PERANAN DAN FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN DESA TAHUN 2011 DI DESA MALANG RAPAT KECAMATAN GUNUNG KIJANG KABUPATEN BINTAN KUSTIAWAN Dosen Tetap Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji. E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mempokuskan pada permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah Peranan dan Fungsi Badan Permusyawaratn Desa (BPD) Dalam Demokratisasi Pemerintahan Desa Tahun 2011 di Desa Malang Rapat? 2) Faktor kendala apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan peranan dan fungsi BPD di Desa Malang Rapat dan bagaimanakah penyelesaian kendala dihadapi BPD dalam proses demokratisasi di Desa Malang Rapat?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu Pertama, Mendeskripsikan peranan dan fungsi BPD di desa Malang Rapat. Kedua, mengetahui kendala yang dihadapi BPD dan penyelesaiannya dalam pelaksanaan proses demokratisasi di desa. Kemudian luaran yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk peranan dan fungsi BPD sebagai wadah pembangunan demokratisasi di desa. Metode yang akan dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan tinjauan pustaka. Sumber-sumber yang kemudian menjadi respoden data penelitian ini adalah a) Kepala Desa, Sekretaris Desa, Ketua BPD, Anggota BPD , tokoh Masyarakat, Ketua RT, Warga Masyarakat. (b) Data Sekunder yaitu pelengkap yang terdiri dari literatur-literatur, antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 72 tahun 2005 Tentang Desa, dan Peraturan pelaksana lainnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, BPD dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai penyalur aspirasi masyarakat sudah berjalan dengan baik. Meskipun masih ada aspirasi masyarakat yang belum bisa direalisasikan. Hal ini lebih disebabkan karena kurangnya pemahaman dari masyarakat mengenai fungsi dan peranan BPD dan adanya perbedaan cara pandang antara BPD dan pemerintah desa serta masyarakat. Kedua, Pemahaman masyarakat yang kurang dan minim mengenai fungsi dan peranan BPD. Ketiga, Sebagian besar anggota BPD mempunyai pekerjaan tetap diluar pekerjaannya sebagai anggota BPD. Sehingga anggota BPD dalam meluangkan waktunya untuk masyarakat dan tugasnya kecil. Keempat, Fasilitas operasional dan sarana prasarana yang tidak memadai. Kelima, Pola hubungan kerja sama BPD dengan pemerintah desa yang tidak terbuka dan tidak profesional. Penyelesaian kendala yang dihadapi BPD adalah A) Anggota BPD mengadakan rapat rutin dengan masyarakat untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang demokratis, terbuka, yaitu musyawarah. B) Pemerintah pusat dan Kabupaten mengusahakan pendapatan/insentif yang diterima anggota BPD ditingkatkan sesuai standar upah minimun daerah, mempersiapkan kantor permanen BPD dan balai pertemuan. C) BPD melakukan pelatihan bagi masyarakat dan pemerintah desa untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan peranan BPD. E) Pola hubungan kerja sama anggota BPD dengan pemerintah desa dan lembaga kemasyarakatan seperti RT, RW, PKK, dan lain-lain dilakukan dengan saling berkoordinasi dan membangun budaya demokrasi yang sehat.
