PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
KURNIA SUCI INDRANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat “ adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2010
Kurnia Suci Indraningsih NIM I362060121
ABSTRACT KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Extension of Farmers in Marginal Land: The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry-Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province. Under supervision of BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, and HARI WIJAYANTO Marginal land in Indonesia is potential for agribusiness development. At present, 17.1 million hectares or 22.8 percent of dry-land areas is cultivated for agriculture. Objectives of this research were to analyze the factors affecting: (1) perceptions of farmers towards extension, (2) farmers' perceptions on innovation characteristics, (3) the decision of farmers in adopting the technology, (4) farmers’ performance, and (5) strategies for planned changes on farmers in marginal lands. The research used an explanatory survey method. Units of analysis were individuals, and the sample farmers were the respondents. The population in this study was all farmers in the villages of the districts of Talaga (Cianjur Regency) and Jatiwangi (Garut Regency). Number of samples was determined using Slovin’s formula with total samples of 302 respondents. Sampling method of this research employed that of stratified random. Data were collected from December 2008 to March 2009. Analyses of the data consisted of: (1) descriptive data analysis: frequency distribution, Odds ratio, and (2) inferential data analysis: Pearson correlation, multiple regression, and path analysis. Results of the study showed that (1) Factors influencing the perception of adoptingfarmers toward extension were mobility, intelligence, and risk-taking levels, and cooperation, while those for non-adopting farmers were purchasing power, cooperation, exposure to the media, and availability of financial facilities; (2) Factors influencing the perception of adopting farmers’ on innovation characteristics were income level, land use, attitude toward change, competence and role of extension agents, while those for non-adopting farmers were intelligence, risk-taking, and cosmopolite levels, inputs availability, and marketing facilities; (3) Factors affecting farmers’ decisions to adopt technology for adopting farmers were relative advantage, compatibility of technology, and farmers' perceptions on media influence/ interpersonal information, while those for non-adopting farmers were conformity and complexity of technology, and the farmers’ perceptions on media influence/ interpersonal information; (4) Factors affecting the performance of both adopting and non-adopting farmers were the farmers' decisions in using production facilities; and (5) Formulation of sustainable agricultural extension strategies in marginal land areas should take into account the characteristics and communication behavior of targeted audiences (farmers), supporting business climate, and both central and local governments’ policies. Keywords: innovation characteristics, integrated farming, marginal land
RINGKASAN KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, dan HARI WIJAYANTO Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang luas, namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha. Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan. Pada tahun 2008, penggunaan lahan untuk tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha, lahan ladang/huma adalah 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah 14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha, sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada. Lahan kering dapat dikelola untuk usaha produktif yang dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian. Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan kering, melalui kegiatan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi. Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh petani yang tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat petani yang menolak inovasi teknologi tersebut. Untuk mengadopsi teknologi, petani memerlukan modal yang lebih besar dan mengubah kebiasaan bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko besar. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi teknologi; (4) Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani; dan (5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi yang adaptif sesuai dengan preferensi petani. Penelitian menggunakan metode survai yang bersifat eksplanasi. Unit analisis adalah individu, petani responden penelitian. Populasi dalam penelitian adalah semua petani yang berada di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut. Penentuan jumlah sampel petani menggunakan rumus Slovin sebanyak 302 petani
responden, masing-masing 93 petani di Cianjur dan 209 petani di Garut (petani adopter sebanyak 137 dan petani non adopter sebanyak 165). Pengambilan sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling), dengan stratifikasi petani adopter dan petani non adopter. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara, dengan menggunakan kuesioner yang telah memenuhi persyaratan kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dari sumber lain (informan kunci) adalah penyuluh, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung untuk verifikasi. Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif: distribusi frekuensi dan rasio Odds, serta (2) analisis inferensial: korelasi Pearson, regresi ganda, dan analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Melalui kegiatan penyuluhan yang intensif, persepsi petani terhadap manfaat penyuluhan dapat ditingkatkan, yang semula tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani (mobilitas, luas lahan, intelegensi, dan sikap terhadap perubahan), serta perilaku komunikasi (kerjasama, kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media); (2) Persepsi petani terhadap inovasi teknologi menunjukkan peningkatan yang berarti jika pada inovasi teknologi tersebut terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal ataupun usahatani terpadu. Peningkatan persepsi petani terhadap inovasi akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat sifat berani mengambil resiko dan lebih berorientasi ke luar sistem sosialnya (kosmopolit). Faktor penting yang menunjang peningkatan persepsi petani terhadap inovasi adalah ketersediaan input (sarana produksi), sarana pemasaran (termasuk sistem pemasaran yang baik); (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi adalah manfaat langsung dari teknologi yang berupa keuntungan relatif (termasuk keuntungan ekonomi yang lebih tinggi), kesesuaian teknologi terhadap nilai-nilai sosial budaya, cara dan kebiasaan berusahatani, kerumitan penerapan teknologi, serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani; (4) Keputusan petani dalam berusahatani ditentukan oleh keunggulan ekonomi komoditas, penggunaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja. Keunggulan komoditas yang didukung dengan ketersediaan input (sarana produksi) dan keterjangkauan daya beli petani terhadap input mempengaruhi kinerja usahatani yang dikelola petani; (5) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk mengatasi masalah kelambatan adopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Rumusan strategi ini perlu didasarkan pada karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak sasaran (petani), dukungan iklim usaha dan dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan penyuluhan perlu menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada kebutuhan petani. Kata kunci: karakteristik inovasi, usahatani terpadu, lahan kering marjinal
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
KURNIA SUCI INDRANINGSIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup: 1. Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. (Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc. (Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. H. R. Margono Slamet (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) 2. Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi Suradisastra (Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
Judul Disertasi
: Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat
Nama
: Kurnia Suci Indraningsih
NIM
: I362060121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota
Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S. Anggota
Diketahui Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 23 September 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulisan disertasi dengan judul “ Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat” ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setulusnya kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A., Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari, dan Bapak Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S. sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada: (1) Bapak Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. dan Bapak Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Tertutup, serta memberikan saran-saran perbaikan. (2) Bapak Prof. Dr. H. R. Margono Slamet dan Bapak Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi Suradisastra yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Terbuka, serta memberikan saran-saran perbaikan. (3) Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. dan jajarannya yang telah memberikan pelayanan akademik kepada penulis. (4) Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan. (5) Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Bapak Prof. (Ris) Dr. Tahlim Sudaryanto yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di IPB. (6) Bapak Prof. Dr. Zairin Yunior, Ibu Prof. Dr. Aida Vitayala S. Hubeis, dan Prof. (Ris) Dr. Pantjar Simatupang yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis, sebagai syarat pendaftaran pada Sekolah Pascasarjana IPB.
(7) Para petani responden di Desa Talaga-Cianjur, Desa Jatiwangi-Garut, para penyuluh BPP Kecamatan Cugenang, BPP Kecamatan Pakenjeng, tenaga detasir Prima Tani Cianjur (Ir. Aup Pahruddin) dan Garut (Atik Kurniadi), manajer Prima Tani Cianjur (Ir. Euis Rokayah, M.P) dan Garut (Ir. Endjang Sudjitno, M.P) yang telah memberikan data dan informasi pada penelitian ini. (8) Fhebi Irliyandi, S.Pi, Putriana, S.Pi., Lalu Nova, Cecep Alinurdin, Putut Purwanto, dan Titania Aulia yang telah membantu enumerasi dalam kegiatan penelitian ini. (9) Bapak Sjafi’i Kartosoebroto (alm), Ibu Sutji Sulastri (alm) dan kakak-kakak, serta keluarga besar Bapak Darmosuwito (alm) yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril kepada penulis. (10) Suami (Dr. Tatag Budiardi) dan anak-anak (Titania Aulia dan Diardian Febiani) yang telah memberikan dukungan kepada penulis. (11) Rekan-rekan peneliti PSE-KP dan rekan-rekan mahasiswa PPN-IPB yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan sumbangan pemikiran kepada penulis. Penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Oktober 2010 Kurnia Suci Indraningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 7 Oktober 1963 sebagai anak keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak Sjafii Kartosoebroto dengan Ibu Sutji Sulastri.
Pendidikan Sarjana ditempuh pada Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan studi pada Program Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada tahun 2002 dengan beasiswa on going dari Agriculture Research Management-Project (ARM-P) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2006, penulis dengan sumber beasiswa dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian memperoleh kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1987-1991 penulis bekerja sebagai staf pada Sub Direktorat Pengembangan Pelabuhan, Direktorat Bina Prasarana, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta.
Sejak tahun 1991 penulis bekerja
sebagai staf peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian di Bogor. Artikel berjudul “Kinerja Penyuluh dari Perspektif Petani dan Eksistensi Penyuluh Swadaya Sebagai Pendamping Penyuluh Pertanian PNS (Studi Kasus di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat)” akan diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. disertasi penulis.
Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xix
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Masalah Penelitian ................................................................................. Tujuan Penelitian ................................................................................... Kegunaan Penelitian .............................................................................
1 3 5 5
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
7
Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu ............................ Karakteristik Petani ............................................................................... Tingkat Rasionalitas ...................................................................... Tingkat Intelegensi ....................................................................... Sikap terhadap Perubahan ........................................................... Perilaku Komunikasi Petani.................................................................... Kerjasama ..................................................................................... Tingkat Kekosmopolitan .............................................................. Keterdedahan terhadap Media ...................................................... Dukungan Iklim Usaha .......................................................................... Penyuluhan ............................................................................................ Kompetensi Penyuluh ................................................................... Peran Penyuluh ............................................................................. Materi/Program Penyuluhan ........................................................ Metode Penyuluhan ..................................................................... Persepsi ................................................................................................. Inovasi ................................................................................................. Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi.................................................. Ciri-ciri Inovasi ........................................................................... Kecepatan Adopsi Inovasi............................................................. Saluran Komunikasi ............................................................................... Keputusan Petani ................................................................................... Kinerja Usahatani ..................................................................................
7 12 13 15 16 17 17 18 19 19 22 26 29 31 33 35 37 39 40 42 46 48 49
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ................................................
51
Kerangka Berpikir................................................................................... Hipotesis Penelitian ..............................................................................
51 53
METODE PENELITIAN .................................................................................
55
Rancangan Penelitian.............................................................................. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. Populasi dan Sampel ............................................................................. Data dan Instrumentasi ......................................................................... Data .............................................................................................. Instrumentasi ................................................................................ Kesahihan dan Keterandalan ................................................................ Kesahihan ..................................................................................... Keterandalan ................................................................................. Peubah Penelitian .................................................................................. Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah ...................................... Analisis Data ......................................................................................... Analisis Korelasi Pearson ............................................................. Analisis Regresi Ganda ................................................................ Analisis Jalur (Path Analysis) ..................................................... Pengolahan Data ...................................................................................
55 55 57 58 58 59 59 59 60 61 62 73 74 75 75 77
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
78
Keragaan Wilayah Penelitian.................................................................. Kabupaten Cianjur ........................................................................ Kabupaten Garut ........................................................................... Karakteristik Petani ................................................................................ Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ............................................ Karakteristik Pribadi Petani .......................................................... Perilaku Komunikasi Petani ................................................................... Kerjasama ..................................................................................... Tingkat Kekosmopolitan .............................................................. Keterdedahan terhadap Media ...................................................... Dukungan Iklim Usaha .......................................................................... Ketersediaan Sarana Produksi (Input) .......................................... Ketersediaan Fasilitas Keuangan .................................................. Ketersediaan Sarana Pemasaran ................................................... Persepsi Petani terhadap Penyuluhan .................................................... Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh .......................... Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh ..................................... Persepsi Petani terhadap Materi Penyuluhan ............................... Persepsi Petani terhadap Metode Penyuluhan .............................. Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, dan Dukungan Iklim Usaha dengan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan ........................................................................................ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Penyuluhan ........................................................................................ Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi ..............................................
78 78 81 84 84 95 101 101 103 104 106 107 109 114 117 119 124 131 134
136 142 152
Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi Usahatani Terpadu ................................................................................. Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur ........................................ Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut ...................................... Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif .............................. Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi................................ Persepsi Petani terhadap Kerumitan Inovasi ................................. Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diujicoba .............. Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diamati ................. Persepsi Petani terhadap Pengaruh Media/Informasi ............................. Persepsi Petani terhadap Media Massa ........................................ Persepsi Petani terhadap Informasi Interpersonal ........................ Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, Dukungan Iklim Usaha, dan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan dengan Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi ............................. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi .............................................................................................. Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi ........................................ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi ........................................................................... Kinerja Usahatani .................................................................................. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usahatani ......................... Manfaat Usahatani Terpadu ......................................................... Pengetahuan Petani Non Adopter terhadap Usahatani Terpadu .. Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan pada Lahan Kering Marjinal untuk Peningkatan Kinerja Usahatani ................................ Justifikasi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan .......................... Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan .............................. Masukan .................................................................................... Proses ......................................................................................... Keluaran .................................................................................... Dampak ......................................................................................
152 153 153 155 158 160 162 163 164 164 165
166 170 184 186 191 200 205 207 210 210 213 213 215 223 225
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 227 Kesimpulan ............................................................................................ 227 Saran ....................................................................................................... 228 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 230 LAMPIRAN ................................................................................................... 242
DAFTAR TABEL Halaman 1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja ................................
13
2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan ............
34
3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar .................
35
4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi ...................
44
5 Karakteristik saluran komunikasi .............................................................
47
6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian .........
58
7 Hasil uji keterandalan instrumen penelitian dengan tenik belah dua........
61
8 Sub peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani ...................
63
9 Sub peubah, indikator dan pengukuran perilaku komunikasi petani ......
66
10 Sub peubah, indikator dan pengukuran dukungan iklim usaha ...............
67
11 Sub peubah, indikator dan pengukuran penyuluhan ...............................
69
12 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi ......................................................................................................
70
13 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap pengaruh informasi/media ........................................................................................ 72 14 Sub peubah, indikator dan pengukuran keputusan ...................................
72
15 Sub peubah, indikator dan pengukuran kinerja usahatani .......................
73
16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian ..........................
80
17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian ......................
83
18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ..................................................................................
85
19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ................................................................
88
20 Rata-rata biaya produksi usahatani per hektar ..........................................
94
21 Karakteristik pribadi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ..................................................................................
95
22 Perilaku komunikasi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................................................................ 102 23 Dukungan iklim usaha di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................................................................ 107 24 Tempat petani melakukan transaksi jual beli .......................................... 116
25 Jumlah penyuluh pertanian berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenjang jabatan tahun 2008 ............................................ 118 26 Persepsi petani terhadap penyuluhan di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat.................................................................................. 120 27 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat .......................................................................................................... 141 28 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ......................................................................................................... 143 29 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 146 30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 150 31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ............................................... 154 32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ............................... 155 33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ....................................................................... 156 34 Persepsi petani terhadap pengaruh media informasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................... 165 35 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 168 36 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................................ 171 37 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................................ 173 38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani adopter dan petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ......... 175 39 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 175 40 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 178
41 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................... 180 42 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 182 43 Keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat .................................................................................. 186 44 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 187 45 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 189 46 Kinerja usahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ......................................................................................................... 193 47 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ........................................ 199 48 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat .................................. 201 49 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 202
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984) ........................
36
2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993)..................
43
3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marginal
54
4 Model spesifik dari path analysis (Bryman dan Gramer, 1990) ..............
76
5 Model pengaruh antar peubah dalam penelitian ......................................
77
6 Sub peubah - sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan ............................................................................................... 147 7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan ..................................................... 151 8 Peubah-peubah yang mempengaruhi petani terhadap ciri-ciri inovasi .... 177 9 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi ......................................................................................... 179 10 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi ........................................................................... 181 11 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi ............................................................. 183 12 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi ...................................................................................................... 188 13 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani adopter dalam adopsi inovasi ........................................................................................... 190 14 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani non adopter dalam adopsi inovasi ................................................................................ 191 15 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani ................ 201 16 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani adopter ....................................................................................................... 203 17 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani non adopter ....................................................................................................... 205 18 Diagram pohon adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu .................... 208 19 Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan pada lahan kering marjinal untuk peningkatan kinerja usahatani ........................................................ 226
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Cianjur ..........................................
243
2 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Garut .............................................
244
3 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur ..................................................................................
245
4 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ................................................................................... 246 5 Tata guna lahan di Kabupaten Cianjur ...................................................
248
6 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur ....................................................................................................
248
7 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Cianjur ..........................
249
8 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Cianjur .................
249
9 Tata guna lahan di Kabupaten Garut ......................................................
250
10 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Garut
250
11 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Garut .............................
251
12 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Garut ....................
251
13 Distribusi rumah tangga pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai ...................................................................................................
252
14 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ..............................
253
15 Daftar pertanyaan petani .......................................................................
255
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang relatif luas, namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Lahan pertanian marjinal telah diidentifikasi sebagai areal yang digunakan untuk pertanian, penggembalaan ternak dan atau agroforestry. Di Indonesia lahan pertanian marjinal diantaranya lahan kering, dibedakan berdasarkan ketinggian tempat (dataran rendah dan dataran tinggi). Luas lahan kering yang memungkinkan untuk pengembangan pertanian mencapai 75,1 juta ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha. Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Pada tahun 2008, penggunaan lahan di Indonesia untuk lahan tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha, lahan ladang/huma 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah 14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha atau sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada (Badan Pusat Statistik, 2009). Karakteristik lahan pertanian marjinal dicirikan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah (defisiensi nutrisi, keasaman, salinitas, dan kapasitas kelembaban rendah).
Masyarakatnya tidak mempunyai aksesibilitas terhadap
komunikasi, tidak mempunyai mobilitas terhadap aspek sosial dan ekonomi, rapuh (kapasitas penyerapan input yang rendah, rasio input-output yang tinggi, kapasitas bertahan terhadap gangguan terbatas.
Kondisi lahan mudah rusak
sampai kerusakan yang tidak dapat diubah) dan heterogen, keragaman fisik dan budaya dengan kendala yang spesifik dan peluang penerapan teknologi secara umum terbatas atau adanya kelembagaan untuk meniadakan kendala atau memanfaatkan peluang (World Bank, 1999). Lahan kering yang merupakan lahan pertanian marjinal, dapat dikelola untuk usaha produktif, sebagaimana diungkap oleh hasil penelitian Swastika et al. (2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya lahan pertanian
2 marjinal dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian.
Masyarakat di
lahan ini mengandalkan sumber pendapatan rumah tangga tertinggi berasal dari sektor pertanian dan kesempatan kerja non-pertanian adalah relatif kecil. Pola tanam yang umum dilakukan pada petani lahan kering di Bali adalah padipalawija atau padi-sayuran ditambah usaha ternak babi, ataupun sapi dan ayam buras. Untuk mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan lahan kering, melalui kegiatan penelitian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi, antara lain teknologi pengendalian erosi lahan berlereng, teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering, teknologi pengelolaan bahan organik tanah, serta teknologi hemat air dan irigasi suplemen.
Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal
menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk diketahui oleh 50 persen Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut di tingkat petani tentu diperlukan waktu lebih lama lagi. Kesenjangan antara subsistem penyampaian dan subsistem penerimaan inovasi merupakan penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi (Badan Litbang Pertanian, 2004). Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh masyarakat petani yang tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat petani yang menolak inovasi teknologi tersebut. Ketidakpastian dukungan input dan pemasaran hasil yang terkait dengan harga jual menyebabkan petani lebih bertahan menggunakan teknologi lokal (termasuk indigenous technology) atau teknologi yang telah digunakan sebelumnya. Sarana dan prasarana pendukung kurang memadai serta keterlibatan penyuluh dalam proses difusi inovasi adalah rendah. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan usaha petani di lahan kering yang didominasi oleh skala usaha kecil yang masih lemah di berbagai bidang seperti
3 keterbatasan aset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi, sehingga tidak mampu berkembang secara mandiri dan dinamis. Mencermati fakta empiris dari kehidupan petani lahan kering marjinal yang tergolong miskin, timbul pertanyaan mengapa petani tetap bertahan menetap di wilayah tersebut? Apakah faktor internal seperti fatalistik, motivasi yang rendah dan kurang berorientasi pada masa depan demikian melekat pada diri petani atau faktor eksternal di luar diri petani yang dominan? Seperti gambaran masyarakat pedesaan pada umumnya, petani lahan kering menjunjung tinggi solidaritas masyarakat, penghargaan terhadap tata nilai yang berkembang di masyarakat, budaya gotong royong, dan guyub dengan sesama petani.
Keseluruhan hal
tersebut merupakan faktor yang membuat petani nyaman dalam mengelola lahan kering yang marjinal. Meskipun beberapa inovasi teknologi telah diperkenalkan, namun tampak petani masih menghadapi berbagai kendala dalam penerapannya. Untuk mendapatkan jawaban ataupun solusi permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian sebagai upaya mengidentifikasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani. Langkah ini akan efektif bila disertai dengan upaya penyuluh yang berperan aktif dalam melakukan diseminasi. Pertanyaan mendasar yang juga perlu digali jawabannya adalah transformasi perilaku petani dalam mengelola lahan kering marjinal, sehingga kehidupan petani menjadi lebih baik. Masalah Penelitian Banyak lahan kering marjinal yang telah bisa diperbaiki melalui inovasi teknologi
dan
telah
ada
upaya
untuk
mempromosikannya.
Kenyataan
menunjukkan masih terdapat petani yang menolak inovasi teknologi yang diperkenalkan. Untuk itu perlu dipertanyakan faktor-faktor penyebab, yang menekankan pada perilaku petani. Rogers (2003) mengemukakan karakteristik inovasi teknologi mencakup: (1) keuntungan relatif (relative advantage) terutama keuntungan ekonomi minimal meningkat berkisar antara 25-30 persen; (2) kesesuaian (compatibility) yang terkait dengan nilai-nilai dan kepercayaan sosial budaya, inovasi yang telah diperkenalkan sebelumnya serta kebutuhan petani terhadap inovasi; (3) kerumitan (complexity); (4) dapat diujicoba (trialability); dan (5) dapat diamati (observability).
4 Meskipun beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa hasil analisis ekonomi dengan menerapkan inovasi teknologi diperoleh peningkatan pendapatan melebihi 30 persen, namun fakta menunjukkan masih ada petani yang tidak menerapkan teknologi tersebut. Mengikuti pendapat Rogers (2003), dalam komponen keuntungan relatif selain keuntungan ekonomis, juga mencakup biaya awal yang rendah, resiko yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, hemat tenaga dan waktu, serta imbalan yang dapat segera diperoleh.
Aspek non
ekonomis yang perlu diperhatikan adalah prestise sosial dan penerimaan sosial. Seberapa
jauh
ciri-ciri
inovasi
teknologi
yang
diperkenalkan
telah
dipertimbangkan, apakah terdapat kesenjangan antara teori (sebagaimana yang dikemukakan Rogers, 2003 tentang difusi inovasi) dengan fakta empiris? Mengingat fakta di lapangan, masih terdapat kesenjangan antara teknologi yang dianjurkan dengan teknologi yang dibutuhkan petani. Keterkaitan dengan proses penyuluhan yang telah berlangsung apakah sudah benar, peran penyuluh dalam menyampaikan inovasi apakah telah memahami prinsip-prinsip penyuluhan? Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengubah teknologi, petani memerlukan modal yang lebih besar. Di samping itu, mengubah kebiasaan bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko terlalu besar. Hal ini terkait dengan masalah sosial budaya. Semakin kecil skala usaha petani, maka petani semakin takut dengan resiko karena kegagalan panen akan berpengaruh pada masalah ketahanan pangan. Hasil penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian antara 19901993 menunjukkan bahwa intensitas dan besaran kemiskinan di kawasan pedesaan beragroekosistem lahan kering perbukitan secara umum lebih tinggi dan lebih besar dibanding kawasan pedesaan beragroekosistem persawahan atau dataran rendah. Berbagai permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan spesifik yang diidentifikasi sebagai berikut: (1) Bagaimana persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi tersebut? (2) Bagaimana persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi tersebut?
5 (3) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengadopsi teknologi? (4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja usahatani petani? (5) Bagaimana merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu yang adaptif sesuai dengan preferensi petani? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan: (1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut. (2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut. (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi teknologi. (4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani. (5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan terencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi usahatani terpadu yang adaptif sesuai dengan preferensi petani. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan: (1) Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam upaya membuktikan bahwa petani pada lahan kering marjinal mempunyai karakteristik yang khusus yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga memerlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda. Selanjutnya diusahakan membangun strategi penyuluhan untuk perubahan terencana bagi petani lahan kering marjinal. (2) Inovasi teknologi spesifik lokasi dengan mempertimbangkan teknologi sebelumnya yang telah digunakan, sehingga sesuai dengan preferensi petani. Kegunaan lain, diharapkan dari kegiatan penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis berupa:
6 (1) Masukan untuk bahan pertimbangan kepada instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam merancang inovasi teknologi bagi masyarakat petani lahan kering marjinal, dan instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam melaksanakan penyuluhan. (2) Bahan pertimbangan untuk meningkatkan wawasan bagi masyarakat/ organisasi
masyarakat,
lembaga
swadaya
masyarakat,
penyuluh/agen
pembaruan dan pelaku dunia usaha dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (petani) pada lahan kering marjinal.
7 TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu Suatu teknologi dapat dikatakan tepatguna apabila memenuhi kriteria: (1) secara teknis mudah dilakukan, (2) secara finansial (bahkan ekonomi) menguntungkan, (3) secara sosial budaya diterima masyarakat, dan (4) tidak merusak
lingkungan
(Swastika,
2004).
Untuk
itu
perlu
diupayakan
mengidentifikasi teknologi dan sistem usahatani yang sesuai dengan kondisi agroekosistem
dan
mampu
memanfaatkan
sumberdaya
secara
optimal.
Beragamnya sumber pendapatan rumah tangga petani perlu dipandang sebagai suatu kekuatan yang harus dikembangkan, terutama usaha non-pertanian, ke arah yang bersifat usaha mandiri. Selain itu, sumberdaya pertanian yang dikuasai petani (terutama di lahan kering dan sawah tadah hujan) perlu dikelola secara optimal, sehingga menjadi sumberdaya yang produktif dan mampu meningkatkan pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga tani. Sistem usahatani terpadu (integrated farming system) sebagai salah satu upaya penganekaragaman sumber pendapatan dari sektor pertanian, sekaligus pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Sistem usahatani terpadu merupakan revolusi konvensional dari usahatani peternakan, perikanan, hortikultura, agro-industri dan kegiatan-kegiatan lain di beberapa negara, khususnya di wilayah tropikal dan sub tropikal yang tidak gersang. Secara keseluruhan usahatani di belahan dunia ini tidak menunjukkan kinerja yang baik kecuali jika ditambahkan input yang relatif besar agar diperoleh hasil yang berkelanjutan dan seringkali berkompromi dengan aspek keberlajutan ekologis maupun aspek ekonomi. Sistem usahatani terpadu dapat mengatasi kendala tersebut melalui pemecahan masalah terbaik tidak hanya dari aspek ekonomi dan ekologis, bahkan menghasilkan bahan bakar, pupuk dan bahan pangan di samping peningkatan produktivitas. Hal ini dapat mengubah sistem usahatani yang telah dilakukan selama ini, khususnya di negara-negara miskin dalam memperhatikan aspek ekonomi dan sistem keseimbangan ekologi, tidak hanya mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat mencegah bencana (Chan, 2003).
8 Usahatani terpadu dapat diartikan sebagai suatu sistem usahatani yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi dan terintegrasi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Usahatani terpadu terdiri dari cabang-cabang usahatani padi, palawija, ternak dan ikan yang dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sistem usahatani tanaman-ternak (SUTT) telah lama dilaksanakan oleh sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ciri utama SUTT adalah
keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman. Oleh sebab itu, SUTT umumnya diterapkan di daerah di tempat terdapatnya perbedaan yang nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) dengan bulan kering lebih dari tiga bulan berturut-turut. Jerami padi, jerami jagung, dan limbah tanaman kacang-kacangan, bahkan daun pisang, jerami bambu, dan sebagainya merupakan pakan alternatif saat rumput alami kurang tersedia pada MK. Tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli jerami padi dari luar desa, luar kecamatan, bahkan dari luar kabupaten. Di Kediri, Jawa Timur, petani-peternak bekerja sebagai pemanen jagung hibrida pada MK dengan upah limbah tanaman jagung (Fagi et al., 2004). Hasil kajian Bulu et al. (2004) menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu tanaman-ternak dengan penggunaan teknologi sederhana yang telah dilakukan petani saat ini merupakan bagian dari bentuk budaya petani. Usaha agribisnis, termasuk sistem usahatani tanaman-ternak di Lombok, merupakan usaha agribisnis rumah tangga dengan segala keterbatasannya. Keterbatasanketerbatasan
sumberdaya
tersebut
menghambat
pengembangan
usaha.
Kelembagaan pertanian di pedesaan selama ini belum dimanfaatkan dalam pengembangan inovasi teknologi sistem usahatani tanaman-ternak. Sistem usahatani terpadu tanaman-ternak meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Kontribusi pendapatan dari usaha peternakan mencapai 40,6 persen dari total pendapatan. Namun demikian kontribusi nyata tersebut tidak diikuti oleh peningkatan investasi usaha peternakan. Aliran modal secara timbal balik antara usaha tanaman dan peternakan relatif kecil, karena keuntungan yang diperoleh digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (pangan dan non pangan).
9 Pengelolaan atau pemilikan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan masalah utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas usahataninya. Pengembangan model sistem usahatani tanaman-ternak introduksi perlu memperhatikan kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan teknologi lokal serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat. Mengutip pendapat Getz dan Warner (2006), dengan meningkatnya teknologi untuk pengaturan lingkungan pertanian menstimulir peningkatan perhatian terhadap sistem usahatani terpadu dan bentuk partisipasi penyuluhan. Kemitraan pertanian-lingkungan menjadi strategi utama sebagai strategi pencegahan polusi pertanian di California, menunjukkan strategi alternatif yang potensial mengendalikan hama. Struktur organisasi kemitraan ini dengan strategi belajar bersama dan partisipasi yang lebih besar merupakan kunci sukses mereka. Perubahan bentuk dari suatu model ”transfer teknologi” pada partisipasi belajar bersama
dan
pengambilan
keputusan,
mendukung
perbaikan
layanan
penyampaian penyuluhan dan sebagai suatu strategi penting untuk kegiatan penyuluhan dengan cakupan klien dalam wilayah yang luas. Pada tahun 1993, Lembaga Penelitian Nasional Tanah dan Kualitas Air (National Research Council’s Soil and Water Quality) merekomendasikan sistem usahatani terpadu untuk kegiatan pertanian yang menjadi dasar program tanah lokal dan kualitas air. Hal ini didasari atas pendekatan sistem tingkatan untuk menganalisis sistem produksi pertanian terkait dengan kualitas konservasi tanah, memperbaiki penggunaan input secara efisien, peningkatan resistensi erosi dan limpasan serta penggunaan zona penyangga.
Alternatif strategi pengelolaan
tanah, air dan ”farmscape” merupakan potensi untuk mengurangi penggunaan insektisida dan dampak lingkungan, tetapi pendekatan sistem usahatani terpadu membutuhkan praktek penyuluhan dan menumbuhkan pembelajaran (Getz dan Warner, 2006). Sejalan dengan upaya peningkatan potensi lahan kering, inovasi teknologi rehabilitasi lahan kering telah diujicobakan pada tanaman jagung (tahun 1996) di Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produktivitas jagung yang diperoleh pada awal tahun tanpa rehabilitasi mencapai 2,49 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,50 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,60 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp.
10 3,68 ton/ha. Produktivitas jagung pada tahun ke-9 tanpa rehabilitasi mencapai 1,48 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,38 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,59 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp. 3,59 ton/ha (Kurnia et al., 2002). Pengkajian yang dilaksanakan di Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dari bulan Januari sampai dengan April 1998 ”dengan penerapan sistem pertanaman lorong” dan ”tanpa penerapan sistem pertanaman lorong (tumpangsari biasa)” menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-kooperator. Pendapatan masing-masing mencapai Rp 2,27 juta dan Rp 1,24 juta per hektar per tahun. Dari hasil kajian kelayakan dan efisiensi penggunaan masukan (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) dan hasil penerimaan berdasarkan kriteria kemiringan lahan diketahui bahwa, teknologi pertanaman lorong yang diterapkan pada kriteria kemiringan lahan 15-30 persen lebih efisien dalam penggunaan masukan dan layak secara finansial dibandingkan pada kriteria kemiringan kurang dari 15 persen. Berdasarkan basis tanaman buah-buahan, maka pertanaman lorong dengan basis tanaman pisang lebih layak secara finansial dibandingkan basis tanaman mangga terhadap efisiensi penggunaan masukan dan tingkat pendapatan (keuntungan) yang diperoleh petani. Model pertanaman (Pisang + Rumput gajah + Gliricidia sp./ Flemingia congesta)/(Padi gogo/Kacang tanah + Jagung + Ubikayu) – (Kacang tanah) – (Bera) merupakan model pertanaman yang paling sesuai diterapkan di wilayah setempat (Ishaq et al., 2002). Selain itu, inovasi yang diperkenalkan di lahan kering adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Beberapa pendekatan yang digunakan dalam Prima Tani, yaitu: (1) agroekosistem, (2) agribisnis, (3) wilayah, (4) kelembagaan, dan (5) kesejahteraan. Pendekatan agroekosistem berarti Prima Tani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lahan kering dataran rendah yang meliputi aspek sumberdaya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti struktur dan keterkaitan subsistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pengolahan, pemasaran dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Salah satu
11 komoditas pertanian dapat menjadi perhatian utama, sedangkan beberapa komoditas lain sebagai pendukung, terutama dalam kaitannya dengan resiko ekonomi (harga). Pendekatan kelembagaan berarti memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, termasuk modal sosial, norma dan aturan. Bila dicermati, inovasi Prima Tani sesungguhnya menggunakan pendekatan sistem usahatani terpadu. Menurut Adiningsih et al. (1994), sistem usahatani terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan air yang tepat berasaskan konservasi, merupakan pendekatan terbaik untuk melestarikan bahkan meningkatkan produktivitas lahan marjinal. Faktor-faktor sosial ekonomi, budaya, penyediaan sarana/prasarana dan penanganan pasca panen yang kondusif sangat menentukan keberhasilan pendekatan tersebut. Sebagai contoh, inovasi teknologi yang diintroduksikan mencakup konservasi lahan, kesepadanan teknologi yang diusahakan (komoditas kedelai, kacang tanah dan padi gogo) dan pengelolaan ternak domba didukung dengan kelembagaan. Kesepadanan teknologi yang diusahakan merupakan modifikasi dari teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang meliputi penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik berdasarkan status kesuburan tanah serta perbaikan jarak tanam. Kegiatan Prima Tani antara lain dilakukan di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Di lokasi tersebut sejak tahun 2006 telah diimplementasikan inovasi teknis dan inovasi kelembagaan. Berdasarkan potensi dan permasalahan usahatani di Kecamatan Leuwisadeng, inovasi teknologi yang dikembangkan berupa ”Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi” yaitu integrasi antara tanaman dan ternak yang didukung dengan kelembagaan. Pada tahun 2007 dilakukan perbaikan budidaya tanaman utama (jambu biji), pengendalian hama penyakit, pemupukan, introduksi varietas unggul dan perbaikan teknologi produksi tanaman padi gogo serta pemeliharaan ternak domba (bibit unggul dan pakan). Inovasi teknis yang diperkenalkan merupakan upaya perbaikan terhadap kegiatan usahatani yang selama ini telah dilakukan petani. Keuntungan yang diperoleh petani (sebelum Prima Tani) dari usahatani jambu biji sebesar Rp 5,7 juta/tahun untuk 200 pohon dengan luasan lahan 1.000 m2. Dengan skala usaha
12 3.500 m2 (0,35 ha), usahatani jambu biji dinilai layak secara ekonomis. Hal ini terbukti dari beberapa petani yang mengikuti menanam komoditas jambu biji. Karakteristik wilayah miskin, yang berada pada zona agroekosistem lahan kering marjinal dicirikan oleh: (1) penguasaan teknologi budidaya pertanian umumnya rendah, bahkan masih bersifat tradisional; (2) kurang berfungsinya lembaga-lembaga penyedia sarana produksi; (3) ketiadaan atau kurang berfungsinya lembaga pemasaran sehingga orientasinya bersifat subsisten; serta (4) rendahnya kualitas prasarana transportasi dan komunikasi yang berkaitan erat dengan rendahnya kepadatan penduduk, produktivitas kerja serta rendahnya marketable surplus hasil usahatani (Taryoto, 1995). Lebih lanjut Tjitropranoto (2005) mengungkapkan bahwa secara umum petani di lahan kering marjinal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (1) kapasitas diri petani yang rendah, (2) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah, (3) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (4) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (5) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (6) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (7) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan. Karakteristik Petani Sejumlah literatur yang telah mengakumulasikan hasil-hasil penelitian tentang peubah yang berhubungan dengan keinovatifan, telah disarikan Rogers (2003) menjadi tiga bagian, yang melekat pada individu: (1) Karakteristik sosial ekonomi: umur (tidak ada perbedaan antara peloporearlier adopters dengan pengikut akhir-later adopters, dilihat dari sisi umur), sedangkan pendidikan formal, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, dan skala usaha pada pelopor lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir.
13 (2) Pribadi (personalitas): pelopor memiliki tingkat empati, kemampuan abstraksi, rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian, serta tingkat aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir; dengan tingkat dogmatis dan fatalistik yang lebih rendah. (3) Perilaku komunikasi: pelopor memiliki partisipasi sosial, jaringan interpersonal, tingkat kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaruan, keterdedahan terhadap media, keterdedahan terhadap komunikasi interpersonal, pencarian informasi tentang inovasi, dan tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir. Tingkat Rasionalitas Jung (Sujanto et al., 2004) mendefinisikan fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teoritis tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Lebih lanjut Jung membedakan fungsi jiwa dalam empat hal yaitu pikiran, perasaan, pendirian dan intuisi, sebagaimana tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja Fungsi Jiwa
Sifat
Mekanisme Kerja
(1) Pikiran
rasional
dengan penilaian: benar-salah
(2) Perasaan
rasional
dengan penilaian: senang-tidak senang
(3) Pendirian
irrasional
tanpa penilaian: sadar indriah
(4) Intuisi
irrasional
tanpa penilaian: sadar naluriah
Sumber: Jung (Sujanto et al., 2004)
Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi tersebut, namun biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi yang paling berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe orang. Terdapat orang yang bertipe pemikir, perasa, pendria dan intuitif. Keempat fungsi tersebut berpasang-pasangan, jika suatu fungsi menjadi superior (menguasai kehidupan alam sadar), maka fungsi pasangannya menjadi inferior, yang berada dalam ketidaksadaran. Dua fungsi yang lain menjadi fungsi bantu, sebagian terletak dalam alam sadar dan sebagian lagi terletak dalam alam tidak
14 sadar. Fungsi yang berpasang-pasangan, berhubungan secara kompensatoris. Semakin berkembang fungsi superior, maka makin besar kebutuhan fungsi inferior akan kompensasi, yang mengganggu keseimbangan jiwa (terefleksikan dalam tindakan yang tidak terkendali). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat rasionalitas dapat didekati melalui pikiran (berpikir) dan perasaan. Mengutip pendapat Plato (Suryabrata, 2005), berpikir adalah berbicara dalam hati. Tujuan berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan (segala sesuatu yang telah dimiliki), berupa pengertian-pengertian dan dalam batas tertentu juga tanggapan. Berpikir merupakan proses yang dinamis dan dapat digambarkan menurut proses atau jalannya. Terdapat tiga langkah dalam proses atau jalannya berpikir (Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004): (1) Pembentukan pengertian: menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek sejenis, membandingkan ciri-ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri yang sama dan tidak sama, serta mengabstraksikan (menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki). (2) Pembentukan pendapat: meletakkan hubungan antara dua pengertian atau lebih. Pendapat dapat dibedakan menjadi tiga macam: pendapat afirmatif (positif),
pendapat
negatif,
dan
pendapat
modalitas
(kemungkinan-
kemungkinan). (3) Penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan: berdasarkan pendapatpendapat yang telah ada. Selain berpikir, tingkat rasionalitas juga memasukkan unsur perasaan, yang merupakan gejala psikis yang bersifat subyektif dan umumnya berhubungan dengan gejala mengenal. Perasaan dapat timbul karena mengamati, menanggapi, mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan dibedakan atas: (1) Perasaan jasmaniah: perasaan indriah (berhubungan dengan perangsangan pancaindera: manis, asin, pahit) dan perasaan vital (berhubungan dengan keadaan jasmani: segar, letih, sehat). (2) Perasaan rohaniah: perasaan intelektual (kesanggupan intelek dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi: senang, kecewa), perasaan kesusilaan/etis (tentang baik-buruk, terkait dengan norma-norma), perasaan keindahan, perasaan sosial (mengikatkan individu dengan sesama manusia,
15 hidup bermasyarakat, bergaul, saling tolong-menolong, memberi dan menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan), perasaan harga diri (positif: puas, senang, gembira, bahagia; dan negatif: kecewa, tidak senang, tidak berdaya), perasaan keagamaan (terkait dengan kepercayaan seseorang terhadap Tuhan: rasa kagum, rasa syukur). Tingkat Intelegensi Binet (Suryabrata, 2005) menyatakan bahwa sifat hakikat intelegensi ada tiga macam, yaitu: (1) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakap membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas seseorang, makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan suasana lain. (2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Jadi semakin cerdas seseorang akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis. (3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dapat belajar dari kesalahannya. Menurut Stern (Sujanto, 2004), intelegensi merupakan kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri cepat dan tepat dalam suatu situasi yang baru. Berdasarkan arah atau hasilnya intelegensi dibedakan atas dua jenis: (1) Intelegensi praktis: untuk mengatasi suatu situasi yang sulit dalam pekerjaan, yang berlangsung secara cepat dan tepat. (2) Intelegensi teoritis: untuk mendapatkan suatu pikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat. Faktor yang mempengaruhi intelegensi adalah: pembawaan (kesanggupan yang dibawa sejak lahir, tidak sama pada setiap orang); kematangan (munculnya daya jiwa yang kemudian berkembang); pembentukan (faktor luar yang mempengaruhi intelegensi di masa perkembangannya); dan minat (motor penggerak intelegensi).
16 Howard Gardner (Wikipedia, 2010) berpendapat bahwa tingkat intelegensi merupakan kemampuan dasar yang terkait dengan kemampuan abstraksi, logika dan daya tangkap. Intelegansi dibedakan atas: (1) Intelegensi linguistik, intelegensi yang menggunakan dan mengolah kata-kata, baik lisan maupun tulisan, secara efektif. (2) Intelegensi matematis-logis, kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan pada kepekaan pola logika dan perhitungan. (3) Intelegensi ruang, kemampuan yang berkenaan dengan kepekaan mengenal bentuk dan benda secara tepat serta kemampuan menangkap dunia visual secara cepat. (4) Intelegensi kinestetik-badani, kemampuan menggunakan gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. (5) Intelegensi musikal, kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. (6) Intelegensi interpersonal, kemampuan seseorang untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, dan watak temperamen orang lain seperti yang dimiliki oleh seorang motivator dan fasilitator. (7) Intelegensi intrapersonal, kemampuan seseorang dalam mengenali dirinya sendiri. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan berefleksi (merenung) dan keseimbangan diri. (8) Intelegensi naturalis, kemampuan seseorang untuk mengenal alam, flora dan fauna dengan baik. (9) Intelegensi eksistensial, kemampuan seseorang menyangkut kepekaan menjawab persoalan-persoalan terdalam keberadaan manusia, seperti apa makna hidup, mengapa manusia harus diciptakan dan mengapa kita hidup dan akhirnya mati. Sikap terhadap Perubahan Salah satu strategi difusi yang dapat dilakukan agen pembaruan (penyuluh) adalah mengembangkan sikap umum yang positif terhadap perubahan, pada sebagian kliennya. Individu anggota sistem yang berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari
17 informasi.
Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada
perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk diperkenalkan secara berurutan. Cara lain yaitu dengan mengekspos sejumlah pesan modernisasi walaupun pesan tersebut mungkin tidak berkaitan dengan inovasi tertentu. Contoh pendekatan ini dijumpai di kalangan petani di negaranegara berkembang. Media massa seperti radio, televisi, film, dan surat kabar dapat menciptakan iklim modernisasi dengan jalan mengekspos pesan-pesan pembangunan yang mendukung perubahan. Salah satu hasil penyajian pesanpesan (informasi) seperti itu adalah timbulnya sikap positif terhadap perubahan, yang memudahkan pengadopsian ide-ide baru (Rogers dan Shoemaker, 1971). Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa ada dua tingkatan sikap, yaitu: (1) sikap khusus terhadap inovasi, dan (2) sikap umum terhadap perubahan. Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya. Pengalaman positif dengan pengadopsian inovasi yang terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap yang positif pula terhadap inovasi yang diperkenalkan berikutnya. Sebaliknya pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi, yang dianggap sebagai suatu kegagalan, akan menjadi perintang bagi masuknya ide-ide baru pada masa mendatang. Oleh karena itu agen pembaruan harus memulai kegiatannya terhadap klien tertentu dengan inovasi yang memiliki taraf keuntungan yang relatif tinggi, yang sesuai dengan kepercayaan yang ada dan mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan melancarkan jalan untuk ide-ide yang akan diperkenalkan selanjutnya. Perilaku Komunikasi Petani Kerjasama Mengikuti pemikiran Etzioni (1961) bahwa kerjasama yang didasari keterikatan dan keterlibatan, dapat dibedakan atas tiga tipe, yakni kerjasama ekonomi, keamanan dan budaya. Dalam pandangan masyarakat madani, Martinelli (2002) berpendapat bahwa kerjasama di masyarakat dibagi dalam tiga tipe, yakni masyarakat pasar, pemerintah dan masyarakat komunal.
18 Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesivitas tinggi, tetapi rentang jaringan maupun kepercayaan (trust) yang terbangun adalah sangat sempit.
Sebaliknya pada
kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi kelompok ini akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas (Hasbullah, 2006). Tingkat Kekosmopolitan Rogers (2003) mendefinisikan tingkat kekosmopolitan adalah sebagai berikut: “Cosmopoliteness is the degree to which an individual is oriented outside a social system.” Inovator (perintis) adalah anggota dari suatu sistem sosial tetapi memiliki orientasi yang kosmopolit ke luar sistem. Orientasi tersebut membuat inovator terlepas dari kendala sistem lokal dan memungkinkan untuk memiliki kebebasan pribadi dalam mencoba ide-ide baru yang belum pernah dicoba.
Mengacu
pendapat Mardikanto (1993), tingkat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi masyarakat yang relatif kosmopolit, adopsi inovasi berlangsung lebih cepat. Namun bagi yang lebih lokalit (tertutup di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi berlangsung lebih lamban karena tidak ada keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dialami oleh orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.
19 Keterdedahan terhadap Media Media
massa
memiliki
ciri
sangat efektif
dalam
menyampaikan
pengetahuan dan relatif cepat menjangkau sasaran yang luas dalam waktu yang singkat. Hal ini memungkinkan media massa dapat berperan penting pada tahap pengenalan suatu inovasi ke masyarakat (Rogers dan Shoemaker, 1971). Media massa dapat digunakan untuk penyebaran inovasi-inovasi yang tidak rumit. Menurut teori 'psikodinamik model DeFleur's' (McQuail dan Windahl, 1981), media massa tidak hanya berpengaruh secara langsung pada individu, tetapi juga mempengaruhi budaya, memberikan andil terhadap pengetahuan, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Media massa menyajikan serangkaian gambar, ide, dan evaluasi, sehingga dapat menarik khalayak dalam memilih perilaku yang sesuai. Kecenderungan media massa untuk menyampaikan ideologi (secara implisit); pembentukan pendapat; distribusi diferensial pengetahuan dalam masyarakat; perubahan jangka panjang dalam budaya, institusi dan bahkan struktur sosial. Dukungan Iklim Usaha Mosher (1966) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin bergantung pada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Bila pertanian hendak dimajukan, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi. Syarat pokok pertama: pasar untuk hasil usahatani. Peningkatan produksi pertanian dari usahatani menghasilkan surplus. Konsekuensi dari peningkatan produksi pertanian adalah meningkatnya kebutuhan petani akan pihak-pihak yang berperan dalam meningkatkan: permintaan pasar (market demand), baik di dalam maupun luar negeri, dan sistem tataniaga (marketing system) yang melibatkan berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam pemasaran hasil usahatani: dari pedagang pengumpul di tingkat desa sampai dengan nasional dan internasional yang berperan sebagai eksportir.
20 Kedua: teknologi yang senantiasa berubah. Dalam konteks ini, agar pembangunan pertanian dapat berlangsung terus menuntut adanya suatu perubahan berkelanjutan dalam hal teknologi pertanian. Selalu muncul tuntutan adanya penelitian dan pengembangan pertanian yang menghasilkan inovasi teknologi pertanian. Inovasi ini mutlak diperlukan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan dalam sistem pertanian/agribisnis. Sejak proses budidaya sampai pascapanen komoditas pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi pertanian secara berkelanjutan. Inovasi teknologi tersebut sangat relatif. Bisa merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang dikembangkan petani, ditemukan petani dan peneliti lain, dari beragam kelembagaan pemerintah dan atau swasta di dalam dan luar negeri. Syarat pokok ketiga: tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi dari temuan inovasi teknologi pertanian atau sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, pakan ternak, alat mesin pertanian, dan sebagainya. Sarana produksi dan peralatan yang ditawarkan kepada petani hendaknya harus memiliki 5 (lima) sifat berikut, sehingga petani akan cenderung terus membeli: (1) keefektifan dari segi teknis, (2) mutu produk dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di lokasi petani berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani, serta (5) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani. Syarat pokok keempat adalah perangsang produksi bagi petani. Menurut Mosher (1966), petani sangat rasional dalam mengambil keputusan tentang usahataninya. Petani menghendaki perbandingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar, dan tersedianya barang serta jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya. Petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi bila: (1) harga komoditas yang dianjurkan mempunyai harga pasar yang tinggi, (2) barang-barang input yang diperlukan tersedia secara lokal, (3) mengetahui bagaimana menggunakan input secara efektif, (4) harga input tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan harga yang diharapkan dari hasil produksinya, dan (5) tataniaganya lebih efisien. Pengangkutan/transportasi
merupakan
syarat
pokok
kelima
dalam
pembangunan pertanian. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, keempat
21 syarat pokok tersebut diatas tidak dapat diadakan secara efektif. Jaringan pengangkutan yang luas diperlukan mengingat lokasi pertanian dan masyarakat pertanian tersebar luas. Dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur yang baik, tidak hanya memudahkan dalam penyediaan saprodi secara lokal tetapi juga untuk memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan secara langsung mempengaruhi efisien tidaknya sistem tataniaga suatu komoditas pertanian. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga sarana produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal, serta menentukan terhadap tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan dipasarkan. Mosher (1978) menambahkan bahwa untuk membangun pertanian yang modern di pedesaan, perlu tambahan dukungan (selain yang telah dikemukakan sebelumnya), yaitu: (1) kredit produksi dan (2) pendidikan penyuluhan yang bertujuan membantu petani mendapatkan informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru.
Setiap penyuluh membutuhkan pemahaman tentang: (1)
produksi tanaman dan ternak, (2) pertanian sebagai suatu usaha, (3) pembangunan pertanian, (4) petani dan bagaimana mereka belajar, dan (5) masyarakat pedesaan. Syahyuti (2003) membedakan pengelompokan kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian atau pedesaan atas sistem agribisnis, dibagi menjadi lima kelompok kelembagaan. Pertama, kelembagaan pengadaan sarana input produksi. Dalam kelompok ini misalnya termasuk kelembagaan kredit atau kelembagaan permodalan usahatani, kelembagaan pupuk yang mencakup mulai dari pengadaan sampai distribusinya, kelembagaan benih yang juga begitu kompleksnya yang salah satu bagiannya dikenal dengan struktur JABAL (Jaringan Benih Antar Lapang), serta kelembagaan penyediaan dan distribusi pestisida. Kedua, kelembagaan dalam aktivitas budidaya, mencakup kelembagaan tenaga kerja, kelembagaan pengairan, kelembagaan lahan dalam hal tata hubungan antara pemilik dan petani penggarap, serta kelembagaan panen. Ketiga, kelembagaan terkait dengan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Seluruh orang yang terlibat di dalamnya dapat diidentifikasi, karena diikat oleh kepentingan yang sama, dan tunduk pada kesepakatan-kesepakatan yang diakui secara bersama. Keempat, kelembagaan pemasaran. Hal ini merupakan kelembagaan
22 yang cukup kompleks.
Dalam pengertian Purcell (Syahyuti, 2003), analisis
kelembagaan pada tataniaga pertanian merupakan proses penyampaian suatu barang dari produsen ke konsumen, dan efisiensi merupakan indikator kelembagaan yang penting. Kelima, kelembagaan pendukung yang meliputi kelembagaan koperasi, kelembagaan penyuluhan pertanian, dan kelembagaan penelitian
mulai
dari
penciptaan
sampai
dengan
delivery
system-nya
membutuhkan suatu organisasi khusus. Penyuluhan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan penyuluhan adalah: ”proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.” Selanjutnya pada Pasal 26 ayat (3), ”penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.” Pada Pasal 2 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, “penyuluhan diselenggarakan berasaskan
demokrasi,
manfaat,
kesetaraan,
keterpaduan,
keseimbangan,
keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat.” Penjelasan lebih lanjut dalam UU tersebut, sebagai berikut: (1)
Penyuluhan berasaskan demokrasi, yaitu penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat antara pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku utama serta pelaku usaha.
(2)
Penyuluhan berasaskan manfaat, yaitu penyuluhan yang harus memberikan nilai manfaat bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha.
23 (3)
Penyuluhan berasaskan kesetaraan, yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus merupakan mitra sejajar.
(4)
Penyuluhan berasaskan keterpaduan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antar kepentingan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
(5)
Penyuluhan berasaskan keseimbangan, yaitu setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, pengarusutamaan gender, keseimbangan pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antara kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif masih tertinggal.
(6)
Penyuluhan berasaskan keterbukaan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan pelaku utama serta pelaku usaha.
(7)
Penyuluhan berasaskan kerjasama, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dilaksanakan secara sinergis dalam kegiatan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
(8)
Penyuluhan berasaskan partisipatif, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama dan pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
(9)
Penyuluhan berasaskan kemitraan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menghargai, saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.
(10) Penyuluhan berasaskan berkelanjutan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud kemandirian. (11) Penyuluhan berasaskan berkeadilan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang memposisikan pelaku utama dan pelaku usaha berhak mendapatkan
24 pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. (12) Penyuluhan berasaskan pemerataan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan segenap lapisan pelaku utama dan pelaku usaha. (13) Penyuluhan berasaskan bertanggung gugat, yaitu bahwa evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan. Pada Pasal 3 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: (1)
Memperkuat pengembangan pertanian, perikanan serta kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan;
(2)
Memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi,
pengembangan
potensi,
pemberian
peluang,
peningkatan
kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi; (3)
Memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif,
efektif,
efisien,
terdesentralisasi,
partisipatif,
terbuka,
berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan serta kehutanan; (4)
Memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan;
(5)
Mengembangkan sumberdaya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan. Pasal 4 UU RI Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan, bahwa fungsi sistem
penyuluhan meliputi: (1)
Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;
25 (2)
Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
(3)
Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha;
(4)
Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan;
(5)
Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha;
(6)
Menumbuhkembangkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian lingkungan;
(7)
Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuhkembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional, sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 ayat (1). Menurut van den Ban dan Hawkins (2005), penyuluhan didefinisikan secara sistematis sebagai proses yang: (1)
Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan;
(2)
Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut;
(3)
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani;
(4)
Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal;
26 (5)
Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai alternatif tindakan;
(6)
Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan
(7)
Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.
Namun demikian, penyuluhan tidak mencakup semua aspek tersebut. Dengan pemberian satu atau beberapa aspek permasalahan, petani akan mampu memecahkan sendiri masalah selebihnya, bahkan kadang-kadang cukup dengan hanya penjelasan masalah dan analisis yang sistematis. Pada kesempatan lain mungkin cukup dengan hanya memberi tambahan informasi. Penyuluh perlu terlebih dahulu menganalisis keadaan petani sebelum memutuskan untuk membantunya. Mosher (1978) mendefinisikan penyuluhan adalah sebagai berikut: ”The extension process is that of working with rural people through out-ofschool education, along those lines of their current interest and need which are closely related to gaining livelihood, improving the physical level of living of rural families, and fostering rural community.” Kompetensi Penyuluh Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi adalah sebagai berikut: ”A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to creterion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation.” Kata ”underlying characteristic” mempunyai arti bahwa kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang, serta dapat memprediksi perilaku pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. ”Causally related” bermakna kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya kinerja atau dapat digunakan untuk memprediksi perilaku seseorang. Kata ”creterion-referenced” memiliki makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi “siapa?” seseorang yang berkinerja baik atau buruk, diukur dari kriteria atau standar khusus yang digunakan.
27 Menurut Sumardjo (2008), kompetensi penyuluh adalah karakteristik yang melekat pada diri penyuluh yang menentukan keefektifan kinerja penyuluh dalam mengemban misi penyuluhan. Dalam organisasi penyuluhan dibutuhkan penentuan tingkat kompetensi, agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan. Penentuan kebutuhan ambang kompetensi penyuluh dapat dijadikan dasar bagi proses-proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan kompetensi masing-masing level kualifikasi penyuluh. Merujuk pada karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer (1993) dan Mitrani et al. (Sumardjo, 2008), terdapat lima karakteristik kompetensi penyuluh, yaitu: (1) ”Motives,” (2) ”Traits,” (3) ”Self Concept,” (4) ”Knowledge,” dan (5) ”Skills.” Motif (”Motives”) adalah sesuatu bilamana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan.
Motif penyuluh adalah dorongan
(drive), arah (direct), dan pilihan (select) perilaku penyuluh melalui tindakan tertentu atau menuju tujuan tertentu penyuluhan (motives adalah drive, direct and select behavior toward certain action or goals and away from others). Misalnya dengan mengacu pada filosofi penyuluhan, maka dapat diusulkan bahwa secara normatif motif penyuluh dalam konteks profesi adalah ”mengembangkan karir melalui
profesi pengembangan kompetensi petani agar petani mampu
meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya.” Dalam hal ini terdapat sinergi antara penyuluh, petani dan negara, yang diindikasikan oleh adanya pencapaian kesejahteraan penyuluh dan kesejahteraan petani, serta dengan kesejahteraan rakyat dan bangsa (tujuan negara). Sifat bawaan (”Traits”) adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak mandiri yang membuat seseorang (penyuluh) berperilaku tertentu (secara otonom) dalam merespon sesuatu dengan cara tertentu. Misalnya percaya diri (self confident), kontrol diri (self control), kesiapan diri (self-readiness), ketahanan terhadap stres (stress resistence), atau ketabahan/daya tahan (hardiness).
Secara normatif dapat diusulkan seorang penyuluh seharusnya
mempunyai karakter senantiasa konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan diri, arif, mampu bersinergi (interdependent), berwawasan luas, adil dan beradab. Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang berlaku dan mampu berempati dalam mengemban misi atau tugas-tugasnya.
28 Konsep diri (”Self Concept”) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang (penyuluh). Secara normatif dapat diusulkan, ”seseorang penyuluh memiliki sikap dan nilai (value) yang jelas dan positif terhadap diri sendiri, misi penyuluhan, keberpihakan pada keadilan, egaliter, kerjasama yang sinergis dan konvergen antar pihak-pihak terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat melalui penyuluhan.”
Petani bukanlah bawahan
penyuluh pertanian, melainkan mitra dalam mewujudkan kesejahteraan bersama rakyat dan bangsa/negara. Oleh karena itu pendekatan dalam kegiatan dan program penyuluhan harus partisipatif dan dialogis. Penyuluh juga bukan subordinat (bawahan) dinas teknis, tetapi mitra sejajar dalam upaya mewujudkan tujuan pihak-pihak terkait. Di sini peran penyuluh adalah sebagai fasilitator dan pendamping pihak-pihak terkait dalam mewujudkan kesejahteraan petani. Pengetahuan (”Knowledge”) adalah informasi yang dimiliki seseorang (penyuluh) untuk bidang tertentu (terkait dengan substansi/inovasi, metode/teknik, dan pendekatan, serta pengelolaan program penyuluhan yang sesuai dengan potensi, permasalahan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat serta lingkungan setempat). Secara normatif, misalnya seorang penyuluh harus memiliki informasi terkait dengan wawasan yang luas (inovasi, metode dan teknik, kebutuhan, serta budaya masyarakat) atau persepsi yang tepat terkait dengan potensi sumberdaya, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam program penyuluhan di wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Selain itu, yang terpenting penyuluh harus memiliki pengetahuan
tentang perilaku khalayak sasaran (petani, peternak, nelayan dan sebagainya). Keterampilan (”Skills”) adalah kemampuan (penyuluh) untuk melaksanakan suatu tugas (penyuluhan) baik secara fisik maupun mental. Seperti disebutkan dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 16 ayat (2), penyuluh perlu memiliki keterampilan dalam hal: (1) Menyusun program penyuluhan; (2) Melaksanakan penyuluhan; (3) Menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya; (4) Melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
29 (5) Menumbuhkembangkan kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha; (6) Melaksanakan kegiatan rembuk, pertemuan teknis, temu lapang, dan metode penyuluhan lain bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (7) Memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan serta pelatihan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (8) Memfasilitasi forum penyuluhan pedesaan. Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi suatu pekerjaan, Spencer dan Spencer (1993) membedakan kompetensi menjadi dua kategori, yaitu: (1) ”threshold” dan (2) ”differentiating.” Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya.
Dalam konteks
penyuluhan, keahlian dasar seorang penyuluh adalah memahami perilaku dan kebutuhan khalayak sasaran. Di samping itu juga kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan.
Differentiating competencies
adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah. Dalam konteks penyuluh, menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya.
Seorang
penyuluh yang motivasinya mengembangkan kompetensi petani agar dapat meraih kesejahteraannya yang lebih tinggi, akan berkinerja lebih tinggi, dibanding penyuluh yang motivasinya hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas mencapai target produksi yang telah ditetapkan oleh atasannya. Peran Penyuluh Beberapa hal yang harus diperankan penyuluh dalam mendorong terjadinya pembaruan (Lippitt et al., 1958), yaitu: (1)
Mendiagnosis permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh klien.
(2)
Tahapan ini dapat dilakukan dengan menggunakan sumber lain atau mendiagnosis permasalahan klien secara langsung.
(3)
Mengenali sistem motivasi klien dan kapasitasnya untuk melakukan pembaruan. Motivasi merupakan sistem yang kompleks mencakup baik
30 bersifat altruisme (ikhlas) untuk kepentingan pihak lain maupun untuk kepentingan diri sendiri. (4)
Mengenali motivasi penyuluh dan sumberdaya yang tersedia. Penyuluh harus
mengacu
kepada
kebutuhannnya,
preferensi
pribadi,
dan
keyakinannya terhadap hal yang benar dan yang salah. (5)
Memilih tujuan pembaruan yang tepat. Dalam pemilihan ini peran yang harus diambil oleh penyuluh bergantung pada interpretasi diagnostiknya dalam menentukan langkah awal dan sekuensi atas tahapan-tahapan yang harus dilalui serta tujuan akhir yang hendak diwujudkan.
(6)
Menentukan peran yang tepat. Penyuluh harus memberikan suatu inisiatif tentang keputusan tujuan pembaruan, bagaimana mewujudkannya dan apa yang harus dilakukan pertama kali.
(7)
Membangun dan memelihara hubungan dengan sistem klien. Semua diagnostik dari penyuluh dan kegiatan-kegiatan yang membantu harus dilaksanakan dalam konteks membangun hubungan yang telah dibangun dengan sistem klien.
(8)
Mengenalkan dan memandu tahap-tahap pembaruan. Setiap pembaruan harus dilakukan dengan tahapan-tahapan yang jelas serta klien dipandu dengan benar.
(9)
Penyuluh harus mampu memilih teknik-teknik yang spesifik dan model perilaku secara tepat, karena banyak teknik dan model perilaku yang dapat digunakan.
(10) Penyuluh harus menstimulir dirinya untuk berkembang bersama-sama dengan klien serta dapat memberikan kontribusi melalui penelitian dan perumusan konsep. Hasil identifikasi Rogers (2003) terdapat tujuh peran penyuluh sebagai agen pembaruan, yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) untuk menetapkan suatu hubungan pertukaran informasi, (3) mengdiagnosis masalah, (4) menciptakan suatu maksud pada klien untuk berubah, (5) mewujudkan suatu maksud dalam tindakan, (6) memantapkan adopsi dan mencegah penghentian, dan (7) mencapai hubungan akhir (tujuan akhir penyuluh adalah mengembangkan perilaku memperbarui sendiri pada klien).
