Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
KUALITAS DAGING KAMBING PERANAKAN ETAWAH JANTAN DAN BETINA PADA BERBAGAI TINGKAT UMUR POTONG UMi KALsum Fakultas Peteniakan Universitas Islam Malang Jalan Mayfen Haryono 193, Malang 65144
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui kualitas daging kambing Peranakan Etawah jantan dan betina ditinjau dari aspek fisik, kimia, dan mikrobiologis pada berbagai tingkat umur potong . Penelitian ini merupakan percobaan dengan rancangan acak kelompok pola faktorial . Faktor pertama jenis kelamin jantan dan betina . Faktor kedua umur potong yaitu kurang satu, satu, dua, clan tiga tahun, diulang tiga kali, menggunakan 24 ekor kambing PE. Sampel yang diambil adalah otot Longdissimus Dorsi (LD) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong dan jenis kelamin ternak berinteraksi nyata (P<0,05) dalam mempengaruhi pH, WHC, keempukan, dan kadar air . Perubahan kadar protein dan kadar lemak dipengaruhi umur potong. Jumlah mikroba tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin ternak . Kualitas daging kambing terbaik untuk otot LD didapatkan pada jantan umur satu sampai kurang dari dua tahun . Kata kunci : Karakteristik fisik, komposisi kimia, jumlah mikroba, jenis kelamin, umur, daging kambing PENDAHULUAN Usaha pemeliharaan kambing relatif murah clan murah serta cepat dalam pengembalian modalnya . Secara ekonomis budidaya peternakan kambing dan domba memiliki prospek paling tinggi untuk dapat dikembangkan di masa mendatang dibandingkan dengan budidaya sapi, kerbau ataupun ayam . Ditunjang dengan tingginya peluang ekspor ternak kambing maupun dagingnya . Kondisi yang menguntungkan ini masih belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya, bahkan tercatat pada Statistik Petennakan bahwa sejak tahun 1991 Indonesia tidak mampu lagi mengisi peluang ekspor tersebut. Berdasarkan estimasi SANTOSO (1995) dan SURYO (1995) bahwa tahun 2005 terdapat kelcurangan 42 - 48 persen daging kambing untuk inemenuhi kebutuhan daging kambing/domba di Jawa Timur saja merupakan daerah produksi daging kambing/domba terbesar di Indonesia (ANONIMUS, 1995) . Melihat perkiraan tersebut, tidak mengherankan bila daging kambing/domba betapapun buruk kualitasnya akan terserap oleh pasar, kecuali untuk pasar eksklusif Kenyataan di lapang didapatkan masih tingginya persentase pemotongan kambing yang masih dalam fase pertumbuhan . Di Rumah Potong Hewan (RPH) Cabang Sukun Malang (ROSYIDI, 1992) didapatkan 44,16 persen kambing Peranakan Etawah (PE) dipotong pada umur kurang dari satu tahun clan 62,50 persen dari ternak tersebut adalah betina . Hal ini dilakukan dengan alasan untuk memperoleh daging yang bermutu baik dengan harga ekonomis, disamping itu karena belum adanya peraturan pemerintah yang tegas mengatur pembatasan pemotongan ternak betina produktif bagi ternak ruminansia kecil. Jika tidak ada kepedulian tentang hal ini, maka akan menghambat usaha peningkatan populasi ternak kambing PE di Indonesia . Karena itu reformasi di bidang manajemen ternak kambing perlu segera dilaksanakan .
