Kriya dan wanita, menuju kajian arkeologi yang lebih berimbang
Oleh: Sektiadi Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Pendahuluan Kriya sering disamakan dengan kerajinan. Benda-benda yang dianggap kriya adalah benda-benda kerajinan seperti anyaman, gerabah, kain (tekstil), benda logam, dan sebangsanya. Sifat benda-benda tersebut cemangking (portabel) dan unik karena berkaitan dengan etnisitas atau lokalitas tertentu sehinggga dalam perkembangannya benda kriya kemudian sering digunakan sebagai cinderamata dunia pariwisata. Barangkali karena sifat yang kecil dan njelimet karena biasanya penuh ornamentasi sebagaimana layaknya seni tradisional itu membuat kriya sering diasosiasikan dengan wanita. Dalam Sejarah Nasional Indonesia (I, 1993: 198) disebutkan bahwa keterlibatan wanita dalam kegiatan tertentu dimulai setelah manusia hidup menetap. Disebutkan juga bahwa kelebihan waktu antara waktu menanam dengan waktu panen diisi dengan kegiatan lain yang dapat menghasilkan keperluan rumah tangga, yaitu kerajinan anyam-menganyam, membuat gerabah, mengasah alat-alat kerja dan lain-lain yang umumnya dapat dikerjakan oleh para wanita dan anak-anak. Akan tetapi, data etnografi dapat menunjukkan lain. George Murdock dan Catherina Provost (1973, dikutip dari Costin 1996: 122) menunjukkan bahwa untuk dominasi laki-laki terdapat pada pengerjaan logam (99,8%), kayu (98,8%), batu (95,9%), pengerjaan tulang, tanduk dan kerang (94%), pembuatan jaring (71,2 %), pembuatan tali (69,9%), sementara pada pembuatan benda-benda dari kulit agak berimbang, yaitu (53,2%). Wanita mendominasi pada pekerjaan menganyam tikar (72,4%), menenun (loom weaving) (77,5%), membuat gerabah (potting) (78,9%), dan memintal, (86,4%). Dari data tersebut di atas memang terlihat bahwa laki-laki mendominasi terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih banyak,
seperti pengerjaan logam. Akan tetapi, ketiadaan angka 100% berarti tidak terdapat satu jenis kriya pun, setidaknya dari contoh yang dikumpulkan, yang dikuasai mutlak oleh salah satu jenis kelamin. Melihat hal-hal tersebut di atas menjadi pertanyaan bagaimana hubungan antara kriya dan wanita. Apakah terjadi bias jender yang selalu menghubungkan antara kriya dengan wanita. Terakhir adalah bagaimana kajian yang lebih berimbang untuk masalah jender dalam kriya ini.
Kajian jender dalam arkeologi Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jender adalah pembagian dua jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial atau budaya. Hal ini dapat dikontraskan dengan seks, yaitu pembagian dua jenis kelamin secara biologis, yang menciri laki-laki dan perempuan1 dengan organ-organ seksualnya. Ciri dan sifat jender dapat dipertukarkan dan seringkali berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain maupun satu zaman ke zaman lain (Fakih 1996: 9). Jika pada satu waktu dan satu tempat tertentu suatu pekerjaan merupakan domain laki-laki, maka pada waktu yang lain mungkin berubah dan pada tempat yang lain lagi mungkin tidak sama. Pembagian kerja secara seksual ini bersumber pada asosiasi simbolis antara perempuan dnegna alam (nature) dan laki-laki dengan budaya (culture). Perempuan dengan fungsi reproduksinya diasosiasikan dengan domestik dan lakilaki di lingkungan publik akhirnya melahirkan hubungan hubungan hierarkhis, yakni laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior. Adapatasi awal ini banyak berkaitan dengan aspek biologis tertutama menyangkut ketahanan tubuh manusia terhadap seleksi alam. Proses eksternalisasi merupakan fakta antropologis yang mendasar dan ini sangat mungkin berakar pada lembaga biologis manusia (Peter Berger dikutip dari Abdullah 2003: 267).
