AKULTURASI PENYEBUTAN KONSEPSI TUHAN PADA TEKS SASTRA SULUK Marsono Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Abstrak Budaya Nusantara telah terbentuk sejak 3.000.000 sampai 10.000 tahun sebelum Masehi. Budaya pada masa ini disebut budaya Nusantara purba. Hidup nenek moyang bangsa ini pada masa itu sangat tergantung pada alam. Mereka merupakan manusia primitif prasejarah. Kepercayaan mereka pada masa purba adalah Animisme dan Dinamisme Mereka memuja dan menyembah roh nenek moyang karena dianggap banyak pengalaman dan dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Muncullah upacara-upacara pemujaan kepada roh leluhur. Mereka juga menganggap bahwa semua benda di sekitarnya mempunyai kekuatan gaib. Pergaulan melalui perdagangan dengan bangsa asing, yaitu: India, Persia, dan Cina pada awal abad pertama dimulai. Pengaruh kebudayaan India mulai masuk di Nusantara. Sistem pemerintahan kerajaan diadopsi. Muncullah kerajaan-kerajaan di Nusantara, yaitu: Kerajaan Kutai abad ke-5 di Kalimantan Timur, Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 di Palembang, dan Kerajaan Mataram Kuna pada abad ke-7-9 di Jawa Tengah. Perjalanan hidup Budha menuju manusia sempurna melalui tiga tingkatan (Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu) oleh Dinasti Salilendra (abad ke-8) di Mataram Kuna dipahatkan pada Candi Borobudur. Sementara itu, ajaran Hindu oleh Kerajaan Mataram Kuna pada zaman Dinasti Sanjaya (abad ke-9) dipahatkan dalam bentuk relief pada Candi Hindu terbesar di Indonesia, yaitu Candi Prambanan. Bangunan utama Candi Prambanan berupa Candi Trimurti, terdiri atas tiga, yaitu: Candi Brahma, Siwa, dan Candi Wisnu. Setelah Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah runtuh, kelanjutan kerajaan berpindah ke Jawa Timur, yaitu: Kerajaan Kediri (abad ke-11-12), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke13-15 (1293-1478 Masehi)). Semua kerajaan ini dibangun dengan konsep Hindu-Budha. Bersamaan dengan mulainya keberaksaraan pada abad ke-9, mulai digubah teks sastra religius yang bernafaskan Hindu-Budha.
abad ke-9-15 banyak
Pada awal abad ke-13 melalui perdagangan juga, agama Islam mulai masuk di wilayah Nusantara. Di Jawa Islam baru mulai masuk pada abad ke-15 atas jasa para wali. Majapahit runtuh pada tahun 1478. Sebagai kelanjutan muncullah di Jawa Kerajaan Demak yang dibangun berdasarkan Islam. Kerajaan Demak kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Pajang,
dan Mataram. Kerajaan Mataram pada tahun 1755 dibagi menjadi dua, yaitu Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kasunanan
Bersamaan dengan munculnya Kerajaan Demak, mulai abad ke-15-19 banyak teks sastra religius yang bernafaskan Hindu-Budha digubah menjadi bernafaskan Islam. Terjadilah akulturasi penyebutan konsepsi Tuhan. Teks-teks sastra religius yang ditulis pada abad ke-1519, khususnya pada teks tasauf Jawa, untuk menyebut nama Tuhan tidak hanya dengan Allah saja. Tetapi dengan banyak nama, di antaranya: Hyang Suksma, Hyang Widi, Pangeran, Hyang Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang Amurba, Pangeran Ingkang Maha Minulya, Mahaluwih, Mahaagung, dan Hyang..
Abstract Indonesian culture has been initiated since around three million to 10,000 years before century, which is commonly known as ancient culture. Ancestors of the nation at that age were greatly dependent upon natural resources. They were primitive and pre-historic people whose main beliefs were categorized as animism and dynamism. They believed in the spirit of their ancestors who possessed mythical powers and souls. From this idea, they then organized forms of worships for praying to the spirit of their predecessors. In addition, they also believed that all surrounding objects naturally possessed certain mythical powers. In further relation through foreign commerce with India, Persia, and China, in the first centuries, Indonesian culture began to assimilate with other cultures and customs from those countries. The governmental system of monarchy, for instance, was initially adopted during the early age. As a result, several kingdoms began to emerge, such as Kutai Kingdom in fifth century in East Kalimantan, Sriwijaya Kingdom in seventh century in Palembang, South Sumatra, and Old Mataram Kingdom in seventh to nineth century in Central Java. The Buddha‟s search for true and supreme life, or nirvana, through three main phases, i.e. Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu, was beautifully engraved on Borobudur Temple by Syailendra dynasty of Old Mataram Kingdom in eighth century. Meanwhile, Sanjaya dynasty engraved the Hindu teachings on the largest Hindu temple in Indonesia, Prambanan Temple. The main part of the temple is called Trimurti temple, which consists of Brahma, Siwa, and Wishnu temples. After the fall of Old Mataram Kingdom in Central Java, the center of the Javanese kingdom then moved to East Java. There were several Hinduism and Buddhism based kingdoms at that time such as Kediri (11th to 12th centuries), Singasari (13th century), and Majapahit (13th to 15th centuries or 1293 – 1478 AD). In response to the development of literacy level in 9th century, a number of literary manuscripts on the teachings of Hinduism and Buddhism were composed considerably during the 9th to 15th centuries. In the early 13th century, Islam initiated its development in Indonesian archipelago through commerce relationship. In Java, for example, Islam began to spread in 15th century by Muslim scholars who were popularly known as „wali‟. Since the fall of the largest Javanese kingdom of Majapahit in 1478, an Islamic based kingdom of Demak emerged. Following the fall of Demak, two kingdoms, i.e. Pajang and Mataram, then dominated the island of Java. In 1755 Mataram Kingdom was divided into two smaller sultanates, i.e. Surakarta and Yogyakarta Sultanates. Since the rise of Demak Kingdom, a great number of Hinduism and Buddhism literature manuscripts during the 15th to 19th centuries were rewritten into Islamic ones, which brought about acculturation among different concept on addressing God. In the Javanese Sufism manuscripts composed in 15th to 19th centuries, for instance, writers tended to address God
(Allah) as Hyang Suksma, Hyang Widi, Pangeran, Hyang Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang Amurba, Pangeran Ingkang Maha Minulya, Mahaluwih, Mahaagung, or Hyang.
AKULTURASI PENYEBUTAN KONSEPSI TUHAN PADA TEKS SASTRA SULUK1
1. Kebudayaan Nusantara dalam Lintasan Sejarah Budaya Nusantara telah terbentuk sejak 3.000.000 sampai 10.000 tahun sebelum Masehi. Hal ini didasarkan pada ditemukannya fosil manusia purba Pithecanthropus Erectus pada tahun 1939 oleh Ralph von Koenigswald di Sangiran, Surakarta, Jawa Tengah (Semah, Anne-Semah, dan Djubiantoro, 1990:21-23). Mereka merupakan manusia primitif prasejarah. Hidupnya tergantung pada alam. Tempat tinggal mereka di gua-gua atau pada karang di muara sungai dengan diberi tambahan tenda terbuat dari daun-daunan. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Masa ini berlangsung sampai menjelang abad pertama Masehi. Pada masa prasejarah akhir mulai abad pertama, nenek moyang bangsa ini telah mengenal berbagai macam teknologi, di antaranya: cara bercocok tanam, cara berlayar, arah angin, dan astronomi. Budaya pada masa ini disebut budaya Nusantara purba. Kepercayaan nenek moyang pada masa purba adalah Animisme (dari kata Latin anima „arwah‟) dan Dinamisme (dari kata Yunani dinamis „kekuatan‟). Mereka memuja dan menyembah roh nenek moyang karena dianggap banyak pengalaman dan dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Muncullah upacara-upacara pemujaan kepada roh leluhur. Roh nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib itu dipercaya dapat dimintai bantuan oleh manusia yang masih hidup jika orang itu mempunyai hajat yang penting, di antaranya: memulai mengolah tanah, mulai membangun rumah, dan berangkat berperang. Mereka juga menganggap bahwa semua benda di sekitarnya mempunyai kekuatan gaib (Prijohutomo, 1953:11-13). Sebagian benda-benda di sekitarnya itu, di antaranya: pohon besar, batu besar yang menggelantung di tepi jalan, dan gunung dipercaya ada roh yang menghuni, disebut dahyang. Ada kalanya benda-benda tertentu (seperti: akik, kul buntet, dan rajah) atau senjata-senjata tertentu (seperti: keris, tombak, dan pedang) dianggap bertuah, mempunyai daya gaib, dan sakti, sehingga oleh pemiliknya dijadikan azimat. Pergaulan melalui perdagangan dengan bangsa asing, yaitu: India, Persia, dan Cina pada awal abad pertama dimulai. Pengaruh kebudayaan India mulai masuk di Nusantara. Sistem pemerintahan kerajaan diadopsi. Muncullah kerajaan-kerajaan di Nusantara, yaitu: Kerajaan Kutai abad ke-5 di Kalimantan Timur dibangun dengan konsep Hindu, Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 di Palembang dibangun dengan konsep Hindu dengan memberikan keleluasaan Budha untuk berkembang, dan Kerajaan Mataram Kuna pada abad ke-7-9 di Jawa Tengah yang dibangun dengan konsep Hindu-Budha. Kerajaan Kutai dan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim, sedangkan kerajaan Mataram Kuna adalah kerajaan agraris. Ketiga kerajaan ini merupakan kerajaan yang makmur dan berjaya pada zamannya. 1
Makalah ini diangkat dengan beberapa revisi tambahan dari makalah berjudul “Akulturasi Budaya: Lokal, HinduBudha, dan Islam dalam Penyebutan Konsepsi Tuhan pada Teks Sastra Tasauf Jawa” Disajikan pada Seminar Internasional Austronesia IV, Diselenggarakan oleh Pro gram Pascasarjana Universitas Udayana pada tanggal 20-21 Agustus 2007 di Denpasar, Bali.
Wilayah Sriwijaya meliputi sebagian Semenanjung Malaya, Selat Malaka (termasuk Singapura sekarang), Sumatera Utara, Jambi, dan Sunda. Di samping sebagai pusat perdagangan dengan angkatan armada lautnya yang kuat, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Hindu-Budha. Yang berkunjung ke Sriwijaya tidak hanya orang-orang India, Persia, dan Cina; tetapi juga bangsa Arab. Barang-barang yang diperdagangkan, di antaranya: hasil bumi kapur barus, rempah-rempah; hasil budi daya laut mutiara; hasil kerajinan tekstil; dan hasil tambang emas serta perak. Sebagai pusat budaya Budha, di Sriwijaya banyak dibangun vihara dengan ribuan biksunya. Dalam hal ajaran kebudhaan Sriwijaya memberikan sinar ke seluruh Asia Tenggara pada zamannya. Berbeda dengan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuna pada zaman Dinasti Sailendra (abad ke-8) dalam menyebarkan ajaran perjalanan Budha menuju hidup sempurna, ajaran itu dipahatkan dalam bentuk relief pada Candi Borobudur melalui tiga tingkatan (Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu). Sementara itu, ajaran Hindu oleh Kerajaan Mataram Kuna pada zaman Dinasti Sanjaya (abad ke-9) dipahatkan dalam bentuk relief pada Candi Hindu terbesar di Indonesia, yaitu Candi Prambanan. Bangunan utama Candi Prambanan berupa Candi Trimurti, terdiri atas tiga, yaitu: Candi Brahma, Siwa, dan Candi Wisnu. Pemahatan relief dalam bentuk candi dimaksudkan agar kandungan amanat nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya mudah dipahami selanjutnya diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Bersamaan dengan munculnya kerajaan, budaya tulis-menulis diadopsi dari India. Mulai abad ke-7 muncullah prasasti-prasasti dengan huruf Pallawa dan Dewanagari berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu muncul secara eksplisit penentuan waktu. Huruf Pallawa kemudian digubah menjadi huruf Jawa Kuna. Mulai abad ke-9 muncul prasasti yang pertama kali berhuruf dan berbahasa Jawa Kuna, yaitu Prasasti Sukabumi tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi) (Zoetmulder, 1983). Sejak saat itu budaya tulis-menulis secara intensif berlangsung di bumi Nusantara, khususnya Jawa. Karya besar India Ramayana dan Mahabharata yang sarat dengan kandungan ajaran nilai moral yang sebelumnya hanya dituturkan secara lisan kemudian pada abad ke-9 digubah dalam bentuk tulis (Lombard, 1996:6) dengan huruf Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna (Poerbatjaraka, 1957:2-3). Bersamaan dengan mulainya keberaksaraan pada abad ke9, mulai abad ke-9-15 banyak digubah teks sastra religius bernafaskan Hindu-Budha. Muncullah pada abad ke-15 teks sastra mistik Dewaruci Tembang Gedhe dalam bahasa Jawa Pertengahan. Setelah Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah runtuh, kelanjutan kerajaan berpindah ke Jawa Timur, yaitu: Kerajaan Kediri (abad ke-11-12), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke13-15 (1293-1478 Masehi)). Semua kerajaan ini dibangun dengan konsep Hindu-Budha. Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir di Bumi Nusantara. Wilayahnya sama dengan Indonesia sekarang ditambah Pahang (Malaya), Singapura, dan Johor (Achadiati, S., dkk., 1988:11). Wibawanya sampai ke Cina Selatan (Campa). Majapahit mencapai puncak keemasan sewaktu dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dengan patihnya Gadjah Mada (meninggal 1346 Masehi) Pada awal abad ke-13 melalui perdagangan juga, agama Islam mulai masuk di wilayah Nusantara. Di Jawa Islam baru mulai masuk pada abad ke-15 atas jasa para wali. Kerajaan besar Hindu Budha Majapahit mulai akhir abad ke-14-15 karena perebutan di antara para keluarga raja
mengalami kemunduran, kemudian runtuh. Keruntuhuannya ditandai dengan sengkalan: sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478 Masehi). Terjadilah waktu itu revolusi kebudayaan dari Nusantara Hindu-Budha berubah ke Nusantara Islam. Sebagai kelanjutan Majapahit muncullah di Jawa Kerajaan Demak yang dibangun berdasarkan Islam. Kerajaan Demak kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Pajang, dan Mataram. Kerajaan Mataram pada tahun 1755 dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Bersamaan dengan munculnya Kerajaan Demak, mulai abad ke-15-19 banyak teks sastra religius yang bernafaskan Hindu-Budha digubah menjadi bernafaskan Islam. Muncullah di Jawa teks sastra suluk, di antaranya teks Lokajaya dan Centhini. Terjadilah akulturasi penyebutan konsepsi Tuhan. Di Sumatra pada abad ke16-17 berkembang teks sastra tasauf. 2. Akulturasi Konsepsi Tuhan pada Teks Sastra Suluk Hakikat Tuhan menurut teks sastra suluk adalah tan kinaya ngapa „tidak dapat dikatakan dan diperikan dengan apapun‟. Tuhan adalah sesuatu yang menjadikan atas segala yang ada di dunia, yang membuat hidup dan sumber hidup dari segala yang hidup. Sesuatu yang menguasai segalanya tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dapat diraba karena tidak berwujud dan berwarna, tiada arah tempat-Nya. Tempat-Nya berada di depan, belakang, atas, bawah, dekat tidak bersentuhan, jauh tidak terhingga. Hanya orang-orang yang awas saja yang mengetahui. Penyebutan terhadap konsepsi Tuhan pada teks sastra suluk, di antaranya dalam teks Lokajaya dan Centhini, disebutkan dengan banyak nama. Dalam teks Lokajaya disebutkan dengan 15 nama, yaitu: Hyang Suksma, Hyang Widi, Allah, Pangeran, Hyang Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang Amurba, Pangeran Ingkang Minulya, Mahaluwih, Hyang Mahaagung, dan Hyang. Hal yang sama dalam teks Centhini, di antaranya pada Cetnthini Jilid XII Pupuh 1-5 disebutkan dengan 12 nama, yaitu: Allah, Hyang Sukma, Hyang Widi, Hyang, Pangeran, Hyang Kang Mahamulya, Hyang Agung, Hyang Kang Wisesa, Hyang Manon, Mahasuci, Hyang Mahaluwih, dan Hyang Kang Mahaagung. Uraian konsepsi Tuhan dalam teks Lokajaya dan Centhini2 yang muncul dalam berbagai nama, tidak hanya dengan Allah saja, akan diberikan di bawah. a.
Hyang Suksma
Hyang Suksma untuk menyebut Tuhan dalam teks Lokajaya terpakai 36 kali, di antaranya dalam pupuh II Asmaradana bait 1 baris 4: Sang wiku ngandika aris, jênênge Seh Mlaya sira, sira mêlaya maune, seh iku kasihing Suksma, …. (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629 : 194-195). Terjemahan: Sang biksu berkata pelan, 2
Data dari teks Centhini terbatas pada Centhini Jilid XII Pupuh 1-5.