31 Materi/Program Penyuluhan Dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (22), disebutkan bahwa materi penyuluhan adalah: “bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan.” Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan, bahwa: “materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan
dan
kepentingan
pelaku
utama
dan
pelaku
usaha
dengan
memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan, dan kehutanan.” Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) dinyatakan, bahwa: “materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan.” Pada Pasal 28 ayat (1) dinyatakan, bahwa ”materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.” Pada bagian penjelasan atas UU RI tersebut dijelaskan istilah-istilah “teknologi,“ “teknologi tertentu,“ serta “teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.“
Istilah “teknologi“
dapat berupa produk atau proses. Produk dapat berupa bibit, benih, alat, dan mesin, bahan, pestisida, dan obat hewan/ikan, sedangkan proses berupa paket teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Istilah “teknologi tertentu“ dimaksudkan sebagai teknologi yang diperkirakan dapat merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan masyarakat. Misalnya teknologi rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan teknologi pengendalian hama penyakit. Adapun “teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional“ merupakan produk atau proses yang ditemukan oleh masyarakat dan/atau telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat kebiasaan secara turun temurun. Clements (1999) mengungkapkan bahwa suatu program penyuluhan telah memotivasi beberapa partisipan untuk mengubah perilaku atau memperbaiki
32 praktek. Penyuluh memberikan tambahan informasi dan mendukung untuk membantu individu mengadopsi praktek terbaik.
Penyuluh ditantang untuk
membuat program yang berdampak bagi sejumlah klien untuk mengubah prakteknya, yang mendukung perubahan perilaku; menjadi lebih terlibat dengan individu; dan akan belajar bagaimana program yang akan datang diubah lebih efektif dalam mendorong adopsi. Diperlukan usaha untuk memotivasi tiap partisipan, menjelaskan tahapan-tahapan dalam suatu proses, menyediakan sumberdaya, dan menyediakan waktu untuk “memulai“ pada tiap tahap yang tidak cukup menjamin perubahan perilaku. Beberapa partisipan membutuhkan dorongan dan dukungan dalam bentuk informasi yang lebih banyak, pedoman praktek, dan penguatan yang membuat kemajuan mereka terintegrasi dengan kompetensi baru dalam kehidupan mereka sehari-hari. Prochasca, Norcross dan DiClemente (Clements, 1999) menyarankan enam tahapan perubahan: sebelum perenungan (precontemplation), perenungan (contemplation), mengumpulkan informasi, tindakan, adopsi dan internalisasi. Jika pergerakan dari satu tahap ke tahap yang lain didokumentasikan, maka terlihat adanya perubahan perilaku. Suatu program harus didefinisikan secara jelas, dan apa yang menjadi prioritas, dalam tujuan program diketahui perilaku khusus yang ingin diubah, dan waktu untuk melakukan perubahan, alat evaluasi harus dikembangkan selama perencanaan program, perlu motivasi partisipan untuk memulai mengubah perilakunya, diperlukan waktu untuk menindaklanjuti evaluasi administrasi sebagai alat perencanaan program, perkiraan jumlah klien dalam program yang dapat diharapkan secara realistik untuk mengadopsi teknologi baru.
Administrator harus proaktif dalam membantu penyuluhan
profesional dengan mempromosikan dan mendokumentasikan perubahan perilaku. Menurut
Mukmin
(1992),
persyaratan
materi
penyuluhan
adalah
menguntungkan, sesuai dengan teknologi setempat, mudah dimengerti, mudah dicoba dalam skala kecil, dan cepat dapat dirasakan hasilnya.
Jenis materi
meliputi teknologi (pemanfaatan, pelestarian dan rehabilitasi sumberdaya alam), dan materi pembinaan sikap mental untuk memupuk kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
33 Metode Penyuluhan Berdasarkan jumlah sasaran khalayak, metode penyuluhan dapat dibedakan dalam tiga macam teknik komunikasi (Mukmin, 1992; van den Ban dan Hawkins, 2005), yaitu: (1)
Komunikasi secara perseorangan (interpersonal), terutama dilakukan untuk mempengaruhi
tokoh
masyarakat
yang
menjadi
kunci
pendorong
keberhasilan kegiatan penyuluhan pembangunan, seperti tokoh kader usahatani menetap, kader santri penghijauan, kader konservasi sumberdaya alam dan sebagainya. Penyuluhan secara interpersonal merupakan dialog antara penyuluh dengan tokoh masyarakat ataupun dengan petani. (2)
Komunikasi secara kelompok, dilakukan untuk menjangkau masyarakat sasaran penyuluhan pertanian, seperti kelompok-kelompok tani, kelompok pelestari sumberdaya alam, dan sebagainya, misalnya untuk menyampaikan informasi pembinaan keterampilan dalam pelestarian sumberdaya alam. Metode kelompok mencapai lebih sedikit petani, tetapi memberi banyak kesempatan untuk berinteraksi dan memperoleh umpan balik.
(3)
Komunikasi secara masal, yang dilakukan untuk memberi informasi kepada masyarakat secara luas. Media cetak dan elektronik seperti surat kabar, radio dan televisi membantu penyuluh mencapai sejumlah besar petani secara serentak. Walaupun demikian, hanya sedikit kesempatan bagi petani untuk saling berinteraksi atau memberikan umpan balik kepada penyuluh. Media massa dapat menyebabkan perubahan perilaku, terutama yang terkait
dengan perubahan pengetahuan, namun tidak menyebabkan perubahan sikap. Hal ini disebabkan oleh pengirim dan penerima pesan cenderung menggunakan proses-proses selektif saat menggunakan media massa sehingga pesan pengirim mengalami distorsi. Proses-proses tersebut meliputi: publikasi selektif, perhatian selektif, persepsi selektif, daya ingat selektif, penerimaan selektif, dan diskusi selektif. Ada kecenderungan untuk menganggap penerima pesan bersifat resisten bila media gagal melakukan perubahan. Padahal secara logika sumber mungkin saja ikut bertanggung jawab. Kredibilitas, keandalan dan relevansi sumber sangat besar artinya. Kredibilitas pada umumnya tinggi, jika sumber dianggap memiliki keahlian, sesuai dengan pendapat penerima dalam hal-hal yang penting, dan yakin
34 akan kesungguhannya untuk membantu secara tulus (van den Ban dan Hawkins, 2005). Metode penyuluhan kelompok lebih menguntungkan dari media massa, karena terjadi umpan balik yang baik. Kesalahan pengertian yang mungkin terjadi antara penyuluh dengan petani dapat dihindari. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. Metode kelompok satu sama lain berbeda di dalam kesempatan memperoleh umpan balik dan berinteraksi.
Biaya menggunakan
metode kelompok cenderung lebih tinggi daripada media massa terutama jika penyuluhan dilakukan terhadap kelompok kecil. Metode kelompok sering mencapai bagian tertentu dari kelompok sasaran, karena hanya petani yang betulbetul berminat pada penyuluhan dan/atau petani anggota organisasi tertentu yang datang ke pertemuan. Ceramah, demonstrasi, widyakarya, dan diskusi kelompok merupakan metode kelompok (Tabel 2). Tabel 2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan Media yang sesuai atau memiliki ciri khas
Media Wejangan Demonstrasi massa
Media rakyat
Diskusi kelompok
Dialog/ interaktif
1. Menciptakan kesadaran akan inovasi
xxx
x
xx
xx
0
0
2. Menciptakan kesadaran akan masalah sendiri
0
x
xx
xxx
xxx
xxx
3. Alih pengetahuan
xxx
xx
xx
xx
x
xx
4. Perubahan perilaku
0
0
xx
x
xxx
xx
5. Menggunakan pengetahuan sesama petani
0
0
x
xx
xxx
x
6. Membangkitkan proses belajar
0
0
x
x
xxx
xx
7. Menyesuaikan dengan masalah petani
0
0
x
xx
xx
xxx
8. Tingkat abstraksi
xxx
xx
0
0
x
x
9. Biaya/petani yang dicapai
0
x
x
xx
xx
xxx
Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005) Keterangan: 0 = tidak cocok; x = cocok; xx=sangat cocok; xxx=amat sangat cocok
35 Metode kelompok terutama penting jika digunakan bersama-sama dengan metode lain dalam penyuluhan. Demonstrasi dan widyakarya mempunyai keuntungan, karena petani dapat melihat sendiri penerapan suatu metode dan mengetahui keuntungan dan kekurangan suatu inovasi. Petani cenderung mengubah perilakunya sesuai dengan yang dianjurkan, jika petani berkesempatan mendiskusikan yang diamati dengan pengelola demonstrasi, dengan anggota lain dari kelompoknya, dan dengan penyuluh serta sesama petani. Kekurangan dan kelebihan suatu metode tidak hanya bergantung pada metode yang dipilih, tetapi juga cara metode digunakan. Pada Tabel 3 ditunjukkan beberapa pendekatan yang berbeda berdasarkan tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui metode tertentu. Tabel 3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar Sifat tujuan belajar
Strategi
Metode yang disukai
(1) Mengetahui (kognitif)
Alih informasi (dari luar)
Publikasi dan rekomendasi dari media massa, ceramah, selebaran, dialog yang diarahkan
(2) Sikap (afektif)
Belajar dari penga- Diskusi kelompok, dialog tidak laman (informasi diarahkan, simulasi dan film dari dalam)
(3) Tindakan/ melakukan (psikomotorik)
Latihan dalam keterampilan
Metode yang mendorong tindakan = latihan, persiapan dengan demonstrasi atau film demonstrasi
Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005)
Persepsi Litterer (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi adalah: ”the understanding or view people have of things in the world around them.” Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa: ”perception is the interpretation by individuals of how things seem of them, espicially in reference to how individuals view themselves in relation to the world in which they are involved.” Wikipedia (2008) mengartikan persepsi sebagai proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari
36 proses penginderaan terhadap obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses kognisi dimulai dari persepsi. Secara teori persepsi dibedakan menjadi: (1) the sense-datum theory, (2) the adverbial theory, (3) the intentional theory, dan (4) the disjunctive theory (Stanford Encyclopedia, 2005). Litterer (Asngari, 1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Pengalaman akan berperan pada persepsi orang tersebut. Persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan.
Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-
bagian informasi, dengan cepat disusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Ada tiga mekanisme pembentukan mekanisme: (1) selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation, yang secara skematis ditampilkan pada Gambar 1. Pembentukan persepsi Mekanisme pembentukan persepsi Informasi sampai ke individu
Pengalaman masa silam
Interpretation
Selectivity Closure
Persepsi Perilaku
Gambar 1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
Informasi yang disampaikan kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadi interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu memegang peranan penting.
37 Litterer (Asngari, 1984) menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya. Sebaliknya, bila seseorang beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata, walau kenyataaannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya. Brunner dan Tagiuri (Asngari, 1984) menyatakan bahwa melalui interaksi, seseorang memperoleh banyak informasi. Hal ini dapat meningkatkan ketepatan persepsinya.
Dalam studinya di Caleta, Australia, Tully (Asngari, 1984)
menemukan bahwa interaksi di antara anggota kelompok akan meluruskan persepsi dan pengertian yang salah terhadap informasi yang diterimanya. Interaksi yang didasari oleh persepsi yang realistik akan mendorong tercapainya kesepakatan, dan selanjutnya meningkatkan motivasi dan tindakan bersama yang efektif. Sebaliknya, interaksi yang didasari oleh persepsi yang salah terhadap sesuatu akan menimbulkan pertentangan. Inovasi Rogers (2003) dan van den Ban dan Hawkins (2005) berpandangan bahwa inovasi merupakan suatu ide (gagasan), praktek atau obyek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang (individu) atau unit lain yang mengadopsi. Tidak menjadi masalah, sejauh dikaitkan dengan perilaku manusia, apakah ide (gagasan) tersebut secara obyektif dinilai baru atau tidak bila diukur dengan selang waktu sejak pertama kali digunakan atau ditemukan? Kebaruan suatu ide bagi seseorang ditentukan oleh reaksinya. Bila ide tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi seseorang, maka dapat dikatakan sebagai suatu inovasi; tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sistem metrik misalnya, masih merupakan suatu inovasi bagi beberapa orang Amerika Utara (Anglo-Saxon), walaupun sistem tersebut telah dikembangkan sekitar 200 tahun yang lalu. Kemungkinan seseorang telah mengetahui suatu inovasi, tetapi tidak bersikap mengadopsi atau menolak. Kebaruan suatu inovasi ditunjukkan dengan adanya pengenalan, persuasi atau suatu keputusan untuk mengadopsi. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau
38 dapat mendorong terjadinya pembaruan dalam masyarakat atau lokalitas tertentu. Pengertian ”baru” di sini, mengandung makna bukan sekedar ”baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat setempat dalam arti sikap mental (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakangerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk kehidupan masyarakat. Lebih lanjut pengertian inovasi diperluas menjadi: ”Sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong
terjadinya
perubahan-perubahan
di
segala
aspek
kehidupan
masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.” Menurut pakar sosiologi, inovasi merupakan salah satu butir proses spesifik yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, di samping tiga butir lainnya yaitu: penemuan (discovery), invensi (invention), dan difusi (diffusion) (Garcia, 1985).
Hagen (Garcia, 1985) berpendapat bahwa inovasi meliputi baik
pencapaian konsep mental baru maupun perubahan yang masuk dalam konsep tindakan atau dalam bentuk material. Contoh inovasi adalah perencanaan ulang dari beberapa item perlengkapan fisikal, pekerjaan teknik, pendidikan modern, industri dan bisnis, dan bahkan suatu kelompok organisasi manusia yang masuk dalam kelompok aktif yang menanamkan konsep baru dalam latihan. Dalam inovasi, baik kreativitas maupun sikap yang tepat diperlukan untuk memperbaiki hasil atau latihan. Dalam inovasi, seseorang menemukan lebih baik dan lebih efisien melalui kecerdasannya, imajinasi dan orisinalitas. Penerimaan terhadap sikap yang diinginkan, hanya dalam lingkup inovasi tempat seseorang mendapatkan kepuasan. Teori tentang perubahan berencana (Lippitt et al., 1958) dapat digunakan sebagai alat analisis untuk menelaah pendekatan yang dapat mendorong terjadinya
39 perubahan perilaku suatu komunitas. Dalam melakukan pembaruan, paling tidak terdapat tujuh tahapan proses pembaruan, yaitu: (1) Tahap 1: Mengembangkan kebutuhan untuk berubah (Development of a need for change, “unfreezing”). Pada fase ini perlu dikembangkan suatu kesadaran akan masalah-masalah yang dihadapi serta keinginan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tanpa kesadaran terhadap masalah tidak mungkin ada keinginan untuk melakukan pembaruan. (2) Tahap 2: Membentuk suatu perubahan hubungan (Establishment of a change relationship). Perlu dibangun kesamaan pandangan atas masalah-masalah yang dihadapi klien, antara penyuluh dengan klien sehingga memudahkan penyuluh dalam membantu klien menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. (3) Tahap 3,4,5: Bekerja menuju perubahan (Working toward change, “moving”). Sebelum menyusun program kerja paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu: Tahap 3: mengklarifikasi atau mendiagnosis permasalahanpermasalahan klien; Tahap 4: menguji alternatif tujuan, menetapkan tujuan dan tindakan-tindakan yang tepat; Tahap 5: menterjemahkan apa yang telah ditetapkan dan direncanakan dalam tindakan nyata. (4) Tahap
6:
Mengeneralisasikan
dan
memantapkan
suatu
perubahan
(Generalization and stabilization of change, “freezing”). Tahap ini dilakukan untuk memastikan pembaruan-pembaruan yang dilakukan benar-besar sesuai dengan karakteristik permanen dari sistem.
Dengan demikian pembaruan
yang dilakukan tetap bertahan dan tidak hilang begitu saja setelah program pembaruan dilakukan. (5) Tahap 7: Pencapaian akhir suatu hubungan (Achieving a terminal relationship).
Proses
ini
dilakukan
untuk
memastikan
tidak
ada
kebergantungan yang mendalam antara klien dengan penyuluh. Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi Difusi beberapa inovasi dari pertama diperkenalkan dalam beberapa tahun menyebar penggunaannya, sebagai contoh dari tahun 1989-2002, penduduk Amerika dewasa yang mengadopsi internet telah mencapai 71 persen. Kecepatan
40 adopsi merupakan kecepatan relatif di tempat suatu inovasi diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial. Biasanya kecepatan adopsi diukur berdasarkan jumlah individu yang mengadopsi suatu ide baru dalam periode waktu tertentu, misalnya dalam satu tahun. Ciri inovasi merupakan satu hal penting yang menjelaskan kecepatan adopsi suatu inovasi (Rogers, 2003). Ciri-ciri Inovasi (1) Keuntungan relatif (relative advantage): tingkatan suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya, seringkali dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, prestise sosial, atau dengan cara lain. Keuntungan relatif merupakan rasio keuntungan yang diharapkan dengan biaya adopsi suatu inovasi. Sub dimensi keuntungan relatif termasuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat waktu dan tenaga, imbalan yang segera didapat. Faktor terakhir yang menjelaskan mengapa kecepatan adopsi inovasi preventif biasanya rendah. Inovasi preventif merupakan ide baru yang diadopsi individu saat ini dan peluang memperkirakan masa mendatang rendah. Sebagai contoh: berhenti merokok, menggunakan sabuk pengaman mobil, mengadopsi praktek konservasi tanah, memeriksa kanker payudara, mendapat suntikan untuk melawan penyakit, pencegahan HIV/AIDS, dan metode adopsi kontrasepsi. Keuntungan relatif inovasi preventif sulit didemonstrasikan oleh agen pembaruan kepada klien, karena keuntungannya baru diperoleh di masa mendatang dan tidak mengetahui waktunya, ketidakpastiannya tinggi. (2) Kesesuaian (compatibility): tingkatan suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensial adopter. Hal ini akan membantu individu memahami ide baru, sehingga lebih mudah mengenal (familiar). Suatu inovasi dapat sesuai atau tidak dengan: (a) nilai-nilai sosiobudaya, (b) ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya, dan/atau (c) kebutuhan klien akan inovasi. Seperti varietas padi yang diperkenalkan International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 1960, tidak sesuai dengan rasa yang diinginkan masyarakat. Empat puluh tahun kemudian, petani India masih menanam (sedikit) varietas padi lokal (tradisional) untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan jenis padi IRRI untuk
41 dijual. Saat ini ahli pemuliaan tanaman IRRI telah mulai memperkenalkan varietas padi baru yang sesuai dengan selera konsumen, seperti halnya produksi yang tinggi. Kesesuaian suatu inovasi tidak hanya dengan nilai-nilai budaya, tetapi juga dengan ide sebelumnya; dan ini dapat mempercepat kecepatan adopsi. Ide-ide lama merupakan alat mental utama yang digunakan individu untuk akses terhadap ide-ide baru dan memaknainya. Salah satu indikasi kesesuaian inovasi adalah tingkatan pemenuhan kebutuhan yang dirasakan klien. Agen pembaruan menentukan kebutuhan klien dan merekomendasikan inovasi yang memenuhi kebutuhan tersebut. Agen pembaruan harus memiliki tingkat empati yang tinggi dan akrab dengan klien agar dapat memperkirakan kebutuhan klien dengan tepat.
Penyelidikan
informal, kontak interpersonal dengan klien, dan survai terhadap klien dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan inovasi. Di sini agen pembaruan harus berhati-hati dalam menggali kebutuhan klien, jangan sampai hanya merupakan refleksi kebutuhan agen pembaruan. (3) Kerumitan (complexity): tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan. Ide baru dapat diklasifikasikan dalam kontinum rumit-sederhana.
Beberapa inovasi dapat dengan mudah dipahami oleh
adopter yang potensial, sedangkan yang lain tidak. Kerumitan suatu inovasi dianggap oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsi. Kerumitan mungkin tidak demikian penting dibandingkan dengan keuntungan relatif atau kesesuaian untuk beberapa inovasi, tetapi beberapa ide baru yang rumit merupakan suatu rintangan untuk diadopsi. (4) Dapat diujicoba (trialability): tingkatan suatu inovasi dapat dicoba dengan skala yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba, biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba. Beberapa inovasi lebih sulit untuk dicoba, dibandingkan dengan yang lain. Individu yang mencoba suatu inovasi merupakan salah satu cara untuk memberikan makna pada suatu inovasi dan menemukan cara bagaimana bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya. Dapat dicobanya suatu inovasi dianggap oleh anggota sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsi. Jika suatu inovasi dirancang lebih mudah dicoba, maka akan lebih mempercepat adopsi.
42 (5) Dapat diamati (observability): tingkatan hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Beberapa ide mudah diamati dan dikomunikasikan kepada masyarakat, namun terdapat juga inovasi yang sulit diamati ataupun digambarkan kepada orang lain. Dapat diamatinya suatu inovasi dianggap oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsi. Kecepatan Adopsi Inovasi Sebagian besar perbedaan kecepatan adopsi suatu inovasi, dari 49-87 persen, dapat dijelaskan dengan lima karateristik: keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan dapat diamati. Selain kelima karateristik tersebut, terdapat peubah lain seperti: (1) tipe keputusan inovasi (opsional, kolektif dan otoritas), (2) saluran komunikasi yang menyebarkan inovasi pada berbagai kondisi dalam proses keputusan inovasi, (3) sistem sosial di tempat inovasi disebarkan, dan (4) tingkat upaya promosi agen pembaruan dalam menyebarkan inovasi, yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi (Rogers, 2003). Secara umum keputusan inovasi secara optional yang dilakukan individu lebih cepat dibandingkan bila dilakukan oleh suatu organisasi. Lebih banyak orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kecepatan adopsinya semakin lambat. Berarti salah satu cara untuk mempercepat adopsi suatu inovasi adalah berupaya memilih unit pengambilan keputusan yang lebih sedikit melibatkan orang (individu). Saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan suatu inovasi mungkin juga mempunyai pengaruh terhadap kecepatan adopsi suatu inovasi. Misal, jika saluran komunikasi interpersonal (daripada saluran media massa) menimbulkan kesadaran-pengetahuan, seperti yang sering terjadi pada pengikut akhir (later adopter), kecepatan adopsinya berjalan lambat. Pada suatu sistem sosial alami, seperti norma-norma, dan tingkatan struktur jaringan komunikasi saling berhubungan erat, juga berdampak pada kecepatan adopsi suatu inovasi. Kecepatan adopsi suatu inovasi juga dipengaruhi oleh upaya promosi agen pembaruan. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan upaya agen pembaruan, mungkin tidak langsung dan linear. Suatu hasil terbesar dari sejumlah kegiatan agen pembaruan pasti terdapat tahapan-tahapan dalam suatu difusi inovasi.
43 Respon terbesar dari upaya agen pembaruan terjadi ketika pemuka pendapat mengadopsi, di suatu tempat biasanya terjadi antara 3-16 persen mengadopsi dalam sebagian besar sistem. Inovasi akan terus disebarkan dengan upaya promosi yang lebih sedikit oleh agen pembaruan, setelah titik kritis pengadopsi tercapai. Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar ”tahu” tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan, seperti ditampilkan pada Gambar 2 (Mardikanto, 1993). KOGNITIF pengetahuan INFORMATIF PSIKOMOTORIK keterampilan INOVASI pesan
ADOPSI INOVASI perubahan perilaku Persuasif dan entertainment
AFEKTIF sikap
Gambar 2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993) Proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan, meskipun selang waktu antara tahapan yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama. Dalam setiap tahapan adopsi, terdapat faktor pribadi dan lingkungan yang berpengaruh (Tabel 4).
44 Tabel 4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi Tahapan Adopsi
Faktor Pribadi
Faktor Lingkungan
(1) Sadar
- Kontak dengan sumbersumber informasi di luar masyarakatnya - Kontak dengan individu dan kelompok dalam masyarakatnya
- Tersedianya media komunikasi - Adanya kelompokkelompok dalam masyarakat - Bahasa dan kebudayaan
(2) Minat
- Tingkat kebutuhan - Kontak dengan sumber informasi - Keaktifan mencari sumber informasi
- Adanya sumber informasi secara rinci - Dorongan dari warga masyarakat setempat
(3) Menilai
- Pengetahuan tentang - Penerangan tentang keuntungan relatif dari keuntungan relatif praktek yang bersangkutan - Pengalaman petani lain - Tujuan dari usahataninya - Tipe pertanian dan derajat komersialisasinya
(4) Mencoba
- Keterampilan spesifik - Kepuasan pada cara-cara lama - Keberanian menanggung resiko
- Penerangan tentang caracara praktek yang spesifik - Faktor-faktor alam - Faktor-faktor harga input dan produk
(5) Menerapkan
- Kepuasan pada pengalaman pertama - Kemampuan mengelola dengan cara baru
- Analisis keberhasilan/ kegagalan - Tujuan dan minat keluarga
Sumber: Slamet (Mardikanto, 1993)
Proses adopsi tersebut terdiri atas lima tahap (Lionberger, 1968; Rogers dan Shoemaker, 1971; Mardikanto, 1993), yaitu: (1) Tahap kesadaran, yaitu seseorang (sasaran) mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. (2) Tahap menaruh minat, sering ditandai oleh keinginan seseorang (sasaran) untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. (3) Tahap penilaian, yaitu seseorang (sasaran) melakukan penilaian terhadap inovasi, baik aspek teknis, ekonomi, maupun sosial budaya, dikaitkan dengan
45 kondisi sasaran tersebut pada saat ini dan masa mendatang serta menentukan mencobanya atau tidak. (4) Tahap mencoba: seseorang (sasaran) menerapkan inovasi dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan dan kesesuaian dengan kondisi orang tersebut. (5) Tahap penerimaan atau menerapkan dengan keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan. Lionberger (1968) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi, yakni: (1) Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda. (2) Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. (3) Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, keterdedahan terhadap sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru. (4) Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi. (5) Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. (6) Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status). (7) Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinasdinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani.
46 (8) Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovasi maka semakin lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh dari yang paling cepat diterima, hingga yang paling sulit: (a) Perubahan hanya di bahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau pelaksanaan (misal: varietas baru suatu benih). (b) Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam bahan atau alat (misal: perubahan dalam rotasi tanaman). (c) Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping). (d) Perubahan total kegiatan usaha (misal: dari usahatani tanaman ke peternakan). Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek pertanian, seperti: (a) Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibandingkan dengan modal kecil. (b) Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekkan, maka akan lebih cepat diadopsi. (c) Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi. (d) Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya, lebih lambat diadopsi. (e) Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan. (9) Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi. Saluran Komunikasi Saluran komunikasi dibedakan atas: (1) saluran interpersonal dan media massa; serta (2) saluran lokalit dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal merupakan saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber dan penerima) antara dua orang atau lebih. Misalkan rapat atau pertemuan kelompok,
47 tanya jawab antara petani dengan penyuluh. Saluran media massa merupakan alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang, misalkan televisi, radio, film, surat kabar, buku dan sebagainya. Perbedaan penting antara saluran media massa dan interpersonal ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik saluran komunikasi Saluran
Karakteristik Media massa
Interpersonal
(1)
Arus pesan
Cenderung satu arah
Cenderung dua arah
(2)
Konteks komunikasi
Mentransmisikan pesan melalui media
Tatap muka
(3)
Kemungkinan umpan balik
Rendah
Tinggi
(4)
Kemampuan mengatasi proses selektif (selective exposure)
Rendah
Tinggi
(5)
Kecepatan menjangkau khalayak dalam jumlah besar
Relatif cepat dan efisien
Relatif lambat
(6)
Kemungkinan untuk menyesuaikan pesan dengan penerima
Kecil
Besar
(7)
Biaya yang diperlukan Rendah untuk menjangkau per orang
Tinggi
(8)
Kemungkinan pesan diabaikan oleh penerima
Tinggi
Rendah
(9)
Pesan yang sama bagi semua penerima pesan
Ya
Tidak
(10) Pihak pemberi informasi
Pakar atau penguasa
Setiap orang
(11) Efek yang mungkin dihasilkan
Perubahan pengetahuan
Perubahan dan pembentukan sikap
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971); Rogers (2003)
Saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit, jika menghubungkan sumber di atau dari luar sistem sosial. Sebagai contoh seorang anggota sistem sosial melakukan perjalanan ke luar daerah untuk menjumpai sumber informasi. Dapat juga seseorang dari luar daerah yang berkunjung ke dalam sistem sosial dan mengadakan pertemuan dengan anggota sistem sosial untuk menyampaikan
48 informasi.
Saluran interpersonal dikatakan lokalit bila kontak langsung yang
terjadi sebatas daerah atau sistem sosial itu saja. Sebaliknya saluran media massa dapat dipastikan bersifat kosmopolit. Keputusan Petani Dalam kegiatan usahatani terdapat sejumlah kendala yang berada diluar kemampuan petani, namun terdapat beberapa hal yang dapat dikontrol. Kontrol disini berarti bahwa petani dapat mengambil keputusan mengenai penggunaan faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal dan penjualan produk.
Derajat kontrol terhadap faktor produksi usahatani dan produknya
bergantung pada organisasi sosial dan masyarakatnya, yaitu direncanakan secara terpusat atau lebih berorientasi terhadap pasar (FAO, 1990).
Untuk analisis
usahatani, perlu mengetahui derajat kebebasan yang dimiliki rumah tangga tani dalam pengambilan keputusan. Terdapat beberapa jenis keputusan yang dapat dibuat oleh rumah tangga tani, berdasarkan orientasi terhadap: (1) produksi, (2) penggunaan sumberdaya, (3) investasi, (4) likuiditas, yakni banyaknya uang tunai yang dibutuhkan rumah tangga tani, (5) pengolahan dan pemasaran, serta (6) komunitas (seperti partisipasi dalam suatu organisasi petani, peningkatan status, apa yang diharapkan komunitas dari usahatani dalam hal produksi, waktu). Semua keputusan tersebut diambil dari sudut pandang tujuan-tujuan rumah tangga tani seperti tujuan dasar yang terkait dengan kebutuhan biologis (pangan, sandang, papan, dan pemeliharaan kesehatan); serta tujuan sosial yang terkait dengan lingkungan. Tujuan sosial mengacu pada peran dan fungsi yang dimiliki rumah tangga tani dalam komunitasnya. Perilaku anggota rumah tangga tani seringkali ditentukan oleh tradisi dan nilai-nilai. Perasaan sebagai manusia seringkali berhubungan dengan derajat keberhasilan dalam mencapai tujuan sosial.
Pendekatan lain yang secara tidak langsung mengarah ke identifikasi
tujuan adalah analisis kebutuhan dan permasalahan yang dirasakan. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi dalam pembangunan pertanian, banyak tujuan sosial yang diperoleh dengan peningkatan produksi dan pendapatan. Simbol-simbol status merupakan hal yang individual, seperti memiliki beberapa ekor sapi cukup untuk meningkatkan status sosial seseorang.
49 Kinerja Usahatani Untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja usahatani petani, perlu mengidentifikasi apakah teknologi yang diterapkan petani dalam usahataninya mampu mencapai tujuan yang diinginkan?
Tujuan petani dalam mengelola
usahatani antara lain : (1) mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun, (2) memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan dan kesehatan, (3) mampu memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya, (4) mampu menabung untuk jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima masyarakat serta memperoleh penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990). Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa; hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Akuntansi Sektor Publik, 2008). ARDictionary (2008) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai berikut: The act of performing; of doing something successfully; using knowledge as distinguished from merely possessing it; “they criticised his performance as mayor"; "experience generally improves performance.” Hasil kajian BPTP Jawa Tengah menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan konsolidasi manajemen usahatani dalam Corporate Farming (CF). Perbaikan tersebut bisa terjadi apabila ada peningkatan produktivitas, penurunan input produksi dan peningkatan harga secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Struktur dan tingkah laku pasar produk usahatani strategis mengikis manfaat konsolidasi pengelolaan usahatani dalam CF. Analisis kinerja usahatani korporasi ini difokuskan pada aspek-aspek alokasi dan pengelolaan sumber daya, produksi dan harga produk yang dihasilkan (Sarjana et al., 2008).
50 Menurut Sulistiyani (Wikipedia, 2009), kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Hasibuan (Wikipedia, 2009) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Witmore (Wikipedia, 2009) mendefinisikan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Karakteristik usahatani komersial yang sudah berkembang secara efisien dan produktif menurut FAO (1990) adalah: (1)
Tingkat spesialisasi yang tinggi, orientasi pasar secara penuh.
(2)
Padat modal, pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, penggunaan alsintan, handling yang baik, perkandangan yang baik, dan memungkinkan rasio lahan/orang atau ternak/orang yang lebih tinggi.
(3)
Input tenaga kerja yang rendah.
(4)
Teknologi tinggi dengan input yang tinggi, benih atau bibit ternak yang berkualitas, asuransi tanaman/ternak.
(5)
Manajemen yang baik.
(6)
Produksi per area atau per ekor ternak per hari yang tinggi, produktivitas tenaga kerja/hari yang tinggi, tingkat pengembalian modal tunai yang tinggi dan cepat.
(7)
Penanganan
pascapanen
sudah
secara
industri,
rantai
pemasaran
berkembang dengan baik, jaringan agribisnis yang efisien. (8)
Sistem pendukung berkembang dengan baik (perbankan, kredit, bengkel alsintan, penyuluhan organisasi petani, sarana komunikasi dan transportasi).
(9)
Tersedianya suplai input dengan sistem penyampaian yang cepat.
(10) Petani memiliki rumah yang memadai, dengan peralatan modern seperti televisi, air ledeng, listrik dan telepon. (11) Sistem jaminan sosial berkembang seperti asuransi kesehatan, dan pendidikan yang memadai.
51 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Lahan kering marjinal mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk usaha pertanian. Melalui inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan biofisik, sosial budaya serta kapasitas petani, maka hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani. Inovasi dapat berasal dari luar sistem sosial, namun perlu digali potensi sumberdaya yang ada dalam sistem sosial setempat. Dengan mengacu pada teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi, model lima tahapan dalam proses keputusan inovasi, memperhatikan karakteristik unit pengambil keputusan yang mencakup karakteristik sosial ekonomi, karakteristik pribadi dan perilaku komunikasi digunakan sebagai peubah bebas.
Ciri-ciri
inovasi meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan dapat diamati. Difusi merupakan proses suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial. Menurut Beal dan Bohlen (Hubbard dan Sandmann, 2007), dalam kerangka difusi mencakup beberapa "sub-teori" atau konsep. Konsep-konsep ini secara bersamaan memberikan pemahaman tentang sifat alami dan sifat sosial manusia, termasuk bagaimana informasi baru diterima (atau tidak diterima) oleh pengguna potensial? Komponen dari kerangka difusi klasik termasuk teori keputusan inovasi, teori keinovatifan individu, teori tingkat adopsi, dan teori lambang/simbol yang digunakan sebagai atribut (theory perceived attributes) (Rogers, 2003). Dalam penelitian ini, teori yang digunakan dibatasi pada teori keputusan inovasi, di samping teori yang berkaitan dengan aspek komunikasi dan saluran komunikasi, yang relevan dengan keputusan adopsi oleh individu. Beberapa faktor di luar kerangka difusi tetapi berkaitan dengan keputusan adopsi, juga digunakan dalam penelitian ini yakni dukungan iklim usaha dan penyuluhan (dilihat dari persepsi petani). Proses keputusan inovasi merupakan suatu proses mental sejak seseorang mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi tersebut, mengambil keputusan
untuk mengadopsi atau menolak,
52 mengimplementasikan ide baru dan membuat konfirmasi atas keputusan tersebut. Proses ini terdiri atas rangkaian pilihan dan tindakan individu dari waktu ke waktu atau suatu sistem evaluasi ide baru dan memutuskan mempraktekkan inovasi atau menolaknya. Perilaku ketidakpastian dalam memutuskan tentang suatu alternatif baru ini terkait dengan ide yang telah ada sebelumnya. Sifat suatu inovasi dan ketidakpastian berhubungan dengan sifat tersebut yang merupakan aspek khusus dari pengambilan keputusan inovasi (Rogers, 2003). Kerangka berpikir dibangun dengan mengintegrasikan teori Rogers (2003) tentang proses keputusan inovasi, syarat-syarat pokok pembangunan pertanian (Mosher, 1966) dan dukungan untuk membangun pertanian yang modern di pedesaan (Mosher, 1978) serta aspek penyuluhan (UU RI No. 16 Tahun 2006; van den Ban dan Hawkins, 2005; Spencer dan Spencer,1993; Lippitt et al.,1958). Dalam merakit inovasi teknologi pertanian di lahan kering marjinal diperlukan keterlibatan penyuluhan, tidak hanya penyuluh namun juga partisipasi petani. Di masa lalu pendekatan penyuluhan yang terfokus pada transfer teknologi terbukti hanya menimbulkan permasalahan pada petani (Röling, 1988; Pretty,1995). Pada prinsipnya, penyuluhan merupakan proses yang sistematis untuk membantu petani menyelesaikan masalah secara mandiri, sehingga pendekatan penyuluhan perlu memprioritaskan kebutuhan partisipan penyuluhan. Penyuluhan adalah proses perubahan berencana secara berkesinambungan, di dalamnya tercakup kegiatan pembelajaran bagi individu, kelompok, organisasi, komunitas, hingga masyarakat yang lebih luas guna melakukan transformasi atau perbaikan situasi (situation improvement) melalui perubahan perilaku (Amanah, 2000). Inovasi yang diteliti adalah teknologi usahatani terpadu. Istilah terpadu diartikan pemanfaatan sumberdaya yang ada (sesuai potensi) yang disinergikan antar komponen, sehingga menghasilkan output yang tinggi. Konsep usahatani terpadu merupakan keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman.
Dalam penelitian ini, lima tahapan dalam proses
keputusan inovasi (Rogers, 2003) hanya dibatasi pada satu tahap saja, yakni tahap keputusan inovasi, untuk menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel. Hal ini mengingat setiap tahapan dalam proses keputusan inovasi memerlukan
53 durasi waktu yang tidak sama, dan untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang telah terlewati memerlukan waktu yang lama, karena penelitian tidak dilakukan pada tahap awal (pengenalan).
Selain itu, dalam penelitian ini
keputusan (Y1) adopsi inovasi antara dua lokasi penelitian ditetapkan pada tahun yang berbeda, yakni Kabupaten Cianjur pada tahun 2007 dan Kabupaten Garut pada tahun 2005.
Keputusan adopsi inovasi petani di lahan kering marjinal
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) karakteristik petani (yang mencakup karakteristik sosial ekonomi petani dan karakteristik pribadi petani), (2) perilaku komunikasi petani, (3) dukungan iklim usaha, (4) persepsi petani terhadap penyuluhan, (5) persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan (6) persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi. Keseluruhan proses ini diduga berpengaruh terhadap kinerja usahatani di tingkat petani.
Diagram kerangka berpikir
ditampilkan pada Gambar 3. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang diajukan: (1) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dan dukungan iklim usaha, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. (2) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, dan persepsi petani terhadap penyuluhan, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. (3) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi. (4) Keputusan petani dalam mengadopsi inovasi berpengaruh nyata pada kinerja usahatani.
Karakteristik Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Pendidikan X1.3 Tingkat Pendapatan X1.4 Tingkat Mobilitas X1.5 Luas Lahan X1.6 Daya Beli Saprodi X1.7 Tingkat Rasionalitas X1.8 Tingkat Intelegensi X1.9 Sikap terhadap Perubahan X1.10 Tingkat Keberanian Beresiko
Persepsi Petani thd Pengaruh Media/Informasi (X6) X6.1 Media massa X6.2 Interpersonal
Persepsi Petani terhadap Penyuluhan (X4) X4.1 Kompetensi Penyuluh X4.2 Peran Penyuluh X4.3 Materi/Substansi Penyuluhan X4.4 Metode Penyuluhan
Perilaku Komunikasi Petani (X2) X2.1 Kerjasama X2.2 Tingkat Kekosmopolitan X2.3 Keterdedahan thd media
Dukungan Iklim Usaha (X3) X3.1 Ketersediaan Input (saprodi) X3.2 Ketersediaan Fasilitas Keuangan (KUD, Bank) X3.3 Ketersediaan Sarana
Persepsi Petani terhadap Ciri Inovasi (X5) (Teknologi lokal dan anjuran) X5.1 Keuntungan relatif X5.2 Kesesuaian X5.3 Kerumitan X5.4 Dapat diujicoba X5.5 Dapat diamati
Keputusan (Y1) Y1.1 Penentuan komoditas Y1.2 Penggunaan saprodi
Tidak Adopsi
Adopsi
Adopsi
Menolak
Adopsi
Kinerja Usahatani (Y2)
Gambar 3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marjinal
Menolak
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian Penelitian dirancang dengan metode survai yang bersifat eksplanasi, yakni menjelaskan fenomena perilaku petani yang terjadi dalam tahapan proses keputusan inovasi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu, petani sebagai responden penelitian. Sebagai peubah bebas adalah karakteristik petani (karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik kepribadian petani), perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, persepsi petani terhadap penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan pengaruh media/informasi. Peubah terikat adalah keputusan adopsi inovasi teknologi dan kinerja usahatani di tingkat petani. Waktu dan Lokasi Penelitian Provinsi Jawa Barat memiliki 1,64 juta ha lahan kering atau sekitar 29 persen dari luasan lahan kering di Pulau Jawa (5,64 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Pada tahun 2008, penggunaan lahan di Jawa Barat untuk lahan tegalan/kebun mencapai 576.565 ha, lahan ladang/huma 221.749 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 12.487 ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian baru mencapai 798.314 ha atau sekitar 48,7 persen dibandingkan total potensi yang ada (Badan Pusat Statistik, 2009). Melihat potensi tersebut, maka penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 – Maret 2009. Penentuan lokasi, berdasarkan pada agroekosistem lahan kering dengan tipologi yang berbeda, yakni dataran tinggi dan dataran rendah, masing-masing adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut. Setiap kabupaten dipilih satu kecamatan, yang merupakan lokasi atau wilayah inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan dan tersentralisir pada satu desa, yakni Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Desa Talaga, Kecamatan Cugenang berada pada ketinggian 700-1.100 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan tingkat kemiringan lahan 2-15 persen. Desa Jatiwangi, Kecamatan
56 Pakenjeng, berada pada ketinggian 240-860 meter dpl, dengan topografi datar sampai berbukit, berombak sampai berbukit dan berbukit sampai bergunung. Wilayah yang diperkenalkan inovasi usahatani terpadu di Desa Talaga berada pada ketinggian > 700 meter dpl, sehingga dikategorikan sebagai wilayah dataran tinggi, sedangkan di Desa Jatiwangi < 700 meter dpl, termasuk wilayah dataran rendah. Inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani di dua kabupaten tersebut, adalah inovasi Prima Tani berupa: (1) inovasi teknologi dan (2) inovasi kelembagaan. Namun hasil pengamatan pada waktu pra survai di lapangan, inovasi kelembagaan belum berjalan dengan baik, sehingga penelitian ini dibatasi hanya pada inovasi teknologi.
Secara konsep inovasi teknologi yang
diperkenalkan merupakan inovasi usahatani terpadu (tanaman dengan ternak). Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah inovasi teknologi usahatani terpadu. Di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan sejak tahun 2007 berupa teknik budidaya tanaman pisang (pengaturan jarak tanam, penjarangan anakan, pemupukan, pemotongan jantung, pembrongsongan dan penggunaan trichoderma),
teknik
budidaya cabai rawit dan caisin. Teknologi ternak domba berupa sanitasi kandang, sistem perkandangan, pemberian obat cacing. Selain itu pembuatan kompos dari limbah ternak dan tanaman pisang, yang kemudian digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pisang. Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga tertera pada Lampiran 3. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, sejak tahun 2005 berupa konservasi lahan, teknik budidaya nilam, padi gogo, pisang dan kacang tanah (pembenihan, penanaman,
pemupukan,
dan
pengendalian
hama
penyakit),
penanganan
pascapanen, ternak domba, pembuatan kompos serta pembibitan buah-buahan (rambutan dan durian). Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga tertera pada Lampiran 4.
57
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang berada di kedua desa penelitian (Desa Talaga dan Desa Jatiwangi). Mengingat anggota populasi petani lahan kering marjinal terdapat petani yang mengadopsi inovasi teknologi usahatani terpadu dan petani yang tidak mengadopsi, maka teknik pengambilan sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling).
Penentuan banyaknya responden yang dijadikan sampel penelitian
berdasarkan pada tingkat representatif dan heterogenitas yang diharapkan dari populasi penelitian. Ketersediaan waktu, biaya dan tenaga juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan jumlah sampel. Penentuan jumlah sampel penelitian menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al., 1993) sebagai berikut: n = { N/[1 + N(e)2]} n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi) ditentukan sebesar 5 persen Data Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut diperoleh jumlah populasi petani sebanyak 1.426. Berdasarkan rumus Slovin tersebut diperoleh perhitungan sebagai berikut: n = {1.426/[1 + 1.426 (0,05)2]} n = 1.426/4,565 n = 302,38 atau dibulatkan menjadi 302 Rincian jumlah populasi petani dan sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 6. Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 302 petani responden di lokasi penelitian yang diambil secara acak stratifikasi telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan uji statistik. Stratifikasi dipilah berdasarkan petani adopter dan petani non adopter. Keseluruhan petani (di Cianjur dan Garut) anggota kelompok tani yang ikut serta dalam program usahatani terpadu dan menerapkan teknologi tersebut dalam penelitian ini disebut petani adopter. Fakta di lapangan yang dimaksud dengan petani adopter ialah petani kooperator Prima Tani. Petani yang
58 tidak masuk dalam anggota kelompok tani dan tidak ikut serta dalam program usahatani terpadu disebut petani non adopter (petani non kooperator Prima Tani). Tabel 6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian Populasi Petani
Lokasi Penelitian (1) Kab. Cianjur Kec. Cugenang - Desa Talaga (2) Kab. Garut Kec. Pakenjeng - Desa Jatiwangi Total
Sampel Petani
Adopsi1)
Non adopsi
Total2)
Adopsi
Non adopsi
103
223
326
46
47
93
190 293
910 1.133
1.100 1.426
91 137
118 165
209 302
Total
Sumber: 1) BPTP Jawa Barat (data diolah) 2) BPP Kecamatan Cugenang dan BPP Kecamatan Pakenjeng
Termonilogi lahan marjinal dalam penelitian ini dibatasi pada lahan kering. Secara umum lahan kering, lahan pasang surut, dan sawah tadah hujan mempunyai produktivitas yang relatif rendah dibandingkan dengan sawah irigasi. Oleh karena itu, ketiga agro ekosistem ini sering digolongkan ke dalam kelompok lahan marjinal (Swastika et al., 2006). Sesuai dengan istilah sebagai lahan marjinal, berbagai masalah yang menyebabkan produktivitas rendah dijumpai di agro ekosistem ini. Lahan kering mempunyai lapisan solum yang tipis dengan kandungan hara yang rendah, serta topografi yang bergelombang, sehingga rentan terhadap erosi. Makin sering terjadi erosi makin kritis kondisi lahan, sehingga makin tidak produktif.
Data dan Instrumentasi Data Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data utama yang digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap. Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara. Data dari sumber lain (informan kunci) seperti penyuluh, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara
59 mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Wawancara mendalam (in depth interview) merupakan wawancara yang dilakukan secara intensif kepada informan, sehingga terelaborasi beberapa elemen dalam jawaban informan, yakni opini, nilai-nilai (values), motivasi, pengalamanpengalaman maupun perasaan informan. Dalam wawancara mendalam, peneliti memperhatikan jawaban verbal maupun respon-respon non verbal dari informan. Selain itu juga dilakukan pengamatan partisipatif. Cakupan data primer terdiri atas data kuantitatif (jawaban pertanyaan terstruktur dalam kuisioner yang berbentuk angka) dan data kualitatif (data penjelas dari fenomena yang diamati, baik yang diperoleh dari petani responden maupun informan kunci, berupa kalimat atau gambar). Data sekunder diperoleh dari instansi, seperti: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Kantor Desa dan Badan Pusat Statistik (BPS). Berbagai bahan atau studi yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian marjinal diperoleh dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Data sekunder yang berasal dari sumber-sumber tertulis yang diinterpretasikan, dapat dikategorikan sebagai data kualitatif (Nawawi dan Hadari, 2006). Instrumentasi Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan terstruktur yang berkaitan dengan peubah-peubah yang diteliti. Penelitian dipandang ilmiah bila instrumen yang digunakan memenuhi persyaratan kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan (Kerlinger,2000; Nawawi dan Hadari, 2006). Kesahihan dan Keterandalan Kesahihan Kesahihan (validitas) menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang sahih (valid) bila digunakan untuk mengukur berat, karena timbangan
60 memang mengukur berat. Menurut Kerlinger (2000), tipe kesahihan dibedakan atas: (1) kesahihan isi, (2) kesahihan kriteria, dan (3) kesahihan konstrak. Penelitian ini menggunakan kesahihan isi. Mengacu pada pendapat Ancok (1995), bahwa suatu alat ukur dikatakan sahih atau valid bila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya akan diukur.
Kesahihan isi suatu alat pengukur ditentukan oleh isi alat pengukur
tersebut yang merepresentasikan semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Data dengan tingkat kesahihan tinggi diharapkan dapat diperoleh dari daftar pertanyaan yang memenuhi kriteria: (1) Mempelajari teori-teori yang relevan dengan substansi penelitian dan kenyataan yang telah diungkapkan di berbagai kepustakaan. (2) Menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden. (3) Memperhatikan masukan dari para ahli, terutama dari Komisi Pembimbing (4) Melakukan uji coba instrumen (daftar pertanyaan) kepada responden yang memiliki karakteristik mirip dengan karakteristik petani contoh. Selanjutnya melakukan perbaikan daftar pertanyaan sesuai dengan hasil uji coba. Keterandalan Keterandalan (reliabilitas) merupakan indeks yang menunjukkan suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Bila suatu alat ukur digunakan dua kali, untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif
konsisten,
maka
alat
pengukur
tersebut
terandal.
Keterandalan
menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Ancok, 1995). Uji keterandalan yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik belah dua (split half reliability) dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 15.0. Pengujian kesahihan dan instrumen keterandalan dilakukan terhadap 30 petani responden yang memiliki karakteristik yang setipe lokasi penelitian. Hasil uji kesahihan menunjukkan nilai koefisien korelasi hitung yang tertera pada Tabel 7 dibandingkan dengan angka kritik nilai-r (pada db = 28) lebih tinggi. Angka kritik pada taraf nyata satu persen dan lima persen, masing-masing sebesar 0,463 dan 0,361. Dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi, maka pernyataan-
61 pernyataan dalam instrumen memiliki kesahihan isi yang sahih dan terandal, sehingga instrumen yang telah diujicoba, dapat digunakan dalam kegiatan penelitian. Tabel 7 Hasil uji kesahihan dan keterandalan instrumen penelitian dengan teknik belah dua Kisaran nilai koefisien Keterandalan korelasi (per item pertanyaan)
No.
Peubah
(1)
Perilaku komunikasi petani (X2)
0,444 – 0,775*
0,9035
(2)
Dukungan iklim usaha (X3)
0,449 – 0,859**
0,8980
(3)
Persepsi petani terhadap penyuluhan (X4)
0,407 – 0,853*
0,8877
(4)
Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (X5)
0,419 – 0,878*
0,8981
(5)
Pengaruh media/informasi (X6)
0,369 – 0,710*
0,7760
Keterangan: ** nyata pada taraf α = 0,01 * nyata pada taraf α = 0,05
Peubah Penelitian Terdapat enam peubah bebas dan dua peubah terikat yang diukur. Keenam peubah bebas tersebut adalah: X1 = Karakteristik petani (karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik pribadi petani), X2 = Perilaku komunikasi petani, X3 = Dukungan iklim usaha, X4 = Persepsi petani terhadap penyuluhan, X5 = Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, X6 = Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi. Peubah terikat dalam penelitian ini adalah: Y1 = Keputusan adopsi inovasi teknologi, Y2 = Kinerja usahatani di tingkat petani.
62 Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Karakteristik petani mencakup karakteristik sosial ekonomi petani dan karakteristik pribadi petani. Karakteristik sosial ekonomi petani merupakan hal yang melekat pada diri petani. Peubah ini meliputi umur, pendidikan (formal dan non formal), status sosial, tingkat mobilitas dan luas lahan (Tabel 8): (a) Umur petani dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan. (b) Pendidikan formal adalah lama pendidikan yang ditempuh di bangku sekolah, yang dihitung dalam jumlah tahun. (c) Pendidikan non formal adalah frekuensi mengikuti pendidikan di luar bangku sekolah, yang diukur dari jumlah mengikuti kegiatan penyuluhan ataupun plot demonstrasi. Kegiatan penyuluhan merupakan pertemuan yang dilakukan dengan penyuluh, baik berupa ceramah, diskusi maupun tanya jawab di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan. Kegiatan plot demonstrasi terkait dengan keterlibatan responden dalam pelaksanaan plot demonstrasi maupun kehadiran dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan. (d) Tingkat pendapatan merupakan besarnya perolehan penghasilan dari kegiatan berusahatani, termasuk berburuh tani (on farm) dan kegiatan usaha lain di luar pertanian (off farm). (e) Tingkat mobilitas petani diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa terkait dengan kegiatan usahatani dalam satu tahun terakhir. (f) Luas lahan merupakan luasan pengusahaan lahan garapan petani, yang mencakup luas penguasaan lahan (milik), maupun luasan garapan bukan milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar. (g) Daya beli saprodi merupakan tingkat kemampuan atau keterjangkauan petani secara ekonomis dalam membeli benih/bibit, pupuk dan pestisida.
63 Tabel 8 Sub-peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
A. Karakteristik sosial ekonomi (1) Umur
Lama tahun kehidupan
Dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan
Lama pendidikan yang ditempuh petani di bangku sekolah
Jumlah tahun selama mengikuti pendidikan formal
Frekuensi petani mengikuti pendidikan di luar bangku sekolah
- Frekuensi petani mengikuti ceramah, diskusi ataupun tanya jawab dengan penyuluh yang terkait dengan usahatani pertanian dalam periode satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan. - Frekuensi petani dalam keterlibatan pelaksanaan plot demonstrasi, frekuensi petani hadir dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.
(3) Tingkat pendapatan
Sumber penghasilan dari pertanian dan di luar pertanian
Besarnya perolehan penghasilan dari kegiatan berusahatani (termasuk berburuh tani) dan kegiatan di luar pertanian dari seluruh anggota keluarga dalam satu tahun terakhir
(4) Tingkat mobilitas
Frekuensi petani ke luar desa - Pembelian saprodi - Penjualan produk
Diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa dan jarak tempuh terkait dengan kegiatan usahatani (pembelian saprodi dan penjualan produk) dalam satu tahun terakhir
(5) Luas lahan
Luasan Diukur berdasarkan luas penguasaan pengusahaan lahan lahan (milik), maupun luasan garapan garapan petani bukan milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar
(6) Daya beli saprodi
Kemampuan membeli saprodi
(2) Pendidikan - Pendidikan formal
- Pendidikan non formal
Kemampuan petani dalam membeli benih/bibit, pupuk dan obat-obatan yang dilakukan secara tunai
64 Tabel 8 (lanjutan) Sub-Peubah
Indikator
B. Karakteristik pribadi petani - Kemampuan (1) Tingkat petani dalam rasionalimenilai suatu tas teknologi baru yang diperkenalkan (2) Tingkat intelegensi
- Kemampuan petani dalam hal mempertimbangkan penerapan teknologi baru dan memprediksi manfaatnya
(3) Sikap terhadap perubahan
Kecenderungan sikap petani terhadap teknologi usahatani terpadu
Pengukuran - Penilaian petani terhadap teknologi usahatani terpadu, baik penilaian negatif/merugikan, positif/ menguntungkan, maupun kemungkinan merugikan namun juga menguntungkan - Kemampuan petani mempertimbangkan pilihan yang ada dalam mengelola usahatani - Kemampuan petani dalam memprediksi manfaat penerapan teknologi
Diukur berdasarkan: - Tingkat penerimaan petani terhadap teknologi usahatani terpadu: (1) adaptif (langsung menerima), (2) melihat dulu yang dilakukan petani lain (menerima dengan cara meniru), (3) ragu-ragu (tidak yakin meskipun telah melihat hasil petani lain), (4) menolak perubahan inovasi teknologi - Tingkat keyakinan petani terhadap peningkatan pendapatan bila menerapkan teknologi usahatani terpadu. Diukur berdasarkan tingkat keberanian (4) Tingkat Tingkat keberanian dalam: keberanian petani dalam beresiko menanggung suatu - Mengganti sarana produksi - Menambah/mengurangi jenis kejadian yang komoditas yang diusahakan buruk - Menjual hasil langsung ke pasar - Mengembangkan skala usahatani - Mengambil kredit dari bank untuk menambah modal usahatani Karakteristik pribadi petani merupakan ciri-ciri bawaan berupa kemampuan dalam menampilkan diri. Peubah ini meliputi: tingkat rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, tingkat keberanian mengambil resiko:
65 (a) Tingkat rasionalitas merupakan kemampuan berpikir petani yang diwujudkan dalam bentuk pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif, dan pendapat modalitas (kemungkinan-kemungkinan); serta ungkapan perasaan yang dinyatakan dalam sikap petani, terkait dengan inovasi teknologi usahatani terpadu. (b) Tingkat intelegensi merupakan kemampuan dalam menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu, punya inisiatif sendiri (tidak menunggu perintah), dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis, mempunyai kemampuan belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. (c) Sikap terhadap perubahan, diukur berdasarkan kecenderungan petani selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari informasi, percaya atau tidaknya petani terhadap kegunaan inovasi teknologi usahatani terpadu, penilaian positif petani terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan. (d) Tingkat keberanian mengambil resiko merupakan tingkat keberanian petani dalam menanggung terjadinya suatu kejadian buruk yang disebabkan oleh suatu tindakan. (2) Perilaku komunikasi petani merupakan upaya petani mencari informasi tentang teknologi yang dianggap sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan, termasuk kemampuan dalam menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan usahatani, penanganan pascapanen, maupun kegiatan pemasaran (Tabel 9).
Peubah ini meliputi: kerjasama,
tingkat kekosmopolitan, keterdedahan terhadap media, yang merupakan sub peubah. (a) Kerjasama merupakan kemampuan petani dalam menjalin kerjasama dengan pihak lain, dilihat dari sikap keaktifan dan keuntungan yang dirasakan petani, baik yang terkait dengan kegiatan usahatani, penanganan pascapanen, maupun kegiatan pemasaran. (b) Tingkat kekosmopolitan merupakan tingkat keterbukaan petani yang berorientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang luas.
66 (c) Keterdedahan terhadap media merupakan frekuensi keterjangkauan pesan melalui media massa dalam satu bulan terakhir dilihat dari jumlah jam yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi dari media massa, baik dari media cetak seperti dari surat kabar, buletin, brosur, leaflet, majalah dan, buku petunjuk teknis usahatani maupun dari media elektronik seperti dari televisi dan radio, yang terkait dengan kegiatan usahatani ataupun inovasi teknologi usahatani terpadu. Tabel 9 Sub-peubah, indikator dan pengukuran perilaku komunikasi petani Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
(1) Kerjasama
Kemampuan dalam menjalin hubungan kerjasama dengan pihak lain
Intensitas hubungan petani dengan pedagang (input/saprodi dan output/produk), pengolah/ perusahaan, lembaga pembiayaan, penangkar benih, kelompok tani, dan penyuluh
(2) Tingkat kekosmopolitan
Orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang luas
Frekuensi petani bepergian ke luar desa dalam mengakses informasi: (1) pasar (harga saprodi, harga jual produk, komoditas yang dibutuhkan konsumen), (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan petani; serta (3) kompetisi usaha lain
Keterjangkauan petani (3) Keterdedahan terhadap media terhadap informasi teknologi usahatani melalui media massa, yang dibedakan atas: − Media elektronik: televisi, dan radio. − Media cetak: surat kabar, buletin, brosur, leaflet, majalah maupun buku petunjuk teknis usahatani
Diukur berdasarkan jumlah jam dalam satu bulan terakhir saat penelitian dilakukan, yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi teknologi usahatani dari media massa, baik elektronik maupun cetak
67 (2) Dukungan iklim usaha, sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerjasama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit pemasaran dan unit jasa penunjang (keuangan) yang berfungsi mendukung kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani (Tabel 10). Komponen dukungan iklim usaha diuraikan sebagai berikut: (a) Ketersediaan
input
(sarana
produksi):
kemudahan
petani
dalam
memperoleh benih atau bibit, pupuk, dan obat-obatan, baik melalui kios sarana produksi maupun kelompok tani. (b) Ketersediaan fasilitas keuangan: kemudahan petani dalam mengakses peminjaman modal usaha pada lembaga keuangan (KUD maupun Bank). (c) Ketersediaan sarana pemasaran: kemudahan petani dalam memasarkan produk yang dihasilkan, dengan tersedianya sarana pengangkutan, prasarana jalan yang memadai dan pasar. Tabel 10 Sub-peubah, indikator dan pengukuran dukungan iklim usaha Sub-Peubah (1) Ketersediaan input
Indikator Adanya kios saprodi yang mudah dijangkau petani
Pengukuran - Tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk dan obat-obatan - Jarak tempat penjualan saprodi dari lahan petani
(2) Ketersediaan fasilitas keuangan
Akses petani terhadap permodalan
- Prosedur peminjaman ke lembaga keuangan (koperasi, perbankan, Lembaga Perkreditan Desa) - Jaminan pinjaman yang harus dipenuhi petani - Tingkat suku bunga per tahun
(3) Ketersediaan sarana pemasaran
Adanya alat transportasi, prasarana jalan dan pasar (tempat transaksi jual beli)
- Kualitas jalan dari lahan petani ke pasar terdekat (aspal, makadam, berbatu, tanah) - Jenis alat transportasi yang ada ke pasar terdekat - Lokasi pasar (desa, kecamatan, kabupaten)
68 (3) Persepsi petani terhadap penyuluhan. Penyuluhan merupakan kegiatan (proses) pembelajaran bagi petani, agar petani mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya (Tabel 11): (a) Persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh: penilaian petani terhadap kemampuan yang melekat pada diri penyuluh berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki. (b) Persepsi petani terhadap peran penyuluh: penilaian petani terhadap peran penyuluh dalam melakukan kegiatan usahatani. (c) Persepsi petani terhadap materi penyuluhan: penilaian petani terhadap materi/bahan penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani, baik tentang usahatani maupun informasi yang dibutuhkan petani. (d) Persepsi petani terhadap metode penyuluhan: penilaian petani terhadap cara-cara penyuluh menyampaian materi penyuluhan kepada para petani, baik melalui media atau komunikasi interpersonal berupa ceramah, diskusi kelompok, dialog/tanya jawab antara petani-penyuluh, maupun plot demonstrasi. Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00). (4) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi menunjukkan penilaian petani terhadap lima ciri-ciri inovasi. Petani adopter menilai teknologi usahatani terpadu, sedangkan petani non adopter menilai teknologi lokal (Tabel 12): (a) Keuntungan relatif merupakan penilaian petani terhadap inovasi yang diukur dalam bentuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat tenaga dan waktu serta imbalan yang dapat segera diperoleh. (b) Kesesuaian suatu inovasi dilihat berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan sosiobudaya petani, teknologi yang telah diterapkan sebelumnya, dan kebutuhan petani akan inovasi.
69 Tabel 11 Sub-peubah, indikator dan pengukuran penyuluhan Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
(1) Kompetensi Persepsi petani penyuluh terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki penyuluh
Penilaian petani terhadap kemampuan penyuluh, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan yang melekat pada diri penyuluh − Pengetahuan: memiliki informasi dengan wawasan yang luas (inovasi, metode dan teknik, potensi sumberdaya, kebutuhan dan permasalahan serta budaya masyarakat) − Sikap: positif terhadap diri sendiri, keberpihakan pada keadilan, egaliter, partisipatif dan dialogis − Keterampilan: kemampuan berkomunikasi secara efektif, membangun kerjasama, mengembangkan inovasi secara berkelanjutan, memiliki motivasi dalam mengembangkan kemampuan petani
(2) Peran penyuluh
Penilaian petani terhadap peran penyuluh dalam: − Mendiagnosis masalah petani − Mengidentifikasi kebutuhan petani − Memotivasi petani untuk berubah − Membangun dan memelihara hubungan dengan sistem sosial petani − Mendorong petani untuk mengadopsi inovasi − Mendorong petani mengembangkan skala usaha
Persepsi petani terhadap peran penyuluh pada kegiatan usahatani petani
Persepsi petani (3) Materi penyuluhan terhadap materi penyuluhan yang disampaikan penyuluh
Penilaian petani terhadap kesesuaian materi penyuluhan (seperti: informasi ataupun teknologi usahatani pertanian) yang disampaikan penyuluh dengan kebutuhan petani
(4) Metode Persepsi petani penyuluhan terhadap metode penyuluhan yang digunakan penyuluh
Penilaian petani terhadap metode yang digunakan penyuluh (ceramah, diskusi kelompok, dialog/tanya jawab, petak percontohan/plot demonstrasi ataupun penggunaan media: OHP, video, poster, brosur/leaflet, film, LCD-P)
70 Tabel 12 Sub-peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap ciriciri inovasi Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
(1) Keuntungan relatif
Persepsi petani terhadap suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Keuntungan ekonomi - Biaya awal yang rendah - Berkurangnya ketidaknyamanan - Prestise (kebanggaan) sosial - Hemat waktu dan tenaga - Imbalan yang segera didapat
(2) Kesesuaian
Persepsi petani terhadap suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensial petani
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap kesesuaian teknologi dengan: - Nilai-nilai sosiobudaya - Ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya - Kebutuhan petani akan inovasi
(3) Kerumitan
Persepsi petani terhadap tingkat kerumitan suatu inovasi
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Komponen teknologi - Teknis penerapan - Keterbatasan sumberdaya (lahan, modal, tenaga kerja)
(4) Dapat diujicoba
Persepsi petani terhadap suatu inovasi untuk dapat dicoba dengan skala yang terbatas
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Kemudahan petani dalam melakukan ujicoba pada skala yang terbatas (sempit) - Cara petani bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya
(5) Dapat diamati
Persepsi petani terhadap suatu inovasi untuk dapat dilihat oleh orang lain
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Kemudahan petani mengamati hasil yang dicapai dalam penerapan inovasi teknologi - Keunggulan teknologi yang diperkenalkan dengan teknologi sebelumnya - Dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas
71 (c) Kerumitan inovasi diukur berdasarkan pandangan petani terhadap tingkat kesulitan dalam memahami dan menerapkan inovasi teknologi usahatani. (d) Dapat diujicoba, diukur berdasarkan kemudahan petani dalam melakukan ujicoba dan cara petani bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya. (e) Dapat diamati merupakan tingkat kemudahan bagi petani dalam mengamati hasil yang dicapai dalam penerapan inovasi teknologi dan dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00). (5) Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi (Tabel 13): (a) Media massa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan inovasi, berupa media cetak (leaflet, brosur, buku, dan surat kabar) atau media elektronik (radio, televisi, telepon genggam dan internet). (b) Interpersonal merupakan kontak atau pertemuan tatap muka antara dua orang atau lebih yang terkait dengan penyampaian informasi tentang inovasi (pertemuan kelompok, perbincangan antar petani, diskusi atau tanya jawab antara petani dan penyuluh). Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00). (6) Keputusan adopsi teknologi merupakan tahap penentuan petani dalam merespon inovasi teknologi yang dianjurkan. Terdapat dua keputusan yang dilakukan petani, yakni mengadopsi dan tidak mengadopsi teknologi yang dianjurkan (Tabel 14). Dengan berjalannya waktu, petani yang mengadopsi dapat terus berlanjut mengadopsi ataupun berhenti mengadopsi dengan berbagai alasan. Demikian halnya dengan petani yang tidak mengadopsi teknologi yang dianjurkan, ada dua kemungkinan keputusan petani, yakni mengadopsi dan menolak.