765
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
Untuk menentukan mutu standar daging kambing PE diperlukan informasi data tentang mutu daging kambing berdasarkan selera konsumen daging kambing maupun berdasarkan penetapan produsen . Sampai saat ini informasi tentang hal tersebut masih belum baku dan bersifat empiris, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang kualitas daging kambing PE berdasarkan standardisasi ilmiah sehingga dapat diusahakan identifikasi standar kualitas daging PE yang umum. Maka dilakukan penelitian tentang kualitas daging kambing PE ini ditinjau dari aspek fisik, kimia dan mikrobiologis pada berbagai tingkat umur potong. METODE PENELITIAN Materi 24 ekor kambing Peranakan Etawah (PE) jantan dan betina umur kurang dari satu tahun, satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun. Penentuan umur kambing diperkirakan dengan; memperhatikan pergantian gigi Seri susu menjadi gigi tetap pada rahang bawah (DJANAH, 1984) . Sampel diambil dari daging pada bagian punggung belakang yaitu otot lulur (longissimus dorsi). Variabel yang diukur adalah : pH menggunakan pH meter (BLOM, 1988) ; WHC dengan metode Hamm (DEN HERTOG-MEISCHKE et al., 1997), Keempukan dengan metode Shear Force (BOUTON et al., 1976) . Kadar air dengan metode pemanasan (ANGGORODI, 1984) . Protein dengan metode Makro Kjeldahl (STOOTS, 1987). Kadar lemak dengan metode Soxhlet (SUDARMADJI et al., 1984). Jumlah mikroba menggunakan metode TPC (BUCKLE et al., 1987) . Penelitian ini berlangsung mulai tanggal 5 Desember 1997 sampai 12 Februari 1998. Metode survai digunakan untuk menentukan Desa Tumburenteng dan seorang peternak sebagai sampel daerah produksi dan pemelihara kambing PE. Pengambilan sampel kambing PE secara purposive menurut umur dan jenis kelamin . Bahan percobaan dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial . Faktor pertama jenis kelamin jantan dan betina . Faktor kedua umur potong ternak yaitu kurang satu, satu, dua, dan tiga tahun . Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam sesuai rancangan yang digunakan menurut petunjuk STEEL dan TORRIE (1989) . Hasil sidik ragam yang menunjukkan adanya pengaruh di antara perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan . HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek fisik Nilai pH akhir, WHC, dan keempukan daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong disajikan dalarn Tabel 1 . Hasil sidik ragam terhadap pH akhir, menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) pada perlakuan umur potong, juga pada interaksinya dengan jenii kelamin ternak. Jenis kelamin sendiri belum memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pB akhir. Uji jarak Duncan memperlihatkan perbedaan yang nyata di antara kombinasi perlakuan (P<0,05) . Kombinasi perlakuan yang mempunyai nilai pH tertinggi yaitu pada jantan umur satu tahun (5,45). Adanya interaksi antara umur potong dan jenis kelamin ternak terhadap pH daging kambing PE, menunjukkan bahwa kambing PE jantan umur satu tahun mampu menghasilkan PIH akhir 5,45 yang menurut LAWRIE (1995) merupakan pH daging yang optimal bagi kualitas daging yaitu antara 5,4 sampai 5,5. Kondisi pH tersebut menurut RUST (1982) kondisi pH tersebul menghasilkan daging dengan struktur terbuka dan sangat diinginkan untuk proses curing . Daging 766
Seminar Nasional Peternakan dan Peteriner 1998
berwarna merah cerah, bercitarasa yang diminati konsumen baik untuk dimasak clan tahan terhadap pembusukan . Tercapainya pH akhir tersebut menunjukkan bahwa proses glikolisis telah berlangsung secara sempurna . Proses glikolisis diawali oleh degradasi glikogen yang terdapat dalam urat daging sampai terbentuknya asam laktat . Nampaknya konversi glikogen menjadi asam laktat inilah yang menyebabkan turunnya pH daging pasca potong . Menurut SANUDO et al . (1997) produksi asam laktat pada hakekatnya hanya satu-satunya kejadian yang menyebabkan pH daging turun selama glikolisis pasca potong. Data dalam Tabel 1 memperlihatkan bahwa pH akhir daging PE jantan meningkat dengan meningkatnya umur ternak dan mencapai optimal sampai ternak berumur satu tahun. Setelah itu pH akhir semakin menurun, dengan semakin meningkatnya umur ternak baik pada jantan maupun betina . Telah diketahui bahwa pertambahan umur ternak menyebabkan perbedaan struktur urat daging . Hal ini memungkinkan terjadinya penurunan kemamptian urat daging untuk menghemat cadangan glikogennya selama mengadakan aktifitas, sehingga cadangan glikogen cepat habis (depletion) . CA.Low (1939) dalam KOCH et al . (1995) mendapatkan bahwa cadangan glikogen urat daging tertentu sangat mudah terdeplesi oleh pergerakan ternak sesaat sebelum dipotong, meskipun pergerakannya ringan . Tabel 1.