“Nama engkau sekarang Seh Malaya. Sebab sebelumnya engkau berkelana. Seh itu mendapat kasih dari Suksma. …” Hyang Suksma atau Suksma untuk menyebut Tuhan dalam teks Lokajaya muncul paling banyak di antara nama yang lain. Dalam teks Centhini muncul tujuh kali. Penyebutan Hyang Suksma untuk Tuhan adalah sebagai realisasi konsepsi Hindu. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta Suksma, dipungut sudah zaman kuna sekitar abad 9-15 terbukti terpakai dalam teks-teks, di antaranya seperti : Udyogaparwa, Uttarakanda, Wrhaspatitattwa, dan Sang Hyang Kamahayanikan (Zoetmulder, 1982:1841). b. Hyang Widi ‘Tuhan Yang Mahatahu, Tuhan Sang Pencipta’ Hyang Widi untuk menyebut Tuhan Yang Mahatahu (Tuhan Sang Pencipta) dalam teks Lokajaya muncul 30 kali, di antaranya dalam pupuh II Asmaradana bait 7 baris 1: Kanugrahaning Hyang Widi ambasani kasudibyan, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11. 629:196). Terjemahan: Anugerah Hyang Widi, memberi keselamatan, … Hyang Widi untuk menyebut nama Tuhan dalam teks Centhini muncul tujuh kali. Penyebutan Hyang Widi untuk Tuhan Sang Pencipta sebagai realisasi konsepsi Hindu (bdk. Wiana, 2004:2325). Nama ini dipungut sudah sejak zaman kuna sekitar abad ke-9-15, terbukti terpakai dalam teks Jawa Kuna, di antaranya: Ghatotkacasraya dan Arjunawijaya (Zoelmulder, 1982:2262). b. Allah ‘Tuhan Allah, Tuhan Yang Maha Esa’ Allah untuk menyebut Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa dalam teks Lokajaya muncul 23 kali, di antaranya dalam pupuh IV Dhandanggula bait 4 baris 6: … mangka Allah angandika, nabda kun payakun, ana langit lan partala, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:211).
Terjemahan: …
Allah bersabda, kun fayakun, ada bumi dan langit, … Allah untuk menyebut nama Tuhan dalam teks Centhini muncul paling banyak, 11 kali. Penyebutan Allah untuk Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai realisasi dari konsepsi Islam. Istilah ini terpakai belum setua dengan Hyang Suksma dan Hyang Widi di atas, munculnya bersamaan dengan masuknya Islam di bumi Nusantara sekitar abad ke-15-16. c. Pangeran ‘Tuhan, Tuhan Tempat Berlindung’ Pangeran untuk menyebut Tuhan tempat berlindung dalam teks Lokajaya muncul sepuluh kali, sedangkan dalam teks Centhini muncul empat kali. Dalam teks Lokajaya, di antaranya pada pupuh VI Maskumambang bait 6 baris 1 dan 3: Ing ciptane tan ana Pangeran malih, ya dipunrumêksa, Pangeran liyaning Widi, apan dadi ingkang wadhak. (“Lokajaya” dalam Lor. 11.629:227). Terjemahan: Di dalam cipta tidak ada Tuhan lain-Nya. Kuasailah, Tuhan selain Hyang Widi, yang menjadikan badan. Penyebutan Pangeran untuk Tuhan sebagai tempat berlindung muncul sebagai realisasi konsepsi Jawa (Tedjopremono dan Sidharta, 1980:2). Istilah ini terpakai sekurang-kurangnya sudah sejak abad ke-16, seperti terbukti dalam teks Nawaruci (Zoetmulder, 1982:621). d. Hyang Agung ‘TuhanYang Mahabesar’ Hyang Agung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam teks Lokajaya muncul sembilan kali; sedangkan dalam teks Centhini muncul tiga kali. Dalam teks Lokajaya, di antaranya pada pupuh II Asmaradana bait 8 baris 6: … kang murba marang dheweke, wasesa aneng sarira, nanging datan kapurba, sira kapurba Hyang Agung, agung ing nugrahanira. (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:196).
Terjemahan:
… Yang menguasai terhadap dirimu. Yang menguasai dirimu tidak ada yang mendahului. Engkau dijadikan oleh Hyang Agung. Hyang Agung besar anugerahnya. Terpakainya Hyang Agung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar adalah sebagai realisasi konsepsi Islam, Hindu, dan Jawa. Istilah ini sudah terpakai sejak zaman kuna sekitar abad ke-915, di antaranya dalam: Adiparwa, Kidung Harsa-Wijaya, Udyogaparwa, dan Uttarakanda (Zoetmulder, 1982:517 dan 557). e. Yang Manon ‘Tuhan Yang Mahatahu’ Hyang Manon untuk menyebut Tuhan Yang Mahatahu dalam teks Lokajaya muncul sebanyak delapan kali, sedangkan dalam teks Centhini muncul dua kali. Dalam teks Lokajaya di antaranya terdapat pada pupuh II Asmaradana bait 6 baris 3: Denbecik agamaniri, agama pan tata krama, krama kramate Hyang Manon, …. („Lokajaya” dalam LOr. 11.629:196). Terjemahan: Peliharalah agama ini. Agama sebagai pedoman dalam kehidupan. Pedoman dalam kehidupan dari Hyang Mahatahu. ……. Penyebutan Hyang Manon untuk Tuhan Yang Mahatahu atau Tuhan Yang Maha Melihat sebagai realisasi konsepsi Jawa (Tedjopremono dan Sidharta. 1980 :2). Hyang Manon merupakan sisa bentuk tua, terpakai di antaranya dalam teks Parthayajna (Zoetmulder, 1982:2029). g. Gusti ‘Tuhan’ Penyebutan Gusti untuk Tuhan dalam teks Lokajaya muncul tujuh kali, di antaranya dalam pupuh VI Maskumambang bait 7 baris 3: Sarupane gêsang uripe Hyang Widi, pan ing yata tunggal, kawula kêlawan Gusti, sêkarat iku atunggal. (“Lokajaya” dalam LOr. 11. 629:227-228) Terjemahan: Segala yang hidup karena Hyang Widi. Demikianlah satu hamba dengan Tuhan. Mati itu manunggal dengan Tuhannya.
Penyebutan Gusti untuk Tuhan sebagai realisasi konsepsi Jawa (Tedjopremono dan Sidharta, 1980:2). Istilah ini sudah ada sejak zaman kuna sekitar abad ke-9-15, terbukti terpakai dalam teks-teks seperti: Slokantara, Kidung Harsa-Wijaya, Wangbang Wideha, dan Sumanasantaka (Zoetmulder, 1982:564). h. Kang Mahamulya ‘Tuhan Yang Mahamulia’ Kang Mahamulya untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia dalam teks Lokajaya muncul empat kali, sedangkan Hyang Kang Mahamulya dalam teks Centhini muncul empat kali. Dalam teks Lokajaya di antaranya terdapat pada pupuh VI Maskumambang bait 5 baris 3: Ya pêpêke ing urip puniku singgih, lan Kang Mahamulya, mulane badan puniki, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11. 629:227). Terjemahan: Sungguh yang mengisi semua kehidupan ini sampai penuh, adalah dari Yang Mahamulia. Asal mula yang menjadikan badan. Kang Mahamulya untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa. i. Hyang Tunggal ‘Tuhan Yang Maha Esa’ Hyang Tunggal atau Tunggal saja yang bermakna „Tuhan Yang Maha Esa‟ dalam teks Lokajaya muncul tiga kali, di antaranya dalam pupuh IX Dhandanggula bait 60 baris 2: Pan wus mantêp sêjatining pati, Seh Malaya wruh jatine tunggal, tunggal sarêng sampurnane, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11 . 629:254). Terjemahan: Seh Malaya sudah mengetahui betul akan mati yang sesungguhnya. Ia tahu manunggal dengan Yang Sejati, manunggal bersama kesempurnaannya, … Hyang Tunggal atau Tunggal untuk menyebut Tuhan adalah sebagai realisasi konsepsi Islam dan Jawa. Istilah ini dalam kepustakaan Jawa juga sudah terpakai sejak zaman kuna sekitar abad ke9-15, terbukti dalam teks-teks : Smaradhana, Sutasoma dan Tantri –Kamandaka (Zoetmulder, 1982:2068).
j. Kang Murbeng Alam ‘Tuhan Yang Menguasai Alam’ Kang Murbeng Alam atau lengkapnya Pangeran Ingkang Murbeng Alam untuk menyebut Tuhan Yang Menguasai Alam dalam teks Lokajaya terdapat pupuh III Durma bait 11 baris 4: Sang Yang Suksma nora akon nora cegah, sakarsa peribadi, wus padha kaganjar, marang Kang Murbeng Alam, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:203). Terjemahan: Sang Hyang Suksma tidak menyuruh dan tidak mencegah, terserah kepada kehendak pribadi sendiri. Semua sudah mendapat anugerah, dari Yang Menguasai Alam. … Penyebutan Pangeran Ingkang Murbeng Alam atau Ingkang Murbeng Alam untuk menyebut Tuhan Yang Menguasai Alam adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa. k. Ingkang Amurba ‘Tuhan Yang Menguasai’ Penyebutan Ingkang Murba atau Kang Murba untuk Tuhan Yang Menguasai Alam dalam teks Lokajaya muncul dua kali, di antaranya dalam pupuh II Asmaradana bait 8 baris 2 dan 3: Utamanira Ki Bayi, denawas Ingkang Amurba, Kang Murba marang dheweke, wasana aneng sarira, … (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:196) Terjemahan: Hal yang utama, Buyung, “Awaslah kepada Yang Menguasai. Yang Menguasai terhadap dirimu. Yang menguasai dirimu … Ingkang Amurba atau Kang Murba untuk menyebut Tuhan Yang Menguasai Alam adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa. l. Pangeran Ingkang Minulya ‘Tuhan Yang Mahamulia’ Pangeran Ingkang Minulya atau Ingkang Minulya saja untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia dalam teks Lokajaya muncul dua kali, di antaranya dalam pupuh VIII Sinom bait 6 baris 1:
Pangeran Ingkang Minulya, mungguh sajêroning ati, ……. (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:233). Terjemahan: Tuhan Yang Mahamulia. Di dalam hati, … Sama dengan Ingkang Mahamulya atau Kang Mahamulya di atas Pangeran Ingkang Minulya untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia adalah sebagai realisasi dari konsepsi Jawa. m. Mahaluwih ‘Tuhan Yang Mahalebih’ Mahaluwih untuk menyebut Tuhan Yang Mahalebih dalam teks Lokajaya muncul dua kali, sedangkan Hyang Mlahaluwih dalam teks Centhini muncul sekali. Dalam teks Lokajaya salah satu di antaranya terdapat pada pupuh VII Pocung bait 2 baris 3: Maesane roh puniku kang satuhu, hiya tanpa jasad, tanpa jisim Mahaluwih, hiya iku mustikane sipat jamal. (“Lokajaya” dalam LOr. 11.629:229). Terjemahan: Batu nisan roh yang sesunggunhnya, tiada berbentuk. Mahalebih tiada berjisim. Ia merupakan permata sifat jamal (sifat yang baik). Mahaluwih untuk menyebut Tuhan Yang Mahalebih dalam kutipan di atas adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa. n. Hyang Mahaagung ‘Tuhan Yang Mahabesar’ Hyang Mahaagung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam teks Lokajaya hanya muncul satu kali; dalam teks Centhini nama Hyang Kang Mahaagung juga sekali. Dalam teks Lokajaya terdapat dalam pupuh IV Dhandanggula bait 6 baris 4: Lah ta iku purwanireng nguni, pan dadine sêkeh kang dumadya, ing ngalam donya pêpêke, saking Hyang Mahaagung, … (“Lokajaya” dalam Lor. 11.629:212). Terjemahan: Itulah asal usulnya dahulu tentang terjadinya semua yang ada
yang memenuhi alam dunia ini, dari Yang Mahaagung. … Hyang Mahaagung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam kutipan di atas adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa. o. Hyang ‘Tuhan’ Di samping nama-nama untuk menyebut Tuhan seperti disebutkan di atas terdapat nama Hyang untuk Tuhan dalam teks Lokajaya dan teks Centhini. Hyang untuk Tuhan dalam teks Lokajaya muncul satu kali, sedangkan dalam teks Centhini muncul enam kali. Dalam teks Lokajaya terdapat pada pupuh II Asmaradana bait 13 baris 7: … mêloke dayat Allah, mung warta kang ingsun gugu, jêr iku andikaning Hyang. (“Lokajaya‟ dalam LOr. 11.629:198). Terjemahan : “… tentang Allah saya belum mengetahui. Hanya berita yang saya turut, karena itu sabda Tuhan.” Hyang untuk menyebut Tuhan dalam kutipan di atas adalah merupakan realisasi konsepsi Jawa. 3 . Kesimpulan Amanat konsepsi Tuhan dalam teks Lokajaya yang muncul dalam 15 nama dan teks Centhini 12 nama tidak hanya dengan nama Allah saja, secara semiotis membuktikan bahwa walaupun teks ini termasuk sastra tasauf/suluk yang berdasarkan Islam, namun pengaruh Hindu-Budha dan Jawa tampak berperan. Ia merupakan hasil akulturasi. Proses akulturasi telah berjalan dari masa purba, masa kuna, lalu, sampai sekarang. Sampai masa yang akan datang proses akulturasi ini akan berjalan terus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Daftar Pustaka Achadiati, S., dkk., Y. 1988. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia, Zaman Majapahit. Jakarta: Gita karya. Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kamajaya. 1986. Serat Centhini Jilid XII. Yogyakarta: Yayasan Centhini. Lombard, Dennys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marsono. 1977. “Lokajaya Suntingan Teks, Terjemahan, Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik”. Disertasi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Poerbatjaraka, R.Ng. 1957. Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan. Prijohutomo. 1953. Sedjarah Kebudajaan Indonesia II Kebudajaan Hindu di Indonesia. Djakarta Groningen: J.B. Wolters. Semah, Franqois; Anne-Marie Semah, dan Tony Djubiantoro. 1990. Ils Ont Decouvert Java, They Discovered Java, Mereka Menemukan Pulau Jawa. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional & Museum National D‟Histoire Naturlle. Wiana, Ketut. 2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan; Wayan Supartha (Peny.). Jakarta: Manikgeni. Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang pandang. Penerjemah Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. _____________. & S.O. Robson. 1982. Old Javanese English Dictionary. Martinus Nijhoff: „s-Gravenhage.
MANUNGGALING KAWULA GUSTI MENURUT SERAT WIRID HIDAYAT JATI DAN PENGEMBANGANNYA DALAM KENYATAAN HIDUP SEKARANG Dr. Budya Pradipta (KRT Dr Pradiptonagoro)
I.
Pendahuluan 1. Judul makalah Saya diminta oleh Drs. Nindya Noegraha, Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, Perpustakaan Nasional RI, sebagaimana tertuang dalam suratnya tertanggal 7 Juni 2007, Nomor : 366/3.3.2/q/VI.2007, untuk memberikan makalah dalam Seminar 5-6 September 2007, dengan judul : Panteisme dalam Naskah Ronggowarsito. Dalam kesempatan ini judul yang saya berikan adalah : Manunggaling Kawula Gusti Menurut Serat Wirid Hidayat Jati dan Pengembangannya dalam Kenyataan Hidup Sekarang. Judul ini sangat menarik dan menantang. 2. Manunggaling Kawula Gusti dalam konteks kebudayaan spiritual Manunggaling Kawula Gusti adalah istilah budaya spiritual Jawa yang amat digemari oleh orang Jawa. Istilah ini seolah-olah seperti besi berani yang mampu menyedot perhatian dan keinginan tahu orang Jawa. Ini menandakan bahwa orang Jawa memiliki keinginan tahu tidak hanya sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan akan tetapi lebih dari itu ingin manunggal dengan Tuhannya. Kalau direnungkan Manunggaling Kawula Gusti pasti dijadikan topik dalam kehidupan para nabi dan para rasul Tuhan, tidak mustahil diminati oleh para tokoh spiritual yang cinta kepada Tuhan dari seluruh dunia, karena Manunggaling Kawula Gusti pada hakikatnya fenomena hidup yang universal. Kalau kita membicarakan Manunggaling Kawula Gusti dalam proyeksi budaya, mau tidak mau kita memasuki ranah spiritual yang ditunjang oleh ranah rasional dan imajinatif. Dalam perspektif dan lintasan sejarah kebudayaan, sesungguhnya Manunggaling Kawula Gusti tidak bisa lepas dari jalur-jalur budaya penetrasi, asimilasi,
dan akulturasi. Yang selalu mewarnai kehidupan budaya di Nusantara khususnya di Jawa. Pemahaman tentang ini penting, namun masih harus dikaji mendalam tentang ketiga jalur pemikiran budaya yang mewujud ke dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti, karena merupakan kenyataan hidup, namun tidak mudah memilah-milahkannya. Seharusnya masih perlu dikaji terus. Oleh sebab itu di sini tidak dibicarakan.
3. Manunggaling Kawula Gusti sebagai idola Dalam dunia ilmu kebatinan (spiritual), istilah ini selalu mencuat dan menjadi idola hidup seseorang Jawa. Apabila seseorang sudah mulai dapat menjalankan hidup Manunggaling Kawula Gusti, maka orang itu sudah dengan sendirinya telah mampu melepaskan diri dari ikatan-ikatan hidup duniawi. Orang dan masyarakat di luar Jawa yang tertarik pada Manunggaling Kawula Gusti tidak banyak, hanya orang tertentu saja, yaitu mereka yang mengeluti sufi saja. 4. Manunggaling Kawula Gusti hobinya orang Jawa Peristiwa Manunggaling Kawula Gusti dapat dicapai, sudah barang tentu melalui pengalaman empiris, yaitu pengalaman yang diperoleh dari penghayatan sendiri terhadap objek tersebut. Akibat dari pengalaman empiris itulah timbul persepsi-persepsi tentang Manunggaling Kawula Gusti. Misalnya, Manunggaling Kawula Gusti dipersepsikan sebagai peristiwa yang terjadi kalau seseorang sudah meninggal dunia. Ada pula yang mempersepsikan Manunggaling Kawula Gusti bisa terjadi di dunia nyata ini justru ketika manusia masih hidup di dunia. Demikian juga tentang kedalaman Manunggaling Kawula Gusti. Ada yang mempersepsikan bahwa Manunggaling Kawula Gusti yang sempurna (ideal) terjadi ketika manusia sudah bisa meninggal menghadap kepada Tuhannya berikut raganya, yang diistilahkan dengan raga manjing sukma. Adapula yang mempersepsikan Manunggaling Kawula Gusti tidak perlu berakhir hidupnya secara demikian, cukup kalau dalam hidupnya di dunia nyata manusia sudah sanggup dan mampu mengikuti karsa Tuhan. Adapula yang berpersepsi bahwa Manunggaling Kawula Gusti tercapai apabila orang yang sudah meninggal setelah sekian lama dimakamkan (di dalam tanah) tubuhnya masih utuh, tidak kembali ke tanah, air, api, dan angin. Sebaliknya ada yang mempersepsikan bahwa akhir hayat dari Manunggaling Kawula Gusti tercapai apabila setelah sekian lama dan pada saat digali kuburnya tubuhnya hilang, tidak meninggalkan bekas-bekas sedikitpun. Wallahu „alam Bissawab. 5. Maksud dan tujuan tulisan ini Maksud dan tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengertian Manunggaling Kawula Gusti diungkapkan dalam (dilembagakan) dalam Kitab Wirid Hidayat Jati susunan R. Ng. Ronggowarsito, pujangga besar dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Di samping itu dicoba dikemukakan pengembangan Manunggaling Kawula Gusti dalam kenyataan kehidupan modern.
