Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
KURIKULUM PENDIDIKAN BUDAYA PADA SATUAN PENDIDIKAN RINTISAN CULTURAL EDUCATION CURRICULUM IN THE PILOT EDUCATION UNITS Sutjipto Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud Jl. Gunung Sahari Raya, Nomor 4A, Jakarta Pusat email:
[email protected] Diterima tanggal: 29/04/2013; Dikembalikan untuk revisi tanggal: 24/05/2013; Disetujui tanggal: 02/12/2013 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran terkait dengan upaya pengembangan implementasi kurikulum pendidikan budaya pada 300 satuan pendidikan pada jenjang prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan luar biasa, dan pendidikan kesetaraan yang telah dikembangkan sebagai model rintisan tahun 2012. Penelitian berbentuk deskriptif dengan analisis wacana kritis, dalam arti menghimpun fakta dan mempelajari situasi, pandangan, dan proses yang sedang berlangsung. Informasi utama dikumpulkan melalui data sekunder seperti dokumentasi laporan, hasil fokus grup diskusi, dan pengamatan terlibat. Teknik analisis data yang digunakan deskripsi, dan interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) makin berkembang tumbuhnya budaya ke arah yang positi; 2) norma dan nilai-nilai yang diimplementasikan berpengaruh tidak hanya pada kegiatan setiap hari, tetapi juga memotivasi dan menyemangati; 3) norma dan nilai-nilai tidak saja berfungsi sebagai sarana perekat satu sama lain antarkomunitas, tetapi juga bermanfaat untuk peningkatan keterampilan sosial; 4) norma dan nilai-nilai sebagai pijakan fondasi untuk membangun peradaban yang lebih maju dan humanis bagi masa depan tampak mulai membudaya; dan 5) kemauan pemangku kepentingan yang masih menjadi kelindan masalah dalam pengimplementasian. Kata kunci: implementasi kurikulum, pendidikan budaya, norma, nilai, model rintisan
Abstract: This study aims to obtain a picture related to the implementation of the cultural curriculum development efforts 300 units on preschool education, primary education, secondary education, exceptional education, and educational equality that has been developed as a pilot model in 2012. The technique used in this study include descriptive study. A descriptive study with critical discourse analysis, in the sense of collecting facts and study the situation, outlook, and ongoing process. The main information collected through secondary data such as documentation reports, the results of focus group discussions, and participant observation. Data processed by the implementation of activities, and the results of the model unit activity throughout the pilot study culture curriculum implementation. Data analysis techniques used description, and interpretation. Results showed that: 1) the growth of a culture growing in a positive direction; 2) norms and values are implemented affects not only the daily activities, but also to motivate and encourage; 3) norms and values not only serves as a means of interadhesive one another, but also beneficial for the improvement of social skills; 4) norms and values as the foundation footing to build a more advanced civilization and humane for the future seemed to be entrenched; and 5) the willingness of stakeholders spool still be a problem in the implementation. Keywords: curicullum implementation, cultural education, norms, values, pilot model
472
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
Pendahuluan
kualitas sumber daya manusia, juga meliputi
Judul artikel ini diadaptasi dari salah satu kegiatan
segala manifestasi budaya.
yang terdapat di Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Dengan demikian, internalisasi kurikulum
sejak tahun 2010 hingga 2013. Alasan penulis
pendidikan budaya yang sarat dengan pendidikan
membatasi pada implementasi kurikulum pen-
nilai, dan pendidikan watak memang sangat
didikan budaya, karena budaya merupakan suatu
diperlukan karena adanya kebutuhan nyata dan
aktivitas pembelajaran yang mengantarkan cara
mendesak. Kurikulum pendidikan budaya perlu
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
dikembangkan di setiap satuan pendidikan agar
satuan pendidikan, dan menjadi tolok ukur pada
pembelajaran yang dijalani peserta didik guna
kelakuan peserta didik, seseorang, masyarakat,
mengembangkan potensi dirinya tidak lepas dari
dan bangsa dengan budaya sebagai panduan
lingkungan di mana peserta didik berada dalam
perilakunya.
kancah budaya.
Sementara itu, budaya sebagai dinamika
Berangkat dari pemikiran hal itu, maka
kehidup an manusia ak an terus ber kembang
kurikulum pendidikan budaya yang diterapkan di
sejalan dengan perkembangan zaman. Perkem-
satuan pendidikan rintisan, baik negeri maupun
bangan-perkembangan tersebut tidak dapat
swasta diharapkan mampu berperan sebagai
disangkal adanya pengaruh dari pendidikan.
ag en p erub ahan bag i pe ning kata n kualit as
Pesatnya perkembangan iptek seiring dengan
sumber daya manusia yang berbudaya dengan
proses globalisasi, misalnya, memungkinkan
tetap berpatokan pada etika dan tingkah laku
terjadinya perubahan strata sosial dan budaya.
keindonesiaan. Model implementasi kurikulum
Dar i di mensi ek ster nal, fenomena te rseb ut
pendidikan budaya tersebut merujuk pendapat
menggambarkan perkembangan dan kemajuan
Ndraha (1997) yang menyatakan bahwa proses
manusia dan sekaligus menimbulkan pertemuan
pembudayaan dapat terjadi dengan cara: 1)
antarbudaya (cultural encounter). Kondisi ini
kontak budaya; 2) benturan budaya; dan 3)
berakibat pada terjadinya sengketa norma dan
penggalian budaya.
kegoyahan nilai, yang selama ini diyakini dan
Model itu dikembangkan dengan dilandasi
dijunjung tinggi oleh suatu entitas yang dikenal
oleh asumsi bahwa pembentukan budaya tidak
dengan “nega ra-b angsa”. H al i tu m enur ut
dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap,
Sarason (1971) bagaimana perubahan-peru-
namun memerlukan waktu yang cukup lama, dan
ba han
bahkan memerlukan sumber daya yang tidak
memp enga ruhi
lingkungan
satuan
pendidikan yang beragam secara budaya.
sed ikit . Ur gensi pe ndid ikan bud aya, tel ah
Secara sosiologis dan psikologis, komunitas
dinyatakan pada Sarasehan Nasional Pendidikan
yang paling mudah terkena pengaruh fenomena
Budaya dan Karakter Bangsa, bertempat di Hotel
budaya global itu adalah peserta didik. Fenomena
Bumikarsa, Jakarta. Kegiatan tersebut tanggal 14
ini menjadi tantangan bagi Kementerian Pen-
Januari 201 0 te lah m enghasil kan be bera pa
didikan dan Kebudayaan. Apakah era globalisasi
rekomendasi, satu di antaranya adalah bahwa “
akan berakibat pada kemerosotan atau degradasi
Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
nilai yang bermuara pada terjadinya krisis nilai dan
dikembangkan secara komprehensif sebagai
krisis budaya? Atau sebaliknya, akan dengan arif
proses pemb uday aan” (Ke mdik nas, 201 0).
dan bijaksana menyikapi situasi perubahan ini dan
Rekomendasi itu, membawa misi jelas bahwa
mengambil tindakan yang tepat untuk pendidikan
kurikulum pendidikan budaya secara kelem-
demi sendi-sendi budaya.
bag aan
Kotter dan Heskett (1998) berpendapat
p erlu
“dib umik an”
dala m
si st em
pendidikan.
bahwa pada tingkatan yang lebih dalam, nilai-nilai
Kurikulum pendidikan budaya yang telah
yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok
diimplementasikan ke 300 satuan pendidikan
da n ce nder ung bert aha n se panj ang wakt u,
rintisan berintikan seperangkat norma dan nilai-
bahkan mesk ipun ang gota kel ompok sudah
nilai. Nilai-nilai yang dikembangkan, tentunya tidak
berubah. Hal yang dianggap penting di samping
dapat dilepaskan dari melestarikan dan me-
473
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
wariskan nilai-nilai budaya. Pengembangan model
kontek s
satuan pendidikan rintisan implementsi pendidikan
pembudayaan guna menuju perbuatan budaya.