Karakteristik fisik daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong
Variabel pH akhir
Jenis kelamin jantan betina
rataan
jantan WHC (%) betina Keempukan(kg/cm2)
rataan
jantan betina rataan
Umur potong (tahun) <1
5,28ab
5,42 ab 5,35
1
5,45 b
5,42 ab 5,44
2
3
Rataan
5,31 ab
5,18 ab 5,00 a
5,31
25,15"Y
28,83
16,96 5 12,78 v
11,73 10,74
5,32 ab 5,32
23,66" 22,41"
36,62 Z
29,90 Z
7,53P 7,42 P
7,23P
15,18`
23,04
25,56"Y 31,09
7,48
8,38 P 7,81
27,98y 28,94 14,38' 14,78
5,09
21,08" 23,12
14,88
5,29
24,26
Keterangan : Superskrip dengan hurufyang berbeda untuk setiap varibel menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
pH akhir yang terlalu rendah . .i ;_g terjadi pada betina umur tiga tahun (5,00) menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan pH daging yang sangat cepat selama proses glikolisis pascapotong yaitu dari pH awal (45 menit pasca potong) 6,59 menjadi 5,26 pada waktu satu jam pascapotong, sehingga terbentuk pH akhir yang jauh lebih rendah dari pH akhir daging yang normal . Penurnnan pH daging selama proses glikolisis ini disajikan pada Tabel 2. Terjadinya penurunan pH yang sangat cepat ini, menyebabkan banyaknya air yang terlepas dari ikatannya dengan protein, daging akan menjadi lunak clan selalu dalam keadaan berair (basah). Keadaan berair ini menyebabkan kenampakan daging tidak lagi merah cerah tetapi menjadi merah pucat karena adanya pembiasan sinar. Umumnya daging dalam kondisi demikian kurang disukai oleh konsumen .
76 7
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
Tabel 2.
Perubahan pH daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong selami proses glikolisis
pH pasca potong Awal
I jam
Akhir
Jenis kelamin jantan betina rataan jantan betina rataan jantan betina rataan
<1
1
Umur potong (tahun) 2
3
Rataan
6,33
6,52
6,20
6,53
6,40
6,16
6,25
6,10
6,59
6,28
6,25
6,39
6,15
6,56
5,07
6,07
5,71
5,98
5,71
5,61
5,70
5,71
5,26
5,57
5,34
5,89
5,71
5,62
5,28
5,45
5,32
5,18
5,31
5,42
5,42
5,31
5,00
5,29
5,35
5,44
5,32
5,09
Hasil sidik ragam terhadap gugus data WHC menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (F 0,01) pada perlakuan umur potong maupun jenis kelamin ternak serta interaksi antara kedi perlakuan tersebut . Uji jarak Duncan memperlihatkan perbedaan yang nyata diantara kombina perlakuan (P<0,05). Adanya interaksi yang sangat nyata antara umur potong dan jenis kelamin ternak terhack WHC daging kambing PE, maka didapatkan kombinasi terbaik yang menghasilkan nilai WH daging tertinggi, yaitu mencapai 36,62 persen yang terjadi pada jantan umur satu tahun. Hal ii disebabkan ternak tersebut mempunyai pH akhir yang relatif tinggi (Tabel 2), karena WH berhubungan erat dengan pH daging (SANCIDo et al ., 1997) artinya pada pH yang tinggi samp nilai pH 7, WHC secara relatif juga tinggi . Hal ini dapat diterangkan bahwa pH optimal tersebi merupakan kondisi pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik protein daging . Pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging ini, sejumlah muatan posit dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilame dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air . Karena itu dapat dimengerti mengapa pac pH 5,45 daging kambing PE tersebut mempunyai WHC yang optimal . Hasil sidik ragam terhadap gugus data keempukan daging kambing PE menunjukka pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada perlakuan umur potong maupun jenis kelamin terna serta interaksi antara kedua perlakuan