1
Dalam tulisan ini, istilah pria dan wanita sering dipertukarkan dengan laki-laki dan perempuan, istilah yang lebih diterima oleh kalangan gerakan feminis di Indonesia. Penggunaan istilah ‘pria’ dan ‘wanita’ lebih karena persajakan dengan ‘kriya’ dan ‘wanita’. Tulisan ini ditujukan untuk menghormati sang Ibu Guru, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro,yang tekun pada dua bidang tersebut, yaitu studi kriya dan studi wanita (jender).
Kajian jender muncul ketika dirasakan adanya ketimpangan di antara pembagian kerja secara seksual. Pembagian tersebut telah membawa ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama perempuan yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk (Fakih 1996: 12-23). Kemudian, kajian jender yang terutama digerakkan oleh kalangan feminis ini berkecenderungan untuk mengusahakan penempatan perempuan sejajar dengan laki-laki dan bukannya terpinggirkan dan tersubordinasi. Sementara itu, arkeologi dikemukakan sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan masa lampau melalui benda-benda yang ditinggalkan. Meskipun demikian, pada beberapa kalangan terjadi pergeseran nuansa dari orientasi masa lalu (sisa bendawi dari masa lalu untuk mereka ulang kebudayaan masa lalu) ke arah masa kini (benda masa kini untuk mereka ulang kebudayaan masa lampau atau benda masa kini untuk memahami kebudayaan masa kini) seperti yang dikemukakan oleh Schiffer (1976). Baik orientasi lampau maupun sekarang, dalam arkeologi terjadi kesenjangan antara (sisa) benda budaya dan kebudayaan itu sendiri. Benda-benda tersebut telah terlepas dari konteks asalnya dan tertransformasi ke dalam konteks baru. Arkeologi kemudian menjembatani kesenjangan tersebut dengan penafsiranpenafsiran yang sering tidak lepas dari kesalahan-kesalahan termasuk bias-bias tertentu. Hal ini dapat terjadi antara lain karena para arkeolog secara ontologis termasuk ke dalam konteks baru dari sisa benda budaya tersebut. Salah satu bias yang dapat mewarnai penafsiran arkeolog tersebut adalah bias jender yang terjadi misalnya karena peneliti mengikuti konsep budaya tertentu yang telah mewarnai pola pikirnya. Masalah jender telah menjadi perhatian para peneliti sejak akhir abad ke19. Akan tetapi, baru sekitar dua-tiga dekade terakhir, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam beberapa tahap pemikiran, masalah jender mendapat perhatian yang baik dari arkeologi. Setelah artikel Conkey dan Spector (1984) diterbitkan dalam salah satu serial Advances ind Archaeological Method and Theory, kajian atas jender dalam arkeologi menjadi menjamur. Dengan perspektif feminis, kajian-kajian tersebut kebanyakan berkonsentrasi pada peran
perempuan, sehingga jender sering secara sederhana dianggap sebagai perempuan (Senior 2000: 71). Di Indonesia, masalah jender muncul dalam bahasa ‘emansipasi wanita’ yang menggunakan ikon R.A. Kartini. Berkaitan dengan hal tersebut dipopulerkanlah beberapa nama dalam khazanah sejarah seperti Ratu Shima dari Kalingga, Ratu Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit, Laksamana Keumalahayati serta beberapa orang sultanah dari Aceh. Dalam disiplin arkeologi, permulaan kajian ini melanjutkan kerisauan yang sama sehingga masalah yang muncul adalah seperti apa kedudukan wanita, terutama pada masa Klasik (Suleiman 1984, Wirasanti 1986). Kajian-kajian tersebut mencoba membuktikan bahwa kedudukan wanita di Jawa pada masa lampau tidaklah rendah: beberapa di antara mereka telah berkedudukan sebagai penguasa. Sampai dua dekade kemudian, kajian arkeologi berperspektif jender di Indonesia masih berkisar pada pertanyaan-pertanyaan apa pekerjaan wanita. Pertanyaan lebih jauh seperti motivasi di balik pekerjaan perempuan masih sedikit dielaborasi seperti dicoba oleh Wirasanti dalam makalah yang diterbitkan oleh buletin mahasiswa Arkeologi Artefak (1998) . Kemungkinan penerapan kajian jender dalam arkeologi terbentang luas karena data arkeologis yang dapat ditemukan kembali meliputi berbagai aspek kehidupan. Atmosudiro (1999, 2000) telah mengemukakan kemungkinankemungkinan tersebut disertai dengan kendala yang mungkin dihadapi. Sementara itu, ‘keterbatasan data’ dapat diatasi dengan penerapan metode-metode yang tepat dan lebih maju, seperti diajukan oleh Senior (2000: 81) dengan mengusulkan penggunaan dermatoglifiks untuk mengidentifikasi jenis kelamin pembuat gerabah.