72 Tabel 13 Sub-peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap pengaruh informasi/media Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
(1) Media massa
Persepsi petani terhadap perubahan pengetahuan
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: pengaruh media cetak (leaflet, brosur, buku, dan surat kabar) maupun media elektronik (radio, televisi, telepon genggam dan internet) terhadap kegiatan berusahatani
(2) Interpersonal
Persepsi petani terhadap perubahan dan pembentukan sikap
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: pengaruh penyuluh, tokoh masyarakat, pedagang, maupun sesama petani terhadap kegiatan berusahatani
Tabel 14 Sub-peubah, indikator dan pengukuran keputusan Sub-Peubah (1) Adopsi
Indikator - Adopsi (berlanjut) - Menolak (berhenti)
Pengukuran Diukur berdasarkan manfaat yang diperoleh petani dari penerapan teknologi usahatani terpadu yang dianjurkan
(2) Tidak mengadopsi
- Adopsi
(3) Penentuan komoditas
- Penggunaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan modal)
Diukur berdasarkan pertimbangan petani dalam menentukan komoditas yang diusahakan
(4) Penggunaan saprodi
Kesesuaian penggunaan saprodi dengan rekomendasi penyuluh
Diukur berdasarkan pertimbangan petani dalam menggunakan sarana produksi
- Menolak
Diukur berdasarkan tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi usahatani terpadu
(7) Kinerja usahatani, diukur berdasarkan produktivitas, orientasi usaha dan penanganan hasil atau penanganan pascapanen yang dilakukan petani dalam kegiatan usahatani di lahan kering marjinal (Tabel 15).
Pengukuran
73 produktivitas
produk
yang
dihasilkan
petani
didekati
dengan
cara
membandingkan antara produktivitas aktual di tingkat petani dengan produktivitas potensial. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan usahatani terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, dilakukan perhitungan antara pendapatan usahatani dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun. Semakin tinggi produktivitas, orientasi usaha yang telah mengarah komersial, dan penanganan hasil ke produk olahan yang memberikan nilai tambah bagi petani, maka kinerja usahatani petani tergolong tinggi. Tabel 15 Sub-peubah, indikator dan pengukuran kinerja usahatani Sub-Peubah
Indikator
Pengukuran
(1) Produktivitas petani
Produksi per hektar
- Produksi per hektar komoditas yang dominan diusahakan petani - Tingkat pendapatan usahatani (on farm) dan di luar pertanian (offfarm) dibandingkan dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun
(2) Orientasi usaha
Usahatani telah mengarah komersial atau masih subsisten
- Produk yang dihasilkan telah dijual ke pasar atau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup - Pengetahuan tentang jenis dan mutu produk yang diinginkan pembeli
(3) Penanganan hasil
- Penanganan pascapanen - Jenis produk
- Upaya yang dilakukan petani setelah panen - Jenis produk yang dipasarkan: bahan mentah, setengah jadi atau bentuk olahan
Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis statistik deskriptif, dan (2) analisis statistik inferensial. Analisis data deskriptif dilakukan melalui statistik deskriptif, yakni statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti (petani lahan kering marjinal) tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
Analisis statistik deskriptif
74 mencakup: (1) distribusi frekuensi dan (2) rasio Odds. Analisis data inferensial dilakukan
dengan
statistik
inferensial,
yakni
statistik
yang
berfungsi
mengeneralisasikan hasil penelitian sampel bagi populasi (Muhidin dan Abdurahman, 2007; Sugiyono, 2009).
Analisis statistik inferensial yang
digunakan meliputi analisis: (1) korelasi Pearson, (2) regresi ganda, dan (3) analisis jalur. Dalam penelitian ini tingkat kesalahan (alpha/α) ditentukan sebesar 15 persen. Beberapa penelitian sosial lain menggunakan tingkat kesalahan hingga 20 persen (Cahyono et al., 2006; Aritonang, 2009).
Dalam ilmu sosial, tingkat
kesalahan yang sering digunakan adalah 1 persen, 5 persen atau 10 persen. Pada dasarnya seorang peneliti bebas menentukan berapa besar tingkat kesalahan yang akan digunakan (Candrawita, 2010). Perbedaan nilai alpha antara lain disebabkan ukuran sampel dan seberapa besar pengaruh luar (di luar yang bisa dikontrol atau di luar peubah yang masuk dalam model) terhadap respon peneliti. Analisis Korelasi Pearson Analisis ini digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan dua peubah dengan skala data interval atau rasio. Data dalam penelitian ini yang berskala ordinal ditransformasi menjadi data interval dengan menggunakan Method of Successive Interval (MSI) (Muhidin dan Abdurahman, 2007). Tahapan dalam melakukan transformasi dengan MSI adalah: (1) Menghitung frekuensi responden yang memberikan respon terhadap alternatif jawaban yang tersedia. (2) Menghitung proporsi dengan membagi setiap frekuensi dengan jumlah responden. (3) Menghitung proporsi kumulatif dengan menjumlahkan proporsi secara berurutan untuk setiap respon. (4) Menghitung nilai Ztab untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh, dengan menggunakan Tabel Distribusi normal baku. (5) Menghitung nilai densitas untuk setiap nilai Z yang diperoleh (dari Tabel) dengan rumus:
f (Z ) =
1 −o ,5 ( z 2 ) e 2π
75 (6) Menghitung nilai skala (NS) dengan menggunakan rumus: Density at lower limit – Density at upper limit NS = Area under upper limit – Area under lower limit (7) Menentukan nilai transformasi (Y) dengan rumus: Y = NS + k k = 1 + | NS min | Data ordinal yang telah ditransformasi menjadi data interval dapat dianalisis dengan korelasi product moment Pearson. Rumus yang digunakan adalah: rxy =
n ∑ xi yi − ( ∑ xi )(∑ yi ) 2
(n ∑ xi − ( xi ) 2 )( n ∑ yi − ( yi ) 2 ) 2
Analisis Regresi Ganda Analisis regresi ganda merupakan analisis statistika yang memanfaatkan hubungan antara dua atau lebih peubah kuantitatif, sehingga salah satu peubah dapat diramalkan dari peubah lain. Model regresi sederhana: Yi = β0 + β1 Xi + εi ; i = 1, 2, ..., n
β0 = nilai rataan Y pada X β1 = perubahan nilai Y untuk setiap kenaikan X satu satuan Salah satu ukuran kebaikan model adalah R2 (koefisien determinasi: % keragaman Y yang mampu dijelaskan oleh X). Analisis Jalur (Path Analysis) Analisis jalur (path analysis) merupakan suatu bentuk terapan dari analisis multi-regresi. Diagram jalur digunakan untuk membantu konseptualisasi masalah atau menguji hipotesis yang kompleks. Dengan menggunakan analisis ini dapat dihitung pengaruh langsung dan tidak langsung dari peubah-peubah bebas terhadap suatu peubah terikat. Pengaruh-pengaruh tersebut tercermin dari koefisien jalur (path coefficients) yang sesungguhnya adalah koefisien yang telah dibakukan (beta, β).
Selain itu, analisis ini dapat digunakan untuk menguji
76 berbagai model jalur untuk mengetahui kongruensinya dengan data yang teramati (Kerlinger, 2000). Penggunaan analasis jalur didasarkan pada beberapa asumsi (MacDonald, 1977; Sugiyono, 2009): a. Hubungan antar peubah berbentuk linier, aditif dan kausal. b. Peubah-peubah residual tidak berkorelasi dengan peubah yang lebih dahulu, dan tidak juga berkorelasi dengan peubah yang lain. c. Model hubungan peubah hanya terdapat jalur kausal/sebab-akibat searah. d. Data setiap peubah yang dianalisis paling tidak berada pada tingkat pengukuran interval. Model spesifik dari path analysis dijelaskan seperti pada Gambar 4, dengan persamaan sebagai berikut: Persamaan 1: X4 = b11 X1 + b12 X2 + b13 X3 + e1 Persamaan 2: X3 = b21 X1 + b22 X2 + e2 Persamaan 3: X2 = b31 X1 + e1
X1
X4 X2
X3
Gambar 4 Model spesifik dari path analysis (Bryman dan Gramer, 1990) Model dalam penelitian ini dijelaskan seperti pada Gambar 5, dengan persamaan sebagai berikut: Persamaan 1: X4 * = b1 X1* + b2 X2* + b3 X3* Persamaan 2: X5* = b1 X1* + b2 X2* + b3 X3* + b4 X4* ∧ Persamaan 3: Y1 * = b5 X5 * + b6 X6 * Persamaan 4: Y2 * = b1 Y1 * Keterangan: b = Koefisien jalur * = menunjukkan bahwa peubah tersebut sudah ditransformasi normal baku dengan rumus: X* = (X – X )/Sx
77
X1
X6 X4
X2
X5
Y1
Y2
X3 Keterangan: X1 = Karakteristik petani; X2 = Perilaku komunikasi petani; X3 = Dukungan iklim usaha; X4 = Persepsi petani terhadap penyuluhan; X5 = Persepsi petani terhadap ciriciri inovasi; X6 = Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi; Y1 = Keputusan adopsi inovasi teknologi; Y2 = Kinerja usahatani di tingkat petani
Gambar 5 Model pengaruh antar peubah dalam penelitian
Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan komputer untuk menjamin tingkat akurasi perhitungan. Transformasi data dari ordinal ke interval menggunakan program Microsoft Office Excel 2003. Uji korelasi Pearson, regresi ganda dan analisis jalur menggunakan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 15.0.
78 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Wilayah Penelitian Kabupaten Cianjur Cianjur merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat, berada di antara 6021’ – 7025’ Lintang Selatan dan 106042’ – 107025’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 hektar dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa (Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009). Wilayah kabupaten ini terletak di lintasan jalur yang strategis antara Jakarta dan Bandung.
Secara administratif, Kabupaten Cianjur dibagi
dalam 30 kecamatan, dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun (Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009). Dengan kondisi alam tersebut, Kabupaten Cianjur memiliki kesuburan tanah yang baik dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumberdaya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Cakupan wilayah Kabupaten Cianjur seluas 350.148 hektar dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti tertera pada Lampiran 5. Penduduk Kabupaten Cianjur sebagian besar bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 63,0 persen. Sektor pertanian ini merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,8 persen. Sektor lain yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu sekitar 14,60 persen. Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi.
Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di
Kabupaten Cianjur secara rinci ditampilkan pada Lampiran 6.
79 Luas areal padi gogo yang ditanam di lahan kering Kabupaten Cianjur tampak jauh lebih rendah, yakni sekitar 14 persen dibandingkan padi sawah (Lampiran 4). Produktivitas padi gogo yang rendah (3,1 ton/ha), menjadikan komoditas ini tidak banyak ditanam dibandingkan padi sawah
dengan
produktivitas yang lebih tinggi (5,3 ton/ha). Perhatian pemerintah terhadap padi gogo adalah relatif kurang dibandingkan padi sawah. Inovasi teknologi padi gogo terlihat tidak banyak berubah, sedangkan teknologi padi sawah terus berkembang, dari mulai teknik budidaya hingga varietas unggul baru diharapkan mampu meningkatkan produktivitas. Tanaman padi banyak dijumpai di daerah Cianjur Tengah, sedangkan tanaman palawija tumbuh dengan baik di wilayah Cianjur Selatan. Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Jenis sayuran yang banyak ditanam petani Cianjur adalah daun bawang, pete dan wortel (Lampiran 7). Salah satu jenis sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah cabe. Produktivitas cabe besar dan cabe rawit tergolong tinggi, masing-masing sebesar 10,7 ton/ha dan 10,3 ton/ha. Meskipun harga cabe fluktuatif seperti harga komoditas sayuran yang lain, namun pada saat-saat tertentu harga komoditas cabe di tingkat petani dapat mencapai Rp 30.000,00/kg. Kondisi ini yang mendorong petani untuk tetap menanam cabe. Di wilayah Cianjur Selatan, selain terdapat tanaman palawija, juga banyak dijumpai tanaman buah-buahan. Komoditas pisang menjadi komoditas unggulan di Cianjur, produksi yang dihasilkan selama tahun 2007 mencapai 232.614 ton (Lampiran 8). Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan adalah tanaman perkebunan yang cukup besar, sekitar 16,5 persen dari seluruh luas merupakan areal perkebunan. Selama ini dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR). Peningkatan produksi perkebunan, terutama komoditas teh cukup baik.
Produktivitas teh
rakyat mampu mencapai antara 1.400 - 1.500 kg teh kering per hektar, sedangkan yang dikelola oleh perkebunan besar rata-rata mencapai di atas 2.000 kg per hektar.
80 Desa Talaga adalah desa penelitian merupakan salah satu desa di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur.
Desa tersebut dibagi dalam tiga
dusun, yakni Dusun 1, Dusun 2 dan Dusun 3. Dusun 1 mencakup 4 kampung, yakni Pasir Pendey, Lebak Songgom, Cilebak dan Sindang Palay, sedangkan Dusun 2 meliputi Kampung Koleberes, Marilid, Salamuncang dan Angkrong. Dusun 3 terdiri atas Kampung Kabandungan, Salahuni dan Bayabang. Wilayah Desa Talaga seluas 365,6 ha dengan tingkat kemiringan tanah berkisar antara 200 - 350 dan tinggi tempat berada 750 m di atas permukaan laut (dpl), serta jenis tanah dominan berupa andosol. Suhu rata-rata harian mencapai 280 C, dengan curah hujan 450 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun. Penduduk Desa Talaga berjumlah 5.459 jiwa, yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 2.733 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.726. Kepadatan penduduk tergolong padat, yakni 607 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 16. Persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh swasta/pembantu rumah tangga (PRT) mencapai 35,1% dan 350 orang (27,3%) di antaranya sebagai PRT. Tabel 16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian No. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Mata pencaharian
Jumlah (orang) 326 108 450 35 250 11 102 1.282
Petani Buruh tani Buruh swasta/PRT Pegawai negeri/pensiunan Pengrajin Pedagang Jasa Jumlah
Persentase (%) 25,4 8,4 35,1 2,7 19,5 0,9 8,0 100,0
Sumber: Potensi Desa Talaga, 2008
Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat memperkenalkan teknologi usahatani terpadu kepada petani di Desa Talaga. Model inovasi yang dikembangkan
merupakan
inovasi
untuk
memanfaatkan
secara
optimal
sumberdaya pertanian yang ada dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani.
Terdapat lima kelompok tani
yang diikutsertakan dalam kegiatan
tersebut, yakni kelompok tani: (1) Sumber Arum, anggota 18 petani; (2) Intan
81 Langsung Makmur, anggota 21 petani; (3) Sumber Tani, anggota 24 petani; (4) Jembar Tani, anggota 21 petani; dan (5) Sumur Sari, anggota 19 petani. Seluruh petani yang berjumlah 103 menjadi petani adopter. Kelompok Tani Sumber Arum merupakan kelompok tani yang tumbuh dari masyarakat, dibentuk pada akhir tahun 2005. Kelompok lain dibentuk berdasarkan kepentingan program pemerintah, agar lebih mempermudah diseminasi teknologi usahatani terpadu.
Kabupaten Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º 56' 49'' - 7º 45' 00'' Lintang Selatan dan 107º 25 '8'' - 108º 7' 30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha atau 3.065,19 km² (Pemerintah Kabupaten Garut, 2009) dengan batasbatas sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah timur dengan sebelah Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, serta sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Secara geografis Kabupaten Garut berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat. Daerah ini merupakan daerah penyangga dan hinterland bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu, Kabupaten Garut mempunyai kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung sekaligus berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan. Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi antara 0-40 persen, di antaranya sebesar 71,4 persen atau 218.924 ha berada pada tingkat kemiringan antara 8-25 persen. Luas daerah landai dengan tingkat kemiringan di bawah 3 persen mencapai 29.033 ha atau 9,5 persen; wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8 persen mencakup areal seluas 79.214 ha atau 25,8 persen; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15 persen mencapai 62.975 ha atau 20,6 persen wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 40 persen mencapai luas areal 7.550 ha atau sekitar 2,5 persen (Pemerintah Kabupaten Garut, 2009).
82 Berdasarkan jenis tanah dan topografi di Kabupaten Garut, penggunaan lahan secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan didominasi oleh perkebunan dan hutan. Rincian penggunaan lahan Kabupaten Garut tertera pada Lampiran 9. Perekonomian Kabupaten Garut dari tahun ke tahun selalu didominasi oleh sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Dengan kondisi ini Garut dapat dikatakan sebagai kabupaten yang berbasis pertanian. Kebijakan pengembangan ekonomi Garut diarahkan kepada pengembangan ekonomi rakyat terutama di daerah pedesaan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Sektor pertanian
dijadikan andalan Kabupatan Garut agar mendapat peluang mendorong roda ekonomi Garut, juga dapat turut andil dalam perekonomian Jawa Barat. Di antara komoditas pangan, padi merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga ketersediaan padi (beras) menjadi tolok ukur ketersediaan pangan. Di Garut, produktivitas padi gogo (3,0 ton/ha) lebih rendah dibandingkan dengan padi sawah (6,2 ton/ha), demikian juga dengan luas areal panen. Kondisi ini menunjukkan bahwa padi gogo kurang diprioritaskan. Pada kenyataannya, produktivitas padi gogo sulit ditingkatkan. Berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan peningkatan produksi padi, baik melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun perluasan areal tanam, lebih diarahkan pada tanaman padi sawah. Pada tanaman palawija, komoditas ubi kayu memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan komoditas lain, mencapai 22,0 ton/ha (Lampiran 10). Selama tahun 2008, di Garut produksi tanaman sayuran yang tergolong tinggi adalah kentang, kubis dan tomat (Lampiran 11), produksi buah-buahan tertinggi adalah pisang (Lampiran 12).
Perubahan harga pada komoditas
hortikultura (sayuran maupun buah-buahan) menyebabkan penerimaan petani dari hasil penjualan mengalami perubahan. Kondisi demikian kurang kondusif bagi pengembangan usaha hortikultura, karena keuntungan yang diperoleh menjadi tidak stabil dan tidak dapat diperkirakan dengan baik. Padahal tingkat keuntungan yang tinggi justru merupakan daya tarik utama bagi petani untuk berusahatani dan memperluas skala usaha.
83 Desa Jatiwangi merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Garut dan berada di Kecamatan Pakenjeng. Desa tersebut dibagi dalam empat dusun, yakni Ciakar, Pasirkaliki, Halimun, dan Bojong dengan cakupan wilayah seluas 2.242,43 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi mencapai 300-700 meter diatas permukaan laut (dpl).
Jenis tanah termasuk latosol, sebagian andosol
dengan tekstur liat berlempung, sebagian berbatuan dan terjal, dengan pH tanah berkisar antara 4 – 6 (Monografi Desa Jatiwangi, 2008). Topografi Desa Jatiwangi dari mulai datar sampai berbukit, bergelombang sampai berbukit, dan berbukit sampai bergunung, dengan jenis tanah berupa latosol (33,6%) dan podsolik merah kuning (66,4%). Terdapat dua sungai yang berada di desa tersebut, yakni Sungai Cikandang dan Ciarinem. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Desa Jatiwangi tergolong ke dalam tipe C. Suhu harian rata-rata berkisar antara 200 C-270 C dengan curah hujan 2.000 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun (Monografi Desa Jatiwangi, 2008). Penduduk Desa Jatiwangi berjumlah 7.709 jiwa, yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 3.870 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.242. Kepadatan penduduk tergolong jarang (tidak padat), yakni 34 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian No. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Mata pencaharian Petani Buruh tani Buruh swasta Pegawai negeri Pengrajin Pedagang Jasa Jumlah
Jumlah (orang) 1.100 445 2 95 26 142 109 1.919
Persentase (%) 57,3 23,2 0,1 4,9 1,4 7,4 5,7 100,0
Sumber: Monografi Desa Jatiwangi, 2008
Inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan di Desa Jatiwangi pada tahun 2005 (dua tahun lebih awal dibanding Desa Talaga). Pada tahun 2005 hanya dua kelompok tani yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, yakni Kelompok Tani: Saluyu, 25 anggota dan Mekar Hurip, 30 anggota. Kedua kelompok tani tersebut telah ada sebelum teknologi usahatani terpadu
84 diperkenalkan, tumbuh atas inisiatif masyarakat setempat. Sampai tahun 2008 jumlah kelompok tani yang ikut serta bertambah, yakni Kelompok Tani: (1) Arimba, 30 anggota; (2) Nusawargi, 25 anggota; (3) Harapan Jaya, 30 anggota; (4) Mekar Harapan, 25 anggota; dan (5) Mekar Baru, 25 anggota.
Kelima
kelompok tani tersebut merupakan kelompok bentukan, dengan tujuan memudahkan alih teknologi usahatani terpadu, dibandingkan melalui pendekatan individu. Keseluruhan petani Desa Jatiwangi yang menjadi anggota kelompok tani berjumlah 190. Karakteristik Petani Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa sebagian besar petani adopter (59,1%) dan petani non adopter (53,9%) di lokasi penelitian berada pada usia produktif (Tabel 18). Persentase petani yang berumur tua (≥ 65 tahun) relatif kecil (kurang dari 14%). Batasan usia kerja menurut Badan Pusat Statistik (2009) berada pada kisaran usia 15-64 tahun dan digolongkan sebagai umur produktif. Walaupun terdapat kecenderungan golongan usia muda tidak berminat bekerja di sektor pertanian, namun petani responden yang berusia muda (27-45 tahun) beranggapan bahwa sektor ini masih mampu memberikan penghidupan. Hal ini memperkuat temuan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2008) mengenai Panel Petani Nasional (Patanas). Petani yang berusia 45 tahun ke bawah, sebanyak 55 persen digolongkan sebagai angkatan kerja produktif yang bekerja di sektor pertanian. Bila dicermati lebih lanjut, ternyata petani yang berusia produktif berpendidikan sampai sekolah dasar (Tabel 18). Beberapa di antara petani tersebut bahkan ada yang tidak bersekolah. Proporsi terbesar petani responden (71,4% - 95,7%) berpendidikan SD. Tanpa pendidikan dan keterampilan memadai, masyarakat hanya dapat memasuki lapangan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Mata pencaharian sebagai petani tidak mensyaratkan pendidikan formal yang memadai. Diperkirakan masyarakat desa yang berusia muda dan berpendidikan SLTP ataupun SLTA mulai beralih ke sektor non-pertanian di perkotaan. Terdapat kecenderungan tenaga muda pedesaan
85 yang relatif terdidik tidak tertarik bekerja di sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 18 bahwa petani yang berpendidikan SLTA (≥ 10 tahun) relatif rendah (0-13%). Performa masyarakat yang bekerja di pertanian dinilai kurang menarik, baik dilihat dari sisi penampilan maupun perolehan pendapatan. Tabel 18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Petani Cianjur (%) Peubah
Kategori
Adopter
Non adopter (n=47)
Petani Garut (%) Adopter
(n=46) (n=91) Umur Tahun Muda 27-45 60,9 42,5 58,2 Dewasa 46-64 32,6 51,1 33,0 Tua ≥ 65 6,5 6,4 8,8 Pendidikan formal Tahun Rendah 0-6 76,1 95,7 71,4 Sedang 7-9 10,9 4,3 19,8 Tinggi ≥ 10 13,0 0,0 8,8 Tingkat pendapatan Rp (Juta) Rendah <4,51 41,3 66,0 37,3 Sedang 4,51-6,70 21,7 31,9 30,8 Tinggi ≥ 6,71 37,0 2,1 31,9 Tingkat mobilitas Skor Rendah 1-6 58,7 83,0 67,0 Sedang 7-12 32,6 8,5 24,2 Tinggi 13-14 8,7 8,5 8,8 Luas lahan Hektar Sempit 0,04-0,25 19,6 80,9 57,1 Sedang 0,26-0,50 54,3 12,7 27,5 Luas ≥ 0,51 26,1 6,4 15,4 Daya beli saprodi Skor Rendah 0-1 19,6 80,9 42,9 Sedang 2 43,4 8,5 18,6 Tinggi 3-4 37,0 10,6 38,5 Keterangan: Rentang skor tk mobilitas 1-14; daya beli 0-4
Non adopter (n=118)
Total Petani (%) Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
58,4 28,0 13,6
59,1 32,9 8,0
53,9 34,6 11,5
80,5 15,3 4,2
73,0 16,8 10,2
84,8 12,1 3,0
55,9 35,6 8,5
38,7 27,7 33,6
58,8 34,5 6,7
75,4 21,2 3,4
64,2 27,0 8,8
77,6 17,6 4,8
65,3 28,8 5,9
44,5 36,5 19,0
69,7 24,2 6,1
74,6 15,2 10,2
35,0 27,0 38,0
76,4 13,3 10,3
Informasi yang diperoleh dari tokoh masyarakat setempat menyatakan telah terjadi pergeseran orientasi dari desa ke kota di kalangan muda Cianjur dan Garut. Hal ini dilihat dari tingkat migrasi yang dilakukan tenaga kerja muda ke luar daerah, baik migrasi sementara (harian, bulanan), maupun migrasi permanen. Para migran ini bekerja di sektor formal dan informal, yaitu sebagai karyawan (sipil, swasta), buruh dan tukang bangunan, pedagang, pembantu rumah tangga, TKI, dan sebagainya. Selain lebih memilih bermigrasi, para pemuda yang menetap di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor jasa angkutan (sopir angkutan, ojeg), dengan alasan lebih mudah untuk memperoleh penghasilan
86 sehari-hari dan lebih bergengsi dilihat dari status sosial, dibanding harus bekerja sebagai petani. Keberhasilan tenaga kerja yang lebih dulu merantau ke daerah perkotaan ataupun ke luar negeri, memotivasi tenaga kerja lain di pedesaan yang merasa memiliki peluang sama. Pendidikan non formal masih menjadi tumpuan proses alih teknologi pertanian. Namun demikian, sebagian besar petani responden baik di Desa Talaga (94,6%) maupun di Desa Jatiwangi (96,7%) dalam satu tahun terakhir (20082009), tidak mengikuti pendidikan non formal (seperti pelatihan, kegiatan penyuluhan ataupun plot demonstrasi). Pemberian informasi tentang teknologi usahatani terpadu dilakukan oleh peneliti (sebagai manajer lapang) dan penyuluh (sebagai tenaga detasir) BPTP Jawa Barat serta penyuluh pertanian dari BPP. Informasi hanya disampaikan kepada ketua kelompok tani dan sekretaris atau bendahara kelompok. Selama tahun 2008, kegiatan diskusi teknologi usahatani terpadu antara tenaga detasir dan penyuluh pertanian dari BPP dilakukan sebanyak 8 -10 kali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ketua kelompok tani diteruskan kepada petani lain dalam kelompok masing-masing. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur pada tahun 2008, diikuti 8 petani adopter (17,4%) dan 13 petani non adopter (27,7%) dari Desa Talaga. Proses belajar mengajar dalam SLPHT dilakukan 12 kali pertemuan. Pokok bahasan difokuskan pada pengendalian hama terpadu komoditas cabe. Pada bulan September 2008 Kantor Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut mengadakan Pelatihan Penyuluh Pertanian Swadaya yang diikuti oleh seorang petani adopter yang merupakan ketua kelompok tani dari Desa Jatiwangi. Rata-rata pendapatan petani non adopter selama satu tahun (2008), baik di Desa Talaga Cianjur maupun Desa Jatiwangi Garut (Tabel 19) adalah kurang dari Rp 4,51 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2005 pendapatan rata-rata buruh tani sebesar Rp 4,511.900,00 dan rumah tangga pengusaha pertanian sebesar Rp 6.706.500,00. Batas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 untuk masyarakat pedesaan adalah sebesar Rp 161.831,00/ kapita/bulan atau Rp 1,94 juta/kapita/tahun. Bila dalam satu
87 rumah tangga, kepala keluarga menanggung 3 orang anggota keluarga (istri dan 2 anak), maka batas garis kemiskinan Rp 647.324,00/rumah tangga/bulan atau Rp 7,77 juta/rumah tangga. Dengan demikian petani adopter Cianjur yang termasuk dalam kategori miskin sebesar 71,7 persen dan seluruh petani non adopter tergolong miskin (100,0%). Petani adopter Garut yang termasuk kategori miskin ada sebanyak 78,0 persen, sedangkan petani non adopter yang tergolong miskin sebesar 94,9 persen. Bila menggunakan indikator batas garis kemiskinan menurut Bank Dunia sebesar $ 2.0/kapita/hari atau Rp 6,77 juta/kapita/tahun ($ 1.0 setara dengan Rp 9.400,00) atau Rp 27,08 juta/rumah tangga/tahun, maka seluruh petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong miskin. Kondisi ini didukung data pada tahun 2007, sekitar 63,5 persen penduduk miskin di Indonesia merupakan penduduk pedesaan dan sebagian besar menggantungkan sumber pendapatan dari sektor pertanian
(Syafa’at et al., 2007; Sumaryanto dan
Sudaryanto, 2009). Petani adopter di Cianjur masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Hal ini terlihat dari proporsi pendapatan dari usahatani (63,7%) dan berburuh tani lebih tinggi dibanding non pertanian (Tabel 19). Pendapatan usahatani dan non pertanian bagi petani non adopter Cianjur, petani adopter dan non adopter Garut dapat dikatakan hampir seimbang. Dengan kondisi demikian, petani-petani tersebut sulit diharapkan untuk mengadopsi teknologi baru dengan biaya tinggi.
Di tingkat produsen, petani rentan mengalami
kegagalan dalam bertani, baik yang disebabkan anomali musim yang tidak dapat diprediksi petani ataupun serangan hama penyakit pada komoditas yang diusahakan. Serangan hama kuuk menimbulkan kerugian finansial yang relatif besar pada sebagian besar petani di Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut. Petani yang memiliki lahan garapan relatif sempit dan peluang untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian relatif sulit, maka kegiatan berburuh tani merupakan salah satu alternatif sebagai mata pencaharian sampingan, baik di dalam maupun di luar desa sebagai upaya diversifikasi usaha. Upah buruh tani pria berkisar antara Rp 10.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp 17.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas) dengan jam kerja 7.00 – 12.00 WIB. Upah buruh wanita dengan jam kerja yang sama 7.00 – 12.00
88 WIB berkisar antara Rp 6.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp 10.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas). Ketimpangan upah buruh pria dan wanita dikarenakan buruh pria melakukan pekerjaan yang dinilai lebih berat dibandingkan wanita, seperti mencangkul, mengangkut hasil panen dan menyemprot; sedangkan buruh wanita melakukan pekerjaan tanam, menyiang, dan panen. Tabel 19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 Petani Cianjur (Rp 1.000) No.
Uraian
Petani Garut (Rp 1.000)
Adopter (n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter (n=91)
Non adopter (n=118) 1.704,7 (39,1) 580,9 (13,3) 2.077,6 (47,6)
(1)
Usahatani
3.981,0 (63,7)
1.681,4 (44,8)
2.693,7 (47,7)
(2)
Buruh tani
(3)
Non pertanian
348,7 (5,6 ) 1.916,4 (30,7) 6.246,1 (100,0)
327,8 (8,7) 1.748,1 (46,5)
582,8 (10,3) 2.376,5 (42,0) 5.653,0 (100,0)
Total
3.757,3 (100,0)
4.363,2 (100,0)
Keterangan: Angka (…) merupakan persentase terhadap total
Kontribusi pendapatan non pertanian terhadap total pendapatan petani adalah relatif tinggi (berkisar antara 30,7% - 47,6%). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan selain bertani adalah berdagang, usaha jasa ojeg, kerajinan bambu, dan buruh bangunan dibutuhkan petani.
Usaha pertanian
setahun tidak mampu menopang kehidupan petani dan keluarganya. Bagi petani yang memiliki sepeda motor, waktu luang setelah bertani digunakan untuk usaha jasa ojeg. Selain itu, terdapat pula petani yang berburuh membuat anyaman bilik dari bambu. Perolehan upah yang diterima petani dalam menganyam bambu ukuran 2x3 m2 adalah Rp 1.000,00 dan dalam satu hari mampu menganyam hingga 4 lembar. Pada waktu musim kemarau beberapa petani merantau ke kota, bekerja sebagai buruh bangunan ataupun berdagang. Berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini di lingkup mikro memperlihatkan bahwa peran sektor non pertanian adalah meningkat sebagai sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan. Namun sebagian besar hasil-hasil
89 penelitian diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan tersebut masih belum sesuai dengan harapan. Sebagian besar kesempatan kerja non pertanian yang dapat diakses masyarakat pedesaan adalah di sektor non formal, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini, lebih rendah dari pertumbuhan angkatan kerja. Laju peningkatan kesempatan kerja non pertanian yang mempunyai kaitan kuat dengan sektor pertanian adalah relatif rendah. Oleh karena itu, peningkatan peran sektor non pertanian sebagai sumber pendapatan rumah tangga berkorelasi positif dengan peningkatan urbanisasi tenaga kerja ke wilayah perkotaan (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009). Untuk mengatasi fenomena laju urbanisasi, perlu ada kebijakan pemerintah daerah setempat (baik Cianjur maupun Garut) yang mengupayakan pembangunan agro-industri di tingkat pedesaan.
Salah satu upaya untuk melaksanakannya
dengan pemberian insentif dalam bentuk modal kerja, disertai dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi tenaga muda pedesaan yang relatif terdidik dan memberikan nilai tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani.
Dengan upaya tersebut
diharapkan pendapatan masyarakat pedesaan meningkat dan dapat menekan laju urbanisasi. Tingkat mobilitas petani responden yang dikaitkan dengan tujuan ekonomi, seperti pembelian sarana produksi atau penjualan hasil pertanian adalah tergolong rendah dengan kisaran persentase antara 58,7 - 83,0 persen. Kebutuhan petani responden terhadap sarana produksi dipenuhi oleh kios-kios sarana produksi di dalam desa yang menyediakan bibit/benih, pupuk dan obat-obatan. Jarak tempuh antara lahan petani dengan kios sarana produksi adalah relatif dekat. Petani responden cenderung menjual hasil pertanian di dalam desa, karena telah melakukan perhitungan antara dijual di dalam desa dan di luar desa. Biaya transportasi yang harus dikeluarkan secara tunai dan curahan tenaga kerja tidak seimbang dengan selisih nilai jual yang diperoleh. Petani yang pergi ke luar desa dengan tujuan konsumtif, jarang ditemui. Hanya petani yang dinilai mampu yang pergi ke luar desa bukan untuk tujuan ekonomi. Mobilitas petani dari desa ke daerah lain yang didasarkan atas keperluan kekerabatan, tidak hanya terjadi pada
90 petani yang mampu saja, namun juga berlaku pada petani yang dinilai kurang mampu, misal pada hajatan pernikahan, atau kematian kerabat dekat. Dalam kegiatan usahatani, lahan merupakan faktor yang sangat penting, bukan saja sebagai media tumbuh bagi tanaman yang dibudidayakan, tetapi juga pemilikan lahan mempunyai arti sosial bagi pemiliknya. Luas pengusahaan lahan mencakup luas lahan milik, sewa dan sakap. Terlihat perbedaan antara petani adopter Cianjur dan Garut, di Cianjur banyak dijumpai petani adopter (54,3%) yang pengusahaan lahannya berkisar antara 0,26 - 0,50 ha (kategori sedang). Petani adopter Garut yang terbanyak (57,1%) adalah berlahan sempit (0,04 - 0,25 ha). Pada luasan lahan tersebut petani dapat mengelola usahatani dengan baik. Kendala yang dihadapi petani dalam mengusahakan lahan adalah tingkat kesuburan lahan, ketersediaan tenaga kerja keluarga untuk mengolah dan kecukupan modal. Secara umum, lahan yang diusahakan petani responden (di Cianjur dan Garut) tidak berada dalam satu hamparan, tetapi terpencar dalam beberapa tempat, dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan petani mengalami kesulitan pengelolaan lahan. Bagi petani yang memiliki lahan terpencar, hanya lahan yang berdekatan yang digarap secara intensif, sedangkan petak lain yang berjauhan sering tidak tertangani, sehingga diberakan (tidak terurus) atau disewakan kepada petani lain ataupun sistem bagi hasil (sakap). Dari berbagai kajian tentang lahan, masalah yang muncul terkait dengan faktor-faktor berikut: (1) konfigurasi daratan dan ketimpangan penduduk, (2) rata-rata luas lahan penguasaan lahan petani yang sempit dan cenderung semakin sempit, (3) konversi lahan pertanian produktif yang kurang terkendali, (4) degradasi lahan pertanian yang terus berlangsung, dan (5) sistem administrasi pertanahan yang lemah dan implementasi Undang-Undang Penataan Ruang tidak terlaksana secara konsisten (Nasution dan Winoto, 1994; Sumaryanto et al., 2002; Saptana et al., 2004). Pengalihan lahan garapan dilakukan oleh petani responden adalah dengan sistem sewa. Biaya sewa lahan di Cianjur berkisar antara Rp 1,2 juta - Rp 5,0 juta/ha. Besarnya biaya sewa tergantung pada kelas lahan, yang diatur oleh pemerintah desa sebagai dasar dalam penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Terdapat 13,0 persen petani adopter yang menyewa lahan, sedangkan petani non
91 adopter hanya 6,4 persen. Luas lahan yang disewa petani adopter 0,04 - 0,5 ha; petani non adopter 0,08 - 0,4 ha. Kisaran biaya sewa lahan di Garut Rp 1,0 juta Rp 3,125 juta/ha; sebanyak 2,2 persen petani adopter menyewa lahan dengan luasan 0,08 - 0,16 ha, sedangkan petani non adopter 1,7 persen dengan luasan 0,16 - 0,20 ha. Di Garut dijumpai penggarapan lahan secara bergiliran oleh anakanak petani yang telah berkeluarga. Selain itu terdapat juga pembagian tanah petani menjadi petakan-petakan kecil yang dibagikan kepada anak-anaknya melalui pola pewarisan. Proporsi terbesar pengusahaan lahan petani non adopter adalah dengan luasan berkisar antara 0,02-0,25 ha. Sebagian besar petani non adopter di Cianjur tidak memiliki lahan sendiri, tetapi menggarap lahan milik orang lain tanpa biaya sewa. Pada saat panen petani tersebut akan menyerahkan sebagian dari hasil panen. Biaya produksi ditanggung petani penggarap dan bila gagal panen, maka petani tidak dibebani biaya apapun oleh pemilik lahan. Berdasarkan hasil sensus pertanian BPS, proporsi petani (rumah tangga pertanian) yang memiliki lahan lebih dari 0,5 ha menurun dari 45,3 persen pada tahun 1983 menjadi 38,7 persen pada tahun 2003. Sebaliknya petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat dari 48,9 persen pada tahun 1983 menjadi 56,4 persen pada tahun 2003 (Lampiran 13). Hal ini perlu dicermati, karena sebagian besar petani ini akan bergeser ke petani tuna kisma, yang menurut Winoto (1995) posisinya sangat rentan terhadap para spekulan tanah yang menjadi kaki tangan pemilik modal di perkotaan atau tuan-tuan tanah di pedesaan. Fakta empiris di lapangan gejala tersebut terlihat di Cianjur, banyak petani pemilik yang terpaksa menjual lahan garapannya kepada pemilik modal dari kota, untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang mendesak. Petani yang semula berstatus pemilik, bergeser menjadi petani penyakap dengan sistem bagi hasil dan rata-rata luas lahan yang disakap 0,04 ha. Masalah lain yang timbul adalah hak waris tanah dari petani responden kepada keturunannya (anak-anak), sehingga kepemilikan lahan pada anak-anak petani menjadi lebih sempit. Untuk menghindari hal tersebut, seharusnya ada perlindungan hak, fungsi dan manfaat dengan mempertahankan kearifan lokal yang berlaku. Intinya hak waris tanah bukan dialihkan secara fisik, tetapi lebih pada manfaat. Alih fungsi lahan juga menjadi ancaman bagi sektor pertanian.
92 Peraturan yang telah dibuat telah memuat seluruh aspek, namun dalam pelaksanaan di lapangan masih belum sepenuhnya menaati peraturan yang ada. Selalu ada kata ‘apabila’ sehingga ada celah untuk ‘mengakali’ misal: lahan pertanian tidak bisa dialihfungsikan kecuali ‘apabila’ untuk kepentingan umum (yang tidak jelas definisinya). Gejala ”pelambatan dan instabilitas” produksi komoditas pertanian seperti yang digambarkan Simatupang (2000) lebih banyak disebabkan oleh penguasaan lahan petani yang makin menyempit.
Luas penguasaan lahan berkaitan erat
dengan tingkat produktivitas. Petani dengan rata-rata penguasaan lahan yang sempit, alternatif teknologi yang diharapkan dapat memacu peningkatan produktivitas juga semakin terbatas. Hanya teknologi yang tidak mensyaratkan skala usaha yang mungkin untuk dikembangkan seperti benih dan pupuk, karena secara umum penguasaan lahan petani tidak kondusif bagi pengembangan teknologi yang menghendaki skala usaha tertentu. Daya beli petani terkait dengan harga produk yang dihasilkan petani dan harga produk yang dibeli petani. Apabila kenaikan harga produk yang dihasilkan petani lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka daya beli petani akan meningkat atau petani lebih sejahtera, begitu pula sebaliknya. Alat ukur daya
beli
petani
yang
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan
tersebut
diformulasikan dalam bentuk nilai tukar petani (NTP). NTP didefinisikan sebagai nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Dengan demikian NTP merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk yang dihasilkan petani terhadap produk dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga petani, baik dalam rangka usaha produksi pertanian maupun konsumsi rumah tangga.
Fluktuasi NTP menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran atau
tingkat pendapatan riil petani. Kegiatan pertanian tidak terlepas dari kegiatan di luar pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh perilaku sektor di luar pertanian (Killick, 1981; Timmer et al., 1983). Berarti daya beli petani dapat didekati dari tingkat pendapatan petani. Dalam hal ini daya beli petani responden dikaitkan dengan kemampuan membeli sarana produksi, seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan dan peralatan pertanian.
93 Daya beli petani adopter di Cianjur relatif lebih baik (sebanyak 19,6% yang tergolong rendah) dibanding petani adopter di Garut (42,9% rendah). Meskipun 41,3 persen petani adopter Cianjur tergolong berpendapatan rendah, dan 37,3 persen petani adopter Garut juga berpendapatan rendah (Tabel 18), namun dalam kenyataan tidak semua pendapatan dialokasikan untuk kepentingan usahatani. Penggunaan sarana produksi di tingkat petani, selain ditentukan oleh daya beli juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan petani akan manfaat produk. Manfaat penggunaan benih bermutu (berlabel) dalam usahatani merupakan titik awal untuk mencapai produktivitas tinggi.
Ada empat lembaga pemerintah yang terkait
secara langsung dengan kebijakan perbenihan nasional. Instansi-instansi tersebut adalah PT. Sang Hyang Seri sebagai Perusahaan Benih Milik Pemerintah, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih, Badan Benih Nasional, dan Balai Penelitian Tanaman (Sayaka et al., 2006). Petani cenderung memilih varietas unggul untuk usahatani yang diperoleh melalui sistem benih formal maupun tradisional. Sistem benih formal yang dijual harus memenuhi standar kualitas yang dicantumkan pada kemasan. Benih tradisional merupakan benih yang diproduksi sendiri oleh petani yang beredar secara informal dan tidak harus memenuhi syarat-syarat mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Benih tradisional ini sebagian besar digunakan petani di Cianjur maupun di Garut, yang diperoleh dari pemilihan hasil panen yang dinilai petani bermutu baik dilihat dari umur dan ukuran. Walaupun fakta menunjukkan bahwa benih yang dihasilkan petani cukup baik, namun dalam jangka panjang mutu benih tidak dapat dijamin, terutama yang terkait dengan kemurnian varietas. Dalam hal harga, benih berlabel yang dijual lebih mahal dibandingkan benih tradisional, seperti benih jagung manis (sweet boy) berlabel di Cianjur seharga Rp 120 ribu/kg, benih jagung P12 seharga Rp 35 ribu/kg, sedangkan benih jagung tradisional Rp 5 ribu/kg. Temuan penelitian Sayaka et al. (2006) menunjukkan bahwa secara nasional penggunaan benih berlabel untuk padi, jagung dan kedelai relatif masih kecil.
Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005) rata-rata
penggunaan benih padi berlabel baru sekitar 22,02 persen dari total luas tanam. Demikian juga penggunaan benih jagung berlabel dan kedelai berlabel masih relatif rendah, yaitu masing-masing 7,04 persen dan 2,80 persen.
94 Tabel 20 Rata-rata biaya produksi usahatani per hektar
No.
Uraian
(1)
Benih/bibit
(2)
Pupuk
(3) (4)
Obat-obatan/ pestisida Tenaga kerja
(5)
Sewa lahan Total
Petani Cianjur (Rp 1.000) Adopter Non adopter (n=46) (n=47) 4.008,5 1.513,5 (52,4) (33,2) 1.793,7 1.738,9 (23,4) (38,1) 553,8 408,3 (7,2) (8,9) 1.141,6 777,7 (14,9) (17,0) 158,4 124,1 (2,1) (2,7) 7.656,0 4.562,5 (100,0) (100,0)
Petani Garut (Rp 1.000) Adopter Non adopter (n=91) (n=118) 220,6 204,4 (13,0) (13,7) 634,8 609,9 (37,5) (41,0) 254,8 267,2 (15,1) (18,0) 536,6 380,7 (31,7) (25,6) 45,8 25,4 (2,7) (1,7) 1.692,6 1.487, 6 (100,0) (100,0)
Keterangan: Angka (…) merupakan persentase terhadap total
Biaya yang digunakan petani adopter di Cianjur, proporsi terbesar (52,4%) untuk pembelian bibit ternak domba, kisaran harga bibit antra Rp 400 ribu - Rp 500 ribu dan benih komoditas yang diusahakan. Pada petani non adopter Cianjur 38,1 persen pendapatan dialokasikan pembelian pupuk (Tabel 20). Demikian pula petani di Garut, baik adopter maupun non adopter, proporsi biaya tertinggi untuk pembelian pupuk, masing-masing sebesar 37,5 persen dan 41,0 persen. Sebagian besar petani di Garut menghadapi kendala biaya produksi, sehingga dalam mengelola usahatani didasarkan pada biaya minimum (cost minimization) bukan keuntungan maksimum (profit maximization), yang mengkondisikan tidak ada kendala biaya produksi. Hal ini berarti bahwa insentif input lebih sesuai dengan kondisi daya beli (anggaran) petani dibanding insentif output. Syafa’at et al. (2007) berpandangan bahwa untuk meningkatkan daya beli pupuk di tingkat petani, setidaknya ada dua kebijakan yang perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petani dengan insentif harga (yang dimaknai sebagai biaya subsidi terhadap harga pupuk); dan kedua, kebijakan keefektifan penyaluran dan pengendalian pupuk. Data yang tertera pada Tabel 20 memperlihatkan bahwa petani Cianjur memiliki daya beli sarana produksi yang lebih tinggi dibandingkan petani Garut. Hal ini disebabkan adanya kucuran kredit Penguatan Modal Usaha Kecil (PMUK) bagi petani Cianjur. Untuk meningkatkan
95 penggunaan sarana produksi oleh petani di Garut, dan dengan pertimbangan penggunaan sarana produksi masih di bawah dosis yang dianjurkan, serta daya beli terhadap sarana produksi relatif rendah, maka perlu ada kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Garut yang memberikan subsidi harga (melalui APBD), sehingga harga beli di tingkat petani di bawah harga pasar. Karakteristik Pribadi Petani Tingkat rasionalitas petani merupakan kemampuan berpikir petani yang diwujudkan dalam bentuk pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif, dan pendapat modalitas (kemungkinan-kemungkinan); serta ungkapan perasaan yang dinyatakan dalam sikap petani, terkait dengan inovasi teknologi usahatani terpadu (Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004). Tabel 21 memperlihatkan tingkat rasionalitas petani adopter dan non adopter Cianjur tergolong sedang. Petani Cianjur menilai komponen
inovasi
teknologi
terpadu
yang
diintroduksikan,
ada
yang
menguntungkan dan ada yang merugikan. Penilaian ini berkaitan dengan pengalaman bertani, luas pemilikan lahan, modal, dan tenaga kerja dalam keluarga yang mengelola usahatani. Tabel 21 Karakteristik pribadi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Peubah
Kategori
Petani Cianjur (%) Adopter Non adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (%) Adopter Non adopter (n=91) (n=118)
Tingkat rasionalitas Skor Rendah 10-19 32,6 46,8 23,1 49,2 Sedang 20-29 45,7 51,1 28,5 24,5 Tinggi 30-40 21,7 2,1 48,4 26,3 Tingkat intelegensi Skor Rendah 4-5 43,5 80,9 22,0 42,4 Sedang 6-7 47,8 17,0 51,6 49,1 Tinggi 8-9 8,7 2,1 26,4 8,5 Sikap thd perubahan Skor Rendah 3-5 21,7 46,8 11,0 3,4 Sedang 6-9 56,6 53,2 50,5 61,9 Tinggi 10-12 21,7 0,0 38,5 34,7 Tingkat keberanian Skor mengambil resiko Rendah 7-13 50,0 63,8 41,8 76,3 Sedang 14-21 41,3 36,2 52,7 23,7 Tinggi 22-28 8,7 0,0 5,5 0,0 Keterangan: Rentang skor tingkat rasionalitas 10-40; tingkat intelegensi 4-9 sikap thd perubahan 3-12; tk. keberanian beresiko 7-28
Total Petani (%) Adopter Non adopter (n=137) (n=165) 26,3 34,3 39,4
48,5 32,1 19,4
29,2 50,4 20,4
53,3 40,0 6,7
14,6 52,6 32,8
15,8 59,4 24,8
44,5 48,9 6,6
72,7 27,3 0,0
96 Keluhan petani adalah pada cara tanam pisang dengan membuat lubang berukuran 50x50x50 cm3. Cara ini memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih lama dibandingkan pembuatan lubang yang biasa dilakukan petani, yakni dua kali mengayunkan cangkul. Perbedaan tingkat rasionalitas petani adopter Garut (48,4% tergolong tinggi), dengan petani adopter Cianjur yang menilai inovasi teknologi menguntungkan, diduga karena petani adopter Garut lebih lama menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu. Sebaliknya 49,2 persen petani non adopter Garut menilai bahwa teknologi lokal yang diterapkan adalah kurang menguntungkan. Namun, petani non adopter tersebut mengemukakan bahwa untuk menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu diperlukan modal usahatani (sebagai biaya produksi) yang relatif tinggi dan skala usaha yang luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa yang disampaikan petani non adopter Garut merupakan alasan yang rasional. Namun demikian petani non adopter Garut menyatakan, bila pemerintah memberikan bantuan modal usahatani dan tidak mensyaratkan luasan kepemilikan lahan, maka petani non adopter cenderung akan menerapkan teknologi usahatani terpadu. Fakta empiris menunjukkan bahwa selama ini petani akan menerapkan suatu inovasi teknologi yang diintroduksikan pemerintah bila ada bantuan sarana produksi diberikan oleh pihak lain (pemerintah).
Bila bantuan sarana produksi tidak lagi diberikan dan tenaga
pendamping (detasir) sudah meninggalkan petani, maka petani cenderung menggunakan kembali teknologi semula. Petani kelompok ini sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Hal ini kemungkinan akibat dari pelaksanaan proyek yang selama ini tidak memberdayakan petani untuk mandiri. Tingkat intelegensi petani adopter Cianjur, petani adopter Garut dan non adopter Garut adalah tergolong sedang, masing-masing dengan proporsi 47,8 persen; 51,6 persen dan 49,1 persen; sedangkan petani non adopter Cianjur adalah tergolong rendah (80,9%). Ini berarti sebagian besar petani responden memiliki kemampuan yang sedang dalam: (1) mempertimbangkan pilihan yang ada dalam mengelola usahatani dan (2) memprediksi manfaat penerapan teknologi usahatani terpadu.
Pertimbangan penentuan komoditas yang diusahakan, perolehan
informasi dan belajar teknik usahatani tidak hanya bersumber dari sesama petani. Sumber lain diperoleh dari pedagang sarana produksi, pedagang pengumpul dan
97 penyuluh, serta media. Sumber-sumber tersebut memberikan pengaruh kognitif pada petani. Petani non adopter Cianjur dalam menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan lebih berdasarkan pada kebiasaan yang dilakukan (74,5%) maupun mengikuti petani lain (25,5%). Mengutip pemikiran Howard Gardner (Wikipedia, 2010), tingkat intelegensi petani lebih mengarah pada intelegensi eksistensial, yakni kemampuan seseorang menyangkut kepekaan dalam menjawab persoalanpersoalan yang dihadapi terkait dengan pengelolaan usahatani. Hal ini tercermin dari upaya-upaya yang dilakukan petani dalam mengakses informasi pasar, modal, teknologi dan sumberdaya lain yang relevan dengan usahatani yang dikelola. Penentuan komoditas yang diusahakan tidak terlepas dari informasi harga beli benih, harga jual produk, preferensi konsumen terhadap produk tersebut yang menyangkut mutu, modal untuk biaya produksi, ketersediaan teknologi dan ketersediaan lahan serta tenaga kerja. Keseluruhan informasi tersebut menjadi input bagi petani dan melakukan sintesis berdasarkan kemampuan intelegensi eksistensial, yang secara personal berbeda antara petani. Sikap petani responden, baik di Cianjur maupun Garut dalam merespon perubahan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 21). Hal ini mengindikasikan bahwa untuk inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan maka sikap petani berada pada posisi kurang setuju dan setuju, tidak pada posisi ekstrim tidak setuju ataupun sangat setuju. Demikian juga dengan penerimaan petani terhadap teknologi usahatani terpadu, petani berpikir terlebih dahulu tentang manfaat teknologi tersebut ataupun melihat dahulu petani lain, selanjutnya baru menerima dengan cara meniru. Dengan demikian plot demonstrasi merupakan metode yang tepat untuk menyampaikan suatu inovasi teknologi.
Metode ini telah lama
diterapkan, seperti pada waktu memperkenalkan teknologi Bimas maupun Inmas. Sikap petani terhadap kegunaan teknologi usahatani terpadu berada dalam posisi antara kurang yakin dan yakin dapat meningkatkan pendapatan. Sikap petani responden yang demikian menurut Rogers dan Shoemaker (1971), dikategorikan dalam sikap khusus terhadap inovasi. Sikap ini mengarah pada petani berkenan atau tidak, petani percaya atau tidak terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi
98 dengan inovasi lainnya. Bila petani responden (adopter) memiliki pengalaman positif dengan inovasi teknologi yang diperkenalkan sebelum teknologi usahatani terpadu, maka kecenderungan petani adopter juga bersikap positif terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu. Sebaliknya, jika petani responden mengalami kegagalan dalam menerapkan inovasi teknologi yang diperkenalkan sebelumnya, maka akan ada kendala bila inovasi lain diperkenalkan. Petani yang berperan sebagai pengurus kelompok (ketua, sekretaris, bendahara ataupun seksi-seksi) cenderung bersikap positif terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu.
Hal ini disebabkan petani-petani tersebut yang
mengikuti sosialisasi inovasi yang diperkenalkan oleh peneliti dan penyuluh BPTP Jawa Barat, juga ikut serta dalam kegiatan penyuluhan, sehingga mendapat banyak pengetahuan dan keterampilan.
Dalam teori psikologi terdapat dua
penjelasan sikap petani terhadap perubahan. Pertama, konsistensi kognitif yakni kecenderungan semua orang untuk berupaya mencari konsistensi di dalam pikiran, baik dalam hal keyakinan, nilai-nilai maupun persepsi. Jika tidak konsisten, maka akan berusaha menjadi konsisten. Kedua, komunikasi persuasif yakni informasi yang disampaikan penyuluh akan mengubah sikap petani. Terdapat beberapa ketentuan agar persuasi dapat mengubah sikap: (1) penyuluh sebagai komunikator atau penyampai persuasi, (2) isi pesan, dan (3) petani, sebagai khalayak atau pihak yang dipersuasi harus saling menunjang. Petani adopter yang mengalami kegagalan dalam menerapkan komponenkomponen teknologi yang diperkenalkan sebelumnya, akan bersikap negatif terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu. Secara umum, petani akan lebih memperhatikan informasi yang konsisten dengan sikapnya dan mengabaikan yang tidak konsisten. Namun melalui komunikasi persuasif, penyuluh dapat menyampaikan keunggulan dan manfaat teknologi usahatani terpadu, sehingga petani yang semula bersikap negatif berubah positif. Oleh karena itu langkah ini yang seharusnya ditempuh penyuluh, yakni mengidentifikasi petani adopter yang telah berhasil dan gagal dalam menerapkan teknologi sebelumnya. Selanjutnya penyuluh memulai kegiatannya terhadap petani adopter tertentu (yang berhasil) dengan komponen teknologi yang memiliki taraf keuntungan relatif yang tinggi, yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat petani yang ada, tidak
99 rumit, dan mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan mempermudah penyuluh dalam memperkenalkan komponen-komponen lain dalam teknologi usahatani terpadu. Dalam hal ini prinsip falsafah membakar sampah dapat diterapkan dalam memperkenalkan inovasi teknologi, yakni dimulai dari petani yang telah memiliki sikap positif terhadap perubahan, baru dilanjutkan kepada petani lain yang bersikap negatif. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa suatu kegiatan untuk memperkenalkan inovasi teknologi ataupun inovasi lain, tidak bisa tiba-tiba dihentikan.
Diperlukan adanya “strategi penyuluhan berkelanjutan,” paling
sedikit bimbingan yang terus menerus oleh penyuluh pertanian BPP setempat. Bahkan kalau memungkinkan, dengan bantuan sedikit dana dari APBD. “Strategi penyuluhan berkelanjutan” ini harus dimulai paling sedikit pada tahun terakhir kegiatan dilakukan. Pada saat penyuluh BPTP (tenaga detasir) meninggalkan petani yang dibina, penyuluh BPP dapat melanjutkan kegiatan penyuluhan teknologi usahatani terpadu, berperan sebagai fasilitator maupun motivator. Sikap negatif petani adopter tidak selamanya demikian, dalam jangka waktu tertentu dapat berubah, karena ada pengaruh petani adopter lain yang bersikap positif melalui interaksi sosial. Azwar (2000) mengemukakan bahwa sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Tingkat keberanian mengambil resiko merupakan salah satu faktor psikologis petani responden dalam menghadapi berbagai kemungkinan atas keputusan yang diambil dalam kegiatan usahatani.
Menurut Frank Knight
(Muhamad, 2010), resiko adalah sesuatu yang belum pasti terjadi, tetapi dapat dihitung probabilitasnya. Usahatani yang dilakukan petani reponden secara umum bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum atau untuk keamanan dengan cara meminimalkan resiko, termasuk keinginan untuk mempunyai persediaan pangan yang cukup untuk konsumsi rumah tangga dan selebihnya dijual. Hasil pengamatan di lapangan memberikan gambaran bahwa petani membudidayakan berbagai jenis komoditas, termasuk beternak (on farm) dan
100 usaha lain, seperti berburuh tani (on farm) serta non pertanian (off farm). Tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengurangi resiko jika tidak memperoleh pendapatan dari kegiatan bertani, karena adanya serangan hama penyakit ataupun bencana alam yang mengakibatkan puso (gagal panen). Petani (adopter dan non adopter) Cianjur serta petani non adopter Garut tergolong memiliki tingkat keberanian mengambil resiko yang rendah. Terdapat kecenderungan petani tersebut tidak pernah atau jarang: (1) mengganti sarana produksi
(benih/bibit,
pupuk
ataupun
obat-obatan)
yang
dinilai
lebih
menguntungkan, (2) menambah atau mengurangi jenis komoditas yang diusahakan, (3) langsung menjual hasil ke pasar, (4) menambah luasan usahatani, dan (5) mengambil kredit dari bank untuk menambah modal usahatani. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal petani responden seperti kegagalan panen karena masalah hama penyakit ataupun bencana alam (kekeringan, tanah longsor). Selain itu, harga jual dari komoditas yang diusahakan dinilai rendah dibandingkan dengan harga beli sarana produksi yang cenderung naik, serta terdapat peluang kerja di sektor lain seperti di sektor jasa. Sebaliknya petani adopter Garut memiliki tingkat keberanian mengambil resiko yang sedang. Dalam teori ekonomi, tingkat resiko dibedakan menjadi tiga (Pindyck dan Rubinfeld, 1995), yakni: (1) menolak resiko (risk averse), (2) netral terhadap resiko (risk neutral), dan (3) menyukai resiko (risk loving). Petani dengan tingkat keberanian beresiko rendah dapat dikategorikan menolak resiko.
Inovasi
teknologi pada kelompok petani ini dipandang beresiko tinggi terhadap keamanan pangan. Dengan pemilikan lahan yang relatif sempit, petani tidak berani berspekulasi mencoba hal baru. Pada petani dengan tingkat keberanian beresiko sedang dapat dikategorikan netral terhadap resiko.
Terkadang petani menilai
suatu inovasi teknologi merugikan dari satu sisi, tetapi menguntungkan dinilai dari aspek lain.
Sebagai contoh, pembuatan teras (sengkedan) atau guludan,
terutama pada lahan yang miring yang diikuti dengan penguatan teras dengan tanaman pakan ternak, dinilai menambah curahan tenaga kerja. Namun dari sisi lain inovasi tersebut merupakan upaya mencegah erosi dan menjamin ketersediaan pakan ternak. Baik petani adopter maupun non adopter tidak ada yang termasuk dalam kategori tingkat keberanian beresiko tinggi atau menyukai resiko (risk
101 loving).
Hal ini dapat dipahami, karena dalam mengelola usahatani petani
berhadapan dengan faktor alam yang tidak dapat dikontrol, termasuk perubahan iklim yang banyak dikeluhkan petani. Bila dikaitkan dengan tingkat rasionalitas, terlihat bahwa petani adopter Garut sebagian besar memiliki tingkat rasionalitas yang tinggi. Hal ini berarti petani responden dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, relatif lebih berani menanggung resiko. Secara rasional petani adopter Garut dapat memperkirakan resiko dalam berusahatani, seperti frekuensi terjadi kerugian, komoditas yang rentan terhadap kekeringan ataupun serangan hama penyakit tertentu. Hama ulat putih (diistilahkan kuuk) yang menyerang hampir sebagian besar lahan kering milik petani responden, diatasi petani adopter dengan mengganti jenis tanaman yang diusahakan dari padi gogo menjadi tanaman keras/tahunan (albasia). Kemampuan memprediksi kondisi tersebut membuat sebagian besar petani adopter Garut relatif lebih berani mengambil resiko dibanding petani (adopter dan non adopter) Cianjur serta petani non adopter Garut. Perilaku Komunikasi Petani Kerjasama Kerjasama dimaknai sebagai kemampuan petani dalam menjalin hubungan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan kegiatan usahatani. Proses terjadinya kerjasama adalah melalui interaksi personal, baik antara sesama petani maupun antara petani dengan pedagang sarana produksi, pedagang hasil, perusahaan pengolah, lembaga pembiayaan, tokoh masyarakat dan penyuluh.