budaya menyebar di 44 kabupaten / kota dari 33
sosio- buda ya
itu
seba gai
proses
Pembudayaan dimaksud pada garis besarnya
provinsi, dan secara keseluruhan berjumlah 300
mel iput i
satuan pendidikan, yang mencakup: PAUD/TK, SD,
menguasai alam lingkungannya, memahami dan
pe nyia pan
manusia
pemb elaj ar
SMP, SMA, SMK, PLB, dan PKBM (SKB).
melaksanakan nilai-nilai dan norma yang berlaku,
Dalam internalisasi norma dan nilai, setiap
melakukan peranan yang sesuai, menyeleng-
satuan pendidikan diberikan kebebasan seluas-
garakan kehidupan yang layak, dan meneruskan
luasnya dalam menyusun dan melaksanakan
kehidup an g ener asi orangtua mer eka dan
kurikulum budaya berdasarkan analisis kon-
sekaligus mempersiapkan mereka agar dapat
teksnya. Dengan demikian, di masing-masing
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan
satuan pendidikan akan muncul aneka ragam
hidup secara tepat di masa yang akan datang.
perbedaan. Penyesuaian ini diharapkan akan
Dengan demikian, misi pendidikan sesungguhnya
leb ih m emud ahka n di dal am m enge nalk an,
me rupa kan pila r pe nya ngga bag i te gaknya
menanamkan, dan menginternalisasikan pen-
budaya bangsa.
didikan budaya. Oleh karena itu, peneliti menjadi
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik
tertarik untuk memperoleh gambaran tentang
kesimpulan bahwa pendidikan adalah bimbingan
kurikulum pend idik an buda ya p ada satuan
atau pertolongan yang diberikan oleh orang
pendidikan rintisan yang dilaksanakan selama ini.
dew asa kepa da p erke mbangan anak unt uk
Atas dasar uraiaan latar belakang, per-
me ncap ai k edew asaa nny a me lalui ti ndak an
masalahan yang dirumuskan dalam penelitian,
budaya. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20
yaitu bagaimana gambaran hasil implementasi
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
kurikulum pendidikan budaya pada komunitas
ba hwa pend idik an a dal ah usaha sad ar d an
satuan pendidikan rintisan yang berkembang
terencana untuk mewujudkan suasana belajar
sebagai perilaku sehari-hari.
dan proses pembelajaran agar peserta didik
Tujuan dar i pe neli tia n ini ad alah unt uk
secara aktif mengembangkan potensi dirinya
memperoleh informasi berkait dengan gambaran
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
hasil implementasi kurikulum pendidikan budaya
pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta
atas upaya pengembangan model rintisan di 300
keterampilan yang diperlukan dirinya, masya-
satuan pendidikan yang difasilitasi oleh Puskurbuk
rakat, bangsa dan negara (Ditjen Dikdasmen,
pada tahun 2012.
2003a).
Kajian Teori
Pengertian Budaya
Pengertian Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang ditulis
Pe ndid ikan ada lah
proses p engi nteg rasi an
Suharso dan Ret noni ngsi h (2 005) bud aya
beberapa komponen yang mempunyai hubungan
diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-
antara satu dengan lainnya. Hal ini selaras dengan
istiadat. Kini, satu yang berkembang, budaya
yang dinyatakan oleh Djamarah (2000) bahwa
dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis,
pendidikan sebagai suatu sistem, tidak lain dari
bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak
suatu totalitas fungsional yang terarah pada
lagi diartikan sebagai sebuah kata benda, kini
suatu tujuan secar a d inam is d alam sua tu
lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang
kesatuan kegiatan.
dihubungkan dengan kegiatan manusia.
Sebagai kegiatan, Rasyidin (2007) menge-
Secara etimologis pengertian budaya dalam
muk akan bahwa p endi dika n se baga i up aya
bahasa Inggris disebut culture,
manusia untuk manusia adalah aspek dan hasil
kata Latin Colere, yang berarti membajak tanah,
budaya terbaik yang mampu disediakan setiap
mengolah, memelihara ladang (Poespowardojo,
generasi komunitas manusia untuk kepentingan
199 3). Ahli lai n, K oent jara ning rat (197 4)
generasi ma nusi a muda a gar mela njut kan
mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan
kehidupan dengan cara hidup mereka dalam
sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
474
yang berasal dari
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
dal am r angk a ke hidupan masy arak at y ang
itu karena mereka berinteraksi satu sama lain
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
dalam memenuhi tugas dan kewajibannya.
Dua pe ndap at i ni m ema nife stasikan bahwa
Dalam lingkup tatanan dan pola, hasil budaya
budaya adalah pencapaian manusia dalam cara
memiliki dimensi yang dapat diukur yang menjadi
hidup, dan berpenghidupan.
ciri khasnya, seperti: 1) tingkat tanggung jawab,
Menurut antropolog Geertz (dalam Stolp &
kebebasan dan independensi dalam berinisiatif;
Smith, 1995) budaya adalah pola pemahaman
2) sejauh mana para personal satuan pendidikan
terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan
dianjurkan dalam bertindak progresif, inovatif dan
secara eksplisit maupun implisit. Ahli antropologi
berani mengambil risiko; 3) sejauh mana satuan
lain, seperti Wissler, Kluckhon, dan Hoebel (dalam
pendidikan menciptakan dengan jelas visi, misi,
Koentjaraningrat, 1997) berpendapat bahwa
tujuan, sasaran, dan upaya mewujudkannya; 4)
budaya ada lah sega la t inda kan yang har us
seperti apa jumlah pengaturan dan pengawasan
di biasakan
be laja r.
langsung yang digunakan untuk mengawasi dan
Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa untuk
mengendalikan perilaku personal; dan 5) sejauh
pembentukan budaya memerlukan adanya upaya
mana komunikasi antarpersonal dibatasi oleh
untuk belajar, melakukan tindakan, dan melalui
hierarki yang formal (diadopsi dari Robbins, et al.,
pembiasaan (habituasi).
2012).
ole h
ma nusia
d enga n
Premis tersebut dapat dimaknai bahwa mutu
Cakup an buday a sebagai mana diungkap
pendidikan dapat ditingkatkan melalui penguatan
Robbins tersebut dapat dimaknai bahwa sistem
pe mbel ajar an g una menumbuhkemb angk an
sosial yang terbentuk akan menjadi dasar dan
budaya, di mana budaya satuan pendidikan
konsep yang be rlak u p ada tata nan sosi al
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
masyarakat tersebut. Dapat dikatakan bahwa
dimiliki bersama oleh komunitas satuan pendidikan
budaya satuan pendidikan bukan hanya refleksi
yang bersangkutan dan diwariskan dari generasi
dari sikap para personal, namun juga merupakan
ke generasi. Budaya tersebut terbentuk dari
cerminan kepribadian satuan pendidikan yang
banyak unsur yang rumit, termasuk agama, adat
ditunjukkan oleh perilaku individu dan kelompok
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dalam sebuah satuan pendidikan itu.
dan karya seni.
Budaya satuan pendidikan adalah nilai-nilai
Peterson (dalam Cromwel, 2002) menyatakan
domina n ya ng d iduk ung oleh fal safa h ya ng
budaya satuan pendidikan merupakan pola-pola
menuntun kebijakan terhadap semua unsur dan
yang mendalam, kepercayaan, dan tradisi yang
komponen termasuk stakeholders pendidikan.
terbentuk dari rentetan/rangkaian sejarah satuan
Ole h kare na itu, buda ya sa tuan p endidi kan
pendidikan yang dimiliki oleh para pendidik/guru,
merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan
peserta didik dan kepala sekolah. Sementara itu,
norma-norma yang diterima secara bersama,
Deal (dalam Marsh, 1996) menyatakan bahwa
serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran,
“culture is a concept that captures the subtle,
yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan
elusive, intangible, largely unconscious force that
pem aham an y ang sama di anta ra selur uh
shape a society or a workplace”. Ahli lain, Deal &
komunitas.