Kriya di Indonesia: Arkeologi dan Etnografi Arkeologi membagi siklus tafonomi data menjadi tiga, yaitu buat, pakai, dan buang. Satu jenis data artefaktual dapat dilihat konteksnya dalam tiga siklus tersebut. Berkaitan dengan kecenderungan mutakhir yang mempopulerkan daur ulang, kalangan arkeologi juga terinspirasi untuk menambahkan dua hal yaitu
penggunaan ulang (re-use) dan daur ulang (recycle). Sebagai bagian dari bendabenda arkeologis kriya juga dapat dilihat dari ketiga (atau kelima) konteks tersebut. Pada kesempatan ini pembahasan akan dibatasi pada konteks produksi termasuk di dalamnya distribusi. Data arkeologi di Indonesia berkaitan dengan kriya dapat diperoleh dari berbagai sumber. Sumber utama tentunya adalah artefak, yaitu data berupa bendabenda budaya tinggalan dari masa lampau. Jangkauan artefak terentang dari masa prasejarah hingga masa kolonial, dari kapak batu hingga benda heraldika dan mata uang. Beragam bahan digunakan untuk membuat kriya, meskipun yang selamat sampai pada masa kini tinggal kriya dengan bahan awet seperti batu, logam, atau gerabah terutama pada masa-masa yang lebih awal. Sumber tertulis yaitu prasasti menyebutkan beberapa kata yang berkaitan dengan kriya meskipun dengan tafsiran yang sedikit berbeda. Istilah kriya sendiri untuk menyebut benda-benda produksi pekriya memang tidak terlihat jelas tetapi disebutkan kata lain yang kira-kira dapat dipersamakan dengan kriya. Pada prasasti-prasasti dari masa Klasik, baik di Jawa maupun Bali disebutkan kata undagi. Atmojo (1985: 2) memasukkan istilah pande dalam kelompok undagi. Pada beberapa prasasti Bali Kuno didapat penyebutan beberapa golongan ini yaitu undagi lancang (undagi perahu), undagi batu, undagi pagarung (undagi terowongan), undahagi kayu, dan undahagi rumah, juga pande mas (pande emas), pande wsi (pande besi), pande tambra (pande tembaga), pande kangsa (pande perunggu), dan pande dadap (pande tameng?). Dari pengamatan atas beberapa prasasti Jawa Kuno, Soebroto (1985: 2) menambahkan jenis-jenis keahlian lain ke dalam kelompok undagi. Keahlian tersebut adalah amaranggi (membuat sarung keris), angukir (mengukir), anglukis (melukis), asipet (tukang sulam), serta anjahit (ahli membatik), juga pande dang (membuat dandang?), pande singesingan (?), pande glang (membuat gelang), dan pande kavat (?). Beberapa kata Jawa Kuno tersebut masih hidup hingga sekarang pada bahasa Jawa modern, yaitu mranggen (dari kata maranggi, ‘tukang membuat sarung keris’), ukir atau ngukir (ukiran atau membuat ukiran), serta nglukis (melukis atau menggambar).