II.
Pengertian Tentang Manunggaling Kawula Gusti 1. Pengertian multi dimensi Istilah Manunggaling Kawula Gusti yang semula berasal dari budaya dunia spiritual dalam perkembangannya masuk dan merambah ke bidang lain seperti pemerintahan dan manajemen. Lama-kelamaan dapat dipakai ke dalam kegiatan multi dimensi yang berhubungan dengan atur-mengatur orang, komunitas, masyarakat, bahkan sampai ke dalam urusan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara. Sasarannya tidak lain adalah untuk tercapainya hubungan yang harmonis antara yang dipimpin dengan yang memimpin, sehingga menumbuhkan hasil yang maksimal. Ditinjau dari sistem pemerintahan kerajaan Jawa, Manunggaling Kawula Gusti itu diberi makna menjadi 2 tahap : tahap pertama, Manunggaling Kawula Gusti antara raja dengan Tuhannya, mengharuskan dan mewajibkan bahwa seorang raja Jawa harus setiap saat senantiasa mengikatkan diri secara vertikal kepada Tuhannya, sehingga memberi konsekuensi horisontal kepada kawulanya (rakyatnya). Dalam kenyataan raja dalam sikap, kata, dan perbuatannya harus bersumber dari tuntunan Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, ia dilarang bersikap, berkata, dan berbuat yang bersumber dari egopribadinya. Tahap kedua, yaitu tahap berikutnya raja harus menjadi Gusti bagi kawulanya (rakyatnya) antara raja dan kawulanya serta sebaliknya harus satu kehendak dan satu tujuan, sehingga terwujud keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Keduanya harus dan wajib sama-sama Memayu Hayuning Bawana (Mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia). Ditinjau dari sistem manajemen organisasi jenis dan macam apapun, konsep Manunggaling Kawula Gusti yang berwujud ke dalam manunggaling yang memimpin dan yang dipimpin mutlak diperlukan, agar berhasil dan berdaya guna, sehingga organisasi yang dipimpinya dapat maju pesat. 2. Pengertian teknis spiritual Manunggaling Kawula Gusti, apakah merupakan ungkapan yang benar atau salah? Tidak semua orang dapat menerima dan menolak ungkapan tersebut. Bagi yang menerima ungkapan tersebut, pengertian Manunggaling Kawula Gusti diberi makna bahwa yang manunggal adalah kehendak manusia dan karsa Tuhan. Karsa Tuhan dalam garis besarnya bermakna serba baik, baik dalam karsa-Nya, dzat-Nya, dan baik dalam sifat-Nya. Pengertian baik dalam karsa-Nya maknanya, Tuhan dalam karsa-Nya senantiasa bertujuan memberi, melayani, dan mengasihi. Sebagai contoh Tuhan tanpa diminta memberikan kasih-Nya, misalnya berupa angin (hawa, udara) secara gratis untuk dihirup seluruh manusia dan mahkluk-mahkluk lainnya demi pemeliharaan kesehatannya. Demikian pula terhadap kebutuhan manusia akan sinar matahari, cahaya rembulan, air, api, bumi seisinya yang mengeluarkan bahan makanan dan zat-zat
lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengertian baik dalam dzat-Nya, mengandung makna bahwa Tuhan itu Maha Sempurna, Maha Segala-galanya. Tak ada seorang pun di dunia yang dapat melukiskan bahkan menghitung jumlah nikmat, kebesaran, keunggulan, ketinggian, kehalusannya, dan sebagainya. Sia-sia manusia menghitung kasih Tuhan, karena tak terbilang banyaknya. Pengertian baik dalam sifatNya bermakna Tuhan memiliki sifat yang jumlahnya di atas jumlah seluruh sifat baik manusia di dunia. Dalam dunia Islam Tuhan dibatasi mempunyai sifat sebanyak 99, sedangkan dalam Hindu jumlah sifat Tuhan ada 108. Sifat-sifat Tuhan yang dideskripsikan di dalam kitab-kitab suci harus dipandang sebagai sifat-sifat yang diketahui dan dipersepsikan oleh manusia berdasarkan keterbatasan kemampuan berfikir manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik seperti kebaikan yang diwujudkan oleh Tuhan itu sendiri. Dalam bahasa teknis spiritual Jawa, manusia dalam hidupnya berkewajiban untuk manembah (bersembah/menyembah) kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta dan Memayu Hayuning Bawana (Mengusahakan Keselamatan, Kebahagiaan, dan Kesejahteraan Hidup di Dunia). Bagi orang yang menolak Manunggaling Kawula Gusti, beranggapan bahwa tidak mungkin Tuhan dapat manunggal dengan manusia atau manusia dapat manunggal dengan Tuhan, sebab antara manusia dengan Tuhan berbeda sekali Dzat, Sifat, dan Sir (Rahsanya). Karena itu omong kosong kalau terjadi peristiwa Manunggaling Kawula Gusti. Sayangnya yang berkata itu tidak menjelaskan bagaimana hubungan yang paling intens antara manusia dan Tuhannya, serta tidak pula dapat menerangkan kapan hal itu bisa dicapai. Di waktu telah meninggal? Atau sekalipun sudah meninggal sama sekali tidak mungkin terjadi peristiwa Manunggaling Kawula Gusti. Wallahu „alam Bissawab. 3. PR (pekerjaan rumah) Menurut pemahaman saya Manunggaling Kawula Gusti, yang sekarang dibicarakan dalam Seminar ini lebih bersifat ke wacana. Dari sisi ilmiah kita akan mendapatkan data-data. Manunggaling Kawula Gusti tanpa diaktualisasikan ke dalam kenyataan, akan terus hanya berisi gundukan teori yang tidak membawa kemajuan spiritual yang akhirnya tidak dapat merubah perilaku hidup bangsa Indonesia menuju ke kehidupan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. sia-sia.
III.
Persolan pokok hidup 1. Manunggaling Kawula Gusti menjadi persoalan hidup sepanjang masa Persoalan pokok dalam menjalani hidup adalah bagaimana agar ketika seseorang sudah dipanggil Tuhan, manusia bisa pulang kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya sukmanya tidak nyasar ke mana-mana atau tidak klambrangan atau gentayangan tidak menentu. Jika demikian halnya maka manusia itu tidak dapat pulang kembali keharibaan Tuhan Yang Kuasa (istilah teknis spiritual Jawa ora bisa bali-mulih ing mula-mulanira). Mengamati kenyataan tersebut, maka manusia yang
mengerti harus dapat mengetahui siapa sebenarnya dirinya itu? Dan bagaimana dengan Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam? Setelah mengetahui lalu mempelajarinya supaya dapat pulang kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini bukan hal yang mudah, memerlukan perjuangan yang maha dahsyat, karena setiap manusia dalam kodratnya diliputi oleh nafsu-nafsu angkara murka yang menjadi perintang utama dalam upaya seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya akar permasalahan terdapat pada pemahaman manusia terhadap Tuhannya. Antara Tuhan dengan manusia dan sebaliknya ada distansi (jarak) atau tidak? Yang berpendirian terdapat distansi beranggapan bahwa antara manusia dan Tuhannya tidak dapat manunggal. Sedangkan yang berpendirian tanpa distansi beranggapan bahwa antara manusia dan Tuhannya bisa manunggal, sebab Tuhan ada di dalam diri manusia, bersemayam di dalam hati sanubari manusia (dalam bahasa Jawa : pulung ati). Sampai sekarang hal ini menjadi bahan diskusi yang tak ada hentihentinya, bahkan mungkin sejak dahulu ketika manusia telah memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual. Untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti ada dua jalan, jalan klasik dan jalan modern. Jalan klasik seperti yang disusun oleh pujangga besar R. Ng. Ronggowarsito dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Jalan ini panjang, karena harus melalui tahapantahapan syari‟at, tharikat, hakikat, dan makrifat. Sedang jalan modern relatif pendek, seperti yang dicontohkan oleh Sapto dan Romo Rochadi. Persamaan kedua metode dari jalan modern ini adalah diawali dengan pembersihan lahir-batin lebih dahulu. Kalau lahir-batin telah bersih dari kotoran-kotoran maka jalan menuju Manunggaling Kawula Gusti relatif tidak sulit ditempuh. Jalan modern tidak perlu melalui tahap syari‟at, tharikat, hakikat, makrifat, akan tetapi asal memenuhi standar minimal bersih dan suci. Bersih istilah untuk lahir, suci istilah untuk batin. Akhir dari Manunggaling Kawula Gusti yang ideal adalah mati muksa (moksa atau mukswa), yaitu mati meninggalkan dunia untuk menghadap kepada Tuhan berikut raganya. Di jaman dahulu tokoh yang bisa muksa adalah antara lain : Yesus Kristus, Raja Jayabaya, Syeh Siti Jenar, Eyang Poncodhiharjo, dan lain-lain. Yang tidak tersebut namanya. Hal-hal seperti itu sangat dirahasiakan, artinya tidak untuk konsumsi umum. Ronggowarsito sendiri dalam kisah hidupnya, wafatnya tidak muksa. Namun demikian, beliau dapat pengertian batin tentang kapan hari dan tanggal beliau wafat, yaitu seminggu sebelumnya. Yang dimaksud dengan muksa adalah meninggal menghadap Tuhan Sang Maha Pencipta berikut raganya. Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, muksa itu bermacam-macam. Ada yang muksa dengan berkesadaran penuh, disaksikan oleh orang lain. Contohnya adalah Krisna berikut asuhannya Pandawa Lima (dalam pewayangan dikemukakan dalam lakon Pandawa, setelah sampai waktunya mereka muksa berikut raganya. Sedang yang menyaksikan adalah Wiyasadewa. Cerita ini terdapat dalam Mahabharata bagian akhir. Dalam pewayangan diungkapkan lewat lakon Pandawa Mukswa. Adalagi muksa yang terjadi ketika jenasah sedang
diletakkan di liang lahat lalu terdengar bunyi seperti ledakan dimana semua orang menyaksikan dan ternyata jenasah itu hilang dari penglihatan yang tinggal hanyalah tikar dan pembungkus jenasah. Adalagi muksa yang terjadi setelah jenasah beberapa lama dimakamkan. Ini dibuktikan ketika jenasah digali atas perintah keluarganya berhubung sang istri ketika meninggal minta dikebumikan menjadi satu dengan suaminya. Setelah digali ternyata jenasah suaminya sudah tidak ada alias kosong. Di kalangan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ada kejadian serupa yang intinya sama. Konon hal ini terjadi pada orang-orang tertentu di kalangan penghayat yang menganut ilmu manunggal bimbingan Romo Semana. Adalagi peristiwa yang menyerupai muksa dinamakan musna. Di kalangan spiritual Jawa hal ini dipercayai banyak orang. Musna adalah peristiwa kematian, raganya menghilang entah ke mana, tetapi di alam lain (gentayangan). Orang awam menyebutnya digodhol demit. Wallahu „alam Bisawab. Adalagi istilah murca, ini bukan muksa ataupun musna, tetapi pergi tanpa pamit untuk mencari ilmu. Karena tanpa pamit maka ia menjadi sasaran pencaharian orangorang keluarganya. Dalam lakon wayang yang biasa murca adalah Arjuna, yang ternyata menghilangnya disebabkan karena mencari ilmu. Ketahuannya setelah ia muncul kembali di tengah-tengah keluarga Pandawa. Secara akal sehat, kalau begitu muksa dapat dipelajari dan digayuh (dipelajari dan dicapai). Masalah berhasil tidaknya amat bergantung dari yang bersangkutan dengan Tuhannya, artinya kalau ia bersungguh-sungguh dan Tuhan menghendaki, ia diperkenankan Tuhan untuk muksa. Yang jelas gegayuhan muksa memerlukan persyaratan yang luar biasa beratnya. Kalau diproyeksikan ke dalam pemikiran spiritual, peristiwa ini sesungguhnya tidak mengherankan, karena : a. Kalau seseorang masih terikat-erat dengan urusan keduniawian, maka sudah dengan sendirinya hasilnya menjadi manusia duniawi (manusia yang diliputi oleh nafsu-nafsu duniawi), artinya manusia yang masih digubel oleh tuntutan-tuntutan duniawi. b. Kalau manusia sudah tidak terikat oleh tarikan-tarikan dan/ atau tuntutantuntutan duniawi, maka ia telah mulai menjadi orang yang percaya akan adanya Tuhan. Untuk kemudian meningkat menjadi orang-orang yang taat kepada Tuhannya, lalu meningkat menjadi orang-orang yang mendekat kepada Tuhannya kemudian meningkat lagi menjadi orang-orang yang ikhlas dan pasrah kepada Tuhannya, kemudian meningkat lagi menjadi orang-orang yang dikasihi Tuhannya dan akhirnya meningkat menjadi orang-orang suci. Dalam bahasa spiritual ia sudah berada dalam alam transendental (terbawa oleh paradigma-paradigma uhrawi) bukan lagi imanen (terbawa oleh tarikan-tarikan bumi, khususnya duniawi). Tataran kesucian adalah tataran spiritual yang tertinggi. Kualitas manusia kalau dilihat dari bawah adalah :
a. Wong (manusia hewani), yaitu manusia yang perilakunya masih diliputi nafsunafsu hewani, misalnya serakah mau menang sendiri tidak membutuhkan kawan kecuali yang menguntungkan, dendam, tidak jujur, pendeknya semua sifat yang sama sekali tidak baik. b.Manunggsa (manusia insani), yaitu manusia yang telah mengenalkesusilaan (etika) dan tatakrama (estetika), jenis manusia ini sudah mengenal teposeliro (tenggang rasa), berbudi pekerti, dan lain-lain. c. Jalmo (manusia beragama), yaitu manusia yang telah mengenal Tuhan dan siap menjalankan perintah agama tanpa reserve tanpa kritik. Dalam bahasa Jawa : mituhu (taat). d. Jalmo Winilis (manusia yang sudah dapat menerima bisikan gaib dari Tuhan), yaitu manusia yang telah diperkenankan Tuhan untuk menerima tuntunan-Nya, seperti para nabi. e. Jalmo pinilih-pininta (manusia yang telah diperkenankan menerima tuntunan Tuhan dan diperkenankan pula menyebarluaskannya), yaitu manusia yang secara berkesadaran bisa berkomunikasi (berdialog) dengan Tuhannya secara langsung untuk menyebar secara luas perintah-perintah Tuhan. Contoh : para Rasul (utusan Tuhan). Selaras dengan kualitas manusia, ilmu pun menurut budaya menjadi lima tataran :
spiritual
Jawa
terbagi
a. Ilmu dan laku kanuragan atau jaya-kawijayan atau dhugdheng, yaitu ilmu dan laku yang mengandalkan kesaktian raga atau kekebalan tubuh, seperti : dipukul tidak mempan, ditusuk tidak pasah, ditendang tidak jatuh, dan sebagainya. Dalam kenyataan hidup contohnya banyak, yaitu orang-orang yang mengunakan aji-aji tertentu supaya misalnya “tidak tedhas tapak paluning pandhe” (tidak mempan senjata tajam atau kebal akan pukulan dan senjata tajam). Dalam dunia wayang, contoh ini ditampilkan oleh satria-satria baik Pandawa maupun Kaurawa. b. Ilmu dan laku sankan-paran (ilmu dan laku pengenalan diri atau ontologi), yaitu ilmu dan laku untuk mengenal diri pribadi, wujudnya adalah belajar hidup berbudi pekerti luhur sebagai andalan hidup. Biasanya jenis manusia yang menganut ilmu dan laku ini menganggap dirinya tidak perlu manembah (bersembah kepada Tuhan) secara formal seperti yang ditunjukkan oleh syari‟at agama, karena dalam melaksanakan budi pekerti luhur sudah otomatis melekat sikap manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tidak langsung (implisit). Misalnya, tidak boleh menipu, tidak boleh sombong, tidak boleh benci, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain (menjaga akhlak, moral, atau rasa), harus tahu diri, harus dapat tenggang rasa, tidak boleh
dendam, semua hidup harus dijalankan dengan “trimah mawi pasrah” (menerima disertai ikhlas) dan sebagainya. Contohnya : orang-orang yang hidupnya mengutamakan budi pekerti luhur. c. Ilmu dan laku kasampurnan (ilmu dan laku kesempurnaan), yaitu ilmu dan laku yang mengolah hidup sempurna, artinya lengkap, yaitu seimbang, serasi, dan selaras : lahir-batin, jiwa-raga, jasmani-rohani, materiil-spiritual, individual-sosial, dan nasional-internasional. Pada dasarnya kehidupan model ini secara teoritis mencerminkan kehidupan yang paro-paro : 50 persen duniawi, 50 persen akhirat. Di jaman orde baru asas hidup kesempurnaan dilembagakan menjadi ajaran P4. Contoh : kebanyakan orang Indonesia mengidolakan hidup yang sempurna. d. Ilmu dan laku sankan-paraning dumadi (ilmu dan laku pengenalan dengan Tuhan Sang Maha Pencipta), yaitu ilmu dan laku yang mengolah kehidupan menuju kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara total (100 persen). Manusia hanya “ngglundhung” (menggelundung) mengikuti apa yang menjadi karsa Tuhan. Biasanya orang-orang jenis ini sudah mulai tidak memperdulikan secara berlebihan keterikatannya dengan duniawi tetapi lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Ia hanya mempertajam kemampuannya dalam membaca tanda-tanda atau lambang-lambang beserta kemampuan menangkap makna bagi peningkatan hidupnya. Tentu contohnya tidak banyak karena kehidupan manusia jenis ini sudah hampir sebagian besar bercipta-rasakarsa transendental. e. Ilmu dan laku kasucen (ilmu dan laku kesucian), yaitu ilmu dan laku yang mengolah kesucian hidup lahir-batin, jiwa-raga, jasmani-rohani, materiilspiritual, dan dunia-akhirat. Ilmu dan laku ini disadari secara total oleh manusia yang percaya akan kebersihan dan kesucian hidup. Istilah kebersihan diterapkan untuk badan sedangkan kesucian untuk rohani atau jiwa atau batin. Dalam kisah Ramayana contohnya adalah Rama dan Sinta sedangkan dalam Mahabharata contohnya adalah Krisna dan Yudhisthira. Dalam kenyataan hidup contohnya antara lain adalah RMP Sosrokartono. 2. Apa yang seharusnya dicapai dari Seminar ini? Yang seharusnya dicapai dalam Seminar ini adalah memberikan pencerahan kepada rakyat dan bangsa Indonesia tentang cara mencapai Manunggaling Kawula Gusti, untuk mencapai hal ini, tidak boleh tidak harus dibuatkan langkah-langkah konkret mulai dari awal hingga tercapainya Manunggaling Kawula Gusti, baik mengunakan dan/ atau tanpa bimbingan guru laku. Kalau dari Seminar ini hanya menghasilkan wacana melulu maka penyelenggara Seminar seyogyanya mengadakan Seminar dan/ atau loka karya tentang latihan menjalankan laku Manunggaling Kawula Gusti.