Peterson (1990) menyatakan bahwa “School
Menurut Stolp & Smith (1995) budaya dibagi
cultures are complex webs of traditions and rituals
menjadi tiga wujud, yaitu: 1) artefak/karya-di
that have been built up over time as teacher, student,
permukaan; 2) nilai-nilai dan keyakinan-di tengah;
parents, and administrators work together and deal
dan 3) asumsi-di dasar. Artefak adalah lapisan
with crises and accomplishment”.
budaya yang paling mudah diamati seperti aneka
Dari tiga pendapat di atas dapat dimaknai bahwa
b uday a
sa tuan
pendidi kan
adal ah
sekumpulan tradisi dan ritual yang kompleks,
hal ritual sehari-hari, berbagai upacara, bendabenda simbolik, dan aneka ragam kebiasaan yang berlangsung.
tidak mudah dilihat, sulit dipahami yang telah
Lapisan budaya yang lebih dalam berupa nilai-
dibangun sepanjang waktu sehingga membentuk
nilai dan keyakinan-keyakinan yang ada, ini
norma, nilai, dan keyakinan. Terbentuknya ritual
menjadi ciri utama lembaga, sebagian berupa
475
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
norma-norma perilaku yang diinginkan oleh
kata-kata; 2) perilaku nonverbal: ungkapan dalam
lembaga/satuan pendidikan seperti ungkapan
tindakan; dan 3) benda hasil budaya: arsitektur,
rajin pangkal pandai dan berbagai penggambaran
eksterior dan interior.
nilai dan keyakinan lainnya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas
Lap isan yang pal ing d alam dari bud aya
maka budaya yang dimaksud dalam penelitian ini,
adalah asumsi-asumsi, yaitu simbol-simbol nilai-
mengadop istilah Mulyana dan Rakhmat (2006)
nilai dan keyakinan yang sukar dikenali tetapi
adalah suatu pola hidup menyeluruh komunitas
terus-menerus berdampak terhadap perilaku
satuan pendidikan atas norma / kaidah, nilai-nilai,
suatu komunitas. Secara skematis lapisan budaya
dan keyakinan yang terjadi yang melandasi dalam
sebagaimana disebut di atas digambarkan pada
setiap interaksi untuk mencapai tujuan, baik
Gambar 1 berikut.
individu maupun tujuan kelompok. Ada pun yang Artefak
dim aksud norma
adal ah
ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman dan panduan dalam bertingkah laku dipilah ke dalam: 1) aspek kehidupan pribadi, meliputi norma
Nilai-nilai dan keyakinan
agama, dan norma moral/kesusilaan; 2) aspek kehidupan antarpribadi, meliputi norma sopan
Asumsi
santun/adat/kebiasaan, dan norma tata tertib. Dimaksud nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
Gambar 1. Tingkat Pengorganisasian Budaya Sumber: Schein, Edgar H. (1992)
Deal dan Kennedy (dalam Rahmat, 2001) menyatakan bahwa budaya dapat dilihat dari tiga tataran, yaitu: 1) tataran nilai yang dianut (terbuka terhadap inovasi, kompetitif, independen, bertanggung jawab, moralitas dan disiplin); 2) tataran praktik seharian (kesungguhan, inisiatif, de dika si, orie ntasi te rha dap proses b elaj ar mengajar); dan 3) simbol-simbol budaya (penataan dan pengaturan ruang dan tempat, penampilan karya peserta didik dan motto). Adapun Dananjaya (2010) menyatakan bahwa kategori nilai-nilai dipandang sebagai tiga objektif, yakni: 1)
yang
penting ,
pe mili han
berd asar kan
pentingnya kebutuhan; 2) yang baik, pemilihan berdasarkan moral, atau kesadaran etik; dan 3) yang benar, pimilihan berdasarkan perhitungan logika. Dar i pe ndap at t iga ahli ter sebut da pat dikatakan bahwa budaya merupakan aset yang bersifat abstrak, unik, dan senantiasa berproses dengan dinamika yang tidak sama antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan lain. Hal ini selaras dengan Ditjen Dikdasmen (2003b) bahwa budaya satuan pendidikan dapat dikenali sebagai artifak seperti: 1) perilaku verbal: ungkapan lisan/tulis dalam bentuk kalimat dan
476
seluruh komunitas. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, dan hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati, sedangkan keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh seseorang saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Untuk kurikulum, penulis merujuk pengertian yang te rdap at da lam Pera turan Pem erintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yakni kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelaj aran ser ta cara yang dig unak an sebag ai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembela jara n untuk mencapai tuj uan pend idik an tertentu. Dalam penelitian ini ditelusuri gambaran kurikulum pendidikan budaya melalui kebiasaankebiasaan berupa: (1) norma: agama, moral/ kesusilaan, sopan santun/adat/kebiasaan, dan tata tertib; dan (2) nilai: benar-salah, baik-buruk, bersih-kotor yang mesti dipahami, dirasa, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas satuan pendidikan rintisan baik di prasek olah,
pe ndid ikan
dasar,
pend idik an
menengah, pendidikan khusus (PLB) maupun pendidikan nonformal.
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
Metode Penelitian Penelit ian
ini
Penelaahan terhadap laporan kegiatan dapat deskrip tif
disintesiskan bahwa norma dan nilai umumnya
(descriptive research) dengan analisis wacana
berb entuk
diinternalisasikan dengan kesungguhan hati di
peneliti secara kritis. Metode deskriptif juga
hampir semua PAUD/TK. Hal tersebut dilakukan
merujuk pendapat Crowl (1996), menurutnya,
karena para guru umumnya yakin cara itu adalah
deskriptif adalah menggambarkan dengan tujuan
motor penggerak budaya yang bisa mengubah
untuk dapat menerangkan dan memprediksi suatu
peserta didik satuan pendidikan di PAUD/TK yang
ge jala yang be rlak u at as d asar dat a ya ng
nantinya diharapkan menjadi orang-orang yang
diperoleh di lapangan. Prosedur penelitian berupa
berbudaya. Meski di awal banyak tantangan,
analisis hasil, pembahasan, penafsiran, dan
menurut para guru, umumnya satuan pendidikan
generalisasi. Informasi dikumpulkan dari data
PAUD/TK pada gilirannya mampu menjadi “best
sekunder dengan menggunakan teknik doku-
pract ice” dan peri nti s model di daer ahny a.
mentasi dari hasil-hasil kegiatan yang dihimpun
Demikian pula budaya yang tidak produktif yang
dari kegiatan tahun 2012, diskusi secara terfokus
selama ini jadi stigma, menurut guru, mulai
(focus group discussion), dan terlibat peran dalam
berkurang. Selain itu, sejumlah perilaku sosial
amatan kegiatan.
yang pantas, layak, dan baik sebagai norma dan
Data utama diolah
ka jian
berdasarkan pelaksanaan
bernilai, menurut guru, sebisa mungkin dibiasakan.
kegiatan, dan laporan kegiatan di Pusat Kurikulum
Pelan-pelan, menurut sebagian besar kepala
dan Perbukuan tahun 2012 (Puskurbuk, 2012).
satuan pendidikan PAUD/TK, semua itu mulai
Secara konseptual hasil penelitian akan mendes-
nampak hasilnya. Diakui oleh mereka bahwa itulah
kripsikan fakta/kejadian pada saat itu (Sax, 1979;
cara PAUD/TK difasilitasi dan didorong untuk tiada
Sudjana & Ibrahim 1989). Secara tidak langsung
lelah menginternalisasikan norma, nilai, dan
penelitian ini juga bisa menggambarkan sebagai
keyak inan untuk bekerja sama memb angun
studi kasus suatu model. Untuk itu, penulis
sekolahnya. Dengan itu, tumbuh percaya diri
merujuk pendapat Vredenbreght (1978) studi
sehingg a se mua orang di PAU D/TK mer asa
kasus b ertujuan unt uk memperkem bangkan
bermakna ketika dirinya mendapatkan kurikulum
pengetahuan yang mendalam mengenai objek
pendidikan budaya yang layak.
secara eksploratif.
