II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan kedalam tipe kambing dwiguna yaitu kambing yang dapat menghasilkan daging dan susu. Keunggulan kambing PE dibandingkan ternak lokal sejenis adalah kambing PE betina mampu menghasilkan susu 1,2 liter/ekor/hari selama masa laktasi. Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan mencapai 90 kg, sedangkan betina mencapai 60 kg.
Sarwono (2008)
menyatakan bahwa kambing PE mempunyai ciri-ciri antara kambing kacang dengan kambing Etawah, yaitu bagian hidung atas melengkung, panjang telinga antara 15-30 cm menggantung ke bawah, sedikit kaku, warna bulu bervariasi antara hitam, putih, dan coklat. Kambing jantan mempunyai bulu yang tebal dan agak panjang dibawah leher dan pundak, sedangkan bulu kambing betina agak panjang terdapat dibagian bawah ekor ke arah garis kaki. Rata-rata bobot lahir kambing PE 2,75 kg (Sutama dkk, 1995) atau 3,72 kg (Basuki dkk, 1982). Bobot tubuh kambing PE jantan dewasa dapat mencapai 65-90 kg. Tinggi gumba kambing PE jantan 90-110 cm, panjang badan berkisar antara 85-105 cm (Dinas Peternakan Purworejo, 1996). Kambing PE jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 6-8 bulan pada saat bobot tubuh 12,9-18,7 kg. Dengan pengelolaan budidaya secara intensif kambing PE dapat diusahakan beranak tiga kali setiap dua tahun dengan jumlah anak setiap kelahiran 2-3 ekor.
1.2.
Karakteristik Semen Kambing
1.2.1. Karakteristik Semen Secara Umum Semen merupakan hasil sekresi organ reproduksi ternak jantan yang secara normal diejakulasikan melalui penis ke dalam saluran kelamin betina sewaktu terjadi kopulasi, tetapi dengan kemajuan teknologi dapat pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan. Semen mengandung dua unsur utama, yaitu plasma semen dan spermatozoa. Plasma semen merupakan cairan yang sebagian besar disekresikan oleh kelenjar vesikularis dan jumlah kecil disekresikan oleh testis. Plasma semen mempunyai pH sekitar 7,0 dan tekanan osmotis sama dengan darah, yaitu ekuivalen dengan 0,9 % natrium chlorida (Toelihere, 1985). Spermatozoa dibentuk di dalam tubuli seminiferi melalui proses yang disebut spermatogenesis, lalu mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis dimana sperma disimpan sampai ejakulasi. Spermatozoa berbentuk seperti kecebong, dan terbagi menjadi 3 bagian yaitu: kepala, leher dan ekor. Kepala berbentuk lonjong agak gepeng berisi inti (nucleus). Bagian leher menghubungkan kepala dengan bagian tengah, ekor berfungsi untuk bergerak maju. Plasma semen kambing normal berwarna kuning yang disebabkan kandungan riboflavin yang disekresikan kelenjar vesikularis. Plasma semen mempunyai fungsi utama sebagai medium pembawa sperma dari saluran reproduksi hewan jantan ke dalam saluran reproduksi hewan betina (Toelihere, 1993). Rataan volume semen kambing berkisar antara 0,8-1,2 ml per ejakulat (Garner dan Hafez, 2000). Sedangkan menurut Evans dan Maxwell (1987) volume semen kambing berkisar antara 0,5-1,5 ml. Kondisi tubuh ternak mempengaruhi terhadap volume semen (Toelihere, 1993). Semen kambing pada umumnya
berwarna putih susu hingga krem, bau khas, dengan konsistensi dari encer hingga kental (Evans dan Maxwell, 1987). Gerakan massa sangat berkaitan erat dengan motilitas sperma. Gerakan massa bernilai (+++) apabila sperma yang diamati gerakannya cepat berpindah dan berbentuk gumpalan tebal dan gelap. Gerakan massa bernilai (++) apabila semen yang diamati gerakannya cepat berpindah dan berbentuk gumpalan terang. Partodihardjo (1980) menyatakan bahwa gerakan massa berhubungan erat dengan konsentrasi dan motilitas spermatozoa, bila semen segar memiliki gerakan massa +++ berarti tingkat kepadatan spermatozoa tinggi, gelombang bergerak cepat, dan terdapat 90% bahkan lebih spermatozoa yang aktif. Standar derajat keasaman (pH) semen kambing yang baik untuk dijadikan semen beku adalah 6,2-7,2 (Hafez, 1993). Sedangkan motilitas sperma kambing yang baik untuk diproses menjadi semen beku memiliki persentase sperma motil antara 60-80 % (Garner dan Hafez, 2000). Rataan abnormalitas pada semen segar kambing menurut Evan dan Maxwell (1987) yang menyatakan bahwa penggunaan semen untuk inseminasi buatan, tingkat abnormalitas spermatozoa hendaknya tidak lebih dari 15%. 1.2.2. Motilitas Motilitas merupakan salah satu kriteria penentu kualitas semen yang dilihat dari banyaknya spermatozoa yang motil progresif dibandingkan dengan seluruh spermatozoa yang ada dalam satu pandang mikroskop. Menurut Evans dan Maxwell (1987) terdapat tiga
tipe pergerakan spermatozoa yaitu pergerakan
progresif (maju ke depan), pergerakan rotasi (gerakan berputar) dan osilator atau konvulsif tanpa pergerakan ke depan atau perpindahan posisi. Skala prosentase
pergerakan dari 0 sampai 100 atau 0 sampai 10 merupakan penilaian standar untuk mencapai tujuan bersama. Penentuan kualitas semen berdasarkan motilitas spermatozoa dengan nilai 0 sampai 5 yakni: (0) spermatozoa imotil atau tidak bergerak; (1) gerakan berputar ditempat; (2) gerakan berayun atau melingkar, kurang dari 50% bergerak progresif; (3) antara 50 - 80% spermatozoa bergerak progresif; (4) pergerakan progresif yang gesit dengan 90% sperma motil dan nilai (5) gerakan sangat progresif menunjukkan 100% motil aktif (Toelihere, 1981). Pemeriksaan motilitas sperma merupakan cara penentuan kualitas semen sesudah pengenceran. Motilitas sperma kambing pada umumnya berkisar antara 75% sampai dengan 85% (Ritar dan Salmon, 1982) tetapi kisaran tersebut tidak menjadi patokan karena beberapa jenis kambing mempunyai motilitas sperma di bawah kisaran tersebut.