IV. Manunggaling Kawula Gusti Menurut R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873 M) : Jalan Klasik 1. Tentang Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta, Penerbit UI-Press, 1988) R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873 M) mempunyai karya berjudul Serat Wirid Hidayat Jati. Serat ini oleh Dr. Simuh, telah dijadikan disertasi berjudul : Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, suatu studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Adalagi serat yang berjudul : Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati, kabangun dening R. Tanojo, Surakarta : 1954. Serat Wirid Hidayat Jati gubahan R. Tanojo lebih singkat dari pada naskah yang dipakai oleh Dr. Simuh, akan tetapi sayangnya sering ditemui penggubahan yang tidak tepat dan kadang-kadang ditemui salah cetak. Oleh sebab itu, sebaiknya naskah yang dipergunakan adalah naskah yang dipakai Dr. Simuh, terbitan N.V. Mij. t/v d/z Albert Rusche & Co, Soerakarta. 1908. Serat terbitan Albert Rusche mengunakan aksara Jawa sedangkan serat bangunan R. Tanojo mengunakan tulisan latin. 2. Ronggowarsito sebagai narasumber Serat Wirid Hidayast Jati bukanlah sepenuhnya ciptaan R. Ng. Ronggowarsito, akan tetapi beliau berperan sebagai penyusun saja. Meskipun demikian Ronggowarsito perlu diacungi Jempol atas ketelatennya menginventarisasi ajaran-ajaran Wirid Hidayat Jati. Oleh sebab itu posisi beliau dalam tulisan ini adalah sebagai narasumber. Serat Wirid Hidayat Jati menerangkan tingkatan ilmu makrifat. Ajaran ini sebermula berasal dari sesepuh para wali bernama Sunan Ampel Denta. Sepeninggal beliau Ajaran makrifat ini diteruskan dan dikembangkan oleh para wali, yaitu para murid-murid Sunan Ampel dalam 3 angkatan, yang masing-masing terdiri dari 8 orang. Angkatan pertama, diberikan dalam periode awal Negara Demak, yaitu oleh : (1) Sunan Giri Kadhaton (2) Sunan Tandhes (3) Sunan Majagung (4) Sunan Bonang (5) Sunan Wuryapada (6) Sunan Kalinyamat (7) Sunan Gunung Jati (8) Sunan Kajenar Angkatan kedua, diberikan dalam periode akhir Negara Demak sampai menjelang timbulnya Kerajaan Pajang, juga oleh 8 orang wali, yaitu : (1) Sunan Giri Parapen (2) Sunan Darajat
(3) (4) (5) (6) (7) (8)
Sunan Ngantasangin Sunan Kalijaga Sunan Tembayat Sunan Kalinyamat Sunan Gunung Jati Sunan Kajenar
Catatan : Dalam angkatan ini yang tidak ikut adalah : Sunan Giri Kadhaton, Sunan Tandhes, Sunan Majagung, Sunan Bonang, Sunan Wuryapada. Diganti oleh : Sunan Giri Parapen, Sunan Darajat, Sunan Ngantasangin, Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat. Angkatan ketiga, diberikan dalam periode yang sama, yaitu periode akhir Negara Demak sampai menjelang timbulnya Kerajaan Pajang, juga oleh 8 orang wali, yaitu : (1) Sunan Parapen (2) Sunan Darajat (3) Sunan Ngantasangin (4) Sunan Kalijaga (5) Sunan Tembayat (6) Sunan Padusan (7) Sunan Kudus (8) Sunan Geseng Catatan : Dalam angkatan ini yang tidak ikut adalah : Sunan Kalinyamat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kajenar. Diganti oleh : Sunan Padusan, Sunan Kudus, Sunan Geseng. Di jaman Mataram ajaran makrifat tersebut, dipelihara oleh rajanya bernama Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabuanyakrakusuma. Oleh sang raja ilmu makrifat ini dikembangkan oleh sebuah tim yang terdiri dari : Panembahan Purubaya, Panembahan Ratu Pekik, Panembahan Jurukithing, Pangeran ing Kadilangu, Pangeran ing Kudus, Pangeran ing Tembayat, Pangeran ing Kajoran, Pangeran Wongga, Panembahan Juminah. Ilmu makrifat tersebut bersumber dari Al-quran, Hadits, Ijma‟, dan Qiyas ditambah dengan kutipan-kutipan dari kitab-kitab tasawuf. Juga dinyatakan ada petunjuk dari Tuhan kepada Nabi Musa. Inti ajaran makrifat adalah bahwa manusia itu manifestasi Dzat Yang Esa. Ini adalah akar dari ilmu makrifat. Ilmu makrifat ini seperti wiridannya para nabi, para wali ing jaman kuno, kemudian disesuaikan oleh para pandita (ahli ilmu), untuk akhirnya menjadi wejangan yang diberikan oleh masing-masing ahli ilmu makrifat. Atas inisiatif Sultan Agung pengetahuan makrifat tersebut dihimpun dan dikoordinasi menjadi satu atas dasar kemufakatan bersama. Ada yang mewiridkan secara teknis ilmu makrifat saja, malah kadang-kadang ada yang menguraikan ilmu talek dan patah, dan sebagainya. Ada pula yang menguraikan tentang ilmu kanuragan (sesorogan).
Ilmu tersebut di atas (makrifat dan sebagainya) akhirnya dipelajari oleh Kiyahi Ageng Muhammad Sirrolah ing Kedhung Kol, tahun 1779. Yang berkaitan dengan ilmu makrifat kemudian disusun oleh R. Ng. Ronggowarsito, pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat. Isi ilmu makrifat Secara keseluruhan kalau disistematisasi isi ilmu makrifat meliputi : Pembukaan wirid a. Wisikan Ananing Dat (Bisikan adanya Dzat) : Isinya menerangkan bahwa sebelum terjadi apa-apa, yang terlebih dulu ada adalah awang-uwung, dimana yang berdiri adalah Ingsun, tidak ada Pangeran (Tuhan) yang ada hanyalah Ingsun, yaitu sejatinya Dzat Yang Maha Suci. b. Wedharan Wahananing Dat (Uraian tentang rincian ujud kejadian Dzat) : Isinya menerangkan bahwa proses terjadinya wujud manusia terinci sebagai berikut : 1) Kayu bernama Sajaratul yakin. 2) Cahaya bernama Nur Muhammad. 3) Kaca bernama Miratul Hayai. 4) Nyawa bernama Roh Ilapi. 5) Pelita bernama Kandil. 6) Permata bernama Darah. 7) Dhindhing bernama Kijab. Sesuai dengan uraian tersebut di atas, kalau digambar, seperti di bawah ini :
Diambil dari : R. Tanojo (1954) : 60 c. Gelaran Kahananing Dat (Uraian tentang keadaan Dzat) : Isinya menerangkan bahwa sesungguhnya manusia adalah rahsanya Tuhan demikian juga Tuhan adalah rahsanya manusia, hal mana disebabkan karena Ingsun menciptakan Adam, yang berasal dari empat anasir : 1 : bumi, 2 : api, 3 : angin, 4: air. Di situ Insung masukkan mudah lima perkara, 1 : nur, 2 : rahsa, 3 : roh, 4 : nafsu, 5: budi, yaitu sebagai tabir wajah Ingsun Yang Maha Suci. d. Pambukaning Tata Malige ing dalem Betal Makmur (Cara membuka Tatamahligai di dalam Bait-al-makmur) : Isinya menerangkan bahwa Sesungguhnya Ingsun menata mahligai yang ada di dalam Bait-al-makmur, itu rumah tempat keramaian Ingsun, bertempat tinggal di
dalam kepala Adam, yang ada di dalam kepala itu adalah dimak, yaitu otak, yang ada diantara otak itu manik, di dalam manik terdapat budi, di dalam budi terdapat nafsu, di dalam nafsu terdapat sukma, di dalam sukma terdapat rahsa, di dalam rahsa terdapat Ingsun, tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat Yang Meliputi keadaan yang sesungguhnya. e. Pambukaning Tata Malige ing dalem Betal Maharram (Cara membuka Tata-mahligai di dalam Bait-al-muharram) : Isinya menerangkan bahwa Sesungguhnya Ingsun menata mahligai yang ada di dalam Baitul-al-muharram, itu rumah tempat larangan (suci) Ingsun, berada di dalam dadanya Adam, yang ada di dalam dadanya Adam adalah hati, yang ada diantara hati adalah jantung, yang ada di dalam jantung adalah budi, yang ada di dalam budi adalah jinem, yaitu angan-angan, di dalam angan-angan terdapat sukma, di dalam sukma terdapat rahsa, di dalam rahsa terdapat Ingsun, tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat yang meliputi keadaan yang sesungguhya. f. Pambukaning Tata Malige ing dalem Betal Muqadas (Cara membuka Tata mahligai di dalam Baitul-al-mukaddas) : Isinya menerangkan bahwa Sesungguhnya Ingsun menata mahligai yang ada di dalam Baitul-al-mukaddas, tempat persucian Ingsun, tinggal di kontolnya (kemaluan) Adam, yang ada di dalam kontol adalah pringsilan, yang ada diantara pringsilan adalah nutfah, yaitu mani, yang ada di dalam mani yaitu madi, yang ada di dalam madi yaitu wadi, yang ada di dalam wadi adalah manikem, yang ada di dalam manikem adalah rahsa, yang ada di dalam rahsa yaitu Ingsun, tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat yang meliputi keadaan yang sesungguhya, berdiam diri sebagai nukat gaib turun menjadi johar awal, di situlah perwujudannya ‘alam Achadiyat, ‘alam Wahdat, ‘alam Wachidiyat, ‘alam Arwah, ‘alam Misal, ‘alam Ajsam, ‘alam Insan-kamil, terjadinya manusia yang sempurna, yaitu sejatinya sifatingsun. g. Panetep Iman (Kesentausaan iman) : Isinya menerangkan bahwa Ingsun menyaksikan, sesungguhnya tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun, dan menyaksikan bahwa Ingsun, sesungguhnya Muchammad itu utusan Ingsun. h. Sasahidan (Sasahidan) : Isinya menerangkan bahwa Ingsun menyaksikan terhadap Dzatingsun pribadi, sesungguhnya tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun, sesungguhnya Muchammad itu utusan Ingsun, ya sesungguhnya yang dinamakan Allah itu adalah badan Ingsun, rasul itu rahsa Ingsun, Muchammad itu cahyan Ingsun, ya Ingsun lah yang hidup tak kena kematian, ya Ingsun lah yang eling (ingat dan sadar) tidak terkena lupa, ya Ingsun lah yang langgeng tidak terkena perubahan dan pergeseran terhadap keadaan sejati, ya Ingsunlah yang tahu sebelum terjadi tidak terlintangi segala apapun, ya Ingsun yang berkuasa dan menguasahi yang memiliki kekuasaan bijaksana tidak kekurangan dalam pengertian, byar sempurna
terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, (akan tetapi) hanya Ingsunlah yang meliputi alam semuanya atas kudrat Ingsun. 3. Kesimpulan a. Manunggaling Kawula Gusti yang dikemukakan oleh Ronggo Warsito, dalam bahasa spiritual Jawa sebenarnya mengandung proses gelar-gulung. Gelar artinya mengelar proses terjadinya manusia sejak awal diturunkan ke dunia sampai dengan manusia memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual, sedangkan gulung artinya mengulung proses kehidupan manusia menuju ke kematian lewat kesadaran dan kecerdasan spiritual sehingga bisa kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau digambar seperti denah di bawah ini :
Diambil dari : R. Tanojo (1954) : 63 b. Proses gelar diuraikan secara detail untuk menyadarkan manusia, bahwaproses terjadinya manusia senantiasa dicipta oleh Tuhan atas kodratNya.
c.
Kesadaran manusia atas proses terjadinya manusia diharapkan menimbulkan kecerdasan spiritual sebagai bagian dari kecerdasan cipta-rasa-karsa bahwa manusia itu harus senantiasa ingat kepada Sang Pencipta.
d. Oleh sebab itu, untuk kembali keharibaan Tuhan Sang Pencipta, manusia harus bisa mengulung hidupnya dengan cara menjalankan laku yang bersumber dari kesadaran dan kecerdasan spiritual. Lewat laku tersebut seseorang wajib dan harus dapat menyingkirkan nafsu 4 perkara (bahasa teknisnya : sedulur papat) supaya selalu bercipta-rasa-karsa berdasarkan bimbingan Pancer (istilah lain Roh Suci, Sang Hidup, Dzat yang menguasahi hidup). Dengan jalan ini diharapkan hidup seseorang bisa berjalan dengan kokoh, selamat, bahagia, dan sejahtera lahir-batin, dan dunia akhirat. V.
Manunggaling Kawula Gusti Dalam Kenyataan Hidup : Jalan Modern 1. Kenyataan hidup modern Dalam kenyataan hidup yang saya pantau ada peristiwa Manunggalig Kawula Gusti yang diungkapkan dengan jalan modern, yaitu oleh Sapto (nama lengkapnya : FX. Sapto Wahyu Samodra) dan KRTH. M. Rochadi Widagdo. Keduanya mempelajari secara mendalam riwayat hidup dan eksistensi Yesus Kristus. 2. Jalan Sapto Menurut Sapto secara mendasar manusia terdiri dari jiwa dan raga. Istilah jiwa dapat disamakan (equivalen) dengan : sukma, roh ( r ), nyawa, atau sumber hidup. Sedang raga sama dengan badan atau fisik. Yang harus diusahakan selama hidupnya adalah agar seseorang dalam menghadapi peristiwa akhir hayatnya, raga bisa manjing (masuk) ke dalam sukma. Kondisi seperti itulah yang disebut Manunggalig Kawula Gusti. Dalam kondisi seperti itu ketika seseorang meninggal raganya ikut dibawa sukma menghadap Tuhan. Dalam keadaan hidup nyata sehari-hari, sukma berada dalam raga atau dengan istilah lain sukma manjing raga (sukma masuk/ berada dalam raga), atau istilah dalam perkerisan curiga manjing wrangka. Untuk mencapai kondisi seperti itu, maka seseorang harus dan wajib kapan saja dimana saja melatih diri menjalankan laku membersihkan raga (lahir) dan sukma (batin). Proses pembersihan jiwa dan raga merupakan perjuangan yang dahsyat. Oleh sebab itu proses pembersihan (dalam istilah spiritual disebut : katarsis), merupakan perjuangan hidup manusia yang mendambakan hidup Manunggalig Kawula Gusti. Selanjutnya untuk mempraktekkan metode ini seseorang harus dibimbing, tidak dapat berjalan sendiri, sebab dengan bimbingan seseorang dapat terhindar dari kesesatan, misalnya bertemu dengan atau alam yang bukan Ketuhanan. Uraian selanjutnya dipersilahkan membaca Segitiga Semar seperti tertera pada lampiran 1. 3. Jalan Romo Rochadi
Menurut Romo Rochadi hidup itu dari dulu, sekarang, dan yang akan datang selalu diliputi dengan kasih Tuhan. Kasih Tuhan mewujud pada proses pertumbuhan dan perkembangan setiap mahkluk hidup : mulai dari tidak ada menjadi ada, kemudian tumbuh, berkembang, dan akhirnya mati. Pada diri manusia yang mati adalah raganya sedangkan rohnya abadi. Seseorang yang telah memperoleh kesadaran hidup, maka ia wajib harus mendekatkan diri dan manunggal dengan Tuhannya, agar tidak tersesat apabila sudah waktunya dipanggil menghadapnya. Jadi Manunggaling Kawula Gusti bisa dicapai ketika ia masih hidup di dunia nyata. Dalam proses manunggal sudah wajar apabila menjumpahi hambatan-hambatan atau rintangan-rintangan yang datang dari hawa nafsunya sendiri. Hambatan dan rintangan itu ada pada setiap saat selama seseorang hidup. Oleh sebab itu, musuh utama dalam menerangi hidup adalah menyingkirkan nafsu-nafsu itu. Seseorang yang sudah siap akan memulai menyingkirkan musuhmusuh hidup, yaitu nafsu itu sendiri, haruslah terlebih dahulu dia bertaubat (memohon maaf bahwa saya masih menaruh kebencian kepada seseorang atau sekelompok orang). Permohonan maaf tersebut disampaikan sebanyak 70x7x7x (angka ini tidak diterangkan maknanya, tetapi perkalian ini merupakan simbolik bahwa seseorang harus tidak ada jemu-jemunya siap memaafkan orang yang membanci kepadanya atau siap memaafkan musuhnya). Karena Tuhan itu maha kasih, ia harus dapat menyerap kasih Tuhan kepada dirinya, sehingga ia dapat selalu menampilkan atau merepresentasikan kasih Tuhan. Ia harus sudah dapat mewujudkan perilaku kasih. Ia harus dapat menghilangkan sama sekali kebencian terhadap orang yang membenci dirinya. Dengan kata lain, ia sudah harus dapat memberi kasih kepada orang yang tadinya dibencinya setengah mati. Orang-orang yang membenci dan dibenci selama hidupnya harus didaftar, dan selama 40 hari 40 malam orangorang itu harus dimaafkan. Inilah laku hidup yang paling mendasar untuk meningkat kepada peri kasih yang mau diturunkan oleh Tuhan kepadanya. Sesudah mencapai kondisi seperti ini, maka ia baru dapat mulai mendekatkan diri kepada Tuhannya. Ia harus senantiasa sambat (menyeru dengan penuh iba) kepada Tuhannya agar dikaruniani pepadang (terang, enlightment) sedemikian rupa sehingga ia dapat manungal dengan Tuhannya. Peristiwa manunggal diterangkan sebagai petunjuk Tuhan, yang datang pada setiap ia membutuhkannya, sehingga dalam menjalankan hidupnya, ia selalu mendapatkan jalan lurus atau jalan terang. Seperti halnya jalan Sapto, jalan Romo Rochadi harus mengunakan guru, supaya tidak tersesat. Kepada yang berminat dapat berhubungan dengan Romo Rochadi. Selanjutnya lihat lampiran 2 tulisan Romo Rochadi. 4. Kesimpulan a. Baik jalan Sapto maupun jalan Rochadi pada dasarnya sama yaitu menyebutkan bahwa Manunggaling Kawula Gusti adalah laku hidup yang berpedoman pada jiwa (Pancer, Roh Suci, Sukma, Sumber Hidup, Tuhan itu sendiri), supaya bisa pulang kembali keharibaan Tuhan (bali mulih ing mula-mulanira).