Sayang sekali tidak terdapat keterangan yang jelas tentang jenis kelamin dari para pekerja kriya tersebut. Prasasti memang tidak bertujuan untuk melukiskan kondisi masyarakat sezaman. Penyebutan berbagai profesi biasanya merupakan daftar atas mereka yang hadir, mereka yang mendapatkan pasek-pasek (semacam persembahan), atau mereka yang dikenai atau umumnya dibebaskan dari pajak. Oleh karena itu, penyebutan nama-nama profesi tersebut seringkali tanpa konteks yang cukup jelas untuk dapat dilakukan penafsiran-penafsiran. Sumber relief naratif juga tidak banyak menggambarkan kegiatan kriya. Dari Candi Borobudur terlihat relief pembuat gerabah, dari Trowulan terdapat relief penenun, serta di Candi Sukuh terdapat relief pembuat keris. Dari yang sedikit tersebut, penggambaran wanita terlihat pada relief dari Candi Borobudur dan dari Trowulan. Pada dua relief pembuatan gerabah di Candi Borobudur terlihat bahwa para pekerja adalah perempuan meskipun tidak begitu jelas. Pada satu relief salah seorang tokoh membuat gerabah wadah dengan menggunakan tatap yang dipegang dengan tangan kanan sementara pada relief yang lain digambarkan adanya tungku pembakaran dengan tembikar jadi yang disusun bertumpuk di dalamnya. Pada relief terakota dari Trowulan digambarkan seorang wanita duduk di atas balai-balai dengan alat tenun di depannya. Data etnografis pada beberapa suku bangsa di Indonesia menunjukkan kondisi yang kurang lebih sama dengan temuan Murdock dan Provost sebagaimana disebut di atas yang mengambil cuplikan dengan mengumpulkan data kriya atas ratusan suku bangsa di dunia. Pengerjaan kriya logam, kayu, dan sebagainya, didominasi oleh laki-laki, sementara pengerjaan kain, anyaman, dan gerabah didominasi oleh perempuan. Berikut adalah beberapa contoh pembagian jender pada kriya dari beberapa tempat. Pada besalen-besalen (bengkel kriya logam) di Jawa terlihat para pekerja adalah para laki-laki. Pekerjaan di besalen terutama diwarnai kegiatan menempa logam menjadi barang-barang kriya yang dikehendaki, seperti senjata dan peralatan pertanian. Pekerjaan menempa ini sangat membutuhkan tenaga otot yang lebih dapat dipenuhi oleh lelaki daripada wanita. Salah satu pengaruh dari dominasi laki-laki dalam kriya logam ini tampak pada silsilah para empu keris
selalu diwarnai oleh nama-nama laki-laki. Pada dinding ruang tamu almarhum empu keris terkenal dari Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Empu Djeno Harumbrodjo, tertera silsilah semacam ini yang menghubungkan sang empu dengan empu-empu sebelumnya, bahkan sampai ke kerajaan-kerajaan Hindu di masa silam. Dari belasan nama yang tercantum pada bagan silsilah tersebut semua adalah laki-laki. Relief ‘Membuat Keris’ pada Candi Sukuh juga menggambarkan dua orang laki-laki (yang mengenakan perhiasan kepala yang cukup raya) yang sedang bekerjasama membuat keris sehingga silsilah empu yang didominasi oleh laki-laki tersebut terkonfirmasi. Tenun menjadi kriya yang jamak dikerjakan oleh wanita. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tenun menjadi pekerjaan wanita dan tidak ada laki-laki yang menenun. Pengamatan Atmosudiro dkk (2004) tentang tenun Lombok mendapatkan kenyataan bahwa tenun dikerjakan hanya oleh wanita pada waktuwaktu senggang selama tidak mengerjakan pekerjaan sawah. Kenyataan tersebut juga dikonstruksi oleh adanya cerita-cerita tentang aturan yang menyatakan bahwa (di masa) lalu syarat untuk seorang wanita menikah adalah dapat menenun karena ia harus mempersembahkan kain tenunnya kepada si suami. Kehormatan seseorang perempuan juga didapat dari kain tenun yang ia buat, karena di beberapa wilayah di Lombok seorang perempuan yang meninggal akan diselimuti dengan tenun-tenun karyanya yang sengaja ia simpan untuk itu. Di banyak tempat di dunia, tekstil memang lebih banyak diproduksi oleh wanita meskipun terdapat pengecualian seperti pada masyarakat asli Amerika Pueblo di Amerika Serikat bagian barat daya (Senior 2000: 72). Robin Maxwell (1990) juga menuliskan bahwa produksi kain di Asia Tenggara secara eksklusif merupakan domain perempuan. Begitu juga, batik tulis di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta dikerjakan oleh perempuan (Dwiyanto dan Nugrahani 2000) meskipun yang dikerjakan adalah bukan membuat kainnya sendiri melainkan membuat motif di atas kain. Gerabah juga merupakan domain perempuan, terutama gerabah tradisional yang menghasilkan terutama jenis-jenis wadah untuk keperluan rumah tangga. Di beberapa pusat kriya tradisional gerabah di Jawa, misalnya di Bentangan dan
Bayat, keduanya di Kabupaten Klaten, wanita membuat wadah. Pekerjaan ini dilakukan di lingkungan rumah tinggalnya, terutama di emper-emper rumah dan jarang yang mengerjakan pada bengkel kerja yang sengaja dibangun untuk itu. Pengangin-anginan juga dilakukan di emper dan penjemuran dilakukan di halaman. Pembakaran juga dilakukan di halaman rumah pada sebuah tobong terbuka yang didirikan untuk itu.
Kerjasama di antara kedua jender Meskipun suatu pekerjaan kriya dikenal secara tradisional sebagai dikerjakan oleh satu jenis kelamin, tetapi karya produksi masyarakat biasanya memerlukan kerjasama keduanya, laki-laki maupun perempuan. Kerjasama tersebut biasanya dilakukan dengan pembagian kerja tertentu. Para perempuan melakukan pekerjaan pada bagian atau tahap tertentu sementara bagian atau tahap yang lain dikerjakan oleh para laki-laki. Pada kasus tenun di Lombok, laki-laki membuat alat tenun. Alat ini, disebut dengan ranggon, dibuat secara sederhana dengan kayu seadanya kecuali bagian tertentu yang disebut berira yang digunakna untuk memadatkan benang pakan. Seorang ayah akan membuatkan untuk anak perempuannya yang beranjak gadis, sementara seorang suami membuatkan untuk istrinya ranggon yang barangkali untuk mengganti alat yang telah rusak. Selain itu, pekerjaan nyaris dilakukan semua oleh perempuan, mulai dari memintal kapas atau menyiapkan benang toko, mewarnai, membuat pola, serta menenun dan bahkan menjualnya. Pada kasus kain batik tulis di Jawa, laki-laki mencelup kain, satu kegiatan yang membutuhkan tenaga, sementara wanita bertugas menerakan lilin pada kain dengan canting yang membutuhkan kehalusan dan kerumitan tertentu. Selain mencelup, kegiatan yang lain kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Pada kriya gerabah di Jawa sebagaimana telah disebut di atas, terlihat wanita merupakan pekerja utama, dalam arti merekalah yang membentuk tanah liat hingga menjemurnya menjadi kering (biskuit). Akan tetapi untuk penyiapan tanah liat dan kadang untuk pemasarannya, para lelakilah yang berperan.
Sebaliknya, wanita juga berperan dalam kegiatan kriya yang secara tradisional menjadi domain laki-laki. Dwiyanto dan Yuwono (1999: 53) mengemukakan bahwa pada lingkungan industri logam tradisional di Jawa Tengah dan Yogyakarta wanita biasanya menempati posisi pada bagian penyelesaian (finishing), pengemasan (packaging), sirkulasi, administrasi keuangan, penjualan, dan promosi.