Bagi TK yang berorientasi Islam, terungkap
Tek nik anal isis dat a me rujuk pe ndap at
bahwa umumnya sekolah membuat beberapa
Fairclough (1997), yaitu deskripsi dan interpretasi.
kebiasaan yang Islami yang berlaku selama di
Pada deskripsi, data yang diperoleh diuraikan
sekolah maupun di rumah. Kegiatan setiap hari,
secara sistematis dan faktual. Pada interpretasi,
menurut guru: 1) doa-doa harian merupakan ritual
hasil pendeskripsian kemudian dianalisis dan
wajib, yaitu diterapkan saat mulai belajar-saat
sekaligus dikemukakan penjelasannya. Fokus
mau m akan bersama dan sa at akan p ulang
grup di skusi da n pe ngam atan ter liba t juga
se kola h; 2 ) ta ta cara ber paka ian deng an
bersifat pe nguat informasi. Dat a dimaksud,
berbusana muslim; 3) pengawasan terhadap
dihimpun dan dikaji dari hasil kegiatan pada 300
pergaulan laki perempuan; dan 4) menghafal
satuan pendidikan rintisan yang tersebar di 44
surat-surat pendek.
kabupaten/kota dari 33 provinsi.
Mengajarkan anak didik untuk berbagi, juga terungkap dalam FGD. Berbagi, menurut guru,
Hasil Penelitian dan Pembahasan
amat bervariasi, namun biasanya dilakukan setiap
Gambaran norma dan nilai pada prasekolah
memasuki bulan Rama dhan. Dalam FGD itu
(PAUD/TK)
terungkap pula bahwa di PAUD/TK umumnya
Hasil kajian dari 44 laporan kegiatan tahun 2012,
diterapkan pola bermain yang islami, menanamkan
ditambah dengan sintesa diskusi secara terfokus
ke biasaan deng an k eut amaa n ak hlak mul ia
(focus group discussion), dan diperkaya hasil
seperti senyum, sapa, salam, sopan dan santun,
peng amatan terliba t dide skripsi kan seb agai
memungut sampah yang terlihat, membuang
berikut.
sampah pada tempatnya, adab di kelas, adab makan dan mensyukuri makanan, mengenalkan
477
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
Allah dan Rasulullah, cinta lingkungan, senam,
semakin agamis atau setidaknya mereka melihat
menanam dan memelihara tanaman, dan lain
hasil pendidikan anak-anaknya.
sebagainya.
Keyakinan lain juga menguat, bahwa bila
Kurikulum pendidikan budaya itu diyakini,
peserta did ik m emahami makna ag amanya
dianggap mampu menyiapkan anak didik menjadi
dengan benar serta menjalankan segala aturan
manusia berbudaya. Itu kesan yang ditangkap dari
agama tersebut, diyakini oleh guru, maka di
hasil pengamatan terlibat di 44 PAUD/TK. Lewat
kemudian hari akan tercermin melalui kemuliaan
kurikulum tersebut, seseorang memiliki aturan
perilaku yang ditunjukkan dalam bentuk akhlak
hidup untuk bertingkah laku yang harus atau tidak
sehari-hari.
boleh dilakukan. Hal itu dijadikan sebagai tolak
Menurut guru yang penting terletak pada
ukur di dalam mengevaluasi perbuatan seseorang
sejauh mana proses internalisasi dari norma dan
di ling kung an PAUD/ TK. Misa lnya : 1) tid ak
nilai itu disuntikkan kepada fitrah keyakinan
sembarang meludah; 2) memberi atau menerima
peserta didik terhadap kurikulum budaya dalam
sesuatu dengan tangan kanan; 3) tidak kencing
me ncar i
di sembarang tempat; 4) tidak berkata-kata
Mengutip pernyataan Salahudin (Kompas 30/11/
kasar; 5) menyapa dengan ramah kepada orang
201 3), yait u im an y ang bersimpuh da lam
lain; 6) membantu orang lain yang kena musibah;
keheningan mistik (mytic silence) menggetarkan
7) membiasakan cara makan yang baik; 8) tidak
sekaligus iman yang “hidup dalam kekudusan”.
mengganggu/menggoda teman; 9) patuh kepada orang tua; dan 10) tidak pemarah.
ke bena ran
yang
mengget arka n.
Dengan demikian, upaya “kebaikan”, dianggap sebagai medan yang bersifat mengikat
Temuan lain, agar anak nyaman dan tidak
pemahaman dan keyakinan yang mesti dianut oleh
cepat bosan, maka kelas harus selalu diciptakan
komunitas dalam memandu tingkah laku yang
da lam suasana riang d an g embi ra. Pemb e-
harus dilakukan. Kehidupan atas norma, dan nilai-
lajarannya, mesti di selingi oleh berbagai ragam
nilai bisa dijadikan sebagai titik berangkat yang
keriaan seperti tepuk tangan sambil bernyanyi.
dihayati sebagai bentuk sukacita. Dengan begitu,
Dari ketiga deskripsi yang disintesiskan dari
kurikulum budaya bisa menjadi penggerak untuk
ket iga alat pengump ul d ata di a tas, dap at
melahirkan anak-anak yang beradab dan ber-
dijelaskan lebih lanjut bahwa sejatinya ada hal
budaya. Bahkan, menurut Amartya “budaya juga
yang lebih penting yang melampaui kebiasaan
bisa menjadi kekuatan dalam pembangunan yang
sebagaimana diungkap, yaitu adanya ketentuan-
berkelanjutan” (Kompas, 26/11/2013).
ketentuan yang menjadi pedoman dan panduan
Gambaran sebagaimana dideskripsikan di
dalam bertingkah laku yang harus atau tidak boleh
atas, dapat d itarik k esimpula n bahwa pada
dilakukan dan bersifat mengikat bagi peserta didik
komunitas satuan pendidikan PAUD/TK umumnya
yang berlandaskan pada agama, norma, dan nilai
makin berkembang tumbuhnya suasana satuan
di PAUD/TK. Rasionalitas temuannya, beragama
pendidikan (school climate) ke arah perubahan.
yang merupakan ruh dari norma dan nilai dengan
Dalam arti, mampu mengubah diri dan lingkungan
segala imperatif etiknya sebagai modus per-
ke arah yang lebih baik dan lebih berbudaya.
gumulan pada dasarnya melakukan perbaikan diri
Bagaimana komunitas PAUD/TK berpikir dan
tanpa mengenal henti. Dengan demikian, peserta
bertindak umumnya dibiasakan atas agama yang
didik di PAUD/TK yang mempelajari dan men-
dianut, berpegang pada moral / kesusilaan secara
jalankan ajaran norma dan nilai agama dengan
konsisten, berperilaku sopan dan santun kepada
baik diharapkan akan merasakan keindahan dan
sesama, tersenyum saat bertemu orang, berkata
kebaikan dari ajaran agama itu.
lembut dan tidak kasar, meminta maaf dengan
Temuan studi pada model PAUD/TK umumnya
segera, dan taat pada tata tertib sekolah.
meyakini bahwa kehidupan keagamaan harus membumi dal am pikiran, hati, da n perilaku
Gambaran norma dan nilai pada pendidikan
penghuninya. Saat anak kembali ke rumah,
dasar (SD dan SMP)
perilaku itu juga membuat masyarakat rumah
Pengkajian laporan kegiatan dari 64 SD dan 44
yang bersinggungan juga membuat hidup yang
SMP model, ditambah dengan sintesa diskusi
478
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
secara terfokus (focus group discussion), dan
Hasil peng amatan terlibat me nunjukkan
diperkaya hasil pengamatan terlibat dapat dides-
sebagian besar guru SD dan SMP, meyakini bahwa
kripsikan sebagai berikut.
tugas pendidik bukan hanya menyiapkan peserta
Hasil kajian terhadap data sekunder ter-
didik dengan kemampuan pragmatis. Tugas yang
ungkap bahwa norma, nilai-nilai, dan keyakinan
tidak kalah penting, menurut guru, ialah membuat
yang diinternalisasikan kepada peserta didik SD
anak lebih beradab dan berbudaya. Dengan
dan SMP menurut guru, umumnya dimaknai
demikia n, sekolah d apat membawa dampak
sebagai penggerak vital dalam perkembangan
kebaikan bagi semakin banyak orang. Satuan SD
peradaban manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan.
dan SMP menyadari bahwa yang paling krusial
Begitu pula keberhasilan SD dan SMP tak hanya
tugas sekolah tidak hanya membawa peserta didik
merupakan keberhasila n peserta didik lulus
“lulus”, tetapi yang terpenting harus mampu
sekolah, tetapi juga misi budaya, yaitu yang
menunjukkan, menemani, dan membuat anak
mampu mengarahkan ke hidup yang baik dengan
didik fasih menghadapi ketegangan-ketegangan
sesama. Di SD dan SMP, menurut guru, peserta
norma dan nila i ya ng mena ndai kehidup an
didik umumnya mulai mampu menganalisis antara
kekinian.
tindakan individual, tindakan kolektif, dan tindakan
Budaya menjemput peserta didik di pintu
atas dasar tataran tata tertib/peraturan yang ada.
gerbang sekolah di pagi hari sambil bersalaman
Di samping itu, beragama dan bermoral baik,
yang agamis, misalnya adalah salah satu contoh
menurut guru merupakan proses di mana peserta
untuk membuka jalan bagi peserta didik guna
di dik
melakukan salah satu fungsi sosial pendidikan.
yang dia ngga p ma mpu mene gakk an
kebajikan dan menghilangkan kemungkaran.