b. Perilaku bagi orang yang senantiasa menjalankan laku ManunggalingKawula Gusti harus bersih lahir-batin dan jiwa-raga.
VI.
Kesimpulan Umum 1. Manunggaling Kawula Gusti mempunyai pengertian manunggalnya kehendak manusia dengan karsa Tuhan. Atau manunggalnya karsa Tuhan dengan kehendak manusia. 2. Jalan menuju Manunggaling Kawula Gusti, harus dilaksanakan dengan laku membersihkan badan (raga), demikian juga wajib dan harus mensucikan sukma (roh). 3. Manunggaling Kawula Gusti dapat dicapai ketika seseorang masih hidup. Tidak benar kalau dikatakan baru bisa dicapai kalau orang sudah meninggal dunia. Relevansi Manunggaling Kawula Gusti dapat dipergunakan untuk menegakkan kehidupan dan penghidupan pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara Indonesia, karena kejujuran dan kebenaran menjadi idola hidup. 4. Seseorang yang sudah dapat manunggal, maka hidupnya (gerak-gerik tubunya) dibimbing oleh sukma, sehingga hidupnya bisa kokoh, selamat, bahagia, dan sejahtera lahir-batin dunia-akhirat. 5. Manunggaling Kawula Gusti dapat dicapai setelah manusia telah memperoleh kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup), yaitu kondisi hidup dimana seseorang sudah dapat melepaskan diri atau terlepas dari ikatan-ikatan duniawi. Ia masih hidup di dunia, tetapi sudah sanggup dan mampu melepaskan diri dari ikatan-ikatan hidup duniawi. Manfaat Manunggaling Kawula Gusti dapat meningkatkan harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan bagi pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara Indonesia, sehingga meningkat pula kekokohan, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraannya. 6. Untuk mencapai hidup yang manunggal (hidup manunggal antara manusia dengan Tuhannya) seseorang harus menjalankan kaidah dan laku hidup dan menjalankan laku hidup manunggal dengan bimbingan guru laku. 7. Apabila sudah tercapai kondisi Manunggaling Kawula Gusti, manusia dapat meningkatkan diri ketataran muksa, yaitu peristiwa kematian dimana raga manjing (masuk ke dalam) sukma atau raga winengku ing sukma (raga berada dalam bingkai sukma) atau wrangka manjing curiga (wrangka masuk ke dalam keris). Jakarta. 27 Agustus 2007
Alamat Rumah : Komplek Dosen UI No. 17 Ciputat Raya 15419, Jakarta Selatan Indonesia Telp./Fax. : (62-21- 7400 345)
_______________________
VII.
Kepustakaan
Simuh (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Disertasi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jakarta : UIPress. Tanojo, R (1954). Ronggowarsito : Wirid Hidayat Jati. Surakarta : R. Tanojo.
______________
Lampiran 1
Lampiran 2
MANUNGGALING KAWULA GUSTI Oleh : KRTH. M. Rochadi Widagdo MANUNGGAL MELALUI JALAN BEBAS KASIH “CUM-PATIO” TUHAN cum artinya bersama, patio artinya menderita, sehati dan seperasaan dengan Tuhan yang berbelaskasih kepada manusia yang dicintaiNya. Jalannya; memohon belas kasih Allah, berbelas kasih kepada semua orang termasuk musuh, berbelas kasih kepada orang yang menderita, dan bersyukur senantiasa dalam kemanunggalan; bersama Dia, di dalam Dia, dalam persukutuan dengan Roh belas kasihNya. * Gusti Allah adalah kasih, barangsiapa tinggal dalam kasih ia tinggal dalam Allah dan Allah tinggal dalam dia. (1 yoh. 4;16b). * Marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasihNya sempurna di dalam kita. (1 yoh. 4;7). * Aku bersyukur kepadaMu Allah pencipta langit dan bumi karena semuanya itu RAHASIA Engkau sembunyikan bagi orang cerdik pandai tetapi Engkau nyatakan bagi orang-orang kecil dan sederhana.(Mat.11;25). Berangkat dari kasih, setiap orang membutuhkan kasih sebagaimana digambarkan oleh Agustinus; jiwaku tidak akan tentram sebelum bertemu dengan Sang Maha Kasih, Tuhan Allah sendiri. Titik awal dalam perjalanan adalah kerinduan terdalam manusia untuk bertemu dengan Sang kasih sejati kehidupannya, yang akan memuaskan segala lapar dan dahaganya akan kasih. Semua yang ada di dunia tidak akan pernah memuaskan hati manusia yang terdalam. Harta, tahta, popularitas, dan pemuasan segala kebutuhan dan hawa nafsu manusia bersifat sementara, dan sia-sia belaka. Semua usaha pemenuhan dan pemuasan berakhir dengan kehampaan. Bagaikan minum air laut, makin banyak yang diminum makin haus. Demikian manusia diombang-ambingkan dari keinginan yang satu kepada keinginan yang lainnya. PERTOBATAN berarti pencarian Sang Maha Kasih, itulah tujuan utama kehidupan. Namun segala usaha, dengan segenap kekuatan, akal budi dan tenaga, laku tapa tiada pernah mampu mengapainya, bagaimana mungkin ciptaan memahami Sang Penciptanya. Pertobatan mengandung arti pengakuan akan keterbatasan manusia sebagai ciptaan, dan sekaligus keterbukaan terhadap Rahmat Sang Maha cinta. Pengakuan akan kerapuhan, kelemahan, kedosaan, merupakan pintu masuk bagi kehadiran Sang Maha Kasih yang dengan kemurahan hatiNya mengulurkan tangan penuh ampunan bagi manusia. Setelah manusia mengenal dan menerima (mengalami) kasih Kemurahan Sang Maha cinta, barulah manusia menjadi pelaku cinta. Proses menerima dan membagi ini berlangsung terus dalam seluruh kelangsungan hidup manusia. Bagaikan sumur yang hidup, semakin ditimba airnya semakin jernih. Namun bagi mereka yang tiada pernah memberi bagaikan sumur mati, yang makin lama airnya
makin keruh dan berbau. Barang siapa memberi ia akan menerima. Hukum alam mengatakan apa yang ditanam itu pula yang akan dituai. Tuhan menanam cinta dalam hati manusia, maka itu pula yang dituaiNya. Ketika manusia menghentikan aliran rahmat ini karena keserakahannya, timbullah nafsu untuk memiliki, maka ia terpisah dan dibuang keluar dari orbit kemanunggalan dengan Sang Maha Kasih. “ Akulah pokok anggur dan kamu adalah ranting-rantingnya, barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia maka ia akan berbuah banyak. Dan barang siapa tidak tinggal pada pokok anggur dia akan menjadi kering, ditebang dan dibuang keluar. Barang siapa tidak tinggal dalam Aku ia tidak berbuah. Sesungguhnya manusia telah tinggal di dalam Allah, tidak bisa dibayangkan manusia dapat hidup terpisah dari sumber kehidupannya. Tidak bisa dibayangkan manusia dapat mencintai tanpa Sang Maha Kasih merengkuhnya. Dan mau tidak mau manusia sebagai ranting harus menghasilkan buah, meneruskan hidup dari Sang Hidup, meneruskan cinta dari Sang Maha cinta. Ada apa dengan manusia? Mengapa mereka tidak menghasilkan buah kehidupan cinta yang mengalir dari Sang Pokok Anggur? KESOMBONGAN, adalah jawabannya. Manusia menolak kasih, merekayasa hidupnya, ingin menyamai Tuhan, lupa akan asal-usulnya. Sesungguhnya tidak sulit jalan untuk menunggal dengan Sang Maha cinta, yaitu TINGGAL PADA POKOK ANGGUR, TINGGAL DALAM KASIH. Bagaimana tinggal dalam kasih itu? Manusia mempunyai bagaikan burung yang mempunyai dua sayap; satu sayap mencintai Sang Cinta, dan sayap yang lain mencintai sesamanya. Tinggal pada pokoknya, dan berbuah. Tidak mungkin kita bisa terbang hanya dengan satu sayap, hanya mencintai Tuhan, atau hanya mencintai manusia. Barangsiapa mengatakan mencintai Tuhan tetapi membenci saudaranya dia adalah pendusta. Bagaimana ia bisa mencintai Tuhan yang tidak kelihatan kalau ia tidak mencintai manusia yang kelihatan? Maka jalan manunggal kawula Gusti adalah jalan dua sayap. Mencintai Tuhan dengan cara mencintai sesamanya, saudaranya (se udara), dan mencintai sesamanya sebagai perwujudan cintanya kepada Tuhan. Bila kita mencintai Tuhan pasti buahnya mencintai sesama, bila kita mencintai sesama pasti karena cinta kita kepada Tuhan. Karena itu cobalah empat latihan cinta ini; 1. Mohonlah pengampunan dan kemurahan hati Tuhan Sang Maha Kasih terus menerus setiap hari, agar kamu mempunyai banyak ampun dan kemurahan hati Tuhan. Nemo dat quod non habet, kita tidak bisa memberi apabila kita tidak mempunyainya. Hanya mereka yang mempunyai ampunan mampu memberi ampun. 2. Ampunilah musuh-musuhmu. Kalau kamu mencintai orang-orang yang mencintai kamu, apakah jasamu? Orang-orang kafirpun berbuat demikian. Tetapi kamu cintailah musuhmusuhmu, maka dunia akan tahu bahwa kamu adalah anak-anak Bapamu yang ada di surga, yang menciptakan matahari baik untuk orang baik dan juga orang berdosa, yang mencurahkan hujan bagi orang baik maupun jahat. Ampunilah kesalahan kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami. LAKUKAN terus-menerus saban hari mendoakan semua orang yang bersalah kepadamu (musuh-musuh) mohonkan ampun dan berkat bagi mereka, bila kamu membawa persembahan di hadapan Altar dan kamu ingat akan saudaramu yang membenci kamu. Tinggalkan persembahan dan pergilah berdamai dengan mereka, barulah kamu datang kembali ke Altar Tuhan. Ampunilah
sampai 70x7x7x semua musuh, sampai tidak ada musuh dalam hatimu. Kalahkan segala kejahatan dengan kebaikan. In Bono malum vincente. 3. Berbuatlah baik, tolonglah mereka yang menderita, karena sesungguhnya apa yang kami lakukan bagi saudaramu yang paling hina kamu lakukan untuk Tuhan sendiri. Love Is not love until you give it away. Setidak-tidak ada tiga motivasi orang berbuat baik. Pertama orang berbuat baik-baik karena ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan; pujian rasa terima kasih, nama baik, dsb. Ke dua orang berbuat baik karena kesenangannya berbuat baik (hobbynya), kasihan orang lain jadi objek kesenangan. Ke tiga, ada orang berbuat baik karena terpaksa, karena melaksanakan kehendak Tuhan, karena mau tidak mau, dan sebagainya. Di sini unsur pengorbanan diri, karena tidak mendapat keuntungan bagi diri sendiri. Cintailah sampai kamu terluka oleh cinta. Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta seseorang yang memberikan tawanya bagi saudaranya. Syukurlah bila anda mengantongi semakin banyak perbuatan baik dengan lebel “terpaksa”. 4. Dalam segala perkara ucapkanlah syukur senantiasa, ketika kita bersatu, manunggal antara ciptaan dan Sang Pencipta yang ada hanyalah rasa syukur yang tidak berkesudahan. Alasan utama kita bersyukur karena kita hidup bersama Dia dan dalam Dia, dengan perantaraanNya menuju kasampurnaan abadi. Berhentilah memohon karena miliknya adalah milik kita jua, dan tidak ada sesuatu pun dapat terjadi tanpa seizin Dia. “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat duniaku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memilki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya. Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak bertindak yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu, kamu…..tetapi bila kamu tidak mempunyai kasih kamu tidak berarti sedikitpun, demikian tinggal tiga hal iman harapan dan kasih dan terbesar adalah kasih.” (1 kor 13;1-13). Lebih baik berbuat hal-hal kecil dengan cinta besar daripada berbuat besar namun dengan kasih yang kecil, (Ibu Teresa).
