatan negara di sini jelas sudah terlalu jauh hingga ke wilayah ajaran agama. Dalam beberapa kasus rumah ibadah, khususnya gereja dan masjid, yang dibahas lebih jauh dalam Laporan ini, kami juga menemukan peran besar kepala daerah— sekali lagi, peran positif maupun negatif. Kasus masalah ibadah dapat selesai dengan keterlibatan pemerintah daerah yang sungguh-sungguh, namun dapat juga berlarut-larut, jika kepala daerah tak bersungguh-sungguh atau justru terlibat dalam konflik, tidak menjadi mediator, justru berpihak ke salah satu pihak. Dari segi wilayah, jumlah kasus terbanyak tetap terjadi di gabungan dua provinsi yang berdekatan, Jabar dan Banten, namun tahun ini ada penyebaran yang lebih merata. Dua perubahan mencolok adalah gabungan Sumatera Utara dan Riau yang memiliki kasus tak kalah banyak dibanding Jawa Barat dan Banten, maupun Jawa Tengah yang cukup menonjol tahun ini. Perubahan lain yang kami catat tahun ini adalah lebih banyaknya masjid yang mengalami kasus. Dari 10 kasus, 4 di antaranya terkait perusakan, penutupan atau pengambilalihan masjid Ahmadiyah oleh kelompok muslim lain. Empat kasus lain terkait konflik lahan, dan satu yang me-
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
libatkan keberatan dari umat lain (Kristen, Kupang). Sedangkan kasus gereja tetap didominasi oleh keberatan dari umat lain (muslim). Dalam semua kasus ini, tak ada kasus yang dapat dengan sederhana disebut sebagai kasus keberatan satu kelompok agama atas kelompok lain atas dasar perbedaan agama, namun selalu terkait dengan beragam faktor lain, di antaranya, seperti disebut di atas, dinamika politik lokal yang melibatkan pemimpin daerah. Beberapa tren yang terjadi dan saling terkait dalam beragam kasus itu adalah negara yang lemah berhadapan dengan masyarakat yang menguat. Ada beberapa contoh kekuatan masyarakat sipil yang bersifat positif, dibahas di bab terakhir Laporan ini. Akan tetapi, dalam kedua kasus utama di atas, kelompok-kelompok masyarakat yang agresif tampak mengalahkan negara. Secara lebih spesifik, kecenderungan ini sering berarti polisi sebagai wakil negara di garis terdepan, yang berhadap-hadapan dengan massa. Banyak kelemahan polisi, dari segi jumlah maupun kemampuan, telah diungkapkan, tapi tentu itu tak selalu dapat menjadi alasan kalahnya polisi dalam berhadapan dengan massa yang melakukan kekerasan. Tak hanya polisi, pada tingkat eksekutif tak tampak pula ketegasan atau kehendak politik kuat untuk secara serius menghadapi masalah-masalah tersebut, yang pada gilirannya melemahkan pula dukungan politik pada polisi. Situasi yang agak berbeda terlihat dalam hal penanganan atas terorisme. Pola tindakan terorisme sendiri tampak berubah. Tidak seperti tindak terorisme sebelumnya, kasus teror bom buku maupun bom di masjid di Cirebon dan gereja di Solo semua berskala relatif kecil. Sasarannya pun bukan lagi warga asing di tempat-tempat seperti kedutaan, namun tampaknya lebih didesain untuk menyerang musuh-musuh lokal atau menumbuhkan kecurigaan. Dari segi aktor, muncul kelompok-kelompok kecil dan namanama baru, namun tak sepenuhnya terpisah dari jaringan lama. Satu hal yang dicatat dalam Laporan ini adalah bahwa sementara di masa lalu isuisu terorisme terpisah dari isu penentangan terhadap Ahmadiyah atau gereja, tampaknya kini ada upaya menghubungkannya. Ke-