Dengan perilaku seperti yang ditunjukkan dapat
Belajar, terutama di SD merupakan suasana
dimaknai bahwa pemangku kepentingan di SD dan
menyena ngka n untuk memb ent uk b uday a.
SMP sad ar b ahwa sat uan pend idik an j uga
Menurut guru dan kepala sekolah hal tersebut
berfungsi sebagai instrumen yang efektif untuk
merupakan salah satu parameter keberhasilan,
memperkuat kohesi sosial, misalnya menanamkan
demikian yang terungkap dalam FGD. Kalau banyak
perilaku yang agamis, bermoral/kesusilaan, sopan,
peserta didik bolos, misalnya, menurut mereka
santun, salam dan salaman serta kebiasaan yang
iklim di SD maupun di SMP pasti kurang menye-
berlaku di masyarakat.
nangkan. Ukuran keberhasilan salah satunya
Dari ketiga deskripsi hasil di atas dapat
dimaknai bila peserta didik senang belajar dan
dij elaskan lebi h la njut bahwa d alam upa ya
bisa belajar dengan senang di sekolah. Menurut
implementasi kurikulum pendidikan budaya,
guru, proses p embe laj aran di SD d an SMP
nam pak kesa dara n komuni tas SD d an SMP
umumnya dibangun berdasarkan kegembiraan
memiliki tanggung jawab yang cukup kuat untuk
peserta didik dan guru.
melakukan perbaikan terhadap budaya bangsa
Menurut mereka, guru sendiri harus memberi
Indonesia secara menyeluruh. Betapa pun belum
contoh dan teladan tetang sesuatu yang luhur,
berhasil membudaya, SD dan SMP tetap menjadi
yang juga bersifat humanis. Dalam arti, bahwa
awal yang signifikan sebagai usaha bersama
setiap orang harus dihormati sebagai pesona,
membangun pendidikan yang lebih baik. Hal itu
sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan
se lara s
karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk, laki-
Mohammad Nuh pada pembukaan Forum Budaya
laki atau perempuan. Di SD dan SMP, menurut guru,
Dunia (WCF), Minggu (24/11/2013) di Bali bahwa
mampu mengarahkan komunitas untuk mem-
“Pembangunan berkelanjutan tidak cukup dilihat
bangun nilai-nilai sikap baik saat berhadapan
dari aspek ekonomi, politik, dan lingkungan, tetapi
dengan siapa saja. Dengan demikian, SD dan SMP
ada aspek budaya yang lebih mengedepankan sisi
disimpulkan cukup mampu membangun suasana
manusianya” (Kompas, 25/11/2013).
de ngan
per nya taan
Mendikb ud
masyarakat sekolah yang bernafaskan kebera-
Temuan lain yang perlu dideskripsikan, yakni
daban dengan mengetengahkan nilai-nilai yang
SD dan SMP umumnya telah berupaya menyu-
agamis, kebaikan, dan humanis.
guhkan fakta yang lebih dari sekadar teori. Masing-masing sekolah memiliki masalahnya
479
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
se ndir i da lam peng impl ementasi an, teta pi
Dan hal itu bisa bergulir, menurut kepala sekolah
sejumlah pola umum dapat diklasifikasikan ketika
karena dimulai dari keteladanan guru dan mereka.
mengkaji hasil FGD dan amatan terlibat lewat isu-
Kebiasaan salam, salaman, senyum, sapa, berkata
isu utama yaitu: 1) kemungkinan kesulitan meng-
lembut dan tidak kasar saat bertemu orang,
ubah pola pikir pendidik yang telah mengakar
disiplin terhadap tugas dan waktu, mulai suka
puluhan tahun; 2) kurang peduli para pemangku
dengan banyak hal yang walau pelan namun mulai
kepentingan di daerah yang sempat mengemuka;
nampak menjadi budaya di SD dan SMP. Sisi
3) heterogenitas kemampuan tim Puskurbuk
lainnya, juga ditemukan bahwa peserta didik
dalam pendampingan ke sekolah. Namun, semua
umumnya makin tertib, makin teratur, makin sopan
itu bukan menjadi hambatan, melainkan malah
dan santun, dan makin cinta kebersihan.
dijadikan “pasar” pengembangan. Mengingat bukan saja pendidikan yang diperlukan anak
Gambaran Norma dan Nilai pada Pendidikan
manusia, tetapi juga pencerahan, pendidikan akal
Menengah (SMA dan SMK)
budi, watak atau karakter, kepribadian, kejujuran,
Pengkajian dari 45 SMA dan 39 SMK atas laporan
dan ketulusan yang kesemuanya itu merupakan
kegiatan, sintesa dari diskusi secara terfokus
norma dan nilai-nilai yang mesti diperhatikan.
(focus group discussion), dan diperkaya hasil
Demikian pula yang telah ditempuh, proses internalisasi norma dan nilai di SD dan SMP secara
pengamatan terlibat dapat dideskripsikan sebagai berikut.
benar akan pula mengantarkan anak didik untuk
Pe nela ahan ter hada p la pora n ke giat an
terbiasa memberi terhadap sesamanya yang
ter ungk ap b ahwa di SMA dan SMK teng ah
diekspresikan dalam bentuk cinta dan kasih
menggeliat budayanya. Guru dan kepala satuan
sayang terhadap sesama dan makhluk-makhluk
pendidi kan umum nya meny ampa ikan kesan
yang lain. Untuk membangkitkan gairah budaya
bahwa peserta didik tak hanya lebih tertib, sopan
peserta didik, menurut guru, revitalisasi kurikulum
dan santun, tetapi juga agamis dan bersusila
pendidikan budaya perlu dilakukan mulai dari yang
sekolah di sana. Alasannya, terungkap, kini
paling sederhana, misalnya senyum, salam, dan
mereka memiliki guru-guru yang ramah, manu-
salaman.
siawi, dan bisa menjadi “teman” yang menye-
Di sisi lain, tampak SD dan SMP meyakini bahwa agama,
nangkan. Bentakan, misalnya sudah tidak dijumpai
moral/kesusilaan, sopan santun/
lagi di sekolah. Temuan lain, menurut guru,
adat/kebiasaan, dan tata tertib, benar salah, baik
membangun budaya peserta didik bukanlah hal
buruk, bersih kotor bisa menjadi faktor yang turut
mudah. Guru umumnya tidak terlalu merasa cemas
menentukan masa depan kehidupan masyarakat
kalau anak didiknya tidak pandai mata pelajaran
yang harmoni. Apalagi, agama, misalnya, senan-
tertentu. Mereka jauh lebih cemas jika peserta
tiasa mempunyai pesan dasar yang berguna
didik tak menunjukkan perilaku sebagai orang-
untuk membangun hidup bersama secara damai/
orang yang beradab dan berbudaya. Oleh karena
per dama ian d an k eadil an sosial . Unt uk i tu,
itu, menurut guru, bagaimana mencerahkan
menurut guru, ajaran berbuat baik, sopan dan
norma, nilai-nilai yang sarat makna kepada
santun, jujur dan lainnya bagi sesama menjauh-
peserta didik dalam membawa ajaran akhlak
kan dari perbuatan nista.