PANTEISME DALAM HINDU
CONTOH DALAM NASKAH KUNO* Oleh : Suryanto, M.Pd**
Untuk dapat memamahi unsur-unsur Panteisme dalam Hinduisme, terlebih dahulu marilah kita pahami secara ringkas konsep ketuhanan dalam Weda, dan bagaimana kedudukan Tuhan dalam hubungannya dengan segala ciptaan-Nya. Untuk itu dalam makalah singkat ini terlebih dahulu diuraikan hakekat Hinduisme, sumber ajarannya, pokok-pokok keimanannya, dan bagaimana umat Hindu sendiri memamahi dan menghayati doktrin-doktrin agamanya. A. HINDUISME, SEBUAH PENGANTAR Sanatana Dharma sebagai Nama Asli Hindu Pada umumnya, sebuah agama diberi nama sesuai dengan nama tokoh pendirinya, ataupun berdasarkan pokok-pokok ajarannya. Misalnya nama agama Kristen diambil dari nama Yesus Kristus, nama agama Buddha diambil dari nama Siddharta Gautama, yang lebih dikenal sebagai Sang Buddha. Namun dalam konteks penamaan agama Hindu, sistem penamaan seperti lazimnya tersebut tidak terjadi. Bila dilihat kembali dalam konteks sejarah jauh sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, penamaan agama Hindu memiliki proses yang cukup panjang. Menurut para ahli sejarah, istilah atau kata “Hindu” tidak dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan klasik peradaban India, walaupun agama Hindu lahir dan berkembang di India. Begitu pula, kata itu tidak dapat telusuri asal-usulnya dalam bahasa-bahasa klasik yang terdapat di India, seperti misalnya bahasa Sanskerta ataupun bahasa Tamil. Kata dan nama “Hinduisme” sama sekali tidak memiliki asal-usul dari India (Rosen, 2002). Trigunait (Rosen, 2002) menyatakan bahwa kata “Hinduisme” yang saat ini umum digunakan, sebenarnya tidak bersesuaian dengan makna asal sebagaimana mengapa kata tersebut awalnya digunakan. Menurutnya, asal-usul nama Hindu, memiliki hubungan dengan Alexander Agung dan para pendatang dari Persia yang melakukan penjajahan sampai ke wilayah India abad pertama Sebelum Masehi. Trigunait (Rosen, 2002 : 10) selengkapnya menyatakan sebagai berikut : …the current popular usage of the term Hinduism does not correspond to its original meaning. When Alexander the Great invaded the subcontinent around 325 B.C, he crossed the river Sindhu and renamed it Indus, which was easier for the Greek tongue to pronounce. Alexander‟s Macedonian forces subsequently called the land to the east of this river India. Later, the Moslem invaders called the Sindhu River the Hindu River because in their language, Parsee, the Sanskrit sound s converts to h. Thus, for the invaders, Sindhu became Hindu, and the land east of that river became known as Hindustan. Dengan demikian, istilah “Hindu” yang digunakan untuk menyebut agama Hindu, berawal dari pergeseran penyebutan nama sungai “Sindhu” hingga menjadi kata “Hindhu” oleh para pendatang yang berasal dari Persia. Dalam perkembangan selanjutnya istilah “Hindu” tersebut
menjadi dikenal sebagai nama agama yang dianut oleh orang-orang yang tinggal di sebelah timur Sungai Sindhu. Istilah „Hindu‟ dipergunakan untuk menyebut agama asli penduduk India, untuk membedakannya dari agama para pendatang yang berasal dari luar India. Hal ini dapat dipahami, mengingat menurut catatan sejarah, agama-agama seperti Yahudi dan Kristen telah jauh sebelumnya masuk dan berkembang di India. Senada dengan hal tersebut, Profesor Anantanand Rambachan (Hughes, 2005:1) mengemukakan pendapat sebagai berikut : Hinduism is an astonishingly diverse tradition, a fact suggested by the name Hindu itself. Hindu is not personal name of a founder or sage whose teachings are followed by members of this religion. It does not describe or identify a central doctrine or practice. “Hindu” is the Iranian variation for the name of a river that the Indo-Europeans referred to as the Sindhu, the Greeks as the Indos, and the British as the Indus. Those who lived on the land drained by the Indus River system were derivatively called Hindus. They did not share a uniform religious culture, and the Hindus tradition today continues to shelter a multiplicity of beliefs and practices… Walaupun istilah Hinduisme tidak memiliki akar kata yang berasal dari India sendiri, namun istilah itu tetap eksis hingga kini. Tradisi-tradisi keberagamaan di India yang demikian beraneka ragam seperti Siwaisme, Jainisme, Shaktisme dan Waisnawaisme disebut dengan istilah tunggal sebagai „Hinduisme‟. Istilah tersebut digunakan dengan tujuan untuk memudahkan, namun sesungguhnya penggunaannya tidak sepenuhnya tepat. * Disampaikan dalam Seminar Panteisme Manunggaling Kawulo Gusti di Gedung Perpustakaan Nasional tanggal 5-6 September 2007. ** Pengasuh Narayana Smrti Ashram Yogyakarta Penyamarataan sebutan dengan istilah „Hinduisme‟ bagi beraneka ragamnya tradisi keagamaan yang ada di India, seperti Sivaisme dan Waisnawaisme, seolah-olah mengabaikan perbedaan orientasi masing-masing tradisi, dan memaksa mereka berada dibawah satu bendera. Beberapa ahli bahkan menyatakan, sesungguhnya tidak ada kata tunggal yang mampu mendefinisikan dengan tepat apa yang dimaksud dengan „Hindu‟ (Rosen, 2002). Pernyataan Satsvarupa (1996) juga membenarkan hal ini, bahwa “…even the conception of Hinduism is alien to the Vedic conclusion…”, yang berarti bahwa dalam Weda tidak terdapat konsep yang saat ini dikenal dengan nama “Hinduisme”. Lalu, apa nama asli dari agama yang kini dikenal sebagai Hindu tersebut? Dalam Bhagavad-gita, salah satu kitab terkemuka bagi penganut Hindu, Sri Kåñëa bersabda kepada Arjuna : yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmānaà såjāmy aham “Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela – pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bhārata” (Bhagavad-gita 4.7)
paritrāëāya sādhünāà vināśaya ca duskåtām dharma-saàsthāpanārthāya sambhavāmi yuge-yuge “Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma, Aku sendiri muncul pada setiap jaman.” (Bhagavad-gita 4.8) Dari kedua sloka di atas, terlihat bahwa “dharma” merupakan prinsip utama ajaran Weda. Sering kali kata “dharma” diterjemahkan menjadi “religion” dalam bahasa Inggeris, atau “agama” dalam bahasa Indonesia. Namun pengertian sesungguhnya dari kata “dharma” dalam bahasa Sanskerta sedikit berbeda dengan pengertian agama yang umum. Menurut Bhaktivedanta Swami : “ the root meaning of word dharma refers to that which is constantly existing with particular object”. Jadi kata dharma berarti “sesuatu sifat yang selalu ada menyertai dan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan obyek tertentu”. Sebagai contoh, sifat “panas” dan “cahaya” selalu melekat pada api, jadi “dharma” api adalah panas dan bercahaya. Dharma gula adalah manis, dan dharma air adalah cair. Dalam Weda dinyatakan bahwa dharma dari jiwa/roh adalah sebagai pelayan atau hamba kekal Tuhan. Weda menguraikan tentang “sanātana dharma”. Sanātana-dharma tidak mengacu pada proses yang bersifat sektarian. Ia merupakan kedudukan dan sifat dasar para makhluk hidup (jiwa/roh) dalam hubungannya dengan Tuhan Maha Esa. Rāmānujācarya, salah seorang ahli filsafat terkemuka di India menjelaskan, kata sanātana sebagai “that which has neither beginning nor end” atau “sesuatu yang tidak pernah dimulai dan tidak pula memiliki akhir.” Sanātana berarti kekal, langgeng, atau abadi. Jadi istilah sanātana dharma berarti dharma yang bersifat kekal, yang menyangkut hubungan kekal jiwa/roh sebagai hamba atau pelayan Tuhan. Hakekat hubungan Tuhan dengan para jiwa/roh tersebut bersifat universal, tidak dibatasi oleh sekat agama, bangsa, negara, dsb. Nama sanātana dharma inilah yang lebih dahulu dikenal sebagai nama agama yang kini secara luas dikenal sebagai Hinduisme. Asal-usul Kitab-kitab Weda Berbagai tradisi keagamaan di India yang bernaung di bawah payung Hinduisme, mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda. Umat Hindu meyakini bahwa ayat-ayat Weda disabdakan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa. Vidyarnaya (Satsvarupa, 1996) mengutip peryataan yang terdapat dalam kitab Båhad-aranyaka Upanisad (2.4.10) yang menjelaskankan asal-usul munculnya kitab-kitab Weda. Kitab tersebut menyebutkan bahwa : “The Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, Atharva Veda, and Itihasas (histories like the Mahabhrata and Puranas) are all breathed out by the Absolut Truth. Just as one‟s breath comes easily, these arise from the Supreme Brahman without any effort on His part. According to Vedic tradition, the Vedas are absolute and self-authoritative. They depend on nothing but themselves for explanation (Satsvarupa, 1996 : 4)
Sejalan dengan uraian di atas, Bhaktivedanta Swami (1986) menyatakan bahwa dalam Bhagavad-gita (3.15) Sri Krishna, penyabda Bhagavad-gita menyebut asal-usul ayat-ayat Weda itu sebagai ‟brahmākñara-samudbhavam‟, yaitu terwujud secara langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Weda menyatakan diri mereka sendiri sebagai apauruseya, yang artinya bukan hasil ciptaan pemikiran manusia. Ayat-ayat Weda pertama kali disabdakan kepada Dewa Brahma pada awal ciptaan dunia material ini (Satsvarupa, 1996). Dewa Brahma kemudian mengajarkan pengetahuan tersebut kepada Rsi Narada. Rsi Narada mengajarkan kepada Rsi Vyasa. Selanjutnya, Rsi Wyasa menyampaikan kepada para muridnya. Para murid ini memiliki murid, demikian seterusnya. Dengan demikian, ajaran Weda diajarkan, disebarkan, dan diwariskan secara turun temurun dalam hirarki hubungan guru (guru kerohanian) dengan sisya (murid yang belajar pengetahuan rohani). Hirarki guru dan murid ini dalam bahasa Sanskerta dan tradisi Weda disebut parampara (Rosen, 2002). Pada awalnya, ajaran ayat-ayat Weda disampaikan dalam tradisi lisan (oral tradition), namun kemudian Rsi Wyasa mengumpulkan dan menulis ayat-ayat Weda tersebut pada sekitar 5000 tahun yang lalu. Krisnananda (1994) memberikan penjelasan yang sama bahwa ajaran Weda pertama kali disabdakan oleh Tuhan kepada Dewa Brahma, dewa yang bertugas sebagai pencipta alam semesta. Dewa Brahma kemudian mewariskan pengetahuan Weda tersebut kepada salah seorang putranya, Rsi Narada. Rsi Narada selanjutnya mengajarkan Weda kepada Rsi Wyasa. Rsi Wyasa inilah yang dikenal sebagai pengkodifikasi/penyusun Weda, karena beliaulah yang pertama kali mengabadikan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan. Tradisi pewarisan atau transmisi pengetahuan rohani merupakan sebuah fenomena yang dihormati dalam sejarah peradaban Weda. Klasifikasi Weda Menurut Rosen (2002) beraneka ragamnya praktek dan tradisi keagamaan yang berkembang di India kesemuanya bersumber pada ajaran kitab suci Weda. Weda berasal dari akar kata Sanskerta “vid” yang berarti “mengetahui” atau “pengetahuan”. Kata Sanskerta “vid” ini memiliki hubungan makna dengan kata-kata wit atau wisdom dalam bahasa Jerman; idea (kata aslinya adalah „widea‟) dalam bahasa Yunani; dan berhubungan pula dengan kata video dalam bahasa Latin. Kata video memiliki arti “seseorang yang mengetahui, atau melihat kebenaran”. Senada dengan pendapat di atas, Bhaktivedanta Swami (Danavira, 1999) mendefinisikan Weda sebagai “pengetahuan”. Urat kata veda dalam bahasa Sanskerta dapat diinterpretasikan secara beragam, namun penjelasan maknanya pada akhirnya akan sama. ”…the Sanskrit verbal root of veda can be interpreted variously, but the purport is finally one. Veda means knowledge. Any knowledge you accept is „veda‟, for the teachings of the Vedas are the original knowledge…” Weda bukanlah sebuah kitab tunggal. Berkaitan dengan banyaknya jumlah kitab Weda ini, Klaus Klostermaier dalam bukunya A Survey of Hinduism (1986:91) menyatakan „No other living tradition, can claim scriptures as numerous or as ancient as Hinduism; none can boast an unbroken tradition preserved as faithfully as the Hindu tradition‟.
Terdapat berbagai kitab-kitab lain, yang dianggap dan digolongkan sebagai Weda, meskipun kitab tersebut tidak hadir bersamaan dengan keempat Weda yang pertama. Yang tergolong dalam kitab-kitab Weda adalah kitab-kitab yang memelihara keserasian tema dan sesuai dengan tujuan kitab Weda yang asli. Hal ini berbeda dengan anggapan umum para sarjana, bahwa yang tergolong dalam kitab Weda hanyalah keempat Weda yang asli yang disebut sebagai Catur Veda, yaitu Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda. Mengenai syarat bagaimana sebuah kitab dapat diakui sebagai bagian dari Weda, Satsvarupa menyatakan : In any case, to be accepted as Vedic, a literature must maintain the same purpose as the original Vedic texts. The Vedic scriptures (śāstras) comprise of a harmonious whole with a harmonious conclusion (śiddhānta). Consequently, we may accept as a bonafide Vedic writing any work that expands on the Vedic śiddhānta without changing its meaning, even if the work is not one of the original scriptures. In fact, the Vedic tradition necessitates further authoritative works that convey the Vedic message according to time and place. However, to be genuine, these extensions of Vedic literature must strictly conform to the doctrines of the Vedas, the Puranas, and the Vedanta-sutra Weda meliputi kitab-kitab yang terklasifikasi dengan nama-nama tertentu sesuai dengan sifat isinya. Weda meliputi keempat Weda utama yaitu : Rig Weda (berisi doa-doa pujian kepada para dewa), Yajur Weda (berisi uraian tentang tatacara pelaksanaan ritual atau upacara keagamaan), Sama Weda (mantra atau doa-doa yang digunakan dalam pelaksanaan upacara), dan Atharva Weda (uraian tentang berbagai aturan yang berkaitan dengan tatacara pemujaan, doa-doa untuk mengusir kekuatan jahat). Menurut Knapp (2001) keempat Weda ini dikenal sebagai kitab-kitab Sruti atau diterima dalam bentuk wahyu secara langsung. Kitab-kitab Sruti juga meliputi kitab-kitab yang berisi uraian penjelasan secara lebih rinci tentang isi kitab tertentu. Di dalamnya meliputi kitab Brahmana (uraian tentang tatacara pelaksanaan upacara keagamaan) dan kitab Aranyaka (risalah bagi mereka yang ingin memasuki kehidupan pelepasan ikatan terhadap keduniawian dan mentaati sumpah-sumpah tertentu). Selain itu, terdapat 108 kitab Upanisad yang memberikan tuntunan dan arahan bagi kemajuan kehidupan rohani seseorang. Kata upanisad secara harfiah berarti „duduk di dekat guru‟ untuk memperoleh pengetahuan rohani. Kitab upanisad dikenal sebagai kitab yang berisi mutiaramutiara ajaran Weda. Termasuk dalam kitab Upanisad ini adalah Gita-upanisad atau yang secara lebih luas dikenal sebagai Bhagavad Gita. Kitab-kitab Wedanga merupakan kitab-kitab yang penting, berisi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan cara mempelajari Weda. Diantaranya adalah siksha (ilmu fonetik), chanda (irama), vyakarana (tata bahasa), nirukta (etimologi), dan jyotisha (ilmu perbintangan atau astronomi). Kitab-kitab upaveda adalah ilmu pengetahuan yang memang tidak memiliki hubungan langsung dengan Weda, namun dianggap bagian dari Weda. Dalam kategori ini adalah Ayur Weda (ilmu pengobatan holistik), Gandharva Weda (ilmu tentang musik dan tari-tarian), Dhanur Weda (ilmu pengetahuan tentang militer atau pertempuran), juga Sthapatya-veda (ilmu arsitektur). Dalam perkembangan selanjutnya, Kitab-kitab Purana yang berisi sejarah-sejarah yang berhubungan dengan kegiatan Tuhan maupun para penyembah-Nya juga dimasukkan sebagai
Weda. Termasuk diantaranya adalah kitab Mahabharata, Ramayana, dan Bhagavata Purana. Seluruhnya terdapat 18 kitab Purana. Selain itu, ulasan-ulasan oleh para acharya (guru kerohanian yang telah mencapai pencerahan) juga dianggap sebagai Weda, karena berisi penjelasan tentang intisari ajaran-ajaran Weda terdahulu Tujuan Ajaran Weda Tujuan utama ajaran kitab suci Weda adalah menyampaikan dan memberikan pengetahuan tentang ilmu keinsafan diri dan pembebasan manusia dari penderitaan. Menurut Karl H. Potter (Satsvarupa, 1996) umumnya para sarjana yang mempelajari Weda dan kebudayaan Weda setuju bahwa tujuan dari pemikiran-pemikiran filsafat India adalah pencarian dan pencapaian kebenaran, “the recognition of which leads to freedom”. Sharma (1987) membenarkan bahwa pemikiran-pemikiran filsafat India bersifat spiritual dan selalu menekankan pada pentingnya keinsafan kebenaran yang bersifat praktis. Berbagai macam pemikiran filsafat yang berkembang di India, dapat dengan mudah ditelusuri asal-usulnya dalam kitab-kitab Weda. Hal ini berbeda dengan sifat filsafat-filsafat Barat yang pada umumnya adalah pertanyaan-pertanyaan untuk sekedar memenuhi keingintahuan intelektual. …Indian philosophy has been, however, intensely spiritual and has always emphasized the need of practical realization of truth. The word „darshana‟ means „vision‟ and also the „instrument of vision‟. It stands for the direct, immediate and intuitive vision of Reality, the actual perception of Truth, also includes the means which lead to this realization…The origin of Indian philosophy may be easily traced in the Vedas… (Sharma, 1997 : 13). Dr. Sarvapali Radhakrishnan juga membenarkan bahwa setiap sistem filsafat India berusaha mencari kebenaran, bukan dengan tujuan akademis, “knowledge for its own sake”, namun bertujuan untuk mempelajari kebenaran yang akan menuntun manusia pada tercapainya pembebasan dari perputaran kelahiran dan kematian di dunia material ini (tercapainya moksa). Bahwa pemikiran-pemikiran filsafat India tidak berjuang hanya untuk mencari informasi, melainkan untuk mencapai transformasi. Tujuan ini dibenarkan dalam kitab Bhagavad-gita yang mendefinisikan pengetahuan sebagai “accepting the important of self-realization, and philosophical search for the Absolute Truth”
B. KONSEP KETUHANAN DALAM WEDA Pokok-Pokok Keimanan Hindu Sebagaimana diungkapkan oleh Rambachan bahwa beraneka ragam tradisi keagamaan (sektesekte) yang ada di India, memiliki ‟vital common features‟ yang memungkinkan mereka untuk bernaung di bawah payung ‟Hinduisme‟. Berkenaan dengan ajarannya, dapat digambarkan
bahwa agama Hindu atau Hinduisme dibangun di atas tiga kerangka dasar yang terkait erat satu dan yang lainnya, sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh. Ketiga kerangka dasar tersebut adalah : 1) Tattwa (Filsafat, doktrin) 2) Susila (Etika) 3) Upacara (upacara, ritual keagamaan) Tattwa adalah uraian filosofis tentang butir-butir keyakinan Hindu yang bersumber dari ajaran Weda, hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam sekitarnya. Susila adalah ajaran tentang perbuatan baik (subhakarma) dan perbuatan tidak baik (asubhakarma) menurut norma-norma agama. Perbuatan yang baik dan benar adalah perbuatan yang sesuai dan dibenarkan oleh agama. Sedangkan upakara dan upacara merupakan rangkaian kegiatan manusia dalam upaya berkomunikasi dengan Tuhan. Ritual diwujudkan dalam bentuk persembahan atau korban suci (yajna) yang merupakan manifestasi konkret dari agama. Di atas ketiga kerangka dasar inilah umat Hindu mempelajari, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari (Gorda, 2006). Biasanya, dalam berbagai sekte/tradisi keagamaan Hindu yang sangat banyak jumlahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas, terdapat perbedaan satu dan lainnya dalam hal ritual/upacara, dan juga terdapat perbedaan dalam detil ajaran filosofi mereka Namun secara umum, sekte-sekte Hindu meyakini Lima Butir Keyakinan/Lima Pokok Keyakinan (Panca Sraddha) yang menyebabkan mereka dapat disebut sebagai bagian dari Hinduisme. Adapun Panca Sraddha (Lima Pokok Keimanan) tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Percaya adanya Tuhan sebagai Kebenaran Tertinggi (Brahman/Parama Atman) Percaya adanya Jiwa (Atman) Percaya adanya Hukum Karma (Karmaphala) Percaya adanya kelahiran kembali/reinkarnasi (Punarbhawa/Samsara) Percaya adanya adanya pembebasan/pelepasan (Moksha).