lompok-kelompok yang aktif terlibat dalam penentangan Ahmadiyah atau aliran sesat menjadi ladang penyemaian ideologi ekstrem untuk kemudian direkrut menjadi anggota gerakan terorisme itu. Penyerangan tokoh liberal atau yang dianggap memojokkan muslim dalam teror bom buku maupun penyerangan gereja (tanpa alasan jelas mengapa gereja di Solo itu yang dipilih) menunjukkan kecenderungan mengkhawatirkan upaya kelompok teroris memperluas arena untuk meraih simpati lebih banyak kelompok muslim. Tren ini dapat dikatakan perkembangan baru, karena selama ini kedua fenomena tersebut (kelompok muslim yang menentang Ahmadiyah dan beberapa rumah ibadah tertentu dan kelompok teroris) biasanya dianggap berbeda dan terpisah. Upaya membangun kerukunan
Bagian terakhir Laporan Tahunan ini membahas kekerasan dan upaya-upaya kerukunan. Beberapa karakteristik kekerasan yang terjadi pada 2011 sebagaimana dibahas di atas diidentifikasi. Perhatian khusus diberikan pada tugas polisi, baik untuk pencegahan maupun penanganan kekerasan, yang biasanya tak terjadi secara tiba-tiba tetapi sudah diisyaratkan dengan cukup jelas sebelumnya. Sebagaimana disampaikan di atas, dalam situasi kita saat ini, polisi dapat dikatakan menjadi salah satu barisan terdepan dalam menjaga masyarakat yang pluralis. Kekuatan lain yang tak kalah penting adalah masyarakat sipil, yang juga dibahas di akhir Laporan Tahunan ini. Beberapa contoh menunjukkan kekuatan aktual masyarakat sipil, dan ini masih akan terus menjadi modal kuat penjagaan keragaman, saling penghargaan, dan deliberasi serta kerjasama antarkelompok yang merupakan unsur utama dalam pembangunan masyarakat yang demokratis dan beradab. Premis utama Laporan ini, sebagaimana telah diajukan dalam beberapa Laporan sebelumnya, adalah bahwa di luar masalah hukum (dan penegakannya) ada hal-hal lain yang perlu dibenahi dan dikembangkan dalam masyarakat kita. Dalam perspektif pluralisme sivik, hal ini dapat diungkapkan untuk mengembangkan etos kehidupan bersama dalam masyarakat.
77
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
Agama dalam kebijakan publik
Satu kelompok isu lain yang juga selalu menjadi perhatian Laporan Tahunan ini (Bagian Pertama) adalah agama dalam kebijakan publik. Ketika membahas mengenai kebijakan publik, perspektif yang sama, pluralisme sivik, digunakan. Dalam kasus ini, prinsip utamanya bukanlah pemisahan ketat negara dan agama, yang tak terjadi dalam sejarah panjang Indonesia (dan sesungguhnya sebagian besar negara lain di dunia), namun juga prinsip pengakuan keragaman dan nondiskriminasi. Kebijakan publik yang menyangkut satu kelompok agama (terutama dalam hal ini adalah muslim) dapat dipahami sebagai upaya pengakuan akan keinginan untuk mengefektifkan sistem nilai kelompok itu di ruang publik. Namun di sini pun prinsip nondiskriminasi (dan pemaksaan yang dapat berujung pada diskriminasi) menempati posisi penting—baik diskriminasi terhadap kelompok masyarakat lain, maupun (sub)kelompok agama itu sendiri. Dalam Laporan ini, selain mencatat beberapa UU yang khusus terkait muslim (menyangkut zakat, haji dan produk halal), ada pula pembahasan yang menyangkut wilayah domestik, UU perkawinan, juga UU dimana argumen moralitas kerap diajukan, yaitu UU Pornografi. Isu terakhir yang dibahas adalah RUU Kerukunan Beragama yang sempat mengundang debat penting, telah ke luar draf naskah akademik dan RUUnya, namun berakhir antiklimaks, tak sempat dibahas di DPR, bahkan tak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2012. Hal ini mungkin merupakan akhir yang baik untuk sementara, karena UU ini akan menjadi sangat penting dan historis sehingga sebaiknya dipersiapkan dengan baik—yang sama sekali tak tercermin dalam kedua draf yang telah sempat dimasak di DPR itu. Jika sekali waktu rencana ini akan diangkat kembali, kiranya diperlukan kesungguhan yang jauh lebih kuat, dan penelitian yang lebih cermat, sebelum naskah akademik dan RUUnya dibuat.