tersebut . Uji jarak Duncan memperlihatkan perbedaan yan nyata di antara kombinasi perlakuan (P<0,05) . Keempukan terendah didapatkan pada jantan umur tiga tahun, yang ditunjukkan denga tingginya angka pada Shear Force (karena prinsip kerja alat tersebut adalah penggunaan tern8 untuk memutuskan urat daging) . Hal ini terjadi karena selama proses pendewasaan jaringa hewan, kolagen menjadi lebih tahan terhadap kerusakan . Hal ini disebabkan pembentukan ikata silang yang tidak dapat direduksi yang melibatkan tiga atau lebih rantai tiga dimensi, sehingg terbentuldah kekuatan bertensi tinggi (WHEELER et al ., 1990) Beberapa komponen yang menentukan keempukan daging antara lain jumlah jaringan ikj dan tingkat ikatan silangnya (BOUTON et al ., 1976). Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahw semakin bertambahnya umur maka keempukan daging semakin menurun, kecuali pada betin
76 8
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
umur tiga tahun, karena pada umumnya dengan bertambahnya umur ternak maka makin bertambah pula tingkatan ikatan silang (cross linking) intra dan intermolekuler antara rantai polipeptida kolagen (SOEPARNO, 199l). Terdapat komponen lain yang menentukan keempukan daging seperti struktur miofibriler dan status kontraksinya, namun pada penelitian ini tidlk dilakukan pendekatan secara histologis . Kombinasi perlakuan yang mempunyai keempukan tertinggi (gaya Shear Force paling rendah) yaitu 7,23 kg/CMZ terjadi pada jantan umur satu tahun . Hasil ini sesuai dengan pendapat SHIMOKOMAKI et al. (1972) dalam SOEPARNO (1992) bahwa keempukan maksimum kadang kadang dapat terjadi pada umur 12-14 bulan . Terjadinya keempukan yang tinggi pada jantan umur satu tahun ini diduga disebabkan rendahnya ikatan silang pada daging tersebut, sehingga air yang terperangkap dalam urat daging meningkat, yang menghasilkan WHC yang relatif tinggi (Tabel 2). Menurut LAWRIE (1995) peningkatan keempukan dapat direfleksikan oleh kadar air yang tinggi dan kapasitas memegang air dari protein daging yang lebih besar serta dari sifat pembengkakan serabut daging berikutnya pada pH tinggi . Aspek lainnya yang mempengaruhi keempukan daging tersebut adalah masih terjadinya pertumbuhan pada kambing jantan yang berumur satu tahun tersebut yang diharapkan menghasilkan proporsi kolagen yang masih rendah sehingga meningkatkan keempukan dagingnya (SOEPARNO, 1991). Aspek kimia Komposisi kimia daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong disajikan dalam Tabel 3 . Tabel 3.
Komposisi kimia (%) daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong
Variabel
Jenis kelamin
Air
jantan betina rataan jantan betina rataan jantan betina rataan
Lemak ")
Protein "~
Keterangan :
0)
<1
Umur potong (taluin)
1
2
77,17"
77,46'
75,67
76,62
75,30
75,47
abc
76,90
1,01
1,75 1,38 -
ab
abc abc
3
Rataan
74,72 a
76,26
76,25
75,91
abc
76,38
75,57
75,48
2,17
1,77
2,26
1,81
1,70
2,36
1,85
1,92
1,94 r
2,07 r
2,06 r
63,64
68,41
57,34
54,89
61,04
65,78
57,57
62,25
54,18
59,95
59,80 4
54,54 P
65,78 v
62,99 q
berdasarkan 100% bahan kering (% BK)
Hasil sidik ragam terhadap gugus data kadar air daging kambing PE menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada perlakuan umur potong serta berpengaruh nyata (P<0,05) pada interaksi antara umur potong dan jenis kelamin, namun jenis kelamin sendiri belum memperlihatkan pengaruh yang nyata . Uji jarak Duncan memperlihatkan perbedaan yang nyata di antara kombinasi perlakuan (P<0,05).