Pemujaan kepada Para Dewa Bila dilihat sepintas lalu, agama Hindu seolah-olah mengajarkan pemujaan kepada banyak Tuhan. Hal ini beralasan, mengingat para penganut Hindu memiliki berbagai obyek pemujaan yang masing-masing obyek itu seolah-olah adalah Tuhan yang berbeda-beda. Namun kitab-kitab Weda sendiri sesungguhnya bersifat monotheistic. Selain mengakui adanya Tuhan Yang Mahaesa sebagai Pencipta Tertinggi alam semesta, dalam Weda diajarkan juga adnya para dewa, yang diyakini sebagai para pembantu Tuhan. Dalam keyakinan agama Hindu dikenal lebih kurang 33 juta dewa. Padanan kata yang digunakan untuk kata “dewa” dalam bahasa Inggris adalah “demigods”. Awalan “demi” berasal dari bahasa Latin dimidius yang berarti “setengah”, yang menunjukkan bahwa para dewa adalah “half-gods” atau “setengah – Tuhan” dan bukanlah Tuhan Sendiri. Dengan kata lain mereka bukanlah Tuhan, melainkan para makhluk yang diberikan kekuatan dan kemampuan ilahi. Mereka dimaksudkan untuk menghamba kepada Tuhan dengan tugas-tugas tertentu, seperti halnya para menteri yang membantu presiden dalam departemen-departemen
tertentu. Dengan demikian, pemujaan kepada para dewa semata tidaklah tepat. Hendaknya pemujaan dan persembahyangan hanya dilakukan kepada Kepribadian Tuhan semata. Dalam Bhagavad-gita (9.23) Sri Krishna menyatakan bahwa “Orang yang menjadi para penyembah dewa-dewa dan menyembah dengan kepercayaan sebenarnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka berbuat demikian dengan cara yang keliru, Wahai Putra Kunti”. Selanjutnya Sri Krishna mengemukakan alasan mengapa orang memuja para dewa. Orang di dunia ini menginginkan sukses dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil; karena itu, mereka menyembah para dewa….(Bhagavad-gita 4.12). Dengan kata lain, pemujaan kepada para dewa biasanya bermotivasi duniawi. Para acharyas Waisnawa menegaskan bahwa manfaat atau keuntungan yang bersifat duniawi tidak akan pernah mampu memuaskan bhatin karena sesungguhnya manusia adalah makhluk rohani. Jika memang seseorang memuja para dewa, hendaknya dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang bersifat rohani (Sheridan, 1986). Mengenai hasil dari berbagai pemujaan yang dilakukan oleh manusia, Sri Krishna menyatakan dengan tegas bahwa ada perbedaan antara hasil pemujaan kepada para dewa, dengan pemujaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Perbedaan demikian itu dapat dilihat dalam pernyataan ayat Bhagavad-gita 9.25 sebagai berikut : yänti deva-vratä devän pitèn yänti pitå-vratäù bhütäni yänti bhütejyä yänti mad-yäjino ‟pi mäm ”Orang yang menyembah dewa akan dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku”.
Tahap-tahap Menuju Keinsafan Diri (Self Awarness) Weda mengajarkan bahwa Tuhan adalah Mahaesa, tunggal, dan tiada duanya. Namun Tuhan yang tunggal tersebut dipahami dan diinsyafi dalam berbagai nama, bentuk, dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, Tuhan juga dapat dipahami dalam tiga aspek yang berbeda. Setiap aspek tersebut adalah hasil dari pendekatan yang berbeda terhadap Realitas Tunggal yang sama. Dalam Bhagavata Purana 1.2.11 terdapat penjelasan mengenai ketiga aspek Tuhan tersebut. vadanti tat tattva-vidas tattvaà yaj jïänam advayam brahmeti paramätmeti bhagavän iti çabdyate
“Para rohaniwan terpelajar yang mengenal Kebenaran Mutlak, menjuluki zat yang tidak nisbi tersebut Brahman, Paramatma, atau Bhagavan”. Ketiga aspek pemahaman terhadap Tuhan tersebut, yaitu Brahman, Paramatma, dan Bhagavan, adalah tahapan keinsafan terhadap Tuhan sesuai dengan tingkat kemajuan rohani setiap individu. a) Aspek Brahman Aspek Brahman adalah ciri Tuhan yang tidak bersifat pribadi (impersonal). Keinsafan Brahman (pemahaman bahwa Tuhan sebagai sebuah kekuatan semesta yang berada di mana-mana) secara universal adalah pandangan mendasar tentang konsep Tuhan. Dalam Bhagavad-gita, Sri Krishna menyatakan sifat Brahman ini dengan perumpamaan angin dan angkasa sebagai berikut : Mengertilah bahwa semua makhluk hidup yang diciptakan bersandar di dalam Diri-Ku bagaikan angin yang bertiup di mana-mana selalu berada di angkasa (Bhagavad-gita 9.6). Radhakrishnan (1953) menyatakan bahwa dalam kitab-kitab Upanisad kata yang digunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi adalah Brahman. Kata ini berasal dari akar kata brh. „berkembang, timbul ke mana-mana‟. Turunan kata ini dapat diartikan „muncrat ke luar, berbuih keluar, perkembangan yang tiada habis-habisnya. Menurut Sankaracarya, Brahman berasal dari akar kata brhati, „melampaui‟ yang artinya keabadian, murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum di mana seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan. Keinsafan Tuhan sebagai Brahman ini dicapai oleh para rohaniwan yang mendekati Tuhan melalui jalan Jnana-yoga. b) Aspek Parama Atman Aspek Paramatma merupakan tahap keinsafan yang lebih tinggi dibandingkan keinsafan Brahman. Dengan mempraktekkan asthangga-yoga, seorang gynana-yogi dimungkinkan untuk maju setahap dalam keinsafannya terhadap Tuhan. Keinsafan Paramatma adalah sebuah konsep pemahaman terhadap bentuk Tuhan sebagai aspek yang berdiam atau bersemayam di suatu tempat di dunia ini, Tuhan yang berada di dalam hati setiap makhluk hidup, dan bahkan berada di dalam setiap atom. Inilah pemahaman konsep Weda bahwa Tuhan berada di mana-mana, Tuhan Maha Ada. Perwujudan Tuhan seperti itu disebut sebagai Paramatma atau Roh Yang Utama. Pemahaman aspek Tuhan seperti ini, di dasarkan pada peryataan Sri Krishna dalam beberapa ayat kitab Bhagavad-gita, antara lain : sarvasya cähaà hådi sanniviñöo mattaù småtir jïänam apohanaà ca vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cäham
Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Weda; memang Akulah yang menyusun Wedänta, dan Akulah yang mengetahui Weda (Bhagavad-gita 15.15).
éçvaraù sarva-bhütänäà håd-deçe ‟rjuna tiñöhati bhrämayan sarva-bhütäni yanträrüòhäni mäyayä Tuhan Yang Mahaesa bersemayam di dalam hati semua orang, wahai Arjuna, dan Beliau mengarahkan pengembaraan semua makhluk hidup, yang duduk seolah-olah pada sebuah mesin terbuat dari tenaga material. (Bhagavad-gita 18.61) Dalam menjelaskan konsep Paramatma ini, para acharya (guru-guru kerohanian) memberikan analogi sebagai berikut. Bayangan matahari akan terbentuk pada ribuan permata, seperti halnya bayangan matahari akan terlihat pada setiap air yang menggenang atau air dalam suatu wadah. Sesungguhnya matahari tetaplah satu, namun pada saat yang sama bayangannya terbentuk di mana-mana. c). Aspek Bhagavan Keinsafan yang tertinggi terhadap keberadaan Tuhan menurut Weda adalah keinsafan Bhagavan. Hal ini dinyatakan dalam sloka berikut: çré-bhagavän uväca mayy äveçya mano ye mäà nitya-yuktä upäsate çraddhayä parayopetäs te me yuktatamä matäù Tuhan Yang Mahaesa bersabda: Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan yang besar yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna. Menurut Rosen, kata Bhagavan adalah kata yang ekivalen atau searti dengan kata dalam bahasa Inggeris “God”. Secara harfiah, kata Bhagavan berarti “Beliau yang memiliki segala kehebatan sepenuhnya.” Orang–orang bijaksana dari pemikiran Timur menyatakan bahwa ada 6 kehebatan utama yang dimiliki oleh Tuhan : maha perkasa, maha indah, maha kaya, maha termashyur, maha tahu, dan tidak terikat. Pencapaian dari mereka yang menempuh jalan keinsafan Bhagavan ini diuraikan sebagai berikut: Only the Supreme Personality of Godhead has these qualities in full. One who becomes adept at worshiping Him becomes aware of eternity and knowledge – as in Brahman and Paramatman realization – and develop a profound sense of
transcendental bliss (ananda) as well. The person on the path of Bhagavan realization attains intimacy with God, becoming absorbed in His personhood in a deep and meaning full way (Rosen, 2002 : 43)
C. PANTEISME DALAM NASKAH KUNO HINDU Pengertian Panteisme Sebelum mengkaji ajaran Panteisme (Manunggaling Kawulo Gusti) dalam ajaran Hindu, kiranya perlu terlebih dahulu kita pahami bersama pengertian atau definisi panteisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (2005 : 826) kata ‟panteisme‟ diartikan sebagai: 1) ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; 2) penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan. Sedangkan Bagus (2005 : 774) memberikan beberapa pengertian panteisme sebagai berikut : 1) ajaran filosofis yang mengemukakan bahwa Allah merupakan suatu prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik dengan-Nya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam, seraya menolak unsur adikodrati-Nya. 2) Pandangan yang mengajarkan bahwa terdapat hanya satu substansi atau hakekat, yaitu eksistensi impersonal, mutlak, abadi, tak terbatas. 3) Menurut panteisme, segala sesuatu (dan manusia) tidak merupakan substansi yang independen, tetapi hanya determinasi (modi, yang berarti cara-cara berada) atau cerminan (refleksi) dari Yang Mutlak. Dengan demikian, tatkala seseorang mengenal dirinya sendiri, Allah sungguh-sungguh mengenal dirinya sendiri. Dalam pandangan ini, secara empiris hal-hal atau barang-barang memang berbeda satu sama lain; tetapi pada hakekatnya sungguh-sungguh identik satu sama lain – bahkan juga dengan Allah. Sebagai prinsip yang melahirkan barang-barang, Allah merupakan natura naturans dan barangbarang merupukan natura naturata. Selanjutnya, Bagus menguraikan jenis-jenis panteisme dengan membedakan panteisme di Barat dan Panteisme di Timur. Menurutnya, panteisme di Barat muncul dalam konteks spekulasi filosofis, bukan dalam konteks keagamaan; sedangkan di Timur Dekat dan Timur Jauh panteisme muncul pertama kali dalam konteks devosi keagamaan. Sedangkan menurut bentuknya, panteisme dibedakan menjadi beberapa jenis, dua diantarannya yaitu: 1) Panteisme imanentistik (monisme) yang mengidentikkan seutuhnya Tuhan dengan segala sesuatu, yang mirip dengan ateisme materialistik; 2) Panteisme Transendental (mistik) yang menemukan ilahi hanya dalam inti terdalam segala sesuatu, khususnya dalam jiwa, sehingga makhluk ciptaan menjadi Allah hanya sesudah menanggalkan selubung daging (contoh Panteisme India dari filsafat Wedänta).
Dalam bukunya ”Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa” Dr. Simuh menyebutkan bahwa paham panteisme sedikit banyak dianut oleh kalangan Islam sufi. Menurutnya, ajaran Islam dalam naskah Melayu yang paling kuno dan berasal dari abad ke-16 dan ke-17 adalah merupakan ajaran aliran sufi yang berpaham wahdat al-wujud (monispantheistis). Setelah melalui perkembangan dan pergulatan yang cukup panjang, ajaran tasawuf yang berpaham wadat al-wujud cenderung mengalami banyak hambatan, karena dinilai menyesatkan. Namun penafsiran ajaran martabat tujuh yang cenderung panteistis justru bertahan dalam sastra suluk (Islam Kejawen). Sastra suluk ini berkembang dan dijadikan dasar pemikiran dalam Kesultanan Mataram dan Cirebon. Jadi, di Jawa paham Ibnu Arabi yang seirama dengan tradisi baku dan zaman pra-Islam tetap dipertahankan untuk menopang falsafah politik religius dari Kesultanan Mataram yang sejak pra-Islam menerapkan konsep God-King (raja penjelmaan Dewa). Dalam zaman Islam, konsep politik religius raja penjelmaan dewa diganti dengan ungkapan simbolis Manunggaling Kawulo-Gusti. Konsep raja sebagai wakil Tuhan di bumi ini dipertahankan dalam sastra Jawa tradisional (2002: 16-17). Bila mengacu pada berbagai pengertian di atas, maka tidak dapat dielakkan bahwa di dalam beberapa naskah kitab suci Hindu memang terdapat ayat-ayat yang mengungkapkan ajaran Panteisme atau Manunggaling Kawulo Gusti tersebut. Hakekat Kebenaran Mutlak/Kebenaran Tertinggi yang dalam Weda disebut Brahman, dalam berbagai naskah memang diuraikan dengan sifat-sifat yang mirip dengan ajaran panteisme. Panteisme dalam Naskah Bhagavad-gita Steven Rosen (2002) bahkan menyatakan, dapat dikatakan bahwa seluruh paham theistik yang ada di dunia ini, dapat ditemukan dalam ajaran Hindu, khususnya dalam ajaran Waisnawa. Menurutnya, dalam Waisnawa dapat ditemukan ajaran yang bersifat impersonalistic, pantheistic, panentheistic, dan monotheistic. Waisnawa is an all-encompassing theistic sensibility that includes impersonalistic, pantheistic, panentheistic, and monotheistic ideas. It also includes a sense of animism, in which natural objects are seen as being imbued with the Divine… Dasar dari adanya konsep bahwa sifat-sifat Ilahi juga terdapat dalam benda-benda di alam semesta ini adalah kitab Bhagavad-gita, dimana Sri Krishna menyatakan bahwa seluruh alam semesta ini adalah Bentuk Semesta (visvarupa/universal form ) Krishna. Bhagavad-gita adalah kitab yang berisi wejangan rohani Krishna kepada Arjuna, sesaat sebelum mulainya perang Bharatayudha di medan perang Kuruksetra. Walau sering dibaca sebagai kitab suci yang terpisah dari keseluruhan naskah yang utuh, sebenarnya Bhagavad Gita adalah bagian dari kitab Mahabharata. Kitab Mahabharata terdiri dari delapan belas bagian (parwa). Salah
satunya adalah Bhisma Parwa dimana di dalamnya terdapat uraian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang dan sesaat setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Naskah Bhagavad-gita yang berisi dialog antara Krishna dan Arjuna itu terdiri dari 18 bab itu yaitu Bab 25 s/d Bab 42 dari Bhisma Parwa dan secara keseluruhan berjumlah 700 sloka/ayat. Kata „Bhagavad-gita‟ secara harfiah diartikan sebagai „Kidung Ilahi‟ atau „Song of God‟. Dalam dialog antara Krishna dan Arjuna itulah, terdapat ajaran-ajaran yang dapat dianggap sebagai ajaran Panteisme, Panenteisme, Animisme, dan bahkan Animisme, sebagaimana telah dinyatakan oleh Rosen di atas. Bagi umat Hindu, kitab Bhagavad-gita menempati kedudukan yang sangat penting sebagai kitab suci, dan disebut sebagai Pancama Weda (Weda Kelima) setelah kitab suci Hindu terpenting yaitu Catur Weda, yaitu Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda. Dalam kata sambutan terhadap terjemahan Bhagavad-gita edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka Bhaktivedanta (1986), Dr. Budya Pradipta menulis sebagai berikut : Seperti diketahui, kitab Bhagavad-gita – yang ditulis lebih kurang 5000 tahun yang lalu – adalah sari-sarinya kitab-kitab Weda yang terutama mengandung ajaran kerohanian tentang betapa seseorang seharusnya manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa serta betapa pula seharusnya seseorang itu menjalankan hidupnya dengan budi pekerti luhur terhadap sesamanya dan juga terhadap makhluk Tuhan lainnya, baik yang tampak mata (seperti : hewan, tumbuh-tumbuhan, bintang kemintang, tata surya, dsb.) maupun makhluk yang tak tampak mata (seperti roh, makhluk halus, dan lain-lain). Pendek kata, ajaran Bhagavad-gita berisi tentang kesempurnaan hidup yang kesemuanya disampaikan dalam bentuk dialog, antara Krishna dengan Arjuna, di medan perang Kuruksetra, tidak lama sebelum perang Bharatayudha di mulai. Bhagavad-gita telah sejak lama menarik perhatian Amir Hamzah, salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia. Ia telah menterjemahkan Bhagavad-gita ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk syair. Sutan Takdir Alisyahbana, yang memberikan kata pengantar dalam buku terjemahan Bhagavad-gita itu menyebut Amir Hamzah sebagai seorang muslim yang saleh, menulis sebagai berikut : “Terjemahan Amir Hamzah ini telah dimuatkan dalam Pujangga Baru nomor 1, Juli 1933 tahun I dan berakhir dalam Pujangga Baru nomor VIII, Februari 1935 tahun II. Dengan terjemahan itu, yang dilakukannya dengan bersungguh-sungguh dalam bahasanya yang khas, nyatalah bagaimana luasnya paham dan perasaan keagamaan Amir Hamzah yang seperti kita tahu adalah seorang Islam yang saleh...”