Ringkasan Rekomendasi Dari penggambaran dan analisis yang telah diajukan di atas, ada beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan,
78
sebagai ringkasan dari rekomendasi yang tersebar dalam setiap bagian Laporan Tahunan ini. 1. Pemerintah pusat, daerah dan polisi: penegakan hukum dan dukungan politik untuk keragaman
Dari keseluruhan Laporan ini, sulit menghindarkan kesan tentang lemahnya negara, yang menjadikan hubungan antarumat beragama dalam beberapa kasus memburuk, menjadi kekerasan yang eskalasinya semakin meningkat. Hal ini terutama terkait dengan dua hal utama, yaitu penegakan hukum dan dukungan politik untuk kebebasan dan kerukunan umat beragama. Kelemahan negara ini tercermin dalam ketidakberdayaan pemerintah pusat, sampai tingkat eksekutif bahkan presiden, ketika berhadapan dengan pemerintah daerah, maupun kelemahan pemerintah pusat dan daerah ketika berhadapan dengan tuntutan kelompok massa yang tampak semakin berani, sebagiannya jelas karena ruang untuk aktivitas mereka yang lebih besar terbuka sebagai konsekuensi demokratisasi. Demi penjagaan kerukunan umat beragama, sudah saatnya ketegasan penegakan hukum dibangkitkan kembali. Ruang luas untuk kebebasan ekspresi, termasuk ekspresi ketidaksukaan, harus dijaga dengan garis yang tegas: bahwa kekerasan, ujar kebencian dan hasutan untuk kekerasan sama sekali tak dapat ditoleransi. Sesunguhnya ruang kebebasan hanya bermakna jika batas itu ditegakkan secara tegas. Dalam hal ini, kekuatan polisi yang berada di garda depan penjagaan itu menjadi sangat signifikan. Kelemahan polisi—baik dari segi kuantitas maupun kualitas—dapat dipahami, tetapi tak dapat terus menerus dijadikan alasan untuk penanganan yang buruk. Dalam banyak hal, sebetulnya kekerasan-kekerasan tersebut bahkan telah dapat diantisipasi. Tentu polisi tak menanggung semua beban kesalahan ketika kekerasan terjadi. Sebagian dari kecanggungan polisi menghadapi ancaman kekerasan massa adalah lemahnya dukungan politik bagi tindakan mereka. Ketika, menanggapi kekerasan atas Ahmadiyah atau Syi’ah, Menteri Agama justru membuat pernyataan yang menegaskan
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
bahwa kelompok-kelompok itu sesat, bahkan perlu dibubarkan, sinyal yang dikirim kepada para penegak hukum itu justru membingungkan. Dalam kasus ini, pertama perlu disampaikan bahwa pemerintah tak selayaknya memberikan penilaian semacam itu—meskipun penilaian itu diklaim sebagai penilaian lembaga keagamaan, bukan pemerintah sendiri. Kedua, dalam situasi ketika kekerasan telah terjadi dan ada ancaman kekerasan lebih lanjut, prioritasnya jelas adalah pencegahan kekerasan, bukan debat teologis tentang benar atau salahnya suatu ajaran. Kesadaran akan prioritas ini juga tampak hilang dalam kasus SK Gubernur Aceh tentang aliran sesat atau pun pernyataan Wakil Gubernur Jatim tentang kemungkinan relokasi kelompok Syi’ah yang diserang. Sungguh memprihatinkan bahwa bahasa sesat (yang menyangkut isi suatu ajaran) maupun relokasi (yang mencerminkan ketakmampuan hidup bersama dalam perbedaan) justru muncul dari pemimpin negara yang diharapkan menjaga hidup bersama dalam masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam. Terkait dengan kasus-kasus rumah ibadah, kita juga prihatin atas tindakan para pemimpin daerah yang dalam beberapa kasus memperkeruh perselisihan kelompokkelompok berbeda agama, bukan menyelesaikannya. Kepentingan politik kepala daerah dalam kaitan dengan konstituennya mengaburkan hal-hal prinsip dalam penjagaan hidup bersama. Kenyataannya, di beberapa tempat kasus-kasus penodaan atau rumah ibadah dapat diselesaikan atau diredam dengan keterlibatan aktif dan positif beberapa kepala daerah. Karena itu, rekomendasi kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun polisi menjadi lebih urgen karena mereka memegang kunci utama dalam penyelesaian masalah, maupun dalam memperburuk masalah. Menyangkut perumusan beberapa kebijakan publik yang dibahas di sini, salah satu isu yang muncul adalah terkait dengan pengakuan adanya individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai yang berbeda. Perbedaan itu terkadang menuntut perlakuan