terbaik juga jadi tantangannya. Menurut Syeikh
Gambaran sebagaimana dideskripsikan di
Ali al-Halabi asal Jordania, kita harus membenahi
atas, dapat d itarik k esimpula n bahwa pada
pemikiran mereka karena perbuatan datang dari
komunitas SD dan SMP umumnya makin ber-
pikiran (Kompas, 13/12/2013).
kembang tumbuhnya suasana satuan pendidikan
Hasil FGD secara umum menyimpulkan bahwa
( school climate) ke arah perubahan. Dalam arti,
kebiasaan peserta didik yang menggambarkan
bahwa bagaimana komunitas SD dan SMP berpikir
perilaku yang berbudaya di SMA dan SMK diyakini
dan bertindak umumnya dibiasakan atas norma,
akan mengantarkan mereka dalam keberhasilan
ni lai- nila i, d an
di anut , juga
da n ke majuan d iri, bai k it u da lam sosi al
berpegang pada moral/kesusilaan, dan ber-
kem asya raka tan, pek erja an m aupun da lam
perilaku baik kepada sesama secara konsisten.
persoalan kehidupan. Faktor norma dan nilai,
480
a gama
yang
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
menurut guru, menjadi prediktor penguatan
norma dan nilai bagi peserta didik di SMA dan SMK.
per ilak u sosial dan kea gama an. Dari sini,
Dengan begitu, guru dan kepala SMA dan SMK
implementasi kurikulum pendidikan budaya sudah
im plem enta si k urik ulum pendidi kan buda ya
mulai tampak berhasil membuat komunitas di SMA
dengan segala daya dan upaya, ibaratnya tanpa
dan SMK ber adab dan ber buda ya. Bahk an,
membiarkan mata terpejam sedikit pun, terus
kemampuan sosial peserta didik yang terefleksi
konsentrasi guna diarahkan ke depan dalam
dalam keagamaan, moral/ke susilaan, sopan
me nata p tujuan yang le bih baik bag i anak
santun/adat/kebiasaan, tata tertib, salam dan
di diknya. Pend idik an buda ya sebag aima na
salaman, dan ramah serta gotong royong nampak
diungkap, bisa pula dimulai dengan penerjemahan
paling menonjol di antara internalisasi norma dan
pengetahuan budaya menjadi pandangan hidup
nilai-nilai yang lain.
dan sekaligus kebiasaan hidup di SMA dan SMK,
Penguatan berbudaya peserta didik SMA dan
sehingga norma dan nilai-nilai yang diyakini
SMK muncul apabila proses internalisasi ber-
menjadi etos. Hal ini kemudian perlu dibudayakan
tumbuh. Itu yang diyakini guru. Internalisasi
le wat akti vita s, b aik di k elua rga maup un
norma dan nilai-nilai dapat bertumbuh, menurut
pembelajaran di sekolah agar antara kata dan laku
guru, karena peserta didik dihadapkan melalui
bisa selaras. Di samping itu, pembudayaan norma
model, contoh, dan teladan konkret di sekolahnya.
da n ni lai- nila i ha rus memb eri pula rua ng
Hal tersebut merupakan gambaran yang dapat
ak tual isasi ba gi k erag aman sehingg a bi sa
disimpulkan dari suatu kegiatan pengamatan
melahir kan peserta di dik dengan me rit dan
terlibat untuk “melihat” dampak model SMA dan
tangguh budaya. Tangguh budaya adalah yang
SMK. Penguatan budaya di SMA dan SMK memang
memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan
bukan hanya untuk “mendongkrak” citra satuan
me mili ki d aya taha n d alam kesulit an d an
pe ndid ikan. Le bih dari itu, pe ndam ping an
persaingan.
ter hada p SM A da n SM K me rupa kan sebuah
Walau di awal, tidak sedikit SMA atau pun SMK
kegiatan yang penting. Penting karena di setiap
gamang menghadapi tantangan dalam meng-
satuan pendidikan tersebut memperoleh advokasi
gapai pembudayaan tersebut.
dan mentoring dari tim yang kompeten guna
lebih rumit. Namun, dari niat baik semua guru dan
penanaman norma dan nilai-nilai.
kepala sekolah, ternyata berkembang menjadi
Di samping itu, dari pengamatan terlibat juga dap at
d item ukan
kesimpulan
lain
Hal itu dianggap
komitmen. Komitmen berkembang menjadi rasa
bahwa
kemauan dan tanggung jawab. Hal inilah yang
perubahan budaya peserta didik menjadi lebih
pada akhirnya akan membuat peserta didik
baik, dibanding sebelum diterapkan model rintisan.
semakin teraktualisasi dalam lingkungan agama
Di awal mulainya program satuan pendidikan SMA
dan sosialnya. Deng an p ikir an seper ti i tu,
dan SMK implementasi kurikulum pendidikan
kemudian diperkuat sikap hati yang santun dalam
budaya, ditunjukkan beberapa indikator budaya
kete-ladanan, bermoral serta demokratis, anak
yang kurang positif, seperti perilaku tidak peduli
didik benar-benar bisa menjadi model goods
dengan sesama, kebiasaan salam dan salaman
practice untuk menata ulang peradaban dan pem-
yang belum ada, yang sebenarnya merupakan
budayaan bangsa.
potret dari kondisi sebelumnya. Dengan adanya
Gambaran sebagaimana dideskripsikan di
pe ruba han buda ya t erse but, hal ini dap at
ata s dapa t dita rik ke simpulan ba hwa angin
dipandang bahwa satuan pendidikan SMA dan
perubahan budaya telah berembus di SMA dan
SMK memiliki kemampuan untuk membentuk
SMK. Umumnya SMA dan SMK model tersebut telah
peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual
mewabah penegakan prinsip, norma, dan nilai-
keagamaan, kepribadian, akhlak mulia, serta
nilai luhur sebagai panduan dalam bertingkah laku
keterampilan sosial lainnya yang diperlukan oleh
warganya. Umumnya guru dan kepala SMA dan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
SMK meyakini bahwa menggariskan prinsip dan
Dari ketiga deskripsi yang diungkap di atas,
dasar bertingkah laku seperti itu adalah hal yang
nampaknya guru dan kepala sekolah merupakan
super penting dalam pendidikan. Hampir semua
faktor kunci keberhasilan dalam menanamkan
SMA dan SMK meletakkan norma agama, norma
481
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
moral/kesusilaan, norma sopan santun/adat/
tersebut, komunitas sekolah umumnya merasa
kebiasaan, norma tata tertib, dan norma bersih
dibimbing menginternalisasikan diri terhadap
sebagai salah suatu nilaianya. Menurut mereka,
norma, nilai-nilai, dan kearifan lokal, tanpa
dengan agama, sopan santun, tata tertib, dan
ke hila ngan ide ntit asny a. M enur ut m erek a,
peduli kebersihan seluruh stakeholder satuan
pendidikan budaya yang diselenggarakan sebagai
pendidikan diajarkan bukan hanya bagaimana
sarana melahirkan proses internalisasi terasa pas.
makna sebuah norma dan suatu nilai itu bernilai,
Temuan itu selaras dengan salah satu misi sentral
melainkan juga meletakkan norma dan nilai ke
imple mentasi pe ndidikan b udaya pada SLB,
dal am sebua h ti ndak an sehingga menj adi
sebagaimana termaktub dalam grand design
kebiasaan yang berulang dan berkembang.
pengembangan model (Pusat Kurikulum. 2010), yak ni b ahwa terw ujud kannya be rbag ai t ata
Gambaran Norma dan Nilai pada Sekolah Luar
kelakuan peserta didik yang pada tingkatan lebih
Biasa (SLB)
konkret berwujud: 1) taat dengan aturan-aturan
Pengkajian dari laporan kegiatan 32 SLB, sintesa
khusus; 2) taat hukum; dan 3) menerapkan
da ri d iskusi seca ra t erfokus ( focus group
norma, adat kebiasaan dalam berbagai bidang
discussion), dan diperkaya hasil pengamatan
kehidupan sosial yang kuat dan mengakar secara
terlibat dapat dideskripsikan sebagai berikut.
perorangan dalam melakukan aktivitasnya sehari-
Telaah 32 laporan terungkap bahwa umum-
hari.