769
SeminarNasional Peternakan dan Peteriner 1998
Adanya interaksi pengaruh umur potong dan jenis kelamin menunjukkan bahwa kadar a daging dapat tergantung pada umur dan jenis kelamin. Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahv kambing jantan umur satu tahun mempunyai potensi yang optimal dalam penimbunan air dagin Hal ini diduga karena adanya proteoglikan yang terdapat pada tenunan pengikat intramuskule Proteoglikan ini berikatan secara kovalen dengan rantai glikosaminoglikan. Muatan negatifnl yang kuat menyebabkan rantai-rantai saling bertolakan karena itu strukturnya berkemban sehingga dapat lebih banyak mengikat air (BAILEY dan LIGHT, 1989 dalam HOPKINS et al ., 1997). Sementara itu pembesaran diameter serat daging, seiring dengan masa pertumbuhan ternal memungkinkan bagi kambing jantan umur satu tahun mengalami peningkatan potensi penimbuna komponen kimia daging termasuk air. GOLD SPINK (1962) dalam LAWRIE (1995) menyataka bahwa diameter serat daging berbeda antara otot, bangsa, dan jenis kelamin. Diameter tersebi akan membesar karena umur, jenis pakan, latihan, dan estradiol. Hasil sidik ragam terhadap data kadar lemak daging kambing PE menunjukkan pengaru yang nyata (P<0,05) pada perlakuan umur potong, namun belum menunjukkan pengaruh yan nyata pada jenis kelamin maupun interaksi antara keduanya . Sedang uji jarak Dunca memperlihatkan perbedaan yang nyata di antara umur potong (P<0,05) . Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai rataan kadar lemak daging adalah konsistet yaitu meningkat dengan semakin meningkatnya umur ternak . Hal ini disebabkan denga bertambahnya umur maka terjadi deposisi lemak intermuskular, lemak subkutan, dan terakhir c antara ikatan serabut otot (marbling) (ANDREWS, 1958 ; dalam RAHARJO et al ., 1993). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kadar lemak daging kambing jantan cenderun, lebih rendah dari betina, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan. Hasil sidik ragam terhadap data kadar protein daging kambing PE menunjukkan pengarul yang nyata (P < 0,05) pada perlakuan umur potong, namun belum menunjukkan pengaruh yanj nyata pada jenis kelamin maupun interaksi antara keduanya . Uji jarak Duncan memperlihatkai perbedaan yang nyata di antara umur potong (P<0,05) . Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai rataan kadar protein daging makin menurutu dengan makin meningkatnya umur ternak . Pada kambing jantan penurunan terjadi setelah ternal mencapai umur dua tahun, sedangkan pada kambing betina penurunan sudah terjadi pada saa ternak berumur satu tahun. Terjadinya penunman ini karena ternak telah mengalami mas: pertumbuhan pascapubertas. Pada umumnya sebelum hewan mengalami pubertas, terjadi peningkatan kadar proteir daging, yang tercermin dari peningkatan prosentase miofibriler, N-sarkoplasma, NPN, mioglobin, dan total N dalam urat daging LD . Peningkatan ini berjalan melalui dua jalur ; yaitu fase cepa selama 12 - 24 bulan, dan fase selanjutnya berjalan secara asimtotik (LAWRIE, 1995) . Pada masa pertumbuhan pascapubertas, menghasilkan komposisi protein daging yang konstan (BLAXTER et al ., 1982 dalam SOEPARNO, 1992), sementara itu terjadi pula deposisi lemak dalam daging yang semakin meningkat, sehinggga otomatis mengakibatkan poporsi protein menurun. Aspek mikrobiologis Rataan Jumlah mikroba yang terdapat dalam daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong disajikan dalam Tabel 4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa 77 0
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
umur potong, jenis kelamin maupun interzksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata (P>0,05) padajumlah mikroba daging . Tabel4 .
Jumlah mikroba (x 105 seUg) dalam daging kambing PE jantan dan betina pada berbagai tingkat umur potong
Jenis kelamin Jantan Betina Rataan
<1 1,32 2,09 1,71
Umur potong (tahun) 1 2 1,26 1,35 1,42 1,35 1,34 1,35
3 3,64 3,10 3,37
Rataan 1,89 1,99
Tidak adanya perbedaan pengaruh ini berartijumlah mikroba dalam daging kambing PE tidak tergantung pada umur potong maupun jenis kelamin ternak . Jumlah mikroba tersebut masih memenuhi standar kualitas daging untuk daging golongan (klas I) mutu I (ANONYMOUS, 1982) . Jumlah mikroba yang relatif tinggi yang terdapat pada daging kambing PE ini menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi awal masih tinggi. Hal ini kernungkinan berasal dari mikroba yang terdapat pada RPH, transportasi atau pasar. Menurut ROWBURY (1995) salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan adalah terjadinya kontaminasi mikroba yang secara alamiah sudah ada dalam produk . Jika kondisi lingkungan seperti suplai zat gizi, waktu, suhu, air, pH, dan ketersediaan oksigen memungkinkan bagi pertumbuhan mikroba, maka jumlah mikroba akan berkembang sangat cepat selama penyimpanan dan pemasaran . Klasifikasi mutu Dari hasil penelitian ini dapat dibuat klasifikasi mutu daging kambing segar untuk otot LD yang tergantum pada Tabel 5. Tabel 5.