1
Dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran: A) Peningkatan pola hubungan komunikasi antara anggota BPD dan masyarakat sebaiknya harus dilakukan secara intensif dan terkoordinasi dengan terjun langsung ke tengah masyarakat mendengar keluhan masyarakat. B) Pemerintahan daerah diharapkan memberikan pendapatan/insentif yang diterima BPD sesuai dengan standar upah daerah, memperhatikan fasilitas operasional dan sarana prasarana seperti kantor permanen BPD dan balai pertemuan, C) anggota BPD sebaiknya lebih sering berkoordinasi dengan melakukan inisiatif awal mengadakan rapat musyawarah dengan kepala desa dan perangkatnya. BPD diharapkan dapat menyelesaikan kendala yang dihadapi BPD seperti mekanisme kerja yang kurang terbuka diantara BPD dan pemerintah desa. Kata Kunci : Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Demokratisasi, Pemerintah Desa
I. PENDAHULUAN Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan di negeri ini, disamping integrasi nasional, korupsi, partai politik, dan kohesi nasional. Kalau kita lacak perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi, ternyata peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah sudah mengalami perubahan sebanyak 8 (delapan) kali1, sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004, hanya dalam rentang waktu 65 tahun menunjukan permasalahan otonomi daerah yang begitu kompleksitas. Dari 8 (delapan) Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, hanya UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dibuat pemerintahan Suharto yang berlaku paling lama yaitu 24 tahun dengan kawalan tangan besi Presiden Suharto. Pada saat itu, pusat sangat mendominasi terhadap daerah baik dari segi kewenangan maupun perimbangan keuangan pusat - daerah. Melihat kenyataannya pada masa lalu, proses demokratisasi hampir sulit dijumpai atau ditemui. Maka dalam era otonomi daerah ini semestinya kita mencoba mengembangkan kehidupan masyarakat yang demokratis, dimana setiap orang mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan sama untuk bereksperesi, berpendapat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, yang menarik 1
Peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud sebanyak delapan kali mengalami perubahan itu adalah UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004.
2
kemudian bagaimana meletakkan desa dalam desentralisasi dan demokrasi. Desa, sebagai basis kehidupan masyrakat akar-rumput , mempunyai dua wilayah berbeda tetapi saling berkaitan. Pertama, wilayah internal desa, yang secara politik menunjuk pada relasi antara pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), institusi lokal, dan warga masyrakat. Kedua, wilayah eksternal desa, yaitu wilayah hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (pusat, propinsi, kabupaten dan kecamatan) dalam konteks formasi negara yang hierarkhis-sentralistik. Dua wilyah desa itu merupakan titik masuk krusial pembaharuan desa yang sekarang paralel dengan agenda besar reformasi politik. (Karim, (Ed), 2006: 257) Dalam wilayah internal desa, dahulu sebelum reformasi istilah BPD dinamakan Badan Perwakilan Desa, namun berubah namanya saat ini menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
2
. Peranan dan fungsi Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Pemerintahan Desa dalam rangka menunjang pembangunan yang sejahtera, adil, dan makmur adalah produk dari Undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 200. Perbedaannya sangat menyolok pada Undang-undang nomor 22 tahun 1999, yaitu tidak adanya Badan Perwakilan Desa. Menurut Sarundajang (Sarundajang, 2012:290) Pro kontra mengenai perubahan ini terjadi terutama dari asosiasi Badan Perwakilan Desa di beberapa daerah. Yang menjadi pertanyaan apakah hal ini merupakan penyempurnaan,padahal sosialisasi proses pembuatan UU ini ditenggarai tidak melibatkan Stakehoulder secara luas, maka timbul tuntutan agar UU ini segera direvisi. Berkaitan dengan keberadaan BPD, tidak ketinggalan juga peranan dan fungsi BPD di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan yang merupakan studi kasus penelitian ini. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang Peranan dan fungsi BPD terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa di desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan, pertama, Pro kontra terhadap keberadaan peranan BPD dalam Pemerintahan Desa dewasa ini masih sangat kuat, apakah lembaga BPD (yang tercantum dalam pasal 200 UU 32 Tahun 2
Untuk selanjutnya Istilah Badan Permusyawaratan Desa disingkat dengan BPD.