nya SLB berhasil menggunakan model sebagai
Dari tiga deskripsi temuan yang diungkap di
gerakan pembangkit kebajikan dan nilai luhur,
atas memberi gambaran pemangku kepentingan
me nyal akan
meng inte r-
satuan pendidikan SLB yang meyakini bahwa
nalisasikan norma dan nilai-nilai untuk kehidupan
segala hal kebajikan yang dipikirkan, setiap kata
yang agamis dan harmoni. Misalnya, budaya 5S
yang diucapkan, setiap tindakan yang dilakukan
(senyum, salam, sapa, sopan, dan santun) di
dapat menciptakan sebuah riak dalam hubungan
sekolah, dan ritual keagamaan yang kental di saat
yang saling bergantungan. Tak ada persepsi, tak
mau belajar maupun akhir dari pelajaran. Di SLB
ada keterlibatan yang tidak penting, apalagi dalam
umumnya telah mampu menunjukkan peningkatan
membentuk pribadi peserta didik. Semangat yang
perbaikan nilai, norma, tradisi, bahkan ritual yang
diusung guru dan kepala sekolah SLB dapat di-
telah dibangun. Dengan kata lain, ditemukan
maknai bahwa belajar untuk menemukan sebuah
bahwa budaya di SLB telah menjadi ruh bagi
keseimbangan antara kata dan laku bisa di-
terciptanya iklim yang “kondusif”, yang menye-
wujudkan. Syaratnya, adanya budaya “kemauan”,
imbangkan pengetahuan dan akhlak mulia.
dan mampu memberi teladan. Bahkan, yang tidak
sem anga t
untuk
Sementara itu, hasil FGD yang terekam dalam
kalah penting, menurut penulis, guru ikut terlibat
data te rungkap bahwa kebiasaan-ke biasaan
se cara akt if d alam upa ya-upaya mer eduk si
peserta didik SLB yang berupa: 1) bertutur dan
perilaku yang tidak sesuai dengan kaidah, nilai,
berlaku yang agamis;
dan norma.
2) moralitas/berkesusilaan
yang makin kuat; 3) semakin sopan dan santun
Dari hasil seba gai mana di ung kap, guru
kepada teman sejawat dan guru; 4) memiliki rasa
hendaknya juga mengantarkan peserta didik agar
empati yang kental terhadap sesama teman; 5)
mengenali dan menerapkan di dalam hidupnya
taat akan tata tertib sekolah yang semakin baik;
secara konsisten terhadap norma dan nilai-nilai
dan 7) memiliki keyakinan akan mandiri merupakan
yang telah membudaya kelak bisa menjadi basis
but iran sim pula n ya ng d iyak ini guru tur ut
bagi tumbuhnya pribadi kukuh, tulus, utuh, dan
memuliakan kehidupan tamatan kelak. Bahkan,
mandiri. Harapan yang diungkap itu sejalan
dalam forum tersebut terekam pula tenggang
de ngan
rasa/toleransi yang dimiliki oleh peserta didik SLB
penegakan norma sebagai tekanan utama dan
semakin menguat.
terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat
Implementasi kurikulum pendidikan budaya di SLB, menurut guru, merupakan satu hal yang amat penting, karena melalui model pendidikan budaya
482
pendapa t
Mulyana
(2 004)
bahwa
seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak baik.
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
Gambaran sebagaimana dideskripsikan dan
warga belajar akan berbagai norma kehidupan
bahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dan tata nilai yang dibutuhkan manusia yang
sa tuan pendidi kan SLB tid ak d imak sudk an
membawa peradaban yang sarat dengan akhlak
sekadar menghasilkan tamatan yang pandai
dan perilaku mulia.
menghafal dan mandiri, tetapi juga melahirkan
Cium tangan secara Islami kepada tutor/guru,
tamatan yang berkepribadian matang. SLB tidak
mi salnya nampa k ke ntal di hamp ir selur uh
hanya tempat mengasah ketajaman otak, tetapi
program paket kesetaraan. Demikian pula berdoa
lebih dari itu, tempat menyemai norma dan nilai-
sebelum pembelajaran dimulai, juga membudaya.
nilai dasar kehidupan guna menggapai masa
Dua gambaran itu merupakan sedikit temuan saat
depan dan bisa hidup bermasyarakat dengan
terlibat dalam pengamatan. Fenomena ini juga
baik. Satuan pendidikan khusus itu bisa menjadi
dapat dimaknai sebagai titik temu dari berbagai
wadah guna proses pematangan pribadi yang
kebutuhan masyarakat, lembaga pendidikan yang
mencakup pengembangan kognisi, afeksi, mental,
tid ak saja seka dar melulusk an, teta pi j uga
dan kepribadian. Dengan kata lain, di SLB norma
mempunyai kedalaman dalam keberagamaan.
agama, norma moral/kesusilaan, norma sopan
Mereka berargumen menerjemahkan visi, dan
santun/kebiasaan, norma tata tertib, salam dan
tujuan program paket saja untuk saat ini tidak
salaman, dan norma kemandirian makin menguat.
cukup, tetapi perlu ada reorientasi norma dan nilainilai bagi warga belajar yang kebanyakan dari
Gambaran Norma dan Nilai pada Pendidikan
keluarga kurang beruntung. Dalam konteks ini,
Kesetaraan (Program Paket A, B, dan C)
menurut tutor/guru, kurikulum pendidikan budaya
Pengkajian dari laporan kegiatan 32 PKBM/SKB,
sa ngat dinanti , ap a da n ba gaim ana bent uk
sintesa dari diskusi secara terfokus (focus group
internalisasi norma dan nilai yang jelas arahnya.
discussion), dan diperkaya hasil amatan terlibat
Hal ini amat penting, kata tutor, mengingat
dapat dideskripsikan sebagai berikut.
pengelola program kesetaraan umumnya memiliki
Hasil penelaahan menunjukkan bahwa norma
sumber daya pendidikan yang sangat terbatas.
dan nilai-nilai yang dijadikan kearangka acuan
Dari ketiga pendeskripsian di atas dapat
pada budaya pendidikan kesetaraan umumnya
ditindaklanjuti pembahasan sebagai berikut. Pada
mampu memandu cara berpikir dan berperilaku
satuan pendidikan nonformal tutor/guru umumnya
peserta didik (warga belajar) bersifat menyeluruh,
menyadari bahwa kemampuan daya suai saja
dan terpadu dengan kearifan lokal lainnya. Tutor/
tidak cukup menjadi bekal warga belajar dalam
guru umumnya menyatakan bahwa pendidikan
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di
kesetaraan memiliki harapan ke depan yang
masyarakat sekitarnya. Tetapi kemudian, norma
menjanjikan. Harapan tersebut dibuktikan makin
dan nil ai-nilai menjadi dasar untuk eksis,
membaiknya kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
khususnya dalam mengarungi kehidupan yang
warga belajar saban hari, seperti perilaku yang
penuh dinamika. Hal ini selaras dengan temuan
sarat dengan norma keagamaan, kesusilaan, lebih
penelitian Kusuma dkk (2010) bahwa pendidikan
sopan dan sant un,
di Tamansiswa lebih banyak memperhatikan
lebi h di sipl in, buda ya
mengantre menguat, dan makin tertib.
dimensi sosial-budaya. Oleh karena itu, menurut
Hasil FGD terungkap bahwa warga belajar
tutor/guru d emi mema hami da n menyia sati
umumnya memiliki potensi untuk berkembang.
perubahan yang terjadi diperlukan perilaku yang
Dalam diri warga belajar umumnya telah tertanam
berbudaya.