Klasifikasi mutu daging kambing PE untuk otot LD
Karakteristik pH WHC (%) Keempukan (kg/ctn 2) Air (%) Lemak (%/100% BK) Protein (%/100% BK) Mikroba (x 105 set/g) Keterangan :
Mutu I 5,4-5,5 > 31 < 10,5 77-78 1,9-2,2 > 68 <4
Mutu II 5,2-5,3 26-31 10,6-13,5 75-77 < 1,9 55 -68 <4
Mutu III < 5,2 <25 > 13,5 < 75 > 2,2 <55 <4
Mutu I Aidapatkan pada kambing PE janUln umur satu tahun Mutu II : didapatkan pada janLln dan betina umur kurang dari satu tlhun serta betina umur satu dan tiga tahun. Mutu III : didapatkan pada jantan umur tiga tahun
KESIMPULAN DAN SARAN Umur potong dan jenis kelamin ternak berinteraksi dalam mempengaruhi pH, WHC, keempukan, dan kadar air daging kambing PE, sedang kadar protein dan kadar lemaknya hanya 771
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
dipengaruhi oleh umur potong, namun jumlah mikroba tidak tergantung pada umur maupun je kelamin ternak . Untuk mendapatkan kualitas terbaik pada daging, sebaiknya memotong kamb PE pada umur satu tahun (yang telah poel sepasang) . Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tent; kualitas daging kambing PE umur satu tahun pada berbagai sistem manajemen pemeliharaan, pembenahan tentang kebijaksanaan dan manajemen ternak kambing di Indonesia . DAFTAR PUSTAKA ANoNymous . 1982 . Standar Industri Indonesia . Departemen Perindustrian . Jakarta . . 1995 . Buku Statistik Peternakan . Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta . BLOM, J. H . 1988 . Chemical and Physical Water Quality Analysis. A Report and Practical Training at Fac of Fisheries Brawijaya University . Malang. BouToN, P .E . et al. 1976 . Peak shear force values obtained for veal muscle samples cooked at 50°C and 6 influence of aging . J. Food Sci . 41 : 197 - 198 . DEN HERTOG-MEISCHKE, M.J.A . et al . 1997 . The effect of simulated transport of fresh meats on their v holding capacity as assessed by various methods . J. Meat Sci . 46 : 1 - 8 . KIRTON, A .H . and MORRIS . 1989 . The Effect of Mature . Size, Sex and Breed on Patterns of Change Dt Growth and Development, in Meat Production and Processing . New Zealand Society of An Production (Inc) . Occasional Publication No . 11 . p : 143 - 157. LAWRIE, R .A. 1995 . Meat Science. 5 th ed . Pergamon Press. Oxford. RAHARIO, S . et al . 1993 . Effect of meat curing agents and phosphates on TBA numbers of ground bei Food Chemistry 47 : 137-143 . SuDARMAmi, S . et al. 1984 . Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan datt Pertanian . Liberty . Yogyakarta SuRYo, I . 1995 . Pennasalahan dan alternatif perbaikan kondisi gizi masyarakat dari subsektor peternaki Jawa Timur tahun 2005 . Makalah . Seminar Sehari Aspek-aspek Agribisnis 20 Desember 191 Surabaya . vAN KOEVERING, M .T . et al . 1995 . Effects of time on feed on performance of feedlot steers, ca caracteristics and tenderness and composition of longissimus muscles. J. Anim . Sci . 7 3 : 21 - 28 . WHEELER, T .L . et al. 1990 . Effect of postmortem treatments on the tenderness of meat . J. Anim. Sci . 3677-3686 .