berbeda terhadap kelompok warga negara tersebut, namun berpotensi mengingkari kesetaraan, dan akhirnya terjatuh pada diskriminasi. Prinsip pengakuan keragaman, kesetaraan warga negara, nondiskriminasi, dan jaminan kebebasan beragama tak selalu berjalan searah, terkadang bahkan berada dalam ketegangan. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif penting untuk terus menjaga agar prinsipprinsip itu tak teringkari. 2. Lembaga keagamaan dan organisasi masyarakat
Di luar negara, organisasi-organisasi masyarakat sipil memiliki dua tugas utama, karena posisinya yang strategis di tengah masyarakat. Pertama, lembaga-lembaga keagamaan, organisasi-organisasi masyarakat, dan tokoh-tokoh agama dapat memainkan peran penting dalam mediasi ketika terjadi perselisihan. Sekali lagi, ada contohcontoh ketika mereka memainkan fungsi ini dengan efektif, khususnya di tingkat lokal, namun juga contoh-contoh ketika organisasi masyarakat menjadi bagian masyarakat tak-sipil. Selain mengambil peran sebagai mediator, lembaga dan tokoh agama juga dapat berperan besar secara politis dengan memberikan dukungan politik pada upayaupaya mencegah dan menangani konflik. Termasuk di sini adalah memberi dukungan kepada polisi, yang sering canggung ketika berhadapan dengan komunitas agama, agar mampu mencegah dan menangani konflik dengan lebih baik. Juga sama dengan kasus kepala daerah, pernyataan-pernyataan teologis yang menyalahkan keyakinan korban, ketika terjadi kekerasan, penting untuk dihindari agar tidak justru mengirim isyarat keliru bahwa kekerasan terhadap korban itu dapat dimaklumi. Sekali lagi, prioritas tangapan atas kasus-kasus yang melibatkan perselisihan antarumat beragama penting dijaga dengan baik: ketika ada ancaman kekerasan atau telah terjadi kekerasan, yang terpenting adalah menjaga keamanan; diskusi teologis dapat dilakukan dengan jauh lebih efektif dalam situasi aman, tanpa intimidasi. Tugas berikutnya, yang bersifat lebih jangka panjang, bukan hanya sebagai reaksi
79
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
atas kasus-kasus tertentu adalah pendidikan masyarakat untuk meningkatkan toleransi dan menumbuhkan sikap yang lebih kondusif untuk pembangunan masyarakat yang saling menghargai keragaman, bahkan, jika mau lebih jauh, bekerjasama untuk kepentingan pencapaian kebaikan bersama. Khususnya terkait komunitas muslim, saat ini ada taruhan besar untuk organisasiorganisasi arus utama yang telah berusia cukup tua, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Mereka adalah garda depan pendidikan masyarakat muslim dalam semua masalah yang dibahas di Laporan ini: kekerasan, terorisme, penodaan agama, rumah ibadah dan kebijakan publik. Dalam semua kajian mengenai Indonesia sebagai negara demokratis dengan populasi muslim terbesar di dunia, kedua lembaga itu selalu disebut sebagai bagian terpenting yang membentuk masyarakat sipil pendukung demokrasi dan sikap positif terhadap keragaman. Meskipun kelompok-kelompok garis keras yang memicu kekerasan dalam berbagai bentuknya dapat diklaim sebagai kelompok kecil, namun mereka dapat saja tumbuh dan menyebabkan kerusakan yang tak proporsional dengan ukuran organisasinya. Jika kecenderungan ini terus dibiarkan, cepat atau lambat umat mereka pun akan terpengaruh. Kegagalan melaksanakan tugas pendidikan umat itu pertama-tama akan mengenai umat mereka sendiri, dan lebih jauh akan memengaruhi wujud Indonesia sebagai negara pluralis dan demokratis. Secara lebih umum, masjid-masjid, gereja-gereja, pura-pura, dan sebagainya, berhubungan langsung dengan umat. Jika dalam bagian mengenai kekerasan ada anjuran agar umat beragama tak mudah terpancing hasutan untuk kebencian dan kekerasan, maka arahnya adalah pada komunitas keagamaan ini. Dalam negara
80