Perubahan jender Selain kerjasama, terjadi juga trans-jender. Istilah ini digunakan untuk menyebut pertukaran peran dari yang biasanya dilakukan secara tradisional. Jika suatu kriya biasanya dilakukan oleh lelaki, pada satu kasus tertentu dapat berubah dilakukan oleh perempuan. Begitu juga sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan kriya yang secara biasanya dilakukan oleh perempuan kadang bergeser menjadi domain lelaki. Pergeseran domain, dari perempuan ke laki-laki atau sebaliknya, dapat diamati pada masa-masa kontemporer. Senior (2000) membahas hal ini dan menunjukkan contoh etnografinya antara lain pada kasus pengambilalihan kriya gerabah oleh para laki-laki muda dari tangan perempuan di Pueblo Barat Daya, New Mexico, Amerika Serikat. Pada kasus gerabah di Jawa yang sempat diamati, pengenalan desain baru membuat perajin laki-laki (kriyawan) mengambil alih pada proses produksi utama sementara wanita terpinggirkan menjadi pekerja finishing. Di wilayah Pagerjurang, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pekriya tradisional adalah para wanita dengan terutama teknik roda putar miring. Mereka menghasilkan wadah-wadah tembikar untuk keperluan rumah tangga. Mereka juga membuat dengan teknik cetak beberapa benda kecil seperti celengan dengan bentuk binatang. Kemudian, terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan pesanan gerabah dalam jumlah banyak dari luarnegeri. Benda-benda pesanan ini bukanlah kuali atau celengan, melainkan benda-benda seni penghias interior yang telah didesain oleh pemesannya. Pada salah satu bengkel gerabah (modern) di Pagerjurang terlihat para laki-laki yang membuat gerabah tersebut baik dengan teknik cetak dan roda putar. Perlu dicatat bahwa roda putar ini adalah roda putar
datar biasa dan bukannya roda putar miring seperti umumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat setempat. Perempuan terlihat memberikan ornamen tempel dan tera juga menghaluskan gerabah. Kemudian laki-laki membuat sentuhan akhir dengan menggunakan cat semprot, sesuatu yang juga baru bagi dunia gerabah di Pagerjurang yang biasanya dibiarkan polos coklat tanpa pemberian cat meskipun slip juga sering diberikan. Pada kasus-kasus kriya tenun gendong atau gedog baik di Jawa Timur maupun Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Alor (Nusa Tenggara Timur) yang sempat teramati terlihat bahwa tenun dikerjakan oleh wanita hampir seluruh bagian prosesnya. Laki-laki terlihat pada beberapa tempar dengan tenun teknik yang lebih baru, yaitu ATBM (alat tenun bukan mesin). Akan tetapi bagian pemintalan tetap dikerjakan wanita. Terlihat di sini bahwa teknik yang lebih baru dikerjakan oleh laki-laki. Hal ini juga terjadi pada kasus batik. Batik biasanya dikerjakan oleh wanita dengan canting. Akan tetapi setelah pengenalan teknik baru, yaitu batik cap, maka batik kemudian dikerjakan oleh laki-laki dengan teknik ini. Menarik juga diamati bahwa di kawasan Tamansari terdapat dua jenis batik, yaitu batik tradisional dan batik ‘painting’ yang dikerjakan dengan teknik yang lebih bebas dan motif serta pewarnaan yang tidak terbatas. Di kawasan ini, batik tradisional (yang menghasilkan ‘kain batik’ dengan motif tradisional) dikerjakan oleh perempuan, sementara batik ‘painting’ yang dibuat untuk para turis dikerjakan oleh laki-laki. Selain karena pengenalan teknik baru, terdapat berbagai kemungkinan yang membuat trans-jender sebagaimana disebut di atas. Senior (2000) memberikan dua contoh. Meninggalnya seorang laki-laki kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pembuat kriya memaksa seorang perempuan untuk mengambil alih pekerjaan suaminya. Selain itu, peningkatan permintaan akan suatu produk kriya akan menarik perhatian jender lain untuk ikut terjun dalam pekerjaan tersebut. Laki-laki tidak akan begitu saja membuat kriya sama dengan perempuan. Selain menggunakan menggunakan teknologi yang berbeda (misalnya menggunakan roda putar untuk membuat gerabah, berbeda dari perempuan yang