Mengikuti
pemikiran Etzioni (1961) bahwa kerjasama yang didasari keterikatan dan keterlibatan yang terkait dengan aspek ekonomi, dapat digolongkan sebagai kerjasama ekonomi. Bila mengacu pada pendapat Martinelli (2002) kerjasama tersebut termasuk dalam kerjasama masyarakat pasar. Kerjasama sebagian besar petani responden (sekitar 45,7%-74,5%) termasuk kategori rendah, kecuali pada petani adopter Garut (62,6%) tergolong sedang (Tabel 22). Hal ini mengindikasikan bahwa intensitas hubungan petani responden dengan perusahaan pengolah, lembaga pembiayaan (KUD, Lembaga Perkreditan Desa, Bank) maupun penyuluh berada dalam posisi tidak pernah ataupun jarang.
102 Hubungan yang terjalin dengan sesama petani atau kelompok tani dapat menumbuhkan kepercayaan dalam hal: (1) saling tukar informasi tentang usahatani; (2) memberikan pinjaman, baik berupa uang tunai maupun sarana produksi; (3) menyampaikan keluhan tentang kegagalan dalam berusahatani; dan (4) memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan usahatani. Kerjasama antara sesama petani tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi saja, numun juga aspek budaya, seperti gotong royong ketika menanam. Meskipun budaya tersebut sudah mulai terkikis dan persentasenya relatif kecil (karena adanya buruh tanam sebagai tenaga yang dibayar), namun keberadaannya tidak bisa diabaikan. Tabel 22 Perilaku komunikasi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Peubah
Kategori
Petani Cianjur (%) Adopter Non adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (%) Adopter Non adopter (n=91) (n=118)
Kerjasama Skor Rendah 16-32 45,7 74,5 30,8 72,9 Sedang 33-49 34,7 14,9 62,6 22,9 Tinggi 50-64 19,6 10,6 6,6 4,2 Tingkat kekosmopoSkor litan Rendah 5- 9 56,5 66,0 58,2 74,6 Sedang 10-14 19,6 21,3 27,5 21,2 Tinggi 15-20 23,9 12,8 14,3 4,2 Keterdedahan Skor terhadap media Rendah 7-13 69,6 83,0 68,1 80,5 Sedang 14-20 23,9 8,5 26,4 17,0 Tinggi 21-28 6,5 8,5 5,5 2,5 Keterangan: Rentang skor kerjasama 16-64; tingkat kekosmopolitan 5-20 keterdedahan terhadap media 7-28
Total Petani (%) Adopter Non adopter (n=137) (n=165) 35,8 53,3 10.9
73,3 20,6 6.1
57,7 24,8 17,5
72,1 21,2 6,7
68,6 25,5 5,8
81,2 14,5 4,2
Beberapa petani menjalin kerjasama ekonomi dengan pedagang sarana produksi dan pedagang hasil, yang memberikan pinjaman baik berupa sarana produksi maupun uang tunai. Kerjasama di antara kedua belah pihak relatif lentur (fleksibel). Aturan-aturan yang disepakati biasanya didasarkan atas kepercayaan dan bersifat informal. Bagi pedagang hasil, kerjasama ini memberikan keuntungan berupa terjaminnya kesinambungan pasokan, jumlah bahkan mutu yang dikehendaki dari produk yang dihasilkan petani. Keuntungan bagi petani responden sebagai produsen adalah jaminan pemasaran produk dan kemudahan memperoleh pinjaman baik berupa sarana produksi maupun uang tunai (kapanpun
103 dibutuhkan, bahkan tidak terbatas untuk keperluan usahatani) tanpa disertai agunan. Keterikatan ini membawa konsekuensi, petani harus menjual hasil panen kepada pedagang hasil tersebut, tanpa mempunyai posisi tawar (bargaining position). Berapapun harga beli dari pedagang hasil akan diterima oleh petani, meskipun petani mengetahui terdapat selisih harga antara Rp 100,00 sampai Rp 200,00/kg produk jika dijual ke pedagang lain yang tidak terikat peminjaman. Di Desa Jatiwangi, Garut terdapat petani yang merangkap pedagang hasil sekaligus juga tokoh masyarakat (kepala dusun atau papunduh). Sebagai tokoh masyarakat berperan menggerakkan petani non adopter untuk menerapkan teknologi usahatani terpadu, seperti penggunaan varietas padi baru, usaha ternak domba/kambing di mana kotorannya dapat diolah menjadi kompos sebagai pupuk organik. Tingkat Kekosmopolitan Tingkat kekosmopolitan diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang luas.
Tingkat kekosmopolitan proporsi
terbesar petani adopter (57,7%) dan petani non adopter (72,1%) adalah tergolong rendah (Tabel 22).
Hal ini memberikan gambaran bahwa sebagian petani
responden tidak pernah atau jarang bepergian ke luar desa dalam mengakses informasi: (1) pasar, (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan petani, serta (3) usaha lain yang kompetitif. Dengan skala usaha yang relatif sempit dan kebutuhan terhadap sarana produksi tidak terlalu tinggi, informasi harga diperoleh dari sesama petani di dalam desa. Sikap menyerah pada nasib (fatalistik) terlihat pada petani responden dengan tingkat kosmopolitan yang rendah. Ketidakmampuan menguasai faktor-faktor eksternal menyebabkan petani responden pesimis, tidak berkeinginan mengembangkan usahatani menjadi lebih baik. Petani responden dengan tingkat kekosmopolitan tinggi (sekitar 4,2-23,9%) adalah ketua kelompok tani, tokoh masyarakat, petani yang merangkap sebagai pedagang sarana produksi ataupun pedagang hasil. Termasuk juga petani yang merantau ke kota pada saat musim paceklik (musim kemarau). Kecenderungan pedagang hasil bepergian ke luar desa adalah untuk memperoleh informasi mengenai mutu komoditas (produk) yang dibutuhkan konsumen, seperti komoditas organik (dalam proses produksi tidak menggunakan
104 bahan kimia). Bahkan persyaratan mutu produk yang masuk ke supermarket perlu dicermati dengan baik, karena bila kriteria yang telah ditentukan tidak bisa dipenuhi, produk ditolak dan pegadang mengalami kerugian. Keterdedahan terhadap Media Media dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) media cetak yang meliputi surat kabar, majalah, brosur dan buku; dan (2) media elektronik yang mencakup radio, televisi, dan telepon genggam. Proporsi tertinggi keterdedahan terhadap media pada petani responden yang terkait dengan informasi pengelolaan usahatani adalah tergolong rendah (Tabel 22). Sebanyak 69,6 persen petani adopter dan 87,2 persen petani non adopter di Cianjur tidak pernah mendapatkan informasi tentang usahatani dari media surat kabar; di Garut bahkan mencapai 81,3 persen (petani adopter) hingga 92,4 persen (petani non adopter). Demikian juga dengan media cetak lain (majalah, brosur dan buku) memberikan gambaran yang sama. Hal ini berarti minat baca di kalangan petani responden relatif rendah, yang diperkirakan berkaitan dengan tingkat pendidikan formal yang ditempuh.
Di
samping itu, jangkauan wilayah pedesaan yang jauh dari perkotaan, terlebih jarak dari Desa Jatiwangi ke pusat kota Garut, menghambat distribusi media cetak, sehingga ketersediaan bahan-bahan cetak di pedesaan sangat terbatas. Di Desa Talaga dan Jatiwangi juga tidak terdapat perpustakaan desa. Meskipun terdapat beberapa petani responden yang menyatakan membaca surat kabar, namun materi yang dibaca berkisar pada bidang olah raga, berita politik dan aspek ekonomi. Akses sebagian besar petani responden terhadap informasi usahatani dari media elektronik (radio, televisi, dan telepon genggam) termasuk rendah. Dari hasil pengamatan, beberapa petani responden terlihat tidak memiliki radio. Bagi sebagian besar petani responden yang memiliki radio, mengemukakan bahwa materi yang didengarkan melalui radio terbatas pada hiburan. Porsi informasi tentang pertanian ataupun cara mengatasi berbagai permasalahan dalam bertani, yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) melalui acara Siaran Pedesaan, relatif sedikit. Berdasarkan informasi dari koordinator acara Siaran Pedesaan RRI, keterbatasan jam penyiaran yaitu hanya satu jam per minggu selama tiga kali per bulan tidak memungkinkan seluruh materi
yang mencapai 22 materi dari sektor pertanian dan perikanan dapat
105 dijadwalkan dengan baik. Faktor lain yang perlu dicermati dalam pengembangan penyusunan program Siaran Pedesaan adalah perlunya dilakukan riset khalayak. Dengan memperhatikan unsur demografi, geografi, jenis kelamin, pendidikan maupun bahasa diharapkan dapat diketahui permasalahan yang dihadapi khalayak sasaran jangkauan siaran. Kemudian ditentukan alternatif pemecahan masalah dengan mempertimbangkan bahwa pesan yang disampaikan oleh pengelola radio sesuai dengan kebutuhan khalayak yang telah diidentifikasi sebelumnya. Mengacu pendapat Smith (1981), suatu program yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: mutu khusus (lebih ditekankan pada keaslian atau orisinalitas), unik (bermutu dan terpadu), beragam (berganti secara terus menerus baik performa, materi, suasana, serta tempo), langkah baik (tidak membosankan, harus dinamis dan mempunyai ritme yang menarik dalam satu kepaduan), rutinitas baik (menyeleksi dan mempersiapkan program) dan mutu teknis yang baik (melalui penggunaan peralatan). Televisi yang dilengkapi dengan visual dinilai petani responden lebih menarik, dibandingkan dengan radio.
Petani responden lebih memanfaatkan
televisi sebagai media hiburan. Termasuk di dalamnya menyaksikan pertandingan olahraga, dan berita-berita nasional.
Sebagian besar petani responden tidak
memperoleh informasi tentang usahatani selama satu bulan terakhir pada saat penelitian dilakukan. Hal ini tampaknya terkait erat dengan proporsi penayangan acara televisi yang didominasi oleh acara hiburan, baik di televisi swasta yang berjumlah relatif banyak maupun di TVRI. Curahan waktu dalam menyaksikan siaran televisi relatif jauh lebih tinggi dibanding dengan radio. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa petani responden yang tidak pernah menikmati sajian acara televisi, karena tidak memiliki televisi. Kepemilikan telepon genggam oleh beberapa petani berusia muda, fungsi atau penggunaannya masih terbatas untuk berkomunikasi dengan sesama teman ataupun kerabat, belum berfungsi untuk mendapatkan informasi usahatani. Kecuali petani yang merangkap sebagai pedagang, maka telepon genggam bermanfaat untuk memperoleh informasi tentang harga beli produk, tempat pembelian produk atau info lain yang menyangkut usaha dagang yang dikelola.
106 Secara keseluruhan dapat dikatakan, bahwa baik media cetak maupun media elektronik belum memberikan tambahan pengetahuan maupun wawasan kepada sebagian besar petani responden (di Cianjur dan Garut) yang berkaitan dengan usahatani. Padahal menurut Depari dan MacAndrews (1982), media massa telah dibuktikan mampu berperan secara efektif dalam menambah pengetahuan. Untuk itu, agar dicapai tingkat keefektifan media massa diperlukan interaksi kedua pihak baik khalayak (sebagai penerima informasi) maupun sumber informasi. Melihat kenyataan di atas, maka perlu diupayakan memotivasi petani responden untuk menggali informasi terbaru dari media massa, baik dari aspek teknik budidaya, penanganan pascapanen maupun pemasaran. Di kalangan para pengelola media massa hendaknya tidak hanya berorientasi pada sisi keuntungan saja. Namun para pengelola juga dituntut mempunyai fungsi sosial atau pendidikan yang dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan. Faktanya para pengelola media massa (pengusaha) hanya berpikir jangka pendek. Perhatian pemerintah maupun swasta terhadap masyarakat petani di pedesaan (terutama yang mengelola lahan marjinal) perlu ditingkatkan dengan cara menyampaikan informasi sesuai kebutuhan. Diharapkan materi yang disiarkan antara hiburan, berita, informasi teknologi pertanian dan bisnis dalam proporsi yang berimbang. Terutama pada media televisi yang telah mampu menarik banyak pemirsa dengan daya jangkau siaran yang telah merambah luas hingga pelosok tanah air. Dukungan Iklim Usaha Mosher (1966) mengemukakan bahwa, untuk memajukan sektor pertanian, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi. Lebih lanjut Mosher (1966) menyatakan bahwa teknologi pertanian secara umum yang ditawarkan kepada petani hendaknya harus memiliki lima sifat berikut, sehingga petani akan cenderung terus mengadopsi: (1) keefektifan dari segi teknis, (2) mutu produk dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di tempat di mana petani
107 berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani, dan (5) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani. Ketersediaan Sarana Produksi (Input) Sarana produksi seperti benih/bibit, pupuk dan obat-obatan merupakan faktor produksi yang berperan terhadap jumlah maupun mutu produk yang dihasilkan petani. Dukungan pemerintah terhadap ketersediaan sarana produksi seperti pupuk ditunjukkan dengan pemberlakuan peraturan Menteri Pertanian No. 29/Permentan/OT.140/6/2008 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Ketersediaan sarana produksi bagi sebagian besar petani adopter Cianjur, petani adopter dan petani non adopter Garut tergolong sedang (Tabel 23). Tabel 23 Dukungan iklim usaha di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Peubah
Kategori
Petani Cianjur (%) Adopter Non adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (%) Adopter Non adopter (n=91) (n=118)
Ketersediaan Skor input (saprodi) Rendah 12-23 26,1 55,3 6,6 2,5 Sedang 24-36 56,5 40,4 56,0 61,9 Tinggi 37-48 17,4 4,3 37,4 35,6 Ketersediaan Skor fasilitas keuangan Rendah 12-23 34,8 53,2 18,7 28,8 Sedang 24-36 54,3 46,8 79,1 67,0 Tinggi 37-48 10,9 0,0 2,2 4,2 Ketersediaan sarana Skor pemasaran Rendah 5- 9 19,6 17,0 0,0 26,3 Sedang 10-15 60,8 78,7 59,3 61,9 Tinggi 16-20 19,6 4,3 40,7 11,8 Keterangan: Rentang skor ketersediaan input dan fasilitas keuangan 12-48; ketersediaan sarana pemasaran 5-20
Total Petani (%) Adopter Non adopter (n=137) (n=165)
13,1 56,2 30,7
17,6 55,8 26,7
24,1 70,8 5,1
35,8 61,2 3,0
6,6 59,9 33,6
23,6 66,7 9,7
Hal ini terkait dengan pendapat petani responden yang sebagian menyatakan sulit dan sebagian yang lain menyatakan mudah dalam memperoleh sarana produksi. Keberadaan kios pengecer sarana produksi yang telah memasuki wilayah pedesaan, membuat jarak lahan petani dengan kios sarana produksi relatif dekat, sehingga mudah dijangkau. Di Desa Talaga Cianjur, terdapat dua kios sarana produksi, yakni di Kampung Salahuni dan Kampung Lebak Songgom, sedangkan di Desa Jatiwangi
108 Garut terdapat enam kios sarana produksi berada di Kampung Bojong Randu, Kampung Kadudampit, Kampung Ciwaru, Kampung Sampora, Kampung Arinem dan Kampung Dangdeur. Dengan demikian, petani responden relatif mudah memperoleh benih/bibit yang dibutuhkan, baik yang membeli di kios maupun yang dibuat sendiri oleh petani.
Kesulitan yang dihadapi beberapa petani
responden dalam mendapatkan pupuk NPK, phonska dan obat decis supergo pada waktu dibutuhkan. Terjadinya kelangkaan pupuk tersebut diduga akibat sistem distribusi yang tidak berjalan dengan baik. Dalam hal pengamanan ketersediaan pupuk, menurut Rachman (2009) yang perlu mendapatkan perhatian adalah manajemen stok yang harus dilakukan oleh produsen pupuk sebagaimana diatur dalam Permendag No 21/M-DAG/PER/6/2008.
Pada puncak musim tanam
diharapkan stok pupuk dapat ditingkatkan terutama di wilayah yang sulit dijangkau. Meskipun peraturan Menteri Pertanian No. 29/Permentan/OT.140/6/ 2008 telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang berlaku untuk pembelian pupuk di kios pengecer resmi, namun fakta di lapangan petani membeli pupuk dengan harga lebih tinggi dari HET. Seperti harga pupuk Urea yang dibeli petani dapat mencapai Rp 1.500,00 dan ZA Rp 2.500,00 sedangkan HET pupuk Urea Rp 1.200,00/kg dan ZA Rp 1.050,00. Rachman (2009) mengungkapkan bahwa masalah yang menimbulkan kelangkaan dan harga pupuk yang melebihi HET akibat seringkali ditemukan kebocoran penyaluran pupuk bersubsidi ke luar petani sasaran. Ketersediaan sarana produksi tidak hanya dicirikan oleh tingkat kemudahan atau kesulitan petani responden dalam mendapatkan sarana produksi, namun juga pengaruh mutu dan takaran yang sesuai kebutuhan. Petani responden menyatakan permasalahan lain yang muncul menyangkut mutu pupuk dan obat-obatan. Beberapa petani responden mendapati pupuk Urea palsu yang bertekstur seperti tepung, padahal seharusnya Urea berbentuk butiran. Hasil yang diperoleh petani juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara tanaman yang dipupuk dengan Urea palsu dan tanpa pemupukan. Pupuk SP36 juga dipalsukan, yang asli berwarna agak putih, sedangkan yang palsu berwarna agak kehitaman. Obat-obatan seperti matador juga dipalsukan. Dengan kemasan yang sama, matador yang palsu berwarna putih (bodas), sedangkan yang asli bening (herang). Fakta ini
109 mengindikasikan pengawasan yang lemah terhadap produk pupuk dan obatobatan, sehingga muncul oknum yang memalsukan produk tersebut. Upaya mengatasi permasalahan tersebut tidak mudah. Untuk itu perlu ada peraturan yang mengharuskan produsen mencantumkan secara rinci komponen yang dikandung pada kemasan pupuk atau obat-obatan, disertai sanksi bila dilakukan pemalsuan. Persoalan lain yang timbul di kalangan petani responden adalah kesulitan dalam mendapatkan obat-obatan yang sesuai dengan takaran yang dibutuhkan. Misal obat decis hanya diperlukan 50 ml, tetapi decis yang tersedia di pasaran berukuran 100 ml. Berarti petani responden harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan biaya yang harus dibayar bila decis tersedia dalam ukuran 50 ml. Ketersediaan Fasilitas Keuangan Petani dalam melakukan kegiatan usahatani memerlukan modal. Sejalan dengan perkembangan teknologi pertanian, petani membutuhkan modal yang memadai, baik untuk pembelian alat-alat pertanian maupun sarana produksi. Nurmanaf (2007) menyatakan bahwa permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dan dalam batas-batas tertentu merupakan faktor kritikal. Kecukupan modal melalui bantuan pembiayaan dapat berfungsi efektif untuk mencapai titik optimal dalam skala usaha dan adopsi teknologi maupun penanganan pascapanen. Perolehan modal petani responden dalam melakukan kegiatan usahatani, selain berasal dari diri sendiri (petani yang bersangkutan), juga bersumber dari lembaga perkreditan pedesaan. Permodalan sering menjadi kendala bagi petani berskala kecil. Tidak jarang ditemui bahwa kekurangan modal dapat menghambat petani dalam mengelola dan mengembangkan usahatani. Hasil kajian Syukur et al. (1993) menunjukkan bahwa peranan kredit tidak hanya sebagai pelancar pembangunan, namun juga dapat menjadi unsur pemacu adopsi teknologi yang diharapkan mampu meningkatkan produksi, nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Terdapat dua jenis kredit sebagai sumber pembiayaan petani, yakni kredit formal dan non formal yang memiliki karakteristik yang khas.
Menurut Sudaryanto dan Syukur (2001),
kekhasan ini menyangkut aspek sasaran kelompok, syarat peminjaman dan pengajuan, cara pengembalian, sistem insentif dan sanksi.
110 Kredit formal di pedesaan mencakup: (1) kredit program, terkait dengan program pemerintah, sasaran kredit terbatas, ditangani lembaga perbankan pemerintah; dan (2) kredit non program, dilakukan oleh lembaga pembiayaan pemerintah maupun swasta. Kredit non formal di pedesaan biasanya diberikan oleh petani kaya, pedagang hasil pertanian, pedagang sarana produksi, pemilik penggilingan padi ataupun pihak lain yang menjadi pelaku ekonomi pedesaan. Lembaga pembiayaan non formal menetapkan tingkat suku bunga jauh lebih tinggi dibandingkan bank formal (Ashari dan Saptana, 2005). Ketersediaan fasilitas keuangan bagi sebagian besar petani adopter Cianjur, petani adopter dan petani non adopter Garut tergolong sedang (Tabel 23). Hal ini menandakan bahwa petani responden sebagian menyatakan kesulitan dan sebagian yang lain menyatakan mudah dalam mengakses lembaga keuangan berada dalam posisi antara sulit dan mudah.
Petani responden mengalami
kesulitan ketika akan mengakses kredit formal dari lembaga perbankan. Salah satu persyaratan yang sulit dipenuhi petani adalah adanya keharusan dari pihak perbankan untuk menyerahkan agunan.
Agunan peminjaman yang dinilai
berharga oleh pihak perbankan adalah sertifikat kepemilikan tanah, rumah ataupun surat Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Bagi petani responden yang memiliki lahan garapan relatif sempit, dengan penguasaan aset rumah tangga yang serba terbatas, tentu agunan yang dipersyaratkan menjadi suatu kendala.
Apalagi di pedesaan masih banyak
kepemilikan tanah yang belum disertifikat, masih berstatus girik (surat yang dikeluarkan desa). Selain itu, prosedur pengurusan administrasi yang terlalu rumit dan penyaluran dana peminjaman membutuhan waktu yang lama, serta cicilan pinjaman yang harus diangsur setiap bulan menyebabkan petani responden tidak berani meminjam ke bank, karena tidak sesuai dengan pendapatan petani yang bersifat musiman. Ashari (2009) mengemukakan bahwa secara teori perbankan nasional memiliki potensi yang besar sebagai pendukung pembiayaan pertanian karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan, tetapi fakta yang ada mengindikasikan bahwa penyaluran kredit perbankan nasional ke sektor pertanian masih dikategorikan sangat kecil, yaitu di bawah enam persen.
111 Pada tahun 2006, terdapat kredit program berupa Penguatan Modal Usaha Kecil (PMUK) yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan disalurkan melalui Dinas Pertanian. Untuk Desa Talaga Cianjur, kredit PMUK hanya terbatas diberikan kepada satu kelompok tani Sumber Arum dengan nilai kredit sebesar Rp 90 juta. Pada tahun 2007 kredit PMUK kembali digulirkan kepada lima kelompok tani di Desa Talaga Cianjur, yakni Kelompok Tani Intan Langsung Makmur memperoleh kredit sebesar Rp 170 juta 400 ribu. Empat kelompok tani yang lain, yakni Sumber Arum, Sumber Tani, Jembar Tani dan Sumur Sari mendapatkan kredit masing-masing sejumlah Rp 100 juta. Dana kredit tersebut dialokasikan untuk budidaya pisang (60%), usaha ternak (20%) dan pembelian hasil (20%). Kecuali pada Sumber Tani terdapat sedikit perbedaan dalam pengalokasian dana, yakni pada usaha ternak proporsinya meningkat (30%) dan pembelian hasil proporsinya menurun (10%). Pada tahun 2008, Departemen Pertanian mengucurkan dana melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program ini merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang masuk dalam keanggotaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gapoktan merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP sebagai penyalur bantuan modal usaha bagi anggota. Dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani.
Nilai kredit PUAP yang
diberikan kepada Gapoktan sebesar Rp 100 juta.
Uang tersebut disalurkan
sebagai bantuan modal bergulir yang dapat diakses kelompok-kelompok tani yang bergabung dalam Gapoktan. Dana PUAP di Desa Talaga Cianjur disalurkan kepada pengrajin anyaman bambu (di luar kelompok tani teknologi usahatani terpadu). Seperti Kelompok Tani Telaga Sari, beranggotakan 27 orang, dibentuk secara mendadak satu bulan sebelum pencairan dana PUAP. Setiap anggota mendapatkan kredit sebesar Rp 350 ribu dengan jangka waku peminjaman selama 6 bulan. Pencairan dana pada termin pertama sebesar 50 persen dari total dana sedangkan kekurangannya pada termin berikutnya. Angsuran pinjaman dilakukan setiap bulan dengan menyerahkan anyaman bambu berupa ”geblek” sebanyak 10 buah, satu buah ”geblek” dihargai Rp 7 ribu. Total yang dibayarkan selama enam
112 bulan sejumlah Rp 420 ribu. Dengan kata lain pengrajin dikenakan suku bunga sebesar 20 persen selama enam bulan. Ketentuan dalam Kelompok Tani Telaga Sari: (1) anggota kelompok dapat membeli bambu sendiri, (2) anggota kelompok dapat membeli bambu dari ketua kelompok tani, dan (3) anggota dapat mengangsur pinjaman dengan upah sebagai tenaga kerja.
Upah tenaga kerja
untuk memotong bambu menjadi satu ”geblek” daging Rp 5 ribu, menganyam satu ”geblek” daging Rp 1,5 ribu, sedangkan ”geblek” kulit Rp 3 ribu. Harga jual satu ”geblek” daging Rp 9 ribu dan satu ”geblek” kulit Rp 30 ribu. Selisih harga jual dan harga beli (Rp 2 ribu) digunakan untuk biaya pemasaran (transportasi dan tenaga kerja). Di Desa Jatiwangi Garut, dana PUAP dialokasikan kepada tujuh kelompok tani. Empat kelompok tani mendapatkan kucuran kredit masing-masing sebesar Rp 7 juta, dua kelompok tani lain memperoleh kredit masing-masing sebesar Rp 8 juta dan satu kelompok tani mendapatkan kredit sebesar Rp 42 juta, yang diberikan dalam dua kali termin. Dana pada termin pertama diterima kelompok tani sebesar 50 persen. Dalam jangka waktu empat bulan, disusulkan dana termin kedua (50%), setelah
dana pinjaman termin pertama didistribusikan kepada
anggota dan dibuat laporan pertanggungjawaban. Dana PUAP digunakan untuk kegiatan produktif yang memberikan nilai tambah pada komoditas yang diusahakan, seperti pembuatan wajik, pembuatan keripik pisang ataupun jual beli kambing. Pada Kelompok Tani Harapan Jaya, minimal anggota meminjam Rp 300 ribu dengan angsuran setiap bulan sebesar Rp 36 ribu selama jangka waktu 10 bulan. Penetapan tingkat suku bunga atau diistilahkan jasa sebesar 2 persen per bulan merupakan hasil kesepatan dari tujuh ketua kelompok tani. Membandingkan tingkat suku bunga kredit PUAP yang dibebankan pada anggota kelompok tani di Cianjur dan Garut, terlihat sama yaitu 20 persen dari total pinjaman. Namun perbedaan terletak di jangka waktu pengembalian kredit, di Cianjur beban bunga 20 persen ditanggung anggota kelompok tani selama enam bulan atau 3,3 persen per bulan, sedangkan di Garut hanya 2 persen per bulan, karena kredit dapat dicicil selama 10 bulan.
Fakta di lapangan memberikan
gambaran bahwa kredit program yang telah memiliki acuan jelas, dalam implementasinya dapat diterjemahkan berbeda tergantung pada kesepakatan
113 seluruh kelompok tani. Termasuk jumlah dana PUAP yang diterimakan BRI sebesar Rp 100 juta tiap Gapoktan, penyaluran di kelompok tani di Desa Jatiwangi Garut hanya sekitar 86 persen dari total dana. Keterlibatan banyak pihak dalam pengucuran dana PUAP menyebabkan tidak semua dana dapat dimanfaatkan petani. Menurut informasi petani responden, terdapat sebagian dana PUAP dialokasikan untuk kepala desa, camat dan polsek. Di tingkat petani terjadi juga permasalahan, terkait dengan kemacetan dalam pengembalian pinjaman, bahkan beberapa petani beranggapan sebagai bantuan modal yang tidak harus dikembalikan. Fenomena ini perlu dicermati sebagai ketidakefektifan kucuran kredit program dari pemerintah dengan rantai birokrasi yang panjang. Meskipun manajer lapang program kredit PUAP dan teknologi usahatani terpadu dirangkap oleh personil yang sama, namun sebenarnya PUAP tidak terlalu banyak membantu petani, sehingga petani masih banyak yang menggunakan kredit non formal. Kemudahan petani responden dalam mengakses kredit non formal, baik ke pedagang sarana produksi, pedagang hasil, kelompok tani, maupun pelepas uang (rentenir), dipandang sebagai alternatif pembiayaan yang sangat membantu petani responden pada saat dibutuhkan.
Pencairan dana relatif cepat, tanpa agunan
dengan prosedur yang mudah dan sederhana, namun ketersediaan dana relatif terbatas, serta suku bunga yang dibebankan ke petani tergolong tinggi. Pembiayaan non formal ini didasari pada prinsip kepercayaan, sudah saling mengenal, seperti hubungan keluarga atau kerabat dekat, tetangga, mitra kerja dan hubungan kekerabatan yang lain, tanpa aturan atau kesepakatan yang tertulis. Informasi dari petani responden yang meminjam uang sebesar Rp 100 ribu kepada pelepas uang, setiap hari Kamis membayar cicilan sebesar Rp 13,5 ribu selama jangka waktu 10 minggu. Tingkat suku bunga yang dibebankan kepada petani responden mencapai 35 persen dalam waktu 2,5 bulan atau 168 persen per tahun. Petani menyadari jika bunga yang dikenakan sangat tinggi, namun kondisi ini terpaksa dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan dukungan sepenuhnya dari lembaga pembiayaan yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat guna memberikan pelayanan pembiayaan kepada petani skala kecil. Prosedur peminjaman dibuat relatif sederhana, agunan yang
114 mampu dipenuhi petani dengan tingkat suku bunga yang rendah dan angsuran disesuaikan dengan pendapatan petani yang bersifat musiman. Ketersediaan Sarana Pemasaran Sarana pemasaran yang dimaksud dititikberatkan pada prasarana jalan, sarana transportasi dan pasar sebagai tempat transaksi antara penjual dan pembeli. Sebagian besar petani adopter (59,9%) dan petani non adopter (66,7%) baik di Cianjur maupun Garut menyatakan bahwa ketersediaan prasarana pemasaran tergolong sedang (Tabel 23). Hasil pengamatan di lapangan memberikan gambaran bahwa prasarana jalan utama, baik yang menghubungkan ibukota Kabupaten Cianjur ke Desa Talaga maupun ibukota Kabupaten Garut ke Desa Jatiwangi, tergolong bagus berupa jalan aspal. Kondisi ini berperan penting bagi kelancaran pengangkutan produk pertanian yang dihasilkan petani responden, terutama yang terkait dengan waktu angkut produk dari desa ke kota. Jalan dalam desa yang menghubungkan antara satu dusun dengan dusun lain di Desa Talaga dan Desa Jatiwangi sebagian besar merupakan jalan makadam (tanah berbatu) dan hanya sedikit yang berupa jalan tanah.
Menurut persepsi petani responden
prasarana jalan yang telah dibangun sangat memudahkan petani dalam mendistribusikan produk yang dihasilkan. Dukungan pemerintah dalam membangun prasarana jalan tersebut patut diapresiasi. Aksesibilitas masyarakat desa terhadap wilayah perkotaan begitu terbuka, demikian pula sebaliknya, sehingga membawa pengaruh positif terhadap pembangunan pertanian di pedesaan. Sarana transportasi umum yang ada di Desa Talaga Cianjur berupa colt dan sepeda motor (ojeg), sedangkan Desa Jatiwangi Garut berupa mini bus elf dan ojeg. Jumlah colt yang menjangkau wilayah Desa Talaga Cianjur relatif banyak dibandingkan jumlah mini bus elf di Desa Jatiwangi Garut, sehingga frekuensi lintasan menjadi jarang. Keadaan ini membuka peluang alat transportasi ojeg untuk mengisi ketiadaan alat angkut pada saat dibutuhkan. Dengan rute dan jarak tempuh yang sama, biaya transportasi bila menggunakan ojeg relatif lebih mahal dibandingkan dengan colt ataupun mini bus elf. Meski demikian, keberadaan ojeg, dinilai petani responden sangat membantu dalam pengangkutan, terutama pada jalur-jalur yang tidak dilalui kendaraan roda empat. Mosher (1966) mensyaratkan
115 pengangkutan produk pertanian hendaknya efisien dan murah, sehingga harga sarana produksi menjadi lebih rendah dan penerimaan petani dari penjualan produk akan lebih tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi biaya pengangkutan antara lain: (1) sifat barang yang diangkut (terkait dengan berat); (2) penanganan terhadap barang, perlu hati-hati atau tidak untuk mencegah kerusakan, mudah busuk dan perlu cepat diangkut atau tidak; (3) jarak angkut; (4) volume per trip; serta (5) jenis alat angkut yang digunakan. Fasilitas pengangkutan yang tersedia di Cianjur dan Garut, baik yang menyangkut prasarana jalan maupun sarana transportasi, memungkinkan berbagai komoditas pertanian dibudidayakan, termasuk ternak. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kecepatan pembangunan pertanian. Selain prasarana jalan dan sarana transportasi, ketersediaan pasar juga diperlukan untuk memudahkan distribusi produk pertanian dari petani ke tangan konsumen. Di Desa Talaga Cianjur tidak terdapat fasilitas pasar, namun sekitar 10 kilo meter di kota Cianjur terdapat pasar sebagai tempat transaksi jual beli produk dari berbagai desa di Cianjur. Di Desa Jatiwangi Garut terdapat pasar permanen yang buka hanya pada hari Senin dan Kamis, berlokasi di Kampung Kadudampit, Dusun Ciakar. Petani responden yang menjual hasil pertanian ke pasar hanya berkisar antara 2,2 - 5,1 persen; petani tersebut merangkap sebagai pedagang (Tabel 23). Sebagian besar petani responden Cianjur (adopter dan non adopter) menjual hasil di lahan petani. Pilihan tersebut didasari pertimbangan bahwa selisih penerimaan menjual hasil di lahan petani dan di pasar tidak jauh berbeda. Petani responden telah memperhitungkan biaya transportasi dan curahan tenaga kerja, bila menjual hasil pertanian ke pasar. Di samping itu, dijumpai beberapa petani responden yang mempunyai ikatan hutang uang kepada pedagang, baik untuk biaya usahatani maupun kebutuhan keluarga. Produk yang dihasilkan petani menjadi jaminan untuk membayar hutang tersebut. Penentuan waktu dan kegiatan panen dilakukan oleh pedagang. Bagi petani adopter di Cianjur, pemasaran komoditas pisang dilakukan secara kolektif melalui kelompok tani. Di dalam kelompok tani terdapat seksi pemasaran, yakni petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul tingkat desa. Anggota kelompok tani (petani adopter) membawa hasil pisang ke bagian
116 pemasaran. Pisang tersebut dijual ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten di Cipanas (dua pedagang), Cianjur (satu pedagang) dan Jakarta (dua pedagang). Sebagai pengikat, para pedagang pengumpul tingkat kabupaten memberikan panjar kepada seksi pemasaran sebesar Rp 2 juta – Rp 5 juta yang diberikan 1-2 minggu sebelum dilakukan transaksi jual beli. Harga pisang di tingkat pedagang (seksi pemasaran), tergantung pada jenis dan mutu pisang. Seperti jenis pisang raja bulu grade satu dihargai Rp 2.500,00/kg (dipasok ke super market), grade dua dan grade tiga, masing-masing Rp 2.000,00/kg dan Rp 1.500,00 – Rp 1.750,00/kg. Harga di tingkat petani berkurang Rp 500,00/kg yang dialokasikan untuk biaya angkut (transportasi) sebesar Rp 100,00; upah tenaga kerja Rp 100,00; uang kas kelompok tani Rp 100,00 dan keuntungan sebagai pedagang Rp 200,00. Bagi petani bukan anggota kelompok tani, bila menjual pisang ke seksi pemasaran dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 100,00/kg sehingga selisih harga di tingkat petani dan pedagang pengumpul tingkat desa menjadi Rp 600,00/kg. Sebagian besar petani adopter (41,7%) dan petani non adopter (35,6%) di Garut menjual hasil di rumah petani (Tabel 24). Terdapat kecenderungan petani untuk tidak menjual seluruh produk pangan seperti padi, jagung dan singkong. Tabel 24 Tempat petani melakukan transaksi jual beli No.
Uraian
(1) (2) (3) (4)
Lahan petani Rumah petani Tempat pedagang Pasar Total
Petani Cianjur (%) Adopter Non adopter (n=47) (n=46) 56,5 44,7 4,3 8,5 37,0 42,5 2,2 4,3 100,0 100,0
Petani Garut (%) Adopter Non adopter (n=91) (n=118) 16,5 24,6 41,7 35,6 38,5 34,7 3,3 5,1 100,0 100,0
Pola penyimpanan hasil pertanian, selain untuk keamanan pangan, juga berkaitan dengan beberapa hal seperti tingkat kesesuaian harga yang berlaku di pasaran dengan keinginan petani, kemampuan penanganan pasca panen, dan kebutuhan uang tunai untuk keperluan sehari-hari termasuk untuk membiayai usahatani. Meskipun tempat petani melakukan transaksi jual beli beragam, namun terdapat satu kesamaan, yakni posisi tawar petani responden yang lemah dalam menjual hasil pertanian. Petani responden lebih berperan sebagai penerima harga,
117 sedangkan penentu harga lebih didominasi oleh para pedagang, terlebih bila ada keterikatan hutang, selisih harga dapat mencapai Rp 50,00 – Rp 100,00/kg Persepsi Petani terhadap Penyuluhan Pemberlakuan UU Otonomi Daerah memberi keleluasaan bagi kepala daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah, sehingga kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah bervariasi. Sebelum otonomi daerah, Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP) merupakan unit kerja kelembagaan penyuluhan pertanian. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menko Wasbangkan, penyuluhan pertanian (BIPP) diserahkan kepada pemerintah daerah pada tahun 1996. Setelah reformasi digulirkan, pada tahun 2000 kelembagaan BIPP berubah menjadi Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian (KIPP). Di dalamnya terdapat lembaga penyuluhan pertanian, dan lembaga ketahanan pangan. Pada tahun 2003 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 8 Tahun 2003 tentang struktur pemerintah daerah membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, lembaga tersebut dirampingkan. Di Cianjur, penyuluhan pertanian masuk dalam instansi Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, sedangkan di Garut penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan digabung menjadi Kantor Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan. Instansi ini merupakan unit kerja eselon III-A yang bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Wilayah Daerah (Setwilda). Struktur organisasi yang dibentuk terdapat tiga seksi yang berada pada Kantor Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan, yakni seksi: (1) Pengembangan SDM, (2) Ketahanan Pangan, dan (3) Pemberdayaan BPP dan Kelompok Tani. Jumlah personil pada tahun 1999 sebanyak 246 orang PNS, yang pada tahun 2008 mengalami
penurunan
menjadi
180
orang.
Pada
tahun
2009
Kantor
Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan di Garut sudah tidak ada lagi, dan penyuluhan pertanian berada di Badan Ketahanan Pangan. Instalasi penyuluhan di wilayah kecamatan adalah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), yang menginduk pada Badan Ketahanan Pangan.
Secara
keseluruhan BPP di Kabupaten Garut berjumlah 42 yang menyebar di seluruh kecamatan. Masing-masing BPP terdapat tenaga penyuluh berkisar 3-12 orang. Selain itu di tingkat desa terdapat Pos Pelayanan Penyuluhan Pertanian. Namun
118 dari total desa sebanyak 424, pada tahun 2008 baru terdapat 147 Posluh, satu di antara desa tersebut adalah Desa Jatiwangi (Posluh Pertanian Mekarwangi), yang berarti masih terdapat 277 desa yang belum mempunyai Posluh. Gambaran keseluruhan jumlah penyuluh pertanian yang ada berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenjang jabatan di lokasi penelitian (kondisi tahun 2008) ditampilkan pada Tabel 25. Tabel 25 Jumlah penyuluh pertanian berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenjang jabatan, tahun 2008 (orang) Kab. Cianjur Kab. Garut Prov. Jabar No. Uraian (n=152) (n=180) (n=180) Jumlah % Jumlah % Jumlah % (1) Berdasarkan jenis kelamin - Laki-laki 86 147 82 2.137 84 131 - Perempuan 21 14 33 18 397 16 (2) Berdasarkan tk pendidikan - SLTA 2 1 52 29 294 12 - D3 reguler 71 47 26 14 75 34 - D3 penyetaraan 24 16 27 13 - D4 1 1 8 1 49 32 95 53 70 38 - S1 - S2 6 4 6 3 47 2 (3) Berdasarkan jenjang jabatan - Pelaksana 6 4 9 5 171 7 - Pelaksana 35 23 27 15 45 18 lanjutan - Penyelia 58 38 43 24 1.012 40 - Pertama 14 9 20 11 217 9 - Muda 19 13 46 26 377 16 - Madya 20 13 35 19 242 10 Sumber: Pusat Pengembangan Penyuluhan, Badan Pengembangan SDM Pertanian (2009)
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan: ”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.”
119 Sumardjo (2008) menekankan bahwa fokus utama penyuluhan adalah pembangunan manusia sebagai bagian dari sistem sosial. Penyuluhan melakukan upaya pembangunan struktur masyarakat secara konvergen, dialogis, demokratis dan partisipatif.
Untuk itu dalam keprofesian penyuluh diperlukan standar
kompetensi penyuluh yang jelas dan didukung oleh kontrol yang efektif. Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh Penyuluh yang diketahui dan dikenal petani adopter (terutama pengurus kelompok tani) adalah: (1) penyuluh PNS yang membina masyarakat petani, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) UU RI No 16/2006; dan (2) penyuluh yang memperkenalkan teknologi usahatani terpadu, yakni penyuluh yang bernaung di instansi BPTP Jawa Barat. Sebagian besar (74,5%) petani non adopter Cianjur tidak mengenal penyuluh.
Bagi petani non adopter Garut,
penyuluh PNS yang bertugas di Desa Jatiwangi tidak dikenal, justru penyuluh desa lain yang dikenal, karena berdomisili di Jatiwangi dan berinteraksi dengan petani setempat. Persepsi sebagian besar (63,0%) petani adopter Cianjur dan petani adopter serta non adopter Garut (sekitar 65,3% - 70,3%) terhadap kompetensi penyuluh termasuk dalam kategori sedang (Tabel 26). Hal ini menggambarkan persepsi petani responden berada pada posisi kurang setuju atau setuju terhadap penilaian kemampuan penyuluh. Penguasaan penyuluh terhadap teknik budidaya komoditas pertanian dinilai memadai, termasuk pengetahuan tentang produksi tanaman dan ternak. Penyuluh dari BPTP Jawa Barat dinilai mampu menjelaskan teknologi usahatani terpadu sebagai teknologi yang dinilai lebih baik. Penyuluh dapat berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami petani responden. Di Cianjur, penyuluh telah ikutserta membangun kerjasama antara pengurus kelompok tani (yang beranggota petani adopter) dengan pedagang tingkat kabupaten ataupun supermarket dalam pemasaran pisang. Dengan demikian, kelompok tani mempunyai posisi tawar yang kuat sehingga diperoleh harga jual produk yang relatif lebih tinggi dibanding jika petani menjual secara individu. Di samping itu biaya pemasaran dapat lebih ditekan. Kepala Desa Talaga Cianjur yang merangkap sebagai Ketua Kelompok Tani Intan Langsung Makmur ikut berperan dalam menjalin kemitraan. Sebelum
120 dipilih sebagai kepala desa, berprofesi sebagai supplier produk pertanian ke supermarket sehingga telah memiliki jaringan pemasaran. Kondisi pemasaran bersama ini tidak ditemui di Garut, baik penyuluh maupun tokoh masyarakat belum merintis ke arah tersebut. Tabel 26 Persepsi petani terhadap penyuluhan di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Petani Cianjur Adopter Non adopter
Petani Garut Adopter Non adopter
(n=46)
(n=47)
(n=91)
(n=118)
Kompetensi Penyuluh
2,69
1,75
2,54
2,33
2,62
2,04
2,33
Peran Penyuluh
2,74
1,71
2,60
2,45
2,67
2,08
2,38
Materi penyuluhan
2,73
1,46
2,86
2,76
2,80
2,11
2,46
Metode penyuluhan
2,89
2,34
2,74
2,81
2,82
2,58
2,70
Penyuluhan
2,76
1,81
2,68
2,59
2,72
2,20
2,46
Persepsi Petani terhadap
Total Petani Non Adopter adopter & Non adopter (n=137) (n=165) (n=302)
Adopter
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Beberapa kemampuan penyuluh yang dipandang petani responden perlu ditingkatkan adalah pengetahuan yang baik terhadap potensi sumberdaya wilayah binaan, budaya dan kebutuhan masyarakat petani. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesetaraan antara penyuluh dan petani responden belum terwujud dengan baik. Penyuluh lebih berperan sebagai “petugas” dinas dalam melaksanakan program daripada sebagai penyuluh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini ditandai dengan instruksi penyuluh kepada petani responden, seperti pembuatan kompos dari kotoran domba, dan pembuatan trichoderma. Hubungan yang terjalin seperti antara guru dan murid. Interaksi antara penyuluh dengan petani responden belum mencerminkan hubungan yang egaliter. Keberpihakan penyuluh kepada petani belum tampak, seperti keterlibatan penyuluh sebagai tenaga (penyuluh) pendamping dalam penyaluran kredit PUAP belum sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan.
Penyimpangan terhadap
jumlah dan alokasi dana PUAP masih ditemukan. Semestinya program kredit
121 PUAP dan pengembalian pinjaman diawasi dengan lebih baik, dalam artian pengawasan
terhadap
penggunaan
kredit
Pengembalian pinjaman menjadi lebih mudah,
dilakukan
dengan
bijaksana.
efektif dan terkontrol dengan
adanya kerjasama antara petani dan penyuluh pendamping. Dalam penyusunan rencana kebutuhan pupuk bersubdisi, penyuluh tidak didukung data kebutuhan riil petani di lapangan. Penghitungan penyuluh hanya berdasarkan prediksi penggunaan pupuk per hektar dikalikan total luas areal pertanian di tingkat kecamatan. Menurut informasi penyuluh, pupuk bersubsidi (Urea, phonska, ZA, NPK kujang dan SP36) yang tersedia di kios pengecer resmi lingkup Kecamatan Pakenjeng Garut pada tahun 2009 mencapai sekitar 2000 ton, namun yang terserap hanya 50 persen. Keuntungan kios tersebut diperoleh dari fee yang telah ditetapkan sebesar Rp 2.000,00/karung (50 kg) atau Rp 40,00/kg pupuk. Faktanya, beberapa petani responden di Desa Jatiwangi Garut kesulitan dalam mendapatkan pupuk phonska dan NPK kujang.
Diduga faktor penyebab
kelangkaan tersebut adalah distribusi pupuk bersubsidi yang tidak sesuai kebutuhan petani, dan penyimpangan alokasi pupuk bersubsidi kepada pihak lain yang tidak berhak, namun menjanjikan keuntungan yang lebih tinggi. Kondisi yang timpang ini mengindikasikan penyuluh belum berpihak kepada petani. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (72,3%) terhadap kompetensi penyuluh tergolong rendah (Tabel 26). Berarti petani non adopter Cianjur cenderung bersikap tidak setuju – kurang setuju terhadap penilaian kompetensi penyuluh. Sikap tersebut lebih disebabkan petani responden tidak mengenal penyuluh, sehingga tidak dapat menilai kompetensi dan kinerja penyuluh. Sebagian besar petani (74,5%) non adopter Cianjur menyatakan bahwa penyuluh tidak melakukan kegiatan penyuluhan yang menjadi tugasnya. Kenyataan ini sering dibantah oleh pejabat dinas maupun pejabat Kementerian Pertanian.
Masalahnya, pengertian pejabat tentang penyuluh sangat berbeda.
Pejabat selalu menganggap penyuluh sebagai petugas bawahannya, dan harus meneruskan instruksi kepada petani. Penyuluh yang berada di BPP Kecamatan Cugenang Cianjur berjumlah lima orang, termasuk satu orang penyuluh koordinator, yang membina 16 desa. BPP
122 Kecamatan Pakenjeng Garut memiliki tiga Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) dan satu orang penyuluh koordinator yang telah berstatus PNS, dengan 12 desa binaan. Berarti satu tenaga penyuluh membina 3-4 desa. Tugas penyuluh pertanian PNS ataupun THL-TBPP selain membina petani, juga menyusun programa penyuluhan, laporan kegiatan per bulan, membuat rencana kebutuhan pupuk bersubsidi, mengikuti latihan gabungan di BPP dengan instruktur dari kabupaten, dan menghadiri rapat mingguan. Bagi THL-TBPP masih terdapat tambahan tugas untuk mengikuti kegiatan pembinaan yang dilakukan di kabupaten. Kegiatan penyuluh menjadi bertambah lagi dengan masuknya suatu program atau proyek ke desa binaan.
Sebagai
gambaran di Desa Jatiwangi dalam waktu bersamaan terdapat program Farmer Empowerment through Agricultural Technology and Information Project (FEATI), program pertanggungjawaban sosial perusahaan Antam berupa petak percontohan (plot demonstrasi) usahatani jagung, tomat dan cabe pada areal 0,5 ha dan program Sarjana Membangun Desa
yang mengintroduksikan 88 ekor
kambing PE untuk usaha ternak. Satu kelompok peternak terdiri dari 8 orang. FEATI atau Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) merupakan program yang dirancang untuk mewujudkan sistem penelitian dan penyuluhan pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan petani dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Keseluruhan kegiatan di luar membina petani, menyita waktu penyuluh sehingga tugas pokok melakukan kegiatan penyuluhan sering diabaikan. Menurut informan kunci, THL-TBPP di Desa Jatiwangi mengunjungi rumah petani pada waktu petani berada di ladang. Kunjungan
penyuluh
tersebut
dinilai
hanya
untuk
memenuhi
laporan
administratif. Tjitropranoto (2003) menyoroti kompetensi penyuluh perlu ditingkatkan melalui pengetahuan penyuluh terhadap sifat-sifat, potensi dan keadaan sumberdaya alam, iklim serta lingkungan di wilayah petani binaan. Selain itu, penyuluh perlu memahami perilaku petani dan potensi pengembangannya, pemahaman terhadap kesempatan usaha pertanian yang menguntungkan petani, membantu petani dalam mengakses informasi harga dan pasar, memahami peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan usaha pertanian.
Hasil
123 penelitian
Muliady
(2009)
menunjukkan
bahwa
kompetensi
penyuluh
berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh (pengelolaan informasi dan kepemimpinan). Dimensi kompetensi penyuluh mencakup kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilam. Berdasarkan teori kritis pendidikan orang dewasa yang dikembangkan oleh Friere dan Horton (Page dan Czuba,1999), kemampuan individu dapat diubah dan dapat dikembangkan, sedangkan teori tabula rasa yang diperkenalkan John Locke (Salkind, 1985) bahwa faktor lingkungan lebih dominan dalam menentukan perkembangan kualitas sumberdaya manusia dibanding faktor genetik.
Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
Anwas (2009) bahwa faktor lingkungan mempengaruhi kompetensi penyuluh, sehingga untuk meningkatkan kompetensi penyuluh di lingkungan lembaga penyuluhan harus diciptakan suasana yang mendorong penyuluh untuk melakukan proses belajar. Dengan demikian, kompetensi penyuluh dapat ditingkatkan melalui pendidikan formal, non formal (melalui pelatihan-pelatihan), dan informal (pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal, dan lingkungan tempat bekerja) yang memungkinkan peningkatan kemampuan penyuluh. Upaya-upaya peningkatan kompetensi penyuluh perlu disertai dengan pemberian insentif (reward) yang akan memotivasi penyuluh dalam memberikan kinerja yang optimal. Biaya operasional penyuluh (BOP) hanya sebesar Rp 250 ribu/bulan bagi penyuluh PNS, sedangkan THL-TBPP yang berpendidikan SLTA sebesar Rp 100 ribu/bulan (dengan perolehan honorarium Rp 1 juta/bulan selama 10 bulan dalam satu tahun). Padahal dalam menjalankan tugas tidak ada perbedaan antara penyuluh PNS dan THL-TBPP, bahkan THL-TBPP mendapat tambahan tugas untuk mengikuti pembinaan di tingkat kabupaten. Perekrutan terhadap THL-TBPP juga memunculkan kritikan. Dalam beberapa kasus, THLTBPP diragukan integritasnya. Dengan status sebagai tenaga kontrak, dianggap sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status tersebut mempengaruhi semangat dan kinerja THL-TBPP di lapangan. Untuk itu, keseimbangan antara beban tugas dengan insentif perlu menjadi prioritas utama. Apresiasi terhadap kinerja THL-TBPP yang baik, perlu dilakukan dengan memberikan sertifikat penghargaan, juga kesempatan untuk mengikuti berbagai
124 kegiatan pelatihan, dengan materi tentang pemecahan masalah yang dihadapi petani binaan. Pemerintah dalam memberikan BOP kepada penyuluh PNS tidak memperhatikan wilayah yang dibina, antara agroekosistem lahan sawah, dan lahan marjinal (lahan kering dan pasang surut) tidak dibedakan. Tingkat keterjangkauan ketiga agroekosistem tersebut tentu tidak sama. Jarak tempuh dan tingkat kesulitan capaian suatu wilayah tidak dipertimbangkan pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk memberi insentif yang layak kepada penyuluh. Suatu wilayah yang terpencil dengan prasarana jalan yang kurang memadai, tidak mengherankan apabila tidak pernah dikunjungi penyuluh. Seperti Kampung Pasir Kaliki di Desa Jatiwangi Garut, jalan yang ada berupa jalan tanah setapak, tidak bisa dijangkau kendaraan bermotor (ojeg). Waktu tempuh yang diperlukan sekitar satu jam berjalan kaki dari kantor desa ke kampung tersebut. Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh Sejalan dengan arus globalisasi berupa liberalisasi perdagangan, perubahan preferensi konsumen terhadap produk pertanian dan upaya terhadap kelestarian lingkungan, menuntut pendekatan penyuluhan pertanian yang dinamis mengikuti perubahan. Penyuluh pertanian dituntut tidak hanya sekedar sebagai penyampai (desiminator) teknologi dan informasi, tetapi lebih ke arah sebagai motivator, dinamisator, pendidik, fasilitator dan konsultan bagi petani (Tjitropranoto, 2003; Subejo, 2009). Lippitt et al. (1958) dan Rogers (2003) bahkan menambahkan bahwa penyuluh pertanian harus dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh klien (petani), membangun dan memelihara hubungan dengan sistem klien (petani), memantapkan adopsi inovasi serta mencegah penghentian. Untuk mendukung peran-peran tersebut, penyuluh pertanian perlu mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi, komunikasi dan edukasi. Pada saat ini penyuluh PNS dan THL-TBPP berhadapan dengan sales yang merupakan pelayan teknis perusahaan sarana produksi nasional dan multinasional serta berperan sebagai penyuluh swasta telah memasuki pedesaan. Untuk itu penyuluh pertanian (PNS dan THL-TBPP) diharapkan dapat berperan dengan lebih baik, sehingga keberadaannya memiliki arti dan dibutuhkan bagi petani. Penyuluh
125 swasta (dari perusahaan) bertugas menyampaikan informasi tentang keefektifan produk yang dihasilkan perusahaan, sedangkan penyuluh PNS harus netral, tidak berpihak kepada produk perusahaan tertentu, melainkan harus berpihak kepada petani. Namun demikian penyuluh PNS perlu bekerjasama atau berkoordinasi dengan penyuluh swasta yang menawarkan produk (sarana produksi) yang bermutu baik bagi petani. Persepsi sebagian besar petani adopter (63,5%) dan petani non adopter (sekitar 44,2%) terhadap peran penyuluh adalah tergolong sedang (Tabel 26). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani responden (adopter dan non adopter) bersikap kurang setuju – setuju dalam menilai peran penyuluh. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani responden tidak semuanya dapat diatasi penyuluh, seperti layu daun dan busuk pada pangkal batang pisang yang dihadapi petani adopter Cianjur.
Petani responden Garut menghadapi
kesulitan dalam mengatasi hama ulat (kuuk), dan memperoleh benih padi gogo jenis Situ patenggang dan Situ bagendit karena tidak dijual di pasaran. Penyuluh dinilai petani responden belum berperan dalam mengidentifikasi permasalahan berteknologi usahatani terpadu, termasuk juga mengidentifikasi kebutuhan petani responden. Untuk itu penyuluh perlu berperan sebagai fasilitator, paling sedikit mencarikan informasi dari instansi berwenang untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan petani. Dalam hal pemasaran, petani responden di Desa Jatiwangi Garut membutuhkan kerjasama dengan pihak lain untuk menampung produk pertanian yang telah diolah sehingga petani mendapatkan nilai tambah, seperti minyak atsiri dari daun nilam. Dinas Perindustrian telah memberikan batuan alat penyulingan, namun dalam pembuatan minyak atsiri dibutuhkan modal yang relatif besar. Alat penyulingan yang didanai pemerintah tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, disimpan di gudang dan tidak terawat. Petani menjual nilam dalam bentuk bahan mentah (daun nilam basah atau kering) dengan harga jual yang terus menurun. Pada tahun 2004 harga daun nilam basah Rp 2.000,00/kg dan pada tahun 2008 hanya berkisar antara Rp 700,00/kg - Rp 1.000,00/kg. Keadaan ini membuat petani tidak termotivasi untuk mengurus tanaman nilam. Lahan yang telah ditanami nilam menjadi terlantar, tidak dipelihara. Hal ini terlepas dari
126 perhatian penyuluh. Padahal Slamet (2003) telah menegaskan bahwa penyuluh harus mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru. Dalam paradigma baru penyuluhan pertanian, salah satu faktornya adalah harus berorientasi agribisnis yang memandang usahatani sebagai bisnis, dengan motif mendapatkan keuntungan. Sebagai konsekuensinya,
lembaga penyuluhan
pertanian di tingkat pusat (Badan Pengembangan SDM) perlu melakukan kerjasama dan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Kerjasama ini perlu ditindaklanjuti sampai tingkat kabupaten yang melibatkan penyuluh dan petani (sebagai produsen komoditas pertanian). Selain itu, penyuluh juga harus mampu berperan sebagai penghubung dan fasilitator dalam membangun kerjasama antara petani (kelompok tani) dengan pihak swasta (pengusaha swasta) yang menangani pengolahan dan pemasaran produk olahan pertanian. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (74,5%) terhadap terhadap peran penyuluh tergolong rendah (Tabel 26). Petani responden (non adopter) menyatakan tidak mengenal dan tidak pernah dikunjungi penyuluh pertanian. Tidak ada kinerja penyuluh pertanian yang ditunjukkan. Penyuluh pertanian dianggap tidak berperan dalam kegiatan berusahatani petani non adopter Cianjur. Tidak ada andil penyuluh pertanian dalam mengatasi berbagai persoalan bertani yang dihadapi petani non adopter Cianjur. Di Kampung Bayabang Desa Talaga Cianjur yang mendatangi warga tani justru tiga tenaga perempuan yang direkrut United States Agency for International Development (USAID) dan berada dalam Yayasan Bina Sehat Sejahtera. Salah satu program USAID yang masuk ke kampung tersebut adalah program peduli lingkungan. Pada bulan Maret 2008 dibentuk Kelompok Peduli Lingkungan (Kempel) yang beranggotakan 13 orang perempuan. Kempel terdiri atas empat orang sebagai pengurus kelompok (ketua, wakil, sekretaris dan bendahara) dan sembilan orang anggota.
Selama dua bulan dari awal
pembentukan kelompok, diadakan pertemuan mingguan. Setelah itu pertemuan dilakukan satu bulan sekali. Kegiatan yang dilaksanakan berupa pembuatan: (1) tas dari bekas pembungkus kopi instan, (2) bunga dari kantong plastik, (3) taplak meja dari sedotan, dan (4) kompos. Informasi dari anggota Kempel, cara
127 pembuatan kompos dengan memanfaatkan sampah rumah tangga. Potongan sayuran yang tidak digunakan, sisa makanan, kulit pisang atau tomat busuk, semua dicacah, kemudian ditambah kotoran kambing, dedak, kapur pertanian dan bahan kimia EM-4. Proses pembusukan dilakukan selama dua minggu dengan cara memasukkan semua bahan-bahan dalam kantong plastik dan ditutup rapat. Kompos yang telah dicampur dengan tanah dapat digunakan untuk tanaman hias. Secara keseluruhan bahan-bahan pembuatan kompos mudah didapat, kecuali bahan kimia EM-4. Fungsi EM-4 untuk meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen. Teknik pembuatan kompos seharusnya menjadi peran penyuluh pertanian, yakni sebagai tenaga teknis edukatif yang bertindak sebagai penyedia jasa konsultan (pendidikan non formal) yang membimbing, melatih, mengarahkan, dan memberikan transfer informasi dan teknologi usahatani (Hendayana, 2009). Namun peran tersebut diambil alih oleh tenaga yang direkrut USAID. Tidak dapat dipungkiri, insentif yang diterima tenaga tersebut relatif lebih besar dibanding honor yang diterima penyuluh bantu (THL-TBPP). Hal ini menjadi faktor pendorong bagi tenaga yang direkrut USAID untuk memasuki kampung-kampung dan mengajarkan suatu inovasi. Plastik kemasan bekas yang selama ini dibuang dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang mempunyai nilai jual. Ini juga merupakan peran penyuluh yang mendorong masyarakat untuk berwirausaha, dengan mengembangkan kreativitas yang bersifat inovatif. Selama ini keberadaan penyuluh pertanian dipandang sangat diperlukan, terutama dalam tugas pendampingan dan konsultasi bagi para petani dalam mengembangkan kegiatan usahatani. Hal ini diperkuat dengan diberlakukan UU RI No. 16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan; berikut Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2009 tentang pembiayaan, pembinaan, dan pengawasan penyuluh pertanian, perikanan, dan kehutanan. Kementerian Pertanian telah mengambil kebijakan menempatkan satu desa satu penyuluh pertanian. Jumlah seluruh desa di Indonesia mencapai 70.150 dan total tenaga penyuluh pertanian PNS dan THL-TBPP sampai tahun 2009 sebanyak 52.507 orang (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010).
128 Berarti satu orang tenaga penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP bertugas di 12 desa. Namun fakta yang ada, baik di Desa Talaga Cianjur maupun di Desa Jatiwangi Garut satu orang tenaga penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP bertugas di 3-4 desa. Kenyataan di lapangan bahwa peran penyuluh pertanian PNS atau THLTBPP baru dirasakan oleh petani adopter (terutama pengurus kelompok tani) dan curahan waktu penyuluh lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat administratif dibanding penyuluhan, serta beban wilayah binaan mencapai 3-4 desa, maka perlu dicari alternatif perbaikan. Pada UU RI No. 16 Tahun 2006, Bab VI tentang tenaga penyuluh Pasal 20 ayat (1) Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya; ayat (3). Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Lebih lanjut pada Pasal 30 ayat (3) penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS. Pada Pasal 1 ayat (20) penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; ayat (21) penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Mencermati makna eksplisit yang tertuang dalam UU tersebut terutama Pasal 1 ayat (21) dan Pasal 30 ayat (3), penyuluh swadaya dalam mengemban tugas melakukan penyuluhan dapat bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP. Selama ini, setiap ada proyek/program pemerintah, penyuluh selalu bekerjasama dengan kelompok tani.
Interaksi yang tergolong sering
dilakukan dengan pengurus kelompok tani, terutama ketua kelompok tani. Implikasinya, ketua kelompok tani dapat dikategorikan sebagai penyuluh swadaya. Semestinya di tingkat masyarakat petani perlu dilakukan sosialisasi bahwa selain penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP, terdapat pula penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (dapat berasal dari kalangan petani). Sosialisasi ini perlu dilakukan mengingat selama ini yang dikenal masyarakat petani secara luas adalah penyuluh dari pemerintah/penyuluh PNS.
129 Secara personal ketua kelompok tani sebagai pemimpin anggota kelompok mempunyai beberapa kualifikasi yang lebih baik dibanding dengan anggota kelompok. Pertama, tingkat pendidikan ketua kelompok relatif lebih tinggi. Ratarata anggota kelompok berpendidikan SD, sedangkan ketua kelompok di Desa Talaga Cianjur, dua orang (40%) berpendidikan SLTP dan tiga orang (60%) berpendidikan SLTA. Di Desa Jatiwangi Garut, tiga orang (50%) berpendidikan SD, dua orang (33%) berpendidikan SLTP, dan satu orang (17%) berpendidikan SLTA.
Meskipun 50% ketua kelompok hanya berpendidikan SD, mereka
termasuk tokoh masyarakat yang telah berpengalaman dalam kegiatan bertani dan termasuk berhasil. Kedua, status sosial ketua kelompok dipandang lebih tinggi, yang dapat dilihat dari dua hal (achieved status dan assigned status). Pemilikan kekayaan ketua kelompok di atas rata-rata petani anggota, secara fisik terlihat dari kepemilikan aset seperti lahan, rumah dan perabotan, serta ternak. Selain sebagai petani, beberapa ketua kelompok juga mempunyai pekerjaan lain yang dinilai terpandang oleh masyarakat, seperti pamong desa (kepala dusun, ketua badan permusyawaratan desa), tenaga honorer di kecamatan, pensiunan PNS, pedagang, dan tenaga pendamping yang direkrut USAID (untuk menyadarkan masyarakat terhadap lingkungan).