Meskipun demikian kambing tersebut masih dapat
digolongkan ke dalam jenis kambing yang mempunyai motilitas sperma cukup baik. Penambahan glutathione ke dalam medium pengencer dapat mengurangi atau mencegah timbulnya radikal bebas yang dapat merusak membran plasma pada proses pembekuan semen. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan, sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, senyawa ini bereaksi dengan atom atau molekul lain seperti asam lemak tidak jenuh, protein, asam nukleat atau lipopolisakarida, yang berakibat akan menimbulkan senyawa yang tidak normal (Karyadi,1997). Berdasarkan sifat antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas, maka penambahan glutathione sebagai antioksidan primer dapat mengurangi kerusakan membran plasma yang dapat mempertahankan motilitas.
1.2.3. Abnormalitas Setiap penyimpangan morfologi atau struktur sperma normal umumnya diklasifikasikan sebagai abnormalitas.
Abnormalitas spermatozoa terdiri dari
abnormalitas primer dan sekunder (Toelihere, 1985). Abnormalitas primer terjadi karena kelainan pada saat spermatogenesis dalam tubuli seminiferi atau epithel kecambah. Abnormalitas sekunder terjadi sesudah sperma meninggalkan tubuli seminiferi, terutama pada proses perlakuan semen, pembuatan preparat ulas, pemanasan berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urine atau antiseptik (Toelihere, 1985). Yani dkk, (2001) menyatakan bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka semakin tinggi persentase abnormalitas yang disebabkan oleh stres dingin dan ketidakseimbangan tekanan osmotik akibat dari proses metabolik yang terus berlangsung selama penyimpanan pada suhu 50C. Peningkatan abnormalitas selama prosesing semen juga karena adanya abnormalitas sekunder yang dilakukan saat prosesing semen dan juga karena peroksida lipid. Rizal dan Herdis (2006) menyebutkan bahwa abnormalitas sekunder lebih banyak berupa terpisahnya ekor dari kepala akibat terputus saat pembuatan preparat untuk keperluan evaluasi. Alawiyah dan Hartono (2006) menyebutkan bahwa peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan struktur dan terganggunya metabolisme spermatozoa yang berakibat spermatozoa mati. Radikal bebas akan bereaksi dengan asam lemak tak jenuh penyusun membran plasma, sehingga dapat menyebabkan kerusakan membran plasma terutama pada bagian tengah spermatozoa tempat beradanya mitokondria. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemberian glutathione yang tidak optimal menyebabkan kurang efektifnya pengaruh glutathione sedangkan pemberian yang
berlebihan menyebabkan sifat toksik bagi spermatozoa. Sifat toksik ini disebabkan pemberian antioksidan yang berlebihan menyebabkan meningkatnya tekanan osmosis sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma yang berdampak pada putusnya ekor spermatozoa (Wilandari dkk, 2013; Hartono, 2008). Menurut Hartono (2008), semen kambing yang dibekukan masih memperlihatkan kualitas yang baik dan dapat digunakan untuk pelaksanaan IB apabila nilai abnormalitasnya berkisar 4,62-6,56%. 1.3.
Glutathione Spermatozoa sangat rentan terhadap serangan Reactive Oxygen Species
(ROS) seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida sebagai konsekuensi dari proses lipid peroksidasi. Glutathione adalah antioksidan primer yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas baru. Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor), atau senyawa antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dan merendam dampak negatif oksidan. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan tersebut bisa terhambat (Winarsi, 2007). Kidd (1997) menyebutkan bahwa glutathione adalah antioksidan penting yang dapat memproteksi mitokondria dari kerusakan akibat radikal bebas. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan, sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, senyawa ini bereaksi dengan atom atau molekul lain seperti asam lemak tidak jenuh, protein, asam nukleat atau lipopolisakarida, yang berakibat akan menimbulkan senyawa yang tidak normal (Karyadi,1997). Luberda (2005) glutathione adalah suatu reservoir alami yang dapat dengan cepat digunakan oleh sel-sel sebagai pertahanan melawan stress oksidatif. Glutathione
memberi perlindungan terhadap kerusakan oksidatif. Glutathione melindungi terhadap reactive oxygen species (ROS) dengan cara difasilitasi oleh interaksi dengan enzim-enzim seperti glutathione peroksidase dan glutathione reduktase. Bucak (2007) penambahan konsentrasi glutathione yang berlebih dapat menimbulkan efek negatif atau efek toksik dari glutathione menyebabkan kematian spermatozoa.