tidak menggunakannya), ia mungkin akan menerapkan gaya yang berbeda dari yang dibuat oleh perempuan. Senior (2000: 75) juga melaporkan bahwa para lakilaki yang secara perlahan mulai mengambil alih pekerjaan perempuan dalam pembuatan gerabah menerapkan gaya hiasan dan bentuk hasil yang sama sekali lain. Para perajin laki-laki lebih banyak membuat hiasan dengan teknik pahat dan potong pada permukaan gerabah yang kelihatannya diilhami oleh kegiatan mereka dalam memahat kayu. Sebagaimana perempuan, para laki-laki tersebut juga mewarnai gerabah hasil buatan mereka tetapi mereka membuat garis lebih banyak dan warna yang lebih beragam. Dalam konteks arkeologis, lebih lanjut Senior (2000: 80) mengemukakan bahwa perubahan gaya atau bercampurnya gaya dalam satu kumpulan artefak (assemblage) dapat diakibatkan oleh perubahan jender pembuatnya selain oleh penyebab yang telah dikenal sampai kini, yaitu keberadaan sumber alam, keragaman dalam efisiensi kerja, perubahan makanan, kebiasaan ritual atau sistem tranformasi nilai, migrasi atau kontak dengan kelompok masyarakat yang lain, perubahan status dari perajin dan pada organisasi produksi, juga pada perubahan permintaan pasar.
Penutup: isu pengkajian arkeologi berperspektif jender Beberapa peneliti telah merumuskan kajian-kajian yang sebaiknya dilakukan dalam kerangka yang lebih adil jender, seperti misalnya Abdullah (2003). Untuk kajian lebih lanjut tentang keterlibatan jender dalam kriya terdapat beberapa isu sebagai berikut. Pertama, produksi kriya harus dianggap sebagai produksi bersama, karena pembagian kerja memungkinkan untuk itu. Gerabah sering dibuat oleh wanita, terutama gerabah yang tidak menggunakan teknik roda putar. Dari data etnografis diketahui bahwa laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk menghasilkan gerabah. Melanjutkan bahasan beberapa peneliti, salah satu isu penting untuk masa prasejarah adalah bahwa dunia dianggap patriarkhis sehingga karena alat batu yang dihasilkan oleh laki-laki dianggap sebagai kriya sementara pada saat
bersamaan wanita yang membuat wadah tidak dianggap sebagai berkontribusi pada kebudayaan. Kedua. Kebudayaan tidak dianggap sebagai sesuatu yang homogen di setiap tempat maupun waktu. Oleh karena itu, kajian etnoarkeologi harus lebih berhati-hati. Menyamakan satu budaya di satu tempat dengan tempat lain, apalagi ditambah satu masa (masa kini) untuk masa yang lain (masa lalu) menjadi sangat riskan untuk terjadinya berbagai bias, termasuk bias gender. Ketiga. Bias jender pada peneliti. Temuan Conkey dan Spector tentang peneliti laki-laki yang lebih sering ke lapangan dan peneliti perempuan yang lebih banyak bekerja di belakang meja akan dapat membuat bias gender. Peneliti lakilaki lebih sering melakukan penelitian lapangan sementara peneliti perempuan lebih menyukai pekerjaan di laboratorium. Untuk itu perlu adanya diskusi berulang-ulang atas temuan dan interpretasi arkeologis. Dalam kasus kriya, benda-benda kriya kebanyakan merupakan benda cemangking yang mudah terpindahkan dari konteks asalnya ke ruang-ruang peneliti di laboratorium. Di samping itu, sifat kriya tradisional yang indah, eksotis, mengundang terutama minat para peneliti wanita. Keempat, gunakan perempuan sebagai sumber informasi dalam kajian bersifat etnoarkeologis. Salah satu agenda dari penelitian sosial berperspektif gender ini dapat diterapkan dengan membuat penelitian yang lebih berimbang tentang kriya. Para penenun perlu dilihat perspektifnya sehingga pendapat tidak hanya keluar dari sudut pandang para tetua adat yang umumnya adalah laki-laki.