3
2004) ini perlu direvisi atau dihapus. Hal yang sama juga di lakukan pada UU 22 Tahun 1999 yang meniadakan lembaga BPD di tingkat desa. Kedua, sepanjang sejarah penerapan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia hanya pada UU 32 tahun 2004 ini posisi BPD diperkuat, sama halnya juga penguatan peran masyarakat dalam pemilihan langsung kepala daerah yang baru pertama
kali
demokratisasi
diselenggarakan BPD
hampir
di sulit
Indonesia. ditemukan
Ketiga, dalam
Masalah
proses
penyelenggaraan
pemerintahan desa. Padahal dalam era otonomi daerah saat ini sangat besar kesempatan pemerintahan desa dan masyarakatnya mengembangkan kehidupan secara demokratis. Berdasarkan penjelasan bagian pendahuluan di atas, maka penulis menarik kesimpulan untuk perlu kiranya dirumuskan permasalahan sebagai berikut. “1) Bagaimanakah Peranan dan Fungsi Badan Permusyawaratn Desa (BPD) Terhadap Proses Demokratisasi Pemerintahan Desa Tahun 2011 di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan? 2) Faktor kendala apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan peranan dan fungsi BPD di Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan dan bagaimanakah penyelesaian kendala yang dihadapi BPD dalam proses demokratisasi di Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan?” II.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan agar data yang terkumpul lebih representatif dan tepat guna, serta memberi gambaran sejelas mungkin mengenai pelaksanaan peranan dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). penelitian ini memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku sekelompok orang. Metodologi berbagai jenis penelitian dipengaruhi oleh jenis dan kualitas permasalahan yang dihadapi. Menurut Subana & Sudrajat, “Penelitian kualitatif umumnya tidak memiliki metodologi penelitian
4
yang ketat tetapi lebih bergantung pada hasil eksplorasi” (Subana & Sudrajat, 2001:10). III.
ANALISA HASIL PENELITIAN Berdasarkan dari hasil olah data lapangan melalui wawancara, penulis
dapat menyimpulkan bahwa BPD dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai agen demokratisasi dan penyalur aspirasi masyarakat sudah berjalan dengan baik. Meskipun masih ada aspirasi masyarakat yang belum bisa direalisasikan. Hal ini lebih disebabkan karena kurangnya pemahaman dari masyarakat mengenai fungsi dan peran BPD berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan adanya perbedaan cara pandang antara BPD dan pemerintah desa. Pada sisi lain, BPD jarang mengadakan pertemuan-pertemuan atau temu wicara dengan warga masyarakat yang digagas oleh pihak BPD sendiri untuk mendengarkan keluhan dan masalah di tengah masyarakat. Di sisi lain peran tersebut diambil alih oleh Ketua RT. Meskipun dari pihak Ketua BPD dan Anggota BPD sendiri menanggapinya dengan menyatakan sudah melakukan sosialisasi mengenai peranannya dan fungsi pada kesempatan Rapat Desa dan rapat yang diselenggarakan oleh pemerintahan kabupaten. Berdasarkan keterangan dari beberapa respoden diatas mengenai permasalahan yang ada di Desa Malang Rapat dengan adanya permintaan masyarakat tentang kepemimpinan kepala desa yang efektif , maka BPD dituntut untuk menampung aspirasi masyarakat dan melakukan cara yang demokratis untuk memecahkan masalah tersebut karena peranan BPD sebagai wadah mediator antara masyarakat dan Kepala Desa dengan sesering mungkin mengadakan pertemuan tiga pilar penting dalam pemerintahan desa, yaitu Kepala Desa, BPD, dan masyarakat. Di samping itu juga untuk mengatasi masalah masyarakat yang jarang langsung menyerahkan persoalannya ke BPD, melainkan masyarakat langsung menyerahkan persoalannya ke RT masing-masing. Karena masyarakat menganggap BPD tersebut hanya badan perwakilan saja sehingga tidak perlu langsung menyerahkan persoalan ke BPD. Berdasarkan olah data lapangan dapat disimpulkan BPD harus sesering mungkin mengadakan sosialisasi dengan
5
masyarakat mengenai apa-apa yang menjadi fungsi dan perannya dalam pembangunan desa. IV. 4.1.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka fungsi dan peranan BPD terhadap proses demokratisasi pemerintahan desa di Desa Malang Rapat adalah: a. Peranan BPD sebagai penyalur aspirasi masyarakat sudah dilakukan dengan baik. Meskipun masih banyak juga masyarakat menyalurkan aspirasinya ke RT. Hal ini disebabkan ketidakpaham masyarakat mengenai fungsi BPD. BPD dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai agen demokratisasi dan penyalur aspirasi masyarakat sudah berjalan dengan baik. Meskipun masih ada aspirasi masyarakat yang belum bisa direalisasikan. Hal ini lebih disebabkan karena kurangnya pemahaman dari masyarakat mengenai fungsi dan peranan BPD berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya perbedaan cara pandang antara BPD dan pemerintah desa serta masyarakat. Akibatnya penampungan aspirasi masyarakat dilakukan oleh RT. b. BPD sudah melakukan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. BPD di Desa Malang Rapat melakukan fungsi menetapkan peraturan desa, membentuk panitia pemilihan kepala desa (PILKADES) dan mengawal
tahapan
pelaksanaan
PILKADES
dari
awal
sampai
pemungutan suara, pengawasan pelaksanaan peraturan desa dan keputusan kepala desa, pengawasan terhadap pelaksanaan APBDes.