Baik kekayaan maupun pekerjaan dipandang sebagai
achieved status (diperoleh karena prestasi, kerja keras dan keuletan), sedangkan kepercayaan dipilih sebagai ketua kelompok merupakan assigned status. Ketiga, terkait dengan pekerjaan yang dilakukan ketua kelompok, telah terbina jaringan kerjasama dengan lingkungan tempat kerja. Interaksi dengan banyak pihak memperkaya wawasan ketua kelompok tani dan ini memberikan manfaat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kelompok. Ketiga kelebihan tersebut diperkirakan mampu memunculkan inisiatif atau prakarsa dan pandangan ke depan untuk memajukan kehidupan petani. Mardikanto (1993) menambahkan bahwa pemimpin kelompok mempunyai tanggung jawab sosial yang tinggi, dinamis dan selalu merasa terpanggil untuk menggerakkan masyarakat guna melakukan perubahan ke arah yang lebih baik Bila para ketua kelompok tani atas kesadaran sendiri bersedia menjadi penyuluh swadaya (sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (21) UU RI No. 16 Tahun 2006), maka ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh.
Dukungan
130 pemerintah daerah setempat dalam memberikan reward kepada para penyuluh swadaya sangat diperlukan berupa surat penunjukkan tertulis (sebagai bentuk penghargaan) dan insentif atau honorarium. Hal ini perlu didahului dengan sosialisasi dari pihak yang mempunyai otoritas dalam menterjemahkan Pasal tersebut di tataran implementasi. Di Cianjur kelembagaan penyuluhan berada di Dinas Pertanian, sedangkan di Garut berada di Badan Ketahanan Pangan. Dengan memberdayakan ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya, maka target Kementerian Pertanian untuk menempatkan satu orang penyuluh dalam satu desa dapat tercapai. Dalam pelaksanaan penyuluhan, seperti diamanatkan pada Pasal 30 ayat (3) UU RI No. 16 Tahun 2006, penyuluh swadaya dapat bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP. Kerjasama ini akan menguntungkan dari sisi penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan perencanaan bersama atau “join planning” (Asngari, pers comm) atau ”participatory planning” (Tjitropranoto, pers comm), yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat “top-down” dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat “bottom-up.” Bagi petani yang tinggal di wilayah marjinal (lahan kering) seperti di Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut, pendekatan “bottom-up” belum bisa diterapkan secara murni.
Pendekatan
“bottom-up” dapat dilakukan, asalkan penyuluh PNS benar-benar berpihak kepada petani
dan
memberikan
bimbingan/pendampingan
yang
intensif
dalam
perencanaan sesuai dengan kebutuhan petani dan peluang yang ada sesuai keadaan lingkungan terutama alam. Mengingat karakteristik petani (baik sosial ekonomi maupun pribadi) sebagaimana telah dipaparkan, dalam jangka pendek belum memungkinkan pendekatan “bottom-up” diimplementasikan dengan baik. Melalui keterpaduan kedua pendekatan tersebut (“top-down” dan “bottom-up”), kebijakan yang dinilai penyuluh swadaya tidak tepat dapat dilakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan petani. Keterlibatkan petani dalam menyusun perencanaan program penyuluhan, akan berdampak pada penerimaan program dan dukungan terhadap pelaksanaan program penyuluhan pertanian. Hal ini sejalan dengan pemikiran Tjondronegoro (1998) bahwa dalam gagasan tentang partisipasi publik dan
131 komunikasi dua arah terdapat dua unsur yang ingin dikembangkan sekaligus, yakni: (1) prakarsa dari bawah sesuai dengan kebutuhan, dan (2) kendali atau pengawasan sosial (social control) yang efektif. Keuntungan lain jika menempatkan ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya, adalah akan terjalin komunikasi yang efektif dengan petani yang dibina. Kedekatan secara fisik karena ikatan teritorial berada dalam wilayah pemukiman yang sama dan kesamaan etnis menyebabkan kesepahaman terhadap nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut. Hal ini memudahkan interaksi kedua belah pihak, terjadi tukar pikiran dengan menggunakan bahasa daerah yang sama dan diharapkan karena saling mengenal, maka timbul keterbukaan. Sistem belajar dari petani ke petani lain atau antar petani cenderung lebih lancar dan langsung karena tidak ada kemungkinan faktor psikologis yang menghambat proses belajar. Pada kondisi demikian, Rogers dan Shoemaker (1971) berpendapat bahwa suatu inovasi dapat dikomunikasikan dengan lebih baik dan kemungkinan memberikan dampak yang besar pada aspek perilaku petani, yakni pengetahuan yang diperoleh, perubahan sikap dan peningkatan keterampilan. Analisis yang dilakukan
Bonnal (2001) menunjukkan bahwa kelompok tani yang bekerja sama
dengan penyuluh dapat mendefinisikan program tahunan, melaksanakan kegiatan demonstrasi dan penyuluhan lain, serta mempersiapkan proyek skala kecil untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan adopsi teknologi baru. Semacam bentuk desentralisasi menyediakan mekanisme yang memperbaiki akuntabilitas, relevansi dan efisiensi biaya.
Persepsi Petani terhadap Materi Penyuluhan Materi
penyuluhan
merupakan
pesan-pesan
penyuluh kepada masyarakat sasaran (petani).
yang
dikomunikasikan
Pesan tersebut harus bersifat
inovatif yang mampu mengubah atau mendorong perubahan, sehingga terwujud perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh masyarakat (Mardikanto, 1993). Berdasarkan UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (22), disebutkan bahwa materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan, bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku
132 utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) dinyatakan, bahwa materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan. UU tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 25/Permentan/OT.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian. Dalam implementasi di lapangan, programa penyuluhan pertanian masih berorientasi pada kebijakan yang bersifat penyeragaman (pendekatan “topdown”). Seperti program penyuluhan yang disusun Kantor Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan Garut telah mengfungsikan sepuluh fungsi BPP dan ketahanan pangan. Langkah tersebut sebagai upaya memotivasi masyarakat agar tidak bergantung pada beras saja sebagai makanan pokok, tetapi diarahkan pada diversifikasi pangan.
Beberapa bahan pangan alternatif yang dapat
dikonsumsi seperti talas, ganyong dan jawawut.
Selain itu juga diupayakan
mengembangkan desa mandiri pangan dan desa lumbung pangan. Perlu dicermati bahwa program diversifikasi pangan, desa mandiri pangan dan desa lumbung pangan merupakan kebijakan yang dicanangkan Kementerian Pertanian, sehingga diberlakukan secara nasional, tanpa membedakan wilayah. Dalam penyusunan programa penyuluhan pertanian, penyuluh mengikuti kebijakan dari ”atas,” masih belum memperhatikan kebutuhan petani sasaran kegiatan penyuluhan. Persepsi sebagian besar petani adopter (73,7%) dan petani non adopter (70,9%) terhadap materi penyuluhan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 26). Petani responden setuju dengan materi penyuluhan yang berkaitan dengan usahatani,
namun materi mengenai teknologi usahatani terpadu hanya
disampaikan kepada pengurus kelompok yang biasa diwakili ketua, sekretaris dan bendahara kelompok tani. Materi tersebut di Desa Talaga Cianjur mencakup teknik budidaya pisang, cabe, caisin, dan ternak domba serta kambing. Di Desa Jatiwangi Garut, materi penyuluhan teknologi usahatani terpadu meliputi teknik budidaya padi, nilam, pisang, kacang tanah dan ternak domba. Materi lain berupa pembuatan kompos dari kotoran ternak maupun limbah penyulingan nilam.
133 Materi mengenai upaya menjaga kesuburan lahan masih diperlukan petani responden, termasuk juga pengendalian hama ulat (berwarna putih) yang menyerang sebagian besar lahan petani responden.
Sebagian (18,9%) petani
responden di Desa Jatiwangi Garut kurang setuju terhadap materi mengenai teknik budidaya, yang dibutuhkan materi tentang cara menjalin kemitraan dengan pengusaha. Hasil penelitian Purnaningsih (2006); Saptana et al. (2006) mengungkapkan tiga manfaat yang dapat diperoleh petani dari kemitraan usaha, yakni manfaat ekonomi, teknis dan sosial. Dalam kemitraan usaha persyaratan yang harus dipenuhi adalah jumlah, mutu dan kesinambungan produk yang merupakan entry point bagi kelangsungan suatu kerjasama antara pelaku kemitraan. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (70,2%) terhadap materi penyuluhan termasuk dalam kategori rendah (Tabel 26). Petani responden yang bersikap tidak setuju - kurang setuju terhadap materi penyuluhan lebih disebabkan tidak
mengenal
penyuluh
pertanian
(baik
PNS
maupun
THL-TBPP).
Diasumsikan bila petani non adopter Cianjur mendapatkan kegiatan penyuluhan, maka materi penyuluhan yang dibutuhkan tentang pengendalian hama penyakit, menjaga kesuburan lahan dan pertanian organik. Menyikapi perdagangan global yang tengah dihadapi, perubahan preferensi konsumen terhadap produk pertanian perlu dicermati dengan baik. Spesifikasi mutu produk pertanian yang diminati konsumen perlu diketahui petani sebagai penjamin mutu produk di tingkat produsen. Sebagaimana dikemukakan Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan selama tiga dekade lebih didominasi oleh aspek alih teknologi, berorientasi pada kepentingan program/proyek untuk mencapai target suatu produksi. Untuk itu, cakupan materi penyuluhan perlu diperluas, tidak lagi terbatas pada teknologi produksi.
Namun
juga
memperhatikan
teknologi
panen,
pengolahan,
pengemasan, transportasi, informasi harga dan informasi pasar, sehingga usahatani yang dikelola petani menguntungkan dan berkelanjutan.
Materi
penyuluhan yang dibutuhkan petani harus didasarkan pada kesempatan, kemauan dan kemampuan petani untuk menerapkan, bukan karena perhitungan ilmiah yang dinilai menguntungkan.
134 Subejo (2009) juga melakukan kritik serupa, agar materi penyuluhan pertanian
bergeser
tidak
hanya
sekedar
peningkatan
produksi
namun
menyesuaikan dengan isu global yang lain. Seperti upaya menyiapkan petani dalam mengatasi persoalan perubahan iklim global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim. Selain itu, materi penyuluhan ke depan perlu berorientasi pada teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi. Materi penyuluhan lain yang juga perlu diperhatikan adalah pengaruh fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina terhadap produksi pangan (Irawan, 2006). Kebijakan yang komprehensif diperlukan sebagai upaya menekan dampak negatif El Nino dan La Nina terhadap produksi pangan, yang mencakup: (1) pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim; (2) pengembangan sistem diseminasi
informasi
yang
efisien
tentang
anomali
iklim;
dan
(3)
mengembangkan, mendiseminasikan dan memfasilitasi petani untuk menerapkan teknik budidaya tanaman yang adaptif terhadap situasi kekeringan, serta mengembangkan teknik pemanenan hujan. Ketiga kebijakan tersebut perlu diacu sebagai materi penyuluhan dengan terlebih dahulu disesuaikan dengan kebutuhan petani yang dituju dan kondisi wilayah. Persepsi Petani terhadap Metode Penyuluhan Penyuluh pertanian dalam memilih suatu metode penyuluhan tergantung pada tujuan yang akan dicapai dan situasi kerja. Beberapa metode penyuluhan digunakan untuk membantu petani membentuk pendapat dan mengambil keputusan (van den Ban dan Hawkins, 2005). Mengacu pada pendapat Srinivasan (Mardikanto, 1993) bahwa, dalam memilih suatu metode penyuluhan perlu memperhatikan: (1) pemecahan masalah sebagai pusat kegiatan belajar, (2) menstimulir kemampuan berpikir, dan (3) mengembangkan aktualisasi diri, dapat berupa pengembangan kemampuan diri, pengembangan konsep diri, serta pengembangan daya imajinasi yang kreatif. Persepsi sebagian besar petani adopter (72,3%) dan petani non adopter (63,6%)) terhadap metode penyuluhan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 26).
Petani responden bersikap kurang setuju – setuju terhadap metode
135 penyuluhan yang disampaikan penyuluh pertanian PNS ataupun THL-TBPP. Metode ceramah dinilai petani responden sulit dipahami, karena penyuluh lebih banyak menyampaikan materi dan sedikit memberi kesempatan kepada petani responden untuk bertanya. Pemahaman dan daya ingat petani responden terhadap materi ceramah relatif rendah, sehingga petani responden kurang setuju terhadap metode ceramah. Hal ini sejalan dengan pernyataan van den Ban dan Hawkins (2005) tentang kekurangan ceramah yakni materi yang disampaikan secara lisan cenderung mudah dilupakan dibandingkan dengan materi tertulis. Di samping itu sulit mempertahankan perhatian peserta terhadap pokok ceramah lebih dari 15 menit. Ceramah juga merupakan metode yang lemah untuk mengajarkan penerapan suatu inovasi. Petani responden bersikap setuju dengan metode penyuluhan diskusi kelompok, dialog/tanya jawab dan petak percontohan atau plot demonstrasi. Penyampaian materi dengan teknik-teknik tersebut dinilai petani responden mudah dipahami.
Bila diurutkan berdasarkan tingkat kemudahan memahami
materi penyuluhan, sebagian besar petani responden memilih plot demonstrasi sebagai prioritas utama, setelah itu dialog/tanya jawab dan terakhir diskusi kelompok. Melalui plot demonstrasi, petani responden dapat melihat langsung hasil dari suatu inovasi yang diperkenalkan penyuluh pertanian.
Hasil ini
memperkuat temuan penelitian yang telah dilakukan Barao (1992) pada petani di Amerika Serikat yang diintroduksikan teknologi atau program Dairy Herd Improvement. Untuk
mentransfer teknologi spesifik tersebut ke tingkat petani, cara yang efektif di
lapangan adalah demonstrasi. Sebagai dampak, 34 persen petani mengatakan telah mengadopsi teknologi penanganan rumput dan 26 persen mengadopsi teknologi pembuatan sistem pagar untuk meningkatkan produktivitas, pengelolaan, dan penggunaan sumberdaya padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong dengan biaya rendah.
Mardikanto (1993) juga mengemukakan bahwa metode
demonstrasi seringkali dipandang sebagai metode yang paling efektif. Petani sasaran penyuluhan ditunjukkan bukti-bukti nyata, sehingga petani cenderung cepat terdorong untuk mencoba dan menerapkan inovasi (materi) yang diperkenalkan. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (51,1%) terhadap metode penyuluhan termasuk dalam kategori rendah (Tabel 26).
Penilaian
tersebut lebih didasari pada sikap apriori petani responden yang tidak pernah
136 mendapatkan penyuluhan. Bahkan beberapa petani responden yang tinggal di lereng pegunungan tidak mengenal nama penyuluh. Metode penyuluhan seperti ceramah dan diskusi kelompok diketahui petani non adopter dari kegiatan di luar pertanian, seperti pada kegiatan pengajian, sedangkan tanya jawab dapat dilakukan dengan sesama petani ataupun antara petani dengan pedagang (baik pedagang sarana produksi maupun pedagang hasil). Di Desa Talaga Cianjur terdapat posko teknologi usahatani terpadu yang memasang poster tentang teknis budidaya tanaman pisang, dan juga tersedia leaflet pengolahan pisang, pengendalian penyakit pisang, budidaya cabai rawit, budidaya caisin dan pembibitan ternak domba. Demikian juga di Desa Jatiwangi Garut, posko teknologi usahatani terpadu menyediakan leaflet tentang budidaya padi gogo, budidaya pisang dan pembibitan pisang.
Sebagian besar petani
responden tergolong melek huruf, namun karena tingkat pendidikan yang relatif rendah maka materi penyuluhan yang berupa media cetak (poster, brosur, dan leaflet) kurang diminati. Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, dan Dukungan Iklim Usaha dengan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik petani adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap penyuluhan adalah tingkat pendapatan, tingkat mobilitas, luas lahan, daya beli saprodi, tingkat rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan dan tingkat keberanian beresiko (Tabel 27). Meskipun nilai korelasi < 0,5 menunjukkan hubungan yang lemah, namun peubah-peubah tersebut ikut membentuk persepsi petani terhadap penyuluhan. Interaksi antara penyuluh pertanian yang mempromosikan teknologi usahatani terpadu hanya terjadi dengan petani adopter dari kalangan elit (pengurus kelompok, pamong desa). Dalam pembentukan kelompok tani didasarkan atas penguasaan lahan pertanian.
Semakin luas lahan yang dimiliki petani adopter, terdapat
kecenderungan modal yang dimiliki juga semakin besar dan daya beli sarana produksi semakin tinggi. Petani adopter di luar pengurus kelompok tani hanya diposisikan sebagai sasaran pelaksanaan teknologi usahatani terpadu, sehingga tidak memiliki cukup
137 keleluasaan dalam berinteraksi dengan penyuluh pertanian. Upaya penyampaian informasi teknologi usahatani terpadu hanya melalui kalangan elit petani, dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu (Rogers dan Shoemaker, 1971). Penyuluh pertanian tidak perlu lagi menghubungi semua anggota kelompok tani (adopter), karena inovasi teknologi usahatani terpadu akan tersebar melalui pengurus kelompok dan pamong desa.
Litterer (Asngari, 1984) berpandangan bahwa
pengalaman akan berperan pada pembentukan persepsi seseorang. Persepsi petani adopter terhadap penyuluhan selain berhubungan kondisi internal petani (karakteristik petani) juga terkait dengan pandangan terhadap keadaan, fakta atau tindakan selama berinteraksi dengan penyuluh. Walaupun petani adopter hanya mendapat bagian-bagian informasi, dengan cepat disusun menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Karakteristik petani non adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap penyuluhan adalah tingkat intelegensi dan sikap terhadap perubahan. Karakteristik internal ini yang membangun persepsi petani non adopter, berdasarkan kemampuan memahami kondisi orang lain dan daya inisiatif yang dimiliki, karena kelompok petani ini tidak pernah dikunjungi penyuluh pertanian. Bila terjadi interaksi antara petani non adopter dengan penyuluh pertanian, seperti di Desa Jatiwangi Garut karena terdapat penyuluh pertanian yang bertugas di desa lain, namun menetap dan menjadi warga di Desa Jatiwangi. Meskipun ikatan-ikatan tradisional di masyarakat pedesaan telah terlihat melemah, tetapi kepedulian sesama warga masih terlihat. Menyikapi permasalahan kinerja penyuluhan yang dalam menjalankan tugas semata-mata berorientasi pada program/proyek, perlu ditinjau pembinaan tenaga penyuluh. Pembinaan ini mulai dari kegiatan pelatihan-pelatihan tentang penyuluhan yang benar, materi penyuluhan yang seharusnya lebih fokus pada pemahaman petani dan lingkungannya, kompetensi sebagai penyuluh dan bukan sebagai petugas yang meneruskan instruksi, dan sebagainya. Penyuluh benarbenar memahami tugas dan fungsinya terutama dalam membantu petani, bukan memberikan instruksi kepada petani.
Pada dasarnya, advokasi kepada para
pejabat pertanian (termasuk pejabat Kementerian Pertanian) dan pemerintah
138 daerah tentang makna penyuluhan yang berpihak kepada petani dan pemahaman materi UU RI No.16/2006 sangat diperlukan.
Masalah sistem penghargaan
(reward system) untuk penyuluh perlu dipertimbangkan, misalkan dapat dalam bentuk pemberian insentif yang memadai. Dengan dukungan tersebut diharapkan penyuluh pertanian memiliki kompetensi yang handal dan dapat berperan memenuhi harapan serta kebutuhan petani. dikemukakan Malvicini (Bonnal,
Kondisi penyuluhan di
Filipina, yang
2001) dapat dijadikan perbandingan dengan kondisi
penyuluhan di Cianjur dan Garut.
Penyuluh yang ditugaskan
di
Filipina telah kehilangan
perspektif pengembangan karir, kenaikan gaji yang dihambat untuk menyelaraskan remunerasi dengan karyawan kota lain dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Selain itu, tidak tersedia dana untuk pelatihan dan masalah politisasi perekrutan tenaga penyuluh yang baru. Padahal pelatihan diperlukan untuk memfasilitasi reorientasi untuk melakukan pendekatan berbasis masyarakat. Hal tersebut berakibat kualitas pelayanan penyuluh menjadi menurun. Pembelajaran dari negara tetangga perlu direspon oleh pengambil kebijakan (pusat maupun daerah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat) bahwa pembangunan sumberdaya manusia merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan.
Pemikiran
Garfield dan Rivera (Bonnal,
2001)
mengenai tiga arah kebijakan utama
mendominasi desentralisasi penyuluhan: (1) reformasi struktural untuk meningkatkan respon institusional dan akuntabilitas, (2) desentralisasi fiskal untuk berbagi biaya penyuluhan dengan pemerintah daerah, dan (3) keterlibatan petani secara partisipatif dalam pembuatan keputusan dan manajemen desentralisasi. Ide tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan tambahan dan Garut.
dalam mengatasi kinerja penyuluhan di Cianjur
Mengingat sudah banyak peraturan perundangan yang menetapkan ketiga
hal tersebut, tetapi pemahaman dan kerelaan berpihak kepada petani yang masih sangat kurang.
Lebih lanjut
Bonnal (2001) mengkritisi keterkaitan
antara kondisi sosial
ekonomi petani yang beragam dengan permasalahan yang dihadapi. Melalui pendekatan desentralisasi, penyuluhan publik tidak dapat mengatasi kebutuhan semua kelompok. Peran sektor publik harus didefinisikan kembali. Kondisi ini memungkinkan beberapa pendekatan yang menjelaskan keragaman pengguna, kemitraan dengan organisasi-organisasi petani, LSM dan sektor swasta, sehingga penyediaan layanan masyarakat dapat dikembangkan.
Perilaku komunikasi (kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap penyuluhan. Hal ini berarti penilaian seluruh petani responden (adopter dan non adopter) di Cianjur dan Garut terhadap penyuluhan berhubungan dengan interaksi ataupun kerjasama dengan penyuluh. Keberadaan tenaga yang direkrut USAID telah membentuk persepsi petani non adopter Cianjur terhadap orang di luar komunitas yang berperan sebagai agen perubahan. Persepsi petani non adopter
139 Garut terhadap penyuluhan juga juga dibentuk dari hasil interaksi dengan warga satu desa yang berprofesi sebagai penyuluh di wilayah lain. Semakin sering petani responden bepergian ke luar desa dalam mengakses informasi, maka gambaran petani responden dalam membangun persepsi terhadap penyuluhan semakin tinggi. Selama beberapa dekade penyuluh telah berperan dalam menyampaikan teknologi pertanian seperti penggunaan varietas unggul, cara pengendalian hama penyakit dan teknik budidaya lain. Teknologi yang telah diterapkan petani dan memberikan hasil yang menguntungkan, tentu akan terdifusi di kalangan para petani. Petani yang dinilai berhasil akan diacu sebagai sumber informasi bagi petani lain. Kondisi petani responden yang semakin terdedah terhadap media, baik media elektronik (radio dan televisi) maupun media cetak (majalah, leaflet ataupun brosur), maka persepsi petani responden terhadap penyuluhan semakin tinggi. Institusi seperti BPTP Jawa Barat menghasilkan leaflet ataupun brosur tentang teknik budidaya berbagai komoditas pertanian. Berkaitan dengan hal ini, BPTP banyak memproduksi leaflet dan brosur, tetapi penyebarannya sangat terbatas. Kalau BPTP mau mengganti kertas yang mahal dengan HVS 80 gram, maka tiras leaflet akan makin besar. Alternatif lain, BPTP mempersilahkan kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten untuk mereproduksi leaflet dengan keadaan yang ada di masing-masing kabupaten. Hasil pengamatan di lapangan, melalui penyuluh BPTP (tenaga detasir di lapangan), media tersebut disampaikan kepada petani adopter terutama pengurus kelompok tani (Cianjur dan Garut) sebagai informasi pendukung inovasi teknologi usahatani terpadu. Petani non adopter tidak mendapatkan leaflet tersebut. Dukungan iklim usaha yang terkait dengan ketersediaan sarana produksi (input) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani responden terhadap penyuluhan. Semakin tinggi ketersediaan sarana produksi, maka persepsi petani responden terhadap penyuluhan semakin tinggi. Hal ini terkait dengan pandangan petani responden terhadap penyuluh pertanian. Penyuluh menganjurkan penggunaan benih berlabel dengan standar mutu yang telah dijamin, takaran (dosis) pemupukan yang berimbang ataupun penggunaan obat-obatan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
140 Ketersediaan fasilitas keuangan berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani adopter Garut terhadap penyuluhan, sedangkan pada petani non adopter berhubungan nyata dan negatif. Petani adopter Garut memperoleh kredit PUAP dengan penyuluh pertanian sebagai tenaga pendamping. Kredit dimaksudkan untuk mendukung kegiatan usahatani yang dikelola petani adopter. Interaksi antara petani adopter dengan penyuluh pertanian pada saat merencanakan kegiatan sampai pencairan dan pertanggungjawaban dana PUAP telah membangun persepsi petani adopter terhadap penyuluhan. Walaupun petani non adopter tidak mendapatkan dana PUAP, namun tetap terjalin interaksi dengan warga yang berprofesi sebagai penyuluh pertanian.
Bila dicermati keseluruhan
petani adopter dan non adopter, tidak ada hubungan yang nyata antara ketersediaan fasilitas keuangan dengan persepsi petani responden terhadap penyuluhan (Tabel 27). Ketersediaan sarana pemasaran berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani responden (non adopter Cianjur dan petani adopter Garut) terhadap penyuluhan. Bagi petani non adopter Cianjur yang tidak mengenal penyuluh pertanian namun mengenal petugas yang direkrut USAID yang memperkenalkan
berbagai
inovasi,
telah
dianggap
sebagai
“penyuluh.”
Ketersediaan prasarana jalan dan sarana transportasi tentu memperlancar kunjungan “penyuluh” dari USAID. Tabel 27 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Petani Cianjur Peubah
Adopter (n=46)
Non adopter (n=47)
Petani Garut Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
Total Petani Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
Karakteristik Petani Umur
-0,273
-0,192
0,163
0,175*
0,037
0,041
Pendidikan
0,161
0,304**
-0,034
0,046
0,031
0,123
Tingkat pendapatan
0,277
0,292**
0,292***
-0,082
0,292***
0,065
Tingkat mobilitas
0,119
-0,005
0,263**
0,128
0,226***
0,085
Luas lahan
0,355**
0,124
0,291***
0,024
0,362***
0,102
Daya beli saprodi
0,493***
-0,068
0,412***
-0,038
0,485***
-0,024
Tingkat rasionalitas
0,382***
0,110
0,554***
0,061
0,405***
0,094
141
Tingkat intelegensi
0,272*
0,042
0,479***
0,201**
0,432***
0,252***
Sikap terhadap perubahan
0,493***
0,179
0,462***
0,260***
0,346***
0,382***
Tingkat keberanian beresiko
0,383***
0,205
0,514***
0,170
0,419***
0,167*
Kerjasama
0,584***
0.642***
0,484***
0,264***
0,505***
0,391***
Tingkat kekosmopolitan
0,451***
0.349**
0,515***
0,263***
0,457***
0,288***
Keterdedahan thd media
0,451***
0.580***
0,455***
0,192**
0,428***
0,306***
Ketersediaan input (saprodi)
0,511***
0,257*
0,391***
0,179*
0,364***
0,170**
Ketersediaan fasilitas keuangan (KUD, bank)
-0,009
0,233
0,197*
-0,193**
0,098
-0,022
Ketersediaan sarana pemasaran
0,184
0,264*
-0,004
0,192**
0,140*
Perilaku Komunikasi Petani
Dukungan Iklim Usaha
0,359***
Keterangan: ***Nyata pada taraf α = 0,01; **Nyata pada taraf α = 0,05; *Nyata pada taraf α = 0,10
Bagi petani adopter Garut ketersediaan prasarana jalan dan sarana transportasi yang memadai akan memperlancar petani adopter dalam mencapai pasar. Tujuan petani adopter ke pasar, baik untuk mendapatkan sarana produksi maupun penjualan hasil dari kegiatan teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan penyuluh pertanian.
Petani adopter Garut dalam melakukan
pemasaran hasil masih secara individual, belum ada pemasaran bersama dalam kelompok tani. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Penyuluhan Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani dan perilaku komunikasi petani.
Hipotesis 1, yakni:
“Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dan dukungan iklim usaha, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.”
Ternyata
dukungan iklim usaha yang mencakup ketersediaan input (sarana produksi),
142 fasilitas keuangan (KUD, perbankan) dan sarana pemasaran tidak berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang cukup dominan (yang tidak diteliti pada penelitian ini ), sehingga pengaruh dukungan iklim usaha tidak terdeteksi. Hasil pengamatan di lapangan, dukungan iklim usaha penting, maka pada penelitian serupa nantinya perlu digali faktor dominan tersebut, seperti bantuan sarana produksi yang diberikan pemerintah, bantuan kredit dari pemerintah. Dukungan iklim usaha, terutama yang terkait dengan ketersediaan fasilitas keuangan (berupa kredit dari perbankan, koperasi) yang dapat diakses petani, baik di Cianjur maupun Garut terlihat masih rendah.
Menurut hasil kajian Asian
Development Bank (2004) dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan akses petani terhadap kredit, yang mengakibatkan kemampuan petani dalam melakukan kegiatan diversifikasi relatif terbatas. Padahal kredit dapat memberikan kesempatan pada petani untuk: (1) pembelian input produksi, (2) pembelian alat dan mesin pertanian, (3) melakukan diversifikasi antara berbagai jenis komoditas dan atau ternak dengan tanaman yang bernilai tinggi, (4) melaksanakan pengolahan pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian, dan (5) melaksanakan diversifikasi usaha antara pertanian dan non pertanian.
143 Tabel 28 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Koefisien jalur yang telah distandarkan
X1 Karakteristik Petani X2 Perilaku Komunikasi Petani R2
0,280 0,383
P 0,000 0,000
32,9%
Keterangan: peubah yang dicantumkan sangat nyata pada taraf α = 0,01
Penilaian petani responden terhadap penyuluhan lebih dipengaruhi oleh keadaan internal yang ada pada diri petani. Pengalaman petani adopter selama berinteraksi dengan penyuluh ataupun informasi yang diperoleh petani non adopter tentang penyuluh akan membentuk persepsi petani responden. Informasi yang diterima petani non adopter diinterpretasikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Bila ditelusuri lebih lanjut karakteristik petani yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, luas lahan, tingkat intelegensi, dan sikap terhadap perubahan.
Perilaku komunikasi petani yang
mempengaruhi adalah kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media (Tabel 29). Tingkat mobilitas diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa dan jarak tempuh terkait dengan kegiatan usahatani (pembelian saprodi dan penjualan produk) dalam satu tahun terakhir. Semakin tinggi tingkat mobilitas petani responden, maka persepsi petani terhadap penyuluhan juga semakin tinggi. Petani responden dengan tingkat mobilitas yang tinggi cenderung lebih dinamis dibandingkan dengan petani responden yang memiliki tingkat mobilitas rendah.
Terdapat kecenderungan informasi yang
diperoleh petani kelompok ini lebih banyak. Tingkat mobilitas yang tinggi menunjukkan bahwa petani responden mengikuti anjuran penyuluh pertanian dalam menggunakan sarana produksi. Benih berlabel relatif tidak mudah diperoleh di kios desa, juga pupuk phonska ataupun pestisida tertentu. Petani responden yang merangkap sebagai pedagang sarana produksi ataupun hasil pertanian, juga memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Pembelian sarana produksi ataupun penjualan hasil pertanian dilakukan di pasar tingkat kabupaten, untuk mendapatkan selisih harga jual sebagai
144 keuntungan. Intensitas hubungan antara petani yang merangkap pedagang dengan penyuluh pertanian akan didapatkan informasi tentang benih berlabel, pupuk dan obat-obatan/pestisida. Aksesibilitas petani yang merangkap pedagang (Cianjur dan Garut) terhadap informasi penyuluh cukup besar karena mempunyai posisi sebagai pengurus kelompok tani, yakni bendahara kelompok. Lahan merupakan sumberdaya alam, dari sudut pandang sosial terdapat berbagai golongan petani yang mempunyai hak dan kuasa berbeda-beda atas lahan. Petani responden yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi cenderung memiliki lahan yang luas, dan ini menjadi simbol status sosial. Luas lahan berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Kepemilikan lahan petani merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan petani adopter. Semakin luas lahan yang dikelola petani responden, terdapat kecenderungan pada petani pemilik untuk mendapatkan informasi tentang usahatani dari berbagai sumber, termasuk penyuluh pertanian. Hal ini diperjelas oleh analisis Tjondronegoro (1998) yang menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan luas terlebih dahulu mengakses inovasi suatu teknologi. Meskipun demikian, pemilik lahan yang luas tidak selalu sebagai petani, tetapi pemilik modal. Seperti yang terjadi di Cianjur terdapat gejala akumulasi pemilikan lahan oleh orang dari daerah lain, seperti Jakarta dan Bandung yang sulit diidentifikasi. Hal ini disebabkan petani-petani yang telah menjual lahannya masih terdaftar sebagai pemilik lahan. Walaupun sebenarnya kuasa petani atas lahan tersebut sudah tidak ada lagi. Petani-petani ini yang kemudian menjadi penggarap di atas lahan yang pernah dimiliki. Untuk mengatasi masalah tersebut, Sajogyo (1990) telah mencetuskan gagasan pada tahun 1975 tentang “tanah komunal” dalam hal land reform, bahwa lahan milik golongan petani gurem dengan luasan < 0,2 ha dibeli oleh pemerintah. “Lahan negara” ini kemudian dikelola Badan Usaha Buruh Tani dengan bekas pemilik lahan sebagai anggota. Pamong desa bertugas sebagai pengawas pengurusan lahan negara di tangan golongan tersebut. Meskipun gagasan “tanah komunal” sudah 35 tahun yang lalu, namun masih relevan jika direalisasikan pada saat ini. Paling tidak persoalan tentang pemilikan akumulasi lahan seperti yang terjadi di Cianjur dapat dicegah.
145 Tingkat intelegensi menggambarkan kemampuan petani mempertimbangkan berbagai pilihan yang ada dalam mengelola usahatani dan memprediksi manfaat penerapan teknologi. Faktor ini berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.
Pesan (teknologi usahatani terpadu) yang disampaikan
penyuluh BPTP Jawa Barat dan penyuluh BPP (sebagai sumber informasi) terlebih dahulu dipertimbangkan petani adopter. Terlihat di lapangan setelah petani adopter tidak mendapatkan bantuan sarana produksi, ada keragaman dalam penerapan komponen teknologi usahatani terpadu. Kecenderungan ini juga terjadi pada petani non adopter dalam menerapkan teknologi lokal. Proses penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu dari penyuluh BPTP Jawa Barat dan penyuluh BPP kepada petani lebih bersifat searah. Petani hanya diberi dan menerima suatu inovasi teknologi, tidak dilibatkan dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usahatani yang dikelola. Dengan demikian harapan bahwa inovasi teknologi yang diadopsi petani dapat berlangsung secara berkesinambungan dan berkembang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, sulit terwujud. Menurut Fagi et al. (2002), upaya untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan menerapkan pendekatan sistem akuisisi (acqusition system) yang mengarahkan petani untuk mencari teknologi langsung ke sumber informasi dan membina kemandirian petani. Ciri utama dari sistem ini adalah: (1) pendekatan bottom-up, (2) hierarkhi kerja bersifat horizontal, dan (3) alih teknologi yang bersifat partisipatif dialogis dan interaktif. Sikap terhadap perubahan menggambarkan bentuk kesiapan dalam merespon terhadap suatu perubahan (dalam hal ini perubahan teknologi). Subpeubah ini berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Dalam pandangan Rogers dan Shoemaker (1971), individu anggota sistem sosial yang berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada halhal baru dan giat mencari informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk diperkenalkan secara berurutan.
146
Tabel 29 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
X14 Tingkat Mobilitas
0,105
0,030
X15 Luas Lahan
0,097
0,068
X18 Tingkat intelegensi
0,191
0,001
X19 Sikap terhadap perubahan
0,158
0,005
X21 Kerjasama
0,270
0,000
X22 Tingkat kekosmopolitan
-0,128
0,061
X23 Keterdedahan thd media
0,126
0,035
R
2
40,4%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Petani responden yang mempunyai sikap terbuka terhadap perubahan akan mudah berinteraksi dengan penyuluh pertanian. Pengalaman selama mengelola kegiatan usahatani akan membentuk sikap petani terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan penyuluh pertanian. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri individu. Sikap yang diperoleh melalui pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Terdapat kecenderungan ketua kelompok tani, juga tokoh masyarakat, bersikap positif terhadap teknologi usahatani terpadu. Hal ini memudahkan penyuluh BPTP Jawa Barat yang bertugas sebagai tenaga detasir untuk membaur dan tinggal di pemukiman masyarakat petani yang didampingi.
Persamaan etnis dan bahasa (Sunda) yang digunakan dalam
komunikasi sehari-hari, membuat tenaga detasir cepat beradaptasi dengan lingkungan. Dengan demikian semakin tinggi sikap terbuka terhadap perubahan, maka semakin tinggi persepsi petani terhadap penyuluhan, sebagaimana yang terlihat pada nilai koefisien jalur pada Gambar 6. Kerjasama merupakan faktor yang berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Petani adopter Cianjur telah melakukan kerjasama
147 berupa pemasaran komoditas pisang dalam lingkup kelompok tani. Pemasaran bersama ini menguntungkan dari segi teknis maupun ekonomis. Sebagaimana diungkapkan dalam temuan penelitian yang dilakukan Saptana et al. (2006) bahwa kinerja suatu kerjasama sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga merupakan refleksi kinerja para pelaku yang terlibat di dalamnya. Secara umum faktor yang mempengaruhi keefektifan suatu kerjasama dapat dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu teknis, ekonomis, sosial kelembagaan dan kebijakan.
X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.4 Tingkat Mobilitas X1.5 Luas Lahan
0,105 (0,030) 0,097 (0,068) 0,191 (0,001)
X1.8 Tingkat Intelegensi 0,158 (0,005)
X1.9 Sikap terhadap Perubahan X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI
X2.1 Kerjasama X2.2 Tingkat Kekosmopolitan X2.3 Keterdedahan thd media
0,270 (0,000) -0,128 (0,061)
0,126 (0,035)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α=0,15
Gambar 6 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan Faktor teknis lebih terkait dengan upaya penjaminan akan jumlah, mutu, dan kesinambungan pasokan suatu komoditas.
Faktor ekonomis lebih ditekankan
pada sistem insentif yang menarik, sehingga para pelaku yang terlibat dalam kerjasama mendapat keuntungan dan akhirnya tetap bertahan dalam suatu ikatan
148 kelembagaan kerjasama.
Sebagai contoh, adanya kepastian pasar dan harga.
Faktor sosial kelembagaan, terkait dengan hubungan interpersonal yang menumbuhkan kepercayaan yang kuat antar pelaku yang berinteraksi. Kepercayaan ini menjadi dasar bagi keberlangsungan kerjasama yang dibangun, menjadi jaminan antar pelaku yang melengkapi aturan main tidak tertulis yang berlaku. Kebijakan terkait dengan posisi dan peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kinerja suatu kerjasama, seperti kebijakan subsidi pupuk, ataupun bantuan kredit lunak dengan tingkat suku bunga yang rendah. Peran penyuluh pertanian dalam pemasaran bersama terkait dengan mutu komoditas pisang yang dihasilkan petani adopter Cianjur melalui kegiatan pembrongsongan. Ukuran pisang yang dibrongsong relatif lebih besar dengan kulit tanpa bintik-bintik hitam. Produk pisang yang dihasilkan petani mampu memasuki supermarket (melalui supplier), yang dikenal memiliki persyaratan cukup ketat terhadap kriteria mutu produk yang dibutuhkan, bila dibandingkan pedagang pengumpul. Namun demikian, tidak semua petani adopter Cianjur melakukan pembrongsongan pisang. Alasan yang dikemukakan berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan menjadi meningkat dan plastik pembrongsong tidak tersedia di kios desa. Tingkat kekosmopolitan berpengaruh negatif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat kekosmopolitan sebagian besar petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong rendah dan dapat dikategorikan sebagai petani lokalit. Akses terhadap informasi usahatani cukup diperoleh dari sesama petani di dalam desa. Frekuensi petani responden dalam mencari teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, dilihat dari aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat, keuntungan finansial dan kelestarian lingkungan, tergolong sangat jarang. Paling tidak tingkat pendidikan formal petani responden yang dikategorikan rendah ikut memberikan kontribusi terhadap keadaan petani yang lokalit.
Pendidikan dengan cara pandang atau
wawasan petani memiliki keterkaitan yang erat. Di samping itu dengan skala usaha yang sempit (petani non adopter Cianjur, petani adopter dan non adopter Garut), petani responden merasa tidak memiliki daya sama sekali untuk
149 mengembangkan usaha pada skala yang lebih luas. Keyakinan pada nasib yang tidak dapat diubah, petani cenderung tidak berkeinginan untuk mencari informasi teknologi ke luar desa. Untuk itu peran penyuluh sebagai motivator dan fasilitator dituntut untuk mampu membuka pemikiran petani kelompok ini, bahwa nasib berbeda dengan takdir, sehingga dapat diubah dengan kemauan dan peningkatan kemampuan. Keterdedahan terhadap media berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Meskipun proporsi petani responden dengan keterdedahan terhadap media tergolong sedang sampai tinggi relatif kecil, berkisar antara 17 - 31,9 persen (Tabel 29), namun memberikan pengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Petani kelompok ini mempunyai tingkat pendidikan di atas rata-rata petani secara umum di desanya dan memiliki pekerjaan lain di luar bertani dan dinilai terpandang oleh petani lain di sekitarnya. Petani kelompok ini tergolong petani elit yang menjadi pengurus dalam kelompok tani dan berinteraksi dengan penyuluh. Dalam penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu oleh penyuluh BPTP Jawa Barat disertai dengan pembagian leaflet, brosur dan poster yang berisi informasi tentang teknik budidaya komoditas yang direkomendasikan (termasuk ternak domba). Sebagaimana dikemukakan Berlo (1960), Face dan Faules (1998) bahwa dalam pemilihan media dapat didasarkan pada pertimbangan sifat-sifat media yang dapat diakses oleh sebagian besar komunikan dengan biaya paling rendah, hasil-hasil yang diinginkan, dan budaya masyarakat penerima pesan, serta preferensi komunikan. Keterdedahan terhadap media akan menentukan pemahaman petani responden terhadap informasi-informasi pertanian.
Bahkan pada petani non
adopter yang merangkap sebagai pedagang telah menggunakan media elektronik, berupa telepon selular untuk mendapatkan informasi tentang harga jual produk pertanian. Informasi dari berbagai media ini akan menentukan sikap petani responden dalam merespon inovasi suatu teknologi.
150 Bila petani responden dibedakan atas petani adopter dan petani non adopter, maka tampak faktor-faktor yang mempengaruhi positif nyata persepsi petani adopter terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, tingkat intelegensi, keberanian beresiko, dan kerjasama.
Pada petani non adopter, faktor-faktor
tersebut adalah sikap terhadap perubahan, kerjasama, keterdedahan terhadap media, dan ketersediaan fasilitas keuangan; sedangkan faktor yang mempengaruhi negatif nyata adalah daya beli (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi daya beli petani non adopter, maka persepsi terhadap penyuluhan semakin rendah. Petani non adopter ini tidak mengenal penyuluh, interaksi lebih sering dilakukan dengan pedagang sarana produksi ataupun pedagang hasil. Tabel 30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Koefisien jalur yang telah distandarkan Peubah
Adopter (n=137)
P
Non adopter (n=165)
Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
X1 Karakteristik Petani X14 Tingkat mobilitas
0,127
0,085
X18 Tingkat intelegensi
0,202
0,021
X110 Keberanian beresiko
0,161
0,065
X16 Dayabeli X19 Sikap terhadap perubahan
-0,153
0,099
0,290
0,001
X2 Perilaku Komunikasi Petani X21 Kerjasama
0,168
X23 Keterdedahan terhadap media
0,249
0,105
0,006
0,136
0,114
0,132
0,129
X3 Dukungan Iklim Usaha X32 Ketersediaan fasilitas keuangan
R2 42% 30% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Faktor kerjasama mempengaruhi persepsi petani, baik adopter maupun non adopter terhadap penyuluhan (Gambar 7). Peran penyuluh sebagai fasilitator diperlukan petani adopter dan petani non adopter dalam membangun kerjasama dengan pihak lain, baik yang terkait dengan ketersediaan modal usahatani maupun jaminan
pemasaran
produk
yang
dihasilkan
petani.
Penyuluh
dalam
151 menyampaikan
pesan
inovasi
kepada
seluruh
khalayak
sasaran
perlu
memperhatikan perilaku komunikasi ini (kerjasama). Nilai koefisien jalur sub peubah kerjasama pada petani non adopter adalah lebih tinggi dibandingkan petani adopter. Hal ini menggambarkan bahwa petani non adopter mempunyai tingkat kebutuhan yang relatif lebih tinggi untuk difasilitasi bekerjasama dengan pihak lain. Kehadiran penyuluh pertanian sangat diharapkan petani non adopter untuk dapat mengembangkan usahatani yang dikelolanya selama ini. berkeadilan,
belum tercermin dalam
Asas
penyelenggaraan penyuluhan yang
memposisikan petani non adopter berhak mendapatkan pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhannya.
PETANI ADOPTER
PETANI NON ADOPTER X1 KARAKTERISTIK PETANI
X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.4 Tingkat mobilitas X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Keberanian beresiko
0,127 (0,085)
-0,153 (0,099)
0,202 (0,021)
0,290 (0,001)
0,161 (0,065)
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI
X2.1 Kerjasama
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
0,168 (0,105)
X1.6 Daya beli X1.9 Tingkat intelegensi
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI 0,248 (0,006)
X2.1 Kerjasama 0,136 (0,114)
X2.3 Keterdedahan terhadap media
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA 0,132 (0,129)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α=0,15
X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan
Gambar 7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan
152 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi Banyak pengamat pertanian mempertanyakan perkembangan teknologi pertanian saat ini yang dinilai lambat. Sebagian pengamat menilai bahwa perkembangan teknologi pertanian lambat, karena lembaga penelitian tidak menghasilkan terobosan teknologi yang nyata dalam peningkatan produksi. Pengamat lain berpendapat bahwa, lembaga penelitian telah banyak menghasilkan teknologi, tetapi teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan petani, atau belum diadopsi petani secara progresif, karena: (1) Faktor internal petani, seperti sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung resiko terhadap perubahan; dan (2) Faktor eksternal petani, seperti dukungan infrastruktur dalam adopsi teknologi baru yang dinilai kurang, atau bahkan yang lebih ironis adalah bahwa teknologi itu sendiri tidak tersedia di pasar (Simatupang dan Syafaat, 2003). Lebih lanjut Simatupang dan Syafaat (2003) menyatakan bahwa untuk mendorong pengembangan teknologi pertanian, diperlukan perhatian terhadap tiga aspek, yaitu: (1) Terobosan teknologi spesifik lokasi yang disesuaikan dengan kebutuhan petani; (2) Pengembangan sistem inovasi teknologi, sehingga berbagai teknologi yang telah dihasilkan dapat dirakit menjadi teknologi spesifik lokasi yang siap untuk disebarluaskan kepada petani; dan (3) Melakukan komersialisasi teknologi melalui pengembangan infrastruktur pendukung, sehingga teknologi tersebut tersedia di pasar dan mudah diakses oleh petani. Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi Usahatani Terpadu Di Desa Talaga Cianjur, kegiatan usahatani terpadu dimulai pada tahun 2007 dan berakhir tahun 2009 (3 tahun), sedangkan di Desa Jatiwangi Garut kegiatan dimulai pada tahun 2005 dan berakhir tahun 2009 (5 tahun). Pada tahun pertama, kegiatan diawali dengan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau Participatory Rural Appraisal (PRA) yang melibatkan calon petani pelaksana, penyuluh pertanian, peneliti dan perekayasa BPTP Jawa Barat, aparat daerah setempat serta instansi terkait lain. PRA dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi yang dibutuhkan guna merancang jenis-jenis
153 inovasi yang dikembangkan. Tahapan setelah PRA, dilanjutkan dengan kegiatan baseline survey. Pada tataran konsep kegiatan usahatani terpadu telah diupayakan penerapan pendekatan bottom-up yang merupakan koreksi terhadap pendekatan top-down. Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur Desa Talaga Cianjur merupakan daerah yang mewakili daerah lahan kering dataran tinggi. Di desa tersebut terdapat beberapa komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan, seperti berbagai jenis pisang (raja bulu, ambon lumut, pisang Jepang, pisang nangka, pisang cavendish, pisang muli/emas, pisang tanduk dan pisang cere), sayuran (cabai rawit dan caisin), domba serta kambing. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga Cianjur merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan komoditas yang telah diusahakan petani. Teknologi lokal pada komoditas pisang belum ada pengaturan jarak tanam, terutama untuk tanaman tumpang sari. Di samping itu teknik budidaya domba/kambing belum diketahui dengan baik, terutama dalam hal pemilihan bibit unggul, pemberian pakan, sanitasi kandang, sistem perkandangan, kesehatan ternak dan reproduksi ternak. Pada Tabel 31 ditampilkan teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur. Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut Wilayah Desa Jatiwangi Garut mewakili daerah lahan kering dataran rendah beriklim basah. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada petani di desa tersebut merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan komoditas yang telah diusahakan petani. Gambaran tentang teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu ditampilkan pada Tabel 32. Pada komoditas padi gogo yang menggunakan teknologi lokal, hama tikus menjadi permasalahan yang dihadapi petani. Untuk komoditas pisang, petani menjual pisang langsung dari hasil panen. Belum ada petani yang mengolah pisang, untuk mendapatkan nilai tambah. Pada ternak domba, masalah penyakit cacingan dan sakit mata belum tertangani dengan baik. Untuk itu, inovasi teknologi usahatani terpadu berupaya memperbaiki teknologi lokal yang telah
154 digunakan petani, terutama yang terkait dengan budidaya padi gogo, nilam, dan pembibitan ternak domba. Di samping itu diperkenalkan upaya konservasi lahan yang merupakan hal baru bagi petani. Tabel 31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur No.
Komoditas
Teknologi Lokal
Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu1)
(1)
Pisang
- Bibit masih lokal - Belum ada pengaturan jarak tanam - Pemupukan belum sesuai dosis - Sanitasi kebun belum intensif - Pengendalian hama dan penyakit belum optimal
- Pemilihan bibit unggul - Pengaturan jarak tanam - Pemberian pupuk kandang dan pupuk anorganik sesuai rekomendasi - Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif) - Pembrongsongan buah pisang - Pengendalian hama dan penyakit - Penanganan panen dan pasca panen
(2)
Sayuran (cabai rawit, caisin)
- Bibit masih lokal - Belum ada pengaturan jarak tanam - Pemupukan belum sesuai dosis - Pengendalian hama dan penyakit belum sesuai konsep PHT
- Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) 1) Penggunaan varietas unggul 2) Pengaturan jarak tanam 3) Penggunaan pupuk sesuai dosis 4) Pengairan 5) Pengendalian OPT sesuai dengan konsep PHT
(3)
Domba
- Belum diketahui teknik budidaya dengan baik - Skala usaha kecil, sampingan - Kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal
- Perbaikan bibit (pemilihan bibit unggul) - Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina) - Sistem perkandangan: komunal - Pakan: perbaikan nutrisi - Reproduksi: memperpendek jarak kelahiran - Kesehatan: pengendalian penyakit, dan sanitasi kandang serta lingkungan - Pengolahan pupuk kandang
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah Keterangan: 1) Rincian inovasi teknologi usahatani terpadu dicantumkan pada Lampiran 3
155 Tabel 32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut No.
Komoditas
(1)
Padi gogo
- Jarak tanam tidak teratur - Tidak menggunakan pupuk organik
- Jarak tanam 15 cm memotong lereng 30 cm, searah lereng - Penggunaan pupuk organik
(2)
Ubi kayu
- Ditanam pada lahan sampai bibir teras
- Tanaman ubi kayu ditiadakan
(3)
Rumput dan gliricidia
- Belum ada upaya konservasi vegetatif (alley cropping)
- Rumput dan gliricidia ditanam di bibir teras (strip rumput) sebagai tanaman konservasi dan pakan ternak - Pemeliharaan tanaman konservasi
(4)
Nilam
- Jarak tanam tidak teratur - Tidak menggunakan bahan organik
- Jarak tanam 50 cm memotong lereng 100 cm, searah lereng - Pupuk organik diberikan pada saat tanam sebanyak 2 kg per lubang tanam
(5)
Domba/ kambing
- Ukuran domba kecil - Tidak ada bibit bermutu - Mutu pakan rendah
- Pengadaan bibit bermutu - Manajemen terpadu (sanitasi kandang dan ternak, aplikasi obat cacing, nutrisi) - Suplemen leguminosa 20-40% dalam campuran hijauan
Teknologi Lokal
Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu1)
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah Keterangan: 1) Rincian inovasi teknologi usahatani terpadu dicantumkan pada Lampiran 4
Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (73,0%) terhadap keuntungan relatif inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33).
Petani adopter bersikap kurang setuju-setuju dalam menilai usahatani
terpadu.
Petani adopter kurang setuju bila usahatani terpadu dikatakan
memerlukan biaya awal (biaya produksi) yang rendah, dalam pengelolaan menghemat waktu, dan menghemat curahan tenaga kerja. Kenyataan yang dihadapi petani adopter, justru sebaliknya yakni biaya produksi relatif lebih
156 tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mengelola relatif lebih banyak dengan curahan tenaga kerja yang lebih banyak. Namun petani adopter Cianjur (71,7%) dan petani adopter Garut (63,8%) bersikap setuju bahwa penerapan teknologi usahatani terpadu lebih menguntungkan dibanding teknologi lokal (dengan mengikuti ketentuan sesuai anjuran). Tabel 33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Total Petani Adopter Non Adopter adopter & Non adopter (n=137) (n=165) (n=302)
Petani Cianjur Adopter Non adopter
Petani Garut Adopter Non adopter
(n=46)
(n=47)
(n=91)
(n=118)
Keuntungan relatif
2,50
2,25
2,59
2,31
2,55
2,28
2,42
Kesesuaian
2,70
2,58
2,62
2,67
2,66
2,63
2,65
Kerumitan
2,47
2,69
2,49
2,60
2,48
2,65
2,57
Dapat diujicoba
2,77
2,73
2,74
2,72
2,76
2,73
2,75
Dapat diamati
2,91
2,68
2,80
2,65
2,86
2,67
2,77
Ciri-ciri inovasi
2,67
2,59
2,65
2,59
2,66
2,59
2,63
Persepsi Petani terhadap
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Petani adopter merasa bangga (prestise) dapat menerapkan teknologi usahatani terpadu. Ada hal-hal baru yang diterapkan petani adopter seperti pemberongsongan buah pisang dengan menggunakan plastik warna biru. Pembrongsongan pisang ini banyak diminati petani adopter Cianjur. Karena penggunaan plastik brongsong mampu meningkatkan bobot buah per tandan, per sisir serta mutu kulit buah yang lebih baik (mulus), sehingga dapat meningkatkan harga jual pisang. Di samping itu dampak lain pembrongsongan adalah dapat mengurangi kehilangan hasil panen buah pisang akibat tindakan pencurian yang sering terjadi di Desa Talaga Cianjur. Dengan pembrongsongan buah pisang, pencuri harus membuka brongsongan terlebih dahulu sebelum tanaman pisang ditebang. Kondisi tersebut akan mempersulit pencuri. Selain itu, pengenalan varietas padi gogo yang baru yakni Situ patenggang, Situ bagendit, Limboto, Towuti dan Batu tegi kepada petani adopter Garut, membuat petani desa lain
157 tertarik menanam benih tersebut, terutama benih Situ patenggang dan Situ bagendit, karena rasa nasi pulen dan wangi. Hal ini tentu menguntungkan bagi petani adopter Garut, terutama Kelompok Tani Mekar Hurip yang secara khusus melakukan pembenihan kedua varietas padi gogo tersebut. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (80,0%) terhadap keuntungan relatif teknologi lokal tergolong sedang. Petani non adopter menilai bahwa biaya produksi teknologi lokal sesuai kemampuan petani, sarana produksi yang digunakan tidak mengikuti anjuran penyuluh; dalam pengelolaan dapat menghemat waktu dan curahan tenaga kerja. Petani non adopter merasa nyaman dalam menerapkan teknologi lokal, karena tidak ada aturan yang mengikat. Dari sisi pendapatan, penggunaan teknologi lokal dinilai petani kurang menguntungkan dan petani tidak merasa bangga dalam menerapkan teknologi tersebut.
Hasil dari kegiatan bertani tidak dapat dipastikan, baik dari aspek
produksi maupun harga jual produk. Persepsi 23,4 persen petani non adopter Cianjur terhadap keuntungan relatif teknologi lokal dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani ini tidak memiliki tanah, hanya sebagai penggarap lahan milik orang lain dengan kondisi telah ada tanaman di lahan tersebut, seperti tanaman teh dan pisang. Luas lahan garapan berkisar antara 200m2 – 800m2 atau rata-rata 400m2. Komoditas yang ditanam petani non adopter merupakan tanaman sela. Biaya produksi dan resiko kegiatan usahatani tanaman sela ditanggung penggarap. Pemilik lahan mendapatkan bagian dari hasil tanaman pokok yang telah ada di lahan tersebut (teh dan pisang) ditambah sebagian hasil tanaman sela petani penggarap. Jenis tanaman sela yang diusahakan seringkali berupa tanaman pangan, singkong atau jagung untuk konsumsi sendiri ataupun jenis sayuran seperti tomat, dan cabai rawit. Tidak ada ketentuan yang mengikat, besaran bagi hasil untuk pemilik lahan, lebih didasari keikhlasan penggarap. Sistem ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, bagi pemilik lahan diuntungkan dari sisi perawatan lahan dan tanaman yang ada, sehingga tidak ditumbuhi ilalang dan hasil tanaman tetap diperoleh, tidak membayar upah tenaga kerja. Penggarap juga diuntungkan, memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman sela, tanpa dipungut biaya sewa. Dengan kondisi demikian, petani non adopter menilai bahwa biaya produksi, curahan tenaga kerja relatif rendah, namun
158 keuntungan yang diperoleh juga relatif rendah dengan luas lahan garapan yang sempit. Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (81,0%) terhadap kesesuaian inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33). Berarti petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap kesesuaian inovasi teknologi usahatani terpadu. Penilaian petani adopter terhadap komponen teknologi yang diperkenalkan sesuai dengan kebiasaan petani setempat, sehingga petani adopter telah memiliki pengalaman dalam menerapkannya.
Perbaikan
teknik budidaya dilakukan pada komoditas yang telah dikembangkan petani, sesuai dengan agroekologi dan layak diusahakan. Varietas unggul yang diperkenalkan juga pada komoditas yang biasa ditanam petani. Namun terdapat petani adopter yang berpendapat bahwa Kampung Dangder (Babakan Darusalam) dan Kampung Arinem dengan ketinggian antara 680 - 700 meter dpl kurang tepat dikategorikan sebagai daerah lahan kering dataran rendah.
Konsekuensinya,
varietas unggul baru yang diperkenalkan dinilai kurang tepat untuk ditanam di kedua kampung tersebut dan tidak sesuai kebutuhan petani adopter. Menurut petani adopter, tanaman yang cocok dibudidayakan di Kampung Dangdeur dan Arinem adalah tanaman kayu seperti albasia/sengon. Kebutuhan petani ini menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, sehingga perlu ada upaya koordinasi lintas kementerian dalam mengintrodusikan suatu inovasi. Secara teknis, kondisi agroekologi di Kampung Dangdeur dan Arinem sesuai untuk tanaman nilam, dan perbaikan teknik budidaya nilam merupakan salah satu komponen teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan. Namun, secara ekonomis harga jual nilam pada tahun 2008-2009 relatif turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga petani kurang tertarik menanam nilam. Hal ini yang menyebabkan petani adopter ingin beralih menanam komoditas kayu. Kecenderungan petani menanam albasia/sengon, karena tidak memerlukan perawatan intensif dan memperoleh keuntungan relatif besar, tetapi kurang diperhatikan bahwa albasia/sengon baru dapat dipanen/dijual kayunya setelah tanaman berumur 1,5 – 2 tahun.
159 Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (73,9%) terhadap kesesuaian teknologi lokal tergolong sedang (Tabel 33). Cara bertani yang diajarkan orang tua atau sesama petani dinilai petani non adopter sesuai dengan kebiasaan masyarakat petani setempat. Beberapa petani non adopter memodifikasi cara bertani lama, seperti pengaturan pola tanam disesuaikan dengan kondisi lahan sebagai upaya menjaga kesuburan lahan dan mencegah resistensi hama penyakit. Pengalaman selama bertani mengajarkan beberapa hal positif yang mengarah ke perbaikan, seperti takaran dalam penggunaan benih, pupuk ataupun pestisida. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hubbard dan Sandmann (2007) yang mengemukakan bahwa
faktor kesesuaian tidak hanya melihat dari
aspek sumberdaya yang tepat (tanah atau lainnya) tetapi lebih melibatkan banyak konsep-konsep filosofis seperti kepedulian atas penerapan pestisida atau pupuk yang berlebihan untuk tanaman organik.
Persepsi petani non adopter Cianjur sebanyak 27,7 persen terhadap kesesuaian teknologi lokal tergolong rendah (Tabel 33).
Petani non adopter
Cianjur bersikap tidak setuju – kurang setuju terhadap teknologi lokal. Penilaian petani non adopter bahwa teknologi lokal kurang sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat saat ini, dan dalam penerapannya tidak sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja. Salah satu teknologi lokal berupa alat panen ani-ani, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk memanen padi gogo dengan ani-ani relatif lama, namun jumlah kehilangan hasil panen relatif kecil (kurang dari 5%). Bagi sebagian petani, ani-ani dianggap tidak sesuai lagi karena tidak efisien dari segi waktu, digantikan dengan alat sabit. Bagi petani penggarap lahan milik orang lain, yang menjadi perhitungan justru perolehan hasil gabah. Dengan kondisi hanya menggarap lahan milik orang lain yang relatif sempit, modal terbatas, dan usahatani bersifat subsisten serta tidak dapat diandalkan sebagai penopang kehidupan keluarga, maka penggunaan alat panen ani-ani lebih dipilih daripada sabit. Hal yang sama berlaku juga pada penggunaan varietas lokal padi gogo, masa tanam butuh waktu lama, namun karena benih mudah diperoleh dan rasa nasi pulen, maka varietas lokal tetap ditanam. Keadaan ini sesuai dengan temuan penelitian Efa et al. (2005) di Ethiopia Baratdaya juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Indigenous technology masih banyak dijumpai pada petani jagung, terutama yang terkait dengan benih lokal, sistem pengadaan benih secara informal, pengendalian hama penyakit secara tradisional
160 dan kontrol terhadap produksi dan penggunaan jagung. pemilikan
sumberdaya,
umur,
jenis
kelamin
dan
Faktor dukungan
pengalaman
bertani
mempengaruhi penggunaan indigenous technology. Munculnya inovasi teknologi baru cenderung berpotensi musnahnya indigenous technology. Dalam dunia penelitian indigenous technology tetap penting karena memiliki sifat-sifat yang tidak dipunyai teknologi baru, karena itu perlu dilestarikan. Hal ini menjadi tugas Badan Litbang Pertanian, khususnya BPTP, untuk mengumpulkan, menginventarisasi dan melakukan upaya konservasi, serta pengembangannya. Indigenous technology ini sebenarnya masih punya potensi untuk dikembangkan lebih lanjut (contoh ikan nila
sebenarnya
hasil
pengembangan ikan mujair). Indigenous technology tidak hanya penting untuk penelitian saja, tetapi penting pula untuk petani yang berlahan sempit dan modal kecil, terutama teknologi yang mempunyai keunggulan seperti rasa nasi enak/pulen dan kelebihan lainnya yang tidak ada pada teknologi baru. Persepsi Petani terhadap Kerumitan Inovasi Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (81,0%) terhadap kerumitan inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33). Petani adopter bersikap setuju – kurang setuju terhadap kerumitan usahatani terpadu. Petani adopter menilai bahwa inovasi teknologi usahatani terpadu tidak rumit, karena sebagian besar komponen teknologi yang diperkenalkan merupakan perbaikan teknik budidaya yang telah dilakukan petani. Secara teknis, petani adopter tidak mengalami hambatan di dalam penerapan. Namun yang menjadi faktor pembatas adalah kondisi pemilikan sumberdaya petani adopter, seperti penguasaan lahan, modal dan tenaga kerja.
Sebagai gambaran, pemanfaatan
kotoran domba di Desa Jatiwangi untuk diolah menjadi kompos diperlukan bahan baku dalam jumlah memadai (sekitar satu ton), agar ekonomis. Fakta di lapangan ternyata tidak mudah menggalang petani untuk secara kolektif membuat kompos. Ketersediaan dua unit alat penggilingan kompos yang merupakan bantuan dari BPTP Jawa Barat yang diberikan kepada Kelompok Tani Harapan Jaya dan Harapan Baru tidak mampu memotivasi petani adopter. Faktor lain yang menjadi kendala bagi petani adopter adalah pemasaran kompos bila diproduksi dalam
161 jumlah banyak. Kesulitan pemasaran kompos diperkirakan petani adopter akan menyebabkan modal yang digunakan, tidak memberikan keuntungan (tidak ada perputaran uang).