norma dan sejumlah nilai kehidupan baik hasil dari
Betapa benar dan betapa membesarkan hati:
perjalanan. Melalui program kesetaraan, menurut
rasa saling mengerti, mau membuka mata hati
tutor/guru, cara terbaik melakukan ini dengan
untuk mendengar apa yang dikatakan orang lain,
mempraktikkan kesadaran (mindfulness). Dengan
pemikiran dan budaya lian, dan keberagaman
kesadaran ini, akan bisa tetap dipelihara untuk
karakter dan keyakinan yang berbeda turut
mempertahankan puritansi hidupnya kelak. Tutor
dibumikan di program paket kesetaraan. Dalam
/guru lebih lanjut menyatakan, kini nampak bahwa
konteks ini, implementasi kurikulum pendidikan
komunikasi semakin mendekatkan pemahaman
budaya menjadi penting dan bermakna. Sebab,
483
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
transformasi budaya untuk menjadi warga belajar
dan nilai-nilai tidak saja berfungsi sebagai sarana
yang beradab, dan berbudaya mutlak memerlukan
perekat satu sama lain antarkomunitas, tetapi
pendidikan sebagai mediumnya. Sebagai contoh,
juga bermanfaat untuk peningkatan keterampilan
nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif,
sosial sehingga mereka merasa ada dalam satu
menjadi kualifikasi yang paling penting, paling
nuansa yang sama. Keempat, hasil pendidikan
dicari, dan paling menentukan dalam proses
budaya pel an-p elan tet api hasi lnya cuk up
rekrutmen calon pekerja. Norma interpersonal,
menjanjikan: norma dan nilai-nilai sebagai pijakan
se pert i ma u be kerj a sa ma d an l uwes, juga
fondasi untuk membangun peradaban yang lebih
dipandang paling dicari dan paling menentukan.
maju dan humanis bagi masa depan tampak mulai
Tidak kalah pentingnya kehadiran budaya lokal,
membudaya. Kelima, hasil temuan memang belum
kearifan lokal dapat menghidupkan kembali
semuanya berhasil pemangku kepentingan masih
berbagai norma dan nilai-nilai yang tergilas budaya
menjadi kelindan masalah, masih memiliki sederet
global.
pekerjaan.
Gambaran sebagaimana dideskripsikan dan bahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Saran
pada pendidikan kesetaraan Program Paket A, B,
Berdasarkan simpulan penelitian yang diungkap,
dan C umumnya makin berkembang tumbuhnya
berikut beberapa saran. Pertama, interaksi antara
budaya satuan pendidikan (school climate) ke arah
gur u de ngan peserta did ik d alam akt ivit as
per ubahan b uday a ya ng m akin meningk at.
pembelajaran guna membangun budaya sekolah
Peningkatan itu nampak dari beberapa simpulan
hendaknya
hasil bahwa bagaimana warga satuan pendidikan
pengembangan norma dan tataran nilai-nilai.
kesetaraan berpikir dan bertindak umumnya
Kedua, para pemangku kepentingan di satuan
didasari atas keagamaan, sosial-budaya seperti
pendidikan hendaknya mendorong komunitas
mor al/kesusilaa n, sop an sa ntun, salam dan
sekolah untuk lebih aktif dalam memfasilitasi
salaman, disiplin, dan tata tertib.
peserta didik dalam proses internalisasi norma
l ebih
dit ekankan
pada
upa ya
dan nilai-nilai, guna menumbuhkembangkan Simpulan dan Saran
beradab dan berbudaya. Ketiga, para pengelola
Simpulan
dan pembina pendidikan mulai dari tingkat paling
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas
bawah (kepala sekolah) hingga (paling tidak)
berhasil mengungkap beberapa simpulan penting.
kab upat en/kota henda knya
Per tama ,
kur ikul um
ter jadi nya kond isi yang kondusi f ya ng m e-
pendidikan budaya di 300 satuan pendidikan
mungkinkan para guru di wilayah binaannya
rintisan, mulai berdampak positif, dalam arti makin
memperoleh bekal pendidikan budaya. Keempat,
be rkem bang
ba hwa
impl ementasi
tum buhnya
suasana
me ngup ayak an
satuan
guru/tutor hendaknya mampu dan mau meng-
pendidikan (school climate) ke arah perubahan
usahakan, mengupayakan, dan memperbaiki
budaya yang positif. Kedua, komunitas satuan
kebiasaan peserta didik dalam pembudayaan.
pendidikan rintisan perlahan me rasa bahwa
Kelima, para orangtua peserta didik hendaknya
norma dan nilai-nilai yang diimplementasikan
turut secara aktif mengupayakan peningkatan dan
berpengaruh tidak hanya pada kegiatan setiap
pengembangan diri dalam aspek-aspek norma
hari komunitas, tetapi memotivasi dan menye-
dan nilai budaya.
mangati. Ketiga, bahwa proses internalisasi norma
484
Sutjipto, Kurikulum Pendidikan Budaya pada Satuan Pendidikan Rintisan
Pustaka Acuan Cowling, Alan & James, Philip. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations. Terjemahan Xavier Quentin Pranata. Yogyakarta: Andi. Crowl, T. K. 1996. Fundamentals of Educational Research. Chicago: Brown & Benchmark.Horn dkk., 1973. The advanced Learner’s Dictionary of Current English. Great Britain: Oxford University. hal. 733. Cromwel, S. 2002. Is your school’s culture toxic or positive. dari http://ericae.net/edo/ed370198.html. Diunduh pada
tanggal 3 November 2013 pukul 10.45.
Dananjaya, Utomo. 2010. Media Pembelajaran Aktif: Bukunya Para Guru. Edisi ke III. Bandung: Nuansa Cendekia. Deal, T.E & Peterson, K.D. 1990. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah. 2003a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah.. 2003b. Pedoman Pengembangan Budaya Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Departemen pendidikan Nasional. Djamarah, S. B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. Fairclough, Nourman. 1997. Critical Discourse Analisis: The Crutical Study of Language. London-New York: Longman. Harian Umum Kompas, 25 November 2013, dalam berita Forum Budaya Dunia: Budaya Jadi Penggerak Pembangunan Global. Harian Umum Kompas, 26 November 2013, dalam berita Forum Budaya Dunia: Dialog Budaya Bisa Gantikan Konfrontasi. Harian Umum Kompas, 13 Desember 2013, dalam berita Deradikalisasi: Dialog Mencerahkan Pemikian. Kemdikbud. 2013. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kemdiknas. 2010. Laporan Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (tidak diterbitkan), Hotel Bumikarsa, Kompleks Bidakara. Jakarta: Kemdiknas. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kotter, John P. & Heskett, James L. 1998. Corporate Culture and Performance. Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: PT Prehalindo. Kusuma, Puspita; Dwi Wulan Puji Riyani; Rahayu Wulan Djani; Bambang Agung Jatmiko. 2010. Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Budaya pada Perguruan Nasional Tamansiswa Untuk Jenjang Taman Muda (SD) dan Taman Dewasa (SMP) Pusat Studi Asia Pasifik UGM. http://caps.ugm.ac.id/kegiatan/pengabdian/. Diunduh 14 Desember 2013 pukul 07.36 Marsh, C . 1996. Handbook for Beginning Teachers. Melboune: Addition Wesley Longman.
485
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 4, Desember 2013
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Pembangunan Nasional dalam Perspektif Budaya: Sebuah pendekatan filsafat. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Pusat Kurikulum. 2010. Grand Design Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (belum diterbitkan). Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan. Puskurbuk. 2012. Program Kerja Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2012. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan. Rahmat & Edi, S. 2001. Konsep Manajemen Berbasis Satuan Pendidikan Rintisan, Media Indonesia Sajian Khusus (6/25/2001). Diunduh pada tanggal 23 Nopember 2013. (http://www.smunet.com/main.php?&act=ag&xkd=6). Rasyidin, W. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP UPI. Bandung: Imperial Bhakti Utama. Robbins, Stephen P., De Cenzo, David A. and Coulter, Mary. 2012. Fundamentals of Management (8th Edition). Publisher: Prentice Hall. Salahudin, Asep. Religiositas “Bangsa Wayang” harian umum Kompas, 30 November 2013. Sarason, Seymour B. 1971. The Culture of the School and the Problem of Change. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Sax, G. 1979. Foundations of Educational Research. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Stolp, Stephen Wayne & Smith, Stuart C. 1995. Transforming School Culture: Stories, Symbolic, Values & the Leader’s Role. (Eugene,Or): ERIC, Clearinghouse on Educational Management University of Oregon. Sudjana, Nana & Ibrahim. 1989. Penelitian & Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Suharso dan Retnoningsih, Ana. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya. Vredenbreght, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
486