4.2.
SARAN
Dari hasil penelitian tentang pelaksanaan fungsi dan peranan BPD terhadap demokratisasi pemerintahan desa di desa Malang Rapat, maka peneliti memberikan saran:
6
a. Peningkatan pola hubungan komunikasi antara anggota BPD dengan masyarakat di Desa Malang Rapat sebaiknya harus dilakukan secara intensif dan terkoordinasi dengan terjun langsung ke tengah masyarakat mendengar keluhan masyarakat. Hal ini dilakukan supaya masyarakat lebih memahami lagi fungsi dan peranan BPD berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. b. Pemerintah pusat dan Kabupaten diharapkan memperhatikan dengan sungguh-sungguh pendapatan/insentif yang diterima BPD, fasilitas operasional dan sarana prasarana seperti kantor permanen BPD dan balai pertemuan yang akan digunakan BPD dalam melakukan sosialisasi fungsi dan peranannya dengan masyarakat. c. Berkaitan dengan hubungan dengan pemerintah desa, anggota BPD sebaiknya lebih sering berkoordinasi dengan melakukan inisiatif awal mengadakan rapat musyawarah dengan kepala desa dan perangkatnya. BPD diharapkan dapat menyelesaikan kendala yang dihadapi BPD seperti mekanisme kerja yang kurang terbuka diantara BPD dan pemerintah desa.
.
7
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Benedict R.O’G, (1999), “ Indonesian Nationalism Today and in the Future”.Indonesia, no. 67, April. Sarundajang, (2012), “Babak Baru Sistem Pemerintahan”. Kata Hasta Pustaka, Jakarta Riwukaho, Josef, (2001), Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta Marbun, B.N, (2010), Otonomi Daerah 1945 – 2010 Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Abdul Gaffar Karim (Ed), (2006), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Gaffar, Affan, (2006). Politik Indonesia. Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Riyanto, Adi Metodologi Penelitian Social Dan Hukum, Jakarta Granit, 2004. Widjaja, HAW, (2009), Otonomi RajaGrafindo persada, Jakarta.
Daerah Dan Daerah Otonom,
Huda, Ni’matul, (2007), Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid (2009), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta Mariun, (1975), Azas-azas Ilmu Pemerintahan, Fakultas Sosial dan Politik UGM, Yogyakarta. Cheema, g. Shabbir and Rondinelli, Dennis A. (Eds), (1983), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills: Sage Publications . Richad Batley dan Gerry Stoker, (1991), Local Government in Europe. Lubis, M Solli, (1983), “ Pergeseran Garis Politik dan Perundangundangan Mengenai Pemerintah Daerah”, Alumni, Bandung Wasistiono, Sadu, (2004), “Kajian Hubungan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Tinjauan dari Sudut Pandang Manajemen Pemerintahan)”, dalam Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Vol. I, Edisi Kedua.
8
Said, Mas’ud, (2007), “Driving Forces dan Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), No. 24. Manan, Bagir, (2004), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta Wasistiono, Sadu dan Tahir, Irawan, (2007). Prospek Pengembangan Desa. CV Fokus Media. Bandung Fauzan, Ali, (2010), Implementasi PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Terkait dengan Peran BPD dalam menyusun dan menetapkan Peraturan Desa menyusun dan menetapkan Peraturan Desa, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang Rasyid, Ryas, (2006), Memahami Ilmu Pemerintahan, PT. Grafindo Persada, Jakarta Widjaja, HAW, (2003), Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, bulat dan Utuh, PT. Raja Grafindo, Jakarta Suhartono, (2000), Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Umum, Yogyakarta Dokumen-Dokumen: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194( Amandemen 1999 – 2002) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa
9