Untuk
itu
diperlukan
bimbingan/pendampingan yang
berkelanjutan dan kepemimpinan kelompok tani atau tokoh informal. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (70,9%) terhadap kerumitan teknologi lokal tergolong sedang (Tabel 33).
Petani non
adopter menilai dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, modal dan tenaga kerja) tidak menjadi hambatan dalam menerapkan teknologi lokal. Karena di dalam penerapan teknologi lokal, petani non adopter melakukan modifikasi sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki, termasuk penggunaan sarana produksi. Ketersediaan
tenaga
kerja
dalam
keluarga
yang
mengelola
usahatani
mempengaruhi intensitas pemeliharaan terhadap komoditas yang ditanam. Petani non adopter tidak mengalami kendala secara teknis dalam menerapkan teknologi lokal yang dinilai tidak rumit dan mudah diterapkan. Demikian pula dengan indigeneous technology. Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (25,5%) terhadap kerumitan teknologi lokal dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani non adopter menilai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki justru menjadi masalah dalam menerapkan teknologi lokal. Dengan lahan garapan milik orang lain, curahan tenaga kerja yang tersedia menjadi terbagi dalam dua kegiatan yakni pemeliharaan terhadap tanaman sela milik sendiri dan pemeliharaan terhadap tanaman pokok pemilik tanah. Di samping itu, dalam penggarapan lahan tidak ada perjanjian tertulis ataupun sejenis kontrak, sehingga posisi sebagai penggarap lemah. Petani non adopter tidak memiliki kepastian untuk bisa menggarap lahan tersebut pada musim tanam berikutnya, bila pemilik lahan tidak lagi memberikan ijin. Dalam pengelolaan usahatani yang rentan terhadap keadaan alam (kekeringan, serangan hama penyakit), petani non adopter harus menanggung resiko sendiri tanpa berbagi beban dengan pemilik lahan. Namun demikian, dengan akumulasi pengalaman dalam kegiatan bertani, secara teknis teknologi lokal dinilai petani non adopter Cianjur tidak rumit dan mudah diterapkan.
162 Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diujicoba Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (89,1%) terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong sedang (Tabel 33). Petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap usahatani terpadu yang dapat diujicoba. Petani adopter menilai bahwa usahatani terpadu dapat diujicoba pada lahan petani yang relatif sempit (400 m2). Terdapat petani adopter di Cianjur pada saat melakukan ujicoba pembuatan lubang untuk tanaman pisang berukuran 50 x 50 x 50 cm3; dirasakan cara kerja tersebut kurang sesuai dengan kondisi petani adopter.
Curahan tenaga kerja yang diperlukan relatif lama,
sehingga petani melakukan modifikasi cara tersebut sebagaimana yang biasa dilakukan, yakni galian sedalam dua kali cangkul (diperkirakan sekitar 30 cm). Penelitian yang dilakukan Hubbard dan Sandmann (2007) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa jika seorang petani dapat melaksanakan praktek inovasi baru pada tingkat ujicoba, maka kemungkinan praktik potensial dapat dimodifikasi lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan petani secara spesifik.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (74,5%) terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong sedang (Tabel 33). Menurut petani non adopter, teknologi lokal yang diterapkan telah melalui proses ujicoba dan disesuaikan dengan kondisi petani. Cara tanam, jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan modal dan tenaga kerja yang dimiliki. Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (25,5%) terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong rendah (Tabel 33). Penilaian petani non adopter terhadap teknologi lokal lebih terkait dengan resiko yang harus dihadapi. Petani non adopter yang berstatus sebagai petani penggarap cenderung menerapkan teknologi yang beresiko terendah. Petani non adopter pada kelompok ini tidak berani mempertaruhkan usahatani yang dikelola untuk keamanan pangan keluarga. Ujicoba terhadap teknologi lokal yang saat ini diterapkan petani non adopter, tidak dilakukan sendiri karena dianggap beresiko tinggi. Petani non adopter cenderung melihat hasil ujicoba yang dilakukan petani lain dan bila dinilai berhasil akan ditiru.
163 Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diamati Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (89,1%) terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diamati tergolong sedang (Tabel 33). Petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap usahatani terpadu yang dapat diamati.
Petani adopter menilai bahwa melalui plot demonstrasi
usahatani terpadu dapat diamati dengan baik.
Petani adopter mempunyai
kesempatan untuk melaksanakan plot demonstrasi dan melihat langsung hasil yang diperoleh. Selain itu, petani adopter juga dapat mengamati keunggulan teknologi usahatani terpadu dibandingkan dengan teknologi lain. Keunggulankeunggulan yang teramati secara nyata akan memungkinkan petani mengadopsi teknologi tersebut lebih cepat.
Namun dalam plot demonstrasi komponen
teknologi usahatani terpadu yang diterapkan mengikuti rekomendasi yang telah ditetapkan. Bila petani adopter memodifikasi teknologi anjuran sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki tentu hasil yang didapat akan berbeda. Hasil penelitian Seevers et al. (Vergot
III
et al.,
2005) menunjukkan bahwa suatu teknologi baru,
dapat dilihat dari tetangga (petani lain) yang telah mempraktekkan, sehingga dapat diamati hasil yang dicapai, cara mencapai hal tersebut dan memperhitungkan keuntungan yang diperoleh. Hal ini merupakan salah satu faktor yang memovitasi kuat bagi pihak pengamat untuk membuat perubahan yang diinginkan. Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (73,3%) terhadap teknologi lokal yang dapat diamati dikategorikan sedang (Tabel 33). Petani non adopter yang berpendidikan rendah dengan keterbatasan modal, sebelum menerapkan teknologi lokal perlu mengamati usahatani milik petani lain. Hasil pengamatan tersebut lebih meyakinkan petani dibanding hanya mendapat informasi dari sesama petani non adopter. Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (27,7%) terhadap teknologi lokal yang dapat diamati dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani non adopter ini bersikap setuju jika teknologi lokal dapat diamati dengan baik, termasuk keunggulan yang ada dan teknologi lokal tersebut dapat dikomunikasikan dengan sesama petani non adopter. Petani non adopter kurang setuju bila pengamatan teknologi lokal pada usahatani milik petani lain, dijadikan dasar untuk ikut
164 menerapkan teknologi tersebut. Bila dipraktekkan sendiri ada faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan petani dan ini harus dipertimbangkan secara proposional. Artinya petani non adopter pada kelompok ini tidak bisa berharap hasil yang diperoleh akan sama bila terkendala masalah penyakit seperti layu fusarium atau hama ulat penggulung daun pada tanaman pisang. Persepsi Petani terhadap Pengaruh Media/Informasi Media dibedakan atas dua hal, yakni media massa dan media interpersonal. Menurut Gonzales (1993); Effendi (1993) terdapat tiga dimensi pengaruh media massa, yakni: kognitif, afektif dan konatif. Pengaruh kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan.
Pengaruh afektif
berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap), sedangkan pengaruh konatif berhubungan dengan tindakan dan niat untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Nehiley (Vergot III
et al.,
2005) menyatakan bahwa penggunaan
media massa untuk menyampaikan topik yang relevan dengan khalayak, menciptakan kesadaran terutama untuk khalayak dalam jumlah banyak dan menyebar luas. Namun Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (2003) berpendapat bahwa dalam konteks komunikasi yang ditransmisikan melalui media massa, pengaruh yang mungkin dihasilkan hanya pada ranah perubahan kognitif (pengetahuan). Pada media (komunikasi) interpersonal yang berlangsung secara tatap muka, terjadi umpan balik, pengaruh yang mungkin dihasilkan pada ranah perubahan dan pembentukan sikap. Persepsi Petani terhadap Media Massa Pengaruh media massa pada sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (96,4%) dan petani non adopter (100,0%) berkategori rendah (Tabel 34). Petani responden tidak memperoleh informasi tentang teknik budidaya, penanganan pascapanen ataupun informasi pasar komoditas pertanian dari media massa. Peran media elektronik seperti radio dan televisi hanya sebagai media hiburan. Demikian juga dengan media cetak seperti buku, majalah dan koran, tidak berperan dalam mengubah pengetahuan petani responden terhadap kegiatan berusahatani.
165 Petani responden yang berpendidikan rendah kurang memahami bila media cetak (buku-buku praktis tentang teknik budidaya, majalah pertanian dan koran Sinar Tani) bermanfaat dalam menambah pengetahuan petani responden. Daya beli petani responden yang rendah, menyebabkan media cetak bukan merupakan barang prioritas yang harus dibeli dalam kegiatan berusahatani. Di samping itu, ketersediaan media cetak tersebut di pedesaan tidak ada. Tabel 34
Persepsi petani terhadap pengaruh media informasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Petani Cianjur Adopter Non adopter
Petani Garut Adopter Non adopter
(n=46)
(n=47)
(n=91)
(n=118)
Media massa
1,07
1,00
1,04
1,00
1,06
1,00
1,03
Informasi interpersonal
2,57
1,86
2,44
2,03
2,51
1,94
2,23
Media/informasi
1,82
1,43
1,74
1,52
1,79
1,47
1,63
Persepsi Petani terhadap Pengaruh
Total Petani Adopter Non Adopter adopter & Non adopter (n=137) (n=165) (n=302)
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Persepsi Petani terhadap Informasi Interpersonal Pengaruh informasi (saluran komunikasi) interpersonal pada sebagian besar petani adoper Cianjur dan Garut (67,2%) dan petani non adopter Garut (51,7%) dikategorikan sedang (Tabel 34).
Sumber informasi tentang teknis budidaya
pertanian diperoleh dari ketua kelompok tani atau sesama petani, varietas unggul dari penyuluh pertanian ataupun pedagang saprodi. Informasi pasar, seperti harga jual, jenis dan jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan pembeli, mutu produk serta tujuan pemasaran diperoleh dari pedagang hasil pertanian. Dapat dikatakan media/informasi interpersonal lebih memberikan pengaruh pada petani responden dibandingkan media massa. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Vergot III
et al.
(2005) dan Licht dan Martin (2007). Peternak sapi
potong di Baratlaut Florida mendapatkan sumber informasi dari dokter hewan (sebagai peringkat tinggi untuk konsultasi). Fakta menunjukkan bahwa peternak
166 sangat mengandalkan keahlian dokter hewan untuk pemeliharaan kesehatan ternak dan mendiagnosis penyebab kematian ternak. Peringkat berikut sebagai sumber informasi adalah pedagang lokal sebagai pemasok ternak dan tenaga ahli dari universitas (Vergot III et al., 2005).
Hasil studi
Licht dan Martin (2007) mengungkapkan
bahwa petani jagung dan kedelai di Iowa lebih menyukai informasi yang diperoleh melalui konsultasi pribadi untuk semua metode komunikasi. Petani tersebut menilai bahwa informasi melalui konsultasi dapat diandalkan, tepat waktu, dan informasi bersifat spesifik terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi petani jagung dan kedelai.
Pengaruh informasi (saluran komunikasi) interpersonal pada sebagian besar petani non adoper Cianjur (78,7%) dikategorikan rendah (Tabel 34). Keadaan ini disebabkan petani non adopter tidak mengenal penyuluh pertanian. Interaksi dengan sesama petani, pedagang saprodi maupun pedagang hasil yang dapat berperan sumber informasi juga relatif terbatas. Pemilikan lahan yang relatif sempit atau bahkan hanya menggarap lahan milik orang lain (yang juga sempit) dengan jangka waktu masa garap yang tidak jelas, modal terbatas, maka tidak ada upaya untuk memperbaiki usahatani yang dikelola. Kelompok petani non adopter ini menilai pertanian tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama, sehingga beralih ke non pertanian.
Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, Dukungan Iklim Usaha, dan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan dengan Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik petani adopter (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (teknologi usahatani terpadu) adalah tingkat pendapatan, luas lahan, daya beli sarana produksi, tingkat rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan dan tingkat keberanian beresiko (Tabel 35). Terdapat kecenderungan pihak pemerintah (BPTP Jawa Barat) dalam memperkenalkan inovasi teknologi usahatani terpadu ditujukan kepada petani yang memiliki lahan relatif luas. Secara keseluruhan petani adopter (Cianjur dan Garut) yang mengusahakan lahan > 0,25 ha sebanyak 55,5 persen (Tabel 18). Petani kelompok ini memperoleh pendapatan relatif lebih tinggi dibandingkan petani yang mempunyai lahan < 0,25 ha, sehingga secara ekonomi memiliki daya beli yang lebih baik. Petani berkecukupan cenderung berani menanggung resiko.
167 Dengan didukung tingkat rasionalitas dan tingkat intelegensi yang tinggi, serta sikap terhadap perubahan yang positif, maka persepsi petani dalam menilai ciriciri inovasi semakin baik. Nilai koefisien korelasi pada peubah sikap terhadap perubahan > 0,5 mengindikasikan hubungan yang kuat.
Sebelum usahatani
terpadu diperkenalkan, beberapa petani adopter telah mengenal beberapa program yang digulirkan Departemen Pertanian.
Program seperti Bimas, program
pengentasan kemiskinan, Sistem Usahatani Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA) ataupun Gema Palagung, secara akumulatif telah memperkaya pengalaman petani. Dampak positif pengalaman tersebut terefleksi dalam sikap merespon suatu hal baru termasuk teknologi usahatani terpadu. Karakteristik petani non adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (teknologi lokal) adalah tingkat pendapatan, daya beli saprodi, tingkat rasionalitas, tingkat intelegensi, dan tingkat keberanian beresiko. Petani non adopter memiliki luas lahan berkisar antara 0,04 - 0,25 ha sebanyak 69,7 persen (Tabel 18). Bagi petani skala kecil yang telah lama beradaptasi dengan teknologi lokal melalui proses pembelajaran trial and error, maka teknologi lokal tersebut dinilai mengurangi resiko dalam produksi. Selain itu, petani non adopter dengan berpikir rasional, menghitung tingkat pendapatan yang diperoleh, daya beli terhadap sarana produksi, menjadi pertimbangan dalam menilai teknologi lokal. Perilaku komunikasi (kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media) petani adopter (Cianjur dan Garut) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (dengan tingkat hubungan yang lemah).
Intensitas hubungan petani adopter dengan pedagang (input/sarana
produksi maupun output/hasil), lembaga pembiayaan, kelompok tani, dan penyuluh pertanian akan membangun pandangan petani adopter terhadap karakteristik usahatani terpadu. Terutama yang terkait dengan keuntungan relatif, yakni perhitungan petani adopter terhadap nilai hasil penjualan dikurangi biaya produksi, jumlah biaya produksi yang dikeluarkan, kebanggaan sosial dapat bergabung dalam kelompok tani. Frekuensi petani bepergian ke luar desa dalam mengakses informasi: (1) pasar (harga saprodi, harga jual produk, komoditas yang dibutuhkan konsumen), (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial,
168 ekonomi dan lingkungan petani; serta (3) kompetisi usaha lain; ikut membangun persepsi petani adopter terhadap tingkat kerumitan dan kesesuaian usahatani terpadu. Selain itu keterjangkauan petani terhadap informasi teknologi usahatani melalui media massa, seperti leaflet, brosur, poster, radio dan televisi. Tabel 35 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Petani Cianjur Peubah
Adopter (n=46)
Non adopter (n=47)
Petani Garut Adopter (n=91)
Total Petani
Non adopter (n=118)
Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
Karakteristik Petani Umur
-0,142
-0.126
0,121
0,078
0,041
0,027
Pendidikan Tingkat pendapatan
0,003
0.103
0,051
-0,096
0,036
-0,053
0,372**
-0.083
0,281***
0,347***
0,318***
0,223***
Tingkat mobilitas Luas lahan
0,116
0.327**
0,083
-0,052
0,100
0,063
0.490***
-0.066
0,206*
0,112
0,317***
0,065
Daya beli saprodi
0.432***
0.038
0,390***
0,396***
0,412***
0,295***
Tingkat rasionalitas
0.429***
-0.119
0,402***
0,379***
0,389***
0,255***
Tingkat intelegensi
0.300**
-0.064
0,271***
0,309***
0,290***
0,202***
Sikap terhadap perubahan
0.593***
0.118
0,541***
-0,097
0,518***
-0,034
Tingkat keberanian beresiko
0.552***
0.195
0,290***
0,213**
0,373***
0,208***
Kerjasama
0.578***
0,025
0,365***
0,238***
0,444***
0,169**
Tingkat kekosmopolitan
0.382***
0,035
0,376***
-0,078
0,375***
-0,043
Keterdedahan terhadap media
0.469***
0,064
0,376***
-0,009
0,404***
0,014
Perilaku Komunikasi Petani
Dukungan Iklim Usaha Ketersediaan input (saprodi)
0,478***
0,116
0,185*
0,238***
0,276***
0,197**
Ketersediaan fasilitas keuangan (KUD, bank)
-0,070
-0,416***
0,041
0,204**
-0,003
0,039
Ketersediaan sarana pemasaran
0,219
0,290**
0,167
0,073
0,162*
0,143*
Penyuluhan Kompetensi penyuluh
0,501***
-0,034
0,416***
-0,071
0,447***
-0,061
Peran penyuluh
0,385***
0,117
0,416***
-0,247***
0,412***
-0,147*
Materi/substansi penyuluhan
0,187
0,200
0,322***
-0,136
0,288***
-0,031
Metode penyuluhan 0,141 -0,157 0,222** 0,085 Keterangan: ***Nyata pada taraf α = 0,01 **Nyata pada taraf α = 0,05 *Nyata pada taraf α = 0,10
0,208***
-0,004
169 Perilaku komunikasi petani non adopter (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi hanya kerjasama. Ini mengindikasikan bahwa petani non adopter yang berinteraksi dengan pedagang, telah banyak mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan teknologi lokal, sehingga pandangan terhadap karakteristik teknologi lokal dapat terbentuk. Dukungan iklim usaha petani adopter dan non adopter (Cianjur dan Garut) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi adalah ketersediaan sarana produksi (input) dan ketersediaan sarana pemasaran. Tingkat kemudahan petani adopter dan non adopter dalam mendapatkan sarana produksi (benih/bibit, pupuk dan obat-obatan), aksesibilitas terhadap prasarana jalan dan sarana angkutan serta pasar, membentuk persepsi petani terhadap karakteristik usahatani terpadu dan teknologi lokal. Keberadaan kios di desa melayani petani yang membutuhkan sarana produksi, tanpa membedakan antara petani adopter dan non adopter. Demikian juga dengan prasarana jalan, sarana angkutan dan fasilitas pasar berlaku bagi semua warga masyarakat. Menurut Mosher (1966), dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur yang baik, tidak hanya memudahkan dalam penyediaan sarana produksi secara lokal tetapi juga memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan secara langsung mempengaruhi sistem tataniaga suatu komoditas pertanian efisien atau tidak. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga sarana produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal, serta menentukan tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan dipasarkan. Persepsi petani adopter terhadap penyuluhan berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Kompetensi penyuluh, peran penyuluh, materi dan metode penyuluhan merepresentasikan kinerja penyuluh. Selama berlangsung kegiatan usahatani terpadu, terdapat pendampingan tenaga detasir (penyuluh dari BPTP) dan penyuluh pertanian dari BPP. Melalui interaksi antara penyuluh pertanian dengan petani adopter akan terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan usahatani terpadu. Kompetensi penyuluh pertanian akan menentukan “terjemahan” dari konsep usahatani terpadu ke dalam implementasi di lapangan. Kondisi di lapangan ini
170 yang membangun persepsi petani adopter tentang usahatani terpadu. Hasil penelitian Haile dan Israel pada tahun 2005 yang dirujuk Gonzales dan Israel (2010), dikemukakan bahwa penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi menujukkan kepedulian yang tinggi terhadap klien.
Bila dikaitkan dengan
penelitian ini, kepedulian penyuluh lebih mengarah pada kegiatan keproyekan yang menjadi tanggung jawab penyuluh terhadap kegiatan yang ditargetkan dari institusi pemerintah. Peningkatan kesejahteraan petani masih sekedar menjadi wacana di tingkat pengambil kebijakan, karena kebijakan pemerintah masih berorientasi pada peningkatan produksi. Persepsi petani non adopter terhadap penyuluhan yang berhubungan nyata dan negatif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi adalah peran penyuluh. Penyuluh pertanian tidak dikenal dan tidak pernah melakukan kegiatan penyuluhan kepada petani non adopter, sehingga tidak berperan dalam kegiatan usahatani yang dilakukan petani non adopter. Ini mencerminkan bahwa penyuluhan belum menyentuh semua petani. Semakin penyuluh pertanian tidak berperan dalam kegiatan usahatani, maka persepsi petani non adopter terhadap karakteristik teknologi lokal semakin tinggi. Teknologi lokal ini diketahui petani orangtua (turun temurun) dan sesama petani (tetangga). Hasil penelitian Sugihen et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor penyebab petani tidak mengenal penyuluh, antara lain: (1) tidak ada penyuluh pertanian yang bertugas di wilayah setempat, (2) lokasi pemukiman petani relatif sulit dijangkau, sehingga tidak memungkinkan penyuluh pertanian setiap saat berkunjung, dan (3) kegiatan penyuluhan tidak intensif dilakukan, sehingga momentum pertemuan antara penyuluh pertanian dengan petani sangat terbatas, serta sebagian kecil dari petani yang ikut dalam pertemuan tersebut. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Hipotesis 2: Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, dan persepsi petani terhadap penyuluhan, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi.
171 Ternyata persepsi petani terhadap penyuluhan, tidak berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang cukup dominan (yang tidak diteliti pada penelitian ini), sehingga pengaruh persepsi petani terhadap penyuluhan tidak terdeteksi. Hasil pengamatan di lapangan, persepsi petani terhadap penyuluhan dipengaruhi banyak faktor, maka pada penelitian serupa nantinya perlu digali faktor dominan tersebut, seperti seperti intensitas penyuluhan, sasaran kegiatan penyuluhan yang menjangkau seluruh petani, kompleksitas tugas penyuluh. Hasil penelitian ini memperkuat teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi. Diagram proses keputusan inovasi, pada tahap persuasi sewaktu ciri-ciri inovasi diperkenalkan, tahap tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individu (sosial ekonomi, pribadi dan perilaku komunikasi) sebagai unit pengambil keputusan, pada waktu tahap pengetahuan (knowledge).
Sub peubah yang berpengaruh
langsung pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi adalah tingkat keberanian beresiko, tingkat kekosmopolitan, ketersediaan input (saprodi), dan ketersediaan sarana pemasaran (Tabel 37). Petani dalam kegiatan berusahatani berhadapan dengan faktor resiko. Nelson et al. (Soedjana, 2007) telah mengidentifikasi faktor resiko di bidang pertanian, yaitu berasal dari produksi, harga dan pasar, usaha dan finansial, teknologi, kerusakan, sosial dan hukum, serta manusia. Tabel 36 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah X1 Karakteristik Petani X2 Perilaku Komunikasi Petani X3 Dukungan Iklim Usaha R2
Koefisien jalur yang telah distandarkan 0,167 0,151 0,213
P 0,033 0,052 0,002
17,4%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Resiko produksi terjadi karena keragaman hasil akibat berbagai faktor yang sulit diduga, seperti cuaca (kekeringan, kebanjiran), hama, penyakit, variasi genetik dan waktu pelaksanaan.
Resiko harga dan pasar dikaitkan dengan
keragaman dan ketidaktentuan harga yang diterima petani dan yang harus
172 dibayarkan untuk input produksi. Resiko usaha dan finansial berkaitan dengan pembiayaan dari usaha yang dijalankan, modal yang dipengaruhi, serta kewajiban kredit. Resiko kerusakan merupakan sumber resiko tradisional, seperti kehilangan harta karena kebakaran, angin, banjir, ataupun pencurian. Dalam usahatani, resiko kerusakan hasil dapat berupa patah, pecah dan sebagainya atau bahkan busuk karena lama dsimpan.
Resiko sosial dan hukum berkaitan dengan peraturan
pemerintah dan keputusan lain, seperti peraturan baru mengenai penggunaan input produksi, pembatasan subsidi, dan perencanaan lokasi baru untuk daerah pertanian. Resiko faktor manusia berkaitan dengan perilaku, kesehatan, dan sifatsifat seseorang yang tidak diduga yang mengakibatkan kerugian dalam usahatani. Pada petani adopter dan petani non adopter terdapat kecenderungan semakin luas lahan yang dimiliki, maka semakin tinggi tingkat keberanian beresiko.
Untuk inovasi teknologi (usahatani terpadu) yang baru diterapkan
petani adopter mengandung resiko produksi, meskipun teknologi tersebut telah dirancang dengan resiko minimal. Resiko produksi yang menyebabkan kegagalan panen lebih dapat ditanggung petani yang memiliki lahan luas, dibandingkan petani yang berlahan sempit. Petani golongan ini telah mencermati karakteristik usahatani terpadu (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan dan diamati) pada waktu dilakukan plot demonstrasi oleh peneliti, penyuluh BPTP dan penyuluh pertanian BPP. Tingkat kekosmopolitan yang tinggi mencerminkan petani adopter dan petani non adopter sering bepergian ke luar desa untuk mendapatkan informasi tentang pasar dan harga, pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan petani; serta kompetisi usaha lain. Semakin banyak informasi yang diperoleh akan mempengaruhi pandangan petani adopter terhadap karakteristik usahatani terpadu. Pengetahuan (informasi) yang dimiliki petani adopter menjadi salah satu dasar penilaian terhadap layak atau tidak komponenkomponen usahatani terpadu diterapkan. Hal ini juga berlaku bagi petani non adopter yang melakukan penilaian terhadap karakteristik teknologi lokal, terus diterapkan atau beralih ke teknologi usahatani terpadu. Ketersediaan input (saprodi) berkaitan dengan tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk dan obat-obatan/pestisida, serta jarak
173 tempat penjualan saprodi dari lahan petani. Kemudahan petani adopter dalam mendapatkan benih padi berlabel dengan varietas unggul yang direkomendasikan (seperti Situ patenggang, dan Situ bagendit) akan mempengaruhi persepsi petani terhadap karakteristik usahatani terpadu. Demikian pula pada petani non adopter, ketersediaan input (saprodi) akan membentuk pandangan petani terhadap karakteristik teknologi lokal. Mosher (1966) menyatakan bahwa bila pertanian hendak dimajukan, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syaratsyarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi. Syarat pokok pembangunan pertanian yang pertama dan kelima berupa pasar dan pengangkutan/transportasi (sarana pemasaran), ternyata faktor ini mempengaruhi persepsi petani terhadap karakteristik usahatani terpadu maupun teknologi lokal.
Ketersediaan sarana pemasaran (prasarana jalan, sarana/alat
transportasi dan pasar) mencerminkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan petani responden dapat diangkut dan dipasarkan ke berbagai tujuan sesuai dengan mutu. Seperti komoditas pisang yang dihasilkan petani adopter Cianjur dengan mutu Grade 1 dipasarkan ke supermarket, Grade 2 ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten di pasar Cianjur. Tabel 37 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Sub peubah X110 Tingkat keberanian beresiko X22 Tingkat kekosmopolitan X31 Ketersediaan input (saprodi) X33 Ketersediaan sarana pemasaran R2
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
0,101 0,234 0,096 0,154
0,119 0,003 0,130 0,055 23,7%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Faktor-faktor yang berpengaruh langsung positif nyata pada persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi adalah karakteristik petani adopter (tingkat pendapatan, luas lahan, sikap terhadap perubahan) dan persepsi petani adopter
174 terhadap penyuluhan (kompetensi penyuluh dan peran penyuluh). Sikap terhadap perubahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh relatif lebih kuat dibanding dengan faktor lain (Tabel 38).
Ini mengindikasikan bahwa petani
adopter dalam menilai suatu inovasi dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya pada petani non adopter, faktor sikap terhadap perubahan memberikan pengaruh negatif nyata. Artinya semakin tinggi sikap terhadap perubahan pada petani non adopter, maka semakin rendah penilaian terhadap teknologi lokal. Terdapat kecenderungan petani non adopter akan mencari teknologi yang lebih baik dibanding teknologi lokal yang telah diterapkan. Ketersediaan sarana pemasaran memberikan pengaruh positif nyata yang relatif lebih kuat dibanding faktor lain. Hasil analisis jalur menunjukkan karakteristik petani dan perilaku komunikasi mempengaruhi langsung secara nyata dengan arah positif, sedangkan pengaruh tidak langsung (melalui persepsi petani terhadap penyuluhan) berarah negatif (Tabel 39) pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Hal ini disebabkan persepsi petani terhadap penyuluhan tidak berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (nilai P = 0,158 > α = 0,15). Petani adopter dan petani non adopter menilai bahwa penyuluh tidak menjelaskan tentang ciri-ciri inovasi (baik usahatani terpadu maupun teknologi lokal). Penyuluh (BPTP Jawa Barat dan BPP) sekedar melakukan transfer teknologi usahatani terpadu. Penyampaian usahatani terpadu dilakukan melalui metode ceramah, diskusi, dan plot demonstrasi. Seharusnya penyuluh dapat berperan sebagai fasilitator yang menjelaskan karakteristik usahatani terpadu (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba, dan dapat diamati). Mengutip pendapat Getz dan Warner (2006),
pergeseran
dari model ”transfer teknologi" ke arah
”pembelajaran partisipatif dan pengambilan keputusan bersama,” dapat mendukung peningkatan pelayanan penyuluhan serta berfungsi sebagai strategi penyuluhan dengan melibatkan klien pada skala yang lebih luas. Hal ini
yang diperlukan petani di Indonesia, terutama petani di lahan kering
marjinal.
175 Tabel 38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani adopter dan petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah X1 Karakteristik Petani X13 Tingkat pendapatan X15 Luas lahan X19 Sikap thd perubahan X18 Tingkat intelegensi X110 Tingkat keberanian beresiko X2 Perilaku Komunikasi Petani
Koefisien jalur yang telah distandarkan Adopter Non Adopter (n=137) (n=165) 0,145 0,123 0,424
P Adopter
Non adopter (n=165)
(n=137) 0,119 0,136 0,000
-0,204 0,131 0,132
0,027 0,137 0,118
0,175
0,081
X31 Ketersediaan input
0,151
0,088
X33 Ketersediaan sarana pemasaran
0,324
0,003
X22 Tingkat kekosmopolitan X3 Dukungan Iklim Usaha
X4 Persepsi petani thd penyuluhan X41 Kompetensi Penyuluh
0,175
0,089
X42 Peran Penyuluh
0,163
0,061
R2
47%
32%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Konsep inovasi teknologi usahatani terpadu dirancang di tingkat pusat, kemudian didesiminasikan secara nasional.
Pada awal pelaksanaan program
tahun 2005, usahatani terpadu diperkenalkan di 14 provinsi yang mencakup 22 desa.
Pada tahun 2006 inovasi teknologi tersebut telah diperkenalkan di 25
provinsi (33 desa) dan tahun 2007 telah mencapai 33 provinsi (201 desa). Tabel 39 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
Pengaruh Total
X1 Karakteristik Petani
0,167
-0,025
0,142
X2 Perilaku Komunikasi Petani
0,151
-0,035
0,116
X3 Dukungan Iklim Usaha
0,213
0,005
0,218
-0,091
-
-0,091
X4 Persepsi Petani thd Penyuluhan
176 Mencermati wilayah diseminasi yang meluas ke seluruh provinsi, menimbulkan kesan kendali pemerintah pusat demikian kuat. Ini diindikasikan oleh penunjukan 200 orang tenaga peneliti yang berasal dari berbagai unit kerja lingkup Badan Litbang Pertanian, sebagai pemandu teknologi (tahun 2007). Para peneliti ini ditugaskan langsung ke 200 desa lokasi usahatani terpadu. Selain kesan “top-down” yang kuat, usahatani terpadu kurang memperhatikan keadaan lingkungan petani yang spesifik, terutama untuk keadaan non-teknis, seperti kebiasaan, tradisi, kemampuan, kebutuhan petani dan sebagainya. Sebenarnya kalau peneliti memberi kesempatan kepada penyuluh yang ada di lokasi (dengan sebelumnya membekali penyuluh dengan hal-hal teknis), maka keberlanjutan penerapan teknologi tersebut akan lebih besar karena adanya fasilitasi oleh penyuluh setempat walaupun kegiatan Badan Litbang Pertanian telah selesai. Hasil pengamatan di lapangan, memberi indikasi ada kesenjangan antara rancangan konsep inovasi teknologi usahatani terpadu dengan implementasi di lapangan. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, terjemahan dari konsep ke pelaksanaan tidak dalam satu visi pemahaman yang sama (pengetahuan, pengalaman dan pendidikan tidak sepadan), sehingga penyuluh kurang tepat dalam penerapan. Disinilah indikasi bahwa hubungan penelitipenyuluh tidak bisa seperti atasan-bawahan atau pemberi-dengan yang diberi teknologi, hubungan harus bersifat “partnerships,” peneliti harus mau menerima penyuluh sebagai “partner” dalam mengintroduksikan inovasi teknologi. Kedua, pendekatan pelaksanaan kegiatan masih bersifat top-down. merancang komponen teknologi
Meskipun dalam
yang dikembangkan telah menerapkan
pemahaman pedesaan secara partisipatif (PRA), namun belum memperhatikan kebutuhan petani. Petani merasa tidak berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan inovasi teknologi. Ketiga, harga sarana produksi dari tahun ke tahun cenderung meningkat yang berpengaruh terhadap penggunaan sarana produksi yang sesuai dengan anjuran. Terdapat kecenderungan petani mengurangi takaran penggunaan sarana produksi untuk menekan biaya produksi. Keempat, kegiatan masih berorientasi pada keproyekan. Sebagai contoh klinik agribisnis yang dirancang sebagai inovasi kelembagaan, tempat petani berkonsultasi tentang usahatani dengan peneliti dan penyuluh (BPTP Jawa Barat serta BPP), tidak berfungsi.
177 Secara konsep rencana kegiatan klinik agribisnis ditujukan untuk: (1) membantu menangani permasalahan yang ada di lapangan, (2) memanfaatkan dan mengembangkan potensi dan peluang yang tersedia, (3) memperbaiki teknologi yang ada dengan inovasi teknologi sesuai kebutuhan petani, serta (4) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola usahatani. Di Cianjur telah dilakukan pembangunan fisik klinik agribisnis lengkap dengan papan nama, yang didanai Pemda Cianjur. Namun kegiatan yang direncanakan belum terwujud. Di Garut terdapat kesan bahwa klinik agribisnis semata-mata hanya simbol, yang terlihat dari papan nama klinik agribisnis terletak pada tempat yang sama dengan papan nama posko tenaga detasir. Keberadaan fisik klinik agribisnis hanya untuk memenuhi target atau pertanggungjawaban keproyekan, bahwa klinik agribisnis itu ada (bertempat di rumah penduduk yang disewa). Dukungan iklim usaha memberikan pengaruh total (pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung melalui persepsi petani terhadap penyuluhan) yang positif pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 8). Dibandingkan karakteristik petani dan perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha relatif lebih diperhatikan petani dalam membangun persepsi tentang ciri-ciri inovasi. Ketersediaan sarana produksi akan menentukan pilihan terhadap komponen teknologi yang diterapkan (sebagian atau seluruh komponen), yang terkait dengan kesesuaian ciri-ciri inovasi. Ketersediaan sarana pemasaran, setidaknya memberi jaminan kepada petani bahwa produk pertanian yang dihasilkan dapat dipasarkan. X1 Karakteristik Petani
0,167(0,033)
0,280 (0,000)
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan 0,383 (0,000)
-0,091 (0,158)
X2 Perilaku Komunikasi Petani
0,151 (0,052) -0,053 (0,396)
X3 Dukungan Iklim Usaha
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
0,213 (0,002)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang divantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 8 Peubah-peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
178 Rincian lebih lanjut, sub peubah yang berpengaruh langsung dan tidak langsung pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, ditampilkan pada Tabel 40. Pengaruh total sub peubah tingkat mobilitas, luas lahan, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, kerjasama, dan keterdedahan terhadap media (melalui peubah persepsi petani terhadap penyuluhan) pada persepsi petani terhadap ciriciri inovasi, berarah negatif (Gambar 9). Fenomena ini memberikan gambaran bahwa figur penyuluh (BPTP Jawa Barat dan BPP) tidak dikenal oleh sebagian besar petani responden. Penyuluhan pertanian di Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut, dapat dikatakan tidak berjalan. Sebagaimana penjelasan pada bagian terdahulu, penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu yang dilakukan oleh peneliti BPTP Jawa Barat dan penyuluh (BPTP Jawa Barat dan BPP) hanya terbatas kepada petani adopter pengurus kelompok tani. Tabel 40 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
Pengaruh Total
X14 Tingkat mobilitas X15 Luas lahan X18 Tingkat intelegensi X19 Sikap terhadap perubahan X110 Tingkat keberanian beresiko X21 Kerjasama X22 Tingkat kekosmopolitan X23 Keterdedahan thd media X31 Ketersediaan input (saprodi) X33 Ketersediaan sarana pemasaran
0,101 0,234 0,096 0,154
-0,009 -0,009 -0,017 -0,014 -0,025 -0,012 -0,011 -
-0,009 -0,009 -0,017 -0,014 0,101 -0,025 0,222 -0,011 0,096 0,154
Program usahatani terpadu yang masuk di wilayah kedua desa tersebut, memang menstimulir pelaksanaan kegiatan penyuluhan, karena ada dukungan dana APBN untuk kegiatan usahatani terpadu. Namun begitu memasuki tahun terakhir (awal tahun 2009) pelaksanaan kegiatan usahatani terpadu, tenaga detasir sudah tidak lagi berada di posko desa. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut, namun juga terjadi di Oklahoma. Hasil penelitian Cartmell, Orr, dan Kelemen pada tahun 2006 (Brunson dan Price,
179 2009) menemukan, dua-pertiga dari pemilik lahan skala sempit di Oklahoma, tidak ada kegiatan penyuluhan karena lokasinya sulit dijangkau penyuluh.
X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.4 Tingkat Mobilitas
0,105 (0,030)
0,097 (0,068)
X1.5 Luas Lahan
X1.8 Tingkat Intelegensi
X1.9 Sikap terhadap Perubahan
(0,191) (0,001) 0,158 (0,005)
X1.10 Tingkat Keberanian Beresiko
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN X4.1 Kompetensi Penyuluh X4.2 Peran Penyuluh
-0,091
X4.3 Materi Penyuluhan
(0,158)
X5 Persepsi Petani terhadap Ciriciri inovasi
X4.4 Metode penyuluhan
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI
0,101 (0,119) 0,270
X2.1 Kerjasama
(0,000) 0,128
X2.2 Tingkat Kekosmopolitan
(0,061)
X2.3 Keterdedahan thd Media
0,126
0,234 (0,003)
(0,035)
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA 0,096 (0,130)
X3.1 Ketersediaan Input (saprodi) X3.3 Ketersediaan Sarana Pemasaran
0,154 (0,055)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 9 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
180 Menarik untuk dicermati pada petani adopter, pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung (melalui persepsi petani adopter terhadap penyuluhan) bernilai positif, sehingga pengaruh total bernilai positif (Tabel 41). Pengaruh total sub peubah tingkat keberanian beresiko, tingkat kekosmopolitan, ketersediaan input (saprodi), dan ketersediaan sarana pemasaran pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi berarah positif. Hal ini berarti bahwa dengan kondisi penyuluhan yang tidak berjalan sesuai UU No. 16 Tahun 2006, pada saat suatu inovasi teknologi akan diperkenalkan, maka faktor-faktor tersebut terlebih dahulu diidentifikasi di tingkat internal dan eksternal petani.
Intervensi pemerintah
daerah masih tetap diperlukan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif, terutama yang terkait dengan pembangunan ataupun pemeliharaan prasarana jalan, dan ketersediaan bangunan fisik pasar. Ketergantungan masyarakat desa terhadap pemerintah (pusat maupun daerah) dalam hal ketersediaan sarana pemasaran, masih tinggi. Tabel 41 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung1)
Pengaruh Total
0,145
-
0,145
X15 Lahan
0,123
-
0,123
X19 Sikap thd perubahan
0,424
-
0,424
X14 Mobilitas
-
0,032
0,032
X18 Intelegensi
-
0,051
0,051
X110 Keberanian beresiko
-
0,041
0,041
-
0,042
0,042
X41 Kompetensi Penyuluh
0,175
-
0,175
X42 Peran Penyuluh
0,163
-
0,163
X1 Karakteristik Petani X13 Pendapatan
X2 Perilaku Komunikasi Petani X21 Kerjasama X4 Persepsi Petani thd Penyuluhan
Keterangan:
1)
melalui X4 = persepsi petani terhadap penyuluhan
181 Persepsi petani adopter terhadap penyuluhan memberikan pengaruh positif nyata pada persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 10). Ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyuluhan telah dilakukan pada beberapa petani adopter (tidak semua petani adopter). X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.3 Tingkat pendapatan X1.5 Luas Lahan
0,145 (0,119)
0,123 (0,136)
X1.9 Sikap thd perubahan
(0,424) (0,000)
X1.4 Tingkat mobilitas
(0,127) (0,085)
X1.8 Tingkat intelegensi
0,202
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN X4.1 Kompetensi Penyuluh
(0,021)
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,161 (0,065)
X4.2 Peran Penyuluh
0,252 (0,005)
X5 Persepsi Petani terhadap Ciriciri inovasi
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI 0,168 (0,105)
X2.1 Kerjasama
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 10 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi Kompetensi penyuluh, terutama yang terkait dengan pengetahuan mengenai hal-hal yang bersifat spesifik komoditas, seperti teknik budidaya tanaman/ternak, hama/penyakit, pascapanen, pengolahan, dan informasi harga/pasar, terlihat kurang lengkap, karena banyak sekali komoditas pertanian yang ditanam petani. Untuk komoditas pangan (padi dan palawija) penyuluh pertanian telah mampu berperan sebagai pentransfer teknologi/informasi, karena sudah lebih dikenal. Sebaliknya, untuk komoditas sayuran, pisang, nilam, domba, penyuluh pertanian belum menguasai dengan baik teknologinya, di samping itu informasi harga/pasar komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) sangat dinamis, sehingga peran penyuluh pertanian kurang optimal.
Untuk itu, kurikulum pendidikan formal
182 maupun non formal bagi penyuluh pertanian dibutuhkan materi/substansi yang lebih komprehensif, sehingga dapat membantu petani mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam mengelola usahatani. Persepsi petani non adopter terhadap penyuluhan memberikan pengaruh negatif nyata pada persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi, sehingga faktor-faktor yang mempunyai pengaruh tidak langsung bernilai negatif, kecuali daya beli (Tabel 42).
Pengaruh total yang bernilai negatif: sikap terhadap
perubahan, kerjasama, keterdedahan terhadap media, dan ketersediaan fasilitas keuangan, berarti semakin tinggi faktor-faktor tersebut, maka semakin rendah penilaian petani non adopter terhadap teknologi lokal. Terdapat kecenderungan petani non adopter kelompok ini mencari teknologi yang lebih menguntungkan dibandingkan teknologi lokal.
Ketersediaan sarana pemasaran memberikan
pengaruh total yang paling kuat dibandingkan faktor lain. Tabel 42 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung1)
Pengaruh Total
X18 Intelegensi
0,131
-
0,131
X19 Sikap thd perubahan
-0,204
-0,060
-0,264
X110 Keberanian beresiko
0,132
-
0,132
0,032
0,032
0,175
-
0,175
-
-0,051 -0,028
-0,051 -0,028
0,151 0,324
-
0,151 0,324
-
-0,027
-0,027
X1 Karakteristik Petani
X16 Dayabeli X2 Perilaku Komunikasi Petani X22 Kosmopolitan X21 Kerjasama X23 Keterdedahan thd media X3 Dukungan Iklim Usaha X31 Ketersediaan input X33 Ketersediaan sarana pemasaran X32 Ketersediaan fasilitas keuangan
Keterangan: 1) melalui X4 = persepsi petani terhadap penyuluhan
183 Faktor daya beli dapat digambarkan dari nilai tukar petani yang mengukur kemampuan nilai tukar produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk kegiatan produksi. Daya beli merupakan faktor yang berpengaruh tidak langsung pada persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 11).
X1 KARAKTERISTIK PETANI 0,131 (0,137)
X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Tingkat keberanian beresiko X1.9 Sikap thd perubahan
0,132 (0,138)
-0,204 (0,027) -0,290 (0,001)
X1.6 Daya beli -0,153 (0,099)
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI
X4
-0,206
PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
(0,008)
X5 PERSEPSI PETANI TERHADAP CIRI-CIRI INOVASI
0,249 (0,006)
X2.1 Kerjasama
X2.3 Keterdedahan thd media
0,136 (0,114)
X2.2 Tingkat kekosmopolitan
0,175 (0,081)
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
0,132 (0,129)
X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan 0,151 (0,088)
X3.1 Ketersediaan input
X3.3 Ketersediaan sarana pemasaran
0,324 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 11 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi
184 Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi Keputusan petani responden (Cianjur dan Garut), dalam mengadopsi inovasi usahatani terpadu termasuk dalam keputusan kolektif (Rogers dan Shoemaker, 1971; Rogers, 2003). Pengambilan keputusan dilakukan oleh pengurus kelompok tani (ketua, sekretaris dan bendahara) yang secara informal mewakili anggota kelompok tani. Pembentukan kelompok tani sebagian besar (80,0% kelompok tani Cianjur dan 71,4% kelompok tani Garut) didasari atas kepentingan pemerintah untuk mendiseminasikan teknologi usahatani terpadu. Faktor yang mendorong petani responden mengadopsi usahatani terpadu adalah perolehan bantuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Bantuan bagi petani adopter di Cianjur berupa pupuk kimia Urea dan Phonska masing-masing sebanyak 100 kg dan 150 kg untuk luasan areal 0,5 ha. Selain itu bantuan kredit PUMK sebesar Rp 100 juta per kelompok, yang dialokasikan untuk pembelian bibit pisang Rp 3,5 juta setiap 1,0 ha lahan dan pembelian domba Rp 20 juta dengan cara digulirkan kepada anggota yang belum memiliki ternak domba. Halhal ini yang menyebabkan ketergantungan petani pada proyek dan mematikan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Perolehan bantuan yang diterima melalui kelompok tani (petani adopter Garut) berupa ternak 23 ekor domba pada tahun 2006 (21 betina dan 2 jantan) yang dikelola sistem gaduh, setelah domba tersebut beranak semua anggota dapat. Bantuan lain yang diberikan berupa: (1) benih padi gogo varietas Tauti, Limboto, Batutegi, Situ bagendit dan Situ patenggang sebanyak 100 kg (untuk areal 5,0 ha) dan benih kedelai 40 kg (untuk areal 1,0 ha); (2) obat-obatan seperti furadan (untuk hama ulat tanah), baykrap (untuk hama ulat) dan obat tepung berwarna kuning; (3) pupuk Urea 750 kg, SP36 250 kg, dan KCl 250 kg; (4) benih pisang 600 pohon; (5) hand sprayer satu buah pada tahun 2006 dan sampai tahun 2009 total menjadi 3 buah. Pada akhir tahun 2007, kelompok tani juga mendapat bantuan dari Telkom berupa bibit durian, rambutan, petai, belina, jati, albasia, dan suren. Pembagian bantuan berdasarkan luas areal lahan garapan petani adopter. Keseluruhan bantuan yang diperoleh petani adopter dapat diartikan bahwa dalam menerapkan usahatani terpadu, petani adopter hanya menyiapkan lahan dan tenaga kerja. Modal usahatani untuk pembelian sarana produksi telah
185 tertanggulangi. Pendampingan tenaga detasir (tenaga penyuluh dari BPTP Jawa Barat) di lapangan dapat menekan kekhawatiran petani adopter tentang resiko kegagalan panen ataupun pemasaran hasil. Walaupun petani hanya menyiapkan lahan dan tenaga, tetapi kalau petani diikutsertakan dalam perencanaan pelaksanaan, dan diberi kepercayaan untuk melaksanakan sendiri (dengan bimbingan oleh penyuluh setempat yang telah dilatih oleh peneliti, maka dalam diri petani akan tumbuh rasa ”memiliki” terhadap teknologi usahatani terpadu. Hal ini yang akan memotivasi petani untuk benar-benar memahami teknologi usahatani terpadu, sehingga petani akan dapat memutuskan untuk meneruskan atau memodifikasi teknologi tersebut. FAO (1990) telah mengidentifikasi beberapa jenis keputusan yang dapat dibuat oleh rumah tangga tani, berdasarkan orientasi terhadap: (1) produksi, (2) penggunaan sumberdaya, (3) investasi, (4) likuiditas, yakni jumlah uang tunai yang dibutuhkan rumah tangga tani, (5) pengolahan dan pemasaran, serta (6) komunitas (seperti partisipasi dalam suatu organisasi petani, peningkatan status, harapan komunitas terhadap usahatani dalam hal produksi). Penentuan komoditas yang ditanam petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong rendah (Tabel 43). Pertimbangan yang digunakan sebagian besar petani adopter, petani non adopter Cianjur dan petani adopter Garut dalam menentukan komoditas yang ditanam adalah kemudahan dalam mendapatkan benih/bibit serta besaran biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan. Meskipun suatu komoditas dilihat dari aspek ekonomi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif tinggi, namun jika benih/bibit sulit diperoleh, petani responden cenderung tidak menanam komoditas tersebut. Karena ini akan terkait dengan biaya transportasi, konsekuensinya biaya usahatani menjadi meningkat. Petani non adopter Garut dalam menanam komoditas, selain kemudahan dalam mendapatkan benih/bibit juga mempertimbangkan kesesuaian penggunaan sumberdaya lahan. Penggunaan tenaga kerja dan keberhasilan petani lain (untuk kemudian diikuti) juga menjadi pertimbangan petani adopter yang tergolong sedang – tinggi dalam penentuan komoditas yang ditanam. Penggunaan sarana produksi sebagian besar petani adopter, petani non adopter Cianjur dan petani adopter Garut tergolong sedang, adapun pada petani
186 non adopter Garut tergolong rendah. Petani adopter (Cianjur dan Garut) berharap dengan menggunakan sarana produksi sesuai dengan rekomendasi penyuluh pertanian, produksi akan lebih baik dibandingkan bila penggunaan sarana produksi terbatas sesuai modal yang tersedia.
Dengan peningkatan produksi,
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usahatani terpadu juga akan meningkat. Penggunaan tenaga kerja sebagian besar berasal dari tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Brashear et al. (2000) terhadap peternak babi di Illinois. Faktor yang dipertimbangkan dalam menerapkan teknologi baru adalah keuntungan, tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Tabel 43 Keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Peubah
Kategori
Penentuan komoditas Rendah Sedang Tinggi Penggunaan saprodi Rendah Sedang Tinggi
Skor
Petani Cianjur (%) Adopter Non adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (%) Adopter Non adopter (n=91) (n=118)
Total Petani (%) Adopter Non adopter (n=137) (n=165)
1-2 3-4 5 Skor
60,9 23,9 15,2
91,4 4,3 4,3
40,7 27,4 31,9
63,3 13,6 22,9
47,4 26,3 26,3
71,5 10,9 17,6
1-2 3-4 5
28,3 63,0 8,7
10,6 76,6 12,8
40,7 45,0 14,3
62,7 28,0 9,3
36,5 51,1 12,4
47,9 41,8 41,8
Keterangan: Rentang skor 1-5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi. Hasil ini sesuai dengan Hipotesis 3, berarti Hipotesis 3 diterima. Rincian sub peubah yang berpengaruh nyata positif terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi, ditampilkan pada Tabel 44. Meskipun tidak semua sub peubah (dapat diujicoba, dapat diamati, dan persepsi petani terhadap pengaruh media massa) berpengaruh nyata pada keputusan petani dalam adopsi inovasi, namun hasil penelitian ini telah memperkuat teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi.
187 Tabel 44 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah X51 Keuntungan relatif X52 Kesesuaian X53 Kerumitan X62 Interpersonal R2
Koefisien regresi yang telah distandarkan
P
0,154 0,306 0,148 0,287
0,002 0,000 0,008 0,000 36,5%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Penilaian petani responden terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu, pada aspek keuntungan usahatani, kebanggaan (prestise) sosial, kesesuaian dengan kondisi sosiobudaya, dan teknis penerapan. Petani responden menilai teknologi lokal berdasarkan penggunaan biaya awal yang rendah, hemat waktu dan tenaga, kesesuaian dengan kondisi sosiobudaya, dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, modal, dan tenaga kerja) masih memungkinkan untuk menerapkan teknologi lokal. Persepsi petani terhadap pengaruh informasi interpersonal berpengaruh positif nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi (Gambar 12). Penyuluh pertanian merupakan sumber informasi yang dipercaya oleh petani adopter yang mempunyai posisi sebagai pengurus kelompok tani. Bagi petani adopter tetapi bukan pengurus kelompok tani dan petani non adopter, sumber informasi yang dipercaya adalah sesama petani (termasuk ketua kelompok tani) dan tokoh masyarakat. Sumber informasi interpersonal dinilai petani responden dapat dipercaya dan informasi yang diperoleh relevan dengan kebutuhan petani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gonzales dan Israel (2010) yang menunjukkan bahwa preferensi klien dalam memilih saluran komunikasi (media massa atau media interpersonal) ditentukan oleh manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan dan tingkat kepercayaan terhadap sumber informasi.
188
X1 Karakteristik Petani
0,167(0,033) 0,280 (0,000)
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
thd Pengaruh Media/ Informasi X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
0,383 (0,000)
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X6 Persepsi Petani
-0,091 (0,158)
0,151 (0,052)
X5.1 Keuntungan relatif
0,287 (0,000) 0,154 (0,002) Y1 Keputusan Petani
X5.2 Kesesuaian 0,306 (0,000)
X5.3 Kerumitan
0,148 (0,008)
-0,053 (0,396)
X3 Dukungan Iklim Usaha
0,213 (0,002)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 12 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi Inovasi Keputusan petani adopter dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani terpadu dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif, kesesuaian, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal, sedangkan pada petani non adopter dipengaruhi oleh faktor kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kesesuaian dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi menjadi tolok ukur petani adopter maupun petani non adopter dalam mengadopsi suatu teknologi (Tabel 45). Suatu inovasi dapat sesuai atau tidak dengan petani, dilihat dari aspek: (1) nilai-nilai sosiobudaya, (2) ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya, dan/atau (3) kebutuhan petani akan inovasi. Bagi petani adopter, faktor keuntungan relatif menjadi prioritas penilaian dalam pengambilan keputusan adopsi teknologi, sedangkan petani non adopter lebih mengutamakan faktor kesesuaian. Petani adopter mempunyai lahan yang relatif lebih luas dibanding petani non adopter, sehingga faktor keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya
189 ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat waktu dan tenaga, serta imbalan yang segera didapat menjadi pertimbangan pengambilan keputusan adopsi teknologi usahatani terpadu. Tabel 45 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Koefisien regresi yang telah distandarkan Adopter Non adopter (n=137) (n=165)
Peubah
X5 Persepsi petani thd ciri inovasi X51 Keuntungan relatif X52 Kesesuaian X53 Kerumitan X6 Persepsi petani thd pengaruh media/informasi X61 Interpersonal R2
0,273 0,155
0,225 27%
P Adopter (n=137)
0,002 0,068
0,435 0,290
0,125 51%
0,007
Non adopter (n=165)
0,000 0,000
0,032
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi (langsung dan tidak langsung) terhadap keputusan petani adopter dalam mengadopsi teknologi usahatani terpadu ditampilkan pada Gambar 13. Media interpersonal yang berperan menyampaikan informasi teknologi usahatani terpadu kepada petani adopter (pengurus kelompok tani) adalah penyuluh. Proses difusi inovasi berlangsung dari pengurus kelompok tani kepada petani adopter lain pada forum pertemuan kelompok tani, pengajian, atau perbincangan pada saat bekerja di ladang. Peranan ketua kelompok tani dalam penyampaian inovasi kepada anggota kelompok merupakan hal yang penting, disertai dengan partisipasi aktif dari anggota kelompok tani serta bantuan saprodi dan kredit modal usahatani dari pemerintah merupakan faktor pendorong petani dalam
mengadopsi
mengajarkan
dan
teknologi
usahatani
mempengaruhi
terpadu.
Ketua
kelompok
anggota kelompok tani lainnya.
tani
“Petani
belajar dari petani lain” merupakan pendekatan yang efektif untuk mengenalkan teknologi usahatani terpadu.
Pendekatan dengan saluran komunikasi melalui
media interpersonal merupakan mekanisme yang efektif dalam membawa
190 perubahan pada wilayah pedesaan lahan kering seperti Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut.
X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.3 Tingkat pendapatan
0,145 (0,119) 0,123 (0,136)
X1.5 Luas lahan X1.9 Sikap thd perubahan X1.4 Tingkat mobilitas X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,424 (0,000) X4 PERSEPSI PETANI THD 0,127 PENYULUHAN (0,085) X4.1 Kompetensi 0,202 penyuluh (0,021) 0,161 (0,065)
X4.2 Peran penyuluh
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI 0,175 INOVASI (0,089) X5.1 Keuntungan relatif 0,163
X5.1 Interpersonal
0,273 (0,002)
0,225 (0,007) Y1 KEPUTUSAN PETANI
(0,061) X5.2 Kesesuaian 0,155 (0,068)
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI X2.1 Kerjasama
0,168 (0,105)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 13 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani adopter dalam adopsi inovasi Pada petani non adopter yang mempunyai aset lahan relatif terbatas, bahkan beberapa di antaranya tidak mempunyai lahan, maka faktor kesesuaian dan kerumitan menjadi pertimbangan pengambilan keputusan adopsi teknologi lokal (Gambar 14).
Hal ini berkaitan dengan curahan tenaga kerja, karena selain
mengelola usahatani petani non adopter bekerja sebagai buruh tani atau buruh di luar pertanian.
191
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,131 (0,137) 0,132 (0,138)
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
- 0,204 X1.9 Sikap thd perubahan (0,027)
X1.6 Daya beli
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI X2.1 Kerjasama
- 0,153 X4 PERSEPSI (0,099) PETANI THD PENYULUHAN
X5 PERSEPSI PETANI THD -0,206 CIRI-CIRI INOVASI (0,008) X5.2 Kesesuaian
X5.1 Interpersonal
0,435 (0,000)
0,125 (0,032) Y1 KEPUTUSAN PETANI
X5.3 Kerumitan 0,290 (0,000)
0,249 (0,006)
X2.3 Keterdedahan thd media
0,136 (0,114)
X2.2 Tk. kekosmopolitan
0,175 (0,081)
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan
0,132 (0,129)
X3.1 Ketersediaan input
0,151 (0,088)
X3.3 Ketersediaan sarana pemasaran
0,324 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 14 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani non adopter dalam adopsi inovasi Kinerja Usahatani Kinerja usahatani petani responden dilihat dari: (1) orientasi usaha, (2) penanganan hasil/pascapanen, dan (3) produktivitas dari komoditas yang diusahakan petani.
Orientasi usaha sebagian besar petani adopter Cianjur
tergolong sedang. Hal ini berarti bahwa 58,7 persen petani adopter Cianjur masih
192 berada pada karakteristik usaha semi subsisten, sebagian besar produk pertanian dijual dan sebagian kecil dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga petani. Bahkan 30,4 persen petani adopter Ciajur masih berorientasi usaha yang bersifat subsisten. Orientasi usaha sebagian besar petani adopter Garut masih tergolong rendah (39,6%) atau orientasi usaha masih bersifat subsisten. Namun demikian terdapat petani adopter Garut yang telah berorientasi semi subsisen (29,6% ) dan bahkan 30,8% telah mengarah ke usaha komersial. Petani adopter (Cianjur dan Garut) dengan pengusahaan lahan usahatani > 1,0 ha dan/atau merangkap sebagai pedagang hasil, terdapat kecenderungan mengarah ke usaha komersial. Petani adopter yang berperan sebagai pedagang hasil menguasai hasil petani skala kecil yang memerlukan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tjondronegoro (1999) berpandangan bahwa keadaan petani yang lemah tersebut terus berlangsung, karena secara ekonomi petani skala kecil tidak berdaya, lemah dalam posisi rebut tawar (bargaining position). Secara sosial, petani skala kecil tidak diperhitungkan, karena tidak didukung suatu organisasi yang mengarahkan dan memperjuangkan kepentingannya. Orientasi usaha sebagian besar petani non adopter Cianjur (83,0%) dan Garut(65,3%) tergolong rendah (Tabel 46) dengan usahatani yang dikelola bersifat subsisten. Golongan petani non adopter tersebut termasuk kategori petani skala kecil dan buruh tani (Tabel 18).
Pendapatan usahatani yang bersifat
musiman tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, sedangkan kesempatan kerja di pedesaan relatif terbatas. Hal ini mendorong petani skala kecil dan buruh tani melakukan migrasi ke kota, mencari pekerjaan tanpa berbekal keterampilan dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga buruh kasar berupah harian atau borongan. Secara keseluruhan petani non adopter (Cianjur dan Garut) belum memperoleh kesempatan mendapatkan bantuan sarana produksi dan peralatan pertanian yang disediakan pemerintah (BPTP Jawa Barat) ataupun kredit PMUK serta PUAP. Akibat keterbatasan modal, pengelolaan usahatani dilakukan secara sederhana, misal pemupukan tanaman pisang yang seharusnya dilakukan setiap tiga bulan sekali, hanya satu kali pemupukan. Kondisi ini yang menyebabkan petani non adopter kurang peduli terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu.
193 Tabel 46 Kinerja usahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat Peubah
Kategori
Orientasi usaha Rendah Sedang Tinggi Penanganan hasil Rendah Sedang Tinggi Produktivitas cabai rawit Rendah Sedang Tinggi Produktivitas pisang Rendah Sedang Tinggi Prodv padi Rendah Sedang Tinggi Produktivitas jagung Rendah Sedang Tinggi
Skor
Petani Cianjur (%) Non Adopter adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (%) Non Adopter adopter (n=91) (n=118)
Total Petani (%) Non Adopter adopter (n=137) (n=165)
1- 3 4- 7 8-10 Skor
30,4 58,7 10,9
83,0 14,9 2,1
39,6 29,6 30,8
65,3 17,8 16,9
36,5 39,4 24,1
70,3 17,0 12,7
2- 5 6- 9 10-13 Kg/ha
65,2 28,3 6,5
57,4 38,3 4,3
35,2 53,8 11,0
58,5 38,1 3,4
45,3 45,3 9,4
58,2 38,2 3,6
< 1.968 1.968-4.669 ≥ 4.670 Kg/ha
67,4 30,4 2,2
78,7 19,1 2,1
-
-
-
-
< 1.191 1.191-5.556 ≥ 5.557 Kg/ha < 1.437 1.437-2.999 ≥ 3.000 Kg/ha
76,1 17,4 6,5
95,8 2,1 2,1
72,5 27,5 0,0
87,3 12,7 0,0
73,7 24,1 2,2
89,7 9,7 0,6
-
-
63,7 35,2 1,1
88,1 11,9 0,0
-
-
< 1.005 1.005-2.836 ≥ 2.837
-
-
69,2 30,8 0,0
91,5 8,5 0,0
-
-
Keterangan: Rentang skor orientasi usaha 1-10; penanganan hasil 2-13
Untuk meningkatkan orientasi usaha petani non adopter (terutama petani skala kecil dan buruh tani) dari subsisten menjadi semi subsisten, perlu ada campur tangan pemerintah daerah setempat untuk melakukan: pertama, penataan penguasaan lahan pertanian melalui implementasi reforma agraria. Kedua, mempermudah petani non adopter untuk mengakses berbagai informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya; sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 (ayat 2) UU RI No 16 Tahun 2006 melalui pembinaan penyuluh pertanian. Ketiga, menumbuhkan kelompok tani sebagai wahana pembelajaran, dimulai dari kegiatan produksi, pengolahan yang menghasilkan produk akhir sampai ke
194 pemasaran hasil.
Keempat, adanya jaminan dari pemerintah daerah setempat
(melalui Dinas Pertanian) dalam hal proteksi dan jaminan pasar terhadap produk yang dihasilkan petani non adopter. Penanganan hasil/pascapanen dimaksudkan untuk menjamin mutu yang baik dan mendapatkan nilai tambah produksi di tingkat petani.
Penanganan hasil
sebagian besar petani adopter Cianjur (65,2%) tergolong rendah (Tabel 46). Komoditas pisang yang dominan ditanam petani adopter Cianjur, dijual tanpa ada penanganan khusus. Bahkan petani adopter yang mempunyai pinjaman uang di bendahara kelompok tani, pemanenan dilakukan oleh bagian pemasaran. Penanganan hasil dilakukan di tingkat petani yang merangkap sebagai pedagang (bagian pemasaran kelompok) dengan cara melakukan sortasi berdasarkan ukuran. Pengolahan pisang menjadi kripik pisang dengan berbagai rasa (asin, manis, coklat dan keju) masih terbatas dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Talaga Cianjur.