Sementara itu, Dr. Amir salah seorang sastrawan yang juga memberikan kata sambutan dalam buku itu menyatakan kekagumannya terhadap Bhagavad-gita : Yang dinamakan Bhagavad-gita, menurut Amir Hamzah, adalah sebagian dari Mahabharata, syair besar yang ternama dalam pustaka Sanskerta. Menurut Wilhem von Humbolt, syair Gita itu amat indah, barangkali satu-satunya syair filsafat dalam segala bahasa dunia. Pujian ini patut diberi apabila kita perhatikan indah dan dalamnya syair itu. Isinya serba pelajaran filsafat, agama, dan kebajikan (etik). Tak ada kitab pusaka yang begitu digemari oleh anak India...Untuk pemuda Indonesia, Amir Hamzah telah berjasa menerjemahkan seloka-seloka itu dalam bahasa kita. Tak ada bahasa dunia yang penting, yang tidak mempunyai salinan dari Gita ini...”(Amir Hamzah, 1983: viii). Agar dapat dipahami secara benar dalam konteks bagaimana ajaran panteisme diuraikan dalam kitab Bhagavad-gita, berikut ini akan disajikan kutipan-kutipan ayat Bhagavad-gita yang menjelaskan bagaimana manusia dapat menginsyafi atau menyadari keberadaan dan kehadiran Tuhan di dalam benda-benda atau makluk di seluruh alam semesta. Paham inilah yang kemudian dikenal dengan panteisme. 1. Bahwa Alam semesta bersandar di dalam Diri Tuhan, dengan perumpamaan bagaikan butir-butir mutiara yang terikat pada seutas tali. mattaù parataraà nänyat kiïcid asti dhanaïjaya mayi sarvam idaà protaà sütre maëi-gaëä iva Wahai Arjuna, tidak ada kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala sesuatu bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali (Gita 7.7) mayä tatam idaà sarvaà jagad avyakta-mürtinä mat-sthäni sarva-bhütäni na cähaà teñv avasthitaù Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak berwujud. Semua makhluk hidup berada dalam Diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka (Gita 9.4) 2. Tuhan berada/meresap di dalam segala sesuatu, di dalam unsur-unsur alam : air, sinar matahari, sinar bulan, sebagai suara di angkasa, dan sebagainya. raso ‟ham apsu kaunteya prabhäsmi çaçi-süryayoù praëavaù sarva-vedeñu çabdaù khe pauruñaà nåñu
Wahai Putra Kunti (Arjuna), Aku adalah rasa air, cahaya matahari dan bulan, suku kata om dalam mantra-mantra Weda; Aku adalah suara di angkasa dan kesanggupan dalam diri manusia (Gita 7.8) puëyo gandhaù påthivyäà ca tejaç cäsmi vibhävasau jévanaà sarva-bhüteñu tapaç cäsmi tapasviñu Aku adalah harum yang asli dari tanah, dan Aku adalah panas dalam api. Aku adalah nyawa segala sesuatu yang hidup, dan Aku adalah pertapaan semua orang yang bertapa (Gita 7.9) 3. Tuhan bersemayam (imanensi) di dalam hati semua makhluk hidup, sebagai Roh Yang Utama (Paramätmä). upadrañöänumantä ca bhartä bhoktä maheçvaraù paramätmeti cäpy ukto dehe ‟smin puruñaù paraù Namun di dalam badan ini ada kepribadian yang lain, kepribadian rohani yang menikmati, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, Pemilik segala sesuatu. Beliau berada sebagai Pengawas dan Yang mengijinkan, dan Beliau dikenal sebagai Roh Yang Utama (Gita 13.23) dhyänenätmani paçyanti kecid ätmänam ätmanä anye säìkhyena yogena karma-yogena cäpare Beberapa orang melihat Roh Yang Utama di dalam dirinya melalui semadi, orang lain melihat melalui pengembangan pengetahuan, dan orang lain lagi melihat melalui cara bekerja tanpa keinginan untuk membuahkan hasil atau pahala (Gita 13.25) aham ätmä guòäkeça sarva-bhütäçaya-sthitaù aham ädiç ca madhyaà ca bhütänäm anta eva ca O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan, dan akhir semua makhluk (Gita 10.20) adhibhütaà kñaro bhävaù puruñaç cädhidaivatam adhiyajïo ‟ham evätra
dehe deha-bhåtäà vara Wahai yang paling baik di antara para makhluk yang berada di dalam badan, yang berubah senantiasa, disebut adhibhūta (manifestasi material). Bentuk semesta Tuhan, termasuk semua dewa, seperti dewa matahari dan dewa bulan, disebut adhidaiva. Aku, Tuhan Yang Mahaesa, yang berwujud sebagai Roh Yang Utama di dalam hati setiap makhluk yang berada di dalam badan, disebut adhiyajïo (Gita 8.4) sarvasya cähaà hådi sanniviñöo mattaù småtir jïänam apohanaà ca vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cähama Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Weda; memang Akulah yang menyusun Wedänta, dan Akulah yang mengetahui Weda (Gita 15.15). Sebelum mencoba memahami konsep Manunggaling Kawulo Gusti menurut pandangan Hindu, perlu kiranya terlebih dahulu dipahami hakekat dari masing-masing komponennya. Artinya, perlu pemahaman filosofis hakekat „manunggal‟, hakekat „kawulo‟ dan hakekat „Gusti‟ berdasarkan perspektif ajaran Hindu. Hakekat Kawulo : Diri Manusia Menurut Weda Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa tujuan kehidupan manusia menurut ajaran Weda adalah untuk mencapai self-realization (keinsafan diri). Langkah pertama untuk mencapai keinsafan diri ini adalah mengenal hakekat atau jati diri manusia yang sesungguhnya. Pengetahuan dasar yang diajarkan dalam Weda tentang hakekat manusia (dan makhluk hidup pada umumnya) adalah bahwa manusia terdiri dari tiga komponen, yaitu 1) badan kasar (stula sarira); 2) badan halus (suksma sarira); dan roh (ätman). Badan kasar adalah badan jasmani/badan wadag yang terbuat dari unsur Panca Mahabhuta (tanah, air, api, udara, dan akasa/eter). Badan halus terdiri dari : pikiran (manah), kecerdasan (budhi), dan ego (ahankara). Roh adalah sumber dari kesadaran yang memungkinkan berfungsinya badan kasar maupun badan halus. Weda menegaskan bahwa badan kasar dan badan halus bersifat sementara, sedangkan roh bersifat kekal abadi. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa sesungguhnya kita adalah roh (jiwa). Sebagai roh, kita telah ada sebelum kita memasuki badan seorang bayi untuk lahir sebagai manusia. Kita adalah roh yang bersemayam di dalam badan jasmani. Kita dapat memahami hal ini dari cara kita berbicara sehari-hari. ”Ini tanganku” menunjukkan bahwa ada sang ‟aku‟ yang memiliki tangan yang menempel pada badan. ‟Badanku sakit‟ berarti bahwa ada sang ‟aku‟ sebagai pemilik badan. Demikian pula halnya dengan perkataan : ‟pikiranku‟, ‟kecerdasanku‟
dan sebagainya. Semua itu menunjukkan adanya sesuatu yang memiliki kecerdasan, dan lain sebagainya‟ itu dan dialah sang roh.
‟badan, pikiran,
Mengenai keberadaan roh dan sifatnya, dinyatakan sebagai berikut: avinäçi tu tad viddhi yena sarvam idaà tatam vinäçam avyayasyäsya na kaçcit kartum arhati Hendaknya engkau ketahui bahwa apa yang bersemayam di dalam badan tidak dapat dimusnahkan. Tidak seorangpun dapat membinasakan sang roh yang tidak dapat dibinasakan itu (Bhagavad-gita 2.17)
na jäyate mriyate vä kadäcin näyaà bhütvä bhavitä vä na bhüyaù ajo nityaù çäçvato ‟yaà puräëo na hanyate hanyamäne çarére Tidak ada kelahiran maupun kematian bagi sang roh pada saat manapun. Dia tidak diciptakan pada masa lampau, ia tidak diciptakan pada masa sekarang, dan dia tidak akan diciptakan pada masa yang akan datang. Dia tidak dilahirkan, berada untuk selamanya dan bersifat abadi. Dia tidak terbunuh apabila badan dibunuh (Bhagavad-gita 2.20). väsäàsi jérëäni yathä vihäya naväni gåhëäti naro ‟paräëi tathä çaréräëi vihäya jérëäny anyäni saàyäti naväni dehé Seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru, dan menanggalkan pakaian lama, begitu pula sang roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tidak berguna (Bhagavad-gita 2.22). Menurut Dr. Gede Kamajaya, dalam bukunya ‟Hukum Evolusi Roh‟ (1999: 7), adanya kesadaran merupakan bukti adanya kehidupan, bukti adanya roh. Jika sang roh meninggalkan badan jasmani, itu berarti bahwa kesadarannyalah yang meninggalkan badan jasmani tersebut, dan setelah itu badan jasmani tidak lagi memiliki kesadaran dan disebut mayat. Jadi, pada hakekatnya manusia adalah unit kesadaran yang disebut roh (Inggris: soul). Roh merupakan unit kesadaran yang abadi. Seperti berkas cahaya yang merupakan bagian dari cahaya matahari yang gemilang; seperti setetes air laut yang merupakan bagian dari lautan luas, maka sang unit kesadaran atau roh, merupakan bagian atau percikan dari kesadaran kosmik semesta (Brahman). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sri Krishna dalam Bhagavad-gita 15.7 sebagai berikut :
mamaiväàço jéva-loke jéva-bhütaù sanätanaù manaù-ñañöhänéndriyäëi prakåti-sthäni karñati Para makhluk hidup (jiwa) di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diriku. Oleh karena kehidupan yang terikat, mereka berjuang dengan keras sekali melawan enam indria, termasuk pikiran. Sang roh mendapatkan jenis badan jasmani sesuai dengan karma atau perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan terdahulu. Kehidupan saat ini merupakan bagian dari proses panjang dalam upaya pencapaian pembebasan dari kelahiran dan kematian (reinkarnasi). Tujuan kehidupan sebagai manusia adalah untuk mencapai moksa atau pembebasan, dapat kembali pulang ke dunia rohani atau Manunggal Kalawan Gusti. Gusti : Memiliki Sifat Transenden dan Immanen Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa Weda menguraikan keberadaan Tuhan dalam sifatnya yang transenden (berada jauh terpisah dari ciptaan-Nya), namun sekaligus pula immanen (meresap/masuk dan berada di dalam segala ciptaan-Nya). Dalam upaya memahami hakekat Tuhan/Kebenaran Mutlak, dalam Hindu (khususnya filsafat India) terdapat 6 pendekatan atau cara pandang yang disebut Sad-darsana. Enam sistem filsafat Hindu tersebut adalah sistem filsafat orthodox, yang merupakan 6 cara mencari kebenaran, yaitu : 1) Nyäya; 2) Vaisesika; 3) Sämkhya; 4) Yoga; 5) Pūrwa-Mimamsa; dan 6) Uttara-Mimamsa atau Vedänta (Maswinara, 2006: 121). Dalam masing-masing sistem filsafat tersebut, terdapat perbedaan dalam memandang dan memahami sifat-sifat Tuhan. Perbedaan cara pemahaman itu, sekali lagi, diakui kebenarannya masing-masing, mengingat Tuhan Yang Tiada Batas, tidak mungkin dapat dijelaskan atau digambarkan secara utuh melalui satu sudut pandang semata. Telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa secara garis besar, Tuhan diinsyafi dalam tiga aspek, yaitu : Brahman, Paramätman, dan Bhagavan. Dari keenam sistem filsafat yang ada, yang saat ini dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap ajaran Hindu dewasa ini adalah filsafat Vedänta. Vedänta (sering diartikan sebagai :kesimpulan Weda) sendiri terbagi lagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu : Advaita Vedänta, Dvaita Vedänta, dan Visistadvaita. Adapun interpretasi-interpretasi utama Vedänta adalah (Bagus, 2005: 1153) adalah sebagai berikut : 1. Pandangan yang paling luas dikagumi dan diterima adalah pandangan Shankara, yakni Advaita Vedänta yang berisi interpretasi non-dualistis dimana Brahman (Tuhan) merupakan satu-satunya realitas. Dunia adalah tampakan (maya, semu). Brahman identik dengan Atman
2. Interpretasi Ramanuja mengakui realitas Allah, diri-diri, dan dunia, kendati dua yang terakhir berada sebagai tubuh atau wujud Allah, yang mempunyai dua bentuk 3. Interpretasi Madhva memungkinkan individualitas permanen Allah, diri-diri dan materi, dan menyediakan suatu interpretasi organik atas hakekat hal-hal yang ada.
Berbagai Tahap/Jenis Manunggal (Pembebasan). Sebagaimana keenam filsafat tersebut memiliki perbedaan dalam memandang realitas Tuhan dan jiwa/roh, begitu pula mereka memiliki perbedaan pandangan dalam hal konsep pembebasan (moksa). Di antara para filsuf yang mencetuskan filsafat Vedänta, yang paling penting adalah Ramanuja yang mengajarkan sistem filsafat Visistadvaita. Ramanuja mengajarkan bahwa terdapat tiga realitas : materi, jiwa, dan Tuhan. Ketiga realitas ini saling bergantung: jiwa individual mengatur badan jasmani, dan Tuhan mengatur keduanya. Tanpa Tuhan, jiwa dan materi hanya merupakan konsep abstrak belaka dan bukan realitas. Tujuan usaha individual adalah membebaskan diri dari eksistensi jasmani. Dan ini dapat dicapai melalui kegiatan rohani, pengetahuan, dan cinta bhakti kepada Tuhan. Mengenai jenis-jenis pembebasan (Manunggaling Kawulo Gusti), dalam kitab Bhagavata Purana 9.4.67 dinyatakan bahwa terdapat 4 jenis moksa (pembebasan) yang dapat dicapai oleh jiwa : mat-sevayä pratétaà te sälokyädi-catuñöayam necchanti sevayä pürëäù kuto ‟nyat käla-viplutam My devotees, who are always satisfied to be engaged in My loving service, are not interested even in the four principles of liberation [sälokya, särüpya, sämépya and särñöi], although these are automatically achieved by their service. What then is to be said of such perishable happiness as elevation to the higher planetary systems? Terjemahan : Para penyembah-Ku yang murni selalu puas dengan menekuni pengabdian suci. Karena itu mereka tidak bercita-cita untuk mencapai lima tahap pembebasan, yaitu (1) Menunggal dengan Diri-Ku, (2) Mencapai tempat tinggal di planet-Ku, (3) Memiliki kehebatan-Ku, (4) Memiliki ciri-ciri badan yang mirip dengan badan-Ku, dan (5) Mencapai pergaulan pribadi dengan-Ku. Kalau mereka tidak berminat terhadap kedudukan pembebasan seperti itu, engkau dapat mengerti betapa kecilnya perhatian mereka terhadap kekayaan atau pembebasan ke planet-planet material yang lebih tinggi? (Tim Penterjemah, 1992: 40).
D. KESIMPULAN Dari pemaparan di atas, kiranya dapat disampaikan ringkasan sebagai berikut : 1. Kitab-kitab Weda mengajarkan paham panteisme, sebagaimana dapat dilihat dalam ayat-ayat kitab Bhagavad-gita, yang merupakan bagian dari kitab Mahabharata. Bhagavad-gita
memiliki kedudukan sebagai kitab Pancama Weda atau Weda Kelima setelah Catur Weda (Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda) 2. Paham panteisme Hindu lebih dekat pada paham Panteisme – Transendental (mistik), yang mengajarkan bahwa daya atau sifat ilahi ditemukan hanya dalam inti terdalam segala sesuatu, khususnya dalam jiwa, sehingga makhluk ciptaan hanya akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Tuhan (pembebasan – manunggal) hanya sesudah menanggalkan tubuh jasmaninya, dan telah mengembangkan kesadaran kosmik, atau kesadaran Tuhan.
Daftar Pustaka Bagus, Lorens. (2005). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bhaktivedanta Swami, A.C. (1986). Bhagavad-gita Menurut Aslinya. Terjemahan Tim Penterjemah. Jakarta: tanpa penerbit Danavira, Gosvami (Ed). (1999). Vedic paradigm. Kansas City : Rupanuga Vedic Colledge. Hughes, Amanda Millay (Ed). Publication.
(2005). Five Voices Five Faiths. Massachusetts : Cowley
Knapp, Steven. (2001). The secret teaching of the Vedas. New York : World Relief Network. Krishnananda, Swami. (1994). A short history of religious and philosophic thought in India. Himalaya : The Divine Life Society. Maswinara, I Wayan. (2006). Sistem filsafat Hindu. Surabaya: Paramita Rosen, S. J. (1995). The lives of the Vaishnava saints : Shrinivas Acharya, Narottam Das Thakur, Shyamananda Pandit. India : Folk Books ______ . (2002). The hidden glory of India. China : The Bhaktivedanta Book Trust. Sarmah, J. (1978). Philosophy of education in the Upanisads. India : Gauhaty University. Satsvarupa. (1996). Elements of Vedic thought and culture. New York : The Bhaktivedanta Book Trust. Sharma, Y.K. (2001). History and problems of Indian education. New Delhi: Kanishka Publishers. Sheridan, D.P. (1986). The Advaitic theism of the Bhagavata Purana. Delhi : Motilal Banarsidass Shimuh. (2002). Sufisme Jawa – Transformasi Tasawuf Islam ke mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang
Tim Penterjemah. (1992). Lautan Manisnya Rasa Bhakti. Jakarta: tanpa penerbit.