ketika agama memainkan peran penting, seperti di Indonesia ini, pendidikan publik yang dilakukan pemimpin komunitas keagamaan menjadi sangat esensial; terutama, pendidikan untuk mampu terlibat sebagai warga negara yang aktif dan cerdas dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang berpotensi memecah belah, mengungkapkan ekspresi dengan cara-cara yang beradab, termasuk terlibat dalam ikut menentukan arah kebijakan publik dan mengontrol negara, pada tingkat nasional maupun daerah, agar melaksanakan kewajibannya. Dalam situasi Indonesia yang tak terlalu menggembirakan ini, masih tetap ada dasar untuk optimisme. Pada tingkat negara, kita masih melihat beberapa kepala daerah yang mampu bertindak sebagai negarawan, bekerja untuk masyarakat dan berhasil membuat perubahan. Pada tingkat masyarakat, kita juga masih melihat, meskipun tak banyak, contoh-contoh kekuatan masyarakat untuk menanggapi potensi perselisihan dengan baik, justru menjadikannya sebagai alat untuk perdamaian. Jika potensi-potensi positif ini dapat terus dikembangkan, meskipun hal ini sama sekali bukan tugas yang mudah, selain menuntut kerja keras banyak pihak, masih ada harapan bahwa kehidupan beragama di Indonesia memang rukun dan konstruktif—tidak sekedar dicitrakan seperti itu, tetapi memang benarbenar demikian. Pencitraan situasi yang baik, yang kerap dilakukan pemerintah khususnya ketika berhubungan dengan pihak di luar Indonesia, dapat membuat kita menjadi lalai dan abai atas banyak masalah yang masih perlu diselesaikan. Akan lebih baik jika urusan pencitraan itu tidak dijadikan prioritas, tetapi kita mulai dengan pengakuan akan situasi yang masih harus terus diperbaiki, dan kemudian mengupayakan perbaikan itu.
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
Ucapan Terima Kasih
Laporan Tahunan ini dapat selesai berkat bantuan dari banyak pihak, terutama dalam proses pengumpulan data. Publikasi tahunan ini adalah salah satu produk dari Divisi Penelitian, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM yang dikoordinasi Endy Saputro, dengan melibatkan banyak pihak dari dalam maupun luar divisi. Budi Asyhari bertanggungjawab dalam komunikasi dan mengkoordinasi para koresponden lokal di empat wilayah: Sumatera Utara-NAD (Ferry Wira Padang), Papua (Siti Rohmanatin Fitriani), Kalimantan Selatan (Muhammad Iqbal), dan Sulawesi Selatan (Juanto). Kami mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada para koresponden lokal. Dalam tugas pengklipingan dan pengkodingan, beberapa mahasiswa ikut terlibat, meluangkan beberapa jam waktu mereka setiap minggu. Mereka adalah Zuhriah, Zaki Faddad Syarif, M. Abdul Qodir, Yudith Listiandri, Syaiful Arif, Ngatini, Siti Maemunah, Nafisah, Anwar Masduki, Wiwit Kurniawan, dan Rabith Nuriel Haq. Tak lupa beberapa tim website CRCS, di bawah koordinasi Najiah Martiam, Divisi Pendidikan Publik, layak disebut di sini, yaitu Muhyidin Basroni, Angga Yudhiyansyah, Khairul Anam, I Made Arsana Dwiputra, dan Windu Wahyudi Yusuf. Laporan ini memanfaatkan data yang diperoleh dari laporan media nasional dan
daerah sebagai pintu masuk analisis peristiwaperistiwa terkait kehidupan beragama di Indonesia, dan penelitian lapangan mendalam di beberapa tempat, serta beberapa sumber dokumen lain yang diperoleh dari berbagai lembaga studi. Media-media tersebut adalah Suara Pembaruan, Antara Online, Jawa Pos, Kompas, Majalah Tempo, Majalah Gatra, Republika, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, The Jakarta Post, Jakarta Globe, Detiknews.com, Koran Tempo Online, Okezone.com, Metrotvnews.com, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Serambi Indonesia, Analisa, Media Kalimantan, Banjarmasin Post, Tabloid Serambi Ummah dan Radar Banjarmasin, Harian Fajar, Ujung Panjang Ekspres, Tribun Timur, Cenderawasih Pos, Papua Pos, dan Bintang Papua. Sebagai sumber tambahan, peneliti kami melakukan riset lapangan. Riset dilakukan oleh Budi Asyhari di Manado dan Tomohon pada bulan Mei 2011 yang telah dibantu banyak pihak, khususnya para narasumber yang memperkaya data kami, dan untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada mereka semua. Di luar itu semua, beberapa pihak luar juga membantu dalam banyak hal. Kami menyampaikan terimakasih kepada Bapak Slamet Effendi Yusuf dan Bapak Mafri Amir (Ketua Divisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat Jakarta) yang berkenan berbagi hasil survei MUI mengenai rumah ibadah,