Pemasaran kripik pisang yang telah dikemas menjadi
kendala dalam pengolahan produk pisang. Untuk itu, KWT yang diketuai oleh istri kepala desa membatasi kegiatan pengolahan kripik pisang dilakukan pada saat pameran hasil pertanian di tingkat kecamatan atau kabupaten. Penanganan hasil sebagian besar petani adopter Garut (53,8%) tergolong sedang (Tabel 46). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adopter Garut telah melakukan penanganan hasil, dengan perlakuan pengeringan pada komoditas padi dan jagung. Untuk komoditas pisang dijual tanpa ada penanganan (”asalan”). Penanganan hasil sebagian besar petani non adopter Cianjur (57,4%) dan Garut (58,5%) tergolong rendah (Tabel 46).
Berbagai jenis komoditas yang
diusahakan sebagian besar petani non adopter Cianjur, seperti tanaman palawija (ubi kayu, jagung), tanaman hortikultura (cabai rawit, caisin, pisang), dan teh dijual tanpa ada penanganan (”asalan”). Demikian juga dengan jenis komoditas yang diusahakan sebagian besar petani non adopter Garut: padi, jagung, ubi kayu, pisang, dan cabai rawit dijual tanpa ada penanganan (”asalan”). Selama belum ada pasar yang baik, terutama yang membedakan harga jual antara hasil dengan penanganan baik dan kurang baik, hal ini akan terus terjadi. Penanganan hasil tidak dapat dilakukan oleh 1-2 kelompok tetapi banyak kelompok yang terkait dalam
”jaringan
pemasaran,”
sehingga
jaminan
mutu,
kesinambungan
195 ketersediaan hasil akan terjamin. Hal ini yang akan merangsang tumbuh dan berkembangnya pasar bagi hasil olahan dan penanganan hasil yang baik. Bagi petani non adopter dengan skala usaha relatif kecil, pengelolaan usahatani yang masih bersifat subsisten, hasil padi ataupun palawija (jagung, ubi kayu) digunakan untuk kebutuhan pangan keluarga. Petani non adopter kelompok ini melakukan penanganan hasil dengan perlakuan pengeringan untuk mengurangi kadar air (agar aman disimpan) dan mencegah perkembangbiakan cendawan (jamur). Setelah dua tahun (2007-2009) usahatani terpadu diperkenalkan di Cianjur, dengan salah satu komponen teknologi berupa varietas unggul tanaman pisang, cabai rawit dan caisin. Ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa komoditas yang dominan ditanam petani adopter Cianjur adalah tanaman pisang, dan cabai rawit. Tanaman caisin hanya ditanam 4,3 persen petani adopter Cianjur. Alasan petani adopter Cianjur tidak menanam caisin, karena: (1) perlu pemeliharaan yang intensif, (2) rentan terhadap hama, terutama ulat, dan (3) harga jual relatif rendah, berkisar antara Rp 300,00 – Rp 700,00 per kg sehingga seringkali petani adopter merugi. Produktivitas cabai rawit maupun pisang yang diusahakan sebagian besar petani adopter Cianjur tergolong rendah dibanding produktivitas di tingkat kabupaten. Namun bila dilihat antara petani adopter dan petani non adopter Cianjur, proporsi petani adopter dengan kategori produktivitas sedang (untuk cabai rawit maupun pisang) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non adopter (Tabel 46).
Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan inovasi
teknologi usahatani terpadu telah meningkatkan produktivitas hasil pada beberapa petani adopter Cianjur. Produktivitas pisang, padi dan jagung yang diusahakan sebagian besar petani adopter Garut tergolong rendah dibanding produktivitas di tingkat kabupaten. Tetapi proporsi petani adopter dengan kategori produktivitas sedang (untuk pisang, padi dan jagung) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non adopter (Tabel 46). Setelah empat tahun (2005-2009), ternyata tanaman nilam, kacang tanah dan sayuran kurang diminati petani adopter Garut. Tanaman nilam ditanam 13,2 persen petani adopter Garut, dengan produktivitas berkisar antara 1,2 – 5,0 ton daun basah atau 300 kg – 1,25 ton daun kering per hektar, jauh lebih rendah dibanding produktivitas potensial. Hasil penelitian Emmyzar
196 dan Ferry (2004) produktivitas nilam dengan pemeliharaan yang baik dapat mencapai 15-20 ton daun basah atau 3,75 – 5,0 ton daun kering per hektar. Dengan rendemen minyak 2,5 – 4 persen, produksi minyak atsiri mencapai 100 – 200 kg/ha/tahun. Dengan menerapkan teknologi usahatani terpadu, terdapat peningkatan produktivitas tanaman yang diusahakan petani adopter (Cianjur dan Garut). Usahatani terpadu merupakan pemanfaatan sumberdaya secara optimal, dapat meningkatkan produktivitas, di samping menghasilkan bahan bakar, pupuk dan bahan pangan (Chan, 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Irawan et al. (2007) yang menyatakan bahwa perubahan produktivitas dapat disebabkan oleh perubahan tingkat teknologi yang dilakukan petani. Pada intinya meliputi dua unsur utama, yaitu daya produksi varietas yang digunakan dan teknik budidaya yang diterapkan, seperti cara penanaman, pemeliharaan dan sebagainya. Jenis varietas yang digunakan menentukan produktivitas potensial yang dapat dicapai petani. Teknik budidaya yang diterapkan menentukan sejauh mana produktivitas potensial yang melekat pada varietas yang digunakan dapat dieksploitasi oleh petani. Meskipun demikian, Tjondronegoro (1999), Tjitropranoto (2003), dan Slamet (2008) mengingatkan bahwa pembangunan sektor pertanian yang berhasil, seyogianya tidak hanya diukur dari peningkatan produksi per satuan areal pertanian atau tanah garapan (produktivitas). Lebih lanjut Tjondronegoro (1999) mengemukakan bahwa indikator peningkatan produktivitas seringkali mengelabui dan tidak memperhatikan ketimpangan sosial di daerah pedesaan. Peningkatan produktivitas per satuan kerja pun perlu diperhatikan.
Di samping itu perlu
diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan proses peningkatan produksi serta hasil nilai uang yang diperoleh yang dapat dimanfaatkan atau bagian yang dapat dinikmati petani skala kecil. Hasil pengamatan di lapangan, petani yang tergolong mampu (kaya) di Cianjur dan Garut dengan pemilikan lahan relatif luas, masuk dalam kelompok tani sebagai petani adopter yang mendapatkan bantuan sarana produksi, peralatan pertanian dan kredit permodalan. Hal ini telah dikritik oleh (Tjondronegoro, 1998) bahwa inovasi suatu teknologi terlebih dahulu dimanfaatkan oleh golongan
197 petani kuat yang menguasai 0,75 hektar lahan garapan atau lebih. Petani skala kecil dihadapkan dengan kekuasaan petani kaya yang menyerap keuntungan pembangunan lebih dulu. Di daerah pedesaan, gerakan-gerakan kooperatif dalam pengertian usaha bersama yang memberi kesempatan kerja lebih banyak pada buruh tani, tidak tercapai. Dalam pandangan Rogers dan Shoemaker (1971), dan Rogers (2003) sasaran utama penerima inovasi teknologi yang dikatakan sebagai inovator perlu memiliki persyaratan modal finansial yang relatif kuat. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi bila inovasi teknologi yang diperkenalkan tidak menguntungkan. Selain itu, inovator juga disyaratkan memiliki kemampuan rasionalitas dan intelegensi yang tinggi untuk memahami hal yang rumit; berani beresiko; terbuka terhadap perubahan; mobilitas tinggi serta kosmopolit. Langkah ini yang telah ditempuh pemerintah (BPTP Jawa Barat) dalam mendiseminasikan inovasi teknologi usahatani terpadu. Untuk mengatasi ketimpangan seperti yang disinyalir Tjondronegoro (1999), perlu upaya memperkuat kelompok tani yang telah dibentuk agar dinamis dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggota kelompok. Kelompok tani tidak hanya sekedar memenuhi persyaratan untuk mendapatkan berbagai bantuan. Namun perlu disertai perencanaan kegiatan bersama yang mendatangkan manfaat serta memberikan keuntungan bagi semua anggota secara proposional sesuai kontribusi anggota. Seperti kegiatan pemasaran bersama (untuk mendapatkan posisi tawar yang baik), usaha simpan pinjam lingkup kelompok (sebagai alternatif mendapatkan modal bagi petani skala kecil dengan suku bunga rendah). Keberhasilan kelompok tani di daerah lain, seperti kelompok tani di Bali yang telah berhasil dalam pengelolaan subak, dapat dijadikan pembelajaran dalam mengelola kelompok tani, sehingga diakui keberadaannya dan mandiri. Dalam menganalisis dan mengevaluasi kinerja usahatani petani, FAO (1990) mengisyaratkan perlu mengidentifikasi apakah teknologi yang diterapkan petani dalam berusahatani mampu mencapai tujuan yang diinginkan? Tujuan petani dalam mengelola usahatani antara lain : (1) mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun, (2) memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan dan kesehatan, (3) mampu memenuhi biaya pendidikan anak usia sekolah,
198 (4) mampu menabung untuk jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima masyarakat serta memperoleh penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990). Untuk keperluan tersebut pada Tabel 47 ditampilkan pengeluaran rumah tangga petani responden selama satu tahun. Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian mengungkapkan bahwa pendapatan rumah tangga mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan. Terdapat kecenderungan rumah tangga dengan pendapatan tinggi akan mengupayakan mutu pangan yang lebih baik. Bahan pangan dengan banyak kandungan karbohidrat akan dikurangi, seperti konsumsi beras cenderung menurun dan beralih pada produk pangan dengan kandungan protein tinggi seperti pangan hewani, sayur dan buah, atau makanan jadi. Rumah tangga berpendapatan rendah, penambahan pendapatan justru meningkatkan konsumsi beras dan mengurangi atau beralih dari pangan pokok seperti jagung dan ubi kayu; dan pada tingkat pendapatan tertentu, konsumsi beras akan menurun. Dikaitkan dengan status sosial, seringkali proporsi tingkat pengeluaran rumah tangga dijadikan tolok ukur. Semakin tinggi status sosial, maka proporsi untuk pembelian bahan makanan semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah status sosial, persentase untuk pembelian kebutuhan pangan semakin tinggi. Pangsa pengeluaran petani responden selama satu tahun untuk pembelian makanan/minuman tergolong tinggi, berkisar antara 66,7-71,4 persen yang didominasi
untuk
pembelian
beras
dan
lauk-pauk/sayuran.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa kebutuhan pangan masih merupakan kebutuhan dasar utama yang diprioritaskan. Petani responden dalam mencari nafkah masih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Rata-rata pengeluaran petani responden untuk biaya pendidikan relatif rendah (1,3%-3,2%). Hal ini disebabkan biaya pendidikan SD–SLTP di Cianjur dan Garut gratis, sehingga petani responden hanya menangung biaya pembelian alat-alat tulis dan buku pelajaran. Sangat jarang anak petani responden yang bersekolah hingga SLTP – SLTA. Pendidikan bagi anak-anak petani responden masih dipandang sebagai sesuatu yang mewah dan sulit dijangkau. Pada aspek kesehatan, bila petani responden merasa kurang sehat, perlakuan dengan obat yang dijual bebas di warung dekat
199 pemukiman. Walaupun layanan kesehatan, seperti puskesmas pembantu telah menjangkau wilayah pedesaan, namun kesadaran petani responden memanfaatkan layanan tersebut relatif rendah.
Biaya transportasi (ojeg) menuju puskesmas
pembantu dan biaya pengobatan masih menjadi kendala. Uang tunai yang dimiliki lebih diutamakan untuk keperluan pembelian bahan pangan bagi keluarga. Tabel 47 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 Uraian Makanan/minuman 1. Beras 2. Mie dan makanan selingan (jajanan) 3. Kopi/gula/teh/susu 4. Lauk pauk/sayuran 5. Rokok/tembakau Sub total Non makanan 1. Bahan bakar (minyak tanah/gas) 2. Penerangan/listrik 3. Pendidikan 4. Kesehatan 5. Transportasi 6. Pakaian 7. Sosial/sumbangan 8. Hajatan/selamatan keluarga 9. Iuran/acara keagamaan 10. Pajak PBB lahan dan bangunan 11. Sabun cuci/mandi, pasta gigi, sampo 12. Lain-lain Sub total Total
Petani Cianjur (Rp 1.000) Adopter Non adopter (n=46) (n=47)
Petani Garut (Rp 1.000) Adopter Non adopter (n=91) (n=118)
2.321 936
1.740 570
1.739
1.790 404
533 1.971 521 6.282
330 915 495 4.050
454 1.305 895 5.128
402 990 463 4.049
448
353
141
137
410 217 103 317 336 116 29 59 72
374 78 76 254 199 85 16 40 29
353 193 181 403 344 71 130 41 18
320 193 146 307 283 42 80 33 17
361
340
380
384
46 2.514 8.796
32 1.876 5.926
2.255 7.383
85 2.027 6.076
Bila mencermati rata-rata pendapatan rumah tangga petani responden selama satu tahun (Tabel 19), maka terlihat petani responden belum mampu memenuhi kebutuhan pengeluaran rumah tangga. Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran. Pendapatan minimal petani adopter (Cianjur dan Garut) Rp 1,1 juta dengan pengeluaran minimal sebesar Rp 2,9 juta, sedangkan pendapatan maksimal
200 Rp 15,9 pengeluaran maksimal Rp 13,3 juta. Pendapatan minimal petani non adopter (Cianjur dan Garut) Rp 677,5 ribu dengan pengeluaran minimal sebesar Rp 2,2 juta, sedangkan pendapatan maksmimal Rp 9,4 juta pengeluaran maksmimal Rp 9,7 juta.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa pada tingkat
pendapatan tertinggi petani adopter baru dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga (dalam kondisi surplus).
Ketimpangan pendapatan dari tertinggi –
terendah, baik pada petani adopter maupun petani non adopter menimbulkan ketergantungan terhadap pedagang hasil (tengkulak) dan pelepas uang atau rentenir. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, terutama pada petani responden skala kecil (0,04 – 0,25 ha). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usahatani Hasil analisis regresi menunjukkan keputusan petani dalam adopsi inovasi berpengaruh nyata positif (pada taraf α = 0,01) terhadap kinerja usahatani (Tabel 48). Hasil ini sesuai dengan hipotesis 4, berarti hipotesis 4 diterima. Sub peubah yang berpengaruh adalah penentuan komoditas, sedangkan sub peubah penggunaan saprodi tidak berpengaruh nyata. Namun ini tidak selalu berarti tidak ada pengaruh. Pengaruh sub peubah tersebut bisa saja tidak terdeteksi, karena ada faktor lain yang cukup dominan, seperti ketepatan takaran/dosis dan waktu pemberian pupuk, pengaruh musim, ataupun pola tanam.
Dalam penentuan
komoditas, ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan modal) merupakan faktor yang penting menunjang kinerja usahatani. Selain itu kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan landasan utama bagi kelangsungan kegiatan usahatani, terutama bila dikaitkan dengan orientasi usaha yang komersial. Petani adopter dalam menggunakan sarana produksi sesuai anjuran penyuluh, sewaktu mendapat bantuan sarana produksi. Namun setelah bantuan tersebut tidak ada lagi, penggunaan sarana produksi bergantung pada modal usahatani yang dimiliki. Di samping itu, dalam komponen teknologi usahatani terpadu terdapat bahan yang tidak terdapat di kios desa, seperti plastik pembrongsong pisang, trichoderma, bahan kimia EM-4 sebagai bahan pencampur dalam pembuatan kompos. Pada petani non adopter menggunakan sarana
201 produksi juga bergantung pada modal usahatani yang dimiliki. Untuk itu agar kinerja usahatani petani responden memberikan dampak pada peningkatan pendapatan, perlu ada intervensi pemerintah (pusat maupun daerah) yang mendukung ketersediaan permodalan bagi kegiatan usahatani. Gambar 15 menunjukkan bahwa peubah keputusan petani dalam adopsi menginovasi berpengaruh nyata terhadap kinerja usahatani. Tabel 48 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat Peubah
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
0,596
0,000
Y11 Penentuan komoditas R2
42,0%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
X1 Karakteristik Petani
0,167 (0,033) 0,280 (0,000)
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan 0,383 (0,000)
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X6 Persepsi Petani thd Pengaruh Media/ Informasi
-0,091 (0,158)
X5 Persepsi Petani 0,287 (0,000) terhadap Ciri-ciri inovasi 0,154 (0,002) X5.1 Keuntungan relatif 0,151 (0,052) Y1 Keputusan Petani
X5.2 Kesesuaian 0,306 (0,000)
X5.3 Kerumitan
0,596 (0,000)
0,148 (0,008)
-0,053 (0,396)
X3 Dukungan Iklim Usaha
0,213 (0,002)
Y2 Kinerja Usahatani
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 15 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani Muhammad dan Isikhuemhen (2009) menyatakan bahwa ketersediaan informasi tentang biaya produksi (modal usahatani) dan pendapatan usahatani secara keseluruhan akan sangat membantu petani. Kedua hal tersebut dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan teknologi yang akan diterapkan.
202 Semakin tinggi biaya produksi suatu teknologi dan informasi yang kurang tentang pendapatan usahatani (termasuk informasi pasar), maka akan mempengaruhi penerapan teknologi tersebut. Faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter adalah penggunaan saprodi (benih/bibit tanaman/ternak, pupuk, dan obatobatan/pestisida). Nilai koefisien jalur pada petani adopter adalah > 0,5 yang berarti bahwa penggunaan saprodi mempunyai pengaruh kuat dalam kinerja usahatani (Tabel 49).
Hasil pengamatan di lapang, kinerja usahatani petani
adopter dan petani non adopter dilihat dari produktivitas yang dihasilkan, orientasi usaha dan penanganan produk, dapat dikategorikan sebagai usahatani yang kurang berkembang.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
usahatani petani adopter dan petani non adopter ditampilkan pada Gambar 16 dan Gambar 17. Tabel 49 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Y1 Keputusan Y12 Penggunaan saprodi R2
Koefisien jalur yang telah distandarkan Adopter Non adopter 0,519 45%
0,245 6%
P Adopter
Non adopter
0,003
0,001
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Menurut FAO (1990) karakteristik usahatani yang kurang berkembang, dicirikan antara lain: (1)
Usahatani dikelola pada tingkat subsisten dan semi subsisten, hanya sebagian yang sudah komersial.
(2)
Sumberdaya (seperti lahan, tenaga kerja, modal, dan tabungan) digabung sedemikian rupa untuk memproduksi output dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar petani.
(3)
Kualitas sumberdaya pertanian yang rendah menyebabkan output dan pendapatan yang dihasilkan juga rendah. sumber pendapatan tambahan yang penting.
Kegiatan off-farm merupakan
203 (4)
Tanaman pangan untuk konsumsi keluarga, kalau berlebih dijual. Untuk membeli barang-barang yang tidak dihasilkan sendiri, maka ditanam tanaman perdagangan (cash crop).
(5)
Ternak seperti ayam, itik, dan kelinci dipelihara untuk konsumsi keluarga, kalau surplus baru dijual.
(6)
Ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dipelihara untuk sumber tenaga kerja, susu, kulit, tabungan, dan sebagainya.
(7)
Masalah yang berhubungan dengan air minum memerlukan input tenaga kerja yang cukup besar.
(8)
Untuk memperoleh material bangunan juga memerlukan tenaga kerja yang khusus sehingga tidak bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif atau kegiatan yang mendatangkan uang tunai.
(9)
Sebagian besar jasa-jasa penunjang untuk masyarakat tidak ada atau tidak berfungsi.
(10) Fasilitas transportasi yang tidak memadai, menghambat petani dalam memasarkan produknya. X1 KARAKTERISTIK PETANI X1.3 Tingkat pendapatan
X1.5 Luas lahan X1.9 Sikap thd perubahan X1.4 Tingkat mobilitas X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,145 (0,119) 0,123 (0,136) 0,424 (0,000) X4 PERSEPSI PETANI THD 0,127 PENYULUHAN (0,085) X4.1 Kompetensi 0,202 penyuluh (0,021) 0,161 (0,065)
X4.2 Peran penyuluh
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI 0,175 INOVASI (0,089) X5.1 Keuntungan relatif 0,163 (0,061) X5.2 Kesesuaian
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI X2.1 Kerjasama
0,168 (0,105)
X61Interpersonal
0,273 (0,002)
0,225 (0,007)
Y1 KEPUTUSAN PETANI Y1.2 0,155 Pengguna (0,068) an saprodi 0,519 (0,003) Y2 KINERJA USAHA TANI
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 16 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani adopter
204 Kinerja usahatani terpadu dalam pengembangannya masih menghadapi berbagai kendala, terutama masalah permodalan usahatani dan pemasaran produk yang dihasilkan petani adopter (khususnya di Desa Jatiwangi Garut). Keberlanjutan kegiatan diseminasi teknologi usahatani terpadu yang dilakukan penyuluh pertanian PNS dari BPP perlu disangsikan karena program telah berakhir. Di lapangan, kegiatan penyuluhan berorientasi pada program/proyek. Di lain pihak petani dalam mengadopsi teknologi usahatani terpadu juga bergantung pada bantuan sarana produksi dan kredit modal usaha dari pemerintah. Keadaan ini perlu ada upaya perbaikan, agar teknologi yang diperkenalkan tidak berhenti diadopsi petani setelah proyek selesai. Kerjasama antara BPTP Jawa Barat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciajur dan Garut tidak hanya di awal program, namun perlu dilanjutkan hingga program berakhir. Paling tidak tenaga detasir (penyuluh pertanian PNS dari BPTP) yang selama program berjalan mendampingi petani, digantikan posisinya oleh penyuluh pertanian PNS dari BPP begitu tenaga detasir tidak lagi bertugas. Sikap mental ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah perlu diubah, lebih mengarah pada upaya pemberdayaan petani dengan menggali potensi yang ada. Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan adalah mensinergikan antara program pemerintah daerah dengan inovasi teknologi yang akan diperkenalkan, sehingga terwujud strategi penyuluhan berkelanjutan. Berbagai upaya tersebut hendaknya bermuara pada keberpihakan kepada masyarakat petani, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Karena kinerja penyuluh pertanian PNS yang selama ini belum menunjukkan manfaat yang
nyata dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, perlu didorong
agar menghasilkan kinerja yang optimal. Asas keseimbangan kegiatan penyuluhan, yang memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, keseimbangan pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antar kawasan yang maju (lahan sawah) dengan kawasan yang relatif tertinggal (lahan kering marjinal), perlu dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) agar dapat terlaksana dengan baik.
205
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,131 (0,137) 0,132 (0,138)
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
- 0,204 X1.9 Sikap thd perubahan (0,027) X1.6 Daya beli
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI X2.1 Kerjasama
- 0,153 X4 PERSEPSI (0,099) PETANI THD PENYULUHAN
X5 PERSEPSI PETANI THD -0,206 CIRI-CIRI INOVASI (0,008) X5.2 Kesesuaian X5.3 Kerumitan
0,249 (0,006)
X2.3 Keterdedahan thd media
0,136 (0,114)
X2.2 Tk. kekosmopolitan
0,175 (0,081)
X6.1 Interpersonal
0,435 (0,000)
0,125 (0,032)
Y1 KEPUTUSAN PETANI 0,290 Y1.2 Penggunaan saprodi (0,000) 0,245 (0,001) Y2 KINERJA USAHA TANI
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan
0,132 (0,129)
X3.1 Ketersediaan input
0,151 (0,088)
X3.3 Ketersediaan sarana pemasaran
0,324 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
Gambar 17 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani non adopter Manfaat Usahatani Terpadu Persepsi sebagian besar petani adopter (Cianjur dan Garut) terhadap manfaat usahatani terpadu tergolong sedang (Gambar 18). Hal ini berarti petani adopter telah merasakan manfaat adanya usaha ternak domba sebagai
206 penganekaragaman usaha, sumber pupuk kandang, sebagai tabungan keluarga (sewaktu-waktu dapat dijual pada saat membutuhkan uang tunai) dan dapat meningkatkan pendapatan petani. Keterkaitan usahatani tanaman dengan ternak, dari tanaman dapat menghasilkan hijauan pakan ternak, sedangkan dari ternak menghasilkan pupuk kandang dan daging. Kegiatan konservasi lahan dengan pembuatan teras bangku dan guludan serta penanaman penguatan teras dengan tanaman pakan ternak (rumput dan leguminosa). Menurut petani adopter manfaat konservasi lahan dapat mencegah pengikisan tanah, meningkatkan kesuburan lahan, sehingga dapat menghemat penggunaan pupuk. Pengaturan pola tanam dinilai petani adopter dapat menekan pertumbuhan gulma dan hama penyakit serta mempertahankan kesuburan lahan. De Boer dan Welsch (Soedjana, 2007) menyatakan, usahatani terpadu tanaman-ternak banyak dijumpai di negara berkembang dengan pola dan tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesejahteraan keluarga petani melalui penyebaran resiko usaha dengan menganekaragamkan komponen usahatani. Petani adopter dengan manfaat usahatani sedang – tinggi terdapat kecenderungan untuk terus menerapkan usahatani terpadu.
Semakin tinggi
manfaat yang diperoleh dari kegiatan usahatani terpadu, maka proporsi petani adopter yang melanjutkan adopsi juga semakin tinggi. Meskipun bantuan sarana produksi untuk kegiatan usahatani terpadu pada tahun 2009 sudah tidak ada lagi, namun masih ada bantuan kredit PUAP. Penerima bantuan kredit PUAP di Desa Talaga adalah para pengrajin bambu (pembuat bilik atau ”gedeg”), sedangkan di Desa Jatiwangi Garut, para petani adopter usahatani terpadu.
Diduga kredit
PUAP ini yang menyebabkan petani adopter terus menerapkan usahatani terpadu. Kelompok petani adopter ini, sebagian besar (61,2%) menyampaikan inovasi teknologi usahatani terpadu kepada anggota keluarga yang membantu mengelola kegiatan usahatani, terutama yang terkait dengan teknik budidaya. Sebanyak 7,8 persen petani adopter (ketua kelompok tani) menyampaikan inovasi teknologi usahatani terpadu kepada petani lain, tentang keunggulan varietas baru yang diperkenalkan, manfaat teras bangku dan pengaturan pola tanam serta keuntungan beternak domba. Petani adopter yang memiliki lahan relatif sempit dengan kisaran luas 0,04-0,25 ha, cenderung tidak meneruskan
207 informasi tentang usahatani terpadu kepada petani lain. Bantuan sarana produksi yang diperoleh ekuivalen dengan luas lahan garapan petani adopter yang relatif sempit. Petani adopter ini hanya menerapkan komponen teknologi yang dianggap sederhana dan tidak rumit seperti anjuran menanam pisang, cabai rawit dan padi gogo serta pembuatan teras bangku termasuk penanaman rumput penguat teras. Pengelolaan usahatani masih bersifat subsisten, sehingga petani adopter ini tidak memperhitungkan keuntungan, masih berorientasi pada keamanan pangan keluarga (subsisten). Petani adopter yang memutuskan berhenti adopsi (15,3%) termasuk dalam kategori petani skala kecil dengan pemilikan lahan relatif sempit (0,04-0,25 ha). Kelompok petani adopter ini menilai bahwa keuntungan finansial usahatani terpadu pada saat terdapat serangan hama dan penyakit, tidak berbeda dengan teknologi lokal yang biasa diterapkan. Petani adopter ini memutuskan berhenti menanam komoditas yang dianjurkan dan beralih menanam kayu yang tahan terhadap hama dan penyakit serta tidak membutuhkan pemeliharaan yang rutin. Petani adopter ini rentan terhadap resiko produksi, penguasaan sumberdaya lahan dan kapital yang terbatas dengan pendidikan relatif rendah. Beberapa petani adopter ini tidak lagi beternak domba, karena telah menjual domba yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Bila kegiatan penyuluhan dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, dengan asumsi penyuluh pertanian telah berperan sebagai fasilitator, motivator, serta dalam menyampaikan inovasi telah memahami prinsip-prinsip penyuluhan, maka manfaat teknologi usahatani terpadu bagi petani adopter dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan perhitungan rasio Odds, petani adopter yang merasa manfaat teknologi usahatani terpadu tergolong sedang, dan dapat ditingkatkan manfaatnya ke kategori tinggi. Potensi petani adopter tersebut melanjutkan adopsi teknologi usahatani terpadu menjadi empat kali lipat. Pengetahuan Petani Non Adopter terhadap Usahatani Terpadu Sebagian besar (49,7%) petani non adopter (Cianjur dan Garut) memiliki pengetahuan tentang usahatani terpadu dan termasuk dalam kategori sedang (Gambar 18). Pengetahuan ini diperoleh dari petani adopter yang mempunyai
208 hubungan kekerabatan dengan petani non adopter.
Pengetahuan petani non
adopter berada pada kisaran kurang tahu – tahu tentang usahatani terpadu. Petani non adopter kurang mengetahui upaya konservasi lahan dan penanganan pascapanen. Pemahaman petani non adopter terhadap kedua hal tersebut relatif rendah. Karena tidak ada penyuluh pertanian yang menyampaikan manfaat konservasi lahan dan perolehan nilai tambah pada penanganan pascapanen produk pertanian. Petani non adopter di Desa Talaga Cianjur mengetahui teknik budidaya tanaman pisang dengan cabai rawit melalui plot demonstrasi Kelompok Tani Sumber Tani. Teknik budidaya tersebut mencakup pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pembrongsongan buah pisang.
RESPONDEN n=302 (100%)
n = 165
n = 137 ADOPTER (45,4%)
Manfaat UTT sedang (65,0%)
Manfaat UTT rendah (0%)
79,8%
LANJUT ADOPSI (84,7%)
Diteruskan kepada anggota keluarga (61,2%)
NON ADOPTER (54,6%)
20,2%
Manfaat UTT tinggi (35,0%)
Pengetahuan UTT rendah (46,7%)
93,7%
71,4% 6,3%
28,6%
BERHENTI ADOPSI (15,3%)
Diteruskan kepada petani lain (7,8%)
MAU ADOPSI (37,6%)
Pengetahuan UTT sedang (49,7%)
42,7%
57,3%
Pengetahuan UTT tinggi (3,6%) 85,0%
15,0%
MENOLAK ADOPSI (62,4%)
Tidak diteruskan (31,0%)
Gambar 18 Diagram pohon adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu Beberapa petani non adopter mempunyai hubungan kekerabatan dengan pengurus kelompok tani, dari sini terjadi penyebaran informasi usahatani terpadu. Kelompok pengajian juga merupakan media penyampaian informasi usahatani terpadu yang dilakukan oleh ketua kelompok tani. Difusi usahatani terpadu antara petani adopter dengan petani non adopter dengan cara tersebut juga terjadi di
209 Desa Jatiwangi Garut. Teknik budidaya nilam justru diketahui dari sesama petani non adopter yang menjadi transmigran ke Bengkulu (1982-1998) dan kembali ke Desa Jatiwangi pascagempa Gunung Galunggung.
Sebanyak 10.000 bibit
tanaman nilam dibawa dari Bengkulu, karena dinilai cocok untuk dikembangkan di Desa Jatiwangi. Bibit tanaman nilam diberikan kepada petani yang berminat membudidayakan dan hasil panen nilam dijual kepada petani pemberi bibit yang merangkap sebagai pedagang. Hasil penjualan nilam yang diterima petani telah dikurangi biaya bibit, namun bila terjadi gagal panen tidak ada biaya bibit yang harus dibayar petani. Proporsi terbesar (85,0%) petani non adopter yang mempunyai pengetahuan usahatani terpadu tergolong tinggi, cenderung berkeinginan untuk mengadopsi usahatani terpadu.
Sebanyak 42,7 persen petani non adopter yang
berpengetahuan sedang berminat adopsi usahatani terpadu.
Hasil penelitian
Brunson dan Price (2009) mengungkapkan bahwa petani skala kecil membutuhkan informasi tentang cara terbaik untuk mengelola lahan yang dimiliki. Akses terhadap informasi tersebut didapat dari sesama petani (tetangga) ataupun kerabat. Sumber alternatif lain yang dipandang dapat dipercaya adalah dari tenaga penyuluh.
Fakta ini didukung analisis yang dilakukan Soedjana
(2007) bahwa, tingkat pengetahuan petani terhadap informasi sangat bervariasi. Untuk itu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan resiko dan ketidakpastian perlu mempertimbangkan dengan baik berdasarkan informasi yang tersedia (diupayakan selengkap mungkin). Dalam proses difusi, sebanyak 37,6 persen petani non adopter yang berminat adopsi diharapkan dapat didekati oleh penyuluh pertanian atau ketua kelompok tani untuk menerapkan usahatani terpadu.
Keinginan petani non
adopter untuk mengadopsi usahatani terpadu didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh tentang berbagai kelebihan teknologi tersebut dibandingkan dengan teknologi lokal yang telah diterapkan. Petani non adopter mengusahakan lahan garapan dengan kategori tergolong sedang (0,26-0,50 ha) dan luas (> 0,51 ha). Petani non adopter kelompok ini relatif lebih mampu memperbaiki nasib berdasarkan lahan yang digarap dan modal yang dimiliki, dibandingkan petani non adopter skala kecil/sempit (0,04-
210 0,25 ha). Bahkan menurut Tjondronegoro (1998) pada petani non adopter skala luas (≥ 0,75 ha; kategori luas dalam penelitian ini > 0,51 ha) dapat menanggung resiko kegagalan panen karena faktor-faktor yang tidak dikuasai petani (seperti kekeringan, serangan hama dan penyakit). Apabila kegiatan penyuluhan juga dilakukan secara intensif dan berkelanjutan kepada petani non adopter, maka pengetahuan teknologi usahatani terpadu kepada petani non adopter dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan perhitungan rasio Odds, petani non adopter yang merasa tingkat pengetahuan teknologi
usahatani
terpadu
tergolong
rendah,
dan
dapat
ditingkatkan
pengetahuannya ke kategori tinggi, maka potensi petani non adopter tersebut mau mengadopsi teknologi usahatani terpadu menjadi 14 kali lipat. Pada petani non adopter yang dapat ditingkatkan pengetahuannya dari kategori rendah ke sedang; dari kategori sedang ke tinggi, maka potensi petani tersebut mau mengadopsi teknologi usahatani terpadu masing-masing menjadi dua dan delapan kali lipat. Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan pada Lahan Kering Marjinal untuk Peningkatan Kinerja Usahatani Justifikasi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan Sampai saat ini penyuluhan pertanian masih dipersepsikan sebagai alat pemerintah untuk pencapaian target produksi secara nasional dengan pendekatan yang bersifat top-down dan sentralistik. Kritikan terhadap pendekatan ini telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Para petani dinilai tidak mendapatkan cukup insentif dan termotivasi melaksanakan pencapaian target produksi yang direncanakan pemerintah (Slamet, 2008). Sebagai respon terhadap kritikan tersebut pada akhir 2005 Menteri Pertanian mencanangkan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP).
Pencanangan RPP dimaksudkan sebagai upaya
mendudukkan, memerankan dan memfungsikan serta menata kembali penyuluhan pertanian agar terwujud kesatuan pengertian, kesatuan korp dan kesatuan arah kebijakan.
Sebagai
tindak
lanjut
RPP,
pada
tahun
2006
pemerintah
memberlakukan UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
211 Penyuluhan seyogianya dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.
Berdasarkan UU
No.16/2006 tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 (PP No.43/2009) tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Mengingat berbagai kendala yang dijumpai di lapangan implementasi dari PP No.43/2009 ini belum sesuai dengan rencana. Feder et al. (Mardikanto, 2008) telah mengidentifikasi kendala yang dihadapi penyuluh dalam menjalankan tugasnya yaitu: (1) skala dan kompleksitas dari tugas-tugas penyuluh; (2) ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah; (3) ketidakmampuan aparat pemerintah untuk menelusuri hubungan sebab akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan penyuluhan, kaitannya dengan masalah-masalah yang dihadapi, dukungan politis, alokasi anggaran dan akuntabilitas kegiatan penyuluhan; (4) komitmen dan dukungan politis yang berubah-ubah, terutama yang diakibatkan oleh seringnya terjadi pergantian (pemegang) kekuasaan di tingkat pusat; (5) akuntabilitas, yang menyangkut kinerja penyuluhan, dan kinerja staf yang berhubungan dengan petani (terutama penyuluh pertanian, peneliti); (6) kelayakan sebagai lembaga layanan inovasi dan informasi yang harus mampu menjangkau semua kelompok sasaran, aparat pemerintah di lapisan terbawah, dan pemangku kepentingan lain yang memerlukan; (7) keberlanjutan operasionalisasi fiskal dan sumberdaya lain, baik karena ketidakpastian anggaran maupun rendahnya pengembalian dana yang telah digunakan untuk kegiatan penyuluhan; serta (8) masih lemahnya interaksi antara penyuluhan dengan penelitian. Hasil pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh PNS (dari BPTP) yang bertugas sebagai tenaga pendamping berakhir pada saat program atau proyek kegiatan usahatani terpadu juga berakhir. Tidak ada tindak lanjut tenaga pendampingan penyuluh PNS (dari BPP), sehingga upaya memperkenalkan teknologi usahatani terpadu yang mulai dirintis sejak tahun 2-4 tahun (Cianjur 2007-2009 dan Garut 2005-2009) seperti berhenti di akhir program. Dukungan instansi lain, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Dinas Peternakan dan pemerintah daerah setempat di awal program juga ikut
212 terhenti. Padahal beberapa petani yang telah menerapkan teknologi usahatani terpadu tergolong rentan terhadap kondisi internal (dari diri petani) dan eksternal (lingkungan) yang akan kembali pada keadaan awal sebelum mengenal teknologi usahatani terpadu. Mengingat proses adopsi untuk sampai pada tahap konfirmasi butuh waktu yang relatif lama, karena memerlukan perubahan perilaku petani, dan perlu dukungan penguatan dari pihak lain, terutama penyuluh pertanian. Untuk itu pemikiran tentang penyuluhan pertanian berkelanjutan dipandang sebagai langkah yang dapat ditempuh agar usahatani terpadu terus diterapkan petani. Beberapa argumen yang mendukung pentingnya penyuluhan pertanian berkelanjutan antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, kegiatan usahatani terpadu diperlukan bukan hanya untuk kepentingan petani di lahan kering marjinal, tetapi juga membantu pemerintah daerah setempat (seperti di Cianjur dan Garut) dalam pembangunan pertanian di wilayah pedesaan. Inovasi teknologi usahatani terpadu untuk memanfaatkan lahan kering marjinal yang potensial sebagai pertanian organik. Kedua, selama ini terdapat kecederungan bahwa petani dalam menerapkan suatu inovasi, akan berhenti mengadopsi begitu program atau proyek telah selesai. Hal ini akibat menjadikan petani selalu bergantung pada proyek.
Ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa keputusan petani
adopter sebagian besar (84,7%) masih akan terus menerapkan teknologi usahatani terpadu dan petani non adopter (37,6%) juga bermaksud mengadopsi (Gambar 19), merupakan suatu potensi yang perlu dikembangkan. Keempat, pada tahun 2010 dialokasikan dana dekonsentrasi antara lain digunakan untuk pengawalan dan pendampingan penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Dana tersebut
dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) penyelenggaraan penyuluhan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010). Diusulkan melalui pemerintah daerah setempat, dalam kegiatan monev tersebut dapat disertakan kegiatan pendampingan
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian
terhadap
kegiatan
usahatani terpadu. Kelima, hasil penelitian ini dan hasil penelitian Deutchmann serta Fals Borda di masyarakat pedesaan Kolombia (Rogers dan Shoemaker, 1971) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keberhasilan change agent (penyuluh pertanian) dengan gencarnya upaya promosi yang
213 dilakukan dalam mendiseminasikan suatu inovasi.
Upaya tersebut ditandai
dengan frekuensi keberadaan penyuluh pertanian di lapangan yang relatif sering dibandingkan berada di kantor. Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan ini (Gambar 19) dimaksudkan sebagai upaya mengatasi kemandegan penyuluhan pertanian setelah program atau proyek kegiatan suatu inovasi teknologi (usahatani terpadu) berakhir. Padahal kegiatan penyuluhan pertanian harus berjalan terus untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagaimana tujuan penyuluhan pertanian yang tertuang dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2) bahwa proses pembelajaran bagi pelaku utama (petani) dan pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraannnya,
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
serta
Strategi
penyuluhan pertanian berkelanjutan dibangun berdasarkan sintesis hasil penelitian ini, adalah sebagai berikut : Masukan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik petani (tingkat mobilitas, luas lahan, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, dan tingkat keberanian beresiko) serta perilaku komunikasi petani (ketersediaan sarana produksi, tingkat kekosmopolitan, dan keterdedahan terhadap media) berpengaruh terhadap persepsi petani terhadap penyuluhan. Faktor-faktor ini perlu dicermati pada saat kegiatan penyuluhan dilakukan secara berkelompok. Kondisi masyarakat petani yang heterogen dapat disiasati dengan menggunakan falsafah “membakar sampah,” yakni petani yang tergolong cepat merespon suatu inovasi teknologi akan menyampaikan kepada petani lain yang tergolong lambat. Sasaran inovasi teknologi pada petani “lapisan atas” ini menuai kritikan Tjondronegoro (1998) tentang gejala pelapisan sosial, sebagai dampak program Bimbingan Massal (BIMAS). Petani kaya lebih mampu memperbaiki nasib berdasarkan aset
214 pemilikan lahan dan modal (cepat menerapkan inovasi teknologi, karena resiko kegagalan mampu ditanggung) dibanding petani miskin dengan luas lahan sempit. Respon terhadap kritikan tersebut dapat dikaitkan dengan gagasan pemikiran Sajogyo (1990) pada tahun 1975 tentang “tanah komunal.” Dalam hal land reform, bahwa lahan milik golongan petani gurem dengan luasan < 0,2 ha dibeli oleh pemerintah.
Mengadaptasi ide tersebut dalam konteks saat ini
diselaraskan dengan kondisi petani, maka pengelolaan “tanah komunal” dapat diserahkan kepada pemerintah desa.
Petani yang memiliki lahan < 0,2 ha dan
bermaksud menjual lahan harus ditawarkan kepada pemerintah, melalui pemerintah desa.
Peruntukan “tanah komunal” ini tetap dijaga untuk lahan
pertanian, sehingga mencegah upaya konversi lahan. Petani bekas pemilik lahan dapat tetap menggarap lahan tersebut dengan cara menyewa kepada pemerintah desa dengan biaya sewa yang relatif rendah, sehingga dapat dijangkau. Upaya ini selain mencegah pemilikan akumulasi lahan pada petani tertentu (yang disebut “tuan tanah”), juga petani pemilik lahan dapat beralih sebagai petani penggarap (tidak sekedar buruh tani), sehingga masih bisa mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani. Dalam satu kelompok tani, petani penggarap “tanah komunal” ini digabung dengan petani pemilik lahan, dengan proporsi petani penggarap lebih dominan. Kegiatan peyuluhan pertanian dilakukan untuk seluruh anggota kelompok, tidak dibatasi hanya pengurus kelompok saja, sehingga semua petani memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan usahatani yang dikelola. Keberadaan petani penggarap tidak hanya sekedar pelengkap untuk memenuhi keperluan administrasi dalam pembentukan kelompok yang mensyaratkan jumlah angggota. Namun seluruh petani (pemilik dan penggarap) sebagai pelaku utama pembangunan pertanian dapat diberdayakan sesuai Pasal 3 UU RI No. 16/2006, melalui penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Tersedianya teknologi yang potensial di lahan kering, salah satu di antaranya adalah teknologi usahatani terpadu dapat untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. maupun
Garut
dilihat
dari
Potensi petani sendiri, baik di Cianjur
karakteristik
petani
apabila
ditingkatkan
215 kemampuannya dan diberi kesempatan; maka kedua hal tersebut memungkinkan untuk mendukung penyuluhan yang berkelanjutan.
Dalam memperkenalkan
inovasi teknologi yang lain perlu memperhatikan ciri-ciri inovasi, terutama yang terkait dengan keuntungan relatif, tingkat kesesuaian dan tingkat kerumitan. Dukungan iklim usaha yang tidak berpengaruh pada persepsi petani terhadap penyuluhan, perlu dikritisi dengan memasukkan dukungan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) berupa peraturan yang mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif sesuai Pasal 3 UU RI No. 16/2006. Terutama yang terkait dengan ketersediaan fasilitas keuangan perlu mendapat perhatian pemerintah daerah setempat, mengingat akses petani terhadap lembaga perbankan relatif sulit. Petani lebih mudah mengakses kredit non formal, baik ke pedagang sarana produksi, pedagang hasil, kelompok tani, maupun pelepas uang (rentenir), dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi.
Pemerintah daerah dapat
memanfaatkan seoptimal mungkin lembaga perbankan yang telah eksis untuk didorong agar memiliki kepedulian yang besar terhadap sektor pertanian. Untuk mengatasi
masalah
permodalan
petani,
Syukur
(2009)
menyarankan
pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agribisnis yang mempunyai keunggulan: (1) kemudahan akses, (2) proses yang cepat, (3) prosedur relatif sederhana, (4) berdasarkan budaya setempat dan dekat lokasi usaha, dan (5) pengelola LKM lebih paham mengenai karakter petani. Proses Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap penyuluhan tidak berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi.
Hal ini berarti penyuluhan pertanian yang telah berlangsung belum
menyentuh semua masyarakat petani. Penyuluh dalam menyampaikan inovasi teknologi usahatani terpadu belum memahami prinsip-prinsip penyuluhan. Dahama dan Bhatnagar (Mardikanto, 1993) menyatakan ada 12 prinsip penyuluhan pertanian, yakni: (1)
Prinsip minat dan kebutuhan Untuk lebih efektif, penyuluhan pertanian harus dimulai dengan minat dan kebutuhan subyek penyuluhan. Pemenuhan kebutuhan petani harus disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia dan diberi skala prioritas.
216 (2)
Prinsip yang didasarkan pada organisasi masyarakat bawah (grass-roots) Penyuluhan yang efektif harus melibatkan masyarakat pada tingkat bawah (grass-roots), sejak dari setiap keluarga/kekerabatan.
(3)
Prinsip perbedaan kebudayaan Penyuluhan pertanian harus menggunakan pendekatan dan prosedur yang tidak bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, kepercayaan, sistem nilai, adat kebiasaan, dan norma di lingkungan petani tersebut berada.
(4)
Prinsip perubahan kebudayaan Kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Penyuluh harus memperhatikan nilai budaya lokal, seperti tabu, kebiasaan- kebiasaan, sehingga perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan budaya.
(5)
Prinsip kerjasama dan partisipasi Penyuluh dapat bekerja secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan penyuluhan,
jika
bekerjasama
dengan
masyarakat
kepentingan lain yang ada di wilayah kerjanya.
dan
pemangku
Penyuluh memerlukan
dukungan pihak-pihak tersebut, karena pada dasarnya penyuluh hanya sebagai fasilitator dan motivator. (6)
Prinsip pengetahuan terapan dan pendekatan demokratik Ilmu penyuluhan sebagai bagian dari ilmu terapan, bukan hasil praktek dan proses penyuluhan yang berjalan searah (sepihak). Dalam hal ini teori-teori diaplikasikan di lapangan menghasilkan konsep, teori dan pendekatan baru.
(7)
Prinsip belajar sambil bekerja (learning by doing) Penyuluh bukan hanya menumbuhkan motivasi belajar, tetapi juga kemauan untuk
bertindak
mendorong
sendiri
subyek
(untuk
penyuluhan
mendapatkan untuk
pengalaman).
mandiri,
prinsip
ini
Selain juga
menumbuhkan kepercayaan diri pada petani. (8)
Prinsip spesialis yang terlatih Penyuluh harus memperoleh latihan yang sesuai dengan fungsinya. Penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan khusus akan lebih efektif dibandingkan yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan.
217 (9)
Prinsip penggunaan metode penyuluhan yang adaptif Tidak ada satupun sistem pengajaran atau pendekatan penyuluhan yang paling efektif dalam semua situasi penyuluhan. Materi penyuluhan tertulis tidak mungkin dapat diakses oleh petani yang buta huruf.
Selain
keterbatasan fasilitas, penyuluh dihadapkan pada situasi dengan sejumlah petani yang beragam latar belakang dan minat. Penyuluh harus menyeleksi metode yang dipilih agar tujuan tercapai. (10) Prinsip kepemimpinan Penyuluh memerlukan orang-orang yang akan membantu secara sukarela. Setiap komunitas memiliki struktur, yang di dalamnya terdapat pemimpin dan atau yang berpotensi sebagai pemimpin. Keterlibatan pemimpin lokal merupakan bagian penting dalam mewujudkan keberhasilan penyuluhan, karena umumnya memiliki kekuasaan mempengaruhi warga komunitasnya. (11) Prinsip melibatkan semua anggota keluarga Keluarga/rumah tangga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri atas individu-individu yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi keluarga (ekonomi, bekerja, pendidikan, kasih sayang dan lain-lain). Penyuluh harus melibatkan anggota keluarga secara setara dalam program penyuluhan. (12) Prinsip kepuasan Kepuasan subyek penyuluhan merupakan yang esensial dalam penyuluhan pertanian. Karena itu penyuluhan harus dilakukan dengan memenuhi kebutuhan yang sangat dirasakan dan disertai dengan berbagai aspek yang mendukung tercapainya pemenuhan kebutuhan petani. Hasil penelitian Agussabti (2002) memperlihatkan bahwa misi penyuluhan yang terlalu mengedepankan pencapaian target produksi dengan disertai bantuan yang bersifat material dan kurang menempatkan target pengembangan mutu sumberdaya manusia sebagai sentra kegiatan penyuluhan ternyata gagal membuat petani lebih mandiri dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi. Mengacu pendapat Slamet (2009), penyuluhan pertanian hendaknya: (1) Menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral. (2) Pendekatan yang humanistik, menjadikan petani sebagai subyek yang berpotensi untuk mandiri (people centered development).
218 (3) Mengusahakan agar petani mampu meningkatkan kesejahteraannya. (4) Petani tidak tersubordinasi oleh pihak manapun dan oleh kepentingan pihak lain yang manapun. (5) Misi penyuluhan pertanian adalah melayani kebutuhan-kebutuhan petani, sehingga petani merasa puas, serta mengembangkan kemandirian petani, bukan mengembangkan ketergantuan pada pihak lain. Lebih lanjut Slamet (2009) mengemukakan, bahwa para penyuluh pertanian PNS selain merupakan tenaga fungsional, juga harus sebagai tenaga kerja yang profesional. Profesionalisasi penyuluh pertanian perlu perubahan orientasi, dari pendekatan instansi ke pengembangan mutu individu penyuluh, dari hierakhi kerja vertikal ke kerjasama horizontal, dari pendekatan instruktif ke partisipatif dialogis, dari sistem kerja linier (masing-masing) ke sistem kerja jaringan. Untuk memenuhi tuntutan kerja yang profesional penyuluh pertanian harus memiliki kompetensi yang tinggi dilihat dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang pesat, terutama di bidang telekomunikasi dan bioteknologi, sehingga
peningkatan kompetensi penyuluh melalui pendidikan
formal dan non formal merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Dalam kegiatan penyuluhan dilakukan oleh penyuluh pertanian PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya (ketua kelompok tani), sesuai pasal 20 ayat (1) UU RI No. 16 Tahun 2006. Mengingat rasio satu tenaga penyuluh pertanian PNS di lokasi penelitian membina 3-4 desa.
Usulan merekrut ketua kelompok tani sebagai penyuluh
pertanian swadaya, didampingi penyuluh pertanian PNS dapat dipandang sebagai alternatif mengatasi kompleksitas kegiatan dan tugas-tugas penyuluhan di lapangan. Di samping itu, kebijakan yang telah dicanangkan Kementerian Pertanian menetapkan satu desa satu penyuluh pertanian dapat direalisasikan. Hal ini akan menghasilkan strategi yang operasional, asalkan didukung dengan kebijakan pemerintah daerah (kabupaten dan kecamatan); karena penyuluh pertanian PNS hanya patuh pada peraturan/kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) daripada tuntutan petani. Seharusnya penyelenggaraan kegiatan penyuluhan didasarkan pada kebutuhan masyarakat petani.
219 Biaya operasional penyuluh pertanian swadaya dapat dibebankan pada dana APBD yang memungkinkan untuk pelaksanaan plot demonstrasi (paling sedikit satu plot demonstrasi untuk 1-3 desa yang berdekatan). Diversifikasi pendanaan kegiatan penyuluhan dapat dilakukan, baik dari APBN, APBD maupun partisipasi sektor swasta melalui kemitraan dengan petani. Metode penyuluhan plot demonstrasi dinilai efektif untuk menunjukkan kepada masyarakat petani keunggulan suatu inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani. Dengan memposisikan ketua kelompok tani sebagai penyuluh pertanian swadaya, yang berasal dari sistem sosial yang sama petani sasaran (homofili), maka akan terjalin komunikasi yang dialogis dan partisipatif. Peran penyuluh sebagai fasilitator dan motivator, sebagaimana tertera pada Pasal 4 UU RI No. 16/2006, fungsi sistem penyuluhan meliputi: (a) memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (b) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar dapat mengembangkan usahanya; (c) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (d) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (e) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (f) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terdahap kelestarian fungsi lingkungan; dan (g) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Selama ini keberadaan penyuluh pertanian PNS sebagai tenaga fungsional terlihat tidak setara dengan tenaga fungsional lain yang sudah mapan seperti dokter dan tenaga para medis lain, dosen, peneliti, hakim ataupun jaksa. Hal ini tercermin dari lembaga tempat bernaung penyuluh pertanian PNS mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan kelembagaan penyuluhan yang selama ini terjadi berpengaruh negatif terhadap kinerja para penyuluh. Bahkan dengan diberlakukan UU Otonomi Daerah memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah
220 untuk mengatur kelembagaan daerah, sehingga kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah terlihat beragam. Semenjak diberlakukan otonomi daerah tanggung jawab penyuluhan pertanian diserahkan kepada daerah, namun tidak semua daerah siap untuk menerimanya. Hal ini terbukti dari penyelenggaraan penyuluhan yang tergantung pada kegiatan program/proyek (seperti yang terjadi di desa Talaga dan Desa Jatiwangi). Seyogianya kelembagaan penyuluhan pertanian tetap berada dalam satu institusi, sehingga tidak membingungkan posisi penyuluh.
Walaupun terjadi
reorganisasi di berbagai institusi, namun seharusnya kelembagaan penyuluhan pertanian tetap. Seperti halnya kelembagaan Badan Pusat Statistik yang tetap berada di bawah Sekretariat Negara. Kondisi ini membuat tenaga fungsional yang bekerja di dalamnya berada dalam lingkungan kerja yang kondusif, dari tingkat pusat sampai tingkat desa, dan dapat melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Hal ini sebagai bentuk apresiasi terhadap keberadaan penyuluh pertanian yang dinilai sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Dengan struktur kelembagaan yang jelas, dari tingkat pusat hingga desa, sarana dan fasilitas-fasilitas yang memadai, kegiatan penyuluhan pertanian diharapkan dapat berjalan dengan baik. Menurut Slamet (2008), bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian merupakan suatu keputusan yang harus diambil oleh pembuat kebijakan (di tingkat pemerintah pusat maupun daerah). Keputusan tersebut akan sangat dipengaruhi oleh persepsi pembuat kebijakan itu tentang dua hal penting, yaitu tentang pembangunan pertanian dan tentang penyuluhan pertanian. Berdasarkan UU No 16/2006 kelembagaan penyuluhan di tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan; pada tingkat provinsi berbentuk badan koordinasi penyuluhan; pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan pada tingkat kecamatan berbentuk balai penyuluhan.
Dalam implemen-
tasinya, terkait dengan otonomi daerah, maka pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga kecamatan memegang peran penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini program pembangunan daerah lebih berorintasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan kegiatan penyuluhan dinilai tidak dapat meningkatkan PAD, sehingga kurang mendapatkan
221 perhatian. Seyogianya pemerintah daerah memandang kegiatan penyuluhan sebagai investasi jangka panjang, sebagai upaya untuk memberdayakan petani agar mandiri sehingga kesejahteraannya meningkat.
Selanjutnya petani yang
mandiri akan sangat membantu penyelenggaraan program-program pemerintah. Melalui pemerintah daerah dapat dibangun jejaring kerja dengan pihakpihak swasta untuk dapat menjalin kemitraan dengan kelompok tani agar permodalan usahatani dan pemasaran produk terjamin dengan harga jual yang menguntungkan petani. Pemerintah daerah dengan dukungan dana APBD dapat mengusahakan fasilitas kerja yang memadai bagi tenaga penyuluh agar tercapai kinerja penyuluh yang optimal.
Pemerintah daerah juga dapat menjamin
masyarakat petani mendapatkan hak pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan petani sebagai pelaku usaha. Di tingkat operasional, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten perlu membuat prosedur dan standar kinerja penyuluh.
Pemerintah daerah tingkat
kabupaten perlu menetapkan sistem kompensasi berupa insentif, ataupun reward dan punishment, serta fasilitas kerja yang memadai untuk menjamin adanya motivasi kerja yang tinggi dari seluruh tenaga fungsional penyuluh pertanian. Reward dapat diberikan kepada penyuluh pertanian berupa pemberian kesempatan mengikuti pendidikan formal dan pendidikan non formal (pelatihan-pelatihan, menghadiri seminar, workshop dan sebagainya) sebagai upaya meningkatkan kompetensi penyuluh. Kegiatan penyuluhan pertanian yang selama ini (termasuk diseminasi usahatani terpadu di Cianjur dan Garut dalam penelitian ini) menggunakan pendekatan ”top-down” perlu mengarah ke titik temu antara pendekatan ”topdown” dengan “bottom-up,” dengan partisipasi petani dan kelompok tani, terutama dalam penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan perencanaan bersama atau “join planning” (Asngari, pers comm) atau ”participatory planning” (Tjitropranoto, pers comm). Kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat “top-down” dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat “bottom-up.” Penyelenggaraan penyuluhan yang selama ini cenderung mengarah kepada transfer teknologi perlu bergeser ke arah pemberdayaan petani (capacity building of grass root community), dengan
222 penyediaan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani. Penyuluh pertanian berperan sebagai dinamisator, fasilitator dan motivator. Kegiatan usahatani terpadu telah memperoleh dukungan dari pemerintah daerah, seperti Pemda Cianjur telah menyediakan lahan dan pengadaan bangunan fisik ”Klinik Agribisnis,” kredit PMUK dari dana APBN yang disalurkan melalui Dinas Pertanian Cianjur, dan bantuan ternak domba dari Dinas Peternakan Garut, serta bantuan alat penyulingan minyak atsiri dari Dinas Perindustrian Garut. Dukungan ini menunjukkan antara pemerintah pusat (BPTP Jawa Barat) dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain telah ada keterkaitan program dan terjalin kerjasama yang sinergis pada saat program usahatani terpadu masih berjalan. Setelah program usahatani berakhir kegiatan penyuluhan perlu diserahterimakan kepada Pemda setempat melalui Dinas Pertanian Cianjur dan Badan Ketahanan Pangan Garut. Keberlanjutan kegiatan penyuluhan pertanian usahatani terpadu diperlukan untuk memfasilitasi dan memotivasi petani yang telah mengadopsi usahatani terpadu untuk terus berlanjut menerapkan teknologi tersebut.
Demikian juga pada petani lain (non adopter) yang berminat
mengadopsi usahatani terpadu dapat dibina dan didampingi oleh penyuluh pertanian PNS (dari BPP) dan penyuluh swadaya (ketua kelompok tani). Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi yang berpengaruh nyata pada keputusan adopsi inovasi adalah keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, dan tingkat kerumitan. Ketiga ciri-ciri tersebut yang menentukan dalam pemilihan komoditas yang diusahakan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani (lahan, modal, dan tenaga kerja). Teknologi yang diadopsi petani merupakan teknologi (baik usahatani terpadu maupun teknologi lokal) yang dinilai petani secara ekonomi menguntungkan, biaya awal yang rendah, mempunyai kebanggaan (prestise) sosial, hemat waktu dan tenaga, imbalan yang segera didapat. Selain itu teknologi tersebut juga dinilai petani sesuai dengan nilai-nilai yang ada, sesuai dengan kebiasaan petani setempat, sesuai dengan pengalaman masa lalu, dan sesuai kebutuhan petani. Secara teknis teknologi yang diadopsi mudah untuk diterapkan, tidak rumit. Dengan kegiatan penyuluhan pertanian berkelanjutan, dapat dilakukan plot demonstrasi penerapan usahatani terpadu di lahan petani dengan partisipasi petani.
223 Pengembangan inovasi dan diseminasi teknologi secara partisipatif akan meningkatkan keefektifan adopsi teknologi di tingkat petani.
Petani (non
adopter) dapat memilih komponen teknologi yang sesuai dengan preferensi dan kemampuan modal usahatani yang dimiliki. Melalui kegiatan plot demonstrasi, teknologi usahatani terpadu dapat dikomunikasikan kepada petani lain, karena teknologi tersebut dapat diamati secara langsung keunggulannya di lapangan. Mengikuti pemikiran Harrison (1988), teknologi merupakan faktor penentu bagi modernisasi. Dalam penelitian ini, adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu dapat dijadikan indikator perkembangan masyarakat pedesaan di Cianjur dan Garut. Selain tingkat produktivitas, perkembangan teknologi dapat ditelusuri dari penggunaan input (di luar tenaga kerja), seperti benih/bibit, pupuk, dan obatobatan/pestisida. Keluaran Kegiatan penyuluhan pertanian berkelanjutan harus dipandang masyarakat ilmiah dan para pemangku kepentingan sebagai upaya untuk menyejahterakan petani dan diposisikan sebagai penggerak perekonomian pedesaan. sebagai upaya untuk meningkatkan produksi semata.
Bukan
Adopsi dan diseminasi
teknologi usahatani terpadu merupakan bagian dari proses peningkatan nilai tambah sumberdaya pertanian, tidak hanya terbatas pada pengembangan usahatani di pedesaan. Hasil akhir adopsi dan diseminasi teknologi usahatani terpadu harus tercermin pada peningkatan nilai tambah produk (output) akhir dari komoditas yang dikembangkan. Produk pertanian yang dijual tidak hanya berupa bahan mentah, namun produk olahan yang siap bersaing di pasar lokal maupun regional, seperti pisang yang diolah menjadi kripik pisang aneka rasa (asin, manis, keju, dan coklat), sale pisang, serta cake pisang. Adanya perjanjian perdagangan bebas telah mendorong permintaan pasar pada produk pertanian yang berkualitas, penggunaan pestisida yang rendah, bahkan cenderung mengarah pada produk pertanian organik yang ramah lingkungan. Untuk merespon keadaan tersebut, peran penyuluh pertanian sebagai fasilitator sangat dibutuhkan petani. Blum (2007) mengemukakan penyuluhan model fasilitasi bertujuan untuk pemberdayaan dan kepemilikan (ownership),
224 dengan sumber inovasi berasal dari pengetahuan lokal dan inovasi, penyuluh pertanian berperan sebagai fasilitator, petani belajar sambil bekerja (learning by doing) dan juga belajar dari petani lain dengan asumsi petani rela berinteraksi dengan petani lain, petani berperan aktif dalam pemecahan masalah, orientasi penyuluhan pada proses dan permintaan pasar, dengan sasaran penyuluhan adalah kelompok tani dan organisasi petani, berinteraksi dengan para pemangku kepentingan, serta membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak. Untuk itu kegiatan penyuluhan berkelanjutan juga memerlukan peran penelitian. Pendekatan penelitian dalam memperkenalkan suatu inovasi teknologi seperti di Cianjur dan Garut ini ialah dengan memperhatikan: (1) BPTP atau institusi penelitian hendaknya tidak berjalan sendiri, tetapi benarbenar melakukan kegiatan kolaboratif dengan pendekatan “partnerships” yang saling menguntungkan dengan instansi pemerintah daerah yang terkait. Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan adalah dengan mensinergikan antara program pemerintah daerah dengan inovasi teknologi yang
akan
diperkenalkan,
sehingga
terwujud
strategi
penyuluhan
berkelanjutan; (2) Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada awal kegiatan pemerintah daerah perlu diyakinkan bahwa: (i) kegiatan BPTP ini hanya merupakan stimulan/pembuka jalan untuk kegiatan usahatani berkelanjutan di daerah, (ii) kegiatan ini adalah kegiatan daerah, BPTP hanya membantu pemerintah daerah untuk mengawali dengan memperkenalkan usahatani terpadu ini. Untuk itu pemerintah daerah dan juga masyarakat setempat menjadi “pemilik” program ini. Dengan menumbuhkan “rasa memiliki” program ini, maka akan tumbuh pula rasa tanggung jawab untuk mengusahakan keberlanjutannya; (3) Penyuluh BPTP perlu mengikutsertakan penyuluh BPP sebagai mitra untuk keberhasilan program. Bahkan, sedikit demi sedikit penyuluh BPTP menyerahkan pengelolaan program kepada penyuluh BPP (hendaknya tidak menunggu hingga waktu akhir program, sebaiknya sudah dimulai sejak awal program).
225 Dampak Bila
berbagai saran perbaikan penyelenggaraan penyuluhan tidak
dilaksanakan, setidaknya akan menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, kinerja penyuluh pertanian tidak akan mengalami perubahan yang berarti, penyuluh tetap berorientasi pada kebijakan pemerintah (pusat) untuk meningkatkan produksi pertanian nasional, tidak berpihak kepada petani petani kecil (pro poor farmers), tidak berupaya meningkatkan kesejahteraan petani. Kedua, penyuluh pertanian dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya lebih mengutamakan tugas-tugas administrasi, dan pencapaian angka kredit untuk jabatan fungsionalnya, tugas di lapangan hanya dilakukan bila disertai dengan adanya program/proyek yang membutuhkan tenaga penyuluh sebagai pendamping. Penyuluh pertanian sebagai ujung tombak pembangunan hanya merupakan slogan saja.