Rujukan Atmojo, M.M. Sukarto K. 1985. “Data Perundagian di dalam Prasasti Kuno”. Makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Yoyakarta-Jawa Tengah, Yogyakarta, 3-4 Juli 1985. Abdullah, Irwan 2003. “Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial”. Humaniora XV(3): 265-275. Atmosudiro, Sumijati 1999. “Gender: Kemungkinan dan Kendalanya dalam Arkeologi”. Makalah dalam PIA IX, Yogyakarta.
Atmosudiro 2000. “Gender dalam Perspektif Arkeologi”. Makalah Seminar Bulanan IAAI Komda Yogyakarta-Jateng. Atmosudiro dkk (2004) tentang tenun Lombok Conkey, Margareth W dan Janet D. Spector 1984. “Archaeology and the Study of Gender”. Michael B. Schiffer (ed.), Advances in Archaeological Method and Theory. Vol. 7 hlm. 1-38. Costin, Lynne Cathy 1996. “Exploring the Relationship between Gender and Craft in Complex Societies: Methodological and Theoretical Issues of Gender Archaeology”. Rita P Wright (ed.), Gender and Archaeology. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Hlm. 111-140. Donald, Moira dan Linda Hurcombe (ed.) 2000. Gender and Material Culture in Archaeological Perspective. London: Macmillan Press Ltd. Dwiyanto, Djoko 1998. “Studi Kajian Wanita (Gender) dalam Bidang Arkeologi, Suatu Pengantar”. Artefak 20: 5-6. Dwiyanto, Djoko 2001. “Studi Kajian Wanita dalam Bidang Arkeologi berdasarkan Perspektif Gender”. Sumijati Atmosudiro dkk (ed.). Manusia dan Dinamika Budaya: Dari Kekerasan Sampai Baratayuda. Yogyakarta: FS UGM. Hlm 119-32. Dwiyanto, Djoko dan D.S. Nugrahani 2000. “Tradisi dan Perubahan Konsep Gender dalam Seni Batik: Studi Kasus pada Perajin Batik Pedalaman dan Pesisiran”. Laporan Penelitian, Ditjen Dikti. Dwiyanto, Djoko dan J. Susetyo Edy Yuwono 1999. “Peranan dan Fungsi Wanita dalam Industri Logam Tradisional di Yogyakarta dan Jawa Tengah: Studi Etnoarkeologi” Humaniora 12. hlm 49-55. Fakih, Mansour 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maxwell, Robyn 1990. Textile of Southeast Asia: Tradition, Trade, and Transformation. Oxford University Press. Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archaeology. New York: Academic Press. Senior, Louise M. 2000. “Gender and Craft Innovation: Proposal of a Model”. Dalam Moira Donald dan Linda Hurcombe (ed.) 2000. Gender and Material Culture in Archaeological Perspective. London: Macmillan Press Ltd. Hlm. 71-87. Soejono, R.P. (ed.) 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka. Subroto, Ph. 1985. “Jenis-Jenis Pertukangan pada Masa Klasik di Jawa”. Makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Yoyakarta-Jawa Tengah, Yogyakarta, 3-4 Juli 1985.
Suleiman, Satyawati. 1984. “Peranan Wanita pada masa klasik sebagaimana terlihat pada pahatan-pahatan kuna di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Makalah pada EHPA II. Wirasanti, Niken 1986. “Citra Wanita dalam Masyarakat Jawa Kuna: Studi Kasus Tentang Kedudukan dan Peranan Wanita Periode Jawa Timur”. Skripsi Sarjana. FS UGM. Wirasanti, Niken 1998. “Motivasi Wanita Bekerja dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Kuna”. Artefak 20: 7-9, 23. Wright, Rita P. (ed.) 1996. Gender and Archaeology. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.