81
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
juga Bapak Ifdhal Kasim (Komnas HAM) dan Sdr. Muhammad Isnur (LBH Jakarta) yang memberi keleluasaan kami mengakses data tentang kasus-kasus terkait kehidupan beragama di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan banyak kolega yang kerap menyampaikan bahwa mereka menunggu terbitnya publikasi ini menambah semangat kami menyelesaikannya. Untuk memperkaya dan mempertajam analisis, beberapa pengajar dan peneliti CRCS terlibat dalam diskusi rutin Laporan Tahunan ini, yaitu Agus Indiyanto, Syamsul Maarif, dan Fatimah Husein. Para staf CRCS lain juga memiliki andil dalam laporan ini: Linah Pary (office manager), Nurlina Sari (bendahara), Maria Ingrid (international student and scholar host), Farida Arini dan Widiarsa (pustakawan), Anggun Gunawan (web-admin), Agus Catur Suprono, Helmi Kurniawan, dan Bibit Suyadi. Penerbitan Laporan Tahunan ini adalah bagian dari Pluralism Knowledge Programme yang dirintis sejak 2008, yang merupakan
82
program kolaborasi internasional antara lembaga akademik dengan organisasi masyarakat sipil di empat negara, yakni: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/ CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM; Center for the Study of Culture and Society (Bangalore, India); Cross-Cultural Foundation of Uganda (Kampala, Uganda), dan didukung oleh Kosmopolis Institute, University for Humanistics dan Hivos (Belanda). Selain Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, yang telah diproduksi 2008 – 2011, program ini telah menghasilkan beberapa monografi penelitian tentang pluralisme kewargaan di Indonesia, yaitu Pluralisme Kewargaan, Kontroversi Gereja di Jakarta, Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan R e s i s t e n s i d i S M U N d i Yo g y a k a r t a , Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan serta beberapa serial monografi serial tentang pluralisme kewargaan lain yang akan diterbitkan segera.
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
83
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011
84
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia telah diterbitkan sebanyak empat kali, setiap awal tahun, sejak tahun 2009. Laporan-laporan tersebut mengkaji beberapa masalah utama dalam kehidupan beragama di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan keragaman agama oleh negara maupun masyarakat. Laporan ini berusaha menilai perkembangan positif maupun negatif dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Sejak laporan yang pertama, beberapa isu yang menjadi fokus adalah agama dan kebijakan publik, hubungan antar maupun intrakomunitas agama, konflik dan kekerasan menyangkut masalah-masalah keagamaan, maupun agama dalam pemilihan umum. Selain analisis, laporan-laporan tersebut mengajukan rekomendasi untuk pemerintah, organisasi keagamaan, partai politik, tokoh agama, maupun beberapa pemangku kepentingan lain. Laporan-laporan terdahulu dapat diunduh dari crcs.ugm.ac.id/annualreport, atau dengan menghubungi email
[email protected]
Program Studi Agama dan Lintas Budaya
Center for Religious & Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies atau CRCS) adalah program S-2 di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia yang didirikan pada tahun 2000. Tiga wilayah studi yang menjadi fokus pengajaran dan penelitian di CRCS adalah hubungan antaragama, agama dan budaya lokal, dan agama dan isu-isu kontemporer. Melalui aktivitas akademik, penelitian dan pendidikan publik, CRCS bertujuan mengembangkan studi agama dan pemahaman mengenai dinamika kehidupan agama dalam isu-isu kemasyarakatan, untuk pembangunan masyarakat multikultural yang demokratis dan berkeadilan. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia telah terbit empat kali sejak awal 2009. Informasi lebih lanjut mengenai CRCS dapat dilihat di http://www.crcs.ugm.ac.id.
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55281 Phone/Fax: +62.274.544976 http://www.crcs.ugm.ac.id
email:
[email protected]
ISBN: 978-602-96257-8-3