Sebaliknya, bila
pemerintah (pusat dan daerah) memperhatikan saran perbaikan penyelenggaraan penyuluhan dan mengimplementasikannya, maka diperkirakan petani akan mampu mengembangkan potensi dirinya dan dapat bertindak sebagai manajer dalam usahatani yang dikelolanya. Hal ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
MASUKAN
-
Karakteristik Petani Tingkat mobilitas Luas lahan Tingkat intelegensi Sikap terhadap perubahan Tingkat keberanian beresiko
Perilaku Komunikasi Petani - Kerjasama - Tingkat kekosmopolitan - Keterdedahan thd media
Dukungan Iklim Usaha - Ketersediaan input (saprodi) - Ketersediaan fasilitas keuangan (KUD, Bank) - Ketersediaan sarana pemasaran
Dukungan Kebijakan Pemerintah (Pusat dan Daerah)
PROSES Ketenagaan - Penyuluh pertanian PNS berkoordinasi dengan ketua kelompok tani (sebagai penyuluh swadaya), mengacu UU RI No.16 Tahun 2006 Pasal 20 ayat (1) - Memiliki kompetensi tinggi - Berperan sebagai fasilitator dan motivator bagi petani
Kelembagaan - Tenaga penyuluh pertanian berada dalam satu institusi yang tetap (dengan mengacu UU RI No.16 Tahun 2006) Penyelenggaraan Penyuluhan - Pendekatan ’participatory/join planning’ (titik temu antara ’bottom up’ dan ’top down’) - Model ’transfer teknologi’ bergeser ke ’pembelajaran parsitipatif dan pengambilan keputusan bersama’ - Materi: berorientasi pada kebutuhan petani - Penyuluhan pertanian berkelanjutan
KELUARAN
Kinerja petani - Usahatani terpadu berorientasi komersial - Berwawasan agribisnis
DAMPAK
Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
Usahatani Terpadu yang Adaptif sesuai dengan Kebutuhan Preferensi Petani - Keuntungan relatif yang tinggi - Tingkat kesesuaian yang tinggi - Tingkat kerumitan yang rendah
Gambar 19 Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan pada petani lahan kering marjinal untuk peningkatan kinerja usahatani
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(6) Melalui kegiatan penyuluhan yang intensif, karakteristik petani adopter dan non adopter (mobilitas, luas lahan, intelegensi, dan sikap terhadap perubahan) serta perilaku komunikasi (kerjasama, kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media) dapat dikembangkan, yang mempengaruhi peningkatan persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan yang semula tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi). (7) Dengan memperhatikan kebutuhan dan preferensi petani adopter dan non adopter terhadap teknologi (baik lokal maupun usahatani terpadu) serta faktor-faktor keberanian beresiko, kekosmopolitan, ketersediaan input atau saprodi, dan ketersediaan sarana pemasaran, mempengaruhi peningkatan persepsi petani adopter dan non adopter terhadap ciri-ciri inovasi yang semula tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi). (8) Keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal merupakan faktor-faktor yang dicermati petani serta mempengaruhi keputusan petani adopter dan non adopter dalam mengadopsi teknologi (baik lokal maupun usahatani terpadu). (9) Keputusan petani adopter dan non adopter dalam penentuan komoditas dan penggunaan sarana produksi mempengaruhi kinerja usahatani yang dikelola. (10)
Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk
mengatasi permasalahan lambatnya adopsi inovasi teknologi di tingkat petani dengan memperhatikan karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak sasaran (petani), dukungan iklim usaha serta dukungan kebijakan (pemerintah pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan penyuluhan menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada kebutuhan petani.
228
Saran Akademis Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa petani pada lahan kering marjinal mempunyai karakteristik yang khusus yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga memerlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengkaitkan persepsi penyuluh pertanian terhadap keputusan petani dalam mengadopsi inovasi teknologi. Praktis/Implikasi Kebijakan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi, dan keberanian petani untuk mengambil keputusan dalam mengadopsi inovasi teknologi perlu ditingkatkan, termasuk juga upaya meningkatkan kinerja usahatani petani. Untuk itu perlu dilakukan beberapa perbaikan terhadap kebijakan yang ada: (1) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan perlu diimplementasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perubahan perilaku memerlukan waktu yang lama, sehingga penyuluhan yang berkelanjutan penting sekali dilaksanakan, dengan memperhatikan: (a) Target Kementerian Pertanian untuk menempatkan satu orang penyuluh pertanian dalam satu desa dapat tercapai bila merekrut ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya; (b) Dalam penyusunan program penyuluhan pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan perencanaan bersama: “join planning” atau ”participatory planning”, yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat “top-down” dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat “bottom-up;” budidaya,
(c) Materi penyuluhan tidak lagi terbatas pada teknologi
namun
perlu
memperhatikan
aspek
lain,
yakni
unsur
pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan; (d) Kelembagaan penyuluhan pertanian yang tidak berubah-ubah. (2) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan perlu dimulai dengan membina kebersamaan antara penyuluh BPTP dengan penyuluh BPP, sehingga tumbuh
229 rasa memiliki program inovasi teknologi oleh penyuluh BPP, dan keberlanjutan program (setelah BPTP selesai) dapat diteruskan oleh penyuluh BPP. (3) Hubungan peneliti-penyuluh tidak bisa seperti atasan-bawahan atau pemberidengan yang diberi teknologi; hubungan harus bersifat “partnerships,” peneliti seyogianya
mau menerima
penyuluh sebagai mitra dalam
mengintroduksikan inovasi teknologi. Penyuluh juga mau menerima peneliti sebagai mitra. Partisipasi aktif Pemerintah Daerah (termasuk dinas teknis terkait, baik tingkat provinsi maupun kabupaten) dan masyarakat setempat sangat diperlukan, untuk menumbuhkan “rasa memiliki” inovasi teknologi yang diintroduksikan, sehingga tumbuh pula rasa tanggung jawab untuk mengusahakan keberlanjutannya. (4) Sikap mental ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah perlu diubah, lebih mengarah pada upaya pemberdayaan petani dengan menggali potensi yang ada. Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan adalah mensinergikan antara program Pemerintah Daerah dengan inovasi teknologi yang akan diperkenalkan, sehingga terwujud strategi penyuluhan berkelanjutan. (5) Dalam dunia penelitian indigenous technology tetap penting karena memiliki sifat-sifat yang tidak dipunyai teknologi baru, karena itu perlu dilestarikan. Hal ini menjadi tugas Badan Litbang Pertanian, khususnya BPTP, untuk mengumpulkan, menginventarisasi dan melakukan upaya konservasi, serta pengembangannya. Indigenous technology tidak hanya penting untuk penelitian saja, tetapi penting pula untuk petani yang berlahan sempit dan modal kecil, terutama teknologi yang mempunyai keunggulan seperti rasa nasi enak/pulen dan kelebihan lain yang tidak ada pada teknologi baru.
230
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih JS, D. Djaenudin, S. Sukmana, S. Karama. 1994. Potensi Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal untuk Menunjang Diversifikasi Pangan dan Gizi. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V: Riset dan Teknologi Unggulan Mengenai Pangan dan Gizi Ganda Pembangunan Jangka Panjang. Jakarta, 20-22 April 1993. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Agussabti. 2002. ”Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Akuntansi Sektor Publik. 2008. Definisi Kinerja dan Pengukuran Kinerja http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/akuntansi-sektorpublik/definisi-kinerja-dan-pengukuran-kinerja-akuntansi-sektor-publik. (12 November 2008). Ancok D. 1995. “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian.” Dalam: Metode Penelitian Survai. Diedit oleh S. Singarimbun dan S. Effendi. Jakarta: LP3ES. Anwas EOM. 2009. “Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. ARDictionary. 2008. Performace. http://ardictionary.com/Performance/3914. (12 November 2008). Aritonang B. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani Tanaman Hias (Kasus Pedagang di Kota Bogor, Jawa Barat).” Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Ashari, Saptana. 2005. “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE). 23 (2): 132-147. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Ashari. 2009. ”Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE). 27 (1): 13-27. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Asian Development Bank. 2004. Agriculture and Rural Development Strategy Study. Final Report Volume 1: Main Report. Bogor: Searca-IFRICRECENT. Asngari PS. 1984. ”Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat “Karesidenan” dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga
231 Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat.” Media Peternakan 9 (2): 1-43. Bogor: Fakultas Peternakan IPB. Azwar S. 2000. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Pusat Statistik. 1984. Sensus Pertanian 1983. Jakarta: BPS. ________. 2004. Sensus Pertanian 2003. Jakarta: BPS. ________ Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur.
2008.
Cianjur dalam Angka. Cianjur: BPS
________. 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: BPS. ________ Kabupaten Garut. 2009. Garut dalam Angka. Garut: BPS Kabupaten Garut. ________. 2009. Luas Lahan Menurut Penggunaannya. Jakarta: BPS. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2006. Laporan Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah Prima Tani Melalui Participatory Rural Appraisal di Empat Kabupaten (Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung). Lembang: BPTP Jawa Barat. ________. 2007. Laporan Akhir Tahun 2006 Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah (LKDRIB) Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Lembang: BPTP Jawa Barat. Barao SM. 1992. “Behavioral Aspects of Technology Adoption.” Journal of Extension (On-line), 30 (2).http://www.joe.org/joe/1992summer/a4.php (25 Januari 2010). Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Blum ML. 2007. Trends and Challenges in Agricultural Extension –Policies and Strategies for Reform. Dalam Workshop, Skopje 27-29 Juni 2007: Building Partnerships for Technology Generation, Assessment and Sharing in Agriculture among West Balkan Countries. Rome: FAO. Bonnal J. 2001. Challenges to Decentralisation of Agricultural Extension. Rome: FAO. http://www.ciesin.columbia.edu/decentralization/English/ Issues/Agrextension.html (10 April 2010).
232 Brashear GL, G. Hollis, MB. Wheeler. 2000. “Information Transfer In The Illinois Swine Industry: How Producers are Informed of New Technologies.” Journal of Extension (On-line), 38 (1). http://www.joe. org/joe/2000 february/rb4.php (25 Januari 2010). Brunson M, EA. Price. 2009. “Information Use and Delivery Preferences Among Small-Acreage Owners in Areas of Rapid Exurban Population Growth.” Journal of Extension (On-line), 47 (5). http://www.joe.org/joe/2009october/ a4.php (12 Pebruari 2010). Bulu YG, K. Puspadi, A. Muzani, TS. Panjaitan. 2004. ”Pendekatan SosialBudaya dalam Pengembangan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.” Dalam Prosiding Lokakarya: Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Semarang, 7 Oktober 2003. Diedit oleh AM. Fagi, Hermanto. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 24-32. Cahyono SA, NA. Jariyah, Y. Indrajaya. 2006. ”Karakteristik Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus di Desa Somagede, Kebumen, Jawa Tengah.” Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 7 (2): 1-18. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. http://puslitsosekhut.web.id/publikasi. php? sub=1&page=4 (3 Agustus 2010). Candrawita K. 2010. Pengantar Statistik Sosial. Pusat Layanan Pustaka Universitas Terbuka (On-line). http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php? option=com_content&view=article&id=80:isip4215-pengantar-statistiksosial&Itemid=74&catid=29:fisip (3 Agustus 2010). Chan LG. 2003. What Does Integrated Farming System Do? http://www. scizerinm.org/joe/index.html. (2 Agustus 2008). Clements J. 1999. “Results? Behavior Change!” Journal of Extension (On-line). 37 (2). http://www.joe.org/joe/1999april/comml.html. (30 Nopember 2007). Depari E, MacAndrew. 1982. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta: UGM Pr. Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2008. Data Statistik. http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php?mod=statistik&id MenuKiri=520&idKategori=3&link=dataStatBuah (5 Pebruari 2010). Efa N, M. Gorman, J. Phelan. 2005. ”Implications of an Extension Package Approach for Farmers’ Indigenous Knowledge: The Maize Extension Package in South-western Ethiopia.” Journal of International Agricultural and Extension Education, 12 (3): 67-78. http://www.aiaee.org/jiaee/current/ V12.3.67-78.pdf (12 Februari 2010).
233 Effendi OU. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Emmyzar, Y. Ferry. 2004. Pola Budidaya untuk Peningkatan Produktivitas dan Mutu Minyak Nilam. Perkembangan Teknologi TRO, 16 (2): 52-61. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. http://www.scribd. com/doc/3880633/Produktivitas-Minyak-Nilam (18 Maret 2010). Etzioni A. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organization on Power, Involvement, and Their Correlates. New York: The Free Press of Glencoe, Inc. Fagi AM, S. Abdulrachman, A. Gani. 2002. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Fagi AM, IG. Ismail, S. Kartaatmadja. 2004. “Evaluasi Pendahuluan Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur.” Dalam Prosiding Lokakarya: Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Diedit oleh AM. Fagi dan Hermanto. Semarang, 7 Oktober 2003. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 11-23. Food and Agriculture Organization. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pelatihan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Tim Asistensi, penerjemah; Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Terjemahan dari: Guidelines for The Conduct of A Training in Farming System Development. Garcia MB. 1985. Sociology of Development Perspective and Issues. Metro Manila: National Book Store, Inc. Getz C, KD. Warner. 2006. “Integrated Farming Systems and Pollution Prevention Initiatives Stimulate Co-Learning Extension Strategies.” Journal of Extension (On-line). 44(5). http://www.joe.org/joe/2006october/a4.shtml. (2 Agustus 2008). Gonzalez H. 1993. “Efek Komunikasi Massa.” Dalam: Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara- Negara Dunia Ketiga. Disunting oleh Amri Jahi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gonzalez SG, GD. Israel. 2010. “The Influence of Type of Contact with Extension on Client Satisfaction.” Journal of Extension (On-line), 48 (1). http:// www. joe.org/joe/2010february/a4.php (8 april 2010). Harrison D. 1988. The Sociology of Modernization and Development. London: Unwin Hyman. Hasbullah J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Pr.
234 Hendayana D. 2009. Alternatif Peranan Penyuluh Pertanian dalam Menjaga Stabilitas Peningkatan Produksi Pangan (Padi) diatas 5% per Tahun. http://bppcijati.blogspot.com/2009/11/peranan-alterantif-ppl-dalammendukung.html. (26 Maret 2010). Hidayat A, A. Mulyani. 2002. “Lahan Kering untuk Pertanian.” Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Disunting oleh A. Adimihardja, Mappaona, A. Saleh. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hubbard WG, LR. Sandmann. 2007. “Using Diffusion of Innovation Concepts for Improved Program Evaluation.” Journal of Extension (On-line), 45 (2) http://www.joe.org/joe/2007october/a1.php (12 Februari 2010). Irawan B. 2006. “Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya terhadap Produksi Pangan.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), 24 (1): 28-45. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Irawan B, H. Tarigan, B. Wiryono, J. Hestina, Ashari. 2007. “Kinerja dan Prospek Pembangunan Hortikultura.” Dalam Prosiding: Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Disunting oleh K. Suradisatra, Y. Yusdja Y, PU. Hadi. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Ishaq I, S. Bachrein, E. Sujitno. 2002. ”Dampak Penerapan Beberapa Sistem Pertanaman Lorong terhadap Pendapatan Petani Lahan Kering di Garut.” Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 5 (1): 81-90. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Kerlinger FN. 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral. Simatupang LR, penerjemah. Diedit oleh Koesoemanto H.J. Terjemahan dari: Foundation of Behavioral Research. Yogyakarta: UGM Pr. Killick T. 1981. Policy Economics: A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society. Kurnia U, Sudirman, H. Kusnadi. 2002. “Teknologi Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Kering.” (147-182). Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Licht MAR, RA. Martin. 2007. “Communication Channel Preferences of Corn and Soybean Producers.” Journal of Extension (On-line), 45 (6). http://www.joe.org/joe/2007december/rb2.php (12 Februari 2010). Lionberger HF. 1968. Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University Pr.
235 Lionberger HF, PH. Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Danville, Illinois: The Interstate Printers & Publishers, Inc. Lippitt R, J. Watson, B. Westley. 1958. Planned Change: A Comparative Study of Principles and Techniques. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. MacDonald, K.I. 1977. “Path Analysis.” Dalam: The Analysis of Survey Data Model Fitting. Vol 2. Diedit oleh C.A. O’Muircheartaigh dan C. Payne. London: John Wiley&Sons. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Pr. ________. 2008. “Refleksi dan Rekomendasi Implementasi Penyuluhan Pembangunan Pertanian.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina, Adjat Sudradjat. Bogor: Sydex Plus. Martinelli A. 2002. Markets, Government, Communities and Global Governance. Presidential Address. Brisbane: ISA (International Sociological Association) Conggress XV. McQuail D, S. Windahl. 1981. Communication Models: for the Study of Mass Communications. New York: Longman Inc. Mosher AT. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization. New York: Frederick A. Praeger. ________. 1978. An Introduction to Agricultural Extension. Agricultural Development Council.
New York:
________. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Krisnandhi S, Samad B, penyadur. Jakarta: CV. Yasaguna. Terjemahan dari: Getting Agriculture Moving. Muhammad S, OS. Isikhuemhen. 2009. “Promoting Alternative Enterprises: Assessing Farmers' Needs in Research, Education, and Extension.” Journal of Extension (On-line), 47 (6). http://www.joe.org/joe/2009december/rb5. php (12 Februari 2010). Muhamad R. 2010. Mengerti Resiko Sistemik. Jakarta: Kompas 12 Januari 2010. Muhidin SA, M. Abdurahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia. Mukmin U. 1992. ”Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Pelestarian Sumberdaya Alam.” Dalam: Penyuluhan Pembangunan Indonesia:
236 Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh AVS Hubeis, P. Tjitropranoto, W. Ruwiyanto. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Muliady TR. 2009. ”Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Kinerja Penyuluh dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Tiga Kabupaten Jawa Barat .” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Nasoetion L, J.Winoto. 1994. “Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan.” Dalam Prosiding Lokakarya: Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Disunting oleh Hermanto et al. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Nawawi H, M. Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Pr. Nurmanaf R. 2007. “Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani”. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). 5 (2): 99-109. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Pace RW, DF. Faules. 1998. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Mulyana D, penerjemah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Terjemahan dari: Communication of Organization. Page N, CE. Czuba. 1999. “Empowerment: What is it?” Journal of Extension (On-line), 37 (5). http://www.joe.org/joe/1999october/comm1.php (16 Maret 2010). Pemerintah Kabupaten Cianjur. 2008. Daftar Isian Potensi Desa Talaga Kecamatan Cugenang. Cianjur: Pemda Cianjur. ________. 2009. Profil Kabupaten Cianjur. http://www.puncakview.com/ Profile_Kab.Cianjur.htm (20 januari 2010). Pemerintah Kabupaten Garut. 2008. Pakenjeng. Garut: Pemda Garut.
Monografi Desa Jatiwangi Kecamatan
________. 2009. Profil Kabupaten Garut. http://www. garutkab.go.id/ (20 januari 2010). Pindyck RS, DL. Rubinfeld. 1995. Microeconomics. New Jersey: Prentice Hall. Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture. London: Earthscan Publication. Purnaningsih N. 2006. “Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
237 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat . 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1 : 1.000.000. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Dana Dekonsentrasi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Pusbangluh Pertanian. Rachman B. 2009. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen dan Regulasi.” Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). 7 (2):131146. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Rogers EM, FF. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach. New York: The Free Pr. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. New York: The Free Pr. Röling N. 1988. Extension Science. Cambridge: Cambridge University Pr. Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. Canada: John Wiley&Sons, Inc. Sajogyo. 1990. “Masalah Penduduk dan Kemiskinan.” Dalam: Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan Jilid II. Diedit oleh Sajogyo dan Pudjiwati. Yogyakarta: UGM Pr. Saptana, HPS. Rachman, TP. Purwantini. 2004. Struktur Penguasaan Lahan dan Kelembagaan Pasar Lahan di Pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Saptana, EL. Hastuti, KS. Indraningsih, Ashari, S. Friyatno, Sunarsih, V. Darwis. 2006. Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Bali. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Sarjana C, Setiani, T. Prasetyo. 2008. Kajian Kinerja Sistem Usahatani Korporasi di Lahan Irigasi Ditinjau dari Aspek Pendapatan dan Petani. Ungaran: BPTP Jawa Tengah. http://jateng.litbang.deptan.go.id/index.php?option= com_content&task=view&id=75&Itemid=46. (12 November 2008). Sayaka B, IK. Kariyasa, Waluyo, Y. Marisa, T. Nurasa. 2006. Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Sekretariat Negara RI. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
238 Sevilla CG, JA. Ochave, TG. Punsalam, BP. Regala, GG. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Diterjemahkan oleh A. Tuwu, A. Syah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods. Simatupang P. 2000. “Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya.” Dalam Makalah pada Seminar Nasional: Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor 9-10 Nopember 2000. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Simatupang P, N. Syafa’at. 2003. “Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif.” (1-11). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna. Mataram: BPTP Nusatenggara Barat. Siti Amanah. 2000. “New Approaches to Agricultural Extension.” Dalam Prosiding: The International Congress and Symposium on Southeast Asian Agricultural Sciences. Bogor: CREATA-ICSSAAS. Slamet M. 2003. “Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Pr. ________. 2008. “Menuju Pembangunan Berkelanjutan melalui Implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, perikanan dan kehutanan.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: Sydex Plus. ________. 2009. Restrukturisasi dan Reorientasi Penyuluhan Pertanian: untuk Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. http://margonoipb.files.wordpress.com/ 2009/03/rekonstruksi-revitalisasi-pp.ppt#273,19,Slide 19 (18 Mei 2010). Smith VJ. 1981. Programming for Radio and Television. University Pr of America.
United States:
Soedjana TD. 2007. ”Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak sebagai Respons Petani terhadap Faktor Resiko.” Jurnal Litbang Pertanian, 26 (2): 82-87. Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Spencer LM, SM. Spencer. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc. Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2005. The Problem of Perception. http://plato.stanford.edu/entries/perception-problem/#3. (12 Nov 2008).
239 Subejo. 2009. Revolusi Hijau dan Penyuluhan Pertanian. Tokyo: Indonesian Agricultural Sciences Association. http://www.iasa-pusat.org/artikel/ revolusi-hijau-dan-penyuluhan-pertanian.html (10 Februari 2010). Sudaryanto T, M. Syukur. 2001. Pengembangan Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sugihen BG, E. Basuno, S. Amanah, EL. Hastuti. 2007. Pengembangan Sistem Penyuluhan Pertanian di Lahan Marjinal pada Kondisi Sosio Budaya yang Berbeda dalam Kerangka Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan. Bogor: IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Litbang Pertanian Sujanto A, H. Lubis, T. Hadi. 2004. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara. Sujanto A. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sumardjo. 1999. “Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. ________. 2008. “Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina, Adjat Sudradjat. Medan: Pustaka Bangsa Pr. Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, AM. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia: Implikasinya terhadap Pembaruan Agraria. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sumaryanto, T. Sudaryanto. 2009. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan: Analisis Data Patanas Tahun 1995 dan 2007. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suryabrata S. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Swastika DKS. 2004. ”Beberapa Teknik Analisis dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.” Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Swastika DKS, H. Supriyadi, KS. Indraningsih, R. Elizabeth, J. Hestina. 2006. Pola Pengembangan Multiusaha Rumah Tangga Pertanian. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
240 Syafa’at N, A. Purwoto, SK. Dermoredjo, K. Kariyasa, M. Maulana, P. Simatupang. 2007. ”Indikator Makro Sektor Pertanian Indonesia.” Dalam Prosiding Seminar Nasional: Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Disunting oleh K. Suradisatra, Y Yusdja, PU. Hadi. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Syukur M, Sumaryanto, C. Muslim. 1993. ”Pola Pelayanan Kredit untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah di Pedesaan Jawa Barat.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), 11 (2): 1-13. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Syukur M. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian. Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, 16 April 2009. Jakarta: Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Departemen Agribisnis, FEM-IPB. Taryoto AH. 1995. ”Kemiskinan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Lingkup Departemen Pertanian: Suatu Upaya Introspeksi.” Dalam Prosiding: Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Diedit oleh Hermanto, dkk. Buku 2. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Timmer CP, WP. Falcon, SR. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore: John Hopkins Univ. Pr. Tjitropranoto P. 2003. “Penyuluh Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Pr. ________. 2005. Penyediaan dan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian untuk Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Marjinal: Peningkatan Mutu Partisipasi. Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Lahan Marjinal. Mataram 30-31 Agustus 2005. Tjondronegoro SMP. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ________. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Sitorus MTF, Wiradi G, penyunting. Bandung: Yayasan Akatiga. van den Ban AW, Hawkins HS. 2005. Penyuluhan Pertanian. Herdiasti AD, penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Agricultural Extension.
241 Vergot III P, G. Israel, DE. Mayo. 2005. “Sources and Channels of Information Used by Beef Cattle Producers in 12 Counties of the Northwest Florida Extension District.” Journal of Extension (On-line), 43 (2) http://www.joe. org/joe/2005april/rb6.php (18 Februari 2010). Wikipedia. 2008. Perception. November 2008).
http://en.wikipedia.org/wiki/Perception.
(12
________. 2009. Kinerja. http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja. (4 Nopember 2009). ________. 2010. Potensi Diri. http://id.wikipedia.org/wiki/Potensi_diri. (14 Juli 2010). Winoto, J. 1995. Impact of Urbanization on Agricutural Development in Northern Coastal Region West Java. Michigan: Michigan State University and University Microfilm. World Bank. 1999. Reducing Poverty through Cutting-edge Science: CGIAR Research Priorities for Marginal Lands. http://www.worldbank.org/html/ cgiar/publications/icw99/tac9912.pdf. (19 Maret 2008).
246 Lampiran 4
No. 1.
Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut Komoditas
Konservasi Lahan
Inovasi Teknologi -
-
Tindakan fisik melalui pembuatan teras (sengkedan) atau guludan, terutama pada lahan yang miring yang diikuti dengan penguatan teras dengan tanaman pakan ternak Pengelolaan usahatani melalui sistem budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi Konservasi vegetatif (alley cropping)
Komoditas Unggulan 1.
Nilam
-
-
-
2.
Ternak (Domba)
-
-
Pembibitan: penggunaan stek batang atau stek pucuk Penanaman varietas unggul Sidikalang Jarak tanam 100 cm x 50 cm dengan lubang tanam 30 x 30 x 30 cm Pemupukan: berdasarkan hasil analisa tanah dan pemanfaatan kompos limbah penyulingan nilam atau pupuk kandang Pemulsaan: diberikan sekitar tanaman dengan menggunakan mulsa alang-alang atau belukar Pengendalian hama dan penyakit: monitoring secara berkala, panen serentak, penggunaan pestisida nabati Pemanenan: panen pertama setelah tanaman berumur 6 bulan, kemudian dilakukan 3 bulan sekali Pengeringan 4-5 hari Pasca panen (teknologi penyulingan minyak nilam, penyimpanan) Jenis: domba Garut Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina) Sistem perkandangan: komunal Pakan: perbaikan nutrisi dengan suplementasi leguminosa Reproduksi: memperpendek jarak kelahiran dengan deteksi birahi dan kawin kelompok (group mating) Kesehatan: pengendalian parasit cacing saluran pencernaan, sanitasi kandang dan lingkungannya
247 Lampiran 4 (Lanjutan) Komoditas Utama Padi Gogo
PTT Padi Gogo: - Penggunaan varietas unggul (Batu Tegi, Situ Patenggang, Limboto, Situ Bagendt, Towuti) - Penambahan bahan organik tanah - Pemupukan berimbang berdasarkan status kesuburan tanah - Jarak tanam: sistem tegel (30 x 15 cm) - Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT
Komoditas Potensial Pisang
-
-
Penanaman bibit unggul/bermutu (bebas penyakit) atau sesuai dengan permintaan pasar dan kondisi wilayah Pengaturan jarak tanam Pemberian pupuk kandang dan pupuk an-organik (TSP, KCl, dan ZA) sesuai rekomendasi Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif) Pengendalian hama dan penyakit Penanganan panen dan pasca panen
Komoditas Penunjang Kacang Tanah
-
Penggunaan varietas unggul Pengaturan jarak tanam Pemberian pupuk organik Pemberian pupuk an-organik sesuai dengan hasil analisa tanah Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT Penerapan alsistan (alat perontok polong) Penanganan panen dan pasca panen
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006)
248
Lampiran 5 Tata guna lahan di Kabupaten Cianjur No.
Uraian
Luas (Ha)
Persentase (%)
(1)
Sawah
58.101
16,59
(2)
Hutan produktif dan konservasi
83.034
23,71
(3)
Tanah kering /tegalan
97.227
27,76
(4)
Perkebunan
57.735
16,49
(5)
Pemukiman/pekarangan
25.261
7,20
(6)
Penggembalaan/pekarangan
3.500
0,10
(7)
Tambak/kolam
1.239
0,04
(8)
Penggunaan lainnya
22.483
6,42
350.148
100,00
Jumlah Sumber: Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009
Lampiran 6 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur No.
Komoditas
Produksi (Ton)
Luas (Ha)
Padi (1)
Padi sawah
609.808
115.061
(2)
Padi gogo
49.691
16.100
659.499
131.161
Jumlah padi Palawija (1)
Jagung
28.757
6.313
(2)
Kedelai
1.228
968
(3)
Kacang tanah
13.632
10.864
(4)
Kacang hijau
327
324
(5)
Ubi kayu
119.454
6.994
Jumlah palawija 163.398 25.463 Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Jawa Barat, 2008 (data diolah)
249
Lampiran 7 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Cianjur No.
Komoditas
(1)
Bawang merah
(2)
Bawang daun
(3)
Kentang
(4)
Produksi (Ton)
Luas (Ha)
693
33
61.885
3.525
1.325
107
Kubis
21.792
1.203
(5)
Pete
45.441
2.515
(6)
Wortel
48.429
2.544
(7)
Kacang merah
4.322
574
(8)
Kacang panjang
10.056
803
(9)
Cabe besar
14.935
1.402
(10) Cabe rawit
14.643
1.422
(11) Tomat
27.347
1.212
(12) Sayuran lain
44.568
3.025
Jumlah 300.628 Sumber: Kabupaten Cianjur dalam Angka, 2008 (data diolah)
18.774
Lampiran 8 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Cianjur No
Komoditas
Produksi (Ton)
Luas (Ha)
(1)
Pisang
232.614
19.414
(2)
Durian
8.376
62.198
(3)
Alpukat
7.952
71.000
(4)
Jambu biji
7.697
22.801
(5)
Mangga
7.267
11.455
(6)
Buah lain
33.366
1.131.668
Jumlah 297.172 1.626.838 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Cianjur, 2007 (data diolah)
250 Lampiran 9 Tata guna lahan di Kabupaten Garut No.
Uraian
Luas (Ha)
Persentase (%)
(1)
Sawah
49.455
16,13
(2)
Hutan
71.265
23,25
(3)
Kebun
56.124
18,31
(4)
Tanah kering/tegalan
51.146
16,69
(5)
Perkebunan
26.825
8,75
(6)
Pemukiman/perkampungan
39.513
12,89
(7)
Padang semak
7.005
2,29
(8)
Pertambangan
200
0,07
(9)
Industri
41
0,01
(10)
Kolam
1.826
0,60
(11)
Situ/danau
157
0,05
(12)
Penggunaan tanah lainnya
2.962
0,97
306.519
100,00
Jumlah Sumber: BPN Kabupaten Garut, 2008
Lampiran 10 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Garut No.
Komoditas
Produksi (Ton)
Padi (1) Padi sawah 656.471 (2) Padi gogo 73.691 Jumlah Padi 730.162 Palawija (1) Jagung 401.924 (2) Kedelai 7.858 (3) Kacang tanah 22.579 (4) Kacang hijau 1.675 (5) Ubi kayu 536.979 (6) Ubi jalar 67.591 Jumlah Palawija 1.038.606 Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
Luas (Ha) 106.204 24.273 130.477 55.852 5.584 15.022 1.703 24.364 5.244 107.769
251 Lampiran 11 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Garut No.
Komoditas
Produksi (Ton)
Luas (Ha)
(1)
Bawang merah
9.791
1.504
(2)
Bawang daun
35.195
2.301
(3)
Kentang
135.911
5.833
(4)
Kubis
100.207
4.096
(5)
Pete
37.641
1.913
(6)
Wortel
29.654
1.473
(7)
Kacang merah
37.732
4.539
(8)
Kacang panjang
11.037
919
(9)
Cabe besar
61.054
4.239
(10)
Cabe rawit
17.327
1.442
(11)
Tomat
84.670
3.123
(12)
Sayuran lain
59.928
53.062
Jumlah 620.147 Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
84.444
Lampiran 12 Produksi dan luas areal pertanian buah-buahan di Kabupaten Garut No.
Komoditas
(1) Pisang
Produksi (Ton)
Luas (Ha)
1.641.160
3.135.881
(2) Alpukat
447.077
457.275
(3) Mangga
269.518
573.806
(4) Jeruk siem/keprok
109.729
548.092
62.037
65.508
317.728
1.255.014
(5) Sirsak (6) Buah lain
Jumlah buah-buahan 2.847.249 Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
6.035.576
252 Lampiran 13 Distribusi rumah tangga pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai 1983 (Ha)
No. Wilayah
2003 (Ha)
<0,5
0,5-3,0
>0,5
<0,5
0,5-3,0
>0,5
(1)
Sumatera
28,2
61,7
10,1
32,5
57,3
10,2
(2)
Jawa
63,1
35,3
1,5
74,8
24,4
0,7
(3)
Nusa Tenggara
34,0
57,0
9,0
45,3
50,7
4,0
(4)
Kalimantan
20,3
54,2
25,4
27,8
53,9
18,3
(5)
Sulawesi
27,1
62,9
9,9
31,0
60,2
8,8
(6)
Maluku dan Papua
30,3
53,5
16,3
47,1
46,0
6,9
(7) Indonesia 48,9 45,3 5,8 56,4 38,7 Sumber: Badan Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1983 dan 2003)
4,9
253 Lampiran 14 Teknologi lokal dan inovasi teknologi Prima Tani di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur No.
Komoditas
Teknologi Lokal
Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu
(1)
Pisang
- Bibit yang digunakan masih bersifat lokal - Pengaturan jarak tanam belum diketahui secara pasti terutama untuk tumpang sari - Pemupukan belum sesuai dosis - Sanitasi kebun belum intensif - Pengendalian hama dan penyakit belum optimal - Penanganan panen dan pasca panen - Pemasaran - Luas garapan sempit
- Pemilihan bibit unggul/bermutu (bebas hama-penyakit) - Pengaturan jarak tanam untuk tumpang sari dengan sayuran - Pemberian pupuk kandang dan pupuk an-organik (TSP, KCl, dan ZA) sesuai rekomendasi - Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif) - Pengendalian hama dan penyakit - Penanganan panen dan pasca panen 3) Teknik pengemasan buah sesuai lokasi sasaran pemasaran 4) Teknologi alsin pengolahan hasil yang sesuai dengan kondisi setempat (kapasitas alat, jenis produk, dll)
(2)
Sayuran
- Bibit yang digunakan masih bersifat lokal - Pengaturan jarak tanam belum diketahui secara pasti - Pemupukan belum sesuai dosis - Pengendalian hama dan penyakit belum sesuai dengan konsep PHT - Pengairan terutama pada musim kemarau - Luas garapan sempit
- Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) 1) Penggunaan varietas unggul 2) Pengaturan jarak tanam 3) Penggunaan pupuk sesuai dosis 4) Pengairan 5) Pengendalian OPT sesuai dengan konsep PHT
254 Lampiran 14 (Lanjutan) (3)
Domba
- Belum diketahui teknik budidaya dengan baik, terutama dalam hal: 1) pemilihan bibit unggul 2) pemberian pakan 3) sanitasi kandang 4) sistem perkandangan 5) kesehatan ternak 6) reproduksi ternak - Skala usaha kecil masih bersifat sampingan - Kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal
- Perbaikan bibit (pemilihan bibit unggul) - Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina) - Sistem perkandangan: komunal atau di rumah petani, koloni di rumah petani - Pakan: perbaikan nutrisi dengan suplementasi leguminosa - Reproduksi: memperpendek jarak kelahiran dengan deteksi birahi dan kawin kelompok (group mating) - Kesehatan: pengendalian parasit cacing, saluran pencernaan, penyakit kulit, dan sanitasi kandang dan lingkungannya - Pengolahan pupuk kandang
Sumber: diadaptasi dari BPTP Jawa Barat (2006)
255 Lampiran 15 Daftar pertanyaan petani PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
DAFTAR PERTANYAAN
PETANI
Nama Petani (KK)
: ____________________________________
Desa/Dusun/RW/RT : ____________________________________ Kecamatan
: ____________________________________
Kabupaten
: ____________________________________
Status Petani
: 1. Adopter 2. Non adopter
Pewawancara
: ___________________
Tgl. Wawancara : ___________________
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
256 I. KARAKTERISTIK PETANI (X1) A. Karakteristik Sosial Ekonomi 1. Umur Bapak/Saudara saat ini:___________ tahun 2. Pendidikan formal yang diikuti: a. Lama pendidikan: __________ tahun b. Pendidikan yang ditamatkan:_______________ (Isikan: 1=SD, 2=SLTP, 3= SLTA, 3=Diploma, 4=PT) 3. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara menghadiri pertemuan dengan penyuluh (di desa/kecamatan) yang berhubungan dengan usaha pertanian?___ kali. 4. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara menghadiri petak percontohan (demonstrasi plot)?_______ kali. 5. Dalam pelaksanaan petak percontohan, apakah Bapak/Saudara ikut langsung dalam hal: (isikan: 1=ya; 2=tidak) a. Perencanaan percontohan b. Pelaksanaan kegiatan percontohan (1) Pengolahan tanah (2) Menanam (3) Menyiang (4) Pemupukan (5) Pengendalian hama penyakit (6) Panen (7) Penimbangan hasil panen c. Penilaian hasil percontohan d. Pemanfaatan hasil percontohan 6. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara hadir dalam temu lapang? di desa____ kali; kecamatan ____ kali dan kabupaten _____ kali. 7. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli benih/bibit ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km 8. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli pupuk ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km 9. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli obat-obatan ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km 10. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli alat-alat pertanian ke luar desa dalam tahun 2008: _____ kali, dengan jarak tempuh terjauh: ______ km 11. Penjualan produk biasanya di dalam desa atau ke luar desa? (isikan: 1=dalam desa; 2=luar desa) a. Padi dijual di_____ b. Palawija (jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian); dijual di ___ c. Sayuran dijual di ______ d. Buah-buahan dijual di ______ e. Ternak dijual di ______
257 12. Penerimaan usahatani tahun 2008 (Rp), pola tanam_____________________ a. Tanaman semusim: (1) Padi: ____________________________________________________ (2) Palawija:_________________________________________________ (3) Sayuran: _________________________________________________ (4) Buah-buahan: _____________________________________________ b. Tanaman perkebunan/tahunan:_________________________________________ c. Peternakan: _________________________________________________ d. Berburuh tani:________________________________________________ e. Lainnya: ____________________________________________________ Penerimaan total: ________________________________________________ 13. Biaya-biaya produksi tahun 2008 (Rp): a. Benih/bibit: __________________________________________________ b. Pupuk: _____________________________________________________ c. Obat-obatan: _________________________________________________ d. Tenaga kerja: ________________________________________________ e. Sewa lahan: _________________________________________________ f. Lainnya: ____________________________________________________ Pengeluaran total:________________________________________________ 14. Pendapatan rumah tangga dari non pertanian tahun 2008 (Rp): a. Usaha dagang ________________________________________________ b. Industri/kerajinan ____________________________________________ c. Usaha jasa transportasi ________________________________________ d. Buruh non tani: ______________________________________________ e. Lainnya: ____________________________________________________ Pendapatan total non pertanian _____________________________________ 15. Luasan pengusahaan lahan garapan Bapak/Saudara: a. Luas lahan kering yang dimiliki____________ ha Yang digarap sendiri ____________________ ha Yang digarap orang lain__________________ ha b. Luas lahan kering garapan yang disewa_________ ha c. Luas lahan kering garapan yang disakap_________ ha 16. Apakah Bapak/Saudara membeli benih/bibit berlabel yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ ______________________________________________________________ 17. Apakah Bapak/Saudara membeli pupuk kimia/anorganik yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ ______________________________________________________________ 18. Apakah Bapak/Saudara membeli obat-obatan: pestisida, herbisida, insektisida yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ _______________________________________________________________
258 19. Apakah Bapak/Saudara membeli peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan usahatani? Sebutkan ______________________________________ (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ ______________________________________________________________ Karakteristik Kepribadian Petani 20. Penilaian Bapak/Saudara terhadap usahatani baru yang diperkenalkan: (isikan: 1=tidak tahu; 2=berpikir negatif/merugikan; 3=ada kemungkinan merugikan juga menguntungkan; 4=berpikir positif/menguntungkan) a. Anjuran penggunaan varietas/tanaman tertentu b. Upaya menjaga kesuburan lahan (penanaman rumput, pembuatan teras bangku, penggunaan pupuk kandang, mulsa, pergiliran tanaman) c. Teknik baru yang dianjurkan untuk budidaya tanaman d. Penanganan pascapanen yang dianjurkan e. Usaha ternak domba, kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk tanaman dan pakannya diperoleh dari tanaman 21. Bagaimana pendapat Bapak/Saudara terhadap usahatani baru? (isikan: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Anjuran menanam komoditas tertentu____________________________ b. Upaya menjaga kesuburan tanah________________________________ c. Cara-cara baru yang dianjurkan untuk budidaya tanaman: ____________ __________________________________________________________ d. Penanganan pascapanen yang dianjurkan_________________________ e. Mengusahakan ternak domba, _________________________________ __________________________________________________________ 22. Tanggapan Bapak/Saudara terhadap adanya usahatani baru (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu) a. Dalam menentukan komoditas yang diusahakan, Bapak mempertimbangkan: (1) Kebiasaan yang telah dilakukan (2) Mengikuti petani lain (3) Anjuran penyuluh (4) Komoditas yang laku di pasaran b. Bapak/Saudara mencari informasi tentang usahatani yang lebih baik pada: (1) Sesama petani (2) Pedagang saprodi (3) Pedagang pengumpul (4) Tokoh masyarakat,_______________ (5) Aparat desa,_____________________ (6) Penyuluh (7) Media cetak: koran, majalah, buku, brosur (8) Media elektronik: radio, televisi, HP, internet
259 c. Dalam melakukan usahatani baru, Bapak/Saudara belajar teknik/cara dari: (1) Sesama petani (2) Pedagang,___________________ (3) Tokoh masyarakat,____________ (4) Penyuluh (5) Lainnya, ____________________ d. Bapak/Saudara menilai keuntungan/manfaat usahatani baru yang diperkenalkan dilihat dari: (1) Jumlah produksi yang dihasilkan (2) Jumlah pendapatan yang diperoleh (3) Produk yang dihasilkan dibutuhkan pasar/pedagang (4) Penggunaan pupuk kandang dari ternak sendiri (5) Lainnya,______________________________ 23. Sikap Bapak/Saudara terhadap adanya perubahan berupa usahatani baru: a. Setiap ada hal-hal baru yang dianjurkan apakah Bapak langsung menerima? (isikan: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) b. Tingkat penerimaan Bapak terhadap usahatani baru: (isikan: 1= menolak perubahan; 2= berpikir dulu; 3= melihat dulu petani lain/menerima dengan cara meniru; ; 4= langsung menerima) c. Bapak percaya/yakin bahwa kegunaan usahatani baru yang diperkenalkan, dapat meningkatkan pendapatan (isikan: 1=tidak yakin; 2=kurang yakin; 3=yakin; 4= sangat yakin) 24. Tingkat keberanian Bapak/Saudara mengambil resiko (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) a. Bapak/Saudara berani mengganti benih/bibit yang dinilai lebih menguntungkan b. Bapak/Saudara berani mengganti pupuk yang dinilai lebih menguntungkan c. Bapak/Saudara berani mengganti obat-obatan yang dinilai lebih menguntungkan d. Bapak/Saudara berani menambah/mengurangi jenis komoditas yang diusahakan e. Bapak/Saudara berani langsung menjual hasil ke pasar f. Bapak/Saudara berani menambah luasan usahatani g. Mengambil kredit dari bank untuk menambah modal usahatani II. PERILAKU KOMUNIKASI PETANI (X2) 25. Jaringan kerjasama, berupa kemampuan Bapak/Saudara dalam menjalin hubungan dengan pihak lain (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu): a. Intensitas hubungan Bapak dengan petani lain dalam tukar informasi dan pengadaan sarana produksi, dalam tahun 2008_______kali b. Intensitas hubungan Bapak dengan pedagang sarana produksi dalam tahun 2008_______kali c. Intensitas hubungan Bapak dengan pedagang hasil dalam tahun 2008______kali
260 d. Intensitas hubungan Bapak dengan perusahaan pengolah dalam tahun 2008______kali e. Intensitas hubungan Bapak dalam melakukan kerjasama dengan lembaga pembiayaan (KUD, Lembaga Perkreditan Desa, Bank) dalam tahun 2008______kali f. Intensitas hubungan Bapak dalam melakukan kerjasama dengan kelompok tani dalam tahun 2008 ______kali i. Intensitas hubungan Bapak dengan penyuluh dalam tahun 2008 ____kali 26. Hubungan yang sudah terjalin dengan sesama petani dalam kelompok dapat menumbuhkan kepercayaan dalam hal (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu): a. Saling tukar informasi tentang usahatani baru b. Memberikan pinjaman, baik berupa uang tunai maupun sarana produksi c. Menyampaikan keluhan tentang kegagalan dalam berusahani d. Memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan usahatani 27. Bapak/Saudara menaruh kepercayaan kepada tokoh masyarakat (___________) dalam hal (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu): a. Penyelesaian masalah sengketa lahan dengan petani b. Masalah penyakit tanaman c. Masalah penurunan produksi d. Penjualan produk e. Menggerakkan petani dalam menerapkan usahatani baru 28. Tingkat kekosmopolitan Bapak/Saudara: (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu) a. Frekuensi Bapak bepergian ke luar desa dalam tahun 2008 untuk memperoleh informasi yang terkait dengan pasar (harga sarana produksi, harga jual hasil) dan komoditas yang dibutuhkan konsumen____kali b. Frekuensi Bapak bepergian ke luar desa dalam tahun 2008 untuk mengetahui usaha lain yang dinilai lebih menguntungkan____ kali c. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali d. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi ekonomi ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali e. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi lingkungan ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali 29. Keterdedahan terhadap media, terkait dengan usahatani yang dilakukan Bapak/ Saudara (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu): a. Media cetak (1) Koran: tentang _____________________________, _____jam/hari (2) Majalah: tentang ___________________________, _____jam/hari (3) Buku: tentang _____________________________, _____jam/hari (4) Brosur/leaflet: tentang _______________________, _____jam/hari b. Media elektronik (1) Radio: tentang _____________________________, _____jam/hari (2) Televisi: tentang ___________________________, _____jam/hari (3) Telepon genggam (HP) ______________________, _____jam/hari
261 III. DUKUNGAN IKLIM USAHA (X3) 30. Ketersediaan sarana produksi berupa adanya kios sarana produksi yang mudah dijangkau Bapak/Saudara: a. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan benih/bibit (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) b. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan pupuk (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) c. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) d. Benih/bibit dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) e. Pupuk dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) f. Obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) g. Mutu benih/bibit yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) h. Mutu pupuk yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) i. Mutu obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) j. Jarak tempat penjualan benih/bibit dari lahan petani_______km (isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat) k. Jarak tempat penjualan pupuk dari lahan Bapak _______km (isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat) l. Jarak tempat penjualan obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) dari lahan petani_______km (isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat) 31. Ketersediaan fasilitas keuangan dalam mengakses permodalan: a. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke perbankan (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak __________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah) b. Kemudahan petani Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke Lembaga Perkreditan Desa (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah)
262 c. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke koperasi (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah d. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke kelompok tani (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah e. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke rentenir (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah f. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke keluarga/kerabat (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah 32. Ketersediaan sarana pemasaran berupa adanya alat transportasi, prasarana jalan dan pasar (tempat transaksi jual beli): a. Kualitas jalan ke pasar terdekat (isikan: 1= tanah; 2= berbatu; 3= makadam; 4=aspal) b. Alat transportasi yang ada ke pasar terdekat (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) (1) Angkot (2) Ojeg (sepeda motor) (3) Sepeda kayuh (4) Lainnya,__________________________ c. Lokasi pasar terdekat dengan lahan Bapak, jarak:__________km (isikan: 1=dusun; 2=desa; 3=kecamatan; 4=kabupaten) d. Tempat Bapak melakukan transaksi jual beli (isikan: 1=lahan petani; 2=rumah petani; 3=tempat pedagang; 4=pasar) IV. PENYULUHAN (X4) 33. Kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan menurut persepsi Bapak/Saudara: (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Penyuluh mengetahui produksi tanaman b. Penyuluh mengetahui produksi ternak c. Penyuluh dapat menjelaskan suatu teknologi baru sebagai teknologi yang dinilai lebih baik d. Penyuluh mengetahui dengan baik potensi sumberdaya wilayah yang menjadi binaannya e. Penyuluh memahami kebutuhan petani yang menjadi binaannya
263 f. Penyuluh mengetahui budaya masyarakat petani yang menjadi binaannya g. Penyuluh dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan petani secara tuntas dan memberi penjelasan dengan baik h. Penyuluh selalu berpihak kepada petani i. Penyuluh selalu beranggapan bahwa petani setara kedudukannya dengan penyuluh j. Penyuluh dapat berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami petani k. Penyuluh dapat membangun jaringan kerjasama antara petani dengan pihak lain sebagai mitra usaha l. Penyuluh dapat mengembangkan usahatani baru secara berkelanjutan m. Penyuluh selalu mendorong petani untuk mengembangkan kemampuannya 34. Menurut Bapak/Saudara, penyuluh berperan dalam: (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Mengidentifikasi permasalahan petani b. Mengidentifikasi kebutuhan petani c. Mendorong petani untuk berubah d. Membangun dan memelihara hubungan dengan lingkungan petani e. Mendorong petani untuk menerapkan usahatani baru f. Mendorong petani mengembangkan skala usaha yang lebih luas g. Mendengarkan permasalahan-permasalahan petani dalam mengelola usahatani dan mencari pemecahannya h. Mendatangi petani/kelompok tani untuk melakukan kegiatan penyuluhan 35. Materi penyuluhan yang dibutuhkan menurut Bapak/Saudara: a. Informasi tentang usahatani (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) b. Apakah informasi tentang usahatani, sesuai dengan kebutuhan Bapak? (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) c. Sesungguhnya materi penyuluhan yang dibutuhan Bapak saat ini: (isikan: 1=upaya menjaga kesuburan lahan; 2=varietas baru yang unggul; 3=teknik budidaya; 4=cara menjalin kemitraan dengan pengusaha; 5=lainnya,__________________________) 36. Teknik penyampaian penyuluhan yang mudah dimengerti menurut Bapak/ Saudara (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) a. Ceramah b. Diskusi kelompok c. Dialog/tanya jawab d. Petak percontohan/demonstrasi plot e. Urutkan keempat teknik tersebut menurut Bapak, ___________________ 37. Selama tahun 2008, penyuluh menggunakan: a. Brosur/Leaflet, _______ kali b. Poster, _______ kali c. OHP, ________ kali d. Video, _______ kali e. Film, ________ kali f. LCD-P, ______ kali
264 V. PERSEPSI PETANI TERHADAP KARAKTERISTIK INOVASI (X5) A. Teknologi Lokal 38. Penilaian Bapak/Saudara terhadap teknologi lokal (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Apakah teknologi lokal yang Bapak terapkan memberikan keuntungan? b. Apakah untuk menerapkan teknologi lokal diperlukan biaya awal (produksi) yang rendah? c. Bapak merasa lebih nyaman dengan menerapkan teknologi lokal d. Bapak memiliki kebanggaan pada saat menerapkan teknologi lokal e. Dalam mengelola usahatani dengan teknologi lokal, Bapak dapat menghemat waktu f. Dalam mengelola usahatani dengan teknologi lokal, Bapak dapat menghemat curahan tenaga kerja g. Apakah Bapak lebih pasti memperoleh imbalan dari produk yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi lokal? 39. Kesesuaian teknologi (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Teknologi lokal sesuai dengan adat-istiadat ataupun kebiasaan masyarakat petani setempat b. Teknologi lokal telah sesuai dengan pengalaman Bapak selama ini c. Teknologi lokal telah sesuai dengan kebutuhan Bapak 40. Kerumitan teknologi lokal (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Komponen teknologi lokal sangat sederhana, sehingga mudah diterapkan b. Bapak tidak mengalami hambatan secara teknis dalam penerapan teknologi lokal c. Teknologi lokal memungkinkan diterapkan dengan keterbatasan sumberdaya(lahan, modal, tenaga kerja) yang Bapak miliki 41. Teknologi lokal dapat diujicoba (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Teknologi lokal mudah diujicoba di lahan Bapak pada skala terbatas (sempit) b. Pada saat melakukan ujicoba teknologi lokal Bapak merasakan cara bekerjanya sesuai dengan kondisi yang ada pada diri Bapak 42. Teknologi lokal dapat diamati (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Bapak dapat mengamati dengan baik hasil yang dicapai dalam penerapan teknologi lokal b. Keunggulan teknologi lokal mudah untuk diamati dibandingkan teknologi lain yang umumnya rumit c. Teknologi lokal mudah dikomunikasikan kepada petani lain 43. Apakah Bapak/Saudara puas dengan terhadap teknologi lokal? (isikan: 1=puas; 2=tidak puas) 44. Apakah Bapak/Saudara melestarikan (mengajarkan) teknologi lokal kepada keluarga/keturunan? (isikan: 1=ya; 2=tidak)
265 B. Teknologi Usahatani Baru 45. Penilaian Bapak/Saudara terhadap usahatani baru dianggap lebih baik daripada teknologi sebelumnya (lokal) (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Usahatani baru yang dianjurkan lebih menguntungkan dibandingkan teknologi yang telah diterapkan sebelumnya b. Untuk penerapan usahatani baru perlu biaya awal (produksi) yang rendah c. Bapak/Saudara merasa lebih nyaman dengan menerapkan usahatani baru dibandingkan ketika menerapkan teknologi sebelumnya (lokal) d. Bapak/Saudara merasa memiliki kebanggaan pada saat menerapkan usahatani baru e. Dalam mengelola usahatani baru, Bapak/Saudara dapat menghemat waktu f. Dalam mengelola usahatani baru, Bapak/Saudara dapat menghemat curahan tenaga kerja g. Bapak lebih pasti memperoleh imbalan dari produk yang dihasilkan dari usahatani baru 46. Kesesuaian teknologi usahatani baru (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Usahatani baru yang dianjurkan telah sesuai dengan adat-istiadat ataupun kebiasaan masyarakat petani setempat b. Komponen usahatani baru telah sesuai dengan teknologi yang telah diperkenalkan sebelumnya, sehingga Bapak telah memiliki pengalaman dalam penerapannya c. Usahatani baru yang dianjurkan telah sesuai dengan kebutuhan Bapak 47. Kerumitan usahatani baru (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Usahatani baru yang dianjurkan tidak rumit dan mudah diterapkan b. Bapak tidak mengalami hambatan secara teknis dalam menerapkan usahatani baru c. Dengan keterbatasan sumberdaya (lahan, modal, tenaga kerja) yang dimiliki, Bapak dapat menerapkan usahatani baru 48. Usahatani baru dapat dilakukan ujicoba (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Usahatani baru dapat diujicoba dengan baik di lahan yang sempit b. Pada saat melakukan ujicoba usahatani baru Bapak merasakan cara bekerjanya sesuai dengan kondisi yang ada pada diri Bapak 49. Usahatani baru dapat diamati (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Bapak dapat mengamati dengan baik hasil yang dicapai dalam menerapkan usahatani baru? b. Keunggulan usahatani baru dapat diamati dengan baik dibandingkan teknologi sebelumnya (lokal) c. Usahatani baru dapat dikomunikasikan kepada petani lain
266
50. Pengetahuan Bapak/Saudara terhadap usahatani baru (isikan 1=tidak tahu; 2=kurang tahu; 3=tahu; 4= sangat tahu) a. Teknik budidaya tanaman:____________________________________ b. Ternak domba: _____________________________________________ __________________________________________________________ c. Pembuatan kompos dari limbah ternak dan tanaman ________________ __________________________________________________________ d. Upaya menjaga kesuburan lahan:_______________________________ e. Penanganan pascapanen ______________________________________ 51. Apakah Bapak/Saudara puas dengan terhadap teknologi usahatani baru? (isikan: 1=puas; 2=tidak puas) 52. Apakah Bapak/Saudara melestarikan (mengajarkan) teknologi usahatani baru kepada keluarga/keturunan? (isikan: 1=ya; 2=tidak) VI. PENGARUH MEDIA INFORMASI (X6) Bapak/Saudara memperoleh informasi dari media cetak (koran, majalah, buku, leaflet, brosur), media elektronik (radio, televisi, HP, internet) ataupun media interpersonal (penyuluh, ketua kelompok, sesama petani,tokoh masyarakat) yang terkait dengan: (isikan: 1= media cetak; 2= media elektronik; 3=media interpersonal) 53. Cara pengolahan lahan dengan mempertimbangkan upaya menjaga kesuburan lahan (konservasi) Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui ___________________________________ _______________________________________________________________ 54. Jenis (varietas) komoditas pertanian unggulan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 55. Cara tanam komoditas pertanian yang dianjurkan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 56. Pemupukan berimbang dengan memperhatikan kondisi lahan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 57. Pengendalian hama penyakit dengan memperhatikan kelestarian lingkungan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 58. Penanganan pascapanen untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari produk yang dihasilkan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________
267 59. Harga jual produk yang dihasilkan petani di pasaran Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 60. Jenis-jenis dan jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan pembeli Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 61. Mutu produk yang diinginkan pembeli Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ 62. Tujuan (tempat) pemasaran produk yang dihasilkan petani Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________ Pengaruh media interpersonal secara khusus apakah mempengaruhi sikap Bapak/Saudara terhadap beberapa hal di bawah ini: (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) 63. Bapak/Saudara hadir dalam kegiatan penyuluhan tentang usahatani dan berpartisipasi aktif 64. Bapak/Saudara bertukar pikiran dengan petani lain tentang materi usahatani yang disampaikan penyuluh 65. Bapak/Saudara membandingkan antara usahatani baru dengan teknologi sebelumnya ataupun teknologi lokal 66. Bapak/Saudara mempraktekkan usahatani baru dan mempengaruhi petani lain untuk ikut menerapkannya 67. Bapak/Saudara selalu mencoba untuk menanam komoditas baru (isikan 1= tidak pernah; 2=jarang; 3= sering; 4= selalu) 68. Bapak/Saudara selalu memilih komoditas yang ditanam berdasarkan informasi pasar, meskipun beresiko gagal yang tinggi (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) 69. Bapak/Saudara mempunyai ide-ide baru untuk mengatasi persoalan dalam kegiatan berusahatani selama ini (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) 70. Bapak/Saudara selalu mencari sumber informasi untuk mendapatkan caracara baru yang lebih baik dalam berusahatani (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) 71. Bapak/Saudara dalam melakukan kegiatan berusahatani selalu berpikiran produk yang dihasilkan harus bersifat terus menerus (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) 72. Bapak/Saudara berupaya menjalin hubungan kemitraan dengan pihak pemodal yang sekaligus sebagai pembeli selama ini (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
268 Persepsi Bapak/Saudara terhadap manfaat usahatani baru yang dianjurkan (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) 73. Upaya menjaga kesuburan lahan dapat: a. Meningkatkan pendapatan b. Menghemat tenaga kerja c. Menghemat penggunaan sarana produksi: (1) Benih; (2) Pupuk; (3) Obat d. Menghemat biaya sarana produksi e. Meningkatkan kesuburan lahan 74. Pembuatan bokasi, kompos dari limbah ternak dan tanaman, dapat: a. Menyuburkan tanah b. Menghemat biaya pembelian pupuk kimia/anorganik c. Meningkatkan produktivitas hasil d. Memanfaatkan limbah 75. Pengaturan pola tanam dapat: a. Meningkatkan produktivitas hasil b. Mempertahankan kesuburan lahan c. Menekan pertumbuhan gulma dan hama penyakit d. Adanya jaminan pemasaran komoditas 76. Usaha ternak (domba) dapat: a. Meningkatkan pendapatan b. Sebagai tabungan keluarga c. Penganekaragaman usaha d. Sumber pupuk kandang VII. TAHAP KEPUTUSAN (Y1) (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu) 77. Keputusan untuk menerapkan teknologi (lokal ataupun usahatani baru) dilakukan oleh: a. Individu (opsional) b. Kelompok tani (kolektif) c. Pemerintah (otoritas) d. Lainnya____________________________ Sebutkan alasannya_______________________________________________ 78. Pertimbangan Bapak/Saudara dalam menentukan komoditas yang diusahakan berdasarkan pada: a. Benih/bibit mudah didapat b. Penggunaan sumberdaya lahan yang sesuai c. Penggunaan tenaga kerja yang ada/tersedia d. Besarnya biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan e. Mengikuti petani lain yang sudah berhasil 79. Bapak/Saudara dalam menggunakan sarana produksi: a. Hanya menggunakan sarana produksi yang dapat dihasilkan sendiri, seperti bibit/benih dan pupuk kandang b. Disesuaikan dengan ketersediaan modal yang dimilki c. Agar tanaman tumbuh subur d. Mengikuti rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh
269 80. Bapak/Saudara yang telah mengadopsi usahatani baru, keputusan yang dilakukan saat ini: a. Berlanjut mengadopsi, alasan: ___________________________________ ____________________________________________________________ b. Berhenti mengadopsi, alasan: ____________________________________ ____________________________________________________________ 81. Bapak/Saudara yang menerapkan teknologi lokal, keputusan yang dilakukan pada saat ini: a. Mengadopsi usahatani baru, alasan:_______________________________ ____________________________________________________________ b. Tetap menolak usahatani baru, alasan: _____________________________ ____________________________________________________________ 82. Teknologi yang diterapkan petani saat ini _____________________________ _______________________________________________________________ KINERJA USAHATANI (Y2) 83. Produktivitas di tingkat petani tahun 2008: a. Padi: ______________ ton/ha b. Palawija: ___________________________________________________ c. Sayuran: ____________________________________________________ d. Lainnya: ____________________________________________________ 84. Curahan tenaga kerja (TK) pada teknologi lokal per musim a. TK pria: __________ HOK, upah per hari Rp _______________________ b. TK wanita: ________ HOK, upah per hari Rp _______________________ 85. Curahan tenaga kerja (TK) pada usahatani baru per musim a. TK pria: __________ HOK, upah per hari Rp _______________________ b. TK wanita: ________ HOK, upah per hari Rp _______________________ 86. Orientasi usaha Bapak/Saudara (lingkari jawaban yang dipilih): a. Semua produk yang dihasilkan dijual ke pasar b. Semua produk yang dihasilkan hanya untuk konsumsi sendiri c. Sebagian besar produk dijual, sebagian kecil untuk konsumsi sendiri d. Sebagian kecil produk dijual, sebagian besar untuk konsumsi sendiri 87. Jumlah masukan (sarana produksi) yang dibeli tunai tahun 2008: a. Benih/bibit tanaman: __________________________________________ b. Bibit ternak: _________________________________________________ c. Pupuk: ______________________________________________________ d. Obat-obatan: _________________________________________________ 88. Apakah Bapak/Saudara mengetahui jenis dan mutu produk yang diinginkan pembeli? (isikan: 1=ya; 2=tidak) 89. Jika ya, sebutkan ________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________
270 90. Apakah Bapak/Saudara mampu memenuhi jenis dan mutu produk yang Diinginkan pembeli? (isikan: 1=ya; 2=tidak) 91. Jika ya, sebutkan ________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________ 92. Hasil panen Bapak/Saudara: (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu) a. Dijual asalan, tanpa ada penanganan b. Dikeringkan agar kadar air rendah c. Disortir berdasarkan ukuran kecil, sedang dan besar d. Ditempatkan dalam wadah untuk memudahkan pengangkutan 93. Bentuk produk yang dipasarkan Bapak/Saudara berupa: a. Bahan mentah: ________________________________________________ b. Bahan setengah jadi: ___________________________________________ c. Bentuk olahan: ________________________________________________ 94. Pengeluaran rumah tangga Bapak/Saudara dalam tahun 2008 Seminggu Sebulan Uraian (Rp) (Rp) Makanan/minuman: a. Beras b. Mie dan makanan selingan (jajanan) c. Kopi/gula/teh/susu d. Lauk pauk/sayuran e. Rokok/tembakau Non makanan a. Bahan bakar (minyak tanah/gas) b. Penerangan/listrik X c. Pendidikan X d. Kesehatan e. Transportasi f. Pakaian X X g. Sosial/sumbangan X h. Hajatan/selamatan keluarga X X i. Iuran/acara keagamaan X j. Pajak PBB lahan & bangunan X X k. Sabun cuci/mandi,pasta gigi, sampo l. Lainnya Total
Total/tahun (Rp)